Upload
vuongtruc
View
246
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DETERMINAN DEINDUSTRIALISASI DI PULAU JAWA
TAHUN 2006-2015
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis untuk Memenuhi Syarat-
syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi (S.E)
Disusun Oleh:
Rizki Oktaviani
NIM: 1113084000005
JURUSAN EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
A. IDENTITAS PRIBADI
1. Nama Lengkap: Rizki Oktaviani
2. Tempat/Tanggal Lahir: Jakarta, 15 Oktober 1995
3. Alamat: Reni Jaya Blok AH 7/17 Pamulang, Tangerang Selatan
4. Telepon: 085695086737
5. E-mail: [email protected]
B. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri 05 Pagi: 2001-2007
2. SMP Negeri 86 Jakarta: 2007-2010
3. SMA Negeri 66 Jakarta: 2010-2013
4. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2013-2019
C. SEMINAR DAN WORKSHOP
1. Dialog Jurusan dan Seminar Konsentrasi “ Mengenal Lebih Dekat
dengan Jurusan Sendiri, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013.
2. Pelatihan Karya Tulis Ilmiah “Mewujudkan Regenerasi Mahasiswa
Ekonomi yang berprestasi dalam Bidang Akademik”, HMJ IESP UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014.
3. Seminar Nasional “Korupsi Mengorupsi Indonesia”, FEB UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014.
i
ABSTRACT
Over the last few years, there has been a decline in the contribution of the
industrial sector in each province on Java. In this study, the decline in the
contribution of the manufacturing industry was seen by the share of added
value. The decline indicates that java island are experiencing process of
deindustrialization. This study aims to analyze the effect of the Export Share
of Non-Oil and Gas Industrial sector and the FDI Share of the Industrial
Sector on deindustrialization in Java Island 2006-2015 period. This study
uses panel data analysis using Fixed Effect Model. The results of this study
indicate that the Export Share of Non-Oil and Gas Industrial sector and the
FDI Share of the Industrial Sector have a significant positive effect on
deindustrialization in Java.
Key Word: Deindustrialization, Export, Foreign Direct Investment, Fixed
Effect Model (FEM).
ii
ABSTRAK
Selama beberapa tahun terakhir telah terjadi penurunan kontribusi sektor
industri pada tiap provinsi di Pulau Jawa. Dalam penelitian ini penurunan
kontribusi sektor industri manufaktur dilihat berdasarkan pangsa nilai
tambahnya. Dengan adanya penurunan tersebut menandakan bahwa Pulau
Jawa sedang mengalami proses yang dinamakan deindustrialisasi. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari Pangsa Ekspor Industri
Manufaktur Non Migas dan Pangsa FDI Industri manufaktur Non Migas
terhadap Deindustrialisasi di Pulau Jawa Tahun 2006-2015. Penelitian ini
menggunakan analisis data panel dengan metode pendekatan Fixed Effect
Model (FEM). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pangsa Ekspor
Industri Manufaktur Non Migas dan Pangsa FDI Industri Manufaktur Non
Migas berpengaruh positif signifikan terhadap deindustrialisasi di Pulau
Jawa.
Kata Kunci : Deindustrialisasi, Pangsa Ekspor, Pangsa FDI, Fixed Effect
Model (FEM).
iii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala atas berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“ANALISIS DETERMINAN DEINDUSTRIALISASI DI PULAU JAWA
TAHUN 2006-2015” dengan baik. Shalawat serta salam penulis haturkan
kepada Nabi Muhammad Shallallahu’Alayhi wa Sallam beserta keluarga dan
para sahabatnya. Skripsi ini disusun dalam rangka untuk memenuhi syarat-
syarat memperoleh gelar sarjana Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selesainya skripsi ini tentu berkat dukungan, bimbingan, bantuan dan
semangat serta doa dari orang-orang di sekeliling penulis selama proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karenanya, izinkanlah penulis menyampaikan
terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua penulis, Bapak Supardi dan Ibu Hidayati Suprihatin
yang selalu memberikan dukungan kepada penulis dengan memberikan
doa yang tiada henti dan juga memfasilitasi penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. M. Arief Mufraini, Lc, M.Si selaku Dekan Fakultas Ekonomi
dan Bisnis yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga.
3. Bapak Aizirman Djusan, Ph. D, M.Sc., Econ selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu, memberikan arahan dan motivasi
kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini hingga
selesai. Semoga bapak selalu diberikan kesehatan dan keberkahan oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala.
4. Bapak Arief Fitrijanto, M,Si dan Bapak Sofyan Rizal, M.Si selaku
Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan yang
telah memberikan arahan serta bimbingan yang berarti dalam
penyelesaian perkuliahan ini.
5. Seluruh jajaran Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis yang telah
memberikan ilmu yang sangat berguna dan berharga bagi penulis
iv
selama perkuliahan serta jajaran karyawan dan staff UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah melayani dan membantu penulis
selama perkuliahan.
6. Sahabat-sahabat tersayang selama kuliah, Yunita Damayanti, Paracytha
Gumilang, Anjeng Lestari, Yunita, Devina Aprillia, Deya Ranita, Indah
Pertiwi, dan Dea Retno, terima kasih banyak penulis ucapkan kepada
kalian yang telah menjadi sahabat terbaik dari awal kuliah hingga
sekarang. Terima kasih telah menemani penulis dalam berbagai
keadaan baik suka, duka, canda, tawa dan tentunya saling mendoakan
dan selalu ada di kala sahabatnya membutuhkan dukungan serta
berjuang bersama-sama dalam mengerjakan tugas akhir ini.
7. Taufiq Qurahman yang telah membantu apapun kendala yang penulis
alami dan selalu mendoakan dalam pengerjaan tugas akhir ini.
8. Teman-teman Ekonomi Pembangunan 2013 atas kebersamaan selama
4 tahun mulai dari belajar bersama, ujian bersama, diskusi hingga
mengerjakan skripsi bersama.
9. Kakak-kakak Ekonomi Pembangunan, Kak Aziz dan Ka Farid, atas
bimbingan dan dukungannya serta memberikan semangat bagi penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Terima kasih untuk teman-teman SEISDance angkatan 2013, Annisa
Fairuz, Farida Yunita, Dharmana Dhini, Rehan, Erna, Firda, Virly,
Fika, Farah, Muthia, Sita dan Zahra untuk segala canda tawa,
pengalaman berharga dan doanya. Semoga Allah membalas semua
kebaikan kalian.
11. Dr.Ir.Heru Kustanto, M.Si yang telah meluangkan waktu untuk bertemu
dan bertukar pikiran oleh penulis sehingga penulis mendapatkan
banyak wawasan dan mampu menyelesaikan skripsi ini.
12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima
kasih telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah sempurna dan masih
banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan atau pengalaman
yang dimiliki oleh penulis. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan
v
saran agar dapat memperbaiki dan melengkapi skripsi ini serta
memberikan manfaat di bidang pendidikan.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Tangerang Selatan, 29 Januari 2019
Rizki Oktaviani
vi
DAFTAR ISI
ABSTRACT ....................................................................................... i
ABSTRAK ........................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ..................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ......................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... ix
DAFTAR DIAGRAM ...................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 13
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 14
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 14
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................... 15
A. Landasan Teori ..................................................................... 15
1. Teori Pertumbuhan ekonomi ......................................... 15
2. Teori Perubahan Struktural ........................................... 16
3. Konsep Industrialisasi ................................................... 16
4. Konsep Deindustrialisasi ............................................... 17
5. Industri Manufaktur ....................................................... 19
6. Nilai Tambah ................................................................. 24
7. Investasi ......................................................................... 25
8. Ekspor ............................................................................ 28
B. Penelitian Sebelumnya ......................................................... 31
C. Kerangka Pemikiran ............................................................. 45
D. Hipotesis Penelitian .............................................................. 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................... 47
A. Ruang Lingkup Penelitian .................................................... 47
B. Jenis dan Sumber Data ......................................................... 47
C. Metode Pengumpulan Data .................................................. 47
D. Metode Analisis Data ........................................................... 48
vii
1. Estimasi Model Data Panel ....................................... 49
2. Pemilihan Model Data Panel .................................... 50
3. Model Empiris .......................................................... 52
E. Uji Hipotesis ......................................................................... 53
F. Definisi Operasional Variabel .............................................. 56
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN ................................. 58
A. Gambaran Umum Objek Penelitian ..................................... 58
B. Penemuan dan Pembahasan.................................................. 62
C. Estimasi Data Panel .............................................................. 67
D. Uji Asumsi Klasik ................................................................ 69
1. Uji Normalitas .......................................................... 69
2. Uji Multikolinearitas ................................................. 69
3. Uji Heterokedastisitas ............................................... 70
4. Uji Autokorelasi........................................................ 70
E. Persamaan Model ................................................................. 70
F. Uji Koefisien Determinasi .................................................... 73
G. Pengujian Hipotesis .............................................................. 73
1. Uji F-Statistik (Simultan) ......................................... 73
2. Uji T-Statistik (Parsial) ............................................. 74
H. Pembahasan Hasil Penelitian ............................................... 75
BAB V PENUTUP .......................................................................... 80
A. Kesimpulan ........................................................................... 80
B. Saran ..................................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... 81
LAMPIRAN .................................................................................... 87
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kontribusi Sektoral terhadap PDB Nasional ................................. 3
Tabel 1.2 Kondisi Perekonomian Indonesia Berdasarkan Kriteria Negara
Industri ........................................................................................................... 5
Tabel 1.3 Perbandingan Pangsa Tenaga Kerja dan Pangsa PDB Menurut
Sektor Tahun 2015 ......................................................................................... 9
Tabel 1.4 Realisasi Investasi Menurut Sektor Tahun 2015.......................... 10
Tabel 1.5 Peranan Sektor Manufaktur terhadap PDRB Tahun 2011-2015 .. 12
Tabel 2.1 Definisi Deindustrialisasi ............................................................. 17
Tabel 2.2 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2015 Sektor
Industri Pengolahan ...................................................................................... 23
Tabel 2.3 Ringkasan Penelitian Sebelumnya ............................................... 35
Tabel 3.1 Definisi Operasional Variabel ...................................................... 56
Tabel 4.1 Klasifikasi Industri Berdasarkan KBLI Tahun 2015 ................... 58
Tabel 4.2 Uji Chow ...................................................................................... 67
Tabel 4.3 Uji Hausman ................................................................................ 68
Tabel 4.4 Uji Multikolinearitas .................................................................... 69
Tabel 4.5 Uji Glejser .................................................................................... 70
Tabel 4.6 Individual Effect .......................................................................... 71
Tabel 4.7 Koefisien Determinasi.................................................................. 73
Tabel 4.8 Uji F-Statistik ............................................................................... 73
Tabel 4.9 Uji T-Statistik ............................................................................... 74
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir .................................................................... 45
x
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.1 Pertumbuhan Industri Manufaktur dan Pertumbuhan PDB
Nasional Tahun 1961-2007 ............................................................................ 2
Diagram 1.2 Pertumbuhan Sektor Tradable, Sektor Non-Tradable, dan
Pertumbuhan PDB Nasional Tahun 2006-2015 ............................................. 7
Diagram 1.3 Kontribusi Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur dalam
PDB Nasional Tahun 2006-2015 ................................................................... 8
Diagram 1.4 Perkembangan Nilai Ekspor Non-Migas menurut Sektor Tahun
2006-2015 ...................................................................................................... 8
Diagram 1.5 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDRB
Berdasarkan Pulau ........................................................................................ 11
Diagram 4.1 Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2010-2015 . 60
Diagram 4.2 Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa menurut Sektor Utama
Tahun 2010-2015 ......................................................................................... 61
Diagram 4.3 Perkembangan Nilai Tambah pada Provinsi di Pulau Jawa Tahun
2006-2015 .................................................................................................... 62
Diagram 4.4 Perkembangan Ekspor pada Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2006-
2015 .............................................................................................................. 63
Diagram 4.5 Perkembangan Pangsa Nilai Tambah dan Pangsa Ekspor di
Pulau Jawa Tahun 2006-2015 ...................................................................... 64
Diagram 4.6 Perkembangan FDI pada Provinsi di Pulau Jawa Tahun 2006-
2015 .............................................................................................................. 65
Diagram 4.7 Perkembangan Pangsa Nilai Tambah dan Pangsa FDI di Pulau
Jawa Tahun 2006-2015 ................................................................................ 66
Diagram 4.8 Uji Normalitas ......................................................................... 69
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Pembangunan ekonomi telah banyak dilakukan di negara-negara dunia ketiga
termasuk di Indonesia. Pembangunan ekonomi ditujukkan pada usaha-usaha untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal tersebut dilakukan guna mengatasi
masalah ketertinggalan yang terjadi di bidang ekonomi. Jika pembangunan di
bidang ekonomi telah dilakukan diyakini hal tersebut akan mendorong bidang-
bidang lain dalam kehidupan masyarakat ke arah pembaharuan sehingga tujuan
pembangunan nasional dapat tercapai (Subandi, 2012:3).
Pembangunan ekonomi itu sendiri adalah serangkaian proses kegiatan yang
dilakukan oleh setiap negara guna mengembangkan aktivitas ekonomi dengan
tujuan meningkatkan taraf hidup masyarakat dalam jangka panjang (Subandi,
2012:9). Dalam sebuah proses pembangunan di setiap negara tentunya akan melalui
berbagai tahapan yang dilaluinya. Berbagai teori pertumbuhan telah muncul yang
pada intinya menjelaskan bahwa pembangunan ekonomi dimulai dari sektor primer,
sekunder kemudian berujung pada sektor tersier. Menurut (Chenery dalam
Rahardjo, 2014:70) transformasi struktural adalah sebuah proses perubahan struktur
perekonomian dimana kontribusi sektor industri melebihi kontribusi sektor
pertanian dalam PDB nasional.
Industrialisasi merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan dari pembangunan
ekonomi suatu daerah ataupun negara di dunia. Dimulai dengan terjadinya revolusi
industri di Eropa pada akhir abad ke 18 meyakinkan banyak negara bahwa
industrialisasi merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan ekonomi.
Pembangunan sektor industri hampir selalu menjadi prioritas utama dalam rencana
pembangunan negara-negara berkembang. Hal ini disebabkan karena sektor
industri dianggap sebagai motor penggerak yang mendorong perkembangan sektor
lainnya seperti sektor jasa dan pertanian (Arsyad, 2010:442).
2
Dapat dikatakan bahwa proses industrialisasi di Indonesia dimulai pada awal
tahun 1970-an. Masa itu dikenal dengan adanya REPELITA (Rencana
Pembangunan Lima Tahun) yang dibuat pada masa pemerintahan Orde Baru.
Namun sebenarnya, jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terdapat beberapa
industri seperti industri tekstil, industri rokok, industri makanan dan minuman serta
industri semen. Industri-industri tersebut sudah berkembang baik pada zaman
Kolonial Belanda. Namun, kebijakan di bidang ekonomi dan kebijakan
perdagangan luar negeri baru dikeluarkan pada saat pemerintahan Orde Baru yang
secara nyata ditunjukkan untuk mengembangkan industri nasional.
Kebijakan pembangunan industri pada awal pembangunan ekonomi biasanya
dilakukan melalui subtitusi impor. Hal ini juga yang dilakukan oleh Indonesia pada
masa Orde Baru. Kebijakan pembangunan industri lebih berorientasi ke dalam
(impor). Dengan memproduksi barang-barang subtitusi yang selama ini diimpor
maka ketergantungan impor dari negara lain dapat teratasi. Hal tersebut dapat
menghemat devisa yang dipergunakan untuk pembangunan industri pada masa
Orde Baru.
Diagram 1.1
Pertumbuhan Industri Manufaktur dan Pertumbuhan PDB Nasional
Tahun 1961-2007
Sumber:Badan Pusat Statistik data diolah
3
Diagram 1.1 menunjukkan bahwa selama periode 1969 sampai dengan tahun
1997, pertumbuhan sektor industri meningkat dengan pesat. Meskipun agak
berfluktuasi setiap tahunnya, jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan sektor industri manufaktur selalu berada di atas pertumbuhan
ekonomi nasional sejak tahun 1961 sampai 2007. Namun, pada tahun 1973 dan
1983 terjadi penurunan dalam pertumbuhan sektor industri yang diakibatkan oleh
krisis minyak bumi. Kemudian, penurunan lain juga terjadi pada tahun 1997 yang
diakibatkan oleh krisis moneter yang melanda Indonesia. Sebelum krisis moneter
1997, industri manufaktur mampu tumbuh dengan rata-rata sekitar 11 persen
selama periode 1974-1997. Dengan tingginya tingkat pertumbuhan rata-rata sektor
industri menyebabkan peranannya terhadap PDB juga cenderung meningkat. Jika
dilihat melalui tabel 1.1 peranan sektor industri pada tahun 1971 hanya sebesar 8.36
persen dan peran dominan masih dipegang oleh sektor pertanian dengan nilai
sebesar 44.83 persen pada tahun yang sama. Namun, pada tahun 2005 kondisi
tersebut berubah dan mencapai puncaknya. Kontribusi paling dominan berasal dari
sektor industri sebesar 28.10 persen dan sektor pertanian turun menjadi hanya
sebesar 14.54 persen. Ini berarti telah terjadi peningkatan sebesar 19.74 persen
dalam kurun waktu 34 tahun. Dengan peningkatan peran sektor industri terhadap
PDB menunjukkan bahwa telah terjadi transformasi struktur ekonomi di Indonesia,
yaitu menurunnya peranan sektor pertanian dan meningkatnya peranan sektor
industri dan jasa.
Tabel 1.1
Kontribusi sektoral terhadap PDB Nasional
No Sektor 1971 1980 1990 2005 2010
1.
2.
3.
4.
5.
Pertanian
Pertambangan dan
Penggalian
Industri
Listrik, Gas dan Air
Bangunan
44.83
8.01
8.36
0.49
3.49
30.7
9.3
15.3
0.7
5.7
19.42
15.19
19.35
0.63
5.80
14.54
9.30
28.10
0.66
5.91
13.17
8.07
25.76
0.78
6.50
4
6.
7.
8.
9.
Perdagangan, Hotel dan
Restoran
Pengangkutan dan
Komunikasi
Keuangan, Persewaan dan
Jasa
Jasa-jasa
16.11
4.41
12.2
2.11
16.6
5.4
13.8
2.8
16.13
5.53
14.49
3.46
16.83
6.26
9.26
9.14
17.34
9.41
9.55
9.43
Total 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
Sumber:Badan Pusat Statistik data diolah
Namun, sejak krisis Asia pada tahun 1997 dan krisis keuangan global pada
tahun 2008 pertumbuhan sektor industri relatif rendah. Krisis ini membawa dampak
yang cukup besar terhadap sektor industri. Tahun 1996 sektor industri manufaktur
tumbuh hampir 12 persen, tetapi pada tahun 1997 tumbuh hanya sekitar 5,3 persen
dan pada tahun 1998 justru mengalami kontraksi sebesar -11,4 persen. Setelah
periode krisis Asia, industri manufaktur secara perlahan namun pasti kembali
mengalami pertumbuhan positif dan mencapai puncaknya pada tahun 2004 sebesar
6,4 persen. Krisis keuangan global pada tahun 2008 kembali memperlambat laju
pertumbuhan sektor industri manufaktur yang menyebabkan laju pertumbuhan
sektor tersebut hanya tumbuh sebesar 2,11 persen pada tahun 2009.
Menurunnya pertumbuhan sektor industri cukup mengkhawatirkan mengingat
sektor industri sangat diharapkan perannya dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, pengentasan kemiskinan dan penciptaan lapangan pekerjaan untuk
mengurangi tingginya angka pengangguran. Penurunan pertumbuhan sektor
industri ini mengarah pada suatu gejala deindustrialisasi, yaitu proses dimana peran
sektor industri manfaktur mengalami penurunan secara terus menerus terhadap
PDB nasional. Munculnya pengangguran adalah sebuah dampak dari semakin
lumpuhnya sektor industri sebagai sektor penyedia lapangan kerja.
Namun menurut (Anwari, 2008) deindustrialisasi juga dapat menjadi pertanda
bahwa telah terjadi perkembangan ke arah pasca-industri di dalam suatu
5
perekonomian. Hal ini ditandai dengan kemunculan industri tersier yang padat
teknologi dan berbasis ilmu pengetahuan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka deindustrialisasi memiliki dua
makna, yakni dapat beramakna “positif” maupun “negatif”. Dalam makna
“positif”, deindustrialisasi merupakan sebuah proses dimana perekonomian yang
sudah lagi tidak bertumpu pada sektor primer maupun sekunder melainkan
bertumpu pada sektor tersier yang berbanding lurus dengan kehadiran masyarakat
pasca-industri. Deindustrialisasi ini banyak terjadi di negara-negara maju yang
mana mereka sudah memiliki sistem perekonomian yang kuat dan maju.
Sedangkan deindustrialisasi yang bermakna “negatif” ditandai dengan
menurunnya kontribusi sektor industri terhadap pembentukan PDB nasional. Hal
ini terjadi ketika industrialisasi mengalami fase titik balik sebelum mencapai
tingkat kematangan. Deindustrialisasi ini seringkali terjadi di negara-negara
berkembang. Salah satunya adalah yang terjadi di Indonesia saat ini.
Tabel 1.2
Kondisi Perekonomian Indonesia berdasarkan Kriteria Negara Industri
Indikator Syarat Negara
Industri
Tahun Kondisi
Perekonomian
Indonesia
Proporsi NTB Sektor
Manufaktur terhadap
PDB
>30
2004 26.65
2005 23.98
2006 23.77
2007 23.39
2008 22.87
2009 22.35
2010 22.03
2011 22.08
2012 21.97
2013 21.72
2014 21.64
6
Sumber:Badan Pusat Statistik data diolah
Berdasarkan kriteria negara industri UNIDO, Indonesia masih berada di dalam
kategori negara semi industri. Hal itu dijabarkan berdasarkan kriteria di bawah ini:
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)
mengelompokkan negara ke dalam empat kelompok berdasarkan rasio nilai tambah
bruto (NTB) sektor industri manufaktur terhadap PDB (Ruky dalam Diah Ananta,
2010:4).
1. Negara non industri adalah negara yang memiliki rasio nilai tambah bruto
(NTB) sektor industri manufaktur terhadap PDB kurang dari 10 persen.
2. Negara dalam proses industrialisasi adalah negara yang memiliki rasio
nilai tambah bruto (NTB) sektor industri manufaktur terhadap PDB antara
10 sampai dengan 20 persen.
3. Negara semi industri adalah negara yang memiliki rasio nilai tambah bruto
(NTB) sektor industri manufaktur terhadap PDB antara 20 sampai dengan
30 persen.
4. Negara industri adalah negara yang memiliki rasio nilai tambah bruto
(NTB) sektor industri manufaktur terhadap PDB lebih dari 30 persen.
Berdasarkan kriteria di atas pada poin ke empat dijelaskan bahwa negara
industri harus memiliki rasio nilai tambah bruto (NTB) sektor manufaktur terhadap
PDB lebih dari 30 persen. Sedangkan dalam tabel 1.1 dapat dilihat bahwa dari tahun
2004-2015, rasio nilai tambah bruto (NTB) sektor industri manufaktur hanya berada
di antara 20 sampai 26 persen. Hal ini menandakan bahwa Indonesia masih berada
di tahap negara semi industri. Kemudian, pertumbuhan sektor jasa yang telah
melampaui pertumbuhan sektor industri manufaktur saat ini merupakan tanda
terjadinya gejala deindustrialisasi negatif dimana Indonesia telah mengalami titik
balik sebelum ada di tahap industrialisasi yang sebenarnya. Berbeda dengan negara-
nagara maju yang mengalami deindustrialisasi positif dimana deindustrialisasi yang
terjadi di negara tersebut adalah sebuah tahap perkembangan ekonomi yang lebih
lanjut dari sektor industri. Tahapan ekonomi yang sudah berbasis teknologi tinggi
dan ilmu pengetahuan. Deindustrialisasi ini bermakna positif karena terjadinya
2015 21.53
7
deindustrialisasi berbanding lurus dengan hadirnya masyarakat pascaindustri.
Contoh seperti kawasan industri yang ada di Amerika dan Inggris, yaitu Sillicon
Valley dan Silicon Glen yang hadir dengan perekonomian yang bercorak teknologi
tinggi.
Diagram 1.2
Pertumbuhan Sektor Tradable, Sektor Non-Tradable, dan Pertumbuhan
PDB Nasional Tahun 2006-2015
Sumber:Badan Pusat Statistik
Selain itu, dari gambar diagram 1.2 di atas dapat dijelaskan bahwa struktur
perekonomian Indonesia sedang mengalami ketidakseimbangan.
Ketidakseimbangan ini terjadi karena pertumbuhan sektor non-tradable yang
melebihi pertumbuhan sektor tradable. Sektor non-tradable adalah sektor yang
umumnya berbasis padat modal, padat teknologi dan sangat sedikit menyerap
tenaga kerja. Hasil dari sektor ini tidak dapat diperdagangkan dengan leluasa di
pasar internasional. Sedangkan, sektor tradable sangat erat kaitannya dengan proses
produksi karena sektor ini yang menghasilkan barang-barang yang dapat
diperdagangkan. Sektor tradable juga merupakan sektor yang mampu menyerap
banyak tenaga kerja dibandingkan dengan sektor non-tradable sehingga jika
pertumbuhan sektor non-tradable jauh lebih tinggi daripada sektor tradable akan
sangat beresiko.
0%
2%
4%
6%
8%
10%
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pertumbuhan Sektor Tradable Pertumbuhan Ekonomi PDB
Pertumbuhan Sektor Non-Tradable
8
Diagram 1.3
Kontribusi Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur dalam PDB Nasional
Tahun 2006-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan gambar diagram di atas, pangsa output industri manufaktur terus
mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Penurunan terjadi dari angka 23.77
persen pada tahun 2006 hingga angka 21.53 persen di tahun 2015. Selain itu, sejak
tahun 2008 hingga 2015 pangsa output mengalami perlambatan di angka 22 dan 21
persen. Penurunan pangsa output ini dapat dikatakan sebagai salah satu gejala
deindustrialisasi yang ada di Indonesia.
Diagram 1.4
Perkembangan Nilai Ekspor Non-Migas menurut Sektor Tahun 2005-2015
(Juta US $)
Sumber:Badan Pusat Statistik
20%
21%
21%
22%
22%
23%
23%
24%
24%
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Hu
nd
red
s
-
20,000
40,000
60,000
80,000
100,000
120,000
140,000
160,000
180,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
9
Kemudian dari sisi ekspor, dapat kita lihat bersama melalui diagram 1.4 di atas
bahwa nilai ekspor sektor industri manufaktur terus mengalami fluktuasi dari tahun
2005 hinga tahun 2011. Pada tahun 2008 ke 2009 nilai ekspor turun karena adanya
krisis global yang berdampak pada perekonomian Indonesia. Pada tahun 2008 nilai
ekspor Indonesia sebesar 107.894 juta US dollar, sedangkan di tahun 2009 nilai
ekspor Indonesia turun menjadi sebesar 97.491 juta US dollar. Namun, mulai dari
tahun 2010 nilai ekspor terus membaik hingga pada tahun 2011 mencapai
puncaknya dengan nilai ekspor sebesar 162.019 juta US dollar. Kenaikan itu tidak
berlangsung lama dan kembali mengalami penurunan hingga tahun 2015.
Tabel 1.3
Perbandingan Pangsa Tenaga Kerja dan Pangsa Produk Domestik Bruto
menurut Sektor Tahun 2015
No Sektor Usaha Pangsa Tenaga
Kerja (Persen)
Pangsa PDB
(Persen)
1. Pertanian, Kehutanan, Perburuan
dan Perikanan
32.88 13.04
2. Pertambangan dan Penggalian 1.15 8.54
3. Industri 13.53 21.53
4. Listrik, Gas dan Air 0.41 1.18
5. Bangunan 7.15 9.78
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 10.91 13.44
7. Angkutan, Pergudangan dan
Komunikasi
4.49 8.57
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa
Perusahaan
2.89 8.49
9. Jasa Kemasyarakatan 14.34 9.30
Sumber: Badan Pusat Statistik
Sementara itu, dari tabel 1.2 di atas kita dapat mengetahui bahwa meskipun
pangsa ekspor industri manufaktur terhadap PDB nasional merupakan yang terbesar
tetapi tidak dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang tinggi. Pada tahun 2015
pangsa ekspor industri manufaktur sebesar 21.53 persen, namun pangsa penyerapan
10
tenaga kerjanya hanya sebesar 13.53 persen. Jika dibandingkan dengan pangsa
penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian maka sektor pertanian masih jauh
unggul dengan 32.88 persen. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa perubahan
struktur perekonomian yang terjadi di Indonesia dewasa ini berlangsung tidak
seimbang. Perubahan struktur perekonomian dari sektor pertanian ke sektor industri
tidak diimbangi dengan pergeseran tenaga kerjanya. Meskipun begitu, sektor
pertanian bersama-sama dengan sektor industri dan sektor perdagangan mampu
menyerap tenaga kerja sekitar 70.3 persen dari total tenaga kerja nasional.
Dengan besarnya kontribusi yang diberikan oleh sektor industri manufaktur
dalam penyerapan tenaga kerja pada tahun 2015 sebesar 13.53 juta orang, hal ini
menunjukkan bahwa tingginya peran sektor industri manufatur dalam mengurangi
angka pengangguran di Indonesia. Oleh sebab itu, jika sektor industri manufaktur
mengalami stagnasi atau bahkan kemunduran maka akan berdampak pada
peningkatan angka pengangguran.
Tabel 1.4
Realisasi Investasi menurut Sektor Tahun 2015
Sektor Ekonomi FDI
Pertanian, Perikanan dan Kehutanan US$ 2.219 Juta
Pertambangan US$ 4.017Juta
Industri Pengolahan
(Manufaturing)
US$ 7.184 Juta
Listrik, Gas dan Air US$ 3.028 Juta
Konstruksi US$ 954 Juta
Perdagangan dan Reparasi Hotel &
Restoran
US$ 4.757 Juta
Transportasi, Pergudangan dan
Komunikasi
US$ 3.289 Juta
Jasa Lainnya US$ 294 Juta
Sumber: BKPM, 2015
11
Peran sektor industri dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak terlepas
dari adanya peranan investasi. Keberadaan investasi asing langsung memiliki
dampak berganda (multiplier effect) terhadap masyarakat. Investasi asing langsung
biasanya berupa pendirian pabrik, pembelian mesin untuk kegiatan produksi dan
lain-lain. Investasi ini memiliki manfaat dimana dengan adanya pabrik-pabrik baru
itu berarti adanya penambahan permintaan di dalam negeri terhadap barang-barang
modal, barang-barang setengah jadi, bahan baku dan input lainnya. Jika permintaan
antara ini sepenuhnya terpenuhi oleh sektor-sektor lain di dalam negeri maka
kegiatan produksi di pabrik-pabrik baru tersebut sepenuhnya dapat dinikmati oleh
sektor-sektor domestik lain yang nantinya akan meningkatkan output nasional.
Diagram 1.5
Kontribusi Sektor Industri Manufaktur terhadap PDRB Berdasarkan Pulau
Sumber: Kemenprin, 2015
Besarnya peranan sektor industri manufaktur di Pulau Jawa menjadikan Pulau
Jawa sebagai wilayah yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB Nasional.
Pada tahun 2015, sektor industri manufaktur di Pulau Jawa menyumbang kontribusi
terhadap PDRB sebesar 71 persen, kemudian diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar
18 persen, Pulau Kalimantan sebesar 5 persen, Pulau Sulawesi sebesar 2 persen,
yang terakhir Pulau Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua masing-masing
sebesar 1 persen. Berikut ini adalah diagram yang menggambarkan kontribusi
sektor industri manufaktur terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB).
Jawa71%
Sumatera18%
Kalimantan6%
Sulawesi3%
Bai dan Nusa Tenggara
1%
Maluku dan Papua
1%
12
Tabel 1.5
Peranan Sektor Manufaktur terhadap Produk Domestik Regional Bruto
Tahun 2011-2015 (persen)
Provinsi Tahun
2011 2012 2013 2014 2015
Banten 39.05 38.28 38.69 37.29 36.60
DKI
Jakarta
13.61 13.08 12.99 12.94 12.84
Jawa Barat 44.13 43.33 43.68 43.71 43.44
Jawa
Tengah
34.48 34.93 35.05 35.49 35.27
Jawa
Timur
29.02 29.05 28.99 29.48 29.53
D.I
Yogyakarta
14.27 13.16 13.33 13.16 12.80
Sumber: Badan Pusat Statistik data diolah
Peranan sektor industri dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sangatlah
penting dikarenakan sektor ini memiliki kontribusi paling tinggi jika dibandingkan
dengan sektor yang lain. Perlu disadari bahwa selama ini sektor industri manufaktur
juga menjadi sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak kedua setelah sektor
pertanian. Penurunan pertumbuhan sektor industri manufaktur bukan saja hanya
menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun tetapi yang lebih mengkhawatirkan
adalah terjadinya gelombang pengangguran dan kemiskinan yang semakin besar.
Berdasarkan fenomena tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “ANALISIS DETERMINAN DEINDUSTRIALISASI
DI PULAU JAWA TAHUN 2006-2015”.
13
B. Rumusan Masalah
Sektor industri merupakan salah satu sektor penting yang menggerakkan
perekonomian. Suatu negara akan tumbuh dengan kuat jika negara tersebut juga
ditopang oleh industri manufaktur yang kuat, sedangkan sektor lainnya mendukung
sektor tersebut. Selain itu, industri manufaktur memliki nilai tambah yang relatif
lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya sehingga peningkatan kualitas pada
industri manufaktur dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran sektor industri
dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi tidak terlepas dari adanya peranan
investasi. Keberadaan investasi asing langsung memiliki dampak berganda
(multiplier effect) terhadap masyarakat.
Seiring dengan proses industrialisasi di Indonesia dalam mempercepat
pertumbuhan ekonomi, terjadi pergeseran peran sektor pertanian menuju sektor
sekunder bahkan tersier. Keadaan ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya
peran sektor pertanian terhadap pembentukan PDB dalam beberapa tahun terakhir.
Hal ini senada dengan teori Chenery (dalam Kuncoro 1997:57-58) bahwa proses
pergeseran struktur ekonomi lebih dititikberatkan pada beralihnya ketergantungan
kepada komoditas pertanian tradisional dan berkembangnya industri manufaktur
sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
Akan tetapi, seiring dengan terjadinya perubahan struktur ekonomi di
Indonesia, juga terjadi gejala dimana peran sektor manufaktur mengalami
penurunan beberapa tahun terakhir. Hal ini sering disebut sebagai deindustrialisasi.
Deindustrialisasi adalah menurunnya peran industri dalam perekonomian secara
menyeluruh. Sementara itu, deindustrialisasi di negara-negara berkembang
biasanya lebih merupakan masalah daripada sesuatu yang diharapkan. Menurunnya
peran industri dapat dilihat dari berbagai sisi, misalnya penurunan proporsi pekerja
manufaktur terhadap total pekerja, penurunan proporsi nilai tambah manufaktur
terhadap PDB nasional dan penurunan sektor industri dibandingkan sektor yang
lain. Salah satu penyebab deindustrialisasi adalah hilangnya keunggulan kompetitif
dan sektor industri suatu negara. Jika keunggulan kompetitif produk industri hilang
maka produk negara tersebut akan kalah di pasar internasional. Impilkasinya,
pertumbuhan industri negara tersebut akan menurun dan pada akhirnya membuat
14
investor menarik investasinya dari sektor industri ke sektor lain atau bahkan ke
negara lain.
Peranan sektor industri dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi sangatlah
penting dikarenakan sektor ini memiliki kontribusi paling tinggi jika dibandingkan
dengan sektor yang lain. Perlu disadari bahwa selama ini sektor industri manufaktur
juga menjadi sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbanyak kedua setelah sektor
pertanian. Penurunan pertumbuhan sektor industri manufaktur bukan saja hanya
menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun, tetapi yang lebih mengkhawatirkan
adalah terjadinya gelombang pengangguran dan kemiskinan yang semakin besar.
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan maka dapat dirumuskan
dalam pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Apakah pangsa ekspor industri manufaktur non migas berpengaruh
signifikan terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa?
2. Apakah pangsa foreign direct investment industri manufaktur non migas
berpengaruh signifikan terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui pengaruh pangsa ekspor industri manufaktur non migas
terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa
2. Untuk mengetahui pangsa foreign direct investment industri manufaktur non
migas terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa.
D. Manfaat Penelitian
1) Bagi Akademisi
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan civitas
akademika terkait deindustrialisasi yang terjadi di Pulau Jawa serta
sebagai bahan literatur bagi peneliti selanjutnya.
2) Bagi Pembuat Kebijakan
b. Sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan yang berhubungan
dengan kegiatan sektor industri manufaktur.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Pertumbuhan Ekonomi
M.P Todaro mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai suatu proses
yang kuat dengan meningkatnya kapasitas produksi di dalam perekonomian
dari waktu ke waktu sehingga menghasilkan pendapatan nasional yang
semakin besar (Todaro, 2011:130).
Sedangkan menurut Prof. Simon Kuznets pertumbuhan ekonomi adalah
kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk
menyediakan semakin banyak barang dan jasa ekonomi kepada
penduduknya. Kemampuan ini tumbuh seiring dengan berkembangnya
teknologi, ideologi yang diterapkan serta penyesuaian dalam
kelembagaannya.
Dari penuturan definisi menurut Prof. Simon Kuznets di atas,
pertumbuhan ekonomi memiliki (3) tiga komponen penting, yaitu (Jhingan,
2012:57).
a. Pertumbuhan suatu negara terlihat dari kenaikan output yang
berkesinambungan.
b. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang
berkesinambungan merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi
yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam
penyediaan aneka macam barang kepada masyarakat.
c. Pertumbuhan ekonomi dengan penggunaan teknologi yang luas harus
diimbangi dengan penyesuaian kelembagaan, sikap dan ideologi
sehingga secara sosial dan ekonomi terjadi pertumbuhan yang
seiring.
Teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar merupakan pengembangan
dari teori Keynes jangka pendek. Investasi merupakan aspek utama dalam
16
teori Keynes namun, Keynes melihatnya dalam jangka pendek. Sedangkan,
Harrod Domar melihat pengaruh investasi dalam jangka waktu yang lebih
panjang. Menurut teori ini, pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai
pengaruh terhadap permintaan agregat (Z), tapi juga memiliki pengaruh
terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas
produksi (Boediono, 1981:7).
2. Teori Perubahan Struktural
Transformasi atau perubahan struktural adalah suatu proses perubahan
struktur perekonomian dimana kontribusi yang diberikan oleh sektor industri
manufaktur melebihi sektor pertanian dalam PDB nasional (Todaro,
2011:140).
Menurut (Chenery dalam Rahardjo Adisasmita, 2013:73) terjadinya
perubahan pada struktur ekonomi di dalam pembangunan menunjukkan
bahwa produksi sektor pertanian memiliki pertumbuhan yang lambat
dibandingkan pertumbuhan produksi nasional. Sebaliknya, pertumbuhan
produksi yang terjadi pada sektor industri lebih cepat daripada tingkat
pertumbuhan produksi nasional. Hal yang sama terjadi pada sektor jasa yang
juga mengalami tingkat pertumbuhan yang cepat.
Pertumbuhan nilai produksi sektor sekunder yang mampu melebihi sektor
primer dikarenakan adanya kemajuan teknologi yang sangat signifikan.
Akibat dari kemajuan tekonologi tersebut juga membuat barang-barang
kebutuhan masyarakat bertambah banyak sehingga membutuhkan pemasaran
yang sangat luas. Selain itu, diperlukan juga jasa perdagangan dan jasa
transportasi guna mendistribusikan barang-barang tersebut kepada
masyarakat. Kegiatan sektor industri manufaktur dan sektor jasa yang
meningkat tajam telah mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi
(Rahardjo Adisasmita, 2013:73-74).
3. Konsep Industrialisasi
Industrialisasi adalah pembangunan ekonomi melalui transformasi sumber
daya dan kuantitas energi yang digunakan (Lauer, 2001:411). Menurut
17
Soerjono Soekanto (1992:217) industrialisasi merupakan cara-cara yang
kompleks dan canggih terhadap produksi yang secara nyata berarti
penggunaan mesin yang dipergunakan untuk meningkatkan kualitas dan
kuantitas produksi. Industrialisasi merupakan usaha menghidupkan industri
guna memenuhi kebutuhan masyarakat.
Menurut W. Arthur Lewis dan Hollis Chenery, proses industrialisasi adalah
sebuah mekanisme yang memungkinkan perekonomian negara terbelakang
mentransformasikan struktur perekonomian dalam negeri mereka dari sektor
pertanian tradisional yang biasanya digunakan untuk mencukupi kebutuhan
sendiri, kepada perekonomian yang lebih modern dan mengarah ke kota serta
lebih beraneka di bidang industri dan jasa (Hakim, 2009:3-4).
4. Konsep Deindustrialisasi
Definisi deindustrialisasi sangatlah beragam dan memiliki banyak
interpretasi. Menurut Rowthorn dan Wells dalam IMF (1997:9)
deindustrialisasi dapat dilihat melalui penurunan pangsa tenaga kerja sektor
industri manufaktur terhadap total pekerja. Selain itu, menurut Blackaby
dalam Jalilian dan Weiss (2000:25) deindustrialisasi juga dapat dilihat melalui
penurunan yang terjadi pada pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur
terhadap PDB nasional. Berikut ini adalah beberapa definisi deindustrialisasi.
Tabel 2.1 Definisi Deindustrialisasi
Sumber Definisi Deindustrialisasi
1. Blackaby (1979)
dalam Jalilian dan
Weiss (2000:25)
Penurunan nilai tambah di sektor industri
manufaktur atau penurunan kontribusi sektor
industri manufaktur terhadap PDB nasional.
2. Singh (1982) dalam
Jalilian dan Weiss
(2000:25)
Ketidakmampuan sektor manufaktur menghasilkan
devisa yang mencukupi dalam membiayai impor
untuk mencapai kondisi full-employment dalam
perekonomian.
18
3. Rowthorn dan Wells
(1987) dalam IMF
(1997:9)
Penurunan kontribusi jumlah pekerja sektor industri
manufaktur terhadap total pekerja.
4. Bazen dan Thirwall
(1989) dalam
Jalilian dan Weiss
(2000:25)
Penurunan proporsi jumlah pekerja sektor industri
manufaktur baik secara absolute maupun relatif
terhadap total pekerja.
5. World Bank (1994)
dalam Jalilian dan
Weiss (2000:26)
Penurunan kontribusi sektor industri manufaktur
yang bersifat tidak sementara yang juga dapat
menurunkan tingkat efisiensi serta menyebabkan
pertumbuhan ekonomi menjadi lambat.
6.
Rowthorn dan
Coutts (2004:767)
Penurunan kontribusi sektor industri manufaktur
dalam perekonomian nasional.
7. Cairncross (1982)
dan Lever (1991)
dalam (Dewi, 2010:
19)
Penurunan yang terjadi pada output atau jumlah
pekerja sektor industri manufaktur dalam jangka
panjang.
Pergeseran yang terjadi dari sektor industri
manufaktur menuju sektor jasa sehingga proporsi
output atau jumlah pekerja sektor industri
manufaktur terhadap total output atau pekerja
lebih kecil dibandingkan sektor jasa (definisi ini
bisa menyebabkan salah interpretasi jika
pergeseran sektor industri manufaktur menuju
sektor jasa terjadi namun, secara absolute tetap
terjadi peningkatan dalam output atau jumlah
pekerja sektor industri manufaktur)
Perekonomian yang gagal menciptakan
keseimbangan dalam neraca perdagangan luar
negerinya. Hal ini disebabkan karena terjadi
penurunan output sektor industri manufaktur
19
terhadap neraca perdagangan luar negeri atau
dengan kata lain nilai ekspor lebih kecil daripada
nilai impornya.
Terjadinya penurunan output sektor industri
manufaktur dalam perekonomian dimana hal
tersebut dikarenakan kondisi neraca perdagangan
yang mengalami defisit secara terus menerus
sehingga mengganggu proses produksi barang
manufaktur di dalam negeri.
Rowthorn (1992:478) menganggap bahwa teori Marx tentang penurunan
profit industri dapat disebut sebagai awal mula teori deindustrialisasi. Teori
tersebut menyebutkan bahwa inovasi teknologi dapat membuat proses
produksi menjadi lebih efisien sehingga dapat menyebabkan pengurangan
jumlah pekerja karena pekerja dapat digantikan dengan mesin sehingga
kapasitas penggunaan capital meningkat. Jika diasumsikan pekerja dapat
memberikan nilai tambah baru maka semakin besar penggunaan kapital akan
menghasilkan nilai tambah dan surplus yang lebih kecil dibandingkan dengan
penambahan pekerja. Rata-rata profit industri akan menurun dalam jangka
panjang. Implikasinya adalah sebuah industri perlu juga mengembangkan
kemampuan pekerjanya sebagai investasi human capital di samping
melakukan inovasi teknologi agar mengantisipasi terjadi deindustrialisasi
negatif.
5. Industri Manufaktur
a. Definisi Industri
Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1984 yang telah diperbaharui
dan disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2014, industri
merupakan sebuah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah,
bahan baku, barang setengah jadi, dan bahan jadi menjadi barang yang
memilki nilai tambah serta manfaat lebih tinggi dalam penggunaannya,
termasuk di dalamnya jasa industri.
20
Menurut Putong (2002:52) Industri adalah kumpulan perusahaan
yang ada di suatu daerah kemudian berkumpul guna memproduksi barang
yang sejenis. Menurutnya, industri dapat digolongkan menjadi beberapa
macam berdasarkan sub industrinya, yaitu industri pengolahan, industri
perikanan, industri pariwisata, industri percetakan dan lain sebagainya.
Industri juga dapat dibedakan berdasarkan besar kecilnya modal, yaitu
industri padat karya dan industri padat modal.
b. Klasifikasi Industri
Tiap-tiap industri dapat dikelompokkan berdasarkan beberapa
pendekatan, yaitu berdasarkan bahan baku, bahan mentah, produksi yang
dihasilkan, tenaga kerja, dan modal yang digunakan (Pujoalwanto,
2014:215-219):
1) Klasifikasi Industri Berdasarkan Bahan Baku
a) Industri Ekstraktif, yaitu industri yang bahan bakunya
diperoleh langsung dari alam. Misalnya, industri hasil
pertanian, industri hasil perikanan dan industri hasil
kehutanan.
b) Industri Non-Ekstraktif, yaitu industri yang mengolah lebih
lanjut hasil-hasil industri lain. Misalnya, industri kayu lapis,
industri pemintalan, dan industri kain.
c) Industri Fasilitatif, yaitu kegiatan industri dengan menjual
jasa layanan untuk keperluan orang lain. Misalnya,
perbankan, perdagangan, angkutan dan pariwisata.
2) Klasifikasi Berdasarkan Bahan Mentah
a) Industri Pertanian, yaitu industri yang mengolah bahan
mentah yang diperoleh dari hasil kegiatan pertanian.
Misalnya, industri minyak goreng, industri gula, dan
industri kopi.
b) Industri Pertambangan, yaitu industri yang mengolah
bahan mentah yang berasal dari pertambangan.
21
Misalnya, industri semen, industri baja dan industri serat
sintesis.
c) Industri Jasa, yaitu industri yang mengolah jasa layanan
yang dapat mempermudah dan meringankan beban
masyarakat tapi menguntungkan. Misalnya, industri
perbankan, industri perdagangan dan industri hiburan.
3) Klasifikasi Berdasarkan Barang yang Dihasilkan
a) Industri Berat, yaitu industri yang menghasilkan mesin-
mesin atau alat produksi lainnya. Misalnya, industri alat-
alat berat, industri mesin dan industri percetakan.
b) Industri Ringan, yaitu industri yang menghasilkan
barang siap pakai untuk dikonsumsi. Misalnya, industri
obat-obatan, industri makanan dan industri minuman.
4) Klasifikasi Berdasarkan Tenaga Kerja
a) Industri Rumah Tangga, yaitu industri yang
menggunakan tenaga kerja kurang dari empat orang.
Misalnya, industri anyaman, industri kerajinan dan
industri tempe/tahu.
b) Industri Kecil, yaitu industri yang tenaga kerjanya
berjumlah sekitar 5 sampai 19 orang. Misalnya, industri
genteng, industri batu bata, dan industri pengolahan
rotan.
c) Industri Sedang, yaitu industri yang menggunakan
tenaga kerja sekitar 20 sampai 99 orang. Misalnya,
industri konveksi, industri keramik.
d) Industri Besar, yaitu industri dengan jumlah tenaga kerja
lebih dari 100 orang. Misalnya, industri tekstil, industri
mobil, dan industri besi baja.
5) Klasifikasi Industri Berdasarkan Produksi yang Dihasilkan
a) Industri Primer, yaitu industri yang menghasilkan barang
22
atau benda yang tidak perlu pengolahan lebih lanjut.
Misalnya, industri anyaman, industri konveksi dan
industri makanan.
b) Industri Sekunder, yaitu industri yang menghasilkan
barang atau benda yang membutuhkan pengolahan lebih
lanjut sebelum dinikmati atau digunakan. Misalnya,
industri ban, industri baja dan industri tekstil.
c) Industri Tersier, yaitu industri yang hasilnya tidak berupa
secara langsung atau benda yang tidak dapat dinikmati
atau digunakan baik secara langsung maupun tidak
langsung, melainkan berupa jasa layanan yang dapat
mempermudah atau membantu kebutuhan masyarakat.
Misalnya, industri perbankan, industri pariwisata dan
industri angkutan.
6) Klasifikasi Berdasarkan Modal yang Digunakan
a) Industri dengan penanaman modal dalam negeri, yaitu
industri yang memperoleh dukungan modal dari
pemerintah atau pengusaha nasional. Misalnya, industri
kerajinan dan industri pariwisata.
b) Industri dengan foreign direct investment, yaitu industri
yang modalnya berasal dari foreign direct investment.
Misalnya, industri komunikasi dan industri
perminyakan.
c) Industri dengan modal patungan (join venture), yaitu
industri yang modalnya berasal dari hasil kerjasama
antara PMDN dan FDI. Misalnya, industri otomotif dan
industri kertas.
c. Industri Manufaktur
Sektor Industri manufaktur merupakan bentuk kegiatan ekonomi
yang mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang
23
jadi serta mengubah barang yang kurang nilainya agar menjadi barang
yang bernilai tinggi. Proses produksi dapat dilakukan secara mekanis,
kimiawi ataupun proses yang lainnya dengan menggunakan alat-alat
sederhana dan mesin-mesin (BPS, 2016: 297).
Merujuk pada Badan Pusat Statistik (2015:287-290) industri
pengolahan diklasifikasikan berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan
Usaha Indonesia (KBLI). KBLI adalah klasifikasi yang didasarkan pada
International Standard of Industrial Classification (ISIC). Berikut ini
adalah daftar Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dalam
2 digit.
Tabel 2.2 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun
2015 Sektor Industri Pengolahan
NO Kode
KBLI
Klasifikasi/Kelompok
1 10 Industri Makanan
2 11 Industri Minuman
3 12 Industri Pengolahan Tembakau
4 13 Industri Tekstil
5 14 Industri Pakaian Jadi
6 15 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
7 16 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak Termasuk
Furnitur) dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan
Sejenisnya
8 17 Industri Kertas dan Barang dari Kertas
9 18 Industri Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
10 19 Industri Produk dari Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi
11 20 Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia
12 21 Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional
13 22 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik
24
14 23 Industri Barang Galian Bukan Logam
15 24 Industri Logam Dasar
16 25 Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya
17 26 Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik
18 27 Industri Peralatan Listrik
19 28 Industri Mesin dan Perlengkapan
20 29 Industri Kendaraan Bermotor, Trailer, dan Semi Trailer
21 30 Industri Alat Angkutan Lainnya
22 31 Industri Furnitur
23 32 Industri Pengolahan Lainnya
24 33 Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
3. Nilai Tambah
Hayami dalam Laporan Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian
Kementerian Keuangan RI (2012:6) mendefinisikan bahwa nilai tambah
merupakan pertambahan nilai suatu komoditas setelah mengalami proses
pengolahan, pengangkutan ataupun penyimpanan dalam suatu produksi.
Dalam proses pengolahan nilai tambah juga dapat diartikan sebagai nilai
produksi yang dikurangi dengan biaya antara (Tarigan,2012:18). Nilai tambah
tersebut menggambarkan tingkat kemampuan suatu daerah atau wilayah dalam
menghasilkan pendapatan (Tarigan, 2012:13).
Indikator deindustrialisasi dalam penelitian ini menggunakan data pangsa
nilai tambah industri manufaktur non migas terhadap total PDRB di Pulau
Jawa. Data pangsa nilai tambah industri manufaktur non migas terhadap total
PDRB di Pulau jawa dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan sebagai
berikut:
1) Indikator pangsa nilai tambah digunakan untuk melihat apakah sektor
tersebut masih menjadi sektor penggerak utama dalam perekonomian
di Indonesia. Pangsa nilai tambah sektor industri yang mengalami
25
penurunan dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa peran sektor
ini mulai tergantikan dengan sektor lain, seperti sektor jasa.
2) Dalam penelitian ini juga tidak menggunakan indikator pangsa tenaga
kerja dikarenakan perubahan struktur ekonomi yang terjadi di
Indonesia tidak dibarengi dengan perubahan pangsa tenaga kerjanya.
Perubahan struktur ekonomi yang terjadi di Indonesia berlangsung
tidak seimbang, yaitu antara sektor pertanian dan sektor industri. Hal
ini dapat dilihat, ketika peranan sektor pertanian terhadap PDB
nasional semakin menurun, tapi tidak diikuti dengan penurunan
pangsa tenaga kerjanya. Sedangkan, sektor industri yang terus tumbuh
juga tidak disertai dengan peningkatan pangsa tenaga kerjanya.
Sehingga yang terjadi saat ini sektor pertanian masih menanggung
beban tenaga kerja yang tidak terserap oleh sektor industri dan
menyebabkan produktivitas sektor pertanian menjadi rendah. Melalui
hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa perubahan pangsa tenaga
kerja tidak mencerminkan perubahan struktur ekonomi di Indonesia.
4. Investasi
Investasi merupakan kata kunci dalam sebuah perekonomian dimana
investasi menjadi penentu dalam laju pertumbuhan ekonomi. Di samping
mendorong kenaikan output secara signifikan, investasi juga akan meningkatkan
permintaan input secara otomatis sehingga nantinya akan meningkatkan
kesempatan kerja dan berujung pada kesejahteraan masyarakat sebagai akibat
dari meningkatnya pendapatan yang diterima oleh masyarakat (Makmun dan
Yasin, 2003: 63)
Menurut Kasmir dan Jakfar (2012) investasi adalah bentuk penanaman
modal dalam suatu kegiatan dimana memiliki jangka waktu relatif panjang.
Penanaman modal dapat bersifat fisik dan non fisik, seperti proyek pembuatan
jalan, jembatan, pabrik dan lain-lain.
Menurut (Noor, 2009:4) investasi merupakan kegiatan menanamkan
berbagai sumberdaya pada masa kini agar mendapatkan keuntungan di masa yang
26
akan datang. Dalam bukunya (Noor, 2009:10-11) mengelompokkan investasi
menjadi 2, yaitu investasi langsung dan investasi tidak langsung, dengan uraian
sebagai berikut:
a) Investasi langsung (Direct Investment)
Investasi ini merupakan investasi pada faktor-faktor produksi.
Investasi ini juga sering disebut investasi pada sektor riil sehingga
memiliki dampak berganda (multiplier effect) terhadap masyarakat.
Investasi jenis ini akan berdampak ke belakang (backward) dan juga ke
depan (outward). Investasi yang berdampak secara backward, yaitu
berupa input usaha sedangkan yang berdampak secara outward berupa
output usaha yang merupakan input untuk usaha lainnya.
b) Investasi tidak langsung (Indirect Investment)
Investasi jenis ini sering disebut juga investasi portofolio atau
investasi pada aset keuangan dan bukan pada faktor produksi. Pada
hakekatnya, investasi tidak langsung merupakan turunan dari investasi
langsung yang mana balas jasa dari investasi ini berasal dari kemampuan
dan produktivitas investasi langsung.
Investasi adalah pengeluaran berupa sejumlah dana yang berasal dari
investor untuk membiayai kegiatan produksi guna mendapatkan keuntungan di
masa depan. Investasi tercipta melalui penanaman modal yang dilakukan oleh
berbagai pihak secara langsung ataupun tidak langsung yang bertujuan
memperbesar output (Pujoalwanto, 2014:163).
Dari berbagai istilah investasi di atas maka dapat diartikan bahwa investasi
merupakan bentuk pengeluaran yang digunakan untuk membeli barang-barang
modal dan juga perlengkapan yang berguna untuk menambah kemampuan
produksi barang dan jasa yang ada dalam perekonomian. Dengan meningkatkan
jumlah barang modal memungkinkan perekonomian tersebut menghasilkan
barang dan jasa yang lebih banyak di masa depan (Pujoalwanto, 2014:164).
Menurut Sadono Sukirno (2000) kegiatan investasi memungkinkan suatu
masyarakat terus menerus meningkatkan kegiatan ekonomi dan kesempatan
27
kerja, meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan taraf hidup
masyarakat. Peranan ini bersumber dari tiga fungsi penting dari kegiatan
investasi, yakni:
a. Investasi merupakan salah satu komponen dari pengeluaran agregat
sehingga kenaikan investasi akan meningkatkan permintaan agregat,
pendapatan nasional dan kesempatan kerja.
b. Pertambahan barang modal sebagai akibat investasi akan menambah
kapasitas produksi.
c. Investasi selalu diikuti oleh perkembangan teknologi.
5. Foreign Direct Investment (FDI)
Berdasarkan Undang-Undang No 25. Tahun 2007, Foreign Direct
Investment (FDI) merupakan kegiatan penanaman modal yang dilakukan di
wilayah negara Indonesia guna melakukan usaha oleh pemodal asing secara
penuh maupun bersama-sama dengan pemodal dalam negeri. Sedangkan,
menurut (Krugman dalam Sarwedi, 2002:24) Foreign Direct Investment adalah
arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara mendirikan atau
memperluas perusahaannya di negara lain dalam jangka waktu yang panjang.
Sehingga bukan hanya terjadi pemindahan sumber daya, tapi juga terjadi
pemberlakuan kontrol terhadap perusahaan di negara tujuan investasi.
Pemberlakuan kontrol tersebut dilakukan dengan cara membeli perusahaan di
luar negeri yang sudah ada atau menyediakan modal untuk membangun
perusahaan baru di sana atau dengan membeli saham sekurangnya 10%.
Dalam penelitiannya (Yuliadi, 2012:277) menjelaskan bahwa peran
Foreign Direct Investment (FDI) sangatlah penting, tidak hanya sebagai motor
penggerak dalam perekonomian, tapi juga memperluas kapasitas produksi,
meningkatkan nilai tambah, menciptakan lapangan pekerjaan sehingga
kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Sedangkan, menurut (Haddad &
Harrison dalam Hailu, 2010:125) FDI lebih berperan penting dalam
pembangunan ekonomi suatu negara dibandingkan investasi dalam bentuk
modal portofolio. Hal itu disebabkan karena terjadinya transfer teknologi,
28
management skill, dan keahlian yang dibawa oleh investor. Dengan adanya hal
tersebut maka akan berdampak pula pada peningkatan output dan nilai tambah
dalam produk-produk yang dihasilkan.
6. Ekspor
Kegiatan ekspor-impor dimulai ketika banyak ahli-ahli ekonomi yang
saling merumuskan konsep mengenai perdagangan bebas. Menurut mereka
dengan adanya perdagangan bebas maka akan mendorong peningkatan
konsumsi dan keuntungan. Pemikiran mengenai hal tersebut pertama kali
dirumuskan oleh Adam Smith yang kemudian dikembangkan oleh David
Ricardo.
Menurut David Ricardo dalam Lindert dan Kindleberger dalam Yusdja
(2004:128) alasan utama yang mendorong terjadinya perdagangan
internasional adalah adanya perbedaan keunggulan komparatif dalam
menghasilkan suatu barang. Dalam teori keunggulan komparatif dijelaskan
bahwa meskipun salah satu negara memiliki keunggulan absolut atas dua jenis
barang atau komoditi, perdagangan internasional masih dapat berlangsung.
Hal ini dapat terjadi apabila negara tersebut melakukan spesialisasi terhadap
barang atau jasa yang memiliki biaya peluang lebih rendah jika dibandingkan
dengan negara lain.
Oleh karena itu, suatu negara akan mengeskpor barang yang biaya
produksinya lebih murah dan mengimpor barang yang biaya produksinya
lebih mahal. Dengan berlangsungnya kegiatan eskpor maka negara akan
menghasilkan devisa yang akan digunakan untuk membiayai impor bahan
baku dan barang modal. Impor bahan baku dan barang modal diperlukan
dalam proses produksi guna menciptakan nilai tambah.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 145/PMK.04/2007
tentang Ketentuan Pabean di Bidang Ekspor yang telah diubah dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.04/2011 bahwa ekspor adalah
kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean. Sedangkan, barang ekspor
adalah barang yang dikeluarkan dari daerah pabean.
29
Selain itu, ekspor juga dapat diartikan sebagai kegiatan penjualan atau
pengiriman barang, jasa atau modal yang berasal dari daerah pabean ke luar
daerah pabean melalui perjanjian atau tidak yang dilakukan oleh orang, badan
hukum atau negara sesuai dengan peraturan yang berlaku. Daerah pabean itu
sendiri memiliki arti seluruh wilayah perairan, daratan maupun sungai dan
zona eksklusif dari suatu negara, baik yang ditetapkan diakui secara
internasional maupun didasarkan atas kedaulatan dan undang-undang serta
batas-batas suatu negara (Purwito dan Indriani, 2015:7).
Andelisa dalam Pujoalwanto (2014:188) menjelaskan bahwa adanya
aliran perdagangan berupa ekspor ke negara-negara tujuan ekspor dapat
dikarenakan penawaran ekspor dari negara eksportir maupun permintaan
ekspor dari negara importir. Penawaran ekspor adalah jumlah komoditas yang
dapat dijual oleh suatu negara. Semakin banyak jumlah barang yang
diproduksi maka penawaran ekspor suatu negara akan meningkat. Permintaan
ekspor adalah jumlah suatu komoditas ekspor yang diminta oleh suatu negara
tertentu.
Ekspor terjadi terutama karena kebutuhan akan barang dan jasa sudah
tercukupi di dalam negeri atau karena barang dan jasa tersebut memiliki daya
saing baik dalam harga maupun mutu dengan produk sejenis di pasar
internasional. Dengan demikian, ekspor memberikan pemasukan devisa bagi
nagara yang bersangkutan yang kemudian akan digunakan untuk membiayai
kebutuhan impor maupun pembiayaan program pembangunan di dalam
negeri.
Pujoalwanto dalam bukunya (2014:190) menjelaskan bahwa ekspor dan
investasi memegang peran penting dalam kegiatan perekonomian suatu
negara. Dari adanya kegiatan ekspor akan menghasilkan devisa yang akan
digunakan untuk membiayai impor bahan baku dan barang modal. Impor
bahan baku dan barang modal diperlukan dalam proses produksi guna
membentuk nilai tambah. Secara keseluruhan nilai tambah yang dihasilkan
30
oleh seluruh unit produksi di dalam perekonomian merupakan nilai Produk
Domestik Bruto.
Kegiatan ekspor memiliki banyak manfaat bagi masyarakat, di antaranya:
a) Memperluas pasar bagi produk ekspor merupakan salah satu cara
memasarkan produk Indonesia ke luar negeri.
b) Menambah devisa negara karena dari perdagangan yang terjadi di
antar negara memungkinkan eksportir Indonesia untuk menjual
barang kepada masyarakat luar negeri.
c) Memperluas lapangan kerja melalui kegiatan ekspor. Semakin
luasnya pasar bagi produk Indonesia, kegiatan produksi di dalam
negeri akan meningkat. Semakin banyak pula tenaga kerja yang
dibutuhkan sehingga lapangan kerja semakin luas.
Sesuai dengan praktiknya ekspor dapat dibagi menjadi dua, yaitu ekspor
langsung dan ekspor tidak langsung (Purwito dan Indriani, 2015:7).
a) Ekspor langsung adalah kegiatan dimana terdapat dua pihak, yaitu
pembeli yang berkeinginan untuk membeli barang langsung dari
tempat asal barang dan yang satu lagi adalah penjual. Pelaksanaan
ekspor langsung biasanya dilakukan dengan cara mengirimkan
barang beserta dokumen pelindungnya ke pembeli. Cara ini
memerlukan adanya penelitian pasar di tempat tujuan, sediaan
barang yang cukup dalam mengantisipasi lonjakan permintaan
serta adanya pengangkut yang mempunyai jadwal tetap untuk
menjaga ketepatan waktu penyerahan barang. Ekspor secara
langsung memberikan manfaat bagi penjual, yaitu dapat
mengendalikan dan mengawasi harga secara cermat sesuai pasar
tujuan dibandingkan dengan fluktuasi harga di pasar internasional.
Namun, ekspor langsung juga memiliki kelemahan dimana waktu
yang diperlukan akan lebih lama dan biaya yang dikeluarkan lebih
tinggi, seperti untuk transportasi dan akomodasi.
31
b) Ekspor tidak langsung dilakukan melalui tiga pihak yang
disebabkan beberapa hal yang melatarbelakangi, seperti lokasi
pasar, ketersediaan sarana dan prasarana (telekomunikasi,
perbankan dan transportasi) serta networking. Barang-barang yang
diekspor dapat merupakan barang setengah jadi dan selanjutnya
diolah atau barang jadi yang memerlukan pengemasan dan
labeling lebih lanjut sebelum dikirimkan ke negara pembeli.
B. Penelitian Sebelumnya
1. (Steven S. Saeger, 1997) Globalization and Deindustrialization: Myth and
Reality in the OECD. Penelitian ini menggunakan regresi data panel. Hasil
dari penelitian ini membuktikan bahwa impor dari selatan memengaruhi
secara signifikan kontribusi pekerja dan nilai tambah sektor industri
manufaktur. Kemudian, meningkatnya perdagangan North-South juga
signifikan menurunkan kontribusi pekerja sektor industri manufaktur. Hal
tersebut diperkuat dengan pandangan bahwa integrasi Selatan memiliki
peranan yang penting dalam ekonomi global yang membentuk perubahan
struktur di Utara.
2. (Arthur S. Alderson, 1997) Globalization and Deindustrialization: Direct
Investment and the Decline of Manufacturing Employment in 17 OECD
Nations. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi data
panel. Penelitian ini menjelaskan bahwa deindustrialisasi pada periode
kontemporer bukan hanya menjadi proses alamiah dari deindustrialisasi
positif saja melainkan menunjukkan bahwa hal tersebut penting dan tidak
dapat diabaikan karena dapat mengarah kepada deindustrialisasi negatif.
Peran perdagangan internasional dalam deindustrialisasi juga sangat penting.
Surplus yang ditunjukkan dalam perdagangan industri manufaktur
cenderung mengarah pada tambahan tenaga kerja untuk industri manufaktur.
Negara yang secara historis memiliki spesialisasi lain seperti Inggris,
Amerika dan Perancis tersendat karena perdagangan internasional telah jauh
dari industri manufaktur.
32
3. (Rowthorn dan Ramaswamy, 1999) Growth, Trade and Deindustrialization.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran faktor internal
dan eksternal dalam menjelaskan fenomena deindustrialisasi yang terjadi di
negara maju. Hasil dari penelitian ini menyebutkan bahwa fenomena
deindustrialisasi yang terjadi di beberapa negara maju disebabkan oleh faktor
internal seperti struktur permintaan dan juga produktivitas.
4. (Rowthorn dan Coutts, 2004) Deindustrialization and The Balance of
Payments in Advanced Economies. Jurnal ini menjelaskan faktor apa saja
yang menyebabkan terjadinya deindustrialisasi di negara-negara maju.
Faktor tersebut di antaranya perubahan pola konsumsi, spesialisasi,
perdagangan internasional, investasi dan produktivitas pekerja sektor
industri manufaktur yang tinggi. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah regresi data panel. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa
investasi modal tetap dan PDB per kapita sebagai faktor internal memiliki
pengaruh lebih dominan dibandingkan dengan faktor yang lain dalam
terjadinya deindustrialisasi. Sedangkan, faktor eksternal yang menjadi
penyebab terjadinya deindustrialisasi adalah perdagangan luar negeri
meskipun hasilnya relatif kecil. Adanya peningkatan dalam PDB per kapita
berhubungan dengan produktivitas, elastisitas permintaan dan juga
perubahan relatif barang manufaktur. Deindustrialisasi yang terjadi di
negara-negara maju ini juga termasuk ke dalam deindustrialisasi positif
dimana fenomena deindustrialisasi ini tidak akan menimbulkan dampak
yang buruk bagi perekonomian negara-negara tersebut.
5. (Dasgupta dan Singh, 2006) Manufacturing, Services and Premature
Deindustrialization in Developing Countries: A Kaldorian Analysis. Tujuan
penelitian ini adalah untuk meninjau peranan sektor industri manufaktur dan
juga sektor informal pada perekonomian India. Metode Kaldorian adalah
metode yang digunakan dalam menganalisis penelitian ini. Hasil penelitian
ini menjelaskan bahwa terdapat dua tipe deindustrialisasi yang dapat terjadi,
yaitu deindustrialisasi positif dan juga negatif. Deindustrialisasi positif
33
terjadi dikarenakan sektor industri manufaktur yang berkembang ke arah
sektor informal sedangkan deindustrialisasi negatif disebabkan karena arah
perkembangan industri manufaktur yang mengalami kegagalan sehingga
tidak dapat memberikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
6. (Wawan Suwarman, 2006) Faktor-faktor Apakah yang Mendukung
Terjadinya Proses Deindustrialisasi di Indonesia? Penelitian ini bertujuan
untuk menginvestigasi varibel apa saja yang berpengaruh signifikan terhadap
kontribusi sektor industri dalam PDB nasional. Analisis kointegrasi dengan
metode Bound Testing Cointegration melalui pendekatan ARDL
(Autoregressive Distributed Lag) adalah metode yang digunakan dalam
penelitian ini. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa PDB per kapita,
pangsa PMTDB dalam PDB, Pangsa ekspor dalam PDB, pangsa neraca
perdagangan produk industri dalam PDB dan pangsa nilai impor barang
modal dalam PDB berpengaruh positif dalam jangka panjang terhadap
deindustrialisasi. Untuk pangsa nilai impor produk industri dan harga riil
produk industri berpengaruh negatif terhadap kontribusi sektor industri
dalam PDB. Sedangkan, variabel impor bahan baku tidak memiliki
hubungan jangka panjang atau pun pendek terhadap kontribusi sektor
manufaktur dalam PDB.
7. (Christopher Kollmeyer, 2009) Explaining Deindustrialization: How
Affluence, Productivity Growth and Globalization Diminish Manufacturing
Employment. Regresi data panel adalah metode yang digunakan dalam
penelitian ini. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa setiap faktor
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap deindustrialisasi.
Pendapatan per kapita, unbalanced productivity growth, nilai ekspor dan
impor terhadap PDB, dan investasi langsung yang keluar berpengaruh
signifikan terhadap deindustrialisasi namun, pendapatan per kapita yang
terus meningkat di negara maju yang paling besar pengaruhnya terhadap
deindustrialisasi di negara maju. Sedangkan, untuk perdagangan
internasional mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap
34
deindustrialisasi dalam memengaruhi pola pekerja di negara maju.
8. (Diah Ananta Dewi, 2010) Deindustrialisasi di Indonesia 1983-2008:
Analisis dengan Pendekatan Kaldorian. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah model kointegrasi dan ECM/VECM (Error Correction
Model/Vector Error Correction Model) yang mana digunakan jika minimal
salah satu variabel yang terdapat dalam persamaan bersifat tidak stasioner.
Namun, jika semua variabel telah bersifat stasioner maka cukup
menggunakan model regresi linear sederhana atau model regresi linear
berganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sektor industri
manufaktur di Indonesia telah menjadi mesin bagi pertumbuhan ekonomi
negara tersebut. Hal itu dikarenakan pertumbuhan yang terjadi pada sektor
industri manufaktur juga akan memicu pertumbuhan di sektor yang lain
sehingga pada akhirnya juga turut meningkatkan pertumbuhan PDB nasional
menjadi lebih cepat. Dapat diketahui pula bahwa deindustrialisasi yang
terjadi di Indonesia adalah jenis deindustrialisasi yang bersifat negatif yang
ditandai dengan rendahnya nilai neraca perdagangan. Deindustrialisasi ini
bukan merupakan dampak alamiah yang terjadi dari sebuah proses
pembangungan melainkan disebabkan oleh adanya guncangan dalam
perekonomian.
9. (Susi Metinara, 2011) Faktor-faktor yang Mempengaruhi Deindustrialisasi
di Indonesia Tahun 2000-2009. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi deindustrialisasi di Indonesia.
Metode yang digunakan adalah regresi data panel. Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa masing-masing sektor, yaitu pendapatan per kapita,
pertumbuhan produktivitas, FDI, keterbukaan ekonomi dan pengangguran
berpengaruh signifikan terhadap deindustrialisasi kecuali Human Capital.
Globalisasi ekonomi juga turut memengaruhi deindustrialisasi baik secara
langsung ataupun tidak langsung melalui pola ketenagakerjaan.
10. (Heru Kustanto, 2012) Deindustrialisasi dan Dampak Reindustrialisasi
terhadap Ekonomi Makro Serta Kinerja Sektor Industri Non-Migas di
35
Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang
menjadi penyebab deindustrialisasi melalui perubahan pangsa nilai tambah
sektor industri. Selain itu, penelitian ini juga menganalisis dampak
reindustrialisasi terhadap kinerja sektor industri secara umum menurut
kelompok (agro, industri manufaktur dan alat angkut) serta menurut skala
usahanya, yaitu kecil, menengah dan besar. Model yang digunakan dalam
penelitian ini ada dua, yaitu Ordinary Least Square (OLS) dan model
Computable General Equilibrium (CGE) yang digunakan untuk
menganalisis dampak reindustrialisasi dan kinerja sektor industri. Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi
deindustrialisasi terdiri dari dua sisi, yaitu dari sisi permintaan dan sisi
penawaran. Dari sisi permintaan dapat diketahui bahwa pangsa investasi dan
pangsa ekspor produk industri berpengaruh positif terhadap
deindustrialisasi. Sedangkan dari sisi penawaran, upah riil tenaga kerja
sektor industri dan harga riil BBM berpengaruh negatif terhadap
deindustrialisasi dan tingkat teknologi berpengaruh positif terhadap
deindustrialisasi.
Tabel 2.3 Penelitian Sebelumnya
a. Jurnal
No
Penulis
dan
Tahun
Judul Variabel Hasil Penelitian
1. Saeger
(1997)
Globalizati
on and
Deindustri
alization:
Myth and
Reality in
the OECD.
Variabel:
kontribusi
pekerja dan
nilai tambah
sektor industri
manufaktur,
kontribusi
sumber daya
Hasil dari penelitian ini
membuktikan bahwa impor
dari selatan memengaruhi
secara signifikan kontribusi
pekerja dan nilai tambah sektor
industri manufaktur.
Kemudian, meningkatnya
perdagangan North-South juga
36
alam (SDA),
PDB per
kapita,
perdagangan
North-South
(ekspor dan
impor), dan
sumber daya
manusia
(SDM).
signifikan menurunkan
kontribusi pekerja sektor
industri manufaktur. Hal
tersebut diperkuat dengan
pandangan bahwa integrasi
Selatan memiliki peranan yang
penting dalam ekonomi global
yang membentuk perubahan
struktural di Utara.
2. Arthur S.
Alderson
(1997)
Globalizati
on and
Deindustri
alization:
Direct
Investment
and the
Decline of
Manufactu
ring
Employme
nt in 17
OECD
Nations.
Variabel:
Kontribusi
tenaga kerja
sektor industri
manufaktur
dalam total
tenaga kerja,
pertumbuhan
pengangguran
, kontribusi
inflow direct
investment
dan outflow
direct
investement
dalam PDB,
PDB per
kapita, dan
kontribusi net
ekspor
Deindustrialisasi pada periode
kontemporer bukan hanya
menjadi proses alamiah dari
deindustrialisasi positif saja
melainkan menunjukkan bahwa
hal tersebut penting dan tidak
dapat diabaikan karena dapat
mengarah kepada
deindustrialisasi negatif. Peran
perdagangan internasional
dalam deindustrialisasi juga
sangat penting. Surplus yang
ditunjukkan dalam
perdagangan industri
manufaktur cenderung
mengarah pada tambahan
tenaga kerja untuk industri
manufaktur. Dimana negara
yang secara historis memiliki
spesialisasi lain seperti Inggris,
37
industri
manufaktur
dalam PDB.
Amerika dan Perancis tersendat
karena perdagangan
internasional telah jauh dari
industri manufaktur.
3. Rowthorn
dan
Ramaswa
my (1999)
Growth,
Trade and
Deindustri
alization.
Variabel:
Kontribusi
nilai tambah
sektor industri
manufaktur
terhadap PDB
dan kontribusi
pekerja sektor
industri
manufaktur
terhadap total
pekerja,
kontribusi
nilai impor
barang
manufaktur
terhadap PDB,
PDB per
kapita,
kontribusi
neraca
perdagangan
terhadap PDB,
dan kontribusi
pembentukan
modal tetap
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa penyebab
deindustrialisasi di negara-
negara maju terdiri dari dua
faktor, yaitu struktur
permintaan dan juga
produktivitasnya. Perdagangan
North-South dan rasio investasi
dalam PDB memiliki pengaruh
kecil terhadap produktivitas
tenaga kerja sektor industri
manufaktur. Terjadi penurunan
produktivitas tenaga kerja
sektor industri manufaktur
dibandingkan sektor jasa yang
dilihat dari penurunan harga
barang.
38
domestik
bruto dalam
PDB.
4. Rowthorn
dan
Coutts
(2004)
Deindustri
alization
and The
Balance of
Payments
in
Advanced
Economies
.
Variabel:
proporsi
tenaga pekerja
sektor industri
manufaktur
terhadap total
pekerja,
Pendapatan
per kapita,
nilai impor
industri
manufaktur,
neraca
perdagangan,
nilai impor
barang
manufaktur
dari negara
Cina, nilai
ekspor
ditambah nilai
impor barang
industri
manufaktur
dan proporsi
PMTDB
terhadap PDB.
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa investasi
modal tetap dan PDB per kapita
sebagai faktor internal
memiliki pengaruh lebih
dominan dibandingkan dengan
faktor yang lain dalam
terjadinya deindustrialisasi.
Sedangkan, faktor eksternal
yang menjadi penyebab
terjadinya deindustrialisasi
adalah perdagangan luar negeri
meskipun hasilnya relatif kecil.
Adanya peningkatan dalam
PDB per kapita berhubungan
dengan produktivitas,
elastisitas permintaan dan juga
perubahan relatif barang
manufaktur.
39
5. Dasgupta
dan Singh
(2006)
Manufactu
ring,
Services
and
Premature
Deindustri
alization in
Developin
g
Countries:
A
Kaldorian
Analysis.
Variabel:
Proporsi
pekerja sektor
industri
manufaktur
terhadap total
pekerja,
tingkat
keterbukaan
ekonomi,
PDB per
kapita,
kontribusi
PMTDB
terhadap PDB
dan dummy
negara Cina
dan Amerika
Latin.
Melalui metode analisis
kaldorian ditemukan bahwa
terdapat dua tipe
deindustrialisasi yang dapat
terjadi, yaitu deindustrialisasi
positif dan juga negatif.
Deindustrialisasi positif terjadi
dikarenakan sektor industri
manufaktur yang berkembang
ke arah sektor informal
sedangkan deindustrialisasi
negatif disebabkan karena arah
perkembangan industri
manufaktur yang mengalami
kegagalan sehingga tidak dapat
memberikan pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan.
6. Christoph
er
Kollmeye
r (2009)
Explaining
Deindustri
alization:
How
Affluence,
Productivit
y Growth
and
Globalizati
on
Diminish
Variabel:
kontribusi
tenaga kerja
sektor industri
manufaktur
terhadap total
pekerja,
pertumbuhan
nilai tambah
per pekerja
industri
Pendapatan per kapita,
unbalanced productivity
growth, nilai ekspor dan impor
terhadap PDB, dan investasi
langsung yang keluar
berpengaruh signifikan
terhadap deindustrialisasi
namun, pendapatan per kapita
yang terus meningkat di negara
maju yang paling besar
pengaruhnya terhadap
40
Manufactu
ring
Employme
nt.
manufaktur
dikurang nilai
tambah per
pekerja sektor
jasa, PDB per
kapita, nilai
ekspor dan
impor
terhadap PDB,
dan investasi
langsung yang
keluar.
deindustrialisasi di negara
maju. Sedangkan, untuk
perdagangan internasional
mempunyai efek langsung dan
tidak langsung terhadap
deindustrialisasi dalam
memengaruhi pola pekerja di
negara maju.
b. Tesis
7. Wawan
Suwarma
n (2006)
Faktor-
faktor
Apakah
yang
Mendukung
Terjadinya
Proses
Deindustrial
isasi di
Indonesia?
Variabel:
Kontribusi
nilai tambah
sektor
industri
manufaktur
dalam PDB,
harga riil
produk-
produk
manufaktur,
kontribusi
PMTDB
terhadap
PDB, PDB
per kapita,
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan bahwa variabel
PDB per kapita, ekspor industri
manufaktur, neraca
perdagangan, PMTDB dan
impor barang modal memiliki
hubungan jangka panjang dan
berpengaruh positif terhadap
kontribusi sektor manufaktur
dalam PDB. Kemudian untuk
variabel harga riil produk
manufaktur dan juga impor
barang manufaktur memiliki
hubungan jangka panjang yang
negatif terhadap kontribusi
sektor manufaktur dalam PDB.
41
kontribusi
nilai ekspor
terhadap
PDB,
kontribusi
impor
terhadap
PDB,
kontribusi
neraca
perdagangan
terhadap PDB
dan
kontribusi
nilai impor
bahan baku
terhadap
PDB.
Sedangkan, variabel impor
bahan baku tidak memiliki
hubungan jangka panjang
ataupun pendek terhadap
kontribusi sektor manufaktur
dalam PDB.
8. Diah
Ananta
Dewi
(2010)
Deindustrial
isasi di
Indonesia
1983-2008:
Analisis
dengan
Pendekatan
Kaldorian.
Variabel:
Proporsi
pekerja sektor
manufaktur
terhadap total
pekerja,
proporsi nilai
tambah sektor
dalam PDB,
PDB per
kapita,
Hasil dari penelitian ini
meyebutkan bahwa sektor
industri manufaktur adalah
mesin pertumbuhan ekonomi di
Indonesia selama tahap
industrialisasi dikarenakan
pertumbuhan sektor ini memicu
pertumbuhan sektor yang lain
sehingga pertumbuhan
ekonomi akan tumbuh pesat.
Dengan menggunakan analisis
kaldorian dapat diketahui
42
keterbukaan
ekonomi,
investasi,
neraca
perdagangan,
impor bahan
baku, impor
barang
modal, impor
barang
konsumsi
terhadap
PDB, ekspor
tiga negara
terbesar
(Amerika,
Jepang dan
Singapura)
dan impor
dari China.
bahwa deindustrialisasi yang
terjadi di Indonesia mengarah
kepada deindustrialisasi negatif
dimana ditandai dengan
rendahnya tingkat keterbukaan
ekonomi dan juga neraca
perdagangan Indonesia. Hal
tersebut juga menandakan
bahwa deindustrialiasi yang
terjadi bukan dampak alamiah
dari suatu proses pembangunan
melainkan disebabkan karena
adanya guncangan terhadap
perekonomian Indonesia.
9. Susi
Metinara
(2011)
Faktor-
faktor yang
Mempengar
uhi
Deindustrial
iasi di
Indonesia
Tahun 2000-
2009.
Variabel:
proporsi
pekerja sektor
industri
manufaktur
terhadap total
pekerja,
pendapatan
per kapita,
pertumbuhan
Hasil dari penelitian ini
menyebutkan bahwa ada dua
jenis faktor yang dapat
memengaruhi deindustrialisasi,
yaitu faktor-faktor domestik
dan faktor global. Faktor
domestik di antaranya adalah
pertumbuhan produktivitas dan
pendapatan per kapita
sedangkan faktor global adalah
43
produktivitas,
keterbukaan
ekonomi,
FDI, human
capital, dan
penganggura
n.
keterbukaan ekonomi dan FDI.
Masing-masing faktor tersebut
signifikan berpengaruh
terhadap deindustrialisasi di
Indonesia baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam
penelitian ini juga disebutkan
bahwa deindustrialisasi yang
terjadi di Indonesia adalah
deindustrialisasi negatif.
c. Disertasi
10 Heru
Kustanto
(2012)
Deindustrial
isasi dan
Dampak
Reindustrial
isasi
terhadap
Ekonomi
Makro serta
Kinerja
Sektor
Industri
Non-Migas
di
Indonesia.
Variabel:
Pangsa nilai
tambah sektor
industri,
harga rata-
rata riil energi
listrik, harga
rata-rata riil
BBM, tingkat
teknologi
sektor
industri,
pangsa
investasi
sektor
industri,
pangsa
ekspor
Berdasarkan hasil analisis
penelitian ini dapat dijelaskan
bahwa terdapat beberapa faktor
yang memengaruhi terjadinya
deindustrialisasi di Indonesia.
Penelitian ini membagi faktor-
faktor tersebut menjadi dua sisi,
yaitu sisi permintaan dan sisi
penawaran. Dari sisi
permintaan dapat diketahui
bahwa pangsa investasi dan
pangsa ekspor produk industri
berpengaruh positif terhadap
deindustrialisasi. Sedangkan
dari sisi penawaran, upah riil
tenaga kerja sektor industri dan
harga riil BBM berpengaruh
negatif terhadap
44
produk-
produk sektor
industri, dan
pangsa impor
produk-
produk sektor
industri.
deindustrialisasi dan tingkat
teknologi berpengaruh positif
terhadap deindustrialisasi.
45
C. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1: Kerangka Berpikir
Kesimpulan dan Saran
Variabel
Independen
Pangsa Ekspor
Pangsa Foreign
Direct
Investment
Variabel
Dependen
Deindustrialisasi
Uji Statistik dan Ekonometrika dengan
software Eviews 9.0
(Hasil dan Pembahasan)
Pengujian Hipotesis
Model Estimasi
Terpilih
Analisis Determinan Deindustrialisasi Di Pulau Jawa Tahun
2006-2015
Model Estimasi Data
Panel
1. Apakah pangsa ekspor berpengaruh signifikan
terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa?
2. Apakah foreign direct investment berpengaruh
signifikan terhadap deindustrialisasi di Pulau
Jawa?
46
D. Hipotesis Penelitian
Dengan mengacu pada dasar pemikiran teoritis dan studi empiris yang pernah
dilakukan dengan penelitian di bidang ini maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai
berikut :
1. H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh signifikan pangsa ekspor terhadap
deindustrialisasi di Pulau Jawa.
H1 : Diduga terdapat pengaruh signifikan pangsa ekspor terhadap
deindustrialisasi di Pulau Jawa.
2. H0 : Diduga tidak terdapat pengaruh signifikan pangsa foreign direct
investment terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa.
H1 : Diduga terdapat pengaruh signifikan pangsa foreign direct investment
terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa.
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus kepada 6 provinsi yang ada di Pulau Jawa, yaitu DKI
Jakarta, Banten, DI Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Periode yang digunakan dalam penelitian ini selama periode 2006 - 2015. Dalam
penelitian ini menggunakan satu variabel dependen dan dua variabel independen.
Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pangsa Nilai
Tambah Sektor Industri Manufaktur Non Migas dalam PDRB. Sedangkan
variabel independen yang digunakan adalah Pangsa Ekspor Industri Manufaktur
Non Migas dalam PDRB dan Foreign Direct Investment Industri Manufaktur Non
Migas. Industri yang termasuk ke dalam penelitian ini adalah industri manufaktur
non-migas yang berada di 6 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Banten, DI Yogyakarta,
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
B. Jenis dan Sumber Data
Data sekunder adalah data yang digunakan dalam penelitian ini. Data
sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh peneliti berdasarkan laporan-
laporan lembaga resmi terkait. Data yang dikumpulkan terdiri dari data ekspor
industri manufaktur non migas dan data realisasi Foreign Direct Investment (FDI)
sektor industri manufaktur non migas. Data yang dipakai masing-masing
berdasarkan harga konstan tahun 2010. Semua data tersebut diperoleh dari
lembaga resmi terkait seperti Kementerian Perdagangan Republik Indonesia,
Kementerian Perindustrian, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan
Badan Pusat Statistik masing-masing provinsi yang digunakan dalam penelitian
ini.
C. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan sebuah penelitian pasti akan dilakukan pengumpulan
data guna memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian. Data-data
tersebut dapat diperoleh berdasarkan lembaga yang terkait dengan penelitiannya
baik itu lembaga independen atau lembaga pemerintahan (Putri, 2017:60).
48
Adapun cara untuk memperoleh data dan informasi dalam penelitian dapat
dilakukan melalui beberapa cara, yaitu:
1. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi ini dilakukan guna memperoleh informasi yang dapat dijadikan
pegangan oleh peneliti dengan mempelajari, mengkaji dan menelaah
literatur-literatur berupa buku, jurnal, buletin untuk memperoleh bahan
yang akan dijadikan landasan teori.
2. Riset Internet (Online Research)
Teknik ini digunakan untuk memperoleh data dan informasi melalui
berbagai situs yang berhubungan dengan apa yang diteliti.
D. Metode Analisis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode regresi data panel, yaitu
data gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data silang waktu
(cross section). Oleh karena itu, data panel memiliki gabungan karakteristik
yang meliputi beberapa objek dan beberapa waktu di dalam sebuah penelitian
(Winarno, 2007:9.1).
Analisis regresi data panel ini digunakan untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas yang terdiri dari pangsa ekspor industri manufaktur non migas
dan foreign direct investment industri manufaktur non migas terhadap variabel
terikat pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur non migas. Menurut
(Baltagi, 2005:4-7) terdapat beberapa keuntungan dalam menggunakan data
panel, yaitu:
a. Dengan menggabungkan data time-series dan data cross-sectional sehingga
jumlah observasi akan lebih banyak dan memiliki implikasi pada data yang
lebih variatif, informatif dan mengurangi kolinearitas antar variabel serta
derajat kebebasan yang lebih tinggi agar diperoleh hasil estimasi yang lebih
efiesien.
b. Karena di dalam metode panel mempelajari bentuk cross-sectional secara
berulang-ulang dari observasi maka metode ini lebih baik untuk
mempelajari dinamika perubahan.
49
c. Data panel dapat mengukur efek-efek yang tidak dapat diobservasi dalam
cross-sectional maupun data time-series secara lebih baik.
d. Data panel dapat digunakan untuk mempelajari model perilaku yang lebih
rumit.
Keuntungan penting dari data panel dibandingkan dengan data time
series atau data cross-sectional adalah bahwa hal itu memungkinkan
identifikasi parameter tertentu atau pertanyaan, tanpa perlu untuk membuat
asumsi yang membatasi atau asumsi klasik (Verbeek, 2004:342).
Model regresi data panel dalam penelitian ini adalah:
Yit = α + β1X1it + β2X2it + e
Keterangan:
Y = Pangsa Nilai Tambah Industri Manufaktur Non Migas
α = Konstanta
X1 = Pangsa Ekspor Industri Manufaktur Non Migas
X2 = Pangsa FDI Industri Manufaktur Non Migas
e = error term
t = waktu
i = provinsi
1. Estimasi Model Data Panel
a. Model Common Effect
Metode ini adalah jenis metode yang menggabungkan seluruh data
dengan mengabaikan waktu dan dimensi antar individu. Hal itu berarti
dalam metode ini menggunakan kuadrat terkecil sehingga metode ini dapat
juga disebut model Ordinary Least Square (Setiawan dan Kusrini,
2010:184).
b. Model Efek Tetap (Fixed Effect)
Model efek tetap ini mengasumsikan bahwa terdapat perbedaan
intersep antar individunya. Efek tetap ini dimaksudkan adalah bahwa
suatu objek memiliki konstan yang tetap besarannya untuk berbagai
periode waktu. Demikian juga dengan koefisien regresinya, tetap
besaranya dari waktu ke waktu (time invariant).
50
Keuntungan metode ini adalah dapat membedakan efek individual
dan efek waktu sehingga tidak perlu mengasumsikan bahwa komponen
error tidak berkolerasi dengan variabel bebas yang kemungkinan sulit
untuk dipenuhi. Kelemahan metode ini adalah ketidaksesuaian model
dengan keadaan yang sesungguhnya dimana tiap objek berbeda kondisi
antara satu dengan yang lainnya (Winarno, 2007:9.14).
c. Model Efek Random (Random Effect)
Dalam teknik ini mengasumsikan bahwa setiap perusahaan memiliki
intersep yang berbeda dimana intersep tersebut adalah variabel random
(stokastik). Teknik ini memperhitungkan bahwasannya error mungkin
berkorelasi sepanjang cross section dan time series. Model ini sangat
berguna jika dalam sebuah penelitian individu (entitasnya) dipilih secara
acak dan merupakan wakil dari populasi.
Metode ini digunakan untuk mengatasi kelemahan model
sebelumnya, yaitu model efek tetap yang mana menggunakan variabel semu
sehingga model mengalami ketidakpastian. Dalam metode ini
menggunakan residual yang diduga memiliki hubungan antar waktu dan
antar objek. Diperlukan syarat untuk menganalisis efek random yang mana
objek data silang harus lebih besar daripada banyaknya koefisien (Winarno,
2007:9.16).
2. Pemilihan Model Data Panel
Berdasarkan penjelasan sebelumnya kita dapat menggunakan tiga
model yang tersedia dalam regresi data panel. Namun, dalam memilih
model tersebut kita harus mengujinya terlebih dahulu dengan beberapa
uji di antaranya, Uji Chow, Uji Hausman dan Uji Lagrange. Uji-uji ini
dilakukan guna mendapatkan model terbaik yang akan digunakan dalam
penelitian ini.
a. Uji Chow
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model Common
Effect atau Fixed Effect Model (FEM) yang akan digunakan sebagai
model terbaik dalam estimasi. Untuk menentukannya maka dilakukan
51
pengujian dengan restricted F-test, hipotesisnya sebagai berikut:
H0: Model Common Effect
H1: Model Fixed Effect
Baltagi (2005:13) restricted F-test dirumuskan sebagai berikut:
F0 = (RRSS – URSS) / 𝑁 −1
URSS / (𝑁.𝑇−𝑁−𝐾)
Di mana:
RRSS = Restricted Residual Sums of Squares (RRSS) dari common
effect model
URSS = Unrestricted Residual Sum Square (URSS) dari fixed
effect
N = jumlah data cross section
T = jumlah data time series
K = jumlah variabel dependen dan independen
Sedangkan F tabel dicari dengan rumus df: α, (k-1), (n-k).
Di mana:
df = Degree of Freedom
α = Tingkat signifikansi yang digunakan dalam penelitian (0,05)
n = jumlah pengamatan (ukuran sampel)
k = jumlah variabel dependen dan independen
Jika nilai probabilitas cross section F lebih besar dari tingkat
signifikansi α 5 persen maka menerima H0 yang artinya model common
effect dipilih sebagai model yang paling baik untuk digunakan. Namun,
sebaliknya jika H0 ditolak, berarti model Fixed effect adalah model
terbaik yang akan digunakan dan dianalisis (Ayu dan Disman,
2017:312).
b. Uji Hausman
Uji Hausman digunakan untuk menguji apakah variabel penjelas
tidak berkorelasi dengan efek model. Model efek acak dianggap tidak
bias apabila tidak berkorelasi dengan variabel penjelas. Dengan kata lain,
52
uji ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat efek random di dalam
panel data, yaitu dengan menguji hipotesis berupa :
H0 : Penggunaan random effect model
H1 : Penggunaan fixed effect model
Asumsi yang diperlukan dalam Uji Hausman adalah banyaknya
kategori cross-section harus lebih besar dibandingkan jumlah variabel
independen di dalam model. Kemudian, dalam estimasi statistik Uji
Hausman dibutuhkan estimasi variansi cross-section yang positif dan
tidak selalu dapat dipenuhi oleh model. Jadi, apabila kondisi di atas tidak
terpenuhi maka model yang digunakan adalah fixed effect model (Rosadi,
2012:274).
Cara lain yang dapat digunakan untuk melakukan Uji Hausman, yaitu
dengan membandingkan nilai probability cross-section random (p value)
dengan tingkat signifikansi. Jika nilainya probability cross-section
random (p value) lebih besar dari 0,05 maka model yang terpilih adalah
random effect. Namun, jika nilainya probability cross-section random (p
value) lebih kecil dari 0,05 maka model yang terpilih adalah fixed effect
(Brooks, 2008:509).
3. Model Empiris
Berikut ini adalah model persamaan yang akan diestimasi di dalam
penelitian.
Ln(PNTit) = α + β1 L n (PEKSit) + β2 Ln(PFDIit) + eit
Dimana:
NTit : Pangsa nilai tambah industri manufaktur non migas dalam
PDRB di provinsi i pada periode t
Eksit : Pangsa ekspor industri manufaktur non migas dalam PDRB di
provinsi i pada periode t
FDIit : Pangsa FDI industri manufaktur non migas dalam PDRB di
provinsi i pada periode t
α : Intercept/Konstanta
53
β1, β2 : Koefisien regresi
eit : Error term
E. Uji Hipotesis
a. Uji Secara Parsial (Uji Statistik t)
Uji t dilakukan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh setiap variabel
independen secara parsial terhadap variabel dependen. Uji t dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut:
1) Dengan cara membandingkan nilai statistik t dengan nilai t tabel. Jika
nilai statistik t lebih tinggi daripada nilai t tabel maka menerima
hipotesis alternatif df yang menyatakan bahwa variabel independennya
memengaruhi variabel dependen secara parsial (Ghozali, 2011:98-99).
2) Jika nilai signifikansi α < 0,05 maka Ho ditolak yang berarti terdapat
pengaruh secara parsial antara variabel independen terhadap variabel
dependen. Namun, jika nilai signifikansi α > 0,05 maka Ho diterima,
yang artinya tidak terdapat pengaruh parsial antara variabel independen
terhadap variabel dependen (Sujarweni, 2014:155).
b. Uji Secara Simultan (Uji Statistik F)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah semua variabel independen
mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen secara bersama-sama di
dalam model. Cara yang digunakan untuk menguji hipotesis ini digunakan
nilai statistik F dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut ini:
1) Dengan membandingkan nilai statistik F yang didapat dengan nilai F
tabel. Jika nilai statistik F hitung lebih besar dibandingkan nilai F tabel
maka Ho ditolak dan menerima Ha (Ghozali, 2011:98).
2) Jika nilai signifikansi α < 0,05 maka Ho ditolak yang artinya terdapat
pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen
secara simultan. Sedangkan, jika nilai signifikansi α > 0,05 maka tidak
terdapat pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen
secara simultan (Sujarweni, 2014:154).
54
b. Uji Koefisien Determinasi R2
Koefisien determinasi merupakan suatu ukuran atau besarnya kontribusi
variabel independen terhadap variabel dependen. Jika nilai koefisien
determinasi (R2) tinggi maka akan semakin tinggi pula variabel independen
dalam menjelaskan variabel dependennya (Suliyanto, 2011:39).
Namun, koefisien determinasi (R2) mempunyai kelemahan, yaitu bias
terhadap jumlah variabel independen yang dimasukkan ke dalam model
regresi. Jadi, setiap penambahan variabel bebas/independen ke dalam model
baik itu memiliki pengaruh ataupun tidak terhadap variabel dependennya
akan tetap meningkatkan nilai R2. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal
tersebut dapat digunakan adjusted r squre (R2adj). Nilai adjusted r square
adalah nilai koefisien determinasi yang telah disesuaikan dengan jumlah
variabel dan ukuran sampel yang digunakan dalam penelitian. Dengan
menggunakan koefisien determinasi yang telah disesuaikan ini maka setiap
penambahan variabel bebas akan berpengaruh pada naik turunnya nilai
koefisien tersebut (Suliyanto, 2011:43). Adapun formula yang digunakan
dalam menghitung adjusted r square sebagai berikut:
R2adj = R2 P (1− R2)
N− P – 1
Di mana :
R2 = Koefisien Determinasi
N = Ukuran Sampel
P = Jumlah Variabel Bebas
c. Uji Asumsi Klasik
1) Uji Normalitas
Menurut Ajija (2011:42), uji normalitas hanya digunakan jika jumlah
observasi kurang dari 30. Hal itu dilakukan untuk mengetahui apakah error
term mendekati distribusi normal. Namun, jika jumlah observasi sudah lebih
dari 30 maka tidak perlu dilakukan uji normalitas lagi dikarenakan distribusi
sampling error term telah mendekati normal. Tetapi, untuk lebih jelasnya
dapat dilakukan pengujian melalui Jarque bera.
55
Hipotesis:
H0: Data berdistribusi normal
H1: Data tidak berdistribusi normal
Jika nilai JB hitung > Chi Square tabel maka hipotesis yang menyatakan
bahwa residual uji-t terdistribusi normal ditolak, artinya terdapat distribusi
data tidak normal dan begitu juga sebaliknya.
2) Uji Autokorelasi
Autokorelasi merupakan adanya korelasi antara variabel gangguan
dengan variabel gangguan lain. Menurut Gujarati (2006:122) uji autokorelasi
dapat dilakukan dengan membandingkan nilai Durbin Watson yang dihitung
dengan nilai Durbin Watson tabel. Perhitungan dilakukan dengan
membandingkan nilai batas atas (dU) dan nilai batas bawah (dL) dengan
derajat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian. Adapun Uji Durbin
Watson memiliki ketentuan sebagai berikut:
Antara 0 dan dL menunjukkan adanya autokorelasi positif
Antara dL dan dU menunjukkan tidak adanya keputusan
Antara dU dan 4-dU menunjukkan tidak adanya Autokorelasi
Antara 4-dU dan 4-dL menunjukkan tidak adanya keputusan
Antara 4-dL dan 4 menunjukkan adanya Autokorelasi negatif
3) Uji Heterokedastisitas
Menurut Suliyanto (2011:94) heterokedastisitas adalah adanya varian
variabel dalam model regresi yang tidak konstan atau berubah-ubah.
Sebaliknya, jika varian variabel memiliki nilai yang sama disebut
homokedastisitas. Jika dalam sebuah model terjadi heterokedastisitas maka
model akan menjadi tidak efisien dan jika regresi tetap dilakukan akan
mengalami misleading (Gujarati, 2003). Metode Glejser dapat digunakan
untuk menguji ada atau tidaknya heterokedastisitas di dalam penelitian ini.
Uji ini dilakukan dengan meregresikan semua variabel independen terhadap
nilai absolute residualnya |𝜐i|. Berikut ini adalah persamaan yang digunakan
dalam uji Glejser:
|𝜐i| = α + βX1 + 𝜐𝑖
56
Dimana:
|𝜐i| = Nilai Absolute Residual
X1 = Variabel Bebas
Jika β signifikan maka dapat dinyatakan adanya pengaruh antara variabel
bebas terhadap nilai absolute residualnya sehingga dapat dikatakan terdapat
gejala heterokedastisitas. Kriteria yang digunakan dalam uji ini adalah jika
nilai probabilitas atau signifikansi > 0,05 maka dapat dinyatakan model tidak
mengandung gejala heterokedastisitas (Suliyanto, 2011:98).
4) Uji Multikolinearitas
Menurut Suliyanto (2011:81), multikolinearitas adalah kondisi dimana
terdapat hubungan linier yang mendekati sempurna antar lebih dari dua
variabel independen. Metode pair-wise correlations merupakan salah satu
uji yang dapat dilakukan untuk mendeteksi gejala multikolinearitas. Menurut
Gujarati dan Porter (2009:338) ada atau tidaknya multikolinearitas dapat
diketahui melalui koefisien korelasi masing-masing variabel bebas. Jika
koefisien korelasi masing-masing variabel bebas lebih besar dari 0,8 maka
terjadi multikolinearitas.
F. Definisi Operasional Variabel
Tabel 3.1
Definisi Operasional Variabel
Variabel Indikator Definisi Perhitungan
Deindustrialisasi
(Persen)
Kontribusi Nilai
Tambah Industri
Manufaktur dalam
PDRB
Nilai produksi
yang dikurangi
dengan biaya
antara (Tarigan,
2012:18).
Ln (Nilai
tambah
sektor
manufaktur
dibagi total
PDRB )*100
Ekspor Industri
(Persen)
Kontribusi Ekspor
Industri
Manufaktur dalam
Ekspor adalah
penjualan barang ke
luar negeri dengan
Ln (Nilai
Ekspor
produk
57
PDRB menggunakan
sistem pembayaran,
kualitas, kuantitas
dan importir.
manufaktur
dibagi total
PDRB )*100
Investasi
(Persen)
Pangsa Foreign
Direct Investment
(FDI) Industri
Manufaktur Non
Migas dalam
PDRB
FDI adalah sebuah
proses atau cara
dalam melakukan
investasi yang
dilakukan oleh
perusahaan
multinasional
dengan
membangun anak
perusahaan mereka
di negara lain yang
menjadi tujuan
ekspor guna
mempermudah
kegiatan ekspor
impornya serta
menghemat biaya.
Ln (Nilai FDI
dibagi total
PDRB )*100
58
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan populasi dari enam provinsi,
yaitu Provinsi Banten, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur.
Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini dimulai dari tahun 2006 hingga
tahun 2015. Menurut (BPS, 2005) Industri manufaktur merupakan suatu kegiatan
ekonomi yang mengubah suatu barang mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga
menjadi barang jadi/setengah jadi dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir.
Sektor industri manufaktur merupakan salah satu penopang perekonomian nasional
karena sektor ini memberikan konstribusi yang cukup besar dibandingkan dengan
sektor yang lainnya. Di dalam penelitian ini, penulis berfokus pada sektor industri
manufaktur non-migas yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Klasifikasi Industri Manufaktur berdasarkan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Tahun 2015
NO Kode
KBLI
Klasifikasi/Kelompok
1 10 Industri Makanan
2 11 Industri Minuman
3 12 Industri Pengolahan Tembakau
4 13 Industri Tekstil
5 14 Industri Pakaian Jadi
6 15 Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki
7 16 Industri Kayu, Barang dari Kayu dan Gabus (Tidak Termasuk
Furnitur) dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan
Sejenisnya
8 17 Industri Kertas dan Barang dari Kertas
59
9 18 Industri Percetakan dan Reproduksi Media Rekaman
10 19 Industri Produk dari Batu Bara dan Pengilangan Minyak Bumi
11 20 Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia
12 21 Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional
13 22 Industri Karet, Barang dari Karet dan Plastik
14 23 Industri Barang Galian Bukan Logam
15 24 Industri Logam Dasar
16 25 Industri Barang Logam, Bukan Mesin dan Peralatannya
17 26 Industri Komputer, Barang Elektronik dan Optik
18 27 Industri Peralatan Listrik
19 28 Industri Mesin dan Perlengkapan
20 29 Industri Kendaraan Bermotor, Trailer, dan Semi Trailer
21 30 Industri Alat Angkutan Lainnya
22 31 Industri Furnitur
23 32 Industri Pengolahan Lainnya
24 33 Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan
Sumber : Badan Pusat Statistik, 2015
Dari tabel di atas, penulis menggunakan data di semua kode KBLI, kecuali
pada kode KBLI 19 dan 33. Penulis berfokus pada kegiatan industri manufaktur
non-migas sehingga pada kode KBLI 19 yang menjelaskan tentang industri produk
batubara dan pengilangan minyak serta kode KBLI 33 yang menjelaskan tentang
jasa reparasi dan pemasangan mesin tidak penulis gunakan.
Pulau jawa hingga kini masih mendominasi tingkat perekonomian nasional
dengan menyumbang lebih dari 50 persen, sedangkan wilayah lain di luar Pulau
Jawa hanya berkontribusi rata-rata sebesar 41,6 persen dalam perekonomian
nasional. Diagram 4.1 di bawah ini menggambarkan nilai kontribusi PDRB dari
masing-masing provinsi di Pulau Jawa. Provinsi yang memiliki nilai kontribusi
PDRB terbesar di Pulau Jawa adalah Provinsi DKI Jakarta dengan nilai kontribusi
rata-rata di atas 15 persen. Kemudian, diikuti oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat
60
dan Jawa Tengah. Sedangkan, kontribusi untuk Provinsi Banten dan Yogyakarta
memiliki rata-rata kurang dari 5 persen.
Diagram 4.1
Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa Periode 2010-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)
Pada gambar diagram 4.2 di bawah ini digambarkan bahwa sektor industri
manufaktur adalah sektor yang menjadi penyumbang terbesar dalam struktur
perekonomian di Pulau Jawa dengan rata-rata sebesar 29 persen selama periode
2010-2015. Kemudian, sektor perdagangan besar menjadi sektor terbesar kedua
dengan rata-rata sebesar 16 persen. Setelah itu, ada sektor konstruksi sebagai
kontribusi terbesar ketiga dengan nilai rata-rata 10 persen. Terakhir, sektor
pertanian dan jasa keuangan menjadi sektor yang ikut berkontribusi dengan rata-
rata 8 hingga 4 persen.
0
10
20
30
40
50
60
JKT BANTEN JABAR JATENG YOGYA JATIM P.JAWA LUARJAWA
2010 2011 2012 2013 2014 2015
61
Diagram 4.2
Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa Berdasarkan Sektor Utama
Periode 2010-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)
Dari hal-hal yang telah dijabarkan di atas dapat dilihat bahwa Pulau Jawa
masih menjadi wilayah konsentrasi industri terbesar di Indonesia. Hingga saat ini
pemerintah masih mengutamakan Pulau Jawa karena memiliki faktor-faktor
pendukung seperti infrastruktur jalan, listrik, air dan tersedianya Sumber Daya
Manusia (SDM) yang mampu menopang kegiatan industrinya.
2010
2011
2012
2013
2014
2015
30,04
29,60
29,27
29,38
29,46
29,19
15,93
16,23
16,44
16,35
16,17
16,00
10,07
10,11
10,23
10,31
10,30
10,25
8,84
8,52
8,26
8,05
7,69
7,58
4,55
4,49
4,60
4,73
4,69
4,84
Industri Perdagangan Besar Konstruksi Pertanian Jasa Keuangan
62
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
BANTEN 51.847 50.396 48.747 47.259 45.785 39.051 38.29 38.699 37.299 36.607
DKI 15.926 15.651 15.302 14.591 14.198 13.615 13.089 12.999 12.944 12.845
JABAR 47.072 47.458 48.709 45.938 44.511 44.136 43.336 43.685 43.72 43.449
JATENG 33.629 33.621 34.638 34.191 34.523 34.487 34.936 35.05 35.496 35.273
JATIM 31.229 30.734 30.865 30.213 29.547 29.028 29.052 28.99 29.486 29.538
DIY 15.155 14.804 14.29 13.939 14.249 14.272 13.16 13.334 13.164 12.81
0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
B. Penemuan dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif
a) Nilai Tambah Sektor Industri Manufaktur di Pulau Jawa
Diagram 4.3
Perkembangan Nilai Tambah pada Provinsi di Pulau Jawa Periode
2006-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)
Nilai tambah merupakan nilai yang diperoleh dalam seluruh wilayah
setelah dikurangi pajak. Nilai tambah mempunyai peranan penting dalam
sektor industri, khususnya industri pengolahan. Nilai tambah merupakan
nilai lebih dari sebuah produk industri yang dimulai dari efisiensi dalam
proses input produksi sehingga nilai tambah ini menyebabkan keuntungan
pula dari sebuah industri. Indikator deindustrialisasi dalam penelitian ini
dilihat dari perubahan pangsa nilai tambah sektor industri non migas.
Dari diagram 4.3 di atas dapat dilihat bahwa peranan sektor industri non
migas cenderung berfluktuasi di ke enam provinsi yang ada di Pulau Jawa.
Bila dilihat dari kontribusinya terdapat dua provinsi yang memiliki kotribusi
nilai tambah terbesar, yaitu Provinsi Banten dan Provinsi Jawa Barat. Kedua
provinsi ini diketahui memang menjadi wilayah dengan persebaran kawasan
industri terbanyak di Pulau Jawa. Menurut hasil survei Direktorat Jendral
Pengembangan Perwilayahan Industri (2013:14), jumlah industri di kedua
63
provinsi tersebut masing-masing berjumlah 16 dan 23 kawasan industri
dengan luas area sekitar 6.195Ha hingga 11.881Ha. Kontribusi nilai tambah
yang dihasilkan oleh kedua provinsi tersebut mencapai rata-rata 43 persen
dan 45 persen. Tidak heran jika kedua wilayah ini memiliki kontribusi nilai
tambah terbesar dikarenakan industri-industrinya berbasis padat modal.
Kemudian jika dilihat dari tahun 2006-2010 perkembangan nilai tambah
di keenam provinsi berlangsung stagnan. Selanjutnya, pada tahun 2010
hingga 2015 mulai terjadi perubahan yang cukup signifikan tetapi
cenderung menurun.
b) Nilai Ekspor Sektor Industri Manufaktur di Pulau Jawa
Secara umum, peningkatan ekspor produk-produk industri manufaktur
mengakibatkan peningkatkan output di seluruh cabang industri. Hal ini
menunjukkan pentingnya ekspor guna mendukung peningkatan output.
Peningkatan ekspor komoditas dari cabang-cabang industri tersebut
mendorong output sektor industri tumbuh lebih besar sehingga pada
akhirnya memberikan kontribusi yang relatif besar tehadap pertumbuhan
ekonomi nasional.
Diagram 4.4
Perkembangan Ekspor pada Provinsi di Pulau Jawa Periode 2006-
2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)
0
200
400
600
800
1,000
1,200
1,400
1,600
1,800
2,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Mill
ion
s
BANTEN DKI JABAR JATENG JATIM DIY
64
Untuk nilai ekspor industri manufaktur non migas masing-masing
provinsi di Pulau Jawa dapat ditunjukkan melalui diagram 4.1 di atas. Dapat
dilihat bersama bahwa nilai ekspor di masing-masing provinsi di Pulau Jawa
mengalami fluktuasi sepanjang tahun 2006 hingga 2015. Terlihat pula dari
tahun 2006-2015 secara konsisten nilai ekspor Provinsi Banten terus
tumbuh dan mencapai puncaknya pada tahun 2014 sebesar Rp1.247 Miliar.
Adapun nilai ekspor terkecil berasal dari Provinsi Yogyakarta dengan rata-
rata kontribusinya hanya sebesar 0,15 persen atau setara dengan Rp8,307
Miliar di sepanjang tahun 2006 hingga 2015.
Diagram 4.5
Perkembangan Pangsa Nilai Tambah dan Pangsa Ekspor di Pulau
Jawa Tahun 2006-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)
Jika dilihat berdasarkan diagram 4.5 di atas menunjukkan bahwa
penurunan pangsa ekspor produk industri manufaktur sepanjang tahun
2007-2009 dan 2011-2015 searah dengan penurunan yang terjadi pada
pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur pada tahun yang sama.
Dengan demikian, pangsa ekspor produk industri manufaktur non migas
berperan penting terhadap perubahan pangsa nilai tambah sektor industri
manufaktur non migas.
0
5
10
15
20
25
30
35
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
EKS NT
65
c) Foreign Direct Investment (FDI) Sektor Industri Manufaktur di Pulau Jawa
Diagram 4.6
Perkembangan FDI pada Provinsi di Pulau Jawa Periode
2006-2015
Sumber: Badan Pusat Statistik (Diolah)
Investasi adalah salah satu komponen terpenting dalam kegiatan produksi
maka dinamika yang terjadi dalam penanaman modal sangat memengaruhi
tinggi rendahnya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah wajib
menciptakan iklim usaha yang mampu menggairahkan investasi agar dapat
menumbuhkan perekonomian suatu negara. Investasi yang berkontribusi
besar terhadap perekonomian Indonesia adalah jenis investasi Foreign
Direct Investment (FDI). Khususnya di Pulau Jawa, FDI memiliki
kontribusi sebesar 54,4 persen dengan nilai Rp296,7 Triliun (BKPM,
2016:6).
Adapun faktor seperti kondisi infrastruktur yang memberikan pengaruh
akan tingginya tingkat FDI di Pulau Jawa. Hal itu dikarenakan jaringan
listrik, telekomunikasi, dan prasarana seperti jalan dan pelabuhan di Pulau
Jawa masih unggul jika dibandingkan dengan wilayah di luar Pulau Jawa.
Hal tersebut mendukung para investor untuk menanamkan modal agar lebih
mudah dan efisien.
0
2,000
4,000
6,000
8,000
10,000
12,000
14,000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Mill
ion
s
JABAR
BANTEN
JATIM
JATENG
DKI
DIY
66
Berdasarkan diagram 4.6 di atas, dapat dilihat bahwa perkembangan FDI
pada sektor industri manufaktur cukup baik. Namun, terlihat jelas bahwa
Provinsi Jawa Barat adalah Provinsi yang paling menonjol dengan
memperlihatkan kontribusi FDI melampaui provinsi yang lain. Sepanjang
tahun 2006-2015 Provinsi Jawa Barat memiliki kontribusi rata-rata sebesar
52 persen bernilai 3,1 miliar US$. Kemudian, nilai FDI tertinggi berada di
tahun 2013, yaitu sebesar 6,5 miliar US$ yang juga berasal dari Provinsi
Jawa Barat. Sedangkan provinsi dengan nilai FDI terendah selama tahun
2006-2015 adalah wilayah Provinsi D.I Yogyakarta, yaitu dengan rata-rata
hanya sebesar 0,04 persen atau setara dengan 3,5 juta US$.
Diagram 4.7
Perkembangan Pangsa Nilai Tambah dan Pangsa FDI di Pulau Jawa
Tahun 2006-2015
Sumber: BKPM (diolah)
Melalui diagram 4.7 di atas menunjukkan bahwa peningkatan pangsa
FDI pada industri manufaktur non migas akan mendorong peningkatan
pangsa nilai tambah industri manufaktur non migas dan demikian juga
sebaliknya. Pangsa FDI dalam diagram di atas berjalan stagnan sepanjang
periode 2006 sampai dengan 2015. Pangsa FDI cenderung mengalami
penurunan dari tahun ke tahun. Nilai pangsa FDI tertinggi terjadi pada
tahun 2008 sebesar 32,1 persen.
0
5
10
15
20
25
30
35
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
NT FDI
67
Penurunan pangsa FDI yang terjadi dari tahun 2006 hingga 2015 searah
dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur non
migas. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa peranan FDI sangat penting
dalam perubahan pangsa nilai tambah sektor industri manufaktur non
migas.
C. Estimasi Data Panel
Ada tiga macam pendekatan estimasi data panel, yaitu (a) pendekatan
kuadrat terkecil Common Effect Model (CEM); (b) pendekatan efek tetap Fixed
Effect Model (FEM); pendekatan efek acak Random Effect Model (REM).
Dimana untuk memilih model terbaik dalam data panel menggunakan Uji Chow
(CEM vs FEM), Uji Hausman (FEM vs REM) dan Uji Lagrange Multiplier
(REM vs CEM).
1. Uji Chow (CEM vs FEM)
Uji Chow digunakan untuk mengetahui apakah model Common Least
Square Effect atau Fixed Effect Model yang akan dipilih untuk estimasi
data. Uji ini dapat dilakukan dengan Uji F Restricted dengan
membandingkan nilai cross-section F. Dalam pengujian ini dilakukan
dengan hipotesis sebagai berikut:
H0: Common Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Pengujian dilakukan denga kriteria sebagai berikut:
Jika nilai probabilitas cross-section F > dari α (0,05) maka terima H0
tolak H1.
Jika nilai probabilitas cross-section F < α (0,05) maka terima H1 tolak
H0.
Tabel 4.2
Uji Chow
Sumber: hasil olahan data panel
68
Dari hasil tabel 4.5 di atas diperoleh nilai probabilitas F-statistik sebesar
0.0000 yang berarti bahwa nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari
tingkat signifikansi α 5% (0.0000 < 0.05). Maka H0 ditolak dan terima
H1 sehingga model panel yang digunakan adalah Fixed Effect Model.
2. Uji Hausman (FEM vs REM)
Uji Hausman digunakan untuk menguji apakah variabel penjelas tidak
berkorelasi dengan efek model. Model efek acak dianggap tidak bias
apabila tidak berkorelasi dengan variabel penjelas. Dengan kata lain, uji
ini bertujuan untuk melihat apakah terdapat efek random di dalam panel
data, yaitu dengan menguji hipotesis berupa :
H0: Random Effect Model
H1: Fixed Effect Model
Pengujian dilakukan denga kriteria sebagai berikut:
Jika nilai probabilitas cross-section F > dari α (0,05) maka terima H0
tolak H1.
Jika nilai probabilitas cross-section F < α (0,05) maka terima H1 tolak
H0.
Tabel 4.3
Uji Hausman
Sumber: hasil olahan data panel
Dari hasil uji hausman di atas dapat diketahui bahwa nilai probabilitas
cross section random (p value) adalah 0.0000 dengan menggunakan
tingkat signifikansi 5% (0.05) maka nilai tersebut kurang dari 0.05 (Prob
< 0.05) sehingga model yang terpilih adalah Fixed Effect Model.
69
D. Uji Asumsi Klasik
1. Uji Normalitas
Diagram 4.8
Uji Normalitas
Sumber: hasil olahan data panel
Dari hasil uji normalitas di atas dapat dilihat bahwa nilai JB sebesar
1.24962 dan nilai probabilitas sebesar 0.542005. Dengan nilai probabilitas
0.542005 > nilai signifikansi (0,05) dapat diartikan bahwa data
berdistribusi normal.
2. Uji Multikolinearitas
Tabel 4.4
Uji Multikolinearitas
X1 X2
X1 1.000000 0.389515
X2 0.389515 1.000000
Sumber: hasil olahan data panel
Berdasarkan hasil uji pada tabel di atas, dapat dilihat bahwa pangsa
ekspor industri manufaktur dan foreign direct investment industri
manufaktur tidak terdapat korelasi antar variabel bebas < 0.8. Oleh karena
itu, dapat disimpulkan bahwa variabel independen yang digunakan dalam
model regresi penelitian ini terbebas dari multikolinearitas atau dengan
kata lain dapat dipercaya dan objektif.
70
3. Uji Heterokedastisitas
Tabel 4.5
Uji Glejser
Variable Probabilitas
C 0.0000
X1 0.0630
X2 0.5994
Sumber: hasil olahan data panel
Dapat dilihat dari hasil uji glejser di atas bahwa nilai probabilitas
variabel X1 dan X2 masing-masing sebesar sebesar 0.0630 dan 0.0105. Hal
itu menunjukkan bahwa masing-masing variabel > 0,05 atau tidak
signifikan secara statistik sehingga model ini dikatakan tidak memiliki
masalah heterokedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Berdasarkan hasil output nilai Durbin Watson (DW) yang dihasilkan
adalah 1.754. Sedangkan dari table DW dengan signifikansi 0.05 (5%)
dan jumlah data (n) = 60, serta jumlah variabel bebas (k) = 2 diperoleh
dL sebesar 1.514 dan nilai dU sebesar 1.651. DW terletak di antara dU
dan (4-dU) yang mana 2.24 berada di antara 1.651 sehingga dapat
dikatakan tidak terdapat autokorelasi.
E. Persamaan Model
Berikut ini adalah persamaan dari hasil regresi model data panel dengan
menggunakan Fixed Effect Model.
Dit = 2.266047 + 0.468689LnPEKSit + 0.181010LnPFDIit + μit
Dimana:
D :Deindustrialisasi (Pangsa Nilai Tambah Industri Manufaktur Non
Migas)
PEKS :Pangsa Ekspor Industri Manufaktur Non Migas
PFDI :Pangsa Foreign Direct Investment Industri Manufaktur Non
Migas
μit :error term
71
Dari persamaan di atas maka dapat diinformasikan bahwa:
1) Nilai konstanta sebesar 2.266047 artinya apabila nilai variabel X1
(Pangsa Ekspor Industri Manufaktur Non Migas) dan variabel X2
(Pangsa Foreign Direct Investment Industri Manufaktur Non Migas)
dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Pulau Jawa sebesar
2.266047 persen.
2) Nilai pangsa ekspor sebesar 0.468689, artinya ketika pangsa ekspor
industri manufaktur non migas menurun 1 persen maka nilai tambah
akan menurun sebesar 46 persen dan menyebabkan deindustrialisasi.
3) Nilai Pangsa Foreign Direct Investment (FDI) sebesar 0.181010,
artinya ketika Pangsa Foreign Direct Investment (FDI) Industri
Manufaktur Non Migas menurun 1 persen maka nilai tambah akan
menurun sebesar 18 persen dan menyebabkan deindustrialisasi.
Tabel 4.6
Individual Effect
Variabel Koefisien Indv.Effect Prob.
C 2.266047 0.0000
EKS 0.468689 0.0001
FDI 0.181010 0.0002
Fixed Effect Cross
Banten-C 1.343553 3.609600
DIY-C -1.519876 0.746171
DKI-C 0.279833 2.545880
Jawa Barat-C 1.367623 3.633670
Jawa Tengah-C -0.872197 1.393850
Jawa Timur-C -0.598937 1.667110
Sumber: Output Eviews
72
Berdasarkan tabel 4.7 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam Fixed Effect Model
terdapat individual effect dari cross section yang ada, yaitu:
Provinsi Banten
Nilai individual Provinsi Banten sebesar 3.609600, artinya apabila
variabel pangsa ekspor dan Pangsa Foreign Direct Investment (FDI)
dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Provinsi Banten sebesar
3.609600 persen.
Provinsi DI Yogyakarta
Nilai individual Provinsi DI Yogyakarta sebesar 0.746171, artinya
apabila variabel pangsa ekspor dan Pangsa Foreign Direct Investment
(FDI) dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Provinsi DI
Yogyakarta sebesar 0.746171 persen.
Provinsi DKI Jakarta
Nilai individual Provinsi DKI Jakarta sebesar 2.545880, artinya apabila
variabel pangsa ekspor dan Pangsa Foreign Direct Investment (FDI)
dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Provinsi DKI Jakarta
sebesar 2.545880 persen.
Provinsi Jawa Barat
Nilai individual Provinsi Jawa Barat sebesar 3.633670, artinya apabila
variabel pangsa ekspor dan Pangsa Foreign Direct Investment (FDI)
dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Provinsi Jawa Barat
sebesar 3.633670 persen.
Provinsi Jawa Tengah
Nilai individual Provinsi Jawa Tengah sebesar 1.393850, artinya apabila
variabel pangsa ekspor dan Pangsa Foreign Direct Investment (FDI)
dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Provinsi Jawa Tengah
sebesar -1.393850 persen.
Provinsi Jawa Timur
Nilai individual Provinsi Jawa Timur sebesar 1.667110, artinya apabila
variabel pangsa ekspor dan Pangsa Foreign Direct Investment (FDI)
73
dianggap konstan maka nilai deindustrialisasi di Provinsi Jawa Timur
sebesar -1.667110 persen.
F. Uji Koefisien Determinasi
Uji koefisien determinasi ini dilakukan guna mengukur kemampuan variabel
independen dalam menjelaskan variabel dependennya. Dalam penelitian ini
variabel independen antara lain: pangsa ekspor industri manufaktur non migas
dan pangsa foreign direct Investment industri manufaktur non migas. Kemudian,
untuk variabel dependennya adalah deindustrialisasi.
Tabel 4.7
Koefisien Determinasi (R2)
Adjusted R-squared 0.867666
Sumber: hasil olahan data panel
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat dilihat bahwa nilai Adjusted R-Square
sebesar 0.867666. Dengan ini terlihat bahwa 86.77% deindustrialisasi dapat
dijelaskan oleh pangsa ekspor industri manufaktur non migas dan pangsa
foreign direct investment industri manufaktur non migas. Sedangkan sisanya
(100% - 86.77% = 13.23%) deindustrialisasi dijelaskan oleh variabel lain yang
tidak diteliti dalam penelitian ini.
G. Pengujian Hipotesis
1. Uji F-Statistik (Simultan)
Uji statistik F digunakan untuk menguji apakah terdapat pengaruh
variabel independen secara bersama-sama (simultan) terhadap variabel
dependen dengan cara membandingkan F-statistik dengan F-tabel. Jika nilai
probability < derajat kepercayaan yang ditentukan dan jika nilai F hitung
lebih tinggi dari F tabel maka suatu variabel independen secara bersama-
sama (simultan) memengaruhi variabel dependennya.
Tabel 4.8
Uji F-Statistik
F-statistik 56.26307
Prob(F-statistik) 0.000000
Sumber: hasil olahan data panel
74
Berdasarkan tabel 4.12 di atas, hasil uji F menunjukkan bahwa nilai
probability sebesar 0.000000 dimana 0.000000 < 0.05 yang berarti bahwa
pangsa ekspor dan pangsa foreign direct investment industri manufaktur non
migas berpengaruh signifikan secara simultan terhadap deindustrialisasi.
2. Uji T-Statistik (Parsial)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen
(pangsa ekspor industri manufaktur non migas dan pangsa foreign direct
investment industri manufaktur non migas) berpengaruh secara parsial
terhadap variabel dependennya (deindustrialisasi). Jika nilai probability t
lebih kecil dari 0.05 maka Ha diterima dan menolak H0, sedangkan jika nilai
probability t lebih besar dari 0.05 maka H0 diterima dan menolak Ha.
Tabel 4.9
Uji T-Statistik
Variable Prob.
X1 0.0001
X2 0.0002
Sumber: hasil olahan data panel
Pada tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa variabel independen yang
terdiri dari pangsa ekspor industri manufaktur non migas dan pangsa foreign
direct investment industri manufaktur non migas secara parsial
memengaruhi variabel dependen, yaitu deindustrialisasi sebagai berikut.
Hasil uji hipotesis 1: Pangsa ekspor industri manufaktur non migas
terhadap deindustrialisasi.
Tabel 4.10 menunjukkan hasil bahwa variabel pangsa ekspor industri
manufaktur non migas memiliki nilai probabilitas t-statistik sebesar 0.0001<
0.05 yang berarti Ha diterima. Sehingga dapat dikatakan bahwa pangsa
ekspor industri manufaktur non migas berpengaruh signifikan terhadap
deindustrialisasi pada tahun 2006-2015.
75
Hasil uji hipotesis 2: Pengaruh foreign direct investment industri
manufaktur non migas terhadap deindustrialisasi.
Tabel 4.10 menunjukkan hasil bahwa variabel pangsa foreign direct
investment industri manufaktur non migas memiliki nilai probabilitas t-
statistik sebesar 0.0002 < 0.05 yang berarti Ha diterima. Sehingga dapat
dikatakan bahwa pangsa foreign direct investment industri manufaktur non
migas berpengaruh signifikan terhadap deindustrialisasi pada tahun 2006-
2015.
H. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Pangsa Ekspor terhadap Deindustrialisasi.
Secara umum, peningkatan ekspor produk-produk industri manufaktur
mengakibatkan peningkatkan output di seluruh cabang industri. Hal ini
menunjukkan pentingnya ekspor guna mendukung peningkatan output.
Peningkatan ekspor komoditas dari cabang-cabang industri tersebut
mendorong output sektor industri tumbuh lebih besar sehingga pada
akhirnya memberikan kontribusi yang relatif besar tehadap pertumbuhan
ekonomi nasional.
Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Salvator dalam
Ginting (2017:2-3) bahwa ekspor adalah salah satu motor penggerak dalam
pertumbuhan ekonomi. Penelitian yang dilakukan oleh Salvator
menunjukkan bahwa peningkatan investasi dan ekspor dapat mendorong
output dan pertumbuhan ekonomi. Melalui peningkatan ekspor maka akan
menghasilkan devisa untuk negara yang akan digunakan nantinya untuk
membiayai impor bahan baku dan barang modal dalam proses kegiatan
produksi guna menciptakan nilai tambah.
Namun, berdasarkan diagram 4.5 di atas menunjukkan bahwa hampir di
sepanjang periode 2006-2015 terjadi penurunan kinerja ekspor industri
manufaktur di Indonesia, yaitu pada tahun 2007-2009 dan 2011-2015.
Penurunan pangsa ekspor industri manufaktur pada tahun 2007-2009
disebabkan oleh adanya krisis global yang melanda Indonesia. Karena
adanya krisis ini, permintaan ekspor dari negara-negara tujuan utama
76
Indonesia seperti, Amerika, kawasan Uni Eropa dan Jepang mengalami
penurunan sehingga kinerja ekspor industri manufaktur ikut mengalami
penurunan. Kemudian, pada tahun 2011 hingga 2015 terjadi lagi penurunan
pangsa ekspor sektor industri manufaktur non migas yang diakibatkan oleh
krisis keuangan Eropa dan persaingan internasional yang semakin tajam.
Penurunan dalam pangsa ekspor sektor industri manufaktur non migas ini
akan mengakibatkan terjadinya deindustrialisasi.
Variabel pangsa ekspor industri manufaktur memiliki nilai probabilitas t-
statistik sebesar 0.0001 < 0.05. Hal ini berarti bahwa variabel ini
berpengaruh signifikan positif terhadap deindustrialisasi, yang mana
penurunan pada pangsa ekspor industri manufaktur non migas akan
menurunkan tingkat output sektor industri yang juga menurunkan nilai
tambah dan terjadi deindustrialisasi.
Fakta tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rowthorn
dan Ramaswamy dalam IMF (1997:9) bahwa perdagangan internasional
terkait dengan deindustrialisasi, khususnya nilai pangsa ekspor yang
terbukti berpengaruh signifikan positif terhadap deindustrialisasi.
Pandangan ini juga sejalan oleh penelitian yang dilakukan oleh Suwarman
(2006:50-54) bahwa di Indonesia variabel pangsa ekspor berpengaruh
signifikan positif terhadap deindustrialisasi. Menurutnya proses
deindustrialisasi di Indonesia bukan suatu dampak ilmiah dari keberhasilan
pembangunan di Indonesia melainkan disebabkan oleh berbagai guncangan
terhadap sistem perekonomian.
Hasil penelitian tersebut juga diperkuat oleh penelitian Kustanto
(2012:363) bahwa deindustrialisasi dipengaruhi secara positif oleh pangsa
pangsa ekspor industri manufaktur non migas. Penurunan pangsa ekspor
industri manufaktur non migas terjadi akibat krisis yang melanda Indonesia
pada tahun 1998-1999 sehingga berdampak pada penurunan output dan nilai
tambah. Selain itu, berdasarkan pernyataan yang dikemukakan oleh Menko
Perekonomian Indonesia dalam Indonesia Industrial Summit (2018:13)
bahwa tingkat pertumbuhan tinggi ekspor manufaktur yang dicapai pada
77
tahun 1980 an adalah sekitar 32%, sedangkan dari tahun 2000-2015 secara
rata-rata ekspor manufaktur tumbuh di angka yang jauh lebih rendah, yaitu
6% per tahun bahkan di tahun 2015 sendiri pertumbuhannya 2.5%. Ini
adalah bukti bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi premature jika
dilihat dari penurunan ekspor manufaktur, penurunan output serta
pergeseran yang terjadi dari sektor industri manufaktur ke sektor jasa.
Hal ini senada dengan apa yang dipaparkan Kadin Indonesia (2012:9)
bahwa produk ekspor industri manufaktur Indonesia sebanyak 34% masih
didominasi oleh pakaian jadi, minyak hewani/nabati, karet, mesin dan
peralatan listrik. Sedangkan, produk-produk unggulan tersebut telah
memiliki banyak pesaing yang semakin kuat di banyak negara, seperti
China, India dan Vietnam. Ketiga negara tersebut sama-sama memiliki
keunggulan dalam hal upah tenaga kerja yang murah dan memiliki basis
ekspor padat karya.
Rasbin (2011:321) dalam penelitiannya juga menjelaskan bahwa pangsa
pasar industri yang berbasis manufaktur di Indonesia semakin kecil
sedangkan industri yang berbasis SDA semakin menguat. Hal ini
dikarenakan kebijakan ekspor yang selama ini diterapkan oleh pemerintah
adalah kebijakan ekspor bahan baku mentah. Selain itu, membanjirnya
produk impor di pasar dometik yang menyebabkan produk-produk dalam
negeri tidak dapat bersaing karena harga produk impor jauh lebih murah.
Akibatnya, penurunan permintaan domestik akan produk manufaktur lokal
menyebabkan penurunan kapasitas produksi sehingga pada akhirnya terjadi
deindustrialisasi.
Secara umum deindustrialisasi dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu deindustrialisasi positif dan negatif Rowthorn dan Wells dalam IMF
(1997:10). Deindustrialisasi positif diartikan sebagai konsekuensi atas
perekonomian yang telah mencapai kedewasaan. Sedangkan,
deindustrialisasi negatif dapat menjadi efek sekaligus penyebab dari kinerja
yang buruk dalam sebuah perekonomian. Dalam penelitiannya, (Dewi,
2010:73-80) menjelaskan bahwa proses deindustrialisasi yang terjadi sejak
78
tahun 2002 di Indonesia cenderung menuju ke arah negatif, yang artinya
menurunnya kinerja sektor industri manufaktur akan semakin memperburuk
pertumbuhan ekonomi. Terjadinya deindustrialisasi di Indonesia bukan
merupakan dampak alamiah dari proses pembangunan melainkan
disebabkan karena adanya guncangan (shock) terhadap perekonomian
Indonesia (Suwarman, 2006: 50-54). Kemudian, Dewi juga menyatakan
bahwa beberapa faktor guncangan terdiri dari, menurunnya kinerja ekspor,
turunnya investasi, dan membanjirnya produk impor dari China (Dewi,
2010:73-80).
2. Foreign Direct Investment terhadap Deindustrialisasi.
Dalam proses pembangunan ekonomi, investasi memiliki peranan
penting dalam memacu pertumbuhan ekonomi dan pengentasan
kemiskinan. Investasi dengan jenis foreign direct investment memiliki
manfaat yang lebih, bukan hanya sekadar peningkatan pertumbuhan
ekonomi, tetapi juga meningkatkan produktivitas dengan memperkenalkan
negara penerima melalui sistem dan keahlian manajemen serta teknologi
yang baru sehingga proses produksi semakin meningkat dan juga
meningkatkan kualitas pekerja.
Selain itu, FDI juga menjadi media penghubung ke pasar-pasar ekspor
dan rantai pasokan internasional. Hal tersebut sesuai dengan dengan teori
pertumbuhan yang dikemukakan oleh Harrod-Domar bahwa pembentukan
modal atau yang disebut investasi memiliki peran ganda, yaitu selain dapat
menciptakan pendapatan namun, dapat pula meningkatkan stok modal yang
berguna untuk proses produksi sehingga akan meningkatkan output dan
nilai tambah dalam suatu industri.
Berdasarkan diagram 4.7 dapat dilihat bahwa, terjadi penurunan pangsa
FDI sektor industri manufaktur yang diikuti dengan penurunan nilai tambah
pada sektor yang sama. Hal ini memiliki makna bahwa penurunan pangsa
FDI berpengaruh terhadap terjadinya deindustrialisasi dini di Pulau Jawa.
Penurunan FDI yang terjadi pada periode 2006-2015 di Pulau Jawa
dikarenakan adanya perpindahan, yaitu struktur FDI yang tadinya lebih
79
besar pada sektor sekunder (industri) kini telah berpindah ke sektor tersier
(perdagangan dan jasa). Perpindahan ini terjadi karena para investor asing
mulai melakukan penetrasi dan ekspansi pada sektor tersier khususnya
dalam subsektor komunikasi, pengangkutan, perdagangan dan reparasi serta
sektor jasa lainnya sejak tahun 2005 (Kemendag, 2011:85).
Pada hasil uji T-Statistik menunjukkan bahwa FDI mempunyai pengaruh
signifikan dan positif terhadap deindustrialisasi. Hal ini mengartikan bahwa
penurunan pangsa FDI industri manufaktur non migas akan menurunkan
output produksi yang juga akan menurunkan nilai tambah dan menyebabkan
terjadinya deindustrialisasi. Fakta ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Ruky dalam Dewi (2010:5) bahwa investasi dalam bentuk
foreign direct investment (FDI) berpengaruh secara signifikan dan positif
terhadap deindustrialisasi. Terjadinya penurunan FDI akan memengaruhi
penurunan pada nilai tambah sektor industri manufaktur dan menyebabkan
deindustrialisasi. Selain penurunan FDI, terjadinya deindustrialisasi di
Indonesia juga diikuti dengan penurunan pangsa nilai tambah sektor
pertanian terhadap PDB nasional.
Menurut World Bank dalam Metinara (2011:53) kondisi iklim usaha yang
buruk menyebabkan investor asing enggan menanamkan modalnya di
Indonesia. Sulitnya perizinan, rumitnya birokrasi dan demo yang sering
dilakukan oleh para buruh tentang kenaikan upah merupakan sebagian dari
banyaknya masalah yang ada. Dengan langkanya investasi asing
mengakibatkan tidak adanya aliran dana untuk peremajaan mesin-mesin,
tidak adanya penambahan kapasitas produksi hingga diversifikasi produk
yang berguna untuk peningkatan daya saing ekspor. Hal ini senada dengan
apa yang dipaparkan oleh data dari (Direktorat Statistik Ekonomi dan
Moneter Bank Indonesia dalam Aprillia, 2018:79) bahwa kondisi mesin
yang dipergunakan dalam kegiatan sektor industri manufaktur non migas di
Indonesia sebesar 35 persen masih merupakan mesin lama, sedangkan
persentase mesin baru hanya mencapai 18 persen.
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pangsa ekspor industri
manufaktur non migas dan pangsa foreign direct investment industri
manufaktur non migas terhadap deindustrialiasi di Pulau Jawa pada tahun 2006-
2015. Berdasarkan data yang telah dikumpulkan dan pengujian yang telah
dilakukan maka diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pangsa Ekspor Industri Manufaktur Non Migas mempunyai pengaruh yang
signifikan dan positif terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa.
2. Foreign Direct Investment Industri Manufaktur Non Migas mempunyai
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap deindustrialisasi di Pulau Jawa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan-kesimpulan di atas maka diajukan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah diharapkan untuk dapat mendukung para pelaku industri
manufaktur dalam negeri dalam mengembangkan usahanya. Pemerintah juga
harus memperbaiki iklim investasi misalnya dengan pelayanan satu atap.
Dengan kebijakan tersebut diharapkan dapat mempercepat perizinan dan
meminimumkan biaya sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan
lancar. Selain itu, pemerintah juga diharapkan dapat menghimbau lembaga
keuangan agar dapat memberikan akses kredit usaha yang mudah kepada para
pelaku industri khususnya bagi usaha kecil dan miko karena kelompok tersebut
yang sulit mendapatkan akses permodalan. Dan yang terakhir, pemerintah
harus bisa menekan impor khususnya impor barang yang siap dikonsumsi dan
mensosialisasikan agar masyarakat mencintai produk dalam negeri.
2. Bagi para pelaku industri manufaktur diharapkan untuk terus mengembangkan
potensi yang ada di dalam negeri serta meningkatkan daya saing produk-
produk yang mereka hasilkan agar memiliki daya kompetitif yang tinggi dan
dapat bersaing oleh produk luar negeri.
81
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo, “Teori-teori Pembangunan Ekonomi”, Graha Ilmu,
Yogyakarta, 2013.
Adisasmita, Rahardjo, “Pertumbuhan Wilayah & Wilayah Pertumbuhan”, Graha
Ilmu, Yogyakarta, 2014.
Alderson, Arthur, “Globalization and Deindustrialization: Direct Investment and
the Decline of Manufacturing Employment in 17 OECD Nations”, Journal
of World –System Research, Vol 3, 1997.
Ajija, Shochrul R, “Cara Cerdas Menguasai EViews”, Salemba Empat, Jakarta,
2011.
Anwari,W.M.K dalam Lp3es, “Titik Nadir Deindustrialisasi”, artikel diakses
pada tanggal 15 Juli 2018, dari
http://lp3es.or.id/2012/index.php?option=com_content&view=article&id
135:titik-nadir-deindustrialisasi&catid=44:analisis-berita.
Aprillia, Devina, “Analisis Determinan Daya Saing Industri Manufaktur Non
Migas Studi Kasus:Provinsi di Pulau Jawa”, Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.
Arsyad, Lincolin, “Ekonomi Pembangunan”, UPP STIM YKPN, Yogyakarta,
2010.
Ayu & Disman, “ Liquidity Risk: Comparison Between Islamic and Conventional
Banking”,Vol. 20, 2017.
Badan Pusat Statistik, “Banten dalam Angka 2005-2016”.
Badan Pusat Statistik, “DKI Jakarta dalam Angka 2005-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Jawa Barat dalam Angka 2005-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Jawa Tengah dalam Angka 2005-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Jawa Timur dalam Angka 2005-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Laporan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-
Provinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha 2005-2016”, 2017.
Badan Pusat Statistik, “Statistik Indonesia 2005-2015”.
Badan Pusat Statistik, “Yogyakarta dalam Angka 2005-2016”.
82
BKPM, “Perkembangan Realisasi PMA Menurut Lokasi Periode 2005-2016”,
Jakarta.
Baltagi, B H, “Econometric Analysis of Panel Data”, Third Edition, The Atrium
Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England:John Wiley
& Sons Ltd, 2005.
Boediono, “Ekonomi Internaional”,Edisi 1, BPFE, Yogyakarta, 1981.
Brooks, Chris, “Introductory Econometrics for Finance”, 2nd Edition, Cambridge
University Press, Cambridge, 2008.
Dasgupta S, Singh A, “Manufacturing, Services and Premature
Deindustrialization in Developing Countries: Kaldorian Analysis”,
Research Paper United Nation University 49, 2006.
Dewi, D.A, “Deindustrialisasi di Indonesia”, IPB, 2010.
Ghozali, Imam, “Aplikasi Analisis Multivariant dengan Program SPSS”, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2011.
Ginting, A.Mulianta, “Analisis Pengaruh Ekspor Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Indonesia”, Buletin Ilmiah Litbang Perdagangan, Vol 11
No.1, Jakarta, 2017.
Gujarati, Damodar, “Ekonomi Dasar”, Terjemahan: Sumarno Zain, Erlangga,
Jakarta, 2003.
Gujarati, Damodar, “Dasar-dasar Ekonometrika”, Erlangga, Jakarta, 2006.
Gujarati & Porter, “Basic Econometrics”, 5th Edition, The Mc-Graw-Hill
Companies, New York, 2009.
Hailu, Abiy Zenegnaw, “Impact of Foreign Direct Investment on Trade of African
Countries”, International Journal of Economics and Finance, Vol 2,
Shangai University of Finance and Economics, China, 2010.
Hakim, Arif, “Industrialisasi di Indonesia: Menuju Kemitraan yang Islami”,
Jurnal Hukukm Islam, IAIN Pekalongan, 2009.
IMF, “Deindustrialization: Causes and Implication”, Working Paper WP/97/42,
1997.
Iskandar, Putong, “Pengantar Ilmu Ekonomi Mikro dan Makro”, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 2002.
83
Jalilian, H & Weiss, J, “Deindustrialization in Sub-Saharan: Myth or Crysis?”,
Journal of America Economies, Vol 9, 2000.
Jhingan, M.L, “Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan”, Edisi Keenambelas,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012.
Kamar Dagang dan Industri Indonesia, “Ekspor dan Daya Saing”, Advancing
Indonesia’s Civil Society in Trade and Investment Climate (ACTIVE)
Programme, Jakarta, 2012.
Kasmir dan Jakfar, “Studi Kelayakan Bisnis”, Edisi Revisi, Kencana Prenada
Media, Jakarta, 2012.
Kementerian Keuangan RI, “Laporan Kajian Nilai Tambah Produk Pertanian:
Kelapa Sawit dan Karet”, Tim Kajian Nilai Tambah - Pusat Kebijakan
Ekonomi Makro, Jakarta, 2012.
Kementerian Perdagangan RI, “Perkembangan Realisasi Kinerja Ekspor-
Impor Sektor Industri Manufaktur non-migas Periode 2005-2016”,
Jakarta.
Kementerian Perdagangan RI, “Kajian Dampak Kesepakatan Perdagangan
Bebas Terhadap Daya Saing Produk Manufaktur Indonesia”, Jakarta,
2011.
Kementerian Perekonomian RI, “Kebijakan Pemerintah dalam Mendorong Sektor
Industri di Era Industri 4.0”, Indonesia Industrial Summit, Jakarta, 2018.
Kementerian Perindustrian RI, “Peningkatan Daya Saing Industri Daerah
Melalui Pengembangan Pusat-Pusat Pertumbuhan Industri”, Direktorat
Jendral Pengambangan Perwilayahan Industri, Jakarta, 2013.
Kollmeyer, Christopher, “Explaining Deindustrialization: How Affluence,
Productivity Growth, and Globalization Diminish Manufacturing
Employment”, American Journal of Sociology, Vol 114(6), 2009.
Kuncoro, Mudrajad, “Ekonomi Pembangunan, Teori Masalah dan Kebijakan”,
UPP AMP YKPN, Yogyakarta, 1997.
Kustanto, Heru, “Deindustrialisasi dan Dampak Reindustrialisasi Terhadap
Ekonomi Makro Serta Kinerja Sektor Industri Non-Migas di
Indonesia”, IPB, 2012.
84
Lauer, Robert H, “Perspektif Tentang Perubahan Sosial”, Rhineka Cipta, Jakarta,
2001.
Makmun dan Yasin, Akhmad, “Pengaruh Investasi dan Tenaga Kerja Terhadap
PDB Sektor Pertanian”, Kajian Ekonomi dan Keuangan. Vol 7. No. 3,
2003.
Metinara, Susi, “Faktor-faktor yang Memengaruhi Deindustrialisasi di Indonesia
Tahun 2000-2009”, IPB, 2011.
Noor, Henry Faizal, “Invetasi Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan
Ekonomi Masyarakat”, PT Indeks, Jakarta, 2009.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.04/2011 Tentang Ketentuan
Kapabeanan di Bidang Ekspor.
Pujoalwanto, Basuki, “Perekonomian Indonesia Tinjauan Historis, Teoritis, dan
Empiris”, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2014.
Purwito, Ali & Indriani, “Ekspor, Impor, Sistem Harmonisasi, Nilai Pabean dan
Pajak dalam Kapabeanan”, Mitra Wacana Media, Jakarta, 2015.
Putri, Wiratri Yustia, “Pengaruh Regulator, Kepemilikan Institusional, Ukuran
Perusahaan dan Profitabilitas terhadap Carbon Emission Disclosure
(Studi Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI Tahun 2014-
2016”, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Pasundan Bandung,
2017.
Rahardja, Pratama dan Mandala Manurung, “Teori Ekonomi Mikro Suatu
Pengantar”, Fakultas Ekonomi, UI, Jakarta, 2014.
Rasbin, “Gejala Deindustrialisasi dan Dampaknya Terhadap Perekonomian
Indonesia”, Kajian, Vol 16 No. 2, 2011.
Rosadi, Dedi, “Ekonometrika & Analisis Runtun Waktu Terapan Dengan
Eviews”, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2012.
Rowthorn, R, “Productivity and American Leadership – Review, Review of
Income and Wealth”, Vol 38, 1992.
Rowthorn, R & R, Ramaswamy, “Growth, Trade, and Deindustrialization”, IMF
Staff Papers, Vol 46, 1999.
85
Rowthorn R & Coutts, K, “Deindustrialization and the Balance of Payments in
Advanced Economies”, Cambridge Journal of Economies, Vol 28, 2004.
Saeger, S, “Globalization and Deindustrialization:Myth and Reality in the
OECD”, Weltwirtschaftliches Archiv, Vol 133, 1997.
Sarwedi, “Investasi Asing Langsung di Indonesia dan Faktor yang
Memengaruhinya”, Jurnal Akuntansi & Keuangan, Vol 4, Fakultas
Ekonomi, Universitas Kristen Petra, 2002.
Setiawan dan Kusrini, Dwi Endah, “Ekonometrika”, C.V. Andi, Yogyakarta,
2010.
Soekanto, Soerjono, “Sosiologi:Suatu Pengatar”, PT. Raja Grafindo,
Jakarta, 1992.
Subandi, “Ekonomi Pembangunan”, Unit Penerbit Alfabeta, Bandung, 2012.
Sujarweni, V. Wiranata, “Spss untuk Penelitian”, Pustaka Baru Press,
Yogyakarta, 2014.
Sukirno, Sadono, “Makro Ekonomi Teori Pengantar”, Raja Grafindo Perkasa,
Jakarta, 2000.
Suliyanto, “Ekonometrika Terapan Teori dan Aplikasi dengan SPSS”, CV. Andi
Offset, Yogyakarta, 2011.
Suwarman, Wawan, “Faktor-faktor Apakah yang Mendorong Terjadinya Proses
Deindustrialisasi di Indonesia”, Universitas Indonesia, 2006.
Tarigan, Robinson, “Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi”,Edisi Revisi, PT
Bumi Aksara, Jakarta, 2012.
Todaro, Michael P & Smith, Stephen C, “Pembangunan Ekonomi”, Edisi 11 Jilid
1, Erlangga, Jakarta, 2011.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2014 Tentang Perindustrian.
Verbeek, M, “A Guide to Modern Econometrics”, 2nd Edition, John Wiley &
Sons Ltd, The Atrium, Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19
8SQ, England, 2004.
Winarno, Wing Wahyu, “Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews”,
UPP STIM YKPN, Yogyakarta, 2007.
86
Yuliadi, Imamudin, “Kesenjangan Investasi dan Evaluasi Kebijakan Pemekaran
Wilayah di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol 13, Fakultas
Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2012.
Yusdja, Yusmichad, “Tinjauan Teori Perdagangan Internasional dan
Keunggulan Koooperatif”, Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol 22,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor,
2004.
87
LAMPIRAN
Uji Chow
Uji Hausman
Model Fixed Effect
88
Uji Glejser
Uji Multikolinearitas
89
Tahun Provinsi Pangsa Nilai
Tambah
Pangsa Ekspor Pangsa FDI Ln Pangsa Nilai
Tambah
Ln Pangsa
Ekspor
Ln Pangsa
FDI
2006 Banten 36.79926 4.22 3.28 3.605478 1.439695 1.187843
2007 Banten 26.16065 5.24 3.54 3.264256 1.656494 1.264127
2008 Banten 28.79659 6.15 1.82 3.360257 1.817254 0.598837
2009 Banten 30.93349 3.64 7.9 3.431839 1.292513 2.066863
2010 Banten 34.62877 4.36 8.66 3.544685 1.472228 2.158715
2011 Banten 30.75004 5.22 10.06 3.425891 1.652508 2.308567
2012 Banten 36.92402 5.35 10.83 3.608862 1.677194 2.38232
2013 Banten 47.99592 4.48 12.59 3.871116 1.500232 2.532903
2014 Banten 60.25545 5.50 6.43 4.098593 1.704164 1.860975
2015 Banten 60.44751 6.92 6.02 4.101775 1.933804 1.795087
2006 DKI Jakarta 8.416552 42.97 0.68 2.1302 3.760592 -0.38566
2007 DKI Jakarta 10.91394 43.31 0.72 2.390041 3.768412 -0.3285
2008 DKI Jakarta 10.47411 45.70 0.82 2.348907 3.822177 -0.19845
2009 DKI Jakarta 11.03926 39.65 0.26 2.401458 3.680071 -1.34707
2010 DKI Jakarta 11.81743 46.12 0.2 2.469576 3.831188 -1.60944
2011 DKI Jakarta 10.74604 52.64 0.22 2.374537 3.963401 -1.51413
2012 DKI Jakarta 10.5726 51.02 0.34 2.358266 3.932236 -1.07881
2013 DKI Jakarta 10.28561 47.28 0.35 2.330746 3.856 -1.04982
2014 DKI Jakarta 9.350883 45.28 0.25 2.235471 3.812929 -1.38629
2015 DKI Jakarta 11.30845 41.32 0.23 2.42555 3.721396 -1.46968
2006 Jawa Barat 15.35401 0.27 1.55 2.731377 -1.29952 0.438255
2007 Jawa Barat 17.18866 0.22 1.15 2.84425 -1.49431 0.139762
2008 Jawa Barat 24.52289 0.19 4.18 3.199607 -1.68093 1.430311
2009 Jawa Barat 27.62963 0.28 1.36 3.318889 -1.27135 0.307485
2010 Jawa Barat 27.26964 0.38 2.94 3.305774 -0.95865 1.07841
90
2011 Jawa Barat 28.08946 0.54 6.89 3.335394 -0.61046 1.930071
2012 Jawa Barat 31.41753 0.43 8.74 3.447366 -0.85269 2.16791
2013 Jawa Barat 35.12515 0.37 14.47 3.558917 -0.9998 2.672078
2014 Jawa Barat 38.80411 0.34 10.07 3.658526 -1.07401 2.309561
2015 Jawa Barat 47.17903 0.24 7.95 3.853949 -1.44005 2.073172
2006 Jawa Tengah 5.83344 7.32 0.64 1.763607 1.990622 -0.44629
2007 Jawa Tengah 7.526768 7.49 0.11 2.018466 2.013818 -2.20727
2008 Jawa Tengah 7.595583 5.10 0.19 2.027567 1.62872 -1.66073
2009 Jawa Tengah 8.052423 6.20 0.11 2.085973 1.823915 -2.20727
2010 Jawa Tengah 9.187693 7.52 0.04 2.217865 2.017241 -3.21888
2011 Jawa Tengah 9.442179 8.18 0.14 2.245187 2.10156 -1.96611
2012 Jawa Tengah 12.65927 8.24 0.48 2.53839 2.108597 -0.73397
2013 Jawa Tengah 20.03193 8.54 0.83 2.997327 2.14457 -0.18633
2014 Jawa Tengah 19.07723 8.93 1.05 2.948496 2.188901 0.04879
2015 Jawa Tengah 20.54278 8.43 1.16 3.022509 2.132275 0.14842
2006 Jawa Timur 12.48573 13.60 0.75 2.524587 2.610071 -0.28768
2007 Jawa Timur 12.01009 16.99 3.69 2.485747 2.832905 1.305626
2008 Jawa Timur 13.33472 12.29 0.85 2.590371 2.508828 -0.16252
2009 Jawa Timur 14.68308 13.56 0.79 2.686696 2.607115 -0.23572
2010 Jawa Timur 15.18318 17.15 1.46 2.720188 2.842041 0.378436
2011 Jawa Timur 16.08087 20.34 0.76 2.77763 3.012728 -0.27444
2012 Jawa Timur 16.75579 16.80 2.38 2.818744 2.821173 0.8671
2013 Jawa Timur 19.6955 14.82 2.75 2.98039 2.696116 1.011601
2014 Jawa Timur 19.93539 17.09 2.67 2.992497 2.838765 0.982078
2015 Jawa Timur 18.55798 15.01 1.19 2.9209 2.708908 0.173953
2006 DI Yogyakarta 2.724634 0.08 0.006 1.002334 -2.52573 -5.116
2007 DI Yogyakarta 2.833135 0.05 0.0006 1.041384 -2.99573 -7.41858
91
2008 DI Yogyakarta 3.142303 0.05 0.011 1.144956 -2.99573 -4.50986
2009 DI Yogyakarta 3.177619 0.06 0.002 1.156132 -2.81341 -6.21461
2010 DI Yogyakarta 4.0751 0.25 0.001 1.404895 -1.38629 -6.90776
2011 DI Yogyakarta 5.575565 0.23 0.002 1.718394 -1.46968 -6.21461
2012 DI Yogyakarta 6.641386 0.22 0.002 1.893321 -1.51413 -6.21461
2013 DI Yogyakarta 7.077035 0.24 0.005 1.956855 -1.42712 -5.29832
2014 DI Yogyakarta 10.08523 0.21 0.006 2.311072 -1.56065 -5.116
2015 DI Yogyakarta 11.71616 0.12 0.007 2.460969 -2.12026 -4.96185