41
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diare 2.1.1 Definisi Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari. Menurut WHO (2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air besar (defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air besar lebih dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah. Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi feses dan frekuensi buang air besar. Seseorang mengalami diare bila feses lebih cair dari biasanya, diare juga berarti bahwa frekuensi buang air besar tiga kali atau lebih (Depkes, 2009). 2.1.2 Etiologi Mekanisme diare menurut Juffrie (2011), secara umum menjabarkan bahwa diare disebabkan dua kejadian yaitu adanya gangguan pada proses absorpsi atau sekresi. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada anak dan balita. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak umur 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008). 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKAeprints.umm.ac.id/57578/3/BAB 2.pdf · (2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air besar (defekasi) lebih sering dari biasanya,

  • Upload
    others

  • View
    5

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diare

2.1.1 Definisi

Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang buang air besar dengan

konsistensi lembek atau cair, dan frekuensinya lebih dari 3 kali sehari. Menurut WHO

(2009), penyakit diare adalah gejala yang umum, dimana penderita buang air besar

(defekasi) lebih sering dari biasanya, dan konsistensi tinjanya encer, berat tinjanya

lebih dari 200 gram atau berat tinjanya kurang dari 200 gram tapi buang air besar lebih

dari 3 kali sehari dan tinjanya berlendir, berdarah.

Diare merupakan penyakit yang terjadi ketika terdapat perubahan konsistensi

feses dan frekuensi buang air besar. Seseorang mengalami diare bila feses lebih cair

dari biasanya, diare juga berarti bahwa frekuensi buang air besar tiga kali atau lebih

(Depkes, 2009).

2.1.2 Etiologi

Mekanisme diare menurut Juffrie (2011), secara umum menjabarkan bahwa

diare disebabkan dua kejadian yaitu adanya gangguan pada proses absorpsi atau

sekresi. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada

anak dan balita. Infeksi rotavirus biasanya terdapat pada anak umur 6 bulan-2 tahun

(Suharyono, 2008).

5

6

Pembagian diare antara lain (Juffrie, 2011):

1. Pembagian diare menurut etiologi

2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan:

a. Absorpsi

b. Gangguan sekresi

3. Pembagian diare menurut lamanya diare:

a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non

infeksi.

c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi

infeksi.

Kemenkes RI (2011), secara klinis membagi penyebab diare dalam 4 kelompok,

tetapi yang sering ditemukan secara klinis adalah diare yang disebabkan infeksi virus

dan bakteri. Infeksi baik itu oleh virus, bakteri dan parasit merupakan penyebab diare

tersering. Virus, terutama rotavirus merupakan penyebab utama (60- 70%) diare

infeksi pada anak, sedangkan sekitar 10-20% adalah bakteri dan kurang dari 10%

adalah parasit. Penyebab penyakit diare sebagai berikut:

1. Faktor infeksi

a. Virus : Rotavirus, Adenovirus, Norwalk + Norwalk Like Agent

b. Bakteri

1) Shigella, Salmonella, Eschericia coli, Golongan Vibrio

2) Bacillus cerecus, Clostridium botulinum, Staphylococcus aureus,

Camphylobacter, Aeromanos

7

c. Parasit

1) Protozoa, Entamoeba histolytica, Giardia lamblia, Balantidium coli,

Cryptosporidium

2) Cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastissistis

hominis

2. Malabsorpsi

3. Keracunan makanan

a. Keracunan bahan-bahan kimia

b. Keracunan oleh racun yang dikandung dan diproduksi

1) Jasad renik

2) Ikan

3) Buah-buahan

4) Sayur-sayuran

4. Diare terkait penggunaan antibiotik (Dta/Aad)

Diare bisa terjadi secara umum dari satu atau beberapa proses kejadian yang

saling tumpang tindih. Berdasarkan proses terjadinya diare dikenal: diare akibat

gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada

kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,

mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus

halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon

meningkat. Diare juga dapat dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan

imunologi.

8

Penderita diare biasanya sembuh tanpa mengalami komplikasi tapi sebagian

kecil penderita mengalami komplikasi akibat kekurangan cairan/dehidrasi, gangguan

elektrolit atau efek samping konsumsi obat. Komplikasi yang perlu diwaspadai

meskipun jarang terjadi yaitu: hipernatremia, hiponatremia, panas, edema/overhidrasi,

asidosis metabolic, intoleransi laktosa, hipokalemia, ileus paralitikus, kejang,

malabsorpsi glukosa, muntah, gagal ginjal.

2.1.3 Epidemiologi

Sekitar lima juta anak di seluruh dunia meninggal karena diare akut. Di

Indonesia, laporan yang masuk ke Departemen Kesehatan (DEPKES) menunjukkan

bahwa setiap anak mengalami serangan diare sebanyak 1,6-2 kali setahun. Angka

kesakitan dan kematian akibat diare mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Tetapi

masih seringnya terjadi wabah atau KLB diare sehingga pemberantasannya menjadi

suatu hal yang sangat penting.

Data WHO tahun 2017, diare masih menjadi penyebab kematian terbesar kedua

pada balita. Tiap tahunnya diare menyebabkan kematian pada 760.000 balita di seluruh

dunia. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan gabungan angka kematian balita

karena Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), malaria dan campak.

Berdasarkan data riset kesehatan dasar tahun 2018, insiden diare pada balita di

Indonesia tahun 2018 adalah 6,8% dengan period prevalence 7,0%. Menurut

karakteristik umur, kejadian diare tertinggi di Indonesia terjadi pada balita (7,0%).

Balita dengan insiden diare tertinggi berada pada kelompok umur 12 sampai 23 bulan

(9,7%) (Kemenkes RI, 2018).

9

Menurut hasil Survei Demografi dan Kesehatan di Indonesia (SDKI) tahun

2018, di Pulau Jawa, kasus diare di Provinsi Jawa Timur menduduki urutan kedua

terbanyak setelah Provinsi Jawa Barat. Diare termasuk dalam 10 kejadian yang sering

menyebabkan KLB. Berdasarkan data dari profil kesehatan Indonesia 2018, Jawa

Timur mempunyai 479.355 kasus perkiraan diare pada balita dan sekitar 59,41% kasus

yang ditangani tenaga kesehatan (Dinkes Jawa Timur, 2019). Berdasarkan profil Dinas

Kesehatan Kota Malang tahun 2018, Penemuan kasus diare di Kota Malang pada tahun

2018 sebanyak 11.233 kasus atau 48,03% dari kasus yang telah diperkirakan. Hal ini

menandakan bahwa prevalensi diare masih tetap tinggi di Kota Malang meskipun

sudah dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penatalaksanaan diare (Dinkes Kota

Malang, 2018).

2.1.4 Faktor risiko

Juffrie dan Mulyani (2011), faktor risiko yang dapat meningkatan penularan

enteropatogen antara lain: tidak memberikan ASI secara penuh untuk 4-6 bulan

pertama kehidupan bayi, tidak memadainya penyediaan air bersih, pencemaran air oleh

tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK), kebersihan lingkungan dan pribadi yang

buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang tidak higenis dan cara penyapihan

yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut beberapa faktor pada penderita dapat

meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain gizi buruk,

imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,

menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik. Beberapa faktor yang

diduga dapat menjadi penyebab diare antara lain:

10

1. Faktor umur

Episode diare sebagian besar dapat terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.

Insidensi tertinggi terjadi pada kelompok umur 6-11 bulan pada saat diberikan

makanan pendamping ASI. Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar

antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin

terkontaminasi bakteri tinja dan kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang

pada saat bayi mulai merangkak. Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak

sebagian kekebalan melawan infeksi atau penyakit yang berulang, yang membantu

menjelaskan menurunnya insiden penyakit pada anak yang lebih besar dan pada orang

dewasa.

2. Infeksi asimtomatik

Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini

meningkat setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi

asimtomatik yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita

mengandung virus, bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi

asimtomatik berperan penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila

mereka tidak menyadari adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-

pindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Escheria coli dapat menyebabkan

bakteremia dan infeksi sistemik pada neonatus. Meskipun E. coli sering ditemukan

pada lingkungan ibu dan bayi, belum pernah dilaporkan bahwa ASI sebagai sumber

infeksi E. coli (Alan & Mulya, 2013).

11

3. Faktor musim

Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Di daerah

subtropis, diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare

karena virus terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Di daerah tropis

(termasuk Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang

tahun dengan peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri

cenderung meningkat pada musim hujan.

Dalam penelitian Melvani, Zulkifli & Faizal (2019), menyebutkan bahwa

higiene sanitasi makanan dan minuman buruk menyebabkan adanya kejadian diare

sebesar 95,2%, sedangkan higiene sanitasi makanan dan minuman baik dengan adanya

kejadian diare adalah 38,9%.

Tabel 2.1 Distribusi Faktor Risiko Diare

Variabel Frekuensi %

Tingkat Pendidikan

Pemberian ASI Ekslusif Higiene Sanitasi Makanan dan Minuman

45 38 42

75 63,3 70

(Melvani, Zulkifli, Faizal, 2019)

Menurut penelitian Dewi, Yusuf & Sabril (2017), secara umum membagi faktor

risiko ke dalam 3 kategori meliputi:

1. Faktor risiko kurangnya pemberian ASI eksklusif terhadap kejadian diare pada balita

Definisi ASI eksklusif bermacam-macam tetapi definisi yang sering digunakan

adalah definisi WHO yang menyebutkan ASI eksklusif adalah pemberian hanya ASI

saja tanpa cairan atau makanan padat apapun kecuali vitamin, mineral, atau obat dalam

bentuk tetes atau sirup sampai usia 6 bulan. Pada saat lahir hingga beberapa bulan

berikutnya, bayi belum dapat membentuk kekebalan sendiri secara sempurna. ASI

12

memberikan zat-zat kekebalan yang belum dapat dibuat oleh bayi tersebut, sehingga

bayi yang minum ASI lebih jarang sakit, terutama pada awal dari kehidupannya.

Komponen zat anti infeksi yang banyak dalam ASI akan melindungi bayi dari diare

oleh berbagai bakteri, virus, dan infeksi, serta antigen lainnya.

Pada tahun 2001, setelah melakukan telaah artikel secara sistemik dan

berkonsultasi dengan para pakar, WHO merevisi rekomendasi ASI eksklusif dari 4-6

bulan menjadi 6 bulan. Hasil dari artikel tersebut menyimpulkan bahwa bayi yang

disusui secara eksklusif sampai 6 bulan umumnya lebih sedikit menderita penyakit

gastrointestinal dan lebih sedikit mengalami gangguan pertumbuhan.

Penelitian Dewi, Yusuf & Sabril (2017), menyebutkan bahwa berdasarkan hasil

penelitian didapatkan bahwa balita yang terbanyak di teliti dari 104 balita yang

dinyatakan menderita diare karena tidak eksklusif pemberian ASInya sehingga

dinyatakan berisiko menderita diare berjumlah 61 balita (58,7%) dan balita yang tidak

berisiko berjumlah 43 balita (41,3%).

2. Faktor risiko kurangnya perilaku mencuci tangan

Cuci tangan sering dianggap sebagai hal yang sepele di masyarakat, padahal

cuci tangan bisa memberi kontribusi pada peningkatan status kesehatan masyarakat.

Anak-anak usia sekolah mempunyai kebiasaan kurang memperhatikan perlunya cuci

tangan dalam kehidupan sehari-hari, terutama ketika di lingkungan sekolah. Perilaku

tersebut tentunya berpengaruh dan dapat memberikan kontribusi dalam terjadinya

penyakit diare. Cuci tangan merupakan tekhnik dasar yang paling penting dalam

pencegahan dan pengontrolan penularan infeksi.

13

Dari hasil penelitian di dapatkan bahwa balita yang telah di teliti responden

menurut kebersihan mencuci tangan menunjukkan bahwa dari 104 balita yang

dinyatakan berisiko menderita diare karena tidak mencuci tangan dengan baik yaitu

berjumlah 56 balita (53,8%), sedangkan balita yang tidak berisiko berjumlah 48 balita

(46,2%). Hal tersebut dapat di simpulkan bahwa dalam mencuci tangan pada balita

belum baik sehingga dapat berisiko menderita diare. (Dewi, Yusuf & Sabril, 2017).

3. Faktor risiko kurangnya penggunaan jamban sehat

Banyak faktor yang mempengaruhi penggunaan jamban pada masyarakat,

terdiri dari faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor pendukung. Faktor

predisposisi adalah faktor internal individu seperti, pengetahuan terkait jamban,

pendidikan, sikap, keyakinan, serta nilai yang dianut oleh individu. Sedangkan faktor

pemungkin yang dimaksud adalah faktor-faktor yang lingkungan diluar individu,

seperti kepemilikan jamban, dan ketersediaan prasarana. Dan faktor pendukung adalah

faktor yang datangnya dari luar dan bersifat mendukung faktor-faktor lain, seperti

petugas kesehatan, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan dukungan keluarga.

Faktor risiko lain dari hasil penelitian yang didapatkan bahwa balita yang

terbanyak diteliti dari 104 balita yang dinyatakan menderita diare karena tidak

menggunakan jamban sehat telah diteliti yang dinyatakan berisiko menderita diare

berjumlah 41 balita (39,4%) dan balita yang tidak berisiko berjumlah 63 balita (60,6%)

(Dewi, Yusuf & Sabril, 2017).

2.1.5 Patofisiologi

Masalah dasar yang berhubungan dengan kejadian diare adalah meningkatnya

kadar air dalam tinja. Kadar air tinja >70% menyebabkan meningkatnya fluiditas tinja.

14

Berkurangnya jumlah elektrolit yang terkandung dalam tinja yang berfungsi mengikat

air menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian diare.

Diare dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah penurunan

penyerapan cairan oleh mukosa usus sehingga jumlah cairan dalam usus meningkat,

peningkatan sekresi cairan oleh mukosa usus, kejadian ini dipengaruhi oleh aktivitas

osmotik dalam usus sehingga mempengaruhi kecepatan penyerapan cairan atau

peningkatan sekresi cairan mukosa, lama waktu penyerapan cairan, serta masa transit

cairan dalam usus. Perubahan tekanan osmotik dalam rongga usus terjadi akibat adanya

bahan kimia yang berfungsi menahan air dalam lumen usus yang mengakibatkan

penurunan penyerapan atau tingkat peningkatan sekresi oleh mukosa sehingga

mengakibatkan peningkatan jumlah cairan dalam rongga usus dan menimbulkan gejala

diare. Jumlah cairan pada bagian usus seperti terlihat dari gambar 3.1 berikut:

Gambar 2.1 Volume Cairan tiap Bagian Pencernaan. Sumber : Schiller, L. R. (2015)

Volume cairan yang melewati usus setiap hari terlihat seperti (Gambar 2.1).

Dalam rongga usus terdapat 9 – 10 L cairan yang bersumber dari makanan dan

minuman, air liur, cairan lambung, empedu dan cairan dari pankreas, selain itu juga

didapatkan dari succus entericus. Sebagian besar nutrisi dicerna dan diserap rongga

15

usus, volume cairan yang diserap + 4 L sehari. Usus kecil menyerap nutrisi dan cairan

+ 2,5 L serta menyisakan 1 – 1,5 L cairan untuk disalurkan ke usus besar setiap hari.

Usus besar menyerap hampir semua sisa cairan hanya menyisakan 0,1 L cairan. Air

dalam usus halus 99% diserap kembali, jika terjadi penurunan penyerapan air sebesar

1%, menyebabkan feses menjadi lebih encer dan hal itu dapat menyebabkan terjadinya

diare.

Setiap bagian usus memiliki kemampuan menyerap cairan yang berbeda

tergantung permeabilitas mukosa usus. Jejunum adalah bagian dari usus yang paling

banyak melakukan penyerapan nutrisi karena adanya enzim natrium-cotransporters

yang berfungsi membantu penyerapan glukosa, galaktosa dan penyerapan asam amino.

Jejunum memiliki permeabilitas yang tinggi sehingga memungkinkan penyerapan air

dibantu tekanan osmotik yang dihasilkan oleh penyerapan zat terlarut.

Usus besar merupakan bagian pencernaan yang kurang permeabel terhadap air

sehingga memiliki sedikit kemampuan menyerap cairan. Penyakit atau reseksi yang

melibatkan daerah usus menyebabkan pola diare berbeda. Diare dapat terjadi akibat

penyerapan air berkurang karena adanya gradien osmotik transmukosa abnormal

karena konsumsi zat terlarut yang ada mengubah transportasi mukosa, atau motilitas

gastrointestinal (Schiller, L. R. 2015).

1. Diare osmotik

Salah satu hal yang menyebabkan peningkatan kadar air pada tinja adalah

kesalahan konsumsi makanan seperti zat aktif osmotik pada garam, obat pencahar

selain itu juga disebabkan oleh gangguan penyerapan karbohidrat seperti gangguan

16

penyerapan laktosa pada pasien dengan defisiensi laktase. Ketika jumlah partikel aktif

osmotik berlebihan terdapat dalam lumen usus, maka sebagian besar cairan bergerak

secara pasif ke dalam usus, hal ini mengakibatkan beban zat terlarut melebihi kapasitas

penyerapan usus dan mengakibatkan diare. Oleh karena itu, diare osmotik akan

berhenti ketika anak tidak diberi makan. Jumlah partikel osmotik aktif yang berlebih

dapat terjadi akibat:

a. Konsumsi zat terlarut yang tidak dapat diserap seperti obat pencahar

osmotik seperti lactulose.

b. Malabsorpsi zat terlarut misalnya defisiensi disakarida, malabsorpsi

galaktosa-glukosa.

c. Kerusakan pada area mukosa yang mengganggu penyerapan cairan

disebabkan karena faktor usia, intoleransi protein susu sapi, penyakit crohn.

d. Gangguan motilitas seperti gastroschisis.

e. Sindrom usus, dan hipertiroidisme.

2. Secretory diare

Secretory diare terjadi akibat mukosa usus berlebihan mengeluarkan cairan, hal

tersebut terjadi karena iritasi enterosit oleh racun (seperti toksin kolera), atau karena

kelainan yang melekat pada enterosit, atau karena proses inflamasi lain pada dinding

enterosit.

Tabel 2.2 Perbedaan antara osmotik dan sekresi diare

Diare osmotic Secretory diare

1. Terjadi akibat jumlah partikel aktif

berlebihan dalam lumen usus 2. Berhenti ketika anak itu berpuasa

1. Mukosa usus mengeluarkan air

yang berlebihan ke dalam lumen 2. Berlanjut ketika anak itu berpuasa

17

Diagnosa

1. Konsumsi pencahar

2. Berlebihan karbohidrat yang terlarut

dalam lumen

3. Peradangan di mukosa usus 4. Gangguan motilitas

Diagnosa

1. Adanya toksin kolera

2. Penyebab infeksi lainnya

3. Peningkatan jumlah klorida

4. Enteropathies

Sumber : Schiller, L. R. (2015)

Masalah mendasar yang menjadi penyebab diare adalah feses encer dengan

kadar air >70% (Schiller, 2018). Diare terjadi akibat gangguan osmotik (makanan yang

tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat

sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit ke dalam rongga usus, isi rongga usus

berlebihan sehingga timbul diare). Selain itu menimbulkan gangguan sekresi akibat

toksin di dinding usus meningkat kemudian terjadi diare. Ganguan motilisasi usus yang

mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik (Ariani, 2016).

Diare dapat terjadi akibat penyerapan air dalam rongga usus berkurang, hal

tersebut terjadi karena adanya perubahan tekanan osmotik di rongga usus. Perubahan

tekanan osmotik mengakibatkan perubahan transportasi cairan dalam rongga usus

sehingga menyebabkan motilitas gastrointestinal abnormal. Gambar berikut ini

menjelaskan peningkatan kadar air pada feses akibat penyerapan air yang kurang serta

perbedaan jumlah elektrolit dalam rongga usus.

18

Gambar 2.2 Perbedaan Jumlah Elektrolit dan Tekanan Osmotik pada Diare Sumber : Schiller, 2018

Salah satu penyebab peningkatan kadar air pada feses adalah menurunnya

tekanan osmotik dalam rongga usus akibat berkurangnya jumlah elekrolit seperti garam

magnesium, serta gangguan penyerapan karbohidrat akibat kerusakan mukosa saluran

cerna (misalnya, laktosa pada pasien dengan defisiensi laktase). Jumlah elektrolit yang

berkurang tersebut menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal dan menyebabkan

terjadinya pergeseran cairan plasma ke intestinal, pada keadaan tersebut dikenal

sebagai diare osmotik.

Adanya hambatan absorbs Na+ oleh enterosit menyebabkan terjadinya diare

sekretorik, akibatnya akan terjadi penigkatan sekresi cairan yang melebihi kemampuan

absorbsi dari kolon sehingga menyebabkan terjadinya diare.

Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan patofisiologis menjadi diare

non inflamasi dan diare inflamasi. Diare Inflamasi disebabkan invasi bakteri dan

sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai

lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan abdomen seperti mulas sampai

nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam, tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi.

19

Pada pemeriksaan tinja rutin secara makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta

mikroskopis didapati sel leukosit polimorfonuklear.

Pada diare non inflamasi, diare disebabkan oleh enterotoksin yang

mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa lendir dan darah. Keluhan

abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali, namun gejala dan tanda

dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak mendapat cairan pengganti.

Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan leukosit.

Kejadian diare berdasarkan mekanisme akut maupun kronik dapat dibagi

menjadi kelompok osmotik, sekretorik, eksudatif serta gangguan motilitas. Diare

osmotik terjadi bila ada bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas

dalam lumen yang menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah

malabsorbsi karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.

Diare sekretorik bila terjadi gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang

berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat terjadi akibat toksin yang

dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau pengaruh garam empedu, asam lemak

rantai pendek, atau laksantif non osmotik. Beberapa hormon intestinal seperti gastrin

Vasoactive Intestinal Polypeptide (VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.

Diare eksudatif, inflamasi akan mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus

halus maupun usus besar. Inflamasi dan eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri

atau bersifat non infeksi seperti gluten sensitive enteropathy, Inflamatory Bowel

Disease (IBD) atau akibat radiasi.

20

Kelompok lain adalah akibat gangguan motilitas yang mengakibatkan waktu

transit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan tirotoksikosis, sindroma

usus iritabel atau diabetes melitus.

Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi bakteri paling

tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus dan penurunan

absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan mengeluarkan toksin yang

menyebabkan terjadinya diare. Infeksi bakteri yang invasif mengakibatkan perdarahan

atau adanya leukosit dalam feses.

Mekanisme terjadinya diare akibat kuman enteropatogen Menurut Ciesla,

Guerrant (2003), terjadi karena melekatnya bakteri pada sel epitel baik disertai

kerusakan maupun tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, serta produksi

enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih

mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus meliputi proses

berikut:

1. Adhesi

Mekanisme adhesi yang pertama terjadi dengan ikatan antara struktur polimer

fimbria atau pili dengan reseptor atau ligan spesifik pada permukaan sel epitel. Fimbria

terdiri atas lebih dari 7 jenis, disebut juga sebagai Colonization Factor Antigen (CFA)

yang lebih sering ditemukan pada enteropatogen seperti Enterotoxic E. Coli (ETEC)

Mekanisme adhesi yang kedua terlihat pada infeksi enteropatogenic E.coli

(EPEC), yang melibatkan gen EPEC Adherence Factor (EAF), menyebabkan

perubahan konsentrasi kalsium intraselluler dan arsitektur sitoskleton di bawah

21

membran mikrovilus. Invasi intraselluler yang ekstensif tidak terlihat pada infeksi

EPEC ini dan diare terjadi akibat shigella toksin.

Mekanisme adhesi yang ketiga adalah dengan pola agregasi yang terlihat pada

jenis kuman enteropatogenik yang berbeda dari ETEC atau Enterohemorrhagic E. Coli

(EHEC).

2. Invasi

Kuman shigella melakukan invasi melalui membran basolateral sel epitel usus.

Di dalam sel terjadi multiplikasi di dalam fagosom dan menyebar ke sel epitel

sekitarnya. Invasi dan multiplikasi intraseluler menimbulkan reaksi inflamasi serta

kematian sel epitel. Reaksi inflamasi terjadi akibat dilepaskannya mediator seperti

leukotrien, interleukin, kinin, dan zat vasoaktif lain. Kuman shigella juga memproduksi

shigella toksin yang menimbulkan kerusakan sel. Proses patologis ini akan

menimbulkan gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, rasa lemah, dan gejala

disentri. Bakteri lain bersifat invasif misalnya salmonella.

3. Sitotoksin

Prototipe kelompok toksin ini adalah shigella toksin yang dihasilkan oleh

shigella dysentrie yang bersifat sitotoksik. Kuman lain yang menghasilkan sitotoksin

adalah EHEC serogroup 0157 yang dapat menyebabkan kolitis hemoragik dan

sindroma uremik hemolitik, kuman EPEC serta V. Parahemolyticus.

4. Enterotoksin

Prototipe klasik enterotoksin adalah toksin kolera atau Cholera Toxin (CT)

yang secara biologis sangat aktif meningkatkan sekresi epitel usus halus. Toksin kolera

terdiri dari satu subunit A dan 5 subunit B. Subunit A1 akan merangsang aktivitas

22

adenil siklase, meningkatkan konsentrasi cAMP intraseluler sehingga terjadi inhibisi

absorbsi Na dan klorida pada sel vilus serta peningkatan sekresi klorida dan HCO3

pada sel kripta mukosa usus.

ETEC menghasilkan Heat Labile Toxin (LT) yang mekanisme kerjanya sama

dengan CT serta Heat Stabile Toxin (ST). ST akan meningkatkan kadar cGMP selular,

mengaktifkan protein kinase, fosforilasi protein membran mikrovili, membuka kanal

dan mengaktifkan sekresi klorida.

5. Peranan Enteric Nervous System (ENS)

Berbagai penelitian menunjukkan peranan refleks neural yang melibatkan

reseptor neural 5-HT pada saraf sensorik aferen, interneuron kolinergik di pleksus

mienterikus, neuron nitrergik serta neuron sekretori VIPergik.

Efek sekretorik toksin enterik CT, LT, ST paling tidak sebagian melibatkan

refleks neural ENS. Penelitian menunjukkan keterlibatan neuron sensorik aferen

kolinergik, interneuron pleksus mienterikus, dan neuron sekretorik tipe 1 VIPergik. CT

juga menyebabkan pelepasan berbagai sekretagok seperti 5-HT, neurotensin, dan

prostaglandin. Hal ini membuka kemungkinan penggunaan obat antidiare yang bekerja

pada ENS selain yang bersifat antisekretorik pada enterosit.

23

Faktor Infeksi Faktor makanan

Masuk dan

berkembang di usus

Tekanan osmotic

meningkat Toksin tak dapat

diserap

Hipersekresi air dan

elektrolit Pergeseran air dan elektrolit

ke rongga usus

Hiperistaltik menurunkan

kesempatan usus menyerap

makanan

D I A R E

Gambar 2.3 Patofisiologi Diare

2.1.6 Gejala dan Tanda Diare

Menurut Widoyono (2008) beberapa gejala dan tanda diare antara lain:

1. Gejala umum

a. Berak cair atau lembek dan sering adalah gejala diare

b. Muntah, biasanya menyertai diare pada gastroentritis akut

c. Demam, dapat mendahului atau tidak mendahului gejala diare

d. Gejala dehidrasi, yaitu mata cekung, ketegangan kulit menurun, apatis,

bahkan gelisah

Faktor Malabsorpsi

karbohidrat, protein,

lemak

24

2. Gejala spesifik

a. Vibro cholera: diare hebat, warna tinja seperti cucian beras dan berbau

amis

b. Disenteriform: tinja berlendir dan berdarah

Diare yang berkepanjangan dapat menyebabkan:

1. Dehidrasi (kekurangan cairan)

Tergantung dari presentasi cairan tubuh yang hilang, dehidrasi dapat

terjadi ringan, sedang, atau berat.

2. Gangguan sirkulasi

Pada diare akut, kehilangan cairan dapat terjadi dalam kurun waktu yang

singkat. Bila kehilangan cairan ini lebih dari 10% berat badan, pasien

dapat mengalami syok atau pre-shock yang disebabkan oleh

berkurangnya volume darah (hipovolemia).

3. Gangguan asam-basa (asidosis)

Hal ini terjadi akibat kehilangan cairan elektrolit (bikarbonat) dari dalam

tubuh. Sehingga kompensasinya tubuh akan bernapas cepat untuk

membantu meningkatkan PH arteri.

4. Hipoglikemia (kadar gula darah rendah)

Hipoglikemia sering terjadi pada anak yang sebelumnya mengalami

malnutrisi (kurang gizi). Hipoglikemia dapat menyebabkan koma.

Penyebab yang pasti belum diketahui, kemungkinan terjadi karena cairan

ekstraseluler menjadi hipotonik dan air masuk kedalam cairan intraseluler

sehingga terjadi edema otak yang mengakibatkan koma.

25

5. Gangguan gizi

Gangguan ini terjadi karena asupan makanan yang kurang dan output

yang berlebihan. Hal ini akan bertambah berat bila pemberian makanan

dihentikan, serta sebelumnya penderita sudah mengalami kekurangan

gizi (malnutrisi).

2.1.7 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan pada diare kronik adalah

sebagai berikut:

1. Leukosit feses (stool leukocytes): merupakan pemeriksaan awal terhadap diare

kronik. Leukosit dalam feses menunjukkan adanya inflamasi intestinal. Kultur

bakteri dan pemeriksaan parasit diindikasikan untuk menentukan adanya

infeksi. Jika pasien dalam keadaan immunocompromised, penting sekali kultur

organisma yang tidak biasa seperti kriptokokus, isospora dan M.Avium

Intracellulare. Pada pasien yang sudah mendapat antibiotik, toksin C difficle

harus diperiksa.

2. Volume feses: jika cairan diare tidak terdapat leukosit atau eritrosit, infeksi

enteric atau inflamasi sedikit kemungkinannya sebagai penyebab diare. Feses

24 jam harus dikumpulkan untuk mengukur output harian. Sekali diare harus

dicatat (>250 ml/day), kemudian perlu juga ditentukan apakah terjadi steatore

atau diare tanpa malabsorbsi lemak.

3. Mengukur berat dan kuantitatif fecal fat pada feses 24 jam: jika berat feses

>300/g24jam mengkonfirmasikan adanya diare. Berat lebih dari 1000-1500 gr

26

mengesankan proses sektori. Jika fecal fat lebih dari 10g/24h menunjukkan

proses malabsorbstif.

4. Lemak feses: sekresi lemak feses harian < 6g/hari. Untuk menetapkan suatu

steatore, lemak feses kualitatif dapat menolong yaitu >100 bercak merah orange

per ½ lapang pandang dari sample Negara Sudan adalah positif. False negatif

dapat terjadi jika pasien diet rendah lemak. Test standard untuk mengumpulkan

feses selama 72 jam biasanya dilakukan pada tahap akhir. Eksresi yang banyak

dari lemak dapat disebabkan malabsorbsi mukosa intestinal sekunder atau

insufisiensi pankreas.

5. Osmolalitas feses: diperlukan dalam evaluasi untuk menentukan diare osmotik

atau diare sekretori. Elekrolit feses Na, K dan osmolalitas harus diperiksa.

Osmolalitas feses normal adalah –290 mosm. Osmotic gap feses adalah 290

mosm dikurangi 2 kali konsentrasi elektrolit faeces (Na&K) dimana nilai

normalnya <50 mosm. Anion organic yang tidak dapat diukur, metabolit

karbohidrat primer (asetat, propionat dan butirat) yang bernilai untuk anion gap,

terjadi dari degradasi bakteri terhadap karbohidrat di kolon kedalam asam

lemak rantai pendek. Selanjutnya bakteri fecal mendegradasi yang terkumpul

dalam suatu tempat. Jika feses bertahan beberapa jam sebelum osmolalitas

diperiksa, osmotic gap seperti tinggi. Diare dengan normal atau osmotic gap

yang rendah biasanya menunjukkan diare sekretori. Sebaliknya osmotic gap

tinggi menunjukkan suatu diare osmotik.

27

6. Pemeriksaan parasit atau telur pada feses: untuk menunjukkan adanya giardia

E histolitika pada pemeriksaan rutin. Cristosporidium dan cyclospora yang

dideteksi dengan modifikasi noda asam.

7. Pemeriksaan darah: pada diare inflamasi ditemukan leukositosis, LED yang

meningkat dan hipoproteinemia. Albumin dan globulin rendah akan

mengesankan suatu protein losing enteropathy akibat inflamasi intestinal.

Skrining awal CBC, protrombin time, kalsium dan karotin akan menunjukkan

abnormalitas absorbsi. Fe, VitB12, asam folat dan vitamin yang larut dalam

lemak (ADK). Pemeriksaan darah tepi menjadi penunjuk defak absorbsi lemak

pada stadium luminal, apakah pada mukosa, atau hasil dari obstruksi limfatik

postmukosa. Protombin time, karotin dan kolesterol mungkin turun tetapi Fe,

folat dan albumin mungkin sekali rendah jika penyakit adalah mukosa primer

dan normal jika malabsorbsi akibat penyakit mukosa atau obstruksi limfatik.

8. Tes laboratorium lainnya: pada pasien yang diduga sekretori maka dapat

diperiksa seperti serum VIP (VIPoma), gastrin (Zollinger-Ellison Syndrome),

calcitonin (Medullary Thyroid Carcinoma), cortisol (Addison’s Disease), dan

urinary 5-HIAA (Carcinoid Syndrome).

9. Diare factitia: phenolptalein laxatives dapat dideteksi dengan alkalinisasi feses

dengan NaOH yang akan berubah warna menjadi merah. Skrining laksatif feses

terhadap penyebab lain dapat dilakukan pemeriksaan analisa feses lainnya.

Diantaranya Mg, SO4 dan PO4 dapat mendeteksi katartik osmotik seperti

MgSO4, mgcitrat, Na2SO4 dan Na2PO4.

28

2.1.8 Pemeriksaan Penunjang Lainnya

1. Biopsi usus halus: biopsi usus halus diindikasikan pada (a) pasien dengan diare

yang tidak dapat dijelaskan atau steatore, (b) anemia defisiensi Fe yang tidak

dapat dijelaskan yang mungkin menggambarkan absorbsi Fe yang buruk pada

celiac spure, dan (c) osteoporosis idiopatik yang menggambarkan defisiensi

terisolasi terhadap absorbs kalsium.

2. Enteroskopi usus halus: memerlukan keterampilan khusus yang dapat

membantu menidentifikasi lesi pada usus halus.

3. Protosigmoidoskopi dengan biopsi mukosa: pemeriksaan ini dapat membantu

dalam mendeteksi IBD termasuk colitus mikroskopik, melanosis coli dan

indikasi penggunaan kronis anthraguinone laksatif.

4. Rangkaian pemeriksaan usus halus: pemeriksaan yang optimal diperlukan bagi

klinisi untuk mengetahui segala sesuatu ayng terjadi di abdomen. Radiologis

dapat melakukan flouroskopi dalam memeriksa keseluruhan bagian usus halus

atau enteroclysis yang dapat menjelaskan dalam 6 jam pemeriksaan dengan

interval 30 menit. Tube dimasukkan ke usus halus melewati ligamentum treitz,

kemudian diijeksikan suspensi barium melalui tube dan sesudah itu 1-2 liter

0,5% metil selulosa diinjeksikan.

5. Imaging: penyebab diare dapat secara tepat dan jelas melalui pemeriksaan

imaging jika diindikasikan. Klasifikasi pada radiografi plain abdominal dapat

mengkonfirmasi pankreatitis kronis. Studi seri gastrointestinal atas atau

enterokolosis dapat membantu dalam mengevaluasi chron’s disease, limfoma

atau sindroma carcinoid. Kolososkopi dapat membantu mengevaluasi IBD.

29

Endoskopi dengan biopsi usus halus berguna dalam mendiagnosa dugaan

malabsorbsi akibat penyakit pada mukosa. Endoskopi dengan aspirasi

duodenum dan biopsi usus halus berguna pada pasien AIDS, cryptosporidium,

microsporida, Infeksi M Avium intraseluler. CT Abdominal dapat menolong

dalam mendeteksi pankreatitis kronis atau endokrin pankreas.

2.2. Pencegahan Diare

Diare merupakan penyakit yang bisa menyebabkan penderita mengalami

dehidrasi. Selain itu diare yang berkepanjangan bisa mnyebabkan anak mengalami

kelainan pertumbuhan. Oleh karena itu diperlukan penanganan sebagai langkah

penencegahan diare. Pencegahan diare secara garis besar dibagi menjadi tiga tingkatan

pencegahan penyakit secara umum yaitu: pencegahan tingkat pertama (primary

prevention) terdiri atas promosi kesehatan serta pencegahan khusus, pencegahan

tingkat kedua (secondary prevention) yang merupakan diagnosis dini serta pengobatan

yang tepat untuk penanggulangan diare, terakhir adalah pencegahan tingkat ketiga

(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi.

2.2.1 Pencegahan primer (primary prevention)

Pencegahan primer (primary prevention) adalah pencegahan tingkat awal

dengan cara menghindari atau mengatasi faktor risiko penyebab diare, pencegahan

primer pada diare ditujukan pada faktor pnyebab terjadinya diare, lingkungan serta

faktor penjamu dilakukan dengan health promotion dan spesific protection.

Promosi kesehatan (health promotion) adalah tindakan yang dilakukan

masyarakat yang masih dalam keadaan sehat untuk mempertahankan status

30

kesehatannya. Tujuan dari promosi kesehatan adalah melakukan pembinaan kepada

masyarakat untuk menciptakan lingkungan sehat dan terbebas dari penyakit. Promosi

kesehatan bagi masyarakat untuk mencegah kejadian diare antara lain:

a. Pemberian ASI

ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi

dan zat- zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap

diare pada bayi yang baru lahir. Pemberian ASI eksklusif mempunyai daya lindung 4

kali lebih besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol.

Flora usus pada bayi-bayi yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab diare

(Depkes RI, 2006).

ASI mengandung 87,5% air sehingga pada pemberian periode ASI eksklusif

selama 6 bulan, bayi tak perlu diberi minuman atau makanan lain, kecuali dalam

kondisi medis tertentu. ASI juga mengandung immunoglobulin A yang terdapat pada

kolostrum, karbohidrat juga terkandung dalam ASI yang terdiri atas laktosa. Sementara

protein penting yang terkandung dalam ASI, yaitu whey dan kasein, taurin yang

berperan untuk pertumbuhan otak serta nukleotida yang berfungsi untuk perkembangan

usus. Kandungan ASI berikutnya adalah lemak, kadar lemak pada ASI berfungsi untuk

pertumbuhan otak. ASI kaya akan lemak omega 3 dan omega 6.

Pada bayi yang tidak diberi ASI secara penuh, pada 6 bulan pertama kehidupan

risiko terkena diare adalah 30 kali lebih besar. Pemberian susu formula merupakan cara

lain dari menyusui namun pemberian susu formula diberikan dengan menggunakan

botol susu. Penggunaan botol untuk susu formula biasanya menyebabkan risiko tinggi

terkena diare sehingga bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk (Depkes RI, 2006).

31

b. Membersihkan/mensterilkan botol susu

Ada berbagai alasan orang tua terpaksa tidak memberikan ASI kepada anaknya,

sehingga peran ASI diganti dengan susu formula bayi, jika menggunakan susu formula

bayi maka kebersihan peralatan dan proses penyajian susu harus diperhatikan. Panduan

untuk membersihkan dan sterilisasi peralatan, serta menyiapkan dan menyajikan susu

formula bayi berdasarkan PERMENKES Nomor 39 tahun 2013 seperti dibawah:

1. Cara membersihkan dan sterilisasi peralatan, meliputi:

a. Mencuci tangan dengan sabun sebelum membersihkan dan

mensterilkan peralatan minum bayi

b. Mencuci semua peralatan (botol, dot, sikat botol dan sikat dot) dengan

sabun, dan

c. Membilas botol dan dot dengan air yang mengalir

2. Sterilisasi dengan cara direbus, meliputi:

a. Botol harus terendam seluruhnya sehingga tidak ada udara di dalam

botol

b. Panci ditutup dan biarkan sampai mendidih selama 5 – 10 menit

c. Panci biarkan tertutup, biarkan botol dan dot didalamnya sampai segera

akan digunakan

d. Mencuci tangan dengan sabun sebelum mengambil botol dan dot

e. Bila botol tidak langsung digunakan setelah direbus botol harus

disimpan ditempat yang bersih dan tertutup, dan

f. Dot dan penutupnya terpasang dengan baik

3. Cara menyiapkan dan menyajikan susu formula bayi, meliputi:

32

a. Membersihkan tempat penyiapan susu formula bayi

b. Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, kemudian keringkan

c. Rebus air minum sampai mendidih dalam panci tertutup

d. Biarkan air tersebut didalam panci tertutup selama 10-15 menit agar

suhunya turun menjadi tidak kurang dari 70°C

e. Tuangkan air tersebut (suhunya tidak kurang dari 70°C) sebanyak yang

dapat dihabiskan oleh bayi (jangan berlebihan) ke dalam botol susu

yang telah disterilkan

f. Tambahkan bubuk susu formula bayi sesuai takaran yang dianjurkan

pada label

g. Tutup kembali botol susu dan kocok sampai susu formula bayi larut

dengan baik

h. Dinginkan segera dengan merendam bagian bawah botol susu di dalam

air bersih dingin, sampai suhunya sesuai untuk diminum (dicoba dengan

meneteskan susu formula bayi pada pergelangan tangan, akan terasa

agak hangat, tidak panas), dan

i. Sisa susu formula bayi yang telah dilarutkan dibuang setelah 2 (dua)

jam

c. Pemberian makanan pendamping ASI

Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi secara bertahap mulai

dibiasakan dengan makanan orang dewasa. Pada masa tersebut merupakan masa yang

berbahaya bagi bayi sebab perilaku pemberian makanan pendamping ASI dapat

33

menyebabkan meningkatnya risiko terjadinya diare ataupun penyakit lain yang

menyebabkan kematian (Depkes RI, 2006).

Ada beberapa saran yang dapat meningkatkan cara pemberian makanan

pendamping ASI yang lebih baik yaitu:

1. Memperkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur 4-6 bulan tetapi masih

meneruskan pemberian ASI. Menambahkan macam makanan sewaktu anak

berumur 6 bulan atau lebih. Memberikan makanan lebih sering (4 kali sehari)

setelah anak berumur 1 tahun, memberikan semua makanan yang dimasak

dengan baik 4-6 kali sehari dan meneruskan pemberian ASI.

2. Menambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam nasi/bubur dan biji-bijian

untuk energi. Menambahkan hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang–

kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna hijau ke dalam makanannya.

3. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan menyuapi anak, serta

menyuapi anak dengan sendok yang bersih. Memasak atau merebus makanan

dengan benar, menyimpan sisa makanan pada tempat yang dingin dan

memanaskan dengan benar sebelum diberikan kepada anak (Depkes RI, 2006).

d. Penyediaan air bersih yang cukup

Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%

tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,

dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO

menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Sebagian besar

kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur fecal-oral mereka dapat

ditularkan dengan memasukkan kedalam mulut, cairan atau benda yang tercemar

34

dengan tinja misalnya air minum, jari-jari tangan, makanan yang disiapkan dalam panci

yang dicuci dengan air tercemar (Depkes RI, 2006). Masyarakat yang terjangkau oleh

penyediaan air yang benar-benar bersih mempunyai risiko menderita diare lebih kecil

dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Depkes RI,

2006).

Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap serangan diare yaitu dengan

menggunakan air yang bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi mulai dari

sumbernya sampai penyimpanan di rumah (Depkes RI, 2006). Yang harus diperhatikan

oleh keluarga adalah:

1. Air harus diambil dari sumber terbersih yang tersedia.

2. Sumber air harus dilindungi dengan menjauhkannya dari hewan, membuat

lokasi kakus agar jaraknya lebih dari 10 meter dari sumber yang digunakan

serta lebih rendah, dan menggali parit aliran di atas sumber untuk

menjauhkan air hujan dari sumber.

3. Air harus dikumpulkan dan disimpan dalam wadah bersih. Dan gunakan

gayung bersih bergagang panjang untuk mengambil air.

4. Air untuk masak dan minum bagi anak harus dididihkan (Depkes RI, 2006).

e. Mencuci tangan.

Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan perorangan yang penting

dalam penularan kuman diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan sabun,

terutama sesudah buang air besar, sesudah membuang tinja anak, sebelum menyiapkan

makanan, sebelum menyuapi makanan anak dan sebelum makan, mempunyai dampak

dalam kejadian diare (Depkes RI, 2006).

35

f. Menggunakan jamban

Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa upaya penggunaan

jamban mempunyai dampak yang besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit

diare. Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus membuat jamban, dan keluarga

harus buang air besar di jamban (Depkes RI, 2006).

Yang harus diperhatikan oleh keluarga:

1. Keluarga harus mempunyai jamban yang berfungsi baik dan dapat dipakai oleh

seluruh anggota keluarga.

2. Bersihkan jamban secara teratur.

3. Bila tidak ada jamban, jangan biarkan anak-anak pergi ke tempat buang air

besar sendiri, buang air besar hendaknya jauh dari rumah, jalan setapak dan

tempat anak-anak bermain serta lebih kurang 10 meter dari sumber air, hindari

buang air besar tanpa alas kaki. (Depkes RI, 2006).

g. Membuang tinja bayi yang benar

Banyak orang beranggapan bahwa tinja anak bayi itu tidak berbahaya. Hal ini

tidak benar karena tinja bayi dapat pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang

tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara bersih dan benar, berikut hal-hal yang harus

diperhatikan:

1. Kumpulkan tinja anak kecil atau bayi secepatnya, bungkus dengan daun

atau kertas koran dan kuburkan atau buang di kakus.

2. Bantu anak untuk membuang air besarnya ke dalam wadah yang bersih dan

mudah dibersihkan. Kemudian buang ke dalam kakus dan bila wadahnya

36

atau anak dapat buang air besar di atas suatu permukaan seperti kertas koran

atau daun besar dan buang ke dalam kakus.

3. Bersihkan anak segera setelah anak buang air besar dan cuci tangannya

(Depkes RI, 2006).

Spesific protection merupakan tindakan pencegahan yang dilakukan

masyarakat untuk mencegah agen penyakit. Tujuan spesific protection adalah

melindungi secara khusus terhadap ancaman suatu penyakit. Berikut ini adalah spesific

protection bagi masyarakat untuk mencegah kejadian diare:

a. Imunisasi

Diare biasanya sering terjadi menyertai adanya penyakit campak, sehingga

pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus diimunisasi

terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia sembilan bulan. Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Akbar (2017), menyebutkan bahwa imunisasi campak

merupakan langkah penting untuk melindungi anak balita dari episode diare dan

kematian akibat diare. Diare dapat terjadi akibat invasi virus campak ke mukosa saluran

cerna sehingga mengganggu fungsi normalnya maupun sebagai akibat menurunnya

daya tahan penderita campak.

2.2.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada anak yang telah menderita diare

atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan

pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya efek samping dan

komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian

oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare.

37

Kemenkes RI (2011), telah membuat kebijakan pengendalian penyakit diare di

Indonesia bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka kematian karena

diare bersama lintas program dan lintas sektor terkait.

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan pemerintah adalah:

1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang standar di sarana kesehatan

melalui Lintas Diare.

2. Meningkatkan tatalaksana penderita diare di rumah tangga yang tepat dan

benar.

3. Meningkatkan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) dan penanggulangan KLB

diare.

4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang efektif.

5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi.

Kejadian diare berdasarkan derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi:

1. Diare tanpa dehidrasi

Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:

a. Keadaan umum : baik

b. Mata : normal

c. Rasa haus : normal, minum biasa

d. Turgor kulit : kembali cepat

Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi sbb:

1. Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali anak mencret

2. Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali anak mencret

3. Umur diatas 5 tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali anak mencret

38

2. Diare dehidrasi ringan/sedang

Diare dengan dehidrasi ringan/sedang, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau

lebih:

1. Keadaan umum : gelisah, rewel

2. Mata : cekung

3. Rasa haus : haus, ingin minum banyak

4. Turgor kulit : kembali lambat

Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam pertama 75 ml/kgBB dan

selanjutnya diteruskan dengan pemberian oralit seperti diare tanpa

dehidrasi.

3. Diare dehidrasi berat

Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:

1. Keadaan umum : lesu, lunglai, atau tidak sadar

2. Mata : cekung

3. Rasa haus : tidak bisa minum atau malas minum

4. Turgor kulit : kembali sangat lambat (lebih dari 2 detik)

Penderita diare yang tidak dapat minum harus segera dirujuk ke Puskesmas

untuk di infus.

39

Berdasarkan derajat dehidrasi maka penangan diare dibagi menjadi seperti

pada tabel berikut:

Tabel 2.3. Rencana Terapi 1

UNTUK TERAPI DIARE TANPA DEHIDRASI MENERANGKAN 5 LANGKAH TERAPI DIARE DI RUMAH

1. BERI CAIRAN LEBIH BANYAK DARI BIASANYA a. Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama

b. Anak yang mendapat ASI ekslusif, beri ORALIT atau air matang sebagai

tambahan

c. Anak yang tidak mendapat ASI ekslusif, beri susu yang biasa diminum dan

ORALIT atau cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air tajin,

air matang dsb)

d. Beri ORALIT sampai diare berhenti. Bila muntah tunggu 30 menit dan

lanjutkan sedikit demi sedikit

Umur <1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak

Umur >1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak

e. Berikan anak 6 bungkus ORALIT (200ml) di rumah jika:

Telah diobati dengan rencana terapi B atau C

Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika direnya memburuk

f. Ajari ibu cara mencampur dan memberikan ORALIT

2. BERI OBAT ZINC

Beri ZINC 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. diberikan

dengan dikunyah atau dilarutkan dalam satu sendok air matang atau ASI

a. Umur < 6bulan diberi 10mg (1/2 tablet) perhari

b. Umur > 6bulan diberi 20 mg (1tablet) perhari

3. BERI ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI

a. Beri makanan sesuai umur anak dengan menu yang sama waktu anak sehat

b. Tambahkan 1 - 2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan

c. Beri makanan kaya kalsium seperti buah segar, pisang, air kelapa muda

d. Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil setiap hari

(setiap 3 - 4 jam)

e. Setelah diare berhenti beri makanan yang sama dan makanan tambahan

selama 2 minggu

4. BERI ANTIBIOTIK SELEKTIF

Antibiotik hanya diberikan pada diare berdarah dan kolera

5. NASIHAT IBU/PENGASUH

Membawa anak kembali ke petugas kesehatan bila:

a. Berak cair lebih sering

b. Muntah berulang

c. Sangat haus d. Makan dan minum sangat sedikit

40

e. Timbul demam f. Berak berdarah

g. Tidak membaik dalam 3 hari

Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)

Tabel 2.4. Rencana Terapi 2

RENCANA TERAPI 2

UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/BERAT

JUMLAH OBAT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI SARANA KESEHATAN

ORALIT yang diberikan = 75 ml x BERAT BADAN anak

a. Bila BB tidak diketahui berikan ORALIT sesuai tabel dibawah ini:

Umur sampai <4 bulan 4-12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun

Berat Badan <5 kg 5-10 kg 10-12 kg 12-19 kg

Jumlah cairan 200-400 400-700 700-900 900-1400

b. Bila anak menginginkan lebih banyak ORALIT, berikan

c. Bujuk ibu untuk meneruskan ASI

d. Untuk bayi <6 bulan, tunda pemberian makanan selama 3 jam kecuali ASI

dan ORALIT

e. Beri obat ZINC selama 10 hari berturut – turut

AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN

ORALIT

a. Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan

b. Berikan sedikit demi sedikit tapi sering dari gelas

c. Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah

d. Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian ORALIT dan

berikann anak air masak atau ASI

e. Beri ORALIT sesuai Rencana Terapi A bila pembengkakan telah hilang

SETELAH 3 - 4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN

PENILAIAN, KEMUDIAN PILIH RENCANA TERAPI A,B ATAU C UNTUK

MELANJUTKAN TERAPI

a. Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi telah

hilang, anak biasanya kencing kemudian mengantuk dan tidur

b. Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/sedang, ulangi Rencana Terapi B

c. Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah

d. Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi C

BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B

a. Tunjukkan jumlah ORALIT yang harus dihabiskan dalam terapi 3 jam di

rumah

b. Berikan ORALIT 6 bungkus untuk persediaan di rumah

c. Jelaskan 5 langkah Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah

41

Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)

Tabel 2.5. Rencana Terapi 3

Rencana Terapi 3

Untuk Terapi Diare Dehidrasi Berat Di Sarana Kesehatan

Ikuti tanda panah

Jika jawaban "YA"

Lanjutkan ke KANAN

Dapatkah saudara memberikan

cairan intravena

YA

TIDAK

Adakah terapi terdekat (dalam 30

menit)

YA

TIDAK

a. Beri cairan intravena segera: RL / NaCl 0,9% (bila RL tidak tersedia)

100ml/kgBB, dibagi sebagai berikut:

Umur Pemberian I

30 ml/kgBB Kemudian 70ml/kgBB

Bayi<1 tahun 1 jam* 5 jam

Anak >2 tahun

30 menit* 2 1/2 jam

* Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah

atau tidak teraba

b. Nilai kembali tiap 15 - 30 menit. Bila nadi

belum teraba, beri tetesan lebih cepat

c. Juga beri ORALIT (5ml/kg/jam) bila

penderita bisa minum; biasanya setelah 3-

4 jam (bayi) atau 102 jam (anak)

d. Berikan obat ZINC selama 10 hari

berturut- turut

e. Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak)

nilai lagi derajat dehidrasi

Kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai

(1, 2 atau 3) untuk melanjutkan terapi

f. Rujuk penderita untuk terapi intravena

g. Bila penderita bisa minum, sediakan

ORALIT dan tunjukkan cara

memberikannya selama di perjalanan

Apakah saudara dapat

menggunakan pipa

nasogastrik/orogastrik untuk

dehidrasi

YA

TIDAK

h. Mulai rehidrasi dengan ORALIT melalui

Nasogastrik/Orogastrik. Berikan sedikit

demi sedikit, 20 ml/kgBB/jam

i. Nilai setiap 1-2 jam

Bila muntah atau perut kembung,

berikan cairan lebih lambat

Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam rujuk untuk terapi intravena

42

Apakah penderita bisa minum

YA

TIDAK

j. Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih

rencana terapi yang sesuai (1, 2, atau 3)

k. Mulai rehidrasi dengan ORALIT melalui

mulut. Berikan sedikit demi sedikit, 20

ml/kg BB/jam selama 6 jam

l. Nilai setiap 1- 2 jam:

Bila muntah atau perut kembung, berikan

cairan lebih lambat

Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam

rujuk untuk terapi intravena

m. Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih

rencana terapi yang sesuai

Segera rujuk anak untuk rehidrasi

melalui nasogastrik/ orogastrik

atau intravena

YA

Catatan:

Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6

jam setelah rehidrasi untuk memastikan

bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan

cairan yang hilang dengan memberi

ORALIT

Bila umur anak diatas 2 tahun dan kolera

baru saja berjangkit di daerah saudara,

pikirkan kemungkinan kolera dan berikan

antibiotika yang tepat secara oral begitu anak sadar

Sumber: Panduan Sosialisasi Tatalaksanan Diare pada Balita Kemenkes RI (2011)

Standar penatalaksaan penderita diare di sarana kesehatan melalui Lintas Diare

dilakukan antara lain:

1. Berikan oralit

Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan mulai dari rumah tangga

dengan memberikan oralit osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan cairan

rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air matang. Oralit saat ini yang beredar di

pasaran sudah oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah, yang dapat

mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit merupakan cairan yang terbaik bagi

penderita diare untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita tidak bisa minum

43

harus segera dibawa ke sarana kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui

infus.

2. Berikan obat zinc

Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting dalam tubuh. Zinc dapat

menghambat enzim INOS (Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi enzim

ini meningkat selama diare dan mengakibatkan hipersekresi epitel usus. Zinc juga

berperan dalam epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan morfologi dan

fungsi selama kejadian diare.

Pemberian zinc selama diare terbukti mampu mengurangi lama dan tingkat

keparahan diare, mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi volume tinja, serta

menurunkan kekambuhan kejadian diare pada 3 bulan berikutnya (Black, 2003).

Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa zinc mempunyai efek protektif terhadap

diare sebanyak 11% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa zinc

mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67% (Hidayat 1998 dan Soenarto 2007).

Berdasarkan bukti ini semua anak diare harus diberi zinc segera saat anak mengalami

diare.

3. Pemberian ASI/makanan:

Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk memberikan gizi pada

penderita terutama pada anak agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah berkurangnya

berat badan. Anak yang masih minum ASI harus lebih sering diberi ASI. Anak yang

minum susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya. Anak usia 6 bulan atau

lebih termasuk bayi yang telah mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan

yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit dan lebih sering. Setelah diare

44

berhenti, pemberian makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk membantu

pemulihan berat badan.

4. Pemberian antibiotika hanya atas indikasi

Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena kecilnya kejadian diare

pada balita yang disebabkan oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada penderita

diare dengan darah (sebagian besar karena shigellosis), suspek kolera.

Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada anak yang menderita

diare karena terbukti tidak bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali

muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah dehidrasi ataupun meningkatkan status

gizi anak, bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping yang bebahaya dan bisa

berakibat fatal. Obat anti protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh parasit

(amuba, giardia).

5. Pemberian nasehat

Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan balita harus diberi nasehat

tentang:

1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah

2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas kesehatan bila:

a. Diare lebih sering

b. Muntah berulang

c. Sangat haus

d. Makan/minum sedikit

e. Timbul demam

f. Tinja berdarah

45

g. Tidak membaik dalam 3 hari

2.2.3 Pencegahan Tertier

Pencegahan tingkat ketiga adalah pencegahan tertier pada tahap penderita diare

harus diupayakan tidak mengalami kecatatan atau kematian akibat dehidrasi. Pada

tahap ini dilakukan pengembalian fungsi fisik, dan psikologis penderita diare. Pada

tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya efek lanjutan

dari penyakit diare.

Sasaran pencegahan tertier pada penderita diare adalah mencegah bertambah

berat penyakit diare dan menurunkan komplikasi. Bahaya diare adalah kurang gizi serta

kematian disebabkan dehidrasi, yaitu kehilangan banyak cairan dan garam dari tubuh.

Diare juga dapat menyebabkan kurang gizi atau memperburuk keadaan gizi yang

terjadi sebelumnya akibat penderita susah makan dan tidak merasa lapar sehingga

asupan gizi berkurang atau tidak ada sama sekali.

Upaya yang dilakukan dalam pencegahan tertier ini adalah:

a. Pengobatan serta perawatan diare diberikan berdasarkan derajat dehidrasi.

Penilaian derajat dehidrasi dilakukan petugas kesehatan menggunakan tabel

penilaian derajat dehidrasi. Penderita diare yang mengalami dehidrasi berat

harus segera diberikan cairan intarvena berupa ringer laktat.

b. Memberikan makanan secukupnya selama diare agar gizi penderita terpenuhi

terutama anak-anak sehingga tetap kuat dan tumbuh serta mencegah penurunan

berat badan.

c. Saat diare berhenti, memberikan makanan tambahan selama dua minggu untuk

membantu mempercepat pemulihan penderita.