7
Budaya Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut Rangkuman: Indonesia sebagai Negara kepulauan terluas di dunia memiliki potensi kelautan yang begitu besar. Sejarah juga mencatat bagaimana nenek moyang nusantara dulu menggantungkan hidupnya pada laut. Budaya laut yang dulu pernah menjadi ikon kebanggaan negeri khatulistiwa ini kini lenyap. Menjadikan negeri ini kehilangan jati dirinya dan tidak dapat menerima fitrahnya sebagai negeri bahari. Padahal laut adalah masa pdepan yang begitu gemilang apabila kita tidak hanya menjadi pemilik atau tuan rumah tetapi juga menjadi penguasa. Untuk itu diperlukan kerja sama dari berbagai pihak yang kondusif dan terintegrasi dengan baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara maritim yang kuat dan mandiri.

Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

  • Upload
    arrossy

  • View
    92

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

Budaya

Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

Rangkuman:

Indonesia sebagai Negara kepulauan terluas di dunia memiliki potensi kelautan yang

begitu besar. Sejarah juga mencatat bagaimana nenek moyang nusantara dulu

menggantungkan hidupnya pada laut. Budaya laut yang dulu pernah menjadi ikon kebanggaan

negeri khatulistiwa ini kini lenyap. Menjadikan negeri ini kehilangan jati dirinya dan tidak

dapat menerima fitrahnya sebagai negeri bahari. Padahal laut adalah masa pdepan yang begitu

gemilang apabila kita tidak hanya menjadi pemilik atau tuan rumah tetapi juga menjadi

penguasa. Untuk itu diperlukan kerja sama dari berbagai pihak yang kondusif dan terintegrasi

dengan baik untuk mewujudkan Indonesia sebagai Negara maritim yang kuat dan mandiri.

Page 2: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

2

Indonesia merupakan Negara kepulauan. Lebih dari 17.000 pulau yang tersebar berikrar

untuk berbangsa satu bangsa Indonesia dan berbahasa satu bahasa Indonesia. Laut yang

tampak memisahkan antar pulau justru dianggap sebagai pemersatu bangsa yang harus dijaga

sebagai wilayah kekuasaan. Laut mendominasi hingga hampir dua pertiga wilayah kedaulatan

NKRI. Itu artinya selama ini kita berpijak di atas seonggok tanah yang kita sebut pulau di

tengah lautan yang luas. Maka sudah sepantasnya Indonesia menjadi bangsa pelaut, bangsa

yang mengangkat harkat dan martabat bangsanya dengan cara menyingsingkan lengan baju

mencari kemuliaan di tengah lautan.

Indonesia menyandang predikat Negara maritim dalam waktu yang cukup lama. Pelaut

nusantara telah menorehkan prestasinya dalam mengarungi samudera pasifik dan samudera

hindia. Pada abad ke-13 para pelaut bugis sebagaimana tercatat dalam kisah Sawerigading

dalam naskah La Galigo terus melakukan ekspedisi lautnya hingga ke Madagaskar. Maka

tidak mengherankan bila Ferdinand Magellan merekrut beberapa anak buah kapalnya dari

para pelaut nusantara dalam perjalanan ekspedisi keliling dunia pada 1519 – 1522.

Kesuksesan dalam perdagangan international pun tercatat dalam banyak jurnal sejarah.

Misalkan Sungai Berantas, Sungai Solo, Sungai Musi, dan Sungai Kampar yang pernah

menjadi tempat singgahnya kapal-kapal untuk bongkar muat. Posisi geografis Indonesia yang

strategis memberikan keuntungan tersendiri untuk pelayaran dan perdagangan mulai masa

Kerajaan Jepara, Majapahit, Mataram, Sriwijaya, dan juga kerajaan-kerajaan yang tersebar

dari Sabang sampai Merauke.

Dalam bukunya ‘Al – Quran dan Lautan’, Agus S. Djamil menuliskan bahwa seorang

pelaut bugis bernama Amanna Gappa pada 1676 menyusun sebuah hukum laut berupa

kumpulan peraturan pelayaran dan perdagangan. Sebuah prestasi terukir dari pelaut nusantara

dalam pasal-pasal dengan tujuan agar para pelaut memiliki kode etik pelayaran, tata krama,

dan peraturan kelautan yang sehat. Tidak hanya itu, gemilang peradaban laut pada masa nenek

moyang kita diabadikan oleh kapal pinisi yang terkenal dan kapal samudraraksa yang telah

dibuat replikanya dan mampu membawa anak-anak nusantara menyusuri tapak tilas jalur

ekspedisi petualangan nenek moyang menaklukan lautan.

Budaya pelaut yang sarat akan wawasan bahari terus tergerus zaman dan terlupakan.

Warisan watak pemberani dan haus akan tantangan dari nenek moyang terhapus oleh

modernisasi global. Sikap kepemimpinan dan kerjasama tidak lagi dimiliki oleh pemuda-

pemuda kita. Cerminan masyarakat kita yang terbelakang dan terpuruk dalam keputusasaan

sangat jauh berbeda dengan pelaut-pelaut nusantara yang ulet, cekatan, dan pantang

Page 3: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

3

menyerah. Produktifitas bangsa ini menurun tajam hilang menjadi sikap konsumtif karena

teknologi yang membuat kita terlena.

Kini bangsa pelaut tidak lagi menguasai lautannya sendiri. Kita berhenti pada tingkatan

pemilik lautan tetapi membiarkan bangsa-bangsa lain mengeruk mutiara keuntungan dari

dalamnya. Negara kepulauan Filipina yang jauh lebih kecil dari Indonesia mendapatkan

pendapatan devisa negara sebesar US$ 700 dari hasil pengolahan rumput laut yang 65%

bahan baku rumput lautnya didapatkan dari Sulawesi. Riau yang memiliki jutaan barel

minyak bumi, masyarakatnya tidak bisa merasakan keuntungan yang terus digali oleh

perusahaan-perusahaan asing yang secara de facto menguasai ladang-ladang minyak di sana

untuk dipasok ke San Fransisko.

Paradigma kita selama ini tentang laut sangat memprihatinkan. Bahwa laut adalah jahat,

tempat menakutkan, akhir perjalanan, dan tidak ada yang bisa dilakukan di laut. Orientasi kita

sebagai generasi bangsa terus berkiblat pada teknologi dan industri negara-negara Eropa yang

terbatas pada daratan. Maka bukanlah hal yang mengherankan jika Indonesia banyak

kehilangan pulaunya (pulau Sipidan dan Ligitan, red), kasus sengketa ambalat, dan jutaan ton

ikan dicuri oleh nelayan-nelayan dari Thailand, Cina dan Jepang. Tidak ada yang disalahkan

kecuali diri kita sendiri yang telah melupakan hakikat kita sebagai bangsa pelaut dan Negara

kepulauan terluas di dunia.

Paranoid terhadap lautan membuat kita tidak bisa memajukan dunia maritime Indonesia.

Daniel Mohamad Rosyid (guru besar Fakultas Teknologi Kelautan ITS) mengatakan bahwa

potensi ekspor ikan tuna Indonesia mencapai 25% dari total produksi dunia atau 160.000 ton

per tahunnya, sedangkan kita selama ini hanya mengirimkan sekitar 5000 ton saja tiap

tahunnya. Hal ini tentunya belum termasuk total sumber daya perikanan Indonesia yang

diperkirakan mencapai 6,2 juta ton per tahunnya yang sampai saat ini masih dimanfaatkan

sebesar 62% saja (Pulitbang Oseanologi LIPI).

Begitu luas laut kita dan begitu banyak karunia yang bisa kita ambil untuk merubah

nasib bangsa kita. Mulai dari bahan tambang dan mineral, minyak dan gas bumi, sarana

trasnportasi, budidaya perikanan, ladang rumput laut, pertahanan nasional, dan konservasi laut

serta wisata bahari yang notabene sampai sekarang belum termanfaatkan secara optimal. Kita

juga bisa mendapatkan energi alternatif dari laut kita yang ramah lingkungan dan memiliki

efisiensi serta efektivitas yang tinggi untuk mengurangi ketergantungan kita pada bahan bakar

fosil dan untuk mengatasi kesenjangan distribusi keperluan energy di negeri kita.

Sayangnya di Indonesia sendiri belum ada penelitian siginifikan tentang konversi

energy laut baik itu angin, pasang surut, ombak, atau panas laut. Proyek PLTO dengan

Page 4: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

4

Oscillating Water Column di Parangracuk milik BPPT pun belum memuaskan karena

kapasitas listrik yang dihasilkan tidak ekonomis dibandingkan dengan biaya instalasi. Bahkan

penelitian besarnya energi atau daya ombak untuk sebagaian besar pantai belum pernah

dilakukan. Berbeda dengan California, Kanada, Portugal, Norwegia, Amerika Serikat, Cina,

Jepang, Australia, dan Inggris yang sudah bisa merasakan keuntungan dari PLTO. Untuk

Indonesia sendiri PTLO begitu menjanjikan karena ombak dengan tinggi 1,5 meter dan

periode 10 detik yang menghasilkan gelombang pecah setinggi 1,5 meter bisa memberikan

tenaga sebesar 35.000 HP sedangkan Indonesia diliputi lautan penuh ombak. Listrik yang

dihasilkan dapat disalurkan ke desa-desa pesisir terpencil atau untuk penerangan lokal

prasarana laut seperti pelabuhan atau mercusuar. Tentunya hal ini sangat sesuai dengan

kebijakan pemerintah tentang listrik masuk desa.

Tabel 1. Perbandingan Kontribusi Sektor Kelautan Beberapa Negara

No Nama NegaraPanjang

Pantai (km)

LuasPerairan

(km2)

Kontribusi Sektor KelautanTerhadap GDP

(%) Nilai

1 Amerika Serikat 19.000 32 US$ 280 miliar (1995)2 Korea Selatan 2.713 37 US$ 147 miliar (1992)3 RRC 32.000 3 juta 48,4 US$ 174 miliar (1999)4 Indonesia 81.000 5,8 juta 20 US$ 18,9 miliar (1998)

5 Jepang 34.386 54 US$ 214 miliar (1992)Sumber: Kusumastanto, 2002

Tidak diragukan lagi laut adalah masa depan yang cerah untuk bangsa kita dan tidak

boleh kita sia-siakan apalagi kita biarkan bangsa asing menguasainya. Titik cerah sudah kita

dapatkan dengan dibentuknya Departemen Kelautan dan Eksplorasi Kelautan (sekarang

Kementrian Kelautan dan Perikanan) oleh mantan Presiden Bapak Abdurrahman Wahid pada

tahun 1999 yang pada hari yang sama pada tahun 1980 dilakukan pewacanaan Indonesia

sebagai Negara maritim. Ini merupakan langkah strategis sekaligus harapan untuk

memulihkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Tidak ada keraguan lagi

untuk para pengambil keputusan melakukan pergeseran paradigma pembangunan nasional

yang selama ini berbasis daratan pada pembangunan nasional berbasis kelautan. Sesuai

dengan ajakan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Dr. Ir. Rokhmin Dahuri untuk

mengelola laut kita dengan baik dan bermanfaat secara ekologi, sains, ekonomi, dan sosial

politik.

Konsistensi pemerintah dalam mengelola laut sebagai wilayah kedaulatan dirasa oleh

penulis selama ini masih kurang. Meskipun Kementrian Kelautan dan Perikanan telah

dibentuk, namun ini memang kebutuhan mendasar untuk melakukan proses perubahan dalam

Page 5: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

5

kebijakan pembangunan nasional. Satu pertanyaan besar adalah apakah sebuah departemen

mampu memanfaatkan potensi kelautan dan perikanan yang begitu besar tanpa keterkaitan

dan koordinasi dengan institusi Negara lainnya? Oleh karena itu diperlukan sebuah keputusan

dan komitmen yang tinggi dari pemerintah untuk melakukan kebijakan kelautan (ocean

policy) sebagai arus utama dalam sektor ekonomi untuk pembangunan nasional tanpa harus

meninggalkan potensi ekonomi lainnya. Dimana kebijakan ini akan dituangkan dalam visi

bersama semua level institusi Negara.

Beberapa alasan mengapa ocean policy perlu dilakukan karena sektor kelautan

merupakan sektor yang tertinggal dilihat dari rendahnya tingkat pemanfaatan sumberdaya dan

teknologi, tingkat kemiskinan dan keterbelakangan kelompok nelayan jauh labih rendah

dibandingkan dengan kelompok sosial lainnya, peluang kerja yang rendah, minat investasi

yang kurang karena membutuhkan jumlah pendanaan yang besar dan memiliki resiko yang

tinggi walaupun juga menjanjikan keuantungan yang menarik. Dan 60% penduduk Indonesia

adalah masyarakat pesisir yang berdesakan mencari rejeki di sepertiga wilayah Indonesia

yang tidak lain adalah daratan tempat kita tinggal.

Kita jangan hanya bangga menjadi negara swasembada pangan dan kebutuhan pertanian

dengan pola pikir pertanian – domestik dalam potensi Indonesia sebagai Negara agraris yang

mengandalkan daratan seluas 20% wilayah territorial NKRI. Hasil pertanian yang melimpah

tidak akan menyejahterakan masyarakat tanpa adanya kemampuan untuk memperdagangkan

hasil panen dan olahannya seperti yang dialami para petani kita yang produknya kalah saing

dengan produk asing. Apalagi wilayah daratan itu terus terancam dengan berbagai proyek

pembangunan properti, pusat pembelanjaan, dan perkantoran. Kemampuan pola pikir

antarpulau dan lintas lautan harus kita asah untuk mengoptimalkan wilayah sebesar 80%

berupa lautan yang berada pada urat nadi pelayaran serta perekonomiaan dunia.

Tidak berlebihan jika Indonesia dikatakan sebagai Negara terunik di dunia.

Geografisnya yang khas berada di antara dua samudera dan dua benua, kawasan laut yang

jauh leblih luas dibanding daratan, dan heterogenitas etnis yang tinggi terangkum dalam

bhineka tunggal ika. Sehingga kita tidak bisa mengambil acuan dari bangsa manapun dalam

pembangunan dunia maritim kita. Semangat kreatifitas, inovasi, dan kepeloporan mutlak

dibutuhkan dari para penerus peradaban bangsa ini. Kerja sama para cendekiawan dari segala

disiplin ilmu harus mulai dilakukan dalam tim sukses pembangunan nasional Indonesia untuk

keunggulan kemaritiman kita. Sehingga mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang kuat

dan mandiri bukan lagi sekedar khayalan.

Page 6: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

6

‘Blue print’ sebagai rancangan tindakan pembangunan nasional berbasis kelautan

tentunya telah dilakukan oleh pemerintah. Mulai dari pemetaan wilayah lautan dan kepulauan

RI, pertahanan dan keamanan perairan Indonesia, termasuk juga kajian teknologi dan sains

untuk pengembangan kelautan, serta undang-undang kelautan nusantara. Namun yang belum

dirasakan kehadirannya adalah pendidikan nasional berwawasan kelautan. Hal ini sangat

diperlukan untuk memberdayakan seluruh elemen masyarakat sesuai dengan kapasitas dan

kemampuannya. Mengajak masyarakat sadar lautan dengan edukasi dan sosialisasi wawasan

bahari khususnya pada generasi muda untuk menimbulkan rasa ketertarikan dan peduli laut.

Mengingat anak bangsa adalah agen of change sebagai kader-kader bangsa yang akan

menjadi pemimpin di segala lini kehidupan nantinya.

Langkah strategis untuk memenuhi kewajiban dalam mengoptimalkan pemanfaatan

kelautan untuk kedaulatan bangsa adalah menanamkan budaya melaut kepada khalayak

penduduk Indonesia. Usaha ini bisa disiasati dengan memberdayakan peran serta lembaga

sosial keagamaan atau non pemerintah lainnya untuk menghasilkan kader pelaut bangsa yang

berprinsip kuat, memiliki kecerdasan spiritual, berjiwa kepemimpinan, dan mengabdi kepada

tanah airnya. Peringatan Hari Kelautan Nasional dirasa penulis perlu untuk dipertimbangkan

pemerintah sebagai salah satu senjata membawa masyarakat Indonesia pergi ‘melaut’.

‘Melaut’ untuk sektor perikanan, pariwisata bahari, pertambangan laut, industri maritim,

perhubungan laut, bangunan kelautan, dan jasa kelautan. Sehingga laut dalam era otonomi

daerah di tengah maraknya pasar bebas bisa mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan

makmur.

Menanamkan budaya laut pada masyarakat bisa juga memanfaatkan media. Misalkan

saja penerjemahan kisah Sawerigading dalam naskah La Galigo yang memuat kisah-kisah

petualanan pelaut nusantara dan wawasan kelautan. Sama halnya dengan penerjamahan novel

‘Nelayan di Lautan Utara’ yang memberikan nuansa bahari dengan gaya bahasanya yang khas

dan menarik. Upaya-upaya seperti ini hendakanya dilakukan oleh siapa saja yang merasa

peduli dan sadar lautan serta memiliki kemampuan untuk melakukannya. Pendekatan bisa

dilakukan dengan menyisipkan cerita cinta dan persahabatan ala remaja agar memberikan

ketertarikan pada geberasi muda untuk membacanya. Dan dalam jangka waktu panjang

diharapkan dapat memberikan stimulus kepada mereka merubah pola pikir daratan yang

cenderung tertutup (inland minded) menjadi pola pikir yang terbuka dan luas menyibak

cakrawala nusantara.

Page 7: Aris-Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

7

Biodata

Judul Naskah : Karena Nenek Moyangku Seorang Pelaut

NAMA PENULIS : Aris Bagoes Maladhi

Tempat & Tanggal Lahir : Jember, 11 Januari 1989

Nama Perguruan Tinggi : ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember)

Nama Fakultas, Jurusan : Fakultas Teknologi Kelautan, Teknik Kelautan

Domisili (Alamat Surat) : Perum. Bumi Mangli Permai CB.17 Jember, Jawa Timur

Alamat Email : [email protected]

Telepon : -

Ponsel : 085649387602