Upload
siskamarsiska
View
134
Download
6
Embed Size (px)
Askep DemensiaDiposkan oleh Udayati Made
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif
dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari.
Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa
gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian
(behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun
tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley,
A.C., Mahoney, E. 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa
demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan
kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau
kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian
dan tingkah laku.
Demensia adalah sindroma klinis yang meliputi
hilangnya fungsi intelektual dan memori yang sedemikian
berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari -hari.
Demensia merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
penurunan daya ingat dan daya pikir lain yang secara
nyata mengganggu aktivitas kehidupan sehari hari
(Nugroho, 2008). Sementara itu menurut Lumbantobing
(1995) demensia adalah himpunan gejala penurunan fungsi
intelektual, umumnya ditandai terganggunya minimal tiga
fungsi yakni bahasa, memori, visuospasial, dan emosional.
Demensia adalah satu penyakit yang menyebabkan sel-
sel otak yang mati secara abnormal. Hanya satu
terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit
otak degeneratif yang progresif. Daya ingat, pemikiran,
tingkah laku dan emosi terjejas bila mengalami demensia.
Penyakit ini dapat dialami oleh semua orang dari berbagai
latar belakang pendidikan maupun kebudayaan. Walaupun
tidak terdapat perawatan khusus untuk demensia, namun
perawatan untuk menangani gejala boleh dilakukan
2. Epidemiologi dan Sejarah
Pada jaman Romawi dari kata Latin sebenarnya,
katademens tidak memiliki arti konotasi yang spesifik.
Yang pertama kali menggunakan kata demensia adalah
seorangenclyopedist yang bernama Celcus di dalam
publikasinyaDe re medicine sekitar AD 30 yang
mengartikan demenssebagai istilah gila. Seabad kemudian
seorang tabib dari Cappodocian yang bernama Areteus
menggunakan istilahsenile dementia pada seorang pasien
tua yang berkelakuan seperti anak kecil. Kemudian pada
awal abad ke 19 seorang psikiater Prancis yang bernama
Pinel menghubungkan terminologi demensia dengan perubahan
mental yang progresif pada pasien yang mirip idiot
(Sjahrir,1999)
Sampai abad ke 19 istilah demensia dianggap sebagai
masa terminal dari penyakit kejiwaan yang membawa
kematian. Baru pada awal abad ke 20, yaitu tahun 1907
Alzheimer mempublikasikan suatu kasus yang berjudul “A
Unique Illnes involving cerebral cortex” pada pasien
wanita umur 55 tahun. Kemudian kasus itu ditabalkan
sebagai penyakit Alzheimer. Pasien ini masih relatif muda
dan secara progresif bertahap mengalami gejala seperti
psikosis dan demensia kemudian meninggal 4-5 tahun
setelah onset serangan pertama. Pada otopsi ditemukan 1/3
dari bagian neuron kortek menghilang dari neuron yang
tinggal menggembung berisi gumpalan fiber dalam
sitoplasmanya. Alzheimer menduga adanya perubahan kimiawi
di dalam neurofibril. Alzheimer lah yang pertama kali
menemukan dan menamakan neurofibrillary tangles(NT)
dimana NT bersamaan dengan senile plaque (SP) dianggap
sebagai penanda diagnostik Alzheimer Disease.
(Sjahrir,1999)
Proses penuaan tidak dapat dihambat, baik penuaan
otak maupun fisik. Otak akan atropi, sel pyramidal neuron
di neokortek dan hipokampus akan mengkerut, pengurangan
dendrit dan sinaps. Seiring dengan itu maka gerakan dan
reaksi akan melambat, akan tetapi kaum tua masih dapat
lari ataupun bermain tenis secukupnya. Ingatan akan kata
berkurang tetapi memori, semantik, pengetahuan,
dan vocabulary tidaklah akan menurun (Sjahrir,1999)
Pada umumnya 40% penderita demensia berada di atas 65
tahun dengan angka insidens 187/100.000/tahunnya. Untuk
demensia tidak ada perbedaan antara pria dan wanita
sedangkan untuk demensia Alzheimer lebih banyak wanita
dengan rasio 1,6. Insiden demensia Alzheimer sangatlah
berkaitan dengan umur, 5% dari populasi berusia di atas
65 tahun di Amerika dan Eropa merupakan penderita
Alzheimer, dan ini sesuai dengan makin banyak populasi
orang tua di Amerika Serikat dan Eropa, maka makin tua
populasinya makin banyak kasus AD, dimana pada populasi
umur 80 tahun didapati 50% penderita AD. (Sjahrir,1999)
Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi
usia lanjut diatas 60 tahun adalah 7,2 % (populasi usia
lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian
kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya
harapan hidup suatu populasi. Kira-kira 5 % usia lanjut
65 – 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali
lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas
85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 –1.0 %
dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 – 15%
atau sekitar 3 – 4 juta orang. Demensia terbagi menjadi
dua yakni Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler.
Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di
negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50-70%. Demensia
vaskuler penyebab kedua sekitar 15-20% sisanya 15- 35%
disebabkan demensia lainnya. Di Jepang dan Cina demensia
vaskuler 50 – 60 % dan 30 – 40 % demensia akibat penyakit
Alzheimer.
3. Etiologi
Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang
dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada sejumlah
tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan
sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace,
N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar peneliti dalam
risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala
demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular
(pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia
frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan
oleh penyakit lain.
Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia
adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi
dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal
dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana
mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer
mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan
dan juga penurunan proses berpikir.
Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat
digolongkan menjadi 3 golongan besar :
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang
etiologi dasarnya tidak dikenal, Sering pada
golongan ini tidak ditemukan atrofia serebri,
mungkin kelainan terdapat pada tingkat
subseluler atau secara biokimiawi pada sistem
enzim, atau pada metabolisme seperti yang
ditemukan pada penyakit alzheimer dan demensia
senilis.
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang
dikenal tetapi belum dapat diobati,
Penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :
Penyakit degenerasi spino-serebelar.
Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
Khorea Huntington
penyakit jacob-creutzfeld dll
c. Sindoma demensia dengan etiologi penyakit
yang dapat diobati, dalam golongan ini
diantaranya :
Penyakit cerebro kardiofaskuler
penyakit- penyakit metabolik
Gangguan nutrisi
Akibat intoksikasi menahun
Hidrosefalus komunikans
Demensia (pikun) adalah kemunduran kognitif yang
sedemikian berat sehingga mengganggu aktivitas hidup
sehari- hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif
pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori
atau daya ingat (pelupa). Demensia terutama yang
disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat dengan
usia lanjut. Penyakit alzheimer ini 60% menyebabkan
kepikunan atau demensia dan diperkirakan akan meningkat
terus.
Gejala klasik penyakit demensia alzheimer adalah
kehilangan memori (daya ingat) yang terjadi secara
bertahap, termasuk kesulitan menemukan atau menyebutkan
kata yang tepat, tidak mampu mengenali objek, lupa cara
menggunakan benda biasa dan sederhana, seperti pensil,
lupa mematikan kompor, menutup jendela atau menutup
pintu, suasana hati dan kepribadian dapat berubah,
agitasi, masalah dengan daya ingat, dan membuat keputusan
yang buruk dapat menimbulkan perilaku yang tidak biasa.
Gejala ini sangat bervariasi dan bersifat individual.
Gejala bertahap penyakit alzheimer dapat terjadi dalam
waktu yang berbeda- beda, bisa lebih cepat atau lebih
lambat. Gejala tersebut tidak selalu merupakan penyakit
alzheimer, tetapi apabila gejala tersebut berlangsung
semakin sering dan nyata, perlu dipertimbangkan
kemungkinan penyakit alzheimer (Nugroho, 2008).
4. Kriteria Derajat Demensia
Kriteria derajat demensia
a. Ringan : Walaupun terdapat gangguan berat
daya kerja dan aktivitas sosial, kapasitas untuk
hidup mandiri tetap dengan higiene personal
cukup dan penilaian umum yang baik.
b. Sedang :Hidup mandiri berbahaya diperlukan
berbagai tingkat suportivitas.
c. Berat:Aktivitas kehidupan sehari-hari
terganggu sehingga tidak berkesinambungan,
inkoheren.
5. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah
awitan (onset) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an
dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun,
yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan
kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis
demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu.
Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe
Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga
20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita
demensia dengan awitan yang dini atau dengan
riwayatkeluarga menderita demensia memiliki kemungkinan
perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu
penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit
Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5
tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus
menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap,
karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia
potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi
yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang
permanen terjadi.
Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan
beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik
oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling
dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya
merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan
dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler,
endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme.
Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan
jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat
terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase
awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat
menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa
pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia
dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin
atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat
memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik.
Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi
ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri,
pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan
inkontinensia urin dan inkontinensia alvi.
Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan
mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak
(self-healing), gejala-gejala pada demensia dapat
berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga
berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada
demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat
hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor
otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada
demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya
terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia
dengan perburukan (biasanya terlihat pada demensia
vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat
pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).
Faktor Psikosial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia
dapat dipengaruhi oleh faktor psikososial. Semakin tinggi
intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka
semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi
deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang
cepat (rapid onset) menggunakan pertahanan diri yang
lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang
bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan
memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada
individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan
memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami
gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil
ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
4. Klasifikasi
Menurut Umur:
1.Demensia senilis (>65th)
2.Demensia prasenilis (<65th)
Menurut perjalanan penyakit:
1. Reversibel
2. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural
hematoma, vit B Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi
Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel
dengan meningkatnya cairan serebrospinalis, hal ini
menyebabkan adanya :
Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
Inkontinensia urin.
Demensia.
Menurut kerusakan struktur otak
1.Tipe Alzheimer
Dari semua pasien dengan demensia, 50 – 60 % memiliki
demensia tipe ini. Orang yang pertama kali mendefinisikan
penyakit ini adalah Alois Alzheimer sekitar tahun 1910.
Demensia ini ditandai dengan gejala :
Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan
progresif,
Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia,
apraksia, agnosia, gangguan fungsi eksekutif,
Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,
Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
Kehilangan inisiatif.
Faktor resiko penyakit Alzheimer :
Riwayat demensia dalam keluarga
Sindrom down
Umur lanjut
Apolipoprotein, E4
Faktor yang memberikan perlindungan terhadap alzheimer :
Apolipoprotein E, alele 2,
Antioxidans,
Penggunaan estrogen pasca menopause, (pada demensia tipe
ini lebih sering pada wanita daripada laki-laki)
NSAID
Demensia pada penyakit Alzheimer belum diketahui
secara pasti penyebabnya, walaupun pemeriksaan
neuropatologi dan biokimiawi post mortem telah ditemukan
lose selective neuron kolinergik yang strukturnya dan
bentuk fungsinya juga terjadi perubahan.
Pada makroskopik : penurunan volume gyrus pada lobus
frontalis dan temporal.
Pada mikroskopik : plak senilis dan serabut
neurofibrilaris
Kerusakan dari neuron menyebabkan penurunan jumlah
neurotransmiter. Hal ini sangat mempengaruhi aktifitas
fisiologis otak. Tiga neurotransmiter yang biasanya
terganggu pada Alzheimer adalah asetilkolin, serotorin
dan norepinefrin. Pada penyakit ini diperkirakan adanya
interaksi antara genetic dan lingkungan yang merupakan
factor pencetus. Selain itu dapat berupa trauma kepala
dan rendahnya tingkat pendidikan.
Stadium demensia alzheimer
Penyakit demensia alzheimer menurut Nugroho (2008)
dapat berlangsung dalam tiga stadium yaitu stadium awal,
stadium menengah, dan stadium lanjut. Stadium awal atau
demensia ringan ditandai dengan gejala yang sering
diabaikan dan disalahartikan sebagai usia lanjut atau
sebagai bagian normal dari proses menua. Umumnya klien
menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa, mengalami
kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi waktu
dan tempat, sering tersesat ditempat yang biasa dikenal,
kesulitan membuat keputusan, kehilangan inisiatif dan
motivasi, dan kehilangan minat dalam hobi dan agitasi.
Stadium menengah atau demensia sedang ditandai dengan
proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin
nyata. Pada stadium ini, klien mengalami kesulitan
melakukan aktivitas kehidupan sehari- hari dan
menunjukkan gejala sangat mudah lupa terutama untuk
peristiwa yang baru dan nama orang, tidak dapat mengelola
kehidupan sendiri tanpa timbul masalah, sangat bergantung
pada orang lain, semakin sulit berbicara, membutuhkan
bantuan untuk kebersihan diri (ke toilet, mandi dan
berpakaian), dan terjadi perubahan perilaku, serta adanya
gangguan kepribadian.
Stadium lanjut atau demensia berat ditandai dengan
ketidakmandirian dan inaktif total, tidak mengenali lagi
anggota keluarga (disorientasi personal), sukar memahami
dan menilai peristiwa, tidak mampu menemukan jalan di
sekitar rumah sendiri, kesulitan berjalan, mengalami
inkontinensia (berkemih atau defekasi), menunjukkan
perilaku tidak wajar dimasyarakat, akhirnya bergantung
dikursi roda atau tempat tidur.
Penyebab demensia alzheimer
Penyebab demensia alzheimer masih belum diketahui
secara pasti, tetapi ada beberapa teori menjelaskan
kemungkinan adanya faktor genetik, radikal bebas, toksin
amiloid, pengaruh logam alumunium, dan akibat infeksi
virus. Semakin dini penyakit demensia alzheimer dikenali,
semakin baik hasil penanganannya daripada penyakit yang
sudah lanjut. Penyakit alzheimer muncul sebagai gejala
perubahan perilaku, kognisi, dan perubahan aktivitas
hidup sehari- hari sehingga anggota keluarga dan orang
terdekat yang mengenali perubahan tersebut.
Faktor predisposisi dan resiko dari penyakit ini
adalah usia, riwayat penyakit alzheimer (keturunan),
kelamin, pendidikan. Faktor resiko yang kemungkinan juga
berpengaruh ialah adanya keluarga dengan sindrom Down,
fertilitas yang kurang, kandungan alumunium pada air
minum, dan defisiensi kalsium.
Penyakit Alzheimer dibagi atas 3 stadium berdasarkan
beratnya deteorisasi intelektual :
Stadium I (amnesia)
Berlangsung 2-4 tahun
Amnesia menonjol
Gangguan : - Diskalkulis
Memori jangka penuh
Perubahan emosi ringan
Memori jangka panjang baik
Keluarga biasanya tidak terganggu
Stadium II (Bingung)
Berlangsung 2 – 10 tahun
Kemunduran aspek fungsi luhur (apraksia, afasia, agnosia,
disorientasi)
Episode psikotik
Agresif
Salah mengenali keluarga
Stadium III (Akhir)
Setelah 6 - 12 tahun
Memori dan intelektual lebih terganggu
Akinetik
Membisu
Inmontinensia urin dan alvi
Gangguan berjalan
Pedoman diagnostik menurut WHO (ICD-X)
Lupa kejadian yang baru saja dialami,
Kesulitan dalam melakukan pekerjaan sehari-hari,
Kesulitan dalam berbahasa,
Diserorientasi waktu dan tempat,
Tidak mampu membuat pertimbangan dan keputusan yang
tepat,
Kesulitan berpikir abstrak,
Salah menaruh barang,
Perubahan suasana hati,
Perubahan perilaku / kepribadian,
Kehilangan inisiatif.
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang dapat
menyembuhkan penyakit ini. Pengobatan / pencegahan hanya
dalam bentuk paliatif yaitu : nutrisi tepat, latihan,
pengawasan aktifitas, selain itu bisa diberikan obat
Memantine (N-metil) 25 mg/hr, propanolol (InderalR),
Holoperidol dan penghambatan dopamin potensi tinggi untuk
kendali gangguan eprilaku akut. Selain itu bisa diberikan
“Tracine Hydrocloride” (Inhibitor asetilkolinesterose
kerja sentral) untuk gangguan kognitif dan fungsionalnya.
Pencegahan antara lain bagaimana cara kita
lebih awal untuk mendeteksi AD (Alzheimer Disease) serta
memperkirakan siapa yang mempunyai faktor resiko terkena
penyakit ini sehingga dapat dicegah lebih awal.
Pencegahan dapat juga berupa perubahan dari gaya hidup
(diet, kegiatan olahraga, aktivitas mental)
Tujuan penanganan Alzheimer :
Mempertahankan kualitas hidup yang normal
Memperlambat perburukan
Membantu keluarga yang merawat dengan memberi informasi
yang tepat
Menghadapi kenyataan penyakit secara realita
2.Demensia vascular
Penyakit ini disebabkan adanya defisit kognitif yang
sama dengan Alzheimer tetapi terdapat gejala-gejala /
tanda-tanda neurologis fokal seperti :
Peningkatan reflek tendon dalam,
Respontar eksensor,
Palsi pseudobulbar,
Kelainan gaya berjalan,
Kelemahan anggota gerak.
Demensia vaskuler merupakan demensia kedua yang paling
sering pada lansia, sehingga perlu dibedakan dengan
demensi Alzheimer. Pencegahan pada demensia ini dapat
dilakukan dengan menurunkan faktor resiko misalnya;
hipertensi, DM, merokok, aritmia. Demensia dapat
ditegakkan juga dengan MRI dan aliran darah sentral.
Pedoman diagnostik penyakit demensia vaskuler :
Terdapat gejala demensia
Hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata
Onset mendadak dengan adanya gejala neurologis fokal
3. Demensia Jisim Lewy (Lewy Body dementia)
Demensia dengan kumpulan Lewy (Lewy bodies)disebabkan
oleh kemunduran dan matinya sel-sel syaraf diotak. Nama
itu berasal dari adanya struktur-strukturabnormal
berbentuk bola, disebut kumpulan Lewy, yangtumbuh di
dalam sel-sel syaraf. Diduga struktur itu ikutmenyebabkan
kematian sel-sel otak. Orang yang mempunyai demensia
dengan kumpulan Lewy cenderung melihat sesuatu yang tidak
ada (mengalami halusinasi visual), mengalami kekakuan
atau gemetar (parkinsonisme) dan kondisi mereka cenderung
berubah-ubah secara cepat, sering dari jam ke jam atau
dari hari ke hari. Gejala itu memungkinkan dibedakannya
penyakit ini dari penyakit Alzheimer. Demensia dengan
kumpulan Lewy kadangkadang muncul bersamaan dengan
penyakit Alzheimer dan/atau demensia Vaskuler. Mungkin
sulit untuk membedakan demensia dengan kumpulan Lewy
dari penyakit Parkinson dan orang dengan penyakit
Parkinson menderita demensia yang serupa dengan yang
terlihat pada demensia dengan kumpulan Lewy.
4.Demensia Lobus frontal-temporal
Ini adalah nama yang diberikan kepada sebuah kelompok
demensia jika terjadi proses kemunduran dalam satu atau
keduanya dari lobus frontal atau lobus temporal otak.
Termasuk dalam kelompok ini adalah Fronto Temporal lobus
frontal dan lobus temporal), Progressive non-Fluent
Aphasia (Afasia Progresif non-Fluent, penderita secara
berangsur-angsur kehilangan kemampuan berbicara),
Semantic Demensia (Demensia Semantik, penderita tidak
mengerti arti kata-kata) dan penyakit Pick. Lebih dari
50% orang penderita FTLD mempunyai riwayat keluarga
dengan penyakit tersebut. Mereka yang mewarisinya sering
mengalami mutasi gen pada protein tau dalam kromosom 17
yang menyebabkan diproduksinya protein tau yang abnormal.
Tidak diketahui adanya faktor risiko lain.
5. Demensia terkait dengan SIDA(HIV-AIDS)
6. Morbus Parkinson
Demensia ini disebabkan adanya penyakit parkinson yang
menyertai dengan gejala :
Disfungsi motorik.
Gangguan kognitif / demensia bagian dari gangguan.
Lobus frontalis dan defisit daya ingat.
Depresi.
7. Morbus Huntington
Demensia ini disebabkan penyakit herediter yang
disertai dengan degenoivasi progresif pada ganglia
basalis dan kortex serebral. Transmisi terdapat pada gen
autosomal dominan fragmen G8 dari kromosom 4. Onset
terjadi pada usia 35 – 50 tahun. Gejalanya :
Demensia progresif.
Hipertonisitas mascular.
Gerakan koreiform yang aneh.
8. Morbus Pick
Intraneunoral yang Penyakit Pick disebabkan penurunan
fungsi mental dan perilaku yang terjadi secara progresif
dan lambat. Kelainan terdapat pada kortikal fokal pada
lobus frontalis. Penyakit ini juga sulit dibedakan dengan
Alzheimer hanya bisa dengan otopsi, dimana otak
menunjukkan inklusi disebut “badan Pick” yang dibedakan
dari serabut neurofibrilaris pada Alzheimer.
Pedoman diagnostik penyakit demensia penyakit Pick
Adanya gejala demensia yang progresif.
Gambaran neuropatologis berupa atrofi selektif dari lobus
frontalis yang menonjol disertai euforia, emosi tumpul,
dan perilaku sosial yang kasar, disinhibisi, apatis,
gelisah.
Manifestasi gangguan perilaku pada umumnya mendahului
gangguan daya ingat.
9. Morbus Jakob-Creutzfeldt
Penyakit ini disebabkan oleh degeneratif difus yang
mengenai sistim piramidalis dan ekstrapiramidal. Pada
penyakit ini tidak berhubungan dengan proses ketuaan.
Gejala terminal adalah :
Demensia parah.
Hipertonisitas menyeluruh.
Gangguan bicara yang berat.
Penyakit ini dsiebabkan oleh virus infeksius yang tumbuh
lambat. (misal transplantasi kornea). Trias yang sangat
mengarah pada diagnosis penyakit ini :
Demensia yang progresif merusak.
Penyakit piramidal dan ekstrapiramidal dengan mioklonus.
Elektroensephalogram yang khas.
10. Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
11. Prion disease
12. Palsi Supranuklear progresif
13. Multiple sklerosis
14. Neurosifilis
15. Tipe campuran
Menurut sifat klinis:
1. Demensia proprius
2. Pseudo-demensia
5. Tanda dan Gejala
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia
adalah adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku
sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari.. Penderita
yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan
usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita
demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada
tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya
mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan
awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit
mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu
barang.
Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan
meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa
pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan
oleh orang-orang terdekat yang tinggal bersama, mereka
merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa
mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak
istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah
besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh
orang tua mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya
berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan
lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat
saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya
akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin
saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai
berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia
penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia
bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan.
Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak
terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan
memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali
gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia
bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang
panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita
demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting
yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar
belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf,
pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu
dilakukan juga tes laboratorium.
Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan
tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu
sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan
tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia.
Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat
memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para
anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka.
Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat
terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya
adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi
tubuh, cemas, disorientasi spasial, ketidakmampuan
melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah,
agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer,
L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Secara umum tanda dan gejala demensia adalah sbb:
1. Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada
penderita demensia, “lupa” menjadi bagian
keseharian yang tidak bisa lepas.
2. Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya:
lupa hari, minggu, bulan, tahun, tempat penderita
demensia berada
3. Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata
menjadi kalimat yang benar, menggunakan kata yang
tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata
atau cerita yang sama berkali-kali
4. Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis
berlebihan saat melihat sebuah drama televisi,
marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan
orang lain, rasa takut dan gugup yang tak
beralasan. Penderita demensia kadang tidak mengerti
mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
5. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak
acuh, menarik diri dan gelisa
6. Seluruh jajaran fungsi kognitif rusak.
7. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
8. Gangguan kepribadian dan perilaku, mood swings
9. Defisit neurologik motor & fokal
10. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang
11. Gangguan psikotik: halusinasi, ilusi, waham & paranoia
12. Agnosia, apraxia, afasia
13. ADL (Activities of Daily Living)susah
14. Kesulitan mengatur penggunaan keuangan
15. Tidak bisa pulang ke rumah bila bepergian
16. Lupa meletakkan barang penting
17. Sulit mandi, makan, berpakaian, toileting
18. Pasien bisa berjalan jauh dari rumah dan tak bisa pulang
19. Mudah terjatuh, keseimbangan buruk
20. Akhirnya lumpuh, inkontinensia urine & alvi
21. Tak dapat makan dan menelan
22. Koma dan kematian.
6. Diagnosis Banding
Diagnosis difokuskan pada hal-hal berikut ini:
Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan
demensia tipe Alzheimer dengan adanya perburukan
penurunan status mental yang menyertai penyakit
serebrovaskuler seiring berjalannya waktu. Meskipun hal
tersebut adalah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut
tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala
neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia
vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal
tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko penyakit
serebrovaskuler.
Demensia Vaskuler lawan Transient Ishemic Attacks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode
singkat dari disfungsi neurologis fokal yang terjadi
selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit).
Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi,
episode TIA biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari
lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya
iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya
menghilang tanpa perubahan patologis jaringan parenkim.
Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak
mendapatkan terapi mengalami infark serebri di kemudian
hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan
strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri.
Dokter harus membedakan antara episode TIA yang mengenai
sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum,
gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan
adanya gangguan fungsional baik pada batang otak maupun
lobus oksipital, sedangkan distribusi sistem karotis
mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan
unilateral atau kelainan hemisferik. Terapi antikoagulan,
dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin
dan bedah reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial
efektif untuk menurunkan risiko infark serebri pada
pasien dengan TIA.
Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit
daripada yang ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV.
Secara umum, delirium dibedakan dengan demensia oleh awitan yang
cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam
perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan
siklus tidur yang bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi
yang menonjol.
Perbedaan klinis delirium dan Demensia.
Gambaran Delirium Demensia
Riwayat Penyakit akut Penyakit Kronik
Awal Cepat Lambat laun
Sebab Terdapat penyakit
lain (infeksi,
dehidrasi,
guna/putus obat)
Biasanya penyakit
otak kronik
(sptAlzheimer,
demensia
vaskular)
Lamanya Ber-hari/-minggu Ber-bulan/-tahun
Perjalanan sakit Naik turun Kronik Progresif
Taraf Kesadaran Orientasi Naik turun, terganggu
periodik
Normal intak pada
awalnya
Afek Cemas dan iritabel Labil tapi tak cemas
Alam pikiran Sering terganggu Turun jumlahnya
Bahasa daya ingat Lamban. Inkoheren,
inadekuat, angka pendek
terganggu nyata
Sulit menemukan
istilah tepat Jangka
pendek dan panjang
terganggu
Persepsi Halusinasi (visual) Halusinasi jarang
terjadi kecuali
sundowning
Psikomotor
Tidur
Retardasi, agitasi,
campuran Terganggu
siklus tidurnya
Normal
Sedikit terganggu
siklus tidurnya
Atensi dan kesadaran Amat terganggu Sedikit terganggu
Reversibilitas Sering reversibel Umumnya tak
reversibel
Penanganan Segera Perlu tapi tak segera
Catatan : pasien dengan demensia amat rentan terhadap delirium, dan
delirium yang
bertumpang tindih dengan demensia adalah umum
Depresi
Beberapa pasien dengan depresi memiliki gejala
gangguan fungsi kognitif yang sukar dibedakan dengan
gejala pada demensia. Gambaran klinis kadang-kadang
menyerupai psuedodemensia, meskipun istilah disfungsi
kognitif terkait depresi (depression-related
cognitivedysfunction) lebih disukai dan lebih dapat
menggambarkan secara klinis. Pasien dengan disfungsi
kognitif terkait depresi secara umum memiliki gejala-
gejala depresi yang menyolok, lebih menyadari akan
gejala-gejala yang mereka alami daripada pasien dengan
demensia serta sering memiliki riwayat episode depresi.
Skizofrenia
Meskipun skizofrenia dapat dikaitkan dengan kerusakan
fungsi intelektual yang didapat (acquired), gejalanya
lebih ringan daripada gejala yang terkait dengan gejala-
gejala psikosis dan gangguan pikiran seperti yang
terdapat pada demensia.
Proses penuaan yang normal
Proses penuaan yang normal dikaitkan dengan penurunan
berbagai fungsi kognitif yang signifikan, akan tetapi
masalah-masalah memori atau daya ingat yang ringan dapat
terjadi sebagai bagian yang normal dari proses penuaan.
Gejala yang normal ini terkadang dikaitkan dengan
gangguan memori terkait usia, yang dibedakan dengan
demensia oleh ringannya derajat gangguan memori dan
karena pada proses penuaan gangguan memori tersebut tidak
secara signifikan mempengaruhi perilaku sosial dan
okupasional pasien.
Gangguan lainnya
Retardasi mental, yang tidak termasuk kerusakan
memori, terjadi pada masa kanan-kanan. Gangguan amnestik
ditandai oleh hilangnya memori yang terbatas dan tidak
ada perburukan. Depresi berat dimana memori terganggu
biasanya akan memberikan respon terhadap terapi
antidepresan.
7. Pemeriksaan Demensia (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Diagnosis klinis tetap merupakan pendekatan yang
paling baik karena sampai saat ini belum ada pemeriksaan
elektrofisiologis, neuro imaging dan pemeriksaan lain
untuk menegakkan demensia secara pasti. Beberapa langkah
praktis yang dapat dilakukan antara lain :
1. Riwayat medik umum
Perlu ditanyakan apakah penyandang mengalami gangguan
medik yang dapat menyebabkan demensia seperti
hipotiroidism, neoplasma, infeksi kronik. Penyakit
jantung koroner, gangguan katup jantung, hipertensi,
hiperlipidemia, diabetes dan arteriosklerosis perifer
mengarah ke demensia vaskular. Pada saat wawancara
biasanya pada penderita demensia sering menoleh yang
disebut head turning sign.
2. Riwayat neurologi umum
Tujuan anamnesis riwayat neurologi adalah untuk
mengetahui kondisi-kondisi khusus penyebab demensia
seperti riwayat stroke, TIA, trauma kapitis, infeksi
susunan saraf pusat, riwayat epilepsi dan operasi otak
karena tumor atauhidrosefalus. Gejala penyerta demensia
seperti gangguan motorik, sensorik, gangguan berjalan,
nyeri kepala saat awitan demesia lebih mengindikasikan
kelainan struktural dari pada sebab degeneratif.
3. Riwayat neurobehavioral
Anamnesa kelainan neurobehavioral penting untuk
diagnosis demensia atau tidaknya seseorang. Ini meliputi
komponen memori. (memori jangka pendek dan memori jangka
panjang) orientasi ruang dan waktu, kesulitan bahasa,
fungsi eksekutif, kemampuan mengenal wajah orang,
bepergian, mengurus uang dan membuat keputusan.
4. Riwayat psikiatrik
Riwayat psikiatrik berguna untuk menentukan apakah
penyandang pernah mengalami gangguan psikiatrik
sebelumnya. Perlu ditekankan ada tidaknya riwayat
depresi, psikosis, perubahan kepribadian, tingkah laku
agresif, delusi, halusinasi, dan pikiran paranoid.
Gangguan depresi juga dapat menurunkan fungsi kognitif,
hal ini disebut pseudodemensia.
5. Riwayat keracunan, nutrisi dan obat-obatan
Intoksikasi aluminium telah lama dikaitkan dengan
ensefalopati toksik dan gangguan kognitif walaupun
laporan yang ada masih inkonsisten. Defisiensi nutrisi,
alkoholism kronik perlu menjadi pertimbangan walau tidak
spesifik untuk demensia Alzheimer. Perlu diketahui bahwa
anti depresan golongan trisiklik dan anti kolinergik
dapat menurunkan fungsi kognitif.
6. Riwayat keluarga
Pemeriksaan harus menggali kemungkinan insiden
demensia di keluarga, terutama hubungan keluarga
langsung, atau penyakit neurologik, psikiatrik.
7. Pemeriksaan objektif
Pemeriksaan untuk deteksi demensia harus meliputi pemeriksaan
fisik umum, pemeriksaan neurologis, pemeriksaan neuropsikologis,
pemeriksaan status fungsional dan pemeriksaan psikiatrik.
Pemeriksaan penunjang (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu
diagnosis klinis demensia ditegakkan untuk membantu
pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensiareversible, walaupun 50% penyandang demensia
adalah demensia Alzheimer dengan hasil laboratorium
normal, pemeriksaan laboratorium rutin sebaiknya
dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan
antara lain: pemeriksaan darah lengkap, urinalisis,
elektrolit serum, kalsium darah, ureum, fungsi hati,
hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) telah menjadi pemeriksaan rutin dalam
pemeriksaan demensia walaupun hasilnya masih
dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran
spesifik dan pada sebagian besar EEG adalah normal. Pada
Alzheimer stadium lanjut dapat memberi gambaran
perlambatan difus dan kompleks periodik.
4. Pemeriksaan cairan otak
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai
awitan demensia akut, penyandang dengan imunosupresan,
dijumpai rangsangan meningen dan panas, demensia
presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes
sifilis (+), penyengatan meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein
pengangkut lipid polimorfik yang memiliki 3 allel yaitu
epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel
mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi
epsilon 4 diantara penyandang demensia Alzheimer tipe
awitan lambat atau tipe sporadik menyebabkan pemakaian
genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin meningkat.
Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan
status mental, aktivitas sehari-hari / fungsional dan
aspek kognitif lainnya. .(Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003). Pemeriksaan neuropsikologis penting
untuk sebagai penambahan pemeriksaan demensia, terutama
pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang mencakup
atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial,
kalkulasi dan problem solving. Pemeriksaan neuropsikologi
sangat berguna terutama pada kasus yang sangat ringan
untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi.
Sebaiknya syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi
syarat sebagai berikut:
mampu menyaring secara cepat suatu populasi
mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah
diindentifikaskan demensia. (Sjahrir,1999)
Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental
Mini (MMSE) adalah test yang paling banyak dipakai.
(Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel
dkk,2004) tetapi sensitif untuk mendeteksi gangguan
memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test
yang paling sering dipakai saat ini, penilaian dengan
nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi gangguan
kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan
kognisi dalam kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27
dianggap abnormal dan mengindikasikan gangguan kognisi
yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai
MMSE paling rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai
yang rendah ini mengidentifikasikan resiko untuk
demensia. (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada
penelitian Crum R.M 1993 didapatkan median skor MMSE
adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25 untuk
yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama
pendidikannya >9 tahun, 26 untuk yang berpendidikan 5-8
tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4 tahun.Clinical
Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum
pada demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan
suatu metode yang dapat menilai derajat demensia ke dalam
beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi
kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain
gangguan memori, orientasi, pengambilan keputusan,
aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi,
perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini
adalah merupakan suatu derajat penilaian fungsi kognitif
yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan
kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai
1, menggambarkan derajat demensia ringan, Nilai 2,
menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3,
menggambarkan suatu derajat demensia yang berat.
(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003, Golomb,2001)
8. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah
melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat
sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat
dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat
dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan
adalah penting terutama pada demensia vaskuler.
Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet,
olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan
hipertensi. Obat-obatan yang diberikan dapat berupa
antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet.
Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan
sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada
dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya
perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler.
Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal
menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih
lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan
obat antihipertensi -2 dapat memperburukdalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor
kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting
enzyme(ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak
berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan
diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan
tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak.
Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat
mencegah kejadian vaskuler berikutnya padapasien-pasien
yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi
secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk
memberikan perawatan medis suportif, dukungan
emosionaluntuk pasien dan keluarganya, serta terapi
farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk
perilaku yang merugikan.
Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang
signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk
melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka
pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang
pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak
pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan
bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya
disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya.
Identitas pasien menjadipudar seiring perjalanan
penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin
sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional
bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasanyang berat
dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa
pemahaman akan dirinya (sense of self) menghilang.
Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari
psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat
memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang
dideritanya.Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam
kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas
serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya.
Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan
membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih
dapatdikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik
terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan
fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat
membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan
defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien
dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu
menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk
masalah-masalah daya ingat.
Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga
pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu
pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan,
kemarahan, dankeputusasaan karena ia merasa perlahan-
lahan dijauhi oleh keluarganya.
Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia
dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat
antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi
dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang
mungkin terjadi pada pasien usia lanjut
(misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan
peningkatan efek sedasi).
Secara umum, obatobatan dengan aktivitas
antikolinergik yang tinggi sebaiknya
dihindarkan.Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan
takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan
untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang
pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan
inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin
sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik
yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-
obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan
kehilangan memoriringan hingga sedang yang memiliki
neuron kolinergik basal yang masih baik melalui
penguatan neurotransmisi kolinergik.
Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan
secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial
menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang
tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang
sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan
efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada
donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat
mencegah degenerasi neuron progresif.
Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien
demensia berupa:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
Clobazam 1 x 10 mg
Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
Buspirone HCI 10 - 30 mg
Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresiva
Amitriptyline 25 - 50 mg
Tofranil 25 - 30 mg
Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -
100 mg, Citalopram 1x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x
75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
Topamate 1 x 50 mg
Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut
sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila diberikan
dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD (Behavioural and
Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika:
Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300
mg infuse
Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg.
Hepatotoxik
Donepezil (Aricept) centrally active reversible
cholinesterase inhibitor, 5 mg 1x/hari
Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
Memantine 2 x 5 - 10 mg
Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan
aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme serebral
umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu
penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat
perkembangan penyakit ini.
Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko
penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause,
walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif
menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnyabertujuan
untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi.
Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan
penyakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat
dalam pencegahan penyakit.
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD)
penting untuk diperhatikan karena merupakan satu akibat yang
merepotkan bagi pengasuh dan membuat payah bagi sang pasien karena
ulahnya yang amat mengganggu1:
9. Pencegahan dan Perawatan
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko
terjadinya demensia diantaranya adalah menjaga ketajaman
daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan fungsi otak,
seperti :
1. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel
otak seperti alkohol dan zat adiktif yang berlebihan
2. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir
hendaknya dilakukan setiap hari.
3. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat
dan aktif
Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan
teman yang memiliki persamaan minat atau hobi
4. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk
tetap relaks dalam kehidupan sehari-hari dapat membuat
otak kita tetap sehat.
A. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Riwayat
Kaji ulang riwayat klien dan pemeriksaan fisik untuk
adanya tanda dan gejala karakteristik yang berkaitan
dengan gangguan tertentu yang didiagnosis.
2) Kaji adanya demensia
Dengan alat- alat yang sudah distandarisasi, meliputi:
a. Mini Mental Status Exam (MMSE)
b. Short portable Mental Status Questionnarie
3) Singkirkan kemungkinan adanya depresi
Dengan alat skrining yang tepat, seperti Geriatric
Depression Scale ( Yesavage & brink, untuk perbandigan
gejala delirium, demensia, depresi.
4) Ajukan pertanyaan-pertanyaan pengkajian
keperawatan
5) Wawancarai klien, pemberi asuhan atau
keluarga. Lakukan observasi langsung terhadap:
a. Perilaku.
1. Bagaimana kemampuan klien mengurus diri sendiri dan
melakukan aktivitas hidup sehari-hari?
2. Apakah klien menunjukkan perilaku yang tidak dapat
diterima secara sosial?
3. Apakah klien sering meneluyur dan mondar mandir?
4. Apakah dia menunjukkan sundown syndrome atau
perseveration phenomena?
b. Afek.
1. Apakah klien menunjukkan ansietas?
2. Labilitas emosi?
3. Depresi atau apatis?
4. Iritabilitas?
5. Curiga?
6. Tidak berdaya?
7. frustasi?
c. Respon kognitif.
1. Bagaimana tingkat orientasi klien?
2. Apakah klien mengalami kehilangan ingatan tentang hal-
hal yang baru saja atau yang sudah lama terjadi?
3. Sulit mengatasi masalah, mengorganisasikan atau
mengabstrakan? Kurang mampu membuat penilaian terbukti
mengalami afasia, agnosia, atau apraksia?
6) Luangkan waktu bersama pemberi asuhan atau keluarga.
a) Identifikasi pemberian asuhan primer dan tentukan berapa
lama ia sudah menjadi pemberi asuhan di keluarga
tersebut. (demensia jenis Alzheimer tahap akhir dapat
sangat menyulitkan karena sumber daya keluarga mungkin
sudah habis.)
b) Identifikasi system pendukung yang ada pada pemberi
asuhan dan anggota keluarga yang lain.
c) Identifikasi pengetahuan dasar tentang perawaran klien
dan sumber daya komunitas ( catat hal-hal yang prertlu
diajarkan).
d) Identifikasi system pendukung spiritual bagi keluarga.
e) Identifikasi kekhawatiran tertentu tentang klien dan
kekhawatiran pemberi asuhan tentang dirinya sendiri.
Cara melakukan pengkajian
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien
lansia
Untuk melakukan pengkajian pada lansia dengan
demensia, pertama-tama saudara harus membina hubungan
saling percaya dengan pasien lansia. Untuk dapat membina
hubungan saling percaya, dapat dilakukan hal-hal sebagai
berikut:
Selalu mengucapkan salam kepada pasien seperti: selamat
pagi / siang / sore / malam atau sesuai dengan konteks
agama pasien.
Perkenalkan nama saudara (nama panggilan) saudara,
termasuk menyampaikan bahwa saudara adalah perawat yang
akan merawat pasien.
2. Tanyakan pula nama pasien dan nama panggilan
kesukaannya.
3. Jelaskan tujuan saudara merawat pasien dan
aktivitas yang akan dilakukan.
4. Jelaskan pula kapan aktivitas akan
dilaksanakan dan berapa lama aktivitas tersebut.
5. Bersikap empati dengan cara:
Duduk bersama klien, melakukan kontak mata, beri sentuhan
dan menunjukkan perhatian
Bicara lambat, sederhana dan beri waktu klien untuk
berpikir dan menjawab
Perawat mempunyai harapan bahwa klien akan lebih baik
Bersikap hangat, sederhana akan mengekspresikan
pengharapan pada klien.
Gunakan kalimat yang singkat, jelas, sederhana dan mudah
dimengerti (hindari penggunaan kata atau kalimat jargon)
Bicara lambat , ucapkan kata atau kalimat yang jelas dan
jika betranya tunggu respon pasien
Tanya satu pertanyaan setiap kali bertanya dan ulang
pertanyaan dengan kata-kata yang sama.
Volume suara ditingkatkan jika ada gangguan pendengaran,
jika volume ditingkatkan, nada harus direndahkan.
Sikap komunikasi verbal disertai dengan non verbal yang
baik
Sikap berkomunikasi harus berhadapan, pertahankan kontak
mata, relaks dan terbuka
Ciptakan lingkungan yang terapeutik pada saat
berkomunikasi dengan klien:
• Tidak berisik atau ribut
• Ruangan nyaman, cahaya dan ventilasi cukup
• Jarak disesuaikan, untuk meminalkan gangguan.
Mengkaji pasien lansia dengan demensia Untuk mengkaji
pasien lansia dengan demensia, saudara dapat menggunakan
tehnik mengobservasi prilaku pasien dan wawancara
langsung kepada pasien dan keluarganya. Observasi yang
saudara lakukan terutama untuk mengkaji data objective
demensia. Ketika mengobservasi prilaku pasien untuk
tanda-tanda seperti:
Kurang konsentrasi
Kurang kebersihan diri
Rentan terhadap kecelakaan: jatuh
Tidak mengenal waktu, tempat dan orang
Tremor
Kurang kordinasi gerak
Aktiftas terbatas
Sering mengulang kata-kata.
Berikut ini adalah aspek psikososial yang perlu
dikaji oleh perawat : apakah lansia mengalami
kebingungan, kecemasan, menunjukkan afek yang labil,
datar atau tidak sesuai. Bila data tersebut saudara
peroleh, data subjective didapatkan melalui wawancara.
2. Diagnosa keperawatan
1) Sindrom stress relokasi berhubungan dengan perubahan
dalam aktivitas kehidupan sehari-hari ditandai dengan
kebingungan, keprihatinan, gelisah, tampak cemas, mudah
tersinggung, tingkah laku defensive, kekacauan mental,
tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif.
2) Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan
fisiologis (degenerasi neuron ireversibel) ditandai
dengan hilang ingatan atau memori, hilang konsentrsi,
tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai
realitas dengan akurat.
3) Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
persepsi, transmisi atau integrasi sensori (penyakit
neurologis, tidak mampu berkomunikasi, gangguan tidur,
nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah,
halusinasi.
4) Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan
lingkungan ditandai dengan keluhan verbal tentang
kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak mampu
menentukan kebutuhan/ waktu tidur.
5) Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi
aktivitas, menurunnya daya tahan dan kekuatan ditandai
dengan penurunan kemampuan melakukan aktivitas sehari-
hari.
6) Risiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan
keseimbangan, kelemahan, otot tidak terkoordinasi,
aktivitas kejang.
7) Risiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan mudah lupa, kemunduran hobi,
perubahn sensori.
3. Intervensi
No Diagnosa
keperawatan
Tujuan dan
kriteria hasil
Intervensi Rasional
1 Sindrom stress
relokasi
berhubungan dengan
perubahan dalam
aktivitas kehidupan
sehari-hari
ditandai dengan
kebingungan,
keprihatinan,
gelisah, tampak
cemas, mudah
tersinggung,
tingkah laku
defensive,
kekacauan mental,
tingkah laku
curiga, dan tingkah
laku agresif.
Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
diharapkan klien
dapat beradaptasi
dengan perubahan
aktivitas sehari-
hari dan
lingkungan dengan
KH :
mengidentifikasi
perubahan
mampu
beradaptasi pada
perubahan
lingkungan dan
aktivitas
kehidupan sehari-
hari
cemas dan takut
berkurang
membuat
pernyataan yang
psitif tentang
lingkungan yang
baru.
a) Jalin hubungan
saling mendukung
dengan klien.
b) Orientasikan
pada lingkungan
dan rutinitas
baru.
c) Kaji tingkat
stressor
(penyesuaian
diri,
perkembangan,
peran keluarga,
akibat perubahan
status
kesehatan)
d) Tentukan jadwal
aktivitas yang
wajar dan
masukan dalam
kegiatan rutin.
e) Berikan
penjelasan dan
informasi yang
menyenangkan
mengenai
kegiatan/
peristiwa.
a) Untuk
membangan
kepercayaan
dan rasa
nyaman.
b) Menurunkan
kecemasan dan
perasaan
terganggu.
c) Untuk
menentukan
persepsi
klien tentang
kejadian dan
tingkat
serangan.
d) Konsistensi
mengurangi
kebingungan
dan
meningkatkan
rasa
kebersamaan.
e) Menurunkan
ketegangan,
mempertahanka
n rasa saling
percaya, dan
f) Pertahankan
keadaan tenang.
Tempatkan dalam
lingkungan
tenang yang
memberikan
kesempatan untuk
“beristirahat”
g) Atasi tingkah
laku agresif
dengan
pendekatan yamg
tenang.
h) Rujuk ke
sumberpendukung
perawatan diri.
orientasi.
f) Menenangkan
situasi dan
memberi klien
waktu untuk
memperoleh ke
ndali
terhadap
prilaku dan
emosinya.
g) Rasa
diterima
menurunkan
rasa takut
dan respon
agresif.
h) Meningkatkan
perasaan,
dukungan
selama
penyesuaian
2 Perubahan proses
pikir berhubungan
dengan perubahan
fisiologis
(degenerasi neuron
ireversibel)
ditandai dengan
hilang ingatan atau
memori, hilang
konsentrsi, tidak
Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
diharapkan klien
mampu mengenali
perubahan dalam
berpikir dengan
KH:
Mampu
a) Kembangkan
lingkungan yang
mendukung dan
hubungan klien-
perawat yang
terapeutik.
b) Pertahankan
lingkungan yang
menyenangkan dan
tenang.
a) Mengurangi
kecemasan dan
emosional.
b) Kebisingan
merupakan
sensori
berlebihan
yang
meningkatkan
gangguan
mampu
menginterpretasikan
stimulasi dan
menilai realitas
dengan akurat.
memperlihatkan
kemampuan
kognitif untuk
menjalani
konsekuensi
kejadian yang
menegangkan
terhadap emosi
dan pikiran
tentang diri.
Mampu
mengembangkan
strategi untuk
mengatasi
anggapan diri
yang negative.
Mampu mengenali
tingkah laku dan
faktor penyebab.
c) Tatap wajah
ketika berbicara
dengan klien.
d) Panggil klien
dengan namanya.
e) Gunakan suara
yang agak rendah
dan berbicara
dengan perlahan
pada klien.
f) Gunakan kata-
kata pendek,
kalimat, dan
instruksi
sederhana(tahap
demi tahap).
g) Ciptakan
aktivitas
sederhana,
bermanfaat, dan
tidak bersifat
kompetitif
sesuai kemampuan
klien.
h) Evaluasi pola
tidur.
Kolaborasi
i) Berikan obat
sesuai indikasi:
- Antipsikotik,
spt: haloperidol
neuron.
c) Menimbulkan
perhatian,
terutama pada
klien dengan
gangguan
perceptual.
d) Nama adalah
bentuk
identitas
diri dan
menimbulkan
pengenalan
terhadap
realita dan
klien.
e) Meningkatkan
pemahaman.
Ucapan tinggi
dan keras
menimbulkan
stress yg
mencetuskan
konfrontasi
dan respon
marah.
f) Seiring
perkembangan
penyakit,
pusat
komunikasi
- Vasodilator,
spt:
cyclospamol.
dalam otak
terganggu
sehingga
menghilangkan
kemampuan
klien dalam
respons
penerimaan
pesan dan
percakapan
secara
keseluruhan.
g) Memotivasi
klien dalam
cara yang
menguatkan
kegunaannya
dan
kesenangan
diri serta
merangsang
realita.
h) Kurang tidur
dapat
mengganggu
proses piker
dan kemampuan
koping klien.
i) -
Mengontrol
agitasi,
halusinasi.
- Meningkatkan
kesadaran
mental.
3 Perubahan persepsi
sensori berhubungan
dengan perubahan
persepsi, transmisi
atau integrasi
sensori (penyakit
neurologis, tidak
mampu
berkomunikasi,
gangguan tidur,
nyeri) ditandai
dengan cemas,
apatis, gelisah,
halusinasi.
Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
diharapkan
perubahan
persepsi sensori
klien dapat
berkurang atau
terkontrol dengan
KH:
Mengalami
penurunan
halusinasi.
Mengembangkan
strategi
psikososial untuk
mengurangi
stress.
Mendemonstrasikan
respons yang
sesuai stimulasi.
a) Kembangkan
lingkungan yang
suportif dan
hubungan
perawat-klien
yang terapeutik.
b) Bantu klien
untuk memehami
halusinasi.
c) Kaji derajat
sensori atau
gangguan
persepsi dan
bagaiman hal
tersebut
mempengaruhi
klien termasuk
penurunan
penglihatan atau
pendengaran.
d) Ajarkan
strategi untuk
mengurangi
stress.
e) Ajak piknik
sederhana,
jalan-jalan
a)Meningkatkan
kenyamanan
dan
menurunkan
kecemasan
pada klien.
b) Meningkatka
n koping dan
menurunkan
halusinasi.
c)Keterlibatan
otak
memperlihatka
n masalah
yang bersifat
asimetris
menyebabkan
klien
kehilangan
kemampuan
pada salah
astu sisi
tubuh. Klien
tidak dapat
mengenali
rasa lapar,
haus,
kelilin rumah
sakit. Pantau
aktivitas.
f) Tingkatkan
keseimbangan
fisiologis
dengan
menggunakan bola
lantai, tangan
menari dengan
disertai music.
g) Libatkan dalam
aktivitas sesuai
indikasi dengan
keadaan
tertentu,
spt:terapi
okupasi.
Penerima
nyeri
eksternal.
d) Untuk
menurunkan
kebutuhan
akan
halusinasi.
e)piknik
menunjukkan
realitadan
memberikan
stimulasi
sensori yang
menurunkan
perasaan
curiga dan
halusinasi yg
disebabkan
perasaan
terkekang.
f) Menjaga
mobilitas
yang dapat
menurunkan
risiko
terjadinya
atrofi otot/
osteoporosis
pada tulang.
g) Memberikan
kesempatan
terhadap
stimulasi
partisipasi
dengan orang
lain dan
dapat
mempertahanka
n beberapa
tingkat dari
interaksi
sosial.
4 Perubahan pola
tidur berhubungan
dengan perubahan
lingkungan ditandai
dengan keluhan
verbal tentang
kesulitan tidur,
terus-menerus
terjaga, tidak
mampu menentukan
kebutuhan/ waktu
tidur.
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
diharapkan tidak
terjadi gangguan
pola tidur pada
klien dengan KH :
Memahami faktor
penyebab gangguan
pola tidur.
mampu menentukan
penyebab tidur
inadekuat.
Melaporkan dapat
beristirahat yang
cukup.
Mampu
menciptakan pola
tidur yang
a)Jangan
menganjurkan
klien tidur
siang apabila
berakibat efek
negative
terhadap tidur
pada malam hari.
b) Evaluasi efek
obat klien
(steroid,
diuretik) yang
mengganggu
tidur.
c)Tentukan
kebiasaan dan
rutinitas waktu
tidur malam
dengan kebiasaan
a)Irama
sirkadian
(irama tidur-
bangun) yang
tersinkronisa
si disebabkan
oleh tidur
siang yang
singkat.
b) Deragement
psikis
terjadi bila
terdapat
pangguanaan
kortikosteroi
d, termasuk
perubahan
mood,
insomnia.
adekuat. klien(memberi
susu hangat).
d) Memberikan
lingkungan yang
nyaman untuk
meningkatkan
tidur(mematikan
lampu, ventilasi
ruang adekuat,
suhu yang
sesuai,
menghindari
kebisingan).
e)Buat jadwal
tidur secara
teratur. Katakan
pada klien bahwa
saat ini adalah
waktu untuk
tidur.
f) Berikan makanan
kecil pada sore
hari, susu
hangat, mandi
dan masase
punggung.
g) Turunkan
jumlah minuman
sore hari.
lakukan berkemih
sebelum tidur.
c)Mengubah
pola yang
sudah
terbiasa dari
asupan makan
klien pada
malam hari
terbukti
mengganggu
tidur.
d) Hambatan
kortikal pada
formasi
reticular
akan
berkurang
selama tidur,
meningkatkan
respon
otomatik,
karenanya
respon
kardiovakular
terhadap
suara
meningkat
selama tidur.
e)Penguatan
bahwa saatnya
tidur dan
mempertahanka
h) Putarkan musik
yang lembut.
Kolaborasi
i) Berikan obat
sesuai
indikasi :
- Antidepresi
- Oksazepam,
triazolam.
j) Hindari
penggunaan
Difenhidramin.
n kesetabilan
lingkungan.
f) Meninkatkan
relaksasi
dengan
perasaan
mengantuk.
g) Menurunkan
kebutuhan
akan bangun
untuk
berkemih
selama malam
hari.
h) Menurunkan
stimulasi
sensori
dengan
menghambat
suara lain
dari
lingkungan
sekitar yang
akan
menghambat
tidur.
i) - Efektif
menangani
pseudodemensi
a atau
demensia,
meningkatkan
kemampuan
untuk tidur,
tetapi
antikolinergi
k
dapat mencetu
skan bingung,
memperburuk
kognitif dan
efek samping
hipotensi
ortostatik.
- Efektif
mengatasi
insomnia.
j) Kontraindi
kasi karena
mempengaruhi
produksi
asetilkolin
yang sudah
dihambat
dalam otak.
5 Kurang perawatan
diri berhubungan
dengan intoleransi
aktivitas,
menurunnya daya
tahan dan kekuatan
ditandai dengan
Setelah diberikan
tindakan
keperawatan
diharapkan klien
dapat merawat
dirinya sesuai
dengan
a) Identifikasi
kesulitan dalam
berpakaian/
perawatan diri,
seperti:
keterbatasan
gerak fisik,
a)Memahami
penyebab yang
mempengaruhi
intervensi.
Masalah dapat
diminimalkan
dengan
penurunan kemampuan
melakukan aktivitas
sehari-hari.
kemampuannya
dengan KH :
Mampu melakukan
aktivitas
perawatan diri
sesuai dengan
tingkat
kemampuan.
Mampu
mengidentifikasi
dan menggunakan
sumber pribadi/
komunitas yang
dapat memberikan
bantuan.
apatis/ depresi,
penurunan
kognitif seperti
apraksia.
b) Identifikasi
kebutuhan
kebersihan diri
dan berikan
bantuan sesuai
kebutuhan dengan
perawatan
rambut/kuku/
kulit, bersihkan
kaca mata, dan
gosok gigi.
c) Perhatikan
adanya tanda-
tanda nonverbal
yang fisiologis.
d) Beri banyak
waktu untuk
melakukan tugas.
e) Bantu
mengenakan
pakaian yang
rapi dan indah.
menyesuaikan
atau
memerlukan
konsultasi
dari ahli
lain.
b) Seiring
perkembangan
penyakit,
kebutuhan
kebersihan
dasar mungkin
dilupakan.
c)Kehilangan
sensori dan
penurunan
fungsi bahasa
menyebabkan
klien
mengungkapkan
kebutuhan
perawatan
diri dengan
cara
nonverbal,
seperti
terengah-
engah, ingin
berkemih
dengan
memegang
dirinya.
d) Pekerjaan
yang tadinya
mudah
sekarang
menjadi
terhambat
karena
penurunan
motorik dan
perubahan
kognitif.
e)Meningkatkan
kepercayaan
untuk hidup.
6 Risiko terhadap
cedera berhubungan
dengan kesulitan
keseimbangan,
kelemahan, otot
tidak
terkoordinasi,
aktivitas kejang.
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
diharapkan Risiko
cedera tidak
terjadi dengan KH
:
Meningkatkan
tingkat
aktivitas.
Dapat
beradaptasi
dengan lingkungan
untuk mengurangi
risiko trauma/
cedera.
a) Kaji derajat
gangguan
kemampuan,
tingkah laku
impulsive dan
penurunan
persepsi visual.
Bantu keluarga
mengidentifikasi
risiko
terjadinya
bahaya yang
mungkin timbul.
b) Hilangkan
sumber bahaya
lingkungan.
a) Mengidentifi
kasi risiko
di lingkungan
dan
mempertinggi
kesadaran
perawat akan
bahaya. Klien
dengan
tingkah laku
impulsi
berisiko
trauma karena
kurang mampu
mengendalikan
perilaku.
Tidak mengalami
cedera.
c) Alihkan
perhatian saat
perilaku
teragitasi/
berbahaya,
memenjat pagar
tempat tidur.
d) Kaji efek
samping obat,
tanda keracunan
(tanda
ekstrapiramidal,
hipotensi
ortostatik,
gangguan
penglihatan,
gangguan
gastrointestinal
).
e) Hindari
penggunaan
restrain terus-
menerus. Berikan
kesempatan
keluarga tinggal
bersama klien
selama periode
agitasi akut.
Penurunan
persepsi
visual
berisiko
terjatuh.
b) Klien dengan
gangguan
kognitif,
gangguan
persepsi
adalah awal
terjadi
trauma akibat
tidak
bertanggung
jawab
terhadap
kebutuhan
keamanan
dasar.
c) Mempertahank
an keamanan
dengan
menghindari
konfrontasi
yang
meningkatkan
risiko
terjadinya
trauma.
d) Klien yang
tidak dapat
melaporkan
tanda/gejala
obat dapat
menimbulkan
kadar
toksisitas
pada lansia.
Ukuran dosis/
penggantian
obat
diperlukan
untuk
mengurangi
gangguan.
e) Membahayakan
klien,
meningkatkan
agitasi dan
timbul risiko
fraktur pada
klien lansia
(berhubungan
dengan
penurunan
kalsium
tulang).
7 Risiko terhadap
perubahan nutrisi
lebih dari
kebutuhan tubuh
Setelah dilakukan
tindakan
keperawatan
diharapkan klien
a) Beri dukungan
untuk penurunan
berat badan.
b) Awasi berat
a) Motivasi
terjadi saat
klien
mengidentifik
berhubungan dengan
mudah lupa,
kemunduran hobi,
perubahn sensori.
mendapat nutrisi
yang seimbang
dengan KH:
Mengubah pola
asuhan yang benar
Mendapat diet
nutrisi yang
seimbang.
Mendapat kembali
berat badan yang
sesuai.
badan setiap
minggu.
c) Kaji
pengetahuan
keluarga/ klien
mengenai
kebutuhan
makanan.
d) Usahakan/ beri
bantuan dalam
memilih menu.
e) Beri Privasi
saat kebiasaan
makan menjadi
masalah.
f) Beri makanan
kecil setiap jam
sesuai
kebutuhan.
g) Hindari makanan
yang terlalu
panas.
Kolaborasi
h) konsultasikan
dengan ahli
gizi.
asi kebutuhan
berarti.
b) memberikan
umpan balik/
penghargaan.
c) Identifikasi
kebutuhan
membantu pere
ncanaan
pendidikan.
d) Klien tidak
mampu
menentukan
pilihan
kebutuhan
nutrisi.
e) Ketidakmampu
an menerima
dan hambatan
sosial dari
kebiasaan
makan
berkembang
seiring
berkembangnya
penyakit.
f) Makan
makanan kecil
meningkatkan
masukan yang
sesuai.
g) makanan yang
panas
mengakibatkan
mulut
terbakar atau
menolak untuk
makan.
h) Bantuan
diperlukan
untukmengemba
ngkan
keseimbangan
diit dan
menemukan
kebutuhan/
makanan yang
disukai.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan dilakukan sesuai dengan
intervensi.
5. Evaluasi
1) Mampu beradaptasi pada perubahan lingkungan dan
aktivitas.
2) Mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk menjalani
konsekuensi.
3) Perubahan persepsi sensori tidak terjadi atau
terkontrol.
4) Perubahan pola tidur tidak terjadi atau terkontrol.
5) Perawatan diri dapat terpenuhi.
6) Nutrisi klien seimbang
7) Risiko cedera tidak terjadi
Daftar Pustaka
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatanedisi 6
alih bahasa YasminAsih, Jakarta : EGC, 1997.
Doenges, Marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3
alih bahasa I Made Kariasa, Ni Made Sumarwati, Jakarta :
EGC, 1999.
Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut
Usia. Salemba medika; Jakarta
Luecknote, Annette Geisler, Pengkajian Gerontologi alih bahasa
Aniek Maryunani, Jakarta:EGC, 1997.
Nugroho,Wahjudi.1999. Keperawatan Gerontik.Edisi2.Buku
Kedokteran. EGC; Jakarta
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik.Edisi2. EGC; Jakarta