Click here to load reader
Upload
hary-arya
View
153
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
askep anak
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di Indonesia sebagai salah satu negara yang sedang berkembang, ternyata
tingkat kematian yang cukup tinggi bagi anak-anak klasifikasi balita dan bagi
penyebab utamanya karena penyakit diare.
Survei kesehatan Rumah Tangga menunjukkan angka kematian diare
anak balita dan bayi per mil pertahun berturut-turut menunjukkan diare angka
sebagai berikut : 6,6 anak balita dan 22 bayi (1980), 3,7 anak balita dan 13,3 bayi
(1985 / 1986), 2,1 anak balita dan 7,3 bayi (1992), 1 anak balita dan 8 bayi
(1995).
Sedangkan menurut WHO di seluruh dunia tidak kurang dari 1 milyar
episode diare terjadi setiap tahunnya dan di Indonesia bila data survei kesehatan
Rumah Tangga diwujudkan angka nyata diperkirakan antara 25 sampai 30 juta
anak balita dan bayi diare tiap tahunnya.
Mengingat diare adalah penyebab penting kekurangan gizi hal ini
disebabkan karena adanya anoreksia pada penderita diare sehingga ia makan
lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari makanan
berkurang pula.
Oleh karena itu penatalaksanaan bagi penderita diare perlu mendapatkan
penanganan yang lebih serius khususnya untuk mengembalikan cairan yang telah
banyak keluar akibat diare, agar tingkat kematian karena diare bisa ditekan
seminimal mungkin.
B. Insidensi
Kebanyakan episode terjadi pada anak / bayi pada 2 tahun pertama
kehidupan. Insiden paling tinggi pada golongan umur 6 – 11 bulan pada masa
diberikan makanan pendamping. Pola ini menggambarkan kombinasi efek
penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya kekebalan aktif bayi, pengenalan
makanan yang kemungkinan terpapar bakteri tinja dan kontak langsung dengan
tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai dapat merangkak.
Begitu pula variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak
geografi. Pada daerah sub-tropik diare karena bakteri lebih sering terjadi pada
musim panas sedangkan diare karena virus puncaknya pada musim dingin. Di
daerah tropis diare rotavirus terjadi sepanjang tahun, frekuensi meningkat pada
musim kemarau sedangkan puncak diare bakteri adalah pada musim hujan.
Dengan uraian di atas jelas bahwa diare khusunya anak-anak sangat
membahayakan adapun komplikasi yang sering terjadi adalah dehidrasi, dan
proses terjadinya sering sangat cepat (akut) sehingga tidak jarang terjadi
keterlambatan pertoongan karena ketidak pahaman orang tua / keluarga untuk
mengenal tanda-tanda dehidrasi.
Rehidrasi per-oral sering kali sulit dilakukan sehingga alternatif utama
untuk mencegah dehidrasi lebih lanjut. Pada dehidrasi berat, selain kekurangan
cairan volume darah juga berkurang sehingga dapat terjadi renjatan hipovolemik
dengan gejala-gejala sebagai berikut : denyut jantung dan denyut nadi menjadi
cepat dan kecil, tekanan darah menurun, keadaan penderita menjadi lemah,
kesadaran menurun (apatis, somnolen dan kadang sampai sporokoma). Bila
sudah sampai pada tahap asidosis metabolic, penderita tampak pucat dan
pernafasan menjadi cepat dan dalam (kusmaul).
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Setelah menyelesaikan kontrak belajar selama 5 hari, saya mampu melakukan
pengelolaan anak dengan masalah keseimbangan cairan dan elektrolit pada
diare.
2. Tujuan Khusus
a. Menyebutkan pengertian keseimbangan cairan dan elektrolit
b. Mengenal tanda dan gejala kekurangan cairan dan elektrolit pada anak
dengan diare
c. Menjelaskan kebutuhan cairan dan elektrolit pada anak dengan diare
d. Menghitung balance cairan pada anak dengan diare
e. Mengetahui jenis-jenis cairan yang diberikan pada anak diare
f. Melakukan pengelolaan keseimbangan cairan dan elektrolit pada anak
dengan diare
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. TINJAUAN TEORI
1. PENGERTIAN
a. Pengertian Gangguan Keseimbangan Cairan
Gangguan keseimbangan cairan pada anak dengan diare adalah kurang
volume cairan (hipovolemia), yaitu suatu keadaan kehilangan cairan
akibat hilangnya / pengeluaran cairan yang lebih cepat dibanding
pemasukan cairan yang disebabkan oleh diare (Smeltzer, Bare, 2002).
b. Pengertian Gangguan Keseimbangan Elektrolit
1). Hiponatremia
Adalah kadar penurunan kadar natrium serum kurang dari normal
(<135 meq / liter) akibat keluar bersama cairan feses semasa diare.
(Smeltzer, Bare, 2002). Menurut Horne dan Swearingen, 2001,
hiponatremia adalah natrium serum kurang dari 137 meq / liter yang
dapat terjadi akibat penurunan cairan yang kaya natrium dalam CES
ke dalam gasrointestinal karena diare / muntah.
2). Hipokalemia
Adalah kadar kalium serum dibawah normal (<3,5 meq / liter) akibat
pengeluaran kalium melalui gastrointestinal karena diare. (Horne dan
Swearingen, 2001).
3). Penurunan Chlorida Serum
Adalah kadar chlorida yang kurang dari 98 meq / liter akibat
kehilangan cairan karena diare / muntah. (Smeltzer, Bare, 2002)
2. PATOFISIOLOGI
Faktor infeksi Faktor malabsorbsi Gangguan peristaltik
Endotoksin Tekanan osmotik ↑ Hiperperistaltik Hipoperistaltik merusak mukosausus Pergeseran cairan Makanan tidak Pertumbuhan bakteri dan elektrolit ke sempat diserap lumen usus Endotoksin berlebih
Hipersekresi cairan dan elektrolit Isi lumen usus ↑
Rangsangan pengeluaran
Hiperperistaltik
Diare
Gangguan keseimbangan cairan Gangguan keseimbangan elektrolit
Kurang volume cairan (dehidrasia) Hipon tremia Hipokalemia Pusing, lemah, letih, sinkope, anoreksia, Penurunan klorida serum
mual, muntah, haus, oliguri, turgor kulit
kurang, mukosa mulut kering, mata dan Hipotensi postural, kulit dingin,
tremor
ubun-ubun cekung, peningkatan suhu kejang, peka rangsang, denyut
jantung
tubuh, penurunan berat badan cepat dan lemah]
(Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare, 2002)
3. TANDA DAN GEJALA
a. Gangguan keseimbangan cairan (defisit volume cairan)
1). Penurunan turgor kulit
2). Oliguri, urine khusus
3). Hipotensi postural
4). Frekuensi jantung melemah, cepat
5). Vena leher datar / rata
6). Kenaikan suhu tubuh
7). Kulit dingin dan basah
8). Haus, anoreksia, mual, lesu
9). Kelemahan otot kram
b. Gangguan keseimbangan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia, penurunan
klorida serum).
1). Mual, kram perut
2). Anoreksi, kram otot
3). Perasaan kelelahan
4). Tanda peningkatan tekanan intrakranial akibat edema serebral: letargi,
konfusi, kedutan otot, kelemahan fokal, hemiparese, papiledema,
kejang.
5). Muntah, kelemahan otot, penurunan motilitas usus, disritmia, peka
rangsang. (Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare,
2002)
4. CARA MENGHITUNG DEFISIT CAIRAN DAN ELEKTROLIT
a. Penghitungan kekurangan cairan (dehidrasi)
Tabel 1: Kehilangan cairan menurut derajat dehidrasi pada anak dibawah
2 th
Derajat dehidrasi PWL NWL CWL Jumlah
Ringan
Sedang
Berat
50
75
125
100
100
100
25
25
25
175
200
350
Previous water losses: karena muntah (ml / kgBB)
Normal water losses: karena urine, penguapan kulit dan pernafasan.
Concomitant water losses: karena diare dan muntah
Tabel 2 : Kehilangan cairan pada dehidrasi berat menurut BB dan umur
BB Umur PWL NWL CWL Jumlah
0-3 kg
3-10 kg
10-15
kg
15-25
kg
0-1 bulan
1 bulan-2 tahun
2-5 tahun
5-10 tahun
150
125
100
60
125
100
80
25
25
25
25
25
300
250
205
130
b. Penghitungan kekurangan elektrolit
1). Defisit natrium (meq / liter): (125 – kadar Na serum aktual) x 0,6 x
kgBB
2). Defisit kalium (meq / liter): (3,5 – kadar K aktual) x 0,25 x kgBB
3). Defisit klorida (meq / liter): (110 – kadar Cl serum aktual) x 0,45 x
kgBB
5. CARA PEMBERIAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT
a. Cairan per oral
Pada dehidrasi ringan dan sedang diberikan cairan per oral berupa cairan
yang berisikan NaCl, NaHCO3, KCl dan glukosa. Cairan ini berupa
formula lengkap (oralit) atau formula tidak lengkap, LGG atau air tajin
yang diberi gula dan garam.
b. Cairan parenteral
BB 3-10 kg, umur 1 bulan – 2 tahun: diberikan jumlah cairan 200 ml /
kgBB / 24 jam. Kecepatan tetesan 4 jam pertama 60 ml/kgBB/jam atau 15
ml/kgBB/jam atau 4 tetes/kgBB/menit (1 ml=15 tetes). 20 jam berikutnya:
190 ml/kgBB/20jam atau 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tetes/kgBB/menit (1
ml=15 tetes). (Ngastiyah, 1997).
BAB III
RESUME KASUS
A. Studi Kasus
Pada tanggal 20 Januari 2012, anak AP umur 16 bulan, berada diruang
anak (XI) RS. Mahardika Cirebon dalam keadaan lemas, panas, berak sehari
lebih dari 4 kali, ubun-ubun cekung, mukosa bibir kering, turgor kulit kembali
lama, akral dingin, BB 6900 gr, terdapat kemerahan pada anus, anak kurang
aktif dan rewel. Tanda-tanda vital : suhu : 37,50C, nadi 130 kali permenit,
respirasi 28 kali permenit. Anak tidak mau minum ASI dan hanya minum susu
yang diberikan oleh rumah sakit. Hasil laboratorium Hb : 11,9 gr/dl, Ht 36,1 %,
Lekosit 15.500 md/dl, Trombosit 321.000, Feses : bakteri ++, amuba ++.
Natrium : 139 mm0l/l, Kalium 4,8 mmol/l, Clorida 108 mmol/l
Anak mengalami diare sejak 3 hari yang lalu, sudah dibawa berobat ke
bidan, mendapat penurun panas dan diare namun belum juga ada perubahan
akhirnya oleh keluarga anak dibawa ke RSUD Mahardika.
Riwayat kelahiran dan kesehatan lalu: anak lahir premature dengan berat
badan 1900 gram di bidan, riwayat imunisasi tidak lengkap (kurang BCG dan
Campak). Umur 5 bulan menderita flek (tbc) berobat ke dokter dan
mendapatkan pengobatan selama 2 bulan. Usia 9 bulan dirawat di RS Kariadi
Semarang dan dinyatakan menderita penyakit jantung bawaan.
Pengkajian nutrisi : berat badan anak 6900 gram, panjang badan 75 cm.,
anak nampak kurus, kualitas nutrisi buruk dan dinyatakan Marasmus.
B. Hasil Diskusi Dengan Expert
Expert 1 (Residen Anak)
Diskusi : tentang patofisiologi terjadi kehilangan cairan oleh karena diare dan
penatalaksanaan mengatasi gangguan keseimbangan cairan
Kesimpulan diskusi :
Telah didiskusikan dengan Residen anak tentang patofis. diare yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan cairan dan pemenuhan kebutuhan
cairannya
1) Mekanisme Diare
Diare disebabkan oleh gangguan mekanisme transport air dan elektrolit di
usus halus. Dalam keadaan normal ekskresi dan sekresi air dan elektrolit
tinja terjadi di sepanjang hari 9 liter cairan yang masuk ke dalam usus.
Biasanya > 90 % cairan masuk ke usus halus diserap dan 1 liter sampai ke
usus besar. Bila volume cairan ini melebihi kapasitas absorbsi usus besar
terjadilah diare.
Ada 2 prinsip mekanisme terjadinya diare :
1. Diare sekretorik
Diare sekretorik disebabkan karena sekresi air dan alektrolit ke dalam
usus halus hal ini dapat mengakibatkan kehilangan air & elektrolit dengan
cepat untuk mempertahankan osmotic.
2. Diare osmotik
Bila suatu bahan yang secara osmotic dan sulit diserap akan terjadi
diare.Dehidrasi dengan diare cair dapat kehilangan ion Natrium Klorida,
Kalium dan bikarbonat dengan kehilangan hal tersebut ditambah muntah
dan panas mengakibatkan dehidrasi asidosis.
Dehidrasi adalah keadaan yang berbahaya karena dapat mengakibatkan
penurunan volume darah (hipovolemia) kolap – cardiovaskuler dan
akhirnya terjadi kematian.
Ada 3 macam dehidrasi berdasarkan tonusitas plasma :
a. Dehidrasi Isotonik
Kehilangan air dan Natrium dengan proporsi yang sama dan pertama
ditandai dengan rasa haus kemudian turgor kulit menurun, Natrium
Serum N ( 130 – 150 mmol / L )
b. Dehidrasi hipertonik
Kekurangan cairan dan natrium tetapi proporsi airnya lebih banyak,
Natrium Serum > 150 mmol / L
c. Dehidrasi hipotonik
Kekurangan Natrium dan kelebihan air, konsentrasi Natrium serum <
130 mmol / L
2. Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan
Tujuan dalam mengelola gangguan keseimbangan cairan yang disebabkan
diare adalah untuk mengoreksi kekurangan cairan dan elektrolit secara
cepat dan kemudian mengganti cairan yang hilang sampai diarenya
berhenti.
Therapi penggantian cairan ada 2 :
a. Upaya Rehidrasi Oral ( URO )
Prinsip yang mendasari URO adalah untuk mengembangkan
campuran glukosa dan elektrolit yang seimbang.
Campuran garam & glukosa dinamakan Oral Rehidration Salt (ORS)
dalam bahasa Indonesia disebut oralit
Cara pemberian minuman dengan kurang lebih 50 cc oralit setiap kali
sehabis BAB (1 taste oralit dilarutkan dalam 200 cc air atau 1 gelas ).
b. Cairan Rumah Tangga ( CRT )
Cairan rumah tangga ini harus segera diberikan kepada anak pada
saat mulai diare dengan tujuan memberikan lebih banyak cairan dari
biasanya. Pemberian makanan juga harus diteruskan, dengan
demikian secara dini dapat mencegah dehidrasi.
ASI tetap diberikan karena ASI dianggap cukup handal untuk
menurunkan angka kesakitan diare, karena ASI mengandung
antibody yang melindungi bayi terhadap berbagai kuman penyebab
penyakit diare.
3. Pengobatan Intravena
Cairan intravena dibutuhkan hanya untuk penderita dengan dehidrasi
berat dan hanya untuk pengembalian dengan cepat volume darah.
Cairan yang digunakan adalah :
a. Ringer Laktat
Larutan ini mengandung konsentrasi natrium dan cukup laktat yang
akan di metabolisme menjadi bikarbonat untuk memperbaiki asidosis
metabolic.
b. Cairan NaCl 0,9 % ( isotonic )
Cairan ini banyak mengandung basa dan mengganti kalium yang
hilang.
c. Cairan Ringer dan Glukosa 25 %
Untuk memperbaiki kekurangan Natrium dengan efisien pada
penderita dehidrasi berat.
d. Cairan KA-EN 3 B
Cairan ini mengandung Sodium Chlorida, Potasium Cloride dan
Sodium Laktat untuk mengganti natrium yang hilang.
Dalam pemberian cairan tersebut mohon diingat lihat derajat dehidrasi,
macam dehidrasi, umur dan berat badan anak atau bayi.
Hasil diskusi dengan Expert 2 (Perawat Anak)
Diskusi : tentang pemenuhan kebutuhan cairan pada anak yang mengalami
gangguan keseimbangan cairan akibat menderita diare
Kesimpulan diskusi :
Dari diskusi dengan perawat anak dalam penatalaksanaan diare prinsipnya adalah
pengembalian cairan, dietik, dan pengobatan.
Adapun 3 derajat dehidrasi berdasarkan banyaknya cairan yang hilang :
1). Dehidrasi Ringan
Berat badan turun sekitar : 3 – 5 % dengan cairan yang hilang < 50 ml / kg
BB.
2). Dehidrasi sedang
Berat badab turun sekitar : 6 – 9 % dengan cairan yang hilang 50 – 90 ml /
kg BB.
3). Dehidrasi berat
Berat badan turun lebih 10 % dengan cairan yang hilang 100 ml / kg BB.
- Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan (Rehidrasi) karena diare di
Ruang Anak adalah :
1. Pemberian cairan dapat dengan per oral dan dapat juga dengan parenteral
disesuaikan dengan derajat dehidrasinya.
Therapi parenteral ditentukan oleh medisnya, perawat yang memberikan atau
memantau respon klien.
2. Tetap memberikan ASI pada anak yang masih minum ASI dan tetap
memberikan makanan dan PASI.
Untuk anak dengan minum PASI biasanya PASI diencerkan terlebih dahulu
atau LLM.
3. Menganjurkan kepada Ibu / keluarga untuk memberikan anak minum lebih
dari biasanya, sejauh anak mau dan tidak muntah ini semua bertujuan untuk
mencegah anak jatuh pada keadaan dehidrasi / dehidrasi yang lebih berat.
4. Menganjurkan kepada keluarga untuk tetap menjaga kebersihan anak,
lingkungan dan botol susu yang akan digunakan anak tersebut karena dengan
kebersihan akan mengurangi kuman yang masuk dan akhirnya dapat
mempercepat penyembuhan.
BAB IV
PEMBAHASAN
Berdasarkan literatur yang ada tingkatan dehidrasi adalah Dehidrasi ringan
bila penurunan berat badan < dari 5 % (rata-rata 4 %), Dehidrasi sedang bila
penurunan berat badan 5-10% (rata-rata 8 %), Dehidrasi berat bila penurunan berat
badan lebih dari 10 % (rata-rata 11%).
Dari kasus kelolaan saya, AP termasuk dehidrasi ringan sedang sebab
mengalami penurunan berat badan sekitar 7,5% karena berat badan sebelum sakit
tidak diketahui maka diperkirakan penurunan berat badan sekitar 7,5%. Keadaan
umum anak sadar, lemah, turgor kembali lambat, ubun-ubun cekung, mata cekung,
mukosa bibir kering, diare dalam sehari 4 x, setiap diare sekitar 20 cc. disamping itu
anak juga mengalami peningkatan frekuensi berkemih sekitar 15 x dalam 24 jam.
Dari pemeriksaan laboratorium Lekosit 15.500 /u, dari pemeriksaan feses
didapat bakteri ++ dan amuba ++, sehingga kemungkinan penyebab diare pada
kasus kelolaan saya adalah infeksi.
Setelah kami mengadakan pendekatan dan wawancara dengan orang tua
tentang hygiene perorangan dalam merawat anak, ibu mengatakan anaknya tidak mau
minum ASI dan hanya minum susu formula (SGM) selama dirumah. Dalam proses
pemberian susu, ibu mengatakan botol hanya satu, dan sering kali tidk ditutup
botolnya walaupun susunya masih tersisa. Dan botol dicuci saja tidak direbus /
direndam air panas, sehingga ada kemungkinan anak diare akibat kebersihan kurang,
karena alat terkontaminasi dengan kuman.
Untuk itu kedua orang tua langsung diajak berdiskusi dan penjelasan tentang
pentingnya kebersihan alat apalagi yang berkaitan dengan perawatan anak usia 16
bulan masih sangat rentan terhadap penyakit, mengingat maturitas organ tubuh anak
masih dalam proses pematangan. Selain itu menurut literature juga mengatakan
bahwa berdasarkan penelitian di Bangladesh dan Guatemala menunjukkan bahwa
hygiene perorangan termasuk mencuci tangan dan sebelum makan dan memasak,
serta setelah buang air besar atau kecil dapat menurunkan angka kesakitan diare
sebesar 14 – 48 %.
Selain hal tersebut diatas yang sangat penting dalam penanganan
gangguan keseimbangan caiaran akibat diare adalah pengembalian cairan, baik secara
oral maupun parenteral, menurut hasil diskusi kami dengan expert ( Residen anak dan
perawat anak ) mengatakan pengembalian cairan adalah tindakan utama dalam
penanganan klien diare baik yang tidak dehidrasi ataupun yang mengalami dehidrasi,
oleh karena klien kelolaan kami mengalami dehidrasi ringan sedang dengan
penurunan BB : 7,5%, therapy cairan yang diberikan adalah KAEN 3 B 480 / 20 / 5
tts / mt mikro, yang berisi sodium clorida, potassium cloride dan sodium laktat untuk
mengganti elektrolit yang hilang, dengan demikian dalam pemberian cairan harus
dimonitor dengan cermat karena bila kekurangan akan mengakibatkan dehidrasi yang
semakin buruk dan bila berlebihan akan terjadi edema pulmonal dengan ditandai anak
sesak nafas, Ronchi dan semua itu bila tidak segera diatasi akan mengakibatkan
kematian.
Adapun diet yang diberikan pada anak kelolaan kami dengan umur 16 bl
adalah 12 x 50 F 100, dan juga pemberian resomal 70 cc setiap kali habis bab dengan
harapan dapat menggantikan cairan yang keluar, ini semua sudah sesuai dengan hasil
diskusi dengan expert baik pada medis maupun perawat ruangan, demikian pula
menurut Suriadi ( 2001 ) yang mengatakan bahwa ASI tetap diberikan karena ASI
mengandung antibody yang melindungi bayi terhadap berbagai kuman penyebab
penyakit diare tetapi klien kelolaan kami tidak mendapat ASI karena anak sudah tidak
mau menetek lagi dan ASI hanya keluar sedikit-sedikit.
Dari hasil pengamatan dan pantauan selama 3 hari, proses penyembuhan anak
cukup baik, hal ini karena rehidrasi yang merupakan langkah pertama baik intravena
maupun oral dapat dilaksanakan dengan tepat. Langkah rehidrasi dan pemantauan
keseimbangan cairan ini sudah dilakukan dengan ketat sejak pertama kali anak datang
dan dirawat di bangsal anak. Sedangkan penghitungan balance cairan pada An. AP
adalah sebagai berikut :
1. Tanggal 8 Agustus 2004
Input :
Infuse KAEN 3B : 480 cc
12 x 50 cc F 100 : 600 cc
Diit lunak 3 x ½ piring : 150 cc
Total : 1230 cc
Out put :
Diare 4 x 20 cc : 80 cc
IWL : (30-1,6) x kgbb : 196 cc
Urin : 480 cc
Total : 756 cc
Kebutuhan cairan normal anak dengan BB 6900 gram adalah 690 cc
(Pharmacia Paediatric Parenteral nutrition. Pharmcia. 1999. page 11)
Penambahan suhu tubuh 1o C kebutuhan ekstra meningkat 12 %
Sehingga kebutuhan cairan dari anak Ap adalah 690+41+ 80 = 811 cc
Kecukupan cairannya 1230/811 = 151 %
2. Tanggal 9 Agustus 2004
Input :
Infuse KAEN 3B : 480 cc
12 x 50 cc F 100 : 600 cc
Diit lunak 3 x ½ piring : 150 cc
Total : 1230 cc
Out put :
Diare 3 x 20 cc : 60 cc
IWL : (30-1,6) x kgbb : 196 cc
Urin : 450 cc
Total : 706 cc
Kebutuhan cairan normal anak dengan BB 6900 gram adalah 690 cc
(Pharmacia Paediatric Parenteral nutrition. Pharmacia. 1999. page 11)
Sehingga kebutuhan cairan dari anak Ap adalah 690+ 70 = 760 cc
Kecukupan cairannya 1230/760 = 161 %
3. Tanggal 10 Agustus 2004
Input :
10 x 75 cc F 100 : 750 cc
Diit lunak 3 x ½ piring : 150 cc
Total : 900 cc
Out put :
IWL : (30-1,6) x kgbb : 196 cc
Urin : 400 cc
Total : 596 cc
Kebutuhan cairan normal anak dengan BB 6900 gram adalah 690 cc
(Pharmacia Paediatric Parenteral nutrition. Pharmcia. 1999. page 11)
Kecukupan cairannya 900/596 = 151 %
Pada hari pertama masih terjadi peningkatan suhu tubuh, namun pada
hari kedua suhu sudah mulai normal. Dan pada hari ketiga infuse sudah di lepas,
dan diganti dengan masukan cairan per oral yang ditingkatkan volumenya.
Dari hasil pengukuran balance cairan dapat dilihat bahwa kebutuhan
ciran pada An. AP dapat terpenuhi dari hati pertama sampai dengan hari ke 3.
sebagai indicator yang dapat menguatkan hal tersebut diatas adalah adanya
penambahan Berat badan dari 6900 gram pada saat masuk dirawat, menjadi
7100 gram pada saat ini.
Dari pengertian, patofisiologi, tanda dan gejala, serta cara pemberian
rehidrasi pada gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit tidak ada perbedaan
yang berarti antara hasil studi referensi dengan pendapat ekspert maupun
keluarga. Namun terdapat perbedaan pada cara perawatan anak dengan gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit antara hasil studi referensi dengan studi kasus,
namun demikian masih ada beberapa hal yang menjadi permasalahan dan perlu
untuk dibicarakan lebih lanjut, yaitu:
1. Tidak ada pemantauan ulang nilai elektrolit serum
Pada penatalaksanaan pasien diare dengan gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit (studi kasus pada An. AP) secara umum telah sesuai dengan hasil
studi referensi dan hasil diskusi dengan expert. Program rehidrasi yang
dilakukan menggunakan cairan parenteral berupa cairan Kaen 3B dengan
kecepatan pemberian 5 tetes / menit. Cairan Kaen 3B menjadi pilihan karena
mengandung potassium Cloride, kalium, dan natrium yang sangat dibutuhkan
untuk mengembalikan keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pemeriksaan
kadar elektrolit serum tanggal 5 November 2004, diperoleh data bahwa kadar
natrium serum 139 meq / liter, kadar kalium serum 4,8 meq / liter dan kadar
klorida serum 108 meq / liter, yang menunjukkan bahwa kadar elektrolit
pasien sudah dalam rentang normal jika dirujuk ke dalam nilai standar normal.
Pada akhir pemberian cairan parenteral pada pasien, pemeriksaan kadar
elektrolit serum tidak dilakukan, padahal menurut Smeltzer & Bare, 2002,
pemantauan kadar elektrolit serum perlu dilakukan sebelum, selama maupun
sesudah rehidrasi untuk memantau keberhasilan koreksi gangguan elektrolit
yang terjadi serta untuk mencegah kelebihan pemberian elektrolit yang
berakibat buruk bagi kondisi pasien. Setelah dikonfirmasi dengan perawat
ruang anak diperoleh keterangan bahwa hal itu dilakukan karena dari
penilaian klinis terhadap kondisi pasien sudah cukup menunjukkan bahwa
status hidrasi dan keseimbangan elektrolit pasien telah adekuat.
2. Pemantauan tanda vital hanya terbatas pada suhu badan.
Pemantauan tanda vital hanya dilakukan sebatas pengukuran suhu saja.
Padahal menurut Smeltzer & Bare, 2002, pemantauan tanda vital pada pasien
dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sebaiknya dilakukan 2
jam sekali meliputi, penilaian nadi, penghitungan pernafasan dan pengukuran
suhu. Hasil pemeriksaan vital signs sangat berguna bagi monitoring status
hidrasi pasien dan tanda-tanda dehidrasi, misalnya perubahan nadi (cepat dan
lemah), suhu badan meningkat, dan respirasi yang meningkat. Dengan
pemantauan tanda vital secara lengkap dan akurat, tanda-tanda awal dehidrasi
dan hambatan terhadap program rehidrasi dapat segera dideteksi.
3. Pemantauan kecepatan pemberian cairan parenteral (tetesan infus),
monitoring balance cairan dan ststua hidrasi pasien jarang dilakukan dan
belum ada dokumentasinya.
Monitoring kecepatan pemberian cairan parenteral melalui pemantauan
tetesan cairan infus yang diberikan pada pasien mutlak dilakukan oleh
perawat. Tetapi dari kasus diare yang ada, pemantauan ini jarang dilakukan.
Jika dilakukan, sebatas jika keluarga pasien melaporkan adanya kemacetan
tetesan infus. Sering kali tidak dilakukan kontrol ulang untuk mengecek
apakah tetesan infus yang diberikan masih sesuai dengan kecepatan yang
diprogramkan. Monitoring juga diperlukan pada kepatenan kateter intravena
yang terpasang serta penting pula diperhatikan secara teratur lokasi
penusukan, adakah tanda-tanda inflamasi, phlebitis atau extravasasi karena
pasien anak cenderung banyak gerak dan belum bisa diarahkan. Hal ini sangat
esensial dilakukan pada pasien anak, mengingat tindakan infus merupakan
pengalaman yang menyakitkan dan traumatis bagi anak, sehingga sedapat
mungkin dihindarkan penusukan berkali-kali akibat kurangnya perhatian
perawat dalam memantau kepatenan jalur infus. Untuk keberhasilan program
rehidrasi dan menghindari terjadinya trauma pada anak, pemantauan
kepatenan jalur infus seharusnya dilakukan minimal 4 jam sekali.
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada anak diare dengan masalah
keperawatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, tindakan keperawatan
yang diberikan tidak hanya berfokus pada pemberian rehidrasi cairan dan
elektrolit saja, melainkan perlu pula diperhatikan monitoring terhadap kepatenan
jalur infus, kecepatan pemberian cairan tiap 4 jam, vital signs tiap 1-2 jam, juga
perlu dilakukan pengukuran ulang kadar elektrolit serum sesudah pemberian
cairan parenteral. Dengan demikian adanya tanda-tanda dehidrasi maupun
kelebihan cairan dan elektrolit dapat segera diketahui dan ditangani lebih awal.
B. SARAN
1. Perlu diaktifkan kembali pengukuran vital signs sesuai protap yang telah ada,
yaitu meliputi suhu, nadi, pernafasan dan tekanan darah.
2. Perlu adanya kesepakatan di natara perawat jaga tentang pemantauan tetesan
dan kepatenan jalur infus tiap 4 jam dan melibatkan keluarga dalam upaya
pemantauan ini.
3. Perlu adanya kesepakatan antara perawat dan dokter tentang pemantauan
kadar elektrolit serum pada pasien yang mendapatkan terapi cairan parenteral,
khususnya pasien diare.
DAFTAR PUSTAKA
1. Betz, Sowden. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatrik, Edisi 2. Jakarta, EGC.
2. Horne, Swearingen. (2002). Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Asam-Basa,
Edisi 2. Jakarta, EGC.
3. Ngastiyah. (1997). Perawatan Anak Sakit, Edisi 2. Jakarta, EGC.
4. Suriadi, Yuliani R. (2001). Asuhan Keperawatan Anak, Edisi 2. Jakarta, CV
Sagung Seto.
5. Staf Pengajar IKA FKUI. (1985). Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 2.
Jakarta, FKUI.