Arsitektur Adaptif Lingkungan

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Arsitektur Adaptif Lingkungan

Citation preview

  • 1

    Arsitektur Adaptif Lingkungan

    Ir. Totok Roesmanto, M.Eng

    Keywoard : lingkungan, selaras, potensi, historis, fleksibel, katalisator, budaya

    Saat ini, arsitektur yang berkembang adalah arsitektur modern, dengan banyak variasi

    yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Namun di desa-desa yang belum

    terlalu disentuh modernitas, arsitektur tradisional masih diterapkan.

    Penggunaan fleksibilitas sangatlah penting. Arsitek harus memilah-milah, mana

    arsitektur yang digunakan. Sebagai contoh penggunaan cangkang pada bangunan.

    Tidak semua bangunan dapat menggunakan model tersebut karena akan ada banyak

    dampak yang timbul. Masalah lingkungan dan sebagainya. Maka peran arsiteklah

    memilah arsitektur mana yang cocok untuk itu.

    Hubungan dengan Lingkungan

    Dalam menerapkan kontekstual, seorang arsitek harus memperhatikan suatu lingkungan.

    lingkungan juga tak terbatas, tergantung lingkungan yang dimaksud, bisa jadi lingkungan

    kota, lingkungan khusus, lingkungan pedesaan, atau lingkungan yang belum tertata. Dari

    situ, seorang arsitek dapat menilik potensi kawasan tersebut.

    Potensi juga erat kaitannya dengan nilai historis. Suatu bentukan alangkah baiknya

    disesuaikan dengan nilai budaya setempat. Kontekstual memperhatikan nilai keselarasan

    dengan lingkungan sekitar. Tak hanya disempal dengan symbol semata.

    Arsitek dapat menjadikan bangunan hasil karyanya menjadi panutan bagi lingkungan

    sekitarnya ataupun arsitek dapat dengan bijak menyembuhkan lingkungan yang sudah

    berantakan. Seperti Arsitek Hirosihara pada Yamato Building yang menginginkan

    bangunannya terlihat ruwet seperti lingkungan kota Tokyo yang memiliki bangunan

    beragam dan beraneka macam. Secara konseptual betul, kontekstual dimulai dari apa

    adanya dulu, sangat terbuka. Sehingga timbul kepedulian terhadap lingkungan, sehingga

    arsitektur membuat lingkungan binaan yang benar dan tidak asal saja. Setiap bangunan

    memiliki jati diri, namun bermacam bangunan akan menimbulkan perbedaan wajah.

    Kontekstual tidak mengharuskan keselarasn seluruhnya yang menyebabkan monoton.

  • 2

    Contoh kasus juga ada pada wisma Dharmapala. Dimana yang melihat dikagetkan pada

    bangunan dengan arsitektur tropis di antara gelimangnya bangunan blok-blok kaca.

    Desain arsitektur yang bisa memenuhi kriteria kontekstual, memperhatikan di mana

    bangunan didirikan. Arsitek harus mampu melihat lingkungan, potensi dan budaya yang

    ada. Arsitektur kontekstual juga haruslah adaptif. Beradaptasi dengan lingkungan, tanpa

    harus menolak penggunaan bahan-bahan dan teknologi modern.

    Contoh yang baik dari arsitektur kontekstual adalah arsitektur Indische yang sudah

    mengenal sirkulasi udara, selaras, dan mengadaptasi budaya setempat.

    Kontekstual dapat dilihat dari segi bentuk dan fungsi. Rumah tinggal yang didiami sehari-

    hari harus mendukung fungsi, sedangkan kantor yang dilihat beberapa jam harus

    diperhatikan pertimbangan bentuk.

    Lingkungan kota sering tidak memiliki kekhasan, akibat budaya hidup modern yang

    cenderung latah dan menerima apa pun dari luar. Karena itu perlu digali potensi dari

    lingkungan kota lebih lanjut. Cara berpikir kontekstual, juga ternyata melihat arsitektur

    dalam peran kota tersebut, dari keberadaanya dia justru harus bisa sebagai katalisator

    untuk memperbaiki lingkungan sekitarnya.

  • 3

    Para Arsitek yang Menerapkan Kontekstual

    Yusuf Bilyarta Mangunwijaya

    Lebih dikenal dengan Romo Mangun, seorang rohaniawan, budayawan, arsitek,

    penulis, aktivis dan pembela wong cilik. Dalam bidang arsitektur, beliau juga kerap

    dijuluki sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Salah satu penghargaan yang

    pernah diterimanya adalah Aga Khan Award, yang merupakan penghargaan

    tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang, untuk rancangan pemukiman di

    tepi Kali Code, Yogyakarta.

    Walaupun Mangunwijaya mempunyai latar belakang pendidikan yang sangat

    modern, sebagai arsitek lulusan Jerman, namun beliau justru mengambil sikap

    yang jauh berbeda dari rekan-rekan seprofesinya. Dalam menciptakan karyanya,

    Mangunwijaya lebih senang sekali menonjolkan sesuatu yang dianggap kuno

    dan pada proses pembangunan beliau langsung terjun di lapangan dan bersikap

    sebagai empu.

    Karya bangun Mangunwijaya tumbuh dari suatu keakraban dengan alam

    setempat, dengan penyampaian yang wajar tapi sarat pesan, lihat hasil karya

    beliau sebuah tempat ziarah untuk umat Katolik di Sendangsono Keinginan

    Mangunwijaya menghadirkan sebuah substansi untuk mendorong hadirnya

    arsitekur nusantara terlihat dari penjiwaannya terhadap arsitektur rumah rumah

    tradisional dan juga candi di Indonesia.

    Gambar. Sendang Sono

  • 4

    Tadao Ando

    Tadao Ando ( And Tadao, lahir 13 September 1941 di Osaka, Jepang)

    adalah seorang arsitek Jepang. Profesor Emeritus Universitas Tokyo. Pemenang

    Penghargaan Arsitektur Pritzker. Konsultan bagi gerakan Forum Parlementer

    untuk Jepang Baru (Congressional Forum for New Japan atau 21 Seiki Rinch).

    Ciri khas karyanya berupa dinding dan konstruksi dari beton ekspos tanpa

    finishing.

    Pada tahun 1992, ia membangun Japanese Pavilion for Seville World Exhibition of

    1992. Sebagai obyek arsitektur yang menjadi representasi dari kebudayaan

    Jepang di dunia internasional, bangunan paviliun ini dirancang dengan studi dan

    pengetahuan yang mendalam mengenai arsitektur tradisional Jepang. Tadao

    Ando mengeksplorasi potensi-potensi arsitektur tradisional Jepang sebagai

    preseden bagi Japanese Pavilion ini. Walaupun begitu, bentuk-bentuk arsitektur

    tradisional Jepang tidak diterapkan mentah-mentah pada karya arsitekturnya ini.

    Sebaliknya, terdapat proses kreatif dalam mengolah prinsip-prinsip dasar dan citra

    yang dikandung oleh preseden. Prinsip dasar dan citra itu diolah kembali oleh

    Ando, sesuai dengan konteks waktu, tempat dan fungsi. Terdapat pula loncatan-

    loncatan kreativitas dalam pengolahan bentuk, sehingga karya arsitektur yang

    dihasilkan tidak menjadi peniruan semata dari bentuk-bentuk fisik yang telah ada

    pada presedennya. Sebagai arsitek yang benar-benar mengalami dan memahami

    esensi dan prinsip arsitektur tradisional Jepang, Ando dapat dengan tepat

    menerjemahkan prinsip dan esensi itu ke dalam bentuk-bentuk baru, tanpa

    menghilangkan nilai dan makna aslinya.

    Gambar Japanese Pavilion for Seville World Exhibition of 1992

  • 5

    Eko Prawoto

    Eko Prawoto adalah arsitek yang banyak berhubungan dengan Romo Mangun,

    sehingga banyak orang menyebut sebagai murid nya. Eko Prawoto arsitek

    lulusan Universitas Gadjah Mada dan melanjutkan di The Berlage Institute

    Amsterdam, Belanda. Dia mengajar sebagai dosen di Jurusan Arsitektur

    Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta.

    Eko bersinggungan dengan Romo Mangun lebih dari 20 tahun. Pada beberapa

    proyek, dia juga membantu Romo Mangun. Yang paling didapat Eko dari Romo

    Mangun adlah aspek tektonika, kepekaan bagaimana teknik menyambung,

    mempertemukan bahan, dan mengartikan sambungan, bagaimana memahami

    kodrat dan bakat dari bahan, kreativitasnya, juga pada keberanian untuk berbeda,

    dan mencari dari dalam. Melihat persoalan dari persoalan itu sendiri, tidak risau

    dengan sekitar. Tidak tentang kulit tapi dari spirit. Menurut dia, pada akhirnya

    arsitektur harus memerdekakan manusia.

    Eko juga mengaku terpengaruh pemikiran Romo Mangun soal pemakaian material

    bekas. Menurut Romo Mangun, arsitektur harus konstektual. Sekarang ini banyak

    orang membutuhkan pekerjaan. Oleh karena itu, dalam satu proses

    pembangunan rumah, misalnya, sebanyak banyaknya budget digunakan untuk

    upah. Bahan boleh murah, tetapi tenaga kerja harus dihargai mahal. Dia mengutip

    ajaran Romo Mangun yang mengatakan bahwa investasi harus pada sumber

    daya manusia. Ciri khas Eko misalnya dengan menyusun rapi pecahan keramik di

    antara ubin bermotif. Dia juga menggunakan besi yang dia bentuk khas, untuk

    menyangga kayu yang betemu dengan tembok pada beberapa karyanya.

    Gambar. Karya-karya Eko Prawoto

  • 6

    Paul M.

    Rudolph

    Paul Marvin Rudolph (Lahir 23 Oktober 1918 di Elkton, Kentucky - 8 Agustus 1997

    di New York, New York) adalah seorang arsitek Amerika dan dekan Yale School

    of Architecture selama enam tahun, dikenal karena desain bangunan kubisme dan

    sangat kompleks akan denah lantai. Karyanya yang paling terkenal adalah Yale

    Seni dan Arsitektur Bangunan (A & A Building), sebuah kompleks spasial Brutalist

    struktur beton.

    Karya Paul Rudolph ini sangat kontras dengan bangunan di sekelilingnya yang

    berupa blok-blok kaca. Meskipun berbudget tinggi, bangunan ini memperhatikan

    iklim tropis dan termasuk bagian dari smart building yang memperhatikan vegetasi

    vertical.

    Konsep bangunan tropis, pada dasarnya adalah adaptasi bangunan terhadap

    iklim tropis, dimana kondisi tropis membutuhkan penanganan khusus dalam

    desainnya. Pengaruh terutama dari kondisi suhu tinggi dan kelembaban tinggi,

    dimana pengaruhnya adalah pada tingkat kenyamanan berada dalam ruangan.

    Tingkat kenyamanan seperti tingkat sejuk udara dalam rumah, oleh aliran udara,

    adalah salah satu contoh aplikasi konsep rumah tropis.

    Meskipun konsep bangunan tropis selalu dihubungkan dengan sebab akibat dan

    adaptasi bentuk (tipologi) bangunan terhadap iklim, banyak juga interpretasi

    konsep ini dalam tren yang berkembang dalam masyarakat.

    Gambar Wisma Dharmala Sakti, Jakarta Gambar. Karya Rudolph di Singapura

  • 7

    I. M. Pei

    Ieoh Ming Pei (lahir 26 April 1917) adalah arsitek Tionghoa-Amerika pemenang

    Pritzker Prize. Pei adalah nama penting dalam bidangnya, dengan bangunan

    rancangannya dibangun di berbagai wilayah di dunia.

    Pei telah merancang lebih dari 50 proyek di Amerika dan luar negeri, banyak

    diantaranya mendapat penghargaan. Pei secara umum menyukai bangunan

    berselubung kaca yang canggih meski tak selalu sejalan dengan aliran high-tech.

    Banyak desainnya lahir dari konsep orisinil.

    Pei sering bekerja dalam skala besar dengan ciri desain geometris dan tajam. Ia

    bekerja dengan bentuk abstrak menggunakan batu, beton, kaca dan baja. Pei tak

    terikat teori atau memaksakan diri menemukan bentuk tertentu mengekspresikan

    waktu, namun mengabaikan faktor komersial. Pei ingin berdamai dengan

    konteksnya, namun masih tetap memikat.

    Pei telah memberi abad ini, bentuk eksterior dan ruang interior terindah, salah

    satunya di museum Louvre. Ia juga peduli lingkungan sekitar karyanya, tak

    sekedar lingkup kecil masalah arsitektural. Ketrampilan dan kepandaiannya yang

    beraneka ragam dalam pendekatan material mendekati puitis. Kebijaksanaan dan

    kesabaran Pei, membuat arsitek terkemuka ini mampu menarik orang dari

    berbagai disiplin ilmu dan kepentingan, untuk menciptakan lingkungan harmonis,

    meski banyak batasan politis, ekonomi, sosial dan juga estetik yang mengkendala.

    Gambar. Louvre Museum