131
Kependidikan PENELITIAN DISERTASI DOKTOR PENGEMBANGAN MODEL INSTRUMEN PENDETEKSI MISKONSEPSI KIMIA PADA PESERTA DIDIK SMA DAS SALIRAWATI

Artikel lilim

Embed Size (px)

DESCRIPTION

dokumen

Citation preview

Page 1: Artikel lilim

Kependidikan

PENELITIAN DISERTASI DOKTOR

PENGEMBANGAN MODEL INSTRUMEN PENDETEKSI

MISKONSEPSI KIMIA PADA PESERTA DIDIK SMA

DAS SALIRAWATI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

Page 2: Artikel lilim

2010

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada saat ini Indonesia telah berbenah diri untuk melakukan pembaharuan

pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan, sejak diundangkannya

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Depdiknas,

2003). Arah pembaharuan pendidikan di Indonesia menjadi lebih terarah setelah

dikeluarkannya PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (2005),

yang berisi 8 (delapan) standar nasional pendidikan, yaitu standar isi, standar proses,

standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana

dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian

pendidikan. Salah satu standar nasional pendidikan yang sangat penting dalam

pembaharuan pendidikan adalah standar isi yang merupakan pegangan bagi guru

dalam mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran.

Pembaharuan pendidikan dilakukan berlandaskan delapan standar nasional

pendidikan. Standar nasional pendidikan merupakan ukuran minimal tujuan

pendidikan yang harus dapat dicapai dalam waktu yang akan datang, baik untuk

pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Standar nasional pendidikan

lebih banyak mengatur pendidikan dasar dan menengah, sedangkan pengaturan

pendidikan tinggi lebih banyak diserahkan kepada perguruan tinggi yang

bersangkutan.

Mata pelajaran kimia SMA/MA merupakan salah satu mata pelajaran

kelompok Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dalam standar isi. Pembaharuan

pembelajaran kimia di SMA/MA lebih ditujukan pada pembelajaran kimia yang

efektif dan efisien. Dalam rangka melaksanakan hal ini, telah dilakukan berbagai

inovasi pendidikan, seperti pembelajaran siswa aktif, pembelajaran-aktif-kreatif-

efektif-menyenangkan (PAKEM).

1

Page 3: Artikel lilim

Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA (Permekdiknas RI

Nomor 22, 2006), disebutkan bahwa mata pelajaran kimia di SMA/MA bertujuan

agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Membentuk sikap positif terhadap kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan Yang Maha Esa

2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis, dan dapat bekerjasama dengan orang lain

3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengolahan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis

4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat, dan lingkungan serta menya-dari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejah-teraan masyarakat

5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterka-itannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi.

Tujuan nomor (5) adalah tujuan pembelajaran kimia dalam aspek kognitif. Hal

ini berarti bahwa memahami konsep kimia dalam pembelajaran kimia merupakan hal

sangat penting. Pada kenyataannya, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam

memahami berbagai konsep kimia. Pemahaman konsep kimia oleh peserta didik yang

tidak sesuai dengan konsep kimia yang benar menurut para ahli kimia, disebut

sebagai miskonsepsi kimia atau konsep alternatif kimia. Akibat lebih jauh terjadinya

miskonsepsi kimia pada peserta didik, menyebabkan terjadinya hasil belajar kimia

yang rendah.

Hasil belajar kimia SMA DIY dan lima Kabupaten yang terdapat di DIY

ditunjukkan oleh hasil Ujian Akhir Nasional (UAN) tahun pelajaran 2007/2008 dan

2008/2009 (Depdiknas, 2008, 2009) terdapat pada Tabel 1.

2

Page 4: Artikel lilim

Tabel 1. Hasil UAN Kimia SMA DIY

Wilayah Nilai Rata-rata UAN

2007/2008 2008/2009

DIY 7,08 8,50Kota Yogyakarta 7,12 8,50Sleman 7,13 8,47Bantul 7,27 8,87Kulon Progo 6,94 8,00Gunung Kidul 6,54 8,22

Menurut BSNP (2006 : 12), ketuntasan belajar setiap indikator yang telah

ditetapkan dalam suatu Kompetensi Dasar setiap mata pelajaran berkisar antara 0-

100%. Kriteria ideal ketuntasan untuk masing-masing indikator 75%. Hal ini berarti

secara ideal diharapkan setiap mata pelajaran (termasuk kimia) memiliki nilai ideal

sebesar 7,5 pada skala 10. Meskipun setiap sekolah diperbolehkan menetapkan

Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) dengan mempertimbangkan tingkat kemampuan

rata-rata peserta didik serta kemampuan sumber daya pendukung dalam penyeleng-

garaan pembelajaran, namun sekolah diharapkan dapat terus menerus meningkatkan

kriteria ketuntasan belajar untuk mencapai kriteria ketuntasan ideal.

Melihat nilai rata-rata UAN Kimia DIY tahun pelajaran 2007/2008 sebesar

7.08, berarti DIY belum mampu mencapai ketuntasan ideal untuk mata pelajaran

kimia. Namun demikian nilai rata-rata UAN Kimia DIY tahun pelajaran 2008/2009

mengalami kenaikan yang relatif tinggi, yaitu menjadi 8,50. Meskipun mengalami

kenaikan, tetapi jika ditinjau dari nilai rata-rata UAN Kimia untuk tiap-tiap sekolah

ada 31 SMA dari 141 SMA (21,98%) yang ada di DIY yang masih memiliki nilai

UAN Kimia di bawah kriteria ketuntasan ideal, bahkan ada yang memiliki nilai rata-

rata UAN Kimia 3,21, yaitu SMA PGRI Pengasih (lihat Lampiran 1).. Hal ini

menunjukkan bahwa masih ada peserta didik di DIY yang mengalami kesulitan dalam

menguasai materi kimia dengan baik. Salah satu diantaranya kemungkinan adanya

miskonsepsi yang dialami peserta didik. UAN adalah penilaian terhadap produk

3

Page 5: Artikel lilim

belajar yang tidak bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi, sedangkan

dalam suatu pembelajaran sangat penting untuk mengetahui bagaimana proses

perolehan konsep kimia peserta didik tersebut hingga mereka dapat menguasai materi

kimia dengan benar. Oleh karena itu pengembangan instrumen yang mampu

mendeteksi miskonsepsi sangat penting dilakukan.

Studi pendahuluan tentang materi apa saja yang sering menyebabkan

terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik dilakukan peneliti terhadap 125 guru

kimia SMA di DIY dan Jawa Tengah (Lampiran 1). Studi pendahuluan ini dilakukan

terhadap guru-guru kimia, karena guru merupakan sosok yang paling mengetahui

tentang kesulitan belajar yang dialami peserta didik, dan guru pula yang mengetahui

konsep-konsep kimia mana saja yang seringkali menyebabkan miskonsepsi pada

peserta didiknya. Berdasarkan studi pendahuluan ini menunjukkan enam urutan

Materi Pokok yang sering menyebabkan peserta didik mengalami miskonsepsi yang

dapat disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Studi Pendahuluan Miskonsepsi Materi Kimia SMA/MA

No. Kelas / Semester

Materi Pokok Terjadinya Miskonsepsi Sering Kadang

-kadangJarang

1. X / 1 Tatanama Senyawa Anorganik dan Organik Sederhana serta Persamaan Reaksinya

38 59 28

2. XI / 1 Kesetimbangan Kimia 34 57 343. X / 1 dan

XI / 1Ikatan Kimia 32 45 48

4. X / 1 dan XI / 1

Struktur Atom 29 54 42

5. X / 1 Hukum-hukum Dasar Kimia 26 44 556. XI / 2 Hidrolisis Garam 23 51 51

Pada penelitian ini akan dikembangkan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi

Kimia (IPMK) dengan pilihan pada materi pokok kesetimbangan kimia, karena

berbagai alasan, yaitu :

4

Page 6: Artikel lilim

1. Materi pokok dengan tingkat miskonsepsi urutan pertama, yaitu

tatanama senyawa anorganik dan organik sederhana dan persamaan reaksinya dan

urutan ke-5 sudah pernah digunakan sebagai materi dalam penelitian yang

dilakukan Sidauruk (2005), yaitu mengenai miskonsepsi Stoikiometri pada siswa

SMA.

2. Materi pokok struktur atom materinya terpisah pada kelas dan

semester yang berjauhan, yaitu kelas X semester 1 dan kelas XI semester 1,

sehingga jika materi pokok ini dipilih kesulitan dalam melakukan ujicoba.

Demikian juga untuk materi pokok ikatan kimia.

3. Materi pokok hidrolisis garam ruang lingkup materinya terlalu sempit,

sehingga sulit untuk dibuat instrumen soal dalam jumlah yang relatif banyak.

Selain ketiga alasan tersebut, pemilihan materi pokok kesetimbangan kimia

juga didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sutiman, Das Salirawati, & Lis

Permanasari (2003) terhadap 236 peserta didik di Kabupaten Sleman yang menun-

jukkan 63,42% dari jumlah sampel mengalami miskonsepsi pada materi pokok

kesetimbangan kimia dan menempati urutan pertama dari seluruh materi pokok kimia

yang ada di SMA. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan instrumen tes

pilihan ganda 5 alternatif jawaban dengan alasan tertutup seperti yang dikembangkan

oleh Treagust (1987).

Menurut Middlecamp & Kean (1985: 5), belajar kimia adalah belajar konsep

kimia yang selalu bersifat abstrak. Hal inilah yang seringkali menyebabkan peserta

didik sulit untuk memahami konsep-konsep kimia. Sejalan dengan hal tersebut,

Johnstone & MacGuire (1987) menyatakan bahwa konsep-konsep sains yang

sifatnya abstrak telah terbukti sulit dipahami oleh sebagian besar peserta didik. Lebih

lanjut Mulyati Arifin (1995: 223) mengemukakan sumber kesalahan yang dilakukan

peserta didik ketika mempelajari kimia antara lain membaca kalimat dan istilah,

memahami konsep, dan operasi matematika.

5

Page 7: Artikel lilim

Kesetimbangan kimia adalah salah satu materi pokok kimia yang dipelajari di

SMA di kelas XI semester 1. Materi ini berisi tentang (1) kesetimbangan dinamis, (2)

kesetimbangan homogen, dan heterogen, (3) tetapan kesetimbangan, (4) pergeseran

kesetimbangan, (5) hubungan kuantitatif antar komponen dalam reaksi kesetim-

bangan, dan (6) kesetimbangan kimia dalam proses industri. Selain memerlukan

pemahaman konsep yang mendalam, untuk menguasai materi ini peserta didik

diharapkan mampu menerapkan konsep tersebut dalam memecahkan soal-soal

perhitungan.

Penelitian yang dilakukan oleh Bergquist & Heikkinen (1990) menunjukkan

terjadinya berbagai miskonsepsi pada materi kesetimbangan kimia, terutama ketika

pertanyaan menuntut peserta didik melakukan sintesis dan menerapkan konsep dalam

permasalahan kesetimbangan kimia. Miskonsepsi tersebut diantaranya dalam hal

menghitung konsentrasi ketika molaritas telah diketahui, kesalahan pemahaman

reaksi reversibel dianggap reaksi berkesudahan, penambahan zat reaktan dianggap

hanya akan mengubah konsentrasi zat produk dan kesulitan menentukan perubahan

tersebut, nilai Kc berubah meskipun harga T tetap.

Penelitian yang dilakukan Huddle & Pillay (1996) menunjukkan sebagian

besar mahasiswa di Perguruan Tinggi di Afrika Selatan belum memahami secara utuh

konsep stoikiometri dan kesetimbangan kimia, yaitu dua konsep yang sangat

berkaitan erat. Kesulitan utama dalam memahami kedua konsep ini terletak pada

keabstrakannya dan karena diajarkan sebelum peserta didik mencapai tahap berpikir

operasi formal. Seperti diketahui, untuk menghitung mol, volum, massa, jumlah

partikel dari suatu unsur atau senyawa yang terlibat dalam suatu reaksi kepada peserta

didik hanya disajikan angka-angka yang mewakili kuantitas zat yang diketahui dalam

soal, sehingga diperlukan kemampuan abstraksi mereka dalam mengaitkan angka-

angka dengan sesuatu yang ditanyakan dalam soal. Hal ini hanya dapat dilakukan

oleh peserta didik yang memahami konsep kimia secara komprehensif, utuh, dan

benar. Adanya miskonsepsi kimia dari salah satu konsep, maka akan didapatkan

penyelesaian soal kimia yang salah.

6

Page 8: Artikel lilim

Penguasaan materi kesetimbangan kimia memerlukan kemampuan peserta

didik dalam menuliskan persamaan reaksi kimia dengan benar, memahami arti

bilangan indeks dan koefisien, pemahaman konsep massa molar dan massa reaksi.

Penelitian yang dilakukan Friedel & Maloney (1992) menunjukkan adanya kesalahan

dalam penyelesaian soal yang berkaitan dengan pemahaman dan penguasaan

kemampuan tersebut. Bahkan kesalahan penerapannya dilakukan secara konsisten

untuk soal yang berbeda dengan substansi pertanyaan sama.

Menis & Frase (1992) menunjukkan hasil uji prestasi kimia dari 1.177 siswa

Australia dan 537 siswa Amerika yang tergabung dalam second international science

study relatif rendah. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rendahnya skor yang diperoleh

disebabkan adanya beberapa miskonsepsi, diantaranya siswa kesulitan dengan konsep

mol dan menghitung perbandingan stoikiometris, siswa kurang memahami sifat-sifat

kimia dan fisika materi, dan siswa tidak mampu menerapkan hubungan yang bersifat

matematis pada konsep kimia.

Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa hasil belajar kimia yang rendah

antara lain disebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada diri peserta didik.

Miskonsepsi kimia saat ini menjadi kajian penting dalam pembelajaran kimia. Kajian

miskonsepsi kimia sebagian besar bertujuan (a) menentukan terjadi tidaknya

miskonsepsi kimia pada berbagai materi pokok kimia, (b) menentukan sebab-sebab

terjadinya miskonsepsi kimia, dan (c) usaha mencegah terjadinya miskonsepsi kimia.

Menurut Paul Suparno (2005: 8), miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak

sesuai dengan konsep yang diakui oleh para ahli. Beberapa peneliti cenderung

menggunakan istilah konsep alternatif, karena dengan istilah itu menunjukkan adanya

keaktifan peserta didik mengontruksi pengetahuan mereka. Berdasarkan pengalaman,

miskonsepsi sulit dibenahi atau dibetulkan, padahal miskonsepsi dapat terjadi pada

semua level, mulai dari peserta didik SD sampai Perguruan Tinggi (Gil-Perez &

Carrascosa, 1990).

Menurut Beek & Louters (1991), sebagian besar maha(siswa) kesulitan dalam

memahami bahasa kimia dan hal ini berpengaruh pada kemampuannya menyelesai-

7

Page 9: Artikel lilim

kan masalah kimia. Penelitian senada dilakukan Lynch (1989) tentang bagaimana

peranan bahasa komunikasi di kelas dalam mengatasi terjadinya miskonsepsi kimia

alam diri peserta didik Menurutnya apa yang diucapkan guru di kelas belum tentu

semuanya dapat dipahami dengan baik dan benar oleh peserta didik. Beberapa

dimensi komunikasi yang dapat menyebabkan miskonsepsi kimia diantaranya

banyaknya kata-kata dalam ilmu kimia yang bersifat teknis dan hubungan logis,

frekuensi peserta didik mengungkapkan pendapatnya relatif masih kurang, perbedaan

bahasa yang digunakan guru dan peserta didik, dan ragam bahasa yang digunakan

peserta didik (tidak ada keseragaman bahasa terhadap konsep kimia yang sedang

dipelajari).

Penelitian miskonsepsi kimia selama ini masih jarang dilakukan, baru terlihat

dominasi penelitian pendidikan kimia, khususnya miskonsepsi kimia sejak 15 tahun

terakhir yang dipicu oleh kenyataan bahwa kimia berisi banyak konsep kimia yang

cenderung bersifat abstrak (Gabel, 1999). Berbeda dengan bidang fisika dan biologi

yang telah banyak melakukan penelitian miskonsepsi sejak tahun 1980-an (Nakhleh,

1992).

Beberapa peneliti mencoba mengembangkan instrumen pendeteksi miskon-

sepsi kimia berbentuk soal pilihan ganda, seperti Bergquist & Heikkinen (1990) pada

materi kesetimbangan kimia, Beek & Louters (1991) pada masalah keterampilan

matematika dan bahasa kimia, Menis & Frase (1992) pada materi teori dasar kimia,

energi kimia, larutan, asam dan basa, reaksi kimia, redoks, kimia organik, dan kimia

nuklir, Kim Chwee Daniel Tan, Ngoh Khang Goh, Lian Sai Chia & Treagust (2002)

pada materi analisis kualitatif kimia anorganik.

Beberapa peneliti lainnya mencoba mengembangkan teknik tertentu untuk

mendeteksi miskonsepsi kimia, diantaranya Garnett & Treagust (1992) pada materi

elektrokimia dan sel elektrolisis melalui wawancara, Nakhleh (1992, 1994) pada

semua materi kimia di tingkat elementary dan middle school melalui wawancara

semi-terstruktur, Odom & Barrow (1995) pada materi difusi dan osmosis melalui

wawancara dan uji tertulis. Huddle & Pillay (1996) pada materi stoikiometri dan

8

Page 10: Artikel lilim

kesetimbangan kimia dengan bentuk instrumen Chemistry Examination (lembar ujian

kimia). Krishnan & Howe (1994) pada materi konsep mol dengan bentuk instrumen 4

tipe, yaitu simple multiple-choice questions, two-tier true-false questions with

reasons, two-tier multiple-choice items, dan problems. Staver & Lumpe (1995) pada

materi konsep mol melalui tes tertulis, kumpulan masalah, dan laporan hasil

percobaan. Sidauruk (1999, 2005) pada perubahan materi, hukum kekekalan massa,

sistem periodik, stoikiometri dengan bentuk instrumen soal isian dan pilihan ganda.

Instrumen untuk mendeteksi adanya miskonsepsi kimia, khususnya tentang

materi pokok kesetimbangan kimia belum banyak dijumpai dan dikembangkan.

Kalaupun ada, sebagian besar berbentuk soal pilihan ganda biasa, soal uraian, atau

wawancara. Selain sulit diperoleh dari pengembang instrumen tersebut, kurikulum,

kedalaman dan keluasan materi kesetimbangan kimia di negara lain berbeda,

sehingga relatif tidak sesuai jika diterapkan di Indonesia. Oleh karena itu, sangat

penting dilakukan pengembangan model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia,

khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang sesuai dengan kurikulum,

kedalaman dan keluasannya, sehingga dapat digunakan secara mudah oleh guru

dalam mendeteksi adanya miskonsepsi pada peserta didik SMA di Indonesia.

Meskipun miskonsepsi kimia sulit untuk dibetulkan, tetapi bukan berarti kita

membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut. Secara dini harus diketahui terjadinya

miskonsepsi kimia, sehingga dapat dilakukan pencegahan sesegera mungkin.

B. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah menghasilkan produk berupa Instrumen

Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada

peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui

langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan validasi

empirik) dan uji coba di lapangan sebagai uji visibilitas.

C. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam:

9

Page 11: Artikel lilim

1. Memberikan sumbangan ilmiah pada ilmu pendidikan kimia.

2. Memberikan kemudahan pada guru kimia SMA tentang cara mendeteksi terjadi-

nya miskonsepsi kimia pada peserta didik, setelah mempelajari materi pokok

kesetimbangan kimia kelas XI semester 1.

3. Memberikan informasi bagi guru-guru kimia tentang sebab-sebab terjadinya

miskonsepsi kimia ditinjau dari substansi materinya pada materi pokok kesetim-

bangan kimia kelas XI semester 1.

4. Mengembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada materi pokok

yang lain.

5. Mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada materi pokok kesetimbangan kimia.

D. Urgensi (Keutamaan Penelitian)

Berdasarkan Standar Isi Mata Pelajaran Kimia SMA/MA disebutkan bahwa

salah satu tujuan pembelajaran kimia adalah agar peserta didik memiliki kemampuan

memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan

penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan

teknologi. Hal ini berarti memahami konsep kimia dalam pembelajaran kimia sangat

penting. Pada kenyataannya, peserta didik sering mengalami kesulitan dalam

memahami berbagai konsep kimia. Bahkan sebagian peserta didik mengalami

miskonsepsi karena pemahamannya terhadap konsep kimia tidak sesuai dengan

konsep kimia yang benar menurut para ahli kimia. Mengingat konsep-konsep kimia

saling berkaitan satu dengan yang lain, maka miskonsepsi pada suatu konsep dapat

menyebabkan miskonsepsi pada konsep lainnya. Akibatnya jika miskonsepsi ini

terjadi berlarut-larut prestasi belajar kimia menjadi rendah.

Miskonsepsi dapat terjadi pada diri peserta didik oleh berbagai sebab, seperti

masih variatifnya teori-teori belajar yang digunakan guru, masih kurangnya kompe-

tensi yang dimiliki guru, beragamnya cara dan gaya belajar peserta didik. Selain itu

belum seragamnya cara pemaparan dan kualitas buku teks pelajaran kimia, perbedaan

lingkungan belajar peserta didik, beragamnya metode mengajar yang digunakan guru

dalam penyampaian materi, bervariasinya media pembelajaran kimia yang digunakan

10

Page 12: Artikel lilim

sebagai alat bantu dalam pembelajaran, dan masih sangat terbatasnya peralatan dan

bahan laboratorium kimia untuk melakukan eksperimen kimia, semuanya itu dapat

menyebabkan terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik.

Penelitian miskonsepsi kimia selama ini masih jarang dilakukan, baru terlihat

dominasi penelitian pendidikan kimia, khususnya miskonsepsi kimia sejak 15 tahun

terakhir yang dipicu oleh kenyataan bahwa kimia berisi banyak konsep kimia yang

selalu bersifat abstrak (Gabel, 1999). Berbeda dengan bidang fisika dan biologi yang

telah banyak melakukan penelitian miskonsepsi sejak 1980-an (Nakhleh, 1992).

Berdasarkan hal tersebut, maka adanya pengembangan instrumen pendeteksi

miskonsepsi kimia sangat penting untuk dilakukan. Urgensi atau keutamaan

penelitian pengembangan ini adalah diperolehnya sebuah model instrumen pendeteksi

miskonsepsi kimia, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia yang benar-

benar dapat mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi pada peserta didik kelas XI SMA.

Model instrumen ini dikembangkan dengan melalui langkah-langkah yang sistematis

agar benar-benar diperoleh instrumen yang valid, baik secara teoretis maupun

empirik. Selain itu melalui uji coba skala besar diharapkan akan diketahui visibilitas

dari model instrumen yang dikembangkan di lapangan, baik mengenai mudah

sukarnya diterapkan oleh guru kimia SMA, mudah sukarnya dianalisis, mudah

tidaknya dalam mendeteksi dan mengidentifi-kasi penyebab terjadinya miskonsepsi,

sehingga guru dapat menentukan langkah-langkah tepat untuk mengatasinya.

Urgensi penelitian ini secara teoretis adalah dengan dihasilkannya sebuah

model instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia, memiliki arti penting bagi pengem-

bangan sistem evaluasi pembelajaran kimia di sekolah, sehingga mampu memberikan

inspi-rasi bagi peneliti lain dan guru-guru kimia SMA dalam mengembangkan

instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada materi pokok lainnya. Di samping itu,

instrumen yang telah dikembangkan dapat dijadikan landasan teoretis bagi pengem-

bangan penelitian berikutnya dan dijadikan sebagai penelitian yang relevan. Dengan

demikian, hasil penelitian pengembangan ini dapat dijadikan referensi bagi pengka-

11

Page 13: Artikel lilim

jian model instrumen evaluasi pembelajaran bidang studi lain di berbagai jenjang dan

jenis pendidikan.

BAB II

STUDI PUSTAKA

A. Belajar Kimia

Ilmu kimia memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya sebagian besar berisi konsep

kimia yang selalu bersifat abstrak, konsep-konsep kimia sifatnya berurutan dan

berkembang dengan cepat, tidak sekedar berisi pemecahan tes-tes, konsep-konsep

kimia jumlahnya sangat banyak dengan karakteristik setiap topik berbeda-beda

(Middlecamp & Kean, 1985: 5-9). Dengan ciri-ciri yang demikian menyebabkan

sebagian besar peserta didik mengalami kesulitan dalam belajar kimia.

Salah satu faktor yang sangat besar andilnya dalam menghambat pencapaian

prestasi belajar yang memuaskan, yaitu adanya miskonsepsi kimia dalam diri peserta

didik, baik disebabkan prakonsepsi yang dibawa peserta didik ketika mereka menco-

ba mengonstruksi sendiri konsep tersebut di pikirannya maupun miskonsepsi buatan

sekolah (school made misconception) (Barke, 2009). Miskonsepsi kimia yang

berlarut-larut akan merusak sistem pemahaman peserta didik terhadap ilmu kimia

secara keseluruhan, mengingat konsep-konsep kimia sebagian besar saling berkaitan

satu sama lain.

B. Miskonsepsi Kimia

1. Pengertian Miskonsepsi Kimia

Konsep pada dasarnya dibangun dari persamaan-persamaan objek, peristiwa,

atau fenomena alam (Liliasari, et al., 1998: 1.26). Pendapat serupa dikemukakan De

Cecco & Crawford. (1993: 288) yang mengartikan konsep sebagai suatu kelompok

stimulus yang memiliki karakteristik tertentu yang sama, dimana stimulus ini dapat

berupa objek, peristiwa, atau orang. Konsep kimia adalah abstraksi fakta-fakta kimia

12

Page 14: Artikel lilim

sejenis yang saling berhubungan, yang berarti konsep kimia dibangun oleh sejumlah

fakta kimia. Oleh karenanya konsep kimia selalu bersifat abstrak.

Seseorang yang ingin mempelajari konsep dituntut adanya kemampuan untuk

mengamati persamaan dan perbedaan yang ada, sehingga kemampuan ini akhirnya

berguna dalam pengembangan konsep yang dikuasainya. Dengan penguasaan konsep

tersebut memungkinkan individu dapat menerjemahkan/menafsirkan dunia fisik dan

sosial atau membuat respon yang tepat.

Konsep hanya ada dalam pikiran seseorang sebagai abstraksi dari kejadian-

kejadian, objek-objek, fenomena yang memiliki sifat-sifat atau atribut tertentu. Jadi,

jika ada berbagai kejadian, objek, atau fenomena yang tidak memiliki ciri-ciri yang

dituntut oleh sebuah konsep, maka ia berada di luar konsep itu. Sukar mudahnya

suatu konsep untuk dipahami sangat tergantung pada tingkat keabstrakan dari konsep-

konsep tersebut.

Moh. Amien (1987: 18) membedakan konsep menjadi 3 jenis berdasarkan

bentuknya, yaitu :

a. konsep klasifikasional, mencakup bentuk konsep yang didasarkan atas

klasifikasi fakta-fakta ke dalam bagan-bagan yang terorganisir;

b. konsep korelasional, mencakup kejadian-kejadian khusus yang saling

berhu-bungan, atau observasi-observasi yang terdiri atas dugaan-dugaan terutama

berbentuk formulasi prinsip-prinsip umum, dan

c. konsep teoretik, mencakup bentuk konsep yang mempermudah kita

dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang

terorganisir.

Nana Sudjana (1989: 27) mensyaratkan kondisi untuk mempelajari konsep,

yaitu unsur-unsur prasyarat hendaknya diulang lagi; konsep yang lebih tinggi

tingkatannya harus menekankan sifat-sifat umum yang memiliki hubungan dengan

setiap konsep dasar; konsep prasyarat harus jelas dan siap terdapat dalam ingatan

sebelum suatu konsep yang lebih tinggi dikembangkan. Hal ini berarti pemahaman

terhadap konsep dasar kimia sangat memegang peranan dalam pemahaman konsep-

13

Page 15: Artikel lilim

konsep kimia selanjutnya. Oleh karena itulah, seorang guru kimia yang memperke-

nalkan pertama kali suatu konsep dasar kimia diharapkan tidak salah dalam

penyampaian, karena hal ini akan berakibat fatal ketika konsep tersebut digunakan

sebagai prasyarat memahami konsep kimia yang lain. Konsep sebagai wujud hasil

dari proses pembelajaran yang dicerminkan dalam bentuk nilai/prestasi belajar kimia

akan melibatkan proses perubahan dari prakonsepsi awal yang dimiliki peserta didik

sebagai usaha pencapaian keutuhan konsep, sehingga permasalahan salah konsep atau

miskonsepsi tidak akan muncul.

Setiap peserta didik telah memiliki struktur kognitif yang terbentuk berdasar-

kan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Sebelum peserta didik

mempelajari konsep kimia, mereka telah memiliki konsep yang dibawa sebagai

pengetahuan awal yang disebut prakonsepsi. Konsep yang dibawa dan dikembangkan

sendiri ini tidak selalu sama dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli

kimia. Ketika mereka mengikuti proses pembelajaran dan menerima konsep baru, ia

akan berusaha menyelaraskan konsep baru tersebut dengan konsep yang telah

dimilikinya. Dalam proses penyelarasan ini, ada beberapa kemungkinan yang dapat

terjadi, yaitu kemungkinan :

a. guru menyampaikan konsep tetapi salah dan peserta didik

mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya sudah benar;

b. guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik tidak

mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah; atau

c. guru menyampaikan konsep dengan benar dan peserta didik

mengonstruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sesungguhnya salah.

Jika kemungkinan (1) dan (2) yang terjadi, maka dalam diri peserta didik

sebenarnya telah terjadi miskonsepsi yang disebabkan / dibuat sekolah (school made

misconception) dan dibuat peserta didik itu sendiri. Jika hal ini tidak terdeteksi secara

dini oleh guru, maka miskonsepsi akan berlarut-larut dan berakibat fatal pada pema-

haman konsep kimia yang salah secara keseluruhan. Jika kemungkinan (3) yang

14

Page 16: Artikel lilim

terjadi, berarti aliran konstruktivistik telah terbentuk dalam diri peserta didik tersebut,

dan inilah yang diharapkan dalam proses pembelajaran.

Menurut Canella & Reiff (1994: 27-28), belajar dengan pendekatan konstruk-

tivistik berarti mengonstruksi atau menyusun struktur pemahaman atau pengetahuan

dengan cara mengaitkan dan menyelaraskan fenomena, ide, atau pengetahuan baru ke

dalam struktur pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

Aliran konstruktivisme memandang bahwa pengetahuan adalah hasil

konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengonstruksi pengetahuannya melalui

interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan

tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada peserta didik, tetapi harus

diinterprestasikan sendiri oleh mereka. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi,

melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Jawaban peserta didik atas

suatu persoalan adalah jawaban yang masuk akal bagi mereka saat itu. Jika ada

jawaban salah, bukan disalahkan, tetapi ditanyakan bagaimana ia dapat memperoleh

jawaban itu. Dengan demikian peserta didik terlibat aktif dalam proses perolehan

suatu konsep.

Pemahaman setiap orang mengenai suatu konsep disebut konsepsi, dimana

setiap orang memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir

dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak

akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa peserta didik memiliki konsepsi yang

salah terhadap suatu konsep, keadaan inilah yang disebut sebagai miskonsepsi

(Liliasari, 1998: 1.29).

Menurut Paul Suparno (2005: 4) miskonsepsi menunjuk pada suatu konsep

yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar

dalam bidang itu. Sebagai contoh, peserta didik berpendapat bahwa ketika suatu

reaksi mencapai kesetimbangan, konsentrasi zat dalam reaksi akan tetap dan reaksi

terhenti. Konsep tersebut salah, karena konsentrasi zat dalam reaksi kesetimbangan

selalu berubah-ubah, hanya perubahan ini dalam skala yang sangat kecil (mikros-

15

Page 17: Artikel lilim

kopis), tetapi dalam skala makroskopis atau dalam perhitungan, konsentrasi zat yang

dapat diamati adalah tetap dan reaksi dianggap terhenti.

Novak & Gowin (1984) mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpre-

tasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima, sedangkan

Brown (1989, 1992) menjelaskan miskonsepsi sebagai suatu gagasan yang tidak

sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Feldsine (1987) menjelas-

kan miskonsepsi sebagai suatu kesalahan atau hubungan tidak benar antar konsep.

Arti miskonsepsi secara lebih rinci dikemukakan Fowler & Jaoude (1987), yaitu

miskonsepsi diartikan sebagai pengertian yang tidak akurat tentang konsep, penggu-

naan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-

konsep yang berbeda, dan hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar.

Beberapa ahli menyamakan miskonsepsi dengan salah konsep, namun sebe-

narnya keduanya memiliki pengertian yang berbeda ditinjau dari sumber penyebab-

nya. Miskonsepsi kimia merupakan pemahaman yang salah terhadap suatu konsep

kimia yang bersumber dari kesalahan peserta didik itu sendiri dalam memahaminya,

sedangkan salah konsep pemahaman yang salah terhadap suatu konsep kimia karena

sumber berasalnya konsep tersebut (buku kimia atau guru kimia) memang salah,

akibatnya peserta didik juga salah memahami. Sebagai contoh miskonsepsi, peserta

didik memahami ikatan dalam gas hidrogen klorida adalah ikatan ion, karena

larutannya dalam air, HCl terurai menjadi ion H+ dan Cl-, padahal ikatan dalam

bentuk gas adalah ikatan kovalen. Contoh salah konsep, dalam buku kimia tertulis

“perubahan fisika adalah perubahan dimana zat tidak dapat kembali ke bentuk

semula”. Peserta didik memahami konsep tersebut persis seperti yang tertulis dalam

buku. Padahal konsep yang benar adalah “perubahan fisika adalah perubahan yang

tidak menghasilkan zat yang jenisnya baru”. Jika salah konsep ini terjadi, maka ketika

peserta didik menjumpai perubahan beras kasar menjadi tepung beras, ia akan

mengkategorikan sebagai perubahan fisika, karena tepung beras tidak dapat kembali

menjadi beras.

16

Page 18: Artikel lilim

Pada umumnya peneliti modern lebih menyukai penggunaan istilah konsep

alternatif daripada miskonsepsi. Hal ini karena berbagai alasan (Wandersee, Mintzes,

& Novak, 1994), yaitu:

a. konsep alternatif lebih menekankan adanya kesalahan pemahaman

berdasarkan pengalaman yang dikonstruksi oleh peserta didik sendiri;

b. lebih memberikan penghargaan intelektual kepada peserta didik bahwa

merekalah yang memiliki gagasan / ide tersebut; dan

c. seringkali konsep alternatif secara kontekstual masuk akal dan berguna

untuk menjelaskan beberapa persoalan yang sedang dihadapi peserta didik.

Penggunaan istilah konsep alternatif memberikan penghargaan tersendiri bagi

peserta didik yang memiliki gagasan/ide berbeda dengan gagasan/ide para ahli.

Konsep yang berbeda tersebut menunjukkan bahwa dalam pembentukan pengeta-

huan, peserta didik berusaha mengontruksi konsep itu sendiri. Guru tidak perlu

menyalahkan mentah-mentah konsep hasil konstruksi peserta didiknya, karena

mereka mengonstruksi berdasarkan pengalaman hidupnya dan kadang-kadang konsep

tersebut dapat digunakan untuk menjelaskan permasalahan hidupnya sehari-hari.

Sebagai contoh, ketika peserta didik mengonstruksi konsep bahwa semua zat padat

jika dilarutkan dalam air panas akan lebih cepat melarut berdasarkan pengalamannya.

Meskipun konsep yang terkonstruksi tersebut tidak sepenuhnya benar, karena zat

padat yang dilarutkan bukan berarti semua mengalami proses melarut (proses fisik),

ada juga yang mengalami reaksi dengan pelarutnya (proses kimia), namun konstruksi

konsep tersebut berguna dalam permasalahan sehari-hari yang berkaitan dengan

pelarutan suatu zat padat dalam zat cair.

Istilah miskonsepsi masih tetap dipertahankan dan digunakan oleh beberapa

peneliti dengan berbagai alasan, yaitu miskonsepsi memiliki makna bagi orang awam;

dalam pendidikan sains, istilah miskonsepsi membawa pengertian-pengertian tertentu

sesuai dengan pemikiran saintifik saat ini; dan istilah miskonsepsi lebih mudah

dimengerti, baik oleh para guru maupun orang awam (Wandersee, Mintzes, & Novak,

1994). Dengan kata lain, istilah miskonsepsi lebih mudah dipahami oleh siapa saja

17

Page 19: Artikel lilim

yang berhubungan dengan dunia pendidikan daripada istilah konsep alternatif, karena

istilah miskonsepsi telah diketahui umum dan sudah mencerminkan arti dengan

sangat jelas. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, maka pada penelitian ini

memilih menggunakan istilah miskonsepsi. Jadi, miskonsepsi kimia oleh peserta

didik diartikan sebagai pemahaman yang salah terhadap konsep kimia.

Berg (1991: 17) merangkum ciri-ciri miskonsepsi menurut beberapa literatur

sebagai berikut :

a. miskonsepsi sulit sekali diperbaiki;

b. seringkali ”sisa” miskonsepsi terus-menerus mengganggu. Soal-soal

yang seder-hana dapat dikerjakan, tetapi dengan soal yang sedikit lebih sulit,

miskonsepsi muncul lagi;

c. seringkali terjadi regresi, yaitu peserta didik yang sudah pernah

mengatasi miskonsepsi, beberapa bulan mengalami miskonsepsi lagi;

d. dengan ceramah yang bagus, miskonsepsi tidak dapat dihilangkan atau

dihindari;

e. guru pada umumnya tidak mengetahui miskonsepsi yang lazim terjadi

pada peserta didiknya dan tidak menyesuaikan proses pembelajaran dengan

miskonsep-si yang dialami peserta didiknya.

f. peserta didik yang pandai dan yang lemah dapat terkena miskonsepsi.

Miskonsepsi kimia yang dialami peserta didik jelas sangat merugikan bagi

kelancaran dan keberhasilan belajar mereka, apalagi jika miskonsepsi sudah terjadi

lama dan tidak terdeteksi secara dini, baik oleh peserta didik itu sendiri maupun guru.

Konsep-konsep kimia umumnya diajarkan secara hirarkhis dari konsep yang mudah

ke sukar, dari konsep yang sederhana ke kompleks, sehingga jika konsep yang mudah

dan sederhana saja sudah mengalami miskonsepsi, maka lebih lanjut pemahaman

konsep-konsep kimia yang sukar dan kompleks, peserta didik akan semakin kesulitan

dan mengalami kesalahan pemahaman konsep secara berlarut-larut.

Meskipun miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sulit diperbaiki dan

selalu meninggalkan ”sisa” yang berpengaruh pada pemahaman konsep kimia yang

18

Page 20: Artikel lilim

lain, tetapi seorang guru diharapkan tetap berusaha untuk membantu peserta didik

untuk keluar dari miskonsepsi yang terjadi. Oleh karena itu pengetahuan tentang

konsep-konsep kimia mana saja yang sering menimbulkan miskonsepsi sangat

penting dimiliki guru, agar setiap kali menjumpai konsep-konsep tersebut guru

berusaha menjelaskan secara lebih mendalam. Selain dari hasil penelitian, pendetek-

sian tentang konsep-konsep kimia yang menyebabkan miskonsepsi sudah waktunya

dapat dilakukan oleh guru itu sendiri. Untuk itulah diperlukan instrumen yang mampu

mendeteksi terjadinya miskonsepsi kimia pada peserta didik.

2. Cara Mendeteksi Terjadinya Miskonsepsi Kimia

Konsep-konsep kimia yang diajarkan guru tidak selalu dapat diterima secara

utuh oleh peserta didik seperti yang diharapkan. Setiap peserta didik mengonstruksi

konsepnya sendiri-sendiri, sehingga perbedaan konstruksi konsep individu inilah

yang menyebabkan tingkat pemahaman konsep mereka berbeda-beda pula. Menurut

Berg (1991: 11) dalam pembelajaran konsep, peserta didik diharapkan dapat :

a. mendefinisikan konsep yang bersangkutan;

b. menjelaskan perbedaan antara konsep yang bersangkutan dengan konsep-

konsep yang lain;

c. menjelaskan hubungan dengan konsep-konsep yang lain; dan

d. menjelaskan arti konsep dalam kehidupan sehari-hari dan menerapkannya

untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan keempat kriteria tersebut dapat diketahui apakah peserta didik

sudah memahami konsep atau belum. Dengan kata lain, jika peserta didik telah

memahami suatu konsep, maka ia seharusnya memenuhi keempat kriteria tersebut.

Pada kenyataannya, tidak semua peserta didik memiliki pemahaman yang sama

tentang suatu konsep.

Abraham (1992: 112) menggolongkan derajat pemahaman peserta didik

menjadi enam kategori berdasarkan soal yang diberikan padanya, yaitu :

a. tidak ada respon, dengan kriteria tidak menjawab dan atau menjawab ”saya

tidak tahu”;

19

Page 21: Artikel lilim

b. tidak memahami, dengan kriteria mengulang pertanyaan, menjawab tetapi

tidak berhubungan dengan pertanyaan dan atau jawaban tidak jelas;

c. miskonsepsi, dengan kriteria menjawab tetapi penjelasannya tidak benar atau

tidak logis;

d. memahami sebagian dan terjadi miskonsepsi, dengan kriteria jawaban

menunjuk-kan ada konsep yang dikuasai, namun ada pernyataan yang

menunjukkan miskonsepsi;

e. memahami sebagian, dengan kriteria jawaban menunjukkan hanya sebagian

konsep yang dipahami tanpa miskonsepsi; dan

f. memahami konsep, dengan kriteria jawaban menunjukkan konsep dikuasai

dengan benar.

Selanjutnya Abraham (1992: 113) mengkategorikan derajat pemahaman 1 dan

2 termasuk tidak memahami, 3 dan 4 termasuk miskonsepsi, 5 dan 6 termasuk

memahami. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Feldsine (1987) bahwa

miskonsepsi sebagai suatu kesalahan akibat hubungan tidak benar antar konsep dan

pendapat Fowler & Jaoude (1987) yang menyatakan salah satu bentuk miskonsepsi

adalah adanya hubungan hirarkhis konsep-konsep yang tidak benar. Ketidakjelasan

dan ketidaklogisan jawaban peserta didik disebabkan penguasaan suatu konsep yang

salah yang berakibat pada kesalahan keseluruhan konsep yang ada, padahal ada

keterkaitan yang erat antar konsep dalam suatu materi ajar. Seperti diketahui, konsep-

konsep kimia dalam materi ajar kimia di SMA/MA sangat erat berkaitan satu dengan

yang lain. Miskonsepsi terhadap suatu konsep kimia akan berpengaruh terhadap

pemahaman konsep kimia yang lain. Hal inilah yang tidak diharapkan terjadi dalam

pembelajaran kimia, karena berakibat akhir pada prestasi belajar kimia yang rendah

(tidak memuaskan).

Banyak cara untuk menentukan, mengidentifikasi dan mendeteksi terjadinya

miskonsepsi kimia pada peserta didik, dapat melalui (1) peta konsep (concept maps),

(2) tes (pilihan ganda maupun esai), (3) wawancara diagnosis, (4) diskusi dalam

kelas, maupun (5) praktikum disertai tanya jawab. Masing-masing cara memiliki

20

Page 22: Artikel lilim

kelebihan dan kekurangan, biasanya seorang peneliti atau guru dalam memilih

mempertimbangkan kemampuan, tujuan, waktu, tenaga, biaya, dan kemudahan dalam

menyusun instrumen dan menerapkannya, termasuk kemudahan menganalisis hasil

deteksi tersebut.

a. Peta konsep

Peta konsep (concept maps) adalah bagan yang menunjukkan hubungan antar

konsep atau gagasan-gagasan pokok dari suatu materi ajar yang disusun secara

hirarkhis dan memberikan gambaran yang lebih lengkap (Liliasari, et al., 1998: 2.3).

Miskonsepsi pada peserta didik dapat diidentifikasi dengan melihat apakah hubungan

antar konsep yang dimiliki mereka itu benar atau salah. Dengan peta konsep, dapat

terlihat dengan jelas letak terjadinya miskonsepsi pada peserta didik (Feldsine, 1987:

181). Pada umumnya miskonsepsi tampak dari proposisi yang salah dan tidak adanya

hubungan yang lengkap antar konsep (Novak & Gowin, 1984). Pada praktiknya,

mengidentifikasi menggunakan peta konsep akan lebih akurat hasilnya jika disertai

wawancara klinis yang berfungsi sebagai cara untuk mengungkap lebih mendalam

tentang munculnya gagasan tersebut. Wawancara ini juga berfungsi sebagai teknik uji

ulang atau pencocokan terhadap hasil peta konsep.

Pada Gambar 1 diperlihatkan contoh peta konsep tentang unsur yang dibuat

oleh seorang peserta didik. Berdasarkan peta konsep yang dibuat menunjukkan bahwa

peserta didik tersebut memiliki dua miskonsepsi tentang unsur, yaitu (1) dia

beranggapan bahwa jika atom-atom sejenis bergabung akan membentuk unsur,

sedangkan jika beda jenis membentuk molekul. Padahal konsep yang benar, jika

atom-atom bergabung, baik sejenis maupun beda jenis, keduanya membentuk

molekul, namun jika sejenis disebut molekul unsur dan jika berbeda jenis disebut

molekul senyawa, (2) nomor atom menyatakan banyaknya proton / elektron dalam

atom, padahal nomor atom hanya menyatakan banyaknya proton dalam inti atom,

kecuali untuk atom netral jumlah proton akan sama dengan jumlah elektron.

Instrumen pendeteksi berupa peta konsep memiliki beberapa kelemahan, yaitu

(1) tidak semua peserta didik mampu mengungkapkan hubungan antar konsep dalam

21

Page 23: Artikel lilim

bentuk peta konsep, sehingga kemungkinan banyak informasi miskonsepsi yang

diharapkan tidak terjaring, (2) perlunya wawancara klinis untuk memperoleh data

yang lebih akurat memerlukan kemampuan berkomunikasi yang baik, waktu dan

tenaga yang banyak, dan (3) data terjadinya miskonsepsi yang diperoleh sangat

variatif, sehingga memerlukan kepiawaian dalam mengolah dan mengklasifikasikan

agar data dapat diverifikasi sebaik-baiknya.

terdiri atas memiliki

bergabung terdapat

sejenis beda jenis

Gambar 1. Peta Konsep tentang Unsur oleh Peserta Didik

b. Tes pilihan ganda atau esai

Tes pilihan ganda merupakan bentuk instrumen yang paling banyak diguna-

kan dan dikembangkan oleh peneliti dalam mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada

peserta didik. Seperti penelitian Amir, et al. (1987) yang menggunakan tes pilihan

ganda dengan alasan terbuka. Peserta didik harus menjawab dan menjelaskan

mengapa ia menjawab seperti itu. Jawaban yang salah digunakan sebagai bahan tes

selanjutnya.

22

UNSUR

Atom-atom

unsur

Lambang unsur

molekul

Nomor atom

Banyaknya proton/ elektron dalam atom

Nomor massa

Banyaknya netron dalam inti atom

Page 24: Artikel lilim

Bentuk tes pilihan ganda atau esai disertai alasan terbuka juga digunakan

dalam penelitian Krishnan & Howe (1994) dengan memperkenalkan two-tier multiple

choice items.

Contoh tes pilihan ganda dengan alasan terbuka pada materi kesetimbangan kimia:

3 Fe (s) + 4 H2O (g) Fe3O4 (s) + 4 H2 (g) ∆H = positif

Kesetimbangan akan bergeser ke kanan jika pada ....

A. suhu tetap ditambah serbuk besi

B. suhu tetap ditambah suatu katalis

C. suhu tetap tekanan diperbesar dengan memperkecil volum

D. volum tetap suhu dinaikkan

E. volum tetap suhu diturunkan

Alasannya : .....................................................................................................................

.....................................................................................................................

Instrumen berupa tes pilihan ganda dengan alasan terbuka relatif mudah

dalam penyusunannya, tetapi setiap butir soal yang dibuat harus sudah dipikirkan ke

arah mana sebenarnya soal tersebut mampu meramalkan terjadinya miskonsepsi pada

peserta didik. Tes pilihan ganda dengan alasan (reasoning) terbuka memiliki

kelebihan, yaitu peserta didik diberi kebebasan mengemukakan alasan dari jawaban

yang dipilihnya. Dengan demikian dapat diketahui semua alasan peserta didik,

sehingga dengan mudah dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi. Namun bentuk

instrumen ini memiliki kelemahan, yaitu jika banyak peserta didik yang tidak

menuliskan alasan karena berbagai sebab, misalnya memang tidak dapat mengung-

kapkan alasan karena jawaban yang dipilih hanya menerka (spekulatif), malas

menulis alasan karena dianggap tidak ada hubungannya dengan nilai, atau menulis

alasan tetapi tidak relevan dengan jawaban yang dipilih, maka tujuan mendeteksi

terjadinya miskonsepsi menjadi tidak tercapai seperti yang diharapkan. Kelemahan

lainnya, kesulitan dalam menerjemahkan alasan yang diberikan peserta didik karena

kekuranganjelasan kalimat yang dikemukakannya.

23

Page 25: Artikel lilim

Kelemahan inilah yang kemudian oleh peneliti lainnya, yaitu Treagust (1987:

519) diantisipasi dengan menggunakan tes pilihan ganda tetapi alasan (reasoning)

pilihan jawaban tersebut sudah disediakan. Meskipun model ini memudahkan dalam

menganalisis, tetapi jika terjadi miskonsepsi dengan alasan yang tidak tercantum

dalam soal tidak dapat diketahui. Selain itu peserta didik tidak memiliki kebebasan

mengungkapkan alasan memilih jawaban, atau hanya memilih alasan yang tersedia

secara spekulatif.

Bentuk soal seperti ini juga dikembangkan oleh Odom & Barrow (1995) yang

disebut two-tier diagnostic test pada konsep difusi dan osmosis. Sama halnya

Treagust, soal ini terdiri dari batang soal dan pilihan alasan. Bentuk soal ini juga

digunakan oleh Birk & Kurtz (1999) untuk mengungkap miskonsepsi (maha)siswa

pada konsep struktur molekul dan ikatan kimia.

Berikut ini contoh instrumen bentuk pilihan ganda dengan alasan tertutup.

Harga tetapan kesetimbangan kimia untuk reaksi CaCO3 (s) CaO (s) +CO2 (g)

adalah ...

A.

B.

C. K = [CaO] [CO2]

D. K = [CO2]

E.

Alasan, karena tetapan kesetimbangan adalah :

A. konsentrasi semua zat produk dibagi konsentrasi zat reaktan dipangkatkan

sesuai dengan angka koefisiennya.

B. konsentrasi zat-zat reaktan dibagi konsentrasi zat-zat produk dipangkatkan

sesuai dengan angka koefisiennya.

24

Page 26: Artikel lilim

C. berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat produk dipangkatkan sesuai

dengan angka koefisiennya.

D. berbanding lurus dengan konsentrasi zat-zat reaktan dipangkatkan sesuai

dengan angka koefisiennya.

E. konsentrasi semua zat produk dibagi konsentrasi zat reaktan yang berfase cair

atau gas dipangkatkan sesuai dengan angka koefisiennya.

Beberapa peneliti, seperti Clement (1987) dan Twiest & Twiest (1992)

menggunakan tes pilihan ganda, kemudian jawaban yang tidak benar ditelusuri lebih

lanjut dengan wawancara. Bentuk instrumen ini memberikan hasil yang lebih baik

dibandingkan instrumen Treagust, karena dengan wawancara dapat diungkap lebih

banyak penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, tetapi untuk wawancara

memerlukan waktu yang lama dan tenaga yang banyak. Selain itu keberhasilan

wawancara sangat ditentukan oleh kemampuan pewawancara dalam mengorek

informasi yang lebih mendalam (probing) hingga benar-benar memperoleh data yang

diinginkan (Nasution, 2001: 122-126).

Tes esai tertulis merupakan bentuk instrumen pendeteksi miskonsepsi yang

memerlukan kecermatan dalam melihat jawaban peserta didik. Tahap-tahap jawaban

yang diberikan peserta didik harus secara teliti dicermati agar dapat diketahui secara

pasti pada bagian mana telah terjadi miskonsepsi. Biasanya tes esai tertulis disertai

wawancara untuk melihat lebih jauh terjadinya miskonsepsi.

Contoh tes esai tertulis pada materi pokok laju reaksi :

1. Jelaskan bagaimana pengaruh konsentrasi terhadap laju

reaksi ?

2. Jelaskan bagaimana katalis dapat mempercepat suatu reaksi ?

Kelemahan instrumen tes esai tertulis adalah adanya kemungkinan banyaknya

peserta didik yang tidak menjawab atau menjawab tetapi tidak relevan dengan soal

yang dijawab. Penelusuran lebih lanjut terhadap jawaban mereka melalui wawancara

25

Page 27: Artikel lilim

memerlukan waktu dan tenaga yang banyak, juga memerlukan pewawancara yang

pandai mengorek informasi lebih mendalam tentang miskonsepsi yang terjadi.

c. Wawancara diagnosis

Selain sebagai pelengkap dari bentuk instrumen pendeteksi miskonsepsi,

wawancara diagnosis juga dapat berdiri sendiri sebagai teknik untuk mengungkap

terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Pedoman wawancara dapat berbentuk

bebas atau terstruktur. Pedoman wawancara bentuk bebas hanya berisi pertanyaan inti

yang dapat dikembangkan lebih lanjut oleh pewawancara sendiri ketika di lapangan

dengan urutan pertanyaan yang tidak kaku (dapat dibolak-balik). Pedoman wawan-

cara terstruktur berisi pertanyaan yang tersusun secara urut dan lengkap. Dengan

adanya kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi saat ini, maka wawancara

akan lebih baik jika disertai rekaman untuk melengkapi catatan langsung di lapangan.

Contoh wawancara diagnosis pada materi pokok sistem periodik unsur :

a. Dalam satu periode dari kiri ke kanan pada tabel periodik, bagaimana

besarnya jari-jari atom? Mengapa demikian ?

b. Jika demikian, bagaimana pengaruhnya terhadap kekuatan menarik

elektron ?

c. Berarti dalam satu periode elektronegativitas unsur semakin besar atau

semakin kecil ?

Ketiga soal tersebut diajukan untuk menuntun peserta didik pada pemahaman

konsep tentang keperiodikan sifat elektronegativitas unsur-unsur yang terdapat dalam

satu periode. Berdasarkan jawaban peserta didik terhadap ketiga soal tersebut, maka

dapat dideteksi pada bagian mana sebenarnya peserta didik mengalami miskonsepsi.

Meskipun sangat rinci dalam menelusuri terjadinya miskonsepsi, tetapi seperti biasa-

nya teknik wawancara memiliki beberapa kelemahan dalam penerapannya.

d. Diskusi dalam kelas

26

Page 28: Artikel lilim

Diskusi dalam kelas, terutama pada awal pembelajaran suatu konsep, sebagai

penjajagan terhadap konsep yang telah dimiliki peserta didik sangat baik dilakukan

guru. Hal ini berguna untuk menjajagi prakonsep dan konsepsi yang dimiliki mereka,

sehingga pendeteksian terjadinya miskonsepsi dapat diketahui secara dini. Hanya satu

hal yang perlu diingat, agar dapat dideteksi terjadi tidaknya miskonsepsi dari semua

peserta didik, maka guru harus mampu menciptakan situasi yang kondusif yang

memungkinkan semua peserta didik berani bicara dan mengungkapkan gagasannya.

Contoh bahan diskusi dalam kelas pada materi pokok struktur atom :

Pertanyaan untuk didiskusikan:

Apa saja partikel penyusun atom itu ? Bagaimana struktur suatu atom dibangun oleh

partikel-partikel penyusunnya ? Mengapa strukturnya harus demikian ?

Berdasarkan hasil diskusi kelas yang diarahkan dan dibimbing guru, maka

akan diperoleh informasi terjadi tidaknya miskonsepsi pada peserta didik. Kelebihan

cara ini dalam mendeteksi miskonsepsi adalah guru secara langsung dapat melakukan

pelurusan terhadap konsep-konsep yang dipahami secara salah oleh peserta didiknya.

Namun demikian kelemahannya lebih banyak, mulai dari sulitnya mengungkap

miskonsepsi dari semua peserta didik karena tidak semua mau aktif sampai pada

penciptaan situasi belajar yang kondusif sehingga mampu memotivasi semua peserta

didik untuk berpartisipasi secara aktif.

e. Praktikum disertai tanya jawab

Bentuk akhir untuk mendeteksi miskonsepsi berupa praktikum disertai tanya

jawab. Selama ini praktikum yang dilaksanakan di berbagai sekolah hanya memfo-

kuskan pada penilaian dan observasi terhadap aspek psikomotorik, namun ujian akhir

praktikum dalam bentuk uji tertulis. Penilaian akhir seperti itu tidak tepat, karena uji

tertulis bukan teknik penilaian yang sesungguhnya (authentic assessment) dari

praktikum. Selain penilaian psikomotorik, praktikum juga dapat digunakan sebagai

cara untuk mendeteksi terjadi tidaknya miskonsepsi, yaitu melalui tanya jawab

27

Page 29: Artikel lilim

langsung tentang konsep-konsep yang sedang dipraktikumkan ketika peserta didik

sedang melakukan praktikum. Melalui cara ini, jika terjadi miskonsepsi dengan

segera dapat diperbaiki. Namun demikian, untuk melaksanakan pendeteksian

miskonsepsi dengan cara ini diperlukan banyak orang yang bertugas untuk

melakukan tanya jawab. Jika tanya jawab hanya dilakukan pada beberapa peserta

didik dan tidak lengkap dari awal sampai akhir untuk setiap peserta didik, maka cara

ini sangat tidak efektif untuk mendeteksi miskonsepsi seluruh peserta didik. Alternatif

lain dari cara ini adalah pada akhir praktikum dicarikan waktu khusus untuk

presentasi tiap-tiap peserta didik tentang konsep yang telah dipraktikumkan.

Contoh penerapan praktikum dengan tanya jawab pada materi titrasi asam basa :

Hal-hal yang dapat ditanyakan ketika peserta didik sedang melakukan praktikum :

1. Bagaimana cara Anda mengisikan larutan ke dalam buret ? Mengapa harus

menggunakan corong ?

2. Bagaimana cara Anda melihat volum larutan dalam buret ?

3. Kapan kita menambahkan indikator ke dalam erlenmeyer ? Apa fungsi

indikator ?

4. dan seterusnya

Berdasarkan jawaban peserta didik, maka guru dapat menelusuri lebih lanjut

dengan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dari jawaban yang tidak sesuai.

Dengan demikian akan dapat ditemukan terjadi tidaknya miskonsepsi pada peserta

didik. Namun demikian, pertanyaan yang diajukan ketika peserta didik sedang mela-

kukan praktikum akan mengganggu konsentrasi dan kelancaran jalannya praktikum.

Berdasarkan uraian kelima instrumen pendeteksi miskonsepsi tersebut

menunjukkan bahwa masing-masing bentuk instrumen memiliki kelemahan di

samping kelebihan yang ada. Dengan memperhatikan kelemahan dan mempertim-

bangkan bagaimana menutupi kelemahan yang ada, maka dalam penelitian ini akan

dikembangkan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia berbentuk tes pilihan ganda

dengan alasan setengah terbuka. Bentuk ini dipilih mengingat instrumen tes pilihan

28

Page 30: Artikel lilim

ganda dengan alasan terbuka yang dikembangkan Amir, et al. (1987) memiliki

kelemahan, yaitu dikhawatirkan banyaknya peserta didik yang tidak mengisi alasan

dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan ganda dengan alasan

tertentu yang telah disediakan yang dikembangkan Treagust (1987) memiliki

kelemahan, yaitu terbatasinya kebebasan mengungkapkan alasan di luar yang tersedia

dan kemungkinan pilihan alasan yang hanya spekulatif. Jadi, instrumen soal pilihan

ganda dengan alasan setengah terbuka merupakan adaptasi dengan cara mengga-

bungkan kedua bentuk instrumen yang dikembangkan oleh Amir et al. dan Treagust

agar kelemahan keduanya dapat diatasi.

Contoh instrumen soal pilihan ganda dengan alasan setengah terbuka :

Diketahui reaksi setimbang : 2 SO3 (g) SO2 (g) + O2 (g) ∆H = - 45 kkal.

Pada suhu dan volum tetap, jika ke dalam campuran ditambah katalis, maka …

A. letak kesetimbangan akan bergeser ke kiri

B. letak kesetimbangan akan bergeser ke kanan

C. oksigen akan terurai

D. letak kesetimbangan tidak berubah

E. panas yang dibebaskan bertambah besar

Alasan, karena penambahan katalis :

A. tidak mempengaruhi letak kesetimbangan

B. menyebabkan kesetimbangan bergeser ke arah zat produk

C. menyebabkan kesetimbangan bergeser ke arah zat reaktan

D. menyebabkan zat produk yang ringan terurai kembali

E. memperbesar jumlah energi yang dibebaskan

F. .............................................................................................................................

......

29

Page 31: Artikel lilim

Dengan memberikan tempat kosong pada option alasan diharapkan peserta

didik memiliki kebebasan untuk mengungkapkan alasan selain yang disediakan. Hal

ini untuk mengantisipasi kemungkinan peserta didik merasa tidak setuju dengan

semua option alasan yang telah tersedia, sehingga dia ingin mengungkapkan dengan

bahasanya sendiri atau menambahkan option yang telah dipilih untuk memantapkan

alasan. Seperti contoh di atas, alasan dari jawaban bahwa katalis ”tidak mengubah

letak kesetimbangan” (D) adalah karena katalis tidak mempengaruhi letak kesetim-

bangan (A), kemungkinan ada sebagian peserta didik yang ingin mengungkapkan

dengan bahasanya sendiri, misal penambahan katalis ”hanya mempercepat tercapai-

nya kesetimbangan” atau ”berfungsi pada awal reaksi sebelum kesetimbangan

tercapai”, maka mereka diberi kebebasan untuk mengungkapkannya. Pada penerapan-

nya nanti, peserta didik diberitahu bahwa jawaban alasan juga akan diberi skor

sendiri, artinya jawaban dan alasan masing-masing memperoleh skor. Dengan

demikian peserta didik diharapkan akan lebih serius dan termotivasi dalam

mengerjakan, baik dalam menjawab soal maupun alasannya.

3. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Miskonsepsi Kimia

Pembelajaran adalah suatu sistem yang di dalamnya terdapat berbagai

komponen yang saling berinteraksi dan bekerja sama dalam mencapai tujuan

pembelajaran yang telah ditetapkan. Berdasarkan hal tersebut, maka terjadinya

prestasi belajar kimia yang rendah dapat disebabkan tidak berfungsinya salah satu

atau beberapa komponen yang terlibat dalam sistem pembelajaran sebagaimana

mestinya.

Miskonsepsi sebagai kesalahan pemahaman konsep yang disebabkan oleh

kesalahan konstruksi kognitif peserta didik itu sendiri merupakan salah satu faktor

penyebab rendahnya prestasi belajar kimia. Namun jika ditelusuri lebih lanjut,

miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal. Paul Suparno (2005: 29) menyatakan

secara garis besar ada lima kelompok penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta

didik, yaitu (1) peserta didik, (2) guru, (3) buku teks pelajaran, (4) konteks, dan (5)

metode mengajar.

30

Page 32: Artikel lilim

a. Miskonsepsi karena peserta didik

Filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan itu dikonstruksi

oleh peserta didik sendiri ketika berhubungan dengan lingkungan, tantangan, dan

bahan yang dipelajari (Paul Suparno, 1997). Oleh karena peserta didik mengons-

truksi sendiri pengetahuannya, maka sangat mungkin terjadi salah konstruksi yang

disebabkan mereka belum memiliki bekal cukup yang berkaitan dengan konsep yang

sedang dikonstruksi atau belum memiliki kerangka ilmiah yang dapat digunakan

sebagai acuan dalam mengonstruksi pengetahuan yang benar.

Dalam proses konstruksi ulang setelah menerima penjelasan dari guru, dapat

saja terjadi peserta didik mengonstruksi secara tidak utuh karena keterbatasan

kemampuan atau bercampur dengan gagasan lain yang kebetulan dialami dan

dianggap berhubungan. Sebagai contoh, ketika guru menjelaskan tentang reaktor

nuklir yang berguna sebagai pembangkit listrik tenaga nuklir, mungkin beberapa

peserta didik hanya berpikir bahwa semua yang berhubungan dengan nuklir pasti

membahayakan kehidupan, karena yang ada di pikirannya hanya tentang ”bom

nuklir” yang sering mereka dengar.

Dalam pengertian konstruktivisme, miskonsepsi dianggap hal yang wajar

terjadi pada peserta didik, karena mereka memang melakukan proses pembentukan

pengetahuan itu sendiri. Tugas seorang guru adalah membantu meluruskan dan

memperbaiki miskonsepsi secara sabar, karena miskonsepsi tidak mudah diperbaiki

hanya dengan menjelaskan konsep tersebut secara sistematis dan menerapkan banyak

metode mengajar.

Miskonsepsi kimia terjadi paling banyak disebabkan peserta didik itu sendiri,

karena banyaknya konsep kimia yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Adapun beberapa hal yang dapat menyebabkan miskonsepsi yang berasal dari peserta

didik antara lain :

1) Prakonsepsi atau konsep awal peserta didik

Konstruksi awal suatu konsep dinamakan prakonsepsi yang kemungkinan

besar peserta didik mengalami kesalahan karena prakonsepsi dibentuk sebelum

31

Page 33: Artikel lilim

mereka mendapatkan pelajaran formal tentang konsep yang dimaksud. Sebagai

contoh, meskipun peserta didik belum diajarkan tentang kesetimbangan kimia, tetapi

ia telah mengonstruksi sendiri bahwa reaksi yang setimbang pasti massanya sama.

Prakonsepsi ini terbentuk hanya berdasarkan pengalaman yang ada di lingkungannya

bahwa sesuatu yang setimbang pasti berkaitan dengan kesamaan massa, seperti

halnya fungsi suatu timbangan. Prakonsepsi yang salah ini dapat menimbulkan

miskonsepsi, karena peserta didik belum mengenal konsep kesetimbangan kimia yang

benar menurut para ahli kimia.

Miskonsepsi kadang-kadang mudah diluruskan melalui proses pembelajaran

formal di sekolah, tetapi kadang-kadang sulit, terutama jika prakonsepsi tersebut telah

mengendap dalam pikirannya dan berkaitan dengan istilah atau peristiwa yang ada

dalam kehidupan sehari-hari. Seperti contoh tadi, setimbang sangat dekat dengan

peristiwa menimbang yang dapat dijumpai sehari-hari dalam kehidupan mereka.

Adanya prakonsepsi menunjukkan bahwa pikiran manusia sejak lahir selalu

dinamis dan aktif untuk memahami sesuatu. Rasa ingin tahu manusia menyebabkan

alam pikiran manusia berkembang sejalan dengan perkembangan usia dan jaman,

sehingga menghasilkan sekumpulan pengetahuan yang menjadi milik diri (Das

Salirawati, 2008: 2-3). Pengetahuan dan pemahaman awal suatu konsep (prakonsepsi)

yang dimiliki seseorang akan menjadi acuan ketika ia harus berhubungan dan

berkomunikasi dengan orang lain, termasuk dalam interaksinya dengan guru secara

formal di sekolah.

Tidak selalu penjelasan yang diberikan guru mampu mengubah prakonsepsi

yang sudah ada dalam pikiran peserta didik, karena peserta didik tidak akan mene-

rima begitu saja penjelasan suatu konsep dari guru, akan tetapi senantiasa mengolah

dan mencerna dengan mengaitkan prakonsepsi yang telah dimiliki. Akan sulit bagi

guru untuk memperbaiki pemahaman suatu konsep jika prakonsepsi yang dimiliki

peserta didiknya telah mengakar dalam pikirannya. Prakonsepsi yang berkaitan

dengan kehidupan sehari-hari peserta didik sangat sulit diperbaiki dan diluruskan,

karena adanya anggapan bahwa prakonsepsi yang dimiliki memang benar. Sebagai

32

Page 34: Artikel lilim

contoh, massa dan berat memiliki pengertian yang sangat berbeda, berat suatu zat

dipengaruhi oleh gravitasi bumi, sedangkan massa tidak. Namun prakonsepsi mereka,

keduanya sama karena secara umum dalam kehidupan sehari-hari keduanya tidak

dibedakan. Kita biasa menyatakan berat badan seseorang hanya dengan satuan kg,

padahal seharusnya jika yang disebutkan berat, maka satuan yang benar adalah kgf

(kilogram gaya).

Miskonsepsi dapat dikurangi atau diminimalisasikan tetapi memerlukan

proses. Piaget (1972) yang dikutip oleh Ratna Wilis Dahar (1988: 18) menjelaskan

tahap perkembangan kemampuan kognitif anak, mulai dari tahap sensori motorik

(konkret) sampai tahap formal / abstrak. Pada tahap perkembangan dari konkret

menjadi abstrak inilah peserta didik banyak mengalami miskonsepsi disebabkan

terbatasnya kemampuan mengonstruksi pengetahuan dan tidak lengkapnya

pengetahuan yang dimiliki sebagai bekal mengonstruksi suatu konsep secara tepat

dan benar. Namun secara perlahan sesuai dengan tahap perkembangannya, mereka

akan terus-menerus memperbaiki dan mengurangi miskonsepsi dalam dirinya hingga

akhirnya diperoleh pemahaman yang benar tentang konsep tertentu.

Phelps & Cherin Lee (2003) menyatakan perlunya seorang guru mengem-

bangkan pemahaman pembelajaran yang konsisten dengan filosofi konstruktivisme,

artinya peserta didik harus senantiasa dilatih menjadi aktif dalam pembelajaran dan

menanamkan konsep utama ke dalam konstruksi berpikir mereka, sehingga dapat

menjadi dasar bangunan terhadap informasi baru yang diterima. Lebih lanjut

dikemukakan adanya kecenderungan konsep yang dimiliki peserta didik resisten

terhadap perubahan, sehingga tugas guru untuk selalu mengingatkan mereka dalam

mengontruksi ulang prakonsepsi yang telah dimilikinya.

2) Pemikiran asosiatif peserta didik

Menurut Arons (1981: 166), asosiasi peserta didik terhadap istilah-istilah

sehari-hari kadang-kadang dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Sebagai

contoh, peserta didik mengasosiasikan perubahan tekanan akan menyebabkan perge-

seran kesetimbangan. Jika peserta didik tidak melihat bahwa perubahan tekanan

33

Page 35: Artikel lilim

hanya akan mempengaruhi zat reaktan dan produk yang berwujud gas, maka ia akan

selalu salah dalam menentukan arah pergeseran, karena angka koefisien dari semua

zat yang terlibat dalam kesetimbangan dihitung.

Demikian juga jika peserta didik mengasosiasikan berlangsungnya reaksi

dengan zat hasil reaksi. Peserta didik beranggapan jika suatu reaksi telah berlangsung,

maka zat hasil reaksi selalu jumlahnya lebih banyak daripada zat reaktan. Pemikiran

asosiatif ini dapat menyebabkan miskonsepsi ketika diterapkan dalam reaksi

kesetimbangan (reversibel) dimana zat hasil reaksi tidak selalu jumlahnya lebih

banyak daripada zat reaktan ketika kesetimbangan tercapai dan reaksi dianggap

terhenti.

Pengertian yang berbeda dari kata-kata yang digunakan guru dan peserta didik

juga dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi (Marshall & Gilmour, 1990: 332).

Kata dan istilah yang digunakan guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan

berbeda oleh peserta didik. Sebagai contoh, guru menjelaskan basa sebagai semua zat

yang larutannya dalam air dapat melepaskan ion OH- tanpa penjelasan dan contoh

lebih lanjut. Peserta didik yang tidak dapat memahami makna penjelasan tadi akan

berpikir asosiatif bahwa semua senyawa yang rumus molekulnya mengandung OH

pasti ia termasuk basa. Tentu saja pemikiran asosiatif menyebabkan miskonsepsi,

karena senyawa seperti CH3COOH, HCOH dipahami sebagai basa. Oleh karena itu

penting bagi guru memberikan penjelasan serinci mungkin agar peserta didik tidak

salah dalam menangkap penjelasan tersebut.

Menurut Barke (2008: 23), guru-guru perlu menyadari kegelisahan peserta

didik ketika mereka tidak memahami bahasa yang digunakannya dalam menjelaskan

materi di kelas. Sebagian besar peserta didik akan berusaha sekuat tenaga untuk

menyelami makna bahasa yang digunakan guru, tetapi sebagian dari mereka

mengalami kesalahan dalam membentuk pemikiran asosiatif. Sebagai contoh, peserta

didik mencoba berpikir asosiatif tentang penjelasan pengertian disosiasi yang

diberikan guru, tetapi karena penjelasan guru dirasakan membingungkan, maka

proses pemahaman peserta didik ini menimbulkan kegelisahan. Mungkin sebagian

34

Page 36: Artikel lilim

peserta didik pemahamannya benar, tetapi sebagian lagi salah. Disosiasi yang

dijelaskan sebagai peristiwa terurainya suatu zat menjadi zat yang lebih sederhana

disertai beberapa contoh reaksi kesetimbangan yang merupakan peristiwa ionisasi

akan menghasilkan pemikiran asosiatif peserta didik bahwa disosiasi sebagai

peristiwa terurainya suatu zat menjadi ion-ion. Padahal peristiwa disosiasi tidak

selamanya menghasilkan ion-ion.

3) Pemikiran humanistik

Manusia adalah makhluk hidup yang unik, karena meskipun ia lemah

dibandingkan makhluk hidup lainnya, tetapi ia memiliki kelebihan berupa akal

pikiran yang mampu mengendalikan keinginannya. Dalam kehidupan sehari-hari,

manusia seringkali memandang semua benda di sekitarnya sesuai dengan nalurinya

sebagai manusia atau bersifat manusiawi (Gilbert, Watts, & Osborne, 1982: 62).

Naluri yang demikian kadang-kadang dapat membawa kesalahan dalam pemahaman

suatu konsep. Sebagai contoh, miskonsepsi tentang peranan katalis dalam reaksi. Sulit

bagi peserta didik untuk memahami bahwa setelah reaksi berakhir, katalis akan

diperoleh kembali pada akhir reaksi. Hal ini karena berdasarkan pengalaman dan

pemikirannya, sesuatu yang telah bereaksi tidak akan mungkin kembali seperti

semula. Oleh karena itu penjelasan lebih lanjut perlu disampaikan guru kepada

peserta didik, bahwa suatu katalis yang telah ditambahkan dalam reaksi tidak menjadi

produk reaksi.

4) Penalaran (reasoning) yang tidak lengkap atau salah

Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan

yang berupa pengetahuan (Jujun S. Suriasumantri, 1970: 18). Pada kenyataannya,

miskonsepsi dapat pula disebabkan oleh penalaran (reasoning) peserta didik yang

tidak lengkap atau salah. Ketika peserta didik belum memperoleh pembelajaran suatu

konsep, ia telah memiliki prakonsepsi yang dibentuk berdasarkan pengalaman dan

interaksinya dengan lingkungan (Berg, 1991: 4). Setelah ia memperoleh pembela-

jaran konsep tersebut dari guru, maka ia akan mengonstruksi ulang prakonsepsinya.

35

Page 37: Artikel lilim

Mungkin konstruksi ulang tersebut benar mungkin pula salah. Kesalahan konstruksi

ulang karena prakonsepsi yang dimiliki tidak lengkap dan keterbatasan kemampuan

untuk mengaitkan secara benar konsep yang diterima dengan struktur kognitifnya.

Kesalahan penalaran dapat pula terjadi karena kesalahan logika berpikir yang

digunakan untuk menarik kesimpulan, atau kesalahan menggeneralisasikan suatu

konsep dalam ruang lingkup yang lebih luas, akibatnya terjadi miskonsepsi.

Pengamatan yang tidak lengkap dan teliti terhadap berbagai fakta atau fenomena di

lingkungan sekitar juga dapat menyebabkan kesalahan dalam pengambilan kesim-

pulan yang berakibat terjadinya miskonsepsi. Sebagai contoh, senyawa ionik adalah

senyawa yang dapat terurai menjadi ion-ion. Kesimpulan yang dibuat hanya berdasar-

kan logika berpikir bahwa senyawa ionik mengandung ikatan ion, yaitu ikatan antara

ion positif dan ion negatif. Hal ini akan berakibat terjadinya miskonsepsi jika tidak

ada tambahan bahwa ionisasi hanya terjadi ketika senyawa ionik dilelehkan/

dilarutkan dalam air. Dengan demikian guru perlu selalu mengingatkan kepada

peserta didik untuk berhati-hati dalam menggeneralisasikan fakta-fakta menjadi suatu

konsep agar tidak terjadi over generalization (generalisasi yang terlalu luas).

5) Intuisi yang salah

Intuisi merupakan suatu kegiatan berpikir yang non analitik dan tidak

mendasarkan kepada suatu pola berpikir tertentu. Dengan kata lain, intuisi merupakan

kegiatan berpikir yang tidak berdasarkan penalaran (Jujun S. Suriasumantri, 1970:

19). Kadang-kadang dalam diri seseorang muncul perasaan yang secara tiba-tiba

mengungkapkan sikap atau ide dalam memahami sesuatu keadaan atau gejala/keja-

dian, tanpa melalui pemikiran atau penalaran. Sebagai contoh, peserta didik memiliki

intuisi bahwa jika suatu zat padat dicampurkan ke dalam air, maka setelah diaduk dan

didiamkan pasti akan terbentuk endapan. Pemikiran intuitif ini seringkali menjebak

peserta didik untuk tidak bersikap kritis pada berbagai keadaan yang sejenis, sehingga

dapat mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Hal ini karena tidak semua zat padat

yang dicampurkan dalam air akan mengendap kalau didiamkan, karena adanya dua

jenis campuran, yaitu homogen (larutan) dan heterogen.

36

Page 38: Artikel lilim

Biasanya pemikiran intuitif akan muncul di benak peserta didik secara

spontan ketika secara terus-menerus melihat keadaan atau kejadian. Ketika

dihadapkan pada pertanyaan yang berkaitan dengan pemahaman kejadian tersebut,

maka secara spontan pula peserta didik akan menjawab / menanggapi sesuai dengan

pemikiran intuitif yang dimiliki, tanpa berpikir benar salahnya. Jika hal ini terjadi dan

dibiarkan berlarut-larut akan mengganggu pemahaman konsep lain yang berkaitan

dengan konsep yang dipahami berdasarkan pemikiran intuitif tadi.

6) Tahap perkembangan kognitif peserta didik

Seperti yang dikemukakan Piaget (Ratna Wilis Dahar, 1988: 18) bahwa tahap

perkembangan kognitif anak dimulai dari tahap konkret sampai tahap abstrak,

sehingga pemberian materi pelajaran kepada peserta didik harus disesuaikan dengan

tingkat perkembangan kognitifnya. Miskonsepsi dapat terjadi apabila peserta didik

menerima materi ajar yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kognitifnya.

Sebagai contoh, anak SD yang diberi penjelasan tentang atom yang sangat abstrak,

tidak akan dapat menerima dan memahami dengan benar konsep atom tersebut,

karena tingkat perkembangan kognitifnya belum mampu menjangkau yang konsep

yang abstrak.

Peserta didik di SMA, meskipun mereka sudah termasuk pada tahap berpikir

abstrak, tetapi kadang-kadang mereka masih memerlukan bantuan berupa model,

ilustrasi, atau analogi dengan fenomena kehidupan sehari-hari untuk memahami

konsep yang abstrak. Sebagai contoh, ketika mereka dijelaskan tentang bentuk

molekul tetrahedral, maka tidak cukup hanya digambarkan/dideskripsikan dengan

kata-kata, tetapi guru perlu menunjukkan model molekul tetrahedral, mungkin dengan

molimood/model tiruan dari kertas atau bola pingpong untuk memberikan gambaran

konkretnya. Jika guru tidak membantu dengan model, maka miskonsepsi sangat

mungkin terjadi tentang bentuk molekul tetrahedral yang sesungguhnya.

Contoh lain, guru menjelaskan bahwa kenaikan suhu pada reaksi kese-

timbangan akan menyebabkan reaksi bergeser ke arah endoterm. Konsep ini tidak

mudah dipahami atau sekedar dihafal. Oleh karena itu, guru dapat membantu meng-

37

Page 39: Artikel lilim

analogikan dengan kehidupan sehari-hari. Jika suhu dianalogikan dengan uang, lalu

reaksi digambarkan sebagai kesetimbangan antara dua keluarga yang satu kaya

(eksoterm) dan satu lagi miskin (endoterm), tetapi kedua keluarga tersebut hidup

damai (untuk menggambarkan setimbang). Jika keluarga yang kaya mendapat

tambahan rejeki uang, tentu ia akan memberikan kepada keluarga yang miskin

(bergeser ke endoterm). Dengan cara analogi yang demikian dapat membantu

pemahaman peserta didik dan sekaligus mengantisipasi terjadinya miskonsepsi.

7) Kemampuan peserta didik

Kemampuan yang dimiliki peserta didik ada dua macam, yaitu bakat dan

kecerdasan. Secara umum bakat diartikan sama dengan inteligensi, yaitu kemampuan

mental yang dimiliki seseorang. Berbagai penelitian menghasilkan kesimpulan,

bahwa inteligensi merupakan hasil interaksi antara faktor lingkungan dan bawaan,

sehingga keberadaannya tidak konstan melainkan dapat berubah. Namun demikian,

sampai seberapa besar inteligensi berubah tidak dapat dipastikan, yang jelas bila

seseorang mempunyai kemampuan khusus sebagai bagian dari kemampuan mental

umumnya (inteligensi) bila dikembangkan, maka kemampuan itu akan bertambah.

Inteligensi yang kurang (rendah) tentu sangat berpengaruh terhadap kecepatan

dan ketepatan peserta didik dalam menangkap dan memahami materi yang sedang

dipelajarinya. Selain itu bakat yang kurang juga berakibat tidak dapatnya peserta

didik memahami materi secara ;engkap dan utuh, apalagi menghu-bungkan antar

konsep. Oleh karena itu kemungkinan terjadinya miskonsepsi dalam diri peserta didik

dengan inteligensi rendah lebih besar dibandingkan peserta didik yang memiliki

inteligensi tinggi.

Sebagai contoh, ketika diminta mengerjakan soal kesetimbangan kimia, yaitu

menghitung konstanta kesetimbangan berdasarkan tekanan (Kp), maka peserta didik

dengan inteligensi rendah akan menuliskan rumus Kp sebagai perbandingan tekanan

zat produk dibagi zat reaktan, tanpa memperhatikan fase zatnya. Hal ini karena yang

ada dalam struktur kognitifnya berupa konsep bahwa konstanta kesetimbangan adalah

zat produk dibagi zat reaktan. Struktur kognitifnya tidak mampu menghubungkan

38

Page 40: Artikel lilim

konsep lain yang menyatakan bahwa hanya zat yang berupa gas yang dapat membe-

rikan tekanan.

Seperti halnya inteligensi, maka kecerdasan seseorangpun berbeda-beda.

Piaget merumuskan tingkat perkembangan kecerdasan manusia ke dalam empat

tahap, yaitu: sensori-motorik (usia 0 – 1,5 tahun), pre-operasional / pre-konseptual

(usia 1,5 – 6 tahun), operasi konkret (usia 6/7 - 10/11 tahun), dan operasi formal (usia

10/11 ke atas). Pentahapan kecerdasan tersebut berlaku secara umum, meskipun

dalam praktiknya ada penyimpangan. Hal ini karena meskipun kecerdasan individu

berkembang mengikuti umur kronologisnya, namun kecerdasan dapat diasah sehing-

ga seseorang dapat memiliki pengetahuan yang melebihi umur kronologisnya. Kecer-

dasan juga mempengaruhi mudah tidaknya peserta didik mengalami miskonsepsi.

Semakin cerdas seseorang tentu saja semakin kecil kemungkinan terjadinya miskon-

sepsi dalam struktur kognitifnya, dan sebaliknya.

Bagi peserta didik yang cerdas, memahami bahwa penentu laju reaksi adalah

tahap reaksi yang lambat sangatlah mudah memahaminya. Namun tidak demikian

bagi peserta didik yang kurang cerdas. Dia kesulitan dalam memahami konsep

tersebut, karena dalam struktur kognitifnya ia membayangkan dalam suatu balap

sepeda motor/mobil yang lajunya tercepat itulah yang menang. Di sini terjadi

miskonsepsi analogi, bahwa laju reaksi disamakan dengan laju sepeda motor/mobil

dalam suatu arena balap, padahal laju reaksi berkaitan dengan penambahan jumlah

zat produk tiap satuan waktu, tidak ada kaitannya dengan laju sepeda motor / mobil.

8) Minat belajar

Perasaan senang dan rasa ingin tahu merupakan sebagian indikator yang dapat

dijadikan kriteria bahwa seseorang berminat terhadap suatu objek (Moh. Uzer

Usman, 2000: 2). Dengan demikian bila peserta didik berminat belajar kimia, maka

tentu ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai materi kimia dengan

baik dan benar. Selain itu, minat yang tinggi dapat menciptakan situasi yang kondusif

bagi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran, karena adanya minat dapat

39

Page 41: Artikel lilim

memberikan dorongan untuk selalu semangat belajar dan menghadapi permasalahan

yang berkaitan dengan objek yang diminatinya Wasty Soemanto (1987: 16).

Minat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar, semakin tinggi minat

seseorang semakin besar semangatnya untuk belajar (Sri Esti Wuryani D, 1989: 156).

Jika materi pembelajaran yang dipelajari tidak sesuai dengan minat peserta didik,

maka mereka tidak akan belajar dengan sebaik-baiknya, karena tidak ada daya tarik

baginya. Dengan demikian sangat penting bagi seorang guru untuk menumbuhkan

minat belajar peserta didiknya sebelum ia memulai pelajaran (Slameto, 1995: 180).

. Menurut Singer (1987: 92-93), peserta didik yang memiliki minat terhadap

objek tertentu cenderung memberikan perhatian yang lebih besar terhadap objek

tersebut. Oleh karena itu penting bagi seorang guru mengetahui minat peserta didik

dalam rangka meningkatkan prestasi belajarnya (Wayan Nurkancana,1982: 215-

216).

Secara umum dapat dikatakan bahwa peserta didik yang berminat belajar

kimia cenderung memiliki miskonsepsi lebih rendah daripada peserta didik yang

tidak berminat belajar kimia. Hal ini karena peserta didik yang kurang berminat

belajar kimia cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru di kelas dan sangat

jarang beraktivitas membaca buku pelajaran kimia. Akibatnya mereka akan lebih

mudah mengalami kesalahan penangkapan materi, karena yang mereka dengarkan

hanya sepotong-potong materi, tidak keseluruhan. Ketika mereka mencoba

membangun pemahaman dalam struktur kognitifnya, maka cenderung mengalami

miskonsepsi karena pemahaman yang tidak lengkap dan utuh.

Sebagai contoh, guru menjelaskan penerapan prinsip pergeseran kesetim-

bangan dalam industri pembuatan ammonia. Oleh karena peserta didik kadang

memperhatikan kadang tidak, maka ia hanya menangkap bahwa agar produk

ammonia menjadi optimal suhu reaksi harus dinaikkan setinggi-tingginya dan tekanan

dinaikkan sebesar-besarnya. Padahal untuk menaikkan suhu dan tekanan diperlukan

pertimbangan biaya operasional yang harus dipikirkan oleh pabrik. Penjelasan yang

terakhir ini jika tidak didengarkan akan berakibat terjadinya miskon-sepsi pada

40

Page 42: Artikel lilim

peserta didik yang kurang berminat belajar kimia, karena ia tidak mau mendengarkan

keseluruhan penjelasan guru.

b. Miskonsepsi karena guru

Perubahan kurikulum saat ini menjadi kurikulum 2006 memunculkan

paradigma baru dalam pendidikan dimana proses pembelajaran diharapkan tidak lagi

berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada peserta didik (student

centered). Peranan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator dalam proses

pembelajaran. Perubahan paradigma ini tidak serta merta berubah secara drastis,

tetapi peran guru sebagai pendidik yang bertugas menyampaikan ilmu tetap berlaku

Komunikasi verbal yang terjadi ketika seorang guru menerapkan metode

ceramah dalam proses pembelajaran, memiliki kelemahan bahwa peserta didik tidak

dapat secara keseluruhan menangkap materi yang disampaikan guru. Hal ini karena

komunikasi verbal memiliki banyak kelemahan, diantaranya persepsi guru dengan

peserta didik yang berbeda karena masing-masing memiliki dunia dan bahasa yang

berbeda serta pengalaman dan pengetahuan yang berbeda pula (Carter, dkk, 1989).

Hasil penelitian yang dilakukan Garrett & Jimenez (1994) menunjukkan salah

satu penyebab peserta didik sulit menangkap pelajaran disebabkan bahasa yang

digunakan guru dalam mengajar membingungkan, sehingga peserta didik kesulitan

menghubungkan antar konsep yang diterimanya. Penelitian tentang pentingnya

kualitas komunikasi di kelas dan peranan bahasa dalam pembelajaran Sains dilakukan

oleh Lynch (1989). Hasilnya menunjukkan bahwa semua yang diucapkan guru di

depan kelas belum tentu dapat dipahami oleh peserta didik. Hal yang menyebabkan

diantaranya karena dalam Sains (termasuk kimia) terlalu banyak dimuati oleh kata-

kata yang bersifat teknis dan hubungan logis, perbedaan bahasa yang digunakan guru

dengan bahasa yang digunakan peserta didik, beragamnya bahasa yang digunakan

peserta didik yang tidak dipahami guru, kebingungan guru dalam menggunakan kata

penghubung yang bersifat logis, dan ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan

konteks kata yang dipengaruhi oleh perbedaan karakteristik bahasa yang digunakan.

41

Page 43: Artikel lilim

Berdasarkan paparan hasil-hasil penelitian tersebut, maka dapat dipahami

bahwa guru dapat menjadi sumber terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik.

Seperti diketahui bahwa berdasarkan aliran konstruktivisme, seorang peserta didik

akan berusaha mengontruksi ulang atau mencoba melakukan penyelarasan konsep

yang dimiliki dengan konsep yang baru diterima. Jika penangkapan terhadap konsep

yang disampaikan guru oleh peserta didik ternyata salah (bukan karena guru yang

salah konsep), maka akan terjadi konstruksi konsep baru yang salah yang termasuk

miskonsepsi. Miskonsepsi ini akan jauh lebih parah jika ternyata konstruksi kognitif

awal peserta didik didik tentang konsep tersebut memang sudah salah.

Miskonsepsi dapat pula terjadi ketika guru menyampaikan konsep salah dan

peserta didik mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sebenarnya sudah

benar, atau sebaliknya guru sudah menyampaikan konsep dengan benar, tetapi peserta

didik tidak mengontruksi ulang konsep yang dimilikinya yang sebenarnya salah. Jika

kedua hal ini terjadi, maka ini disebut school made misconception, yaitu miskonsepsi

yang disebabkan sekolah yang dibuat oleh peserta didik sendiri. Oleh karena itu

sangat penting bagi guru, meskipun saat ini ia hanya diposisikan sebagai fasilitator

dan motivator untuk tetap dapat melakukan pengecekan atau deteksi terhadap

kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Lebih penting lagi, seorang

guru perlu lebih berhati-hati dan berusaha menguasai konsep dengan baik dan benar

agar dalam penyampaiannya tidak salah yang dapat berakibat miskonsepsi pada diri

anak didiknya.

Contoh miskonsepsi yang disebabkan guru salah dalam menyampaikan materi

adalah ketika guru menjelaskan perhitungan konstanta kesetimbangan (Kc), yaitu

perbandingan konsentrasi zat produk dibagi zat reaktan. Jika ketika menjelaskan guru

memberikan contoh reaksi kesetimbangan terjadi pada volum 1 L dan ketika

memasukkan dalam rumus konsentrasi (mol / L) harga 1 L tidak dituliskan, karena

menganggap tidak berpengaruh pada perhitungan, maka hal ini dapat menyebabkan

terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Bisa jadi konstruksi kognitif peserta didik

berubah bahwa konsentrasi yang dimaksud hanyalah mol.

42

Page 44: Artikel lilim

Contoh lain miskonsepsi yang disebabkan kesalahan peserta didik meskipun

guru sudah menyampaikan konsep dengan benar adalah ketika guru menjelaskan

pergeseran kesetimbangan yang disebabkan oleh suhu. Peserta didik lalu menghu-

bungkan penjelasan guru dengan harga Kc, maka jika peserta didik salah dalam

mengontruksi akan mendapatkan konsep baru hasil konstruksi yang salah pula, yaitu

anggapan bahwa harga Kc dapat berubah ketika suhu berubah.

Penjelasan guru yang terlalu cepat dan kurang mendalam juga dapat memicu

terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Hal ini disebabkan terkadang dalam benak

guru menganggap bahwa materi tersebut sangat mudah dipahami dan tidak

memerlukan penjelasan yang mendalam, dengan harapan peserta didik membaca

sendiri penjelasan lengkap konsep yang dimaksud dari buku. Pada kenyataannya,

tidak semua anggapan guru tersebut benar, karena sebagian peserta didik hanya

mengandalkan penjelasan guru dan baru membaca buku ketika akan menghadapi

ujian. Akibatnya penjelasan yang tidak lengkap dari guru tadi memunculkan

miskonsepsi yang tidak disadari, baik oleh guru maupun peserta didik itu sendiri.

Sebagai contoh, guru menjelaskan bagaimana memasukkan data mol dari zat-

zat dalam reaksi kesetimbangan dan menentukan mol dari zat-zat yang belum

diketahui. Guru beranggapan peserta didik sudah mengetahui bahwa menentukan mol

dari zat-zat yang belum diketahui dilakukan dengan melihat perbandingan angka

koefisien seperti biasa yang dilakukan dalam perhitungan stoikiometri yang berkaitan

dengan persamaan reaksi, sehingga guru merasa tidak perlu memberitahukan hal itu.

Anggapan seperti ini dapat berakibat fatal, karena peserta didik tidak memperoleh

penjelasan lengkap materi tersebut.

Contoh lainnya, ketika guru memberikan contoh soal-soal perhitungan

kesetimbangan kimia dimana data yang diberikan selalu dalam bentuk mol dan tidak

menjelaskan bagaimana jika data yang diketahui dalam bentuk massa atau volum.

Peserta didik yang tidak ingat lagi tentang peta konsep jalur stoikiometri yang

diajarkan di kelas sebelumnya, kemungkinan akan mengerjakan soal dengan cara

43

Page 45: Artikel lilim

salah, yaitu langsung memasukkan data massa atau volum tanpa mengubah terlebih

dahulu menjadi mol.

Penelitian yang dilakukan Lynch (1989: 33-41) menunjukkan adanya

miskonsepsi pada peserta didik yang disebabkan kesalahan dalam komunikasi,

dimana guru menjelaskan dengan bahasanya sendiri tanpa peduli peserta didik

mengerti atau menangkap isi dari penjelasannya atau tidak (perbedaan bahasa guru

dan peserta didik), guru mendominasi pembicaraan di kelas tanpa berusaha menggu-

nakan kata penghubung yang besifat logis, ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan

konteks kata. Akibatnya peserta didik ”sibuk” menghubungkan sendiri istilah-istilah

yang digunakan guru dengan mengasosiasikan hal-hal yang biasa dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, guru menjelaskan susu sebagai suatu protein

yang tersuspensi, tetapi karena penjelasan ini tidak dimengerti kemudian peserta didik

mengasosiasikan susu sebagai suatu larutan yang ditempatkan dalam botol untuk

pembuatan keju dan dapat menjadi asam dan inilah yang disebut protein tersuspensi.

Berdasarkan hal tersebut, maka seorang guru sangat mungkin menjadi

penyebab terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, terutama peserta didik yang

memiliki kemampuan menengah ke bawah. Penyebab khusus yang mungkin

menjadikan peserta didik mengalami miskonsepsi adalah (1) guru tidak menguasai

bahan / materi secara baik, utuh, dan benar (tidak memiliki kompetensi profesional

dan pedagogik), (2) guru tidak berlatar belakang sarjana bidang ilmu yang diajarkan,

misal sarjana pendidikan matematika tetapi mengajar kimia, (3) jarang melakukan

aktivitas pembelajaran yang memberikan kesempatan peserta didik mengemukakan

gagasan / ide, sehingga tidak dapat mendeteksi terjadinya miskonsepsi secara dini,

dan (4) tidak terjalin baik hubungan antara guru dengan peserta didik, sehingga ketika

peserta didik mengalami kesulitan dalam pemahaman suatu konsep tidak berani

bertanya (Paul Suparno, 2005: 53).

Dengan demikian saat ini guru dituntut untuk senantiasa mengembangkan

keprofesionalannya dengan selalu berusaha menjadi lebih baik dan memperluas

wawasannya. Dengan kata lain guru diharapkan mampu mengembangkan kompetensi

44

Page 46: Artikel lilim

profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadiannya sesuai dengan yang diamanatkan

dalam Pasal 28 ayat 1 PP No 19/ 2005 (Standar Nasional Pendidikan) dan Pasal 8 UU

RI No 14/2005 (UU Guru dan Dosen).

c. Miskonsepsi karena buku teks pelajaran

Buku ajar merupakan salah satu masukan (input) dalam proses pembelajaran

yang ikut menentukan keberhasilan pencapaian tujuan instruksional, kurikulum,

institusional, dan bahkan tujuan pendidikan nasional (Taya, et al., 1990: 75). Buku

ajar umumnya disusun berdasarkan kurikulum atau tafsiran kurikulum yang berlaku.

Buku ajar berisi tentang pendekatan implementasi kurikulum yang berlaku, sehingga

ada kemungkinan terdapat beberapa macam buku ajar untuk satu bidang studi tertentu

(Nasution, 1982: 119-120).

Buku ajar dapat merupakan komponen penting dari suatu kurikulum. Oleh

karena itu materi yang terkandung dalam buku ajar harus sesuai dengan sistematika

rincian bahan pelajaran yang tertera dalam silabus mata pelajaran yang bersangkutan

(Muhammad Ansyor & Nurtain, 1991: 17). Buku ajar kimia merupakan buku yang

memuat materi kimia sesuai dengan bahan kajian kimia dan tujuan pembelajaran

kimia yang tertera dalam silabus mata pelajaran kimia kurikulum yang berlaku.

Sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan buku teks pelajaran yang bermutu,

maka pada penerapan Kurikulum 2006 ini Depdiknas mengeluarkan Kebijakan

Standar Mutu Buku Pelajaran yang tertuang dalam Permendiknas No. 2 tahun 2008

tentang buku, termasuk buku teks pelajaran . Kebijakan ini dimaksudkan agar dapat

dihasilkan buku teks pelajaran yang bermutu dan dapat digunakan untuk jangka

waktu yang relatif lama (5 tahun). Dengan demikian, ketika ada pergantian kurikulum

yang kurang dari 5 tahun, tidak akan mempengaruhi buku ajar yang digunakan.

Menurul Bahrul Hayat, et al. (2001) dalam Pedoman Sistem Penilaian

dikatakan bahwa buku teks adalah buku teks pelajaran yang memiliki peranan dalam

menentukan keberhasilan pendidikan peserta didik. Buku teks pelajaran juga

dipandang sebagai sarana untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan. Buku teks

45

Page 47: Artikel lilim

pelajaran yang digunakan guru dan peserta didik di sekolah harus secara jelas dapat

mengkomunikasikan informasi, konsep, pengetahuan, dan mengembangkan kemam-

puan sedemikian rupa sehingga dapat dipahami dengan baik oleh guru dan peserta

didik.

Banyaknya buku teks pelajaran yang beredar di pasaran dari berbagai

pengarang dan penerbit tentunya memiliki perbedaan dari berbagai aspek, seperti

pemaparan isi, keluasan dan kedalaman materi, tampilan, dan lain-lain sesuai dengan

falsafah dan gaya mengajar dari masing-masing pengarangnya, walaupun disusun

atas dasar standar kompetensi dan kompetensi dasar yang sama (Thiessen, Wild, &

Baum, 1989).

Sehubungan dengan fungsinya sebagai pegangan dalam mengajar guru dan

pedoman belajar peserta didik, maka dengan semakin banyaknya buku teks pelajaran

yang beredar semakin besar kemungkinan tidak terkontrolnya kualitas buku ajar

tersebut. Penilaian buku teks pelajaran tidak menjamin sepenuhnya akan kebenaran

konsep yang dipaparkan dalam buku tersebut. Apalagi kenyataan menunjukkan

sebagian besar guru menggunakan buku teks pelajaran bukan berdasarkan pada

kualitas buku, melainkan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, seperti sudah terbiasa

dengan buku dari pengarang dan penerbit tertentu, kepraktisan dalam penggunaan,

banyaknya soal dalam buku, dan lain-lain.

Menurut Taya, et al. (1990: 31) kualitas buku teks pelajaran dapat dilihat dari

segi fisik, seperti desain grafis, ukuran kertas, ukuran kuarto, dan lain-lain, dan dari

segi isi, sejauhmana materi yang ada memenuhi tuntutan kurikulum yang berlaku dan

kebenaran dan keutuhan materi yang ada sesuai dengan disiplin ilmunya. Standar

mutu buku pelajaran yang dimaksud oleh Pusbuk adalah menyangkut kebenaran isi,

kejelasan penyajian materi, keterurutan penyajian, ilustrasi yang jelas, soal dengan

tingkat kesulitan dan konteks yang bervariasi, bahasa yang baik dan komunikatif,

memunculkan cara berpikir logis, dan lain-lain. Namun kriteria buku yang berkualitas

seperti yang diisyaratkan Pusbuk kurang mendapat perhatian guru ketika memilih

buku ajar yang akan digunakan sebagai pedoman pembelajaran.

46

Page 48: Artikel lilim

Buku teks pelajaran merupakan sumber belajar bagi peserta didik yang

bersifat pasif, artinya peserta didik hanya berkomunikasi dengan tulisan-tulisan dan

gambar-gambar dalam buku tersebut dan tidak dapat bertanya langsung jika ada

kalimat yang kurang jelas dan tidak dipahami. Semua kalimat dalam buku dicoba

dipahami sendiri oleh peserta didik, sehingga kadang-kadang pemaksaan pemahaman

ini dapat berakibat terjadinya miskonsepsi. Oleh karena itu buku teks pelajaran juga

dapat menyebarkan miskonsepsi bagi peserta didik (Paul Suparno, 2005: 44). Hal ini

karena bahasa yang digunakan oleh pengarang buku untuk memaparkan suatu konsep

mungkin diartikan atau ditangkap berbeda oleh peserta didik.

Beberapa penelitian menunjukkan adanya beberapa miskonsepsi yang

disebabkan dari buku teks pelajaran yang dibaca oleh peserta didik (Abraham, et al.,

1992). Penelitian yang dilakukan Garnett & Treagust (1992) menunjukkan miskon-

sepsi peserta didik terhadap materi elektrokimia disebabkan oleh buku teks yang

digunakan untuk belajar mereka. Penelitian serupa dilakukan George (1989) yang

menyatakan sebagian besar miskonsepsi yang dimiliki peserta didik bersumber pada

buku yang digunakan.

Kemajuan teknologi juga membawa dampak pada dunia perbukuan, terbukti

semakin banyaknya buku yang dicetak dengan tulisan yang indah, cover yang mewah

disertai gambar-gambar yang menarik. Namun sebenarnya kualitas buku tidak

ditentukan oleh keindahan fisiknya, tetapi pada kebenaran dan kejelasan konsep yang

dipaparkan. Desain dan gambar fullcolour yang menarik belum menjamin buku

tersebut tidak mendatangkan miskonsepsi bagi pemakainya (peserta didik), sebab

tulisan dan ilustrasi gambar yang tidak tepat dapat memunculkan kesalahan

pemahaman peserta didik yang berujung pada terjadinya miskonsepsi.

Sebagai contoh, pada sebuah buku teks kimia SMA kelas XI dipaparkan

tentang pergeseran kesetimbangan disebabkan oleh perubahan konsentrasi salah satu

zat, perubahan tekanan atau volum, perubahan suhu, dan katalis. Padahal sebenarnya

katalis tidak dapat menggeser suatu reaksi kesetimbangan. Namun karena katalis

diletakkan pada paparan tentang faktor-faktor yang dapat menggeser letak

47

Page 49: Artikel lilim

kesetimbangan, maka peserta didik menganggap katalis dapat menggeser reaksi yang

telah setimbang. Hal yang benar seharusnya pembahasan tentang katalis terpisah dari

paparan tentang pergeseran kesetimbangan, karena katalis hanya berfungsi

mempercepat tercapainya keadaan setimbang.

Ilustrasi gambar yang disertakan dalam buku teks pelajaran sangat memung-

kinkan munculnya miskonsepsi, karena gambar merupakan wujud konkrit yang

mudah ditangkap dan dipahami peserta didik Oleh karena itu ilustrasi gambar dari

suatu konsep sangat penting diperhatikan guru agar ketika dijumpai ilustrasi gambar

yang salah segera dapat diluruskan, sehingga miskonsepsipun dapat dihindarkan.

Berikut ini adalah contoh gambar yang menganalogikan keadaan kesetim-

bangan dinamis yang kemungkinan dapat menyebabkan miskonsepsi pada peserta

didik.

Gambar 2.Analogi Keadaan Kesetimbangan Dinamis yang Kurang Tepat

(Sumber Gambar: Michael Purba, 2006, 170)

Berdasarkan gambar tersebut, maka peserta didik mengalami miskonsepsi,

dimana kesetimbangan dinamis tercapai ketika volum kedua larutan sama. Penggu-

naan analogi dalam menyampaikan suatu konsep sangat baik, karena membantu

48

Page 50: Artikel lilim

peserta didik dalam memahami konsep, tetapi kadang-kadang analogi tersebut dapat

menimbulkan miskonsepsi (Dupin & Jhosua, 1987).

Penggambaran keadaan kesetimbang dinamis yang kemungkinan juga dapat

menyebabkan miskonsepsi adalah kesetimbangan dianalogikan seperti setimbangnya

permainan jungkat-jungkit. Penganalogian tersebut akan berakibat terjadinya miskon-

sepsi bahwa keadaan kesetimbangan dinamis tercapai jika berat/massa sama. Jika hal

ini diterapkan dalam suatu reaksi kimia, maka reaksi kesetimbangan terjadi jika

massa zat-zat reaktan sama dengan massa zat-zat produk.

Contoh lainnya adalah ketika dalam sebuah buku kimia SMA kelas XI

menjelaskan tentang pengaruh tekanan terhadap kesetimbangan dengan memberikan

contoh suatu reaksi kesetimbangan CO (g) + 3 H2O (g) CH4 (g) + H2O (g) disertai

Gambar 3.

Gambar 3.Ilustrasi tentang Pengaruh Tekanan terhadap Kesetimbangan Kimia

(Sumber Gambar: Michael Purba, 2006, 178)

Ilustrasi gambar yang diberikan dalam buku tersebut sangat membingungkan

bagi peserta didik, karena adanya perubahan jumlah molekul zat-zat yang terlibat

dalam reaksi kesetimbangan. Gambar yang membingungkan akan berujung pada

pemahaman yang salah dan akhirnya terjadilah miskonsepsi pada diri peserta didik

tentang konsep yang dimaksud.

49

Page 51: Artikel lilim

Menurut Paul Suparno (2005: 53), penyebab khusus terjadinya miskonsepsi

karena keberadaan buku teks diantaranya karena (1) penjelasan yang keliru dalam

buku tersebut, (2) kesalahan penulisan yang tidak diikuti dengan ralat (dalam ilmu

kimia kesalahan penulisan rumus sangat berakibat fatal), (3) penggunaan bahasa yang

terlalu tinggi untuk level peserta didik yang dituju, (4) banyak peserta didik yang

membaca buku teks sepotong-sepotong (tidak utuh) sehingga memberikan

pemahaman yang tidak utuh dan kurang tepat / benar, (5) pemberian ilustrasi gambar

yang diambil dalam kehidupan sehari-hari yang tidak sesuai dengan makna konsep

yang sesungguhnya, dan (6) penggunaan gambar kartun yang sering mengandung

miskonsepsi.

d. Miskonsepsi karena konteks

Menurut Carter & Brikhouse (1989), konteks materi pelajaran dapat dipahami

secara berbeda oleh peserta didik dan guru. Hal ini disebabkan oleh perbedaan

pengalaman, pengetahuan, tujuan, keperluan, dan motivasi. Oleh karena itu untuk

memahami kesulitan peserta didik, guru terlebih dahulu harus memahami bahwa

persepsi yang dimiliki peserta didik sering tidak sama dengan persepsi guru, karena

peserta didik memiliki dunia dan bahasa yang berbeda.

1) Pengalaman

Setiap peserta didik memiliki pengalaman yang berbeda-beda dalam kehidup-

annya yang mempengaruhi pola pikir dan kemampuan dalam mengatasi permasa-

lahan. Pengalaman peserta didik dapat menyebabkan miskonsepsi. Sebagai contoh,

pengertian setimbang selalu disamakan dengan sesuatu yang jumlahnya sama, karena

demikianlah pengalaman dalam kehidupannya. Peserta didik menemukan setimbang

ketika membeli sesuatu dan ditimbang dengan timbangan, melihat permainan

jungkat-jungkit yang dapat setimbang ketika jumlah anak-anak yang duduk di ujung

kedua sisi sama. Hal inilah yang mempengaruhi pola pikirnya ketika harus mema-

hami kesetimbangan reaksi.

50

Page 52: Artikel lilim

Kesidou & Duit (1993) telah melakukan penelitian terjadinya miskonsepsi

pada materi termodinamika yang salah satunya disebabkan latar belakang penga-

laman hidup sehari-hari peserta didik, yaitu ketika memahami tentang pengertian

suhu dan panas. Peserta didik menyatakan suhu adalah variabel yang dapat diukur,

sedangkan panas tidak dapat diukur. Pemahaman yang salah ini dilatarbelakangi

peristiwa kehidupannya dimana seseorang yang menderita demam diukur suhunya

dengan termometer, sedangkan panas dipandang sesuatu yang dihasilkan api sehingga

tidak dapat diukur.

2) Bahasa sehari-hari

Seperti diketahui, semua bidang ilmu memiliki istilah-istilah yang berbeda

dengan istilah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, jika

bahasa sehari-hari disamakan artinya dengan istilah yang ada dalam bidang ilmu

tertentu akan dapat menimbulkan miskonsepsi.

Ilmu kimia banyak memiliki bahasa dan istilah yang spesifik yang berbeda

dengan bahasa sehari-hari dan bahasa ilmu yang lain. Sebagai contoh, istilah

resonansi dalam ilmu kimia tidak sama artinya dengan istilah resonansi dalam ilmu

fisika. Demikian juga istilah setimbang dalam ilmu kimia tidak sama artinya dengan

istilah setimbang dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perbedaan makna bahasa dan

istilah dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Penelitian yang dilakukan Lynch

(1989) menyatakan bahwa faktor bahasa mempengaruhi kemampuan peserta didik

dalam membangun konsep, seperti bagaimana menggunakan kata penghubung yang

bersifat logis, ragam bentuk bunyi, makna, struktur, dan konteks kata.

Penelitian serupa dilakukan oleh Beek & Louters (1991) yang hasilnya dari

234 maha(siswa) menunjukkan rerata skor masalah dalam menyelesaikan soal kimia

yang diberikan pengajar yang berkaitan dengan bahasa umum dan bahasa kimia

sebesar 87% dan 84%, artinya sumber utama kesulitan maha(siswa) dalam mema-

hami konsep kimia terletak pada penggunaan bahasa umum dan bahasa kimia.

51

Page 53: Artikel lilim

3) Teman

Setiap peserta didik tidak pernah terlepas dari pergaulan dengan teman-teman

sebayanya. Pergaulan dapat mempengaruhi pola pikir, sikap, dan kemampuan

seseorang (Slameto, 1995 : 71). Dalam pergaulan antar peserta didik, terutama dalam

hal belajar dan mempelajari suatu materi pelajaran, peserta didik yang memiliki

kepandaian lebih belum tentu dapat mempengaruhi teman, sebab anak-anak seusia

remaja (anak SMA) lebih mudah dipengaruhi oleh teman yang suaranya vokal.

Padahal mereka yang bersuara vokal belum tentu memiliki kemampuan intelektual

yang tinggi, tetapi mungkin memiliki miskonsepsi satu atau beberapa konsep. Hal ini

berakibat ketika seorang peserta didik berada satu kelompok diskusi/belajar dengan

peserta didik yang vokal, dapat tertular miskonsepsi tersebut, karena peserta didik

yang vokal dapat berbicara meyakinkan kepada teman satu kelompoknya.

4) Agama

Agama adalah keyakinan seseorang terhadap sesuatu dzat pencipta alam

semesta. Ajaran agama yang dipahami secara kurang atau tidak tepat dapat berakibat

fatal ketika pemahaman tersebut diterapkan dan dihubungkan dengan bidang ilmu

tertentu. Sebagai contoh, menurut ajaran agama Islam manusia diciptakan dari tanah

(QS Faathir: 11), jika pemahaman ini salah maka terjadilah miskonsepsi bahwa

komposisi zat-zat yang terkandung dalam tubuh manusia sama dengan zat-zat yang

terkandung dalam tanah. Kesalahan pemahaman agama dikarenakan kita hanya

mengambil penggalan ayat-ayat, sehingga tidak diperoleh pemaknaan yang utuh dan

benar dari suatu firman Tuhan.

e. Miskonsepsi karena metode mengajar

Kurikulum baru memberikan ruang gerak yang bebas bagi guru untuk

mengembangkan kurikulum pada tingkat pembelajaran, tetapi kenyataannya guru

tetap berorientasi pada penyelesaian semua materi untuk tiap semesternya (subject

matter oriented). Hal ini disebabkan pada akhirnya nanti peserta didik harus dibekali

semua materi ajar dalam menghadapi ujian akhir, sehingga guru berusaha keras untuk

menyelesaikan dan menyampaikan materi tepat pada waktunya. Akibatnya sebagian

52

Page 54: Artikel lilim

guru masih sangat jarang menerapkan metode pembelajaran tanya jawab, diskusi,

demonstrasi, praktikum, eksperimen, dan metode-metode selain ceramah dalam

proses pembelajarannya, karena metode-metode tersebut dianggap banyak menyita

waktu pembelajaran, padahal materi yang harus disampaikan relatif banyak, sehingga

guru takut tidak selesai menyampaikan semua materi. Menurut sebagian guru, hanya

dengan metode ceramah, maka ia dapat mengejar target materi yang harus

disampaikan kepada peserta didik.

Pembelajaran dengan ceramah memang menghemat waktu, karena komuni-

kasi terjalin hanya satu arah, yaitu dari guru kepada peserta didik. Namun bahasa

verbal yang digunakan guru dalam ceramah sangat memungkinkan terjadinya

miskonsepsi pada peserta didik, karena pemahaman dan penangkapan yang salah

tentang kalimat yang digunakan guru, penjelasan yang terlalu cepat dan kurang

mendalam, dan sulitnya guru mendeteksi sudah atau belumnya materi tersebut

dikuasai peserta didik ketika materi tersebut diajarkan. Oleh karena itulah perlu bagi

guru menerapkan metode ceramah yang diselingi dengan tanya jawab atau diskusi,

dimana peserta didik diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat tentang

konsep atau materi yang sedang dibahas dengan bahasa mereka sendiri, sehingga jika

terjadi miskonsepsi dapat segera terdeteksi dan diperbaiki (Arons, 1981).

Namun demikian, bukan berarti metode ceramah merupakan metode

pembelajaran yang buruk, karena baik buruknya metode sangat tergantung dari

karakteristik materi dan kemampuan guru dalam menerapkannya. Metode ceramah

baik dan tepat digunakan untuk menyampaikan materi yang sederhana, tidak terlalu

abstrak, dan konsepnya mudah dicerna oleh peserta didik. Demikian juga jika metode

ceramah diterapkan oleh guru yang piawai mentransfer ilmu dengan bahasa yang

lugas, menarik, dan jelas akan dapat menutupi semua kekurangan yang ada dan

sedikit kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik. Kepiawaian guru

berbicara di dalam kelas dapat menghilangkan kebosanan peserta didik dalam belajar

sekaligus menarik perhatian mereka untuk mau mendengarkan dengan seksama

(Tjipto Utomo & Kees Ruijter, 1994 : 185). Dengan mendengarkan secara seksama,

53

Page 55: Artikel lilim

kemungkinan terjadinya kesalahan dalam menangkap materi dapat diminimalisir,

sehingga miskonsepsi dapat terhindarkan.

Baik buruknya suatu metode pembelajaran sangat tergantung kecakapan guru

dalam memilih dan menggunakan metode tersebut (Pasaribu & Simanjuntak, 1983:

15). Pengguna metode memberi warna dan nilai pada metode yang digunakan.

Penggunaan metode yang tepat dapat membantu mempermudah peserta didik dalam

memahami suatu konsep dan sekaligus meningkatkan motivasi belajar peserta didik.

Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa keunggulan pembelajaran di Jepang

terutama disebabkan oleh peranan guru yang mampu memilih strategi pembelajaran

yang efektif termasuk di dalamnya memilih metode pembelajaran (Aleks Masyunis,

2000 : 7). Metode pembelajaran merupakan salah satu komponen sistem pembela-

jaran yang berada di bawah kontrol guru. Oleh karena itu gurulah yang harus

mempersiapkan penerapan suatu metode pada pembelajaran suatu konsep.

Sebelum merencanakan untuk menerapkan metode baru, guru sebaiknya me-

mikirkan kesesuaiannya dengan materi yang akan diajarkan, termasuk kelancaran

penerapannya dengan meninjau alokasi waktu yang tersedia dan sarana prasarana

pendukung yang ada. Ketika akan menerapkan suatu metode pembelajaran, guru

perlu mempersiapkan dengan baik agar metode yang digunakan benar-benar

membantu pemahaman peserta didik, bukan sebaliknya membingungkannya.

Banyak metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran

kimia, seperti ceramah, diskusi, tanya jawab, resitasi (penugasan), demonstrasi,

praktikum, dan eksperimen. Pengkombinasian beberapa metode dalam suatu pembe-

lajaran konsep tertentu akan menjadikan peserta didik memperoleh pemahaman

dengan berbagai cara.

Metode tanya jawab dapat menimbulkan miskonsepsi jika guru tidak membe-

rikan simpulan yang benar dari seluruh konsep yang digunakan sebagai bahan tanya

jawab. Demikian juga metode diskusi, guru harus memberikan simpulan akhir yang

berupa penjelasan yang benar tentang konsep yang didiskusikan, sehingga jika ada

peserta didik yang salah dalam memahami segera dapat memperbaiki dan mengon-

54

Page 56: Artikel lilim

truksi ulang struktur kognitif baru. Hal ini juga berlaku pada penerapan metode

resitasi (penugasan), baik yang berupa pekerjaan rumah (PR) maupun tugas yang

dikerjakan di kelas.

Lain halnya dengan metode demonstrasi dimana guru ingin menunjukkan

suatu proses/reaksi kimia di hadapan peserta didik. Guru perlu mempersiapkan sebaik

mungkin dan melakukan uji coba sebelum demonstrasi di depan kelas. Hal ini sebagai

antisipasi agar tidak terjadi kegagalan yang berakibat terjadinya miskonsepsi pada

diri peserta didik. Sebagai contoh, ketika guru akan mendemonstrasikan pengaruh

konsentrasi terhadap laju reaksi, maka harus dicoba terlebih dahulu agar ketika

didemonstrasikan di depan kelas tidak mengalami kegagalan.

Seseorang dapat dikatakan sudah belajar kimia secara lengkap ketika dalam

proses pembelajarannya disertai kegiatan kerja ilmiah, yaitu praktikum maupun

eksperimen. Keduanya hampir sama, tetapi dalam eksperimen selain peserta didik

dilatih kerja ilmiah, terampil menggunakan alat dan bahan kimia, juga dilatih untuk

menggunakan penalaran dan logikanya dalam menemukan sesuatu yang baru

(inovatif), baik dalam hal prosedur, bahan yang digunakan maupun alat alternatif

yang mungkin dapat diciptakan.

Pelaksanaan praktikum dan eksperimen hendaknya didasari pada suatu prinsip

bahwa segala gejala dan reaksi kimia yang terjadi dan dipraktikkan tidak selalu

memberikan hasil yang sama, karena ilmu pengetahuan termasuk ilmu kimia

memiliki sifat relatif (tidak absolut), artinya selalu ada kemungkinan terjadi

penyimpangan (Das Salirawati, 2008: 18). Hal ini perlu disampaikan kepada peserta

didik agar ketika mereka menemukan penyimpangan yang terjadi dan dijumpai dalam

kehidupan sehari-hari tidak kebingungan, bahkan kemudian terbentuk kontruksi

konsep yang saling kontradiktif yang akhirnya menyebabkan miskonsepsi. Sebagai

contoh, semua logam jika dipanaskan akan bertambah panjang. Jika guru tidak

memberitahukan bahwa ada satu logam yang berwujud cair, yaitu air raksa, maka

peserta didik akan kebingungan ketika melihat air raksa dipanaskan tidak bertambah

panjang. Demikian pula ketika peserta didik bereksperimen menguji adanya gula

55

Page 57: Artikel lilim

pereduksi dari berbagai macam sampel yang mengandung karbohidrat dengan reagen

Barfoed, maka endapan yang terbentuk tidak selalu merah bata, tetapi dapat berwarna

hijau atau coklat, tergantung dari banyaknya gula pereduksi yang terkandung dalam

sampel. Dengan demikian guru harus tetap ambil bagian dalam mengantisipasi

kemungkinan terjadinya miskonsepsi pada diri peserta didik.

Secara khusus cara mengajar guru yang diwujudkan dalam bentuk metode

pembelajaran dapat menimbulkan miskonsepsi jika guru (1) hanya menggunakan

metode ceramah dan menulis tanpa berusaha mencari umpan balik dikuasai atau

belumnya materi yang disampaikan, (2) tidak menjelaskan penurunan rumus dari

konsep awalnya, sehingga peserta didik hanya menghafal dan tidak adaptif terhadap

penerapan rumus dalam perhitungan dengan berbagai situasi, (3) tidak menyampai-

kan terjadinya miskonsepsi yang dialami sebagian peserta didik, sehingga kemung-

kinan peserta didik yang tidak terdeteksipun akan mengalami miskonsepsi, (4) tidak

memberikan simpulan akhir setelah menerapkan metode tanya jawab, diskusi,

maupun resitasi (penugasan), (5) memberikan analogi yang salah pada saat ceramah,

(6) tidak mengujicoba terlebih dahulu demonstrasi yang akan dilakukan, dan (7) tidak

menjelaskan adanya penyimpangan gejala atau reaksi kimia.

C. Teori Respon Butir

Tes sebagai instrumen dalam bidang pendidikan berguna untuk mengetahui

karakteristik peserta didik yang dikenai instrumen tersebut. Informasi tentang

karakteristik peserta didik akan tepat jika instrumen yang digunakan benar-benar baik

kualitasnya. Pada saat ini ada dua teori pengukuran yang dapat digunakan untuk

menganalisis kualitas suatu instrumen, yaitu teori tes klasik dan teori respons butir.

Menurut teori respon butir, butir tes yang baik adalah butir tes yang memiliki

tingkat kesukaran berkisar antara -2 dan +2, daya pembeda antara 0 dan 2, dan

pseudo-guessing lebih kecil dari 1/m atau 1/k (m atau k = banyaknya option)

(Hambleton & Swaminathan, 1985: 36, 107; Hullin, Drasgow, & Parsons, 1983: 36).

Pada penelitian ini akan digunakan dua parameter, yaitu daya pembeda dan tingkat

kesukaran.

56

Page 58: Artikel lilim

D. Tes Diagnostik

Mehrens & Lehmann (1984: 410) berpendapat bahwa tes diagnostik adalah

bagian dari tes prestasi. Menurut Djemari Mardapi (2008: 89) tes diagnostik berguna

untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik. Tes ini dilakukan

apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam

mengikuti proses pembelajaran. Hasil tes diagnostik memberikan informasi tentang

konsep-konsep yang belum dipahami dan yang telah dipahami. Konsep yang belum

dipahami tersebut salah satunya dapat disebabkan terjadinya miskonsepsi yang

dialami peserta didik.

Berkaitan dengan hal itu, maka tes diagnostik juga dapat digunakan untuk

mengetahui materi-materi yang dirasa sulit dipahami oleh peserta didik, termasuk

materi yang sering menyebabkan miskonsepsi. Tes diagnostik yang baik dapat

memberikan gambaran akurat tentang miskonsepsi yang dialami peserta didik

berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya.

Menurut Zeilik (1998), tes diagnostik digunakan untuk menilai pemahaman

konsep peserta didik terhadap konsep-konsep kunci (key concepts) pada topik

tertentu, khususnya konsep-konsep yang cenderung dipahami secara salah oleh

peserta didik. Dengan demikian ciri-ciri tes diagnostik adalah topik terbatas dan

spesifik, serta dilakukannya tes ini dengan tujuan untuk mengungkap miskonsepsi.

Menurut Zeilik (1998) untuk membedakan tes pilihan ganda biasa (bukan

untuk diagnosa) dengan tes pilihan ganda untuk diagnosa, pengecoh pada tes pilihan

ganda untuk tes diagnostik dirancang berdasarkan miskonsepsi yang telah

teridentifikasi melalui penelitian, masukan dari peserta didik maupun pendidik (guru).

E. Penelitian Pengembangan

Menurut Gay (1990), tujuan utama Research & Development (R & D) adalah

bukan untuk menguji hipotesis, tetapi untuk menghasilkan produk-produk efektif

yang dapat digunakan di sekolah. Produk yang dihasilkan dapat berupa instrumen/tes,

bahan-bahan pelatihan guru, bahan-bahan belajar, media, dan sistem pengelolaan.

57

Page 59: Artikel lilim

Pendapat serupa dikemukakan oleh Borg & Gall (1983) yang menyatakan bahwa R &

D merupakan suatu proses yang digunakan untuk mengembangkan dan menvalidasi

produk-produk yang digunakan dalam pendidikan.

Pada penelitian pengembangan ini guru-guru kimia SMA dipandang sebagai

orang yang mengetahui secara pasti sering atau tidaknya suatu konsep kimia yang ada

dalam kurikulum yang diajarkan menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Oleh karena

itu pada studi pendahuluan mereka dimintai masukan untuk menentukan materi

pokok kimia yang paling sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik.

Penelitian ini mengadaptasi prosedur pengembangan yang dikemukakan oleh

Borg & Gall yang terdiri dari 10 (sepuluh) langkah, diadaptasi secara operasional ke

dalam aksi kegiatan penelitian ini menjadi 5 (lima) langkah, yaitu (1) analisis produk

yang akan dikembangkan; (2) pengembangan produk awal; (3) validasi produk; (4)

uji coba lapangan; dan (5) revisi produk

F. Kajian Penelitian yang Relevan

Penelitian miskonsepsi peserta didik terhadap kesetimbangan kimia dilakukan

oleh Bergquist & Heikkinen (1990) dengan instrumen yang dikembangkan sendiri

oleh peneliti berupa pilihan ganda kemudian diikuti wawancara. Miskonsepsi yang

ditemukan Bergquist & Heikkinen akan digunakan sebagai dasar dalam pengem-

bangan instrumen pendeteksi miskonsepsi kesetimbangan kimia dalam penelitian ini.

Odom & Barrow (1995) meneliti tentang miskonsepsi dengan mengembang-

kan instrumen diagnostik miskonsepsi diawali melalui validasi isi oleh satu orang ahli

kimia, satu orang ahli pendidikan kimia, dan satu ahli biologi. Pada penelitian yang

akan dilakukan ini juga akan dilakukan validasi isi yang ditetapkan oleh ahli

pendidikan kimia, ahli ilmu kimia, dan ahli psikometri.

Krishnan & Howe (1994) telah mengembangkan instrumen tes pilihan ganda

dan tes uraian. Bentuk ini kemudian dinilaikan kepada para pakar yang terdiri dari 2

profesor, 4 guru kimia, 4 mahasiswa pendidikan sains, dan 2 instruktur laboratorium

kimia. Hasil revisi kemudian diujikan kepada 20 mahasiswa untuk analisis butir tes

dengan teori tes klasik. Langkah-langkah penelitian Krishnan & Howe hampir sama

58

Page 60: Artikel lilim

dengan penelitian yang akan dilakukan, hanya berbeda dalam hal studi pendahuluan,

validator, dan analisis butir tes yang digunakan.

Penelitian yang dilakukan Sidauruk (2005) telah berhasil mengembangkan

instrumen Tes Diagnostik Stoikiometri (TDS) berupa tes pilihan ganda dengan alasan

tertentu seperti yang dikembangkan Treagust dan berhasil mengidentifikasi 30

miskonsepsi dan 9 penyebab miskonsepsi stoikiometri dan mampu menentukan

bahwa frekuensi miskonsepsi stoikiometri terbukti tidak tergantung pada perbedaan

jenis kelamin, tetapi tergantung pada bahasa yang digunakan dan jenjang kelas.

Berdasarkan hasil penelitian Sidauruk, maka penelitian ini tidak menggunakan materi

kimia yang terpisah pada jenjang kelas yang berbeda, karena jenjang kelas terbukti

berpengaruh terjadinya miskonsepsi.

]G. Kerangka Pikir

Setiap peserta didik memiliki prakonsepsi yang dibawa sebagai pengetahuan.

Sejalan dengan perkembangan daya pikirnya, mereka mengembangkan prakonsepsi

yang dimilikinya, tetapi kadang-kadang pengembangan konsep yang dilakukan berbe-

da dengan konsep sebenarnya yang dikemukakan para ahli dan jika hal ini tidak

terdeteksi akan menghasilkan miskonsepsi yang berlarut-larut. Demikian juga setiap

peserta didik memiliki konsepsi yang berbeda-beda terhadap suatu konsep. Daya pikir

dan daya tangkap setiap peserta didik terhadap stimulus yang ada di lingkungan tidak

akan persis sama. Ada kemungkinan beberapa diantara mereka memiliki konsepsi

yang salah terhadap suatu konsep yang akhirnya menghasilkan miskonsepsi.

Pengetahuan yang berkembang pada diri peserta didik tidak hanya diperoleh

ketika mereka diajarkan suatu konsep oleh seorang guru atau membaca buku, tetapi

sebagai manusia mereka senantiasa aktif membangun struktur kognitifnya berdasar-

kan pemilihan informasi yang tersedia sesuai dengan keinginannya. Berdasarkan hal

ini, maka seringkali miskonsepsi terjadi. Ketika mereka berusaha membangun

struktur kognitif dengan memilih informasi yang ada, kemungkinan ada kesalahan

dalam mengaitkan keduanya. Prakonsepsi dan konsepsi yang benar dapat menjadi

salah ketika ia membangun struktur kognitif baru berdasarkan masukan informasi

59

Page 61: Artikel lilim

yang salah, atau sebaliknya. Semuanya itu menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada

diri peserta didik.

Materi kesetimbangan kimia sebagian besar berisi perhitungan, tetapi juga

mengandung banyak konsep yang perlu kemampuan yang lebih dari sekedar dihafal.

Oleh karena itu untuk menguasai materi ini dengan baik dan benar sangat diperlukan

kemampuan peserta didik untuk mendalami hubungan antar konsep agar mampu

membangun struktur kognitif yang benar tentang materi kesetimbangan kimia.

Namun demikian karena isi materi ini sangat kompleks dan abstrak, kemungkinan

terjadi miskonsepsi peserta didik pada materi kesetimbangan kimia relatif besar, baik

disebabkan peserta didik itu sendiri maupun guru dan buku teks.

Miskonsepsi merupakan suatu keadaan yang dapat dialami oleh setiap peserta

didik, namun bukan berarti dibiarkan begitu saja terjadi. Banyak instrumen

pendeteksi miskonsepsi telah dikembangkan, mulai dari yang berbentuk (1) peta

konsep; (2) tes pilihan ganda dan tes esai tertulis; (3) wawancara diagnostik; (4)

diskusi kelas; sampai yang berupa (5) praktikum dengan tanya jawab. Semua

instrumen memiliki kelebihan di samping kekurangan. Penelitian ini mengadaptasi

dengan cara menggabungkan dua instrumen yang telah dikembangkan, yaitu tes

pilihan ganda dengan alasan terbuka (Amir, 1987, Krishnan & Howe, 1994) dan tes

pilihan ganda dengan alasan tertentu (Treagust, 1987). Dengan mempertimbangkan

kelemahan kedua instrumen tersebut, maka dalam penelitian ini akan dikembangkan

Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) berbentuk tes pilihan ganda

dengan alasan setengah terbuka. Bentuk ini dipilih mengingat instrumen tes pilihan

ganda dengan alasan terbuka memiliki kelemahan adanya peserta didik yang tidak

mengisi alasan dengan berbagai sebab. Demikian juga instrumen tes pilihan ganda

dengan alasan tertentu memiliki kelemahan terbatasinya kebebasan mengungkapkan

alasan di luar yang tersedia dan kemungkinan pilihan alasan yang hanya spekulatif.

Ketepatan IPMK yang dikembangkan akan divalidasi awal oleh expert

jugdment yang memiliki keahlian bidang ilmu kimia/pendidikan kimia/psikometri/

miskonsepsi yang dipilih dari beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia

60

Page 62: Artikel lilim

berdasarkan keahliannya. Berdasarkan masukan dan rekomendasi mereka diharapkan

IPMK yang dikembangkan dapat tepat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi

yang terjadi pada peserta didik, khususnya pada materi pokok kesetimbangan kimia.

Instrumen yang telah direvisi kemudian divalidasi empirik tes intinya (tanpa alasan)

kepada 850 peserta didik SMA kelas XI di DIY yang hasilnya dianalisis dengan teori

respon butir. Berdasarkan analisis teori respon butir, maka diperoleh tes yang baik

yang akan diuji visibilitasnya kepada sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang

ada di DIY berdasarkan area proportional sampling.

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Model Pengembangan

Penelitian ini termasuk jenis penelitian pengembangan, yaitu penelitian yang

bertujuan menghasilkan suatu produk dan meneliti kualitas produk tersebut. Produk

yang akan dihasilkan adalah Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) pada

peserta didik kelas XI SMA. Produk yang berupa IPMK kemudian diteliti kualitasnya

berdasarkan penilaian para ahli melalui expert judgment dengan menggunakan teknik

FGD; analisis menggunakan Teori Respons Butir (TRB) atau Item Response Theory

(IRT) dengan dua parameter; dan visibilitas penggunaannya di lapangan.

B. Prosedur Pengembangan

Prosedur pengembangan penelitian ini mengadaptasi dari model Educational

Research & Development (R & D) yang dikemukakan Borg & Gall (1983: 775).

Desain R & D dari Borg & Gall yang terdiri dari 10 (sepuluh) langkah, diadaptasi

secara operasional ke dalam aksi kegiatan penelitian ini menjadi 5 (lima) langkah,

yaitu:

1. Analisis Produk yang Akan Dikembangkan

Sebagai langkah awal adalah melakukan analisis kebutuhan (need assessment)

yang dilakukan dengan menjaring pendapat dari 125 guru kimia SMA di DIY dan

61

Page 63: Artikel lilim

Jawa Tengah. Berdasarkan analisis kebutuhan ini, maka dipandang penting penelitian

pengembangan instrumen miskonsepsi ini dilakukan.

Langkah selanjutnya adalah menentukan bentuk produk yang akan dihasilkan

melalui kaji pustaka. Berdasarkan kelebihan dan kekurangan dari setiap instrumen

pendeteksi yang ada, maka penelitian ini memilih bentuk instrumen Tes Pilihan

Ganda dengan Alasan Setengah Terbuka (TPGAST) dan diberi nama Instrumen

Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK).

2. Pengembangan Produk Awal

Langkah awal pengembangan produk dilakukan dengan membuat kisi-kisi tes

agar butir-butir tes yang dibuat memenuhi validitas isi. Langkah berikutnya adalah

menyusun tes berdasarkan kisi-kisi yang dibuat. Setiap butir tes dibuat dengan

mendasarkan pada prediksi kemungkinan konsep tersebut dapat menimbulkan

miskonsepsi pada peserta didik. Suatu butir tes terdiri atas 3 (empat) komponen, yaitu

komponen inti tes berupa pokok tes dan alternatif jawaban atau opsi utama (main

option). Komponen lain ialah opsi alasan (reason option) dan opsi komentar

(commentary option). Produk awal ini disajikan pada Lampiran 2.

Prinsip penting pada pengembangan produk awal adalah menyusun buram

produk sehingga memenuhi validitas teoretis. Sebelum divalidasi secara empirik,

buram awal perlu dinilai, terutama aspek kelayakan dasar-dasar konsep atau teori

yang digunakan yang dapat dilakukan melalui expert judgment dengan teknik FGD.

3. Validasi Produk

a. Validasi oleh ahli (expert judgment)

Butir tes dalam IPMK yang dikembangkan dibuat berdasarkan kisi-kisi tes

yang terdistribusi proporsional sesuai uraian materi pokok kesetimbangan kimia yang

tercantum dalam kurikulum dan konsep-konsep yang diprediksikan sering menyebab-

kan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik, sehingga secara validitas isi atau

validitas teoretis telah memenuhi syarat. Validasi isi juga dilakukan dengan cara

62

Page 64: Artikel lilim

melakukan penilaian terhadap IPMK yang telah disusun melalui expert jugdment

menggunakan teknik FGD dengan melibatkan ahli bidang ilmu kimia, pendidikan

kimia, psikometri, dan miskonsepsi dari beberapa Perguruan Tinggi berdasarkan

keahliannya.

Melalui teknik FGD diharapkan setiap ahli yang menjadi peserta FGD akan

memberikan masukan dan penilaian terhadap IPMK yang dikembangkan dengan

alasan dan argumentasi yang dapat menjadi pegangan untuk penyempurnaan IPMK

tersebut.

b. Validasi empirik

Setelah direvisi berdasarkan hasil FGD, maka dilakukan validasi empirik

terhadap inti tes (tanpa alasan) dengan mengujicobakan pada 850 peserta didik SMA

kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Hasil uji coba dianalisis dengan

menggunakan teori respons butir (TRB) dua parameter dengan cara dikalibrasi

menggunakan software BILOG Multi Group untuk menentukan butir-butir tes yang

baik dengan kriteria yang ditetapkan dalam teori respons butir.

4. Uji Coba Lapangan

Butir tes yang baik hasil analisis respons butir selanjutnya digunakan untuk

uji coba terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI di DIY sebagai uji visibilitas

IPMK yang dikembangkan. Uji visibilitas dilakukan untuk mengetahui mudah

tidaknya IPMK yang dikembangkan diterapkan dan dianalisis oleh guru kimia SMA,

serta mudah tidaknya dalam mendeteksi terjadinya miskonsepsi.

5. Revisi Produk

Berdasarkan hasil uji coba lapangan, kemungkinan masih ada hal-hal yang

perlu diperhatikan yang dapat menjadi masukan akhir bagi penyempurnaan IPMK

yang dikembangkan. Secara garis besar lima langkah tersebut dapat digambarkan:

63

Analisis Produk yang Akan Dikembangkan

Pengembangan Produk Awal

Page 65: Artikel lilim

Gambar 4.Diagram Alir Langkah-langkah Pengembangan IPMK

C. Uji Coba Produk

1. Desain Uji Coba IPMK

Lima langkah pengembangan IPMK pada Gambar 4 digambarkan secara rinci

menjadi 10 langkah pada Gambar 5.

Produk awal atau Produk I IPMK divalidasi oleh para ahli melalui expert

judgment menggunakan teknik FGD. Para ahli tersebut terdiri atas ahli pendidikan

kimia, ahli ilmu kimia, ahli psikometri, dan ahli miskonsepsi. Data berupa masukan

dari para ahli dianalisis dan hasilnya digunakan untuk melakukan revisi Produk I

IPMK menjadi Produk II IPMK. Produk II IPMK berupa perangkat IPMK yang

sudah valid dan reliabel dari segi teoretis. Produk II IPMK divalidasi secara empirik

dengan subjek uji coba 850 peserta didik SMA kelas XI dari beberapa SMA yang ada

di DIY. Data berupa skor dan hasilnya digunakan untuk melakukan revisi Produk II

IPMK menjadi Produk III IPMK. Produk III IPMK berupa perangkat IPMK yang

sudah valid dan reliabel dari segi empirik.

2. Subjek Uji Coba

Subjek uji coba lapangan untuk tujuan uji visibilitas IPMK adalah sejumlah

peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan area proportional

sampling, artinya diambil peserta didik kelas XI jurusan IPA di setiap Kabupaten

secara proporsional.

3. Jenis Data

64

Validasi Produk

Uji Coba Lapangan

Revisi Produk

Page 66: Artikel lilim

Data yang diperoleh, dianalisis, dan digunakan untuk pengambilan keputusan

dalam penelitian pengembangan ini adalah:

a. Data kualitatif

Data kualitatif berupa penilaian dan masukan dari para ahli yang menjadi

peserta FGD, baik penilaian dan masukan yang berkaitan dengan kebenaran konsep

kimia dalam instrumen, ketepatan butir-butir tes, maupun ketepatan instrumen dalam

mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi kimia pada materi pokok kesetimbangan kimia.

65

Studi Pendahuluan

Studi Pustaka Studi Lapangan

Materi Kimia yang Dipilih sebagai Subjek

Penelitian (Materi Pokok Kesetimbangan Kimia

Penyusunan Kisi-kisi IPMK

Konstruksi IPMK

PRODUK I (PRODUK AWAL) IPMK

Validasi IsiKesesuaian dengan

Konten Materi dalam Kurikulum 2006

Expert Judgment

Validasi Empirik

Uji Coba Lapangan/ Uji Visibilitas

Revisi IPMK

Data Validasi dan Analisis Data

PRODUK II IPMK(Valid & Reliabel)

PRODUK III IPMK(Valid & Reliabel – Empirik)

Data Validasi dan Analisis DataRevisi IPMK

Data Validasi dan Analisis Data

Revisi IPMK

Page 67: Artikel lilim

Gambar 5.Desain Uji Produk

b. Data kuantitatif

Data kuantitatif berupa skor peserta didik setelah mengerjakan tes pilihan

ganda yang ada dalam IPMK yang akan digunakan untuk validasi empirik menggu-

nakan analisis teori respon butir (TRB) dengan dua parameter. Demikian pula skor

peserta didik pada uji coba lapangan digunakan untuk uji visibilitas.

4. Instrumen Pengumpulan Data

a. Instrumen I IPMK untuk para ahli

Teknik penilaian dalam penelitian ini berupa angket, sedangkan instrumen

berupa lembar angket yang berisi kriteria IPMK yang baik ditinjau dari aspek materi,

konstruksi, dan bahasa dengan mengacu pada ketentuan yang dikemukakan Ditjen

Dikti (2005). Angket dapat dilihat pada Lampiran 3.

Instrumen berikutnya berupa lembar penilaian dan masukan untuk diisi oleh

seluruh peserta FGD yang terdiri dari ahli bidang ilmu kimia, ahli pendidikan kimia,

ahli psikometri, dan ahli miskonsepsi. Semua data penilaian dan masukan ini

digunakan sebagai dasar untuk merevisi produk awal IPMK yang dikembangkan.

Instrumen lembar penilaian ini disajikan pada Lampiran 4.

b. Instrumen II IPMK untuk peserta didik

Instrumen II IPMK berupa seperangkat tes, yaitu produk II IPMK hasil revisi

IPMK I setelah mendapat masukan dari para ahli (lihat Lampiran 5 dan 6). Berda-

sarkan hasil uji validitas empirik diperoleh data berupa skor setiap peserta didik yang

menjadi sampel. Semua data hasil validasi empirik digunakan sebagai dasar untuk

merevisi Produk II IPMK yang dikembangkan, sehingga diperoleh Produk III IPMK.

66

PRODUK AKHIR IPMK

Page 68: Artikel lilim

Adapun hasil validasi empirik dengan analisis respon butir (IRT) yang dikalibrasi

menggunakan software Bilog Multi Group dapat dilihat pada Lampiran 8.

c. Instrumen III IPMK untuk uji coba lapangan

Uji coba dilakukan untuk mengetahui visibilitas IPMK. Instrumen untuk

peserta didik berupa IPMK Produk III yang sudah valid dan reliabel secara empirik.

Berdasarkan uji coba lapangan diperoleh data berupa skor setiap peserta didik yang

menjadi sampel. Selain skor, kedua langkah uji tersebut juga menghasilkan data

berupa miskonsepsi yang dialami peserta didik yang akan dijadikan sebagai dasar

untuk memberikan pemecahan tentang cara-cara mengatasinya. Pada uji coba

lapangan juga dijaring data dari para guru kimia tentang aspek atau variabel-variabel

visibilitas atau keterlaksanaan IPMK.

D. Teknik Analisis Data

1. Data penilaian dan masukan dari para ahli melalui expert judgment

Data yang berupa masukan dari para ahli melalui expert judgment terhadap

produk awal IPMK yang dikembangkan dianalisis secara deskriptif dengan cara

memverifikasi masukan yang diberikan yang akan menjadi bahan untuk merevisi

produk awal IPMK. Masukan dapat berupa revisi kesalahan materi, konstruksi tes,

atau kebahasaan. Demikian pula dengan data yang berupa penilaian aspek materi,

konstruksi, dan bahasa yang diberikan oleh ahli pendidikan kimia digunakan sebagai

dasar revisi butir-butir tes dalam IPMK.

2. Data hasil uji coba untuk validasi empirik

Setelah produk I atau produk awal IPMK direvisi berdasarkan data hasil

penilaian dan masukan para ahli melalui expert judgment, maka dilakukan validasi

empirik terhadap inti tes dengan mengujicobakan kepada 850 peserta didik SMA

kelas XI dari beberapa SMA yang ada di DIY. Hasil uji coba menghasilkan skor,

dimana untuk tes yang dijawab benar diberi skor 1 dan tes yang dijawab salah diberi

skor 0 (data dikotomus). Peserta didik yang tidak menjawab satu atau lebih butir tes,

67

Page 69: Artikel lilim

hasil pekerjaannya tidak dianalisis (lihat Lampiran 7). Data jawaban dari seluruh

peserta didik dimasukkan dalam program excell yang selanjutnya dianalisis melalui

teori respons butir (TRB) dua parameter dengan cara dikalibrasi menggunakan

software BILOG Multi Group untuk menentukan butir-butir tes yang baik dengan

kriteria yang ditetapkan dalam teori respons butir.

Butir tes yang baik adalah butir tes yang memiliki tingkat kesukaran berkisar

antara -2 dan +2, daya pembeda antara 0 dan 2 dan (Hambleton & Swaminathan,

1985: 36, 107; Hullin, Drasgow, & Parsons, 1983: 36).

3. Data uji coba lapangan

Setelah diperoleh butir-butir tes yang valid dan reliabel menggunakan analisis

teori respon butir (TRB) dengan tiga parameter, maka selanjutnya dilakukan uji coba

lapangan terhadap sejumlah peserta didik SMA kelas XI IPA yang ada di DIY

sebagai uji visibilitas (keterlaksanaan) IPMK yang dikembangkan. Berdasarkan uji

coba lapangan diperoleh data kemungkinan pola jawaban peserta didik yang dapat

dikategorikan dalam beberapa tingkat pemahaman seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1.Kemungkinan Pola Jawaban Peserta Didik dan Kategorinya

No. Pola Jawaban Peserta Didik Kategori Tingkat Pemahaman1. Jawaban inti tes benar – alasan benar memahami (M)2. Jawaban inti tes benar – alasan salah miskonsepsi (Mi-1)3. Jawaban inti tes salah – alasan benar miskonsepsi (Mi-2)4. Jawaban inti tes salah – alasan salah tidak memahami (TM-1)5. Jawaban inti tes salah – alasan tidak diisi tidak memahami (TM-2)6. Jawaban inti tes benar – alasan tidak diisi memahami sebagian tanpa mis-

konsepsi (MS-1)7. Tidak menjawab inti tes dan alasan tidak memahami (TM-3)

Berdasarkan kategori tersebut, maka data uji coba lapangan dapat dianalisis

untuk menentukan pada butir-butir tes mana saja peserta didik mengalami

miskonsepsi dan seberapa besar (persentase) peserta didik yang mengalami

68

Page 70: Artikel lilim

miskonsepsi. Adapun tabel yang digunakan untuk memasukkan data dasar dapat

dibuat seperti Tabel 2.

Tabel 2.Data Dasar Hasil Uji Coba Lapangan

Subjek Uji Coba

Nomor Butir Tes1 2 3 4 5 6 7 dst

1 M2 Mi-13 Mi-24 TM-1

dst

Berdasarkan data dasar yang telah diisi tersebut, maka dapat dihitung persen-

tase peserta didik yang memahami, miskonsepsi, tidak memahami, dan memahami

sebagian tanpa miskonsepsi untuk setiap butir tes (lihat Tabel 3). Dengan persentase

tersebut dapat diketahui pula uraian materi pokok kesetimbangan kimia mana yang

memiliki kecenderungan peserta didik mengalami miskonsepsi.

Tabel 3.Persentase Tiap Butir Tes dalam Berbagai Kategori Tingkat Pemahaman

Uraian Materi Pokok Kesetim-bangan Kimia

No.Butir Tes

Kategori Tingkat PemahamanM Mi-1 Mi-2 TM-1 TM-2 MS-1 MS-2

% % % % % % %1. Kesetimbangan

dinamis123456

2. Kesetimbangan homogen dan heterogen

789

3. dst

Alasan terbuka (komentar) yang ditulis oleh sampel diverifikasi dimana alasan

yang memiliki maksud yang sama disatukan, sehingga akan diperoleh sekumpulan

69

Page 71: Artikel lilim

alasan/ komentar untuk setiap butir tes, baik alasan yang benar/relevan maupun yang

salah/tidak relevan dengan inti tes.

Selanjutnya untuk mengidentifikasi penyebab terjadinya miskonsepsi ditinjau

dari substansi materi, maka dibuat tabel khusus untuk memasukkan data pola jawaban

pada butir tes yang mengalami miskonsepsi berdasarkan lembar pekerjaan peserta

didik yang menjadi sampel. Adapun tabel yang dimaksud disajikan sebagai Tabel 4.

Berdasarkan data pada Tabel 4 ini, maka dapat diketahui kecenderungan

miskonsepsi yang terjadi pada peserta didik sebagian besar mengarah pada option

pengecoh (distraktor) yang mana pada inti tes dan option alasan yang mana dari

alasan-alasan yang tersedia maupun isian dari peserta didik sendiri. Dengan demikian

akan dapat dipetakan bagian-bagian mana dari uraian materi kesetimbangan kimia

yang sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik.

Tabel 4.Pola Jawaban Peserta Didik pada Butir Tes yang Mengalami Miskonsepsi

No. Butir Tes

Kunci Soal Inti dan Alasan

Jumlah Peserta Didik yang Mengalami Miskonsepsi

1 B - D B-A B-B B-C B-E A-D C-D D-D E-D...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... .......

2 B - B B-A B-C B-D B-E A-B C-B D-B E-B...... ...... ...... ...... ...... ...... ...... ......

3 C - C C-A C-B C-D C-E A-C B-C D-C E-C...... ...... ...... ....... ...... ....... ...... ......

dst

Pedoman langkah-langkah dalam mengumpulkan dan merekapitulasi data

seperti yang dikemukakan tersebut dapat digunakan guru dalam penerapan IPMK

untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi pada peserta didiknya. Tabel-tabel tersebut

juga akan mempermudah guru dalam menganalisis bagian-bagian mana dari materi

kesetimbangan kimia yang terbanyak menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

70

Page 72: Artikel lilim

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Produk awal yang berupa kisi-kisi tes beserta soal dan alasan yang telah

disusun mula-mula divalidasi isi oleh sejumlah reveiwer dan expert melalui FGD.

Berdasarkan analisis data berupa penilaian dari para reveiwer sebanyak 9 orang,

terdiri dari 4 dosen Pendidikan Kimia FMIPA UNY dan 5 guru kimia SMA (ketua

MGMP untuk setiap Kabupaten), maka diperoleh kesimpulan ada 10 soal dari 40 soal

yang yang dikembangkan dinyatakan kurang memenuhi syarat, dengan tinjauan

alasan dari aspek materi, konstruksi, atau bahasa. Namun demikian sebagai bahan

FGD, ke-40 soal tetap dilampirkan untuk mendapat persetujuan dari para expert, baik

expert miskonsepsi, pendidikan kimia, ilmu kimia, maupun psikometri.

Berdasarkan masukan para expert (lihat Lampiran 5), maka kemudian

disepakati soal dikurangi menjadi 30 butir dengan alasan utama jumlah 40 terlalu

banyak, ada beberapa soal yang dipandang terlalu sulit untuk peserta didik (soal

setingkat untuk olimpiade), dan soal tersebut sudah diwakili oleh soal yang lain

sehingga dapat dihilangkan.

71

Page 73: Artikel lilim

Hasil masukan para expert kemudian digunakan sebagai dasar untuk merevisi

produk IPMK, sehingga dihasilkan Produk IPMK II yang valid dan reliabel secara isi.

Selanjutnya dilakukan validasi empirik dengan mengujicobakan pada 850 peserta

didik, namun sebanyak 47 data tidak dapat dianalisis karena banyak soal yang tidak

dijawab. Validasi empirik ini hanya diperlakukan bagi soal inti (tanpa alasan) dengan

maksud agar diperoleh soal yang valid dan reliabel secara empirik, sehingga ketika

akan digunakan untuk mendeteksi terjadinya miskonsepsi (soal yang telah disertai

alasan) benar-benar dihasilkan data yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan analisis teori respon butir (TRB) dua parameter yang dikalibrasi

dengan menggunakan software Bilog Multi Group yang sebelumnya diawali dengan

analisis klasik Korelasi Biserial butir soal terhadap skor total, dan ternyata butir 2 dan

butir 24 ke skor total adalah negatif, masing-masing adalah -0.238 dan -0.033,

sehingga kedua butir soal tersebut kemudian dikeluarkan dalam analisis butir secara

IRT. Dengan menggu-nakan dua parameter, yaitu daya pembeda dan tingkat

kesukaran dihasilkan ada 19 butir soal yang fit (valid secara IRT) dan 9 butir soal

tidak fit (gugur). Data hasil analisis ini disajikan pada Lampiran 8.

Analisis butir secara IRT setelah butir soal nomor 2 dan 24 dikuluarkan dari

data hasilnya adalah sebagai berikut:

1. Matriks kurva karakteristik butir setelah 2 butir soal didrop sebagai

berikut:

72

Page 74: Artikel lilim

1 - 6

7 - 12

13 - 18

19 - 24

25 - 28

Matrix Plot of Item Characteristic Curv es

2. Butir fit/tidak fit berdasarkan signifikansi 2 menghasilkan sebanyak

19 soal yang fit dan 9 soal yang tidak fit. Adapun butir soal yang tidak fit adalah

nomor 1, 5, 7, 12, 14, 15, 18, 19, 23, dan 24.

3. Person fit yang theta-nya dapat dihitung berjumlah 198 dari 803

peserta didik. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pelaksanaan dari uji coba ini

yang tidak semuanya dapat terpantau oleh peneliti, sehingga kebiasaan buruk

peserta didik yang selama ini lazim dilakukan, seperti saling menyontek tidak

dapat dihin-darkan.

Setelah validasi empirik dilakukan selanjutnya butir soal pada IPMK ditata

kembali dan kemudian ditambahkan alasan untuk setiap soal yang fit (Produk III

IPMK). Tahap terakhir adalah uji visibilitas, yaitu mengujicobakan Produk III IPMK

ini kepada sejumlah peserta didik SMA Kelas XI IPA yang ada di DIY berdasarkan

area proportional sampling. Pada penelitian ini digunakan 1000 peserta didik dengan

perincian, Kota sebanyak 217, Bantul sebanyak 179, Sleman 196, Kulon Progo

sebanyak 200, dan Gunung Kidul sebanyak 208. Berdasarkan uji coba ini diperoleh

pemetaan tentang uraian materi kesetimbangan yang sering menyebabkan miskon-

sepsi pada peserta didik. Adapun data yang telah direkap disajikan pada`Lampiran 10.

73

Page 75: Artikel lilim

B. Pembahasan

Penelitian ini terutama bertujuan untuk menghasilkan produk berupa

Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia

pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi kualitas instrumen yang baik

melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan (validasi isi, validasi ahli, dan

validasi empirik) dan uji coba di lapangan sebagai uji visibilitas.

Berdasarkan penilaian yang dilakukan oleh 9 reveiwer yang terdiri atas 4

dosen Pendidikan Kimia dan 5 guru kimia SMA sekaligus Ketua Musyawarah Guru

Mata Pelajaran (MGMP) Kimia dari kelima Kabupaten, maka ada 10 soal yang

disarankan untuk dikurangi dengan pertimbangan utama terlalu banyak jika soal

berjumlah 40 dan ada beberapa soal yang sebenarnya dapat diwakili oleh satu soal.

Adapun soal yang disarankan dikurangi/dihilangkan tersebut adalah butir nomor 3,

11, 16, 20, 22, 30, 31, 33, 39, dan 40. Butir soal nomor 3 dihilangkan karena sebenar-

nya konsep tersebut jika dipertanyakan dalam soal akan menimbulkan banyak

persepsi. Sedangkan butir soal nomor 16, 20, dan 22 sudah tercakup dan dapat

diwakili oleh butir soal nomor 17 – 21.Butir soal nomor 30, 31, dan 33 terutama

menurut guru merupakan materi kesetimbangan kimia pengayaan dan soal yang

sering muncul pada olimpiade, sehingga dikhawatirkan tidak semua peserta didik

menguasai materi tersebut. Butir soal nomor 39 dan 40 merupakan soal yang berisi

materi kesetimbangan kimia yang merupakan fakta yang hanya sekedar dihafal dan

kemungkinan kecil untuk terjadinya miskonsepsi.

Hasil penilaian ini selanjutnya dibawa dalam forum diskusi formal, yaitu

Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri oleh expert pendidikan kimia, ilmu

kimia, psikometri, dan miskonsepsi. Banyak masukan berharga pada FGD ini,

diantaranya dari expert pendidikan kimia tentang pentingnya instrumen ini memper-

hatikan kebenaran konsep dan bahasa, sehingga jangan sampai soal ini justru

mengandung miskonsepsi. Expert ilmu kimia menyampaikan beberapa pertimbangan

materi yang ada dalam setiap butir soal secara terperinci yang kemudian memberikan

usulan beberapa butir soal untuk ditiadakan.

74

Page 76: Artikel lilim

Dua expert psikometri menyatakan bahwa untuk validasi empirik sebenarnya

tidak harus dilakukan, mengingat instrumen yang dikembangkan lebih pada diagnosa

terhadap terjadinya miskonsepsi. Namun demikian jika hal itu dilakukan akan

menghasilkan instrumen yang lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Demi-

kian juga menanggapi tentang perlu tidaknya wawancara, kedua ahli psikometri

menyatakan bahwa jika alasan yang menyertai soal inti adalah hasil masukan yang

diberikan guru-guru pada saat studi pendahuluan dan juga melihat hasil-hasil

penelitian miskonsepsi pada materi yang sama, maka wawancara tidak wajib

dilakukan, kecuali jika dari awal alasan pada soal tersebut diharapkan berasal dari

penjaringan pendapat peserta didik.

Masukan yang diberikan dua expert miskonsepsi hampir sama, yaitu sebaik-

nya penelitian ini fokus pada pemetaan terhadap bagian-bagian dari materi kesetim-

bangan kimia yang menyebabkan miskonsepsi dan tidak perlu terlalu jauh mencari

penyebabnya, karena mencari penyebab miskonsepsi merupakan judul tersendiri yang

akan memberatkan jika penelitian ini harus sampai pada pembahasan itu. Kedua

expert miskonsepsi memberikan banyak masukan dan jurnal-jurnal miskonsepsi

untuk digunakan sebagai bahan studi lebih lanjut. Adapun masukan para expert dapat

dilihat pada Lampiran 5.

Berdasarkan kesepakatan dalam FGD yang melibatkan expert dan reveiwer

serta kedua Promotor, maka diperoleh 30 butir soal yang akan digunakan sebagai

instrumen pendeteksi miskonsepsi. Ke-30 butir soal ini kemudian ditata kembali dan

selanjutnya dilakukan persiapan validasi empirik terhadap sejumlah peserta didik

SMA kelas XI IPA di DIY. Instrumen yang telah direvisi berdasarkan masukan pada

FGD disebut Produk II IPMK.

Hasil uji coba terhadap 850 peserta didik menunjukkan hanya 803 yang dapat

dianalisis IRT dua parameter, karena sebanyak 47 data jawaban yang diberikan tidak

lengkap (banyak soal tidak dijawab). Analisis IRT semula direncanakan menggu-

nakan tiga parameter, yaitu daya pembeda, tingkat kesukaran, dan guessing (tebakan

semu), namun ternyata analisis dengan tiga parameter tidak mampu menghitung skor

75

Page 77: Artikel lilim

theta (kemampuan) peserta didik, sehingga dicoba analisis IRT dengan dua para-

meter. Hasilnya, theta dapat dihitung, meskipun banyak butir soal yang tidak fit, yaitu

sebanyak 9 soal. Sebelum analisis IRT dilakukan analisis butir soal dengan teori

klasik, yaitu melihat Korelasi Biserial butir soal terhadap skor total, ternyata butir 2

dan butir 24 ke skor total adalah negatif, masing-masing adalah -0.238 dan -0.033,

sehingga kedua butir soal tersebut dikeluarkan dalam analisis butir secara IRT.

Banyaknya butir soal yang gugur terutama kemungkinan disaebabkan kurang

ketatnya pelaksanaan uji coba ini, mengingat pelaksanaan diserahkan kepada masing-

masing guru kimia SMA yang menjadi tempat sekolah sampel. Hal ini karena

pelaksanaannya hampir bersamaan di 5 Kabupaten, sehingga sangat sulit bagi peneliti

untuk memantau satu persatu secara jeli dan cermat. Meskipun sebenarnya semua

guru yang dimintai bantuan telah diberi pengarahan secara bersama-sama dalam satu

forum pertemuan MGMP, namun tentu hal ini tidak dapat menjamin bahwa pelaksa-

naannya dapat seperti yang diharapkan. Seperti diketahui, kebiasaan saling

menyontek antar teman dengan segala cara yang sulit dimonitoring guru akan

memberikan dampak pada kurang akuratnya data pelaksanaan uji coba ini.

Gugurnya 11 soal dari 30 soal adalah hal yang wajar dan masih dapat

diterima, mengingat dari soal yang fit (valid) masih mewakili semua uraian materi

kesetimbangan kimia. Dengan kata lain, soal-soal yang fit (cocok dengan model yang

digunakan) masih representatif mewakili materi pokok kesetimbangan kimia.

Penelitian yang dilakukan oleh Djemari Mardapi (1994) dengan analisis IRT satu

parameter (Model Rasch) menunjukkan dari 40 soal dengan sampel sebanyak 50

mahasiswa ada 8 soal yang tidak fit dengan model yang digunakan. Semakin banyak

parameter yang digunakan tentu semakin ketat model tersebut menguji keterandalan

butir soal. Pada penelitian ini digunakan dua parameter, yaitu tingkat kesukaran dan

daya pembeda.

Setelah uji validasi empirik selesai dilakukan, selanjutnya instrumen direvisi

dan ditata kembali hingga menghasilkan Produk IPMK III yang valid dan reliabel

secara empirik. Selanjutnya dilakukan uji visibilitas terhadap 1000 peserta didik SMA

76

Page 78: Artikel lilim

kelas XI IPA dari 5 Kabupaten di DIY yang diambil secara area proportional

sampling. Perincian selengkapnya ada di Lampiran 9. Penelitian ini belum dapat

mengemukakan hasil pemetaaan miskonsepsi yang terjadi dari 1000 sampel yang

dikenai IPMK pada uji visibilitas, tetapi telah berhasil mengembangkan dan

menghasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK)

materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA yang memenuhi

kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang ditetapkan

(validasi isi, validasi ahli, dan validasi empirik).

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data, maka dapat disimpulkan bahwa telah

dikembangkan dan dihasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi

Kimia (IPMK) materi pokok kesetimbangan kimia pada peserta didik kelas XI SMA

yang memenuhi kualitas instrumen yang baik melalui langkah-langkah validasi yang

ditetapkan, yaitu validasi isi, validasi ahli (expert judgment) melalui FGD, dan

validasi empirik menggunakan analisis teori respon butir dua parameter.

77

Page 79: Artikel lilim

B. Saran

Penelitian miskonsepsi kimia masih jarang dilakukan di Indonesia, padahal

miskonsepsi merupakan masalah serius yang dihadapi peserta didik yang sangat

mengganggu mereka dalam menguasai materi kimia dengan benar, baik dan tepat.

Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian pengembangan model instrumen pende-

teksi miskonsepsi kimia untuk materi pokok yang lain yang ada di SMA dan dengan

instrumen yang berbeda, agar dapat digunakan oleh guru-guru kimia SMA dengan

mudah dan cepat dalam mendeteksi miskonsepsi yang terjadi pada peserta didiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, M. R, Grzybowski, E. B, Renner, J. W, et al. (1992). Understandings and misunderstandings of eighth graders of five chemistry concepts found in textbooks. Journal of Research in Science Teaching, 29(2), 105-120.

Amir, Frankl, & Tamir. (1987). Justifications of answers to multiple choice items as a

means for identifying misconceptions. In Proceedings of the Second Internati-onal Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 15-25. Ithaca, New York: Cornell University.

Barke, H. D. (2008). Chemistry misconception-diagnosis, prevention, and cure. Paper Bandung: Second International Seminar on Science Education, IUE.

78

Page 80: Artikel lilim

Bergquist, W. & Heikkinen, H.. (1990). Student ideas regarding chemical equilibrium, what written test answers do not reveal. Journal of Chemical Education, 67(12), 1000-1003.

Borg, W. R.& Gall, M. D. (1983). Educational Research : An introduction, Fourth edition. New York : Longman, Inc.

Brown. T. L. (1992). Using examples and analogies to remediate misconceptions in physics: Factors influencing conceptual change. Journal of Research in Science Teaching, 29(1), 17-34.

Brown. (1989). Students’s concept of force: The importance of understanding Newton’s third law. Physics Education, 24, 353-357.

Carter, C. & Brikhouse, N. W. (1989). What makes chemistry difficult ?. Journal of Chemical Education, 66(3), 223-225.

Djemari Mardapi. (2008). Teknik penyusunan instrumen tes dan nontes. Yogyakarta: Mitra Cendikia Yogyakarta Press.

Feldsine, J. (1987). Distinguishing student misconceptions from alternate conceptual frameworks through the construction of concept maps. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 177-181. Ithaca, New York: Cornell University.

Fowler & Jaoude. (1987). Using hierarchical concepts/proposition maps to plan

instruction that addresses existing and potential student misunderstandings in science. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconcep-tions and Educational Strategies in Science and Mathematics. Vol I. 182-186. Ithaca, New York: Cornell University.

Gabel, D. (1999). Improving teaching and learning through chemistry education research : a look to the future. Journal of Chemical Education, 76(4), 548-554.

Garnett, P. J. & Treagust, D. F. (1992). Conceptual difficulties ezperience by senior high school students of electrochemistry: Electrochemical (Galvanic) and electrolytic cells. Journal of Research in Science Teaching, 29(6), 1079-1099.

Gay, L. R. (1990). Educational Research : Competencies analysis and application. 3rd ed. Singapore : Macmillan Publishing Company.

79

Page 81: Artikel lilim

George, J. (1989). Sources of students’ conception in science, the cultural context. Journal of Science and Mathematics Education in SE Asia, XII(2), 13-20.

Hambleton, R. K. & Swaminathan, H. (1985). Item response theory. Boston, MA: Kluwer Nijhoff Publishing.

Hullin, C. L., Drasgow, F., & Parsons, C. K. (1983). Item response theory: Application to psychological measurement. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.

Krishnan, Shanti R, & Howe, Ann C. (1994). The mole concept: Developing in instrument to assess conceptual understanding. Journal of Chemical Education, 71(8), 653-655.

Liliasari, et al. (1998). Kurikulum dan materi kimia SMU. Jakarta : UT

Lynch, Patrick. (1989). Language and communication in the Science Classroom. Journal of Science and Mathematics Education in S. E. Asia, XII(2), 33-41.

Mehrens, W. A. & Lehmann, I. J. (1984). Measurement and evaluation: In education and psychology. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Middlecamp, C. & Kean, E. (1985). Panduan belajar kimia dasar. Jakarta: Gramedia.

Nakhleh, M. B. (1992). Why some students don’t learn chemistry: Chemical misconceptions. Journal of Chemical Education, 69(3), 191.

Novak & Gowin. (1984). Learning how to learn. Cambridge: University Press.

Odom, A. L. & Barrow, L. H. (1995). Development and application of a two-tier diagnostic test measuring college biology students’ understanding of diffusion and osmosis after a course of instruction. Journal of Research in Science Teaching, 32(1), 45-61.

Paul Suparno. (2005). Miskonsepsi & perubahan konsep pendidikan fisika. Jakarta: Grasindo.

Sidauruk, S. (2005). Miskonsepsi stoikiometri pada siswa SMA. Disertasi. Yogyakarta: PPs UNY

Treagust, D. (1987). An approach for helping students and teachers diagnose misconceptions in specific science content area. In Proceedings of the Second International Seminar on Misconceptions and Educational Strategies in

80

Page 82: Artikel lilim

Science and Mathematics. Vol II. 519-520. Ithaca, New York: Cornell University.

Zeilik, M. (1998). Conceptual diagnostic tests. Diakses pada tanggal 30 Maret 2010 jam 11.00 dari www.flaguide.org/extra/download/cat/diagnostic.pdf.

81