Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA
OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019
TESIS
OLEH :
IRA SYAFIRA
NIM : 1505195181
PROGRAM STUDI S2 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
2
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA
OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019
TESIS
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memeroleh Gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M)
dalam Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat Minat Studi Kebijakan Manajemen Dan Pelayanan Kesehatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Helvetia Medan
Oleh:
IRA SYAFIRA
NIM : 1505195181
PROGRAM STUDI S2 KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT KESEHATAN HELVETIA
MEDAN
2019
3
4
Telah Diuji pada Tanggal : 16 November 2019
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. dr. Hj. Razia Bagum Suroyo., M.Sc., M.Kes
Anggota : 1. Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes
2. Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A
3. Imam Muhammad, S.E., S.Kom., MM., M.Kes
5
6
LEMBAR PERNYATAAN PUBLIKASI
Sebagai sivitas akademika Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan
Helvetia Medan, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ira Syafira
Nim : 1505195181
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas : Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Fakultas Kesehatan Masyarakat Hak Bebas Royalti Non Eksklusif (Non
Exclusive Royalty Freeb Right) atas tesis saya yang berjudul :
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA
OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI WILAYAH
KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan) dengan Hak Bebas Royalti Non
Eksklusif ini Fakultas Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia Medan
berhak menyimpan, mengalih media format, mengelola dalam bentuk pangkalan
data (Database), merawat dan mempublikasi tesis saya tanpa meminta izin dari
saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis, pencipta dan sebagai
pemilik Hak Cipta.
Demikian persyaratan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : 16 November 2019
Yang menyatakan,
(Ira Syafira)
i
ii
ABSTRAK
ANALISIS FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA
OSTEOPOROSIS PADA IBU MENOPAUSE DI
WILAYAH KERJA PUSKESMAS STABAT
KABUPATEN LANGKAT
TAHUN 2019
IRA SYAFIRA
1505195181
Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi
rapuh dan mudah retak atau patah. Berdasarkan data rekam medik yang diperoleh
pada tahun 2015 sebanyak 106 kasus osteoporosis ditemukan pada wanita
menopause dan lanjut usia. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan
menganalisis pengaruh usia, aktivitas fisik, merokok, riwayat keluarga, riwayat
fraktur terhadap osteoporosis pada ibu menopause.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian Mix
Methods dengan model penelitian Sequential Explanatory dengan sampel
kuantitatif sebanyak 87 responden dan informan pada pendekatan kualitatif yaitu
10 ibu menopause dan petugas kesehatan. Teknik pengumpulan data
menggunakan kuesioner dan istrumen wawancara penelitian. Analisis data dalam
penelitian ini yaitu analisis multivariat menggunakan uji binary logistic.
Hasil penelitian ini menunjukkan ada pengaruh antara usia dari hasil uji
statistik sebesar 0,044 < 0,05, aktifitas fisik sebesar 0,012 < 0,05, riwayat keluarga
sebesar 0,014 < 0,05 dan riwayat fraktur sebesar 0,035 < 0,05, variabel merokok
sebesar 0,223 > 0,05. Variabel yang paling dominan memiliki pengaruh yaitu
variabel riwayat keluarga dengan nilai OR 36,869.
Kesimpulan pada penelitian ini yaitu ada pengaruh antara usia aktivitas
fisik, riwayat keluarga dam riwayat fraktur terhadap osteoporosis pada ibu
menopause namun pada variabel merokok tidak terdapat pengaruh terhadap
osteoporosis pada ibu menopause. Diharapkan penelitian ini dapat menjadi
masukan bagi puskesmas dalam penanganan osteoporosis dan dapat
meningkatkan pengelolaan program pencegahan osteoporosis dengan upaya-
upaya promosi kesehatan.
Kata Kunci : Osteoporosis, Usia, Aktifitas Fisik, Merokok, Riwayat
Keluarga, Riwayat Fraktur
Daftar Pustaka : 27 Buku + 29 Jurnal (1999-2018)
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan
anugerah-Nya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis yang
berjudul “Analisis Faktor-Faktor Risiko yang Memengaruhi terjadinya
Osteoporosis pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat Tahun 2017”.
Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar Magister Kesehatan Masyarakat (M.K.M.) pada Program
Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia. Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini tidak dapat diselesaikan tanpa bantuan
berbagai pihak, baik dukungan moril, materil dan sumbangan pemikiran. Untuk
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Dr. dr. Hj. Razia Begum Suroyo, M.Sc., M.Kes, selaku Pembina Yayasan
Helvetia Medan, sekaligus pembimbing I yang telah membimbing dan
memberikan masukan dalam penyusunan Tesis ini.
2. Iman Muhammad, SE., S.Kom., M.M., M.Kes, selaku Ketua Yayasan
Helvetia Medan dan Ketua Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Institut Kesehatan Helvetia sekaligus Penguji II yang telah memberikan
waktu masukan dalam penyusunan Tesis ini.
3. Dr. H. Ismail Effendi, M.Si, selaku Rektor Institut Kesehatan Helvetia.
4. Dr. Asriwati, S.Kep., Ns., S.Pd., M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Masyarakat Institut Kesehatan Helvetia.
5. Dr. Tri Niswati Utami, M.Kes, selaku Dosen Pembimbing II yang telah
banyak memberikan perhatian, kesabaran, dan ketelitian memberikan
bimbingan dan arahan terus-menerus sejak penyusunan proposal hingga tesis
ini selesai.
6. Dr. dr. Juliandi Harahap, M.A, selaku Dosen Penguji I yang telah
meluangkan waktu dan memberikan pemikiran dalam memberi masukan tesis
ini.
iv
7. Seluruh Dosen Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat yang telah
mendidik dan mengajarkan berbagai ilmu yang bermanfaat bagi penulis.
8. Kepala Puskesmas dan staff yang telah memberikan bimbingan dan izin
kepada penulis untuk melakukan penelitian di Puskesmas ini.
9. Orangtua tercinta dan seluruh keluarga yang telah memberikan kasih sayang,
dukungan, dan semangat selama berlangsungnya masa perkuliahan hingga
memasuki masa penyelesaian perkuliahan.
10. Teman-teman seperjuangan seangkatan yang ikut memberikan doa dan
motivasi, juga dukungan moral, material kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis menerima kritik dan saran demi kesempurnaan Tesis ini.
Semoga Allah SWT selalu memberikan rahmat dan Hidayah-Nya atas segala
kebaikan yang telah diberikan.
Medan, 16 November 2019
Ira Syafira
1505195181
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Ira Syafira, lahir di Stabat 09 Desember 1993, putri dari
bapak A. Boynizar dan ibu Khairani, S.Pd. Penulis beragama islam dan beralamat
di Stabat Kabupaten Langkat Sumatera Utara.
Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri Impres pada tahun
2005. Menyelesaikan sekolah menengah pertama di SMP Hang Tuah Stabat pada
tahun 2008. Menyelesaikan SMA pada tahun 2011 di SMA Persialan Stabat.
Menyelesaikan pendidikan Diploma III Akademi Kebidanan Helvetia Medan pada
tahun 2014. Menyelesaikan pendidikan D4 Kebidanan Helvetia Medan pada tahun
2015. Pada tahun 2015 melanjutkan pendidikan S2 di Program Studi S2
Kesehatan Masyarakat di Institut Kesehatan Masyarakat Helvetia Medan sampai
dengan sekarang.
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN
ABSTRACT ..................................................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ...................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 8
1.3. Tujuan Penelitian ..................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ................................................................... 9
1.4.1. Manfaat Teoritis ........................................................... 9
1.4.2. Manfaat Praktis ............................................................. 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 10
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu ..................................................... 10
2.2. Telaah Teori ............................................................................. 15
2.2.1. Osteoporosis ................................................................. 15
2.2.2. Faktor Risiko Osteoporosis .......................................... 32
2.2.3. Menopause ................................................................... 41
2.3. Landasan Teori ........................................................................ 50
2.4. Kerangka Konsep .................................................................... 51
2.5. Hipotesis Penelitian .................................................................. 51
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 52
3.1. Desain Penelitian ..................................................................... 52
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 52
3.2.1. Lokasi Penelitian .......................................................... 52
3.2.2. Waktu Penelitian ........................................................... 53
3.3. Populasi dan Sampel pada Pendekatan Kuantitatif .................. 53
3.3.1. Populasi pada Pendekatan Kuantitatif .......................... 53
3.3.2. Sampel pada Pendekatan Kuantitatif ............................ 53
3.4. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 54
3.4.1. Jenis Data ...................................................................... 54
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data ........................................... 54
3.5. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 54
3.5.1. Uji Validitas .................................................................. 54
3.5.2. Uji Reliabilitas .............................................................. 56
vii
3.6. Variabel dan Definisi Operasional ........................................... 57
3.7. Metode Pengukuran ................................................................. 58
3.8. Metode Pengolahan Data ........................................................ 59
3.9. Analisis Data ............................................................................ 60
3.10. Informan pada Pendekatan Kualitatif....................................... 62
3.11. Metode Pengumpulan Data pada Pendekatan Kualitatif .......... 63
3.12. Analisis dan Interpretasi Data pada Pendekatan Kualitatif ...... 63
BAB IV HASIL PENELITIAN .................................................................... 65
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...................................................... 65
4.1.1. Letak Geografis ............................................................ 65
4.1.2. Demografi ..................................................................... 65
4.1.3. Gambaran Umum Proses Penelitian ............................. 66
4.2. Hasil Penelitian Kuantitatif ...................................................... 67
4.2.1. Analisis Univariat ......................................................... 67
4.2.2. Analisis Bivariat ........................................................... 73
4.2.3. Analisis Multivariat ...................................................... 78
4.3. Hasil Penelitian Kualitatif ........................................................ 82
4.3.1. Karakteristik Informan.................................................. 82
4.3.2. Deskripsi Matriks Wawancara pada Informan ............. 86
BAB V PEMBAHASAN .............................................................................. 88
5.1. Pengaruh Usia terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu
Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat ..................................................................................... 88
5.2. Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Terjadinya Osteoporosis
pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat .................................................................. 91
5.3. Pengaruh Merokok terhadap Terjadinya Osteoporosis pada
Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat .................................................................. 94
5.4. Pengaruh Riwayat Keluarga terhadap Terjadinya
Osteoporosis pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat ..................................... 97
5.5. Pengaruh Riwayat Fraktur terhadap Terjadinya Osteoporosis
pada Ibu Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat .................................................................. 99
5.6. Keterbatasan Penelitian ............................................................ 102
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 103
6.1. Kesimpulan .............................................................................. 103
6.2. Saran ......................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 105
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Halaman
3.1. Perbedaan Osteoporosis Tipe I dan Tipe II....................................... 21
3.2. Kebutuhan Energi Berbagai Aktivitas .............................................. 46
3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Aktifitas Fisik ................................... 64
3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Merokok ........................................... 64
3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Riwayat Keluarga ............................. 65
3.4. Hasil Uji Validitas Kuesioner Riwayat Fraktur ................................ 65
3.5. Hasil Uji Reliabilitas ........................................................................ 66
3.6. Aspek Pengukuran ........................................................................... 68
4.1. Karakteristik Responden.................................................................. 67
4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Aktifitas
Fisik ................................................................................................. 68
4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Aktifitas Fisik ............. 69
4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Merokok
pada Ibu Menopause ........................................................................ 69
4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Merokok pada Ibu
Menopause ....................................................................................... 70
4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat
Keluarga pada Ibu Menopause ....................................................... 70
4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Keluarga
pada Ibu Menopause ........................................................................ 71
4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat
Fraktur pada Ibu Menopause .......................................................... 72
4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Fraktur pada
Ibu Menopause ................................................................................ 72
ix
4.10. Tabulasi Silang Faktor Usia dengan Kejadian Osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat .................................................... 73
4.11. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Kejadian
Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat .......................... 74
4.12. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Merokok dengan Kejadian
Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat .......................... 75
4.13. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Keluarga dengan
Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat ........... 76
4.14. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Fraktur dengan
Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat ........... 77
4.15. Uji Regresi Logistik ........................................................................ 78
4.16. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Model Summary ..................... 81
4.17. Karakteristik Informan .................................................................... 82
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Judul Halaman
2.1. Skema Terjadinya Osteoporosis .................................................... 31
2.2. Kerangka Konsep .......................................................................... 59
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Judul Halaman
1 : Kuesioner .................................................................................. 108
2 : Master Tabel Uji Validitas ........................................................ 110
3 : Master Tabel Penelitian ............................................................ 111
4 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas .......................................... 114
5 : Output SPSS ............................................................................. 118
6 : Lembar Persetujuan Perbaikan (Revisi) ................................... 130
7 : Surat Izin Survei Awal dari Institut Kesehatan Helvetia ............ 131
8 : Surat Balasan Izin Survei Awal ................................................. 132
9 : Surat Izin Uji Validitas dari Institut Kesehatan Helvetia ........... 133
10 : Surat Balasan Uji Validitas ........................................................ 134
11 : Surat Izin Penelitian dari Institut Kesehatan Helvetia ................ 135
12 : Surat Balasan Izin Selesai Penelitian ........................................ 136
13 : Lembar Bimbingan Tesis 1 ....................................................... 137
14 : Lembar Bimbingan Tesis 2 ....................................................... 138
15 : Dokumentasi Penelitian ............................................................ 139
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi
rapuh dan mudah retak atau patah. Osteoporosis adalah suatu penyakit yang
ditandai dengan berkurangnya massa tulang dan adanya perubahan
mikroarsitektur (bentuk mikro/terhalus) jaringan tulang yang mengakibatkan
menurunnya kekuatan tulang dan meningkatnya kerapuhan tulang, sehingga
menyebabkan tulang mudah patah. Osteoporosis dijuluki sebagai silent epidemic
diseases, karena menyerang secara diam, tanpa adanya tanda khusus, sampai
pasien mengalami patah tulang (1).
Osteoporosis kini telah menjadi salah satu penyebab penderitaan dan cacat
yang paling sering terjadi pada orang berusia lanjut, terutama pada wanita. Ketika
wanita mencapai usia menopause, maka semakin menurun pula kadar kalsium
dalam tulang. Sebelum terjadi fase menopause, biasanya didahului dengan fase
premenopause. Premenopause adalah masa 4-5 tahun sebelum menopause. Bagi
kebanyakan perempuan gejala fase premenopause mulai muncul pada usia 40
tahun yang menimbulkan gejala yang sangat mengganggu aktivitas kehidupan
wanita, termasuk hilangnya kesuburan dan meningkatnya risiko osteoporosis pada
kondisi menjelang menopause (2).
World Health Organization (WHO) menentukan kriteria tentang berat
ringannya keropos tulang yang sudah diterima oleh seluruh dunia. Bila T-score<-
2,5 digolongkan sebagai osteoporosis. Nilai T-scoredi bawah -1,0 dinamakan
1
2
osteopenia atau massa tulang yang rendah. Nilai T-score di antara -1 sampai +1
tergolong BMD (Bone Mineral Density) normal. Osteoporosis terjadi jika laju
penghancuran tulang meningkat, sedangkan pembentukan kembali menurun,
sehingga tulang menjadi rapuh dan keropos (3).
Wanita memiliki resiko osteoporosis lebih tinggi dibanding laki-laki, hal
ini dikarenakan wanita mengalami proses kehamilan dan menyusui serta
penurunan hormon estrogen pada saat premenopause, menopause dan pasca
menopause. Pada pria juga memiliki resiko terkena osteoporosis, penyakit
osteoporosis pada pria juga dipengaruhi oleh hormon. Bedanya laki-laki tidak
mengalami menopause, sehingga osteoporosis datang lebih lambat (4).
Penyebab osteoporosis diantaranya, yaitu rendahnya hormon estrogen
pada wanita, rendahnya aktivitas fisik, kurangnya paparan sinar matahari,
kekurangan vitamin D, usia lanjut dan rendahnya asupan kalsium. Hal ini terbukti
dengan rendahnya konsumsi kalsium rata-rata masyarakat Indonesia yaitu
sebesar 254 mg per hari, hanya seperempat dari standar internasional, yaitu
1000-1200 mg per hari untuk orang dewasa (5).
Seiring bertambahnya usia, daya serap kalsium akan menurun.
Diperkirakan selama hidup, wanita akan kehilangan massa tulang 30%-50%,
sedangkan pria 20%-30%. Selain itu, diperkirakan 80% kepadatan tulang
diwariskan secara genetik sehingga osteoporosis dapat diturunkan. Setiap tahun
sekitar 25 juta wanita di seluruh dunia diperkirakan mengalami menopause.
Jumlah wanita usia 50 tahun ke atas diperkirakan meningkat dari 500 juta pada
saat ini menjadi lebih dari 1 miliar pada2030, sedangkan wanita premenopause
3
sebanyak 342 juta. Di Asia, masih menurut data World Health Organization
(WHO), pada 2025 jumlah wanita yang berusia tua diperkirakan akan melonjak
dari 107 juta ke 373juta (6).
Menurut WHO, osteoporosis menduduki peringkat kedua, di bawah
penyakit jantung sebagai masalah kesehatan utama dunia. Menurut data
Internasional Osteoporosis Foundation (IOF), lebih dari 30% wanita diseluruh
dunia mengalami resiko patah tulang akibat osteoporosis, bahkan mendekati
40%. Sedangkan pada pria, resikonya berada pada angka 13%. Angka kejadian
patah tulang (fraktur) akibat osteoporosis diseluruh dunia mencapai angka 1,7
juta orang dan diperkirakan angka ini akan terus meningkat hingga mencapai 6,3
juta orang pada tahun 2050 (6).
Penderita osteoporosis di Eropa, Jepang, dan Amerika adalah sebanyak
75juta penduduk, sedangkan di Cina 84 juta penduduk, dan ada 200 juta penderita
osteoporosis diseluruh dunia. Penderita osteoporosis di Inggris, satu dari tiga
wanita dan satu dari dua belas pria diatas 50 tahun akan mengalami fraktur arena
osteoporosis. Penderita osteoprosis di Australia bertambah dari 15% pada wanita
usia 60-64 tahun menjadi 71% pada usia 80 tahun, dan bagi pria dengan usia yang
sama, angka meningkat dari 1,6% menjadi 19% (6).
Hasil penelitian yang dilaksanakan bersama perhimpunan Osteoporosis
Indonesia, melaporkan bahwa proporsi penderita Osteoporosis pada penduduk
yang berusia diatas 50 tahun, adalah 32,3% pada wanita dan 28,8% pada pria.
Menurut hasil analisa data yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes pada 14
provinsi menunjukkan bahwa masalah osteoporosis di Indonesia telah mencapai
4
tingkat yang perlu di waspadai yaitu 19,7%. Itulah sebabnya kecenderungan
osteoporosis di Indonesia 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan Negeri
Belanda. Lima provinsi dengan risiko osteoporosis tertinggi adalah Sumatera
Selatan (27,7%), Jawa Tengah (24,02%), di Yogyakarta (23,5%), Sumatera Utara
(2,82%), Jawa Timur (21,42%) dan Kalimantan Timur (10,5%) (7).
Berdasarkan analisis data dan risiko osteporosis yang dilakukan
Departemen Kesehatan RI pada tahun 2006. Fonterra Brands Indonesia,
pravalensi osteoporosis di Indonesia saat ini telah mencapai 41,75%. Artinya
setiap 2 dari 5 penduduk Indonesia memiiki risiko utuk terkena osteoporosis. Hal
ini lebih tinggi dari pravalensi dunia yang hanya 1 dari 3 berisiko Osteoprosis (8).
Wanita yang mendekati menopause, produksi hormon estrogen, hormon
progesteron dan hormon seks lainnya mulai menurun (9). Perubahan yang terjadi
pada usia menopause antara lain: perubahan organ repoduksi, perubahan hormon,
perubahan fisik dan perubahan emosi. Akibat perubahan organ reproduksi
maupun hormon tubuh pada saat menopause akan mempengaruhi berbagai
keadaan fisik tubuh seorang wanita yang berupa keluhan-keluhan
ketidaknyamanan yaitu hot fluses (perasaan panas), keringat berlebih, vagina
kering, tidak dapat menahan air seni, hilangnya jaringan penunjang, penambahan
berat badan, gangguan mata, nyeri tulang dan sendi (10).
Menopause merupakan sebuah kata yang memiliki banyak arti atau makna
yang terdiri dari kata men dan pauseis yang berasal dari bahasa Yunani, yang
digunakan untuk menjelaskan gambaran berhentinya haid atau menstruasi yang
terjadi pada usia 49-51 tahun. Hal ini merupakan akhir proses biologis dari siklus
5
menstruasi, yang dikarenakan terjadinya perubahan hormon yaitu penurunan
produksi hormon estrogen yang dihasilkan ovarium (11).
Menopause ada hubungannya dengan menarche (haid yang pertama kali
datang) Semakin dini menarche terjadi, makin lambat menopause terjadi. Pada
saat ini, semakin dini datangnya menarche akan mengakibatkan semakin lambat
datangnya menopause, sehingga membuat masa reproduksi menjadi lebih panjang
(12).
Berdasarkan data WHO tahun 2014, jumlah perempuan menopause
diseluruh dunia diperkirakan mencapai 33 juta jiwa, meningkat sekitar 5,6% dari
tahun sebelumnya dan diperkirakan akan terus meningkat pada tahun selanjutnya.
Sekitar 25 juta perempuan di seluruh dunia diperkirakan mengalami menopause
setiap tahunnya. Jumlah perempuan usia 50 tahun ke atas diperkirakan meningkat
dari 500 juta pada saat ini menjadi lebih dari 1 miliar pada tahun 2030. Menurut
data WHO, pada tahun 2025 jumlah perempuan yang berusia tua di Asia
diperkirakan akan melonjak dari 107 juta ke 373 juta (6).
Kecenderungan populasi perempuan menopause di Indonesia semakin
tinggi. Menurut data Departemen Kesehatan (Depkes) perempuan Indonesia yang
memasuki menopause sebesar 7,4% dari populasi pada tahun 2000. Jumlah
tersebut diperkirakan meningkat menjadi 11% pada tahun 2005 dan akan naik lagi
sebesar 14% atau sekitar 30 juta orang pada tahun 2015. Peningkatan populasi
perempuan menopause pada umumnya akan disertai berbagai tingkat dan jenis
permasalahan yang kompleks yang berdampak pada peningkatan masalah
kesehatan perempuan menopause tersebut (8).
6
Wanita di kota besar seperti Medan rata-rata mengalami menopause di
akhir usia 40-an tahun atau di awal 50 tahun, namun kini menurut penelitian
terbaru, 1 dari 16 wanita berisiko menopause dini. Seperti profil penduduk yang
tergambar di salah satu Kelurahan Sei Sikambing Medan, pada tahun 2011 jumlah
penduduk perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki. Disana juga didapatkan
jumlah usia lansia yang cukup banyak. Ada sekitar 76 jiwa perempuan sudah
mengalami menopause (13).
Perubahan pada tulang terjadi oleh karena kombinasi rendahnya hormon
estrogen dan hormon paratiroid. Tulang mengalami dekalsifikasi (pengapuran)
artinya kalium menurun sehingga tulang keropos dan mudah terjadi patah tulang.
Terutama terjadi pada persendian paha. Mengingat peningkatan yang stabil dalam
kehidupan masyarakat harapan dan perubahan dramatis dalam gaya hidup, seperti
perubahan dalam asupan makanan dan pekerjaan (misalnya, sedikit orang terlibat
dalam pekerjaan pertanian), aktivitas fisik berkurang, meningkat perilaku
menetap,kita menduga bahwa osteoporosis dapat menjadi lebih umum dan
prevalensi dapat terus meningkat dalam waktu dekat. Namun, peningkatan
kesadaran masyarakat tentang kesehatan dan asupan makanan dalam beberapa
tahun terakhir mungkin terbukti memperlambat kejadian penyakit ini. Terdapat
beberapa faktor risiko terjadinya osteoporosis, yaitu faktor risiko yang dapat
dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi antara lain adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, riwayat
fraktur, sedangkan faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain adalah indeks
7
massa tubuh, konsumsi alkohol, merokok, menopause dini, aktifitas fisik,
penyakit sistemik dan penggunaan steroid jangka panjang.
Berdasarkan data rekam medik yang diperoleh dari Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat, pada tahun 2015 sebanyak 106 kasus
osteoporosis ditemukan pada wanita menopause dan lanjut usia. Jumlah kasus
osteoporosis meningkat setiap tahunnya terutama pada wanita lanjut usia yang
telah mengalami menopause. Mengingat besarnya pravalensi dan risiko terjadinya
osteoporosis terutama pada wanita lanjut usia yang mengalami menopause,
menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis
Faktor Risiko yang Memengaruhi Terjadinya Osteoporosis Pada Ibu Menopause
di Desa Pantai Gemi Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat Tahun
2019”.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
a. Apakah faktor usia mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause ?
b. Apakah faktor aktivitas fisik mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada
wanita menopause ?
c. Apakah faktor merokok mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause ?
d. Apakah riwayat keluarga mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause ?
8
e. Apakah ada faktor riwayat fraktur mempengaruhi terjadinya osteoporosis pada
wanita menopause
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dalam penelitian ini yaitu untuk mengetahui faktor risiko
yang memengaruhi terjadinya osteoporosis pada ibu menopause di Desa Pantai
Gemi Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat tahun 2019.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh faktor usia dengan terjadinya osteoporosis pada
wanita menopause.
b. Untuk mengetahui pengaruh faktor aktivitas fisik dengan terjadinya
osteoporosis pada wanita menopause.
c. Untuk mengetahui pengaruh faktor merokok dengan terjadinya osteoporosis
pada wanita menopause.
d. Untuk mengetahui pengaruh riwayat keluarga dengan terjadinya osteoporosis
pada wanita menopause.
e. Untuk mengetahui faktor riwayat fraktur dengan terjadinya osteoporosis pada
wanita menopause.
9
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini yaitu:
a. Reponden/Wanita
Bagi wanita yang memasuki usia menopause (diatas 50 tahun) diharapkan
mengerti tentang faktor risiko penyebab terjadinya osteoporosis sehingga
dapat mengambil tindakan pencegahan sebelum osteoporosis semakin parah
dan menimbulkan dampak yang buruk seperti patah tulang/fraktur, keropos
tulang dan rasa nyeri pada tulang yang luar biasa.
b. Puskesmas
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan referensi untuk dapat
memberikan bimbingan dan perhatian yang lebih kepada ibu yang mulai
memasuki usia menopause tentang pentingnya menjaga kesehatan dan
mencegah dari osteoporosis, karena wanita menopause pada usia diatas 50
tahun lebih berisiko untuk terkena osteoporosis.
c. Peneliti
Diharapkan penelitian ini menjadi sumber ilmu, wawasan serta dapat
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti dalam bidang penelitian
kuantitatif. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan dan
sumber referensi yang menarik perhatian para penelitiyang lain untuk dapat
melakukan penelitian lanjutan dengan variabel lain.
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Peneliti Terdahulu
Penelitian ini dilakukan tidak terlepas dari hasil penelitian terdahulu
yang pernah dilakukan sebagai bahan perbandingan dan kajian. Adapun hasil
penelitian yang dijadikan perbandingan tidak terlepas dari topik penelitian yaitu
Analisis Faktor Risiko yang Memengaruhi Terjadinya Osteoporosis Pada Wanita
Menopause di Desa Pantai Gemi Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat Tahun 2017.
Penelitian yang dilakukan oleh Wisnu Wardhana (2012) tentang faktor
risiko osteoporosis pada pasien dengan usia diatas 50 tahun. Subyek penelitian
adalah pasien RSUP Dr. Kariadi Semarang yang diperiksa densitas tulang
menggunakan alat Dual Dual Energy X–ray Absorptiometry (DEXA). Penelitian
ini menggunakan desain kasus-kontrol. Data yang digunakan adalah data primer
melalui hasil wawancara dan data sekunder dari catatan medik pasien. Data yang
terkumpul diolah dan dianalisis dengan uji bivariat dan multivariat. Total
responden yang diteliti adalah 50 pasien, yaitu 25 pasien osteoporosis sebagai
kasus dan 25 pasien bukan osteoporosis sebagai kelompok kontrol. Variabel yang
terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis adalah jenis kelamin wanita, usia lebih
dari 65 tahun, menopause dini, dan diabetes melitus. Indeks massa tubuh, riwayat
keluarga, riwayat fraktur, konsumsi steroid jangka panjang, konsumsi alkohol,
kebiasaan merokok, sirosis hepatis, hipertiroid, dan gagal ginjal kronik tidak
terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis. Jenis kelamin wanita, usia, menopause
11
dini, dan diabetes melitus merupakan faktor-faktor risiko terjadinya osteoporosis
pada pasien di RSUP Dr. Kariadi Semarang (14).
Penelitian lain juga dilakukan oleh Kridiana (2012) tentang faktor risiko
osteoporosis pada wanita pascamenopause (Studi di Rumah Sakit Umum Daerah
Kota Semarang) Tahun 2011. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik
observasional, menggunakan metode observasional dengan rancangan kasus
kontrol. Populasi 56 penderita osteoporosis di wilayah RSUD Kota Semarang.
Pengambilan sampel menggunakan teknik consecutive sampling. Jumlah sampel
sebanyak 56 orang. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner dengan
wawancara. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat (menggunakan
uji chi square dengan α = 0,05). Dengan uji alternatif uji fisher. Dari hasil
penelitian ini didapatkan usia (p. value = 0,289 > 0,05), indeks massa tubuh (p.
value = 0,259 < 0,05), aktifitas fisik (p. value = 0,087 < 0,05), riwayat keluarga
(p. value = 0,422 > 0,05 ), riwayat fraktur (p. value = 0,319 < 0,05), kortiosteroid
jangka panjang (p. value = 0,089 < 0,05), menopause dini (p. value = 0,343 <
0,05), diabetus mellitus (p. value = 0,429 < 0,05), serosis hati (p. value = 0,130 <
0,05), hipertiroid (p. value = 0,003 < 0,05), gagal ginjal kronik (p. value = 0,141 <
0,05). Berdasarkan hasil uji menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia,
indeks massa tubuh, riwayat keluarga, riwayat fraktur, menopause dini, diabetus
mellitus terhadap Osteoporosis pada wanita pascamenopause (15).
Penelitian serupa dilakukan oleh Marjan & Marliyati (2013) tentang
hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik dengan kejadian
osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. Tujuan penelitian ini adalah
12
untuk mengetahui hubungan antara pola konsumsi pangan dan aktivitas fisik
dengan kejadian osteoporosis pada lansia di Panti Werdha Bogor. Penelitian
ini menggunakan desain cross sectional. Subjek diambil secara purposivedengan
kriteria tertentu dan jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah
37 orang lansia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan
energi dan protein adalah normal, fosfor pada kategori cukup dan kalsium
diklasifikasikan pada kategori kurang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara status gizi, tingkat kecukupan energi, protein, dan fosfor dengan kejadian
osteoporosis (p>0.05). Namun, terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat
kecukupan kalsium dan aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis (p<0.05).
Tingkat kecukupan kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang kurang merupakan
faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis (16).
Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Permatasari, Oktavianus dan
Wicaksono (2013) tentang hubungan aktivitas fisik dan terjadinya osteoporosis
pada wanita pascamenopausedi Poliklinik Bedah Tulang RSUD dokter soedarso
Pontianak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan aktivitas
fisik total yang dilakukan oleh wanita pascamenopause yang mengalami
osteoporosis dan tidak mengalami osteoporosis di RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Metodologi dalam penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
dengan pendekatan case control. Data diambil secara consecutive sampling untuk
27 subjek kasus dan kontrol. Subjek yang memenuhi kriteria diukur densitas
tulang menggunakan densitometri QUS dan menjawab pertanyaan pada kuesioner
aktivitas fisik GPAQ. Data dianalisis secara univariat dan bivariat menggunakan
13
SPSS 20. Hasil terdapat perbedaan bermakna antara aktivitas fisik total dan
terjadinya osteoporosis pascamenopause (p<0,01). Sehingga dapat ditarik
kesimpulan adanya hubungan yang bermakna antara aktivitas fisik total dan
terjadinya osteoporosis pasca menopause (17).
Penelitian selajutnya dilakukan oleh Handayani, Oktavianus, Trianto
(2013) tentang gambaran risiko osteoporosis berdasrkan indeks massa tubuh pada
lanjut usia di Panti Sosial Tresnawerdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya
Tahun 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan
cross sectional. Sebanyak 51 orang lanjut usia dijadikan sampel penelitian
dengan metode total sampling. Berat badan diukur dengan timbangan digital,
tinggi badan diukur menggunakan microtoise staturemeter, Osteoporosis dinilai
melalui pengukuran densitas tulang dengan menggunakan Hologic Sahara
Quantitative Ultrasound Densitometry (QUS) pada tulang calcaneus, yang
digolongkan menjadi 3 yaitu normal, osteoporosis, osteopenia. Hasil: Sebanyak
31 orang lansia (60,8%) mengalami osteoporosis, sebanyak 30 orang lansia
(58,8%) memiliki indeks massa tubuh normal. Osteoporosis terjadi sebanyak
71,4% pada lansia dengan IMT< 17, 100% pada lansia dengan IMT 17-18,4,
60% pada lansia dengan IMT 18,5-24,9, 50% pada lansia dengan IMT 25-27, dan
20% pada lansia dengan IMT >27. Kesimpulan: Kejadian osteoporosis di Panti
Sosial Tresna Werdha Mulia Dharma Kabupaten Kubu Raya terjadi paling
banyak pada lansia dengan IMT 17-18,4, dan paling sedikit pada lansia dengan
IMT >27 (18).
14
Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Pratiwi (2014) tentang faktor yang
berhubungan dengan kejadian osteoporosis di Puskesmas Pondok Betung tahun
2014, Penelitian ini menggunakan desain cross sectional. Data yang digunakan
adalah data primer melalui hasil wawancara dengan responden dan data
sekunder dari catatan buku kunjungan responden di Puskesmas Pondok
Betung Tangerang Selatan. Data yang terkumpul diolah dan dianalisis dengan
uji univariat dan bivariat. Total responden yang diteliti adalah 51 responden,
yaitu semua pasien dengan osteoporosis. Variabel yang terbukti menjadi faktor
risiko osteoporosis adalah usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, konsumsi
kortikosteroid, menopause, aktivitas Fisik dan merokok. Sedangkan yang tidak
terbukti menjadi faktor risiko osteoporosis adalah indeks massa tubuh dan riwayat
Fraktur (19).
Penelitian sejenis lainnya juga dilakukan oleh Januwati, Yunitasari, dan
Nastiti (2015) tentang hubungan antara aktifitas fisik dengan resiko osteoporosis
wanita menopause pada ibu PKK RT 02 RW 01 di Kelurahan Komplek Kenjeran
Surabaya, Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan uji Spearman’s
Rho dengan α = 0.01 diperoleh Nilai Sign.(2tailed) = 0.00 atau < α . Hasil ini
menunjukkan bahwa H1 diterima, artinya terdapat hubungan yang signifikan
antara aktifitas fisik dengan resiko kejadian osteoporosis pada wanita menopouse
di RT 2/ RW 1 kelurahan komplek Kenjeran Surabaya. Nilai koefisien korelasi -
0.699 menunjukkan bahwa korelasi ini memiliki kekuatan yang cukup kuat
dengan arah hubungan negatif atau berlawanan yang artinya jika aktifitas fisik
15
tinggi maka resiko osteoporosis rendah, begitupun sebaliknya jika aktifitas fisik
rendah maka resiko osteoporsis akan tinggi (20).
2.2. Telaah Teori
2.2.1. Osteoporosis
Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang
ditandai dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks
dan mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan
tulang sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang (21). Osteoporosis ditandai
oleh kekuatan tulang yang mengarah kepada peningkatan risiko fraktur,
demikianlah pentingnya kekuatan tulang dalam terjadinya risiko patah tulang.
Sedangkan tulang yang rendah kepadatan tulangnya adalah salah satu faktor risiko
yang paling utama untuk terjadinya fraktur (22).
Pengertian osteoporosis yang telah disepakati oleh Consensus
Development Conference Diagnosis Prophylasisand Treatment of Osteoporsis
tahun 1991 adalah suatu penyakit yang ditandai dengan berkurangnya massa
tulang dan menurunnya mikroarsitektur jaringan tulang, yang menyebabkan
peningkatanfragilitas tulang dan peningkatan risiko fraktur (23).
Secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone
Mineral Density (BMD) yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari 2,5 SD
dari nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone Mineral
Density T-score< -2,5 SD). Osteopenia adalah nilai BMD -1 sampai-2,5 SD dari
orang dewasa muda sehat (21). 13-18% wanita di atas 50 tahun memiliki
osteoporosis dan 37-50% memiliki osteopenia. Kondisi lain yang berkaitan
16
dengan osteoporosis adalah osteopenia yang merupakan keadaan dimana
kepadatan tulang sudah berkurang. Bila kondisi osteopenia terusberlanjut maka
keadaannya dapat berubah menjadi osteoporosis. Dengan kata lain kondisi
osteopenia merupakan tahapan yang sudah berisiko untuk menajdi osteoporosis.
Sebutan lain dari osteoporosis adalah silent diseasekarenapada stadium awal
tidak menimbulkan gejala yang nyata, gambaran radiologi baru jelas bila
penurunan densitas mineral tulang lebih dari 30% (24).
Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik. Dan fraktur osteoporosis
dapat terjadi pada tiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan
kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan
femur proksimal. Definisi tersebut tidak berarti bahwa semua fraktur pada
tempat yang berhubungan dengan osteoporosis disebabkan oleh kelainan ini.
Interaksi antara geometri tulang dan dinamika terjatuh atau kecelakaan
(trauma), keadaan lingkungan sekitar, juga merupakan faktor penting yang
menyebabkan fraktur. Ini semua dapat berdiri sendiri atau berhubungan dengan
rendahnya densitas tulang (23).
A. Epidemologi
Di Amerika Serikat, kira-kira 10 juta orang usia diatas 45 tahun menderita
osteoporosis dan hampir 34 juta dengan penurunan massa tulang yang
selanjutnya berkembang menjadi osteoporosis. Empat dari 5 orang penderita
osteoporosis adalah wanita, tapi kira-kira 2 juta pria di Amerika Serikat menderita
osteoporosis, 14 juta mengalami penurunan massa tulang yang menjadi risiko
untuk osteoporosis. Satu dari 2 wanita dan satu dari 4 pria diatas berusia 50
17
tahun akan menjadi fraktur yang berhubungan dengan fraktur selama hidup
mereka. Di negara berkembang seperti Cina, osteoporosis mencapai proposi
epidemik. Terjadi peningkatan 300% dalam waktu 30 tahun (25).
Data di Asia menunjukkan bahwa insiden fraktur lebih rendah dibanding
populasi kaukasian. Studi juga mendapatkan bahwa massa tulang orang Asia lebih
rendah dibandingkan massa tulang orang kulit putih Amerika, akan tetapi fraktur
pada orang Asia didapatkan lebih sedikit (26).
B. Klasifikasi Osteporosis
Osteoporosis diklasifikasikan sebagai berikut :
a. Osteoporosis Post Menenopause
Terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama pada wanita), yang
membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada wanita.
Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi bisa
muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita mempunyai risiko
yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopause, wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini dari pada wanita kulit hitam.
b. Osteoporosis Senilis
Merupakan akibat dari kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia
dan ketidakseimbangan diantara kecepatan hancurnya tulang dan pembentukan
tulang yang baru. Senilis berarti bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia lanjut.
Penyakit ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun dan 2 kali lebih sering
menyerang wanita. Wanita seringkali menderita osteoporosis senilis dan
postmenopausal
18
c. Osteoporosis Sekunder
Dialami kurang dari 5% penderita osteoporosis. Yang disebabkan oleh
keadaan medis lainnya atau oleh obat-obatan. Penyakit osteoporosis bisa
disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal (terutama tiroid dan
paratiroid) dan obat-obatan kortikosteroid,barbiturat, anti kejang dan hormon
tiroid yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dan merokok bisa
memperburuk keadaan osteoporosis.
d. Osteoporosis Juvelin Idiopatik
Merupakan jenis osteoporosis yang penyebabnya belum diketahui. Hal ini
terjadi pada anak-anak dan dewasa muda yang memilki kadar dan fungsi
hormonal yang normal, kadar vitamin yang normal tidak memiliki penyebab yang
jelas dari rapuhnya tulang (27).
Menurut Ai Sri Kosnayani, osteoporosis dapat diklasifikasikan sebagai
berikut : (28)
a. Osteoporosis Primer
Ada beberapa pendapat tentang osteoporosis, yang paling dikenal ada 2
tipe osteoporosis yaitu : (28)
1) Osteoporosis tipe I ditandai dengan demineralisasi pada tulang belakang
terutama pada bagian lumbar dan tulang lengan. Osteoporosis tipe I l ebih
banyak terjadi pada wanita pascamenopouse yang berumur antara 51-65 tahun
atau 1-15 tahun sesudah menopause, karena itu osteporosis tipe I sering
disebut osteoporosis pascamenopouse yang berhubungan dengan menopause
dan penurunan kadar estrogen.
19
2) Osteoporosis tipe II ditandai dengan demineralisasi pada tulang belakang,
pelvis, humerous dan tibia. Terjadi pada laki-laki dan perempuan yang
berumur diatas 70-75 tahun. Pada osteoporosis tipe II, tulang trubekular dan
kortikal dipengaruhi oleh peningkatan umur yang mengakibatkan menurunnya
aktifitas sel tulang terutama aktivitas osteoblas. Faktor lain yang
mempengaruhi terjadinya osteoporosis tipe II adalah penurunan sintesis
kalsitriol yang disebabkan oleh menurunnya aktifitas enzim 1-hydroxylase
dalam ginjal dan penurunan absorbsi kalsium intestinal karena penuaan. Jika
ini terjadi keadaan akan berlipat ganda apabila ditambah dengan rendahnya
asupan kalsium dan atau tingginya asupan fosfor yang memacu peningkatan
konsentrasi hormon paratiroid karena tingginya konsentrasi hormon paratiroid
darah akan merangsang hormon resorpsi tulang dan meningkatkan
demineralisasi tulang. Menurut Kosnayani, Osteoporosis tipe II disebut juga
senile Osteporosis, dimana osteoprosis tipe I dan tipe II mempunyai
perbedaan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Perbedaan Osteoporosis Tipe I dan Tipe II
No. Parameter Osteoporosis
Tipe I (Menopause) Tipe II (Senile)
1 Umur 55-57 tahun >75 tahun
2 Rasio 6;1 2;1
3 Bone Loss Trabelukar >
Kortek
Trabelukar =
Kortek
4 Patah Tulang Spinal Fremur tulang
5 Penyebab Utama Estrogen Berkurang Umur
6 Pentingnya Kalsium
Dalam Diet
Kurang Sangat Penting
20
No. Parameter Osteoporosis
Tipe I (Menopause) Tipe II (Senile)
7 Absorbsi Kalsium Turun Turun
8 Hormon Paratyroid Turun Naik Sumber: Ai Sri Kosnayati (2007)
b. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya,
yaitu karena adanya penyakit lain yang mendasari, definisi atau konsumsi obat
yang dapat menyebabkan osteoporosis.
1) Penyebab Genetik
(a) Kistik fibrosis
(b) Ehlers – Danlos Syndrome
(c) Penyakit penyimpanan glikogen
(d) Penyakit Gaucher
(e) Hemokromatosis
(f) Homosistinuria
(g) Hiperkalsiura idiopatik
(h) Sindroma marfan
(i) Osteogenesis imperfekta
2) Keadaan Hipogonad
(a) Insensitifitas androgen
(b) Anoreksia nervosa / bulimia nervosa
(c) Hiperprolaktinemia
(d) Menopause prematur
3) Gangguan endokrin
(a) Akromegali
21
(b) Insifisiensi adrenal
(c) Sindroma Cushing
(d) Diabetes Melitus
(e) Hiperparatiroidism
(f) Hipertiroidisme
(g) Hipogonadism
(h) Kehamilan
(i) Prolaktinoma
4) Gangguan yang diinduksi obat
(a) Glukokortikoid
(b) Heparin
(c) Antikonvulsan
(d) Barbiturate
(e) Antipsikotik
C. Patogenesis Osteoporosis
Tulang merupakan jaringan ikat yang dinamik dalam metabolisme
pembentukan dan penyerapan tulang yang dinamakan bone remodeling yang
merupakan fungsi 2 sel tulang yaitu osteoblas dan osteoklas. Dalam masa
pertumbuhan bone remodeling atau sampai mencapai puncak pada usia dekade ke
3 dan kemudian bergeser kearah penyerapan lebih banyak akibat proses
degenerasi, sehingga terjadi osteoporosis yang rentan terhadap timbulnya fraktur.
Kegiatan osteoblas dan osteoklas dipengaruhi oleh multi-faktor. Etiologi pada
manula mungkin karena menurun, defisiensi Vitamin D, perubahan hormonal
22
(estrogen, PTH, kalsitonin) serta kegiatan fisik yang menurun atau gaya hidup
(29).
Tulang terdiri dari dari 2 bagian yaitu bagian dalam yang terdiri dari
tulang trabekula berbentuk seperti sarang lebih (spongiosa) dan bagian luar yang
padat (korteks) yang pada proses penuaan, trabekula berkurang dan tulang
korteks menipis sebagai akibat dari metabolisme negatif (artinya katabolik lebih
dasar dari anabolik) karena pengaruh hormonal dan hal ini jelas tampak bahwa
ostepenia/osteoporosis lebih sering terdapat pada wanita pasca menopause karena
berkurangnya estrogen. Kegiatan osteoblas yang berasal dari mesenchym
bermigrasi membentuk matrik kolagen yang kemudian akan terjadi osteosit
(mengalami mineralisasi dan terbentuknya tulang baru) yang berperan dalam
pengaturan kecepatan bone turnover, secara lokal yang dipengaruhi pula oleh
faktor mekanik. Osteoklas yang merupakan sel dengan banyak inti berasal dari
makrofag sumsum tulang atau dari monosit dalam sirkulasi yang disebut
preosteoklas, berfungsi dalam proses penyerapan resorpsi tulang.
Siklus remodeling tulang dimulai dengan aktifitas dari resorpsi tulang
oleh aktivitas osteoklas sehingga terbentuk Lakuna Howship pada trabekula dan
Haversian pada korteks, diikuti dengan pengendapan substansi semen oleh
selmonokuler dan terjadilah pembatasan antara bagian resorpsi dan pembentukan
tulang baru. Estrogen juga merangsang growth factor yang menyebabkan
pembentukan tulang. Oleh karena itu pada masa pertumbuhan, pembentukan
tulang lebih banyak dari kerusakan yang mencapai puncaknya pada usia dekade
ke 3 dan kemudian setelah usia 30 aktivitas osteoklas tidak dapat diimbangi oleh
23
osteoblas, karena penurunan kadar estrogen akibat proses degenerasi rangsangan
pada osteoblas kurang, sehingga terjadilah keadaan yang disebut osteopenia
(BMD-1SD dan -2,5 SD dari T-score). Apabila terus berlanjut akan terjadi
osteoporosis (-5 SD dari T-score atau kurang) dengan risiko timbulnya fraktur
pada cedera yang ringan (29).
Massa tulang pada orang dewasa yang lebih tua setara dengan puncak
massa tulang puncak yang dicapai pada usia 18-25 tahun dikurangi jumlah
tulangyang hilang. Puncak massa tulang sebagian besar ditentukan oleh faktor
genetik, dengan kontribusi dari gizi, status endokrin, aktifitas fisik dan kesehatan
selama pertumbuhan. Proses remodeling tulang yang terjadi bertujuan untuk
mempertahankan tulang yang sehat dapat dianggap sebagai program
pemeliharaan, yaitu dengan menghilangkan tulang tua dan menggantikannya
dengan tulang baru. Kehilangan tulang terjadi ketika keseimbangan ini berubah,
sehingga perpindahan tulang berjumlah lebih besar daripada penggantian tulang.
Ketidakseimbangan ini dapat terjadi karena adanya menopause dan bertambahnya
usia (29).
Pemahaman pathogenesis osteoporosis primer sebagian besar masih
deskriptif. Penurunan massa tulang dan kerapuhan meningkat dapat terjadi karena
kegagalan untuk mencapai puncak massa tulang yang optimal, kehilangan tulang
yang diakibatkan oleh resorpsi tulang meningkat atau penggantian kehilangan
tulang yang tidak adekuat sebagai akibat menurunnya pembentukan tulang. Selain
itu, analisis pathogenesis osteoporosis harus mempertimbangkan heterogenitas
ekspresi klinis (29).
24
D. Diagnosis Osteoporosis
Diagnosis penyakit osteoporosi kadang-kadang baru diketahui setelah
terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan tangan atau
patah tulang lainnya pada lanjut usia, baik pria maupun wanita (30). Diagnosis
osteoporosis dulunya ditentukan dengan sinar-X biasa. Namun dengan cara ini
berkurangnya massa tulang baru terlihat setelah kehilangan 40% dari massa
tulang. Setelah tahun 1980an dikembangkan metode baru yang lebih akurat untuk
mengukur kepadatan tulang yang dikenal dengan “Bone Mineral Density”(BMD)
tes. Metode ini tidak menyebabkan rasa sakit dan noninvasif scan serta dosis
radiasinya sangat rendah. Tes ini sebaiknya dilakukan bagi orang-orang yang
mempunyai faktor risiko tinggi untuk menderita osteoporosis (31).
BMD atau tingkat densitas tulang merupakan prediktor paling kuat
terhadap kejadian fraktur. Risiko fraktur pada orang dewasa dua kali rata-rata
terhadap pengurangan SD (standar deviasi) pada variasi pengukuran (tulang
rusuk, pinggul dan pergelangan tangan). Maksudnya adalah risiko fraktur pada
seorang individu dengan BMD dibawah 20% dari populasi adalah lima kali lebih
tinggi dibandingkan dengan individu lain dengan usia dan jenis kelamin yang
sama (32).
WHO menentukan aturan terhadap pengukuran BMD sebagai diagnosis
penyakit osteoporosis.
a) Normal: densitas tulang kurang dari 1 standar deviasi dibawah rata-rata
dewasa muda (T>-1).
25
b) Osteopenia : densitas tulang antara 1 standar deviasi dan 2,5 standar deviasi
dibawah rata-rata dewasa muda normal (-2,5< T < -1).
c) Osteoporosis: densitas tulang lebih dari 2,5 standar deviasi dibawah rata-rata
dewasa muda normal (>- 2,5).
Meskipun berbagai kriteria densitometrik digunakan untuk mendifinisikan
osteoporosis, kriteria berdasarkan pengukuran masa tulang, umumnya yang
paling banyak diterima dan digunakan. Beberapa metode BMD tes yang saat ini
sering dilakukan antara lain:
a. DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry)
Ada beberapa cara untuk mengukur massa tulang, namun yang paling
sering digunakan adala DXA (Dual energy X-ray Absorptiometry). Metode ini
mengukur massa tulang di pinggul, pergelangan tangan, tulang belakang atau
seluruh rangka dan sering disebut dengan scan tulang. Nilai massa tulang yang
didapat dari pengukuran ini disebut kerapatan mineral tulang (BMD=Bone
Mineral Density) sedangkan nama umum untuk pengukuran tulang adalah
densitometri tulang. Untuk mengukur massa tulang dengan scan tulang, pasien
perlu berbaring. Sebuah bantal diletakkan di bagian bawah paha agar tulang
belakang bagian bawah berada dalam posisi selurus mungkin selama pengukuran.
Batang logam tipis bergerak dari atas ke bawah daerah yang diukur dan pasien
perlu masuk kedalam tabung, seperti mesin scan lainnya. Pasien tidak perlu
menanggalkan baju, hanya saja pakaian yang mengandung logam perlu
ditinggalkan sebelum pengukuran. Selain itu, tidak perlu penyuntikan atau
prosedur lain yang menyusahkan (33).
26
b. QST (Quantitative Computed Tomography)
Dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang belakang bagian
bawah (low spine), tempat dimana biasa mengalami perubahan massa tulang
paling sering pasa usia lanjut. QCT digunakan untuk mengukur kepadatan tulang
lengan bawah. Dosis radiasi pada tes ini lebih besar 10 kali dari pada DXA dan
juga lebih mahal (31).
c. QUS (Quantitative Ultrasound)
Tes ini menggunakan gelombang suara, dapat digunakan untuk mengukur
kepadatan tulang tumit, tulang kering (tibia) dan jari-jari. Massa tulang juga bisa
diukur dengan gelombang ultrasonik, caranya disebut peredaman gelombang
ultrasonik (BUA= broadband ultrasoun attenuation). Cara ini biasa digunakan
untuk mengukur tulang tumit (tulang kalkaneus), biasanya kaki direndam dalam
air. Cara ini tidak menggunakan radiasi, oleh karena itu sangat aman (33).
Osteoporosis dinilai dengan menggunakan Hologic Sahara Quantitative
Ultrasound Densitometry (QUS) pada tulang calcaneus. Alat ini memiliki 2
membran transduksi BUA dengan diameter 19 mm yang ditempelkan pada tumit
melalui bantalan elastomerik yang diolesi dengan gel. Alat ini dapat bekerja pada
suhu lingkungan antara 15°C hingga 37,7° C dan kelembaban relatif 20% hingga
80%. Alat ini menggabungkan pengukuran BUA (desibel per megahertz) dan
SOS(meter per detik) pada zona sentralcalcaneus, untuk mengetahui perkiraan
densitas mineral tulang tumit (Heel Bone Mineral Density) yang kemudian
ditampilkan sebagai skor T yang dihitung berdasarkan persamaan: HBMD
(gram/cm2) = 0,002692 × (BUA+SOS) – 3,687 (30).
27
Quantitative Ultrasound mengukur densitas massa tulang dengan
mengukur kecepatan dan jumlah suara yang ditransmisikan ke tulang dan alat ini
dapat digunakan pada tulang dengan jaringan lunak dalam jumlah sedikit seperti
calcaneus atau tumit. Calcaneus terdiri atas 95% tulang trabekular. Menurut
penelitian ultrasound pada tumit merupakan prediktor risiko fraktur yang lebih
baik dibandingkan ultrasound pada phalanges. Kecepatan suara lebih tinggi pada
tulang yang padat dan lebih rendah pada tulang yang tidak padatatau tulang yang
memiliki banyak rongga (34).
E. Gejala Osteoporosis
Kepadatan tulang berkurang secara perlahan (terutama pada penderita
osteoporosis senilis), sehingga pada awal osteoporosis tidak menimbulkan gejala.
Namun, kemudian muncullah gejala-gejala seperti :
a. Nyeri terus-menerus yang tidak kunjung hilang
Jika kepadatan tulang sangat berkurang sehingga tulang menjadi menipis,
timbulah nyeri tulang dan kelainan bentuk. Menipisnya tulang belakang
menyebabkan nyeri punggung menahun. Tulang belakang yang rapuh bisa
patah secara spontan atau terkena cedera ringan. Biasanya nyeri timbul secara
tiba-tiba dan dirasakan di daerah tertentu di punggung, yang akan bertambah
nyeri jika penderita berdiri atau berjalan. Jika disentuh, daerah tersebut akan
terasa sakit, akan tetapi biasanya rasa sakit akan menghilang secara bertahap
setelah beberapa minggu atau bulan (35).
28
b. Tubuh memendek
Ketika beberapa tulang belakang hancur, akan terbentuk kelengkungan yang
abnormal dari tulang belakang yang menyebabkan ketegangan otot dan
timbul rasa sakit. Tulang lain bisa ikut patah, kerap kali disebabkan oleh
tekanan ringan atau karena jatuh.
c. Mudah menderita patah tulang terutama tulang pinggul
d. Disertai gejala menopause: panas, banyak keringat, keputihan, dan susah tidur
e. Pascamenopause : pelupa, nyeri tulang belakang (35).
F. Patofisiologi Osteoporosis
Didalam kehidupan, tulang akan selalu mengalami proses perbaharuan.
Tulang memilki 2 sel, yaitu osteoklas (bekerja untuk menyerap dan
menghancurkan/merusak tulang) dan osteoblas (sel yang bekerja untuk
membentuk tulang). Tulang yang sudah tua dan pernah mengalami keretakan,
akan dibentuk kembali. Tulang yang sudah rusak tersebut akan diidentifikasi oleh
sel osteosit (sel osteoblas menyatu dengan matriks tulang). Kemudian terjadi
penyerapan kembali yang dilakukan oleh osteoklas dan nantinya akan
menghancurkan kolagen dan mengeluarkan asam (35). Dengan demikian tulang
yang sudah diserap osteoklas yang berasal dari prekusor di sumsum tulang
belakang setelah sel osteoklas hilang (33).
Endokrin mengendalikan proses remodeling tersebut dan hormon yang
mempengaruhi yaitu hormon paratiroid (resopsi tulang menjadi lebih cepat) dan
estrogen (resorpsi tulang akan menjadi lama). Sedangkan pada osteoporosis,
terjadi gangguan pada osteoklas, sehingga timbul ketidakseimbangan antara kerja
29
osteoklas dengan osteoblas. Aktivitas sel osteoklas lebih besar daripada
osteoblas. Dan secara menyeluruh massa tulangpun akan menurun, dan akhirnya
terjadilah pengeroposan tulang pada penderita osteoporosis.
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang
sehingga mengakibatkan kerapuhan. Terjadinya osteoporosis secara seluler
disebabkan oleh karena jumlah dan aktifitas sel osteoklas melebihi dari jumlah
dan aktifitas sel osteoblas (sel pembentuk tulang). Keadaan ini mengakibatkan
penurunan masa tulang. Selama pertumbuhan, tubuh meningkat dalam ukuran
dengan pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada
permukaan luar korteks. Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama, yaitu:
untuk memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang rangka untuk
mempertahankan kekuatan tulang rangka dan mensuplai kalsium dari tulang
rangka untuk mempertahankan kalsium serum. Remodeling dapat diaktifkan oleh
kerusakan mikro pada tulang sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress.
Kebutuhan akut kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas
sebagaimana juga transport kalsium oleh osteosit, peningkatan remodeling tulang
dan kehilangan jaringan tulang secara keseluruhan (31).
Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang bersikulas,
termasuk estrogen, androgen, vitamin D dan hormon paratiroid (PTH), demikian
juga faktor pertumbuhan yang diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGF-II,
transforming growth factor (TGF), parathyroid hormone-related peptide
(PTHrP), ILs, prostaglandin dan anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF).
Faktor ini secara primer memodulasi kecepatan dimana tempat remodeling baru
30
teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh osteoklas, diikuti
oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang baru disintesis oleh
osteoblas. Sitokin bertanggung jawab untuk komunikasi diantara osteoblas, sel-
sel sumsum tulang lain dan osteoklas telah diidentifikasi sebagai RANK ligan
(reseptor activator dari NF-kappa-B; RANKL) RANKL, anggota dari keluarga
TFN, disekresi oleh osteoblas dan sel-sel tertentu dari system imun (36).
Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktifitas
RANK dan RANKL merupakan suatu jalur final umum dalam perkembangan
dan aktifitas osteoklas. Umpan hormonaluntuk RANKL, juga disekresi oleh
osteoblas, desebut sebagai osteoprotegerin. Modulasi perekrutan dan aktifitas
osteoklas tampaknya berkaitan dengan interaksi antara tiga faktor ini. Pengaruh
tambahan juga termasuk gizi (khususnya asupan kalsium) dan tingkat aktifitas
fisik. Ekspresi RANKL diinduksi di osteoblas, sel-T teraktivasi, fibroblast sinoval
dan sel-sel stroma sumsum tulang. Ia terikat ke reseptor ikatan-membran RANK
untuk memicu diferensiasi, aktivitas, dan survival osteoklas. Sebaliknya ekpresi
osteiproteregin (OPG) diinduksi oleh faktor yang menghambat katabolisme tulang
memicu efek anabolkc. OPG mengikat dan menetralisir RANKL, memicu
hambatan osteoklastogenesis dan menurunkan survival osteoklas yang
sebelumnya sudah ada. RANKL, aktivator reseptor faktor inti NBF, PTH,
hormone paratiroid, PGE2, prostaglandin E2, TNF, tumor necrosis factor, LIF,
Leukimia inhibitory factor, TP, thrombospondin, PDGF, platelet-derived growth
factor, OPG-L, osteoprotegerin-ligand, IL, interleukin, TGF-, transforming
31
growth factor. Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi oleh jumlah yang
seimbang jaringan tulang baru (21).
Masa tulang rangka tetap konstan setelah massa puncak tulang sudah
tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30-45 tahun, proses resorpsi dan formasi
menjadi tidak seimbang dan resorpsi melebihi formasi. Ketidakseimbangan
ini dapat dimulai pada lokasi tulang rangka yang berbeda, ketidakseimbangan
ini terlebih pada wanita setelah menopause. Kehilangan massa tulang yang
berlebih dapat disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu
penurunan aktivitas osteblas. Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang
membuat pengurangan reversible pada jaringan tulang tetapi dapat juga
menghasilkan kehilangan jaringan tulang dan kekuatan biomekanik tulang
panjang (21).
Gambar 2.1 Skema Terjadinya Osteoporosis
Sumber : Wachjudi, 2008
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian steroid dapat
digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama adalah penurunan
pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang. Terapi steroid secara kronik
32
menurunkan umur osteoblast dan meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga
meningkatkan maturasi dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik
secara langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi tulang dan
hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi hormon steroid
seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang juga mengakibatkan
resorpsi tulang (37).
2.2.2. Faktor Risiko Osteoporosis
Faktor risiko osteoporosis pada lanjut usia yang berhubungan dengan
penurunan kualitas hidup dan kepadatan tulang akibat proses penuaan.
A. Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi
a. Faktor Demografi
1) Usia
Usia adalah salah satu dari faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat
direkayasa, Pada lanjut usia daya serap kalsium akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia (7). Setelah usia 40 tahun, akan terjadi peningkatan risiko
fraktur hal ini berkaitan dengan osteoporosis pada laki-laki juga perempuan.
Insiden fraktur distal radius meningkat setelah usia 40 tahun dan meningkat
hingga usia 55 tahun pada laki-laki dan usia 65 tahun pada wanita. Rasio
terjadinya fraktur distal radius antara wanita dan pria adalah 2:1 (pada usia lebih
dari 35 tahun) sedangkan rasionya menjadi 8:1 (setelah usia 80 tahun) (38).
Menurut Ilyas, indonesia pada kurun waktu antara tahun 1990-2050
akan mempunyai kenaikan jumlah lanjut usia (lansia) diatas 50 tahun pada tahun
33
2015 kelak akan mencapai kurang lebih 24 juta orang kira-kira 10% dari
jumlah total penduduk Indonesia yang ada. Pada tahun 2020 jumlah lansia akan
meningkat lagi menjadi 29 juta orang atau menjadi 11,4% dari total penduduk
(39).
Menurut Indonesia White Paper yang dikeluarkan Perhimpunan
Osteoporosis Indonesia (Perosi) pada tahun 2007 yaitu osteoporosis pada wanita
yang berusia di atas 50 tahun mencapai 32,3% dan pada pria usia diatas 50 tahun
mencapai 28,8 %. Secara keseluruhan percepatan proses penyakit osteoporosis
pada wanita Indonesia sebesar 80% dan pria 20% (35). Prevalensi osteoporosis
pada usia kurang dari 55 tahun lebih tinggi pada laki-laki, tetapi setelah usia
diatas 55 tahun ternyata prevalensi osteoporosis lebih tinggi pada perempuan (8).
Tulang mempunyai 3 permukaan, atau biasa disebut juga dengan envelop,
dan setiap permukaan memiliki bentuk anatomi yang berbeda. Permukaan tulang
yang menghadap lubang sumsung tulang disebuut dengan endosteal envelop,
permukaan luarnya disebut periosteal envelop, dan diantara keduanya terdapat
intracortical envelop. Ketika masa anak-anak, tulang baru terbentuk dalam
periosteum melebihi apa yang dipisahkan pada permukaan endosteal dari tulang
kortikal. Pada anak remaja, pertumbuhan menjadi semakin cepat karena
meningkatnya produksihormon seks. Seiring dengan meningkatnya usia,
pertumbuhan tulang akan semakin berkurang (21).
Proporsi osteoporosis lebih rendah pada kelompok lansia dini (usia 55-56
tahun) dari pada lansia lanjut (usia 65-85 tahun). Peningkatan usia memiliki
hubungan dengan kejadian osteoporosis. Jadi terdapat hubungan antara
34
osteoporosis dengan peningkatan usia. Begitu juga denga fraktur osteoporotic
akan meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden fraktur pergelangan tangan
meningkat secara bermakna setelah umur 50 tahun, fraktur vertebra meningkat
setelah umur 60 tahun, dan fraktur pangggul sekitar 70 tahun (40).
b. Faktor Status Kesehatan
1) Riwayat Keluarga
Besarnya puncak massa tulang sangat ditentukan oleh faktor genetik,
terutama diturunkan dari pihak ibu kepada anak wanitanya. Wanita yang dalam
sejarah kesehatan keluarga, nenek atau ibunya, pernah mengalami patah tulang
belakang lebih berisiko mengalami pengurangan massa tulang. Osteoporosis
juga berhubungan dengan adanya riwayat keturunan. Jika memiliki riwayat
keluarga yang menderita osteoporosis diperkirakan 60-80% salah satu anggota
keluarganya akan mudah mengalami patah tulang belakang maka anak
wanita akan lebih muda untuk mengalami penurunan masa tulang lebih
cepat dan lebih berisiko mengalami osteoporosis (41).
2) Riwayat Fraktur
Orang yang pernah mengalami riwayat fraktur akan berisiko terkena
fraktur lagi karena mungkin tulangnya sudah keropos. Pada wanita yang
pernah patah tulang belakang risiko mengalami patah tulang pergelangan
tangan sebanyak 1-2 kali, tulang belakang 4-19 kali dan tulang panggul 2-3 kali.
Pada orang yang pernah mengalami patah tulang pergelangan tangan akan
berisiko mengalami patah tulang pergelangan tangan 3-4 kali, patah tulang
belakang 2-7 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali. Pada orang yang pernah
35
patah tulang panggul akan berisiko mengalami patah tulang belakang 2-3 kali
dan patah tulang panggul 1-2 kali. Beberapa penelitian sebelumnya telah
menyebutkan bahwa, riwayat fraktur merupakan salah satu faktor risiko
osteoporosis (42).
B. Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi
a. Faktor Gaya Hidup
1) Merokok
Kebiasaan merokok juga bisa merusak tulang. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa merokok bisa menurunkan estrogen dan mempercepat
menopause. Suatu penelitian terhadap 300 wanita muda usia 20-29 tahun yang
sehat tapi perokok ternyata BMD tulang relatif lebih rendah. Demikian juga
wanita setelah menopause yang merokok lebih banyak mengalami patah tulang
panggul daripada yang tidak merokok. Penyerapan kalsium di usus orang yang
biasa merokok menjadi terganggu padahal kalsium dibutuhkan untuk
pertumbuhan tulang (27). Dengan berhenti merokok secara total, membuat
estrogen dalam tubuh seseorang beraktifitas dan juga dapat mengeliminasi risiko
kehilangan sel pembentuk tulang selama hidup yang mencakup 20%-30% pada
pria dan 40%-50% pada wanita (43).
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen
sehingga kadar estrogen pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah
daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan
mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat
badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini (kira-kira
36
5 tahun lebih awal) dari pada non-perokok. Berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya yang dilakukan di Padang Pariaman dari 38 responden yang memiliki
riwayat sebagai perokok, sebagian besarnya (86,8%) berada pada tingkat risiko
tinggi osteoporosis (43).
Merokok berhubungan dengan rendahnya kepadatan mineral tulang,
meningkatkan kehilangan massa tulang dan semakin tinggi risiko pada tulang
pada pria. Namun belum diketahui apakah merokok mempengaruhi sirkulasi
level endrogen atau memiliki efek langsung terhadap jaringan tulang (36).
Merokok berhubungan dengan massa tulang yang rendah, mempercepat masa
menopause dan meningkatkan kehilangan massa tulang pada pasca menopouse.
Selain itu pada wanita, merokok juga dapat menurunkan sirkulasi konsentrasi
estrogen yang dapat meningkatkan kerja osteoklas dalam meresorpsi tulang
sehingga menyebabkan tulang kehilangan massanya. Sebuah penelitian yang
dilakukan Ai Sri Kosnayani (2007) menyebutkan bahwa pada saudara kembar
melaporkan bahwa wanita yang merokok satu bungkus rokok selama masa
dewasanya akam mengalami kehilangan massa tulang ekstra sebanyak 5-10%
dari tulang mereka ketika menopause tiba (28).
Adapun klasifikasi perokok berdasarkan jumlah rokok yang dikonsumsi
perhari yaitu sebagai berikut:
(a) Tidak merokok : tidak mengkomsumsi rokok
(b) Perokok ringan : < 10 batang/hari
(c) Perokok sedang : 10-20 batang/hari
(d) Perokok berat : > 20 batang/hari (44).
37
2) Aktifitas Fisik
Orang yang tidak bergerak lama, tidak ada rangsangan gravitasi bumi
atau tekanan mekanik lain, akan membuat banyak mineral tulang hilang dan
menyebabkan tulang menjadi keropos. Kurangnya olahraga dan latihan secara
teratur, menimbulkan efek negatif yang menghambat proses pemadatan massa
tulang dan kekuatan tulang. Namun olahraga yang sangat berlebih (maraton,
atlit) pada usia muda, terutama anak perempuan yang telah haid akan
menyebabkan haidnya terhenti karena kekurangan estrogen sehingga penyerapan
kalsium berkurang dengan segala akibatnya. Kurang gerak badan akan
mengurangi kepadatan tulang, kekuatan dan kebugaran juga akan
membuatkalsium keluar semakin meningkat melalui urin yang akan
menyebabkan tulang menjadi keropos. Pada usia lanjut, kurang gerak badan
menyebabkan lemahnya otot dan meningkatkan risiko jatuh dan patah tulang.
Hasil penelitian menyebutkan bahwa aktivitas fisik di masa lalu dapat
mengurangi risiko terjadinya patah tulang pinggul sebesar 1/3 nya (43).
Aktifitas fisik sangat mempengaruhi pembentukan massa tulang, beberapa
hasil penelitian menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki, berenang, dan
naik sepeda pada dasarnya memberi pengaruh melindungi tulang dan
menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. Aktifitas fisik
sangat mempengaruhi embentuka massa tulang. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki, dan naik sepeda pada dasarnya
memberikan pengaruh melindungi tulang dan menurunkan demineralisasi tulang
karena pertambahan umur (23).
38
Aktivitas fisik harus mempunyai unsur pembebanan pada tubuh atau
anggota gerak dan penekanan pada aksis tulang, seperti jalan kaki, jogging,
aerobik (termasuk dansa) atau jalan naik turun bukit. Aktifitas fisik juga dap at
dilihat dari kebutuhan energi untuk aktifitas yang dilakukan sehari-hari dengan
cara mencatat semua waktu kegiatan dalam satuan jam dan selanjutnya
dikalikan dengan kebutuhan energi untuk tiap jenis aktivitas dalam satuan
kalori/kg berat badan/jam. Kebutuhan energi untuk berbagai aktivitas dapat
dilihat pada tabel berikut:
Tabel 2.2. Kebutuhan Energi Berbagai Aktivitas
Aktivitas Kall/Kg/Jam Aktivitas Kall/Kg/Jam
Bersepeda (cepat)
Bersepeda (sedang)
Bertukang/kayu
(berat)
Menyulam
Berdansa (cepat)
Berdansa (sedang)
Mencuci piring
Mengganti baju
Menyetir mobil
Makan
Mencuci pakaian
Tiduran
Mengupas Kentang
Main pingpong
Menulis
Mengecat Kursi
7,6
2,5
2,3
0,4
3,8
3,0
1,0
0,7
0,9
0,4
1,3
0,1
0,6
4,4
0,4
1,5
Main piano
Membaca keras
Berlari
Menjahit tangan
Menjahit mesin
Menjahit mesin
jahit motor
Menyayi keras
Duduk diam
Berdiri tegap
Berdiri relaks
Menyapu lantai
Berenang
3km/jam
Mengetik cepat
Berjalan 3km/jam
Berjalan
6,8km/jam (cepat)
Berjalan
10km/jam (sangat
cepat)
1,4
0,4
7,0
0,4
0,6
0,4
0,8
0,4
0,6
0,5
1,4
7,9
1,0
2,0
3,4
9,3
Sumber : Ai Sri Kosnayani, 2007
Menurut Muhilal dkk (1994), melalui perhitungan Angka Metabolisme
Basal (AMB) responden dengan menggunakan persamaan menurut FAO (1985):
Wanita dengan usia 30 – 60 tahun : 8,7 BB + 829 kkal
39
Wanita dengan usia > 60 tahun : 10,5 BB + 596 kkal
Aktifitas fisik dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu:
(a) Ringan (jenis kegiatan 25 % waktu yang digunakan untuk duduk atau berdiri,
75% untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi
totalnya (AMB + aktivitas fisik) atau sebesar 1,55 AMB
(b) Sedang (jenis kegiatan 40% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri, 60%
untuk berdiri atau bergerak) untuk wanita kebutuhan energi totalnya (AMB+
aktifitas fisik) atau sebesar 1,70 AMB3.
(c) Berat (jenis kegiatan 75% waktu digunakan untuk duduk atau berdiri,
25% untuk beridir atau bergerak) untuk wanita kebuutuuhan energi totaknya
(AMB+aktifitas fisik) atau sebesar 2,00 AMB.
Adapun aktivitas fisik yang baik seperti berjalan kaki, bersepeda, berlari,
berenang, dan lain-lain berdasarkan waktu pelaksanaan yang baik dan sehat
dilakukan minimal 3 kali setiap minggu selama 30 menit dan menjadi rutinitas.
Adapun kurang dari angka tersebut dikatakan aktivitas fisik atau olahraga yang
buruk dan tidak baik untuk kesehatan (45).
b. Faktor Metabolik
1) Penyakit
Pada orang yang menderita diabetes mellitus atau kencing manis lebih
mudah mengalami osteoporosis. Insulin merangsang pengambilan asam amino
ke sel tulang sehingga meningkatkan pembentukan kolagen. Kontrol gula yang
buruk juga akan memperberat metabolisme vitamin D pada penyakit tiroid atau
gondok. Kadar hormon tiroid tinggi atau berlebihan sehingga menyebabkan
40
penurunan massa tulang, begitu pula pada hipotiroid yang diberi pengobatan
hormon tiroksin. Beberapa penyakitseperti penyakit hati kronis, gagal ginjal
kronis serta beberapa kanker tertentu dikaitkan dengan timbulnya kerapuhan
tulang misalnya kanker sumsum tulang (6).
Penurunan densisitas tulang sering dialami penderita DM, bahkan dapat
terjadi fraktur. Penurunan massa tulang bersama sama dengan onset DM, namun
patogenesisnya masih belum jelas, ada dugaan diakibatkan defisiensi insulin,
terbuangnya kalsium pada saat glikosuria, atau peningkatan resorpsi karena sebab
lain. Pada DM tipe I, telah diamati dalam beberapa penelitian ternyata di dapatkan
gambaran radiologis pada tulang padat terdapat penipisaan struktur tulang.
Hal ini diduga disebabkan akibat kontrol gula darah yang buruk. Tetapi dalam
penelitian yang lebih besar tidak ditemukan hubungan kejadian frantur dengan
DM tipe I. Ketidaksesuaian ini disebabkan adanya perbedaan antara pemeriksaan
densitas tulang dengan tempat terjadinya fraktur. Pengukuran dengan
densitometry ternyata tidak adekuat pada penderita DM tipe Idisebabkan adanya
perbedaan/perubahan berat badan, sedangkan pada penderita dengan risiko tinggi
terhadap osteoporosis biasa terjadi pada tulang berongga biasanya pada penderita
dengan neurapati perifer, yaitu pada pergelangan kaki. Pada DM tipe II, densitas
tulang pada wanita tidak terjadi penurunan. Hal ini disebabkan pembentukan
massa tulang yang lebih daripada normal, yang berhubungan dengan peningkatan
indeks massa tubuh pada DM tipe II. Beberapa penelitian menduga hal tersebut
karena penderita dalam keadaan obese, mungkin juga adanya kadar estrogen dan
amylin yang lebih tinggi pada menopause (43).
41
2.2.3. Menopause
A. Defenisi
Menopause merupakan sebuah kata yang memiliki banyak arti atau makna
yang terdiri dari kata men dan pauseis yang berasal dari bahasa Yunani, yang
digunakan untuk menjelaskan gambaran berhentinya haid atau menstruasi. Hal ini
merupakan akhir proses biologis dari siklus menstruasi, yang dikarenakan
terjadinya perubahan hormon yaitu penurunan produksi hormon estrogen yang
dihasilkan oleh ovarium (46).
Menopause adalah titik dimana menstruasi berhenti. Usia rata-rata
menopause adalah 51,4 tetapi 10% wanita berhenti menstruasi pada usia 40 dan
5% tidak berhenti menstruasi sampai usia 60 tahun. Menopause adalah haid
terakhir, atau saat terjadinya haid terakhir. Menopause terjadi karena penurunan
fungsi indung telur sehingga produksi hormon estrogen yang mengakibatkan
terhentinya atau matinya haid untuk selamanya (47).
Menopause merupakan suatu proses alami yang tak dapat dicegah.
Umumnya, wanita akan memasuki masa menopause pada awal atau pertengahan
usia 50-an.Menopause merupakan fase terakhir, di mana perdarahan haid seorang
wanita berhenti sama sekali. Fase ini terjadi secara berangsur-angsur yang
semakin hari semakin jelas penurunan fungsi kelenjar indur terlurnya (48).
B. Tahap Menopause
Menurut Mulyani (2013) menopause dibagi dalam beberapa tahapan yaitu
sebagai berikut:
42
a. Pra menopause
Fase ini terjadi pada usia 40 tahun dan dimulainya fase klimakterium.
Gejala yang timbul pada masa pramenopause yaitu :
1) Siklus menstruasi menjadi tidak teratur,
2) Perdarahan menstruasi menjadi tidak teratur,
3) Jumlah darah menstruasi menjadi lebih banyak,
4) Adanya rasa nyeri saat menstruasi.
b. Perimenopause
Yaitu fase peralihan antara masa pra menopause dan pasca menopause.
Gejala-gejala yang timbul pada masa perimenopause yaitu siklus menstruasi
menjadi tidak teratur dan siklus menstruasi menjadi lebih panjang.
c. Menopause
Yaitu fase dimana berhentinya menstruasi atau haid terakhir akibat adanya
perubahan kadar hormon dalam tubuh yaitu menurunnya fungsi estrogen dalam
tubuh. Gejala-gejala yang terjadi pada masa menopause yaitu sebagai berikut:
1) Keringat yang biasanya timbul pada malam hari,
2) Lebih mudah marah atau emosi,
3) Sulit istirahat atau tidur,
4) Haid menjadi tidak teratur,
5) Terjadi gangguan fungsi seksual,
6) Badan bertambah gemuk,
7) Sering kali tidak mampu untuk menahan kencing,
8) Stress dan depresi,
43
9) Nyeri otot sendi,
10) Hot flush atau sering disebut panas,
11) Terjadinya kekeringan pada vagina karena berkurangnya produksi lendir
pada vagina,
12) Terjadinya gangguan pada tulang,
13) Gelisah, khawatir, sulit konsentrasi, dan mudah lupa.
d. Post Menopause
Postmenopause adalah kondisi dimana seorang wanita telah mencapai
masa menopause. Pada masa postmenopause seorang wanita akan muda sekali
mengidap penyakit jantung dan pengeroposan tulang (osteoporosis) (49).
C. Penyebab Menopause
Tubuh wanita mempunyai persediaan sel telur atau ovum dengan jumlah
yang terbatas dan masa menopause itu terjadi ketika ovarium atau indung telur
telah kehabisan sel terlur atau ovum, hal ini menyebabkan produksi hormon dalam
tubuh terganggu yaitu berhentinya produksi hormon seks wanita yang tidak lain
adalah hormon estrogen dan progesterone. Hal tersebut mengakibatkan defesiensi
estrogen karena adanya pengurangan jumlah estrogen yang diproduksi oleh
indung telur (49).
Penurunan fungsi hormon dalam tubuh akan menyebabkan terjadinya
penurunan fungsi tubuh dan gejala-gejala menopause akan mulai timbul dan
terasa meskipun menstruasi masih datang. Dengan pengurangan jumlah estrogen
yang diproduksi indung telur mengakibatkan haid tidak teratur, dan akhirnya
berhenti (49).
44
D. Jenis Menopause
Menopause pada wanita terbagi menjadi 2 jenis, diantaranya :
a. Menopause prematur
Menopause prematur adalah suatu keadaan diamana seorang wanita
menjadi lebih mudah untuk mengalami gangguan siklus haid dalam bentuk
hilangnya periode haid selama satu tahun sebelum usia 40 tahun. Menopause yang
terjadi pada usia kurang dari usia 40 tahun adalah suatu keadaan abnormal dan
wanita yang mengalaminya memerlukan perhatian khusus (48).
b. Menopause terlambat
Umumnya batas usia terjadinya menopause adalah usia 52 tahun. Namun
apabila ada seorang wanita yang masih mengalami menstruasi atau dalam arti
masih mengalami menstruasi di usia 52 tahun. Ada beberapa faktor yang
mendorong mengapa di usia 52 tahun masih ada wanita yang mengalami
menstruasi, diantara faktor tersebut adalah konstutisionalm fibromioma uteri dan
tumor ovarium yang menghasilkan estrogen. Wanita dengan karsinoma
endometrium sering dalam anamnesis disebut juga dengan menopause terlambat
(49).
E. Tanda dan Gelaja Menopause
Pada masa menopause wanita akan mengalami perubahan-perubahan.
Perubahan yang dirasakan oleh wanita tersebut adalah : (49)
a. Perubahan Pola Menstruasi (perdarahan)
Perdarahan yaitu keluarnya darah dari vagina. Gejala ini biasanya akan
terlihat pada awal permulaan masa menopause. Perdarahan akan terlihat beberapa
45
kali dalam rentang beberapa bulan dan akhirnya akan berhenti sama sekali. Gejala
ini sering kali disebut dengan gejala peralihan. Apabila perdarahan bertambah
berat ini bisa menjadi tanda suatu masalah yang lebih serius sehingga sebaiknya
melakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada sesuatu yang
membahayakan.
b. Rasa Panas (Hot Flush)
Gejala ini dirasakan mulai dari wajah sampai ke seluruh tubuh. Selain rasa
panas juga disertai dengan warna kemerahan pada kulit dan berkeringat. Rasa
panas ini akan mempengaruhi pola tidur wanita menopause yang akibatnya
seringkali wanita menopause kekurangan tidur. Masing-masing wanita menderita
masalah ini dalam tingkat yang berbeda-beda. Hot flush berlangsung dalam 30
detik sampai 5 menit. Keluhan hot flush berkurang setelah tubuh menyesuaikan
diri dengan kadar estrogen yang rendah.
c. Keluar Keringat di Malam Hari
Keluar keringat di malam hari disebabkan karena hot flushes. Semua
wanita akan mengalami gejolak panas ini. Gejolak panas mungkin sangat ringan
dan sama sekali tidak diperhatikan oleh orang lain. Mungkin hanya terasa seolah-
olah suhu meningkat secara tiba-tiba sehingga menyebabkan kemerahan disertai
keringat yang mengucur siseluruh tubuh anda. Rasa panas ini tidak
membahayakan dan akan cepat berlalu. Sisi buruknya adalah tidak nyaman tetapi
tidak pernah disertai rasa sakit.
46
d. Susah Tidur (insomnia)
Masalah insomnia atau susah tidur akan dialami oleh beberapa wanita
menopause. Selain itu juga wanita menopause akan terbangun pada malam hari
dan sulit untuk tidur kembali.
e. Kerutan pada Vagina
Pada vagina akan terlihat adanya perubahan yang terjadi pada lapisan
dinding vagina, pada masa menopause vagina akan terlihat menjadi lebih kering
dan kurang elastis. Hal ini dikarenakan adanya penurunan kadar hormon estrogen.
Efek dari gelaja ini akan timbul rasa sakit pada saat melakukan hubungan seksual.
f. Gejala Gangguan Motorik
Pada masa menopause aktivitas yang akan dikerjakan semakin berkurang,
hal ini dikarenakan wanita menopause akan mudah merasakan lelah sehingga
tidak sanggup untuk melakukan pekerjaan yang terlalu berat.
g. Sembelit
Proses metabolisme dalam tubuh akan menurun seiring dengan
bertambahnya usia. Hal ini dikarenakan tubuh akan berusaha untuk beradaptasi
dengan kadar estrogen yang baru.
h. Gejala Gangguan Sistem Perkemihan
Kadar estrogen yang rendah akan menyebabkan kadar estrogen menjadi
rendah dan akan menimbulkan penipisan pada jaringan kandung kemih dan
saluran kemih. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan kontrol dari
kandung kemih sehingga sulit untuk menahan buang air kecil.
47
F. Faktor yang mempengaruhi menopause
Menurut Mulyani (2013) faktor yang mempengaruhi menopause adalah
sebagai berikut : (49)
a. Faktor psikis
Keadaan psikis seorang wanita akan mempengaruhi terjadinya monopause.
Keadaan seseorang wanita yang tidak menikah dan bekerja akan mempengaruhi
perkembangan psikis seorang wanita. Menurut beberapa penelitian, mereka akan
mengalami waktu menopause yang lebih mudah atau cepat dibandingkan yang
menikah dan tidak bekerja atau bekerja dan tidak menikah.
b. Cemas
Faktor lain yang mempengaruhi menopause adalah cemas. Kecemasan
yang dialami akan sangat menentukan waktu kecepatan atau bahkan
keterlambatan masa-masa menopause. Ketika seorang perempuan lebih sering
merasa cemas dalah kehidupannya, maka bisa diperkirakan bahwa dirinya akan
mengalami menopause lebih dini. Sebaliknya juga, jika seorang wanita yang lebih
santai dan rileks dalam menjalani hidup biasanya masa-masa menopause-nya akan
lebih lambat. Beberapa hal yang bisa menimbulkan kecemasan antara lain :
keluarga misalnya, hubungan dengan suami apakah suami menerima keadaan istri
dengan baik, hal ini akan berdampak pada kondisi psikologis. Selain itu juga
berkurangnya anggota keluarga juga bisa menjadi penyebab menopause.
c. Usia pada saat pertama haid (menarche)
Semakin mudah seorang wanita mengalami menstruasi pertama kalinya,
maka akan semakin tua atau lama untuk memasuki atau mengalami masa
48
menopause. Wanita yang mendapatkan menstruasi pada usia 16 atau 17 tahun
akan mengalami menopause lebih dini, sedangkan wanita yang haid lebih dini
seringkali akan mengalami menopause sampai pada usianya mencapai 50 tahun.
d. Usia melahirkan
Penelitian yang dilakukan oleh Beth Israel Deaconess Medical Center in
Boston mengungkapkan bahwa wanita yang masih melahirkan diatas usia 40
tahun akan mengalami usia menopause yang lebih tua atau lama. Hal ini
disebabkan karena kehamilan organ reproduksi. Bahkan akan memperlambat
sistem penuaan tubuh.
e. Merokok
Seorang wanita yang merokok akan lebih cepat mengalami masa
menopause. Pada wanita perokok diperoleh usia menopause lebih awal, sekitar
1,5 tahun. Merokok mempengaruhi cara tubuh memproduksi atau membuang
hormon estrogen. Di samping itu juga, beberapa peneliti meyakini bahwa
komponen tertentu dari rokok juga berpotensi membunuh sel telur. Menurut
hampir semua studi yang pernah dilakukan, wanita perokok akan mengalami masa
menopause pada usia yang lebih muda yaitu 43 hingga 50 tahun. Selama
menopause, ovarium wanita akan berhenti memproduksi sel telur sehingga wanita
tersebut tidak bisa hamil lagi.
f. Pemakaian kontrasepsi
Kontrasepsi dalam hal ini yaitu kontrasepsi hormonal. Hal ini dikarenakan
cara kerja kontrasepsi yang menekan kerja ovarium atau indung telur. Pada wanita
49
yang menggunakan alat kontrasepsi hormonal akan lebih lama atau tua memasuki
masa menopause.
g. Sosial ekonomi
Keadaan sosial ekonomi seseorang akan mempengaruhi faktor fisik,
kesehatan, dan pendidikan. Bila faktor tersebut cukup baik, akan mempengaruhi
bebas fisiologis. Kesehatan akan faktor klimakterium sebagai faktor fisiologis.
h. Budaya dan lingkungan
Pengaruh budaya dan lingkungan sudah dibuktikan sangat mempengaruhi
wanita untuk dapat atau tidak dapat menyesuaikan diri dengan klimakterium dini.
i. Diabetes
Penyakit autoimun seperti diabetes melitus menyebabkan terjadinya
menopause dini. Pada penyakit autoimun, antibodi yang terbentuk akan
menyerang FSH.
j. Status gizi
Faktor yang juga mempengaruhi menopause lebih awal biasanya
dikarenakan konsumsi yang sembarangan. Jika ingin mencegah menopause lebih
awal dapat dilakukan dengan menerapkan pola hidup sehat seperti berhenti
merokok, serta mengkonsumsi makanan yang baik misalnya sejak masih muda
rajin mengkonsumsi makanan sehat seperti kedelai, kacang merah, bengkoang,
atau pepaya.
k. Stress
Seperti halnya cemas mempengaruhi menopause, stress juga merupkan
salah satu faktor yang bisa menentukan kapan wanita akan mengalami
50
menopause. Jika seseorang sering merasa stress maka sama halnya dengan cemas,
wanita tersebut akan lebih cepat mengalami menopause.
2.3. Landasan Teori
Landasan teori dalam penelitian ini berdasarkan teori yang disampaikan
oleh Kemenkes dan Tandra mengenai faktor risiko yang menyebabkan terjadinya
penyakit osteoporosis. Berdasarkan teori tersebut, ada dua faktor yang
menyebabkan terjadinya osteoporosis yaitu faktor risiko yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi.
Adapun faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi dalam hal ini adalah
usia dan status kesehatan seseorang. Status kesehatan seseorang yang merupakan
faktor yang tidak dapat dimodifikasi terdiri dari riwayat osteoporosis dalam
keluarga, riwayat fraktur yang pernah dialami, indeks massa tubuh (IMT) dan
pengguna stereoid. Adapun faktor risiko yang dapat dimodifikasi atau dirubah
adalah gaya hidup seseorang. Aktifitas atau kebiasaan seperti merokok dan
olahraga dapat mempengaruhi terjadinya osteoporosis. Fisik yang jarang
melakukan olahraga atau latihan cenderung lebih rentan dan mudah untuk
terserang osteoporosis, begitu juga dengan tubuh seorang perokok aktif akan lebih
mudah untuk terkena osteoporosis daripada seseorang yang tidak merokok dan
rajin untuk melakukan latihan fisik atau olahraga.
51
2.4. Kerangka Konsep
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Sumber : (Modifikasi Kemenkes, 2008 & Tandra, et al., 2009
2.5. Hipotesis
a. Ada pengaruh usia dengan terjadinya osteoporosis pada wanita menopause
b. Ada pengaruh aktivitas fisik dengan terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause
c. Ada pengaruh merokok dengan terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause
d. Ada pengaruh riwayat keluarga dengan terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause
e. Ada pengaruh riwayat fraktur dengan terjadinya osteoporosis pada wanita
menopause
Usia
Faktor Risiko Yang
Tidak Dapat
Dimodifikasi
Osteoporosis
Status Kesehatan:
a. Riwayat Keluarga
b. Riwayat Fraktur
Faktor Risiko Yang
Dapat Dimodifikasi
Gaya Hidup:
a. Merokok
b. Aktivitas fisik
52
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian Mix Methods dengan
jenis penelitian kuantitatif pendekatan cross sectional dan kualitatif pendekatan
studi kasus. Dimana menurut Creswell Mix Methods merupakan pendekatan
penelitian yang mengkombinasikan atau mengasosiasikan bentuk kuantitatif dan
kualitatif. Mix Methods juga merupakan metode penelitian yang memberikan
asumsi bahwa dalam menunjukan arah atau memberi petunjuk tentang cara
pengumpulan dan menganalisis data, serta perpaduan pendekatan kuantitatif dan
kualitatif melalui beberapa fase proses penelitian.
Pada penelitian ini model penelitian yang digunakan yaitu Sequential
Explanatory, peneliti memilih untuk menggunakan sequential explanatory yang
mana peneliti beranjak pada pendekatan kuantitatif kemudian dilanjut dengan
pendekatan kualitatif yang mana akan menganalisis pengaruh variabel
independent terhadap variabel dependent terlebih dahulu untuk mengidentifikasi
mengapa faktor tersebut paling mempengaruhi.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Pantai Gemi Wilayah Kerja Puskesmas
Stabat Kabupaten Langkat. Adapun alasan peneliti melakukan penelitian di desa
karena diwilayah tersebut tingginya kejadian osteoporosis. Hal ini sesuai dengan
53
data yang diperoleh dari rekam medis Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat yang menunjukkan bahwa banyaknya pasien osteoporosis
terutama pada lanjut usia.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada saat seminar proposal selesai hingga sampai
selesai penelitian pada bulan Oktober 2019. Dimulai dari pengumpulan data
dengan menggunakan kuesioner, serta melakukan pengolahan dan analisa data,
selanjutnya melakukan observasi dan wawancara.
3.3. Populasi dan Sampel Pada Pendekatan Kuantitatif
3.3.1. Populasi Pada Pendekatan Kuantitatif
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang telah memasuki usia
menopause. Berdasarkan data dari Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat dari bulan Maret tahun 2018, sebanyak 87 ibu yang dirawat yang telah
memasuki usia menopause.
3.3.2. Sampel Pada Pendekatan Kuantitatif
Sampel dalam penelitian ini diambil menggunakan teknik total populasi.
Dalam penelitian ini jumlah sampelnya adalah 87 orang ibu yang dirawat yang
telah memasuki usia menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten
Langkat.
54
3.4. Metode Pengumpulan Data Pada Pendekatan Kuantitatif
3.4.1. Jenis Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang
mana akan dilakukan dengan menyebarkan kuesioner dan wawancara. Sedangkan
data sekunder dan data tertier yaitu data yang diperoleh dari catatan atau
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penelitian, seperti data sekunder
dalam penelitian ini diperoleh dari data-data rekam medis Puskesmas Stabat
Kabupaten Langkat dan data tertier dalam penelitian ini adalah data-data
pendukung dari berbagai sumber seperti data dari BPS (Badan Pusat Statistik),
data dari RISKESDAS dan data yang didapat dari studi kepustakaan, jurnal, text
book dan lain sebagainya.
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian dilakukan peneliti dimulai
dari melakukan survei awal untuk mendapatkan data-data, mengumpulkan data
dari lapangan yang mengandalkan instrument yang telah dipersiapkan peneliti
berupa kuesioner dan melakukan structured interview langsung kepada
responden.
3.5. Uji Instrumen Penelitian
3.5.1. Uji Validitas
Validitas adalah suatu indeks yang menunjukkan alat ukur itu benar-benar
mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui apakah kuesioner yang kita susun
tersebut mampu mengukur apa yang hendak kita ukur, maka perlu di uji dengan
uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item (pertanyaan) dengan skor total
55
kuesioner tersebut. Bila semua pertanyaan itu mempunyai korelasi yang bermakna
(construct validity). Apabila kuesioner tersebut telah memiliki validitas konstruk,
berarti semua item (pertanyaan) yang ada di dalam kuesioner itu mengukur
konsep yang kita ukur. Pengujian validitas konstruk dengan SPSS adalah
menggunakan korelasi, instrumen valid apabila nilai korelasi (pearson
correlation) adalah positif dan nilai probabilitas korelasi (sig 2-tailed) < taraf
signifikan (α) sebesar 0,05. Uji validitas ini dilakukan kepada 20 responden dan
didapatkan nilai rtabel 0,444.
Tabel 3.1. Hasil Uji Validitas Kuesioner Aktifitas Fisik
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Keadaan Fisik 1 0,929 0,444 Valid
2 0,787 0,444 Valid
3 0,772 0,444 Valid
4 0,793 0,444 Valid
5 0,792 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel aktivitas
fisik menunjukkan bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki
nilai rhitung > rtabel.
Tabel 3.2. Hasil Uji Validitas Kuesioner Merokok
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Merokok 1 0,768 0,444 Valid
2 0,686 0,444 Valid
3 0,790 0,444 Valid
4 0,235 0,444 Tidak Valid
5 0,837 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel merokok
menunjukkan bahwa 4 item soal dinyatakan valid karena memiliki nilai rhitung >
rtabel, sedangkan 1 item soal lainnya dinyatakan tidak validi karena memiliki rhitung
< rtabel.
56
Tabel 3.3. Hasil Uji Validitas Kuesioner Riwayat Keluarga
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Riwayat 1 0,777 0,444 Valid
Keluarga 2 0,571 0,444 Valid
3 0,634 0,444 Valid
4 0,653 0,444 Valid
5 0,609 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel riwayat
keluarga menunjukkan bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki
nilai rhitung > rtabel.
Tabel 3.4. Hasil Uji Validitas Riwayat Fraktur
Variabel No. Soal r-hitung r-tabel Keterangan
Riwayat 1 0,708 0,444 Valid
Fraktur 2 0,859 0,444 Valid
3 0,652 0,444 Valid
4 0,756 0,444 Valid
5 0,697 0,444 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan bahwa dari 5 item soal variabel riwayat
fraktur menunjukkan bahwa seluruh item soal dinyatakan valid karena memiliki
nilai rhitung > rtabel.
3.5.2. Uji Realibitas
Reliabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan. Hal ini berarti menunjukkan
sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau tetap asas bila dilakukan
pengukuran dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan menggunakan
alat ukur yang sama.
Demikian juga kuesioner sebagai alat ukur untuk gejala-gejala social (non
fisik) harus mempunyai reliabilitas yang tinggi. Untuk itu sebelum digunakan,
untuk penelitian harus dites (diuji coba) sekurang-kurangnya dua kali. Uji coba
57
tersebut kemudian diuji dengan tes menggunakan rumus korelasi pearson
(pearson correlation), seperti tersebut di atas. Perlu dicatat bahwa perhitungan
reliabilitas harus dilakukan hanya pada pertanyaan-pertanyaan yang sudah
memiliki validitas. Dengan demikian harus menghitung validitas terlebih dahulu
sebelum menghitung reliabilitas (50).
Tabel 3.5. Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach’s Alpha r-tabel Keterangan
Aktifitas Fisik 0,872 0,444 Reliabel
Merokok 0,687 0,444 Reliabel
Riwayat Keluarga 0,657 0,444 Reliabel
Riwayat Fraktur 0,786 0,444 Reliabel
Berdasarkan hasil uji reliabilitas instrumen diperoleh hasil bahwa nilai uji
reliabilitas diperoleh cronbach’s alpha dari variabel aktifitas fisik sebesar 0,872,
merokok sebesar 0,687, riwayat keluarga sebesar 0,657 dan riwayat fraktur
sebesar 0,786 yang menunjukkan bahwa hasil cronbach’s alpha pada keenam
variabel lebih besar dari nilai rtabel 0,444, sehingga instrumen penelitian
dinyatakan reliabel (handal).
3.6. Variabel dan Definisi Operasional
3.6.1. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah variabel bebas (independen), faktor
usia, faktor aktivitas fisik, faktor merokok, faktor riwayat keluarga dan faktor
riwayat fraktur serta variabel terikat (dependen) yaitu kejadian osteoporosis pada
wanita menopause.
58
3.6.2. Definisi Operasional
Definisi operasional variabel adalah pengertian variabel (yang diungkap
dalamdefinisi konsep) tersebut, secara operasional, secara praktik, secara nyata
dalamlingkup obyek penelitian/obyek yang diteliti.
Adapun definisi operasional adalah sebagai berikut:
1. Usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan ibu.
2. Aktivitas fisik merupakan kondisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh ibu
menopause terkait aktifitas sehari-hari yaitu, sering atau tidaknya berolahraga
(kurang gerak atau cukup gerak) diukur melalui menggunakan kuesioner.
3. Merokok merupakan kondisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh ibu
menopause terkait apakah seorang perokok aktif atau tidak perokok aktif
diukur melalui menggunakan kuesioner.
4. Riwayat keluarga merupakan kondisi ada atau tidaknya riwayat keluarga yang
menderita osteoporosis diukur menggunakan kuesioner
5. Riwayat fraktur merupakan kondisi tentang riwayat fraktur yang pernah
dialami oleh ibu menopause diukur menggunakan kuesioner melalui
wawancara secara langsung
6. Osteoporosis, merupakan kondisi ibu menopause apakah terdiagnosa
osteoporosis atau tidak ada kejadian osteoporosis yang didapatkan dari rekam
medis di Puskesmas Stabat Kab. Langkat.
3.7. Metode Pengukuran
Pengukuran variabel disesuaikan dengan jenis variabel. Penilaian kategori
dilakukan dengan cara menilai jawaban/tanggapan responden terhadap kuesioner
59
yang telah ditentukan berdasarkan jawaban yang diberikan. Adapun metode
pengukuran variabel dapat dilihat pada Tabel. 3.1
Tabel. 3.6 Metode Pengukuran Variabel
No Variabel
X
Cara dan Alat
Ukur
Skala
Pengukuran
Value Skala
Ukur
1 Usia Kueioner
dengan teknik
wawancara
a. 1-50 tahun
b. Lebih 50 tahun
a. <50
b. ≥50
Interval
2 Aktivitas
Fisik
Kueioner
dengan teknik
wawancara
a. 2-0
b. 5-3
a. Baik
b.Tidak Baik
Ordinal
3
4
5
Merokok
Riwayat
Keluarga
Riwayat
Fraktur
Kueioner
dengan teknik
wawancara
Kueioner
dengan teknik
wawancara
Kueioner
dengan teknik
wawancara
a. 2-0
b. 5-3
a. 2-0
b. 5-3
a. 2-0
b. 5-3
a.Baik
b.Tidak Baik
a. Ada
b.Tidak Ada
a.Ada
b. Tidak Ada
Nominal
Nominal
Nominal
No Variabel
Y
Cara dan Alat
Ukur
Skala
Pengukuran Value
Jenis
Skala
Ukur
1 Kejadian
Osteoporosis
Diagnosis
osteoporosis
a. Osteoporosis
b. Tidak
Osteoporosis
a. 1
b. 0
Nominal
3.8. Metode Pengolahan Data
Data yang telah dikumpulkan dari keusioner diolah dengan menggunakan
program perangkat komputer dengan tahap-tahap sebagai berikut:
a. Collecting
Melakukan pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen
kuesioner.
60
b. Checking
Melakukan pemeriksaan kelengkapan jawaban kesioner yang telah
dikumpulkan dengan tujuan agar data diolah secara benar, sehingga
pengolahan data memberikan hasil yang valid dan realiabel; dan terhindar dari
bias.
c. Coding
Setelah data yang diperlukan terkumpul lalu dilakukan proses coding atau
pengkodean menjadi bentuk angka serta pemberian nomor atau kode pada tiap
variabel sesuai dengan jawaban untuk memudahkan entry data.
d. Entering
Kuesioner yang telah dicoding dan dinilai lengkap maka dilakukan entry data
atau mengimput data dari jawaban responden kedalam program atau software
komputer.
e. Data Processing
Melakuan proses pengolahan data yang telah diiunput sesuai dengan
kebutuhan dari penelitian.
3.9. Analisis Data
3.9.1. Analisis Univariat
Analisis univariat merupakan analisis yang menitikberatkan pada
penggambaran atau deskripsi data yang telah diperoleh. Menggambarkan
distribusi frekuensi dari masing-masing variabel bebas dan variabel terikat dalam
bentuk tabel atau grafik. Analisis ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik
setiap variabel penelitian
61
3.9.2. Analisis Bivariat
Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan (kolerasi) antara variabel
dependen dengan variabel independen yang bersangkutan. Uji yang digunakan
pada analisis bivariat ini adalah uji Chi-square dengan menggunakan derajat
kepercayaan 95% dengan batas kemaknaan perhitungan statistik p value 0,05.
Dalam uji ini kemaknaan hubungan dapat diketahui, pada dasarnya uji chi-square
digunakan untuk melihat antara frekuensi yang diamati (observed) dengan
frekuensi yang diharapkan (expected). Apabila hasil perhitungan menunjukan
nilai p < (0,05) maka dikatakan (Ho) ditolak, artinya kedua variabel secara
statistic mempunyai hubungan yang signifikan. Kemudian untuk menjelaskan
adanya asosiasi (hubungan) antara variabel terikat dengan variabel bebas
digunakan analisis tabulasi silang (51).
3.9.3. Analisis Multivariat
Analisis multivariat yaitu analisis multi variabel dalam satu atau lebih
hubungan. Analisis ini berhubungan dengan semua teknik statistik yang secara
simultan menganalisis sejumlah pengukuran pada individu atau objek penelitian.
Analisis multivariat pada penelitian ini bertujuan untuk melihat kemaknaan
keefektifan antara variabel bebas dengan variabel terikat secara simultan dan
sekaligus menentukan faktor bebas mana yang lebih dominan efektif
mempengaruhi variabel terikat. Analisis ini menggunakan teknik komputerisasi
dengan SPSS, dimana uji statistik yang digunakan adalah persamaan regresi linier
berganda (52).
62
3.10. Informan pada Pendekatan Kualitatif
Informan penelitian adalah orang yang telah ditentukan oleh peneliti untuk
memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian.
Informan adalah orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang akan
diteliti dan pengambilan informan pada pendekatan kualitatif ini dilakukan
dengan tehnik pengambilan sampel non-probability sampling yaitu dengan
mengkombinasikan tehnik purposive sampllig dan snowball sampling. Tehnik
pengambilan sampel tersebut dipilih karena peneliti ingin menjaga kualitas data
dan data yang dihasilkan benar dari orang yang dianggap paling tahu tentang apa
yang diharapkan dan mampu memberikan data yang memuaskan.
- Informan kunci pada penelitian ini yaitu orang-orang yang mengalami
permasalahan atau yang akan diteliti. Pada penelitian yang dilakukan informan
kunci ditujukan pada ibu yang dirawat yang telah memasuki usia menopause dan
yang terkena osteoporosis sebanyak 47 orang dan informan penelitian yang di
tetapkan menjadi informan sebanyak 10 orang.
- Informan non kunci yaitu orang-orang yang dianggap mengetahui
permasalahan yang diteliti. Pada penelitian yang akan dilakukan, informan non
kunci ditujukan pada tenaga kesehatan yang ada di wilayah kerja Puskesmas
seperti petugas yang berwewenang dan bertanggung jawab pada program
pemeriksaan osteoporosis, keluarga atau orang terdekat yang berada sekitar ibu
yang telah terkena osteoporosis.
63
3.11. Metode Pengumpulan Data Pada Pendekatan Kualitatif
3.11.1. Jenis Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan data primer yang
mana akan dilakukan dengan wawancara. Sedangkan data sekunder dan data
tertier yaitu data yang diperoleh dari catatan atau dokumen-dokumen yang
berhubungan dengan penelitian seperti data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari data-data rekam medis Puskesmas dan data tertier dalam penelitian
ini adalah data-data pendukung dari berbagai sumber seperti data dari BPS (Badan
Pusat Statistik), data dari RISKESDAS dan data yang didapat dari studi
kepustakaan, jurnal, text book dan lain sebagainya.
3.11.2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan pada natural setting
(kondisi yang alamiah). Metode pengumpulan data dilakukan dengan Qualitative
Observation, dan In-depth Interview (wawancara mendalam) kepada informan
dengan menggunakan pedoman wawancara dan pertanyaan-pertanyaan yang
secara umum tidak terstruktur (unstructured) dan bersifat terbuka (open-ended)
sebagai panduan yang dirancang untuk memunculkan pandangan dan opini dari
para informan atau partisipan. Selanjutnya peneliti melakukan observasi terhadap
informan.
3.12. Analisis dan Interpretasi Data pada Pendekatan Kualitatif
Pada penelitian ini analisis data kualitatif menggunakan analisis data
model interaktif, yang mana data yang kita peroleh berupa kata-kata bukan angka-
angka. Data tersebut berasal dari metode pengumpulan yang bermacam-macam,
64
baik dari observasi, wawancara mendalam maupun dokumentasi. Data-data
tersebut dianalisis dimana prosesnya terdiri dari tiga alur kegiatan yang
berlangsung secara bersamaan yaitu:
1. Reduksi Data (Data Reduction) diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan transformasi data kasar
yang muncul dari catatan-catatan ataupun tulisan dilapangan (field note), dimana
reduksi data berlangsung secara terus menerus selama penelitian yang berorientasi
kualitatif berlangsung
2. Penyajian Data (Data Display) merupakan sekumpulan informasi tersusun
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
keputusan yang terus berkembang menjadi sebuah siklus dan penyajian data bias
dilakukan dalam sebuah matrik
3. Penarikan Kesimpulan/Verifikasi (Verification) merupakan sebagian dari
suatu kegiatan dan konfigurasi yang utuh. Dimana kesimpulan – kesimpulan
diverifikasi selama penelitian berlangsung
Setelah menganalisis data kemudian dilanjutkan dengan keabsahan data
kualitatif yaitu dengan cara triangulasi. Triangulasi dalam penelitian ini adalah
pemeriksaan melalui triangulasi sumber yaitu dengan membandingkan data hasil
pengamatan dengan data hasil wawancara, membandingkan apa yang dikatakan
orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang
waktu, membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai
pandangan dan pandangan orang yang memiliki latar belakang berlainan,
membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berlainan.
65
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak Geografis.
Kabupaten Langkat adalah sebuah kabupaten yang terletak disumatra
utara, Indonesia ibu kotanya stabat. Kabupaten langkat terdiri dari 23 kecamatan
dengan luas 6.272 km2 dan berpenduduk sejumlah 902.986 jiwa. Wilayah
kabupaten langkat terletak pada koordinat 3,140- 4,13
0 LU dan 9,752
0 BT dengan
batas-batas wilayah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Nangro
Darussalam
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo
3. Sebelah Barat berbatasan dengan Prop.NAD dan Tanah Alas
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai
4.1.2. Demografi
Desa Pantai Gemi terletak di Kecamatan Stabat Kabupaten Langkat
Dengan wilayah Desa Pantai Gemi yaitu:
1. Sebelah Barat : Sei Wampu
2. Sebelah Utara : Kw.Binjai
3. Sebelah Timur : Stabat Baru
4. Sebelah Selatan : Pertumbukan
Wilayah Kerja Desa Pantai Gemi seluas 501ha/m, dengan jumlah
penduduk sebanyak 8341 jiwa yang terdiri dari kepala keluarga sebanyak 2167
65
66
KK, jumlah jenis kelamin laki-laki sebanyak 4170 jiwa dan jenis kelamin perempuan
sebanyak 4171 jiwa. Jumlah sarana kesehatan diDesa Pantai Gemi terdapat 7 unit
posyandu, 1 unit puskesmas, penduduk mayoritas suku melayu berjumlah jenis
kelamin laki-laki 2.478 jiwa dan jenis kelamin perempuan berjumlah 2.659 jiwa.
Mayoritas mata pencarian desa pantai gemi adalah petani dengan jenis kelamin laki-
laki berjumlah 501 jiwadan perempuan berjumlah 167 jiwa.
4.1.3. Gambaran Umum Proses Penelitian
Pengumpulan data terlebih dahulu dilakukan pada pendekatan kuantitatif
diperoleh dengan menggunakan data primer dan dilakukan dengan menyebarkan
kuesioner terlebih dahulu dan kemudian dengan wawancara singkat, kemudian
dilanjutkan pendekatan kualitatif pada informan menggunakan metode indepth
interview (wawancara mendalam) serta observasi, Begitu juga dengan petugas
pemegang program osteoporosis yang dijadikan peneliti sebagai informan
pendukung. Sebelum melakukan wawancara mendalam dengan informan, peneliti
mengunjungi petugas untuk mengetahui ibu yang mana saja yang telah mengalami
osteoporosis kemudian peneliti melakukan kunjungan pada tempat tinggal ibu
yang mengalami yang dijadikan informan untuk memulai perkenalan dan
keakraban untuk membangun kepercayaan agar informan dapat memberikan
informasi secara terbuka dengan peneliti dan peneliti memberikan penjelasan
mengenai tujuan dari kunjungan peneliti kepada informan.
Kegiatan wawancara mendalam dilakukan pada petugas pemegang
program osteoporosis di Puskesmas, sedangkan wawancara pada ibu yang
mengalami osteoporosis dan keluarga dilakukan ditempat tinggal informan yang
67
mana waktu dan tempat wawancara disesuaikan dengan waktu luang yang
diberikan oleh informan.
4.2. Hasil Penelitian Kuantitatif
4.2.1. Analisa Univariat
1. Karakteristik Responden
Karakteristik responden meliputi usia, pendidikan dan pekerjaan.
Tabel 4.1. Karakteristik Responden
No Umur Frekuensi %
1 < 50 Tahun 44 50,6
2 ≥ 50 Tahun 43 49,4
Total 87 100,0
Pendidikan
1 SD 31 35,6
2 SMP 30 34,5
3 SMA 21 24,1
4 Sarjana 5 5,7
Total 87 100,0
Pekerjaan
1 IRT 66 75,9
2 Pegawai Swasta 20 23,0
3 PNS 1 1,1
Total 87 100,0
Berdasarkan tabel 4.1 diatas diketahui bahwa karakteristik responden
berdasarkan kategori umur, 44 orang (50,6%) yang berusia <50 tahun dan usia ≥
50 tahun sebanyak 43 orang (49,4%). Karakteristik responden berdasarkan
kategori pendidikan sebanyak 31 orang (35,6%) memiliki tingkat pendidikan SD,
tingkat pendidikan SMP sebanyak 30 orang (34,5%), tingkat pendidikan SMA
sebanyak 21 orang (24,1%), dan tingkat pendidikan sarjana sebanyak 5 orang
(5,7%). Karakteristik responden berdasarkan kategori pekerjaan IRT sebanyak 66
68
orang (76,9%), pegawai swasta sebanyak 20 orang (23,0%) dan PNS sebanyak
sebanyak 1 orang (1,1%)
Pada analisa univariat semua variabel yaitu variabel x dan variabel y akan
diukur dan diolah kedalam sebuah table frekuensi, analisa univariat dari masing –
masing variabel dapat dilihat dibawah ini .
2. Aktifitas Fisik
Distribusi frekuensi berdasarkan aktifitas ibu responden di desa pantai
gemi kec.stabat kab.langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang
dilakukan sesuai skor jawaban tertera pada tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Aktifitas
Fisik
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah anda pernah melakukan olah
raga/aktifitas fisik lainnya sebanyak 3 kali
dalam seminggu?
54 62,1 33 37,9 87 100
2 Apakah anda pernah melakukan gerakan
kaki seperti jalan kaki, joging atau
aerobik?
56 64,4 31 35,6 87 100
3 Apakah anda pernah melakukan kegiatan
bersepeda?
53 60,9 34 39,1 87 100
4 Apakah anda pernah berenang 1 kali
seminggu?
53 60,9 34 39,1 87 100
5 Apakah anda melakukan aktifitas fisik
selama ± 30 menit/hari?
51 58,6 36 41,4 87 100
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban responden
tentang aktifitas fisik, menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1 sebagian besar
responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 54 responden (62,1%). Pada
pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 56
responden (64,6%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden menjawab “Ya”
yaitu sebanyak 53 responden (60,9%). Pada pertanyaan No. 4 sebagian besar
69
responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 53 responden (60,9%). Selanjutnya
pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak
51 responden (58,6%).
Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Aktifitas Fisik
No Aktifitas fisik Frekuensi (f) %
1 Baik 44 50,6
2 Tidak Baik 43 49,4
Total 87 100,0
Distribusi frekuensi berdasarkan kategori aktifitas fisik responden dari 87
responden diketahui sebanyak 44 orang (50,6%) memiliki aktifitas fisik yang baik
dan ibu yang memiliki aktifitas fisik yang tidak baik ada 43 orang (49,4%).
3. Merokok
Distribusi frekuensi merokok pada ibu menopause di desa pantai gemi
kec.stabat kab.langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang dilakukan
sesuai skor jawaban tertera pada table 4.4. berikut.
Tabel 4.4. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Merokok
pada Ibu Menopause
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah anda tidak seorang perokok ? 59 67,8 28 32,2 87 100
2 Apakah anda membenci bau asap rokok? 62 71,3 25 28,7 87 100
3 Apakah anda tidak selalu terpapar oleh
asap dari seorang perokok?
59 67,8 28 32,2 87 100
4 Apakah dilingkungan rumah anda tidak
selalu ada seorang perokok?
57 65,5 30 34,5 87 100
Berdasarkan table 4.4 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang merokok, menunjukkan bahwa pada pertanyaan No. 1 sebagian
besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 59 responden (67,8%). Pada
pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 62
70
responden (71,3%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden menjawab “Ya”
yaitu sebanyak 59 responden (67,8%). Selanjutnya pada pertanyaan No. 4
sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 57 responden (65,5%).
Tabel 4.5. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Merokok pada Ibu
Menopause
No Merokok Frekuensi (f) %
1 Tidak Merokok 53 60,9
2 Merokok 34 39,1
Total 87 100
Distribusi frekuensi berdasarkan kategori merokok responden dari 87
responden diketahui sebanyak 53 orang (60,9%) yang tidak merokok
dikategorikan baik dan ibu yang merokok dikategorikan buruk ada 34 orang
(39,1%).
4. Riwayat Keluarga
Distribusi frekuensi pada riwayat keluarga ibu menopause di desa pantai
gemi kec.stabat kab.langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang
dilakukan sesuai skor jawaban tertera pada table 4.6 berikut.
Table 4.6. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat
Keluarga pada Ibu Menopause
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah ibu anda memiliki riwayat
penyakit osteoporosis?
46 52,9 41 47,1 87 100
2 Apakah ayah anda memiliki riwayat
penyakit osteoporosis?
44 50,6 43 49,4 87 100
3 Apakah kakek/nenek anda memiliki
riwayat penyakit osteoporosis?
46 52,9 41 47,1 87 100
4 Apakah abang/kakak anda memiliki
riwayat penyakit osteoporosis?
45 51,7 42 48,3 87 100
5 Apakah saudara-saudara lain anda
memiliki riwayat penyakit osteoporosis?
51 58,6 36 41,4 87 100
71
Berdasarkan table 4.6 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang variabel riwayat keluarga menunjukkan bahwa pada pertanyaan
No. 1 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 46 responden
(52,9%). Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu
sebanyak 41 responden (47,1%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden
menjawab “Ya” yaitu sebanyak 46 responden (52,9%). Pada pertanyaan No. 4
sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 45 responden (51,7%).
Selanjutnya pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya”
yaitu sebanyak 51 responden (58,6%).
Table 4.7. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Keluarga
pada Ibu Menopause
No Riwayat Keluarga Frekuensi (f) %
1 Tidak Ada 38 43,7
2 Ada 49 56,3
Total 87 100
Berdasarkan tabel 4.7 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi berdasarkan
Kategori riwayat keluarga responden dari 87 responden diketahui sebanyak 38
orang (43,7%) yang tidak mempunyai riwayat keluarga osteoporosis dan yang ada
riwayat keluarga osteoporosis sebanyak 49 orang (56,3%).
5. Riwayat Fraktur
Distribusi frekuensi pada riwayat fraktur ibu menopause di desa pantai
gemi Kec. Stabat Kab. Langkat, berdasarkan hasil penyebaran kuesioner yang
dilakukan sesuai skor jawaban tertera pada table 4.8 berikut.
72
Table 4.8. Distribusi Frekuensi Jawaban Responden pada Variabel Riwayat
Fraktur pada Ibu Menopause
No Pertanyaan
Jawaban
Ya Tidak Total
f % f % f %
1 Apakah anda pernah mengalami patah
tulang?
44 50,6 43 49,4 87 100
2 Apakah anda pernah mengalami cidera
pada bagian tulang ?
42 48,3 45 51,7 87 100
3 Apakah anda pernah mengalami benturan
pada bagian tulang?
44 50,6 43 49,4 87 100
4 Apakah anda pernah mengalami masalah
yang mengakibatkan nyeri pada tulang?
39 44,8 48 55,2 87 100
5 Apakah anda pernah mengalami retak
pada tulang?
52 59,8 35 40,2 87 100
Berdasarkan tabel 4.8 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi jawaban
responden tentang variabel riwayat fraktur menunjukkan bahwa pada pertanyaan
No. 1 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 44 responden
(50,6%). Pada pertanyaan No. 2 sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu
sebanyak 42 responden (48,3%). Pertanyaan No. 3 sebagian besar responden
menjawab “Ya” yaitu sebanyak 44 responden (50,6%). Pada pertanyaan No. 4
sebagian besar responden menjawab “Ya” yaitu sebanyak 39 responden (44,8%).
Selanjutnya pada pertanyaan No. 5 sebagian besar responden menjawab “Ya”
yaitu sebanyak 52 responden (59,8%).
Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Kategori Riwayat Fraktur
pada Ibu Menopause
No Riwayat fraktur Frekuensi (f) %
1 Tidak Ada 39 44,8
2 Ada 48 55,2
Total 87 100
Berdasarkan tabel 4.9 diatas dapat dilihat distribusi frekuensi berdasarkan
Kategori riwayat fraktur responden dari 87 responden diketahui sebanyak 39
73
orang (44,8%) yang tidak ada riwayat fraktur dan yang ada riwayat fraktur
sebanyak 48 orang (55,2%).
4.2.2. Analisa Bivariat
Untuk menjawab rumusan masalah yang diajukan, maka perlu dilakukan
uji untuk mengetahui apakah variabel bebas memengaruhi variabel terikat, uji
yang digunakan adalah uji chi square. Uji chi square merupakan uji komperatif
yang digunakan dalam data di penelitian ini. Uji signifikan antara data yang
diopservasi dengan data yang diharapkan dilakukan dengan batas kemaknaan
(a<0.05) yang aritinya apabila diperoleh p-value <a, berarti ada hubungan yang
signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat dan apabila nilai p<value
berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara variabel bebas dan variabel dan
variabel terikat.
1. Hubungan Faktor Usia dengan Kejadian Osteoporosis
Untuk mengetahui apakah ada hubungan usia dengan kejadian
osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil
pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian usia
dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4.10. Tabulasi Silang Faktor Usia dengan Kejadian Osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Usia
Kejadian Osteoporosis
Tidak
Osteoporosis Osteoporosis Jumlah Sig-p
f % f % F %
0,000 < 50 Tahun 32 36,8 11 12,6 43 49,4
≥ 50 Tahun 3 3,4 41 47,1 44 50,6
Total 35 40,2 52 59,8 87 100
74
Berdasarkan Tabel 4.10. tabulasi silang antara usia dengan kejadian
osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 43 responden (49,4%) yang memiliki
memiliki usia < 50 tahun, sebanyak 32 responden (36,8%) tidak mengalami
osteoporosis dan sebanyak 11 responden mengalami osteoporosis (12,6%).
Selanjutnya sebanyak 44 responden (50,6%) yang memiliki usia ≥ 50 tahun,
sebanyak 3 responden (3,4%) tidak mengalami osteoporosis dan sebanyak 41
responden (47,1%) mengalami osteoporosis.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =
0,000 (< 0,05). Hal ini membuktikan usia memiliki hubungan dengan kejadian
osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
2. Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan Kejadian Osteoporosis
Untuk mengetahui apakah ada hubungan aktifitas fisik dengan kejadian
osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil
pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windwos, hasil pengujian
aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.11. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Aktifitas Fisik dengan
Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Aktifitas
Fisik
Kejadian Osteoporosis
Tidak
Osteoporosis Osteoporosis Jumlah Sig-p
f % f % f %
0,000 Baik 34 39,1 10 11,5 44 50,6
Tidak baik 1 1,1 42 48,3 43 49,4
Total 35 40,2 52 59,8 87 100
Berdasarkan Tabel 4.11. tabulasi silang antara aktifitas fisik dengan
kejadian osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 44 responden (50,6%) yang
memiliki memiliki aktifitas fisik yang baik, sebanyak 34 responden (39,1%) tidak
75
mengalami osteoporosis dan sebanyak 10 responden mengalami osteoporosis
(11,5%). Selanjutnya sebanyak 43 responden (49,4%) memiliki aktifitas fisik
yang tidak baik, sebanyak 1 responden (1,1%) tidak mengalami osteoporosis dan
sebanyak 42 responden (48,3%) mengalami osteoporosis.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =
0,000 (< 0,05). Hal ini membuktikan aktifitas fisik memiliki hubungan dengan
kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
3. Hubungan Faktor Merokok dengan Kejadian Osteoporosis
Untuk mengetahui apakah ada hubungan merokok dengan kejadian
osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil
pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian
aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4.12. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Merokok dengan Kejadian
Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Merokok
Kejadian Osteoporosis
Tidak
Osteoporosis Osteoporosis Jumlah Sig-p
f % f % f %
0,268 Tidak merokok 24 27,6 29 33,3 53 60,9
Merokok 11 12,6 23 26,4 34 39,1
Total 35 40,2 52 59,8 87 100
Berdasarkan Tabel 4.12. tabulasi silang antara merokok dengan kejadian
osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 53 responden (60,9%) yang tidak
merokok, sebanyak 24 responden (27,6%) tidak mengalami osteoporosis dan
sebanyak 29 responden mengalami osteoporosis (33,3%). Selanjutnya sebanyak
34 responden (39,1%) yang merokok, sebanyak 11 responden (12,6%) tidak
76
mengalami osteoporosis dan sebanyak 23 responden (26,4%) mengalami
osteoporosis.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =
0,268 (> 0,05). Hal ini membuktikan merokok tidak memiliki hubungan dengan
kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
4. Hubungan Riwayat Keluarga dengan Kejadian Osteoporosis
Untuk mengetahui apakah ada hubungan riwayat keluarga dengan
kejadian osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows,
hasil pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian
aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4.13. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Keluarga dengan
Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Riwayat
Keluarga
Kejadian Osteoporosis
Tidak
Osteoporosis Osteoporosis Jumlah Sig-p
f % f % f %
0,000 Tidak Ada 32 36,8 6 6,9 38 43,7
Ada 3 3,4 46 52,9 49 56,3
Total 35 40,2 52 59,8 87 100
Berdasarkan Tabel 4.13. tabulasi silang antara riwayat keluarga dengan
kejadian osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 38 responden (43,7%) yang
tidak merokok, sebanyak 32 responden (36,8%) tidak mengalami osteoporosis dan
sebanyak 6 responden mengalami osteoporosis (6,9%). Selanjutnya sebanyak 49
responden (56,3%) yang merokok, sebanyak 3 responden (3,4%) tidak mengalami
osteoporosis dan sebanyak 46 responden (52,9%) mengalami osteoporosis.
77
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =
0,000 (> 0,05). Hal ini membuktikan riwayat keluarga memiliki hubungan dengan
kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. `
5. Hubungan Faktor Riwayat Fraktur dengan Kejadian Osteoporosis
Untuk mengetahui apakah ada hubungan riwayat fraktur dengan kejadian
osteoporosis dilakukan dengan uji silang chi square dengan windows, hasil
pengujian menggunakan bantuan aplikasi spss for windws, hasil pengujian
aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis dapat dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 4.14. Tabulasi Silang Hubungan Faktor Riwayat Fraktur dengan
Kejadian Osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat
Riwayat
Fraktur
Riwayat fraktur
Tidak
Osteoporosis Osteoporosis Jumlah Sig-p
f % f % f %
0,000 Tidak Ada 30 34,5 9 10,3 39 44,8
Ada 5 5,7 43 49,4 48 55,2
Total 35 40,2 52 59,8 87 100
Berdasarkan Tabel 4.14. tabulasi silang antara riwayat fraktur dengan
kejadian osteoporosis, diketahui bahwa sebanyak dari 39 responden (44,8%) yang
tidak ada memiliki riwayat fraktur, sebanyak 30 responden (34,5%) tidak
mengalami osteoporosis dan sebanyak 9 responden mengalami osteoporosis
(10,3%). Selanjutnya sebanyak 48 responden (55,2%) yang merokok, sebanyak 5
responden (5,7%) tidak mengalami osteoporosis dan sebanyak 43 responden
(49,4%) mengalami osteoporosis.
Berdasarkan hasil uji chi-square memperlihatkan bahwa nilai sig-p =
0,000 (> 0,05). Hal ini membuktikan riwayat fraktur memiliki hubungan dengan
kejadian osteoporosis di Wialayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
78
4.2.3. Analisis Multivariat
Analisis data multivariat dilakukan degan uji regresi logistik yang bertujuan
untuk mengetahui adanya pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel
terikat. Besarnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat dilihat dari nilai
Exp (B). Positif atau negatifnya pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat
dilihat dari nilai B, jika bernilai positif berarti mempunyai pengaruh positif, begitu
juga sebaliknya jika bernilai negatif berarti mempunyai pengaruh negatif.
Langkah yang dilakukan dalam analisis regresi logistik adalah menyeleksi
variabel yang akan dimasukkan dalam analisis multivariat. Variabel yang
dimasukkan dalam analisis multivariat adalah variabel yang pada analisis bivariat
mempunyai nilai p < 0,005. Metode yang digunakan dalam analisis regresi
logistik yaitu metode backward. Metode Backward secara otomatis akan
memasukkan semua variabel yang terseleksi untuk dimasukkan ke dalam
multivariat. Secara bertahap, variabel yang tidak berpengaruh akan dikeluarkan
dari analisis. Proses akan berhenti sampai tidak ada lagi variabel yang dapat
dikeluarkan dari analisis.
Tabel 4.15. Uji Regresi Logistik
Variabel B Sig. Exp (B)
Step 1a Usia 2,852 0,046 17,314
Aktifitas Fisik 4,984 0,027 146,106
Merokok -2,742 0,223 0,064
Riwayat Keluarga 3,565 0,018 35,329
Riwayat Fraktur 3,791 0,019 44,310
Constant -7,400 0,001 0,001
Step 2a Usia 2,661 0,044 14,317
Aktifitas Fisik 3,442 0,012 31,259
Riwayat Keluarga 3,607 0,014 36,869
Riwayat Fraktur 3,085 0,035 21,859
Constant -7,822 0,001 0,000
79
1. Uji Regresi Logistik
Berdasarkan tabel 4.15. di atas uji yang dilakukan pada penelitian ini
menggunakan α = 0,05, variabel bebas (independen) yang mempunyai pengaruh
secara signifikan dengan variabel terikat (dependen) adalah sebagai berikut :
a. Apabila sig < α (0,05) maka terdapat pengaruh antara variabel independen
terhadap variabel dependen.
b. Apabila sig > α (0,05) maka tidak terdapat pengaruh antara variabel
independen terhadap variabel dependen.
1) Usia memiliki nilai sig-p 0,044 < 0,05 artinya usia memiliki pengaruh
secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat tahun 2019.
2) Aktifitas fisik memiliki nilai sig-p 0,012 < 0,05 artinya aktifitas fisik
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
3) Riwayat keluarga memiliki nilai sig-p 0,014 < 0,05 artinya riwayat
keluarga memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian
osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
4) Riwayat fraktur memiliki nilai sig-p 0,035 < 0,05 artinya riwayat fraktur
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
Hasil pengujian ini menunjukkan bahwa faktor (usia, aktifitas fisik,
riwayat keluarga dan riwayat fraktur) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
kejadian osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019.
80
2. Odds Ratio
Besarnya pengaruh ditunjukkan dengan nilai Exp (B) atau disebut juga
Odds Ratio (OR) pada uji regresi logistik dapat dilihat pada tabel 4.15.
a. Variabel usia dengan OR 14,317 maka usia ≥ 50 tahun memiliki pengaruh
terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 14 kali lipat dibandingkan usia <
50 tahun. Oleh karena nilai B = Logaritma Natural dari 14,317 = 2,661.
Oleh karena nilai B bernilai positif, usiua mempunyai pengaruh positif
terhadap kejadian osteoporosis.
b. Variabel aktifitas fisik dengan OR 31,259, maka aktifitas fisik yang tidak
baik memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 31 kali
lipat dibandingkan aktifitas fisik yang baik. Nilai B = Logaritma Natural
dari 31,259 = 3,442. Oleh karena nilai B bernilai positif, aktifitas fisik
mempunyai pengaruh positif terhadap kejadian osteoporosis.
c. Variabel riwayat keluarga dengan OR 36,869, maka responden yang
terdapat riwayat keluarga osteoporosis memiliki pengaruh terhadap
kejadian osteoporosis sebanyak 37 kali lipat dibandingkan yang tidak
memiliki riwayat keluarga osteoporosis. Oleh karena nilai B = Logaritma
Natural dari 36,869 = 3,607. Oleh karena nilai B bernilai positif, riwayat
keluarga mempunyai pengaruh positif terhadap kejadian osteoporosis.
d. Variabel riwayat fraktur dengan OR 21,859, maka yang ada riwayat
fraktur memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 22
kali lipat dibandingkan yang tidak memiliki riwayat fraktur. Oleh karena
nilai B = Logaritma Natural dari 21,859 = 3,085. Oleh karena nilai B
81
bernilai positif, riwayat fraktur mempunyai pengaruh positif terhadap
kejadian osteoporosis.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, variabel yang paling besar memiliki
pengaruhnya terhadap kejadian osteoporosis yaitu variabel riwayat keluarga,
dimana responden yang terdpat riwayat keluarga osteoporosis, memiliki pengaruh
terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 37 kali lipat dibandingkan yang tidak
ada memiliki riwayat keluarga osteoporosis.
3. Interpretasi Analisis Regresi Logistic Model Summary
Tabel 4.16. Hasil Analisis Uji Regresi Logistik Model Summary
Step -2 Log Likelihood Cox & Snell R Square Nagelkerke R Square
2 19,324a 0,676 0,913
Tabel 4.16 menunjukkan hasil interpretasi output analisis regresi logistik
model summary, nilai Pseudo R Square menjelaskan kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variabel dependen dengan menggunakan nilai Cox
& Snell R Square dan Nagelkerke R Square. Nilai Nagelkerke R Square sebesar
0,913 dan Cox & Snell R Square 0,676 yang menunjukkan bahwa kemampuan
variabel independen (usia, aktifitas fisik, riwayat keluarga dan riwayat fraktur)
dalam menjelaskan variabel dependen (kejadian osteoporosis) adalah sebesar
0,676 atau (67,6%) dan terdapat 100-67,6 = 32,4% faktor lain (pengetahuan,
sikap, status gizi, pola hidup sehat dukungan tenaga kesehatan dan lain-lain) di
luar model yang menjelas variabel dependen.
82
4.3. Hasil Penelitian Kualitatif
Informan dalam penelitian ini berjumlah 10 orang ibu dan petugas
kesehatan yang mengalami osteoporosis yang berada di wilayah kerja Puskesmas
Stabat.
4.3.1. Karakteristik Informan
Tabel 4.17. Karakteristik Informan
No Informan Karakteristik Informan
1 Informan I Nama : Ny. D
Usia : 58 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
2 Informan II Nama : Ny. A
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : IRT
3 Informan III Nama : Ny. B
Usia : 40 tahun
Jumlah anak : 61 orang
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : PNS
4 Informan IV Nama : Ny. G
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
5 Informan V Nama : Ny.An
Usia : 58 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
6 Informan VI Nama : Ny. K
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
7 Informan VII Nama : Ny.J
Usia : 59 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
8 Informan VIII Nama : Ny.N
Usia : 60 tahun
Pendidikan terakhir : SMP
Pekerjaan : IRT
83
Tabel 4.17. Lanjutan
No Informan Karakteristik Informan
9 Informan IX Nama : Ny.Y
Usia : 58 tahun
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
10 Informan X Nama : Ny.S
Usia : 47 tahun
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Karyawan Swasta
Pada penelitian kualitatif ini informan utama yang diteliti terdiri dari 10
ibu yang mengalami osteoporosis, informan pertama bernama Ny.D dengan
pekerjaan IRT, berusia 58 tahun, informan pertama mengatakan mengalami
osteoporosis dan telah mengalaminya sejak berusia 56 tahun dan dikeluarga Ny.D
tidak ada riwayat bahwasannya keluarga pernah mengalami osteoporosis, Ny.D
juga mengatakan tidak pernah ada riwayat fraktur, Ny.D tidak pernah olahraga
dikarenakan keseharian Ny.D beraktivitas sebagai tukang cuci, Ny.D tidak pernah
merokok. Ny.D juga mengatakan memungkinkan Ny.D mengalami osteoporosis
dikarenakan faktor usianya yang sudah memasuki kategori tua.
Informan kedua bernama Ny.A berusia 60 tahun mengatakan mengalami
osteoporosis dan telah mengalaminya sejak Ny.A berusia 55 tahun. Dalam
keluarga Ny.A tidak ada riwayat bahwasannya pernah mengalami osteoporosis
sebelumnya, Ny.A juga mengatakan tidak pernah ada riwayat fraktur, Ny.A tidak
pernah olahraga dikarenakan Ny.A tidak sempat, Ny.A tidak pernah merokok.
Ny.A mengatakan Ny.A mengalami osteoporosis dikarenakan usianya yang sudah
tua dan didukung dengan pertanyataan petugas puskesmas bahwasannya
osteoporosis sering dialami oleh orang-orang yang lanjut usia.
84
Informan ketiga bernama Ny.B berusia 61 tahun, informan ketiga
mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalaminya baru beberapa bulan dan
Ny.B mengatakan dikeluarga Ny.B tidak ada riwayat bahwasannya keluarga
pernah mengalami osteoporosis, Ny.B juga mengatakan tidak pernah mengalami
fraktur, Ny.B tidak pernah olahraga dikarenakan tidak ada waktu luang untuk
berolahraga, Ny.B tidak pernah merokok. Ny.B juga mengatakan memungkinkan
Ny.B mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usianya yang sudah cukup tua.
Informan keempat bernama Ny.G berusia 60 tahun, informan mengatakan
mengalami osteoporosis dan telah mengalaminya sejak Ny.G berusia 57 tahun dan
Ny.G mengatakan dikeluarga Ny.G tidak ada riwayat bahwasannya keluarga
pernah mengalami osteoporosis, Ny.G juga mengatakan tidak pernah mengalami
fraktur, Ny.G tidak pernah olahraga dikarenakan tidak memiliki waktu luang
untuk berolahraga, Ny.G tidak pernah merokok. Ny.G juga mengatakan
memungkinkan Ny.B mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usian Ny.G
sudah cukup tua.
Informan kelima bernama Ny.An berusia 58 tahun, informan mengatakan
mengalami osteoporosis dan mengalaminya sudah cukup lama yaitu sekitar 3
tahun dan Ny.An mengatakan dikeluarga Ny.An tidak ada riwayat bahwasannya
keluarga pernah mengalami osteoporosis, Ny.An juga mengatakan tidak pernah
mengalami fraktur, Ny.An tidak pernah olahraga dikarenakan tidak ada waktu
luang untuk berolahraga, Ny.An tidak pernah merokok. Ny.An mengatakan
memungkinkan Ny.An mengalami osteoporosis dikarenakan faktor pekerjaan
Ny.A sebagai tukang cuci sehingga Ny.An mengalami osteoporosis.
85
Informan keenam bernama Ny.K berusia 60 tahun, informan mengatakan
mengalami osteoporosis dan telah mengalaminya sejak Ny.K berusia 59 tahun,
dan Ny.K mengatakan dikeluarga Ny.K tidak ada riwayat bahwasannya keluarga
pernah mengalami osteoporosis, Ny.K juga mengatakan tidak pernah mengalami
fraktur, Ny.B tidak pernah olahraga dikarenakan Ny.K harus berjualan sehingga
tidak ada waktu luang untuk berolahraga, Ny.K tidak pernah merokok. Ny.K juga
mengatakan memungkinkan Ny.B mengalami osteoporosis dikarenakan faktor
usianya yang sudah tua.
Informan ketujuh bernama Ny.J berusia 59 tahun, informan mengatakan
mengalami osteoporosis dan mengalaminya sejak 6 bulan belakangan dan Ny.J
mengatakan dikeluarga Ny.J ada beberapa orang yang mengalami osteoporosis
diantaranya Ayah dan kakak Ny.J. Ny.J juga mengatakan tidak pernah mengalami
fraktur, Ny.J jarang berolahraga dikarenakan tidak memiliki waktu luang untuk
berolahraga. Ny.J tidak pernah merokok. Ny.J juga mengatakan memungkinkan
Ny.J mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usianya yang sudah tua.
Informan kedelapan bernama Ny.N berusia 60 tahun, informan
mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalaminya belum lama dan Ny.N
mengatakan ibu dari Ny.N memiliki riwayat mengalami osteoporosis, Ny.N juga
mengatakan tidak pernah mengalami fraktur, Ny.N sebelumnya sering
berolahraga, Ny.N tidak pernah merokok. Ny.N mengatakan memungkinkan
Ny.N mengalami osteoporosis dikarenakan faktor usianya yang sudah tua.
Informan kesembilan bernama Ny.Y berusia 58 tahun, informan
mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalaminya baru 6 bulan dan Ny.Y
86
mengatakan dikeluarga Ny.Y tidak ada riwayat bahwasannya keluarga pernah
mengalami osteoporosis, Ny.Y juga mengatakan tidak pernah mengalami fraktur,
Ny.B tidak pernah olahraga dikarenakan Ny.Y dulunya bekerja mulai pagi hingga
sore hari sehingga tidak ada waktu luang untuk berolahraga, Ny.N tidak pernah
merokok. Ny.B juga mengatakan memungkinkan Ny.B mengalami osteoporosis
dikarenakan faktor usianya yang sudah tua.
Informan kesepuluh bernama Ny.S berusia 47 tahun, informan kesepuluh
mengatakan mengalami osteoporosis dan mengalami gejala osteoporosis sejak 1
tahun yang lalu beriringan dengan kejadian Ny.S mengalami jatuh dari tangga,
Ny.S mengatakan dikeluarga Ny.S tidak ada riwayat bahwasannya keluarga
pernah mengalami osteoporosis, Ny.S tidak pernah olahraga dikarenakan tidak
ada waktu luang untuk berolahraga, Ny.S tidak pernah merokok. Ny.S
mengatakan kemungkinkan Ny.S mengalami osteoporosis dikarenakan Ny.S
jarang mengkonsumsi makanan bergizi.
4.3.2. Deskripsi Matriks Wawancara Pada Informan
Dari hasil wawancara yang dilakukan pada informan yaitu ibu yang
mengalami osteoporosis di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat, di dapat hasil
wawancara bahwasannya terkait faktor resiko terjadinya osteoporosis, dari 10
informan seluruh informan mengatakan terkena osteoporosis, namun berdasarkan
tingkat lamanya informan terkena osteoporosis berbeda-beda, dan asumsi dari
informan terkait faktor penyebab terjadinya osteoporosis dominan informan
mengatakan dikarenakan usia informan yang sudah memasuki usia tua dan 1 dari
10 informan mengatakan pernah mengalami jatuh dan patah tulang namun
87
memungkinkan bukan menjadi faktor penyebab informan tersebut mengalami
osteoporosis. 2 dari 10 informan yang diwawancarai mengatakan memiliki
riwayat osteoporosis pada keluarganya, dan dari 10 informan tidak ada informan
yang merokok.
88
BAB V
PEMBAHASAN
5.1. Pengaruh Usia terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu Menopause
di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat
Variabel usia memiliki nilai sig-p 0,044 < 0,05 artinya usia memiliki
pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel usia menunjukkan nilai OR
14,317 maka usia ≥ 50 tahun memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis
sebanyak 14 kali lipat dibandingkan usia < 50 tahun. Oleh karena nilai B =
Logaritma Natural dari 14,317 = 2,661. Oleh karena nilai B bernilai positif, usia
mempunyai pengaruh positif terhadap kejadian osteoporosis.
Osteoporosis merupakan kondisi atau penyakit dimana tulang menjadi
rapuh dan mudah retak atau patah. Osteoporosis merupakan penyakit tulang
degeratif yang ditandai oleh berkurangnya massa tulang, dan adanya kelainan
mikroarsitektur jaringan tulang selama jangka waktu yang cukup lama.
Bersamaan dengan penuaan, isi mineral tulang menurun secara lebih cepat pada
wanita dari pada laki-laki, dan setelah menopause sampai 8% masa tulang hilang
per dekade. Meskipun itu telah dipercaya efek dari penuaan dan perubahan
hormonal, secara jelas dipercepat oleh kurangnya aktivitas fisik (inactivity).
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul
“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota
Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa, terdapat hubungan
yang signifikan antara usia dengan osteoporosis pada wanita pascamenopause di
88
89
RSUD Kota Semarang. Usia memiliki hubungan dengan kejadian osteoporosis
yang dilihat dari hasil analisia diperoleh p = 0,023 berdasarkan pengambilan
keputusan uji chi square untuk uji hipotesis dimana nilai p < 0,05. Karena nilau
p= 0,023 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna
antara faktor risiko usia dengan terjadinya osteoporosis pada wanita
pascamenopause di RSUD Kota Semarang (15).
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwasanya usia tidak
berpengaruh terhadap terjadinya osteoporosis, dalam penelitian ini terdapat usia
<50 tahun sebanyak 11 orang (12,6%) yang mengalami osteoporosis dan ada 32
orang (36,8%) yang tidak mengalami osteoporosis, sedangkan usia ≥ 50 ibu ada
41 orang (47,1%) yang mengalami osteoporosis dan ada 3 orang (3,4%) yang
tidak mengalami osteoporosis. Semakin bertambahnya usia, makin tinggi resiko
terkena osteoporosis, karena semakin meningkat usia seseorang maka fungsi
organ akan semakin menurun dan peluang untuk kehilangan tulang semakin
meningkat. Sekitar 0,5–1% pada wanita paska menopause dan pria dengan usia
lebih dari 80 tahun kehilangan massa tulang setiap tahunnya, sehingga lebih besar
untuk berisiko osteoporosis. Dengan bertambahnya usia, sel osteoblast akan lebih
cepat mati karena adanya sel osteoclast yang menjadi lebih aktif, sehingga tulang
tidak dapat digantikan dengan baik dan massa tulang akan terus menurun.
Penurunan kepadatan tulang dimulai pada usia 30 tahun ke atas dan
semakin berkurang seiring berjalannya waktu dan usia hidup. Sekitar 35% tulang
padat dan 50% tulang berongga pada wanita akan hilang, sedangkan pada pria
akan berkurang sekitar dua per tiga dari jumlah tersebut. Wanita akan kehilangan
90
tulang lebih banyak daripada pria, karena laju penghancuran tulang meningkat
akibat menopause. Pada usia 80 tahun hampir semua wanita mempunyai massa
tulang lebih sedikit sehingga sangat mudah mengalami patah tulang. Massa tulang
akan berkurang setelah usia sekitar 40 tahun. Penyerapan tulang tulang jauh lebih
cepat dibandingkan dengan proses pembentukan tulang, yang mana kondisi
tersebut juga dipengaruhi oleh kemunduran produksi hormone pengendali seperti
kalsitosin, estrogen dan testosteron. Kalsitosin aktifitasnya mengendur pada saat
menginjak usia 50 tahun, estrogen mulai pada saat usia 40 tahun dan estrogen
pada usia 60 tahun sehingga sering timbul osteoporosis pada usia ini, namun tidak
pada penelitian ini, bahwasannya peneliti menemukan hal yang berbeda dari teori,
penelitian ini menemukan bahwa ibu yang mengalami osteoporosis lebih dominan
berusia <50 tahun dibandingkan ibu yang berusia >50 tahun.
Menurut hasil penelitian ditunjukkan bahwa usia tidak memiliki pengaruh
terjadinya osteoporosis. Hal ini dikarenakan dengan kebiasaan hidup sehat pada
usia berapapun maka terjadinya osteoporosis dapat dihindari. Namun begitu ibu
yang berusia > 50 tahun tidak menutup kemungkinan akan mengalami
osteoporosis, dimana semakin tinggi usia ibu, proporsi osteoporosis juga semakin
besar. Secara teori juga disebutkan bahwa setelah usia 30 tahun, masa tulang yang
hilang akan lebih banyak dari pada masa tulang yang dibentuk, sehingga dengan
meningkatnya usia, masa tulang akan semakin berkurang. Teori menyebutkan
bahwa periode menopause berpengaruh terhadap masa tulang karena adanya
penurunan jumlah hormon estrogen dan progesteron. Dengan adanya penurunan
estrogen sebagai pelindung massa tulang, maka massa tulang akan lebih cepat
91
berkurang. Terjadinya menopause yang lebih awal akan mengakibatkan
penurunan masa tulang yang lebih awal pula.
5.2. Pengaruh Aktifitas Fisik terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu
Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat
Variabel aktifitas fisik memiliki nilai sig-p 0,012 < 0,05 artinya aktifitas
fisik memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel usia
menunjukkan nilai OR 31,259, maka aktifitas fisik yang tidak baik memiliki
pengaruh terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 31 kali lipat dibandingkan
aktifitas fisik yang baik. Nilai B = Logaritma Natural dari 31,259 = 3,442. Oleh
karena nilai B bernilai positif, aktifitas fisik mempunyai pengaruh positif terhadap
kejadian osteoporosis.
Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap
kesehatan yaitu terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker,
tekanan darah tinggi, kencing manis, serta berat badan terkendali, otot lebih lentur
dan tulang lebih kuat, bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional, lebih percaya
diri, lebih bertenaga dan bugar, dan secara keseluruhan keadaan kesehatan
menjadi lebih baik.
Lansia yang tidak aktif dalam beraktivitas fisik memiliki peluang lebih
besar terkena osteoporosis daripada lansia yang aktif beraktivitas fisik.
Peningkatan keseimbangan metabolisme tubuh, pertumbuhan dan penguatan
tulang merupakan manfaat yang dapat dirasakan tubuh apabila banyak bergerak.
Olahraga menggerakkan semua otot tubuh, sehingga akan merangsang tulang
92
untuk bertumbuh dan melatih tulang menjadi lebih kuat, padat dan keras. Semakin
teratur dan rajin berolahraga, maka peredaran darah menjadi semakin baik, dan
nutrisi yang baik akan terus dialirkan ke tulang untuk keperluan pertumbuhan.
Olahraga berguna agar tulang tidak banyak mengalami pengeroposan. Selain itu
olahraga juga menguatkan otot, mengurangi rasa nyeri, melatih keseimbangan
tubuh, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang berjudul
“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota
Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hasil analisia
diperoleh p= 0,354 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi square untuk uji
hipotesis dimana nilai p > 0,05. Karena nilai p= 0,354 > 0,05, maka dapat
dikatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko
aktifitas fisik dengan terjadinya osteoporosis pada wanita pasca menopause di
RSUD Kota Semarang (15).
Selanjutnya penelitian yang dilakuka oleh Renidayati tahun 2011 tentang
Faktor Risiko terjadinya Osteoporosis pada Wanita Menopause, menunjukkan
bahwa 33,3% responden mengalami osteoporosis, 33,3% responden memiliki
badan kurus, 51% responden memiliki aktifitas rendah dari 54,9% responden
memiliki diet buruk. Terdapat hubungan yang bermakna antara ukuran tubuh,
aktifitas (latihan) dan diet dengan kejadian osteoporosis (p=0,000). Disarankan
kepada pimpinan Puskesmas Bangkiang untuk mengeluarkan kebijakan rutin
untuk wanita tentang pentingnya aktifitas (latihan) dan meningkatkawn diet bagi
wanita menopause (53).
93
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bahwasanya ada pengaruh
antara aktifitas fisik terhadap terjadinya osteoporosis, dimana dalam penelitian ini
ditemukan dari 44 orang yang melakukan aktifitas fisik dengan baik terdapat
sebanyak 10 orang (11,5%) yang mengalami osteoporosis dan ada 34 orang
(39,1%) yang tidak mengalami osteoporosis, sedangkan dari 43 ibu yang
melakukan aktifitas tidak baik, sebanyak 42 orang (48,3%) yang mengalami
osteoporosis dan sebanyak 1 orang (1,1%) yang tidak mengalami osteoporosis.
Kebiasaan masyarakat dalam gaya hidup yang kurang sehat dapat memicu
timbulnya resiko osteoporosis lebih cepat, ditambah dengan aktifitas fisik yang
tidak baik yang mengakibatkan keseimbangan kalsium menjadi negatif maka akan
mempercepat terjadinya osteoporosis, biasanya dengan berolahraga menggerakkan
semua otot tubuh, akan merangsang tulang untuk bertumbuh dan melatih tulang
menjadi lebih kuat, padat dan keras. Semakin teratur dan rajin berolahraga, maka
peredaran darah menjadi semakin baik, dan nutrisi yang baik akan terus dialirkan
ke tulang untuk keperluan pertumbuhan.
Olahraga berguna agar tulang tidak banyak mengalami pengeroposan.
Selain itu olahraga juga menguatkan otot, mengurangi rasa nyeri, melatih
keseimbangan tubuh, dan menjaga kesehatan secara keseluruhan, tulang memiliki
kemampuan untuk beradaptasi terhadap beban, semakin besar aktivitas yang
diciptakan oleh latihan maka semakin kuat pula massa tulang. Seseorang yang
jarang melakukan aktifitas fisik akan mengakibatkan turunnya massa tulang dan
dengan bertambahnya usia terutama pada usia lanjut, otot pun akan menjadi
lemah, sehingga akan berpeluang untuk timbulnya patah tulang, sejalan pada
94
penelitian ini terdapat pengaruh antara aktivitas fisik dengan terjadinya
osteoporosis yang mana pada penelitian ini ibu yang mengalami osteoporosis
dominan yang memiliki aktivitas fisik yang buruk.
Menurut peneliti aktifitas fisik sangat mempengaruhi pembentukan masa
tulang, beberapa hasil penelitian menunjukkan aktifitas fisik seperti berjalan kaki,
berenang dan naik sepeda pada dasarnya memberi pengaruh melindungi tulang
dan menurunkan demineralisasi tulang karena pertambahan umur. Kurang
aktifitas karena istirahat di tempat tidur yang berkepanjangan dan mengurangi
masa tulang. Hidup dengan aktifitas fisik yang cukup dapat menghasilkan massa
tulang yang lebih besar. Proporsi osteoporosis seseorang yang memiliki tinggi
aktifitas fisik dan beban pekerjaan harian tinggi saat berusia 25 sampai 55 tahun
cenderung sedikit lebih rendah daripada yang memiliki aktifitas fisik tingkat
sedang dan rendah.
5.3. Pengaruh Merokok terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu
Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat
Variabel merokok memiliki nilai sig-p 0,223 > 0,05 artinya aktifitas fisik
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di Wilayah
Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel merokok
menunjukkan nilai OR 0,064, maka merokok memiliki pengaruh terhadap
kejadian osteoporosis sebanyak 0,1 kali lipat dibandingkan yang tidak merokok.
Nilai B = Logaritma Natural dari 0,064 = -2,742. Oleh karena nilai B bernilai
negatif, maka merokok mempunyai pengaruh negatif terhadap kejadian
osteoporosis.
95
Tembakau dapat meracuni tulang dan juga menurunkan kadar estrogen
sehingga kadar estrogen, pada orang yang merokok akan cenderung lebih rendah
daripada yang tidak merokok. Wanita pasca menopause yang merokok dan
mendapatkan tambahan estrogen masih akan kehilangan massa tulang. Berat
badan perokok juga lebih ringan dan dapat mengalami menopause dini (kira-kira
5 tahun lebih awal) dari pada non-perokok.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul
“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota
Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara merokok terhadap terjadinya osteoporosis yang dilihat dari hasil analisia
diperoleh p= 0,000 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi square untuk uji
hipotesis dimana nilai p<0,05. Karena nilau p = 0,000 < 0,05 maka dapat
dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko riwayat
keluarga yang pernah mengalami osteoporosis sebelumnya dengan terjadinya
osteoporosis pada wanita pascamenopause Di RSUD Kota Semarang (15).
Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadani tahun 2010
tentang Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya,
menunjukkan bahwa faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis adalah faktor
yang bisa dirubah (alkohol, merokok, BMI kurang, kurang gizi, kurang olahraga,
jatuh berulang) dan faktor yang tidak bisa diubah (umur, jenis kelamin, riwayat
keluarga, menopause, penggunaan kortikosteroid, rematoid arthritis). Karena
puncak kepadatan tulang dicapai pada sekitar usia 25 tahun, maka sangatlah
penting untuk membangun tulang yang kuat di sepanjang usia, sehingga tulang-
96
tulang akan tetap kuat dikemudian hari. Asupan kalsium yang memadai
merupakan bagian penting untuk membangun tulang yang kuat (54).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Dimyati tahun 2017 tentang
Pengaruh Antara Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok dan Sikap Lansia terhadap
Kejadian Osteoporosis, menunjukkan bahwa ada pengaruh (p<0,05) antara
aktivitas fisik, kebiasaan merokok, dan sikap terhadap kejadian osteoporosis.
Odds Ratio (OR) yang diketahui dalam penelitian ini, yaitu pada aktivitas fisik
sebesar 14,764, kebiasaan merokok sebesar 9,646, dan sikap sebesar 5,623.
Kesimpulan dalam penelitian ini adalah aktivitas fisik yang paling berpengaruh
terhadap kejadian osteoporosis setelah dikontrol kebiasaan merokok dan sikap
lansia (55).
Menurut hasil penelitian kerusakan tulang akibat rokok merupakan proses
jangka panjang, sehingga semakin muda usia seseorang pertama kali merokok
maka semakin besar mengalami osteoporosis di masa tua. Saat usia anak-anak
hingga usia 30 tahun merupakan masa dimana tubuh menyimpan nutrisi untuk
membangun kepadatan tulang. Ketika individu merokok pada masa tersebut maka
kemampuan tubuh untuk menyimpan nutrisi akan berkurang sehingga mereka
yang merokok akan memiliki masa tulang yang lebih rendah saat
dewasa. Kepadatan kandungan mineral pada tulang individu perokok dilaporkan
lebih rendah 15-30% dibandingkan orang-orang yang tidak merokok. Setelah usia
30 tahun maka massa tulang akan menurun dengan sendirinya secara perlahan,
dan proses regenerasinya pun ikut melambat. Pada masa ini, kepadatan tulang
yang hilang tidak akan bisa kembali. Dengan ditambah kebiasaan merokok, maka
97
proses penurunan kepadatan tulang bisa terjadi bahkan lebih cepat lagi
sehinga berkembang menjadi osteopenia, yang merupakan gejala awal
osteoporosis.
Efek jangka panjang dari bahaya rokok terhadap kesehatan tulang juga
tidak terbatas pada individu yang menghisap rokok saja namun juga orang lain
yang menghirup atau terpapar asap rokok. Hal tersebut dikarenakan sebagian
besar racun terdapat pada asap rokok yang dapat terhirup dan diserap sehingga
menimbulkan efek kerusakan yang sama pada tubuh dan tulang orang-orang di
sekitar perokok. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan, yang mana ibu
yang merokok lebih dominan mengalami osteoporosis dan dari beberapa
wawancara yang dilakukan pada ibu yang mengalami osteoporosis mengatakn
bahwa ibu tidak merokok, namun ibu sering terpapar asap rokok di keseharian
ibu.
5.4. Pengaruh Riwayat Keluarga terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu
Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat
Variabel riwayat keluarga memiliki nilai sig-p 0,014 < 0,05 artinya riwayat
keluarga memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel riwayat
keluarga menunjukkan nilai OR 36,869, maka responden yang terdapat riwayat
keluarga osteoporosis memiliki pengaruh terhadap kejadian osteoporosis
sebanyak 37 kali lipat dibandingkan yang tidak memiliki riwayat keluarga
osteoporosis. Oleh karena nilai B = Logaritma Natural dari 36,869 = 3,607. Oleh
98
karena nilai B bernilai positif, riwayat keluarga mempunyai pengaruh positif
terhadap kejadian osteoporosis.
Riwayat keluarga dengan osteoporosis, diperkirakan sebesar 60-80% salah
satu anggota keluarga akan lebih mudah mengalami osteoporosis. Pada ibu yang
pernah mengalami patah tulang belakang, maka anak perempuannya akan lebih
cepat mengalami pengeroposan massa tulang dan lebih berisiko mengalami
osteoporosis. Ukuran dan densitas tulang dipengaruhi oleh adanya genetik. Selain
itu, faktor keluarga memberi pengaruh dalam seseorang melakukan aktivitas fisik
dan kebiasaan makan. Sehingga dengan aktivitas fisik yang kurang, kebiasaan
makan yang tidak baik dan kepadatan tulang yang rendah akan lebih berpeluang
untuk terjadinya osteoporosis dan osteopenia. Faktor genetik berperan dalam
terjadinya osteoporosis, sebesar 60% yang terbukti berperan dalam kepadatan
mineral tulang.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul “Faktor
Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota Tangerang,
yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan riwayat
keluarga terhadap terjadinya osteoporosis yang dilihat dari hasil analisia diperoleh
p = 0,000 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi square untuk uji hipotesis
dimana nilai p < 0,05. Karena nilau p = 0,000 < 0,05 maka dapat dikatakan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko riwayat keluarga yang
pernah mengalami osteoporosis sebelumnya dengan terjadinya osteoporosis pada
wanita pascamenopause di RSUD Kota Semarang (15).
99
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ramadani tahun 2010 tentang
Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya, menunjukkan
bahwa faktor-faktor resiko terjadinya osteoporosis adalah faktor yang bisa dirubah
(alkohol, merokok, BMI kurang, kurang gizi, kurang olahraga, jatuh berulang)
dan faktor yang tidak bisa diubah (umur, jenis kelamin, riwayat keluarga,
menopause, penggunaan kortikosteroid, rematoid arthritis). Karena puncak
kepadatan tulang dicapai pada sekitar usia 25 tahun, maka sangatlah penting untuk
membangun tulang yang kuat di sepanjang usia, sehingga tulang-tulang akan tetap
kuat dikemudian hari. Asupan kalsium yang memadai merupakan bagian penting
untuk membangun tulang yang kuat (54).
Menurut peneliti faktor genetika juga memiliki konstribusi terhadapa
massa tulang. Anak perempuan dari wanita yang mengalami patah tulang
osteoporosis rata-rata memiliki masa tulang yang lebih rendah daripada anak
seusia mereka (kira-kira 3-7% lebih rendah). Riwayat adanya osteoporosis dalam
keluarga sangat bermanfaat dalam menentukan faktor risiko seseorang mengalami
patah tulang, sama halnya pada penelitian ini yang mana menunjukan faktor
riwayat keluarga berpengaruh terhadap terhadap kejadian osteoporosis di
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat yang mana dapat dilihat dari hasil uji
statistik diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,038 < 0,05.
5.5. Pengaruh Riwayat Fraktur terhadap Terjadinya Osteoporosis pada Ibu
Menopause di Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat
Variabel riwayat fraktur memiliki nilai sig-p 0,035 < 0,05 artinya riwayat
fraktur memiliki pengaruh secara signifikan terhadap kejadian osteoporosis di
100
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat tahun 2019. Hasil OR pada variabel merokok
menunjukkan nilai OR 21,859, maka yang ada riwayat fraktur memiliki pengaruh
terhadap kejadian osteoporosis sebanyak 22 kali lipat dibandingkan yang tidak
memiliki riwayat fraktur. Oleh karena nilai B = Logaritma Natural dari 21,859 =
3,085. Oleh karena nilai B bernilai positif, riwayat fraktur mempunyai pengaruh
positif terhadap kejadian osteoporosis.
Fraktur atau patah tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan
jaringan tulang terputus. Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan
kekuatan yang memadai, apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka
terjadi fraktur (patah tulang). Penyebab terjadinya fraktur adalah trauma, stres
kronis dan berulang maupun pelunakan tulang yang abnormal. Fraktur dapat
terjadi oleh karena beberapa sebab, dan sebab-sebab itu tidak hanya trauma berat.
Kadang-kadang trauma ringan saja dapat menimbulkan fraktur bila tulangnya
sendiri terkena penyakit tertentu. Trauma atau tekanan ringan yang berulang dan
terus menerus juga dapat menyebabkan fraktur dan berakbat terjadinya
osteoporosis.
Pada wanita yang pernah patah tulang belakang risiko mengalami
patah tulang pergelangan tangan sebanyak 1-2 kali, tulang belakang 4-19 kali
dan tulang panggul 2-3 kali. Pada orang yang pernah mengalami patah tulang
pergelangan tangan akan berisiko mengalami patah tulang pergelangan tangan 3-
4kali, patah tulang belakang 2-7 kali dan patah tulang panggul 1-2 kali.
Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Kridianan yang bertujudul
“Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause Di RSUD Kota
101
Tangerang, yang mana hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan
antara riwayat fraktur terhadap terjadinya osteoporosis yang dapat dilihat dari
hasil analisia diperoleh p = 0,011 berdasarkan pengambilan keputusan uji chi
square untuk uji hipotesis dimana nilai p<0,05. Karena nilai p= 0,011 < 0,05 maka
dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara faktor risiko
riwayat fraktur sebelum terjadinya osteoporosis dengan terjadinya osteoporosis
pada wanita pascamenopause Di RSUD Kota Semarang (15).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Santoso tahun 2012 tentang
Faktor-Faktor Penyebab Osteoporosis, menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor
yang dapat menyebabkan osteoporosis, baik osteoporosis primer maupun
osteoporosis sekunder dengan patofisiologinya, dimana dari semua faktor
penyebab yang ada ditemukan adanya penurunan densitas masa tulang yang nyata
disertai dengan peningkatan risiko terjadinya fraktur pada tulang tersebut (56).
Menurut peneliti pada orang yang pernah patah tulang panggul akan
berisiko mengalami patah tulang belakang 2-3 kali dan patah tulang panggul
1-2 kali. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyebutkan bahwa, riwayat
fraktur merupakan salah satu faktor risiko osteoporosis, namun berbanding
terbalik dengan penelitian ini, yang mana pada penelitian ini menunjukan faktor
riwayat fraktur tidak ada pengaruh terhadap terhadap kejadian osteoporosis di
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat yang mana dapat dilihat dari hasil uji
statistik diperoleh nilai probabilitas sebesar 0,035 < 0,05. Fraktur atau patah
tulang adalah keadaan dimana hubungan atau kesatuan jaringan tulang terputus.
Tulang mempunyai daya lentur (elastisitas) dengan kekuatan yang memadai,
102
apabila trauma melebihi dari daya lentur tersebut maka terjadi fraktur (patah
tulang). Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik dan fraktur osteoporosis
dapat terjadi pada tiap tempat. Meskipun fraktur yang berhubungan dengan
kelainan ini meliputi thorak dan tulang belakang (lumbal), radius distal dan femur
proksimal.
5.6. Keterbatasan dalam Penelitian
Pelaksaan penelitian ini telah dilakukan sebaik mungkin, hal ini dilakukan
agar memperoleh hasil dan kesimpulan yang benar-benar merupakan kondisi yang
sesungguhnya terjadi. Akan tetapi pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari
kekurangan dan kelemahan karena tidak sedikit hal-hal yang terjadi yang mana
tidak sesuai dengan hal telah direncanakan sebelumnya dalam melakukan
pemeriksaan yang dapat memengaruhi hasil penelitian. Berbagai keterbatasan
yang dirasakan selama melakukan penelitan antara lain:
1. Kemungkinan jawaban yang diberikan responden kurang menggambarkan
kondisi yang sesungguhnya. Hal ini terjadi karena kondisi dan pemahaman
responden terhadap pernyataan butir pertanyaan dan saat wawancara pada saat
menjawab kurang kejujuran sehingga jawaban yang diberikan kurang optimal.
2. Keterbatasan waktu, terutama waktu yang begitu relatif singkat untuk
melakukan penelitian dikarenakan ada saja kegiatan yang tidak bisa diketahui
peneliti terhadap informan yang diteliti, dan demikian juga keterbatasan waktu
yang dimiliki peneliti sendiri.
103
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dipaparkan terkait Faktor
Resiko Yang Memengaruhi Terjadinya Menopause dapat diambil beberapa
kesimpulan untuk penelitian ini yaitu:
1. Ada pengaruh antara usia terhadap terjadinya osteoporosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.
2. Ada pengaruh antara aktifitas fisik terhadap terjadinya osteoporosis di Wilayah
Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.
3. Tidak ada pengaruh antara merokok terjadinya osteoporosis di Wilayah Kerja
Puskesmas Stabat Kabupaten.
4. Ada pengaruh antara riwayat keluarga terhadap terjadinya osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.
5. Ada pengaruh antara riwayat fraktur terhadap terjadinya osteoporosis di
Wilayah Kerja Puskesmas Stabat Kabupaten Langkat.
6.2. Saran
1. Bagi Responden
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi responden
tentang faktor risiko penyebab terjadinya osteoporosis sehingga dapat
mengambil tindakan pencegahan sebelum osteoporosis semakin parah dan
103
104
menimbulkan dampak yang buruk seperti patah tulang/fraktur, keropos tulang
dan rasa nyeri pada tulang yang luar biasa.
2. Bagi Tempat Penelitian (Puskesmas)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi puskesmas dalam
penanganan osteoporosis dan dapat meningkatkan pengelolaan program
pencegahan osteoporosis dengan upaya-upaya promosi kesehatan yang
bertujuan member informasi kepada ibu yang mulai memasuki usia
menopause tentang pentingnya menjaga kesehatan dan mencegah dari
osteoporosis, karena wanita menopause pada usia diatas 50 tahun lebih
berisiko untuk terkena osteoporosis.
3. Bagi Peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber ilmu, wawasan serta dapat
meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peneliti, dan penelitian ini dapat
menjadi acuan dan sumber referensi nantinya bagi peneliti untuk dapat
melakukan penelitian lanjutan dengan variabel-variabel yang berbeda lainnya.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sarana pengetahuan bagi mahasiswa dan pembaca lainnya dalam
proses pengembangan ilmu dan sebagai bahan perbandingan bagi peneliti lain
yang ingin mengembangkan topik dalam penelitian dalam proses belajar
mengajar serta menambah referensi di perpustakaan sebagai bahan bacaan.
105
DAFTAR PUSTAKA
1. Misnadiarly. Osteoporosis Pengenalan, Faktor Risiko, Pencegahan dan
Pengobatan. Jakarta: Permata Puri Media; 2013.
2. Proverawati A. Menopause dan Sindrom Pramenopause. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2010.
3. World Health Organization. Who Scientific Group on the Assessment of
Osteoporosis At Primary Health. 2004;5–7.
4. La Ode S. Asuhan Keperawatan Genetik. Yogyakarta: Nuha Medika; 2012.
5. Tandra H. Osteoporosis. Jakarta: Gramendia Pustaka Utama; 2009.
6. Briot K, Roux C, Thomas T, Blain H, Buchon D, Chapurlat R, et al. 2018
update of French Recommendations on the Management of Postmenopausal
Osteoporosis. Jt Bone Spine. 2018;85(5):519–30.
7. Kemenkes RI. Infodatin-Osteoporosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia Pusat Data dan Informasi; 2015.
8. Depkes RI. Kecenderungan Osteoporosis di Indonesia 6 Kali Lebih Tinggi
Dibanding Negeri Belanda. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia; 2009.
9. Kusmiran. Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita. Jakarta: Salemba
Medika; 2011.
10. Manuaba IAC, Manuaba IBGF, Manuaba IBG. Memahami Kesehatan
Reproduksi Wanita. Jakarta: Arcan; 2009.
11. Northrup. Bijak Disaat Menopause Menciptakan Kesehatan Fisik dan
Emosional Saat Menghadapi Perubahan. Bandung: Q-Press; 2006.
12. Kahn EB, Ramsey LT, Brownson RC, Heath GW, Howze EH, Powell KE, et
al. The Effectiveness of Interventions to Increase Physical Activity A
Systematic Review and the Task Force on Community Preventive Services.
Am J Prev Med. 2002;22(4S):73–108.
13. Safitri A. Beberapa Faktor Yang Mempengaruhi Menopause Pada Wanita Di
Kelurahan Titi Papan Kota Medan Tahun 2009. Fak Kesehat Masy Univ
Sumatera Utara. 2009;
14. Wardhana W. Faktor-Faktor Risiko Osteoporosis pada Pasien dengan Usia di
Atas 50 Tahun Lembar Pengesahan Laporan Hasil Kti Faktor – Faktor Risiko
Osteoporosis pada Pasien dengan Usia di Atas 50 Tahun. 2012;
15. Kridiana O. Faktor Risiko Osteoporosis Pada Wanita Pascamenopause (Studi
di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang). Fak Ilmu Keolahragaan
Univ Negeri Semarang. 2012;1–93.
16. Marjan AQ, Marliyati SA. Hubungan antara pola konsumsi pangan dan
aktivitas fisik dengan kejadian osteoporosis pada lansia di panti werdha bogor
(. 2013;8(2):123–8.
17. Permatasari D, Oktavianus, Wicaksono A. Hubungan Aktivitas Fisik dan
Terjadinya Osteoporosis Pada Wanita Pasca Menopause di Poliklinik Beah
Tulang RSUD Dokter Soedarso Pontianak. Electron Publ. 2013;3(1):1–21.
18. Handayani, Y, Oktavianus, Trianto HF. Gambaran Risiko Osteoporosis
Berdasarkan Indeks Massa Tubuh pada Lanjut usia di Panti Sosial
105
106
Tresnawerdha Mulia Dharma di Kabupaten Kubu Raya Tahun 2013. Junal
Univ Tanjungpura. 2013;1–12.
19. Pratiwi R. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Kejadian Osteoporosis
di Puskesmas Pondok Betung. Univ Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
2014;1–111.
20. Januwati TM, Yunitasari E, Nastiti AA. Hubungan Antara Aktifitas Fisik
Dengan Resiko Osteoporosis Wanita Menopause Pada Ibu PKK RT 02 RW
01 Di Kelurahan Komplek Kenjeran Surabaya. J Keperawatan Univ
Airlangga. 2019;48(9):67–72.
21. Kasper D, Fauci AS, Hauser SL, Longo, Braunwald E, Harrison TR.
Harrison’s Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw Hill
Professional; 2008.
22. Johnell O, Kaufman J, Cummings S, Lane J, Bouxsein M, Babbitt A, et al.
Recommendations for Care of the Osteoporotic Fracture Patient to Reduce
the Risk of Future Fracture Developed by the World Orthopedic Osteoporosis
Organization (WOOO). 2004;1–6.
23. Hilmy CR. Patofisiology dari Osteoporosis. Simposium Osteoporosis.
Jakarta: PABOL; 1995.
24. WHO. Assessment of Fracture Risk and Its Application to Screening for
Postmenopausal Osteoporosis. Geneva: Report of a WHO Study Group;
1994.
25. Tian L, Yang R, Wei L, Liu J, Yang Y, Shao F, et al. Prevalence of
osteoporosis and related lifestyle and metabolic factors of postmenopausal
women and elderly men: A cross-sectional study in Gansu province,
Northwestern of China. Medicine (Baltimore). 2017;96(43):e8294.
26. Rachmatullah P, Hirlan, Soemanto, Hadi S, Tobing M. Osteoporosis pada
Usia Lanjut Tinjauan dari Segi Geriatri. Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro; 2007. 126 p.
27. Tandra H. Segala Sesuatu yang Harus anda Ketahui tentang Osteoporosis:
Mengenal, Mengatasi dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama; 2009.
28. Kosnayani AS. Hubungan Asupan Kalsium, Aktivitas Fisik, Paritas, Indeks
Massa Tubuh dengan Kepadatan Tulang pada Wanita pascamenopause.
Semarang: Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro; 2007.
29. Prameswari N, Liben P. Peranan RANK, RANKL, dan Osteoprotegerin
dalam Osteoklastogenesis. Maj Ilmu Faal Indones. 2004;3:109–20.
30. Lane NE. The Osteoporosis Book a Guide for Patients and Their Families.
New York: Oxford University Press; 1999.
31. Sarpini, Rusbandi. Osteoporosis. Apa dan Bagaimana Mencegah? War
Kesehat TNI-AL.
32. Barker ME, McCloskey E, Saha S, Gossiel F, Charlesworth D, Powers HJ, et
al. Serum retinoids and β-carotene as predictors of hip and other fractures in
elderly women. J Bone Miner Res. 2005;20(6):913–20.
33. Compston J. Seri kesehatan Osteoporosis. Jakarta: Dian Rakyat; 2002.
34. Guglielmi G. Osteoporosis and Bone Densitometry Measurements (Medical
Radiology). Berlin: Springer; 2013.
107
35. Junaidi I. Osteoporosis. Jakarta: Buana Ilmu Polpuler; 2007.
36. Barrett K, Brooks H, Boitano S, Barman S. Cardiovascular Regulatory
Mechanisms in Review of Medical Physiology. 23rd ed. Ganong’s review of
medical physiology. New York: McGraw Hill Companies; 2010. 555–568 p.
37. Wahjudi N. Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC; 2008.
38. Bowman BA, Russell RM. No Title. Washington DC: International Life
Sciences Institute; 2001.
39. Ilyas M. Perbandingan Marfometri Vertebra Lumbal Dengan Metacarpal
Untuk mendeteksi Dini Osteoporosis di RS. DR. Wahidin Sudirohusono
Makassar. J Med Nusant. 2006;27(4).
40. Fatmah. Osteoporosis dan Faktor Risikonya pada Lansia Etnis Jawa. Media
Med Indones. 2008;43(2):57–67.
41. Mangoenprasodjo S. Osteoporosis dan Bahaya Tulang Rapuh. Yogyakarta:
Thinkfresh; 2005.
42. Tebe C DRL et all. Risk factors for fragility fractures in a cohort of Spanish
women. 2001.
43. Kemenkes RI. Pedoman Pengendalian Osteoporosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia Pusat Data dan Informasi; 2008.
44. Sitepoe M. Kekhususan Rokok di Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo; 2010.
45. Foundation NO. Clinician’s Guide to Prevention and Treatment of
Osteoporosis [Internet]. 2011. Available from:
http://www.nof.org/professionals/clinical-guidelines
46. Kasdu D. Kiat Sehat dan Bahagia di Usia Menopause. Jakarta: Puspa Swara;
2002.
47. Reitz R. Menopause, Suatu Pendekatan Positif. Jakarta: Bumi Aksara; 1993.
48. Northrup C. Bijak di Saat Menopause. Bandung: Q-Press; 2010.
49. Mulyani NS. Menopause. Yogyakarta: Nuha Medika; 2013.
50. Creswell J. Research Design Pendekatan kualitatif, Kuantitatif dan Mixed.
2nd ed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2012.
51. Muhammad I. Panduan penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Kesehatan
Menggunakan Metode Ilmiah. Bandung: Cita Pustaka Media Perintis; 2015.
52. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta; 2010.
53. Renidayati, Clara, Sunardi. Faktor Risiko Terjadinya Osteoporosis Pada
Wanita Menopause. NERS J Keperawatan. 2011;7(2):130.
54. Ramadani M. Faktor-Faktor Resiko Osteoporosis dan Upaya Pencegahannya.
Stud Lit. 2010;4(2):111–5.
55. Dimyati KF. Pengaruh Antara Aktivitas Fisik, Kebiasaan Merokok dan Sikap
Lansia terhadap Kejadian Osteoporosis. J Berk Epidemologi. 2017;5(1):107–
17.
56. Santoso PB. Faktor-Faktor Penyebab Osteoporosis. Skripsi; 2012.
108
109
110
Lampiran 2
UJI VALIDITAS DAN RELIABILITAS
No. AF1 AF2 AF3 AF4 AF5 Jumlah M1 M2 M3 M4 M5 Jumlah RK1 RK2 RK3 RK4 RK5 Jumlah RF1 RF2 RF3 RF4 RF5 Jumlah
1 1 1 0 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 0 1 1 4 1 1 1 1 1 5
2 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1
3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1
4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 0 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5
5 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 1 4 0 0 1 1 1 3
6 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 0 0 0 0 1
7 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 1 1
8 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5
9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
10 1 1 1 1 1 5 0 1 1 1 1 4 1 0 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5
11 1 1 1 1 0 4 1 0 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5
12 0 1 0 0 1 2 0 1 0 0 1 2 0 1 0 0 0 1 1 0 0 1 0 2
13 0 0 1 0 0 1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 1 1 0 0 1 0 0 1
14 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5 0 0 1 1 1 3 1 1 0 1 1 4
15 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 1 4 1 1 1 0 0 3 0 0 1 1 1 3
16 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 1 1 0 0 3 1 1 0 0 0 2
17 0 1 0 0 0 1 0 0 0 1 0 1 0 0 1 1 0 2 0 0 0 0 1 1
18 1 1 1 1 1 5 1 1 0 1 1 4 1 1 0 1 1 4 1 1 1 1 1 5
19 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 2
20 1 1 1 1 1 5 0 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 5 1 1 1 1 1 5
Keterangan :
1 : Ya
0 : Tidak
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
Lampiran 6
131
Lampiran 7
132
Lampiran 8
133
Lampiran 9
134
Lampiran 10
135
Lampiran 15
DOKUMENTASI PENELITIAN
Gambar 1. Pembagian Kuesioner Penelitian
136
Gambar 2. Pembagian Kuesioner Penelitian