Aspek Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Program Kb

Embed Size (px)

Citation preview

AKADEMI KEPERAWATAN DHARMA HUSADA PEKANBARU

Aspek Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Program KBMakalah SosiologiDisusun Oleh:

2011

[TYPE

THE COMPANY ADDRESS]

KATA PENGANTARRasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas Aspek Sosial Budaya Yang Mempengaruhi Program KB , suatu permasalahan yang selalu dialami bagi masyarakat dalam program KB. Arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya kami sampaikan : Ibu Asmawati, SOS, selaku dosen mata kuliah Sosiologi Rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam pemahaman masalah aspek social budaya yang mempengaruhi program KB dan sekaligus melakukan apa yang menjadi tugas mengikuti mata kuliah Sosiologi Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat. mahasiswa yang

Pekanbaru, Mei 2011 Tim Penyusun

2

ASPEK SOSIAL BUDAYA YANG MEMPENGARUHI PROGRAM KB

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin berkembang, pertumbuhan penduduk yang sangat padat pun menjadi pemicunya. Pertumbuhan penduduk dan tingkat kelahiran bayi yang sangat besar mengakibatkan kedapatan penduduk yang dapat menimbulkan banyak dampak negatif. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengadakan salah satu program, yaitu Keluarga Berencana (KB). Program ini diadakan pemerintah untuk membatasi angka kelahiran. Kebanyakan dari masyarakat belum mengetahui pentingnya program KB. Mereka menganggap bahwa anak adalah sumber rezeki, sehingga bagi mereka banyak anak maka akan banyak rezeki pula. Tapi, pada akhir-akhir ini masyarakat sudah mulai mengenal program tersebut. Hal tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya. 1.2 Tujuan Makalah ini disusun untuk : - Menyelesaikan salah satu tugas - Agar mahasiswa lebih mengetahui aspek social budaya yang mempengruhi tentang KB - Sebagai media pembelajaran BAB II MASALAH Kepadatan penduduk merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat. Sekarang ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai kepadatan penduduk yang terbesar. Bagaimana cara pemerintah untuk mengurangi kepadatan penduduk tersebut? siapa yang harus bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat yang belum tepenuhi tersebut ? apakah program Keluarga Berencana (KB) mampu untuk mengatasi masalah itu ? Masalah-masalah tersebut yang akan dibahas dalam makalah ini. Seiring dengan program yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut, tidak sedikit faktor-faktor yang mempengaruhi program tersebut, mulai dari faktor sosial maupun faktor budaya ? apa saja faktor-faktor tersebut.

BAB III PEMBAHASAN 3.1 Faktor- Sosial Budaya Kependudukan 1. Pengertian Penduduk Penduduk suatu negara atau daerah bisa didefinisikan menjadi dua: - Orang yang tinggal di daerah tersebut - Orang yang secara hukum berhak tinggal di daerah tersebut. Dengan kata lain orang yang mempunyai surat resmi untuk tinggal di situ. Misalkan bukti warganegara , tetapi memilih tinggal di daerah lain. Dalam sosiologi , penduduk adalah kumpulan manusia yang menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Demografi adalah ilmu yang mempelajari kependudukan. Berbagai aspek perilaku menusia dipelajari dalam sosiologi , ekonomi , dan geografi . Demografi banyak digunakan dalam pemasaran , yang berhubungan erat dengan unit-unit ekonomi, seperti pengecer hingga pelanggan potensial. Kepadatan penduduk Kepadatan penduduk dihitung dengan membagi jumlah penduduk dengan luas area dimana mereka tinggal. Beberapa pengamat masyarakat percaya bahwa konsep kapasitas muat juga berlaku pada penduduk bumi, yakni

3

bahwa penduduk yang tak terkontrol dapat menyebabkan katastrofi Malthus . Beberapa menyangkal pendapat ini. Negara-negara kecil biasanya memiliki kepadatan penduduk tertinggi, di antaranya: Monako , Singapura , Vatikan , dan Malta . Di antara negara besar yang memiliki kepadatan penduduk tinggi adalah Jepang dan Bangladesh . Piramida penduduk Distribusi usia dan jenis kelamin penduduk dalam negara atau wilayah tertentu dapat digambarkan dengan suatu piramida penduduk. Grafik ini berbentuk segitiga, dimana jumlah penduduk pada Sistem koordinat kartesius, sedang kelompok usia (cohort) pada Sistem koordinat kartesius. Penduduk lak-laki ditunjukkan pada bagian kiri sumbu vertikal, sedang penduduk perempuan di bagian kanan. Piramida penduduk menggambarkan perkembangan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Negara atau daerah dengan angka kematian bayi yang rendah dan memiliki usia harapan hidup tinggi, bentuk piramida penduduknya hampir menyerupai kotak, karena mayoritas penduduknya hidup hingga usia tua. Sebaliknya yang memiliki angka kematian bayi tinggi dan usia harapan hidup rendah, piramida penduduknya berbentuk menyerupai genta (lebar di tengah), yang menggambarkan tingginya angka kematian bayi dan tingginya resiko kematian. Pengendalian jumlah penduduk Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran. Dokumen dari Yunani Kuno telah membuktikan adanya upaya pengendalian jumlah penduduk sejak jaman dahulu kala. Salah satu contoh pengendalian penduduk yang dipaksakan terjadi di Republik Rakyat Tiongkok yang terkenal dengan kebijakannya 'satu anak cukup'; kebijakan ini diduga banyak menyebabkan terjadinya aksi pembunuhan bayi, pengguguran kandungan yang dipaksakan, serta sterilisasi wajib. Indonesia juga menerapkan pengendalian penduduk, yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), meski program ini cenderung bersifat persuasif ketimbang dipaksakan. Program ini dinilai berhasil menekan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia. Ledakan penduduk Buku berjudul The Population Bomb (Ledakan Penduduk) pada tahun 1968 oleh Paul R. Ehrlich meramalkan adanya bencana kemanusiaan akibat terlalu banyaknya penduduk dan ledakan penduduk. Karya tersebut menggunakan argumen yang sama seperti yang dikemukakan Thomas Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798), bahwa laju pertumbuhan penduduk mengikuti pertumbuhan eksponensial dan akan melampaui suplai makanan yang akan mengakibatkan kelaparan . 2. Masalah Sosial Budaya Kependudukan Permasalahan pembangunan kependudukan yang perlu mendapat perhatian adalah jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang masih relatif tinggi dan persebarannya yang tidak merata, dan kualitasnya masih relatif rendah. Dewasa ini kualitas penduduk Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya seperti Malaysia dan Thailand. Berdasarkan Human Development Report 2001, Indonesia menempati urutan ke 102, sedangkan Malaysia dan Thailand masing-masing menempati urutan ke 56 dan ke 66. Kualitas penduduk tersebut juga tergambar dari angka harapan hidup waktu melahirkan (AHH) penduduk Indonesia yang relatif rendah yaitu 65,5 tahun (Inkesra, 1999), sedangkan Malaysia dan Thailand tercatat masing-masing 72,0 tahun dan 68,8 tahun. Rendahnya angka harapan hidup tersebut erat kaitannya dengan masih tingginya angka kematian bayi dan angka kematian ibu melahirkan. Dalam dimensi kuantitas, jumlah penduduk Indonesia relatif telah dapat dikendalikan pertumbuhannya menjadi 1,35 persen per tahun pada periode 1990-2000 sehingga jumlah penduduk pada Sensus 2000 diperkirakan mencapai 203,4 juta orang, terdiri dari 101,8 juta perempuan dan 101,6 juta laki-laki. Namun demikian, mengingat jumlah penduduk Indonesia saat ini masih besar secara absolut, maka pertambahan jumlah penduduk setiap tahunnya juga masih besar. Salah satu penyebab masih cukup tingginya laju pertumbuhan penduduk adalah masih relatif tingginya angka kelahiran total (TFR). Angka kelahiran total (TFR) Indonesia pada tahun 2000 diperkirakan 2,5 per perempuan, dan cukup bervariasi baik antardaerah maupun antarpropinsi. 3.2 Pemberdayaan Keluarga dan Keluarga Berencana Permasalahan lain dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga terutama yang tergolong PraKeluarga Sejahtera (Pra-KS) dan Sejahtera I (KS I), belum berdaya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan kesehatan termasuk keluarga berencana (KB). Pada tahun 2000, jumlah keluarga Pra-KS dan KS I, yaitu keluarga yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya masih sekitar 24,6 juta keluarga. Sementara itu, aspek kesehatan reproduksi remaja yang merupakan salah satu tiang dalam pewujudan keluarga kecil yang berkualitas juga masih tertinggal. Survai Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 menunjukkan meskipun median usia kawin pertama secara nasional adalah 18,6 tahun, median usia kawin pertama di perdesaan masih relatif muda yaitu 17,9 tahun. Sebagian masyarakat dan keluarga termasuk orang tua dan remaja sendiri juga belum sepenuhnya mempersiapkan anggota keluarga yang berusia remaja dalam kehidupan berkeluarga dan perilaku reproduksi yang bertanggung jawab. Banyak remaja yang masih kurang memahami atau mempunyai pandangan yang tidak tepat tentang masalah kesehatan reproduksi. Pemahaman yang tidak benar tentang hak-hak

4

dan kesehatan reproduksi ini menyebabkan banyak remaja yang berperilaku menyimpang tanpa menyadari akibatnya terhadap kesehatan reproduksi mereka. Selain itu, pusat atau lembaga advokasi dan konseling hak-hak dan kesehatan reproduksi bagi remaja juga masih terbatas jangkauannya dan belum memuaskan mutunya. Pendidikan kesehatan reproduksi remaja melalui jalur sekolah nampaknya juga belum sepenuhnya berhasil. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi merupakan salah satu beban dalam pembangunan sosial dan budaya. Tingkat kelahiran yang relatif tinggi ini mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi dan jumlah anggota keluarga yang relatif besar. Tingginya angka kelahiran dewasa ini berkaitan dengan penyelenggaraan program Keluarga Berencana (KB) yang belum sepenuhnya berkualitas dalam memenuhi hak-hak dan kesehatan reproduksi masyarakat. Pendekatan program KB yang telah diarahkan pada pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi, dalam pelaksanaannya masih dijumpai beberapa pelayanan KB yang mencerminkan pendekatan pemenuhan target akseptor. Pendekatan target akseptor mengakibatkan proses dan kualitas penyampaian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE), serta pelayanan KB lebih ditujukan untuk mencapai target akseptor KB melebihi perhatian terhadap kecocokan cara KB dan kepuasan akseptor KB. Kualitas program KB yang belum sepenuhnya memuaskan klien mengakibatkan pemenuhan hak-hak dan kesehatan reproduksi termasuk KB yang merupakan dasar terwujudnya keluarga kecil yang bahagia dan sejahtera belum dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat dan keluarga. Hal ini diungkapkan oleh data SDKI 1997 yang menunjukkan bahwa baru 57,4 persen pasangan usia subur (PUS) yang ingin ber-KB dapat terpenuhi permintaannya, dan sekitar 9,21 persen PUS yang sebenarnya tidak ingin anak atau menunda kehamilannya, tidak memakai kontrasepsi (unmet need). Permasalahan lainnya dalam program KB adalah partisipasi laki-laki dalam ber-KB yang masih sangat rendah yaitu sekitar 3 persen (SDKI 1997). Hal ini selain dikarenakan keterbatasan macam dan jenis alat kontrasepsi laki-laki, antara lain juga disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan laki-laki di bidang hak-hak dan kesehatan reproduksi. Kelembagaan dan jaringan pelayanan KB juga belum sepenuhnya berkualitas dan mampu menjangkau seluruh wilayah Indonesia. Hal ini antara lain disebabkan oleh keterbatasan kemampuan sumber daya program KB. Peran masyarakat dan pihak di luar Pemerintah juga masih sangat terbatas, walaupun tokoh agama, organisasi profesi dan Lembaga Swadaya dan Organisasi Masyarakat (LSOM) terbukti sangat mempengaruhi keberhasilan program KB di beberapa daerah. Pada tahun 1998/99 jumlah lembaga pelayanan KB non-pemerintah masih relatif rendah yaitu berkisar 44.550 yang melayani sekitar 65 persen PUS peserta KB Aktif. Sementara itu, kemitraan pemerintah dengan masyarakat terutama PUS dan sektor di luar pemerintah dalam penyelenggaraan KB dan kesehatan reproduksi belum sepenuhnya dapat diwujudkan. 3.3 Penerapan Program Keluarga Berencana Keluarga yang sehat sejahtera dan berkualitas akan terwujud jika angka kelahiran dapat diatur melalui program KB. Banyak yang diharapkan dari adanya gerakan ini, tetapi tampaknya banyak pula kendala yang dihadapi oleh para pelaksana di lapangan. Salah satu kendala itu muncul dari lembaga di daerah yang mengurus soal KB ini di lebur entah ke unit-unit lain yang mengakibatkan program kegiatannya pun menjadi tidak jelas. Belum lagi soal dana. Banyak hal yang telah dilakukan pemerintah dalam menumbuhkan kembali kesadaran masyarakat untuk ber-KB. Sejalan denga era otonomi, hubungan pemerintah pusat dan daerah terjalin berdasarkan prinsip desentralisasi termasuk mekanisme pelayanan program KB di lapangan. Tetapi, konsekuensinya adalah adanya perubahan kebijakan dan sistem manajemen sesuai kenyataan di lapangan. Salah satu dampaknya, adalah menurunnya kemampuan daerah menyelenggarakan pelayanan KB secara langsung. Tetapi yang pasti, katanya, lembaga pemerintah yang mengelola KB di daerah perlu didukung dengan kebijakan yang terintegrasi. dengan mendayagunakan sumber daya manusia yang ada di daerah setempat. Karena itu, tidak salah bila memang kemudian BKKBN menggandeng PKK yang selama ini pun dikenal sebagai ujung tombak bagi pelaksanaan peningkatan kesejahteraan keluarga. Bahkan selama ini pun PKK juga dikenal sebagai gerakan yang mempunyai tugas utama adalah berupaya memberdayaan kesejahteraan keluarga di semua aspek kehidupan, seperti di bidang ekonomi, sosial budaya dan lingkungan hidup. Langkah yang diinginkan sebenarnya bukan sekadar mensejahterakan keluarga, tetapi justru juga ingin membuat manusia-manusia di dalam keluarga itu menjadi lebih berkualitas. "Jadikanlah keluarga kita berkualitas," tegasnya. Pembinaan keluarga berkualitas harus dimulai sejak dini, sejak anak di dalam kandungan. Berilah anak-anak itu makanan bergizi, jangan sampai mereka terlantas. "Berilah makanan yang bergizi bagi pertumbuhan otak anak-anak. Otak ini akan tumbuh hingga anak berusia 5-7 tahun. Dalam jangka waktu itu sebaiknya diberikan pasokan gizi yang baik pula," ujarnya. Yang menjadi salah satu fungsi utama BKKBN adalah mengupayakan pelayanan di bidang kesehatan kepada masyarakat terutama dalam memperkecil petumbuhan penduduk dan keluarga sehat. Untuk menjalankan misi yang diemban BKKBN itu, maka keikutsertaan PKK mempunyai peran penting. Sebab PKK sudah lama eksis di seluruh aspek kehidupan bahkan di tingkat pemerintahan sudah berada dari tingkat pusat sampai ke desa-desa. Dalam kondisi seperti ini diharapkan PKK menjadi jembatan kepentingan pemerintah dan masyarakat dengan tujuan akhir meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga. Karena itu, implementasi menciptakan keluarga sehat dan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dalam membina generasi dan keluarga yang berkualitas di masa depan dibebankan kepada PKK. Untuk itu, PKK di semua tingkatan dapat memberikan peran aktif yang tidak terbatas hanya dalam pelaksanaan Harganas, tetapi harus dilakukan secara rutin dan terus-menerus.

5

Sampai kini belum ada rencana untuk menambah jumlah target akseptor itu, yang pasti para peserta yang sudah ada akan tetap dipelihara sambil mencari peserta baru. Langkah dilakukan ini dirasakan cukup kondusif, dalam menyadarkan keluarga tentang pentingnya KB. Kebijakan Departemen Dalam Negeri seperti tertuang dalam Permendagri No 44 tahun 2005 tentang Rencana Strategis Departemen Dalam Negeri tahun 2005-2009, diarahkan kepada upaya memperkuat dasar sistem politik dan pemerintahan khususnya di daerah, menjaga dan memperkokoh NKRI dan meningkatkan kapasitas pembangunan daerah dan pemberdataan masyarakat. Untuk itu, fokus dalam pemberdayaan masyarakat memerlukan perhatian dalam pembinaan sampai ke tingkat daerah dengan aspek utama pada pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan lingkungan. Peringatan Harganas yang jatuh setiap tanggal 29 Juni, pada dasarnya sebagai bukti nyata untuk lebih meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga dalam seluruh aspek kehidupan. Pemberdayaan masyarakat harus dimulai dari keluarga. Keluarga merupakan unit sosial terkecil dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan pemberdayaan keluarga tentu saja harus menyentuh setiap individu dalam keluarga itu. Artinya, semua lembaga, individu, baik pemerintah maupun swasta berkewajiban mengemban tanggungjawab untuk memberdayakan keluarga. Sedangkan menurut Dirjen PMD, pemerintah sendiri telah melakukan berbagai upaya pemberdataan masyarakat, antara lain melalui program PNPM sebagai upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan derajat kesehatan, termasuk perilaku hidup bersih dan sehat, pengaturan kelahiran melalui program KB, pemenuhan hak-hak dasar bagi anak. Upaya tesebut diharapkan dapat memberdayakan masyarakat Indonesia baik kedudukan di dalam kelompok maupun keluarga sebagai pribadi. Program ini, selain merangsang tumbuh semakin erat PKK dan KB, maka akan mendorong juga semakin hidup Posyandu. Kontribusi Menggerakan partisipasi masyarakat dalam melaksanakan program KB yang akhir-akhir ini dirasakan menurun. Sebenarnya keberhasilan program KB dalam memberikan kontribusi terhadap laju pengendalian pertumbuhan penduduk dan peningkatan kualitas penduduk selama ini, perlu dipertahankan dengan mengacu pada prinsip otonomi dan desentralisasi. Untuk itu salah satu langkah yang perlu dimantapkan adalah penataan kembali lembaga yang menangani Program KB di daerah, terutama setelah sebagian kewenangan pemerintah di bidang ini dilimpahkan ke pemerintah kabupaten/kota. Tekad pemerintah dalam mensukseskan program KB ini begitu kental, terutama menggunakan Harganas sebagai langkah menggerakan kembali kesadaran mensejahterakan keluarga. Kerja keras BKKBN ini sebenarnya sudah tertuang di dalam strategi besar yaitu menggerakan dan memberdayakan seluruh masyarakat dalam program KB, menata kembali pengelolaan program KB, memperkuat sumber daya manusia, meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan keluarga dan meningkatkan pembiayaan program KB. Suksesnya penataan lembaga bersama sumber daya manusia-nya, diharapkan menjadi penentu keberhasilan program KB di daerah. Salah satu yang konkrit adalah soal Pos KB, diharapkan Pos KB ini jangan sampai hilang begitu saja. Banyak kegiatan yang bisa dilayani di tempat-tempat seperti itu. "Tetapi memang yang penting penataan lembaga-lembaga yang lebih besar yang ada di daerah. BAB IV KESIMPULAN Permasalahan dalam pembangunan sosial dan budaya adalah sebagian keluarga terutama yang tergolong Pra-Keluarga Sejahtera (Pra-KS) dan SejahteraI (KS I), belum berdaya dalam memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pendidikan dan kesehatan termasuk keluarga berencana (KB). Pengendalian penduduk adalah kegiatan membatasi pertumbuhan penduduk, umumnya dengan mengurangi jumlah kelahiran Indonesia menerapkan program pengendalian penduduk, yang dikenal dengan program Keluarga Berencana (KB), meski program ini cenderung bersifat persuasif ketimbang dipaksakan. Program ini dinilai berhasil menekan tingkat pertumbuhan penduduk Indonesia.

BAB V PENUTUP Demikian makalah ini kami susun untuk memenuhi salah satu tugas sosiologi tentang Aspek Sosial Budaya Dalam Program KB. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penyusun sendiri dan masyarakat pada umumnya.

6

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai banyak kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi memperbaiki makalah ini

DAFTAR PUSTAKA http//: www. google.co.id/ Aspek Sosial Budaya Dalam Program KB. http//: www. google.co.id/ Faktor Sosial Budaya Yang Mempengaruhi KB. Anderson. 1986. Antropologi Kesehatan Sosial Budaya Dasar. Universitas Indonesia, Jakarta. Kuncoroningrat dan AA. Loedin. Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Pembangunan Kesehatan. Gramedia, Jakarta. Kuncoroningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Gramedia. Jakarta.

7