Text of ANALISIS PENGARUH FRAUD PENTAGON THEORY TERHADAP
PENGARUH EKSEKUTIF PERUSAHAAN DAN KUALITAS AUDITOR TERHADAP MANAJEMEN LABA DAN KONSEKUENSINYA TERHADAP POTENSI KEBANGKRUTAN PERUSAHAAN: STUDI PADA PERUSAHAAN MANUFAKTUR DI INDONESIAVol.17 No.1 Maret 2020 : 22--.47. Doi: https://doi.org/10.25170/balance.v17i1 ISSN : 2620-4320 (Online) ISSN : 1693-9441 (Print) FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 ABSTRACT Fraudulent financial statements or fraudulent financial reporting are actions that cause a person or group of people to obtain certain benefits at the expense of other parties. Fraudulent financial statements themselves are the biggest cause of loss in the world. Therefore, financial statements that are not presented reliably and are not honestly disclosed can mislead users in making economic decisions. This study aims to analyze the effect of pentagon theory fraud proxied by five variables, that are CEO duality, change of board of directors, number of independent commissioners, level of leverage, and change of auditors to fraudulent financial reporting proxied by Beneish M-Score in banking companies listed on the Indonesia Stock Exchange (IDX) for the 2014-2019 period. This study uses 205 observational data using logistic regression analysis. The results of this research indicate that CEO duality and the change of board of directors have a significant effect on fraudulent financial reporting, while the number of independent directors, the level of leverage, and the change of auditors do not affect fraudulent financial reporting. Keywords: Fraud Pentagon Theory, Fraudulent Financial Reporting, Beneish M- Score 1. PENDAHULUAN (ACFE): Report to The Nations (2018) menunjukkan bahwa fraudulent financial reporting menyebabkan kerugian terbesar. Perbankan dan layanan finansial merupakan sektor yang paling banyak melakukan fraud dengan 338 kasus. Di Indonesia, industri perbankan sudah diatur sedemikian ketat agar tidak terjadi * Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya † Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ANALISIS PENGARUH FRAUD PENTAGON THEORY TERHADAP FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 23 pencegahan, tetap bisa terjadi apabila tidak dilakukan deteksi sedini mungkin. Terdapat dua kasus besar yang melibatkan industri perbankan, seperti kasus Bank Century dengan adanya penyelewengan dana penyelamatan oleh Bank Indonesia dan kasus Citibank Indonesia terkait pencucian uang. Secara umum, kecurangan (fraud) akan selalu terjadi ketika tidak ada pencegahan dan pendeteksian sebelumnya (Annisya, Asmaranti, & Lindrianasari, 2016). Kecurangan laporan keuangan dapat dihitung dengan menggunakan Model Beneish M-Score. Model ini diperkenalkan Beneish lewat publikasi yang berjudul “The detection of earnings manipulation” pada tahun 1999. Beneish M-Score adalah suatu model yang dapat digunakan untuk mendeteksi perusahaan yang memiliki kecenderungan melakukan kecurangan dengan mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu Days Sales Receivables Index (DSRI), Gross Margin Index (GMI), Asset Quality Index (AQI), Sales Growth Index (SGI), Depreciation Index (DEPI), Sales General and Administrative Expenses Index (SGAI), Leverage Index (LVGI), dan Total Accruals to Total Assets (TATA). Untuk menganalisis lebih luas tentang faktor yang mendorong manajemen melakukan kecurangan dalam laporan keuangan, digunakan Fraud Pentagon Theory yang dikemukakan oleh Horwarth (2011) sebagai dasar teori. Fraud Pentagon Theory merupakan pengembangan lebih lanjut dari Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953). Menurut Horwarth, terdapat lima faktor pemicu terjadinya kecurangan, yaitu arrogance, competence, opportunity, pressure, dan rationalization. Arrogance (arogansi) muncul karena ada rasa superioritas dan rasa keserakahan dari orang yang percaya bahwa kontrol internal tidak berlaku untuk dirinya. Dalam penelitian ini arogansi diproksikan dengan CEO duality yang diartikan sebagai adanya hubungan keluarga antara dewan direksi dan dewan komisaris. Competence adalah kemampuan karyawan untuk mengesampingkan atau mengabaikan kontrol internal perusahaan. Dalam penelitian ini competence diproksikan dengan pergantian dewan direksi. Opportunity adalah bentuk kontrol yang lemah sehingga dapat memberikan peluang bagi seseorang untuk melakukan 24 BALANCE, [VOL. 17, NO.1 MARET: 22 – 47] kecurangan. Dalam penelitian ini opportunity diproksikan dengan jumlah komisaris independen sebagai indikator ineffective monitoring. Pressure adalah motivasi untuk melakukan dan menyembunyikan kecurangan. Rationalization adalah tindakan pembenaran atas kecurangan. Faktor-faktor tersebut diindikasikan dapat menyebabkan fraud. Perusahaan yang melakukan fraudulent financial reporting biasanya sering melakukan pergantian auditor untuk meminimalisasi kemungkinan kecurangannya terdeteksi oleh auditor yang sudah lama melakukan audit terhadap perusahaan tersebut. Indikasi fraud dapat ditunjukkan dengan sikap pergantian auditor secara sukarela (Dumaria & Majidah, 2019). Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. financial reporting? reporting? 2. TINJAUAN LITERATUR Fraudulent Financial Reporting Menurut Eilifsen, Glover, Meisser, dan Prawitt (2010), salah saji yang timbul dari fraudulent financial reporting adalah salah saji yang disengaja atau kelalaian atas pengungkapan dalam laporan keuangan yang dimaksudkan untuk menipu pengguna laporan keuangan. Fraudulent financial reporting dapat melibatkan tindakan seperti (1) pemanipulasian, pemalsuan, dan pengubahan catatan akuntansi atau dokumen pendukung yang menjadi dasar penyusunan laporan keuangan; (2) kesalahan penyajian atau penghilangan secara sengaja atas komponen laporan keuangan atau peristiwa yang mendasari laporan kuangan dan ANALISIS PENGARUH FRAUD PENTAGON THEORY TERHADAP FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 25 transaksi atau informasi penting lainnya; dan (3) kesalahan penerapan kebijakan akuntansi terkait dengan jumlah, klasifikasi, cara penyajian, atau pengungkapan. Teori Fraud Pentagon (Fraud Pentagon Theory) Fraud Pentagon merupakan teori yang paling baru dalam mendeteksi terjadinya fraud. Fraud Pentagon Theory, yang dikemukakan oleh Crowe Howarth pada tahun 2011, merupakan pengembangan lebih lanjut dari Fraud Triangle Theory oleh Cressey (1953). Penelitian yang dilakukan Horwarth menyatakan bahwa terdapat lima faktor pemicu terjadinya kecurangan, yaitu arrogance, competence, opportunity, pressure, dan rationalization. Gambar 2.1: Fraud Pentagon Elemen kompetensi yang ada dalam teori Fraud Pentagon memiliki arti yang sama dengan faktor kemampuan (capability) pada teori Fraud Diamond oleh Wolfe dan Hermanson (2004). Kompetensi atau kapabilitas merupakan kemampuan seseorang untuk memperdayai pengendalian internal, membuat dan mengembangkan strategi untuk bersembunyi, dan mengontrol situasi sehingga menciptakan kondisi yang menguntungkan pribadinya (Horwath, 2011). Sementara elemen lainnya, arogansi (arrogance), diartikan sebagai suatu sikap yang menunjukkan bahwa pengendalian internal, kebijakan, dan peraturan perusahaan tidak berlaku bagi dirinya dan merasakan adanya keleluasaan untuk melakukan fraud tanpa ada rasa bersalah. Seseorang bersikap arogan tidak lain karena memiliki rasa superioritas atas hak yang dimilikinya (Horwath, 2011). Arogansi juga digambarkan sebagai bentuk keserakahan. 26 BALANCE, [VOL. 17, NO.1 MARET: 22 – 47] Hipotesis Konseptual CEO Duality CEO duality merupakan kondisi yang memperlihatkan seseorang memiliki dua jabatan sekaligus, yaitu sebagai dewan komisaris (chairman of board) dan dewan direksi (chief executive officer) dalam sebuah perusahaan. Indonesia menganut sistem two-tier board, yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjabat sebagai dewan komisaris dan dewan direksi secara bersamaan; karena itu, CEO duality di Indonesia dapat diartikan dengan adanya hubungan keluarga antara dewan komisaris dan dewan direksi. Penelitian yang dilakukan oleh Phandeirot (2017) menyatakan bahwa CEO duality memiliki hubungan positif terhadap fraudulent financial reporting. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena perangkapan jabatan CEO mendorong terjadinya tindakan kecurangan. Hal ini sesuai dengan CEO duality yang memiliki hubungan dengan teori agensi yang menjelaskan bahwa apabila CEO memegang lebih dari satu jabatan, CEO akan memanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk kepentingan diri sendiri. Yang, Jiao, dan Buckland (2017) juga menyatakan bahwa CEO duality berpengaruh pada fraudulent financial reporting. Fenomena CEO duality berhubungan dengan praktik fraudulent financial reporting. CEO duality akan menyebabkan tata kelola perusahaan buruk karena CEO tidak dapat melakukan fungsi pengawasan secara terpisah atau independen akibat adanya konflik kepentingan. Pergantian Dewan Direksi terhadap fraudulent financial reporting (Triyanto, 2019). Pergantian dewan direksi dilakukan untuk meningkatkan kinerja perusahaan pada periode sebelumnya. Namun, pergantian direksi juga dapat menjadi upaya untuk menyingkirkan direksi yang dianggap mengetahui fraud. Selain itu, pergantian H1 : CEO duality berpengaruh pada fraudulent financial reporting ANALISIS PENGARUH FRAUD PENTAGON THEORY TERHADAP FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 27 direksi juga dapat memaksa perusahaan untuk beradaptasi sehingga kinerja tidak akan maksimal dan celah untuk melakukan kecurangan menjadi terbuka. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Kurnia dan Anis (2017) menyatakan bahwa pergantian dewan direksi tidak berpengaruh pada fraudulent financial reporting. Hal tersebut disebabkan pergantian direksi murni dilakukan oleh perusahaan untuk mengganti direksi yang lebih kompeten dan dapat bekerja lebih maksimal dibandingkan dengan direksi pada periode sebelumnya sehingga mampu memperbaiki kinerja perusahaan. Kinerja perusahaan yang baik tersebut akan menarik investor untuk berinvestasi pada perusahaan sehingga dapat menaikkan nilai perusahaan. reporting yang memiliki sedikit jumlah anggota dewan komisaris cenderung melakukan fraud. Pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen diindikasikan mampu meningkatkan pengawasan internal perusahaan sehingga mampu meminimalkan manajemen untuk melakukan tindakan kecurangan. Pengawasan yang baik dianggap mampu mengurangi kecurangan di dalam perusahaan. Menurut Nurbaiti dan Suatkab (2019), jumlah komisaris independen berpengaruh pada pencegahan fraudulent financial reporting. Untuk mencegah kecurangan pelaporan keuangan, dibutuhkan pihak lain, yakni dewan komisaris independen. Dengan adanya pengawasan yang tidak efektif, manajemen akan merasa tidak diawasi dengan ketat dan akan semakin leluasa mencari cara untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. komisaris independen tidak berpengaruh pada fraudulent financial reporting. Dewan komisaris merupakan salah satu bagian terpenting dalam penerapan good corporate governance. Oleh karena itu, pengangkatan dewan komisaris 28 BALANCE, [VOL. 17, NO.1 MARET: 22 – 47] independen hanya untuk memenuhi kriteria good corporate governance sehingga berakibat pada kurang maksimalnya fungsi pengawasan yang dilakukan oleh komisaris independen. Berdasarkan paparan di atas, diajukan hipotesis berikut: Leverage Septriani dan Handayani (2018) menyatakan bahwa tingkat leverage berpengaruh pada fraudulent financial reporting. Oleh karena itu, semakin besar utang yang dimiliki oleh perusahaan akan berpengaruh pada munculnya kecurangan dalam pelaporan laporan keuangan. Tekanan yang dimaksud adalah tekanan yang dialami oleh manajemen perusahaan untuk memenuhi ekspektasi atau harapan pihak ketiga. Tekanan dapat muncul dalam wujud tambahan utang (leverage); dalam kondisi seperti ini, risiko kecurangan dalam laporan keuangan akan muncul. leverage yang dimiliki perusahaan tidak menjadi tekanan bagi pihak manajemen untuk melakukan kecurangan karena perusahaan masih mampu membayar utangnya, ditunjang dengan adanya kenaikan aset. Berdasarkan paparan tersebut, diajukan hipotesis berikut: Pergantian Auditor Pada tahun 2015, pemerintah mengeluarkan PP No. 20/2015 tentang praktik akuntan publik. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa Kantor Akuntan Publik (KAP) tidak lagi dibatasi untuk jangka waktu dalam melakukan audit suatu perusahaan sehingga perusahaan tidak wajib melakukan pergantian KAP. Ketika ada pergantian KAP, muncul kecurigaan bahwa perusahaan mengganti KAP untuk menutupi jejak audit yang berasal dari tahun sebelumnya. Hasil tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Mardianto dan Tiono (2019), yaitu pergantian auditor berpengaruh pada fraudulent financial reporting. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa pergantian auditor yang terlalu H3 : Jumlah komisaris independen berpengaruh pada fraudulent financial reporting FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 29 disajikan sehingga pergantian auditor dapat bertujuan agar tindakan kecurangan tersebut tidak dapat diketahui oleh auditor pengganti. Namun, Tessa dan Harto (2016) menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian keduanya menunjukkan bahwa pergantian auditor tidak berpengaruh pada fraudulent financial reporting. Pergantian auditor dapat dilakukan untuk memperbaiki kinerja auditor eksternal pada periode sebelumnya dengan tujuan meningkatkan kualitas laporan keuangan perusaan. Berdasarkan paparan tersebut, diajukan hipotesis berikut: 3. METODE PENELITIAN Variabel dependen dalam penelitian ini adalah fraudulent financial reporting. Fraudulent financial reporting dapat diukur dengan menggunakan Beneish M- Score (Beneish, 2012). Semula Beneish, sang pencipta, memperkenalkan model ini lewat publikasi yang berjudul “The detection of earnings manipulation” pada tahun 1999. Beneish mengartikan earnings manipulation sebagai kondisi manajemen yang melanggar standar akuntansi yang berlaku, dalam hal ini Generally Accepted Accounting Principles (GAAP), yang bertujuan membuat kinerja perusahaan terlihat lebih baik dibandingkan dengan yang seharusnya. Perusahaan yang memiliki M-Score yang tinggi cenderung melakukan fraudulent financial reporting. Jika nilai M-Score lebih besar dari -2.22, diindikasikan perusahaan telah melakukan fraudulent financial reporting. Selanjutnya, perusahaan yang melakukan fraud diberi kode 1 dan yang tidak melakukan fraud diberi kode 0. Rumus Model Beneish M-Score (Beneish, 2012) adalah sebagai berikut: M-Score = -4.84 + 0.920 X DSRI + 0.528 X GMI + 0.404 X AQI + 0.892 X SGI + 0.11 X DEPI - 0.172 X SGAI + 4.679 X TATA - 0.327 X LEVI Perincian untuk masing-masing rasio adalah sebagai berikut. 1. Days Sales in Receivable Index (DSRI) Rasio ini membandingkan piutang usaha terhadap penjualan yang dihasilkan perusahaan pada suatu tahun (t) dan tahun sebelumnya (t-1). Kenaikan yang besar pada DSRI merupakan hasil dari perubahan dalam kebijakan kredit untuk meningkatkan pendapatan. Jadi, semakin tinggi DSRI semakin tinggi pula kemungkinan terjadi manipulasi laporan keuangan (Beneish, 1999). Rumus Days Sales in Receivable Index (DSRI) adalah sebagai berikut: Days Sales in Receivable Index (DSRI) = Accounts Receivable t / Sales t Accounts Receivable t-1 / Sales t-1 2. Gross Margin Index (GMI) Gross Margin Index (GMI) mengukur rasio laba kotor tahun sebelumnya dibandingkan dengan laba kotor tahun berjalan. Jika skor indeks GMI lebih besar dari 1, laba kotor perusahaan lebih rendah pada periode berjalan. Perusahaan yang memiliki laba kotor yang memburuk memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan manipulasi laba (Beneish, 1999). Rumus Gross Margin Index (GMI) adalah sebagai berikut: Gross Margin Index (GMI) = Gross Profit t-1 / Sales t-1 Gross Profit t / Sales t 3. Asset Quality Index (AQI) Assets Quality Index (AQI) merefleksikan perubahan risiko realisasi aset dengan membandingkan aset lancar, bangunan, tanah, dan peralatan dengan total aset. Assets Quality Index (AQI) menunjukkan kualitas aset tidak lancar perusahaan yang kemungkinan akan memberikan manfaat bagi perusahaan pada masa depan. Jika AQI lebih dari 1, hal itu mengindikasikan bahwa perusahaan melakukan peningkatan biaya tangguhan/meningkatkan aset tidak berwujud dan memanipulasi pendapatan (Beneish, 1999). Rumus Assets Quality Index (AQI) adalah sebagai berikut: Assets Quality (AQI) 1 – [(Current Assets + Fixed Assets)/ Total Assets] t-1 ANALISIS PENGARUH FRAUD PENTAGON THEORY TERHADAP FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 31 Sales Growth Index (SGI) merupakan rasio untuk mengukur pertumbuhan penjualan dengan mambandingkan penjualan tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan penjualan yang terlalu tinggi menunjukkan kemungkinan adanya manipulasi laba. Sales Growth Index (SGI) = Sales t Sales t-1 5. Depreciation Index (DEPI) Depreciation Index (DEPI) merupakan rasio yang membandingkan biaya depresiasi dan nilai bruto aset tetap berupa plant, property, dan equity antara tahun sebelumnya dan tahun berjalan. DEPI yang lebih besar dari 1 mengindikasikan bahwa laju depresiasi melambat, memperbesar kemungkinan perusahaan merevisi umur ekonomis aset, atau mengubah metode depresiasi yang dapat meningkatkan laba. [ Depreciation / (Depreciationi + PPE) ] t rasio beban penjualan umum dan administratif terhadap penjualan tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. Apabila ada kenaikan yang tidak proporsional pada penjualan, jika dibandingkan dengan beban penjualan umum dan administratif, hal itu akan memberikan indikasi negatif terhadap kinerja masa depan perusahaan. Perusahaan yang memiliki prospek masa depan yang negatif memiliki kecenderungan untuk melakukan manipulasi laba. Rumus Sales General and Administrative Expenses Index (SGAI) adalah sebagai berikut: 32 BALANCE, [VOL. 17, NO.1 MARET: 22 – 47] 7. Leverage Index (LVGI) Rasio ini membandingkan rasio total utang terhadap total aset tahun berjalan dengan tahun sebelumnya. LVGI yang lebih besar dari 1 meningindikasikan ada peningkatan pada leverage. LVGI dapat menangkap insentif dalam debt convenant dalam manipulasi laba. Leverage Index (LVGI) = (Total Liability) / Total Assets) t (Total Liability) / Total Assets) t-1 8. Total Accruals to Total Assets (TATA) Total akrual yang tinggi menunjukkan tingginya jumlah laba akrual yang dimiliki oleh perusahaan. Semakin tinggi TATA, kemungkinan terjadinya manipulasi laba semakin tinggi juga. Rumus Total Accruals to Total Assets (TATA) adalah sebagai berikut: Variabel Independen 1. CEO Duality memiliki dua jabatan sekaligus, yaitu sebagai chairman of board (dewan komisaris) dan chief executive officer (dewan direksi) di sebuah perusahaan. Indonesia menganut sistem two-tier board, yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjabat sebagai dewan komisaris dan dewan direksi secara bersamaan. Oleh karena itu, CEO duality di Indonesia dapat diartikan karena adanya hubungan keluarga antara dewan komisaris dan dewan direksi. CEO duality akan diukur dengan menggunakan variabel dummy. Kode 1 akan diberikan apabila perusahaan direktur utama memiliki hubungan keluarga dengan dewan komisaris selama periode 2014–2018. Kode 0 akan diberikan Total Accruals to Total Assets (TATA) = (Net Income From Continuing Operations – Cash Flow From Operation) t Total Asets t FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 33 dewan komisaris selama periode 2014-2018. 2. Pergantian Dewan Direksi seseorang dalam melakukan tindakan kecurangan. Dalam penelitian ini pergantian dewan direksi akan diukur dengan variabel dummy. Kode 1 akan diberikan jika terdapat pergantian direksi selama periode 2014–2018. Kode 0 akan diberikan jika tidak terdapat pergantian direksi selama 2014–2018. 3. Jumlah Komisaris Independen meningkatkan pengawasan internal perusahaan sehingga mampu meminimalkan manajemen untuk melakukan tindakan kecurangan. Pengawasan yang baik dianggap mampu mengurangi kecurangan di dalam perusahaan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan persentase jumlah dewan komisaris independen perusahaan. Total Dewan Komisaris 4. Tingkat Leverage Menurut SAS No. 99 (AICPA, 2002), external pressure adalah tekanan berlebih yang dialami oleh manajer untuk memenuhi kewajiban pihak ketiga. Agar tetap dapat bersaing, perusahaan membutuhkan tambahan sumber modal dari luar (eksternal). Penelitian ini mengacu pada jumlah utang terhadap aset perusahaan yang menunjukkan seberapa besar total aset perusahaan dibiayai oleh utang. Jadi, semakin besar utang yang dimiliki oleh perusahaan, hal itu akan berpengaruh pada fraudulent financial reporting (Septriani & Handayani, 2018). Oleh karena itu, ditetapkan leverage sebagai pengukuran variabel external pressure. Tingkat leverage dapat diukur dengan rumus berikut: 5. Pergantian Auditor mengindikasikan kecurangan yang terjadi di dalam perusahaan. Dengan adanya pergantian auditor, perusahaan dapat menghilangkan jejak atas kecurangan yang mungkin telah ditemukan oleh auditor sebelumnya. Pengukuran pergantian auditor dalam penelitian ini menggunakan variabel dummy. Jika terdapat pergantian kantor akuntan publik selama periode 2015– 2018 akan diberi kode 1; sebaliknya akan diberi kode 0 jika tidak terdapat pergantian kantor akuntan publik selama periode 2015–2018. Metode Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data diperoleh dari laporan tahunan perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2014–2019. Data 2013 dibutuhkan sebagai data pembanding tahun sebelumnya (t-1). Laporan tahunan diperoleh dari situs resmi BEI, yaitu www.idx.co.id dan situs resmi emiten yang bersangkutan. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling dengan kriteria (1) perusahaan yang diteliti adalah perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2014–2019 dan (2) perusahaan yang diteliti tidak pernah di-delisting dari Bursa Efek Indonesia selama periode 2014–2019. FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 35 Valid N (listwise) independen (ICOMM) pada susunan dewan komisaris perusahaan yang memiliki nilai paling kecil sebesar 0,40000 (40%) adalah PT Bank Mayapada Tbk. pada tahun 2015 dan 2016, PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk. pada tahun 2015, 2016, dan 2017, serta PT Bank Mega Tbk. pada tahun 2017. Nilai paling besar sebesar 1,00 (100%) dimiliki oleh PT Bank Maspion Indonesia Tbk. pada tahun 2014 dan 2016 serta PT Bank Nationalnobu Tbk. pada tahun 2017 dan 2018. Rata-rata jumlah komisaris independen terhadap jumlah dewan komisaris sebesar 0,5853195 (58,53195%). Hasil perhitungan tingkat leverage perusahaan (LEV) memiliki nilai paling kecil sebesar 0,60425 (60,425%) oleh PT Bank Ina Perdana Tbk. pada tahun 2017 dan nilai paling besar sebesar 0,96822 (96,822%) oleh PT Bank Panin Dubai Syariah Tbk. pada tahun 2017. Rata-rata tingkat utang terhadap aset adalah 0,8412464 (84,12464). Tabel 4.2 Tabel Frekuensi Percent FFR 98 47,8 47,8 100,0 Total 205 100,0 100,0 DCHANGE Ada pergantian direksi 112 54,6 54,6 100,0 Total 205 100,0 100,0 Ada pergantian KAP 30 14,6 14,6 100,0 Total 205 100,0 100,0 yang diolah, 107 di antaranya tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini menjelaskan bahwa mayoritas sampel tidak melakukan kecurangan pelaporan keuangan, dengan persentase sebesar 52,2%. Tabel 4.2 Frekuensi CEO Duality (DCD) menunjukkan hubungan keluarga antara anggota dewan direksi dan dewan komisaris perusahaan. Dari 205 sampel yang diolah, 175 di antaranya tidak menunjukkan hubungan keluarga antara dewan direksi dan dewan komisaris. Hal ini menjelaskan bahwa mayoritas sampel DCD Ada hubungan keluarga 30 14,6 14,6 100,0 Total 205 100,0 100,0 FRAUDULENT FINANCIAL REPORTING PADA PERUSAHAAN PERBANKAN YANG TERDAFTAR DI BURSA EFEK INDONESIA PERIODE 2014 – 2019 [WHISNU WIDYATAMA AND LOH WENNY SETIAWATI] 37 memiliki dewan direksi yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan dewan komisaris, dengan persentase sebesar 85,4%. Tabel 4.2 Frekuensi Pergantian Dewan Direksi (DCHANGE) menunjukkan dari…