angiografi koroner afifah

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Penyakit Kardiovaskuler adalah penyebab kematian paling utama saat ini. Salah satu penyakit sistem kardiovaskuler yang paling sering terjadi adalah penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit Jantung Koroner merupakan penyakit pembuluh darah koroner, dimana terjadi penyempitan lumen sebagai akibat dari penumpukan lemak pada dinding pembuluh darah tersebut. Pembuluh darah koroner merupakan pembuluh darah yang mensuplai oksigen dan nutrisi ke otot jantung 8 Penyakit jantung koroner (PJK) menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun, apalagi dengan adanya fasilitas diagnostik dan unit-unit perawatan penyakit jantung koroner intensif yang semakin tersebar merata. Di negara yang sedang berkembang, penyakit jantung koroner merupakan penyebab utama kematian dan menjadi masalah kesehatan utama di dunia 12 American Heart Association pada tahun 2004 memperkirakan prevalensi penyakit jantung koroner di Amerika Serikat sekitar 13.200.000. Angka kematian karena PJK di seluruh dunia tiap tahun didapatkan 50 juta, sedangkan di negara berkembang terdapat 39 juta (Tanuwidjojo, 2003). WHO pada tahun 2002 memperkirakan di seluruh dunia setiap tahunnya 3,8 juta pria dan 3,4 juta wanita meninggal karena PJK14

Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyakit jantung yang disebabkan karena penyempitan arteri koroner akibat proses aterosklerosis atau spasme atau kombinasi keduanya. Hal ini sering ditandai dengan keluhan nyeri dada. Namun, berdasarkan penelitian 50 persen dari pasien jantung koroner tidak mengalami gejala tersebut, sehingga PJK susah dideteksi secara dini. Untuk memastikan apakah orang dengan gejala tersebut positif mengalami PJK perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut 11,12 Penyakit jantung koroner dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik noninvasif ataupun pemeriksaan invasif. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan berbagai alat. Mulai alat sederhana seperti EKG dan

1

treadmill sampai alat yang canggih yaitu MS-CT. Pemeriksaan secara invasif yang dilakukan adalah kateterisasi jantung. Prosedur kateterisasi jantung bertujuan untuk mengevaluasi anatomi pembuluh darah koroner yang disebut dengan tindakan Coronary angiography 6 Pada tahun 1998, diperkirakan 1429 prosedur kateterisasi jantung dilakukan per sejuta populasi di Inggris. Di Amerika, lebih dari 1,5 juta angiogram dilakukan setiap tahun dan pada tahun 1995 lebih dari 1,6 juta prosedur kateterisasi dilakukan di Amerika. Pada tahun 2010 diperkirakan jumlahnya akan meningkat hingga 3 juta prosedur kateterisasi jantung dilakukan setiap tahunnya (Gray, Dawkins, Simpson & Morgan, 2002). Di Indonesia, khususnya di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta, telah melakukan tindakan kateterisasi jantung 650 tindakan pada tahun 2006 dan 1125 tindakan pada tahun 2007.6 Kateterisasi jantung merupakan teknik yang diakui dunia internasional sebagai teknik terbaik dan terakurat untuk mendeteksi adanya sumbatan di pembuluh darah koroner. Kateterisasi jantung adalah tindakan yang dilakukan untuk mendeteksi adanya penyumbatan di pembuluh darah koroner jantung dengan tingkat keakuratan tertinggi 6 B. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah pengetahuan mengenai peran angiografi koroner pada PJK. Serta sebagai salah satu syarat Memenuhi Tugas di bagian Penyakit Dalam Rumah sakit Margono Soekarjo.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Penyakit jantung koroner 1. Definisi Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang diakibatkan oleh kondisi patologis arteri koroner ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah yang disebut dengan aterosklerosis 10

Penyakit jantung koroner adalah suatu keadaan dimana terjadi penyempitan, penyumbatan, atau kelainan pembuluh darah koroner. penyempitan atau penyumbatan ini dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri. Kondisi lebih parah kemampuan jantung memompa darah akan hilang, sehingga sistem kontrol irama jantung akan terganggu dan selanjutnya bisa menyebabkan kematian3 2. Etiologi Penyebab terjadinya penyakit kardiovaskuler pada perinsipnya disebabkan oleh dua faktor utama yaitu: 1) Aterosklerosis Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koroneria yang paling sering ditemukan. Aterosklerosis

menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria, sehingga secara progresif mempersempit lumen pembuluh

3

darah. Bila lumen menyempit maka resistensi terhadap aliran darah akan meningkat dan membahayakan aliran darah miokardium 10 2) Trombosis Endapan lemak dan pengerasan pembuluh darah terganggu dan lama-kelamaan berakibat robek dinding pembuluh darah. Pada mulanya, gumpalan darah merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mencegahan perdarahan berlanjut pada saat terjadinya luka. Berkumpulnya gumpalan darah dibagian robek tersebut, yang kemudian bersatu dengan keping-keping darah menjadi trombus. Trombosis ini menyebabkan sumbatan di dalam pembuluh darah jantung, dapat menyebabkan serangan jantung mendadak, dan bila sumbatan terjadi di pembuluh darah otak menyebabkan stroke 3 3. Patofisiologi Aterosklerosis dimulai ketika kolesterol berlemak tertimbun pada intima arteri besar. Penimbunan ini disebut ateroma atau plak yang akan mengganggu absorbsi nutrien oleh sel-sel endotel yang menyusun lapisan dinding dalam pembuluh darah dan menyumbat aliran darah. Endotel pembuluh darah yang terkena akan mengalami nekrotik dan menjadi jaringan parut sehingga lumen menjadi sempit dan aliran darah terhambat4

4. Faktor Resiko Secara statistik, seseorang dengan faktor resiko kardiovaskuler akan memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menderita gangguan koroner dibandingkan mereka yang tanpa faktor resiko. Semakin banyak faktor resiko yang dimiliki, semakin berlipat pula kemungkinan terkena penyakit jantung koroner. Faktor-faktor resiko yang dimaksud adalah merokok, alkohol, aktivitas fisik, berat badan, kadar kolesterol, tekanan darah (hipertensi) dan diabetes. Faktor-faktor resiko dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat diubah dan tidak dapat diubah.1. Faktor resiko lain yang masih dapat diubah

a. Hipertensi

4

Tekanan darah yang terus meningkat dalam jangka waktu panjang akan mengganggu fungsi endotel, sel-sel pelapis dinding dalam pembuluh darah (termasuk pembuluh koroner). Disfungsi endotel ini mengawali proses pembentukan kerak yang dapat mempersempit liang koroner 12 Penderita hipertensi beresiko dua kali lipat menderita penyakit jantung koroner. Resiko jantung menjadi berlipat ganda apabila penderita hipertensi juga menderita DM, hiperkolesterol, atau terbiasa merokok. Selain itu hipertensi juga dapat menebalkan dinding bilik kiri jantung yang akhirnya melemahkan fungsi pompa jantung. Resiko PJK secara langsung berhubungan dengan tekanan darah, untuk setiap penurunan tekanan darah diastolik sebesar 5mmHg resiko PJK berkurang sekitar 16% 4. b. Diabetes Mellitus Diabetes Mellitus (DM) berpotensi menjadi ancaman terhadap beberapa organ dalam tubuh termasuk jantung. Keterkaitan diabetes mellitus dengan penyakit jantung sangatlah erat. Resiko serangan jantung pada penderita DM adalah 2-6 kali lipat lebih tinggi dibandingkan orang tanpa DM. Jika seorang penderita DM pernah mengalami serangan jantung, resiko kematiannya menjadi tiga kali lipat lebih tinggi. Peningkatan kadar gula darah dapat disebabkan oleh kekurangan insulin dalam tubuh, insulin yang tidak cukup atau tidak bekerja dengan baik 11 Penderita diabetes cenderung memiliki pravalensi

prematuritas, dan keparahan arterosklerosis lebih tinggi. Diabetes mellitus menginduksi hiperkolesterolemia dan secara bermakna meningkatkan kemungkinan timbulnya arterosklerosis. Diabetes mellitus juga berkaitan dengan proliferasi sel otot polos dalam pembuluh darah arteri koroner, sintesis kolesterol, trigliserida, dan fosfolipid. Peningkatan kadar LDL dan turunnya kadar HDL juga disebabkan oleh diabetes milletus. Biasanya penyakit jantung koroner terjadi di usia muda pada penderita diabetes

5

dibanding non diabetes 11 c. Merokok Sekitar 24% kematian akibat PJK pada laki-laki dan 11% pada perempuan disebabkan kebiasaan merokok. Orang yang tidak merokok dan tinggal bersama perokok (perokok pasif) memiliki peningkatan resiko sebesar 20-30%. Resiko terjadinya PJK akibat merokok berkaitan dengan dosis dimana orang yang merokok 20 batang rokok atau lebih dalam sehari memiliki resiko sebesar dua hingga tiga kali lebih tinggi menderita PJK dari pada yang tidak merokok.11 Setiap batang rokok mengandung 4.800 jenis zat kimia, diantaranya karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), hidrogen sianida, amoniak, oksida nitrogen, senyawa

hidrokarbon, tar, nikotin, benzopiren, fenol dan kadmium. Reaksi kimiawi yang menyertai pembakaran tembakau menghasilkan senyawa-senyawa kimiawi yang terserap oleh darah melalui proses difusi.11 Nikotin yang masuk dalam pembuluh darah akan

merangsang katekolamin dan bersama-sama zat kimia yang terkandung dalam rokok dapat merusak lapisan dinding koroner. Nikotin berpengaruh pula terhadap syaraf simpatik sehingga jantung berdenyut lebih cepat dan kebutuhan oksigen meninggi. Karbon monooksida yang tersimpan dalam asap rokok akan menurunkan kapasitas penggangkutan oksigen yang diperlukan jantung karena gas tersebut menggantikan sebagian oksigen dalam hemoglobin. Perokok beresiko mengalami seranggan jantung karena perubahan sifat keping darah yang cenderung menjadi lengket sehingga memicu terbentuknya gumpalan darah ketika dinding koroner terkoyak 11 d. Hiperlipidemia Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak bebas berasal eksogen dari makanan dan endogen

6

dari sintesis lemak. Kolesterol dan trigliserida adalah dua jenis lipid yang relatif mempunyai makna klinis yang penting sehubungan dengan arteriogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma tetapi terikat pada protein sebagai mekanisme transpor dalam serum. Peningkatan kolesterol LDL, dihubungkan dengan meningkatnya resiko terhadap koronaria, sementara kadar kolesterol HDL yang tinggi tampaknya berperan sebagai faktor perlindung terhadap penyakit arteri koroneria.8 e. Obesitas Kelebihan berat badan memaksa jantung bekerja lebih keras, adanya beban ekstra bagi jantung. Berat badan yang berlebih menyebabkan bertambahnya volume darah dan perluasan sistem sirkulasi sehingga berkolerasi terhadap tekanan darah sistolik.8 f. Gaya hidup tidak aktif Ketidakaktifan fisik meningkatkan resiko PJK yang setara dengan hiperlipidemia, merokok, dan seseorang yang tidak aktif secara fisik memiliki resiko 30%-50% lebih besar mengalami hipertensi. Aktivitas olahraga teratur dapat menurunkan resiko PJK. Selain meningkatkan perasaan sehat dan kemampuan untuk mengatasi stres, keuntungan lain olahraga teratur adalah meningkatkan kadar HDL dan menurunkan kadar LDL. Selain itu, diameter pembuluh darah jantung tetap terjaga sehingga kesempatan tejadinya pengendapan kolesterol pada pembuluh darah dapat dihindari. 82. Faktor resiko yang tidak dapat diubah, yaitu:

a.

Jenis Kelamin Penyakit jantung koroner pada laki-laki dua kali lebih besar dibandingkan pada perempuan dan kondisi ini terjadi hampir 10 tahun lebih dini pada laki-laki daripada perempuan. Estrogen endogen bersifat protektif pada perempuan, namun setelah menopause insidensi PJK meningkat dengan cepat dan

7

sebanding dengan insidensi pada laki-laki.4 b. Keturunan (genetik) Riwayat jantung koroner pada keluarga meningkatkan kemungkinan timbulnya aterosklerosis prematur (Brown, 2006). Riwayat keluarga penderita jantung koroner umumnya mewarisi faktor-faktor resiko lainnya, seperti abnormalitas kadar kolesterol, peningkatan tekanan darah, kegemukan dan DM. Jika anggota keluarga memiliki faktor resiko tersebut, harus dilakukan pengendalian secara agresif. Dengan menjaga tekanan darah, kadar kolesterol, dan gula darah agar berada pada nilai ideal, serta menghentikan kebiasaan merokok, olahraga secara teratur dan mengatur pola makan.4

c.

Usia Kerentanan terhadap penyakit jantung koroner meningkat seiring bertambahnya usia. Namun dengan demikian jarang timbul penyakit serius sebelum usia 40 tahun, sedangkan dari usia 40 hingga 60 tahun, insiden MI meningkat lima kali lipat. Hal ini terjadi akibat adanya pengendapan aterosklrerosis pada arteri koroner.4

5. Manifestasi klinis Aterosklerosis koroner menimbulkan gejala dan komplikasi sebagai akibat penyempitan lumen arteri dan penyumbatan aliran darah ke jantung. Sumbatan aliran darah berlangsung progresif dan suplai darah yang tidak adekuat (iskhemia) yang ditimbulkannya akan membuat sel-sel otot kekurangan komponen darah yang dibutuhkan untuk hidup 4 Kerusakan sel akibat iskhemia dapat terjadi dalam berbagai tingkat. Manifestasi utama iskhemia adalah nyeri dada. Angina adalah nyeri dada yang hilang timbul, tidak disertai kerusakan reversibel sel-sel jantung. Iskhemia yang lebih berat disertai kerusakan sel di sebut infark miokardium. Jantung yang mengalami degenerasi akan digantikan dengan jaringan sikatrik. Kerusakan jantung yang sangat luas akan menyebabkan

8

jantung tidak mampu memenuhi kebutuhan darah pada tubuh akibat curah jantung yang tidak adekuat. Manifestasi klinis lain penyakit arteri koroner berupa perubahan pola EKG, aneurisma ventrikel, disritmia dan kematian mendadak.4 6. Pemeriksaan diagnostik pada penyakit jantung koroner. Pemeriksaan penunjang secara non invasif pada pasien penyakit jantung koroner (PJK) antara lain: elektrokardiogram istirahat, tes latihan, radiografi thorak serta ekokardiografi stres. Pemeriksaan penunjang secara invasif yang yang penting dilakukan adalah coronary angiography.6 5. Terapi farmakologi Pasien yang menderita angina tak stabil biasanya akan mendapat terapi farmakologis berupa obat anti iskhemia seperti nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium. Obat antiagregasi trombosit yang diberikan berupa aspirin, triklopidin, klopidogrel, glikoprotein IIb/IIa inhibitor sedangkan obat anti thrombin yang diberikan adalah heparin. Terapi pada pasien infark miokardial adalah analgesik (opiate), aspirin, heparin, trombolisis, penyekat beta, diuretik, penyekat ACE .14 B. Angiografi Koroner 1. Definisi Angiografi koroner adalah prosedur diagnosa dan intervensi yang dilakukan untuk menilai fungsi jantung dan pembuluh darah secara komprehensif dimana satu atau lebih kateter berdiameter 2mm dimasukkan melalui sayatan kecil ke pembuluh darah perifer dilengan seperti vena dan arteri antecubital atau dari tungkai vena dan arteri femoralis dengan panduan pesawat fluoroskopi. Prosedur dilakukan dengan bius lokal, lalu kateter dimasukkan melalui jalur pembuluh darah sampai ke jantung, dengan bantuan zat kontras yang disuntikkan dapat diketahui adanya kelainan anatomi jantung, penyempitan / sumbatan pembuluh koroner, gangguan fungsi pompa jantung, dsb 13 Pemeriksaan ini merupakan hal penting untuk mendeteksi penyakit jantung koroner serta untuk tindakan lebih lanjut seperti balonisasi koroner baik dengan maupun tanpa stent, atau operasi bedah

9

pintas koroner. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit kutub jantung dan kelainan jantung bawaan 13

2.

Sejarah. Konsep mengenai penyakit jantung didasarkan pada pengetahuan fisiologi dan anatomi yang didapat dari percobaan-percobaan dengan kateterisasi jantung sekitar 70 tahun yang lalu. Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Andre Cournand pada saat penerimaan Nobel pada 11 Desember 1956, kateterisasi jantung adalah kunci jawaban dari konsep penyakit jantung. Dengan menggunakan kunci tersebut, Cournand dan koleganya telah membawa kita ke era baru untuk memahami fungsi normal dan penyakit jantung pada manusia. Menurut Cournand, kateterisasi jantung pertama kali dilakukan oleh Claude Bernard pada tahun 1844. Subjeknya berupa kuda dimana kedua ventrikel dari kuda tersebut dimasuki dengan pendekatan retrograde dari vena jugularis dan arteri carotis. Aplikasi yang dilakukan oleh Bernard ini, memberi suatu nilai yang sangat besar dalam inovasi teknik ini. Suatu era investigasi pada hewan kemudian berujung pada suatu perkembangan penting pada teknik dan prinsip teknik kateterisasi jantung yang diterapkan pada manusia.15 Werner Frossmann selalu dipuji sebagai orang pertama yang melakukan kateterisasi jantung pada manusia, yaitu pada dirinya sendiri. Pada usia 25 tahun, setelah menerima instruksi medis bedah di Jerman, ia memasukkan kateter berukuran 65 cm melalui salah satu vena antecubiti

10

kiri, dibantu dengan fluoroscopy, sampai kateter tersebut memasuki atrium kanan, kemudian ia berjalan ke departemen radiologi untuk mendokumentasikannya dengan roentgenogram. Dua tahun berikutnya, Frossmann melanjutkan melakukan studi kateterisasi, termasuk enam percobaan tambahan untuk mengkateterisasi dirinya sendiri. Untuk kontribusi yang diberikan Frossmann tersebut, ia bersama dengan Andre Cournand dan Dickinson Richards memperoleh Nobel pada tahun 1956. Tujuan utama dari studi kateterisasi jantung yang dilakukan oleh Frossmann adalah untuk mengembangkan teknik terapi yang dapat memasukkan obat secara langsung ke jantung 15 3. Indikasi Kateterisasi jantung bertujuan untuk mendapat gambaran dan data objektif secara pasti tentang perubahan anatomis dan fisiologis akibat berbagai kelainan pada jantung dan pembuluh darah. Dengan kateterisasi jantung dapat diketahui ada tidaknya kelainan jantung, jenis kelainan jantung, derajat kelainan tersebut, cara pengobatan yang tepat, dan menilai hasil pengobatan. Selain itu, kateterisasi jantung juga dapat digunakan untuk mengetahui tekanan pada ruang-ruang di jantung, melihat bagaimana darah melewati jantung, mengambil sampel darah, menginjeksikan zat kontras untuk melihat adanya hambatan pada pembuluh darah, atau abnormalitas dari ruang jantung, serta melakukan koreksi pada kelainan jantung tersebut 1.2 Berdasarkan data-data di atas, indikasi untuk tindakan kateterisasi jantung dapat dikelompokkan menjadi dua golongan besar, yaitu: 1. Untuk menegakkan diagnosis, yaitu dengan menganalisis semua data hasil kateterisasi sehingga diperoleh gambaran anatomi dan fisiologi secara pasti 2. Untuk melakukan terapi, yaitu kateterisasi intervensi sebagai tindak lanjut dari diagnosis yang diperoleh Indikasi dilakukan tindakan coronary angiography adalah: 1. Memiliki gejala penyakit arteri koroner meskipun telah mendapat terapi medis yang adekuat

11

2. 3.

Penentuan prognosis pada pasien dengan penyakit arteri koroner Nyeri dada stabil dengan perubahan iskemik bermakna pada tes latihan

4. 5.

Pasien dengan nyeri dada tanpa etiologi yang jelas Sindrom koroner tidak stabil (terutama dengan peningkatan Troponin T atau I).

6. 7.

Pasca infark miokard nongelombang Q Pasca infark miokard gelombang Q pada pasien risiko tinggi (ditentukan dengan tes latihan atau pemindaian perfusi miokard).

8. 9.

Pasien dengan aritmia berlanjut atau berulang Gejala berulang pasca coronary artery bypass Graft (CABG) atau percutaneus coronary intervention (PCI)

10. Pasien yang menjalani pembedahan katup jantung 11. Pasien gagal jantung dengan etiologi yang tidak jelas 12. Menentukan penyebab nyeri dada pada kardiomiopati hipertropi 1,2 4. Kontraindikasi Kontraindikasi dari kateterisasi jantung ini sangat bervariasi. Hal ini bergantung pada kemajuan teknik, peralatan serta ketrampilan operator. Seiring berkembangnya pengetahuan mengenai kateterisasi jantung, hampir dikatakan tidak ada lagi kontraindikasi absolut, yang ada hanya kontraindikasi relatif. Hal-hal yang termasuk dalam kontraindikasi relatif adalah: 1. Ventrikel iritabel yang tidak dapat dikontrol 2. Hipokalemia/intoksikasi digitalis yang tidak dapat dikoreksi 3. Hipertensi yang tidak dapat dikoreksi 4. Penyakit demam berulang 5. Gagal jantung dengan edema paru akut 6. Gangguan pembekuan: waktu protrombin > 18 detik 7. Gagal ginjal hebat/anuria 8. Alergi bahan kontras Sedangkan satu-satunya yang dianggap sebagai kontraindikasi absolut adalah apabila pasien dan keluarganya menolak untuk dilakukan

12

kateterisasi 1,2 5. Komplikasi Pada prosedur kateterisasi terdapat beberapa komplikasi, seperti terjadinya luka pada arteri dan vena pada tempat dilakukannya kateterisasi. Hal ini terjadi pada 0,5-1,5% pasien. Lebam disertai perubahan warna kulit pada tempat punksi pembuluh darah terjadi pada 1-5% pasien. Komplikasi yang paling jarang terjadi adalah infeksi pada lokasi pemasangan kateter. Injeksi dari zat kontras dapat menyebabkan mual dan muntah pada 3-15% pasien, rasa gatal pada 1-3% pasien, reaksi alergi pada 0,2% pasien. Pada pasien yang mempunyai fungsi ginjal yang abnormal, injeksi zat kontras ini dapat memperburuk kondisi penyakit tersebut. Komplikasi mayor, seperti kematian, serangan jantung, dan stroke, yang terjadi dalam 24 jam setelah prosedur dilakukan, ditemui pada 0,2-0,3% pasien. Kematian dapat dikarenakan perforasi dari jantung maupun pembuluh darah, abnormalitas irama jantung, serangan jantung, dan reaksi alergi yang parah akibat injeksi kontras.2 6. Zat Kontras dan Prosedur Pada kateterisasi jantung, injeksi zat kontras dilakukan untuk mengetahui adanya hambatan maupun penyempitan pada pembuluh darah. Adapun zat kontras yang digunakan pada kateterisasi jantung adalah Iohexol, Iodixanol, Diatrizoate meglumine/sodium, kombinasi Diatrizoate meglumine/sodium dengan Iohexol, serta kombinasi Diatrizoate meglumine/sodium dengan Iodixanol 9 Lama prosedur kateterisasi jantung bervariasi. Hal ini bergantung pada kemampuan operator dan kompleksnya kondisi pasien yang dikateterisasi. Berdasarkan penelitian pada tahun 1997, kateterisasi jantung kiri membutuhkan waktu rata-rata 64 menit untuk waktu lab, termasuk 25 menit waktu prosedur. Sedangkan untuk kateterisasi jantung kanan membutuhkan waktu rata-rata 84 menit untuk waktu lab dan waktu prosedur sekitar 32 menit. Untuk prosedur intervensi, dibutuhkan waktu rata-rata 117 menit, dengan waktu prosedur sekitar 70 menit.1 Coronary angiography dilakukan dengan memasukkan kateter

13

melalui femoral (Judkins) atau brachialis (Sones) kemudian di dorong ke aorta assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan fluoroskopi. Pada saat ini kateter femoral lebih banyak digunakan kateter ukuran 6 atau bahkan 5 French. Kateter tersebut terbuat dari poliuretan atau polietilen yang telah terbentuk sebelumnya untuk memungkinkan intubasi yang lebih mudah di ostium arteri koroner kiri dan kanan.1,2 Setelah diposisikan dalam ostium arteri koroner, media kontras dimasukkan untuk mengopasifikasi arteri koroner sehingga gambar arteri koroner dapat diperoleh dengan manuver kamera radiografi disekitar pasien untuk mendapatkan gambar dari sudut yang berbeda. Gambar arteri jantung kiri dan kanan dapat dilihat dari proyeksi right anterior oblique (RAO) dan left anterior oblique (LAO). Gambar tersebut diperoleh dari arah kepala atau kaki untuk memvisualisasi lessi lebih baik

Adapun urutan gambaran angiografi arteri koronari kiri menurut Underhil et al adalah: a. RAO-caudal untuk memvisualisai left main arteri coronaria (LMCA), left anterior decending (LAD), dan proximal circumflex. b. RAO-cranial untuk memvisualisasi bagian tengah dan distal LAD dengan cabang-cabang diagonal. c. LAO cranial untuk memvisualisasi bagian tengah dan distal LAD pada proyeksi orthogonal. d. LAO-caudal untuk memvisualisasi (LMCA) dan proximal

circumflex. Lateral kiri untuk menvisualisasi LAD Urutan yang umum dari gambaran angiografi arteri koronaria 14

kanan adalah: a. LAO untuk menvisualisasi arteri koronaria kanan. b. RAO untuk menvisualisasi cabang posterior desending dan postterolateral. c. Right lateral untuk menvisualisasi arteri koroner bagian tengah Derajat keparahan stenosis pembuluh darah koroner dapat dinilai secara visual oleh operator yang berpengalaman atau dapat digunakan angiogafi kuantitatif untuk mendapatkan penilaian komputer mengenai derajat keparahan lesi, dibandingkan dengan segmen arteri normal. Derajat keparahan lesi koroner dideskripsikan sebagai persentase stenosis dan bila stenosis lebih dari 50% biasanya dikatakan sebagai stenosis bermakna. Penyakit jantung koroner sering diklasifikasikan sebagai penyakit 1 pembuluh, 2 pembuluh, atau 3 pembuluh tergantung pada distribusi lesi bermakna pada 3 pembuluh darah koroner utama. Rekomendasi terapi pada pasien berdasarkan pada luas dan tingkat keparahan penyakit jantung koroner 2,13 7. Persiapan pasien Pengkajian keperawatan adalah bagian penting dari persiapan pasien. Pengkajian pasien termasuk pengkajian frekuensi nadi, tekanan darah, evaluasi nadi perifer pada lengan dan kaki dan pengkajian suara jantung dan paru. Tempat palpasi yang paling baik adalah pada nadi dorsalis pedis dan tibia posterior. Informasi ini akan digunakan untuk membandingkan evaluasi nadi perifer setelah prosedur coronary angiography dilakukan 1,2,9 Pasien biasanya masuk ke rumah sakit sehari sebelum di lakukan coronary angiography. Dokter akan menjelaskan tentang prosedur coronary angiography dan menyiapkan informed consent sebelum prosedur dilakukan. Adapun hal-hal yang harus dilakukan sebelum tindakan coronary angiography adalah: a. b. Pemeriksaan EKG 12 lead Tes laboratorium seperti: pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, Blood Urea Nitrogen, ureum, kreatinin HbsAg), treadmill,

15

echocardiogram dan X-ray. c. Pasien yang menjalani coronary angiography diinstruksikan untuk puasa 6 jam sebelum prosedur dilakukan. d. e. Pasien akan mendapatkan anestesi lokal sebelum prosedur dimulai. Novocain merupakan obat anestesi lokal yang bekerja dengan memblok saraf perifer tanpa menimbulkan efek kehilangan kesadaran. Novocain berfungsi untuk menghilangkan sensasi sebelum pembedahan/tindakan invasif. Ada sejumlah obat-obatan yang dapat menggantikan novocain yaitu Lidocaine, Propoxycaine, Tetracaine, Prilocaine and Etidocaine. Efek sampingnya adalah rasa gatal, bengkak dan kemerahan pada kulit. Anastesi lokal pada prosedur kateterisasi jantung berfungsi untuk menghilangkan perasaan tidak nyaman pada area insersi pada saat kateter dimasukkan. f. Premedikasi sedatif ringan biasanya diberikan. Lorazepam adalah obat-obatan benzodiazepine yang bekerja dalam waktu singkat. Adapun efek instrinsik benzodiazepine yaitu anxiolytic, sedatif/hipnotik, anticonvulsant dan muscle relaxation. Lorazepam telah digunakan sejak tahun 1971 untuk mengatasi gejala kecemasan dalam waktu jangka pendek. Lorazepam secara intravena diberikan selambat-lambatnya 10 menit sebelum prosedur. Di Saint Joseph Hospital, sedatif selalu diberikan secara rutin pada pasien yang menjalani coronary angiography 2008). g. Pasien dengan insufisiensi ginjal harus dilakukan hidrasi dengan baik sebelum dan selama prosedur, karena zat kontras bersifat nefrotoksik. h. Pasien yang mempunyai riwayat alergi terhadap iodine, seafood, atau zat kontras sebaiknya diberikan zat kontras nonionik dan sebelum tindakan perlu diberikan steroid, antihistamin (Saint Joseph Hospital,

(dipenhidramin) dan H2 bloker (cimetidin atau ranitindin). i. Pasien harus diberi informasi tentang prosedur yang akan dilakukan.

16

Pasien diberitahu bahwa ia akan merasa panas dan kemerahan pada wajah pada saat zat kontras disuntikkan. j. k. Pemberian antibiotik profilaksis tidak direkomendasikan Perhiasan yang dapat mengganggu hasil angiogram, sebaiknya dibuka sebelum prosedur 9 8. Kateterisasi sebagai Diagnostik Diagnostik dengan kateterisasi adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan menggunakan zat anestesi dan pipa berlubang dengan diameter 2-3 mm, yang disebut kateter, yang dimasukkan melalui vena dan/atau arteri pada leher, tangan, dan kaki, yang mana akan berlanjut ke bagian kanan atau kiri dari jantung. Ketika kateter telah mencapai bagian jantung tersebut, maka tekanan darah di berbagai ruang jantung dapat diukur, sampel darah dapat diambil, dan zat kontras dapat diinjeksikan untuk dilihat dengan x-ray.7 Hasil dari diagnostik dengan menggunakan kateterisasi sangat membantu dalam evaluasi pasien dengan kelainan jantung. Teknik kateterisasi ini dapat mengkonfirmasi dugaan yang kita dapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan/atau evaluasi dari metode noninvasive, seperti EKG, ekokardiogram, dan sebagainya.7 Pada pelaksanaannya, kateter dapat dimasukkan melalui vena atau arteri. Hal ini didasarkan pada kondisi yang ingin dievaluasi. Untuk mengakses bagian kanan dari ruang maupun pembuluh darah, kateterisasi dilakukan melalui vena. Sedangkan untuk mengakses bagian kiri jantung, kateterisasi dilakukan melalui arteri. Kateterisasi melalui arteri dan vena ini dapat dilakukan secara percutaneous atau via cutdown.7 Pada kateterisasi, ada 3 informasi penting yang dapat diperoleh, yaitu tekanan pada ruang dan pembuluh darah jantung, saturasi oksigen pada darah, dan hubungan abnormal dapat ditunjukkan secara langsung dengan penggunaan kateter. 2,5,15 C. Pemeriksaan diagnostik invasif coronary angiography pada penyakit jantung koroner Coronary angiography juga dilakukan sebelum dilakukan percutaneus

17

coronary intervention (PCI) untuk mengevaluasi keparahan stenosis pembuluh darah koroner dan setelah PCI berfungsi untuk mengetahui keberhasilan tindakan. Coronary angiography merupakan prosedur diagnostik invasif yang digunakan untuk mengevaluasi derajat aterosklerosis dan penatalaksanaannya. Tindakan ini juga digunakan untuk1,5,7

mempelajari adanya

kecurigaan

anomali kongenital arteri koronaria

18

BAB III KESIMPULAN

Salah satu penyakit sistem kardiovaskuler yang paling sering terjadi adalah penyakit jantung koroner (PJK). Penyakit Jantung Koroner merupakan penyakit pembuluh darah koroner, dimana terjadi penyempitan lumen sebagai akibat dari penumpukan lemak pada dinding pembuluh darah tersebut. Pembuluh darah koroner merupakan pembuluh darah yang mensuplai oksigen dan nutrisi ke otot jantung Angka kematian karena PJK di seluruh dunia tiap tahunnya semakin meningkat. PJK dapat dideteksi dengan pemeriksaan diagnostik noninvasif ataupun pemeriksaan invasif. Mulai alat sederhana seperti EKG dan treadmill sampai alat yang canggih yaitu MS-CT. Pemeriksaan secara invasif yang dilakukan adalah kateterisasi jantung. Angiografi koroner adalah prosedur diagnosa dan intervensi yang dilakukan untuk menilai kelainan anatomi jantung, penyempitan / sumbatan pembuluh koroner, gangguan fungsi pompa jantung, dsb. Pemeriksaan ini digunakan untuk mendeteksi PJK serta untuk tindakan lebih lanjut seperti balonisasi koroner baik dengan maupun tanpa stent, atau operasi bedah pintas koroner. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit katub jantung dan kelainan jantung bawaan. Coronary angiography juga dilakukan sebelum dilakukan percutaneus coronary intervention (PCI) untuk mengevaluasi keparahan stenosis pembuluh darah koroner dan setelah PCI berfungsi untuk mengetahui keberhasilan tindakan.

19

DAFTAR PUSTAKA

1.

Arthur Selzer, M.D., William L. Anderson, M.D., Harold W. March, M.D.,Indications For Coronary Arteriography Risks Vs. Benefits. California Medicine. The Western Journal Of Medicine. 2001 David Zieve, Michael A, Cardiac catheterization. Division of Cardiology, Harborview Medical Center, University of Washington Medical School, Seattle, Washington.. National Institutes of Health (U.S. Department of Health and Human Services) available at www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003419.htm. Falk E, Shah PK, Fuster V. Coronary Plaque Disruption. Circulation 2005;92: 657-671 Fraker TD Jr, Fihn SD, Gibbons RJ, Abrams J, Chatterjee K, Daley J et al. chronic angina focused update of the ACC/AHA 2002 Guidelines for the management of patients with chronic stable angina: a report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines Writing Group to develop the focused update of the 2002 Guidelines for the management of patients with chronic stable angina.Circulation. 2007;116:2762-2772. Hanafi,Idrus Alwi, Muin Rahman,S Harun. Ilmu Penyakit Dalam jilid III. Penyadapan jantung (Cardiac Catheterization) Jakarta: FKUI 2006, hal 1491-496. Hollinger I. Mitinach A. Cardiac Catheterization and Other Radiographic Examination. Pediatric Cardiac Anesthesia.4 ed.Lippincot Willian and Wilkins2005;7:112-135 James K. Min, MD. Coronary CTA versus cardiac catheterization: Where do we stand today?. Weill Medical College of Cornell University, New York-Presbyterian Hospital, New York, NY.2006 Jennifer L. Baker, Lina W. Olsen,and Thorkild I.A. Srensen. Childhood body-mass index and the risk of coronary heart disease in adulthood. The New England Journal of Medicine. December 6, 2007 vol. 357 no. 23. Kozak M. Robertson BJ. Chambers CE. Cardiac catheteirizat on laboratory: Diagnostic and Therapeutic Procedures In the Adult Patient. Kaplans Cardiac Anesthesia. Saunders Elsevier. 5Ed. Philadelphia. 2006;12:299-354 Libby P, Ridker PM, Maseri An Inflammation and Atherosclerosis. Circulation 2002; 101 :135-143

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

20

11.

Libby P. Molecular Basis Of The Acute Coronary Syndromes. Circulation 1995 ; 91 : 2844-2850 Libby, P. Current Concepts Of The Pathogenesis Of The Acute Coronary Syndromes. Circulation 2001;104:365-372. Lock JE, Rome JJ, Davis R, et al. Transcatheter closure of atrial septal defects. Experimental studies. Circulation1989;79:1091 1099. Maarten L Simoons, Eric Boersma, Coen van der Zwan, Jaap W Deckers. The Challenge Of Acute Coronary Syndromes. Lancet 2009; 353 (supplII):1-4. Qadri Fauzi Tanjung. Tatalaksana Anestesi pada Kateterisasi Jantung Anak Anesthesia Management in Pediatric Heart Catheterization. Bagian Anestesi dan Reanimasi RS Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Anestesia & Critical Care Vol 28 No.3 September 2010 81

12.

13.

14.

15.

21