43
ANESTESI UMUM - LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY) PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI TAK TERKONTROL YANG MENJALANI EKSISI BIOPSI HEMANGIOMA Disusun Oleh :Syahrul Dian (204.311.018) Dosen Pembimbing :dr. I Dewa Ketut Sidharta SpAn

anestesi dengan LMA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

teknik anestesi

Citation preview

Page 1: anestesi dengan LMA

ANESTESI UMUM - LMA (LARYNGEAL MASK AIRWAY) PADA PASIEN DENGAN HIPERTENSI TAK

TERKONTROL YANG MENJALANI EKSISI BIOPSI HEMANGIOMA

Disusun Oleh :Syahrul Dian (204.311.018)

Dosen Pembimbing :dr. I Dewa Ketut Sidharta SpAn

Page 2: anestesi dengan LMA

Tn. A, 37 thn (RM: 118. 93. 65).

• Sejak ± 1 thn SMRS pasien mengeluhkan benjolan kemerahan pada siku lengan kanan yang makin lama makin membesar ukurannya.

• Didiagnosa hemangioma dan pasien setuju untuk dilakukan tindakan eksisi biopsi.

Page 3: anestesi dengan LMA

KUNJUNGAN PRA ANESTESI

• Riw. operasi : disangkal• Riw. alergi : alergi telur, obat

disangkal• Riw. p. peny. : tidak terdapat

penyakit spesifik. Berhenti merokok 1 thn yl. Tidak konsumsi minuman beralkohol.

Page 4: anestesi dengan LMA

PEMERIKSAAN FISIK• KU : baik BB :55 kg TB: 175 cm IMT: 22,86• Kesadaran : compos mentis• Tanda vital: TD: 160/110 mmHg Nadi: 105x/’

RR: 16x/’ Suhu: 36 ˚C• Mata : tdk anemis, tdk ikterik • THT : mallampati III, buka mulut 3 jari, tak ada

gigi palsu & gigi goyang, ekstensi maksimal• Jantung : BJ I & II Normal, tdk ada gallop dan

murmur• Paru : vesikuler kedua lapangan paru, tdk ada

wheezing & ronkhi• Abdomen : datar lemas, BU + normal, NT (-) • Ekstr. : akral hangat, edema (-/-)

Page 5: anestesi dengan LMA

• Status lokalis: massa di regio antebrachii posterior dx, 1/3 proksimal, uk: 2,5 x 3 cm, bulat, batas tegas, rata, kemerahan, tidak NT (-), tdk terdapat dimpling.

Page 6: anestesi dengan LMA

PEMERIKSAAN PENUNJANGDPL: 15,6/43/9.030/307.000

BT/CT: 5’/8’GDS: 118CXR: Kardiomegali dengan aorta elongasi dan dilatasi, paru dalam batas normal=========================================Sikap:

–SIO + SITA–Puasa 8 jam–Diberikan obat : captopril 25 mg x 2–Premedikasi : diazepam 5 mg x 2–Evaluasi anestesi

==========================================–Esok hari: tekanan darah 160/100 mmHg

Page 7: anestesi dengan LMA

RESUME

Status Fisik`: Setelah dilakukan kunjungan pra anastesi, dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, melihat hasil pemeriksaan penunjang dan evaluasi TD keesokan harinya maka status fisik pasien ini adalah ASA III dengan hipertensi tak terkontrol.

Page 8: anestesi dengan LMA

ANESTESI

•General anestesi dengan LMA dan mesin tipe semi closed system

Premedikasi (pukul 10.30) •Midazolam (dosis: 0,05 – 0,1 mg/kgBB,

sediaan : ampul, 5mg/5ml, 1 mg/ml)–BB: 70 kg–Dosis: 3,5 – 7 mg 5mg

•Fentanyl (dosis: 1-2 µg/kgBB, sediaan: ampul, 100µg/2ml, 50 µg/ml)–Dosis : 70 – 140 µg 100 µg

Page 9: anestesi dengan LMA

Induksi (pukul 10.32)• Propofol (dosis: 2,5-3mg/kgBB, sediaan: ampul,

200mg/20ml, 10mg/ml)– Dosis: 175 – 210 mg 200mg

• Ventilasi positif dengan O2 6L/menit serta isofluran 2 Vol%

Pelumpuh otot • Atracurium (0,5-0,6 mg/kgBB, sediaan: ampul, 25mg/2,5

ml, 10mg/ml)– ¼ dosis : 8,75 – 10,5 mg → 10 mg

Pemasangan LMA (pukul 10.35)• LMA sesuai dengan ukuran berat badan yakni ukuran 5.0

Pemeliharaan anestesi• N2O & O2 serta isofluran 2 vol %• BMR O2 : 3 – 5 ml/kgBB 210 – 350 ml 1000 ml• N2O : O2 = 2:1 2 : 1 L/menit• TV 6 – 8 ml/kg BB 420 – 560 ml 500ml• Vol semenit 8000 ml/menit

Page 10: anestesi dengan LMA

Pemantauan anestesi

• Pukul 10.30• TD : 210/118• Nadi : 64x/menit• RR : 16x/menit• Sat O2 : 99%• Pukul 10.45• TD : 120/78• Nadi: 70x/menit• RR : 16x/menit• Sat O2 : 99%• Pukul 11.00• TD : 120/70• Nadi : 48x/menit• RR : 14x/menit• Sat O2 :99%• Diberikan atropin 0,5

mg• Pukul 11.15• TD : 130/80• Nadi : 70x/menit• RR : 16x/menit• Sat O2 : 99%• Pukul 11.30• TD : 135/80• Nadi : 70x/menit• RR : 16x/menit• Sat O2 : 99% • (operasi selesai)

•Cairan parenteral: •Pada pasien terpasang infus di tangan kiri dengan jarum ukuran 18 G , dengan cairan ringer laktat •Kebutuhan cairan dihitung berdasarkan:•Rumatan (maintenance):

– 4 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg pertama: 40ml/jam– 2 ml/kgBB/jam untuk berat badan 10 kg kedua: 20 ml/jam– 1ml/kgBB/jam untuk sisa berat badan: 50ml/jam– Total: 80 ml/jam

•Operasi (O) = skala OP (kecil) x BB 4 x 70 = 280 ml/jam

•Puasa (P) = Σ puasa x M (8 x 70 = 560 ml/jam)•Perhitungan:•Operasi pada jam pertama : M + O + ½ P 440 ml•Operasi pada jam kedua : M + O + ¼ P 400 ml•Operasi pada jam ketiga : M + O + ¼ P 400 ml•Operasi pada jam keempat dst: M + O 360 mlKarena operasi ini berlangsung 1 jam maka cairan diberikan 440 ml’ (±1 botol RL)

•Perdarahan •EBV (estimated blood volume) : 75 ml/kg BB 5.250 ml.•ABL (asserted blood loss) :20 % x EBV 1.050 ml.•Perdarahan sangat minimal, karena operasi menggunakan teknik torniquet. Sehingga pada pasien ini tidak dilakukan transfusi.

Page 11: anestesi dengan LMA

• Urin : – Jumlah urin pada akhir operasi sekitar 100 cc.

• Post operasi: – Pasien diberikan analgesik non opioid,

ketolorac (ampul, 30mg/ml), dosis 30 mg.• Lain – lain :

– Ondansentron (dosis: 2 -4 mg, sediaan: ampul, 4mg/2ml), diberikan sekali selama operasi berlangsung, dosis 4 mg.

• Di UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi): dalam waktu 10 menit, Aldrette score 10.

Page 12: anestesi dengan LMA

TINJAUAN PUSTAKA• Hipertensi sistemik• Seorang dewasa dikatakan hipertensi bila TD

sistemik 140/90 mmHg atau lebih pada minimal 2 kali pengukuran terpisah pada 1 - 2 minggu terakhir.

• Hipertensi sistemik terbagi menjadi hipertensi esensial (95 % kasus) atau hipertensi primer (5 % kasus).

• Krisis hipertensi, terjadi apabila tekanan darah 180/120 dan dikategorikan sebagai hipertensi urgensi dan hipertensi emergensi berdasarkan ada atau tidaknya kerusakan organ (encephalopati, hemorrage intracerebral, kegagalan ventrikuler kiri dengan edema pulmoner, angina tak stabil, aneurisma aorta, IMA, eklampsia, anemia hemolitik atau insufisiensi ginjal)

Page 13: anestesi dengan LMA

• Klasifikasi hipertensi menurut JNC VII:

Page 14: anestesi dengan LMA

Terapi

Page 15: anestesi dengan LMA
Page 16: anestesi dengan LMA

• Pasien dengan hipertensi emergensi Na Nitroprusside dengan dosisi 0,5 – 10,0 mcg/kgBB/menit, IV. Pemberian secara titrasi, karena onset dan durasi kerja cepat. KI pasien dengan laktat asidosis dan keracunan sianida.

• Bila disertai dengan iskemia jantung atau otak Infus nicardipin merupakan pilihan lain.

• Dopamin agonis (DA1 – spesifik), fenoldopam, pasien dg insufisiensi ginjal.

• Esmolol dan labetalol juga sangat efektif.

Page 17: anestesi dengan LMA

• Manajemen anestesi pasien hipertensiEvaluasi Pra Operasi• Pasien perlu mendapatkan terapi sesuai

sebelum dilakukan tindakan anestesi untuk mencapai normotensi & menurunkan insidensi stroke dan gagal jantung.

• Periksa apakah terdapat pada kerusakan organ. (angina pektoris, hipertrofi ventrikel kiri, CHF, CVD, stroke, IMA, gagal ginjal).

• Bila perlu, tetap berikan terapi yang sesuai saat operasi berlangsung.

Page 18: anestesi dengan LMA

Induksi dan Pemantauan Anestesi

• Antisipasi penurunan secara drastis TD sistolik (khususnya pada pasien dg terapi ACEI) yg dapat terjadi sesaat setelah induksi Ketamin, jarang digunakan untuk mengatasi ini.

• DL (direct laringoscopy) diusahakan tidak > 15 detik.

• Meningkatkan kadar N2O dan gas anestesi dapat meminimalkan kejadian hipertensi selama operasi.

• Bila hipotensi terjadi, konsentrasi gas dapat diturunkan, lalu pemberian cairan infus dapat ditingkatkan. Obat simpatomimetik seperti efedrin juga dapat diberikan untuk mengembalikan tekanan perfusi.

• Pantau tanda – tanda IMA pada saat tindakan laringoskop dan intubasi trakea dengan EKG.

• Pemantauan dengan kateter intra arteri, CVP dan ekokardiografi transesofagus dapat dipertimbangkan.

Page 19: anestesi dengan LMA

• Pengakhiran anestesi

• Antisipasi hipertensi sistemik post operasi analgesia adekuat dan obat – obatan yang dapat menurunkan TD sistolik seperti nitroprusida dan labetalol, dosis :0,1 – 0,5 mg/kgBB, IV.

• Pantau tanda – tanda kerusakan organ post operasi.

Page 20: anestesi dengan LMA

• Evaluasi Pre – Operasi• Kunjungan pra anestesi (KPA) adalah

suatu prosedur yg untuk menilai & mempersiapkan kondisi medis pasien sebelum setiap tindakan anestesi

• KPA bertujuan:– untuk mengurangi angka kesakitan operasi, – mengurangi biaya operasi, – meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan– mengurangi tingkat kecemasan pada

pasien yang mungkin terjadi.

Page 21: anestesi dengan LMA

Langkah – langkah Anestesia Umum dengan LMA

PremedikasiBenzodiazepin•Benzodiazepin memfasilitasi kerja neurotransmitter GABA (inhibisi). •Dapat menyebabkan depresi KV minimal, dimana TD arteri, CO danresistensi vaskular perifer sedikit menurun. •Amnesia merupakan salah satu efek dari pemberian obat ini. •Obat – obat ini juga memiliki sifat pelemas otot.

Opioid•Fentanyl adalah gol. opioid yg biasa digunakan untuk premedikasi. •Fentanyl kekuatannya 100X morfin. •Efek depresi nafasnya lebih lama dibanding efek analgesianya. •Analgesianya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya digunakan untuk anesthesia pembedahan. Efek tak disukai adalah kekakuan otot punggung.

Page 22: anestesi dengan LMA

Induksi• Induksi anestesia umum dengan menggunakan

obat intravena non opioid:Propofol (2,6-diisopropylphenol) • Bekerja menghasilkan efek anestesi melalui

fasilitasi kerja neurotransmitter GABA. Dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg IV sebelumnya untuk mengurangi nyeri.

• Teknik sterilitas yang baik amat diperlukan pada pemberiannya.

• Kelarutannya yang tinggi dalam lemak, menyebabkannya memiliki waktu kerja cepat.

• Menurunnya TD akibat berkurangnya tekanan resitensi pembuluh darah sistemik (SVR), kontraktilitas jantung dan preload, merupakan efek samping kardiovaskular utama akibat propofol.

• Propofol juga bersifat mendepresi respirasi & dapat menurunkan tekanan intrakranial, selain juga memiliki efek antimuntah.

Page 23: anestesi dengan LMA

• Pelumpuh Otot• Secara garis besar, obat pelumpuh otot terbagi

atas golongan depolarisasi (DMR) dan non – depolarisasi (NDMR). NDMR bekerja dengan mengikat reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin berikatan dengan reseptornya.

• Atracurium adalah obat pelumpuh otot yang sering digunakan. Penggunaan obat ini pada anestesi umum dengan LMA diberikan hanya jika dibutuhkan, saat kesulitan melakukan pemasangan LMA.

Page 24: anestesi dengan LMA

• Obat – obat emergencyAtropin• Merupakan obat yang bekerja dengan menghambat reseptor

muskarinik.. Atropin diberikan secara subkutis, IM atau IV dengan dosis 0,5-1 mg untuk dewasa dan 0.015 mg/kgBB untuk anak-anak.

• • Pada dosis kecil (0,25 mg) dapat menekan sekresi kelenjar

liur, mukus bronkus dan keringat namun belum jelas mempengaruhi jantung.

• Pada dosis yang lebih besar (0,5 – 1 mg) baru terlihat dilatasi pupil, gangguan akomodasi dan penghambatan N. vagus sehingga terlihat takikardia.

• Diperlukan dosis yang lebih besar lagi untuk dapat menghambat peristaltis usus dan sekresi kelanjar di lambung.

• Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian asetilkolinesterase.

• Hindari pemberian atropin pada kasus iskemia jantung, hipoksia dan hipertermia.

Page 25: anestesi dengan LMA

LMA (Laryngeal Mask Airway)

• Pertama kali ditemukan oleh Archie Brain di RS. London , Whitechapel pada tahun 1981.

• Alat ini terdiri dari bagian sungkup dan pipa/tangkai.

• Dikenal 2 macam sungkup laring :• Sungkup laring standar dengan satu pipa napas• Sungkup laring dengan dua pipa napas yaitu satu

pipa napas standard dan lainnya pipa tambahan yang ujung distalnya berhubungan dengan esophagus.

Page 26: anestesi dengan LMA
Page 27: anestesi dengan LMA

• Indikasi• Sebagai tindakan alternatif dari

sungkup muka atau ETT pada manajemen jalan napas.

• Dapat digunakan jika intubasi trakea diramalkan bakal mendapat kesulitan.

• Manajemen jalan napas pada tindakan resusitasi pasien – pasien yang tak sadar.

Page 28: anestesi dengan LMA

• Kontraindikasi• Kehamilan lebih dari 14 sampai 16 minggu• Trauma thorax hebat.• Trauma maxillofascial hebat• Pasien dengan resiko aspirasi dari isi

lambung atau puasa belum cukup. (namun pemasangan pada kasus – kasus gawat merupakan suatu pengecualian)

• Pasien yang membutuhkan ventilator mekanik dalam jangka waktu yang lama.

• Pasien dengan refleks saluran napas atas yang masih tinggi, karena insersi dari LMA akan menimbulkan laringospasme.

Page 29: anestesi dengan LMA

• Peralatan yang dibutuhkan dalam insersi LMA

• LMA dengan ukuran sesuai• Syringe dengan volume yang cukup

untuk mengembangkan cuff LMA • Lubrikan• Alat ventilasi/ventilator• Stetoskop• Plester

Page 30: anestesi dengan LMA

• Penggunaan LMA• Langkah pertama: Pastikan ukuran LMA

sesuai untuk pasien. – Size 1 : < 5 kg– Size 1.5: 5 - 10 kg– Size 2 : 10 - 20 kg– Size 2.5: 20 - 30 kg– Size 3 : 30 – 40 kg– Size 4 : 40 – 60 kg– Size 5 : > 60 kg

Page 31: anestesi dengan LMA

• Langkah kedua: Pemeriksaan LMA. Periksa tidak ada robekan pada cuff LMA

• Langkah ketiga: Pengempisan dan pengembangan LMA.

• Langkah 4: Lubrikasi dari LMA • Langkah 5: Memposisikan kepala. Sniffing

position fleksi ringan pada tulang – tulang cervical bawah dan esktensi dari cervical 1 – 2.

Page 32: anestesi dengan LMA

• Pada teknik insersi LMA terbagi menjadi 5 langkah:

Page 33: anestesi dengan LMA

• Setelah insersi LMA, hubungkan LMA dengan alat ventilasi. Periksa keserasian suara napas pada kedua lapangan paru dan tidak adanya bunyi di daerah epigastrium pada saat dilakukan ventilasi.

• Untuk menghindari pipa napasnya tergigit maka dapat dipasang gulungan kain kasa (bite block) atau pipa napas mulut faring (OPA). Amankan LMA dengan plester. Berikan oksigen yang cukup dan monitoring keadaan pasien.

Page 34: anestesi dengan LMA

PEMELIHARAAN ANESTESIA

• Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien.

• Cara IV:– fentanyl 10-50 µg/kgBB – infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam

• Cara inhalasi: – campuran N2O dan O2 2:1 , ditambah dengan

halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4 vol%.

• Kombinasi

Page 35: anestesi dengan LMA

PEMANTAUAN ANESTESIA• Tujuan monitoring untuk membantu anestesi

mendapatkan informasi fungsi organ vital selama peri anestesi, supaya dapat bekerja dengan aman. Hal yang harus dipantau adalah:

• Pemantauan adekuatnya jalan nafas dan ventilasi : RR, stabilitas LMA.

• Pemantauan adekuatnya oksigenasi : SaO2 • Pemantauan adekuatnya fungsi sirkulasi pasien:

TD, nadi, MAP• Pemantauan EKG• Pemantauan suhu tubuh • Pemantauan perdarahan: kassa, suction, duk.• Pemantauan cairan yang masuk dan keluar (urin)

Page 36: anestesi dengan LMA

POST OPERASI

• Pasien dipindakan ke UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi).

• Mencegah timbulnya nyeri pasca bedah saat pembedahan dengan anestesi umum dikombinasikan dengan opioid kuat (fentanil, sufentanil) dan pasca bedah menggunakan analgetik kuat nonopioid (ketorolac)

• Dilakukan penilaian pulih dari anestesi dengan Aldrette Score (max: 10).

Page 37: anestesi dengan LMA

DISKUSI

• Pasien mempunyai TD 160/110 mmHghipertensi grade II.

• Pasien ini tidak diterapi dengan obat – obat antihipertensi dan tidak dikonsul ke kardiologi.

• 1 hari sebelum operasi captopril (golongan ACEI), tablet 2 x 25 mg dan premedikasi diazepam tablet, 2 x 5mg untuk menurunkan TD pasien.

• Namun keesokan harinya TD pasien tetap tinggi. Sesaat sebelum induksi, TD pasien 210/118 mmHg.

Page 38: anestesi dengan LMA

• Metode anestesi yang dipilih adalah anestesi umum atas pertimbangan lokasi operasi.

• Pertimbangan penggunaan LMA :– Operasi tidak membutuhkan waktu yang

lama.– Posisi operasi pasien yang telentang dan

stabil.– Bukan operasi di daerah kepala & leher

Page 39: anestesi dengan LMA

• Diberikan premedikasi dengan midazolam dan fentanyl, kemudian diinduksi dengan propofol.

• =====================================

• Setelah diberikan premedikasi dan dilakukan induksi, TD pasien berangsur - angsur menurun, hal ini dikarenakan obat seperti midazolam dan propofol mempunyai efek menurunkan TD.

• Dan seperti yang telah disebutkan sebelumnya propofol juga bersifat inotropik (-) dan menurunkan pre –load, sehingga efek penurunan TD terjadi lebih nyata lagi. Normotensi tercapai, 15 menit setelah induksi.

Page 40: anestesi dengan LMA

• Setelah refleks bulu mata hilang, diberikan ventilasi O2 6L/menit yang tujuannya untuk memberi waktu saat pemasangan LMA serta gas anestesi isofluran 2 vol% agar anestesi lebih dalam. Pemberian ventilasi ini dilakukan selama 3 menit.

• ================================

• Sebelum memasang LMA, diberikan atracurium, ¼ dosis pasien agar tidak kesulitan dalam pemasangannya, LMA yang dipakai adalah size 5, berdasarkan berat badan pasien yaitu 70 kg.

Page 41: anestesi dengan LMA

• Rumatan dengan N2O & O2 2:1 → 2 L : 1L. Sistem anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah semi closed system, dengan gas anestesi yang digunakan adalah isofluran, dengan dosis 2 vol %.

• Operasi berlangsung 1 jam. Dari hasil monitoring pada pasien ini, selama operasi jalan nafas, ventilasi dan oksigenasi pasien aman.

• ==========================================

• Pada pemantauan sirkulasi, terdapat penurunan denyut jantung (bradikardia) pada menit ke 30 setelah operasi, kemudian hal ini ditanggulangi dengan pemberian atropin 0,5 mg. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, atropin dalam dosis ini dapat menghambat aktivitas N. vagus, sehingga terjadilah takikardia, yang menyebabkan denyut nadi pasien berangsur – angsur normal.

Page 42: anestesi dengan LMA

• Hasil EKG normal, perdarahan minimal, jumlah cairan yang dibutuhkan selama operasi berlangsung sebanyak 440 ml ( ±1 botol RL). Post operasi pasien diberikan ketorolac 30 mg secara IV untuk mencegah timbulnya nyeri pasca bedah dan ondansetron 4 mg untuk pencegahan mual-muntah pasca bedah.

• Di ruang UPPA (Unit Perawatan Pasca Anestesi) dalam waktu ± 10 menit, Aldrette score pasien adalah 10 yang artinya pasien sudah dapat keluar dari ruang UPPA, untuk dibawa ke ruangan.

Page 43: anestesi dengan LMA

DAFTAR PUSTAKA• Latief, A.Said, dkk. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 2. Bagian

Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Indonesia. 2001

• Goldman L, Caldera DL: Risk of general anesthesia and elective operation in the hypertensive patient. Anesthesiology. 1979;50:285 – 292.

• Hanada S, Kawakami H, Goto T, Morita S: Hypertension and anesthesia. Curr Opin Anesth 2006; 19: 315 – 319.

• Prys – Roberts C: Anesthesia and hypertension. Br J Anesth 1984;56:711 – 724.

• The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC VII): NIH Publication No. 03 – 5233, December 2003. Also Hypertension 2003; 42: 1206 – 1252

• Stone JG, Foex P, Sear JW, et al: Risk of myocardial ischemia during anesthesia in treated and untreated hypertensive patients. Br J Anesth 1988;61:675 – 679.