21
ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME Sebuah Catatan Kritis tentang kemajemukan bangsa Indonesia (Mengurai Perjalanan Pancasila) Catatan kecil ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Ilmu Pancasila dan Kewarganegaraan yang diampu oleh Bp. Herman Sujarwo sebagai pengganti Ujian Semester II pada mata kuliah yang sama. Disusun Oleh Abaz Zahrotien FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ) JAWA TENGAH DI WONOSOBO 2009

ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Sebuah Catatan Kritis tentang kemajemukan bangsa Indonesia(Mengurai Perjalanan Pancasila)

Catatan kecil ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Ilmu Pancasila dan Kewarganegaraan yang diampu oleh Bp. Herman Sujarwo sebagai pengganti Ujian Semester II pada mata kuliah yang sama.

Disusun OlehAbaz Zahrotien

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASIUNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)

JAWA TENGAH DI WONOSOBO2009

Page 2: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Salah satu hal penting yang mengiring gelombang demokratiasi adalah

munculnya wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada intinya adalah

kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan tanpa

memperdulikan perbedaan budaya, etnik, jender, bahasapun ataupun agama,

menurut Gurpeet Mahajan konsep multikulturalisme sebenarnya relative baru,

menurutnya sekitar 1950-an gerakun multikulralisme muncul pertama kali di

Kanada dan Australi kemudian di Amerika Seriakat, Jerman, dan lainnya.

Multikulturalisme memberikan penegasan, bahwa dengan segala

perbedaannya diakui dan sama diruang public. Multikulturalisme menjadi

semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya

komunitas yang berbeda saja saja tidak cukup, karena yang- pertama dan yang

terpenting adalah komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara

maupun negara1

Multikulturalisme telah merupakan wacana bagi para akademisi maupun

praktisi dalam berbagai bidang kehidupan di Indonesia dewasa ini. Berbagai

seminar diadakan membahas mengenai multikulturalisme., seperti yang baru-baru

ini diselenggarakan mengenai pembangunan di Indonesia berwawasan

kebudayaan. D-emikian pula telah muncul pendapat mengenai masalah

pemecahan konflik horizontal yang nyaris memecahakan bangsa Indonesia

dewasa ini daris udut kebudayaan dan bukan dengan cara kekerasan ataupun cara-

cara yang lain yang tidak sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia yang beragam.

Wacana mengenai kebudayaan memang merupakan bidang yang berkaitan dengan

tiga masalah besar, yaitu identitas, kekuasan (Power), dan kebudayaan dalam arti

luas.

Di berbagai Negara yang mempunyai keragaman etnik dan budaya, seperti

amerika serikat dan Indonesia, memang masalah multikulturalisme merupakan

1A. Ubaidillah abdul Rozak, Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, ICCE Uin Syarif Hidayatullah, Jakarta Edisi Revisi 2006.hal I71

Page 3: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

kenyatan social yag harus dihadapi. Bagaimanakah dengan bidang pendidikan

yang berkaitan dengan multikulturalisme ini? Di Negara-negara yang disebut-kan

tadi, pemikir-an mengenai multikulturlisme telah jauh berkembang, mungkin

menjelang setengah abad atau seabad lamanya. Pakar pendidikan demokrasi di

Amerika Serikat John Dewey, terkenal dengan pandangan progetifismenya dalam

bidang pendidikan menjadikan keaneka ragaman didalam masyarakat demokratis

sebagai salah satu masalh pokok pendidikan. Bukunya yang terkenal Democracy

and Educatiaon yang diterbitkan pada permulaan abad 20. menadakan betapa

demokrasi hanya dapat berkembang melalui proses pendidikan. Ini pada

permulaan bad 21, masalah demokrasi telah menjadi masalah dunia. Karena

masalah demokrasi sedang mengubah kehidupan manusia global.

Pendidikan multicultural (PM) merupakan topic diskusi maupun pr-aktek

pendidikan pada beberapa Negara maju dengan mengambil tema utamanya

pentingnya kebudayaan dalam praktik pendidikan untik membangun suatu

masyar-akat democratis. Apabiala multikultur-alisme mer-upakan wacana bidang

kebudayaan dalam arti yang luas seperti pengembangan identitas suatu kelompok

masyarakat, demikian pula dalam pengembangan bangsa( Nation State)

diperlukan rasa identitas dari kelompok bangsa ini, selanjutnya suatu Negara

hanya dapat bertahan karena mempunyai kekuatan (power). Kekuasaan untuk

memjamin keberlangsungan dengan berkembang dalam suatu kelompok

masyarakat serta mengikat masyarakat itu dalam suatu kesatuan kehidupan.

Kekuasaan dengan hanya dapat- dikembangkan dalam ungkapan

kebudayaandalam ar-ti yang luas. Olreh sebab itu juga pendidikan tid-ak lepas

pendidikan tidak lepas d-ari wacana tersebut diatas tadi.2

Masyarakat adalah sebuah fakta, semakin bercampur baurnya penduduk

dunia yang mampu memberikan tekanan pada system pemerintahan, pendidikan,

dan ekonomi yang telah mapan untuk berubah. Penduduk dunia hidup dalam

kedekatan dan berinteraksi dengan berbagai orang dari berbagai latar belakang

etnit dan bangsa. Karena itu kita percaya bahwa semua orang terlahir berbeda-

beda dengan keunikan masing-masing. Namun disparitas dalam kebudayaan, 2 H.A.R Tilaar, Pendidikan Dan Kekuasan, Suatu tinjauan dari Perspetif Studi

Kultural, Indonesia Tera, Magelang 2003. Cet 1, hal. 162-163

Page 4: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

sumberdaya, dan harapan-harapan ini pula yang melahirkan ketidakpuasan dan

konflik social. Dan ketika perbedaan nasionalitas, etnisitas, dan ras muncul

bersamaan dengan perbedaan agama posisi social dan ekonomi, maka potensi

untuk berbenturan pun semakin besar.

Untuk beberapa saat lamanya, multikulturalisme adalah isltilah yang

samar, ambivalen dan debatable. Disatu sisi ada keinginan yang jelas untuk

mengatakan bahwa kebudayaab lain adalah baik atau setidaknya mengandung

kebaikan. Sehingga kita dapat belajar dari mereka. Terkadang kita menyadari,

bahwa dimasa lalu kita kerap kali memberi penilaian yang salah terhadap

kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada informasi

yang tidak akurat dan pemahaman yang kurang memadai. Disisi lain, ada pula

keinginan untuk mengisoslasi kebudayaan-kebudayaan lain t6ersebut dalam

penilaian negative kita. Penilaian negative ini muncul dari pengalaman masa

lampau dan juga sikap protekatif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain.

Bagi para pengkritik multikuluralisme, pengabsahan atas isme ini

merupakan agenda politik yang jahat; sedangkan bagi para pendukungnya,

multikulturalisme adalah maksud baik. Dua pendangan yang berbeda ini

memperlihatkan bahwa makna, respon, dan kritik atas multikulturalisme adalah

bergantung pada perspektif indifidu yang memahaminya secara implicit,

pertentangan pandangan itu mulcul karena multikulturalisme lebih dilihat sebagai

idiologi dari pada kenyataan pluralitas cultural yang hidup pada masyarakat,

bentuk pemerintahan, system ekonomi, system keagamaan atau intelektual atau

bahkan kebudayaan3

a. Pengertian Multikulturalisme

Akar kata multkulturalisme adalah kebudayaan.4 Secara etimologis,

multikultiuralisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya),

3 Zakiyuddin Baidhowi, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, Erlangga, Jakarta 2005, hal. 1-2

4Lihat dalam makalah Parsudi Suparlan.”Menuju Masayrakat Multikultural”, dalam symposium international bali ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali,116-21 Juli 2002

Page 5: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

isme (lairan atau paham).5 Secara hakiki, dalam kata itu terkandung

penagkuan akan martabat manusia yang hibup dalam komunitasnya

dengan kebudayaannya yang unik.

Dengan demikian, setiap indifidu merasa dihargai sekaligus merasa

bertanggung jawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran

suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui (Politics of

Reccognition) merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai

bidang kehidupan.

Penegertian para ahli tentang kebudayaan harus di persamamakan

atau, setidak-tidaknya, tidak dipertentangkan antara satu konsep yang

dipunyai oleh oleh lainnya. Kaarena multikulturalisme itu adalah sebuah

idiologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajad manusia

dan kemanusiaanya, maka kebudayaan harus dilihat dalam perspektif

fungsinya bagi kehidupan manusia.6

Sejarah etimologi multikulturalisme belum berumur lama. Menurut

Longer Oxford Dictionary sebuah istilah yang baru banyak digunakan

oleh kebanyakan orang pada tahun 1950-an di Kanada. Kamus tersebut

mensitir kalimat dari surat kabar Kanada, Montreal Times yang

menggambarkan masyarakat Kanada sebagai masyarakat “multi-cultural

dan multi-lingual”. Istilah multikulturalsm sendiri pertama kali digunakan

dalam laporan pemerintah kanada yang di publikasikan pada tahun 1965

bertajuk “Preminary Report Of The Royal Commision Of Bilingualism

and Biculturalism”.

Sebagai sebuah terminology baru “multikulturalisme” masih belum

banyak dipahami orang. Saya membagi pemahaman mengenai mengenai

multikulturalisme menjadi beberapa tingkatan. Pertama, pemahaman

popular. Orang kebayakan memahamifenomena multikulturalisme

semakin mudah ditemukannya restoran Cina, Hoka-hoka Bento, Salero

Bagindo, Mc Donald, Jet Kun Do, Shaolin, kursus Yoga sampai boutique

5 lebih jelas lihat dalam http:// www.grasindo.co.id/ Detail, asp? ID-50104457 atau pada H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme, Tantangan Global Masa Depan ( Jakarta: Grasindo, 2004)

6 Supardi Suarloan Ibid Hal 10

Page 6: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Versace di satu wlayah yang sebelumnya relative homogen.

Kedua, pemahaman politis. Kalangan politisi memahami

multikulturalisme semakin majemuknya masyarakat secara cultural yang

menimbulkan berbagai persoalan social yang menuntut kebijakan-

kebijakan tertentu (pengetatan imigrasi, pendataan, sampai program

asimilasi). Ketiga, pemahaman akademis. Pemahaman akademis

multikulturalisme mendasarkan diri pada perkembanga filsafat

postmodernisme dan Cultural Studies, yang menekankan prinsip

paralogisme di atas monologisme, kemajemukan diatas kesatuan. Isu-isu

multikulturalisme yang menjadi perbincangan akademis antara lain;

konsep kebudayaan, relasi budaya dan politik, hak minoritas, kritik

liberalisme, toleransi dan solidaritas, dan lain sebagainya

Pendekatan akademis terhadap multikulturalisme dapat dibagi

menjadi dua kelompok. Pertama mereka yang memandang isu

multikulturalisme sebagai isu politik identitas budaya pinggira terhadap

yang dominan yang selama ini menguasainya melalui wacana. Apa yang

mereka maksud dengan budaya saat membincangkannya adalah budaya

pinggiran (sub culture), seperti kelompok punk, kelompok lesbian, gay,

kulit berwarna dan lain sebagainya. Kedua mereka yang memandang isu

multikulturalisme sebagai persoalan kemajemukan komunitas budaya

mereka artikan sama dengan bangsa (nation) (Kymlicka 1995: 11) yaitu

intergenerasi yang berbagai bahasa, sejarah, dan adat-istiadat yang sama.

Pendekatan kedua ini mempersoalkan isu hak budaya minoritas dan

konsep Negara bangsa.

Wacana multikulturalisme di kalangan akademisi berkembang

setelah oposisi biner identitas atau perbedaan dedekonstruksi.

Dekonstruksi yang disambut hangat oleh para multikulturalis dan

psikoanalis sepert Edward Said, Gayatri Spivak, Homi Babha dal lain

sebagainya. Mereka umumnya menyimpulkan bahwa identitas “Barat”

yang mengedepankan rasionalitas, linier dan sekuler tidak lebih dari

sekedar teks. Teks yang dirajut denga benang kekuasaan atas wacana

Page 7: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

tentang “Timur” yang irasional, sirkular dan spiritual. “Timur” timur tak

pernah dibiarkan mendefinisikan dirinya secara unik tanpa harus mengacu

para kerangka acuan barat.

Wacana multikulturalisme dikalangan para akademisi juga

berkembang sebagai reaksi atas kegagalan proyek negara-bangsa (Bennet

1998: 138). Sebuah proyek ingin mewujudkan negara yang terikat tidak

saja secara yuridis tetapi juga secara kultural. Proyek negara bangsa dinilai

mengabaikan hak masing-masing budaya yang ada untuk mengaktualisasi

diri secara sepenuhnya. Postmodernisme radikal, misalnya, menolak

naionalisme yang berporos pada homogenisasi, identitas dan esensi.

Posmodernisme radikal mengajukan konsep pluralisme radikal yang

menekankan liberalisasi perbedaan. Dimana setiap komunitas budaya

berhak mendefinisikan dirinya sendiri tanpa harus berpaling atau mengacu

patokan universal.

Masih dalam kerangka multikulturalisme, posmodernis radikal atau

biasa disebut postmodern libertarian memodifikasi paham modernisme

klasik. Liberalisme klasik adalah paham yang yang menekankan perlunya

perlunya pembatasan legal pada kekuasaan negara dalam mengurus

masyarakat untuk melindungi apa yang disebut john stuart mill sebagai

kebebasan negative idifidu atau kebebasan untuk mengeksekusi apa yang

disebut sebagai hak-hak ilmiah, ulienable atau yang lebih dikenal dengan

sebutan HAM (Hak Asasi Manusia) untuk mengeluarkan pendapat

menurut suara hati berserikat beribadah dan lain sebagainya. Posmodern

libertian menolak konsep HAM yang menekan konsep universalisme

dalam paham liberalisme klasik karena mengingkari perbedaan. Individu

harus dianggap sejauh memiliki kesempata yang sama dalam

mengekspresikan perbedaannya.

Ini diperkuat lagi oleh tesis Terry Eagleton tentag Universalisme

(sarup 1996: 63). Universalisme menurut Terry, bukan hak dan kewajiban

abstrak sbagai lawan dari partikularitas ras, etnis, agama dan gender

melainkan pengakuan bahwa setiap perbedaan individu dapat

Page 8: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

teraksenturasi secara sempurna

Negara dalam konteks multikulturalisme sendiri harus sejalan

dengan prinsip plurailsme. negara yang menghargai kemajemukan budaya

menurut postmodern libertian adalah negara ynag tidak lagi merumuskan

kerangka ideal idiologi maupun kultural bagi komunitas-komunitas

budaya untuk menyesuakan diri. Proyek negara bangsa dianggap sebagai

represi terhadap potensi berbagai komunitas budaya untuk merealisasikan

dirinya secara unik. Konsep negara multicultural adalah negara menjaga

jarak terhadap persoalan kultur dan menjamin tiap komunitas budaya

untuk mengurus urusan kulturnya sendiri.7

b. Akar Sejarah Multikulturalisme

Secara histories sejak jatuhnya presiden Soeharto dari

kekuasaannya yang kemudian disebut sebagai “Era Reformasi”,

kebudayaabn Indonesia cenderung mengalami dis integrasi. Dalam

pandangan Azyumardi Azra, bahwa krisis moneter, ekonomi dan politik

yang bermula sejak akhir 1997, pada gilirannya mengakibatakan terjadinya

krisis sosio-cultural didalam kehidupan bangsa dan negara. Jalinan tenun

masyarakat (fabric Society) tercabik-cabik akibat krisis yang melanda

masyarakat.8

Krisis social budaya yang meluas itu dapat disakasikan dalam

berbagai bentuk disorientasi dan dislokasi banyak kalangan masyarakat

kita.,misalnya: disintegrasi social politik yang bersumber dari euphoria

kebebasan yang nyaris kebablasan; lenyapnya kesabaran social (social

temper) dalam menghadapi realitas social yang semakin sulit sehingga

mudah mengamuk dan melakukan berbagai macam tindak kekerasan dan

anarkhi; merosotnya penghargaan dan kepatuhan terhadap hokum, etika,

moral, dan kesantunan sosial; semakin meluasnya penyebaran narkotika

7 Aryo Danusiri dan Wasmi Alhasiri, Pendidikan Memang Multikultural, Beberapa Gagasan, SET, Jakarta 2002, Cet 1, Hal. 3-5

8Lihat dalam Azyumardi Azra, Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Budaya Indonesia, http://kongres. Budpar. Go.id/agenda / prekongres / makalah /abstrak /azyumardi. htm

Page 9: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

dan penyakit-penyakit sosial lainnya; berlanjutnya konflik da kekerasan

yang bersumber atau sedikitnya bernuansa politis, etnis dan agama seperti

terjadi di Aceh, Kalimantan Barat, dan Tengah, Maluku Sulawesi tengah,

dan lain-lain.

Disorintasi, dislokasi atau krisis social budaya dikalangan

masyarakat kita semakin merebah seiring dengan kian meningkatnya

penetrasi dan ekspansi budaya barat khususnya Amerika sebagai akibat

proses globalisasi yang terus tidak terbendung. Berbagai ekspansi social

budaya yang sebenarnya ” alien” (asing), yang tidak memiliki basis dan

preseden kulturalnya dalam masyarakat kita, semakin menyebar dalam

masyarakat kita sehingga memunculkan kecenderungan-kecenderungan

“gaya hidup” baru yang tidak selalu sesuai dengan dan kondusif bagi

kehidupan social budaya masyarakat dan bangsa (cf. al-roubaie 2002).

Hal ini bisa dilihat misalnya, dari semakin merebaknya budaya-

budaya Mc Donald, juga makna instant lainnya dan, dengan demikian,

budaya serba instant; meluasnya budaya telenofela yang menyebarkan

permisivisme, kekerasan, dan hedonisme; membawanya MTV Asia,

falentine’s day, dan kini juga pup night dikalanga remaja. Meminjam

ungkapa Edward Said, gejala ini tidak lain daripada ”cultural

imperialism” baru, yang menggantikan emperialisme klasik yang

terkandung dalam “orientalisme”.

Dari berbagai kecenderungan ini, orang bisa menyaksikan

kemunculan kultur hybrid, budaya gado-gado tanpa identitas di Indonesia

dewasa ini. Pada satu segi, kemunculan budaya hybrid tampaknya tidak

terelakkan, khususnya karena proses globalllisasi yang semakin sulit

dihindari. Tetapi pada segi lain, budaya hybrid apalagi yang bersumber

dari dan didominasi oleh budaya luar, karena dominasi dan hegemoni

politik, ekonomi dan informasi mereka dapat mengakibatkan krisis budaya

nasional dan local lebih lanjut. Tidak hanya itu, budaya hibryd dapat

mengakibatkan lenyapnya identita cultural nasional dan local; padahal

identitas nasional dan local tersebut mutlak diperlukan bagi terwujudnya

Page 10: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

integrasi social, cultural dan politik masyarakat dan negara bagian

Indonesia.

Pluralisme cultural diasia tenggara, khususnya Indonesia, Malesia

dan Singapura sebagai mana di kemukakan Heffner (2001: 4), sangat lah

mencolok; terdapat beberapa wqilaya lain didunia yang memiliki

pluralisme cultural seperti itu. Karena itu lah dalam teori politik barat

sepanjang dasawarsa 1930-an, wilayah ini khususnya Indonesia dipandang

sebagai “Lokus Klasik” bagi konsep “masyarakat majemuk atau plural”

(plural Societi)yang diperkeenalkan ke dunia barat JS Furnivall (1944,

1948).

Menurut furnivall, masyarakat plural adalah masyarakat yang

terdiri dari dua atau lebih unsure-unsur atau tatanan social yang hidup

berdampingan tetapi tidak bercamput dan menyatu dalam satu unit politik

tunggal (Furnivall 1944: 446). Teori furnivall ini banyak berkaitan dengan

berkaitan dengan realitas social politik eropa yang relative ”homogen”,

tetapi sangat diwarnai chauvinisme etnis, raial, agama dan gender.

Brdasarkan kerangka social cultural, politik dan pengalaman eropa,

Furnivall memandang masyarakat-masyarakat plural asia tengggara

khususnya Indonesia, dan terjemus kedalam anarkhi jika gagal

menemukan formula federasi pluralis yang memadai (Furnivall 1944: 468-

9).

Meski demikian, berbeda dengan ”Doomed scenario” Furnivall,

mayarakat-masyarakat Asia Tenggara, khususnya Indonesia, pada

akhirnya setelah perang dunia dua dapat menyatu dalam satu kesatuan unit

politik tunggal. Tetapi, harus diakui, kesatuan politik tidak menghilangkan

realitas pluralitas sosila budaya yang bukannya tidak sangat devinisif,

khususnya jika negara bagian baru seperti Indonesia gagal menemukan

“common platform” yang dapat mengintegrasikan berbagai keragaman itu.

Pada hal, pada saat yang sama, kemerdekaan yang dicapai Negara-negara

baru ini mendorong bangkitnya sentiment etno-religius yang dapat sangat

eksklusif karena didorong semagat yang menyala-nyala untuk mengontrol

Page 11: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

kekuasaan (Geertz 1973).9

Menurut analisis Muhaemin el-ma’hadi, akar sejarah

multikulturalisme bisa dilacak secara histories, bahwa sdikitnya selama

tiga dasawarsa kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat

terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat

untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang

muncul karena adanya perbedaan secara terbuka, rasional dan damai.10.

Paling tidak ada tiga kelompok sudut pandang yang biasa

berkembang dalam menyikapi perbedaan identitas kaitannya dengan

konflik yang sering muncul. Pertama, pandangan kaum primordialis.

Kelompok ini mengnggap bahwa perbedaan genetika, seperti suku dan ras

(juga agama), merupakan sumber utamalahirnya benturan etnis dan

kepentingan.

Kedua, pandangan kaum instrumentalis. Menurut mereka, suku,

agama dan identitas yang lain sebagai alat yang digunakan individu atau

kelompok untuk mengejar tujuan yang ebih besar, baikdalam bentuk

materiil maupun non-materiil. Konsepsi ini lebih banyak digunakan oelh

para politisi dan para elit untuk mendapatkan dukungan dari kelompok

identitas. Denga meneriakkan “Islam” misalnya, diharapkan semua orang

Islam merapatkan barisan untuk mem back up kepentingan politiknya.

Oleh karena itu, dalam pandangan kaum instrumentalis, selama setiap

orang mau mengalah dari prefence yang dekehendaki elit, selam itu pula

benturan antar kelompok identitas dapat dihindari, bahkan tidak terjadi.

Ketiga, pandangan kaum konstruktivis, beranggapan bahwa

identitas identitas kelompok tidak bersifat kaku, sebagaimana yang

dibayangkan kaum primordialis. Etnisitas, bagi kelompok ini, dapat diolah

hingga membentuk jarigan relasi pergaulan social. Karenanya, etnisitas

merupakan sumber kekayaan hakiki yang dimiliki manusia untuk saling

memperkenal dan memperkaya budaya. Bagi mereka, persamaan adalah

anugrah dan perbedaan adalah berkah.9 Khoirul Mahfud, Pendidikan Multikultural, pustaka Pelajar, yogyakarta, 2006, hal. 8710ibid, hal 88

Page 12: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Menurut Irwan, multikulturalisme adalah sebuah paham yang

menekankan pada kesederajatan dan kesetaraan budaya-budaya local

dengan tanpa mengabaikan hak-hak dan eksistensi budaya yang ada.

Dengan kata lain, penekanan utama multikulturalisme adalah kesetaraan

budaya.11

Pada pertengahan 2002, sebuah jurnal antropologi mengadakan

symposium internasional yang bertemakan membangun kembali Indonesia

yang bhineka tunggal ika menuju masyarkat multicultural. Symposium ini

menghasilkan konsep penting, bahwa keragaman budaya dalam sebuah

komunitas besar (bangsa) merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa

terelakkan sebagaimana dikatan Gus Dur, kebudayaan semua bangsa pada

hakikatnya adalah kenyataan yang majemuk atau pluralistic.

Sebuah bangsa tidak akan berkembang apabila tingkal

pluralitasnya kecil. Begitu pula dengan sebuah bangsa yang besar, jumlah

perbedaan kebudayaannya, akan menjadi kerdil apabila ditekan secara

institusional. Bahkan, tindakan semacam ini akan merusak nilai-nilai yang

ada dalam budaya itu sendiri. Akibatnya, perpecahan dan tindakan-

tindakan yang mengarah pada anarchi menjadi sebuah sikap alternative

masyarakat ketika pengakuan identitas dirinya terhambat.12

Dari beberapa penertian yang diberikan oleh beberapa orang ahli,

terdapat pengertian yang cukup mendunia, yaitu pengertian

multikulturalisme sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan

dalam Politic of recognition. Hal seperti ini juga disampaikan oleh Perekh

dalam bukunya National Culture and Multiculturalsm, yang secara jelas

membedakan lima macam multikulturalisme. Tentu saja, pembagian

pembagian bentuk multikulturalisme itu tidak kedap air, sebaliknya bisa

tumpang tindih dalam segi-segi tertentu. Kelima macam multikulturalisme

tersebut adalah:

Pertama, multikulturalisme isolalasionis yang mengacu kepada

masyarakat diman berbagai kelompok masyarakat cultural menjalankan 11 Masdar Hilmi, Melembagakan Dialog (Antar Teks) Agama, Kompas, Jakarta , 5 April 2002, 4 12 Abdurahman Wakhid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan, Depok Desantra,2001, II

Page 13: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

kehidupan secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal

satu sama lain. Kedua, multikulturalisme akomodatif, yakni masyarakt

plural yang memiliki domonan, yang membuat penesuaian dan akomodasi

bagi kebutuhan kaum minoritas.

Ketiga, multikulturalisme otonomis, yakni masyarakat plural

dimana kelompok-kelompok cultural utama berusaha mewujudkan

ksetaraan (equality) dengan budaya dominan dan mengangankan

kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat

diterima. Kepedulian pokok kelompok-kelompok cultural terakhir ini

adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak

yang sama dengan kelompok dominan. Mereka menentang kelompok

cultural dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana

suatu kelompok dapat eksis sebagai mitra sejajar.

Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif,. Yakni

masyarakat plural dimana kelompok-kelompok tidak terlalu peduli dengan

kehidupan cultural otonom, tetapi lebih menuntut penciptaan kultur

kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif

distingtif mereka.

Kelima, multikulturalisme cosmopolitan, yakni multikulturalisme

yang berusaha menghapuskan batas-batas cultural sama sekali untuk

menciptakan sebuah masyarakat dimana setiap indifidu tidak lagi terikat

dengan budaya tertentu. Sebaliknya, mereka secara bebas terlibat dalam

eksperimen-eksperimen intercultural da sekaligus mengembangkan

kehidupan cultural mereka masing-masing.Para pendukung

multikulturalisme jenis ini, yang sebagian besar adalah intelektual

diaspororik dan kelompok-kelompok liberal yang memiliki kecenderungan

posmodernis memandang seluruh budaya sebagai resources yang dapat

mereka pilih dan ambil secara bebas.13

c. Multikulturalisme Sebagai Kearifan Universal13 Alwi Sihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung :

Mizan, 1999, hal. 132

Page 14: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keaneka ragaman

budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat.

Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani

kehidupan bersama dengan melihat realitas plural sebagai kemestian hidup

yang kodrati, baik dalm kehidupan dirinya sendiri yang multidimensional

maupun dalam kehidupan masyarakat yang lebih kompleks, karenaya

muncul kesadaran bahwa keaneka rabgaman dalam realitas dinamik

kehidupan adalah suatu keniscayaan yang tidak dapat ditolak, diingkari,

apalagi dimusnahkan (Musa Asyarie, 2004)14.

Multikulturalisme sesungguhnya tidaklah dating tiba-tiba. Sebagai

suatu kearifan, multikulturalisme sesungguhnya merupakan buah dari

perjalanan intelektual yang panjang, setelah sekian lama bergulat dan

terlibat berbagai gejolak dan konflik. Karena itu, multikulturalisme bukan

mermupakan barang dagangan yang diperjual belikan kepada founding

sebagaimana yang dituduhkan oleh sejumlah kalangan yang

mencurigainya. Multikulturalisme adalah posisi inteletual yang

menyatakan keberpihakannya pada pemeknaan terhadap persamaan,

keadilan, dan kebersamaan untuk memmperkecul ruang konflik yang

distruktif15. Multikulturalisme sangat memerlukan dialektika kreatif,16

Karena itu, multikulturalisme memerlukan ruang dinamis untuk

menguji kesahihan pemikirannya sendiri dengan mengajak dan membuka

dialog dengan berbagia kalangan lintas agama, social, ekonomi, politik,

budaya, sebagai manifestasi dari filosofi multikulturalisme itu sendiri yang

selalu berusaha mejauh dari jebakan penyempitan wwasan

paradigmatiknya. Multikulturalisme harus dibagun dengan berbasis pada

pandangan filsafat yang memandang konflik sebagai fenomena permanent

yang lahir bersama-sama dengan keaneka ragaman dan perubahan yang

denagn sendirinya selalu terbawa oleh kehidupan itu sendiri, dimanapun,

kapan pun, dan siapa pun.

14Khoirul makhfud, opcit, hal. 103 15ibid, hal. 104 16 Civic Education, opcit, hal. 118

Page 15: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

Multikulturalisme memandang bahwa keanekaragaman, perubahan

dan konflik sebagai suatu yang positif utuk memperkaya spiritualitas dan

memperkuat iman. Dengan demikian, multikulturalisme eperti burung

yang mengangkasa dan melangit keluar dari batas-batas keberpihaka yang

distruktif, melintas batas konflik untuk memberikan solusi alternative yang

mencerdaskan dan mencerahkan.

Pada tahap ini, multikulturalisme sesungguhnya menjadi anugrah

dan rahmat bagi kehidupan semesta, karena memungkinkan harmoni

kehidupa semesta itu tetap terjaga, lestari dan berkesinambungan dengan

semangat berlomba-lomba dalam kebajikan dengan

menumbuhkembangkan persaingan yang sehat dan kreatif (fastabiqul

khoirot). Sebagaimana ditegaskan dalam QS. : 48, yang maknanya sebagai

berikut: “untuk tiap-tiap umat diantara kamu kami berikan aturan (syariah)

dan jalan yang terang (manhaj).sekiranya Allah swt menghendaki niscaya

kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja). Tetapi, Allah hendak menguji

kamu atas pemberian-Nya kepadamu , maka berlomba-lombalah berbuat

kebaikan. Hanya kepada Allah lah kembali kamu semuanya, lalu

diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan.17

d. Pandangan Islam Inklusif; Suatu Basis Teologis Islam Multikulturalis

Sekiranya benar apa yang telah di tuliskan oleh Malik Fadjar

bahwa,masalah penghayatan agama penting diperbincangkan kembali pada

saat kita tengah berada di penghujung abad ke-20, sebab dalam waktu

yang tidak lama lagi, kita aka memasuki millennium baru abad 21.

sebagaimana lazimnya sebuah pergantia zaman, baik dalam rentang waktu

yang pendek ataupun yang panjang, didalamnya pasti dijumpai banyak

perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupa manusia. Tidak saja

fisik, tapi juga dimensi psikologis, budaya, politik, idiologis dan lain

sebagainya.

Yang dapat kita rasakan sepintas, perubahan itu bergerak dari pola

17ibid hal.107

Page 16: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

masyarakat lama menuju pola masyarakat baru. Pencitraan secara

konseptual telah banyak diberikan oleh kalangan ilmuan social. Daniel

Bell misalnya, mengajukan post industrial society untuk menggambarkan

terjadinya pergeseran dari industri yang lebih menekankan manufaktur ke

industri yang lebih mengandalakan sector jasa (informasi).

Sebelumnya kita juga telah mengenal pencitraan oleh kalangan

ilmuan social klasik. Kita sebut di sini diantaranya, Ferdinand Tonies,

yang terkenal dengan dengan uraiannya tentang gemeinschaft, masyarakat

paguyuban (community) dan gesellschaft, masyarakat patembayan

(society). Yang lain adalah Emile Durkheim, tentang pergeseran dari

solidaritas organic kesolidaritas mekanik. Semua pencitraan bersepakat

tentang satu hal, mayarakat terus bergerak menuju perubahan. Ibnu

Kkholbun pernah mengatakan dalam bukunya yang monumental

muqoddimah, tidak ada masyarakat yang tidak berubah. Dan kita selalu

mendengar ungkapan klasik, tidak ada yang abadi di dunia kecuali

perubahan itu sendiri. Karena perubahan ini berdimensi sangat luas, tentu

saja akan berpengaruh dalam dunia keagamaan.18

Meskipun dalam banyak hal ajaran Islam bersifat abadi, tidak

terikat oleh perkembangan tempat dan waktu, tetapi ada juga ajaran islam

yang (terutama yang berhubungan kehidupan social kemasyarakatan),

selalu membutuhkan penafsiran ulang sehingga islam kontekstual dengan

perkembangan kehidupan manusia.19

Lonceng Globalisasi dan demokratisasi telah membawa perubahan

yang begitu besar dan menyangkut seluruh dimensi kehidupan umat

manusia, globalisasi disamping menciptakan suatu tatanan kehidupan

tanpa batas atau sekat ternyata disis lain juga menimbulkan kesadaran dan

kebangkitan budaya local. Kebudayaan yang telah mengakar, akan lebih

kuat bilaman berasimilasi denagn kultur setempat atau budaya local,

sehingga konflik dan kekerasan juga tak jarang ada unsur atau sumbang

18 H. A. Malik Fadjar, Fisi Pembaharuan Pendidikan Islam, LP3NI, Jakarta, cet 1, hal. 183

19Ibid, hal. 184.

Page 17: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

sih dari agama. Sebagaimana yang telah dikemukakan Ainil Yaqin, agama

seharusnya dapat menjadi pendorong bagi ummat manusia untuk selalu

menegakkan perdamaian da meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh

ummat manusia di bumi ini. Sayangnya, dalam kehidupan yang

sebenarnya, agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya

kekerasan dan kehancuran umat manusia Masih menurut Ainul

Yaqin,kenyataan pahit menyangkut kehidupan ummat beragama ini

dialami oleh berbagai pemeluk agama dan terjadi di seluruh belahan dunia.

Di Bosnia Herzagovina, ummta islam dan katolik saling

membunuh. Di Afrika, tepatnya di Nigeria, sering terjadi kontak berdarah

antara ummat Katolik dan Islam. Di irlandia utara, Ummat Kristen dan

Katolik terus saling bermusuhan hingga kini. Di timur tengah, meski

kekerasan yang timbul di kawasan ini di tengarai bukan disebabkan

perbedaan agama, akan tetapi kelompok-kelompok yang bersitegang justru

mewakili tiga jenis golongan masyarakat yang berbeda seperti Islam,

Yahudi, da Kristen dan juga wilayah Kashmir, umat Hindu dan Islam

hingga sekarang ini saling melakukan kekerasaan.20 Salah satu factor

utama penyeban terjadinya konflik keagamaan yang tdak disebutkan

dalam pembahasan diatas adalah adanya pemahaman keberagamaan yang

masih ekslusif.21 Pemahaman keberagamaan ini tidak bisa dipandang

sebelah mata karena pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang

antipati terhadap pemeluk agama lainnya.22

Islam perlu memanfaatkan momentum kebagkitan agama-agama di

dunia yang terjadi sejak decade 70-an, yang secara deferensial berbeda

dalam bentuk dan substansi dari apa yang pernah berkembang pada

pertengahan pertama abad ke-20. dari segi bentuknya agama semakin

menunjukkan kecenderungan kurang kaku dan umum (general) sebagai

lawan-lawan dari agama-agama konfensional yang particular.23 Dari segi

20 Ainul Yaqin, Hal 3421 Alwi Sihab, Opcit, hal 40 22 H. Sudarto, Konflik Islam Kristen; Menguak Akar Masalah Hubungan Antar Umat

Beragama di Indonesia, Pustaka Riski Putra, Semarang 1999, hal. 2-423 Lihat missal D.G. Jones and R.L. Richey, eds. American Civil Religion, New York :

Page 18: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

substansinya, agama-agama mulai mengupayakan realisasi komunitas

global universal dengan visi dan nasib bersama. Dalam konteks ini Islam

syogiyanya muncul sebagai agama universal, agama general yang visible

dalam wacana dan pergerakan dan geraka kepedulian terhadap kelestarian

lingkungan hidup (environmentalism).kesempatan ini pula yang tidak

boleh diabaikan oleh Islam untuk menjadi pemain utama arus perubahan

menuju perdamaian sejati.

Kita berharap, abad 21 akan menyaksikan kebagkitan sebuah

religius-spiritual global baik dalam wilayah public dan privat, meskipun

peran marginal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat

dilihat dalam kehidupan keseharian banyak penduduk dunia. Disinilah

tingkat segnifikansi setiap agama untuk mengembangkan dan menguji

kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini, tak

terkecuali Islam sebagai agama dengan mayoritas pengikut di Indonesia.

Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban besar di dunia

sudah masuk ke nusantara sejak abad 7 dan terus berkembang hingga kini.

Ia telah memberikan sumbangsih bagi keaneka ragaman kebudayaan local

Nusantara. Islam tidak hanya hadir dalam bentuk tradisi agung (great

tradition) bahkan memperkaya pluralitas dengan islamisasi kebudayaan

dan pribumisasi islam yang pada gilirannya banyak melahirkan tradisi-

tradisi kecil (little traditions) Islam. Berbagai warna islam dari aceh dan

melayu, jawa, sunda, sasak, bugis da sebagainya riuh rendah memberikan

corak tertentu kemajemukan, yang akibatnya bisa berwajah ambigu.

Di satu sisi dengan keragamannya Islam berjasa bagi pnciptaan

landasan kehidupan bersama dalam konteks bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara; Islam menawarkan norma-norma, sikap dan nilai-nilai yang

dapat memperluas relasi damai diantara komunitas-komunitas etnik,

Harper and Row. 1974, hal. 3. mengahiri abad 20, kita menyaksiakan suatu minat baru terhadap potensi nilai-nilai keagamaan tradisional untuk memecahkan persoalan global berkaitan dengan identitas cultural di dunia modern. Hampir terjadi diseluruh dunia, penduduk bumi kembali pada kitab suci dan mitos-mitos kuno mereka dalam rangka mencari gagasan-gagasan yang mendorong, misalnya, sikap protektif terhadap alam. Di sana juga disaksikan suatu kepedulian yang semakin meluas untuk memperbaiki suatu keseimbangan etis antara manusia dan kebutuhan-kebutuhan relasionalnya dalam masyarakat tekniologi tngkat tinggi.

Page 19: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

budaya dan agama. Sejumlah kajian sosiologis dan antropologis telah

menunjukkan potensi pandangan dunia agama (baca Islam) untuk

mereduksi ketegangan dan menyediakan solusi nirkekerasan terhadap

konflik dalam berbagai setting cultural.

Dan secara langsung atau tidak langsung keragaman Islam juga

dapat menyumbang potongan-potongan kayu dalam kobaran api konflik,

ketegangan dan friksi antar kelompok yang terus membesar disisi

lain.Dalam situasi konflik komunal yang berkepanjangan inilah, Islam

perlu meredefinisi kehadirannya dalam konteks keragaman agama dan

budaya, sekaligus menawarkan suatu harapan dan perspektif k keagamaan

baru bahwa Islam seraut wajah yang tersenyum (smilling face of Islam),

damai dan nirkekerasan. Islam perlu memberikan nuansa paradigmatic.24

Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan kepada

semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama,

menuju satu cita-cita bersama kesatuan kkemanusiaan (Unity of

Humankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan

agama. Karena umat manusia itu tak ubahnya waktu, keduanya maju tak

tertahankan. Dan sama seperti tak ada jam yang tertentu yang mendapat

kedudukan khusus, begitu pula tak ada satupun orang, kelompok, ataupun

bangsa manapun yang dapat membanggakan diri sebagai diistimewakan

Tuhan (no chosen people), Al quran tealh memuat proposisi tentang

ktiadaan manusia baik secara pribadi maupun komunal yang terlahir

sebagai mahluk yang memiliki potensi yang lebih atas manusia lain, tak

ada satu pun manusia yang terlahir atau tercipta sebagai tuhan bagi yang

lain, pengakuan terhadap suatu suku, ras, darah, keturunan ataupun apapun

bentuknya bila manamengarah pada satu pendiskriditkan atas akomunitas

lain lain adalah suatu pengingkatra atas prinsip taukhid, dimana taukhid

merupakan suatu konsep keagamaan dalam islam yang menempati pssisi

wahid, pengingkaran atas pandangan taukhid adalah suatu penekutuan.

Sebagimana ala quran telah meberikan kerangka normative yang jelas

24 Zakiyyudin Baidhowi, Opcit, hal. 43-44

Page 20: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME

dalam menbagun tata kehidupan social kemasyarakatan:

“katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan).

Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multicultural

(kalimatussawa) antara kami dan kamu”25 (Q.S Ali Imron 3: 64)

Dari kutipan ayat al Quran di atas, membangun pandangan

teologis yang lebih mengahargai perbedaan adalah mutlak diperlukan,

lebih-lebih dalam konteks sebuah bangsa yang relative plural, kebutuhan

akan kesadaran keberagamaan yang inklusif-plurlis dan bahkan

multikulturalis adalah salah satu pilar bagi terciptanya perdamaian.

Pandangan kebeagamaan multikulturalis setidaknya akan mengantarkan

bagi pemeluknya untuk lebih ramah perbedaan, baik menyangkut seputar

penyikapan heterogenitas rasioal, kemajemukan budaya, adat istiadat dan

bahasa yang merupakan kenyataan social tak terbantahkan, yang hadir

ditengah kehidupan social umat manusia..

Memang kemajemukan merupakan nilai plus bagi sebuah bangsa

untuk lebih bisa maju dan berkembang menjadi bangsa, akan tetapi juga

menyimpan konfik potensial bagaikan bom waktu yang kapan saja bisa

meledak dengan memanasnya suhu politik, kepentingan ekonomi, foktor

pertentangan dan perselisiskhan mengenai pemahaman agama, perang suci

dan motifmotf lainnya yang dapat memberikan sumbangan bagi

terselutnya konflik social.

25Prof. R.H.A. Soenarjo S.H.Depag RI, Al-Quran Dan terjemahannya, Depag RI Jakarta, 1996, hal 65

Page 21: ARKEOLOGI KONSEP MULTIKULTURALISME