22
10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga atau institusi yang mengantar keselamatan yang diberikan Allah kepada umatNya dalam Yesus Kristus. Gereja dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan sistem hierarki (suatu tatanan, pengaturan, penyusunan) maupun tentang pengelolaan dalam segala sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian yang baik sehingga gereja dapat mencapai tujuannya. Salah satunya adalah Gereja Bala Keselamatan yang memahami dirinya sebagai suatu institusi perwakilan Allah di dunia. Gereja Bala Keselamatan sebagai institusi ada dalam satu bentuk institusional dan berfungsi melalui jabatan-jabatan dan sarana-sarana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuannya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam bab ini penulis akan membahas pemahaman tentang gereja sebagai institusi yang akan berguna dalam pembahasan ini. Penulis akan memulai dengan menjelaskan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan definisi gereja dan hakikat gereja dalam kitab suci, hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu pemahaman yang utuh berkaitan dengan konsep gereja secara umum. Selanjutnya konsep model-model gereja dan model gereja sebagai institusi, dalam kaitannya dengan sistem hieraki Gereja Bala Keselamatan. Pada bagian akhir dari keseluruhan penulisan bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan mengenai gereja sebagai institusi.

BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

  • Upload
    others

  • View
    16

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

10

BAB 2

TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI

2.1. Pendahuluan

Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga atau institusi yang

mengantar keselamatan yang diberikan Allah kepada umatNya dalam Yesus Kristus. Gereja

dalam arti institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan

sistem hierarki (suatu tatanan, pengaturan, penyusunan) maupun tentang pengelolaan dalam

segala sesuatu proses yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian

yang baik sehingga gereja dapat mencapai tujuannya. Salah satunya adalah Gereja Bala

Keselamatan yang memahami dirinya sebagai suatu institusi perwakilan Allah di dunia.

Gereja Bala Keselamatan sebagai institusi ada dalam satu bentuk institusional dan berfungsi

melalui jabatan-jabatan dan sarana-sarana yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuannya.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka dalam bab ini penulis akan membahas

pemahaman tentang gereja sebagai institusi yang akan berguna dalam pembahasan ini.

Penulis akan memulai dengan menjelaskan beberapa pemikiran yang berkaitan dengan

definisi gereja dan hakikat gereja dalam kitab suci, hal ini dilakukan untuk memperoleh suatu

pemahaman yang utuh berkaitan dengan konsep gereja secara umum. Selanjutnya konsep

model-model gereja dan model gereja sebagai institusi, dalam kaitannya dengan sistem

hieraki Gereja Bala Keselamatan. Pada bagian akhir dari keseluruhan penulisan bab ini,

penulis akan memberikan kesimpulan mengenai gereja sebagai institusi.

Page 2: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

11

2.2. Gereja

2.2.1. Definisi: Asal Usul dan Arti Kata Gereja

Istilah gereja memiliki beberapa macam pengertian, yaitu arti secara umum dalam

kata (bahasa) aslinya dan arti secara khusus dalam pengertian gereja itu sendiri. Berdasarkan

arti kata (bahasa) aslinya, secara etimologis kata “gereja” berasal dari bahasa Portugis Igreja,

berkaitan dengan kata Iglesia (spanyol), Eglise (Perancis), serta ecclesia (Latin) yang berasal

dari kata Yunani Kyriake (κυριακη) yang berarti dimiliki Tuhan.1 Kata ini menekankan

kenyataan bahwa gereja adalah milik Tuhan. Kata Kyriake sebagai sebutan bagi persekutuan

para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat di dalam Perjanjian Baru. Istilah ini

baru dipakai pada zaman sesudah para rasul, yaitu sebutan gereja sebagai suatu lembaga

dengan segala peraturannya.2

Alkitab Perjanjian Lama memakai dua istilah untuk menunjuk gereja, yaitu “qahal”

Berasal dari akar kata yang sudah tidak dipakai lagi yaitu qal (kal) yang artinya .(קהל)

“memanggil” dan edhah yang berasal dari kata ya’adh berarti “memilih” atau “menunjuk”

atau “bertemu bersama-sama di tempat yang telah ditunjuk.3 Alkitab Perjanjian Baru juga

memakai dua kata yang diambil dari Septuaginta, yaitu Ekklesia () yang berasal

dari kata Ek' ('εκ) dan kata Kaleô' ('καλεω) yang artinya “memanggil ke luar”, dan kata

sunagoge, dari kata sun dan ago yang berarti “datang atau berkumpul bersama”.4 Kata

sunagoge secara eksklusif menunjuk kepada arti pertemuan ibadah orang Yahudi atau juga

bisa menunjuk kepada arti bangunan di mana mereka berkumpul untuk beribadah secara

umum.

1Adolf Heuken, Ensiklopedi Gereja (Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 1992), 341. 2Harun Hadiwiyono, Iman Kristen, cet.2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979), 362. 3 Louis Berkhof, Teologi Sistematika Volume 5: Doktrin Gereja, terj. Yudha Thianto, cet.8 (Surabaya:

Momentum, 2010), 5. 4Berkhof, Teologi Sistematika Volume 5, 6.

Page 3: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

12

Di dalam Septuaginta5, kata Yunani ini dipakai untuk menterjemahkan kata Ibrani

“qahal”. Qahal mempunyai arti profan (tidak religius) “perkumpulan” dimana orang

berkumpul untuk kepentingan tertentu, juga mempunyai arti religius “umat, jemaat” yang

berkumpul karena dipanggil oleh firman Allah keluar dari antara bangsa-bangsa dan menjadi

umat milik Allah (qahal YHWH).6

Berdasarkan penjelasan di atas, menuntun penulis untuk memahami bahwa definisi

gereja merupakan sebuah konsep dengan banyak sisi, sehingga menjadi wajar kata ekklesia

yang dipakai untuk menunjuk tentang gereja tidak selalu memiliki konotasi yang sama. Kata

ini umum dipakai bagi sidang umum yang dikumpulkan secara resmi. Sidang seperti ini

menjadi ciri khas kota-kota di luar Yudea, di mana injil diberitakan. Dengan demikian kata

ekklesia lebih mengandung arti pertemuan daripada organisasi atau masyarakat.7

Sebagai hasil dari perluasan gereja, kata ekklesia mendapat pemakaian yang lebih

luas. Gereja-gereja lokal didirikan di mana-mana, dan semua itu disebut sebagai ekklesiai

sebab mereka memanifestasikan gereja yang universal. Dalam kebanyakan surat-suratnya,

Paulus menggunakan kata ekklesia dalam arti rangkap: kata itu dapat menunjukkan jemaat di

salah satu tempat tetapi juga gereja universal. Contoh hubungan antara keduanya dapat di

lihat dalam rumusan alamat surat 1 dan 2 Korintus: “kepada ekklesia Allah seperti berada di

Korintus”.8 Ekklesia di Korintus bukanlah cabang dari ekklesia universal, sebaliknya juga

gereja universal bukanlah gabungan dari banyak ekklesia setempat. Dengan demikian,

ekklesia di setiap tempat merupakan perwujudan konkret dan lengkap dari kenyataan ekklesia

itu dalam hubungan yang hidup dengan semua jemaat lain.

5Gerald O’Colin SJ dan Edward G. Farrugia SJ, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hal.

293. Septuaginta dalam bahasa Yunani berarti tujuh puluh. Terjemahan Perjanjian Lama ke dalam bahasa

Yunani yang terpenting dikenal sebagai “LXX”. Artinya terjemahan yang dikerjakan oleh tujuh puluh ahli. 6Tom Jacobs, Dinamika Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1979), 13. 7Anggota IKAPI, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I A-l (Jakarta: Yayasan Bina Kasih OMF,

2008), 332. 8George Kircheberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Cet.1 (Ende: Nusa Indah, 1991),

87.

Page 4: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

13

2.2.2. Hakikat Gereja Dalam Kitab Suci Dan Ajaran Gereja

Kata ”Gereja” bukanlah semacam batasan atau definisi. Ekklèsia adalah kata yang

biasa saja pada zaman jemaat perdana. Dari cara memakainya, kelihatan bagaimana jemaat

perdana memahami diri dan merumuskan karya keselamatan Tuhan di antara mereka.

Kadang-kadang mereka berkata ”Gereja Allah” atau juga ”jemaat Allah”. Mereka menjadi

jemaat atau gereja karena iman mereka akan Yesus Kristus, khususnya akan wafat dan

kebangkitan-Nya. Gereja merupakan jemaat Allah yang dikuduskan dalam Kristus Yesus.

Dengan demikian, ada dua ungkapan penggunaan nama yang dipakai secara khusus untuk

Gereja dalam Perjanjian Baru: ”Umat Allah” dan ”Tubuh Kristus”. Keduanya berkaitan satu

sama lain.

Yusak Setyawan mengungkapkan, dalam tradisi Paulus (mencakup tulisan-tulisan

Paulus maupun tulisan-tulisan penerus Paulus) gereja dipahami sebagai Umat Allah dalam

kaitannya dengan pandangan Paulus tentang misi kepada orang-orang non Yahudi, walaupun

ia terdidik dalam tradisi Yahudi. Relasi antara Israel dan bangsa-bangsa lain (non Yahudi)

dijelaskan dalam surat Roma 9-11.9 Israel mempunyai tempat khusus dalam sejarah

keselamatan universal. Dengan demikian orang Kristen dari non-Yahudi tidak boleh

memandang rendah Israel.

Tom Jacobs mengungkapkan bahwa, paham gereja sebagai “Umat Allah” hanya dapat

dimengerti dan dipahami melalui latar belakang sejarah Israel sebagai umat Allah.10

Kekhususan Israel sebagai bangsa, adalah kesatuannya dengan Tuhan. Kesadaran mereka

sebagai bangsa, tidak terutama ditentukan oleh kesadaran etnis, sejarah atau budaya, tetapi

oleh kesadaran religius bahwa mereka adalah umat Allah.

9Yusak B. Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana

Press), 13. 10Jacobs, Dinamika Gereja, 14.

Page 5: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

14

Niko Diester Syukur menjelaskan gagasan “Umat Allah” dalam Perjanjian Lama

hendak menekankan bahwa, gereja ada dan berkembang dari sejarah keselamatan yang sudah

dimulai sejak pemilihan dan pemanggilan Abraham sampai dengan perjanjian yang diadakan

Tuhan dengan para leluhur bangsa Israel di padang gurun Sinai pada zaman Musa (Kel.19;

24:1-8).11 Dengan demikian gereja dimengerti dalam suatu kesadaran serius bahwa gereja

mengalami dirinya berhubungan erat dengan umat manusia dalam rangka sejarah

keselamatan yang universal. Namun dalam hal ini gereja tidak berarti hanya sebatas

kelanjutan klaim bangsa Israel sebagai umat pilihan Allah.

Paham Umat Allah dipertegas kembali di dalam Perjanjian Baru. Harus disadari

bahwa kata “umat” dalam Perjanjian Baru tidak berarti hanya suatu kumpulan orang-orang

secara pribadi. Umat Allah dalam Perjanjian Baru ialah perhimpunan orang-orang yang

diketahui khusus sebagai orang yang percaya kepada Tuhan yang bangkit. Paulus di dalam

surat- suratnya mengingatkan dasar gereja memang Israel, tetapi yang penting untuk menjadi

warga gereja bukanlah hubungan etnis (keturunan Abraham), melainkan pemanggilan Allah

(Rom.1:6; 8:28; 1 Kor 1:2) dan penyerahan manusia dalam iman (Gal.3:7; Rom.1:5; 16:26).

Paulus menggaris-bawahi bahwa kepenuhan sejarah Israel telah dicapai dalam Kristus (2 Kor.

1:20; Gal.3:5-18), sehingga orang yang bersatu dengan Kristus harus disebut “Israel Sejati,

“Umat Allah yang baru” (Gal.3:29; 6:16; Rom.9:6).12

Kesatuan yang erat antara gereja dan Kristus dijelaskan Paulus dengan gambaran

“Tubuh Kristus”. Dari semua gambaran yang dipakai Paulus, gambaran mengenai tubuh

adalah yang paling hidup dan penuh arti. Jemaat digambarkan sebagai satu tubuh yang

memberikan gambaran mengenai hubungan Kristus dengan orang orang-rang percaya.

Menurut Tom Jacobs, kata “Tubuh Kristus” dipakai sebagai semacam metafora atau

11Niko Syukur Dister OFM, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 210. 12Niko Syukur, Teologi Sistematika 2, 220.

Page 6: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

15

perumpamaan yang hanya mempunyai arti karena Kristus. Gereja tidak disebut ‘tubuh’

karena kerja-sama atau kesatuan antar para anggota, tetapi oleh karena para anggota bersatu

dalam Kristus. Sifat kristologisnya membuat gereja menjadi “tubuh”.13

Küng mengungkapkan bahwa, “jemaat lokal adalah tubuh Kristus”, yang menurut

Paulus, dibangun melalui baptisan (1 Kor. 12:12,13, 14-27; band. 6:5-17), dan yang turut

merayakan Perjamuan Kudus, sebagai simbol keterhisabannya ke dalam tubuh dan darah

Kristus (1 Kor. 10:16). Angota tubuh itu selalu memiliki kharisma atau karunia yang beragam

satu sama lain (1 Kor.12 dan Roma 12) dan dengannya mereka wajib melayani seorang akan

yang lain.14 Kharisma atau karunia tersebut dimaksudkan paulus sebagai pertolongan Allah

dalam hubungannya dengan pembangunan jemaat.

Penggunaan yang lebih berkembang dari gambaran tubuh Kristus dapat terlihat dalam

surat Efesus dan Kolose. Di sini gereja disamakan dengan Tubuh Kristus (Ef. 1:22,23;

4:12,15-16; 5:23; Kol. 1:18,24). Kristus sebagai kepala mengendalikan jemaat, Ia dipandang

sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan Jemaat. Dialah yang paling utama (Kol.1:18).

Kristus sebagai kepala ditekankan secara khusus sebagai unsur yang mempersatukan (Ef.

1:22-23; 4:15).15

Küng mengungkapkan “gereja seluruhnya adalah tubuh Kristus”. Jika dalam Surat

Korintus dan Roma gereja lebih menekankan pada individunya, namun dalam Surat Efesus

dan Kolose lebih ditekankan pada keseluruhannya.16 Artinya dimensi eskatologi gereja

berkaitan dengan aspek antropologi dari masyarakat yang nyata. Dengan demikian, gereja

13Tom Jacobs et al., Gereja Menurut Perjanjian Baru, editor. Tom Jacobs (Yogyakarta: Kanisius, 1988), 48. 14Hans Küng, The Church, terj. Ray and Rosallen Ockenden, cet. 3 (London: Burns & Oates Limited, 1969),

227. 15Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3: Eklesiologi, Eskatologi, Etika, terj. Lisda Tirtapraja Gamadhi,

cet.8 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 72. 16Küng, Church, 230.

Page 7: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

16

ada dan terbangun sebagai satu keluarga dalam dunia yang luas, di mana Kristus adalah

kepala dari gereja dalam arti keseluruhan tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa ungkapan Umat Allah dan

Tubuh Kristus yang dipakai secara khusus untuk gereja merupakan satu kenyataan dari

gereja, namun dilihat dari bermacam-macam segi. Gereja mewujudkan suatu persekutuan

yang baru, yang bukan terdiri dari banyak anggota yang semuanya sama dan berdiri sendiri-

sendiri secara berdampingan, yang seorang di samping yang lain. Akan tetapi yang

dipentingkan dalam ungkapan tersebut ialah kesatuan, yang para anggotanya benar-benar

saling berkaitan secara harmonis.

Kesatuan di antara gereja-gereja dalam perkembangan awal ditemukan dalam teologi

Paulus, yaitu bahwa kesatuan gereja dianugerahkan oleh Allah yang menuntut diusahakannya

keutuhan gereja: iman akan Yesus Kristus Tuhan, satu baptisan dalam Kristus, keterlibatan

dalam ekaristi memecah roti yang menjadikan mereka mendemonstrasikan kesatuan tubuh

Kristus.17 Dari pemikiran-pemikiran teologisnya, Paulus secara tegas mengemukakan hakikat

gereja. Gereja adalah persekutuan orang yang percaya akan Kristus, umat Allah dari

perjanjian baru, dan komunitas di dunia dari Tuhan yang dimuliakan.

Gereja merupakan suatu kesatuan atau persekutuan di antara manusia karena rahmat

Kristus, namun di dalam inti gereja orang menemukan misteri. Dulles menjelaskan, arti

utama dari misteri bukanlah Allah menurut hakikatNya yang sebenarnya ataupun pikiran-

pikiran ilahi, akan tetapi terlebih kepada rencana penyelamatan Allah yang menjadi nyata

dalam diri Yesus Kristus.18 Tujuan misteri ialah penyempurnaan alam semesta dan

pemersatuan segala sesuatu di dalam Kritus yang akan menyerahkan diri bersama segala-

galanya kepada Bapa sebagai penyempurnaan eskatologis, dalam persekutuan sempurna dari

17Yusak Setyawan, Hand-Outs Eklesiologi, 14. 18Avery Dulles S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990), 18.

Page 8: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

17

kerajaan Allah.19 Gereja merupakan bagian dari misteri Kristus, yang justru menyatakan dan

melaksanakan rencana keselamatannya di dalam gereja. Ia tetap berkarya secara dinamis di

dalam gereja melalui rohNya.

Kata misteri (mysterion) sama dengan kata sakramen (sacramentum). Dalam Kitab

Suci kedua-duanya dipakai untuk rencana keselamatan Allah yang disingkapkan kepada

manusia. Tetapi dalam perkembangan teologi kata misteri dipakai terutama untuk menunjuk

pada segi ilahi dan tidak tampak rencana dan karya Allah, sedangkan kata sakramen lebih

menunjuk pada aspek insani dan tampak.20 Misteri dan sakramen adalah dua aspek dari satu

kenyataan, ilahi dan insani, yang disebut Gereja. Dari satu pihak Gereja bermakna ilahi,

karena merupakan tubuh mistik Kristus dan adalah persekutuan rohani, yang diperkaya

dengan karunia-karunia surgawi itulah sebabnya disebut misteri. Tetapi sekaligus adalah

kelompok insani dilengkapi dengan jabatan hierarkis, karena hidup di dunia. Ini semua di

sebut unsur manusiawi dan ditunjukkan dengan kata sakramen.

Gereja dikatakan tidak tampak karena bersifat spiritual, gereja tidak dapat dilihat

dengan mata jasmani. Persatuan orang percaya dengan Kristus adalah sebuah persatuan

mistis, roh yang membentuk satu ikatan yang tak tampak. Gereja menjadi tampak dalam

pengakuan dan perbuatan, dalam pelayanan firman dan sakramen-sakramen, serta dalam

organisasi dan pemerintahan gereja secara eksternal.21

Sifat misteri gereja memiliki dampak yang sangat penting terhadap metodologi

penyelidikan tentang gereja. Ia menyingkirkan kemungkinan pendekatan yang bertolak

belakang dari konsep-konsep yang jelas, atau dari pengertian-pengertian dalam arti biasa.

Dapat dikatakan sarana pertama yang telah digunakan untuk menjelaskan misteri adalah

19Georg Kircheberger, Allah Menggugat: Sebuah Dogmatik Kristiani (Maumere: Ledalero, 2007), 410. 20Niko Syukur, Teologi Sistematika 2, 203. 21Berkhof, Teologi Sistematika 5, 26-28.

Page 9: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

18

gambaran.22 Supaya gambaran dapat sungguh-sungguh menjelaskan suatu realita yang mau

dijelaskan, maka gambaran yang dipakai harus berakar dalam pengalaman iman umat.

2.2.3. Model Model Gereja

Gambaran dipergunakan secara reflektif dan kritis untuk memperdalam pemahaman

teoritis mengenai suatu kenyataan, gambaran itu menjadi apa yang dewasa ini disebut

model.23 Ada banyak pengertian kata model yang dipergunakan dalam pemikiran

kontemporer. Ian G. Barbour memilah empat macam penggunaan istilah ini (ekperimental,

logis, matematis dan teoritis) dan menandaskan bahwa model teoritis merupakan perhatian

yang utama, sesuai dengan maksudnya untuk mengadakan perbandingan penggunaan model-

model ini dalam bidang ilmu pengetahuan dan teologi.24 Barbour mendefinisikan model ini

sebagai “representasi simbolis dari segi-segi yang dipilih menyangkut tingkah laku dari

sistem majemuk untuk maksud-maksud tertentu”.

Sebuah model adalah sebuah kasus yang dirancang secara agak sederhana dan

artifisial, yang dirasa berfaedah dan memberi terang untuk menghadapi rupa-rupa kenyataan

yang lebih majemuk dan beraneka ragam. Sangat penting untuk memahami bahwa model

merupakan konstruksi. Model-model bukanlah cermin dari realitas, model-model adalah

“tipe-tipe ideal”, entah berupa posisi-posisi yang dirancang secara logis atau abstraksi-

abstraksi yang dibentuk dalam posisi-posisi konkret.25 Model-model sama seperti gambaran

dan simbol, menyediakan rupa-rupa cara yang melaluinya seseorang dapat mengetahui

realitas di dalam seluruh kekayaan dan kemajemukannya. Model-model memang menyajikan

22Dulles, Model-Model Gereja, 19. 23Dulles, Model-Model Gereja, 23 24Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual (Maumere: Ledalero, 2002), 53. 25Bevans, Model Teologi Kontekstual, 54.

Page 10: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

19

sebuah pengetahuan yang selalu bersifat separuh dan tidak mencukupi, namun tidak pernah

palsu atau bersifat subjektif.26

Sekurang-kurangnya bagi Gereja Katolik maupun Protestan, penggunaan model-

model untuk mendekati suatu pemahaman tentang suatu persoalan teologis yang majemuk

atau sulit dapat dilihat dalam pemunculan karya Avery Dulles “Model-Model Gereja”,

sebuah karya yang yang telah menjadi klasik dalam teologi Katolik pasca Konsili Vatikan II.

Dalam buku ini, Dulles memperlihatkan dengan sangat meyakinkan kekuatan dalam

menggunakan model untuk memilah persoalan-persoalan di bidang teologi.

Di dalam tulisannya, Dulles menguraikan enam model gereja: Gereja sebagai

institusi, gereja sebagai persekutuan mistik, gereja sebagai sakramen, gereja sebagai

pewarta, gereja sebagai hamba, dan gereja sebagai persekutuan murid-murid. Masing-

masing model ini menyingkapkan ciri khas tentang pemahaman misteri gereja. Kemudian,

Dulles menarik implikasi-implikasi dari setiap model untuk eskatologi, ekumenisme,

pelayanan serta wahyu dan mengakhirinya dengan suatu penilaian terhadap model-model

tersebut, di dalamnya ia menunjukkan segi-segi yang perlu dilestarikan atau perlu

ditinggalkan dalam setiap eklesiologi.

Dulles mengembangkan gagasannya tentang model berdasarkan kajian terhadap karya

Ian G. Barbour, Ian T. Ramsey dan Max Black, yang berhadapan dengan tantangan bagi

bahasa teologis dari positivisme logis, yang menegaskan bahwa penggunaan model-model

dalam bidang ilmu pengetahuan alam cocok untuk wacana teologi.27 Khususnya dalam

kerangka apa yang disebut Ramsey sebagai model-model penyingkapan dan apa yang

dinamakan Dulles sebagai model-model heuristik, maka kenyataan-kenyataan teologi yang

26Bevans, Model Teologi Kontekstual, 55. 27 Bevans, Model Teologi Kontekstual, 52.

Page 11: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

20

majemuk seperti gereja, rahmat Allah atau penebusan manusia dapat terbuka bagi

pengungkapan, refleksi dan kritik.28

Dalam rangka mengimbangi rupa-rupa kekurangan dari masing-masing model, maka

seorang teolog mendayagunakan suatu kombinasi dari kekhasan masing-masing model yang

tidak dapat direduksi lagi. Model dominan yang mampu memecahkan masalah atau problem-

problem teologis yang tidak mampu dijelaskan oleh model-model lain disebut paradigma.29

Biasanya paradigma ini berubah seiring dengan perubahan yang terjadi dalam dunia dan

masyarakat.

Semua model dalam arti inklusif, sungguh-sungguh tidak memadai dan perlu

dilengkapi oleh model-model yang lain. Seseorang bisa saja menganut satu model sebagai

yang paling tepat menjelaskan realita yang sedang di bahas, namun hal ini tidak menuntut

orang tersebut mesti menolak kebasahan apa yang ditegaskan oleh para teolog yang lainnya.

Suatu sistem teologi yang baik pada umumnya akan mengakui rupa-rupa keterbatasan

metafora-metafora dasarnya, dan oleh karena itu akan terbuka kepada kritik-kritik dari sudut

pandang yang lain.

Di antara enam model gereja yang diuraikan oleh Avery Dulles di dalam bukunya,

penulis akan berusaha menyoroti satu model gereja, yaitu model gereja sebagai institusi yang

telah menjadi paradigma di dalam teologi modern. dengan cara ini penulis beranggapan,

mampu menunjukkan ciri khas aliran-aliran eklesiologis modern, mengidentifikasi

pandangan-pandangan yang paling umum, serta memahami kemantapan aneka gaya teologi.

Model gereja sebagai institusi akan dikemukakan bersama dengan beberapa penilaian tentang

kelebihan dan kekurangannya.

28Dulles, Model-Model Gereja, 28-29. 29Dulles, Model-Model Gereja, 30.

Page 12: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

21

2.3. Gereja Sebagai Institusi

Untuk dapat memahami dengan baik konsepsi dan teori tentang gereja sebagai

institusi, harus diketahui apa itu pengertian institusi. Menurut Hendropuspito, institusi

merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap tersusun dari pola-pola kelakuan,

peranan-peranan dan relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-

kebutuhan sosial dasar.30 Sulaeman Taneko mendefinisikan institusi dengan adanya norma-

norma dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam institusi tersebut. Institusi merupakan

pola-pola yang telah mempunyai kekuatan tetap dan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan

haruslah dijalankan menurut pola-pola tersebut.31

Untuk meneliti sebuah organisasi, tidak terlepas dari keberadaan institusi. Menurut

Talcott Parson sebagaimana dikutip oleh Sulaiman Taneko, masyarakat merupakan kumpulan

individu yang membawa budaya masing-masing dengan membentuk lembaga atau institusi itu

sendiri. Menurutnya, sistem-sistem sosial yang ada di masyarakat itu dapat dilihat sebagai suatu

organisasi, yang apabila diteliti akan dilihat pula nilai-nilai yang ada pada lembaga atau institusi

serta aturan-aturan yang mengikat individu. Kemudian diimplementasikan nilai-nilai adaptasi,

prosedur serta norma atau pola-pola pada suatu organisasi.32

Berdasarkan penjelasan di atas, menuntun penulis untuk memahami bahwa Institusi

merupakan serangkaian norma dan perilaku yang sudah bertahan, kemudian digunakan

selama periode waktu tertentu (yang relatif lama) untuk mencapai maksud atau tujuan yang

bernilai kolektif (bersama) atau maksud-maksud lain yang bernilai sosial. Institusi tidak

hanya organisasi-organisasi yang memiliki bangunan fisik saja tetapi juga aturan-aturan yang

ada di masyarakat dapat dikategorikan sebagai suatu institusi.

30D. Hendropuspito O.C, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), 113. 31B. Sulaiman Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan ( Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1993), 72. 32B. Sulaiman Taneko, Struktur dan Proses Sosial: Suatu Pengantar Sosiologi Pembangunan, 74.

Page 13: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

22

Menurut hakikatnya gereja adalah suatu masyarakat yang sempurna, dalam arti dia

tidak tunduk kepada suatu masyarakat lain, dan juga dia memenuhi semua syarat yang

dituntut oleh suatu institusi yang sempurna. Robert Bellarminus sebagaimana dikutip oleh

Avery Dulles, mengungkapkan bahwa gereja merupakan suatu bentuk masyarakat manusia

(Coetus Hominum).33 Selanjutnya Dulles mengungkapkan, dalam salah satu bagian yang

terkenal dalam bukunya Die Controversiis Bellarminus menulis: “gereja yang satu dan benar

adalah masyarakat manusia yang dibentuk oleh pengakuan iman kristiani yang sama, serta

diikat oleh pengambilan bagian dalam sakramen-sakramen yang sama, di bawah bimbingan

para pemimpin yang sah.”

Pengertian gereja tersebut di atas, seluruhnya disusun oleh Bellarminus dari unsur-

unsur yang kelihatan. Ia mau menegaskan bahwa gereja yang benar adalah seperti suatu

masyarakat yang kelihatan sama seperti masyarakat Romawi, Kerajaan Perancis, atau

Republik Venesia.34 Dengan demikian gereja dilukiskan menurut analogi yang diambil dari

masyarakat politis. Gereja sebagai masyarakat historis kongkret, memiliki suatu konstitusi,

seperangkat hukum, badan kepemimpinan dan sekelompok anggota yang menerima

konstitusi dan undang-undang sebagai kewajiban mereka. Tanpa memiliki organisasi yang

tetap, gereja tidak dapat melaksanakan misinya.

Sepanjang sejarah agama Kristen gereja selalu memiliki segi institusional: memiliki

pewartaan yang diakui, menerima formula-formula konvensional, dan menetapkan tata cara

ibadah yang berlaku umum. Namun penekanan pada institusi tidak sama dengan

institusionalisme, walaupun sering bisa terjerumus ke dalam institusionalisme. Dengan

institusionalisme, diharapkan suatu sistem di mana institusional menduduki tempat pertama.

Di dalam dokumen Konsili Vatikan II unsur institusional gereja lebih ditekankan,

yakni organisasi yuridis gereja. Dengan menempatkan organisasi yuridis gereja dalam

33Avery Dulles S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1991), 16. 34Dulles, Model-Model Gereja, 17.

Page 14: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

23

konteks pemikiran teologis yang lebih luas dan mendalam mengenai sifat batiniah gereja,

Vatikan II menghindarkan bahaya-bahaya yuridisme.35 Penekanan unsur ini telah

dikemukakan pada zaman Bapa-Bapa Gereja sampai dengan abad ke-13 (teolog skolastik).

pada akhir abad pertengahan (Kontra Reformasi) semakin ditekankan lagi, khususnya

berkaitan dengan jabatan Paus dan hierarki gereja.

Pandangan institusional mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-19 dan

diungkapkan dengan jelas dalam skema yang pertama dari konstitusi dogmatik tentang gereja

yang disiapkan untuk Konsili Vatikan I. Skema tersebut menjelaskan, gereja tidak hanya

sebagai masyarakat yang sempurna, tetapi juga hukumnya yang permanen dianugerahi oleh

Tuhan sendiri.36 Dalam eklesiologi ini, kekuasaan dan tugas gereja dibagi atas tiga: mengajar,

menguduskan dan memimpin. Gereja juga mempunyai analogi dengan dunia sekular, biar

pun sedikit berbeda.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memahami bahwa gereja sebagai institusi

merupakan suatu bentuk organisasi yang tersusun relatif tetap atas pola-pola kelakuan,

peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas

formal dan sanksi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia

supra empiris. Ketentuan yang demikian itu diperlukan untuk menjamin tata tertib dan

menjauhkan kekacauan yang tidak diinginkan. Tiga kekuasaan dan tugas gereja tersebut di

atas tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan, apabila tidak ada suatu institusi

yang mengaturnya. Untuk itu diperlukan adanya institusi yang mempunyai wewenang untuk

mengaturnya dengan baik. Di dalam institusi ada unsur kekuasaan yang berwenang untuk

memberikan sanksi hukum sebagai sarana preventif dan represif terhadap warga gereja yang

hendak meremehkan atau menghapusnya.

35Dulles, Model-Model Gereja, 34. 36Dulles, Model-Model Gereja, 35

Page 15: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

24

2.3.1. Ciri-Ciri Model Gereja Sebagai Institusi

Suatu ciri dari model gereja institusional adalah konsep tentang otoritas yang hierarki.

Gereja tidak dipahami sebagai suatu masyarakat yang demokratis atau menganut sistem

perwakilan, tetapi sebagai suatu masyarakat di mana pelimpahan kekuasaan memimpin

terpusat di dalam tangan suatu golongan tertentu, yang selalu memilih anggota baru untuk

boleh masuk ke dalam kelompoknya.37

Dalam awal kehidupan bersamanya, gereja telah menetapkan paling tidak otoritas

hierarki sederhana dan esensial yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja dan umat

adalah tubuhNya. Meskipun Yesus Kristus adalah kepala atas gereja, namun gereja perlu

memiliki sistem hierarki dan sistem pemerintahan. Umat Allah perlu mengorganisasikan diri

dan aktivitasnya dalam ketaatan kepada Yesus Kristus dan memperhatikan struktur sosiologis

masyarakat di mana pun ia berada.38

Dalam kehidupan gereja mula-mula, terdapat dua golongan pelayan. Golongan yang

pertama ialah yang dapat disebut golongan kharismatik, yaitu mereka yang mempunyai

kharisma dan panggilan khusus seperti: para rasul, nabi dan penginjil gereja mula-mula.

Pelayanan mereka pada umumnya bersifat regional (berpindah-pindah) sesuai dengan

pimpinan roh kudus dan kebutuhan jemaat-jemaat. Golongan yang kedua ialah pejabat-

pejabat setempat, yaitu para penilik, penatua dan diaken (syamas). Pelayanan mereka bersifat

lokal dan tetap.39

Pada zaman rasuli tidak dibedakan antara penatua dan penilik. Di kemudian hari,

dalam gereja mula-mula mulai nampak tugas-tugas yang lebih tetap dan juga struktur-struktur

37Dulles, Model-Model Gereja, 36. 38Ebenhaizer I Nuban Timo, Umat Ditapal Batas: Percakapan Tentang Gereja Jilid II, Cet.2 (Salatiga:

Alfa Design, 2011), 163. 39Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I: Gereja Mula-Mula Di Dalam Lingkungan Kebudayaan Yunani-

Romawi, Cet.2 (Jawa Timur: Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil Indonesia, 1992), 41.

Page 16: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

25

organisasi tertentu mulai diterima, secara khusus dua macam bentuk pelaksanaan struktur

tetap yaitu: “presbiterial kolegial” dan “episkopal monarki”.40 “Presbiterial kolegial” berarti

gereja dipimpin oleh dewan (collegium) para penatua (presbuteroi). Sedangkan, “epsikopal

monarki” berarti gereja dipimpin oleh satu orang (monarkos) yang disebut penilik atau uskup

(episkopos). Semula fungsi episkopos (seperti juga diakonos) serupa dengan fungsi

penggembalaan atau pengajar, akan tetapi tugasnya berkembang menjadi pemimpin gereja

lokal seluruhnya, mulai dibantu oleh beberapa petugas tetap lainnya yang disebut diakonioi.41

Jabatan episkopos sangat berkembang cepat sesuai dengan perkembangan jemaat

yang berada dalam dunia Helenis-Yunani. Sementara itu jabatan presbuteroi hanya digunakan

dalam jemaat-jemaat-jemaat Kristen Yahudi.42 Oleh sebab itu, menjadi sangat mungkin

bahwa jabatan episkopos menjadi satu-satunya pemimpin jemaat. Pada akhirnya kedua

struktur tersebut menjadi satu. Pimpinan gereja ada pada seorang uskup yang dibantu oleh

dewan penatua dan beberapa diaken. Ketiga jabatan tersebut merupakan jabatan organisatoris

yang bersifat tetap, kemudian oleh otoritas gereja diteruskan dalam bentuk institusi yang

terdiri dari berbagai macam fungsi di dalam gereja.43

Di dalam eklesiologi yang berpusat pada institusi terdapat adanya sifat: “klerikalis,

yuridis, dan triumphalis”. Ia bersifat “klerikalis” karena memandang klerus, khususnya klerus

pada posisi yang paling tinggi sebagai sumber segala kekuasaan dan inisiatif.44 Jabatan uskup

sebagai klerus tertinggi sejak zaman rasuli menjadi semakin penting dalam gereja. Dari

petugas yang mengatur hal-hal praktis dalam kehidupan gereja, para uskup telah menjadi

pemimpin-pemimpin rohani yang memainkan peranan kunci di gereja.45 Jabatan uskup mulai

dilihat sebagai ketetapan rasuli. Para rasul menunjuk uskup-uskup di jemaat-jemaat untuk

40Dietrich Kuhl, Sejarah Gereja I, 42. 41Jacobs, Dinamika gereja, 172-173. 42J.L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum Gereja. Cet.9 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 51. 43Nuban Timo, Umat Ditapal Batas, 145. 44Dulles, Model-Model Gereja, 37. 45Jan. S Aritonang & Chr. De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja: Pengantar Sejarah Eklesiologi, cet, 6

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009), 12.

Page 17: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

26

meneruskan pekerjaan mereka. Dengan demikian para uskup dilihat sebagai pengganti para

rasul. Melalui penggantian rasuli (successio apostolica), setiap uskup dihubungkan dengan

para rasul.46

Eklesiologi yang berpusat pada institusi bersifat “yuridis”, karena ia memahami

otoritas di dalam gereja serupa dengan pola yuridiksi dalam negara sekular dan sangat

memperluas peranan hukum dan sanksi. Gereja menyadari dirinya sebagai suatu komunitas

(masyarakat) di mana para pemimpinnya memiliki kekuasaan yuridis sosial. Dengan

kekuasaan itu mereka dapat mengatur dengan sah dan mengikat anggotanya dalam hati nurani

melalui peraturan hukum dan kegiatan hukum lainnya.47

Eklesiologi institusional bersifat “triumphalis” untuk menggambarkan gereja sebagai

kesatuan pasukan tempur yang berjuang melawan setan dan kuasa-kuasa kejahatan. Dalam

sejarah gereja, sikap triumphalistik ini terungkap melalui adagium Extra Ecclesiam Nulla

Salus (tidak ada keselamatan di luar gereja). Konsep ini pertama kali dikemukakan oleh

Cyprianus, seorang uskup dari Kartago. Dengan ungkapan ini, Cyprianus mau mengatakan

bahwa sakramen yang diberikan oleh para bidat (orang-orang yang menyebarkan ajaran yang

melenceng dari ajaran resmi gereja) tidak menghantar keselamatan. Hanya sakramen dalam

gereja yang mampu menyelamatkan. Dengan demikian, ungkapan ini mau menjaga kesatuan

gereja dari benih-benih perpecahan yang ditaburkan oleh para bidat.48 Kesatuan merupakan

syarat mutlak untuk gereja sebagai tubuh Kristus yang tidak terbagi. Kesatuan ini nampak

dalam keuskupan, prinsip kesatuan yang diberikan Kristus melalui para rasul kepada gereja.49

Eklesiologi institusionalis berpikir dalam kerangka pandangan dunia yang statis di

mana segalanya pada intinya tetap sama seperti semula dan karena itu asal-usul menjadi amat

penting. Eklesiologi institusional sangat mengutamakan kegiatan Kristus di dalam

46 Aritonang & De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, 13 47Eddy Kristiyanto OFM, Gagasan yang menjadi peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta:

Kanisius, 2002), 22. 48Eddy Kristiyanto, Gagasan yang menjadi peristiwa, 27. 49Aritonang & De Jonge, Apa dan Bagaimana Gereja, 16.

Page 18: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

27

menetapkan jabatan-jabatan dan sakramen-sakramen yang ada sekarang di dalam gereja.50

Karena itu Konsili Trente menetapkan bahwa ketujuh sakramen dan hierarki sebagai yang

ditetapkan oleh Kristus. Dalam perkembangannya, Konsili Trente menjadi sebuah “solusi”

untuk semua masalah doktrinal dan institusional. Konsili Trente menjadi sebuah ideologi

baru yang merubah gereja menjadi berwajah sama (uniformitas). Semua pengaruh dan kontak

antara tradisi eklesial dengan realitas disaring melalui Konsili Trente. Konsili Trente menjadi

sistem eklesial baru yang bersifat hierakis dan terpusat.51

Berkaitan dengan kritik ilmiah yang tidak bisa membuktikan bahwa semua jabatan,

keyakinan dan ritus diadakan oleh Kristus, para kaum teolog-teolog model ini menerapkan

metode regresif: ajaran terbaru dari magisterium sebagai indikasi terhadap apa yang

seharusnya sudah ada sejak semula. Dalam periode institusional ini gereja tidak mengakui

adanya kuasa mana pun yang membaharui tentang wahyu. Menurut konsep ini, tugas teologi

yang paling mulia adalah menunjukkan bagaimana suatu doktrin yang didefinisikan oleh

gereja terkandung di dalam sumber-sumber wahyu.

2.3.2. Sasaran Pelayanan Model Gereja Sebagai Institusi

Sasaran pelayanan di dalam model institusional pada dasarnya sama seperti tiga

kriteria yang dikemukakan oleh Robert Bellarminus. Sebagaimana dikutip oleh Dulles,

Bellarminus menjelaskan bahwa: “anggota gereja yang menerima ajaran-ajaran yang diakui,

yang mengambil bagian dalam sakramen-sakramen yang sah, dan yang tunduk kepada para

gembala yang diangkat secara sah.”52 Keanggotaan gereja bisa dibuktikan secara yuridis dan

yang mendapat pelayanan dari gereja adalah para anggotanya. Dari penjelasan tersebut, sudah

menjadi jelas bahwa gereja bertujuan memberikan kehidupan kekal bagi para anggotanya.

50Dulles, Model-Model Gereja, 38. 51Eddy Kristiyanto OFM, Reformasi Dari Dalam: sejarah Gereja Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004),

106. 52Dulles, Model-Model Gereja, 39.

Page 19: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

28

sikap yang dituntut dari anggotanya adalah patuh dan mempercayakan diri kepada pejabat-

pejabat gereja.

2.3.3. Kekuatan Model Gereja Sebagai Institusi

Ada tiga kekuatan yang terdapat di dalam model eklesiologi institusional, yaitu:

Pertama, teori ini sangat didukung oleh ajaran resmi gereja dari beberapa abad yang lalu.

Gereja berulang kali menekankan bahwa struktur ajaran, tata aturan sakramen, dan susunan

kepemimpinannya bersumber dalam wahyu ilahi. Sehingga sulit bagi orang beriman untuk

mengambil posisi yang berbeda. Kedua, dengan memberikan penekanan yang kuat atas

elemen kontinuitas dari asal-usul agama Kristen, pendekatan institusional menyediakan mata

rantai yang penting antara masa sekarang yang serba tidak pasti dengan masa lampau yang

dihargai sebagai masa ideal. Ketiga, model institusional telah membantu memberikan orang

Kristen suatu realitas identitas kelompok yang jelas (esprit de corps). Umat memiliki

ketaatan institusional yang tinggi, karena mereka didorong untuk menerima maksud dan

ajaran gereja yang ditetapkan oleh pemimpin. Di samping itu, Gereja mempunyai tujuan-

tujuan yang jelas bagi kegiatan misionernya.53

2.3.4. Kelemahan Model Gereja Sebagai Institusi

Di dalam eklesiologi model institusional terdapat lima kelemahan yang tidak kecil.

antara lain:54 Pertama, model ini tidak memiliki dasar biblis dan tradisi gereja perdana.

Hanya sedikit saja teks di dalam Perjanjian Baru yang mendukungnya dan teks-teks tersebut

harus ditafsirkan secara khusus. Dalam Surat-surat Paulus (Roma, Korintus, Efesus),

ditemukan banyak macam pelayanan, fungsi dan kharisma dalam tubuh mistik Kristus.

Namun tidak mungkin menentukan yang dari tugas-tugas itu sama dengan apa yang

53Dulles, Model-Model Gereja, 40. 54Dulles, Model-Model Gereja, 41.

Page 20: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

29

dinamakan jabatan. Paulus berbicara banyak tentang pelayan-pelayan sabda, tetapi sangat

kurang tentang jabatan-jabatan kepemimpinan. Dengan demikian, Kitab suci tidak

melukiskan gereja sebagai suatu masyarakat yang seragam dengan peraturan yang ketat.

Kedua, model institusional membawa konsekuensi negatif pada kehidupan

kekristenan. Beberapa kebajikan seperti ketaatan, diberi tekanan yang berlebihan sementara

kebajikan lain diabaikan. “Klerikalisme” agaknya cenderung membuat kaum awam menjadi

pasif, dan menjadikan kerasulan mereka hanya sebagai tambahan belaka dari kerasulan

“hierarki”. “Yuridisme” terlalu membesar-besarkan peranan otoritas manusia dan dengan

demikian mengubah injil menjadi suatu hukum yang baru.

Ketiga, model institusional menghalangi kreativitas teologi. Model ini mengikat

teologi menjadi eksklusif pada tugas untuk membela pendapat yang ditetapkan secara resmi,

dan dengan demikian mengurangi penelitian kritis dan mendalam untuk mencari pengertian

baru. Dalam teologinya, gereja Katolik bergantung banyak pada tradisi untuk mendukung

konsepnya tentang kesatuan dari gereja. gereja Katolik biasanya mengacu pada teologi

perjuangan para Bapa gereja secara khusus Irenius dan Tertulian dalam melawan perpecahan

gereja. Tulisan Bapa-bapa gereja lainnya seperti Cyprian dan Augustinus yang melawan

perpecahan dan mendukung kesatuan gereja Katolik juga banyak digunakan sebagai

argumentasi teologi. Selanjutnya, dukungan lain bagi kesatuan gereja juga terkait erat dengan

pemahaman teologis beberapa teolog Katolik bahwa gereja perlu menjadi gereja yang

kelihatan (secara organisasi menyatu) karena Kristus juga kelihatan ketika Ia berinkarnasi.

Menurut mereka, sebagaimana Kristus kelihatan pada saat inkarnasi, demikian pula tubuh-

Nya yaitu gereja, kelihatan pada saat ketidakhadiranNya.55

Keempat, institusionalisme yang berlebihan menimbulkan problem teologi yang

sangat serius. Menurut beberapa wakil dari aliran ini, keselamatan kekal bagi orang-orang

55Eddy Kristiyanto OFM, Visi Historis Komprehensif: Sebuah Pengantar (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 42-43.

Page 21: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

30

yang bukan bagian dari Gereja hampir mustahil. umat manusia tidak akan memperoleh

keselamatan kekal semata-mata hanya karena mereka bukan orang kristen, tidak bisa

dipercaya dan tidak dapat diterima secara teologis. Model institusional gagal

memperhitungkan daya hidup rohani dari gereja-gereja non-Katolik. Bahkan di dalam Gereja

Roma Katolik sendiri, eklesiologi ini tidak dapat memberikan keleluasaan yang secukupnya

dengan unsur kharismatik.

Kelima, akhirnya eklesiologi ini tidak sesusai dengan tuntutan zaman. Di dalam

zaman dialog, ekumenisme dan perhatian kepada agama-agama dunia, tendens monopoli dari

model ini tidak dapat diterima. Pada masa di mana semua intitusi besar dipandang dengan

rasa curiga dan segan, sangat sulit untuk menarik orang kepada suatu agama yang aspek

institusionalnya memainkan peranan utama. Di dalam masyarakat modern yang pluralistik,

orang tidak mengalami gereja sebagai sarana mutlak yang perlu memberikan arti bagi hidup

mereka. Akan tetapi, mereka rela memilih suatu gereja dengan harapan akan menerima

pelayanan khusus yang tidak diperoleh di tempat lain.56

2.4. Kesimpulan

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa Gereja dalam arti

institusi tidak terlepas dari sebuah organisasi. Karena di dalam gereja diperlukan suatu

tatanan, pengaturan, penyusunan maupun tentang pengelolaan dalam segala sesuatu proses

yang dilakukan oleh gereja tersebut demi tercapainya pengorganisasian yang baik sehingga

gereja dapat mencapai tujuannya, sebagai mandataris Allah di dunia.

Gereja sebagai institusi dapat juga dilihat sebagai organisasi yang ditinjau dari

sosiologis karena gereja tidak akan pernah lepas dari sudut pandang sosial kemasyarakatan.

Alasan yang mendasarinya, bahwa gereja terdiri dari sudut bagian sosial kemasyarakatan.

56Dulles, Model-Model Gereja, 42.

Page 22: BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI 2.1. Pendahuluan€¦ · 10 BAB 2 TEORI GEREJA SEBAGAI INSTITUSI . 2.1. Pendahuluan . Dalam perkembangan sejarahnya, gereja merupakan suatu lembaga

31

Pandangan ini terjadi karena gereja belumlah sempurna, sehingga diperlukan peraturan dan

disusun dari keterlibatan dan disiplin hidup masyarakat.

Gereja sebagai institusi berusaha menjelaskan bahwa gereja harus menjadi suatu

komunitas yang berstruktur dan harus tetap menjadi komunitas seperti yang didirikan oleh

Kristus sebagai kepala gereja. Komunitas seperti itu mesti mencakup suatu tugas pastoral

yang dilengkapi dengan kekuasaan untuk memimpin dalam komunitas, untuk menentukan

batas-batas perbedaan pendapat yang bisa diterima dan untuk mewakili komunitas secara

resmi.

Gereja sebagai institusi, pada dirinya sendiri cenderung menjadi kaku, doktriner, dan

konformis. Model ini dengan mudah menggantikan Tuhan dengan pejabat gereja. Hal ini bisa

menjadi suatu bentuk penyembahan berhala. Sebagai solusinya, gereja harus tampil sebagai

subordinasi terhadap hidup perutusan komunalnya.