49
10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas 2.1.1 Definisi Puskesmas Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok (Herlambang, 2016). Puskesmas didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar, menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk yang tinggal di wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan program pokok (public health essential) yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Herlambang, 2016). Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Herlambang, 2016), fungsi Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan dapat mewujudkan empat misi pembangunan kesehatan yaitu: menggerakkan pembangunan kecamatan yang berwawasan pembangunan, mendorong kemandirian masyarakat dan keluarga untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau serta memelihara dan meningkatkan kesehatan individu, kelompok dan masyarakat.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

  • Upload
    others

  • View
    17

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

10

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Puskesmas

2.1.1 Definisi Puskesmas

Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang

merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga

membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan

secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya

dalam bentuk kegiatan pokok (Herlambang, 2016).

Puskesmas didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,

menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk yang tinggal

di wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya kesehatan yang

diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan program pokok (public

health essential) yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Herlambang, 2016).

Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Herlambang, 2016), fungsi

Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan dapat mewujudkan empat misi

pembangunan kesehatan yaitu: menggerakkan pembangunan kecamatan

yang berwawasan pembangunan, mendorong kemandirian masyarakat

dan keluarga untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan

kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau serta memelihara dan

meningkatkan kesehatan individu, kelompok dan masyarakat.

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

11

Dari beberapa definisi Puskesmas dapat di simpulkan bahwa Puskesmas

adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan

pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran

serta masyarakat, untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,

menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk.

2.1.2 Fungsi Puskesmas

Puskesmas sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pembangunan

berawawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, meyediakan

dan menyelenggarakan pelayanan yang bermutu dalam memenuhi

kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam

rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu

terwujudnya kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Fungsi

Puskesmas dapat dikelompokkan menjadi 2 (tiga), yaitu:

2.1.2.1 Sebagai pusat penggerak pembangunan berawawasan kesehatan

masyarakat di wilayah kerjanya melalu, sebagai berikut:

a. Upaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di

wilayah kerjanyaagar menyelenggarakan pebangunan yang

berwawasan kesehatan.

b. Keaktifan memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari

penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah

kerjanya.

c. Mengutamakan pemeliharaan keseatan dan pencegahan

penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.

2.1.2.1 Pusat pemberdayaan masyarakat

a. Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,

keluarga, dan masyarakat memiliki kesadaran, kemauan, dan

kemampuan melayan diri sendiri dan masyarakat untuk hidup

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

12

sehat serta menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau

pelaksanaan program kesehatan serta memberikan pelayanan

kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat

diwilayah kerjanya.

b. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi

dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada

masayrakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak

menimbulkan ketergantungan.

2.1.2.2 Pusat Pelayanan Pertama

Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara

menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan, melalui pelayanan

kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat

(Herlambang, 2016).

2.1.3 Wilayah Kerja Puskesmas

Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari

kecamatan. Bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja

Puskesmas antara lain faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan

geografis dan keadaan infrastruktur lainnya. Pembagian wilayah kerja

Puskesmas ditetapkan oleh bupati dan walikota, dengan saran teknis dari

kepala dinas kesehatan kebupaten/kota. Sasaran penduduk yang dilayani

Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap Puskesmas (Herlambang,

2016).

Untuk perluasan jangakauan pelayanan kesehatan, maka sebuah

Puskesmas ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih

sederhana disebut dengan Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling.

Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih,

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

13

wilayah kerja Puskesmas dapat satu kelurahan. Puskesmas di ibukoa

kecamtan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan

Puskesmas pembantu yang berfungsi sebagai pusat ujukan bagi

Puskesmas kelurahan dan mempunyai fungsi koordinasi. Dengan adanya

undang-undang otonomi daerah, setiap daerah tingkat II mempunyai

kesempatan mengembangkan Puskesmas sesuai rencana strategis bidang

kesehatan sesuai situasi dan kondisi daerah tingkat II (Herlambang,

2016).

2.1.4 Ruang Lingkup Pelayanan Puskesmas

Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan

menyeluruh yang meliputi pelayanan sebagai berikut: kuratif

(pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan),

rehabilitative (pemulihan kesehatan) (Herlambang, 2016).

2.1.5 Program Pokok Puskesmas (Rais dan Suhadi, 2015)

Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas yakni

terwujudnya kecamatan sehat menuju Indonesia Sehat. Puskesmas

bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan

upaya kesehatan masyarakat.

2.1.5.1 Upaya Kesehatan Ibu dan Anak

a. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan dan

menyusui, bayi, balita dan anak prasekolah.

b. Memberikan nsehat tentang makanan makanan guna

mencegah gizi buruk karena kekurangan kalori dan protein,

serta bila ada pemberian makanan tambahan dan mineral.

c. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara

stimulasinya.

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

14

d. Imunisaasi tetanus toksoid pada ibu hamil, BCG, DPT 3 kali,

polio 3 kali dan campak 1 kali pada bayi.

e. Penyuluhan kesehatan meliputi beerbagai aspek dalam

mencapai tujuan program KIA.

f. Pelayanan KB pada pasngan usia subur dengan perhatian

khusus pada mereka yang dalam keadaan bahaya karena

melahirkan anak berkali-kali dan ibu berisiko tinggi.

g. Pengobatan bagi ibu, bayi, balita dan anak prasekolah untuk

macam-macam penyakit ringan.

h. Kunjungan untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan

pemeliharaan, memberikan penerangan dan pendidikan

tentang kesehatan dan mengadaka pementauanpada mereka

yang lalai mengunjungi Puskesmas dan meminta mereka

datang ke Puskesmas lagi.

i. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak dan

para dukun bayi.

2.1.5.2 Upaya Keluarga Berencana

a. Mengadakan kursus KB untuk para ibu dan calon ibu.

b. Mengadakan kursus kepada dukun yang kemudian akan

bekerja sebagai penggerak calon peserta KB.

c. Mengadakan pembicaraan-pembicaraan tentang KB kapan

saja ada kesempatan baik Di Puskesmas maupun ketika

mengadakan kunjungan rumah.

d. Memasang IUD, cara-cara penggunaan pil, kondom, dan

cara-cara lain dengan memberikan sarannya.

e. Mengamati mereka yang menggunakan sarana penceghan

kehamilan.

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

15

2.1.5.3 Upaya Peningkatan Gizi

a. Mengenali penderita kekurangan gizi dan mengobati mereka.

b. Mempelajari keadaan gizi masyarakat dan mengembangkan

program perbaikan gizi.

c. Memberikan pendidikan gizi pada masyarakat secara

perseorangan kepada mereka yang membutuhkan terutama

dalam rangka program KIA.

d. Melaksanakan program :

1) Program perbaikan gizi keluarga.

2) Memberikan makanan tambahan yang mengandung

protein dan kalori yang cukup pada anak-anak di bawah

umur 5 tahun dan ibu yang menyusui.

3) Memberikan vitamin A pada anak-anak di bawah umur 5

tahun.

2.1.5.4 Upaya Kesehatan Lingkungan

a. Penyehatan air bersih.

b. Penyehatan pembuangan kotoran.

c. Penyehatan lingkungan rumah.

d. Penyehatan makanan dan minuman.

e. Pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan.

2.1.5.5 Upaya Pencegahan Penyakit Menular

a. Mengumpulkan dan menganalisa penyakit.

b. Melaporkan kasus penyakit menular.

c. Menyelidiki di lapangan untuk melihat benar atau tidaknya

laporan yang masuk untuk menemukan kasus-kasus baru dan

untuk mengetahui sumber penularan.

d. Tindakan permulaan untuk menahan penularaan penyakit.

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

16

e. Menyembuhkan penderita sehingga ia tidak lagi menjadi

sumber infeksi.

f. Pemberian imunisasi.

g. Pemberantasan vektor.

h. Pendidikan kesehatan pada masyarakat.

2.1.5.6 Upaya Pelayanan Kesehatan

a. Penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan bagikan yang

tidak terpisahkan dari tiap-tiap program Puskesmas. Kegiatan

penyuluhan kesehatan dilakukan pada setiap kesempatan

oleh petugas, apakah di klinik, rumah dan kelompok

masyarakat.

b. Di tingkat Puskesmas tidak ada petugas penyuluhan

tersendiri tetapi ditingkat kabupaten diadakan tenaga-tenaga

koordinator penyuluhan kesehatan. Koordinator membantu

para petugas Puskesmas dalam mengembangkan teknik dan

materi penyuluhan Di Puskesmas.

2.1.5.7 Upaya Kesehatan Sekolah

a. Membina sarana keteladanan Di Sekolah, berupa sarana

keteladanan gizi berupa kantin dan sarana keteladanan

kebersihan lingkungan.

b. Membina kebersihan perseorangan peserta didik.

c. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berperan

aktif dalam pelayanan kesehatan melalui kegiatan dokter

kecil.

d. Penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1.

e. Pemeriksaan kesehatan periodik sekali setahun untuk kelas

II-IV dan guru berupa pemeriksaan kesehatan sederhana.

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

17

f. Imunisasi peserta didik I dan VI.

g. Pengawasan terhadap keadaan air.

h. Pengobatan ringan pertolongan pertama.

i. Rujukan medik.

j. Penanganan kasus anemia pertama.

k. Pembinaan teknik dan pengawasan Di Sekolah.

l. Pencatatan pelaporan.

2.1.5.8 Upaya Kesehatan Masyarakat

a. Asuhan keperawatan kepada individu Di Puskesmas maupun

di rumah dengan berbagi tingkat umur, kondisi kesehatan

tumbuh kembang dan jenis kelamin.

b. Asuhan perawatan yang diarahkan kepada keluarga sebagai

unit terkecil dari masyarakat (keluarga binaan).

c. Pelayanan perawatan kepada kelompok khusus diantaranya :

ibu hamil, anak balita, usia lanjut dan sebagainya.

d. Pelayanan keperawatan kepada tingkat masyarakat.

2.1.5.9 Upaya Kesehatan Kerja

a. Identifikasi masalah, meliputi :

1) Pemeriksaan kesehatan awal dan bekal untuk para

pekerja.

2) Pemeriksaan kasus terhadap pekerja yang datang berobat

ke Puskesmas.

3) Peninjauan tempat kerja menentukan bahaya akibat kerja.

b. Kegiatan peningkatan tenaga kerja melalui peningkatan gizi

pekerja, lingkungan kerja dan penignkatan kegiatan

kesejahteraan.

c. Kegiatan pencegahan kecelakaan akibat kerja :

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

18

1) Penyuluhan kesehatan.

2) Kegiatan ergonomic, yaitu kegiatan untuk mencapai

kesesuaian antara alat kerja agar tidak terjadi stress fisik.

3) Kegiatan monitoring bahaya akibat kerja.

4) Pemakaian alat pelindung.

d. Kegiatan pengobatan kasus penyakit akibat kerja.

e. Kegiatan pemulihan bagi pekerja yang sakit.

f. Kegiatan rujukan medik dan kesehatan terhadap pekerja yang

sakit.

2.1.5.10 Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut

a. Pembinaan atau pembangunan kemampuan peran serta

masyarakat dalam upaya pemeliharaan diri dalam wadah

program UKGM.

b. Pelayanan asuhan pada kelompok rawan meliputi : anak

sekolah, kelompok ibu hamil, menyusui dan anak prasekolah.

c. Pelayan medis gigi dasar, yaitu :

1) Pengobatan gigi pada penderita uyang berobat maupun

rujuk.

2) Merujuk kasus-kasus yang dapat ditanggulangi ke

sasaran yang lebih mampu.

3) Memberikan penyuluhan secara individu atau kelompok.

4) Memelihara kesehatan (hygiene clinic).

5) Memelihara atau merawat peralatan atau obat-obatan.

d. Pencatatan dan pelaporan.

2.1.5.11 Upaya Kesehatan Jiwa

a. Kegiatan kesehatan jiwa yang terpadu dengan kegiatan

pokok Puskesmas.

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

19

b. Penanganan pasien dengan gangguan jiwa.

c. Kegiatan dalam bentuk penyuluhan serta pembinaan peran

serta masyarakat.

d. Pengembangan upaya kesehatan jiwa Puskesmas melalui

tekanan bola mata, tes saluran air mata, tes lapang pandang,

pundus copy dan pemeriksaan laboratorium.

e. Penataan pelaporan.

2.1.5.12 Upaya Kesehatan Mata

a. Kegiatan kesehatan mata, pencegahan kesehatan dasar yang

terpadu dengan kegiatan lainnya.

b. Upaya kesehatan mata :

1) Anamnesa.

2) Pemeriksaan virus dan mata keluar, tes buta warna, tes

tekanan bola mata, tes saluran air mata, tes lapang

pandang, pundus copy dan pemeriksaan laboratorium.

3) Pengobatan dan pemberian kaca mata.

4) Operasi katarak.

5) Perawatan post operasi katarak dan glukoma akut.

6) Merujuk kasus yang tidak dapat diatasi.

7) Pemberian protesa mata.

c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam bentuk

penyuluhan kesehatan, serta menciptakan kemandirian

masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan mata mereka.

d. Pengembangan masyarakat dalam kesehatan mata

masyarakat.

e. Pencatatan dan pelaporan.

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

20

2.1.5.13 Upaya Laboratorium Kesehatan

a. Di ruang laboratorium :

1) Penerimaan pasien.

2) Pengambilan specimen.

3) Penanganan specimen.

4) Pelaksanaan pemeriksaan.

5) Penanganan sisa specimen.

6) Pencatatan hasil pemeriksaan.

7) Penyampaian hasil pemeriksaan.

b. Terhadap specimen yang akan dirujuk :

1) Pengambilan specimen.

2) Penanganan specimen.

3) Pengemasan specimen.

4) Pengiriman specimen.

5) Pengambilan hasil pemeriksaan.

6) Pencatatan hasil pemeriksaan.

7) Penyampaian hasil pemeriksaan.

c. Di ruang klinik dilakukan oleh perawat atau bidan meluputi :

1) Persiapan pasien.

2) Pengambilan specimen.

3) Menyerahkan specimen untuk diperiksa.

d. Di luar gedung meliputi :

1) Melakukan tes skrining Hb.

2) Pengambilan specimen untuk kemudian dikirim ke

laboratorium Puskesmas.

3) Memberikan penyuluhan.

4) Pencatatan dan pelaporan.

5) Upaya pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem

informasi kesehatan :

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

21

a) Dilakukan oleh semua Puskesmas (pembina,

pembantu dan keliling).

b) Pencatatan dan pelaporn mecakup :

(1) Data umum dan demografi wilayah kerja

Puskesmas.

(2) Data ketenagaan Di Puskesmas.

(3) Data sarana yang dimiliki Puskesmas.

(4) Data kegiatan pokok Puskesmas yang dilakukan

baik di dalam maupun di luar gedung Puskesmas.

c) Laporan dilakukan secara periodik (bulan, triwulan

dan tahunan).

2.1.5.14 Upaya Kesehatan Olahraga

Upaya kesehatan olahraga adalah upaya kesehatan yang

memanfaatkan aktivitas fisik atau olahraga untuk meningkatkan

derajat kesehatan. Aktivitas fisik atau olahraga merupakan

sebagian kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari karena

dapat meningkatkan kebugaran yang diperlukan dalam

melakukan tugasnya.

Berbagai implementasi program upaya kesehatan ini dapat

bergantung sesuai kebutuhan suatu Puskesmas sesuai wilayah

kerjanya, contoh nya

1. Olahraga Preventif

2. Olahraga pada Anak

3. Olahraga pada Wanita

4. Olahraga pada Lanjut Usia

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

22

2.2 Konsep Lansia

2.2.1 Pengertian Lansia

Lanjut usia menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang

kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa

umur 60 tahun keatas.

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak

secara tiba-tiba menjadi tua,tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,

dewasa dan akhirnya menjadi tua. Lansia merupakan suatu proses yang

alami, semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua

merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimasa ini seseorang akan

mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah,

2011).

Menurut Surini dan Utomo (2003) lanjut usia bukan suatu penyakit, tetapi

merupakan tahap lanjut dari proses keidupan yang akan dijalani semua

individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi

dengan stres lingkungan (Azizah, 2011).

2.2.2 Proses Menua

Ageing process (proses menua) adalah suatu proses menghilangnya secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantides,

1994; Darmojo). Proses menua merupakan proses yang terus menerus

(berlanjut) secara alamiah, yang dimulai sejak lahir dan umumnya dialami

oleh makhluk hidup (Azizah, 2011).

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

23

Pada usia lanjut biasanya seseorang akan mengalami kehilangan jaringan

otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh akan “mati” sedikit

demi sedikit. Secara individu, pengaruh proses menua dapat

menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi, mental, maupun fisik-

biologik. Dari aspek fisik-biologik terjadi perubahan pada beberapa

sistem, seperti sistem organ dalam, sistem muskuloskeletal, sistem

sirkulasi (jantung), sel jaringan dan sistem syaraf yang tidak dapat diganti

karena rusak atau mati (Mujahidullah, 2012).

2.2.3 Batasan-batasan lanjut usia (Mujahidullah, 2012)

2.2.3.1 Menurut WHO

a. Usia petengahan (midle age) kelompok usia 45-59 tahun.

b. Usia lanjut (elderly) antara 60-70 tahun.

c. Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun.

d. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

2.2.3.2 Menurut undang-undang RI No 13 tahun 1998

Tentang kesejahteraan lanjut usia : Bahwa usia lanjut adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.

2.2.3.3 Menurut Departemen Kesehatan RI

Usia lanjut digolongkan menjadi 3 golongan yaitu :

a. Kelompok lansia dini (55-64 tahun)

b. Kelompok lansia pertengahan (65 tahun ke atas)

c. Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)

2.2.3.4 Menurut Bernice Neu Gardon (1975)

a. Lansia muda, yaitu pada orang berumur antara 55-75 tahun

b. Lansia tua, yaitu orang yang berumur lebih dari 75 tahun

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

24

2.2.3.5 Menurut Levinson (1978)

a. Lansia peralihan awal, antara 50-55 tahun

b. Lansia peralihan menengah, antara 55-60 tahun

c. Lansia peralihan akhir, antara 60-65 tahun.

2.2.4 Perubahan Pada Lansia

Azizah (2011) memaparkan bahwa semakin bertambahnya umur manusia,

terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada

perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik,

tetapi juga kognitif, perasaan, sosial, dan seksual.

2.2.4.1 Perubahan Fisik

a. Sistem panca indra

Perubahan sistem panca indra pada lansia antara lain sebagai

berikut :

1) Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitanya

dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas dan kaku.

Otot penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan

daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang,

penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik

dapat digunakan.

2) Sistem pendengaran: presbiakusis (gangguan pada

pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya)

pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi

suara atau nada –nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,

sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60

tahun.

3) Sistem integument: pada lansia kulit mengalami atrofi,

kendur, tidak elastis, kering dan kerut. Kulit akan

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

25

kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan bebercak.

Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula sabasea dan

glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada

pigmen kulit dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit

lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara

lain angin dan matahari, terutama sinar ultraviolet.

b. Sistem Muskuloskeletal

Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain

sebagai berikut:

1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen

sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,

kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan

menjadi bentangan yang tidak teratur. Perubahan pada

kolagen tersebut merupakan penyebab turunya

fleksibelitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak

berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk

meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari

duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan dan hambatan

dalam melakukan kegiatan sehari-hari.

2) Kartilago; jaringan kartilago pada persendian lunak

mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi

menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk

regenerasi berkurang dan regenerasi yang terjadi

cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago

pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.

Perubahan sering terjadi pada sendi besar penumpu berat

badan, akibat perubahan itu sendi mengalami peradangan,

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

26

kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya

aktifitas sehari-hari.

3) Tulang; berkurangannya kepadatan tulang setelah di

observasi adalah bagian dari penuaan fisiologis. Dampak

berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan nyeri,

deformitas dan fraktur.

4) Otot; perubahan struktur pada otot pada penuaan sangat

bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot,

peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak

pada otot mengakibatkan efek negatif, dampak perubahan

morfologis pada otot adalah penurunan kekuatan,

penurunan fleksibelitas, peningkatan waktu reaksi dan

penurunan kemampuan fungsional otot.

5) Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti

tendon, ligamen dan fasia mengalami penurunan

elastisitas. Ligamen dan jaringan periarkular mengalami

penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,

erosi, dan klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi.

Sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi

penurunan gerak sendi. Kelainan tersebut dapat

menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan

sendi, gangguan jalan dan aktifitas keseharian lainnya.

c. Sistem Kardiovaskuler

Masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi

dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

27

perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan

klasifikasi SA node dan jaringan ondksi berubah menjadi

jaringan ikat. Konsumsi O2 pada tingkat maksimal berkurang

sehingga kapasitas paru menurun.

d. Sistem Respirasi

Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas

total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah

untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang

mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago

dan sendi torak mengakibatkan gerakan pernafasan

terganggu dan kemampuan perengangan toraks berkurang.

Umur tidak berhubungan dengan perubahan otot diafragma,

apabila terjadi perubahan otot diafragma, maka otot thoraks

menjadi tidak seimbang dan menyebabkan terjadinya distorsi

dinding toraks selama respirasi berlangsung.

e. Pencernaan dan Metabolisme

Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti

penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata.

Kehilangan gigi; penyebab utama adalah periodental disease

yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun., penyebab lain yang

meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.

f. Sistem perkemihan

Pada sistem perkemihan banyak fungsi yang mengalami

perubahan secara signifikan, seperti laju filtrasi, ekskresi, dan

reabsosi oleh ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam

pemberian obat pada lansia. Mereka menghilangkan

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

28

kemampuan untuk mengekskresi obat atau produk

metabolisme obat. Pola berkemih tidak normal, seperti

banyak berkemih di malam hari, sehingga mengharuskan

mereka pergi ke toilet sepanjang malam, hal ini menunjukan

bahwa inkontenensia meningkat (Ebersole dan Hess, 2001

dalam Azizah, 2011).

g. Sistem Saraf

Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan

atrofi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia

mengalami penuruanan koordinasi dan kemampuan dalam

melakukan aktifitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan

penurunan persepsi sensori dan respons motorik pada

susunan saraf pusat dan penurunan reseptor propioseptif, hal

ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami

perubahan morfologis dan biokimia, perubahan tersebut

mengakibatkan penurunan fungsi kognitif. Menurut (Surini

dan Utomo, 2003 dikutip oleh Azizah, 2011).

h. Sistem Reproduksi

Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan

manciutnya ovari dan oterus. Terjadi atrovi payudara. Pada

laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatosoa,

meskipun adanya penurunan secara beransur-ansur (watson,

2003 dalam azizah, 2011).

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

29

2.2.4.2 Perubahan Kognitif

a. Memory (Daya ingat, ingatan)

Pada lanjut usia , daya ingat (memory) merupakan salah satu

fungsi kognitif yang seringkali paling awal mengalami

penurunan. Ingatan jangka panjang (Long term memory)

kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka

pendek (short term memory) atau seketika 0-10 menit

memburuk.

b. IQ (Intellegent Quocient)

Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi

matematika (analisis, linier, sekuensial) dan perkataan verbal,

tetapi persepsi dan daya membayangkan (fantasi) menurun.

Walaupun mengalami kontroversi, tes intelegensia kurang

memperhatikan adanya penurunan kecerdasan pada lansia

(Cockburn & Smith, 1991 dikutip oleh Lumbantobing,

2006).

c. Kemampuan belajar

Menurut Brocklehurst dan Allen (1987); Darmojo &

Martono (2004), lanjut usia yang sehat dan tidak mengalami

demensia masih memiliki kemampuan belajar yang baik,

bahkan di negara industri maju didirikan University of the

third age.

d. Kemampuan pemahaman (Compherension)

Kemampuan pemahaman atau menangkap pengertian pada

lansia mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

30

konsentrasi dan fungsi pendengarannya lansia yang

mengalami penurunan.

e. Pemecahan masalah (Problem Solving)

Pada lanjut usia masalah-masalah yang dihadapi tentu

semakin banyak. Banyak hal yang dahulunya dengan mudah

tanpa dipecahkan menjadi terhambat karena terjadi

penurunan fungsi indra pada lanjut usia.

f. Pengambilan keputusan (Decission Making)

Pengambilan keputusan pada lanjut usia sering lambat atau

seolah-olah terjadi penundaan.

g. Kebijaksanaan (Wisdom)

Bijaksana (Wisdom) adalah aspek kepribadian (personality)

dan kombinasi dari aspek kognitif. Kebijaksanaan

menggambarkan sifat dan sikap individu yang mampu

mempertimbangkan antara baik dan buruk serta untung dan

ruginya sehingga dapat bertindak secara adil atau bijaksana.

Menurut Kuntjoro (2002), para lansia semakin bijaksana

dalam menghadapi suatu permasalahan.

h. Kinerja (Performance)

Pada lanjut usia memang akan terlihat penurunan kinerja

baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan

performance yang membutuhkan kecepatan dan waktu

mengalami penurunan (Lumbantobing, 2006).

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

31

i. Motivasi

Pada lanjut usia, motivasi baik kognitif maupun afektif untuk

mencapai atau memperoleh sesuatu cukup besar, namun

motivasi tersebut seringkali kurang memperoleh dukungan

kekuatan fisik maupun psikologis, sehingga hal-hal

diinginkan banyak berhenti di tengah jalan.

2.2.4.3 Perubahan Spiritual

Agama atau kepercayaan lansia makin berintegrasi dalam

kehidupan (Maslow, 1976); Stuart dan Sundeen, 1998). Lansia

makin teratur dalam kehidupan keagamaannya. Hal ini dapat

dilihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari (Murray dan

Zentner, dikutip Nugroho, 2000). Pada tahap perkembangan usia

lanjut merasakan atau sadar akan kematian (Sense of Awareness

of Mortality).

2.2.4.4 Psikososial

a. Pensiun

Pensiun sering dikaitkan secara salah dengan kepasifan dan

pengasingan. Dalam kenyataannya, pensiun adalah tahap

kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan

peran, yang dapat menyebabkan stress psikososial.Meskipun

tujuan ideal pensiun adalah agar pada lansia dapat menikmati

hari tua atau jaminan hari tua, namun kenyataannya sering

dirasakan sebalikanya, karena pensiun sering diartikan

sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,

kegiatan, status, dan harga diri.

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

32

b. Perubahan aspek kepribadian

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia

mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.

Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia

mengalami perubahan kepribadian. Menurut Kuntjoro

(2002), kepribadian lanjut usia dibedakan menjadi 5 tipe

kepribadian yaitu tipe kepribadian konstruktif (construction

personality), mandiri (independent personality), tipe

kepribadian tergantung (dependent personality), bermusuhan

(hostile personality), tipe kepribadian defensive, dan tipe

kepribadian kritik diri (self hate personality).

c. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat

Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran,

penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul

gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia,

misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat

berkurang, penglihatan semakin kabur dan sebagainya

sehingga sering menimbulkan keterasingan.

d. Perubahan minat

Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat.

Bagaimana sikap yang ditujukan apakah memuaskan atau

tidak memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh

perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya.

2.2.4.5 Perubahan Fungsi dan Potensi Seksual

Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali

berhubungan dengan berbagai gangguan fisik. Menurut kuntjoro

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

33

(2002), faktor psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan

seksualitas, antara lain seperti rasa tabu atau malu bila

mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Di dalam

menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri

penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979) di kutip

oleh Munandar (1994) adalah :

a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya

b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi

c. Selalu mengingat kembali masa lalu

d. Selalu khawatir karena pengangguran

e. Kurang dari motivasi

f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga baik

g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.

Dilain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara

lain adalah minat yang kuat, ketidaktergantungan secara

ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja,

menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki

kekhawatiran minimal terhadap diri dan orang lain.

2.2.5 Penyakit Yang Sering Dijumpai Pada Lansia

2.2.5.1 Dikemukakan dalam Azizah (2011) ada empat penyakit yang

sangat erat hubungannya dalam proses menua, yakni :

a. Gangguan sirkulasi darah, seperti hipertensi , kelainan

pembuluh darah, gangguan pembuluh darahdi otak (koroner)

dan ginjal.

b. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes militus,

klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.

c. Gangguan pada persendian, seperti: osteoarthiritis, gout

astritis, ataupun penyakit kolagen lainnya.

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

34

d. Berbagai macam neoplasma.

2.2.5.2 Menurut “The National Old People’s Welfare Council” dalam

Azizah (2011), mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan

pada lansia ada 12 macam yakni:

a. Depresi mental.

b. Gangguan mendengar.

c. Bronkitis kronis.

d. Gangguan pada tungkai/sikap berjalan.

e. Gangguan pada koksa/sendi panggul.

f. Anemia.

g. Demensia.

h. Gangguan penglihatan.

i. Ansietas atau kecemasan.

j. Dekompensasi kordis.

k. Diabetes Militus, osteomalisia, dan hipotiroidisme.

l. Gangguan pada defekasi

2.3 Konsep Senam Lansia

2.3.1 Pengertian Senam Lansia

Olahraga adalah menggerakkan tubuh dalam jangka waktu tertentu.

Aktivitas olahraga yang bisa dilakukan contohnya berjalan, berlari,

menangkap, memukul menangkis, menjadi bagian keseharian, dimana

dalam melaksanakan shalat, gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan

menyerupai gerakan-gerakan senam.

Senam merupakan suatu cabang olahraga yang melibatkan performa

gerakan yang membutuhkan kekuatan, kecepatan dan keserasian gerakan

fisik yang teratur. Senam lanjut usia merupakan salah satu contoh dari

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

35

bagian latihan fisik atau olahraga yang baik bagi lanjut usia selain jenis-

jenis lainnya misalnya pekerjaan rumah dan berkebun, berjalan-jalan,

jalan cepat, renang dan bersepeda (Maryam, R Siti; Ekasari, Mia Fatma;

Rosidawati; Jubaedi; Ahmad; Batubara, Irwan., 2008: 146-149).

Olahraga memerlukan takaran yang pas, tidak kurang dan tidak lebih,

terutama untuk kesehatan jantung. Format olahraga yang harus dipenuhi

agar tetap segar bugar adalah :

2.3.1.1 Frekuensi Latihan

Frekuensi latihan yang dimaksud adalah sering nya (berapa hari)

dilakukan latihan dalam kurun satu minggu sehingga latihan

tersebut memberikan manfaat. Beberapa penelitian

menyampaikan bahwa olahraga tiga hari dalam seminggu sudah

cukup baik. Olahraga yang dilakukan melebihi lima kali

seminggu akan menimbulkan berbagai komplikasi psikologis

maupun fisiologis, misal cedera tungkai, serangan jantung, dan

lain-lain. Dapat pula terjadi penebalan otot jantung yang tidak

harmonis sehingga jantung terganggu atau disebut kardiomiopati.

Sebaiknya olahraga dilakukan tiga sampai lima kali seminggu

karena kita memerlukan pemulihan untuk memberikan

kesempatan kepada otot dan persendian untuk memulihkan diri.

2.3.1.2 Intensitas Latihan

Reaksi denyut jantung dapat dipakai sebagai cerminan reaksi

pembebanan. Beban yang dapat diterima jantung berkisar antara

60-80% dari kekuatan maksimalnya jantung. Beban ini

dijabarkan dengan denyut jantung antara 70-80% denyut

maksimal. Bila latihan dilakukan dibawah 70% efek latihan

maka kemampuan sangatlah sedikit dan kurang bermanfaat.

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

36

Untuk beban latihan, kemampuan jantung harus diukur dengan

uji latih jantung.

2.3.1.3 Tempo Latihan

Darah akan bertambah banyak sewaktu orang melakukan latihan.

Aliran darah cukup bila beban antara 60-80% dari

kemampuannya atau 70-85% dari denyut jantung maksimal. Saat

jantung berdenyut pada beban tersebut, aliran akan meningkat 3-

5 kali lipat dibanding saat istirahat. Bila denyut jantung

dipertahankan selama latihan, aliran darah yang meningkat akan

bertahan. Artinya semakin lama orang berolahraga, semakin

lama pula aliran darah mengalir ke dalam pembuluh darah

koroner untuk memimgkatkan daya tahan jantung sehingga dosis

yang diberikan untuk latihan dibuat sedemikian rupa sehingga

porsi latihan dilakukan dalam kondisi tersebut. Denyut jantung

latihan disebut Training Heart Rate (THR). Beberapa penelitian

telah menunjukkan bahwa lama latihan antara 20-30 menit sudah

cukup memberikan kenaikan kemampuan sebanyak 35%, bila

dilakukan selama tiga hari dalam seminggu dalam jangka waktu

1 bulan.

2.4 Konsep Keberhasilan Program

Menurut Jones (dalam hidayah, 2012) istilah kebijakan digunakan dalam praktik

sehari-hari, diantaranya digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan

yang berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan, program,

keputusan, standar, proposal dan grand design. Secara umum, istilah kebijakan

dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor dalam suatu bidang

kegiatan tertentu.

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

37

Dengan demikian, dari definisi kebijakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

kebijakan adalah rangkaian konsep pokok yang menjadi garis besar dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan yang mengandung program pencapaian tujuan, nilai-

nilai dan praktek-praktek yang terarah bercirikan konsistensi dan pengulangan

tingkah laku dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.

2.4.1 Kebijakan Publik

Berbicara tentang kebijakan publik, maka tentu saja kita akan

bersinggungan dengan apa yang disebut dengan pengambilan

keputusan. Pengambilan keputusan merupakan kegiatan atau proses yang

dilakukan oleh pihak berwenang dalam negara untuk menetapkan

kebijakan-kebijakan umum yang terkait dengan kebaikan dan

kepentingan bersama. Dalam pengambilan keputusan ini biasanya para

desicion makers akan melakukan berapa rangkaian yang saling berikat,

mulai dari: menetapkan masalah yang benar, merumuskan alternatif-

alternatif guna menyelesaikan masalah yang ada, menghitung kerugian

dan keuntungan (cost and benefits) yang dapat tercipta dari alternatif

kebijakan yang telah disusun, sampai dengan pengambilan keputusan.

Dunn (2006:64) menjelaskan bahwa Kebijakan publik ialah pola

ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling

tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang

dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Menurut Anderson dalam

Agustino (2006:41) memberikan pengertian atas definisi kebijakan

publik adalah Serangkaian kegaiatan yang mempunyai maksud dan tujuan

tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau

sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau

suatu hal yang perlu diperhatikan.

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

38

2.4.2 Implementasi Kebijakan Publik

Negara sebagai suatu organisasi publik selain mempunyai tujuan (goals)

yang harus direalisasikan, ia juga mempunyai berbagai permasalahan

yang harus diatasi, dikurangi atau dicegah. Permasalahan tersebut bisa

berasal dari masyarakat itu sendiri, bisa juga berasal sebagai dampak

negatif dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik, yaitu,

nilai, kebutuhan atau peluang yang tak terwujudkan yang meskipun bisa

diidentifikasi tetapi hanya mungkin dicapai lewat tindakan publik (Dunn,

1994 : 58 dalam Tachjan, 2006).

Karakteristik masalah publik yang harus diatasi selain bersifat

interdependensi juga bersifat dinamis, sehingga pemecahannya

memerlukan pendekatan holistik (holistic approach), yaitu pendekatan

yang memandang masalah sebagai bagian dari keseluruhan yang tidak

dapat dipisahkan atau diukur sendirian.

Dengan demikian, karena masalah-masalah publik tidak bisa diatasi

secara perorangan dan di samping itu dikehendaki pemecahan secara

efektif dan efisien, maka mensyaratkan adanya proses perumusan

masalah dan penetapan kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar sekali suatu

kebijakan publik ditetapkan dan diimplementasikan maka dampak

positifnya akan dirasakan oleh publik secara luas, termasuk oleh pembuat

kebijakan itu sendiri.

2.4.3 Implementasi Kebijakan Model Edward III

Pendapat yang dikemukakan oleh Edwards III (1980 : 10-`11) bahwa,

kinerja atau efektivitas kerja yang dicapai oleh organisasi pelaksana

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

39

(birokrasi) dalam implementasi kebijakan publik, akan ditentukan oleh

factor : “Bureaucratic Structure, Resources, Dispositions,

Communication”. Dalam hal ini, struktur birokrasi, sumber daya, dan

disposisi, dapat diposisikan sebagai faktor kepemilikan (hal yang perlu

dimiliki) birokrasi, sedangkan komunikasi dapat diposisikan sebagai

aktivitas yang harus dilakukan oleh birokrasi (Tachjan, 2006).

2.4.3.1 Faktor Sumber Daya

Faktor suber daya mempunyai peranan penting dalam

implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas

konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan suatu

kebijakan, jika para personil yang bertanggung jawab

mengimplementaskan kebijakan kurang mempunyai sumber-

sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka

implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.

Indikator-indikator yang dipergunakan untuk melihat

sejauhmana sumber daya dapat berjalan dengan rapi dan baik

adalah :

a. Staf : sumber daya utama dalam implementasi kebijakan

adalah staf/pegawai, atau lebih tepatnya street-level

bureaucrats. Kegagalan yang sering terjadi dalam

implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf

yang tidak memadai, mencukupi ataupun tidak kompeten di

bidangnya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah

implementasi perlu juga diperhitungkan manakala hendak

menentukan staf pelaksana kebijakan.

b. Informasi: dalam implementasi kebijakan, informasi

mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi yang

berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan,

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

40

implementor harus mengetahui apa yang harus mereka

lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan

tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari

para pelaksana terhadap regulasi pemerintah yang telah

ditetapkan, implementor hatus mengetahui apakah orang lain

yang terlibat dalam pelaksanaan tersebut patuh terhadap

hukum.

c. Wewenang: kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi

bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang

telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat

formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi

karena dipandang oleh publik implementor tersebut tidak

terlegitimasi. Tetapi dalam konteks yang lain, efektivitas

kewenangan dapat menyurut manakala diselewengkan oleh

para pelaksana demi kepentingannya sendiri mapun

kelompoknya.

2.4.3.2 Faktor Komunikasi

Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk

menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya,

harapan atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor

komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena

dalam setiap proses kegiatan melibatkan unsur manusia dan

sumber daya yang akan selalu berurusan dengan permasalahan

”Bagaimana hubungan yang dilakukan”. Implemantasi yang

efektif baru akan terjdai apabila para pembuat kebijakan dan

implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan

hal itu hanya akan diperoleh melalui komunikasi yang baik, yang

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

41

juga dari komunikasi tersebut membentuk kualitas partisipatif

masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam

mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu :

a. Transmisi : penyaluran komuikasi yang baik akan dapat

menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali

komunikasi yang telah melalui beberapa tingkatan birokrasi

menyebabkan terjdainya salah pengertian (miskomunikasi).

b. Kejelasan : komunikasi yang diterima oleh para pelaksana

kebijakan haruslah jelas, akurat, dan tidak ambigu, sehingga

dapat dihindari terjadinya perbedaan tujuan yang hendak

dicapai oleh kebijakan seperti yang telah ditetapkan (tidak

tepat sasaran).

c. Konsistensi: perintah yang diberikan kepada implementor

haruslah kosisten dan jelas. Karena apabila perintah sering

berubah-ubah akan membingungkan pelaksana kebijakan,

sehingga tujuan dari kebijakan tidak akan tercapai.

2.4.3.3 Struktur Organisasi

Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah

geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau

mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan

menetap. Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh tiga

komponen yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi Fertilitas

(Kelahiran). Menurut Atmadji (2007) dalam Hidayah (2012)

Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil

reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok

wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

42

bayi yang lahir hidup. Natalitas mempunyai arti yang sama

dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas

menyangkut peranan kelahiran pada perubahan penduduk

sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan

penduduk dan reproduksi manusia.

2.4.3.4 Disposisi (Sikap dan Perilaku)

Disposisi dalam pendapat ini merupakan faktor yang bertalian

dengan watak atau sikap serta komitmen yang harus dimiliki

oleh pelaksana kebijakan. Pelaksana tidak hanya harus tahu apa

yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melaku-

kannya, melainkan mereka juga mesti memiliki kehendak (sikap)

untuk melakukan suatu kebijakan. “Implementors not only must

know what to do and have the capability to do it, but they must

also desire to carry out a policy” (Edwards III, 1980 : 11 dalam

Tahcjan, 2006).

Dikemukakan oleh Thoha (2002 : 37) bahwa, nilai, kepercayaan,

asumsi, persepsi, norma prilaku, dan pola (pattern) sikap,

termasuk ke dalam aspek-aspek kebudayaan yang bersifat

intangible (intangible things). Dengan demikian, disposisi

(sikap) tersebut merupakan faktor budaya yang dimiliki oleh

birokrasi. Faktor ini dapat diposisikan sebagai energi sosial yang

dapat menggerakkan implementor (Tachjan, 2006).

Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk

mengimplementasikan kebijakan. Dalam implemtasi kebijakan

menurut Edward III , jika ingin berhasil secara efektif dan

efisien, para pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

43

harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk

mengimplemenatsikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga

harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan

kebijakan tersebut. Hal-hal pentig yang perlu diperhatikan pada

variabel disposisi menurut Edward III, antara lain:

a. Pengangkatan birokrat: pemilihan dan pengangkatan personil

pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memilki

dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus

lagi pada kepentingan warga. Disposisi atau sikap para

implementor yang tidak mau melaksanakan kebijakan yang

telah ditepkan akan menimbulkan hambatan-hambatan bagi

tercapainya tujuan dari pengimplementasian kebijakan.

b. Insentif: Edward III menyatakan bahwa salah satu teknik

yang disarankan untuk mnegatasi kecenderungan sikap para

pelaksana kebijakan adalah dengan memanipulasi insentif.

Pada umumnya, orang bertindak berdasarkan kepentingan

mereka sediri, maka manipulasi insentif oleh pembuat

kebijakan dapat mengurangi tindakan para pelaksana

kebijakan. Deng menambah keuntungan atau biaya tertentu

mungkin dapat memotivasi para pelaksana kebijakan untuk

dapat melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan

dalam upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest)

atau organisasi.

2.5 Konsep Sikap

2.5.1 Pengertian Sikap

Thomaz dan Znaniecki (1920) sikap adalah predisposisi untuk melakukan

suatu perilaku tertentu, sehungga sikap bukan hanya kondisi internal

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

44

psikologis yang murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi

sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnyaindividual (Dewi

dan Wawan, 2010).

Menurut Allport (1935) bahwa sikap merupakan kesiapan mental, yaitu

suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan

pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan menentukan

respons terhadap berbagai obyek dan situasi (Dewi dan Wawan, 2010).

Menurut Notoatmojo (1997) sikap merupakan reaksi atau respon sesorang

yang, masih tertutup teerhadap suatu stimulus atau objek (Dewi dan

Wawan, 2010).

Menurut Heri Purwanto (1998) sikap adalah pandangan-pandangan atau

perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek

tadi (Dewi dan Wawan, 2010).

2.5.2 Komponen Pokok Sikap

Menurut Azwar S (2000) stuktur sikap terdiri atas 3 komponen yang

sangat menunjang, yaitu:

2.5.2.1 Komponen kognitif

Komponen kognitif berisi persepsi dan kepercayaan yang

dimiliki oleh individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen

kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini).

2.5.2.2 Komponen afektif

Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek

sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah

yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

45

merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-

pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.

2.5.2.3 Komponen konatif

Komponen konatif merupakan komponen perilaku yang

cenderung untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu

dengan cara-cara tertentu.

2.5.3 Cara Pengukuran Sikap

Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologi sosial adalah

bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran

sikap, antara lain:

2.5.3.1 Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals)

Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada

rentangan kontinum dari yang sangat unfavorabel hingga sangat

favorabel terhadap suatu objek sikap. Caranya dengan

memberikan orang tersebut sejumlah item sikap yang telah

ditentukan derajat favorabilitasnya. Tahap yang paling kritis

dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap

dan perhitungan ukuran yang mencerminkan derajat favorabilitas

dari masing-masing pernyataan. Derajat (ukuran) favorabilitas

ini disebut ilai skala.

Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap,

pembuat skala perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar

lebih 100 buah atau lebih. Pernyataan-pernyataan itu kemudian

diberikan kepada beberapa orang penilai (judges). Penilaian ini

bertugas untuk menentukan derajat favorabilitas nilai itu di

ekspresikan melalui titik skala rating yang memiliki rentang 1-11

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

46

sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 sangat tidak setuju

tugas penilaian ini bukan untuk menyampaikan setuju tidaknya

mereka terhadap pernyataan itu. Median atau rerata perbedaan

penilaian antar penilai terhadap item ini kemudian dijadikan

sebagai nilai skala masing-masing item. Pembuat skala

kemudian menyusun item mulai dari item yang memiliki nilai

skala terendah hingga tertinggi. Dari item-item tersebut pembuat

skala kemudian memilih item untuk kuesioner skala sikap yang

sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini

kemudian diberikan kepada responden. Responden diminta

menunjukan seberapa kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada

masing-masing item sikap tersebut.

Teknik ini disusun oleh Thrustone didasarkan pada asumsi-

asumsi: ukuran sikap seseorang dapat digambarkan dengan

interval skala sama. Perbedaan yang sama pada suatu

skalamencerminkan perbedaan yang sama pula dalam sikapnya.

Asumsi kedua adalah nilai skala yang berasal dari rating para

penilai tidak dipengaruhi oleh sikap penilai pada isue. Penilai

melakukan rating terhadap item dalam tataran yang sama

terhadap isue tersebut.

2.5.3.2 Skala Likert (Method of Summateds Ratings)

Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang

lebih sederhana dibandingkan dengan skala Thurstone. Skala

Thurstone yang terdiri dari 11 point di sederhanakan menjadi dua

kelompok, yaitu yang favorabel dan unfavorabel. Sedangkan

item yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi hilangnya

netral tersebut, Likert menggunakan teknik konatruksi test yang

Page 38: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

47

lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement

atau disegreementnya untuk masing-masing item dalam skala

yang terdiri dari 5 point (sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak

setuju, sangat tidak setuju). Semua item yang favorabel

kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju

nilainya 5, sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 1.

Sebaliknya, untuk item yang unfavorabel nilai skala sangat tidak

setuju nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone, skala Likert

disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama

(equali-interval scale).

2.5.3.3 Unobstrusive Measures

Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat

mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang

berhubungan sikapnya dalam pernyataan.

2.5.3.4 Multidemensional Scaling

Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila

dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat

unindemensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala

menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur

dimensial kurang valid terutama apabila diterapkan pada lain

orang, lain isu dan lain skala aitem.

2.5.3.5 Pengukuran Involuntary Behavior (pengukuran terselubung)

a. Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau

dapat dilakukan oleh responden.

b. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi

oleh kerelaan responden.

Page 39: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

48

c. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap

reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan

oleh individu yang bersangkutan.

d. Observer dapat menginterpretasikan sikap individu mulai

dari fasial, reaction, voice tones, body gesture, keringat,

dilatasi pupil mata, detak jantung dan beberapa aspek

fisiologis lainnya.

2.5.4 Hubungan sikap dengan keberhasilan program

2.5.4.1 Tingkatan Sikap

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Soekidjo

Notoatmojo, 1996) :

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan

memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan

menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi

dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab

pertanyaan atau mengerjakan tugas diberikan. Terlepas dari

hal tersebut, pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti

bahwa orang mnerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Menghargai diartikan subyek atau seseorang memberikan

nilai yang positif terhadap obyek atau stimulus, dalam arti

membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau

mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

Page 40: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

49

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya

dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling

tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB,

meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang

tuanya sendiri.

2.5.5 Sikap Pelaku Pelayanan

Lestari (2014) Terdapat lima aspek yang harus dimiliki jasa pelayanan,

yaitu:

2.5.5.1 Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal

sama dengan batas waktu standar. Merupakan batas waktu

kunjungan dirumah sakit yang sudah ditentukan batas waktunya.

2.5.5.2 Tepat, kecepatan tanpa ketepatan dalam bekerja tidak menjamin

kepuasan konsumen. Bagaimana dalam memberikan pelayanan

kepada pasien yaitu tepat memberikan bantuan dengan keluhan-

keluhan pasien.

2.5.5.3 Aman, rasa aman meliputi aman secara fisikataupun psikis

selama pengkonsumsian suatu produk atau dalam memberikan

pelayanan jasa yaitu memperhatikan keamanan pasien dan

memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pasien

sehingga memberikan rasa aman kepada pasien.

Page 41: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

50

2.5.5.4 Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan

pada saat pelanggan menyampaikan keluhan. Perawat selalu

ramah dalam menerima keluhan tanpa emosi yang tinggi

sehingga pasien akan merasa senang dan menyukai pelayanan

dari perawat.

2.5.5.5 Nyaman, rasa nyaman timbul jika seseorang merasa diterima apa

adanya. Pasien yang membutuhkan kenyamanan baik dari runag

inap maupun situasi dan kondisi yang nyaman sehingga pasien

akan merasakan kenyamanan dalam proses penyembuhannya.

2.5.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap

Beberapa faktor yang ikut berperan dalam pembentukan sikap antara lain:

2.5.6.1 Pengalaman pribadi

Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan

mempengaruhi penghayatan kita terhadapstimulus sosial.

Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap.

Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang

harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek

psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk

sikap positif ataukah negatif akan tergantung pada faktor lain.

2.5.6.2 Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara

komponen sosial yang kita anggap penting, seseorang yang kita

harapkan persetujuan bagi setiap gerak tingkah dan pendapat

kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang

yang berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi

pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang

Page 42: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

51

biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang

yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat,

guru, teman kerja, isteri atau suami dan lain-lain.

2.5.6.3 Pengaruh kebudayaan

Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempuyai

pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita

hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi

pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai

sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan

heteroksesual. Apabila kita hidup dalam budaya sosia yang

sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap

kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan

perorangan.

2.5.6.4 Media massa

Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa

mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan

kepercayaan orang. Media massa membawa pesan-pesan yang

berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-

pesan sugesti yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup

kuat akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal

sehingga terbentuklah sikap tertentu.

2.5.6.5 Lembaga pendidikan dan lembaga agama

Lembaga pendidikan serta lembaga agama, lembaga pendidikan

suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap

dikarenakan keduanya diletakkan dasar pengertian dan konsep

moral dalam diri individu.

Page 43: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

52

2.5.6.6 Pengaruh faktor emosional

Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan

pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk

sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang

berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau bentuk

pengalihan mekanisme pertahanan ego.

2.6 Konsep Perilaku

2.6.1 Pengertian perilaku

Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu

tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi

dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan

berbagai faktor yang saling berinteraksi (Dewi dan Wawan, 2010).

Perilaku Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh individu baik yang

diamati secara langsung maupun tidak langsung, Perilaku manusia pada

hakikatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri, oleh

karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas.

(Notoatmojo, 2002 dalam Rusdyah, 2008).

2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku

Menurut Notoatmojo (2002) dalam Rusydiah (2008) menganalisis

perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan, bahwa kesehatan

seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor

di luar perilaku (Non Behaviour Causes) dan faktor di dalam perilaku

(Behaviour Causes) dan faktor perilaku tersebut dipengaruhi oleh:

2.6.2.1 Faktor predisposisi (Predisposing Factor) yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

Page 44: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

53

2.6.2.2 Faktor pendukung (Enabling Factor) yang terwujud dalam

lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana

kesehatan misalnya obat-obatan, peralatan steril, ruang

perawatan dan sebagainya.

2.6.2.3 Faktor pendorong (Reinforcing Factor) yang terwujud dalam

sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain yang

merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

2.6.3 Hubungan Perilaku dengan keberhasilan program

2.6.3.1 Macam-macam bentuk perilaku

Menurut Alberti (1977) dalam Wowo Sunaryo Kusna (2014)

perilaku ada 3 macam, yaitu perilaku agresif, perilaku asertif dan

perilaku non-asertif:

a. Perilaku agresif

Perilaku agresif adalah perilaku antar pribadi di mana

seseorang berdiri untuk hak-hak mereka sendiri sedemikian

rupa sehingga hak orang lain dilanggar. Perilaku agresif

seperti menghina, mendominasi, atau menempatkan orang

lain lebih rendah dari dirinya, dan tidak sekedar

mengekspresikan emosi atau pikiran sendiri. Perilaku agresif

sering dikesankan bersikap bemusuhan, menunjukan reaksi

berlebihan atau ledakan emosional yang merupakan hasil dari

kemarahan terpendam masa lalu (Wowo Sunaryo Kuswana,

2014).

Page 45: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

54

b. Perilaku asertif

Perilaku asertif adalah perilaku komunikasi antar pribadi

dimana seseorang berdiri untuk hak-hak yang sah sedemikian

rupa, sehingga hak-hak orang lain tidak di langgar atau

ditiadakan (Alberti , 1977 dalam Wowo Sunaryo Kuswana,

2014).

Berdasarkan dari beberapa pengertian tentang perilaku asertif

dapat disimpulkan bahawa perilaku asertif adalah suatu

komunikasi yang bersifat langsung, terbuka, jujur, pada

tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak

seseorang tanpa kecemasan yang beralasan, tidak berbelit-

belit dan sesuai dengan gerak-gerik tubuh. Diungkapkan

dengan cara tanpa adanya unsur mengacam, menghukum

atau menjauhkan orang lain.

1) Ciri-ciri perilaku asertif

Ada lima ciri-ciri individu dengan perilaku asertif ciri-ciri

yang dimaksud yaitu (Rathus dan Nevid, 1983 dalam

Awaluddin Tjalla, 2008):

a) Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri

Menghormati orang lain berarti menghormati hak-hak

yang mereka miliki, tetapi tidak berarti menyerah

atau selalu menyetujui apa yang diinginkan orang

lain. Artinya, individu tidak harus menurut dan takut

mengungkapkan pendapatnya kepada seseorang

karena orang tersebut lebih tua dari dirinya atau

memiliki kedudukan yang lebih tinggi.

Page 46: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

55

b) Berani mengungkapkan pendapat secara langsung

Perilaku asertif memungkinkan individu

mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan kebutuhan

lainnya secara langsung dan jujur.

2) Kejujuran

Bertindak jujur berarti mengekspresikan diri secara tepat

agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat atau

pilihan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.

3) Memperhatikan situasi dan kondisi

Semua jenis komunikasi melibatkan setidaknya dua orang

dan terjadi dalam konteks tertentu bertindak asertif

seseorang harus dapat memperhatikan lokasi, waktu,

frekuensi, inrensitas komunikasi dan kualitas hubungan.

4) Bahasa tubuh

Dalam bertindak asertif yang terpenting bukanlah apa

yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya.

Bahasa ubuh yang menghambat komunikasi, misalnya:

jarang tersenyum, terlihat kaku, mengerutkan muka,

berbicara kaku, bibir terkatup rapat, mendominasi

pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan

nada bicara tidak tepat.

c. Perilaku non-asertif

Perilaku non-asertif adalah jenis perilaku interpersonal yang

memungkinkan hak-hak orang dilanggar oleh orang lain. Hal

ini dapat terjadi dalam dua cara, pertama, seseorang gagal

Page 47: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

56

untuk menegaskan diri sendiri ketika orang lain dengan

sengaja mencoba untuk melanggar hak-hak anda. Kedua,

orang lain tidak ingin melanggar batas hak-hak kita, tetapi

kegagalan untuk mengekspresikan kebutuhan sebagai hasil

perasaan dalam pelanggaran tidak disengaja. Orang yang

tidak tegas dapat menghambat, reaksi spontan dan biasanya

terasa sakit, cemas dan kadang-kadang marah akibat dari

tindakan yang tidak tegas dalam situasi tertentu (Wowo

Sunaryo Kuswana, 2014).

Perbedaan perilaku agresif, perilaku asertif, dan perilaku non-asertif

Agresif Asertif Non-asertif

Ciri-ciri

perilaku

Mengungkapkan

keinginan, ide-

ide dan perasaan

dengan

mengorbankan

orang lain.

Mengungkapkan

keinginan, ide,

dan perasaan

dengan cara

yang langsung

dan tepat.

Tidak

mengekspresik

an keinginan

mereka dengan

cara mencela

diri sendiri.

Perasaan

ketika

berindak

dengan

cara:

Benar sendiri,

superior.

Yakin, merasa

baik tentang diri

pada saat itu dan

kemudian.

Cemas,

kecewa

dengan diri

sendiri, sering

marah, dan

kesal.

Perasaan

orang lain

tentang

diri

mereka

sendiri

ketika

anda

bertindak

dengan

cara:

Dipermalukan

dan terluka.

Dihormati dan

dihargai.

Bersalah atau

unggul.

Perasaan

orang lain

Marah dan

dendam

Biasanya

menghormati.

Iritasi,

kasihan, dan

Page 48: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

57

tentang

anda

bertindak

dengan

cara:

jijik.

Keluaran Sering

mendapatkan

apa yang anda

inginkan dengan

mengorbankan

orang lain.

Sering merasa

dibenarkan

daripada

“mendapatkan”.

Sering

mendapat yang

diinginkan.

Jangan

mendapatkan

apa yang anda

inginkan,

kemarahan

menumpuk.

Penyelesai

an

Kemarahan dan

merasa superior.

Merasa baik,

dihormati oleh

orang lain.

Peningkatan

ke[ercayaan diri

dan hubungan.

Menghindari

situasi yang

tidak

menyenangkan

, menghindari

konflik,

ketegangan,

konfortasi.

Tabel 2.1 Perilaku agresif, asertif, dan non-asertif

Page 49: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Puskesmas

58

2.7 Kerangka Konsep Penelitian

Untuk dapat melihat alur penelitian maka akan dibuat bagan kerangka konsep

peneliti sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak diteliti

Gambar 2.1 kerangka konsep penelitian

2.8 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang serta perumusan masalah, dan kerangka

konsepsual yang telah disusun maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ada

hubungan antara sikap dan perilaku petugas pelayanan kesehatan dengan keberhasilan

program senam lansia Di Puskesmas Pekauman Wilayah Kota Banjarmasin.

Faktor yang

mempengaruhi :

1. Sumber daya

2. Birokrasi

3. Komunikasi

Keberhasilan Program

Senam Lansia

4. Sikap dan perilaku

(disposisi)