42
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui. Apendiks disebut umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan dengan istilah usus buntu , karena usus buntu sebenarnya caecum. Apendisitis merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai factor. Diantaranya hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing ascaris,dapat juga menimbulkan penyumbatan. Insiden apendisitis ini lebih tinggi pada Negara maju daripada Negara berkembang, namun dalam 3-4 dasawarsa terakhur menurun secara bermakana, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000. Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu Negara berkembang berubah menjadi makan kurang serat. Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita, meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja awal tahun 20- an, sedangkan angka ini menurun pada menjelan dewasa. Insiden apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber, sedangkan

Appendiksitis Fix Konsul

Embed Size (px)

DESCRIPTION

appendiksitis

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Apendisitis adalah suatu radang yang timbul secara mendadak pada

apendiks dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering

ditemui. Apendiks disebut umbai cacing. Apendisitis sering disalah artikan

dengan istilah usus buntu , karena usus buntu sebenarnya caecum. Apendisitis

merupakan radang bakteri yang dicetuskan berbagai factor. Diantaranya

hyperplasia jaringan limfe, fekalith, tumor apendiks, dan cacing ascaris,dapat

juga menimbulkan penyumbatan.

Insiden apendisitis ini lebih tinggi pada Negara maju daripada Negara

berkembang, namun dalam 3-4 dasawarsa terakhur menurun secara

bermakana, yaitu 100 kasus tiap 100.000 populasi menjadi 52 tiap 100.000.

Kejadian ini mungkin disebabkan perubahan pola makan, yaitu Negara

berkembang berubah menjadi makan kurang serat.

Menurut data epidemiologi apendisitis akut jarang terjadi pada balita,

meningkat pada pubertas, dan mencapai puncaknya pada saat remaja awal

tahun 20-an, sedangkan angka ini menurun pada menjelan dewasa. Insiden

apendisitis sama banyaknya antara wanita dan laki-laki pada masa prapuber,

sedangkan pada masa remaja dan dewasa muda rationya 3:2, kemudian angka

yang tinggi ini menurun pada pria.

Dari berbagai penelitian yang telah dlakukan, obstruksi merupakan

penyebab yang dominan dan merupakan pencetus untuk terjadinya apendisitis.

Kuman yang merupakan flora normal pada usus dapat berubah menjadi

pathogen.

Di dalam makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Apendisitis” akan

membahas seputar gangguan pencernaan pada apendiks atau biasa dikenal

dengan apendisitis yang meliputi pengertian, etiologi, patofisiologi,

manifestasi klinis, penatalaksanaan, komplikasi, pathway, dan asuhan

keperawatannya.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana gambaran tentang konsep penyakit apendisitis ?

2. Bagaimana pengkajian pasien dengan apendisitis ?

3. Apa diagnosa keperawatan untuk pasien dengan apendisitis ?

4. Apa intervensi untuk pasien dengan apendisitis ?

1.3. Tujuan

1.3.1. Tujuan umum

Untuk memperoleh gambaran tentang pelaksanaan asuhan

keperawatan pada pasien apendisitis

1.3.2. Tujuan khusus

1. Mendapatkan gambaran tentang konsep penyakit apendisitis ?

2. Mampu membuat pengkajian pada pasien dengan apendisitis ?

3. Mampu menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan

apendisitis ?

4. Mampu membuat intervensi pada pasien dengan apendisitis ?

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Usus besar atau kolon yang panjangnya kira-kira satu setengah meter,

adalah sambungan dari usus halus dan mulai di katup ileokolik atau ileoseka,

yaitu tempat sisa makanan lewat, dimana normalnya katup ini tertutup dan

akan terbuka untuk merespon gelombang peristaltik dan menyebabkan

defekasi atau pembuangan. Usus besar terdiri atas empat lapisan dinding yang

sama seperti usus halus. Serabut longitudinal pada dinding berotot tersusun

dalam tiga jalur yang memberi rupa berkerut-kerut dan berlubang-lubang.

Dinding mukosa lebih halus dari yang ada pada usus halus dan tidak

memiliki vili. Didalamnya terdapat kelenjar serupa kelenjar tubuler dalam

usus dan dilapisi oleh epithelium silinder yang memuat sela cangkir.

Usus besar terdiri dari :

1. Sekum

Sekum adalah kantung tertutup yang menggantung dibawah area katup

ileosekal. Apendiks vermiformis merupakan suatu tabung buntu yang

sempit, berisi jaringan limfoid, menonjol dari ujung sekum.

2. Kolon

Kolon adalah bagian usus besar, mulai dari sekum sampai rektum. Kolon

memiliki tiga bagian, yaitu :

a. Kolon asenden

Merentang dari sekum sampai ke tepi bawah hatti sebelah

kanan dan membalik secara horizontal pada fleksura hepatika.

b. Kolon transversum

Merentang menyilang abdomen dibawah hati dan lambung

sampai ke tepi lateral ginjal kiri, tempatnya memutar kebawah pada

flkesura splenik.

c. Kolon desenden

Merentang ke bawah pada sisi kiri abdomen dan menjadi

kolon bsigmoid berbentuk S yang bermuara di rektum.

3. Rektum

Rektum Adalah bagian saluran pencernaan selanjutnya dengan

panjang 12 sampai 13 cm. Rektum berakhir pada saluran anal dan

membuka ke eksterior di anus.

Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira

10 cm (4 inci), lebar 0,3 - 0,7 cm dan isi 0,1 cc melekat pada sekum tepat

dibawah katup ileosekal. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu : taenia anterior,

medial dan posterior. Secara klinis, apendiks terletak pada daerah Mc.Burney

yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan spina iliaka anterior

superior kanan dengan pusat. Lumennya sempit dibagian proksimal dan

melebar dibagian distal.

Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada

pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Persarafan parasimpatis pada

apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesentrika

superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari

nervus torakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula

disekitar umbilikus.

Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya

dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Lendir dalam

apendiks bersifat basa mengandung amilase dan musin. Immunoglobulin

sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue)

yang terdapat disepanjang saluran cerna termasuk apendiks ialah IgA.

Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai perlindungan terhadap

infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi

sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfa disini kecil sekali jika

dibandingkan dengan jumlahnya disaluran cerna dan diseluruh tubuh.

Apendiks berisi makanan dan mengosongkan diri secara teratur kedalam

sekum. Karena pengosongannya tidak efektif dan lumennya cenderung kecil,

maka apendiks cenderung menjadi tersumbat dan terutama rentan terhadap

infeksi ( Sjamsuhidayat, 2005).

2.2. Pengertian

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua

umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki

berusia 10 sampai 30 tahun (Mansjoer, 2005). Sedangkan menurut Smeltzer C.

Suzanne (2002), Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut

pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen dan merupakan penyebab

paling umum untuk bedah abdomen darurat. Jadi, dapat disimpulkan

apendisitis adalah kondisi dimana terjadi infeksi pada umbai apendiks dan

merupakan penyakit bedah abdomen yang paling sering terjadi.

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan

apendisitis kronik (Sjamsuhidayat, 2005).

1. Apendisitis akut.

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari

oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat,

disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gajala

apendisitis akut talah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan

nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering

disertai mual dan kadang muntah. Umumnya nafsu makan menurun.

Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ketitik mcBurney. Disini nyeri

dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri

somatik setempat

2. Apendisitis kronik.

Diagnosis apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ditemukan

adanya : riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang

kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria

mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding

apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan

parut dan ulkus lama dimukosa , dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden

apendisitis kronik antara 1-5%.

2.3. Etiologi

Apendisitis akut merupakan merupakan infeksi bakteria. Sumbatan lumen

apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping

hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris dapat

pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan

apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica.

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan

rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat timbulnya

sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora

kolon biasa. Semuanya ini mempermudah timbulnya apendisitis akut.

(Sjamsuhidayat, 2005).

2.4. Patofisiologi

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat

peradangan sebelumnya, atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan

mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Semakin lama mucus

tersebut semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai

keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen

Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat

inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Bila

sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

menyebkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus

dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat

sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut

apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi

infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut

dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan

terjadi apendisitis perforasi.

Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang

berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa lokal

yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan pada apendiks tersebut dapat

menjadi abses atau menghilang. Pada anak-anak, kerena omentum lebih

pendek dan apendiks lebih panjang, maka dinding apendiks lebih tipis.

Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang

sehingga memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua,

perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer,

2005).

2.5. Manifestasi Klinik

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala yang khas yang didasari oleh

radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat. nyeri

kuadran bawah terasa dan biasanya disertai oleh demam ringan, mual, muntah

dan hilangnya nafsu makan. Pada apendiks yang terinflamasi, nyeri tekan dapat

dirasakan pada kuadran kanan bawah pada titik Mc.Burney yang berada antara

umbilikus dan spinalis iliaka superior anterior. Derajat nyeri tekan, spasme otot

dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya

infeksi dan lokasi apendiks. Bila apendiks melingkar dibelakang sekum, nyeri

dan nyeri tekan terasa didaerah lumbal. Bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-

tanda ini dapat diketahui hanya pada pemeriksaan rektal. nyeri pada defekasi

menunjukkan ujung apendiks berada dekat rektum. nyeri pada saat berkemih

menunjukkan bahwa ujung apendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter.

Adanya kekakuan pada bagian bawah otot rektus kanan dapat terjadi. Tanda

rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang

secara paradoksial menyebabkan nyeri yang terasa dikuadran kanan bawah.

Apabila apendiks telah ruptur, nyeri menjadi menyebar. Distensi abdomen

terjadi akibat ileus paralitik dan kondisi pasien memburuk.

Pada pasien lansia, tanda dan gejala apendisitis dapat sangat bervariasi.

Tanda-tanda tersebut dapat sangat meragukan, menunjukkan obstruksi usus

atau proses penyakit lainnya. Pasien mungkin tidak mengalami gejala sampai

ia mengalami ruptur apendiks. Insidens perforasi pada apendiks lebih tinggi

pada lansia karena banyak dari pasien-pasien ini mencari bantuan perawatan

kesehatan tidak secepat pasien-pasien yang lebih muda (Smeltzer C. Suzanne,

2002).

2.6. Penatalaksanaan

Pembedahan diindikasikan bila diagnosa apendisitis telah ditegakkan.

Antibiotik dan cairan IV diberikan serta pasien diminta untuk membatasi

aktivitas fisik sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan

setelah diagnosa ditegakkan. Apendiktomi (pembedahan untuk mengangkat

apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum atau spinal, secara

terbuka ataupun dengan cara laparoskopi yang merupakan metode terbaru yang

sangat efektif. Bila apendiktomi terbuka, insisi Mc.Burney banyak dipilih oleh

para ahli bedah.

Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan

observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan

bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila terdapat laparoskop,

tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera

menentukan akan dilakukan operasi atau tidak (Smeltzer C. Suzanne, 2002).

2.7. Komplikasi

Komplikasi utama apendisitis adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses. Insidens perforasi adalah 10%

sampai 32%. Insidens lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara

umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan

suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksik, dan nyeri atau nyeri tekan

abdomen yang kontinyu (Smeltzer C.Suzanne, 2002).

2.8. Pathway

Fekalit, bolus ascaris, benda asing, dan jarigan perut

Obstruksi pada lumen appendiks

Ketidak seimbangan antara

produksi dan ekskresi mucus

Migrasi bakteri dari colon ke

appendiks

Peningkatan intra

Arteri terganggu Terhambatnya aliran lmfe Obstruksi vena

Edema dan ulserasiTerjadinya infark pada

ususNyeri epigastrium

Edema & peningkatan

tekanan intra lumen

Nyeri akutNekrosis appendiks

ganggren Peradangan pada dinding appendiks

Appendiks

ganggrenosa

Peradangan meluas ke

peritonium

Mual & muntah Mekanisme

kompensasi tubuh

Pembedahan Absorbsi makanan

tiddak adekuat,

pengeluaran carian

aktif

Leukusit &

suhu tubuh

Hipertermi

Cemas pasien &

keluarga,

pengungkapan

cemas

Luka insisi

post bedah

Resiko tinggi

infeksi

Nyeri saat ekstremitas

kanan digerakan, saat

istirahat dan

beraktifitas

Resiko volume cairan

kurang dari

kebutuhan

Resiko nutrisi

kurang dari

kebutuhan

Nyeri akut pada

luka post bedah

Intoleransi aktivitas

Kurang pengetahuan cemas

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian

3.1.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. W

Alamat : Krasihan RT. 03 RW. 06 Baki, Sukoharjo

Umur : 31 tahun

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Pendidikan : SLTA.

Diagnosa Medis : Apendisitis Akut

Penanggung Jawab : Ny. J yang merupakan ibu Ny. W.

Tanggal Masuk RS : 25 April 2013

Tanggal Pengkajian : 25 April 2013

3.1.2 Riwayat Kesehatan

a) Keluhan Utama

Klien mengatakan nyeri perut bagian kanan bawah dirasa sejak

kurang lebih satu tahun yang lalu.

b) Riwayat Kesehatan Sekarang

Klien mengeluh nyeri perut post operasi, nyeri dirasa timbul saat

bergerak, kualitas nyeri perih dan terasa panas seperti ditusuk-

tusuk, skala nyeri 4 (0-10), dan nyeri hilang timbul, klien tampak

lemah.

c) Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengatakan tidak mempunyai riwayat penyakit apendisitis

sebelumnya, juga tidak pernah mengalami kecelakaan, dirawat di

rumah sakit, ataupun menjalani operasi hanya sakit biasa seperti

demam, pilek, dan batuk.

d) Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan keluarganya tidak ada yang mempunyai

penyakit apendisitis, dan salah satu keluarga yang mempunyai

penyakit keturunan yaitu diabetes militus diderita kakek dan

neneknya.

3.1.3 Pola Kesehatan Fungsional

a) Pola eliminasi Buang Air Kecil (BAK)

- Sebelum sakit BAK ±7 kali sehari, warna kuning, berbau khas.

- Selama sakit pasien mengatakan merasakan nyeri luka post

operasi sehingga belum bisa melakukan toileting secara mandiri,

BAK dengan terpasang Dower Cateter ± 1000 cc per hari, warna

kuning, berbau khas.

b) Pada pola aktivitas dan latihan

- Sebelum sakit mampu melakukan aktivitas harian dengan

mandiri

- Selama sakit mengatakan untuk aktivitas, makan, dan berpindah

dibantu orang lain, untuk toileting dibantu dengan alat.

c) Pada pola perceptual

- Sebelum sakit pasien mengatakan tidak mengalami gangguan

kesadaran, gangguan pendengaran, ataupun gangguan

penglihatan

- Selama sakit pasien mengatakan tidak ada gangguan kesadaran,

gangguan pendengaran, ataupun gangguan penglihatan namun

pada luka post operasi apendiktomi terasa nyeri, nyeri dirasa

saat bergerak, kualitas nyeri seperti ditusuk-tusuk, diperut kanan

bawah kuadran 4, skala nyeri 4 (0-10), nyeri hilang timbul. Ny.

W tampak lemah dan merintih kesakitan.

3.1.4 Pemeriksaan Fisik

a) Keadaan Umum

- Kesadaran : Composmentis dengan nilai GCS 15 (E₄V₅M₆)- Tekanan darah 100/70 mmHg,

- frekuensi nadi 84 kali per menit,

- frekuensi pernapasan 20 kali per menit

- suhu 38°C.

b) Pengkajian Persistem

A. Sistem Pernapasan

1. Anamnesa  : Pasien biasanya batuk tidak produktif

2. Hidung

a. Inspeksi: Nafas cuping hidung tidak ada, Secret / ingus

tidak ada, oedem pada mukosa tidak ada, kebersihan

bersih, deformitas tidak ada, pemberian O2 tidak ada.

b. Palpasi: nyeri tekan tidak ada, fraktur tulang nasal tidak

ada.

3. Mulut

a. Inspeksi : mukosa bibir tidak sianosis, Alat bantu nafas

ETT tidak ada.

b. Sinus paranasalis Inspeksi : pemeriksaan sinus

paranasalis normal

c. Palpasi : nyeri tekan tidak ada

4. Leher

a. Inspeksi : trakheostomi tidak ada

b. Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, adanya massa tidak ada,

pembesaran kelenjar limfe tidak ada, posisi trachea di

tengah.

5. Faring

a. Inspeksi : kemerahan tidak ada, oedem / tanda-tanda

infeksi tidak ada

6. Area dada

a. Inspeksi : pola nafas teratur, penggunaan otot Bantu

pernafasan tidak ada, pergerakan dada simetris, waktu

inspirasi ekspirasi (rasio inspirasi : ekspirasi normal),

trauma dada tidak ada, pembengkakan tidak ada.

b. Palpasi: nyeri tekan tidak ada, bengkak tidak ada.

c. Auskultasi : Suara nafas tambahan tidak ada

B. Cardiovaskuler Dan Limfe

1. Anamnesa: nyeri dada tidak ada, sesak saat mencium bau

menyengat

2. Wajah

a. Inspeksi : sembab(-), pucat(-), sianosis(-), pembuluh darah

mata pecah(-), konjungtiva anemis.

3. Leher

a. Inspeksi : bendungan vena jugularis tidak ada

b. Palpasi : Arteri carotis communis (-)

4. Dada

a. Inspeksi    : bentuk dada simetris, odema tidak ada.

b. Perkusi     : batas jantung normal

c. Auskultasi    : bunyi jantung normal ( BJ 1 dan BJ 2) tidak

ada kelainan bunyi jantung.

5. Ekstrimitas Atas

a. Inspeksi : sianosis(-), clubbing finger(-)

b. Palpasi : CRT kembali kurang dari 2 detik, suhu akral

hangat

6. Ekstrimitas Bawah

a. Inspeksi : Varises (-), sianosis (-), clubbing finger (-),

oedem (-)

b. Palpasi : CRT kembali kurang dari 2 detik, suhu akral

hangat, oedem (-)

C. Persyarafan

1. Anamnesis : Pada pasien tidak mengalami nyeri kepala

berputar-putar,nyeri kepala sebelah,hilang keseimbangan, mual

dan muntah, perubahan berbicara, dan tremor.

Pemeriksaan nervus (diperiksa jika ada indikasi dengan kelainan

persyarafan) :

a. Uji nervus I olfaktorius ( pembau)

Pasien dapat membedakan bau-bau yang menyengat dan

tidak menyengat (seperti minyak kayu putih,parfum dan

kopi).

b. Uji nervus II opticus ( penglihatan)

Pada pasien pandangan sudah agak kabur dikarenakan

faktor usia. Jarak pandangan antara 20-30cm.

c. Uji nervus III oculomotorius

Pada pasien tidak terdapat oedema kelopak mata,tidak

terdapat sklera mata jauh,bola mata menonjol dan celah

mata sempit,tetapi pasien konjungtiva matanya anemis.

d. Nervus IV toklearis :

Pasien diperiksa pupilnya normal dan refleks pupilnya

normal pada saat diberi sinaran oleh cahaya.

e. Nervus V abdusen :

Pada pasien saat dilakukan pemeriksaan gerak bola mata,

pergerakannya adalah normal antar mata kanan dan kiri.

f. Uji nervus VI facialis dengan cara : kedua alis mata

simetris

g. Nervus VII auditorius/AKUSTIKUS :

Pada pasien pendengaran normal tidak ada gangguan pada

pendengaran.

h. Nervus VIII vagus:

Pada pasien pergerakan lidahnya dapat bergerak penuh

dan tidak ada gangguan pada pergerakan lidah

pasien,dapat menelan secara normal.

i. Nervus IX aksesorius :

Pada pasien pergerakan kepala dan bahu normal. Kepala

dapat menggeleng, menoleh kanan dan kiri dan bahu dapat

bergerak penuh.

- Tingkat kesadaran (kualitas) : Compos Mentis (sadar

sepenuhnya, dapat menjawab pertanyaan tentang

keadaan sekelilingnya, dapat berkomunikasi dengan

baik.

- Tingkat kesadaran (Kuantitas) : GCS (Glasgow Coma

Scale), yang dinilai yaitu : E4 (Eye/membuka mata) :

dapat membuka mata spontan, M6 (Motorik) : dapat

bergerak sesuai perintah,V5 (Verbal/bicara) : orientasi

baik (orang, tempat, waktu)

-

D. Perkemihan-Eliminasi Uri

1. Anamnesa: Pasien bisa merasakan miksi dengan tidak memakai

kateter. Dan dapat BAK dengan normal. Urine yang dikeluarkan

pasien sehari 4 kali antara 1500-1600cc

2. Kandung kemih

a. Inspeksi : Tidak ada benjolan,  jaringan parut (-), kandung

kemih tidak tegang

b. Palpasi :  nyeri tekan(-), tidak teraba massa

c. Ginjal Inspeksi :  tidak terjadi pembesaran ginjal

d. Palpasi :  tidak teraba adanya pembesaran ginjal

e. Perkusi : nyeri ketok (-)

E. Sistem Pencernaan-Eliminasi Alvi

1. Anamnesa : Nafsu makan pasien bagus, pasien makan dengan

pola pagi-siang-malam tetapi tidak selalu habis, tidak ada

keluhan mual muntah, nyeri tenggorokan, maupun gangguan

menelan. Pada hari dilakukan pengkajian pasien belum BAB.

Pasien merasakan nyeri pada perut bagian bawah kanan.

Provokatif : nyeri ditimbulkan dari peradangan pada appendik

Qualitas : nyeri seperti tertusuk-tusuk

Regio : kuadaran IV, pada titik Mc Burney

Skala : 5

Time : hilang timbul

2. Mulut

a. Inspeksi : mukosa bibir kering, pada gigi terdapat gigi

yang tanggal (1) karies (-),terdapat plak pada sela gigi.

Stomatitis (-), pembesaran kelenjar parotis (-).

b. Palpasi : nyeri tekan pada rongga mulut (-), massa(-)

c. Lidah Inspeksi : letak simetris, warna merah muda

pucat, tidak ada gerakan tremor.

d. Palpasi : Nodul (-), oedema (-), nyeri tekan (-)

3. Faring - Esofagus

a. Inspeksi :  warna palatum merah muda

b. Palpasi : pembesaran kelenjar(-)

4. Abdomen (dibagi menjadi 4 kuadran)

a. Inspeksi: tidak ada pembesaran abdomen yang abnormal,

tidak tampak vena porta hepatika

b. Auskultasi : bising usus normal

c. Perkusi : hipertympani

d. Palpasi :

- Kuadran I (Hepar : hepatomegali (-), nyeri tekan (-))

- Kuadran II (Gaster : nyeri tekan abdomen(-), Lien :

splenomegali(-))

- Kuadran III (Terdapat massa)

- Kuadran IV (Nyeri tekan pada titik Mc Burney)

F. Sistem Muskuloskeletal & Integumen

1. Anamnese : tidak ada nyeri dan tidak terjadi kelemahan

ekstremitas

2. Warna kulit Hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-), kulit

tidak bersisik.

3. Kekuatan otot     5   5

5 5

4. Fraktur pasien tidak mengalami fraktur dan tidak pernah ada

riwayat fraktur

5. Luka tidak ditemukan luka pada tubuh pasien

G. Sistem Endokrin dan Eksokrin

1. Anamnesa: tidak merasakan kram, pandangan kabur sesuai

penambahan usia, perubahan berat badan dan tinggi badan

normal, kesulitan menelan (-), berkeringat(-), tremor(-), hot

flushes (panas pada wajah tidak ada).

2. Riwayat KB pasien tidak pernah melakukan KB karena

setiap selesai melahirkan pasien langsung melakukan kiret.

3. Kepala

a. Inspeksi    : distribusi rambut(menyebar), tebal,

kerontokan(-)

4. Leher

a. Inspeksi     : bentuk(normal), pembesaran kelenjar

thyroid(-), perubahan warna(-).

b. Palpasi      : pembesaran kelenjar(thyroid, parathyroid

tidak ada), nyeri tekan (-), suhu badan hangat

5. Payudara

a. Inspeksi : pembesaran mamae (-)

6. Genetalia

a. Inspeksi    : Rambut pubis (ketebalan merata, kerontokan

tidak ada), bersih, pengeluaran (darah, cairan, lender tidak

ada).

b. Palpasi : benjolan (-)

7. Ekstremitas bawah palpasi non pitting (-)

H. System Reproduksi

1. Anamnesa :

a. Cyclus haid (normal), lama haid(7hari),darah banyak &

sifat(cair), flour albus (normal tidak bau dan warna

normal),disminore(-), terjadi nyeri punggung saat

menstruasi

b. Riwayat kehamilan, persalinan, nifas, Keluarga

berencana   

- Pernah hamil 4x, keguguran pada hamil kedua,penyulit

dalam kehamilan adalah sakit pinggang. Jarak

kehamilan anak ke-1 dan ke-2  7 tahun.

- Selama 3x persalinan : persalinan 1&2 normal dan

kiret,persalinan terakhir melalui SC.

2. Payudara

a. Inspeksi        : bentuk (normal), kebersihan (+), warna

areola (coklat kehitaman),      bentuk papilla mamae

(normal), massa (-), luka (-), payudara (simetris).

b. Palpasi        :benjolan(-), pengeluaran (-), nyeri tekan (-).

3. Axilla

a. Inspeksi    : benjolan (-).

b. Palpasi    : teraba benjolan (-).

4. Abdomen

a. Inspeksi    : pembesaran abdomen (-), luka post SC (-).

b. Palpasi    : pembesaran (-), massa (-).

5. Genetalia

a. Inspeksi : Rambut pubis (merata), kebersihan (+), odema

(-), varices (-), benjolan (-), pengeluaran (-), tanda-tanda

infeksi (-).

b. Palpasi    : benjolan (-), massa (-), dan nyeri tekan(-).

I. Persepsi sensori

1. Anamnesa : Nyeri mata(-),penurunan tajam penglihatan(+),mata

berkunang-kunang(-), penglihatan ganda( -),mata berair(-),

gatal(-), kering(-), benda asing dalam mata(-), penurunan

pendengaran(-), nyeri(-).

2. Mata

a. Inspeksi : Mata simetris, bentuk normal, lesi Papelbra

( normal ), Bulu mata (menyebar), produksi air mata

(normal), kornea (normal berkilau, transparan), iris dan

pupil (warna iris dan ukuran (normal),reflek cahaya pada

pupil(normal)), lensa (normal jernih dan transparan),

sclera (warna ( putih normal)).

b. Palpasi : Teraba lunak, nyeri dan pembengkakan kelopak

mata (-), palpasi kantong lakrimal (normal).

3. Penciuman (Hidung)

a. Palpasi : Sinus (tidak ada nyeri tekan), Palpasi fossa

kanina (tidak nyeri),Pembengkakan(-), Deformitas(-).

b. Perkusi : regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina

kita lakukan apabila palpasi pada keduanya menimbulkan

reaksi hebat(-).

3.1.5 Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 25 April 2013 pukul

11.00 WIB pre operasi meliputi Limfosit 14.3% (nilai normal :

22-44); Monosit 10.4% (nilai normal : 0-7); MCV 75fL (nilai

normal : 80-96); MCH 2fL (nilai normal : 28-33); kreatinin 0.59

mg/dl (nilai normal : 0.6-1.1).

- Ultra Sonografi.

Hasil pemeriks aan USG pada tanggal 24 April 2013 jam 09.23

WIB dilakukan di RS Panti Waluyo Surakarta dengan hasil

hepar, vesica felea, pancreas, kedua ren, lien, vesica urinaria,

maupun prostat dalam batas normal; secara sonografi adanya

gambaran adneksitis kanan, small simple cyst ovarii kiri. Pada

region Mc Burney tampak stuktur tubuler blind end

nonkompresi, menyongkong gambaran apendisitis.

3.2 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah

1 DO :

Klien mengatakan

nyeri pada perut

bagian kanan bawah.

DS :

Klien terlihat

menahan sakit dan

memegang perut

bagian kanan bawah.

Obstruksi lumen

appendix

Ketidakseimbangan

antara produksi dan

ekskresi mucus

Peningkatan intra

Terhambatnya aliran

limfe

Edema dan ulserasi

Nyeri epigastrium

Nyeri Akut

Nyeri akut

2 DO :

Klien mengatakan

badannya terasa

panas dan menggigil

DS :

Klien tampak

menggigil dan suhu

badannya 380C

Peningkatan intra

Obstruksi vena

Edema dan peningkatan

tekanan intra lumen

Peradangan pada

dinding appendix

Mekanisme kompensasi

tubuh

Hipertermi

Peningkatan leukosit

dan peningkatan suhu

tubuh

Hipertermi

3 DO :

Klien mengatakan

luka post bedah terasa

nyeri saat

menggerakkan

ekstremitas kanan.

DS :

Raut wajah klien

terlihat kesakitan saat

menggerakkan

ekstremitas kanannya.

Pembedahan

Luka insisi post bedah

Nyeri saat ekstremitas

kanan digerakkan

Nyeri akut pada luka

post

bedah

Intoleransi aktivitas

Intoleransi aktivitas

4 DO :

Klien mengatakan

tidak mengerti cara

merawat luka post

operasi dan takut

terjadi infeksi.

DS :

Klien terlihat cemas

karena takut terjadi

infeksi

Pembedahan

Pengungkapan cemas

keluarga klien dan

klien dalam merawat

luka post bedah

Kurang pengetahuan

Kurang

pengetahuan

3.3 Diagnosa Keperawatan

a) Nyeri akut b.d edema dan ulserasi

b) Hipertermi b.d peradangan dinding appendix

c) Intoleransi aktivitas b.d luka insisi pos bedah

d) Kurang pengetahuan b.d kurangnya informasi merawat luka post

bedah

e) Resiko tinggi infeksi

f) Resiko kekurangan volume cairan.

3.4 Intervensi

No Dx Tujuan Intervensi

1 1 -Nyeri berkurang atau hilang

-Klien merasa nyaman

Kriteria hasil

-Mampu mengontrol nyeri

(tahu penyebab nyeri,

mampu menggunakan

teknik nonfarmakologi

untuk mengurangi nyeri).

-Melaporkan bahwa nyeri

berkurang dengan

menggunakan manajemen

nyeri.

-Menyatakan rasa nyaman

setelah nyeri berkurang.

-Kaji nyeri ( PQRST)

-Ajarkan teknik nonfarmakologi

untuk mengurangi nyeri

-Control lingkungan yang dapat

mempengaruhi nyeri.

-Pilih dan lakukan penanganan

nyeri (farmakologi, non

farmakologi, dan inter

personal)

-Observasi reaksi non verbal dari

ketidaknyamanan

-Kolaborasi dengan dokter untuk

memberikan analgesic.

-Kolaborasikan juga dengan dokter

jika nyeri belum terkontrol.

2 2 -Mengontrol suhu agar

kembali normal

Kriteria hasil

-Suhu tubuh dalam rentang

normal

-Nadi dan RR dalam rentang

normal

-Tidak ada perubahan warna

-Kaji suhu sesering mungkin

( minimal tiap 2 jam sekali)

-Ajarkan pada pasien cara

mencegah keletihan akibat

panas.

-Lakukan tapid sponge

-Selimuti pasien untuk mencegah

hilangnya kehangatan tubuh

kulit dan tidak ada pusing -Observasi TTV

-Kolaborasikan dengan dokter

untuk memberikan antipiretik

3 3 -Klien dapat melakukan

aktivitas seperti biasa

-Klien dapat merawat dirinya

sendiri.

Kriteria hasil

-Berpartisipasi dalam aktivitas

fisik tanpa disertai

peningkatan TTV

-Mampu melakukan aktivitas

sehari-hari secara mandiri.

-Sirkulasi status baik

-Kaji TTV

-Ajarkan klien untuk memilih

aktivitas konsisten yang sesuai

dengan kemampuan fisik,

psikologi, dan sosial)

-Bantu klien untuk mendapatkan

alat bantuan aktivitas ( kursi

roda, krek)

-Bantu klien untuk membuat jadwal

latiahan diwaktu luang.

-Monitor respon fisik,emosi, sosial,

dan spiritual.

-Kolaborasikan dengan tenaga

rahabilitasi medic dalam

merencanakan program terapi

yang tepat.

4 4 -Klien dapat mengetahui cara

merawat luka

-Klien tidak merasa cemas

Kriteria hasil

-Pasien dan keluarga

menyatakan pemahaman

tentang penyakit, kondisi,

prognosis, dan program

pengobatan pasien dan

keluarga

-Pasien dan kelurga mampu

menjelaskan kembali apa

yang dijelaskan

-Kaji tingkat pengetahuan klien

tentang proses penyakit yang

spesifik.

- Jelaskan patofisiologi dari

penyakit dan bagaimana hal ini

berhubungan dengan anatomi

dan fisiologi, dengan cara yang

tepat.

-Gambarkan tanda dan gejala yang

mungkin muncul.

-Sediakan informasi pada klien

tentang kondisinya dengan

tepat

perawat/tim medis lain.

-Pasien dan keluarga mampu

melaksanakan prosedur

yang dijelaskan dengan

benar.

-Observasi tindakan klien sudah

sesuai prosedur atau belum.

-Rujuk klien pada grup atau agent

di komunitas local, dengan cara

yang tepat.

5 5 -Mengontrol infeksi

-Meningkatkan status imun

Kriteria hasil

-Klien bebas dari tanda dan

gejala infeksi

-Menunjukkan kemampuan

untuk mencegah

timbulnya infeksi

- Jumlah leukosit dalam batas

normal

-Kaji TTV

-Kaji kadar leukosit

- Instruksikan pada pengunjung

untuk mencuci tangan saat

berkunjung dan setelah

berkunjung ( sabun

antimikroba)

- Instruksikan klien untuk minum

antibiotic sesuai resep.

-Ajarkan klien dan keluarga tanda

dan gejala infeksi.

-Pertahankan teknik isolasi

-Cuci tangan setiap sebelum dan

sesudah tindakan (sabun

antimikroba)

-Ganti letak IV perifer dan line

central dan dressing sesuai

dengan petunjuk umum.

-Observasi intake nutrisi

-Melaporkan pada dokter jika ada

tanda-tanda infeksi

6 6 -Keseimbangan cairan

-Status nutrisi (makan dan

minum) stabil

Kriteria hasil

-Mempertahan urine output

-Kaji TTV

-Kaji intake dan output

- Intruksikan klien untuk menjaga

intake

-Dorong masukan oral

sesuai dengan usia dan

BB, BJ urine normal, HT

normal

-TTV dalam batas normal

-Tidak ada tanda-tanda

dehidrasi, turgor kulit

baik, mukosa lembab, dan

tidak ada rasa haus

berlebihan.

-Dorong kelurga untuk membantu

klien makan.

-Tawarkan snack (buah)

-Monitor masukan makanan/ cairan

dan hitung intake kalori harian

-Observasi status nutrisi

-Kolaborasikan pemberian cairan

IV

BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini mengenai semua

umur baik laki-laki maupun perempuan. Klasifikasi apendisitis ada 2 yaitu,

apendisitis akut dan apendisitis kronik.

Etiologi apendisitis : infeksi bacteria, umbatan lumen apendiks, hiperplasia

jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks dan cacing askaris, erosi mukosa

apendiks, dan peran kebiasaan makan makanan rendah serat

Manifestasi klinis : nyeri, demam ringan, mual, muntah dan hilangnya

nafsu makan

Penatalaksanaan bisa dilakukan pembedahan, pemberian antibiotic, cairan

IV analgetik, bisa juga dilakukan pemeriksaan laboratorium dan

ultrasonografi

Komplikasi dari apendiksitis ini adalah perforasi apendiks yang dapat

berkembang menjadi peritonitis atau abses

4.2. Saran

Dengan adanya makalah ini mudah-mudahan kita mampu memahami dan

mengetahui asuhan keperawatan dan konsep/teori dari gangguan pada sistem

Pencernaan mulai dari definisi, klasifikasi, etiologi, patofisiologi, manifestasi

klinis, factor resiko, pemeriksaan penunjang, penatalaksaan dan komplikasi.

Tentunya kita sebagai seorang perawat harus mampu dan menguasai

konsep/teori sebagai dasar untuk melakukan asuhan keperawatan pada

gangguan sistem Pencernaan yang nantinya sebagai bekal pada saat terjun

langsung ke rumah sakit dan berhadap langsung dengan pasien.

DAFTAR PUSTAKA

Nurarif ,Amin H.dkk.2013. Panduan Penyusunan Askep Profesional : Aplikasi

Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-

NOC.Yogyakarta: Mediaction

Mansjoer, Arif, Kuspuji Triyanti et al.2005. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta:

Media Aesculapius

Sjamsuhidayat, Wim de jong.2005.Buku Ajar ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta : EGC

Smeltzer, Suzanne C.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &

Suddarth. Ed. 8. Vol. 2. Jakarta: EGC.

http://digilib.stikeskusumahusada.ac.id./download.php?id=490 (diakses tanggal 15

April 2015)

http://digilib.unismus.ac.id/download.php?id=5001 (diakses tanggal 15 April

2015)