Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Supervisi
Sebelum menjelaskan lebih jauh tentang supervisi kita ketahui kata supervisi
tersebut. Supervisi berasal dari kata bahasa latin, yaitu ( super = diatas ) dan (
videre = melihat ). Dengan demikian jika ditinjau dari asal kata, supervisi
berarti melihat dari atas. Pengertian supervisi secara umum adalah melakukan
pengamatan secara langsung dan berkala oleh “atasan” terhadap pekerjaan
yang dilakukan “bawahan” untuk kemudian bila ditemukan masalah, segera
diberikan bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya, (Suarli dan
bahtiar, 2009:08)
Supervisi adalah memberikan bantuan, bimbingan/pengajaran, dukungan
pada seseorang untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai kebijakan dan
prosedur, mengembangkan keterampilan baru, pemahaman yang lebih luas
tentang pekerjaannya sehingga dapat melakukannya lebih baik. Supervisi
merupakan proses formal dari belajar dan dukungan profesional yang
memungkinkan perawat praktis untuk mengembangkan pengetahuan, dan
kompetensi, menerima tanggung jawab dan praktiknya dan meningkatkan
perlindungan terhadap pasien dan pelayanan keperawatan yang aman dalam
situasi yang kompleks (Sitorus et all, 2011)
Menurut simamora menjelaskan supervisi adalah suatu aktivitas pengawasan
yang bisa dilakuakan untuk memastikan bahwa suatu proses pekerjaan
dilakukan sesuai dengan yang seharusnya (Simamora, 2012:152)
Knon dan Gray (1987) yang di kutip oleh Agus Kuntoro (2010) mengartikan
supervisi sebagai kegiatan yang merencanakan, mengarahkan, membimbing,
mengajar, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, mempercayai, dan
11
mengevalusi secara berkesinambungan anggota menyeluruh sesuai dengan
kemampuan dan keterbatasan yang dimiliki anggota (Agus Kuntoro,
2010:104)
Swansburg (1990) mendefinisikan supervisi sebagai suatu proses kemudahan
sumber-sumber yang diperlukan untuk penyelesaian suatu tugas (Agus
Kuntoro, 2010:104)
Menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) supervisi adalah memberikan bantuan,
bimbingan/pengajaran, dukungan pada seseorang untuk menyelesaikan
pekerjaannya sesuai kebijakan dan prosedur, mengembangkan keterampilan
baru, pemahaman yang lebih luas tentang pekerjaannya sehingga dapat
melakukannya lebih baik.
Supervisi merupakan proses formal dari belajar dan dukungan profesional
yang memungkinkan perawat praktis untuk mengembangkan pengetahuan,
dan kompetensi, menerima tanggung jawab dalam praktiknya dan
meningkatkan perlindungan terhadap pasien dan pelayanan keperawatan yang
aman dalam situasi yang kompleks.
Bonn dan Holland menggambarkan supervisi klinik adalah memfasilitasi
perawat praktis pada praktik klinik secara teratur untuk mencapai, menopang
dan mengembangkan secara kreatif praktik yang berkualitas tinggi melalui
fokus dukungan dan pengembangan.
Supervisi adalah fungsi memimpin, mengkoordinir, dan mengarahkan
seseorang dalam melakukan tugasnya untuk mencapai tujuan (Rocchiccioli &
Tilbuny, 1998)
2.1.1. Tujuan Supervisi
Supervisi bertujuan mengusahakan lingkungan dan kondisi kerja
seoptimal mungkin termasuk suasana kerja di antara staf, dan
memfasilitasi penyediaan alat-alat yang dibutuhkan baik kuantitas
12
maupun kualitas sehingga memudahkan untuk melaksanakan tugas.
Lingkungan kerja harus diupayakan agar staf merasa bebas untuk
melakukan yang terbaik yang dapat dilakukan staf.
Tujuan supervisi menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) :
a. Mengorientasikan, melatih, membimbing staf sesuai kebutuhan dan
mengarahkan untuk menggunakan kemampuan dan
mengembangkan keterampilan baru.
b. Memfasilitasi staf untuk mengembangkan dirinya.
c. Menolong dan mengarahkan staf untuk meningkatkan minat, sikap
dan kebiasaan yang baik dalam bekerja.
d. Memberikan bimbingan langsung kepada staf dalam melaksanakan
asuhan keperawatan.
e. Mendorong dan meningkatkan perkembangan profesional secara
terus menerus dan menjamin standar asuhan.
Sedangkan menurut Suarli dan Bachtiar tahun (2013) menyebutkan
tujuan supervisi :
a. Menjamin pelaksanaan berbagai kegiatan yang telah direncanakan
secara benar dan tepat, dalam arti lebih efektif dan efesien,
sehingga tujuan yang telah ditetapkan organisasi dapat dicapai
dengan memuaskan.
b. Pemberian bantuan, bimbingan/pengajaran, dukungan pada
seseorang untuk menyelesaikan pekerjaannya sesuai kebijakan dan
prosedur, mengembangkan keterampilan baru.
c. Memastikan bahwa suatu proses pekerjaan dilakukan sesuai dengan
seharusnya.
2.1.2. Manfaat Supervisi
Menurut Achmad Sigit et all (2012) Beberapa manfaat supervisi klinik
bagi staf dan unit pelayanan keperawatan antara lain :
13
a. Menumbuhkan kesadaran pada diri staf perawat untuk secara aktif
berpartisipasi menjaga dan meningkatkan kemampuan klinik dan
layanan keperawatan bagi pasien serta menguatkan peran perawat
untuk mengontrol mutu praktik keperawatan secara mandiri dan
profesional.
b. Perawat lebih banyak meluangkan waktu untuk melakukan refleksi
diri dan menggali kemampuan praktik keperawatannya.
c. Adanya dukungan bagi supervisor dan forum diskusi formal
tentang isu-isu klinik keperawatan dan kedoteran.
d. Meningkatkan kinerja atau sesuai standar yang ditetapkan oleh
organisasi.
e. Meningkatkan atau menguasai kemampuan klinik yang lebih
kompleks.
f. Meningkatkan kepuasan kerja dan kepercayaan diri.
g. Meningkatkan kualitas system komunikasi antar staf.
h. Meningkatkan retensi staf.
i. Memupuk kegiatan staf untuk terus belajar dalam meningkatkan
kammpuan dirinya dengan adanya keinginan untuk tetap bersikap
profesional.
j. Dampak pada kualitas layanan keperawatan dan kesadaran akan
pentingnya menjaga kualitas layanan keperawatan dari tim
keperawatan atau anggota tim.
k. Mengurang biaya administrasi pengembangan profisionalisme
perawat.
Menurut Suarli dan Bahtiar (2009) apabila supervisi dapat
dialakuakan dengan baik, akan diperoleh banyak manfaat. Manfaat
tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Supervisi dapat lebih meningkatkan efektiftas kerja ini erat
hubungannya dengan keterampilan bawahan, serta makin
14
terbinanya hubungan dan suasana kerja yang lebih harmonis antara
atasan dan bawahan.
b. Supervisi dapat lebih meningkatkan efesiensi kerja. Peningkatan
efesiensi kerja ini erat kaitannya dengan makin berkurangnya
keslahan yang dilakukan bawahan, shingga pemakian sumber daya
(tenaga, harta, dan saran) yang sia-sia akan dapat di cegah.
2.1.3. Teknik Supervisi
Menurut Agus Kuntoro (2010) ada 2 teknik melakukan supervisi yaitu
supervisi secara langsung dan tidak langsung :
2.1.3.1 Supervisi cara langsung dilakukan pada kegiatan yang sedang
berlangsung, seorang supervisior dapat terlibat kegiatan
secara langsung agar proses pengarahan dan pemberian
petunjuk tidak sebagai suatau “perintah”. Pada kondisi ini,
umpan balik dan perbaikan dapat sekaligus dilakuakan tanpa
bawahan merasakan sebagai suatu beban. Proses supervisi
langsung, dapat dilakuakan dengan cara perawat pelaksana
melakukan secara mandiri suatu tindakan keperawatan
didampingi supervisor. Selama proses supervisi, supervisor
dapat memberikan dukungan, reinforcement, dan petunjuk,
kemudian supervisor dan perawat pelaksana melakuakan
diskusi untuk menguatkan yang telah sesuai dengan apa yang
direncanakan dan memperbaiki segala sesuatunya yang di
anggap masih kurang. Agar pengarahan, petunjuk, dan
reinforcement efektif maka harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti pengarahan harus lengkap tidak terputus dan
bersifat partial, mudah dipahami, menggunakan kata-kata
yang tepat, menggunakan alur yang logis, dan jangan terlalu
kompleks (Agus Kuntoro, 2010:108)
2.1.3.2 Supervisi dapat dilakukan secara tidak langsung. Cara ini
biasanya dilakukan melalui laporan baik tertulis maupun
15
lisan. Cara tidak langsung ini memungkinkan terjadinya salah
pengertian (misunderstanding) dan salah persepsi
(misperception) karena supervisor tidak terlihat secara
langsung kegiatan-kegiatan yang dilakuakan ( Agus Kuntoro,
2010:109)
2.1.3.3 Teknik pokok supervisi menurut Suarli dan Bahtiar (2009)
pada dasarnya mencakup empat hal yaitu :
a. Menetapkan maslah dan prioritasnya
b. Menetapkan penyebab maslah, prioritas dan jalan
keluarnya
c. Melaksanakan jalan keluar
d. Menilai hasil yang dicapai untuk tidak lanjut
2.1.4. Pelaksanaan Supervisi
Yang bertanggung jawab melaksanakan supervisi adalah atasan yang
memiliki “kelebihan” dalam organisasi, karena fungsi supervisi
memang banyak terdapat pada tugas atasan. Namun, untuk
keberhasilan supervisi, yang lebih diutamakan adalah kelebihan dalam
hal pengetahuan dan keterampilan. Bertitik tolak dari ciri tersebut,
sering dikatakan bahwa keberhasilan supervisi lebih ditentukan oleh
tingkat pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki atasan untuk
pekerjaan yang tidak disupervisi, bukan oleh wewenangnya, (Kholid
Rosyidi, 2013:159).
2.1.5. Sasaran Supervisi
Sasaran atau objek dari supervisi adalah pekerjaan yang dilakuakan
oleh bawahan, serta bawahan yang melakukan pekerjaan. Jika
supervisi mempunyai sasaran berupa pekerjaan yang dilakukan, mka
disebut supervisi langsung, sedangkan jika sasaran berupa bawahan
yang melakukan pekerjaan disebut supervisi tidak langsung. Disini
terlihat jelas bahwa bawahan yang melaksanakan pekerjaan akan
16
disupervisi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kinerja
pekerjaan yang dilakuan bawahan, (Candra Syah Putra, 2014:60).
2.1.6. Frekuensi Supervisi
Supervisi harus dilakukan dengan frekuensi yang berkala. Supervisi
yang dilakukan hanya sekali, bisa dikatakan bukan supervisi yang
baik, karena organisasi/lingkungan selalu berkembang. Oleh sebab itu,
agar organisasi dapat mengikuti berbagai perkembangan dan
perubahan, perlu diberikan berbagai penyesuaian (Suyanto, 2009:88).
2.1.7. Prinsip Supervisi Keperawatan
Menurut Agus Kuntoro (2010) agar seorang manajer keperawatan
mampu melakukan kegiatan supervisi secara benar, ia harus
mengetahui dasar dan prinsip-prinsip supervisi, prinsip itu harus
memenuhi syarat :
a. Hubungan profesional dan bukan hubungan pribadi
b. Kegiatan yang harus direncanakan
c. Bersifat edukatif
d. Memberikan rasa aman pada perawat pelaksana
e. Mampu membuat suasana kerja yang demokratis
Prinsip lain yang harus dipenuhi dalam kegiatan supervisi adalah
harus dilakukan secara objektif dan mampu memacu terjadinya
penilaian diri (self evaluation), bersifat progresif, inovatif, fleksibel,
dan dapat mengembangkan potensi atau kelebihan masing-masing
orang yang terlibat.
2.1.8. Karakteristik Pelaksanaan Supervisi
Karakteristik seseorang yang melakukan supervisi menurut Suarli
(2009) karakteristik yang di maksud adalah :
2.1.8.1 Atasan langsung, dalam pelaksana supervisi adalah atasan
langsung dari yang disupervisi. Atau, apabila hal ini tidak
17
mungkin, dapat ditunjuk staf khusus dengan batas-batas
wewenang dan tanggung jawab yang jelas.
2.1.8.2 Memiliki pengetahuan, dalam pelaksanaan supervisi harus
memiliki pengertahuan dan keterampilan yang cukup untuk
jenis pekerjaan yang akan di supervisi.
2.1.8.3 Mengethui pelaksanaan supervisi, jadi supervisi harus
memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan
supervisi, artinya memahami prinsip-prinsip pokok serta
teknik supervisi.
2.1.8.4 Dalam pelaksanaan supervisi supervisor harus memiliki sifat
mendidik dan mendukung serta memerintah dalam keadaan
tertentu.
2.1.8.5 Pelaksanaan supervisi harus mempunyai waktu yang cukup,
sabar, dan selalu berupaya meningkatkan pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku bawahan yang disupervisi.
Dari teori di atas dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah kegiatan-
kegiatan dan tugas atasan memberikan sumber-sumber yang
dibutuhkan perawat unruk menyelesaikan tugas dalam mencapai
tujuan organisasi.
2.1.9. Peran dan Fungsi Supervisor
Peran dan fungsi supervisor dalam perspektif manajemen klinis,
fungsi vital dalam kerangka kerja asuhan keperawatan pasien dan
perencanaan SDM. Supervisor bertanggung jawab dalam manajemen
sesuai lingkup/area tanggung jawab, karena itu supervisor harus
memiliki pengetahuan, keterampilan dan keinginan untuk mencapai
tujuan sesuai dengan perannya. Supervisor dapat berperan sebagai
mentoring, power perspectif, networking. (Sitorus & Panjaitan,2011)
2.1.9.1 Supervisor sebagai mentor
18
Supervisor sebagai mentor berperan sebagai model peran
yang secara aktif mengajar, melatih, mengembangkan, dan
memberikan bimbingan dan fasilitas untuk peningkatan karir
staf. Proses mentoring dapat formal dan non formal.
Supervisor yang berperan sebagai mentor memiliki
karakteristik khusus yaitu keahlian klinis, pengetahuan,
pengalaman, keinginan untuk mengasuh, dan komitmen
untuk profesinya.
2.1.9.2 Supervisor sebagai pemegang kekuasaan
Kekuasaan adalah kemampuan untuk merubah perilaku
seseorang sesuai perilaku yang diharapkan. Supervisor yang
berhasil, akan menggunakan semua sumber yang dimilikinya
dalam merubah perilaku sifatnya.
Elemen kekuasaan supervisor menurut Stevens (1985) dalam
Rocchiccioli & Tilbuny (1998) adalah :
a. Pengetahuan dan kekuasaan keahlian keperawatan,
manajemen, teknologi, dan kecenderungan dalam praktik
keperawatan.
b. Hubungan kerjasama dengan jaringan informal didalam
ataupun diluar organisasi.
c. Kontrol sumber pengetahuan tentang sumber-sumber dan
kekuasaan.
d. Pengambilan keputusan atau kemampuan pemecahan
masalah dengan wewenang sesuai posisi.
e. Visi dan kepemimpinan, kemampuan untuk
mengidentifikasi, komunikasi dan mencapai tujuan.
Hubungan dalam proses supervisi sangat penting untuk
mencapai hasil perawatan pasien. Supervisi yang baik
membangun hubungan yang kuat, meningkatkan motivasi,
dan meningkatkan komitmen staf terhadap mutu. Jika dalam
19
supervisi hubungan tidak adekuat dapat menimbulkan
kebencian, kurangnya motivasi dan chaos.
2.1.9.3 Supervisor dan Kerjasama
Kerja sama dan membangun kerja sama adalah fungsi
penting dalam supervisi. Membangun hubungan yang positif
dalam merubah lingkungan kerja. Kerja sama dapat dibangun
dengan formal maupun informal. Supervisor yang efektif
mengenal penggunaan yang bermanfaat terhadap pemaksaan,
tujuan, individual, strategi formal sebagai pendekatan dalam
tugas. Mengidentifikasi dan memperkuat kekuatan/kelebihan
staf dapat membantu supervisor untuk mencapai tujuan.
2.1.10. Fungsi Supervisi
Fungsi supervisi menurut Sitorus & Panjaitan (2011) :
2.1.10.1. Perencanaan dan Pengorganisasian
Supervisi mempunyai empat fungsi dalam upaya untuk
mencapai tujuan organisasi. Fungsi tersebut adalah
perencanaan, pengorganisasian, pengawasan dan evaluasi.
Perencanaan merupakan salah satu fungsi dasar dari
manajemen yang merupakan proses untuk mencapai tujuan
dan misi organisasi, falsafah keperawatan, tujuan unit,
sasaran, kebijakan dan prosedur. Supervisor merencanakan
untuk menurunkan lama hari rawat pasien atau
mengembangkan prosedur untuk perawatan pasien.
2.1.10.2. Pengorganisasian
Proses supervisi menunjukkan koordinasi terhadap sumber-
sumber untuk mencapai tujuan secara efektif dan efesien.
Supervisor harus dapat menguasai/memahami fungsi
pengorganisasian untuk merestruksasikan dan
20
mereformulasikan antara perubahan manusia dan sumber-
sumber material pada waktu yang pendek.
2.1.10.3. Pengawasan dan Evaluasi
Supervisi bertanggung jawab mengawasi lingkungan dan
mengatur dari proses kerja. Fungsi pengawasan meliputi
perhatian terhadap system alur kerja, sistem informasi,
model pemberian asuhan pasien, liburan pasien, upah staf,
dan promosi. Evaluasi membantu untuk menentukan hasil
pengawasan dan biasnya prosedur dan pedoman digunakan
untuk mengkaji hasil kerja dalam mendapatkan informasi
tentang tujuan kerja, kegiatan, hasil, dampak dan biaya.
Proses supervisi menggunakan prosedur sistematik untuk
mengevaluasi kinerja secara periodik.
2.1.10.4. Pengawasan dan evaluasi terhadap standar organisasi
Standar menggambarkan harapan terhadap ukuran
prnampilan/kinerja dalam wilayah yang spesifik. Standar
menunjukkan nilai-nilai organisasi, dimana nilai-nilai dan
standar tersebut merupakan pedoman dari struktur
organisasi, praktik keperawatan, sistem keperawatan dan
pengembangan SDM keperawatan. Menurut Stevens
(1985), standar pengawasan mutu asuhan keperawatan
terdiri dari standar struktur, proses dan outcome, standar
dpat berupa internal eksternal. Standar digunakan untuk
merencanakan dan mengevaluasi proses kerja dalam
mencapai hasil yang tepat. Standar dapat di ukur melalui
kriteria dan norma-norma. Standar bukan instrument
evaluasi tetapi ukuran menilai kualitas pelayanan yang
diberikan. Karena itu supevisor dan pemimpin yang
bertanggung jawab terhadap sistem pemberian asuhan
keperawatan harus mengetahui bahwa standar adalah
21
penting untuk keperawatan dan disiplin kesehatan lain.
Standar eksternal berasal dari berbagai sumber yaitu
pemerintah, akreditasi, organisasi profesi, departemen, unit
dan perawatan individu. Standar sebagai dasar untuk
mengukur, jadi harus objektif, dapat dicapai, dapat
dilaksanakan dan fleksibel. Standar memerlukan perhatian
supervisi melalui pendidikan, supervisor memonitor
pelaksanaan standar dan mengidentifikasi kekuatan dan
kelemahan dari standar. Jika ada hal-hal yang tidak dapat
dilaksanakan, organisasi keperawatan dapat membuat
perencanaan untuk tindakan koreksi. Supervisor dan staf
pada semua tingkat harus menerima tanggung jawab untuk
melaksanakan standar profesional dan standar akreditasi.
Standar internal, yaitu pelayanan keperawatan
dikembangkan oleh pemimpin perawat, manajer, dan staf
dan organisasi. Standar dapat berupa standsr ketenagaan
dalam organisasi atau kebijakan departemen, prosedur-
prosedur keperawatan, dan struktur organisasi. Kriteria
untuk menentukan bahwa standar internal telah dicapai
dikembangkan oelh organisasi.
2.1.11. Kegiatan Supervisor
2.1.11.1. Perencanaan mencegah Risiko Pasien Jatuh
a. Membuat tujuan unit mengacu pada visi dan misi
keperawatan untuk merencanakan tindakan risiko pasien
jatuh
b. Memebuat standar ketenagaan diruangan untuk pasien
risiko jatuh
c. Memmbuat rencana pengembangan staf untuk risiko
pasien jatuh
d. Menyusun SOP dan SAK untuk risiko pasien jatuh
22
e. Menetapkan lama hari rawat di unit yang disupervisi
untuk pasien risiko jatuh
f. Membuat jadwal kerja sesuai are dan personil yang di
supervisi untuk risiko pasien jatuh
g. Membuat standar evaluasi kinerja staf/personil yang
disupervisi terhadap tindakan untuk pasien risiko jatuh
2.1.11.2. Pengorganisasian supaya tidak terjadi Risiko Pasien jatuh
a. Menetapkan sistem pemberian asuhan keperawatan
pasien risiko jatuh
b. Mengatur pekerjaan personil untuk pasien risiko jatuh
c. Koordinasi sumber-sumber untuk mencapai tujuan
pelayanan secara efektif dan efesien terhadap tindakan
pasien risiko jatuh
2.1.11.3. Membimbing dan mengarahkan untuk melakukan
pencegahan Risiko Pasien Jatuh
a. Menjadi role model dalam memberika asuhan
keperawatan kepada pasien dan keluarga tentang risiko
pasien jatuh
b. Membangun hubungan yang positif dengan staf melalui
komunikasi yang efektif
c. Mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan staf setelah
melakukan tindakan pencegahan risiko pasien jatuh
d. Mengajar/membimbing, mengarahkan, melatih,
mengembangkan staf untuk memberikan askep sesuai
kebutuhan risiko pasien jatuh
e. Memberi bimbingan untuk meningkatkan keterampilan
staf untuk melakukan pencegahan risiko pasien jatuh
f. Melatih staf untuk pengambilan keputusan klinis
g. Membantu staf dalam memecahkan masalah
h. Memfasilitasi staf dalam menyelesaikan pekerjaan
23
i. Mendelegasikan tugas kepada staf sesuai kemampuan
yang dimiliki
j. Memberikan bantuan atau hal-hal lain terkait dengan
pelayanan sesuai kebutuhan risiko pasien jatuh
2.1.11.4. Pengawasan dan evaluasi terhadap Risiko Pasien Jatuh
a. Mengontrol jadwal kerja dan kehadiran staf
b. Menganalisa keseimbangan staf dan pekerjaan
c. Mengontrol tersedianya fasilitas/peralatan/sarana untuk
hari ini
d. Mengontrol lingkungan area supervisi
e. Mengidentifikasi kendala/masalah yang muncul
f. Mengontrol dan mengevaluasi pekerjaan staf dan
kemajuan staf dalam melaksanakan pekerjaan
g. Mengawasi dan evaluasi kualitas asuhan keperawatan
pasien
2.1.11.5. Pencatatan dan pelaporan tentang Risiko Pasien Jatuh
a. Mencatat permasalahan yang muncul
b. Membuat daftar masalah yang belum dapat diatasi dan
berusaha untuk menyelesaikan pada keesokan harinya
c. Mencatat dan melaporkan fasilitas/alat/sarana sesuai
kondisi
d. Mencatat dan melaporkan secara rutin proses dan hasil
supervisi
e. Mengevaluasi tugas dupervisi yang dilakukan setiap hari
dan melakukan tindak lanjut ssuai kebutuhan
f. Membuat jadwal kerja untuk keesokan harinya
g. Memelihara administrasi keperawatan pasien
2.1.12. Supervisor Keperawatan
Supervisi keperawatan dilaksanakan oleh personil atau bagian yang
bertanggung jawab (Suyanto, 2009:88) antara lain :
24
2.1.12.1. Kepala ruangan bertanggung jawab melakukan supervisi
pelayanan keperawatan yang diberikan pada klien diruang
perawatan yang dipimpinnya.
2.1.12.2. Pengawas perawatan (Supervisor), ruang perawatan dan unit
pelaksana fungsional (UPF) mempunyai pengawas yang
bertanggung jawab mengawasi jalannya pelayanan
keperawatan.
2.1.12.3. Kepala bidang keperawatan sebagai top manajer dalam
keperawatan, kepala bidang keperawatan bertanggung
jawab untuk melakukan supervisi.
2.2 Hubungan Supervisi Kepela Ruangan dengan Penerapan Keselamatan
Pasien
Supervisi merupakan dari fungsi pengarahan yang bertujuan untuk
mempertahankan agar segala kegiatan yang telah terprogram dapat
dilaksanakan dengan baik dan lancar sehingga dapat meningkatkan mutu
pelayanan keperawatan yang salah satu indikatornya keselamatan pasien
(Suarli dan Bahtiar, 2014; Direktor Bina Pelayanan Keperawatan, 2008).
Supervisi yang maksimal akan membuat perawat pelaksana melakukan
penerapan patient safety dengan baik (Rumampuk et al, 2013).
Supervisi yang berkesinambungan dapat meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan perawat sehingga dapat berdampak pada peningkatan mutu
pelayanan keperawatan (Zakiyah, 2012). Tujuan supervisi merupakan
peningkatan pelayanan pada pasien dengan berfokus pada kebutuhan,
keterampilan, dan kemampuan perawat dalam menjalankan tugasnya. Kepela
ruangan merupakan first level manager yang bertanggung jawab melakukan
supervisi pelayanan keperawatan yang diberikan pada pasien di ruang
perawatan yang dipimpinnya. Kepala ruangan mengawasi perawat pelaksana
dalam memberikan asuhan keperawatan baik secara langsung maupun tidak
langsung (Suyanto, 2009).
25
Permatasari (2012), menjelaskan bahwa supervisi mempunyai hubungan
dalam pelaksanaan Nine Life Saving Solutions dari WHO dalam upaya
keselamatan pasien. Rumampuk et al, (2013), menemukan bahwa ada
hubungan peran kepala ruangan melakukan supervisi pada perawat pelaksana
dengan penerapan keselamatan pasien yang meliputi prosedur identifikasi
pasien baik (95,2%), prosedur pemberian injeksi baik (100%), dan prosedur
mencuci tangan baik (100%).
Semakin baik supervisor melakukan supervisi meliputi pengawasan,
meningkatkan keterampilan dan mutu pelayanan asuhan keperawatan maka
keselamatan pasien makin terjaga sehingga risiko pasien jatuh dapat diatasai.
2.3 Kepala Ruangan
Kepala ruangan merupakan seorang tenaga perawat profesional yang
bertanggung jawab dan berwenang dalam mengelola kegiatan pelayanan
keperawatan disuatu ruangan (Tampilang et all,2013)
2.3.1. Tanggung Jawab
2.3.1.1. Secara administratif dan fungsional bertanggung jawab kepala
bidang keperawatan melalui kepala seksi perawatan
2.3.1.2. Secara teknis medis operasioanl bertanggung jawab kepada
dokter yang berwenang/kepala unit pelaksana fungsional
2.3.2. Tugas Pokok
Mengawasi dan mengendalikan kegiatan pelayanan keperawatan
diruang rawat yang berwenang/kepela unit pelaksana fungsional untuk
melakukan pengawasan terhadap risiko pasien jatuh.
2.3.3. Kepala Ruangan Sebagai Pemimpin yang Efektif
Pemimpin yang efektif menurut Sitorus dan Panjaitan (2011) adalah
seseorang yang sukses mempengaruhi orang lain untuk bekerjasama
26
secara produktif dan dalam kondisi yang menyenangkan. Komponen
yang efektif meliputi :
2.3.3.1. Mempunyai pengetahuan yang baik tentang kepemimpinan
dan menguasai bidang kepakarannya
2.3.3.2. Mempunyai kesadaran diri yang baik dan dengan memahami
dirinya, dia dapat memahami orang lain
2.3.3.3. Berkomunikasi secara jelas dan efektif
2.3.3.4. Bersemangat melakukan aktivitas pada area tanggung
jawabnya
2.3.3.5. Menetapkan tujuan yang jelas diketahui oleh stafnya
2.3.3.6. Melakukan dengan konkrit (action)
Semua komponen ini disimpulkan sebagai konsep dasar
komponen kepemimpinan yang efektif yaitu :
a. Pengetahuan
Pemimpin memehami tentang kepemimpinan antara lain
pengertian, gaya kepemimpinan, bagaimana menjadi
pemimpin yang efektif dan pengetahuan tentang bidang
kepakarannya. Pemimpin cenderung menjadi tempat
bertanya bagi orang lain. Pengetahuan yang baik ini juga
menjadi modal utama dalam mempengaruhi orang lain
karena dia mampu menghasilkan ide-ide baru. Disamping
itu, seseorang pemimpin juga kritis dan tidak menyenangi
kegiatan rutin.
b. Kesadaran diri
Pemimpin mempunyai kesdaran diri yang baik. Dia
menyadari kelebihannya tetapi juga kelemahannya, dia
menjadi fleksibel, lebih mandiri dan tidak tergantung pada
orang lain. Kesadaran diri ini penting karena seseorang
menyukai dirinya, orang tersebut akan lebih disukai orang
lain. Kalau seorang merasa dirinya sebagai seorang
pemimpin, dia akan cenderunhg menjadi pemimpin.
27
c. Komunikasi
Untuk menjadi pemimpin yang efektif, seseorang harus
menjadi pendengar yang baik. Berkomunikasi yang jelas
dengan orang lain dapat mencegah salah persepsi.
Pemimpin juga memberikan umpan balik kepada orang
lain/staf tanpa menyalahkannya. Pemimpin juga akan
menerima umpan balik tentang dirinya dengan baik. Salah
satu pengaruh yang besar dari pemimpin iyalah saat
mengkomunikasikan visinya tentang kelompok/ruangan.
d. Bersemangat
Pemimpin yang bersemangat dapat meningkatkanh
efektifitas pekerjaan. Saat berinteraksi, semangat
pemimpin kepala ruangan dapat menular kepada stafnya.
Oleh karena itu, pemimpin harus bersemangat dengan
menjaga kesehatan, relaks dan cukup istirahat.
e. Tujuan/sasaran
Pemimpin akan menetapkan tujuan sejalan dan dapat
diterima kelompok. Oleh karena itu, pemimpin akan
mencari masukan dari stafnya dalam menetapkan tujuan
yang ingin dicapai.
f. Melakukan secara konkrit (action)
Pemimpin tidak hanya berangan-angan tetapi melakukan
secara konkrit pemimpin mempunyai ide-ide dan tidak
menunggu intruksi. Pemimpin akan mengarahkan orang
lain, memberdayakan orang lain dan berani bertanggung
jawab.
Depree dalam Dienamann (1998) dikutip oleh Agus Kuntoro
(2010) mengatakan bahwa kepemimpinan lebih pada ide-ide
daripada teknik-teknik. Seni kepemimpinan adalah memberi
kebebasan kepada orang lain melakukan sesuatu untuk
28
menyelesaikan masalah mereka secera efektif dan manusiawi.
Sebagai suatu tidak ada formula khusu untuk membuat
seseorang menjadi pemimpin. Melalui hal-hal berikuit ini
pemimpin (kepala ruangan) dapat meraih kepercayaan dan
pengaruh dari bawahannya.
a. Memimpin melalui contoh peran (role model)
Kepala ruangan akan menjadi contoh peran bagi
bawahannya. Artinya kepala ruangan perlu melakukan
sesuatu, agar ditiru oleh bawahannya antara lain datang
tepat waktu, berbicara sopan, membuat perencanaan dan
mampu melakukan tindakan keperawatan bila diperlukan.
b. Mempertahankan integritas diri
Melakukan hal-hal yang benar dan jujur akan
meningkatkan integritas kepala ruangan sebagai
pemimpin.
c. Melakukan sesuatu dengan suatu tujuan
Untuk menjadi pemimpin lakukan sesuatu dengan tekun
dan bertanggung jawab. Seorang kepala ruangan tentu
bertujuan agar asuhan keperawatan diruangannya bermutu
tinggi, pasien dan keluarga puas.
d. Berada di tempat
Sebagai kepela ruangan mayoritas waktunya diharapkan
ada diruangan bukan ditempat lain. Pemimpin yang efektif
melihat dan mendngarkan bawahannya sehingga dapat
mempengaruhi mereka.
e. Menumbuhkan hubungan interpersonal
Pemimpin menghargai dan menikmati kerjasama dengan
orang lain. Pemimpin memahami kelebihan dan
kekurangan bawahannya. Kepala ruangan sebagai
pemimpin akan memanfaatkan kelebihan bawahannya
29
secara optimal dan tidak berfokus pada kelemahan atau
kekurangan bawahannya.
2.4 Keselamatan Pasien
Keselamatan adalah pasien bebas dari cedera yang seharusnya tidak terjadi
atau bebas dari cedera yang potensial terjadi akibat pelayanan kesehatan.
Keselamatan pasien merupakan prioritas yang utaman dalam pelayanan
kesehatan dan pelayanan keperawatan sekaligus aspek paling penting dari
manajemen yang berkualitas. Sasaran keselamatan pasien merupakan syarat
untuk di terapkan di semua rumah sakit yang di akreditasi oleh Komisi
Akreditasi Rumah Sakit ( KARS ). Maksud dari sasaran keselamatan pasien
adalah melaksanakan secara spesifik terkait keselamatan pasien.
Implementasi tiap-tiap sasaran harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan rumah sakit sehingga memberikan solusi nyata dalam mewujudkan
pelayanan kesehatan yang aman bagi pasien ( KARS 2012, Sri Hananto
Ponco Nugroho, Untung Sujianto 2017 ).
2.4.1 Tujuan Sistem Keselamatan Pasien
Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit antara lain:
a. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit
b. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan
masyarakat.
c. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD)
d. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi
pengulangan KTD
Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien ini, setiap rumah
sakit wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien melalui upaya-
upaya sebagai berikut :
a. Akselerasi program infeksion control prevention (ICP)
b. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah
menuju keselamatan pasien rumah sakit. Dan di evaluasi melalui
akreditasi rumah sakit
30
c. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety).
d. Dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.
e. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya
wrong person, wrong site, wrong prosedure (Draft SPM RS:100%
tidak terjadi kesalahan orang, tempat, dan prosedur di kamar operasi)
f. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.
g. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite
keselamatan rumah.
2.4.2 Manfaat Program Keselamatan Pasien
Program keselamatan pasien ini memberikan berbagai manfaat bagi
rumah sakit antara lain:
a. Adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di
bidang industri lain seperti halnya menjadi persyaratan dalam
berbagai proses transaksi, sehingga suatu produk menjadi semakin
laris dan dicari masyarakat.
b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih
mendominasi pasar jasa bagi Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-
asuransi dan menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai provider
kesehatan karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh
masyarakat untuk mencari Rumah Sakit yang aman.
c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan
keselamatan pasien.
2.5 Risiko Jatuh
Jatuh adalah suatu peristiwa di mana seseorang mengalami jatuh denganatau
tanpa disaksikan oleh orang lain, tidak disengaja/tidak direncanakan, dengan
arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpa mencederai dirinya (Stanley, 2010).
Penyebab jatuh dapat meliputi faktor fisiologis (pingsan) atau lingkungan
(lantai yang licin). Risiko jatuh adalah pasien yang berisiko untuk jatuh yang
umumnya disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor fisiologis yang dapat
berakibat cidera.
31
Risiko jatuh adalah peningkatan kerentanan terhadap jatuh yang dapat
menyebabkan bahaya fisik (Wilkinson, 2011). Berdasarkan dari pengertian
tersebut maka risiko jatuh adalah kejadian yang kurang menyenangkan atau
merugikan atau membahayakan yang mengakibatkan pasien menjadi turun
atau meluncur ketempat yang lebih rendah yang disebabkan oleh faktor
ekstrinsik (lingkungan) dan faktor intrinsik (fisiologi) sehingga dapat
menyebabkan bahaya fisik ataucedera dan gangguan kesadaran.
3.7.1 Faktor-faktor risiko jatuh
Faktor-faktor risiko jatuh dibagi menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik atau faktor fisiologis terdiri dari
riwayat jatuh, fungsi kognitif, usia atau jenis kelamin, mobilitas atau
pergerakan, eliminasi, dan obat-obatan. Faktor ekstrinsik atau faktor
lingkungan terdiri dari staffing, lantai yang licin, pencahayaan yang
redup, penghalang tempat tidur, dan pengaturan ruangan (National
Database of Nursing Quality Indicators, 2011).
a. Faktor Intrinsik
Faktor intrinsik adalah faktor yang berasal dari diri individu itu
sendri (host). Faktor intrinsik yang dapat mengakibatkan risiko jatuh
seperti usia diatas 65 tahun dan usia dibawah 2 tahun, keadaan
fisiologi (anemia, artritis, penurunan kekuatan ekstremitas bawah,
diare, masalah pada kaki, gangguan pada sikap tubuh, gangguan
pendengaran, gangguan keseimbangan, hambatan mobilitas fisik,
neoplasma, neuropati, hipotensi ortostatik, kondisi pascabedah,
perubahan gula darah postprandial, penyakit akut, defisit
propriosepsi, gangguan tidur, urgensi atau inkontinensia, penyakit
vaskular, dan gangguan penglihatan), kognitif (perubahan status
mental misalnya: konfusi, delirium, demensia dan gangguan
realitas), medikasi (agens antiansietas, antihipertensi, diuretik,
hipnotik dan antidepresan) (Wilkinson, 2011).
32
b. Faktor Ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor lingkungan dan memiliki risiko
terhadap kejadian jatuh sebesar 31% (Shobha 2008, dalam Maryam,
2009). Lingkungan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
keseimbangan dan berkontraksi pada risiko jatuh, kejadian jatuh
didalam ruangan lebih sering terjadi dikamar tidur dan toilet.
Lingkungan yang tidak aman dapat dilihat pada lingkungan luar
rumah, ruang tamu, kamar tidur, toilet, dan tangga atau lorong.
Faktor lain adalah supervisi kepala ruangan (Oliver 2010, dalam
Budiono 2013).
Menurut Oliver (2010) faktor supervisi kepala ruangan dengan
memberikan pengawasan, bimbingan dan pengoranisasian juga
berpengaruh terhadap pelaksanaan risiko pasien jatuh. Kalau
pengawasan, bimbingan serta pengorganisasian tidak di lakukan oleh
supervisi kepala ruangan maka kinerja perawat tidak akan maksimal
untuk memberikan pelayanan keperawatan kepada pasien dengan
risiko jatuh.
Lingkungan yang tidak aman pada area luar seperti kondisi lantai
yang retak, jalan depan rumah sempit, pencahayaan yang kurang,
kondisi teras atau halaman, bahaya lingkungan pada area ruang tamu
adalah kurangnya pencahayaan, area yang sempit untuk berjalan,
kaki kursi yang miring dan tinggi kursi yang tidak sesuai dengan
tinggi kaki dan sandaran lengan pada kursi tidak kuat. Kamar tidur
berbahaya dapat dilihat dari kondisi lantai, tinggi tempat tidur, seprai
yang tergerai dilantai, penempatan barang dan perabotan yang
mudah dijangkau, pencahayaan yang redup, dan luas area kamar
untuk berjalan. Kamar mandi dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan atau risiko jatuh diantaranya pencahayaan kurang,
kondisi lantai licin, posisi bak dan toilet tidak aman, dan peletakkan
33
alat mandi yang tidak mudah dijangkau oleh lansia. Lingkungan area
tangga dan lorong dapat dilihat dari kondisi lantai, pencahayaan,
peganggan, lis tangga, dan lebar tangga (Barnet, 2008).
2.6 Pencegahan Risiko Jatuh
Pelaksanaan pencegahan risiko jatuh adalah serangkaian tindakan yang
merupakan acuan dalam penerapan langkah-langkah untuk mempertahankan
keselamatan pasien yang berisiko jatuh (Wilkinson, 2011). Manajemen risiko
pasien jatuh dapat dilaksanakan sejak pasien mendaftar di rumah sakit hingga
pasien pulang (Budiono,2013).
2.6.1 Pelaksanaan Pencegahan Risiko Jatuh
Pencegahan menurut Potter & Perry (2013)
a. Asesment
Pengkajian awal dan harian individu untuk risiko jatuh sangat
penting untuk identifikasi klien yang berisiko jatuh. Faktor risiko
yang harus dikaji untuk mengetahui pasien berisiko jatuh atau tidak
adalah : faktor risiko intrinsik (karakteristik pasien dan fungsi fisik
umum, diagnosis dan perubahan fisik, medisasi dan interaksi obat)
dan faktor ekstinsik atau faktor lingkungan (tingkat pencahayaan,
permukaan lantai, furnitur, ketinggian tempat tidur, call bel,
penggunaan alat bantu dan lama hari rawat.
Menurut Nursalam (2011) pasien dikatagorikan berisiko jatuh
apabila mempunyai satu atau lebih faktor berisiko jatuh pada saat
pengkajian :
1. Humpty dumpty fall scale (HDFS) yaitu skala jatuh yang
digunakan untuk anak-anak
Parameter Kriteria Nilai Skor
Usia < 3 Tahun 4
34
3-7 tahun 3
7-13 tahun 2
≥ 13 tahun 1
Jenis kelamin Laki-laki 2
Perempuan 1
Diagnosis Diagnosis neurologi 4
Perubahan oksigenasi (diagnosis
respiratorik, dihedrasi, anemia,
anoreksia, sinkop, pusing, dll.
3
Gangguan perilaku/psikiatri 2
Diagnosis lainnya 1
Gangguan
kognitif
Tidak menyadari keterbatasan lainnya 3
Lupa akan adanya keterbatasan 2
Orientasi baik terhadap diri sendiri 1
Faktor
lingkungan
Riwayat jatuh/bayi diletakkan di
tempat tidur dewasa
4
Pasien menggunakan alat bantu/bayi
diletakan dalam tempat tidur
bayi/perabot rumah
3
Pasien diletakkan pada tempat tidur 2
Area diluar rumah sakit 1
Pembedahan/
sedasi/anaste
si
Dalam 24 jam 3
Dalam 48 jam 2
> 48 jam dan tidak mengalami
pembedahan/sedasi/anastesi
1
Penggunaan
medika
mentosa
Penggunaan multiple sedative, obat
hypnosis, barbiturate, fenotiazi,
antidepresan, pencahar, diuretic,
narkose.
3
Penggunaan obat salah satu diatas 2
35
Berdasarkan nilai dari table diatas nanti kita akan dapat
mengklasifikasikan sehingga kita dapat menentukan tingkat risiko
jatuh dari pasien yang kita nilai :
Skor 7-11 risiko rendah
Skor ≥ 12 risiko tinggi
a. Tindakan Risiko Rendah
Edukasi adalah menjelaskan tentang risiko jatuh yang di
miliki oleh pasien kepada keluarganya.
b. Tindakan Risiko Tinggi
Pemasanagn gelang warna kuning dan edukasi.
2. More fall scale (MFS) yaitu skala jatuh yang digunakan untuk
orang dewasa
No Pengkajian Skala Nilai Ket
1 Riwayat jatuh : apakah lansia
pernah jatuh dalam 3 bulan
terakhir
Tidak 0
Ya 25
2 Diagnosa sekunder : apakah
lansia memiliki lebih dari satu
penyakit
Tidak 0
Ya 15
3 Alat bantu jalan :
Bedrest/dibantu perawat
0
Kruk / tongkat / walker 15
Berpegangan pada benda-
benda sekitar. (kursi, lemari,
meja)
30
Penggunaan medikasi lainnya/tidak
ada medikasi.
1
Jumlah skor Humpty Dumpty
36
4 Teraphy intravena : apakah
saat ini lansia terpasang infus
Tidak 0
Ya 20
5 Gaya berjalan / cara berpindah
: normal / bedrest immobile
(tidak dapat bergerak sendiri
0
Lemah tidak bertenaga 10
Gangguan atau tidak normal
(pincang atau diseret)
20
6 Status mental :
Lansia menyadari kondisi
dirinya
0
Lansia mengalami
Keterbatasan daya ingat
15
Total nilai
Berdasarkan nilai dari tabel diatas nanti kita akan dapat
mengklasifikasikan tingkat risiko jatuh dari pasien yang kita nilai.
Skor 0-24 tidak berisiko
Skor 25-50 risiko rendah
Skor ≥ 51 risiko tinggi
b. Edukasi Pasien atau Keluarga
Pelaksanaan manajemen risiko jatuh pasien juga melibatkan keluarga
atau pendamping pasien, mengajak keluarga untuk terlibat dan
berperan aktif dalam pelaksanaan manajemen risiko jatuh pasien.
Perawat juga dapat memberitahu risiko jatuh pada saat masuk rumah
sakit, jelaskan program pencegahan dan didik keluarga dalam
mengenal dan memahami komunikasi visual risiko jatuh,
komukasikan bagaimana pasien dan anggota keluarga dapat
membantu dalam mencegah risiko jatuh.
37
c. Intervensi
- Mengorientasikan pasien dengan lingkungan sekitar, termasuk
lokasi kamar mandi, penggunaan alarm panggilan.
- Menjaga tempat tidur dalam posisi terendah selama penggunaan
kecuali tidak praktis (ketika melakukan prosedur pada pasien).
- Memasang dua sisi pengaman tempat tidur pasien.
- Kunci roda tempat tidur, tandu, & kursi roda.
- Menghindari hambatan akses menuju ke toilet.
- Tempatkan alarm panggilan dan benda yang sering dibutuhkan
pasien ke tempat yg dapat di jangkau pasien.
- Respon segera jika terdengar alarm panggilan.
- Ajarkan pasien atau keluarga untuk meminta bantuan yang
diperlukan.
- Gunakan alas kaki non slip.
d. Evaluasi
Semua pasien yang dirawat perlu dipantau dan dinilai secara rutin
dan berkala. Pengkajian ulang oleh perawat merupakan salah satu
strategi yang dapat menentukan kebutuhan lanjutan, pasien harus
tetap selalu dipantau untuk mengetahui perubahan, pemantauan ini
tidak hanya dilakukan pada pasien risiko jatuh tinggi namun kepada
semua pasien risiko jatuh. Pengkajian ulang untuk mengetahui
perubahan status klinis pasien yang mempengaruhi risiko jatuh
pasien. Jika faktor risiko telah berubah dari pengkajian sebelumnya
maka intervensi harus diubah mengikuti faktor-faktor risiko baru.
Dalam Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun 2011, Standar
Akreditasi Rumah Sakit edisi satu, ada pun sasaran risiko jatuh adalah
sebagai berikut:
a. Standar rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk mengurangi risiko
membahayakan pasien akibat dari cedera jatuh.
38
b. Tujuan menilai dan menilai kembali risiko secara berkala setiap pasien
untuk jatuh, termasuk potensi risiko yang terkait dengan pengobatan
pasien, dan mengambil tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan
risiko yang teridentifikasi.
c. Elemen yang dapat diukur :
1. Rumah sakit menerapkan suatu proses untuk penilaian awal pasien
untuk risiko jatuh dan penilaian ulang pasien ketika ditunjukkan oleh
perubahan dalam kondisi atau pengobatan,atau yang lain.
2. Langkah-langkah diterapkan mengurangi risiko jatuh bagi mereka yang
pada pengkajian dianggap berisiko jatuh.
3. Langkah tersebut dipantau untuk melihat hasil tindakan, baik
kesuksesan pengurangan cedera jatuh dan apapun yang terkait
konsekuensi yang tidak diinginkan.
4. Kebijakan dan atau prosedur terus mendukung pengurangan risiko
membahayakan pasien akibat jatuh diorganisasi (WHO Patient safety,
2008) dalam Komite Keselamatan Pasien (RSPERSI/KKPRS PERSI
2013).
Menurut Sutoto dalam KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit, 2013)
contoh langkah pencegahan pasien jatuh adalah: anjurkan pasien untuk
meminta bantuan yang diperlukan, anjurkan pasien untuk memakai alas
kaki yang anti slip, pastikan bahwa jalur ke toilet bebas dari hambatan
dan terang, pastikan lorong bebas hambatan, tempatkan alat bantu
seperti tongkat/walker dalam jangkauan pasien, pasang penghalang
tempat tidur, evaluasi posisi tempat tidur, amati lingkungan yang
dianggap berpotensi tidak aman dan segera laporkan, jangan biarkan
pasien yang berisiko jatuh tanpa pengawasan, saat pasien dibawa
menggunakan brandcard/tempat tidur posisi bedside dalam keadaan
terpasang, informasikan dan didik pasien serta keluarga mengenai
perawatan untuk mencegah terjadinya risiko jatuh. Intervensi yang tepat
39
sangat dibutuhkan dalam pencegahan pasien jatuh dirumah sakit
(Setiowati, 2008).
Joint Commision Internasional (JCI) dalam Sentinel Even Alert,
Preventing falls and fall-related injuries in health care facilities tahun
(2015) menyarankan pencegahan risiko jatuh sebagai berikut:
memimpin upaya untuk meningkatkan kesadaran akan perlunya
pencegahan risiko jatuh yang mengakibatkan cedera, menetapkan
cedera jatuh interdisiplin, gunakan standar alat yang sudah divaliditas
untuk mengidentifikasi faktor risiko jatuh mengembangkan rencana
individual perawatan pada pasien risiko jatuh dan risiko cedera dan
menetapkan intervensi khusus untuk pasien, standarisasi dan
menerapkan praktik dan intervensi yang terbukti efektif, melakukan
manajemen jatuh.
Menurut Institute for Clinical System Improvement (ICSI) tahun (2008)
Adapun intervensi pencegahan risiko jatuh di rawat inap adalah sebagai
berikut : Mendapatkan dukungan organisasi untuk program pencegahan
risiko jatuh, menetapkan proses untuk evaluasi pasien rawat di
pendaftaran awal masuk untuk risiko jatuh, lakukan penilaian
identifikasi faktor risiko, komunikasikan faktor risiko, lakukan
intervensi faktor risiko dan pemantauan terus menerus dan pengkajian
ulang. Pencegahan pasien jatuh yaitu dengan penilaian awal risiko
jatuh, penilaian berkala setiap ada perubahan kondisi pasien, serta
melaksanakan langkah-langkah pencegahan pada pasien berisiko jatuh.
Implementasi di rawat inap berupa proses identifikasi dan penilaian
pasien dengan risiko jatuh serta memberikan tanda identitas khusus
kepada pasien tersebut, misalnya gelang kuning, penanda risiko, serta
informasi tertulis kepada pasien atau keluarga pasien (KARS, 2013).
40
Rumah sakit wajib melakukan penanganan pasien dengan risiko jatuh
yang dimulai dari pengkajian awal saat pasien masuk dan pengkajian
lanjutan lainnya saat pasien dirawat di rumah sakit. Faktor-faktor yang
sangat berkaitan dengan risiko jatuh di rumah sakit adalah pengkajian
yang tidak adekuat, kegagalan komunikasi, kurangnya kepatuhan
terhadap protokol dan praktek keselamatan pasien, orientasi staf yang
tidak memadai, supervisi dan keterampilan serta kepemimpinan yang
kurang efektif (The Joint Commision, 2015).
Menurut Nursing Care Centre National Patient safety Goals (The Joint
Commission, 2015) pada NPSG 09.0.01 tindakan yang dilakukan
perawat dalam pencegahan jatuh adalah: kaji risiko jatuh pasien,
lakukan intervensi risiko jatuh berdasarkan faktor risiko yang sudah
dikaji, edukasi staf dalam program pengurangan risiko jatuh yang telah
ditetapkan organisasi, edukasi pasien atau keluarga jika dibutuhkan
pada setiap tindakan pencegahan risiko jatuh, evaluasi keefektifan dari
semua aktivitas pengurangan risiko jatuh, termasuk pengkajian,
intervensi, dan edukasi.
2.7 Kerangka Konsep
Kerangka konsep adlah suatu uraian dan visualisasi hubungan atau kaitan
antara konsep satu terhadap konsep lainnya, atau antar variabel yang satu
dengan variabel yang lain dari masalah yang ingin diteliti (Notoadmodjo,
2010).
41
Variabel independen
Variabel Dependen
2.8 Hipotesis Penelitian
Hipotesis adalah jawan sementara dari rumusan masalah atau pertanyaan
penelitian (Nursalam, 2011). Hipotesis merupakan dugaan sementara yang
mungkin benar dan yang mungkin salah, sehingga dapat dianggap atau
dipandang sebagai kesimpulan yang sifatnya sementara (Notoadmodjo, 2010)
Hipotesis penelitian tersebut adalah :
Adanya hubungan anatara supervisi kepala ruangan dengan pelaksanaan
pencegahan risiko pasien jatuh.
Supervisi :
- Perencanaan mencegah
Risiko Pasien Jatuh
- Pengorganisasian
supaya tidak terjadi
Risiko Pasien Jatuh
- Membimbing dan
Mengarahkan untuk
melakukan pencegahan
Risiko Pasien Jatuh
- Pengawasan dan
Evaluasi terhadap Risiko
Pasien Jatuh
- Pencatatan dan
pelaporan tentang Risiko
Pasien Jatuh
Pencegahan Risiko
Jatuh :
- Asesment
- Edukasi Pasien
atau Keluarga
- Intervensi
- Evaluasi