114
ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Lisa Purnama Sari 109013000090 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013

ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

  • Upload
    others

  • View
    25

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

ASPEK BUDAYA MINANGKABAU

DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG

KARYA MUHAMMAD SUBHAN

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA

DI SMA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Lisa Purnama Sari

109013000090

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013

Page 2: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

ASPEK BUDAYA MINANGKABAU

DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG

KARYA MUHAMMAD SUBHAN

DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

LISA PURNAMA SARI

Di bawah Bimbingan

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2013

Page 3: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

Skripsi berjudul “Nilai Budaya Jawa dalam Samsara Karya Zara Zettira ZR dan

Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam

ujian Munaqasah pada tanggal 17 Desember 2013 di hadapan dewan penguji. Oleh karena

itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia.

Jakarta, 17 Desember 2013

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan

Dra. Mahmudah Fitriyah ZA., M.Pd. (...............) (.......................)

NIP. 19640212 199703 2 001

Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)

Dra. Hindun, M.Pd. (...............) (.......................)

NIP. 19701215 200912 2 001

Penguji I

Rosida Erowati, M.Hum. (...............) (.......................)

NIP. 19771030 200801 2 001

Penguji II

Dra. Hindun, M.Pd. (...............) (.......................)

NIP. 19701215 200912 2 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D.

NIP. 19591002 198603 2 001

Page 4: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

Saya yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Lisa Purnama Sari

Nim : 109013000090

Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Judul Skripsi :“Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai

Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan

Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”

Dosen Pembimbing : Jamal D. Rahman M.Hum.

dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya

sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.

Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.

Jakarta, November 2013

Mahasiswa Ybs.

Page 5: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

i

ABSTRAK

LISA PURNAMA SARI, 109013000090, “Aspek Budaya Minangkabau dalam

novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam

Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum., November

2013.

Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur budaya

Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad

Subhan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah

nantinya. Hal itu dikarenakan dalam novel ini terdapat unsur-unsur budaya

Minangkabau yang dapat menambah pengetahuan peserta didik terhadap salah

satu budaya di Indonesia. Belajar aspek budaya lewat karya sastra adalah upaya

pelestarian budaya, karena karya sastra banyak mengandung informasi tentang

budaya serta adat istiadatnya.

Metode yang digunakan dalam menganalisis aspek budaya dalam novel

Rinai Kabut Singgalang adalah penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif

kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aspek

budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang meliputi: 1) sistem

bahasa, terdiri dari 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan

bahasa Indonesia, satu kosakata Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa

Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda, dan dua kosakata

bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. 2)

sistem pengetahuan, terdiri dari: ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada

alam, dan tahu pada Allah. 3) sistem religi, terdiri dari: kepercayaan masyarakat

Minangkabau pada mitos, ketaatan beragama masyarakat Minangkabau dan

pengadaan pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem teknologi, terdiri dari:

bentuk rumah di Minangkabau, yaitu Rumah Gadang. 5) sistem mata pencaharian,

terdiri dari: berdagang, berladang, nelayan, dan bertani. 6) sistem kesenian, terdiri

dari: seni bela diri “pencak silat” dan seni sastra yaitu sebagai penulis novel. 7)

sistem organisasi sosial, terdiri dari: adat perkawinan suku Minangkabau, adat

rundingan dalam mencari kata mufakat, dan garis keturunan yang diambil dari ibu

(matrilineal).

Kata kunci: aspek budaya Minangkabau, Rinai Kabut Singgalang.

Page 6: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

ii

ABSTRACT

LISA PURNAMA SARI, 109013000090, "Minangkabau cultural aspects in

Rinai Kabut Singgalang Novel by Muhammad Subhan and Its Implications

for Learning Literature in High School". Department of Indonesian and

Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher's Training, Syarif

Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Jamal D.

Rahman, M.Hum., November 2013.

This thesis aimed to identify Minangkabau cultural aspects in Rinai

Kabut Singgalang novel which hopefully can be used as learning materials in

the school. This novel elaborates Minangkabau cultural aspects which can

improve students’ knowledge about one of Indonesian culture. Moreover, it

also can perpetuate the existence of culture because it provides lots of

information about culture and tradition.

The method being used for analyzing cultural aspects in Rinai Kabut

Singgalang novel is literature study that used qualitative descriptive method.

Based on the research, it can be concluded that Minangkabau cultural

aspects in Rinai Kabut Singgalang includes: 1) Minangkabau language system

consists of 13 vocabularies which have synonym in Indonesian language,

based on its literary one of Minangkabau vocabulary is anonymous with

Indonesian language but may have different conceptual meaning, and two

Minangkabau vocabularies which didn’t have any similarities with

Indonesian language; 2) system of knowledge which consist of willingness

from novel character named Fikri for studying in university; 3) religious

system that consist of Minangkabau believe about myth and religious

obedience; 4) system of technology that consist of the shape of home in

Minangkabau “Rumah Gadang”; 5) occupational system that consist of

trading, cultivating, fishing, and farming; 6) art system that consist of

martial art “pencak silat” and literary art such as novel writer; 7) social

organization system that consist of Minangkabau traditional marriage

ceremony, negotiation tradition for reaching an agreement, and heredity

which is taken from mother side “matrilineal”.

Key words: Minangkabau cultural aspect, Rinai Kabut Singgalang.

Page 7: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, yang telah memberikan rahmat dan karunia-

Nya karena atas izin dan kasih-Nya penulis mendapat kemudahan dalam

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel

Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam

Pembelajaran Sastra di SMA”. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada

Nabi Muhammad Saw yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan.

Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan

gelar sarjana pendidikan pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini

dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan

dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak

mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan

rasa terima kasih kepada:

1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah

mempermudah dan melancarkan penyelesaian skrpsi ini;

2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan

yang sangat berharga bagi penulis selama ini;

3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini;

4. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan,

bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini;

Page 8: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

iv

5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen mata kuliah sastra yang membantu

dan memberi masukan kepada penulis;

6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu

pengetahuan;

7. Muhammad Subhan, penulis novel Rinai Kabut Singgalang yang telah

memberi semangat dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini;

8. Ayahanda Amrizal dan Ibunda Letna Mawarni, yang telah mendidik,

mendoakan dan memberi semangat pada saat kuliah sampai penulisan

skripsi selesai;

9. Adik tercinta Taufik Walhidayat dan Zahrani Adhani Sari, yang

memberikan semangat dan doa kepada penulis;

10. Seluruh keluarga penulis yang telah mendoakan dan memberi semangat

kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;

11. Sahabat seperjuangan skripsi, Siti Mudzdalifah N. yang selalu mendukung

dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;

12. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2009, terima kasih

atas pengalaman dan pelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini;

13. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada

penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt. Amin.

Jakarta, November 2013

Penulis

Page 9: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN KARYA SKRIPSI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ....................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................... iii

DAFTAR ISI .................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1

B. Rumusan Masalah ............................................... 5

C. Tujuan Penelitian ................................................. 5

D. Manfaat Penelitian ............................................... 6

E. Metodologi Penelitian .......................................... 6

BAB II KAJIAN TEORETIS .............................................. . 10

A. Hakikat Antropologi Budaya ............................... 10

B. Aspek Budaya Minangkabau ............................... 11

1. Sistem Bahasa ................................................ 13

2. Sistem Teknologi ........................................... 14

3. Sistem Mata Pencaharian ................................ 16

4. Sistem Organisasi Sosial ................................. 17

5. Sistem Pengetahuan ........................................ 18

6. Sistem Kesenian .............................................. 18

7. Sistem Religi .................................................. 20

Page 10: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

vi

C. Hakikat Novel ...................................................... 21

D. Pendekatan Objektif ............................................ 24

E. Hakikat Pembelajaran Sastra ............................... 25

F. Penelitian yang Relevan ....................................... 27

BAB III TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG 29

A. Sinopsis Novel ...................................................... 29

B. Pengarang dan Karyanya ...................................... 31

BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 37

A. Unsur Intrinsik ..................................................... 37

1. Tema .............................................................. 37

2. Latar ............................................................... 39

3. Sudut Pandang ............................................... 46

4. Alur ................................................................ 47

5. Penokohan ...................................................... 50

6. Gaya Bahasa ................................................... 54

7. Amanat ............................................................ 55

B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai

Kabut Singgalang .................................................. 56

1. Sistem Bahasa .................................................. 56

2. Sistem Pengetahuan ......................................... 63

3. Sistem Religi .................................................... 67

4. Sistem Kesenian ............................................... 69

5. Sistem Mata Pencaharian ................................. 72

6. Sistem Teknologi .............................................. 76

7. Sistem Organisasi Sosial ................................... 77

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 82

BAB V PENUTUP .................................................................. 85

A. Simpulan ............................................................... 85

Page 11: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

vii

B. Saran ..................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 88

LAMPIRAN LAMPIRAN

Page 12: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan salah satu hasil dari cipta dan karya

manusia yang dituangkan dalam sebuah tulisan dengan menggunakan

bahasa lisan maupun tulisan. Pikiran dan gagasan dari seorang pengarang

yang diluapkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun menjadi

sebuah cerita yang mengandung makna dari pengarang juga merupakan

karya sastra. Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui

pandangan terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya

dengan bahasa yang indah. Dunia kesusastraan mengenal prosa sebagai

salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain.

Istilah prosa sebenarnya dapat menyarankan pada pengertian yang

lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam

bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari

margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini

tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra,

melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam

surat kabar. Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya

nonfiksi, walau tentu saja perbedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang

menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang

dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia

realitas.1 Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita

khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya

tidak menyarankan pada kebenaran sejarah.

1Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2012), Cet. 9, h. 2.

Page 13: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

2

Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam

interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri

sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Sastra sebagai karya fiksi

memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekedar cerita

khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas

pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam

pikirannya. Oleh karena itu, bagaimanapun fiksi merupakan sebuah cerita,

dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan

kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik.

Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel diartikan

sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita

kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan

menonjolkan watak pada setiap pelaku. Novel juga melukiskan sebagian

kehidupan pelaku utamanya yang penting, menarik dan mengandung

konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perubahan

nasib pelaku. Jika roman condong pada idealisme, novel pada realisme.

Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari

cerpen. Secara garis besar novel dibangun dari dua unsur, yaitu unsur

intrinsik dan ektrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para

kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya

sastra pada umumnya. Unsur-unsur intrinsik pembangun sebuah novel,

seperti plot, tema, penokohan, dan latar. Sedangkan unsur ekstrinsik

berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung

mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.

Novel Rinai Kabut Singgalang ditulis oleh Muhammad Subhan

yang terbit pertama kali pada tahun 2011. Novel Rinai Kabut Singgalang

dibangun dengan 32 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul

yang bervariasi. Dalam novelnya tersebut Muhammad Subhan telah

membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering

digali dalam ruang sastra untuk dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan

Page 14: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

3

adat menjadi tema utama dalam novel ini. Ada Maimunah asal Pasaman,

Sumatera Barat, yang menikah dengan lelaki Aceh bernama Munaf, lalu

tinggal di Aceh. Dari pernikahan itulah lahir tokoh Fikri, tokoh utama

novel ini. Namun perkawinan itu ditentang oleh keluarga Maimunah. Fikri

kemudian merantau ke Padang. Selanjutnya, muncul pula kisah cinta

antara Fikri dan Rahima. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan.

Keluarga Rahima, terutama Ningsih sang kakak, bulat-bulat menolak

pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan Fikri orang datang, orang di

pinggang yaitu orang yang tidak jelas keturunannya. Pengarang yang

dikenal sebagai wartawan ini, tidak hanya berusaha menghadirkan

persoalan kultur, ia juga “mereportasekan” sejumlah tempat di Sumatera

Barat. Maka, lengkaplah ranah daerah itu hadir dan menegaskan latar

novel Rinai Kabut Singgalang yaitu di Minangkabau. Budaya

Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di

Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang

sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur

perempuan atau matrilineal.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk

menganalisis novel Rinai Kabut Singgalang. Dalam analisis terhadap

novel Rinai Kabut Singgalang peneliti membatasi pada segi aspek budaya

Minangkabau yang ada pada novel tersebut dan implikasinya dalam

pembelajaran sastra di SMA. Alasan dipilihnya masalah budaya

Minangkabau ialah karena novel Rinai Kabut Singgalang berlatar di

Sumatera Barat atau Minangkabau yang memiliki adat istiadat sangat

khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan

atau matrilineal (matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur

alur keturunan berasal dari pihak ibu).2 Saat ini masyarakat Minang

merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Prinsip adat

Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara',

2

Page 15: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

4

syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan

Al Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Ini yang menarik

untuk diteliti yaitu bagaimana aspek budaya Minangkabau yang terdapat

dalam novel tersebut.

Ada banyak ilmu yang dapat digunakan sebagai ilmu bantu yang

relevan dengan ilmu sastra seperti linguistik, psikologi, antropologi, ilmu

sosial atau kemasyarakatan, ilmu filsafat dan sebagainya. Berbagai disiplin

ilmu tersebut telah ikut meramaikan panggung sastra dunia, baik dalam

proses perkembangan ilmu sastra maupun dalam proses pemberian makna

dan penghayatan terhadap karya sastra. Antropologi sastra cenderung

memusatkan perhatiannya pada masyarakat-masyarakat kuno, dan masalah

budaya yang merupakan unsur ekstrinsik karya sastra.3 Kebudayaan

adalah segala hal yang dimiliki oleh manusia, yang hanya diperolehnya

dengan belajar dan menggunakan akalnya. Antropologi budaya adalah

ilmu yang mempelajari dan mendeskripsi masyarakat Indonesia secara

holistik-komparatif mengenai semua unsur kebudayaan (misalnya sistem

pengetahuan, organisasi sosial, ekonomi, sistem teknologi, dan religi), dan

tidak hanya bahasa dan kesenian saja.4 Dengan latar belakang tersebut

maka peneliti menggunakan tinjauan antropologi budaya dalam

menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut

Singgalang.

Dalam lingkungan akademik seperti sekolah, pembelajaran sastra

merupakan salah satu pembelajaran penting, dan merupakan suatu bagian

dari pelajaran bahasa. Adanya pembelajaran sastra di dalam kurikulum

memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam

sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi

3Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h. 353.

4Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h.

14.

Page 16: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

5

kehidupan manusia. Dengan latar belakang tersebut maka peneliti ingin

mengetahui implikasi dari aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai

Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di sekolah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar

penelitian ini sebagai berikut:

1. Dari segi penceritaan, novel Rinai Kabut Singgalang karya

Muhammad Subhan sangat menarik untuk dikaji menggunakan

tinjauan antropologi budaya.

2. Novel Rinai Kabut Singgalang menggambarkan budaya dan

kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, hampir setiap

bagian dinarasikan untuk mengungkapkan berbagai aspek budaya

Minangkabau dalam novel.

3. Novel Rinai Kabut Singgalang relevan dengan dunia pendidikan

sehingga dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di

sekolah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut

Singgalang karya Muhammad Subhan melalui pendekatan

antropologi?

2. Bagaimana implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau pada

novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di SMA?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang disampaikan

pengarang dalam novel Rinai Kabut Singgalang melalui pendekatan

antropologi.

2. Mendeskripsikan implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau

pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di

SMA.

Page 17: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

6

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam

pembelajaran bidang bahasa dan sastra. Khususnya tentang aspek

budaya dalam novel.

2. Manfaat Praktis

Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu

pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Rinai Kabut

Singgalang karya Muhammad Subhan terutama menguraikan cara

pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya, terkait

dengan aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel.

E. Metodologi Penelitian

a. Objek Penelitian

Skripsi ini menggunakan objek penelitian berupa novel Rinai

Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dengan mengkaji aspek

budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut.

b. Metode Penulisan

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah

sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan

(library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan aspek budaya

Minangkabau.

2. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a) Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas

secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini,

Page 18: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

7

yaitu novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad

Subhan pada tahun 2013.

b) Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang

dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa

buku-buku, atau sumber-sumber dari penulis lain yang

berbicara tentang aspek budaya Minangkabau, teori fiksi,

dan pembelajaran sastra.

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik

pengumpulan data yaitu teknik inventarisasi, teknik baca simak,

dan teknik pencatatan. Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara

mencari dan mengumpulkan sejumlah data dalam hal ini adalah

novel Rinai Kabut Singgalang yang menjadi sumber data

penelitian. Teknik baca simak dilakukan secara seksama terhadap

isi novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan.

Teknik ini dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan informasi

yang akurat. Setelah melakukan teknik baca simak. Hasil yang

diperoleh dicatat dalam buku. Fokus data yang dicatat berupa unsur

intrinsik novel dan aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai

Kabut Singgalang karya Muhamad Subhan.

4. Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah:

a) Metode Analisis Isi (Content Analysis)

Metode analisis isi dimaknai sebagai teknik yang

sistematis untuk menganalisis isi dan pesan komunikasi

dalam kehidupan manusia.5 Analisis ini juga bisa diartikan

sebagai analisis yang digunakan untuk mengungkap,

memahami, dan menangkap isi, karya sastra. Dalam karya

5Ratna, op. cit., h. 48.

Page 19: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

8

sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang

disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis

isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang

bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan

pesan positif kepada pembacanya.

b) Metode Deskripstif

Moleong mengemukakan bahwa metode penelitian

kualitatif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk

memahami fenomena tentang yang dialami subjek

penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan

dan lain-lain.6 Dalam mengkaji novel Rinai Kabut

Singgalang digunakan metode penelitian deskriptif. Hasil

analisis data dalam novel disusun sistematis sehingga

memudahkan dalam mendeskripsikan aspek budaya

Minangkabau yang terdapat dalam novel.

5. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

6. Prosedur penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini

menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:

a) Membaca novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad

Subhan yang telah dipilih.

b) Menetapkan novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad

Subhan sebagai objek penelitian dengan memfokuskan

6Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,

2005), h. 6.

Page 20: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

9

penelitian tentang aspek budaya Minangkabau dalam novel

tersebut.

c) Membaca ulang dengan cermat novel Rinai kabut Singgalang

karya Muhammad Subhan untuk mencari dan menandai kata,

kelompok kata, paragraf dan wacana mengenai aspek budaya

Minangkabau.

d) Mengklasifikasi data, menganalisis data, dan melakukan

pembahasan terhadap analisis dengan interpretasi data.

e) Menyimpulkan hasil penelitian.

Page 21: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

10

BAB II

KAJIAN TEORETIS

A. Hakikat Antropologi Budaya

Secara harfiah, dalam bahasa Yunani kata antropos berarti

“manusia” dan logos berarti “studi”. Jadi antropologi merupakan suatu

disiplin yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang

umat manusia.1 Secara definitif antropologi adalah ilmu pengetahuan

mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi dibedakan menjadi

antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang berkembang

menjadi studi kultural. Antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya

dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh

manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan

karya seni khususnya karya sastra.2

Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu

bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan

demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan

dengan akal.3 Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti

keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan

belajar serta keseluruhan dari budi pekertinya.4

Ilmu antropologi mencoba memberi jawaban mengenai

pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan manusia sebagai

makhluk sosial atau sebagai makhluk yang hidup dalam kelompok

masyarakat. Manusia dilahirkan dalam suatu kelompok dan tanpa warga

kelompok itu yang membesarkannya dia tidak dapat melangsungkan

1T.O Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

2006), h. 1. 2Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h. 351. 3Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Cet. 8,

h. 181. 4Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. 5,

h. 31.

Page 22: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

11

hidupnya.5 Seorang ahli antropologi dapat mendeskripsi etos dari suatu

kebudayaan, terutama dengan mengamati tingkah laku dan gaya hidup

warga kebudayaan itu, tetapi juga dengan menganalisis sifat-sifat dari

berbagai unsur dalam kebudayaan tersebut, baik unsur-unsur fisiknya,

seperti wujud dan gaya seni rupa, warna-warna yang secara menyolok

disukai oleh sebagian besar warga, maupun unsur-unsur kebudayaan yang

sifatnya lebih rohaniah, seperti tema-tema yang dominan dalam cerita-

cerita atau kesusastraan.6 Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai

satuan analisis tertentu. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa unsur-unsur

kebudayaan yaitu sistem bahasa, sistem teknologi, sistem mata

pencaharian, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem

kesenian, dan sistem religi.7

B. Aspek Budaya Minangkabau

Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan

besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat

Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui

jalur perempuan atau matrilineal. Dalam sistem ini menarik garis

keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara

laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik

laki-laki maupun perempuan. Budaya Minangkabau menganut sistem

matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan

sebagainya.8

5Ihromi, op. cit., h. 20.

6Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: UI-PRESS, 1990), h. 40.

7Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 4. 8Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 36.

Page 23: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

12

Gejala migrasi (merantau) memang merupakan ciri khas

masyarakat Minangkabau dan sekaligus tradisi lama. Menurut Windstedt

sejak abad XIV sudah terdapat kelompok-kelompok masyarakat

Minangkabau di semenanjung Melayu.9 Di Indonesia dari dahulu orang

Minang terus-menerus berpindah, dan dewasa ini masih berpindah secara

berkelompok menuju daerah-daerah lain, tempat mereka dengan mudah

dapat memulai usaha perdagangan atau membuka rumah makan. Kedua

jenis usaha itu memang yang paling mereka gemari.10

Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada suku-

suku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang

membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat

Minang menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial.

Kehidupan masyarakat Minang dikuasai oleh sistem suku; satu suku

beranggotakan semua individu yang merasa memiliki nenek moyang yang

sama. Dalam sistem itu, ladang dan sawah merupakan milik keturunan

garis wanita, yang dianggap sebagai pelindung tanah serta bertanggung

jawab atas penggarapannya. Secara ekonomi dan sosial seorang anak

menjadi anggota suku ibunya.11

Kekhasan lain yang sangat penting ialah

bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok

nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap

individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa

menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara

adat.

Pada masyarakat Minangkabau, harta pusaka diturunkan secara

kolektif kepada anggota kaum dalam garis kekerabatan yang matrilineal.

Hal tersebut berbeda dengan ketentuan waris yang diatur oleh hukum

Islam. Menurut ketentuan hukum Islam, harta diturunkan kepada ahli

9Rahayu S. Hidayat, Tata Bahasa Minangkabau, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. 1998), h. 8. 10

Ibid., h. 9. 11

Ibid.

Page 24: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

13

waris secara individual. Dan berdasarkan sistem kekerabatannya yang

bilateral, harta warisan diturunkan dari garis ayah dan ibu. Dari kedua

ketentuan yang berbeda tersebut, dicoba untuk mencari pertautan yang

dapat ditarik di antara keduanya.12

Aspek budaya Minangkabau meliputi:

1. Sistem Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan

manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat

tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan

menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya

atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri

dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan

sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk

masyarakat.

Berbicara tentang suku bangsa Minangkabau dan

kebudayaannya, sama halnya dengan berbicara tentang banyak suku

bangsa lain di Indonesia, kita tak dapat mengabaikan perubahan yang

telah berjalan sejak beberapa lama itu dan yang telah menghilangkan

homogenitas yang dulu ada. Masing-masing orang Minangkabau

dahulu, hanya mempunyai kesetiaan pada nagari mereka sendiri, dan

tidak kepada keseluruhan Minangkabau. Orang dari nagari A yang

tinggal di nagari B, akan dianggap sebagai orang asing.

Meski begitu orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa

yang sama, yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah bahasa

yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu.13

Menurut penelitian

ilmu bahasa, bahasa Minangkabau boleh jadi merupakan sebuah

bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek

12

Gultom, op. cit., h. 94. 13

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liska fariska

Putra, 2004), Cet. 21, h. 249.

Page 25: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

14

saja dari bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa Melayu umumnya

dapat dicarikan kesamaannya dalam bahasa Minangkabau dengan jalan

mengubah bunyi-bunyi tertentu saja. Perhatikanlah contoh-contoh

berikut ini: jua „jual‟, taba „tebal‟, lapa „lapar‟, saba „sabar‟, takuik

„takut‟, sabuik „sebut‟. Kalau orang mencoba mengadakan perbedaan

di antara orang-orang Minangkabau, maka perbedaan itu biasanya

dihubungkan dengan perbedaan dialek yang ada dalam bahasa

Minangkabau. Secara garis besar, daerah pemakaian bahasa

Minangkabau dibedakan dalam dua daerah besar, yaitu daerah /a/

terdapat di pasisie (pesisir) Sumatera Barat seperti Pariaman dan kota

Padang dan daerah /o/ terdapat dibagian darek (darat) yaitu di

Bukittinggi, Pasaman, Solok dan Batusangkar. Perhatikan contoh

berikut ini:

Bahasa Melayu Dialek /a/ Dialek /o/

Penat panek ponek

Apa a ano

Mana ma mano

Lepas lapeh lopeh

2. Sistem Teknologi

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,

serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Dalam teknik

tradisional, sedikitnya 8 macam sistem peralatan dan unsur

kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam

Page 26: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

15

mesyarakat kecil yang pindah-pindah, atau masyarakat petani di

daerah pedesaan. Ke-8 sistem peralatan itu adalah:14

a) Alat-alat produksi

b) Senjata

c) Wadah

d) Alat untuk membuat api

e) Makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu

f) Pakaian dan perhiasan

g) Tempat berlindung dan rumah

h) Alat-alat transportasi

Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau

contohnya, yaitu bentuk desa dan bentuk tempat tinggal. Desa mereka

disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari terdiri dari dua

bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari ialah daerah

kediaman utama yang dianggap pusat sebuah desa. Halnya berbeda

dengan taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang.

Rumah adat Minangkabau biasa disebut Rumah Gadang dan

merupakan rumah panggung. Bentuknya memanjang dengan atap

menyerupai tanduk kerbau. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki

tiga didieh yang digunakan sebagai kamar dan ruangan terbuka untuk

menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa rumah gadang juga

memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang

ditambahkan pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat

kehormatan.

14

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 23.

Page 27: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

16

3. Sistem Mata Pencaharian

Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini

terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di

antaranya:

a) Berburu dan meramu

b) Beternak

c) Bercocok tanam di ladang

d) Menangkap ikan

Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar

menjadi petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian

utamanya adalah mencari ikan.15

Jika dulu hasil pertanian dan

perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi

keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan

utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi

kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga.

Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan

dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah

yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu

nasib di negeri orang (merantau).16

Untuk kedatangan pertamanya ke

tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di

rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau

baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil. Selain itu,

perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah

ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk

mendistribusikan hasil bumi mereka.

15

Puri Maulana, “Kebudayaan Suku Minangkabau”, 2013,

(http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabau-kebudayaan-sistem-

kepercayaan-bangsa.html) diunduh pada hari Selasa, 2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB. 16

Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1984), h. 1.

Page 28: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

17

4. Sistem Organisasi Sosial

Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting

dalam struktur sosial. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri

dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan

perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,

menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.

Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau

diperhitungkan menurut garis matrilieal. Seorang termasuk keluarga

ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar

keluarga anak dan istrinya, sama halnya dengan seorang anak dari

seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya.

Kesatuan keluarga yang terkecil di Minangkabau adalah paruik

(perut). Dalam sebagian masyarakatnya, ada kesatuan kampung yang

memisahkan paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari

ketiga macam kesatuan kekerabatan ini, paruik yang betul-betul dapat

dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat genealogis.17

Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki

dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai ninik mamak bagi

keluarga itu. Istilah mamak itu berarti saudara laki-laki ibu. Suku

dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal

dan jodoh harus dipilih dari luar suku. Di beberapa daerah, seorang

hanya terlarang kawin dalam kampungnya sendiri, sedangkan di

daerah lain orang harus kawin di luar sukunya sendiri. Pada masa dulu

ada adat bahwa orang sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan

mamaknya (pulang ka anak mamak) atau menikahi kemenakan

ayahnya (pulang ka bako) ini disebut perkawinan dalam suku atau

nagari.18

Tetapi karena berbagai keadaan pola-pola ini pun mulai

17

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liskafariska

Putra, 2004), Cet. 21, h. 255. 18

Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal

Multimedia, 2009), h. 259.

Page 29: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

18

hilang, seperti perkawinan dengan perempuan dari luar suku

Minangkabau.

5. Sistem Pengetahuan

Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat

mementingkan informasi. Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau

dikenal sebagai masyarakat yang lebih dulu mengenal dan menerbitkan

surat kabar Indonesia. Begitu juga dengan adanya kebiasaan merantau,

telah menyebabkan orang Minang menjadi sangat terbuka, menerima

berbagai perkembangan keilmuan.

Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk

mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil,

para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi

Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi

guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat

Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Filosofi ini bermakna

bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal dari

alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan.

Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di

kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak

diantara mereka yang pergi merantau.

6. Sistem Kesenian

Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia

menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana

hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Berdasarkan indera

penglihatan dan pendengaran manusia, maka kesenian dapat dibagai

sebagai berikut:19

19

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 20.

Page 30: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

19

a) Seni rupa yang terdiri dari seni patung dengan bahan batu dan

kayu, seni menggambar dengan media pensil dan crayon, dan seni

menggambar dengan media cat minyak.

b) Seni pertunjukan yang terdiri dari seni tari, seni drama, dan seni

sandiwara.

c) Seni musik

d) Seni kesusastraan

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi

dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta

adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari

pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai

ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu

istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan

bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil

memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi

dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.

Silek atau silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri

tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain

itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan

randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga

dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting)

berdasarkan skenario.

Seni bangunan Minangkabau berupa rumah adat Gadang

berbentuk rumah panggung yang memanjang terbagi: biliek sebagai

ruang tidur, didieh sebagai ruang tamu, anjueng sebagai tempat tamu

terhormat. Ciri utama rumah gadang terletak pada bentuk lengkung

Page 31: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

20

atapnya yang disebut bagonjong yang artinya menyerupai tanduk

kerbau.20

7. Sistem Religi

Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur

tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang

Maha Besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan

lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.

Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang

Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya

perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan

cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan

adat budaya Minang pada syariah Islam.21

Hal ini tertuang dalam Adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat

mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan

kepada Al-Quran), artinya ajaran-ajaran agama Islam itu memang

menjadi pakaian sehari-hari dalam kehidupan masyarakat

Minangkabau.22

Sejak reformasi budaya pada pertengahan abad ke-19,

pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau

berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap

kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, di samping

surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau

yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau,

selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu

bela diri pencak silat.

20

Shina Romandiyah, “Suku Minangkabau”, 2013,

(http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/suku-minangkabau/) diunduh pada hari

Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15 WIB. 21

Ziya, “Kebudayaan Minangkabau”, 2012,

(http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html)diunduh

pada hari Minggu, 3 Februari 2013 pukul 14.00 WIB. 22

Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan, (Yogyakarta: INSISTPress,

2010), h. 11.

Page 32: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

21

Sebagian masyarakat Minangkabau menganut agama Islam.

Sebagian masyarakat Minangkabau percaya dengan adanya hantu,

seperti kuntilanak, perempuan penghirup ubun-ubun bayi dari jauh,

dan menggasing (santet) yaitu menghantarkan racun melalui udara.

Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi Upacara Tabuik,

Khitan, Turun Tanah, dan upacara selamatan orang meninggal.

C. Hakikat Novel

Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif,

biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel

berasal dari bahasa Italia novella yang berarti "sebuah kisah atau sepotong

berita".

The novel is fictitious- fiction, as we often refer to it. It

depicts imaginary characters and situations.23

Novel adalah karya fiktif- fiksi, seperti yang sudah kita

ketehui. Novel menggambarkan imajinasi karakter dan situasi.

Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks

dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal

sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokoh-

tokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik

beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel dalam bahasa

Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih

kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.

Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di

dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya

komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel

dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan.

23

Jeremy Hawthorn, Studying the Novel: an Introduction, (New York:Great Britain, 1989)

h. 4.

Page 33: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

22

Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni

bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai

karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia

merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga

memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel

adalah karya sastra berbentuk prosa yang di dalamnya terdapat unsur-

unsur intrinsik. Unsur intrinsik dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang

secara langsung membangun karya sastra itu sendiri.24

Unsur intrinsik

sebuah novel terdiri dari tema, latar, sudut pandang, alur, penokohan, gaya

bahasa, dan amanat. Adapun penjelasannya sebagai berikut:

1. Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang

mendasari jalan cerita novel. Dalam novel, tema merupakan gagasan

utama yang dikembangkan dalam plot.25

2. Latar atau Setting

Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan

cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, sosial. Latar biasanya

diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi

cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa

diciptakan dari tempat dan waktu imajiner ataupun faktual. Dan yang

paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya,

adalah bagaimana pengarang memadukan tokoh-tokohnya dengan latar

di mana mereka melakoni perannya.26

24

Burhanudin Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 2005), Cet. 5, h. 23. 25

Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, (Bogor:Ghalia

Indonesia, 2010), h. 75. 26

Ibid., h. 74.

Page 34: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

23

3. Sudut Pandang

Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:

a) Pengarang menggunakan sudut pandang atau kata ganti orang

pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan

mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.

b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih

banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita

pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.

c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali

berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu.

Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan

rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.

4. Alur atau Plot

Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur

dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur

maju yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan

urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur yaitu

terrjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.

5. Penokohan

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa

diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat

tinggal.

Page 35: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

24

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan

gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan

harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat

menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.27

7. Amanat

Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh

pengarang kepada pembaca. Amanat juga dapat diartikan sebagai

makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra atau makna yang

disarankan lewat cerita yang ditulis oleh pengarang.28

D. Pendekatan Objektif

Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur

(pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran

kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman

Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity,

complexity, dan coherence. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang

merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks

bersangkutan. Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah

struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif,

bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang

kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak

hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan

unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of

view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-

unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut

merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang

27

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 158.

28

Nurgiyantoro, op.cit., h. 320.

Page 36: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

25

yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Pendekatan objektif

dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur

yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang

ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik,

seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural

lainnya, termasuk biografi.29

Pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti

atau dianalisis itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi

objeknya mempunyai unsur-unsurnya yang satu dengan lainnya tidak

dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak diuraikan dalam

pendekatan objektif.30

Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang

terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya

bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Melalui pendekatan objektif, unsur-

unsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.

Dalam menganalisis secara objektif, penelitian ini hanya

membatasi pada tema, amanat, sudut pandang, alur, penokohan, dan latar

atau setting dan gaya bahasa yang ada pada novel Rinai Kabut Singgalang

terkait dengan persoalan yang diangkat yaitu tentang aspek budaya

Minangkabau dengan tinjauan antropologi.

E. Hakikat Pembelajaran Sastra

Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di

samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran

pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis

yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama,

tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan.31

Pada

hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan

sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti

29

Ratna, op. cit., h. 73. 30

Maman S Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2006), h. 24. 31

Nurgiyantoro, op.cit., h. 1.

Page 37: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

26

dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra

merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai

sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun

SMK).32

Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu

menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat

diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat

produktif-apresiatif.

Pembelajaran sastra di sekolah merupakan bagian dari

pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam

pembelajaran bahasa Indonesia karena secara umum, sastra adalah segala

sesuatu yang ditulis. Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena

berhubungan erat dengan keharuan dan keindahan. Di samping

memberikan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada

siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra

Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran,

pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Sastra memiliki potensi yang

besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan

budaya. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus

interaktif, sastra dapat menjadi sumber semangat bagi munculnya gerakan

perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang

lebih baik.33

Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada

kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan

atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyak-

banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan

berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa,

kematangan jiwa, dan prioritas. Penelitian yang difokuskan pada aspek

32

Dedi Wijayanti, “Pengajaran di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, 2013,

(http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip) diunduh

pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB. 33

Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2008), h. 131.

Page 38: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

27

budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang diharapkan

dapat membuat siswa mencintai dan melestarikan salah satu kebudayaan

besar di Indonesia.

F. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian

sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari

awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini

bertujuan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh

karena itu dirasakan perlu sekali meninjau penelitian yang telah ada.

Berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan, banyak penelitian

yang menganalisis novel. Penelitian terdahulu yang relevan dengan

penelitian ini adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Elsa Nindiarti. Skripsi (2012)

STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh yang berjudul Analisis Nilai Moral

Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Elsa

menyimpulkan bahwa secara keseluruhan analisis nilai moral novel Rinai

Kabut Singagalang karya Muhammad Subhan ini sudah dapat dikatakan

baik. Hal ini tercermin dari moral tokoh utamanya yang sudah baik dan

dapat diteladani. Elsa mengelompokkan ada 4 aspek moral yang perlu

diteladani yaitu, aspek hatinurani, aspek kebebasan dan tanggungjawab,

aspek nilai dan norma, serta aspek hak dan kewajiban. Pesan moral yang

disampaikan dalam novel ini yaitu: Jangan pernah membalas kejahatan

dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan karena hal

itu bisa membuat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari

kesalahannya itu.

Penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Riyan Hidayat. Skripsi

(2012) STKIP YPM Bangko Jambi yang berjudul “Kajian Emosi Pelaku

Cerita dalam Novel Rinai Kabut Singgalang”. Riyan menyimpulkan

bahwa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan

Page 39: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

28

menyajikan emosi yang beragam dari para pelakunya ketika menghadapi

suatu permasalahan, yang kemudian bisa ditarik kesimpulan secara positif.

Hal ini terlihat pada ditampilkannya tindakan-tindakan yang baik untuk

dicontoh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Penelitian yang dilakukan oleh Silvia Deswika, Abdurrahman, dan

Zulfikarni. Artikel (2011) FBS Universitas Negeri Padang yang berjudul

Struktur dan Nilai Religius dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya

Muhammad Subhan. Silvia, dkk. menyimpulkan bahwa dalam novel RKS

terdapat tiga nilai religius yang dianalisis yaitu nilai religius dalam lingkup

aqidah, syariah, dan akhlak. Secara umum banyak hal yang dapat

dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad

Subhan.

Penelitian yang akan dilakukan penulis mempunyai persamaan

yang mendasar. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama

memakai Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan

sebagai objek yang akan diteliti. Namun, penelitian ini juga memiliki

perbedaan yang mendasar dalam subjek penelitiannya. Yaitu penulis

meneliti aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut

Singgalang karya Muhammad Subhan dan Implikasinya terhadap

pembelajaran sastra di SMA.

Page 40: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

29

BAB III

TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG

A. Sinopsis Novel

Latar novel ini adalah di Minangkabau. Dikisahkan, Maimunah

(ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari

ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), laki-

laki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai orang-datang (orang yang tak

jelas adat-istiadatnya). Menerima laki-laki itu sama saja dengan

mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah

melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di

kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah

kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup

berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak

kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila),

lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.

Luka serupa kelak dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena

ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum

ke Padang, Fikri mencari mamak (pamannya) di Kajai, Pasaman. Di

kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat mamak Safri yang

mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh, dan karena itu

ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh

akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang.

Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi

kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan.

Keluarga Rahima, utamanya Ningsih (kakak Rahima) bulat-bulat menolak

pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan; Fikri orang-datang.

Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluh

lantahnya kota Aceh, karena bencana dahsyat yaitu tragedi gempa dan

Page 41: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

30

tsunami pada tahun 2004. Annisa, adik kandungnya digulung gelombang

besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibu-

bapaknya telah meninggal sebelum bencana. Kini Fikri hidup sebatang

kara, dan begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya.

Rahima kekasih pujaannya itu telah dijodohkan dengan laki-laki lain.

Akhirnya Rahima dibawa oleh kakaknya ke Jakarta untuk dijodohkan

dengan laki-laki pilihannya. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam

kesendirian, lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar

kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain

ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam

dikerak kepedihan.

Beberapa hari Fikri terbaring lemah, karena menanggung derita.

Beruntunglah ada sahabatnya Yusuf yang selalu memberikan motivasi

sehingga bangkitlah ia agar tetap tegar menghadapi kehidupan. Berkat

kesusahan hidupnya dan segala penderitaan yang ia tanggungkan,

menghantarkan ia menuju jenjang kesuksesan. Ia menjadi pengarang

terkenal, novelnya laris manis di pasaran.

Keberhasilannya itu yang mempertemukan ia kembali dengan

Rahima, namun sayang Rahima telah menjanda. Ningsih yang merasa

malu pada Fikri, meminta maaf atas kesalahannya dulu yang memutuskan

tali cintanya dengan Rahima. Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi

Fikri dan keluarga Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan

keluarganya meninggal seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia

divonis tidak akan bisa bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada

sahabatnya Yusuf untuk menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian

Fikri, Rahima pun jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di

sebelah makam Fikri.

Page 42: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

31

B. Pengarang dan Karyanya

Rinai Kabut Singgalang adalah novel pertama yang ditulis

Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 3 Desember 1980,

berdarah Aceh-Minang. Sejak sekolah di SMP Negeri 6 Kruenggeukueh

dan SMA Negeri 1 Palda Dewantara, Aceh Utara, ia suka mengarang

puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di sejumlah harian lokal Aceh.

Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan

menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah

surat kabar di Padang, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media

Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan

(2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia

(www.kabarindonesia.com) yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan

kontributor Majalah Islam Sabili (2008-sekarang). Sejak 2 Maret 2012, ia

memimpin wadah kepenulisan Nasional Forum Aktif Menulis (FAM)

Indonesia yang berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur.

Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan

atau seminar tentang kepenulisan atau jurnalistik di sejumlah sekolah dan

perguruan tinggi. Selama kurang lebih 4 tahun, ia studi sastra di Rumah

Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar dan

menjadi Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.

Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama,

di antaranya Lautan Sajadah (Kuflet Publishing, 2009), Ponari for

President (Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Sastera

Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh

Kita (AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari

(Bappeda Sumbar, 2009), Kado untuk Jepang (AG Publishing, 2011),

Fesbuk (Leutika, 2012), Menyirat Cinta Hakiki (Malaysia, 2012). Saat ini

ia sedang mempersiapkan penerbitan novel keduanya berjudul Agam yang

Page 43: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

32

akan diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis

(FAM) Indonesia.1

Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah

sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia

jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang

jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata

kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain.

Lebih dari delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik,

hidupnya memang biasa-biasa saja dan „tetap miskin.‟ Menjadi penulis,

sebenarnya telah dilakoni Subhan ketika masih kelas II SMP. Saat itu dia

sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding (mading)

sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh

Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai „petualangan‟ di Kota

Padang.2

Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup

berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang

pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari

satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya

cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar

kontrakan rumah. Kendati kini kehidupannya lebih baik, namun Subhan

mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri.

Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan

yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.3

Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke

dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin mushala,

1Wawancara dengan Muhammad Subhan lewat Facebook, pada hari Jumat, 15 Februari

2013 pukul 17.00 WIB. 2Musriadi Musanif, “Subhan Obsesi Menjelajah Dunia”, 2011,

(http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-dunia-jurnalistik-

lalu_08.html) diunduh pada hari Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB. 3Ibid.

Page 44: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

33

mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis

dan menyandang „status‟ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM)

Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM

Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM

lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian (SKH)

Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media

lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan

sekarang sudah tidak terbit lagi.

Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat

melanglang buana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di

beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta,

Jakarta. Pengakuan Subhan, selama bekerja di Harian Haluan kemampuan

jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan

penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil

presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan

tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya

menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya

menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest

masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal.

Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan ia ditugaskan ke

Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda)

Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di

kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia

menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang

di berbagai belahan dunia.

Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan ia dengan Harian

Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir

2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan

sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang,

Page 45: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

34

tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang

biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Subhan bukan siapa-

siapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat

mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur

hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat

Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan

orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan

biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang

bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang

aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di

sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya

serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi

motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya.

Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.

Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis

Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka

yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit

saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat,

ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396

halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh

Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta.

Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas

sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik

atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan

sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka

menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana

dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang

dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan

Munaf. Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas

Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk

Page 46: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

35

dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan adat menjadi tema mayor (tema

utama) dalam RKS. Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan

Muhammad Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi

dari haru biru hidupnya.4

Ada peristiwa nyata (realitas sosial), ibunya Muhammad Subhan

berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang

Tanjung Pidie, Aceh. Muhammad Subhan dalam usia muda ayahnya

meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad

membawa pulang keluarganya (ibu dan adiknya) ke Padang dari Aceh,

terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan

Tinggi, dan akhirnya jadi garin masjid. Akhirnya ia menjadi wartawan,

sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail selain bergiat di

Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal

Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No. 08 Ganting

Padangpanjang dan menetap di Padang Panjang. Peristiwa diri yang

dilakoninya bertahun-tahun untuk bangkit dari keterpurukan

dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan

tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur

di dada Muhammad Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi

bernama Rinai Kabut Singgalang.5

Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dinilai

sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca

antusias menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa

yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi

hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang

dilalui tokoh utama bernama Fikri. Subhan mengaku bahwa ia adalah

penggemar tulisan Hamka yang menurutnya bahasa Hamka itu sangat

4Sulaiman Juned, “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca

Muhammad Subhan”, 2012, (http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novel-

rinai-kabut-singgalang.html) diiunduh pada hari Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB. 5Ibid.

Page 47: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

36

indah. Oleh karena itu novel Rinai Kabut Singgalang disajikan dengan

membawa gaya penuisan Buya Hamka yang dikemas dengan bahasa khas

Muhammad Subhan.

Page 48: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

37

BAB IV

TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

A. Unsur Intrinsik Novel

Untuk menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai

Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan diperlukan analisis dari segi

unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik tersebut dapat mendekatkan

masalah pada penelitian yang akan dilakukan.

1. Tema

Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang

mendasari jalan cerita novel. Tema cerita yang ditemukan dalam novel

Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan adalah tentang kasih

tak sampai seorang pemuda yang terhalang adat istiadat. Tema ini

tergambar melalui tokoh seorang pemuda bernama Fikri. Kisah cinta

Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang

datang (pendatang), tidak beradat, dan miskin harta. Ia berasal dari

keluarga yang kurang mampu dan tinggal di Aceh. Fikri bercita-cita

untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Padang. Setelah

ayahnya meninggal ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi

merantau ke Padang.

Perjalanan yang ditempuhnya tidak mudah. Ibunya berpesan

agar ia terlebih dahulu harus ke tempat asal ibunya di kampung Kajai

untuk menemui mamaknya. Setelah sampai di sana ia mendapati

mamaknya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Selama dua bulan,

Fikri merawat mamaknya dengan penuh kasih sayang. Tetapi, pada

suatu hari terjadi tragedi pembunuhan yang mengakibatkan mamaknya

meninggal dunia. Setelah Mak Safri meninggal, kemudian Fikri

Page 49: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

38

melanjutkan perjuangannya untuk kuliah di Padang berbekal ijazah

SMA yang dimilikinya.

“Apa akal saya sekarang, Mak? Tak ada lagi yang dapat

saya kerjakan di sini, sementara umur saya masih muda,

banyaklah yang dapat saya lakukan di luar sana, terutama

sekolah saya yang belum dapat saya teruskan,” ujar anak muda

itu dengan takzimnya. Perasaan sedih akan bercerai dengan

kedua orang tua itu juga menyelimuti jiwanya.1

Di Padang Fikri bertemu dengan seorang gadis bernama Rahima

dan ibunya, Bu Aisyah, yang sangat baik kepadanya. Timbullah

perasaan suka dan cinta yang mendalam pada pemuda tersebut, hingga

muncullah tokoh kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan

mereka berdua. Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih

lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi

mementingkan kehendaknya. Perhatikan cuplikan novel berikut:

“Apa salah saya? Apakah saya tidak beradat karena saya

tidak mau dijodohkan dengan pilihan kakak yang orang Jakarta

itu? Kepada Kak Fikri janganlah kakak memburuk-burukkan

dia. Beliau orang baik walau dia seorang miskin-papa. Akhlak

dan agamanya terpuji. Dia tidak pernah merendahkan harga diri

saya. Pergaulan kami juga sebatas hubungan kakak dan adik.

Saya banyak belajar dari dia tentang kesederhanaan. Saya sudah

besar Kak, cukuplah hidup saya diatur...”.2

Duhai, inilah adat di dunia, si miskin-papa hanya dapat

meratapi kemalangan hidupnya. Anak muda itu bagaikan

pungguk merindukan bulan. Semakin dirindukan semakin jauh

saja bulan itu disaput awan. Putus harapan, putus segala impian

yang mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta

yang baru tumbuh namun orang lain merenggutnya secara

kejam. Dipisahkannya ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan

dirinya.3

1Muhammad Subhan, Rinai Kabut Singgalang, (Kediri: FAM Publishing, 2013), cet. 2,

h. 110. 2Ibid., h. 239.

3Ibid., h. 249.

Page 50: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

39

2. Latar

Latar atau setting dalam cerita adalah gambaran dari tempat, waktu

dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan. Pada novel Rinai Kabut Singgalang latar cerita secara

umum berada di Minangkabau. Muhammad Subhan mendeskripsikan

secara jelas setiap latar dalam ceritanya. Latar yang dijadikan penelitian

dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah latar tempat, latar waktu,

dan latar sosial. Berikut akan diuraikan masing-masing latar tersebut.

a. Latar Tempat

Latar tempat yang terdapat dalam novel Rinai Kabut

Singgalang yaitu di Kajai Pasaman, Sumatera Barat. Sebuah

kampung berpanorama indah yang terletak di kaki Gunung Talamau.

Dibelah oleh Batang Tongar, sungai berair deras namun banyak

ikannya. Kajai adalah kampung kelahiran Maimunah ibunya Fikri

dan di Kajai ia dititipkan amanah oleh ibunya untuk menemui Mak

Safri, mamaknya. Berdasarkan letak geografisnya di pegunungan,

maka keadaan kampung Kajai sangat sejuk jauh dari keramaian dan

mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Disekitar juga

tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong,

sebagai ciri khas rumah adat di Minangkabau. Berikut kutipan:

Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula

rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong.

Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini

hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di

layar kaca tatkala siaran berita wisata.4

Latar tempat lainnya terjadi di Padang, tepatnya di Teluk

Bayur. Setelah kepergiannya meninggalkan Kajai, Fikri memutuskan

untuk pergi merantau ke Padang agar dapat melanjutkan cita-citanya

4Ibid., h. 42.

Page 51: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

40

yaitu kuliah. Di Padang ia tinggal bersama induk semang atau orang

tua angkat bernama Bu Rohana dan Pak Usman yang diperolehnya

dari Bu Aisyah. Rumah orang tua angkatnya itu di Teluk Bayur,

pelabuhan laut yang terkenal itu. Senang betul rupanya kedua orang

tua itu menerima kehadiran Fikri, karena mereka hanya tinggal

berdua sementara anak-anaknya sudah berkeluarga semua, maka

dengan kehadiran Fikri dapat membantu pekerjaan orang tua itu.

Sejak tinggal di rumah Bu Rohana banyaklah yang dikerjakan Fikri,

apapun yang dapat dikerjakannya ia lakukan dengan senang hati

termasuk membantu Pak Usman berladang. Ia juga merasa senang

tinggal di sana karena Teluk Bayur sedikit mengingatkan Fikri akan

kampungnya di pesisir Aceh.

Kagumlah ia akan pemandangan yang indah itu.

Kampungnya di Aceh memang punya laut, tapi tak ada ia

lihat dermaga pelabuhan sebesar Teluk Bayur. Bertambah

lagi pengetahuannya akan pemandangan yang indah.5

Selain di Minangkabau latar lain yang terdapat dalam cerita

adalah di Jakarta. Tokoh Fikri berada di Jakarta saat ia diundang

oleh salah satu penerbit dari Jakarta yang berkeinginan untuk

mencetak novel karangan Fikri.

Di dalam perjalanan anak muda itu banyak

mendapatkan cerita tentang semaraknya Ibu Kota Jakarta

yang menambah kekagumannya. Selama diperjalanan dari

bandara hingga masuk ke pusat kota Jakarta, gedung-

gedung besar dan tinggi menjulang dilihatnya. Jalan raya

yang lebar, kendaraan yang sangat ramainya dan seringkali

mereka terjebak macet. Ternyata jauh benar jarak kantor

penerbit itu dari bandara.6

5Ibid., h. 157.

6Ibid., h. 288.

Page 52: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

41

Kemudian latar lainnya adalah di Koto Baru, Padang

Panjang tempat Fikri menghabiskan sisa hidupnya. Setelah

mengalami lika-liku kehidupan yang penuh onak dan duri

sampailah pada saatnya Fikri menjadi orang sukses seperti yang

diimpikannya dulu. Setelah menamatkan kuliahnya hingga menjadi

sarjana, ia pun menjadi penulis hebat yang karyanya sangat

dikagumi banyak orang. Kesuksesannya ini yang mengantarkan ia

bertemu kembali dengan sang pujaan hati, yaitu Rahima. Sampai

pada akhirnya Tuhan memisahkan keduanya. Fikri meninggal

dikarenakan kecelakaan pesawat yang ditumpanginya bersama

keluarga Rahima dari Jakarta ke Padang.

Bila Tuan dan Puan datang ke Kotobaru,

sempatkanlah singgah menatap keindahan Gunung

Singgalang tatkala rinai turun membawa kabut. Di sebuah

perbukitan kecil di tengah persawahan yang terbentang luas

hingga ke kaki Singgalang, di sanalah pusara Fikri sahabat

saya itu berkubur. Di bawah sebatang pohon kamboja yang

bunganya menebar aroma semerbak harum ke alam

sekitarnya. Di batu nisan yang terbuat dari pualam,

namanya terukir.7

Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar jenis ini

biasa disebut latar fisik. Latar fisik dapat berupa daerah, bangunan,

kapal, sekolah, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam

novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota,

perkampungan, jalan raya, dan sebagainya.

b. Latar Waktu

Latar waktu merujuk pada kapan terjadi peristiwa-peristiwa

yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar

waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah sebagai berikut:

7Ibid., h. 392.

Page 53: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

42

1. Pagi

Di halaman sebuah rumah gadang terdengarlah orang

menyapu halaman. Seorang perempuan tua dengan

tekunnya mengumpulkan daun-daun kering yang

berguguran ditiup angin tadi malam lalu membakarnya

dalam sebuah galian lubang. Dialah Mak Tuo yang sejak

usai subuh telah sibuk dengan aktivitas yang seolah tak

pernah henti meski usianya kian uzur.8

Pagi-pagi sekali bangunlah anak muda itu setelah

semalaman ia tidur dengan sangat lelapnya. Segala penat di

badannya lantaran berjalan jauh hilanglah sudah.9

2. Siang

Ketika siang datang beristirahatlah ia, berganti tugas

dengan Mak Bujang. Lalu pamitlah ia pulang,

membersihkan badan, kemudian menunggu Mak Tuo

merantangkan makanan untuk ia bawa kepada Mak Safri,

mamaknya yang dipasung itu. Ia yakin Mak Safri kelak

akan sembuh jika ia dirawat secara orang sehat, bukan

secara orang sakit.10

Hari semakin tinggi. Di kursi meja makan tampaklah

anak muda itu menikmati hidangan yang dimasak Mak

Tuo. Ikan hasil tangkapannya telah berpindah ke piring,

digulai dengan cabai hijau kuah santan. Harum benar

aromanya. Di piring lain tampak tiga potong ikan goreng

yang masih hangat.11

3. Sore

Sibuklah sepanjang sore itu Fikri merawat mamaknya

dengan penuh kesabaran. Tak mampu mamaknya makan ia

suapkan, tak mampu minum ia sulangkan ke mulutnya.

Seringkali Fikri melihat jatuh saja berlinang-linang air mata

membasahi kedua pipi Mak Safri. Tapi lelaki itu tidak juga

bicara.12

8Ibid., h. 85.

9Ibid., h. 128.

10Ibid., h. 68.

11Ibid., h. 90.

12Ibid., h. 72.

Page 54: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

43

4. Malam

Malam itu tikarpun dbentang orang. Tak cukup di

ruang tengah, di serambi pun jadi. Pokoknya para petakziah

tidak memeberatkan, begitu juga orang yang sedang

kematian itu tidak meras terbebani. Semua tugas-tugas itu,

mulai dari membentang tikar hingga embuat kopi dan

penganan di dapur dilakukan pelayat. Tuan rumah tahu

beres saja. Mereka pun Mahfum bahwa ahlul bait sedang

kematian, jadi tidak boleh merepotkan.13

Pada intinya, penggambaran latar waktu dari pagi, siang,

sore, dan malam tersebut merupakan penggambaran tokoh Fikri

selama berada di Kampung Kajai. Di Kajai Fikri mengurus

mamaknya yang sedang sakit serta membantu pekerjaan Mak Tuo

dan Mak Bujang yang tak lain adalah kerabat dekat ibunya. Latar

waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Apabila

dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi dalam novel, terlihat

bahwa latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang terjadi

pada sekitar tahun 1990 s.d. 2000-an. Perhatikan cuplikan novel

berikut:

Di awal tahun 1990-an, Aceh menjadi perhatian

banyak orang. Bukan saja karena negeri itu kaya raya,

penghasil gas dan minyak bumi, tetapi juga karena konflik

yang tak pernah berhenti. Media massa nasional dan

internasional menyorot Aceh, negeri yang terus banjir

darah, karena perang saudara pecah, walau yang menjadi

korban selalu rakyat tak bersalah.

Di tahun-tahun itulah, di masa perang berkecamuk

dan tak kunjung usai, remaja itu menghabiskan hari-

harinya. Di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh

Utara.14

....

13

Ibid., h. 9. 14

Ibid., h. 2.

Page 55: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

44

Tanah pusara itu masih merah. Basah. Di atas

gundukan tanah kembang ragam rupa yang ditabur

kemarin masih tampak segar, jasad orangtua malang itu

telah beristirahat tenang di bawah sana. Di papan nisan

tertulis nama: Munaf bin Jalil, wafat dengan tenang 12-

07-1995.15

Kutipan di atas menggambarkan kehidupan Fikri di Aceh

pada waktu kanak-kanak hingga ayahnya meninggal dunia.

Berdasarkan kutipan di atas latar waktu terjadi pada sekitar

tahun 1990-an, karena ada penunjuk waktu ketika ayahnya Fikri

meninggal dunia pada tahun 1995. Penunjuk latar waktu lain

adalah ketika terjadinya Tsunami di Aceh pada tahun 2004.

Berikut kutipannya:

Surat Annisa itu adalah surat terakhir yang

diterima Fikri. Tak ada lagi kiriman surat berikutnya

yang datang dari Aceh. Sebab, tanggal 26 Desember

2004, di hari minggu pagi, seluruh daratan Aceh

diguncang gempa bumi dahsyat disusul tsunami hebat.

Air laut tumpah ruah ke darat. Menyapu semua rumah,

tanaman, ternak, dan membinasakan ratusan ribu

manusia. Fikri baru dapat menyaksikan tayangan

bencana besar itu di televisi beberapa hari sesudah

musibah itu terjadi.16

c. Latar Sosial

Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan

dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang

diceritakan dalam karya fiksi.17

Tata cara kehidupan masyarakat

mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks

juga diceritakan dalam karya sastra. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,

15

Ibid., h. 10. 16

Ibid., h. 195. 17

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2005), Cet. 5, h. 233.

Page 56: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

45

adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, cara

bersikap, dan lain-lain. Masyarakat Minangkabau termasuk

kelompok masyarakat yang dinamis dan mempunyai kebiasaan

merantau. Pergi merantau ini seakan-akan dapat suruhan atau

anjuran keras seperti dikatakan oleh pantun:

Ke ratau madang di hulu

Berbuah berbunga belum

Ke rantau bujang dahulu

Di kampung berguna belum18

Kebiasaan merantau ini bagi masyarakat Minangkabau

tidak hanya berkembang pada saat ini saja. Kebiasaan merantau

telah diajarkan nenek moyang sejak zaman dahulu, bahkan telah

dimulai sejak kecil. Kadang-kadang pergi merantau ini merupakan

kemestian bagi pemuda-pemuda Minangkabau. Begitu pula yang

dilakukan tokoh Fikri ia pergi merantau ke Padang, setelah ia

meninggalkan kampung ibunya di Kajai guna melanjutkan cita-

citanya yaitu kuliah. Berikut kutipannya:

Cukup larut juga ketiga orang yang besar kasih

sayangnya di antara mereka itu berbincang-bincang.

Banyaklah Fikri mendapat nasihat dari Mak Tuo dan Mak

Bujang di malam itu sebagai bekalnya jika ia telah tiba di

Padang nanti. Walau kota itu hanya dapat ditempuh tujuh

atau delapan jam dari Kajai kampung ibunnya, namun

cukup jauh bagi seorang anak muda seperti Fikri yang baru

kali itu seumur hidupnya mengadu nasib di negeri orang.19

Mayoritas masyarakat Minangkabau menganut agama

Islam. Agama Islam dalam masyarakat Minangkabau telah menjadi

dasar yang kuat. Hal ini terlihat pada penerapan Islam dalam

18

Lukman Ali, Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1994), h. 129. 19

Subhan, op. cit., h. 112.

Page 57: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

46

kehidupan sehari-hari. Banyak dari kalangan masyarakat

Minangkabau menjalankan ajaran agama Islam dengan taat.20

Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, latar sosial

masyarakat yang dominan adalah ketaatan beribadah dan

menjalankan adat serta menjalin hubungan baik antar sesama umat

yang beragama, seperti bertakziah ke rumah orang yang ditimpa

musibah, tolong-menolong antar sesama. Hal itu tergambar ketika

Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia banyaklah orang yang

datang melayat serta memberikan bermacam penganan ringan

sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang ditimpa

kematian. Berikut kutipannya:

Orang berganti-ganti datang melayat dan turut

berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu.

Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di

kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian.

Ada yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam

penganan ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati

atas kematian Mak Safri.21

3. Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia

merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai

sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa

yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.

Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, sudut pandang yang

digunakan adalah orang ketiga serba tahu, karena pengarang

mengetahui dan menceritakan segala hal yang yang terjadi pada tokoh.

Berikut kutipan yang menyatakan hal tersebut.

20

Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia”, makalah

pada Fakultas Bahasa dan Seni UNY, 2008, h. 3, tidak dipublikasikan. 21

Subhan, op. cit., h. 98.

Page 58: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

47

Hingga azan magrib berkumandang membuyarkan

kedukaannya, ia kerjakan salat di biliknya saja, meski hari-hari

biasa ia lebih suka salat ke surau yang tak jauh dari rumahnya.

Selesai salat kembali ia mengaji hingga waktu Isya. Usai Isya

baru ia coba menenangkan diri, mengambil pena dan kertas

memutuskan untuk membalas surat Annisa.22

4. Alur

Alur dalam novel Rinai Kabut Singgalang ini terdapat alur maju

atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa

dikisahkan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa

selanjutnya, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir.

Pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan

alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian

peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya

peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang

menciptakan alternatif penyelesaian.

Cerita bermula dari tanah kelahiran Fikri yaitu di Aceh. Selepas

ayahnya meninggal ia membulatkan tekad ingin memperbaiki nasib

keluarganya dengan jalan pergi merantau. Ia ingin merantau ke Padang,

di sana ia akan bekerja sambil kuliah, tetapi sebelum ia pergi ke Padang

diamanatkannya ia singgah di kampung halaman ibunya di Kajai. Di

sana Fikri bertemu sanak keluarga ibunya termasuk Mak Syafri. Mak

Syafri ialah kakak dari ibunya yang dalam keadaan sakit akalnya

sepeninggal ayah ibunya (kakek dan nenek Fikri) dan juga adik

kesayangannya. Di Kajai Fikri berbakti merawat Mak Safri yang

sedang sakit akalnya. Sampai akhirnya ketika ia terpaksa harus pergi

meninggalkan Kajai kampung ibunya, sebab tugasnya untuk merawat

mamaknya sudah selesai dikarenakan mamaknya itu meninggal saat

kejadian naas itu.

22

Ibid., h. 181.

Page 59: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

48

Awal konflik terjadi ketika di Padang ia bertemu dengan

Rahima, puteri Bu Aisyah yang menolongnya di Padang. Semakin

akrablah pergaulan antara Fikri dan Rahima, hingga tumbuhlah benih-

benih cinta diantara keduanya. Namun, apa hendak dikata maksud hati

hendak memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, tersiar kabar

bahwa Rahima telah dijodohkan dengan lelaki asal Jakarta oleh

kakaknya Ningsih. Remuk redam hati Fikri mendengar kabar itu.

Konflik meningkat ketika Fikri harus pulang ke Aceh, ia ingin

mencari keberadaan Ibu dan keluarga adiknya yang dilamun ombak

tsunami. Ia terpaksa harus meninggalkan Rahima kekasih hatinya

sementara waktu, berat hatinya untuk meninggalkan kota Padang

karena belum sempat ia menyelamatkan gadis itu dari perjodohan yang

dilakukan kakaknya Ningsih.

Konflik mencapai puncaknya ketika Fikri memutuskan untuk

melamar Rahima sepulang ia dari Aceh, namun pinangan Fikri ditolak

mentah-mentah oleh Ningsih karena ia adalah pemuda miskin-papa

yang dianggapnya tidak layak menikahi adiknya. Lalu Ningsih

membawa pergi adiknya itu ke Jakarta. Berpisahlah Fikri dengan

kekasih hatinya itu. Putus harapan, putus segala impian Fikri yang

mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta yang baru

tumbuh namun orang lain merenggutnya secara kejam. Dipisahkannya

ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan dirinya.

Penurunan konflik terjadi ketika Fikri dan Rahima bertemu di

Jakarta dalam acara peluncuran film yang diadopsi dari novel karya

Fikri. Pemuda yang dulu begitu menderita hidupnya, kini menjadi orang

sukses berkat penderitaannya itu yang ia tuliskan dalam sebuah novel.

Melihat kesuksesan Fikri, Ningsih merasa malu bahawa orang yang

dulu sangat ia benci kini telah sadar dan meminta maaf pada Fikri atas

perlakuannya dulu yang telah memisahkan ia dengan Rahima. Andai ia

tidak menjodohkan adiknya dengan kawan suaminya mungkin Rahima

tidak akan menjanda. Setelah pertemuan itu Rahima, jatuh sakit dan

Page 60: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

49

Ningsih meminta pada Fikri agar mau menjenguknya. Karena rasa

kemanusiaan Fikri mau datang ke Jakarta untuk menjenguk Rahima

dalam beberapa hari lamanya. Setelah terlihat Rahima semakin pulih

keadaannya, Ningsih memutuskan untuk pulang ke Padang menziarahi

makam ibunnya bersama keluarga dan Fikri.

Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi Fikri dan keluarga

Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan keluarganya meninggal

seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia divonis tidak akan bisa

bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada sahabatnya Yusuf untuk

menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian Fikri, Rahima pun

jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di sebelah makam

Fikri.

Pemaparan alur dalam novel ini adalah sebagai berikut:

a. Pengenalan

Pengenalan tokoh Fikri dan kehidupannya di Aceh dan Kajai

b. Konflik

Awal konflik ketika Fikri bertemu Rahima dan timbul rasa cinta

diantara keduanya. Akan tetapi, tersiar kabar bahwa Rahima akan

dijodohkan dengan pemuda asal Jakarta oleh kakaknya Ningsih.

c. Klimaks

Ketika lamaran Fikri ditolak oleh pihak Ningsih karena Fikri

seorang pemuda miskin papa yang tak jelas asal usulnya. Fikri

dianggap tidak layak bila disandingkan dengan adiknya.

d. Peleraian

Konflik mulai turun ketika Fikri menjadi pemuda sukses dan

bertemu dengan Rahima serta Ningsih di Jakarta. Ningsih

menjadi malu dan meminta maaf pada Fikri terhadap sikap-

sikapnya dulu yang kasar padanya.

e. Penyelesaian

Kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Fikri.

Page 61: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

50

5. Penokohan

Tokoh merupakan pemegang peran dalam novel atau drama

sedangkan penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas

tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.23

Masalah

penokohan dalam sebuah karya fiksi merupakan hal yang penting

karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh

yang diceritakan.

Tokoh yang diceritakan secara tidak langsung

mempresentasikan watak manusia dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh

yang dianggap penting dan paling menonjol dalam novel Rinai Kabut

Singgalang adalah Fikri, Rahima, dan Yusuf. Di samping itu, ada

banyak tokoh lain seperti Ningsih, Bu Aisyah, Munaf, Maimunah,

Annisa, Bu Rohana, Pak Usman, Mak Tuo, Mak Bujang, Mak Syafri,

Suami Ningsih, Pak Hartono, dan Sugiono. Dalam penelitian ini penulis

akan menguraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan

menguasai keseluruhan isi cerita seperti, Fikri sebagai tokoh utama,

Rahima, dan Yusuf. Berikut akan diuraikan karakter masing-masing

tokoh.

a. Fikri

Tokoh Fikri diperkenalkan di awal cerita. Fikri digambarkan

sebagai sosok anak yang ceria walau hidup keluarganya sangat

kekurangan. Ia menikmati masa kanak-kanaknya dengan riang sama

halnya dengan anak-anak lain seusianya. Fikri seorang pemuda

yang mempunyai cita-cita setinggi langit, meski ia anak seorang

buruh pelabuhan dan tukang cuci ia ingin sekolah hingga tingkat

perguruan tinggi. Namun cita-citanya terbentur oleh keadaan karena

ayahnya meninggal lantaran sakitnya, kedukaan sangat menyelimuti

keluarganya.

23

Nurgiyantoro, op. cit., h. 164.

Page 62: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

51

Sungguh, hari terasa lambat dilalui keluarga itu.

Seolah hari bekata, nikmatilah kematian itu. Jangan cepat

berlalu. Maka tidak ada tangis yang lebih tragis selain tangis

anak beranak yang saling bersedu sedan menghadapi

kenyataan nasibnya. Menyayat hati siapa saja yang

mendengarnya.24

Selain itu, tokoh Fikri juga digambarkan sebagai pemuda

yang suka membantu sesama, baik hatinya, santun terhadap orang

yang lebih tua darinya, rajin beribadah dan mengaji serta akrab

dalam pergaulan sesamanya. Sifat lembut dan keramahannya yang

membuat orang-orang senang dengannya. Kutipan:

Tentulah siapa yang tak suka dengan anak muda

yang perawakannya gagah layaknya ayahnya yang orang

Aceh. Hidung mancung, rambut ikal, mata teduh, sopan

pula tutur katanya, rajin ibadah, pandai bergaul, dan sangat

takjimnya pada orang tua. Sejak kedatangannya di Kajai,

banyaklah anak-anak gadis yang muda remaja diam-diam

memperbincangkan dirinya di tepian mandi kala mereka

mencuci.25

Tokoh Fikri juga digambarkan sebagai pemuda yang

pemaaf, ia tidak pernah menaruh dendam pada orang yang telah

menyakitinya. Ia sadar manusia di dunia ini tidak ada yang

sempurna, maka dari itu ia memaafkan segala perbuatan dan

penghinaan Ningsih dulu yang dialamatkan padanya.

“Cukup, Bang Yusuf. Cukup... Allah Maha

Pemaaf. Yang sudah, sudahlah. Saya telah melupakan

semuanya...” Fikri Menunduk, kedua telapak tangannya

meremas rambutnya yang hitam dan berminyak.

“Sungguh mulia hati engkau, Fikri. jarang ada orang

yang mau memaafkan bila dirinya disakiti sedemikian

beratnya, kecuali diri engkau,” kata Yusuf lagi. Entah

24

Subhan, op. cit., h. 9. 25

Ibid., h. 75.

Page 63: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

52

sindiran atau apa, masih tampak wajah tidak suka Yusuf

terhadap Ningsih setiap kali nama perempuan itu disebut.26

Dalam novel ini pengarang menggambarkan tokoh Fikri

sebagai tokoh sederhana, yaitu tokoh yang hanya memiliki satu

kualitas pribadi tertentu. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh

sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu

watak tertentu. Fikri yang dari awal digambarkan sebagai seorang

pemuda yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti halus budi

pekertinya, rajin beribadah dan pandai bergaul. Hingga di akhir

cerita Fikri tetap seorang pemuda yang baik ia memaafkan segala

kesalahan Ningsih dulu, yang telah memisahkan ia dengan

kekasihnya Rahima. Fikri pun merelakan Yusuf menikahi Rahima,

karena tak mungkin lagi ia dapat bersama orang yang ia kasihi itu,

sebab ajal yang datang menjemput.

b. Rahima

Rahima digambarkan sebagai gadis pandai, halus budi

pekertinya dan sangat berbakti pada orangtuanya. Awal pertemuan

Fikri dengan Rahima ketika Fikri menolong gadis yang kecopetan.

Saat itu Fikri terkena tusukan pisau belati si pencopet lalu dibawa

ke Rumah Sakit. Ternyata gadis yang ditolong Fikri adalah Rahima,

puteri dari Bu Aisyah yang satu bus dengannya sewaktu

menumpang dari Aceh ke Padang.

Rahima seorang gadis yang sopan, ramah, dan perhatian.

Semenjak berkenalan dengan Fikri di Rumah Sakit semakin

akrablah pergaulan di antara mereka. Tak jarang Rahima menemui

Fikri hanya untuk sekedar membawakan makanan yang dimasak

oleh bu Aisyah untuk Fikri.

26

Ibid., h. 361.

Page 64: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

53

“Assalammualaikum, Kak....”

“Wa.. alaikumussalam...,” jawab Fikri. Agak

terkejut ia melihat kedatangan gadis itu, putri Bu Aisyah

yang menolongnya tempo hari.

“Rahima? Kok sendirian, mana Ibu?”

Gadis itu tersenyum, manis sekali. Pipinya bersemu

merah.

“Saya cuma sebentar. Ini ada titipan makanan dari

ibu buat kakak. Ibu juga berpesan, besok kakak diminta

datang ke rumah bila ada waktu luang,” ujar gadis itu.

....

“Oh, baiklah. Mohon sampaikan terima kasih kakak

kepada ibu. Insya Allah, besok kakak sempatkan datang ke

rumah,” jawab Fikri.”27

Timbullah rasa suka dan sayang Rahima pada Fikri, tetapi

belum sempat kedua remaja itu saling mengutarakan isi hatinya

datang kabar dari kakaknya Ningsih bahwa ia akan dijodohkan

dengan pemuda asal Jakarta. Sungguh hancur perasaan Rahima,

baru kali ini ia memendam rasa cinta pada seorang pemuda tapi

kini direnggut oleh kakaknya sendiri. Walau sudah berusaha ia

menolak perjodohan itu, tetap ia tidak bisa menolak keputusan

kakaknya Ningsih karena biaya sekolah dan hidupnya selama ini

ditanggung oleh kakaknya. Ia hanya gadis lemah yang tak bisa

berbuat apa-apa, bahkan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi

hidupnya ia tidak berhak. Berikut kutipan:

Ningsih bukanlah seorang mamak bagi Rahima. Tapi

ia punya hak penuh mengatur kehidupan adiknya itu.

Dialah yang membiayai sekolahnya, dengan harapan kelak

Rahima dapat hidup lebih baik lantaran pendidikannya dan

bersuami orang yang mapan secara materi. Dan ia sudah

menemukan pilihan buat adiknya itu, seorang kawannya di

27

Ibid., h. 170.

Page 65: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

54

Jakarta yang bekerja di kantor suaminya. Walau demikian

sikap Ningsih tak dibenarkan Rahima karena ia tak ingin

dijodoh-jodohkan dengan orang yang tak ia kenal dan tak

pula ia cintai.28

c. Yusuf

Tokoh Yusuf adalah sahabat Fikri semenjak di Kajai. Yusuf

digambarkan sebagai tokoh yang baik, perhatian, dan selalu

membantu Fikri. Walau pada awalnya ia ikut menyepakati rencana

mencelakakan Fikri, tapi ia cepat insaf bahwa Fikri ialah pemuda

baik-baik yang tidak mempunyai kesalahan hingga harus

dicelakakan. Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, dapat

disimpulkan bahwa tokoh Yusuf adalah tokoh dinamis. Tokoh

dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang.

Pada awal Yusuf ialah seorang yang jahat tetapi mengalami

perubahan kepribadian di tengah-tengah cerita menjadi orang baik

dan bersahabat dekat dengan Fikri semenjak kematian Mak Safri.

Ia juga ikut Fikri tinggal di Padang. Yusuflah yang selalu

membantu Fikri, merawat Fikri ketika ia sakit dan pemberi

semangat ketika Fikri sedang putus asa. Kutipan:

Satu hal yang membuatnya dapat mengarang dengan

mudahnya, lantaran Yusuf sahabatnya sangat setia

membantu segala urusannya di rumah. Yusuflah yang

mencukupi kebutuhannya meski Fikri yang memberi uang

sebagai bekal belanja. Rumah yang ditempatinya di

Bukittinggi selalu dirawat Yusuf, demikian pula dengan

kamar tulisnya yang penuh dengan buku-buku bacaan. Tak

dibiarkan Yusuf buku-buku itu berdebu. Makan minumnya

Yusuf pula yang menyiapkan. Pokoknya ia menanggung

beres saja.29

6. Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian

ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu. Dengan kata lain

28

Ibid., h. 242. 29

Ibid., h. 330.

Page 66: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

55

gaya bahasa adalah cara khas pengarang dalam menyampaikan pikiran

dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam novel Rinai

Kabut Singgalang, Muhammad Subhan menulis menggunakan bahasa

Indonesia meski tidak seluruhnya, karena terdapat kata-kata atau istilah

lokal yang terdapat dalam novel yang membuat sebagian pembaca

mungkin belum mengerti. Seperti kata lapau, mamak, rancak, dan kata-

kata lain-lain yang belum pernah didengar. Berikut kutipannya:

Lamalah perempuan penghuni lapau itu memandang

Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran hampir seharian

ia berjalan ke sana ke mari mencari-cari alamat rumah

mamaknya itu. Dipandangnya juga wajah orang tua itu lekat-

lekat dengan penuh pengharapan. Kalaulah ia tidak menemukan

mamaknya itu, alamat tidak tahulah kepada siapa ia akan

menumpang tinggal, sementara malam akan datang.30

7. Amanat

Amanat yang terdapat di novel Rinai Kabut Singgalang adalah

berjuanglah dengan tegar dan sabar dalam meraih cita-cita meskipun

dalam himpitan ekonomi dan keterbatasan agar cita-cita itu terwujud

sesuai dengan keinginan. Selalu berserah diri kepada Tuhan dan sabar

dalam menghadapi segala cobaan. Berikut ini kutipan yang

menunjukkan hal tersebut.

Itulah romantika hidup, ada suka ada duka. Ada senang

ada susah. Hanya orang-orang yang bersabar saja akan

menghadapi hidup yang baik. Fikri lah orangnya yang

merasakan itu. Apa kurangnya segala penderitaan ia

tanggungkan selama ini. dari sejak kematian kedua orang tua,

kematian adik yang dilamun bencana tsunami, kematian

mamaknya di Kajai kampung ibunya lantaran dibunuh orang,

hingga diputus cintanya oleh kekasihnya sendiri lantaran

kekasihnya itu lebih memilih perjodohan dengan orang lain.

Cukuplah segala penderitaan itu. Padamlah sudah segala duka,

30

Ibid., h. 46.

Page 67: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

56

dan kini terbitlah segala cahaya pengharapan akan kehidupan

masa depan yang cerah.31

B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang

Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki

bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke

generasi. Kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku

yang merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Budaya

terbentuk dari banyak unsur meliputi, sistem bahasa, pengetahuan,

teknologi, kesenian, mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem religi.

Karya satra merupakan bagian dari kebudayaan. Kelahirannya di

tengah masyarakat tidak luput dari pengaruh budaya. Karya sastra

merupakan gambaran kehidupan yang merupakan hasil pemikiran seorang

tentang kehidupan yang berbentuk fiksi dan diciptakan pengarang untuk

memperluas dan memperdalam penghayatan pembaca terhadap sisi

kehidupan yang disajikan.

Adapun aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut

Singgalang akan penulis jabarkan satu persatu dari ketujuh unsur-unsur

budaya yang telah dibahas sebelumnya, yaitu:

1. Sistem Bahasa

Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun

bahasa Austronesia.32

Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa

Minangkabau merupakan sebuah bahasa tersendiri, tetapi boleh juga

dianggap sebagai sebuah dialek dari bahasa Melayu, karena

banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya.33

31

Ibid., h. 313. 32

Dutro Malayan, “Suku Minangkabau”, 2012,

(http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-minangkabau.html) diunduh pada hari, Jumat,

20 September 2013 pukul 09.00 WIB. 33

Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), Cet.

20, h. 249.

Page 68: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

57

Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang,

penulis banyak menemukan kosakata bahasa Minangkabau yang

digunakan oleh pengarang. Seperti kata lapau untuk menggantikan

kata warung. Kosakata Minangkabau yang digunakan pengarang

berfungsi sebagai penjelas bahwa latar cerita ini berada di

Minangkabau. Perhatikan kutipan dibawah ini.

“.... Ditunjuk oranglah beberapa nama Safri yang

berumah di dekat pasar itu. Namun setelah disinggahinya

rumah-rumah orang yang akan disebutkan namanya oleh orang

yang ia tanya, tak kenallah orang-orang yang bernama Safri itu

kepada dirinya. Rupanya banyak juga orang di kampung itu

yang bernama Safri. Teruslah ia bertanya ke sana ke mari.

Hingga tibalah ia disebuah lapau yang ditunggui seorang

perempuan tua di dekat jembatan yang di bawahnya mengalir

deras Batang Tongar.”34

Berdasarkan data-data yang penulis temukan dalam novel

Rinai Kabut Singgalang, penulis mengklasifikasikan sistem bahasa

Minangkabau berdasarkan tiga analisis, yaitu:

a. Bahasa Minangkabau yang sinonim dengan bahasa Indonesia

1) Surau = Mushala

Kutipan:

Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu.

Ketika masuk waktu salat pergilah ia ke surau.

Sehabis salat duduk ia mengaji sejam dua ajam

lamanya.35

2) Rinai = Gerimis

Kutipan:

Gundukan tanah di pusara Mak Safri tampak

basah lantaran rinai turun yang seolah ikut berduka

atas kematian itu.36

34

Subhan, op.cit., h. 46. 35

Ibid., h. 74. 36

Ibid., h. 101.

Page 69: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

58

3) Rancak = Bagus

Kutipan:

Dilihatnyalah rumah-rumah penduduk yang

rapat-rapat jaraknya ketika bus masuk ke kota

Lubuk Basung, inilah ibu kota Agam, pusat

pemerintahan negeri itu. Kotanya semarak. Jalan-

jalan mulus beraspal rancak.37

4) Ngarai = Jurang

Kutipan:

... bergidiklah bulu romanya dan cepat-cepat

ia naik kembali ke atas dan beristirahat di taman

menghadap ke Ngarai, sembari menyaksikan

tingkah pola beruk-beruk yang banyak pula di sisi

Ngarai.38

5) Rimbo = Rimba atau hutan belantara

Kutipan:

Di sepanjang jalan yang membelah Rimbo

Panti dilihatnyalah bermacam pandangan yang tidak

ia dapatkan ketika masih tinggal di Aceh.39

6) Kulah = Bak Air

Kutipan:

Ya, mungkin benar saja air itu berasal dari

pegunungan karena ia melihat ada pincuran yang

mengalirkan airnya ke dalam kulah sementara di

seberang bawah sana terdengar suara air sungai

yang mengalir deras.40

7) Simpang = Belahan jalan

37

Ibid., h. 123. 38

Ibid., h. 133. 39

Ibid., h. 40. 40

Ibid., h. 31.

Page 70: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

59

Kutipan:

“Oh ya, nanti suruhlah sopir berhenti di Simpang

Panti. Di sanalah kau berganti bus menuju

Kampung Kajai.”

“Terima kasih, Bu. Sungguh besar jasa Ibu

kepada saya.”.41

8) Lapau = Warung

Kutipan:

Lamalah penghuni lapau itu memandang

Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran

hampir seharian dia berjalan ke sana ke mari

mencari-cari alamat rumah mamaknya itu.42

9) Imbau = Panggil

Kutipan:

Bang Yusuf panggillah Engku Penghulu,

sudah siapkah janur kuning Abang pasang di

halaman rumah? Imbaulah orang-orang kampung,

Bang. Kita buat pesta yang semarak.43

10) Orang Siak = Orang Alim atau ulama

Kutipan:

Di tengah rumah beberapa orang siak (orang

alim) duduk bermufakat tentang segala keperluan

penyelenggaraan jenazah.44

11) Inyiak = Kakek

Kutipan:

Ada pula kursi tua peninggalan ayah Buya

Hamka – Inyiak De er- tongkat, baju wisuda ketika

41

Ibid., h. 38. 42

Ibid., h. 46. 43

Ibid., h. 259. 44

Ibid., h. 99.

Page 71: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

60

Buya Hamka menerima anugerah Doktor Honoris

Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia.45

12) Parewa = Pendekar

Kutipan:

Terbit juga jiwa parewanya yang selama ini

ia dikenal sebagai orang yang banyak diam daripada

cakapnya.46

13) Kaum = Kerabat

Kutipan:

Untunglah saat itu aku ada di rumah dan

berhasil menangkap pisau itu. Karena sakitnya

semakin menjadi, bermufakatlah ninik mamaknya,

penghulu kaum, dan orang kampung agar ia

dipasung saja.47

b. Sinonim secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda

Mamak = Paman

Secara harfiah mamak mempunyai arti sama dengan

paman, namun secara konseptual keduanya berbeda. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paman adalah adik laki-

laki dari ayah atau ibu sedangkan mamak adalah kakak atau adik

laki-laki yang diambil hanya dari garis keturunan ibu. Secara

khusus mamak bukanlah sekedar saudara laki-laki ibu akan tetapi

mamak adalah seseorang yang dituakan dan dianggap cakap dan

bertanggung jawab terhadap kelangsungan sistem matrilineal di

Minangkabau. Seorang mamak bertanggung jawab mendidik dan

membimbing kemenakannya serta menjadi pengawas dan

pemelihara dalam urusan harta pusaka keluarga. Aturan tersebut

sudah tertuang dalam pepatah adat Minangkabau sebagai berikut:

anak dipangku kamanakan dibimbiang, yang berarti bahwa anak

45

Ibid., h. 126. 46

Ibid., h. 99. 47

Ibid., h. 62.

Page 72: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

61

dibesarkan dengan harta penghasilan sedangkan kemenakan

dilindungi dengan harta pusaka.48

Berbeda dengan mamak,

seorang paman tidak mempunyai tanggung jawab atas kehidupan

kemenakannya.

Berikut kutipan:

Pergilah ke Pasaman, temui Mak Safri mamakmu.

Dia satu-satunya kakakku yang masih hidup. Aku tak tahu

kabarnya kini, “ujar Maimunah kepada Fikri. anak muda itu

hanya mengangguk.49

c. Bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa

Indonesia

1) Bagonjong

Bagonjong adalah istilah untuk menyebutkan rumah

adat di Minangkabau, yaitu rumah bagonjong atau rumah

gadang. Bagonjong artinya memiliki gonjong, yaitu atap

rumah yang memiliki ujung-ujung lancip menjulang ke

atas. Umumnya empat gonjong, seperti tanduk kerbau.

Kutipan:

Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula

rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya

bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di

Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di

buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar

kaca tatkala siaran berita wisata.50

2) Ninik Mamak

Ninik mamak adalah para lelaki dewasa pada satu

kaum di Minangkabau yang dituakan berfungsi sebagai

48

Edison Piliang, Tambo Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013), h. 321. 49

Subhan, op.cit., h. 18. 50

Ibid., h. 42.

Page 73: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

62

salah satu unsur terpenting dalam pengambilan kebijakan

pembangunan masyarakat Minangkabau. Seorang ninik

mamak harus memiliki sifat-sifat seperti berikut:51

a. Bana jo luruih (benar dan lurus) adalah sifat tidak plin-

plan, tidak lain di mulut lain di hati.

b. Jujur dan dipicayo (jujur dan dipercaya) ialah

menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk seperti pencuri,

penipu dan sebagainya.

c. Cadiak jo pandai (cerdik dan pandai) artinya memiliki

ilmu pengetahuan yang cukup dan pandai

mempergunakannya.

d. Fasiah babicaro (fasih berbicara) artinya lancar dalam

bertutur kata, tidak kaku, dan tidak gugup.

e. Panyaba (bersifat sabar) ialah sifat yang bisa menahan

diri, sabar, dan dapat mengendalikan emosi dan

amarah.

Kutipan:

Bagi orang tua yang berusia di atas 50 tahun

yang pernah hidup sezaman dengan ibunya

Mafhumlah mereka siapa yang datang. Sebagian di

antara mereka adalah para datuk, penghulu, ninik

mamak di dalam kampung itu.52

Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa

Minangkabau adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa melayu

yang dituturkan oleh orang Minangkabau sebagai bahasa ibu. Bahasa

Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang banyak

memberikan sumbangan terhadap kosakata bahasa Indonesia. Dalam

novel Rinai Kabut Singgalang banyak ditemukan kosakata

51

Ibrahim Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal

Multimedia, 2013), h. 303. 52

Subhan, op. cit., h. 67.

Page 74: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

63

Minangkabau yang bersinonim atau mempunyai arti yang sama

dengan bahasa Indonesia.

2. Sistem Pengetahuan

Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk

mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil,

para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi

Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi

guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat

Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Orang Minangkabau

haruslah bisa menyesuaikan dan mengembangkan dirinya di manapun

ia berada, baik di kampung atau di rantau. Masyarakat Minang juga

dituntut bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam. Filosofi ini bermakna

bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal

dari alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan.

Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau juga tidak terbatas di

kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak di

antara mereka yang pergi merantau.

Pengetahuan atau ilmu dalam pengertian adat Minangkabau

juga diartikan sebagai prinsip yang melekat pada seseorang. Di

Minangkabau dikenal filosofi ilmu nan ampek (ilmu yang empat)

adalah empat prinsip yang harus dianut oleh seseorang, yaitu:53

a) Tahu pado diri artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang diri

sendiri, tahu status dan kedudukan diri sendiri yang diiringi

dengan melaksanakan tugas, kewajiban, hak, dan tanggung jawab.

b) Tahu pado urang artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang

orang-orang di sekitarnya dan masyarakat serta peduli dan

menjaga hubungan baik dengan orang sekitar.

53

Diradjo, op.cit., h. 318.

Page 75: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

64

c) Tahu pado alam artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang alam

di sekitarnya serta peduli dengan lingkungan dan alam sekitarnya.

d) Tahu pado Allah artinya memiliki ilmu pengetahuan agama dan

melaksanakan syariat agama dengan baik sesuai dengan

ketentuan-ketentuan agama.

Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang,

sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang diambil dari

prinsip tahu pada diri sendiri ditunjukkan oleh tokoh Fikri. Hal itu

dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut:

“Saya akan merantau Bu,” jawab Fikri.

“Lagi-lagi merantau. Ke mana kau hendak pergi?”

“Ke Padang.”

“Ke Padang? Sejauh itu? Selama ini kau belum pernah

ke mana-mana. Apa yang akan kau kerjakan di kota sebesar

itu?” Lagi-lagi Maimunah meragukan tekad anaknya itu.

“Ibu saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah dewasa.

Saya akan berusaha bekerja apa saja asalkan saya dapat

kuliah.”

Perempuan itu diam. Ia tentu sudah sangat bosan

mendengar kata-kata kuliah yang selalu diucapkan Fikri.

dapatkah anak seorang buruh dan anak tukang cuci meraih

gelar sarjana di bangku kuliah? Mungkin demikian pikiran

perempuan itu. Dan di dala hati Fikri menjawab, bisa! Ya, ia

harus bisa. Ia seorang anak laki-laki. Ia punya tenaga dan

pikiran. Yang lebih berharga dari itu ia punya ijazah SMA

yang akan memudahkannya mendaftar di perguruan tinggi.54

Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Fikri

memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Demi tercapainya

impian untuk kuliah ia rela pergi merantau ke tempat yang sama sekali

belum pernah ia kunjungi. Ini membuktikan bahwa Fikri seorang

pemuda Minang yang mewarisi budaya merantau bagi sebagian

masyarakat Minangkabau. Berbagai rintangan dan cobaan yang ia

hadapi dalam meraih cita-citanya itu. Berkat semangat dan

54

Subhan, Op.cit., h. 16.

Page 76: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

65

kegigihannya Fikri dapat menjadi seorang sarjana. Berikut

kutipannya:

Berbilang tahun, selesailah sudah segala pelajarannya

di bangku perkuliahan. Dia pun dapat kabar lulus dengan

predikat yang menggembirakan; Cumlaude. Betapa senang

hatinya, ia telah bergelar sarjana sekarang. Pak Usman dan Bu

Rohana serta Yusuf yang mendengar kabar baik itu tak kurang

senangnya. Sujud syukur mereka atas karunia yang diberikan

Allah kepada anak muda itu. Telah sampai cita-citanya, telah

sampai impiannya yang ia rangkai sejak merantau dari Aceh

ke Padang beberapa tahun silam.55

Kutipan di atas menerangkan bahwa sebagai pemuda Minang

ia tahu akan tugas dan kewajibannya dalam menuntut ilmu setinggi-

tingginya. Meski ia pemuda miskin tetapi ia mempunyai hak yang

sama dengan orang-orang dalam hal menuntut ilmu. Prinsip kedua

yaitu tahu pada orang ditunjukkan dengan menjaga hubungan baik

dengan orang sekitar, seperti filosofi Minang yang mengatakan di

mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Maknanya ialah di mana

kita tinggal aturan atau adat kebiasaan di sanalah yang kita pakai.

Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terlihat pada tokoh Fikri ketika

di Padang. Fikri di Padang tinggal bersama induk semang atau

orangtua angkatnya. Fikri tahu menempatkan diri di kampung orang,

ia rajin membantu Pak Usman berladang, bila ada waktu senggang

ikut pula ia mengajarkan anak-anak mengaji di surau. Kehalusan budi

pekertinyalah yang membuat banyak orang suka padanya. Berikut

kutipannya:

Orang-orang di kampung itu pun cepat mengenalnya

lantaran rajinnya ia ke surau salat berjamaah, ikut mengajarkan

anak-anak mengaji, dan juga pandai dalam pergaulan sehingga

banyak orang suka kepadanya.56

55

Ibid., h. 312. 56

Ibid., h. 159.

Page 77: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

66

Prinsip yang ketiga yaitu tahu pada alam. Prinsip ini terlihat

pada kearifan lokal di Kampung Kajai yaitu filosofi ikan larangan.

Ikan larangan adalah sebuah kearifan lokal yang dibuat masyarakat

Minangkabau dahulu hingga sekarang. Ikan larangan, ikan yang

sengaja dipelihara dan dibiarkan hidup di sungai dan perairan bebas

lainnya dan tidak boleh diambil sembarangan, hanya pada musim

tertentu bisa diambil. Hasil panen ikan akan digunakan untuk

membiayai pembangunan desa setempat. Berikut kutipannya:

Di beberapa cabang anak sungai, di jembatan-

jembatannya terlihat tulisan “Ikan Larangan”. Mulanya ia

heran dengan kalimat itu. Setelah ia tanya pada penumpang

yang duduk di sebelahnya pahamlah ia bahwa di anak-anak

sungai itu diternak orang ikan yang dilarang dikail. Hasil

panen ikan nantinya akan digunakan orang untuk membiayai

pembangunan masjid, membuat jalan, ataupun meperbaiki

rumah gadang kaum yang sudah tiris. Itulah kearifan lokal

yang ia dapat dari filosofi ikan larangan.57

Prinsip atau ilmu yang keempat adalah tahu pada Allah.

Prinsip ini terlihat pada adat kebiasaan masyarakat Minangkabau

dalam kebiasaan mengadakan pengajian bila ada kerabat yang

meninggal, ketaatan dalam beribadah masyarakat Minangkabau

dengan menjalankan shalat lima waktu, shalat berjamaah, mengaji di

surau, serta mengadakan pengajian majelis taklim di rumah. Berikut

kutipannya:

Usai shalat malam, ia sempatkan kembali tidur hingga

subuh. Selesai shalat subuh ia ambil al-quran dan membaca

dengan sangat khusuknya. Terkenang ia masa-masa kecil

dahulu ketika masih mengaji di kampungnya di Aceh.58

57

Ibid., h. 45. 58

Ibid., h. 292.

Page 78: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

67

Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan atau ilmu tidak hanya didapatkan di lembaga pendidikan

saja melainkan dari alam dan masyarakat bisa didapatkan pengetahuan

yang dapat dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan di dunia.

3. Sistem Religi

Masyarakat Minangkabau merupakan penganut agama Islam

yang taat. Kalau ada seorang Minangkabau yang tidak menganut

agama Islam, maka hal itu adalah suatu keganjilan yang

mengherankan, walaupun kebanyakan orang Minangkabau mungkin

menganut agama itu secara nominal saja tanpa melakukan

ibadahnya.59

Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas budaya

yang sangat menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Islam

membawa perubahan pandangan adat menjadi lebih religius. Hal ini

tertuang dalam Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Adat

bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Quran). Definisi Adat

basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah adat yang

didasarkan oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan

pula pada Al-Quran dan hadits. Jadi, ajaran-ajaran agama Islam

memang menjadi pakaian sehari-hari dalam kehidupan masyarakat

Minangkabau.60

.

Sistem religi yang ditemukan dalam novel Rinai Kabut

Singgalang adalah ketaatan Fikri dalam beribadah. Fikri sebagai

pemuda Minang sangat rajin dan taat dalam beribadah. Selain shalat

lima waktu yang ia kerjakan, ia juga selalu mengaji Al-Quran setiap

malamnya dan melaksanakan shalat berjamaah di surau. Hal itu dapat

dilihat dalam kutipan sebagai berikut.

59

Kuncaraningrat, op. cit., h. 261. 60

Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan: Pendekatan Penyelesaian

berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau, (Yogyakarta: INSISTPress, 2010), h. 11.

Page 79: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

68

Pagi-pagi sekali menjelang azan subuh telah duduk ia di

shaf surau menanti orang azan. Jika tak ada orang yang azan

majulah ia mengambil corong mikrofon lalu berkumandanglah

suara azannya di subuh itu membangunkan orang untuk

menunaikan ibadah salat. Suara azannya merdu sekali.

Mendayu-dayu membuat mata siapa saja yang mendengarnya

berkaca-kaca.61

Sitem religi dalam novel ini juga terdapat pada kepercayaan

orang kampung terhadap tahayul (mitos). Meskipun orang

Minangkabau termasuk ke dalam golongan yang taat menjalankan

ibadah, akan tetapi banyak juga yang percaya tentang adanya hal-hal

yang tidak diajarkan oleh Islam. Mereka percaya kepada hantu-hantu

yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia. Untuk

menolak hantu-hantu, orang akan datang kepada seorang dukun untuk

meminta pertolongannya.62

Hal ini juga penulis temukan dalam novel

Rinai Kabut Singgalang yaitu saat Munah ibunya Fikri sakit keras.

Orang kampung percaya bahwa sakit yang diderita Munah bukan sakit

biasa melainkan dibuat orang. Maklumlah di kampung namanya

tahayul masih jadi kepercayaan orang. Berikut kutipannya:

Sekolah dasar mampu diselesaikan ibumu dengan baik.

Demikian pula kakaknya Safri, mamakmu. Selesai sekolah

dasar masuk pula mereka ke madrasah di Talu. Tapi hingga

tingkat dua sekolah itu, ibumu diserang sakit berat. Kurus

kering badannya hingga rontok rambut di kepalanya. Dua tahun

lamanya ia putus sekolah dan tinggal di rumah ini. sedihlah hati

kakek-nenekmu, terutama Safri kakaknya. Bermacam orang

pintar didatangkan ke rumah tak juga sembuh sakitnya.

Bermacam pula disebut-sebut sakitnya itu, dibuat oranglah,

diganggu orang haluslah, dan lain-lain. Maklumlah di kampung

ini namanya tahayul masih jadi kepercayaan orang. Sempat

dibawa ke rumah sakit tapi angkat tangan pula dokter tak tahu

apa sakit yang dideritanya.63

61

Subhan, op.cit., h. 68. 62

Kuncaraningrat, op. cit., h. 261. 63

Ibid., h. 59.

Page 80: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

69

Berikut di antaranya kepercayaan orang Minangkabau akan

adanya mitos, yaitu percaya akan adanya hantu kuntilanak, perempuan

penghirup ubun-ubun bayi dari jauh, menggasing (santet) yaitu

menghantarkan racun melalui udara, hantu cindaku (harimau jadi-

jadian yang berubah wujud menjadi manusia), hantu penghuni lubuk,

orang bunian, sampai lolongan anjing di tengah malam yang diyakini

sebagai pertanda ada suatu yang buruk yang akan terjadi.

Selain ketaatan dalam beribadah dan kepercayaan masyarakat

desa akan mitos, sistem religi Minangkabau yang ditemukan dalam

novel Rinai Kabut Singgalang adalah kebiasaan mengadakan

pengajian atau tahlilan bila ada keluarga terdekat yang meninggal. Hal

itu tergambar ketika Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia

banyaklah orang yang datang melayat dan memberikan bermacam

penganan ringan sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang

ditimpa kematian. Berikut kutipan:

Orang berganti-ganti datang melayat dan turut

berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu.

Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di

kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian. Ada

yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam penganan

ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati atas kematian

Mak Safri. Sebuah pemandangan yang sangat kontras, mengapa

setelah matinya barulah banyak orang peduli sementara di kala

hidupnya tak seorang pun sudi menjenguknya sampai dibiarkan

terlantar di tengah hutan manggis.64

4. Sistem Kesenian

Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi

dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta

adat maupun perkawinan. Silek atau Silat Minangkabau merupakan

suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang

64

Subhan, op.cit., h. 98.

Page 81: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

70

sejak lama. Selain itu seni yang terdapat suku Minangkabau yang lain

adalah seni kesusatraan dan seni bangunan.

Penggambaran sistem kesenian yang penulis temukan dalam

novel Rinai Kabut Singgalang, adalah seni bela diri. Hal itu tergambar

pada tokoh pemuda Minang di Kajai yang hendak mengambil pisau

dari tangan Mak Syafri yang sedang mengamuk di pasar. Mak Syafri

mencoba mencelakakan orang yang ada di pasar dengan pisaunya,

untunglah ada beberapa pemuda yang pandai silat dapat

melumpuhkannya. Berikut kutipannya:

Sekarang dia dipasung karena ia mulai mencoba

mencelakakan orang di pasar. Suatu hari entah dari mana

dapatnya, ditangannya telah ada sebuah pisau panjang.

Dikejarnya semua orang di tengah pasar yang ramai,

berhamburanlah seluruh isi pasar itu. Untunglah pemuda-

pemuda yang pandai silat berhasil menundukkannya dan

membuang pisau yang dipegangnya. Kalau tidak tentu

banyaklah orang mati ia tikam dengan pisaunya yang tajam

itu.65

Kutipan di atas menggambarkan bahwa setiap pemuda Minang

dibekali seni bela diri yang diwariskan secara turun temurun dari

generasi ke generasi. Silat atau yang biasa disebut Silek dalam bahasa

Minangkabau mempunyai dua tujuan yaitu ilmu bela diri menghadapi

serangan musuh dan sebagai pertahanan negeri. Hal ini didasari

keadaan Minangkabau yang saat itu merupakan daerah subur

penghasil rempah-rempah telah mengundang kedatangan pihak lain

untuk menguasainya.66

Seni bela diri ini diajarkan oleh guru silat

terlatih dan biasanya diajarkan di tanah lapang atau pelataran surau.

65

Ibid., h. 61.

66Indonesia's Official Tourism Website, “Silek Minangkabau: Seni Bela Diri Sumatera

Barat”, (http://www.indonesia.travel/id/destination/467/padang/article/74/) diunduh pada hari

Senin, 7 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB.

Page 82: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

71

Hal ini tergambar ketika Fikri menonton pencak silat di halaman surau

yang diajarkan seorang guru silat. Simak kutipan berikut:

Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu. Ketika

masuk waktu shalat pergilah ia ke surau. Sehabis shalat duduk

ia mengaji sejam dua jam lamanya. Kadang ia pergi ke tanah

lapang, dilihatnya anak-anak muda bermain sepak bola atau

sepak takraw yang sangat digemari di kampung itu. Kadang

pula ia ikut menonton pencak silat di halaman surau yang di

ajarkan seorang guru silat. Pandai benar ia bergaul, sehingga

cepatlah ia punya banyak kawan yang meriangkan hatinya.67

Selain itu, seni yang berkembang dalam masyarakat

Minangkabau adalah seni sastra. Seni sastra menjadi bentuk seni yang

paling menonjol. Seni sastra tersebut sering juga diungkapkan secara

lisan atau sering juga disebut sebagai sastra lisan, seperti kaba (cerita),

syair, pepatah, dan pantun. Banyak sastrawan dan penyair terkenal

asalnya dari Minangkabau, seperti, Taufiq Ismail, A.A Navis, dsb.

Memang Minangkabau sebagai ranah yang banyak melahirkan

penulis-penulis hebat .

Begitu juga dengan tokoh Fikri dalam novel Rinai Kabut

Singgalang. Ia menjadi penulis hebat berkat tulisannya yang

mengangkat kisah pilu kehidupannya. Karangan yang ia tulis banyak

terinspirasi oleh gaya penulisan Buya Hamka, sastrawan besar asal

Sumatera Barat yang terkenal. Bingkisan buku yang dihadiahkan

Yusuf sahabatnya berupa roman Buya Hamkalah yang menjadi bahan

bacaannya pada waktu senggang. Awal ia mulai menulis tatkala begitu

banyaknya penderitaan hidup yang berubi-tubi dialaminya, mulai dari

ayahnya meninggal, ibunya meninggal, adik tercinta yang dilamun

tsunami, hingga ditinggal pergi kekasih hatinya Rahima yang ia

tuliskan dalam buku hariannya. Hari ke hari, penderitaan demi

penderitaan yang ia tanggungkan menjadikan ia semakin giat dan

67

Subhan, op.cit., h. 74.

Page 83: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

72

terlatih menulis. Karangan-karangannya banyak disukai orang karena

sangat menyentuh dan diciptakan hasil pengalamannya sendiri.

Dengan menulis, ternyata membawa berkah bagi dirinya, namanya

kian dikenal orang, rezeki pun mengalir bagai air. Berikut kutipannya:

“Sudahlah. Jangan kau pikirkan yang tak mampu kau

raih sesudah ini tatalah hidup engkau kembali. Kita bantu Bu

Rohana dan pak Usman yang juga sangat besar jasanya

menumpangkan kita tinggal di rumahnya. Kita harus bekerja

lebih keras lagi. Kau teruskanlah cita-cita yang terbengkalai

itu. Masuklah kuliah. Kalau ada rezeki saya bantu biayanya

nanti. Dan jangan berhenti kau mengarang. Lahirkanlah karya-

karyayang berguna bagi umat. Yang kelak akan kau tinggalkan

dan menjadi amal jariyah bila kau tak ada lagi di dunia ini.”68

....

Semakin banyak muncul karangan-karangannya yang

baru di surat-surat kabar ataupun majalah. Novelnya

merantau ke Padang yang laris manis di pasaran itu, selalu

mendapat cetak ulang berkali-kali. Banyak orang terhipnotis

dengan buku ceritanya itu. Ia pun sudah sering dipanggil ke

sana ke mari, mengisi berbagai seminar dan pelatihan tentang

tulis menulis. Ia menjadi pujaan banyak orang. Hidupnya

sudah senang sekarang.69

5. Sistem Mata Pencaharian

Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan,

hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada

dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di

kota-kota besar. Orang Minang yang menjadi pedagang biasanya

memilih antara tiga lapangan, yaitu, tekstil, kelontong atau rumah

makan.

Sebagian lagi dari orang Minangkabau hidup dari tanah. Di

daerah yang subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang

68

Ibid., h. 274. 69

Ibid., h. 308.

Page 84: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

73

mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi

banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan. Di samping

hidup dari pertanian, penduduk yang diam di pinggir laut atau di

pinggir danau juga dapat hidup dari hasil penangkapan ikan.70

Dalam novel Rinai Kabut Singgalang sistem mata pencaharian

masyarakat Minangkabau dapat dideskripsikan sebagai berikut: Di

daerah Kajai Pasaman, mata pencaharian penduduk adalah bertani,

berladang, menangkap ikan, dan berdagang. Meskipun secara

geografis letak kampung Kajai berada di pegunungan yang jauh dari

sentuhan pembangunan layaknya di kota-kota besar namun kedamaian

selalu memberi warna. Alam sangat bersahabat dengan manusia.

Penduduk sekitar menghasilkan sendiri apa yang mereka makan

dengan cara bertani, berladang dan keramba ikan. Di Kajai Fikri selalu

membantu Mak Bujang bekerja di sawah dan berladang. Dari

berladang Mak Bujang dapat menanam jagung, sayur mayur, serta

buah-buahan. Bila datang musim panen, hasilnya akan ia bawa ke

pasar pada hari pekan untuk dijual. Itulah mata pencaharian Mak

Bujang dan sebagian penduduk di Kajai dalam menghidupi

keluarganya. Berikut kutipannya:

Genap dua bulan sudah Fikri menetap di kampung

Kajai, tanah kelahiran ibunya. Setiap hari kerjanya membantu

Mak Bujang turun ke sawah, menyiangi ladang cabai yang

ditanami Mak Tuo di belakang rumah gadang, juga mengurus

segala keperluan mamaknya, Mak Safri, yang hidup terpasung

di tengah kebun manggis. Sekali-sekali ia bermain ke pasar,

khususnya di hari pekan yang ramai, melihat-lihat segala

dagangan dijual orang. Meski ia tak membeli namun lepaslah

segala kesukaan matanya melihat-lihat keramaian orang yang

bermacam tingkah polanya menjual, menawar, dan membeli

barang dagangan.71

....

70

Kuncaraningrat, op .cit. h. 253. 71

Subhan, op. cit., h. 74.

Page 85: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

74

“Mak Bujang tak tampak seharian kemarin, ke mana

gerangan beliau, Mak?” tanya Fikri kepada Mak Tuo.

Perempuan tua itu menoleh sejenak, mulutnya bergerak-gerak

mengunyah daun sirih.

“Dia pergi ke Talu, hari pekan, jagungnya telah panen”

jawab Mak Tuo.

“Oh, iya. Saya juga membantu beliau sehari sebelum itu

memetik jagung di ladangnya. Tapi Mak Bujang tak berpesan

akan pergi ke pekan, padahal ingin sekali saya

ikutmembentunya berjualan,seru Fikri pula.”72

Di Kajai Pasaman juga terkenal dengan anak sungai Batang

Tongar, sungai yang airnya mengalir dari puncak Gunung Talamau.

Anak sungai ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Kajai, karena

ikannya yang sangat banyak. Sebagian penduduk menjaring ikan

untuk dijual, ada juga menangkap ikan untuk jadi teman makan

sehari-hari. Begitulah kehidupan di kampung Kajai yang permai, dari

alam semua kebutuhan penduduknya terpenuhi. Berikut kutipan:

“Demikianlah kehidpan di kampung, semua serba ada

disediakan alam meski uang tak mudah orang

mendapatkannya. Di belakang rumah gadang ditanam orang

tumbuh-tumbuhan obat dan bumbu dapur, semisal jahe, cabai,

kunyit, umbi-umbian, bawang, jagung, dan segala macam

tumbuhan lainnya. Sungai yang mengalir menjadi sumber

rezeki pula, karena banyaklah ikan bersarang di lubuknya,

sawah-sawah yang terhampar luas di lereng-lereng gunung,

berundak-undak tempatnya, kuning-kuning pula buah padinya

dikala masak menandakan sangat subur dan makmurnya negeri

itu. Buah-buahan begtu pula; manggis, rambutan, pisang,

durian, dan segala buah yang lezat-lezat selalu ada berganti

musim. Siapa pula yang tidak betah tinggal di sana? Itulah

yang menentramkan hati anak muda itu.”73

72

Ibid., h. 86. 73

Ibid., h. 88.

Page 86: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

75

Tidak hanya di Kajai, penduduk yang mata pencahriannya

sebagian besar bertani dan berladang adalah di Koto Baru dan Kayu

Tanam. Karena letak geografisnya di pegunungan yang sangat sejuk,

jauh dari keramaian, dan tanahnya subur, maka kampung seperti

Kajai, Koto Baru dan Kayu Tanam sangat cocok untuk bertani dan

berladang. Berikut kutipan:

Sesampainya di Kotobaru semakin jelaslah

pemandangan gunung Marapi yang menjulang tinggi di

sebelah kiri jalan. Gagah nian gunung itu. Bersih tak diselimuti

awan. Di kaki gunung itu terhampar sawah penduduk, ladang-

ladang sayur mayur yang tubuh dengan sangat subur.

....

.... Dari kaca jendela bus tampaklah di matanya petani-

petani dengan pakaiannya yang sederhana menyiangi ladang

lobak (kol) yang terhampar luas. Cabai pun sedang dipanen,

merah-merah buahnya.74

Lain halnya dengan Maninjau. Mendengar nama Maninjau kita

tak bisa pisahkan dengan danaunya yang sangat terkenal. Danau

Maninjau yang luas dikelilingi bukit barisan yang tinggi dan

diselimuti hutan belantara yang lebat, membuat hati siapa saja yang

pernah menginjakkan kakinya merasa takjub akan pesonanya. Danau

Maninjau dijadikan warga sekitar sebagai tambak ikan, inilah yang

menjadi mata pencaharian utama penduduk di sana. Berikut kutipan:

Biduk-biduk nelayan mengapung pula di tengah danau.

Di pinggiran danau yang lain, terlihat pula keramba-keramba

tempat orang berternak ikan. Lengkaplah segala kekayaan

alam negeri itu di mana orang-orang hidup dan menjaga

keseimbangan alamnya. Rugilah kalau danau yang akaya itu

dicemari, dirusak, sehingga hilanglah segala keasriannya.75

74

Ibid., h. 135. 75

Ibid., h. 128.

Page 87: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

76

Begitu juga sistem mata pencaharian orang Minang yang

tinggal di kota Padang. Bagi mereka yang tinggal dekat dengan

gunung, berladang dan bertanilah mata pencaharian mereka,

sedangkan untuk yang bermukim dekat laut, sebagai nelayanlah

sumber penghasilan mereka. Hal ini tergambar pada tokoh Pak Usman

(orang tua angkat Fikri) yang menjadi nelayan karena tempat

tinggalnya dekat dengan laut yaitu di Teluk Bayur. Namun mengingat

usianya yang sudah tua diputuskannyalah untuk tidak melaut lagi dan

beralih menjadi petani di ladang. Berikut kutipan:

“Senang sekali kami jika anak berkenan tinggal di

rumah kami. Anggaplah sebagai rumah sendiri. Suami ku telah

tua tapi ia masih melaut tidak baik bagi kesehatannya. Jika

anak berkenan, bantulah ia berladang, agar diputuskannya

tidak lagi melaut. Kami punya sedikit tanah di lereng bukit.

Jagung dan rambutan kami tanam, juga sedikit sayur mayur,”

ujar Bu Rohana. Penuh harap.76

6. Sistem Teknologi

Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.

Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,

serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi yang

berkembang di Minangkabau adalah bentuk rumah adatnya, yakni

Rumah Gadang. Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat

Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di

jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut

dengan nama lain, yaitu Rumah Bagonjong atau ada juga yang

menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.

Sistem teknologi yang penulis temukan dalam novel Rinai

Kabut Singgalang adalah Rumah Gadang yang masih banyak ditemui

di Kampung Kajai. Berikut kutipan:

76

Ibid., h. 157.

Page 88: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

77

Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumah-

rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri

khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia

lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca

tatkala siaran berita wisata. Sungguh tak terbayang ia kalau

saat ini tubuhnya telah berada di Ranah Minang yang sungguh

elok pemandangan alamnya.77

Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik

keluarga induk dalam suku atau kaum tersebut secara turun

temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan

pada kaum tersebut. Hal itu tergambar pada Rumah Gadang yang

ditempati Mak Tuo adalah peninggalan dari kakek-nenek Fikri.

Rumah Gadang tersebut diwariskan kepada Mak Tuo karena ia adalah

kerabat dekat dari pihak ibunya Fikri. Mak Tuo yang selama ini

menjaga dan merawatnya agar tidak lapuk dimakan usia. Berikut

kutipan:

“Fikri, senanglah kami atas kehadiranmu di rumah ini.

Mak Tuo ini adalah kakak dari orangtua Munah, ibumu. Ibu

Mak Tuo dengan ibu dari ibumu beradik-kakak. Sedangkan

aku adalah mamak jauhmu yang masih ada kekerabatan

dengan ibumu. Rumah gadang ini adalah rumah warisan

kakek-nenekmu yang diamanahkan kepada Mak Tuo untuk

menjaganya. Semantara aku tinggal tak jauh dari sini bersama

istri dan seorang anak. Tentu kau ingat kemarin seorang anak

laki-laki yang menjemput aku ke sawah, itulah Buyung

putraku,” ujar Mak Bujang.78

7. Sistem Organisani Sosial

Masyarakat Minangkabau menganut garis keturunan

matrilineal (garis keturunan ibu). Keturunan keluarga dalam

masyarakat Minangkabau terdiri atau tiga macam kesatuan

kekerabatan yaitu: paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu

77

Ibid., h. 42. 78

Ibid., h. 57.

Page 89: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

78

keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari keluarga tersebut yang

bertindak sebagai niniek mamak.79

Perhatikan kutipan berikut:

Melongoklah Fikri ke luar jendela bus dan tampaklah ia

dari kejauhan Gunung Talamau yang disebut bu Aisyah.

Ketika memandang gunung itu tersiraplah darahnya. Seolah

ada kekuatan gaib yang menghentak jiwanya. Takjublah ia

memandang gunung itu. Selama tinggal di kampung pesisir

Aceh Utara, yang ia lihat hanyalah birunya laut. Tak ada

gunung di sana. Namun sekarang tampaklah di kedua matanya

sebuah gunung yang besar, diselimuti belantara yang lebat, di

kakinya akan disinggahinya nanti kampung kelahiran ibu

kandungnya. Ya, di kaki gunung itulah ibunya dilahirkan.

Ibunya orang Minang. Artinya dia orang Minang pula. Dia

telah mendengar dari pelajaran di sekolah dulu bahwa

Minangkabau menganut sistem perkawinan menurut garis

keturunan ibu. Matrilineal kata orang, karena itu garis

turunannya mengikuti ibunya.80

Kutipan di atas menerangkan bahwa Fikri adalah keturunan

Minangkabau. Walau ayahnya bukan orang Minang, sebab ayahnya

berasal dari Aceh, akan tetapi ibunya asli Minang. Kampung ibunya

terletak di Kajai Pasaman. Jadi, walau ia tidak lahir di Minang, namun

ia tetap pemuda Minang. Karena Minangkabau menganut garis

keturunan matrilineal.

Di Minangkabau kepentingan suatu keluarga diurus oleh

seorang laki-laki dewasa dari keluarga yang bertindak sebagai ninik

mamak bagi keluarga. Begitu pula adat dalam perkawinan, seorang

anak atau kemenakan sedapat mungkin kawin dengan anak dari

mamaknya, akan tetapi mereka juga boleh menikah dengan orang lain

dengan berbeda suku. Dalam Minangkabau ayah dari pihak wanita

maupun laki-laki tidak terlalu memiliki andil dalam prosesi lamaran

pernikahan, karena keputusan merupakan hak preogatif dari keluarga

ibu. Keluarga ibu, dalam hal ini diwakilkan oleh ninik mamak yang

79

Kuncaraningrat, op. cit., h. 255. 80

Subhan, op. cit., h. 37.

Page 90: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

79

melakukan negosiasi dengan keluarga calon pengantin untuk

memutuskan persyaratan pernikahan. Seseorang dapat dikatakan tidak

beradat bila menyatakan lamaran seorang diri kepada keluarga calon

mempelai, karena seharusnya ninik mamak yang datang berunding

untuk pinang meminang. Inilah yang terjadi pada tokoh Fikri, yang

saat itu jatuh hati pada Rahima. Fikri memutuskan untuk melamar

Rahima yang diwakilkan oleh sahabatnya Yusuf, karena ia sudah tidak

mempunyai keluarga lagi. Namun, pinangan Fikri ditolak mentah-

mentah oleh Ningsih. Ia dikatakan tidak beradat karena langsung saja

datang tanpa ada perundingan dari pihak ninik mamak. Berikut

kutipan:

“Saudara Yusuf, terima kasih Saudara sudah datang

kepada kami menyampaikan maksud dan niat Fikri kawan

saudara itu. Tapi Saudara kan tahu, ini Minangkabau yang

menjunjung tinggi adat dan sopan santun. Dalam adat pinang-

meminang seharusnya ninik mamak di antara kita yang duduk

bersepakat tentang masalah ini. tapi Saudara langsung-

langsung saja menyampaikan kepada kami. Tapi tak apalah,

biar kami coba rundingkan dahulu dengan keluarga kami apa

yang sudah Saudara sampaikan itu. Keputusan iya-tidaknya

akan saya kirimkan surat kepada Saudara nanti. Semoga

Saudara dapat memakluminya,” jawab perempuan itu. Sudut

matanya melirik kepada suaminya yang ikut tersenyum.81

Perkawinan juga merupakan persoalan yang sering

dipersoalkan dalam hukum adat. Hal ini berhubungan dengan

pembatasan yang ada. Seorang wanita yang kawin dengan laki-laki

dari luar akan diusir dari desanya, maksudnya orang luar adalah

seseorang yang bukan keturunan Minangkabau. Hal ini pula yang

penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang. Berikut

kutipannya:

81

Ibid., h. 245.

Page 91: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

80

“ .... Hingga suatu hari berkenalanlah ia dengan seorang

anak laki-laki pedagang kain yang datang dari Aceh ikut

ayahnya berniaga di Kajai. Itulah ayahmu. Kala itu ayahmu

seusiamu sekarang. Masih muda belia, gagah. Ternyata di

antara mereka tumbuh cinta kasih, lalu datanglah kedua

orangtua dari ayahmu itu meminang kepada ninik mamak dari

ibumu. Mengharap peruntungan sebagai orang dagang di

negeri orang. Tapi keluarga ayahmu ditolak lantaran mereka

miskin dan orang pendatang. Ninik mamak ibumu tidak

menerima dengan alasan ada datang pinangan lain dari

kampung sebelah,” ujar Mak Bujang.

....

“Untung tak dapat diraih rugi tak dapat pula ditolak.

Pulanglah orangtua dari ayahmu itu dengan rasa kecewa.

Namun, cinta ayah-ibumu tak bisa dipadamkan, ibumu

melanggar adat di kampung ini, dan tetap memilih ayahmu,

lalu di suatu hari pergilah mereka berdua meninggalkan rumah

dan kampung ini menempuh perjalanan menuju Medan. Tak

seorang pun yang tahu. Dicari orang ke sana ke mari tapi tak

jua bersua. Hingga tiba surat diantar orang bahwa ibu dan

ayahmu telah menikah di suatu tepat di Aceh. Atas kejadian

itu, jatuh sakitlah kakek nenekmu karena malu menanggung

aib. Beberapa tahun kemudian mereka berdua berpulang ke

Rahmatullah...”.82

Kutipan di atas menerangkan bahwa bagaimana adat di

Minangkabau sangat mengikat dalam hal perkawinan. Maimunah

sebagai gadis Minang tidak boleh menikah dengan pemuda yang bukan

keturunan Minang, karena ditakutkan akan merusak ranji silsilah

keluarga. Akan tetapi, cinta yang membutakan mata Maimunah hingga

ia melanggar adat dan lebih memilih kawin lari dengan pemuda

pilihannya itu, yang akhirnya membuat ia terbuang dari kaumnya.

Sebagaimana yang menjadi tema dalam cerita ini yaitu kasih yang tak

sampai seseorang yang terbentur adat istiadat.

Sebagai masyarakat yang hidup mengelompok dengan suku-

suku, dalam hubungan interaksi sosial tradisi berunding merupakan

82

Ibid., h. 60.

Page 92: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

81

bagian dari seremonial dalam budaya masyarakat di Minangkabau.

Dalam setiap momen adat maupun keseharian, perundingan menjadi

prioritas utama dalam mencapai suatu kesepakatan.83

Budaya rundingan

ini tertuang di undang-undang dalam nagari berikut ini:

Barek samo dipikue

Ringan samo dijinjiang

Nan ado samo dimakan

Nan indak samo dicari

Ka bukik samo mandaki

Ka lurah samo manurun

Talantang samo minum aie

Tatilungkuik samo makan tanah

Jikok jauah samo maingek

Jikok dakek saliang manjalang

Berat sama dipikul

Ringan sama dijinjing

Yang ada sama dimakan

Yang tiada sama dicari

Ke bukit sama mendaki

Ke lurah sama menurun

Terlentang sama minum air

Tertelungkup sama makan tanah

Kalau jauh saling mengenang

Kalau dekat saling mengunjung.84

Budaya berunding dalam masyarakat Minangkabau dapat terlihat

saat memecahkan ragam masalah seperti, menetapkan batas ulayat,

upacara perkawinan, sampai kematian, masalah harta pusaka dan

sebagainya. Lalu hasil rundingan tersebut akan melahirkan apa yang

dinamakan dengan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi dan

dijalankan. Jika ada pihak yang mencoba melanggarnya, maka akan

dihadapkan pada sanksi adat dan sanksi sosial. Dalam novel Rinai Kabut

Singgalang rundingan juga dilakukan tatkala ingin memasung Mak Safri

yang hilang akalnya ke tengah kebun manggis di hutan. Hal itu dilakukan

83

Syuhendri Datuak Siri Marajo, “Minangkabau Kato Dahulu Kato Batapi”, 2012,

http://minangkabauku.wordpress.com/2012/02/14/kato-dahulu-kato-batapati/ diunduh pada hari

Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB. 84

Piliang, op. cit., h. 173.

Page 93: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

82

karena sakit Mak Safri yang semakin menjadi dan membahayakan orang

sekitar jika tidak dipasung. Maka dari itu bermufakatlah ninik mamak,

penghulu kaum dan orang kampung agar Mak Safri diasingkan ke hutan.

Berikut kutipannya:

“Suatu hari sakit mamakmu itu kambuh dan merusak

isi rumah. Hampir pula ditikamnya Mak Tuo dengan pisau

dapur. Untunglah saat itu aku ada di rumah dan berhasil

menangkap pisau itu. Karena sakitnya semakin menjadi,

bermufakatlah ninik mamaknya, penghulu kaum, dan orang

kampung agar ia dipasung saja. Awal mula beberapa orang

tidak setuju, namun mengingat mudharatnya lebih besar jika

dia dibiarkan lepas, maka akhirnya musyawarah memutuskan

ia dipasung dan diasingkan ke tengah hutan hingga sekarang.

Pondok yang ditempatinya itu orang kampung yang

membangun, aku dan Mak Tuo setiap hari yang menjaganya

dan membawakannya makan minum.”85

....

“Itu sudah kesepakatan orang kampung. kami tak punya

kuasa. Kalau kata orang kampung dia boleh dilepaskan, kami

akan lepaskan. Tapi kalau tidak, maka tak berani pula kami

melanggar adat hasil keputusan mufakat itu,” timpal Mak

Bujang lagi.86

C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa.

Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa

Indonesia karena sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pembelajaran

sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan.

Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan,

khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya. Tujuan

pembelajaran sastra adalah untuk menghargai dan membanggakan sastra

85

Subhan, op. cit., h. 62. 86

Ibid., h. 63.

Page 94: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

83

Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dan

berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa.

Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi

sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal

itu terbukti dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi

sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa

mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA

maupun SMK).87

Proses pembelajaran sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam

hal ini guru bahasa Indonesia) sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan

siswa sebagai subjek yang belajar sastra. Cara yang ditempuh guru bahasa

Indonesia untuk membimbing dan mengarahkan kepribadian siswa agar

bertingkah laku baik serta cinta akan budaya bangsanya sendiri, adalah

dengan memanfaatkan karya satra dan salah satunya dengan membaca

karya sastra yang mengandung aspek budaya. Melalui budaya yang ada

dalam novel, siswa lebih mengetahui keragaman budaya Indonesia dan

lebih mencintai budaya sendiri. Salah satu kebudayaan besar di Indonesia

adalah Minangkabau. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua

kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh.

Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem

kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal.

Novel-novel yang mengandung aspek budaya Minangkabau

merupakan salah satu bentuk prosa yang dapat memudahkan siswa dalam

memahami budaya Minangkabau lewat sastra. Namun, bentuk prosa

seperti ini dianggap serius dan berat untuk dianalisis, karena menceritakan

tentang adat istiadat, unsur religi, bahasa, pengetahuan dan teknologi,

organisasi sosial, dan sistem ekonomi suku Minangkabau. Novel Rinai

Kabut Singgalang yang ditulis oleh Muhammad Subhan dapat

87

Dedi Wijayanti, “Pengajaran Sastra di Sekolah Jangan Hanya Bersifat Reseptif”,

(http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip) diunduh

pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB.

Page 95: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

84

dikategorikan sebagai novel populer yang mengharu biru dengan

menggunakan bahasa yang sederhana dan sarat dengan pesan moral,

sehingga pembaca tidak terlalu rumit memahami kandungan isi novel.

Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada

kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan

atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyak-

banyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan

berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa,

kematangan jiwa, dan prioritas.

Guru sastra bertugas memberi siswa kesempatan untuk

mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya, bersifat membantu

menyajikan lingkungan dan suasana yang kondusif, misalnya

menyediakan bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang membaca.

Melalui novel Rinai Kabut Singgalang guru mengarahkan agar siswa

dapat memahami, menghargai, dan ikut melestarikan salah satu

kebudayaan di Indonesia, yaitu Minangkabau. Guru dapat mengadakan

diskusi dan pembahasan tentang usur-unsur budaya yang ada di

Minangkabau.

Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa analisis tersebut

diperuntukkan agar siswa mengetahui bahwa novel Rinai Kabut

Singgalang merupakan salah satu novel berlatar Minangkabau yang sarat

akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa tehadap

budaya Indonesia khususnya Minangkabau. Dan pembelajaran

diperuntukan bagi siswa tingkat SMA. Dengan demikian pembelajaran

apresiasi sastra pada novel dapat dipadukan dengan pelajaran lainnya

khususnya ilmu sosial dan budaya.

Page 96: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

85

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel

Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan, dapat diambil

beberapa simpulan, yaitu:

1. Rinai Kabut Singgalang adalah novel karya Muhammad Subhan yang

berkisah tentang perjuangan seorang remaja dalam meraih cita-citanya.

Tema yang diangkat dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah

tentang kasih tak sampai seorang pemuda yang terbentur adat istiadat

di Minangkabau. Kisah cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima,

karena Fikri dianggap orang datang, tidak beradat, dan miskin harta.

Alur yang digunakan adalah alur maju dengan tokoh utama Fikri dan

Rahima. Selain itu, didukung juga oleh kehadiran tokoh-tokoh

tambahan, di antaranya Yusuf, Bu Aisyah, dan Ningsih. Latar tempat

dalam novel ini secara umum berada di Minangkabau, sedangkan latar

waktu yang terjadi adalah tahun 1990-2000-an. Dalam novel ini, sudut

pandang yang digunakan adalah orang ketiga atau narator luar

serbatahu, sedangkan gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa

Indonesia, dan terdapat kosakata Minangkabau di dalamya. Pesan yang

disampaikan dalam novel ini adalah keteladanan tokoh Fikri yang

mempunyai semangat tinggi dalam meraih cita-cita dan ketabahannya

dalam menghadapi segala cobaan yang datang silih berganti.

2. Penjabaran aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut

Singgalang, penulis kelompokkan berdasarkan unsur-unsur budaya

yang terdiri dari tujuh unsur, yaitu: 1) sistem bahasa dalam novel ini

Page 97: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

86

terdapat 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan

bahasa Indonesia, satu kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim

dengan bahasa Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual

berbeda, dan dua kosakata bahasa Minangkabau yang tidak ada

padanannya dalam bahasa Indonesia. 2) sistem pengetahuan dalam

novel ini adalah ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada alam

dan tahu pada Allah. 3) sistem religi dalam novel ini adalah ketaatan

dalam beribadah, kepercayaan masyarakat pada mitos, dan pengadaan

pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem keseniannya adalah

seni bela diri dan seni sastra. 5) sistem mata pencahariannya adalah

berdagang, bertani, berladang, dan sebagai nelayan. 6) sistem

teknologinya adalah bentuk Rumah Gadang. 7) sistem organisasi

sosialnya adalah matrilineal, adat perkawinan, dan adat dalam

bermufakat.

3. Aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang

dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA, karena novel

ini sarat akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa

tehadap budaya Indonesia khususnya Minangkabau. Pembelajaran

apresiasi sastra pada novel ini dapat dipadukan dengan pelajaran

lainnya khususnya ilmu sosial dan budaya.

B. Saran

Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, ada

beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu:

1. Diharapkan novel Rinai Kabut Singgalang ini dapat dijadikan sebagai

bahan pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan bagi

guru untuk dapat memanfaatkan novel ini sebagai media pembelajaran

sastra.

Page 98: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

87

2. Pembelajaran aspek budaya Minangkabau yang telah didapatkan

dalam novel tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa

akan budaya Minangkabau dan menumbuhkan rasa cinta terhadap

salah satu budaya Indonesia yaitu budaya Minangkabau.

Page 99: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

88

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman. Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956.

Jakarta: Balai Pustaka Utama. 2006.

Diradjo, Ibrahim Sanggoeno. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan

Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2013.

Efendi, Anwar. Bahasa dan Sastra dalam berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara

Wacana. 2008.

Furqonul, Aziez., dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi sebuah Pengantar.

Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.

Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta: Literata. 2010.

Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel: an Introduction. New York. Great Britain.

1985.

Hidayat, Rahayu S. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia. 1998.

Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

2006.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia.

1990.

_____________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. VIII,

2002.

_____________. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Cet. XX, 2004.

_____________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. IX,

2009.

Page 100: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

89

Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia”,

Makalah pada FBS UNY: 2008. tidak dipublikasikan.

Mahyana, Maman S. Apreasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama. 2006.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda

Karya. 2005.

Naim, Muchtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press. 1984.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Cet. V, 2005.

Piliang, Edison, dan Nasrun Marajo Sungut. Budaya dan Hukum Adat di

Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Cet. II, 2013.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. Cet. III, 2007.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Subhan, Muhammad. Rinai Kabut Singgalang. Kediri: FAM Publishing. Cet. II,

2013.

Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia

Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.

Widianto, Bambang., dan Iwan Meulia Pirous. Perspektif Budaya: Kumpulan

Tulisan Koentjaraningrat. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.

Widyosiswoyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia. Cet. V,

2004.

Page 101: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

90

Zubir, Zaiyardam. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan Pendekatan

Penyelesaian berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau. Yogyakarta:

INSISTPress. 2010.

Gunawan, Aris Prima. “Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra”, dalam

http://arisid.blogspot.com/2012/12/hakikat-pembelajaran-apresiasi-

sastra.html, 2012. diunduh pada Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 09.30 WIB.

Juned, Sulaeman. “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca

Muhammad Subhan”, dalam

http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novel-rinai-

kabut-singgalang.html, 2012. diunduh pada Senin, 5 Agustus 2013 pukul

11.00 WIB.

Malayan, Dutro. “Suku Minangkabau”, dalam

http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-minangkabau.html,

2012. diunduh pada Jumat, 20 September 2013 pukul 09.00 WIB.

Maulana, Puri. “Kebudayaan Suku Minangkabau”, dalam

http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabau-

kebudayaan-sistem-kepercayaan-bangsa.html, 2013. diunduh pada Selasa,

2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB.

Musanif, Musriadi. “Subhan Obsesi Menjelajah Dunia”, dalam

http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-dunia-

jurnalistik-lalu_08.html, 2011. diunduh pada Senin, 2 September 2013

pukul 11.00 WIB.

Romandiyah, Shina. “Suku Minangkabau”, dalam

http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/suku-

minangkabau/, 2013. diunduh pada Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15

WIB.

Page 102: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

91

Subhan, Muhammad. Wawancara. Facebook, pada Jumat, 15 Februari 2013 pukul

17.00 WIB.

Syuhendri. “Minangkabau Kato Dahulu Kato Batapi”, dalam

http://minangkabauku.wordpress.com/2012/02/14/kato-dahulu-kato-

batapati, 2012. diunduh pada Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB.

Wijayanti, Dedi. “Pengajaran Sastra di Sekolah Jangan Hanya Bersifat Reseptif”,

dalam http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-

bersifat-reseptip, 2013. diunduh pada Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30

WIB.

Zia. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam

(http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-

minangkabau.html)diunduh, 2012. diunduh pada Minggu, 3 Februari 2013

pukul 14.00 WIB.

Page 103: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

LAMPIRAN

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

BERKARAKTER

Nama Sekolah : SMA/MA

Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia

Kelas/Semester : XII/I

Aspek Pembelajaran : Aspek Mendengarkan

Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ terjemahan.

Kompetensi Dasar : Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel

Indonesia.

Indikator :1.Mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur,

penokohan, tema, amanat, dan latar novel yang dibaca).

2. Mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik (aspek budaya

Minangkabau dalam novel).

3. Mampu mengidentifikasi novel Rinai Kabut Singgalang

menggunakan pendekatan objektif.

Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (1 kali pertemuan)

Page 104: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

A. Tujuan Pembelajaran

1. Setelah membaca dan memahami novel, diharapkan peserta didik

mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema,

amanat, dan latar novel).

2. Setelah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel, diharapkan

peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik novel,

dalam hal ini ditekankan pada aspek budaya Minangkabau yang

terdapat dalam novel (salah satunya adalah novel Rinai Kabut

Singgalang karya Muhammad Subhan).

3. Setelah dapat mengidentifikasi novel dengan menggunakan

pendekatan objektif, diharapkan peserta didik mampu

mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia.

B. Materi pokok

Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta memahami

pedekatan objektif.

C. Nilai budaya dan karakter bangsa

Disiplin

Kerja keras

Kreatif

Rasa ingin tahu

Kritis

D. Nilai kewirausahan/ ekonomi kreatif

Kreatif

Berorientasi pada tindakan

Kerja keras

Terampil

E. Metode dan skenario pembelajaran

Ceramah

Page 105: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

Tanya jawab

Diskusi

Simulasi

F. Kegiatan Belajar Mengajar

1. Kegiatan awal

Apersepsi:

a) Guru mengucapkan salam

b) Guru mengkondisikan kelas

c) Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah

novel.

Motivasi:

a) Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan

disampaikan.

b) Guru menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran.

2. Kegiatan inti

Eksplorasi:

a) Guru mampu menjelaskan tentang unsur intrinsik dan ektrinsik

dalam novel serta pendekatan objektif, termasuk di dalamnya

aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut.

b) Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas

terkait dengan materi yang akan dipelajari.

c) Guru menggunakan sumber belajar berupa modul buku Bahasa

Indonesia yang diharapkan dapat membantu peserta didik dalam

memahami materi yang dipelajari.

d) Guru memfasilitasi terjadinya interaksi baik antar siswa dengan

guru, maupun siswa dengan siswa.

Page 106: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

Elaborasi:

a) Guru memfasilitasi peserta didik melalukan tanya jawab,

diskusi, dll. untuk memunculkan gagasan baru baik seara lisan

maupun tertulis.

b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan

unsur-unsur intrinsik dan eksrinsik novel Indonesia (dengan

mencari aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam

novel).

c) Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik lain untuk

memberikan gagasan/komentar terhadap jawaban peserta didik

dalam menentukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel

Indonesia.

Konfirmasi:

a) Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan,

isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.

b) Guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh

pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.

3. Kegiatan akhir

a) Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan

tentang materi yang disampaikan.

b) Guru merefleksi materi tersebut untuk kehidupan sehari-hari.

c) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan

berikutnya.

G. Sumber Belajar

a) Berbagai novel Indonesia (Rinai Kabut Singgalang)

b) Buku tentang budaya Minangkabau yang relevan dengan novel

Rinai Kabut Singgalang

Page 107: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

c) Cara menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel

Indonesia

d) Alat tulis seperti bolpoint dan buku

e) Pustaka rujukan, menggunakan buku Piawai Berbahasa Cakap

Bersastra Indonesia untuk SMA kelas XII, penerbit Pusat

Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.

H. Penilaian

1. Teknik

Tes (PG, isian, dan uraian)

2. Instrumen soal

1) Sebutkan unsur-unsur intrinsik dalam novel?

2) Sebutkan unsur ektrinsik dalam novel Rinai Kabut Singgalang?

3) Tentukanlah aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai

Kabut Singgalang?

Jawaban

1) a. Tema

b. Alur

c. Latar atau setting

d. sudut pandang atau point of view

e. penokohan

f. amanat

2) Agama, sosial dan budaya masyarakat

3) Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terdapat tujuh unsur budaya

yaitu, sistem bahasa, pengetahuan, tekhnologi, religi, organisasi

sosial, mata pencaharian, dan kesenian.

Page 108: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

2. Format kriteria penilaian nilai budaya dan karakter bangsa

No Aspek yang dinilai Kriteria

1.

2.

3.

4.

Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik

Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik

Peserta didik mampu mengidentifikasi aspek budaya

Minangkabau yang terdapat dalam novel

Peserta didik mampu menjelaskan aspek budaya

Minangkabau yang terdapat dalam novel

3

3

3

3

Jakarta, November 2013

Mengetahui,

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

LisaPurnama Sari

NIM. 109013000090

Page 109: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …
Page 110: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …
Page 111: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …
Page 112: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …
Page 113: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …
Page 114: ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT …

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

LISA PURNAMA SARI, yang biasa dipanggil ica adalah anak sulung

dari tiga bersaudara. Ia menuntaskan pendidikan dasarnya di SDN Jati

Murni II Bekasi, kemudian melanjutkan pendidikannya di Mts. Daarul

Hikmah Pamulang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMK

Sastmita Jaya 1 Pamulang. Setelah lulus dari SMK pada tahun 2009, ia

memilih untuk melanjutkan pendidikanya di UIN Syarifhidayatullah

Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia.

Ia memiliki hobi olahraga dan membaca. Saat ini ia aktif dalam dunia pengajaran, di

antaranya menjadi pengajar pada bimbingan belajar SmartGama Pamulang dan pengajar

privat SD di rumah. Prinsip hidupnya adalah jangan pernah menyerah pada kegagalan, selalu

memotivasi diri untuk jadi yang lebih baik. Karena baginya, motivasi adalah kekuatan untuk

terus maju menerjang semua rintangan yang ada untuk meraih apa yang kita inginkan.

Menjadi seorang guru adalah cita-citanya sedari kecil. Menjadi guru memang bukan

pekerjaan mudah. Seorang guru selain harus memiliki keterampilan berbicara, juga

diharapkan memiliki kemampuan menyampaikan ilmu dengan cara yang kreatif dan inovatif.

Baginya, pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Pendidikan mempunyai arti

suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan

melangsungkan kehidupan. Maju mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari pendidikannya.

Maka dari itu penulis ingin menjadi guru yang profesional yang mampu mencetak generasi

penerus bangsa yang cerdas.