13
ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA PASIEN SIROSIS HATI DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M. DJAMIL PADANG PERIODE OKTOBER 2011 JANUARI 2012 Oleh : Ira Oktaviani Rz*) Korespondensi : [email protected] Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip farmakokinetik pada keamanan dan manajemen terapi obat yang efektif pada seorang pasien. Pada prinsipnya penerapan farmakokinetika klinik bertujuan untuk meningkatkan efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas obat pada pasien. Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Pada sirosis hati, dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati.Penelitian ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal interne RSUP. DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober 2011Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi masalahmasalah aspek farmakokinetik yang ditemukan terkait dengan pengunaan obat-obat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu aspek kesesuaian dosis, efek samping yang merugikan, efek toksik dan interaksi. Untuk penyesuaian dosis individual dilakukan berdasarkan data nilai child pugh. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini diperoleh data pasien menerima 4 jenis obat yang dapat memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih relatif aman. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C (keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B (keadaan hati sedang), sedangkan pada kelas A (keadaan hati ringan) tidak ditemukan. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar 60% dengan jumlah obat mulai dari 9 14 jenis obat yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan dapat memperparah fungsi hati. PENDAHULUAN Farmakokinetik adalah studi yang menghubungkan antara regimen dosis dan perubahan konsentrasi obat di dalam tubuh setiap waktunya. Tipe konsentrasi diukur di dalam darah, serum atau plasma, dan antara konsentrasi-waktu dideskripsikan dalam bentuk persamaan. Pengetahuan mengenai hubungan antara kosentrasi obat di dalam darah dengan respon klinik atau farmakodinamik, berikut efek terapetik dan efek toksik, diukur dengan menggunakan profil konsentrasi-waktu yang juga dapat menggambarkan respon optimal dan resiko minimum toksisitas. Pasien dengan parameter farmakokinetik yang berubah, regimen dosis dari pasien harus diubah pula, untuk menjamin profil konsentrasi-waktu yang optimal. (North & Lewis, 2008). Di dalam bidang farmasi klinis, farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan yang cukup penting, yaitu (Santoso, 1985): a. Untuk memilih rute pemberian obat yang paling tepat. Apakah harus secara injeksi intravena, atau bisa dengan rute lain seperti secara oral, rektal dan lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai ketersediaan biologis obat setelah pemberian dalam berbagai rute pemberian, dan dengan mempertimbangkan profil kinetika obat yang dihasilkan oleh berbagai rute pemberian tersebut. b. Dengan cara pertimbangan farmakokinetika dapat dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap individu (dosage regimen individualisation). Sampai saat ini prinsip farmakokinetika termasuk cara yang paling tepat untuk pengindividualisasian dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah kerja terapeutik sempit seperti teofilin, dan lain- lain. c. Data farmakokinetika suatu obat diperlukan dalam penyusunan aturan dosis yang rasional. d. Dapat membantu menerangkan mekanisme interaksi obat, baik antara obat dengan obat maupun antara obat dengan makanan. Organ hati memegang peranan penting sebagai organ yang berfungsi sebagai eliminasi dan bertanggung jawab terhadap metabolisme beberapa bagian besar golongan obat. Pada penyakit gangguan fungsi hati, kemampuan organ tersebut untuk memetabolisme obat juga akan terganggu. Struktur atau fungsinya yang abnormal akan mempengaruhi kemampuan dari hati untuk menangani efektifitas obat (Barber, Nick, Alan, 2006).

Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

  • Upload
    viwivia

  • View
    221

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

ASPEK FARMAKOKINETIKA KLINIK OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN PADA

PASIEN SIROSIS HATI

DI BANGSAL INTERNE RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

PERIODE OKTOBER 2011 – JANUARI 2012

Oleh : Ira Oktaviani Rz*)

Korespondensi : [email protected]

Farmakokinetika klinik adalah penerapan prinsip farmakokinetik pada keamanan dan manajemen terapi obat yang

efektif pada seorang pasien. Pada prinsipnya penerapan farmakokinetika klinik bertujuan untuk meningkatkan

efektivitas terapi atau menurunkan efek samping dan toksisitas obat pada pasien. Sirosis hepatis adalah penyakit

yang ditandai oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,

degenerasi, dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam susunan parenkim hati. Pada sirosis hati,

dapat terjadi akumulasi kadar obat di dalam plasma terutama yang dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen

dosis obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati.Penelitian

ini dilakukan pada pasien rawat inap di bangsal interne RSUP. DR. M. DJAMIL Padang selama 4 bulan (Oktober

2011–Januari 2012). Jenis data yang diambil meliputi masalah–masalah aspek farmakokinetik yang ditemukan

terkait dengan pengunaan obat-obat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu aspek kesesuaian dosis, efek samping

yang merugikan, efek toksik dan interaksi. Untuk penyesuaian dosis individual dilakukan berdasarkan data nilai

child pugh. Data dianalisa secara statistik deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah persentase dan disajikan

dalam bentuk tabulasi dan diagram. Dari penelitian ini diperoleh data pasien menerima 4 jenis obat yang dapat

memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih relatif aman. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai

Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C (keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B (keadaan hati

sedang), sedangkan pada kelas A (keadaan hati ringan) tidak ditemukan. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar

60% dengan jumlah obat mulai dari 9 – 14 jenis obat yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan dapat

memperparah fungsi hati.

PENDAHULUAN

Farmakokinetik adalah studi yang

menghubungkan antara regimen dosis dan perubahan

konsentrasi obat di dalam tubuh setiap waktunya. Tipe

konsentrasi diukur di dalam darah, serum atau plasma,

dan antara konsentrasi-waktu dideskripsikan dalam

bentuk persamaan. Pengetahuan mengenai hubungan

antara kosentrasi obat di dalam darah dengan respon

klinik atau farmakodinamik, berikut efek terapetik dan

efek toksik, diukur dengan menggunakan profil

konsentrasi-waktu yang juga dapat menggambarkan

respon optimal dan resiko minimum toksisitas. Pasien

dengan parameter farmakokinetik yang berubah,

regimen dosis dari pasien harus diubah pula, untuk

menjamin profil konsentrasi-waktu yang optimal.

(North & Lewis, 2008).

Di dalam bidang farmasi klinis,

farmakokinetika memiliki beberapa kegunaan yang

cukup penting, yaitu (Santoso, 1985):

a. Untuk memilih rute pemberian obat yang paling

tepat. Apakah harus secara injeksi intravena, atau

bisa dengan rute lain seperti secara oral, rektal dan

lain-lain. Ini dapat dilakukan dengan menilai

ketersediaan biologis obat setelah pemberian

dalam berbagai rute pemberian, dan dengan

mempertimbangkan profil kinetika obat yang

dihasilkan oleh berbagai rute pemberian tersebut.

b. Dengan cara pertimbangan farmakokinetika dapat

dihitung aturan dosis yang tepat untuk setiap

individu (dosage regimen individualisation).

Sampai saat ini prinsip farmakokinetika termasuk

cara yang paling tepat untuk pengindividualisasian

dosis, khususnya untuk obat-obat dengan daerah

kerja terapeutik sempit seperti teofilin, dan lain-

lain.

c. Data farmakokinetika suatu obat diperlukan dalam

penyusunan aturan dosis yang rasional.

d. Dapat membantu menerangkan mekanisme

interaksi obat, baik antara obat dengan obat

maupun antara obat dengan makanan.

Organ hati memegang peranan penting

sebagai organ yang berfungsi sebagai eliminasi dan

bertanggung jawab terhadap metabolisme beberapa

bagian besar golongan obat. Pada penyakit gangguan

fungsi hati, kemampuan organ tersebut untuk

memetabolisme obat juga akan terganggu. Struktur atau

fungsinya yang abnormal akan mempengaruhi

kemampuan dari hati untuk menangani efektifitas obat

(Barber, Nick, Alan, 2006).

Page 2: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

Untuk obat yang metabolisme utamanya melalui hati,

farmakokinetika harus diperhitungkan pada pasien

dengan gangguan fungsi hati (seperti : hepatitis atau

sirosis). Ketika meresepkan obat yang eliminasi utama

melalui hati pada pasien dengan gangguan fungsi hati,

adalah sangat mungkin untuk melakukan penurunan

dosis pemeliharaan dari dosis normal. Menurunkan

dosis normal dan memperpanjang interval dosis, atau

memodifikasi keduanya. Metoda aktual yang digunakan

untuk menurunkan dosis pada pasien dengan gangguan

fungsi hati dan normal adalah dengan membandingkan

beberapa rute pemberian obat dengan beberapa bentuk

sediaan (Bauer, 2008).

Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai

oleh adanya peradangan difus dan menahun pada hati,

diikuti dengan proliferasi jaringan ikat, degenerasi, dan

regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan

dalam susunan parenkim hati. Sirosis hepatis juga

merupakan penyakit hati kronis yang tidak diketahui

penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa

penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit

hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati. Kondisi

ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan

regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang

dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat.

Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah

disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan

terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya

menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini

biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan

terasa nyeri bila ditekan (Husnul, 2008).

Di Indonesia, data prevalensi sirosis hati

belum ada, hanya laporan-laporan dari beberapa pusat

pendidikan saja, seperti di RS DR.Sarjito Yogyakarta

jumlah pasien sirosis berkisar antara 4,1% dari pasien

yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun

waktu 1 tahun (2004) dan di Medan dalam kurun waktu

4 tahun dijumpai pasien dengan sirosis hati sebanyak

819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit

Dalam. (Sudoyo, 2007). Di bangsal interne RSUP. DR.

M. Djamil Padang, tercatat jumlah pasien dengan sirosis

hati (tidak spesifik) di temukan data sebesar 220 pasien

yang dirawat selama 2009 dan 317 pasien yang dirawat

selama tahun 2010 (tidak dipublikasikan).

Pada sirosis hati, dapat terjadi akumulasi

kadar obat di dalam plasma terutama yang

dimetabolisme di hati, konsekuensinya regimen dosis

obat tertentu harus disesuaikan berdasarkan laju

metabolisme pasien dengan gangguan fungsi hati. Oleh

karenanya perlu dilakukan penelitian Aspek

Farmakokinetik Klinik Obat-Obat yang digunakan

pada pasien sirosis hati yang berada di bangsal interne

RSUP. Dr. M. Djamil Padang untuk dapat

meminimalkan toksisitas dan mengoptimalkan kualitas

hidup pasien.

Farmasis, sebagai salah satu profesional

kesehatan, perlu mengetahui pengaruh penyakit hati

pada farmakokinetika dan perlakuan terhadap obat,

untuk memastikan bahwa obat diresepkan dengan tepat

dengan resiko reaksi obat merugikan dan toksisitas

diminimalkan. Farmasis juga diharuskan mengerti dan

mengetahui perubahan data laboratorium untuk menilai

perubahan keadaan klinik yang signifikan dari pasien

dengan gangguan fungsi hati (Barber, Nick, Alan,

2006; Aslam, et al, 2004).

METODOLOGI

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan kurang lebih selama 4

bulan (Oktober 2011 sampai Januari 2012) di bangsal

interne RSUP. DR. M. Djamil Padang.

Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

data observasi prospektif yang dilengkapi dengan

wawancara langsung terhadap pasien dan keluarga

pasien yang dirawat di bangsal interne RSUP. DR. M.

Djamil Padang.

Jenis Data 1) Data Kuantitatif

Meliputi persentase penggunaan obat-obat yang

dapat memperburuk fungsi hati di bangsal interne

RSUP. DR. M. Djamil Padang.

2) Data Kualitatif

Meliputi masalah–masalah aspek farmakokinetik

yang ditemukan terkait dengan pengunaan obat-

obat yang dapat memperburuk fungsi hati yaitu

aspek kesesuaian dosis, efek samping yang

merugikan, efek toksik dan interaksi yang terjadi

yang bermakna klinik.

Pengambilan Data

Data yang diambil adalah data reka medik

pasien dan observasi langsung kepada pasien atau

keluarga pasien yang dirawat inap di bangsal interne

RSUP. DR. M. Djamil Padang. Kemudian obat yang

digunakan dicatat pada formulur yang tersedia. Adapun

data yang dibutuhkan pada reka medik antara lain:

nama pasien, jenis kelamin, umur, obat yang digunakan,

kadar SGPT, kadar SGOT, waktu protombin, kadar

albumin darah, kadar bilirubin total, asites, ensefalopati

hepatika dan data-data lain yang diperlukan.

Analisa Data

Evaluasi gejala klinis pada pasien yang terlihat

dengan peningkatan intensitas efek samping atau efek

toksik akibat interaksi obat maupun menurunnya

metabolisme karena sirosis hati. Data dianalisis secara

deskriptif serta dilakukan perhitungan jumlah

persentase dan disajikan dalam bentuk tabulasi dan

diagram

Page 3: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

HASIL

Setelah dilakukan penelitian mengenai aspek

farmakokinetika klinik obat-obat yang digunakan pada

pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M.

Djamil Padang berdasarkan data prospektif pasien yang

dirawat selama bulan Oktober 2011 sampai Januari

2012 terhadap 20 orang pasien diperoleh hasil sebagai

berikut :

1. Dari hasil observasi terhadap sampel

a. Persentase pasien dengan diagnosis sirosis hati

berdasarkan jenis kelamin (n = 20), yaitu pria

55% (11 pasien), wanita 45% (9 pasien)

dengan lama rawatan antara 8 – 39 hari.

b. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan

rentang usia (n=20) yaitu dewasa (17-65 tahun)

80% (16 pasien) dan usia lanjut (>65 tahun) 20

c. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan

kebiasaan hidup (n=20) yaitu dengan riwayat

peminum alkohol sebanyak 20%, pasien

dengan riwayat mengkonsumsi obat-obat

penghilang nyeri sebanyak 25%, pasien dengan

riwayat pekerja keras dengan pola tidur tidak

teratur sebanyak 20%, dan faktor penyebab

lainnya yang tidak diketahui sebanyak 35%.

d. Terapi yang diterima pasien yaitu: Curcuma®,

NTR®, Spironolakton, Sukralfat, Vitamin K,

KSR®(KCl), Kalitake

®(Ca polystyrene

sulfonate), Transamin®(Asam traneksamat),

Ceftriaxon, Lactulax®(Lactulosa),

Ciprofloxacin, Sistenol® (Paracetamol 500mg,

n-acetylcysteine 200 mg), Madopar®(Levodopa

100mg, benserazide HCl 25 mg),

Ascardia®(Asam asetilsalisilat),

Novorapid®(Insulin aspart), Levemir

®(Insulin

detemir), Bisolvon®(Bromheksin HCl),

Ambroksol, Cefotaxim, Deksametason, Liver

Care®, Azytromicin, Ventolin

®(Salbutamol

sulfat),Metilprednison, Dulcolax®(Bisacodyl),

Captopril. Obat yang dimetabolisme terutama

di hati yang diterima pasien yaitu propanolol

pada 7 pasien, lansoprazol pada 4 pasien. Obat

dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin

pada 1 pasien. Obat yang dapat menyebabkan

ensefalopati hepatik yaitu Diuretika furosemid

pada 9 pasien. Data dapat dilihat pada tabel 1.

e. Persentase pasien dengan kriteria nilai Child

Pugh berdasarkan derajat keparahan gangguan

fungsi hati diketahui pengelompokan rentang

skor nilai Child Pugh kelas A (<7 poin), kelas

B (7-9 poin), dan kelas C (10-15 poin) masing-

masing 0%, 5%, dan 95%. Data dapat dilihat

pada tabel 2.

2. Persentase jumlah pengelompokan rentang

skor nilai Child Pugh berdasarkan besar

pengurangan dosis diketahui besar

pengurangan dosis pada nilai skor lebih dari 10

poin adalah 100% yang terjadi pada

lansoprazol.

3. Pasien yang mengalami gejala objektif

hepatotoksik yang meliputi peningkatan kadar

SGOT/SGPT, penurunan serum albumin,

penurunan serum protein total, peningkatan

kadar bilirubin, peningkatan waktu protombin

yaitu persentase pasien yang mengalami

peningkatan kadar SGOT/AST sebanyak 50%,

persentase pasien dengan nilai SGOT/AST

normal sebanyak 25%, dan data tidak lengkap

sebanyak 25%. Persentase pasien yang

mengalami peningkatan kadar SGPT/ALT

sebanyak 30%, pasien dengan nilai SGPT/ALT

normal sebanyak 45%, dan data tidak lengkap

sebanyak 25.Persentase pasien yang

mengalami penurunan serum albumin

sebanyak 50%, pasien dengan nilai serum

albumin normal sebanyak 40%, dan data tidak

lengkap sebanyak 10%. Persentase pasien yang

mengalami penurunan serum protein total

sebanyak 45%, pasien dengan nilai serum

protein total normal sebanyak 35%, dan data

tidak lengkap sebanyak 20%. Persentase

pasien yang mengalami peningkatan kadar

bilirubin sebanyak 25%, pasien dengan nilai

bilirubin normal sebanyak 15%, dan data tidak

lengkap sebanyak 60%. Persentase pasien yang

mengalami peningkatan waktu protombin

sebanyak 25%, pasien yang tidak mengalami

perpanjangan waktu protombin sebanyak 15

%, dan data tidak lengkap sebanyak 60%.

4. Dari gejala subjektif yang dialami pasien,

maka persentase pasien yang mengalami lemah

sebesar 90%, penurunan berat badan sebesar

85%, mual/muntah sebesar 60%, perut tidak

nyaman sebesar 90%, sedikit demam sebesar

65%, dan yang mengalami kebingungan

sebesar 35%.

PEMBAHASAN

Penelitian ini membahas tentang aspek

farmakokinetika klinis obat-obat yang digunakan pada

pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR. M.

Djamil Padang selama empat bulan.

Gambaran Umum Pasien Pengambilan data penelitian secara prospektif

di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang yaitu

pasien sirosis hati. Dari hasil observasi terhadap 20

orang sampel diketahui bahwa jumlah data pasien

sirosis hati berdasarkan jenis kelamin di bangsal interne

RSUP. DR. M. Djamil Padang dari bulan Oktober 2011

hingga bulan Januari 2012 diperoleh persentase data

pasien laki-laki dengan sirosis hati sebesar 55% (11

pasien) dan persentase data pasien perempuan dengan

Page 4: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

sirosis hati sebesar 45% (9 pasien). Banyak faktor yang

mempengaruhi hasil penelitian bahwa pria lebih rentan

menderita gangguan fungsi hati, seperti kebiasaan

kebanyakan pria merokok dan sering mengkonsumsi

alkohol, dimana terlihat pada penelitian ini, faktor

pasien yang masuk dengan riwayat pecandu alkohol

sebanyak 20% dan sebagian besar merupakan perokok

berat, disamping itu berdasarkan wawancara terhadap

pasien, kebanyakan dari pasien pria mengaku memulai

waktu tidur lebih malam, dan beberapa dari mereka

merupakan seorang supir yang terkadang bekerja pada

waktu malam hari. Seperti diketahui proses

detoksifikasi yang dilakukan oleh hati terjadi antara

rentang pukul 11 malam hingga pukul 1 pagi, dimana

proses ini akan berlangsung bila seseorang dalam

keadaan tidur nyenyak. Angka kejadian di Indonesia

menunjukkan penderita sirosis hati lebih banyak

dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan dengan

kaum wanita sekitar 1,6 : 1 dengan umur rata-rata

terbanyak antara golongan umur 30 – 59 tahun dengan

puncaknya sekitar 40 – 49 tahun (Sutadi, 2003).

Pendapat ini juga didukung lagi dengan penelitian yang

dilakukan oleh Sudoyo dan kawan-kawan selama tahun

2006, sirosis hati lebih banyak ditemukan pada pria

dibandingkan kaum wanita dengan rasio perbandingan

2-4 : 1 (Sudoyo, 2007). Pada aspek farmakokinetika

obat terdapat adanya perbedaan berdasarkan jenis

kelamin. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Offie P

dan kawan-kawan menunjukkan adanya perbedaan

metabolisme obat tertentu berdasarkan jenis kelamin

(Soldin, Chung, Mattison, 2011).

Sirosis hati merupakan penyakit yang sering

dijumpai di seluruh dunia termasuk di Indonesia, kasus

ini lebih banyak dijumpai dengan umur rata-rata

terbanyak antara golongan umur 30-59 tahun dengan

puncaknya sekitar 40-49 tahun (Hadi, 2008).

Berdasarkan perbandingan persentase jumlah data

pasien dengan sirosis berdasarkan pengelompokan umur

di bangsal interne RSUP. DR. M. Djamil Padang,

terlihat pasien dengan umur antara 17-65 tahun

sebanyak 80% (16 orang), dan pasien diatas 65 tahun

sebanyak 20% (4 orang). Pada penelitian ini, terdapat

80% pasien dengan rentang umur dewasa yang

mengalaminya, ini mungkin dapat terjadi akibat bahan-

bahan kimia yang meracuni hati, obat-obatan, alkohol

dan gaya hidup orang dewasa yang tidak sehat, seperti

tidur larut malam, pekerja keras, dan kebiasaan

mengkonsumsi minuman penambah energi. Penyakit ini

juga dapat terjadi akibat infeksi virus hepatitis namun

pada penelitian ini berdasarkan hasil wawancara dan

riwayat penyakit terdahulu dari pasien, tidak terdapat

pasien dengan riwayat penyakit akibat infeki virus

ataupun yang telah mengalami penyakit hepatitis. Dari

hasil wawancara yang dilakukan terhadap pasien

dimana sebagian besar pasien merupakan pecandu

alkohol, petani yang bekerja keras, mereka yang suka

meminum obat-obatan penghilang rasa sakit. Dan dari

kebiasaan hidup ini berdasarkan data demografinya

didapatkan bahwa pasien dengan riwayat peminum

alkohol sebanyak 20%, pasien dengan riwayat

mengkonsumsi obat-obat penghilang rasa nyeri

sebanyak 25%, pasien dengan riwayat pekerja keras

dengan pola tidur tidak semestinya sebanyak 20%, dan

faktor penyebab lainnya yang tidak diketahui sebanyak

35%.

Gambaran Penggunaan Obat Pasien

Etiologi sirosis hati mempengaruhi

penanganannya. Penatalaksanaan sirosis hati

mempunyai tujuan untuk mengurangi progresi penyakit,

menghindari bahan-bahan yang bisa menambah

kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

Prinsip pengobatan berupa simtomatis, supportif seperti

istirahat yang cukup, pengaturan makanan yang cukup

dan seimbang, pengobatan berdasarkan etiologi. Serta

pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan

diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti asites,

spontaneous bacterial peritonitis BP, varises esofagus,

ensefalopati hepatik.

Dari hasil penelitian, terapi yang diberikan

kepada pasien belum sepenuhnya sesuai dengan standar

terapi ilmu penyakit dalam RSUP DR. M. Djamil

Padang, dapat terlihat dari terapi yang diterima pasien

yang banyak menerima terapi simtomatis, sedangkan

berdasarkan standar terapi, untuk tindakan awal pasien

harus membatasi kerja fisik, menghindari obat-obat

hepatotoksik, diet yang kaya kalori dan protein. Adapun

terapi simtomatis yang diberikan yaitu Curcuma® 3 x 1

tablet, NTR® 2 x 1 tablet, Liver Care

® 2 x 1 tablet.

Terapi penyerta seperti Spironolakton, digunakan untuk

komplikasi udem dan asites pada 18 orang, bila terapi

ini belum menunjukkan efek yang optimal maka

diberikan kombinasi dengan furosemid, pasien yang

mendapatkan terapi Furosemid (Lasix®) pada 12 orang.

Lansoprazol digunakan untuk pencegahan dan

pengobatan komplikasi esofagus atau varises esofagus

pada 4 orang. Propanolol digunakan untuk penanganan

hipertensi portal pada 8 orang. Antibiotik digunakan

untuk penanganan peritonitis bakterial spontan adalah

Ceftriakson pada 8 orang, Cefotaksim pada 7 orang,

Ciprofloksasin pada 7 orang. Sukralfat digunakan untuk

penanganan ulkus peptik pada 2 orang. Vitamin K

digunakan untuk penanganan perdarahan akibat varises

esofagus yang dialami pasien 7 orang. Transamin yang

dikombinasikan untuk penanganan perdarahan akibat

varises esofagus pada 5 orang. Laktulosa digunakan

untuk penanganan ensefalopati hepatik pada 9 orang.

Madopar digunakan untuk terapi parkinson simptomatis

pasca ensefalitis pada 6 orang. Ambroksol digunakan

dalam penanganan batuk pasien pada 7 orang. Sistenol

digunakan sebagai antipiretik pada 13 orang. Dan

penggunaan obat lainnya seperti Novorapid dan

Page 5: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

Levemir pada 2 orang, Warfarin digunakan sebagai

antikoagulan dalam menangani gagal jantung kongestif

yang dialami pada 1 orang, Ascardia sebanyak 1 orang,

Deksametason sebanyak 2 orang, Azytromicin

digunakan untuk penanganan pneumonia yang dialami

pasien yaitu 3 orang. Selama pengamatan dalam

penelitian bahwa terapi sirosis hati yang diterima pasien

masih belum sesuai dengan standar terapi, dimana

disetiap pasien yang masuk diberikan terapi simtomatis

seperti neurotropik dan livercare yang mungkin saja

dapat memperberat kerja hati pasien.

Dari hasil pengamatan, terapi yang diterima

pasien dengan sirosis hati ini begitu kompleks dan

banyak, mengingat penyakit ini merupakan bentuk akhir

kerusakan hati dengan digantinya jaringan rusak oleh

jaringan fibrotik yang akan menyebabkan terjadinya

penurunan fungsi hati. Oleh karenanya hendaknya

terapi yang diberikan kepada pasien langsung saja

menuju sasaran, tidak menambahkan pengobatan yang

dirasa tidak perlu. Meskipun penyakit ini bersifat

irreversible, tetapi dengan pengobatan yang baik maka

pembentukan jaringan ikat dapat dikurangi dan

peradangan yang terjadi dapat dihentikan. Dapat dilihat

pada pasien dengan kode I yang berumur 76 tahun

dimana pasien menerima terapi sebanyak 14 macam

obat. Melihat kondisi klinis pasien, pasien mengalami

ensefalopati grade I-II dimana pasien hanya tertidur

lemah, mengigau, pandangan kosong dan selalu gelisah.

Pasien masuk dengan keluhan perut membuncit

meningkat semenjak 2 hari sebelum masuk rumah sakit,

BAK seperti teh pekat dan BAB hitam sepeti aspal,

mata kuning dan mengalami demam yang hilang

timbul. Diagnosa yang ditegakkan kepada pasien yaitu

sirosis hati post nekrotik stadium dekompensata, anemia

ringan normositik normokrom, syok sepsis, dan BP

duplek. Pada hari ketiga rawatan pasien mengalami

precoma hepatik, terjadi peningkatan kadar SGOT

namun tidak pada kadar SGPT, terjadi penurunan kadar

albumin, peningkatan kadar bilirubin dan perpanjangan

waktu protombin. Pasien mendapatkan terapi antibiotik

yang berganti sebanyak tiga kali, yaitu ceftriakson,

setelah 7 hari rawatan pasien menerima cefotaksim

yang diberikan bersamaan dengan ciprofloksasin.

Antibiotik ini perlu dalam penanganan peritonitis

bakteri spontan, dimana terjadinya infeksi spontan pada

cairan asites tanpa adanya sumber infeksi yang jelas

dari intraabdomen (Ghassemi, et al, 2007). Menurut

Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia (PPHI), antibiotik

pilihan utama dalam penanganan SBP adalah

cefotaksim karena antibiotik ini berspektrum luas,

efektifitasnya tinggi dan aman untuk hati. Jadi

sebaiknya pasien diberikan terapi cefotaksim dari awal

pengobatan dan pemberian bersamaan dengan antibiotik

ciprofloksasin yang dieliminasi utama di ginjal dirasa

kurang tepat, mengingat prognosis penyakit pasien yang

semakin memburuk. Sebagaimana diketahui bahwa

kerusakan hati lanjut dapat menyebabkan penurunan

perfusi ginjal yang berakibat pada penurunan perfusi

glomerulus (Nurdjanah, 2007). Selanjutnya pasien

mendapatkan terapi vitamin K 3 x 1 ampul (1 ampul:

10mg/ml) dan transamin 3 x 1 ampul yang digunakan

dalam penanganan varises esofagus yang dialami

pasien. Dalam hal ini pemberian vitamin K dianggap

sudah tepat, dimana pasien sirosis hati dengan

peningkatan kadar bilirubin dan perpanjangan waktu

protombin akan mengalami defisiensi vitamin K.

Dengan pemberian vitamin K 10 mg secara oral atau

subkutan, biasanya kondisi pasien akan membaik

setelah 24 jam, sehingga pemberian kombinasi dengan

transamin dirasa kurang perlu (Lata, et al, 2003). Dalam

penanganan ensefalopati hepatik pasien berdasarkan

pedoman diagnosa dan terapi RSUP DR. M. Djamil,

untuk pengelolaan ensefalopati hepatik akut, dapat

dengan mengatasi faktor-faktor pencetus seperti

perdarahan, alkohol, antibiotik, infeksi, transfusi darah;

pengosongan usus dari bahan-bahan yang mengandung

nitrogen, hentikan obat-obatan yang mengandung

nitrogen; diet tanpa protein; sterilisasi usus dengan

neomisin, kanamisin oral; hentikan penggunaan

diuretik/ pemeriksaan elektrolit serum; pertahanan

keseimbangan kalori cairan elektrolit. Untuk

ensefalopati menahun dapat dengan menghindari obat-

obatan yang mengandung nitrogen; diet miskin protein

(50g/24 jam); laktulosa 10-30 ml 3 kali sehari. Pasien

disini menerima terapi lactulax®(Laktulosa) 3 x 30 ml

dan Madopar® (Levodopa 100mg; Benserazide HCl 25

mg) yang digunakan sebagai terapi simtomatis pasca

ensefalopati. Pada penelitian ini, penanganan

ensefalopati pasien tidak sepenuhnya sesuai dengan

PDT RSUP DR. M. Djamil Padang dimana pemberian

Madopar dirasakan kurang tepat dikarenakan tujuan

pemberiannya tidak jelas. Penanganan ensefalopati

seharusnya diberikan laktulosa 10 – 30 ml 3 x sehari

untuk membantu pasien mengeluarkan amonia dan bila

perlu ditambahkan dengan neomisin untuk mengurangi

bakteri usus penghasil amonia (Katzung, 2004; PDT

RSUP DR. M. Djamil Padang, 2007). Pasien juga

mendapatkan terapi deksametason 3 x 1 ampul yang

dirasa tidak ada tujuan pemberiannya pada kasus ini,

sehingga pemberian deksametason dianggap kurang

tepat. Mengingat pasien seorang usia lanjut, pemberian

obat dalam jumlah banyak hendaknya dihindari, karena

perlu adanya perhatian yang khusus terhadap pasien

dengan usia lanjut yang mengalami sirosis hati, dimana

pada pasien usia lanjut yang mengalami gangguan

fungsi hati dikarenakan aliran darah ke hati pada pasien

umur >60 tahun berkurang hingga 50-60 %

dibandingkan pada pasien usia muda sekitar 20 – 30

tahun (Katzung, 2004). Kemampuan hati untuk

memetabolisme obat tidak akan sama berdasarkan

perbedaan umur untuk semua jenis obat. Riwayat

penyakit hati pada orang tua harus menjadi acuan dalam

Page 6: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

pemberian terapi yang eliminasinya terutama melalui

hati (Katzung, 2004).

Gambaran Penggunaan Obat Berpotensi

Hepatotoksik

Dari hasil pengamatan terhadap penggunaan

obat-obatan pada pasien sirosis hati di bangsal interne

RSUP. DR. M. Djamil Padang didapatkan beberapa

jenis obat yang berpotensi dapat menambah kerusakan

fungsi hati pasien, diantaranya obat yang dimetabolisme

terutama di hati yaitu propanolol, lansoprazol. Obat

dengan indeks terapi sempit yaitu warfarin. Obat yang

dapat menyebabkan ensefalopati hepatik yaitu diuretika

furosemid, data dapat dilihat pada tabel 1.

Propanolol merupakan obat golongan

penghambat reseptor β-adrenergik yang pada sirosis

hati bertujuan dalam penanganan hipertensi portal yang

digunakan untuk mencegah perdarahan awal dan

perdarahan kembali dari varises pada pasien sirosis

(Sukandar, 2008). Propranolol diabsorbsi melalui

saluran cerna, akan berikatan dengan jaringan hati dan

mengalami first-pass metabolisme, selain itu propanolol

terikat dalam jumlah besar dengan protein plasma

sehingga pada pasien kerusakan hati dan sirosis hati

dimana terjadi penurunan massa sel hati akan

menurunkan metabolisme lintas pertama dan akan

berakibat juga pada peningkatan bioavailabilitas obat-

obat tersebut. Sehingga dengan adanya peningkatan

bioavailabilitas tersebut diperlukan dosis yang lebih

kecil dan normal. Dalam penelitian lain yang

menyatakan tentang penggunaan propranolol pada

pasien penyakit hati harus hati-hati, berdasarkan

penelitian yang dilakukan Wood dan kawan-kawan

didapatkan bahwa adanya peningkatan konsentrasi

propanolol di dalam darah pasien sirosis hati yang

dibandingkan dengan kontrol. Waktu paruh untuk dua

grup tersebut yaitu 11,2 jam dan 4 jam (Wood, et al,

1978). Penelitian farmakokinetika propanolol lainnya

menunjukkan bahwa pada pasien dengan sirosis hati

dan hipertensi portal terdapat hasil yang menyatakan

bahwa pemakaian propranolol dengan dosis 20 mg,

terdeteksi adanya konsentrasi obat yang tinggi

dibandingkan normal, dan pada pasien dengan

penurunan fungsi hati propanolol ditemukan setelah 24

jam setelah pemberian dosis tunggal. Pada penelitian ini

diindikasikan bahwa pasien dengan gangguan fungsi

hati (serum albumin <30 g/l, Child grade C)

menunjukkan kinetika farmakokinetik propanolol yang

berubah dengan efek yang terlalu banyak. Oleh

karenaya, diharapkan ketika propanolol diberikan pada

pasien dengan gangguan fungsi hati perlu adanya

pengamatan terhadap pasien di rumah sakit (Susla &

Artkinson, 2007; Cales, et al, 1989). Dari hasil

pengamatan terhadap pasien sirosis hati di bangsal

interne RSUP DR. M. Djamil Padang, pasien menerima

propanolol sebesar 1 x 10 mg hingga 2 x 10 mg, dosis

ini dianggap aman karena telah dimulai dari dosis kecil

untuk mereka dengan penurunan fungsi hati. Pada

Handbook of Clinical Drug, terapi dengan dosis rendah

diberikan pada pasien hipotiroid atau penyakit dengan

gangguan fungsi hati, dimulai dengan dosis rendah dan

ditingkaatkan secara perlahan berdasarkan respon klinis

pasien. Dosis lebih baik diberikan 1 kali 10 mg,

kemudian ditingkatkan dosisnya secara perlahan sesuai

klinis pasien.

Lansoprazol merupakan golongan obat

penghambat pompa proton yang dalam terapi sirosis

hati digunakan untuk pencegahan dan pengobatan

komplikasi esofagus atau varises esofagus (Lodato, et

al, 2008). Bersihan lansoprazol akan menurun pada

pasien lanjut usia dan pasien penyakit hati (Hussein, et

al, 1993). Menurut penelitian klinis, metabolisme

lansoprazol akan diperpanjang bila terdapat gangguan

fungsi hati berat. Berdasarkan penelitian oleh Landes

dan kawan-kawan dengan penggunaan lansoprazol

dosis 30 mg/hari dan penelitian yang dilakukan oleh

Lodato dan kawan-kawan dengan penggunaan

lansoprazol dosis 40mg/hari sebaiknya dilakukan

penurunan dosis pada pasien dengan sirosis hati,

dimana terjadi peningkatan AUC dari lansoprazol dan

pemanjangan waktu paruh menjadi 6,1 jam pada dosis

30mg/hari dan 4 hingga 8 jam pada dosis 40mg/hari,

sehingga terjadinya resiko peningkatan akumulasi dari

obat (Landes, Petite, Flouvat,1995; Lodato, et al, 2008).

Dikarenakan ketakutan akan terjadinya akumulasi obat

pada pasien sirosis hati sehingga perlu adanya perhatian

khusus dan penurunan dosis pun perlu dilakukan. Dari

hasil penelitian terhadap pasien sirosis hati di bangsal

interne RSUP DR. M. Djamil Padang diperoleh dosis

yang digunakan adalah 1x 30 mg/hari, dimana

seharusnya dosis lansoprazol diberikan berdasarkan

dosis indvidualnya. Dosis lansoprazol adalah 15-30

mg/hari, sehingga untuk mereka dengan nilai child pugh

B setelah dikurangi 25% maka didapatkan dosis

lansoprazol adalah 11,25-22,50 mg/hari, dan mereka

dengan nilai child pugh C setelah dikurangi 50% maka

didapatkan dosis lansoprazol adalah 7,5 – 15 mg.

Furosemid merupakan obat golongan diuretik

jerat Henle yang dapat digunakan dalam pengobatan

asites sebagai dampak dari komplikasi penyakit sirosis

hati. Mekanisme kerja furosemid adalah menghambat

reabsorbsi sodium dan klorida di proksimal bagian dari

jerat henle (Ehrenpreis & Ehrenpreis, 2001). Furosemid

yang bebas dapat meningkat pada mereka dengan

gangguan fungsi hati, ginjal dan sirosis hati. Disamping

itu furosemid tidak boleh diberikan pada pasien dengan

keadaan pre-koma yang berkaitan dengan sirosis hati,

karena pada gangguan fungsi hati dapat meningkatnya

nilai volume distribusi dari furosemid (Ponto, 1990).

Pemberian furosemid yang berlebih juga menjadi faktor

pemicu terjadinya ensefalopati hepatik. Mekanisme

kerjanya melalui induksi hipokalemia dan alkalosis

metabolik, dimana alkalosis memicu difusi amonia

Page 7: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

nonionik dan amin lainnya ke dalam sistem saraf pusat,

demikian juga asidosis intraseluler yang dapat

menjebak amoniak dengan cara mengkonversinya

kembali menjadi ion amonium (Gerber, et al, 2000;

Blei, 2000). Pada pasien penyakit jantung kronik dan

kerusakan fungsi hati yang sedang, terapi furosemid

dosis tinggi dapat meningkatkan enzim-enzim hati

sehingga akan menginduksi terjadinya hepatitis. Oleh

karenanya, perlu perhatian khusus bagi pasien sirosis

hati dengan komplikasi ensefalopati hepatik terhadap

dosis terapi furosemid, sehingga perburukan keadaan

pasien dapat dihindari. Dalam pedoman penanganan

asites pada sirosis hati, furosemid diberikan dengan

dosis 40mg/hari dan dapat ditingkatkan dosisnya hingga

tidak lebih dari 160mg/hari setiap 2-3 hari (Moore,

Aithal, 2006). Dari hasil pengamatan terhadap pasien

sirosis hati di bangsal interne RSUP DR. M.Djamil

Padang, pasien menerima terapi furosemid sebesar 2 x 1

ampul (40 mg) dengan peningkatan dosis 2 x 40 mg.

Dosis furosemid yang diterima pasien dapat dikatakan

aman, karena pasien menerima furosemid dengan dosis

terendah sehingga peyesuaian dosis tidak perlu

dilakukan.

Warfarin merupakan antikoagulan oral. Lebih

dari 90% dari warfarin terikat pada albumin plasma,

yang mungkin menjadi penyebab kenapa volume

distribusinya kecil (ruang albumin), jika albumin

plasma rendah maka obat bebas dari warfarin ini akan

meningkat, oleh karenanya ia disebut obat dengan

indeks terapi sempit (Katzung, 2004; Jaffer, Bragg,

2003). Berdasarkan rasio ekstraksinya, warfarin

merupakan obat dengan rasio ekstraksi rendah, dimana

tidak menunjukkan ekstraksi lintas pertama yang

bermakna setelah pemberian oral. Dengan menurunnya

massa sel hati, maka menurun pula lah eliminasi dari

obat ini sehingga menyebabakan adanya resiko

akumulasi (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini

pasien menerima terapi warfarin sebagai terapi

antikoagulan dalam menangani penyakit gagal jantung

kongestif yang dialami pasien. Pengobatan dengan

warfarin harus didahului dengan dosis kecil harian

sebesar 5 mg. Penelitian prospektif secara acak

menunjukkan bahwa pasien lebih memungkinkan

memiliki nilai INR (International Normal Ratio) 3

hingga 5 hari setelah penggunaan warfarin dengan dosis

5 mg dibandingkan dengan 10mg. Dan dengan dosis 10

mg didapatkan hasil dimana nilai INR berada diluar

batas terapi (Harrison, L., Johnston, M., Massicotte,

M.P., 1997; Crowther, M. A., et al, 1999). Dari hasil

pengamatan pasien sirosis hati yang menggunakan

warfarin di bangsal interne RSUP DR. M.Djamil

Padang, pasien menerima warfarin 1 kali 2mg, dimana

diperhatikan selama 7 hari, bila nilai INR meningkat

maka dosis diturunkan 20% nya dan bila nilai INR

menurun maka dosis ditingkatkan 20% nya untuk

minggu selanjutnya. Pemberian warfarin dengan dosis

rendah ini direkomendasikan untuk mereka dengan

gangguan fungsi hati dan pasien dengan gagal jantung

(Jaffer & Bragg, 2003).

Analisa Farmakokinetik Obat Hepatotoksik

Dari hasil penelitian, pasien sirosis hati yang

fungsi hatinya telah menurun menerima kombinasi

terapi obat – obat yang dapat memperparah fungsi hati.

Dari hasil analisa pengamatan farmakokinetik, dari 20

orang pasien sirosis hati di bangsal interne RSUP. DR.

M. Djamil Padang, 18 orang (90%) menerima terapi

obat-obat yang dapat memperparah fungsi hati dan 2

orang (10%) lainnya menerima terapi lebih dari 8

macam obat. Dari 20 orang pasien yang menerima obat

yang dapat memperparah fungsi hati tersebut

berdasarkan perhitungan nilai child pugh nya untuk

lansoprazol dimana 4 orang yang menerima terapi ini

didapatkan semua pasien (100%) menerima dosis yang

melebihi dosis individual. Untuk propanolol dimana 8

orang yang menerima terapi ini telah mendapatkan

dosis yang tepat, yaitu dosis terendah 1 x 10 mg yang

ditingkatkan menjadi 2x10 mg. Untuk furosemid dari

10 orang yang menerima terapi ini juga telah menerima

terapi dengan dosis yang tepat yaitu 2 x 1 ampul

(20mg). Keseluruhan dosis individual ini dihitung

berasarkan data nilai Child Pugh. Dari hasil

pengamatan tersebut, didapatkan bahwa sebagian besar

obat yang berpotensi memperparah fungsi hati yang

diterima pasien telah berada dalam dosis terapi yang

tepat, namun tetap perlu adanya pemantauan

penggunaan obat yang dapat memperparah fungsi hati

sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien.

Pengukuran Nilai Child Pugh

Pengklasifikasian ini sangat penting karena

dapat digunakan untuk menetapkan tingkat keparahan

penyakit sirosis dan memprediksi kemampuan pasien

untuk bertahan, keadaan setelah operasi dan resiko

terjadinya perdarahan variceal (Dipiro, 2005).

Nilai Child-Pugh dengan poin 8-9

menggambarkan penurunan yang sedang pada dosis

obat awal (~25%) untuk bahan yang dimetabolisme

pada hati (≥60%), dan pada poin 10 atau lebih

mengindikasikan penurunan yang signifikan pada

pemberian dosis awal (~50%) dibutuhkan untuk obat

yang metabolisme utamanya pada hati (Dipiro, 2005).

Dari data di atas, banyak kasus yang memerlukan

perhatian penting dalam pemberian dosis obat-obat

yang dapat mempengaruhi fungsi hati pasien.

Dari pengamatan berdasarkan data

laboratorium pasien maka parameter nilai Child Pugh

berdasarkan derajat keparahan fungsi hati pada bulan

Oktober 2011 hingga Januari 2012 di bangsal interne

RSUP. DR. M. Djamil Padang terlihat persentase kelas

C merupakan skor yang paling banyak yaitu 95% (19

orang) dibandingkan kelas B yaitu 5% (1 orang), dan

tidak ditemukannya pasien dengan nilai pada kelas A,

data dapat dilihat tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa

Page 8: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

sirosis hati merupakan penyakit hati stadium akhir

dimana pasien pada kelas C memiliki prognosa yang

lebih jelek dibandingkan pada kelas B dan A. Pada

penelitian ini, tidak ditemukannya kolom khusus untuk

penentuan nilai child pugh, peneliti mengelompokkan

sendiri data-data yang termasuk ke dalam kriteria nilai

child pugh dari hasil laboratorium yang ada di

rekamedik pasien, sehingga ada beberapa data yang

tidak diperiksa padahal sangat penting dalam

perhitungan nilai child pugh, mengakibatkan beberapa

dari pasien sirosis hati yang tidak dapat ditentukan nilai

child pugh nya yang sebenarnya merupakan parameter

penentuan tingkat keparahan penyakit ini yang berujung

pada penentuan dosis yang akan diterima pasien.

Kelompok pasien dengan kerusakan hati pada

nilai Child Pugh C dengan skor nilai 12 salah satunya

adalah pasien dengan kode K berumur 54 tahun dengan

berat badan 52 kg. Pasien merupakan seorang supir

dengan kebiasaan meminum alkohol. Masuk rumah

sakit dengan keluhan utama BAB hitam sejak masuk ke

rumah sakit dan muntah darah, BAK berwarna teh pekat

serta nafsu makan yang menurun. Pasien telah dikenal

menderita sirosis hati 6 bulan yang lalu, dengan

penyakit penyerta bronkopneumonia dupleks dan

diabetes mellitus tipe 2. Pada data laboratorium

berdasarkan Child Pugh menunjukkan nilai bilirubin

total 1,51 mg/dl, serum albumin 2,7 g/dl, waktu

protombin 14,7 detik, mengalami asites pada tahap

moderate, dan mengalami ensefalopati hepatik dengan

grade I. Pada kondisi klinis pasien tampak terdapatnya

udem pada kedua kaki, pasien masih tertidur lemah,

hanya bisa berbaring, perut dengan keadaan asites yang

terasa menyesak, dan tidak mengalami perubahan yang

berarti. Terapi yang diterima pasien yaitu curcuma 3 x 1

tab, sistenol 3 x 1 tab, propanolol 2 x 10mg,

spironolakton 1 x 100mg, lactulac 3 x 30cc, ambroksol

3 x 1 cth, cefotaksim 2 x 1g, sukralfat 3 x 1 cth, 1 x 30

mg, novorapid 3 x 12 ui, levemir 1 x 12 ui,

lasix(furosemid) 2 x 1 ampul, data dapat dilihat pada

Lampiran 7, Tabel 25. Dari kondisi pasien dengan nilai

Child Pugh C, maka pemberian obat yang dapat

memperburuk fungsi hati yaitu propanolol, lansoprazol,

dan obat yang dapat meningkatkan perburukan

ensefalopati hepatik yaitu furosemid sebaiknya

dihindari karena dikhawatirkan dapat memperburuk

prognosa penyakit pasien. Pasien menerima propanolol

2 x 10 mg, meskipun dosis ini telah aman pada pasien

sirosis hati, namun pemberian dosis propanolol dengan

dosis terendah 1 x 10 mg lebih baik dilakukan dan

beriring dengan keadaan klinis pasien, peningkatan

dosis dapat dilakukan. Sedangkan dosis lansoprazol

yang diterima perlu adanya penyesuaian dosis dengan

pengurangan 50% nya sehingga dosis yang seharusnya

diterima pasien yaitu 15 mg/hari. Bila diperlukan juga

hendaknya pemakaian ketiga obat ini dipantau sehingga

akumulasi dari obat dapat dihindari. Dari hasil

pengamatan selama pasien dirawat yaitu lebih kurang 1

bulan, tidak ditemukannya perbaikan yang signifikan

meskipun pasien tidak mengeluhkan adanya efek

samping apapun dari obat-obat yang diterima kecuali

keresahan akan perut yang semakin membesar dan

terasa menyesak. Namun berdasarkan dari data

laboratorium klinik pasien diduga terjadinya penurunan

fungsi hati dimana nilai SGPT yang meningkat menjadi

2 kali normal yaitu 66,85 u/l (normal : 0-33 u/l),

penurunan serum albumin yaitu 2,5 g/dl (normal: 4,0-

5,2 g/dl), penurunan protein total yaitu 5,4 g/dl (normal:

6,6-8,7 g/dl), peningkatan waktu protombin yaitu 13,2

detik (normal: 9,8-12,6 detik). Pasien diperbolehkan

pulang setelah dilakukan parasintesis terhadap cairan

asites nya.

Nilai child pugh kelas B (8 poin) dialami

pasien dengan kode T, seorang pasien berumur 42 tahun

yang berprofesi sebagai petani, masuk rumah sakit

dengan keluhan utama susah tidur sejak 1 minggu

sebelum masuk rumah sakit. Pasien tidak memiliki

keluhan yang spesifik yang menunjukkan pasien sirosis

hati, pasien hanya mengalami sakit perut sejak 1

minggu sebelum masuk rumah sakit, nafsu makan

menurun, demam sejak 2 hari sebelum masuk rumah

sakit, BAB dan BAK biasa, tidak terdapat tanda-tanda

mata kuning dan kulit kuning. Pasien didiagnosa sirosis

hati stadium dekompensata post nekrosis dengan

hipertensi stage 1 dan dengan penyakit penyerta

bronkopneumonia dupleks. Pada kriteria nilai child

pugh didapatkan nilai total bilirubin 0,4 mg/dl, serum

albumin 2,9 g/dl, waktu protombin <4 detik, asites pada

tahap slight, dan belum terlihat tanda-tanda ensefalopati

heaptik. Pada kondisi klinis pasien, pasien dapat duduk

namun terlihat lemah, tidak terdapat udem pada kedua

kaki ataupun kedua tangan, pasien tidak terlihat

bingung, dapat berkomunikasi dengan baik kepada

orang disekitar, dapat dikatakan kondisi klinis pasien

baik. Namun, pasien menerima terapi sebanyak 12

macam, yaitu cefotaksim 2 x 1 g, azitromycin 1 x

500mg, sistenol 3 x 1 tablet, curcuma 3 x 1 tablet,

ambroksol 3 x 1 tablet, madopar 3 x 1 tablet, propanolol

2 x 10 mg, hari kedua rawatan diturunkan menjadi 1 x

10 mg, lactulac 3 x 30 ml, hari ke-8 rawatan diturunkan

menjadi 3 x 15 ml, spironolakton 2 x 100 mg,

lasix®(furosemid) 1 x 20 mg, data dapat dilihat pada

Lampiran 7, Tabel 25. Pemberian obat sebanyak 12

macam ini seharusnya tidak perlu dilakukan, karena

pemberian obat yang banyak pada pasien ditakutkan

dapat memperburuk fungsi hati pasien meskipun tidak

semua obat yang diterima dimetabolisme utama di hati.

Diketahui bahwa pasien berada dalam kriteria sirosis

hati sedang yang dihitung berdasarkan nilai child pugh,

namun prognosa penyakit dapat saja menjadi

memburuk akibat penggunaan obat yang banyak,

ditambah pula pasien menerima obat yang dapat

memperburuk fungsi hati. Pasien menerima 2 macam

Page 9: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

obat yang dapat memperburuk fungsi hati, yaitu

propanolol dan lasix®(furosemid). Dari hasil

laboratorium pasien yang dapat dijadikan petunjuk

adanya penurunan fungsi hati, hanya nilai protein total,

albumin, dan globulin yang selalu dimonitor. Dimana

nilai-nilai tersebut tidak memperlihatkan perbedaan

nilai yang berarti dari hari ke hari, dimana tetap terjadi

penurunan nilai protein total, penurunan kadar albumin,

dan peningkatan kadar globulin. Dari ketiga data

tersebut memperlihatkan bahwa pasien mengalami

penurunan fungsi hati. Sedangkan berdasarkan keadaan

klinis pasien, pasien masih tetap kelihatan lemah, tidak

terdapat udem, namun perut mulai tampak membuncit.

Disini dapat disimpulkan bahwa keadaan pasien mulai

terjadi penurunan, dan pasien meminta pulang setelah

12 hari rawatan dalam keadaan perut sedikit

membuncit.

Efek Samping dan Interaksi Obat

Efek samping dari beberapa obat yang diterima

pasien ini dapat ditoleransi dengan baik dan bersifat

ringan (Martindale, 2007). Adanya gejala efek samping

pada pasien relatif rendah bahkan bisa dikatakan tidak

ada. Karena berdasarkan hasil wawancara terhadap

pasien, pasien tidak merasakan efek apapun setelah

memakan semua jenis obat, hanya saja pasien selalu

merasakan mual, perut tidak nyaman. Ini mungkin saja

akibat gejala penyakit yang dideritanya, dan mungkin

saja efek samping obat yag tersamarkan oleh gejala

penyakit.

Interaksi obat terjadi ketika agen terapetik

berubah konsentrasi (interaksi farmakokinetik) atau

adanya efek biologis dari agen lainnya (interaksi

farmakodinamik). Interaksi farmakokinetik dapat terjadi

pada tingkat absorpsi, distribusi, atau bersihan dari

senyawa obat (Fradgley, 2004). Pada penelitian ini tidak

ditemukannya interaksi yang berarti pada pengobatan

yang diterima pasien. Adapun interaksi yang terjadi

antara lain antara propanolol dan furosemid dengan

nilai signifikansi 5 dengan jumlah kasus sebanyak 5

kasus. Pada penelitian ini terdapat interaksi dengan nilai

signifikansi 3 yaitu interaksi antara warfarin dengan

ceftriaxon bila digunakan bersamaan maka akan terjadi

peningkatan efek antikoagulan warfarin. Dimana

terjadinya peningkatan sensitifitas warfarin pada pasien

setelah menerima ceftriaxon yang ditandai dengan

terjadinya hipoprotombinemia atau perpanjangan waktu

perdarahan. Mekanisme dari interaksi ini yaitu

terjadinya pengurangan sintesis vitamin K yang

tergantung faktor pembekuan darah (Fradgley, 2004).

Interaksi ini terjadi pada pasien dengan kode Q,

peningkatan efek antikoagulan warfarin yang ditandai

dengan terjadinya hipoprotombinemia ataupun

perpanjangan waktu perdarahan dapat dilihat dari waktu

protombin pasien yang melebihi nilai normal yaitu 16,6

detik (normal: 9,8-12,6 detik). Namun perpanjangan

waktu protombin ini memang akan selalu dijumpai pada

pasien sirosis hati (Husadha, 1996). Oleh karena itu

perlu adanya perhatian khusus pada pasien sirosis hati

yang menggunakan warfarin.

Jenis interaksi yang terjadi ini membutuhkan

monitoring berdasarkan pengetahuan akan perubahan

farmakokinetik atau farmakodinamik yang mungkin

terjadi, maka manajemen pemberian obat harus

disesuaikan. Para klinisi harus lebih tanggap akan

interaksi yang potensial dan lebih mengetahui mengenai

substrat, inhibisi, dan induksi dari berbagai macam

enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme

obat. Ini akan meningkatkan penggunaan obat yang

rasional dan kombinasi obat yang lebih baik (Leucuta &

Vlase, 2006).

Analisa Gejala Objektifitas dan Subjektifitas

Hepatotoksik

Pada penelitian ini juga melakukan penentuan

gejala objektifitas dan subjektifitas adanya kerusakan

hati. Gejala objektifitas yang pertama yaitu peningkatan

kadar SGOT sebesar 50% dan peningkatan kadar SGPT

sebesar 30. Pada penelitian ini didapatkan bahwa pasien

dengan peningkatan kadar SGOT dan SGPT tidak

dialami lebih dari separuh pasien, bahkan ada beberapa

pasien yang berada pada nilai normal yaitu sebesar 25%

untuk SGOT, dan 45% untuk SGPT. Kenaikan nilai

SGOT dan SGPT yang tidak terlalu besar atau bahkan

normal dapat dijumpai pada penyakit hati kronis seperti

obstructive jaundice ataupun sirosis. Ini disebabkan

karena pada sirosis hati terjadi fibrosis pada sel-sel

hatinya dan juga hati yang mengkerut sehingga sel-sel

hati yang normal jumlahnya semakin sedikit, karena

jumlah sel-sel hati yang sedikit ini menyebabkan sekresi

dari kedua enzim ini juga menurun (Kenward & Tan,

2003).

Tes fungsi hati selanjutnya yang dapat

dijadikan petunjuk adanya kerusakan hati yaitu

penurunan serum albumin dan serum protein total.

Albumin plasma disintesis di hati dan perubahan

konsentrasi serumnya merupakan petunjuk yang

berguna terhadap fungsi sintesis hati maupun tingkat

penyakit hati kronis. Konsentrasi albumin plasma

menurun pada penyakit hati kronis tetapi cenderung

normal pada tingkat awal hepatitis akut karena waktu

paruhnya yang panjang sekitar 20 hari (Kenward &

Tan, 2003). Pada penelitian ini terjadi penurunan serum

albumin dan serum protein total yaitu 50% dan 45%,

dimana terjadi penurunan hampir separuh dari pasien

yang menderita sirosis hati. Penurunan ini dapat terjadi

karena sel hati yang merupakan tempat satu-satunya

serum albumin dibentuk mengalami kerusakan sehingga

produksinya pun akan menurun (Kenward & Tan,

2003).

Serum bilirubin juga merupakan petunjuk

kerusakan yang terjadi pada hati. Dimana bilirubin

adalah pigmen empedu primer yang berasal dari

perusakan sel darah merah di limpa dan sum-sum

Page 10: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

tulang. Bilirubin merupakan hasil akhir degradasi

bagian heme (yang mengandung besi) haemoglobin

yang terkandung di dalam sel darah merah. Bila

bilirubin langsung rendah sedangkan bilirubin total

tinggi, hal ini menunjukkan adanya kerusakan pada hati

atau pada saluran cairan empedu didalam hati (Kenward

& Tan, 2003). Pada penelitian ini pasien dengan

peningkatan kadar bilirubin total ini sebesar 25%, yang

tidak mengalami peningkatan sebesar 15% serta data

yang tidak lengkap sebesar 60%. Dimana terlihat lebih

banyak pasien yang mengalami peningkatan kadar

bilirubin daripada yang tidak mengalami peningkatan

bilirubin total, namun disayangkan banyak dari pasien

yang tidak dilakukan pemeriksaan terhadap kadar ini.

Peningkatan kadar bilirubin total ini disebabkan karena

produksi dari bilirubin ini berlebihan namun bersihan di

hati menurun karena hati telah rusak.

Tes selanjutnya yaitu protombine time (PT)

yang merupakan waktu yang diperlukan untuk

dihasilkannya fibrin clot dalam plasma pada kondisi

standar. Tes ini sebenarnya relatif lebih sensitif

terhadap defisiensi faktor V dan koagulasi protein yang

tergantung vitamin K daripada terhadap kelainan

protombin atau fibrinogen. Waktu protombin sangat

bermanfaat untuk memperkirakan tingkat keparahan

penyakit penyakit hati, baik yang akut maupun yang

kronis (Kenward & Tan, 2003). Pada penelitian ini

pasien yang mengalami peningkatan waktu protombin

sebesar 25%, yang tidak mengalami peningkatan

sebesar 15. Hasil yang kecil ini juga didukung dengan

pengukuran PT yang hanya sekali saja dilakukan

terhadap pasien, bahkan ada dari beberapa pasien yang

tidak dilakukan pengukuran dari protombine time ini

yaitu sebesar 60%.

Gejala subjektif ini merupakan gejala-gejala

awal terjadinya penurunan fungsi hati. Gejala subjektif

meliputi keadaan lemah, penurunan berat badan,

mual/muntah, perut terasa tidak nyaman, sedikit

demam, kebingungan, penurunan nafsu makan dan

rentan terhadap pendarahan (Siregar & Endang, 2006).

Dari data yang didapat 100% pasien sirosis hati di

bangsal interne RSUP DR. M. Djamil Padang

mengalami gejala subjektif hepatotoksik dengan rincian

persentase pasien yang mengalami lemah sebesar 90%,

penurunan berat badan sebesar 85%, mual/muntah

sebesar 60%, perut tidak nyaman sebesar 90%, demam

sebesar 65%, dan yang mengalami kebingungan sebesar

35%. Dari data ini tampak gejala penurunan fungsi hati

dialami oleh hampir sebagian besar pasien, dapat

disimpulkan bahwa sangat pentingnya pemeriksaan

fungsi hati secara berkala bila pasien mengkonsumsi

obat berpotensi hepatotoksik, lebih baik lagi bila

dilakukan monitoring obat di dalam darah terhadap

terapi yang diterima pasien.

Tabel I.Jenis Obat yang Berpotensi Menambah

Kerusakan Fungsi Hati di bangsal interne

RSUP. DR. M. Djamil Padang yang dirawat

selama bulan Oktober 2011- Januari 2012

No. Nama Obat Jumlah Kasus

1. Propanolol 8

2. Furosemid 10

3. Lansoprazol 4

4. Warfarin 1

Tabel II. Persentase pasien dengan kriteria nilai Child

Pugh berdasarkan Derajat Keparahan Fungsi

Hati di bangsal interne RSUP. DR. M.

Djamil Padang yang dirawat selama bulan

Oktober 2011- Januari 2012 (n=20)

No. Nilai Child

Pugh

Jumlah

(orang)

Persentase

(%)

1. Kelas A (<7

poin) 0 0

2. Kelas B (7-

9 poin) 1 5

3.

Kelas C

(10-15

poin)

19 95

Jumlah 20 100

KESIMPULAN

Setelah melakukan penelitian mengenai aspek

farmakokinetik klinik obat yang digunakan pada pasien

sirosis hati di bangsal penyakit dalam RSUP DR. M.

Djamil Padang selama bulan Oktober 2011 hingga

Januari 2012, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Persentase pasien sirosis hati berdasarkan nilai

Child Pugh didapatkan 95% berada pada kelas C

(keadaan hati berat) dan 5 % berada pada kelas B

(keadaan hati sedang), sedangkan pada kelas A

(keadaan hati ringan) tidak ditemukan.

2. Pasien masih menerima polifarmasi sebesar 60%

dengan jumlah obat mulai dari 9 – 14 jenis obat

yang sebagian besar dimetabolisme di hati dan

dapat memperparah fungsi hati.

3. Pasien menerima 4 jenis obat yang dapat

Page 11: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

memperburuk fungsi hati dengan dosis yang masih

relatif aman, namun tetap perlu adanya

pengawasan terhadap fungsi hati sehingga dapat

meningkatkan kualitas hidup pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Farmasi

Klinis- Menuju Pengobatan Rasional dan

Penghargaan Pilihan Pasien, Penerbit PT. Alex

Media Komputindo Jakarta, 2004; hal 155-175

Barber, Nick and Alan W., Churchill’s Pocket Book of

Clinical Pharmacy, Churchill’s Pocket Book of

Clinical Pharmacy, Second Edition, Elsevier

Health Scinces, 2006 ; hal 211-212

Bauer, Larry A., 2008, Applied Clinical

Pharmacokinetics, Second Edition, USA: Mc.

Graw Hill Medical Companies. Inc.

Blei, A.T., 2000, Diagnosis and Treatment of Hepatic

Encephalopathy. Bailliers Best Pract Res Clin

gastroenterol; 14:959

Cales,P., Grasset, D., Ravaud, A., Meskens, C., Blanc,

M., Vinel, J.P., Cotonat, J., & Pascal, J.P., 1989,

Pharmacodynamic and Pharmacokinetic study

of propanolol in Patients with Cirrhosis and

Portal Hypertension, Br. J. Clin. Pharmac., 27,

763-770

Di Piro, J.T., Concepts in Clinical Pharmakokinetics, A

Self-Instructional Course, ASHP, 1988

Fradgley, S., 2004, Farmakokinetika Klinis dalam

Farmasi Klinis- Menuju Pengobatan Rasional

dan Penghargaan Pilihan Pasien, Editor Aslam,

Moh, Chik Kaw Tan, Adji Prayitno, Jakarta:

Penerbit PT. Alex Media Komputindo

Gerber, T., Schomerus, H., 2000, Hepatic

Encephalopathy in Liver Cirrhosis:

pathogenesis, diagnosis, and management.

Drugs; 60(6): 1353-70

Ghasemmi, S., Garcia, T.G., 2007, Prevention and

Treatment of Infections in Patient with

Cirrhocis, Best Pract Res Clin Gastroenterol;

21:77-93

Harrison L, Johnston M, Massicotte MP, et al,

Comparison of 5 mg and 10 mg loading doses

in initiation of warfarin therapy, Ann Intern

Med 1997; 126:133–136

Husnul, M., 2008 Sirosis Hati (Sirosis Hepatis),

Available from

http://cetrione.blogspot.com/2008/05/sirosis-

hati-sirosis-hepatis.html

Husadha, Y., 1996, Fisiologi dan Pemeriksaan

Biokimiawi Hati, Dalam : Buku Ajar Penyakit

Dalam Jilid I, edisi ketiga, editor Sjaifoellah

Noer dkk, Jakarta: Balai Penerbit FKUI ;

224-232

Jaffer, A., Bragg, L., 2003, Practical Tips for Warfarin

Dosing and Monitoring, Cleveland Clinic

Journal of Medicine, Vol.70, Number 4,

Katzung, B.G., 2004, Farmakologi Dasar dan Klinik.

Edisi kedelapan, Penerjemah: Agoes, A,

Jakarta: Salemba Medika

Kenward, R., Tan, C.K., 2004, Penggunaan Obat Pada

Gangguan Hati dalam Farmasi Klinis- Menuju

Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan

Pasien, Editor Aslam, Moh, Chik Kaw Tan, Adji

Prayitno, Jakarta: Penerbit PT. Alex Media

Komputindo

Landes, B.D., Petite, J.P., Flouvat, B., Clinical

Pharmacokinetics of Lansoprazole, Clin.

Pharmacokinet, 1995; 28(6): 458-70

Lata, J., Hulek, P., Vanasek, T., 2003, Management of

Acute Variceal Bleeding, Dig Dis, 21:6-15

Leucuta, S.E., Vlase, L., Pharmacokinetics and

Metabolic Drug Interactions, Current Clinical

Pharmacology, 2006, I, 5-20

Lodato, F., Azzaroli, F., Girolamo, M.D., Feletti, V.,

Cecinato, P., Lisotti, A., Festi, D., Roda, E.,

and Mezzella, G., Proton Pump Inhibitors in

Cirrhocis: Tradition or Evidence based

Practice?, World J Gastroenteterol, 2008,

14(19): 2980-2985

Martindale, 2007, The Extra Pharmacopoeia, Ed.35,

London : The Pharmaceutical Press

Moore, K.P., Aithal, G.P., 2006, Guidlines on the

Management of Ascites in Cirrhosis, Gut

Bmjjournals, 55; 1-12

North, P. & Lewis, 2008, Drug and Liver; A guide to

drug handling in liver disfunction,

Pharmaceutical Press British, UK ; 103-110

Panitia Diagnosa dan Terapi (PDT), 2007, Standar

Terapi Rumah Sakit Perjan RSUP DR. M.

Djamil Padang., edisi IV., Padang

Page 12: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati

Santoso, B., 1985, Cermin Dunia Kedokteran,

Farmakokinetika Klinik, edisi No.37, hal 8-12

Siregar, C.J.P.& Endang, K., 2006, Farmasi Klinik

Teori dan Terapan, Jakarta: EGC

Soldin, O.P., Chung, S.,H., Mattison, D., R., 2011, Sex

Differences in Drug Disposition, Journal of

biomedicine and Biotechnology, vol 2011,

article ID 187103, 14 pages

Sudoyo, A.W., Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,

Marcellus Simadibrata K., dan Siti Setiati.,

2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1,

Edisi IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dala, Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Jakarta, 443

Sukandar, E.Y., dkk, 2008, Iso Farmakoterapi, Cetakan

I, Jakarta, penerbit PT ISFI

Susla, G.M., Artkinson, A.J., 2007, Effect of Liver

Disease on Pharmacokinetics, Dalam:

Principles of Clinical Pharmacology Second

Edition, Editor: Arthur J.K., Barrell, R.A.,

Charles, E.D., Robert, L.D., and Sanford, P.M.,

United States of America: Academic Press

Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatis, Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara

Wood, A.J.J., Kornhauser, D.M., Wilkinson, G.R.,

Shand, D.G., & Branch, R.A., 1978, The

Influence of Cirrhocis on Steady State Blood

Consentrations of Unbound Propanolol after

Oral Administration, Clin. Pharmacokin., 3,

478-487

Page 13: Aspek Farmakokinetika Klinik Obat Obat Yang Digunakan Pada Pasien Sirosis Hati