32
10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Supervisi Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang supervisi kita ketahui kata supervisi tersebut. Supervisi berasal dari kata bahasa latin, yaitu ( super = diatas ) dan ( videre = melihat ). Dengan demikian jika ditinjau dari asal kata, supervisi berarti melihat dari atas. Pengertian supervisi secara umum adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh “atasan” terhadap pekerjaan yang dilakukan “bawahan” untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera diberikan bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya, (Suarli dan bahtiar, 2009:08) Supervisi adalah memberikan bantuan, bimbingan/pengajaran, dukungan pada seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai kebijakan dan prosedur, mengembangkan keterampilan baru, pemahaman yang lebih luas tentang pekerjaannya sehingga dapat melakukannya lebih baik. Supervisi merupakan proses formal dari belajar dan dukungan profesional yang memungkinkan perawat praktis untuk mengembangkan pengetahuan, dan kompetensi, menerima tanggung jawab dan praktiknya dan meningkatkan perlindungan terhadap pasien dan pelayanan keperawatan yang aman dalam situasi yang kompleks (Sitorus et all, 2011) Menurut simamora menjelaskan supervisi adalah suatu aktivitas pengawasan yang bisa dilakuakan untuk memastikan bahwa suatu proses pekerjaan dilakukan sesuai dengan yang seharusnya (Simamora, 2012:152) Knon dan Gray (1987) yang di kutip oleh Agus Kuntoro (2010) mengartikan supervisi sebagai kegiatan yang merencanakan, mengarahkan, membimbing, mengajar, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, mempercayai, dan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Supervisi

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Supervisi

Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang supervisi kita ketahui kata supervisi

tersebut. Supervisi berasal dari kata bahasa latin, yaitu ( super = diatas ) dan (

videre = melihat ). Dengan demikian jika ditinjau dari asal kata, supervisi

berarti melihat dari atas. Pengertian supervisi secara umum adalah melakukan

pengamatan secara langsung dan berkala oleh “atasan” terhadap pekerjaan

yang dilakukan “bawahan” untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera

diberikan bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya, (Suarli dan

bahtiar, 2009:08)

Supervisi adalah memberikan bantuan, bimbingan/pengajaran, dukungan

pada seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai kebijakan dan

prosedur, mengembangkan keterampilan baru, pemahaman yang lebih luas

tentang pekerjaannya sehingga dapat melakukannya lebih baik. Supervisi

merupakan proses formal dari belajar dan dukungan profesional yang

memungkinkan perawat praktis untuk mengembangkan pengetahuan, dan

kompetensi, menerima tanggung jawab dan praktiknya dan meningkatkan

perlindungan terhadap pasien dan pelayanan keperawatan yang aman dalam

situasi yang kompleks (Sitorus et all, 2011)

Menurut simamora menjelaskan supervisi adalah suatu aktivitas pengawasan

yang bisa dilakuakan untuk memastikan bahwa suatu proses pekerjaan

dilakukan sesuai dengan yang seharusnya (Simamora, 2012:152)

Knon dan Gray (1987) yang di kutip oleh Agus Kuntoro (2010) mengartikan

supervisi sebagai kegiatan yang merencanakan, mengarahkan, membimbing,

mengajar, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, mempercayai, dan

11

mengevalusi secara berkesinambungan anggota menyeluruh sesuai dengan

kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki anggota (Agus Kuntoro,

2010:104)

Swansburg (1990) mendefinisikan supervisi sebagai suatu proses kemudahan

sumber-sumber yang diperlukan untuk penyelesaian suatu tugas (Agus

Kuntoro, 2010:104)

Menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) supervisi adalah memberikan bantuan,

bimbingan/pengajaran, dukungan pada seseorang untuk menyelesaikan

pekerjaannya sesuai kebijakan dan prosedur, mengembangkan keterampilan

baru, pemahaman yang lebih luas tentang pekerjaannya sehingga dapat

melakukannya lebih baik.

Supervisi merupakan proses formal dari belajar dan dukungan profesional

yang memungkinkan perawat praktis untuk mengembangkan pengetahuan,

dan kompetensi, menerima tanggung jawab dalam praktiknya dan

meningkatkan perlindungan terhadap pasien dan pelayanan keperawatan yang

aman dalam situasi yang kompleks.

Bonn dan Holland menggambarkan supervisi klinik adalah memfasilitasi

perawat praktis pada praktik klinik secara teratur untuk mencapai, menopang

dan mengembangkan secara kreatif praktik yang berkualitas tinggi melalui

fokus dukungan dan pengembangan.

Supervisi adalah fungsi memimpin, mengkoordinir, dan mengarahkan

seseorang dalam melakukan tugasnya untuk mencapai tujuan (Rocchiccioli &

Tilbuny, 1998)

2.1.1. Tujuan Supervisi

Supervisi bertujuan mengusahakan lingkungan dan kondisi kerja

seoptimal mungkin termasuk suasana kerja di antara staf, dan

memfasilitasi penyediaan alat-alat yang dibutuhkan baik kuantitas

12

maupun kualitas sehingga memudahkan untuk melaksanakan tugas.

Lingkungan kerja harus diupayakan agar staf merasa bebas untuk

melakukan yang terbaik yang dapat dilakukan staf.

Tujuan supervisi menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) :

a. Mengorientasikan, melatih, membimbing staf sesuai kebutuhan dan

mengarahkan untuk menggunakan kemampuan dan

mengembangkan keterampilan baru.

b. Memfasilitasi staf untuk mengembangkan dirinya.

c. Menolong dan mengarahkan staf untuk meningkatkan minat, sikap

dan kebiasaan yang baik dalam bekerja.

d. Memberikan bimbingan langsung kepada staf dalam melaksanakan

asuhan keperawatan.

e. Mendorong dan meningkatkan perkembangan profesional secara

terus menerus dan menjamin standar asuhan.

Sedangkan menurut Suarli dan Bachtiar tahun (2013) menyebutkan

tujuan supervisi :

a. Menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan

secara benar dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efesien,

sehingga tujuan yang telah ditetapkan organisasi dapat dicapai

dengan memuaskan.

b. Pemberian bantuan, bimbingan/pengajaran, dukungan pada

seseorang untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai kebijakan dan

prosedur, mengembangkan keterampilan baru.

c. Memastikan bahwa suatu proses pekerjaan dilakukan sesuai dengan

seharusnya.

2.1.2. Manfaat Supervisi

Menurut Achmad Sigit et all (2012) Beberapa manfaat supervisi klinik

bagi staf dan unit pelayanan keperawatan antara lain :

13

a. Menumbuhkan kesadaran pada diri staf perawat untuk secara aktif

berpartisipasi menjaga dan meningkatkan kemampuan klinik dan

layanan keperawatan bagi pasien serta menguatkan peran perawat

untuk mengontrol mutu praktik keperawatan secara mandiri dan

profesional.

b. Perawat lebih banyak meluangkan waktu untuk melakukan refleksi

diri dan menggali kemampuan praktik keperawatannya.

c. Adanya dukungan bagi supervisor dan forum diskusi formal

tentang isu-isu klinik keperawatan dan kedoteran.

d. Meningkatkan kinerja atau sesuai standar yang ditetapkan oleh

organisasi.

e. Meningkatkan atau menguasai kemampuan klinik yang lebih

kompleks.

f. Meningkatkan kepuasan kerja dan kepercayaan diri.

g. Meningkatkan kualitas system komunikasi antar staf.

h. Meningkatkan retensi staf.

i. Memupuk kegiatan staf untuk terus belajar dalam meningkatkan

kammpuan dirinya dengan adanya keinginan untuk tetap bersikap

profesional.

j. Dampak pada kualitas layanan keperawatan dan kesadaran akan

pentingnya menjaga kualitas layanan keperawatan dari tim

keperawatan atau anggota tim.

k. Mengurang biaya administrasi pengembangan profisionalisme

perawat.

Menurut Suarli dan Bahtiar (2009) apabila supervisi dapat

dialakuakan dengan baik, akan diperoleh banyak manfaat. Manfaat

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Supervisi dapat lebih meningkatkan efektiftas kerja ini erat

hubungannya dengan keterampilan bawahan, serta makin

14

terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara

atasan dan bawahan.

b. Supervisi dapat lebih meningkatkan efesiensi kerja. Peningkatan

efesiensi kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya

keslahan yang dilakukan bawahan, shingga pemakian sumber daya

(tenaga, harta, dan saran) yang sia-sia akan dapat di cegah.

2.1.3. Teknik Supervisi

Menurut Agus Kuntoro (2010) ada 2 teknik melakukan supervisi yaitu

supervisi secara langsung dan tidak langsung :

2.1.3.1 Supervisi cara langsung dilakukan pada kegiatan yang sedang

berlangsung, seorang supervisior dapat terlibat kegiatan

secara langsung agar proses pengarahan dan pemberian

petunjuk tidak sebagai suatau “perintah”. Pada kondisi ini,

umpan balik dan perbaikan dapat sekaligus dilakuakan tanpa

bawahan merasakan sebagai suatu beban. Proses supervisi

langsung, dapat dilakuakan dengan cara perawat pelaksana

melakukan secara mandiri suatu tindakan keperawatan

didampingi supervisor. Selama proses supervisi, supervisor

dapat memberikan dukungan, reinforcement, dan petunjuk,

kemudian supervisor dan perawat pelaksana melakuakan

diskusi untuk menguatkan yang telah sesuai dengan apa yang

direncanakan dan memperbaiki segala sesuatunya yang di

anggap masih kurang. Agar pengarahan, petunjuk, dan

reinforcement efektif maka harus memenuhi syarat-syarat

tertentu, seperti pengarahan harus lengkap tidak terputus dan

bersifat partial, mudah dipahami, menggunakan kata-kata

yang tepat, menggunakan alur yang logis, dan jangan terlalu

kompleks (Agus Kuntoro, 2010:108)

2.1.3.2 Supervisi dapat dilakukan secara tidak langsung. Cara ini

biasanya dilakukan melalui laporan baik tertulis maupun

15

lisan. Cara tidak langsung ini memungkinkan terjadinya salah

pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi

(misperception) karena supervisor tidak terlihat secara

langsung kegiatan-kegiatan yang dilakuakan ( Agus Kuntoro,

2010:109)

2.1.3.3 Teknik pokok supervisi menurut Suarli dan Bahtiar (2009)

pada dasarnya mencakup empat hal yaitu :

a. Menetapkan maslah dan prioritasnya

b. Menetapkan penyebab maslah, prioritas dan jalan

keluarnya

c. Melaksanakan jalan keluar

d. Menilai hasil yang dicapai untuk tidak lanjut

2.1.4. Pelaksanaan Supervisi

Yang bertanggung jawab melaksanakan supervisi adalah atasan yang

memiliki “kelebihan” dalam organisasi, karena fungsi supervisi

memang banyak terdapat pada tugas atasan. Namun, untuk

keberhasilan supervisi, yang lebih diutamakan adalah kelebihan dalam

hal pengetahuan dan keterampilan. Bertitik tolak dari ciri tersebut,

sering dikatakan bahwa keberhasilan supervisi lebih ditentukan oleh

tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atasan untuk

pekerjaan yang tidak disupervisi, bukan oleh wewenangnya, (Kholid

Rosyidi, 2013:159).

2.1.5. Sasaran Supervisi

Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakuakan

oleh bawahan, serta bawahan yang melakukan pekerjaan. Jika

supervisi mempunyai sasaran berupa pekerjaan yang dilakukan, mka

disebut supervisi langsung, sedangkan jika sasaran berupa bawahan

yang melakukan pekerjaan disebut supervisi tidak langsung. Disini

terlihat jelas bahwa bawahan yang melaksanakan pekerjaan akan

16

disupervisi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja

pekerjaan yang dilakuan bawahan, (Candra Syah Putra, 2014:60).

2.1.6. Frekuensi Supervisi

Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala. Supervisi

yang dilakukan hanya sekali, bisa dikatakan bukan supervisi yang

baik, karena organisasi/lingkungan selalu berkembang. Oleh sebab itu,

agar organisasi dapat mengikuti berbagai perkembangan dan

perubahan, perlu diberikan berbagai penyesuaian (Suyanto, 2009:88).

2.1.7. Prinsip Supervisi Keperawatan

Menurut Agus Kuntoro (2010) agar seorang manajer keperawatan

mampu melakukan kegiatan supervisi secara benar, ia harus

mengetahui dasar dan prinsip-prinsip supervisi, prinsip itu harus

memenuhi syarat :

a. Hubungan profesional dan bukan hubungan pribadi

b. Kegiatan yang harus direncanakan

c. Bersifat edukatif

d. Memberikan rasa aman pada perawat pelaksana

e. Mampu membuat suasana kerja yang demokratis

Prinsip lain yang harus dipenuhi dalam kegiatan supervisi adalah

harus dilakukan secara objektif dan mampu memacu terjadinya

penilaian diri (self evaluation), bersifat progresif, inovatif, fleksibel,

dan dapat mengembangkan potensi atau kelebihan masing-masing

orang yang terlibat.

2.1.8. Karakteristik Pelaksanaan Supervisi

Karakteristik seseorang yang melakukan supervisi menurut Suarli

(2009) karakteristik yang di maksud adalah :

2.1.8.1 Atasan langsung, dalam pelaksana supervisi adalah atasan

langsung dari yang disupervisi. Atau, apabila hal ini tidak

17

mungkin, dapat ditunjuk staf khusus dengan batas-batas

wewenang dan tanggung jawab yang jelas.

2.1.8.2 Memiliki pengetahuan, dalam pelaksanaan supervisi harus

memiliki pengertahuan dan keterampilan yang cukup untuk

jenis pekerjaan yang akan di supervisi.

2.1.8.3 Mengethui pelaksanaan supervisi, jadi supervisi harus

memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan

supervisi, artinya memahami prinsip-prinsip pokok serta

teknik supervisi.

2.1.8.4 Dalam pelaksanaan supervisi supervisor harus memiliki sifat

mendidik dan mendukung serta memerintah dalam keadaan

tertentu.

2.1.8.5 Pelaksanaan supervisi harus mempunyai waktu yang cukup,

sabar, dan selalu berupaya meningkatkan pengetahuan,

keterampilan, dan perilaku bawahan yang disupervisi.

Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah kegiatan-

kegiatan dan tugas atasan memberikan sumber-sumber yang

dibutuhkan perawat unruk menyelesaikan tugas dalam mencapai

tujuan organisasi.

2.1.9. Peran dan Fungsi Supervisor

Peran dan fungsi supervisor dalam perspektif manajemen klinis,

fungsi vital dalam kerangka kerja asuhan keperawatan pasien dan

perencanaan SDM. Supervisor bertanggung jawab dalam manajemen

sesuai lingkup/area tanggung jawab, karena itu supervisor harus

memiliki pengetahuan, keterampilan dan keinginan untuk mencapai

tujuan sesuai dengan perannya. Supervisor dapat berperan sebagai

mentoring, power perspectif, networking. (Sitorus & Panjaitan,2011)

2.1.9.1 Supervisor sebagai mentor

18

Supervisor sebagai mentor berperan sebagai model peran

yang secara aktif mengajar, melatih, mengembangkan, dan

memberikan bimbingan dan fasilitas untuk peningkatan karir

staf. Proses mentoring dapat formal dan non formal.

Supervisor yang berperan sebagai mentor memiliki

karakteristik khusus yaitu keahlian klinis, pengetahuan,

pengalaman, keinginan untuk mengasuh, dan komitmen

untuk profesinya.

2.1.9.2 Supervisor sebagai pemegang kekuasaan

Kekuasaan adalah kemampuan untuk merubah perilaku

seseorang sesuai perilaku yang diharapkan. Supervisor yang

berhasil, akan menggunakan semua sumber yang dimilikinya

dalam merubah perilaku sifatnya.

Elemen kekuasaan supervisor menurut Stevens (1985) dalam

Rocchiccioli & Tilbuny (1998) adalah :

a. Pengetahuan dan kekuasaan keahlian keperawatan,

manajemen, teknologi, dan kecenderungan dalam praktik

keperawatan.

b. Hubungan kerjasama dengan jaringan informal didalam

ataupun diluar organisasi.

c. Kontrol sumber pengetahuan tentang sumber-sumber dan

kekuasaan.

d. Pengambilan keputusan atau kemampuan pemecahan

masalah dengan wewenang sesuai posisi.

e. Visi dan kepemimpinan, kemampuan untuk

mengidentifikasi, komunikasi dan mencapai tujuan.

Hubungan dalam proses supervisi sangat penting untuk

mencapai hasil perawatan pasien. Supervisi yang baik

membangun hubungan yang kuat, meningkatkan motivasi,

dan meningkatkan komitmen staf terhadap mutu. Jika dalam

19

supervisi hubungan tidak adekuat dapat menimbulkan

kebencian, kurangnya motivasi dan chaos.

2.1.9.3 Supervisor dan Kerjasama

Kerja sama dan membangun kerja sama adalah fungsi

penting dalam supervisi. Membangun hubungan yang positif

dalam merubah lingkungan kerja. Kerja sama dapat dibangun

dengan formal maupun informal. Supervisor yang efektif

mengenal penggunaan yang bermanfaat terhadap pemaksaan,

tujuan, individual, strategi formal sebagai pendekatan dalam

tugas. Mengidentifikasi dan memperkuat kekuatan/kelebihan

staf dapat membantu supervisor untuk mencapai tujuan.

2.1.10. Fungsi Supervisi

Fungsi supervisi menurut Sitorus & Panjaitan (2011) :

2.1.10.1. Perencanaan dan Pengorganisasian

Supervisi mempunyai empat fungsi dalam upaya untuk

mencapai tujuan organisasi. Fungsi tersebut adalah

perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi.

Perencanaan merupakan salah satu fungsi dasar dari

manajemen yang merupakan proses untuk mencapai tujuan

dan misi organisasi, falsafah keperawatan, tujuan unit,

sasaran, kebijakan dan prosedur. Supervisor merencanakan

untuk menurunkan lama hari rawat pasien atau

mengembangkan prosedur untuk perawatan pasien.

2.1.10.2. Pengorganisasian

Proses supervisi menunjukkan koordinasi terhadap sumber-

sumber untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien.

Supervisor harus dapat menguasai/memahami fungsi

pengorganisasian untuk merestruksasikan dan

20

mereformulasikan antara perubahan manusia dan sumber-

sumber material pada waktu yang pendek.

2.1.10.3. Pengawasan dan Evaluasi

Supervisi bertanggung jawab mengawasi lingkungan dan

mengatur dari proses kerja. Fungsi pengawasan meliputi

perhatian terhadap system alur kerja, sistem informasi,

model pemberian asuhan pasien, liburan pasien, upah staf,

dan promosi. Evaluasi membantu untuk menentukan hasil

pengawasan dan biasnya prosedur dan pedoman digunakan

untuk mengkaji hasil kerja dalam mendapatkan informasi

tentang tujuan kerja, kegiatan, hasil, dampak dan biaya.

Proses supervisi menggunakan prosedur sistematik untuk

mengevaluasi kinerja secara periodik.

2.1.10.4. Pengawasan dan evaluasi terhadap standar organisasi

Standar menggambarkan harapan terhadap ukuran

prnampilan/kinerja dalam wilayah yang spesifik. Standar

menunjukkan nilai-nilai organisasi, dimana nilai-nilai dan

standar tersebut merupakan pedoman dari struktur

organisasi, praktik keperawatan, sistem keperawatan dan

pengembangan SDM keperawatan. Menurut Stevens

(1985), standar pengawasan mutu asuhan keperawatan

terdiri dari standar struktur, proses dan outcome, standar

dpat berupa internal eksternal. Standar digunakan untuk

merencanakan dan mengevaluasi proses kerja dalam

mencapai hasil yang tepat. Standar dapat di ukur melalui

kriteria dan norma-norma. Standar bukan instrument

evaluasi tetapi ukuran menilai kualitas pelayanan yang

diberikan. Karena itu supevisor dan pemimpin yang

bertanggung jawab terhadap sistem pemberian asuhan

keperawatan harus mengetahui bahwa standar adalah

21

penting untuk keperawatan dan disiplin kesehatan lain.

Standar eksternal berasal dari berbagai sumber yaitu

pemerintah, akreditasi, organisasi profesi, departemen, unit

dan perawatan individu. Standar sebagai dasar untuk

mengukur, jadi harus objektif, dapat dicapai, dapat

dilaksanakan dan fleksibel. Standar memerlukan perhatian

supervisi melalui pendidikan, supervisor memonitor

pelaksanaan standar dan mengidentifikasi kekuatan dan

kelemahan dari standar. Jika ada hal-hal yang tidak dapat

dilaksanakan, organisasi keperawatan dapat membuat

perencanaan untuk tindakan koreksi. Supervisor dan staf

pada semua tingkat harus menerima tanggung jawab untuk

melaksanakan standar profesional dan standar akreditasi.

Standar internal, yaitu pelayanan keperawatan

dikembangkan oleh pemimpin perawat, manajer, dan staf

dan organisasi. Standar dapat berupa standsr ketenagaan

dalam organisasi atau kebijakan departemen, prosedur-

prosedur keperawatan, dan struktur organisasi. Kriteria

untuk menentukan bahwa standar internal telah dicapai

dikembangkan oelh organisasi.

2.1.11. Kegiatan Supervisor

2.1.11.1. Perencanaan mencegah Risiko Pasien Jatuh

a. Membuat tujuan unit mengacu pada visi dan misi

keperawatan untuk merencanakan tindakan risiko pasien

jatuh

b. Memebuat standar ketenagaan diruangan untuk pasien

risiko jatuh

c. Memmbuat rencana pengembangan staf untuk risiko

pasien jatuh

d. Menyusun SOP dan SAK untuk risiko pasien jatuh

22

e. Menetapkan lama hari rawat di unit yang disupervisi

untuk pasien risiko jatuh

f. Membuat jadwal kerja sesuai are dan personil yang di

supervisi untuk risiko pasien jatuh

g. Membuat standar evaluasi kinerja staf/personil yang

disupervisi terhadap tindakan untuk pasien risiko jatuh

2.1.11.2. Pengorganisasian supaya tidak terjadi Risiko Pasien jatuh

a. Menetapkan sistem pemberian asuhan keperawatan

pasien risiko jatuh

b. Mengatur pekerjaan personil untuk pasien risiko jatuh

c. Koordinasi sumber-sumber untuk mencapai tujuan

pelayanan secara efektif dan efesien terhadap tindakan

pasien risiko jatuh

2.1.11.3. Membimbing dan mengarahkan untuk melakukan

pencegahan Risiko Pasien Jatuh

a. Menjadi role model dalam memberika asuhan

keperawatan kepada pasien dan keluarga tentang risiko

pasien jatuh

b. Membangun hubungan yang positif dengan staf melalui

komunikasi yang efektif

c. Mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan staf setelah

melakukan tindakan pencegahan risiko pasien jatuh

d. Mengajar/membimbing, mengarahkan, melatih,

mengembangkan staf untuk memberikan askep sesuai

kebutuhan risiko pasien jatuh

e. Memberi bimbingan untuk meningkatkan keterampilan

staf untuk melakukan pencegahan risiko pasien jatuh

f. Melatih staf untuk pengambilan keputusan klinis

g. Membantu staf dalam memecahkan masalah

h. Memfasilitasi staf dalam menyelesaikan pekerjaan

23

i. Mendelegasikan tugas kepada staf sesuai kemampuan

yang dimiliki

j. Memberikan bantuan atau hal-hal lain terkait dengan

pelayanan sesuai kebutuhan risiko pasien jatuh

2.1.11.4. Pengawasan dan evaluasi terhadap Risiko Pasien Jatuh

a. Mengontrol jadwal kerja dan kehadiran staf

b. Menganalisa keseimbangan staf dan pekerjaan

c. Mengontrol tersedianya fasilitas/peralatan/sarana untuk

hari ini

d. Mengontrol lingkungan area supervisi

e. Mengidentifikasi kendala/masalah yang muncul

f. Mengontrol dan mengevaluasi pekerjaan staf dan

kemajuan staf dalam melaksanakan pekerjaan

g. Mengawasi dan evaluasi kualitas asuhan keperawatan

pasien

2.1.11.5. Pencatatan dan pelaporan tentang Risiko Pasien Jatuh

a. Mencatat permasalahan yang muncul

b. Membuat daftar masalah yang belum dapat diatasi dan

berusaha untuk menyelesaikan pada keesokan harinya

c. Mencatat dan melaporkan fasilitas/alat/sarana sesuai

kondisi

d. Mencatat dan melaporkan secara rutin proses dan hasil

supervisi

e. Mengevaluasi tugas dupervisi yang dilakukan setiap hari

dan melakukan tindak lanjut ssuai kebutuhan

f. Membuat jadwal kerja untuk keesokan harinya

g. Memelihara administrasi keperawatan pasien

2.1.12. Supervisor Keperawatan

Supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang

bertanggung jawab (Suyanto, 2009:88) antara lain :

24

2.1.12.1. Kepala ruangan bertanggung jawab melakukan supervisi

pelayanan keperawatan yang diberikan pada klien diruang

perawatan yang dipimpinnya.

2.1.12.2. Pengawas perawatan (Supervisor), ruang perawatan dan unit

pelaksana fungsional (UPF) mempunyai pengawas yang

bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan

keperawatan.

2.1.12.3. Kepala bidang keperawatan sebagai top manajer dalam

keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung

jawab untuk melakukan supervisi.

2.2 Hubungan Supervisi Kepela Ruangan dengan Penerapan Keselamatan

Pasien

Supervisi merupakan dari fungsi pengarahan yang bertujuan untuk

mempertahankan agar segala kegiatan yang telah terprogram dapat

dilaksanakan dengan baik dan lancar sehingga dapat meningkatkan mutu

pelayanan keperawatan yang salah satu indikatornya keselamatan pasien

(Suarli dan Bahtiar, 2014; Direktor Bina Pelayanan Keperawatan, 2008).

Supervisi yang maksimal akan membuat perawat pelaksana melakukan

penerapan patient safety dengan baik (Rumampuk et al, 2013).

Supervisi yang berkesinambungan dapat meningkatkan pengetahuan dan

keterampilan perawat sehingga dapat berdampak pada peningkatan mutu

pelayanan keperawatan (Zakiyah, 2012). Tujuan supervisi merupakan

peningkatan pelayanan pada pasien dengan berfokus pada kebutuhan,

keterampilan, dan kemampuan perawat dalam menjalankan tugasnya. Kepela

ruangan merupakan first level manager yang bertanggung jawab melakukan

supervisi pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien di ruang

perawatan yang dipimpinnya. Kepala ruangan mengawasi perawat pelaksana

dalam memberikan asuhan keperawatan baik secara langsung maupun tidak

langsung (Suyanto, 2009).

25

Permatasari (2012), menjelaskan bahwa supervisi mempunyai hubungan

dalam pelaksanaan Nine Life Saving Solutions dari WHO dalam upaya

keselamatan pasien. Rumampuk et al, (2013), menemukan bahwa ada

hubungan peran kepala ruangan melakukan supervisi pada perawat pelaksana

dengan penerapan keselamatan pasien yang meliputi prosedur identifikasi

pasien baik (95,2%), prosedur pemberian injeksi baik (100%), dan prosedur

mencuci tangan baik (100%).

Semakin baik supervisor melakukan supervisi meliputi pengawasan,

meningkatkan keterampilan dan mutu pelayanan asuhan keperawatan maka

keselamatan pasien makin terjaga sehingga risiko pasien jatuh dapat diatasai.

2.3 Kepala Ruangan

Kepala ruangan merupakan seorang tenaga perawat profesional yang

bertanggung jawab dan berwenang dalam mengelola kegiatan pelayanan

keperawatan disuatu ruangan (Tampilang et all,2013)

2.3.1. Tanggung Jawab

2.3.1.1. Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepala

bidang keperawatan melalui kepala seksi perawatan

2.3.1.2. Secara teknis medis operasioanl bertanggung jawab kepada

dokter yang berwenang/kepala unit pelaksana fungsional

2.3.2. Tugas Pokok

Mengawasi dan mengendalikan kegiatan pelayanan keperawatan

diruang rawat yang berwenang/kepela unit pelaksana fungsional untuk

melakukan pengawasan terhadap risiko pasien jatuh.

2.3.3. Kepala Ruangan Sebagai Pemimpin yang Efektif

Pemimpin yang efektif menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) adalah

seseorang yang sukses mempengaruhi orang lain untuk bekerjasama

26

secara produktif dan dalam kondisi yang menyenangkan. Komponen

yang efektif meliputi :

2.3.3.1. Mempunyai pengetahuan yang baik tentang kepemimpinan

dan menguasai bidang kepakarannya

2.3.3.2. Mempunyai kesadaran diri yang baik dan dengan memahami

dirinya, dia dapat memahami orang lain

2.3.3.3. Berkomunikasi secara jelas dan efektif

2.3.3.4. Bersemangat melakukan aktivitas pada area tanggung

jawabnya

2.3.3.5. Menetapkan tujuan yang jelas diketahui oleh stafnya

2.3.3.6. Melakukan dengan konkrit (action)

Semua komponen ini disimpulkan sebagai konsep dasar

komponen kepemimpinan yang efektif yaitu :

a. Pengetahuan

Pemimpin memehami tentang kepemimpinan antara lain

pengertian, gaya kepemimpinan, bagaimana menjadi

pemimpin yang efektif dan pengetahuan tentang bidang

kepakarannya. Pemimpin cenderung menjadi tempat

bertanya bagi orang lain. Pengetahuan yang baik ini juga

menjadi modal utama dalam mempengaruhi orang lain

karena dia mampu menghasilkan ide-ide baru. Disamping

itu, seseorang pemimpin juga kritis dan tidak menyenangi

kegiatan rutin.

b. Kesadaran diri

Pemimpin mempunyai kesdaran diri yang baik. Dia

menyadari kelebihannya tetapi juga kelemahannya, dia

menjadi fleksibel, lebih mandiri dan tidak tergantung pada

orang lain. Kesadaran diri ini penting karena seseorang

menyukai dirinya, orang tersebut akan lebih disukai orang

lain. Kalau seorang merasa dirinya sebagai seorang

pemimpin, dia akan cenderunhg menjadi pemimpin.

27

c. Komunikasi

Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seseorang harus

menjadi pendengar yang baik. Berkomunikasi yang jelas

dengan orang lain dapat mencegah salah persepsi.

Pemimpin juga memberikan umpan balik kepada orang

lain/staf tanpa menyalahkannya. Pemimpin juga akan

menerima umpan balik tentang dirinya dengan baik. Salah

satu pengaruh yang besar dari pemimpin iyalah saat

mengkomunikasikan visinya tentang kelompok/ruangan.

d. Bersemangat

Pemimpin yang bersemangat dapat meningkatkanh

efektifitas pekerjaan. Saat berinteraksi, semangat

pemimpin kepala ruangan dapat menular kepada stafnya.

Oleh karena itu, pemimpin harus bersemangat dengan

menjaga kesehatan, relaks dan cukup istirahat.

e. Tujuan/sasaran

Pemimpin akan menetapkan tujuan sejalan dan dapat

diterima kelompok. Oleh karena itu, pemimpin akan

mencari masukan dari stafnya dalam menetapkan tujuan

yang ingin dicapai.

f. Melakukan secara konkrit (action)

Pemimpin tidak hanya berangan-angan tetapi melakukan

secara konkrit pemimpin mempunyai ide-ide dan tidak

menunggu intruksi. Pemimpin akan mengarahkan orang

lain, memberdayakan orang lain dan berani bertanggung

jawab.

Depree dalam Dienamann (1998) dikutip oleh Agus Kuntoro

(2010) mengatakan bahwa kepemimpinan lebih pada ide-ide

daripada teknik-teknik. Seni kepemimpinan adalah memberi

kebebasan kepada orang lain melakukan sesuatu untuk

28

menyelesaikan masalah mereka secera efektif dan manusiawi.

Sebagai suatu tidak ada formula khusu untuk membuat

seseorang menjadi pemimpin. Melalui hal-hal berikuit ini

pemimpin (kepala ruangan) dapat meraih kepercayaan dan

pengaruh dari bawahannya.

a. Memimpin melalui contoh peran (role model)

Kepala ruangan akan menjadi contoh peran bagi

bawahannya. Artinya kepala ruangan perlu melakukan

sesuatu, agar ditiru oleh bawahannya antara lain datang

tepat waktu, berbicara sopan, membuat perencanaan dan

mampu melakukan tindakan keperawatan bila diperlukan.

b. Mempertahankan integritas diri

Melakukan hal-hal yang benar dan jujur akan

meningkatkan integritas kepala ruangan sebagai

pemimpin.

c. Melakukan sesuatu dengan suatu tujuan

Untuk menjadi pemimpin lakukan sesuatu dengan tekun

dan bertanggung jawab. Seorang kepala ruangan tentu

bertujuan agar asuhan keperawatan diruangannya bermutu

tinggi, pasien dan keluarga puas.

d. Berada di tempat

Sebagai kepela ruangan mayoritas waktunya diharapkan

ada diruangan bukan ditempat lain. Pemimpin yang efektif

melihat dan mendngarkan bawahannya sehingga dapat

mempengaruhi mereka.

e. Menumbuhkan hubungan interpersonal

Pemimpin menghargai dan menikmati kerjasama dengan

orang lain. Pemimpin memahami kelebihan dan

kekurangan bawahannya. Kepala ruangan sebagai

pemimpin akan memanfaatkan kelebihan bawahannya

29

secara optimal dan tidak berfokus pada kelemahan atau

kekurangan bawahannya.

2.4 Keselamatan Pasien

Keselamatan adalah pasien bebas dari cedera yang seharusnya tidak terjadi

atau bebas dari cedera yang potensial terjadi akibat pelayanan kesehatan.

Keselamatan pasien merupakan prioritas yang utaman dalam pelayanan

kesehatan dan pelayanan keperawatan sekaligus aspek paling penting dari

manajemen yang berkualitas. Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat

untuk di terapkan di semua rumah sakit yang di akreditasi oleh Komisi

Akreditasi Rumah Sakit ( KARS ). Maksud dari sasaran keselamatan pasien

adalah melaksanakan secara spesifik terkait keselamatan pasien.

Implementasi tiap-tiap sasaran harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan

keadaan rumah sakit sehingga memberikan solusi nyata dalam mewujudkan

pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien ( KARS 2012, Sri Hananto

Ponco Nugroho, Untung Sujianto 2017 ).

2.4.1 Tujuan Sistem Keselamatan Pasien

Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit antara lain:

a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit

b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan

masyarakat.

c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD)

d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi

pengulangan KTD

Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien ini, setiap rumah

sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien melalui upaya-

upaya sebagai berikut :

a. Akselerasi program infeksion control prevention (ICP)

b. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah

menuju keselamatan pasien rumah sakit. Dan di evaluasi melalui

akreditasi rumah sakit

30

c. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety).

d. Dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.

e. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya

wrong person, wrong site, wrong prosedure (Draft SPM RS:100%

tidak terjadi kesalahan orang, tempat, dan prosedur di kamar operasi)

f. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.

g. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite

keselamatan rumah.

2.4.2 Manfaat Program Keselamatan Pasien

Program keselamatan pasien ini memberikan berbagai manfaat bagi

rumah sakit antara lain:

a. Adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di

bidang industri lain seperti halnya menjadi persyaratan dalam

berbagai proses transaksi, sehingga suatu produk menjadi semakin

laris dan dicari masyarakat.

b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih

mendominasi pasar jasa bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-

asuransi dan menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai provider

kesehatan karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh

masyarakat untuk mencari Rumah Sakit yang aman.

c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan

keselamatan pasien.

2.5 Risiko Jatuh

Jatuh adalah suatu peristiwa di mana seseorang mengalami jatuh denganatau

tanpa disaksikan oleh orang lain, tidak disengaja/tidak direncanakan, dengan

arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpa mencederai dirinya (Stanley, 2010).

Penyebab jatuh dapat meliputi faktor fisiologis (pingsan) atau lingkungan

(lantai yang licin). Risiko jatuh adalah pasien yang berisiko untuk jatuh yang

umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor fisiologis yang dapat

berakibat cidera.

31

Risiko jatuh adalah peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat

menyebabkan bahaya fisik (Wilkinson, 2011). Berdasarkan dari pengertian

tersebut maka risiko jatuh adalah kejadian yang kurang menyenangkan atau

merugikan atau membahayakan yang mengakibatkan pasien menjadi turun

atau meluncur ketempat yang lebih rendah yang disebabkan oleh faktor

ekstrinsik (lingkungan) dan faktor intrinsik (fisiologi) sehingga dapat

menyebabkan bahaya fisik ataucedera dan gangguan kesadaran.

3.7.1 Faktor-faktor risiko jatuh

Faktor-faktor risiko jatuh dibagi menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan

faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik atau faktor fisiologis terdiri dari

riwayat jatuh, fungsi kognitif, usia atau jenis kelamin, mobilitas atau

pergerakan, eliminasi, dan obat-obatan. Faktor ekstrinsik atau faktor

lingkungan terdiri dari staffing, lantai yang licin, pencahayaan yang

redup, penghalang tempat tidur, dan pengaturan ruangan (National

Database of Nursing Quality Indicators, 2011).

a. Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari diri individu itu

sendri (host). Faktor intrinsik yang dapat mengakibatkan risiko jatuh

seperti usia diatas 65 tahun dan usia dibawah 2 tahun, keadaan

fisiologi (anemia, artritis, penurunan kekuatan ekstremitas bawah,

diare, masalah pada kaki, gangguan pada sikap tubuh, gangguan

pendengaran, gangguan keseimbangan, hambatan mobilitas fisik,

neoplasma, neuropati, hipotensi ortostatik, kondisi pascabedah,

perubahan gula darah postprandial, penyakit akut, defisit

propriosepsi, gangguan tidur, urgensi atau inkontinensia, penyakit

vaskular, dan gangguan penglihatan), kognitif (perubahan status

mental misalnya: konfusi, delirium, demensia dan gangguan

realitas), medikasi (agens antiansietas, antihipertensi, diuretik,

hipnotik dan antidepresan) (Wilkinson, 2011).

32

b. Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor lingkungan dan memiliki risiko

terhadap kejadian jatuh sebesar 31% (Shobha 2008, dalam Maryam,

2009). Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

keseimbangan dan berkontraksi pada risiko jatuh, kejadian jatuh

didalam ruangan lebih sering terjadi dikamar tidur dan toilet.

Lingkungan yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar

rumah, ruang tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong.

Faktor lain adalah supervisi kepala ruangan (Oliver 2010, dalam

Budiono 2013).

Menurut Oliver (2010) faktor supervisi kepala ruangan dengan

memberikan pengawasan, bimbingan dan pengoranisasian juga

berpengaruh terhadap pelaksanaan risiko pasien jatuh. Kalau

pengawasan, bimbingan serta pengorganisasian tidak di lakukan oleh

supervisi kepala ruangan maka kinerja perawat tidak akan maksimal

untuk memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien dengan

risiko jatuh.

Lingkungan yang tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai

yang retak, jalan depan rumah sempit, pencahayaan yang kurang,

kondisi teras atau halaman, bahaya lingkungan pada area ruang tamu

adalah kurangnya pencahayaan, area yang sempit untuk berjalan,

kaki kursi yang miring dan tinggi kursi yang tidak sesuai dengan

tinggi kaki dan sandaran lengan pada kursi tidak kuat. Kamar tidur

berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi tempat tidur, seprai

yang tergerai dilantai, penempatan barang dan perabotan yang

mudah dijangkau, pencahayaan yang redup, dan luas area kamar

untuk berjalan. Kamar mandi dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan atau risiko jatuh diantaranya pencahayaan kurang,

kondisi lantai licin, posisi bak dan toilet tidak aman, dan peletakkan

33

alat mandi yang tidak mudah dijangkau oleh lansia. Lingkungan area

tangga dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,

peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Barnet, 2008).

2.6 Pencegahan Risiko Jatuh

Pelaksanaan pencegahan risiko jatuh adalah serangkaian tindakan yang

merupakan acuan dalam penerapan langkah-langkah untuk mempertahankan

keselamatan pasien yang berisiko jatuh (Wilkinson, 2011). Manajemen risiko

pasien jatuh dapat dilaksanakan sejak pasien mendaftar di rumah sakit hingga

pasien pulang (Budiono,2013).

2.6.1 Pelaksanaan Pencegahan Risiko Jatuh

Pencegahan menurut Potter & Perry (2013)

a. Asesment

Pengkajian awal dan harian individu untuk risiko jatuh sangat

penting untuk identifikasi klien yang berisiko jatuh. Faktor risiko

yang harus dikaji untuk mengetahui pasien berisiko jatuh atau tidak

adalah : faktor risiko intrinsik (karakteristik pasien dan fungsi fisik

umum, diagnosis dan perubahan fisik, medisasi dan interaksi obat)

dan faktor ekstinsik atau faktor lingkungan (tingkat pencahayaan,

permukaan lantai, furnitur, ketinggian tempat tidur, call bel,

penggunaan alat bantu dan lama hari rawat.

Menurut Nursalam (2011) pasien dikatagorikan berisiko jatuh

apabila mempunyai satu atau lebih faktor berisiko jatuh pada saat

pengkajian :

1. Humpty dumpty fall scale (HDFS) yaitu skala jatuh yang

digunakan untuk anak-anak

Parameter Kriteria Nilai Skor

Usia < 3 Tahun 4

34

3-7 tahun 3

7-13 tahun 2

≥ 13 tahun 1

Jenis kelamin Laki-laki 2

Perempuan 1

Diagnosis Diagnosis neurologi 4

Perubahan oksigenasi (diagnosis

respiratorik, dihedrasi, anemia,

anoreksia, sinkop, pusing, dll.

3

Gangguan perilaku/psikiatri 2

Diagnosis lainnya 1

Gangguan

kognitif

Tidak menyadari keterbatasan lainnya 3

Lupa akan adanya keterbatasan 2

Orientasi baik terhadap diri sendiri 1

Faktor

lingkungan

Riwayat jatuh/bayi diletakkan di

tempat tidur dewasa

4

Pasien menggunakan alat bantu/bayi

diletakan dalam tempat tidur

bayi/perabot rumah

3

Pasien diletakkan pada tempat tidur 2

Area diluar rumah sakit 1

Pembedahan/

sedasi/anaste

si

Dalam 24 jam 3

Dalam 48 jam 2

> 48 jam dan tidak mengalami

pembedahan/sedasi/anastesi

1

Penggunaan

medika

mentosa

Penggunaan multiple sedative, obat

hypnosis, barbiturate, fenotiazi,

antidepresan, pencahar, diuretic,

narkose.

3

Penggunaan obat salah satu diatas 2

35

Berdasarkan nilai dari table diatas nanti kita akan dapat

mengklasifikasikan sehingga kita dapat menentukan tingkat risiko

jatuh dari pasien yang kita nilai :

Skor 7-11 risiko rendah

Skor ≥ 12 risiko tinggi

a. Tindakan Risiko Rendah

Edukasi adalah menjelaskan tentang risiko jatuh yang di

miliki oleh pasien kepada keluarganya.

b. Tindakan Risiko Tinggi

Pemasanagn gelang warna kuning dan edukasi.

2. More fall scale (MFS) yaitu skala jatuh yang digunakan untuk

orang dewasa

No Pengkajian Skala Nilai Ket

1 Riwayat jatuh : apakah lansia

pernah jatuh dalam 3 bulan

terakhir

Tidak 0

Ya 25

2 Diagnosa sekunder : apakah

lansia memiliki lebih dari satu

penyakit

Tidak 0

Ya 15

3 Alat bantu jalan :

Bedrest/dibantu perawat

0

Kruk / tongkat / walker 15

Berpegangan pada benda-

benda sekitar. (kursi, lemari,

meja)

30

Penggunaan medikasi lainnya/tidak

ada medikasi.

1

Jumlah skor Humpty Dumpty

36

4 Teraphy intravena : apakah

saat ini lansia terpasang infus

Tidak 0

Ya 20

5 Gaya berjalan / cara berpindah

: normal / bedrest immobile

(tidak dapat bergerak sendiri

0

Lemah tidak bertenaga 10

Gangguan atau tidak normal

(pincang atau diseret)

20

6 Status mental :

Lansia menyadari kondisi

dirinya

0

Lansia mengalami

Keterbatasan daya ingat

15

Total nilai

Berdasarkan nilai dari tabel diatas nanti kita akan dapat

mengklasifikasikan tingkat risiko jatuh dari pasien yang kita nilai.

Skor 0-24 tidak berisiko

Skor 25-50 risiko rendah

Skor ≥ 51 risiko tinggi

b. Edukasi Pasien atau Keluarga

Pelaksanaan manajemen risiko jatuh pasien juga melibatkan keluarga

atau pendamping pasien, mengajak keluarga untuk terlibat dan

berperan aktif dalam pelaksanaan manajemen risiko jatuh pasien.

Perawat juga dapat memberitahu risiko jatuh pada saat masuk rumah

sakit, jelaskan program pencegahan dan didik keluarga dalam

mengenal dan memahami komunikasi visual risiko jatuh,

komukasikan bagaimana pasien dan anggota keluarga dapat

membantu dalam mencegah risiko jatuh.

37

c. Intervensi

- Mengorientasikan pasien dengan lingkungan sekitar, termasuk

lokasi kamar mandi, penggunaan alarm panggilan.

- Menjaga tempat tidur dalam posisi terendah selama penggunaan

kecuali tidak praktis (ketika melakukan prosedur pada pasien).

- Memasang dua sisi pengaman tempat tidur pasien.

- Kunci roda tempat tidur, tandu, & kursi roda.

- Menghindari hambatan akses menuju ke toilet.

- Tempatkan alarm panggilan dan benda yang sering dibutuhkan

pasien ke tempat yg dapat di jangkau pasien.

- Respon segera jika terdengar alarm panggilan.

- Ajarkan pasien atau keluarga untuk meminta bantuan yang

diperlukan.

- Gunakan alas kaki non slip.

d. Evaluasi

Semua pasien yang dirawat perlu dipantau dan dinilai secara rutin

dan berkala. Pengkajian ulang oleh perawat merupakan salah satu

strategi yang dapat menentukan kebutuhan lanjutan, pasien harus

tetap selalu dipantau untuk mengetahui perubahan, pemantauan ini

tidak hanya dilakukan pada pasien risiko jatuh tinggi namun kepada

semua pasien risiko jatuh. Pengkajian ulang untuk mengetahui

perubahan status klinis pasien yang mempengaruhi risiko jatuh

pasien. Jika faktor risiko telah berubah dari pengkajian sebelumnya

maka intervensi harus diubah mengikuti faktor-faktor risiko baru.

Dalam Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, Standar

Akreditasi Rumah Sakit edisi satu, ada pun sasaran risiko jatuh adalah

sebagai berikut:

a. Standar rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk mengurangi risiko

membahayakan pasien akibat dari cedera jatuh.

38

b. Tujuan menilai dan menilai kembali risiko secara berkala setiap pasien

untuk jatuh, termasuk potensi risiko yang terkait dengan pengobatan

pasien, dan mengambil tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan

risiko yang teridentifikasi.

c. Elemen yang dapat diukur :

1. Rumah sakit menerapkan suatu proses untuk penilaian awal pasien

untuk risiko jatuh dan penilaian ulang pasien ketika ditunjukkan oleh

perubahan dalam kondisi atau pengobatan,atau yang lain.

2. Langkah-langkah diterapkan mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang

pada pengkajian dianggap berisiko jatuh.

3. Langkah tersebut dipantau untuk melihat hasil tindakan, baik

kesuksesan pengurangan cedera jatuh dan apapun yang terkait

konsekuensi yang tidak diinginkan.

4. Kebijakan dan atau prosedur terus mendukung pengurangan risiko

membahayakan pasien akibat jatuh diorganisasi (WHO Patient safety,

2008) dalam Komite Keselamatan Pasien (RSPERSI/KKPRS PERSI

2013).

Menurut Sutoto dalam KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013)

contoh langkah pencegahan pasien jatuh adalah: anjurkan pasien untuk

meminta bantuan yang diperlukan, anjurkan pasien untuk memakai alas

kaki yang anti slip, pastikan bahwa jalur ke toilet bebas dari hambatan

dan terang, pastikan lorong bebas hambatan, tempatkan alat bantu

seperti tongkat/walker dalam jangkauan pasien, pasang penghalang

tempat tidur, evaluasi posisi tempat tidur, amati lingkungan yang

dianggap berpotensi tidak aman dan segera laporkan, jangan biarkan

pasien yang berisiko jatuh tanpa pengawasan, saat pasien dibawa

menggunakan brandcard/tempat tidur posisi bedside dalam keadaan

terpasang, informasikan dan didik pasien serta keluarga mengenai

perawatan untuk mencegah terjadinya risiko jatuh. Intervensi yang tepat

39

sangat dibutuhkan dalam pencegahan pasien jatuh dirumah sakit

(Setiowati, 2008).

Joint Commision Internasional (JCI) dalam Sentinel Even Alert,

Preventing falls and fall-related injuries in health care facilities tahun

(2015) menyarankan pencegahan risiko jatuh sebagai berikut:

memimpin upaya untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya

pencegahan risiko jatuh yang mengakibatkan cedera, menetapkan

cedera jatuh interdisiplin, gunakan standar alat yang sudah divaliditas

untuk mengidentifikasi faktor risiko jatuh mengembangkan rencana

individual perawatan pada pasien risiko jatuh dan risiko cedera dan

menetapkan intervensi khusus untuk pasien, standarisasi dan

menerapkan praktik dan intervensi yang terbukti efektif, melakukan

manajemen jatuh.

Menurut Institute for Clinical System Improvement (ICSI) tahun (2008)

Adapun intervensi pencegahan risiko jatuh di rawat inap adalah sebagai

berikut : Mendapatkan dukungan organisasi untuk program pencegahan

risiko jatuh, menetapkan proses untuk evaluasi pasien rawat di

pendaftaran awal masuk untuk risiko jatuh, lakukan penilaian

identifikasi faktor risiko, komunikasikan faktor risiko, lakukan

intervensi faktor risiko dan pemantauan terus menerus dan pengkajian

ulang. Pencegahan pasien jatuh yaitu dengan penilaian awal risiko

jatuh, penilaian berkala setiap ada perubahan kondisi pasien, serta

melaksanakan langkah-langkah pencegahan pada pasien berisiko jatuh.

Implementasi di rawat inap berupa proses identifikasi dan penilaian

pasien dengan risiko jatuh serta memberikan tanda identitas khusus

kepada pasien tersebut, misalnya gelang kuning, penanda risiko, serta

informasi tertulis kepada pasien atau keluarga pasien (KARS, 2013).

40

Rumah sakit wajib melakukan penanganan pasien dengan risiko jatuh

yang dimulai dari pengkajian awal saat pasien masuk dan pengkajian

lanjutan lainnya saat pasien dirawat di rumah sakit. Faktor-faktor yang

sangat berkaitan dengan risiko jatuh di rumah sakit adalah pengkajian

yang tidak adekuat, kegagalan komunikasi, kurangnya kepatuhan

terhadap protokol dan praktek keselamatan pasien, orientasi staf yang

tidak memadai, supervisi dan keterampilan serta kepemimpinan yang

kurang efektif (The Joint Commision, 2015).

Menurut Nursing Care Centre National Patient safety Goals (The Joint

Commission, 2015) pada NPSG 09.0.01 tindakan yang dilakukan

perawat dalam pencegahan jatuh adalah: kaji risiko jatuh pasien,

lakukan intervensi risiko jatuh berdasarkan faktor risiko yang sudah

dikaji, edukasi staf dalam program pengurangan risiko jatuh yang telah

ditetapkan organisasi, edukasi pasien atau keluarga jika dibutuhkan

pada setiap tindakan pencegahan risiko jatuh, evaluasi keefektifan dari

semua aktivitas pengurangan risiko jatuh, termasuk pengkajian,

intervensi, dan edukasi.

2.7 Kerangka Konsep

Kerangka konsep adlah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan

antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antar variabel yang satu

dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoadmodjo,

2010).

41

Variabel independen

Variabel Dependen

2.8 Hipotesis Penelitian

Hipotesis adalah jawan sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan

penelitian (Nursalam, 2011). Hipotesis merupakan dugaan sementara yang

mungkin benar dan yang mungkin salah, sehingga dapat dianggap atau

dipandang sebagai kesimpulan yang sifatnya sementara (Notoadmodjo, 2010)

Hipotesis penelitian tersebut adalah :

Adanya hubungan anatara supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan

pencegahan risiko pasien jatuh.

Supervisi :

- Perencanaan mencegah

Risiko Pasien Jatuh

- Pengorganisasian

supaya tidak terjadi

Risiko Pasien Jatuh

- Membimbing dan

Mengarahkan untuk

melakukan pencegahan

Risiko Pasien Jatuh

- Pengawasan dan

Evaluasi terhadap Risiko

Pasien Jatuh

- Pencatatan dan

pelaporan tentang Risiko

Pasien Jatuh

Pencegahan Risiko

Jatuh :

- Asesment

- Edukasi Pasien

atau Keluarga

- Intervensi

- Evaluasi