22
Policy Paper “ Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan” 2 Des - 2013 1 POLICY PAPER Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan Sutoro Eko bersama Tim FPPD Latar Belakang BUMDes, atau nama lain, sebenarnya bukan makhluk baru meskipun nomenklatur itu baru diperkenalkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Dulu kita mengenal berbagai institusi sosial dan institusi keuangan mikro yang dibentuk pemerintah: BKD, BINMAS, KUPEDES, KIK, KCK, BUUD, KUD, UEDSP, LPD di Bali sejak 1985. Belakangan juga hadir berbagai nama dana bergulir yang dikelola kelompok- kelompok masyarakat yang dibentuk oleh proyek-proyek sektoral kementerian seperti UPK dan Simpan Pinjam untuk Perempuan (SPP) dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Semua ini adalah LKM korporatis, atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah. Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen pemerintah menolong rakyat desa (termasuk kaum miskin) dari jeratan rentenir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat desa mengingat bank-bank komersial (baik BUMN maupun swasta) tidak pro poor. Desa-desa di Jawa juga sudah lama menjalankan usaha desa sebelum mengenal BUMDes. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, banyak desa telah mengembangkan usaha desa baik yang berorientasi bisnis sosial maupun ekonomi kreatif. Hampir semua desa di perkotaan (urban village) di empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progro, dan Gunung Kidul) umumnya memiliki ruko yang disewakan kepada pelaku ekonomi. Hasil persewaan ini sangat signifikan sebagai PADes, yang tentu jumlahnya jauh lebih besar dari alokasi dana pemerintah, yang mereka gunakan untuk menopang kesejahteraan perangkat desa, membangun fasilitas publik maupun mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat. Desa-desa di Bantul mengembangkan holding desa kerajinan, yang mempersatukan dan memperkuat usaha-usaha kerajinan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Desa-desa di Sleman, terutama di kaki Gunung Merapi, rata-rata mengembangkan usaha wisata desa. Di Gunungkidul, karena air menjadi problem serius, banyak desa yang mengembangkan Perusahaan Air Minum Desa (PAMDes), sebagai bentuk bisnis sosial untuk melayani kebutuhan air minum warga. Di Kulon Progo, pemkab mengalokasikan dana rata-rata Rp 500 juta kepada setiap desa sebagai modal bagi BUMDes Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Dalam beberapa tahun terakhir, BUMDes telah hadir sebagai ikon baru ketiga bagi desa, menyusul dua ikon desa sebelumnya, yakni Alokasi Dana Desa (ADD) dan Rencana

Artikel Bumdes Cetak

Embed Size (px)

DESCRIPTION

artikel bumdes top

Citation preview

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    1

    POLICY PAPER Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan Sutoro Eko bersama Tim FPPD Latar Belakang BUMDes, atau nama lain, sebenarnya bukan makhluk baru meskipun nomenklatur itu baru diperkenalkan oleh pemerintah dalam beberapa tahun terakhir. Dulu kita mengenal berbagai institusi sosial dan institusi keuangan mikro yang dibentuk pemerintah: BKD, BINMAS, KUPEDES, KIK, KCK, BUUD, KUD, UEDSP, LPD di Bali sejak 1985. Belakangan juga hadir berbagai nama dana bergulir yang dikelola kelompok-kelompok masyarakat yang dibentuk oleh proyek-proyek sektoral kementerian seperti UPK dan Simpan Pinjam untuk Perempuan (SPP) dalam PNPM Mandiri Perdesaan. Semua ini adalah LKM korporatis, atau Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang dibentuk oleh pemerintah. Berbagai LKM ini dibentuk oleh pemerintah karena komitmen pemerintah menolong rakyat desa (termasuk kaum miskin) dari jeratan rentenir dan sekaligus membuka akses kredit bagi rakyat desa mengingat bank-bank komersial (baik BUMN maupun swasta) tidak pro poor. Desa-desa di Jawa juga sudah lama menjalankan usaha desa sebelum mengenal BUMDes. Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, banyak desa telah mengembangkan usaha desa baik yang berorientasi bisnis sosial maupun ekonomi kreatif. Hampir semua desa di perkotaan (urban village) di empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progro, dan Gunung Kidul) umumnya memiliki ruko yang disewakan kepada pelaku ekonomi. Hasil persewaan ini sangat signifikan sebagai PADes, yang tentu jumlahnya jauh lebih besar dari alokasi dana pemerintah, yang mereka gunakan untuk menopang kesejahteraan perangkat desa, membangun fasilitas publik maupun mendukung kegiatan pemberdayaan masyarakat. Desa-desa di Bantul mengembangkan holding desa kerajinan, yang mempersatukan dan memperkuat usaha-usaha kerajinan yang dilakukan oleh warga masyarakat. Desa-desa di Sleman, terutama di kaki Gunung Merapi, rata-rata mengembangkan usaha wisata desa. Di Gunungkidul, karena air menjadi problem serius, banyak desa yang mengembangkan Perusahaan Air Minum Desa (PAMDes), sebagai bentuk bisnis sosial untuk melayani kebutuhan air minum warga. Di Kulon Progo, pemkab mengalokasikan dana rata-rata Rp 500 juta kepada setiap desa sebagai modal bagi BUMDes Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Dalam beberapa tahun terakhir, BUMDes telah hadir sebagai ikon baru ketiga bagi desa, menyusul dua ikon desa sebelumnya, yakni Alokasi Dana Desa (ADD) dan Rencana

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    2

    Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Ketiga ikon itu telah tertuang dalam PP No. 72/2005, dan secara khusus BUMDes dipayungi dan digerakkan oleh Permendagri No. 39/2010. Kebijakan pemerintah itu mempunyai kehendak dan semangat yang agung. BUMDes dimaksudkan sebagai wadah usaha desa, dengan spirit kemandirian, kebersamaan dan kegotongroyongan antara pemerintah desa dan masyarakat, yang mengembangkan aset lokal untuk memberikan pelayanan kepada warga masyarakat dan meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat dan desa. BUMDes tentu juga bermaksud untuk memberikan sumbangan terhadap penanggulangan kemiskinan dan pencapaian kesejahteraan rakyat. Sebelum hadir Permendagri, sebagian daerah telah melahirkan BUMDes, dan pasca Permendagri, semakin banyak BUMDes yang dilahirkan oleh daerah maupun BUMDes yang dilahirkan secara mandiri oleh desa. BUMDes yang menjalankan bisnis simpan pinjam (keuangan mikro) merupakan BUMDes paling populer yang dibangun oleh pemerintah daerah. Hampir semua kabupaten di Riau maupun Nusa Tenggara Barat membikin BUMDes LKM di desa. Belakangan muncul perusahaan air minum milik desa di sebagian desa sebagai bentuk pelayanan desa untuk mengatasi kelangkaan dan kesulitan akses warga desa terhadap air bersih. Saat ini BUMDes tengah menjadi isu penting bagi monitoring, penelitian, evaluasi dan pembelajaran di kalangan pemerintah, para pegiat desa maupun perusahaan. Berdasarkan pengamatan lapangan maupun sharing pembelajaran di berbagai forum selama ini, upaya-upaya pengembangan BUMDes masih menghadapi berbagai macam kelemahan, ancaman dan rendahnya kapasitas. Pertama, penataan kelembagaan desa belum berjalan secara maksimal sehingga BUMDes pun belum diinstitusionalisasikan dalam format kepemerintahan dan perekonomian desa. Kedua, keterbatasan kapasitas sumberdaya manusia di desa untuk mengelola dan mengembangkan BUMDes yang akuntabel dan berkinerja baik. Ketiga, rendahnya inisiatif lokal untuk menggerakkan potensi ekonomi lokal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi warga desa. Keempat, belum berkembangnya proses konsolidasi dan kerjasama antar stakeholders untuk mewujudkan BUMDes sebagai patron ekonomi yang berperan memajukan ekonomi kerakyatan. Kelima, kurangnya responsivitas Pemda untuk menjadikan BUMDes sebagai program unggulan untuk memberdayakan desa dan kesejahteraan masyarakat. Ada optimisme tetapi juga ada skeptisisme dalam menyambut kehadiran BUMDes. Pandangan yang skeptis sungguh risau melihat BUMDes. Kerisauan utama yang mengemuka adalah ketidakjelasan status hukum (legal standing) BUMDes. Ketika BUMDes tidak memiliki legal standing yang jelas, maka usaha desa ini tidak bisa menjadi subyek yang melakukan perbuatan hukum (misalnya meminjam uang di bank maupun kerjasama bisnis) untuk mengakumulasi modal. Menurut pandangan ini, jika tidak berstatus hukum, maka BUMDes selamanya akan kerdil dan hanya bergerak di ranah lokal desa.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    3

    Melampaui argumen-argumen hukum itu, kerisauan yang lain tertuju pada keberlanjutan BUMDes secara sosial dan ekonomi. LPD di Bali misalnya, merupakan teladan baik bagi keberlanjutan sosial ekonomi usaha desa. LPD telah hadir sebagai ikon terkemuka bagi desa adat yang menyumbangkan kamakmuran untuk krama desa. Karena itu LPD bukan menjadi sumber kerisauan tentang keberlanjutan sosial ekonomi meskipun LPD tidak memiliki legal standing yang jelas. Kerisauan sekarang terletak pada keberlanjutan sosial ekonomi BUMDes yang saat ini tengah menjamur di berbagai daerah dan desa. Ada kerisauan: jangan-jangan BUMDes akan mati suri pada tahun-tahun mendatang seperti halnya BUUD maupun KUD yang dibangun secara seragam oleh Orde Baru. Keberlanjutan LPD Bali di satu sisi dan kegagalan BUUD dan KUD di sisi lain tentu merupakan pelajaran berharga bagi BUMDes saat ini. Tantangan BUMDes menghindari kegagalan di satu sisi dan mencapai keberlanjutan di sisi lain merupakan persoalan utama, yang menjadi titik berangkat policy paper ini. Tujuan dan Relevansi Policy paper ini merupakan prakarsa FPPD yang didukung oleh ACCESS Indonesia Phase II untuk menjawab tantangan BUMDes di atas. Secara khusus policy paper ini mempunyai dua tujuan. Pertama, melakukan tinjauan ulang terhadap kebijakan dan gerakan membangun BUMDes. Dalam hal ini kami akan menemukan Policy paper ini memiliki relevansi dengan Undang-undang tentang Desa yang akan hadir dan RPJMN kedepan. RUU Desa saat ini pada dasarnya mempunyai visi dan proyeksi rekayasa yang membuat desa sebagai subyek pembangunan secara emansipatoris, yang mampu memberikan pelayanan dasar kepada warga dan menggerakkan aset-aset ekonomi lokal. BUMDes menjadi salah satu institusi desa yang mewarnai desa sebagai subyek pembangunan. Namun undang-undang yang baik pada tataran makro tidak serta merta membawa perubahan jika tidak diikuti dengan kebijakan dan gerakan yang konkret dan tepat. Undang-undang tentu akan memberikan inspirasi bagi gerakan di bawah dan di luar pemerintah, termasuk gerakan menjawab tantangan BUMDes. Policy paper ini dimaksudkan untuk memberikan inspirasi terhadap gerakan untuk menjalankan visi undang-undang, sekaligus untuk menjawab tantangan BUMDes. RPJMN beserta rencana strategis Kementerian Dalam Negeri beserta Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa yang terkait dengan BUMDes merupakan ranah kebijakan pemerintah yang perlu memperoleh perhatian serius, agar memiliki koherensi dengan visi undang-undang tentang desa dan gerakan lokal. Melalui policy paper ini, FPPD hendak memberikan kontribusi gagasan terhadap kebijakan nasional guna membangun BUMDes yang mandiri, kokoh dan berkelanjutan di masa depan.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    4

    Kerangka Kerja Pembicaraan tentang BUMDes selalu menghadirkan banyak pertanyaan yang menantang. Mengapa harus BUMDes? Apakah usaha-usaha yang dilakukan masyarakat maupun borjuis lokal desa tidak cukup? Apa nilai tambah BUMDes bila dibandingkan dengan bisnis pribadi maupun bisnis kelompok masyarakat? Siapa dan bagaimana mengembangkan BUMDes? Bilamana dan dalam kondisi apa BUMDes bisa hadir secara kokoh dan berkelanjutan? Mengapa ada BUMDes yang sehat dan berkelanjutan, sementara ada BUMDes lain mati suri atau gulung tikar? Antara BUMDes dengan usaha pribadi dan usaha kelompok masyarakat sebenarnya tidak bertentangan satu sama lain. Ketiganya bahkan saling melengkapi untuk menggairahkan kegiatan ekonomi desa. Tetapi BUMDes adalah instititusi bisnis yang unik dan khas, sepadan dengan keunikan desa. Desa bukan organisasi birokrasi negara seperti pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten, meskipun desa juga menjalankan pemerintahan. Desa bukan juga hanya sebagai komunitas lokal. Keunikan BUMDes memiliki beberapa cirikhas. Pertama, BUMDes merupakan sebuah usaha desa milik kolektif yang digerakkan oleh aksi kolektif antara pemerintah desa dan masyarakat. Jika dalam teori ekonomi maupun administrasi publik dikenal dengan public and private partnership (kemitraan antara sektor publik dengan sektor swasta), maka BUMDes merupakan bentuk public and community partnership, yakni kemitraan antara pemerintah desa sebagai sektor publik dengan masyarakat setempat. Kedua, BUMDes lebih inklusif dibandingkan dengan koperasi, usaha pribadi maupun usaha kelompok masyarakat yang bekerja di ranah desa. Koperasi memang inklusif bagi anggotanya baik di level desa maupun pada skala yang lebih luas, namun koperasi tetap eksklusif karena hanya untuk anggota. Karena keunikan-keunikan itu pendekatan membangun BUMDes juga berbeda dengan usaha-usaha lainnya. Pemerintah dengan mudah membangun dan menjalankan BUMN maupun BUMD dengan pendekatan teknokratis dan manajerial. Namun BUMDes tidak cukup didekati dengan pendekatan teknokratis dan manajerial semata. BUMDes yang dibangun serentak oleh pemerintah dari atas juga tidak serta merta bisa bekerja dengan baik meskipun memiliki kapasitas manajerial yang baik. Berdasarkan studi FPPD (2010), ada empat pendekatan dalam membangun BUMDes seperti tersaji dalam bagan 1. Tipologi didasarkan pada sumber dan pelaku inisiatif membangun BUMDes, yaitu: inisiatif dari bawah (masyarakat) dan dari atas (pemerintah) serta inisiatif dari dalam (desa) dan inisiatif dari luar (pihak ketiga seperti lembaga donor, perguruan tinggi, NGOs dan swasta). Kombinasi keempat sumber inisiatif itu menghasilkan empat tipe inisiatif. Pertama, rekognisi (kombinasi antara inisiatif dari atas dan inisiatif dari dalam). Rekognisi adalah pengakuan pemerintah terhadap entitas desa. Jika pemerintah hendak memperkuat desa, maka tidak perlu membentuk lembaga-lembaga baru, melainkan mengakui, mendukung dan memperkuat aset dan institusi yang sudah ada.

    ArifHighlight

    ArifHighlight

    ArifHighlight

    ArifHighlight

    ArifUnderline

    ArifHighlight

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    5

    Kedua, emansipasi (kombinasi antara inisiatif dari dalam dan inisiatif dari bawah), yang berarti desa secara mandiri bangkit, berperan dan menggerakkan potensi lokal yang dimilikinya. Ketiga, fasilitasi (kombinasi antara inisiatif dari luar dan dari bawah), yang berarti komponen sektor ketiga (Perguruan Tinggi, NGOs dan donor internasional) mendorong, memudahkan dan mengembangkan kapasitas desa untuk membangun dirinya. Sebagai contoh adalah peran NGOs memberikan pelatihan dan memfasilitasi desa mengembangan potensi desa dan menyusun RPJMDes. Keempat, intervensi (kombinasi antara inisiatif dari atas dan dari luar), dimana kemitraan antara pemerintah dan sektor ketiga mendisain program dari atas kemudian diterapkan secara langsung di desa, seperti dijalankan oleh PNPM Mandiri.

    Bagan 1 Tipologi Inisiatif Membangun BUMDes

    Intervensi merupakan pendekatan dominan yang selama ini dijalankan oleh pemerintah dalam membangun desa, termasuk membangun BUMDes. Dengan berpijak pada kondisi kelangkaan dan ketidakmampuan desa, pemerintah melakukan intervensi secara teknokratis dari atas melalui institusionalisasi BUMDes secara seragam dan serentak di seluruh desa. Pendekatan intervensi-teknokrasi itu mempunyai kemiripan dengan konsep pembangunan lembaga. Milton J. Esman (1986), misalnya, menegaskan bahwa pembangunan lembaga merupakan sebuah perspektif tentang perubahan sosial yang direncanakan dan yang dibina. Pada kalimat lain Esman menegaskan bahwa titik tolak model pembangunan lembaga berangkat dari definisi sebagai berikut: Pembangunan lembaga dapat dirumuskan sebagai perencanaan, penataan, dan bimbingan terhadap organisasi-organisasi baru atau yang disusun kembali yang (a)

    REKOGNISI INTERVENSI

    EMANSIPASI FASILITASI

    Dari Atas

    Dari Bawah

    Dari Dalam Dari Luar

    ArifHighlight

    ArifHighlight

    ArifHighlight

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    6

    mewujudkan perubahan-perubahan dalam nilai-nilai, fungsi-fungsi, teknologi-teknologi fisik, dan/atau sosial, (b) menetapkan, mengembangkan, dan melindungi hubungan-hubungan normatif dan pola-pola tindakan yang baru, dan (c) memperoleh dukungan dan kelengkapan dalam lingkungan tersebut. Tema dominan dalam pembangunan lembaga inovasi. Pada umumnya pembangunan lembaga mengambil inovasi sosial yang bertujuan, yang dipaksakan oleh elite-elite yang berkiblat pada perubahan dan yang bekerja melalui organisasiorganisasi formal. Tujuan pembangunan lembaga adalah untuk membangun organisasi-organisasi yang dapat hidup terus dan efektif yang membangun dukungan-dukungan dan kelengkapan dalam lingkungannya. Dukungan ini memungkinkan inovasi untuk berakar, memperoleh dukungan, menjadi normatif dan dengan demikian dilembagakan dalam masyarakat. Policy paper ini menampik perspektif pembangunan lembaga yang intervensionis itu untuk membangun BUMDes. Sejarah telah membuktikan bahwa penerapan UU No. 5/1979 tidak hanya menghadapi resistensi lokal, tetapi juga gagal melakukan modernisasi desa. Kegagalan yang sama juga dialami oleh berbagai proyek dana bergulir yang dijalankan dari atas oleh pemerintah. Untuk mencapai desa yang mandiri, termasuk membangun BUMDes yang kuat dan mandiri, maka strategi utama yang sebaiknya dikembangkan adalah emansipasi (inisiatif dan kapasitas lokal) dan rekognisi dari atas. Bruce Mitchell (1994), misalnya, telah menunjukkan bahwa kearifan lokal dan struktur pemerintahan tradisional Bali, yang mengutamakan kerjasama, konsensus dan keseimbangan, telah memberikan fondasi yang kuat bagi pembangunan desa yang berkelanjutan. Sebaliknya keputusan pembangunan yang berasal dari luar desa justru menimbulkan masalah dalam inisiatif pembangunan lokal. Jalur emansipasi dan rekognisi itu paralel dengan konsep pembangunan dari dalam (endogenous development), yakni pembangunan yang digerakkan oleh desa (village driven development), bukan pembangunan digerakkan oleh pemerintah (government driven development). Pengembangan BUMDes sebagai bentuk endogenous development tidak cukup didorong dengan kekuatan hukum maupun pendekatan teknokratis-manajerial. Setidaknya ada empat pilar penopang BUMDes yang mandiri, kokoh dan berkelanjutan. Pertama, pilar ekonomi sebagai pilar inti usaha desa. Sebagaimana dianjurkan oleh teori ekonomi pilar ini mencakup aset, modal, manajemen, kewirausahaan, produksi, distribusi dan pasar, yang membuat BUMDes bukan sekadar aktor birokrasi yang berbisnis tetapi sebagai aktor pasar yang ekspansionis. Bukan hanya manajerial. Skala ekonomi (economic of scale) merupakan isu penting ketika berbicara tentang akumulasi modal dan ekspansi pasar bagi usaha desa. Desa pada umumnya mempunyai skala ekonomi yang kecil karena ukuran desa yang terlampau kecil. Dulu para ahli otonomi desa seperti Soetardjo Kartohadikoesoemo, Selo Soemardjan dan Nasikun mengingatkan bahwa otonomi desa membutuhkan prasyarat ukuran desa yang lebih besar, sehingga memiliki skala ekonomi dan skala otonomi lebih besar pula.

    ArifHighlight

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    7

    BUMDes Agro Potombulu (yang berbadan hukum PT) di Kabupaten Gorontalo merupakan contoh BUMDes yang menerapkan teori ekonomi dan melakukan konsolidasi skala ekonomi seluruh desa. BUMDes yang berbadan hukum PT ini merupakan bentuk holding dan trading yang memproduksi, mengolah dan memasarkan jagung sebagai produk pertanian unggulan Gorontalo. Secara institusional BUMDes itu menjadi milik desa dan dikelola oleh orang-orang desa, tetapi sayang usaha korporasi antardesa itu dibentuk secara instan oleh pemerintah daerah serta tidak ditopang dengan tatakelola dan manajerial yang baik, sehingga saat ini termasuk dalam predikat terbengkelai. Kedua, pilar sosial. Setiap bisnis pengembangan ekonomi lokal, baik yang berbasis desa maupun berbasis masyarakat, selalu mengandung misteri. Bisnis ekonomi itu tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi semata, tetapi juga melekat pada struktur dan kehidupan sosial, atau sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial. Faktor sosial itu adalah modal sosial. Robert Putnam merupakan ilmuwan perintis yang menunjukkan kehebatan modal sosial sebagai basis bagi kapitalisme dan demokrasi. Putnam menjelaskan, studi tentang pertumbuhan ekonomi Asia Timur yang cepat hampir selalu menekankan pentingnya jaringan kerja sosial yang padat, sehingga ekonomi ini menggambarkan semacam network capitalism baru (1993). Dengan mengacu pada kasus Italia, dia mengatakan: masyarakat ini tidak menjadi sipil hanya karena mereka kaya. Catatan sejarah menyatakan secara tepat kebalikannya: Mereka telah menjadi kaya karena mereka sipil (1993). Ia juga menambahkan: dimana kepercayaan dan jaringan kerja sosial tumbuh dengan subur, individu, perusahaan, lingkungan tempat tinggal dan bahkan bangsa menjadi makmur (Putnam, 2000). Karya Putnam ternyata diamini dan diikuti banyak peneliti. Banyak karya dalam pembangunan secara luas menerima argumen Putnam tentang pentingnya modal sosial, dipahami sebagai asosiasi sukarela dan kepercayaan sipil, dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran. Karya kondang Francis Fukuyama (1995), Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity menegaskan argumen tentang kehebatan modal sosial (kerjasama dan kepercayaan) sebagai penopang utama suksesnya kapitalisme di Eropa Barat, Amerika Utara dan Asia Timur. Dalam kalimat pertama dalam artikelnya tentang modal sosial, Wilson secara jelas menyatakan; modal sosial menciptakan kemakmuran ekonomi lokal (1997). Bukan hanya studi makro, banyak juga studi mikro yang menunjukkan sumbangan modal sosial terhadap penghidupan dan pembangunan ekonomi lokal. Studi R. Marsh (2004) memberikan contoh menarik tentang linkage antara modal sosial, institusi lokal dengan sustainable livelihood. Dia menyampaikan sejumlah temuan dan kesimpulan penting. Pertama, institusi-instusi pengikat (bonding institutions) mampu memupuk kohesi sosial tetapi menghadapi kekurangan kekuasaan (powerless). Institusi yang berbasis pada norma-norma tradisional ini mengutamakan solidaritas, pertukaran dan

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    8

    swadaya, menjadi elemen kunci bagi pengembangan sumber-sumber penghidupan bagi keluarga dan kohesi sosial masyarakat. Kedua, institusi-institusi jembatan (bridging institutions) seperti koperasi, pemerintah desa, asosiasi -- yang bersifat heterogen membawa seluruh anggota (yang memiliki perbedaan posisi sosial dan ekonomi) dapat menjadi sarana efektif bagi kaum miskin untuk meraih mobilitas sosial. Ketiga, institusi-institusi lokal lebih inklusif dan mampu mengurangi ongkos transaksi. Institusi ekonomi lokal secara tipikal lebih inklusif ketimbang institusi lokal ekstra-formal maupun institusi bentukan proyek yang membutuhkan partisipasi. Dalam proyek, manager maupun anggotanya diharuskan memiliki level pendidikan dan keahlian tertentu, yang tentu membutuhkan ongkos besar; dan lagipula intervensi proyek nonlokal ini sering mengabaikan kaum miskin dan marginal karena kebutuhan dan kapasitas mereka tidak tampak di mata orang luar. Keempat, intervensi kebijakan pemerintah dapat merusak institusi lokal. Pemerintah sering melakukan tekanan kepada institusi tradisional untuk menjalankan kekuasaan dan kontrol atas sumberdaya lokal. Kelima, institusi tradisional bersifat tabah dan fleksibel. Pada umumnya institusi lokal tradisional menerima dan tabah dalam menghadapi represi dari pemerintah, dan di sisi lain juga adaptif dan fleksibel dalam menyambut perubahan, terutama perubahan dalam ekonomi, agar merepresentasikan kepentingan terbaik komunitas dan menjaga tatanan sosial. Studi yang dilakukan Sarah Turner (2007) menemukan bahwa pengusaha kecil di Makassar sangat bergantung pada jaringan informal, saling keterhubungan (linkages) antara satu dengan yang lain dan hubungan kepercayaan untuk mendukung sumber penghidupan mereka. Hubungan saling ketergantungan (interdependensi) ini mencerminkan bentuk modal sosial yang melekat (embedded) dalam etnis lokal dan hubungan sosial yang bergerak pada dua sisi sekaligus yakni inklusif pada satu kelompok dan pada saat yang sama menjadi eksklusif bagi orang lain. Studi modal sosial dalam pengembangan usaha kecil menjadi penting terutama berkaitan dengan faktor minimnya dukungan atau aset berupa finansial. Dalam situasi tersebut, modal sosial (jaringan, rasa saling percaya) menjadi penting terutama bagi pengusaha kecil yang hendak mengembangkan diri. M. Yunus, pendiri Grameen Bank di Bangladesh, tidak hanya mengetahui tetapi juga mempraktikkan modal sosial sebagai penopang bisnis sosialnya itu. Grameen Bank bukan hanya menerapkan prinsip-prinsip ekonomi dalam bisnis, tetapi ditopang oleh tiga nilai penting dalam modal sosial: pembelajaran, keswadayaan dan solidaritas sosial. Doktrin ini juga diterapkan oleh sejumlah Credit Union yang sukses di Indonesia seperti Seia Sekata di Sumatera Utara, Pancur Kasih di Kalimantan Barat, maupun Nurani Perempuan di Kalimantan Timur. Tetapi keterkaitan antara modal sosial degan modal ekonomi sebenarnya mengandung misteri, mengingat masyarakat desa di seluruh Indonesia kaya dengan modal sosial dan institusi lokal. Mengapa masyarakat memiliki modal sosial yang kaya tetapi miskin modal ekonomi? Bagaimana modal sosial bertransformasi menjadi modal ekonomi?

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    9

    Dalam literatur terdapat tiga level dan jenis modal sosial: ikatan sosial (social bonding), jembatan sosial (social bridging) dan jaringan sosial (social linking). Social bonding adalah bentuk dan level modal sosial dalam komunitas lokal yang paling rendah, dimana hubungan sosial (kerjasama dan kepercayaan) dibangun berdasarkan kesamaan identitas yang homogen atau berdasarkan ikatan parokhial (keagamaan, kekerabatan, kesukuan, dan lain-lain) yang lebih banyak berorientasi ke dalam secara eksklusif.. Social bridging merupakan bentuk modal sosial dalam komunitas lokal yang lebih terbuka, heterogen, melampaui ikatan parokhial, yang sangat cocok untuk membangun kerukunan dan perdamaian. Sedangkan social linking adalah modal sosial yang malampaui komunitas lokal, berorientasi keluar dan berjaringan lebih luas dengan dunia luar. Studi ini berpendapat bahwa masyarakat parokhial hanya memiliki social bonding sulit menumbuhkan bisnis yang besar, termasuk BUMDes, kecuali hanya membikin arisan untuk kepentingan self help di antara mereka. Social bridging cukup memadai sebagai basis untuk menumbuhkan BUMDes, namun BUMDes yang besar hanya mungkin terjadi jika ditopang oleh social linking yang lebih luas. Ketiga, pilar politik. Politik mengandung banyak dimensi yang rumit. Mulai dari formasi elite lokal, kepemimpinan, governance (tatakelola) dan modal politik (komitmen, legitimasi, kepercayaan dan lain-lain). Semua komponen politik membentuk format dan karakter politik lokal, atau bisa juga disebut sebagai modal politik. Modal politik yang lemah atau miskin disebut politik eksklusif, sebaliknya modal politik yang kaya dan kuat kami sebut sebagai politik inklusif. Politik eksklusif diwarnai dengan beberapa karakteristik: (a) masyarakat setempat memiliki budaya parokhial yang lebih banyak memperhatikan isu-isu keagamaan, adat-istiadat dan kekerabatan daripada isu publik (pendidikan, kesehatan, lingkungan, ekonomi dan sebagainya); (b) masyarakat lebih banyak berorientasi ke dalam dan kurang terbuka dengan pihak luar yang berbeda secara kultural atau disebut sebagai autarkis; (c) elite lokal sangat dominan dan otokratis dalam mengendalikan kekuasaan dan sumberdaya lokal; (d) tidak mengenal partisipasi warga dalam pengambilan keputusan; (e) terjadi pertarungan antar elite lokal yang berbasis pada sekat-sekat parokhial. Sebaliknya politik inklusif memiliki cirikhas sebagai berikut: (a) masyarakat lebih partisipan dan sipil yang menaruh perhatian pada isu-isu publik meskipun tidak meninggalkan isu parokhial; (b) masyarakat lebih heterogen dan terbuka pada perbedaan dan pihak luar; (c) otoritas dan tatakelola bekerja dengan baik yang memperoleh kepercayaan dan legitimasi; (d) proses deliberasi dan partipasi tumbuh secara dinamis menjadi tradisi dalam kehidupan sehari-hari; (e) memiliki tradisi membangun konsensus dan aksi kolektif. Pandangan politik yang kritis selalu melihat dunia sosial dan ekonomi tidak bekerja di ruang yang hampa politik, artinya selalu terdapat kontestasi kekuasaan yang dimainkan oleh elite di dalam kehidupan sosial dan pembangunan ekonomi. Pandangan ini selalu

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    10

    mengingatkan akan jebakan politik eksklusif yang bisa merusak kehidupan sosial dan pembangunan ekonomi. Sejak Adam Smith, ada sebuah peringatan bahwa terlalu banyak kepercayaan diantara para pelaku ekonomi adalah munculnya cartels (gabungan perusahaan yang memonopoli) yang mencekik ekonomi dan monopoli. Demikian juga dengan peringatan Max Weber, bahwa jaringan kerja yang didasarkan kepercayaan lebih jauh mengubah dan menghambat pertumbuhan ekonomi dengan mengundang penumpang gelap (free riders) dari dalam yang tidak untuk bekerja sekeras mungkin, atau harus kerja keras, jika mereka tidak terhubungkan. Pendapat skeptis itu juga diteruskan oleh Mancur Olson (1965). Olson berpendapat bahwa setiap aktor akan selalu memaksimalkan kepentingan dan keuntungan pribadinya terlepas dari semangat aksi kolektif. Dalam aksi kolektif itu bersiko memunculkan para penumpang gratis (free rider) yang mencari keuntungan pribadi sehingga merusak aksi kolektif. Mengikuti pandangan-pandangan itu, hadir pula konsep perampasan elite (elite capture), yang biasa digunakan untuk menunjukkan risiko dalam konteks desentralisasi dan pembangunan berbasis masyarakat. Elite capture memperlihatkan bahwa sekelompok aktor yang kuat secara ekonomi dan politik melakukan kontrol dan merampas informasi, institusi lokal dan sumberdaya sehingga tidak bisa dinikmati oleh orang-orang kecil, bahkan mereka melakukan peminggiran terhadap orang-orang kecil (Iversen et al. 2006; Fritzen 2007; Burgess dan Pande 2005; Prinsen dan Titeca 2008; Dutta 2009; Persson dan Zhuravskaya 2010; Platteau et al. 2010; Rivayani Dharmawan, 2013). Fenomena penumpang gelap, elite capture maupun kartel elite yang menjadi cirikhas utama politik eksklusif merupakan faktor genting yang menghambat atau merusak BUMDes. Sebuah contoh kecil, pergantian kekuasaan kepala desa yang berangkat dari konflik elite lokal, bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan BUMDes. Sebaliknya BUMDes bisa tumbuh kokoh dan berkelanjutan bila bekerja dalam politik inklusif di ranah desa. Bahkan politik inklusif (modal politik yang kuat dan kaya) bisa menjadi jembatan transfomasi dari modal sosial menjadi modal ekonomi. Sebagai contoh, jembatan ini ditempuh melalui proses partisipasi dan aksi kolektif mulai mengidentifikasi aset-aset lokal, membangun perencanaan desa, membentuk BUMDes melalui musyawarah desa, hingga membentuk konsensu nilai yang disepakati bersama. Studi Ninik Handayani (2012) di Lanci Jaya, Dompu, menunjukkan contoh ini dengan baik, sebagai fondasi yang kuat bagi BUMDes di Desa ini. Keempat, pilar hukum. Legalitas (payung hukum maupun badan hukum) merupakan isu penting yang selalu menjadi wacana dalam BUMDes. Pilar hukum terutama untuk menjamin kepastian hukum dan akuntabilitas BUMDes. BUMDes yang berbadan hukum tentu mempunyai potensi berkembang menjadi besar karena memiliki legalitas dan akuntabilitas dalam melakukan pergaulan hukum dengan pihak-pihak luar yang lebih besar dan luas. Sebaliknya BUMDes yang tidak berbadan hukum hanya mampu

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    11

    menjalankan bisnis yang berskala lokal, tidak mampu melakukan pergaulan hukum secara luas, sehingga BUMDes ini bisa disebut sebagai BUMDes parokhial. Review Kebijakan Kehadiran BUMDes secara tekstual telah melahirkan debat hukum dan kebijakan yang belum kunjung selesai. Setiap diskusi tentang BUMDes selalu muncul pertanyaan: makhluk apa itu BUMDes? Apa jenis kelamin BUMDes? Bagaimana kedudukan dan status BUMDes? Apa badan hukum BUMDes? Apa beda BUMDes dengan PT, CV, usaha dagang atau koperasi? BUMDes tentu lahir dari kebijakan di satu sisi dan gerakan lokal di sisi lain. UU No. 32/2004 beserta PP No. 72/2005 dan Permendagri No. 39/2010 merupakan kebijakan yang telah memberikan kesempatan/ruang (enabling), petunjuk maupun payung hukum terhadap kehadiran BUMDes. Serangkaian regulasi ini bermaksud memberikan jawaban terhadap berbagai pertanyaan tentang BUMDes di atas. Sebagai payung hukum rangkaian regulasi itu telah membuat BUMDes sebagai institusi legal yang sah untuk mengelola sebagian kekayaan atau barang milik desa secara terpisah. Lebih dari sekadar payung hukum berbagai regulasi itu sebenarnya merupakan embrio dan mempunyai misi yang lebih besar di dalam Undang-undang tentang Desa, agar BUMDes ditetapkan menjadi institusi bisnis ekonomi yang berbadan hukum seperti halnya koperasi, CV maupun PT. BUMDes adalah usaha desa yang berbadan hukum. Karena BUMDes yang bersifat unik, Ditjen PMD berkehendak membuat BUMDes adalah BUMDes, yang setara dengan Koperasi maupun PT, yang disertai dengan tiga prinsip penting: (a) BUMDes didirikan oleh pemerintah desa dan masyatakat, sehingga sahamnya berasal dari pemerintah desa dan masyarakat; (b) Organisasi maupun kekayaan/aset BUMDes terpisah dari organisasi dan kekayaan pemerintah desa.; dan (3) BUMDes sebagai usaha yang berbadan hukum menjalankan bisnis di bidang jasa, penyediaan kebutuhan pokok, simpan pinjam, dagang, pelayanan, dll. Permendagri juga mengandung substansi yang inovatif. Pertama, pembentukan BUMDes bersifat kondisional, yakni membutuhkan sejumlah prayarat, yang menjadi dasar kelayakan pembentukan BUMDes. Dalam pasal 5 ditegaskan tentang syarat-syarat pembentukan BUMDes sebagai berikut:

    a. atas inisiatif pemerintah desa dan atau masyarakat berdasarkan musyawarah warga desa;

    b. adanya potensi usaha ekonomi masyarakat; c. sesuai dengan kebutuhan masyarakat, terutama dalam pemenuhan kebutuhan

    pokok; d. tersedianya sumber daya desa yang belum dimanfaatkan secara optimal,

    terutama kekayaan desa;

    ArifHighlight

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    12

    e. tersedianya sumber daya manusia yang mampu mengelola badan usaha sebagai aset penggerak perekonomian masyarakat desa;

    f. adanya unit-unit usaha masyarakat yang merupakan kegiatan ekonomi warga masyarakat yang dikelola secara parsial dan kurang terakomodasi; dan

    g. untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan pendapatan asli desa. Kedua, BUMDes merupakan usaha desa yang bercirikan kepemilikan kolektif, bukan hanya dimiliki oleh pemerintah desa, bukan hanya dimiliki masyarakat, bukan juga hanya dimiliki oleh individu, melainkan menjadi milik pemerintah desa dan masyarakat. Berbeda dengan koperasi yang dimiliki dan bermanfaat hanya untuk anggotanya, BUMDes dimiliki dan dimanfaatkan baik oleh pemerintah desa dan masyarakat secara keseluruhan. Ketiga, mekanisme pembentukan BUMDes bersifat inklusif , deliberatif dan partisipatoris. Artinya BUMDes tidak cukup dibentuk oleh pemerintah desa, tetapi dibentuk melalui musyawarah desa yang melibatkan berbagai komponan masyarakat. Secara organisasional musyawarah desa juga dilembagakan sebagai institusi tertinggi dalam BUMDes, seperti halnya rapat anggota dalam koperasi. Keempat, pengelolaan BUMDes bersifat demokratis dan teknokratis. Dimensi teknokrasi terlihat dalam bentuk pembagian kerja yang jelas, dimensi demokrasi tidak hanya terlihat pada komponen musyawarah desa (institusi demokrasi deliberatif) tetapi juga ditunjukkan pada komponen akuntabilitas. Pemisahan organisasi maupun aset BUMDes dari pemerintah desa merupakan komponen penting untuk menjaga akuntabilitas BUMDes. Kami memandang bahwa Permendagri cukup memadai sebagai bentuk enabling policy yang memberi panduan untuk melahirkan BUMDes yang baik dan sehat. Namun persoalan yang muncul terletak pada delivery dan implementasi, bagaimana membentuk BUMDes yang sesuai dengan substansi Permendagri. Dalam praktik sangat berbeda. Nalar hirarkhi hukum yang bekerja dalam membangun BUMDes. Permendagri turun ke bawah menjadi Perda atau Perbup di daerah dan menjadi Perdes di desa. Di daerah, Perda/Perbub melakukan pengaturan terhadap BUMDes, yang sekaligus juga diikuti dengan intervensi pembentukan dan pelembagaan BUMDes secara serentak dan seragam dari atas. Kebijakan pembentukan BUMDes itu didorong oleh komitmen politik pemimpin daerah, misalnya komitmen menjadikan desa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, komitmen tentang membangun daerah dari desa, maupun komitmen untuk secara cepat melepaskan masyarakat desa dari jeratan kaum rentenir. Namun dalam praktik muncul dilema intervensi pemerintah: kalau pemerintah tidak hadir salah, tetapi kalau hadir keliru. Di satu sisi kebijakan intervensi membentuk BUMDes merupakan bentuk komitmen politik pemerintah. Tetapi di sisi lain intervensi dari atas itu merupakan pendekatan yang keliru. Dimana letak kekeliruan pendekatan

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    13

    intervensi? Pertama, pembentukan BUMDes yang serentak dan seragam memperlihatkan lompatan cepat, bahkan instan, yang tidak diawali dengan penjajagan kelayakan kondisional (termasuk syarat-syarat pembentukan BUMDes). Kedua, pemberian bantuan modal dari atas secara merata (bagi rata) ke seluruh BUMDes cenderung tidak memberikan insentif, melainkan disinsentif terhadap kesiapan dan prakarsa lokal. Ketiga, komitmen politik dari atas berjalan jauh lebih cepat ketimbang konsolidasi pilar sosial (pembelajaran, kewirausahaan, swadaya, kepercayaan dan solidaritas) di level lokal. Pendampingan sebenarnya merupakan bentuk pertolongan untuk menjembatani kesenjangan antara kehendak politik dari atas dengan konsolidasi prakara lokal. Tetapi pemerintah menghadapi keterbatasan dalam melakukan pendampingan terhadap konsolidasi lokal. Persoalan yang juga serius bukan hanya implementasi kebijakan, tetapi juga legal standing BUMDes, yang sekarang tengah menjadi pembicaraan serius dalam RUU tentang Desa. Meskipun BUMDes memperoleh payung hukum, tetapi legal standing usaha yang dibangun oleh desa itu sangat terbatas dan rentan ketika berhadapan dengan kebijakan dan rezim bisnis dan keuangan (undang-undang perbankan, lembaga keuangan mikro, perusahaan maupun otoritas jasa keuangan). Rezim bisnis telah mengatur bahwa badan usaha yang berbadan hukum adalah perseroan, perum, CV dan usaha dagang. Sedangkan rezim keuangan mikro (UU No. 1/2013) menegaskan bahwa lembaga keuangan mikro hanya berbentuk koperasi atau perseroan terbatas dalam bentuk Bank Perkreditan Rakyat, yang dapat dimiliki oleh warga, pemerintah kabupaten/kota, maupun BUMDes. Dengan demikian tidak boleh ada lembaga keuangan mikro yang berbentuk BUMDes, tetapi BUMDes bisa memiliki lembaga keuangan mikro seperti koperasi atau BPR. Tentu rezim bisnis dan keuangan ini memastikan bahwa setiap jenis usaha harus berbadan hukum, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu yang ketat, sehingga memiliki kepastian hukum dan akuntabilitas yang jelas, sekaligus juga memberikan perlindungan kepada warga masyarakat yang menjalin perbuatan hukum dengan usaha yang bersangkutan. BUMDes, LKM yang sudah ada, maupun institusi keuangan mikro bentukan pemerintah (seperti UEDSP maupun UPK SPP) mau tidak mau harus beradaptasi dan melakukan perubahan sesuai dengan rezim bisnis-keuangan. Saat ini Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memang tidak secara langsung mereka untuk memastikan badan hukum, namun secara bertahap berbagai lembaga keuangan mikro perlu diinventarisir dan ditata secara manajerial, baru kemudian difasilitasi dalam proses mencari badan hukum. Namun kami melihat ada dilema antara intervensi hukum dengan kearifan lokal. Intervensi hukum yang membawa semangat mengatur, mengawasi dan melindungi memang harus dijalankan, tetapi ia bisa merusak dan mematikan berbagai BUMDes LKM yang sudah establish dalam sistem dan tradisi desa. Bagaimanapun juga rezim bisnis-keuangan hanya mengakui dan mengatur institusi bisnis yang bersifat privat (PT dan koperasi) dan publik (BUMN), sementara institusi bisnis yang bersifat kolektif tidak dikenal dalam rezim bisnis. Sejauh ini tidak ada perangkat hukum nasional yang memberikan pengakuan (rekognisi) terhadap BUMDes yang sudah establish.

    ArifHighlight

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    14

    Tampaknya BUMDes semacam ini tidak perlu diatur agar menjadi badan hukum (PT atau koperasi) tetapi membutuhkan pengakuan, pengawasan dan perlindungan. Sisi lainnya adalah keterputusan antara garis kebijakan Permendagri tentang BUMDes dengan rezim bisnis-keuangan. Permendagri telah diikuti dengan peraturan daerah atau peraturan bupati tentang BUMDes, dan pembentukan BUMDes di level desa ditetapkan dengan peraturan desa berdasarkan musyawarah desa. Agar memiliki legalitas yang lebih kuat, BUMDes yang telah dibentuk dengan Perdes tersebut memperoleh akta notaris. Kami telah menunjukkan sejumlah akta notaris tentang BUMDes kepada Tim RUU Desa agar bisa dinilai kelayakan hukumnya. Para pakar hukum dalam Tim RUU Desa mengatakan bahwa akta notaris itu salah besar dan tidak sah untuk digunakan sebagai pegangan dalam perbuatan hukum. Mengapa? Pertama, para pihak yang menghadap notaris bukanlah pendiri BUMDes melainkan para pengurus BUMDes. Kedua, akta notaris itu hanya memberikan pernyataan tentang BUMDes tetapi tidak memberikan pernyataan tentang bentuk usaha yang berbadan hukum, apakah koperasi atau perseroan. Beragam Cerita Tentang BUMDes Dari hari ke hari tumbuh BUMDes dari desa ke desa di berbagai daerah. Kebijakan dari atas, khususnya Permendagri No. 39/2010 dan fasilitasi Kementerian Dalam Negeri dan kebijakan Pemerintah Kabupaten, merupakan faktor utama yang melahirkan BUMDes di banyak desa dan daerah. Pertama, BUMDes yang bertipe serving. BUMDes semacam ini menjalankan bisnis sosial yang melayani, yakni melakukan pelayanan publik kepada masyarakat sekaligus juga memperoleh keuntungan finansial dari pelayanan itu. Usaha ini memanfaatkan sumberdaya lokal dan teknologi tepat guna, seperti usaha air minum desa dan usaha listrik desa. Kedua, BUMDes yang bertipe banking. BUMDes menjalankan bisnis uang, seperti Bank desa atau lembaga perkreditan desa atau lembaga keuangan mikro desa. Modalnya berasal dari ADD, PADes, tabungan masyarakat serta dukungan dari pemerintah, seperti halnya pemerintah mendukung pengembangan Bank Pembangunan Daerah. Bisnis uang desa ini sebenarnya mengandung bisnis sosial dan bisnis ekonomi. Bisnis sosial artinya bank desa tersebut dimaksudkan sebagai bentuk proteksi sosial terhadap warga desa, terutama kelompok-kelompok rentan dan perempuan, dari jeratan para rentenir. Bisnis ekonomi artinya bank desa tersebut untuk mendukung permodalan terhadap usaha-usaha skala mikro yang dijalankan oleh pelaku ekonomi desa. Ketiga, BUMDes yang bertipe renting. BUMDes menjalankan bisnis penyewaan barang-barang (perangkat pesta, traktor, alat transportasi, rumah toko, dsb) baik untuk

    ArifHighlight

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    15

    memenuhi kebutuhan masyarakat maupun untuk memperoleh pendapatan desa. Di Jawa, bisnis semacam ini sudah berlangsung lama, meskipun bisnis ini belum terpisah dari kegiatan pemerintah desa. Keempat, BUMDes bertipe brokering. BUMDes dapat menjadi lembaga perantara seperti jasa pelayanan kepada warga dan usaha-usaha masyarakat. Misalnya jasa pembayaran listrik; desa mendirikan pasar desa untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat; BUMDes membangun jaringan dengan swasta atau pasar yang lebih luas guna memasarkan produk-produk lokal. Tabel 1 Klasifikasi jenis usaha BUMDes

    Tipe Deskripsi Contoh Serving BUMDes menjalankan bisnis sosial yang

    melayani warga, yakni dapat melakukan pelayanan publik kepada masyarakat. Dengan kalimat lain, BUMDes ini memberikan social benefits kepada warga, meskipun tidak memperoleh economic profit yang besar.

    Usaha air minum desa, usaha listrik desa, lumbung pangan.

    Banking BUMDes menjalankan bisnis uang, yang memenuhi kebutuhan keuangan masyarakat desa dengan bunga yang lebih rendah daripada bunga uang yang didapatkan masyarakat desa dari para rentenir desa atau bank-bank konvensional

    Bank desa atau lembaga perkreditan desa atau lembaga keuangan mikro desa

    Renting BUMDes menjalankan bisnis penyewaan untuk melayani kebutuhan masyarakat setempat dan sekaligus untuk memperoleh pendapatan desa. Ini sudah lama berjalan di banyak di desa, terutama desa-desa di Jawa.

    Penyewaan traktor, perkakas pesta, gedung pertemuan, rumah toko, tanah, dan sebagainya.

    Brokering BUMDes menjadi lembaga perantara yang menghubungkan komoditas pertanian dengan pasar atau agar para petani tidak kesulitan menjual produk mereka ke pasar. Atau BUMDes menjual jasa pelayanan kepada warga dan usaha-usaha masyarakat.

    Jasa pembayaran listrik Desa mendirikan pasar desa

    untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan masyarakat.

    Trading BUMDes menjalakan bisnis yang berproduksi dan/atau berdagang barang-barang tertentu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun dipasarkan pada sekala pasar yang lebih luas.

    Pabrik es, pabrik asap cair, hasil pertanian, sarana produksi pertanian, dll.

    Holding BUMDes sebagai usaha bersama, atau sebagai induk dari unit-unit usaha yang ada di desa, dimana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata sinerginya oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama.

    Kapal desa yang berskala besar untuk mengorganisir dan mewadahi nelayan-nelayan kecil.

    Desa wisata yang mengorganisir berbagai jenis usaha dari kelompok masyarakat: makanan, kerajinan, sajian wisata, kesenian, penginapan, dll.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    16

    Kelima, BUMDes bertipe holding. BUMDes ini sebagai usaha bersama, atau sebagai induk dari unit-unit usaha yang yang dikembangkan masyarakat desa, dimana masing-masing unit yang berdiri sendiri-sendiri ini, diatur dan ditata secara sinergis oleh BUMDes agar tumbuh usaha bersama. Sebagai contoh BUMDes mengembangkan kapal desa yang berskala besar untuk mengorganisir dan mewadahi nelayan-nelayan kecil agar usahanya menjadi lebih besar. Contoh yang lain adalah desa wisata yang mengorganisir berbagai jenis usaha dari kelompok masyarakat: makanan, kerajinan, sajian wisata, kesenian, penginapan, dan sebagainya. BUMDes Banking. BUMDes yang bertipe banking atau semacam lembaga keuangan mikro sebenarnya hadir paling awal sebelum hadir BUMDes tipe-tipe lain, bahkan sebelum istilah BUMDes itu sendiri lahir. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang hadir dalam desa adat di Bali merupakan contoh village banking yang terkemuka. Belakangan sejumlah kabupaten membentuk BUMDes LKM secara mudah, sederhana dan serentak di seluruh desa, dengan tujuan yang seragam: mengurangi jeratan warga masyarakat dari rentenir sekaligus mempermudah akses kredit bagi warga masyarakat terutama kaum miskin. Institusi LKM yang prematur ini serupa dengan berbagai dana proyek dana bergulir yang dijalankan oleh pemerintah seperti SPP PNPM Mandiri. Ditinjau dari sisi rezim keuangan dan perbankan, BUMDes LKM itu sungguh rentan karena tidak memiliki badan hukum sebagai dasar akuntabilitas. Tetapi persoalan dasarnya bukan terletak pada isu legal standing tetapi pada kinerja dan daya tahan BUMDes LKM. Studi FPPD (2010) di Bima, Dompu dan Lombok Barat menunjukkan bahwa BUMDes LKM yang dibentuk secara cepat oleh pemerintah daerah, umumnya mengalami kegagalan dalam waktu cepat akibat dari kredit macet. Mengapa? Pertama, kepemilikan masyarakat yang lemah. Ada anggapan kuat dari masyarakat bahwa modal yang diberikan Pemda kepada BUMDes LKM merupakan hibah yang tidak perlu dikembalikan. Ini disebut sebagai capture secara berjamaah. Kedua, kesiapan institusional BUMDes LKM yang sangat lemah. Studi Sutoro Eko dan Borni Kurniawan (2010) di Gowa juga menemukan bahwa pilot project Pos Tabungan Masyarakat (Postama) juga membuahkan kegagalan. Pilot project di 13 desa, sejumlah 12 desa diantaranya gagal total, sedangkan 1 postama di Desa Bonto Biraeng membuahkan keberhasilan dan keberhasilan. Ada tiga faktor penting yang menyebabkannya. Pertama, postama bekerja dalam ranah politik inklusif yang mampu menembus batas-batas politik parokhial. Kepala desa membentuk dan mengontrol postama secara inklusif, mengabaikan ikatan parokhial yang ia yakini bisa merusak postama. Kedua, kepemimpinan yang kuat dari kepala desa dan pengurus postama. Ketiga, kapasitas manajerial internal postama yang baik. Keempat, kemampuan postama Biraeng membangun jaringan keluar yang lebih luas, termasuk dukungan dari Dana Bank Syariah.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    17

    Jika BUMDes LKM belum tumbuh menggembirakan, Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali merupakan yang terbaik di sistem LDKP di Indonesia, walaupun terdapat kompetisi yang kuat di tingkat lokal dari banyaknya lembaga formal dan informal. LPD dipandang sebagai entitas yang menguntungkan, di mana bergantung pada tabungan dan deposito sebagai sumber pendanaan. LPD didirikan oleh Gubernur Ida Bagus Mantra pada tahun 1985, sebagai lembaga keuangan pedesaan berbasis desa adat, yang memiliki peran ekonomi dan sosial di komunitas tersebut. Modal awalnya merupakan hibah dari Gubernur sebesar Rp 2,5 juta pada setiap LPD. Keanggotaan berdasarkan Banjar dan desa pakraman, merupakan unit terpenting dari organisasi sosial di masyarakat Bali. Solidaritas sosial yang mengakar ini merupakan syarat penting keberhasilan dari sistem LPD. BUMDes serving. Selain BUMDes banking, BUMDes serving mulai tumbuh secara inkremental di banyak desa. Keterbatasan air bersih dan ketidakmampuan sebagian besar warga mengakses air bersih, mendorong banyak desa mengelola dan melayani air bersih dengan wadah BUMDes atau PAMDesa. Studi IRE-ACCESS (2012) maupun Sahrul Aksa (FPPD, 2013) di Bantaeng menemukan bukti bahwa BUMDes air bersih di desa Labbo tumbuh dengan baik. Pada tahun 2010, Pemkab Bantaeng mengalokasikan dana hibah untuk modal awal BUMDes sebesar Rp. 100 juta dan Rp. 50 juta untuk pengembangan unit usaha pengelolaan air bersih (pembelian dan pemasangan pipa dan meteran). Saat ini, BUMDes Labbo memiliki 415 pelanggan yang tersebar di 4 dari 6 dusun yang ada di Desa Labbo. Sesuai aturan yang telah disepakati bersama, pelanggan dikenakan tarif Rp. 250,-/kubik, dan biaya beban Rp. 500,-/bulan. Dari besarnya tarif ini, dapat dikalkulasikan bahwa setiap bulan BUMDes dapat menghimpun pendapatan sebesar Rp. 311.250 hanya untuk unit layanan air bersih. Dalam setahun maka PADes yang terkumpul keuntungan kotor sebesar Rp. 3.735.000,-. Pengelolaan air bersih secara mandiri oleh desa melalui BUMDes itu sebenarnya merupakan sebuah perubahan yang mengandung pelajaran berharga. Pemerintah, lembaga-lembaga internasional, LSM maupun CSR perusahaan sudah lama membangun sarana air bersih yang dekat dengan masyarakat di banyak tempat. Proyek PANSIMAS, PNPM Mandiri Perdesaan maupun proyek rekonstruksi pasca bencana juga membangun sarana air bersih di banyak desa. Pasca proyek pihak pelaksana menyerahkan kepada masyarakat setempat agar dirawat dan dikelola secara berkelanjutan. Namun berdasarkan pengamatan kami di berbagai tempat tidak sedikit sarana air bersih yang dihibahkan ke masyarakat itu terbengkelai dan tidak berfungsi. Mengapa? Sebagian karena menggunakan perangkat yang mahal sehingga tidak mampu dikelola secara mandiri dan berkelanjutan oleh masyarakat setempat. Tetapi penyebab paling besar adalah ketiadaan otoritas dan tatakelola pada kelompok masyarakat yang mengelola sarana air bersih.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    18

    Karena itu pengelolaan air bersih oleh BUMDes merupakan cara baru, sebuah bentuk perubahan pengelolaan dari masyarakat yang anonim kepada desa. Kehadiran BUMDes itu melahirkan otoritas dan tatakelola air bersih yang digerakkan oleh desa. Kisah ini juga memberikan petunjuk bahwa pengelolaan dan pelayanan air bersih untuk warga setempat lebih tepat dilembagakan menjadi kewenangan lokal berskala desa yang diatur dan diurus secara mandiri oleh desa. Pada tataran yang lebih makro, pengalaman air bersih berbasis desa itu menunjukkan bahwa desa mampu memberikan kontribusi terhadap kepentingan nasional tentang penyediaan air bersih, sehingga niscaya desa bisa menyumbang target nasional (yakni 68,87% warga memperoleh air bersih) pada tahun 2015. BUMDes brokering dan renting. Sebelum ada BUMDes sebenarnya sudah ada banyak desa yang menjalakan usaha desa dalam bentuk jasa pelayanan atau jasa perantara seperti pelayanan pembayaran listrik, penyewaan perkakas rumah tangga, gedung serba guna, traktor, dan juga pasar desa. Ini adalah bisnis sederhana, bahkan bisa melakukan monopoli, dengan captive market yang jelas meskipun hanya beroperasi di dalam desa sendiri. Namun dalam banyak kasus penyewaan traktor juga menjadi bentuk proteksi desa terhadap petani. Di kala musim tanam, permintaan akan traktor pasti tinggi, dengan harga sewa tinggi yang dimainkan oleh swasta. Dalam kondisi ini desa hadir menyewakan traktor kepada petani dengan harga yang sangat terjangkau, bahkan bisa dibayar setelah panen.

    Tabel 2 Kecenderungan potret umum dan kinerja BUMDes

    Tipe Jenis usaha Tujuan dan sifat Kinerja Manfaat Serving Air bersih Memberikan social

    benefit, tidak economic profit meskipun memperoleh laba. Ini bisnis sosial yang sederhana dan tidak terlalu rumit

    Lancar dan sehat. Didukung dengan antusias oleh warga. Pasar tidak menjadi problem, namun sering terkendala problem teknis dan manajerial.

    Memberi layanan dasar kepada masyarakat, terutama kaum miskin dan perempuan.

    Pendapatan desa Meningkatkan

    kualitas kesehatan

    Banking Simpan pinjam Memberi kredit kecil yang lunak dan mudah kepada warga. Umumnya dibentuk secara serentak dan seragam oleh pemerintah.

    Sebagian kecil yang berkembang dan sukses, sebagian besar mati suri (gulung tikar).

    Akses kredit/pinjam yang mudah.

    Mengurangi jerat rentenir

    Tetapi manfaat itu hilang jika BUMDes gulung tikar

    Brokering & renting

    Jasa pembayaran listik dan

    Meningkatkan pendapatan desa. Ini merupakan bisnis yang

    Berjalan secara sehat dan memberikan

    Ekonomi desa semakin bergairah, pendapatan desa

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    19

    penyewaan sederhana dan menguntungkan, tidak terkendala faktor pasar.

    keuntungan secara variatif tergantung skala ekonominya. Contoh: urban villages di DIY dapat keuntungan besar dengan bisnis penyewaan

    meningkat serta meningkatkan kinerja pembangunan desa. Traktor bahkan menjadi instrumen proteksi bagi petani.

    Trading Bisnis saprotan dan kebutuhan pokok serta bisnis hasil pertanian

    Internal desa: melayani kebutuhan masyarakat setempat

    Eksternal: menjual hasil pertanian keluar dan meningkatkan pendapatan.

    Bisnis internal desa relatif sederhana serta berskala kecil-lokal, tetapi bisnis eksternal sangat kompleks

    Bisnis internal berjalan dan berkembang dengan skala kecil.

    Bisnis eksternal rentan dan mati suri karena keterbatasan (kualitas, skala, kapasitas, modal, pasar)

    Masyarakat setempat mudah memperoleh kebutuhan pokok dan saprotan, bisa dengan cara kredit.

    Bisnis eksternal belum memberikan manfaat secara signifikan.

    Holding Desa wisata Mengonsolidasikan berbagai jenis usaha lokal yang terkait dengan wisata, guna meningkatkan pendapatan masyarakat dan PADes. Bisnis ini sangat khas dan prospektif bagi desa-desa yang memiliki potensi wisata.

    Bekembang secara sehat, kokoh dan berkelanjutan.

    Menggairahkan perekonomian desa dan membuka lapangan pekerjaan, sekaligus meningkatkan pendapatan desa dan masyarakat.

    BUMDes trading. BUMDes yang berdagang kebutuhan pokok dan sarana produksi pertanian mulai tumbuh di banyak desa. Ini adalah bisnis sederhana, berskala lokal dan berlingkup internal desa, yakni melayani kebutuhan warga setempat. Sejauh ini belum ada contoh terkemuka BUMDes trading yang besar dan sukses. BUMDes yang berjenis trading ini tidak mampu mengimbangi capaian bisnis yang digerakkan oleh borjuis lokal yang memberi cirikhas satu desa satu produk. Dengan kalimat lain tampaknya belum ada BUMDes yang secara gemilang tampil sebagai penanda satu desa satu produk. Banyak contoh menunjukkan bahwa kisah sukses desa industri kulit (Sidoarjo), desa industri meubel (Jepara), desa keramik (Banyumulek Lombok Barat maupun Kasongan Bantul), desa industri makanan (Klaten), dan lain-lain.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    20

    Faktor Pendukung dan Penghambat Kapasitas manajerial dan tatakelola merupakan faktor kunci pembuka pada setiap jenis BUMDes. Setiap jenis usaha tidak berdiri sendiri tetapi memiliki kaitan mata rantai dengan sektor lain yang sangat mempepengaruhi keberlanjutan usaha. Untuk usaha jasa distribusi air bersih perlu memperhatikan kualitas lingkungan sebagai jaminan keberlanjutan. Usaha air bersih adalah usaha integrasi dengan lingkungan, sehingga bila mata rantai ini diputus (melalui gejolak politik di desa) maka bisnis ini pasti terancam. Bisnis saprotan, sangat tergantung pada transformasi pola cocok tanam warga. bila tekanan dari luar (supra desa) berupa program swasembada, biasanya berpengaruh pada tingkat kebutuhan saprotan. Apa lagi bila transformasi itu gagal, warga petani yang paling dirugikan dan berutang. Keberlanjutan BUMDes sangat dipengaruhi oleh skala dan jangkuan usaha. BUMDes yang menjalankan bisnis internal (melayani kebutuhan warga setempat seperti kebutuhan pokok, air bersih, kompos, saprotan) dengan jangkauan dan berskala lokal, umumnya menghadapi risiko yang rendah sehingga bisa berjalan sehat dan berkelanjutan. Tentu dengan catatan bahwa BUMDes itu dikelola dengan kapasitas manajerial yang memadai. Sedangkan BUMDes yang menjalankan bisnis eksternal (produksi dan distribusi hasil pertanian keluar desa) umumnya rentan dan gulung tikar karena skala ekonomi yang kecil dan kapasitas ekonomi yang terbatas. BUMDes yang tumbuh dari emansipasi lokal jauh lebih kuat dan berkelanjutan ketimbang BUMDes yang lahir karena intervensi pemerintah dari atas. Ini sudah dibuktikan di banyak daerah, baik di Lombok Barat, Dompu, Bantaeng, Bandung dan daerah-daerah lain. Tradisi berdesa, yang paralel dengan kekayaan modal sosial dan modal politik, merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap daya tahan dan keberlanjutan BUMDes. Jika ada bermasyarakat dan bernegara tentu juga ada berdesa. Tradisi berdesa bukan sekadar mengandung tradisi bernegara secara korporatis (tunduk pada kebijakan dan regulasi negara) atau bermasyarakat secara parokhial (hidup bersama atau tolong menolong berdasarkan garis kekerabatan, agama, etnis atau yang lain). Tradisi berdesa mengandung unsur bermasyarakat dan bernegara. Desa menjadi wadah kolektif dalam bernegara dan bermasyarakat. Pertama, desa menjadi basis sosial atau menjadi basis memupuk modal sosial, yakni memupuk tradisi solidaritas, kerjasama, swadaya, gotong royong secara inklusif yang melampaui batas-batas eksklusif seperti kekerabatan, suku, agama, aliran atau sejenisnya. Kedua, desa memiliki kekuasaan dan berpemerintahan, yang di dalamnya mengandung otoritas (kewenangan) dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Ketika mandat dari rakyat koheren dengan otoritas dan

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    21

    akuntabilitas, maka legitimasi dan kepercayaan akan menguat. Desa mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada warga masyarakat. Masyarakat desa di Bali dan DIY sudah lama mempunyai tradisi berdesa dengan kuat, yang menempatkan desa sebagai basis modal sosial dan dan modal politik. Mereka memandang bahwa desa merupakan identitas, basis ikatan sosial, maupun arena governance dimana pemimpin desa dan warga setempat mempunyai hubungan saling tergantung (interdependensi) dan inklusif. Desa pada umumnya memiliki otoritas dan tatakelola yang sudah relatif permanen yang dipercaya oleh warga masyarakat. Sementara di Sulawesi tradisi berdesa masih lemah. Karakter administratif masih melekat kuat pada desa yang belum bisa melebur secara inklusif dengan karakter parokhial masyarakat setempat. Masyarakat parokhial pada umumnya memiliki modal sosial yang dangkal, yakni secara eksklusif membangun social bonding berdasarkan garis kekerabatan. Sejumlah Rekomendasi BUMDes adalah nomenklatur dan wadah legal yang tidak berbadan hukum; berbagai unit usahanya lah yang berbadan hukum. Pernyataan inilah yang ditelorkan dalam diskusi panjang Tim Perumus RUU Desa, 9-10 Oktober 2010. Tetapi sebagai high call, perlu ada perjuangan jangka panjang untuk menjadikan BUMDes berbadan hukum seperti koperasi maupun PT. Moratorium proyek dana bergulir maupun lembaga keuangan mikro. Ini bukan berarti institusi prematur keuangan mikro rentan secara hukum, tetapi lebih karena mereka rentan secara sosial. Pemerintah sebaiknya mengubah pendekatan, dari intervensi ke fasilitasi, bahkan membuka kesempatan untuk melakukan rekognisi terhadap BUMDes yang telah establish. Dengan kalimat lain, memberikan rekognisi terhadap usaha desa (apapun bentuknya) yang sudah eksis-kokoh jauh lebih penting ketimbang melakukan intervensi dengan berbagai instrumen hukum. Bagaigamanapun membangkitkan dan memfasilitasi tumbuhnya gerakan ekonomi lokal secara emansipatoris jauh lebih penting ketimbang institusionalisasi BUMDes secara serentak dari atas. Pendekatan membentuk BUMDes secara serentak dan seragam yang digerakkan oleh pemerintah (government driven) dari atas sebaiknya dihindari; pemerintah lebih baik mendukung pengembangan BUMDes yang berdasar pada permintaan (on demand) dari bawah. Pemerintah tidak perlu mengulang pendekatan yang keliru: membentuk BUMDes secara serentak dan memberi bantuan modal secara merata kepada seluruh BUMDes yang telah dibentuk.

  • Policy Paper Membangun BUMDes yang Mandiri, Kokoh dan Berkelanjutan 2 Des - 2013

    22

    Membangun BUMDes secara inkremental jauh lebih baik daripada membangun BUMDes secara cepat dan serentak. Berikut ini kami sampaikan langkah-langkah inkrmental membangun BUMDes: Sosialisasi dan pembelajaran. Musyawarah desa Pembentukan dan pelembagaan BUMDes yang berbisnis pelayanan dan penyewaan. Analisis kelayakan usaha BUMDes yang berorientasi ekonomi (trading dan

    brokering). Pembentukan dan pelembagaan BUMDes trading maupun brokering. Ini adalah

    bentuk konsolidasi usaha warga menjadi sebuah korporasi desa yang kolektif, sehingga menjadi penanda satu desa satu produk.

    Penjajagan dan pengembangan kerjasama kemitraan strategis, baik dalam bentuk korporasi antardesa atau kerjasama dengan pihak ketiga

    Diversifikasi usaha dalam bentuk banking maupun holding dengan sekala yang lebih besar

    Urutan itu tidak hanya bermakna tahap-tahap membangun BUMDes, tetapi juga menunjukkan evolusi dan inovasi BUMDes. Lebih baik mengawali membangun BUMDes yang berbisnis pelayanan dan penyewaan, sebelum yang banking maupun trading. BUMDes pelayanan dan penyewaan, selain sederhana dan berskala lokal, juga menjadi ajang pembelajaran secara manajerial, sekaligus juga menjadi modalitas dan arena belajar untuk memupuk tradisi berdesa. Dengan pelayanan dan penyewaan itu, masyarakat semakin paham dan merasakan manfaat keberadaan desa untuk mereka. Setelah bisnis pelayanan dan penyewaan ini, BUMDes bisa dikembangkan ke brokering, trading, holding dan banking yang berbadan hukum, dengan jangkauan dan skala yang lebih luas. Tentu hal ini harus diawali dengan analisis kelayakan usaha. Dalam konteks ini desa yang mengambil prakarsa, kemudian pemerintah dan pihak luar bisa memfasilitasi dan memberikan dukungan. Namun, ber-BUMDes sebenarnya merupakan tahapan lebih lanjut setelah membangun sistem desa, yakni pelembagaan kewenangan, perencanaan, keuangan dan penganggaran serta pelayanan (Posyandu merupakan contoh terkemuka). Jika sistem desa yang menjadi pilar penting dalam tradisi berdesa belum sehat maka membangun BUMDes lebih baik ditunda dulu.

    ArifHighlight

    ArifHighlight