Upload
riana-andardewi-andromeda
View
48
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asmaammasmsma
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Asma dapat bersifat
ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat bersifat menetap dan mengganggu
aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan
dapat menimbulkan disability (kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta
menurunkan kualiti hidup.
Penyakit respiratorik kronik ini yang paling sering ditemukan, terutama dinegara maju.
Penyakit ini pada umumnya dimulai sejak masa anak-anak, asma merupakan suatu keadaan di
mana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu
yang meyebabkan peradangan. Biasanya penyempitan ini sementara, penyakit ini paling banyak
menyerang anak dan berpotensi untuk menggangu pertumbuhan dan perkembangan anak. Nelson
mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi) dan atau batuk
dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik dan atau kronik, cenderung pada
malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik
dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat
asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan1).
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir
semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang
ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh dunia
menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anakanak. Asma merupakan gangguan
saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran klinis, faktor
pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat bervariasi.
Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing), bronkokontriksi, terjadi
sembab mukosa dan hipersekresi.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
1
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
Sedangkan kejadian Asma pada anak, Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali
mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti
bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di
antaranya mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi
asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner
modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara
acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7%
dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi
prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun
melalui kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan
pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak.
Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif
(riwayat asma) 11,5%.
I.2. Masalah dan Pembatasan Masalah
Makalah ini membahas tentang Anatomi, Histologi , dan Fisiologi saluran pernapasan.
Serta membahas mengenai Asma pada anak berupa definisi, epidemiologi, etiologi, faktor faktor
yang mempengaruhi terjadinya asma, fatogenesis, diagnosis, diagnosis banding, klasifikasi
berdasarkan berat peyakit, tata laksana, pencagahan, dan prognosis.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Anatomi, Histologi, dan Fisiologi Saluran Pernafasan
II. 1. 1. Anatomi
Gambar 1 : Saluran pernafasan atas
Saluran penghantar udara yang membawa udara ke dalam paru adalah hidung, faring,
laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus. Saluran pernapasan dari hidung hingga bronkiolus
dilapisi oleh membran mukosa bersilia. Ketika masuk rongga hidung, udara disaring,
dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari epitel toraks
bertingkat, bersilia dan bersel goblet. Permukaan epitel diliputi oleh sel goblet dan kelenjar
mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut di lubang hidung, sedangkan
partikel yang halus akan terjerat dalam lapisan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus
ke posterior dalam rongga hidung, dan kesuperior sistem pernapasan bagian bawah menuju
faring. Dari sini partikel halus akan tertelan atau di batukkan keluar. Lapisan mukus memberikan
air untuk kelembaban, dan banyaknya jaringan pembuluh darah di bawahnya akan menyuplai
panas ke udara inspirasi. Jadi udara inspirasi telah di sesuaikan sedemikian rupa sehingga udara
yang mencapai faring hamper bebes debu, bersuhu mendekati suhu tubuh dan kelembabanya
mencapai 100%.
Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari rangkaian
cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita suara. Ruang
3
berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glotis) bermuara ke dalam trakea dan membentuk
bagian antara saluran pernapasan atas dan bawah.
Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang
panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Permukaan posterior trakea agak pipih dibandingkan
sekelilingnya karena cincin tulang rawan di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di
depan esofagus. Tempat trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai
karina.
Gambar 2 : Saluran pernafasan bawah
Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih pendek dan
lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan merupakan kelanjutan dari trakea yang
arahnhya hampir vertikal. Bronkus utama kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan
dengan bronkus utama kanan dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih
tajam.
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan
kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya
semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang
tidak mengandung alveoli (kantong udara).bronkiolus terminalis memiliki garis tengah kurang
lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot
polos sehingga ukurannya bisa berubah. Seluruh saluran udara kebawah hingga tingkat
bronkiolus terminalis disebut saluran penghantar udara karena fungsi utamanya adalah sebagai
penghantar udara ke tempat pertukaran gas paru.
4
II.1.2. Histologi
Sistem respirasi berfungsi untuk menyelenggarakan pengambilan oksigen oleh darah dan
untuk pembuangan karbondioksida.Jaringan paru dihubungkan dengan lingkungan luar melalui
serangkaian saluran yaitu hidung,faring ,laring,trakea dan bronki.Berikut histologi dari system
pernapasan :
A. Rongga Hidung
Rongga hidung mengubah udara yang masuk ,membuat udara pernapasan tidak merusak
system respirasi yang lebih awal.Pada potongan frontal ,rongga hidung berbentuk buah
alpokat ,terbagi dua oleh septum mediana dan dari dinding lateral menonjol 3 lengkungan
tulang yang dilapisi oleh mukosa yang ditutupi oleh epitel bertingkat kolumnar bersilia.
a. Kelenjar mensekresi lender dan cairan untuk melapisi dan melembabkan epitel
b. Silia bergetar secara sinkron untuk memindahkan lendir dan menangkap debu tertentu ke
dalam saluran cerna.
c. Mukosa pembatas berkaitan dengan jala vaskuler yang luas yang
menghangatkan ,mendinginkan dan melembabkan udara inspirasi.
Gambar 3 : Gambaran histologi rongga hidung
B. Epitel Olfaktorius
Bagian posterior atas rongga hidung mengandung dua bercak epitel olfaktorius tepat
lateral terhadap septum nasalis.Epitel olfaktorius dilembabkan oleh hasil sekresi serosa kelenjar
Bowman.Mukosa Olfaktorius juga mempunyai epitel bertingkat kolumnar bersilia Epitel ini di
modifikasi untuk penghiduan. Epitel olfaktorius disusun oleh 3 jenis sel yaitu :
a. Sel penyokong
b. Sel basal
c. Sel olfaktorius
5
C. Nasofaring
Menghubungkan rongga hidung ke larings dan sisa system respirasi.Kebanyakan
nasofaring ditutupi oleh epitel bertingkat kolumnar bersilia,meskipun bercak bercak epitel
berlapis gepeng tak bertanduk mungkin ada di orofaring.Epitel berlapis gepeng menutupi faring
bawah dan epiglotis.Epiglotis mengandung tulang rawan elastis.
D. Laring
Laring adalah bagian berongga system respiratorius yang melebar terletak antara
nasofaring dan trakea.Laring terdiri atas tulang rawan,ligament, otot dan permukaan mukosa.
a. Mukosa dibungkus oleh epitel tinggi bervariasi :
- Epitelnya adalah berlapis gepeng di bagian atas,menutupi sebagian epiglottis.
- Epitel bertingkat kolumnar bersilia menutupi sebagian besar mukosa laring
b. Kelenjar tubuloasinosa yang menghasilkan lendir pelindung tersebar di sepanjang mukosa
larings dan terutama banyak di lipatan ventikuler.
c. Tulang rawan larings adalah hialin (tiroid) atau elastic (kuneiformis,kornikulata)
d. Otot ekstrinsik dan intrinsic laring adalah otot skelet biasa
E. Trakea
Menyalurkan udara antara larings dan bronki.
a. Mukosa trakea; Sel-sel epitel trakea .Trakea mempunyai lumen yang relative besar dibatasi
oleh epitel
bertingkat kolumnar bersilia dan bersel goblet untuk mrnsintesa dan mensekresi lendir.
b. Dinding trakea mengandung beberapa tulang rawan hialin yang berbentuk huruf C.
Gambar 4 : Gambaran histologi trakea
6
F. Bronkus
Bronkus mempunyai epitel bertingkat kolumnar bersilia mengandung sejumlah sel goblet
,macrofag dan fibroblast.Tulang rawan bronkus berbentuk irregular tetapi masih membentuk
rangka yang membantu mempertahankan lumen broncus tetap paten.Seluruh dinding bronkus
terdiri atas sserat otot dan lempeng tulang rawan yang tidak beraturan.
Gambar 5 : gambaran histologi bronkus
G. Bronkiolus
Broncus terkecil berhubungan dengan system bronkiolus.
1. Bronkiolus besar: Mempunyai epitel selapis koliumnar dari sel bersilia ,sel bronkiolus,sel sikat
yang tersebar dan sedikit sel bergranula kecil.Brinkiolus juga mengandung sel-sel otot polos
yang membentuk anyaman dan fibroblast tetapi tidak mengandung tulang rawan. Sel bronkiolus
(clara) →khas untuk bronkiolus. Sel ini bersifat sekresi, di duga ikut berperan menghasilkan
filtrate darah untuk melembabkan epitel bronkiolus.
2. Bronkiolus terminalis: Dibatasi oleh epitel selapis kubis bersilia dan banyak jaringan elastic
pada dinding bronki.
3. Bronkiolus respiratorius: Mempunyai alveoli pada dindingnya.Bagian dindingnya
mengandung epitel kubis terutama terdiri atas sel bersilia dan sel bronkiolus.
Gambar 6 : Gambaran histologi bronkiolus
7
H. Ductus Alveolaris
Ductus alveolaris adalah saluran berdinding tipis,dilapisi oleh epitel selapis
gepeng.Pada dindingnya mengandung banyak alveolus. Ductus alveolaris bermuara ke
dalam atria.Yaitu suatu ruang tak teratur atau gelembung tempat alveoli dan sakus alveoli
bermuara.Biasanya dua atau lebih sakus alveolaris muncul dari tiap atria.Sakus alveolaris
adalah sekelempok alveoli yang bermuara ke dalam suatu ruangan.
Gambar 7: gambaran histology ductus alveolaris
I. Sel Epitel Alveolar
Mempunyai dua tipe,yaitu :
1. Sel alveolar gepeng/sel epitel permukaan/sel tipe I: Adalah sel yang sangat gepeng
terutama sebagai pembatas ruang alveolus.Sel ini khusus untuk pertukaran gas.
2. Sel alveolar besar /sel septa/sel tipe II: Bentuk selnya kubis dan menonjol kedalam
ruang alveoli.Inti vesikuler dan sitoplasma bervakuol.Mengandung fosfoloipid,protein
dan glikosaminoglikans.Sel ini menghasilkan surfaktan yang membentuk lapis tipis yang
membatasi alveoli.Jadi sel tipe II adalah sumbeer utama pembentukan sel baru yang
melapisi alveoli.
Gambar 8: gambaran histologi sel epitel alveolar
8
II.1. 3. Fisiologi
Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi seluruh jaringan tubuh
dan membuang karbon dioksida ke atmosfir. Untuk mencapai tujuan ini, sistim pernapasan
menjalankan fungsi :
A.Ventilasi paru, yaitu masuk keluarnya udara dari atmosfir ke alveoli paru.
Pada waktu Inspirasi merupakan proses aktif. Volume thorax mengembang karena
berkontraksinya diafragma dan otot-otot seperti M.sternocleidomastoideus yang mengangkat
sternum, lalu M.seratus dan M.intercostalis externus yang mengangkat iga-iga. Peningkatan
volume rongga thorax tersebut menyebabkan penurunan tekanan intra-pleura dan intra-pulmonal.
Sehingga udara bertekanan tinggi yang berasal dari luar masuk ke dalam paru-paru yang
bertekanan lebih rendah dan mengisinya.
Ekspirasi merupakan proses pasif yang disebabkan elastisitas dinding dada dan paru
mempengaruhi M.intercostalis externus & diafragma berelaksasi sehingga volume rongga thorax
berkurang dan tekanannya meningkat. M.intercostalis interna berkontraksi menurunkan rangka
iga. Melalui perbedaan tekanan, maka udara yang berada dalam paru-paru dihembuskan keluar.
B.Difusi O2 dan CO2. Melalui proses perbedaan tekanan antara alveolus dengan kapiler darah.
a. Tekanan pleura
Tekanan di dalam rongga sempit antara pleura paru (viseralis) dan pleura dinding dada
(parietalis). Normalnya tekanan ini pada saat akhir ekspirasi (mulai inspirasi) adalah -5 cm H20,
yang merupakan kekuatan yang tetap mempertahankan pengembangan paru pasa saat
istirahatnya. Selama inspirasi, pengembangan rangka dada akan mendorong permukaan paru
dengan kekuatan yang sedikit lebih besar dan mengakibatkan tekanan pleura menjadi lebih
negative sekitar -7 cm H20.
b. Tekanan alveolus
Adalah tekanan di bagian dalam alveoli paru. Agar udara bisa masuk selama inspirasi maka
tekanan dalam alveolus harus turun sampai nilainya sedikit dibawah tekanan atmosfir yaitu -1
cm H20,agar 0,5 liter udara dapat masuk. Selama ekspirasi tekanan alveolus meningkat sekitar
+1 cm H20 dan mendorong 0,5 liter udara keluar.
9
c. Surfaktan
Merupakan campuran lipoprotein dan ion. Dihasilkan oleh sel epitel alveolar tipe II. Fungsi
surfaktan ini melawan tegangan permukaan sehingga alveoli tidak mengempis/kollaps. Pada
RDS yang biasanya terjadi pada bayi prematur, akibatnya kurangnya surfaktan.
• Alveolus mengecil → lapisan menebal
• Alveolus membesar → lapisan menipis
C. Transportasi 02 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel
Transportasi O2, terdiri dari 2 cara:
a. Fisik : Plasma (1 % dari O2 total)
b. Kimia : Berikatan dengan Hemoglobin.
Setelah oksigen masuk dari alveoli ke dalam paru-paru maka oksigen diangkut dalam
ikatan dengan hemoglobin ke kapiler jaringan dimana oksigen akan dilepaskan untuk digunakan
oleh sel-sel. Adanya hemoglobin dalam sel darah merah mengizinkan darah mengangkut oksigen
lebih banyak dibandingkan bila oksigen hanya terlarut dalam cairan darah.
Oksigen yang dibawah ke perifer akan mengoksigenasi jaringan-jaringan tubuh, dan hal
ini juga dipengaruhi oleh pemakaian oksigen jaringan persatuan waktu (oksygen consumption).
Oksygen consumption ini harus seimbang dengan penyediaan oksigen (oksygen delivery),
sehingga diperoleh oksigen yang cukup untuk semua jaringan.
Transportasi CO2, terdiri dari 3 cara:
a. 10 % CO2 larut dalam plasma
b. 20 % berikatan dengan carbaminohemoglobin
c. 70 % dalam bentuk bikarbonat plasma (HCO3-)
Karbondioksida yang terbentuk pada jaringan akan memasuki kapiler jaringan dan
diangkut oleh darah kembali ke paru-paru. Tekanan CO2 jaringan akan meningkat akibat hasil
metabolisme, dan tekanan CO2 ini (PCO2) akan lebih tinggi dari PCO2 darah, sehingga CO2
jaringan akan berdifusi ke dalam darah. Seperti juga oksigen, karbondioksida juga terikat dengan
suatu bahan kimia dalam darah yang meningkatkan transport CO2 15-20 kali lipat.Transport
CO2 dapat melewati 3 cara yaitu terikat dengan bikarbonat dan ini yang terutama, terikat dengan
carbaminocompound, dan yang terlarut dalam darah.
10
Keseimbangan asam basa tubuh dipengaruhi oleh fungsi paru dan CO2. Bila
Hiperventilasi, maka CO2 diekskresikan berlebihan jadi alkalosis (ph > 7,4). Sebaliknya, bila
hipoventilasi C02 retensi (tertahan) jadi asidosis (ph <7,4).
Pada Jalan Udara Pernapasan, terdapat:
a. Zona konduksi/konveksi : zona hanya tempat lewatnya udara → Ruang rugi anatomis
(anatomic dead space)
b. Zona Respirasi : zona tempat pertukaran oksigen dan karbondioksida (secara difusi)
II. 2. ASMA PADA ANAK
II. 2. 1. Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan
napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti serangan
nafas pendek. Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing (mengi)
dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya
aktivitas fisik dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta
adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan.
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma (GINA)
didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang berperan,
khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan
mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
Gejala ini biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas namun bervariasi,
yang sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.
11
II. 2. 2. Epidemiologi
Asma merupakan penyakit kronik tersering pada anak dan masih tetap merupakan
masalah bagi pasien, keluarga, dan bahkan para klinisi dan peneliti asma. Mengacu pada data
epidemiologi Amerika Serikat pada saat ini diperkirakan terdapat 4-7% (4,8 juta anak) dari
seluruh populasi asma. Selain karena jumlahnya yang banyak, pasien asma anak dapat terdiri
dari bayi , anak, dan remaja, serta mempunyai permasalahan masing-masing dengan implikasi
khusus pada penatalaksanaannya.
Pada tahun 2008, diperkirakan bahwa 23,3 juta orang Amerika saat ini memiliki asma.
12.7 juta orang di Americans (4.1 juta di bawah usia 18) memiliki serangan asma. Berdasarkan
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) didapatkan setengah juta
anak usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun di 56 negara memiiliki riwayat serangan berupa wheeze
sebesar 6-32% dan 2-33% prevalensi tertinggi terdapat di Eropa tengah dan barat, Amerika
Latin, Africa and Asia Tenggara , dan sedikit di India, China, Eropa timur and Unisoviet.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditi) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian
(mortaliti) ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di seluruh
Indonesia sebesar 13/ 1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/ 1000 dan obstruksi paru 2/ 1000.
Sedangkan kejadian Asma pada anak, Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali
mendapatkan prevalensi asma pada anak dengan hipereaktiviti bronkus 2,4% dan hipereaktiviti
bronkus serta gangguan faal paru adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan
menggunakan kuesioner International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC),
didapatkan hasil dari 402 kuesioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 0,8 tahun
didapatkan prevalensi asma (gejala asma 12 bulan terakhir/ recent asthma) 6,2% yang 64% di
antaranya mempunyai gejala klasik. Bagian Anak FKUI/ RSCM melakukan studi prevalensi
asma pada anak usia SLTP di Jakarta Pusat pada 1995-1996 dengan menggunakan kuesioner
modifikasi dari ATS 1978, ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara
acak. Seluruhnya 1296 siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7%
dengan riwayat asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi
12
prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2234 anak usia 13-14 tahun
melalui kuesioner ISAAC (International Study of Asthma and Allergies in Childhood), dan
pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak.
Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma ) 8,9% dan prevalensi kumulatif
(riwayat asma) 11,5%.
Berdasarkan laporan Heru Sundaru (Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM),
prevalensi asma di Bandung (5,2%), Semarang (5,5%), Denpasar (4,3%) dan Jakarta (7,5%)8. Di
Palembang, pada tahun 1995 didapatkan prevalensi asma pada siswa SMP sebesar 8,7% dan
siswa SMA pada tahun 1997 sebesar 8,7% dan pada tahun 2005 dilakukan evaluasi pada siswa
SMP didapatkan prevalensi asma sebesar 9,2%2.
Penyakit Asma dapat mengenai segala usia dan jenis kelamin, 80-90% gejala timbul
sebelum usia 5 tahun. Pada anak-anak, penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan,
sedangkan pada usia dewasa terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada anak dan
bayi lebih tinggi daripada orang dewasa
II. 2. 3. Etiologi Asma
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor autonom, imunologis,
infeksi, endokrin dan psikologis dalam berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas
bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik sistem saraf otonom. Ujung sensoris
vagus pada epitel jalan nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada lokasinya,
mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang pada ujung eferens merangsang kontraksi otot
polos bronkus.
Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai relaksasi otot polos bronkus.
Neurotramnisi peptida vasoaktif merupakan suatu neuropeptida dominan yang dilibatkan pada
terbukanya jalan nafas. Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi, terjadi setelah
pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk
asma inilah yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan pada orang dewasa
(asma yang timbul lambat), disebut intrinsik.
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam hubungannya dengan kehamilan
dan mentruasi atau pada saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa anak saat
pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu gejala gejala pada beberapa anak dan dewasa
13
yang berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifatsifat perilaku yang dijumpai pada anak asma
lebih sering dari pada anak dengan penyakit kronis lainnya.
II. 2. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma
a. Faktor risiko
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor) dan faktor
lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang mempengaruhi untuk
berkembangnya asma yaitu genetik asma, alergik (atopi), hipereaktivitas bronkus, jenis kelamin
dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan predisposisi asma
untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau menyebabkan
gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi
lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi
dan besarnya keluarga. Interaksi faktor genetik/pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik asma,
baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma.
b. Faktor pejamu
Asma adalah penyakit yang diturunkan dan telah terbukti dari berbagai penelitian. Predisposisi
genetik untuk berkembangnya asma memberikan bakat/kecenderungan untuk terjadinya asma.
Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Karena kompleksnya gambaran
klinis asma, maka dasar genetik asma dipelajari dan diteliti melalui fenotip-fenotip perantara
yang dapat diukur secara objektif seperti hipereaktiviti bronkus, alergik/ atopi, walau disadari
kondisi tersebut tidak khusus untuk asma.
c. Faktor lingkungan
Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama asma,
dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan
mempertahankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau
menyebabkan menetapnya gejala.
14
Selain itu, faktor lingkungan yang sering dianggap sebagai faktor pencetus umum antara
lain :
Infeksi virus pada saluran nafas bagian atas
Aeroalergen pada debu mite rumah, serbuk sari, dan bulu binatang
Limbah kerja seperti isosianat, epoxyresins, laboratorium binatang, flour
Latihan
Udara dingin
Hiperventilasi
Air, aerosol hipotonik dan hipertonik
Obat-obatan seperti aspirin dan NSAID, penyekat β adrenergic
Makanan dan minuman seperti kacang, susu dan alergi telur
GERD
Polusi lingkungan seperti asap kendaraan bermotor, iritan seperti asap rokok
Faktor psikologi (dapat dihubungkan dengan hiperventilasi)
II. 2. 5. Patogenesis
A. Reaksi inflamasi
Patogenesis asma dapat diterangkan secara sederhana sebagai bronkokonstriksi akibat
proses inflamasi yang terjadi terus-menerus pada saluran napas. Patofisiologi yang terjadi pada
asma mencakup hal-hal :
a. inflamasi saluran napas
b. hiperresponsif bronchial
c. obstruksi intermiten aliran udara.
Inflamasi yang menyebabkan hiperresponsif jalan napas merupakan gambaran patologi
utama asma. Alergen/iritan akan terikat dengan IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Granulasi sel mast tersebut mengeluarkan preformed mediator
seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin dan
PAF.
Faktor kemotaktik juga dihasilkan sebagai akibat terjadinya infiltrasi bronkial oleh
neutrofil, eusinofil, dan limfosit. Hasil dari proses inflamasi ini menyebabkan spasme otot polos
bronkus, kongesti vaskular, meningkatnya permeabilitas vaskular, edema dan produksi mukus,
15
kegagalan fungsi mukosilier, penebalan dinding jalan napas, dan peningkatan respon kontraksi
otot polos bronkus.
Gambar 9: perbandingan gambaran jalan nafas normal dan saat terjadinya serangan asma.
Sitokin inflamasi lain seperti TNF dan IL-1 dapat mengubah fungsi reseptor muskarinik
yang selanjutnya meningkatkan kadar asetilkolin sehingga menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus dan sekresi mukus. Perubahan ini serta kerusakan sel epitel menyebabkan infiltrasi
eosinofil yang menghasilkan hiperesponsif akut jalan napas dan obstruksi. Obstruksi jalan napas
meningkatkan tahanan terhadap aliran udara dan menurunkan kecepatan aliran termasuk aliran
ekspirasi. Kegagalan ekspirasi menyebabkan hiperinflasi di distal obstruksi, sehingga mengubah
mekanisme paru-paru yang meningkatkan usaha pernapasan.
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma yang disebabkan oleh bronkokontriksi,
hipersekresi mukus, edema mukosa, infiltrasi seluler, dan deskuamasi sel epitel serta sel radang
ini akan bertambah berat selama ekspirasi karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada
fase tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa
diekspirasi, selanjutnya terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu fungsional (KRF),
dan pasien akan bernafas pada volume yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT).
Keadaan hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan pertukaaran gas berjalan
lancar
Inflamasi yang tidak diterapi dapat mencetuskan kerusakan jalan napas jangka panjang
yang ireversibel (airway remodelling). Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan
kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti dengan proses penyembuhan. Proses
penyembuhan tersebut melibatkan perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis parenkim yang
sama dan pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan ikat sehingga menimbulkan skar. Pada
asma, kedua proses tersebut akan menyebabkan perubahan struktur yang mempunyai
mekasnisme yang sangat kompleks yang dikenal dengan airway remodeling. Infiltrasi sel-sel
16
inflamasi terlibat dalam proses remodelling, juga komponen lainnya seperti matriks ekstraselular,
membran reticular basalis, matriks interstitial, fibrogenis growth factor, protease dam
inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus. Perubahan-perubahan struktur yang
terjadi adalah hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas dan kelenjar mukus, penebalan
membran retikular basal, peningkatan pembuluh darah, peningkatan fungsi matriks ekstraselular,
perubahan struktur parenkim serta peningkatan fibrogenic growth factor yang berperan dalam
proses fibrosis.
B. Sensitisasi
Berbagai penelitian asma pada anak memperlihatkan adanya suatu pola hubungan antara
proses sensitisasi alergi dengan perkembangan dan perjalanan penyakit alergi yang dikenal
sebagai allergic march (perjalanan alamiah penyakit alergi). Secara klinis allergic march terlihat
berawal sebagai alergi saluran cerna (diare alergi susu sapi) yang akan berkembang menjadi
alergi kulit (dermatitis atopi) dan kemudian alergi saluran napas (asma bronkial, rinitis alergi).
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa kelompok anak dengan gejala mengi pada usia
kurang dari 3 tahun, yang menetap sampai usia 6 tahun, mempunyai predisposisi ibu asma,
dermatitis atopi, rinitis alergi, dan peningkatan kadar lgE, dibandingkan dengan kelompok anak
dengan mengi yang tidak menetap.
Laporan tersebut juga menyatakan bahwa anak mengi yang akan berkembang menjadi
asma terbukti mempunyai kemampuan untuk membentuk respons lgE serta respons eosinofil
pada uji provokasi berbagai stimuli. Proses sensitisasi diperkirakan telah terjadi sejak awal masa
kehidupan, secara bertahap mulai dari rangsang alergen makanan dan infeksi virus, sampai
kemudian rangsang aeroalergen. Proses tersebut akan mempengaruhi modul respons imun yang
akan lebih cenderung ke arah aktivitas Th 2. Kecenderungan aktivitas Th2 akan menurunkan
produk IL-2 dan IFN-γ oleh Th2. Terbukti bahwa anak dengan respons IFN-γ rendah pada masa
awal kehidupannya akan lebih tersensitisasi oleh aeroallergen dan menderita asma pada usia 6
tahun dibandingkan dengan anak dengan respon IFN-γ normal.
II. 2. 6. Diagnosis
Masalah penting pada morbiditas asma adalah kemampuan untuk menegakkan diagnosis,
dan seperti telah kita ketahui bahwa diagnosis asma pada anak tidak selalu mudah untuk
17
ditegakkan. Beberapa criteria diagnosis untuk itu selalu mempunyai berbagai kelemahan, tetapi
umumnya disepakati bahwa hiper reaktivitas bronkus tetap merupakan bukti objektif yang perlu
untuk diagnosis asma, termasuk untuk asma pada anak.
Penegakan diagnosis asma didasarkan pada anamnesis, tanda-tanda klinik dan
pemeriksaan tambahan.
A. Pemeriksaan anamnesis keluhan episodik batuk kronik berulang, mengi, sesak dada,
kesulitan bernafas,
B. Faktor pencetus (inciter) dapat berupa iritan (debu), pendinginan saluran nafas, alergen dan
emosi, sedangkan perangsang (inducer) berupa kimia, infeksi dan alergen.
C. Pemeriksaan fisik sesak nafas (dyspnea), mengi, nafas cuping hidung pada saat inspirasi
(anak), bicara terputus putus, agitasi, hiperinflasi toraks, lebih suka posisi duduk. Tanda-
tanda lain sianosis, ngantuk, susah bicara, takikardia dan hiperinflasi torak,
D. Pemeriksaan uji fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian metakolin atau bronkodilator
sebelum dan sesudah olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Asma sulit
didiagnosis pada anak di bawah umur 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun)
pemeriksaan fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak
flow meter atau yang lebih lengkap dengan spirometer, uji yang lain dapat melalui provokasi
bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan
NaCl hipertonis. Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan,
karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma, selain
itu dapat juga menggunakan lembar catatan harian sebagai alternatif
Gejala klinis utama asma anak pada umumnya adalah mengi berulang dan sesak napas,
tetapi pada anak tidak jarang batuk kronik dapat merupakan satusatunya gejala klinis yang
ditemukan. Biasanya batuk kronik itu berhubungan dengan infeksi saluran napas atas. Selain itu
harus dipikirkan pula kemungkinan asma pada anak bila terdapat penurunan toleransi terhadap
aktivitas fisik atau gejala batuk malam hari.
A. Mengi pada bayi
Sebagian besar manifestasi akan muncul sebelum usia 6 tahun dan kebanyakan gejala
awal sudah ditemukan pada masa bayi, berupa mengi berulang atau tanpa batuk yang
18
berhubungan dengan infeksi virus. Hubungan antara mengi semasa bayi dengan kejadian asma
pada masa kehidupan selanjutnya telah banyak dibahas, para peneliti umumnya melaporkan
bahwa hanya sebagian kecil saja (3-10%) dari kelompok bayi mengi yang berhubungan dengan
infeksi virus tersebut akan memperlihatkan progresivitas klinis menjadi asma bronkial.
Infeksi virus semasa bayi yang menimbulkan bronkiolitis dengan gejala mengi terutama
disebabkan oleh virus sinsitial respiratori (RSV), virus parainfluenza, dan adenovirus.
Kecenderungan bayi mengi untuk menjadi asma sangat ditentukan oleh faktor genetic atopi.
Sebagian besar bayi tersebut jelas mempunyai riwayat keluarga atopi serta menunjukkan
positivitas lgE anti-RSV serum, dibandingkan dengan bayi mengi yang tidak menjadi asma.
Kemampuan bayi untuk membentuk lgE anti RSV ini diyakini sebagai status sensitisasi
terhadap allergen secara umum. Jadi bayi mengi dengan ibu atopi yang mengandung lgE anti-
RSV tersebut sudah dalam keadaan tersensitisasi, dan hal ini merupakan factor risiko terjadinya
asma. Sejalan dengan hal itu maka banyak peneliti telah melaporkan positivitas lgE spesifik
terhadap berbagai alergen (susu, kacang, makanan laut, debu rumah, serbuk sari bunga) pada
bayi merupakan faktor risiko dan prediktor untuk terjadinya asma. Para peneliti tersebut juga
menyatakan semakin dini terjadi sensitisasi maka risiko untuk menjadi asma menetap juga
semakin besar. Dengan demikian maka tidak begitu penting hubungan antara saat timbul mengi
pada bayi dengan besarnya risiko terjadinya asma, karena yang menentukan sebetulnya adalah
seberapa dini tejadi sensitisasi alergen pada bayi mengi tersebut.
Penelitian umum bayi mengi memperlihatkan bahwa kejadian asma akan lebih kerap
pada bayi yang mulai mengi pada usia lebih besar, berbeda dengan perkiraan sebelumnya bahwa
semakin muda timbulnya mengi maka risiko untuk kejadian asma semakin besar.
B. Atopi
Sebagian sangat besar asma pada anak mempunyai dasar atopi, dengan alergen
merupakan pencetus utama serangan asma. Diperkirakan bahwa sampai 90% anak pasien asma
mempunyai alergi pada saluran napas, terutama terhadap alergen dalam rumah (indoor allergen)
seperti tungau debu rumah, alternaria, kecoak, dan bulu kucing.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa sebagian besar pasien asma berasal dari keluarga
atopi, dan kandungan IgE spesifik pada seorang bayi dapat menjadi predictor untuk terjadinya
asma kelak di kemudian hari. Karena itu sangat penting untuk menelusuri dan membuktikan
19
faktor atopi sebagai pendekatan diagnosis klinis pada anak dengan gejala klinis yang sesuai
dengan asma bronkial. Riwayat atopi dalam keluarga, riwayat penyakit atopi sebelumnya pada
pasien, petanda atopi fisis pada anak, petanda laboratorium untuk alergi, dan bila diperlukan uji
eliminasi dan provokasi, dapat menunjang diagnosis asma pada anak tersebut.
II. 2. 7. Diagnosis banding pada anak
A. Benda asing di saluran napas
B. Laringotrakeomalasia
C. Pembesaran kelenjar limfe
D. Tumor
E. Stenosis trakea
F. Bronkiolitis
II. 2. 8. Klasifikasi Berdasarkan Berat Penyakit
Klasifikasi asma yaitu.
A. Asma ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma paling umum yang disebabkan karena reaksi alergi
penderita terhadap allergen dan tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap orang yang sehat.
B. Asma intrinsik
Asma intrinsik adalah asma yang tidak responsif terhadap pemicu yang berasal dari allergen.
Asma ini disebabkan oleh stres, infeksi dan kodisi lingkungan yang buruk seperti klembaban,
suhu, polusi udara dan aktivitas olahraga yang berlebihan.
Pedoman pelayanan medik dalam konsensus nasional membagi asma anak menjadi tiga
tingkatan berdasarkan kriteria dalam tabel berikut:
20
Tabel 1 : Pembagian derajat klinis asma pada anak
Menurut Global Initiative for Asthma (GINA) penggolongan asma berdasarkan beratnya
penyakit dibagi 4 (empat) yaitu:
A. Asma Intermiten (asma jarang)
a. gejala kurang dari seminggu
b. serangan singkat
c. gejala pada malam hari < 2 kali dalam sebulan
d. FEV 1 atau PEV > 80%
e. PEF atau FEV 1 variabilitas 20% – 30%
B. Asma mild persistent (asma persisten ringan)
a. gejala lebih dari sekali seminggu
b. serangan mengganggu aktivitas dan tidur
c. gejala pada malam hari > 2 kali sebulan
d. FEV 1 atau PEV > 80%
e. PEF atau FEV 1 variabilitas < 20% – 30%
C. Asma moderate persistent (asma persisten sedang)
a. gejala setiap hari
b. serangan mengganggu aktivitas dan tidur
c. gejala pada malam hari > 1 dalam seminggu
21
d. FEV 1 tau PEV 60% – 80%
e. PEF atau FEV 1 variabilitas > 30%
D. Asma severe persistent (asma persisten berat)
a. gejala setiap hari
b. serangan terus menerus
c. gejala pada malam hari setiap hari
d. terjadi pembatasan aktivitas fisik
e. FEV 1 atau PEF = 60%
f. PEF atau FEV variabilitas > 30%
Selain berdasarkan gejala klinis di atas, asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat
serangan asma yaitu:
1. Serangan asma ringan dengan aktivitas masih dapat berjalan, bicara satu kalimat, bisa
berbaring, tidak ada sianosis dan mengi kadang hanya pada akhir ekspirasi,
2. Serangan asma sedang dengan pengurangan aktivitas, bicara memenggal kalimat,lebih suka
duduk, tidak ada sianosis, mengi nyaring sepanjang ekspirasi dan kadang -kadang terdengar pada
saat inspirasi,
3. Serangan asma berat dengan aktivitas hanya istirahat dengan posisi duduk bertopang lengan,
bicara kata demi kata, mulai ada sianosis dan mengi sangat nyaring terdengar tanpa stetoskop,
4. Serangan asma dengan ancaman henti nafas, tampak kebingunan, sudah tidak
terdengar mengi dan timbul bradikardi.
Perlu dibedakan derajat klinis asma harian dan derajat serangan asma. Seorang penderita
asma persisten (asma berat) dapat mengalami serangan asma ringan. Sedangkan asma ringan
dapat mengalami serangan asma berat, bahkan serangan asma berat yang mengancam terjadi
henti nafas yang dapat menyebabkan kematian
II. 2. 9. Tata laksana
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-
hari.
22
A. Tujuan penatalaksanaan asma:
a. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
b. Mencegah eksaserbasi akut
c. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
d. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
e. Menghindari efek samping obat
f. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
g. Mencegah kematian karena asma
B. Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :
a. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
b. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
c. Kebutuhan bronkodilator (agonis 2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak diperlukan)
d. Variasi harian APE kurang dari 20%
e. Nilai APE normal atau mendekati normal
f. Efek samping obat minimal (tidak ada)
g. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat
C. Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
a. Edukasi
b. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
c. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
d. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
e. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
f. Kontrol secara teratur
g. Pola hidup sehat
Pengobatan asma pada dasarnya bertujuan untuk mendapatkan dan menjaga status
aktivitas anak normal dan faal paru normal, mencegah timbulnya asma kronik, serta mencegah
pengaruh buruk tindakan pengobatan. Secara umum obat asma dapat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu obat pelega (relievers) dan obat pengontrol (controllers).
23
Obat pelega asma bertujuan untuk melegakan saluran napas dan menghilangkan serangan
serta eksaserbasi akut dengan pemberian bronkodilator. Bronkodilator yang banyak dipakai saat
ini adalah 2-agonis, selain xantin dan antikolinergik. Obat pengontrol asma bertujuan menjaga
dan mengontrol asma persisten dengan mencegah kekambuhan. Obat pengontrol asma yang
banyak dipergunakan adalah kortikosteroid, selain anti-inflamasi lain seperti sodium kromolin,
nedokromil, inhibitor dan antagonis leukotrien, serta berbagai antihistamin generasi baru.
Obat 2 –agonis bermanfaat untuk dipakai sebagai terapi intermiten asma episodik,
sebagai tambahan terapi intermiten, atau terapi rutin penunjang anti-inflamasi pada asma relaps
berulang atau kronis, sebelum aktifitas fisik untuk menghambat exercise induced asthma, dan
untuk penolong asma akut. Obat ini tersedia dalam bentuk oral, atau inhalasi yang efektif
dilakukan dengan inhaler dosis terukur, rotohaler, atau nebuliser.
Teofilin merupakan preparat metil-xantin yang pada masanya sangat populer untuk terapi
rumatan asma kronik ringan, dan sebagai penunjang pengobatan asma kronik berat. Walaupun
saat ini masih banyak dipakai, teofilin tidak begitu menarik lagi setelah pengobatan anti-
inflamasi untuk asma lebih terfokus kepada kortikosteroid. Selama ini efek anti-inflamasi teofilin
memang masih sering dipertanyakan. Selain itu metabolisme teofilin diketahui akan terganggu
dalam keadaan demam oleh penyakit tertentu, seperti influenza, atau oleh obat seperti
eritromisin, simetidin, dan siprofloksasin. Pada anak, teofilin juga diketahui dapat mempengaruhi
prestasi sekolah sehingga tidak dianjurkan untuk diberikan pada anak dengan gangguan
psikologis atau gangguan belajar.
Obat antikolinergik selain bersifat bronkodilator juga akan mengurangi hipersekresi
mukus dan mengatasi iritabilitas reseptor batuk. Obat ini tersedia dalam bentuk inhalasi dan
nebulasi, terbukti efektif untuk asma akut bila diberikan bersama b2-agonis.
Seperti telah disebutkan maka pengontrol asma merupakan pengobatan yang efektif
untuk pencegahan asma dan dipergunakan untuk semua tingkatan asma. Kortikosteroid
merupakan obat terpilih dan sangat efektif, baik dalam bentuk parenteral dan oral untuk jangka
pendek, maupun bentuk inhalasi yang terutama dicadangkan untuk pemakaian jangka panjang.
Sejak mula pertama dipergunakan lebih dari 20 tahun lalu terlihat bahwa kortikosteroid inhalasi
jelas member efek terapi sangat baik untuk asma ringan, sedang, dan berat; baik untuk
pengobatan jangka pendek maupun jangka panjang. Sejauh ini tidak ditemukan efek buruk yang
berarti bila diberi dengan dosis yang dianjurkan.
24
Nilai Derajat Serangan
↓
Tata laksana awal:* nebulisasi β-agonis 1- 3x, selang 20 menit* nebulisasi ketiga + antikolinergik* jika serangan berat, nebulisasi 1x
↓
Serangan Ringan(nebulisasi 1x, respons baik, gejala hilang)observasi 1-2 jamjika efek bertahan, boleh pulangjika gejala timbul lagiperlakukan sebagai serangan sedang
Serangan Sedang(nebulisasi 2-3x, responsparsial)berikan oksigen(3)
nilai kembali derajatserangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasidi ruang rawat seharipasang jalur parenteral
Serangan Berat(nebulisasi 3x, respons buruk)sejak awal beri O2 saat/ diluar nebulisasipasang jalur parenteralnilai ulang gejala klinis, jika sesuai dengan serangan berat, rawat di r. rawat inapfoto rontgen thorax
↓ ↓ ↓ DIRUJUK
25
Boleh PulangBekali dengan obat β-agonis (hirupan/oral)Jika sudah ada obatpengendali, teruskanJika infeksi virus sebagai pencetus, dapat diberi steroid oralDalam 24-48 jam, control rawat jalan untuk evaluasi
Ruang Rawat SehariOksigen teruskanBerikan steroid oralNebulisasi tiap 2 jamBila dalam 8-12 jamperbaikan klinis stabil, boleh pulangJika dalam 12 jam klinis belum membaik, alih rawat ke R. Rawat Inap (dirujuk)
Ruang Rawat InapOksigen diteruskanAtasi dehidrasi dan asidosis jika adaSteroid IV tiap 6 – 8 jamNebulisasi tiap 1 – 2 jamAminofilin IV awal, lanjutkan rumatanJika membaik dlm 4 – 6 x nebulisasi, interval jadi 4 – 6 jamJika dalam 24 jam perbaikan klinis stabil, boleh pulangJika dengan steroid dan aminofilin parenteral tidak membaik, bahkan timbul ancaman henti napas, alihrawat ke R. Rawat Intensif
Catatan:1. Jika menurut penilaian serangan berat, nebulisasi cukup 1x langsung dengan β agonis + antikolinergik2. Jika tidak tersedia, nebulisasi dapat diganti dengan adrenalin subkutan 0,01ml/kgBB/kali, maks 0,3ml/kali3. Untuk serangan sedang dan terutama berat, oksigen 2 – 4L/menit diberikan sejak awal, termasuk saat nebulisasi.
Bagan 1: alur tatalaksana serangan asma pada anak
Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi, dan perilaku yang
memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan upaya pencegahan, kontrol, self-
management, dan pengobatan asma. Walaupun medikamentosa selalu merupakan unsur penting
pengobatan asma anak, harus tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu
dari berbagai komponen utama penatalaksanaan asma.
26
Oleh karena itu, penatalaksanaan asma yang baik harus disokong oleh pengertian tentang
peran genetik, alergen, polutan, infeksi virus, serta lingkungan sosioekonomi dan psikologis
pasien beserta keluarga.
Pendidikan dan penjelasan tentang asma pada pasien dan keluarga merupakan unsur
penting penatalaksanaan asma pada anak. Perlu penjelasan sederhana tentang proses penyakit,
faktor risiko, penghindaran pencetus, manfaat dan cara control lingkungan, cara mengatasi
serangan akut, pemakaian obat dengan benar, serta hal lain yang semuanya bertujuan untuk
meminimalkan morbiditas fisis dan psikis serta mencegah disabilitas.
II. 2. 10. Pencegahan
Upaya pencegahan asma anak mencakup pencegahan dini sensitisasi terhadap alergen
sejak masa fetus, pencegahan manifestasi asma bronkial pada pasien penyakit atopi yang belum
menderita asma, serta pencegahan serangan dan eksaserbasi asma.
Kontrol lingkungan merupakan upaya pencegahan untuk menghindari pajanan alergen
dan polutan, baik untuk mencegah sensitisasi maupun penghindaran pencetus. Para peneliti
umumnya menyatakan bahwa alergen utama yang harus dihindari adalah tungau debu rumah,
kecoak, bulu hewan peliharaan terutama kucing, spora jamur, dan serbuk sari bunga. Polutan
harus dihindari adalah asap tembakau sehingga mutlak dilarang merokok dalam rumah. Polutan
yang telah diidentifikasi berhubungan dengan eksaserbasi asma adalah asap kendaraan, kayu
bakar, ozon, dan SO2.
Penghindaran maksimal harus dilakukan di tempat anak biasa berada, terutama kamar
tidur dan tempat bermain sehari-hari. Untuk Indonesia, walaupun belum ada data yang
menyokong, agaknya kita harus menghindari obat nyamuk dan asap lampu minyak.
Beberapa klinik telah melakukan upaya pencegahan sensitisasi terhadap fetus dan bayi,
antara lain dengan memberikan diet hipo dan non alergenik serta penghindaran asap rokok.
Walaupun secara teoritis pemberian diet hipoalergenik pada masa trimester ketiga kehamilan
sangat menarik, ternyata bukti klinis penelitian tersebut tidaklah menggembirakan. Tidak
terlihat perbedaan kejadian penyakit alergi pada umur 5 tahun antara kelompok perlakuan
dan kelola. Hasil lebih baik justru akan terlihat pada bayi yang mendapat ASI dari ibu dengan
diet hipoalergenik pada masa laktasi. Sebaliknya terbukti bahwa ibu perokok akan
membahayakan perkembangan paru bayi baik dilakukan pada masa sebelum maupun setelah
27
kelahiran, yang berpengaruh terhadap peningkatan risiko terjadinya mengi dan infeksi virus serta
asma kronik anak.
Pelangi asma Pelangi Asma, monitoring keadaan asma secara mandiriHijau Kondisi baik, asma terkontrol Tidak ada / minimal gejala APE : 80 - 100 % nilai dugaan/ terbaik Pengobatan bergantung berat asma, prinsipnya pengobatan dilanjutkan. Bila tetap berada pada warna hijau minimal 3 bulan, maka pertimbangkan turunkan terapiKuning Berarti hati-hati, asma tidak terkontrol, dapat terjadi serangan akut/ eksaserbasi Dengan gejala asma (asma malam, aktiviti terhambat, batuk, mengi, dada terasa berat baik saat aktiviti maupun istirahat) dan/ atau APE 60 - 80 % prediksi/ nilai terbaik Membutuhkan peningkatan dosis medikasi atau perubahan medikasiMerah Berbahaya Gejala asma terus menerus dan membatasi aktiviti sehari-hari. APE < 60% nilai dugaan/ terbaik Penderita membutuhkan pengobatan segera sebagai rencana pengobatan yang disepakati dokter-penderita secara tertulis. Bila tetap tidak ada respons, segera hubungi dokter atau ke rumah sakit.
Tabel 2 : Pelangi asma
Berdasarkan pengetahuan dasar tentang proses sensitisasi dan allergic march maka
upaya pencegahan asma dilakukan juga dengan mencegah dan menghambat perjalanan alamiah
penyakit alergi. Upaya tersebut antara lain adalah dengan mencegah timbulnya suatu penyakit
alergi (asma) pada anak yang telah tersensitisasi. Suatu uji klinis multisenter ETAC (early
treatment of the atopic child) telah menunjukkan manfaat setirizin untuk menghambat
timbulnya asma pada anak kecil penderita dermatitis atopi yang sudah tersensitisasi terhadap
alergen tertentu tetapi belum menderita asma.
Untuk anak yang sudah menderita asma dilakukan pengobatan pencegahan dan kontrol
asma yang bertujuan untuk mencegah kekambuhan, atau menurunkan kekerapan serta derajat
serangan asma, dengan pemberian sodium kromolin, ketotifen, inhibitor dan antagonis
leukotrien, serta kortikosteroid. Sodium kromolin sulit diaplikasi pada anak kecil, sedangkan
28
inhibitor serta antagonis leukotrien baru dianjurkan untuk anak besar (>12 tahun) saja.
Ketotifen sejauh ini memberikan efek profilaksis terutama untuk asma ringan. Berbagai
jenis antihistamin generasi baru mungkin dapat bermanfaat pula sebagai pencegah asma tetapi
uji klinis yang memadai untuk itu belum ada.
Sejauh ini kortikosteroid merupakan antiinflamasi terpilih yang paling efektif untuk pencegahan asma. Pemberian
kortikosteroid inhalasi dapat mengontrol asma kronik dengan baik, walaupun pada anak kecil relatif lebih sulit dilakukan
sehingga membutuhkan alat bantu inhalasi.
II. 2. 11 prognosis
Komplikasi asma yang sering ditemukan mencakup pneumoniae, pneumothoraks/pneumomediastinum, dan gagal nafas
akibat eksaserbasi yang berat sehingga membutuhkan intubasi, serta dapat menimbulkan kematian. Faktor resiko terjadinya
kematian akibat asma adalah adanya riwayat sebagai berikut :
A. eksaserbasi akut yang berat, riwayat penggunaan intubasi dan perawatan di ICU sebelumnya
B. rawat inap 2 kali/lebih atau rawat UGD 3 kali/lebih dalam satu tahun terakhir, riwayat
C. rawat inap/rawat UGD dalam satu bulan terakhir
D. penggunaan lebih dari dua Agonis β2 per bulan
E. penyakit kardiovaskular
F. masalah psikososial,psikiatri, dan masalah penyalahgunaan obat
G. status sosioekonomi yang rendah
Komplikasi yang berhubungan dengan pengobatan asma pada umumnya jarang terjadi. Namun, pada penderita yang
menggunakan kortikosteroid sistemik dalam jangka waktu yang lama dapat memiliki komplikasi osteoporosis,
imunosupresi, katarak, miopati, penurunan berat badan, addisonian crisis, penipisan kulit, mudah memar, nekrosis
avaskular, diabetes, gangguan psikiatri.
29
BAB III
PENUTUP
Asma adalah penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan mayarakat di hampir
semua negara di dunia, diderita oleh anak-anak sampai dewasa dengan derajat penyakit yang
ringan sampai berat, bahkan dapat mematikan. Lebih dari seratus juta penduduk di seluruh
dunia menderita asma dengan peningkatan prevalensi pada anakanak. Asma merupakan
gangguan saluran nafas yang sangat kompleks, tidak memiliki sifat yang khas, baik gambaran
klinis, faktor pencetus proses perjalanan penyakit, maupun pola mekanisme terjadinya sangat
bervariasi. Meskipun begitu, asma memiliki ciri klasik berupa mengi (wheezing),
bronkokontriksi, terjadi sembab mukosa dan hipersekresi.
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan kualiti
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-
hari. Pada masa anak terjadi proses tumbuh- kembang fisis, faal, imunologi, dan perilaku yang
memberi peluang sangat besar bagi kita untuk melakukan upaya pencegahan, kontrol, self-
management, dan pengobatan asma. Walaupun medikamentosa selalu merupakan unsur penting
pengobatan asma anak, harus tetap diingat bahwa hal tersebut hanyalah merupakan salah satu
dari berbagai komponen utama penatalaksanaan asma. Penatalaksanaan asma yang baik harus
disokong oleh pengertian tentang peran genetik, alergen, polutan, infeksi virus, serta lingkungan
sosioekonomi dan psikologis pasien beserta keluarga.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. A, Price Sylvia, Lorraine M,Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses proses Penyakit
Edisi 6. Jakarta:EGC
2. Arwin AP Akib. Asma pada Anak. 2002. Sari Pediatri Vol. 4, No. 2, 78: 82
3. Barner, Pieter dkk. Asthma and COPD Basic Mrchanism and Clinical Management. ebook
4. Danususantoso, Halim. Buku Saku Ilmu Penyakit Paru. 2000. Jakarta: Penerbit Hipokrates.
5. Global Initiative for Asthma (GINA) 2008
6. Guyton, C Arthur dan John E.Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Hlm. 784:919.
Jakarta: EGC.
7. Johnson, E. Kurt. 1994. Histologi dan Biologi Sel. Jakarta : Binarupa Aksara.
8. Lesson, Roland C dkk. 1996. Buku Ajar Histologi. Jakarta : EGC
9. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia . web:
http://www.klikpdpi.com/konsensus/asma/asma.pdf . diunduh pada 26 Februari 2012, 15.30
WIB
10. Sudoyo, Aru W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2009. Jakarta: Pusat Penerbit Ilmu
Penyakit Dalam
11. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit EGC.
1996:775.
31