Upload
vanthien
View
242
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS KEMAMPUAN SOSIOLINGUISTIK DOSEN-DOSEN SPEAKING
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) CURUP
Leffi Noviyenty
Abstract: This is a descriptive analysis which tries to investigate theperformance of Sociolinguistics Competence of English Speaking lecturers inSTAIN Curup, particularly observing, analyzing and interpreting forms of theperformance and how well the English speaking lecturers perform theirsociolinguistic competence. The background of this research comes fromthe importance of having competence lecturers in order to help students indeveloping their English communicative competence. The purposivesampling is used in selecting the sample. The researcher is the keyinstrument of this research. The data is collected through DiscourseCompletion Test (DCT), observation by using a checklist and interviews byusing guidance. The collected data is interpreted and analyzed to answerthe research questions. The finding shows that the performance ofsociolinguistics competence of English Speaking lecturers is highlyinfluenced by their first language culture since they are also act as foreignlanguage learners. However, from the understanding among the studentsthat involved in their communication, particularly in the classroom, theperformance of their sociolinguistics competence is accepted. It issuggested that the English lecturers always develop their sociolinguisticcompetence not only in order to teach the competence to their students butalso in order to develop the English teaching to become more natural andcontextual.
Key words: Competence, Performance, Sociolinguistics Competence.
Latar Belakang Masalah
Pengajaran bahasa dengan pendekatan komunikatif banyak
mendapatkan apresiasi dari para praktisi pendidikan, karena pendekatan ini
dirasa sangat efektif sebagai sarana untuk melatih keterampilan berbicara
siswa. Sejumlah perubahan terhadap pendekatan pengajaran tersebut
seharusnya berdampak pada pengembangan kurikulum dan evaluasi belajar.
Perubahan beranjak dari bahasa sebagai bentuk ke bahasa sesuai dengan
konteks dan bahasa sebagai alat komunikasi. Perubahan dari pembelajar
sebagai individual ke pembelajar sebagai anggota kelompok social yang
secara aktif terlibat dalam pengelolaan bersama proses belajar. Perubahan
dari pebelajar sebagai penerima pasif ke pembelajar sebagai pengguna
1
bahasa yang aktif dan kreatif. Perubahan dari konsep kurikulum sebagai
sesuatu yang harus terpenuhi atau terlaksana ke proses negosiasi dimana
guru dan pembelajar berpartisipasi
Sejalan dengan beberapa perubahan tersebut, dewasa ini, kompetensi
tenaga pendidik semakin mendapat perhatian pemerintah. Pemerintah telah
merancang uji kompetensi dalam bentuk sertifikasi guru dan dosen. Standar
kompetensi ini kemudian akan menjadi dasar utama penghargaan
pemerintah terhadap profesionalisme tenaga pendidik yang juga akan
berdampak pada peningkatan kesejahteraan mereka. Dari berbagai
seminar, pelatihan dan sosialisasi sertifikasi ini, kompetensi yang dibicarakan
pada umumnya adalah sepuluh kompetensi dasar profesional guru, dimana
kompetensi bahasa tidak begitu banyak disinggung. Sementara tujuan
kurikulum Bahasa Inggris berbasis kompetensi menghendaki guru sebagai
model yang dapat membantu mengembangkan kompetensi siswa dalam
menggunakan Bahasa Inggris secara komunikatif. Dengan kata lain, guru
yang dibutuhkan disini adalah mereka yang memiliki tidak hanya kompetensi
profesional akademis saja tetapi juga kompetensi komunikatif. Jika sertifikasi
guru telah diterapkan, idealnya dosenpun sudah harus mempersiapkan diri
meningkatkan dan mengembangkan kompetensinya. Bagi dosen bahasa,
dalam hal ini dosen Bahasa Inggris, kompetensi bahasa sangatlah penting
untuk dimiliki. Kompetensi bahasa yang meliputi kompetensi linguistik dan
ekstralinguistik seperti yang dijelaskan Savignon1 terdiri dari kompetensi
fungsional dan kompetensi komunikatif. Lebih dari itu ia menjelaskan bahwa
seorang pengajar bahasa harus juga mampu mengaplikasikan kedua
kompetensi tersebut dalam pembelajaran bahasa.
Di Indonesia, kompetensi komunikatif dalam pembelajaran bahasa
nasional, yakni bahasa Indonesia tidak menemukan kendala yang berarti
Hal ini berbeda dengan pengajaran Bahasa Inggris yang berperan sebagai
bahasa asing. Model kompetensi yang mengilhami lahirnya pengajaran
bahasa asing, terutama English as a Foreign Language (EFL) atau Bahasa
Inggris sebagai bahasa asing adalah beberapa model yang mengunakan
prinsip-prinsip komunikasi yang dicetuskan oleh beberapa ahli bahasa
dantaranya, Celce Murcia, et al2 yang mengatakan bahwa bahasa adalah
2
komunikasi, bukan seperangkat aturan. Model ini yang kemudian yang
dikenal sebagai communicative competence (kompetensi komunikatif)
menjadi salah satu model terkini yang ada di dalam literatur pendidikan
bahasa3. Model kompetensi komunikatif ini mencantumkan dengan jelas
bahwa tujuan pembelajaran Bahasa Inggris adalah untuk mengembangkan
kompetensi siswa dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa
Inggris4. Kompetensi ini meliputi empat keahlian berbahasa yakni membaca,
mendengar, berbicara dan menulis. Jadi, pengajaran bahasa tidak lagi
terfokus pada tata bahasa atau formula-formula bahasa melainkan pada
tema-tema dan keterampilan fungsional. Singkatnya, kompetensi
komunikatif adalah kompetensi bahasa sebagai salah satu aspek kompetensi
seseorang yang memungkinkan ia menangkap dan menginterpretasikan
makna dan maksud komunikasi dalam konteks interaksi tertentu.
Kompetensi ini meliputi empat komponen yakni, kompetensi gramatika,
kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana dan kompetensi strategi.
Kompetensi bahasa sangat penting dimiliki oleh seorang guru bahasa.
Pada beberapa budaya tertentu, seorang guru bahasa Inggris yang bagus
diterjemahkan sebagai seseorang yang mampu berbicara dalam bahasa
Inggris dengan baik. konsekuensinya adalah seorang penutur asli bahasa
Inggris akan bernilai tinggi pada lingkungan budaya seperti itu. Tetapi
sebagian penutur asli (native speaker) bahkan belum pernah belajar bahasa
mereka secara akademis dan sama sekali belum memiliki pengalaman
dalam mengajar. Akibatnya, pada realita tertentu kita sering menemukan
guru-guru bahasa Inggris yang memiliki kompetensi akademis yang cukup
tinggi dan secara teori berada pada level penguasaan bahasa yang cukup
baik karena mereka telah mempelajari bahasa tersebut secara akademis,
namun tidak mampu secara profesional menggunakan bahasa Inggris dalam
berkomunikasi. Di sisi lain, kita juga menemukan seorang yang cukup
mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris namun tidak memiliki
pengalaman mempelajari bahasa secara teori dan bahkan belum pernah
mengajar. Berdasarkan kedua realita ini, kompetensi komunikatif mencoba
menyempurnakan kemampuan kebahasaan seorang guru bahasa asing
3
sehingga ia mampu membantu siswa untuk mengembangkan kompetensi
mereka.
Penelitian ini merupakan penelitian keempat atau lanjutan.
Sebelumnya peneliti telah melakukan penelitian dibidang kompetensi
komunikatif, baik secara umum (meliputi empat elemen kompetensi
komunikatif yang ada) maupun secara khusus dan lebih mendalam yakni
elemen kompetensi strategi dan kompetensi gramatika, serta telah
memperoleh data yang cukup signifikan tentang kemampuan komunikatif
para dosen STAIN Curup. Telah diketahui bahwa dosen STAIN Curup
khususnya dosen Bahasa Inggris telah memenuhi skala standar kompetensi
komunikatif Bahasa Inggris dalam ruang lingkup budaya Indonesia. Hasil
penelitian yang lalu menunjukkan bahwa secara personal mereka dapat
memperlihatkan kompetensi komunikatif mereka. Hal ini dibuktikan dengan
terpenuhinya 90% indikator setiap elemen kompetensi komunikatif yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti merasa perlu menyelidiki lebih
jauh bentuk performa para dosen, terutama dosen-dosen grammar, secara
teknis khususnya yang berkaitan dengan kompetensi gramatikal. Hasil yang
diperoleh cukup mengejutkan, bahwa dosen-dosen Grammar memiliki
kompetensi gramatikal yang cukup baik secara teori namun belum mampu
mempresentasikan kompetensi gramatikal mereka tersebut dengan baik.
Padahal seyogyanya, jika kompetensi merupakan kemampuan (competence)
yang dimiliki secara teori keilmuwan telah teruji, maka sebagai dosen,
merekapun dituntut mampu mempresentasikan kompetensi tersebut kepada
mahasiswa. Seperti halnya penjelasan Brown5 bahwa kompetensi harus
dimunculkan dalam performa. Ia menjelaskan, kompetensi komunikatif
adalah salah satu aspek kemampuan yang membuat seseorang mampu
menerima dan menginterpretasikan pesan-pesan yang diterima (dari lawan
bicara) serta menegosiasikan makna yang disampaikan dalam
konteks-konteks tertentu. Sejalan dengan pendapat tersebut, Savignon6
menyebutkan bahwa kompetensi komunikatif Bahasa Inggris seseorang
selain melalui tes juga dapat diukur dari performanya. Diasumsikan, jika
seseorang telah dinyatakan memiliki kompetensi komunikatif atau
berkompeten secara komunikatif dalam Bahasa Inggris maka ia akan mampu
4
menampilkan Bahasa Inggrisnya dengan komunikatif pula. Bahkan
kurikulum pengajaran Bahasa Inggris juga menyebutkan bahwa siswa dapat
dilatih untuk terus memperbaiki performa Bahasa Inggris mereka dengan
cara mengembangkan kompetensi Bahasa Inggrisnya. Sependapat dengan
para ahli diatas, Tarigan7 menuliskan bahwa dalam belajar bahasa asing,
performa guru dalam bahasa tersebut boleh jadi mengindikasikan
kompetensinya. Bagaimanapun juga sering dijumpai adanya masalah di
awal komunikasi yang justru dipengaruhi oleh faktor-faktor performa itu
sendiri, seperti lelah, tidak bisa konsentrasi atau gugup. Kondisi-kondisi ini
tentu saja tidak mengindikasikan sebuah kompetensi. Dari beberapa
pendapat ini jelaslah bahwa kompetensi komunikatif hanya bisa dievaluasi
melalui performanya. Lebih khusus lagi, kompetensi sosiolinguistik hanya
dapat dievaluasi melalui performa para dosen dalam berbicara secara
langsung dalam berbagai konteks interaksi.
Di STAIN Curup, sebagai dosen-dosen Bahasa Inggris, yang dituntut
tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu Bahasa Inggris saja tetapi juga
menggunakan Bahasa Inggris tersebut dalam berkomunikasi, tentu sering
menghadapi kendala-kendala komunikasi, terlebih karena Bahasa Inggris
merupakan bahasa asing tidak hanya bagi para dosen tetapi juga
mahasiswanya. Sebagai salah satu elemen kompetensi komunikatif,
kompetensi sosiolinguistik secara langsung memfokuskan diri pada
pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memahami konteks
social dimana bahasa tersebut digunakan: peran partisipan, informasi yang
mereka bagi serta fungsi dari setiap interaksi. Hanya pada konteks yang
utuh, kita dapat memahami makna yang sesuai untuk sebuah ujaran.
Disamping itu, dari keempat elemen kompetensi komunikatif yang ada –
kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi strategi dan
kompetensi wacana – kompetensi sosiolinguistik agak sedikit diabaikan oleh
para pembelajar bahasa asing dan bahasa kedua, termasuk di STAIN Curup.
Hal ini dapat dilihat dari tidak munculnya mata kuliah sosiolinguistik dalam
agihan mata kuliah Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. Sementara
sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tanpa kemampuan
memahami sosiolinguistik suatu bahasa, tidak mungkin suatu ujaran dapat
5
dimaknai secara utuh. Lebih jauh lagi, sebagai tenaga pengajar bahasa
asing, sudah seharusnya para dosen juga memiliki kompetensi sosilinguistik
ini, karena mereka diharapkan dapat membantu mengembangkan
kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa agar sesuai dengan konteks
interaksi yang sesungguhnya. Para dosen, khususnya dosen-dosen
speaking selayaknya juga mengajarkan kompetensi sosiolinguistik ini di
dalam kelas, agar mahasiswa terbiasa dengan konteks natural saat suatu
ujaran itu digunakan sehingga Bahasa Inggris merekapun berterima. Oleh
karena itu, sangalah perlu mengetahui bagaimana kompetensi sosiolinguistik
para dosen Bahasa Inggris STAIN Curup serta apakah kompetensi tersebut
telah diaplikasikan untuk mengatasi keterbatasan mahasiswa dalam
mengekspresikan secara tepat makna kontekstual ucapan-ucapan mereka
dalam membantu siswa berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris.
Adapun yang menjadi cakupan kompetensi sosiolinguistik dapat dilihat dalam
diagram berikut8:
Selain untuk tujuan-tujuan diatas, penguasaan kompetensi
sosiolinguistik juga dimaksudkan untuk memperjelas fungsi bahasa di setiap
konteks penggunaannya. Misalnya didalam konteks kelas, makna dari
sebuah ungkapan bisa jadi lebih dari sekedar yang terucap saja. Makna
tersebut sangat tergantung pada kemampuan para dosen dalam
mengekspresikan secara tepat makna kontekstual atau makna pragmatis
ucapan-ucapan dan penguasaan sandi-sandi bahasa itu sendiri, baik secara
6
Informasi yang dibagi
Peran Partisipan
Cakupan kompetensi Sosiolinguistik
Fungsi Interaksi
verbal maupun secara non verbal serta bagaimana aplikasi kompetensi atau
kemampuan para dosen tersebut untuk membuat mahasiswanya mengerti
akan makna ucapan-ucapan tersebut. Dosen-dosen yang telah diteliti
memiliki kompetensi sosiolinguistik diasumsikan juga mampu menampilkan
kompetensi tersebut dalam performa yang baik.
Penelitian kuantitatif tentang kompetensi komunikatif khususnya
kompetensi sosiolinguistik masih jarang ditemui. Hal ini dikarenakan
kesulitan menentukan standar penilaian secara kuantitatif, tidak mudah
mencari bentuk standar kompetensi sebagai tolak ukur penilaian, belum
banyaknya penggunaan Bahasa Inggris dalam berkomunikasi di berbagai
konteks interaksi dan pengaruh budaya setempat. Pada kesempatan ini,
peneliti mencoba menguraikan secara deskriptif performa kompetensi
sosiolinguistik tersebut dilengkapi dengan analisis secara kualitatif sesuai
dengan teori pembelajaran bahasa itu sendiri.
Disamping itu, untuk kelemahan-kelemahan berbicara dalam Bahasa
Inggris, mahasiswa hampir selalu menjadi objek penelitian. Anggapan
bahwa kekurangmampuan berbicara dalam Bahasa Inggris ada pada
mahasiswa sering kali menjadi titik awal fenomena penelitian. Ironisnya,
masih banyak mahasiswa yang belum juga mampu berkomunikasi dalam
Bahasa Inggris, sekalipun dalam berkomunikasi tersebut, aturan-aturan tata
bahasa setengah diabaikan dan pengetahuan budaya dimana bahasa
Inggris tersebut digunakan tidak menjadi penekanan. Bagaimanapun
pengaruh budaya, konteks interaksi dan perlakuan terhadap Bahasa Inggris
itu sendiri juga sangat menentukan keberhasilan seseorang mencapai tujuan
berkomunikasi. Ide penelitian ini muncul karena faktanya, di STAIN Curup,
tidak hanya mahasiswa tetapi dosen Bahasa Inggrisnyapun adalah mereka
yang mempelajari Bahasa Inggris sebagai Bahasa asing (Foreign Language
Learner), yang keduanya bisa jadi memiliki kendala komunikasi yang tidak
jauh berbeda, baik keterbatasan konteks interaksi maupun budaya.
Disamping itu, masih sering penulis temukan, mahasiswa berbahasa Inggris
dengan mempedomani kamus, sehingga ungkapan-ungkapan yang
dilahirkan sangat kaku dan bahkan tidak digunakan pada interaksi yang
sesungguhnya oleh penutur asli (native speaker)
7
Masih dominannya pendapat yang mengatakan bahwa berbicara
Bahasa Inggris boleh mengabaikan aturan tata bahasa atau grammar, belum
juga mampu meningkatkan kepercayaan diri mahasiswa maupun para dosen
untuk menggunakan Bahasa Inggris. Melihat fenomena di STAIN Curup,
bisa jadi, Kebiasaan mengabaikan aturan tata Bahasa Inggris justru
menciptakan kebiasaan berbicara yang salah pula. Tak jarang pembicaraan
dalam Bahasa Inggris malah tidak memiliki ‘sense of language’ atau ‘rasa
berbahasa’ itu sendiri.
Uraian-uraian diatas mendorong peneliti untuk menggali lebih jauh
kemampuan sosiolinguistik dosen-dosen Speaking Program Studi
Pendidikan Bahasa Inggris STAIN Curup baik secara kompetensi (usage)
maupun performanya (use).
Mempertimbangkan pentingnya kompetensi komunikatif-khususnya
kompetensi sosiolinguistik sebagai salah satu elemennya-sebagai salah
satu kompetensi bahasa yang harus dimiliki dan untuk selalu dikembangkan
oleh dosen bahasa khususnya dosen Bahasa Inggris serta begitu luasnya
cakupan bidang kajian kompetensi sosiolinguistik, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengamati dan menganalisa bentuk-bentuk performa
kompetensi sosiolinguistik dosen-dosen Speaking Program Studi Pendidikan
Bahasa Inggris STAIN Curup di kelas dan mengevaluasi secara deskriptif
seberapa baik kompetensi sosiolinguistik dosen-dosen Speaking tersebut.
Kajian Pustaka
Kompetensi Komunikatif
“Dalam mempelajari bahasa kedua dan bahasa asing, performansi
seorang guru dalam berbahasa bisa jadi melambangkan kompetensinya9.
Bagaimanapun juga, dalam menggunakan bahasa yang bukan bahasa
pertamanya, orang cenderung melakukan kesalahan yang disebabkan oleh
faktor letih, tidak konsentrasi ataupun gugup. Kondisi-kondisi ini tentu saja
tidak melambangkan kompetensi seseorang.
Brown10 menyatakan bahwa kompetensi komunikatif adalah
“Kompetensi yang memungkinkan kita untuk mentransfer dan
mengintepretasi pesan serta memberikan makna dalam interaksi antar
8
individu pada konteks tertentu”. Hymes11 mendukung ide tersebut dengan
mengatakan bahwa kompetensi komunikatif adalah suatu aspek
kompetensi yang memungkinkan kita untuk menerima dan mengintepretasi
pesan serta memahami makna secara interpersonal di dalam konteks
tertentu. Lebih lanjut ia membagi kompetensi komunikatif menjadi dua
aspek: aspek Linguistik dan aspek pragmatik. Kompetensi linguistik adalah
kemampuan yang berhubungan dengan elemen-elemen pengetahuan
fungsional bahasa dan struktur bahasa, sedangkan kompetensi pragmatik
meliputi kemampuan bagaimana pengetahuan tadi dapat digunakan pada
situasi tertentu sesuai dengan maksud dan tujuan si pembicara.
Kompetensi komunikatif juga meliputi kondisi-kondisi yang mempengaruhi
ataupun memfasilitasi jalannya komunikasi. Senada dengan dua definisi
ini, Bachman12 menjelaskan bahwa kemampuan komunikatif melibatkan
dua hal penting yakni pengetahuan dan kompetensi akan bahasa tersebut,
serta kapasitas untuk mengimplementasi atau menggunakan kompetensi
tersebut. Tarigan13 menggambarkan bahwa untuk mencapai tujuan
pengajaran bahasa secara efektif, adalah sangat penting bagi guru bahasa
untuk selalu mengevaluasi dan mengembangkan kompetensi bahasa
mereka. Tarigan membagi kompetensi bahasa menjadi tiga kategori:
kompetensi fungsional, kompetensi komunikatif, dan kompetensi untuk
mengaplikasikan kedua kompetensi tersebut ke dalam pengajaran bahasa.
Scarcella dalam Krashen14 menyebutkan kompetensi komunikatif
sebagai kompetensi percakapan. Ia menjelaskan bahwa sebagian
aturan-aturan wacana dan strategi sangatlah kompleks. Ditandai dengan
penguasaan kosakata, pelafasan, dan aspek komunikasi non-verbal, dan
bahkan tingkat penguasaan sintaktik suatu bahasa. Lebih jauh lagi semua
aspek ini bervariasi tergantung dari konteks sosialnya, misalnya, beberapa
ungkapan salam akan sesuai pada situasi tertentu tetapi bisa jadi tidak
cocok pada situasi yang lain.
Most discourse rules and strategies are very complex,characterized by vocabulary, pronunciation, and prosodicfeatures of non-verbal communication, and, perhaps to aleser degree, syntactic features. Moreover, all of these
9
features may vary according to the social context. Forinstance, some greetings are appropriate in some situations,but not in others. They are sometimes shouted, andsometimes spoken quite stiffly. In any given situation, anappropriate greeting depends on a variety of factors. Theseinclude: the person being greeted, the time of day, thelocation and the interaction, other people present, and thesort of interaction which is expected.15
Kompetensi percakapan menurut Scarcella adalah sebuah kompetensi
yang lebih menitikberatkan pada penguasaan penggunaan bahasa
daripada pengetahuan bahasa.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang kompetensi komunikatif di
atas, peneliti menyimpulkan bahwa kompetensi komunikatif adalah
kemampuan seseorang, dalam hal ini guru bahasa Inggris, dalam
menerima dan mengintepretasikan pesan serta memahami makna secara
interpersonal pada konteks tertentu serta mengimplementasikannya
kedalam pengajaran. Kompetensi ini tidak hanya terbatas pada kompetensi
linguistik saja tetapi juga aspek ekstralinguistik seperti bahasa non-verbal.
Kompetensi komunikatif terdiri dari empat komponen yakni kompetensi
gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana dan kompetensi
strategi.
Dalam Savignon16 kompetensi gramatikal adalah penguasaan
unsur-unsur linguistik bahasa, kemampuan mengenali bentuk morfologi,
leksikal, struktur sintaktik dan fonologi, serta bagaiman menggunakan
bentuk-bentuk ini untuk membentuk kata-kata dan kalimat-kalimat.
Kompetensi gramatika juga merupakan kemampuan untuk menampilkan
aturan-aturan bahasa secara eksplisit. Seseorang yang memiliki
kompetensi gramatikal akan menggunakan aturan-aturan bahasa dengan
baik dalam berkomunikasi bukan dengan menyatakannya. Tarigan17
memfokuskan kompetensi gramatikal pada tekanan, intonasi, kombinasai
kata, penggunaan tanda baca, pelafasan dan penguasaan kosakata.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kompetensi
gramatikal adalah penguasaan aturan-aturan tata bahasa Inggris dalam
bentuk penggunaannya dalam berkomunikasi sesuai dengan situasi dan
konteks.
10
Canale18 menyatakan bahwa kompetensi sosiolinguistik
berhubungan dengan sosial-budaya dan aturan wacana. Komperensi
sosiolinguistik berkaitan dengan kesesuaian sebuah ujaran yang diutarakan
dan dimengerti secara benar pada lingkungan sosial yang berbeda, yang
sangat dipengaruhi oleh status pembicara dan pendengar, tujuan interaksi,
aturan dan norma yang berlaku dalam interaksi tersebut. Savignon19
menggambarkan kompetensi sosiolinguistik sebagai kemampuan
memahami aturan-aturan sosial dalam penggunaan bahasa. Brown20
menyebutkan kompetensi sosiolinguistik sebagai pengetahuan tentang
sosial budaya dalam memahami ujaran-ujaran pada konteks dan
lingkungan sosial dimana bahasa digunakan. Peneliti menyimpulkan
kompetensi sosiolinguistik adalah kemampuan untuk memahami konteks
sosial dimana bahasa Inggris tersebut digunakan, yang meliputi: peran
pendengar dan pembicara, informasi yang mereka bagi, serta fungsi dan
tujuan interaksi.
Canale21 menjelaskan ada dua aspek pada kompetensi wacana yang
menjadi poin utama yakni kesatuan dan kesinambungan. Kesatuan berarti
hubungan atar ujaran dan struktur tata bahasa yang digunakan yang
memungkinkan seseorang memahami makna wacana secara keseluruhan.
Sementara kesinambungan adalah hubungan antar mana dalam sebuah
ujaran. Savignon menyebutkan bahwa kompetensi wacana adalah
kemampuan seseorang untuk memahami hubungan kalimat atau ujaran
yang satu dengan yang lain sebagai suatu kesatuan yang utuh bukan
sebagai kalimat atau ujaran tunggal. Tarigan memasukkan unsur gaya
bahasa dan topik yang dibicarakan menjadi ukuran kesatuan dan
kesinambungan makna antar kalimat dalam suatu wacana. Sementara
Brown22 mendefinisikan kompetensi wacana sebagai kemampuan untu
membentuk dan menghubungkan kalimat atau ujaran menjadi suatu makna
secara keseluruhan secara terpadu dalam suatu wacana. Sebagai
kesimpulan, peneliti mendefinisikan kompetensi wacana sebagai suatu
kemampuan untuk membentuk, menggabungkan dan menghubungkan
kalimat atau ujaran sehingga mencapai makna yang utuh dan terpadu
dalam sebuah wacana. Kompetensi wacana tidak hanya terbatas pada
11
wacana tertulis aau teks saja tetapi juga wacana percakapan atau dialog,
seperti: pengambil-alihan giliran bicara, pengembangan topik, serta
keterampilan membuka dan menutup pembicaraan.
Canale mendefinisikan kompetensi strategi sebagai suatu
kompetensi untuk memelihara keberhasilan berkomunikasi baik secara
verbal maupun non-verbal yang digunakan pembicara dalam rangka:
a. menutupi kelemahan berkomunikasi karena keterbatasan ruang
lingkup
b. memperkuat efektifitas komunikasi, misalnya apabila pembicara
lupa akan aturan tata bahasa tertentu.
Savignon23 menggambarkan kompetensi strategi sebagai suatu kompetensi
untuk mengatasi ketidaksempurnaan penguasaan aturan tata bahasa.
Brown24 menambahkan penjelasan bahwa kompetensi strategi sebagai
verbal dan no-verbal strategi berkomunikasi yang diperlihatkan dalam
bentuk tindakan atau ujaran untuk menutupi kelemahan berbahasa.
Berpedomaan paa stratgei berkomunikasi ini, peneliti mencoba
mengamati kompetensi gramatikal melalui performa dosen-dosen
grammar/structure dalam menggunakan aturan-aturan tata Bahasa Inggirs
saat mereka berkomunikasi. Performa ini bisa ditampilkan dalam bentuk
pengulangan, parafrase, menebak atau tindakan non-verbal seperti
menggeleng, mengangguk dan sebagainya.
Sebagai kesimpulan, Brown juga menjelaskan bahwa kompetensi
komunikatif merupakan tujuan terbaik sebuah kelas bahasa.
Given that communicative competence is the goal of alanugae classroom, then instruction needs to point toward allof its components: organizational, pragmatics, strategic, andpsychomotor. Communicative goals are best achieved bygiving due attention to language use and not just usage, tofluency and not just accuracy, to authentic language andcontexts, and to students’ eventual need to apply classroomlearning to heretofore unhearsed contexts n teh real world25.
Kompetensi Sosiolinguistik
Seperti yang diungkapkan Douglas Brown berikut,
12
The native language of learners will be a highly significantsystem on which learners will rely to predict the targetlanguage system. While that native system will exercise bothfacilitating and interfering effects on the production andcomprehension of the new language, the interfering effectsare likely to be the most salient26.
Savignon27 menjelaskan bahwa apabila seseorang mempunyai
kompetensi bahasa yang baik maka dia diharapkan dapat berkomunikasi
dengan orang lain dengan baik dan lancar, baik secara lisan maupun
secara tertulis. Dia diharapkan dapat menjadi penyimak dan pembicara
yang baik, menjadi pembaca yang komprehensif serta penulis yang
terampil dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mencapai tujuan ini maka
para guru bahasa selayaknya berupaya sekuat daya mengajar dan
mendidik diri sendiri terlebih dulu untuk menggunakan bahasa dengan baik
dan benar agar mereka dapat menjadi contoh teladan bagi para siswa
asuhan mereka. Dengan bahasa yang baik dan benar, para guru dapat
diharapkan mengajar anak didiknya berbahasa baik dan benar pula.
Lebih jauh lagi Savignon mendefinisikan kompetensi sosiolinguistik
sebagai berikut:
“Sociolinguistic Competence requires an understanding ofthe social context in which the language is used: the rolesof participants, the information they share and the functionof the interaction. Only in a full context of this kind canjudgments be made on the appropriateness of a particularutterance” 28
Bahwa kompetensi sosiolinguistik adalah kemampuan untuk
memahami konteks social dimana bahasa tersebut digunakan. Kompetensi
sosiolinguistik ini meliputi peran para partisipan yang terlibat dalam
komunikasi, informasi yang sedang dibicarakan serta fungsi interaksi itu
sendiri.
Leech menjabarkan kompetensi sosiolinguistik menjadi dua bagian
sebagai berikut:
13
“Specifically, sociolinguistic competence can be generallydivided into two areas. One is appropriateness of form, thatis, pragmalinguistics, which signals "the particularresources that a given language provides for conveyingparticular illocutions"; the other is appropriateness ofmeaning, that is, sociopragmatics, which defines the waysin which pragmatic performance is subject to specificsociocultural conventions and values. For nonnativespeakers, the misunderstandings they are often faced within the cross-cultural realization of communicative actsusually arise from their failure in appropriate use ofpragmalinguistic and sociopragmatic competence.29
Pragmalinguistik adalah kemampuan sosiolinguistik yang berupa
bentuk-bentuk tuturan yang disediakan oleh suatu bahasa dalam
menghasikan satu tindak tutur (Ilokusi). Kategori kompetensi sosiolinguistik
yang kedua adalah sosiopragmatis, yakni cara-cara tampilan pragmatis yang
sesuai dengan aturan dan nilai, yang muncul berdasarkan kondisi social
budaya tertentu.
Budaya adalah sebuah cara hidup, ia adalah konteks yang di
dalamnya kita ada, berfikir, merasa, dan berhubungan dengan yang lain.
Larson dan Smalley30 menggambarkan budaya sebagai suatu “cetak biru”
yang menuntun perilaku orang-orang dalam sebuah komunitas dan terbina
dalam kehidupan keluarga. Ia mengataur perilaku kita dalam kelompok,
menjadi kita peka terhadap persoalan status, dan membantu kita engetahui
apa yang orang lain harapkan dari kita dan apa yang akan terjadi sekiranya
kita tidak memenuhi harapan mereka. Budaya membantu kita mengetahui
seberapa jauh kita bias berjalan selaku pribadi dan tanggung jawab kita
kepada kelompok. Bagi setiap orang, budaya meneguhkan sebuah konteks
perilaku kognitif dan afektif, sebuah model untuk eksistesi personal dan
social. Tampak jelas bahwa budaya, sebagai himpunan perilaku dan mode
persepsi yang berurat akar, menjadi sangat penting dalam pembelajaran
sebuah bahasa kedua ataupun bahasa asing. Bahasa adalah bagian dari
budaya, dan budaya bagian dari bahasa. Keduanya saling bertalian erat
sehingga tak ada seorangpun yang dapat memisahkan keduanya tanpa
menghilangkan arti penting masing-masing. Mungkin saja seseorang
mampu berhasil secara baik berakulturasi dalam usahanya mempelajari
bahasa asing, tetapi proses akulturasi tersebut bias lebih menyiksa dengan
14
hadirnya bahasa baru, Pasti, budaya adalah bagian yang tertanam sangat
dalam dari keberadaan kita sebagai manusia, tetapi bahasa khususnya
cara-cara berkomunikasi di antara anggota-anggota sebuah budaya, adalah
ekspresi yang paling terlihat dan tersedia dari budaya itu. Maka cara
pandang, identitas diri, dan system berfikir, bertindak, merasa dan
berkomunikasi bias terusik oleh kontak dengan budaya lain.
Banyak studi penelitian terbaru memperlihatkan efek positif
penyertaan kesadaran aspek sosiolinguistik di kelas-kelas pembelajaran
bahasa asing. Sebagai contoh, teknik role-play dikelas ESL (English as a
second Language) membantu siswa mengatasi keterbatasan studi budaya,
teknik ini justru sangat mendukung proses dialog lintas budaya sembari
menyediakan kesempatan untuk komunikasi lisan. Juga teknik lain seperti
film, drama, juga membantu guru memaksimalkan proses akulturasi di kelas.
Bachman31 menggambarkan kompetensi sosiolinguistik sebagai
bagian dari kompetensi pragmatis dalam kompetensi bahasa. Kompetensi
sosiolingistik menurut Bachman merupakan: kepekaan terhadap dialek atau
varietas, kepekaan terhadap register, kepekaan terhadap kealamiahan, serta
merupakan referensi budaya dan gaya bahasa.
Dari berbagai teori tentang kompetensi sosiolinguistik di atas,
semakin kuatlah alasan mengapa kompetensi ini sangat penting dalam
pembelajaran bahasa asing.
Analisa dan Pembahasan
Para dosen speaking lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat
bentuk aktif, sederhana untuk mengundang mahasiswa berbicara, kosakata
yang terbatas pada konteks dan topic yang sedang dibicarakan, namun
memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para mahasiswa untuk
menggunakan kalimat-kalimat mereka sendiri dengan kosa kata yang
independent. Pesan yang disampaikan juga dalam kecepatan berbicara
yang relative lebih lambat, sehingga penggunaan Bahasa Inggrispun dirasa
kurang natural.
Contoh:
15
1. Would you clean the whiteboard, please!
2. Do you have any question?
3. Do you understand?
Sementara pada kajian sosiolinguistik, mereka dapat menggunakan kalimat
atau ujaran Bahasa Inggris yang lebih natural walaupun tidak gramatikal
secata tata bahasa, contoh:
1. Andi, the whiteboard, please!
2. Questions? / Well? /by using non-verbal: raise hand, etc.
3. Clear? Silence means understand?
Dosen-dosen speaking tersebut juga menggunakan bentuk kalimat
yang sesuai dengan maksud dan fungsi yang ingin mereka sampaikan.
Misalnya jika mereka ingin memberikan perintah, maka bentuk kalimat yang
dibuat selalu didahului dengan kata pembentuk perintah dalam Bahasa
Inggris dan disampaikan dengan intonasi perintah. Seperti contoh 1 di atas
misalnya. Mahasiswa berbicara jika dosen meminta mereka berbicara
dengan bentuk kalimat permintaan. Sebagian besar pembicaraan di kelas
dibangun berdasarkan inisiatif dosen, kecuali pada waktu-waktu diskusi.
Saat seorang mahasiswa berbicara, dosen memperhatikan dengan selalu
menatap mahasiswa tersebut, pandangan mata dosen akan serta merta
beralih kepada mahasiswa lain jika tiba-tiba mahasiswa tersebut tidak
memperhatikan temannya yang sedang berbicara. Tidak jarang dosen
hanya menunjuk mahasiswa yang dimaksud untuk berbicara tanpa
memintanya dengan ungkapan verbal. Berbagai bahasa-bahasa non-verbal
juga muncul, seperti untuk menunjukkan persetujuan, dosen mengangguk,
ketidaksetujuan, dosen menggeleng. Namun ada beberapa dosen justru
memverbalkannnya dengan: I don’t think so/ Ok/ right. Mahasiswa mengerti
makna bahasa non-verbal tersebut.
Norma sosial dan kesopanan juga diterapkan dosen di kelas, peneliti
tidak pernah melihat dosen laki-laki menyentuh pundak mahasiswa
perempuan untuk menyatakan apresiasi atau intensi lainnya.
Disetiap pertemuan, dosen memulai kelas dengan menerima ucapan
salam (greeting) dalam Bahasa Inggris dari para mahasiswa. Hal ini sudah
sangat membudaya bahkan sejak peneliti masih menjadi mahasiswa.
16
Membuka dan mengakhiri jam pelajaran selalu dilakukan dengan cara
formal. Hampir seluruh dosen mengatasi gangguan tata bahasa dengan
cara menterjemahkannya ke Bahasa Indonesia. Dari tujuh poin yang dapat
diamati sebagai indikator kompetensi sosiolinguistik, walaupun dosen-dosen
speaking tersebut telah menampilkan seluruh indikator dalam performa
komunikasi mereka, kompetensi sosiolinguistik mereka sangat dipengaruhi
oleh sosiolinguitik budaya bahasa pertama yakni Bahasa Indonesia. Karena
penelitian kompetensi sosiolingistik ini dilakukan di Indonesia, dan objek
penelitian bukanlah penutur asli Bahasa Inggris, kompetensi sosiolinguistik
yang mereka tampilkan dapat diterima. Dilain sisi, Savignon menegaskan:
Communicative competence can be interpreted as ananalysis of language in terms of the situations or settings inwhich it is used and the meanings or functions it serves inthese settings provides the basis for establishing acommunicative syllabus. The inclusion of specific structuresdepends on the specification of context within which thelearner will use the L2.32
Paulston dalam Savignon mendukung ide tersebut::
It is valid to ask how much communicative competence oneneeds to teach in foreign language teaching, while thesuccessful interaction in an L2 culture is the goal, however,care must be taken to provide an authentic L2 culturalcontext for the interpretation of meaning.33
Kedua ahli Bahasa Inggris secara linguistik dan komunikatif di atas
menjelaskan bahwa kompetensi komunikatif Bahasa Inggris seseorang
sangatlah dipengaruhi oleh budaya dimana Bahasa Inggris tersbut
digunakan. Paulston bahkan menegaskan bahwa sangatlah perlu
dipertanyakan mengenai standardisasi kompetensi komunikatif bagi mereka
yang bukan penutur asli yang harus mengajarkan Bahasa Inggris, karena
bagaimanapun, materi kompetensi bahasa sangatlah tergantung dari budaya
autentik konteks interaksi dimana Bahasa Inggris tersebut digunakan.
Paulston juga menerangkan bahwa kompetensi sosial yang berasal dari
lingkungan autentik penutur asli juga penting bahkan kunci yang menentukan
sampai tidaknya tujuan komunikasi.
17
Hal menarik peneliti temukan dari hasil wawancara dengan para dosen
speaking tersebut. Bahwa ternyata mereka tidak mengetahui secara teori
kompetensi sosiolinguistik baik Bahasa Indonesia apalagi dalam
penggunaan Bahasa inggris. Fenomena ini juga diperkuat dengan hasil uji
melengkapi wacana (Discourse Completion Test). Contoh, saat mereka
diminta menuliskan respon apabila mereka pada situasi menggunakan
budaya pembicara asli (native speaker) dalam berbicara Bahasa Inggris
dengan mahasiswa, kolom ini tidak diisi. Sebaliknya juga saat respon untuk
penggunaan budaya Indonesia dalam berbicara Bahasa Inggris, kolom ini
bahkan diisi dengan respon yang tidak berhubungan samasekali dengan
aspek sosiolinguistik berbahasa. Bagaimanapun dari item uji tes wacana
yang lain, sebagai contoh saat penggunaan gesture serta membuka dan
menutup kelas pembelajaran, dosen-dosen speaking tersebut menuliskan
respon yang sangat kental dengan budaya Islam mendahului salam mereka
dalam Bahasa Inggris. Dengan kata lain, aspek kompetensi sosiolinguistik
memang mereka akui tidak dipelajari secara khusus, sementara apa yang
telah mereka terapkan adalah apa yang sudah biasa mereka lakukan dalam
berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Hal ini mengakibatkan
penggunaan Bahasa Inggris merekapun menjadi kurang natural karena
kemunculan aspek alami berbahasa Inggris tidak muncul sama sekali.
Dari hasil observasi dengan berpedoman pada indikator kompetensi
sosiolinguistik, peneliti menemukan fenomena lain. Walaupun mata kuliah
speaking, dimana seharusnya 80% komunikasi di kelas dilakukan dalam
Bahasa Inggris, para dosen justru sedikit sekali menggunakan Bahasa
Inggris, melainkan menggunakan Bahasa Indonesia. Tidak terlihat mereka
menyediakan kesempatan bagi para mahasiswa untuk menggunakan
Bahasa Inggris. Temuan hasil observasi ini berbeda dengan respon yang
mereka tuliskan pada hasil uji tes melengkapi wacana pada tema, respon
apa yang anda berikan jika: mahasiswa menggunakan Bahasa pertama
mereka di kelas speaking, sebagai berikut:
18
1. Two
languages, will
u?
2. Try hard first in
English, will
you?
3. In English,
please!
1. Again,
please!
2. I can’t hear
you?
3. In English,
OK!
4. Try in
English!
1. You may speak
by gado-gado
language.
2. Speak in English
and Indonesian!
3. English?
Peneliti tidak menemukan respon ini muncul pada observasi langsung.
Bagaimanapun, karena penelitian kompetensi sosiolinguistik ini dilakukan di
Indonesia, dan objek penelitian bukanlah penutur asli Bahasa Inggris,
kompetensi sosiolinguistik yang mereka tampilkan dapat diterima.
Beberapa hal diatas sekaligus juga merupakan keterbatasasn
penelitian kompetensi sosiolinguistik ini. Dengan kata lain, karena penelitian
ini menggambarkan kompetensi sosiolinguistik dosen-dosen speaking yang
bukan penutur asli Bahasa Inggris, performa kompetensi sosiolinguistik
mereka didasarkan pada budaya Orang Indonesia. Ini dapat dilihat dari
performa kompetensi sosilinguistik para dosen tersebut sangat dipengaruhi
oleh budaya masyarakat Indonesia dalam berbahasa Inggris. Isamping itu,
karena masih menjadi kontroversi tentang standardisasi kompetensi
sosiolinguistik bagi tenaga pengajar yang bukan penutur asli Bahasa Inggris,
evaluasi dan gambaran penilaian kompetensi sosiolinguistik dosen-dosen
speaking tersebut ditentukan dari tercapai tidaknya tujuan komunikasi
mereka. Lebih jauh lagi, karena dosen-dosen speaking yang menjadi objek
penelitian ini bukan penutur asli Bahasa Inggris, dan merekapun
menggunakan Bahasa Inggris bukan sebagai bahasa pertama mereka,
melainkan sebagai bahasa asing, mereka tidak terbiasa bersosialisasi pada
lingkungan natural para penutur asli Bahasa Inggris (native speaker), maka
sangatlah sulit untuk menemukan konteks interaksi yang mewakili
munculnya kompetensi sosiolinguistik yang betul-betul mewakili konteks
interaksi sesungguhnya.
19
Kesimpulan dan Saran
1. Performa kompetensi sosiolinguistik dosen-dosen speaking
ProgramStudi Pendidikan Bahasa Inggris STAIN Curup
sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat Indonesia
dalam berbahasa Inggris, karenanya, evaluasi dan
gambaran penilaian kompetensi sosiolinguistik guru-guru
Bahasa Inggris tersebut ditentukan dari tercapai tidaknya
tujuan komunikasi mereka.
2. Dosen-dosen speaking yang menjadi objek penelitian ini
bukan penutur asli Bahasa Inggris, dan merekapun
menggunakan Bahasa Inggris bukan sebagai bahasa
pertama mereka, melainkan sebagai bahasa asing, mereka
tidak terbiasa bersosialisasi pada lingkungan natural para
penutur asli Bahasa Inggris (native speaker), maka
sangatlah sulit untuk menemukan konteks interaksi yang
mewakili munculnya kompetensi sosiolinguistik dan
kompetensi wacana yang betul-betul mewakili konteks
interaksi sesungguhnya. Bagaimanapun kompetensi dan
performa sosiolinguistik mereka dalam berbahasa inggris
dapat diterima.
Sebagai dosen-dosen speaking dan dosen Bahasa Inggris, sangatlah
penting untuk mengetahui dan menguasai teori kompetensi sosiolinguistik
yang dimiliki oleh penutur asli (native speaker) Bahasa Inggris. Hal ini akan
sangat membantu pengajaran penggunaan bahasa Inggris yang lebih dari
sekedar tata bahasa dan aturan gramatika saja. Mengingat tujuan
pengajaran Bahasa Inggris adalah membantu para mahasiswa
mengembangkan kompetensi mereka dalam menggunakan Bahasa Inggris
untuk berkomunikasi, pengajaran Bahasa Inggris yang natural sangatlah
20
penting. Apalagi berbahasa tidak hanya menyampaikan maksud agar tujuan
komunikasi tercapai baik tetapi juga mempertimbangkan ‘sense of language’
atau rasa berbahasa itu sendiri.
Dengan memberikan sebanyak mungkin kesempatan mahasiswa
mengenali dan memahami Bahasa Inggris yang autentik dan natural dalam
berbagai variasi konteks interaksi, Bahasa Inggris mahasiswa akan lebih
terdengar layaknya penutur asli Bahasa Inggris.
Kelas adalah wadah yang sangat terbatas dan tidak akan dapat
mewakili pengenalan berbagai konteks interaksi penggunaan Bahasa Inggris
seperti pada lingkungan sebenarnya, jadi sangatlah penting dosen dan
mahasiswa mengupayakan kondisi interaksi tersebut di luar kelas agar
kompetensi sosiolinguistik menjadi lebih berstandar penutur asli.
Akhirnya, belajar bahasa tidaklah akan bermakna tanpa juga
mengenali dan menguasai ‘rasa berbahasa’ itu sendiri. Penelitian lebih
dalam mengenai kompetensi sosiolignuistik ini masih sangat diperlukan
untuk evaluasi berkesinambungan terhadap kualitas pembelajaran Bahasa
Inggris.
Catatan Akhir
1 Savignon, Sandra J., Comunicative Competence: Theory and ClassromPractice, Menlo Park, California: Addison-Wesley Publishing Company,Inc., 1983, h. 79.
2 Celce-Murcia, M., Discourse and Context in Language Teaching: A guidefor Language Teachers. UK: Cambridge University Press. 1995. h. 5-35
3 Ibid., h. 364 Ansyar, M., Competency-Based Education: Some Implications to
Language Curriculum. Padang: Forum Pendidikan, 28 (03). 2003, h.327.
5 Brown, D. H., Principles of Language Learning and Teaching, NewJersey: Prentice Hall, 1987, h. 199.
6 Savignon, op. cit., h. 36.7 Tarigan, H. G., Pengajaran Kompetensi Bahasa, Bandung: Angkasa,
1990, h. 31.8 Tarigan, op. cit., h. 359 Savignon, op. cit., h. 90.
21
10 Brown, D. H., Principles of Language Learning and Teaching, New York:Wesley Longman Inc, 2000, h. 248.
11 Hymes. …………… 2000. h. 24612 Bachman, Lyle F., Fundamental Consideration n LanguageTesting,
Oxford: Oxford University Press, 1990, h. 87.13 Tarigan, op. cit., h. 25.14 Krashen, S. D.. Principles and Practice in Second Language Acquisition.
New York: Pergamon Press Inc. 1982. h. 7915 Ibid., 8516 Savignon, op. cit., h. 24.17 ibid., h. 3618 Canale, M., From Communicative Competence to Comunicative
Language Pedagogy, London: Longman, 1983, h. 37.19 Savignon, op.cit., h. 25.20 Brown, op. cit., h. 24921 Canale, op. cit., h. 4522 Brown, op. cit., h. 25623 Savignon, op. cit., h.2824 Brown., loc., cit25 Ibid., h. 25826 Ibid., h. 30027 Savignon, op. cit., h.3028 Ibid., h. 3529 Brown, Gillian and George Yule. 1983a. Teaching the spoken
Language: An Approach based on the analysis of ConversationalEnglish. Cambridge: Cambridge University Press
30 .---------1983b. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge UniversityPress.
31 Bachman, op. cit., h. 8932 Savignon, op. cit., h.33 Ibid., h.
22
DAFTAR PUSTAKA
Ansyar, M. 2003. “Competency-Based Education: Some Implications toLanguage Curriculum”. Forum Pendidikan. 28 (03). 327-338.
Ary, Donald. 1985. Introduction to Research Education. New York: CBSCollege Publishing.
Ary, D., Jacobs, L.C., dan Razavieh, A. Tanpa tahun. Pengantar PenelitianPendidikan. Terjemahan ole Arief Fuchan. 1982. Surabaya: UsahaNasional.
Bloomfield, Leonard. 1995. Language. Jakarta: PT Gramedia.
Brown, D. H. 1987. Principles of Language Learning and Teaching. 2nd
Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall, Inc.
---------2000. Principles of Language Learning and Teaching. New York:Wesley Longman, Inch.
Brown, Gillian and George Yule. 1983a. Teaching the spoken Language: AnApproach based on the analysis of Conversational English.Cambridge: Cambridge University Press.
---------1983b. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Brown, G., Malmkjar, K., and Williams, J. 1996. Performance andCompetence in Second Language Acquisition. Cambridge:Cambridge University.
Canale, M. 1983. From Communicative Competence to CommunicativeLanguage Pedagogy. In Richards, J.C. and R.W. Schmidt, Languageand Communication. London: Longman.
23
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standar Kompetensi: Mata PelajaranBahasa Inggris sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah.Jakarta.
Douglas A. 2001. Center for Applied Linguistic. Digest,
(http://www.cal.org/resorces/digest/0107demo .html, taken on 2 August 2010)
Gay, L.R. and Peter Airasian. 2000. Educational Research: Competenciesfor Analysis and Application. New Jersey: Prentice Hall, Inc.
Harley, Trevor. 1995. The Psychology of Language. Great Britain: ErlbaumTaylor & Francis.
http://www.sil.org//lingulinks/LANGUAGELEARNING/OtherResources/Gu,taken on 2 August 2010.
http://www.ryerson.ca/~mjoppe/Research/DescriptiveResearch.htm, taken on14 August 2010.
Janice, C (Ed). Tanpa tahun. Comunicative Competence for Individuals whoUse Augmentative and Alternative Communication (AAC): fromResearch to Effective Practice, (online),
(http://www.brookespublishing.com/store/books/reichle-529x/index.htm, taken on 14 August 2010)
Krashen, S. D. 1982. Principles and Practice in Second LanguageAcquisition. New York: Pergamon Press Inc.
Leech, 1983. Principles of Pragmatics. New York. Longman.
Nunan, D. and Clarice Lamb. 1996. The Self-directed Teacher: Managingthe learning process. New York: Cambridge University Press.
Osborne, D. 1999. Teacher-Talk: A Sociolinguistic Variable. EnglishTeaching Forum, (on line), Vol. 37, No, 2,
(http://exchanges.stat.gov/forum/vols/vol37/no2/p10.htm, taken on 14August 2010
Purwanto, Dr. 2002. “Profesionalisme Guru”. Jurnal Teknodik. VI (10):93-100.
Qi, Yichu. 2003. A Practical and Effective Way to Enhance the ESLStudents’ Oral Competence, The Internet TESL Journal, (online), Vol.
24
IX, No. 3, (http://iteslj.org/Techniques/Qi-oralCompetence.html, takenon 14 August 2010).
Swann, J, Pugh and Lee (Ed). 1980. Language and Language Use.London: Heineman Educational Books Ltd.
Sadtono, E. 2003. The Teachers’ Problems in Teaching Cross CultureUnderstanding to EFL Students in Mandala Surabaya ChatolicUniversity. TEFLIN, (on line), Vol. 14, No. 1,
(http://www.malang.ac.id/jurnal/fs/teflin/2003a.htm#1-12, taken on 16August 2010).
Samana, A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: PenerbitKanisius.
Savignon, Sandra J. 1983. Communicative Competence: Theory andClassroom Practice. Menlo Park, California: Addison-WesleyPublishing Company, Inc.
Tarigan, H. G. 1990. Pengajaran Kompetensi Bahasa. Bandung: Angkasa
Wibowo, Alexander. J dan Fandy Tjiptono. 2002. Pendidikan BerbasisKompetensi. Yogyakarta: Universitas Atmajaya.
Widdowson, H. G. 1978. Teaching Language as Communication. Oxford:Oxford University
Zainil. 2003. Language Teaching Methods. Padang: Universitas NegeriPadang Press.
---------2005. Good Language Learner Strategies and CommunicativeLanguage Teaching. Padang: Universitas Negeri Padang Press.
25