Upload
others
View
5
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diare
2.1.1 Definisi
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan
konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari. Menurut WHO
(2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air besar
(defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya
lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air besar lebih
dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah.
Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi
feses dan frekuensi buang air besar. Seseorang mengalami diare bila feses lebih cair
dari biasanya, diare juga berarti bahwa frekuensi buang air besar tiga kali atau lebih
(Depkes, 2009).
2.1.2 Etiologi
Mekanisme diare menurut Juffrie (2011), secara umum menjabarkan bahwa
diare disebabkan dua kejadian yaitu adanya gangguan pada proses absorpsi atau
sekresi. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada
anak dan balita. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak umur 6 bulan-2 tahun
(Suharyono, 2008).
5
6
Pembagian diare antara lain (Juffrie, 2011):
1. Pembagian diare menurut etiologi
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan:
a. Absorpsi
b. Gangguan sekresi
3. Pembagian diare menurut lamanya diare:
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non
infeksi.
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi
infeksi.
Kemenkes RI (2011), secara klinis membagi penyebab diare dalam 4 kelompok,
tetapi yang sering ditemukan secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi virus
dan bakteri. Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab diare
tersering. Virus, terutama rotavirus merupakan penyebab utama (60- 70%) diare
infeksi pada anak, sedangkan sekitar 10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10%
adalah parasit. Penyebab penyakit diare sebagai berikut:
1. Faktor infeksi
a. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk + Norwalk Like Agent
b. Bakteri
1) Shigella, Salmonella, Eschericia coli, Golongan Vibrio
2) Bacillus cerecus, Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus,
Camphylobacter, Aeromanos
7
c. Parasit
1) Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,
Cryptosporidium
2) Cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastissistis
hominis
2. Malabsorpsi
3. Keracunan makanan
a. Keracunan bahan-bahan kimia
b. Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi
1) Jasad renik
2) Ikan
3) Buah-buahan
4) Sayur-sayuran
4. Diare terkait penggunaan antibiotik (Dta/Aad)
Diare bisa terjadi secara umum dari satu atau beberapa proses kejadian yang
saling tumpang tindih. Berdasarkan proses terjadinya diare dikenal: diare akibat
gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada
kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,
mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus
halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon
meningkat. Diare juga dapat dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan
imunologi.
8
Penderita diare biasanya sembuh tanpa mengalami komplikasi tapi sebagian
kecil penderita mengalami komplikasi akibat kekurangan cairan/dehidrasi, gangguan
elektrolit atau efek samping konsumsi obat. Komplikasi yang perlu diwaspadai
meskipun jarang terjadi yaitu: hipernatremia, hiponatremia, panas, edema/overhidrasi,
asidosis metabolic, intoleransi laktosa, hipokalemia, ileus paralitikus, kejang,
malabsorpsi glukosa, muntah, gagal ginjal.
2.1.3 Epidemiologi
Sekitar lima juta anak di seluruh dunia meninggal karena diare akut. Di
Indonesia, laporan yang masuk ke Departemen Kesehatan (DEPKES) menunjukkan
bahwa setiap anak mengalami serangan diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Angka
kesakitan dan kematian akibat diare mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tetapi
masih seringnya terjadi wabah atau KLB diare sehingga pemberantasannya menjadi
suatu hal yang sangat penting.
Data WHO tahun 2017, diare masih menjadi penyebab kematian terbesar kedua
pada balita. Tiap tahunnya diare menyebabkan kematian pada 760.000 balita di seluruh
dunia. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan gabungan angka kematian balita
karena Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), malaria dan campak.
Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2018, insiden diare pada balita di
Indonesia tahun 2018 adalah 6,8% dengan period prevalence 7,0%. Menurut
karakteristik umur, kejadian diare tertinggi di Indonesia terjadi pada balita (7,0%).
Balita dengan insiden diare tertinggi berada pada kelompok umur 12 sampai 23 bulan
(9,7%) (Kemenkes RI, 2018).
9
Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan di Indonesia (SDKI) tahun
2018, di Pulau Jawa, kasus diare di Provinsi Jawa Timur menduduki urutan kedua
terbanyak setelah Provinsi Jawa Barat. Diare termasuk dalam 10 kejadian yang sering
menyebabkan KLB. Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia 2018, Jawa
Timur mempunyai 479.355 kasus perkiraan diare pada balita dan sekitar 59,41% kasus
yang ditangani tenaga kesehatan (Dinkes Jawa Timur, 2019). Berdasarkan profil Dinas
Kesehatan Kota Malang tahun 2018, Penemuan kasus diare di Kota Malang pada tahun
2018 sebanyak 11.233 kasus atau 48,03% dari kasus yang telah diperkirakan. Hal ini
menandakan bahwa prevalensi diare masih tetap tinggi di Kota Malang meskipun
sudah dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penatalaksanaan diare (Dinkes Kota
Malang, 2018).
2.1.4 Faktor risiko
Juffrie dan Mulyani (2011), faktor risiko yang dapat meningkatan penularan
enteropatogen antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan
pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh
tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang
buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higenis dan cara penyapihan
yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut beberapa faktor pada penderita dapat
meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain gizi buruk,
imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,
menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik. Beberapa faktor yang
diduga dapat menjadi penyebab diare antara lain:
10
1. Faktor umur
Episode diare sebagian besar dapat terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan
makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar
antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin
terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang
pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak
sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu
menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang
dewasa.
2. Infeksi asimtomatik
Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini
meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi
asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita
mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi
asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila
mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-
pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Escheria coli dapat menyebabkan
bakteremia dan infeksi sistemik pada neonatus. Meskipun E. coli sering ditemukan
pada lingkungan ibu dan bayi, belum pernah dilaporkan bahwa ASI sebagai sumber
infeksi E. coli (Alan & Mulya, 2013).
11
3. Faktor musim
Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Di daerah
subtropis, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare
karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Di daerah tropis
(termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang
tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri
cenderung meningkat pada musim hujan.
Dalam penelitian Melvani, Zulkifli & Faizal (2019), menyebutkan bahwa
higiene sanitasi makanan dan minuman buruk menyebabkan adanya kejadian diare
sebesar 95,2%, sedangkan higiene sanitasi makanan dan minuman baik dengan adanya
kejadian diare adalah 38,9%.
Tabel 2.1 Distribusi Faktor Risiko Diare
Variabel Frekuensi %
Tingkat Pendidikan
Pemberian ASI Ekslusif Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman
45 38 42
75 63,3 70
(Melvani, Zulkifli, Faizal, 2019)
Menurut penelitian Dewi, Yusuf & Sabril (2017), secara umum membagi faktor
risiko ke dalam 3 kategori meliputi:
1. Faktor risiko kurangnya pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian diare pada balita
Definisi ASI eksklusif bermacam-macam tetapi definisi yang sering digunakan
adalah definisi WHO yang menyebutkan ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI
saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral, atau obat dalam
bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan. Pada saat lahir hingga beberapa bulan
berikutnya, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI
12
memberikan zat-zat kekebalan yang belum dapat dibuat oleh bayi tersebut, sehingga
bayi yang minum ASI lebih jarang sakit, terutama pada awal dari kehidupannya.
Komponen zat anti infeksi yang banyak dalam ASI akan melindungi bayi dari diare
oleh berbagai bakteri, virus, dan infeksi, serta antigen lainnya.
Pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel secara sistemik dan
berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif dari 4-6
bulan menjadi 6 bulan. Hasil dari artikel tersebut menyimpulkan bahwa bayi yang
disusui secara eksklusif sampai 6 bulan umumnya lebih sedikit menderita penyakit
gastrointestinal dan lebih sedikit mengalami gangguan pertumbuhan.
Penelitian Dewi, Yusuf & Sabril (2017), menyebutkan bahwa berdasarkan hasil
penelitian didapatkan bahwa balita yang terbanyak di teliti dari 104 balita yang
dinyatakan menderita diare karena tidak eksklusif pemberian ASInya sehingga
dinyatakan berisiko menderita diare berjumlah 61 balita (58,7%) dan balita yang tidak
berisiko berjumlah 43 balita (41,3%).
2. Faktor risiko kurangnya perilaku mencuci tangan
Cuci tangan sering dianggap sebagai hal yang sepele di masyarakat, padahal
cuci tangan bisa memberi kontribusi pada peningkatan status kesehatan masyarakat.
Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan kurang memperhatikan perlunya cuci
tangan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika di lingkungan sekolah. Perilaku
tersebut tentunya berpengaruh dan dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya
penyakit diare. Cuci tangan merupakan tekhnik dasar yang paling penting dalam
pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi.
13
Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa balita yang telah di teliti responden
menurut kebersihan mencuci tangan menunjukkan bahwa dari 104 balita yang
dinyatakan berisiko menderita diare karena tidak mencuci tangan dengan baik yaitu
berjumlah 56 balita (53,8%), sedangkan balita yang tidak berisiko berjumlah 48 balita
(46,2%). Hal tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam mencuci tangan pada balita
belum baik sehingga dapat berisiko menderita diare. (Dewi, Yusuf & Sabril, 2017).
3. Faktor risiko kurangnya penggunaan jamban sehat
Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan jamban pada masyarakat,
terdiri dari faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor pendukung. Faktor
predisposisi adalah faktor internal individu seperti, pengetahuan terkait jamban,
pendidikan, sikap, keyakinan, serta nilai yang dianut oleh individu. Sedangkan faktor
pemungkin yang dimaksud adalah faktor-faktor yang lingkungan diluar individu,
seperti kepemilikan jamban, dan ketersediaan prasarana. Dan faktor pendukung adalah
faktor yang datangnya dari luar dan bersifat mendukung faktor-faktor lain, seperti
petugas kesehatan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan dukungan keluarga.
Faktor risiko lain dari hasil penelitian yang didapatkan bahwa balita yang
terbanyak diteliti dari 104 balita yang dinyatakan menderita diare karena tidak
menggunakan jamban sehat telah diteliti yang dinyatakan berisiko menderita diare
berjumlah 41 balita (39,4%) dan balita yang tidak berisiko berjumlah 63 balita (60,6%)
(Dewi, Yusuf & Sabril, 2017).
2.1.5 Patofisiologi
Masalah dasar yang berhubungan dengan kejadian diare adalah meningkatnya
kadar air dalam tinja. Kadar air tinja >70% menyebabkan meningkatnya fluiditas tinja.
14
Berkurangnya jumlah elektrolit yang terkandung dalam tinja yang berfungsi mengikat
air menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian diare.
Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah penurunan
penyerapan cairan oleh mukosa usus sehingga jumlah cairan dalam usus meningkat,
peningkatan sekresi cairan oleh mukosa usus, kejadian ini dipengaruhi oleh aktivitas
osmotik dalam usus sehingga mempengaruhi kecepatan penyerapan cairan atau
peningkatan sekresi cairan mukosa, lama waktu penyerapan cairan, serta masa transit
cairan dalam usus. Perubahan tekanan osmotik dalam rongga usus terjadi akibat adanya
bahan kimia yang berfungsi menahan air dalam lumen usus yang mengakibatkan
penurunan penyerapan atau tingkat peningkatan sekresi oleh mukosa sehingga
mengakibatkan peningkatan jumlah cairan dalam rongga usus dan menimbulkan gejala
diare. Jumlah cairan pada bagian usus seperti terlihat dari gambar 3.1 berikut:
Gambar 2.1 Volume Cairan tiap Bagian Pencernaan. Sumber : Schiller, L. R. (2015)
Volume cairan yang melewati usus setiap hari terlihat seperti (Gambar 2.1).
Dalam rongga usus terdapat 9 – 10 L cairan yang bersumber dari makanan dan
minuman, air liur, cairan lambung, empedu dan cairan dari pankreas, selain itu juga
didapatkan dari succus entericus. Sebagian besar nutrisi dicerna dan diserap rongga
15
usus, volume cairan yang diserap + 4 L sehari. Usus kecil menyerap nutrisi dan cairan
+ 2,5 L serta menyisakan 1 – 1,5 L cairan untuk disalurkan ke usus besar setiap hari.
Usus besar menyerap hampir semua sisa cairan hanya menyisakan 0,1 L cairan. Air
dalam usus halus 99% diserap kembali, jika terjadi penurunan penyerapan air sebesar
1%, menyebabkan feses menjadi lebih encer dan hal itu dapat menyebabkan terjadinya
diare.
Setiap bagian usus memiliki kemampuan menyerap cairan yang berbeda
tergantung permeabilitas mukosa usus. Jejunum adalah bagian dari usus yang paling
banyak melakukan penyerapan nutrisi karena adanya enzim natrium-cotransporters
yang berfungsi membantu penyerapan glukosa, galaktosa dan penyerapan asam amino.
Jejunum memiliki permeabilitas yang tinggi sehingga memungkinkan penyerapan air
dibantu tekanan osmotik yang dihasilkan oleh penyerapan zat terlarut.
Usus besar merupakan bagian pencernaan yang kurang permeabel terhadap air
sehingga memiliki sedikit kemampuan menyerap cairan. Penyakit atau reseksi yang
melibatkan daerah usus menyebabkan pola diare berbeda. Diare dapat terjadi akibat
penyerapan air berkurang karena adanya gradien osmotik transmukosa abnormal
karena konsumsi zat terlarut yang ada mengubah transportasi mukosa, atau motilitas
gastrointestinal (Schiller, L. R. 2015).
1. Diare osmotik
Salah satu hal yang menyebabkan peningkatan kadar air pada tinja adalah
kesalahan konsumsi makanan seperti zat aktif osmotik pada garam, obat pencahar
selain itu juga disebabkan oleh gangguan penyerapan karbohidrat seperti gangguan
16
penyerapan laktosa pada pasien dengan defisiensi laktase. Ketika jumlah partikel aktif
osmotik berlebihan terdapat dalam lumen usus, maka sebagian besar cairan bergerak
secara pasif ke dalam usus, hal ini mengakibatkan beban zat terlarut melebihi kapasitas
penyerapan usus dan mengakibatkan diare. Oleh karena itu, diare osmotik akan
berhenti ketika anak tidak diberi makan. Jumlah partikel osmotik aktif yang berlebih
dapat terjadi akibat:
a. Konsumsi zat terlarut yang tidak dapat diserap seperti obat pencahar
osmotik seperti lactulose.
b. Malabsorpsi zat terlarut misalnya defisiensi disakarida, malabsorpsi
galaktosa-glukosa.
c. Kerusakan pada area mukosa yang mengganggu penyerapan cairan
disebabkan karena faktor usia, intoleransi protein susu sapi, penyakit crohn.
d. Gangguan motilitas seperti gastroschisis.
e. Sindrom usus, dan hipertiroidisme.
2. Secretory diare
Secretory diare terjadi akibat mukosa usus berlebihan mengeluarkan cairan, hal
tersebut terjadi karena iritasi enterosit oleh racun (seperti toksin kolera), atau karena
kelainan yang melekat pada enterosit, atau karena proses inflamasi lain pada dinding
enterosit.
Tabel 2.2 Perbedaan antara osmotik dan sekresi diare
Diare osmotic Secretory diare
1. Terjadi akibat jumlah partikel aktif
berlebihan dalam lumen usus 2. Berhenti ketika anak itu berpuasa
1. Mukosa usus mengeluarkan air
yang berlebihan ke dalam lumen 2. Berlanjut ketika anak itu berpuasa
17
Diagnosa
1. Konsumsi pencahar
2. Berlebihan karbohidrat yang terlarut
dalam lumen
3. Peradangan di mukosa usus 4. Gangguan motilitas
Diagnosa
1. Adanya toksin kolera
2. Penyebab infeksi lainnya
3. Peningkatan jumlah klorida
4. Enteropathies
Sumber : Schiller, L. R. (2015)
Masalah mendasar yang menjadi penyebab diare adalah feses encer dengan
kadar air >70% (Schiller, 2018). Diare terjadi akibat gangguan osmotik (makanan yang
tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat
sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga usus
berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat
toksin di dinding usus meningkat kemudian terjadi diare. Ganguan motilisasi usus yang
mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik (Ariani, 2016).
Diare dapat terjadi akibat penyerapan air dalam rongga usus berkurang, hal
tersebut terjadi karena adanya perubahan tekanan osmotik di rongga usus. Perubahan
tekanan osmotik mengakibatkan perubahan transportasi cairan dalam rongga usus
sehingga menyebabkan motilitas gastrointestinal abnormal. Gambar berikut ini
menjelaskan peningkatan kadar air pada feses akibat penyerapan air yang kurang serta
perbedaan jumlah elektrolit dalam rongga usus.
18
Gambar 2.2 Perbedaan Jumlah Elektrolit dan Tekanan Osmotik pada Diare Sumber : Schiller, 2018
Salah satu penyebab peningkatan kadar air pada feses adalah menurunnya
tekanan osmotik dalam rongga usus akibat berkurangnya jumlah elekrolit seperti garam
magnesium, serta gangguan penyerapan karbohidrat akibat kerusakan mukosa saluran
cerna (misalnya, laktosa pada pasien dengan defisiensi laktase). Jumlah elektrolit yang
berkurang tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dan menyebabkan
terjadinya pergeseran cairan plasma ke intestinal, pada keadaan tersebut dikenal
sebagai diare osmotik.
Adanya hambatan absorbs Na+ oleh enterosit menyebabkan terjadinya diare
sekretorik, akibatnya akan terjadi penigkatan sekresi cairan yang melebihi kemampuan
absorbsi dari kolon sehingga menyebabkan terjadinya diare.
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare
non inflamasi dan diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan
sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai
lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai
nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.
19
Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta
mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.
Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang
mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan
abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda
dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti.
Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.
Kejadian diare berdasarkan mekanisme akut maupun kronik dapat dibagi
menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif serta gangguan motilitas. Diare
osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas
dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah
malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang
berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang
dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak
rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin
Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus
halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri
atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, Inflamatory Bowel
Disease (IBD) atau akibat radiasi.
20
Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu
transit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma
usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling
tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan
absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan
atau adanya leukosit dalam feses.
Mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen Menurut Ciesla,
Guerrant (2003), terjadi karena melekatnya bakteri pada sel epitel baik disertai
kerusakan maupun tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, serta produksi
enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih
mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus meliputi proses
berikut:
1. Adhesi
Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer
fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria
terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai Colonization Factor Antigen (CFA)
yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)
Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi enteropatogenic E.coli
(EPEC), yang melibatkan gen EPEC Adherence Factor (EAF), menyebabkan
perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah
21
membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi
EPEC ini dan diare terjadi akibat shigella toksin.
Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada
jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau Enterohemorrhagic E. Coli
(EHEC).
2. Invasi
Kuman shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus.
Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel
sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraseluler menimbulkan reaksi inflamasi serta
kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti
leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman shigella juga memproduksi
shigella toksin yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan
menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala
disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya salmonella.
3. Sitotoksin
Prototipe kelompok toksin ini adalah shigella toksin yang dihasilkan oleh
shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin
adalah EHEC serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan
sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.
4. Enterotoksin
Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera Toxin (CT)
yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera
terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas
22
adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi
absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3
pada sel kripta mukosa usus.
ETEC menghasilkan Heat Labile Toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama
dengan CT serta Heat Stabile Toxin (ST). ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,
mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal
dan mengaktifkan sekresi klorida.
5. Peranan Enteric Nervous System (ENS)
Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan
reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus
mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.
Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan
refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen
kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT
juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan
prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja
pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.
23
Faktor Infeksi Faktor makanan
Masuk dan
berkembang di usus
Tekanan osmotic
meningkat Toksin tak dapat
diserap
Hipersekresi air dan
elektrolit Pergeseran air dan elektrolit
ke rongga usus
Hiperistaltik menurunkan
kesempatan usus menyerap
makanan
D I A R E
Gambar 2.3 Patofisiologi Diare
2.1.6 Gejala dan Tanda Diare
Menurut Widoyono (2008) beberapa gejala dan tanda diare antara lain:
1. Gejala umum
a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala diare
b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroentritis akut
c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare
d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis,
bahkan gelisah
Faktor Malabsorpsi
karbohidrat, protein,
lemak
24
2. Gejala spesifik
a. Vibro cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau
amis
b. Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah
Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan:
1. Dehidrasi (kekurangan cairan)
Tergantung dari presentasi cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat
terjadi ringan, sedang, atau berat.
2. Gangguan sirkulasi
Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam kurun waktu yang
singkat. Bila kehilangan cairan ini lebih dari 10% berat badan, pasien
dapat mengalami syok atau pre-shock yang disebabkan oleh
berkurangnya volume darah (hipovolemia).
3. Gangguan asam-basa (asidosis)
Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam
tubuh. Sehingga kompensasinya tubuh akan bernapas cepat untuk
membantu meningkatkan PH arteri.
4. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah)
Hipoglikemia sering terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami
malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia dapat menyebabkan koma.
Penyebab yang pasti belum diketahui, kemungkinan terjadi karena cairan
ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk kedalam cairan intraseluler
sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan koma.
25
5. Gangguan gizi
Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output
yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian makanan
dihentikan, serta sebelumnya penderita sudah mengalami kekurangan
gizi (malnutrisi).
2.1.7 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada diare kronik adalah
sebagai berikut:
1. Leukosit feses (stool leukocytes): merupakan pemeriksaan awal terhadap diare
kronik. Leukosit dalam feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal. Kultur
bakteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan adanya
infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromised, penting sekali kultur
organisma yang tidak biasa seperti kriptokokus, isospora dan M.Avium
Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin C difficle
harus diperiksa.
2. Volume feses: jika cairan diare tidak terdapat leukosit atau eritrosit, infeksi
enteric atau inflamasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses
24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus
dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore
atau diare tanpa malabsorbsi lemak.
3. Mengukur berat dan kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: jika berat feses
>300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500 gr
26
mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan
proses malabsorbstif.
4. Lemak feses: sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu
steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merah orange
per ½ lapang pandang dari sample Negara Sudan adalah positif. False negatif
dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk mengumpulkan
feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang banyak
dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau
insufisiensi pankreas.
5. Osmolalitas feses: diperlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotik
atau diare sekretori. Elekrolit feses Na, K dan osmolalitas harus diperiksa.
Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290
mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K) dimana nilai
normalnya <50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur, metabolit
karbohidrat primer (asetat, propionat dan butirat) yang bernilai untuk anion gap,
terjadi dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di kolon kedalam asam
lemak rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi yang terkumpul
dalam suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam sebelum osmolalitas
diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan normal atau osmotic gap
yang rendah biasanya menunjukkan diare sekretori. Sebaliknya osmotic gap
tinggi menunjukkan suatu diare osmotik.
27
6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses: untuk menunjukkan adanya giardia
E histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora yang
dideteksi dengan modifikasi noda asam.
7. Pemeriksaan darah: pada diare inflamasi ditemukan leukositosis, LED yang
meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan
mengesankan suatu protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal.
Skrining awal CBC, protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan
abnormalitas absorbsi. Fe, VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam
lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi lemak
pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi limfatik
postmukosa. Protombin time, karotin dan kolesterol mungkin turun tetapi Fe,
folat dan albumin mungkin sekali rendah jika penyakit adalah mukosa primer
dan normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau obstruksi limfatik.
8. Tes laboratorium lainnya: pada pasien yang diduga sekretori maka dapat
diperiksa seperti serum VIP (VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison Syndrome),
calcitonin (Medullary Thyroid Carcinoma), cortisol (Addison’s Disease), dan
urinary 5-HIAA (Carcinoid Syndrome).
9. Diare factitia: phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi feses
dengan NaOH yang akan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif feses
terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses lainnya.
Diantaranya Mg, SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotik seperti
MgSO4, mgcitrat, Na2SO4 dan Na2PO4.
28
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Biopsi usus halus: biopsi usus halus diindikasikan pada (a) pasien dengan diare
yang tidak dapat dijelaskan atau steatore, (b) anemia defisiensi Fe yang tidak
dapat dijelaskan yang mungkin menggambarkan absorbsi Fe yang buruk pada
celiac spure, dan (c) osteoporosis idiopatik yang menggambarkan defisiensi
terisolasi terhadap absorbs kalsium.
2. Enteroskopi usus halus: memerlukan keterampilan khusus yang dapat
membantu menidentifikasi lesi pada usus halus.
3. Protosigmoidoskopi dengan biopsi mukosa: pemeriksaan ini dapat membantu
dalam mendeteksi IBD termasuk colitus mikroskopik, melanosis coli dan
indikasi penggunaan kronis anthraguinone laksatif.
4. Rangkaian pemeriksaan usus halus: pemeriksaan yang optimal diperlukan bagi
klinisi untuk mengetahui segala sesuatu ayng terjadi di abdomen. Radiologis
dapat melakukan flouroskopi dalam memeriksa keseluruhan bagian usus halus
atau enteroclysis yang dapat menjelaskan dalam 6 jam pemeriksaan dengan
interval 30 menit. Tube dimasukkan ke usus halus melewati ligamentum treitz,
kemudian diijeksikan suspensi barium melalui tube dan sesudah itu 1-2 liter
0,5% metil selulosa diinjeksikan.
5. Imaging: penyebab diare dapat secara tepat dan jelas melalui pemeriksaan
imaging jika diindikasikan. Klasifikasi pada radiografi plain abdominal dapat
mengkonfirmasi pankreatitis kronis. Studi seri gastrointestinal atas atau
enterokolosis dapat membantu dalam mengevaluasi chron’s disease, limfoma
atau sindroma carcinoid. Kolososkopi dapat membantu mengevaluasi IBD.
29
Endoskopi dengan biopsi usus halus berguna dalam mendiagnosa dugaan
malabsorbsi akibat penyakit pada mukosa. Endoskopi dengan aspirasi
duodenum dan biopsi usus halus berguna pada pasien AIDS, cryptosporidium,
microsporida, Infeksi M Avium intraseluler. CT Abdominal dapat menolong
dalam mendeteksi pankreatitis kronis atau endokrin pankreas.
2.2. Pencegahan Diare
Diare merupakan penyakit yang bisa menyebabkan penderita mengalami
dehidrasi. Selain itu diare yang berkepanjangan bisa mnyebabkan anak mengalami
kelainan pertumbuhan. Oleh karena itu diperlukan penanganan sebagai langkah
penencegahan diare. Pencegahan diare secara garis besar dibagi menjadi tiga tingkatan
pencegahan penyakit secara umum yaitu: pencegahan tingkat pertama (primary
prevention) terdiri atas promosi kesehatan serta pencegahan khusus, pencegahan
tingkat kedua (secondary prevention) yang merupakan diagnosis dini serta pengobatan
yang tepat untuk penanggulangan diare, terakhir adalah pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.
2.2.1 Pencegahan primer (primary prevention)
Pencegahan primer (primary prevention) adalah pencegahan tingkat awal
dengan cara menghindari atau mengatasi faktor risiko penyebab diare, pencegahan
primer pada diare ditujukan pada faktor pnyebab terjadinya diare, lingkungan serta
faktor penjamu dilakukan dengan health promotion dan spesific protection.
Promosi kesehatan (health promotion) adalah tindakan yang dilakukan
masyarakat yang masih dalam keadaan sehat untuk mempertahankan status
30
kesehatannya. Tujuan dari promosi kesehatan adalah melakukan pembinaan kepada
masyarakat untuk menciptakan lingkungan sehat dan terbebas dari penyakit. Promosi
kesehatan bagi masyarakat untuk mencegah kejadian diare antara lain:
a. Pemberian ASI
ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi
dan zat- zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap
diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4
kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.
Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare
(Depkes RI, 2006).
ASI mengandung 87,5% air sehingga pada pemberian periode ASI eksklusif
selama 6 bulan, bayi tak perlu diberi minuman atau makanan lain, kecuali dalam
kondisi medis tertentu. ASI juga mengandung immunoglobulin A yang terdapat pada
kolostrum, karbohidrat juga terkandung dalam ASI yang terdiri atas laktosa. Sementara
protein penting yang terkandung dalam ASI, yaitu whey dan kasein, taurin yang
berperan untuk pertumbuhan otak serta nukleotida yang berfungsi untuk perkembangan
usus. Kandungan ASI berikutnya adalah lemak, kadar lemak pada ASI berfungsi untuk
pertumbuhan otak. ASI kaya akan lemak omega 3 dan omega 6.
Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan
risiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara
lain dari menyusui namun pemberian susu formula diberikan dengan menggunakan
botol susu. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi
terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).
31
b. Membersihkan/mensterilkan botol susu
Ada berbagai alasan orang tua terpaksa tidak memberikan ASI kepada anaknya,
sehingga peran ASI diganti dengan susu formula bayi, jika menggunakan susu formula
bayi maka kebersihan peralatan dan proses penyajian susu harus diperhatikan. Panduan
untuk membersihkan dan sterilisasi peralatan, serta menyiapkan dan menyajikan susu
formula bayi berdasarkan PERMENKES Nomor 39 tahun 2013 seperti dibawah:
1. Cara membersihkan dan sterilisasi peralatan, meliputi:
a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum membersihkan dan
mensterilkan peralatan minum bayi
b. Mencuci semua peralatan (botol, dot, sikat botol dan sikat dot) dengan
sabun, dan
c. Membilas botol dan dot dengan air yang mengalir
2. Sterilisasi dengan cara direbus, meliputi:
a. Botol harus terendam seluruhnya sehingga tidak ada udara di dalam
botol
b. Panci ditutup dan biarkan sampai mendidih selama 5 – 10 menit
c. Panci biarkan tertutup, biarkan botol dan dot didalamnya sampai segera
akan digunakan
d. Mencuci tangan dengan sabun sebelum mengambil botol dan dot
e. Bila botol tidak langsung digunakan setelah direbus botol harus
disimpan ditempat yang bersih dan tertutup, dan
f. Dot dan penutupnya terpasang dengan baik
3. Cara menyiapkan dan menyajikan susu formula bayi, meliputi:
32
a. Membersihkan tempat penyiapan susu formula bayi
b. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, kemudian keringkan
c. Rebus air minum sampai mendidih dalam panci tertutup
d. Biarkan air tersebut didalam panci tertutup selama 10-15 menit agar
suhunya turun menjadi tidak kurang dari 70°C
e. Tuangkan air tersebut (suhunya tidak kurang dari 70°C) sebanyak yang
dapat dihabiskan oleh bayi (jangan berlebihan) ke dalam botol susu
yang telah disterilkan
f. Tambahkan bubuk susu formula bayi sesuai takaran yang dianjurkan
pada label
g. Tutup kembali botol susu dan kocok sampai susu formula bayi larut
dengan baik
h. Dinginkan segera dengan merendam bagian bawah botol susu di dalam
air bersih dingin, sampai suhunya sesuai untuk diminum (dicoba dengan
meneteskan susu formula bayi pada pergelangan tangan, akan terasa
agak hangat, tidak panas), dan
i. Sisa susu formula bayi yang telah dilarutkan dibuang setelah 2 (dua)
jam
c. Pemberian makanan pendamping ASI
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai
dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang
berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat
33
menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang
menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006).
Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan
pendamping ASI yang lebih baik yaitu:
1. Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih
meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak
berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari)
setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak
dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI.
2. Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian
untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.
3. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta
menyuapi anak dengan sendok yang bersih. Memasak atau merebus makanan
dengan benar, menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan
memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006).
d. Penyediaan air bersih yang cukup
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,
dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Sebagian besar
kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral mereka dapat
ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar
34
dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci
yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006). Masyarakat yang terjangkau oleh
penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil
dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI,
2006).
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan
menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari
sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan
oleh keluarga adalah:
1. Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.
2. Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat
lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan
serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk
menjauhkan air hujan dari sumber.
3. Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan
gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.
4. Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan (Depkes RI, 2006).
e. Mencuci tangan.
Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting
dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,
terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan
makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak
dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).
35
f. Menggunakan jamban
Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan
jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit
diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban, dan keluarga
harus buang air besar di jamban (Depkes RI, 2006).
Yang harus diperhatikan oleh keluarga:
1. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh
seluruh anggota keluarga.
2. Bersihkan jamban secara teratur.
3. Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air
besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan
tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari
buang air besar tanpa alas kaki. (Depkes RI, 2006).
g. Membuang tinja bayi yang benar
Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini
tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-hal yang harus
diperhatikan:
1. Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun
atau kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus.
2. Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih dan
mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bila wadahnya
36
atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti kertas koran
atau daun besar dan buang ke dalam kakus.
3. Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya
(Depkes RI, 2006).
Spesific protection merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan
masyarakat untuk mencegah agen penyakit. Tujuan spesific protection adalah
melindungi secara khusus terhadap ancaman suatu penyakit. Berikut ini adalah spesific
protection bagi masyarakat untuk mencegah kejadian diare:
a. Imunisasi
Diare biasanya sering terjadi menyertai adanya penyakit campak, sehingga
pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi
terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2017), menyebutkan bahwa imunisasi campak
merupakan langkah penting untuk melindungi anak balita dari episode diare dan
kematian akibat diare. Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran
cerna sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai akibat menurunnya
daya tahan penderita campak.
2.2.2 Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada anak yang telah menderita diare
atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya efek samping dan
komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian
oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare.
37
Kemenkes RI (2011), telah membuat kebijakan pengendalian penyakit diare di
Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena
diare bersama lintas program dan lintas sektor terkait.
Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah adalah:
1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan
melalui Lintas Diare.
2. Meningkatkan tatalaksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan
benar.
3. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan penanggulangan KLB
diare.
4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi.
Kejadian diare berdasarkan derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi:
1. Diare tanpa dehidrasi
Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
a. Keadaan umum : baik
b. Mata : normal
c. Rasa haus : normal, minum biasa
d. Turgor kulit : kembali cepat
Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb:
1. Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret
2. Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret
3. Umur diatas 5 tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret
38
2. Diare dehidrasi ringan/sedang
Diare dengan dehidrasi ringan/sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau
lebih:
1. Keadaan umum : gelisah, rewel
2. Mata : cekung
3. Rasa haus : haus, ingin minum banyak
4. Turgor kulit : kembali lambat
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgBB dan
selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa
dehidrasi.
3. Diare dehidrasi berat
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
1. Keadaan umum : lesu, lunglai, atau tidak sadar
2. Mata : cekung
3. Rasa haus : tidak bisa minum atau malas minum
4. Turgor kulit : kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)
Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas
untuk di infus.
39
Berdasarkan derajat dehidrasi maka penangan diare dibagi menjadi seperti
pada tabel berikut:
Tabel 2.3. Rencana Terapi 1
UNTUK TERAPI DIARE TANPA DEHIDRASI MENERANGKAN 5 LANGKAH TERAPI DIARE DI RUMAH
1. BERI CAIRAN LEBIH BANYAK DARI BIASANYA a. Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama
b. Anak yang mendapat ASI ekslusif, beri ORALIT atau air matang sebagai
tambahan
c. Anak yang tidak mendapat ASI ekslusif, beri susu yang biasa diminum dan
ORALIT atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air tajin,
air matang dsb)
d. Beri ORALIT sampai diare berhenti. Bila muntah tunggu 30 menit dan
lanjutkan sedikit demi sedikit
Umur <1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak
Umur >1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak
e. Berikan anak 6 bungkus ORALIT (200ml) di rumah jika:
Telah diobati dengan rencana terapi B atau C
Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika direnya memburuk
f. Ajari ibu cara mencampur dan memberikan ORALIT
2. BERI OBAT ZINC
Beri ZINC 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. diberikan
dengan dikunyah atau dilarutkan dalam satu sendok air matang atau ASI
a. Umur < 6bulan diberi 10mg (1/2 tablet) perhari
b. Umur > 6bulan diberi 20 mg (1tablet) perhari
3. BERI ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI
a. Beri makanan sesuai umur anak dengan menu yang sama waktu anak sehat
b. Tambahkan 1 - 2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan
c. Beri makanan kaya kalsium seperti buah segar, pisang, air kelapa muda
d. Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil setiap hari
(setiap 3 - 4 jam)
e. Setelah diare berhenti beri makanan yang sama dan makanan tambahan
selama 2 minggu
4. BERI ANTIBIOTIK SELEKTIF
Antibiotik hanya diberikan pada diare berdarah dan kolera
5. NASIHAT IBU/PENGASUH
Membawa anak kembali ke petugas kesehatan bila:
a. Berak cair lebih sering
b. Muntah berulang
c. Sangat haus d. Makan dan minum sangat sedikit
40
e. Timbul demam f. Berak berdarah
g. Tidak membaik dalam 3 hari
Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)
Tabel 2.4. Rencana Terapi 2
RENCANA TERAPI 2
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/BERAT
JUMLAH OBAT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI SARANA KESEHATAN
ORALIT yang diberikan = 75 ml x BERAT BADAN anak
a. Bila BB tidak diketahui berikan ORALIT sesuai tabel dibawah ini:
Umur sampai <4 bulan 4-12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun
Berat Badan <5 kg 5-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah cairan 200-400 400-700 700-900 900-1400
b. Bila anak menginginkan lebih banyak ORALIT, berikan
c. Bujuk ibu untuk meneruskan ASI
d. Untuk bayi <6 bulan, tunda pemberian makanan selama 3 jam kecuali ASI
dan ORALIT
e. Beri obat ZINC selama 10 hari berturut – turut
AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN
ORALIT
a. Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan
b. Berikan sedikit demi sedikit tapi sering dari gelas
c. Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah
d. Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian ORALIT dan
berikann anak air masak atau ASI
e. Beri ORALIT sesuai Rencana Terapi A bila pembengkakan telah hilang
SETELAH 3 - 4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN
PENILAIAN, KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A,B ATAU C UNTUK
MELANJUTKAN TERAPI
a. Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi telah
hilang, anak biasanya kencing kemudian mengantuk dan tidur
b. Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/sedang, ulangi Rencana Terapi B
c. Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah
d. Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi C
BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B
a. Tunjukkan jumlah ORALIT yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di
rumah
b. Berikan ORALIT 6 bungkus untuk persediaan di rumah
c. Jelaskan 5 langkah Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah
41
Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)
Tabel 2.5. Rencana Terapi 3
Rencana Terapi 3
Untuk Terapi Diare Dehidrasi Berat Di Sarana Kesehatan
Ikuti tanda panah
Jika jawaban "YA"
Lanjutkan ke KANAN
Dapatkah saudara memberikan
cairan intravena
YA
TIDAK
Adakah terapi terdekat (dalam 30
menit)
YA
TIDAK
a. Beri cairan intravena segera: RL / NaCl 0,9% (bila RL tidak tersedia)
100ml/kgBB, dibagi sebagai berikut:
Umur Pemberian I
30 ml/kgBB Kemudian 70ml/kgBB
Bayi<1 tahun 1 jam* 5 jam
Anak >2 tahun
30 menit* 2 1/2 jam
* Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah
atau tidak teraba
b. Nilai kembali tiap 15 - 30 menit. Bila nadi
belum teraba, beri tetesan lebih cepat
c. Juga beri ORALIT (5ml/kg/jam) bila
penderita bisa minum; biasanya setelah 3-
4 jam (bayi) atau 102 jam (anak)
d. Berikan obat ZINC selama 10 hari
berturut- turut
e. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak)
nilai lagi derajat dehidrasi
Kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai
(1, 2 atau 3) untuk melanjutkan terapi
f. Rujuk penderita untuk terapi intravena
g. Bila penderita bisa minum, sediakan
ORALIT dan tunjukkan cara
memberikannya selama di perjalanan
Apakah saudara dapat
menggunakan pipa
nasogastrik/orogastrik untuk
dehidrasi
YA
TIDAK
h. Mulai rehidrasi dengan ORALIT melalui
Nasogastrik/Orogastrik. Berikan sedikit
demi sedikit, 20 ml/kgBB/jam
i. Nilai setiap 1-2 jam
Bila muntah atau perut kembung,
berikan cairan lebih lambat
Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam rujuk untuk terapi intravena
42
Apakah penderita bisa minum
YA
→
TIDAK
↓
j. Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih
rencana terapi yang sesuai (1, 2, atau 3)
k. Mulai rehidrasi dengan ORALIT melalui
mulut. Berikan sedikit demi sedikit, 20
ml/kg BB/jam selama 6 jam
l. Nilai setiap 1- 2 jam:
Bila muntah atau perut kembung, berikan
cairan lebih lambat
Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam
rujuk untuk terapi intravena
m. Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih
rencana terapi yang sesuai
Segera rujuk anak untuk rehidrasi
melalui nasogastrik/ orogastrik
atau intravena
YA
Catatan:
Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6
jam setelah rehidrasi untuk memastikan
bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan
cairan yang hilang dengan memberi
ORALIT
Bila umur anak diatas 2 tahun dan kolera
baru saja berjangkit di daerah saudara,
pikirkan kemungkinan kolera dan berikan
antibiotika yang tepat secara oral begitu anak sadar
Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)
Standar penatalaksaan penderita diare di sarana kesehatan melalui Lintas Diare
dilakukan antara lain:
1. Berikan oralit
Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga
dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan
rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di
pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat
mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi
penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum
43
harus segera dibawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui
infus.
2. Berikan obat zinc
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat
menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim
ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga
berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan
fungsi selama kejadian diare.
Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat
keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta
menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Black, 2003).
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa zinc mempunyai efek protektif terhadap
diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc
mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat 1998 dan Soenarto 2007).
Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat anak mengalami
diare.
3. Pemberian ASI/makanan:
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada
penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya
berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang
minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau
lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan
yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare
44
berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu
pemulihan berat badan.
4. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi
Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare
pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita
diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.
Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita
diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali
muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status
gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa
berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit
(amuba, giardia).
5. Pemberian nasehat
Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat
tentang:
1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:
a. Diare lebih sering
b. Muntah berulang
c. Sangat haus
d. Makan/minum sedikit
e. Timbul demam
f. Tinja berdarah
45
g. Tidak membaik dalam 3 hari
2.2.3 Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah pencegahan tertier pada tahap penderita diare
harus diupayakan tidak mengalami kecatatan atau kematian akibat dehidrasi. Pada
tahap ini dilakukan pengembalian fungsi fisik, dan psikologis penderita diare. Pada
tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya efek lanjutan
dari penyakit diare.
Sasaran pencegahan tertier pada penderita diare adalah mencegah bertambah
berat penyakit diare dan menurunkan komplikasi. Bahaya diare adalah kurang gizi serta
kematian disebabkan dehidrasi, yaitu kehilangan banyak cairan dan garam dari tubuh.
Diare juga dapat menyebabkan kurang gizi atau memperburuk keadaan gizi yang
terjadi sebelumnya akibat penderita susah makan dan tidak merasa lapar sehingga
asupan gizi berkurang atau tidak ada sama sekali.
Upaya yang dilakukan dalam pencegahan tertier ini adalah:
a. Pengobatan serta perawatan diare diberikan berdasarkan derajat dehidrasi.
Penilaian derajat dehidrasi dilakukan petugas kesehatan menggunakan tabel
penilaian derajat dehidrasi. Penderita diare yang mengalami dehidrasi berat
harus segera diberikan cairan intarvena berupa ringer laktat.
b. Memberikan makanan secukupnya selama diare agar gizi penderita terpenuhi
terutama anak-anak sehingga tetap kuat dan tumbuh serta mencegah penurunan
berat badan.
c. Saat diare berhenti, memberikan makanan tambahan selama dua minggu untuk
membantu mempercepat pemulihan penderita.