Upload
tranthuan
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KESENJANGAN KETERWAKILAN EKOLOGIS DAN KESENJANGAN PENGELOLAAN KAWASAN
KONSERVASI DI INDONESIA
DISUSUN OLEH
Kementerian Kehutanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan
Bekerja sama dengan:
Burung Indonesia (BI), Conservation International-Indonesia (CI), Fauna and Flora International-Indonesia Program (FFI), Forest Watch Indonesia (FWI), The Nature Conservancy-Indonesia Program (TNC), Wetland International-Indonesia Program
(WIIP), Wildlife Conservation Society-Indonesia Program (WCS) dan WWF-Indonesia
Dan secara finansial didukung oleh:
Kementerian Kehutanan, Asean Centre for Biodiversity (ACB) dan WWF-Indonesia dan The Nature Conservancy (TNC)
MEI, 2010
TIM PENYUSUN DAN KONTRIBUTOR
ARDI RISMAN, DINDA TRISNADI, IMRAN AMIN, DWI MULYAWATI, SAMEDI, IRAWAN ARSYAD, DONNY, BONIE DEWANTARA, DONI PRIHATNA, SULTHON, ELEANOR CARTER, STUART SHEPHERD, YERI
PERMATASARI, WEN WEN, NURMAN HAKIM, ERMAYANTI, INDRA EXPLOITASIA, MIRAWATI SOEDJONO, SRI LESTARI INDRIANI, ROFI ALHANIF, REZA, CHERRYTA YUNIA
TIM GIS ARDI RISMAN, DONI PRIHATNA, BONIE DEWANTARA, NURMAN HAKIM, STUART SHEPHERD, SULTHON,
WEN WEN
EDITOR IMRAN AMIN, INDRA EXPLOITASIA, SAMEDI
PENANGGUNG JAWAB
DIREKTUR JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM, KEMENTERIAN KEHUTANAN
DIREKTUR JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL, KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
SUMBER DATA BURUNG INDONESIA, CONSERVATION INTERNATIONAL (CI), THE NATURE CONSERVANCY (TNC),
WETLAND INTERNATIONAL-INDONESIA PROGRAM (WI-IP), DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM, DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN, KEMENTERIAN PU,
BAKOSURTANAL, FWI, WWF-INDONESIA
Halaman| 4
Bab I
Pendahuluan
Konferensi Para Pihak (Converence of the Parties) dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on
Biological Diversity - CBD) pada pertemuan ke-7 di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 2004 menghasilkan
program kerja CBD mengenai kawasan yang dilindungi atau biasa disebut sebagai Program of Work on
Protected Areas (PoWPA). Program Kerja CBD tersebut memuat juga target-target waktu penyelesaian
target CBD untuk menurunkan secara substansial laju kehilangan keanekaragaman hayati. Salah satu
target yang harus dipenuhi segera oleh Negara pihak CBD adalah diselesaikannya analisis kesenjangan
(gap analysis) keterwakilan ekologis sistem kawasan yang dilindungi yang seharusnya telah selesai pada
tahun 2006. Target tersebut dikoreksi dalam konferensi para pihak ke-9 di Bonn, Jerman tahun 2008,
yang memperpanjang tenggat waktu penyelesaian gap analysis sampai akhir tahun 2009. Kepentingan
dilakukannya analisis kesenjangan di tingkat global maupun nasional adalah disain penetapan kawasan
konservasi yang pada masa lalu masih belum mencakup sebagian besar tipe-tipe ekosistem yang ada
sehingga kelangsungan dan kelestarian jangka panjang keanekaragaman hayati tidak terjamin akibat
tekanan yang terus meningkat diluar kawasan yang dilindungi (protected area system).
Saat ini, kawasan konservasi di seluruh dunia terus bertambah dalam jumlah dan luasan. Indonesia saat
ini telah memiliki 490 kawasan konservasi darat dengan jumlah luasan mencapai sekitar 22,5 juta hektar
dan 76 kawasan konservasi pesisir dan laut dengan jumlah luasan sekitar 13,5 juta hektar yang dikelola
baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Namun demikian ada 79 kawasan konservasi
darat yang memiliki wilayah perairan dengan total luas 3,7 juta ha, sehingga total luas wilayah perairan
Indonesia yang telah dikonservasi adalah 17,2 juta ha. Dengan luasan dan jumlah kawasan konservasi
yang besar tersebut, ternyata banyak keanekaragaman hayati yang masih berada di luar kawasan yang
dilindungi. Untuk satwa liar yang terancam punah, diperkirakan sekitar 80% yang ada masih berada di
luar sistem kawasan konservasi. Selain itu, penetapan kawasan konservasi pada masa lalu banyak yang
berada pada kawasan yang sulit dijangkau manusia, seperti dataran tinggi, pegunungan, gurun, padang
es, dan sebagainya. Sementara, dataran rendah dan daerah yang justru mempunyai keanekaragaman
hayati tinggi masih belum banyak yang terwakili dalam sistem kawasan yang dilindungi.
Kondisi tersebut menghawatirkan karena tekanan pembangunan atas kehati dan ekosistem terus
meningkat, terutama di luar kawasan konservasi yang dinilai memiliki prioritas yang lebih rendah
daripada kawasan konservasi. Kondisi ini sangat mengancam kelangsungan dan kelestarian jangka
panjang keanekaragaman hayati dan ekosistem dunia dengan perkiraan dari para ahli bahwa dengan
kondisi saat ini, laju kepunahan di abad 20 diperkirakan berkisar antara 40-400 kali laju normal
kepunahan (Dick-Peddie, 1999)i. Di daerah tropis, laju kepunahan saat ini diperkirakan berkisar antara
1.000 – 10.000 kali laju kepunahan yang terjadi pada evolusi secara alami (Edward O. Wilson dalam
Halaman| 5
Collins, 2009ii). Sementara, laju kepunahan rata-rata secara alami adalah sekitar satu spesies per sejuta
spesies per tahun (Raup and Sepkoski, 1984 dalam Price, Sample dan Rana, 2005iii)
Melihat kondisi kawasan konservasi di seluruh dunia yang masih kurang mewakili ekosistem yang ada,
dalam Programme of Work on Protected Areas (PoWPA) dari Convention on Biological Diversity (CBD)
pada 2004 mengamanatkan agar masing-masing negara melaksanakan gap analisis sistem kawasan
konservasi di tingkat nasional dan regional untuk memenuhi kebutuhan keterwakilan sistem kawasan
konservasi atas kehati dan ekosistem di daratan, lautan, dan air di tengah daratan.
Sumber: Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan, 2005
Gambar 1. Peta Kawasan Konservasi di Indonesia sampai dengan April 2005
Analisis kesenjangan adalah penilaian keterwakilan keanekaragaman hayati di dalam system kawasan
konservasi yang terdiri atas gap keterwakilan (representation gap) yang mengkaji tingkat keterwakilan
spesies atau ekosistem bagi kelangsungan hidup jangka panjangnya; gap ekologis mengkaji kondisi
ekologis yang diperlukan bagi kelangsungan jangka panjang kehati dan ekosistem yang ada di dalam
kawasan konservasi; dan gap manajemen yang mengkaji efektifitas pengelolaan dalam menyediakan
perlindungan bagi spesies atau ekosistem tertentu sesuai dengan kondisi dan karakteristik lokasi.
Halaman| 6
Bab II
Metodologi
2.1.Langkah-langkah Analisis Kesenjangan
Analisis kesenjangan merupakan suatu metode untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati (seperti
spesies, ekosistem dan proses-proses ekologis) yang masih belum cukup dilindungi dalam sebuah
jejaring kawasan konservasi atau suatu metode untuk mengukur pelestarian alam dalam jangka panjang
secara efektif (Scott et al, 2000). Langkah-langkah dalam pelaksanaan analisis kesenjangan
menggunakan enam (6) langkah kunci proses analisis kesenjangan ( Dudley & Parish, 2006) sebagai
panduan untuk mengadakan pengkajian kesenjangan keanekaragaman hayati laut dan pesisir menurut
standar yang ditetapkan Konvensi Keanekaragaman Hayati (lihat Gambar 2).
Gambar 2 Langkah-langkah dalam pelaksanaan analisis kesenjangan di darat dan laut Indonesia
Analisis kesenjangan diawali dengan identifikasi keanekaragaman hayati penting dan target yang akan
dianalisis kesenjangannya. Dilanjutkan dengan evaluasi dan pemetaan keberadaan dan status
keanekaragaman hayati dan analisa dan pemetaan keberadaan dan status kawasan yang dilindungi.
Data-data tersebut kemudian digunakan untuk mengidentifikasi kesenjangan yang ada diseluruh unit
analisis. Dari kesenjangan-kesenjangan yang ada, selanjutnya dilakukan prioritasi misalnya kesenjangan-
Halaman| 7
kesenjangan yang bila tidak ditangani dalam waktu beberapa tahun akan mengakibatkan hilangnya
ekosistem atau keanekaragaman hayati dan target kunci yang telah ditetapkan diawal. Langkah terakhir
adalah menterjemahkan aspek ilmiah hasil analisis menjadi aspek pelaksanaan dalam bentuk
kesepakatan strategi dan aksi yang harus dilaksanakan untuk menangani kesenjangan prioritas yang
telah ditetapkan.
2.2.Tahapan Analisis Kesenjangan Darat
2.2.1. Identifikasi Keanekaragaman Hayati Penting dan Menetapkan Target Kunci di Darat
Dalam tahapan ini keanekaragaman hayati penting dan terget kunci didekati dengan menggunakan
keberadaan spesies, tutupan hutan dan kawasan ekosistem penting (savana, rawa, dan gambut).
Spesies yang diidentifikasi adalah spesies-spesies yang terancam dan endemik yang ada di masing-
masing wilayah pulau besar. Data tersebut tersedia dalam bentuk identifikasi keberadaan spesies per
taksa maupun spesifik spesies payung dari berbagai lembaga.
Identifikasi keberadaan spesies tersebut dilakukang mengikuti unit-unit pulau besar yang membagi
wilayah kajian menjadi 7 wilayah sebagai berikut: Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa&BalI, NTB &
NTT, Maluku, dan Papua
Peta tutupan hutan yang digunakan adalah peta tutupan hutan terbaru yang tersedia yaitu tahun 2006
yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan (2008). Khusus untuk Sumatera dan Kalimantan,
digunakan peta tutupan hutan tahun 2008 dari WWF-Indonesia.
Sementara yang dimaksud sebagai kawasan ekosistem esensial dalam kajian ini adalah ekosistem
gambut, savana dan rawa. Kawasan ini perlu untuk dipisahkan dalam ketegori tersendiri mengingat nilai
penting fungsi ekologis kawasan ini yang unik, seperti kawasan gambut yang penting secara global
karena kandungan karbon yang ada di kawasan ini dapat mempengaruhi iklim global, savana yang
menyediakan kawasan penggembalaan bagi banteng dan rawa yang merupakan kawasan lahan basah
yang penting sebagai kawasan tangkapan air dan juga tempat singgah burung migran.
2.2.2. Evaluasi dan Pemetaan Keberadaan dan Status Keanekaragaman Hayati di Darat
Pada tahapan ini, status keanekaragaman hayati didekati dengan menggunakan tiga kelas yaitu jaringan
ekosistem, penyangga ekosistem dan kawasan pembangunan.
Jaringan ekosistem adalah kawasan yang masih dapat mendukung kelangsungan jangka panjang
keanekaragaman hayati yang ada. Sementara kawasan penyangga ekosistem adalah kawasan yang
memiliki potensi untuk mendukung kelangsungan jangka panjang keanekaragaman hayati tetapi
memiliki tingkat tekanan dan ancaman yang tinggi dari pembangunan. Sementara kawasan
pembangunan adalah kawasan yang sudah ada kegiatan pembangunan yang intensif.
Data yang digunakan pada tahapan ini masih ada yang berupa data non-spasial sehingga terhadap data
tersebut dilakukan pengolahan menjadi data spasial. Beberapa data spesies payung yang berupa data
Halaman| 8
titik perjumpaan juga dirubah menjadi poligon mengikuti wilayah jangkauan dari spesies tersebut.
Selanjutnya, data-data dari beragam sumber tersebut disamakan proyeksinya mengikuti WGS 1984.
Data berbagai spesies tersebut kemudian dijadikan satu layer spesies untuk memudahkan skoring dan
analisis.
2.2.3. Analisa dan Pemetaan Keberadaan dan Status Kawasan yang Dilindungi di Darat
Kawasan yang dilindungi (Protected Areas) di Indonesiaadalah kawasan yang ditunjuk dan ditetapkan
oleh Pemerintah Pusat kawasan atau wilayah yang dilindungi karena nilai-nilai lingkungan alaminya,
lingkungan sosial budayanya, atau karena hal-hal lain yang serupa dengan itu dengan pengelolaannya
diserahkan pada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Kawasan yang dilindungi yang dimasukkan
dalam kajian ini adalah kawasan yang telah ada penunjukkannya secara formal hingga tahun 2009 dan
tidak memasukkan kawasan yang masih dalam pengusulan untuk pembentukan dan perluasan.
Untuk analisa wilayah daratan, kawasan yang dilindungi yang juga terdapat wilayah laut, hanya
diperhitungkan wilayah daratannya untuk mengindarkan perhitungan ganda dengan kawasan yang
dilindungi di wilayah lautan.
Gambar 3. Diagram Alir Analisa Jaringan Ekosistem
Halaman| 9
2.2.4.Identifikasi Kesenjangan di Darat
Pada tahapan ini, kesenjangan ekologis dilakukan mengikuti diagram alir yang disajikan pada Gambar 2.
Langkah awal dari identifikasi ini adalah dengan menghasilkan peta Kawasan Ekosistem hasil dari analisa
peta tutupan hutan, peta ekosistem esensial dan peta spesies.
Data-data tersebut kemudian diberikan nilai masing-masing sebagai berikut:
Tabel 3. Skoring untuk data yang digunakan dalam analisa gap
PARAMETER SCORING
Kelas Skor Kelas Skor
Tutupan Hutan Hutan 2 Bukan hutan 0
Spesies Ada 1 Tidak ada 0
Lahan Gambut Gambut 1 Bukan gambut 0
Dari ketiga data tersebut, selain tutupan hutan, semuanya mendapatkan nilai satu (1). Tutupan hutan
mendapatkan nilai dua (2) karena pertimbangan nilai penting hutan yang memiliki nilai-nilai ekologis
bagi wilayah sekitarnya, selain juga nilai-nilai penting bagi keanekaragaman hayati.
Data-data tersebut kemudian ditumpangsusunkan (overlay) dan hasilnya dihitung skornya dan
diklasifikasikan menjadi tiga kelas sebagai berikut:
1. Kawasan Jaringan Ekosistem, yaitu kawasan dengan nilai analisa sebesar 3-4
2. Kawasan Ekosistem Penyangga, yaitu kawasan dengan nilai analisa sebesar 1-2
3. Kawasan Pembangunan, yaitu kawasan dengan nilai analisa sebesar 0
Kawasan Jaringan Ekosistem didefinisikan sebagai kawasan ekosistem yang penting karena memiliki
tutupan hutan, area yang diidentifikasi penting bagi spesies yang dilindungi sebagai habitat maupun
wilayah jelajah, serta penting karena mengandung ekosistem esensial seperti gambut, savanna, dan
rawa. Kawasan Penyangga Ekosistem merupakan kawasan yang masih memiliki hutan atau tidak
berhutan tetapi penting bagi spesies sebagai habitat dan/atau wilayah jelajah atau berupa ekosistem
esensial. Sementara Kawasan Pembangunan adalah kawasan yang tidak memiliki hutan, bukan
ekosistem esensial dan tidak digunakan oleh spesies sebagai habitat dan/atau wilayah jelajah.
Peta Kawasan Ekosistem kemudian ditumpangsusunkan dengan peta kawasan yang dilindungi, peta
status kawasan, dan ekoregion.
Peta status kawasan adalah data penunjukan kawasan yang diterbitkan oleh Departemen Kehutanan
2001. Data penunjukan kawasan merupakan data yang menunjukkan status kawasan di seluruh
indonesia yang telah ditentukan fungsi peruntukannya menurut departemen kehutanan.
Halaman| 10
Peta ekoregion digunakan untuk memberikan pendekatan yang baik mengenai keanekaragaman hayati
ditingkat ekosistem. Ekoregion adalah suatu unit lahan yang relatif besar yang berisi kumpulan
komunitas alam (natural communities) dan spesies yang berbeda dengan batas-batas yang dapat
digunakan untuk menduga sebaran asli komunitas alam (natural communities) sebelum terjadinya
perubahan landuse yang besar. Peta ekoregion menawarkan fitur untuk kepentingan perencanaan
konservasi di tingkat global dan regional, seperti: cakupan yang komprehensif, kerangka klasifikasi yang
didasarkan pada pengetahuan biogeografik yang ada, dan tingkat rinci resolusi biogeografikiv.
Tumpang susun data-data tersebut akan menghasilkan informasi :
1. Kawasan Ekosistem yang sudah dan masih belum termasuk dalam kawasan konservasi.
2. Kawasan Ekosistem pada berbagai status kawasan
3. Kawasan ekoregion yang masuk dalam Kawasan Jaringan Ekosistem
2.2.5. Prioritasi Kesenjangan yang Perlu diatasi di Darat
Pada tahapan ini, analisis dilakukan untuk menentukan kesenjangan-kesenjangan yang memerlukan
penanganan segera, antara lain:
a) Kawasan Jaringan Ekosistem yang masih belum masuk dalam kawasan yang dilindungi yang
berada pada status kawasan Area Penggunaan Lain dan Hutan Produksi Konversi
b) Kawasan Jaringan Ekosistem yang masih berada diluar kawasan yang dilindungi yang berada
pada status kawasan hutan produksi dan hutan produksi terbatas
c) Kawasan Jaringan Ekosistem yang bertetangga dengan kawasan yang dilindungi yang belum
masuk dalam kawasan yang dilindungi
Halaman| 11
2.3. Tahapan Analisis Kesenjangan Pesisir dan Laut
2.3.1. Identifikasi Keanekaragaman Hayati Penting dan Menetapkan Target Kunci di Pesisir dan Laut
Dalam tahapan ini dilakukan proses untuk mengidentifikasi keanekaragaman hayati yang terdapat di wilayah pesisir dan laut sebagai target kunci. Berdasarkan ketersedian sumber data yang ada, maka ditetapkan 5 target kunci (habitat dan species) untuk mewakili keanekaragaman hayati di pesisir dan laut :
a) Terumbu Karang (Coral Reefs)
b) Hutan Bakau (Mangroves)
c) Padang Lamun (Seagrass)
d) Lokasi Peneluran Penyu (Turtle Nesting) & Jalur Migrasi Penyu
e) Dugong
2.3.2.Evaluasi dan Pemetaan Keberadaan dan Status keanekaragaman Hayati di Laut
Berdasarkan dari 5 target kunci (habitat dan species) yang telah di tentukan selanjutnya dilakukan pengumpulan data spatial tersebut dari berbagai sumber (Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan Perikanan, The Nature Conservancy, WWF, Birdlife Indonesia, Conservation International, World Conservation Society, Forest Watch) untuk seluruh wilayah di Indonesia.
Tabel 4 Sumber Data Habitat dan Spesies yang Dipergunakan
Nama Data Thematik Sumber Data Tahun Diterbitkan
Hutan Mangrove Badan Planologi Kehutanan 2006
Padang Lamun UNEP-WCMC 2002
Terumbu Karang Kementerian Lingkungan Hidup 2000
Rute Migrasi- Penyu Hijau Dikompilasikan oleh PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam – Departement Kehutanan ) 2009
Rute Migrasi- Penyu Sisik Dikompilasikan oleh PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam – Departement Kehutanan ) 2009
Rute Migrasi – Penyu Belimbing Dikompilasikan oleh PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam – Departement Kehutanan ) 2009
Rute Migrasi – Penyu Lekang Dikompilasikan oleh PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam – Departement Kehutanan ) 2009
Lokasi Peneluran Penyu Dikompilasikan oleh PIKA (Pusat Informasi Konservasi Alam – Departement Kehutanan ) 2009
Dugong
Institute of Environmental Sciences - Leiden The Netherlands and Research Centre for Oceanographic - Jakarta Indonesia April 2009
Karena sulitnya dan sangat kurang data yang tersedia, sumber data tahun yang diperoleh pun bervariasi dari tahun 2000 sampai 2009. Selain dari pada itu, skala ketelitian masing – masing data habitat /
Halaman| 12
species pun sangat minim. Setelah data spatial habitat / species terkumpul, proses spatial data edit dilakukan dengan pendekatan topologi checking untuk setiap data poligon (mangrove, terumbu karang dan padang lamun). Sehingga hasil akhir yang diperoleh merupakan data spatial poligon yang sudah tidak memiliki error (overlap / poligon gaps).
2.3.3.Analisa dan Pemetaan Keberadaan dan Status Kawasan yang Dilindungi di Laut
Untuk kawasan konservasi laut di Indonesia, dilakukan beberapa proses guna untuk mendapatkan informasi spatial yang akurat dan tepat sehingga mampu untuk menggambarkan keberadaan kawasan konservasi laut dari berbagai sumber yang telah melakukan pengelolaan kawasan konservasi laut. Gambar dibawah merupakan metodologi yang telah dilakukan untuk mendapatkan data spatial kawasan konservasi laut.
Gambar 7 Diagram alir proses pengumpulan data Kawasan Konservasi Laut di Indonesia
Halaman| 13
Langkah pertama yang dilakukan untuk memperoleh data spatial kawasan konservasi laut adalah dengan melalui 2 (dua) badan instansi pemerintahan yang saat ini mengelola KKL :
1. Departemen Kehutanan ;
2. Departemen Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah.
Dari masing – masing instantasi didapatkan beberapa data yang melingkupi data shapefile (polygon ,
garis , dan titik ), peta yang di telah di scan maupun digital ( .jpeg & .pdf) , serta dokumen database KKL
di Indonesia dengan update tahun terakhir bulan mei 2009. Berdasarkan dari data tersebut, kemudian
dilakukan beberapa proses spatial meliputi data input ( input koordinat per masing – masing KKL, digitasi
ulang untuk peta digital yang lama maupun terbaru dengan menggunakan cara digitasi layar (screen
digitation)), data editing , query ( pemilihan beberapa kawasan konservasi yang secara resmi tercatat
dalam kawasan konservasi terestrial namun memiliki kawasan laut ( i.e. Taman National Ujung Kulon,
Taman National Komodo, Taman National Bali Barat dll.) Selain dari itu, untuk kawasan konservasi
terrestrial yang memiliki area hutan mangrove dalam radius 5 km akan dimasukkan sebagai kawasan
konservasi laut yang melindungi habitat mangrove.
Penggabungan keseluruhan data spatial KKL baik dari Inisiasi Departemen Kehutanan ataupun Departemen Kelautan dan Perikanan & Pemerintah Daerah dilakukan dengan proses merge dan pemasukkan data attribute untuk hasil merge yang dilakukan untuk data KKL dengan kolom – kolom sebagai berikut :
1. Nama KKL
2. Provinsi
3. Kabupaten
4. Fungsi (Indonesia)
5. Kategori (Indonesia)
6. Urutan rangking (IUCN)
7. Kategori (IUCN)
8. Dikelola oleh badan
Hasil akhir dari proses ini didapatkan data spatial KKL di Indonesia yang tepat dan akurat berdasarkan dari update database KKL terakhir yang didapatkan. Untuk secara lebih baik dalam mendokumentasikan data spatial KKL ini, proses pemberian data yang menjelaskan data atau biasa disebut Metadata melalui style FDGC ( Federal Geographic Data Committee) juga dilakukan sehingga pada akhirnya data ini untuk ke depannya dapat tercatat secara lebih baik jika di perlukan untuk mengupdatenya.
Unit analisis merupakan bagian terkecil dalam sebuah proses analisa spatial. Untuk mempermudah dalam proses analisis kesenjangan ini maka ditentukan 2 buah unit analisis yang dipergunakan :
laman| 14
1. Menggunakan batas administrasi secara per provinsi & batas laut territorial
Gambar 8 Batas Administrasi dan Teritorial Laut
laman| 15
2. Menggunakan batas laut ekoregion
laman| 16
Sumber data batas administrasi dan territorial laut diperoleh dari Bakosurtanak dan flanders marine
institute, sementara ekoregion laut diperoleh dari MEOW Working Group. Untuk batas provinsi 12 nm
ke laut lepas dilakukan dengan proses buffer dari garis pantai.
Tabel 5 Sumber data unit analisis (batas administrasi dan ekoregion laut)
Nama Data Thematik Sumber Data Tahun Diterbitkan
Ekoregion Laut MEOW Working Group (Spalding et al.) 2007
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Flanders Marine Institute 2 Juni 2009
Batas Administrasi (Provinsi) Bakosurtanal 1.
2.3.4.Identifikasi Kesenjangan di Laut
Untuk mengidentifikasi kesenjangan (gap) dapat dilakukan dengan cukup mudah. Kawasan konservasi di
tumpang tindih kan (overlay) dengan tiga (3) habitat penting (hutan mangrove, terumbu karang, padang
lamun) dan dua (2) keberadaan species penting (lokasi peneluran penyu dan dugong) selain itu juga
ditambahkan jalur migrasi penyu. Selanjutnya, dihasilkan persentase nilai dari luasan area berdasarkan
unit analysis (batas administrasi & ekoregion laut), persentase habitat di seluruh Indonesia dan
persentase habitat untuk masing – masing provinsi. Keseluruhan luasan dihitung dalam hektar (ha),
sementara untuk lokasi peneluran penyu dan dugong diwakilkan berdasarkan dari jumlah keterdapatan
munculnya dan untuk jalur migrasi penyu hanya diwakilkan dengan presence / absence.
Berdasarkan dari proses analisa yang telah dilakukan terdapat beberapa catatan penting yang harus
diperhatikan sebagai berikut :
1. Hutan Mangrove hanya dimasukkan dalam analisa kelautan (marine), untuk menghindarkan
terjadinya double counting (perhitungan ganda) maka hutan mangrove tidak hitung luasan
hektarnya dalam proses analisa terrestrial / darat.
2. Karena batas per masing – masing provinsi ditetapkan sepanjang 12 nm sampai ke lautan dari
proses buffer / penyangga yang telah dilakukan, maka setiap keberadaan habitat penting
ataupun species penting diluar dari 12 nm akan dimasukkan dalam perairan national.
3. Karna kawasan konservasi yang dihasilkan dari berbagai pihak maka banyak terjadi tumpang
tindih antara masing – masing kawasan konservasi. Untuk menghindari terjadinya perhitungan
ganda maka dalam analisa ini perlu untuk dilakukan pengkoreksian / menghilangkan kawasan
konservasi yang hanya memiliki nilai konservasi yang rendah. (i.e. jika sebuah kawasan
konservasi laut daerah (KKLD) saling tumpang tindih dengan sebuah taman national maka KKLD
tersebut akan dihilangkan).
laman| 17
Gambar : Diagram metodologi proses spatial untuk analisis kesenjangan
2.3.5.Prioritasi Gap yang Perlu diatasi di Laut
Prioritasi gap yang akan dilakukan di Laut / Wilayah Pesisir dibagi dalam beberapa langkah pengkajian :
1. Peluang (opportunities) untuk kawasan konservasi baru menurut provinsi ataupun ekoregion
laut yang belum memiliki kawasan konservasi ataupun masih minimnya kawasan konservasi
pada provinsi tersebut. (kesenjangan ekologis (ecological gap)
2. Kemampuan untuk memperluas kawasan konservasi baru dalam jejaring konservasi laut untuk
ekoregion laut sehingga dapat memperkuat ketahanan habitat dan species.
3. Mengkaji habitat / species menurut provinsi ataupun ekoregion laut yang belum mencapai
keterwakilan ekosistem 30 % berdasarkan kompleksnya keanekaragaman hayati laut.
(kesenjangan keterwakilan (representations gaps)
laman| 18
Langkah – langkah tersebut dianggap cukup untuk prioritasi gap ini, mengingat kurang lengkapnya data
yang tersedia untuk kawasan laut dan pesisir sehingga sulitnya untuk menentukan keberadaan lokasi
habitat penting ataupun species yang perlu untuk dilindungi. Data ancaman terhadap habitat atau
species juga merupakan bagian penting dalam prioritasi kawasan konservasi yang perlu untuk bentuk
namun karna kurangnya data sehingga tahapan ini tidak dapat dilakukan.
III. Identifikasi Kesenjangan Ekologis
A. Daratan
a. Sumatera
Di dunia, Sumatera dikenal sebagai
megadiversiti untuk fauna. Pulau ini
memiliki keanekaragaman yang paling
tinggi dibandingkan pulau lain di
Indonesia dengan 194 jenis mamalia,
465 jenis burung, 217 jenis reptil, dan
820 jenis tumbuhan. Dari
keanekaragaman tersebut, dapat
dikatakan yang paling terkenal dan
kharismatik adalah gajah sumatera,
badak sumatera, harimau sumatera dan
orangutan sumatera. Diperkirakan
jumlah jenis tumbuhan yang sudah
laman| 19
dikenali di Sumatera hanya 15% saja dari keseluruhan jenis yang ada di Sumatera.
Keanekaragaman hayati Sumatera terbagi kedalam enam ekoregion yang rata-rata 90% masih
belum terwakili dalam kawasan konservasi. Tingkat keterwakilan terendah adalah ekoregion
Hutan Rawa Air Tawar Sumatera dengan tingkat keterwakilan dalam kawasan konservasi
sebesar 3,46%, diikuti Hutan Hujan Dataran Rendah Sumatera (5,66%), Hutan Hujan Rawa
Gambut Sumatera (7,23%) dan Mangrove Sunda Shelf (8,37%). Sedangkat tingkat keterwakilan
tertinggi adalah ekoregion Hutan Hujan Pegunungan Sumatera sebesar 25,82%.
Sementara itu, dari enam ekoregion yang ada di Sumatera, sebagian ekoregion masih dalam
kondisi yang baik berdasarkan besarannya yang masuk dalam kategori ekosistem penting. Hutan
Pinus Tropika Sumatera dan Hutan Hujan Pegunungan Sumatera memiliki luasan yang paling
besar dalam ekosistem penting, yaitu sebesar 76,52% dan 60,51%. Sementara ekoregion yang
paling kecil luasannya dalam ekosistem penting adalah Hutan Rawa Air Tawar Sumatera yang
hanya sebesar 8,80%.
Ekosistem penting yang ada di Sumatera mencapai sekitar 12,8 juta hektar atau 30,37% dari total
luasan Sumatera. Dari luasan tersebut, baru 26,18% yang sudah terwakili dalam kawasan
konservasi, sementara sisanya terbagi dalam kawasan hutan lindung (25.32%), hutan produksi
(19,11%), dan hutan produksi terbatas (16,47%).
b. Kalimantan
Pulau terbesar ketiga di dunia ini
dikaruniai keanekaragaman hayati yang
tinggi. Dalam kurun
laman| 20
Pulau Kalimantan kerap mendapatkan tempat penting bagi dunia. Dengan luasnya, Pulau ini
menjadi pulau terbesar ketiga diseluruh dunia, serta keanekaragaman hayatinya yang tinggi
menjadi tempat kesukaan para peneliti diseluruh dunia. Keanekaragaman hayati Kalimantan
meliputi 201 jenis mamalia, 420 jenis burung, 24 jenis reptil, dan 900 jenis tumbuhan. Pada
kurun waktu 1994-2004 ditemukan sedikitnya 361 spesies flora dan fauna baru di pulau ini.
Data terbaru menyatakan bahwa pada 2007-2010, temuan spesies baru di pulau ini mencapai 123
spesies flora dan fauna atau sekitar tiga spesies per bulan.
Secara keseluruhan, Pulau Kalimantan masih memiliki kawasan-kawasan luas yang mendukung
kelangsungan jangka panjang keanekaragaman hayati. Hal ini terlihat dari kondisi ekoregion
yang ada yang sebagian besar masih masuk dalam ekosistem penting yang kesemuanya diatas
30%. Namun demikian, ternyata sekitar 85% luasannya masih berada diluar kawasan
konservasi.
Ekoregion yang keterwakilannya dalam kawasan konservasi terkecil adalah Hutan Hujan
Dataran Rendah Borneo sebesar 2,91%. Hal ini sesuai dengan perkembangan pembangunan
yang selalu pertama kali menggunakan sumberdaya yang ada di dataran rendah yang relatif
mudah untuk dimanfaatkan. Keterwakilan terendah berikutnya adalah Hutan Rawa Gambut
Borneo dengan persentase 9,27%. Keterwakilan Hutan Rawa Gambut Borneo tersebut perlu
mendapat perhatian karena peran dan pengaruhnya yang besar dalam pemanasan iklim global.
Sedangkan ekoregion dengan keterwakilan terbesar dalam kawasan konservasi.adalah Hutan
Hujan Pegunungan Borneo dengan persentase sekitar 27%.
Sementara dari sisi keterhubungan ekosistem, kawasan ekosistem penting yang ada di
Kalimantan mencapai 26,7 juta hektar (49,58%) dari total luas Kalimantan. Area yang luas
tersebut menyatakan bahwa keanekaragaman hayati di Kalimantan masih terjaga. Tetapi
berdasarkan analisis kesenjangan ekologis, ternyata dari luasan tersebut hanya sekitar 16,26%
yang sudah masuk dalam kawasan konservasi sementara yang masih diluar tersebar dalam
berbagai status fungsi kawasan, terutama hutan produksi terbatas (24,28%) diikuti oleh hutan
lindung (18,19%), hutan produksi (17,27%) dan area penggunaan lain (17,25%).
c. Jawa dan Bali
laman| 21
Tingkat keanekaragaman
hayati Pulau Jawa dan Bali
cukup tinggi, terdapat sekitar
133 jenis mamalia, 562 jenis
burung, 173 jenis reptil, dan
630 jenis tumbuhan. Satwa
paling berkarisma yang ada di
Pulau ini adalah badak jawa
yang saat ini populasinya
hanya tersisa sekitar 50-60
ekor di Ujung Kulon dan 2
ekor saja di Vietnam. Kedua
pulau ini telah mengalami
pertumbuhan lebih dahulu
dibandingkan pulau lain di
Indonesia, namun demikian,
tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya hutan/lahan masih relatif tinggi. Hal ini terkait
dengan sektor pertanian yang masih memegang peranan penting dalam menyerap angkatan kerja.
Penggunaan lahan yang masif selama 150 tahun terakhir telah menyebabkan ekosistem alami di
kedua pulau ini, terutama pada daerah dataran rendah menjadi terputus-putus dan sempit.
Sehingga area yang tersisa menjadi semacam benteng terakhir ekosistem dan memiliki nilai
konservasi tinggi. Hutan jati di Jawa saat ini memegang peranan penting sebagai tempat
perlindungan bagi berbagai spesies, termasuk spesies endemik.
Dengan kondisi tersebut, terlihat dari hasil analisis kesenjangan bahwa dari empat ekoregion
yang ada di Pulau Jawa dan Bali, hanya kurang dari 2,5% yang masih berada dalam kategori
ekosistem penting. Sedangkan rata-rata kurang dari 3% yang berada pada ekosistem
penyangga/penghubung yang akan menghubungkan ekosistem penting yang satu dengan yang
lain.
Sementara dari analisis kesenjangan ekologis terhadap status fungsi kawasan, ekosistem penting
yang tersisa sudah terwakili dalam kawasan konservasi sebesar 37,09% dan berada dalam
kawasan hutan lindung sebesar 34,43%. Sisanya masih berada di hutan produksi (12,27%), area
penggunaan lain (11,98%) dan hutan produksi terbatas (4,23%).
laman| 22
d. Nusa Tenggara
Nusa Tenggara terdiri atas pulau-
pulau kecil yang memanjang dari
barat ke timur dengan bagian
selatan berbatasan langsung
dengan lautan bebas. Kondisi
ekologis Nusa Tenggara tidak
umum dijumpai di Indonesia
karena iklimnya lebih
dipengaruhi oleh kondisi
maritime yang akhirnya
melahirkan banyak spesies khas,
antara lain yang paling terkenal
adalah komodo. Secara
keseluruhan, Nusa Tenggara
memiliki 41 jenis mamalia, 242
jenis burung, 77 jenis reptile, dan
150 jenis tumbuhan.
Keterwakilan masing-masing ekoregion dalam kawasan konservasi termasuk kecil.
Keterwakilan terbesar ada pada ekoregion Hutan Gugur Daun Sumba sebesar 10,25% diikuti
Hutan Gugur Daun Sunda Kecil sebesar 7,67% dan Hutan Gugur Daun Timor dan Wetar sebesar
3,04%. Hal ini dapat dikatakan terkait dengan wilayah Nusa Tenggara yang berupa pulau-pulau
kecil dengan kondisi iklim maritim yang menyebabkan cuaca hujan tidak merata.
Mengakibatkan tingginya tekanan terhadap lahan untuk pembangunan.
laman| 23
Kondisi ekosistem yang masih baik yang terwakili dalam ekosistem di Nusa Tenggara masih
cukup luas, yaitu sekitar 2,3 juta hektar (34,05%). Namun demikian, berdasarkan analisis
kesenjangan, kawasan ekosistem penting yang masih tersisa tersebut ternyata sebagian besar
dialokasikan sebagai area penggunaan lain (45,07%) dengan kawasan konservasi sebesaar 9,46%
dan hutan lindung 24,52%.
e. Sulawesi
laman| 24
f. Maluku
Kepulauan Maluku
memiliki kondisi yang
sama dengan
tetangganya, Nusa
Tenggara. Maluku
merupakan daerah
dengan pulau-pulau
kecil yang iklimnya
terpengaruh oleh
kondisi maritim di
sekitarnya.
Keanekaragaman
hayati Maluku dan
penyebarannya
dipengaruhi oleh
kondisi vulkanis
sebagian pulaunya. Imigrasi antar pulau flora dan fauna di Maluku terbatas yang pada akhirnya
laman| 25
melahirkan kekayaan biota endemic. Keanekaragaman hayati dan persentase endemiknya adalah
sebagai berikut: 69 jenis mamalia (17% endemik), 210 jenis burung (33% endemik), 98 jenis
reptil (18% endemik), dan 368 jenis tumbuhan (6% endemik).
Meskipun keterwakilan masing-masing ekoregion didalam kawasan konservasi sebagian besar
ekoregion dibawah 10%, sebagian besar kawasan Maluku masih masuk dalam ekosistem penting
(51,09%). Dengan masing-masing ekoregion, diatas 30% masih berada dalam kawasan
ekosistem penting.
Ekoregion yang paling tinggi tingkat keterwakilannya dalam kawasan konservasi adalah Hutan
Gugur Daun Timor dan Wetar sebesar 17,13% diikuti oleh Hutan Gugur Daun Lembab
Kepulauan Laut Banda sebesar 11,89%. Sementara keterwakilan terendah adalah Hutan Hujan
Buru sebesar 0,69% dan Hutan Hunan Dataran Rendah Sulawesi sebesar 2,28%.
Dari sisi status fungsi kawasan, ekosistem penting yang masih luas di Maluku ternyata baru
terwakili dalam kawasan konservasi sebesar 10,85% dan hutan lindung sebesar 18,47%.
Sementara sisanya hampir merata terbagi atas hutan produksi konversi (26,09%), hutan produksi
terbatas (24,5%), hutan produksi (16,03%), sementara area penggunaan lain hanya sekitar
4,06%.
g. Papua
laman| 26
Papua yang berada di ujung Timur Indonesia merupakan berkah keanekaragaman hayati yang
berharga. Berbagai satwa eksotis berada dalam pulau yang kondisi lingkungannya masih
mendukung keberlangsungan jangka panjang keanekaragaman hayati yang terdiri atas 125 jenis
mamalia (58% endemik), 602 jenis burung (32% endemik), 223 jenis reptil (35% endemik) dan
1.030 jenis tumbuhan (55% endemik).
laman| 27
Sebagian besar kawasan Papua masih berada pada ekosistem penting sebesar 50,63% dan
ekosistem penyangga/penghubung sebesar 41,77% dari total luasan Papua. Sedangkan luasan
yang masuk dalam ekosistem terganggu hanya sebesar 7,60%. Bila dibandingkan dengan 12
ekoregion yang ada, sebagian besar juga berada pada ekosistem penting dan ekosistem
penyangga/penghubung. Luasan terkecil ekosistem penting berada pada ekoregion Mangrove
Nugini yang hanya sebesar 24,15% .
Dari luasan ekosistem penting yang masih luas tersebut, yang sudah terwakili dalam kawasan
konservasi adalah 27,01% sedangkan porsi besar diluar kawasan konservasi ada di Hutan
Produksi sebesar 26,12%, Hutan Lindung sebesar 18,97%, Hutan Produksi Konversi sebesar
18,40% dan luasan kecil Areal Penggunaan Lain sebesar 1,14%.
Dari sisi keterwakilan dalam kawasan konservasi, keterwakilan terkecil adalah pada Hutan Hujan
Dataran Rendah Nugini Selatan sebesar 7,32% dan Hutan Hujan Dataran Rendah Vogelkop-Aru
sebesar 8,33%. Sedangkan keterwakilan terbesar adalah Padang Rumput Sub-Alpin Central
Range sebesar 58,54%, Hutan Hujan Pegunungan Vogelkop sebesar 54,12%, Savana dan Padang
Rumput TransFly sebesar 51,16% dan Hutan Hujan Yapen 50,61%.
A. Lautan
a. Berapa ekosistem yang sudah masuk dalam KK dan yang belum
b. Berapa ekosistem penting, buffer dan budidaya yang ada di APL, HP, HPL, HPK,
Bab 4
Rekomendasi
laman| 28
laman| 29