Upload
steven-villini-mas
View
121
Download
2
Embed Size (px)
PROPOSAL PENELITIAN PENULISAN HUKUM
PROGRAM SARJANA STRATA SATU ( SI )
1. JUDUL PENULISAN HUKUM
PERLINDUNGAN KORBAN DALAM HAL SALAH PROSEDUR PENANGKAPAN
2. PELAKSANA PENELITIAN
a. Nama Mahasiswa : Wibisono Tri Nugroho
b. N I M : B2A009445
c. Jumlah SKS : 138 SKS
d. IP Kumulatif : 3, 04
e. Nilai Mata Kuliah MPPH : C
3. RUANG LINGKUP / BIDANG MINAT :
Ruang Lingkup Penelitian adalah Hukum Pidana
4. LATAR BELAKANG PENELITIAN :
Adegium fiat justitia pereat mundus dan fiat justitia ruat caelum adalah adegium
yang selalu dipakai oleh para penegak hukum. Pengertian Fiat justitia pereat mundus
adalah fiat justitia ruat caelum yang memiliki pengertian hendaklah keadilan ditegakkan,
1
walaupun langit akan runtuh. Kalimat ini diucapkan oleh Lucius Calpurnius Piso
Caesoninus. Adegium ini merupakan alasan penegak hukum untuk melakukan penegakan
hukum. Masalah penegakan hukum adalah masalah yang paling krusial dalam
memberikan keadilan bagi masyarakat pada umumnya dan bagi terdakwa dan korban
pada khususnya. Dimana wujud nyata dari penegakan hukum yang dapat dilihat itu ada
pada sistem peradilan. Menurut Muladi sistem peradilan adalah suatu jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum
pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana . Pengertian
yang dikemukakan Muladi tersebut, disamping memberi penekanan pada suatu
”jaringan” peradilan, juga menekankan adanya penggunaan hukum pidana oleh jaringan
dalam melaksanakan tugasnya secara menyeluruh, baik hukum pidana substantif, hukum
acara pidana maupun hukum penitensier untuk mencapai tujuan jaringan tersebut. 1
Dari sistem peradilan diharapkan terciptanya penegakan hukum yang memberikan
kemanfaatan bagi masyarakat. Masyarakat mengharapkan bahwa pelaksanaan penegakan
hukum harus memberi manfaat, karena memang hukum adalah untuk manusia dan bukan
manusia untuk hukum sebagaimana yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo2. Maka dari
pada itu Pelaksanaan Penegakan hukum jangan sampai justru menimbulkan keresahan
dalam masyarakat. Demikian juga Penegakan hukum dilaksanakan bertujuan demi
tercapainya keadilan yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Sehingga dengan
1Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), Halaman 4
2Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, (Semarang: PT Citra Karya Bakti, 2006).
2
ditegakkannya hukum akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Meskipun
sebenarnya keadilan itu sendiri bersifat subjektif dan individualitas.
Seperti halnya dalam hal salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik polri,
seperti yang telah diberitakan Kompas.com, Selasa (12/2/2013), Ali Maksum (40), warga
Desa Karangasem, Kecamatan Sayung, ditemukan meninggal dunia di pinggir jalan
Dukuh Deles, Desa Purwosari, Kecamatan Sayung, akibat dianiaya orang tidak dikenal.
Penganiayaan tersebut diduga terkait masalah asmara, Lalu kepolisian Demak melakukan
penyelidikan. Kepolisian pun dengan membawa kendaraan menjemput dua warga, yakni
Galih dan Sukirman, untuk diperiksa.
Namun dalam proses pemeriksaan, keduanya mengaku mendapatkan perlakuan
kasar dari petugas, Galih mengaku saat berada di dalam mobil, ia dipukul berkali-kali di
bagian kepala wajah dan pinggang. Sukirman kemudian diturunkan di Mapolres Demak,
sedangkan ia dibawa ke sebuah lapangan kosong dalam kondisi telanjang dan tangan
diborgol.
Saat di lapangan itu ia mengatakan sempat diancam akan ditembak jika tidak
mengaku. Polisi menuduh Galih menjadi tersangka pelaku pembunuhan terhadap seorang
pemuda di Morosari Demak pada Selasa (12/2/2013).
Galih mengaku saat kejadian dirinya justru tengah perjalanan ke Surabaya dengan
bekerja sebagai kernet truk dan kembali ke Semarang pada Kamis (14/2/2013) pagi.
"Setelah saya bisa menunjukkan saksi dan bukti kalau saya tidak melakukan pembunuhan
kemudian dilepas pada jam 21.30 WIB, tapi saya sudah dipukuli dulu, dan saya sama
3
sekali tidak tahu menahu soal pembunuhan itu," tambahnya. Akibat penganiayaan itu,
Galih dan Sukirman trauma dan takut keluar rumah.
Adanya korban salah tangkap oleh polisi memang kerap terjadi Padahal dalam
penangkapan, sudah ada prosedur yang harus dijalankan agar tidak merugikan
masyarakat. Koordinator Indonesian Police Watch (IPW) Jawa Tengah Untung Budiarso
mengatakan hal itu masih terjadi karena belum adanya reformasi sumber daya manusia
(SDM) di tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Pendapat IPW tersebut untuk
menanggapi adanya dugaan salah tangkap dan penganiayaan yang dilakukan anggota
Polres Demak pada Muhammad Galih Yoga Pratama (18).
Rangkaian panjang dalam proses peradilan pidana di Indonesia berawal dari suatu
proses yang dinamakan penyelidikan. Menurut KUHAP Pasal 1 butir 5 :
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
sedangkan penyelidik menurut KUHAP Pasal 1 butir 4 adalah :
penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penyelidikan
Dalam hal penyelidik mengetaui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya
suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana, wajib segera melakukan
tindakan penyelidikan yang diperlukan. Karena dalam hal ini penyelidik dengan
kewajibannya mempunyai wewenang yaitu :
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2. Mencari keterangan dan barang bukti,
4
3. Menyuruh berhenti seorang yang dicurigai dan menyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri,
4. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Apabila hasil dari penyelidikan tersebut penyelidik menyimpulkan bahwa telah
terjadi suatu tindak pidana (delict) maka statusnya akan ditingkatkan pada tahap
penyidikan yang ditujukan untuk mencari bukti dan menemukan tersangkanya.
Selanjutnya penyidik apabila telah menemukan permulaan bukti yang cukup( minimal 2
alat bukti yang sah menurut UU ) dan mengarah kepada seseorang sebagai tersangkanya
dapat melakukan penangkapan terhadap tersangka tersebut. Menurut Pasal 1 butir 2
KUHAP penyidikan adalah :
Pentidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini, untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berdasarkan uraian diatas maka wewenang penyidik adalah
1. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana
2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadia
3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal tersangka
4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan,
5. Melakukan penyitaan dan pemeiriksaan surat,
6. Mengambil sidik jari dan memotret seorang,
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,
8. Metundatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara,
5
9. Mengadakan penghentian penyidikan,
10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Namun hanya terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
dan diancam dengan hukuman, maka pelakunya ada kemungkinan dapat ditangkap atau
ditahan, oleh karena itu dalam hal – hal menurut cara-cara yang diatur dalam undang-
undang, dalam pemeriksaan pendahuluan, penyidik mempunyai wewenang untuk
melakukan tindakan antara lain penangkapan dan penahanan. Penangkapan dilakukan
terhadap seorang yang terduga pelaku kejahatan yang didasarkan atas bukti-bukti
permulaan yang cukup, dengan menyebutkan alasan penangkapan dan uraian singkat sifat
perkara kejahatan yang dipersangkakan.
Sedangkan penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang
istimewa yang diberikan oleh Undang-Undang namun tidak berarti dapat dilakukan
dengan sewenang-wenang. Penangkapan merupakan suatu proses hukum yang sangat
penting sebab akan berpengaruh terhadap tahap-tahap proses hukum selanjutnya. Oleh
karena itu penangkapan harus dilakukan secara teliti, hati-hati dan cermat oleh penyidik.
Berdasarkan pasal 1 butir 20 KUHAP disebutkan bahwa :
‘’Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini’’.
Dari penjelasan tersebut penangkapan tiada lain sama saja dengan pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan. Tapi yang harus diingat adalah bahwa penangkapan tersebut harus sesuai
dengan cara-cara yang sudah ditentukan dalam KUHAP yakni pada bab V bagian kesatu
6
pasal 16 sampai dengan pasal 19. Penangkapan bisa dianggap sebagai bentuk
pengurangan dari hak asasi seseorang, Oleh karena itu tindakan penangkapan tersebut
harus benar-benar diletakkan pada proporsinya yaitu hanya demi kepentingan hukum dan
benar-benar sangat diperlukan.
Dalam proses penangkapan yang dilakukan penyidik Polri terhadap tersangka
yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami suatu
kekeliruan atau kesalahan-kesalahan yang bersumber pada human error yaitu kesalahan
penyidiknya dalam praktek di lapangan. Kesalahan dalam proses penangkapan
mempunyai konsekuensi yang cukup besar karena kekeliruan tersebut bila tidak segera
diperbaiki akan terus berlanjut pada tahap-tahap selanjutnya. Apabila terjadi kesalahan
dalam proses ini sebelum perkaranya diputus oleh pengadilan maka tersangka atau
keluarganya dapat mengajukan praperadilan tentang ketidaksahan dari penangkapan
tersebut sekaligus dapat menuntut ganti kerugian. Namun apabila kesalahan dari proses
penangkapan tersebut tidak diketahui dan baru diketahui setelah perkaranya diputus oleh
pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara tersebut, maka terpidana/terhukum
bisa melakukan suatu upaya hukum luar biasa setelah putusan hakim tersebut meskipun
telah berkekuatan hukum tetap (In Krach Yan Gewijsde).
Terhadap seorang terpidana yang sedang menjalani masa hukumannya setelah
diputus bersalah oleh suatu pengadilan tidaklah seketika tertutup jalan keadilan baginya.
Keadilan dalam konteks apapun merupakan suatu hak bagi siapapun juga yang ingin
mendapatkannya sesuai aturan yang berlaku di Indonesia. Tidak hanya bagi mereka yang
merasa dirugikan sebagai korban atas suatu kejahatan tetapi juga bagi mereka yang
diputuskan bersalah oleh pengadilan atas suatu kejahatan.
7
Dalam Sistem Hukum Acara Pidana Di Indonesia dikenal adanya istilah bukti
baru atau keadaan hukum baru lebih lazim disebut dengan istilah “novum ”. Pengertian
novum berdasarkan Undang-undang dapat dilihat dalam KUHAP pasal 263 ayat (2) huruf
(a) yang berbunyi :
apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat
Keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
Dengan adanya novum tersebut maka bagi seorang terpidana yang sedang
menjalani hukumannya dapat melakukan suatu upaya hukum tertentu. Dari pengertian
novum atau keadaan baru tersebut dapat disimpulkan bahwa novum itu hanya bisa
diperuntukan terhadap suatu putusan dari pengadilan telah berkekuatan hukum tetap (In
Krach Yan Gewijsde). Yakni suatu putusan paling akhir dari pengadilan dan bersifat
mengikat terhadap pihak-pihak yang divonis dalam putusan tersebut Mereka sudah tidak
memiliki pilihan apapun kecuali menjalakan putusan pengadilan tersebut dan jika
menolak penegak hukum memiliki wewenang untuk secara paksa mereka menjalani isi
dalam vonis tersebut.
Dengan demikian seorang terpidana yang sedang menjalani hukumannya
berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat menempuh
upaya hukum luar biasa apabila dikemudian hari ditemukan suatu novum atau bukti baru
yang kuat. Bukti baru ini bisa bermacam-macam sepanjang bukti atau keadaan baru
8
tersebut menimbulkan dugaan kuat apabila sudah diketahui ketika persidangan
perkaranya masih berlangsung akan dapat menghasilkan putusan yang berbeda. Salah
satunya yang bisa menjadi novum adalah apabila terjadi salah tangkap terhadap
seseorang diduga sebagai pelaku kejahatan. Kesalahan dalam menangkap orang tersebut (
Error In Persona ) akibatnya akan menyebabkan terjadinya salah menuntut orang yang
pada akhirnya berujung pada salah menghukum orangnya.
Kasus salah tangkap merupakan salah satu kasus yang kerap terjadi di tanah air
ini, oleh sebab itu mendorong penulis untuk menulis skripsi ini dengan judul
“PERLINDUNGAN KORBAN DALAM HAL SALAH PROSEDUR
PENANGKAPAN ” agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai bagaimana
penegakan hukum mengenai proses penyelidikan, penyidikan, penangkapan, penahanan
dan apakah ketentuan penangkapan dalam KUHAP sesuai dengan perlindungan HAM ?
dan bagaimana perlindungan seseorang yang mengalami penangkapan yang tidak sesuai
dengan prosedur
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya dan judul yang
diajukan maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah ketentuan penangkapan dalam KUHAP sesuai dengan perlindungan HAM?
2. Bagaimana perlindungan seseorang yang mengalami penangkapan yang tidak
sesuai dengan prosedur ?
9
5. STUDI PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana
1) Pengertian Tindak Pidana
Tindak Pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana dimana
tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis. Tindak pidana sama pengertiannya dengan
peristiwa pidana atau delik. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana 3. Tindak pidana dapat dikatakan
berupa istilah resmi dalam perundang-undangan negara Indonesia. Hampir seluruh
perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah tindak pidana untuk merumuskan
suatu tindakan yang dapat diancam dengan suatu pidana tertentu.
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian tindak
pidana, antara lain :
a. Vos merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu adalah kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan4 .
b. Menurut P.A.F Lamintang pembentuk undang-undang kita telah menggunakan
istilah strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang kita kenal sebagai tindak pidana di
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Perkataan feit itu sendiri dalam bahasa
Belanda berarti sebagian dari kenyataan, sedangkan starfbaar berarti dapat dihukum,
hingga secara harfiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari
suatu kenyataan yang dapat dihukum yang sudah barang tentu tidak tepat karena kita
3Wirjono Prodjodikoro dalam Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990), Halaman 424Vos dalam Martiman Prodjomidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I, (Jakarta: Pradnya Pramita, 1995), Halaman 16
10
ketahui bahwa yang dapat dihukum adalah manusia sebagai pribadi dan bukan kenyataan,
perbuatan, maupun tindakan5 .
c. Moeljatno berpendapat perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut 6.
d. Andi Zainal Abidin Farid menyatakan bahwa delik sebagai suatu perbuatan atau
pengabaian yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja atau kelalaian oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan7 .
e. Sudarto mengemukakan perbedaan tentang istilah perbuatan jahat sebagai berikut:
1. perbuatan jahat sebagai gejala masyarakat dipandang secara nyata
sebagaimana terwujud dalam masyarakat (social Verschijnsel, Erecheinung,
fenomena), ialah perbuatan manusia yang memperkosa atau menyalahi norma-
norma dasar dari masyarakat dalam konkreto. Ini adalah pengertian ”perbuatan
jahat” dalam arti kriminologis.
2. perbuatan jahat dalam arti hukum pidana (strafrechtelijk misdaadsbegrip),
ialah sebagaimana terwujud in abstracto dala peraturan-peraturan pidana. Untuk
selanjutnya dalam pelajaran hukum pidana ini yang akan dibicarakan adalah
perbuatan jahat dalam arti yang kedua tersebut.
Perbuatan yang dapat dipidana itu masih dapat dibagi menjadi:
1. perbuatan yang dilarang oleh undang-undang;
5P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1997), Halaman 1816Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), Halaman 547Andi Zainal Abidin Farid, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni, 1987) Halaman 33
11
2. orang yang melanggar larangan itu8 .
Dari berbagai pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat bertanggung jawab atas
tindakannya tersebut. Dimana tindakan yang dilakukannya tersebut adalah tindakan yang
melawan atau melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga
tindakan tersebut dapat diancam dengan suatu pidana yang bermaksud memberi efek jera,
baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi orang lain yang mengetahuinya.
2) Unsur-unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur perbuatan pidana menurut Moeljatno, antara lain:
a) Perbuatan (manusia);
b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil);
c) Bersifat melawan hukum (syarat meteriil).
Syarat formil dan syarat materiil harus ada kerena perbuatan itu harus betul-betul
dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tak boleh atau tak patut dilakukan,
oleh karena bertentangan dengan atau menghambat akan tercapainya tata dalam
pergaulan masyarakat yang dicita-citakan oleh masyarakat itu. Moeljatno berpendapat
bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab dari si pembuat tidak masuk
sebagai unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat pada orang yang berbuat
Menurut Moeljatno dalam buku Sudarto tentang unsur tindak pidana jadi untuk
memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian
Prof.Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang itu telah melakukan perbuatan
8Sudarto, Op.Cit. Halaman 38
12
pidana belaka; di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan
bertanggung jawab.9
Menurut D.Simons, unsur-unsur strafbaarfeit adalah:
a) Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak berbuat atau
membiarkan
b) Diancam dengan pidana (stratbaar gestcld);
c) Melawan hukum (onrechmatig);
d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);
e) Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar
persoon).
Simons menyebut adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari strafbaarfeit.
a) Unsur objektif antara lain:
(1) Perbuatan orang;
(2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu;
(3) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti
dalam Pasal 281 KUHP sifat “di muka umum”.
b) Unsur subjektifnya adalah:
(1) Orang yang mampu bertanggung jawab;
(2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa)10.
9 Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
Simons dalam Sudarto, Ibid, Halaman 42
10
13
Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan. Kesalahan ini dapat berhubungan
dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan-keadaan mana perbuatan itu
dilakukan.
B. Tinjauan Umum Tentang Prosedur Penangkapan
Menurut KUHAP Pasal 1 butir 20, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapa
cukuo bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang – undang ini.
Tindakan penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti
(minimal 2 alat bukti yang sah menurut undang – undang ) guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal atau menurut cara yang diatur dalam
undang-undang. Penangkapan merupakan rangkaian atau bagian dari penyidikan, untuk
mencegah tersangka menghilangkan barang bukti dan mencegah tersangka melarikan
diri.
Dalam penangkapan terdapat beberapa syarat yang menurut KUHAP yaitu ;
1. penangkapan dilakukan untuk kepentingan penyelidikan,
penyelidik, atas perintah penyidik yang berwenang,
2. penangkapan dilakukan setelah mempunyai minimal 2 alat
bukti yang sah menurut undang – undang,
3. penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian republic
Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
14
memberikan kepada tersangka surat penangkapan dan
menyebutkan alasan penangkapan,
4. penangkapan dapat dilakukan untuk paling lama satu hari
( 1x24 jam )
C. Tinjauan Umum Terhadap salah tangkap
1. Pengertian korban salah tangkap
Secara etimologi korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik
fisik, mental, maupun secara finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana
(sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu factor timbulnya tindak pidana
(sebagai sebab). Disamping pengertiam korban tersebut ada pendapat beberapa ahli yang
mendefinisikan :
Menurut Bambang Djoyo Supeno, SH, Mhum. Korban adalah orang yang secara
individual atau kolektif menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental, penderitaan
emosional, kehilangan ekonomi atau pelanggaran terhadap pokok – pokok hak dasar
mereka, melalui perbuatan – perbuatan atau kelalaian yang belum merupakan
pelanggaran Undang – undang pidana nasional tetapi norma – norma yang diakui secara
internasional yang berhhubungan dengan hak – hak asasi manusia
pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan pengertian korban salah tangkap
adalah orang baik secara indifidual atau kolektif yang menderita secara fisik maupun
mental yang disebabkan kesalahan prosedur atau kesalahan tindakan penyidikan ataupun
15
penahanan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang berwenang maupunpejabat
sejenisnya.
Dalam KUHAP, penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terjadi cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dan definisi korban salah tangkap
dapat kita temukan dalam pasal 95 KUHAP ayat 1 yang menyatakan " tersangka,
terdakwa, atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan – alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hokum Hak
dan Kewajiban Korban
Sedangkan menurut Pasal 7 Undang – undang No. 48 tahun 2009 menegaskan
sebagai berikut : “ tiada seorangpun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah
dalam hal – hal dan menurut cara – cara yang diatur dengan Undang – undang “.
Mengenai asas “ presumption of innoncence” ( asas praduga tak bersalah) telah
ditegaskan dalam Pasal 8 Undang – undang No. 48 tahun 2009 tersebut, bahwa aparat
penegak hukum haruslah memegang asas tersebut bagi setiap orang yang akan dilakukan
penangkapan dan penahanan. Namun kenyataannya yang sering terjadi di dalam
kehidupan masyarakat kita, banyak sekali pihak – pihak yang dirugikan dari akibat
adanya kesalahan orang dalam proses penangkapan dan penahanan itu. Masalah ini pada
akhirnya orang yang dijadikan sebagai tersangka atau terdakwa merasa sangat dirugikan,
oleh karena itu sangatlah perlu untuk mendapatkan ganti rugi atas segala kerugian yang
16
timbul sebagai akibat dari tindakan tersebut baik berupa ganti kerugian nyata ( riil ),
biaya yang telah dikeluarkan selama yang bersangkutan ditangkap/ditahan, maupun
kerugian materiil berupa \rusaknya nama baik yang dilihat kdari kedudukannya masing –
masing
Salah satu manifestasi perlindungan hak – hak asasi yang tercantum dalam
KUHAP tersebut yang terdapat dalam HIR, ialah adanya lembaga ganti rugi, rehabilitasi
dan pra peradilan bagi setiap warga Negara yang ditangkap, ditahan, dan atau dituntut
tanpa alsan yang sah, berdasarkan ketentuan Undang – undang ( illegal arrest, unlawful I
Ada beberapa hak umum yang disediakan bagi korban atau keluarga korban
kejahatan, yang meliputi :
a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya.
Pemberian ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya,
seperti negara atau lembaga khusus yang dibentuk untuk menangani masalah
ganti kerugian korban kejahatan,
b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi;
c. Hak untuk memperoleh perlindungan dan ancaman pelaku,
d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum;
e. Hak untuk memperoleh kembali hak (harta) miliknya;
f. Hak untuk memperoleh akses atas pelayanan medis;
g. Hak untuk diberitau bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan
sementara, atau bila pelaku buron dari tahanan;
h. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan
dengan kejahatan yang menimpa korban;
17
i. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor
telepon atau/identltas korban lainnya.
D. Tinjauan Umum Terhadap Kepolisian Negara Republik Indonesia
Dalam KUHAP Kepolisian Negara Indonesia mempunyaiu dua tugas, sebagai
penyelidik dan penyidik, karena mamsing – masing mempunyai kewenangan yang
berbeda. Dalam ketentuan pasal 1 angka 4 KUHAP; penyelidik adalah pejabat polisi
Negara republic Indonesia yang diberi wewenang oleh undang – undang ini untuk
melakukan penyelidikan, sedangkan penyidik adalah pejabat polisi republic Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang –
undanguntuk melakukan penyidikan
Kepolisian Negara republic Indonesia adalah alat Negara penegak hokum yang
terutama bertugas memelihara keamanan didalam negeri dan didalam menjalankan
tugasnya selalu menjujung tinggi hak – hak rakyat dan hokum Negara. UU No. 2 tahun
2002 Pasal 5 ( 1 ) yang menjelaskan bahwa; kepolisian Negara republic Indonesia
merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakan hokum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
UU No 2 Tahun 2002 Pasal 1 angka 1 menjelaskan bahwa; kepolisian adalah
segala hal – ikhwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundangan – undangan. Pasal 2 undang – undang rwpublik Indonesia No. 2
Tahun 2002 tentang kepolisian Negara republic Indonesia terkait dengan fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hokum, perlindungan, penganyoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
Tugas dan wewenang kepolisian Negara republic Indonesia
Tugas pokok kepolisian Negara republic Indonesia diatur dalam Pasal 13 UU no.2
Tahun 2002 yang diklasifikasikan menjadi 3, yaitu; 1) memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, 2) menegakan hokum, 3) memberikan perlindungan, pengayoman,
dan pelayanan kepada masyarakat.
18
Tugas pokok kepolisian Negara rewpublik Indonesia dalam Pasal 13 No. 2 Tahun
2002 tersebut diperinci dalam Pasal 14 UU No. 2 Tahun 2002 yang terdiri dari :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patrol
terhadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan,
ketertiban, dan kelancaran lalu lintas,
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,
kesadaraan hokum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat
terhadap hokum dan peraturan perundang – undangan ,
d. Turut serta dalam pembinaan hokum nasional,
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum,
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk –
bentuk pengamanan swakarsa,
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap smua tindak
pidana sesuai dengan hokum acara pidana dan peraturan perundang
– undangan lainnya,
h. Meneylenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran, kepolisian,
labiratorium forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan
tugas kepolisian,
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, nasyarakat, dan
lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana
termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia,
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk smentara sebelum
ditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang,
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan
kepentingan dalam lingkup tugas kepolisian, serta,
l. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan [erundang –
undangan.
19
Wewenang kepolisian dalam UU No. 2 Tahun 2002 meliputi wewenang umum dan
khusus, wewenang umum sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 15 ayat ( 1 ) yang
meliputi;
a. Menerima laporan dan/atau pengaduan
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang
dapat mengganggu ketertiban umum,
c. mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat,
d. mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa,
e. mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan
administrative kepolisian,
f. melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian daro tindakan
kepolisian dalam rangka pencegahan,
g. melakukan tindakan pertama dilokasi kejadian,
h. mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret
seseorang,
i. mencari keterangan dan barang bukti,
j. menyelenggarakan pusat informasi criminal nasional,
k. mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan
dalam rangka pelayanan masyarakat,
l. memberikan bantua pengamanan dalam siding dan pelaksanaan
putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan
masyarakat,
m. menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Tugas kepolisian Menurut R. Soesilo
Ada dua macam, yaitu;
a. tugas preventif ( mencegah ), yaitu melaksankan segala
usaha , pekerjaan dan kegiatan lain dalam rangka
menyelenggarakan melindungai Negara dan badan
20
hukumnnya, kesejahteraan, keamanan, dan ketertiban umum,
orang – orang dan harta bendanya terhadap serangan dan
bahaya dengan jalan mencegah terjadajinya tindak pidana
dan perbuatan – p[erbuatan lain yang walaupun tidak
diancam dengan pidana, akan tetapi dapat mengakibatkan
terghanggunya keamanan dan ketertiban umum,
b. tugas represif ( memberantas ), ialah kewajiban melakukan
segala usaha, pekerjaan dan kegiatan untuk membantu tugas
kehakiman yang memberantas perbuatan – perbuatan yang
dapat dipidana yang telah dilakukan, secara penydikan,
menangkap dan menahan yang berbuat salah, memeriksa,
menggeledah dan membuat berita acara pemeriksaan
pendahuluan serta mengjaukan kepada jaksa untuk dituntut
dipidana dimuka hakim. Hari Sasongko (1996,14-15)
6. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dalam penelitian yang berjudul “PERLINDUNGAN KORBAN DALAM
HAL SALAH PROSEDUR PENANGKAPAN” pada dasarnya mencari untuk mencari
jawaban dari permasalahan pokok yang diajukan dalam rumusan masalah di atas.
Tujuan umum dalam penulisan ini adalah menumbuhkan rasa semangat untuk
melakukan penegakan hukum yang berkeadilan, bermanfaat, dan memiliki kepastian
hukum untuk tercapainya hukum yang memberikan kesejahteraan kepada masyarakat
7. KEGUNAAN PENELITIAN
Kegunaan yang diharapkan dalam penelitian yang berjudul “perlindungan korban
dalam hal salah prosedur penangkapan “ adalah:
21
a. Kegunaan teoritis dari penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan
terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya dan pendidikan lain untuk
mengkaji yang lebih dalam mengenai praktik penegakan hukum.
b. Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan secara praktis menjadi
sebagai sumbangan pemikiran bagi Para Penegak Hukum Khususnya
Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Polisi, dan Profesi
hukum lain yang berhubungan dengan penegakan hukum di Indonesia
sehingga dapat menjadi bahan acuan atau pertimbangan dalam proses
penegakan hukum di Indonesia.
8. METODOLOGI PENELITIAN
Dalam pembuatan penulisan hukum diperlukan suatu penelitian, dimana dengan
penelitian tersebut diharapkan akan memperoleh data-data yang akurat sebagai
pemecahan permasalahan atau jawaban atas pertanyaan tertentu. Metode penelitian
adalah cara ilmiah untuk mendapatkan untuk mendapatkan informasi dengan tujuan dan
kegunaan tertentu .
Guna keberhasilan dalam penyusunan penulisan hukum ini, dengan penelitian
dapat membantu merumuskan pemecahan masalah yang akan diteliti dan menguatkan
ungkapan dalam penulisan nantinya. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, penelitian pada
umumnya bertujuan untuk menemukan mengembangkan atau menguji kebenaran suatu
pengetahuan. Menemukan berarti berusaha memperoleh sesuatu untuk mengisi
kekosongan atau kekuarangan. Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih
dalam sesuatu yang sudah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada
masih atau menjadi diragu-ragukan kebenarannya.11
11 Soemitro, Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998)
22
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum dimaksudkan sebagai
kegiatan ilmiah yang berdasarkan pada metode sistematis dan pemikiran tertentu, yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau lebih gejala-gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya. Kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap
faktor-faktor hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan sesuatu pemecahan atas
permasalahan yang timbul antara segala hal yang bersangkutan12 .
Suatu penelitian telah dimulai apabila seseorang berusaha untuk memecahkan
masalah-masalah tersebut secara sistematis dengan metode-metode dan tehnik-tehnik
ilmiah tertentu. Dengan demikian, suatu kegiatan ilmiah merupakan usaha untuk
menganalisis, serta mengadakan konstruksi metodologis, sistematis dan konsisten.
A. Metode Pendekatan
Dalam penulisan skripsi mengenai yang berjudul “ perlindungan korban dalam hal
salah prosedur penangkapan ” ini penulis melakukan metode pendekatan yang digunakan
adalah yuridis normatif dengan mengkombinasikan antara studi kepustakaan atau analisis
data sekunder dengan permasalahan yang terjadi. Yuridis normatif adalah metode
penulisan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka mempergunakan
bahan-bahan hukum berupa peraturan perundang-undangan sebagai bahan hukum primer,
teori-teori hukum, asas-asas hukum, hasil-hasil penelitian, tulisan (karya tulis) para
sarjana hukum dan dokumen tertulis lainnya yang relevan sebagai bahan hukum
sekunder, serta bahan-bahan hukum tertier yang memberikan penjelasan atau petunjuk
terhadap bahan hukum primer
12Soekanto, soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986)
23
Kasus salah tangkap yang kerap terjadi dijadikan sebagai fenomena yang dikaji
melalui telaah yuridis dengan sumber utama data sekunder dan penelitian langsung untuk
mengumpulkan data primer ke masyarakat untuk kemudian menjadi bahan telaah secara
kualitatif dalam proses penelitian selanjutnya. Dengan metode ini akan didapat data dan
informasi yang dibutuhkan setelah sebelumnya membuat rancangan penelitian dengan
menentukan objek penelitian yang spesifik.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan berupa pola desicriptif analitis yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-
teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang rnenyangkut permasalahan
diatas . Selain menggambarkan objek yang menjadi permasalahan juga menganalisa data
yang diperoleh dari penelitian. Bersifat deskriptif karena penelitian ini memberi
gambaran yang jelas dan cermat terhadap kondisi masyarakat atau kondisi peristiwa
tertentu,
C. Metode Penentuan Sampel
Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan sekunder.
Oleh karena penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif maka data sekunder
dijadikan sebagai data utama.
Data primer diperoleh dengan penelitian langsung ke lapangan untuk memperoleh
data baru dari sumber pertama. Sumber data primer diperoleh dengan cara melalui media
24
massa atau media cetak dan melakukan wawancara dengan akademisi dan praktisi yang
ahli di bidangnya. Data diperoleh dalam bentuk angka atau statistik dan berupa informasi
atau berita. Data primer dijadikan sebagai data pendukung dalam penelitian ini.
Kemudian data sekunder adalah data yang didapatkan tidak secara langsung dan
menjadi data pendukung atau tambahan bagi data primer. Pengumpulan data dilakukan
dengan studi pustaka terhadap data sekunder yang meliputi bahan-bahan hukum, baik
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier dan atau
bahan non hukum.Sumber data sekunder yang digunakan dalam penulisan ini mencakup:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat seperti peraturan perundang-undangan atau putusan
pengadilan yang terdiri dari:
• Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana
• Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana
• Putusan Nomor 484/Pid.B/2012/PN. Jakarta Selatan
b. Bahan hukum sekunder, yaitu semua bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari:
• Buku, Jurnal, dan Karya Ilmiah yang membahas mengenai salah tangkap;
• Buku, jurnal, dan karya ilmiah yang membahas mengenai kasus salah tangkap;
• Buku, jurnal, dan karya ilmiah yang membahas mengenai sistem peradilan
pidana.
c. Bahan hukum tersier, yaitu semua bahan hukum yang memberikan
petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang
terdiri dari:
25
• Kamus umum;
•Kamus khusus bidang hukum; dan
• Ensiklopedia yang relevan.
d. Bahan non hukum, yaitu bahan yang tidak mengandung unsur-unsur
hukum tetapi dapat menjadi bahan pendukung untuk mengkaji penelitian yang
sedang dijalankan.
D. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan tatap muka dan tanya jawab secara langsung
dengan sumber informan yang telah ditentukan untuk mendapatkan data dan informasi
secara langsung. Data ini kemudian dikumpulkan dan diklasifikasikan sesuai dengan
topik tulisan yang relevan untuk kemudian dilakukan pengolahan selanjutnya. Untuk data
sekunder pengumpulan data dilakukan dari sumber-sumber bacaan pustaka yang
diperoleh dari berbagai tempat yang telah ditentukan berupa buku, jurnal, makalah, karya
ilmiah, internet, artikel surat kabar, dan sumber-sumber lain yang relevan dengan topik
tulisan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi terhadap sumber-sumber data
yang telah ditentukan. Peninjauan dilakukan secara cermat untuk mendapat informasi dan
data sebanyak mungkin yang berhubungan dengan topik tulisan dan yang memiliki kaitan
secara langsung maupun tidak langsung namun tetap relevan untuk diambil.
E. Metode Analisis Data
26
Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif yang akan mencoba memahami
fenomena atau gejala yang dilihat sebagaimana adanya. Data yang diperoleh akan dipilih
dan disusun secara sistematis untuk kemudian dianalisis. Data yang terkumpul diteliti dan
dianalisa dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu pola berpikir yang
didasarkan pada suatu fakta yang bersifat umum, kemudian ditarik kesimpulan yang
bersifat khusus untuk mencapai kejelasan permasalahan yang dibahas. Analisis dengan
metode deduktif dimulai dengan melakukan serangkaian observasi khusus, yang
kemudian akan memunculkan tema-tema atau kategori-kategori serta pola-pola hubungan
di antara tema atau kategori yang telah dibuatnya.
Dalam proses pengumpulan dan analisis data dimungkinkan terjadi secara
simultan, sesuai dengan konsep maju bertahap. Artinya, dalam sebuah penelitian
kualitatif pengumpulan data dan analisis data dapat dilakukan secara bersamaan, dengan
cara saat pengumpulan data dilakukan, saat itu pula dilakukan analisis data dan reduksi
data, sehingga peneliti dapat melacak data berikut yang diharapkan .
Hasil akhir dari sebuah penelitian adalah simpulan yang diambil dari
permasalahan, metode dan analisis data yang telah dilakukan selama proses penelitian.
Simpulan adalah tahapan akhir dari sebuah penelitian yang diharapkan dapat
membuktikan atau menerangkan dari permasalahan yang diangkat dalam penelitian.
Dengan kata lain, simpulan menjadi semacam jawaban atas pertanyaan yang diajukan
dalam permasalahan setelah dibuktikan secara ilmiah melalui proses penelitian.
Penelitian kualitatif tidak bermaksud untuk melakukan generalisasi atas kasus
yang diteliti. Simpulan analisis lebih bersifat subjektif. Mengingat sifatnya yang subjektif
individual, maka sebenarnya penelitian kualitatif tidak berusaha untuk menyimpulkan
27
atas kasus yang ditelitinya. Hanya saja terkadang administrasi portofolio laporan
penelitian membutuhkan bab yang berisi simpulan hasil penelitian, dan jika itu
diharuskan maka sebenarnya simpulan yang dibuat bukan simpulan sebagaimana dalam
penelitian kuantitatif yang dimaksudkan untuk generalisasi, namun sekedar sebuah
simpulan atas kasus subjektif yang diteliti.
Karena simpulan dalam penelitian kualitatif tidak bersifat generalisasi maka
simpulan yang dibuat berupa paparan induktif dari hasil proses penelitian tanpa
menambah unsur yang bersifat mengeneralkan karena sifat penelitiannya yang subjektif.
Simpulan berupa ringkasan yang menerangkan yang dihasilkan dari proses penelitian
yang hanya berlaku bagi subjek penelitian dan ruang lingkup penelitian ini saja dan tidak
berusaha untuk membuatnya menjadi general terhadap simpulan yang dihasilkan
9. JADWAL WAKTU PELAKSANAAN PENELITIAN
Jadwal penelitian yang direncanakan adalah sebagai berikut:
a. Persiapan : 15 hari
b. Pengumpulan Data : 15 hari
c. Pengolahan Data : 25 hari
d. Analisis Data : 20 hari
e. Penyusunan Laporan Sementara : 15 hari
f. Perbaikan dan perbanyak laporan : 10 hari +
28
Jumlah : 100 hari
10. DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
A. Buku
Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus KUHP Buku II, (Jakarta: Sinar Grafika, 1980).
Arief, Barda Nawawi, Hukum Pidana Lanjut, (Semarang: Badan Penyediaan Bahan
Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2009).
Farid, Andi Zainal Abidin, Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung:
Alumni, 1987).
Idrus, Muhammad, Metode Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial. (Yogyakarta:UII Press, 2007).
Lamintang, P.A.F.,Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1997).
29
Marpaung, Leden,Asas, Teori, Praktik Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005).
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
1999).
Moeljatno,Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000).
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995).
P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap
Kekayaan Edisi Kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009).
Prodjomidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia I, (Jakarta:
Pradnya Pramita, 1995).
Prodjodikoro, Wirdjono,Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia,(Bandung: Refika
Aditama, 2003).
Rahardjo,Satjipto, Ilmu Hukum, (Semarang: PT Citra Karya Bakti, 2006).
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press,1986)
Soemitro, Ronny Hanitijo,Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1998).
Soetami, Siti,Pengantar Tata Hukum Indonesia,(Bandung: PT. Refika Aditama, 2005).
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto, 1990).
30
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung : Alfabeta,1999).
Widyadharma, Ignatius Ridwan, Hukum Acara Pidana, (Semarang: Mimbar, 2000).
B. Kamus
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) offline versi 1.3
Syarif Yana. Kebijakan Formulasi Asas-asas Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia, (Tesis, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2011), halaman 20.
C. Peraturan Perundang-undangan dan Putusan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana
Putusan Nomor 484/Pid.B/2012/PN. Jakarta Selatan
D. Berita dan Laman
www.entertaiment.kompas.com.
www.hukumonline.com.
31