25
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN DEFINISI Anemia hemolitik imun merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibody terhadap sel-sel eritrosit sehingga umur eritrosit memendek. ETIOLOGI Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual. PATOFISIOLOGI Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantai antibodi ini terjadi melalui aktifasi sistem komplemen, aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya. 1. Aktifasi sistem komplemen. Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler, yang ditandai dengan hemoglobinemia dan hemoglobinuri. Sistem komplemen diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sl

Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN

DEFINISI

Anemia hemolitik imun merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibody terhadap sel-sel

eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.

ETIOLOGI

Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena

gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.

PATOFISIOLOGI

Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantai antibodi ini terjadi melalui aktifasi sistem komplemen,

aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.

1. Aktifasi sistem komplemen.

Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran

sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler, yang ditandai dengan hemoglobinemia

dan hemoglobinuri.

Sistem komplemen diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-

antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2,

IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan

antigen polisakarida pada permukaan sl darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh.

Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel

eritrosit pada suhu tubuh.

2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular

Jika sel darah disintesis dengan IgG yang tidak berkaitan dengan komplemen atau

berikatan dengan kompenen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih

lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retilkuloendotelial.

Proses immune adherance ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantai

sel. Immunoadherance terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.

Page 2: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

DIAGNOSIS

Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit

Direct Antiglobilin Test (direct Combo’s test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein

yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai

immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama igG dan C3d. Bila pada permukaan sel

terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.

Indirect antiglobulin test (indirect Coomb’s test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat

pada serum. Serum pasien direaksikan pada sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada

serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan

terjadinya aglutinasi.

KLASIFIKASI

Anemia Hemolitik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1):

Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik ImunI. Anemia Hemolitik Auto Omun (AIHA)

A. AIHA tipe hangat

1. Idiopatik

2. Sekunder (karena cll, limfoma, SLE)

B. AIHA tipe dingin

1. Idiopatik

2. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler)

C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri

1. Idiopatik

2. Sekunder (viral dan sifilis)

D. AIHA Atipik

1. AIHA tes antiglobulin negatif

2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin

II. AIHA diinduksi obat

III. AIHA diinduksi aloantibodi

1. Reaksi Hemolitik Transfusi

2. Penyakit Hemolitik pada bayi baru lahir

Page 3: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat

Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal

pada susu 300C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.

1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik

dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri

abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik

terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,

hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%

pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.

2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk

biasanya positif. Auotoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat

dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi

degan semual sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan

antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.

3. Prognosis dan survival: Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit

dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun

terkendali. Survival 10 tahun sekitar 70%. Anemia, DVT, emboli pulno, infark lien, dan

kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama

5-10 tahunsebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang

mendasari.

4. Terapi:

a. Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan

menunjukan respon klinis baik.

b. Splenoktomi: Bila terapi steroid tidak adekuat atau bias dilakukan tapering dosis

selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan spleknetomi.

c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.

d. Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama

steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol

diturunkan menjadi 200-400 mg/hari.

Page 4: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

Terapi immunoglobulin intravena (400 mg/kgBB/hari selama 5 hari) menunjukan

beberapa perbaikan pada pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada

beberapa pasien lain.

Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari, dilaporkan member hasil

yang bagus pada AIHA refrakter.

e. Terapi tranfusi: Terapi tranfusi bukan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang

mengancam jiwa (missal Hb≤3 g/dl) tranfusi dapat diberikan, sambil menunggu

steroid dan immunoglobulin untuk berefek.

Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin

Terjadinya hemolisis diperantai antibody dingin yaitu agkutinin dingin dan antibody Donath-

landstainer. Kelainana ini secara karekteristik memiliki agglutinin dingin IgM monoklonal. Pada

umumnya agglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan

meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel

darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.

a. Gambaran klinik: Sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik.

Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis dan

splenomegali.

b. Laboratorium: Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I,

anti-Pr, anti-M atau anti-P.

c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik

dan cukup stabil.

d. Terapi: Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.

Prednisolon dan spleknotomi tidak banyak membantu.

Chlorambucil 2-4 mg/hari.

Paroxysmal Cold Hemoglobinuri

Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara massif dan

berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan

dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibody Donath-Landsteiner dan protein

Page 5: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 370C. terjadilah lisis karena

propagasi pada protein-protein komplemen yang lain.

a. Gambaran klinis: AIHA (2,5%), hemolisis paroksimal disertai menggigil, panas, mialgia,

sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering desertai urtikaria.

b. Laboratorium: Hemoglobinuria, sferositosis, eritofagositosis, coombs positif, antibody

Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.

c. Prognosis dan survival: Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki

prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan

survival yang panjang.

d. Terapi: Menghindari faktor pencetus, glukokortikoid dan splenoktomi tidak ada

manfaatnya.

ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN

PENDAHULUAN

Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobinuri kurand dari nilai normal akibat kerusakan sel

eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:

1. Defek molekular: Hemoglobinopati atau enzimopati;

2. Abnormalitas struktur dan fungsi membrane-membran;

3. Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.

Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokan menjadi:

Anemia hemolisis heriditer

Defek enzim/enzimopati

- Defek jalur Embden Meyerhof

- Derivat piruvat kinase

Page 6: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

- Defisiensi glukosa fosfat isomerase

- Defisiensi fosfogliserat kinase

- Defek jalur heksosa monofosfat

- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)

- Defisiensi glutation reduktase

Hemiglobinopati

- Thalassemia

- Anemia sickle cell

- Hemoglobinopati lain

Defek membran (membranopati): sferositosis herediter

Anemia hemolisis didapat

Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun,

infeksi, transfusi.

Mikroangiopati, misalnya: Trombotik trombositopenia purpura, Sindrom uremik

hemolitik. Koagulasi intravascular diseminata, preeklamsia, eklamsia, hipertensi maligna,

katup prostetik.

Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi clostridium.

Anemia hemolisis imun

Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibody yang biasanya IgG atau IgM yang spesifik untuk

antigen eritrosit pasien.

Anemia hemolisis non imun

Hemolisis terjadi keterlibatan imunoglobulin karena faktor defek molukelar, abnormalitas

struktur membrane, faktor lingkungan yang bukan autoantibody seperti hipersplenisme,

kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan

eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan

klostridium.

Page 7: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

PATOFISIOLOGI

Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang

mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravascular, destruksi eritrosit terjadi langsung di

sirkulasi darah. Hemolisis yang lebih sering adalah ekstravaskular. Pada hemolisis esktravaskular

destruksi sel eritrosit dilakukan oleh system retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah

mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi system retikuloendotelial sehingga

difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.

MANIFESTASI KLINIS

Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.

Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien juga mengeluh kuning

dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan

toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang ditanyakan saat anamnesis.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada

beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardi dan aliran murmur

pada katup jantung

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya

hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan.

Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding

retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis.

Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran

mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukan adanya hemolisis dan

penyebabnya.

Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama

LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan detruksi eritrosit.

Page 8: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

TALASEMIA

Talasemia merupakan suatu penyakit darah yang ditandai dengan berkurang atau ketiadaan

produksi dari hemoglobin normal. Talasemia biasanya terjadi di daerah-daerah dimana terjadi

endemik malaria, khususnya malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum

Darah terdiri dari plasma yang berupa cairan, sel darah merah (eritrosit), sel darah putih

(leukosit), dan keping darah (trombosit). Leukosit berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap

infeksi, dan trombosit berfungsi untuk mekanisme pembekuan darah. Eritrosit membawa satu

protein yang disebut hemoglobin yang berfungsi untuk mengikat oksigen di paru-paru,

membawanya ke peredaran darah, dan melepaskannya ke sel dan jaringan tubuh.

Molekul hemoglobin terdapat pada semua eritrosit dan menjadi penyebab dari merahnya warna

darah manusia. Hemoglobin terdiri dari haem (suatu kompleks yang terdiri dari zat besi) dan

berbagai macam globin ( rantai protein yang ada di sekeliling kompleks haem). Pada orang

normal, hemoglobin dibagi menjadi :

1. Hb A (95%-98%)

HbA mengandung dua rantai alpha (α) dan dua rantai beta (β).

2. Hb A2 (2%-3,5%)

HbA2 mempunyai dua rantai alpha (α) dan dua rantai delta (δ).

3. Hb F (<2%)

HbF diproduksi pada saat masa kehamilan dan akan menurun seiring dengan

bertambahnya usia. HbF mempunyai dua rantai alpha (α) dan dua rantai gamma (γ).

Pada talasemia terjadi kelainan pada gen-gen yang mengatur pembentukan dari rantai globin

sehingga produksinya terganggu. Gangguan dari pembentukan rantai globin ini akan

mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah yang pada akhirnya akan menimbulkan

pecahnya sel darah tersebut.

Page 9: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

KLASIFIKASI TALASEMIA

Berdasarkan gangguan pada rantai globin yang terbentuk, talasemia dibagi menjadi :

1. Talasemia alpha

Talasemia alpha disebabkan karena adanya mutasi dari salah satu atau seluruh globin rantai

alpha yang ada. Talasemia alpha dibagi menjadi :

Silent Carrier State (gangguan pada 1 rantai globin alpha).Pada keadaan ini mungkin

tidak timbul gejala sama sekali pada penderita, atau hanya terjadi sedikit kelainan berupa

sel darah merah yang tampak lebih pucat (hipokrom).

Alpha Thalassaemia Trait (gangguan pada 2 rantai globin alpha). Penderita mungkin

hanya mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang tampak pucat

(hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer).

Hb H Disease (gangguan pada 3 rantai globin alpha). Gambaran klinis penderita dapat

bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai

dengan perbesaran limpa (splenomegali).

Alpha Thalassaemia Major (gangguan pada 4 rantai globin aplha). Talasemia tipe ini

merupakan kondisi yang paling berbahaya pada talasemia tipe alpha. Pada kondisi ini

tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi.

Biasanya fetus yang menderita alpha talasemia mayor mengalami anemia pada awal

kehamilan, membengkak karena kelebihan cairan (hydrops fetalis), perbesaran hati dan

limpa. Fetus yang menderita kelainan ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal

tidak lama setelah dilahirkan.

2.Talasemia Beta

Talasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin yang ada. Talasemia

beta dibagi menjadi :

Page 10: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

Beta Thalassaemia Trait. Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan satu gen

yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel

darah merah yang mengecil (mikrositer).

Thalassaemia Intermedia.Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa

memproduksi sedikit rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami anemia yang

derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.

Thalassaemia Major (Cooley’s Anemia).Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi

sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul pada bayi

ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat. 

DIAGNOSIS TALASEMIA

Diagnosis dari talasemia diketahui dengan melakukan beberapa pemeriksaan darah, seperti : 

FBC (Full Blood Count)

Pemeriksaan ini akan memberikan informasi mengenai berapa jumlah sel darah merah

yang ada, berapa jumlah hemoglobin yang ada di sel darah merah, dan ukuran serta

bentuk dari sel darah merah.

Sediaan Darah Apus

Pada pemeriksaan ini darah akan diperiksa dengan mikroskop untuk melihat jumlah dan

bentuk dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet. Selain itu dapat juga dievaluasi

bentuk darah, kepucatan darah, dan maturasi darah.

Iron studies

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui segala aspek penggunaan dan penyimpanan

zat besi dalam tubuh. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membedakan apakah

penyakit disebabkan oleh anemia defisiensi besi biasa atau talasemia.

Evaluasi hemoglonopati

Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui tipe dan jumlah relatif hemoglobin yang ada

dalam darah.

Analisis DNA

Page 11: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

TERAPI TALASEMIA

Sebagian besar penderita talasemia tidak memerlukan terapi. Penderita talasemia HbH dan

talasemia intermedia memerlukan pengawasan yang ketat dan kadang-kadang harus menjalani

transfusi darah. Pemberian asam folat kadang dapat diberikan, tetapi suplemen zat besi tidak

dianjurkan.

Penderita Major Beta Thalassaemia memerlukan transfusi secara reguler setiap enam sampai

delapan minggu tergantung dari derajat anemia. Transfusi darah secara terus menerus ini dapat

menimbulkan kelebihan zat besi di dalam tubuh, yang disebut hemosiderosis. Keadaan ini dapat

menimbulkan efek jangka panjang yang berbahaya karena dapat menyebabkan gagal jantung dan

hati. Oleh sebab itu biasanya transfusi darah disertai dengan penggunaan obat-obatan yang dapat

menurunkan kadar zat besi dalam tubuh (chelating agent).

Pada beberapa keadaan, kadang diperlukan suatu tindakan operasi untuk mengambil limpa dari

dalam tubuh (splenectomy), karena limpa telah rusak. Terapi lain dapat berupa transplantasi

sumsum tulang. Prosedur ini menjanjikan kesembuhan pada penderita talasemia namun angka

keberhasilan sampai saat ini sulit diprediksi.

Analisis DNA digunakan untuk mengetahui adanya mutasi pada gen yang memproduksi rantai

alpha dan beta. Pemeriksaan ini merupakan tes yang paling efektif untuk mendiagnosa keadaan

karier pada talasemia.

KOENZIM Q10 DAN TALASEMIA

Adanya kerusakan sel darah merah dan zat besi yang menumpuk di dalam tubuh akibat

talasemia, menyebabkan timbulnya  aktifasi oksigen atau yang lebih dikenal dengan radikal

bebas. Radikal bebas ini dapat merusak lapisan lemak dan protein pada membram sel, dan

organel sel, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel. Biasanya

kerusakan ini terjadi di organ-organ vital dalam tubuh seperti hati, pankreas, jantung dan kelenjar

pituitari. Oleh sebab itu penggunaan antioksidan, untuk mengatasi radikal bebas, sangat

diperlukan pada keadaan talasemia.

Page 12: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

Dari penelitian yang dilakukan oleh Siriraj Hospital, Universitas Mahidol , Bangkok, Thailand,

ditemukan bahwa kadar koenzim Q 10 pada penderita talasemia sangat rendah. Pemberian

suplemen koenzim Q 10 pada penderita talasemia terbukti secara signifikan mampu menurunkan

radikal bebas pada penderita talasemia. Oleh sebab itu pemberian koenzim Q 10 dapat berguna

sebagai terapi ajuvan pada penderita talasemia untuk meningkatkan kualitas hidup.

DEFISIENSI G6PD

PENGERTIAN/GAMBARAN UMUM

1. G6PD adalah sejenis enzim yang diperlukan untuk menstabilkan membran sel darah

merah dengan pengaktifan (inactivation) komponen oksidan. Jika G6PD berkurang, sel-

sel darah merah akan menjadi rusak dan pecah (hemolisis) apabila orang yang sakit

tersebut memakan obat-obatan yang memiliki ciri pengoksida.

2. Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat merupakan penyakit yang jarang terjadi. Penyakit ini

disebabkan karena kekurangan enzim glukosa-6-fosfat dehydrogenase (glucose-6-

phospate dehydrogenase deficiency). Enzim ini penting dalam pembuatan sel darah

merah. Bila kekurangan enzim ini, tenaga yang dihasilkan glukosa menjadi kurang.

3. Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) berfungsi mereduksi nikotinamida adenin

dinukleotida (NADPH) sambil mengoksidasi glukosa-6-fosfat. Ini adalah satu-satunya

sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi glutation

tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhadap stres

oksidasi. Varian genetik normal enzim G6PD sangat bervariasi. Yang tersering adalah

tipe B (barat) dan tipe A pada orang Afrika.

4. kelainan enzim yang menyebabkan anemia yang paling sering ditemukan. Enzim ini

berperan dalam HMS dan menghasilkan reduktor NADPH (Niacin Adenin Dinucleutide

Phospate), yang akan mempertahankan kemampuan mereduksi dari glutation, yang

berperan dalam melenyapkan oksidator kuat yang biasa terbentuk dalam sel darah merah,

yaitu hidrogen peroksida (H2O2)

Page 13: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

GENETIKA

1. sifat penurunannya terkait seks, mengenai pria, dan dibawa oleh wanita yang

memperlihatkan kadar G6PD eritrosit sekitar separuh dari nilai normal. Heterozigot

wanita mempunyai suatu keuntungan yaitu adanya resistensi terhadap malaria Falsifarum.

Ras utama yang terkena penyakit ini adalah di Afrika Barat, Laut Tengah, Timur Tengah,

dan Asia Tenggara. Derajat defisiensi bervariasi. Seringkali bersifar ringan (10-15%

aktivitas normal) pada orang Afrika kulit hitam, lebih berat pada orang Asia Timur, dan

paling berat pada orang Laut Tengah.

2. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang melibatkan kromosom X. Oleh karena

itu, penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.

Gambar/ ilustrasi :

KLASIFIKASI DEFISIENSI G6PD

1. Varian G6PD yang defisiensi enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang dari

10% dari normal) dengan anemia hemolitik akut.

2. varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat (aktivitas enzim kurang dari

10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik kronis.

3. varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal dan anemi

hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi.

4. varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan aktivitas

enzim G6PD

Page 14: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

5. varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat. Varian klas IV dan klas V

secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat gejala klinik.

ETIOLOGI DAN EPIDIEMIOLOGI

Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang

terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada

perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian

G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan substusi basa berupa penggantian

asam amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari

hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stress oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi

ketika distimulasi dengan steres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi

secara klini. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik

adalah tipe-A. Tipe ini ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering

ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat

mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas.

MANIFESTASI KLINIS

Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu eritrosit mencapai 120 hari. Pada tipe

A- penurunan terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian mediteranian. Meskipun

umur eritrosit pada tipe A- kenih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan

dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai

oksidan yang mengakibatkan hemoliis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi

hemplisis pada pasien G6PD adalah asetanilid, fuzolido,.isobutil nitrit, metilen blue, asam

nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofuranton, fenazopiridin, primakuin, pamakuin, dapson,

sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat

oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi hemolisis pada

pasien defisiensi G6PD.

Hemolisis akut terjadi setelah beberapa jam terpajan dengan oksidan, diikuti hemogloburia dan

kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena

yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit

menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan

Page 15: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami

oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet

kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai badan inklusi ini siap ikeluarkan

oleh limpa sehingga membentuk bite cells. Mungkin juga ditemukan beberapa sperosit. Sebagian

kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat sensitive dengan fava beans (buncis) dan dapat

mengakibatkan krisis hemolisis pulminan setelah terpajan.

DIAGNOSIS

Diagnosis G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau

mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat

oksidan, misalnya obat atu zat yang telah disebutkan diatas. Pemeriksaan aktivitas enzim

mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan

aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.

TERAPI

Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak perlu

terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan menghindari obat-obatan atau zat

yang mempresipitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya

hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang biasa terjadi pada varian

Mediteranian, mungkin diperlukan transfuse darah.

Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan

segera dan memperhatikan resiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus

untuk orang Afrika atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan

skrining untuk mengetahui adanya defisiensi G6PD.

Page 16: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo W. Aru, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 5. Jakarta: Pusat

Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.

p.1152-1159, 1379-1389.

2. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Ed 3. Jakarta: Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p. 550-552

3. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Ed 3. Jakarta: Media Aesculapius

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p. 497-498.

4. Talasemia. 5 april 2009. Diunduh dari http://talasemia.com. 7 oktober 2010.

5. Defisiensi G6PD. 20 mei 2009. Diunduh dari http://scrib.com. 7 oktober 2010.

Page 17: Anemia Hemolitik Autoimun Pbl 27

SASARAN PEMBELAJARAN

PROBLEM BASED LEARNING

BLOK 27

Genetika Klinik Dan Gizi Masyarakat

KRISHNA WARDHANA

10-2007-170

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA