31
Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007 1 PENCEGAHAN BENCANA AKIBAT ALIRAN DEBRIS 1. PENDAHULUAN Di Indonesia dari 129 gunung berapi aktif yang sering mengalami letusan adalah Gunung Merapi Yogyakarta dan Jawa Tengah; Gunung Kelud, Kediri; Gunung Semeru, Lumajang Jawa Timur; Gunung Agung Bali dan beberapa gunung aktif lainnya. Konsekuensi dari letusan gunung berapi tersebut adalah tertumpuknya ratusan ribu atau bahkan jutaan meter kubik (m 3 ) deposit material sedimen di area bagian hulu. Dan apabila curah hujan dengan intensitas yang tinggi turun di area bagian hulu tersebut maka akan memicu terjadinya aliran debris, dimana akibatnya adalah korban jiwa serta kerusakan sarana dan prasarana umum yang besar. Sebagai contoh Mustofa dan Suroso (2002) menjelaskan bahwa mulai tahun 1931 hingga 1997 telah terjadi aliran debris sebanyak 507 kali yang mengarah pada 13 sungai utama dengan urutan kejadian yang tertinggi adalah Kali Putih yaitu lebih dari 130 kali. Jumlah korban akibat aliran lahar ini adalah 40 orang meninggal, 812 buah rumah rusak, dan lebih dari 270 ha sawah dan beberapa sarana/prasarana umum rusak. Penanggulangan bencana sedimen di daerah volkanik telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia mulai tahun 1969 untuk Gunung Merapi, Gunung Kelud dan Gunung Agung; pada tahun 1977 untuk Gunung Semeru; dan pada tahun 1982 untuk Gunung Galunggung (Sumaryono, 1993). Penanggulangan itu meliputi penanggulangan secara fisik maupun non fisik. 2. PENANGGULANGAN SECARA FISIK Konsep dasar penanganan bencana sedimen (aliran debris) di daerah volkanik dapat dilihat pada Gambar 1. Bangunan pengendali sedimen ini terdiri dari beberapa macam yaitu: Dam penahan sedimen, bangunan ini diletakkan dibagian hulu sungai dimana fungsinya adalah untuk mengendalikan kecepatan dan debit sedimen, menstabilkan kemiringan dasar sungai dan menahan sedimen yang tertampung untuk tidak mengalir ke hilir sungai. Dalam Gambar 1, step dam, sabo dam dan check dam adalah dalam bangunan penahan sedimen ini. Kantong sedimen (sand pocket /kantong lahar) diletakkan pada bagian hilir dari alur sungai, dimana tujuannya adalah untuk menampung sedimen dalam jumlah besar agar sedimen tidak melimpas ke kiri atau ke kanan sungai yang mengakibatkan kerusakan lahar disekitarnya. Bangunan pengendali sedimen, bangunan ini diletakkan pada alur sungai paling hilir. Aliran yang mengangkut sedimen dibagian hilir ini merupakan aliran dengan debit sedimen yang sudah terkendali sehingga diharapkan tidak terjadi erosi atau sedimentasi. Pada Gambar 1, bangunan pengendali sedimen ini disebut dengan Konsolidasi dam.

Bab 2 Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Disaster

Citation preview

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

1

PENCEGAHAN BENCANA AKIBAT ALIRAN DEBRIS 1. PENDAHULUAN

Di Indonesia dari 129 gunung berapi aktif yang sering mengalami letusan adalah

Gunung Merapi Yogyakarta dan Jawa Tengah; Gunung Kelud, Kediri; Gunung Semeru, Lumajang Jawa Timur; Gunung Agung Bali dan beberapa gunung aktif lainnya. Konsekuensi dari letusan gunung berapi tersebut adalah tertumpuknya ratusan ribu atau bahkan jutaan meter kubik (m3) deposit material sedimen di area bagian hulu. Dan apabila curah hujan dengan intensitas yang tinggi turun di area bagian hulu tersebut maka akan memicu terjadinya aliran debris, dimana akibatnya adalah korban jiwa serta kerusakan sarana dan prasarana umum yang besar. Sebagai contoh Mustofa dan Suroso (2002) menjelaskan bahwa mulai tahun 1931 hingga 1997 telah terjadi aliran debris sebanyak 507 kali yang mengarah pada 13 sungai utama dengan urutan kejadian yang tertinggi adalah Kali Putih yaitu lebih dari 130 kali. Jumlah korban akibat aliran lahar ini adalah 40 orang meninggal, 812 buah rumah rusak, dan lebih dari 270 ha sawah dan beberapa sarana/prasarana umum rusak.

Penanggulangan bencana sedimen di daerah volkanik telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia mulai tahun 1969 untuk Gunung Merapi, Gunung Kelud dan Gunung Agung; pada tahun 1977 untuk Gunung Semeru; dan pada tahun 1982 untuk Gunung Galunggung (Sumaryono, 1993). Penanggulangan itu meliputi penanggulangan secara fisik maupun non fisik.

2. PENANGGULANGAN SECARA FISIK

Konsep dasar penanganan bencana sedimen (aliran debris) di daerah volkanik dapat

dilihat pada Gambar 1. Bangunan pengendali sedimen ini terdiri dari beberapa macam yaitu: • Dam penahan sedimen, bangunan ini diletakkan dibagian hulu sungai dimana

fungsinya adalah untuk mengendalikan kecepatan dan debit sedimen, menstabilkan kemiringan dasar sungai dan menahan sedimen yang tertampung untuk tidak mengalir ke hilir sungai. Dalam Gambar 1, step dam, sabo dam dan check dam adalah dalam bangunan penahan sedimen ini.

• Kantong sedimen (sand pocket /kantong lahar) diletakkan pada bagian hilir dari alur sungai, dimana tujuannya adalah untuk menampung sedimen dalam jumlah besar agar sedimen tidak melimpas ke kiri atau ke kanan sungai yang mengakibatkan kerusakan lahar disekitarnya.

• Bangunan pengendali sedimen, bangunan ini diletakkan pada alur sungai paling hilir. Aliran yang mengangkut sedimen dibagian hilir ini merupakan aliran dengan debit sedimen yang sudah terkendali sehingga diharapkan tidak terjadi erosi atau sedimentasi. Pada Gambar 1, bangunan pengendali sedimen ini disebut dengan Konsolidasi dam.

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

2

Gambar 1. Konsep dasar penanganan bencana sedimen (aliran debris) di daerah volkanik (sumber: Duriat dan Sudjati, 2002)

3. PENANGGULANGAN SECARA NON-FISIK

Penanggulangan bencana sedimen secara non fisik meliputi: penyiapan peraturan

perundangan, organisasi penanggulangan bencana alam, pembuatan hazard map, pelatihan penanggulangan bencana, sistem peringatan dini dan sistem pengungsian.

Untuk sistem peringatan dini di seluruh negara di dunia yang mengalami bencana sedimen debris telah mengembangkan sistem monitoring aliran debris untuk memberikan peringatan dini kepada masyarakat. Disamping itu monitoring dan pengamatan aliran debris secara langsung dilapangan, ditujukan untuk mengetahui parameter physic dan dynamic dalam rangka untuk pengembangan teori dan keperluan praktisnya, seperti penentuan karakter reologinya dan kalibrasi model matematik.

System pengukuran yang otomatis diperlukan untuk mendapatkan data aliran debris tapi karena biasanya akses tempat aliran debris yang berat (susah) dan memerlukan dana yang besar untuk pemasangannya maka menurut Tecca et al. (2002) hanya sedikit sistem yang di pasang (set up) di dunia ini. Type sistem sensor yang berbeda di desain untuk keperluan pendeteksian aliran debris dan peringatan dini, serta untuk keperluan penelitian, telah dipasang di Japan (Suwa and Okuda, 1985; Itakura et al., 1997), Philippines (Marcial et al., 1996), Indonesia (Lavigne et al., 2000), Columbia (LaHusen, 1996), China (Zhang, 1993) dan Italy (Arattano et al., 1997; Genevois et al., 2000a).

Konsolidasi Dam

Konsolidasi Dam

Check Dam

Kantong Lahar

Sabo Dam

Step Dam

Pos Komunikasi

Pos Komunikasi

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

3

3.1. System monitoring aliran debris di Indonesia Penjelasan secara detail sejarah sistem monitoring aliran debris (aliran lahar)

khususnya alat monitoring lahar di Gunung Merapi ada pada Lavigne et al (2000). Menurutnya pengukuran curah hujan di Gunung Merapi pertama sekali dilakukan oleh Dutch dan ilmuan Jerman (data di Schmidt, 1934), selanjutnya pengumpulan data curah hujan dilakukan oleh Volcanological Survey of Indonesia (data hujan harian yang tercatat pada tahun 1960 ada pada Merapi Volcano Observatory). Sejak awal tahun 1970 banyak peralatan untuk prediksi dan monitoring aliran debris dipasang oleh Kementrian Pekerjaan Umum (sekarang Menkimpraswil). Misalnya antara tahun 1972 dan 1984 telah dipasang 32 alat pengukur hujan otomatis (automatic rain gauges) dan 3 alat pengukur muka air otomatis (water level gauges). Pada tahun 1984 atas kerja sama dengan Japan International Cooperation (JICA) didirikan Volcanic Sabo Technical Center (VSTC) yang kemudian mulai tahun1992 menjadi STC. Dengan bantuan dari VSTC alat-alat pengukuran secara komprehensif diperkenalkan.

Gambar 2. Sistem network monitoring pada bagian selatan dan barat Gunung Merapi (sumber: Lavigne et al. 2000)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

4

Diantara alat-alat tersebut adalah sebuah radar pengukur curah hujan (radar rain gauge) yang bisa memberikan informasi kejadian, gerakan dan variasi besaran curah hujan pada daerah monitoringnya. Jangkauan wilayah observasi alat ini meliputi area 60 km x 80 km, dengan tiga jenis pemantauan yang dapat dilihat pada display screennya yaitu maximum, normal dan pembesaran imagenya. Dengan alat ini intensitas dan areal distribusi curah hujan dapat dilihat pada display screen, dengan data disimpan pada floppy disk untuk digunakan sebagai data analysis nantinya.

Alat lain yang dipasang adalah telemetering rain gauge yang merupakan alat pengukur curah hujan mendekati real time (tiap 10 menit), tiga buah pencatat elevasi muka air (telemetered water level recorded), dua buah alat untuk mengukur kecepatan aliran (telemetered current meter), dua buah alat untuk mendeteksi kejadian aliran debris (trip-wire sensor), dan beberapa buah stasiun video camera. Semua informasi yang tercatat oleh alat di lapangan langsung tertransfer ke pusat monitoring di STC.

Selanjutnya beberapa alat baru juga dipasang setelah kejadian letusan Merapi pada 22 Nopember 1994, diantaranya wire sensor diletakkan diatas Boyong Dam 6 (BOD 6) yang lokasinya dekat Kali Urang. Seismometer yang digunakan untuk mendeteksi getaran bila terjadi aliran debris juga dipasang pada dasar sungai di Kali Urang. Ada beberapa alat lain yang juga telah dipasang seperti Real-time Seismic Amplitude Measurement (RSAM) sebuah alat yang digunakan untuk memperkirakan jumlah debit aliran debris ketika alat seismometer diletakkan dekat dengan channel yang dilalui aliran debris. Ada juga alat Seismic Spectral Amplitude Measurement (SSAM) sebuah alat yang digunakan untuk memberikan tanda-tanda letusan, dimana alat ini juga bisa digunakan untuk monitoring aliran debris (lahar). Lokasi alat yang terpasang di Gunung Merapi dapat dilihat pada Gambar 2.

3.2. System monitoring aliran debris di Japan

Secara garis besar sistem pemantauan aliran debris yang dikembangkan di

Indonesia tidak jauh berbeda dengan sistem monitoring yang dikembangkan di Japan, karena sebagian besar alat yang terpasang di Indonesia adalah merupakan ”bantuan” dari Japan.

Mukhlisin (2005) menjelaskan tentang sistem monitoring aliran debris pada Gunung Sakurajima sebuah Gunung yang terletak sekitar 10 km sebelah timur kota Kagoshima di sebelah selatan pulau Kyushu, Japan (lihat Gambar 3 dan 4).

Gunung Sakurajima adalah salah satu gunung teraktif di Japan dengan jumlah letusan mencapai 100 hingga 200 kali pertahun. Letusannya mengeluarkan endapan abu di sekitar lereng sumber letusan.

Sungai yang mengelilingi Gunung Sakurajima ada 19 sungai dengan Sungai Nojiri yang terletak di bagian selatan-barat sebagai sungai yang paling sering terjadi aliran debris dan merupakan salah satu sungai yang paling lengkap sistem monitoringnya. Channel di Sungai Nojiri dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu bagian bawah, tengah dan bagian atas, dimana jarak dari muara sungai berturut-turut adalah 0 – 3500 m, 3500 – 4500 m dan 4500 – 5000 m serta kemiringan lereng 3 – 5o, 6 – 12o dan lebih dari 20o (Gambar 5a). Di bagian bawah telah dibangun check dam 1 – 7, sebuah kantong pasir (sand pocket), dan banyak alat pantau yang lain. Sumber endapan abu (ash deposit)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

5

Japan

Sakurajima

0 1 2km

N

terletak dibagian atas channel serta di bagian pinggir kanan dan kiri dari bagian tengah channel (lihat Gambar 5b, c dan d).

Sistem monitoring yang ada di Sakurajima adalah sama dengan system monitoring yang ada di pegunungan aktif lain di seluruh dunia. Empat teknik dasar monitoring di Sakurajima meliputi: pemantauan yang berkaitan dengan gempa bumi (seismic observation), perubahan dasar tanah (ground deformation), pemantauan secara visual dan langsung ke lapangan (visual and field observation).

Disamping pembangunan check dam (sabo) untuk mengontrol dan mengurangi resiko akibat aliran debris, sejumlah alat monitoring juga di pasang di beberapa bagian sungai. Khususnya di Sungai Nojiri sistem pemantauan dengan sensor ultrasonic dipasang dibagian tengah sungai pada tahun 1974 untuk mencatat gelombang aliran debris. Disamping itu juga dipasang ground vibration (sensor getaran di dasar sungai) dan 10 camera dipasang dari Nojiri Dam 7 (NO7) sampai ke muara sungai (Gambar 5a). Alat ukur curah hujan (telemeter rain gauge) dipasang dibagian samping Nojiri Dam 5 (NO5).

Gambar 3. Lokasi Sungai Nojiri

Gambar 4. Lokasi Kagoshima dan Sakurajima, Kyushu, Japan (Durand et. al. 2001)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

6

Gambar 5. Sungai Nojiri, (a) longitudinal section, (b) bagian atas, (c) bagian tengah dan (d) bagian bawah

Ministry of Land, Infrastructure and Transport (MLIT), Japan (1995) melaporkan

beberapa alat observasi yang dipasang di sepanjang Sungai Nojiri sebagaimana yang ada pada gambar berikut ini: 1. Sensor optic, dipasang di sebelah sayap bagian kanan Dam No. 7 Sungai Nojiri.

Sensor ini akan menginformasikan ke kantor observasi bila terjadi gerakan aliran debris pada bagian hulu sungai (lihat Gambar 6).

Gambar 6. Sensor Optic, dipasang di sayap Dam No. 7 Sungai Nojiri

50004500400035003000 2500 2000 1500 1000500

Dam-7Dam-6

Dam-5Dam-5

Dam-4 Dam-3

Dam-2

Dam-1 NOR NOB

NOK

0

100

200300400

500600700800900

(a) (b

(c)(d

Lower subsection Middl Upper

Sensor

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

7

Wire sensor

(a)

(b)

2. Sensor kawat (Wire sensor), sensor ini berupa dua kawat yang dipasang melintang

dengan ketinggian 1 m dan 2 m diatas dasar sungai. Bila terjadi aliran debris yang cukup besar maka kawat akan terputus akibat terjangan aliran tersebut, dan selanjutnya hal ini akan secara otomatis terinformasikan ke kantor observasi (lihat Gambar 7).

Gambar 7. Wire sensor pada No. 2 Goundsel yang terletak di atas Nojiri Dam No. 5

3. Camera, alat ukur kecepatan supersonic (supersonic current meter) dan alat ukur ketinggian aliran (supersonic water gauge) diletakkan bagian tengah dari Sungai Nojiri (Gambar 8). Alat ini akan bekerja secara otomatis bila aliran debris melintas diatasnya.

Gambar 8. (a) Camera, supersonic current meter dan supersonic water gauge pada Nojiri channel work, dan (b) gambar detail camera

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

8

4. Display monitor dari bidikan camera yang ada di stasion observasi, di sepanjang sungai. Ruang display monitor ini ada di dalam Kantor Cabang Sabo Sakurajima yang lokasinya ada di sebelah hilir dari Sungai Nojiri (Gambar 9).

Gambar 9. Display monitor di Kantor Cabang Sabo Sakurajima dari hasil bidikan camera yang diletakkan dibeberapa stasion observasi. 5. Alat pencatat muka air dan kecepatan aliran pada stasiun observasi di Sungai Nojiri

(Gambar 10). Alat yang dipasang disepanjang Sungai Nojiri pada saat terjadinya aliran debris akan mengirim data ketinggian dan kecepatan aliran yang secara otomatis dalam bentuk print-out sebagaimana yang terlihat pada gambar berikut.

Gambar 10. Alat pencatat muka air dan kecepatan aliran pada stasion observasi di Sungai 6. Stasiun pengukur curah hujan dengan sistem telemetry (Raingauge telemetry system)

terletak disebelah kiri dari Nojiri Dam No. 5. Stasiun yang lokasinya relatif dibagian tengah dari channel Nojiri ini diharapkan mewakili kondisi seluruh sistim DAS yang ada. Sistem yang bekerja pada stasiun curah hujan ini adalah jika terjadi hujan maka

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

9

intensitas curah hujan akan tercatat secara otomatis dengan interval waktu tiap 10 menit, sedangkan bila tidak ada hujan catatan interval waktunya menjadi tiap 1 jam.

Beberapa foto kejadian aliran debris yang terecord oleh camera secara baik di

Sungai Nojiri sebagaimana yang dilaporkan oleh MLIT Japan (1995) dapat dilihat pada gambar yang ada di bawah ini (Gambar 11 dan 12).

Gambar 11. Aliran debris melewati Nojiri Dam No. 1, tampak dominant sediment dan batu-batu kecil (19 Maret 1984)

Gambar 12. Aliran debris melewati channel works Sungai Nojiri (18 Pebruari 1986)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

10

3.3. System monitoring aliran debris di Italy

Tecca et al. (2002) menjelaskan tentang system monitoring aliran debris yang ada di Acquabona Creek yang terletak di bagian kiri Boite River Valley, dekat Cortina d’Ampezzo, bagian timur Dolomites, Italy (lihat Gambar 13). Dalam sejarahnya sejak tahun 1882 di Acquabona catchment telah terjadi aliran debris sebanyak 44 kejadian, dengan total debit aliran antara 500 dan 30.000 m3.

System monitoring yang ada di Acquabona dilengkapi dengan sensor dan instrument dalam rangka untuk: 1. mengukur curah hujan, tekanan pori (pore pressure) dan video camera pada zona

awal kejadian, dalam rangka untuk investigasi kondisi hidrologi yang memicu terjadinya aliran debris, dan investigasi proses konsolidasi dari granular slurry (lihat Gambar 13 dan 14a).

2. mengukur kedalaman aliran dan total normal stress pada bagian bawah channel dan pada retention basin, dalam rangka untuk memperkirakan debit aliran debris dan berat jenis material (lihat Gambar 13, 14b dan 15).

Gambar 13. Acquabona catchment: sket geologi dan lokasi stasiun monitoring

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

11

3. mengikur ground vibration yang disebabkan oleh aliran debris, untuk memperkirakan kecepatan aliran debris (lihat Gambar 13, 14c dan 16).

Gambar 14. Skema potongan melintang stasiun monitoring (a) stasiun 1, (b) stasiun 3 dan (c) stasiun 5. VCZ, zenithal videocamera; US, ultrasonic sensor; PT, pore pressure transducer; LC, load cell

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

12

Video camera merekam aliran debris pada areal bagian atas dimana awal aliran debris terjadi untuk memantau proses awalnya, serta di channel bagian bawah dan retention basin dalam rangka untuk memperoleh ukuran butiran dan distribusi kecepatan horizontal.

Gambar 15. Tampak padangan kebawah dari stasiun 3; tampak ultrasonic sensor dan video camera di bagian depan

Gambar 16. Tampak stasiun 5; solar panel, data acquisition unit, steel cable dan suspended ultrasonic sensor

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

13

4. HASIL MONITORING ALIRAN DEBRIS

4.1. Hasil monitoring aliran debris di Gunung Merapi

Di banyak lokasi, banyak terjadi korelasi antara awal aliran debris dan curah hujan maksimum. Di Kali Boyong, aliran debris mencapai Kaliurang bertepatan dengan awal menguatnya curah hujan, dan puncak gelombang aliran debris terjadi sekitar 10 menit setelah puncak curah hujan tercatat, di stasiun curah hujan Plawangan (Gambar 17). Gelombang aliran debris biasanya terjadi satu atau dua kali, dan tekadang 3 kejadian untuk waktu 2 jam atau lebih.

Gambar 17. Aliran curah hujan dan pulsa in Kali Boyong, 19 Pebruari 1995. Sebuah aliran debris dideteksi pada jam 16.00oleh Real-time Seismic Amplitude Measurement (RSAM) sensor. Dengan rata-rata getaran amplitude 10 menit menunjukkan dua puncak aliran pada jam 16.20 dan 16.50. Puncak gelombang terjadi di Kaliurang, 10 menit setelah puncak curah hujan tercatat pada Plawangan pada jam 16.10 dan 16.40. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 423–456

Pada Gunung Merapi, batas intensitas curah hujan telah dikaitkan dengan kejadian aliran debris. Berdasarkan data VSI (Volcanic Sabo Indonesia), Sudrajat dan Tilling (1984) menyatakan bahwa curah hujan sebesar 40 mm dalam 2 jam bisa menyebabkan aliran debris. Hal ini hampir sama dengan Takahashi (1994) sebesar 25 mm/jam untuk aliran debris di Kali Bebeng. Beberapa karakteristik curah hujan yang menyebabkan aliran debris, meliputi jumlah curah hujan, intensitas perjam, dan intensitas per 10 menit interval. Maksimum 10 menit curah hujan dan intensitas curah hujan per jam di plot dalam Gambar 18, untuk curah hujan yang menyebabkan aliran debris pada Merapi dan dua lokasi di Jepang. Korelasi secara linier dapat dilihat dari semua data,

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

14

akan tetapi pada umumnya, aliran debris pada Merapi memerlukan intensitas lebih besar dibandingkan dengan 2 tempat yang lain (lihat Gambar 18).

Gambar 18. Aliran debris yang disebabkan oleh curah hujan pada Gunung Merapi, Unzen, dan Yakedake (Suwa dan Sumaryono, 1995). Sedangkan distribusi curah hujan hampir sama pada tiga pegunungan, curah hujan pemicunya lebih besar pada Merapi dari pada pada Unzen dan Yakedake, dimana butiran sediment depositnya lebih kecil. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 423–456

Fig. 19. Waktu kejadian aliran debris ditandai dengan anak panah, dan 10-menit interval curah hujan di Gunung Maron. “Ju” menunjukkan deteksi aliran debris di Jurangjero di kali Putih, dan “Gi” di Gimbal di kali Bebeng (Suwa dan Sumaryono, 1995). Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 423–456

Waktu kejadian aliran debris bertepatan dengan waktu intensitas curah hujan

terkuat. Korelasi ini telah didokumentasikan untuk aliran debris yang terjadi kea rah bagian selatan-barat setelah letuasan tahun 1984 (Suwa and Sumaryono, 1995; Jitousono et al., 1995), dan ke arah selatan setelah letusan tahun 1994 (Lavigne et al., 2000). Untuk aliran debris kebagian selatan-barat, data curah hujan berasal dari stasiun curah hujan Maron. Dalam salah satu studinya (Suwa dan Sumaryono, 1995), aliran debris dideteksi pada Kali Bebeng pada pemantauan dengan video di Gimbal, dan pada Kali Putih pada

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

15

pemantauan Jurangjero. Untuk lokasi ini, aliran debris dideteksi selama, atau sesaat setelah curah hujan yang cukup signifikan (Gambar 19). Data yang hampir sama, tercatat oleh alat ukur muka air ultrasonic (ultrasonic water level gauge) pada Kali Putih di dam Mranggen (Jitousono et al., 1995), terlihat bahwa hidrograf aliran debris dalam hubungannya denga 10-menit curah hujan (Gambar 20).

Gambar 20. Contoh hasil pemantauan hidrograf aliran debris di dam Mranggen di kali Putih, dan curah hujan pemicunya (Jitousono et al., 1995). Puncak debit mencapai 2000 m3/detik, dengan intensitas curah hujan sekitar 30 mm. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 423–456

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

16

Beberapa keterlambatan antara kejadian curah hujan dan pendeteksian aliran debris diperkirakan, pada saat seharusnya awal aliran permukan terjadi akibat curah hujan yang meng-erosi dan masuknya sediment dalam saluran dan menghasilkan aliran debris. Dalam beberap kasus (e.g. 28 November 1985 and 24 November 1991, Gambar 19), aliran debris kelihatan tidak sebagaimana biasanya terlambat dalam hubungannya dengan puncak curah hujan. Dalam kasus yang lain, bentuk hidrograf kelihatan tidak sebagaimana biasanya bila dibandingakan dengan distribusi curah hujannya (e.g. 28 November 1987, Gambar 20). Faktor yang mempengaruhi anomaly ini meliputi: tempat kejaian yang berbeda antara curah hujan dan sumber aliran debris, karena distribusi dan waktu curah hujan mungkin bervariasi antara dua lokasi; tempat yang berbeda antara tempat pantauan aliran debris di saluran, dan lokasi awal terjadinya liran debris; keterlambatan aliran debris disebabkan juga oleh formasi local dan gangguan berikutnya dari longsoran dam di saluran yang ada di sungai.

Kejadian aliran debris di Merapi mempunyai waktu yang cukup pendek, ini terkait dengan waktu curah hujan yang singkat juga (biasanya 1 atau 2 jam). Selama musim hujan 1994-1995, durasi aliran debris tercatat di Kali Boyong pada Kaliurang, 8 km bagian bawah dari puncak Merapi, mempunyai range waktu dari 30 menit hingga 2 jam 30 menit (Lavigne et al., 2000). Tipikal durasi curah hujan disini adalh 1 jam. Data yang hampir sama tercatat dari Kali Putih pada tahun 1980-an (Gambar 20; Jitousono et al., 1995). Bagaimanapun, data yang tercata pada tahun 1932 oleh Schmidt (1934) sering menunjukkan lebih lama durasinya pada sungai bagian barat.

Gambar 21. Garis kritis untuk kejadian aliran debris di Kali Putih dan Kali Bebeng setelah letusan Merapi tahun 1984 (VSTC, 1990a,b; Hardjosuwarno and Sakatani, 1993). Aliran debris dengan kedalaman 4 m pada Jurangjero dipertimbangakan berbahaya, selain itu tidak diplotkan. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 423–456

Pengaruh kejenuhan material dasar akibat curah hujan sebelumnya mempunyai pengaruh yang signifikan. Sabo Technical Center (STC, sebelum tahun 1992 dikenal sebagai VSTC) menggunakan “working rainfall” sebagai sebuah parameter, didefinisikan sebagai jumlah curah hujan yang terjadi 7 hari sebelum kejadian aliran debris. VSTC

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

17

(1990b) dan Harjosuwarno dan Sakatani (1993) kemudian membuat korelasi antara “working rainfall” dan 1-jam curah hujan awal terjadinya aliran debris di Kali Putih. Distribusi data (Gambar 21) menunjukkan hubungan kritis: Y= 54 – 0.22X Dimana X adalah “working rainfall” (mm) dan Y adalah 1-jam curah hujan (mm/jam) diperlukan untuk memicu aliran debris. Korelasi ini valid hanya untuk aliran debris yang besar (kedalaman 4 m pada dam Mranggen).

Kolrelasi linier juga ditunjukkan antara debit puncak dengan total runoff, dengan pola regresi sebagai berikut: QP = 0.00558Q T 0.831 (r = 0.977)

Data dan regresi pada Gambar 22, dan dikomparasikan dengan data yang hampir sama dari Sakurajima, Jepang, yang mempunyai area drainase lebih kecil dan sediment lebih kecil (Jitousono et al., 1995).

Gambar 22. Hungan anatara peak discharge dan total runoff aliran debris pada Gunung Merapi dan Sakurajima (Jitousono et al., 1995). Sebuah hubungan mendekati linier didapat dari grafik logaritmik. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 423–456 • Aliran Debris di Kali Boyong setelah letusan Nofember 1994

Distribusi bulanan kejadian aliran debris di Kali Boyong antara Nofember 1994 dan Juni 1995 ditunjukkan pada Gambar 23, bersama dengan distribusi curah hujan bulanan pada stasiun Plawangan untuk waktu yang sama. Gambar 23 menunjukkan bahwa setelah letusan 1994, jumlah kejadian aliran debris mempunyai hubungan secara proporsional dengan jumlah curah hujan bulanan. Walaupun total curah hujan mencapai 400 mm di bulan Nofember 1994, tidak terjadi aliran debris sebab hampir keseluruhan curah hujan terjadi sebelum letusan.

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

18

Gambar 23. Curah hujan bulanan dan kejadian aliran debris di kali Boyong selama musim hujan tahun 1994-1995. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 457–478

Distribusi jam-jaman kejadian aliran debris ditunjukkan pada Gambar 24. Sekitar 85% aliran debris terjadi antara jam 14.00 dan 17.30 WIB, dimana waktu ini berkenaan dengan waktu hujan tropis di sore hari selama musim penghujan.

Gambar 24. Distribusi jam-jaman dan durasi kejadian aliran debris di Kali Boyong selama musim hujan 1994-1995. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 457–478

Selama musim hujan tahun 1994-1995, hanya satu kejadian aliran debris terjadi selama atau pada akhir dari periode yang cukup lama (lebih dari 150 menit) dari intensitas curah hujan yang kecil (Gambar 25). Tidak ditemukan hubungan regresi linier antara curah hujan pemicu aliran debris dan durasi curah hujan, seperti yang dilaporkan terjadi pada Gunung Mayon, Philipina oleh Rodolfo dan Arguden (1991). Bagaimanapun Gambar 25 menunjukkan garis kritis dengan kedua parameter, sebagaimana rumusan berikut: T= 0.143 D

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

19

Gambar 25. Curah hujan pemicu dan kejadian aliran debris. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 457–478

Gambar 26. Hubungan antara durasi dan intensitas maksimum dari curah hujan pemicu dalam 10, 30 dan 60 menit. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 457–478 dimana T adalah curah hujan pemicu aliran debris, and D adalah durasi curah hujan pemicu aliran debris. Kemudian, batas minimum untuk pemicu aliran debris adalah 1 mm untuk 7 menit atau 9 mm/jam. Garis kritis juga didapat dengan hubungan antara durasi dan maksimum intensitas curah hujan dalam 10, 30 dan 60 menit (Gambar 26).

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

20

Gambar 27. Data RSAM dan debit aliran debris, pada section 10, elevasi 805 m; jarak dari puncak 7800 m. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 457–478

Antara bulan Februari dan April 1995, data RSAM (Real-time Seismic Amplitude Measurement) terhubung dengan geophone di Kaliurang mencatat 7 (tujuh) kejadian aliran debris yang signifikan. Aliran debris dikatakan signifikan adalah aliran yang menggerakkan alat RSAM melebihi 50 unit. Batas ini berhubungan dengan perkiraan batas aliran debris yang mempunyai deposit tidak signifikan dan yang menyebabkan perubahan morpologi sungai. Nilai tertinggi RSAM adalah 484 unit, tercatat pada aliran

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

21

debris pada tanggal 19/02/1995. Gambar 27 adalah data RSAM dengan rata-rata 10 menit amplitude dikomparasikan dan dihubungkan dengan variasi debit aliran debris.

Data SSAM (Seismic Spectral Amplitude Measurement) tercatat hanya pada tiga kejadian aliran debris selama musim hujan pertama setelah letusan tahun 1994, sebab system koneksi yang lambat, dan masalah teknis pada pusat system computer setelah 17 April 1995. Walaupun jumlah datanya hanya sedikit, analisis SSAM memberikan hasil yang berguna dan hasil awal yang menarik. Dengan system yang ada, frekuensi band yang terbaik untuk monitoring aliran debris tergambarkan pada frekuensi tertinggi, dengan range dari 8.75 sampai 9.25 Hz (Gambar 28). Pada catatan band ini, dengan amplitude rata-rata 1 menit dari 120 unit tercatat pada aliran debris tanggal 5 April 1995.

Gambar 28. Data SSAM ( amplitude rata-rata 1 menit) tercatat di Kaliurang pada aliran debris: (a) 03/03/95; (b) 10/03/95; dan (c) 05/04/95. Sumber: F. Lavigne et al. / Journal of Volcanology and Geothermal Research 100 (2000) 457–478

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

22

Pada Merapi, aliran debris biasanya dipicu oleh intensitas curah hujan yang tinggi (biasanya 40 mm dalam 2 jam). Setelah letusan 22 November 1994, 31 kejadian curah hujan memicu aliran debris tercatat di Kali Boyong antara Desember 1994 hingga Mei 1996 (Gambar 29).

Gambar 29. Distribusi curah hujan bulanan dan kejadian aliran debris selama dua musim penghujan setelah letusan 1994. Aliran debris menurun secara drastis dari musim hujan pertama (21 kejadian) ke musim hujan ke 2 (10 kejadian) setelah letusan. Sumber: F. Lavigne, J.-C. Thouret / Geomorphology 49 (2002) 45–69

Korelasi antara data hasil pengukuran alat dengan hasil pantauan debit untuk 2 tipe aliran debris: tipe aliran hyperconcentrated, sebagaimana kejadian tanggal 10, 14 dan 16 Maret 1995 (Gambar 30) dan tipe aliran debris sebagaimana kejadian tanggal 3 Maret 1995 dan 5 April 1995 (Gambar 31).

Gambar 30 dan 31 menggambarkan bahwa signal alatnya bervariasi dari satu kejadian ke kejadian yang lain. Signal SSAM dan AFM (Acoustic Flow Monitoring) untuk aliran debris lebih tinggi dari pada signal untuk aliran hyperconcentrated khususnya pada debitnya: contoh siganal SSAM pada 3 Maret 1995 (Gambar 31a) pada frekuensi band paling tinggi (8.75–9.25 Hz) adalah kira-kira dua kali lebih besar dibandingkan dengan signal pada 10 Maret 1995 (Gambar 30a). Durasi kejadian sekitar 1 jam untuk kedua kasus, dan volume sediment deposit pada 3 Maret 1995 (110,000 m3) adalah hampir dua kali pada volume kejadian pada 10 Maret 1995 (61,000 m3). Kondisi yang hampir sama diperoleh dengan membandingkan data AFM. Signal low-gain broad-frequency band (10–300 Hz) pada 3 Maret 1995 (Gambar 31a) adalah dua kali lebih tinggi dari signal pada 16 Maret 1995 (Gambar 30c), sedangkan total runoff-nya identik. Bagaimanapun, rata-rata konsentrasi sediment pada 3 Maret 1995 adalah 3.5 kali lebih tinggi dari pada konsentrasi sediment pada kejadian 10 Maret 1995. Korelasi antara rata-rata konsentrasi sediment dan signal seismic atau acoustic lemah, walaupun durasi aliran, runoff, dan volume sediment hampir sama, hal ini disebabkan kedua signal terhadap suara (noice) yang diakibatkan oleh gerakan batuan besal (boulder) pada dasar saluran. Oleh karena itu signal SSAM dan AFM lebih besar dibagian depan dari pada pada aliran di bagian ekor (Gambar 30 dan 31)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

23

Gambar 30. Signal SSAM (a) dan signal AFM (b dan c) vs observasi debit dari aliran hyperconcentrated di Kaliurang. Sumber: F. Lavigne, J.-C. Thouret / Geomorphology 49 (2002) 45–69

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

24

Gambar 31. Signal AFM ALLF vs observasi debit, Signal SSAM vs observasi debit dari aliran debris di Kaliurang. Sumber: Lavigne dan Thouret (2002)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

25

4.2. Hasil monitoring aliran debris di Dolomites, Acquabona, Italy Distribusi ukuran butiran dari aliran debris di Acquabona ditunjukkan pada Gambar

32, berikut:

Gambar 32. Distribusi ukuran butiran dari aliran debris di Acquabona. (a) lokasi awal aliran debris (5 sample); (c) pada saluran (7 sample) dan lokasi pengendapan (3 sample). Sumber: Tecca, et all, Hydrol. Process. 17, 1771–1784 (20 03)

Gambar 33. Tipikal respon tekanan pori akibat curah hujan di stasiun 1. (a) tidak terjadi aliran debris (6 November 2001); (b) gerakan aliran debris (30 September 2000). Pemasangan longitudinal tranduser tekanan pori (P1, P2, P3 dan P4) ditampilkan pada masing-masing gambar. Sumber: Tecca, et all, Hydrol. Process. 17, 1771–1784 (2003) Front velocity.

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

26

Pore pressure pada lokasi awal terjadinya aliran debris. Gambar 33a menunjukkan sebuah karakteristik respon dari empat tranduser

tekanan air pori (pore-water pressure transducers) pada stasiun 1, dalam kasus tidak ada aliran debris (Genevois et al., 2000b). Tekanan pori meningkat naik atau turun sebagaimana biasany mengindikasikan sebuah kenaikan menerus dari elevasi muka air tanah; selanjutnya, analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan menunjukkan bahwa aliran air di bawah tanah (groundwater flow) dikarakteristikan dengan garis aliran menukik turun 120–140° mengikuti kondisi normal dari kemiringan tanah. Dalam kasus dimana terjadi aliran debris (Gambar 33b), tekanan air pori meningkat secara tiba-tiba, sedikit lebih awal pada tranduser paling dalam (P1), kemudian menunjukkan bahwa kenaikan air bagian depan hampir selalu vertical. Tekanan air pori dipantau oleh tranduser bagian atas (P1 dan P2) tampat mengindikasikan pengembangan garis aliran parallel dengan slope. Data yang terkumpul dari dua tranduser tekanan pori bagian bawah (P3 dan P4) cukup sulit untuk menerangkannya: nilai hampir sama, dan selanjutnya menjadi konstan sepanjang waktu.

Front velocity

Pencatatan getaran dasar sungai (ground vibrations) digunakan untuk menghitung

rata-rata kecepatan bagian depan dari gelombang sepanjang saluran hingga mencapai stasiun 3, dimana empat geophone dipasana tiap jarak 100 m. Sebagai contoh, Gambar 34 menggambarkan ground vibrations yang tercatat oleh geophone 2 dan 3. Rata-rata kecepatan bagian depan dihitung dari waktu interval antara perjalanan satu gelombang aliran debris dan jarak antar sensor. Pilihan jarak 100 m untuk sensor acoustic adalah krusial untuk mendapat data yang konsisten: dengan jarak yang lebih jauh, konsistensi aliran kemungkinan akan berubah disebabkan oleh adanya sabo dam, variasi geomorfologi saluran. Sebaliknya, dengan jarak yang lebih pendek antar sensor, waktu korelasi antara dua puncak dari gelombang yang sama mungkin sulit untuk diidentifikasikan. Flow depth, basal pore pressure dan total normal stress

Hidrograf selama perambatan aliran debris diperoleh dari sensor ultrasonic pada stasiun 3. Beberapa karakteristik aliran dapat dievaluasi dari total dasar tegangan normal (total basal normal stress) dan data dasar tekanan pori (basal pore pressure) dalam kaitannya dengan nilai kedalaman aliran (Gambar 35). Variasi berat jenis aliran dapat diperkirakan dari perbandingan antara total tegangan normal (normal stress) dan kedalaman aliran.

Dengan melihat pada contoh dalam Gambar 35, berat jenis aliran (flow density) telah diperkirakan antara waktu interval 300 dan 500 detik. Nilai perkiraan range berat jenis aliran antara 12 dan 20 kN/m3. Kondisi liquefaction material (slurry) dapat diperkirakan dengan membandingkan nilai total basal normal stress dengan nilai basal fluid pressure(Major, 2000). Contoh dalam Gambar 35 menunjukkan tekanan pori zat cair (pore-fluid pressure) mendekati sama dengan total basal normal stress selama 3-5 menit pertama: Sebuah kondisi liquefaction dari slurry aliran debris berlangsung cukup

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

27

konstan dalam periode ini. Selama 5 menit aliran slurry tidak mencair, tetapi total basal normal stress menurun mengindikasikan, bertepatan dengan menurunnya konsentrasi solid hingga slurry berubah menjadi benar-benar cair dengan sejumlah tertentu partikel tersuspensi.

Gambar 34. Ground vibrations tercatat oleh geophone 2 dan 3 pada stasiun 3 selama aliran debris pada 30 Juni 2001. Sumber: Tecca, et all, Hydrol. Process. 17, 1771–1784 (2003)

Gambar 35. Representasi pengukuran tekanan dasar zat cair (basal fluid pressure) dan total dasar tegangan normal (total basal normal stress) selama aliran debris terjadi (data aliran debris tanggal 25 Juli 1998). Sumber: Tecca, et all, Hydrol. Process. 17, 1771–1784 (2003)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

28

Kecepatan permukaan, distribusi ukuran butiran dan dasar parameter rheologi dari aliran Teknik analisis image diaplikasikan pada rekaman video dari aliran debris pada Acquabona memenuhi untuk perkiraan kecepatan horizontal dan distribusi ukuran butiran dalam material yang mengalir. Analog image yang terekam dari zenithal camera sepanjang saluran, telah dirubah dalam bentuk format digital. Image digital kemudian diproses untuk mendapatkan indentifikasi yang memadai dari satu partikel aliran dalam rangka menentukan ukuran butirannya dan arah gerkannya diantara berurutannya frame-video. Profil kecepatan horizontal diperoleh dengan analisis video-image adalah sangat bermanfaat untuk membedakan karakteristik tipe aliran: Gamba 36a menggambarkan tipikal distribusi kecepatan permukaan dari Bingham fluid; a Newtonian fluid, dimana geser didistribusikan lewat cross-section, direpresentasikan dalam Gambar 36b. Bebrapa aspek rheology aliran debris, seperti tegangan geser (shear strength) dan viskositas, dapat diturunkan dari kedalaman aliran debris dan distribusi kecepatan horizontal. Total tegangan geser (K), viskositas Bingham (µB) and Newtonian (µN) dapat dihitung dengan menggunakan rumusan berturut-turut dari Pierson (1986) dan Johnson dan Rodine (1984). Tipikal nilai dari parameter ini, dihitung untuk aliran debris yang tercatat di Acquabona, dipresentasikan pada Tabel II.

Gambar 36. Contoh profil kecepatan horizontal. (a) Bingham fluid; (b) Newtonian fluid (data aliran debris tanggal 17 August 1998). Sumber: Tecca, et all, Hydrol. Process. 17, 1771–1784 (2003)

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

29

5. COMMUNITY BASED HAZARD MAPPING

Pencegahan dapat dilakukan secara fisik dengan pembangunan dam pada sebuah celah catchment, dinding penahan tanah atau yang lainnya, juga secara non fisik dengan pengembangan alat-alat warning system atau pembuatan hazard map.

Di Indonesia pembuatan peta daerah rawan bencana (hazard map) beberapa tempat sudah dibuat, tapi belum banyak yang disebarkan dalam rangka untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang resiko kemungkinan bencana yang mungkin akan terjadi. Biasanya pendekatan cara ini hanya terfokus aspek pengembangan hazard map-nya saja, dan tidak pada aspek distribusi dan penyadaran masyarakatnya. Dalam rangka untuk penyadaran peran masyarakat untuk bersiap siaga menghadapi bencana yang mungkin dihadapi terjadi maka perlu dikembangkan sebuah sistem yang disebut dengan:

Community Based Hazard Mapping.

Community Based Hazard Mapping adalah sebuah komunitas masyarakat yang

tinggal di daerah rawan bencana untuk bertemu, berdiskusi dan berkomunikasi untuk meningkatkan pemahaman atas bencana yang akan terjadi dan menentukan langkah-

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

30

Pemahaman local (pengalaman masa lalu & budaya dalam penanggulangan bencana, penggunaan tata ruang, penanganan masyarakat yang terluka, ….)

Penduduk Local

Informasi dasar (topography, jalan, bangunan,…)

Evaluasi Bencana (intensitas gempa, penyebaran

banjir, daerah yang mudah longsor,...)

Rencana Evacuasi (tempat perlindungan, jalur

evakuasi,…)

Draft Hazard Map

Pemerintah Daerah

Profesional skills dan Keahlian

Arahan didasari pada

technology yang terbaru (para ilmuan, engineering, sosial,

psikolog, atau bidang keahlian yang lain yang berhubungan

dengan penanggulangan bencana)

Tenaga Ahli

Komunikasi

Community Based

Hazard Map

langkah konkret bila suatu saat nantinya realitas bencana itu datang. Ada tiga tujuan utama dalam pembentukan Community Based Hazard Mapping:

• untuk melibatkan masyarakat (penduduk lokal) dalam pengembangan peta wilayah bencana untuk komunitasnya.

• untuk menggambarkan opini/pendapat dari masyarakat dalam kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerahnya.

• untuk membantu perkembangan saling pengertian terhadap resiko diantara penduduk setempat, pemerintah daerah dan para peneliti (tenaga ahli).

Gambar 37. Konsep Community Based Hazard Map

Pencegahan Bencana Akibat Aliran Debris MPBA UGM-2007

31

Gambar 37 menunjukkan gambaran dari Community Based Hazard Mapping. Pertama pemerintah daerah mengintegrasikan informasi dasar (peta topography, jalan, bangunan, penduduk, tata guna lahan, dll) dengan informasi bencana yang sudah terjadi di masa lalu dan prakiraan bencana pada peta local daerah. Para tenaga ahli memberikan arahan dalam menilai bencana. Dengan menggunakan informasi yang terintegrasi dengan baik pemerintah daerah mengembangkan sebuah rencana evakuasi dan sebuah draf hazard map. Draf dibuat dalam bentuk print-out kemudian disebarkan ke penduduk setempat dan semua stakeholder yang ada.

Diskusi antara pemerintah daerah, penduduk setempat dan para tenaga ahli adalah proses yang paling penting dalam Community Based Hazard Mapping. Pada dasarnya penduduk setempat adalah pelaku utama untuk memahami dan mengetahui informasi tentang daerahnya. Masukan pemikiran dari penduduk lokal adalah sangat diperlukan untuk pengembangan dari hazard map. Sementara itu, dengan diskusi akan membangun konsensus diantara stakeholder yang ada. Dengan menggabungkan hasil-hasil diskusi dengan draf peta bencana, maka Community Based Hazard Map dapat dioptimalkan.