Upload
buidung
View
250
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
ANALISIS DETERMINAN DAYA SAING INDUSTRI MANUFAKTUR
NONMIGAS
(STUDI KASUS: PROVINSI DI PULAU JAWA)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh GelarSarjana Ekonomi (S.E.)
Disusun Oleh:
DEVINA APRILLIA
NIM: 11130 84000 032
PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UIN SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA
1439H/2018
…
Daftar Riwayat Hidup
I. Identitas Pribadi
1. Nama Lengkap : Devina Aprillia
2. Tempat /Tanggal Lahir : Jakarta, 05 April 1995
3. Alamat : Jl. Buntu No. 65. Kelurahan Rawa
Mekar Jaya, Serpong, Tangerang Selatan, Banten.
4. Nomor HP : 0857 76 555 036
5. Email : [email protected]
II. Pendidikan Formal
1. TK B islam Al-Mubarak Tahun 1999-2000
2. SDN Keagungan 01 Pagi Tahun 2000-2006
3. SMP IPPI Petojo Tahun 2006-2009
4. SMK Waskito Pamulang Tahun 2009-2012
5. S1 LPT UPI YAI (1 semester) Tahun 2012-2013
6. S1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2013-2017
III. Pendidikan Non Formal
1. Kursus Bahasa Inggris di r56 English First (Advance
B2) Periode Januari – April 2015.
IV. Pengalaman Organisasi
1. Koordinator Kepemimpinan OSIS SMK Waskito
2. Staff Departemen Pendidikan Himpunan Mahasiswa Jurusan
Ekonomi Pembangunan
3. Staff Divisi Riset Lingkar Studi Ekonomi Syariah (LISENSI)
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
V. Prestasi dan Penghargaan
1. Juara II lomba strory telling tingkat SMP IPPI Petojo.
2. Juara II lomba cerdas cermat tingkat SMP IPPI Petojo.
3. Finalis seleksi lomba olimpiade nasional Bahasa Inggris, Fisika
dan Biologi mewakili SMP IPPI Petojo tingkat kecamatan.
4. Lulusan nilai ujian nasional tertinggi di SMP IPPI Petojo
Jakarta tahun 2009.
5. Finalis terbaik ketiga “Lomba Kompetensi Siswa” mewakili
SMK Waskito di SMK Yadhika Pondok Aren.
6. Siswi lulusan terbaik pertama umum SMK Waskito tahun
angkatan 2012.
7. Finalis semifinal lomba debat pekan IESP
8. Finalis Second Quarter, Microeconomics Competition UNPAD
Bandung 2014.
9. Finalis Third Quarter, International Microeconomics
Competition UNPAD Bandung 2015
10. Partisipasi dalam presentasi karya ilmiah pada International
Seminar on Thoughts of Schumpeter & Islamic Economics FEB
UIN Jakarta 2015.
11. Finalis 10 Besar lomba karya ilmiah ekonomi islam
TEMILREG (Temu Ilmiah Regional) UNJ Jakarta 2016.
12. Partisipan lomba nasional “Kajian Program Perubahan Harga
Rupiah (Redenominasi) Bank Indonesia Tahun 2016”.
i
ABSTRACT
The objective of this study aims to analyse the effect of foreign direct investment,
employment productivity, infrastructure and industrial agglomeration on non oil-
gases manufacturing industry’s competitiveness using the latest panel data,
totalling six major provinces in Java Island, Indonesia, covering the period
between 2012 and 2016. The chosen method to explain this study is panel
regression using fixed effect model. Generalized least square with SUR is applied
for fulfilling classical assumption. The empirical result presents evidence that
Infrastructure the has significant negative effect on non-oil-gases manufacturing
industry’s competitiveness while foreign direct investment, employment
productivity, Industrial Aglomeration has significant positif effect on non-oilgases
manufacturing industry’s competitiveness.
Key Word: Competitiveness, Foreign Direct Investment, Labour Productivity,
Infrastructure and Industrial Aglomeration.
ii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Foreign Direct Investment
(FDI), Produktivitas Tenaga Kerja, Infrastruktur dan Aglomerasi Industri terhadap
Daya Saing Industri Manufaktur nonmigas pada provinsidi Pulau Jawa yang
berjumlah enam provinsi menggunakan data panel. Metode terpilih yang
digunakan untuk menjelaskan penelitian ini adalah Fixed Effect Model (FEM)
Generalized Least Square dengan pembobotan Cross Section Seemingly
Unrelated Regression (SUR) yang diterapkan untuk memenuhi asumsi klasik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Infrastruktur berpengaruh negatif
ketikaForeign Direct Investment (FDI), Produktivitas Tenaga Kerja, dan
Aglomerasi Industri berpengaruh positif signifikan terhadap daya saing industri
manufaktur nonmigas.
Kata Kunci: Daya Saing, Foreign Direct Investment, Produktivitas TenagaKerja,
Infrastruktur, Aglomerasi Industri.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmannirrahiim. Puji syukur kepada Allah Subhanahu
Wata’ala atas segala rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penelitian
skripsi yang berjudul “Analisis Determinan Daya Saing Industri Manufaktur
Nonmigas (Studi Kasus: pada Provinsi di Pulau Jawa)” dapat diselesaikan dengan
baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Ekonomi (S.E) Jurusan Ekonomi Pembangunan pada Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam senantiasa penulis haturkan kepada pemimpin umat,
Nabi Muhammad Shallallahu’Alaihi Wasallam yang telah menerangi kehidupan
manusia dengan keimanan dan pengetahuan. Pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu proses
pembuatan skripsi ini, karena tanpa motivasi, semangat, bantuan dan kehadiran
mereka penulis tentu akan merasa kesulitan dalam menyelesaikannya. Ucapan
terima kasih penulis haturkan sedalam-dalamnya kepada pihak-pihak yang akan
penulis sampaikan di bawah ini, diantaranya:
1. Bapak Dr. Arif Mufraini, Lc., M.Si., Selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Arief Fitrijanto, M.Si., Selaku Ketua Jurusan Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Najwa Khairina, M.Si., Selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi
Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Aizirman Djusan, Ph.D., M.Si., Econ., Selaku dosen pembimbing
penulis yang selama ini menjalani bimbingan skripsi telah meluangkan
banyak waktu. Selain itu juga telah memberikan pengarahan,
pengembangan ide-ide, pengalaman ilmu, motivasi, kesabaran yang sangat
berharga terhadap penulis selama proses penyusunan skripsi.
iv
5. Bapak Muhammad Hartana Iswandi Putra, M.Si., Selaku dosen
pembimbing akademik yang selalu menyediakan waktu untuk memberikan
nasihat dan membimbing penulis selama penulis menjalankan masa
perkuliahan.
6. Seluruh Dosen Ekonomi Pembangunan yang sangat penulis hormati dan
cintai, karena tanpa mereka penulis bukanlah apa-apa. Tanpa mereka
penulis tidak akan pernah mampu untuk bisa berada di tahap akhir ini.
Kesabaran, kepedulian dan kasih sayang mereka terhadap penulis selama
penulis menjalankan masa perkuliahan ini.
7. Seluruh Staff Akademik dan Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis
UIN Syarif Hidayatullah jakarta yang telah memberikan waktunya dan
kesabarannya untuk mengurusi segala administrasi penulis selama masa
perkuliahan.
8. Bapak Iwan Setiawan, Ibu Yuliana, selaku orang tua penulis yang tercinta,
tersayang dan penulis hormati sepanjang masa. Mereka adalah harta paling
berharga untuk penulis di dunia ini. Mereka yang selalu memberikan
seluruh kasih sayangnya dan mendukung penulis baik dalam keadaan
susah ataupun keadaan senang selama penulis menjalani masa perkuliahan
hingga sampai pada tahap penulisan skripsi.
9. Untuk Sheila Maharani, Adiku tercinta dan tersayang yang telah menjadi
teman, sahabat sekaligus keluarga dan selalu memberikan hiburan dikala
sedih, selalu memberikan semangat kepada penulis.
10. Echi, Ratih dan Endi (S.E) yang telah menjadi keluarga dan sahabat
pertama penulis ketika penulis masih menjalani perkuliahan di UPI YAI.
Semoga persahabatan dan kekeluargaan kita tidak berhenti hanya sampai
di perkuliahan saja dan akan terus bersilahturahmi dalam keadaan apapun.
11. Nurhasanudin, S.E., yang selalu sabar dalam menanggapi setiap
permasalahan, membantu memberikan masukan-masukan untuk penulis.
Tak lupa juga atas segala dukungan dan do‟a yang telah diberikan selama
penulisan skripsi ini.
v
12. Sahabat, keluarga Ciwi-Ciwi Ekonomi Pembangunan tercinta dan
tersayang. Terima kasih kalian selama ini telah mendukung, memberikan
do‟a kepada penulis dalam keadaan apapun. Terima kasih kalian telah
menjadi keuarga, sahabat dan teman penulis selama masa perkuliahan
bahkan hingga sekarang.
13. Keluarga Besar LISENSI UIN JAKARTA yang selalu memberikan
dukungan dan do‟a kepada seluruh anggota-anggotanya dan tak lupa atas
segala ilmu, kebersamaan yang terjalin selama ini.
14. Teman, sahabat, keluarga Ekonomi Pembangunan 2013 kelas A yang
selama ini telah memberikan dukungan, do‟a, hiburan, canda tawa kepada
penulis selama masa perkuliahan.
15. Sahabat perjuangan selama masa perkuliahan, seluruh teman-teman
Ekonomi Pembangunan 2013 yang telah memberikan dukungan serta
Do‟anya.
16. Adik-adik Ekonomi Pembangunan angkatan 2014 tersayang dan tercinta
yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas segala dukungan, do‟a,
canda tawa, hiburan dan lainya selama penulis menjalani masa
perkuliahan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena
keterbatasan pengetahuan ataupun pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena
itu, penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun untuk dijadikan
pelajaran bagi penulis dalam rangka mencapai hasil ke depan yang jauh lebih
baik.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Jakarta, Maret 2018
Devina Aprillia
vi
DAFTAR ISI
ABSTRACT............................................................................................................i.
ABSTRAK.............................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...........................................................................................iii
DAFTAR ISI..........................................................................................................vi
DAFTAR DIAGRAM........................................................................................viii
DAFTAR TABEL..............................................................................................ix
DAFTAR GAMBAR............................................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................................................1
B. Perumusan Masalah.....................................................................................10
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian....................................................................13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Pendukung.........................................................................................15
B. Penelitian Sebelumnya................................................................................33
C. Kerangka Berfikir........................................................................................43
D. Hipotesis Penelitian.....................................................................................43
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................45
B. Jenis dan Sumber Data...............................................................................45
C. Metode Pengumpulan Data........................................................................45
D. Metode Analisis Data................................................................................46
E. Definisi Operasional Variabel....................................................................56
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaranumum Objek Penelitian............................................................58
B. Penemuan dan Pembahasan.......................................................................59
C. Estimasi Data Panel....................................................................................68
D. Uji Asumsi Klasik......................................................................................70
E. Persamaan Model.......................................................................................72
F. Hasil Uji Koefisien Determinasi...............................................................75
G. Pengujian Hipotesis...................................................................................75.
vii
H. Pembahasan Hasil Penelitian.....................................................................78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................................84
B. Saran..........................................................................................................84
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................86
LAMPIRAN....................................................................................................91
viii
DAFTAR DIAGRAM
Diagram 1.1 Pertumbuhan Industri Manufaktur nonmigas dan PDB......................5
Diagram 1.2 Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Berdasarkan Wilayah...........7
Diagram 4.1 Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa.........................................58
Diagram 4.2 Kontribusi PDRB Jawa Berdasarkan Sektor.....................................59
Diagram 4.3 Perkembangan Daya Saing...............................................................61
Diagram 4.4 Perkembangan Realisasi FDI............................................................62
Diagram 4.5 Kontribusi Tenaga Kerja Industri Manufaktur nonmigas.................63
Diagram 4.6 Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja Jawa......................................64
Diagram 4.7 Perkembangan Panjang Jalan Provinsi di Pulau Jawa......................65
Diagram 4.8 Tingkat Mobilitas Jalan Provinsi di Pulau Jawa...............................66
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Peringkat Global Competitiveness Index ................................................4
Tabel 1.2 Competitive Industrial Performance........................................................6
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Sebelumnya.........................................................38
Tabel 3.1 Kriteria Durbin Watson.........................................................................53
Tabel 3.2 Variabel Operasional Penelitian............................................................56.
Tabel 4.1 Indeks Aglomerasi Industri Provinsi Pulau Jawa..................................67
Tabel 4.2 Uji Chow................................................................................................69
Tabel 4.3 Uji Hausman..........................................................................................69
Tabel 4.4 Hasil Uji Multikolinearitas.....................................................................70
Tbael 4.5 Uji Glejser .............................................................................................71
Tabel 4.6 Hasil Durbin Watson..............................................................................72
Tabel 4.7 Intrepretasi Individual FIX.....................................................................73
Tabel 4.8 Koefisien Determinasi...........................................................................75
Tabel 4.9 Nilai F statistik.......................................................................................76
Tabel 4.10 Nilai t statistik......................................................................................76
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir..............................................................................43
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi merupakan salah satu kunci penopang suatu negara
dalam menjalankan fungsinya. Isu pembangunan ekonomi menjadi perhatian
khusus di seluruh penjuru dunia, terlebih lagi di negara-negara berkembang
karena menyangkut dalam menjaga kestabilan pertumbuhan output yang
baik dan berkualitas sepanjang waktu sehingga mampu untuk menunjang
kesejahteraan masyarakat. Karena pada dasarnya, pembangunan ekonomi
berfokus pada suatu proses sosial, ekonomi dan kelembagaan dalam
mewujudkan kesejahteraan masyarakat sehingga memiliki kehidupan yang
lebih baik (Todaro dan Smith, 2011:27).
Proses pembangunan ekonomi terjadi dalam setiap negara tak
terkecuali Indonesia. Proses pembangunan ekonomi di Indonesia turut
mengalami perubahanstruktural perekonomian, yaitu berawal dari
pembangunan agricultural (pertanian) menuju pembangunan industrialisasi.
Transformasi struktural perekonomian Indonesia ditunjukkan dengan
kontribusi sektor industri manufaktur yang telah melampaui kontribusi
sektor pertanian di dalam Pendapatan Nasional Bruto (PDB). Data yang
dipublikasikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS)menunjukkan rata-rata
kontribusi sektor industri manufaktur terhadap Pendapatan Nasional Bruto
(PDB) sebesar 20.85%, sedangkan di sisi lain rata-rata kontribusi sektor
pertanian terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) telah tergeser oleh
sektor industri, yaitu sebesar 13.43% dalam kurun waktu 2014-2016.
Dengan demikian, pergeseran tatanan perekonomian dari sektor
pertanian menuju sektor industri menunjukkan adanya transformasi struktur
ekonomi yang berbasis agraris menjadi basis industri.
Todaro dan Smith (2011:148) memaparkan lebih lanjut bahwa
perubahan struktur perekonomian merupakan suatu bentuk dari proses
pembangunan ekonomi yang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
tersedianya sumber daya yang dimiliki dan luas wilayah negara, kebijakan
2
dan tujuan negara, ketersediaan modal dan teknologi eksternal serta
lingkungan perdagangan internasional.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa selain lingkungan
domestik, lingkungan dunia internasional juga memiliki andil terjadinya
proses pembangunan ekonomi negara. Dengan kata lain terbentuknya
perkembangan ekonomi yang semakin mendunia (globalisasi) disertai
konsep liberalisasi ekonomi akan menuntut setiap negara untuk melakukan
suatu perubahan secara struktur agar mampu bertahan dalam persaingan
ekonomi dunia yang semakin ketat demi terwujudnya kestabilan
pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Wujud dari liberalisasi ekonomi di Indonesia berawal dari
perdagangan antar regional AFTA (ASEAN Free Trade Area), ACFTA
(ASEAN-China Free Trade Area) kemudian dilanjutkan melalui
terimplementasikannya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) pada tahun
2015, semua itu merupakan salah satu langkah strategis yang diambil oleh
pemerintah Indonesia dalam rangka mengambil manfaat yang besar dari
adanya liberalisasi ekonomi.
Keberadaan globalisasi dan liberalisasi ekonomi bukan hanya
mempersoalkan bagaimana mengambil keuntungan atau manfaat seperti
investasi, produksi dan perdagangan di kawasan, tetapi juga mempersoalkan
bagaimana menciptakan strategi yang tepat untuk mendapatkan manfaat
tersebut dalam persaingan yang ketat (Ridhwan, et all., 2015:2). Hal ini juga
telah dipertegas melalui cetak biru MEA 2015 yang dipaparkan oleh
Ridhwan, et all., (2015:7) bahwa untuk menjadi pasar tunggal dan basis
produksi dalam era kebebasan ekonomi, maka setiap negara membutuhkan
adanya kawasan ekonomi yang lebih kompetitif.
Dengan kata lain, liberalisasi ekonomi akan meningkatkan persaingan
antar industri, walaupun di satu sisi merupakan peluang bagi para produsen
dalam melakukan ekspansi produk antar negara dengan mudah dan
melakukan ekspor tanpa hambatan tertentu, tetapi di sisi lain juga dapat
3
menekan produsen lokal untuk keluar dari industri jika tidak mampu
bersaing dengan produsen asing yang memiliki harga yang lebih kompetitif.
Untuk menghadapipersaingan yang ketat sebagai dampak dari
liberalisasi ekonomi, sektor industri manufaktur Indonesia harus memiliki
daya saing yang tinggi, daya saing yang tinggi dapat dibentuk melalui
keunggulan alamiah, seperti memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA),
Sumber Daya Manusia (SDM) yang melimpah atau biasa dikenal dengan
comparative advantage kemudian dikembangkan dengan baik untuk
menghasilkan competitive advantage.
Daya saing industri itu sendiri dapat dijelaskan sebagai kemampuan
negara untuk memproduksi dan mengekspor komoditas industri manufaktur
secara kompetitif. Hal tersebut bukan hanya merefleksikan seberapa besar
kapasitas produksi industrinya tetapi juga merefleksikan seberapa besar
kecanggihan teknologi yang digunakan dalam pembangunan industrinya
(Zhang, 2013:2). Partomo (2008:68) menjelaskan lebih lanjut bahwa
pembangunan industri yang unggul dan berdaya saing dalam menghadapi
persaingan yang ketat harus dapat memanfaatkan keunggulan komparatif
(comparative advantage) yang dimiliki dengan efektif dan efisien sehingga
dapat menghasilkan barang dan jasa yang unggul dan mampu bersaing
(competitive advantage).
Kleynhans (2016:528) juga menjelaskan bahwa selain harus efisien,
konsep peningkatan daya saing industri harus berawal dari proses produksi
industri yang jauh lebih produktif. Dengan industri yang semakin produktif,
maka kapasitas produksi yang optimum dapat terwujud sehingga pasokan
komoditas yang berorientasi ekspor dalam pasar akan semakin banyak dan
tidak terjadi kelangkaan komoditas yang berakibat pada kenaikan harga
yang tidak kompetitif.
Peningkatan daya saing tentu harus didukung oleh beberapa faktor
internal yang ada di sebuah negara. World Economics Forum (2016)
menunjukkan faktor-faktor yang menjadi penilaian daya saing terbagi atas
4
tiga faktor besar yaitu, basic requairements, efficiency enhancers,
innovation and sophistication factors.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, laporan Global Competitiveness
Index(2016) menyatakan bahwa tingkat daya saing Indonesia berada pada
peringkat 41 dari total 138, peringkat tahun 2016 ini menurun 4 poin jika
dibandingkan dengan tahun 2015 dengan peringkat 37 dari 138 negara. Hal
ini dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Global Competitiveness IndexIndonesia 2016
Negara
Global Competitiveness Index
Peringkat Skor
Singapura 2 5.72
Malaysia 25 5.16
Thailand 34 4.64
Indonesia 41 4.52
Filipina 57 4.36
Vietnam 60 4.31
Total 138 Negara
Sumber : World Economic Forum, 2016
Tingkat daya saing ekonomi Indonesia berada pada peringkat ke 41
menjadikan Indonesia tergolong sebagai negara yang berada pada tahap
efficiency driven dari tiga tahap pengembangan daya saing, yaitu factor
driven, efficiency driven, innovation driven. World Economic Forum (2016)
mendefinisikan tahap efficiency driven sebagai tahapan di mana negara
sedang dalam proses membangun daya saing melalui dorongan proses
produksi yang lebih efisien dan menghasilkan produk yang lebih berkualitas.
Industri manufaktur nonmigas merupakan salah satu bagian yang
menjadi rencana strategis pembangunan industri Indonesia jangka menengah
lima tahun 2015-2019 dalam meningkatkan daya saing dan produktivitas
pembangunan industri nasional setelah berakhirnya era boom minyak pada
5
tahun 1982. Hal ini menjadikan industri manufaktur nonmigas sebagai
motor utama penggerak perekonomian nasional yang dilihat dari besarnya
kontribusi industri manufaktur nonmigas terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB), yaitu mencapai 20,65-22,61 persen (Kemenperin, 2015). Sejak tahun
2011 pertumbuhan industri manufaktur nonmigas mampu lebih tinggi
dibandingkan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan terus berlanjut
sampai tahun 2015. Tetapi, tren pertumbuhan industri manufaktur nonmigas
periode tahun 2010-2016 terus mengalami penurunan, bahkan sejak awal
tahun 2016 pertumbuhan industri manufaktur nonmigas berada di bawah
pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini dapat dilihat pada diagram 1.1.
Diagram 1.1
Pertumbuhan Industri Manufaktur Nonmigas dan PDB Nasional
Tahun 2010-2016
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2017
Perlambatan pertumbuhan industri manufaktur nonmigas secara terus
menerus menyebabkan penurunan kontribusi sektor industri manufaktur
nonmigas menjadi 18,2 persen pada tahun 2016 dari 19,5 persen pada tahun
2009 terhadap perekonomian nasional (Bappenas, 2017). Penurunan
pertumbuhan dan kontribusi yang terus terjadi dapat menjadi salah satu
gejala dari deindustrialisasi dini di Indonesia dan merupakan hasil akhir dari
salah satu penyebab menurunnya pertumbuhan industri manufaktur
nonmigas di Indonesia, yaitu daya saing sektor industri manufaktur
nonmigas.
2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Industri ManufakturNon-Migas
5,12 6,74 6,42 6,1 5,61 5,05 4,42
PDB Nasional 6,22 6,49 6,26 5,78 5,01 4,88 5,02
012345678
6
United Nations Industrial Development Organization (UNIDO)
memberikan sebuah laporan terkait perkembangan kinerja dari
pembangunan sektor industri manufaktur setiap negara pada tahun 2016.
Laporan tersebut menyatakan bahwa daya saing industri manufaktur
Indonesia mengalami stagnasi dalam 20 tahun terakhir. Pada tahun 2013,
Competitive Industrial Performance (CIP) Indonesia berada pada peringkat
42 dari 143 negara dengan indeks kinerja 0.087, peringkat ini menurun jika
dibandingkan pada tahun 2000 yang berada pada peringkat 38 dari 143
negara. Apabila dibandingkan dengan beberapa negara industri baru yang
ada di kawasan ASEAN, peringkat daya saing industri Indonesia juga berada
di bawah negara Singapura, Malaysia dan Thailand, walaupun di satu sisi
Indonesia masih berada di atas Vietnam dan Filipina dengan selisih nilai
indeks yang tipis. Hal ini dapat dilihat pada tabel 1.2.
Tabel 1.2
Competitive Industrial Performance
Negara Indeks Peringkat
Singapura 0.341 7
Malaysia 0.176 24
Thailand 0.167 26
Indonesia 0.087 42
Vietnam 0.071 50
Filipina 0.067 53
Sumber: UNIDO, 2016
Isventina (2015:4) dalam penelitiannya menjelaskan lebih lanjut terkait
laporan yang dikeluarkan oleh Institute for Management Development
(IMD) bahwa rendahnya kondisi daya saing industri Indonesia dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Pertama, kinerja perekonomian
nasional yang tercermin dari perdagangan internasional, investasi,
ketenagakerjaan dan harga yang belum dikatakan membaik. Kedua,
rendahnya efisiensi kelembagaan pemerintahan dalam membuat kebijakan
terkait pengelolaan keuangan negara, fiskal serta peraturan perundangan
7
untuk iklim usaha kondusif. Ketiga, rendahnya efisiensi usaha dalam
mendorong peningkatan produksi yang tercermin dari tingkat produktivitas,
pasar tenaga kerja dan askes terhadap sumber daya. Keempat, keterbatasan
infrastruktur, baik infrastruktur fisik, teknologi, infrastruktur dasar yang
berkaitan dengan kebutuhan masyarakat akan pendidikan dan kesehatan.
Dalam mendukung rencana strategis pembangunan industri
manufaktur nonmigas, Kementerian Industri masih mengutamakan Pulau
Jawa sebagai salah satu zona wilayah industri manufaktur terbesar di
Indonesia karena penyebaran industri manufaktur Indonesia 75 persen
berada di Pulau Jawa sedangkan sisanya 25 persen di luar pulau Jawa
(Kemenperin, 2017). Besarnya penyebaran industri manufaktur di Pulau
Jawa menjadikan pulau Jawa sebagai wilayah yang memiliki kontribusi
sektor industri manufaktur tertinggi terhadap Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB). Pada tahun 2016, sektor industri manufaktur di Pulau Jawa
berkontribusi terhadap PDRB sebesar 70 persen, kemudian diikuti oleh
Sumatera sebesar 19 persen, Kalimantan sebesar 6 persen, sedangkan sektor
industri manufaktur di wilayah lain menyumbang masing-masing kurang
dari 5 persen. Hal ini dapat dilihat pada diagram 1.2.
Diagram 1.2
Kontribusi Industri Manufaktur Terhadap PDRB Berdasarkan Wilayah
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS), 2017
Besarnya kontribusi industri manufaktur di pulau Jawa merupakan
peluang dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur khususnya
dalam penelitian ini adalah sektor nonmigas melalui pengembangan
Jawa 70%
Sumatera 19%
Kalimantan 6%
Sulawesi 3%
Maluku dan Papua
1%
Bali dan Nusa
Tenggara 1%
8
teknologi secara berkelanjutan. Maka dari itu penting sekali dalam
mengakses sumber-sumber teknologi dari negara maju yang dapat dialihkan
dan di terapkan melalui mekanisme Penanaman Modal Asing (PMA) atau
dalam penelitian ini disebut sebagai Foreign Direct Investment (FDI).
Keberadaan investasi asing langsung merupakan salah satu kunci yang dapat
menjadi roda penggerak sektor industri manufaktur nonmigas di pulau Jawa
sehingga mampu mendorong produktivitas industri yang tinggi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Namaki (2002:71) menunjukkan
bahwa meningkatnya jumlah Foreign Direct Investment (FDI) dalam dunia
industri manufaktur memiliki dampak positif pada meningkatnya daya saing
industri manufaktur. Melalui Foreign Direct Investment (FDI), peningkatan
daya saing industri manufaktur dapat terwujud dengan beragam cara, salah
satunya adalah memperkenalkan teknologi dan pengetahuan baru seperti
proses dan cara kerja industri atau bahkan menciptakan produk yang jauh
lebih inovatif (Potterie dan Lichtenberg, 2001:490-497). Menciptakan
industri yang lebih inovatif dalam tentu dapat berdampak positif terhadap
kinerja industri manufaktur, di mana industri akan jauh lebih efisien dan
akan menghasilkan barang yang memiliki kualitas tinggi dengan harga
kompetitif.
Berbeda dengan Potterie dan Lichtenberg, Zhang (2013:14)
menjelaskan bahwa FDI dapat mempengaruhi daya saing industri dengan
cara meningkatkan produktivitas industri padat karya dibandingkan industri
padat modal, hal tersebut secara tidak langsung berdampak positif terhadap
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia melalui transfer pengetahuan,
keterampilan dan bahkan adanya pelatihan khusus untuk meningkatkan
kompetensi pekerja industri sehingga akan tercipta produktivitas tenaga
kerja industri yang tinggi.
Berdasarkan hal tersebut tingginya produktivitas tenaga kerja juga
akan mencerminkan kinerja industri yang baik karena akan menghasilkan
tingkat produksi yang tinggi walaupun dengan jumlah input tenaga kerja
yang sedikit, ini dinamakan dengan memanfaatkan sumber daya secara
9
efisien dengan menghasilkan output secara maksimal.Adapun produktivitas
tenaga kerja dalam suatu industri merupakan salah satu cara dalam
mengevaluasi kemampuan negara atau daerah tertentu dalam menentukan
standar kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya. Hal
ini sangat dibutuhkan karena produktivitas juga merupakan salah satu kunci
dalam menentukan daya saing baik level perusahaan, level industri
manufaktur dan bahkan level negara sekalipun. Emsina (2014:317)
menjelaskan bahwa keberadaan produktivitas tenaga kerja sangat
mempengaruhi proses dan biaya produksi dalam industri, karena biaya
produksi dapat mempengaruhi tingkat daya saing industri di pasar global.
Dalam meningkatkan kualitas kinerja industri manufaktur nonmigas,
tentu harus didukung oleh faktor produksi di negara atau daerah sebagai
suatu sistem dasar yang harus terpenuhi.Porter’s Competitiveness Diamond
yang dikemukakan oleh Michael Porter menunjukkan bahwa infrastruktur
merupakan salah satu sistem yang sangat mendasar dan harus ada dalam
meningkatkan daya saing industri manufaktur (competitive advantage)
(Herciu, 2013:274).
Secara tidak langsung, infrastruktur merupakan salah satu komponen
input industri manufaktur tidak produktif dalam proses produksi namun,
harus menjadi kunci untuk meningkatkan daya saing industri manufaktur
(nonmigas). Melalui infratsruktur, proses produksi juga dapat lebih efisien
karena akan menghasilkan biaya input dan output dalam produksi industri
manufaktur yang rendah (Palei, 2015:319;Mamatzakis, 2008:173).
Jika kegiatan industri manufaktur tidak di tunjang dengan kekuatan
dasar infrastruktur, maka mobilitas faktor-faktor produksi seperti bahan
baku, tenaga kerja bahkan sampai distribusi industri akan menjadi biaya
yang sangat mahal dan akan berdampak terhadap daya saing industri
manufaktur karena akan menghasilkan harga komoditas yang tidak
kompetitif di pasar baik domestik ataupun internasional.
Di samping faktor produksi, Porter’s Competitiveness Diamondjuga
menunjukkan bahwa adanya industri terkait dan industri pendukung
10
merupakan salah satu bagian dari sistem dasar yang dapat menjadi
competitive advantage dari sebuah industri yang berdampak pada
meningkatnya daya saing industri manufaktur nonmigas. Model ini
menjelaskan bahwa terkonsentrasinya industri hulu dan hilir atau yang
dikenal sebagai aglomerasi industri akan menciptakan kemudahan dalam
mengakses bahan input, hal ini dikarenakan jarak industri terkait dan
pendukung yang cukup dekat dengan industri utama (Cho dan Chang,
2003:87).
Hal senada juga disampaikan oleh Weber dan Kuncoro dalam
Hilmawan (2013:9) yang menjelaskan keuntungan aglomerasi industri akan
menghasilkan minimisasi biaya transportasi. Biaya transportasi merupakan
salah satu komponen biaya yang sangat penting dalam aktivitas produksi
industri manufaktur erat kaitannya dengan biaya produksi, maka dari itu
minimisasi biaya transportasi tentu akan berdampak terhadap penurunan
biaya produksi sehingga menciptakan harga komoditas industri yang lebih
kompetitif di pasar domestik atau internasional. Dengan demikian hal
tersebut akan sangat mendukung peningkatan daya saing industri
manufaktur nonmigas yang berujung pada peningkatan pertumbuhan
ekonomi industri manufaktur nonmigas itu sendiri.
B. Perumusan Masalah
Berkembangnya liberalisasi ekonomi yang mampu meningkatkan
persaingan antar industri manufaktur menjadikan sektor industri manufaktur
Indonesia harus memiliki daya saing yang tinggi, daya saing yang tinggi
dapat dibentuk melalui keunggulan alamiah yang dimiliki oleh Indonesia
seperti Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) yang
melimpah atau biasa dikenal dengan comparative advantage kemudian
dikembangkan dengan baik untuk menghasilkan competitive advantage.
Partomo (2008:68) menjelaskan lebih lanjut bahwa pembangunan
industri yang unggul dan berdaya saing dalam menghadapi persaingan yang
ketat harus dapat memanfaatkan keunggulan komparatif (comparative
advantage) yang dimiliki dengan efektif dan efisien sehingga dapat
11
menghasilkan barang dan jasa yang unggul dan mampu bersaing
(competitive advantage).
Industri manufaktur nonmigas merupakan salah satu bagian industri
yang menjadi rencana strategis dalam meningkatkan daya saing dan
produktivitas pembangunan industri nasional setelah berakhirnya era boom
minyak pada tahun 1982. Hal ini menjadikan industri manufaktur nonmigas
sebagai motor utama penggerak perekonomian nasional yang dilihat dari
besarnya kontribusi industri manufaktur nonmigas terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB), yaitu mencapai 20,65-22,61 persen (Kemenperin,
2015). Tetapi, tren pertumbuhan industri manufaktur nonmigas periode
tahun 2010-2016 terus mengalami penurunan, bahkan sejak awal tahun 2016
pertumbuhan industri manufaktur nonmigas berada di bawah pertumbuhan
ekonomi nasional.
Penurunan pertumbuhan dan kontribusi yang terus terjadi dapat
menjadi salah satu gejala dari deindustrialisasi dini di Indonesia dan
merupakan hasil akhir dari salah satu penyebab menurunnya pertumbuhan
industri manufaktur nonmigas di Indonesia, yaitu daya saing sektor industri
manufaktur. Pada tahun 2013, Competitive Industrial Performance (CIP)
Indonesia berada pada peringkat 42 dari 143 negara, di mana peringkat ini
menurun jika dibandingkan pada tahun 2000 yang berada pada peringkat 38
dari 143 negara. Peringkat daya saing industri ini berada di bawah negara
Singapura, Malaysia dan Thailand, walaupun di satu sisi Indonesia masih
berada di atas Vietnam dan Filipina dengan selisih nilai indeks yang tipis.
Dalam mendukung rencana strategis pembangunan industri
manufaktur nonmigas 2015-2019, Kementerian Industri masih
mengutamakan Pulau Jawa sebagai salah satu zona wilayah industri
manufaktur terbesar di Indonesia karena memiliki penyebaran industri
manufaktur sebesar 75 persen dan kontribusi sektor industri manufaktur
terhadap Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 70 persen.
Besarnya kontribusi industri manufaktur di pulau Jawa merupakan
peluang dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur nonmigas
12
melalui pengembangan teknologi secara berkelanjutan. Keberadaan investasi
asing langsung merupakan salah satu kunci yang dapat menjadi roda
penggerak sektor industri manufaktur nonmigas di pulau Jawa sehingga
mampu mendorong produktivitas industri yang tinggi. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Namaki (2002:71) menunjukkan bahwa meningkatnya
jumlah Foreign Direct Investment (FDI) dalam dunia industri manufaktur
memiliki dampak positif pada meningkatnya daya saing industri manufaktur.
Berbeda dengan hal itu, Emsina (2014:1) menjelaskan bahwa
keberadaan produktivitas tenaga kerja juga dapat mempengaruhi tingkat
daya saing industri di pasar global. Begitu juga dengan pembangunan
infrastruktur yang merupakan salah satu sistem yang sangat mendasar dan
harus ada dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur (competitive
advantage) (Herciu, 2013:274).
Porter’sCompetitiveness Model juga menunjukkan bahwa
terkonsentrasinya industri hulu dan hilir atau yang dikenal sebagai
aglomerasi industri akan menciptakan kemudahan dalam mengakses bahan
input antar industri sehingga akan menghasilkan minimisasi biaya
transportasi yang berujung pada penurunan biaya produksi industri
manufaktur. Zhaohui et all. (2013:4028) menjelaskan bahwa terdapat
hubungan positif yang kuat antara aglomerasi industri dan daya saing
industri manufaktur, dimana keduanya saling berinteraksi dan menghasilkan
sebab dan akibat.
Berdasarkan uraian permasalahan yang telah dipaparkan, maka dapat
dirumuskan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Apakah Foreign Direct Investment (FDI) berpengaruh signifikan
terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di
Pulau Jawa?
2. Apakah produktivitas tenaga kerja berpengaruh signifikan terhadap
daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa?
3. Apakah infrastruktur berpengaruh signifikan terhadap daya saing
industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa?
13
4. Apakah aglomerasi industri berpengaruh signifikan terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada perumusan masalah di atas, maka tujuan
dilaksanakannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengaruh Foreign Direct Investment (FDI)
terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi
di Pulau Jawa?
b. Untuk mengetahui pengaruh produktivitas tenaga kerja terhadap
daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau
Jawa?
c. Untuk mengetahui pengaruh infrastruktur terhadap daya saing
industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa?
d. Untuk mengetahui pengaruh aglomerasi industri terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau
Jawa?
2. Manfaat Penelitian
Berdasarkan atas penjabaran latar belakang masalah, maka
penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk :
a. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
bahan informasi dan input bagi pemerintah dalam hal
merumuskan kebijakan untuk mengatasi permasalahan
pembangunan daya saing industri manufaktur nonmigas.
b. Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
rujukan ilmiah dan sumbangan pemikiran di lingkungan
akademik terkait pembangunan daya saing industri manufaktur
nonmigas.
14
c. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khazanah keilmuan terutama terkait pembangunan daya saing
industri manufaktur nonmigas.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Pendukung
1. Transformasi Struktur Ekonomi
Hakikatnya, pembangunan merupakan sebuah proses dan usaha
dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Proses pembangunan negara turut mengalami sebuah perubahan, salah
satunya adalah perubahan struktur perekonomian. Karena selain
mengalami pertumbuhan, perekonomian juga mengalami suatu
perubahan-perubahan mendasar untuk menopang pertumbuhan
ekonomi yang lebih berkualitas dan berkelanjutan. Salah satu
perubahan tersebut dinamakan transformasi struktural ekonomi.
Transformasi struktural merupakan proses perubahan struktur terhadap
komposisi industri dalam perekonomian negara, dengan kata lain
transformasi struktural merupakan proses perubahan struktur ekonomi
negara sehingga kontribusi sektor industri manufaktur telah melampaui
sektor pertanian terhadap Pendapatan Domestik Nasional (PDB)
(Todaro dan Smith, 2011:140).
2. Konsep dan Definisi Industri Manufaktur Nonmigas
Hapsari (2015:19) memaknai istilah industri menjadi dua. Pertama,
industri dapat dimaknai sebagai himpunan perusahaan-perusahaan
yang sejenis. Kedua, industri juga dapat merujuk ke suatu sektor
ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah
barang mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi.
Kegiatan pengolahan itu sendiri, bersifat masinal, elektrikal, atau
bahkan manual (Dumairy dalam Agustineu, 2004:25).
Sedangkan merujuk pada Badan Pusat Statistik (2017:317) definisi
industri manufaktur merupakan kegiatan ekonomi dalam mengubah
suatu barang dasar menjadi barang setengah jadi atau barang jadi dan
mengubah barang yang kurang nilainya agar menjadi barang yang
lebih tinggi nilainya secara mekanis, kimia, atau dengan tangan serta
16
memiliki sifat produksinya lebih dekat kepada pemakai akhir. Dengan
demikian industri manufaktur nonmigas dapat dijelaskan sebagai suatu
kegiatan pengolahan industri barang atau jasa yang tidak termasuk
dalam pengolahan hasil minyak dan gas.
Pada seri tahun dasar 2000, industri manufaktur non migas
dibedakan atas dua bagian berdasarkan jumlah tenaga kerja yang
terlibat, yaitu : industri besar dan sedang/TBS (tenaga kerja ≥ 20
orang), serta industri kecil dan rumah tangga/IKKR (tenaga kerja 1-
19).
Industri dapat digolongkan berdasarkan beberapa sudut tinjauan
atau beberapa pendekatan. Di Indonesia industri dikelompokkan
berdasarkan komoditas, skala usaha atapun arus produknya.
Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) penggolongan yang biasa
digunakan dalam klasifikasi industri berdasar pada Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia (KLBI), KLBI adalah klasifiksi lapangan
yang berdasarkan pada international standard of industrial
classification (ISIC) yang telah direvisi. Adapun klasifikasi industri
manufaktur non migas berdasarkan ISIC tersebut adalah industri
makanan (10), industri minuman (11), industri pengolahan tembakau
(12), industri tekstil (13), industri pakaian jadi (14), industri kulit,
barang dari kulit dan alas kaki (15), industri kayu, barang dari kayu,
gabus dan hasil hutan lainnya (16), industri kertas dan barang dari
kertas (17), industri percetakan dan reproduksi media rekaman (18),
industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia (19), industri
farmasi, produk obat kimia dan obat tradisional (20), industri karet,
barang dari karet dan plastik (21), industri barang galian bukan logam
(22), industri logam dasar (23), industri barang logam bukan mesin dan
peralatannya (24), industri komputer, barang elektronik dan optik (25),
industri peralatan listrik (26), industri mesin dan perlengkapan (27),
industri kendaraan bermotor, trailer dan semi trailer (28), industri alat
17
angkut lain (29), industri furnitur (30), industri pengolahan lainnya
(31), industri jasa reparasi dan pemasangan mesin dan peralatan (32).
3. Konsep Daya Saing Industri
a. Definisi Daya Saing Industri
Menurut Tambunan dalam Uliyati (2015:6) daya saing
merupakan kemampuan suatu komoditi untuk memasuki pasar luar
negeri dan kemampuan untuk dapat bertahan di dalam pasar
tersebut, artinya adalah jika suatu produk mempunyai daya saing
maka produk tersebut yang banyak diminati konsumen. Pada dunia
yang semakin mengglobal, secara hakikat daya saing erat
hubungannya dengan biaya produksi sehingga yang memenangkan
kompetisi adalah negara yang mampu memasarkan produk dengan
harga paling rendah atau berkualitas baik (Uliyati, 2015:6).
Sedangkan World Economic Forum (2016) mendefinisikan daya
saing sebagai kumpulan faktor-faktor, kebijakan-kebijakan dan
lembaga-lembaga yang menentukan tingkat produktivitas negara
sehingga tingkat kesejahteraan dapat dicapai melalui ekonomi.
Daya saing juga berkaitan dengan seberapa besar sektor
industri di dalam negara yang sedang dalam proses pembangunan
industri untuk bisa berkompetisi baik di pasar global ataupun
domestik. Maka dari itu menurut United Nations Industrial
Development Organization(UNIDO), daya saing industri adalah
kapasitas setiap negara untuk meningkatkan keberadaanya di pasar
internasional ketika sedang berada dalam tahap pembangunan
industri dengan tingkat teknologi dan nilai tambah yang lebih
tinggi. Sedangkan menurut Zhang (2013:2) definisi daya saing
merupakan kemampuan negara untuk memproduksi dan ekspor
industri manufaktur secara kompetitif, hal tersebut mengisyaratkan
bahwa kemampuan dalam produksi tersebut bukan hanya
mencerminkan kemampuan kapasitas industrinya melainkan juga
mencerminkan kecanggihan teknologinya.
18
b. Pendekatan Daya Saing Industri
Pada dasarnya pendekatan dalam pengukuran suatu daya saing
dapat ditinjau berdasarkan dua indikator, yaitu keunggulan
komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif
(competitive advantage).
1) Keunggulan Komparatif (comparative advantage)
Pendekatan kenggulan komparatif merupakan salah
satu teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Dalam
teori ini, David Ricardo dalam Ramadhan (2009:14)
menyatakan bahwa perdagangan yang saling
menguntungkan antar kedua negara masih dapat
berlangsung sekalipun suatu negara mengalami
ketidakunggulan absolut untuk memproduksi dua komoditi
jika dibandingkan dengan negara lain.
Dengan demikian bedasakan hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa sebuah negara akan mendapatkan
keuntungan dari adanya perdagangan internasional dengan
negara lain secara efisien apabila negara tersebut dapat
melakukan spesialisasi perdagangan terhadap barang atau
jasa yang memiliki biaya peluang usaha atau opportunity
cost lebih rendah dibandingkan dengan negara lain
(Salvatore dalam Rosalina, 2013).
Cho dan Moon (2003) juga menjelaskan bahwa prinsip
dari keunggulan komparatif berawal dari adanya variasi
dari kualitas faktor produksi yang berbeda dalam
memproduksi komoditas yang berlainan, khususnya dari
adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja antar negara,
wilayah dan daerah yang berbeda.
2) Keunggulan Kompetitif (competitive advantage)
Dalam mencapai suatu daya saing, khususnya dalam
hal ini adalah daya saing industri tentu diharapkan tidak
19
hanya memiliki keunggulan secara komparatif tetapi juga
memiliki keunggulan secara kompetitif. keunggulan
kompetitif merupakan konsep yang pertama kali
dikembangkan oleh Michael E. Porter. Porter dalam
Isventina (2015:17) menjelaskan terkait adanya persaingan
global yang semakin ketat sehingga suatu negara harus
memiliki keunggulan kompetitif agar dapat bersaing baik
dalam pasar domestik ataupun internasional.
Oleh karena itu, Porter memaparkan bahwa terdapat
empat faktor utama dan dua faktor pendukung yang
membentuk suatu sistem secara bersamaan dalam
menentukan keunggulan bersaing pembangunan industri
yang disebut sebagai porter’s diamond, dimana empat
faktor utama tersebut adalah kondisi faktor (factor
condition), kondisi permintaan (demand condition), industri
terkait dan industri pendukung yang kompetitif (related and
supporting industry), serta kondisi struktur, persaingan dan
strategi industri (firm strategy, structure and
rivalry)(Herciu, 2013:274). Porter’s Competitiveness
Diamondtersebut dijelaskan secara lebih lanjut dalam
Ramadhan (2009:12) sebagai berikut :
a) Kondisi Faktor (factor condition)
Faktor-faktor dasar seperti sumber daya dalam
sebuah negara merupakan salah satu hal penting dalam
melakukan persaingan. Sumber daya tesebut tediri dari
lima kelompok, yaitu pertama Sumber Daya Manusia
(SDM) yang terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tesedia,
keterampilan yang dimiliki oleh tenaga kerja.
Bahkan Cho dan Moon (2003:113) memaparkan
lebih lanjut bahwa produktivitas tenaga kerja juga
merupakan faktor tepenting dalam menunjang daya saing
20
negara, khususnya dalam hal ini yaitu industri manufaktur,
karena produktivitas dapat menjadi penentu standar hidup
masyarakat dari sebuah negara, menjadi penentu upah para
pekerja dan penentu tingkat pengembalian modal dalam
proses produksi industri.
Kedua, sumber daya fisik atau alam yang terdiri dari
ketersediaan air, mineral, energi serta sumber daya
pertanian, perikanan, perkebunan dan kehutanan sebagai
bahan baku yang dibutuhkan dalam industri. Ketiga,
sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
dimana ini terdiri dari ketersediaannya pengetahuan pasar,
teknis, ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam
memproduksi barang dan jasa.
Keempat, sumber daya modal yang terdiri dari
jumlah biaya yang tersedia, jenis pembiayaan atau sumber
modal, aksesbilitas tehadap pembiayaan, kondisi lembaga
pembiayaan dan perbankan. Kelima, sumber daya
infrastruktur yang terdiri dari transportasi, komunikasi,
energi listrik, air besih dan lain-lain.
b) Kondisi Permintaan (demand condition)
Kondisi permintaan juga dapat mempengaruhi daya
saing suatu komoditi, di mana kondisi pemintaan tersebut
dapat berasal dari pasar domestik dan pasar internasional
karena semakin besar permintaan terhadap komoditas
tersebut, maka akan semakin besar produsen mencoba
untuk memenuhi kebutuhan konsumen tersebut.
Keunggulan yang kompetitif dalam industri sebuah
negara juga dapat dicapai apabila industri dapat melihat
pasar akan kebutuhan masyarakat yang jauh lebih maju, hal
ini tentu akan mendukung industri untuk berinovasi lebih
21
cepat dibandingkan dengan para pesaingnya (Cho dan
Moon, 2003).
c) Industri Pendukung dan Terkait (related and
supporting industry)
Dengan adanya industri pendukung terkait, dapat
menciptakan efisiensi dan sinergi. Industri pendukung
dalam penyediaan faktor produksi atau pasar faktor
produksi (market factor production) dan industri pendukung
dalam proses pasca produksi. Industri terkait dan industri
pendukung dapat mempengaruhi daya saing secara global
melalui pengadaan industri hulu yang menjamin pasokan
input bagi industri utama dengan harga yang lebih murah,
mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman
yang cepat dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhan
industri. Begitu juga dengan industri hilir yang mendukung
proses pasca produksi yang mendukung distribusi barang
dari industri utama ke konsumen. Oleh karena itu,
teciptanya industri pendukung yang baik, efisiensi dapat
tecapai terutama dengan berkurangnya biaya transaksi
maupun biaya transportasi.
d) Kondisi Struktur, Persaingan Dan Strategi Industri
(firm strategy, structure and rivalry)
Tingkat persaingan bagi industri akan mendukung
kompetisi dan inovasi. Dengan adanya persaingan, akan
memotivasi industri untuk selalu meningkatkan kualitas
produk yang dihasilkan dan selalu mencapai inovasi baru,
seperti mengembangkan produk, memperbaiki produk yang
ada, berupaya untuk menurunkan harga dan biaya,
mengembangkan teknologi baru, serta memperbaiki mutu
pelayanan. Pada akhirnya dengan didukung adanya
persaingan yang sehat, industri akan mencapai strategi baru
22
yang cocok dan berupaya untuk selalu meningkatkan
efisiensi.
c. Pengkuran Daya Saing Industri
Menurut Tripa, et al(2016), banyak metode yang dapat
digunakan untuk mengetahui sebuah daya saing, khususnya dalam
hal ini adalah daya saing sektor industri manufaktur di dalam suatu
wilayah. Namun, metode yang memiliki tingkat perhitungan dan
dapat menyimpulkan dengan akurasi lebih baik karena adanya
keseimbangan antara permintaan dan penawaran dalam komoditas
industri di wilayah, yaitu Revealed Competitiveness Index (Havrila
et al., 2003). Revealed Competitiveness Index (RC) sendiri
merupakan pengukuran daya saing yang pertama kali
diperkenalkan oleh Vollrath pada tahun 1991, di mana metode ini
mengukur daya saing berdasarkan kinerja ekspor yang sama
dengan index Balassa tahun 1965 dan impor dari suatu sektor
industri dalam wilayah yang di konversikan dalam bentuk
logaritma (Cavlin et al., 2014). Formula yang digunakan untuk
mencapai Revealed Competitiveness Index (RC) ini berdasarkan
formula yang dibangun oleh Karaalp et al (2012), yaitu:
RCij = ln(RXAij)-ln(RMAij), di mana:
RXAij = (Xij/Xit) / (Xnj/Xnt)
RMAij = (Mij/Mit) / (Mnj/Mnt)
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa:
RC = Revealed Competitiveness
RXA = Relative Export Advantage
RMA = Relative Import Advantage
Ln = Logaritma Natural
Xij = Ekspor Industri Nonmigas ProvinsiDi
Pulau Jawa
Xit = Total Ekspor Provinsi Di Pulau Jawa
23
Xnj = Ekspor Industri Non Migas Di Indonesia
Xnt = Total Ekspor Di Indonesia
Semakin tinggi nilai indeks yang dicapai maka akan
semakin memiliki competitive advantage atau daya saing yang
tinggi. Wilayah yang memiliki nilai indeks Revealed
Competitiveness (RC) positif merupakan wilayah yang berdaya
saing (competitive advantage), sedangkan wilayah yang memiliki
nilai indeks Revealed Competitiveness negatif merupakan wilayah
yang tidak berdaya saing (competitive disadvantage).
4. Investasi
Noor (2009:4) mendefinisikan investasi sebagai kegiatan
mengalokasikan atau menanamkan sumberdaya (resources) saat ini,
dengan harapan mendapatkan manfaat di masa yang akan datang.
Investasi dalam teori ekonomi merupakan pengeluaran-pengeluaran
untuk membeli barang-barang modal dan peralatan-peralatan produksi
dengan tujuan untuk menambah barang-barang modal dalam
perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan
jasa di masa depan (Sukirno, 2000:69). Sedangkan Samuelson
(2003:137) menjelaskan bahwa investasi sering kali mengarah pada
perubahan dalam keseluruhan permintaan dan mempengaruhi siklus
bisnis, selain itu investasi mengarah kepada akumulasi modal yang
bisa meningkatkan output potensial negara dan mengembangkan
pertumbuhan jangka panjang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa investasi merupakan
awal dari kegiatan pembangunan ekonomi. Investasi memiliki peranan
yang penting terhadap kapasitas produksi, karena investasi juga
merupakan penggerak perekonomian baik untuk penambahan faktor
produksi maupun peningkatan kualitas faktor produksi. Faktor
produksi akan mengalami penyusutan sehingga akan mengurangi
produktivitas dari faktor-faktor produksi tersebut. Agar tidak terjadi
24
penurunan produktivitas harus diimbangi dengan investasi baru yang
lebih besar dari penyusutan faktor produksi tersebut.
5. Foreign Direct Investment (FDI)
a. Pengertian ForeignDirect Investment (FDI)
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 sebagaimana yang
telah disempurnakan menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 1970,
Foreign Direct Investment (FDI) merupakan penanaman modal
asing secara langsung yang dilakukan berdasarkan ketentuan
undang-undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan
perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara
langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut.
Ulum (2014:30) dalam penelitiannya menjelaskan FDI (Foreign
Direct Investment) sebagai salah satu ciri penting dari sistem
ekonomi yang mengglobal karena terjadinya arus modal
internaional di mana perusahaan dari suatu negara mendirikan atau
memperluas perusahaanya di negara lain dalam jangka panjang.
Hal ini mengindikasikan bahwa adanya aliran modal asing
bukan hanya terjadi pemindahan sumberdaya tetapi juga terjadi
pemberlakukan kontrol terhadap perusahaan yang ada di negara
tujuan investasi (biasa disebut „host country‟) dengan cara investor
membeli perusahaan di luar negeri yang sudah atau menyediakan
modal untuk membangun perusahaan baru di sana atau membeli
sahamnya sekurangnya 10%.
Sedangkan Panayotou dalam Ulum (2014:31) menjelaskan
bahwa FDI lebih penting dalam menjamin kelangsungan
pembangunan dibandingkan dengan modal portofolio, sebab
terjadinya FDI di suatu negara akan diikuti dengan transfer of
technology, know-how, management skill, resiko usaha relatif kecil
dan lebih profitable. Ungkapan ini juga senada dengan Caves
dalam Zhang (2013:4) yang menyatakan bahwa FDI merupakan
salah satu paket aset yang dapat terlihat dan juga tidak terlihat
25
seperti modal, teknologi, skills, brand names, berorganisasi, praktik
manajerial, akses dalam pasar.
Dengan demikian peran FDI ini dapat memberikan banyak
manfaat ekonomi dan lainnya untuk negara yang menjadi pilihan
investasi, manfaat ini termasuk meningkatkan lapangan kerja,
peningkatan pendapatan, dampak menguntungkan untuk investasi
lokal, alih teknologi, membaiknya keterampilan tenaga kerja,
meningkatnya ekspor, meningkatkan kebersaingan internasional
dari perusahaan-perusahaan lokal dan meningkatnya persaingan
domestik.
b. Hubungan Forein Direct Investment (FDI) dengan Daya Saing
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Porter dalam tahapan baru
untuk pembangunan nasional yang lebih kompetitif mencantumkan
investment driven sebagai suatu tahap di mana kemampuan dan
ketersediaan untuk melakukan investasi merupakan keunggulan
utama dalam meningkatkan daya saing (Cho dan Moon, 2003:211).
Karena melalui adanya investasi faktor-faktor dasar yang ada
dalam setiap negara dapat melakukan perbaikan sehingga
ditingkatkan dari dasar menjadi lebih lanjut seperti penciptaan
infrastruktur yang modern dan dapat menunjang industri lebih baik.
Kemudian keberadaan FDI juga memiliki beragam keunggulan
yang dapat di manfaatkan untuk meningkatkan daya saing
khususnya sektor industri seperti memperkenalkan teknologi baru
berupa produk, proses serta praktik dalam menjalankan usaha
industri yang lebih invovasi. Oleh karena itu, seiring dengan
pengembangan teknologi yang lebih inovatif, maka perusahaan
yang menanamkan FDI ini juga akan memperkenalkan dan
mengembangkan keterampilan baru dalam teknologi tersebut
(Potterie dan Lichtenberg, 2013:490-497).
Suatu proses produksi dalam industri yang lebih inovatif dapat
menciptakan tingkat produktivitas yang tinggi baik industri padat
26
modal maupun industri padat karya, tingginya produktivitas ini
tentu akan berpeluang besar dalam meningkatkan kapasitas
produksi dalam industri sehingga mampu meghasilkan produk yang
berkualitas dengan harga kompetitif baik di pasar domestik maupun
internasional.
6. Produktivitas Tenaga Kerja
a. Pengertian Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivits merupakan salah satu faktor yang penting dalam
menunjang daya saing sebuah negara, khususnya daya saing dari
sisi industri. Seperti apa yang diungkapkan oleh Usman dalam
Sunny (2012:297) dalam penelitiannya bahwa banyak sekali faktor
yang diperlukan untuk dapat meningkatkan daya saing di tingkat
industri, faktor tersebut diantaranya adalah produktivitas dan
kualitas. Salah satu produktivitas yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah produktivitas tenaga kerja. Produktivitas tenaga kerja
merupakan perbandingan antara output yang dihasilkan dalam
suatu industri dengan input tenaga kerja yang digunakan (Martin et
al., 2007:61). Sedangkan, Cho dan Moon mendefinisikan
produktivitas tenaga kerja sebagai nilai output yang diproduksi
oleh suatu unit tenaga kerja atau modal dan menjadi penentu
standar kehidupan tinggi suatu negara dalam jangka panjang.
Standar kehidupan tinggi ini memiliki makna bahwa penentu
kualitas dari sebuah industri dalam suatu negara bukan tergantung
dari seberapa banyak input baik modal atau tenaga kerja yang
digunakan tetapi tergantung dari kapasitas industri untuk mencapai
tingkat produktivitas yang tinggi dan dapat meningkatkannya
secara berkelanjutan.
b. Hubungan Produktivitas Tenaga Kerja dan Daya Saing
Produktivitas tenaga kerja merupakan salah satu faktor kunci
dalam segala aktivitas ekonomi. Karena menggerakkan roda
perekonomian dalam negara atau wilayah tentu tidak luput dari
27
faktor sumber daya di dalamnya, yaitu tenaga kerja. Tenaga kerja
merupakan salah satu input dalam proses produksi yang
mempengaruhi terciptanya proses output dalam suatu industri.
Oleh karena itu, tenaga kerja yang produktif dalam suatu industri
akan memiliki kemampuan untuk meningkatkan kapasitas produksi
yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing sektor industri
tersebut (Isventina, 2015:44).
Di sisi lain, Ramadhan (2009:49) juga menjelaskan bahwa
pentingnya produktivitas tenaga kerja dalam proses produksi
karena juga dapat meningkatkan output bukan hanya dari segi
kuantitas tetapi juga dari segi kualitas produksi tersebut. Dengan
demikian, jika kapasitas dan kualitas dalam suatu proses produksi
tinggi maka akan berdampak terhadap harga yang kompetitif di
pasar baik domestik ataupun internasional sehingga akan
menciptakan daya saing suatu industri. Hal ini juga senada dengan
Rosalina (2013:46) yang menyatakan bahwa meningkatnya
produktivitas tenaga kerja mencerminkan tingkat output yang
dihasilkan untuk setiap input yang digunakan meningkat sehingga
akan menentukan keunggulan (daya saing) suatu industri pada
tingkat global, regional maupun dalam negeri.
7. Infrastruktur
a. Pengertian Infrastruktur
Secara umum infrastruktur merupakan salah satu penunjang
dalam menjalankan pembangunan ekonomi yang berupa sarana
dan prasarana. Hal ini juga ditegaskan oleh Familoni (2004:16)
yang menyatakan infrastruktur sebagai basic essential service
dalam proses pembangunan. Mengacu pada pernyataan tersebut
infrastruktur menjadi suatu sarana dan prasarana yang
memudahkan mobilitas dan kegiatan pembangunan ekonomi dalam
suatu negara atau wilayah. Sedangkan Grigg dalam Kodoatie,
(2003:8) menjelaskan infrastruktur sebagai suatu sistem fisik yang
28
menyediakan transportasi, air, listrik dan fasilitas publik lain yang
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia secara
ekonomi maupun sosial.
Di sisi lain, Canning dan Pedroni (2004:11) menyatakan
bahwa salah satu sifat dari infrastruktur adalah menyebarkan
eksternalitas positif. Dengan demikian, adanya infrasruktur
merupakan salah satu faktor dasar utama yang harus tersedia dalam
menjalankan berbagai kegiatan termasuk kegiatan ekonomi yang
memiliki dampak positif berupa efek limpahan (spillover effect)
seperti meningkatkan produktivitas dalam proses produksi
sehingga kapasitas produksinya juga ikut meningkat tanpa hrus
meningkatkan input modal dan tenaga kerja.
b. Penggolongan Infrastruktur
Grigg dalam Kodoatie (2003:101) membagi infrastruktur ke
dalam 13 katagori, diantaranya yaitu:
1) Sistem penyediaan air seperti waduk, penampungan air,
transmisi dan distribusi, fasilitas pengelolaan air (treatment
plant).
2) Sistem pengelolaan air limbah seperti pengumpulan,
pengolahan, pembuangan ulang.
3) Fasilitas pengelolaan limbah padat.
4) Fasilitas pengendali banjir, berupa drainase dan irigasi.
5) Fasilitas lintas air dan navigasi.
6) Fasilitas transportasi seperti jalan, rel, bandar udara.
Termasuk di dalamnya adalah tanda-tanda lalu lintas,
fasilitas pengontrol.
7) Sistem transit publik.
8) Sistem kelistrikan produksi dan distribusi.
9) Fasilitas gas alam.
10) Gedung publik seperti sekolah, rumah sakit.
11) Fasilitas perumahan publik.
29
12) Taman kota sebagai daerah resapan, tempat bermain
termasuk stadion.
13) Komunikasi
Sedangkan penggolongan infrastruktur menurut World Bank
dalam Ulum (2014:36) dibagi menjadi tiga, yaitu:
1) Infrastruktur ekonomi, yaitu infrastruktur fisik yang
diperlukan untuk menunjang aktivitas ekonomi meliputi
publicutilities (tenaga, telekomunikasi, air, sanitasi dan
gas), public work ( jalan, bendungan, kanal, irigasi dan
drainase) dan sektor transportasi (jalan, rel, pelabuhan,
lapangan terbang dan sebagainya).
2) Infrastruktur sosial yang meliputi pendidikan, kesehatan,
perumahan dan rekreasi.
3) Infrastruktur administrasi yang meliputi penegakan hukum,
kontrol administrasi dan koordinasi.
Kemudian, pembagian jenis infrastruktur juga dijelaskan
melalui Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 Tentang Komite
Percepatan Penyediaan Infrastruktur yang menyatakan bahwa ada
beberapa jenis infrastruktur yang penyediannya diatur pemerintah,
yaitu: infrastruktur transportasi, infrastruktur jalan, infrastruktur
pengairan, infrastruktur air minum dan sanitasi, infrastruktur
telematika, infrastruktur ketenagalistrikan dan infrastruktur
pengangkutan gas dan minyak bumi.
c. Hubungan Infrastruktur dan Daya Saing
Porter dalam Herciu (2013:274) telah memaparkan bahwa
salah satu faktor yang dapat menentukan keunggulan kompetitif
(competitive advantage) adalah kondisi faktor (factor condition)
sebagai faktor-faktor dasar yang harus terpenuhi dalam suatu
pembangunan, salah satu contoh kondisi faktor yang dimaksud ini
adalah keberadaan infrastruktur dalam suatu negara atau wilayah.
Melalui infrastruktur, proses produksi dapat menjadi lebih efisien
30
karena akan menghasilkan biaya input dan transaksi dalam
produksi industri yang rendah (Palei, 2015:173).
Hal ini juga senada dengan penjelasan Prasetyo (2010:24) yang
menyatakan bahwa peningkatan fasilitas infrastruktur dapat
mendorong perkembangan teknologi sehingga dapat mencapai
tingkat efisiensi dalam kegiatan produksi. Tingkat efisiensi dalam
suatu proses produksi mencerminkan suatu keuntungan karena
industri dapat menghasilkan output lebih besar karena terciptanya
produktivitas yang tinggi dengan biaya yang seminimal mungkin.
Keadaan produksi dalam industri yang seperti itu tentu akan
berdampak terhadap kuantitas dan kualitas produk yang unggul
dengan harga kompetitif di pasar baik internasional ataupun
domestik dalam suatu negara atau wilayah.
8. Aglomerasi Industri
a. Pengertian Aglomerasi
Aglomerasi merupakan istilah yang pertama kali diperkenalkan
oleh Weber dan disempurnakan oleh Alfred Marshall (1920),
istilah aglomerasi ini membahas tentang penghematan aglomerasi
(agglomeration economies) atau disebut sebagai industri yang
terlokalisir (localized industries) (Yulinda,2016:7). Pernyataan ini
juga senada dengan Hilmawan (2013:5) yang menyatakan bahwa
aglomerasi merupakan suatu fenomena terkonsentrasinya industri
sejenis atau industri yang berhubungan pada lokasi yang sama
untuk memperoleh penghematan industri. Berdasarkan hal tersebut,
Kuncoro dalam Hilmawan (2013:5) menyampaikan kondisi yang
relevan dengan fenomena aglomerasi ini, yaitu kawasan perkotaan
yang di dalamnya menawarkan suatu penghematan biaya akibat
adanya kemudahan aksesbilitas dan keberadaan infrastruktur kota
membuat para investor tertarik untuk menanamkan modalnya pada
daerah yang memiliki penghematan biaya tersebut (localization
economies).
31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aglomerasi
merupakan suatu aktivitas ekonomi yang terkonsentrasi di wilayah
secara spasial karena adanya penghematan secara ekonomi akibat
lokasi yang saling berdekatan.
b. Hubungan Aglomerasi dan Daya Saing
Berbicara tentang bagaimana suatu industri dapat memiliki
daya saing yang unggul tentu dilihat dari berbagai faktor selain
faktor yang telah dijelaskan sebelumnya. Salah satu faktor
dominan lainnya adalah adanya aglomerasi industri. Pendekatan ini
telah dijelaskan oleh Michael Porter dalam Porter’s Diamond
Model yang mengemukakan bahwa keunggulan kompetitif suatu
perusahaan atau industri dipengaruhi adanya industri pendukung
dan terkait (supported and related industry) atau dalam hal ini
dikenal dengan aglomerasi industri. Hal ini juga didukung dalam
prinsip New Economic Geography yang dijelaskan oleh Krugman
dalam Klyenhans dan Drewes (2008:2) yang menyatakan bahwa
terjadinya aglomerasi akan berdampak terhadap penghematan dari
kegiatan industri itu sendiri, diantaranya adalah pertama,
kelimpahan informasi, pengetahuan dan teknologi, jika banyak
industri sejenis yang beraglomerasi pada lokasi yang sama maka
para pekerja dalam industri tertentu secara relatif mudah
berhubungan dengan pekerja-pekerja dari perusahaan lokal
lain.Dengan demikian, pertukaran informasi, pengetahuan dan
teknologi antar para pekerja diberbagai industri akan berlangsung
setiap hari.
Kedua, input lokal yang tidak diperdagangkan, situasi ini
menggambarkan di mana industri yang sejenis mengelompok di
suatu tempat maka ada beberapa input tertentu yang menjadi lebih
efisien jika digunakan secara bersama-sama oleh pekerja di industri
tersebut dibandingkan jika input tersebut dibeli secara individu
oleh industri terkait. Ketiga, ketersediaan tenaga kerja terampil
32
lokal, tersedianya tenaga kerja yang terampil di wilayah tersebut
akan menyebabkan turunnya biaya tenaga kerja dalam industri
yang berlokasi di wilayah tersebut.
Jika suatu industri berlokasi di wilayah yang sudah memiliki
kelompok pekerja lokal dengan keterampilan khusus yang
diperlukan oleh industri tertentu, maka biaya yang akan
dikeluarkan oleh industri tersebut untuk meningkatkan kemampuan
tenaga kerja seperti pelatihan ulang, biaya mencari dan informasi
secara relative akan rendah.
c. Pengukuran Aglomerasi Industri
Metode yang cukup sederhana untuk mengukur tingkat
konsentrasi atau aglomerasi suatu industri dalam suatu wilayah
dapat dilihat berdasarkan Location Quotient (LQ). Metode LQ
merupakan salah satu pendekatan umum yang banyak digunakan
dalam menganalisis suatu basis perekonomian dalam wilayah,
khususnya mengidentifikasi sektor unggulan yang akan menjadi
sektor utama (leading sektor) dalam kegiatan ekonomi pada
wilayah tersebut.
Adapun pengukuran LQ ini didasarkan pada tingkat
konsentrasi atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui
pendekatan perbandingan baik dalam aspek tenaga kerja ataupun
pendapatan (Yulinda, 206:12). Metode LQ yang digunakan dalam
penelitian ini berfokus pada tingkat konsentrasi dalam aspek tenaga
kerja yang nantinya digunakan untuk mengidentifikasi seberapa
jauh tingkat konsentrasi atau aglomerasi industri manufaktur
nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa. LQ dalam aspek tenaga
kerja dilihat berdasarkan rasio dari peranan tenaga kerja sektor
lokal tertentu terhadap tenaga kerja sektor yang sama di tingkat
yang lebih luas (Kuncoro dalam Yulinda, 2016:12).
Jika dalam perbandingannya tingkat konsentrasi industri pada
suatu wilayah lokal lebih besar dibandingkan tingkat konsentrasi
33
industri yang sama pada cakupan wilayah yang lebih luas, maka
spesialisasi industri pada wilayah tersebut dapat terjadi yang
artinya wilayah tersebut membentuk suatu aglomerasi industri.
Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur tingkat aglomerasi
ini melalui metode LQ mengacu pada penjabaran yang
disampaikan oleh Yulinda (2016:12), yaitu sebagai berikut:
LQir =
Di mana:
LQir = Location Quotient (LQ)
Eit = Tenaga kerja sektor industri (i) pada
provinsi t
Et = Total tenaga kerja pada provinsi t
Eij = Tenaga kerja sektor industri (i) di
Indonesia
Ej = Total tenaga kerja di Indonesia
Jika nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1), maka dapat
dikatakan bahwa industri (i) terkonsentrasi pada provinsi t yang
artinya provinsi t terdapat aglomerasi industri. Begitu juga
sebaliknya, jika nilai LQ kurang dari satu (LQ < 1), maka dapat
dikatakan bahwa industri (i) tidak terkonsentrasi pada provinsi t
yang artinya provinsi t tidak teraglomerasi. Penjelasan ini sejalan
dengan penelitian Prasetyo (2010:110) yang menyatakan bahwa
aglomerasi industri dapat teridentifikasi jika nilai LQ yang
dihasilkan lebih dari satu (LQ > 1) dan sebaliknya.
B. Penelitian Sebelumnya
Simona Tripa, et allmelakukan analisis daya saing suatu industri
dalam penelitiannya yang berjudul “Revealed Comparative Advantage and
Competitiveness in Romanian Textile and Clothing Industry” pada tahun
2016. Berdasarkan analisis dari hasil kesimpulan beberapa literatur dan
perhitungan matematika dan index statistik seperti Balassa Index
34
(Revealed Comparative Advantage), Vollrath Index (Revealed
Competitive) dan Lafay Index (LFI). Ketiga metode tersebut membuahkan
dua hasil penelitian dalam analisis daya saing industri (1) berdasarkan
Balassa Index (Revealed Comparative Advantage) industri tekstil di
Romania memiliki daya saing industri tekstil hingga tahun 2004.
Sedangkan Romania tidak memiliki daya saing pada industri tekstil jika
dihitung dengan Vollrath Index dan Lafay Index. (2) Romania memiliki
daya saing pada industri pakaian dalam hasil penghitungan menggunakan
Vollrath Index dan Lafay Index, sedangkan industri pakaian di Romania
tidak memiliki daya jika dihitung melalui Balassa Index (Revealed
Comparative Advantage).
Dalam penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Mihaela Herciu pada
tahun 2013 yang berjudul “Measuring International Competitiveness of
Romania by using Porter‟s Diamond and Revealed Comparative
Advantage”, telah membuktikan secara empiris identifikasi daya saing
internasional Romania melalui model Porter dan Balassa Index. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Romania tidak memiliki daya saing
industri yang kuat secara keunggulan kompetitif, tetapi di sisi lain masih
memiliki keunggulan komparatif dalam beberapa industri tertentu.
Penelitian selanjutnya juga dilakukan oleh Miroslav Cavlin, et all.,
pada tahun 2014 yang berjudul “ Measurement of Comparative Advantage
of Processed Food Sector of Serbia in The Increasing The Export”.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis keunggulan komparatif (daya
saing) dari ekspor olahan sektor makanan di Serbia. Metode penelitian
yang digunakan adalah RXA (Relative Export Advantage), RTA (Relative
Trade Advantage), RC (Revealed Competitive), RCA (Revealed
Comparative Advantage), LFI (Lafay Index), GL (Grubel Lloyd Index),
dan Modified Index of Comparative Advantage. Secara keseluruhan hasil
penelitian ini menyatakan bahwa industri olahan sektor makanan memiliki
masing-masing nilai indeks yang positif, artinya bahwa industri olahan
sektor makanan di Serbia memiliki daya saing (keunggulan komparatif).
35
Di sisi lain, Kevin Honglin Zhang melakukan penelitian yang berjudul
“How Does Foreign Direct Investment Affect Industrial Competitiveness?
Evidence from China” pada tahun 2013. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis peran Foreign Direct Investment (FDI) terhadap daya saing
21 sektor industri manufaktur 31 Provinsi di China. Metode penelitian
yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu regresi data panel. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa Foreign Direct Investment (FDI)
memiliki dampak positif terhadap daya saing industri manufaktur di
China.
Pada kesempatan yang berbeda, El-Namaki juga melakukan penelitian
yang berjudul “An Analysis of China‟s Competitiveness Between 1995
and 1999” pada tahun 2002. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
hubungan antara peringkat daya saing dengan produktivitas, utang luar
negeri, tingkat keterbukaan ekonomi, Foreign Direct Investment (FDI),
dan GDP (Gross Domestic Product) di Negara China. Secara keseluruhan
penelitian ini menunjukkan bahwa meningkatnya produktivitas, utang luar
negeri, FDI dan GDP berdampak positif terhadap peningkatan daya saing
di China, sedangkan semakin meningkatnya derajat keterbukaan ekonomi
di China berdampak negatif terhadap daya saing China artinya tidak
menunjukkan peningkatan terhadap peringkat daya saing.
Penelitian selanjutnya berjudul “Labour Productivity as A Factor of
Competitiveness: A Comparative Study” yang ditulis oleh Martin Uzik
dan Renata Vokorokosova pada tahun 2007. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis komparatif produktivitas tenaga antara Slovakia sebagai
negara anggota baru dengan jerman dan 12 negara anggota lama di. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa meningkatnya produktivitas tenaga
kerja berpengaruh terhadap peningkatan pertumbuhan yang signifikan di
beberapa sektor ekonomi di Slovakia dan cepatnya pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja ini tidak mengancam daya saing di negara lain.
Kemudian, Astra Auzina dan Emsina juga melakukan penelitian yang
berjudul “Labour Productivity, Economic Growth and Global
36
Competitiveness in Post-Crisis Period” pada tahun 2014. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis secara komparatif pengaruh perubahan
produktivitas tenaga kerja dan dampaknya terhadap daya saing
internasional di negara Latvia, Lithuania dan Estonia. Penelitian ini
menyatakan sebuah hasil, yaitu meningkatnya produktivitas tenaga kerja
mendorong perekonomian menjadi lebih baik dan pada akhirnya
berdampak terhadap meningkatnya daya saing global.
Penelitian berjudul “Assessing The Impact of Infrastructure on
Economic Growth and Global Competitiveness” yang di tulis oleh Tatyana
Palei pada tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk analisis tingkat
pengaruh infrastruktur terhadap daya saing nasional. metode yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu analisis regresi berganda. Hasil dari
penelitian ini menjelaskan bahwa variabel infrastruktur berpengaruh secara
positif terhadap daya saing nasional.
Penelitian lain berjudul “Economic Performance and Public
Infrastructure: An Application to Greek Manufacturing” yang di tulis oleh
Emmanuel Constantine Mamatzakis pada tahun 2008. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaruh infrastruktur publik terhadap
kinerja perekonomian khususnya pertumbuhan produktivitas. Industri
manufaktur di Greek. Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu
fungsi matematika. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infratsruktur
publik memiliki pengaruh dan dampak positif terhadap pertumbuhan
produktivitas sehingga infrastruktur publik dapat meningkatkan
pertumbuhan produktivitas serta menghemat biaya input hampir di seluruh
industri manufaktur Greek.
Penelitian selanjutnya berjudul “The Influence of Location on the
Efficiency of Manufacturers in South Africa” yang di tulis oleh Ewert
Kleyhans dan Ernst Drewes pada tahun 2008. Penelitian ini bertujuan
untuk menganalisis pengaruh adanya lokasi terhadap efisiensi industri
manufaktur di Afrika Selatan. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan
bahwa faktor-faktor tradisional kemudian diikuti oleh faktor modern
37
merupakan salah satu faktor penting untuk mengambil keputusan dalam
mempertimbangkan lokasi industri, hal tersebut juga berdampak positif
dalam meningkatkan daya saing industri manufaktur di Afrika Selatan
karena terciptanya efisiensi industri.
Penelitian berjudul “Study on China‟s Electronic Information
Industrial Agglomeration and Regional Industrial Competitiveness” yang
di tulis oleh Xuan Zhaohui, Yongbo dan Wu Aizhi pada tahun 2013
memiliki tujuan untuk menganalisis korelasi antara aglomerasi industri
dan daya saing industri elektronik informasi di seluruh provinsi negara
China. Adapun penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa
antara aglomerasi industri dan daya saing industri elektronik informasi di
China memiliki korelasi positif yang signifikan.
Penelitian lain dalam bentuk tesis yang berjudul “Analisis Daya Saing
Sektor Industri Prioritas Indonesia dalam Menghadapi Pasar ASEAN” di
tulis oleh Isventina pada tahun 2015. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis tingkat daya saing industri prioritas Indonesia dan faktor-
faktor yang mempengaruhi daya saing tersebut. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini, yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA) dan
regresi data panel. Penelitian ini merujuk kepada dua hasil penelitian,
diantaranya (1) sektor industri prioritas Indonesia memiliki daya saing
dengan nilai indeks RCA>1 di ASEAN, kecuali industri kimia, mesin dan
furnitur. (2) berdasarkan regresi data panel, harga ekspor, produktivitas
tenaga kerja dan nilai tukar rill berpengaruh signifikan terhadap daya saing
industri prioritas Indonesia, sedangkan variabel modal tetap tidak
berpengaruh signifikan terhadap daya saing industri prioritas Indonesia.
38
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Sebelumnya
No Nama Peneliti Judul Penelitian Tahun Variabel Hasil Penelitian
1. Simona Tripa Revealed Comparative
Advantage And Competitiveness
In Romanian Textile And
Clothing Industry
2016 Daya Saing Industri Ketiga metode tersebut membuahkan
dua hasil penelitian dalam analisis daya
saing industri, yaitu:
1. Berdasarkan Balassa Index (Revealed
Comparative Advantage) industri tekstil
di Romania memiliki nilai indeks yang
mengindikasikan bahwa Romania
memiliki daya saing industri tekstil
hingga tahun 2004.
2. Romania memiliki daya saing pada
industri pakaian dalam hasil
penghitungan menggunakan Vollrath
Index dan Lafay Index, sedangkan
industri pakaian di Romania tidak
memiliki daya jika dihitung melalui
Balassa Index (Revealed Comparative
Advantage).
39
2 Mihaela Herciu Measuring International
Competitiveness Of Romania By
Using Porter‟s Diamond And
Revealed Comparative
Advantage
2013 Daya Saing Industri Romania tidak memiliki daya saing
industri yang kuat secara keunggulan
kompetitif, tetapi di sisi lain masih
memiliki keunggulan komparatif dalam
beberapa industri tertentu.
3 Miroslav Cavlin,
et al.
Measurement Of Comparative
Advantage Of Processed Food
Sector Of Serbia In The
Increasing The Export
2014 Daya Saing Industri Industri olahan sektor makanan
memiliki masing-masing nilai indeks
yang positif, artinya bahwa industri
olahan sektor makanan di Serbia
memiliki daya saing (keunggulan
komparatif).
4 Kevin Honglin
Zhang
How Does Foreign Direct
Investment Affect Industrial
Competitiveness? Evidence From
China
2013 Foreign Direct
Investment Dan
Daya Saing Industri
Foreign Direct Investment (FDI)
memiliki dampak positif terhadap daya
saing industri manufaktur di China.
5 El-Namaki An Analysis Of China‟s
Competitiveness Between 1995
And 1999
2002 Produktivitas, Utang
Luar Negeri, Tingkat
Keterbukaan
Ekonomi, Fdi Dan
Gdp
Meningkatnya produktivitas, utang luar
negeri, FDI dan GDP berdampak positif
terhadap peningkatan daya saing di
China, sedangkan semakin
meningkatnya derajat keterbukaan
ekonomi di China berdampak negatif
40
terhadap daya saing China artinya tidak
menunjukkan peningkatan terhadap
peringkat daya saing.
6 Martin Uzik dan
Renata
Vokorokosova
Labour Productivity As A Factor
Of Competitiveness: A
Comparative Study
2007 Produktivitas Tenaga
Kerja Dan Daya
Saing
Meningkatnya produktivitas tenaga
kerja berdampak positif terhadap
peningkatan pertumbuhan yang
signifikan di beberapa sektor ekonomi
di Slovakia dan cepatnya pertumbuhan
produktivitas tenaga kerja ini tidak
mengancam daya saing di negara lain.
7 Astra Auzina
dan Emsina
Labour Productivity, Economic
Growth And Global
Competitiveness In Post-Crisis
Period
2014 Produktivitas Tenaga
Kerja, Pertumbuhan
Ekonomi, Daya
Saing
Meningkatnya produktivitas tenaga
kerja mendorong perekonomian
menjadi lebih baik dan pada akhirnya
berdampak terhadap meningkatnya daya
saing global.
8 Tatyana Palei Assessing The Impact Of
Infrastructure On Economic
Growth And Global
Competitiveness
2015 Infrastruktur Dan
Daya Saing
Variabel infrastruktur berpengaruh
secara positif terhadap daya saing
nasional.
9 Emmanuel
Constantine
Economic Performance And
Public Infrastructure: An
2008 Infrastruktur Publik
Dan Kinerja
Infratsruktur publik memiliki pengaruh
dan dampak positif terhadap
41
Mamatzakis Application To Greek
Manufacturing
Ekonomi pertumbuhan produktivitas sehingga
infrastruktur publik dapat meningkatkan
pertumbuhan produktivitas serta
menghemat biaya input hampir di
seluruh industri manufaktur Greek.
10 Ewert Kleyhans
dan Ernst
Drewes
The Influence Of Location On
The Efficiency Of Manufacturers
In South Africa
2008 Aglomerasi Industri,
Efisiensi Dan Daya
Saing
Faktor-faktor tradisional kemudian
diikuti oleh faktor modern merupakan
salah satu faktor penting untuk
mengambil keputusan dalam
mempertimbangkan lokasi industri, hal
tersebut juga berdampak positif dalam
meningkatkan daya saing industri
manufaktur di Afrika Selatan.
11 Xuan Zhaohui,
Yongbo dan Wu
Aizhi
Study On China‟s Electronic
Information Industrial
Agglomeration And Regional
Industrial Competitiveness
2013 Aglomerasi Industri
Dan Daya Saing
Aglomerasi industri dan daya saing
industri elektronik informasi di China
memiliki korelasi positif yang
signifikan.
12 Isventina Analisis Daya Saing Sektor
Industri Prioritas Indonesia
Dalam Menghadapi Pasar
ASEAN
2015 Harga Ekspor,
Produktivitas Tenaga
Kerja, Nilai Tukar
Rill Dan Daya Saing
(1) sektor industri prioritas Indonesia
memiliki daya saing dengan nilai indeks
RCA>1 di ASEAN, kecuali industri
kimia, mesin dan furnitur.
42
(2) berdasarkan regresi data panel,
harga ekspor, produktivitas tenaga kerja
dan nilai tukar rill berpengaruh
signifikan terhadap daya saing industri
prioritas Indonesia, sedangkan variabel
modal tetap tidak berpengaruh
signifikan terhadap daya saing industri
prioritas Indonesia.
43
C. Kerangka Berfikir
Berdasarkan kajian teori dan penelitian terdahulu yang telah diuraikan maka dapat
dibuat skema alur kerja penelitian yang ditunjukkan bagan berikut.
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan suatu jawaban atau dugaan sementara terhadap masalah
penelitian yang kemudian kebenarannya harus diuji secara empiris. Dalam penelitian ini,
berdasarkan latar belakakang masalah, teori dan kerangka pemikiran yang dikemukakan,
maka dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
1. H0: Diduga tidak terdapat pengaruh signifikan Foreign Direct Investment
(FDI) terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di
Pulau Jawa.
44
H1: Diduga terdapat pengaruh signifikan Foreign Direct Investment (FDI)
terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau
Jawa.
2. H0: Diduga tidak terdapat pengaruh signifikan produktivitas tenaga kerja
terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau
Jawa.
H1: Diduga terdapat pengaruh signifikan produktivitas tenaga kerja terhadap
daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
3. H0: Diduga tidak terdapat pengaruh signifikan infrastruktur terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
H1: Diduga terdapat pengaruh signifikan infrastruktur terhadap daya saing
industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
4. H0: Diduga tidak terdapat pengaruh signifikan aglomerasi industri terhadap
daya saing industri manufaktur nonmigas antar provinsi di Pulau Jawa.
H1: Diduga terdapat pengaruh signifikan aglomerasi industri terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
45
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada industri manufaktur nonmigas pada
enam provinsi di Pulau Jawa, yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, dan Jawa Timur dengan menggunakan katagori industri manufaktur
nonmigas berdasarkan ISIC (international standard of industrial classification). Periode
yang digunakan dalam penelitian ini selama periode 2002-2016. Penelitian ini
menggunakan analisis regresi data panel dengan jumlah lima variabel, yaitu satu
variabel dependen dan empat variabel independen. Variabel dependen yang digunakan,
yaitu Daya Saing Industri Manufaktur nonmigas. Sedangkan variabel independen yang
digunakan, yaitu Foreign Direct Investment (FDI), Produktivitas Tenaga Kerja,
Infrastruktur dan Aglomerasi Industri.
B. Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Data sekunder
yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu dikumpulkan berdasarkan laporan realisasi
Foreign Direct Investment (FDI) sektor industri manufaktur nonmigas, produktivitas
tenaga kerja industri manufaktur nonmigas, infrastruktur panjang jalan total pada
provinsi di Pulau Jawa, jumlah tenaga kerja industri manufaktur nonmigas, volume
ekspor dan impor industri manufaktur nonmigas enam provinsi di Pulau Jawa dalam
periode 2002-2016. Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dari data yang tersedia dalam lembaga-lembaga baik pemerintah terkait seperti
Kementerian Perdagangan RI, Badan Pusat Statistik, Badan Pusat Statistik masing-
masing provinsi, Kementerian Industri RI, Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM).
C. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data merupakan satu hal yang penting dan harus dilakukan dalam
melaksanakan penelitian agar memperoleh hasil yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Data yang telah diperoleh dari lembaga-lembaga baik pemerintah ataupun independen
terkait juga melalui suatu proses yang dikenal dengan metode pengumpulan data.
Adapun metode pengumpulan data yang dimaksud, yaitu diawali dengan mencari
informasi mendalam melalui studi literatur, kemudian mencarinya di website online
lembaga pemerintah terkait, setelah itu mengambil data secara langsung ke lembaga
46
terkait apabila data yang tersedia kurang lengkap atau bahkan tidak ada di dalam
website online lembaga terkait.
D. Metode Analisis Data
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif
kuantitatif, yaitu pendekatan analisis yang diukur berdasarkan satuan angka dalam
penelitian sehingga dari data angka yang diperoleh dapat diolah dan berharap
memberikan kesimpulan yang tepat sesuai tujuan.
2. Analisis Data Panel
Penelitian ini menggunakan regresi data panel karena data yang dikumpulkan
berdasarkan waktu ke waktu pada beberapa entitas (cross section). Uji regresi ini
digunakan untuk mengetahui analisis pengaruh variabel independen (bebas) yang
terdiri dari Foreign Direct Investment (FDI), produktivitas tenaga kerja, infrastruktur
dan aglomerasi industri terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas dengan
studi kasus pada provinsi di Pulau Jawa.
Brooks (2008:488-489) menjelaskan bahwa ada kelebihan yang akan diperoleh
ketika menggunakan data panel dibandingkan data time series ataupun cross section
saja, kelebihan tersebut diantaranya adalah pertama, permasalahan yang lebih luas
dan kompleks dapat dijangkau oleh penggunaan data panel dibandingkan dengan data
time series ataupun cross section saja. Kedua, data panel dapat menjangkau dan
mendeteksi terhadap perubahan dinamis dari waktu ke waktu variabel-variabel dan
hubungan antar variabelnya. Ketiga, hasil regresi dapat dipercaya dan tidak bias jika
dalam penggunaan metode panel ini menghasilkan model analisis yang tepat. Hsio
dalamSetiawati dan Setiawan (2013:1) menyatakan bahwa model regresi secara
umum dapat dinyatakan dalam bentuk berikut:
Yit=αit+β‟Xit+μit ; i = 1,2,..., N; t = 1,2,...,T (1)
Di mana:
Yit : Unit cross-section ke-i untuk periode waktu ke-t
β : Vektor konstanta
X : Vektor observasi pada variabel independen
αit : intersep objek ke-i, waktu ke-t
μit : error regresi untuk entitas ke-i, waktu ke-t
47
3. Estimasi Model Data Panel
a. Common Effect Model
Menurut Ariefianto (2012:149), penggunaan model common effect
merupakan asumsi dasar yang digunakan ketika komponen data tidak bersifat
spesifik baik pada cross section ataupun urut waktu sehingga dapat langsung
menggunakan regresi Ordinary Least Square (OLS). Berdasarkan hal tersebut,
maka Setiawati dan Setiawan (2013:2) memaparkan persamaan regresi yang
terbentuk dari asumsi ini sebagai berikut:
Yit=α + β‟Xit + μit ; i = 1,2,...,T (2)
Di mana:
i = Unit Cross Section
t = Periode Waktu
Gujarati dan Porter (2009:594) menyatakan bahwa kekurangan dari
penggunaan common effect model adalah variasi dari setiap unit cross section
tidak dapat dibedakan, yang artinya setiap koefisien estimasi yang dihasilkan
diasumsikan sama untuk setiap unit cross sectionnya. Di samping itu, terdapat
kemungkinan adanya korelasi atau hubungan antar komponen error dengan
variabel-variabel penelitian dalam model. jika hal tersebut terjadi, maka
koefisien perkiraan menjadi bias dan tidak konsisten.
b. Fixed Effect Model
Salah satu keunggulan yang dimiliki dalam regresi data panel ketika
menggunakan Fixed Effect Model (FEM), yaitu dapat mengetahui intersep
masing-masing individu karena adanya perubahan keadaan pada masing-
masing unitentitas. Artinya, model ini mengasumsikan bahwa setiap
komponen variabel memiliki nilai slope yang tetap dengan nilai intersep yang
berbeda-beda untuk setiap unit entitas (Suliyanto, 2011:233).
Gujarati dan Porter menjelaskan persamaan dasar untuk model fixed
effect ini sebagai berikut:
Yit = αi + β‟Xit +μit ; i = 1,2,...,T (3)
Di mana:
i : Unit Cross Section
t : Periode Waktu
Persamaan regresi di atas hampir sama dengan persamaan regresi model
common effect. Perbedaanya terdapat pada peletakkan lambang i di depan
48
intersep (α) yang memiliki arti bahwa intersep dari unit cross section mungkin
berbeda satu sama lainnya. Perbedaan tersebut dikarenakan karakteristik
masing-masing unit cross section, seperti perbedaan gaya, filosofi manajemen
serta karakteristik pangsa pasar (Gujarati dan Porter, 2009:596).
c. Random Effect Model
Pendekatan random effect menggunakan intersep yang bervariasi untuk
setiap individu dan kontanta sepanjang waktu. Hubungan antara variabel
independen dan dependen diasumsikan sama secara cross section dan time
series (Brooks, 2008:498). Oleh karena itu, seperti yang dikutip dari Setiawati
dan Setiawan (2013:2), persamaan yang secara umum digunakan adalah
sebagai berikut:
Yiy = σ0 + β‟Xit + qit ; i = 1,2,...,N; t = 1,2,...,T (4)
Di mana:
qit : Ԑi + μit
Ԑi : error cross section
Μit : kombinasi komponen error cross section dan time series
Model random effect ini hanya perlu memperkirakan nilai mean intersep
dan variasinya tanpa harus memperkirakan intersep keseluruhan unit cross
section. Oleh karena itu, intersep model ini umumnya merepresentasikan nilai
mean (mean value) dari semua intersep unit cross section. Sedangkan
komponen error (Ԑi) model ini menunjukkan deviasi (acak) intersep masing-
masing unit cross section dilihat dari nilai mean (Gujarati dan Porter,
2009:603).
4. Tahap Analisis
a. Pemilihan Model Estimasi Regresi Data Panel
Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga model yang dapat digunakan
untuk mengestimasi koefisien slope dan intersepsi dari data panel, yaitu model
common effect, fixed effect dan model random effect. Oleh karena itu, uji
Chow dan uji Hausman diperlukan untuk memilih model terbaik di antara
ketiga model tersebut. Tujuannya adalah untuk memastikan akurasi model
yang akan digunakan dalam menganalisis variabel penelitian.
1) Uji Chow
49
Uji Chow digunakan untuk memilih model yang terbaik antara
common effect dengan fixed effect. Uji ini dibangun berdasarkan
hipotesis:
H0 : Penggunaan common effect model
H1 : Penggunaan fixed effect model
Untuk menguji hipotesis di atas maka digunakan metode
perbandingan antara nilai F model Chow dengan nilai F tabel.
Penghitungannya didasarkan pada rumus sebagai berikut yang
dijelaskan oleh Baltagi (2005:13):
F0 = (RRSS – URSS) / 𝑁−1
URSS / (𝑁.𝑇−𝑁−𝐾)
Di mana:
RRSS = Restricted Residual Sums of Squares (RRSS)
dari commoneffect model (pooled least square)
URSS = Restricted residual sums of squares (RRSS)
dari fixed effectmodel (least dummy square variables)
N = Jumlah Provinsi di Pulau Jawa
T = Jumlah runtut waktu
K = Jumlah variabel dependen dan independen
Sedangkan F tabel dicari dengan df: α,(k-1), (n-k).
Di mana:
df = Degree of Freedom
α = Tingkat signifikansi yang digunakan (0,05)
n = Jumlah pengamatan (ukuran sampel)
k = Jumlah variabel (independen dan dependen)
Apabila nilai uji F model Chow lebih besar dibanding F tabel
maka H0 ditolak dan H1 diterima. Sebaliknya, jika nilai uji F
model Chow lebih kecil dibanding F tabel maka H0 diterima dan
H1 ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa model common
effect lebih tepat digunakan (Brooks, 2008:491). Cara lainnya
adalah dengan melihat nilai probabilitas cross-section F. Jika
nilainya lebih dari tingkat signifikansi (0,05) yang telah ditentukan
diawal maka model yang terpilih adalah common effect.
Namun,apabila nilainya kurang dari tingkat signifikansi, maka
50
model fixed effectlebih tepat untuk diterapkan (Ayu dan Disman,
2017:312).
2) Uji Hausman
Uji Hausman digunakan untuk menguji apakah variabel
penjelas tidak berkorelasi dengan efek model. Model efek acak
dianggap tidak bias apabila tidak berkorelasi dengan variabel
penjelas. Dengan kata lain, uji ini bertujuan untuk melihat apakah
terdapat efek random di dalam panel data, yaitu dengan menguji
hipotesis berupa:
H0 : Penggunaan random effect model
H1 : Penggunaan fixed effect model
Perhitungan statistik uji Hausman memerlukan asumsi bahwa
banyaknya kategori cross section lebih besar dibandingkan jumlah
variabel independen (termasuk konstanta) dalam model. Lebih
lanjut, estimasi statistik uji Hausman juga membutuhkan estimasi
variansi cross-section positif dan tidak selalu dapat dipenuhi oleh
model. Apabila kondisi-kondisi ini tidak dipenuhi maka hanya
dapat digunakan model fixed effect (Rosadi, 2012:274).
Alternatif lainnya untuk melakukan uji Hausman adalah dengan
cara membandingkan nilai probability cross section random (p
value) dengan tingkat signifikansi yang telah ditetapkan sejak
awal. Jika nilainya lebih besar dari 0,05 (tingkat signifikansi awal)
maka model yang terpilih adalah randomeffect. Tetapi jika nilainya
lebih kecil dari 0,05 maka model yang terpilih adalah fixed effect
(Brooks, 2008:509).
5. Uji Asumsi Klasik
a. Uji Multikolinearitas
Gejala multikolinearitas dapat dikatakan terjadi dalam model regresi
jika antar variabel independen (bebas) memiliki tingkat korelasi atau
hubungan satu sama lain yang tinggi atau sempurna (Nurhasanudin,
2017:31). Namun, pada kenyataannya, multikolinearitas sempurna hampir
tidak pernah ada dalam suatu estimasi penelitian, melainkan lebih kepada
multikolinearitas yang hampir mendekati nilai ketentuan ataupun lebih
51
tinggi dari nilai ketentuannya, artinya multikolinearitas dalam suatu
estimasi bisa menjadi tinggi tetapi tidak sempurna (Gujarati, 2006:61).
Gujarati (2006:66) menjelaskan lebih lanjut dampak yang akan terjadi
ketika terjadinya multikolinearitas, yaitu interval keyakinan akan semakin
lebar yang artinya nilai standard error dari koefisien menjadi tidak
dipercaya sehingga hasil uji t tidak valid dan hasil estimasi menjadi tidak
efisien. Adapun hipotesis yang dibangun dalam uji multikolinearitas, yaitu
H0 jika tidak terjadi multikolinearitas dalam model dan H1 jika terjadi
multikolinearitas dalam model (Rosadi, 2012:52). Metode pair-wise
correlations antar variabel bebas menjadi salah satu cara untuk mendeteksi
asumsi multikolinearitas ini (Hasan, 2017:31).
Jika nilai antar variabel independen (bebas) melebihi 0,8, maka dapat
menolak hipotesis nol (H0) dalam model. Artinya, model regresi
mengandung masalah multikolinearitas (Gujarati dan Porter, 2009:338).
b. Uji Heteroskedastisitas
Setiawan dan Kusrini (2010:103) menjelaskan bahwa jika variansi
dari komponen error bersifat tetap, maka dapat dikatakan estimasi model
penelitian tersebut bersifat homoskedastisitas. Begitu juga dengan
sebaliknya, jika variansi dari komponen error bersifat tidak tetap atau
dengan kata lain tidak konstan, maka dapat dikatakan estimasi model
penelitian tersebut bersifat heteroskedastisitas.
Terjadinya permasalahan heteroskedastisitas akan menyebabkan hasil
perkiraan OLS terhadap interval kepercayaan menjadi tak dapat dipercaya
dan nilai statistik t menjadi tidak valid (Woorldrige, 2009:265). Di sisi lain
Gujarati (2006:93) memaparkan bahwa untuk mengetahui ada tidaknya
permasalahan heteroskedastisitas dapat digunakan uji Glejser, yaitu
dengan meregresikan seluruh variabel independen (bebas) terhadap nilai
residual mutlak dalam estimasi model yang terpilih sehingga persamaan
yang digunakan sebagai berikut:
|ei| = β1 + β2Xi + vi
Di mana:
|ei| = Nilai Absolute Residual
Xi = Variabel Bebas
Adapun Hipotesis dalam uji ini, yaitu:
52
H0 : tidak terjadinya asumsi heteroskedastis
H1 : terjadinya asumsi heteroskedastisitas
Keputusan yang akan dihasilkan dalam uji Glejser ini, yaitu dengan
melihat probabilitas masing-masing nilai variabel bebas terhadap nilai
residual mutlak yang telah diregresikan, jika nilai probabilitas variabel
independen (bebas) signifikan terhadap nilai residual mutlak, maka
dapat dikatakan hipotesis nol (H0) ditolak sehingga estimasi model
dalam penelitian terdapat masalah heteroskedastisitas (Suliyanto,
2011:98).
c. Uji Autokorelasi
Autokorelasi didefinisikan sebagai suatu kondisi di mana terdapat
korelasi atau hubungan antara komponen error data pengamatan periode
saat ini dengan komponen error data pengamatan periode sebelumnya atau
dengan kata lain adanya ketergantungan nilai pengamatan saat ini terhadap
nilai pengamatan periode sebelumnya (Setiawan dan Kusrini, 2010:136).
Kemudian, Nachrowi (2002:136) juga menambahkan pernyataan bahwa
terjadinya autokorelasi akan menyebabkan hasil Ordinary Least Square
(OLS) masih tetap tak bias dan konsisten, namun, tidak lagi efisien. Oleh
karena itu, interval kepercayaan menajadi lebar dan uji signifika kurang
kuat yang berakibat hasil yang diperoleh dari uji t dan F tidak akan baik.
Untuk mengetahui ada tidaknya permasalahan autokorelasi, maka
digunakan uji Durbin-Watson. Hipotesis dalam uji ini, yaitu:
H0 : Tidak terdapat autokorelasi
H1 : Terdapat autokorelasi
Untuk menguji hipotesis di atas dapat dilakukan dengan melihat nilai
Durbin-Watson dengan nilai dL dan dU. Adapun rumus dalam mencari
nilai Durbin-Watson yang dijelaskan oleh Suliyanto (2011:126) adalah
sebagai berikut:
DW = ∑(e-et-1)2/ ∑et
2
Di mana:
DW = Nilai Durbin-Watson
e = Nilai Residual
et-1 = Nilai residual satu periode sebelumnya
53
Sedangkan untuk menentukan keputusan uji autokorelasi dapat
menggunakan tabel daerah kritis dari statistik Durbin-Watson dengan
melihat nilai dL dan dU, K = jumlah variabel bebas dan n = ukuran
sampel.
Tabel 3.1
Kriteria Pengujian Autokorelasi Durbin-Watson
Sumber: Gujarati, 2006:14.5
Jika nilai Durbin-Watson berada diantara dU s.d 4-dU, mak H0
diterima sedangkan H1 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa model
persamaan regresi tidak mengandung masalah autokorelasi (Suliyanto,
2011:125).
Metode Generalized Least Square dapat diterapkan pada estimasi
model yang terpilih sebagai salah satu cara untuk mengatasi masalah
asumsi autokorelasi (Setiawan dan Kusrini, 2010:147). Adapun metode
GLS ini didefinisikan oleh Gujarati dan Porter dalam Nurhasanudin
(2017:33) sebagai sebuah metode Ordinary Least Squares (OLS) yang
variabelnya ditransformasi untuk memenuhi standar least squares. Hal ini
juga dijelaskan oleh Fadhilyah (2008:49) bahwa Generalized Least Square
(GLS) dengan pembobotan Cross-Section SUR (Seemingly Unrelated
Regression) merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi masalah
autokorelasi.
6. Uji Statistik
a. Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi merepresentasikan besaran dari variasi total
yang dapat dijelaskan oleh model, hal ini menunjukkan bahwa koefisien
determinasi mampu memperlihatkan total besaran pengaruh variabel
independen (bebas) yang digunakan terhadap variabel dependen (terikat)
(Nurhasanudin, 2017:40). Jika nilai R2 mendekati angka 1, maka
ketepatannya semakin akurat (Setiawan dan Kusrini, 2010:64).
Kelemahan yang dimiliki oleh koefisien determinasi (R2) adalah bias
terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi.
54
Jika jumlah variabel bebas dan pengamatan ditambahkan dalam estimasi
model, walaupun dapat dikatakan variabel bebas tersebut tidak memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap variabel terikatnya, maka nilai R2 akan
tetap meningkat. Oleh karena itu, koefisien determinasi yang telah
disesuaikan (adjusted R square) digunakan agar nilai koefisien determinasi
yang disesuaikan juga memiliki kemungkinan untuk naik ataupun turun
jika terdapat penambahan variabel ataupun pengamatan baru dalam model.
Adapun formula yang telah dipaparkan oleh Suliyanto (2011:59) untuk
menghitung koefisien determinasi yang disesuaikan adalah sebagai
berikut:
R2
adj = R2P(1− R2)
N− P – 1
Di mana:
R2 = Koefisien Determinasi
N = Ukuran Sampel
P = Jumlah variabel bebas
b. Uji Statistik F
Untuk menunjukkan apakah semua variabel independen (bebas) dalam
model memiliki pengaruh terhadap variabel dependen (terikat) secara
bersama-sama dibutuhkan pengujian regresi secara simultan melalui uji
statistik F. Hipotesis yang akan diuji adalah H0, yaitu semua variabel
independen bukan merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel
dependen, sedangkan hipotesis alternatifnya (H1) adalah semua variabel
independen secara simultan merupakan penjelas yang signifikan terhadap
variabel dependen. Dasar pengambilan keputusan dalam pengujian ini
dapat dilakukan dengan membandingkan nilai F-hitung dengan nilai F-
tabel (Kuncoro, 2009:239).
Untuk menghitung besarnya nilai F hitung digunakan formula berikut:
F = R2+(𝑘−1)
1−R2+(𝑛−𝑘)
Di mana:
F = Nilai F hitung
R2 = Koefisien Determinasi
k = Jumlah variabel
55
n = jumlah pengamatan
Sedangkan untuk mencari nilai F tabel, yaitu dengan rumus:
df : α,(k-1), (n-k)
Di mana:
df = Degree of Freedom
α = Tingkat signifikansi yang digunakan (0,05)
n = Jumlah pengamatan (ukuran sample)
k = Jumlah variabel (independen dan dependen)
Jika nilai F-hitung lebih besar dari F-tabel (F hitung > F tabel), maka
hipotesis alternatif (H1) diterima dan menolak H0. Hal ini memberikan
makna bahwa semua variabel independen secara simultan merupakan
variabel yang memiliki pengaruh signifikan terhadap variabel dependen
(Suliyanto, 2011:61).
c. Uji statistik t
Uji statistik t menunjukkan seberapa besar pengaruh suatu variabel
independen secara individual terhadap variabel dependen. Hipotesis yang
akan diuji adalah H0, yaitu suatu variabel independen tidak memiliki
pengaruh signifikan terhadap variabel dependen. Sedangkan, hipotesis
alternatifnya (H1), yaitu variabel independen secara individual (masing-
masing) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.
Dasar pengambilan keputusan dalam pengujian ini dapat dilakukan dengan
cara membandingkan nilai statistik t dengan statistik kritis menurut tabel
(Kuncoro, 2009:238). Untuk menghitung besarnya statistik t digunakan
rumus berikut:
ti = bj
Sbj
Di mana:
t = Nilai t hitung
bj = Koefisien regresi
Sbj = Kesalahan baku koefisien regresi
Sedangkan, untuk mencari nilai t tabel jika menggunakan penelitian satu
arah, maka df: α, n-k, tetapi jika menggunakan penelitian dua arah maka
df: α/2, n-k.
Di mana:
56
df = Degree of Freedom
α = Tingkat signifikansi yang digunakan (0,05)
n = Jumlah pengamatan (ukuran sampel)
k = Jumlah variabel (independen dan dependen)
Jika nilai statistik t-hitung lebih besar dibandingkan nilai statistik t-
tabel (t-hitung > t-tabel), maka hipotesis alternatif (H1) diterima dan
menolak H0. Hal ini memberikan makna bahwa variabel independen
secara parsial atau individual berpengaruh signifikan terhadap variabel
dependen (Suliyanto, 2011:62).
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari satu variabel dependen (terikat), yaitu daya saing industri
manufaktur nonmigas dan empat variabel independen (bebas), yaitu Foreign
Direct Investment (FDI), Produktivitas Tenaga Kerja, Infrastruktur dan
Aglomerasi Industri. Adapun penjelasan dari masing-masing variabel dijelaskan
pada tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 3.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian
Jenis Variabel Indikator Definisi
Dependen Daya Saing
Industri
(Indeks)
Daya saing Industri Manufaktur nonmigas
merupakan kemampuan industri manufaktur
nonmigas untuk berkompetisi di pasar dunia
yang dicerminkan berdasarkan Revealed
Competitiveness Indeks (RCI), yaitu hasil
dari kinerja ekspor dan impor industri
manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau
Jawa terhadap kinerja ekspor dan impor
Indonesia.
Independen Foreign Direct
Investment
(FDI)
Suatu aliran modal asing dari suatu negara
yang telah mendunia baik dalam bentuk
57
(US$) materil (modal) ataupun non materil. Adapun
non materil yang dimasksud adalah adanya
transfer, pengembangan teknologi, keahlian,
pelatihan dan lain sebagainya dengan tujuan
untuk mencapai pembangunan industri yang
inovatif dan efisien.
Produktivitas
Tenaga Kerja
(Rupiah/Tenaga
Kerja)
Secara umum produktivitas tenaga kerja
memiliki makna banyaknya output dari
proses produksi suatu industri yang dapat
dihasilkan oleh satu input tenaga kerja.
Infrastruktur
Jalan
(Kilometer)
Fasilitas yang dimiliki oleh suatu negara atau
daerah berupa prasarana untuk menunjang
berlangsungnya kegiatan ekonomi seperti
produksi, konsumsi dan distribusi dari sektor
industri manufaktur nonmigas. Adapun
dalam penelitian ini menggunakan jaringan
jalan sebagai indikator variabel karena
jaringan jalan merupakan bagian penting dari
adanya proses aktivitas industri
Aglomerasi
Industri
(Indeks)
Terkonsentrasinya industri-industri terkait
dan pendukung pada suatu wilayah dan
membentuk suatu kawasan industri dalam
memperoleh suatu penghematan ekonomi
58
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Objek Penelitian
Pulau Jawa merupakan salah satu pulau terbesar yang ada di Indonesia. Adapun
Pulau Jawa ini terdiri dari enam provinsi besar di dalamnya, yaitu Provinsi DKI Jakarta,
Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Timur.
Di mana masing-masing provinsi yang ada di Pulau Jawa ini memiliki struktur
kebudayaan, politik, sosial dan ekonomi yang berbeda-beda. Jika di lihat berdasarkan
perekonomiannya, Pulau Jawa masih mendominasi tingkat perekonomian nasional,
yaitu lebih dari 50 persen dibandingkan wilayah lain di luar Pulau Jawa yang hanya
berkontribusi rata-rata sebesar 41,6 persen dalam perekonomian nasional tahun 2012-
2016.
Adapun dari masing-masing provinsi, DKI Jakarta memiliki nilai kontribusi
PDRB terbesar di Pulau Jawa, yaitu rata-rata berkontribusi di atas 15 persen. Diikuti
oleh Provinsi Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sedangkan Provinsi Banten
dan Yogyakarta memiliki rata-rata kontribusi kurang dari 5 persen.Hal ini dapat dilihat
melalui diagram 4.1 di bawah ini.
Diagram 4.1
Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa
Periode 2012-2106
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Diolah)
Kemudian, dalam struktur ekonominya sebagian besar Pulau Jawa disumbang
oleh sektor industri manufaktur (pengolahan) dengan rata-rata sebesar 29 persen selama
lima tahun terakhir 2012-2016. Sektor terbesar kedua yang juga menjadi tumpuan
perekonomian di Pulau Jawa adalah perdagangan besar dengan rata-rata 16 persen.
0
10
20
30
40
50
60
70
JKT BANTEN JABAR JATENG YOGYA JATIM P.JAWA LUARJAWA
2012
2013
2014
2015
2016
59
Diikuti oleh sektor kontruksi sebagai kontribusi terbesar ketiga, yaitu denganrata-rata
10 persen. Untuk penyumbang terbesar keempat dan kelima diisi oleh sektor pertanian
dan jasa keuangan yang masing-masing memliki rata-rata kontribusi 8-4 persen. Hal ini
dapat dilihat melalui diagram 4.2 di bawah ini.
Diagram 4.2
Kontribusi PDRB Provinsi di Pulau Jawa Berdasarkan Sektor Utama
Periode 2012-2016
Sumber: Badan Pusat Statisti, (Diolah)
Tingginya kontribusi sektor industri manufaktur di Pulau Jawa dikarenakan
pemerintah masih mengutamakan Pulau Jawa sebagai Zona wilayah industri
manufaktur terbesar di Indonesia dengan penyebaran jumlah industri lebih dari 70
persen dibandingkan wilayah lain. Hal ini disebabkan sebagian besar provinsi di Pulau
Jawa sudah memiliki faktor-faktor pendukung yang mampu menopang kegiatan industri
seperti infrastruktur jalan, listrik, air, dan tersedianya Sumber Daya Manusia (SDM).
Pemerintah khususnya kementerian industrimenjadikan hal ini sebagai peluang besar
dalam menjalankan rencana strategisnya dalam meningkatkan daya saing dan
produktivitas pembangunan industri manufaktur nonmigas.
B. Penemuan dan Pembahasan
1. Analisis Deskriptif Variabel pada Provinsi di Pulau Jawa
a. Daya Saing Industri Manufaktur nonmigas pada Provinsi di Pulau Jawa.
Dalam dunia yang mengglobal dan saling terintegrasi antara satu negara dengan
negara lain, tentu merupakan salah satu peluang besar untuk meningkatkan
kapasitas pembangunan ekonomi suatu negara, salah satunya adalah
pembangunan sektor industri manufaktur nonmigas.
Selain era globalisasi, liberalisasi perlahan juga telah tercipta untuk
mengurangi adanya hambatan dalam melakukan perdagangan antar negara. Hal
2016
2015
2014
2013
2012
28,86
29,22
29,42
29,37
29,27
15,9
16
16,21
16,36
16,44
10,11
10,25
10,31
10,32
10,23
7,4
7,57
7,72
8,05
8,26
5
4,84
4,67
4,71
4,6
Industri Perdagangan Besar Konstruksi Pertanian Jasa Keuangan
60
tersebut juga merupakan peluang sekaligus tantangan persaingan ketat yang
harus dihadapi. Maka dari itu, pembangunan Industri di Indonesia, khususnya
Pulau Jawa yang merupakan zona wilayah industri terbesar harus memiliki daya
saing yang tinggi. Daya saing ini menggambarkan kemampuan suatu industri
dalam memproduksi dan mengekspor komoditasnya secara kompetitif dan
mampu mempertahankannya di pasar internasional.
Untuk tingkat daya saing industri manufaktur nonmigas masing-masing
provinsi di Pulau Jawa dapat ditunjukkan melalui nilai Revealed
Competitiveness(RC). Rata-rata nilai RC tertinggi di antara enam provinsi di
Pulau Jawa selama tahun 2006-2016 adalah Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Kedua provinsi tersebut menunjukkan rata-rata nilai RC positif lebih
dari satu (RC > 1), yaitu 1,04 untuk Jawa Barat dan 1,38 untuk Jawa Tengah.
Hal ini dikarenakan nilai RC Jawa Barat dan Jawa Tengah mengalami
peningkatan secara berangsur-angsur. Rata-rata nilai RC Jawa Barat dan Jawa
Tengah yang menunjukkan positif lebih dari satu (RC>1) memberikan arti
bahwa industri manufaktur nonmigas Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah
memiliki daya saing yang kompetitif. Keunggulan kompetitif ini terjadi karena
pangsa ekspor industri manufaktur nonmigas Provinsi Jawa Barat dan Jawa
Tengah terhadap total ekspor Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengahlebih besar
dibandingkan pangsa ekspor industri manufaktur nonmigas secara nasional
terhadap total ekspor Indonesia.
Sedangkan nilai rata-rata indeks daya saing terkecil selama tahun 2002-
2016 dimiliki oleh Provinsi Yogyakarta, dimana nilai rata-ratanya positif lebih
kecil dari satu (RC<1) bahkan hampir mendekati nilai negatif, yaitu 0,0004.
Artinya daya saing industri manufaktur di Provinsi Yogyakarta sangat lemah
dan kurang kompetitif sehingga pangsa ekspor industri manufaktur nonmigas
terhadap total ekspor Provinsi Yogyakarta lebih kecil dibandingkan pangsa
ekspor industri secara nasional terhadap total ekspor Indonesia. Hal ini dapat
dilihat melalui diagram 4.3 di bawah ini.
61
Diagram 4.3
Perkembangan Nilai Revealed Competitiveness (RC) pada Provinsi di Pulau Jawa
Periode 2006-2016
Sumber: Realisasi Ekspor dan Impor Kemendag, (Diolah)
b. Foreign Direct Investment (FDI) Industri Manufaktur nonmigas pada Provinsi di
Pulau Jawa.
Investasi merupakan salah satu faktor yang penting dalam penunjang
kegiatan ekonomi suatu negara atau daerah. Adapun kegiatan tersebut
merupakan kegiatan ekonomi yang secara nyata menjadi leading sector dalam
perekonomian nasional Jika dibedakan berdasarkan jenisnya, Foreign Direct
Investment(FDI) merupakan jenis investasi yang memiliki nilai kontribusi
terbesar dari total investasi yang ada, yaitu sebesar 65 persendan zona wilayah
terbesar dari kontribusi FDI di Indonesia adalah Pulau Jawa dengan total FDI
sebesar 14 miliar US$ atau 51 persen dari jumlah FDI yang ada pada seluruh
provinsi di Indonesia (BKPM, 2017).
Besarnya tingkat FDI di Pulau Jawa dikarenakan dukungan dari berbagai
hal yang tentu dapat menunjang usaha para investor lebih mudah dan efisien
seperti halnya memiliki infrastruktur daerah yang cukup baik dibandingkan
dengan wilayah lain. Dari total FDI di wilayah Jawa sebesar 61 persen bergerak
di sektor industri manufaktur khususnya nonmigas.
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jakarta 0,06 0,33 0,15 0,23 0,24 0,24 0,23 0,19 0,11 0,12 0,1
Banten -0,34 0,15 0,37 0,26 0,19 0,26 0,46 0,32 0,47 0,49 0,55
Jawa barat -0,77 1,12 2,27 2,4 1,32 3,22 3,52 2,46 2,99 -2,78 -1,58
Jawa Tengah 1,98 1,7 1,64 1,22 1,11 1,33 1,23 1,24 1,13 0,9 0,7
Yogyakarta -0,26 -0,06 0,03 0,03 0,36 0,71 0,33 0,12 -0,16 -0,19 -0,17
Jawa Timur 0,46 0,43 0,51 0,38 0,38 0,51 0,53 0,5 0,43 0,33 0,28
-4-3-2-101234
62
Diagram 4.4
Perkembangan FDI pada Provinsi di Pulau Jawa Periode 2006-2016
Sumber: BKPM, (Diolah)
Diagram 4.4 menunjukkan perkembangan realisasi FDI sektor industri
manufaktur nonmigasyang cukup baik. Terlihat dari tahun 2010 sampai 2013
Provinsi Jawa Barat menunjukkan wilayah provinsi dengan kontribusi FDI
terbesar sepanjang tahun 2006-2016, yaitu rata-rata 54 persen dengan rata-rata
jumlah nilai FDI sebesar 3,3 miliar US$ kurun waktu 2006-2016.Adapun nilai
FDI tertinggi di Provinsi Jawa Barat ditunjukkan pada tahun 2013, yaitu sebesar
6,7 miliar US$.
Sedangkan Provinsi Yogyakarta merupakan wilayah yang hampir tidak
terlihat perkembangan nilai FDInya karena nilai kontribusi yang sangat rendah
terhadap FDI di Pulau Jawa, yaitu rata-rata hanya sebesar 0,06 persen atau
setara dengan 3,8 juta US$ rata-rata per tahunnya sepanjang 2006-2016.
Besarnya nilai FDI sektor industri yang ada di dalam suatu wilayah
mencerminkan tingginya minat investor dalam membangun sektor industri
manufaktur khususnya nonmigas di wilayah tersebut. Tingginya investasi dalam
suatu wilayah tertentu juga disebabkan oleh banyaknya anggapan para investor
bahwa wilayah-wilayah tersebut merupakan wilayah yang sangat strategis dan
memiliki potensi unggul dalam mengembangkan investasinya di sektor
manufaktur.
c. Produktivitas Tenaga Kerja Industri Manufaktur Nonmigas pada Provinsi di
Pulau Jawa.
Tenaga kerja merupakan salah satu komponen yang dianggap penting
dalam menghasilkan suatu outputpada proses produksi suatu industri.
Perusahaan dalam industri akan mampu untuk meningkatkan kapasitas
0
2000000
4000000
6000000
8000000
10000000
12000000
14000000
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Jawa Timur
Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
Jakarta
63
produksinya melalui tenaga kerja yang produktif. Secara umum kondisi industri
di Indonesia bersifat padat karya, artinya adalah salah satu kondisi faktor
terbesar yang dimiliki oleh Indonesia dalam menjalankan sektor industri adalah
Sumber Daya Manusianya (SDM).
Oleh karena itu, produktivitas dari tenaga kerja memiliki pengaruh nyata
terhadap output industri yang dihasilkan dan pada akhirnya juga akan
menentukan daya saing industri manufaktur. Adapun distribusi penyebaran dari
jumlah tenaga kerja sektor industri manufakturterkonsentrasi pada Pulau Jawa
karena Pulau Jawa merupakan zona wilayah industri terbesar dibandingkan
wilayah lain di luar Pulau Jawa. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Badan
Pusat Statistik (2017), kontribusi tenaga kerja sektor industri manufaktur
nonmigasdi Pulau Jawa pada tahun 2016 mencapai 75 persen terhadap seluruh
tenaga kerja sektor industri manufaktur yang ada di Indonesia.Adanya jumlah
tenaga kerja yang cukup dominan diharapkan mampu untuk menghasilkan
produktivitas industri yang tinggi dalam rangka mencapai kapasitas output yang
optimum. Hal ini dapat dilihat pada diagram 4.5 di bawah ini.
Diagram 4.5
Kontribusi Tenaga Kerja Industri Manufaktur nonmigas Periode 2016
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Diolah)
Adapun rata-rata tertinggi produktivitas tenaga kerja sektor industri
manufaktur nonmigas dan meningkat secara konsistenselama periode 2006-2016
adalah Provinsi Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan nilai
rata-rata akhir periode 2014-2016 masing-masing adalah 366 juta per tenaga
kerja per tahun, 204 juta per tenaga kerja per tahun, 170 juta per tenaga kerja per
tahun, 130 juta per tenaga kerja per tahun. Sedangkan wilayah provinsi yang
12%
75%
5%
3% 4% 1%
Sumatera
Jawa
Bali dan NusaTenggara
Kalimantan
64
memiliki rata-rata produktivitas tenaga kerja terendah adalah Provinsi
Yogyakarta dengan nilai rata-rata tertingginya hanya sebesar 71 juta per tenaga
kerja per tahunnya.
Nilai produktivitas tenaga kerja yang rendah pada Provinsi Yogyakarta
merupakan cerminan dari kecilnya kontribusi PDRB sektor industri manufaktur
terhadap PDRB sektor industri manufaktur di Pulau Jawa, yaitu kurang dari 5
persen. Di sisi lain, Provinsi Jakarta mencapai nilai produktivitas tenaga kerja
industri manufaktur nonmigas tertinggi pertama dan konsisten diantara provinsi
lain juga merupakan cerminan dari tingginya kontribusi PDRB sektor industri
manufaktur Provinsi Jakarta terhadap PDRB sektor industri manufaktur di Pulau
Jawa, yaitu sebesar 15 persen. Hal ini dapat dilihat berdasarkan diagram 4.6 di
bawah ini.
Diagram 4.6
Rata-rata Produktivitas Tenaga Kerja pada Provinsi di Pulau Jawa
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Diolah)
d. Infrastruktur pada Provinsi di Pulau Jawa
Hakikatnya infrastruktur merupakan salah satu penunjang dalam proses
pembangunan industri suatu wilayah yang dapat berupa sarana dan prasarana.
Bahkan infrastruktur merupakan salah satu faktor utama atau dasar yang harus
tersedia dalam suatu wilayah, khususnya jika wilayah tersebut memang menjadi
zona utama dalam pembangunan kawasan industri.
0
100
200
300
400
2006-2009 2010-2013 2014-2016
Jakarta
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
Yogyakarta
Jawa Timur
65
Diagram 4.7
Panjang Jalan pada Provinsi di Pulau Jawa
Periode 2006-2016
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Diolah)
Diagram 4.7menunjukkan perkembangan jalan pada masing-masing
provinsi di Pulau Jawa tahun 2006-2016. Rata-rata panjang jalan di Pulau Jawa
kurun waktu 2006-2016 adalah sepanjang 113 juta kilometer. Di mana pada
masing-masing provinsi Pulau Jawa secara keseluruhan tidak terlalu banyak
mengalami perkembangan jalan selama 2006-2016. Hanya saja terlihat
padaProvinsi Jawa Timur mulai dari tahun 2006 hingga 2011 terus mengalami
kenaikan, yaitu dari panjang yang mencapai 36 ribu kilometer tahun 2006
hingga 45 ribu kilometer tahun 2011sehingga mengalami perkembangan
mencapai 25 persen.
Secara keseluruhan Provinsi Jawa Timur merupakan wilayah yang
memiliki jalan terpanjang dengan rata-rata panjang jalan mencapai 41 ribu
kilometer, kemudian diikuti oleh Jawa Tengah yang rata-rata panjang jalannya
mencapai 29 ribu kilometer, Jawa Barat dengan rata-rata panjang jalannya
mencapai 25 ribu kilometer pada kurun waktu 2006-2016. Sedangkan provinsi
yang memiliki jalan terpendek dengan rata-rata panjang jalan mencapai 4,5 ribu
kilometer, diikuti oleh Banten dan Jakarta.
Selain perkembangan jalan, infrastruktur jalan juga dapat dilihat dari
tingkat mobilitasnya. Tingkat mobilitas merupakan suatu ukuran kinerja jalan
yang mengamati kemudahan dalam berpindah dan berhubungan erat dengan
kemacetan. Adapun tingkat mobilitas diukur melalui tingkat kepadatan jalan,
yaitu rasio jumlah kendaraan dibagi panjang jalan. Semakin tinggi nilainya,
maka akan menggambarkan semakin padat kendaraan sehingga memberikan arti
0
20000
40000
60000
80000
100000
120000
1400002006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
66
jalan tersebut relatif lebih macet dibandingkan yang lain. Jika nilai rasio adalah
1 kendaraan per meter atau 1000 kendaraan per kilometer maka nilai tersebut
menggambarkan kondisi macet (Prasetyo, 2010:73).
Diagram 4.8
Tingkat Mobilitas Jalan pada Provinsi di Pulau Jawa
Sumber: Badan Pusat Statistik, (Diolah)
Dari diagram 4.8menunjukkan bahwa Provinsi Jakarta memiliki rata-rata
nilai rasio lebih dari 1000 kendaraan per kilometer, yaitu sebesar 1964
kendaraan per kilometer atau 1.96 per meter selama tahun 2006-2016 sehingga
menjadikan Provinsi Jakarta tergolong pada katagori macet. Di sisi lain,
Provinsi Yogyakarta menduduki peringkat kedua sebagai provinsi yang
memiliki tingkat kepadatan jalan tertinggi di Pulau Jawa, di mana nilai rasio
yang dimiliki oleh provinsi ini rata-rata adalah sebesar 682 kendaraan per
kilometer atau 0,68 per meter selama tahun 2006-2016.
Nilai rasio tersebut memberikan arti bahwa sepanjang apapun jalan yang
dimiliki oleh setiap wilayah jika pertambahan jumlah kendaraan jauh lebih besar
tentu akan berdampak terhadap masalah kemacetan yang tinggi dan menurunkan
tingkat mobilitas jalan di wilayah tersebut, rendahnya mobilitas jalan dapat
menghambat aktivitas ekonomi seperti kegiatan investasi, jalur distribusi bahan
baku, distribusi hasil produksi yang pada akhirnya akan berdampak terhadap
peningkatan biaya ekonomi yang tinggi dan menciptakan harga kurang
kompetitif.
e. Aglomerasi Industri pada Provinsi di Pulau Jawa
Besarnya kontribusi sektor industri manufaktur di Pulau Jawa terhadap
perekonomian indonesia dan mencapai pertumbuhan yang cepat tentu tidak
terlepas dari adanya industri manufaktur yang terkonsentrasi pada provinsi di
Pulau Jawa. Tinggi rendahnya konsentrasi industri tergantung dari karakteristik
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000Jawa Timur
Yogyakarta
Jawa Tengah
Jawa Barat
Banten
Jakarta
67
industri tersebut di masing-masing wilayah. konsentrasinya industri atau
terciptanya aglomerasi di suatu wilayah tentu berdasarkan berbagai
pertimbangan dari para pelaku industri. Adapun berbagai pertimbangan tersebut
merupakan bagian dari kajian atau penilaian para pelaku industri dalam
mendirikan industrinya yang pada akhirnya akan berdampak terhadap
keuntungan ekonomi yang maksmimal.
Tabel 4.1
Indeks Aglomerasi Industri Manufaktur pada Provinsi di Pulau Jawa
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan bahwa terdapat empat provinsi yang
memiliki rata-rata nilaiLQ lebih dari satu (LQ>1) dan konsisten dari tahun
2008 hingga tahun 2016, yaitu Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat, Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur sedangkan provinsi lain, yaitu Jakarta dan
Yogyakarta memiliki rata-rata nilai LQ yang kurang dari satu (LQ<1).
Nilai LQ lebih dari satu (LQ>1) menunjukkan bahwa industri
manufaktur nonmigas terkonsentrasi pada empat provinsi tersebut yang
mengindikasikan bahwa Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur terdapat aglomerasi industri yang cukup kuat. Sedangkan dua provinsi
lain dengan nilai LQ kurang dari satu (LQ<1) menunjukkan bahwa industri
manufaktur nonmigas kurang terkonsentrasi dan mengindikasikan bahwa
Nilai Indeks
Provinsi
Tahun Jakarta Banten Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa
Timur
2006 0.891253 1.42608 1.08022079 1.158356586 0.591943943 0.87163413
2007 0.663847 0.923498 0.711328435 0.658263823 0.488549615 0.61437786
2008 1.04291 1.66619 1.39931157 1.270869775 0.743270872 1.075312
2009 1.17866 1.94477 1.38337322 1.242881149 0.747938581 1.007887
2010 1.02313 1.72476 1.44929849 1.268555663 0.880388317 1.097741
2011 0.902235 1.74919 1.47552005 1.313309974 0.835781163 1.136017
2012 0.871287 1.76219 1.46391811 1.346461247 0.852321156 1.164954
2013 0.813743 1.68437 1.45251118 1.432085056 0.875950887 1.136634
2014 0.964923 2.07179 1.37199266 1.456044201 0.791973305 1.142182
2015 0.88073 1.71744 1.46085003 1.39203126 0.854848946 1.130153
2016 0.698278 1.84943 1.4519125 1.513167363 0.783745204 1.127716
Rata-
rata 0.90282 1.68361 1.33638519 1.277456918 0.767882908 1.045873
68
Provinsi Jakarta dan Yogyakarta tidak memiliki tingkat aglomerasi yang cukup
kuat.
Wilayah yang teraglomerasi menunjukkan bahwa kegiatan industri
tersebut telah tertata dengan baik yang membentuk suatu kawasan industri, hal
ini tentu menjadi kemudahan pemerintah dalam menata dan mengawasi kegiatan
industri di wilayahnya.Di samping itu, konsentrasi atau aglomerasi industri pada
suatu wilayah tertentu akan memberikan peningkatan produktivitas ekonomi.
Hal tersebut dapat terjadi karena tujuan dalam menciptakan aglomerasi adalah
penghematan biaya dalam proses produksi. Penghematan biaya ini akan
berdampak terhadap keuntungan industri yang meningkat dan membuat harga
komoditas industri lebih kompetitif.
C. Estimasi Data Penel
Ada tiga pendekatan dalam penggunaan data panel, yaitu (a) pendekatan kuadrat
terkecil Common Effect Model (CEM), (b) pendekatan efek tetap Fixed Effect Model
(FEM), (c) pendekatan efek acak Random Effect Model (REM). Model estimasi terbaik
dalam data panel akan terpilih melalui suatu pengujian, yaitu uji Chow dan uji
Hausman.
1. Uji Chow
Uji Chow digunakan untuk memilih model terbaik antara pendekatan
Common Effect Model (CEM) dengan Fixed Effect Model (FEM). Uji Chow
dilakukan untuk membandingkan nilai Cross-Section F. Adapun kriteria
penilaian uji Chowdalam Cross-Section F dapat dilihat menggunakan nilai
probabilitasnya (Prob). Jika nilai probabilitas cross-section F lebih besar dari
tingkat signifikansi atau alpha (α) 0,05 (Prob > 0,05) maka model yang terpilih
dalam uji Chow ini adalah Common Effect Model (CEM). Sebaliknya, jika nilai
probabilitas cross section F lebih kecil dari tingkat signifikansi atau alpha (α)
0,05 (Prob < 0,05) maka model yang terpilih dalam uji Chow ini adalah Fixed
Effect Model (FEM).
69
Tabel 4.2
Uji Chow
Sumber: Output Eviews.
Berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai probabilitas (Prob) untuk
cross section-Fsebesar 0,0382, lebih kecil dari tingkat signifikansi sebesar 0,05
(Prob<0,05). Oleh sebab itu, berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa model Fixed Effect lebih tepat digunakan dalam penelitian ini.
2. Uji Hausman
Dikarenakan hasil uji Chow memperlihatkan bahwa model Fixed Effect
lebih baik dibandingkan model Common Effect, maka perlu dilakukan uji
Hausman untuk mengetahui model terbaik antara model Fixed Effect dengan
model Random Effect. Adapun kriteria penilaian uji Hausman dilakukan dengan
cara membandingkan nilai probabilitascross section randomdengan tingkat
signifikansi 5% (0,05).Jika nilai probabilitas cross-section F lebih besar dari
tingkat signifikansi atau alpha (α) 0,05 (Prob > 0,05) maka model yang terpilih
dalam uji Hausman ini adalah Random Effect Effect Model (REM). Sebaliknya,
jika nilai probabilitas cross section F lebih kecil dari tingkat signifikansi atau
alpha (α) 0,05 (Prob < 0,05) maka model yang terpilih dalam uji Hausmanini
adalah Fixed Effect Model (FEM).
Tabel 4.3
Uji Hausman
Sumber: Output Eviews
Hasil dari Uji hausman di atas menunjukkan bahwa nilai probabilitas
cross section random (p value) adalah 1, dengan menggunakan tingkat
signifikansi 5% (0,05) maka nilai tersebut lebih besar dari 0,05 (Prob > 0,05)
Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 2.485551 (5,80) 0.0382
Cross-section Chi-square 12.996061 5 0.0234
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 0.000000 4 1.0000
* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
70
sehingga model yang terpilih dalam uji Hausman ini adalah Random Effect
Model (REM). Walaupun demikian, hasil uji tersebut menyatakan bahwa uji
variansi cross sectionyang tidak valid sehingga hausman otomatis menjadi
nol.Yazid dalam Hasan (2017:51) menjelaskan bahwa hasil uji Hausman yang
memiliki nilai probabilitas sama dengan satu (1) menunjukkan suatu model
yang tidak efisien. Hal tersebut mengindikasikan terdapat korelasi antara
variabel bebas dengan komponen error.
Berdasarkan penjelasan Gujarati dan Porter (2009:606), jika suatu
komponen error individu dan satu atau lebih variabel bebasnya memiliki
korelasi, maka estimasi dengan model random effect akan bias, sedangkan
yang diperoleh dari model fixed effect tidak bias. Oleh karena itu, hasil dari
kedua uji tersebut memberikan kesimpulan bahwa model estimasi terpilih
yang lebih baik digunakan dalam penelitian ini adalah Fixed Effect Model
(FEM).
D. Uji Asumsi Klasik
1. Uji Multikolinearitas
Gejala multikolinearitas dapat terjadi dalam suatu model estimasi regresi
jika antara satu variabel bebas (independen) memiliki korelasi yang tinggi atau
sempurna dengan variabel bebas (independen) yang lain. Dampak dari adanya
gejala multikolinearitas dapat mengakibatkan nilai standard error dari
koefisien menajdi tidak dipercaya dan hasil estimasi model regresi menjadi
tidak efisien.
Tabel 4.4
Hasil Uji Multikolinearitas
LNPTK LNINFR LNFDI LNAGLM
LNPTK 1.000000 -0.017735 0.128286 -0.133255
LNINFR 0.119939 1.000000 0.180976 0.062534
LNFDI 0.128286 0.180976 1.000000 0.360270
LNAGLM -0.133255 0.062534 0.360270 1.000000
Sumber: Output Eviews
Berdasarkan hasil uji multikolinearitaspair–wise correlations(Tabel 4.4)
menunjukkan bahwa setiap variabel bebas (independen) tidak memiliki
korelasi terhadap variabel bebas (independen) yang lain. Hal ini ditunjukkan
71
oleh nilai dari matriks korelasi antara satu variabel bebas dengan variabel
bebas lain berada di bawah 0,80 sehingga variabel bebas (independen) yang
digunakan dalam penelitian ini terbebas dari gejala multikolinearitas.
2. Uji Heterokedastisitas
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa salah satu model estimasi
regresi yang baik adalah model yang bersifat BLUE (Best Linear Unbias
Estimator). Salah satu sifat BLUE yang harus ada dalam model estimasi
penelitian adalah memiliki nilai varian error yang konstan atau disebut
homokedastisitas, sedangkan jika suatu model estimasi tidak memiliki variansi
error yang konstan maka model tersebut dapat dikatakan terdapat gejala
heterokedastisitas. Berdasarkan hal itu, dalam penelitian ini akan
menggunakan uji Glejser untuk menentukan ada atau tidaknya masalah
heterokedastisitas.
Tabel 4.5
Uji Glejser
Sumber: Output Eviews
Tabel 4.5 menunjukkan bahwa nilai probabilitas (Prob) masing-masing
variabel bebas tidak signifikan secara statistik atau >0,05 sehingga
memberikan kesimpulan bahwa estimasi model dalam penelitian ini tidak
terdapat masalah heterokedastisitas.
3. Uji Autokorelasi
Masalah lain yang menjadikan model estimasi penelitian tidak bias dan
efisien, yaitu autokorelasi. Autokorelasi merupakan hubungan antara residual
dalam satu observasi dengan residual dalam observasi lain. Masalah
autokorelasi ini umumnya terjadi pada data yang bersifat runtun waktu (time
series), karena sifat dari data pada saat ini yang dipengaruhi oleh data-data
masa sebelumnya. Walaupun demikian, masalah autokorelasi ini juga dapat
Variabel Probabilitas
C 0.242975
ZFDI 0.0587
ZPTK 0.8096
ZINFR 0.6762
AGLM 0.5784
72
ditemukan pada data yang bersifat cross section (lintas-sektoral). Dalam hal
ini, autokorelasi yang demikian disebut sebagai korelasi ruang (spatial
correlation) (Gujarati, 2007:112).
Nilai Durbin-Watson pada hasil olahan eviewsadalah 1.4624. Nilai dL dan
dU masing-masing dengan jumlah k (variabel bebas) = 4 serta n (jumlah
pengamatan) = 90 adalah 1,5656 dan 1,7508. Kemudian nilai 4-dL (4 –
1.5656) adalah 2.4344, nilai 4-dU (4-1.7508) adalah 2.2492. Masing-masing
nilai tersebut dimasukan ke dalam tabel kriteria penilaian Durbin-Watson di
bawah ini:
Tabel 4.6
Hasil Durbin-Watson
Sumber: Output Eviews
Hasil tabel 4.6 menunjukkan bahwa nilai 0 < Durbin-Watson < dL (0 <
1,4624< 1,5656). Dengan demikian, model estimasi penelitian ini terdapat
masalah autokolerasi. Walaupun demikian, hasil pengolahan ini telah
menggunakan estimasi Fixed Effect Model dengan parameter Generalized
Least Square (GLS) dengan Pembobotan Cross-SectionSeemingly
UnrelatedRegression (SUR) seperti yang dilakukan oleh Fadhliyah (2008:49),
artinya masalah autokorelasi dalam model ini telah teratasi. Pada dasarnya,
Masalah autokorelasi yang terdapat dalam suatu model estimasi data panel
merupakan suatu hal yang wajar, karena model estimasi dalam penelitian ini
terdapat data yang bersifat runtun waktu atau time series, di mana data
penelitian pada periode sekarang dan periode sebelumnya kemungkinan dapat
saling ketergantungan.
E. Persamaan Model
Berdasarkan hasil regresi model data panel Fixed Effect Generalized Least Square
pembobotan Cross-Section SUR, maka model estimasinya dijabarkan sebagai berikut:
RCit= 0.347757 + 0,094003FDIit + 0.06829PTKit – 0.176135INFRit
+ 0.163972AGLMit + μit
Keterangan :
RC : Reveald Competitive(Daya Saing Industri)
73
FDI : Foreign Direct Investment
PTK : Produktivitas Tenaga Kerja
INFR : Infrastruktur
AGLM : Aglomerasi Industri
μit : error term
Hasil estimasi di atas dapat dijelaskan bahwa variabel Foreign Direct
Investment (FDI) akan berpengaruh positif terhadap daya saing industri manufaktur
nonmigas dengan nilai koefisien sebesar 0.094003. Variabel infrastruktur akan
berpengaruh negatif terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas dengan nilai
koefisien sebesar 0.176135. Variabel aglomerasi industri akan berpengaruh positif
terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas dengan nilai koefisien 0,163972.
Variabel produktifitas tenaga akan berpengaruh positif terhadap daya saing industri
manufaktur nonmigas dengan nilai koefisien sebesar 0.068296.
Kemudian, dari hasil estimasi model penelitian data panel yang terlihat pada
tabel juga menunjukkan nilai intersep pada masing-masing provinsi yang diteliti. Di
mana dari hasil tersebut terlihat bahwa terdapat tiga (3) provinsi yang memiliki nilai
intersep yang negatif, yaitu Provinsi Yogyakarta, Banten, Jakarta. Nilai negatif
menunjukkan bahwa keempat provinsi tersebut memiliki tingkat daya saing industri
manufaktur terkecil dari enam provinsi di Pulau Jawa yang diteliti.
Berdasarkan tabel 4.7 menunjukkan bahwa masing-masing provinsi yang ada di
Pulau Jawa memiliki pengaruh individu yang berbeda-beda untuk setiap perubahan
pada Foreign Direct Investment (FDI), Produktivitas Tenaga Kerja, Infrastruktur dan
Aglomerasi Industri.
Tabel 4.7
Individual Effect
Variabel Koefisien Indv. Effect Prob.
C 0.347757
FDI 0.094003 0.0038
PTK 0.068296 0.0139
INFR -0.176135 0.0345
AGLM 0.163972 0.0186
Fixed Effect Cross
Jakarta-C -0.465241 -0.117484
74
Banten-C -0.485518 -1.37761
Jawa Barat-C 0.452002 0.799759
Jawa Tengah-C 0.962592 1.310349
Yogyakarta-C -0.675546 -0.327789
Jawa Timur-C 0.211711 0.559468
Sumber: Output Eviews
Provinsi Jakarta
Jika terdapat perubahan pada FDI, Produktivitas TK, Infrastruktur dan Aglomerasi
Industri baik antar provinsi maupun antar waktu, maka Provinsi Jakarta akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap daya saing industri menurun sebesar
0.117484 persen.
Provinsi Banten
Jika terdapat perubahan pada FDI, Produktivitas TK, Infrastruktur dan Aglomerasi
Industri baik antar provinsi ataupun antar waktu, maka Provinsi Banten akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap daya saing industri menurun sebesar
1.37761persen.
Provinsi Jawa Barat
Jika terdapat perubahan pada FDI, Produktivitas TK, Infrastruktur dan Aglomerasi
Industri baik antar provinsi ataupun antar waktu, maka Provinsi Jawa Barat akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap daya saing industri sebesar 0.799759
persen.
Provinsi Jawa Tengah
Jika terdapat perubahan pada FDI, Produktivitas TK, Infrastruktur dan Aglomerasi
Industri baik antar provinsi ataupun antar waktu, maka Provinsi Jawa Tengah akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap daya saing industri sebesar 1.310349
persen.
Provinsi Yogyakarta
Jika terdapat perubahan pada FDI, Produktivitas TK, Infrastruktur dan Aglomerasi
Industri baik antar provinsi ataupun antar waktu, maka Provinsi Yogyakarta akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap daya saing industri menurun
sebesar0.327789 persen
75
Provinsi Jawa Timur
Jika terdapat perubahan pada FDI, Produktivitas TK, infrastruktur dan Aglomerasi
Industri baik antar provinsi ataupun antar waktu, maka Provinsi Jawa Timur akan
mendapatkan pengaruh individu terhadap daya saing industri sebesar 0.559468
persen
F. Hasil Uji Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi bertujuan untuk mengetahui seberapa besar variabel bebas
(independen) dalam model penelitian dapat menjelaskan variabel terikat (dependen).
Nilai yang dihasilkan olehAdjusted R-squared(R2) dalam model penelitian adalah
berkisar antara nol sampai dengan satu. Nilai AdjustedR2yang mendekati nilai
nolmemiliki arti bahwa kemampuan variabel bebas (independen) dalam menjelaskan
variabel terikat (dependen) sangat terbatas. Begitu sebaliknya,
nilaiAdjustedR2mendekati nilai satu artinya variabel bebas (independen) mampu
menjelaskan secara informatif dan baik dalam memprediksi variabel terikat (dependen)
(Nurhasanudin, 2014).
Tabel 4.8
Hasil Uji Koefisien Determinasi
Sumber: Output Eviews
Berdasarkan hasil pengolahan data panel dalam tabel terlihat bahwa nilai Ajusted
R-squared (R2) bernilai 0.731563. Hal ini menunjukkan bahwa variabel bebas
(independen) yang dikembangkan dalam model penelitian di atas mampu menjelaskan
variabel terikat atau daya saing industri sebesar 73.15 persen, sedangkan sisanya yang
berjumlah 26.85 persen (100% - 73.15%) dijelaskan oleh variabel lain di luar model
penelitian ini.
G. Pengujian Hipotesis
1. Hasil Uji F statistic
Hasil uji F statistik hakikatnya bertujuan untuk melihat apakah semua variabel
bebas (independen) yang ada dalam model penelitian secara bersama-sama
(simultan) dapat mempengaruhi variabel terikat (dependen). Adapun hasil uji F
statistik dapat memberikan kesimpulan yang tepat dengan cara membandingkan
nilai F statistik hitung yang tertera pada hasil estimasi penelitian dengan F
statistik. Di samping itu kesimpulan hasil F statistik juga dapat dilihat dengan
Adjusted R-square (R2) 0.731563
76
membandingkan nilai probabilitas F statistik dengan tingkat signifikansi 5 persen
(0,05).
Tabel 4.9
Nilai Probabilitas F-statistic
F-statistic 27.94986
Prob (F-statistic) 0.000000
Sumber: Ouput Eviews
Berdasarkan hasil pengolahan data yang tertera pada tabel 4.9menunjukkan
bahwa nilai F statistik hitung adalah 27,94 dengan nilai probabilitas F statistik
0,0000. Sedangkan nilai F statistik tabel dengan d.f 0,05, 5-1 (k-1), 90-5 (n-k)
adalah 2,48. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa nilai F statistik hitung
(27,94) lebih besar dari nilai F statistik tabel (F-hitung > F-tabel) dan nilai
probabilitas F statistik lebih kecil dari tingkat siginikansi 5 persen (0,000 < 0,05).
Hal tersebut memberikan makna bahwa semua variabel bebas secara bersama-
sama (simultan) merupakan penjelas yang berpengaruh signifikan terhadap
variabel terikat (dependen).
2. Hasil Uji t Statistic
Hasilt-statistichakikatnya bertujuan untuk melihat pengaruh variabel bebas
(independen) yang ada dalam model penelitian terhadap variabel terikat
(dependen) secara parsial atau individu. Adapun hasil t-statisticdapat memberikan
kesimpulan yang tepat dengan membandingkan nilai t-statistic hitung dengan t-
statistictabelberdasarkan tingkat signifikansi 5%, k = 5 dan n = 90 atau
membandingkan nilai probabilitas setiap variabel bebas (independen) dengan
tingkat signifikansi 5 persen (0,05).
Tabel 4.10
Nilai Probabilitas t-statistic
Variabel t-statistic Prob.
FDI 2.983112 0.0038
PTK 2.514431 0.0139
INFR -2.150722 0.0345
AGLM 2.402490 0.0186
Sumber: Output Eviews
77
Hasil t-statistic pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel Foreign
Direct Investment (FDI), produktivitas tenaga kerja, infrastruktur dan aglomerasi
industri secara individu atau parsial masing-masing mempengaruhi daya saing
industri manufaktur nonmigas. Berikut ini merupakan penjelasan hasil pada
masing-masing variabel bebas (independen):
Hasil uji hipotesis pertama (1) : Pengaruh Foreign Direct Investment
(FDI) terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas.
Hasil pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel FDI memiliki nilai t-
statistic hitung sebesar 2.98 lebih besar dari nilait-statistic tabel sebesar 1,99
(2,98> 1,99) dan nilai probabilitas t-statistic sebesar 0.0038lebih kecil dari tingkat
signifikansi 5 persen (0.0038< 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
H0 ditolak dan menerima H1. Artinya, variabel Foreign Direct Investment (FDI)
berpengaruh signifikanterhadap variabel daya saing industri manufaktur
nonmigas.
Hasil uji hipotesis kedua (2): pengaruh produktivitas tenaga kerja
terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas.
Hasil pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel produktivitas tenaga
kerja memiliki nilai t-statistic hitung sebesar 2.51 lebih besar dari nilai t-statistic
tabel sebesar 1,99 (2.51> 1,99) dan nilai probabilitas t-statistic sebesar 0.0139
lebih kecil dari tingkat signifikansi 5 persen (0.0139< 0,05). Oleh karena itu,
dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak dan menerima H1. Artinya, variabel
produktivitas tenaga kerja berpengaruhsignifikan terhadap variabel daya saing
industri manufaktur nonmigas.
Hasil uji hipotesis ketiga (3): pengaruh infrastruktur terhadap daya saing
industri manufaktur nonmigas.
Hasil pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel infrastruktur memiliki nilai
t-statistic hitung sebesar 2.15 lebih besar dari nilai t-statistic tabel sebesar 1.99
(2.15 > 1.99) dan nilai probabilitas t-statistic sebesar 0.0345 lebih kecil dari
tingkat signifikansi 5 persen (0,0345< 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan
bahwa H0 ditolak dan menerima H1. Artinya, variabel infrastruktur berpengaruh
signifikan terhadap variabel daya saing industri manufaktur nonmigas.
Hasil uji hipotesis keempat (4): pengaruh aglomerasi industri terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas.
78
Hasil pada tabel 4.10 menunjukkan bahwa variabel aglomerasi industri
memiliki nilai t-statistic hitung sebesar 2.40 lebih besar dari nilai t-statistic tabel
sebesar 1,99 (2.40> 1,99) dan nilai probabilitas t-statistic sebesar 0,009 lebih kecil
dari tingkat (0,009 < 0,05). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak
dan menerima H1. Artinya, variabel aglomerasi industri berpengaruh secara nyata
atau signifikan terhadap variabel daya saing industri manufaktur nonmigas.
H. PembahasanHasil penelitian
1. Foreign Direct Investment (FDI) terhadap Daya Saing Industri Manufaktur
nonmigas.
Peran investasi salah satunya dalam bentuk aliran modal asing merupakan
faktor penting yang dapat menggerakkan roda perekonomian nasional khususnya
di sektor industri manufaktur nonmigas. sektor industri manufaktur nonmigas di
Pulau Jawa masih menjadi andalan bagi pemerintah khususnya kementerian
industri untuk menjalankan rencana strategisnya dalam meningkatkan daya saing
industri nasional, mengingat kontribusi industri manufaktur nonmigas di Pulau
Jawa cukup besar, yaitu sekitar 61 persen. Adapun dari besarnya kontribusi
tersebut diharapkan para pelaku industri mampu untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat secara berkelanjutan, baik kebutuhan domestik ataupun pasar
internasional.
Pada hasil uji t-statisticmenunjukkan bahwa FDI memberikan pengaruh
secara positif terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas. Hal ini
memberikan makna bahwa jika nilai Foreign Direct Investment (FDI) naik yang
artinya semakin besar nilai investasi yang masuk ke dalam sektor industri
manufaktur nonmigas, maka daya saing industri manufaktur nonmigas pada
povinsi di Pulau Jawa dapat meningkat. Fakta ini sesuai dengan pandangan Porter
yang menjelaskan bahwa investment driven merupakan suatu tahapan dalam
pembangunan nasional, di mana kemampuan dan ketersediaan untuk melakukan
investasi merupakan keunggulan utama dalam meningkatkan daya saing industri.
Pandangan ini sejalan dengan penelitian Namaki (2002:71) yang
menyatakan bahwa keberadaan investasi dalam bentuk FDI dapat mempengaruhi
secara positif terhadap peningkatan daya saing pasar internasionalmelalui
kontribusi FDIpada sektor industri manufaktur strategis.Sektor industri
manufaktur membutuhkan adanya pengembangan teknologi yang berkelanjutan
79
dalam proses produksinya, pengembangan ini tentu akan menghasilkan kinerja
industri yang jauh lebih inovatif.
Pengembangan teknologi dan pengetahuan baru tersebut dapat berupa proses
dan cara kerja industrinya atau bahkan komoditas yang dihasilkan adalah suatu
inovasi terbaru yang memiliki kualitas tinggi (Potterie dan Lichtenberg
(2001:490-497). Penemuan ini juga diperkuat oleh penelitian Zhang (2013:15)
yang menjelaskan bahwa keberadaan FDI dapat mempengaruhi daya saing
industri manufakturdengan meningkatkan produktivitas industri padat karya yang
secara tidak langsung akan berdampak terhadap peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia melalui transfer pengetahuan, keterampilan dan menciptakan
pelatihan khusus dalam rangka meningkatkan kompetensi para pekerja industri
sehingga produktivitas tenaga kerja industri pun ikut meningkat.
Pengembangan teknologi yang lebih inovatif dalam dunia industri
manufaktur akan mendorong kinerja industri manufaktur berada pada tahap proses
industri yang jauh lebih efisiendan mampu menghasilkan hasil produksi yang
berkualitas tinggi. Keefisienan dalam industri sangat diperlukan karena erat
hubungannya dengan biaya produksi yang akan berdampak terhadap harga
komoditas tersebut.
Semakin tinggi daya saing suatu komoditas maka harga yang ditawarkan
harus semakin kompetitif, yaitu keadaan di mana industri memberikan harga yang
rendah dengan kualitas terbaik dibandingkan komoditas dengan jenis yang sama
di negara lain. Dalam hal ini erat kaitannya degan hukum permintaan yang
menyatakan bahwa pada kondisi cateris paribus (hal lain dianggap konstan) maka
hasil produksi yang memiliki tingkat harga lebih rendah akan banyak diminati
oleh para konsumennya.
Rendahnya daya saing industri manufaktur di Indonesia juga tercermin
berdasarkan produktivitas industrinya yang relatif rendah, adapun tingkat
produktivitas industri ini tergambarkan melalui rata-rata usia mesin yang
digunakan dalam proses produksi sudah tua. Data yang dikeluarkan oleh
Direktorat Statistik ekonomi dan Monoter Bank Indonesia memaparkan bahwa
kondisi mesin yang digunakan dalam industri manufaktur nonmigas Indonesia
sebagian besar atau sekitar 35 persen merupakan mesin lama, jika dibandingkan
dengan persentase mesin baru hanya sekitar 18 persen sehingga kebutuhan para
pelaku industri untuk melakukan investasi cukup tinggi sebagaimana tercermin
80
dari besarnya keinginan para pelaku industri tersebut untuk melakukan perbaikan
teknologi dan penggantian mesin.
Kemudian dari sisi Sumber Daya Manusia, rata-rata kualitas tenaga kerja di
Indonesia juga cukup relatif rendah, rendahnya kualitas tersebut berdampak
terhadap kinerja produktivitas industri yang rendah, khususnya industri
manufaktur yang bergerak pada sektor padat karya (tenaga kerja). Oleh karena itu,
adanya investasi juga merupakan suatu peluang besar yang dapat melengkapi
kekurangan dari kualitas SDM tersebut melalui transfer pengetahuan,
keterampilan dan pelatihan khusus.
2. Produktivitas Tenaga Kerja Terhadap Daya Saing Industri
Pada dasarnya, tingkat produktivitas tenaga kerja dalam suatu industri di
suatu wilayah mencerminkan seberapa besar kemampuan industri tersebut untuk
mencapai kapasitas produksi optimum dalam proses produksinya walaupun
dengan jumlah input dari tenaga kerja yang sedikit sehingga menciptakan proses
produksi yang efisien. Produktivitas tenaga kerja menjadi salah satu hal yang
mampu menjelaskan daya saing industri dalam penelitian ini tidak terlepas dari
karakteristik industri manufaktur secara umum di Indonesia, yaitu industri
manufaktur yang berbasis padat karya. Terlebih lagi kondisi faktor (factor
condition) yang dominan di Indonesia selain Sumber Daya Alam adalah Sumber
Daya Manusia (SDM).
Hasil t-statistic menunjukkan produktivitas tenaga kerja secara positif dan
signifikan mempengaruhi daya saing industri manufaktur nonmigas.Hal ini
memberikan makna bahwa jika nilai produktivitas tenaga kerja meningkat yang
berarti output per tenaga kerja tinggi, maka daya saing industri manufaktur
nonmigas pada povinsi di Pulau Jawa dapat meningkat. Fakta ini sesuai dengan
pandangan Porter dalam Porter’s Competitivenes Diamond yang menyatakan
bahwa produktivitas tenaga kerja sebagai salah satu potensi faktor produksi yang
mampu dan sangat berarti dalam mendorong terciptanya keunggulan kompetitif
atau daya saing industri.
Fakta ini juga sejalan dengan penelitian Auzina dan Emsina (2014) yang
menyatakan bahwa peningkatan produktivitas tenaga kerja mendorong
perekonomian menjadi lebih baik dan pada akhirnya akan berdampak terhadap
peningkatan daya saing nasional.Hal ini juga diperkuat oleh Isventina (2015:45)
81
yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh signifikansi antara produktivitas
tenaga kerja terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas.
Hal ini disebabkan oleh setiap peningkatan output terhadap input minimum
yang digunakan maka kapasitas produksi optimum akan terpenuhi. Bukan hanya
kapasitas produksi yang optimum, tetapi juga akan akan berdampak terhadap
tingkat efisiensi yang dihasilkan dalam industri sehingga mendorong harga output
menjadi lebih kompetitif.
3. Infrastruktur terhadap Daya Saing Industri Manufaktur nonmigas
Salah satu faktor dasar yang dianggap penting dalam pembangunan sektor
industri di setiap wilayah adalah tersedianya infrastruktur yang memadai sehingga
mampu mendorong pembangunan industri manufaktur di suatu wilayah. Adapun
rata-rata perkembangan jaringan jalan pada provinsi di Pulau Jawa sebagai salah
satu sub infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini tidak terlalu
menunjukkan perkembangan pertumbuhan yang cukup banyak.
Pada hasil uji t-statistic menunjukkan bahwa infrastruktur memberikan
pengaruh signifikan terhadap daya saing industri manufaktur nonmigas. Hal ini
menunjukkan bahwa jaringan jalan merupakan salah satu faktor penting dan
menjadi kebutuhan dalam kegiatan sektor industri. Fakta ini sesuai dengan
pandangan Porter dalam konsep Porter’s Competitiveness Diamondyang
menyatakan bahwa suatu keunggulan kompetitif dibangun berdasarkan salah satu
faktor utama, yaitu kondisi faktor (factor condition)yang tersedia dalam suatu
negara atau wilayah tersebut, di mana sumberdaya infrastruktur merupakan salah
satu bagian dari kondisi faktor tersebut.
Pandangan ini sejalan dengan penelitian Palei (2015:172)dan Mamatzakis
(2008:323) yang menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur dalam hal ini
jaringan jalan merupakan salah satu komponen yang krusial (penting) bagi kinerja
perekonomian, hal ini dikarenakan adanya infrastruktur yang dapat meminimalisir
biayainput dan output pada seluruh industri manufaktur sehingga menciptakan
penghematan biaya produksi.
Namun, hasil penelitian yang didapat menyatakan bahwa infrastruktur
jaringan jalan berpengaruh signifikan secara negatif terhadap daya saing industri
manufaktur nonmigas. Hal ini disebabkan karena jaringan jalan memiliki tingkat
kepadatan jalan yang tinggi dan sejalan dengan pernyataan Prasetyo (2010:73)
bahwa sepanjang apapun jaringan jalan yang terdapat dalam suatu wilayah, tetapi
82
memiliki tingkat kepadatan yang tinggi, maka tingkat mobilitas atau pergerakan
barang atau orang akan menjadi rendah sehingga akan menggangu aktivitas
perekonomian. Aktivitas industri manufaktur yang terganggu karena jaringan
jalan memiliki mobilitas yang rendah maka biaya distribusi baik input atau output
industri akan tinggi sehingga berdampak terhadap peningkatan biaya produksi,
meningkatnya biaya produksi ini tentu akan menciptakan harga yang tinggi dan
tidak kompetitif.
4. Aglomerasi Industri terhadap Daya Saing Industri
Pada hasil uji t-statistic menunjukkan bahwa aglomerasi industri
memberikan pengaruh secara positif dan signifikan terhadap daya saing industri
manufaktur nonmigas. Fakta ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat
aglomerasi industrimanufaktur yang artinya semakin terkonsentrasinya industri
pendukung dan terkait maka akan semakin memberikan peluang yang besar
terhadap peningkatan daya saing industri manufaktur nonmigas.
Fakta ini sejalan dengan pandangan Porter’s Competitiveness Diamondyang
memaparkan bahwa keberadaan industri terkait dan pendukung dapat menjadi
pendorong terciptanya keunggulan kompetitif dalam pembangunan industri
manufaktur di suatu negara/wilayah yang kemudian akan berakhir pada
peningkatan daya saing industri manufaktur nonmigas. Hasil penelitian ini juga
sejalan oleh penelitian Kleynhans dan Drewes (2008) yang menyatakan bahwa
pertimbangan dalam penentuan lokasi industri berdampak positif terhadap
peningkatan daya saing industri manufaktur.
Kemudian diperkuat oleh penelitian Zhaohui, et al, (2013) yang menyatakan
bahwa terciptanya hubungan positif dan signifikan antara aglomerasi industri
dengan peningkatan daya saing industri manufaktur. Fenomena aglomerasi
industri merupakan perwujudan dari para pelakuindustri yang ingin mencapai
keefisienan dalam aktivitas industrinya, artinya setiap pelaku industri akan
menentukan lokasi pembangunan kawasan industri yang akan berdampak terhadap
tingkat profitabilitas atau keuntungan yang maksimal melalui berbagai faktor yang
menjadi pertimbangan.
Lokasi optimal menurut pandangan para pelaku industri merupakan suatu
lokasi yang didasarkan pada penghematan biaya yang diperoleh dalam melakukan
aktivitas industri, baik aktivitas produksinya ataupun pemasaran hasil produksi
tersebut. Oleh karena itu, terkonsentrasinya industri terkait dan pendukung
83
menjadi salah satu faktor pertimbangan para pelaku industri dalam memperoleh
penghematan biaya tersebut (Hilmawan, 2013:5).
Kondisi ini juga diperkuat oleh Marshall yang menyatakan bahwa
penghematan dan keuntungan dalam aglomerasi dapat terjadi karena kemudahan
akses informasi antar pekerja industri, penggunaan input dapat lebih efisien dalam
industri sejenis dan ketersediaan tenaga kerja yang cukup.Penghematan biaya
dalam aktivitas industri akibat adanya fenomena aglomerasi inilah yang akan
mendorong keunggulan kompetitif dari industri manufaktur.
84
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah dibahas sebelumnya,
penulis memperoleh kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian mengenai Analisis
Determinan Daya Saing Industri Manufaktur nonmigas (Studi Kasus: Provinsi di Pulau
Jawa) adalah sebagai berikut:
1. Secara simultan, hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh signifikan antara
variabel FDI, produktivitas tenaga kerja, infrastruktur dan aglomerasi terhadap
daya saing manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
2. Foreign Direct Investment (FDI) memiliki pengaruh positif signifikan terhadap
daya saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
3. Produktivitas Tenaga Kerja memiliki pengaruh positif signifikan terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
4. Infrastruktur memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap daya saing industri
manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
5. Aglomerasi industri memiliki pengaruh positif signifikan terhadap daya saing
industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, berikut beberapa saran
yang diharapkan bisa bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
1. Bagi para pelaku industri manufaktur, para pelaku seluruh sub sektor industri
manufaktur diharapkan mampu untuk meningkatkan daya saing industri melalui
mengembangkan teknologi dan pengetahuan baru terkait cara kerja, proses
produksi industri yang lebih inovatif. Kemudian mengoptimalkan kebijakan
investasi satu pintu dalam rangka meningkatkan daya saing industri manufaktur
nonmigas.
2. Bagi pemerintah diharapkan meningkatkan anggaran negara untuk perbaikan
kualitas Infrastruktur jaringan jalan bukan hanya sekedar kuantitasnya dan
mengatur regulasi terkait kepadatan jalan yang ada di setiap wilayah agar segala
aktivitas ekonomi, khususnya sektor industri manufaktur setiap wilayah berjalan
dengan baik.
85
3. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan mampu untuk lebih spesifik atau
menyempitkan masalah penelitian terkait determinan daya saing industri
manufaktur nonmigas, seperti menganalisis determinan daya saing sub sektor
industri manufaktur yang lebih dipersempit ruang lingkupnya sehingga dapat
diketahui subsektor apa saja yang memang memberikan dampak terhadap daya
saing industri manufaktur nonmigas pada provinsi di Pulau Jawa.
86
DAFTAR PUSTAKA
Ariefianto, Moch Doddy, “Ekonometrika: Esensi dan Aplikasi dengan Menggunakan
Eviews”, Erlangga, Jakarta, 2012.
Asian Productivity Organization, “APO Productivity Databook 2017”, 2017.
Ayu & Disman, “ Liquidity Risk: Comparison Between Islamic and ConventonalBanking”,
Vol. 20, 2017.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, “Perkembangan Ekonomi Indonesia dan
Dunia”, Deputi Bidang Ekonomi, 2017.
Badan Pusat Statistik, “Banten dalam Angka 2002-2016”.
Badan Pusat Statistik, “DKI Jakarta dalam Angka 2002-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Jawa Barat dalam Angka “2002-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Jawa Tengah dalam Angka 2002-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Jawa Timur dalam Angka 2002-2016”.
Badan Pusat Statistik, “Laporan Produk Domestik Regional Bruto Provinsi-Provinsi di
Indoensia Menurut Lapangan Usaha 2012-2016”, 2017.
Badan Pusat Statistik, “Statistik Indonesia 2002-2017”, 2017.
Badan Pusat Statistik, ”Yogyakarta dalam Angka 2002-2016”.
BKPM, “Perkembangan Realisasi PMA Menurut Lokasi Periode 2002-2016”, Jakarta.
Brooks, Chris, “ Introductory Econometrics for Finance”, 2nd
Edition, Cambridge University
Press, Cambridge, 2008.
Canning, David & Pedroni, Peter, “Infrastructure and Long Run Economic Growth”,
University of Belfast, 2004.
Cho, Dong-Sung & Moon, Hwy-Chang, “From Adam Smith to Michael Porter: Evolusi Teori
Daya Saing”, Salemba Empat, Jakarta, 2003.
Deputi Bidang Ekonomi Kementrian BAPPENAS, “ Perkembangan Ekonomi Indonesia dan
Dunia”, 2017.
Direktorat Statistik Ekonomi dan Monoter, “ Laporan Pemetaan Ekonomi Sektor Industri
Nonmigas”, Bank Indonesia, 2006.
Dwi Agustineu, Selly, “Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Industri Tekstil di Jawa
Barat”, IPB, 2004.
Emsina, Astra Auzina, “Labour Productivity, Economic Growth and Technology
Competitiveness in Post-Crisis Period”, 19th International Scientific Conference,
2014.
87
Fadhilyah, Alfi, “ Analisis Pengaruh Nilai Buku Ekuitas dan Laba Per Sahan Terhadap
Harga Saham pada Perusahaan Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2002-
2006”, FEUI, 2008.
Familoni, K.A., “The Role of Economic and Social Infrastructure in Economic
Development:A Global View”, 2004.
Gujarati, Demodar N, “ Dasar-dasar Ekonometrika Jilid 2”, Erlangga, Jakarta, 2006.
Gujarati & Porter, “Basic Econometrics”, 5th
Edition, The Mc-Graw-Hill Companies,
NewYork, 2009.
Hapsari, Aldila, “Pengaruh Nilai Bahan Baku, Bahan Bakar dan Jumlah Tenaga Kerja
terhadap Output Industri Tekstil di Indonesia Periode 1983-2012”, Skripsi FEB UIN
Jakarta, 2015.
Havrila, Inka & Gunawardana, Pemasiri, “ Analysing Comparative Advantage and
Competitiveness: An Application to Australia’s Textile and Clothing Industries”,
2003.Cavlin, Miroslav, et.all., “Measurement of Comparative Advantage of Processed
Food Sector of Serbia in The Increasing The Export”, 2014.
Herciu, Mihaela, “Measuring International Competitiveness of Romania bu Using Porter’s
Diamond and Revealed Comparative Advantage”, 2013.
Hilmawan, Rian, “Lokasi Industri dan Fenomena Aglomerasi di Indonesia:Perspektif
Ekonomi Regional”, Working Paper LPEB Fakultas Ekonomi Universitas
Mulawarman, 2013.
Isventina, “Analisis Daya Saing Sektor Industri Prioritas Indonesia Dalam Menghadapi
Pasar ASEAN”, Thesis Sekolah Pascasarjana IPB Bogor, 2015.
Namaki, EL M.S.S, “An Analysis of China’s Competitiveness Between 1995 and
1999”, Vol.12, 2002.
Karaalp, Hacer Simay & Yilmaz, Nazire Deniz, “ Assesment of Trends in The Comparative
Advantage and Competitiveness of Turkish Textile and Clothing Industry in The
Enlarged EU Market”, 2012.
Kementerian Perindustrian, “Rencana Strategis Kementerian Perindustrian 2015-2019”,
2015.
Kementerian Perindustrian, “Berita Industri: Pemerintah Andalkan Pertumbuhan Industri
Pulau Jawa”, 2017.
Kementerian Perdagangan RI, “Perkembangan Realisasi Kinerja Ekspor-Impor Sektor
IndustriManufaktur nonmigas Periode 2002-2016”, Jakarta.
Kodoatie, R.J., “ Manajemen dan Rekayasa Infrastruktur”, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
88
2003.
Klyenhans, Ewert P.J., “Factors Determining Industrial Competitiveness and The Role of
Spillovers”, North-West University, South Africa, 2016.
Kleynhans, Ewert & Drewes, Ernst, “ The Influence of Location on The Efficiency of
Manufacturers in South Africa”, 2008.
Kuncoro, Mudrajad, “Metode Riset Untuk Bisnis & Ekonomi”, Erlangga, Jakarta, 2009.
Mamatzakis, Emmanuel Constantine, “Economic Performence and Public Infrastructure: An
Application to Greek Manufacturing”, 2008.
Nachrowi, et all., “Penggunaan Teknik Ekonometri Edisi Revisi”, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002.
Namaki, El M.S.S, “An Analysis of China’s Competitiveness Between 1995 and 1999”,
Volume 12, 2002.
Noor, Henry Faizal, “Investasi:Pengelolaan Keuangan Bisnis dan Pengembangan Ekonomi
Masyarakat”, Cetakan Pertama, Indeks, Jakarta, 2009.
Nurhasanudin, “ Pengaruh Kompetisi, Capital Buffer, Diversifikasi Pendapatan dan Ukuran
Bank Terhadap Stabilitas Bank Syariah di Indonesia”, FEB UIN Jakarta, 2017.
Palei, Tatyana, “Assesing The Impact of Infrastructure on Economic Growth and Global
Competitiveness”, 2015.
Partomo, Tiktik Sartika, “Ekonomi Industri”, Edisi Pertama, Jakarta, Inti Prima, 2008.
Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2005 Tentang Komite Percepatan Penyediaan
Infrastruktur.
Potterie, B. & Lichtenberg, F., “Does Foreign Investment Tranfer Technology Across
Borders?”, Review of Economic and Statistics, 2001.
Prasetyo, Rindang Bangun, “Dampak Pembangunan Infrastruktur dan Aglomerasi Industri
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Indonesia”, IPB, 2010.
Purwoto & Kurniawan, “Kajian Dampak Infrastruktur Jalan Terhadap Pembangunan
Ekonomi dan Pengembangan Wilayah”, Simposium XII FSTPT, 2009.
Ramadhan, Adrian, “Analisis Daya Saing Industri Furniture Rotan Indonesia”, IPB, 2009.
Tripa, Simona & Oana, Loan, “Revealed Comparative Advantage and
Competitiveness in Romanian Textile and Clothing Industry”, 2016.
Ridhwan, et,all. “Analisis Daya Saing dan Strategi Industri Nasional di Era Masyarakat
Ekonomi ASEAN dan Perdagangan Bebas”, Working Paper Bank Indonesia, 2015.
Schwab, Klaus, “The Global Competitiveness Report 2016-2017”, World Economic
Forum, 2017.
89
Rosadi, Dedi, “Ekonometrika & Analisis Runtun Waktu Terapan Dengan Eviews”, CV. Andi
Offset, Yogyakarta, 2012.
Rosalina, Almira, “Analisis Daya Saing Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Provinsi
Jawa Barat Tahun 1981-2010”, IPB, 2013.
Samuelson, “ Ilmu Mikro Ekonomi”, Edisi bahasa Indonesia, Media Global Edukasi, Jakarta,
2003.
Sanny, Lim, “Peningkatan Daya Saing Industri Indonesia”, Forum Ilmiah Volume 9, 2012.
Uzik, Martin & Vokorokosova, Renata, “ Labour Productivity As A Factor of
Competitiveness-A Comparative Study”, 2007.
Setiawan & Kusrini, “ Ekonometrika”, CV. Andi Offset, Yogyakarta, 2010.
Setiawati &Setiawan, “Permodelan Persentase Penduduk Miskin di Jawa Timur dengan
Pendekatan Ekonometrika Panel Spasial”, Vol. 1, 2013.
Suliyanto, “Ekonometrika Terapan Teori dan Aplikasi dengan SPSS”, CV. Andi Offset,
Yogyakarta, 2011.
Sukirno, Sadono, “Ekonomi Pembangunan Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan
Pembangunan”, UI-Pres, Jakarta, 2000.
Todaro, Michael P & Smith, Stephen C, “Pembangunan Ekonomi”, Edisi 11 Jilid , Erlangga,
Jakarta, 2011.
Uliyati, Wiwi, “Analisis Daya Saing dan Determinan Aliran Perdagangan Komoditi
Unggulan Ekspor Indonesia ke Uni Emirat Arab”, IPB, 2015.
Ulum, Miftacul, “Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI), Infratsruktur dan
Pengangguran Terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Provinsi Jawa
Tengah (Periode Tahun 2000-2012)”, FEB UIN Jakarta, 2014.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.
Undang-Undang No. 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing
United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), “Industrial Development
Report 2016”, 2017.
Woorldrige, Jeffrey M, “ Introductory Econometrics A Modern Approach”, Maon, South
Western Cengage Learning, 2009.
Yulinda, Shelvy, “ Analisis Pengaruh Aglomerasi Industri Manufaktur Besar dan Sedang
Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Barat Periode 2010-2013”, IPB,
2016.
Zhang, Honglin Kevin, “How Does Foreign Direct Investment Affect Industrial
Competitiveness? Evidence From China”, China Economic Review, 2013.
90
Zhaohui, et.all., “Study on China’s Electronic Information Industrial Agglomeration and
Regional Industrial Competitiveness”, Vol. 11, 2013.
91
LAMPIRAN
Uji Hausman
Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: Untitled
Test cross-section random effects
Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 0.000000 4 1.0000 * Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.
** WARNING: robust standard errors may not be consistent with
assumptions of Hausman test variance calculation.
Uji Chow
Redundant Fixed Effects Tests
Equation: Untitled
Test cross-section fixed effects Effects Test Statistic d.f. Prob. Cross-section F 2.485551 (5,80) 0.0382
Cross-section Chi-square 12.996061 5 0.0234
Model FIX Effect GLS SUR
Dependent Variable: RC
Method: Panel EGLS (Cross-section SUR)
Date: 03/28/18 Time: 12:19
Sample: 2002 2016
Periods included: 15
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 90
Linear estimation after one-step weighting matrix Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. AGLM 0.163972 0.068251 2.402490 0.0186
ZFDI 0.094003 0.031512 2.983112 0.0038
ZINFR -0.176135 0.081896 -2.150722 0.0345
ZPTK 0.068296 0.027162 2.514431 0.0139
C 0.347757 0.083255 4.176996 0.0001 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) Weighted Statistics R-squared 0.758708 Mean dependent var 2.057657
Adjusted R-squared 0.731563 S.D. dependent var 2.536874
92
S.E. of regression 0.946701 Sum squared resid 71.69940
F-statistic 27.94986 Durbin-Watson stat 1.462427
Prob(F-statistic) 0.000000 Unweighted Statistics R-squared 0.295450 Mean dependent var 0.544833
Sum squared resid 58.38316 Durbin-Watson stat 1.391275
Uji Glejser
Dependent Variable: REABS
Method: Panel Least Squares
Date: 03/28/18 Time: 12:20
Sample: 2002 2016
Periods included: 15
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 90 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. AGLM 0.128234 0.229812 0.557995 0.5784
ZFDI 0.137848 0.071883 1.917682 0.0587
ZINFR -0.181557 0.433062 -0.419241 0.6762
ZPTK 0.017291 0.071541 0.241689 0.8096
C 0.242975 0.280103 0.867450 0.3883 Effects Specification Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.641325 Mean dependent var 0.397098
Adjusted R-squared 0.600974 S.D. dependent var 0.699070
S.E. of regression 0.441592 Akaike info criterion 1.307580
Sum squared resid 15.60030 Schwarz criterion 1.585337
Log likelihood -48.84110 Hannan-Quinn criter. 1.419588
F-statistic 15.89367 Durbin-Watson stat 1.827113
Prob(F-statistic) 0.000000
Uji Multikolinearitas
AGLM FDI INFR PTK AGLM 1.000000 0.360270 0.062534 -0.133255
FDI 0.360270 1.000000 0.180976 0.128286
INFR 0.062534 0.180976 1.000000 -0.017735
PTK -0.133255 0.128286 -0.017735 1.000000
93
Tahun Provinsi RC FDI ZFDI PTK ZPTK INFR ZINFR AGLM
2002 jakarta 0.109963106 149895000 -0.5908 187746424.3 -0.4122 7636 -0.79179 1.07273555
2003 jakarta 0.091413893 1660390000 0.61025 191649437.5 -0.3978 7616 -0.79326 1.15099997
2004 jakarta 0.056500273 276993000 -0.4897 179885927.7 -0.4411 7616 -0.79326 1.30471147
2005 jakarta 0.048976881 392617000 -0.3978 212559757.3 -0.3207 7130 -0.82896 0.89241818
2006 jakarta 0.068904258 317076000 -0.4579 238904892 -1.016 7645 -0.79112 0.8912534
2007 jakarta 0.033498855 622493000 -0.215 236227277.7 -0.2335 6540 -0.8723 0.66384688
2008 jakarta 0.159520919 608530000 -0.2261 291901140.8 -0.0283 6185 -0.89838 1.04290931
2009 jakarta 0.230635125 311841000 -0.462 261388486.6 -0.1408 6409 -0.88192 1.17866272
2010 jakarta 0.244097489 357744000 -0.4255 281909273 -1.0002 6866 -0.84835 1.02312656
2011 jakarta 0.241736801 412749000 -0.3818 295167596.8 -0.0163 7094 -0.8316 0.90223513
2012 jakarta 0.233158323 767859000 -0.0994 260437612 -1.0081 7094 -0.8316 0.87128704
2013 jakarta 0.18676647 511916000 -0.303 300643018 -0.9933 7094 -0.8316 0.81374298
2014 jakarta 0.11020691 391846000 -0.3984 283755670.1 -0.0584 7094 -0.8316 0.9649229
2015 jakarta 0.126266555 387712000 -0.4017 330440983.1 0.11368 6956 -0.84174 0.88073045
2016 jakarta 0.099394574 842121000 -0.0404 485537039.8 0.68525 6281 -0.89133 0.69827793
2002 Banten 0.325740998 300396000 -0.4711 128466532.2 -0.6306 4473 -1.02415 1.798416
2003 Banten 0.21108656 267797000 -0.4971 138728181 -1.0529 4473 -1.02415 1.8090165
2004 Banten 0.228680603 275937000 -0.4906 156194708.3 -0.5285 4473 -1.02415 1.70550778
2005 Banten 0.20077724 574169000 -0.2535 144814675.9 -0.5704 4473 -1.02415 1.99080742
2006 Banten -0.335973549 414969000 -0.38 157731258.9 -0.5228 4326 -1.03495 1.42608021
2007 Banten 0.149359777 474722000 -0.3325 175749920.4 -0.4564 4773 -1.00211 0.92349848
2008 Banten 0.374597318 398817000 -0.3929 176422055.6 -0.4539 4806 -0.99968 1.66618669
2009 Banten 0.264677609 1189989000 0.23621 143621130.3 -0.5748 6205 -0.89691 1.94477027
2010 Banten 0.187724204 373730000 -0.4128 136410050.1 -0.6014 6456 -0.87847 1.72475664
2011 Banten 0.259064956 1934218000 0.82798 120820265 -1.0595 6456 -0.87847 1.74919366
2012 Banten 0.457802361 2226830000 1.06064 107288496.9 -0.7087 6506 -0.8748 1.76218573
94
2013 Banten 0.322598972 2760309000 1.48483 120986543.8 -0.6582 6845 -0.84989 1.68436964
2014 Banten 0.473567937 1535202000 0.5107 101444209.2 -0.7302 6907 -0.84534 2.07179412
2015 Banten 0.494828819 1512526000 0.49267 123980564.4 -0.6472 6907 -0.84534 1.71744253
2016 Banten 0.554115401 2199241000 1.03871 123753233 -1.0585 6976 -0.84027 1.84942706
2002 jabar 0.243428865 641080000 -0.2003 121749780.3 -0.6554 22174 0.2762 1.36675737
2003 jabar 2.724185277 1201349000 0.24525 141369044.4 -0.5831 22356 0.28957 1.55188229
2004 jabar -1.703932266 984010000 0.07243 136261418.3 -0.6019 23017 0.33813 1.36099253
2005 jabar 0.283538848 1831495000 0.7463 137553164.5 -0.5972 24934 0.47896 1.80652917
2006 jabar -0.769554229 1409718000 0.41093 162786961.2 -0.5042 24628 0.45648 1.08022079
2007 jabar 1.119970592 1186367000 0.23333 177742018.3 -0.4491 25679 0.53369 0.71132844
2008 jabar 2.266859891 4327274000 2.73079 176661384.1 -0.453 25857 0.54676 1.39931157
2009 jabar 2.404004406 1508721000 0.48965 171130814.9 -0.4734 25774 0.54067 1.38337322
2010 jabar 1.316881188 1159071000 0.21163 170591161.4 -0.4754 25494 0.5201 1.44929849
2011 jabar 3.215075739 2857442000 1.56207 151940342.5 -0.5441 25500 0.52054 1.47552005
2012 jabar 3.523002911 3868520000 2.36601 134681744.5 -0.6077 24549 0.45068 1.46391811
2013 jabar 2.462188498 6780569000 4.68149 141874239.6 -0.5812 24608 0.45501 1.45251118
2014 jabar 2.994376342 5035520000 3.29394 158033576.1 -0.5217 25156 0.49527 1.37199266
2015 jabar -2.777614758 4165443000 2.60211 156359311.7 -0.5279 25204 0.49879 1.46085003
2016 jabar -1.582349356 4426827000 2.80994 175454582.7 -0.4575 26205 0.57233 1.4519125
2002 jateng 1.568007536 25054000 -0.6901 67255855.56 1.37446 26970 0.62853 1.16985017
2003 jateng 1.64989691 56110000 -0.6654 72898978.7 -0.8354 26262 0.57652 1.21275119
2004 jateng 1.717412568 81873000 -0.6449 81417611.39 1.89635 26305 0.57968 1.15043536
2005 jateng 1.706401318 34618000 -0.6825 66759005.78 1.35615 29056 0.78177 1.95464751
2006 jateng 1.983378463 357579000 -0.4257 75448613.14 1.67638 28358 0.73049 1.15835659
2007 jateng 1.703199585 68183000 -0.6558 89062966.11 2.1781 28490 0.74019 0.65826382
2008 jateng 1.640023216 118335000 -0.6159 98930955.21 2.54176 28904 0.7706 1.27086977
2009 jateng 1.219851942 78712000 -0.6474 107094024.7 -0.7094 29163 0.78963 1.24288115
95
2010 jateng 1.111546952 29161000 -0.6868 112780355.8 -0.6884 29203 0.79257 1.26855566
2011 jateng 1.326369218 130395000 -0.6063 108373608.3 -0.7047 29110 0.78574 1.31330997
2012 jateng 1.227354055 164317000 -0.5793 97187400.06 2.47751 29342 0.80278 1.34646125
2013 jateng 1.23947616 301409000 -0.4703 92545209.98 2.30643 29703 0.8293 1.43208506
2014 jateng 1.127625674 400353000 -0.3917 101136063.4 -0.7314 30236 0.86845 1.4560442
2015 jateng 0.900561139 471189000 -0.3353 109365396.6 -0.701 30294 0.87271 1.39203126
2016 jateng 0.703722746 478737000 -0.3293 113764922.4 -0.6848 27574 0.6729 1.51316736
2002 yogya -0.190288549 158000 -0.7099 63936689.22 1.25214 4918 -0.99146 0.76915318
2003 yogya -0.310726788 1818000 -0.7086 81794814.36 1.91025 4825 -0.99829 0.72269965
2004 yogya -0.008011509 99000 -0.7099 77129188.47 1.73832 4825 -0.99829 0.7505876
2005 yogya -0.234592052 1194000 -0.709 66729639.82 1.35507 4825 -0.99829 0.86969868
2006 yogya -0.256123943 3573000 -0.7072 76848669.26 1.72798 4859 -0.99579 0.59194394
2007 yogya -0.057576043 528000 -0.7096 58664602.83 1.05786 4833 -0.9977 0.48854962
2008 yogya 0.028626602 7631000 -0.7039 76347873.21 1.70952 4859 -0.99579 0.74327087
2009 yogya 0.032206254 1717000 -0.7086 72764756.58 1.57748 4757 -1.00328 0.74793858
2010 yogya 0.360946615 1677000 -0.7087 80615815.26 1.86681 4753 -1.00358 0.88038832
2011 yogya 0.713468529 779000 -0.7094 63037918.81 1.21902 4592 -1.0154 0.83578116
2012 yogya 0.32750693 2931000 -0.7077 59982709.52 1.10643 4592 -1.0154 0.85232116
2013 yogya 0.12092607 6002000 -0.7052 64154928.68 1.26019 4267 -1.03928 0.87595089
2014 yogya - 0.161287748 7331000 -0.7042 72866717.24 1.58123 4293 -1.03737 0.7919733
2015 yogya -0.189767889 7838000 -0.7038 62656010.13 1.20495 4292 -1.03744 0.85484895
2016 yogya -0.167926971 12197000 -0.7003 80025927.4 -0.8092 3874 -1.06815 0.7837452
2002 jatim 0.371875833 102503000 -0.6285 125428076.2 -0.6418 36337 1.31665 1.02345818
2003 jatim 0.318175827 216665000 -0.5377 156167784.9 -0.5286 36337 1.31665 0.98212818
2004 jatim 0.363138643 149496000 -0.5911 153198947.8 -0.5395 36337 1.31665 1.06538038
2005 jatim 0.464399895 668165000 -0.1787 142946509.7 -0.5773 36803 1.35088 1.53400921
2006 jatim 0.459504183 319625000 -0.4559 158875321.4 -0.5186 36337 1.31665 0.87163413
96
2007 jatim 0.42604571 1643810000 0.59706 160584280.8 -0.5123 37027 1.36733 0.61437786
2008 jatim 0.510020129 402844000 -0.3897 184224636.9 -0.4252 37812 1.425 1.07531174
2009 jatim 0.382849368 394058000 -0.3967 198928684.7 -0.371 39852 1.57486 1.00788666
2010 jatim 0.382991812 759750000 -0.1059 195969019.5 -0.3819 44044 1.88282 1.09774053
2011 jatim 0.511340848 432284000 -0.3663 177820681.1 -0.4488 45589 1.99632 1.1360171
2012 jatim 0.52721461 1377724000 0.38549 161211595.1 -0.51 42512 1.77027 1.16495443
2013 jatim 0.503066445 1688684000 0.63274 178364020.6 -0.4468 42555 1.77343 1.13663412
2014 jatim 0.434532537 1410731000 0.41173 191821197.6 -0.3972 42107 1.74052 1.14218174
2015 jatim 0.332882242 669905000 -0.1773 200171663.5 -0.3664 42107 1.74052 1.13015328
2016 jatim 0.284994735 1440800000 0.43564 220707756.1 -0.2907 41740 1.71356 1.12771578