Upload
krishna-wardhana
View
91
Download
11
Embed Size (px)
Citation preview
ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN
DEFINISI
Anemia hemolitik imun merupakan suatu kelainan dimana terdapat antibody terhadap sel-sel
eritrosit sehingga umur eritrosit memendek.
ETIOLOGI
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif residual.
PATOFISIOLOGI
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantai antibodi ini terjadi melalui aktifasi sistem komplemen,
aktifasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.
1. Aktifasi sistem komplemen.
Secara keseluruhan aktifasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler, yang ditandai dengan hemoglobinemia
dan hemoglobinuri.
Sistem komplemen diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif. Antibodi-
antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM, IgG1, IgG2,
IgG3. IgM disebut sebagai agglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini berikatan dengan
antigen polisakarida pada permukaan sl darah merah pada suhu di bawah suhu tubuh.
Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan antigen permukaan sel
eritrosit pada suhu tubuh.
2. Aktifasi selular yang menyebabkan hemolisis ekstravaskular
Jika sel darah disintesis dengan IgG yang tidak berkaitan dengan komplemen atau
berikatan dengan kompenen komplemen namun tidak terjadi aktifasi komplemen lebih
lanjut, maka sel darah merah tersebut akan dihancurkan oleh sel-sel retilkuloendotelial.
Proses immune adherance ini sangat penting bagi perusakan sel eritrosit yang diperantai
sel. Immunoadherance terutama yang diperantai IgG-FcR akan menyebabkan fagositosis.
DIAGNOSIS
Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit
Direct Antiglobilin Test (direct Combo’s test): sel eritrosit pasien dicuci dari protein-protein
yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi monoclonal terhadap berbagai
immunoglobulin dan fraksi komplemen, terutama igG dan C3d. Bila pada permukaan sel
terdapat salah satu atau kedua IgG dan Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.
Indirect antiglobulin test (indirect Coomb’s test): untuk mendeteksi autoantibodi yang terdapat
pada serum. Serum pasien direaksikan pada sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada
serum akan melekat pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin sera dengan
terjadinya aglutinasi.
KLASIFIKASI
Anemia Hemolitik dapat diklasifikasikan sebagai berikut: (Tabel 1):
Tabel 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik ImunI. Anemia Hemolitik Auto Omun (AIHA)
A. AIHA tipe hangat
1. Idiopatik
2. Sekunder (karena cll, limfoma, SLE)
B. AIHA tipe dingin
1. Idiopatik
2. Sekunder (infeksi mycoplasma, mononucleosis, virus, keganasan limforetikuler)
C. Paroxysmal Cold hemoglobinuri
1. Idiopatik
2. Sekunder (viral dan sifilis)
D. AIHA Atipik
1. AIHA tes antiglobulin negatif
2. AIHA kombinasi tipe hangat dan dingin
II. AIHA diinduksi obat
III. AIHA diinduksi aloantibodi
1. Reaksi Hemolitik Transfusi
2. Penyakit Hemolitik pada bayi baru lahir
Anemia Hemolitik Autoimun Tipe Hangat
Sekitar 70% kasus AIHA memiliki tipe hangat, di mana autoantibodi bereaksi secara optimal
pada susu 300C. Kurang lebih 50% pasien AIHA tipe hangat disertai penyakit lain.
1. Gejala dan tanda: Onset penyakit tersamar, gejala anemia terjadi perlahan-lahan, ikterik
dan demam. Pada beberapa kasus dijumpai perjalanan penyakit mendadak, disertai nyeri
abdomen, dan anemia berat. Urin berwarna gelap karena terjadi hemoglobinuri. Ikterik
terjadi pada 40% pasien. Pada AIHA idiopatik splenomegali terjadi pada 50-60%,
hepatomegali terjadi pada 30%, dan limfadenopati terjadi pada 25% pasien. Hanya 25%
pasien tidak disertai pembesaran organ dan limfonodi.
2. Laboratorium: Hemoglobin sering dijumpai dibawah 7 g/dl. Pemeriksaan Coomb direk
biasanya positif. Auotoantibodi tipe hangat biasanya ditemukan dalam serum dan dapat
dipisahkan dari sel-sel eritrosit. Autoantibodi ini berasal dari kelas IgG dan bereaksi
degan semual sel eritrosit normal. Autoantibodi tipe hangat ini biasanya bereaksi dengan
antigen pada sel eritrosit pasien sendiri, biasanya antigen Rh.
3. Prognosis dan survival: Hanya sebagian kecil pasien mengalami penyembuhan komplit
dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik, namun
terkendali. Survival 10 tahun sekitar 70%. Anemia, DVT, emboli pulno, infark lien, dan
kejadian kardiovaskuler lain bisa terjadi selama periode penyakit aktif. Mortalitas selama
5-10 tahunsebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder tergantung penyakit yang
mendasari.
4. Terapi:
a. Kortikosteroid: 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukan respon klinis baik.
b. Splenoktomi: Bila terapi steroid tidak adekuat atau bias dilakukan tapering dosis
selama 3 bulan, maka perlu dipertimbangkan spleknetomi.
c. Imunosupresi. Azathioprin 50-200 mg/hari, siklofosfamid 50-150 mg/hari.
d. Terapi lain: danazol 600-800 mg/hari. Biasanya danazol dipakai bersama-sama
steroid. Bila terjadi perbaikan, steroid diturunkan atau dihentikan dan dosis danazol
diturunkan menjadi 200-400 mg/hari.
Terapi immunoglobulin intravena (400 mg/kgBB/hari selama 5 hari) menunjukan
beberapa perbaikan pada pasien, namun dilaporkan terapi ini juga tidak efektif pada
beberapa pasien lain.
Mycophenolate mofetil 500 mg/hari sampai 1000 mg/hari, dilaporkan member hasil
yang bagus pada AIHA refrakter.
e. Terapi tranfusi: Terapi tranfusi bukan kontraindikasi mutlak. Pada kondisi yang
mengancam jiwa (missal Hb≤3 g/dl) tranfusi dapat diberikan, sambil menunggu
steroid dan immunoglobulin untuk berefek.
Anemia Hemolitik Imun Tipe Dingin
Terjadinya hemolisis diperantai antibody dingin yaitu agkutinin dingin dan antibody Donath-
landstainer. Kelainana ini secara karekteristik memiliki agglutinin dingin IgM monoklonal. Pada
umumnya agglutinin tipe dingin ini terdapat pada titer yang sangat rendah, dan titer ini akan
meningkat pesat pada fase penyembuhan infeksi. Aglutinin tipe dingin akan berikatan dengan sel
darah merah dan terjadi lisis langsung dan fagositosis.
a. Gambaran klinik: Sering terjadi aglutinasi pada suhu dingin. Hemolisis berjalan kronik.
Anemia biasanya ringan dengan Hb 9-12 g/dl. Sering didapatkan akrosianosis dan
splenomegali.
b. Laboratorium: Anemia ringan, sferositosis, polikromatosia, tes Coombs positif, anti-I,
anti-Pr, anti-M atau anti-P.
c. Prognosis dan survival. Pasien dengan sindrom kronik akan memiliki survival yang baik
dan cukup stabil.
d. Terapi: Menghindari udara dingin yang dapat memicu hemolisis.
Prednisolon dan spleknotomi tidak banyak membantu.
Chlorambucil 2-4 mg/hari.
Paroxysmal Cold Hemoglobinuri
Ini adalah bentuk anemia hemolitik yang jarang dijumpai, hemolisis terjadi secara massif dan
berulang setelah terpapar suhu dingin. Dahulu penyakit ini sering ditemukan, karena berkaitan
dengan penyakit sifilis. Pada kondisi ekstrim autoantibody Donath-Landsteiner dan protein
komplemen berikatan pada sel darah merah. Pada saat suhu kembali 370C. terjadilah lisis karena
propagasi pada protein-protein komplemen yang lain.
a. Gambaran klinis: AIHA (2,5%), hemolisis paroksimal disertai menggigil, panas, mialgia,
sakit kepala, hemoglobinuri berlangsung beberapa jam. Sering desertai urtikaria.
b. Laboratorium: Hemoglobinuria, sferositosis, eritofagositosis, coombs positif, antibody
Donath-Landsteiner terdisosiasi dari sel darah merah.
c. Prognosis dan survival: Pengobatan penyakit yang mendasari akan memperbaiki
prognosis. Prognosis pada kasus-kasus idiopatik pada umumnya juga baik dengan
survival yang panjang.
d. Terapi: Menghindari faktor pencetus, glukokortikoid dan splenoktomi tidak ada
manfaatnya.
ANEMIA HEMOLITIK NON IMUN
PENDAHULUAN
Anemia hemolisis adalah kadar hemoglobinuri kurand dari nilai normal akibat kerusakan sel
eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk menggantikannya.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Pada prinsipnya anemia hemolisis dapat terjadi karena:
1. Defek molekular: Hemoglobinopati atau enzimopati;
2. Abnormalitas struktur dan fungsi membrane-membran;
3. Faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi.
Berdasarkan etiologinya anemia hemolisis dapat dikelompokan menjadi:
Anemia hemolisis heriditer
Defek enzim/enzimopati
- Defek jalur Embden Meyerhof
- Derivat piruvat kinase
- Defisiensi glukosa fosfat isomerase
- Defisiensi fosfogliserat kinase
- Defek jalur heksosa monofosfat
- Defisiensi glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD)
- Defisiensi glutation reduktase
Hemiglobinopati
- Thalassemia
- Anemia sickle cell
- Hemoglobinopati lain
Defek membran (membranopati): sferositosis herediter
Anemia hemolisis didapat
Anemia hemolisis imun, misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan, kelainan autoimun,
infeksi, transfusi.
Mikroangiopati, misalnya: Trombotik trombositopenia purpura, Sindrom uremik
hemolitik. Koagulasi intravascular diseminata, preeklamsia, eklamsia, hipertensi maligna,
katup prostetik.
Infeksi, misalnya: infeksi malaria, infeksi babesiosis, infeksi clostridium.
Anemia hemolisis imun
Hemolisis terjadi karena keterlibatan antibody yang biasanya IgG atau IgM yang spesifik untuk
antigen eritrosit pasien.
Anemia hemolisis non imun
Hemolisis terjadi keterlibatan imunoglobulin karena faktor defek molukelar, abnormalitas
struktur membrane, faktor lingkungan yang bukan autoantibody seperti hipersplenisme,
kerusakan mekanik eritrosit karena mikroangiopati atau infeksi yang mengakibatkan kerusakan
eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi seperti malaria, babesiosis, dan
klostridium.
PATOFISIOLOGI
Hemolisis dapat terjadi intravaskular dan ekstravaskular. Hal ini tergantung pada patologi yang
mendasari suatu penyakit. Pada hemolisis intravascular, destruksi eritrosit terjadi langsung di
sirkulasi darah. Hemolisis yang lebih sering adalah ekstravaskular. Pada hemolisis esktravaskular
destruksi sel eritrosit dilakukan oleh system retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah
mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi system retikuloendotelial sehingga
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag.
MANIFESTASI KLINIS
Penegakan diagnosis anemia hemolisis memerlukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti.
Pasien mungkin mengeluh lemah, pusing, cepat capek dan sesak. Pasien juga mengeluh kuning
dan urinnya kecoklatan, meski jarang terjadi. Riwayat pemakaian obat-obatan dan terpajan
toksin serta riwayat keluarga merupakan informasi penting yang ditanyakan saat anamnesis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan kulit dan mukosa kuning. Splenomegali didapati pada
beberapa anemia hemolitik. Pada anemia berat dapat ditemukan takikardi dan aliran murmur
pada katup jantung
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Retikulositosis merupakan indikator terjadinya hemolisis. Retikulositosis mencerminkan adanya
hiperplasia eritroid di sumsum tulang tetapi biopsi sumsum tulang tidak selalu diperlukan.
Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Diagnosis banding
retikulositosis adalah perdarahan aktif, mielotisis dan perbaikan supresi eritropoeisis.
Anemia pada hemolisis biasanya normositik, meskipun retikulositosis meningkatkan ukuran
mean corpuscular volume. Morfologi eritrosit dapat menunjukan adanya hemolisis dan
penyebabnya.
Jika tidak ada kerusakan jaringan organ lain, peningkatan laktat dehidrogenase (LD) terutama
LDH 2, dan SGOT dapat menjadi bukti adanya percepatan detruksi eritrosit.
TALASEMIA
Talasemia merupakan suatu penyakit darah yang ditandai dengan berkurang atau ketiadaan
produksi dari hemoglobin normal. Talasemia biasanya terjadi di daerah-daerah dimana terjadi
endemik malaria, khususnya malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum
Darah terdiri dari plasma yang berupa cairan, sel darah merah (eritrosit), sel darah putih
(leukosit), dan keping darah (trombosit). Leukosit berfungsi untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi, dan trombosit berfungsi untuk mekanisme pembekuan darah. Eritrosit membawa satu
protein yang disebut hemoglobin yang berfungsi untuk mengikat oksigen di paru-paru,
membawanya ke peredaran darah, dan melepaskannya ke sel dan jaringan tubuh.
Molekul hemoglobin terdapat pada semua eritrosit dan menjadi penyebab dari merahnya warna
darah manusia. Hemoglobin terdiri dari haem (suatu kompleks yang terdiri dari zat besi) dan
berbagai macam globin ( rantai protein yang ada di sekeliling kompleks haem). Pada orang
normal, hemoglobin dibagi menjadi :
1. Hb A (95%-98%)
HbA mengandung dua rantai alpha (α) dan dua rantai beta (β).
2. Hb A2 (2%-3,5%)
HbA2 mempunyai dua rantai alpha (α) dan dua rantai delta (δ).
3. Hb F (<2%)
HbF diproduksi pada saat masa kehamilan dan akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia. HbF mempunyai dua rantai alpha (α) dan dua rantai gamma (γ).
Pada talasemia terjadi kelainan pada gen-gen yang mengatur pembentukan dari rantai globin
sehingga produksinya terganggu. Gangguan dari pembentukan rantai globin ini akan
mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah yang pada akhirnya akan menimbulkan
pecahnya sel darah tersebut.
KLASIFIKASI TALASEMIA
Berdasarkan gangguan pada rantai globin yang terbentuk, talasemia dibagi menjadi :
1. Talasemia alpha
Talasemia alpha disebabkan karena adanya mutasi dari salah satu atau seluruh globin rantai
alpha yang ada. Talasemia alpha dibagi menjadi :
Silent Carrier State (gangguan pada 1 rantai globin alpha).Pada keadaan ini mungkin
tidak timbul gejala sama sekali pada penderita, atau hanya terjadi sedikit kelainan berupa
sel darah merah yang tampak lebih pucat (hipokrom).
Alpha Thalassaemia Trait (gangguan pada 2 rantai globin alpha). Penderita mungkin
hanya mengalami anemia kronis yang ringan dengan sel darah merah yang tampak pucat
(hipokrom) dan lebih kecil dari normal (mikrositer).
Hb H Disease (gangguan pada 3 rantai globin alpha). Gambaran klinis penderita dapat
bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai
dengan perbesaran limpa (splenomegali).
Alpha Thalassaemia Major (gangguan pada 4 rantai globin aplha). Talasemia tipe ini
merupakan kondisi yang paling berbahaya pada talasemia tipe alpha. Pada kondisi ini
tidak ada rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang diproduksi.
Biasanya fetus yang menderita alpha talasemia mayor mengalami anemia pada awal
kehamilan, membengkak karena kelebihan cairan (hydrops fetalis), perbesaran hati dan
limpa. Fetus yang menderita kelainan ini biasanya mengalami keguguran atau meninggal
tidak lama setelah dilahirkan.
2.Talasemia Beta
Talasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin yang ada. Talasemia
beta dibagi menjadi :
Beta Thalassaemia Trait. Pada jenis ini penderita memiliki satu gen normal dan satu gen
yang bermutasi. Penderita mungkin mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel
darah merah yang mengecil (mikrositer).
Thalassaemia Intermedia.Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa
memproduksi sedikit rantai beta globin. Penderita biasanya mengalami anemia yang
derajatnya tergantung dari derajat mutasi gen yang terjadi.
Thalassaemia Major (Cooley’s Anemia).Pada kondisi ini kedua gen mengalami mutasi
sehingga tidak dapat memproduksi rantai beta globin. Biasanya gejala muncul pada bayi
ketika berumur 3 bulan berupa anemia yang berat.
DIAGNOSIS TALASEMIA
Diagnosis dari talasemia diketahui dengan melakukan beberapa pemeriksaan darah, seperti :
FBC (Full Blood Count)
Pemeriksaan ini akan memberikan informasi mengenai berapa jumlah sel darah merah
yang ada, berapa jumlah hemoglobin yang ada di sel darah merah, dan ukuran serta
bentuk dari sel darah merah.
Sediaan Darah Apus
Pada pemeriksaan ini darah akan diperiksa dengan mikroskop untuk melihat jumlah dan
bentuk dari sel darah merah, sel darah putih dan platelet. Selain itu dapat juga dievaluasi
bentuk darah, kepucatan darah, dan maturasi darah.
Iron studies
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui segala aspek penggunaan dan penyimpanan
zat besi dalam tubuh. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk membedakan apakah
penyakit disebabkan oleh anemia defisiensi besi biasa atau talasemia.
Evaluasi hemoglonopati
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui tipe dan jumlah relatif hemoglobin yang ada
dalam darah.
Analisis DNA
TERAPI TALASEMIA
Sebagian besar penderita talasemia tidak memerlukan terapi. Penderita talasemia HbH dan
talasemia intermedia memerlukan pengawasan yang ketat dan kadang-kadang harus menjalani
transfusi darah. Pemberian asam folat kadang dapat diberikan, tetapi suplemen zat besi tidak
dianjurkan.
Penderita Major Beta Thalassaemia memerlukan transfusi secara reguler setiap enam sampai
delapan minggu tergantung dari derajat anemia. Transfusi darah secara terus menerus ini dapat
menimbulkan kelebihan zat besi di dalam tubuh, yang disebut hemosiderosis. Keadaan ini dapat
menimbulkan efek jangka panjang yang berbahaya karena dapat menyebabkan gagal jantung dan
hati. Oleh sebab itu biasanya transfusi darah disertai dengan penggunaan obat-obatan yang dapat
menurunkan kadar zat besi dalam tubuh (chelating agent).
Pada beberapa keadaan, kadang diperlukan suatu tindakan operasi untuk mengambil limpa dari
dalam tubuh (splenectomy), karena limpa telah rusak. Terapi lain dapat berupa transplantasi
sumsum tulang. Prosedur ini menjanjikan kesembuhan pada penderita talasemia namun angka
keberhasilan sampai saat ini sulit diprediksi.
Analisis DNA digunakan untuk mengetahui adanya mutasi pada gen yang memproduksi rantai
alpha dan beta. Pemeriksaan ini merupakan tes yang paling efektif untuk mendiagnosa keadaan
karier pada talasemia.
KOENZIM Q10 DAN TALASEMIA
Adanya kerusakan sel darah merah dan zat besi yang menumpuk di dalam tubuh akibat
talasemia, menyebabkan timbulnya aktifasi oksigen atau yang lebih dikenal dengan radikal
bebas. Radikal bebas ini dapat merusak lapisan lemak dan protein pada membram sel, dan
organel sel, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan dan kematian sel. Biasanya
kerusakan ini terjadi di organ-organ vital dalam tubuh seperti hati, pankreas, jantung dan kelenjar
pituitari. Oleh sebab itu penggunaan antioksidan, untuk mengatasi radikal bebas, sangat
diperlukan pada keadaan talasemia.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Siriraj Hospital, Universitas Mahidol , Bangkok, Thailand,
ditemukan bahwa kadar koenzim Q 10 pada penderita talasemia sangat rendah. Pemberian
suplemen koenzim Q 10 pada penderita talasemia terbukti secara signifikan mampu menurunkan
radikal bebas pada penderita talasemia. Oleh sebab itu pemberian koenzim Q 10 dapat berguna
sebagai terapi ajuvan pada penderita talasemia untuk meningkatkan kualitas hidup.
DEFISIENSI G6PD
PENGERTIAN/GAMBARAN UMUM
1. G6PD adalah sejenis enzim yang diperlukan untuk menstabilkan membran sel darah
merah dengan pengaktifan (inactivation) komponen oksidan. Jika G6PD berkurang, sel-
sel darah merah akan menjadi rusak dan pecah (hemolisis) apabila orang yang sakit
tersebut memakan obat-obatan yang memiliki ciri pengoksida.
2. Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat merupakan penyakit yang jarang terjadi. Penyakit ini
disebabkan karena kekurangan enzim glukosa-6-fosfat dehydrogenase (glucose-6-
phospate dehydrogenase deficiency). Enzim ini penting dalam pembuatan sel darah
merah. Bila kekurangan enzim ini, tenaga yang dihasilkan glukosa menjadi kurang.
3. Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) berfungsi mereduksi nikotinamida adenin
dinukleotida (NADPH) sambil mengoksidasi glukosa-6-fosfat. Ini adalah satu-satunya
sumber NADPH dalam eritrosit dan NADPH diperlukan untuk produksi glutation
tereduksi sehingga defisiensi enzim ini menyebabkan eritrosit rentan terhadap stres
oksidasi. Varian genetik normal enzim G6PD sangat bervariasi. Yang tersering adalah
tipe B (barat) dan tipe A pada orang Afrika.
4. kelainan enzim yang menyebabkan anemia yang paling sering ditemukan. Enzim ini
berperan dalam HMS dan menghasilkan reduktor NADPH (Niacin Adenin Dinucleutide
Phospate), yang akan mempertahankan kemampuan mereduksi dari glutation, yang
berperan dalam melenyapkan oksidator kuat yang biasa terbentuk dalam sel darah merah,
yaitu hidrogen peroksida (H2O2)
GENETIKA
1. sifat penurunannya terkait seks, mengenai pria, dan dibawa oleh wanita yang
memperlihatkan kadar G6PD eritrosit sekitar separuh dari nilai normal. Heterozigot
wanita mempunyai suatu keuntungan yaitu adanya resistensi terhadap malaria Falsifarum.
Ras utama yang terkena penyakit ini adalah di Afrika Barat, Laut Tengah, Timur Tengah,
dan Asia Tenggara. Derajat defisiensi bervariasi. Seringkali bersifar ringan (10-15%
aktivitas normal) pada orang Afrika kulit hitam, lebih berat pada orang Asia Timur, dan
paling berat pada orang Laut Tengah.
2. Penyakit ini merupakan penyakit keturunan yang melibatkan kromosom X. Oleh karena
itu, penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki daripada perempuan.
Gambar/ ilustrasi :
KLASIFIKASI DEFISIENSI G6PD
1. Varian G6PD yang defisiensi enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang dari
10% dari normal) dengan anemia hemolitik akut.
2. varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat (aktivitas enzim kurang dari
10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik kronis.
3. varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal dan anemi
hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi.
4. varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan aktivitas
enzim G6PD
5. varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat. Varian klas IV dan klas V
secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat gejala klinik.
ETIOLOGI DAN EPIDIEMIOLOGI
Defisiensi enzim ini paling sering mengakibatkan hemolisis. Enzim ini dikode oleh gen yang
terletak di kromosom X sehingga defisiensi G6PD lebih sering mengenai laki-laki. Pada
perempuan biasanya carrier dan asimptomatik. Di seluruh dunia, terdapat lebih dari 400 varian
G6PD. Berbagai varian ini terjadi karena adanya perubahan substusi basa berupa penggantian
asam amino. Banyaknya varian ini menimbulkan variasi manifestasi klinik lebar, mulai dari
hanya anemia hemolitik nonsferositik tanpa stress oksidan, anemia hemolitik yang hanya terjadi
ketika distimulasi dengan steres oksidan ringan, sampai pada abnormalitas yang tidak terdeteksi
secara klini. G6PD normal disebut tipe B. Diantara varian G6PD yang bermakna secara klinik
adalah tipe-A. Tipe ini ditemukan pada orang keturunan Afrika. Tipe Mediteranian relatif sering
ditemukan diantara orang Mediteranian asli, dan lebih berat dari varian A- karena dapat
mengakibatkan anemia hemolitik nonsferositik tanpa adanya stres oksidatif yang jelas.
MANIFESTASI KLINIS
Aktivitas G6PD yang normal menurun -50% pada waktu eritrosit mencapai 120 hari. Pada tipe
A- penurunan terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian mediteranian. Meskipun
umur eritrosit pada tipe A- kenih pendek namun tidak menimbulkan anemia kecuali bila terpajan
dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin yang dapat berperan sebagai
oksidan yang mengakibatkan hemoliis. Obat-obatan atau zat yang dapat mempresipitasi
hemplisis pada pasien G6PD adalah asetanilid, fuzolido,.isobutil nitrit, metilen blue, asam
nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofuranton, fenazopiridin, primakuin, pamakuin, dapson,
sulfasetamid, sulfametoksazol, sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidin blue, trinitrotoluen, urat
oksidase, vitamin K, doksorubisin. Asidosis metabolik juga dapat mempresipitasi hemolisis pada
pasien defisiensi G6PD.
Hemolisis akut terjadi setelah beberapa jam terpajan dengan oksidan, diikuti hemogloburia dan
kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya self-limited karena
yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A- massa eritrosit
menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi oleh peningkatan
hemoglobin dan bilirubin tak terkonyugasi dan penurunan haptoglobin. Hemoglobin mengalami
oksidasi dan membentuk Heinz bodies yang tampak pada pewarnaan supravital dengan violet
kristal. Heinz bodies tampak pada hari pertama atau sampai badan inklusi ini siap ikeluarkan
oleh limpa sehingga membentuk bite cells. Mungkin juga ditemukan beberapa sperosit. Sebagian
kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat sensitive dengan fava beans (buncis) dan dapat
mengakibatkan krisis hemolisis pulminan setelah terpajan.
DIAGNOSIS
Diagnosis G6PD dipikirkan jika ada episode hemolisis akut pada laki-laki keturunan Afrika atau
mediteranian. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpajan dengan zat-zat
oksidan, misalnya obat atu zat yang telah disebutkan diatas. Pemeriksaan aktivitas enzim
mungkin false negatif jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu pemeriksaan
aktivitas enzim perlu diulang dua sampai tiga bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua.
TERAPI
Pada pasien dengan defisiensi G6PD tipe A-, hemolisis terjadi self-limited sehingga tidak perlu
terapi khusus kecuali terapi untuk infeksi yang mendasari dan menghindari obat-obatan atau zat
yang mempresipitasi hemolisis serta mempertahankan aliran ginjal yang adekuat karena adanya
hemoglobinuria saat hemolisis akut. Pada hemolisis berat, yang biasa terjadi pada varian
Mediteranian, mungkin diperlukan transfuse darah.
Yang terpenting adalah pencegahan episode hemolisis dengan cara mengobati infeksi dengan
segera dan memperhatikan resiko penggunaan obat-obatan, zat oksidan dan fava beans. Khusus
untuk orang Afrika atau Mediteranian sebaiknya sebelum diberikan zat oksidan harus dilakukan
skrining untuk mengetahui adanya defisiensi G6PD.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo W. Aru, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Ed 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2009.
p.1152-1159, 1379-1389.
2. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I. Ed 3. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p. 550-552
3. Mansjoer Arif, et al. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid II. Ed 3. Jakarta: Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2001. p. 497-498.
4. Talasemia. 5 april 2009. Diunduh dari http://talasemia.com. 7 oktober 2010.
5. Defisiensi G6PD. 20 mei 2009. Diunduh dari http://scrib.com. 7 oktober 2010.
SASARAN PEMBELAJARAN
PROBLEM BASED LEARNING
BLOK 27
Genetika Klinik Dan Gizi Masyarakat
KRISHNA WARDHANA
10-2007-170
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA