31
Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal 319 JAP Vol. 3 No. 2 ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD) (Studi di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara) Suwardi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara ------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Abstrak Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah pengelolaan uang rakyat (public money) dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara transparan, efektif, efisien, terarah, terencana, terpadu dan bertanggung jawab agar tercipta akuntabilitas publik dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah. Selain itu dampak yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan akuntabilitas, transparasi serta partisipasi masyarakat sebagai bagian dari stake holder Pemerintahan Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses penyusunan APBD Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Kep.Mendagri) Nomor 12 Tahun 2006.. Penelitian ini bersifat deskriftif kualitatif dengan key informan diambil secara purposive. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriftif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), belum sepenuhnya mencerminkan kondisi yang ada, dimana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi oleh kepentingan atasan. Persoalan mendasar dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara masih ada indikasi tarik menarik kepentingan eksekuti dengan legislative, serta kesiapan SKPD dalam penatausahaan, pelaporan dan pertanggung jawaban dan perangkat aturan yang berubah-ubah mengakibatkan perlu pemahaman secara mendasar tentang teknis penyusunan anggaran yang baru. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Penyusunan APBD di era otonomi daerah dan desentrasisali keuangan harus berorientasi kepada kepentingan public dan menggunakan pendekatan kinerja sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.Pengalokasian anggaran harus sesuai dengan perioritas dan tututan masyarakat, dimana anggaran harus benar-benar digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang perlu. Dalam menyusun anggaran belanja rutin perlu adanya standarisasi anggaran dan perioritas pada masing-masing SKPD, sehingga dana yang digunakan masing-masing unit kerja bisa mencukupi untuk menjalan kegiatannya. Perlu adanya sosialisasi yang dijadikan acuan baku dalam penyusunan anggaran, agar SKPD dapat melakukan kerjanya harus benar-benar sehingga terhindar dari proyek-proyek titipan. Kata kunci : Formulasi Kebijakan, APBD, Dinas Pendidikan Abstract The demand for renewal of the financial system is the management of public money in a transparent and effective, efficient, directional, planned, integrated, and accountable budget of the local budget (APBD) in order to create public accountability and public welfare as a regional autonomy goal. In addition, the subsequent impacts on regional autonomy are the demand for the government to create good governance as a prerequisite for the administration of government by promoting accountability, transparency and community participation as part of the Regional Government stakeholder. The purpose of this research is to find out the mechanism of the APBD preparation process of North Sumatera Provincial Education Department based on the Regulation of the Minister of Home Affairs (Kep.Mendagri) Number 12 Year 2006 .. This research is descriptive qualitative with key informant taken purposively. Data analysis was done by qualitative descriptive analysis. The results show that in the process of Budgeting the Regional Budget and Budget (APBD), it has not fully reflected the existing condition, where the general direction and general budget policy is dominated by the superior's interests. The fundamental issue in the process of compiling the local budget revenue and expenditure in the North Sumatra Provincial Education Department is still an indication of attracting the interests of execution with legislative, as well as the readiness of SKPD in administration, reporting and accountability and changing regulatory tools resulting in a fundamental understanding of technical Drafting a new budget. Based on the above conclusions, the suggestions that can be given are as follows: The preparation of APBD in regional autonomy era and financial concentration should be oriented to public interest and use performance approach in accordance with Permendagri Number 13 Year 2006. Budget allocation must be in accordance with community and community response , Where the budget should actually be used to carry out the necessary activities. In preparing the routine spending budget there is a standardization of budgeting and periority in each SKPD, so the funds used by each work unit can be sufficient to carry out its activities. Socialization needs to be standardized in budget formulation, so that SKPD can do its job must really be avoided from deposit projects Keyword: Policy Formulation, APBD, Education Department

ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

319 JAP Vol. 3 No. 2

ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (APBD)

(Studi di Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara)

Suwardi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------ Abstrak

Tuntutan pembaharuan sistem keuangan tersebut adalah pengelolaan uang rakyat (public money) dalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) secara transparan, efektif, efisien, terarah, terencana, terpadu dan bertanggung jawab agar tercipta akuntabilitas publik dan kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan otonomi daerah. Selain itu dampak yang kemudian muncul dalam rangka otonomi daerah adalah tuntutan terhadap pemerintah untuk menciptakan good governance sebagai prasyarat penyelenggaraan pemerintahan dengan mengedepankan akuntabilitas, transparasi serta partisipasi masyarakat sebagai bagian dari stake holder Pemerintahan Daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme proses penyusunan APBD Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Kep.Mendagri) Nomor 12 Tahun 2006.. Penelitian ini bersifat deskriftif kualitatif dengan key informan diambil secara purposive. Analisis data dilakukan dengan analisis deskriftif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), belum sepenuhnya mencerminkan kondisi yang ada, dimana arah dan kebijakan umum anggaran lebih didominasi oleh kepentingan atasan. Persoalan mendasar dalam proses penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah pada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara masih ada indikasi tarik menarik kepentingan eksekuti dengan legislative, serta kesiapan SKPD dalam penatausahaan, pelaporan dan pertanggung jawaban dan perangkat aturan yang berubah-ubah mengakibatkan perlu pemahaman secara mendasar tentang teknis penyusunan anggaran yang baru. Berdasarkan kesimpulan diatas, maka saran-saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Penyusunan APBD di era otonomi daerah dan desentrasisali keuangan harus berorientasi kepada kepentingan public dan menggunakan pendekatan kinerja sesuai dengan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.Pengalokasian anggaran harus sesuai dengan perioritas dan tututan masyarakat, dimana anggaran harus benar-benar digunakan untuk melaksanakan kegiatan yang perlu. Dalam menyusun anggaran belanja rutin perlu adanya standarisasi anggaran dan perioritas pada masing-masing SKPD, sehingga dana yang digunakan masing-masing unit kerja bisa mencukupi untuk menjalan kegiatannya. Perlu adanya sosialisasi yang dijadikan acuan baku dalam penyusunan anggaran, agar SKPD dapat melakukan kerjanya harus benar-benar sehingga terhindar dari proyek-proyek titipan. Kata kunci : Formulasi Kebijakan, APBD, Dinas Pendidikan

Abstract

The demand for renewal of the financial system is the management of public money in a transparent and effective, efficient, directional, planned, integrated, and accountable budget of the local budget (APBD) in order to create public accountability and public welfare as a regional autonomy goal. In addition, the subsequent impacts on regional autonomy are the demand for the government to create good governance as a prerequisite for the administration of government by promoting accountability, transparency and community participation as part of the Regional Government stakeholder. The purpose of this research is to find out the mechanism of the APBD preparation process of North Sumatera Provincial Education Department based on the Regulation of the Minister of Home Affairs (Kep.Mendagri) Number 12 Year 2006 .. This research is descriptive qualitative with key informant taken purposively. Data analysis was done by qualitative descriptive analysis. The results show that in the process of Budgeting the Regional Budget and Budget (APBD), it has not fully reflected the existing condition, where the general direction and general budget policy is dominated by the superior's interests. The fundamental issue in the process of compiling the local budget revenue and expenditure in the North Sumatra Provincial Education Department is still an indication of attracting the interests of execution with legislative, as well as the readiness of SKPD in administration, reporting and accountability and changing regulatory tools resulting in a fundamental understanding of technical Drafting a new budget. Based on the above conclusions, the suggestions that can be given are as follows: The preparation of APBD in regional autonomy era and financial concentration should be oriented to public interest and use performance approach in accordance with Permendagri Number 13 Year 2006. Budget allocation must be in accordance with community and community response , Where the budget should actually be used to carry out the necessary activities. In preparing the routine spending budget there is a standardization of budgeting and periority in each SKPD, so the funds used by each work unit can be sufficient to carry out its activities. Socialization needs to be standardized in budget formulation, so that SKPD can do its job must really be avoided from deposit projects

Keyword: Policy Formulation, APBD, Education Department

Page 2: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 320

PENDAHULUAN

Reformasi yang diperjuangkan oleh

seluruh lapisan masyarakat membawa

perubahan dalam kehidupan politik

nasional maupun di daerah. Salah satu

agenda reformasi tersebut adalah adanya

desentralisasi keuangan dan Otonomi

daerah. Berdasarkan ketetapan MPR

Nomor XV/MPR/1998 tentang

Penyelenggaraan Otonomi Daerah,

Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber

Daya Nasional yang Berkeadilan serta

Perimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah, pemerintah telah mengeluarkan

satu paket kebijakan otonomi daerah

yaitu: Undang-Undang nomor 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004

tentang Perimbangan Keuangan antara

Pemerintahan Pusat dan Daerah.

Kedua undang-undang tersebut

menjadi sangat penting karena akan

membawa perubahan yang mendasar

pada kehidupan sistem pemerintahan

dan system keuangan pemerintah pusat

dan daerah. Pada sistem pemerintahan

khususnya pemerintah daerah

perubahan yang terjadi adalah berupa

pelaksanan otonomi daerah dan

desentralsasi yang luas, nyata, dan

bertanggungjawab. Jika pada masa

sebelumnya otonomi daerah hanya

dijadikan jargon politik belaka, akan

tetapi daerah saat ini ditantang

kesiapannya baik secara kelembagaan,

sumber daya manusia dan teknologi

untuk dapat mewujudkan otonomi dan

desentralisasi secara nyata, bertanggung

jawab dan dinamis.Oleh karena itu

pemerintah daerah dituntut untuk

melakukan reformasi kelembagaan

dilingkungan mereka (institutional

reform).

Di bidang sistem keuangan

pemerintah pusat dan daerah, implikasi

kedua undang-undang tersebut adalah

perlunya dilakukan reformasi anggaran

(budgeting reform), sistem pembiayaan

(financing reform), sistem akuntansi

(accounting reform), sistem pemeriksaan

laporan keuangan pemerintah daerah

(audit reform), serta sistem manajemen

keuangan daerah.

Tuntutan pembaharuan sistem

keuangan tersebut adalah pengelolaan

uang rakyat (public money) dalam

anggaran pendapatan dan belanja daerah

(APBD) secara transparan, efektif,

efisien, terarah, terencana, terpadu dan

bertanggung jawab agar tercipta

akuntabilitas publik dan kesejahteraan

masyarakat sebagai tujuan otonomi

daerah. Selain itu dampak yang

kemudian muncul dalam rangka

otonomi daerah adalah tuntutan

terhadap pemerintah untuk menciptakan

good governance sebagai prasyarat

penyelenggaraan pemerintahan dengan

mengedepankan akuntabilitas,

transparasi serta partisipasi masyarakat

sebagai bagian dari stake holder

Pemerintahan Daerah.

World Bank memberikan definisi

governance sebagai “the way state power

in used in managing economic and social

resource for development of society”

sedangkan United Nation Development

Program (UNDP) mendefinisikan

governance sebagai “the exercise of

politycal, economic, and administrative

authority to manage a nations affair at

all levels”. Dalam hal ini, World Bank

lebih menekankan pada cara pemerintah

mengelola sumber daya sosial ekonomi

Page 3: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

321 JAP Vol. 3 No. 2

untuk kepentingan pembangunan

masyarakat, sedangkan UNDP lebih

menekankan pada aspek politik, ekonomi

dan administratif dalam pengelolaan

negara. Political governance mengacu

pada proses pembuatan kebijakan

(policy/strategy formulation). Economic

governance mengacu pada proses

pembuatan keputusan dibidang

ekonomi yang berimplikasi pada

masalah pemerataan, penurunan

kemiskinan, dan peningkatan kualitas

hidup. Administrative governance

mengacu pada sistem implementasi

kebijakan. Jika mengacu pada World

Bank dan UNDP, orientasi pembangunan

sektor publik adalah menciptakan good

governance.

Apabila dicermati, sistem otonomi

yang demikian lebih mendekati makna

dan hakekat otonomi sebagaimana

termaktub dalam pasal 18 UUD 1945.

Yaitu bahwa penyelenggaraan

pemerintahan di daerah harus dilakukan

berdasarkan desentralisasi, dan tidak

mengatur mengenai pemerintahan

wilayah yang merupakan manivestasi

dari asas dekonsentrasi. Dalam pasal 18

UUD 1945 disebutkan sebagai berikut :

“Pembagian daerah Indonesia atas

daerah besar dan kecil dengan

bentuk susunan pemerintahannya

ditetapkan dengan undang-undang,

dengan memandang dan mengingat

dasar permusyawaratan dalam

sistem pemerintahan negara, dan

hak-hak asal-usul dalam daerah-

daerah yang bersifat istimewa”

Departemen Dalam Negeri

Republik Indonesia (Depdagri) melalui

Peraturan Menteri Dalam Negeri

(PerMendagri) nomor 13 tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah memberikan implikasi yang

cukup bermakna bagi Pemerintah

Daerah terutama dalam hal proses

penyusunan Anggaran Pendapatan dan

Belanja Daerah (APBD) untuk Propinsi

maupun Kabupaten Kota.

Di dalam Kep.Mendagri tersebut

disebutkan bahwa Rencana Anggaran

Satuan Kerja (RASK) merupakan rencana

anggaran kegiatan yang disusun dan

diusulkan oleh Dinas/Unit Kerja yang

berada dalam kewenangannya, yang

berpedoman pada Dokumen Rencana

Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah

(Renja-SKPD) untuk periode 1 (satu)

Tahun.

Dalam pelaksanaan pengelolaan

keuangan di daerah, Pemerintah telah

menetapkan Peraturan Pemerintah

Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah dan

Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Keuangan

Negara dan Daerah yang diperjelas

dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pengelolaan Keuangan Daerah dan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

59 Tahun 2007 atas perubahan

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.

Permendagri Nomor 59 Tahun

2007 yang merupakan sebagai pedoman

dalam melaksanaan, penatausahaan

APBD dan laporan keuangan juga

mencakup kebijakan akuntansi.

Kebijakan akuntansi merupakan sebagai

dasar yang harus dipatuhi dalam

menyusun laporan keuangan. Di samping

kebijakan akuntansi, pemerintah daerah

juga harus memiliki SDM yang mampu

menyusun laporan keuangan daerah

yang sesuai dengan Permendagri 59

Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah

Page 4: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 322

Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan. Hal ini

merupakan salah satu tuntutan yang

harus dipenuhi dari Permendagri 59

Tahun 2007 di mana setiap SKPD harus

menyusun laporan keuangannya masing-

masing.

Sebagaimana yang diamanatkan

dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri

Nomor 59 Tahun 2007 Pasal 265 ayat (1)

menyatakan bahwa setiap Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) wajib

menyusun dan melaporkan

pertanggungjawaban pelaksanaan APBD

secara periodik yang meliputi a. Laporan

realisasi anggaran; b. Neraca SKPD; c.

Catatan atas laporan keuangan SKPD dan

berdasarkan Pasal 290 ayat (1), (2) dan

(3) yang intinya menyatakan bahwa

Kepala SKPD harus menyampaikan

laporan realisasi anggaran sebanyak dua

kali setahun yakni semester pertama

(Januari sampai dengan Juni) yang

menerangkan realisasi anggaran

pendapatan dan belanja SKPD disertai

dengan prognosis untuk enam bulan

berikutnya paling lama tujuh hari kerja

setelah semester pertama tahun

anggaran berkenaan. Selanjutnya Kepala

SKPD menyampaikan laporan tahunan

yang dimulai dari periode Januari sampai

dengan Desember tahun anggaran.

Bentuk laporan pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD SKPD sebagai berikut:

Pertanggungjawaban Pelaksanaan

APBD-SKPD

Gambar 1. Pertanggungjawaban

Pelaksanaan APBD - SKPD

Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) merupakan

kebijaksanaan keuangan tahunan

pemerintah daerah yang disusun

berdasarkan ketentuan perundang-

undangan yang berlaku, serta berbagai

pertimbangan lainnya dengan maksud

agar penyusunan, pemantauan,

pengendalian dan evaluasi APBD mudah

dilakukan. Pada sisi yang lain APBD

dapat pula menjadi sarana bagi pihak

tertentu untuk melihat atau mengetahui

kemampuan daerah baik dari sisi

pendapatan maupun sisi belanja. Khusus

dalam penyusunan laporan keuangan

daerah, pemerintah daerah di samping

harus memiliki kebijakan akuntansi

sebagai dasar dalam menyusun laporan

keuangan, pemerintah daerah juga harus

memiliki SDM, komitmen dan perangkat

pendukung yang mampu dalam

menyusun laporan keuangan daerah

sesuai dengan Permendagri 59 Tahun

2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor

Bentuk dan Isi Laporan

Pertanggungjawaban Pelaksanaan

APBD

disusun dan disajikan sesuai

Standar Akuntansi Pemerintahan

(PP No.24/2005)

A. Laporan Realisasi APBD

B. Neraca

C. Catatan atas Laporan Keuangan

Page 5: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

323 JAP Vol. 3 No. 2

24 Tahun 2005 tentang Standar

Akuntansi Pemerintahan.

Berdasarkan uraian diatas maka

perumusan masalah dalam penelitian ini

adalah:

1. Bagaimana Implementasi Peraturan

Daerah Nomor 11 tahun 2011 dalam

pencapaian target Pajak Bumi dan

Bangunan Pedesaan Perkotaan di

Kelurahan Bunut Barat Kecamatan

Kota Kisaran Barat?

2. Hambatan- hambatan apa saja yang

terjadi dalam pencapaian target Pajak

Bumi dan Bangunan Pedesaan

Perkotaan di Kelurahan Bunut Barat?

TINJAUAN PUSTAKA

Teori Kebijakan Publik

Kebijakan publik marupakan

konsep yang sangat kompleks.

Setidaknya hal itu dapat dilihat dari

banyaknya definisi tentang kebijakan

publik dalam kepustakaan ilmu politik.

Secara umum kebijakan publik

merupakan tindakan pemerintah yang

mempunyai tujuan. Oleh karenanya

untuk mengkaji atau menganalisa

kebijakan dalam studi ini perlu kiranya

meninjau pengertian kebijakan publik

yang bermacam-macam.

Menurut Charles O. Jones (dalam

Budi Winarno, 2002 : 14) kebijakan

(policy term) digunakan untuk

menggantikan kegiatan atau keputusan

yang sangat berbeda. Istilah ini sering

dipertukarkan dengan tujuan (goals),

program, keputusan (decision), standar,

proposal, dan grand design.

Pengertian senada dikemukakan

oleh Harold D Laswell dan Abraham

Kaplan (dalam Irfan Islamy, 2002 : 15)

yang menyebutnya sebagai “a projected

program of goals, values and practtices”

(suatu program pencapaian tujuan nilai-

nilai dan praktek-praktek yang terarah).

Akan tetapi dewasa ini istilah kebijakan

lebih sering dan lebih luas dipergunakan

dalam kaitannya dengan tindakan-

tindakan atau kegiatan-kegiatan

pemerintah serta perilaku negara pada

umumnya (Johnson dalam Abdulwahab,

1991:13). Oleh karena itu kebijakan

dapat bermakna sebagai tindakan politik.

Konsep kebijakan oleh Carl J. Friedrich

(dalam Irfan Islamy , 2002 : 17) diartikan

sebagai serangkaian tindakan yang

diusulkan pada seseorang, kelompok

atau pemerintah dalam lingkungan

tertentu dengan menunjukkan

hambatan-hambatan dan kesempatan-

kesempatan terhadap pelaksanaan

usulan kebijakan tersebut dalam rangka

mencapai tujuan tertentu.

Thomas R. Dye (dalam Budi

Winarno, 2002 : 15) mendefinisikan

kebijakan publik adalah apapun yang

dipilih pemerintah untuk dilakukan dan

tidak dilakukan. Irfan Islamy (2002 : 18)

mengartikan batasan Dye tersebut

bahwa apabila pemerintah memilih

untuk dilakukan sesuatu maka harus ada

tujuannya (obyektifnya) dan kebijakan

politik itu harus meliputi semua

“tindakan” pemerintah bukan semata-

mata merupakan keinginan pemerintah

atau pejabat-pejabat pemerintah saja.

Disamping itu sesuatu yang tidak

dilaksanakan oleh pemerintah pun,

mernurut Dye, termasuk kebijakan

negara. Hal ini disebabkan karena

“sesuatu yang tidak dilakukan” oleh

pemerintah akan mempunyai (dampak)

yang sama besarnya dengan “sesuatu

yang dilakukan “ oleh pemerintah.

Pengertian kebijakan negara yang

mirip dengan pendapat Dye,

Page 6: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 324

dikemukakan oleh George C. Edwards III

dan Sharkansy (dalam Irfan Islamy,

2002:18) yang mendefinisikan kebijakan

negara adalah “…is whats government say

and do, or do not do. It is the goals or

purpose of government Programs …”

(adalah apa yang dinyatakan dan

dilakukan atau tidak dilakukan oleh

pemerintah. Kebijakan negara itu berupa

sasaran atau tujuan program-program

pemerintah…).

Menurutnya kebijakan itu dapat

ditetapkan secara jelas dalam peraturan-

peraturan perundang-undangan atau

dalam bentuk pidato-pidato pejabat teras

pemerintah ataupun berupa program-

program dan tindakan-tindakan yang

dilakukan pemerintah.

Senada dengan pendapat-pendapat

di atas, Udoji (dalam

Abdulwahab,1995:15) mendefinisikan

kebijakan negara sebagai suatu tindakan

bersanksi yang mengarah pada suatu

tujuan tertentu, yang diarahkan pada

suatu masalah atau sekelompok masalah

tertentu yang saling berkaitan yang

mempengaruhi sebagian besar

masyarakat.

Amir Santoso ( dalam Budi

Winarno , 2002 :17) , menyebutkan

bahwa pandangan tentang kebijakan

publik dapat dibagi kedalam 2 wilayah

kategori. Pertama pendapat ahli yang

menyamakan kebijakan publik dengan

tindakan-tindakan pemerintah. Para ahli

dari kelompok ini cenderung

menganggap bahwa semua tindakan

pemerintah dapat disebut sebagai

kebijakan publik. Pandangan kedua

menurut Amir santoso berangkat dari

para ahli yang memberikan perhatian

khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para

ahli yang masuk dalam kategori ini

terbagai dalam 2 kubu, yakni mereka

yang memandang kebijakan publik

sebagai keputusan - keputusan

pemerintah yang mempunyai tujuan dan

maksud-maksud tertentu dan mereka

yang menganggap kebijakan publik

sebagai memiliki akibat-akibat yang

diramalkan.

Dalam glosary di bidang

administrasi negara, kebijakan publik

mempunyai arti : (1) The organizing

framer work of purposes and rationales

for government programs that deal with

specifed societal problems, (2) Whatevers

government chooser to do or not to do, (3)

The complex programs enacted and

implemented by governments. (“ Bahwa ;

(1) susunan rancangan tujuan-tujuan dan

dasar pertimbangan programa-programa

pemerintah yang berhubungan dengan

masalah-masalah tertentu yang dihadapi

masyarakat, (2) Apapun yang dipilih

pemerintah untuk dilakukan atau tidak,

(3) Masalah-masalah yang kompleks

yang dinyatakan dan dilaksanakan

pemerintah”) (dalam Islamy,2002:20).

Di samping berkait tindakan

pemerintah yang mempunyai tujuan juga

terdapat cara pencapaian dari tujuan

tersebut. Seperti definisi yang diberikan

Nakamura dan Smallwood, yang

memandang kebijakan negara dalam tiga

aspek, yakni perumusan kebijakan,

pelaksanaan kebijakan dan evaluasi

kebijakan. Dalam hal ini mereka

berpendapat bahwa kebijakan negara

adalah serentetan instruksi / perintah

dari para pembuat kebijakan yang

ditunjukkan kepada para pelaksanaan

kebijakan yang menjelaskan tujuan-

tujuan serta cara-cara untuk mencapai

tujuan tersebut (Abdul Wahab,1990,32).

Page 7: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

325 JAP Vol. 3 No. 2

Kemudian Jenkins mendefinisikan

kebijakan publik adalah

“ A set of interelated decisisons

taken by a political group or actor

concerning the selection of goals

means of achieving them within a

specified situations shold in

principles, bewithin power of these

actors to achievi”( Serngkaian

keputusan yang saling berkaitan

yang diambil oleh seorang aktor

politik berkenaan dengan tujuan

yang dipilih beserta cara-cara

untuk mencapainya dalam suatu

situasi dimana keputusan itu pada

prinsipnya masih berada dalam

batas-batas kewenangan kekuasaan

dari para aktor tersebut). (dalam

Abdulwahab, 1997:4)

Dari definisi-definisi di atas dapat

disimpulkan makna dari kebijakan

publik adalah sebagai berikut :

1. Merupakan tindakan yang mengarah

pada tujuan daripada sebagai perilaku

atau tindakan yang serba acak.

2. Merupakan tindakan yang berpola dan

bersangkut paut yang mengarah pada

tujuan tertentu yang dilakukan oleh

pejabat pemerintahan dan bukan

merupakan keputusan yang berdiri

sendiri.

3. Merupakan apa yang senyatanya

dilakukan pemerintah dalam bidang-

bidang tertentu.

4. Dapat berbentuk positif, apabila

dalam keputusan atau tindakannya

untuk mempengaruhi masalah-

masalah tertentu, dan dapat dalam

bentuk negatif apabila pemerintah

tidak merespon permasalahan yang

ada dalam masyarakat.

Dengan demikian kebijakan negara

adalah serangkaian tindakan yang

bersifat memaksa dan dilakukan oleh

pemerintah sebagai respon dari

serangkaian keadaan dalam masyarakat

serta berorientasi pada kepentingan

masyarakat. Dari pengertian tersebut,

Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah termasuk kategori Kebijakan

Publik. Oleh karenanya penulis

sependapat dengan glosary di bidang

administrasi negara, yang

mendefinisikan Kebijakan Publik adalah :

Bahwa ; (1) susunan rancangan tujuan-

tujuan dan dasar pertimbangan

programa-programa pemerintah yang

berhubungan dengan masalah-masalah

tertentu yang dihadapi masyarakat, (2)

Apapun yang dipilih pemerintah untuk

dilakukan atau tidak, (3) Masalah-

masalah yang kompleks yang dinyatakan

dan dilaksanakan pemerintah” (dalam

Islamy,2002:20). Penelitian ini

memfokuskan perhatianya pada

formulasi kebijakan sebagai salah satu

aspek dalam analisis kebijakan Publik.

Teori Formulasi Kebijakan Publik

Proses Formulasi Kebijakan Publik

Membuat atau merumuskan suatu

kebijakan negara bukanlah hal yang

mudah dan sederhana tapi suatu proses

yang rumit dimana didalamnya terdapat

kekuatan yang berpengaruh. Menurut

Charles E. Lindblom (1986) (dalam

Abdulwahab, 1997 : 16 ), Pembuatan

kebijakan publik merupakan:

“ an extremely complex, analitycal

and political process to which there

is no begininging or end, and the

boundaries of which are most

uncertain, Somehow a.complex set of

forces that we call policy-making all

taken together, produces affect

called policies” (Merupakan proses

Page 8: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 326

yang amat kompleks dan analitis

dimana tidak mengenal saat

dimulai dan diakhirnya, dan batas-

batas dari proses itu sesungguhnya

yang paling tidak pasti. Serangkaian

kekuatan yang agak kompleks yang

kita sebut sebagai pembuatan

kebijakan negara itulah yang

kemudian membuahkan hasil yang

disebut kebijakan).

Charles E. Lindblom (1986 : 3 )

menunjuk pada metode untuk

mempelajari peliknya perumusan

Kebijakan. Suatu metode yang populer,

membagi perumusan kebijakan kedalam

tahap-tahap dan kemudian menganalisis

masing-masing tahap. Pertama

mempelajari bagaimana masalah-

masalah itu timbul dan masuk dalam

agenda para pengambil keputusan

pemerintah, kemudian bagaimana

masyarakat merumuskan masalah-

masalah tersebut untuk pengambilan

suatu tindakan, kemudian sikap apa yang

diambil oleh badan legislatif atau

lembaga lainnya, kemudian bagaimana

para pemimpin menerapkan kebijakan

itu, dan akhirnya bagaimana kebijakan

tersebut dievaluasi.

Senada dengan itu, Etzioni (1968)

menjelaskan bahwa “melalui proses

pembuatan keputusanlah komitmen-

komitmen masyarakat yang acapkali

kabur dan abstrak, sebagaimana nampak

dalam nilai-nilai dan tujuan-tujuan

masyarakat, diterjemahkan oleh para

aktor (politik) ke dalam komitmen-

komitmen yang spesifik menjadi

tindakan-tindakan yang kongkrit. (dalam

Wahab, 1997 : 17)

William N Dunn ( 2000 : 22 ),

memberikan pendapat, proses

perumusan kebijakan merupakan

aktivitas politik yang divisualisasikan

sebagai serangkaian tahap yang saling

bergantung yang diatur menurut urutan

waktu : penyusunan agenda, formulasi

kebijakan, adopsi kebijakan,

implementasi kebijakan dan penilaian

kebijakan.

Anderson (dalam Budi Winarno,

2002 : 69-70) membedakan antara

pembentukan kebijakan dan Perumusan

Kebijakan. Perumusan Kebijakan

diartikan sebagai aktivitas yang

menyangkut upaya menjawab

pertanyaan bagaimana berbagai

alternatif disepakati untuk masalah-

masalah yang dikembangkan dan siapa

yang berpartisipasi, Ia merupakan proses

yang secara spesifik ditujukan untuk

menyelesaikan persoalan-persoalan

khusus. Sedangkan pembentukan

kebijakan lebih merujuk pada aspek-

aspek seperti misalnya, bagaimana

masalah-masalah publik menjadi

perhatian para pembuat kebijakan,

bagaimana proposal kebijakan

dirumuskan untuk masalah-masalah

khusus, dan bagaimana proposal

tersebut dipilih diantara berbagai

alternatif yang saling berkompetisi.

Udoji merumuskan secara rinci

pembuatan kebijakan negara sebagai :

“ The whole articulating and

defining problems, formulating

posible solutions into political

demands, channeling those demands

into political system, seeking

sanctions or legitimation of the

prefered course of action,

legitimation and implementation,

monitoring and review (feedback)

(keseluruhan proses yang

menyangkut pengartikulasian dan

pendefinisian masalah, perumusan

Page 9: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

327 JAP Vol. 3 No. 2

kemungkinan pemecahan masalah

dalam bentuk tuntutan politik,

penyaluran tuntutan tersebut ke

dalam sistem politik, pengupayaan

pemberian sanksi-sanksi atau

legitimasi dari arah tindakan yang

dipilih, pengesahan dan

pelaksanaan atau implementasi,

monitoring dan peninjauan kembali

(umpan balik)” (dalam

Abdulwahab, 1997 : 17).

Lydden, Shipman dan Wilkinson

(dalam Abdulwahab, 1990 : 4).

menyebutkan bahwa proses pembuatan

kebijakan publik negara biasanya

mengacu pada langkah-langkah yang

teratur mengenai interaksi pihak

pemerintah dan pihak swasta yang

memperbincangkan atau berdebat, serta

usaha untuk mencapai kesepakatan

bersama tentang ruang untuk menangani

masalah sosial tertentu. Proses kebijakan

negara tersebut meliputi : (1) Pencarian

informasi yang tepat untuk merumuskan

masalah sosial, (2) Mengembangkan

alternatif masalah sosial, (3)Mencapai

kesepakatan pendapat alternatif terbaik

untuk memecahkan masalah

Makna pembuatan kebijakan

negara menurut Dror (1968) dengan :

“ A very complex, dynamic process

whose various components make

different contributons to it, it dicides

major guidlines for action directed

at future, mainly aim at achievning

wahat is the public interest by the

posible means” (suatu proses yang

sangat kompleks dan dinamis yang

terdiri dari berbagai unsur yang

satu sama lain kontribusinya

berbeda-beda terhadap pembuatan

kebijakan negara tersebut. Artinya

pembuatan kebijakan negara

memutuskan pedoman-pedoamn

umum untuk melakukan tindakan

mengarah pada masa depan,

terutama bagi lembaga pemerintah,

pedoman-pedoman umum secara

formal dimaksudkan untuk

mencapai apa yang termaktub

dalam istilah kepentingan umum

dengan cara sebaik mungkin )

(dalam Abdulwahab, 1990 : 34)

Dari definisi-definisi di atas dapat

disimpulkan bahwa formulasi kebijakan

publik meliputi beberapa aspek yaitu :

a. Merupakan tindakan yang berpola dan

berkesinambungan yang berlangsung

dalam suatu sistem.

b. Adanya keterlibatan beberapa aktor

yang mempunyai peranan yang

berbeda.

c. Artinya sama dengan pengambilan

keputusan.

d. Diarahkan pada masa depan

e. Dilakukan oleh lembaga pemerintah.

f. Adanya proses kompromi dalam

pembuatan kebijakan

g. Adanya kesepakatan tujuan bersama

oleh para aktor yang terlibat di

dalamnya, tujuan ini mengandung

maksud untuk kepentingan umum.

Dari definisi tersebut, tampak

adanya faktor yang mempengaruhi

dalam proses formulasi kebijakan publik.

Faktor-faktor tersebut diantaranya

adalah lingkungan baik itu imternal

maupun eksternal. Nigro dan Nigro

(dalam Islamy, 2002 : 25 ) menjelaskan

adanya faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam pembuatan

kebijakan dan beberapa kesalahan umum

dalam pembuatan kebijakan.

Irfan Islami (2002 : 25-26 )

menyebutkan beberapa faktor yang

mempengaruhi dalam proses formulasi

Page 10: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 328

kebijakan publik adalah : (1) Adanya

tekanan-tekanan dari luar, (2) Adanya

pengaruh kebiasaan lama

(Konservatisme); (3) Adanya pengaruh

sifat-sifat pribadi ; (4) Adanya pengaruh

dari kelompok luar; (5) Adanya pengaruh

keadaan masa lalu.

Menurut Gerald E. Caiden,

disamping faktor-faktor tersebut di atas

ada beberapa faktor yang menjadikan

sulitnya membuat kebijakan, yaitu :

sulitnya memperoleh informasi yang

cukup, bukti-bukti sulit disimpulkan,

adanya berbagai macam kepentingan

yang berbeda, dampak kebijakan sulit

dikenali, umpan balik keputusan bersifat

sporadis, proses perumusan kebijakan

tidak mengerti dengan benar dan

sebagainya. (dalam Irfan Islami; 2002 :

27)

Sedangkan kesalahan-kesalahan

umum yang sering terjadi dalam proses

formulasi menurut Nigro & Nigro ada

tujuh macam yaitu:

a. Cara berpikir yang sempit (cognitive

nearsightedness)

b. Adanya asumsi bahwa masa depan

akan mengulang masa lalu (Asumption

that future will repeat past)

c. Terlalu menyederhanakan sesuatu

(over simplification);

d. Terlampau menggantungkan pada

seseorang (Overline on one’s own

experience);

e. Keputusan-keputusan yang dilandasi

oleh pra konsepsi pembuat keputusan

(Procencieved nations);

f. Tidak adanya keinginan aktor untuk

melakukan percobaan (Unwillingness

to experiment)

g. Keengganan untuk membuat

keputusan (reluctance to decide)

(Islamy, 2002 : 27-30)

Dalam kontek pembuatan

kebijakan, James E. Anderson melihat

adanya bermacam-macam nilai yang

melandasi tingkah laku pembuat

keputusan dalam membuat keputusan,

yaitu :

a. Nilai-nilai politis (political values).

Keputusan-keputusan dibuat atas

dasar kepentingan politik dari Partai

Politik atau kelompok kepentingan

tertentu.

b. Nilai-nilai organisasi ( Organization

values). Keputusan-keputusan dibuat

atas dasar nilai-nilai organisasi,

seperti balas jasa (reward) dan sanksi

(sanctions).

c. Nilai-nilai pibadi (personal values).

Seringkali keputusan dibuat atas dasar

nilai-nilai pribadi yang dianut oleh

pribadi pembuat keputusan untuk

mempertahankan status quo, reputasi,

kekayaan dan sebagainya

d. Nilai-nilai kebijakan (policy values) .

Nilai dibuat atas dasar persepsi

pembuat kebijakan tentang

kepentingan publik atau pembuat

kebijakan yang secara moral dapat

dpertanggungjawabkan.

e. Nilai-nilai idiologi (idiological values).

Misalnya nilai nasionalisme dapat

menjadi landasan pembuat kebijakan

seperti misalnya kebijakan dalam dan

luar negeri. (dalam Islamy, 2002 : 27)

Dari uraian tersebut diatas, penulis

memilih teori Udoji merumuskan secara

terperinci pembuatan kebijakan negara

sebagai :

“keseluruhan proses yang

menyangkut pengartikulasian dan

pendefinisian masalah, perumusan

kemungkinan pemecahan masalah

dalam bentuk tuntutan politik,

penyaluran tuntutan tersebut ke

Page 11: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

329 JAP Vol. 3 No. 2

dalam sistem politik, pengupayaan

pemberian sanksi-sanksi atau

legitimasi dari arah tindakan yang

dipilih, pengesahan dan

pelaksanaan atau implementasi,

monitoring dan peninjauan kembali

(umpan balik)” (dalam

Abdulwahab, 1997 : 17).

Dari pandangan Udoji tersebut,

Proses formulasi kebijakan publik

merupakan sebuah proses; terdiri atas

tahapan-tahapan yang dapat

disederhanakan menjadi 4 tahap yaitu :

a. Perumusan masalah kebijakan publik,

b. Penyusunan agenda pemerintah

c. Perumusan usulan kebijakan publik,

d. Pengesahan kebijakan publik.

e. Perumusan masalah kebijakan publik

Schattschneider (1960)

mendefinisikan, masalah-masalah

kebijakan adalah kebutuhan, nilai-nilai,

atau kesempatan-kesempatan yang tidak

terealisir tetapi yang dapat dicapai

melalui tindakan publik. Karenanya,

perumusan masalah oleh Dunn dikatakan

merupakan sistem petunjuk pokok atau

mekanisme pendorong yang

mempengaruhi keberhasilan semua fase

analisis kebijakan (dalam William Dunn

2000: 210). Itu sebabnya mengenali dan

merumuskan masalah merupakan

langkah yang paling fundamental dalam

perumusan kebijakan. Dibuatnya suatu

kebijakan pada umumnya berasal dari

adanya suatu masalah yang ada di dalam

masyarakat dan masyarakat menyadari

bahwa itu adalah masalah yang harus

dipecahkan oleh pemerintah. Menurut

Smith masalah dalam konteks kebijakan

publik adalah :

“ For policy purposes, a problem can

be formaly defined as condition or

situation that producers need or

dissatis factions on the part or

people for which relief or redress is

sought this may be done by thos

directly affected or by others acting

on their behalf ” (untuk kepentingan

kebijakan suatu masalah dapat

diartikan secara formal atau

sebagai kondisi atau situasi yang

menghasilkan kebutuhan-

kebutuhan atau ketidakpuasan

pada rakyat untuk mana dicari

penanggulangannya, hal ini

dilakukan secara langsung terkena

akibat oleh masalah itu atau oleh

orang lain yang punya tanggung

jawab). (dalam Islamy, 2002 : 79 )

Charles E.Lindblom (1980 : 3)

menjelaskan, untuk memahami siapa

yang sebenarnya merumuskan kebijakan,

lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat

semua pemeran serta (participants),

bagian atau peran apa yang mereka

mainkan, wewenang atau bentuk

kekuasaan apa yang mereka miliki dan

bagaimana mereka saling berhubungan

serta saling mengawasi. Menurutnya,

tahapan-tahapan dalam perumusan

kebijakan, pertama dipelajari bagaimana

masalah-masalah yang timbul dan masuk

kedalam agenda pengambil keputusan

pemerintah, kemudian bagaimana

masyarakat merumuskan masalah-

masala tersebut untuk mengambil suatu

tindakan, kemudian sikap apa yang

diambil oleh badan legislatif atau

lembaga lainnya, kemudian bagaimana

para pemimpin menerapkan kebijakan

itu, dan akhirnya bagaimana

kebijaksanan tersebut dievaluasi.

Kesimpulannya, masalah adalah

kebutuhan-kebutuhan atau

ketidakpuasan manusia harus

dipecahkan atau diatasi. Banyak sekali

Page 12: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 330

masalah atau problem yang dimiliki

masyarakat, tidak selalu hal itu langsung

menjadi problem umum (public

Problem). Problema umum adalah

kebutuhan-kebutuhan atau

ketidakpuasan-ketidakpuasan manusia

yang tidak dapat dipenuhi atau diatasi

secara pribadi (privat), Problema-

problema umum (public problems) itu

adalah masalah-masalah yang

mempunyai akibat yang luas termasuk

akibat yang mengenai orang-orang

secara tidak langsung terlibat (Islamy,

2002 : 79).

Menurut Dunn (2000 : 226)

Perumusan masalah dapat dipandang

sebagai suatu proses dengan empat fase

yang saling tergantung, yaitu : (1)

Pencarian Masalah (Problem Search), (2)

Pendefinisian Masalah (problem

definition), (3) Spesifikasi Masalah

(Problem Specification), (4) Pengenalan

Masalah (Problem Sensing).

Penyusunan Agenda Pemerintah

Setalah perumusan masalah

kebijakan tahap selanjutnya adalah

penyusunan agenda pemerintah.

Menurut Cobb dan Elder ( dalam Islamy,

2002 :91) Agenda pemerintah sebagai “

That Sets of items explicity up for the

active and sriousconsideration of

authoritative decision makers “

(Serangkaian hal-hal yang secara tegas

membutuhkan pertimbangan-

pertimbangan aktif dan serius dari

pembuat keputusan yang sah akan

otoritatif).

Dari pendapat di atas disimpulkan

agenda pemerintah disusun atau dibuat

berdasarkan masalah-masalah yang

membutuhkan keseriusan pembuat

keputusan untuk mempertimbangkan

guna dicari pemecahannya.

Agenda pemerintah dapat berisi

hal-hal (items) yang baru atau lama. Hal-

hal lama (old items) selalu muncul secara

reguler pada agenda pemerintah. Hal ini

sudah cukup dikenali oleh pembuat

keputusan dan alternatif yang dipilihpun

sudah terpola, sehingga pembuat

kebijakan lebih banyak memberikan

pada hal-hal lama dimana hal tersebut

selalu terus menerus muncul dan mereka

sudah mengetahui seluk beluknya

sedangkan hal-hal baru (new items)

adalah hal-hal yang belum didefinisikan

sebagai akibat munculnya situasi atau

peristiwa khusus dan baru.

Menurut Anderson (dalam Islamy,

2002 : 86-88) ada beberapa faktor yang

dapat menyebabkan problema-problema

umum masuk dalam agenda pemerintah.

Faktor tersebut adalah : (1) Bila terdapat

ancaman terhadap kesinambungan antar

kelompok (group equilibrium), (2)

kepemimpinan politik, (3) Timbulnya

krisis atau peristiwa luar biasa, (4)

Adanya gerakan-gerakan protes

termasuk tindakan kekerasan, (5)

Masalah-masalah khusus atau isu politik

yang timbul di masyarakat yang menarik

perhatian media komunikasi.

Perumusan Usulan Kebijakan Publik

Tahap perumusan usulan kebijakan

publik dilakukan setelah problema

umum dimasukkan dalam agenda

pemerintah. Perumusan usulan

kebijakan publik menurut Islamy. (2002 :

92-96), adalah kegiatan menyusun dan

mengembangkan serangkaian tindakan

yang perlu untuk memecahkan masalah.

Termasuk dalam kegiatan ini adalah :

a. Mendefinisikan Alternatif

Page 13: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

331 JAP Vol. 3 No. 2

b. Mendefinisikan dan Merumuskan

alternatif,

c. Menilai Alternatif

d. Memilih alternatif yang memuaskan.

Suatu alternatif yang telah dipilih

secara memuaskan itu akan menjadi

usulan kebijakan (policy proposal), yang

telah diantisipasi dapat dilaksanakan dan

memberikan dampak yang positif. Tetapi

belum tentu semua usulan kebijakan itu

dapat langsung menjadi keputusan

kebijakan (policy decision), karena sangat

tergantung dari proses terjadi dalam

pengesahan kebijakan (policy adoption).

Bentuk dan jenis kebijakan banyak pula

dipengaruhi oleh pihak dalam (inside

participans) dan pihak luar (outside

participans). Pihak-pihak yang terlibat

dalam perumusan kebijakan tergantung

dari sistem politik (political system)

negara yang bersangkutan .

Pengesahan Kebijakan Publik

Dalam proses formulasi kebijakan

publik pengesahan merupakan tahap

penting dan tidak bisa dilepaskan dengan

proses pembuatan kebijakan. Karena

usulan kebijakan dapat menjadi suatu

kebijakan dan mengikat bagi kelompok

sasaran apabila diberi pengesahan oleh

badan yang berwenang. Hal ini seperti

yang dikemukakan oleh Irfan Islamy

(2002 :98), bahwa suatu usulan

kebijakan yang dibuat oleh pembuat

keputusan (baik oleh orang atau badan)

dapat saja usulan itu disetujui atau

ditolak oleh pengesah kebijakan. Sekali

usulan kebijakan diadopsi atau diberikan

legitimasi (pengesahan) oleh seorang

atau badan yang berwenang, maka

usulan kebijakan itu berubah menjadi

kebijakan (policy decision) yang syah

(legitimate) dalam arti dapat dipaksakan

pelaksanaan nya dan bersifat mengikat

bagi orang atau pihak yang menjadi

sasarannya.

Pertama, adalah bentuk yang

memberi wewenang (authorizes) kepada

proses politik dasar yang meliputi juga

proses yang dirancang untuk

mengesahkan proposal-proposal khusus

mengenai pemecahan masalah-masalah

publik (public problems). Kedua, meliputi

proses-proses khusus lewat mana

program-program pemerintah disahkan.

Yang pertama mengacu pada pengesahan

(legitimasi) sedang yang kedua pada

persetujuan (dalam Jones 1991 : 198).

Proses pengesahan kebijakan adalah

proses-proses penyesuaian dan

penerimaan secara bersama terhadap

prinsip-prinsip yang diakui dan ukuran-

ukurannya yang diterima.

Di Indonesia, landasan utama

dalam perumusan dan pengesahan

kebijakan negara dilakukan secara

“Musyawarah untuk mufakat “.

Pemungutan suara (voting) dimana satu

orang punya satu suara (one man one

vote) barulah dilakukan kalau

musyawarah untuk mufakat sudah

buntu.

Proses pengesahan biasanya

diawali dengan kegiatan persuasi

(persuasion) dan tawar menawar

(bergaining). Menurut Anderson Persuasi

adalah: “Attemps to convice others of

correctness of value of one’s position, and

threbay cause them to adapt it as their

own” Usaha-usaha untuk meyakinkan

orang lain tentang suatu kebenaran atau

nilai keduduk an seseorang dan sehingga

mereka mau menerimanya sebagai

miliknya.

Dari pendapat diatas disimpulkan

persuasi adalah proses untuk

Page 14: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 332

meyakinkan kepada orang lain bahwa

pendapatnya benar sesuai dengan

kebutuhan. Sedangkan arti dari tawar

menawar (bergaining) menurut

Anderson juga adalah :

“ As a process in which two or mor

persons in postions of power of

authority adjust their al lease

partialy inconsistent goals in order

to formulate a course of action that

acceptable but not necessarily ideal

to the participants” (sebagai suatu

proses dua orang atau lebih yang

mempunyai kekuasaan atau

otoritas untuk mengatur atau

menyesuaikan sebagian tujuan-

tujuan yang tidak mereka sepakati

agar dapat merumuskan

serangkaian tindakan yang dapat

diterima bersama tetapi tidak

terlalu ideal bagi mereka.)

Dari pendapat di atas tawar

menawar merupakan suatu proses 2

orang atau lebih yang mempunyai

wewenang untuk bernegosiasi dalam

memperoleh kesepakatan tentang suatu

tujuan tertentu walau kesepakatan itu

tidak terlalu ideal bagi masing-masing.

Yang termasuk dalam tawar menawar

adalah : perjanjian (negotiation), Saling

memberi dan menerima (Take and give)

dan kompromi (compromise) (dalam

Islamy, 2002 : 101).

Kesimpulannya, pada tahap ini

perumus kebijakan akan dihadapkan

pada pertarungan kepentingan antar

berbagai aktor yang terlibat. Dengan

demikian, alternatif penetapan kebijakan

yang diambil pada dasarnya merupakan

kompromi dari berbagai kelompok

kepentingan yang terlibat dalam

pembuatan kebijakan.

Keterlibatan Aktor dalam perumusan

Kebijakan

Budi Winarno (2002 : 84),

menyebutkan, bahwa pembahasan

mengenai siapa saja aktor yang terlibat

dalam perumusan kebijakan dapat

dilihat misalnya dalam tulisan James

Anderson (1979), Charles Lindblom

(1980) maupun James Lester dan Joseph

Stewart, J (2000). Menurutnya aktor-

akor dalam proses pembuatan kebijakan

dapat dibagi ke dalam dua kelompok,

yaitu para pemeran resmi dan pemeran

tidak resmi. Termasuk kedalam

pemeran resmi adalah agen-agen

pemerintah (biokrasi), presiden

(eksekutif), legislatif dan Yudikatif.

Sedangkan kelompok pemeran tidak

resmi meliputi : kelompok-kelompok

kepentingan, Partai Politik, warga negara

dan individu.

Tentang aktor-aktor yang berperan

dalam proses kebijakan publik, Jones

(dalam Abdulwahab, 1997 : 29-34)

menyebut sedikitnya ada empat

golongan atau tipe aktor yang terlibat

dalam proses pengambilan kebijakan.

Masing-masing adalah golongan

rasionalis, golongan teknisi, golongan

inkrementalis dan golongan reformis.

Menurut dia, bahwa dalam kasus

atau isu tertentu kemungkinan hanya

satu atau dua golongan aktor tertentu

yang berpengaruh dan aktif terlibat.

Peran yang dimainkan oleh keempat

golongan tersebut dalam proses

kebijakan, nilai-nilai dan tujuan yang

mereka kejar serta gaya kerja mereka,

berbeda satu sama lain.

Golongan rasionalis, mempunyai

ciri-ciri utama bahwa dalam melakukan

pilihan alternatif kebijakan mereka akan

selalu menempuh metode dan langkah-

Page 15: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

333 JAP Vol. 3 No. 2

langkah berikut : 1) Mengidentifikasi

masalah, 2) Merumuskan adanya tujuan,

3) Mengidentifikasi Alternatif kebijakan,

4) Meramalkan atau memprediksikan

akibat-akibat dari tiap alternatif, 5)

Membandingkan akibat-akibat tersebut

dengan mengacu pada tujuan, 6) memilih

alternatif terbaik.

Berdasarkan pada ciri-ciri tersebut,

maka perilaku golongan aktor rasionalis

akan identik dengan peran yang

dimainkan oleh para perencana dan

analisis kebijakan yang profesional

dalam menghadapi masalah publik.

Metode rasional mereka

mengansumsikan bahwa segala tujuan

dapat ditetapkan sebelumnya, dengan

pengetahuan serta data-data atau

informasi yang lengkap dan disediakan.

Gaya kerja golongan aktor

rasionalis cenderung seperti gaya kerja

seorang perencana yang komprehensif,

yakni berusaha menganalisis semua

aspek dari setiap isu kebijakan publik

yang muncul.

Golongan teknisi, pada dasarnya

tidak lebih dari seorang rasionalis, sebab

ia adalah seorang yang karena bidang

keahliannya atau spesialisasinya

dilibatkan dalam proses tahapan

kebijakan. Golongan ini mempunyai

kebebasan dalam lingkup sebatas

pekerjaan dan keahliannya dan apapun

yang mereka bekerja dalam proyek yang

membutuhkan keahliannya dan apapun

yang mereka kerjakan ditetapkan oleh

pihak lain. Peran yang dimainkan dalam

hubungan ini adalah seorang spesialis

yang karena dibutuhkan tenaganya

untuk melaksanakan tugas tertentu.

Nilai-nilai yang diperjuangkan

adalah nilai-nilai yang berkait dengan

latar belakang pendidikan mereka, misal

sebagai insinyur elektro, ahli komputer

dan sebagainya. Di luar disiplinnya,

cenderung tidak percaya diri.

Golongan inkrementalis, Golongan

ini dapat dapat kita identikan dengan

pada politisi, sebagaiman kita ketahui

cenderung memiliki sikap kritis namun

acapkali tidak sabaran terhadap gaya

kerja para perencana dan teknisi,

walaupun mereka sebenarnya dalam

melangkah amat tergantung pada gaya

kerja pada teknisi dan perencana.

Golongan inkrementalis pada

umumnya meragukan bahwa sifat yang

komprehensif dan serba rasional itu

merupakan suatu yang mungkin dalam

dunia yang amat penuh dengan

ketidaksempurnaan. Golongan ini

memandang bahwa tahap-tahap

perkembangan kebijakan dan

implementasinya sebagai suatu

rangkaian proses penyesuaian yang terus

menerus terhadap hasil akhir dari suatu

tindakan.

Mereka cenderung hanya

melakukan perubahan-perubahan kecil

karena merasa bahwa informasi dan

pengetahuan yang kita miliki tidak akan

pernah mencukupi hasil untuk

menghasilkan suatu program kebijakan

yang lengkap. Nilai-nilai yang

diperjuangkan atau yang terkait dengan

metode atau pendekatan ini ialah hal-hal

yang berhubungan dengan masa lampau

atau hal-hal yang berhubungan dengan

terpeliharanya status-Quo dan kestabilan

sistemnya. Kebijakan apapun akan

cenderung dilihat sebagai suatu

perubahan yang terjadi sedikit demi

sedikit (Gradual changes).

Dalam hubungan ini tujuan

kebijakan dianggap sebagai

konsekwuensi dari adanya tuntutan-

Page 16: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 334

tuntutan, baik karena didorong

kebutuhan untuk melakukan sesuatu

upaya yang baru atau yang sudah

dikembangkan dalam teori. Gaya

kerjanya dapat dikategorikan sebagai

orang yang mampu melaksanakan proses

tawar menawar atau bergaining dengan

secara teratur mendengarkan tuntutan,

menguji seberapa jauh intensitas

tuntutan tersebut dan menawarkan

kompromi.

Golongan reformis (pembaharu)

seperti halnya golongan inkrementalis

golongan ini juga mengakui adanya

keterbatasan dalam informasi dan

pengetahuan yang dibutuhkan dalam

proses kebijakan, sekalipun berbeda

dalam menarik kesimpulan. Golongan

inkrementalis berpendapat bahwa

keterbatasan mendikte gerak langkah

dalam proses pembuatan kebijakan.

Sedang golongan reformis

sependapat dengan padangan Easton

yang menyebutkan bahwa kita harus

menerima sebagai kebenaran-kebenaran

akan perlunya mengarahkan diri kita

langsung pada persoalan-persoalan yang

berlangsung pada hari ini untuk

memperoleh jawaban yang singkat dan

cepat, memanfaatkan perangkat analisis

dan teori-teori mutakhir yang tersedia,

betapapun tidak memadainya perangkat

tersebut.

Dengan demikian tekanan

perhatiannya adalah pada tindakan

sekarang karena urgensi dari persoalan

yang dihadapi. Pendekatan macam ini

umumnya dilakukan oleh para Lobbyst.

Nilai-nilai yang dijunjung tinggi ialah

yang berkaitan dengan upaya untuk

melakukan perubahan sosial. kadangkala

demi perubahan itu sendiri namun lebih

sering terpaut dengan kepentingan

kelompok tertentu.

Tujuan kebijakan umumnya

ditetapkan dalam lingkungan kelompok-

kelompok tersebut melalui bermacam-

macam proses, termasuk diantaranya

atas dasar keyakinan pribadi bahwa hasil

akhir dari tindakan pemerintah sekarang

telah melenceng arahnya bahkan gagal.

Karena itu gaya-gaya reformis ini

umumnya sangat radikal, kerapkali

disertai dengan tindakan-tindakan

demonstrasi dan konfrontasi dengan

pihak pemerintah.

Melihat perbedaan-perbedaan

perilaku empat golongan tersebut

Abdulwahab dalam buku Analisis

Kebijakan, Dari formulasi ke

Implementasi Kebijakan Negara,

menyebut bahwa seringkali satu sama

lain saling mengecam.

Golongan rasionalis sering dikecam

/ dikritik karena tidak memahami kodrat

manusia, Braybrooke dan Lindblom

sebagai penganjur teori inkrementalis,

menyatakan bahwa golongan aktor

rasionalis itu terlalu idealis, malahan

menyatakan bahwa golongan aktor

rasionalis itu terlalu idealistis, sehingga

tidak cocok dengan keterbatasan

kemampuan manusia dalam mengatasi

masalah. Sementara golongan aktor

teknisi kerapkali dituduh memiliki

pandangan yang picik karena peduli

terhadap masalah-masalah yang sempit

sebatas pada bidang keahlian semata dan

tidak perduli kepada masalah-masalah

publik yang luas, mungkin melampaui

bidang-bidang keahlian yang

dikuasainya.

Golongan inkrementalis di lain

pihak seringkali dianggap memiliki sikap

konservatif sebab mereka tidak terlalu

Page 17: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

335 JAP Vol. 3 No. 2

tangap perubahan sosial yang lain.

akhirnya golongan aktor reformis

seringkali dituduh mau menangnya

sendiri, tidak sabaran, tidak kenal

kompromi dan karena ini tidak realistis.

Sedangkan Samudra Wibawa

(1987: ) membagi aktor kebijakan atau

kelompok kepentingan atau kekuatan

atau pihak yang mempengaruhi

kebijakan sebagai berikut: (1) Partai

politik, yang mengeluarkan resolusi, (2)

lembaga pendidikan atau kelompok

studi, (3) Kelompok kepentingan

(organisasi profesi), (4) Pers, (5) Opini

publik, (5) Perorangan ilmuan sosial, (6)

Lembaga internasional.

Besarnya peran partai politik dalam

proses kebijakan, juga dikemukakan

Hans Dieter Klingemann,dkk (2000 : 12).

Disebutkan, didalam proses kebijakan,

partai-patai menjalankan tugas yang

komplek dan saling berkaitan. Demokrasi

menurutnya bukanlah sekedar deskripsi

tentang bagaimana pemerintah dibentuk,

tetapi juga berkaitan dengan bagaimana

berfungsinya pemerintahan. Partai

terlibat dalam rekruitmen politik,

penyatuan dan pengungkapan beragam

kepentingan, komunikasi politik,

memobilisasi dan memperantai

partisipasi politik massa.

Di samping itu dari tubuh birokrasi

itu sendiri ada beberapa sumber

inspirasi bagi perumusan kebijakan

(yang berarti mempengaruhi pilihan

masalah kebijakan) :

a. Pejabat puncak dan para pegawai

bawahanya.

b. Karyawan-karyawan kantor atau

tenaga skill

c. Lembaga penelitian dan

pengembangan di tiap departemen.

d. Para menteri kabinet

e. Pegawai atau pejabat senior.

Dengan kata lain aktor yang ikut

mempengaruhi setiap kebijakan dengan

intensitas masing-masing adalah

lembaga ekskutif, legislatif, yudikatif dan

publik itu sendiri dengan berbagai

macam pengelompokan di dalamnya.

Model Sistem Dalam Formulasi

Kebijakan Publik

Dari uraian tersebut, terlihat bahwa

proses formulasi suatu kebijakan publik

bukanlah suatu proses yang sederhana

tetapi merupakan proses yang sulit

karena banyaknya faktor-faktor yang

mempengaruhi. Oleh sebab itu, beberapa

ahli mengembangkan model-model

perumusan kebijakan publik agar lebih

mudah dipahami. Thomas R Dye

merumuskan sembilan model formulasi

kebijakan, yaitu :

a. Model Kelembagaan ( Institusional)

b. Model Proses (Process)

c. Model Kelompok (Group)

d. Model Ellit ( Elite)

e. Model rasional ( Rational)

f. Model Inkremental (incremental)

g. Model Teori permainan (Game theory)

h. Model Pilihan Publik (public Choice)

i. Model Sistem (System)

Dalam Penelitian ini memilih Model

Sistem yang menurut hemat penulis lebih

cocok sebagaimana ditawarkan Paine

dan Naumes (1979) (dalam Budi

Winarno, 2002 : 70 - 72). Menurutnya,

model proses perumusan pembuatan

kebijakan merujuk pada model sistem

yang dikembangkan oleh David Easton.

Model ini merupakan model deskriptif

karena lebih berusaha menggambarkan

senyatanya yang terjadi dalam

pembuatan kebijakan, disusun hanya

berasal dari sudut pandang para

Page 18: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 336

pembuat kebijakan. Para pembuat

kebijakan dilihat dari perannya dalam

perencanaan dan pengkoordinasian

untuk menemukan pemecahan masalah

yang akan ; (1). Menghitung kesempatan

dan meraih / menggunakan dukungan

internal dan eksternal, (2). Memuaskan

permintaan lingkungan, dan (3). Secara

khusus memuaskan keinginan /

kepentingannya itu sendiri.

Menurut model ini, kebijakan

merupakan hasil dari suatu sistem

politik. Konsep “ Sistem” itu sendiri,

menunjuk pada seperangkat lembaga

dan kegiatan yang dapat diidentifikasi

dalam masyarakat yang berfungsi

mengubah tuntutan-tuntutan (demands)

menjadi keputusan-keputusan yang

otoritatif. Konsep “sistem” juga

menunjukan adanya saling hubungan

antara elemen-elemen yang membangun

sistem politik serta mempunyai

kemampuan dalam menanggapi

kekuatan-kekuatan dalam

lingkungannya. Masukan-masukan

diterima oleh sistem politik dalam

bentuk tuntutan-tuntutan dan dukungan.

Dengan bahasa lain dapat

digambarkan bahwa model sistem

sebagai interaksi yang terjadi antara

lingkungan dengan para pembuat

kebijakan dalam suatu proes yang

dinamis. Oleh Budi winarno (2002 : 71)

diasumsikan bahwa dalam pembuatan

kebijakan terjadi interaksi yang terbuka

dan dinamis antara pembuat kebijakan

dengan lingkungannya dalam bentuk

keluaran dan masukan ( inputs dan

outputs). Outputs yang dihasilkan oleh

organisasi pada akhirnya akan menjadi

bagian lingkungan dan seterusnya akan

berinteraksi dengan organisasi.

Dalam model sistem, kebijakan

politik dipandang sebagai tanggapan dari

suatu sistem politik terhadap tuntutan-

tuntutan yang timbul dari lingkungnnya

dimana hal tersebut merupakan kondisi

yang berada di luar batas-batas politik.

Sementara kekuatan-kekuatan yang

timbul dari dalam lingkungan dan

mempengaruhi sistem politik dipandang

sebagai inputs bagi sistem politik,

sedangkan hasil-hasil yang dikeluarkan

oleh sistem politik dan merupakan

tanggapan terhadap tuntutan-tuntutan

tersebut dipandang sebagai outputs dari

sistem politik.

Tuntutan-tuntutan akan timbul

apabila individu atau kelompok dalam

sistem politik memainkan peran dalam

mempengaruhi kebijakan publik.

Kelompok-kelompok ini secara aktif

berusaha mempengaruhi kebijakan

publik. Sedangkan dukungan atau

support diberikan apabila individu-

individu atau kelompok - kelompok

menerima hasil-hasil pemilihan,

mematuhi undang-undang, membayar

pajak dan secara umum mematuhi

keputusan-keputusan kebijakan.

Model sistem menurut David

Easton (dalam Riant Nugroho D, (2003 :

134) diandaikan bahwa kebijakan

merupakan hasil atau output dari sistem

politik. Seperti dipelajari dalam ilmu

politik, maka sistem politik terdiri dari

input, throughtput, dan output

sebagaimana pada Gambar 1 yang

diadopsi dari kerangka kerja sistem.

Page 19: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

337 JAP Vol. 3 No. 2

Gambar 2 : Proses Perumusan Kebijakan

Model “Sistem”

Sumber : David Easton (dalam Riant

Nugroho D, (2003 : 134)

Seperti dikemukakan didepan,

kebijakan publik menurut model sistem

merupakan hasil dari suatu sistem

politik, dimana konsep “sistem” itu

sendiri menunjuk pada seperangkat

lembaga dan kegiatan yang dapat

diidentifikasi dalam masyarakat yang

berfungsi mengubah tuntutan- tuntuan

(Demands) menjadi keputusan-

keputusan yang otoritatif. Konsep

“sistem juga menunjukkan adanya saling

berhubungan antara elemen yang

membangun sistem politik dan

mempunyai kemampuan menanggapi

kekuatan-kekuatan dalam

lingkungannya.

Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah

Suparmoko (2001 : 26)

memberikan pengertian bahwa anggaran

adalah suatu alat perencanaan mengenai

pengeluaran dan penerimaan (atau

pendapatan) dimasa yang akan datang,

umumnya disusun untuk satu tahun.

Disamping itu disebutkan juga bahwa

anggaran merupakan alat kontrol atau

pengawasan terhadap pengeluaran

maupun pendapatan di amasa yang akan

datang.

Pengertian serupa juga

dikemukakan oleh Goedhart (dalam

Ratmoko, 1981:304) yang menyebutkan

bahwa istilah anggaran ( budget) negara

biasanya digunakan untuk menamai

perkiraan normatif dari semua

pengeluaran negara dan alat pembiayaan

untuk menutup peluaran mengenai

sesuatu jangka waktu tertentu dimasa

yang akan datang. George A. Steiner (

1979:215) memberikan pengertian

sebagai suatu metode untuk

mewujudkan perencanaan strategis

dalam kegiatan sehari-hari. Anggaran itu

mengetengahkan suatu standar untuk

koordinasi kegiatan dan merupakan

dasar untuk pengawasan pelaksanaan

kegiatan sehingga suatu kegiatan dapat

diketahui sesuai–tidaknya dengan

rencana yang ada. Menurutnya, anggaran

memiliki tiga fungsi secara bersamaan,

yaitu fungsi perencanaan, koordinasi dan

pengawasan. Seperti halnya Suparmoko ,

Steiner juga menyebutkan bahwa suatu

anggaran lazimnya diadakan untuk

waktu satu tahun, meskipun ada pula

anggaran yang berjangka waktu tiga

bulan, satu bulan bahkan hanya satu

minggu.

Howard M. Carlisle (dalam Libertus

Bruno Merep; 1995:12) menyebutkan

beberapa karakteristik anggaran yang

disebutnya sebagai The Significance of

Budgeting yaitu anggaran sebagai suatu

rencana yang seragam (uniform) yang

mencakup keseluruhan organisasi.

Dalam konteks ini anggaran diadakan

demi dapat dikoordinasikannya semua

usaha dalam rangka penggunaan

sumber-sumber daya; anggaran sebagai

dasar pemandu dan pembanding seluruh

dasar kegiatan operasi sepanjang

dinyatakan dalam suatu kesatuan uang;

Lingkungan

THROUGHPUT (atau sistem

politik)

Kebijakan OUTPUT

Tuntutan

INPUT

Dukungan

Page 20: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 338

anggaran sbagai suatu landasan operasi

merupakan suatu efisiensi dan ddapat

dianggap sebagai bagian penilaian hasil

kegiatan.

Disisi lain Suparmoko ( 2000:48)

berpendapat bahwa anggaran pada

pokoknya harus mencerminkan politik

pengeluaran pemerintah yang rasionil

secara kualitatif maupun kwantitaiff

sehingga akan terlihat adanya

pertanggungjawaban atas pungutan

pajak dan pungutan lainnya oleh

pemerintah, misalnya untuk

memperlancar proses pembangunan

ekonomi; adanya hubungan yang erat

antara fasilitas penggunaan dana dan

penarikannya; adanya pola pengeluaran

pemerintah yang dapat dipakai sebagai

pertimbangan didalam menentukan pola

penerimaan pemerintah yang pada

akhirnya menentukan pula tingkat

distriibusi penghasilan dalam

perekonomian.

Dari beberapa pendapat tentang

anggaran tersebut, dapat dikemukakan

bahwa kelancaran roda pemerintahan

dan pembangunan akan ditentukan oleh

tujuan akhir yang ingin dicapai

disamping dana yang tersedia.

Sedangkan alokasi dana pemerintah

tercermin dalam anggaran yang disebut

dengan APBN / APBD.

Fungsi dan Manfaat Anggaran

Anggaran memiliki beberapa fungsi

utama (Mardiasmo,2003) yaitu :

1. Sebagai Alat Perencanaan.

Anggaran merupakan alat untuk

mencapai visi dan misi organsasi.

Anggaran digunakan untuk

merumuskan tujuan serta sasaran

kebijakan agar sesuai dengan visi

dan misi yang telah ditetapkan.

Kemudian untuk merencanakan

berbagai program dan kegiatan serta

merencanakan alternatif sumber

pembiayaan.

2. Alat Pengendalian.

Anggaran digunakan untuk

mengendalikan (membatasi

kekuasaan) eksekutif, mengawasi

kondisi keuangan dan pelaksanaan

operasional program karena

anggaran memberikan rencana detail

atas pendapatan (penerimaan) dan

pengeluaran pemerintah sehingga

pembelanjaan yang dilakukan dapat

diketahui dan

dipertanggungjawabkan kepada

publik.

3. Alat Kebijakan Fiskal.

Anggaran digunakan untuk

menstabilkan ekonomi dan

mendorong pertumbuhan ekonomi.

Melalui anggaran dapat diketahui

arah kebijakan fiscal pemerintah.

Anggaran juga digunakan untuk

mendorong, memfasilitasi dan

mengkoordinasikan kegiatan

ekonomi masyarakat sehingga dapat

mempercepat pertumbuhan

ekonomi.

4. Alat Politik.

Anggaran merupakan dokumen

public sebagai komitmen eksekutif

dan kesepakatan legislatif atas

penggunaan dana publik.

5. Alat Koordinasi dan Komunikasi.

Penyusunan anggaran memerlukan

koordinasi dan komunikasi dari

seluruh unit kerja sehingga apabila

terjadi inkonsistensi suatu unit kerja

dapat dideteksi secara cepat.

6. Alat Penilaian Kinerja.

Kinerja eksekutif akan dinilai

berdasarkan pencapaian target

Page 21: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

339 JAP Vol. 3 No. 2

anggaran dan efisiensi pelaksanaan

anggaran.

7. Alat Motivasi.

Anggaran hendaknya bersifat

menantang tetapi dapat dicapai

(challenging but attainable) atau

menuntut tetapi dapat diwujudkan

(demanding but achiveable) sebagai

motivasi bagi seluruh pegawai agar

dapat bekerja secara ekonomis,

efektif dan efisien dalam mencapai

target dan tujuan organisasi.

Anggaran menjadi penting karena

beberapa alasan, yaitu :

1. Anggaran merupakan alat bagi

pemerintah untuk mengarahkan

pembangunan social ekonomi,

menjamin kesinambungan dan

meningkatkan kualitas hidup

masyarakat.

2. Anggaran diperlukan karena adanya

kebutuhan dan keinginan

masyarakat yang tak terbatas dan

terus berkembang, sedangkan

sumber daya yang ada terbatas.

3. Anggaran diperlukan untuk

meyakinkan bahwa pemerintah

telah bertanggung jawab terhadap

rakyat. Dalam hal ini anggaran publik

merupakan instrumen pelaksanaan

akuntabilitas publik.

Perencanaan dan pengendalian

manajerial merupakan suatu proses

siklus yang berlanjut dan saling

berkesinambungan, sehingga salah satu

tahap akan terkait dengan tahap yang

lain dan terintegrasi dalam satu

organisasi. Jones dan Pendlebury (1996)

membagi proses perencanaan dan

pengendalian manajerial pada organisasi

sektor publik menjadi lima tahap, yaitu :

1. Perencanaan tujuan dan sasaran

dasar.

Merupakan proses perumusan tujuan

dasar dari organisasi yang

tergambarkan dengan visi dan misi

organisasi. Perencanaan ini dilakukan

diluar dari perencanaan operasional.

Perencanaan ini dirumuskan dan

disusun oleh manajemen tingkat atas

dan merupakan proses perencanaan

yang rumit dan pelik karena

menyangkut keberlangsungan

organisasi dan terkait dengan harapan

dan tujuan dasar organisasi.

2. Perencanaan operasional.

Merupakan perencanaan yang

dirumuskan dan disusun untuk

tercapainya tujuan dan sasaran dasar

organisasi.

3. Penganggaran.

Adalah proses penyusunan anggaran

untuk mendukung perencanaan

operasional yang telah disusun serta

untuk melaksanakan tujuan-tujuan

dan target-target organisasi dalam

jangka pendek (kegiatan operasional).

4. Pengendalian dan pengukuran.

Proses pengendalian, pengawasan

dan pengukuran atas anggaran yang

telah disepakati untuk dilaksanakan.

Merupakan proses pelaksanaan

tujuan-tujuan dan target-target jangka

pendek organisasi (kegiatan

operasional).

5. Pelaporan, analisis dan umpan balik

Merupakan proses akhir dari siklus

perencanaan dan pengendalian

manajerial. Terdiri atas proses

pelaporan hasil kegiatan operasional

yang telah dicapai selama periode

berlangsung, analisa atas seluruh

kegiatan yang telah dilaksanakan

maupun kegiatan yang gagal

dilaksanakan. Serta umpan balik

untuk pelaksanaan kegiatan periode

Page 22: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 340

berlangsung ataupun periode

berikutnya.

Pengertian Keuangan Daerah (APBD)

Dalam pasal 1 PP No 105 tahun

2000 pengertian keuangan daerah

adalah semua hak dan kewajiban daerah

dalam kerangka penyelenggaraan

pemerintahan yang dapat dinilai dengan

uang termasuk didalamnya segala bentuk

kekayaan yang berhubungan dengan hak

dan kewajiban daerah tersebut, dalam

kerangka APBD. Pengertian keuangan

negara adalah semua hak dan kewajiban

negara serta segala sesuatu yang

berkaitan dengan hak-hak dan

kewajiban tersebut yang dapat dinilai

dengan uang (Revrisond Baswir,1999).

Bertolak dari pengertian keuangan

negara tersebut diatas, maka pengertian

keuangan daerah pada dasarnya sama

dengan pengertian keuangan negara

dimana “negara” dianalogikan dengan

“daerah”. Hanya saja dalam konteks ini

keuangan daerah adalah semua hak-hak

dan kewajiban daerah yang dapat dinilai

dengan uang. Demikian pula sesuatu

baik uang maupun barang yang dapat

menjadi kekayaan daerah berhubungan

dengan pelaksanaan hak-hak kewajiban

tersebut dan tentunya dalam batas-batas

kewenangan daerah (Ichsan, 1997)

Norma dan Prinsip-prinsip Anggaran

Berbasis Kinerja

1. Transparansi dan Akuntabilitas

Anggaran.

Transparansi tentang anggaran

merupakan salah satu persyaratan

untuk mewujudkan pemerintah yang

baik, bersih dan bertanggungjawab

(good governance). Sejalan dengan

“Code of good practice on fiscall

transparancy” yang diperkenalkan

oleh IMF, maka dalam proses

pengembangan wacana publik

sebagai salah satu instrumen control

pengelolaan anggaran daerah,

masyarakat perlu diberikan

keleluasaan untuk mengakses

informasi tentang kinerja dan

akuntabilitas anggaran. Oleh karena

itu anggaran harus mampu

memberikan informasi yang lengkap

akurat dan tepat waktu untuk

kepentingan masyarakat, pemerintah

daerah dan pemerintah pusat.

2. Disiplin Anggaran.

Struktur anggaran harus disususn dan

dilaksanakan secara konsisten dengan

berorientasi kepada kebutuhan

masyarakat tanpa harus meninggalkan

keseimbangan antara pembiayaa

penyelenggaraan Pemerintah,

pembangunan dan pelayanan

masyarakat. Oleh karena itu anggaran

yang disusun harus berlandaskan

azas efesiensi, tepat guna dan dapat

dipertanggungjawabkan. Pemilihan

dana harus didasarkan atas skala

priorotas yang telah ditetapkan,

terutama untuk program yang

ditujukan pada upaya peningkatan

pelayanan masyarakat, dan tidak

dibenarkan melaksanakan kegiatan

/proyek yang belum/tidak tersedia

kredit anggarannya serta tidak boleh

melebihi kredit plafon anggaran yang

telah ditetapkan.

3. Keadilan Anggaran.

Pembiayaan pemerintah dilakukan

melalui mekanisme pajak dan

retribusi yang dipikul oleh segenap

masyarakat. Untuk itu pemerintah

wajib mengalokasikan penggunaannya

secara adil agar dapat dinikmati oleh

Page 23: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

341 JAP Vol. 3 No. 2

seluruh kelompok masyarakat tanpa

diskriminasi dalam pemberian

pelayana. Penetapan besarny pajak

dan retribusi harus mampu

menggambarkan nilai-nilai rasional

yang transparan dalam menentukan

tingkat pelayanan bagi masyarakat.

4. Efesiensi dan efektifitas Anggaran.

Dana yang tersedia harus

dimanfaatkan sebaik mungkin untuk

dapat menghasilkan peningkatan

pelayanan dan kesejahteraan yang

maksimal guna kepentingan

masyarakat. Oleh karenanya, dalam

penyusunan anggaran harus

memperhatikan tingkat efisiensi

alokasi dan efektivitas kegiatan dalam

pencapaian tujuan dan sasaran yang

jelas.

5. Format Anggaran.

Pada dasarnya anggaran disusun

berdasarkan anggaran defisit (deficit

budget format). Selisih antara

pendapatan dan belanja

mengakibatkan terjadinya surplus dan

defisit anggaran. Apabila terjadi

surplus dapat membentuk dana

cadangan, sedangkan apabila defisit

dapat ditutupi melalui sumber

pembiayaan pinjaman dan atau

penerbitan obligasi sesuai ketentuan

perundang–undangan yang berlaku.

Pendekatan Dalam Proses Anggaran

Pendekatan dalam proses

penganggaran adalah suatu cara atau

metode yang ditempuh dalam

menyiapkan, merumuskan, dan

menyusun anggaran. Dalam pendekatan

ini akan tergambar arah atau arus dari

proses persiapan, perumusan dan

penyusunan anggaran, akan tergambar

pula mengenai asal atau sumber inisiatif

dan kearah mana inisiatif tersebut

dilaksanakan.

Top Down Approach

Adalah rencana, program maupun

anggaran ditentukan sepenuhnya oleh

unit kerja yang tertinggi tingkatannya,

sedangkan unit–unit kerja dibawahnya

hanya sekedar melaksanakan, tanpa

mempertimbangkan usulan dari unit

kerja dibawahnya. Kebaikan pendekatan

ini koordinasi dan pengawasan terhadap

pelaksanaan kerja akan lebih mudah dan

lebih cepat dilakukan karena disusun

oleh pihak- pihak yang melakukan

koordinasi dan pengawasan.

Kelemahannya adalah unit kerja

yang tertinggi sering kali tidak dapat

merumuskan rencana anggaran atau

rencana kerja yang benar-benar

memenuhi keinginan dan kebutuhan unit

kerja yang lebih rendah, sehingga akan

sulit untuk dilaksanakan.

Bottom-Up Approach

Pada pendekatan ini cara atau

metode yang digunakan dalam

mempersiapkan, merencanakan dan

merumuskan anggaran dimulai dari

tingkat/jenjang organisasi terbawah

mengarah secara hirarki ke

tingkat/jenjang yang lebih tinggi.

Kebaikan dari anggaran ini adalah

bahwa rencana kerja yang diusulkan

oleh unit kerja terbawah

menggambarkan keinginan dan

kebutuhan yang nyata (realistik).

Kelemahan dari pendekatan

bottom-up ini adalah seringkali terjadi

bahwa unit kerja terkecil/terbawah

mempunyai kemampuan yang berbeda–

beda dalam menyusun rencana kerja

sehingga mutu hasil rencana bervariasi

Page 24: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 342

dan kadang sulit untuk berkoordinasi

sehingga waktu penyusunan menjadi

lebih lama. Kelemahan lainnya dimana

usulan rencana kerja dengan beban

rencana yang sangat tinggi sementara

dana sangat terbatas sehingga tidak

dapat dibiayai, hal ini menimbulkan

kekecewaan dan apatisme di kalangan

unit–unit yang mengusulkan.

Mixture Approach

Pendekatan ini merupakan

penggabungan antara pendekatan Top

Down dan Pendekatan Bottom-Up yang

dilaksanakan secara bersama–sama oleh

semua level dalam organisasi dalam

penyusunan dan perumusan yang

sejelas– jelasnya. Unit kerja diatas

cukup mengawasi dan mengendalikan

penyusunan rencana dan program sesuai

dengan pedoman yang telah digariskan.

Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk

mengurangi kelemahan-kelemahan dari

pendekatan Top Down ataupun Bottom-

Up dengan harapan akan memberikan

hasil yang paling baik.

METODE PENELITIAN

Penelitian yang digunakan adalah

metode deskriptif, dengan pendekatan

yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan induktif. Metode

pengumpulan data yang dilakukan

adalah melalui wawancara Informan

utama terdiri dari yaitu: Kepala SKPD,

Kepala Tata Usaha, Kepala Bidang,

Kepala Sub Bidang, Sekretaris SKPD dan

Staf SKPD. Serta Informan pendukung

terdiri dari: pengguna anggaran

(pimpinan unit kerja), pemegang kas.

PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Sehubungan dengan ditetapkannya

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006

tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah, maka dalam rangka mewujudkan

akuntabilitas dan transparansi di

lingkungan pemerintah daerah dalam hal

pengelolaan keuangan daerah, maka

dituntut untuk menyusun Perencanaan

Pengelolaan Keuangan Daerah melalui

RKA dan DPA. Dokumen tersebut

disusun serta disampaikan dalam

laporan pertanggung jawaban

pengelolaan keuangan dengan cakupan

yang lebih luas dan tepat waktu.

Permendagri Nomor 13 Tahun

2006 tentang Pedoman Pengelolaan

Keuangan Daerah, menjabarkan lebih

rinci komponen laporan keuangan yang

wajib disusun dan disampaikan oleh

setiap tingkatan pengguna anggaran,

pengelola perbendaharaan serta

pemerintah daerah.

Proses Penyusunan Anggaran

Pendapatan Daerah Di Dinas

Pendidikan Provinsi Sumatera Utara

Analisa dalam penelitian ini

digunakan untuk mengetahui proses

penyusunan Anggaran Pendapatan

Daerah di Dinas Pendidikan Provinsi

Sumatera Utara yang dimulai dari

penyusunan anggaran dengan cara

mendeskripsikan keadaan yang nyata

terjadi serta pandangan teori yang

terkait.

Permendagri No.13 Tahun 2006

yang merupakan penjabaran PP No. 58

Tahun 2005 telah mengatur secara rinci

mekanisme, proses,dan procedure

penyusunan penganggaran tahunan

daerah, termasuk di dalamnyaRKPD,

Page 25: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

343 JAP Vol. 3 No. 2

KUA, PPAS, RKA-SKPD, RAPBD, dan

APBD. Mengingat RPJMD dan Renstra

SKPD perlu sedemikian rupa sehingga

mudah diterjemahkan ke dalam rencana

dan penganggaran tahunan daerah yang

diatur dalam Permendagri No. 13Tahun

2006. Hal ini juga bermakna bahwa

RPJMD dan Renstra SKPD harus

mencerminkan kerangka penganggaran

yang diatur dalam Permendagri tersebut.

Untuk itu, renstra SKPD perlu

menggunakan kerangka fungsi, urusan

wajib, dan urusan pilihan pemerintah

daerah dalam menganalisis isu strategis,

merumuskan strategi, kebijakan, dan

menetapkan prioritas programnya,

setiap program perlu mempunyai tolok

ukur dan trget kinerja capaian program

yang jelas.

Untuk mengimplementasikan

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006,

khususnya yang terkait penyusunan

laporan anggaran dan penatausahaan

anggaran SKPD, yang mencakup

beberapa aspek penting dalam

pengelolaan anggaran.

I. a. Penyusunan RKA meliputi :

1. Menyusun rancangan APBD dan

Kebijakan Umum APBD secara

perioritas dan plafon anggaran.

2. Rencana kerja pemerintah

daerah.

3. Kebijakan Umum APBD serta

perioritas dan plafon anggaran

sementara.

4. Menyusun rencana kerja dan

anggaran SKPD

5. Rencana Kerja dan Anggaran

SKPD.

b. Pelaksanaan APBD dan dokumen

pelaksanaan anggaran (DPA)

1. Asas Umum Pelaksanaan APBD

2. Dokumen Pelaksanaan Anggaran

(DPA) SKPD

3. Pelaksanaan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah.

4. Kebijakan umum perioritas dan

plafon anggaran perubahan

APBD.

II. a. Penatausahaan Keuangan Daerah

1. Asas umum penatausahaan

keuangan daerah

2. Pelaksanaan piñata usahaan

keuangan daerah

3. Penata usahaan penerimaan

4. Penata usahaan pembayaran

5. Permintaan dan prosedur

pembayaran

6. Permintaan membayar dan

pencairan dana

7. Pertanggungjawaban

penggunaan dana.

b. Laporan Keuangan pada SKPD

1. Laporan Realisasi Anggaran

SKPD

2. Neraca SKPD

3. Catatatn Atas Laporan Keuangan

SKPD

III.Sistem Akuntansi Keuangan SKPD

1. Proses akuntasi penerimaan kas

pada SKPD

2. Prosedur akuntansi pengeluaran

kas pada SKPD

3. Prosedur akuntansi selain kas

pada SKPD

Kebijakan tersebut merupakan

landasan bagi penyelenggaraan kegiatan

akuntasi mulai dari satuan kerja

pengguna anggaran, peenyusunan

laporan keuangan oleh entitas pelaporan

dan penyajiannya kepada BPK untuk di

audit, hingga penyampaian rancangan

peraturan tentang pertanggungjawaban

pelaksanaan APBD.

Page 26: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 344

Penyusunan Rancangan APBD

Proses perencanaan dan

penyusunan APBD, mengacu pada PP

Nomor 58 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Daerah, secara

garis besar sebagai berikut: (1)

penyusunan rencana kerja pemerintah

daerah; (2) penyusunan rancangan

kebijakan umum anggaran; (3)

penetapan prioritas dan plafon anggaran

sementara; (4) penyusunan rencana

kerja dan anggaran SKPD; (5)

penyusunan rancangan perda APBD; dan

(6) penetapan APBD. Dalam gambar,

tahapan penyusunan rancangan APBD

terlihat sebagai berikut:

Gambar 4

Tahapan Penyusunan Rancangan

APBD

1. Rencana Kerja Pemerintah Daerah

Penyusunan APBD didasarkan pada

perencanaan yang sudah ditetapkan

terlebih dahulu, mengenai program dan

kegiatan yang akan dilaksanakan. Bila

dilihat dari perspektif waktunya,

perencanaan di tingkat pemerintah

daerah dibagi menjadi tiga kategori

yaitu: Rencana Jangka Panjang Daerah

(RPJPD) merupakan perencanaan

pemerintah daerah untuk periode 20

tahun; Rencana Jangka Menengah Daerah

(RPJMD) merupakan perencanaan

pemerintah daerah untuk periode 5

tahun; dan Rencana Kerja Pemerintah

Daerah (RKPD) merupakan perencanaan

tahunan daerah. Sedangkan perencanaan

di tingkat SKPD terdiri dari: Rencana

Strategi (Renstra) SKPD merupakan

rencana untuk periode 5 tahun; dan

Rencana Kerja (Renja) SKPD merupakan

rencana kerja tahunan SKPD.

Proses penyusunan perencanaan di

tingkat satker dan pemda dapat

diuraikan sebagai berikut:

a. SKPD menyusun rencana strategis

(Renstra-SKPD) yang memuat visi,

misi, tujuan, strategi, kebijakan,

program dan kegiatan pembangunan

yang bersifat indikatif sesuai dengan

tugas dan fungsinya masing-masing.

b. Penyusunan Renstra-SKPD dimaksud

berpedoman pada rencana

pembangunan jangka menengah

daerah (RPJMD). RPJMD memuat arah

kebijakan keuangan daerah, strategi

pembangunan daerah, kebijakan

umum, dan program SKPD, lintas

SKPD, dan program kewilayahan.

c. Pemda menyusun rencana kerja

pemerintah daerah (RKPD) yang

merupakan penjabaran dari RPJMD

dengan menggunakan bahan dari

Renja SKPD untuk jangka waktu satu

tahun yang mengacu kepada Renja

Pemerintah.

d. Renja SKPD merupakan penjabaran

dari Renstra SKPD yang disusun

berdasarkan evaluasi pencapaian

Rencana Kerja Pemerintah Daerah

(RKPD)

Kebijakan Umum APBD

Prioritas Plafon Anggaran

Sementara

Rencana Kerja dan Anggaran SKPD

(RKA-SKPD)

Rancangan Perda APBD

Page 27: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

345 JAP Vol. 3 No. 2

pelaksanaan program dan kegiatan

tahun-tahun sebelumnya.

e. RKPD memuat rancangan kerangka

ekonomi daerah, prioritas,

pembangunan dan kewajiban daerah,

rencana kerja yang terukur dan

pendanaannya, baik yang

dilaksanakan langsung oleh pemda

maupun ditempuh dengan mendorong

partisipasi masyarakat.

f. Kewajiban daerah sebagaimana

dimaksud di atas adalah

mempertimbangkan prestasi capaian

standar pelayanan minimal sesuai

dengan peraturan perundang-

undangan.

g. RKPD disusun untuk menjamin

keterkaitan dan konsistensi antara

perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan.

h. Penyusunan RKPD diselesaikan

selambat-lambatnya akhir bulan Mei

tahun anggaran sebelumnya.

i. RKPD ditetapkan dengan peraturan

kepala daerah.

2. Kebijakan Umum APBD serta

Prioritas dan Plafon Anggaran

Sementara (PPAS)

Suatu jembatan antara proses

perumusan kebijakan dan penganggaran

merupakan hal penting dan mendasar

agar kebijakan menjadi realitas dan

bukannya hanya sekedar harapan. Untuk

tujuan ini harus ditetapkan setidaknya

dua aturan yang jelas:

a. Implikasi dari perubahan kebijakan

(kebijakan yang diusulkan) terhadap

sumber daya harus dapat

diidentifikasi, meskipun dalam

estimasi yang kasar, sebelum

kebijakan ditetapkan. Suatu entitas

yang mengajukan kebijakan baru

harus dapat menghitung pengaruhnya

terhadap pengeluaran publik, baik

pengaruhnya terhadap pengeluaran

sendiri maupun terhadap departemen

pemerintah yang lain. Semua proposal

harus dibicarakan/dikonsultasikan

dan dikoordinasikan dengan para

pihak terkait: Ketua TAPD, Kepala

Bappeda dan Kepala SKPD.

b. Dalam proses penyusunan anggaran,

tim anggaran pemerintah daerah

(TAPD) harus bekerjasama dengan

baik dengan satuan kerja perangkat

daerah (SKPD) untuk menjamin

bahwa anggaran disiapkan dalam

koridor kebijakan yang sudah

ditetapkan (KUA dan PPAS); dan

menjamin semua stakeholders terlibat

dalam proses penganggaran sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

c. Konsultasi dapat memperkuat

legislatif untuk menelaah strategi

pemerintah dan anggaran. Dengan

pendapat antara legislatif dan

pemerintah, demikian juga dengan

adanya tekanan dari masyarakat,

dapat memberi mekanisme yang

efektif untuk mengkonsultasikan

secara luas kebijakan yang terbaik.

Pemerintah harus berusaha untuk

mengambil umpan balik atas

kebijakan dan pelaksanaan

anggarannya dari masyarakat,

misalnya melalui survey, evaluasi,

seminar, dsb. Akan tetapi, proses

penyusunan anggaran harus

menghindari tekanan yang berlebihan

dari pihak-pihak yang berkepentingan

dan para pelobi, agar penyusunan

anggaran dapat diselesaikan tepat

waktu

Kelemahan dalam proses

penganggaran selama ini seperti yang

Page 28: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 346

terjadi di Sumatera Utara, dapat dilihat

dari sisi proses politik dan kelembagaan.

Proses penyusunan APBD selalu

dilandasi oleh tiga asumsi dasar yaitu: 1)

memandang proses penyusunan APBD

sebagai proses dalam menjalankan

manajemen pemerintahan, 2) birokrat

penyusun APBD dianggap tidak

mempunyai kepentingan pribadi dan

karenanya segala pertimbangannya

dalam penyusunan APBD dianggap

mewakili kepentingan umum, dan 3)

memandang bahwa suara rakyat telah

terwakili oleh lembaga representasi yang

telah ada. Asumsi ini tentu saja jarang

dikemukakan di depan publik. Tetapi

sebagaimana akan dikemukakan dalam

praktek, ketiga asumsi ini dianut DPRD

dan pemerintah pada tingkat kognisi dan

berpengaruh dalam proses penyusunan

APBD. Sehingga, persoalan partisipasi

masyarakat, dan keadilan cenderung

terabaikan.

Dengan memandang APBD sebagai

proses manajemen pemerintahan maka

proses penyusunan APBD dianggap

sebagai proses administrasi

pemerintahan. Dengan demikian

persoalan yang muncul direspon dalam

kerangka administrasi dan manajerial.

Lebih jauh, mengutip M. Gottdiener

(1987), pandangan secara lebih luas

berarti memandang seluruh persoalan

negara sebagai masalah manajerial (state

managerialism). Padahal, sebagaimana

dikemukakan diatas, APBD merupakan

instrumen fiskal. Sebagai instrumen

fiskal, maka APBD seharusnya

mencerminkan pilihan publik mengenai

apa dan berapa warga harus membayar

pajak dan retribusi untuk pelayanan

langsung dari pemerintah (dari sisi

penerimaan) dan berapa besar

pemerintah mengalokasikan belanja

untuk kepentingan publik (dari segi

belanja).

Kedua proses ini, seharusnya

melewati proses politik yang melibatkan

partisipasi aktif dari masyarakat warga.

Asumsi kedua, menganggap birokrat

penyusun APBD tidak punya kepentingan

pribadi dan karenanya seluruh

pertimbangannya dalam penyusunan

APBD adalah rasional dan berorientasi

pada kepentingan publik. Pandangan ini

dikukuhkan dengan berbagai standard

normatif kepegawaian yang menyatakan

bahwa pejabat/pegawai negeri adalah

‘abdi negara’ dan ‘abdi masyarakat’.

Pandangan ini telah dibantah oleh

beberapa studi yang menunjukkan

bahwa negara dengan biro-bironya

bukanlah sebuah entitas yang netral

dalam kerangka interaksi antar

stakeholder dalam pembangunan.

Menurut Niskanen (1971) birokrat

sebagaimana juga dengan orang lain,

adalah pihak yang memaksimumkan

kepuasannya, yaitu gaji, jumlah

karyawan, reputasi dan status sosialnya.

Karena fungsi utilitas birokrat berkaitan

dengan besarnya anggaran, maka

seorang birokrat yang berusaha

mencapai kepuasan maksimum berarti

pula ia merupakan orang yang

memaksimumkan anggaran pemerintah.

Maksimisasi anggaran ini dapat dilihat

dari kecenderungan birokrasi untuk

memperbesar anggaran. Birokrasi

memperbesar anggaran dengan dua cara

yaitu melakukan ekspansi birokrasi dan

memaksimumkan pemborosan

(McKenzie, 1984).

Ekspansi birokrasi dilakukan

dengan cara memperbesar organisasi,

memperbanyak prosedur, dan

Page 29: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

347 JAP Vol. 3 No. 2

memasukkan kegiatan yang dapat

disediakan pasar menjadi kegiatan yang

dimonopoli oleh pemerintah. Sedangkan

pemborosan dilakukan dengan cara

memperbesar biaya per-unit pelayanan,

memperbanyak perjalanan, dan

menambah jumlah pegawai untuk

menjalankan fungsi pelayanan umum.

Selain itu, birokrat juga seringkali

melakukan praktek rent seeking. Praktek

rent seeking merupakan hal yang harus

diperhatikan dalam pengelolaan sektor

publik karena praktek tersebut

merupakan alat yang digunakan oleh

kelompok tertentu (vested interest

group) untuk memaksimumkan

kepentingan pribadi dan kelompoknya di

sektor yang sebenarnya merupakan

domain publik (Paul, 1991)

Asumsi ketiga memandang suara

rakyat terwakili oleh lembaga

representasi yang telah ada. Pemerintah

menganggap DPRD merupakan lembaga

representasi di tingkat Daerah/Kota

sedangkan di tingkat komunitas aspirasi

warga telah direpresantasikan oleh

Lembaga Pemberdayaan Masyarakat

Kelurahan/desa (LPMK/D) atau Badan

perwakilan Desa (BPD). Dengan

mengikutsertakan kedua lembaga

tersebut pemerintah merasa sudah

mengikutsertakan seluruh komponen

masyarakat. Sekali lagi, asumsi ini layak

dipertanyakan. DPRD memang

mencerminkan representasi masyarakat

warga pada tataran politik. Tetapi

keberadaan DPRD sebagai representasi

politik tidak lantas menyisihkan

pelibatan berbagai komponen

masyarakat warga dan organisasi profesi

dalam proses perencanaan.

Sedangkan keberadaan LPMK/D

atau BPD sebagai representasi warga

layak dipertanyakan. Hal ini dikarenakan

LPMK/D merupakan lembaga yang

diinisiasi oleh pemerintah untuk

mendukung berbagai program

pemerintah. Dengan kata lain,

kelembagaan representasi yang

dilibatkan dalam proses penyusunan

APBD masih merupakan cerminan dari

tatanan kelembagaan di Indonesia yang,

meminjam terminologi G.O’Donnell dan

Muchtar Mas’ud, masih merupakan

negara birokratik (bureaucratic state)

dan koorporatis (coorporatestate). Dalam

tatanan ini birokrasi sebagai instrumen

negara merupakan kekuatan dominan

yang tidak hanya relatif mandiri

berhadapan dengan elit politik dan

masyarakat sipil, tetapi menjadi

kekuatan dominan yang mampu

mengatasi keduanya. Para birokrat

memainkan peran sebagai poros

pemerintahan yang mengatur,

mengintervensi, dan mengendalikan

segala segi kehidupan masyarakat.

Birokrasi pemerintahan juga beroperasi

sebagaimana organisasi perusahaan

dimana setiap elemen sosial dan

kenegaraan dikontrol dan diarahkan

untuk memenuhi tujuan yang telah

ditetapkan.

Dengan landasan asumsi yang

goyah, maka dapat dipastikan akan

menyebabkan berbagai distorsi dalam

APBD. Sebagai konsekwensinya, secara

konseptual distorsi yang terjadi dapat

berupa: pemborosan anggaran untuk

kepentingan birokrasi, alokasi anggaran

yang tidak sesuai dengan kebutuhan,

tertutupnya akses terhadap informasi

anggaran, rendahnya tingkat

akuntabilitas pengelolaan keuangan

daerah dan lain-lain.

Page 30: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

JAP Vol. 3 No. 2 348

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan analisis

data, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :

1. Dalam proses Penyusunan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Daerah

(APBD), belum sepenuhnya

mencerminkan kondisi yang ada,

dimana arah dan kebijakan umum

anggaran lebih didominasi oleh

kepentingan atasan.

2. Persoalan mendasar dalam proses

penyusunan anggaran pendapatan

dan belanja daerah pada Dinas

Pendidikan Provinsi Sumatera Utara

masih ada indikasi tarik menarik

kepentingan eksekuti dengan

legislative, serta kesiapan SKPD dalam

penatausahaan, pelaporan dan

pertanggung jawaban dan perangkat

aturan yang berubah-ubah

mengakibatkan perlu pemahaman

secara mendasar tentang teknis

penyusunan anggaran yang baru..

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas,

maka saran-saran yang dapat diberikan

adalah sebagai berikut :

1. Penyusunan APBD di era otonomi

daerah dan desentrasisali keuangan

harus berorientasi kepada

kepentingan public dan menggunakan

pendekatan kinerja sesuai dengan

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006.

2. Pengalokasian anggaran harus sesuai

dengan perioritas dan tututan

masyarakat, dimana anggaran harus

benar-benar digunakan untuk

melaksanakan kegiatan yang perlu.

Dalam menyusun anggaran belanja

rutin perlu adanya standarisasi

anggaran dan perioritas pada masing-

masing SKPD, sehingga dana yang

digunakan masing-masing unit kerja

bisa mencukupi untuk menjalan

kegiatannya.

3. Perlu adanya sosialisasi yang

dijadikan acuan baku dalam

penyusunan anggaran, agar SKPD

dapat melakukan kerjanya harus

benar-benar sehingga terhindar dari

proyek-proyek titipan.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim (editor), Bunga Rampai

Manajemen Keuangan Daerah (revisi), UPP. AMP YKPN, Yogyakarta, 2001.

--------, Seri Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Akuntansi Dan pengendalian Keuangan Daerah, UPP. AMP YKPN, Yogyakarta, 2002.

Eddi Wibowo,Tomo HS,dan Hesel Nogi S. Tangkilisan, Memahami Good Governance dan Good Corporate Governance, YPPAI, Yogyakarta,2004.

Direktorat Jenderal Otonomi Daerah, Direktorat Pengelolaan Keuangan Daerah, Keputusan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2002 tentang Pedoman Pengurusan,Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata Cara Penyusuna Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Jakarta,2002.

Jones,Rowan and Maurice Pendlebury, Public

Sector Accounting 5th

edition, Pitman Publishing, London, 2000.

Mardiasmo, Akuntansi Sektor Publik, Andi, Yogyakarta , 2002.

--------, Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah, Andi, Yogyakarta,2002

.--------, Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah : Implementasi Value for Money Audit Sebagai Antisipasi Terhadap Tuntutan Akuntabilitas publik, JAAI,2000 63-82 .

--------,Sopanah, Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik Terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan Tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, Proceding Simposium Nasional Akuntansi VI , 2003 1160-1173

Revvisoynd Baswir, Akuntansi Pemerintahan,

Page 31: ANALISIS PROSES PENYUSUNAN ANGGARAN PENDAPATAN …

Jurnal Administrasi Publik ISSN: 2088-527x Public Administration Journal

349 JAP Vol. 3 No. 2

Edisi Tiga BPFE,Yogyakarta,1999. Republik Indonesia, Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung ,2001.

--------, Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung ,2004.

--------, Undang-undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Citra Umbara, Bandung 2004.

Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis, Alfabeta, Bandung, 2004.

Abdul Wahab, Sholihin, Edisi Kedua 2003, Analisis Kebijakan dari Fomulasi ke Implementasi Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta

Charles E Lindblom, 1986, Proses Penetapan Kebijakan (alih Bahasa : Ardian Syamsudin), Erlangga, Jakarta.

Dieter Klingemann Hans, Richard I. Hofferbert,Budge Ian, 2000, Partai Kebijakan dan Demokrasi ( terjemahan : Sigit Jatmika),Jentera & Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Dunn, William,2000, Analisa Kebijakan Publik, Gajah Mada Pers, Yogyakarta.

Islami,Irfan, 2002,Prinsip-prinsip Perumusan Kebijakan Negara, Bumi Aksara, Jakarta

Moleong, Lexy J., 2000, Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosda Karya, Bandung

Milles dan Huberman, 1992, Analisa Data Kualitatif, Universitas Indonesia Pers, Jakarta

Nazir Moh,1988, Metode Penelitian,Ghalia Indonsia, Jakarta

Riant Nugroho D, 2003, Kebijakan Publik, Formulasi, Implementasi dan Evaluasi, PT Elex Media Komando, Jakarta

Singarimbun Masri dan Effendi Sofian, Metodologi Penelitian Survai, LP3ES Jakarta, 1989.

Sugiyono, 2001, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung

Suparmoko,M, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Andi , Yogyakarta

Suparmoko,M, 2000, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek, BPFE, Yogyarta

Sutopo,H.,1988, Pengantar Penelitian Kualitif, Pusat Penelitian Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Thaib Dahlan, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty Yogyakarta, 2002.

Wibawa, Samoedra, 1987, Analisis Kebijakan Publik, Intermedia, Yogyakarta

Winarno Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Media Presindo,Yogyakarta

……………,2000, Otonomi Daerah : Desentralisasi Pemerintahan sebagai Tuntutan demokrasi Politik dan Ekonomi yang berkeadilan, Jurnal Studi Pembangunan Inter-disiplin No. 3, tahun 2000

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang No. 25 tahun 2000, tentang Program Pembangunan Nasional.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah