21
ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PAJAK ATAS TRANSAKSI DERIVATIF TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG (STUDI KASUS PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK) ABSTRAK Oleh : SUSANTI NPM : 0851031058 Tlpn : 08976161416 Email : [email protected] Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA. Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt. Pergerakan arus globalisasi telah mendorong para pelaku bisnis untuk memperluas bisnis mereka dalam melakukan perdagangan internasional untuk menghindari kerugian yang besar karena pergerakan nilai tukar. Penelitian ini menguji perbedaan perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak kena pajak dan PPh terutang. Perlakuan akuntansi menggunakan prinsip metode accrual basis sedangkan pajak menggunakan metode cash basis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang. Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yang menggunakan data sekunder yang berasal dari satu perusahaan yang memiliki transaksi derivatif di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi dan studi pustaka. Sedangkan analisis dilakukan dengan menggunakan analisis kuantitatif (menggunakan penjabaran variabel terkait) dan analisis kualitatif (menggunakan PSAK NO 50/55 dan UU Pajak Penghasilan Nomor 38/2008). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan pajak dari transaksi derivatif terletak pada kebijakan untuk amortisasi transaksi derivatif berdasarkan periode kontrak. Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara akuntansi dan pajak membuat perbedaan laba komersial dan laba fiskal. Kedua perbedaan ini masuk kedalam akun pajak tangguhan berdasarkan PSAK 46 yang diterapkan di Indonesia. Kata kunci: Pajak Penghasilan (PPh), Laba Kena Pajak, Transaksi Derivatif, Perlakuan Perpajakan, Perlakuan Akuntansi

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PAJAK ATAS

  • Upload
    dothuy

  • View
    255

  • Download
    9

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISIS PERLAKUAN AKUNTANSI DAN PAJAK ATAS TRANSAKSI

DERIVATIF TERHADAP LABA KENA PAJAK DAN PPH TERUTANG

(STUDI KASUS PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK)

ABSTRAK

Oleh :

SUSANTI

NPM : 0851031058

Tlpn : 08976161416

Email : [email protected]

Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA.

Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt.

Pergerakan arus globalisasi telah mendorong para pelaku bisnis untuk memperluas bisnis

mereka dalam melakukan perdagangan internasional untuk menghindari kerugian yang besar

karena pergerakan nilai tukar. Penelitian ini menguji perbedaan perlakuan akuntansi dan

perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak kena pajak dan PPh

terutang. Perlakuan akuntansi menggunakan prinsip metode accrual basis sedangkan pajak

menggunakan metode cash basis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan antara perlakuan akuntansi dan

perlakuan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang. Penelitian

ini termasuk penelitian deskriptif yang menggunakan data sekunder yang berasal dari satu

perusahaan yang memiliki transaksi derivatif di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan

dengan cara observasi dan studi pustaka. Sedangkan analisis dilakukan dengan menggunakan

analisis kuantitatif (menggunakan penjabaran variabel terkait) dan analisis kualitatif

(menggunakan PSAK NO 50/55 dan UU Pajak Penghasilan Nomor 38/2008).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan antara perlakuan akuntansi dan perlakuan

pajak dari transaksi derivatif terletak pada kebijakan untuk amortisasi transaksi derivatif

berdasarkan periode kontrak. Perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban antara

akuntansi dan pajak membuat perbedaan laba komersial dan laba fiskal. Kedua perbedaan ini

masuk kedalam akun pajak tangguhan berdasarkan PSAK 46 yang diterapkan di Indonesia.

Kata kunci: Pajak Penghasilan (PPh), Laba Kena Pajak, Transaksi Derivatif, Perlakuan

Perpajakan, Perlakuan Akuntansi

ANALYSIS OF ACCOUNTING TREATMENT AND TAX TREATMENT ON

DERIVATIVE TRANSACTIONS TO TAXABLE INCOME AND INCOME TAX

PAYABLE (PPH)

(CASE STUDY PT JAPFA COMFEED INDONESIA TBK)

ABSTRACT

By :

SUSANTI

NPM : 0851031058

Phone : 08976161416

Email : [email protected]

Pembimbing I : R. Weddie Andriyanto, S.E., M.Si., CPA.

Pembimbing II : Basuki Wibowo, S.E., Akt.

Globalization movement has been encourage the business people to expand their business and

beware in doing international trading to avoid large losses due to exchange rate fluctuations.

This study examined the differences of accounting treatment and tax treatment on derivative

transactions to taxable income and income tax payable (PPh). Accounting treatment use the

accrual basis principle while tax treatment use cash basis principle.

This study aims to find out the differences between accounting treatment and tax treatment on

derivative transactions which focused on contract forward to taxable income and income tax

payable (PPh). This study belongs to descriptive study which using secondary data from one

company that has derivative transactions inside it. Data were collected by doing observation

and literature study. This analysis using quantitative analysis (using number in analyze the

related variables) and qualitative analysis (refer to PSAK NO 50/55 and UU Pajak

Penghasilan No 38/2008).

The results showed that the differences between accounting treatment and tax treatment on

derivative transactions lies in the policy to amortize derivative transactions based on the

contract period. The differences in recognition of income and expense between accounting

and tax create the differences in commercial income and fiscal income. Those two differences

adapted in deferred tax account based on PSAK 46 which applied in Indonesia.

Keywords : Income Tax Payable (PPh), Taxable Income, Derivative Transactions, Tax

Treatment, Accounting Treatment

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perdagangan antar negara pada umumnya menimbulkan pilihan bagi pelaku binis mengenai

currency (mata uang) yang akan dipakai dalam kontrak dagang yang akan dilakukan.

Mengingat semakin besarnya peran transaksi derivatif dalam perdagangan internasional dan

meningkatnya transaksi/perdagangan uang secara global maka kebijakan fiskal yang tepat

untuk transaksi derivatif mempunyai potensi untuk meningkatkan penerimaan negara dari

pajak penghasilan atas penghasilan transaksi derivatif.

Derivatif merupakan instrumen keuangan yang nilainya berasal dari nilai aset lain, kelompok

aset, atau variabel ekonomis seperti harga saham, obligasi, harga komoditas, tingkat bunga

atau kurs pertukaran valuta (Sumbramanyam, 2010). Sedangkan Samsul (2010) membedakan

derivatif digolongkan menjadi dua golongan, yaitu bursa berjangka dan OTC (Over the

Counter). Bursa berjangka adalah transaksi kontrak beli dan kontrak jual dilakukan oleh

banyak pembeli dan banyak penjual dengan persyaratan standar yang ditetapkan oleh pihak

bursa dan penyelesaian kontrak dapat dilaksanakan setiap hari. Sedangkan OTC (Over the

Counter) adalah transaksi kontrak beli dan kontrak jual dilakukan oleh dua pihak tertentu dan

penyelesaian kontrak selalu pada tanggal jatuh tempo.

Lebih lanjut, Subramanyam (2010) menyatakan akuntansi untuk derivatif mempunyai dua

tujuan, yaitu untuk lindung nilai dan spekulasi. Lindung nilai (hegde) merupakan kontrak

yang bertujuan untuk melindungi perusahaan dari resiko transaksi pasar. Transaksi lindung

nilai ini mirip dengan kebijakan asuransi, dimana perusahaan melakukan kontrak yang

memastikan adanya imbal hasil pasti tanpa dipengeruhi kekuatan pasar. Berbagai macam

instrumen keuangan digunakan untuk kegiatan lindung nilai yaitu kontrak masa depan

(futures contract), kontrak swap (swap contract), kontrak opsi (option contract), dan kontrak

forward (forward contract). Keempat macam kontrak ini memiliki indikasi yang berbeda-

beda terhadap resiko-resiko yang dihadapi oleh perusahaan tergantung bagaimana kebijakan

manajemen yang berlaku diperusahaan.

Perlakuan akuntansi suatu transaksi bisnis dalam suatu perusahaan juga dipengaruhi oleh

kebijakan perpajakan. Adanya kebijakan-kebijakan dalam hal perpajakan menimbulkan

adanya perlakuan perpajakan tertentu. Keputusan bisnis sebagian besar dipengaruhi oleh

pajak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga kebijakan perpajakan ini perlu

dipertimbangkan. Agar tidak terjadi gangguan yang serius terhadap jalannya perusahaan,

maka pemenuhan kewajiban perpajakan harus dikelola dengan baik.

1.2. Rumusan Masalah dan Batasan Masalah

1.2.1. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang muncul dan

akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

“ Bagaimana perlakuan akuntansi dan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak

dan pph terutang ? “

1.2.2. Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini agar penulisan lebih terarah dan terfokus, yaitu:

1. Studi kasus (menggunakan data sekunder) dengan menganalisa laporan keuangan

perusahaan yang melakukan transaksi derivatif dilihat dari perlakuan akuntansi dan

perpajakan.

2. Transaksi derivatif yang akan diteliti kontrak forward (forward contract) untuk tujuan

lindung nilai (hedging).

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui perbedaan perlakuan akuntansi dan perpajakan atas transaksi derivatif

kontrak forward (forward contract).

1.3.2. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi perusahaan, yang akan melakukan transaksi derivatif kontrak forward (forward

contract) diharapkan bisa mendapatkan informasi dasar atas transaksi derivatif sesuai

dengan prinsip akuntansi dan perpajakan yang berlaku di Indonesia.

2. Bagi pihak pajak, diharapkan bisa merevisi peraturan tentang transaksi derivatif kontrak

forward secara lebih detail.

3. Menyediakan bahan referensi bagi peneliti lain khususnya akademisi untuk dijadikan

bahan pertimbangan dalam mengkaji lebih lanjut masalah yang terkait dengan hasil

penelitian ini.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Instrumen Derivatif

Berdasarkan PP No.17 / 2009 tersebut yang dimaksud dengan instrumen derivatif dijelaskan

dalam penjelasan Pasal 1 adalah:

“Transaksi yang didasari pada kontrak atau perjanjian pembayaran yang nilainya

merupakan turunan dari nilai instrumen yang mendasari seperti suku bunga, nilai tukar,

komoditi, ekuiti, dan indeks, baik yang diikuti dengan pergerakan maupun tanpa pergerakan

dana atau instrumen.”

Sedangkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 55 revisi 2006, menyatakan

bahwa instrumen derivatif adalah suatu instrumen keuangan atau kontrak lain yang termasuk

dalam ruang dengan tiga karakteristik berikut ini:

(a) nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan variabel yang telah ditentukan (sering

disebut dengan variabel yang mendasari), antara lain: suku bunga, harga instrumen

keuangan, harga komoditas, nilai tukar mata uang asing, indeks harga atau indeks suku

bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau variabel lainnya. Untuk variabel

nonkeuangan, variabel tersebut tidak berkaitan dengan pihak-pihak dalam kontrak.

(b) tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal neto dalam

jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang diperlukan untuk kontrak

serupa lainnya yang diharapkan akan menghasilkan dampak yang serupa sebagai akibat

perubahan faktor pasar.

(c) diselesaikan pada tanggal tertentu di masa depan.

Jenis Produk Derivatif

Stice Skoucen (2006) dalam bukunya Akuntansi Keuangan Menengah, menyebutkan jenis

produk derivatif yang secara umum dilakukan sebagai berikut:

1. Swap

Tukar menukar atau yang lebih dikenal sebagai swap dalam dunia keuangan merupakan suatu

instrumen derivatif, di mana terdapat dua pihak saling mempertukarkan suatu aliran arus kas

dengan aliran arus kas lainnya. Nilai swap ini dihitung berdasarkan suatu nilai absolut atau

notional amount yaitu suatu nilai nominal yang digunakan untuk menghitung pembayaran

terhadap suatu swap dan produk manejemen risiko lainnya dimana nilai ini bukan suatu nilai

yang sesungguhnya (absolute).

2. Futures (Kontrak Berjangka)

Futures adalah kontrak berjangka panjang yang bersifat mengikat atau memberi kewajiban

kepada kedua belah pihak untuk membeli atau menjual underlying asset tertentu (berupa

valuta asing, tingkat bunga, ekuitas, atau komoditas) berdasarkan tingkat harga yang

ditetapkan saat ini yang penyelesaian transaksinya dilakukan secara cash settelement di masa

yang akan datang sesuai dengan expiration date yang ditetapkan di dalam kontrak tersebut.

3. Forward (Kontrak Serah)

Kontrak serah atau yang dalam bahasa asing disebut forward contract adalah suatu

persetujuan antara dua belah pihak untuk menjual atau membeli suatu aset (atau bentuk

apapun juga) di suatu waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu, tanggal

penjualan dan tanggal penyerahan barang dilakukan berbeda. Kontrak serah ini digunakan

untuk mengendalikan dan meminimalkan risiko, sebagai contoh risiko perubahan nilai mata

uang (contoh: kontrak forward untuk transaksi mata uang) atau transaksi komoditi (contoh:

kontrak serah untuk minyak bumi). Transaksi forward adalah transaksi berjangka dengan

penyerahan valuta pada suatu tanggal tertentu dengan menggunakan kurs yang disepakati

pada tanggal transaksi.Satu pihak setuju untuk membeli, pihak lain menjual, untuk suatu

harga yang telah disetujui sebelumnya. Saat terjadi transaksi forward, belum terjadi

pertukaran atau pembayaran uang. Pembayaran dan pengiriman barang dilakukan sesuai

dengan jadwal dan aturan yang telah disepakati. Harga forward berbeda dengan harga spot

atau harga pada saat asset tersebut berpindah tangan.

4. Options (Opsi)

Opsi merupakan suatu jenis kontrak antara 2 (dua) pihak dimana satu pihak memberi hak

kepada pihak lain untuk membeli aset tertentu pada harga dan periode tertentu. Di sisi lain,

kontrak juga mengizinkan pihak lain untuk menjual aset pada harga dan periode tertentu.

Pihak yang membayar dan menerima hak disebut call option, sedangkan pihak yang menjual

disebut put option.

Penyesuaian Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Forward Contract

Keiso (1996), menyebutkan forward contract sebagai salah satu jenis instrumen derivatif

dicatat sebesar nilai wajarnya. Penyesuaian nilai Forward contract

karena resiko penurunan nilai mata uang juga berdasarkan nilai wajarnya, begitu pula dengan

pengukuran terhadap premium ataupun discount yang timbul merupakan selisih dari nilai

wajar antara Forward payable dan Forward receivable. Kieso (1996), merumuskan nilai

premium ataupun discount sebagai berikut:

- Forward payable (hutang perusahaan pada bank) adalah jumlah dalam suatu mata uang

asing untuk menentukan besarnya nilai penyelesaian forward contract dikalikan dengan

spot rate (kurs tunai yang berlaku).

- Forward receivable adalah jumlah dalam suatu mata uang asing untuk menentukan

besarnya nilai penyelesaian forward contract dikalikan dengan forward rate ( kurs yang

ditentukan bank sebagai pihak ketiga yang independen).

Sedangkan nilai premium ditentukan dari hasil pengurangan forward payable dengan forward

receivable dan nilai discount dapat ditentukan jika yang terjadi nilai forward receivable lebih

besar dari nilai forward payable. Premium berarti penghasilan bagi bank sedangkan discount

berarti penghasilan bagi perusahaan.

Nilai premium maupun discount yang timbul harus dimortisasi sepanjang masa forward

contract atau dengan kata lain beban amortisasi/penghasilan forward dicatat nilainya

berdasarkan hasil amortisasi sepanjang masa forward contract.

Definisi elemen dan pos laporan keuangan forward receivable termasuk elemen aktiva karna

perusahaan akan menerima pembayaran dari bank. Dan dicatat dibagian pos piutang lain-lain

karna tidak berhubungan dengan kegiatan operasi perusahaan. Untuk forward payable

termasuk elemen kewajiban karna perusahaan akan melakukan pembayaran ke bank. Dan

dicatat dibagian pos hutang lain-lain. Premium termasuk elemen aktiva karna premium

adalah beban yang dibayar dimuka dan dicatat dalam aktiva lain-lain sedangkan discount

termasuk elemen kewajiban karna discount adalah penghasilan yang diterima perusahaan dan

dicatat dalam kewajiban lain-lain. Laba (rugi) selisih kurs, beban amortisasi, penghasilan

forward masuk elemen pendapatan (beban) lain-lain dan dicatat pada pos laba (rugi) selisih

kurs, pos beban amortisasi dan pos penghasilan forward karna pos-pos tersebut tidak

terhubung dengan operasi perusahaan tersebut. Forward receivable ataupun forward payable

dan discount ataupun premium dilaporkan dalam neraca, apabila terjadi discount maka harus

disajikan menjadi satu dibagian kewajiban, dan kalau terjadi premium maka harus disajikan

satu dibagian aktiva.

Perlakuan Pajak untuk Forward untuk Contract

Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-12/PJ.313/1993 tanggal 18 Mei 1993 tentang

Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi Forward Sales Valuta Asing, yang dimaksud

dengan transaksi forward sales adalah transaksi jual beli valuta asing yang penyerahan

valutanya dilakukan dikemudian hari dengan nilai kurs valuta asing yang telah disepakati

oleh penjual dan pembeli pada saat kontrak dibuat. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-

12/PJ.313/1993 tanggal 18 Mei 1993 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Transaksi

Forward Sales Valuta Asing mengatur Pelakuan Pajak Penghasilan atas penghasilan berupa

forward sales valuta asing sebagai berikut:

a. Premi atas forward sales valuta asing yang tidak berkaitan dengan transaksi lain

merupakan obyek pajak penghasilan bagi pihak yang menerima atau memperolehnya.

Perhitungan dan pelunasan Pph atas penghasilan berupa premi tersebut dilakukan oleh

wajib pajak melalui sistem self assessment yaitu dengan menjumlahkan penghasilan

berupa premi tersebut dengan penghasilan lainnya dalam surat pemberitahuan tahunan

pajak penghasilan (SPT Tahunan PPh) untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan

tarif sesuai ketentuan dalam pasal 17 UU PPh.

b. Premi atas forward sales valuta asing yang merupakan satu paket dengan penempatan

deposito berjangka oleh nasabah yang sama pada bank yang sama adalah obyek pajak

penghasilan dan termasuk dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan

Pajak Penghasilannya diperlakukan sama dengan pajak penghasilan dan termaksuk

dalam pengertian bunga deposito berjangka. Pengenaan Pajak Penghasilannya

diperlukan sama dengan Pajak Penghasilan atas bunga deposito berjangka

sebagaimana di atur peraturan pemerintah No. 74 tahun1991.

Menurut peraturan terpajak secara umum, fiskal mengakui pembukuan yang di dasarkan pada

cash basis. Cash basis mencatat dan melaporkan penghasilan dan biaya pada saat uangnya

sudah di bayar dalam transaksi forward contract ini. Perusahaan menggunakan accural basis

berarti timbulnya hak dan kewajiban meskipun uangnya belum di bayar dalam transaksi

tanggal transaksi forward contract. Pada tanggal neraca pajak mengakui loos or gain on

foreign exchange berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 Tahun 1983

sebagaimana yang telah diubah dengan UU No.7 Tahun 1991, UU No.10 Tahun 1994, UU

No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun 2008, yang menyatakan bahwa:

“Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis

yang di terima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar

Indonesia. Yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak

yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Termasuk keuntungan karena

sesisih kurs mata uang asing dan pasal 6 ayat 1(a) yang menyatakan bahwa besarnya

Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap, ditentukan

berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan

memelihara penghasilan, termasuk kerugian selisih kurs mata uang asing.”

Premium atau discount yang diamortisasi (beban amortisasi) berdasarkan pasal 11A ayat 2

Undang-Undang Pajak Penghasilan No.7 tahun 1983 sebagian yang telah diubah dengan UU

No.7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000 dan UU No. 36 Tahun

2008 menyatakan bahwa untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi

ditetapkan pada Tabel 2.3 Pengukuran pajak untuk beban amortisasi. Forward contrat yang

jatuh temponya kurang dari satu tahun diamortisasi dengan mengikuti perlakuan akuntansi

komersial yang telah dicatat dan dilaporkan perusahaan.

Pada tanggal jatuh tempo pajak mengakui loss/gain on foreign exchange. Laba (rugi) selisih

kurs diakui pajak sebagai penghasilan ataupun sebagai pengurang penghasilan. Sedangkan

beda nilai amortisasi antara laporan komersial diatas amortisasi dan fiskal akan dikoreksi

positif oleh pajak apabila amortisasi komersial diatas amortisasi fiskal.

3.METODOLOGI PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif karena menggambarkan perlakuan akuntansi

dan perpajakan atas transaksi derivatif kontrak forward (forward contract) didalam laporan

keuangan perusahaan dan menggunakan data sekunder. Dalam penelitian ini, data sekunder

yang digunakan yaitu data dalam bentuk laporan keuangan PT Japfaa Comfeed Indonesia

Tbk tahun 2008 dan 2009 yang sudah dipublikasikan di homepage Bursa Efek Indonesia,

homepage dari perusahaan yang menjadi objek penelitian, ataupun literatur-literatur lain yang

berkaitan dengan penelitian ini.

Teknik Pengumpulan Data

Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan, penulis membutuhkan data yang berkaitan

dengan topik penelitian. Data yang relevan yang mencakup ruang lingkup menjadi acuan

penulis untuk dapat memberikan gambaran secara menyeluruh tentang masalah yang diteliti.

Perhitungan Nilai Wajar Kontrak Derivatif

Trombrey (2003), menrumuskan nilai wajar kontrak forward valas pada tanggal laporan

keuangan adalah berdasarkan rumus :

Notional x (Current forward rate – Contracted forward rate)

amount (1+r) t

Dimana :

Notional amount : jumlah valas yang disepakati dalam kontrak forward.

Current forward rate : kurs forward valas untuk tanggal penyerahan

Contracted forward rate : kurs forward valas yang ada dalam kontrak forward

r : tingkat diskonto

t : jumlah bulan dalam kontrak forward

Berdasarkan rumusan diatas, maka :

a. Tidak digunakannya kurs spot pada tanggal laporan keuangan, yang pada umumnya

menjadi patokan untuk penyesuaian saldo akun-akun dalam mata uang asing, yang

menimbulkan laba rugi selisih kurs.

b. Digunakan selisih antara kurs forward valas pada tanggal laporan keuangan untuk

penyerahan pada tanggal penyelesaian dibandingkan dengan forward yang ada dalam

kontrak forward valas, dan terdapat komponen tingkat diskonto dan jangka waktu periode

dari tanggal laporan keuangan sampai tanggal penyerahan kontrak valas.

Teknik Rekonsiliasi Fiskal atas Transaksi Derivatif Kontrak Forward

Ada beberapa perubahan penting yang sangat berpengaruh dalam perhitungan pajak

perusahaan antara lain:

a) Peredaran Usaha

Peredaran usaha yang disajikan adalah peredaran usaha komersial sesuai dengan prinsip-

prinsip akuntansi komersial atau standar akuntansi keuangan, yang merupakan

penerimaan/peredaran bruto dari kegiatan usaha, baik di Indonesia maupun di luar negeri

melalui bentuk usaha tetap atupun bukan bentuk usaha tetap. Di dalam kontrak forward

valas, Wajib Pajak tetap memiliki hak untuk memperlakukan laba atau rugi yang timbul

dari perubahan nilai wajar kontrak forward valas sebagai penambah atau pengurang

penghasilan bruto untuk menentukan Penghasilan Kena Pajak, sepanjang :

- Tidak terdapat indikasi kontrak forward valas digunakan terutama untuk tujuan

spekulatif atau mengambil untung dalam jangka pendek. Karena menyangkut

penentuan kurs dimasa depan yang selalu ada unsur spekulatif.

- Arus kas dari realisasi kontrak forward valas digunakan terutama untuk menyelesaikan

transaksi-transaksi yang mendasarinya.

b) Penghasilan Netto dari Luar Usaha

Penghasilan lainnya yang bukan merupakan pengahasilan dari kegiatan usaha atau tidak

ada kaitannya dengan kegiatan usaha, misalnya bila terjadi penjualan aktiva tetap maka

harus disajikan dalam laporan keuangan.

c) Penghasilan yang dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak.

Penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dikenakan PPh final dan yang tidak

termasuk objek pajak harus dikeluarkan.

d) Penyesuaian Fiskal Positif

Pengeluaran komersial yang tidak dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan, misalnya

biaya untuk kepentingan pribadi pemegang saham, dana cadangan, imbalan natura dan

kenikmatan serta pajak penghasilan.

e) Penyesuaian Fiskal Negatif

Perhitungan komersial yang lebih rendah dari ketentuan fiskal, misalnya selisih

penyusutan komersial dibawah penyusutan fiskal dan penghasilan yang ditangguhkan

pengakuannya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perusahaan menggunakan kontrak instrumen derivatif dalam bentuk forward contract untuk

melindungi nilai wajar kewajiban Perusahaan sebesar Rp3.998.759.000.000. Pada tanggal 24

Juli 2008, Perusahaan menandatangani transaksi forward contract ini dengan PT ANZ Panin

Bank dengan nilai wajar kontrak forward sebesar Rp134.185.000.000 yang jatuh tempo pada

31 Desember 2009. Nilai notional kontrak forward ini pada saat 31 Desember 2008 sebesar

Rp439.279.000.000 dan saat 31 Desember 2009 sebesar Rp499.831.000.000. Sedangkan

tingkat diskonto kontrak forward ini mendekati suku bunga inkremental Perusahaan yaitu

sebesar 12% di tahun 2008 dan sebesar 10,5% di tahun 2009. Instrumen keuangan derivatif

ini disajikan dalam aset tidak lancar. Keuntungan (kerugian) transaksi derivatif – bersih pada

laporan laba rugi konsolidasi.

Perlakuan Akuntansi atas Transaksi Derivatif (Forward Contract)

Perlakuan akuntansi meliputi pengukuran nilai, pengakuan, dan pengungkapan atau penyajian

transaksi forward itu sendiri. Pengukuran atas transaksi Forward Contract dinyatakan dalam

PSAK 55 revisi 2006 yaitu :

“ Bukti terbaik dari nilai wajar adalah harga kuotasi di pasar yang aktif. Apabila pasar untuk

suatu instrumen keuangan tidak aktif, entitas menetapkan nilai wajar dengan menggunakan

teknik penilaian. Tujuan penggunaan teknik penilaian adalah untuk menetapkan berapa

sesungguhnya harga transaksi pada tanggal pengukuran dalam suatu pertukaran yang wajar

yang dimotivasi oleh pertimbangan-pertimbangan bisnis yang normal. Nilai wajar adalah

nilai di mana suatu aset dapat dipertukarkan atau suatu liabilitas diselesaikan antara pihak

yang memahami dan berkeinginan untuk melakukan transaksi wajar. “

Perbandingan Keuntungan (Kerugian) Kontrak Forward

Keterangan 31 Desember 2008 31 Desember 2009

Nilai notional Rp439.297.000.000 Rp499.831.000.000

Kurs forward Rp1.310 Rp1.006

Nilai wajar kontrak forward Rp104.713.000.000 Rp160.743.000.000

Perubahan nilai wajar Rp29.472.000.000 Rp56.030.000.000

Biaya penyelesaian Rp27.437.000 Rp30.060.000

Keuntungan (kerugian)

kontrak forward

Rp56.909.000.000 Rp89.090.000.000

Sumber: Data diolah

Penyesuaian perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward ini meliputi

penyesuaian saat tanggal awal kontrak, saat tanggal neraca, dan saat tanggal jatuh tempo.

Penyesuaian dilaporkan dalam tahun berjalan sesuai dengan PSAK yang berlaku di

Indonesia. Jurnal penyesuaian yang dilakukan perusahaan atas perlakuan akuntansi transaksi

derivatif kontrak forward sebagai berikut:

Saat awal dilakukannya kontrak forward

Nilai wajar pada saat awal transaksi kontrak derivatif tanggal 24 Juli 2008 sebesar

Rp134.185.000.000 dan berubah pada tanggal 31 Desember 2008 serta 31 Desember 2009.

Tanggal 24 Juli 2008 perusahaan tidak membuat penyesuaian atas transaksi kontrak forward

karena pada tanggal awal transaksi ini, kontrak forward mempunyai nilai wajar sebesar Rp 0.

Nilainya nol artinya pembayaran atas transaksi kontrak forward dilakukan berdasarkan

kontrak jika hanya nilai wajar dari kontrak ini pada saat tanggal jatuh tempo berbeda (lebih

rendah atau lebih tinggi dari Rp134.185.000.000). Jurnal yang diperlukan saat mencatat

transaksi derivatif dalam perlakuan akuntansi:

Persediaan-jagung Rp806.780.000.000

Instrumen derivatif 57.443.000.000

Kewajiban perusahaan Rp834.217.000.000

(untuk menyesuaikan pembelian bahan baku jagung dan timbulnya instrumen derivatif saat

awal kontrak)

Saat tanggal neraca 31 Desember 2008

Tanggal 31 Desember 2008, Perusahaan membuat laporan keuangan tahunan dimana semua

transaksi harus disesuaikan sesuai dengan kebijakan perusahaana dan peraturan yang berlaku.

Pada tanggal ini penyesuaian terhadap nilai wajar dari kontrak forward juga perlu dilakukan.

Nilai wajar dari kontrak forward ini mengalami perubahan meningkat menjadi

Rp104.713.000.000 dari nilai wajar awal kontrak sebesar Rp0. Selisih perubahan nilai wajar

(karena pada saat awal kontrak nilai dari kontrak forward sebesar Rp0) ini sebesar

Rp104.713.000.000. Perusahaan melakukan penyesuaian atas selisih perubahan nilai wajar

kontrak forward ini dengan jurnal:

Instrumen derivatif Rp104.713.000.000

Keuntungan-perubahan nilai wajar instrumen derivatif Rp104.713.000.000

Kerugian-perubahan nilai variabel Rp104.713.000.000

Kewajiban perusahaan Rp104.713.000.000

(untuk mencatat penyesuaian perubahan nilai wajar kontrak forward yang saling hapus

dengan nilai variabel kewajiban perusahaan)

Sedangkan untuk perlakuan akuntansi, perusahaan harus mencacat beban derivatif derivatif

jurnal:

Beban ditangguhkan Rp27.437.000.000

Kewajiban perusahaan Rp27.437.000.000

(untuk mencatat penyesuaian beban derivatif saat akhir tanggal neraca)

Saat tanggal jatuh tempo 31 Desember 2009

Tanggal 31 Desember 2009, Perusahaan kembali membuat laporan keuangan tahunan dan

membuat penyesuaian dimana jatuh tempo kontrak forward ini juga berakhir. Pada tanggal 31

Desember 2009 ini, terjadi perubahan meningkat atas nilai wajar kontrak forward sebesar

Rp160.743.000.000 dari nilai wajar saat tanggal neraca 31 Desember 2008 sebesar

Rp104.713.000.000. Selisih dari perubahan nilai wajar kontrak derivatif ini sebesar

Rp56.030.000.000. Perusahaan melakukan penyesuaian atas perubahan nilai wajar kontrak

forward ini dengan jurnal:

Instrumen derivatif Rp56.030.000.000

Keuntungan-perubahan nilai wajar instrumen derivatif Rp56.030.000.000

Kerugian-perubahan nilai variabel Rp56.030.000.000

Kewajiban perusahaan Rp56.030.000.000

(untuk mencatat penyesuaian perubahan nilai wajar kontrak forward yang saling hapus

dengan nilai wajar kewajiban perusahaan)

Penyesuaian beban derivatif untuk tanggal akhir neraca 31 Desember disesuaikan dengan

jurnal:

Beban ditangguhkan Rp30.060.000.000

Kewajiban perusahaan Rp30.060.000.000

Saat penyelesaian transaksi derivatif-kontrak forward:

Beban ditangguhkan Rp57.443.000.000

Instrumen derivatif Rp57.443.000.000

(untuk menyesuaikan pencatatan instrumen pada akhir kontrak derivatif)

Saat pembayaran akhir transaksi derivatif-kontrak forward:

Kewajiban perusahaan Rp57.443.000.000

Kas Rp57.443.000.000

Perubahan nilai wajar kontrak forward ini (meningkat/menurun) diindikasikan karena

pengaruh nilai kurs Rupiah yang berfluktuasi dari tahun ketahun. Keuntungan perubahan nilai

wajar atas kontrak forward di tahun 2008 membuat kewajiban perusahaan meningkat

sejumlah keuntungan atas transaksi kontrak forward tersebut. Di tahun 2009, keuntungan

juga terjadi karena perubahan nilai wajar atas transaksi kontrak forward menyebabkan

kewajiban perusahaan meningkat sebanding dengan keuntungan atas transaksi kontrak

forward. Keuntungan dari transaksi kontrak forward yang dilakukan perusahaan atas dasar

lindung nilai disajikan dalam laporan laba rugi tahun berjalan. Sedangkan perubahan nilai

wajar dari kontrak forward disajikan dalam neraca. Penyesuaian yang dilakukan perusahaan

atas transaksi derivatif kontrak forward menunjukkan bahwa efektivitas hubungan lindung

nilai atas perubahan nilai wajar kewajiban perusahaan menunjukkan adanya saling hapus

antara perubahan nilai wajar yang dapat diatribusikan dengan resiko yang dilindung nilai.

Perlakuan akuntansi ini secara akurat mencerminkan maksud dari lindung nilai kontrak

forward yang dilakukan perusahaan dimana lindung nilai ini menjadi sempurna karena

menutupi seluruh eksplosur resiko kewajiban perusahaan.

Perlakuan Pajak atas Transaksi Derivatif (Forward Contract)

Beban amortisasi tahun 2008

Terhitung bulan dari awal kontrak forward tanggal 24 Juli 2008 sampai dengan tanggal

neraca 31 Desember 2008 adalah 6 bulan.

Nilai wajar saat tanggal awal kontrak = Rp134.185.000.000

Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2008 = Rp104.713.000.000

Selisih perubahan nilai wajar (keuntungan) = Rp29.427.000.000

Beban amortisasi menurut aturan pajak = 6 ½ bulan x 25 % x Rp29.427.000.000

= Rp 47.818.875.000

Beban amortisasi tahun 2009

Terhitung bulan dari akhir tanggal neraca 31 Desember 2008 sampai dengan tanggal neraca

31 Desember 2009 adalah 12 bulan (satu tahun pajak).

Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2008 = Rp104.713.000.000

Nilai wajar saat tanggal neraca 31/12/2009 = Rp160.743.000.000

Selisih perubahan nilai wajar (keuntungan) = Rp56.030.000.000

Beban amortisasi menurut aturan pajak = 25% x Rp56.030.000.000

= Rp14.007.500.000

Untuk kepentingan perpajakan, Perusahaan harus melakukan rekonsiliasi fiskal untuk

menyesuaikan perbedaan pelaporan antara akuntansi komersil dan akuntansi pajak. Teknik

rekonsiliasi fiskal ini menyesuaikan Peredaran Usaha perusahaan, penghasilan neto dari luar

usaha, penghasilan yang dikenakan pajak final, penyesuain fiskal positif dan negatif. Menurut

Waluyo (2010), gambaran dari rekonsiliasi fiskal menunjukkan adanya perbedaan tetap dan

perbedaan waktu sehubungan dengan rekonsiliasi fiskal. Gambaran singkatnya dijelaskan

sebagai berikut :

1. Perbedaan waktu pengakuan (temporary difference)

Perbedaan temporer dimaksudkan sebagai perbedaan antara dasar pengenaan pajak (tax

base) dari suatu aset atau kewajiban dengan nilai tercatat pada aset atau kewajiban yang

berakibat pada perubahan laba fiskal periode mendatang. Terjadinya perubahan tersebut

dapat bertambah (future taxable amount) atau berkurang (future deductible amount) pada

saat aset dipulihkan atau kewajiban dilunasi/dibayar. Perbedaan temporer ini berakibat

harus diakuinya aset dan/ kewajiban pajak tangguhan. Hal ini dapat terjadi pada kondisi:

- Penghasilan atau beban yang harus diakui untuk menghitung laba fiskal atau laba

komersial dalam periode yang berbeda

- Goodwill atau goodwill negatif yang terjadi saat konsolidasi

- Perbedaan nilai tercatat dengan tax base dari suatu aset atau kewajiban pada saat

pengakuan awal

2. Perbedaan permanen/tetap (permanent difference)

Perbedaan tetap timbul sebagai akibat adanya perbedaan pengakuan pendapatan dan beban

antara pelaporan komersial dan pajak/fiskal. Akibat dari perbedaan ini berakibat juga pada

laba komersial dan laba fiskal sebagai dasar menghitung pajak terutang.

Beban amortisasi kontrak forward termasuk dalam perbedaan waktu karena perlakuan

akuntansi tidak mengamortisasi kontrak forward, sedangkan perlakuan pajak harus

mengamortisasi kontrak forward ini. Dari hasil rekonsiliasi fiskal (dalam lampiran) didapat

hasil perhitungan Laba Kena Pajak perusahaan dan PPh Teurang sebagai berikut:

Perbandingan Laba Kena Pajak Perusahaan

Keterangan 31 Desember 2008 31 Desember 2009

Laba sebelum pajak Rp295.219.000.000 Rp1.249.918.000.000

Laba sebelum pajak anak

perusahaan

Rp173.312.000.000 Rp880.357.000.000

Laba sebelum pajak

perusahaan

Rp468.531.000.000 Rp2.130.275.000.000

Laba kena pajak Rp387.440.000.000 Rp1.248.247.000.000

Sumber: Data diolah

Pajak Tangguhan

Waluyo dalam bukunya Akuntansi Pajak menyebutkan pajak tangguhan sebagai jumlah pajak

penghasilan yang terpulihkan pada periode mendatang sebagai akibat perbedaan temporer

yang boleh dikurangkan dari sisa kerugian yang dapat dikompensasikan. Pengakuan pajak

tangguhan berdampak terhadap laba atau rugi bersih sebagai akibat adanya kemungkinan

pengakuan beban pajak tangguhan atau manfaat pajak tangguhan. Beban pajak tangguhan

akan menimbulkan kewajiban pajak tangguhan, dan sebaliknya pendapatan pajak tangguhan

akan menimbulkan aktiva pajak tangguhan. Kewajiban pajak tangguhan dapat terjadi apabila

perbedaan waktu menyebabkan koreksi negatif yang berakibat beban pajak menurut

akuntansi komersial lebih besar dibanding beban pajak menurut undang-undang pajak.

Kewajiban pajak tangguhan ini sebagai jumlah pajak terutang untuk periode mendatang

sebagai akibat perbedaan temporer kena pajak. Sedangkan aktiva pajak tangguhan dapat

terjadi apabila perbedaan waktu menyebabkan koreksi positif yang berakibat beban pajak

menurut akuntansi komersial lebih kecil dibanding beban pajak menurut undang-undang

pajak. Masalah pengakuan aktiva atau kewajiban pajak tangguhan ini dilakukan terhadap rugi

fiskal yang masih dapat dikompensasikan dan perbedaan waktu antara laporan keuangan

komersil dan fiskal yang dikenakan pajak, didasarkan atau dikalikan tarif pajak yang berlaku.

Penyesuaian terhadap pajak tangguhan ini harus dicatat Perusahaan sesuai dengan tarif pajak

yang berlaku. Apabila terjadi perubahan tarif pajak di tahun yang akan datang maka harus

disesuaikan dengan tarif pajak yang baru. Pajak tangguhan sebagai perlakuan akuntansi untuk

menyesuaikan beban pajak periode yang akan datang serta perlakuan perubahan tarif pajak

yang berlaku.

Efek Perubahan Tarif Pajak Penghasilan Badan

Perubahan tarif dan ketentuan pajak penghasilan badan adalah hal mungkin terjadi. Pada

bulan September 2008, Undang-Undang No. 7 Tahun 1993 tentang Pajak Penghasilan

direvisi melalui penerbitan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Undang-undang revisi

tersebut mengatur perubahan tarif pajak penghasilan badan, dari sebelumnya tarif progresif

(10%, 15%, 30%) menjadi tarif tunggal sebesar 28% untuk tahun pajak 2009 dan sebesar

25% untuk tahun pajak 2010 dan seterusnya. Perusahaan dan anak perusahaan telah

menghitung dampak perubahan tarif pajak tersebut dalam perhitungan aktiva dan kewajiban

pajak tangguhan dan membukukannya sebagai bagian dari beban pajak pada laporan laba

rugi. Efek perubahan tarif pajak ini disesuaikan dalam akun pajak tangguhan yang dilaporkan

dalam laba rugi tahun berjalan.

Efek perubahan tarif pajak sebesar 0,02% membuat Perusahaan harus menyesuaikan

perubahan ini. Penyesuaian dilakukan untuk melihat beban pajak atas pajak tangguhan di

tahun berjalan bisa menjadi manfaat pajak tangguhan di tahun yang akan datang. Manfaat

pajak tangguhan ini timbul karena efek dari perubahan tarif pajak itu bersifat menurun

sehingga Perusahaan mencatat penurunan tersebut sebagai aktiva pajak tangguhan.

Laba kena pajak Perusahaan dan beban pajak untuk tahun 2008 dan tahun 2009 adalah sesuai

dengan Surat Pemberitahuan Pajak (SPT) yang disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak

(KPP).

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan mengenai perlakuan akuntansi

dan pajak atas transaksi derivatif terhadap laba kena pajak dan PPh terutang, penulis

mendapatkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward yang dilakukan perusahaan

tidak memperlakukan amortisasi terhadap keuntungan atau kerugian dari kontrak forward

tersebut sehingga kontrak forward (instrumen derivatif) yang disajikan di dalam neraca

terlihat tidak wajar. Sedangkan perlakuan pajak atas transaksi derivatif kontrak forward ini

memperlakukan amortisasi terhadap keuntungan atau kerugian dari kontrak forward ini

sesuai dengan masa manfaatnya.

2. Perlakuan akuntansi atas transaksi derivatif kontrak forward menganut prinsip accrual

basis dimana pencatatan dilakukan saat transaksi terjadi. Sedangkan perlakuan pajak atas

transaksi derivatif kontrak forward menganut prinsip cash basis dimana pencatatan

dilakukan saat kas diterima. Hal ini menimbulkan perbedaan pengakuan terhadap laba

komersil dan laba fiskal atas keuntungan atau kerugian transaksi derivatif kontrak forward.

3. Perbedaan laba komersil dengan laba fiskal menimbulkan mengakuan pajak tangguhan

dalam perlakuan akuntansi. Penerapan pajak tangguhan ini sesuai dengan PSAK Nomor

46 tentang Akuntansi.

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu sebagai berikut:

1. Dalam penelitian ini, hanya memfokuskan transaksi derivatif kontrak forward untuk tujuan

lindung nilai (hedging). Pelaku didalam kontrak forward ini hanya pihak-pihak dari

perusahaan dan pihak bank, sehingga kontrak forward yang dilakukan perusahaan murni

untuk tujuan lindung nilai (hedging).

2. Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder berupa laporan keuangan

perusahaan tahun 2008 dan 2009.

Saran

Mendasar pada keterbatasan di atas, maka penulis menyampaikan saran, yaitu:

1. Bagi penulis selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan penelitian ini lebih lanjut atau

meneliti tentang atas instrumen derivatif lain (kontrak opsi, kontrak future, dan kontrak

swap) yang umumnya dilakukan perusahaan dalam rangka lindung nilai (hedging) ataupun

��

spekulasi di dalam perlakuan akuntansi dan perlakuan pajaknya untuk melihat perbedaan

antara kedua perlakuan tersebut.

2. Bagi perusahaan, sebaiknya mengungkapkan dan menyajikan instrumen derivatif secara

lebih rinci di dalam laporan keuangan Perusahaan sesuai dengan tujuan dari dilakukannya

instrumen derivatif tersebut, untuk tujuan spekulasi atau untuk lindung nilai (hedging).

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1993. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No.SE-12/PJ.313/1993 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas

Transaksi Forward Sales Valuta Asing. Jakarta: Departemen Keuangan Republik

Indonesia Direktorat Jendral Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1997. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No. SE-03/PJ.31/1997 Tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap

Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral

Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No. SE-24/PJ.42/1998 Tentang Penghasilan Atas Keuntungan dari

Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral

Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No. SE-46/PJ.42/1998 Tentang Penegasan Lebih Lanjut Mengenai

Perlakuan Pph Terhadap Selisih Kurs Valuta Asing. Jakarta: Departemen Keuangan

Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No. S-78/PJ.31/1998 Tentang Rugi Selisih Kurs Tahun 1998. Jakarta:

Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1998. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No. S-180/PJ.312/1998 Tentang Perlakuan Selisih Kurs Bagi

Perusahaan Yang Penghasilannya Dikenakan Pph Final. Jakarta: Departemen

Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 1999. Surat Edaran

Dirjen Pajak: No. S-280/PJ.423/1999 Tentang Penghasilan Atas Keuntungan dari

Selisih Kurs. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral

Pajak.

Departemen Keuangan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pajak. 2008. Undang-Undang

Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan. Jakarta: Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jendral

Pajak.

Fox, William. 2011. Australian Tax Office. Jakarta.

Ikatan Akuntansi Indonesia. 2010. Standar Akuntansi Keuangan (Edisi Revisi). Jakarta:

Salemba Empat.

Jogiyanto. 2007. Metodologi Penelitian Bisnis: Salah Kaprah dan Pengalaman-Pengalaman.

Yogyakarta: FE UGM

Kharisma Consulting Group. 2003. Kapita Selekta Akuntansi Pajak. Jakarta: Kharisma.

Kieso, Weygandt, and Warfield. 2001. Intermediate Accounting 10th Edition. USA: Wiley

International Edition.

Lampiran Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep-49/PM 1998 Tanggal 7 September 1998.

BAPEPAM RI. Jakarta

Makarti, Akbar. 2003. The Differences in The Accounting of Fiscal Policy: Exchange Rate

Disparity, Forward Contract, Swap Contract and The Option Contract. Jurnal

Perpajakan Indonesia. Vol. 3 (1) 18-27.

Nopirin, Ph. D. 1993. Ekonomi Internasional. Edisi 1. Jakarta: Liberty.

Robert F. Meighs and Walter B. Meigs. 1992. Financial Accounting Seventh Edition. New

York: McGraw-Hill, Inc.

Samsul, Mohamad. 2010. Pasar Berjangka Komoditas dan Derivatif. Jakarta: Salemba

Empat.

Sandyawati, Wiene. 2011. Valuta Asing: Jurus Ampuh dalam Memenuhi Kebutuhan Dana

Jangka Pendek Investor. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Salvatore, Dominick. 1997. Ekonomi Internasional. Edisi 5. Jakarta: Erlangga.

Stice, James D. and Skousen, K. Fred. Intermediate Accouting 16th Edition. Jakarta: Salemba

Empat.

Sumbramanyam, K.R. 2010. Analisis Laporan Keuangan. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.

Suwanto, Sukarnaen. 2012. Derivatif dan Lindung Nilai: Kontrak Valas antara Akuntansi dan

Pajak. Indonesian Tax Review.

Trombley, Mark A. 2003. Accounting for Derivatives and Hedging. New York: McGraw-

Hill, Inc. 131.

Universitas Lampung.2007. Format Penulisan Karya Ilmiah. UPT Percetakan Unila. Bandar

Lampung.

Waluyo. 2010. Akuntansi Pajak. Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat.

���������������������������