25
Harga Perkiraan Sendiri (HPS), antara Mark-Up dan Pelelangan Gagal Dibuat: Jumat, 21 November 2014 11:51 Ditulis oleh Pusdiklat AP Oleh: Hasan Ashari, Widyaiswara Madya Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan Abstraksi Harga Perkiraan Sendiri adalah perhitungan biaya atas pekerjaan barang/jasa sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung-jawabkan. Setiap pengadaan harus dibuat HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berbentuk bukti pembayaran, jadi HPS digunakan untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa kuitansi, SPK, dan surat perjanjian. HPS dijadikan sebagai data dalam proses evaluasi pengadaan barang dan jasa. Data HPS pada dasarnya adalah perkiraan sehingga harus mencerminkan harga yang mendekati pada kondisi riil saat diadakan pengadaan barang/jasa. Dalam penetapan HPS, tidak ada patokan standar faktor keuntungan wajar yang diperkenankan untuk ditambahkan dalam rincian harga.oleh karena itu, penetapan HPS tidak bisa dijadikan dasar dalam penghitungan kerugian negara, apabila dalam pelaksanaan kontrak terjadi unsur kerugian negara. Kata Kunci : HPS, Harga pasar, Mark Up, PPK Pendahuluan Dalam proses pengadaan barang dan jasa,salah satu tahapan yang krusial adalah penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penyusunan HPS akan menentukan proses penawaran oleh penyedia barang dan jasa. Apabila HPS ditetapkan lebih mahal dari harga wajar maka akan menimbulkan potensi adanya kerugian negara, akan tetapi apabila ditetapkan lebih rendah dari harga wajar berpotensi untuk terjadinya lelang gagal karena tidak ada penyedia barang yang berminat. Harga Perkiraan Sendiri adalah perhitungan biaya atas pekerjaan barang/jasa sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, dikalkulasikan secara keahlian dan

ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Harga Perkiraan Sendiri (HPS), antara Mark-Up dan Pelelangan Gagal

 Dibuat: Jumat, 21 November 2014 11:51

 Ditulis oleh Pusdiklat AP

Oleh: Hasan Ashari, Widyaiswara Madya Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan

Abstraksi

Harga Perkiraan Sendiri adalah perhitungan biaya atas pekerjaan barang/jasa sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung-jawabkan. Setiap pengadaan harus dibuat HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berbentuk bukti pembayaran, jadi HPS digunakan untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa kuitansi, SPK, dan surat perjanjian.

HPS dijadikan sebagai data dalam proses evaluasi pengadaan barang dan jasa. Data HPS pada dasarnya adalah perkiraan sehingga harus mencerminkan harga yang mendekati pada kondisi riil saat diadakan pengadaan barang/jasa. Dalam penetapan HPS, tidak ada patokan standar faktor keuntungan wajar yang diperkenankan untuk ditambahkan dalam rincian harga.oleh karena itu, penetapan HPS tidak bisa dijadikan dasar dalam penghitungan kerugian negara, apabila dalam pelaksanaan kontrak terjadi unsur kerugian negara.

Kata Kunci : HPS, Harga pasar, Mark Up, PPK

 

Pendahuluan

Dalam proses pengadaan barang dan jasa,salah satu tahapan yang krusial adalah penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS). Penyusunan HPS akan menentukan proses penawaran oleh penyedia barang dan jasa. Apabila HPS ditetapkan lebih mahal dari harga wajar maka akan menimbulkan potensi adanya kerugian negara, akan tetapi apabila ditetapkan lebih rendah dari harga wajar berpotensi untuk terjadinya lelang gagal karena tidak ada penyedia barang yang berminat.

Harga Perkiraan Sendiri adalah perhitungan biaya atas pekerjaan barang/jasa sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan dalam dokumen pemilihan penyedia barang/jasa, dikalkulasikan secara keahlian dan berdasarkan data yang dapat dipertanggung-jawabkan. Setiap pengadaan harus dibuat HPS kecuali pengadaan yang menggunakan bukti perikatan berbentuk bukti pembayaran, jadi HPS digunakan untuk pengadaan dengan tanda bukti perjanjian berupa kuitansi, SPK, dan surat perjanjian.

Manfaat dan Sumber Data Penyusunan HPS

Manfaat penyusunan HPS adalah :

a. alat untuk menilai kewajaran penawaran termasuk rinciannya;

b. dasar untuk menetapkan batas tertinggi penawaran yang sah untuk pengadaan;

c. dasar untuk negosiasi harga dalam Pengadaan Langsung dan Penunjukan Langsung;

d. dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Penawaran (1-3% dari HPS)

Page 2: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Contoh :

Nilai HPS suatu pekerjaan misalkan sebesar Rp. 1.000.000.000,-, Panitia pengadaan, menetapkan besarnya jaminan penawaran, misalkan sebesar 2% dari HPS/OE. Ini berarti penyedia barang/jasa harus menyampaikan jaminan penawaran senilai Rp. 20.000.000,- (berapapun harga penawaran yang disampaikan untuk pekerjaan tersebut)

e. dasar untuk menetapkan besaran nilai Jaminan Pelaksanaan bagi penawaran yang nilainya lebih rendah dari 80% (delapan puluh perseratus) nilai total HPS.

CONTOH :

Nilai OE suatu pekerjaan misalkan sebesar Rp. 10.000.000.000,- Penyedia barang/jasa menyampaikan penawaran harga (setelah terkoreksi) sebesar Rp. 7.000.000.000,- atau 70% dari HPS/OE. Kalau tanpa tambahan jaminan pelaksanaan, jumlah jaminan pelaksanaan = 5% x HPS= 5% x Rp. 10.000.000.000,- = Rp. 500.000.000,-.

Penyusunan HPS diklakulasikan berdasarkan keahlian dan data-data yang bisa dipertanggungjawabkan. Data yang dipakai untuk menyusun HPS meliputi:

a. harga pasar setempat yaitu harga barang dilokasi barang diproduksi/ diserahkan/ dilaksanakan, menjelang dilaksanakannya pengadaan barang;

b. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Badan Pusat Statistik (BPS);

c. informasi biaya satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh asosiasi terkait dan sumber data lain yang dapat dipertanggungjawabkan;

d. daftar biaya/tarif Barang yang dikeluarkan oleh pabrikan/distributor tunggal;

e. biaya Kontrak sebelumnya atau yang sedang berjalan dengan mempertimbangkan faktor perubahan biaya;

f. inflasi tahun sebelumnya, suku bunga berjalan dan/atau kurs tengah Bank Indonesia;

g. hasil perbandingan dengan Kontrak sejenis, baik yang dilakukan dengan instansi lain maupun pihak lain;

h. norma indeks; dan/atau

i. informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan.

Untuk pemilihan Penyedia secara internasional, penyusunan HPS menggunakan informasi harga barang/jasa yang berlaku di luar negeri.

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyusun HPS adalah :

a. HPS telah memperhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan

b. HPS memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar bagi Penyedia;

c. HPS tidak boleh memperhitungkan biaya tak terduga, biaya lain-lain dan Pajak Penghasilan (PPh) Penyedia.

Page 3: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

d. nilai total HPS terbuka dan tidak rahasia.

e. riwayat HPS harus didokumentasikan secara baik.

f. HPS tidak dapat digunakan sebagai dasar perhitungan kerugian negara;

g. Tim Ahli dapat memberikan masukan dalam penyusunan HPS;

Dalam penetapan HPS harus memperhatikan jangka waktu penggunaan HPS, hal ini terkait dengan tingkat keakuratan data-data barang baik spesifikasi maupun harga. Oleh karena itu HPS ditetapkan :

a. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran untuk pemilihan dengan pascakualifikasi; atau

b. paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja sebelum batas akhir pemasukan penawaran ditambah dengan waktu lamanya prakualifikasi untuk pemilihan dengan prakualifikasi.

Hal yang paling mendasar dalam penyusunan HPS pada dasarnya adalah bagaimana penyusun memahami karakteristik barang/jasa yang diadakan dan kecenderungan harga. Disamping itu sesuai dengan istilahnya bahwwa HPS adalah perkiraan dan patokan semata.

Penetapan HPS, Mark up?

Bagi Pejabat Pembuat Komitmen sebagai pejabat yang menetapkan HPS ibarat makan buah simalakama, lebih mahal dari harga pasar berpotensi MARK-UP, lebih rendah atau sama dengan harga pasar berpotensi tidak ada yang berminat. Dampaknya adalah adanya gagal lelang dengan kata lain akan memperpanjang waktu pengadaan barang dan jasa.

Mengapa PPK menetapkan harga diatas harga pasar?. Berdasarkan pasal 66 ayat 8 Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012, HPS disusun dengan memperhitungkan keuntungan dan biaya overhead yang dianggap wajar. Kewajaran yang dimaksud ini tanpa dibatasi nilai tertentu sehingga bagi PPK tentu secara aturan tidak salah jika menambah nilai keuntungan dengan prosentase atau nominal tertentu.

Jika semata-mata untuk menambah nilai keuntungan bagi penyedia tentu ini alasan yang tidak tepat, tetapi harusnya penambahan nilai keuntungan lebih ditekankan untuk menambah minat penyedia barang dan jasa untuk berkompetisi dalam pengadaan barang/jasa.

Misalnya berdasarkan daftar harga yang di publikasikan oleh toko online bhinneka.com , harga komputer yang tertera untuk satu spesifikasi tertentu seharga Rp.12.000.000,-. Berdasarkan harga tersebut, apabila PPK yang bertugas pada satuan kerja berlokasi di jakarta, akan menyusun HPS untuk pengadaan 200 unit komputer, berapa nilai HPS yang akan ditetapkan?

Rumus sederhana untuk menghitung HPS adalah

Harga satuan = analisa harga + keuntungan wajar

HPS sblm PPN = Harga satuan x volume

HPS = HPS sblm PPN + (HPS sblm PPN x 10%)

Berdasarkan rumusan tersebut, penyusunan HPS harus memperhitungkan komponen keuntungan wajar. Berapa batasan keuntungan yang wajar? Tentu PPK menetapkan dengan pertimbangan menghindari 

Page 4: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

markup dan kurangnya minat penyedia. Definisi Mark-upadalah perbedaan antara biaya untuk menyediakan produk atau jasa, dengan harga jualnya. Tidak sama dengan marjin laba. (http://www.kamusbisnis.com).

Pada dasarnya daftar harga yang dipublikasikan oleh sumber informasi yang berasal dari toko tentu sudah terdapat unsur keuntungan. Apabila dalam penyusunan HPS ditambah lagi dengan keuntungan, berdasarkan definisi diatas, dapat masuk dalam kategori markup.

Jika PPK menetapkan nilai keuntungan yang wajar adalah 5% dari harga yang dipublikasikan, berdasarkan contoh kasus diatas maka total HPS adalah

Harga satuan = 12.000.000 + (5%x12.000.000)

Harga satuan = 12.000.000 + 600.000

Harga satuan = 12.600.000,-

HPS sebelum PPN = 12.600.000 x 200 unit

HPS = 2.520.000.000

Dalam komponen HPS terdapat nilai uang sebesar Rp.600.000,- x 200 = 120.000.000,- sebagai nilai keuntungan disediakan untuk calon penyedia barang. Darimana cara kita memandang nilai kewajaran, margin 5% atau total nilai tambahan keuntungan Rp.120.000.000,-.

Bersalahkah PPK ?

Dalam batasan ini apakah PPK bersalah dalam menetapkah HPS ? berdasarkan analisa penulis, penetapan HPS tersebut tidak salah, karena PPK juga harus mempertimbangkan minat dari calon penyedia barang/jasa untuk mengikuti proses pelelangan. Tentu dengan asumsi bahwa dalam proses pelelangan tidak terjadi adanya KKN antara para penyedia barang dan jasa. Dengan kata lain terjadi persaingan yang sehat dan sempurna antar calon penyedia barang dan jasa dalam mengajukan penawaran.

Apabila harga ditetapkan terlalu rendah sehingga calon penyedia barang/jasa tidak berminat akan berdampak pada gagalnya pelelangan. Tentu hal ini berdampak pada bertambahnya alokasi waktu untuk pelelangan.

Referensi

1. Perpres 54 tahun 2010 jo Perpres 70 tahun 2012

2. Peraturan Menteri PU No. 07/PRT/M/2011 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Kontruksi dan Jasa Konsultansi

Page 5: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Diskon dalam HPS

    Beberapa bulan terakhir diskusi tentang diskon dalam perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) mengemuka dalam forum aktivis P3I. Pemicunya adalah dalam berbagai temuan audit, yang disampaikan oleh beberapa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), persoalan kemahalan harga menjaditrend topic.

    Sebenarnya ada beberapa kasus kemahalan harga yang dikemukakan dan layak dibahas. Namun untuk tahap awal, disela kesibukan mempersiapkan buku saya yang ke-4, topik diskon sepertinya patut didahulukan.

    Ilustrasi kasus yang disampaikan oleh PPK adalah temuan kemahalan diperhitungkan oleh auditor setelah melakukan pemeriksaan harga beli penyedia pemenang ke distributor.

Berikut ilustrasinya:

Pada sebuah pelelangan dengan nilai paket pekerjaan sebesar Rp. 1,5 Milyar, PT. A adalah penawar terendah dengan nilai penawaran 1,3 Milyar. PT. A dimenangkan dan ditunjuk sebagai penyedia kemudian tandatangan kontrak dan melaksanakan kontrak. Paket ini menjadi obyek audit. Singkat cerita berdasar pengamatan auditor, dicurigai bahwa harga kontrak sangat tinggi. Atas dasar ini penyedia pemenang kemudian diminta menyampaikan bukti transaksi penyedia pemenang dengan distributor. Dari bukti-bukti yang diserahkan ternyata penyedia pemenang mendapatkan DISKON dari distributor sehingga harga total pembelian sebelum PPN sebenarnya adalah hanya 650 juta. Berdasarkan data ini kemudian muncullah temuan “kemahalan” dengan perhitungan sebagai berikut :

Pertanyaan mendasarnya apakah temuan diskon pembelian penyedia ke distributor tepat menjadi dasar perhitungan kemahalan ini?

Privat vs Publik

Sebelum menentukan jawaban atas pertanyaan ini ada baiknya kita melihat ruang lingkup pengadaan barang/jasa. Dalam teori Purchasing and Supply Chain Management terdapat perbedaan antaraPublic Sector dengan Private Sector. Dalam modul PSCM dari ITC disebutkan bahwa, “Private companies are driven by profit, whereas public organisations are driven by accountability to the public – public opinion”. Intinya private mengutamakan profit/keuntungan sedangkan publik mengutamakan akuntabilitas.

Page 6: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

    Sejurus dengan itu maka benar adanya bahwa pengadaan barang/jasa pemerintah (public sector)harus mengacu pada peraturan yang berlaku dalam hal ini utamanya Perpres 54/2010 sebagaimana diubah melalui Perpres 70/2012, karena utamanya akuntabilitas.

    Atas dasar ini maka menarik apabila kita petakan posisi antara Publik dan Privat dengan kasus yang sedang kita bicarakan melalui gambar berikut:

Dari gambar ini dari sisi penyedia sebenarnya ada dua tipe diskon yaitu :

1. Diskon pembelian adalah diskon pembelian yang didapatkan penyedia dari distributor.

2. Diskon penjualan adalah harga diskon yang diberikan penyedia kepada pembeli atau dalam hal ini pemerintah.

Diskon sepenuhnya merupakan kebijakan dari si pemberi diskon. Tentu saja ada berbagai macam alasan kenapa diskon diberikan misal karena produk yang melimpah/stok yang berlebihan digudang, berdasarkan volume pembelian konsumen, persaingan harga, rendahnya permintaan pasar dan lain sebagainya. Dan perlu diingat diskon bukanlah hukum pasti yang antara penjual dengan seluruh pembeli. Selama diskon belum tertuang dalam dokumen perikatan hak memberikan diskon sepenuhnya ada pada penjual.

Ketika penyedia mendaftar pada paket pelelangan (wilayah pengadaan barang/jasa pemerintah) maka pada saat itu penyedia telah menyepakati ketentuan dalam dokumen pemilihan. Kemudian ketika penyedia menawarkan harga dengan fasilitas diskon maka diskon ini mengikat secara hukum dalam dokumen kontrak.

    Dengan demikian terkait kasus diatas tegas “diskon pembelian” yang didapatkan penyedia dari distributor berada jauh diarea privat, yang tidak diatur oleh Perpres 54/2010 dan seluruh aturan turunannya. Diarea privat yang terjadi adalah mekanisme pasar dengan orientasi profit. Sehingga tidak ada batasan penyedia mengalokasikan besaran keuntungan dalam penawarannya. Ingat penawaran adalah domainnya penyedia. Selama harga penawaran memenuhi persyaratan yaitu dibawah HPS maka tidak ada satu klausulpun yang meng”haram”kan keuntungan penyedia.

    Sehingga jawaban atas pertanyaan apakah temuan diskon pembelian penyedia ke distributor tepat menjadi dasar perhitungan kemahalan ini? Adalah tidak tepat!

Page 7: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

    Justru pertanyaan besarnya ada pada metode penyusunan HPS. HPS adalah benteng terakhir menjaga tingkat kompetisi pada satu proses pemilihan penyedia pada level yang ideal. Maka dari itu dalam menyusun HPS sangat ditekankan agar PPK memperhatikan segala informasi yang didapatkan dalam survey pasar. Baik survey spesifikasi maupun harga.

HPS berada dalam wilayah publik yang diatur dalam pasal 66 Perpres 54/2010 sebagaimana diubah melalui Perpres 70/2012. Maka dari itu harus dipilah diskon yang mana yang menjadi bagian dari HPS.

Jika melihat pada gambar diatas maka diskon penjualan dari penyedia lah yang menjadi bagian dari HPS. Ketika PPK melaksanakan survey harga diterima informasi adanya diskon penjualan yang ditawarkan penyedia, maka info diskon penjualan ini menjadi bahan perhitungan dalam penyusunan HPS. Yang dihindari adalah PPK sengaja mengabaikan informasi diskon dalam menyusun HPS.

Sebaliknya bagaimana jika sumber informasi tidak menginformasikan? Maka tentu sudah diluar kekuasaan PPK untuk memasukkan diskon penjualan sebagai bahan perhitungan HPS. Risiko yang terjadi jika memperhitungkan diskon yang tidak valid informasinya adalah potensi gagal lelang. Gagal lelang dari sisi biaya adalah add cost atau biaya tambahan yang dampaknya bisa saja sangat besar.

Ilustrasi :

Maka HPS yang mungkin tersusun adalah sebesar Rp. 5.750.000,- . Dari contoh ini apakah jikasumber 1 mengikuti pelelangan kemudian menawarkan harga pasar, yang sudah barang tentu telah include didalamnya keuntungan, sebesar Rp.5.000.000,- kemudian dikenakan kemahalan? Tentu tidak karena itu adalah hak privat penyedia.

Kemudian apakah HPS yang disusun “kemahalan”? Tentu jawabannya juga tidak. Karena HPS yang diambil dengan metode statistik “Mean” ini telah mengandung risiko yang besar.

Silakan dilihat, sel berarsir kuning adalah informasi harga yang berada dibawah HPS. Jumlahnya 4 informasi. Bisa dibayangkan jika 2 saja diantara 4 penyedia ini tidak menawar pada paket pelelangan maka gagal lelang pasti terjadi. Apalagi kalau HPS mengambil data terendah dari sumber 1 maka kemungkinan besar gagal lelang terjadi.

Semua bercerita tentang kemungkinan. Semakin banyak data yang dikumpulkan maka data HPS semakin baik, hanya saja faktor waktu pelaksanaan juga menjadi perhitungan. Tidak selalu mudah mendapatkan informasi harga apalagi untuk barang/jasa kompleks. Untuk itu tugas berat PPK dalam menyusun HPS 

Page 8: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

adalah memperhitungkan secara keahlian. Tentu saja yang namanya perkiraan sangat mungkin salah juga sangat mungkin betul.

Kembali ke soal pokok tentang diskon dalam HPS. Maka jawabannya diskon dalam HPS adalahdiskon penjualan yang sangat berbeda dengan diskon pembelian disisi penyedia. Sehingga temuan “kemahalan”, sebagai indikasi perbuatan melawan hukum, dengan memanfaatkan data pembelian penyedia ke distributor/lainnya menurut saya adalah tidak tepat.

Perbuatan Melawan Hukum

Berbeda kejadiannya jika dalam proses pemeriksaan ditemukan bukti yang kuat telah terjadi perbuatan melawan hukum seperti kolusi. Tentu saja bukti yang kuat ini bukan tentang adanya “diskon”. Mungkin saja pemicu kecurigaan karena nilai kontrak sangat jauh lebih mahal dari pada harga pasar. Jika ini terjadi maka dalam rangka menghitung besaran Kerugian Negara digunakan pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal ini menyebutkan bahwa kontrak, dimana didalamnya terdapat unsur perbuatan melawan hukum, dapat dinyatakan tidak sah secara hukum. Sehubungan dengan kontrak yang tidak sah secara hukum, maka penyedia barang tidak berhak untuk mendapatkan laba. Dalam rangka menghitung laba inilah kemudian data pembelian penyedia ke distributor menjadi bahan utama pemeriksaan. Dengan demikian besaran diskon pembelian yang tidak dikurangi dalam harga penawaran adalah termasuk dalam perhitungan potensi kerugian negara yang kadang juga diberi nama sebagai “kemahalan“.

Kata kunci terakhir. Selama penyusunan HPS telah dikalkulasikan secara keahlian berdasarkan data yang dapat dipertanggung jawabkan. Dan tertuang dalam kertas kerja atas survey yang benar-benar dilakukan, baik oleh PPK ataupun tim teknis/ahli yang membantu PPK, maka tidak ada alasan untuk mempermasalahkan “diskon” dalam HPS maupun penawaran sebagai perbuatan melawan hukum.

Silakan didiskusikan.

Pengadan di BUMN/BUMD

Tanggal Posting : Minggu, 4 Mei 2014 | 09:33 WIB

Pengirim : Nandang Sutisna - Dilihat : 726

Ruang Lingkup pengadaan BUMN/BUMD

Pertanyaan yang palin sering disampaikan adalah apakah pengadaan pada BUMN/BUMD berpedoman kepada Perpres 54/2010 beserta perubahannya?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita harus merujuk Pasal 2 ayat (1) Perpres 54/2010 yang menyatakan bahwa ruang lingkup Peraturan Presiden ini meliputi:

a. Pengadaan Barang/Jasa di lingkungan K/L/D/I yang pembiayaannya baik sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD.

Page 9: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

b. Pengadaan Barang/Jasa untuk investasi di lingkungan Bank Indonesia, Badan Hukum Milik Negara dan Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah yang pembiayaannya sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.

Kita harus cermat memahami ketentuan diatas, sebab sebagian orang tidak tepat memahami maksud dari ketentuan tersebut.

Pengadaan Investasi bagi BUMN/BUMD wajib berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya bilamana pembiayaannya bersumber dari sebagian atau seluruhnya dibebankan pada APBN/APBD.  Penekanannya berada pada kata investasi dan pembiayaan.

Lantas bagimana kalau pengadaannya bukan untuk kepentingan investasi? Sudah barang tentu tidak berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya. 

Lalu bagaimana kalau pengadaan investasi yang anggarannya tercantum dalam APBN/APBD sebagai penyertaan modal?

Kita harus kembali pada kepada kata kunci kedua yaitu pembiayaan. Dalam kontes penyertaan modal kepada BUMN/BUMD, dimana anggaran ditransfer ke kas BUMN/BUMD, maka proses pembiayaan dari pengadaan yang dilakukan bukan lagi bersumber DIPA/DPA K/L/D/I namun bersumber dari kas perusahaan. Dalam konteks seperti ini, maka pengadaannya tidak berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya namun berpedoman pada Peraturan Pengadaan BUMN/BUMD. 

Pengadaan investas untuk BUMN/BUMD wajib berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya bilamana pembiayaannya bersumber dari DIPA/DPA K/L/D/I. Misalnya pengadaan Gedung Kantor BUMN/BUMD yang dalam dokumen anggarannya dinyatakan jelas untuk pembangunan Gedung Kantor BUMN/BUMD, maka pengadaannya wajib berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya. Proses pengadaannya dilakukan di K/L/D/I dengan PA/KPA pemilik anggaran, PPK dan Pokja ULP juga berasal dari K/L/D/I. 

Berbeda bilamana dalam dokumen anggarannya dinyatakan sebagai penyertaan modal dan masuk ke kas perusahaan, maka pengadaannya berpedoman pada Peraturan Pengadaan BUMN/BUMD dengan penaggungjawab direksi dan organisasi pengadaan juga berasal dari BUMN/BUMD.

 

Mengapa Pengadaan BUMN/BUMD tidak berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya

Dalam prakteknya sebagian besar BUMN/BUMD berpedoman pada Perpres 54/2010 beserta perubahannya (yang pernah konsultasi dengan penulis), selain disebabkan karena khawatir bemasalah juga disebabkan mereka sendiri tidak memiliki aturan pengadaan untuk internal BUMN/BUMD.

Sebelum kita jelaskan fenomena diatas, ada baiknya kita memahami perbedaan entitas K/L/D/I dengan BUMN/BUMD.

K/L/D/I didirikan dengan maksud melakukan pelayanan publik dan mensukseskan kebijakan pemerintah. Ukuran keberhasilan K/L/D/I didasarkan pada kualitas layanan publik yang diberikan dan besarnya benefit yang didapat oleh masyarakat dari implementasi kebijakan yang dilaksanakan. Dalam pengadaan barang/jasa K/L/D/I, ukuran keberhasilannya adalah seberapa besar manfaat atau benefit yang didapatkan masyarakat dari proses pengadaan yang dilakukan. Akuntabilitas terhadap peraturan 

Page 10: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

menjadi titik berat dari proses yang dilakukan. Pengambilan keputusan yang dilakukan didasarkan pada kepentingan masyarakat yang lebih luas.

Untuk BUMN/BUMD, maka tujuan perusahaan adalah meningkatkan profit perusahaan. Dengan sendirinya, ukuran keberhasilan BUMN/BUMD adalah bagaimana meningkatkan profit dan mengembangkan perusahaan. Pengadaan yang dilakukan oleh BUMD/BUMD berorientasi pada kelancaran faktor-faktor produksi dan upay menekan biaya untuk meningkatkan profit perusahaan. Dengan demikian, maka pengadaan barang/jasa pada BUMN/BUMD membutuhkan fleksibilitas yang lebih dibandingkan K/L/D/I. Karena keterlambatan dalam mengambil keputusan atau penetapan prosedur yang tidak efisien akan berakibat pada kekalahan dari kompetitor, yang dampaknya akan menurunkan posisi perusahaan dan berkurangnya profit.

Mengingat sifatnya yang spesifik sesuai dengan jenis usaha dan visi perusahaan yang berbeda-beda, maka akan sulit menetapkan aturan pengadaan yang sesuai untuk semua BUMN/BUMD. Karena mungkin akan cocok untuk jenis usaha tertentu tapi tidak cocok untuk jenis usaha yang lain. Dengan demikian, untuk meningkatkan peran pengadaan sebagai sumber profit pada BUMN/BUMD maka perusahaan harus menyusun aturan pengadaannya sediri yang sesuai dengan visi perusahaan dan strategi bisnis yang dimiliki. 

Mengingat karakteristik yang dimiliki, maka memang desain aturan untuk pengadaan BUMN/BUMD tidak berpedoman kepada Perpres 54/2010 beserta perubahannya. Karena K/L/D/I dan BUMN/BUMD memiliki tatacara bekerja yang berbeda, visi yang berbeda, bentuk organisasi yang berbeda dan tata kelola keuangan yang berbeda. Kesalahan dapat menentukan strategi pengadaan pada BUMN/BUMD akan berdampak pada kinerja perusahaan.

Aturan Pengadaan BUMN/BUMD

Peraturan pengadaan barang/jasa BUMN diatur melalui Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-05/MBU/2008 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Barang dan Jasa MUMN. Permen tersebut tidak mengatur tatacara pengadaan secara detail sebagaimana Perpres 54/2010 beserta perubahannya. Permen hanya mengatur prinsip pengadaan, pedoman pelaksanaan pengadaan dan kebijakan umum pengadaan terkait pendayagunaan produksi dalam negeri dan sinergitas antara BUMN dan penggunaan eprocurement. Ketentuan lainnya adalah amanat untuk direksi BUMN menerbitkan aturan pengadaan yang cepat, fleksibel, efektif dan efisien agar tidak kehilangan momentum bisnis yang dapat menimbulkan kerugian.

Permen tersebut jelas mengamanatan bahwa penyusunan aturan pengadaan barang/jasa di BUMN harus mencerminnkan visi bisnis yang cepat dan fleksibel. Dengan demikian, keputusan BUMN/BUMD yang berpedoman Perpres 54/2010 beserta perubahannya tidak tepat, bila dilihat karakteristik BUMN/BUMD yang jelas sebagai entitas bisnis. Dengan demikian, penyusunan aturan pengadaan sendiri pada BUMN/BUMD merupakan kebutuhan perusahaan. Dengan menetapkan aturan sendiri, maka BUMN/BUMD dapat menyesuaikan tatacara pengadaan yang sesuai dengan karakter bisnis yang dijalani yang sejalan dengan visi bisnis perusahaan.

Untuk pengadaan barang/jasa pada BUMD biasanya dilakukan melalui Peraturan Kepala Daerah dan ditindaklanjut dengan keputusan direksi BUMN. Secara kaidah tidak ada perbedaan mendasar antara pengadaan pada BUMN dan BUMN, karena perbedaan kedua hanya terletak pada pemiliki modal.

Page 11: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Sosialisasi UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan

Tanggal diterbitkan30/12/14 10:33

SAMARINDA - Seorang pejabat pemerintah saat ini sudah tidak bisa lagi menjalankan kewenangannya dengan sewenang-wenang karena sudah ada standarisasi penggunaan wewenang sebagaimana diatur dalam UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Hal itu disampaikan mantan Wakil Menteri PAN dan RB, Eko Prasojo, saat menjadi pembicara dalam acara sosialisasi UU Administrasi Pemerintahan, di Kantor PKP2A III LAN Samarinda,  Selasa (30/12).

Menurut dia, disahkannya UU AP menjadi angin segar bagi penyelenggara pemerintahan. Pasalnya, UU ini menjadi payung bagi badan atau pejabat pemerintah dalam melaksanakan kewenangan.

“Dalam UU AP ini diatur mengenai tata cara pengambilan keputusan dan tindakan administrasi pemerintahan. Sehingga diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.

Kendati telah disahkan, menurut Eko, masih banyak pihak yang belum yakin bahwa sebuah kewenangan perlu diatur sebagaimana adanya hingga tidak terjadi kasus-kasus penyalahgunaan wewenang yang merupakan sumber dari kolusi di dalam birokrasi.

“Yang pasti, UU AP mengatur bagaimana seorang pejabat administrasi pemerintahan menggunakan kewenangannya dalam membuat keputusan dan tindakan. UU AP bisa dikatakan menjadi salah satu manual book of governance activity, yaitu buku manual yang menjadi standarisasi administrasi dalam tindakan atau aktifitas pemerintahan dari seorang pejabat. Dengan adanya manual book tersebut, “bahasa” pejabat dalam melaksanakan pemerintahan bisa sama sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam penyampaian kewenangan aktibusi, kewenangan delegasi dan kewenangan diskresi,” jelasnya.

Dibuatnya UU AP merupakan upaya untuk menciptakan kepastian hukum kepada masyarakat dan badan/ pejabat pemerintah. Keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan pun dipastikan sesuai dengan kaedah hukum dan metanorma dalam prinsip-prinsip jalannya pemerintahan. UU AP juga diharapkan dapat menjamin akuntabilitas badan/pejabat karena dalam UU ini ditentukan hak untuk mengakses dasar-dasar yang menjadi pertimbangan untuk menentukan keputusan administrasi pemerintahan.

Selain itu, UU AP juga mengatur mengenai bagaimana semua keputusan administrasi pemerintahan yang sifatnya memberatkan dan membebani masyarakat, maka pejabat harus memberitahukan terlebih dahulu kepada masyarakat dan memberi perlindungan hukum kepada masyarakat. Termasuk juga pejabat harus menjelaskan berapa lama waktu untuk membuat keputusan dan waktu penyampaian keputusan kepada masyarakat.

“Jadi UU AP bisa melindungi pejabat juga dalam membuat keputusan. Karena salah sedikit saja secara administrasi bisa menjadi temuan pidana,” ujar Eko.

Lebih lanjut Eko menjelaskan, keberadaan UU AP ini juga melengkapi UU No. 5 tahun 1986 jo UU No. 9 tahun 2004 tentang peradilan tata usaha negara. UU AP akan menjadi hukum materiil yang menjadi 

Page 12: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

panduan untuk para Hakim TUN dan Kepolisian dalam memeriksa dan memutuskan penyelesaian gugatan masyarakat kepada pemerintahan atas keputusan dan tindakan azas pemerintahan.

Menurut Eko, hal tersebut diberlakukan karena Hakim TUN dan Kepolisian selama ini memeriksa dan memutuskan gugatan masyarakat hanya berdasar pada dua hukum, yaitu yuris prudensi dan azas-azas umum penyelenggaraan pemerintah yang baik sebagai metanorma dalam proses pemuatan keputusan.

Dengan berlakunya UU AP, Eko berharap terciptanya tertib administrasi pemerintahan sehingga tercipta bahasa yang sama, terminologi yang penting dalam administrasi pemerintahan.

“Supaya kita satu paham, satu aliran dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan,” pungkasnya.

Untuk diketahui, penetapan UU Administrasi Pemerintahan memerlukan waktu yang sangat lama karena karena berbagai silang pendapat yang menyertainya. Selama hampir satu dekade, UU AP digodog oleh pemerintah dan parlemen. Dalam sidang perdana pembahasan RUU AP tahun 2005 silam, Sri Mulyani (yang saat itu menjabat sebagai Menteri Keuangan - red) terus meyakinkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa RUU AP sangat bagus dan harus segera ditetapkan.

Setelah RUU AP dimatangkan, hasilnya kemudian disampaikan pada parlemen pada tahun 2013. Namun, di tangan parlemen, ternyata RUU AP ini masih mengalami perdebatan yang cukup lama. Butuh perdebatan panjang di tingkat parlemen selama tiga bulan sebelum ditetapkan. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya rancangan UU AP ini disahkan menjadi Undang-undang sesaat sebeum pergantian pemerintahan dari SBY kepada Joko Widodo. (uly/humas)

eraturan Perundang-undangan yang tertata dan terselenggara dengan baik, sangat penting arti dan peranannya dalam upaya peningkatan pemahaman dan pengetahuan mengenai hukum pada khususnya dan pembangunan bidang hukum sebagian dari pembangunan nasional pada umumnya. Oleh karena itu, pada hari Senin  6 April 2015 bertempat di Kantor Bupati Cirebon, tepatnya di Ruang Pertemuan Nyi Mas Gandasari dilaksanakan kegiatan sosialisasi Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

 

          Dalam kegiatan Sosialisasi Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 ini dihadiri undangan sebanyak 90 orang yang terdiri dari Wakil Bupati Cirebon, Pimpinan DPRD, Forum Komunikasi Pimpinan Daerah & Ketua Pengadilan Negeri Sumber, Sekretaris DPRD Kabupaten Cirebo, Sekretaris Daerah Kabupaten Cirebon, para Asisten Sekda, Staff ahli Bupati Cirebon, Kepala OPD, Kepala Bagian Sekretariat Daerah dan Camat di lingkup Kabupaten Cirebon.

          Adapun para nara sumber yang menjadi pembicara pada acara sosialisasi Undang Undang Nomor 30 2014 tentang Aministrasi Pemerintahan ini adalah Prof. Dr. Zudan Arif Fakrulloh SH.,MH. yang saat ini menjabat sebagai Staff Ahli Menteri bidang Politik dan Hukum Kementerian Dalam Negeri RI yang menyajikan materi “Diskresi dalam penyelenggaraan PEMDA” dan Prof. Dr. Asep Warlan SH.,MH. yang merupakan pakar hukum Tata Negara dari Universitas Katholik Parahyangan Bandung dan memaparkan materi yang bertajuk “Tanggung jawab dan perlindungan hukum bagi aparatur sipil negara”.

 

Page 13: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Dalam sambutannya Bupati Cirebon mengatakan bahwa Undang Undang tentang Administrasi Pemerintahan merupakan “buku panduan” yang menjadi standarisasi administrasi dalam tindakan atau aktivitas pemerintahan dai seorang pejabat. Dengan adanya “buku panduan” tersebut, “bahasa pejabat” dalam melaksanakan pemerintahan bisa sama, sehingga tidak terjadi kesalahpahaman dalam penyampaian dan penggunaan kewenangan atribusi, delegasi, mandat dan bahkan penggunaan kewenangan diskresi. Selain itu, Bupati Cirebon mengngkapkan pula bahwasanya Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan ini juga merupakan upaya untuk menciptakan kepastian hukum kepada masyarakat dan badan/pejabat pemerintahan, karena keputusan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan dipastikan sesuai dengan kaedah hukum dan asas asas umum pemerintahan yang baik. Pada akhir kata sambutannya, Bupati Cirebon mengungkapkan harapan bahwa dengan adanya kegiatan sosialisasi Undang Undang Nomor 30 tahun 2014 ini, seluruh aparatur Pegawai Negeri Sipil Kabupaten Cirebon bisa menunjukan jati diri dan kompetensi, khususnya yang terkait dengan kewenangan yang dimilikinya.

Dilema Pejabat Pengadaan Berdasarkan Perpres 4 Tahun 2015

 Dibuat: Kamis, 30 April 2015 11:42

 Ditulis oleh BDK Yogyakarta

Ringkasan: Pengadaan barang dan jasa Indonesia mendapatkan surprise di awal tahun 2015 ini dengan keluarnya Perpres 4 tahun 2015. Perpres ini merupakan perubahan keempat atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 16 Januari 2015. Perpres ini diharapkan dapat mengatasi beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satu poin penting yang ada di perpres ini adalah diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada pejabat pengadaan untuk melaksanakan pengadaan dengan cara e-purchasing. Penulis: Jamila Lestyowati,Widyaiswara Madya Balai Diklat Keuangan Yogyakarta

 

 

 

 

Dilema Pejabat Pengadaan Berdasarkan Perpres 4 Tahun 2015

 

 Pengadaan barang dan jasa Indonesia mendapatkan surprise di awal tahun 2015 ini dengan keluarnya Perpres 4 tahun 2015. Perpres ini merupakan perubahan keempat atas Perpres Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 16 Januari 2015. Perpres ini diharapkan dapat mengatasi beberapa kendala dan permasalahan yang dihadapi dalam pengadaan barang dan jasa. Salah satu poin penting yang ada di perpres ini adalah diberikannya kewenangan yang lebih besar kepada pejabat pengadaan untuk melaksanakan pengadaan dengan cara e-purchasing.

 

Kata kunci : Perpres 4/2015, Perpres 54/2010, pejabat pengadaan, pengadaan langsung, e-purchasing

Page 14: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

 

Pengantar

 

Berdasarkan Perpres 54/ 2010, pejabat pengadaan adalah personil yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang melaksanakan pengadaan barang/ jasa. Sedangkan menurut Pepres 70/ 2012 pejabat pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan pengadaan langsung. Apa itu pengadaan langsung? Pengadaan langsung adalah pengadaan barang/jasa langsung kepada penyedia barang/jasa, tanpa melalui pelelangan/ seleksi/penunjukan langsung. Berdasarkan pasal 39 Perpres 70/2012, pengadaan langsung dapat dilakukan terhadap Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 dengan ketentuan:

 

a. kebutuhan operasional K/L/D/I;

b. teknologi sederhana;

c. risiko kecil; dan/atau

d. dilaksanakan oleh Penyedia Barang/Jasa usaha orang-perseorangan dan/atau badan usaha kecil serta koperasi kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan koperasi kecil. Sedangkan untuk pengadaan jasa konsultansi pengadaan langsung digunakan untuk nilai sampai dengan lima puluh juta rupiah.

 

Pejabat Pengadaan

 

Paket Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Lainnya yang bernilai paling tinggi Rp200.000.000,00 dapat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan. Demikian juga Paket Pengadaan Jasa Konsultansi yang bernilai paling tinggi Rp50.000.000,00 dapat dilaksanakan oleh Kelompok Kerja ULP atau Pejabat Pengadaan. Pengadaan Langsung ini dilaksanakan oleh satu orang Pejabat Pengadaan.

 

Setiap satuan kerja pasti mempunyai pejabat pengadaan. Hal ini mengindikasikan bahwa banyak pekerjaan yang dilaksanakan dengan nilai yang relatif kecil. Sehingga dalam proses pengadaannya tidak diperlukan pelelangan/ seleksi. Pejabat pengadaanlah yang menetapkan penyedia barang/jasa untuk pengadaan langsung.

 

Page 15: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Pada saat itulah peran pejabat pengadaan menjadi penting. Karena urgensinya yang sangat tinggi itu, maka Perpes mengamanatkan bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat pengadaan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

 

 

1. memiliki integritas, disiplin, dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas;

2. memahami pekerjaan yang akan diadakan;

3. memahami jenis pekerjaan tertentu yang menjadi tugas ULP/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan yang bersangkutan;

4. memahami isi dokumen, metode dan prosedur Pengadaan;

5. memiliki Sertifikat Keahlian Pengadaan Barang/ Jasa sesuai dengan kompetensi yang dipersyaratkan; dan

6. menandatangani Pakta Integritas.

 

Perubahan Kewenangan Pejabat Pengadaan

 

Berdasarkan Perpres 4 tahun 2015 -sebuah peraturan yang dinilai banyak pihak sebagai aturan yang akan mendorong pengadaan barang dan jasa akan berjalan secara efektif dan efisen- ada perubahan mengenai pengertian pejabat pengadaan. Pasal 1 ayat 9 mengatakan bahwa yang disebut pejabat pengadaan adalah personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing.

 

Untuk memudahkan pemahaman mengenai pejabat pengadaan, penulis sampaikan matriks perbedaan tersebut.

 

Matriks Perbedaan Definisi Pejabat Pengadaan

 

Peraturan / Jabatan Pejabat Pengadaan

Perpres 54/ 2010personil yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa yang melaksanakan pengadaan barang/jasa

Perpres 70/2012 personil yang ditunjuk untuk

Page 16: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

melaksanakan pengadaan langsung

Perpres 4 / 2015personil yang ditunjuk untuk melaksanakan Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing

 

Jika kita cermati, ada kewenangan yang ditambahkan kepada pejabat pengadaan yaitu:

 

1. Pengadaan barang/ pekerjaan konstruksi/ jasa lainnya sampai dengan Rp 200 juta dan konsultan s/d 50jt dengan metode pemilihan penyedia yaitu penunjukan langsung ;

2. Pengadaan barang/jasa dengan e-purchasing tanpa ada batasan nilai rupiahnya.

 

Selama ini pejabat pengadaan sudah terbiasa dengan metode pengadaan langsung. Jika ditambahkan dengan penunjukan langsung untuk batasan nilai yang sama dengan pengadaan langsung, penulis beranggapan hal itu tidak akan menjadi persoalan yang serius. Karena selama ini pejabat pengadaan aman-aman saja dengan pemilihan penyedia yang sudah dilakukan sebelumnya. Namun akan menjadi persoalan ketika pejabat pengadaan juga diberi kewenangan untuk pengadaan dengan cara e-purchasing tanpa batasan nilai.

 

E-Purchasing

 

Dalam pengadaan barang dan jasa dikenal istilah pengadaan secara elektronik atau e-procurement, yaitu pengadaan barang/jasa yang dilaksanakan dengan menggunakan teknologi informasi dan transaksi elektronik sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

 

Pengadaan secara elektronik terdiri dari dua jenis yaitu e-tendering dan e-purchasing. E-tendering adalah tata cara pemilihan penyedia barang/jasa yang dilakukan secara terbuka dan dapat diikuti oleh semua penyedia barang/jasa yang terdaftar pada sistem pengadaan secara elektronik dengan cara menyampaikan satu kali penawaran dalam waktu yang telah ditentukan. Sedangkan e-purchasing adalah tata cara pembelian barang/jasa melalui sistem katalog elektronik. Katalog elektronik atau e-catalogue adalah sistem informasi elektronik yang memuat daftar, jenis, spesifikasi teknis dan harga barang tertentu dari berbagai penyedia barang/jasa pemerintah.

 

Mengapa pejabat pengadaan diberikan kewenangan untuk mengadakan barang/jasa secara e-purchasing? Hal ini asumsinya adalah karena dalam e-purchasing tidak perlu dilakukan evaluasi penawaran dan kualifikasi sehingga tugas pejabat pengadaan adalah melaksanakan sistem dalam 

Page 17: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

aplikasi e-purchasing. Jika kebutuhan akan barang/jasa tersedia dalam katalog elektronik, maka K/L/D/I wajib melakukan pengadaan barang dan jasa dengan e-purchasing.

 

Jika anda mencermati perkembangan katalog elektronik yang disediakan oleh LKPP, maka jenis barang/ jasa yang tersedia semakin bertambah yang memuat informasi teknis maupun harganya.

 

Di satu sisi, hal ini merupakan perkembangan yang bagus untuk percepatan proses pengadaan barang dan jasa . Namun hal ini harus diikuti dengan tata laksana yang tepat. Mari kita lihat kondisi ini dari faktor-faktor sebagai berikut:

 

 

a. Selama ini yang penulis temui (terutama dalam diklat pengadaan barang dan jasa, baik yang berupa DTSS Pengadaan Barang/Jasa , DTSS persiapan ujian PBJ, dan Penyegaran PBJ), yang menjadi pejabat pengadaan pada umumnya secara kepegawaian adalah pegawai golongan II dan kedudukannya adalah pelaksana. Secara struktural pejabat pengadaan yang dipegang oleh pegawai ini memiliki kedudukan yang tidak selevel dengan posisi lain dalam pengelola keuangan satuan kerja. Hal ini membawa dampak yang cukup serius baik secara substansi maupun psikologi. Pejabat pengadaan akan merasa dibawah pengaruh atasan langsungnya maupun PPK ketika akan memutuskan untuk melaksanakan kewenangannya sehubungan dengan penunjukan langsung maupun terutama e-purchasing.

b. Selama ini pejabat pengadaan identik dengan pengadaan langsung dimana langsung berhadapan dengan barangnya. Disitu kelihatan bentuk dan wujud barang/jasanya. Disamping nilainya yang signifikan tidak besar, pejabat pengadaan sudah nyaman dengan penyedia barang jasa yang lazim ditemuinya. Jika pengadaan dengan cara e-purchasing, maka seakan-akan pejabat pengadaan berhadapan dengan makhluk yang entah berapa dimana barangnya. Hal ini memunculkan permasalahan psikologis yang lain mengenai bagus tidaknya kondisi barang tersebut.

c. Tanda bukti perjanjian untuk e-purchasing berupa surat pesanan. Perpes baru menyatakan bahwa cukup surat pesanan sudah bisa menjadi tanda bukti perjanjian. Jika demikian apakah surat pesanan itu merupakan perikatan antara pejabat pengadaan dengan penyedia?

d. e-purchasing dengan nilai sampai dengan dua ratus juta rupiah menjadi wewenang pejabat pengadaan

e. e-purchasing dengan nilai diatas dua ratus juta rupiah menjadi kewenangan PPK.

Jalan keluar

Pasal 110 Perpres 4/2015 mengatakan bahwa e-purchasing dilaksanakan oleh pejabat pengadaan/PPK atau pejabat yang ditetapkan oleh pimpinan instansi/institusi. Menilik bunyi pasal ini, maka penulis berpendapat bahwa sebaiknya untuk e-purchasing , kewenangannya dibagi dua:

Page 18: ARTIKEL KERUGIAN NEGARA PRES 2015 AGUSTUS.docx

Hal ini adalah untuk menjaga kemungkinan buruk yang kemungkinan terjadi di kemudian hari mengingat PPK -yang seorang pejabat- adalah pejabat yang memiliki kewenangan lebih besar dibandingkan dengan pelaksana.

Faktor yang lain yang juga perlu diperhatikan adalah sehubungan dengan honor pengadaan yang diberikan kepada pejabat pengadaan. Selama ini honorarium pejabat pengadaan dibayarkan berdasarkan satuan OB (Orang Bulan). Jadi seberapa banyaknya pun pekerjaan pengadaan barang dan jasa yang dilaksanakannya, maka honor bulanan nya akan tetap. Tapi coba bandingan dengan honor pantia pengadaan/ULP. Honor panitia/ULP dibayarkan berdasarkan satuan OP (Orang Paket). Jadi, semakin banyak paket pekerjaan yang dikerjakannya, maka semakin besar honor yag diterima.

Nah, sekarang coba kita bandingkan dengan pejabat pengadaan jika memiliki kewenangan untuk melakukan e-purchasing di kantornya tanpa batasan nilai. Misal pejabat pengadaan melaksanakan pengadaan mobil dinas sesuai dengan katalog elektronik LKPP. Pengadaan mobil tersebut nilainya sangat besar karena jumlahnya yang banyak, misalnya dua milyar. Walaupun pejabat pengadaan melaksanakan pekerjaan dengan nilai yang besar tersebut, honor yang diterima akan tetap sesuai dengan SBM Kementerian Keuangan yaitu honor bulanan itu. Disinilah penulis melihat ada ketidakadailah jika e-purshasing tanpa batas nilai diberikan kewenangannya kepada pejabat pengadaan.

Penutup

Perpes 4/2015 di satu sisi membawa kemajuan yang pesat dengan mempercepat proses pelaksanaan pengadaan (pengumuman RUP dan pemilihan penyedia lebih awal), optimalisasi penggunaan e-procurement dan e-purchasing. Namun harus disadari bahwa ada bahaya yang cukup besar disana jika tidak dikelola dengan baik.

Seyogyanya semua pihak yang berkepentingan turut memikirkan hal ini sehingga tidak ada korban dari aturan ini. Pejabat pengadaan yang kredibel dan profeional akan menghasilkan pengadaan yang efektif dan efisen. Maka perlu ada peningkatan kapasitas para pejabat pengadaan sehubungan dengan aturan yang baru ini. Sehingga, menjadi pejabat pengadaan ? Siapa takut?