23
4 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gagal Jantung Akut 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC), merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan fungsi jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal jantung (McMurray et al, 2012). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada sebagian besar kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien yang telah terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart failure with preserved ejection fraction (HF-PEF) (McMurray et al, 2012). Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spektrum kondisi, dan klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung akut biasanya datang dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut (Filippatos, 2007, Pfister dan Schneider, 2009): Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: biasanya terdapat riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan darah rendah saat masuk biasanya berhubungan dengan prognosis yang jelek. Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan, takipneu dan ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh lapang paru. Saturasi oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum diberkan terapi oksigen. Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri yang masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan vasokonstriksi. Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit hipervolemik, dan datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

4

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gagal Jantung Akut

2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut menurut European Society of Cardiology (ESC),

merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan kondisi kegagalan

fungsi jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda

dari gagal jantung (McMurray et al, 2012). Hal ini merupakan kondisi yang

mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya

berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Pada sebagian besar

kasus, gagal jantung akut terjadi sebagai akibat perburukan pada pasien yang telah

terdiagnosis dengan gagal jantung sebelumnya (baik gagal jantung dengan fraksi

ejeksi yang rendah/ heart failure with reduced ejection fraction (HF-REF), maupun

pada gagal jantung dengan fraksi ejeksi yang masih baik/ heart failure with

preserved ejection fraction (HF-PEF) (McMurray et al, 2012).

Presentasi klinis dari gagal jantung akut biasanya merefleksikan spektrum

kondisi, dan klasifikasinya memiliki batasan-batasan. Pasien dengan gagal jantung

akut biasanya datang dengan salah satu dari keenam kategori klinis berikut

(Filippatos, 2007, Pfister dan Schneider, 2009):

Perburukan atau dekompensasi dari gagal jantung kronis/ADHF: biasanya

terdapat riwayat perburukan dari gagal jantung kronis dalam pengobatan, dan

bukti dari kongesti sistemik dan pulmoner. Tekanan darah rendah saat masuk

biasanya berhubungan dengan prognosis yang jelek.

Edema paru akut: pasien biasanya datang dengan distress pernafasan, takipneu

dan ortopneu, ronki basah halus sering ditemukan di seluruh lapang paru.

Saturasi oksigen arterial biasanya <90% dengan udara ruangan sebelum

diberkan terapi oksigen.

Gagal jantung akut hipertensif: tanda dan gejala dari gagal jantung yang disertai

peningkatan tekanan darah dan biasanya memiliki fraksi ejeksi ventrikel kiri

yang masih baik. Terdapat bukti dari peningkatan tonus simpatis dan

vasokonstriksi. Pasien mungkin dalam kondisi euvolemik atau hanya sedikit

hipervolemik, dan datang dengan tanda-tanda kongestif paru tanpa disertai

4

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

5

kongesti sistemik. Respons terhadap terapi medis biasanya cepat, dan tingkat

kematian dirumah sakit biasanya rendah.

Renjatan kardiogenik (cardiogenic shock) didefinisikan sebagai bukti adanya

hipoperfusi jaringan yang diinduksi oleh gagal jantung setelah dilakukannya

koreksi adekuat dari preload dan aritmia mayor. Biasanya renjatan kardiogenik

ditandai dengan penurunan tekanan darah (sistolik ≤90 mmHg, atau penurunan

cepat dari rerata tekanan arteri >30 mmHg) disertai dengan oliguria atau anuria

(<0.5 ml/kg /jam). Gangguan irama juga sering terjadi, dan bukti-bukti

hipoperfusi organ serta kongesti paru biasanya terjadi secara cepat.

Gagal jantung kanan teisolasi: ditandai dengan sindroma penurunan curah

jantung (low output syndrome) tanpa adanya kongesti paru dengan peningkatan

tekanan vena juguler, dengan atau tanpa hepatomegali dan tekanan pengisian

ventrikel kiri yang rendah.

Gagal jantung akut pada sindroma koroner akut: banyak pasien datang dengan

gambaran klinis gagal jantung akut namun diserai bukti-bukti laboratorium dari

sindroma koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindroma koroner akut

memiliki tanda dan gejala gagal jantung akut, dan episode gagal jantung akut

tersebut biasanya berhubungan atau dipresipitasi oleh aritmia (bradikardia,

fibrilasi atrium atau takikardi venrikel).

2.1.2 Patogenesis Gagal Jantung Akut

Gagal jantung akut ditandai dengan abnormalitas hemodinamik dan

neurohormonal yang buruk dan mungkin diakibatkan atau sebagai akibat dari jejas

pada miokard dan atau ginjal. Abnormalitas tersebut mungkin dapat disebabkan

karena iskemia, hipertensi, atrial fibrilasi atau penyebab non kardiak lainnya

(seperti insufisiensi ginjal) atau sebagai akibat efek obat-obatan (Pfister dan

Schneider, 2009). Beberapa mekanisme pathogenesis gagal jantung akut

diantaranya adalah:

Kongesti. Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri akan berakibat kongesti

pulmonal dan sistemik dengan atau tanpa curah jantung yang menurun

merupakan presentasi utama pada mayoritas pasien dengan gagal jantung akut

(Adams et al., 2005). Kongesti paru dapat didefinisikan sebagai hipertensi vena

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

6

pulmonalis (peningkatan tekanan baji kapiler paru/ pulmonary capillary wedge

pressure (PCWP)) dan akan berakibat edema interstisial dan alveolar paru.

Kongesti sistemik bermanifestasi secara klinis dengan distensi vena jugularis

dengan atau tanpa edema perifer dan peningkatan berat badan secara gradual

sering ditemukan (Pfister dan Schneider, 2009). Biasanya, kongesti paru berat

yang terjadi secara mendadak dipresipitasi oleh peningkatan tekanan darah

(afterload), terutama pada pasien dengan disfungsi diastolik (Cotter et al, 2008).

Gangguan ginjal, abmormalitas berat dari neurohormonal dan endothelial,

gangguan diet dan beberapa obat-obatan seperti anti inflamasi non steroid

(OAINS) juga berkontribusi terhadap kelebihan cairan (McMurray et al., 2012).

Peningkatan tekanan diastolik ventrikel kiri yang tinggi, akan

berkontribusi terhadap progresifitas dari gagal jantunglebih lanjut dengan

aktivasi neurohormonal, iskemia subendokardial dan/ atau perubahan ukuran

dan bentuk dari ventrikel kiri (remodelling) yang pada akhirnya berakibat pada

insufisiensi katup mitral (Gheorghiade et al, 2006). Peningkatan tekanan vena

sistemik (tekanan atrium kanan bagian atas), lebih sering disebabkan karena

tekanan jantung kiri yang tinggi/ pulmonary capillary wedge pressure (PCWP),

yang akan berkontribusi pada terjadinya sindroma kardio renal (SKR)

(Mullens et al, 2008).

Berat badan biasa digunakan sebagai penanda adanya kongesti pada

scenario pasien gagal jantung yang dirawat inap maupun rawat jalan.

Bagaimanapun, beberapa penelitian menyimpulkan hubungan yang kompleks

antara berat badan, kongesti dan keluaran pasien dengan gagal jantung

(Gheorghiade dan Pang, 2009).

Cedera miokard. Pelepasan troponin sering terjadi pada kondisi gagal jantung

akut, terutama pada pasien dengan penyakit jantung koroner (Peacock et al,

2008). Hal ini nampaknya merefleksikan adanya cedera miokard, yang

berhubungan dengan abnormalitas hemodinamik dan / atau neurohormonal atau

sebagai akibat dari kejadian iskemia. Cedera juga bisa terjadi sebagai akibat

tingginya tekanan diastolik ventrikel kiri, yang kemudian akan mengaktivasi

stimulasi neurohormonal dan inotropik sehingga berakibat kepada

ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen (Beohar et al, 2008).

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

7

Gangguan ginjal. Pada gagal jantung akut, abnormalitas ginjal akan

menyebabkan retensi natrium dan air (Nohria et al, 2008). Gangguan struktural

ginjal akibat hipertensi, diabetes dan arteriosklerosis merupakan penyebab yang

sering ditemukan, dan perburukan fungsi ginjal terjadi pada sekitar 20-30%

pasien yang dirawat dengan gagal jantung akut (Eren et al, 2012). Dari

penelitian akhir, 20% pasien akan mengalami perburukan fungsi ginjal segera

setelah pasien dipulangkan (Blair et al, 2008). Perburukan selama perawatan

atau setelah pasien pulang mungkin diakibatkan karena penurunan curah

jantung dan peningkatan tekanan vena, yang diperparah dengan pemberian

diuretik dosis tinggi (Damman et al, 2007).

Efek tidak langsung obat. Loop diuretik intravena merupakan agen lini pertama

untuk meringankan gejala kongestif. Bagaimanapun, efek menguntungkan

tersebut behubungan dengan abnormalitas elektrolit, aktivasi neurohormonal

yang lebih lanjut dan perburukan fungsi ginjal. Pemberian loop diuretik

intravena dengan dosis besar berhubungan dengan keluaran yang buruk pada

pasien dengan gagal jantung. Namun, hal ini mungkin suatu penanda dari

keparahan dari gagal jantung itu sendiri, dibandingkan dianggap sebagao

penyebab peningkatan mortalitas (Hasselblad et al, 2007). Dobutamin, milrinon

dan levosimendan akan meningkatkan profil hemodinamik, namun efek ini

berhubungan dengan peningkatan tingkat konsumsi oksigen miokard (takikardia

dan peningkatan kontraktilitas) dan hipotensi yang berhubungan dengan efek

vasodilatasi (Mebazaa et al., 2007). Penurunan perfusi koroner yang

berhubungan dengan hipotensi dalam kondisi peningkatan kebutuhan akibat

akan mengakibatkan cedera miokard, terutama pada pasien dengan penyakit

jantung koroner (PJK) yang sering memiliki miokardium yang mengalami

hibernasi atau iskemia (Beohar et al, 2008). Hipotensi yang berhubungan

dengan penggunaan vasodilator mungkin juga mengakibatkan hipoperfusi

miokardium dan ginjal dan kemungkinan dapat mengakibatkan cedera

(Gheorghiade dan Pang, 2009).

2.1.3 Diagnosis Gagal Jantung Akut

2.1.3.1. Tanda dan gejala

Banyak tanda-tanda gagal jantung yang terjadi akibat retensi air dan

natrium yang biasanya akan membaik dengan cepat dengan pemberisan terapi

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

8

diuretik. Riwayat medis pasien juga pentning bagi penegakan diagnosis, dan

gagal jantung tidak lazim terjadi pada pasien tanpa adanya riwayat medis yang

relevan, misalkan riwayat infark miokard yang akan meningkatkan

kemungkinan terjadinya gagal jantung pada pasien dengan tanda dan gejala

yang khas (McMurray et al, 2012).

Sekali diagnosis gagal jantung ditegakkan, sangatlah penting kemudian

untuk menentukan penyebabnya, terutama penyebab yang dapat dikoreksi.

Gejala dan tanda merupakan hal penting yang harus selalu dimonitor sebagai

respon terapi dan tanda kestabilan pasien dengan gagal jantung. Gejala yang

menetap pada pasien dengan terapi gagal jantungm biasanya menandakan

perlunya terapi tambahan, dan perburukan gejala membutuhkan penanganan

medis yang serius. Berikut merupakan tanda dan gejala gagal jantung menurut

ESC yang dikeluarkan ditahun 2012 (McMurray et al, 2012).

Tabel 2.1. Tanda dan gejala tipikal gagal jantung (McMurray et al, 2012).

Tanda Gejala

Tipikal Lebih spesifik

Sesak napas Peningkatan JVP

Ortopneu Reflek hepatojuguler

Paroksismal nocturnal dispneu Bunyi jantung 3 (gallop)

Penurunan toleransi aktivitas Impuls apical yang bergeser kelateral

Kelelahan, letih dan kebutuhan waktu yang lebih banyak untuk istirahat setelah aktivitas

Bising jantung

Edema tungkai

Kurang tipikal Kurang spesifik

Batuk malam Edema perifer (tungkai, skrotal)

Mengi Krepitasi paru

Peningkatan berat badan > 2kg/ minggu Efusi pleura

Penurunan berat badan (pada gagal jantung lanjut)

Takikardia

Perasaan penuh Pulsasi irregular

Kurang nafsu makan Takipneu (>16 kali/ menit)

Bingung (terutama pada usia tua) Hepatomegali

Depresi Asites

Palpitasi Kakeksia

Sinkop

2.1.3.2. Uji Diagnostik

Ekhokardiogram dan elektrokardiogram (EKG) merupakan

pemeriksaan penting untuk menegakkan diagnosis gagal jantung.

Ekhokardiogram menyajikan informasi yang segera mengenai volume ruang

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

9

jantung, fungsi sistoli dan diastolik ventrikel, ketebalan otot, dan fungsi katup

(Paterson et al, 2011). Informasi ini penting dalam menentukan terapi yang

pantas untuk pasien (misal penyekat angiotensin converting enzyme (ACE) dan

penyekat beta untuk disfungsi sistolik atau operasi untuk stenosis aorta). EKG

membantu untuk melihat irama jantung dan konduksi elektrik, misal adanya

penyakit sinoatrial, blok atrioventrikuler, atau konduksi interventrikuler yang

abnormal. Temuan ini juga penting untuk menentukan penatalaksanaan (seperti

kontrol irama untuk pasien dengan fibrilasi atrium, pemacuan untuk

bradikardia, dan terapi resinkronisasi jantung untuk pasien dengan left bundle

branch block (LBBB)). EKG juga menunjukkan bukti adanya hipertrofi

ventrikel kiri atau gelombang Q yang mengindikasikan adanya kehilangan

miokardium yang viabel, yang membantu memberikan bukti tentang

kemungkinan etiologi dari gagal jantung (McMurray et al, 2012).

Informasi yang disajikan oleh 2 pemeriksaan ini sudah mampu untuk

menegakkan diagnosis kerja dan perencanaan manajemen bagi mayoritas

pasien. Pemeriksaan biokimiawi dan hematologi rutin juga penting, sebagai

bagian apakah penyekat sistim renin angiotensin aldosterone (SRAA) dapat

dimulai secara aman (dengan pemeriksaan fungsi ginjal dan kalium) dan untuk

mengekslusi adanya anemia (yang mirip atau dapat memperburuk gagal

jantung). Pemeriksaan penunjang lain secara umum hanya diperlukan bila

diagnosis belum bias ditegakkan (misal bila gambaran ekhokardiografi

suboptimal, atau jika terdapat kausa gagal jantung yang tidak umum) atau jika

ada indikasi untuk mengevaluasi lebih jauh penyebab yang mendasari masalah

jantung pasien (misal pencitraan perfusi atau angiografi pada pasien dengan

kecurigaan PJK atau endomiokardial biopsi pada beberapa penyakit miokard)

(McMurray et al, 2012).

2.1.3.3. Peptida natriuretic

Karena tanda dan gejala gagal jantung kadang tidak spesifik, banyak

pasien yang dicurigai mengalami gagal jantung yang dikirim menjalani

pemeriksaan ekhokardiografi, namun ternyata tidak memiliki abnormalitas

dalam struktur jantung. Ketka kemampuan ekhokardiografi menjadi terbatas,

pendekatan lain untuk mendiagnosis adalah dengan memeriksa konsentrasi

peptida natriuretik darah, keluarga hormon yang disekresikan berlebih bila

terjadi jejas pada jantung atau beban pada salah satu ruang jantung mengalami

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

10

peningkatan (misal pada fibrilasi atrium, emboli paru dan beberapa kondisi non-

kardiak termasuk gagal ginjal) (Ewald et al, 2008). Kadar peptida natriuretik

juga akan meningkat seiring dengan usia, namun dapat menurun pada pasien

dengan obesitas (Daniels et al, 2006). Kadar peptida natriuretik yang normal

pada pasien yang belum tertangani secara nyata mengeksklusi adanya penyakit

jantung, yang akan menyebabkan pemeriksaan ekhokardiografi tidak

diperlukan lagi (investigasi penyebab non-kardiak mungkin lebih produktif

pada pasien ini) (Maisel et al, 2008).

Banyak penelitian telah meneliti batas konsentrasi dua untuk

mengeksklusi gagal jantung untuk dua macam peptida natriuretik yang biasa

digunakan, B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro B-type

natriuretic peptide (NT-proBNP). Batasan eksklusi berbeda pada pasien yang

dating dengan awitan akut atau perburukan gejala dan pada psein dengan awitan

yang lebih gradual. Untuk pasien dengan awitan akut atau perburukan gejala,

nilai optimal untuk mengeksklusi adalah 300 pg/mL untuk NT-pro BNP dan100

pg/mL untuk BNP. Untuk pasien non akut, nilai optimal untuk mengeksklusi

adalah 125 pg/mL untuk NT-proBNP dan 35 pg/mL untuk BNP. Sensitifitas

dan spesifisitas dari BNP dan NT-proBNP untuk diagnosis gagal jantung juga

lebih rendah pada pasien-pasien non akut (McMurray et al, 2012).

2.1.3.4. Foto Toraks

Foto toraks memiliki keterbatasan dalam penegakan diagnosis dari

pasien dengan kecurigaan gagal jantung. Hal ini mungkin sangat berguna dalam

mengidentifikasi alternatif keterlibatan paru untuk tanda dan gejala pasien.

Pemeriksaan ini akan menunjukkan kongesti vena pulmonalis atau edema pada

pasien dengan gagal jantung. Penting untuk dicatat bahwa disfungsi sistolik

ventrikel kiri yang signifikan akan memberikan gambaran kardiomegali pada

foto thoraks (McMurray et al, 2012).

2.1.3.5. Pemeriksaan Rutin Laboratorium

Sebagai tambahan untuk pemeriksaan biokimiawi (natrium, kalium,

kreatinin, laju filtrasi gromerolus/ estimated glomerular filtration rate (eGFR))

dan hematologis standar (hemoglobin, hematocrit, ferritin, leukosit dan

platelet), sangatlah berguna untuk memeriksa kadar hormon penstimulasi tiroid,

dikarenakan penyakit tiroid dapat menyerupai atau memperburuk gagal jantung.

Kadar gula darah juga penting untuk diperiksa dalam penegakkan ddiagnosis

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

11

diabetes pada pasien gagl jantung. Enzim hati juga biasa ditemukan tidak

normal pada pasien dengan gagal jantung, juga pentung untuk pengambilan

keputusan yang menyangkut terapi amiodaron dan warfarin (McMurray et al,

2012).

2.2 Cedera Ginjal Akut pada Gagal Jantung Akut

2.2.1. Sindroma Kardio Renal

Banyak pasien yang datang kerumah sakit dengan menderita gangguan jantung

dan ginjal dalam berbagai tingkat keparahan. Interaksi antara organ tersebut

memiliki fungsi yang sangat penting dalam menjaga stabilitas hemodinamik seperti

pengaturan volume darah dan tonus vaskuler. Ganguan utama salah satu dari kedua

organ ini akan menghasilkan disfungsi atau jejas sekunder pada organ lainnya.

Interaksi tersebut merepresentasikan sebuah dasar patofisiologi untuk sebuah entitas

klinis yang biasa disebut dengan sindroma kardiorenal (SKR) (Ronco et al, 2008b)

Walaupun secara umum didefinisikan sebagai kondisi yang ditandai dengan inisiasi

dan/ atau progresifitas dari insufisiensi ginjal sebagai akibat sekunder dari gagal

jantung, istilah SKR juga digunakan untuk mendiskripsikan efek negatif akibat

berkurangnya fungsi ginjal pada jantung dan sistem sirkulasi (Ronco et al, 2008c).

Ronco dan kawan-kawan pada tahun 2008 (Ronco et al, 2008a), telah membagi

SKR berdasarkan kejadian alamiah terjadinya interaksi bidireksional antara jantung

dan ginjal menjadi 5 subtipe yang merefleksikan patofisiologi sesuai alur waktu dari

disfungsi jantung dan ginjal yang konkomitan. Secara umum, SKR dapat

didefinisikan sebagai gangguan patofisiologis dari jantung dan ginjal, dimana

disfungsi akut ataupun kronis salah satu organ tersebut dapat menginduksi disfungsi

akut atau kronis organ yang lain. SKR tipe 1 merefleksikan perburukan mendadak

fungsi jantung (misal pada renjatan kardiogenik dan ADHF yang mengakibatkan

cedera ginjal akut AKI. SKR tipe 2 merupakan abnormalitas kronis jantung (misal

pada gagal jantung kongestif kronik) yang menyebabkan gagal ginjal kronis

progresif. SKR tipe 3 merupakan perburukan fungsi ginjal yang mendadak yang

menyebabkan disfungsi jantung akut, seperti aritmia, iskemia dan gagal jantung.

SKR tipe 4 dideskripsikan sebagai kondisi gagal ginjal kronis yang berkontribusi

kepada penurunan fungsi, hipertrofi jantung dan/ atau peningkatan resiko dari

kejadian kardiovaskuler. Sedangkan SKR tipe 5 adalah kondisi sistemik (misal:

sepsis) yang menyebabkan disfungsi jantung dan ginjal secara bersamaan.

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

12

2.2.2. Sindroma Kardiorenal Tipe 1

Sindroma kardio renal tipe 1 paling sering didapatkan pada pasien dengan

ADHF kemudian mengikuti kejadian iskemik (bedah jantung, infark miokard) dan

non iskemik (disfungsi katup, diseksi aorta, emboli paru, dsb) dari jantung (Eren et

al, 2012). Lebih dari 40% dari pasien yang dirawat dengan ADHF akan mengalami

AKI (Bagshaw et al, 2010). Pasien–pasien tersebut memerlukan manajemen yang

lebih kompleks dikarenakan tingginya angka mortalitas (Haase et al, 2013).

Mekanisme klasik dari SKR tipe 1 adalah penurunan curah jantung dan aktivasi

neurohormonal serta pelepasan substansi vasoaktif yang mengakibatkan rendahnya

perfusi ke ginjal dan kemungkinan iskemia ginjal. Sebagai tambahan, tingginya

tekanan vena sentral, akan mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdomen yang

kemudian mengakibatkan kongesti vena, aktivasi dari sistem saraf simpatis dan

SRAA serta pelepasan substansi vasoaktif lain seperti endotelin, Anemia dan

gangguan sistem imun dan komunikasi antar sel somatik yang bermakna juga

berkontribusi secara bermakna terhadap terjadinya AKI (gambar 1) (Haase et al,

2013).

Gambar 2.1. Mekanisme, korelasi histologi, biomarker dan keluaran dari SKR tipe 1 pada gagal jantung

dekompensasi akut. ADHF = Acute decompensated heart failure; AKI = acute kidney injury (istilah AKI

meliputi istilah ‘WRF’, ‘worsening renal function/ perburukan fungsi ginjal yang biasanya didefinisikan

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

13

peningkatan kreatinin serum dua kali lipat); AMI = acute myocardial infarction; PE = pulmonary embo-

lism; SVR = systemic vascular resistance; HF = heart failure; CKD = chronic kidney disease; RAS = renal

artery stenosis; GFR = glomerular filtration rate; NGAL = neutrophil gelatinase-associated lipocalin; IL-

18 = interleukin-18; KIM-1 = kidney injury molecule 1; L-FABP = liver-type fatty acid binding protein;

NAG = N-acetylglucosamine (Haase et al, 2013).

Observasi dari beberapa percobaan dan penelitian klinis menyatakan bahwa

mekanisme hemodinamik memainkan peranan utama pada patofisiologi SKR tipe 1

pada kasus ADHF. Beberapa percobaan dengan hewan coba menunjukkan adanya

kejadian hemodinamik inisial pada SKR tipe 1 akan menyebabkan penurunan aliran

darah arterial ginjal, konsumsi oksigen ginjal, laju filtrasi glomerulus/ glomerular

filtration rate (GFR) dan peningkatan resistensi vaskuler ginjal, namun kemampuan

untuk mengkontra hemodinamik secara aktif seperti pengalihan perfusi darah

selektif menuju ginjal akan mengembalikan parameter-parameter hemodinamik dan

fungsi ginjal menuju normal kembali (Hanada et al, 2012).

Pada gagal jantung dekompensasi akut secara umum, pendekatan melaui profil

hemodinamik yang berbeda berdasarkan penilaian klinis telah diterapkan pada

pasien-pasien secara individual. Pendekatan ini terdiri dari kategorisasi pasien-

pasien yang bergantung pada profil hemodinamik sistemiknya, termasuk kecukupan

perfusi (penurunan curah jantung dan volume cairan tersirkulasi efektif) dan juga

derajat kongestif paru (peningkatan tekanan vena sentral atau tekanan baji arteri

pulmoner). Hal-hal tersebut, dapat saling dikombinasikan menjadi empat profil

hemodinamik yang terdiri dari basah atau kering dan hangat atau dingin (gambar 2)

(Stevenson dan Perloff, 1989).

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

14

Gambar 2.2. Profil hemodinamik sistemik pada pasien ADHF dan konsekuensinya pada hemodinamik

ginjal di SKR tipe 1 (Stevenson LW and JK, 1989). Gambar ini merupakan kombinasi profil hemodinamik

sistemik pada ADHF dengan mekanisme hemodinamik ginjal yang dapat menyebabkan SKR tipe 1 pada

masing-masing profilnya. Pada profil dingin, AKI dapat terjadi sebagai konsekwensi dari penurunan aliran

darah ginjal/ renal blood flow (RBF) ketika sistem autoregulasi gagal untuk mempertahankan laju filtrasi

glomerulus. Pada profil basah, peningkatan tekanan vena sentral akan meningkatkan tekanan vena ginjal,

yang akan mengurangi tekanan perfusi ginjal, meningkatkan tekanan interstisial ginjal, dan melawan

tekanan filtrasi sehingga menyebabkan kolaps tubulus. Pada profil hangat, walaupun perfusi sistemik

relatif terjaga, RBF berkurang secara diskonkordan, sebagai akibat gangguan autoregulasi (contoh:

penghambatan sistem RAA, aktivasi sistem saraf simpatis yang berlebihan), berkurangnya mekanisme

umpan balik tubuloglomerular (missal sebagai akibat dari obat anti inflamasi non steroid (OAINS)),

stenosis arteri ginjal atau kondisi predisposisi yang menyebabkan hilangnya nefron. Yang perlu dicatat,

gangguan atau berkurangnya autoregulasi mungkin memainkan peran kunci, yang berakibat penurunan

tekanan perfusi ginjal. Mengingat sebagian besar pasien ADHF memiliki hipertensi, jika SKR tipe 1 terjadi

sebagai akibat dari penurunan RBF (dan/ atau penurunan tekaknan perfusi ginjal), hal ini setidaknya

berkontribusi pada disfungsi autoregulator tubuh (Haase et al, 2013).

Acute kidney injury merupakan gabungan beberapa kondisi yang mempengaruhi

struktur dan fungsi ginjal. AKI didefinisikan sebagai penurunan fungsi ginjal secara

tiba-tiba yang termasuk didalamnya, tapi tidak terbatas pada gagal ginjal akut. Hal

ini mencakup gejala klinis yang luas termasuk penyakit ginjal yang speisfik (misal,

nefritis interstisial akut, penyakit glomerular dan vasculitis ginjal akut), kondisi non

spesifik (misal, iskemia, cedera akibat toksik), dan gangguan patologi ekstra renal

(misal, azotemia prerenal dan nefropati obstruktif akut postrenal). Lebih dari satu

kondisi ini mungkin dapat terjadi secara bersamaan pada pasien yang sama, namun

yang lebih penting, bukti epidemiologis mendukung, walaupun kecil, AKI yang

reversibel, memiliki konsekwensi klinis yang penting, termasuk peningkatan risiko

kematian (Hoste et al, 2006). Lebih jauh, karena manifestasi dan konsekwensi klinis

Kering dan hangat

RBF secara diskonkordan

Disregulasi mikrovaskular

intrarenal

Basah dan hangat

tekanan vena ginjal

RBF secara diskonkordan

Gangguan autoregulasi

Kering dan dingin

RBF

Gangguan autoregulasi

Basah dan dingin

RBF

tekanan vena ginjal

Gangguan autoregulasi

Kongesti Paru Ya Tidak

Pe

rfu

si s

iste

mik

Bai

k Te

rgan

ggu

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

15

AKI dapat sangat mirip tanpa memandang etiologi, sindroma AKI mencakup baik

cedera langsung ke ginjal maupun gangguan akut pada fungsi ginjal (Kellum et al,

2012).

2.2.3. Definisi dan Staging AKI

Acute kidney injury merupakan masalah kesehatan yang sering ditemukan,

berbahaya dan berpotensi untuk disembuhkan. Walaupun hanya terjadi sedikit

penurunan fungsi ginjal sudah dapat memberikan prognosis yang buruk. Deteksi dini

AKI mungkin dapat meningkatkan keluaran pasien. Dua definisi AKI yang berdasar

kreatinin serum dan output urin (stratifikasi Risk, Injury, Failure, Loss and End state

renal disease (RIFLE) (gambar 2.3) dan kriteria menurut Acute Kidney Injury

Network (AKIN) (tabel 2.2)) telah diperkenalkan dan divalidasi (Mehta, et al, 2007).

Secara umum, AKI didefinisikan sebagai (1) peningkatan kreatinin serum ≥ 0.3

mg/dL (≥ 26.5μmol/L) dalam kurun waktu 48 jam atau (2) peningkatan kreatinin

serum ≥ 1,5 kali dari garis dasar, yang diketahui atau diasumsikan terjadi dalam

kurun waktu 7 hari terakhir, atau (3) volume urin ≤ 0,5 ml/kg/ jam selama 6 jam

(Kellum et al., 2012).

Tabel 2.2. Kriteria AKI menurut klasifikasi AKIN (Mehta, et al, 2007).

Stadium Kreatinin serum Urin output

1 1,5-1,9 kali dari awal Atau Peningkatan ≥0,3 mg/dL (≥26,5 μmol/ L)

<0,5 mL/kg/jam selama 6-12 jam

2 2,0-2,9 kali dari awal <0,5mL/kg/jam selama ≥12 jam

3 3,0 kali dari awal Atau Peningkatan kreatinin serum ≥ 4,0mg/dL (≥353,6 μmol/L) Atau Penggunaan renal replacement therapy/ CRRT Atau pada pasien <18 tahun, dengan penurunan eGFR hingga <35 mL/min per 1,73 m2

< 0,3 mL/kg/jam ≥12 jam Atau Anuria selama >12 jam

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

16

Gambar 2.3. Kriteria AKI menurut klasifikasi RIFLE (Kellum et al., 2012)

2.3. Manajemen gagal jantung akut: fokus pada loop diuretik

2.3.1. Loop diuretik

Obat-obatan diuretik berfungsi untuk mempengaruhi fisiologi ginjal untuk

meningkatkan produksi urin dan ekskresi sodium yang lebih bermakna (natriuresis).

Diuretik telah lama digunakan untuk manajemen gagal jantung simtomatik dengan

retensi cairan, sebagai tambahan terapi standar seperti ACEi. Dalam kasus

hipertensi, diuretik direkomendasikan untuk terapi lini pertama, terutama setelah

sebuah uji meta analisis menemukan bahwa diuretik dosis rendah merupakan terapi

paling efektif sebagai lini pertama untuk mencegah komplikasi kardiovaskuler

(Psaty, 2003).

Loop diuretik ditemukan pada tahun 1960an disaat para peneliti

mengembangkan obat pengganti yang lebih efektif bagi diuretik organik yang

mengandung merkuri. Furosemide, loop diuretik yang paling banyak digunakan di

Amerika Serikat, merupakan jenis diuretik yang pertama kali dikembangkan, yang

kemudian diikuti oleh bumetanide dan torsemide (Ernst, 2013). Derivat sulfonamide

ini merupakan loop diuretik paling standar untuk penatalaksanaan gagal jantung

kongestif berat, bahkan, furosemide mampu mengurangi sesak napas walalupun

belum terjadi diuresis dan hal ini dikarenakan adanya efek venodilatasi dan

penurunan preload (Oppie dan Kaplan, 2009).

Seluruh loop diuretik, bekerja dengan berikatan pada kotransporter Na+-K+-2Cl

pada bagian tebal lengkung Henle ascenden. Segmen ini bertanggung jawab untuk

mengkonsentrasikan urin, dan pengangkatan solute dari area ini akan menghasilkan

cairan interstisium medulla ginjal yang hipertonis, yang berfungsi sebagai kekuatan

osmotik sehingga akan terjadi reabsorrbsi air pada duktus kolektivus. Penghambatan

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

17

proses reabsorbsi dengan loop diuretik inilah yang akan mengganggu kemampuan

ginjal untuk menghasilkan urin terkonsentrasi yang menyebabkan natrium klorida

dan ion kalium tetap berada intralumen dan akan hilang didalam urin (Ernst, 2013).

Selain itu, furosemide memiliki efek venodilatasi yang bertujuan untuk mengurangi

preload pada gagal jantung kiri akut dalam waktu 5 hingga 15 menit, mekanisme

yang mendasari hal ini kemungkinan, terjadi akibat kejadian ikutan paska

vasokonstriksi reaktif (Oppie dan Kaplan, 2009).

2.3.2. Farmakokinetik

Seluruh loop diuretik secara umum berikatan dengan albumin serum (>95%),

dan sebagai konsekwensinya, untuk mendapat akses menuju tempat aksinya, loop

diuretik harus melalui sekresi aktif meuju lumen tubulus melalui transporter anion

organik probenecid-sensitif yang berlokasi di tubulus proksimal. Proses ini

mungkin akan menjadi lambat pada kondisi dimana terjadi peningkatan asam

organik endogen seperti pada GGK dan penggunaan obat-obatan yang juga

mengginakan transporter yang sama, diantaranya salisilat dan OAINS (Ernst,

2013).

Bioavailabilitas, waktu paruh, dan rute metabolism berbeda antara masing-

masing duretik lengkung Henle yang tersedia. Furosemide, yang paling banyak

digunakan, memiliki profil farmakokinetik yang kurang baik diantara loop diuretik

yang lain, absorbsinya bervariasi diantara 10-100% dan penggunaan bersamaan

dengan makanan akan lebih menurunkan bioavailabilitasnya, sangat berbeda bila

dibandingkan absorbsi bumetanide dan torsemide yang mampu mencapai 80-

100%. Furosemide memiliki permulaan aksi yang cepat dengan waktu paruh

sekitar 1,5 jam. Respons terapi akan terjadi dalam hitungan menit etelah pemberian

intravena, sedangkan furosemide peroral respons puncaknya terjadi pada 30-90

menit. Efek diuresis akan berlanjut hingga 2-3 jam dan bertahan hingga 6 jam.

Karena aksinya yang singkat, pada pemberian loop diuretik dapat terjadi periode

antinatriuresis yang signifikan setelah bioavailabilitasnya lebih rendah dibanding

ambang batas dosis untuk memicu diuresis. Kejadian rebound retensi natrium

paska dosis inilah yang menyebabkan furosemide dan bumetanide harus diberikan

beberapa kali dalam sehari untuk memastikan terdapat jumlah obat yang optimal

pada tempat aksinya (Ernst, 2013).

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

18

Furosemide diekskresikan tanpa mengalami perubahan (sebesar 50%) dan

sisanya akan terkonjugasi menjadi asam glukoronat di ginjal. Insufisiensi ginjal,

akan menganggu farmakokinetik furosemide dengan memperpanjang waktu paruh

palsma dan durasi aksi yang diakibatkan karena terganggunya ekskresi melalui urin

dan konjugasi di ginjal (Ernst, 2013).

2.3.3. Farmakodinamik

Perubahan hemodinamik spesifik pada mikrosirkulasi sistemik dan ginjal

terjadi setelah pemberian loop diuretik. Pertama-tama, pemberian secara intravena

akan menstimulasi SRAA di makula densa, yang akan mengakibatkan

vasokonstriksi, peningkatan afterload, dan penurunan aliran darah ginjal. Hal ini

mungkin disebabkan karena kurangnya rspons terhadap dosis inisial. Respons fase

kedua akan terjadi pada 5-15 menit setelahnya dan ditandai dengan peningkatan

pelepasan vasodilator prostaglandin oleh ginjal, yang akan menyebabkan

venodilatasi dan penurunan preload dan tekanan pengisian ventrikel, hal inilah

yang menyebabkan terjadinya perbaikan gejala walaupun efek diuresis belum

tejadi. Dengan pemberian furosemide jangka panjang, akan terjadi proses adaptasi

kronis yang dikenal sebagai efek “braking”, perubahan ini merupakan kompensasi

alami dalam menjaga volume intravaskuler, yang kemudian akan menyebabkan

toleransi terhadap efek diuretik. Toleransi diuretik harus dibedakan secara klinis

dari resistensi diuretik yang lebih tepat merujuk pada yang terjadi bersamaan

dengan kondisi patologis seperti gagal ginjal, sindroma nefrotik, gagal jantung

kongestif dan sirosis (Ernst, 2013).

2.3.4. Dosis

Dosis diuresis tergantung pada pencapaian ambang diuretik dan spesifik pada

masing-masing pasien. Sekali ambang dosis dilewati, akan terjadi rerata optimal

dari hantaran obat yang berujung pada respons maksimal. Karena respon diuretik

tidak secara linear berhubungan dengan dosis, sekali dosis dan rerata hantaran telah

ditentukan dan mencapai respon maksimal, penambahan pemberian diuretik tidak

akan meningkatkan efek diuresis (Ernst, 2013). Furosemide intravena biasanya

dimulai dengan dosis bolus inisial 40mg (tidak boleh melebihi 4mg/menit untuk

mengurangi resiko ototoksisitas). Saat fungsi ginjal terganggu, seperti pada usia

lanjut, dosis yang lebih tinggi mungkin dibutuhkan, dan dosis yang lebih tinggi lagi

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

19

pada gagal ginjal dan gagal jantung kronis yang berat. Furosemide oral memiliki

rentang dosis yang lebih lebar (20-240mg/ hari atau lebih), dikarenakan absorbsi

obat yang sangat bervariasi 10%-100% (rata-rata 50%). Pada keadaan oliguria

yang tidak disebabkan karena kekurangan cairan dan GFR kurang dari 20ml/menit,

dosis furosemide dapat ditingkatkan dari 240mg hingga 2000mg, hal ini mungkin

diperlukan karena menurunnya ekskresi luminal (Oppie dan Kaplan, 2009).

2.3.5. Furosemide pada Gagal Jantung Akut

Diuretik sangat berguna pada manajemen jangka panjang pasien dengan gagal

jantung kronis stabil yang memiliki kecenderungan pola penambahan berat badan

secara terus menerus (kelebihan cairan) walaupun telah patuh dengan diet rendah

natrium. Diuretik juga berguna pada pasien dengan ADHF dimana furosemide

merupakan komponen kritikal yang harus ada pada manajemen tata laksana. Gagal

jantung ringan, biasanya memiliki respon yang menjanjikan terhadap diet rendah

natrium (50-100 mmol/ hari) dan diuretik tiazid dosis rendah. Namun, saat terjadi

perburukan gagal jantung, GFR juga akan mengalami penurunan dan pasien akan

kurang responsive terhadap dosis konvensional diuretik tiazid, yang biasanya

terjadi saat GFR <30 mL/menit. Dosis loop diuretik yang lebih besar dan frekuen,

ditunjang dengan diet rendah natrium yang ketat mungkin diperlukan pada pasien

dengan gagal jantung yang progresif (Sicca, 2012).

Karena adanya gangguan pada farmakokinetik dan farmakodinamik diuretik,

pasien dengan gagal jantung biasanya memiliki resistensi terhadap obat-obatan

diuretik. Resistensi diuretik pada evaluasi pasien gagal jantung dapat dilakukan

dengan penghitungan intake natrium dan air dalam diet harian. Yang cukup penting

dalam menegakkan diagnosis resistensi diuretik adalah memastikan kapatuhan

pasien dalam meminum dosis obat diuretik, dan pasien tidak meminum obat yang

dapat menganggu aksi dari diuretik seperti OAINS (Sicca, 2012).

Walaupun telah banyak pengalaman klinis penggunaan furosemide dalam

kasus gagal jantung, data prospektif untuk penggunaannya tidaklah kuat, dan

panduan terbaru gagal jantung hanya berdasarkan opini para ahli (Yancy et al,

2013, McMurray et al, 2012). Sebagai hasilnya, praktek klinis dilapangan

sangatlah bervariasi tanpa memandang jalur pemberian dan dosis. Loop diuretik

dosis tinggi mungkin memiliki efek yang membahayakan, termasuk aktivasi dari

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

20

SRAA, sistem saraf simpatis, gangguan elektrolit dan perburukan fungsi ginjal

(Felker et al, 2009). Sebagai tambahan beberapa studi obervasional juga telah

menunjukkan hubungan antara diuretik dosis tinggi dan keluaran klinis yang tidak

diinginkan, termasuk gagal ginjal, progresifitas gagal jantung dan kematian.

Beberapa observasi memang saling tumpang tindih, apakah diuretik dosis tinggi

lebih merujuk sebagai penanda keparahan penyakit yang lebih berat atau lebih

kepada mediator terjadinya efek yang tidak diinginkan (Felker et al, 2011).

Gambar 2.4. Kurva Kaplan-Meier untuk gabungan titik akhir klinis dari kematian, rehospitalisasi,

atau kunjungan perawatan gawat darurat dalam jangka waktu 60 hari, pasien yang mendapatkan

bolus tiap 12 jam disbanding dengan pasien degan pemberian kontinyu (panel A) dan pada grup

yang mendapatkan dosis rendah diuretik (ekuivalen dengan dosis harian pasien) disbanding dengan

kelompok yang mendapat diuretik dosis tinggi (2.5 kali dosis oral harian) (panel B) (Felker et al,

2011).

Selain ketidakpastian dosis, pemberian furosemide pada ADHF juga

mengalami ketidakpastian dalam metode pemberian yang paling optimal. Data

farmakologis dan farmakodinamik menyatakan bahwa ada keuntungan potensial

dari pemberian intravena secara kontinyu bila dibandingkan dengan bolus

intermiten. Pada keadaan yang tidak menentu ini, Birhan Yilmaz dan kawan-kawan

ditahun 2011 (Yilmaz et al, 2011), telah meneliti efek dosis terhadap kematian

jangka pendek, dan tidak didapatkan perbedaan signifikan terhadap keluaran pada

pemberian dosis tinggi (>1mg/ kg/ 24 jam) dibanding pada pemberian dosis rendah.

National Heart, Lung, and Blood Institute juga telah melakukan sebuah studi untuk

mengevaluasi strategi optimalisasi diuretik pada pasien ADHF dihubungkan

dengan keluaran jangka panjang terhadap keluaran klinis dan penanda fungsi ginjal

dan tidak ditemukan perbedaan signifikan baik pada pemberian diuretik bolus

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

21

intermiten atau kontinyu dan pemberian dosis tinggi maupun dosis rendah (gambar

2.4) (Felker et al, 2011).

2.4. Penanda Biokimiawi Acute Kidney Injury

Disfungsi ginjal merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien gagal

jantung dan merupakan faktor prognostik bebas yang kuat dalam menilai kejadian

yang tidak diinginkan (Smith et al., 2006). Prevalensinya meningkat pada pasien

yang datang dengan gagal jantung yang lebih berat. Hospitalisasi pada pasien dengan

gagal jantung akut berhubungan dengan perburukan fungsi ginjal lanjut pada 30-

50% pasien, dan hal ini berhubungan dengan pemanjangan lama rawat inap,

peningkatan biaya kesehatan dan kejadian rawat ulang, serta kematian setelah pasien

pulang (Marco et al, 2008). Pada tahun 2012, sebuah penelitian yang dilakukan

Breidthardt dan kawan-kawan, kejadian AKI sudah mulai terjadi sejak pasien masuk

perawatan gawat darurat pada sekitar sepertiga pasien dengan ADHF yang akan

terdeteksi saat pasien dirawat dirumah sakit. Sekitar 50% pasien dengan AKI

tersebut akan memenuhi kriteria AKI dalam waktu 48 jam pertama dirumah sakit,

dan hanya minoritas yang akan mengalami AKI setelah 48 jam (gambar 2.5)

(Breidthardt et al, 2012).

Gambar 2.5. Grafik waktu kejadian AKI pada kondisi gagal jantung dekompensasi akut (Breidthardt et

al, 2012).

2.4.1. Kreatinin Serum

Diagnosis dari AKI biasanya didasari baik dari peningkatan kreatinin serum

atau deteksi adanya oliguria. Menurut kriteria AKIN (Kellum et al., 2012), AKI

didefinisikan sebagai peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam waktu

48 jam, atau peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 1,5 kali dari awal dalam jangka

waktu 7 hari perawatan, atau produksi urin < 0.5 cc/ kg berat badan perjam selama

6 jam. Kreatinin serum merupakan penanda yang buruk dalam mendeteksi disfungsi

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

22

ginjal tahap awal, dikarenakan konsentrasi serum sebagian besar dipengaruhi oleh

faktor-faktor non ginjal, seperti berat badan, ras, usia, jenis kelamin, volume total

tubuh, obat-obatan, metabolism otot dan intake protein (Coca et al, 2008).

Penggunaan kreatinin serum bahkan lebih buruk dalam mendeteksi AKI,

dikarenakan pasien tidak dalam kondisi basal, kreatinin serum akan jauh lebih

tertinggal setelah terjadinya cedera ginjal. Hal ini mengakibatkan terjadinya

peningkatan kadar kreatinin serum tidak mampu dimonitor hingga 48 -72 jam paska

terjadinya kerusakan awal di ginjal. Sebagai tambahan, penyakit ginjal signifikan

dapat terjadi dengan perubahan kreatinin yang minimal atau bahkan tidak

mengalami perubahan, dikarenakan karena adanya kemampuan ginjal untuk

meningkatkan sekresi tubular dari kreatinin, atau faktor-faktor lain (Coca et al,

2008). Sebuah penanda biokimiawi dari AKI yang mudah untuk dihitung, tidak

terpengaruh oleh variabel biologis lain, dan memungkinkan untuk dilakukannya

deteksi dini dan stratifikasi resiko akan sangat membantu dalam penegakan

diagnosis AKI.

American Society of Nephrology telah menetapkan pengembangan penanda

biokimiawi sebagai pendeteksi dini kejadian AKI sebagai prioritas. Beberapa

penanda biokimiawi AKI telah berhasil diidentifikasi selama beberapa tahun terakhir

dimana dapat meningkat pada kondisi cedera iskemia ginjal baik pada hewan coba

maupun pada manusia dengan klinis AKI (Coca et al., 2008). Kemampuan penanda

biokimiawi untuk memprediksi AKI telah diteliti secara intens pada beberapa

kondisi klinis. Dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang, penting

untuk menentukan apakah pemeriksaan tersebut berguna dalam mengkonfirmasi

diagnosis AKI pada pasien yang sudah mengalami AKI, atau sebagai prediktor awal

pada pasien yang sedang mengalami AKI. Hal tersebut merupakan dua entitas yang

memiliki dampak klinis yang berbeda. Dalam aplikasi klinis penanda biokimiawi,

penanda tersebut harus mampu membuktikan dapat lebih akurat dibandingkan baku

emas pemeriksaan dengan menggunakan kreatinin serum (Hilde et al, 2012).

Terdapat empat kategori utama dari penanda biokimiawi AKI yang beberapa banyak

diteliti sebagai penanda diagnosis awal dari AKI (tabel 2.3).

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

23

Tabel 2.3. Penanda Biokimiawi AKI(Hilde et al., 2012)

Tipe Penanda Biokimiawi Penanda Biokimiawi

Penanda fungsional Kreatinin serum dan plasma, Cystatin-C serum Protein upregulated NGAL, KIM-1, L-FABP dan IL-18 Protein dengan berat molekul rendah Cystatin-C urine Enzim NAG, α-GST, π-GST dan AP

Cystatin-C, cystatin-C; NGAL, neutrofilin gelatinase associated lipocalin; KIM-1, kidney injury

molecule-1; L-FABP, Liver fatty acid binding protein; α-GST,Alpha-glutathiones-transferase; π-GST,

pi-glutathiones-transferase; AP, alkaline phosphatase

Kreatinin serum merupakan hasil degradasi dari sel otot dan mencerminkan

kemampuan glomerulus untuk melakukan filtrasi yang efisien. Kreatinin serum

memiliki akurasi prediksi yang buruk terhadap kejadian cedera ginjal, terutama pada

kejadian awal AKI. Pada kasus penyakit kritis, konsentrasi kreatinin serum sangatlah

berfluktuatif sebagai akibat dari status volume pasien yang dilutif, efek katabolisme

penyakit kritis, dan peningkatan ekskresi tubular yang disertai dengan penurunan

fungsi ginjal. Lebih jauh, setelah kejadian cedera ginjal, peningkatan kreatinin serum

berlangsung lambat (Hilde et al, 2012).

2.4.2. Penanda Biokimiawi AKI Baru: Fokus pada Cystatin-C

Cystatin-C merupakan inhibitor protease cysteine non-glikosilasi yang

berukuran 13 kDa yang diproduksi oleh seluruh sel berinti dengan laju yang

konstan. Pada subyek yang sehat, Cystatin-C plasma diekskresikan melalui filtrasi

glomerular dan dimetabolisme secara sempurna oleh tubulus proksimal. Beberapa

penelitian menyimpulkan superioritas Cystatin-C plasma terhadap kreatinin serum

untuk mendeteksi penurunan kecil dari laju filtrasi glomerulus. Interpretasi kadar

Cystatin-C plasma biasanya memiliki bias pada pasien dengan usia tua, perbedaan

jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, kebiasaan merokok dan tingginya kadar

C-reactive protein (CRP). Dan Kadar Cystatin-C akan dipengaruhi oleh fungsi

tiroid abnormal, penggunaan obat-obatan imunosupresan dan keganasan (Nejat et

al, 2010).

Beberapa studi mengenai Cystatin-C mendemonstrasikan akurasi yang sangat

baik dalam diagnosis awal terjadinya AKI pada 24 hingga 48 jam sebelum

ditegakkan diagnosis AKI (Tabel 2.4) (Ferna´ndez et al, 2011). Sedangkan apabila

dibandingkan penanda biokimiawi lainnya NGAL memiliki spesifisitas yang baik,

namun sensitivitas untuk diagnosis awal AKI tidak terlalu baik. NGAL merupakan

protein berukuran kecil yang melekat pada neutrophil gelatinase pada granula

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

24

spesifik leukosit. Pada ginjal normal, ekspresi NGAL hanya ditemukan pada

tubulus distal dan ductus kolektivus, sedangkan pada kejadian AKI, protein ini juga

dapat ditemukan pada tubulus proksimal dan filtrat glomerulus (Nejat et al, 2010).

Tabel 2.4. Penelitian Penanda Biokimiawi Diagnosis Awal AKI (Ferna´ndez et al,

2011).

Fernandez dan kawan-kawan (Ferna´ndez et al, 2011), juga telah

membuktikan bahwa Cystatin-C lebih superior dibanding pengukuran standar

fungsi ginjal dalam memprediksi resiko kematian dan hospitalisasi akibat gagal

jantung pada pasien dengan ADHF. Sedangkan sebuah penelitian berbasis populasi

ruang rawat intensive menyimpulkan bahwa Cystatin-C lebih superior

dibandingkan dengan kreatinin plasma dalam menilai perburukan fungsi ginjal

lebih awal. Namun, keberadaan pemeriksaan Cystatin-C maupun beberapa

penanda biokimiawi AKI (selain kreatinin serum) dirasa masih menjadi kendala

dalam penerapan di praktik klinis sehari-hari (Nejat et al, 2010).

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

25

2.5. Penelitian Yang Relevan

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa AKI merupakan diagnosis tersering

dalam melakukan konsultasi dengan bagian nefrologi, yang mengandung

peningkatan risiko mortalitas dan morbiditas dalam praktik klinik sehari-hari.

Namun, disamping peningkatan insidensi AKI dalam beberapa tahun belakangan,

para dokter tidak memiliki banyak alat diagnostik klinis untuk menentukakn

kemungkinan progrsifitas AKI. Peningkatan stratifikasi risiko pada pasien akan

sangat krusial dalalm menentukan langkah terapi yang bertujuan melakukan

penatalaksanaan AKI secara awal. Sebagai tambahan dalam beberapa dekade

terakhir, telah terjadi ledakan penelitian dalam mencari penanda biokimiawi baru

untuk melakukan diagnosis dini AKI, beberapa penanda tersebut telah menunjukkan

kemampuan yang beragam dalam memprediksi progresifitas AKI (Koyner et al,

2015).

Namun, walaupun investigasi terhadap penanda-penanda biokimiawi sangat

intens dilakukan, utilitas dari penanda tersebut tetap belum menjadi dasar penegakan

diagnosis, dan sebagian besar klinisi tidak memiliki akses terhadap pemeriksaan

tersebut. Koyner dan kawan-kawan telah menunjukkan bahwa produksi urin dalam

2 jam setelah dilakukan uji beban furosemide/ furosemide stress test (FST) dosis

tinggi (1mg/kg berat badan bagi pasien naif, dan 1.5mg/kg berat badan bagi pasien

yang telah terpajan furosemide sebelumnya) pada pasien dengan AKI awal, memiliki

nilai prediksi untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami perburukan.

Area dibawah kurva ROC (receiver operating characteristic) pada produksi urin 2

jam setelah FST digunakan untuk memprediksi progresifitas menuju AKI tahap 3

dengan nilai 0.8760 dan p=0.001. Titik potong ideal dalam memprediksi

progresifitas AKI selama 2 jam pertama adalah dengan produksi urin <200ml

(100ml/ jam) dengan sensitivitas 87.1% dan spesifisitas 84.1% (Chawla et al, 2013).

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi ...abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/S501108038_bab1.pdf · 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung Akut Gagal jantung

26

2.6. Kerangka Pikir

Gambar 2.6 Kerangka pikir penelitian

Keterangan

: merangsang/ memicu : menghambat

: meningkatkan : menurunkan

: variabel-variabel yang diteliti

2.7 Hipotesis

Furosemide stress test dapat digunakan sebagai penanda diagnosis AKI pada

pasien dengan gagal jantung akut.

hipoksia PCWP

tekanan vena

sentral

gradient filtrasi

ginjal Retensi Na2+

intrasel

Edema sel

onkosis

aktivitas pompa

Na2+/K+ ATP-ase

renin

Angiotensin II

Gagal jantung akut

curah jantung

aktivitas apparatus

juxta glomerolus

vasokonstriksi

metabolisme

aerobik ATP

GFR

Furosemide stress

test kreatinin serum

AKI

produksi urine 2

jam > 200 cc

cystatin-C plasma overhidrasi