Upload
others
View
4
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Prehospital
2.1.1 Definisi Prehospital
Prehospital care adalah pelayanan sebelum masuk rumah sakit.
prehospital care seringkali menjadi aspek yang terabaikan dalam
sistem pelayananan kesehatan Rumah Sakit. Padahal berdasarkan
laporan tahunan WHO (World Healh Organization), sekitar 100 juta
jiwa mengalami cedera serius dan 5 juta jiwa meninggal akibat kasus
kecelakaan (kasus kegawatdaruratan traumatis) di jalan raya.
Pelayanan prehospital yang baik akan mengurangi angka kematian
sampai 50%. Kegagalan pelayanan prehospital seringkali terjadi
karena koordinasi yang buruk antara Rumah Sakit sebagai penyedia
utama pelayanan kegawatdaruratan dengan masyarakat di lapangan.
prehospital dapat dilakukan oleh tim safety di unit kerja yang
bekerjasama dengan tim medis. Banyaknya korban akibat kecelakaan
transportasi (lalu lintas) yang menimbulkan kondisi gawat darurat,
membutuhkan pertolongan secara cepat pada lokasi kejadian untuk
mencegah morbiditas dan mortalitas korban. Pertolongan yang
diberikan di lokasi kejadian merupakan bagian dari prehospital care.
Prehospital care ini diberikan kepada korban sebelum korban
kecelakaan lalu lintas sampai di Rumah Sakit. Pemberian pertolongan
prehospital care secara tepat dapat menurunkan resiko kematian
akibat trauma (Basri, 2015).
Upaya pertologan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang
sebagai sistem terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung
pengertian adanya komponen-komponen yang saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta dampak yang
8
diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur
dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan.
Alasan kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai
satu sistem dapat diperjelas dengan tabel 2.1 di bawah ini:
Tabel 2.1 Sistem pertolongan penderita gawat darurat
Injury dan disaster
Pre Hospital stage Hospital stage Rehabilitation
1. First responder 2. Ambulance
service 24 jam
1. Emergency room
2. Operating room 3. Intensif care
unit 4. Ward care
1. Fisical 2. Psycologi 3. Social
Sumber : Sartono dkk, 2014
Berdasarkan tabel diatas, kualitas hidup penderita pasa cedera akan
sangat bergantung pada apa yang dia dapatkan pada periode
prehospital stage bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas
pelayanan kesehatan saja. Jika ditempat pertama kali kejadian
penderita mendapatkan bantuan yang optimal sesuai kebutuhannya
maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari (Sartono dkk,
2014).
Menurut Wibowo (2016) Terdapat 3 faktor utama di prehospital stage
yang berperan terhadap kualitas hidup penderita nantinya, yaitu:
2.1.1.1 Penolong pertama
2.1.1.2 Lama penanganan pertama
2.1.1.3 Alat transportasi pasien
2.1.2 Waktu Prehospital
Dalam kondisi gawat darurat, tiga hal yang paling kritis adalah
pertama kecepatan dan akurasi pertolongan pertama secepatnya waktu
kali pertama korban ditemukan, kedua ketepatan dan akurasi
9
pertolongan pertama yang diberikan, ketiga pertolongan oleh petugas
kesehatan yang kompeten. Statistik membuktikan bahwa hampir 90%
korban meninggal ataupun cacat disebabkan karena korban terlalu
lama dibiarkan atau waktu ditemukan oleh melewati “the golden time
periode” dan ketidaktepatan serta akurasi pertolongan pertama korban
ditemukan (Widyastuti, 2015).
Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang disebut waktu emas
(The Golden Periode). Satu jam pertama juga sangat menentukan
sehigga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat berharga
bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang
tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan
hidup korban (Widyastuti, 2015).
"Golden Hour" adalah istilah yang sering digunakan oleh dokter atau
petugas penyelamat ketika mengacu pada korban trauma. Idealnya
adalah bahwa kerangka waktu segera setelah cedera adalah periode
penting untuk memulai perawatan mempertahankan hidup.
Dimulainya perawatan medis di fase ini memberi korban kesempatan
terbesar untuk bertahan dari cedera dan meminimalkan komplikasi
berikutnya yang dapat mengakibatkan kematian (Hamilton, 2011).
Upaya dalam memberikan penanganan yang cepat terhadap korban
kecelakaan, maka diperlukan sistem informasi yang dapat
memberikan kemudahan, dengan menggunakan sistem informasi
dan komunikasi diharapkan korban dapat diatasi secepat mungkin
(Lumbu et all 2013). Perlu adanya sistem informasi dan komunikasi
antara penolong pertama dengan instansi pemberi layanan
Prehospital Care. Keberhasilan dalam penanganan gawat darurat
tidak hanya ditentukan dengan keberhasilan dalam memaksimalkan
waktu tanggap untuk menjalankan prosedur ABCD pada fase
10
Rumah Sakit, tetapi penanganan fase pra Rumah Sakit berupa
sistem mobilisasi (transportasi) pasien menuju fasilitas pelayanan
gawat darurat juga memegang peranan sangat penting dalam
mempercepat waktu penanganan pertama pada korban kecelakaan
(Sukoco, 2010).
Menurut Yoon, dkk (2003) dalam Widyastuti (2015) mengemukakan
faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi keterlambatan
penanganan kasus gawat darurat antara lain karakter pasien,
penempatan staf, ketersediaan stretcher dan petugas kesehatan, waktu
ketibaan pasien, pelaksanaan manajemen dan strategi pemeriksaan dan
penanganan yang dipilih.
2.1.3 Penanganan Prehospital Pada Pasien Fraktur
Penanganan pra Rumah Sakit adalah memberikan bantuan hidup dasar
dan mempertahankan nyawa penderita dengan melakukan tindakan
pertolongan pertama secepatnya di tempat, sesaat setelah kejadian
terjadi. Dalam kondisi gawat darurat, tiga hal yang paling kritis adalah
pertama kecepatan waktu kali pertama korban ditemukan, kedua
ketepatan dan akurasi pertolongan pertama yang diberikan, ketiga
pertolongan oleh petugas kesehatan yang kompeten (Widyastuti,
2015).
Menurut Health Information and Quality Authirity (2010) dalam
Widyastuti (2015) pertolongan prehospital merupakan pertolongan
yang dilakukan untuk menolong pasien sebelum dibawa ke Rumah
Sakit atau fasilitas lainnya. Hasil yang baik pada prehospital ini
ditentukan oleh kemampuan orang yang akan menolong dengan
peralatan yang tersedia dan waktu respon dari sistem prehospital
tersebut.
11
Menurut Tilong (2014) berikut ini cara yang dapat dilakukan untuk
memberikan pertolongan pertama pada penderita patah tulang :
2.1.3.1 Hentikan pendarahan apabila terjadi patah tulang terbuka.
Gunting pakaian korban sebelum melakukan pertolongan.
2.1.3.2 Bila korban tidak sadarkan diri, periksa apakah ia mengalami
luka di bagian kepala, leher, atau tulang belakang.
2.1.3.3 Cegah kerusakan lebih lanjut dengan memakaikan bidai pada
bagian tubuh yang tulangnya patah sebelum berusaha
memindahkan si korban.
2.1.3.4 Korban harus tetap dalam keadaan hangat dan nyaman demi
menghindari syok.
2.1.3.5 Jangan mencoba untuk mengembalikan tulang yang terlihat
keluar ke posisi semula. Anda dianjurkan untuk menutupnya
saja dengan kain kasa yang kemudian pakaikan sebuah bidai.
Anggota badan sebaiknya tetap pada posisi sewaktu fraktur
terjadi. Untuk perawatan selanjutnya, serahkan kepada dokter
atau Rumah Sakit.
2.1.3.6 Jika terjadi pendarahan seperti pada fraktur terbuka, tekan
dengan keras pembuluh darah yang sedang mengeluarkan
darah, dengan memakaikan pembalut atau kain kasa yang
bersih.
2.1.3.7 Tutup luka secara keseluruhan, termasuk tulang yang
menonjol keluar.
2.1.3.8 Jangan membersihkan luka atau menyisipkan sesuatu pada
tulang yang luka meskipun tujuannya untuk menolong.
2.1.3.9 Segera hubungi paramedis atau ambulans.
2.1.3.10 Jangan mengangkat korban yang terluka di bagian kepala,
leher, atau tulang belakang tanpa memakai tandu. Jaga posisi
kepala agar tetap lurus dengan badan.
12
2.1.3.11 Bila pertolongan medis belum datang, sementara korban
harus dibawa kerumah sakit, gunakan splint di atas dan
dibawah luka sebelum korban dipindahkan.
2.1.3.12 Jangan memberikan minuman atau makanan pada korban.
2.1.4 Peran Masyarakat Awam
Korban gawat darurat umumnya ditemukan oleh orang terdekat yang
dapat dikategorikan sebagai masyarakat awam seperti guru, pelatih,
pengawal pribadi, orang tua, supir, atau sekretaris. Ataupun ditemukan
oleh masyarakat awam khusus seperti petugas pemadam kebakaran,
pramuka, polisi, dan satpam. Kita perlu melatih kemampuan
masyarakat awam dan awam khusus untuk penanggulangan gawat
darurat dalam hal cara meminta tolong, memberikan bantuan hidup
dasar (BHD), teknik mengontrol pendarahan, teknik memasang
pembalut dan bidai, melakukan evakuasi dan transfortasi korban
sampai kepada petugas atau pelayanan kesehatan (Iskandar 2012
dalam Widyastuti, 2015).
2.1.5 Transportasi
Pemilihan sarana transportasi yang salah juga bisa menimbulkan
cedara yang lebih parah pada pasien. Idealnya transportasi cedera
adalah menggunakan ambulan dengan peralatan trauma. Tetapi untuk
daerah akses pertolongan pertama oleh ambulan tidak bisa cepat,
jangan berlama-lama untuk menunggu datangnya ambulan. Sebisa
mungkin segeralah penderita di bawa ke Rumah Sakit terdekat agar
penanganan dapat dilakukan secara menyeluruh dengan peralatan
yang memadai. Namun perlu di ingat kesalahan dalam transportasi
juga menyebabkan cedera yang diderita bisaa bertambah berat.
Pilihlah alat transfortasi yang memungkinkan sehingga stabilisasi
dapat di pertahankan, airway, breathing dan circulation dapat selalu
di pantau. Pilih mobil yang bisa membawa pasien dengan tidur
13
terlentang tanpa manipulasi pergerakan tulang belakang, penolong
leluasa bergerak untuk memberikan pertolongan bila selama
perjalanan terjadi sesuatu. Hal yang juga penting selama perjalanan
adalah komunikasi dengan pihak Rumah Sakit. Dengan melaporkan
kondisi korban, penanganan yang telah dan sedang dilakukan
termasuk meminta petunjuk dari petugas pelayanan gawat darurat
Rumah Sakit tentang apa yang harus dikerjakan bila menemui
kesulitan. Pihak unit gawat darurat juga dapat mempersiapkan segala
sesuatu yang diperlukan untuk pertolongan korban sesampainya di
Rumah Sakit (Iskandar, 2012 dalam Widyastuti 2015).
Waktu prehospital yaitu waktu dari terjadinya trauma sampai dengan
kedatangan di Instalasi Gawat Darurat atau waktu yang dibutuhkan
diluar Rumah Sakit. Dengan mempercepat waktu prehospital akan
meningkatkan kondisi kesehatan pasien. Waktu prehospital dapat
dipengaruhi oleh transportasi yang digunakan dan jarak yang
ditempuh. Dinh (2012) dihasilkan bahwa p value < 0,05 dimana
didapatkan hasil bahwa ada pengaruh yang signifikan antara waktu
penanganan <1 jam Pra Rumah Sakit dengan keadaan pasien. Dimana
waktu penanganan < 1 jam mempengaruhi keadaan klinis penderita
cedera. Penanganan yang tepat sangat berpengaruh terhadap kondisi
pasien fraktur. Penanganan yang tepat sejak ditempat kejadian sampai
dengan penanganan yang lebih lanjut akan meminimalkan resiko
komplikasi dan kecacatan sesuai dengan penelitian Widyastuti (2015)
hasil penelitiannya menunjukan bahwa faktor yang paling
berhubungan dengan survival pasien cedera kepala adalah penanganan
prehospital. Penanganan pasien fraktur dapat dilakukan dengan cepat
dan tepat sehingga meminimalkan resiko komplikasi dan kematian hal
ini sesuai dengan penelitian Dinh, dkk (2012) bahwa ada pengaruh
yang signifikan antara waktu kurang dari satu jam pra Rumah Sakit
dengan hasil keadaan pasien.
14
2.2 Teori Fraktur
2.2.1 Definisi Fraktur
Fraktur adalah diskontinuitas atau terganggunya kesinambungan
jaringan tulang dan atau tulang rawan karena adanya trauma. Fraktur
terjadi bila daya traumanya lebih besar dari daya lentur tulang. Fraktur
dapat terjadi karena peristiwa trauma tunggal, tekanan yang berulang-
ulang, atau kelemahan abnormal pada tulang fraktur patologis
(Hardisman, 2014).
2.2.2 Etiologi
2.2.2.3 Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik
terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring (Wahid,
2013).
2.2.2.4 Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang
ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang
patah biasanya bagian yang paling lemah dalam jalur
hantaran vektor kekerasan (Wahid, 2013).
2.2.2.5 Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.
Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan
dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan
(Wahid, 2013).
2.2.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Fraktur
2.2.3.3 Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang
tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang
dapat menyebabkan fraktur (Wahid, 2013).
15
2.2.3.4 Faktor Instrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan
daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs
dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan tulang
(Wahid, 2013).
2.2.4 Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang
lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma
pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh
darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusuk. Pendarahan terjadi karena kerusakan
tersebut dan terbentuknya hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon
inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma, dan
leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang
merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Rosyidi,
2013).
2.2.5 Klasifikasi Fraktur
Menurut Rosyidi (2013) penampikan fraktur dapat sangat bervariasi
tetapi untuk alasan yang praktis, dibagi menjadi beberapa kelompok,
yaitu :
2.2.5.1 Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Fraktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan
antara fragman tulang dengan dunia luar, disebut juga
fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
16
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound, bila terdapat
hubungan antara hubungan fragman tulang dengan dunia
luar karena adanya perlukaan kulit.
2.2.5.2 Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan fraktur
a. Fraktur komplit, bila garis patah melalui seluruh
penampang, tulang atau melalui kedua korteks tulang
seperti terlihat pada foto.
b. Fraktur inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
1) Hair Line Fraktur (patah retak rambut)
2) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari
satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di
bawahnya.
3) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan
angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang
panjang.
2.2.5.3 Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma
a. Fraktur Transversal : Fraktur yang arahnya melintang
pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau
langsung.
b. Fraktur Oblik : Fraktur yang arah garis patahnya
membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi juga.
c. Fraktur Spiral : fraktur yang arah patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma
aksial fleksi yang mendorong tulang kea rah permukaan
lain.
e. Fraktur Avulsi : Fraktur yang diakibatkan karena trauma
tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
17
2.2.5.4 Berdasarkan jumlah garis patah
a. Fraktur Komunikatif : Fraktur dimana garis patah lebih
dari satu dan saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental : Fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple : Fraktur dimana garis patah lebih dari
satu tapi tidak pada tulang yang sama.
2.2.5.5 Berdasarkan pergeseran fragman tulang.
a. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser) : Garis patah
lengkap tetapi kedua fragman tidak bergeser dan
periosteum masih utuh.
b. Fraktur Displaced (bergeser) : Terjadi pergeseran
fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terjadi
atas:
1) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum
(pergeseran searah sumbu)
2) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk
sudut)
3) Dislokasi ad letus (pergeseran dimana kedua fragmen
saling menjauh)
2.2.5.6 Berdasarkan posisi fraktur
Satu batang tulang terbagi menjadi tigas bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
2.2.5.7 Fraktur kelelahan : fraktur akibat tekanan yang berulang-
ulang.
2.2.5.8 Fraktur Patologis
Fraktur yang di akibatkan karena proses patologis tulang.
Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
18
a. Tingkat 0: Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
b. Tingkat 1: Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar
kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: Fraktur yang lebih berat dengan kontusio
jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d. Tingkat 3: Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata dan ancaman sindrom kompartement.
2.2.6 Manifestasi Klinik
Menurut Rosyidi (2013) tanda dan gejala fraktur sebagai berikut:
2.2.6.1 Deformitas
2.2.6.2 Bengkak/edema
2.2.6.3 Echimosis (memar)
2.2.6.4 Spasme otot
2.2.6.5 Nyeri
2.2.6.6 Kurang/hilang sensasi
2.2.6.7 Krepitasi
2.2.6.8 Pergerakan abnormal
2.2.6.9 Rontgen abnormal
2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Wahid (2013) pemeriksaan diagnostik fraktur sebagai
berikut:
2.2.7.1 Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/luasnya
fraktur/luasnya trauma, akan tulang.
2.2.7.2 Temogram, scan CI : memperlihatkan fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi fraktur juga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
2.2.7.3 Hitung darah lengkap : Hb mungkin meningkat/menurun.
19
2.2.7.4 Peningkatan jumlah sop adalah respons stress normal setelah
trauma.
2.2.7.5 Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk
ginjal
2.2.7.6 Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan
darah, tranfusi multiple, atau cedera hati.
2.2.8 Prinsip Penatalaksanaan Fraktur
Pada prinsipnya penatalaksanaan fraktur adalah 4R (Hardisman,
2014):
2.2.8.1 Rekognisi adalah mengenali kerusakan apa saja yang terjadi,
baik pada jaringan lunak maupun jaringan tulang serta
mekanisme trauma
2.2.8.2 Reduksi adalah mengembalikan jaringan atau fragmen
keposisi semula (reposisi)
2.2.8.3 Retaining adalah tindakan mempertahankan hasil reposisi
dengan fiksasi atau imobilisasi
2.2.8.4 Rehabilitation adalah mengembalikan kemampuan bagian
tubuh yang sakit agar dapat berfungsi kembali
2.2.9 Proses penyembuhan tulang
Menurut Wahid (2013) tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan
tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan
tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung
patahan tulang. Tulang baru dbentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada
lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
2.2.9.1 Stadium satu-fase inflamasi
Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang
dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. Terjadi
perdarahan dalam jaringan yang cidera dan pembentukan
hematoma di tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang
20
mengalami devitalisasi karena terputusnya pasokan darah
terjadi hipoksia dan inflamasi yang menginduksi ekspresi gen
dan mempromosikan pembelahan sel dan migrasi menuju
tempat fraktur untuk memulai penyembuhan. Waktu
terjadinya proses ini dimulai saat fraktur terjadi sampai 2-3
minggu.
2.2.9.2 Stadium dua-fase proliferasi
Kira-kira 5 hari hematom akan mengalami organisasi,
terbentuk benang-benang fibrin dalam jendalan darah,
membentuk jaringan untuk revaskularisasi, dan invasi
fibroblast dan osteoblast. Fibroblast dan osteoblast
(berkembang dari osteosit, sel endotel, dan sel perisoteum)
akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang. Terbentuk jaringan ikat fibrous
dan tulang rawan (osteosit). Dari periosteum, tampak
pertumbuhan melingkar. Kalus tulang rawan tersebut
dirangsang oleh gerakan mikro minimal pada tempat patah
tulang. Tetapi gerakan yang berlebihan akan merusak struktur
kalus. Tulang yang sedang aktif tumbuh menunjukan
potensial elektronegatif. Pada fase ini dimulai pada minggu
ke 2-3 setelah terjadi fraktur dan berakhir pada minggu ke 4-
8.
2.2.9.3 Stadium tiga-fase pembentukan kallus
Fase pembentukan kallus merupakan fase lanjutan dari fase
hematom dan proliferasi mulai terbentuk jaringan tulang
yakni jaringan tulang kondrisit yang mulai tumbuh atau
umumnya disebut jaringan tulang rawan. Sebenarnya tulang
rawan ini masih dibagi lagi menjadi tulang lamellar dan
wovenvone. Pertumbuhan jaringan brlanjut dan lingkaran
tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah
terhubungan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan
21
jaringan fibrosa, tulang rawan, dan tulang serat matur. Bentuk
kalus dan volume dibutuhkan untuk menghubungkan efek
secara langsung berhubungan dengan jumlah kerusakan dan
pergeseran tulang. Perlu waktu tiga sampai empat minggu
agar fragman tulang tergabung dalam tulang rawan atau
jaringan fibrous.
2.2.9.4 Stadium empat-konsolidasi
Dengan aktifitas osteoklast dan osteoblast yang terus
menerus, tulang yang immature (woven bone) di ubah
menjadi mature (lamellar bone). Keadaan tulang ini menjadi
lebih kuat sehingga osteoklast dapat menembus jaringan
debris pada daerah fraktur dan diikuti osteoblast yang akan
mengisi celah diantara fragman dengan tulang yang baru.
Proses ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan
sebelum tulang cukup kuat untuk menerima beban yang
normal.
2.2.9.5 Stadium lima-remodelling
Fraktur telah dihubungkan dengan selubung tulang yang kuat
dengan bentuk yang berbeda dengan tulang normal. Dalam
waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun terjadi proses
pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus
lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan
yang tinggi. Rongga medulla akan terbentuk kembali dan
diameter tulang kembali pada ukuran semula. Akhirnya
tulang akan kembali mendekati bentuk selamanya, terutama
pada anak-anak. Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara
klinis dan radiologi.
2.2.10 Pertolongan Pertama Oleh Penolong di Lokasi
Menurut Hardisman (2014) pertolongan pertama yang dapat dilakukan
dilapangan sebagai berikut :
22
2.2.10.1 Live saving : Cek ABCD
2.2.10.2 Limb saving : mencegah kerusakan lanjut bagian yang fraktur
Caranya :
a. Pembalutan
Tujuan :
1) Mencegah kontaminasi
2) Penekanan untuk menghentikan pendarahan
3) Pemasangan bidai
4) Memperbaiki suhu tubuh
b. Pemasangan bidai
Tujuan :
1) Imobilisasi
2) Mengurangi rasa nyeri
3) Mencegah terjadinya komplikasi
4) Memudahkan transportasi korban
c. Prinsip pemasangan bidai :
1) Panjang bidai mencakup 2 sendi
2) Bidai tidak mudah patah dan tidak terlalu lentur
3) Ikatan bidai mantap (dengan sistem roll on)
d. Hal yang harus diperhatikan
1) Sensorik : memberikan rangsangan pada bagian distal
2) Motorik : dengan menggerakan pada sendi distal
3) Refilling kapiler : pengisian kembali kapiler yang
telah dihambat dengan memencet kuku. Normal
apabila pengisian < 2 detik.
e. Pembagian bidai
1) Bidai anatomis/body splint : menggunakan bagian
yang sehat sebagai bidai terhadap bagian yang lain.
2) Bidai kayu/rigid splint. Prosedur pemasangan rigid
splint:
23
a) Sesuaikan ukuran bidai dengan panjang tangan
atau kaki (melewati 2 sendi)
b) Periksa fungsi sensorik (peraba), motorik
(pergerakan) dan nadi di ujung bagian yang
cedera.
c) Letakan dua belah bidai di kanan dan kiri bagian
yang cedera.
d) Balut bidai dengan kasa menggunakan sistem roll
on sampai melewati dua sendi.
e) Periksa ulang fungsi sensorik, motorik serta nadi
di bagian ujung yang cedera.
2.2.11 Komplikasi Fraktur
2.2.11.1 Komplikasi Awal
a. Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai oleh: tidak
adanya nadi, CRT (Capillary Refill Time) menurun,
sianosis bagian distal, hematoma yang lebar, serta dingin
pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan
emergensi pembidaian, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan (Wahid, 2013).
b. Kompartement sydrom
Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjadi
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut akibat suatu pembengkakan dari edema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi
fraktur hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan
persendian dan jarang terjadi pada bagian tengah tulang
(Helmi, 2012).
24
c. Fat embolism syndrome
Sindrom emboli lemak (fat embolism syndrome-FES)
adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus
fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak
yang dihasilkan sumsum tulang kuning masuk ke aliran
darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah
rendah yang ditandai dengan gangguan pernapasan,
takikardi, hipertensi, takipnea, dan demam (Wahid, 2013).
d. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma ortopedik infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi
pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena
penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin
(ORIF dan OREF) atau plat (Wahid, 2013).
e. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke
tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan
nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia (Wahid, 2013).
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya
oksigenasi, ini biasanya terjadi pada fraktur (Wahid,
2013).
2.2.11.2 Komplikasi dalam waktu lama
a. Delayed union
Delayed union merupakan kegagalan fraktur
berkonsolidasi (bergabung) sesuai dengan waktu
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
25
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsilidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan
stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan
adanya pergerakan yang lebih pada sisi fraktur yang
membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkaan karena aliran darah berkurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai
dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan
bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan
pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
Dapat disimpulkan bahwa fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang
akibat trauma atau benturan langsung maupun tidak langsung. Fraktur
menyebabkan deformitas, bengkak, nyeri, dan perubahan bentuk pada
tulang. Patah tulang pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua macam
berdasarkan sifatnya yaitu fraktur terututup dan terbuka. Fraktur tertutup,
kulit tidak robek dan karenanya tulang yang patah tidak sampai keluar
melewati kulit. Sedangkan fraktur terbuka, kulit robek dan tulang terlihat
menembus kulit. Kasus ini yang dapat berbahaya karena korban
kemungkinan akan kehilangan banyak darah dan rawan mengalami
komplikasi. Komplikasi yang terjadi pada fraktur diantaranya adalah syok.
Fraktur dapat menyebabkan kondisi yang lebih buruk yaitu komplikasi awal
setelah trauma seperti syok karena waktu dan penanganan prehospital yang
kurang tepat sesuai dengan hasil penelitian Wibowo (2016) bahwa ada
hubungan faktor prehospital dengan komplikasi sekunder.
26
2.3 Teori Syok
2.3.1 Definisi Syok
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat
gangguan hemodinamik dan metabolik dengan ditandai
kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh akibat
gangguan hemostasis tubuh yang serius (Hardisman, 2014).
Syok adalah sindrom klinis yang terjadi akibat perfusi
jaringan yang tidak adekuat. Terlepas dari penyebabnya,
hipoperfusi yang dipicu ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen dan substrat makanan menyebabkan
disfungsi selular. Keadaan itu juga menyebabkan jejas pada
sel yang akan menginduksi produksi dan pelepasan mediator
inflamasi yang akan memperburuk perfusi lewat perubahan
struktural dan fungsional dalam mikrovaskuler. Hal-hal
tersebut akan menyebabkan lingkaran setan. Gangguan
perfusi menimbulkan jejas sel, yang menyebabkan gangguan
distribusi aliran darah mikrovaskular, kemudian makin
memperburuk perfusi sel, perburukan perfusi sel kemudian
dapat menyebabkan disfungsi organ, gagal organ dan bila
tidak dihentikan dapat menyebabkan kematian (Setyohadi,
2015).
2.3.2 Penyebab
Syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Hal ini biasanya terjadi pada fraktur.
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi tulang di
dekat arteri mampu menghasilkan trauma arteri. Cedera ini
dapat menimbulkan pendarahan besar pada luka terbuka atau
27
pendarahan di dalam jaringan lunak. Ekstrimitas yang dingin,
pucat, dan menghilangnya pulsasi ekstremitas menunjukan
gangguan aliran darah arteri darah arteri. Hematoma yang
membesar dengan cepat, menunjukkan adanya trauma
vaskuler. Cedera ini menjadi bahaya apabila kondisi
hemodinamik pasien tidak stabil (Hardisman, 2014).
2.3.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya syok
2.3.3.1 Gangguan jantung
Gangguan pada faktor-faktor yang mempengaruhi
curah jantung dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan perfusi dan berujung kepada syok.
Misalnya kehilangan volume plasma hebat akan
mengurangi preload dan dapat mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemik, gangguan
kontraktilitas dapat mengakibatkan terjadinya syok
kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler
sitemik dapat berujung ada syok distributif. Bila
terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot
jantung melemah yang menyebabkan
kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga tidak
dapat memompa darah dengan baik dan curah
jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun
volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang
optimal untuk memompakan darah yang dapat
memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya
perfusi juga tidak terpenuhi (Hardisman, 2013).
Riwayat penderita dengan kondisi hipotensi
berhubungan dengan peningkatan angka morbiditas
dan mortalitas pasien (Widyastuti, 2015).
28
2.3.3.2 Jenis fraktur
Syok hipovolemik akibat pendarahan (baik
kehilangan darah eksterna maupun interna) dan
kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak
dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis,
dan vertebra karena tulang merupakan organ yang
sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma,
khususnya pada fraktur femur pelvis (Suratun,dkk,
2008).
2.3.3.3 Lokasi fraktur
Syok hipovolemik banyak terjadi pada fraktur
pelvis, fraktur tulang besar, dan fraktur multiple
(Hardisman, 2014). Pada beberapa kondisi tertentu,
syok neurogenik sering terjadi pada fraktur femur
karena rasa sakit yang hebat pada pasien (Helmi,
2012). Pada suatu kecelakaan kebanyakan syok yang
terjadi adalah syok hemoragik. Syok bisa terjadi bila
orang kehilangan darahnya ±30% dari volume
darahnya. Pada fraktur femur tertutup orang dapat
kehiangan darah 1000-1500 cc (Lukman, 2012).
2.3.4 Klasifikasi Syok
2.3.4.1 Syok hipovolemik
Syok hipovolemik adalah tipe syok yang paling sering
terjadi pada pasien trauma. Hal tersebut terjadi akibat
“volume failure” ketika cairan di sirkulasi hilang
dalam jumlah besar dan mendadak. Penurunan
volume cairan di sirkulasi mengganggu perfusi ke
jaringan sehingga menyebabkan gangguan
metabolisme di tingkat sel dan bahkan kematian sel.
29
Trauma tajam maupun tumpul yang merusak sendi
atau tulang di dekat arteri mampu menghasilkan
trauma arteri. Cedera ini dapat menimbulkan
pendarahan besar pada luka terbuka atau pendarahan
di dalam jaringan lunak. Syok hipovolemik banyak
terjadi pada fraktur pelvis, fraktur tulang besar, dan
fraktur multiple (Hardisman, 2014).
Tanda dan gejala pada syok hipovolemik dapat
dibedakan menjadi gejala awal dan lanjut. Tanda
gejala awal tingkat kesadaran yang berubah kadang-
kadang berupa agitasi dan kegelisahan, atau depresi
sistem saraf pusat. Pemeriksaan fisik akan
mendapatkan tanda-tanda yang nonspesifik seperti
kulit dingin, lembab, hipotensi ortostatik, takikardia
ringan, dan vasokontriksi (Setyohadi, 2015).
2.3.4.2 Syok kardiogenik
Syok kardigenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik
karena depresi berat cardiac index (< 2.2 (L/min/m2)
dan hipotensi sistolik arterial yang menetap (< 90
mmHg), walaupun terdapat peningkatan tekanan
pengisian pulmonary capillary wedge pressure
(PCWP) > 18 mmHg. Kebanyakan pasien mengeluh
nyeri dada, sesak, tampak pucat dan keringat dingin.
Status mental dapat terganggu, samnolen, tampak
kebingungan dan agitasi (Setyohadi, 2015). Penyebab
syok kardiogenik penyakit jantung iskemik, gangguan
irama jantung, dan sebagainya (Hardisman, 2014).
30
2.3.4.3 Syok neurogenik
Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat
vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan
darah pada pembuluh darah (vena atau arteri). Syok
neurogenik terjadi karena hilangnya tonus simpatis
sehingga tonus pembuluh darah turun secara
mendadak diseluruh tubuh. Syok neurogenik juga
dikenal sebagai syok spinal. Bentuk dari syok
distributif, hasil dari perubahan resistensi pembuluh
darah sistemik yang diakibatkan oleh cedera pada
sistem saraf (seperti trauma kepala, cedera spinal, atau
anestesi umum yang dalam), subuh lingkungan yang
terlalu panas, terkejut, takut, atau nyeri yang
berlebihan.
Syok neurogenik dapat dikenali gejalanya
diantaranya: pucat, keringat dingin, lemas, badan
terasa melayang, mual, denyut nadi lambat, bahkan
pingsan diikuti hipotensi dan bradikardia (Hardisman,
2014). Pada kondisi tertentu, syok neurogenik sering
terjadi pada fraktur femur karena sakit yang hebat
pada pasien (Helmi, 2012).
2.3.4.4 Syok hipoadrenal
Syok hipoadrenal merupakan respons normal terhadap
stress, penyakit, operasi atau trauma memerlukan
peningkatan hormone kortisol yang diproduksi
kelenjar adrenal. Syok hipoadrenal terjadi bila
terdapat keadaan insufisiensi adrenal pada seseorang
yang kemudian mengalami stress akut (Setyohadi,
2015).
31
2.3.4.5 Syok anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan reaksi alergi berat
(hipersensitivitas) terhadap protein asing, baik berasal
dari obat-obatan, toksin serangga, ataupun makanan.
Syok anafilaktik biasanya disertai rekasi anafilaksis
yang disertai hipotensi dengan atau tanpa penurunan
kesadaran. Gambaran klinis bergantung dari caranya
antigen masuk, jumlah dan kecepatan asbrorbsi dan
tingkat hipersensitivitas tubuh. Saat timbulnya gejala
berkisar antara 5-60 menit dan biasanya dalam 30
menit pertama (Hardisman, 2014).
2.3.4.6 Syok septik
Syok septik adalah suatu keadaan gangguan metabolic
dan hemodinamik yang dapat mengganggu
keseimbangan fisik dan mental yang disebabkan
karena adanya infeksi yang disertai hipotensi, yaitu
tekanan darah turun sampai tingkat yang
membahayakan nyawa akibat dari sepsis (Hardisman,
2014).
2.3.5 Tanda dan Gejala
2.3.5.1 Gejala awal syok
Empat tanda syok yang dapat terjadi setelah trauma
adalah sebagai berikut.
a. Denyut nadi lebih dari 100 x/menit.
b. Tekanan sistolik kurang dari 100 mmHg.
c. Wajah dan kuku menjadi pucat atau sianotik.
d. Kulit tangan dan kaki dingin.
Gejala-gejala lain dapat berupa sakit (bukan gejala
yang dominan), otot-otot menjadi lunak, timbul rasa
haus, pernapasan menjadi cepat dan dalam, serta
32
kesadaran normal, apatis atau koma. Paling baik
untuk mengatasi syok karena perdarahan adalah
diberikan darah (transfusi darah), sedangkan cairan
lainnya seperti plasma, dextran, dan lain-lain kurang
tepat karena tidak dapat menujang perbaikan karena
tidak ada sel darah yang sangat diperlukan untuk
transportasi oksigen (Lukman, 2012).
Menurut Hardisman (2014) pada keadaan awal, gejala
syok dapat ditemui sebagai berikut:
a. Takipnea
Napas yang cepat adalah kompensasi tubuh untuk
mengeluarkan sisa metabolisme berupa CO2 yang
menumpuk dalam tubuh. Pada orang dewasa,
napas lebih dari 24 x/menit sudah harus
diwaspadai. Pada anak pemakaian energi tubuh
untuk bernapas cepat menyebabkan anak
kelelahan dan berhenti bernapas.
b. Takikardia
Takikardi adalah gejala yang paling sering ditemui
pada keadaan awal. Takikardi adalah frekuensi
jantung yang lebih dari normal. Normalnya pada
orang dewasa jantung berdenyut 60-100 x/menit.
Apabila frekuensi nadi melebihi 220 x/menit,
maka dapat terjadi fibrilasi, yang sangat
membahayakan, tetapi dapat pula berubah menjadi
bradikardi (60 x/menit).
c. Penurunan refilling kapiler
Pembuluh darah di perifer dan kulit akan
bervasokontriksi sebagai mekanisme kompensasi
dan darah akan dialirkan terutama ke organ-organ
vital seperti otak, ginjal dan jantung. Hal tersebut
33
menyebabkan penampakan pasien yang pucat,
dingin, kulit kasar dan penurunan refilling kapiler.
Refilling kapiler normal adalah kurang dari atau
sama dengan 2 detik. Saat vasokontriksi terjadi,
maka refilling kapiler akan meningkat menjadi 3
detik atau lebih atau bahkan tidak terjadi sama
sekali.
2.3.5.2 Gejala lanjutan syok
Menurut Hardisman (2014) apabila keadaan syok
terus berlanjut maka, dapat ditemui gejala dan tanda
sebagai berikut :
a. Penurunan pulsasi nadi
Pulsasi perifer yang lemah atau hilang
mengindikasikan kegagalan pompa jantung yang
berat dan/atau hilangnya volume cairan yang
ekstrim.
b. Perubahan neurologi
Otak akan sangat cepat terpengaruh karena
penurunan kardiak output dan asidosis.
Penurunanan kesadaran dapat segera terjadi.
Gejalanya dapat bervariasi, mulai dari iritabel,
agitasi, latergi, diikuti konfusi dan kehilangan
kesadaran.
c. Aritmia jantung
Sebagai respon terhadap asidosis berat dan
berkurangnya cardiac output, dapat terjadi
bradikardi yang merupakan Pre Arreest
Arrhythmia, dan terjadi pada onset syok
selanjutnya.
34
d. Hipotensi
Hipotensi digambarkan bila tekanan darah kurang
dari 90 mmHg namun tidak terlalu
menggambarkan keadaan syok. Pada anak,
penurunan tekanan darah terjadi setelah
kehilangan lebih dari 20-25 % volume vaskuler.
e. Cardiac arrest
Pengenalan dini dan dukungan airway yang
agresif sangat diperlukan untuk mencegah
terjadinya cardiac arrest. Bila terjadi, maka
resusitasi harus segera dilaksanakan.
f. Anuria
Produksi urin berkurang. Normal rata-rata
produksi urin pasien dewasa adalah 60 mL/jam
(1/5-1 mL/kgBB/jam)
2.3.6 Penatalaksanaan awal syok
Menurut Hardisman (2014) penatalaksanaan awal syok
dengan etiologi yang belum jelas sebagai berikut:
2.3.6.1 Prosedur dasar
a. Kontrol/hentikan perdarahan (penekanan
langsung, penekanan proksimal, dan lain-lain).
b. Posisikan pasien dalam posisi terlentang dengan
kaki dielevasikan, kecuali korban dengan
gangguan pernapasan yang membahayakan.
c. Lakukan Advance Life Support (ALS) bila
diperlukan dan peralatan tersedia.
d. Transfortasikan pasien secepat mungkin dengan
atau tanpa ALS
e. Hubungi Rumah Sakit penerima.
35
2.3.6.2 Prosedur lanjutan
a. Lakukan manajemen airway bila terindikasi
b. Administrasi Normal Salin Intra Vena selama
perjalanan ke Rumah Sakit.
c. Bila tekanan darah turun sampai di bawah 100
mmHg, administrasikan 250 mL normal salin intra
vena.
Syok dapat disimpulkan merupakan suatu keadaan darurat yang salah
satunya disebabkan oleh fraktur yang menyebabkan kegagalan perfusi darah
ke jaringan. Pasien fraktur dapat menyebabkan syok hipovolemik
dikarenakan oleh pendarahan, syok neurogenik disebabkan karena trauma
atau nyeri yang hebat fraktur femur dan servikal, syok septik disebabkan
oleh infeksi pada fraktur terbuka, syok hipoadrenal yang disebabkan oleh
stress akut atau trauma. Syok dapat dikenali dengan melihat gejala dini syok
seperti denyut nadi cepat, penurunan tekanan sistolik, wajah dan kuku pucat,
kulit ektremitas dingin, dan CRT >2 detik. Syok dapat terjadi karena
pendarahan dan nyeri yang dirasakan pada fraktur sesuai dengan penelitian
Yuliano, Nova (2015) bahwa ada hubungan waktu tanggap perawat dalam
penanganan pasien fraktur terbuka dengan resiko terjadinya syok
hipovolemik.
36
Faktor yang mempengaruhi syok : 1. Gangguan jantung 2. Jenis fraktur 3. Lokasi fraktur
2.4 Kerangka Teori
Gambar 2.1 Kerangka Teori
(Sumber : Wibowo (2016), Widyastuti (2015), Hardisman (2014), Wahid, 2013), Rosyidi (2013), Helmi (2012), Lukman (2012), Setyohadi (2015) yang dimodifikasi.
Fraktur
Transportasi
Penanganan Intrahospital
Penanganan Prehospital
Komplikasi
Waktu Prehospital
Peran Masyarakat
awam
Kerusakan arteri
Sindrom Kompartemen
Emboli lemak
Infeksi
Avaskuker nekrosis
Syok
1. Kontrol pendarahan 2. Pencegahan infeksi 3. Kepatenan jalan napas 4. Imobiliasi sendi 5. Stabilisasi 6. Transportasi
37
Komplikasi Awal (Syok)
Waktu Prehospital
Penanganan Prehospital
2.5 Kerangka konsep
Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati dan diukur melalui penelitian-penelitian
yang dilakukan (Notoatmodjo, 2012).
Variabel bebas/Independen
Variabel terikat/ Dependen
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
: Diteliti
: Tidak diteliti
Tanda syok : 1. Nadi >100 x/menit 2. Tekanan sistolik
>100 mmHg 3. Wajah dan kuku
pucat 4. Kulit ekstremitas
dingin 5. CRT > 2 detik Sumber Hardisman (2014) dan Lukman, (2012)
Peran masyarakat awan Transportasi
1. Gangguan jantung
2. Jenis fraktur 3. Lokasi fraktur
38
2.6 Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah dinyatakan dalam bentuk kalimat
pertanyaan (Sugiyono, 2013). Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
2.6.1 Ada hubungan waktu prehospital dengan komplikasi syok pada pasien
fraktur di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin.
2.6.2 Ada hubungan penanganan prehospital dengan komplikasi syok pada
pasien fraktur di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ulin Banjarmasin.