28
10 BAB 2 LANDASAN TEORI Bab ini menjelaskan konsep dasar stroke, pengetahuan, keluarga, pengetahuan keluarga terkait stroke, perilaku pencarian pengobatan, hasil penelitian terkait dan kerangka teori. 2.1. Konsep Dasar Stroke 2.1.1. Definisi. Stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan defisit neurologis serebral fokal atau global yang berkembang secara cepat dan berlangsung selama minimal 24 jam yang disebabkan oleh kejadian vaskular, baik perdarahan spontan pada otak (stroke hemoragik) maupun suplai darah inadekuat pada bagian otak (stroke iskemik) sebagai akibat aliran darah yang rendah, trombosis atau emboli yang berkaitan dengan penyakit pembuluh darah (arteri dan vena), jantung dan darah (Ropper & Samuel dalam Setiati et al., 2015). Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian otak dengan jenis utama yaitu iskemik dan hemoragik (Black & Hawks, 2014).

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

Bab ini menjelaskan konsep dasar stroke, pengetahuan, keluarga, pengetahuan keluarga

terkait stroke, perilaku pencarian pengobatan, hasil penelitian terkait dan kerangka teori.

2.1. Konsep Dasar Stroke

2.1.1. Definisi.

Stroke adalah sindrom klinis yang ditandai dengan defisit neurologis serebral

fokal atau global yang berkembang secara cepat dan berlangsung selama

minimal 24 jam yang disebabkan oleh kejadian vaskular, baik perdarahan

spontan pada otak (stroke hemoragik) maupun suplai darah inadekuat pada

bagian otak (stroke iskemik) sebagai akibat aliran darah yang rendah,

trombosis atau emboli yang berkaitan dengan penyakit pembuluh darah (arteri

dan vena), jantung dan darah (Ropper & Samuel dalam Setiati et al., 2015).

Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan

neurologis yang disebabkan oleh adanya gangguan suplai darah ke bagian

otak dengan jenis utama yaitu iskemik dan hemoragik (Black & Hawks,

2014).

Page 2: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

11

Stroke (Cerebral Vascular Accident, CVA atau serangan otak) adalah kondisi

kedaruratan ketika terjadi defisit neurologis akibat dari penurunan tiba-tiba aliran darah

ke area otak yang terlokalisasi, penyebabnya dapat iskemik (suplai darah ke otak

terganggu oleh trombus, embolus, atau stenosis vaskular), atau hemoragik (ketika

pembuluh darah mengalami ruptur) (LeMone et al., 2016).

Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa stroke adalah suatu kondisi

kedaruratan dimana terjadi perubahan neurologis akibat gangguan suplai oksigen dan

nutrisi ke jaringan otak disebabkan oleh iskemik serebral atau hemoragik serebral

selama minimal 24 jam yang dapat menyebabkan disabilitas bahkan kematian sehingga

harus ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan dengan cepat dan tepat.

2.1.2. Klasifikasi.

Klasifikasi stroke berdasarkan patologi serangan menurut LeMone et al. (2016) dan

Brunner & Suddarth (2014) meliputi :

2.1.2.1. Stroke iskemik.

Sumbatan dapat terjadi dari bekuan darah (trombus maupun embolus) atau

stenosis pembuluh darah akibat plak. Sumbatan pembuluh darah besar biasanya

akibat trombus. Stroke pembuluh darah kecil hingga sangat kecil menimbulkan

infark di pembuluh dalam. Klasifikasi dibedakan menurut perjalanan penyakit

atau stadiumnya :

Page 3: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

12

1) Serangan Iskemik Transien (Transient ischemic attack, TIA), terkadang

disebut stroke kecil karena periode iskemik singkat, terlokalisasi dan secara

klinis kembali normal dalam kurun waktu kurang dari 24 jam.

2) Stroke Pembuluh Darah Besar (Trombosis), disebabkan oleh oklusi trombus

pada pembuluh darah serebral besar dan sering terjadi pada lansia yang

istirahat/tidur dikarenakan menurunnya tekanan darah turun dan darah tidak

mampu melalui lumen arteri yang telah sempit. Stroke ini biasanya

mengenai arteri serebral tunggal yang menyuplai korteks serebral,

menyebabkan afasia, sindrom pengabaian, dan hemianiopia.

3) Stroke Pembuluh Darah Kecil (Infark Lakunar), terjadi di bagian terdalam

otak atau batang otak dari oklusi cabang kecil arteri serebral besar.

Manifestasi mencakup hemiplegia dan disartria.

4) Stroke Embolik Kardiogenik, terjadi ketika bekuan darah dari fibrilasi atrial,

trombi ventrikel, infark miokard, penyakit jantung kongestif, aterosklerosis

masuk dan menyumbat sistem sirkulasi serebral.

2.1.2.2. Stroke hemoragik.

Perdarahan jaringan otak sering terjadi pada pasien hipertensi dan

aterosklerosis serebral yang mengakibatkan ruptur pembuluh darah. Perdarahan

dapat terjadi akibat patologi arteri, tumor otak dan penggunaan obat seperti

antikoagulan oral. Perdarahan sering terjadi pada lobus serebral, basal ganglia,

talamus, pons, dan serebelum (Hickey dalam Brunner & Suddarth, 2014).

Klasifikasi stroke hemoragik, antara lain:

Page 4: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

13

1) Perdarahan Intraserebral, merupakan dilatasi dinding arteri serebral yang

berisiko mudah rapuh. Penyebab aneurisma belum diketahui pasti, namun

mungkin disebabkan oleh aterosklerosis. Peningkatan TIK yang terjadi cepat

dapat mengakibatkan kematian mendadak.

2) Perdarahan Sub Arakhnoid (PSA), merupakan perdarahan dalam ruang

subarakhnoid) berasal dari AVM (Arteriovenous Malformations), aneurisma

intrakranial, trauma atau hipertensi. Penyebab tersering adalah pecahnya

aneurisma pada sekitar sirkulasi Willis.

Peter & Justus (2016) menjelaskan salah satu risiko terbesar setelah serangan pertama

stroke adalah stroke sekunder atau stroke berulang, yaitu stroke yang terjadi 24 jam atau

lebih setelah stroke pertama. Stroke sekunder pada umumnya terkait dengan perburukan

fungsional dan peningkatan risiko kematian dibandingkan serangan stroke pertama.

Kejadian stroke berulang bergantung pada jenis stroke awal, usia, penyakit terkait dan

faktor resikonya serta kurun waktu kejadian dari stroke sebelumnya. Dalam waktu 6-12

bulan pasca serangan stroke yang pertama, 1 dari 10 orang bisa terkena serangan stroke

yang kedua (Junaidi, 2011 dalam Safitri, Agustina & Amrullah, 2012).

PERDOSSI (2004 dalam Andromeda, 2014) menjelaskan seseorang dengan riwayat

stroke memiliki faktor resiko terjadinya stroke ulang sebesar 5% - 15% dalam kurun

waktu 1 tahun pasca stroke dan 25% - 40% dalam kurun waktu 5 tahun serta

kemungkinan menyebabkan serangan berulang sampai 9 kali. Fenomena stroke

sekunder dikaitkan dengan ketidakpatuhan pengobatan dan kontrol faktor risiko. Stroke

sekunder dapat dicegah melalui kombinasi perubahan gaya hidup dan intervensi medis.

Page 5: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

14

Stroke yang terjadi apabila tidak dikontrol dengan gaya hidup sehat, obat-obatan,

olahraga tentu akan mengakibatkan serangan berulang dimana kajian riwayat stroke

penting dilakukan (Wahyuni, 2012).

2.1.3. Faktor risiko stroke.

Kejadian stroke dan kematian karena stroke secara perlahan menurun di negara-negara

maju dalam beberapa tahun terakhir ini, sebagai akibat dari adanya peningkatan dalam

mengenali dan mengobati fakor-faktor risiko (Black & Hawks, 2014). Arboix (2015)

menjelaskan faktor risiko yang dapat dimodifikasi, antara lain :

2.1.3.1. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi.

1) Hipertensi

Hipertensi merupakan faktor risiko utama penyakit serebrovaskular.

Seseorang dengan hipertensi (tensi ≥ 140/90 mmHg) berisiko 4x lebih besar

terhadap stroke. Pengaruh hipertensi kronis pada pembuluh darah dan

jaringan juga mendukung fisiopatologis stroke.

2) Penyakit Jantung

Fibrilasi atrium (FA) merupakan bentuk gangguan irama jantung, yang

sering disebut aritmia. Ketidakteraturan denyut jantung yang berbahaya ini

menyebabkan ruang atas jantung (atrium) bergetar dan tidak berdenyut

sebagaimana mestinya, sehingga darah tidak terpompa sepenuhnya,

menyebabkan penggumpalan darah. Gumpalan ini bila terbawa ke otak,

menyumbat dan mengganggu pasokan darah ke otak. Seseorang dengan

aritmia berisiko 2-4% per tahun mengalami stroke.

Page 6: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

15

3) Diabetes Mellitus

Dislipidemia, hipertensi dan obesitas merupakan faktor risiko aterogenik

yang sering ditemukan pada pasien DM tipe 2. Pengaruh diabetes terhadap

peningkatan risiko stroke lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.

Kombinasi hiperkolesterolemia dan hipertensi meningkatkan frekuensi

komplikasi vaskular pada pasien diabetes.

4) Merokok

Perokok aktif berisiko 2x lebih besar mengalami stroke iskemik. Merokok

akan meningkatkan pembentukan thrombus pada pembuluh darah kecil dan

plak. Merokok meningkatkan viskositas darah (kekentalan), fibrinogen dan

agregasi platelet, menurunkan HDL (high density lipoprotein) yang akan

merusak endotelium dan meningkatkan tekanan darah.

5) Sindrom Metabolik

Sindrom metabolik terjadi apabila ditemukan 3 atau lebih keadaan berikut :

(1) Obesitas, bila lingkar pinggang > 102 cm pada pria dan > 88 cm pada

wanita; (2) Trigliserida ≥ 150 mg/dL; (3) Kolesterol HDL < 40 mg/dL untuk

pria dan < 50 mg/dL untuk wanita; (4) Tekanan darah ≥ 130/85 mmHg; dan

(5) Gula darah puasa (GDP) ≥ 110 mg/dL. Sindrom metabolik menjadi

penyebab penyakit kardiovaskuler (PJK, stroke) dan penyebab kematian

lainnya.

6) Migrain

Terjadi penurunan aliran darah pada area posterior. Pada pemeriksaan lab,

terjadi peningkatan platelet-leukosit agregasi dan risiko pembentukan emboli

Page 7: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

16

bila menyumbat pembuluh darah kecil di otak menyebabkan hipoksia

jaringan bahkan nekrosis jaringan.

7) Obesitas

Seseorang dengan BMI ≥ 30 kg/m2 dikategorikan obesitas karena

ketidakseimbangan jumlah kalori dengan proses metabolik tubuh yang

meningkatkan risiko resistensi insulin dan penyakit vaskuler lainnya.

8) Penyalahgunaan Obat (Narkoba)

Termasuk heroin, kokain, amphetamine teridentifikasi berisiko

menyebabkan stroke dengan mekanisme peningkatan tekanan darah, platelet

agregasi dan viskositas darah.

9) Penyalahgunaan Alkohol

Penggunaan alkohol (> 60 g/d) meningkatkan risiko 1,6x terjadinya stroke

iskemik dan 2,18x stroke hemoragik. Etanol merupakan neurotoksin yang

mempercepat proses neurodegeneratif termasuk demensia.

10) Hiperkolesterol

Penelitian menunjukkan bahwa makanan kaya lemak jenuh dan kolesterol

dapat berpengaruh pada pembentukan aterosklerosis. Nilai kolesterol total >

240-270 mg/dL meningkatkan risiko terjadinya stroke iskemik.

11) Penggunaan Kontrasepsi Oral

Stroke juga dapat terjadi pada wanita pengguna kontrasepsi oral (estrogen

dosis rendah) diatas usia 35 tahun, perokok aktif, dengan hipertensi,

diabetes, sakit kepala, riwayat tromboemboli.

Page 8: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

17

2.1.3.2. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.

Menurut Black & Hawks (2014) antara lain :

1) Usia

Penuaan adalah salah satu dari faktor risiko signifikan dari stroke. Risiko

menjadi dua kali lipat untuk setiap dekade setelah usia 55 tahun, dan dua per

tiga kejadian stroke terjadi pada usia lebih dari 65 tahun (lansia).

2) Jenis kelamin

Kejadian stroke lebih tinggi pada pria dibandingkan pada wanita, yaitu

(133:99/100.000 orang pertahun). Namun, tidak menutup kemungkinan

wanita juga bisa terkena stroke.

3) Riwayat orangtua dengan stroke

Serangan TIA sebelumnya, juga meningkatkan risiko terjadinya stroke.

Framingham Heart Study menyatakan anak dari orangtua yang pernah

mengalami stroke berisiko tiga kali untuk menderita stroke.

4) Suku dan Ras

Orang hispanik berisiko dua kali lipat risiko mengalami stroke seperti orang

kulit putih. Sementara di Indonesia, suku Jawa banyak menderita stroke hal

ini dilihat pada jumlah penderita stroke tertinggi berada di Pulau Jawa.

2.1.4. Etiologi.

Penyebab stroke dibagi menurut Black dan Hawks (2014) sebagai berikut.

2.1.4.1. Trombosis.

Penggumpalan (trombus) mulai terjadi dari adanya kerusakan pada bagian garis

endothelial pembuluh darah.

Page 9: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

18

Aterosklerosis menyebabkan zat lemak tertumpuk dan membentuk plak pada

dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan menyebabkan

penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran darah

akibatnya darah akan berputar-putar dibagian permukaan yang terdapat plak,

menyebabkan penggumpalan dimana darah akibatnya sirkulasi akan terhambat

lama kelamaan terjadi iskemik jaringan.

2.1.4.2. Embolisme.

Embolus terbentuk di bagian luar otak, kemudian terlepas dan mengalir melalui

sirkulasi serebral sampai embolus tersebut melekat pada pembuluh darah dan

menyumbat arteri. Embolus yang sering terjadi adalah plak. Trombus dapat

terlepas dari arteri karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke

dalam sirkulasi serebral. Sumber-sumber penyebab emboli lainnya adalah

tumor, lemak, bakteri, dan udara.

2.1.4.3. Perdarahan (Hemoragik).

Perdarahan intraserebral paling banyak disebabkan oleh adanya ruptur

aterosklerotik dan penyakit hipertensi menyebabkan perdarahan ke dalam

jaringan otak. Akibat lain dari perdarahan adalah aneurisma, pelebaran

pembuluh darah abnormal terlokalisasi disebabkan oleh melemahnya dinding

pembuluh darah dan sering terjadi pada pembuluh darah arteri. Diperkirakan

6% stroke disebabkan oleh ruptur aneurisma.

2.1.4.4. Penyebab lain.

Spasme arteri serebral yang disebabkan oleh infeksi menurunkan aliran darah

ke arah otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang menyempit dan

Page 10: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

19

hiperkoagulasi. Tekanan pada pembuluh darah serebral bisa disebabkan oleh

tumor, gumpalan darah yang besar, pembengkakan pada jaringan otak,

perlukaan pada otak, atau gangguan lain.

2.1.5. Patofisiologi.

Black & Hawks (2014) menjelaskan otak sangat sensitif terhadap kondisi berkurangnya

suplai darah sebab otak diperfusi dengan jumlah yang cukup banyak dibanding organ

lain untuk mempertahankan metabolisme serebral.

LeMone et al., (2016) menjelaskan ketika aliran darah dan oksigenasi neuron serebral

menurun akibat stroke, patofisiologi berubah pada tingkat seluler yang berlangsung 4-5

menit. Setiap menit selama stroke, 2 juta sel otak mati. Kematian sel dimulai karena

suplai darah berkurang ke otak, menyebabkan iskemik di area inti jaringan otak yang

terlibat. Anoksia dan kurang nutrien ke sel mengenai mitokondria sehingga menjadi

rusak, kemudian mitokondria melepaskan radikal bebas berupa glutamat ke dalam

sitoplasma dan menghancurkan struktur intrasel. Saluran membran sel terbuka,

memungkinkan kalsium, natrium, dan kalium masuk ke sel. Pada saat yang sama, sel

yang terkena melepaskan asam amino eksitatori ke dalam ruang intrasel. Homeostatis

hilang dan air masuk ke sel (edema sitotoksik) sehingga secara cepat terjadi infark dan

nekrotik. Proses ini dimulai dalam waktu 4-5 menit dan dapat berlangsung selama 2

hingga 3 jam. Sel di area kerusakan awal, memiliki suplai darah yang cukup untuk tetap

hidup selama beberapa jam. Jika suplai darah disimpan kembali ke sel ini dalam 2

hingga 3 jam, beberapa sel dapat hidup dan berfungsi. Jika aliran darah tidak direperfusi,

Page 11: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

20

terjadi kerusakan yang tidak dapat diperbaiki pada jaringan otak dan dalam waktu

singkat pasien akan mengalami manifestasi dari gangguan neurologis sesuai lokasi

kerusakan dan biasanya mengenai sisi tubuh yang berlawanan dengan sisi otak yang

rusak. Efek ini dikenal sebagai defisit kontralateral.

2.1.6. Manifestasi klinis.

Black & Hawks (2014) menjelaskan peringatan dini tanda gejala stroke berhubungan

dengan penyebabnya. Manifestasi dari stroke iskemik yang terjadi termasuk hemiparesis

transient (tidak permanen), kehilangan kemampuan bicara dan kehilangan sensori

setengah. Manifestasi karena trombosis berkembang dalam hitungan menit ke hitungan

jam sampai hari. Serangan yang lambat terjadi karena ukuran trombus terus meningkat.

Stroke hemoragik juga terjadi sangat cepat, dengan manifestasi berkembang dalam

beberapa menit sampai jam. Manifestasi yang terjadi yaitu sakit kepala dari bagian

belakang leher, vertigo, atau kehilangan kesadaran karena hipotensi, parastesia, paralisis

sementara, epistaksis, dan perdarahan pada retina.

Tanda gejala stroke menurut Kemenkes RI (dalam Infodatin Kemenkes 2014) :

1) Rasa lemas bahkan mati rasa secara tiba-tiba pada wajah, lengan atau kaki seringkali

terjadi pada salah satu sisi tubuh.

2) Kesulitan berbicara atau memahami pembicaraan.

3) Kesulitan melihat dengan satu mata atau kedua mata

4) Kesulitan berjalan, pusing, hilang keseimbangan

5) Sakit kepala hebat tanpa penyebab, dapat terjadi penurunan kesadaran.

Page 12: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

21

2.1.7. Komplikasi.

LeMone et al. (2016) menjelaskan komplikasi atau gangguan khusus setelah stroke

dapat bergantung pada derajat iskemia dan nekrosis dan juga waktu terapi. Komplikasi

yang terjadi melibatkan sistem tubuh yang berbeda, sebagai berikut :

2.1.7.1. Defisit sensoripersepsi.

Stroke dapat melibatkan perubahan patologis pada jaras neurologis yang

mengganggu kemampuan untuk mengintegrasikan, menginterpretasikan, dan

menghadirkan data sensori. Kehilangan kemampuan sensori ini meningkatkan

risiko cedera. Defisit dapat mencakup :

1) Gangguan persepsi visual (Hemianopia) : kehilangan seluruh lapang

penglihatan pada satu atau kedua mata.

2) Agnosia : ketidakmampuan untuk mengenali satu benda atau lebih yang

sebelumnya familiar. Agnosia dapat visual, auditoria tau taktil.

3) Apraksia : ketidakmampuan untuk melakukan beberapa pola motorik (misal

berpakaian) walaupun kekuatan dan koordinasi adekuat.

2.1.7.2. Perubahan kognitif dan perilaku.

1) Perubahan pada kesadaran, rentang dari konfusi ringan hingga koma,

merupakan manifestasi stroke yang lazim. Perubahan kesadaran juga dapat

menjadi akibat edema serebral atau peningkatan TIK.

2) Perubahan perilaku mencakup kelabilan emosi (pasien dapat tertawa atau

menangis pada kondisi yang tidak sesuai), kehilangan kontrol diri, dan

penurunan toleransi terhadap stress (marah atau depresi).

Page 13: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

22

3) Perubahan intelektual mencakup kehilangan memori, penurunan perhatian,

penilaian yang buruk, dan ketidakmampuan berpikir secara abstrak.

2.1.7.3. Gangguan komunikasi.

Komunikasi adalah proses kompleks, melibatkan fungsi motorik, bicara,

bahasa, memori, alasan dan emosi.

Gangguan komunikasi biasanya akibat stroke yang mengenai hemisfer

dominan. Di antara gangguan ini adalah sebagai berikut :

1) Disartria : semua gangguan dalam pengendalian otot bicara akibatnya

artikulasi yang diucapkan menjadi tidak sempurna dan kesulitan dalam

berbicara.

2) Afasia : ketidakmampuan untuk menggunakan atau memahami bahasa.

Afasia mungkin ekspresif (afasia motorik/afasia Broca); dapat memahami

apa yang dikatakan, tetapi merespon hanya dalam frase pendek, Afasia

reseptif (afasia sensorik/afasia Wernicke); dapat memahami kata yang

diucapkan, bicara fasih tetapi dengan konten yang tidak tepat, dan Afasia

global/campuran; disfungsi bahasa dalam hal memahami maupun ekspresi.

2.1.7.4. Defisit motorik.

Gerakan tubuh hasil dari interaksi yang kompleks antara otak, korda spinal,

dan saraf perifer. Stroke dapat mengganggu komponen SSP dalam sistem

interaksi ini dan menghasilkan efek pada sisi kontralateral dengan rentang

kelemahan hingga berat.

Page 14: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

23

Defisit mencakup hal berikut ini : Hemiplegia (paralisis setengah tubuh kanan

atau kiri). Hemiparese (kelemahan setengah tubuh kanan atau kiri). Flasiditas

(tidak adanya tonus otot) dan Spatisitas (peningkatan tonus otot).

2.1.7.5. Gangguan eliminasi.

Gangguan eliminasi kandung kemih dan usus lazim terjadi. Stroke dapat

menyebabkan kehilangan sebagian sensasi yang memicu eliminasi kandung

kemih, sering berkemih, urgensi, atau inkontinensia. Pengendalian urinasi dapat

berubah sebagai akibat defisit kognitif, imobilitas dan dehidrasi.

2.1.8. Periode emas penatalaksanaan stroke.

Periode emas (golden period) dalam penanganan stroke adalah ± 3 jam, artinya dalam 3

jam awal setelah mendapatkan serangan stroke, pasien harus segera mendapatkan terapi

secara komprehensif dan optimal dari tim gawat darurat rumah sakit untuk mendapatkan

hasil pengobatan yang optimal (Morton dalam Saudin, Agoes & Rini, 2016). Periode

emas penatalaksanaan stroke adalah kurang dari 3 - 4,5 jam onset serangan dan hasil

terbaik dicapai dalam waktu 90 menit (Ashraf et al., 2015).

2.1.9. Penatalaksanaan fase akut.

Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat berdasarkan Guideline Strokes (PERDOSSI,

2011) sebagai berikut :

2.1.9.1. Evaluasi cepat dan diagnosis.

Oleh karena jendela terapi dalam pengobatan stroke akut sangat pendek, maka

evaluasi dan diagnosis harus dilakukan dengan cepat, sistematik, dan cermat.

Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:

Page 15: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

24

1) Anamnesis, terutama mengenai gejala awal, waktu awitan, aktivitas

penderita saat serangan, gejala seperti nyeri kepala, mual, muntah, rasa

berputar, kejang, cegukan, gangguan visual, penurunan kesadaran, serta

faktor risiko stroke (hipertensi, diabetes, dan lain-lain).

2) Pemeriksaan fisik, meliputi penilaian respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu

tubuh. Pemeriksaan kepala dan leher dan tanda-tanda distensi vena jugular.

3) Pemeriksaan neurologis meliputi kesadaran, 12 saraf kranialis, dan skala

stroke menggunakan NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale).

2.1.9.2. Terapi umum.

1) Pemantauan jantung direkomendasikan untuk mengetahui fibrilasi atrial dan

penyakit lainnya dalam 24 jam pertama.

2) Untuk mendapatkan terapi rtPA, pasien dengan tekanan darah tinggi harus

diturunkan dengan hati-hati ke angka sistolik < 185 dan diastolik < 110 dan

dipertahankan dibawah 180/105 mmHg setidaknya selama 24 jam pertama

setelah pemberian rtPA melalui intravena.

3) Oksigen tambahan harus diberikan untuk mempertahankan SaO2 > 95%

4) Pasien dengan tekanan darah sistolik > 220 dan diastolik > 120 mmHg tidak

dapat diberikan fibrinolisis sehingga harus diturunkan sebesar 15% selama

24 jam pertama.

5) Hipovolemia dan aritmia jantung harus dikoreksi

6) Pertahankan kadar gula darah antara 140 - 180 mg/dL.

2.1.9.3. Pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan radiologi : Foto rontgen, CT Scan.

Page 16: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

25

EKG, Laboratorium (kimia darah, fungsi ginjal, hematologi, hemostasis,

glukosa darah, analisis urin, analisa gas darah, dan elektrolit). Bila perlu pada

kecurigaan perdarahan subaraknoid, lakukan punksi lumbal untuk pemeriksaan

CSS (Cairan Serebrospinal).

2.2. Konsep Pengetahuan

2.2.1. Pengertian.

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil dari “tahu” setelah seseorang melakukan

pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan

peraba. Namun, sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan

telinga (Notoatmodjo, 2012). Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan

pendidikan, dimana diharapkan bahwa dengan pendidikan yang tinggi maka

seseorang akan memiliki pengetahuan yang luas.

Menurut Notoatmodjo (2012), pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain

yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour).

Pengetahuan akan memengaruhi cara pandang sehingga membentuk tindakan atau

sikap seseorang. Pengetahuan yang didapat melalui diskusi, berbagai media atau

pengalaman sebelumnya terkait penanganan pasien stroke sangat berpengaruh

terhadap keterlibatan keluarga dalam membawa pasien stroke segera ke rumah

sakit. Pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu :

Page 17: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

26

2.2.1.1. Tahu (know).

Tahu diartikan sebagai mengingat kembali suatu materi yang telah

dipelajari rangsangan yang diterima sebelumnya. Oleh sebab itu, tahu ini

merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Kata kerja untuk mengukur

bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain dapat

menyebutkan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya. Contohnya

dapat menyebutkan pengertian stroke, tanda gejala stroke.

2.2.1.2. Memahami (Comprehension).

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara

benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi

tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi

harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dsb.

2.2.1.3. Aplikasi (Aplication).

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang

telah dipelajari pada kondisi sebenarnya. Misalnya menggunakan rumus

stastistik dalam perhitungan hasil penelitian, dapat menggunakan prinsip-

prinsip pemecahan masalah kesehatan sesuai kasus.

2.2.1.4. Analisis (Analysis).

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu

objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih terkait.

2.2.1.5. Sintesis (Synthesis).

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan yang

Page 18: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

27

baru. Dengan kata lain sinstesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun

formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat

menyusun kebutuhan dasar manusia berdasarkan teori Maslow atau

kebutuhan berdasarkan Handerson.

2.2.1.6. Evaluasi (Evaluation).

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi

atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu

didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan

kriteria yang telah ada. Misalnya dapat membandingkan antara komplikasi

pasien stroke yang segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan

penanganan segera, dengan pasien stroke yang dibawa setelah melewati

masa jendela (3 – 4,5 jam).

2.2.2. Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan.

Menurut Notoatmodjo (2012), faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan seseorang

antara lain :

2.2.2.1. Pendidikan.

Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberi respon

terhadap sesuatu yang datang dari luar. Pendidikan berarti bimbingan yang

diberikan seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah suatu

cita-cita tertentu. Pendidikan dapat memengaruhi seseorang termasuk juga

perilaku akan pola hidup, terutama dalam memotivasi sikap berperan serta

dalam perkembangan kesehatan.

Page 19: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

28

2.2.2.2. Media massa.

Melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik berbagai informasi

dapat diterima masyarakat, sehingga seseorang yang lebih sering terpapar

media massa (TV, radio, majalah, dll) akan memperoleh informasi yang lebih

banyak.

2.2.2.3. Ekonomi.

Dalam memenuhi kebutuhan pokok (primer) maupun kebutuhan sekunder,

keluarga dengan status ekonomi baik akan lebih mudah tercukupi dibandingkan

keluarga dengan status ekonomi rendah. Hal ini akan memengaruhi pemenuhan

kebutuhan sekunder. Dapat disimpulkan bahwa ekonomi dapat memengaruhi

pengetahuan seseorang tentang berbagai hal.

2.2.2.4. Hubungan sosial.

Manusia merupakan makhluk sosial dimana dalam kehidupan saling

berinteraksi antara satu dengan yang lain. Individu yang dapat berinteraksi

secara kontinyu akan lebih besar terpapar informasi.

2.2.2.5. Pengalaman.

Pengalaman adalah sesuatu yang pernah dialami, dilihat atau didengar

seseorang yang dapat menjadi acuan. Pengetahuan dapat diperoleh dari

pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sebagai strategi seseorang

dalam mengatasi masalah.

Page 20: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

29

2.3. Konsep Keluarga

2.3.1. Definisi.

Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga

dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat di bawah satu atap

dalam keadaan saling ketergantungan (Depkes RI dalam Friedman, 2010).

Keluarga adalah dua atau lebih invidu yang tergabung karena hubungan darah,

hubungan perkawinan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu

sama lain dan didalam perannya masing-masing menciptakan serta

mempertahankan kebudayaan (Friedman, 2010).

Dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah dua atau lebih individu yang terikat

hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama lain dan

mempunyai tujuan.

2.3.2. Fungsi keluarga.

Friedman (2010) membagi fungsi keluarga menjadi 5 yaitu :

2.3.2.1. Fungsi afektif.

Fungsi afektif merupakan basis kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna

untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan melaksanakan

fungsi afektif tampak pada kebahagiaan anggota keluarga melalui interaksi

dan hubungan baik dalam keluarga. Komponen fungsi afektif yaitu asah,

asih, dan asuh.

Page 21: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

30

2.3.2.2. Fungsi reproduksi.

Keluarga berfungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan

membesarkan anak serta mejaga kelangsungan keluarga.

2.3.2.3. Fungsi ekonomi.

Kemampuan keluarga untuk mendapatkan penghasilan, mencari sumber

dana tambahan guna memenuhi kebutuhan dasar keluarga.

2.3.2.4. Fungsi pemeliharaan kesehatan.

Keluarga berfungsi untuk mencegah terjadinya masalah kesehatan atau

merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam

pemeliharaan kesehatan memengaruhi status kesehatan keluarga. Keluarga

yang dapat melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari tugas

kesehatan keluarga.

2.3.2.5. Fungsi sosialisasi.

Sosialisasi merupakan proses perubahan yang dilalui individu,

menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan

sosial. Fungsi ini berguna untuk membina sosialisasi pada anak,

membentuk norma-norma tingkah laku dan meneruskan nilai budaya

keluarga.

2.3.3. Tugas kesehatan keluarga.

Friedman (2010) membagi tugas kesehatan keluarga menjadi lima :

1) Kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan.

2) Kemampuan keluarga dalam pengambilan keputusan terkait masalah kesehatan

Page 22: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

31

3) Kemampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit.

4) Kemampuan keluarga dalam memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan

keluarga.

5) Kemampuan keluarga untuk memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan.

2.4. Pengetahuan Keluarga Terkait Stroke

Faiz (2014) dalam Jurnal dengan judul “Prehospital Delay and Patient Knowledge in

Acute Cerebrovascular Disease” menjelaskan bahwa pengetahuan stroke terbagi menjadi

dua hal, yaitu pengetahuan tentang faktor risiko dan peringatan gejala stroke yang

merupakan dasar untuk pencegahan yang efektif dan mendapatkan penanganan awal

dengan segera di pelayanan kesehatan.

Pengetahuan tentang faktor risiko stroke sangat penting untuk meningkatkan kesadaran

dalam rangka pencegahan stroke baik primer maupun sekunder sehingga individu mampu

mengubah atau memodifikasi faktor risiko, dengan demikian akan menurunkan risiko

stroke atau penyakit kardiovaskuler yang lain, menurunkan biaya perawatan dan

mencegah terjadinya kecacatan (Faiz, 2014). Pengetahuan tentang peringatan gejala

stroke yang dimiliki pada tindakan yang nyata merupakan suatu hal yang sangat penting

untuk menurunkan keterlambatan kedatangan. Peningkatan pengetahuan pasien atau

keluarga tentang stroke akan meningkatkan waktu reaksi dan kedatangan pasien ke rumah

sakit.

Page 23: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

32

Kim (dalam Rachmawati et al., 2017) menjelaskan bahwa pengetahuan tentang stroke

oleh keluarga, lebih penting dibandingkan oleh pasien sendiri dengan alasan keluarga

yang mempunyai pengetahuan baik tentang stroke jika menemui gejala stroke akan segera

mengenali gejala yang ada dan mengambil keputusan untuk menghubungi layanan gawat

darurat atau langsung ke Instalasi Gawat Darurat. Berbeda jika keluarga tidak mempunyai

pengetahuan yang baik, akan terlambat mengenali dan mengambil keputusan.

Fussman, Rafferty, Callo, Morgenster & Reeves (2010) dalam Jurnal dengan judul “Lack

of Association Between Stroke Symptom Knowledge and Intent to Call 911”

mengungkapkan bahwa proses suatu pengetahuan sampai terjadi tindakan yang tepat,

terdiri dari beberapa tahapan yaitu, mempunyai pengetahuan yang baik tentang peringatan

gejala stroke, mampu mengenali dan menginterpretasikan peringatan gejala yang ada

pada situasi nyata, kesadaran untuk segera menghubungi layanan gawat darurat, dan

membawa ke instalasi gawat darurat. Pengetahuan yang baik tentang stroke ini bukan

hanya berkontribusi terhadap kedatangan awal ke Instalasi Gawat Darurat akan tetapi juga

berkontribusi dalam meningkatkan penggunaan layanan gawat darurat yang

memperpendek kedatangan sejak onset serangan.

2.4.1. Instrumen untuk mengukur keterlambatan kedatangan pasien stroke.

Zhao et al. (2014) mengembangkan instrumen untuk mengukur keterlambatan pasien

stroke ke RS menggunakan skala SPDBI (Stroke Pre-hospital Delay Behavior

Intention). Dalam penelitian ini, skala SPDBI oleh Zhao yang awalnya terdiri atas 27

pernyataan dalam bahasa Inggris, dimodifikasi menjadi 15 pernyataan karena beberapa

Page 24: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

33

pernyataan cenderung sama. Skala modifikasi ini terbagi dalam 4 sub domain, antara

lain: 1) Tanda dan gejala stroke (7 item pernyataan), 2) Alasan tidak mencari pelayanan

kesehatan (4 item pernyataan), 3) Respons (2 item pernyataan) dan 4) Penggunaan

sistem darurat dan transportasi (2 item pernyataan). Pilihan jawaban menggunakan skala

Likert dimana skor 1 STS (Sangat Tidak Setuju), skor 2 TS (Tidak Setuju), 3 T (Tidak

Tahu), 4 S (Setuju), dan 5 SS (Sangat Setuju). Secara sistematik skor akan dijumlahkan.

Nilai mean/median dijadikan batas, sehingga dikatakan pengetahuan kurang apabila

total skor < nilai mean/median. Adapun isi dari modifikasi skala SPDBI dijabarkan

dalam tabel 2.1. berikut :

Tabel 2.1.

Hasil Modifikasi Instrumen SPDBI

No. Pernyataan SS S T TS STS

1. Keluarga menilai pasien tampak gelisah, tidak sesuai dalam menjawab

waktu dan tempat saat ditanya (disorientasi).

2. Keluarga melihat pasien tampak tertidur. Terbangun ketika

dipanggil/ditepuk/dsb.

3. Keluarga mendapati terjadi kelemahan pada salah satu tubuh pasien.

4. Keluarga melihat pasien tiba-tiba pingsan.

5. Keluarga mendapatkan pasien mengeluhkan nyeri kepala hebat, pusing,

kaku leher, atau muntah.

6. Keluarga mendapatkan pasien mengatakan penglihatannya kabur atau

tidak jelas.

7. Menurut keluarga pasien berkata-kata tidak jelas dan membingungkan.

8. Keluarga memutuskan agar pasien tidak dibawa ke rumah sakit karena

terlalu merepotkan serta khawatir akan menambah beban keluarga.

9. Keluarga menunda membawa pasien ke rumah sakit, karena

menganggap gejalanya terjadi akibat faktor usia.

10. Keluarga menganggap gejala pasien akan sembuh dengan sendirinya.

11. Keluarga memberikan obat saat gejala timbul dan mengistirahatkan

pasien sambil melihat apakah gejalanya berkurang atau tidak.

12. Keluarga menunggu seseorang datang untuk membawa pasien ke

rumah sakit.

13. Jika gejala pasien tidak membaik, maka keluarga akan membawanya

ke rumah sakit.

14. Tidak terpikirkan oleh keluarga untuk menghubungi ambulans.

15. Keluarga memilih pengobatan alternatif (misalnya, obat herbal atau

akupuntur) yang disarankan oleh kenalan.

Total

Sumber : Modifikasi Skala SPDBI, Zhao et al. (2014).

Page 25: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

34

2.5. Perilaku Pencarian Pengobatan (Health Seeking Behaviour)

Menurut Notoatmodjo (2007) perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon

seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan

kesehatan, makanan serta lingkungan sekitar. Perilaku kesehatan tersebut mencakup : 1)

Perilaku seorang terhadap sakit dan penyakit, 2) Perilaku terhadap sistem pelayanan

kesehatan adalah respon terhadap sistem pelayanan kesehatan baik sistem pelayanan

modern ataupun tradisional, 3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behaviour) yaitu

respon seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan, dan 4)

Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environtmental health behaviour) yaitu respon

seseorang terhadap sebagai determinan kesehatan manusia.

Menurut Notoatmodjo (2007), respon seseorang apabila sakit adalah sebagai berikut :

1) Pertama, tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apapun (no action) karena

kesehatan belum menjadi prioritas hidupnya, fasilitas pengobatan yang letaknya jauh

atau karena petugas kesehatan tidak simpatik.

2) Kedua, tindakan mengobati diri sendiri (self treatment) karena percaya pada diri

sendiri dan pengalaman yang lalu sehingga mendatangkan kesembuhan.

3) Ketiga, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan tradisional (traditional remedy).

4) Keempat, mencari pengobatan dengan membeli obat warung atau jamu.

5) Kelima, mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas pengobatan modern yang diadakan

oleh pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta.

6) Keenam, mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarakan

oleh dokter praktik (private medicine).

Page 26: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

35

2.6. Penelitian Terkait

Hasil penelitian sebelumnya terkait pengetahuan keluarga dan riwayat stoke dengan

keterlambatan kedatangan pasien ke rumah sakit, sebagai berikut :

1) Penelitian yang dilakukan oleh Ashraf et al. (2015) dengan judul “Factors Delaying

Hospital Arrival Of Patients With Acute Stroke” di India menggunakan metode cross

sectional yang dilakukan sejak Januari-Desember 2012, menggambarkan dari 264

pasien stroke yang tiba di IGD hanya 67 (25,3%) pasien tiba dalam 4 jam, sedangkan

197 (74,7%) pasien tiba setelah 4 jam. Alasan keterlambatan pasien terkait onset

serangan 51,5% terjadi siang hari dan 48,5% malam hari, 28% tidak mengetahui gejala

dan 72% memiliki riwayat stroke.

2) Penelitian Zhou et al. (2016) dengan judul “Pre-Hospital Delay After Acute Ischemic

Stroke in Central Urban China: Prevalence and Risk Factors” pada 1.835 pasien di

China sejak 1 Oktober 2014 – 31 Januari 2015, didapatkan 69,3% pasien melaporkan

tiba di rumah sakit dalam waktu 3 jam setelah onset dan 55,3% tiba setelah 6 jam.

Faktor yang terkait dengan penundaan pra-rumah sakit selama 3 jam atau lebih adalah

pasien memiliki riwayat stroke (OR 1,319, Pvalue=0,028), serangan terjadi di rumah

(OR 1,573, P=0,002), dan ketidaktahuan gejala (OR 1,711, P < 0.001).

3) Penelitian oleh Dewita (2015) dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Keterlambatan Pasien Stroke Dibawa Ke Rumah Sakit di RSUD Koja Jakarta

Utara” pada 38 responden, didapatkan 57,9% responden berpengetahuan kurang dan

68,4% dari responden terlambat dibawa ke RS. Hasil analisis didapatkan terdapat

hubungan signifikan pengetahuan dengan keterlambatan membawa pasien stroke ke

rumah sakit (P-value = 0,0001).

Page 27: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

36

4) Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati et al. (2017) dengan judul “Pengetahuan

Keluarga Berperan Terhadap Keterlambatan Kedatangan Pasien Stroke Iskemik Akut

di Instalasi Gawat Darurat RSUD Ngudi Waluyo Wlingi” pada 58 pasien,

menunjukkan bahwa 87,9% responden datang ke IGD > 3 jam dengan rata-rata skor

pengetahuan responden 8,55 SD 4,551. Hasil analisis regresi linear disimpulkan bahwa

pengetahuan berpengaruh terhadap keterlambatan kedatangan pasien post serangan

stroke ke IGD dengan P-value=0,041.

5) Penelitian oleh Wardiana (2012) dengan judul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan

Dengan Keterlambatan Admission Time Pasien Stroke” adalah tingkat pengetahuan

(Pvalue 0,04), waktu serangan (Pvalue 0,023) dan jarak tempat tinggal (Pvalue 0,011).

2.7. Kerangka Teori

Berdasarkan teori yang telah diuraikan, maka kerangka teori tentang hubungan

pengetahuan keluarga dan riwayat stroke dengan keterlambatan kedatangan pasien adalah

sebagai berikut:

Page 28: BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Konsep Dasar Stroke

37

Bagan 2.1

Kerangka Teori

STROKE :

1) Definisi

2) Klasifikasi

3) Faktor risiko

4) Etiologi

5) Patofisiologi

6) Manifestasi Klinis

7) Komplikasi

2) Riwayat Stroke

Salah satu risiko terbesar setelah stroke

primer adalah stroke sekunder (stroke

berulang), umumnya terjadi dalam waktu

6-12 bulan pasca serangan pertama (Peter

& Justus, 2016 ; Safitri, et al. 2012)

KETERLAMBATAN

KEDATANGAN PASIEN STROKE

KE RS

Kesadaran pasien dan keluarga

untuk tiba di RS lebih awal masih

sulit tercapai (PERDOSSI, 2011).

Faktor-faktor yang memengaruhi

keterlambatan :

Dewita (2015): pengetahuan

keluarga, pengambilan keputusan

dan perilaku mencari pengobatan.

Wardiana (2012) : pengetahuan,

waktu serangan dan jarak tempat

tinggal.

Faktor lain (Ashraf, et al. 2015) :

1) Pengetahuan Keluarga

Pengetahuan tentang stroke oleh

keluarga lebih penting karena akan

lebih mengenali dan mengambil

keputusan segera untuk membawa

pasien ke RS (Rachmawati, et al.

2017).

8) Periode emas penatalaksanaan

stroke

Golden period penatalaksanaan

stroke < 3 – 4,5 jam onset

serangan (Ashraf, et al. 2015).