Upload
others
View
16
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Tanaman Alamanda (Allamanda cathartica L.)
2.1.1 Klasifikasi Tanaman
Klasifikasi tanaman alamanda (Allamanda cathartica L.) adalah
sebagai berikut :
Kerajaan : Plantae
Filum : Basidiomycota
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Apocynales
Famili : Apocynaceae
Genus : Allamanda
Spesies : Allamanda cathartica
Nama Binominal : Pleurotus ostreatus
Gambar 2.1 Alamanda
2.1.2 Deskripsi Botani dan Morfologi
Allamanda cathartica adalah tanaman hias yang umum disebut
sebagai bunga alamanda dan juga sering disebut sebagai bunga
terompet emas, bunga lonceng kuning, atau bunga buttercup. Bunga
alamanda berasal dari daerah Amerika Tengah dan Selatan dan
6
banyak ditemukan di Brazil dimana bunga ini umum digunakan
sebagai hiasan karena bentuknya yang indah (Simoes et al., 2006).
Alamanda merupakan perdu, tinggi 4–5 meter, batang berkayu bulat,
berbaring, berbuku-buku, tiap buku terdapat daun yang melingkar 4–
5 lembar, bergetah, percabangan monopodial, cabang muda hijau,
atas ungu, putih kehijauan. Daun tunggal, lonjong, tepi daun rata
melipat kebawah, ujung dan pangkal meruncing, panjang 5-16 cm,
lebar 2 ½-5 cm, tebal, pertulangan menyirip, warna hijau. Bunga
majemuk, berbentuk tandan, berkelamin dua, di ujung cabang dan
ketiak daun, tangkai silindris, pendek, hijau, kelopak bentuk lanset,
permukaan halus, hijau, benang sari tertancap pada mahkota,
mahkota berseling pada lekukan, tangkai putik bercangap dua, warna
kuning, mahkota bentuk terompet atau corong, permukaan rata,
warna kuning. Buah berbentuk bulat, diameter ± 1,5 cm. Biji
berbentuk segitiga, warna merah muda hijau keputih-putihan setelah
tua hitam. Akar tunggang dan warna putih kotor. Tanaman ini
ditemukan pada ketinggian 10-850 m dpl (Winarto, 2007).
2.1.3 Penyebaran dan Habitat
Alamanda dapat ditemukan pada daerah sekitar sungai atau tempat
terbuka yang terkena banyak sinar matahari dengan hujan yang
cukup dan kelembaban tinggi sepanjang tahun. Tanaman ini tidak
mampu tumbuh pada tanah yang bergaram atau terlalu basa dan
tanaman ini juga tidak tahan suhu rendah. Suhu -1 °C dapat
mematikan tanaman tersebut karena tanaman ini
sangat sensitif terhadap suhu dingin. Alamanda tumbuh dengan baik
dan menghasilkan bunga pada intensitas matahari penuh tanpa
halangan. Jika diberi halangan maka produksi bunganya menurun.
Tanaman ini tumbuh baik dengan kondisi tanah berpasir, kaya
bahan organik, serta beraerasi baik. Secara keseluruhan, alamanda
7
adalah tanaman yang mudah tumbuh pada kondisi yang sesuai
sehingga pada beberapa daerah juga dipandang sebagai gulma
(Simoes et al., 2006).
Iklim yang tepat untuk pertumbuhan alamanda adalah daerah dengan
iklim tropis. Pada daerah dengan iklim tropis, alamanda dapat
tumbuh hampir di sebagian besar lingkungan dengan
laju pertumbuhan yang cukup cepat. Di habitat aslinya, alamanda
hidup pada ketinggian 0-700 meter dari permukaan laut (dpl) dengan
curah hujan 1000 hingga 2800 mm per tahun. Karena
pertumbuhannya yang cepat, alamanda umum digunakan
sebagai ornamen untuk menghias pagar dan tembok (Yoopies, 2015).
2.1.4 Reproduksi Alamanda (Allamanda cathartica L.)
Tanaman alamanda berbunga sepanjang tahun di banyak habitat.
Tanaman ini dapat berkembang biak dengan biji, namun
perbanyakan yang umum dilakukan yaitu dengan stek batang. Hal ini
disebabkan, beberapa varietas hibrida sulit memunculkan kapsul
biji. Alamanda tergolong tanaman yang tumbuhnya cepat sehingga
harus sering dilakukan pemangkasan untuk menjaga penampilannya.
Pemeliharaan tanaman ini mudah, seperti tanaman lain yaitu
dibutuhkan cukup air dengan penyiraman atau menjaga kelembaban
tanah dan pemupukan terutama pupuk dasar. Tanaman ini
menghendaki tempat yang cukup matahari atau sedikit terlindung
(Dalimartha, 2000).
2.1.5 Kandungan Kimia
Tumbuhan alamanda (Allamanda cathartica L.) mengandung
triterpenoid resin, alkaloid pada daunnya, saponin pada kulit batang
8
dan buah, tanin pada kulit batang, flavonoid dan polifenol pada buah
(Winarto, 2007).
2.1.6 Manfaat
Menurut Winarto (2007), manfaat dari tanaman Alamanda
(Allamanda cathartica L.) diantaranya yaitu :
2.1.6.1 Demam
Uap dari godokan daun yang diletakkan di ember/baskom
digunakan untuk menguapi badan yang panas.
2.1.6.2 Bisul, eczema, abses dan kurap
Daun secukupnya setelah dicuci bersih, ditumbuk halus
untuk dibalurkan ke tempat yang sakit.
2.1.6.3 Membunuh belatung dan nyamuk
Ambil getah tanaman segar dengan cara menumbuk
tanaman, tambah sedikit air, semprotkan kepada belatung
atau nyamuk.
2.1.6.4 Sembelit
Daun secukupnya setelah dicuci bersih, direbus kemudian
diminum air seduhan daunnya.
2.1.6.5 Penawar racun
Daun segar ± 15 gram , dicuci, direbus dengan 1 gelas air
selama 15 menit, dinginkan dan disaring. Hasil saringan
diminum dua kali sama banyak selang satu jam.
2.2 Simplisia
2.2.1 Definisi Simplisia
Simplisia adalah bahan yang ilmiah yang digunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan
lain, berupa bahan yang telah dikeringkan. Simplisia dibedakan
menjadi simplisia nabati, simplisia hewani, dan simplisia pelikan atau
mineral (Samudra, 2014).
9
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian
tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat tumbuhan adalah isi sel
yang secara spontan keluar dari tumbuhan atau isi sel yang dengan
cara tertentu dikeluarkan dari sel nya, atau senyawa nabati lainnya
yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya dan belum
berupa senyawa kimia murni (Samudra, 2014).
Simplisia hewani adalah pengolalaan simplisia hewan utuh, atau
belum berupa zat kimia murni. Sedangkan simplisia mineral adalah
simplisia berasal dari bumi, baik telah diolah atau belum, tidak berupa
zat kimia murni (Melinda, 2014).
2.2.2 Pengelolaan Simplisia
Proses awal pembuatan ekstrak adalah tahapan pembuatan serbuk
simplisia kering (penyerbukan). Dari simplisia dibuat serbuk simplisia
dengan perekatan tertentu sampai derajat kehalusan tertentu. Proses
ini dapat dipengaruhi mutu ekstrak dengan dasar beberapa hal yaitu
yakin halus serbuk simplisia proses ekstrak dengan dasar beberapa hal
yaitu makin halus serbuk simplisia proses ekstraksi makin efektif,
efisien namun makin halus serbuk serbuk maka makin rumit secara
teknolgi peralatan untuk tahap filtrasi. Selama penggunaan peralatan
penyerbukan dimana ada gerakan atau interaksi dengan benda keras
(logam, dll) maka akan timbul panas (kalori) yang dapat berpengaruh
pada senyawa kandungan. Namun hal ini dapat dikomperasi dengan
penggunaan nitrogen cair (Melinda, 2014).
Untuk menghasilkan simplisia yang bermutu dan terhindar dari
cemaran industri obat tradisional dalam mengelola simplisia sebagai
bahan baku pada umumnya melakukan tahapan kegiatan berikut ini:
10
2.2.2.1 Sortasi Basah
Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran
ata bahan-bahan asing lainnya dari bahan dari bahan simplisia.
Misalnya simplisia yang dibuat dari akar tanaman obat, bahan-
bahan aing seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar
yang telah rusak, serta pengotoran lainnya harus dibuang.
Tanah yang mengandung bermacam-macam mikroba dalam
jumlah yang tinggi. Oleh karena itu pembersihan simplisia dari
tanah yang terikut dapat mengurangi jumlah mikroba awal
(Melinda, 2014).
2.2.2.2 Pencucian
Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan pengotor
lainnya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian
dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air
sumur dari PAM. Bahan simplisia yang mengandung zat
mudah larut dalam air yang mengalir, pencucian hendaknya
dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin (Melinda,
2014).
2.2.2.3 Perajangan
Beberapa jenis simplisia perlu mengalami perajangan bahan
simplisia dilakukan untuk memperoleh proses pengeringan,
pengepakan, dan penggilingan. Semakin tipis bahan yang akan
dikeringkan maka semakin cepat penguapan air, sehingga
mempercepat waktu pengeringan. Akan tetapi irisan yang tipis
juga menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat yang
berkhasiat yang mudah menguap, sehingga mempengarui
komposisi, bau, rasa yang diinginkan (Melinda, 2014).
2.2.2.4 Pengeringan
Tujuannya untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah
rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama.
11
Dengan mengurangi kadar air dan menghentikan reaksi
enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusak simplisia.
Air yang masih tersisa pada kadar tertentu dapat merupakan
media pertumbuhan kapang dan jasad renik lainnya. Proses
pengeringan sudah dapat menghentikan proses enzimatik
dalam sel bila kadar airnya dapat mencapai kurang dari 10%.
Hal-hal yang perlu diperhatiakan dalam proses pgeringan
adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, waktu
pengeringan, dan luas permukaan bahan. Suhu yang terbaik
pada pengeringan adalah tidak melebihi 60ºC, tetapi bahan
aktif yang tidak tahan pemanasan atau mudah menguap harus
dikeringkan pada suhu serendah mungkin, misalnya 30ºC
sampai 45ºC terdapat dua cara pengeringan yaitu pengeringan
alamiah (dengan sinar matahari langsung atau dengan diangin-
anginkan) dan pengeringan buatan (dengan instrument)
(Melinda, 2014).
2.2.2.5 Sortasi Kering
Sortasi setelah pengeringan sebenarnya merupakan tahap akhir
pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda-
benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang tidak
diinginkan atau pengotoran-pengotoran lainnya yang masih
ada dan tertinggal pada simplisia keringkan (Melinda, 2014).
2.2.2.6 Penyimpanan
Simplisia perlu ditempatkan suatu wadah tersendiri agar tidak
saling bercampur dengan simplisia lain. Untuk persyaratan
wadah yang akan digunakan sebagai pembungkus simplisia
adalah harus Inert, artinya tidak mudah bereaksi dengan bahan
lain, tidak beracun, mampu melindungi bahan simplisia dari
cemaran mikroba, kotoran, serangga penguapan bahan aktif
serta dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air (Melinda,
2014).
12
2.3 Ekstraksi
2.3.1 Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah pemisahan suatu zat dari campurannya dengan
pembagian sebuah zat terlarut antara dua pelarut yang tidak dapat
tercampur untuk mengambil zat terlarut tersebut dari satu pelarut ke
pelarut yang lain. Ekstraksi bertujuan mendapatkan atau memisahkan
sebanyak mungkin zat zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat
zat yang tidak berfaedah, agar lebih mudah digunakan (kemudahan
diabsorpsi, rasa, pemakaian dan lain lain), dan disimpan dibandingkan
simplisia asal dan tujuan pengobatannya terjamin (Syamsuni, 2006).
Hasil dari ektraksi disebut ekstrak, ekstrak merupakan sediaan yang
dapat berupa kering, kental dan cair, dibuat dengan menyari simplisia
nabati atau hewani menurut cara yang sesuai, yaitu maserasi, perkolasi
atau penyeduhan dengan air mendidih. Sebagai cairan penyari
digunakan air, eter atau campuran etanol dan air. Penyarian dilakukan
diluar pengaruh cahaya matahari langsung. Penyarian dengan
campuran etanol dan air dilakukan dengan cara maserasi atau
perkolasi. Penyarian dengan eter dilakukan dengan cara perkolasi.
Penyarian dengan air dilakukan dengan cara maserasi, perkolasi atau
disiram dengan air mendidih (Anief, 2013).
2.3.2 Macam-macam Ekstrak
Ekstrak dapat dibedakan berdasarkan konsistensinya:
2.3.2.1 Ekstrak Cair
Berdasarkan Farmakope Indonesia Edisi IV, ekstrak cair
adalah sediaan dari simplisia nabati yang mengandung etanol
sebagai pelarut, pengawet atau keduanya. Jika tidak dinyatakan
lain pada masing masing monografi, tiap mililiter ekstrak
mengadung bahan aktif dari 1 gram simplisia yang memenuhi
syarat (Syamsuni, 2006).
13
2.3.2.2 Ekstrak Kering
Ekstrak kering adalah sediaan padat yang memiliki bentuk
serbuk yang didapatkan dari penguapan oleh pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi. Ekstrak kering harus mudah
digerus menjadi serbuk (Depkes, 2000).
2.3.2.3 Ekstrak Kental
Ekstrak kental adalah sediaan kental yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau
simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian
semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi
baku yang telah ditetapkan (Depkes, 2000).
2.3.3 Metode Ekstraksi
2.3.3.1 Menggunakan Pelarut :
a. Cara Dingin
Metode ekstraksi secara dingin bertujuan untuk
mengekstrak senyaawa-senyawa yang terdapat dalam
simplisia yang tidak tahan panas atau bersifat thermolabil.
Ekstraksi secara dingin dapat dilakukan dengan beberapa
cara berikut ini:
1) Maserasi
Maserasi merupakan cara penyarian yang sederhana.
Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk
simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan
menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel
yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dengan
karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat
aktif di dalam sel dengan yang di luar sel, maka larutan
yang terpekat didesak keluar. Peristiwa tersebut berulang
14
sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan
di luar sel dan di dalam sel.
Maserasi merupakan proses ekstraksi menggunakan
pelarut diam atau dengan beberapa kali pengocokan pada
suhu ruangan. Pada dasarnya metode ini dengan cara merendam
sampel dengan sekali-sekali dilakukan pengocokan.
Umumnya perendaman dilakukan 24 jam dan
selanjutnya pelarut diganti dengan pelarut baru. Ada juga
maserasi kinetik yang merupakan metode maserasi
dengan pengadukan secara sinambung tapi yang ini agak
jarang dipakai.
Menurut Agoes (2007) keuntungan metode maserasi
yaitu:
a) Prosedur dan peralatan sederhana.
b) Biaya operasional relatif rendah.
c) Prosesnya relatif hemat penyari.
d) Tanpa pemanasan.
Pelarut yang digunakan pada maserasi adalah air, etanol,
etanol-air atau eter. Pilihan utama untuk pelarut pada
maserasi adalah etanol karena etanol memiliki beberapa
keunggulan sebagai pelarut, diantaranya:
a) Etanol bersifat lebih selektif.
b) Dapat menghambat pertumbuhan kapang dan kuman.
c) Bersifat non toksik.
d) Etanol bersifat netral.
e) Memiliki daya absorbsi yang baik.
f) Dapat bercampur dengan air pada berbagai
perbandingan.
15
g) Panas yang diperlukan untk pemekatan lebih sedikit.
h) Etanol dapat melarutkan berbagai zat aktif dan
meminimalisir terlarutnya zat pengganggu seperti
lemak (Depkes, 2000).
2) Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu
baru sampai sempurna (exhaustive extraction) yang
umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Proses
terdiri dari tahapan pengembangan bahan, tahapan
maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya
(penetesan/penampung ekstrak), terus menerus sampai
diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali
bahan (Marjoni, 2016).
b. Cara Panas
Metode panas digunakan apabila senyawa-senyawa yang
harus terkandung dalam simplisia sudah dipastikan tahan
panas. Metode ekstraksi yang membutuhkan panas
diantaranya:
1) Refluks
Merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik
didih pelarut selama waktu dan jumlah pelarut tertentu
dengan adanya pendingin balil (kondensor). Proses ini
umumnya dilakukan 3-5 kali pengulangan pada residu
pertama, sehingga termasuk proses ekstraksi yang cukup
sempurna.
2) Soxhlet
Merupakan proses ekstraksi panas menggunakan alat
khusus berupa esktraktor soxhlet. Suhu yang digunakan
lebih rendah dibandingkan suhu pada metode refluks.
16
3) Infusa
Sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
nabati dengan air pada suhu 90 derajat selama 15 menit.
4) Decocta
Sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari simplisia
nabati dengan air pada suhu 90 derajat selama 30 menit.
5) Digesti
Adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu),
pada temperatur yang lebih tinggi dan temperature
dengan ruangan (kamar), secara umum dilakukan pada
temperatur 40-50 derajat.
6) Seduhan
Merupakan metode ekstraksi paling sederhana hanya
dengan merendam simplisia dengan air panas selama
waktu 5-10 menit.
7) Coque (pengodokan)
Merupakan proses penyarian dengan cara menggodok
simplisia menggunakan api langsung dan hasilnya dapat
langsung digunakan sebagai obat baik secara
keseluruhan termasuk ampasnya atau hanya hasil
godokannya saja tanpa ampas (Marjoni, 2016).
2.4 Pelarut
Pelarut adalah medium tempat suatu zat lain melarut. Pelarut juga dikenal
sebagai zat pendispersi, yaitu tempat penyebaran nya partikel-partikel zat
terlarut (Sumarjo, 2008). Pelarut adalah cairan yang mudah menguap yang
digunakan untuk meningkatkan sifat-sifat kerja cat atau lapisan tersebut
(Allen, 2005).
2.4.1 Etanol
Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan
memperbaiki stabilitas bahan obat terlarut. Keuntungan lain, etanol
17
mampu mengendapkan albumin dan menghambat kerja enzim.
Umumnya yang digunakan sebagai cairan pengekstraksi adalah bahan
pelarut yang berlainan, khususnya campuran etanol-air (Indraswati,
2008).
Menurut Marjono (2016) keuntungan menggunakan pelarut etanol
yaitu:
1. Etanol bersifat lebih selektif.
2. Dapat menghambat pertumbuhan kapang dan kuman.
3. Bersifat non toksik (tidak beracun).
4. Etanol bersifat netral.
5. Memiliki daya absorbsi yang baik.
6. Dapat bercampur dengan air pada berbagai perbandingan.
7. Panas yang diperlukan untuk pemekatan lebih sedikit.
8. Etanol dapat melarutkan berbagai zat aktif dalam meminimalisir
terlarutnya zat pengganggu seperti lemak.
2.4.2 Air
Air merupakan salah satu pelarut yang mudah, murah dan dipakai
secara luas oleh masyarakat. Pada suhu kamar, air merupakan pelarut
yang baik untuk melarutkan berbagai macam zat seperti: garam-garam
alkaloida, glikosida, asam tumbuh-tumbuhan, zat warna dan garam-
garam mineral dan lainnya. Kekurangan dari air sebagai pelarut
diantaranya adalah air merupakan media yang baik untuk
pertumbuhan jamur dan bakteri, sehingga zat yang di ekstrak dengan
air tidak bertahan lama. Selain itu, air dapat mengembangkan
simplisia sedemikian rupa, sehingga akan menyulitkan dalam
ekstraksi terutama metode perkolasi (Marjoni, 2016).
18
2.5 Bisul
2.5.1 Definisi Bisul
Definisi bisul (furunkel) menurut Graham-Brown (2005) merupakan
infeksi yang dalam pada folikel rambut oleh Staphylococcus aureus.
Timbul abses yang nyeri pada tempat infeksi, dan sesudah beberapa
hari terjadi fluktuasi dan ‘titik-titik’ yang merupakan pusat pustula.
Begitu inti dibagian tengah nekrosis hancur, maka secara bertahap lesi
tersebut menghilang.
Bisul merupakan penyakit yang timbul karena adanya infeksi pada
kulit dengan ciri-ciri timbulnya benjolan kemerahan pada kulit dan
kemudian membesar hingga mata nanah berwarna putih terlihat
ditengah-tengah benjolan. Rasa panas dan nyeri akan dirasakan
penderita disekitar bisul.
Bisul biasa terjadi pada bagian lipatan tubuh seperti pada ketiak atau
lipatan pangkal paha, namun bisa juga terjadi pada bagian permukaan
kulit lainnya seperti pantat, muka, leher atau bagian lainnya. Penyakit
bisul dapat terjadi karena faktor makanan ataupun minuman yang
tidak bersih yang mengandung bakteri.
2.5.2 Penyebab Bisul
Menurut Handari (2014) beberapa sebab bisul diantaranya adalah
kurang menjaga kebersihan tubuh, terjadinya infeksi oleh karena
bakteri, pola makan yang tidak sehat sering mengkonsumsi makanan
yang tidak sehat, dan lemahnya kekebalan tubuh terhadap penyakit.
Penyebab lainnya yaitu bakteri Staphylococcus aureus. Bakteri ini
dapat ditemukan pada kulit dan di dalam hidung manusia tanpa
memicu infeksi apa pun. Infeksi terjadi jika bakteri masuk hingga ke
folikel melalui luka gores atau gigitan serangga. Bakteri dari bisul atau
karbunkel terkadang bisa menyebar ke bagian lain tubuh. Bila
19
menyebar di lapisan kulit akan timbul selulitis, impetigo (luka
melepuh), bahkan dapat menyebar ke tulang (osteomielitis).
Penyebaran ini akan memicu terjadinya sepsis yang berpotensi
menyebabkan infeksi pada organ-organ tubuh, misalnya jantung.
Selain itu, bisul juga umumnya dapat meninggalkan bekas luka.
Beberapa orang mungkin merupakan penyebar stafilokokus pada
daerah nasal serta peri-nasal dan kemudian organisme tersebut bisa
dipindahkan melalui jari-jemari ke tempat-tempat lain ditubuh.
2.5.3 Gejala Bisul
Gejala utama pada bisul menurut Graham-Brown (2005) adalah
munculnya benjolan merah pada kulit. Pada tahap awal, ukuran bisul
biasanya kecil dan kemudian disertai dengan :
2.5.3.1 Kulit di sekitar benjolan memerah, bengkak, dan terasa
hangat jika disentuh. Ini mengindikasikan bahwa infeksi telah
menyebar ke kulit sekelilingnya.
2.5.3.2 Benjolan bertambah besar dan berisi nanah.
2.5.3.3 Terbentuk titik putih di bagian puncak benjolan. Kondisi ini
jarang yang membutuhkan penanganan medis oleh dokter,
karena bisul bisa sembuh dengan sendirinya.
2.5.3.4 Menyebabkan demam.
2.5.3.5 Terus membesar (diameter di atas 5 cm) dan terasa sangat
sakit.
2.5.3.6 Tumbuh lebih dari satu buah di lokasi yang sama. Jenis ini
dikenal dengan bisul sabut atau karbunkel, dan kondisi ini
tergolong infeksi yang lebih serius.
2.5.3.7 Tumbuh di dalam hidung, di wajah, atau tulang belakang.
2.5.3.8 Tidak kunjung sembuh selama lebih dari 14 hari.
2.5.3.9 Sering kambuh.
20
2.5.3.10 Memiliki masalah dengan sistem imun atau dalam
pengobatan yang menganggu sistem imun dan muncul bisul.
2.5.4 Pengobatan Bisul
Menurut Handari (2014) bisul umumnya bisa disembuhkan dengan
langkah mudah di rumah dan jarang memerlukan penanganan medis
oleh dokter. Beberapa cara sederhana yang bisa dilakukan untuk
mempercepat penyembuhan yaitu:
2.5.4.1 Mengompres bisul dengan air hangat. Lakukanlah setidaknya
tiga kali sehari. Langkah ini akan mengurangi rasa sakit
sekaligus mendorong nanah untuk berkumpul di puncak
benjolan.
2.5.4.2 Bersihkan bisul yang pecah dengan kain kasa beserta alkohol
dan sabun anti-bakteri. Jangan lupa untuk membubuhkan obat
oles dan membungkus bisul yang pecah dengan kain kasa steril.
2.5.4.3 Gantilah perban sesering mungkin (dua hingga tiga kali sehari).
2.5.4.4 Jangan lupa untuk mencuci tangan dengan air dan sabun
sebelum dan sesudah mengobati bisul.
2.5.4.5 Pastikan tidak memecahkan bisul dengan paksa. Proses ini bisa
memperparah infeksi sekaligus menyebarkan bakteri sehingga
berpotensi memicu komplikasi. Kita dianjurkan menunggu
hingga bisul tersebut pecah sendiri.
2.5.4.6 Selain itu juga bisa mengkonsumsi obat pereda rasa sakit atau
analgesik untuk mengurangi nyeri.
Untuk mengatasi bisul berukuran besar atau karbunkel, bantuan dokter
umumnya dibutuhkan. Dokter biasanya akan membedah bisul guna
mengeluarkan nanah. Obat antibiotik juga mungkin akan diresepkan
untuk menangani bisul dengan infeksi yang parah, yang kambuh,
disertai demam, disertai komplikasi. Durasi penggunaan antibiotik
pun harus benar-benar sesuai dengan resep dokter meski bisul sudah
21
sembuh. Ini dilakukan agar bakteri pemicu infeksi benar-benar
musnah <http://www.alodokter.com/bisul> (Diakses tanggal 10
November 2016).
2.6 Bakteri
Menurut Assani (2010) bakteri merupakan organisme uniseluler, nukleoid
atau tidak memiliki membran inti, tidak berklorofil, saprofit atau parasit,
pembelahan biner, termasuk protista. Bakteri termasuk dalam golongan
prokariota yang strukturnya lebih sederhana lebih sederhana dari eukariota,
kecuali bahwa struktur dinding sel prokariota lebih kompleks dari eukariota.
2.6.1 Klasifikasi bakteri berdasarkan morfologinya:
2.6.1.1 Bentuk kokus
Kokus kuman berbentuk bulat dapat tersusun sebagai berikut:
a. Mikrokokus, tersendiri (single).
b. Diplokokus, berpasangan dua-dua.
c. Pneumokokus adalah diplokokus yang berbentuk lanset,
gonokokus adalah diplokokus yang berbentuk biji kopi.
d. Tetrade, tersusun rapi dalam kelompok empat sel.
e. Sarsina, kelompok delapan sel yang tersusun rapi dalam
bentuk kubus.
f. Sreptokokus, tersusun seperti rantai.
g. Stafilokokus, bergerombol tak teratur seperti untaian buah
anggur.
2.6.1.2 Bentuk bulat
Bacillus, kuman berbentuk batang dengan panjang bervariasi
dari 2-10 kali diameter kuman tersebut:
a. Kokobasilus, batang yang sangat pendek menyerupai kokus.
b. Fusiformis, dengan kedua ujung batang meruncing.
c. Streptokokus, sel-sel bergandengan membentuk suatu
filamen.
22
2.6.1.3 Bentuk spiral
a. Vibrio, berbentuk batang bengkok.
b. Spirilium, berbentuk spiral kasar dan kaku, tidak fleksibel
dan dapat bergerak dengan flagel.
c. Spirokheata, berbentuk spiral halus, elastik dan fleksibel,
dapat bergerak dengan aksial filamen.
Contohnya:
1. Borrelia, berbentuk gelombang.
2. Treponema, berbentuk spiral halus dan teratur.
3. Leptospira, berbentuk spiral dengan kaitan pada satu
atau kedua ujungnya.
2.6.1.4 Berdasarkan reaksi terhadap pewarnaan gram bakteri
Agar diperoleh hasil pewarnaan yang baik diperhatikan faktor-
faktor berikut:
a. Gelas alas bersih dan bebas lemak.
b. Umur biakan: 18-24 jam, kecuali kuman tahan asam M.
tuberculosis yang tumbuhnya sangat lambat. Kuman
mengalami perubahan dalam morfologi dan strukturnya,
sehingga hasil yang diperoleh kurang tepat, bila dipakai
biakan berumur lebih dari 24 jam.
c. Kualitas zat warna. Ada zat warna yang harus dibuat
sesaat sebelum dipakai dan ada yang hanya dapat
disimpan selama beberapa waktu.
d. Tebal tipisnya sediaan. Bila sediaan terlalu tebal tidak rata,
maka penetrasi zat warna akan berbeda-beda (Assani,
2010).
2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan bakteri:
2.6.2.1 Temperatur
Temperatur menentukan aktivitas enzim yang terlibat dalam
aktivitas kimia. Peningkatan temperatur sebesar 10ºC dapat
23
meningkatkan aktivitas enzim sebesar dua kali lipat.
Temperatur yang sangat tinggi akan menyebabkan denaturasi
protein yang tidak dapat balik (irreversible), sedangkan pada
temperatur yang sangat rendah aktivitas enzim akan terhenti
(Kamila, 2014).
Berdasarkan kisaran suhu aktivitasnya bakteri dibagi menjadi
golongan:
a. Bakteri psikrofil, yaitu bakteri yang hidup pada daerah
suhu antara 0º - 30ºC, dengan suhu optimum 15º.
b. Bakteri mesofil, yaitu bakteri yang hidup didaerah suhu
antara 15º - 55ºC dengan suhu optimum 25º - 40ºC.
c. Bakteri termofil, yaitu bakteri yang dapat hidup didaerah
suhu tinggi antara 40º – 75ºC dengan suhu optimum 25º –
40ºC (Tamher, 2008).
2.6.2.2 pH
pH merupakan indikasi konsentrasi ion hidrogen. Peningkatan
dan penurunan konsentrasi ion hidrogen dapat menyebabkan
ionisasi gugus-gugus dalam protein, amino dan karboksilat.
Hal ini dapat menyebabkan denaturasi protein yang
mengganggu pertumbuhan sel (Pratiwi, 2008). Membagi
mikroorganisme berdasarkan pH optimum untuk pertumbuhan
yaitu:
a. Asidofil yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada
kisaran pH optimal 1,00 – 5,5.
b. Neutralofil yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada
kisaran pH optimal 5,5 – 8,5.
c. Alkalfil yaitu mikroorganisme yang dapat tumbuh pada
kisaran pH optimal 9,0 – 11,0 (Jawetz et al, 2004).
2.6.2.3 Oksigen
Berdasarkan kebutuhan oksigen, dikenal mikroorganisme yang
bersifat aerob dan anaerob. Mikroorganisme aerob
24
membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya, sedangkan
mikroorganisme anaerob tidak memerlukan oksigen untuk
pertumbuhannya (Pratiwi, 2008).
2.6.2.4 Nutrien
Nutrisi merupakan substansi yang diperlukan untuk biosintesis
dan pembentukan energi. Berdasarkan kebutuhannya, nutrisi
dapat dibedakan menjadi dua yaitu makroelemen dan
mikroelemen. Makroelemen yaitu elemen-elemen nutrisi yang
diperlukan dalam jumlah banyak meliputi karobon (C),
oksigen (O), hidrogen (H), nitrogen (N), sulfur (S), fosfor (P),
kalium (K), magnesium (Mg), kalisum (Ca), dan besi (Fe).
Mkikroelemen yaitu elemen-elemen nutrisi yang diperlukan
dalam jumlah sedikit (Pratiwi, 2008).
2.7 Bakteri Staphylococcus aureus
2.7.1 Deskripsi
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif berbentuk
bulat berdiameter 0,7-1,2 µm, tersusun dalam kelompok-kelompok
yang tidak teratur seperti anggur, fakultatif anareob, tidak membentuk
spora, dan tidak bergerak. Bakteri ini tumbuh pada suhu optimum
37ºC, tetapi membentuk pigmen paling baik pada suhu kamar (20-
25°C). Koloni pada perbenihan pada bewarna abu-abu sampai kuning
keemasan, berbentuk bundar, halus, menonjol, dan berkilau.
Gambar 2.2 Bakteri Staphylococcus aureus
25
Sebagian bakteri Staphylococcus merupakan flora normal pada kulit,
saluran pernafasan, dan saluran pencernaan makanan pada manusia.
Infeksi oleh Staphylococcus aureus ditandai dengan kerusakan
jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa infeksi yang
disebabkan oleh Staphylococcus aureus adalah bisul, jerawat,
impetigo, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya
pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih,
osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus aureus juga
merupakan penyebab utama infeksi nosokomial, keracunan
makanan, dan syndroma syok toksik (Jawetz dkk, 2007).
2.7.2 Morfologi dan Identifikasi
Kuman ini berbentuk sferis, bila menggerombol dalam susunan yang
tidak teratur mungkin sisinya agak rata karena tertekan. Pada sediaan
langsung yang berasal dari nanah dapat terlihat sendiri, berpasangan
menggerombol dan bahkan dapat tersusun seperti rantai pendek.
Susunan gerombolan yang tidak teratur biasanya ditemukan pada
sediaan yang terbuat dari perbenihan padat, sedangkan dari
perbenihan kaldu biasanya ditemukan tersendiri atau tersusun
sebagai rantai pendek.
Kuman ini tidak bergerak, tidak berspora dan positif Gram. Hanya
kadang-kadang yang negatif Gram dapat ditemukan pada bagian
tengah gerombolan kuman, pada kuman yang telah difagositosis dan
pada biakan tua yang hampir mati (Jawetz dkk, 2010).
2.7.3 Pertumbuhan dan Perbenihan
Jenis-jenis Stafilokokus di laboratorium tumbuh dengan baik dalam
kaldu biasa pada suhu 37ºC. Batas-batas suhu untuk pertumbuhannya
adalah 15ºC dan 40ºC, sedangkan suhu pertumbuhan optimum ialah
35ºC. Pertumbuhan terbaik dan khas ialah pada suasana aerob;
26
kuman ini pun bersifat anaerob fakultatif dan dapat tumbuh dalam
udara yang hanya mengandung hidrogen dan pH optimum untuk
pertumbuhan ialah 7,4. Pada lempeng agar, koloninya berbentuk
bulat, diameter 1-2 mm, cembung, buram, mengkilat dan
konsistensinya lunak. Warna khas ialah kuning keemasan, hanya
intensitas warnanya dapat bervariasi. Pada lempeng agar darah
umumnya koloni lebih besar dan pada varietas tertentu koloninya
dikelilingi oleh zona hemolisis. Untuk mengasingkan kuman dari
tinja, dipergunakan lempeng agar yang mengandung NaCl sampai 10%
sebagai penghambat terhadap kuman jenis lain dan manitol untuk
dapat mengetahui petogenitasnya.
Koloni yang masih sangat muda tidak berwarna, tetapi dalam
pertumbuhannya terbentuk pigmen yang larut dalam alkohol, eter,
kloroform dan benzol. Pigmen ini termasuk dalam golongan
lipokhrom dan akan tetap dalam koloni, tidak meresap kedalam
perbenihan, tetapi larut dalam eksudat jaringan sehingga nanah
berwarna sedikit kuning keemasan yang dapat merupakan petunjuk
tentang adanya infeksi oleh kuman ini. Atas dasar pigmen yang
dibuatnya, Stafilokokus dibagi dalam beberapa spesies. Yang
berwarna kuning keemasan dinamakan Staphylococcus aureus, yang
putih Staphylococcus albus dan yang kuning dinamakan
Staphylococcus citrus (Jawetz dkk, 2010).
2.7.4 Pengobatan
Menurut Jawetz dkk (2010), pengobatan terhadap infeksi
Staphylococcus aureus dilakukan melalui pemberian antibiotik, yang
disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses
maupun nekrotomi. Pemberian antiseptik lokal dalam pengobatan
furunkulosis (bisul) yang berulang. Pada infeksi yang cukup berat,
diperlukan pemberian antibiotik secara oral atau intravena, seperti
27
penisilin, metisilin, sefalosporin, eritromisin, linkomisin, vankomisin,
dan rifampisin. Sebagian besar galur Staphylococcus sudah resisten
terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga perlu diberikan
antibiotik bersprektrum lebih luas, seperti kloramfenikol, amoksilin,
dan tetrasiklin.
2.8 Antibakteri
Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan. Dalam
penggolongannya antibakteri dikenal dengan antiseptik dan antibiotik.
Berbeda dengan antibiotik yang tidak merugikan sel-sel jaringan manusia,
daya kerja antiseptik tidak membedakan antara mikroorganisme dan
jaringan tubuh. Namun pada dosis normal praktis bersifat merangsang kulit.
Antibiotika (L. Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat kimia yang
dihasilkan oleh fungsi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan atau
menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia
relatif kecil. Turunan za-zat ini yang dibuat secara semi-sintesis, juga
termasuk kelompok ini, begitu pula semua senyawa sintesis dengan khasiat
antibakteri (Kirana, 2010).
2.8.1 Struktur Kimia
2.8.1.1 Antibiotik ß-laktam yang terdiri dari dua kelompok, yaitu
kelompok penisilin (ampisilin,amoksilin dan lain-lain).
2.8.1.2 Aminoglukosida, terdiri dari streptomisin, kanamisin,
gentamisin, neomisin, tobramisin, framisetin, paramomisin.
2.8.1.3 Kloramfenicol, terdiri dari kloramfenicol dan tiamfenicol.
2.8.1.4 Tetrasiklin, terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin,
klortetrasiklin, doksisiklin, minosiklin.
2.8.1.5 Makrolida dan antibiotik yang berdekatan, terdiri dari
eritromisin, mlindamisin, sinergistin.
2.8.1.6 Polipeptida siklik, yaitu basitrasin.
2.8.1.7 Antibiotik polien, tediri dari nistatin.
2.8.1.8 Antibiotik lain, terdiri dari griseofulvin dan vankomisin.
28
2.8.2 Mekanismenya
Cara kerjanya yang penting adalah perintangan sintesis protein,
sehingga kuman musnah atau berkembang lagi, misalnya
kloramfenicol, tetrasiklin, aminoglikosida, makrolida dan linkomisin
(Kirana, 2010).
Berdasarkan mekanismenya dikelompokkan dalam lima kelompok:
2.8.2.1 Menghambat sisntesis dinding sel bakteri sehingga
menghilangkan kemampuan berkembang biak dan
menimbulkan lisis. Contoh: penisilin dan sefalosforin.
2.8.2.2 Menganggu kebutuhan membran sel, mempengaruhi
permeabilitas sehingga menimbulkan kebocoran dan
kehilangan senyawa intra seluler. Contoh: nistatin.
2.8.2.3 Menghambat sintesis protein sel bakteri. Contoh: tetrasiklin,
kloramfenicol dan eritromisin.
2.8.2.4 Menghambat metabolisme sel bakteri, sulfonamide.
2.8.2.5 Menghambat sintesis asam nukleat, contoh: rifampisin dan
golongan kuinolon (Tina, 2009).
2.8.2.6 Aktifitas
Pada umumnya aktifitasnya dinyatakan dengan satuan berat
(0 mg, kecuali zat-zat yang belum dapat diperoleh 100%
murni terdiri dari beberapa campuran zat (Kirana, 2010).
2.8.2.7 Daya Kerja
Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dibagi dalam dua
kelompok, yaitu: bakteriostatik yaitu menghambat
pertumbuhan dan perkembangan bakteri, bakterisid yaitu
membunuh bakteri secara langsung (Tina, 2009).
2.8.2.8 Spektrum Kerja
Berdasarkan spectrum kerjanya, antibiotik terbagi atas:
a. Spektrum sempit, bekerja terhadapa jenis bakteri saja.
Contoh: penisilin hanya bekerja terhadap bakteri gram
29
positif dan gentamisin hanya bekerja terhadap gram
negatif.
b. Spectrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri,
baik gram negatif maupun gram positif serta jamur.
Contoh: tetrasiklin dan kloramfenikol (Tina, 2009).
Sifat antibiotik sebaiknya menghambat atau membunuh
mikroorganisme pathogen tanpa merusak inang,
bersifat bakterisid, tidak menyebabkan resistensi pada
kuman, tidak bersifat alergenik atau menimbulkan efek
samping bila dipergunakan dalam jangka waktu yang
lam, larut di dalam air serta stabil (Tina, 2009).
2.9 Uji Aktivitas Antibakteri
Uji aktivitas antibakteri dapat dilakukan dengan metode difusi dan
metode pengenceran. Dise diffusion test atau uji difusi disk dilakukan
dengan mengukur diameter zona bening (clear zone) yang merupakan
petunjuk adanya respon penghambatan pertumbuhan bakteri oleh suatu
senyawa antibakteri dalam ekstrak. Syarat jumlah bakteri untuk diuji
kepekaan/sisitivitas yaitu 105 – 108 CFU/mL (Hermawan et al, 2007).
2.9.1 Metode Difusi
Metode difusi agar merupakan uji antimikroba yang banyak
digunakan hingga saat ini, metode ini telah dijelaskan oleh Bauer,
Kirby, Sherris dan Truck, umumnya dikenal dengan tes Kirby-
Bauer. Metode ini menggunakan cakram uji untuk menyerap
konsentrasi ekstrak tumbuhan yang diinginkan. Cakram tersebut
kemudian diletakkan pada permukaan media agar padat yang
cocok seperti Nutrient Agar setelah media diinokulasi dengan
mikroorganisme uji. Cakram kemudian diinkubasi selama 24 jam
pada suhu 37ºC untuk bakteri dan 48 jam pada suhu 25ºC untuk
30
fungi, setelah diinkubasi diameter zona hambat yang ada disekitar
cakram diukur (Das et al, 2010).
2.9.2 Metode Dilusi
Metode dilusi dibedakan menjadi dua yaitu dilusi cair (broth
dilution) dan dilusi padat (solid dilution).
2.9.2.1 Metode dilusi cair (broth dilution)
Metode ini mengukur MIC (Minimum Inhibitory
Concentration atau Kadar Bunuh Minimum, KBM). Cara
yang dilakukan adalah dengan membuat seri pengenceran
agen antimikroba pada medium cair yang ditambahkan
dengan mikroba uji. Larutan uji agen mikroba pada kadar
terkecil yang terlihat jernih tanpa adanya pertumbuhan
mikroba uji ditetapkan sebagai KHM. Larutan yang
ditetapkan sebagai KHM tersebut selanjutnya dikultur
ulang pada media cair tanpa penambahan mikroba uji
ataupun agen antimikroba dan diinkubasi selama 18 – 24
jam. Media cair yang tetap terlihat jernih setelah inkubasi
ditetapkan sebagai KBM (Pratiwi, 2008).
2.9.2.2 Metode dilusi padat (solid dilution)
Metode ini serupa dengan metode dilusi cair namun
menggunakan media padat (solid). Keuntungan metode ini
adalah satu konsentrasi agen antimikroba yang diuji dapat
digunakan untuk menguji beberapa mikroba uji (Pratiwi,
2010).
2.10 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi
dari hal-hal khusus, serta model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seorang peneliti menghubungkan secara logis beberapa faktor
yang dianggap penting dalam penelitian (Notoatmodjo, 2010).
31
Gambar 2.3 Kerangka Konsep
Daun Alamanda (Allamanda
cathartica L.)
Simplisia Daun Alamanda
(Allamanda cathartica L.)
Maserasi Dengan Etanol 70%
Tidak dapat menghambat
pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus
Dapat menghambat
pertumbuhan bakteri
Staphylococcus aureus
Maserat Daun Alamanda
(Allamanda cathartica L.)
Uji Bakteri Staphylococcus
aureus