Upload
lamkhuong
View
227
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA
Oleh :
RIKA PURNAMASARI
A14302053
PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2006
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Laju pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang membawa
dampak pada peningkatan kemakmuran, dimana konsekuensinya adalah semakin
bertambah cepatnya permintaan pangan serta perubahan bentuk dan kualitas
pangan dari penghasil energi kepada produk-produk penghasil protein. Kebutuhan
atas protein ini akan semakin meningkat seiring peningkatan jumlah penduduk
dan pendapatan, sedang di pihak lain penyediaan sumber protein di Indonesia
masih belum mencukupi. Kedelai merupakan salah satu bahan makanan yang
mempunyai potensi sebagai sumber utama protein. Sebagai sumber protein yang
tidak mahal, kedelai telah lama dikenal dan digunakan dalam beragam produk
makanan, seperti tahu, tempe dan kecap. Selain itu kedelai juga merupakan bahan
baku industri yang penting terutama industri makanan ternak (Puslitbang
Tanaman Pangan, 2005).
Usaha peningkatan produksi kedelai nasional telah mulai dilakukan sejak
tahun 1962 mencakup perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan
produktivitas (intensifikasi). Dalam kurun waktu 1975-1999, produksi kedelai
nasional cenderung mengalami peningkatan walaupun terlihat berfluktuasi,
terlihat pada Lampiran 1. Sementara itu produksi kedelai sejak tahun 2000-2003
cenderung menurun drastis, sedangkan produksi pada tahun 2004 hanya
meningkat sekitar 1.07 persen dari tahun sebelumnya. Hal yang serupa juga
terlihat dalam perkembangan luas areal panen, dimana luas panen sejak tahun
1974-1999, terlihat berfluktuasi dan cenderung mengalami peningkatan,
sedangkan sejak tahun 2000-2004, cenderung mengalami penurunan yang cukup
2
signifikan. Hal ini disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai dan adanya
persaingan penggunaan lahan dengan palawija lainnya, seperti jagung yang
memiliki harga riil yang lebih tinggi daripada kedelai dan juga pemeliharaannya
lebih mudah. Selain itu hal yang juga merupakan penyebab turunnya areal panen
kedelai secara drastis dalam periode 2000-2004, adalah dari segi persaingan harga
pasar, dimana harga kedelai impor jauh lebih murah daripada kedelai lokal,
menyebabkan arus impor semakin deras dan berimplikasi pada menurunnya harga
kedelai lokal, sehingga petani tidak bergairah untuk menanam kedelai. Sementara
itu jumlah penduduk terus mengalami peningkatan, dan ditambah juga dengan
semakin banyaknya industri pengolahan berbahan baku kedelai, seperti industri
tahu, kecap, tempe, tauco dan lain-lain mengakibatkan permintaan terhadap
kedelai tidak bisa terpenuhi oleh produksi domestik (Puslitbang Tanaman Pangan,
2005).
Usaha untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri terus dilakukan
melalui implementasi berbagai program diantaranya program Supra Insus,
kemudian program Operasi Khusus (Opsus) kedelai yang diterapkan pada tahun
1986, program berikutnya adalah Gema Palagung yaitu melalui salah satu cara
dengan peningkatan Index Pertanaman, dan terakhir pada tahun 2004 diadakan
program Bangkit Kedelai, diharapkan pada tahun 2008 Indonesia akan mencapai
swasembada kedelai dengan produksi kurang lebih 2 juta ton.
Walaupun produksi kedelai pada tahun 1974-1999 meningkat namun
ternyata belum bisa mengimbangi laju peningkatan konsumsi kedelai sehingga
pemerintah melakukan impor kedelai yang jumlah maupun nilainya semakin
meningkat setiap tahun. Beberapa faktor yang menyebabkan meningkatnya
3
kebutuhan kedelai adalah konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan
jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita, meningkatnya kesadaran
masyarakat akan kecukupan gizi, dan berkembangnya berbagai industri yang
menggunakan bahan baku kedelai., sejak tahun 2000, impor kedelai meningkat
secara drastis seiring dengan signifikansinya penurunan produksi pada tahun
tersebut. Impor selama periode 2000-2003 meningkat dengan laju 14.03 persen
per tahun, disamping itu volume impor yang meningkat ini disebabkan pula oleh
rendahnya tingkat efisiensi di dalam negeri, sementara subsidi ekspor di negara
eksportir tetap tinggi (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
Impor kedelai merupakan jalan pintas untuk memasok kekurangan dalam
negeri, kerena dalam beberapa hal harganya lebih rendah dan kualitasnya lebih
baik. Sesuai kesepakatan dengan IMF, sejak tahun 1998-2003 pemerintah
membebaskan bea masuk kedelai (BM nol persen) dan pada tahun 2004 tarif
tersebut ditingkatkan menjadi sepuluh persen (Deptan, 2005). Tarif ini masih
tergolong rendah sehingga relatif merugikan petani, karena harga komoditi
cenderung melemah, namun di sisi lain diharapkan juga bisa memacu petani untuk
mengusahakan pertanaman kedelai secara efisien dan menerapkan teknologi tepat
guna.
Dengan melihat alasan-alasan di atas, maka sangat diperlukan suatu kajian
atau penelitian yang membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor kedelai Indonesia, sehingga dapat diketahui faktor-faktor
yang berperan penting dalam produksi dan impor, juga mengetahui hal-hal apa
saja yang seharusnya dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai negeri dan
bagaimana membatasi impor kedelai ke Indonesia.
4
1.2. Perumusan Masalah
Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada dua variabel, yaitu
luas areal panen dan produktivitas. Berdasarkan data BPS, luas areal panen
kedelai sejak tahun 2000 sampai 2004 terus mengalami penurunan. Perkembangan
luas areal panen dan produktivitas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1.Perkembangan Luas Areal Panen, Produksi, dan Produktivitas Kedelai Indonesia Tahun 1999-2004.
Sumber : BPS, 2004 * : Produktivitas : Produksi dibagi Luas Areal Panen
Selanjutnya berdasarkan tabel berikutnya, yaitu Tabel 2, penurunan luas
areal panen tersebut disebabkan oleh dua faktor utama yaitu, (1) penurunan harga
riil kedelai, dimana di lain pihak harga riil jagung justru meningkat yang
mendorong petani untuk memilih menanam jagung, sehingga konsekuensinya,
kenaikan areal jagung (sebagai komoditas pesaing) dengan sendirinya akan
mengurangi areal kedelai, karena lahan yang digunakan adalah lahan yang sama.
(2) lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal, hal
ini mengakibatkan arus impor kedelai semakin deras, sehingga berimplikasi pada
penurunan harga kedelai lokal secara terus-menerus seiring bertambahnya jumlah
impor kedelai, yang menyebabkan keengganan petani untuk bertanam kedelai
(Puslitbang Tanaman Pangan, 2005). Hal ini mengakibatkan penawaran kedelai di
pasaran lokal Indonesia tidak dapat memenuhi permintaan konsumen.
Tahun Luas Areal Panen (hektar)
Produksi kedelai (ton)
Produktivitas* (ton/ha)
1999 1.151.079 1.382.848 1.201 2000 824.484 1.017.634 1.234 2001 678.848 826.932 1.218 2002 544.522 673.056 1.236 2003 526.796 671.600 1.275 2004 560.125 723.483 1.281
5
Tabel 2. Perkembangan harga kedelai dan komoditas pesaingnya di Indonesia, tahun 1991-2002.
Tahun Kedelai Lokal (Rp/kg)
Jagung (Rp/kg)
Kedelai Impor (Rp/Kg)
1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
493 454 484 515 472 476 337 330 321 277 324 344
143 126 133 158 164 185 123 117 132 114 150 159
- 276 278 296 286 303 239 290 234 223 230 298
Laju Peningkatan -3,21 0,98 0,75
Sumber : Puslitbang Tanaman Pangan, 2005, hal 10.
Untuk variabel berikutnya, yaitu produktivitas, sampai dengan saat ini
produktivitas pertanaman kedelai Indonesia masih rendah, yaitu rata-rata hanya
1,2 ton/ha, angka ini merupakan angka produktivitas yang diambil berdasarkan
level Farmer Accomplishment (level produksi secara umum atau nasional). Angka
produktivitas ini jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan Brazil dan Argentina
yang mampu menghasilkan di atas 2 ton kedelai per hektar. Rendahnya
produktivitas ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, belum populernya
penggunaan benih bermutu dan bersertifikasi oleh kebanyakan petani, dimana
harga benih yang bersertifikasi berharga Rp 3000-3.500/kg, sedangkan harga
benih biasa hanya Rp 1.400/kg, sehingga petani merasa enggan menggunakan
benih unggul, karena tingkat keuntungan yang diperoleh relatif kecil. Faktor
selanjutnya adalah jenis areal lahan yang mempunyai masalah masing-masing
dalam hal ketersediaan air, dimana masalah kekeringan dapat menurunkan tingkat
produktivitas sampai 40 persen. Hal lain yang menjadi masalah adalah
pengendalian hama penyakit yang belum baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
rendahnya produktivitas kedelai di Indonesia banyak disebabkan oleh gangguan
6
hama penyakit, kebanjiran atau kekeringan, waktu tanam yang tidak tepat dan
belum sempurnanya penerapan teknologi oleh petani.
Menurut BPS (2004), kemampuan produksi nasional kedelai pada tahun
2004 adalah sebesar 0, 723 juta ton, sedangkan jumlah konsumsi adalah 2,015 juta
ton. Keadaan ini mengindikasikan bahwa produksi kedelai nasional masih sangat
jauh untuk dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri yang sangat besar,
maka pemerintah melakukan impor kedelai. Volume impor kedelai mulai
mengalami peningkatan yang drastis sejak tahun 2000, yang berjumlah 1.277 juta
ton. Volume impor kedelai turun pada tahun 2001 menjadi 1.136 juta ton. Namun
impor kembali naik pada tahun 2002 menjadi 1.365 juta ton, setelah itu impor
kedelai kembali turun pada tahun 2003 menjadi 1,192 juta ton dan untuk tahun
2004 (sampai dengan bulan juli 2004) sebesar 0.651 juta ton. Negara pemasok
impor kedelai terbesar adalah United States (66% dari total impor) dan pemasok
terbesar kedua adalah Argentina (5% dari total impor). Tabel 3 menampilkan
perkembangan volume impor kedelai berdasarkan negara asal dari tahun 2000
sampai dengan 2004
.Tabel 3. Perkembangan Volume Impor Kedelai Indonesia Berdasarkan Negara Asal Tahun 2000-2004 (dalam ton).
No Negara Asal 2000 2001 2002 2003 2004* Share
1 2 3 4 5
United States Argentina Malaysia Canada Singapura Lainnya Total
539.368 92.066 31.322 46.333 4.631
563.967
1.277.683
399.472 0
93.429 10.503 14.207
618.808
1.136.419
1.121.963 77.187 76.382 47.617 37.546
4.558
1.365.253.
1.122.900 10.276 17.983 18.393
549
22.616
1.192.717
549.759 92.805 5.255 353 38
3.770
651.979
66% 5% 4% 2% 1%
22%
100%
Sumber : BPS, Diolah Subdit Pemasaran Internasional Tanaman Pangan, Tahun 2004 * = Data sampai bulan Juli 2004
7
Dengan semakin besarnya volume impor dari tahun ke tahun sangat
merugikan petani, karena kedelai lokal terdesak oleh kedelai impor yang berharga
murah dan berkualitas lebih baik. Walaupun konsumsi dalam negeri terpenuhi,
namun kesejahteraan petani kedelai pun harus diperhatikan.. Selain itu impor
kedelai merupakan impor kacang-kacangan tertinggi di Indonesia dimana setiap
tahunnya menghabiskan devisa sebanyak US$ 200-300 juta (Deptan, 2005).
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan yang dihadapi,
maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan dianalisis dalam penelitian ini,
yaitu :
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi kedelai Indonesia?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan di
atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi kedelai
Indonesia.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi impor kedelai Indonesia
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan oleh seluruh
stakeholder dalam mempertahankan dan memajukan produksi kedelai nasional,
serta mengurangi ketergantungan impor kedelai. Dalam hal ini stakeholder yang
terkait diantaranya mencakup tiga pihak yaitu pemerintah sebagai pengambil
kebijakan, pelaku ekonomi (produsen, konsumen), dan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagai data dasar (bench mark data) bagi penelitian selanjutnya yang
terkait dalam bidang ini.
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keragaan Komoditi Kedelai di Indonesia
Sejarah masuknya kedelai ke Indonesia tidak diketahui secara pasti,
namun kemungkinan besar dibawa oleh pedagang Cina pada abad ke 13. Kedelai
berasal dari Cina, yang telah dibudidayakan sejak 1000 tahun sebelum masehi.
Menurut Romburgh (1892) seperti dikutip oleh Manwan dan Sumarno (1996),
kedelai telah menjadi tanaman pangan penting di samping padi, jagung, ubi kayu
dan ubi jalar, serta merupakan bagian usaha pertanian yang mantap di Pulau Jawa
pada penghujung abad ke-19. Berdasarkan catatan dan laporan yang ada,
informasi perkembangan penanaman kedelai di Indonesia baru dapat diikuti mulai
tahun 1918 dimana tercatat luas areal panen kedelai sebesar 158.900 hektar.
Masalah kurangnya produksi kedelai nasional untuk mencukupi
permintaan dalam negeri telah dimulai sejak tahun 1928 dimana pada tahun itu
impor kedelai mulai dilakukan dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Akibat
resesi ekonomi tahun 1934, impor kedelai dilarang dan perlu diimbangi dengan
upaya peningkatan produksi dalam negeri melalui perluasan areal panen.
Menyadari bahwa kedelai merupakan bahan pangan yang penting bagi
masyarakat Indonesia, perluasan areal panen dan peningkatan produksi nasional
dimasukkan ke dalam program pembangunan semesta pada tahun 1962. Untuk
merealisasikan program tesebut, Rapat Kerja Kedelai Nasional yang dilaksanakan
di Bogor pada bulan September 1964 merumuskan beberapa petunjuk bagi
program pengembangan kedelai di Indonesia yang meliputi perluasan areal panen
dan intensifikasi produksi (Hadipurnomo, 2000).
9
Memasuki era Orde Baru yang dimulai pada Pelita I tahun 1969
peningkatan produksi kedelai masih kecil karena program utama pembangunan
sektor pertanian pada waktu itu lebih diprioritaskan pada peningkatan produksi
beras nasional. Sampai pada Pelita III fokus peningkatan produksi pertanian masih
dititikberatkan pada pencapaian swasembada beras sehingga program peningkatan
produksi kedelai belum mendapatkan prioritas yang lebih baik. Meskipun
demikian program peningkatan produksi kedelai sedikit demi sedikit mulai
mendapat perhatian dari pemerintah sebagai upaya untuk meingkatkan produksi
kedelai dalam memenuhi kebutuhan dalam negeri dan sebagai substitusi impor.
Sukses dalam pencapaian swasembada beras membuka peluang yang lebih
besar dalam upaya peningkatan produksi kedelai untuk perbaikan gizi dan sumber
pendapatan petani. Dalam penelitian Astuti (1998), dijelaskan bahwa setelah
swasembada beras tercapai pada tahun 1984 barulah para pengambil kebijakan
memberikan perhatian khusus mengingat impor kedelai terus meningkat baik
untuk bahan makanan utama maupun sebagai pakan ternak. Dalam Pelita IV areal
panen kedelai meningkat dari 858.892 ha (1984) menjadi 1.177.150 ha (1988)
dimana produksi naik dari 0.769 juta ton (1984) menjadi 1.27 juta ton (1988).
Peningkatan yang mencolok juga terlihat pada rata-rata produksi kedelai Pelita IV
sebesar 1.05 juta ton dibandingkan pada Pelita III yang hanya 0.618 juta ton.
Demikian juga dengan laju pertumbuhan luas panen, produksi dan produktivitas
berturut-turut sebesar 9.26 persen per tahun, 16.7 persen per tahun dan lima
persen per tahun. Produktivitas rata-rata pada periode yang sama meningkat dari
0.89 ton per ha menjadi 1.088 ton per ha (Lampiran 1).
10
Luas panen, produksi dan produktivitas rata-rata kedelai dalam Pelita V
meningkat dengan laju yang cukup tinggi berturut-turut sebesar 5.30 dan 0.91
persen per tahun. Areal panen meningkat dari 1.197.701 ha (1989) menjadi
1.468.316 ha (1993), sedangkan produksi dalam periode yang sama meningkat
dari 1.31 juta ton menjadi 1.70 juta ton dan produktivitas meningkat dari 1.09 ton
per ha menjadi 1.16 ton per ha
Pada Pelita VI (1994-1998), perkembangan areal panen memiliki laju
pertumbuhan sekitar -7.7 persen per tahun. Hal ini disebabkan karena luas panen
dalam tahun 1994-1998 terus mengalami penurunan yang cukup signifikan dari
1.406.039 ha (1994) menjadi 1.094.262 ha (1998). Sedangkan produksi pada
periode yang sama cenderung mengalami penurunan dari 1.56 juta ton menjadi
1.30 juta ton dengan laju pertumbuhan sekitar -5.7 persen. Sementara
produktivitas kedelai memiliki laju pertumbuhan sekitar 2.05 persen per tahun.
Sejak tahun 1999 sampai tahun 2004, luas panen kedelai terus mengalami
penurunan, yaitu dari 1.151.079 ha (1999) menjadi 560.125 ha (2004), dengan
laju pertumbuhan sekitar -14.7 persen per tahun. Demikian halnya dengan
produksi kedelai pada periode yang sama juga mengalami penurunan yaitu dari
1.38 juta ton menjadi 0.723 juta ton, dengan laju pertumbuhan -12.8 persen per
tahun, sedangkan produktivitas berfluktuasi dengan laju pertumbuhan sekitar1.24
persen per tahun, dimana produktivitas tahun 1999 meningkat dari 1.2 ton per ha
menjadi 1.28 ton per ha.
Produksi kedelai nasional dihasilkan terutama dari tanaman usahatani
rakyat yang sebagian besar berskala usaha relatif kecil dan tersebar sebagian besar
di Pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara Barat. Pada awal
11
pengembangan kedelai di Indonesia, pusat-pusat pertumbuhan kedelai terutama
terdapat di Jawa Tengah yang kemudian menyebar ke Jawa Timur dan daerah lain
di Pulau Jawa.
Menurut Puslitbang Tanaman Pangan dalam Hadipurnomo (2000),
Pengembangan usahatani kedelai di lahan sawah dan lahan kering ditempuh
melalui : (1) perluasan areal, (2) peningkatan produktivitas hasil, (3) peningkatan
stabilitas hasil, (4) penekanan senjang hasil, (5) penekanan kehilangan hasil dan
(6) sistem produksi kedelai yang berkelanjutan berwawasan lingkungan.
2.2. Konsumsi Kedelai
2.2.1. Industri Pengguna Bahan baku Kedelai
Sebagian besar konsumsi kedelai di Indonesia masih digunakan untuk
bahan makanan manusia dalam bentuk olahan seperti tahu, tempe, kecap, tauco
dan minuman sari kedelai. Jadi sebagian besar kedelai dikonsumsi oleh industri
makanan olahan. Industri tahu dan tempe merupakan pengguna kedelai terbesar,
dimana pada tahun 2002 saja, kebutuhan kedelai untuk tahu dan tempe mencapai
1.78 ton, atau 88 persen dari total kebutuhan nasional, sedangkan industri lainnya
seperti industri tepung dan pati membutuhkan kedelai sebanyak 12 persen dari
total kebutuhan nasional (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
Kecenderungan konsumsi kedelai untuk konsumsi manusia meningkat dari
tahun 1969-1993 sebesar 7.40 persen per tahun. Pengguna kedelai kedua adalah
industri ternak setelah industri tahu dan tempe. Hasil olahan kedelai untuk pakan
ternak berupa bungkil kedelai (dominan) dan konsentrat. Kecenderungan
12
konsumsi kedelai untuk konsumsi ternak meningkat dari tahun 1969-1993 sebesar
8.58 persen per tahun (Sudaryanto,1996).
Berdasarkan data statistik badan dunia (FAO) konsumsi kedelai per kapita
Indonesia dalam 15 tahun terakhir menurun dari 11.38 kg pada tahun 1990
menjadi 8.97 kg pada tahun 2004, dengan laju penurunan 1.69 persen per tahun.
Penurunan konsumsi terjadi sejak 1995. Selama periode 1995-2000 konsumsi per
kapita menurun dari 11.82 kg pada tahun 1995 menjadi 10.92 kg pada tahun 2000,
dengan laju 1.57 persen per tahun. Penurunan paling tajam terjadi pada periode
2000-2004, dengan rata-rata 4.81 persen per tahun. Secara nasional, penurunan
konsumsi kedelai jauh lebih rendah daripada penurunan produksi. Implikasinya,
tanpa terobosan peningkatan produksi, Indonesia akan menghadapi defisit yang
makin besar. Dengan laju penurunan produksi kedelai yang lebih tajam daripada
laju penurunan konsumsi, maka ke depannya impor kedelai untuk menutupi
defisit diperkirakan akan terus meningkat (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
2.2.2. Kondisi Pemenuhan Kebutuhan kedelai di Era Perdagangan Bebas
Menurut Mankiw (2000), pada saat perdagangan internasional dibuka,
maka suatu negara memiliki dua kemungkinan posisi. Misal apakah Indonesia
akan menjual kedelai ke pasar internasional, ataukah sebaliknya membeli kedelai
dari pasar internasional. Selanjutnya kita harus membandingkan harga kedelai
yang tengah berlaku di pasar domestik dengan yang berlaku di negara-negara lain
atau pasar dunia. Jika harga dunia kedelai lebih tinggi daripada harga domestik,
maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi pengekspor
kedelai. Sebaliknya jika harga dunia kedelai lebih rendah daripada harga
13
domestik, maka ketika hubungan dagang dibuka, Indonesia akan menjadi
pengimpor kedelai.
Berdasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), dijelaskan bahwa sebelum
era perdagangan bebas, BULOG masih memonopoli kedelai impor. BULOG
menyalurkan kedelai impor ke KOPTI (Koperasi Tahu dan Tempe Indonesia),
KPKD (Kelompok Pedagang Kacang Kedelai) dan industri pengolah pangan.
KOPTI belum dapat memenuhi kebutuhan industri tahu dan tempe. Sebelum
tahun 1997, pemerintah masih memberlakukan impor terbatas (kuota), sehingga
tidak semua industri dapat menggunakan kedelai impor. Hal ini dilakukan agar
produksi kedelai lokal dapat terlindungi, mengingat harga kedelai lokal lebih
mahal daripada kedelai impor (CIF). Dalam hal ini BULOG menjual kedelai
impor dengan harga lebih tertentu kepada industri tahu dan tempe sehingga selisih
harga kedelai lokal tidak terlalu besar dengan kedelai impor. Harga impor yang
ditetapkan telah dipertimbangkan dari segi daya beli industri sehingga petani
kedelai dapat berproduksi. KOPTI dan KPKD yang mendapat jatah kedelai dari
pemerintah dapat beroperasi dengan baik karena mampu bersaing harga dengan
pedagang besar.
Pada era perdagangan bebas, pemerintah tidak lagi membatasi impor dan
BULOG tidak memonopoli kedelai lagi. Pelaku importir dalam hal ini dipegang
oleh perusahaan-perusahaan swasta (pedagang) dan koperasi (KOPTI), sehingga
terjadi persaingan. Pada saat terjadi lonjakan tajam depresiasi rupiah tahun 1998,
harga kedelai impor menjadi lebih mahal daripada kedelai lokal. Hal ini
mengakibatkan volume impor menurun walaupun kuota impor tidak dibatasi.
Namun setelah terjadi penyesuaian-penyesuaian dalam pasar seiring dengan
14
berjalannya waktu, volume impor kembali meningkat bahkan melimpah. Hal ini
disebabkan oleh terjadinya persaingan antar pedagang kedelai impor. Pedagang
mampu menjual kedelai impor lebih murah daripada KOPTI, sehingga ada
kecenderungan industri tahu dan tempe menggunakan kedelai impor dari
pedagang. Harga impor menjadi semakin murah dengan adanya persaingan antar
pedagang kedelai impor. Akibatnya semakin banyak industri tahu dan tempe yang
menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai
lokal karena kecenderungan preferensi bahan baku kedelai industri adalah kedelai
impor. Produksi kedelai lokal semakin menurun, sedangkan kedelai impor
semakin melimpah.
2.3. Kebijakan Pengembangan Kedelai di Indonesia
Menyadari peranan kedelai sebagai bahan makanan penting di Indonesia,
pemerintah menetapkan berbagai kebijakan dalam usaha mencapai swasembada
kedelai. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain kebijakan harga, kebijakan
tarif dan impor kedelai, dan kebijakan khusus pengembangan kedelai.
(a). Kebijakan Harga
Kebijakan harga yang diterapkan dengan sasaran utama mendorong adopsi
teknologi, meningkatkan produksi dan pendapatan petani adalah melalui
kebijakan proteksi harga dan penetapan harga dasar. Kebijakan proteksi bertujuan
untuk mengendalikan harga kedelai dalam negeri agar tetap lebih tinggi dan
terisolasi dari fluktuasi harga kedelai di pasaran dunia. Hal ini dilakukan melalui
pengaturan volume impor dan penetapan harga kedelai ex-impor serta
pengendalian penyalurannya kepada industri pengolah dalam negeri (Rachman
dkk, 1996).
15
Selain kebijakan proteksi harga, pemerintah juga menerapkan kebijakan
harga dasar. Namun penetapan harga dasar secara umum belum mencapai sasaran
yang diharapkan. Dalam periode 1984-1991, rata-rata harga kedelai di tingkat
petani sekitar 76.00 persen lebih tinggi dari penetapan harga dasar (Tabel 4).
Dibandingkan dengan penetapan harga pembelian kedelai oleh pemerintah, harga
produsen juga masih tetap lebih tinggi yaitu sekitar 69.07 persen dari harga
pembelian. Nampak jelas bahwa penetapan harga dasar maupun harga pembelian
kedelai oleh pemerintah adalah sangat rendah dibandingkan dengan harga pasar
yang berlaku.
Sejak tahun 1992 pemerintah tidak lagi menetapkan harga dasar untuk
komoditas kedelai. Hal ini dikarenakan penetapan harga dasar kedelai selama ini
tidak efektif sebab sejak tahun 1984 pemerintah tidak lagi melakukan pengadaan
kedelai dalam negeri. Pengadaan kedelai tidak lagi dilakukan pemerintah karena
harga kedelai di pasaran umum sangat baik, jauh di atas harga dasar dan dianggap
sudah cukup baik bagi petani untuk meningkatkan produksi (Bulog, 1995 dalam
Hadipurnomo, 2000). Selain itu adanya hambatan dalam pemasaran kedelai
menyebabkan Bulog kesulitan dalam melaksanakan kebijakan harga dasar.
Adapun hambatan pemasaran adalah (1) produksi kedelai difokuskan pada sentra-
sentra kecil dan jaraknya relatif jauh satu sama lain, (2) kontrol terhadap kualitas
kedelai sulit dilakukan, dan (3) kombinasi kegiatan-kegiatan pemasaran kedelai
yang bersifat musiman membuat sulit dilakukannya evaluasi ekonomi. Akibatnya,
biaya yang harus dikeluarkan untuk menetapkan harga dasar akan jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan biaya peningkatan produksi kedelai itu sendiri.
16
Tabel 4. Perkembangan Kebijakan Harga Dasar, Harga Produsen, Harga Pembelian dan Pengadaan Kedelai oleh Bulog, 1984-1991.
Tahun Harga Dasar (Rp/kg)
Harga Pembelian (Rp/Kg)
Harga Produsen (Rp/kg)
Perbedaan terhadap harga produsen (%)
Harga dasar Harga Pembelian 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991
280 300 300 300 325 370 400 500
293 313 313 313 340 385 415 520
458.34 468.47 517.00 612.15 665.17 766.22 705.11 766.22
63.93 56.33 72.00
100.33 104.61 80.54 76.25 53.20
56.66 49.84 64.86 94.89 95.59 73.51 69.88 47.31
Sumber : Statistik Bulog 1983-1993. Biro Gasar, Badan Urusan Logistik, Jakarta. Keterangan : Sejak 1984 sampai sekarang tidak ada lagi pengadaan kedelai dalam negeri oleh Bulog, dan
setelah 1991 tidak ada lagi penetapan harga dasar. Dalam kondisi pasar kedelai seperti tersebut di atas, pedagang swasta
dapat dengan baik melakukan kegiatan pembelian dan penyaluran kedelai secara
efisien. Pasar kedelai Indonesia cenderung bersifat kompetitif dan efisien
(Hayami, 1987 dalam Astuti, 1998). Perbedaan harga antar waktu (Peak and Off
season) adalah relatif rendah. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya pasokan,
produksi saat panen raya selalu terserap tanpa diikuti penurunan harga yang
berarti. Pada saat produksi langka, harga kedelai juga tidak meningkat melebihi
batas toleransi, disebabkan oleh adanya penyaluran kedelai impor. Dapat
dikatakan bahwa efektivitas kebijakan harga dasar ini juga terkait dengan
kebijakan proteksi harga melalui pengaturan impor kedelai.
(b). Kebijakan Kuota Impor (Non Tarif)
Kebijakan kuota untuk proteksi harga ini diakui telah berhasil mencapai
sasarannya dan berdampak positif dalam mendorong dan meningkatkan produksi
kedelai domestik (Rosegrant et al, 1987, dalam Hadipurnomo, 2000). Berdasarkan
hasil penelitian Altemeier dan Bottema (1991) dalam Rachman,et al (1996),
menunjukkan bahwa kebijakan ini juga lebih mampu mendorong produksi, adopsi
teknologi pemupukan maupun penyerapan tenaga kerja daripada kebijakan subsidi
17
pupuk. Namun kebijakan ini menjadi tidak relevan lagi dalam era globalisasi yang
menghendaki penghapusan kebijakan non tarif, dimana kebijakan kuota termasuk
kebijakan non tarif.
(c). Kebijakan Tarif Impor Kedelai
Upaya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri
merupakan awal munculnya kebijakan impor kedelai di Indonesia pada
pertengahan dasawarsa 1980-an. Perbandingan antara impor dan produksi kedelai
dalam negeri mencapai rata-rata 45 persen per tahun yang merupakan angka
tertinggi dibanding dengan dasawarsa 1970-an dan 1990-an (Rachman, et al,
1996).
Selain melakukan impor kedelai, untuk memenuhi permintaan di dalam
negeri, pemerintah juga terus mengupayakan untuk meningkatkan produksi
kedelai dalam negeri. Hal ini tentunya untuk mengurangi ketergantungan terhadap
kedelai impor, karena dengan meningkatnya produksi kedelai dalam negeri dapat
digunakan sebagai impor substitution (pengganti kedelai impor) dalam industri
yang menggunakan kedelai sebagai bahan baku produksi.
Kebijakan penggunaan tarif impor kedelai dapat dipakai sebagai alternatif
untuk melindungi produsen kedelai di dalam negeri. Dengan tingkat tarif bea
masuk tertentu akan dapat dibentuk tingkat harga yang tidak akan menyaingi
harga kedelai lokal. Strategi ini sejalan dengan era tarifikasi yang dikehendaki
dalam globalisasi perdagangan untuk menggantikan segala bentuk kebijakan non
tarif. Selama ini pemerintah menerapkan kebijaksanaan pengaturan tataniaga
untuk melindungi produsen dalam negeri. BULOG diserahi tugas untuk
melaksanakan kebijaksanaan tersebut dengan dukungan penuh.
18
Tingkat tarif bea masuk kedelai impor perlu diterapkan agar dapat
memberikan tingkat proteksi yang diperlukan untuk melindungi produsen kedelai
di dalam negeri. Tarif impor kedelai yang berlaku pada tahun 1983-1993 adalah
sebesar sepuluh persen, kemudian pada tahun 1994-1996 tarif diturunkan menjadi
lima persen, dimana Indonesia telah meratifikasi kesepakatan WTO melalui UU
No.7/1994, konsekuensinya adalah Indonesia dituntut untuk segera melakukan
penyesuaian kebijaksanaan pertanian dan kebijaksanaan perdagangannya. Bentuk
penyesuaian tersebut antara lain adalah penurunan tarif impor produk pertanian
dan pengurangan subsidi input pertanian. Berdasarkan Keputusan Menteri
No.444/KMK.01/1998, sejak tahun 1998-2003 tarif yang berlaku untuk impor
kedelai adalah 0 persen, sesuai dengan kesepakatan IMF yang tertuang dalam LOI
(Letter of Intent), dimana Indonesia wajib sepenuhnya mematuhi ketentuan yang
lebih berat dari ketentuan WTO, seperti penghapusan monopoli impor kedelai
oleh Bulog dan penurunan tarif bea masuk setinggi-tingginya lima persen. Alasan
pemerintah menetapkan tarif rendah adalah untuk memenuhi kebutuhan kedelai di
dalam negeri, namun setelah mngevaluasi dampak tarif terhadap petani dalam
negeri, dimana bea masuk nol persen sangat merugikan petani, maka pada tahun
2004 pemerintah menetapkan untuk menaikkan tarif impor kedelai menjadi
sepuluh persen. Direncanakan tarif tersebut akan berlaku sampai dengan tahun
2010 (Deptan, 2005).
Dengan berubahnya struktur proteksi akibat kebijakan baru yang diambil
maka kemungkinan besar akan terjadi perubahan struktur produksi di tingkat
petani. Harga yang menurun akibat rendahnya tarif impor mungkin akan
mempengaruhi keuntungan dan daya saing usahatani. Apabila selama dilindungi
19
dengan mekanisme tarif, organisasi produksi telah ditata sedemikian rupa dengan
tujuan yang sesuai dengan prinsip proteksi, maka pengurangan tarif tidak akan
banyak mempengaruhi struktur produksi komoditas tersebut di dalam negeri.
Namun sebaliknya bila selama diproteksi, kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan
untuk memperkuat daya saing, maka pengurangan tarif impor akan dapat
menghancurkan produksi dalam negeri.
2.4. Kajian Penelitian Terdahulu
Berdasarkan hasil penelitian Astuti (1998), dengan menggunakan Policy
Analysis Matrix (PAM), usahatani kedelai pada sebelas propinsi andalan
menguntungkan secara finansial yang ditunjukkan oleh keuntungan finansial yang
lebih besar dari nol yakni antara Rp 248.89/kg-Rp 679.88/kg artinya usahatani
layak diteruskan. Rasio Biaya Privat di sebelas propinsi andalan menunjukkan
nilai kurang dari satu yakni antara 0.3285-0.6870, artinya pengusahaan kedelai
memiliki keunggulan kompetitif. Ditinjau dari sisi ekonomi, usahatani kedelai di
sebagian besar propinsi andalan layak diteruskan ditunjukkan oleh keuntungan
ekonomi yang positif kecuali di propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur yang memperoleh keuntungan ekonomi negatif serta nilai Biaya
Sumberdaya Domestik (BSD) di atas satu.
Rachmawati (1999) melakukan penelitian mengenai perdagangan kedelai
Indonesia dengan penerapan Model Armington dengan pemecahan jangka pendek
dan pemecahan jangka panjang. Hasil analisis simulasi pemecahan jangka pendek
dan jangka panjang menyebutkan bahwa Indonesia responsif terhadap faktor
eksogen penggeser harga permintaan kedelai (perubahan, pajak ekspor dan biaya
transportasi). Indonesia juga responsif terhadap pergeseran penawaran, dengan
20
pengaruh impor terbesar terjadi pada perubahan permintaan impor dari Amerika
Serikat.
Hadipurnomo (2000), meneliti mengenai dampak kebijakan produksi dan
perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai di Indonesia dengan
menggunakan model persamaan simultan. Hasil yang diperoleh adalah bahwa
kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas areal panen,
produktivitas dan produksi terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada
di Pulau Jawa. Sedangkan kebijakan perdagangan berdampak pada perubahan
volume impor, harga impor dan permintaan kedelai, terutama permintaan kedelai
untuk industri kecap.
Kumenaung (1998) meneliti mengenai dampak kebijakan ekonomi dan
liberalisasi perdagangan terhadap keragaan Industri komoditas kedelai Indonesia
dengan menggunakan model persamaan simultan. Hasil pendugaan model
menunjukkan bahwa respon areal, produktivitas dan produksi lebih efisien
dikembangkan di luar Jawa. Hasil simulasi menunjukkan bahwa kebijakan yang
efektif mendorong pertumbuhan produksi adalah peningkatan harga kedelai
petani, penetapan tarif impor kedelai dan kombinasi kebijakan penghapusan tarif
impor kedelai, peningkatan suku bunga, peningkatan GNPI dan subsidi pupuk.
Kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi
adalah kombinasi kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga
kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk.
Mahardhika (2004), dengan menggunakan persamaan regresi linier
berganda meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan
impor gula di Indonesia. Produksi gula nasional dipengaruhi oleh tiga peubah
21
penjelas, yaitu luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula
domestik tahun sebelumnya. Peningkatan ketiga peubah penjelas tersebut akan
meningkatkan produksi gula nasional. Sedangkan untuk model impor gula
Indonesia dipengaruhi oleh empat peubah penjelas, yaitu produksi gula domestik
tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif
impor.
Situmorang (2005), meneliti mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dan impor beras di Indonesia, dengan menggunakan model persamaan
simultan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas areal panen padi dipengaruhi
oleh harga gabah di tingkat petani, harga pupuk urea, curah hujan, dan lag luas
areal panen. Semua variabel berpengaruh nyata terhadap luas areal tanaman padi.
Produktivitas padi dipengaruhi oleh jumlah penggunaan urea, dan lag
produktivitas. Harga gabah di tingkat petani dipengaruhi oleh harga dasar gabah,
harga impor beras, produksi padi, dan lag harga gabah. Impor beras Indonesia
dipengaruhi oleh harga impor beras, produksi beras, jumlah penduduk, nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar Amerika, dan lag impor beras. Harga impor beras
Indonesia dipengaruhi oleh harga beras dunia, tarif impor, dan lag harga impor.
Tabel 5. Ringkasan Penelitian-penelitian Terdahulu Nama Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil Penelitian
1.Widya Astuti (1998)
Analisis Keunggulan Kompetitif dan Komparatif serta Dampak Kebijaksanaan Pemerintah pada Pengusahaan Kedelai di Indonesia
Menganalisis keunggulan kompetitif dan komparatif pengusahaan kedelai di Indonesia serta pengaruh kebijakan pemerintah pada harga output dan input terhadap perkembangan produksi kedelai di Indonesia.
Policy Analysis Matrix (PAM)
Usahatani kedelai di sebelas propinsi andalan menguntungkan secara finansial, dimana pengusahaan kedelai memiliki keunggulan kompetitif.
22
2.Merry
Rachmawati (1999)
3.Tidar
Hadipurnomo (2000)
4.Anderson Guntur Kumenaung (2002)
Analisis Perdagangan Kedelai di Indonesia (Penerapan Model Armington) Dampak Kebijakan Produksi dan perdagangan Terhadap Penawaran dan Permintaan Kedelai di Indonesia. Dampak Kebijaka Ekonomi dan Liberalisasi Perdagangan terhadap Keragaan Industri
Mengkaji keragaan ekonomi kedelai di Indonesia dan dunia, menganalisis penawaran ekspor kedelai dan permintaan impor di pasar internasional, dan dampak kebijakan pemerintah Indonesia dan negara pengekspor terhadap perdagangan kedelai Indonesia. Menganalisis respon luas areal panen, produktivitas, impor, permintaan dan harga kedelai, mengevaluasi dampak kebijakan produksi dan perdagangan terhadap penawaran dan permintaan kedelai serta terhadap kesejahteraan produsen dan konsumen Mengevaluasi dan meramalkan pengembangan kedelai, mengkaji dampak kombinasi kebijakan
Model Armington (pemecahan jangka pendek dan pemecahan jangka panjang). Model Persamaan Simultan Model Persamaan Simultan
Indonesia responsif terhadap faktor eksogen penggeser harga permintaan kedelai (perubahan, pajak ekspor dan biaya transportasi). Indonesia juga responsif terhadap pergeseran penawaran, dengan pengaruh impor terbesar pada perubahan permintaan impor dari Amerika Serikat. Kebijakan produksi berdampak lebih besar pada perubahan luas areal panen, produktivitas dan produksi terutama di wilayah potensial luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa. Sedangkan kebijakan perdagangan berdampak pada perubahan volume impor, harga impor dan permintaan kedelai, terutama permintaan kedelai untuk industri kecap. Kombinasi kebijakan yang memberikan dampak pertumbuhan produksi tertinggi adalah kombinasi
23
5.Pranaya Yudha Mahardhika (2004) . 6.Manris Tua Situmorang (2005)
Komoditas Kedelai di Indonesia Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi dan Impor Gula di Indonesia. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Produksi dan Impor Beras di Indonesia.
ekonomi dan liberalisasi perdangangan terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi yang terlibat dalam bisnis ekonomi Mengetahui perkembangan produksi dan impor gula Indonesia, dan faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor gula di Indonesia Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi produksi dan impor beras di Indonesia
Model persamaan regresi linier berganda Model Persamaan Simultan
kebijakan penghapusan tarif impor kedelai, peningkatan harga kedelai petani, peningkatan suku bunga, dan pemberian subsidi pupuk. Produksi gula nasional dipengaruhi oleh luas areal tanaman tebu, produktivitas hablur, dan harga riil gula domestik tahun sebelumnya, sedangkan model impor gula Indonesia dipengaruhi oleh produksi gula domestik tahun sebelumnya, konsumsi gula nasional, harga riil gula internasional, dan tarif impor. Hasil analisis menunjukkan bahwa dugaan model cukup baik, dimana terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R2) dari masing-masing persamaan strukturalberkisar antara 0,54 sampai 0,98. Selain itu nilai F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 3,80 sampai 368,80.
24
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1. Kerangka Teoritis 3.1.1. Teori Penawaran dan Permintaan
Penawaran suatu komoditi baik barang maupun jasa merupakan jumlah
komoditi yang ditawarkan oleh produsen kepada konsumen dalam suatu pasar
pada tingkat harga dan waktu tertentu. Lebih lanjut dikatakan bahwa antara harga
dan jumlah yang ditawarkan ini mempunyai hubungan positif yaitu jika harga
naik maka jumlah komoditi yang ditawarkan semakin banyak. Adapun sumber
penawaran meliputi produksi pada waktu tertentu dan persediaan (stok) pada
waktu sebelumnya.
Menurut Iswardono (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran
suatu komoditi dapat digambarkan dengan fungsi sebagai berikut :
QSK = f (PK, PS, PI, G, T, TX)...............................................................................(3.1)
dimana :
QSK = Penawaran komoditi
PK = Harga komoditi yang bersangkutan
PS = Harga komoditi substitusi dan komplementer
PI = Harga faktor produksi
G = Tujuan perusahaan
T = Tingkat penggunaan teknologi
TX = Pajak dan subsidi
1. PK = Harga komoditi yang bersangkutan
Suatu hipotesa dasar ekonomi menyatakan bahwa harga sejumlah
komoditi mempunyai hubungan positif dengan jumlah yang ditawarkan yaitu
semakin tinggi harganya semakin besar jumlah yang ditawarkan, cateris paribus.
25
Hal ini karena peningkatan harga komoditi menyebabkan peningkatan keuntungan
yang akan memacu peningkatan produksi maupun penjualan hasil produksinya.
Jadi peningkatan harga dari suatu komoditi akan menyebabkan peningkatan
penawaran komoditi tersebut. Dengan demikian perubahan harga suatu komoditi
akan menyebabkan pergerakan sepanjang kurva penawaran.
2. PS = Harga komoditi substitusi dan komplementer
Berbagai komoditi dapat disubstitusi dan juga memiliki komoditi
pendukung, baik dalam produksi maupun konsumsi. Perubahan harga pada
komoditi substitusi dan komplementer akan mempengaruhi jumlah penawaran
pada komoditi yang bersangkutan. Peningkatan harga komoditi substitusi akan
menyebabkan berkurangnya jumlah penawaran komoditi bersangkutan. Dan
sebaliknya, penurunan harga komoditi substitusi akan menyebabkan peningkatan
jumlah penawaran komoditi yang bersangkutan. Sedangkan peningkatan harga
komoditi komplementer akan menyebabkan peningkatan jumlah penawaran
komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya penurunan pada harga komoditi
komplementer akan menyebabkan penurunan pula pada jumlah penawaran
komoditi yang bersangkutan.
3. PI = Harga faktor produksi
Harga suatu faktor produksi merupakan biaya yang harus dikeluarkan oleh
perusahaan. Dengan meningkatnya harga faktor produksi maka keuntungan yang
diterima perusahaan akan berkurang. Hal ini menyebabkan perusahaan akan
mengurangi jumlah produksinya. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa
peningkatan harga faktor produksi yang digunakan untuk memproduksi suatu
komoditi, akan menyebabkan berkurangnya jumlah komoditi yang ditawarkan.
26
4. G = Tujuan perusahaan
Jumlah komoditi yang ditawarkan juga tergantung apa tujuan perusahaan.
Tujuan suatu perusahaan tidak semata-mata memaksimumkan keuntungan saja.
Jika perusahaan lebih mementingkan volume produksi, perusahaan dapat
menghasilkan dan menjual lebih banyak.
5. T = Tingkat penggunaan teknologi
Teknologi berkorelasi positif dengan jumlah yang ditawarkan. Jika
perusahaan menggunakan teknologi baru, fungsi produksi akan bergeser ke atas
yang berarti produksi meningkat dan kurva biaya akan bergeser ke bawah yang
berarti biaya produksi berkurang. Keuntungan yang akan diperoleh menjadi lebih
besar. Jadi dapat disimpulkan, jumlah komoditi yang ditawarkan dipengaruhi oleh
tingkat penggunaan teknologi dalam proses produksinya.
6. TX = Pajak dan Subsidi
Adanya pajak seperti pajak penjualan, pajak penghasilan akan
mengakibatkan kenaikan pada ongkos produksi sehingga mengurangi insentif
untuk berproduksi. Maka penawaran komoditi tersebut akan berkurang.
Sebaliknya, pemberian subsidi akan mengurangi ongkos produksi dan
meningkatkan keuntungan, sehingga penawaran komoditi tersebut akan
meningkat.
Dalam pasar persaingan sempurna dengan menganggap faktor-faktor lain
tetap (cateris paribus) kecuali harga barang atau jasa yang bersangkutan,
perubahan harga komoditi tersebut dapat menyebabkan pergerakan sepanjang
kurva penawaran atau terjadi perubahan jumlah komoditi yang ditawarkan dalam
biaya produksi yang diakibatkan perubahan teknologi dan faktor lainnya.
27
Menurut Pappas dan Hirschey (1995), permintaan adalah jumlah barang
atau jasa yang rela dan mampu dibeli oleh konsumen selama periode tertentu.
sebagai berikut :
QDK = f (PK, PS, I, S, PD)...............................................................................(3.2)
dimana :
QDK = Permintaan Komoditi
PK = Harga komoditi itu sendiri
PS = Harga komoditi lain
I = Pendapatan
S = Selera
PD = Populasi Penduduk
1. PK = Harga komoditi itu sendiri
Dengan asumsi cateris paribus, peningkatan harga komoditi yang
bersangkutan akan menurunkan permintaannya, dan sebaliknya. Permintaan dan
harga komoditi yang bersangkutan memiliki hubungan yang negatif.
2. PS = Harga komoditi lain
Perubahan harga komoditi substitusi akan mempengaruhi permintaan atas
komoditi yang bersangkutan secara positif. Kenaikan harga komoditi substitusi
akan meningkatkan permintaan atas komoditi yang bersangkutan, dan sebaliknya.
Sedangkan perubahan harga barang komplementer dapat mengubah permintaan
komoditi yang bersangkutan secara negatif. Semakin tinggi harga barang
komplementer, semakin rendah permintaan atas komoditi yang bersangkutan.
3. I = Pendapatan
Kenaikan pendapatan cenderung meningkatkan permintaan untuk
komoditi yang berupa barang normal, dan sebaliknya.
28
4. S = Selera
Salah satu hal yang berpengaruh terhadap permintaan adalah selera.
Perubahan selera terjadi dari waktu ke waktu, dan cepat atau lambat akan
meningkatkan permintaan pada periode tertentu dan tingkat harga tertentu.
5. PD = Populasi Penduduk
Peningkatan jumlah penduduk dapat meningkatkan permintaan atas suatu
komoditi. Hal ini diakibatkan semakin banyak jumlah penduduk maka semakin
banyak konsumen yang menginginkan suatu komoditi.
3.1.2. Elastisitas
Suatu ukuran daya tanggap yang diperlukan dalam keseluruhan
pengambilan keputusan manajerial adalah elastisitas, yang didefinisikan sebagai
persentase perubahan dalam variabel dependen Y, yang dihasilkan dari perubahan
satu persen dalam nilai variabel independen X. Persamaan tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut :
Elastisitas Y terhadap X = persentase perubahan dalam Y persentase perubahan dalam X Sumber : (Pappas dan Hirschey, 1995)
Menurut Tomek dan Robinson (1987), elastisitas penawaran adalah
persentase perubahan jumlah yang ditawarkan sebagai respon terhadap perubahan
satu satuan harga dengan asumsi faktor lain dianggap konstan. Bila elastisitas
bernilai nol maka jumlah yang ditawarkan tetap dan tidak ada respon kuantitas
terhadap perubahan harga. Kondisi ini disebut inelastis sempurna. Sedangkan
penawaran yang elastis memiliki nilai lebih dari satu dan persentase perubahan
kuantitasnya lebih besar daripada persentase perubahan harganya. Penawaran
komoditas pertanian pada umumnya memiliki nilai inelastis disebabkan adanya
29
tenggang waktu antara waktu menanam dengan waktu memanen sehingga jumlah
yang ditawarkan tidak segera mengikuti perubahan harga yang terjadi.
Nicholson (2002) menjelaskan, nilai elastisitas penawaran terbagi menurut
rentang waktu pengambilan keputusan produsen, yaitu jangka pendek dan jangka
panjang. Jangka pendek mengacu pada periode waktu dimana produsen harus
mempertimbangan inputnya secara absolut bersifat tetap dalam mengambil
keputusan. Sebaliknya jangka panjang merupakan periode waktu dimana
produsen mempertimbangkan seluruh inputnya bersifat variabel dalam membuat
keputusan.
Sebagai contoh, elastisitas luas areal terhadap harga (EAP) adalah angka
yang menunjukkan persentase perubahan luas areal akibat perubahan harga
sebesar satu persen. Misalnya EAP bernilai 2, berarti setiap peningkatan harga
kedelai sebesar satu persen mengakibatkan perubahan peningkatan luas areal
sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai satu persen
mengakibatkan penurunan luas areal sebesar dua persen. EAP bernilai -2, berarti
setiap peningkatan harga kedelai sebesar satu persen mengakibatkan penurunan
luas areal sebesar dua persen, atau setiap penurunan harga kedelai sebesar satu
persen mengakibatkan peningkatan luas areal sebesar dua persen.
3.1.3. Teori Produksi
Lipsey (1993) mengatakan bahwa produksi adalah tindakan dalam
membuat komoditi, baik berupa barang maupun jasa. Dalam pertanian, proses
produksi begitu kompleks dan terus menerus berubah seiring dengan kemajuan
teknologi. Tidak ada produk yang dihasilkan dengan menggunakan satu input.
Dalam produksi banyak digunakan input-input untuk menghasilkan output.
30
Fungsi produksi menggambarkan hubungan antara input dan output, juga
menggambarkan tingkat dimana sumberdaya diubah menjadi produk (Doll dan
Orazem, 1984). Ada banyak hubungan input output dalam pertanian karena
tingkat dimana input diubah menjadi output akan berbeda-beda diantara tipe
tanah, hewan, teknologi, curah hujan dan faktor lainnya. Tiap hubungan input
output menggambarkan kuantitas dan kualitas dari sumberdaya yang dibutuhkan
untuk menghasilkan produk tertentu.
Lipsey (1993) juga mengatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan
fungsi yang memperlihatkan output maksimum yang dapat diproduksi oleh setiap
input dan oleh kombinasi berbagai input. Nicholson (2002) menyatakan bahwa
fungsi produksi memeperlihatkan jumlah maksimum sebuah barang yang dapat
diproduksi dengan menggunakan kombinasi alternatif antara modal (K) dan
Tenaga kerja (L).
Sebuah fungsi produksi dapat digambarkan dalam cara yang berbeda ;
dalam bentuk tertulis, menyebutkan dan menggambarkan tiap input yang
berhubungan dengan output ; dengan membuat daftar input dan hasil output secara
numerik dalam tabel ; dalam bentuk grafik atau diagram ; dan dalam bentuk
persamaan aljabar. Secara matematis fungsi produksi dapat ditulis sebagai berikut:
Y = f (X1, X2, X3,......,Xn).......................................................................(3.3)
Dimana Y adalah output dan X1,......Xn adalah input-input yang berbeda yang
terlibat dan ambil bagian dalam produksi Y. Simbol f menggambarkan bentuk
hubungan dari perubahan input menjadi output.
31
3.1.4. Respon Areal dan Produktivitas Kedelai
Respon areal adalah perubahan pada areal tanam atau panen, sedangkan
respon produktivitas merupakan perubahan dalam hasil per hektarnya. Perubahan-
perubahan tersebut tidak terlepas dari kondisi lingkungan yang dinamis yang
secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi petani dalam
membuat keputusan di bidang usahataninya. Kondisi-kondisi tersebut seperti yang
telah disebutkan adalah perubahan harga komoditas itu sendiri (Pq), perubahan
harga komoditas alternatifnya (Pj), perubahan harga input yang berpengaruh pada
biaya produksi (Pi), ketersediaan dan perkembangan teknologi (T), perubahan
iklim (CH), kebijakan pemerintah (Kb), dan luas areal sebelumnya (At-1) (Tomek
dan Robinson, 1987).
Masing-masing variabel mempengaruhi areal tanam atau panen secara
berbeda-beda. Dengan berasumsi bahwa produsen akan berperilaku rasional yaitu
mengalokasikan sumberdaya produksinya untuk komoditas yang memberikan
laba yang lebih besar, sehingga semakin tinggi harga suatu komoditas, maka
semakin luas areal tanam atau areal panennya, sehingga produksi akan meningkat.
Variabel lain yang juga berpengaruh terhadap respon areal tanam atau
panen adalah harga komoditas alternatif. Komoditas alternatif dapat berupa
komoditas pesaing (kompetitif) atau sebagai komoditas substitusi maupun
komoditas pendukung (komplementer). Dengan semakin tingginya harga
komoditas pesaing maka luas areal tanam komoditas kedelai akan semakin sempit.
Sebaliknya jika harga komoditas komplementer meningkat maka luas areal tanam
kedelai akan meningkat pula. Tanda elastisitas silang dari fungsi respon areal
32
kedelai akan menunjukkan hubungan antara komoditas kedelai dengan komoditas
kompetitif dan komoditas alternatifnya.
Variabel selanjutnya yang turut mempengaruhi luas areal, adalah harga-
harga input, kerena variabel harga input akan mempengaruhi tingkat penggunaan
input. Semakin tinggi harga-harga input maka penggunaannya akan semakin
berkurang, sehingga luas areal tanam yang produktif akan semakin sempit dan
output semakin menurun.
Menurut Tomek dan Robinson (1987), faktor-faktor lain yang juga
berpengaruh terhadap luas areal adalah kebijakan pemerintah seperti pengendalian
atau kebijakan harga dan kebijakan pengembangan suatu komoditas. Kebijakan
pemerintah mempunyai pengaruh yang langsung dan tidak langsung terhadap
mekanisme harga. Dengan adanya kebijakan pemerintah dalam pengembangan
suatu komoditas, maka pemerintah akan mencurahkan dana bagi pengembangan
areal tanam atau areal panennya.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi respon luas areal, maka
dapat dirumuskan persamaan sebagai berikut :
At = a(Pqt, Pjt, Pit, Tt, CHt, Kbt, At-1).......................................................(3.4)
Sementara itu, faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kedelai
menurut Hadipurnomo (2000), adalah harga kedelai itu sendiri (Pq), luas areal
(A), teknologi (T), kapital (K), jumlah pemakaian pupuk (F), jumlah pemakaian
bibit (V), dan upah tenaga kerja (L) dan produktivitas tahun sebelumnya (Yt-1).
Dengan demikian respon produktivitas adalah :
Yt = y(Pqt, At, Tt, Kt, Ft, Vt, Lt, Yt-1)......................................................(3.5)
Karena itu, produksi kedelai (Q) dapat dirumuskan sebagai berikut :
33
Qt = At * Yt............................................................................................(3.6)
3.1.5. Respon Beda Kala Produksi Kedelai
Salah satu karakteristik utama produk pertanian adalah adanya tenggang
waktu (gestation period) antara menanam dengan memanen. Dengan demikian
hasil yang diperoleh petani didasarkan pada perkiraan-perkiraan di masa
mendatang serta pengalamannya di masa lalu. Jika terjadi peningkatan harga
produk pertanian pada waktu tertentu, maka peningkatan tersebut segera direspon
oleh peningkatan areal panen maupun produktivitas. Hal ini disebabkan keputusan
alokasi sumberdaya telah ditetapkan pada saat sebelumnya. Oleh karena itu,
pengaruh kenaikan harga tersebut baru terlihat pada periode tanam berikutnya.
Berdasarkan hal tersebut, Nerlove mengembangkan suatu model penyesuaian
parsial yang mampu menjelaskan hubungan spesifik antara harga harapan dengan
harga di masa lalu.
Bedasarkan penelitian Hadipurnomo (2000), model distribusi beda kala
penyesuaian parsial yang dikembangkan Nerlove merupakan model yang populer
digunakan dalam studi-studi respon penawaran. Dalam bentuk yang paling
sederhana misalnya dalam konteks respon kedelai. Areal panen kedelai yang
diinginkan (A*) dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi, maka persamaannya
menjadi :
A*t = β0 + βPt + ut....................................................................................(3.7)
dimana,
A*t = areal panen yang diinginkan pada tahun t
Pt = harga kedelai pada tahun t
34
Luas areal yang diharapkan tidak dapat diamati secara langsung sehingga
untuk mengatasinya dikalikan suatu hipotesis yang merupakan hipotesis perilaku
penyesuaian parsial.
At- At-1 = δ (A*t –At-1) + vt....................................................................(3.8)
dimana,
At – At-1 = perubahan luas panen aktual
A*t – At-1 = perubahan luas panen yang diharapkan
δ = koefisien penyesuaian, 0 ≤ δ ≤ 1
Perubahan areal yang sebenarnya terjadi merupakan proporsi tertentu dari
perubahan yang diinginkan. Proporsi tertentu ini disebut koefisien penyesuaian
parsial (δ). Nilai δ ini terletak di antara dua nilai ekstrim 0 dan 1, jika :
δ = 0, maka tidak ada perubahan apapun dalam areal
δ = 1, maka areal yang diharapkan sama dengan yang dicapai sehingga
penyesuaiannya terjadi seketika (dalam periode waktu yang sama).
Persamaan (3.8) dapat diatur kembali sehingga dapat dituliskan :
At = δA*t + (1-δ) At-1 + vt.....................................................................(3.9)
Areal panen kedelai yang diamati pada periode tertentu dipengaruhi oleh
luas areal yang panen yang diinginkan pada saat itu dan luas panen yang ada
dalam periode waktu sebelumnya. Bila mensubstitusikan persamaan (3.7), ke
persamaan (3.9), akan diperoleh :
At = δ( β0 + β1P1 + u1) + (1-δ)At-1 + vt
At = δβ0 + δβ1P1 + (1-δ)At-1 + (vt + δut)
At = β0* + β1*P1 + β2*At-1 + v1*...........................................................(3.10)
35
Dimana β0* = δβ0 merupakan konstanta, β1*= δβ1 dan β2* = 1-δ merupakan
parameter yang diduga dan vt* = (vt + δut) adalah peubah penganggu. Persamaan
ini menunjukkan suatu fungsi dalam bentuk yang dinamis yang ditunjukkan
dengan adanya peubah At-1. Model ini merupakan model penyesuaian parsial
Nerlove. Model ini menunjukkan bahwa besarnya nilai peubah pada suatu periode
sebagian dipengaruhi oleh cadangan yang tersedia di awal periode atau cadangan
hasil periode sebelumnya.
Sama halnya dengan model respon areal panen, model respon
produktivitas (Yt) juga mengalami penyesuaian parsial. Dengan mengikuti
langkah-langkah sebelumnya, diperoleh model respon produktivitas sebagai
berikut :
Yt = σα0 + σα1Pt + (1-σ)Yt-1 + (vt + δut)
Yt = α0* + α1*Pt + α2*Yt-1 + vt*............................................................(3.11)
dimana, α0* = σα0 ; α1* = σα1 ; α2* = (1-σ) ; vt*= (vt + δut).
3.1.6. Teori Dasar Perdagangan Internasional
Dalam arti sempit, perdagangan internasional adalah merupakan suatu
masalah yang timbul sehubungan dengan pertukaran komoditi antara negara
(Gonarsyah, 1984). Lebih lanjut dikatakan bahwa pada dasarnya faktor yang
mendorong timbulnya perdagangan internasional dari suatu negara ke negara lain
bersumber dari keinginan memperluas pemasaran komoditi ekspor dan
memperbesar penerimaan devisa dalam penyediaan dana pembangunan dari
negara yang bersangkutan.
36
Di dalam teorinya mengenai timbulnya perdagangan, Heckscher-Ohlin
menganggap bahwa negara dicirikan oleh bawaan faktor yang berbeda, sedangkan
fungsi produksi di semua negara adalah sama. Dengan menggunakan asumsi
tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dengan fungsi produksi yang sama dan
faktor bawaan yang berbeda antar negara, suatu negara cenderung untuk
mengekspor komoditi yang secara relatif intensif dalam menggunakan faktor
produksi yang relatif banyak dimiliki.
Teori perdagangan internasional mengkaji dasar-dasar terjadinya
perdagangan internasional serta keuntungan yang diperolehnya. Kebijakan
perdagangan internasional membahas alasan-alasan serta pengaruh pembatasan
perdagangan, serta hal-hal menyangkut proteksionisme baru (new protectionism)
(Salvatore, 1997). Ilmu makroekonomi negara terbuka membahas mekanisme
penyesuaian dan ketidaksesuaian neraca pembayaran (surplus dan defisit) seperti
halnya pengaruh saling ketergantungan antar negara di bawah sistem moneter
internasional yang berbeda, serta pengaruhnya terhadap kesejahteraan sebuah
negara.
Teori dan kebijakan perdagangan internasional merupakan aspek mikro
ekonomi internasional sebab berhubungan dengan masing-masing negara sebagai
individu yang diperlakukan sebagai unit tunggal, serta berhubungan dengan harga
relatif suatu komoditi.
Secara teoritis, suatu negara (sebut saja negara 1) akan mengekspor suatu
komoditi (misalnya kedelai) ke negara lain (misalnya negara 2) apabila harga
domestik di negara 1 (sebelum terjadinya perdagangan) relatif lebih rendah bila
dibandingkan dengan harga domestik di negara 2 (Gambar 1). Struktur harga yang
37
relatif lebih rendah di negara 1 tersebut disebabkan karena adanya kelebihan
penawaran (excess supply) yaitu produksi domestik melebihi konsumsi domestik,
sebesar segitiga ABE. Dalam hal ini faktor produksi di negara 1 relatif berlimpah.
Dengan demikian negara 1 mempunyai kesempatan menjual kelebihan
produksinya ke negara lain. Di lain pihak, negara 2 mengalami kekurangan suplai
kedelai karena konsumsi domestiknya melebihi produksi domestik (excess
demand), sebesar segitiga A’B’E’ sehingga harga menjadi lebih tinggi. Pada
kesempatan ini negara 2 berkeinginan untuk membeli komoditi kedelai dari
negara lain yang harganya relatif murah.
Gambar 1. Kurva Proses TerjadinyaPerdagangan Internasional Sumber : Salvatore, 1997 ,hal 84 Apabila kemudian terjadi komunikasi antara negara 1 dan 2, maka akan
terjadi perdagangan antara kedua negara tersebut. Dalam hal ini negara 1 akan
mengekspor kedelai ke negara 2.
Dapat dilihat pada Gambar 1, sebelum terjadinya perdagangan
internasional, harga di negara 1 adalah sebesar P1 sedangkan di negara 2 sebesar
P3. Suplai di pasar internasional akan terjadi jika harga internasional lebih besar
Dx 0 0 0
Dx
Sx
Sx
S
D
B E
A
B*
A*
E*
A’’
B’ E’
A’
Ekspor
Impor
X X X
Px/Py Px/Py Px/Py
Panel A (eksportir) Pasar di negara 1 untuk komoditi X
Panel B Hubungan perdagangan internasional dalam komoditi X
Panel C ( importir) Pasar di negara 2 untuk komoditi X
P3
P2
P1
38
daripada P1, sedangkan permintaan di pasar internasional akan terjadi jika harga
internasional lebih rendah dari P3. Pada saat harga internasional sama dengan
harga P2 maka di negara 2 terjadi kelebihan permintaan sebesar A’B’E’,
sedangkan jika harga internasional sebesar P2 maka di negara 1 akan terjadi
kelebihan suplai sebesar ABE. Perpaduan antara kelebihan penawaran di negara 1
dan kelebihan permintaan di negara 2 akan menentukan harga yang terjadi di
pasar internasional, yaitu sebesar P2. Dengan adanya perdagangan tersebut maka
negara 1 akan mengekspor suatu komoditi (misalnya kedelai) sebesar ABE,
sedangkan negara 2 akan mengimpor kedelai sebesar A’B’E’. Di pasar
internasional besarnya ABE akan sama dengan A’B’E’. Dengan kata lain,
besarnya ekspor suatu komoditi dalam perdagangan internasional akan sama
dengan besarnya impor komoditi tersebut.
Harga yang terjadi di pasar internasional merupakan harga keseimbangan
antara penawaran dan permintaan dunia. Perubahan dalam produksi dunia akan
mempengaruhi penawaran dunia, sedangkan perubahan dalam konsumsi dunia
akan mempengaruhi permintaan dunia. Kedua perubahan tersebut pada akhirnya
akan mempengaruhi harga dunia.
3.1.7. Fungsi Impor
Permintaan impor suatu negara merupakan selisih konsumsi domestik
dikurangi produksi domestik dan dikurangi stok pada akhir tahun lalu. Secara
matematik, impor dapat digambarkan sebagai berikut (Purwanti, 1995) :
Mt = Ct – Qt – St-1 ...................................................................(3.12)
Dimana : Mt = Jumlah impor pada tahun ke-t
Ct = Jumlah konsumsi domestik pada tahun ke-t
39
Qt = Jumlah produksi domestik pada tahun ke-t
St-1 = Sisa stok pada tahun ke- t-1
Selain faktor-faktor domestik dia atas, fungsi impor suatu negara juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar negeri, yaitu nilai tukar atau exchange
rate (ERt), dan harga impor (Pigt). Dengan demikian, secara teoritis fungsi impor
komoditas pertanian suatu negara dapat ditulis :
Mt = f ( Qt, Ct, St-1, ERt, Pigt)....................................................(3.13)
Terdapat beberapa variabel yang akan mempengaruhi permintaan impor suatu
negara seperti biaya transportasi (BT), tarif (T), Selera konsumen (S), distribusi
pendapatan (DP), dan populasi (P), yang dapat menciptakan hasil yang lebih
akurat (Oktaviani, 2000).
3.1.8. Tarif
Dalam arti luas kebijakan ekonomi internasional adalah tindakan atau
kebijakan ekonomi pemerintah yang secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi komposisi, arah serta bentuk daripada perdagangan dan
pembayaran internasional. Kebijakan ini dapat berupa tarif atau bea masuk,
pelarangan impor, kuota, subsidi. (Nopirin, 1999).
Berdasarkan tujuannya, kebijakan tarif impor (import duty atau import
tarriff) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : a) Tarif proteksi, yaitu merupakan
pengenaan tarif bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi barang
tertentu, b) Tarif Revenue, yaitu pengenaan tarif bea masuk yang bertujuan untuk
meningkatkan penerimaan negara.
Menurut Hamdy (2000), jika dilihat dari tujuannya maka fungsi tarif bea
masuk adalah untuk mengatur perlindungan kepentingan ekonomi dalam negeri
40
(regulend function), sebagai salah satu sumber penerimaan negara (budgeter
function), dan fungsi pemerataan yaitu untuk pemerataan distribusi pendapatan
nasional.
Pada Gambar 2 dapat dilihat analisis efek dari tarif secara parsial. Pada
saat harga P0 titik keseimbangan adalah e dimana perekonomian berada dalam
keadaan autarki, dengan kondisi tidak ada ekspor dan impor, produksi dalam
negeri sama dengan konsumsi dalam negeri.
Pada harga Pw, perekonomian berada dalam keadaan free trade, dimana
produksi dalam negeri sebesar OQ1 sementara konsumsi dalam negeri OQ2
sehingga dibutuhkan impor sebesar Q1Q2. Terhadap impor ini pemerintah
mengenakan tarif atau bea masuk sebesar Pt – Pw, yang akan berdampak pada
naiknya harga dari Pw menjadi Pt (Price effect), konsumsi dalam negeri berkurang
dari OQ2 menjadi OQ4 (consumption effect).
Sementara produksi dalam negeri meningkat dari OQ1 menjadi OQ3
(import substitution effect/protective) sehingga impor akan berkurang menjadi
Q3Q4. Selanjutnya pemerintah mendapat penerimaan sebesar ruang fgkj (revenue
effect). Dari analisis tersebut dapat pula diketahui banwa redistribusi income atau
subsidi yang berasal dari konsumen kepada produsen dikarenakan adanya tarif
adalah sebesar PwPtfh.
41
Gambar 2. Kurva Analisis Dampak Tarif Keterangan : Pt – Pw = Besar tarif impor P0 = Harga domestik kedelai di negara importir Sumber : Salvatore, 1997,hal 274 Pemberlakuan tarif ini merugikan konsumen karena konsumen harus
membayar harga yang lebih tinggi. Kerugian ini akan diimbangi dengan adanya
pendapatan pemerintah dari tarif, yakni tarif impor dikalikan kuantitas impor
setelah tarif ditetapkan adalah sebesar fgkj dan ekstra pendapatan yang diterima
produsen dalam negeri karena adanya tarif sebesar PwPtfh, sehingga kerugian
bersih masyarakat (dead weight loss/society loss) akibat tarif tersebut adalah
sebesar (hfg + jki), dimana hfg (producer loss) yang mencerminkan beban baku
akibat produksi kedelai domestik yang berlebihan dan jki (consumer loss) yang
merupakan beban baku akibat konsumsi kedelai yang terlalu rendah. Dengan
adanya pemberlakuan tarif ini akan menguntungkan pihak produsen dan
pemerintah, namun merugikan konsumen.
Harga
Free trade
D0 S0
P0
Pt
Pw
Q1 Q3 Q0 Q4 Q2
e
k
i
f
h g j
O
42
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional
Pada prinsipnya penawaran kedelai tergantung kepada dua variabel yaitu
luas areal panen dan produktivitas. Penurunan luas areal produksi yang
disebabkan oleh penurunan harga riil kedelai, persaingan dengan komoditi lain,
dan lebih rendahnya harga riil kedelai impor dibanding harga riil kedelai lokal
akan mengakibatkan penurunan luas areal panen. Sedangkan produktivitas kedelai
masih rendah dan cenderung stagnan. Rendahnya produktivitas ini disebabkan
oleh belum populernya penggunaan benih bermutu dan bersertifikasi, kemudian
jenis areal lahan yang bermasalah dalam hal ketersediaan air, gangguan hama
penyakit, waktu tanam yang belum tepat, serta belum sempurnanya penerapan
teknologi oleh petani.
Sementara itu, karena jumlah penduduk semakin meningkat maka
berimplikasi terhadap peningkatan permintaan kedelai sebagai sumber pangan.
Selain itu meningkatnya kebutuhan kedelai juga disebabkan oleh berkembangnya
berbagai industri pengolahan yang menggunakan bahan baku kedelai, seperti
industri tahu dan kecap.
Laju permintaan kedelai yang terus meningkat ini tidak mampu diimbangi
oleh produksi kedelai domestik, akibatnya lag antara konsumsi dan produksi
kedelai domestik harus dipenuhi melalui impor. Selain karena kapasitas produksi
dalam negeri yang tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumsi, pengaruh
liberalisasi perdagangan turut pula merangsang aliran impor kedelai ke Indonesia.
Saat ini kebijakan pemerintah di bidang perdagangan kurang berpihak kepada
produsen atau petani kedelai dalam negeri, dimana tarif atau bea masuk impor
kedelai yang berlaku saat ini adalah hanya 10 persen. Sementara negara
43
pengekspor memberikan subsidi bagi petaninya dan memberi kredit lunak bagi
importir Indonesia, sehingga mempertinggi volume impor kedelai.
Berdasarkan uraian di atas, maka dibuat model persamaan produksi dan
impor kedelai Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah
model persamaan simultan. Setelah melakukan spesifikasi dan identifikasi model,
akan dilakukan analisis untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi produksi
dan impor kedelai Indonesia. Diharapkan hasil analisis yang diperoleh dapat
digunakan oleh seluruh stake holder untuk memajukan produksi kedelai Indonesia
serta mengurangi ketergantungan terhadap impor kedelai. Selain itu hasil analisis
juga diharapkan dapat menjadi literatur bagi penelitian-penelitian selanjutnya.
48
Di dalam model persamaan simultan, terdapat dua jenis persamaan yaitu
persamaan identitas dan persamaan struktural, dimana persamaan struktural
menunjukkan pengaruh langsung dari setiap variabel bebas terhadap variabel tak
bebas.
Berdasarkan kerangka pemikiran operasional yang telah dibangun maka
dibentuklah model persamaan produksi dan impor kedelai di Indonesia. Model
persamaan yang dirumuskan dalam penelitian ini terdiri dari satu persamaan
identitas, yaitu fungsi produksi kedelai, dan enam persamaan struktural, yaitu
fungsi luas areal panen kedelai, fungsi produktivitas kedelai, fungsi harga kedelai
lokal atau domestik, fungsi harga kedelai di tingkat produsen, fungsi impor
kedelai Indonesia dan fungsi harga impor kedelai Indonesia. Model persamaan
terdiri dari 7 variabel endogen dan 16 variabel eksogen. Setiap variabel harga
telah dideflasi menggunakan indeks harga konsumen (1995=100). Indeks harga
konsumen dipilih, karena merupakan indeks harga yang umum digunakan dalam
penelitian, selain itu data indeks harga yang tersedia dari berbagai sumber hanya
indeks harga konsumen. Variabel dummy yang dipilih adalah dummy monopoli
BULOG, sedangkan dummy krisis moneter tidak dimasukkan, karena hasil olah
data ketika dummy krisis moneter dimasukkan tidak menghasilkan model yang
baik.
4.3.1. Fungsi Produksi Kedelai
Produksi kedelai pada tahun ke-t (QKt) merupakan perkalian antara luas
areal panen atau luas areal produktif (LAPt) dengan produktivitas kedelai pada
tahun tersebut (Yt).
Persamaan produksi kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut :
49
QKt = LAPt * Yt................................................................................................(4.1)
dimana ; QKt = produksi kedelai pada tahun ke-t (ton)
LAPt = luas areal panen kedelai tahun ke-t (ha)
Yt = produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha)
4.3.2. Fungsi Luas Areal Panen Tanaman Kedelai
Luas areal panen digunakan dalam model fungsi luas areal sebab diduga
sebagai proksi terhadap luas areal tanam yang dihasilkan. Luas areal panen
tanaman padi (LAPt) dipengaruhi oleh harga riil kedelai domestik (PRt), harga riil
jagung (PJt), curah hujan (CHt), harga riil benih kedelai (PBt) dan luas areal panen
tahun sebelumnya (LAPt-1). Variabel harga riil jagung dipilih untuk dimasukkan
ke dalam persamaan, karena merupakan kompetitor utama tanaman kedelai,
sedangkan tanaman palawija lainnya bukan merupakan kompetitor utama.
Persamaan luas areal panen tanaman kedelai dirumuskan sebagai berikut:
LAPt = a0 + a1PRt + a2PJt + a3CHt + a4PBt + a5LAPt-1 + μ1...................(4.2)
dimana ; LAPt = luas areal panen tanaman kedelai tahun ke-t (ha)
PRt = harga rill kedelai domestik tahun ke-t (Rp/kg)
PJt = harga riil jagung tahun ke-t (Rp/kg)
CHt = curah hujan tahun ke-t (mm/tahun)
PBt = harga riil benih kedelai (Rp/kg)
LAPt-1 = luas areal panen tanaman kedelai tahun sebelumnya (ha)
a0 = intersep
ai = parameter yang diduga (i= 1,2,3,4,.....,7)
μ1 = variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, a1,a3>0 ; a2,a4<0 ; 0<a5<1
50
4.3.3. Fungsi Produktivitas Kedelai
Produktivitas kedelai (Yt) dipengaruhi oleh jumlah penggunaan pupuk
urea (JPPt), curah hujan (CHt), harga riil jagung (PJt), harga riil kedelai di tingkat
produsen (PDt) dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya (Yt-1). Persamaan
produktivitas kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut :
Yt = b0 + b1JPPt +b2CHt +b3PJt + b4PDt + b5Yt-1 + μ2........................(4.3)
dimana ; Yt = produktivitas kedelai pada tahun ke-t (ton/ha)
JPPt = jumlah penggunaan pupuk urea (kg/ha)
CHt = curah hujan tahun ke-t (mm/tahun)
PJt = harga riil jagung tahun ke-t (Rp/kg)
PDt = harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
Yt-1 = produktivitas kedelai pada tahun sebelumnya (ton/ha)
b0 = intersep
bi = parameter yang diduga (i = 1,2,3,4)
μ2 = variabel pengganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, b1, b2 ,b4> 0 ; b3< 0 ; 0<b5<1
4.3.4. Fungsi Harga Kedelai Lokal atau Domestik
Harga riil kedelai domestik (PRt) diduga dipengaruhi oleh harga kedelai
tingkat produsen (PDt), harga kedelai impor riil Indonesia (PMt), jumlah impor
kedelai (IKt), produktivitas (Yt) dan harga riil kedelai tahun sebelumnya (PRt-1).
Persamaan harga riil kedelai domestik dapat dirumuskan sebagai berikut :
PRt = c0 + c1PDt + c2PMt+ c3IKt + c4Yt + c5PRt-1 + μ3..........................(4.4)
dimana ; PRt = harga riil kedelai domestik tahun ke-t (Rp/kg)
PDt = harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
51
PMt = harga kedelai impor riil Indonesia (Rp/kg))
IKt = jumlah impor kedelai Indonesia (ton)
Yt = produktivitas kedelai (ton per hektar)
PRt-1= harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya (Rp/kg)
c0 = intersep
ci = parameter yang diduga (i = 1,2,3,4,5)
μ3 = variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, c1,c2>0 ; c3,c4<0 ; 0<c5<1
4.3.5. Fungsi Harga Kedelai di Tingkat Produsen
Harga kedelai di tingkat produsen (PDt) diduga dipengaruhi, jumlah
produksi kedelai Indonesia (QKt), jumlah impor kedelai Indonesia (IKt), jumlah
konsumsi kedelai (Ct), dummy monopoli Bulog (DBt), dan harga riil kedelai di
tingkat produsen tahun sebelumnya (PDt-1). Persamaan harga riil kedelai di tingkat
produsen dapat dirumuskan sebagai berikut :
PDt = d0 + d1QKt + d2IKt + d3Ct + d4DBt + d5PDt-1 + μ4.......................(4.5)
dimana ; PDt = harga riil kedelai di tingkat produsen (Rp/kg)
QKt = jumlah produksi kedelai domestik (ton)
IKt = jumlah impor kedelai Indonesia (ton)
Ct = jumlah konsumsi kedelai nasional (ton)
DBt = dummy monopoli Bulog, nilai 1 = ada monopoli Bulog ;
nilai 0 = tidak ada monopoli Bulog
PDt-1 = harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya
(Rp/kg).
d0 = intersep
52
di = parameter yang diduga (i = 1,2,3,4)
μ4 = variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan; d3, d4>0 ; d1,d2<0 ; 0<d5<1
4.3.6. Fungsi Impor Kedelai Indonesia
Jumlah impor kedelai Indonesia (IKt) dipengaruhi oleh harga kedelai
Internasional (PWt), jumlah produksi kedelai domestik (QKt), jumlah konsumsi
kedelai Indonesia tahun ke-t (Ct), jumlah populasi penduduk (POPt), dan jumlah
impor kedelai tahun sebelumnya (IKt-1). Persamaan jumlah impor kedelai dapat
dirumuskan sebagai berikut :
IKt = e0 + e1PWt + e2QKt + e3Ct + e4POPt + e5IKt-1 + μ5...................(4.6)
dimana ; IKt = jumlah impor kedelai Indonesia tahun ke-t (ton)
PWt = harga kedelai Internasional (Rp/kg)
QKt = jumlah produksi kedelai (ton)
Ct = jumlah konsumsi kedelai domestik (ton)
POPt = jumlah penduduk Indonesia tahun ke-t (ton)
IKt-1 = jumlah impor kedelai Indonesia tahun sebelumnya (ton)
d0 = intersep
di = parameter yang diduga (i = 1,2,3,4,5)
μ5 = variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, e1,e2<0 ; e3, e4>0 ; 0<e5<1
4.3.7. Fungsi Harga Impor Kedelai Indonesia
Harga impor riil kedelai Indonesia (PMt) dipengaruhi oleh harga kedelai
internasional (PWt), nilai tukar (ERt), dummy monopoli Bulog (DBt), tarif impor
53
kedelai (TIt) dan harga impor kedelai tahun sebelumnya (PMt-1). Persamaan harga
impor riil kedelai dapat dirumuskan sebagai berikut :
PMt = f0 + f1PWt + f2ERt + f3DBt + f4TIt + f5PMt-1 + μ6.....................(4.7)
dimana ; PMt = harga rill kedelai impor Indonesia tahun ke-t (Rp/kg))
PWt = harga kedelai internasional (Rp/kg)
ERt = nilai tukar Rupiah terhadap USDollar tahun ke-t Rp/US$)
DBt = dummy monopoli Bulog
TIt = tarif impor kedelai (%)
PMt-1 = harga riil kedelai impor tahun sebelumnya (Rp/kg)
e0 = intersep
e1 = parameter yang diduga (i = 1,2,3)
μ6 = variabel penganggu
Nilai dugaan parameter yang diharapkan, f1,f2,f3,f4>0 ; 0<f5>1
4.4. Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah, formulasi hipotesis terutama ditentukan
melalui kerangka pemikiran, tujuan penelitian, serta model analisis yang telah
diuraikan sebelumnya, maka dapat diajukan suatu hipotesis penelitian. Hipotesis
didasarkan pada fungsi-fungsi di atas yang diduga ada beberapa variabel eksogen
yang memiliki hubungan signifikan terhadap variabel endogen. Variabel-variabel
tersebut dapat diukur serta data untuk masing-masing variabel tersebut tersedia.
Adapun hipotesis utama yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah :
1. Diduga luas areal tanaman kedelai dipengaruhi secara positif oleh harga
riil kedelai domestik, curah hujan rata-rata dan luas areal panen tahun
54
sebelumnya . Sedangkan harga riil jagung dan harga riil benih kedelai
berpengaruh negatif terhadap luas areal panen.
2. Diduga produktivitas kedelai dipengaruhi secara positif oleh Jumlah
penggunaan pupuk urea, curah hujan, harga kedelai di tingkat produsen
dan produktivitas kedelai tahun sebelumnya. Sedangkan harga riil jagung
berpengaruh negatif terhadap produktivitas kedelai.
3. Diduga jumlah impor kedelai Indonesia dipengaruhi secara positif oleh
jumlah konsumsi kedelai Indonesia, jumlah populasi penduduk Indonesia,
dan jumlah impor kedelai tahun sebelumnya. Sedangkan harga kedelai
internasional dan jumlah produksi kedelai domestik berpengaruh negatif
terhadap produktivitas kedelai.
Sedangkan hipotesis-hipotesis yang diturunkan dari hipotesis utama adalah
sebagai berikut :
4. Diduga harga riil kedelai lokal atau domestik dipengaruhi secara positif
oleh harga riil kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor
Indonesia, dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya.. Sedangkan
variabel yang berpengaruh negatif adalah jumlah impor dan produktivitas
kedelai.
5. Harga kedelai di tingkat produsen dipengaruhi secara positif oleh jumlah
konsumsi kedelai, dummy monopoli Bulog, dan harga riil kedelai di
tingkat produsen tahun sebelumnya, sedangkan yang berpengaruh negatif
adalah jumlah produksi kedelai Indonesia dan jumlah impor kedelai
Indonesia
55
6. Diduga harga impor riil kedelai Indonesia dipengaruhi secara positif oleh
seluruh variabel eksogen yaitu harga kedelai internasional, nilai tukar
Rupiah terhadap Dollar, dummy monopoli Bulog, tarif impor kedelai dan
harga impor kedelai tahun sebelumnya.
4.5. Identifikasi Model
Menurut Koutsoyiannis (1977), masalah identifikasi muncul hanya untuk
persamaan-persamaan yang didalamnya terdapat koefisien-koefisien yang harus
diestimasi secara statistik (dari data contoh). Masalah identifikasi tidak muncul
dalam persamaan-persamaan definisi, identitas atau dalam pernyataan tentang
kondisi equilibrium, karena dalam hubungan-hubungan tersebut tidak
memerlukan pengukuran.
Dalam teori ekonometrika terdapat dua kemungkinan situasi dalam suatu
identifikasi, yaitu :
1. Persamaan Underidentified
Suatu persamaan dikatakan underidentified jika bentuk statistiknya tidak
tunggal. Suatu sistem dikatakan underidentified ketika satu atau lebih
persamaan-persamaan yang ada dalam sistem tersebut underidentified.
Jika suatu persamaan atau model underidentified maka tidak mungkin
dilakukan pendugaan dari seluruh parameter yang ada dengan teknik
ekonometrika manapun.
56
2. Persamaan Identified
Jika suatu persamaaan memiliki bentuk statistik tunggal maka persamaan
tersebut dapat diidentifikasikan (identified), dan persamaan tersebut bisa
exactly identified atau overidentified. Dalam persamaan yang
teridentifikasi, koefisien yang terdapat didalamnya dapat diduga secara
statistik. Jika persamaan exactly identified maka metode yang sesuai untuk
pendugaan adalah Indirect Least Square (ILS). Sedangkan jika persamaan
overidentified maka metode yang dapat digunakan salah satunya adalah
Two Least Square (2SLS).
Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), terdapat dua tahap identifikasi, yaitu :
1. Order Condition digunakan untuk mengetahui apakah persamaan-
persamaan yang ada dapat diidentifikasi atau tidak dapat. Langkah-
langkah dalam order condition, yaitu :
a. Bila (K-M) ≥ (G-1), maka persamaan tersebut dapat diidentifikasi.
b. Bila (K-M) < (G-1), maka persamaan tersebut tidak dapat
diidentifikasi atau underidentified.
dimana : K = Total variabel dalam model
M = Total variabel endogen dan eksogen dalam
persamaan yang akan diidentifikasi.
G = Total persamaan dalam model
2. Rank Condition
Rank Condition digunakan untuk mengidentifikasi persamaan dimana
setelah dilakukan uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat
57
diidentifikasi, yang selanjutnya dilihat apakah persamaan tersebut exactly
identified atau overidentified. Langkah-langkah rank condition adalah :
a. Jadikan persamaan simultan yang ada menjadi persamaan yang
ruas kanannya nol.
b. Susun matriks koefisien dari seluruh variabel yang ada untuk
persamaan-persamaan tersebut.
c. Jika kita ingin mengidentifikasi persamaan ke-i, maka coret baris
persamaan itu dan kolom dari variabel yang ada dalam persamaan
tersebut.
d. Dari matriks sisanya cari semua determinan yang mungkin dapat
dihitung.
e. Jika paling sedikit ada satu determinan yang tidak sama dengan nol
maka simpulkan :
a) persamaan tersebut overidentified, bila (K-M) > (G-1).
b) Persamaan tersebut exactly identified, bila (K-M) = (G-1).
Jika semua determinan sama dengan nol maka persamaan tersebut
underidentified.
Model persamaan simultan yang ada terdiri dari 7 persamaan dengan 23
total variabel di dalam model. Di dalam model terdapat 7 variabel endogen dan 16
variabel eksogen. Uji order condition menghasilkan kesimpulan dapat
diindentifikasi untuk masing-masing persamaan dalam model, dimana hasil
pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan
eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan
total persamaan dalam model dengan satu.
58
Uji rank condition menghasilkan kesimpulan over identified untuk
masing-masing persamaan dalam model, hal ini dikarenakan tidak semua
determinan persamaan yang ada sama dengan nol dan juga dikarenakan hasil
pengurangan total variabel dalam model dengan total variabel endogen dan
eksogen dalam persamaan yang diidentifikasi lebih besar dari hasil pengurangan
total persamaan dalam model dengan satu. Hasil identifikasi yang menghasilkan
kesimpulan over identified memungkinkan persamaan untuk diestimasi dengan
metode Two-Stage Least Square (2SLS).
4.6. Pengujian Model dan Hipotesis
4.6.1. Uji Kesesuaian Model
Dalam Koutsoyiannis (1977), pengujian terhadap dugaan persamaan
secara keseluruhan dilakukan dengan menggunakan uji F-statistik. Uji F-statistik
dapat menjelaskan kemampuan variabel eksogen secara bersama-sama dalam
menjelaskan keragaman dari variabel endogen.
Hipotesis yang diuji dari pendugaan persamaan di atas adalah variabel
eksogen tidak berpengaruh nyata terhadap variabel endogen. Hipotesis ini disebut
hipotesis nol. Mekanisme yang digunakan untuk menguji hipotesis dari parameter
dugaan secara serentak (uji F-statistik) adalah :
H0 : a1 = a2 = ...= ai = 0 (tidak ada variabel yang berpengaruh dalam
persamaan).
H1 : minimal ada satu nilai parameter dugaan (ai) yang tidak sama dengan
nol (paling sedikit ada satu variabel eksogen yang berpengaruh nyata
terhadap variabel endogen).
Untuk i = 1,2,3,....,k
59
a = dugaan parameter
Statistik uji yang digunakan dalam uji-F :
F hitung = SSR / (k-1) .................................................................(4.8) SSE / (n-k)
dengan derajat bebas = (k-1), (n-k)
dimana :
SSR = jumlah kuadrat regresi
SSE = jumlah kuadrat sisa
k = jumlah parameter
n = jumlah pengamatan
Selanjutnya dilakukan pengujian dengan kriteria uji sebagai berikut :
F hitung < F tabel : terima H0, artinya secara bersama-sama variabel eksogen
yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap
variabel endogen (variabel yang digunakan tidak bisa
menjelaskan secara nyata keragaman dari variabel
endogen).
F hitung > F tabel : tolak H0, artinya secara bersama-sama variabel eksogen
berpengaruh nyata terhadap variabel endogen (minimal
terdapat satu parameter dugaan yang tidak sama dengan
nol dan berpengaruh nyata terhadap keragaman variabel
endogen).
60
4.6.2. Uji Dugaan Variabel Secara Individu
Uji parsial (uji t) bertujuan untuk mengetahui apakah variabel eksogen
yang terdapat di dalam model secara individu berpengaruh nyata terhadap variabel
endogen. Mekanisme uji statistik t adalah sebagai berikut :
Hipotesis :
H0 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu tidak berpengaruh
nyata terhadap perubahan variabel endogen.
H1 = perubahan suatu variabel eksogen secara individu berpengaruh nyata
terhadap perubahan variabel endogen.
Statistik uji yang digunakan dalam uji t adalah sebagai berikut :
t hitung = bi / S(bi)........................................................................(4.9)
dimana :
bi = koefisien parameter dugaan
S(bi) = standar deviasi parameter dugaan
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
t hitung < t tabel : terima H0
t hitung > t tabel : tolak H0, dan terima H1
Semakin banyak H0 yang ditolak maka suatu model akan semakin baik untuk
dijadikan model pendugaan persamaan simultan.
4.6.3. Uji Autokorelasi dan Heteroskedastisitas
Persamaan dalam penelitian ini menggunakan data time series yang
mengandung lagged endogenous variable. Pada jenis data seperti ini sering
ditemukan masalah autokorelasi, dimana terjadi hubungan error-term antar dua
61
pengamatan. Penaksiran model regresi linier mengandung asumsi bahwa tidak
terdapat autokorelasi di antara error terms, yaitu :
cov (μt, μs) = E (μt μs) = 0, t ≠ s .........................................................(4.10)
jika terjadi autokorelasi maka pendugaan model tetap tidak bias dan konsisten
tetapi tidak efisien. Pengujian hipotesis menjadi tidak valid (Ramanathan, 1998).
Oleh karena itu masalah autokorelasi akan menyesatkan dalam pengambilan
kesimpulan terutama mengenai nyata tidaknya secara statistik bagi setiap
parameter dugaan yang diuji.
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi biasanya digunakan uji d
(Durbin Watson Stastistic). Namun dikarenakan di dalam persamaan yang diamati
terdapat lagged endogenous variable maka uji d menjadi tidak valid. Sehingga
dalam penelitian ini untuk menguji autokorelasi digunakan uji statistik dh (durbin-
h statistics), sebagai berikut :
H = [ 1-0.5d] [ n/ {1-n (var β}]0.5........................................................(4.11)
dimana :
.d = nilai statistik Durbin-Watson
N = jumlah observasi
Var β = varians koefisien regresi untuk lagged dependent variable
Apabila h-hitung lebih kecil dari tabel distribusi normal, maka dalam persamaan
tidak mengalami autokorelasi. Uji ini tidak berlaku jika n(var β) ≥ 1, yang
menyebabkan nilai H menjadi tidak terdefinisi. Oleh karena itu, digunakan LM
Test sebagai alternatif uji autokorelasi jika uji statistik dh tidak berlaku pada suatu
persamaan. Pengujian autokorelasi dengan LM Test adalah sebagai berikut :
μt = α1 + α2Xt1 + ....+ αkXtk + ρμt -1..................................................(4.12)
62
Hipotesis :
H0 : ρ = 0
H1 : ρ ≠ 0
dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai (n-1)R2 > χ 21 (α), maka tolak H0, artinya bahwa persamaan tersebut
mengandung masalah autokorelasi.
Masalah heteroskedastisitas timbul karena pelanggaran asumsi
homoskedastisitas yaitu ragam galat konstan di setiap pengamatan.
Var (μt) = E (μt2) = σ2.........................................................................(4.13)
Jika masalah heteroskedastisitas diabaikan maka varian dan kovarian dari
parameter dugaan akan bias dan tidak konsisten. Selain itu pengujian hipotesis
menjadi tidak valid (Ramanathan, 1998). Oleh karena itu dilakukan uji
heteroskedastisitas dengan White Heteroskedasticity Test. Langkah-langkah
pengujian ini adalah sebagai berikut :
Yt = β1 +β2Xt1 + β3Xt2 + μt...................................................................(4.14)
μt2 = α1 + α2Xt1 +α3Xt2 +α4Xt1
2 + α5Xt22 + α6Xt1Xt2...................,,,,.....(4.15)
Hipotesis :
H0 : α2 = α3 = α4 = α5 = α6 = 0
H1 : minimal salah satu αi ≠ 0
dengan kriteria uji sebagai berikut :
Jika nilai nR2 > χ2db (α), maka tolak H0, artinya bahwa persamaan tersebut
mengandung masalah heteroskedastisitas.
63
4.6.4. Pengukuran Elastisitas
Berdasarkan Koutsoyiannis (1977), untuk melihat derajat kepekaan
variabel endogen pada suatu persamaan terhadap perubahan dari variabel eksogen,
dapat digunakan nilai elastisitasnya. Nilai elastisitas jangka pendek (short-run)
diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
Esr (Yt,Xi) = ai(Xi)................................................................................(4.16) (Yt) dimana :
Esr(Yt,Xi) = Elastisitas jangka pendek variabel eksogen Xi terhadap
variabel endogen Yt.
ai = Parameter dugaan variabel eksogen Xi.
Xi = Rata-rata variabel eksogen Xi.
Yt = Rata-rata variabel endogen Yt.
Sedangkan nilai elastisitas jangka panjang (long-run) diperoleh dari
perhitungan sebagai berikut :
Elr (Yt,Xi) = Esr (Yt,Xi)......................................................................(4.17) 1- ai lag
dimana :
Elr (Yt,Xi) = Elastisitas jangka panjang variabel eksogen Xi terhadap
variabel endogen Yt.
ai lag = Parameter dugaan dari lag-endogenous variabel.
Dengan kriteria uji sebagai berikut :
64
1. Jika nilai elastisitas lebih dari satu (E>1), dikatakan elastis (responsive)
karena perubahan satu persen variabel eksogen mengakibatkan perubahan
variabel endogen lebih dari satu persen.
2. Jika nilai elastisitas antara nol dan satu (0<E<1), dikatakan inelastis (non
responsive), karena perubahan satu persen variabel eksogen akan
mengakibatkan perubahan variabel endogen kurang dari satu persen.
3. Jika nilai elastisitas sama dengan nol (E=0), dikatakan inelastis sempurna.
4. Jika nilai elastisitasnya tak hingga (E= ~ ), dikatakan elastis sempurna.
5. Jika nilai elastisitasnya sama dengan satu (E=1), maka dikatakan unitary
elastis.
4.7. Definisi Operasional
1. Kedelai yang dimaksud dalam penelitian ini tidak dipisahkan jenisnya menjadi
kedelai warna hitam, coklat, putih, kuning karena proporsi terbesar adalah
warna kuning.
2. Produksi kedelai Indonesia adalah jumlah total produksi kedelai di Indonesia
yang dinyatakan dalam satuan ton.
3. Luas areal panen kedelai merupakan luas seluruh areal produktif atau panen
tanaman kedelai di Indonesia dinyatakan dalam satuan ha.
4. Produktivitas kedelai merupakan hasil bagi antara produksi kedelai Indonesia
dengan luas areal panen tanaman kedelai per tahun, dinyatakan dalam satuan
ton per ha.
5. Volume impor kedelai Indonesia adalah jumlah seluruh impor kedelai yang
dipasarkan di pasar domestik setiap tahun, tidak termasuk impor ilegal, dan
dinyatakan dalam satuan ton.
65
6. Harga riil kedelai domestik adalah harga kedelai lokal atau domestik setelah
dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, dan
dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
7. Harga riil kedelai di tingkat produsen adalah harga kedelai di tingkat produsen
setelah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK)
Indonesia, dan dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
8. Harga riil jagung merupakan harga jagung domestik setelah dideflasi
(1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia, dan dinyatakan
dalam satuan Rupiah per kilogram.
9. Harga riil pupuk urea yang merupakan pupuk pokok dalam produksi kedelai,
yang telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen, dinyatakan
dalam satuan Rupiah per kilogram.
10. Harga riil bibit kedelai adalah harga bibit kedelai yang telah dideflasi
(1995=100) dengan Indeks Harga Konsumen, dinyatakan dalam satuan
Rupiah per kilogram.
11. Harga riil kedelai impor Indonesia adalah harga CIF kedelai Indonesia yang
merupakan hasil bagi antara nilai dengan volume impor, dideflasi (1995= 100)
dengan Indeks Harga Konsumen Indonesia, dinyatakan dalam satuan Rupiah
per kilogram.
12. Harga Kedelai Internasional adalah Harga kedelai di USA Free on Board
dikalikan nilai tukar dan dideflasi dengan Indeks Harga Konsumen
(1995=100), dinyatakan dalam satuan Rupiah per kilogram.
66
13. Nilai tukar mata uang adalah perbandingan dari perubahan mata uang
Amerika terhadap mata uang negara lain, dinyatakan dalam satuan Rupiah per
Dollar Amerika.
14. Tarif Impor adalah tarif yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap kedelai,
yakni tarif advalorem, dinyatakan dalam satuan persen.
15. Jumlah konsumsi kedelai Indonesia adalah jumlah konsumsi kedelai per
kapita dikalikan dengan jumlah penduduk setiap tahun, dinyatakan dalam
satuan ton.
16. Jumlah penggunaan pupuk adalah jumlah pupuk urea yang digunakan oleh
petani kedelai dalam proses produksi, dinyatakan dalam satuan kilogram per
hektar.
17. Jumlah penggunaan bibit kedelai adalah jumlah bibit kedelai yang digunakan
oleh petani dalam proses produksi, yang dinyatakan dalam satuan kilogram
per hektar.
18. Indeks Harga Konsumen adalah angka indeks yang menggambarkan besarnya
perubahan harga pada tingkat konsumen dari komoditi yang dikonsumsi di
suatu negara.
19. Pendapatan perkapita merupakan pendapatan nasional dibagi rata-rata jumlah
penduduk Indonesia tahunan dan telah dideflasi (1995=100) dengan Indeks
Harga Konsumen Indonesia, dinyatakan dalam rupiah.
20. Curah hujan merupakan jumlah hujan rata-rata tiap tahun yang diwakili oleh
jumlah curah hujan di sentra produksi kedelai Indonesia, yaitu di Pulau Jawa,
khususnya Jawa Timur, yang dinyatakan dalam satuan mm per tahun.
67
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Dugaan Model Hasil dugaan dari seluruh model yang ada telah cukup baik, sebagaimana
terlihat dari nilai koefisien determinasinya (R2) dari masing-masing persamaan
struktural yang berkisar antara 0.59 sampai 0.99. Hal ini menunjukkan bahwa
secara umum peubah-peubah penjelas (exogenous variable) yang ada dalam
persamaan struktural mampu menjelaskan dengan baik peubah endogen
(endogenous variable).
Besarnya nilai F umumnya tinggi, yaitu berkisar antara 6.870 sampai
1019.667, yang berarti variasi peubah-peubah eksogen dalam setiap persamaan
struktural secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variasi peubah
endogennya pada taraf α = 0.01 dan 0.05, disamping itu setiap persamaan
struktural mempunyai tanda yang sesuai dengan harapan dan cukup logis dari
sudut pandang teori ekonomi.
Nilai statistik-t digunakan untuk menguji apakah masing-masing peubah
penjelas berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya. Hasil statistik-t yang
diperoleh menunjukkan bahwa ada beberapa peubah penjelas yang tidak
signifikan atau tidak berpengaruh nyata terhadap peubah endogennya pada taraf
α= 0.05. Dalam penelitian ini taraf α yang digunakan cukup fleksibel (berlaku
seterusnya untuk persamaan struktural) dengan masing simbol sebagai berikut :
(A) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.05
(B) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.10
(C) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.15
(D) berpengaruh nyata pada taraf α = 0.20
68
Berdasarkan hasil uji statistik durbin-h, persamaan yang digunakan tidak
mengandung adanya autokorelasi karena nilai h-hitung lebih kecil dari tabel
distribusi normal. Selain itu setelah dilakukan uji White Heteroskedasticity Test,
nilai yang dihasilkan lebih kecil dari taraf α yang digunakan, sehingga dapat
disimpulkan tidak terdapat masalah heteroskedastisitas. Hasil dalam pendugaan
model dalam penelitian ini dapat dinyatakan cukup representatif dalam
menggambarkan fenomena produksi dan impor kedelai di Indonesia.
5.2. Dugaan Model Ekonometrika
Setelah melakukan beberapa alternatif spesifikasi model, maka akhirnya
diperoleh model produksi dan impor kedelai Indonesia yang terdiri dari enam
persamaan struktural.
5.2.1. Luas Areal Panen Tanaman Kedelai
Hasil pendugaan parameter luas areal penen tanaman kedelai di Indonesia
dapat dilihat pada tabel 6.
Tabel 6. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Luas Areal Panen Tanaman Kedelai
Elastisitas Variabel Koefisien Dugaan
thitung Probalilitas
Pendek Panjang
Nama Variabel
In PR PJ CH PB LLAP
-287712 454.404616
-702.264855 59.731213 -7.187153
0.839492
-1.002 2.845
-1.448 0.755 -0.066
9.690
0.3269 0.0092 (A) 0.1612 (D) 0.4577 0.9478 0.0001 (A)
0.57
-0.25
0.0009
3.55
-1.56
0.058
Intersep Harga Kedelai Domestik Harga Jagung Curah Hujan Harga Riil Benih Kedelai Lag Luas Arel Panen
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
0.8673 0.8384 30.059 2.469 -1.427
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model luas areal panen tanaman
kedelai adalah sebesar 0.8673, artinya 86.73 persen keragaman luas areal panen
69
tanaman kedelai dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen di
dalam model yakni variabel harga kedelai domestik, harga jagung, curah hujan
dan luas areal panen tahun sebelumnya. Sedangkan sisanya sebesar 13.27 persen
dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat di dalam model.
Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 30.059 yang
lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini
menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman kedelai.
Hasil uji statistik t menunjukkan bahwa variabel harga kedelai domestik
dan lag luas areal panen berpengaruh nyata pada taraf lima persen dan variabel
harga jagung berpengaruh nyata pada taraf nyata lima belas persen. Sedangkan
variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap luas areal panen tanaman kedelai
adalah variabel curah hujan dan harga riil benih kedelai. Sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Kumenaung, dimana harga riil benih tidak berpengaruh nyata
dalam persamaan karena kebanyakan petani menggunakan benih hasil
penangkaran sendiri, bukan benih bersertifikat. Selain itu jumlah petani yang
menggunakan benih bersertifikat baru mencapai sepuluh persen dari total petani
di Indonesia (Puslitbang Tanaman Pangan, 2005).
Koefisien dugaan variabel harga riil kedelai domestik sebesar 454.40. Hal
ini menunjukkan jika terjadi kenaikan harga riil kedelai domestik sebesar satu
rupiah per kilogram akan meningkatkan luas areal panen sebesar 454.40 hektar,
demikian juga sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai domestik
sebesar satu rupiah per kilogram akan menurunkan luas areal panen tanaman
kedelai sebesar 454.40 hektar, cateris paribus. Kondisi ini menunjukkan bahwa
70
sangat besar pengaruh peningkatan harga kedelai domestik terhadap luas areal
tanaman kedelai di Indonesia.
Nilai elastisitas harga riil kedelai domestik dalam jangka pendek dan
jangka panjang masing-masing sebesar 0.57 dan 3.55. Nilai ini menunjukkan jika
terjadi kenaikan harga riil kedelai domestik sebesar satu persen akan
meningkatkan luas areal panen sebesar 0.58 persen dalam jangka pendek dan 3.55
persen dalam jangka panjang. Nilai tersebut juga menunjukkan bahwa dalam
jengka pendek luas areal penen tanaman kedelai tidak responsif terhadap
perubahan harga riil kedelai domestik, sedangkan dalam jangka panjang luas areal
panen responsif terhadap perubahan harga riil kedelai domestik.
Koefisien dugaan harga riil jagung adalah sebesar -702.26, yang berarti
jika terjadi kenaikan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram maka luas
areal panen kedelai akan turun sebesar 702.26 hektar dan sebaliknya jika terjadi
penurunan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram akan meningkatkan
luas areal panen sebesar 702.26 hektar, cateris paribus. Jadi dengan rendahnya
harga kedelai akan mempengaruhi berpindahnya petani dari usaha tanaman
kedelai ke tanaman jagung. Kondisi ini didukung oleh karena kondisi lahan
(secara fisik) yang dibutuhkan oleh tanaman jagung tidak berbeda jauh dengan
kondisi lahan yang dibutuhkan oleh tanaman kedelai, sehingga petani kedelai
dapat dengan mudah beralih usaha ke tanaman jagung.
Jika dilihat dari nilai elastisitasnya, maka pada jangka pendek luas areal
panen tanaman kedelai tidak responsif terhadap perubahan harga riil jagung,
dimana nilai elastisitasnya adalah sebesar -0.25. Sedangkan pada jangka panjang,
71
luas areal panen tanaman kedelai responsif terhadap perubahan harga riil jagung,
yang ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya sebesar -1.56.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan diatas, luas areal panen juga
dipengaruhi secara nyata oleh peubah bedakala. Koefisien dugaan luas areal panen
tahun sebelumnya sebesar 0.839492. Artinya setiap kenaikan luas areal panen
tahun sebelumnya sebesar satu hektar akan meningkatkan luas areal panen sebesar
0.839492 hektar, demikian sebaliknya jika terjadi penurunan luas areal panen
tahun sebelumnya sebesar satu hektar akan menurunkan luas areal panen sebesar
0.839492, cateris paribus.
5.2.2. Produktivitas Kedelai
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model produktivitas kedelai adalah
sebesar 0.9715, artinya 97.15 persen keragaman produktivitas kedelai dapat
diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen yakni variabel jumlah
penggunaan pupuk, curah hujan, harga jagung dan produktivitas kedelai tahun
sebelumnya. Sedangkan sisanya yaitu sebesar 2.85 persen dijelaskan oleh faktor-
faktor lain yang tidak terdapat dalam model.
Hasil pendugaan parameter dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Produktivitas Kedelai Elastisitas Variabel Koefisien
Dugaan thitung Probabilitas
Pendek Panjang
Nama Variabel
In JPP CH PJ PD LY
0.015404 0.00000829
0.00002402 -0.000197
0.00000521
1.012085
0.170 0.024 1.380 -1.535 0.118 11.165
0.8661 0.9811 0.1808 (D) 0.1383 (C) 0.9070 0.001 (A)
0.00064
-0.06 0.005
0.05
-5.5 0.4
Intersep Jumlah penggunaan pupuk urea Curah Hujan Harga Jagung Harga Riil Kedelai diTingkat Produsen Lag Produktivitas
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
0.9715 0.9654 157.267 2.236 -0.727
72
Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 157.267 yang
lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini
menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman kedelai. Hasil uji statistik t
menunjukkan bahwa curah hujan, harga riil jagung dan produktivitas tahun
sebelumnya berpengaruh secara nyata terhadap produktivitas kedelai, masing-
masing pada taraf nyata dua puluh, lima belas dan lima persen. Sedangkan
variabel jumlah penggunaan pupuk urea dan harga riil kedelai di tingkat produsen
tidak berpengaruh nyata terhadap produktivitas tanaman kedelai. Tidak
berpengaruhnya harga riil kedelai di tingkat produsen dapat disebabkan oleh
motivasi menanam kedelai yang hanya untuk memutus siklus hama penyakit saja,
sehingga petani selalu menanam kedelai sesuai dengan pola tanam yang telah
biasa dilakukan walaupun pada saat menanam, harga kedelai jatuh.
Koefisien dugaan variabel harga rill jagung sebesar -0.000197, artinya
setiap kenaikan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram maka
produktivitas kedelai akan menurun sebesar 0.000197 ton per hektar, demikian
juga sebaliknya penurunan harga riil jagung sebesar satu rupiah per kilogram akan
menyebabkan naiknya produktivitas kedelai sebesar 0.000197 ton per hektar,
cateris paribus. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa harga jagung
memang sangat mempengaruhi produksi kedelai, dimana harga jagung sangat
berpengaruh terhadap luas areal panen dan produktivitas kedelai, yang
menunjukkan bahwa tanaman jagung merupakan kompetitor utama tanaman
kedelai.
73
Respon produktivitas kedelai terhadap perubahan harga riil jagung tidak
responsif dalam jangka pendek, yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka
pendek sebesar -0.06. Sedangkan dalam jangka panjang, produktivitas kedelai
responsif terhadap perubahan harga riil jagung, dengan nilai elastisitas jangka
panjang sebesar -5.5. Artinya jika terjadi kenaikan harga riil jagung sebesar satu
persen akan menurunkan produktivitas kedelai sebesar 5.5 persen dalam jangka
panjang.
Produktivitas kedelai juga tidak responsif terhadap jumlah penggunaan
pupuk urea baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yang ditunjukkan
oleh nilai elastisitasnya masing-masing sebesar 0.0009 dan 0.11. Kondisi ini
menunjukkan bahwa perubahan jumlah penggunaan pupuk tidak terlalu
berpengaruh terhadap produktivitas kedelai. Berdasarkan penelitian Kumenaung
(1994), dijelaskan bahwa kondisi di atas dapat dipengaruhi oleh beberapa
keadaan, antara lain : 1). pada beberapa daerah tertentu di Indonesia faktor
produksi pupuk belum dirasa perlu untuk digunakan, 2) pupuk bukanlah satu-
satunya faktor yang mempengaruhi produksi.
Dalam penelitian ini juga membuktikan bahwa produktivitas kedelai tahun
sebelumnya berpengaruh nyata terhadap produktivitas kedelai dengan nilai
koefisien dugaan variabel tahun sebelumnya sebesar 1.012085. Artinya jika terjadi
kenaikan produktivitas kedelai tahun sebelumnya sebesar satu ton per hektar maka
produktivitas kedelai akan meningkat sebesar 1.012085 ton per hektar. Sebaliknya
jika terjadi penurunan produktivitas kedelai tahun sebelumnya sebesar satu ton per
hektar maka produktivitas kedelai akan turun sebesar 1.012085 ton per hektar,
cateris paribus.
74
5.2.3. Harga Kedelai Domestik
Koefisien determinasi (R2) dari model harga riil kedelai domestik sebesar
0.6561, yang artinya 65.61 persen keragaman harga riil kedelai domestik dapat
diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model yakni harga riil
kedelai di tingkat produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai,
produktivitas dan harga riil kedelai domestik tahun sebelumnya. Sedangkan
sisanya sebesar 34.39 persen dijelaskan oleh faktor-faktor lain yang tidak terdapat
dalam model.
Hasil pendugaan parameter harga riil kedelai domestik dapat dilihat pada
tabel 8.
Tabel 8. hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Domestik
Elastisitas Variabel Koefisien Dugaan
thitung Probabilitas
Pendek Panjang
Nama Variabel
In PD PM IK Y LPR
-313.0816 0.401406
0.389747
-0.000291
498.8240
0.389119
-0.742 1.906
2.794
-2.358
1.312
3.134
0.4656 0.0692 (B) 0.0103 (A) 0.0272 (A) 0.2025 0.0047 (A)
0.32
0.23
-0.12
0.42
0.53 0.37 -0.19 0.69
Intersep Harga Kedelai Tingkat Produsen Harga Kedelai Impor Jumlah Impor Kedelai Produktivitas Kedelai Lag Harga Kedelai Domestik
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
0.6561 0.5814 8.777 1.644 1.287
Variabel-variabel eksogen yang terdapat dalam model secara bersama-
sama berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik. Kondisi ini terlihat
melalui uji F, dimana nilai F hitung sebesar 8.777 lebih besar dari F tabel sebesar
2.78 pada taraf nyata lima persen. Hasil uji statistik t pada taraf nyata lima persen
menunjukkan variabel harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga
75
riil kedelai domestik tahun sebelumnya berpengaruh nyata terhadap harga riil
kedelai domestik. Sedangkan harga riil kedelai di tingkat produsen berpengaruh
nyata pada taraf sepuluh persen.
Pada penelitian ini terlihat bahwa harga riil kedelai di tingkat produsen
berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik, namun responnya
inelastis baik dalam jangka pendek (0.32) maupun jangka panjang (0.53).
Koefisien dugaan variabel harga riil kedelai tingkat produsen adalah 0.401406,
artinya jika terjadi kenaikan harga riil kedelai tingkat produsen sebesar satu rupiah
per kilogram akan meningkatkan harga riil kedelai domestik sebesar 0.401406
rupiah perkilogram.
Peubahan harga riil kedelai impor berpengaruh nyata secara positif
terhadap harga riil kedelai domestik, walaupun responnya inelastis baik jangka
pendek (0.23) maupun jangka panjang (0.37). Artinya bahwa kenaikan harga riil
kedelai impor sebesar satu persen hanya akan meningkatkan harga riil kedelai
domestik sebesar 0.23 persen dalam jangka pendek dan 0.37 persen dalam jangka
panjang.
Nilai koefisien dugaan variabel jumlah impor kedelai adalah -0.000291,
artinya jika terjadi peningkatan jumlah impor kedelai adalah sebesar satu ton akan
menurunkan harga riil kedelai domestik sebesar 0.000291 rupiah per kilogram,
sebaliknya jika jumlah impor kedelai turun sebesar satu ton akan meningkatkan
harga riil kedelai domestik sebesar 0.000291 rupiah per kilogram, cateris paribus
.Berdasarkan nilai elastisitasnya maka harga riil kedelai domestik tidak responsif
terhadap perubahan jumlah impor kedelai, dimana nilai elastisitas sebesar 0.12
pada jangka pendek dan 0.19 pada jangka panjang.
76
Variabel produktivitas tidak berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai
domestik. Selain itu nilai elastisitasnya menunjukkan bahwa harga riil kedelai
domestik tidak responsif terhadap perubahan produktivitas baik jangka pendek
(0.42) maupun jangka panjang (0.69). Hal ini disebabkan produktivitas cenderung
stagnan, selain itu harga kedelai domestik relatif lebih dipengaruhi oleh harga
kedelai impor, dimana jika jumlah impor kedelai naik, maka harga kedelai impor
akan turun dan mengakibatkan turunnya harga rill kedelai domestik.
Peubah bedakala berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai domestik
dengan nilai koefisien dugaannya sebesar 0.389119. Artinya jika terjadi
peningkatan harga kedelai domestik pada tahun sebelumnya sebesar satu rupiah
perkilogram maka harga riil kedelai domestik akan naik sebesar 0.389119 rupiah
perkilogram. Sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai domestik tahun
sebelumnya sebesar satu rupiah perkilogram maka harga riil kedelai domestik
akan turun sebesar 0.389119 rupiah perkilogram, cateris paribus.
5.2.4. Harga Kedelai Di Tingkat Produsen
Nilai koefisien determinasi dari model harga kedelai di tingkat produsen
adalah sebesar 0.5990. Artinya keragaman dari variabel endogen mampu
diterangkan oleh variabel-variabel eksogen di dalam model yakni jumlah produksi
kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dummy monopoli Bulog,
dan harga kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya sebesar 59.90 persen.
Sedangkan sisanya sebesar 40.1 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar
model.
Hasil pendugaan parameter harga kedelai di tingkat produsen dapat dilihat
pada tabel 9. Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 6.870
77
yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini
menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap harga riil kedelai di tingkat produsen.
Tabel 9. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai di Tingkat Produsen
Elastisitas Variabel Koefisien Dugaan
thitung Probabilitas
Pendek Panjang
Nama Variabel
In QK IK C DB LPD
724.72244 -0.001237
-0.001210
0.001180
216.81887
0.199238
4.035 -1.505 -1.425 1.439 2.196 1.480
0.0005 0.1460(C) 0.1675(D) 0.1637(D) 0.0384(A) 0.1525(D)
-1.22 -0.58 1.73
-1.52 -0.72 2.16
Intersep Jumlah Produksi kedelai Jumlah impor kedelai Konsumsi kedelai Dummy monopli BULOG Lag harga kedelai di tingkat produsen
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
0.5990 0.5118 6.870 2.034 -1.329
Melalui uji t dapat terlihat bahwa variabel jumlah produksi kedelai
berpengaruh nyata pada taraf nyata lima belas persen, sedangkan jumlah impor
kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun
sebelumnya barpengaruh nyata pada taraf nyata dua puluh persen, dan variabel
dummy monopoli BULOG berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen.
Koefisien dugaan variabel jumlah produksi kedelai Indonesia adalah
sebesar -0.001237. Artinya setiap kenaikan jumlah produksi kedelai sebanyak satu
ton maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan turun sebesar 0.001237
rupiah per kilogram, sebaliknya jika terjadi penurunan jumlah produksi kedelai
sebesar satu ton maka akan menyebabkan penurunan harga riil kedelai di tingkat
produsen sebesar 0.001237 rupiah per kilogram, cateris paribus. Jumlah produksi
kedelai Indonesia bersifat elastis baik jangka pendek (-1.22) maupun jangka
78
penjang (-1.52). Artinya jika jumlah produksi kedelai naik sebesar satu persen,
cateris paribus, maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan turun sebesar
1.22 persen dalam jangka pendek dan 1.52 persen dalam jangka panjang.
Nilai koefisien dugaan jumlah impor kedelai Indonesia adalah sebesar -
0.001210, artinya apabila jumlah impor kedelai naik sebesar satu ton maka harga
riil kedelai di tingkat produsen akan turun sebesar 0.001210 rupiah per kilogram,
sebaliknya apabila jumlah impor kedelai turun sebesar satu ton maka harga riil
kedelai di tingkat produsen akan naik sebesar 0.001210 rupiah per kilogram,
cateris paribus. Berdasarkan nilai elastisitasnya maka harga riil kedelai di tingkat
produsen tidak responsif terhadap perubahan jumlah impor baik dalam jangka
pendek (-0.58) maupun dalam jangka panjang (-0.72).
Nilai dugaan variabel jumlah konsumsi kedelai Indonesia sebesar
0.001180, artinya apabila jumlah konsumsi kedelai bertambah sebesar satu ton
maka harga riil kedelai di tingkat produsen akan meningkat sebesar 0.001180
rupiah per kilogram, sebaliknya jika jumlah konsumsi kedelai menurun sebesar
satu ton, akan menyebabkan turunnya harga riil kedelai di tingkat produsen
sebesar 0.001180 rupiah per kilogram, cateris paribus. Harga riil kedelai di
tingkat produsen responsif terhadap perubahan jumlah konsumsi kedelai baik
dalam jangka pendek (1.73) dan jangka panjang (2.16). Artinya jika jumlah
konsumsi kedelai meningkat sebesar satu persen, cateris paribus, maka harga riil
kedelai di tingkat produsen akan meningkat sebesar 1.73 persen dalam jangka
pendek, dan 2.16 persen dalam jangka panjang.
Variabel dummy BULOG juga berpengaruh nyata terhadap harga riil
kedelai di tingkat produsen dengan nilai koefisien dugaan yang positif,
79
menunjukkan bahwa dengan adanya monopoli kedelai oleh Bulog akan
menyebabkan harga riil kedelai di tingkat produsen meningkat. Pada era
perdagangan bebas, Bulog tidak lagi memonopoli kedelai, sehingga harga impor
kedelai semakin rendah. Akibatnya banyak industri tahu dan tempe yang
menggunakan kedelai impor. Hal ini mengakibatkan lesunya produksi kedelai
lokal.
Selain faktor-faktor di atas, variabel lain yang juga berpengaruh nyata
adalah harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Dengan nilai
koefisien dugaan sebesar 0.199238, yang berarti jika terjadi peningkatan harga riil
kedelai di tingkat produsen sebesar satu rupiah per kilogram akan menyebabkan
peningkatan harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.199238 rupiah per
kilogram, sebaliknya jika terjadi penurunan harga riil kedelai di tingkat produsen
tahun sebelumnya sebesar satu rupiah per kilogram akan mengakibatkan
menurunnya harga riil kedelai di tingkat produsen sebesar 0.199238 rupiah per
kilogram, cateris paribus.
5.2.5. Jumlah Impor Kedelai
Nilai koefisien determinasi dari model impor kedelai Indonesia adalah
sebesar 0.9955. Artinya keragaman dari variabel endogen mampu diterangkan
oleh variabel-variabel eksogen di dalam model yakni harga kedelai internasional,
jumlah produksi kedelai, jumlah konsumsi kedelai, jumlah populasi, dan jumlah
impor kedelai tahun sebelumnya sebesar 99.55 persen. Sedangkan sisanya sebesar
0.45 persen diterangkan oleh faktor-faktor lain di luar model.
Hasil pendugaan parameter jumlah impor kedelai Indonesia dapat dlihat
pada tabel 10.
80
Tabel 10. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Jumlah Impor Kedelai
Indonesia Elastisitas Variabel Koefisien
Dugaan thitung Probabilitas
Pendek Panjang
Nama Variabel
In PW QK C POP LIK
-158584 -69.76788
-0.959292
0.947030
0.001500 -0.045577
-1.282 -1.427 -24.372 23.203 1.516 -1.217
0.2125 0.1670(D) 0.0001(A) 0.0001(A) 0.1431(C) 0.2358
-0.08 -1.96 2.88 0.52
-0.08 -1.88 2.75 0.49
Intersep Harga kedelai internasional Jumlah produksi kedelai Konsumsi kedelai Jumlah populasi Lag jumlah impor kedelai
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
0.9955 0.9945 1019.667 2.410 -1.127
Dengan menggunakan uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 1019.667
yang lebih besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini
menunjukkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-sama
berpengaruh nyata terhadap impor kedelai Indonesia. Berdasarkan hasil uji t dapat
terlihat bahwa variabel harga kedelai internasional berpengaruh nyata pada taraf
nyata dua puluh persen, sedangkan jumlah populasi berpengaruh nyata pada taraf
nyata lima belas persen. Variabel lain yaitu jumlah produksi kedelai dan konsumsi
kedelai berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen.
Koefisien dugaan variabel harga kedelai internasional adalah sebesar -
69.76788 artinya setiap kenaikan harga kedelai internasional sebesar satu rupiah
per kilogram maka jumlah impor kedelai akan turun sebesar 69.76788 ton,
sebaliknya bila harga kedelai internasional turun sebesar satu rupiah perkilogram
maka jumlah impor kedelai akan naik sebesar 69.76788 ton, cateris paribus.
Harga kedelai internasional bersifat inelastis baik jangka pendek dan panjang,
yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka pendek sebesar -0.08 dan nilai
elastisitas jangka panjang sebesar -0.08. Pemerintah akan mengimpor kedelai dari
81
negara lain apabila harga kedelai internasional lebih murah dari harga kedelai
domestik sehingga masih memperoleh keuntungan.
Nilai koefisien dugaan variabel produksi kedelai sebesar -0.959292 artinya
apabila produksi kedelai Indonesia naik sebesar satu ton maka jumlah impor
kedelai akan turun sebesar 0.959292 ton, sebaliknya apabila produksi kedelai
turun sebesar satu ton maka jumlah impor kedelai akan naik sebesar 0.959292 ton,
cateris paribus. Jumlah impor kedelai responsif terhadap perubahan jumlah
produksi kedelai. Hal ini ditunjukkan oleh nilai elastisitasnya baik jangka pendek
(-1.96) dan jangka panjang (-1.88). Artinya jika jumlah produksi kedelai
Indonesia meningkat sebesar satu persen maka jumlah impor kedelai akan turun
sebesar 1.96 persen dalam jangka pendek dan 1.88 persen dalam jangka panjang.
Hal ini jelas terlihat dari trend produksi kedelai yang menurun sejak tahun 1999,
yang sangat berdampak terhadap jumlah impor kedelai yang semakin meningkat
dari tahun ke tahun.
Variabel jumlah konsumsi memiliki nilai koefisien dugaan sebesar
0.947030 artinya jika terjadi kenaikan jumlah konsumsi kedelai sebesar satu ton
maka jumlah impor kedelai akan meningkat sebesar 0.947030 ton, sebaliknya jika
terjadi penurunan jumlah konsumsi kedelai sebesar satu ton maka jumlah impor
kedelai akan menurun sebesar 0.947030 ton, cateris paribus. Berdasarkan nilai
elastisitasnya maka dapat dilihat bahwa jumlah impor kedelai responsif terhadap
perubahan jumlah konsumsi kedelai yang ditunjukkan dengan nilai elastisitas
jangka pendek sebesar 2.88 dan nilai elastisitas jangka panjang sebesar 2.75.
Artinya jika jumlah konsumsi kedelai meningkat sebesar satu persen maka jumlah
impor kedelai akan meningkat sebesar 2.88 persen dalam jangka pendek dan 2.75
82
persen dalam jangka panjang. Perdagangan internasional dapat terjadi karena
adanya perbedaan permintaan dan penawaran suatu negara. Apabila persediaan
suatu barang di suatu negara tidak cukup untuk memenuhi permintaan dalam
negeri, negara tersebut dapat mengimpor dari negara lain.
Nilai koefisien dugaan variabel jumlah populasi penduduk adalah sebesar
0.0015, artinya apabila jumlah penduduk Indonesia bertambah sebesar satu juta
jiwa maka jumlah impor kedelai akan meningkat sebesar 0.0015 ton, sebaliknya
apabila jumlah penduduk berkurang sebesar satu juta jiwa maka jumlah impor
kedelai Indonesia akan turun sebesar 0.0015 ton. Berdasarkan nilai elastisitas
maka jumlah impor kedelai tidak responsif terhadap perubahan jumlah populasi
penduduk Indonesia dengan nilai elastisitas jangka pendek sebesar 0.52 dan
jangka panjang sebesar 0.49.
5.2.6. Harga Kedelai Impor Indonesia
Nilai koefisien determinasi (R2) dari model harga riil kedelai impor
Indonesia adalah 0.9113, artinya 91.13 persen keragaman harga riil kedelai impor
Indonesia mampu diterangkan oleh keragaman variabel-variabel eksogen di dalam
model yakni harga kedelai internasional, nilai tukar, dummy monopoli Bulog dan
harga riil kedelai impor tahun sebelumnya. Hasil pendugaan parameter harga
kedelai impor Indonesia dapat dilihat pada tabel 11.
83
Tabel 11. Hasil Dugaan Parameter dan Elastisitas Harga Kedelai Impor Elastisitas Variabel Koefisien
Dugaan thitung Probabilitas
Pendek Panjang
Nama Variabel
In PW ER DB TI LPM
-400.295790 1.015808
0.053543
303.733289
1.330924 0.111809
-1.193 8.772
1.456 1.391
0.466 1.368
0.2450 0.0001 (A) 0.1590 (D) 0.2308 0.6453 0.1844 (D)
0.86
0.23
0.02
0.96
0.26
0.02
Intersep Harga kedelai internasional Nilai Tukar Dummy monopoli BULOG Tarif Impor Lag Harga Kedelai Impor
R-Sq R-Sq (Adj) F-Stat/F-hit D.W. Stat D.h
0.9113 0.8920 47.250 1.879 0.3628
Berdasarkan hasil uji F diperoleh nilai F hitung sebesar 47.250 yang lebih
besar dari F tabel sebesar 2.78 pada taraf nyata lima persen. Nilai ini
menunjukkkan bahwa variabel-variabel eksogen dalam model secara bersama-
sama berpengaruh nyata terhadap harga kedelai impor. Dan hasil uji statistik t
menunjukkan bahwa harga riil kedelai impor dipengaruhi secara nyata oleh harga
kedelai internasional, nilai tukar dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya.
Hasil dugaan juga menunjukkan bahwa semua koefisien sudah sesuai dengan
tanda yang diharapkan dalam hipotesis dan menurut kriteria ekonomi.
Koefisien dugaan harga kedelai internasional sebesar 1.015808 artinya
setiap kenaikan harga kedelai internasional sebesar satu rupiah per kilogram akan
meningkatkan harga riil kedelai impor Indonesia sebesar 1.015808 rupiah per
kilogram, sebaliknya jika terjadi penurunan harga kedelai internasional sebesar
satu rupiah per kilogram maka harga riil kedelai impor akan turun sebesar
1.015808 rupiah per kilogram. Berdasarkan nilai elastisitasnya, harga riil kedelai
impor tidak responsif terhadap perubahan harga kedelai internasional baik jangka
84
pendek maupun jangka panjang yang ditunjukkan oleh nilai elastisitas jangka
pendek sebesar 0.86 dan nilai elastisitas jangka panjang sebesar 0.96.
Koefisien dugaan nilai tukar sebesar 0.053543 yang artinya setiap
kenaikan nilai tukar sebesar satu Rupiah per Dollar Amerika akan meningkatkan
harga riil kedelai impor sebesar 0.053543 rupiah per kilogram, cateris paribus.
Namun dilihat dari nilai elastisitasnya terlihat bahwa harga riil kedelai impor tidak
responsif baik dalam jangka pendek (0.23) maupun jangka panjang (0.26).
Selain variabel-variabel di atas, harga riil kedelai impor juga dipengaruhi
secara nyata oleh peubah bedakala, dengan nilai koefisien dugaan sebesar
0.111809. Artinya jika harga riil kedelai impor tahun sebelumnya naik sebesar
satu rupiah per kilogram maka harga riil kedelai impor akan naik sebesar
0.111809 rupiah per kilogram, cateris paribus.
Variabel dummy monopoli BULOG tidak berpengaruh nyata terhadap
harga kedelai impor. Variabel yang juga tidak berpengaruh nyata terhadap harga
riil kedelai impor adalah tarif impor kedelai, hal ini menunjukkan bahwa harga riil
kedelai impor tidak terlalu dipengaruhi oleh besarnya tarif, walaupun tarif
ditingkatkan dan harga impor kedelai menjadi tinggi, Indonesia tetap cenderung
melakukan impor, karena kebutuhan dalam negeri melebihi jumlah penawaran
yang tersedia.
85
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat diperoleh kesimpulan
sebagai berikut :
1. Perkembangan produksi kedelai dari tahun 1984-1993 menunjukkan
kecenderungan yang meningkat, hal tersebut dikarenakan pemerintah
sedang gencar-gencarnya meningkatkan produksi kedelai melalui berbagai
kebijakan program intensifikasi, seperti INSUS, INMUM, dan OPSUS.
Pada kurun waktu 1994-1998, produksi kedelai mulai mengalami
penurunan, bahkan sejak tahun 1999 sampai 2004, penurunan yang terjadi
semakin drastis karena menurunnya luas areal panen kedelai, dimana
petani sudah kehilangan insentif untuk berproduksi, yang disebabkan oleh
rendahnya harga riil kedelai, persaingan penggunaan lahan dengan
palawija lainnya (jagung) dan semakin membanjirnya impor kedelai
dengan harga yang murah.
2. Luas areal panen tanaman kedelai dipengaruhi secara nyata oleh harga riil
kedelai domestik, harga riil jagung, dan luas areal panen tahun
sebelumnya, dimana respon luas areal panen elastis terhadap perubahan
harga riil kedelai domestik dan harga riil jagung dalam jangka panjang.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tanaman jagung merupakan kompetitor
utama tanaman kedelai.
3. Produktivitas tanaman kedelai dipengaruhi oleh curah hujan, harga riil
jagung, dan produktivitas tahun sebelumnya. Respon produktivitas padi
86
terhadap harga riil jagung tidak responsif dalam jangka pendek, namun
responsif dalam jangka panjang.
4. Harga riil kedelai domestik dipengaruhi oleh harga riil kedelai di tingkat
produsen, harga riil kedelai impor, jumlah impor kedelai dan harga riil
kedelai domestik tahun sebelumnya.
5. Harga riil kedelai di tingkat produsen dipengaruhi oleh jumlah produksi
kedelai, jumlah impor kedelai, jumlah konsumsi kedelai, dummy monopoli
Bulog, dan harga riil kedelai di tingkat produsen tahun sebelumnya. Harga
riil kedelai di tingkat produsen responsif terhadap perubahan jumlah
produksi dan konsumsi kedelai baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang.
6. Jumlah impor kedelai Indonesia dipengaruhi secara nyata oleh harga
kedelai internasional, jumlah produksi kedelai, konsumsi kedelai,dan
jumlah populasi penduduk. Jumlah impor kedelai responsif terhadap
perubahan jumlah produksi kedelai, dan jumlah konsumsi kedelai
nasional, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
7. Harga riil kedelai impor dipengaruhi secara nyata oleh harga kedelai
internasional, nilai tukar, dan harga riil kedelai impor tahun sebelumnya.
87
6.2. Saran
Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disarankan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Dalam usaha meningkatkan produksi kedelai nasional, strategi yang dapat
dilakukan adalah melalui program peningkatan produktivitas dan
perluasan areal tanam. Berdasarkan kesimpulan bahwa benih tidak
berpengaruh nyata, karena penggunaan benih bersertifikat masih terbatas,
maka pemerintah sebaiknya melakukan kebijakan perbenihan, dengan cara
penataan kembali sistem perbenihan, peningkatan efisiensi sistem produksi
benih, dan sosialisasi varietas unggul baru secara intensif kepada petani..
Selain itu pemerintah juga harus mengupayakan peningkatan teknologi
dalam hal kualitas benih unggul, pemupukan, dan sistem irigasi, karena
ternyata iklim (curah hujan) sangat berpengaruh terhadap produktivitas
kedelai. Dalam usaha ini diperlukan kerjasama secara multidimensional
yang melibatkan peran petani, pemerintah dan juga sektor swasta
2. Untuk mengurangi dampak negatif liberalisasi perdagangan terhadap
kesejahteraan produsen dalam hal ini petani, maka intervensi pemerintah
masih tetap diperlukan, dimana hasil analisis menunjukkan bahwa dummy
monopoli BULOG sangat berpengaruh terhadap harga riil kedelai di
tingkat produsen, dengan kata lain pasar bebas domestik Indonesia masih
perlu diproteksi oleh pemerintah dari pengaruh fluktuasi harga
internasional, misalnya dengan cara membatasi impor, juga mengupayakan
agar pengusaha kedelai mau bermitra dengan petani, dimana petani diberi
pendampingan teknis berupa pengadaan benih, pupuk, teknologi budidaya
88
dari pengusaha terkait. Dengan demikian kualitas kedelai yang dihasilkan
dapat menyaingi kedelai impor, dan bisa digunakan sebagai pengganti
kedelai impor untuk bahan baku sehingga petani memiliki jaminan bahwa
hasil panen kedelainya pasti akan dibeli oleh industri-industri pengolahan
dengan harga yang wajar.
3. Untuk meningkatkan keunggulan kompetitif komoditi kedelai dalam
perdagangan antar wilayah, substitusi impor, dan promosi ekspor maka
diperlukan strategi distribusi dan pemasaran kedelai diantaranya dengan
meningkatkan efisiensi biaya pemasaran dan posisi tawar petani sehingga
mereka memperoleh harga yang wajar dan meningkatkan harga jual
kedelai domestik, dimana hasil analisis menunjukkan bahwa harga jual
kedelai domestik sangat responsif terhadap luas areal panen, sehingga
sangat mempengaruhi insentif petani dalam berproduksi. Selain itu
diharapkan industri-industri pengolahan kedelai dapat meningkatkan
kualitas dan dayaguna produk olahan yang mampu bersaing dengan
produk olahan berbahan baku nonkedelai.