28
3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Banjir Banjir merupakan tidak mampunya saluran atau dam dam untuk menampung debit air hujan rencana, dan untuk penanggulangan banjir umumnya peningkatan sistem pembawa, pengedalian banjir di dam dam dan sungai dan melakukan pencegahan hal yang berpotesi menyebabkan banjir dengan mengola tata guna lahan. Banjir adalah meluapnya air dari sungai atau saluran, yang disebabkan oleh tidak mampunya sungai atau saluran yang ada untuk menyalurkan air yang mengalir (DPU, 2004). Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang sungai, banjir adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Kondisi ini menimbulkan genangan yang pada prosesnya dapat didahului oleh suatu terjangan/bandang. Beberapa karakteristik yang berkaitan dengan banjir, diantaranya: Banjir dapat datang dengan intensitas hujan yang tinggi namun langsung cepat surut. Banjir dapat datang dengan intensitas hujan yang rendah namun banjir tidak cepat surut, bisa sampai beberapa hari ataupun mingguan. Banjir berakibat ditimbulkan terjadinya genangan, erosi dan sedimentasi sedangkan akibat lainnya adalah terisolasinya daerah permukiman dan diperlukan evakuasi penduduk. 2.1.2 Siklus Hidrologi Dalam kajian evaluasi ini diperlukan tinjauan pustaka untuk mengetahui dasar dasar teori yang digunakan dalam mengidentifikasi dan menelaah kondisi eksisting terhadap air limpasan dan air hujan yang terjadi. Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas, padat) pada, dalam dan di atas permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri (Asdak, 2004).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Banjir

  • Upload
    others

  • View
    6

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Banjir

Banjir merupakan tidak mampunya saluran atau dam – dam untuk

menampung debit air hujan rencana, dan untuk penanggulangan banjir umumnya

peningkatan sistem pembawa, pengedalian banjir di dam – dam dan sungai dan

melakukan pencegahan hal yang berpotesi menyebabkan banjir dengan mengola tata

guna lahan.

Banjir adalah meluapnya air dari sungai atau saluran, yang disebabkan oleh

tidak mampunya sungai atau saluran yang ada untuk menyalurkan air yang mengalir

(DPU, 2004). Dalam Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2011 tentang sungai, banjir

adalah peristiwa meluapnya air sungai melebihi palung sungai. Kondisi ini

menimbulkan genangan yang pada prosesnya dapat didahului oleh suatu

terjangan/bandang.

Beberapa karakteristik yang berkaitan dengan banjir, diantaranya:

Banjir dapat datang dengan intensitas hujan yang tinggi namun langsung

cepat surut.

Banjir dapat datang dengan intensitas hujan yang rendah namun banjir tidak

cepat surut, bisa sampai beberapa hari ataupun mingguan.

Banjir berakibat ditimbulkan terjadinya genangan, erosi dan sedimentasi

sedangkan akibat lainnya adalah terisolasinya daerah permukiman dan

diperlukan evakuasi penduduk.

2.1.2 Siklus Hidrologi

Dalam kajian evaluasi ini diperlukan tinjauan pustaka untuk mengetahui

dasar – dasar teori yang digunakan dalam mengidentifikasi dan menelaah kondisi

eksisting terhadap air limpasan dan air hujan yang terjadi.

Hidrologi adalah ilmu yang mempelajari air dalam segala bentuknya (cairan, gas,

padat) pada, dalam dan di atas permukaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah

penyebaran, daur dan perilakunya, sifat-sifat fisika dan kimianya, serta hubungannya

dengan unsur-unsur hidup dalam air itu sendiri (Asdak, 2004).

4

Siklus hidrologi yaitu proses perputaran air dari permukan laut yang

mengalami penguapan ke atmosfer dan kemudian turun ke permukaan tanah dan

kembali lagi ke laut proses ini tidak pernah berhenti. Air akan tertahan di sungai,

danau, dan dalam tanah sehingga dapat di manfaatkan oleh manusia atau makhluk

hidup lainnya ( Asdak, 2004 )

2.1.3 Perhitungan Curah Hujan

Hujan adalah suatu peristiwa alam yang merupakan salah satu bagian atau

tahapan dalam siklus hidrologi. Peristiwa alam ini sangat mempengaruhi dan sangat

berkaitan erat terhadap peristiwa alam lainnya di permukaan bumi. Kejadian hujan

dapat mempengaruhi suhu dan kelembaban udara, muka air tanah dan air

permukaan, serta hubungannya dengan infiltrasi maupun perkolasi sebagai bagian

dari tahapan lanjutan dalam siklus hidrologi. Jenis presipitasi (hujan, salju atau

hujan es), waktu turunnya dan distribusi spasialnya merupakan semua aspek yang

harus diantisipasi dan diperhitungkan oleh hidrolog ketika mempelajari suatu

wilayah (Indarto, 2010)

Secara umum alat untuk mengukur hujan hanya ada 2 tipe yaitu:

1. Alat ukur manual

Pada dasarnya alat pengukuran hujan ini mengkalkulasi hujan selama satu hari

penuh (24 jam) dengan pengambilan data biasanya pada jam 07.00 pagi yang

mengindikasikan terjadinya hujan pada hari sebelumnya. Pencatatan data pada hari

itu merupakan hasil pencatatan kejadian pada hari sebelumnya. Tinggi rendahnya

air yang tertampung dalam gelas ukur adalah merupakan total terjadinya hujan

selama satu hari (24 jam), namun berapa lama dan jam berapa terjadinya hujan

tidak dapat diketahui.

2. Alat ukur otomatis

Alat pengukuran hujan otomatis mencatat kejadiaan hujan secara akumulasi

dapat memberikan informasi waktu terjadinya hujan dan jumlah kejadiaan hujan

dalam satu hari. Hasil alat ukur otomatis berupa kertas grafik yang mengambarkan

hubungan antara waktu dan jumlah kejadiaan hujan dalam satu hari.

Pencatatan data hujan adalah bagian yang penting dalam memperkirakan

faktor kedalaman hujan pada suatu tempat. Pencatatan data hujan secara otomatis

sangat efektif dan efisien untuk memperkirakan kedalaman hujan atau tinggi curah

5

hujan dalam rentang waktu 1 x 24 jam. Rekaman data secara otomatis dapat

menghasilkan data curah hujan dalam jam - jaman, sehingga perkiraan waktu

terjadinya dalam satu hari dapat ditentukan berdasarkan rekaman tersebut.

Metode pencatatan hujan secara manual cenderung menghasilkan data hujan

harian, sehingga kedalaman hujan yang terjadi adalah merupakan akumulasi waktu

terjadinya dalam satu hari. Untuk itu perlu metode tambahan untuk memperkirakan

terjadinya hujan dalam jam – jaman atau menitan. Pada pencatatan data curah hujan

manual pada suatu wilayah atau tempat tidak dapat digambarkan oleh satu alat

penakar hujan. Oleh karena satu alat penakar hujan hanya mencatat kejadiaan hujan

pada satu tempat, sementara kejadiaan hujan yang terjadi pada suatu kawasan sangat

bervariasi.

Untuk itu, ada beberapa metode yang digunakan untuk menghitung curah

hujan rata – rata dari beberapa stasiun curah hujan yang berada di dalam/ sekitar

wilayah yang di pantau. Metode - metode perhitungan curah hujan rata – rata suatu

wilayah yang pencatatan curah hujan masih di lakukan dengan cara manual dapat di

lihat sebagai berikut ini :

1. Metode Rata – Rata Arimatika

Metode ini adalah metode yang paling sederhana, karena biasanya

digunakan pada daerah yang memiliki stasiun curah hujan yang cukup banyak di

setiap titik tersebar merata yang dianggap bersifat seragam dan daerah dengan

kondisi kontur tanah yang datar. (Suripun, 2004)

( )

Dimana P1, P2, ... Pn adalah curah hujan yang merata di pos penakar hujan

1, 2, ... n dan n adalah banyaknya pos penakar hujan.

2. Metode Polygon Thiessen

Perhitungan curah hujan rata – rata dengan metode polygon thiessen dapat

dilakukan dengan urutan di bawah ini :

Menghubungkan masing – masing stasiun curah hujan dengan garis

polygon.

6

Membuat garis lurus antara 2 stasiun hingga bertemu dengan garis lurus

lainnya pada satu titik dalam polygon.

Luas area yang mewakili masing – masing stasiun hujan dibatasi oleh garis

lurus pada polygon.

Luas sub-area masing – masing stasiun hujan dipakai dalam menghitung

curah hujan rata – rata.

Sehingga perhitungan hujan rata – rata pada suatu daerah aliran sungai dapat

dirumuskan (suripin, 2004)

( )

Dimana 1, 2, .... adalah curah hujan yang tercatat di stasiun curah

hujan 1, 2, ... n. 1, 2, .... adalah luas area polygon 1, 2, n dan n adalah

banyaknya stasiun curah hujan.

3. Metode Isohyet

Isohyet adalah sebuah garis pada peta untuk menghubungkan posisi – posisi

yang memiliki nilai curah hujan yang sama. Perhitungan dengan metode isohyet

dapat di lakukan dengan urutan dibawah ini :

Memplotting masing – masing stasiun curah hujan pada peta dasar.

Mencatat jumlah hujan pada setiap stasiun hujan.

Membuat interpolasi dengan garis kontur antara stasiun – stasiun hujan

menurut interval yang dikehendaki.

Luas sub-area antara 2 garis kontur yang dipakai sebagai perhitungan curah

hujan rata – rata.

Perhitungan curah hujan rata – rata pada suatu areadidaerah aliran sungai

(DAS) dengan persamaan berikut (suripin, 2004) :

(

) (

) (

)

( )

7

Dimana 1, 2, .... adalah nilai curah hujan yang tercatat di stasiun

curah hujan 1, 2, ... n, berdasarkan garis kontur. Sedangkan 1, 2, .... adalah

luas sub area antara 2 garis kontur.

Ada 3 faktor untuk mempertimbangan dalam pemilihan metode yang tepat

pada suatu daerah / DAS seperti berikut ini (Suripin, 2004):

1. Berdasarkan Jumlah Stasiun Curah Hujan (lihat tabel 2.1)

2. Berdasarkan Luas DAS (lihat tabel 2.2)

3. Berdasarkan Bentuk muka tanah / topografi (lihat tabel 2.3)

Tabel 2.1. Metode Perhitungan Hujan Berdasarkan Stasiun CurahHujan

Persyaratan Metode yang digunakan

Jumlah Stasiun CurahHujan

Cukup Banyak

Rata-rata Aljabar, Thiesen, Isohyet,

Jumlah Stasiun CurahHujan

Terbatas

Rata-rata Aljabar dan Metode Thiesen

Stasiun CurahHujan

Tunggal

Metode Hujan Titik

(Sumber: Suripin, 2004)

Tabel 2.2 Metode Perhitungan Hujan Berdasarkan Luas DAS

Luas DAS Metode yang digunakan

DAS > 500 km 2 Metode Isohyet

DAS 500 – 5000 km Rata-rata Aljabar dan Metode Thiesen

DAS < 500 km2 Metode Rata-rata Aljabar

(Sumber: Suripin, 2004)

Tabel 2.3. Metode Perhitungan Hujan Berdasarkan Topografi DAS

Topografi DAS Metode

Pegunungan Rata-rata Aljabar

Dataran Thiessen

Berbukit dan tidak beraturan Isohyet

(Sumber: Suripin, 2004)

Karakteristik hujan yang perlu ditinjau dalam analisis dan perancanganan hidrologi

meliputi :

8

1. Intensitas ( i )

Intensitas adalah sebuah laju hujan/ tinggi air dengan satuan waktu seperti

mm/menit, mm/jam, atau mm/hari

2. Lama waktu atau durasi ( t )

Durasi adalah lamanya waktu hujan turun dengan satuan menit atau jam.

3. Tinggi hujan ( d )

Tinggi hujan adalah jumlah atau kedalaman hujan yang terjadi selama durasi

hujan, dan dinyatakan dalam ketebalan air di atas permukaan datar, dalam mm.

4. Frekuensi

Frekuensi adalah sebuah periode ulang yang dinyatakan dengan kala ulang

seperti kala ulang 5, 10, dan 25 tahun.

5. Luas

Luas adalah luas geografis daerah tangkapan air hujan. Analisis hidrologi

memerlukan luas tangakapan air hujan untuk memperoleh besarnya debit banjir

rencana suatu wilayah.

2.1.4 Analisis Frekuensi

Periode ulang adalah waktu perkiraan dimana hujan dengan suatu besaran

tertentu akan disamai atau dilampaui. Besarnya debit hujan untuk fasilitas

drainase tergantung pada interval kejadian atau periode ulang yang dipakai.

Dengan memilih debit dengan periode ulang yang panjang dan berarti debit hujan

besar kemungkinan terjadinya resiko kerusakan menjadi menurun, namun

biaya konstruksi untuk menampung debit yang besar meningkat. Sebaliknya

debit dengan periode ulang yang terlalu kecil dapat menurunkan biaya konstruksi,

tetapi meningkatkan resiko kerusakan akibat banjir.

Sedangkan frekuensi hujan adalah besarnya kemungkinan suatu besaran

hujan disamai atau dilampaui. Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam

distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam

bidang hidrologi, antara lain:

9

Distribusi Normal

Distribusi normal disebut pula distribusi Gauss. Secara sederhana,

persamaan distribusi normal dapat ditulis sebagai berikut (Suripin, 2004)

( )

Dengan:

XT : Periode ulang T-tahunan

X : Rata-rata

S : Deviasi standar

KT : Faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang.

Nilai KT dapat dilihat pada Tabel 2.4 nilai variabel reduksi Gauss sebagai

berikut

Tabel 2.4. Nilai Variabel Reduksi Gauss

No Periode Ulang Peluang KT

1 1,001 0,999 -3,05

2 1,005 0,995 -2,58

3 1,010 0,990 -2,33

4 1,050 0,950 -1,64

5 1,110 0,900 -1,28

6 1,250 0,800 -0,84

7 1,330 0,750 -0,67

8 1,430 0,700 -0,52

9 1,670 0,600 -0,25

10 2,000 0,500 0

11 2,500 0,400 0,25

12 3,330 0,300 0,52

13 4,000 0,250 0,67

14 5,000 2,00 0,84

15 10,000 0,100 1,28

16 20,000 0,050 1,64

17 50,000 0,020 2,05

18 100,000 0,010 2,33

19 200,000 0,005 2,58

20 500,000 0,002 2,88

21 1000,000 0,001 3,09

(Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004)

10

Jika variabel acak Y = log X terdistribusi secara normal, maka X dikatakan

mengikuti distribusi Log Normal. Persamaan distribusi log normal dapat ditulis

dengan (Suripin, 2004)

( )

dan

( )

Keterangan

YT : Periode ulang T-tahunan

YT : Log Y

Y : Nilai rata-rata

S : Deviasi standar nilai

KT : faktor frekuensi, merupakan fungsi dari peluang atau periode ulang.

Nilai KT dapat dilihat pada Tabel 2.4. nilai variabel reduksi Gauss.

Distribusi Log-Person III

Metode Log Pearson Type III ini dapat digunakan untuksemua sebarandata

. langkah-langkahanalisis periode ulang denganmetode Log Pearson Type III dapat

dilihat sebagai berikut ini:

1. Urutkan data dari kecil ke besar dan ubah data (X1, X2, …., Xn) dalam

bentuk logaritma (log X1, log X2, …., log Xn).

2. Hitung nilai rerata

( )

3. Hitung standart deviasi

∑ ( )

( )

11

4. Hitung koefisien kepencengan

∑ ( )

( )( )( ) ( )

5. Hitung logaritma X

( )

6. Anti Log X

( )

Atau

( )

Keterangan

log X : Logaritma debit atau curah hujan.

log X : Logaritma rerata dari debit atau curah hujanlog

X1 : Logaritma debit atau curah hujan tahun ke 1

G : Konstanta LogPearsonTypeIII,berdasarkankoefisienkemencengan

S1 : Simpangan baku

Cs : Koefisien kemencengan

n : Jumlah data

Dimana besarnya nilai KT tergantung dari koefisien kemencengan G. Tabel

2.5. dan 2.6 memperlihatkan harga KT untuk berbagai nilai kemencengan G. Jika

nilai G sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log Normal.

12

Tabel 2.5. Nilai KT untuk Distribusi Log-Person III

(Sumber: Suripin, 2004)

Koef.

G

Interval kejadian (periode ulang)

1,0101 1,2500 2 5 10 25 50 100

Persentase perluang terlampaui

99 80 50 20 10 4 2 1

3,0 -0,667 -0,636 -0,396 0,420 1,180 2,278 3,152 4,051

2,8 -0,714 -0,666 -0,384 0,460 1,210 2,275 3,114 3,973

2,6 -0,769 -0,696 -0,368 0,499 1,238 2,267 3,071 2,889

2,4 -0,832 -0,725 -0,351 0,537 1,262 2,256 3,023 3,800

2,2 -0,905 -0,752 -0,330 0,574 1,284 2,240 2,970 3,705

2,0 -0,990 -0,777 -0,307 0,609 1,302 2,219 2,892 3,605

1,8 -1,087 -0,799 -0,282 0,643 1,318 2,193 2,848 3,499

1,6 -1,197 -0,817 -0,254 0,675 1,329 2,163 2,780 3,388

1,4 -1,318 -0,832 -0,225 0,705 1,337 2,128 2,706 3,271

1,2 -1,449 -0,844 -0,195 0,732 1,340 2,087 2,626 3,149

1,0 -1,588 -0,852 -0,164 0,758 1,340 2,043 2,542 3,022

0,8 -1,733 -0,856 -0,132 0,780 1,336 1,993 2,453 2,891

0,6 -1,880 -0,857 -0,099 0,800 1,328 1,939 2,359 2,755

0,4 -2,029 -0,855 -0,066 0,816 1,317 1,880 2,261 2,615

0,2 -2,178 -0,850 -0,033 0,830 1,301 1,818 2,159 2,472

13

Tabel 2.6. Nilai KT untuk Distribusi Log-Person III ( Koef. G Posistif )

Koef.

G

Interval kejadian (periode ulang)

1,010

1

1,2500 2 5 10 25 50 100 Persentase perluang terlampaui

99 80 50 20 10 4 2 1

0,0 -2,326 -0,842 0,00

0

0,84

2

1,282 1,751 2,051 2,326

-0,2 -2,472 -0,830 0,03

3

0,85

0

1,258 1,680 1,945 2,178

-0,4 -2,615 -0,816 0,06

6

0,85

5

1,231 1,606 1,834 2,029

-0,6 -2,755 -0,800 0,09

9

0,85

7

1,200 1,528 1,720 1,880

-0,8 -2,891 -0,780 0,13

2

0,85

6

1,166 1,448 1,606 1,733

-1,0 -3,022 -0,758 0,16

4

0,85

2

1,128 1,366 1,492 1,588

-1,2 -2,149 -0,732 0,19

5

0,84

4

1,086 1,282 1,379 1,449

-1,4 -2,271 -0,705 0,22

5

0,83

2

1,041 1,198 1,270 1,318

-1,6 -2,388 -0,675 0,25

4

0,81

7

0,994 1,116 1,166 1,197

-1,8 -3,499 -0,643 0,28

2

0,79

9

0,945 1,035 1,069 1,087

-2,0 -3,605 -0,609 0,30

7

0,77

7

0,895 0,959 0,980 0,990

-2,2 -3,705 -0,574 0,33

0

0,75

2

0,844 0,888 0,900 0,905

-2,4 -3,800 -0,537 0,35

1

0,72

5

0,795 0,823 0,830 0,832

-2,6 -3,889 -0,490 0,36

8

0,69

6

0,747 0,764 0,768 0,769

-2,8 -3,973 -0,469 0,38

4

0,66

6

0,702 0,712 0,714 0,714

-3,0 -7,051 -0,420 0,39

6

0,63

6

0,660 0,666 0,666 0,667

(Sumber: Suripin, 2004)

Distribusi Gumbel

Bentuk dari persamaan distribusi Gumbel dapat ditulis sebagai berikut (Suripin,

2004)

( )

Besarnya faktor frekuensi dapat ditentukan dengan rumus berikut (Suripin, 2004)

( )

Keterangan

XT : Curah hujan periode tahun berulang Tr tahun (mm)

Tr : Periode ulang (tahun)

X : Rata-rata curah hujan maksimum selama tahun pengamatan (mm)

S : Standard deviasi

K : Faktor frekuensi

14

Ytr : Reduced variate

Yn : Reduced mean

Sn : Reduced standard

Nilai Sn, Yn, dan YTr bisa dilihat dalam Tabel 2.7.; 2.8.; 2.9 sebagai berikut:

Tabel 2.7. Reduced mean (Yn)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,9496 0,9676 0,9833 0,9971 1,0095 1,0206 1,0316 1,0411 1,0493 1,0565

20 1,0628 1,0696 1,0754 1,0811 1,0864 1,0915 1,0961 1,1004 1,1047 1,1080

30 1,1124 1,1159 1,1193 1,1226 1,1255 1,1285 1,1313 1,1339 1,1363 1,1388

40 1,1413 1,1436 1,1458 1,1480 1,1499 1,1519 1,1538 1,1557 1,1574 1,1590

50 1,1607 1,1623 1,1638 1,1658 1,1667 1,1681 1,1696 1,1708 1,1721 1,1734

60 1,1747 1,1759 1,1770 1,1782 1,1793 1,1803 1,1814 1,1824 1,1834 1,1844

70 1,1854 1,1863 1,1873 1,1881 1,1890 1,1898 1,1906 1,1915 1,1923 1,1930

80 1,1938 1,1945 1,1953 1,1959 1,1967 1,1973 1,1980 1,1987 1,1994 1,2001

90 1,2007 1,2013 1,2020 1,2026 1,2032 1,2038 1,2044 1,2049 1,2055 1,2060

100 1,2065 1,2069 1,2073 1,2077 1,2081 1,2084 1,2087 1,2090 1,2093 1,2096

(Sumber: Suripin, 2004)

Tabel 2.8 Reduced standard deviation (Sn)

(Sumber: Suripin, 2004)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

10 0,4952 0,4996 0,5035 0,5070 0,5100 0,5128 0,5157 0,5181 0,5202 0,5220

20 0,5236 0,5252 0,5268 0,5283 0,5296 0,5309 0,5320 0,5332 0,5343 0,5353

30 0,5362 0,5371 0,5380 0,5388 0,5396 0,5403 0,5410 0,5418 0,5424 0,5436

40 0,5436 0,5442 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0,5481

50 0,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,5501 0,5504 0,5508 0,5511 0,5515 0,5518

60 0,5521 0,5524 0,5527 0,5530 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0,5545

70 0,5548 0,5550 0,5552 0,5555 0,5557 0,5559 0,5561 0,5563 0,5565 0,5567

80 0,5569 0,5570 0,5572 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,5581 0,5583 0,5585

90 0,5586 0,5587 0,5589 0,5591 0,5592 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0,5599

100 0,5600 0,5602 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,5610 0,5611

15

Tabel 2.9 Reduced variate (YTr)

Periode Ulang

Tr (tahun)

Reduced Variate

Ytr

Periode Ulang

Tr (tahun)

Reduced Variate

YTr

2 0,3668 100 4,6012

5 1,5004 200 5,2969

10 2,2510 250 5,5206

20 2,9709 500 6,2149

25 3,1993 1000 6,9087

50 3,9028 5000 8,5188

75 4,3117 10000 9,2121

(Sumber: Suripin, 2004)

Ada parameter – parameter pendekatan statistik Sebelum menganalisis

data hujan dengan salah satu distribusi di atas, untuk menetukan distribusi yang

sesuai dan dapat diguankan. Parameter-parameter tersebut sebagai berikut ini :

(Suripin, 2004)

( )

( )

( ) √∑ ( )

( )

( )

( )

( ) ∑ ( )

( )( ) ( )

( ) ∑ ( )

( )( )( ) ( )

16

Tabel 2.10. Karakteristik Distribusi Frekuensi

Jenis distribusi frekuensi Syarat distribusi

Distribusi Normal Cs = 0 dan Ck = 3

Distribusi Log Normal Cs >0 dan Ck >3

Distribusi Gumbel Cs = 1,139 dan Ck =5,402

Distribusi Log-Person III Cs antara 0 – 0,9

(Sumber: Soewarno, 1995)

2.1.5 Uji Keselarasan Distribusi

Uji keselarasan terdiri dari 2 uji yaitu Chi Squere dan smirnov-klomogrof.

Uji ini bertujuan untuk mengetahui jika persamaan distriusi peluang yang dipilih

dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang di analisis.

Uji Chi Kuadrat

Uji keselarasan Chi Kuadrat bertujuan untuk menentukan apakah distribusi

yang telah dipilih dapat mewakili distribusi statistik sampel data yang dianalisis. Uji

Chi Kuadrat ini menggunakan parameter X2, dimana uji ini diperoleh berdasarkan

rumus (Suripin, 2004) :

( )

( )

ℎ2 : Parameter chi kuadrat terhitung

G : Jumlah sub kelompok

: Jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok i

: Jumlah nilai teoritis pada sub kelompok i

Paramater ℎ2 merupakan variabel acak. Peluang untuk mencapai nilai ℎ2 sama

atau lebih besar dari nilai chi kuadrat sebenarnya ( 2).

Dalam pengujian ini akan menentukan persamaan distribusi dapat diterima

apabila peluang lebih dari 5 %, persamaan tidak dapat diterima apabila peluang

17

kurang dari 1 % dan persamaan dinyatakan perlu data tambahan bila peluang berada

di antara 1 – 5 %. Derajat kebebasan (dk) = G – R – 1 (nilai R = 2 untuk distribusi

normal dan binomial) (Suripin, 2004).

1. Uji Smirnov-Kolgomorov

Dikenal dengan uji kecocokan non parametric karena pengujiannya tidak

menggunakan fungsi distribusi tertentu. Prosedurnya sebagai berikut :

Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya

dan tentukan peluangnya dari masing-masing data tersebut.

X1 = P(X1)

X2 = P(X2)

X3 = P(X3) dan seterusnya

Urutkan nilai masing – masing peluang teoritis dari hasil pengambaran data

(persamaan distribusinya)

X1 = P’(X1)

X2 = P’(X2)

X3 = P’(X3) dan seterusnya

Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih antara pengamatan dan

peluang teoritis.

D = Maksimum {P(Xn) – P’(Xn)}

Berdasarkan tabel nilai kritis (Smirnov – Kolmogorov test) tentukan harga Do dari

tabel pada Tabel 11 (Suripin, 2004)

18

Tabel 2.11. Nilai kritis Do untuk uji Smirnov-Kolmogorov

(Sumber: Bonnier, 1980 dalam Suripin, 2004)

2.1.6 Perhitungan Intensitas Hujan

Intensitas hujan adalah besarnya air hujan yang turun yang di nyatankan

dengan satuan waktu. Intesitas hujan di hari berbeda tergantung lamanya hujan dan

banyakanya frekuensinya. Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi

hujan dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF = Intensity-

Duration-Frequency Curve).

Data yang digunakan adalah data hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi

dalam waktu singkat, seperti hujan 5, 10, 15, ... 120 menitan atau lebih. Untuk itu

diperlukan data hujan dari stasiun pencatat hujan otomatis. Pembuatan kurva IDF

dapat dilakukan dengan prosedur sebagai berikut (Triatmodjo, 2008) :

1. Ditetapkan durasi hujan tertentu, misalnya 5, 10, 15,... menit.

2. Dari data pencatatan hujan otomatis, yang menunjukan jumlah kumulatif hujan

terhadap waktu, dicatat kedalaman hujan deras dengan beberapa durasi tersebut.

Selanjutnya dipilih kedalaman hujan maksimum untuk masing – masing tahun

N Derajat kepercayaan (Do)

0,20 0,10 0,05 0,01

5 0,4

5

0,51 0,56 0,6

7 10 0,3

2

0,37 0,41 0,4

9 15 0,2

7

0,30 0,34 0,4

0 20 0,2

3

0,26 0,29 0,3

6 25 0,2

1

0,24 0,27 0,3

2 30 0,1

9

0,22 0,24 0,2

9 35 0,1

8

0,20 0,23 0,2

7 40 0,1

7

0,19 0,21 0,2

5 45 0,1

6

0,18 0,20 0,2

4 50 0,1

5

0,17 0,19 0,2

3 N>50 1,07

N0,5

1, 22

N0,5

1,36

N0,5

1, 63

N0,5

19

pencatatan, sehingga terdapat sejumlah data yang mewakili seluruh tahun

pencatatan.

3. Kedalaman hujan yang diperoleh dalam butir 2, dapat dikonversi menjadi

intensitas hujan dengan menggunakan hubungan i = 60 p/t, dimana p adalah

kedalaman hujan dan t adalah durasi (5, 10, 15,... menit).

4. Dihitung intensitas hujan ekstrim untuk beberapa periode ulang dengan

menggunakan analisis frekuensi.

5. Dibuat kurva hubungan antara intensitas huan dan durasi hujan untuk beberapa

periode ulang, sehingga didapat kurva IDF.

Perhitungan lainnya merupakan metode yang sering digunakan dan biasanya

berdasarkan pencatatan data curah hujan secara manual serta dapat dibuat dengan

salah satu dari beberapa persamaan berikut (Suripin, 2004) :

1. Rumus Talbot (1881), rumus ini banyak digunakan karena mudah diterapkan

dan tetapan – tetapan a dan b ditentukan dengan harga – harga yang terukur

( )

I = Intensitas hujan (mm/jam)

t = Lamanya hujan (jam)

a dan b = Konstanta yang tergantung pada lamanya hujan yang terjadi di DAS

2. Rumus Sherman (1905), rumus ini mungkin cocok untuk jangka waktu curah

hujan yang lamanya lebih dari 2 jam.

( )

I= Intensitas hujan (mm/jam)

t = Lamanya hujan (jam)

n= Konstanta

3. Rumus Ishiguro (1953)

√ ( )

I = Intensitas hujan (mm/jam)

t = Lamanya hujan (jam)

20

a dan b = Konstanta

4. Rumus Mononobe, dapat dilakukan apabila data hujan jangka pendek tidak

tersedia, yang ada hanya data hujan harian, maka intensitas hujan dapat

dihitung.

(

)

( )

I = Intensitas hujan (mm/jam)

t = Lamanya hujan (jam)

24 = Curah hujan maksimum harian (selama 24 jam) (mm)

Dalam menentukan perkiraan pemilihan metode intensitas hujan diantara

metode –metode yang digunakan dengan cara melakukan telaah terhadap deviasi

antara data terukur dan hasil prediksi, maka metode dengan deviasi rata – rata M([s])

terkecil dianggap sebagai metode paling cocok (Suripin, 2004).

2.1.7 Koefisien Pengaliran

Koefisien pengaliran adalah perbandingan antara jumlah air hujan yang

mengalir atau melimpas di atas permukaan tanah (surface run-off) dengan

jumlah air hujan yang jatuh dari atmosfer. Nilai koefisien pengaliran berkisar

antara 0 sampai dengan 1 dan bergantung dari jenis tanah, jenis vegetasi,

karakteristik tata guna lahan dan konstruksi yang ada di permukaan tanah seperti

jalan aspal, atap bangunan dan lain-lain, yang menyebabkan air hujan tidak

dapat sampai secara langsung ke permukaan tanah sehingga tidak dapat

berinfiltrasi, maka akan menghasilkan limpasan permukaan hampir 100 %.

Koefisien pengaliran dapat ditentukan berdasarkan curah hujan (Wesli, 2008).

Besarnya nilai koefisien pengaliran (C) untuk daerah perumahan

berdasarkan penelitian para ahli dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini

21

Tabel 2.12. Koefisien Aliran Untuk Metode Rasional

(Sumber: McGuen, 1989 dalam Suripin, 2004)

2.1.8 Metode Perhitungan Debit Banjir

Secara umum, metode perhitungan yang berkaitan dengan memperkirakan

laju aliran puncak (debit banjir) yang umum digunakan terdiri atas metode rasional

dan metode hidrograf satuan (Suripin, 2004). Penerapan terhadap metode – metode

perhitungan debit banjir bergantung pada ketersediaan data, tingkat kedetailan

22

perhitungan dan tingkat bahaya kerusakan akibat banjir. Dalam penulisan ini metode

perhitungan yang digunakan adalah Metode Rasional.

( )

Qp adalah laju aliran permukaan (debit) puncak dalam m3/detik. C adalah

koefisien aliran permukaan (0 ≤ C ≤ 1). I adalah intensitas hujan dalam mm/jam, dan

A adalah luas daerah aliran sungai dalam hektar. Metode rasional dikembangkan

berdasarkan asumsi bahwa hujan yang terjadi mempunyai intensitas seragam dan

merata di seluruh daerah aliran sungai selama paling sedikit sama dengan waktu

konsentrasi (tc) daerah aliran sungai. Hujan dengan intensitas seragam dan merata di

seluruh daerah aliran sungai berdurasi sama dengan waktu konsentrasi (tc). Jika

hujan yang terjadi lamanya kurang dari tc maka debit puncak yang terjadi lebih kecil

dari Qp karena seluruh daerah aliran sungai tidak dapat memberikan kontribusi

aliran secara bersama pada titik kontrol (outlet). Sebaliknya, jika hujan yang terjadi

lebih lama dari tc maka debit aliran permukaan akan tetap sama dengan Qp.

Koefisien aliran permukaan (C) didefinisikan sebagai nisbah antara puncak

aliran permukaan terhadap intensitas hujan. Faktor utama yang mempengaruhi C

adalah

laju infiltrasi tanah atau prosentase lahan kedap air, kemiringan lahan, tanaman

penutup dan intensitas hujan. Permukaan kedap air seperti perkerasan aspal dan atap

bangunan akan menghasilkan aliran hampir 100 % setelah permukaan menjadi basah

seberapa pun kemiringannya.

Waktu konsentrasi (tc) suatu daerah aliran sungai adalah waktu yang

diperlukan air hujan yang jatuh untuk mengalir dari titik terjauh sampai ke tempat

keluaran daerah aliran sungai (titik kontrol/outlet) setelah tanah menjadi jenuh dan

depresi – depresi kecil terpenuhi. Dalam hal ini diasumsikan jika durasi hujan sama

dengan waktu konsentrasi maka setiap bagian daerah aliran sungai secara serentak

telah menyumbangkan aliran terhadap titik kontrol, metode yang digunakan untuk

memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich

(1940) dapat dituliskan (Suripin, 2004) :

(

)

( )

23

dimana tc adalah waktu konsentrasi jam, L adalah panjangnya saluran utama

dari hulu sampai penguras dalam Km, dan S adalah kemiringan rata – rata saluran

dalam m/m. Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan membedakannya menjadi dua

komponen yaitu waktu yang diperlukan air untuk mengalir di permukaan lahan

sampai saluran terdekat (to) dan waktu perjalanan dari pertama masuk saluran

sampai titik keluaran (td), sehingga rumusnya dapat ditulis

( )

dimana

(

√ ) ( )

Dan

( )

n = Angka kekasaran Manning

S = Kemiringan lahan

L = Panjang lintasan aliran di atas permukaan lahan (m)

Ls = Panjang lintasan aliran di dalam saluran/sungai (m)

V = Kecepatan aliran di dalam saluran (m/detik)

Sedangkan untuk intensitas hujan dapat dihitung dengan menggunakan metode

Mononobe.

2.1.9 Rumus Empiris Kecepatan Rata – Rata

Distribusi kecepatan pada dasarnya tidak merata di setiap titik pada

penampang melintang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh adanya permukaan bebas dan

gaya gesekan disepanjang dinding saluran. Kecepatan maksimum dalam saluran

biasanya terjadi di bawah permukaan bebas sedalam 0,05 sampai 0,25 kali

kedalamannya. Makin dekat ke tepi saluran berarti makin dalam dan mencapai

maksimum. Distribusi kecepatan pada penampang saluran juga tergantung pada

faktor – faktor lain, seperti bentuk penampang yang tidak lazim, kekasaran saluran

dan adanya tekukan – tekukan. Pada arus yang lebar, deras dan dangkal atau saluran

yang sangat licin, kecepatan maksimum sering terjadi di permukaan bebas. Pada

tikungan, kecepatan meningkat pada bagian cembung, menimbulkan gaya

sentrifugal pada aliran (Chow, 1998).

24

Aliran seragam pada saluran terbuka tidak dapat terjadi pada kecepatan aliran yang

besar atau kemiringan saluran sangat besar. Apabila kecepatan aliran melampaui

batas tertentu (kecepatan kritis), maka muka air menjadi tidak stabil dan akan

menjadi gelombang (Triatmodjo, 1993). Oleh karena aliran

permanen/tunak seragam (steady uniform flow) pada saluran terbuka,

keadaan aliran sangat jarang ditemui dalam bentuk aliran laminer dan sebagian besar

dalam keadaan turbulen dimana perhitungan terhadap distribusi kecepatan sangat

sulit maka digunakan pendekatan empiris untuk menghitung kecepatan rata – rata

sebagai berikut:

1. Rumus Chezy (1769)

Kecepatan untuk aliran seragam, dengan beberapa asumsi :

aliran adalah permanen

kemiringan dasar saluran adalah kecil

saluran adalah prismatik

√ ( )

V = Kecepatan rata – rata (m/dt)

C = Faktor tahanan aliran (koefisien chezy)

R = Jari – jari Hidrolis

S0 = Kemiringan dasar saluran

2. Strickler

Rumus Strickles merupakan hubungan antara nilai koefisien n dari rumus

manning dan ganguillet-Kutter sebagai fungsi dari dimensi material yang

membentuk dinding saluran.

(

)

( )

Sedangkan rumus kecepatannya :

( )

25

R = Jari – jari hidrolis

S = Kemiringan saluran

35 = diameter yang berhubungan dengan 35% berat dari material

dengan diameter yang lebih besar

3. Manning

Rumus manning yang paling terkenal dan paling banyak digunakan karena

mudah pemakaiannya.

( )

Dengan n adalah koefisien kekasaran Manning (TL-1/3) dan bukan bilangan

nondimensional. Korelasi koefisien Chezy dan Manning dapat dijabarkan menjadi

rumus sebagai berikut :

( )

R = Jari – jari hidrolis

S = Kemiringan saluran

n = Koefisien Manning, dengan nilai koefisien pada tabel dibawah ini

3. Penampang Saluran Ekonomis

Kemiringan dan kekasaran saluran tertentu, kecepatan akan bertambah dengan jari –

jari hidrolis, sehingga untuk luas penampang basah tertentu debit akan maksimum

apabila nilai jari – jari hidrolis (R) maksimum atau apabila keliling basah (P)

minimum. Dengan kata lain untuk debit aliran tertentu, luas penampang melintang

saluran akan minimum apabila saluran mempunyai nilai jari – jari hidrolis (R)

maksimum atau keliling basah (P) minimum. Penampang melintang saluran tersebut

dapat disebut penampang saluran ekonomis (efisien) untuk luas penampang tertentu.

Dalam menentukan penampang yang paling efesien dengan menggunakan rumus

debit aliran dan pendekatan rumus Manning (Bambang Triatmodjo, 1993):

( )

( )

Q = Debit Aliran

26

A = Luas Penampang Saluran

R = Jari – jari hidrolis

S = Kemiringan saluran

P = Keliling Basah

Penampang saluran buatan biasanya dirancang atau didesain berdasarkan bentuk

geometris yang umum. Bentuk paling umum untuk saluran berdinding tanah yang

tidak dilapisi adalah bentuk trapesium, oleh karena stabilitas kemiringan dindingnya

dapat disesuaikan. Bentuk persegi panjang dan segitiga umumnya mempunyai sisi

tegak dengan dinding saluran dibangun dengan menggunakan bahan yang stabil

seperti pasangan batu, logam maupun kayu. Penjabaran singkat terhadap bentuk

penampang yang efsien adalah sebagai berikut (Suripin, 2004) :

1. Penampang Persegi

Notasi pada penampang berbentuk persegi dengan lebar dasar (B) dan kedalaman air

(h), luas penampang basah (A) dan keliling basah (P) dapat dituliskan :

ℎ ( )

ℎ ( )

Keliling minimum (P) maka

ℎ ℎ

( )

Jari – jari hidrolik

( )

Bentuk penampang melintang persegi yang paling efisien adalah jika kedalaman air

setengah dari lebar dasar saluran atau jari – jari hidrolis setengah kedalaman air.

2. Penampang Trapesium

Luas penampang melintang (A), keliling basah (P), lebar dasar penampang

melintang (B) dan kemiringan dinding 1 : m dapat dirumuskan sebagai berikut:

( ℎ )ℎ ( )

ℎ√ ℎ √ ( )

27

Penampang basah yang efisien didapat apabila lebar muka air (T) adalah 2 kali

panjang sisi miring (tebing) saluran. Kondisi ini didapat apabila sudut kemiringan

tebing saluran terhadap horizontal adalah 60° yang dapat dituliskan:

ℎ ℎ√ ( )

ℎ √ ( )

Dengan m :

√ ( )

atau α = 60°

Jari – jari hidrolis

( )

3. Penampang Segitiga

Pada potongan melintang saluran yang berbentuk segitiga dengan kemiringan sisi

terhadap garis vertikal (𝜃), dan kedalaman air (h) dapat ditulis :

ℎ ℎ √

( )

( ℎ ) ( )

Saluran berbentuk segitiga yang paling ekonomis adalah jika kemiringan

dindingnya membentuk sudut 45° atau m = 1

28

2.2 Penelitian Terdahulu

2.2.1 Jurnal 1

Pitaloka dan Lasminto JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 1, (2017) ISSN: 2337-

3539

Perencanaan Sistem Drainase Kebon Agung Kota Surabaya, Jawa Timur

Genagan yang terjadi di kecamatan jambangan terjadi karena luapan saluran

kebon Agung. Luapan saluran Kebon Agung terjadi karena tidak mampunya pompa

– pompa untuk mengurangi debit air hujan. Evaluasi kondisi saluran eksisting ini

akan dilakukan dengan melakukan analisis hidrologi dengan menggunakan metode

persen type III dan dibantu dengan program HEC-HMS dan analisis hidrolika di

bantu dengan program HEC-RAS dalam percobaan 2 kali simulasi Unsteady flow

pada saluran eksisting dan saluran rencana.

Dari hasil analisis di dapat bahwa saluran Kebon Agung saat ini tidak dapat

mengalirkan debit banjir rencana jadi dibutuhkan perencanaan saluran baru pada

saluran primer dengan lebar saluran antara 8 - 15 m dengan kedalaman 3 m, saluran

sekunder dengan lebar antara 5 - 8 m dengan kedalaman 2,5 m dan saluran terier

dengan lebar antara 1,2 - 2 dengan kedalaman 1-2 m dan penambahan Pompa anti

banjir 5 buah dengan kapasitas 5m3/detik dan 3 buah pompa dengan kapasitas 1,5

m3/detik.

Kata Kunci—Drainase, HEC-HMS, HEC-RAS, Kebon Agung

29

2.2.2 JURNAL 2

Kusumastuti, Djajadi, dan Rumihin, Procedia Engineering 125 ( 2015 ) 263 –

269

Evaluasi kapasitas saluran drainase di kota Ambon: Sebuah studi kasus pada

banjir DAS Wai Batu Merah

Kegagalan kapasitas drainase perkotaan untuk mengalirkan limpasan

permukaan karena curah hujan kemungkinan menjadi faktor penyebab banyak faktor

lainnya Banjir di daerah perkotaan Banjir besar di Ambon pada tahun 2013 yang

menyebabkan kerugian ekonomi dan hilangnya nyawa manusia adalah latar

belakangnya Melakukan penelitian yang disajikan dalam makalah ini. Ambon

adalah ibu kota Provinsi Maluku yang terletak di Kawasan Timur Indonesia.

Baru-baru ini, kawasan kota ini berkembang menjadi kawasan

permukiman. Penelitian ini dilakukan secara khusus di Wai Batu Merah

DAS, DAS di Ambon yang sangat rusak akibat banjir pada tahun 2013. Analisis

tersebut menekankan pada evaluasi Kapasitas saluran drainase yang ada (natural dan

buatan manusia). Data curah hujan harian dari stasiun Pattimura selama tahun 2004

– 2013 Dulu digunakan sebagai data utama untuk memperkirakan desain curah

hujan dan desain banjir. Desain curah hujan merupakan data utama model rainfall-

runoff Yang dilakukan dengan menggunakan Hidrograf Unit Sintetis SCS.

Sedangkan fluktuasi ketinggian air sepanjang sungai utama disimulasikan

Menggunakan analisis arus goyah dengan masukan desain banjir 50 tahun. Hasil

simulasi menunjukkan bahwa satu tersier yang ada Saluran drainase tidak dapat

menampung debit arus darat dan dari hulu ke hilir Wai Batu Merah Sungai

melimpah. Khususnya pada acara banjir di tahun 2013, hari hujan berturut-turut

terjadi sejak awal Juli sampai pertengahan Agustus dengan kedalaman curah hujan

lebih dari tiga kali lipat dari periode pengembalian maksimal curah hujan harian

maksimal 50 tahun. Pada keadaan itu, banjir Tentunya tidak bisa dihindari di daerah

yang berdekatan dengan sungai

30

2.2.3 Jurnal 3

Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi Prasarana Wilayah (ATPW),

Surabaya, 11 Juni 2015 (Rahmawati, Damayanti dan Soedjono )

Evaluasi Sistem Drainase Terhadap Penanggulangan Genangan di

Kota Sidoarjo

Genangan yang terjadi di Sidoarjo terjadi karena adanya perubahan tata

guna lahan yang semula adalah sawah dan irigasi sekarang menjadi wilayah yang

terbangun seperti perumahan, pergudangan dan industrial, hal ini meyebabkan tidak

adanya daerah resapan air hujan, yang berfungsi untuk menampung sementara air

hujan sebelum mengalir ke saluran. Penelitian ini dapat di lakukan dengan

perhitungan curah hujan rancangan dengan kala ulang 5 tahun untuk saluran

sekunder dan 10 tahun untuk saluran primer menggunkan metode log persen type III

dan perhitunga ndebit air rencana dengan metode rasional. Dari hasil penelitian di

dapat 40 saluran dari 131 saluran yang ada tidak dapat menampung debit banjir

rencana hal ini ada 2 alternatif yang di gunakan dengan cara normalisasi saluran dan

penerapan saluran porus dengan debit serap sebesar 0,0996 m3/detik.