148
ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 715 K/Ag/2014 TENTANG KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA BANK SUMUT SYARIAH TESIS Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH) Oleh: Lalu Fahrizal Cahyadi NIM : 21150433000002 PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 715 K/Ag/2014 …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/41590/1/LALU... · analisa putusan mahkamah agung no 715 k/ag/2014 tentang klausul

  • Upload
    lytu

  • View
    242

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

ANALISA PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO 715 K/Ag/2014

TENTANG KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO

DALAM PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA BANK

SUMUT SYARIAH

TESIS

Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Magister Hukum (MH)

Oleh:

Lalu Fahrizal Cahyadi

NIM : 21150433000002

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

v

Abstrak

Akad pembiayaan musyarakah merupakan salah satu produk akad

pembiayaan di Bank Sumut syariah selain akad-akad lainnya. Pembiayaan

tersebut dalam asasnya adalah akad amanah dimana dua orang atau lebih

bekerjasama dalam modal (dana) atau usaha (tenaga) atau salah satunya dengan

ketentuan bahwa kuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan

kesepakatan diantara para pihak. Sengketa terjadi antara pihak Bank dan nasabah

yang diwakilkan oleh ahli warisnya karena merasa dirugikan dalam perjanjian

musyarakah tersebut. Ahli waris dalam hal ini mewakilkan nasabah yang

meninggal dunia merasa dirugikan karena pihak nasabah telah membayarkan

premi asuransi jiwa kepada perbankan yang sebagai perpanjangan tangan dari

perusahaan asuransi. Dalam sisi lain, nasabah telah mentandatangani surat

pernyataan yang berisikan pengalihan tanggung jawab resiko apabila terjadi

sesuatu (dalam hal ini terjadi kematian). Seharusnya dalam pencairan dana

pembiayaan musyarakah tersebut, perbankan harus meminta terlebih dahulu

kepada nasabah untuk memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, akan tetapi dalam

hal ini perbankan melakukan sebuah kelalaian dengan mencairkan dana

pembiayaan musyarakah dengan syarat menyusul kemudian. Surat pernyataan

yang ditandatangani oleh nasabah tersebut merupakan suatu klausul tentang

pengalihan tanggung jawab resiko yang bertentangan dengan prinsip perbankan

yaitu keadilan dan maslahat. Selain itu, bertentangan dengan asas itikad baik

dalam sebuah perjanjian.

Dalam perkara ini, terdapat perbedaan pertimbangan dan putusan hakim

khususnya dalam syarat formil gugatan penggugat (ahli waris nasabah) antara

Peradilan tingkat I (pertama) dengan Peradilan tingkat banding dan kasasi. Dalam

putusan kasasi atau Mahkamah Agung No 715K/Ag/2014 Majlis Hakim dalam

pertimbangannya menyatakan bahwa gugatan penggugat mengandung cacat

formil dalam hal ini gugatan penggugat mengandung obscuur libel, dimana

penggugat tidak menjelaskan secara rinci tuntutan (petitum) kepada siapa

dibebankan pembiayaan yang sudah dipinjam oleh nasabah sewaktu hidupnya

sehingga gugatan penggugatan tidak dapat diterima atau NO (niet ontvankelijke

verklaard). Berdasarkan analisis asas dan teori sebuah gugatan, putusan hakim

dalam tingkat kasasi dalam perkara perjanjian musyarakah ini sudah tepat, dimana

gugatan penggugat belum memenuhi dan menjelaskan secara cermat dan rinci di

dalam gugatannya.

Kata kunci : Pengalihan Risiko akad Musyarakah, Analisi Pertimbangan

Hukum Hakim, Ekonomi Syariah

Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, SH, MA, MAC.

Daftar Pustaka : 1956 s.d 2017

vi

KATA PENGANTAR

ن ح حي بسم هللا الر الر

Alhamdulillah, penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas

segala limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penyusunan tesis ini. Untaian shalawat beriringkan salam

penulis haturkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang atas kuasa

Allah SWT telah mengeluarkan kita dari zaman kegelapan menuju zaman

terang-benderang yang penuh dengan ilmu pengetahuan, semoga syafaat

beliau senantiasa tercurahkan kepada seluruh kaum muslimin sampai hari

akhir nanti.

Berbagai macam kesulitan dan cobaan menghalangi penulis dalam

menyelesaikan tesis ini, namun kesulitan dan cobaan tersebut berakhir pada

suatu jalan kemudahan yang hadir berkat bimbingan, bantuan serta dukungan

yang sangat berguna dari berbagai pihak.

Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis mengungkapkan rasa

terima kasih yang tulus disertai rasa hormat dan penghargaan yang sebesar-

besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada,MA., Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA.,Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Nurhasanah,M.Ag, Ketua Program Studi Magister Hukum Ekonomi

Syariah dan Chairul Hadi, M.A Sekretaris Program Studi Magister Hukum

Ekonomi Syariah

4. Dr. Muhammad Maksum, SH, MA, MAC. selaku pembimbing tesis

penulis yang telah bersedia meluangkan waktu untuk memberikan

bimbingan dan arahan kepada penulis, sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini dengan baik, semoga beliau selalu dalam

lindungan dan kasih sayang Allah SWT.

vii

5. Narasumber dan seluruh Hakim Pengadilan Tingkat Pertama Bapak Drs.

H. Abdul Halim Ibrahim,. M.H. dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama

Bapak Dr. H. Yusuf Buchori, S.H., M.SI. dan Hakim Mahkamah Agung,

yang telah memberikan izin serta membantu penulis dalam observasi dan

wawancara terkait data yang penulis perlukan dalam penelitian tesis, juga

telah bersedia menjadi narasumber dan memberikan informasi kepada

penulis.

6. Seluruh dosen Program Studi Magister Hukum Ekonomi Syariah Fakultas

Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan selama

penulis menuntut ilmu di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

7. Teristimewa untuk Ayahanda Drs. H. Lalu Saswadi., MM. dan Bunda Hj.

Dra Baiq. Nursasih., BA, serta istri Tercinta Riyan Pinasti Rahajeng, SE.

abdi diriku atas kasih sayang, pengorbanan, motivasi dan doa yang tiada

henti sehingga penulis bisa menjadi seperti yang sekarang. Juga untuk

kakak juga adikku tersayang, dr. Lalu Muhammad Editia Subihardi dan

Lalu Muhammad Badzlan Rahmadi dan Lalu Muhammad Fadlulu Hadi

Wibawa yang telah memberikan doa dan dukungan kepada penulis serta

menjadi motivasi bagi penulis agar memberikan teladan yang baik, seluruh

keluarga besar dari Sambas yang selalu memberikan doa dan dukungan

kepada penulis.

8. Sahabat-sahabat saya: Hatoli, Muhammad Zarkasyi, Chairul Lutfi, M.

Anwaruddin Nasution, Yodi Tistanto, M. Zakariya dan Anik Mulyana,

suka duka kita akan selalu menjadi sebuah kenangan yang takkan

terlupakan. Semoga persahabatan akan tetap terus terjalin dengan baik

walaupun terdapat jarak dan waktu diantara kita.

9. Semua pihak yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas

segala bantuannya dalam penyusunan tesis ini.

Meskipun telah berupaya dengan optimal, penulis menyadari bahwa tesis

ini masih banyak kekurangan dari berbagai segi dan jauh dari sempurna,

karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Sehingga saran dan kritik

viii

yang bersifat membangun penulis harapkan untuk kebaikan tesis ini. Akhirnya

penulis berdoa semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi penulis

khususnya dan para pembaca tentunya.

Jakarta, 06 Desember 2017

Penulis

i

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL......................................................................................................i

PERSETUJUAN PEMBIMBING...............................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI.......................................................................iii

LEMBAR PERNYATAAN..........................................................................................iv

ABSTRAK......................................................................................................................v

KATA PENGANTAR...................................................................................................vi

DAFTAR ISI..................................................................................................................ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah .......................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .................................................................. 6

D. Penelitian Terdahulu yang Relevan .......................................................... 7

E. Metode Penelitian dan Metode Penulisan ................................................. 9

F. Kerangka Teorik........................................................................................ 11

G. Sistematika Penulisan ............................................................................... 19

BAB II PROFIL PERUSAHAAN PT. BANK SUMUT SYARIAH

A. Sejarah dan Visi Misi PT. Bank Sumut Syariah.......................................20

B. Struktur Organisasi Bank Sumut Syariah ................................................23

C. Akad Pembiayaan Musyarakah Di Bank Sumut Syariah.........................25

ii

BAB III. KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO DALAM

PERKARA PERJANJIAN MUSYARAKAH DI PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG NO 715 K/Ag/2014

A. Posisi Kasus Gugatan Perkara........................................................................45

B. Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam Surat Pernyataan Pada

Perkara Perjanjian Musyarakah di Putusan Mahkamah Agung No

715/K/Ag/2014..............................................................................................48

C. Akibat Hukum Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam

Surat Pernyataan Pada Perkara Perjanjian Musyarakah Berdasarkan Hukum

Perjanjian Islam, KUHPerdata......................................................................52

1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam.......................................................53

2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)......64

BAB IV. ANALISA PUTUSAN HAKIM ATAS TIDAK DAPAT

DITERIMANYA GUGATAN PENGGUGAT DALAM PERKARA

PERJANJIAN PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO 715 K/Ag/2014

A. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Majlis Hakim..............................74

B. Analisa Putusan Hakim Atas tidak dapat diterimanya (NO) gugatan atau

permohonan Kasasi penggugat dalam perkara perjanjian pembiayaan

musyarakh di Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014....................77

C. Upaya Hukum Yang Dapat Dilakukan Terhadap Putusan Yang Dinyatakan

Tidak Dapat Diterima/ NO (Niet Ontvankelijk verklaard)...........................91

iii

BAB V. PENUTUP

A. Kesimpulan...................................................................................................93

B. Saran-saran...................................................................................................96

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................99

LAMPIRAN-LAMPIRAN...................................................................................114

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Melihat kian luasnya dan beragamnya peran perbankan syari‟ah dewasa ini,

maka aspek perlindungan hukum dan penerapan asas perjanjian dalam suatu akad

atau kontrak antara Nasabah dan Perbankan Syari‟ah menjadi sangat penting

untuk dibahas.1 Rumitnya penerapan kontrak (akad) pada transaksi modern

memerlukan terobosan dari otoritas fatwa itu sendiri (DSN-MUI) untuk

menyesuaikan akad-akad tersebut (Takyi>f)2 dengan transaksi modern, salah

satunya dengan mengkombinasi akad-akad yang ada. Model akad yang digunakan

dalam produk keuangan syari‟ah menurut Muhammad Maksum dapat dipetakan

dalam tiga bentuk, yaitu akad tunggal (basi>th), multiple contract („uqu>d

mujtami‟ah), dan plural contract („uqu>d muta‟addidah). Akad berganda dan

akad berbilang yang ada merupakan bentuk pengembangan dari akad tunggal

karena akad tunggal belum mampu untuk dapat mewadahi transaksi modern yang

kompleks saat ini.3 Syarat atau ketentuan mengadakan kontrak atau perjanjian

1 Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum Kontrak

Syariah, La Riba Journal Ekonomi Islam Vol. II, No 1, Juli 2008 hlm. 92-93. 2 At-Takyi>f al-Fiqhy menurut al-Qahtaniy: التصور الكامل للواقعة ، وتحزيز األصل الذي تنتمي إليه

“Yaitu menggambarkan peristiwa/kejadian sesuatu secara lengkap dan menjelaskan sesuatu yang

asli dari yang telah dikembangkan”.lihat Musfiri>n bin Ali bin Muhammad Al-Qahthaniy, Manhaj

Istinba>th al-Ahka>m an-Nawa>zhil al-Fiqhiyyah al-Mua>shirah, (Jeddah : Da>r al-Andalusia

al-Khadrhaa, Cet kedua, 2010), hlm. 354.

3 Modifikasi akad telah dipraktikkan oleh lembaga keuangan syari‟ah dan disahkan oleh

otoritas keuangan. Model akad tunggal hanya mencakup satu akad dalam transaksi contohnya

adalah seperti jual beli, sewa menyewa, kerja sama (syirkah), dan salam. Dalam fatwa DSN-MUI

sebanyak enam belas (16) akad. Model akad berganda (mujtami‟ah) sebagian ahli fikih

menyebutnya dengan akad murakkabah adalah berhimpunnya beberapa akad dalam satu transaksi

dengan cara di himpun atau bertukar yang mana seluruh hak dan kewajiban dari akad tersebut

dianggap sebagai akibat hukum satu transaksi contohnya mura>bahah, letter of credit syari‟ah,

kartu syari‟ah, mudha>rabah mushtarakah dan musya>rakah mutana>qishah. Model akad

berbilang (Muta‟addidah) adalah akad yang berbilang dari sisi syarat, akad, pelaku, harga, objek,

dan lainnya. Dua atau lebih akad yang dihimpun dalam satu transaksi namun terpisah antara satu

akad dengan lainnya termasuk dalam kategori akad berbilang contohnya istishna>‟a al-Mawa>zy,

salam mawa>zy, al-ija>rah al-muntahiyah bi-Attamli>k (IMBT), dan sale and lease back.

Perbedaan akad mujtami‟ah dengan muta‟addidah terletak pada keberadaan akad-akad dan akibat

hukumnya. Pada mujtami‟ah akad-akad yang yang terhimpun tidak terpisah sedangkan

muta‟addidah akad-akad terpisah antara satu dan lainnya. akibat hukum dari mujtami‟ah adalah

satu sedangkan muta‟addidah sebanyak akad yang membangunnya. lihat Muhammad Maksum,

Model-Model Kontrak Dalam Produk Keuangan Syariah, Journal Al-A‟DALAH Vol.XXI, No. 1

Juni 2014, hlm. 49.

2

juga tertuang dalam ketentuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syari‟ah yangmana salah satu prinsip dasar dalam perbankan syari‟ah

yaitu perbankan syariah harus menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip

syariah.4

Tidak dipungkiri, Semakin luas peran perbankan syari‟ah memungkinkan

semakin besarnya sengketa atau konflik yang akan dapat timbul antara pihak satu

(perbankan) terhadap pihak lainnya (nasabah, stakeholder dan lainnya). Sengketa

yang terjadi tidak mungkin dibiarkan begitu saja, tetapi memerlukan sarana

penyelesaian hukum untuk menyelesaikannya. Dalam keadaan seperti itulah,

sarana penyelesaian hukum diperlukan kehadirannya untuk mengatasi berbagai

persoalan yang terjadi. Indonesia sebagai salah satu negara hukum, sudah

selayaknya menghormati dan menjungjung tinggi prinsip-prinsip dari suatu negara

hukum dalam penyelesaian perkara melalui proses hukum yang ada.5

Dalam suatu negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaats), kekuasaan

kehakiman merupakan badan yang sangat menentukan isi dan ketentuan kaidah-

kaidah hukum dari sebuah negara. Pengadilan sebagai lembaga yudikatif dalam

struktur ketatanegaraan di Indoensia memiliki fungsi dan peran strategis dalam

memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara para

pihak.6 Ketentuan mengenai kekuasaan kehakiman secara konstitusional telah

diataur dalam Bab IX Pasal 24 ayat (2) menyebutkan bahwa “Kekuasaan

Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan peradilan yang

berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,

Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi”.7 Perkara ekonomi syariah dewasa ini berdasarkan Undang-Undnag

Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun

4 Menimbang huruf a dan b Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan

Syariah asas, tujuan dan prinsip perbankan syariah. 5 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum Yang Pasti

dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, April 2012), hlm. 2. 6 M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim Pendekatan Multidisipliner dalam

Memahami Putusan Peradilan Perdata, (Yogyakarta: UII Press, 2014), hlm. 3. 7 Secara yuridis, ketentuan mengenai kemandirian kekuasaan kehakiman telah diatur

antara lain dalam penjelasan Pasal 24 butir a, b, c, dan Pasal 25 UUD 1945, serta dalam Pasal 1

butir (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

3

1989 berada dibawah kewenangan dalam Lingkungan Peradilan Agama.8 Selain

penyelesaian melalui arbitrase syari‟ah perkara ekonomi syari‟ah dapat juga

diselesaikan melalui lingkungan peradilan agama. Dalam hal penyelesaian

sengketa melalui arbitrase syariah (BASYARNAS) lebih condong menghasilkan

hasil win win solution atau mufakat bersama, sedangkan apabila penyelesaian

sengketa melalui pengadilan agama diakhiri dan berpegang dengan putusan hakim

yang menyatakan para pihak menang ataupun kalah (win/lose).9 Subekti

mengemukakan bahwa pemeriksaan suatu sengketa di muka pengadilan diakhiri

dengan suatu putusan atau vonis. Putusan atau vonis pengadilan ini akan

menentukan atau menetapkan hubungan hukum riil di antara para pihak-pihak

yang berperkara.10

Hakim11

merupakan salah satu dari catur wangsa penegak hukum di Indonesia.

Sebagai salah satu penegak hukum, hakim mempunyai tugas pokok di bidang

yudisial (judicial)12

yaitu, menerima, memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan

setiap perkara yang diajukan kepadanya.13

Terdapat dua aliran dalam pemikiran

tentang hubungan tugas hakim dengan undang-undang. Kaum dogmatik,

mengatakan bahwa tugas hakim adalah menghubungkan antara fakta konkrit yang

diperiksanya dengan ketentuan undang-undang yang ada. Sedangkan kaum

nondogmatik, mengatakan bahwa tugas hakim adalah menghubungkan antara

sumber hukum atau bukan hukum dengan fakta konkrit yang diperiksanya.14

Dalam perkara perdata agama ekonomi syari‟ah ini, terdapat adanya sengketa

dengan menggunakan akad pembiayan musya>rakah diperbankan syari‟ah.15

8 Pasal 49 berbunyi Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,

dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

a) Perkawinan, b) Waris, c) Wasiat, d) Hibah, e) Wakaf, f) Zakat, g) Infaq, h) Shadaqah, dan i)

Ekonomi Syariah. 9 Nurul Ichsan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia, (Journal Ahkam

Vol. XV, No. 2, Juli 2015), hlm. 231. 10

R.Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. 18, 2010), hlm. 67. 11

Hakim /hakim/orang yang mengadili perkara dalam pengadilan dan mahkamah,

https://kbbi.web.id/hakim 12

Judicial/appropriate to a lawa court or judge; relating to the administration of justice.

hubungan dengan hukum pengadilan atau hakim juga berkaitan dengan administrasi peradilan

(lembaga hukum atau lembaga yudikatif). https://en.oxforddictionaries.com/defination/judicial 13

Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta :Citra Aditya Bakti,

1993), hlm. 7. 14

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 103. 15

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/direktori/perdata-

agama/ekonomi-syariah

4

Akad pembiayaan musya>rakah dalam teorinya merupakan suatu akad kerjasama

antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing

pihak memberikan kontribusi dana, amal, expertise/keahlian dengan kesepakatan

bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan

kesepakatan.16

Dalam ketentuan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional No: 08/DSN-

MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musya>rakah tertulis “bahwa Pembiayaan

Musya>rakah yaitu pembiayaan yang berdasarkan akad kerjasama antara dua

pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak

memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko

akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan”.17

Dalam perjanjian pembiayaan musya>rakah tersebut, nasabah telah

membayarkan sejumlah pembayaran untuk premi asuransi jiwa18

dan lainnya yang

disyaratkan oleh perbankan syariah sebagai syarat tambahan sebelum pencairan

dana pembiayaan musya>rakah tersebut. Muhammad Maksum menyatakan dalam

disertasinya bahwa secara prinsip, syari‟ah membenarkan dan membolehkan

adanya penetapan syarat tambahan selama tidak bertentangan dengan aturan baku

yang ada. Akan tetapi syarat tambahan yang diterapkan oleh perbankan syari‟ah

masih dapat diperselisihkan keabsahannya seperti pelimpahan tanggung jawab

dari satu pihak kepihak lainnya.19

Dalam perkara ekonomi syari‟ah tersebut,

pencairan dana pembiayaan musya>rakah tersebut ternyata dicairkan oleh

perbankan dengan syarat-syarat menyusul kemudian. Selang 3 kali angsuran oleh

nasabah atau 4 bulan setelah pencairan pembiayaan musya>rakah nasabah

meninggal dunia dan usaha nasabah mengalami kemunduran sehingga tidak dapat

melanjutkan kembali angsuran pembiayaan musya>rakah tersebut. Pembiayaan

musya>rakah tersebut seharusnya dicover dengan asuransi yang telah dibayarkan

preminya oleh nasabah pada awal pencairan dana akan tetapi, terkendala syarat

16

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta : Raja

Grafindo Cet 3, 2006), hlm. 90. 17

Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor : 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Musyarakah. 18

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan

Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan

Perusahaan Reasuransi Syariah. 19

Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah Di Indonesia, Malaysia, Dan Timur

Tengah, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Cetakan Pertama Desember 2013,

hlm. 209.

5

administrasi yaitu nasabah belum melakukan syarat medical check up yang

disyaratkan oleh pihak asuransi. Sebenarnya pihak asuransi sudah memberikan

surat pemberitahuan kepada perbankan agar diteruskan kepada pihak nasabah agar

melakukan medical check up tetapi perbankan belum memberikan surat tersebut

kepada nasabah sampai nasabah meninggal dunia. Maka dalam hal ini, pihak

asuransi tidak dapat mengeluarkan polis yang seharusnya dapat dimiliki oleh

nasabah untuk menutupi sisa hutang nasabah. Dalam pembiayaan musyarakah

tersebut juga terdapat surat pernyataan yang dibuat oleh nasabah dengan

disaksikan oleh ahli waris sekaligus istri nasabah. Dalam surat pernyataan tersebut

yang sebagai bagian dari suatu perjanjian Pembiayaan musya>rakah tersebut

Nomor 120/KCSY-02-APP/MSY/2011 yang berbunyi “….Apabila dikemudian

hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri

saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank

dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya

hingga selesai”. Syarat tambahan yang berupa surat pernyataan tersebut, terdapat

di dalamnya yang berisikan membatasi, melimpahkan atau menghapus sama

sekali tanggung jawab atau pengalihan resiko sesuatu yang merugikan dari

perjanjian tersebut kepada pihak lainnya atau nasabah juga bertentangan dengan

tujuan maupun teori prinsip dari akad musya>rakah sendiri.20

Selain itu, dalam perkara ini para hakim disetiap tingkat peradilan berbeda

pendapat atau putusan dalam hal gugatan penggugat. Di Pengadilan tingkat

pertama hakim menerima gugatan penggugat dan mengabulkan gugatan

penggugat sebagian atau memenangkan pihak nasabah dalam amar putusan

Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. Selanjutnya pada putusan hakim di tingkat

banding atau kasasi, Hakim memutuskan tidak dapat menerima gugatan

penggugat atau menolak permohonan kasasi penggugat atau memutuskan NO

(Niet Ontvankelijke Verklaard) yang tercantum dalam amar putusan hakim Nomor

124/Pdt.G/2013/PTA-Mdn dan Putusan Nomor 715 K/Ag/2014. Dalam hal ini,

putusannya membatalkan putusan Pengadilan tingkat pertama sebelumnya.21

20

Lihat dalam Putusan Pengadilan Agama Medan Tingkat I Nomor

967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. 21

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Nomor 715

K/Ag/2014 Perkara Perdata Agama dalam tingkat kasasi.

6

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membuat judul dalam penelitian

ini penulis tentang “Analisa Putusan Mahkamah Agung NO 715K/Ag/2014

Tentang Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam Perjanjian

Pembiayaan Musyarakah Pada Perbankan Sumut Syariah Cabang

Padangsidempuan”.

B. Batasan Masalah dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis mencoba

membataskan permasalahan tersebut dengan memfokuskan ruang lingkup

diantaranya adalah bagaimana akibat hukum Penerapan klausul pengalihan

tanggung jawab resiko dalam perkara perjanjian pembiayaan musya>rakah di

Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014 berdasarkan hukum Islam juga

berdasarkan KUHPerdata serta bagaimana dasar pertimbangan hukum hakim

atas tidak dapat diterimanya gugatan penggugat dalam perkara perjanjian

pembiayaan musyarakah di Putusan Mahkamah Agung Nomor 715

K/Ag/2014?

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis membatasi pembahasan masalah

dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Bagaimana Akibat Hukum Klausul pengalihan tanggung jawab resiko

dalam Surat pernyataan pada perkara perjanjian pembiayaan

musya>rakah di Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014

berdasarkan hukum Islam juga berdasarkan KUHPerdata?

2. Bagaimana Pertimbangan hukum Hakim dalam putusannya atas tidak

dapat diterimanya gugatan penggugat dalam perkara perjanjian

pembiayaan musya>rakah di putusan Mahkamah Agung No 715

K/Ag/2014?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, terdapat beberapa tujuan-tujuan yang

hendak dicapai dalam penulisan ini, diantaranya adalah:

1. Untuk mengetahui Akibat Hukum Penerapan Klausul pengalihan tanggung

jawab resiko dalam perkara perjanjian pembiayaan musyarakah di Putusan

7

Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014 berdasarkan hukum Islam juga

berdasarkan KUHPerdata.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum Hakim dalam putusannya atas

tidak dapat diterimanya gugatan penggugat dalam perkara perjanjian

pembiayaan musyarakah di putusan Mahkamah Agung No 715K/Ag/2014.

Adapun manfaat yang dapat diambil dari penulisan ini ialah sebagai berikut :

a. Secara Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wacana dalam perumusan

kembali peraturan maupun ketentuan-ketentuan dalam perlindungan

nasabah perbankan khususnya perbankan syari‟ah dengan berlandaskan

prinsip-prinsip syari‟ah. juga diharapkan menjadi bahan informasi hukum

bagi para akademisi dalam bidang hukum dan masyarakat umum yang

berkaitan dengan pengalihan resiko dalam sebuah perjanjian pembiayaan

di perbankan syari‟ah.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi para praktisi

dalam perbankan syari‟ah, seperti nasabah serta pihak perbankan syari‟ah

agar tidak kembali terjadinya suatu sengketa dan mengambil langkah-

langkah dalam melakukan sebuah gugatan ke pengadilan. Juga diharapkan

menjadi bahan rujukan dalam memutuskan perkara ekonomi syari‟ah,

serta dapat memberikan referensi bagi mahasiswa Fakultas Hukum dan

masyarakat luas.

D. Penelitian Terdahulu Yang Relevan

Dalam penelitian ini, penulis melakukan kajian terdahulu yang kiranya

berkaitan dengan judul dan tema yang penulis angkat untuk dijadkan bahan

penilitan. terdapat beberapa penelitian yang mengupas klasul pengalihan resiko di

antaranya:

Karya pertama, Journal Lex Privatium, Vol.II/No.3/Ags-Okt/2014 oleh Bure

Teguh Satria dalam “Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi”.

Sebagai kesimpulan dari teguh satria bahwa pertama, berdasarkan pada prinsip

Konsensualisme (1320 KUH Perdata) dan prinsip Kebebasan berkontrak (1338

KUH Perdata) dimungkinkan bagi Kreditur/pelaku usaha untuk mencantumkan

8

klausula eksonerasi karena bagaimanapun debitur/konsumen masih diberikan

kesempatan untuk menyetujui (take it) atau menolak (leave it). Kedua, Akibat

hukum dari perjanjian yang menggunakan klausula eksonerasi batal demi hukum

yang berarti perjanjian batal secara deklaratif atau batal seluruhnya karena

merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab pelaku usaha terhadap

perlindungan konsumen yang berakibat timbulnya suatu kerugian bagi

konsumen.22

Karya kedua, Journal Privat Law Edisi 07 Januari-Juni 2015 Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta oleh Danty Listiawati yang berjudul

“Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan Hukum Bagi

Konsumen”. Dalam pernyataannya, keberadaan klausula eksonerasi kerap

disalahgunakan tidak hanya sekedar membebaskan diri dari beban tanggung

jawab akan tetapi juga sampai upaya menghapus tanggung jawab pihak yang kuat.

Selain itu penggunaan klausula eksonerasi bertentangan dengan prinsip atau teori

perikatan seperti prinsip kebebasan berkontrak, prinsip itikad baik dan lainnya23

Karya ketiga, Journal Dwi Fidhayanti Fakultas Syariah UIN Maulana Malik

Ibrahim Malang (2015) yang berjudul “Keabsahan Klausula Pengalihan Resiko

Pada Nasabah dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah”. Dwi dalam jurnalnya

menyatakan bahwa klausula pengalihan resiko dalam perjanjian yang dilakukan

perbankan kepada pihak nasabah dalam perjanjian pembiayaan murabahah

berdasarkan hukum positif dan kompilasi hukum Islam serta Undang-undang

Nomor 08 tahun 1998 tentang perlindungan konsumen menunjukkan bahwa

klausul pengalihan resiko dalam hukum perjanjian batal demi hukum dan pemikul

tanggung jawab atas resiko tersebut adalah Bank sebagai pembuat perjanjian.24

Karya Keempat, Journal USU (Universitas Sumatera Utara) Law Vol.4.No.1

(Januari 2016) Oleh Nurjannah, Tan Kamello, Hasim Purba, Utary Maharany

Barus, “Penerapan Klausul Eksonerasi Dan Akibat Hukumnya Dalam Perjanjian

22

Bure Teguh Satria, Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi, (Journal Lex

Privatium, Vol. II/No.3/ Agustus-Oktober/2014), hlm. 39-48. 23

Danty Listiawati, Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Standar dan Perlindungan

Hukum Bagi Konsumen, (Journal Privat law Edisi 07 Januari-Juni 2015 Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta), hlm. 23-35. 24

Dwi Fidhayanti, Keabsahan Klausula Pengalihan Resiko Pada Nasabah dalam

Perjanjian Pembiayaan Murabahah, (De jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Vol 6 02 Desember

2014), hlm. 128-137.

9

Pembiayaan Musyarakah Pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama

Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn)”, USU Law Journal, Vol.4.No.1 (Januari 2016)

139-15. Penerapan klausul eksonerasi dalam pandangan Hukum Perjanjian Islam

tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Al Qur‟an surah As Syuro ayat (15)

yang melarang mengalihkan tanggung jawab kepada orang lain. Berdasarkan

KUHPerdata, klausul eksonerasi bertentangan dengan Pasal 1338 ayat (3) suatu

perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal 1339 bahwa perjanjian

diharuskan sesuai dengan asas kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Berdasarkan analisis pertimbangan Hakim PA Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn,

bank telah melakukan kelalaian dalam melengkapi syarat kelengkapan

administrasi asuransi yaitu surat Pemeriksaan Kesehatan sehingga perusahaan

asuransi belum memberikan persetujuan asuransi.25

Karya Kelima, Melina Hartanto, 031314253006 (2015) “Klasula Eksonerasi

Dalam Akad Pembiayaan Murabahah di Bank Syari‟ah”, Thesis Universitas

Airlangga. Hasil Penelitian, mengenai adanya klausula eksonerasi dalam akad

telah melanggar prinsip-prinsip syariah. Pencantuman klausula eksonerasi dalam

akad pembiayaan murabahah jelas melanggar prinsip syari‟ah, yaitu merupakan

perbuatan zalim yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya dan

melanggar prinsip perjanjian al-Musa>wah (kesetaraan atau keseimbangan) serta

al- Ada>lah (keadilan). Klausula baku yang mengalihkan sebagian atau seluruh

tanggung jawab merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang

Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor :

1/POJK.07/2013.26

C. METODE PENELITIAN DAN METODE PENULISAN

1. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode hukum normatif yuridis yaitu

pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara

menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.

25

Nurjannah, Penerapan Klausul Eksonerasi dan Akibat Hukumnya dalam Perjanjian

Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah (Studi Putusan Pengadilan Agama Nomor

967/Pdt.G/2012/PA.Mdn), (USU Law Journal, Vol.4.No.1 Januari 2016), hlm.139-15. 26

Melina Hartanto, Klausula Ekosnerasi dalam Akad Pembiayaan Murabahah di Bank

Syariah, (Thesis Universitas Airlangga 2015).

10

Penelitian ini Juga menggunakan metode pendekatan kasus (Case

Approach) yaitu dengan melakukan telaah pada kasus yang berkaitan dengan

isu hukum yang dihadapi dan mengkaji pertimbangan hukum hakim yang

digunakan untuk sampai pada suatu putusan yang digunakan sebagai

argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi seperti penemuan

hukum dan penafsiran hukum oleh hakim dalam menafsirkan bahan-bahan

hukum yang berkenaan dengan perkara sengketa ekonomi syariah seperti

peraturan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim yang terdahulu

yang relevan dalam pengambilan putusan.27

Dalam penelitian ini, penulis juga menggunakan dua jenis data yaitu data

primer dan data sekunder. Untuk bahan hukum primer terdiri dari perundang-

undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan undang-undang

dan putusan-putusan hakim dan landasan-landasan hukum hakim dalam

mengambil keputusan. Sedangkan Sumber data sekunder yang di dapatkan

secara tidak langsung berupa semua publikasi atau keterangan yang

mendukung data primer seperti wawancara para majlis hakim, komentar-

komentar atas putusan pengadilan, dokumen-dokumen resmi, tulisan-tulisan

dalam buku ilmiah dan litelatur-litelatur, peraturan perundang-undangan yang

terkait. Data Sekunder Utama adalah Putusan Hakim yang ada di Pengadilan

Agama tingkat pertama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Pengadilan Tinggi

Agama 124/Pdt.G/2013/PTA-Mdn, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 715

K/Ag/2014.

2. Metode Pengumpulan Data

Untuk pendekatan penelitian normatif dilakukan dengan cara studi

kepustakaan (library based) yaitu dengan menelusuri bahan-bahan tertulis

seperti buku-buku dan artikel-artikel yang terkait, kitab undang-undang atau

pustaka lainnya yang terkait dengan judul dan masalah yang diteliti. Juga

menelaah beberapa putusan-putusan para hakim yang berkaitan khususnya

para hakim agama, serta wawancara para hakim.

27

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,

Cetakan keempat, Maret 2008), hlm. 119.

11

3. Metode Pengolahan Data

Setelah menentukan dan mengumpulkan data, peneliti kemudian mengolah

data dengan teknik deskriptis analitis. Deskriptif digunakan agar mampu

memahami dan memberikan gambaran yang jelas mengenai permasalahan

yang terkait dengan penelitian ini. menganalisa dengan mendeskripsikan

penemuan dan penafsiran hukum hakim atas putusan perkara dengan melihat

dan merujuk kepada sumber hukum yang ada.

D. KERANGKA TEORITIK

Teori yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian ini sebagai berikut :

1) Teori Penemuan Hukum

Dalam hakikatnya peraturan perundang-undangan yang telah ada belum

jelas, belum lengkap, bersifat statis, dan tidak dapat mengikuti perkembangan

masyarakat dan berdampak menimbulkan ruang kosong yang harus diisi oleh

hakim dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara

menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi peraturan perundang-undangannya.

Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata menyangkut penerapan

peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa konkret, tetapi juga

penciptaan hukumnya sekaligus.28

Penemuan hukum oleh hakim sangat

berkaitan dengan putusan yang akan diambil oleh hakim dalam menentukan

dan memutuskan suatu perkara. Dalam putusan, hakim harus

mempertimbangkan aspek yang bersifat yuridis, sosiologis, dan filosofis

sehingga keadilan yang dicapai dan dipertanggungjawabkan dalam putusan

adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum (legal justice), keadilan

masyarakat (sosial justice), dan keadilan moral (moral justice).29

Istilah penemuan hukum memberi sugesti seakan-akan hukumnya sudah

ada, jadi hakim tinggal mencari dan kemudian menerapkan dalam peristiwa

konkret. Sumber utama dalam penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim

28

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty

Cetakan Kelima, April 2007), hlm. 37. 29

Lilik Mulyadi, Pergeseran Persepktif dan Praktik dari Mahkamah Agung Mengenai

Putusan Pemidanaan, (Majalah Hukum Varia Peradilan Edisi No. 246 Bulan Mei 2006, Ikahi,

Jakarta), hlm. 21.

12

adalah peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi30

,

perjanjian internasional dan doktrin. Selain itu, dalam memeriksa dan

mengadili suatu perkara dan menjatuhkan putusan seorang hakim harus

melakukan 3 (tiga) tindakan dipersidangan yaitu tahap mengkonstatir, tahap

mengkualifikasi dan tahap mengkonstitutir.31

Sedangkan dalam metode penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa

yang bersifat khusus, konkret, dan individual. Jadi, metode penemuan hukum

biasnaya bersifat praktikal, karena lebih dipergunakan dalam praktik hukum.

Menurut Achmad Ali, ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan

oleh hakim dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi

(penafsiran) dan melalui metode konstruksi.32

Interpretasi hukum terjadi,

apabila terdapat ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat

ditetapkan pada kasus konkret yang dihadapi atau metode ini dilakukan dalam

hal peraturannya sudah ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada

peristiwa konkret atau mengandung arti pemecahan atau penguraian akan suatu

makna ganda, norma yang kabur, konflik antar norma hukum, dan

ketidakpastian dari suatu peraturan perundang-undangan.33

Sedangkan

Konstruksi hukum terjadi, apabila tidak ditemukan ketentuan undang-undang

yang secara langsung tidak dapat diterapkan pada masalah hukum yang

dihadapi ataupun dalam hal peraturannya memang tidak ada, jadi terdapat

kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang. Dalam hal ini, untuk

30

Pengertian yurisprudensi dapat diartikan sebagai tiap-tiap putusan hakim dan dapat

pula yang berarti sebagai kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari tingkat

peradilan pertama sampai peradilan kasasi juga dapat sebagai pandangan atau pendapat para ahli

yang dianut oleh hakim yang dituangkan dalam putusannya. Lihat Ahmad Rifai, Penemuan

Hukum oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 2, 2011),

hlm. 50. 31

Pertama Tahap mengkonstatir atau melihat untuk membenarkan ada tidaknya suatu

peristiwa yang diajukan kepadanya untuk memastikan hal tersebut, maka diperlukan pembuktian

dan bersandarkan alat-alat bukti yang sah menurut hukum. kedua tahap mengkualifikasi atau

mengkualifisir dengan menilai peristiwa konkret yang telah dianggap benar-benar terjadi termasuk

hubungan hukum apa atau bagaimana atau mengelompokkan dan menggolongkan peristiwa

hukum (apakah pencurian, penganiayaan, peralihan hak atau perbuatan melawan hukum). ketiga

tahap mengkonstitulir atau menetapkan hukumnya terhadap peristiwa tersebut dan memberi

keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim, Ibid,

hlm. 56. 32

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:

Chandra Pratama, 1993), hlm. 119. 33

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan

Interpretasi Teks, (Yogyakarta:UII Press, 2005), hlm. 52.

13

mengisi kekosongan undang-undang inilah biasanya hakim menggunakan

penalaran logisnya dan ilmunya atau dimana hakim tidak lagi berpegang pada

bunyi teks itu (Undang-Undang) dengan syarat hakim tidak mengabaikan

hukum sebagai suatu sistem.34

Ahmad Rifai menambahkan metode satu lagi

yaitu Metode Hermeneutika Hukum. Esensi pengertian hermeneutika adalah

ilmu atau seni menginterpretasikan (the art of interpretation) teks, sedangkan

dalam persepektif yang filosofis hermeneutika merupakan aliran filsafat yang

mempelajari hakikat hal mengerti atau memahami sesuatu kata-kata teks dalam

hal ini teks hukum atau peraturan perundang-undangan, peristiwa hukum, fakta

hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno atau ayat-ayat ahkam

dalam kitab suci ataupun berupa pendapat dan hasil ijtihad para hali hukum

(doktrin) yang menjadi objek untuk ditafsirkan.

Hasil dari metode penemuan hukum ini diharapkan terciptanya putusan

pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai sumber pembaruan

hukum. Putusan hakim juga berperan terhadap perkembangan hukum dan ilmu

hukum, oleh karena itu putusan hakim dapat juga digunakan sebagai bahan

kajian dalam ilmu hukum.35

2) Teori Akad/Kontrak (Perjanjian)

Akad atau kontrak berasal dari bahasa Arab yang berarti ikatan atau

simpulan baik ikatan yang nampak (hissyy) maupun tidak nampak

(m‟anawy).36

Menurut Ahmad Azhar “Akad adalah suatu perikatan antara ijab

dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara‟ yang menetapkan adanya

akibat-akibat hukum pada objeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama

mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedangkan qabul adalah pernyataan

pihak kedua untuk menerimanya.”37

Sahnya suatu akad harus dipenuhi rukun

dan syarat akad. Rukun adalah unsur mutlak harus dipenuhi dalam sesuatu hal,

peristiwa dan tindakan. Sedangkan syarat adalah unsur yang harus ada untuk

34

Ibid., hlm. 52. 35

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif,

(Jakarta :Sinar Grafika 2011), hlm. 59. 36

Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya‟qub, al-Qamus al-Muhit, jilid 1.

(Beirut: D Jayl), hlm. 327. 37

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),

(Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 65.

14

sesuatu hal, peristiwa dan tindakan tersebut.38

Sebagian besar ulama

berpendapat rukun dan syarat akad yaitu, Al-„a>qidain (Subjek Perikatan),

Mahallul al-„Aqd (Objek Perikatan), Maudhu>‟ul al-„Aqd (Tujuan Perikatan),

Sigha>t al „Aqd (Ijab dan qabul). Syarat sahnya suatu akad yaitu apabila tidak

menyalahi syariat Islam, adanya keridhaan atau sepakat antara kedua belah

pihak dalam akad dan akad harus jelas. Apabila syarat-syarat tersebut tidak

terpenuhi, maka akad tersebut batal demi hukum.39

Apabila melihat kembali pada asas-asas dari perjanjian menurut Hukum

Islam, maka dapat diketahui bahwa tidak adanya kebebasan dalam akad

termasuk melanggar asas kebebasan berakad atau dalam istilah bahasa arab

disebut dengan mabda‟ hurriyyah at-Ta‟a>qud. Pada asas kebebasan berakad,

para pihak yang melakukan akad harus memiliki dasar suka sama suka atau

kerelaan antara masing-masing pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan,

penipuan dan misstatement.40

Pernyataan ini didasarkan pada firman Allah

pada QS. An-Nisa‟: 29 yang Artinya: “Hai orang-orang yang beriman,

janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil,

kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka

diantara kamu”.

Ayat tersebut secara jelas menjelaskan bahwa dalam hal perdagangan

termasuk didalamnya adalah perjanjian harus didasarkan pada suka sama suka

atau kerelaan diantara para pihak. Sementara, dalam perjanjian baku cenderung

ada unsur keterpaksaan dari pihak debitur untuk menerima setiap klausula

perjanjian baku pembiayaan yang mereka ajukan karena posisi debitur pada

pihak yang lemah sehingga mau tidak mau debitur akan menerima dan

menyetujui setiap syarat yang disebutkan dalam klausul perjanjian. Merujuk

pada pada pasal 31 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2

38

Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan,

(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 28. 39

Abdul Ghafur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,

(Tangerang : Agro Media Pustaka, 2006), hlm. 2-3. 40

Dwi Fidhayanti, Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan Yuridis praktik

Pembiayaan di Perbankan Syariah), (De Jure, Jurnal Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 2,

Desember 2014), hlm. 128-137.

15

Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah41

, paksaan adalah

mendorong seseorang melakukan sesuatu yang tidak diridhainya dan tidak

merupakan pilihan bebasnya.

Pasal 1320 KUHPerdata mengatur sahnya perjanjian diperlukan empat

syarat, yaitu, sepakat mereka yang mengikatkan diri, kecakapan untuk

membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal. Apabila

keempat syarat tersebut tidak terpenuhi maka perjanjian akan batal demi

hukum. Tidak terpenuhinya syarat subjektif (sepakat dan cakap) maka

perjanjian dapat dibatalkan (voidable). Tidak terpenuhinya syarat objektif

(suatu hal tertentu dan sebab yang halal) perjanjian batal demi hukum (null and

void).42

3) Teori Menyusun Gugatan

Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun

sebuah gugatan pengadilan yaitu :

1. Teori substantiering

Teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa

hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-

kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab

timbulnya peristiwa huum tersebut. bagi penggugat yang menuntut suatu

benda miliknya, didalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut bahwa

ia pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah

kepemilikannya, misalnya karena membeli, mewarisi, hadiah dan

sebagainya.

2. Teori Individualiserings

Teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-

peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan

hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-

kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-

41

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah adalah suatu pedoman yang diperuntukkan bagi hakim dalam

memutus perkara dalam ekonomi syariah. 42

Pasal 1320 KUHPerdata Bagian 2, Syarat-Syarat Terjadinya Suatu Persetujuan yang

Sah.

16

kejadian tersebut. sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak

milik atas benda itu tidak perlu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu

dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti

seperlunya.

4) Teori Kepastian Hukum

Teori Kepastian Hukum Bagi Konsumen dalam perjanjian yang terdapat

Klausul pengalihan resiko di dalam hukum perdata atau keputusan hakim.

Hukum Islam mengatur tata cara dalam menjalankan kepastian hukum, hal-hal

yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan, sebagaimana firman

Allah Swt dalam Al Qur‟an surah Al Maidah ayat (8) “hai orang-orang yang

beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan

(kebenaran) karena Allah.” Al Qur‟an Surah Al-Baqarah ayat (42), “dan

janganlah kamu campuradukkan yang haq dengan yang batil…”

Kepastian hukum menurut Muhammad Solly Lubis ada dua yaitu:

“Kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam atau dari hukum.

Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya hukum

undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada ketentuan

yang bertentangan, undang-undang itu dibuat berdasarkan

“rechtswerkelijheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-undang tersebut

tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan berlainan”.43

Kepastian hukum menurut Tan Kamello meliputi dua hal yakni :”Pertama,

kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu

dengan yang lainnya baik dari Pasal-Pasal undang-undang itu secara

keseluruhan maupun dengan Pasal-Pasal yang berada diluar undang-undang.

Kedua, kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum

undang-undang.”44

Ronald Dworkin menyatakan “law as it is written in the

books and law as it is decided by judge through judicial process”(Hukum

43

Muhammad Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994),

hlm. 43. 44

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan,

(Bandung: Alumni, 2004), hlm. 117.

17

adalah apa yang tertulis didalam undang-undang maupun hukum yang

diputuskan oleh hakim melalui pengadilan.45

5) Teori Piercing The Corporate Veil

Reformasi hukum atas badan hukum dapat dilihat dari dua tonggak sejarah

badan hukum sendiri yaitu pertama saat lahirnya teori badan hukum yang

menitikberatkan pada personifikasi badan hukum seakan-akan sebagai manusia

dan kedua pada saat lahirnya doktrin hukum korporasi yang dikenal dengan

nama Piercing The Corporate Veil yang dilatarbelakangi untuk mengungkap

tabir hukum para pribadi yang berada dibalik perseroan yakni para Pemegang

Saham, Dewan Komisaris, dan Direksi. Teori Piercing The Corporate Veil ini,

menyikap hubungan hukum dan tindakan hukum para pihak yang terdapat pada

pribadi-pribadi yang berada dibalik badan hukum, terutama atas tindakan-

tindakan pribadi-pribadi tersebut dalam hukum perseroan, khususnya untuk

mempertanggungjawabkan tindakan yang bersangkutan pada shareholder dan

stakeholder, apabila yang bersangkutan melanggar rasa keadilan masyarakat.

Penerapan Asas Piercing The Corporate Veil dalam perseroan terbatas

menjadi berlaku apabila memenuhi ketentuan berdasarkan Pasal 3 (2) Undang-

Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Yaitu sebagai

berikut :

a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi

b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan

pribadi

c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan atau

d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak

langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang

mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi

utang perseroan.

45

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

(Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan

Hukum Pada Majalah Akreditasi), Fakultas Hukum USU, Medan, 18 Februari 2003, hlm. 1-8.

18

Asas Piercing The Corporate Veil dimana tanggung jawab pengurus

perseroan yang tadinya bersifat terbatas menjadi tanggung jawab yang tidak

terbatas dimana dalam hal tertentu tidak tertutup kemungkinan dihapusnya

tanggung jawab terbatas direksi, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada

pihak yang beritikad baik maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan

hukum dengan perseroan terbatas, dalam hal seperti ini pengadilan akan

mengesampingkan status badan hukum dari perseroan terbatas tersebut dna

membebankan tanggung jawab kepada organ perseroan terbatas tersebut

dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas.46

Setiap pelanggaran atau penyimpangan tugas dan kewajiban yang

dibebankan kepada direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta

pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang

berkepentingan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang

dilakukan direksi adalah direksi tidak menjalankan tugasnya secara profesional

sesuai dengan keahlian yang dimilikinya.

Asas Piercing The Corporate Veil diterapkan dalam perseroan mengingat

banyaknya itikad buruk para pemegang saham dalam menjalankan perseroan

dimana terjadi penyimpangan dalam menjalankan perseroan yang

menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan sehingga perseroan tidak

sanggup lagi untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Dengan demikian direksi

atau dewan komisaris sebagai pengurus perseroan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh

perseroan.47

46

Penerapan teori Piercing The Corporate Veil merubah tanggungjawab pemegang

saham dalam perseroan yang sifat terbatas menjadi tanggung jawabtidak terbatas, sehingga

beban tanggung jawab dipindahkan dari perseroan kepada pihak lainnya. Lihat Roni Ansari N.S,

Piercing The Corporate Veil dan penerapannya, http://en.wikipedia.com, diakses pada hari

minggu, tanggal 13 juni 2011, pukul 12.00 WIB. 47

Ibid, hlm. 27.

19

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Pembahasan dalam penelitian ini akan diurut secara sistematik dalam beberapa

bab, yakni bab satu sampai bab lima. Keseluruhan bab yang akan dirancang

sedimikian rupa sehingga menggambarkan secara utuh alur pemikiran dan seluruh

proses penelitian.

BAB I, merupakan bab pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

terdahulu, metode penelitian dan metode penulisan dan sitematika penulisan

BAB II, pembahasan mengenai Profil Perusahaan PT. Bank Sumut Syariah,

Struktur Organisasi Perusahaan dan Akad Pembiayaan Musyarakah di Bank

Sumut Syariah.

BAB III, Posisi gugatan perkara, Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung

Jawab Resiko Dalam perkara perjanjian musyarakah pada Putusan MA No

715K/Ag/2014, Akibat Hukum Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung Jawab

Resiko Dalam perkara perjanjian musyarakah Surat Pernyataan Berdasarkan

Hukum Perjanjian Islam, KUHPerdata.

BAB IV, Analisis Putusan Hakim Atas tidak dapat diterimanya (NO) gugatan

atau permohonan Kasasi penggugat dalam perkara perjanjian pembiayaan

musyarakah di Putusan Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014.

BAB V, adalah penutup, yang meliputi kesimpulan dan saran-saran.

20

BAB II

PROFIL PERUSAHAAN BANK SUMUT SYARIAH

A. Sejarah dan Visi Misi PT. Bank Sumut Syariah

Bank Sumut Syariah merupakan Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank umum

konvensional yaitu Bank Sumut. Pada Sejarahnya Bank Sumut merupakan Bank

Pembangunan Daerah Sumatera Utara yang didirikan pada tanggal 4 Nopember

1961 dengan sebutan BPSU. Sesuai Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah

Tingkat 1 Sumatera Utara maka, pada tahun 1962 bentuk usaha Bank Sumut

dirubah menjadi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan modal dasar pada

saat itu sebesar Rp. 100 Juta Rupiah dengan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah

Daerah Tingkat I Sumatera Utara dan Pemerintah Daerah Tingkat II se Sumatera

Utara.1

Pada tahun 1999, bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah Sumatera Utara

(BPDSU) dirubah menjadi Perseroan Terbatas dengan nama PT. Bank

Pembangunan Daerah Sumatera Utara atau disingkat PT. Bank Sumut yang

berkedudukan dan berkantor pusat di Medan, JL. Imam Bonjol No, 18 Meda.

Modal Dasar pada saat itu menjadi Rp. 400 Milyar Rupiah yang selanjutnya

dengan pertimbangan kebutuhan proyeksi pertumbuhan Bank ditahun yang sama

modal dasar kembali ditingkatkan menjadi Rp. 500 Milyar Rupiah.2

Terdapat beberapa Fungsi dari pendirian PT. Bank Sumut sendiri yaitu adalah

sebagai alat kelengkapan otonomi daerah dibidang perbankan, PT. Bank Sumut

juga berfungsi sebagai penggerak dan pendorong laju pembangunan di daerah,

dan bertindak sebagai pemegang kas daerah. Selain itu, PT. Bank Sumut

merupakan bank non devisa yang memiliki jaringan pelayanan yang terus

1 Pasal 7 Bab III tentang Modal, Saham-Saham dan Sumber Keuangan Lain dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Ketentuan Pokok Bank Pembangunan Daerah

dikatakan pada ayat (1) Bahwa “ Besarnya Modal Bank ditetapkan dalam peraturan pendirian

Bank dengan ketentuan bahwa modal yang disetor harus berjumlah paling sedikit Rp 20. 000.000,-

(dua puluh juta rupiah)”. 2 Pada Waktu itu dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang

Perseroan Terbatas yang telah dirubah menjadi Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dalam Bab III

Modal dan Saham Pasal 25 ayat (1) dikatakan bahwa “Modal dasar perseroan paling sedikit Rp.

20.000.000,- (dua puluh juta rupiah).”

21

bertambah dalam melayani masyarakat di seluruh daerah Sumatera Utara

khususnya.3

Visi4

Visi dari PT. Bank Sumut sendiri adalah menjadi bank andalan untuk

membantu dan mendorong pertumbuhan perekonomian dan pembangunan daerah

dari segala bidang serta sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dalam

rangka peningkatan taraf hidup rakyat.

Misi

Sedangkan, Misi dari PT. Bank Sumut adalah mengelola dana pemerintah dan

masyarakat secara profesional yang didasarkan pada prinsip-prinsip

compliance/Kepatuhan.

Selain kedua visi misi diatas terdapat juga Statement Budaya dari PT. Bank

Sumut atau lebih sering dikenal dengan nama motto dari bank itu yaitu adalah

memberikan pelayanann „terbaik‟ dengan penjabaran dari kata „terbaik‟ adalah

sebagai berikut :

“Berusaha untuk selalu terpercaya, Energik di dalam melakukan setiap kegiatan,

senantiasa bersikap ramah, membina hubungan secara bersahabat, menciptakan

suasan yang aman dan nyaman, memiliki Integritas tinggi, dan komitmen penuh

untuk memberikan yang terbaik.”

Selain itu, Gagasan dan wacana dalam mendirikan Unit/divisi usaha

syariah oleh PT. Bank Sumut sebenarnya telah berkembang cukup lama

dikalangan stakeholder khususnya Direksi dan Komisaris yaitu sejak

dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang

memberikan kepastian kesempatan bagi bank konvensional untuk mendirikan unit

usaha syariah. Pendirian unit usaha syariah (UUS)5 juga didasarkan pada kultur

3 Sejarah dan Fungsi PT. Bank Sumut http://www.banksumut.com/statis-5-sejarah.html

4 Visi dan Misi PT. Bank Sumut http://www.banksumut.com/statis-2-visidanmisi.html

5 Unit Usaha Syariah (UUS) adalah Unit kerja dari kantor pusat Bank Umum

Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan

kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang

berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang

22

masyarakat Sumatera Utara yang religious, khususnya umat Isalm yang semakin

sadar akan pentingnya menjalankan ajarannya dalam semua aspek kehidupan,

termasuk dalam bidang ekonomi.

Komitmen dalam mendirikan Unit Usaha Syariah (UUS) semakin menguat

seiring dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia

(DSN-MUI) yang menyatakan bunga Bank Haram.6 Tentunya fatwa ini

mendorong keinginan masyarakat muslim untuk mendapatkan layanan jasa-jasa

perbankan berdasarkan prnsip-prinsip syariah. Dari hasil observasi yang

dilakukan 8 (delapan) kota di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa minat

masyarakat terhadap pelayanan bank syariah cukup tinggi yaitu mencapai 70%

untuk tingkat ketertarikan dan diatas 50% untuk keinginan mendapatkan

pelayanan perbankan syariah. Maka atas dasar ini, komitmen PT. Bank Sumut

terhadap pengembangan layanan perbankan syariah. Pada tanggal 04 November

2004 PT. Bank Sumut membuka Unit Usaha Syariah dengan dua kantor Cabang

Syariah salah satunya Unit Usaha Syariah (UUS) Cabang Padangsidempuan

Sumatera Utara.7

Maka dari itu, Visi dan Misi Unit Usaha Syariah (UUS) haruslah

mendukung visi dan misi dari Bank Pusat atau PT. Bank Sumut secara umum,

atas dasar itu ditetapkan visi Unit Usaha Syariah Bank Sumut yaitu :

”Meningkatkan keunggulan PT. Bank Sumut dengan memberikan layanan lebih

luas berdasarkan prinsip-prinsip syariah sehingga mendukung partisipasi

berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Lihat

Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang

Perbankan Syariah. 6 Fatwa DSN-MUI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Intersat/Fa‟idah) Pada Tanggal

22 Syawwal 1424 H/ 16 Desember 2003 Memutuskan “ Bahwa a) Praktek Pembungaan uang saat

ini telah memnuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah saw yaitu Riba Nasi‟ah.

Dengan demikian praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk riba, dan riba haram

hukumnya. b) Praktek Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik dilakukan oleh Bank,

Auransi, Pasar Modal, Pegadaian, koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan

oleh individu. Ketiga : bermuamalah dengan lembaga keuangan konvensional ; a) Untuk wilayah

yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari‟ah dan mudah di jangkau tidak

dibolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga, b) Untuk wilayah

yang belum ada kantor/jaringan lembaga keuangan Syari‟ah diperbolehkan melakukan kegiataan

transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip Dharurat/hajat.” 7 Profil Pendirian Unit Usaha Syariah PT. Bank Sumut Syariah

http://www.banksumut.com/statis-34-profil.html

23

masyarakat secara luas dalam pembangunan daerah guna mewujudkan masyarakat

yang sejahtera.”

Sedangkan Misinya adalah “Meningkatkan posisi PT. Bank Sumut melalui

prinsip layanan perbankan syariah yang aman, adil, dan saling menguntungkan

serta dikelola secara profesional.” Dlaam hal ini, melalui pengembangan layanan

perbankan syariah diharapkan PT. Bank Sumut dapat berperan lebih besar sesuai

visi dan misinya. Lebih lanjut juga bahwa pengembangan usaha ini juga

menargetkan juga meningkatkan profitibilitas PT. Bank Sumut sekaligus tingkat

kesehatannya.

PT. Bank Sumut Unit Usaha Syariah diresmikan pada tanggal 04 November

2004, dengan dibukanya 2 Unit Kantor Operasional yaitu :

1. Kantor Cabang Syariah Medan

2. Kantor Cabang Syariah Padangsidimpuan

Sejalan dengan beriringnya waktu, sampai dengan tahun 2014, Bank Sumut

Unit Usaha Syariah telah memiliki 22 kantor operasional yang terdiri dari 5

kantor Cabang dan 17 Kantor Cabang Pembantu yang tersebar di Medan dan

Kota-kota besar lainnya di Sumatera Utara.8

B. Struktur Organisasi Perusahaan PT. Bank Sumut Syariah

Bank pada dasarnya adalah entitas yang yang melakukan penghimpunan dana

dari masyarakat dalam bentuk pembiayaan atau dengan kata lain melaksanakan

fungsi intermediasi keuangan. Sesuai Undang-Undang No 21 Tahun 2008 tentang

perbankan syariah, Bank Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usaha

berdasarkan prinsip syariah atau prinsip hukum Islam yang diatur dalam fatwa

dewan syariah Nasional (DSN-MUI). Secara kelembagaan bank umum syariah

ada yang berbentuk bank syariah penuh (full-pledged) dan terdapat pula dalam

bentuk Unit Usaha Syariah (UUS). PT. Bank Sumut Syariah merupakan UUS dari

Bank Sumut Konvensional. Dalam struktur perbankan syariah, UUS merupakan

unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai

8 Lihat Profil Bank Sumut Syariah http://www.banksumut.com/statis-34-profil.html

24

kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip syariah.9

Struktur organisasi merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh

pimpinan perusahaan. Struktur organisasi juga dapat memberikan gambaran

secara skematis tentang hubungan kerjasama antara orang-orang yang terdapat

dalam organisasi dengan jelas. Adapun struktur organisasi pada PT. Bank Sumut

sebagai berikut :

Pertama : Direktur Utama, kedua : terdapat 4 (empat) direktur setiap bagian

(Direktur Kepatuhan, Direktur Operasional, Direktur Pemasaran, Direktur bisnis

dan syariah). Selanjutnya, dibawah Direktur Bisnis dan Syariah terdapat 4 (empat)

Divisi, yang dimana Unit Usaha Syariah (UUS) termasuk didalamnya yaitu Divisi

Kredit, Divisi Penyelamatan Kredit, Divisi risiko kredit dan Unit Usaha Syariah.

Bank Sumut Syariah Sendiri berada ditingkatan yang sama dengan beberapa divisi

dibawah direktur bisnis dan syariah.

9 Lihat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) http://www.ojk.go.id/id/kanal/syariah/tentang-

syariah/Pages/PBS-dan-Kelembagaan.aspx

25

Gambar 1.1 : Struktur Organisasi Bank Sumut10

Berdasarkan struktur diatas, Bank Sumut Syariah berada dibawah naungan

Direktur Bisnis dan Syariah yang dimana Bank Sumut Syariah dipimpin oleh

Direktur/Direksi Unit Usaha Syariah yang dalam tatanan satu rating atau satu

level dengan Divisi-Divisi yang lainnya seperti Divisi Kredit, Divisi

Penyelamatan Kredit, dan Divisi Resiko Kredit. Selain itu, Bank Sumut Syariah

dibantu juga dengan kantor-kantor cabang yang ada, serta Kantor Cabang

Pembantu yang dimana tugasnya adalah memberikan pelayanan dengan prinsip-

prinsip syariah dan keadilan. Selain itu, terdapat juga struktur yang terdapat dalam

Cabang Bank Sumut Syariah yang fungsinya memberikan pelayanan pembiayaan

dan lainnya berdasarkan prinsip Syariah.

Gambar 1.2. Struktur Organisasi Bank Sumut Syariah Cabang Medan

C. Akad Pembiayaan Musyarakah Di Bank Sumut Syariah

Seperti halnya bank konvensional, bank syariah juga berfungsi sebagai

lembaga intermediasai (intermediary institution) yaitu berfungsi menghimpun

dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada

masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Dalam satu hal,

10

Lihat Struktur Oraginasi Bank Sumut http://www.banksumut.com/statis-3-strukturorganisasi.html

Pimpinan Cabang

Wakil Pimpinan Cabang

Tugas

Operasion

al

Tugas

Pemasara

n

Tugas

Teller

Tugas

Customer

Service

Tugas

Pembiaya

an

26

Pembiayaan sama fungsinya dengan utang piutang atau kredit dalam bank

konvensional, hanya perbedaannya bahwa utang piutang biasanya digunakan oleh

masyarakat dalam konteks pemberian pinjaman kepada pihak lain sedangkan

pembiayaan selalu berkaitan dengan aktivitas modal bisnis. Pembiayaan atau

financing merupakan pendanaan yang diberikan oleh suatu pihak kepada pihak

lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik dilakukan sendiri

maupun dilakukan oleh lembaga.11

Istilah pembiaayan pada intinya berarti i

believe, i trust (saya percaya dan saya menaruh kepercayaan). Perkataan

pembiayaan yang berarti (trust) berarti lembaga pembiayaan selaku sahib al-mal

menaruh kepercayaan kepada seseorang untuk melaksanakan amanah yang

diberikan dimana dana tersebut harus digunakan dengan benar, adil dan harus

disertai dengan ikatan dan syarat-syarat yang jelas dan saling menguntungkan

bagi kedua belah pihak. Dalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan

terhadap UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan disebutkan bahwa

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan

yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk

mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan

imbalan atau bagi hasil. Yang dimaksud dengan prinsip syariah sendiri adalah

aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk

penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya

yang dinyatakan sesuai dengan syariah yaitu antara lain pembiayaan berdasarkan

prinsip bagi hasil (mudha>rabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan

modal (musya>rakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan

(mura>bahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni

tanpa pilihan (ija>rah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas

barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ija>rah wa iqtina).12

Selain

itu, dalam pelaksanaan pembiayaannya , bank syariah harus memenuhi dua aspek

yang sangat penting, yaitu (1) Aspek Syar‟i, dimana dalam setiap realisasi

11

Rahmat Ilyas, Konsep Pembiayaan Dalam Perbankan Syariah, (STAIN Syaikh

Abdurrahman Siddik Bank Belitung, Journal Penelitian, Vol. 9, No. 1, Februari 2015), hlm. 184. 12

Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (12 & 13) Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun

1998 tentang perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

27

pembiayaan kepada para nasabah bank syariah harus tetap berpedoman pada

syariat Islam dan (2) Aspek Ekonomi, yakni perbankan syariah harus tetap

mempertimbangkan perolehan keuntungan, baik bagi bank syariah maupun bagi

nasabah bank syariah.

Terdapat beberapa produk pembiayaan syariah yang ditawarkan oleh PT. Bank

Sumut Syariah sendiri antara lain :

1. Gadai Emas Berkah

Gadai adalah fasilitas pinjaman dana tunai tanpa imbal jasa yang diberikan

Bank Sumut Syariah kepada nasabah dengan jaminan berupa emas yang

berprinsip gadai syariah. keuntungannya yang pertama yaitu biaya sewa

tempat penyimpanan emas paling murah, kedua proses mudah dan tidak

perlu lama untuk memperoleh uang tunai, lebih tentram karena bebas riba

dan unsur bunga.

2. Pembiayaan IB Serbaguna

Pembiayaan ini untuk berbagai keperluan yang bersifat

konsumtif/investasi/modal kerja dengan prinsip jual beli (mura>bahah).

Keuntungannya antara lain : Margin rendah, jangka waktu sampai 60 bulan,

angsuran tetap sampai lunas, emmenuhi segala kebutuhan modal kerja,

investasi dan konsumtif dan proses cepat.

3. Pembiayaan IB Modal Kerja

Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang kekurangan dana

modal dalam rangka mengembangkan usaha yang produktif, halal dan

menguntungkan. Pelunasan pembiayaan tersebut diangsur berdasarkan

proyeksi arus kas (cash flow) usaha nasabah. Pembiayaan IB Modal Kerja

dapat dilakukan dengan 2 dua jenis akad pembiayaan, yaitu akad

Mudharabah dan Akad Musyarakah. Keuntungannya antara lain : Tingkat

Bagi Hasil rendah, jangka waktu sampai 60 bulan, memenuhi kebutuhan

modal kerja dan proses cepat.

4. Kredit Pemilikan Rumah (KPR iB) Bank Sumut Unit Usaha Syariah

Meurpakan pembiayaan yang diberikan kepada perorangan untuk

kebutuhan pembelian Rumah baik berupa Rumah Tinggal yang dijual

28

melalui pengembang atau bukan pengembang di lokasi-lokasi yang telah

ditentukan bank dengan sistem Murabahah (Jual beli). Keuntungannya

antara lain : Tingkat Margin Rendah, Jangka waktu sampai 180 bulan (15

tahun, angusran tetap sampai lunas, bebas biayaa appraisal sampai plafond

Rp 500 jt, dan proses cepat.

5. Pembiayaan Pemilikan Rumah Toko (Ruko) Ib dan/atau iB Bank Sumut

Unit Usaha Syariah

Adalah membantu masyarakat untuk membeli Rumah Toko (Ruko) atau

Rumah Kantor (Rukan) melalui fasilitas pembiayaan untuk tujuan

investasi. Keuntungannya antara lain : tingkat Margin rendah, jangka waktu

sampai 120 bulan (10 tahun), angsuran tetap sampai lunas, bebas biaya

appraisal sampai plafond Rp 500 jt, dan proses cepat.

6. Pembiayaan iB Dana Talangan Haji

Digunakan untuk membantu umat Islam yang berkeinginan menunaikan

ibadah haji untuk mendapatkan nomor porsi keberangkatan haji lebih awal.

Bank Sumut Syariah akan mengurus pendaftaran haji melalui sistem

komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) atau pelunasan biaya Perjalanan

Ibadah Haji (BPIH). Keuntungannya antara lain: Besar pembiayaan yang

diberikan maksimum Rp 20 jt, jangka waktu maksimum 12 bulan dan

fee/Ujrah sangat terjangkau.

Kalau kita melihat dari semua produk pembiayaan yang ditawarkan oleh PT.

Bank Sumut Syariah diatas, produk yang memakai akad musyarakah dalam

pembiayaannya adalah produk iB Modal Kerja. Sebagaimana dijelaskan, Produk

iB Modal Kerja Bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang

kekurangan dana modal dalam rangka mengembangkan usaha yang produktif,

halal dan menguntungkan dengan ketentuan keuntungan dan risiko ditanggung

bersama. DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa tentang akad pembiayaan

musya>rakah diperbankan syariah yang didalamnya mengatur ketentuan-

ketentuan dan syarat-syarat yang harus dipatuhi oleh perbankan syariah dalam

melakukan praktek produk pembiayaan ini kepada nasabah. Ketentuan DSN-MUI

tentang akad pembiayaan musya>rakah yang tertuang dalam fatwa DSN-MUI

Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan musya>rakah termaktub

29

didalamnya bahwa pembiayaan musya>rakah yaitu pembiayaan berdasarkan

akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana

masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa

keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.”

Akad Musya>rakah sendiri merupakan berasal dari kata dalam bahasa arab

yaitu, syirkatan (mashdar/katadasar) dan sya>raka (fi'il ma>dhi/kata kerja) yang

berarti mitra/sekutu/kongsi/serikat. Secara bahasa, syirkah berarti al-Ikhtila>th

(penggabungan atau pencampuran) dan secara terminology syirkah adalah

ungkapan atas adanya transaksi (akad) antara dua orang yang bersekutu/bermitra

pada pokok harta dan keuntungan.13

Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa as-

Syirkah merupakan percampuran atau tercampurnya harta seseorang dengan

lainnya yangmana pencampuran harta terebut tidak dapat dibedakan antara

keduanya.14

Isa Abduh juga dalam bukunya mengatakan bahwa kata

musya>rakah berasal dari bentuk kata as-Syirkat yang berarti

penggabungan/Percampuran salah satu dari macam harta satu pihak dengan

lainnya, tanpa membedakan antar keduanya.15

Muhammad Syafi‟e Antonio dalam

bukunya memberikan penjelasan tentang akad musya>rakah dalam dunia

perbankan saat ini sebagai suatu produk pembiayaan perbankan secara Islami

dengan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu

dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana/amal (expertise)

dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama

sesuai dengan kesepakatan secara proposional.16

Dari definisi tentang musya>rakah diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa

pembiayaan musyarakah merupakan produk pembiayaan kerjasama suatu usaha

yang dibolehan oleh syariat antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,

13

Sayid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, (Beirut : Dar Ibn Katsir 2001), hlm. 294. Sebagaimana

dikutip oleh Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 126. 14

Wahbah Az-zuhaili, Al-Fiqhu Al-Isla>mi wa Adillatuhu, (Dimasqi : Da>r Al-Fikr,

1985), hlm. 792. 15

Isa Abduh, Al-‟Uqu>d As-Syari>‟ah Al-Muha>kamah lil Mua>‟mala>t Al-Ma>liyah

Al-Mua>‟syarah, (Cairo : Daru>l Al-„Ithisa>m, 1977), hlm. 48. 16

Muhammad Syafie Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta : Tazkia

Institute dan BI Cet. Pertama, 1999), hlm. 129.

30

yang mana setiap pihak memberikan kontribusi dana dan amal dengan ketentuan

bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama.

Kalau dalam pembagiannya, Musyarakah/syirkah dalam kitab fiqh dapat

digolongkan dalam dua bentuk yaitu : Pertama, Syirkah milki (non kontrak) dan

Kedua, Syirkah „uqu>d (kontrak). Syirkah milki (Perseroan hak milik) adalah

kepemilikan terhadap suatu zat barang oleh dua orang tanpa adanya akad syirkah

atau transaksi. Syirkah milki terdiri dari milku Ikhtiya>ri (optional) dan milku

Ijba>ri (otomatis/mutlak). Sedangkan Syirkah „Uqu>d (perseroan transaksi)

mengibaratkan kepemilikan atas sesuatu dengan akad atau transaksi yang terjadi

antara dua orang dalam mencampurkan hartanya juga keuntungannya.17

Selain itu,

dalam KUHPerdata akad musya>rakah atau syirkah dikenal dengan juga dengan

istilah persekutuan. Persekutuan dalam KUHPerdata diatur dalam Pasal 1618

sampai dengan Pasal 1665. Persekutuan dalam KUHPerdata adalah perjanjian

antara dua pihak atau lebih yang mengikatkan diri untuk menyertakan

sesuatu/imbreng kedalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang

diperoleh.18

Pembiayaan musyarakah yang diterapkan pada perbankan syariah kebanyakan

dan juga diterapkan oleh PT. Bank Sumut Syariah merupakan aplikasi daripada

Syirkah „Uqu>d yang ada.19

Imam Al-Ghazali dalam bukunya membagi syirkah

17

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Isla>mi wa Adillatuhu, Ibid, hlm.794. 18

KUHPerdata Pasal 1618 Perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang

atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud

supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka. Persekutuan dalam

KUHPerdata setidaknya memiliki tiga unsur yaitu : 1) persetujuan timbal balik sebagai dasar

pendirian, 2) adanya imbreng yaitu masing-masing sekutu diwajibkan menyertakan uang, barang-

barang atau keahliannya (tenaga fisik/ide/gagasan/pikiran), 3) tujuannya adalah membagi

keuntungan diantara orang/pihak yang terlibat. Dengan merujuk pada KUHPerdata Pasal 1320,

1321, dan 1337 menjelaskan bahwa unsur-unsur persekutuan perdata adalah: 1) Persetujuan

kehendak untuk mendirikan suatu perkumpulan; 2) Kecakapan berbuat para pihak/cakap hukum;

3) Suatu hal/objek tertentu, yaitu objek perjanjian. Dan 4) Tujuan yang sah, yaitu tujuan yang tidak

dilarang undang-undang atau hukum. Lihat Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang

Indonesia 2: Bentuk-Bentuk Perusahaan, (Jakarta : Djambatan 1986), hlm. 11. 19

Dalam pembagiannya, Para ulama Mazhab membagi Syirkah „Uqu>d (perseroan

transaksi) menjadi beberapa jenis sebagai berikut : Mazhab Hanbali membaginya menjadi 5 jenis

(syirkah „Inan, mufa>wad{ah, abdan, wuju>h, mud}a>rabah), Mazhab Hanafi 6 jenis (syirkah

„Inan, amwa>l, „amal, abdan, wuju>h, mud{a>rabah), dan Mazhab Maliki dan Sya>fi>‟iyyah

membaginya menjadi 4 jenis. Lihat Wahbah Zuhaili, Al-Fiqhu Al-Isla>mi wa Adillatuhu, Ibid,.

hlm.795.

31

„Uqu>d 20

(perseroan transaksi) menjadi empat bagian sebagai yaitu (syirkah

mufa>wad{ah, abdan, wuju>h, „Inan). Syirkah yang pertama adalah Syirkah

mufa>wad{ah (hak tanggung jawab sepenuhnya). Dalam hal mufa>wad{ah

masing-masing pihak harus memberikan kontribusi sama besar terhadap modal,

sambungan resiko rugi laba, mempunyai hak penuh untuk berbuat atas nama

orang lain dan secara bersama-sama bertanggung jawab atas leabilitas kerja mitra

kerja mereka meskipun semacam itu telah dicatat atau ditetapkan dalam kegiatan

bisnis sehari-hari. Kedua, Syirkah al-Abdan. Dalam syirkah al-Abdan, para mitra

atau kongsi menyumbangkan keahlian (skill) dan tenaga untuk mengelola bisnis

tanpa memberikan modal. Menurut Al-Ghazali bahwa dalam menetapkan

kemitraan ini hanya sekedar jadi pengelola, tanpa memberikan investasi. Dengan

kata lain, pihak yang melakukan bisnis ini hanya mengandalkan upah atas

pekerjaannya. Ketiga, syirkah wuju>h. Dalam syirkah wuju>h para mitra

menyumbangkan profesi (goodwill) mereka, atau terjadi percampuran antara

modal dengan reputasi/ nama baik seseorang, serta hubungan-hubungan (kontrak-

kontrak) mereka untuk mempromosikan bisnis mereka tanpa menyetorkan suatu

modal.21

Keempat, Syirkah „Inan. Syirkah „Inan yaitu mencampurkan modal

anggota-anggota mitra untuk dapat dijalankan bersama dengan bagi hasil atau

para pihak yang berserikat mencampurkan modal dalam jumlah yang tidak sama,

berbeda dengan syirkah mufa>wad{ah sebelumnya dimana para pihak yang

berserikat/bermitra mencampurkan modal dalam jumlah yang sama. Mazhab

Hanafiyah menambahkan satu jenis syirkah „Uqu>d yaitu syirkah mud{a>rabah.

Dalam syirkah mud{a>rabah ini, terjadinya percampuran antara modal dengan

jasa (keahlian/keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat.22

Kalau kita

melihat definisi jenis syirkah, pembiayaan musya>rakah yang diterapkan dalam

produk perbankan syariah saat ini dan di PT. Bank Sumut Syariah lebih

mendekati syirkah mud{a>rabah dan syirkah „Inan yaitu mencampurkan modal

para pihak yang berserikat/bermitra dengan jasa (keahlian/ketrampilan) dan dalam

jumlah investasi modal yang tidak sama. Kalau melihat dari jenis Musyarakah di

perbankan Sumut syariah, pembiayaan Musyarakah tersebut sama dengan syirkah

20

Al-Ghazali, Ihya> „Ulu>muddi>n, (Beirut : Da>r Ibn Hazm, 2005), hlm. 515. 21

Ibid, hlm. 515. 22

Bank Islam, Ibid,. hlm. 76.

32

mud{a>rabah dimana nasabah selain memberikan modal juga memberikan jasa

(keahlian/keterampilan) dengan nama produk syariah tersebut yaitu IB Modal

Kerja.

Dalam pembagian keuntungan dan kerugian dalam akad musya>rakah secara

teori, keuntungan dibagi berdasarkan keuntungan hasil usaha dengan kesepakatan

antara dua belah pihak atau dengan nisbah yang telah dicantumkan dalam kontrak

pembiayaan musya>rakah, sedangkan kerugian dibagi bedasarkan modal awal

dari setiap pihak yang bermitra. Ketentuan keuntungan dan kerugian dalam akad

musyarakah tercantum dalam fatwa DSN MUI23

Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000

Tentang Pembiayaan musya>rakah dalam ketentuan nomor 3 huruf c dan d

dijelaskan bahwa keuntungan 1) harus dikuantifikasi dengan jelas untuk

menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau

penghentian musyarakah, 2) setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara

proposional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan

di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra, 3) seorang mitra boleh mengusulkan

bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau presentase itu

diberikan kepadanya, 4) sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan

jelas dalam akad. Sedangkan kerugian harus dibagi di antara para mitra secara

proposional menurut saham masing-maisng dalam modal.24

Menurut Ibnu Qudhamah dalam bukunya Al-Mughni bahwa syirkah akan

menjadi fasid atau rusak ketika pembagian keuntungan berdasarkan kadar dari

modal para mitra. Sedangkan kerugian dalam syirkah ditanggung oleh masing-

masing mitra dengan berdasarkan kadar modal bersama/syirkah para mitra.25

23

Sejarah berdirinya, Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah tanggal 29-30 Juli

1997, selanjutnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan rapat Tim Pembentukan Dewan

Syariah Nasional tanggal 14 Oktober 1997. Salah latar belakang Pembentukan Dewan Syariah

Nasional-Majelis Ulama Indonesia dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai

masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang

perekonomian/keuangan yang dilaksanakan sesuai dengan tuntutan syariat Islam.

https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/ 24

Lihat fatwa DSN MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan

Musyarakah dalam ketentuan nomor 3 huruf c dan d. لة قال ابن قدامة رمحه هللا يف "املغين" 25 لة فاسدة, يف ربح وخسارة امش : ومت وقعت امشر

ما/يقتسمان امربح عل قدر رؤوس أموامهما. نر)يعين:امشيكني( بقدر ماهل, اخلرسان يف امشلة عيل لك واحد مهنام فا

ن اكن أ ثالث, فاموضيعة/اخلسارة أ ثالاث. ال هعمل يف هذا فا ن اكن ماهلام متساواي يف امقدر, فاخلرسان بيهنام هصفني, وا

33

Berdasarkan pendapat Ibnu Qudhamah bahwasannya keuntungan (ribh) dalam

syirkah merupakan keuntungan yang didapat berdasarkan hasil dari bermitra,

bukan keuntungan yang berasal dari modal bersama/syirkah para mitra.

Sedangkan kerugian dalam modal bersama/syirkah berdasarkan kadar dari

masing-masing modal para mitra. Dar ifta Yordania juga menyatakan bahwa

kerugian dalam akad musyarakah dibagi berdasarkan modal dari setiap sya>rik

atau mitra dalam perjanjian tersebut.26

Sedangkan dalam ketentuan dalam

KUHPerdata dalam pembagian keuntungan dan kerugian terdapat perbedaan cara

pembagian keuntungan dan kerugian dengan hukum Islam, salah satunya terdapat

dalam Pasal 1635 ayat (2) dalam persekutuan KUHPerdata boleh diperjanjikan

bahwa seluruh kerugian hanya ditanggung oleh satu pihak sekutu saja. Dalam hal

ini terdapat perbedaan ketentuan dengan apa yang ada dalam akad syirkah sendiri

yangmana kerugian harus dibagi bersama berdasarkan kesepakatan atau secara

proposional. Dalam bukunya Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok menyatakan

perbedaan ketentuan antara persekutuan perdata dengan syirkah terletak pada

peraturan KUHPerdata mengenai kebolehan diperjanjikan seluruh kerugian hanya

ditanggung oleh satu pihak sekutu. Ketentuan ini, tidak sejalan dengan kaidah

syirkah yang menyatakan bahwa keuntungan (al-ribhu) dibagi atas dasar

kesepakatan dan kerugian (al-khasa>rah) dibagi hanya secara proposional atau

kesepakatan. Dalam kata lain keuntungan dan kerugian dibagi bersama diantara

Ibn Qudhamah rahimahullah berkata dalam al-Mughni dalam hal“) خالفا بني أ هل امعمل.

keuntungan dan kerugian dalam syirkah : kapan dikatakan syirkah itu Fasid, yaitu

ketika para mitra membagi keuntungan atas kadar modal bersama/mitra dan kerugian

dalam syirkah ditanggung oleh setiap pihak yang bermitra berdasarkan modalnya.”). Lihat Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudhamah al-Maqdhisiy, Al-

Mughni, (Riyadh: Daar Alam Kutub, Juz ketujuh, Cet Ketiga, 1997), hlm. 167.

26ر يك أه ط امشر وز أن يشت ط وال ي ل شيئا من اخلسارة بينما يشارك يف األربح؛ وهو ش ه ال يتحمر

مان، اكهت اخلسارة عل ق ربح ينقسم عل قدر امضر أيضا در بطل، ألنر امغن بمغرم، فكا أنر ام

“Dan tidak diperbolehkan adanya syarat atas mitra untuk dibebani sesuatu dari

resiko kerugian sedangkan keuntungan dia ikut dalamnya maka syarat tersebut

batal/bathil. Karena manfaat sejalan dengan resiko. Seperti halnya keuntungan

dibagi berdasarkan kadar tanggung jawab begitu pun dengan kerugian.”

Lihat Dar Ifta Yordania,http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=3163#.WdIQ-

3QxXIU

34

para sya>rik.27

Kalau melihat dalam praktek diperbankan syariah di Bank Sumut

Syariah saat ini tentang pembagian keuntungan dan kerugian pembiayaan

musya>rakah, rujukan akad pembiayaan syari‟ah masih belum terlepas dari unsur

pihak perbankan konvensional yaitu dilihat dari nisbah bagi hasilnya yang

ditetapkan diawal dan sudah menjadi patokan yang tidak ditawarkan serta nominal

uang yang harus disetorkan nasabah kepada bank yang ditetapkan diawal

pembuatan perjanjian pembiayaan musya>rakah. Yangmana seharusnya nisbah

bagi hasil (keuntungan dan kerugian) dibagi berdasarkan keuntungan hasil usaha

musya>rakah bukan dari bagi hasil berdasarkan modal syirkah para pihak yang

bermitra.28

Selanjutnya Akad Pembiayaan musyarakah di perbankan Sumut Syariah juga

dapat dilihat dari sisi perjanjian atau kontrak perbankan dengan nasabah. Dalam

hal menjamin kepastian dan perlindungan hukum pada pembiayaan di perbankan

syariah, maka diperlukan adanya suatu perjanjian atau disebut juga kontrak.

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian Dewasa ini yang berkembang dalam masyarakat khususnya perjanjian

dalam perbankan syariah yangmana telah banyak menggunakan sebuah kontrak

baku atau standar kontrak. Begitupun dengan PT. Bank Sumut Syariah dalam

melakukan transaksi pembiayaan Musyarakah dan pembiayaan-pembiayaan

lainnya menggunakan kontrak baku. Kontrak baku digunakan dengan tujuan agar

perjanjian tersebut dapat dilakukan secara cepat dan praktis sehingga lebih efisien

dan hemat dari segi waktu dan dana. Menurut Abdul Kadir Muhammad perjanjian

baku adalah perjanjian yang tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau

pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan

pengusaha yang dibakukan dalam perjanjian meliputi model, rumusan, dan

ukuran.29

Sedangkan menurut Sutan Remy Sjahdeni perjanjian baku adalah

perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausul yang dibakukan oleh pemakainya

27

Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,

(Jakarta:Kencana Edisi Pertama, 2012), hlm. 133. 28

Mahmudatus Sa‟diyah, Musyarakah Dalam Fiqh dan Perbankan Syariah, Journal

Equilibrium Volume 2, No. 2, Desember 2014, hlm. 325. 29

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm.

87.

35

dan pihak lainnya pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan

atau meminta perubahan, dimana yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal

saja misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu, dan

beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dalam UU No.

8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 10

disebutkan bahwa klausul baku adalah “Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-

syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh

pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang

mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”.30

Tidak dapat dipungkiri penggunaan kontrak baku oleh pelaku usaha terkadang

tidak seimbang antara hak dan kewajiban antara pelaku usaha dan konsumen,

sehingga menimbulkan ketidakadilan bagi para konsumen. Konsumen atau

nasabah disini memiliki kedudukan yang sangat lemah dibandingkan dengan

perbankan. Konsumen hanya memiliki 2 (dua) pilihan yaitu take it or leave it

diambil atau tidak sama sekali. Terdapat beberapa ketentuan dalam UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam penggunaan klausul atau

kontrak baku dalam sebuah perjanjian yang harus dipenuhi oleh semua pelaku

usaha yaitu sebagai berikut :

1. Pelaku usaha dalam dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang

ditujukan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila :

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali

barang yang dibeli konsumen

c. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan

baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa

yang dibelinya dan lainnya.

30

Lihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1

angka 10.

36

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau

bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau yang

pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada

dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.

Umumnya dalam praktek perbankan di Indonesia khususnya di Bank Sumut

Syariah, perjanjian atau kontrak yang digunakan telah banyak berbentuk

perjanjian yang bersifat baku yang mana klausul-klausulnya atau isi perjanjian

telah disusun sebelumnya oleh pihak bank. Perjanjian baku atau dikenal dengan

istilah standar contract merupakan bagian dari pada perjanjian dibawah tangan

dan merupakan perjanjian tertulis. Perjanjian baku merupakan perjanjian yang

bentuknya telah ditetapkan oleh satu pihak sedangkan pihak yang lain hanya

menandatangani sebagai tanda persetujuan.

Model perjanjian baku ini masih sering diperdebatkan di satu sisi dengan dalih

kebebasan para pihak sesuai dengan asas kebebasan berkontrak untuk membuat

perjanjian yang disisi lain pelaku usaha dilarang untuk melanggar hak konsumen.

Walaupun pada asasnya para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat

perjanjian, namun konsep dasar keseimbangan dan itikad baik antara pihak dalam

membuat perjanjian merupakan konsep yang tidak dapat banyak ditawar.

Berdasarkan penjelasan diatas, kontrak atau perjanjian Pembiayaan di Bank

Sumut Syariah berlaku dengan menggunakan kotrak baku dna mengikat kedua

belah pihak apabila terdapat perjanjian didalamnya kecuali perjanjian baku

tersebut bertentangan dengan ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditetapkan

sebelumnya.

Dalam implementasinya perbankan syariah yaitu Bank Sumut Syariah

menambahkan beberapa syarat-syarat tambahan dalam pengajuan pembiayaan

musyarakah di perbankan syariah. Syarat-syarat tambahan dalam pembiayaan

musyarakah secara khusus dapat menimalisir resiko yang akan terjadi dalam

pelaksanaan pembiayaan serta menjamin hak dan kewajiban para pihak. Bahwa

secara prinsip, syariah dapat membenarkan adanya penetapan syarat tambahan

37

selama tidak bertentangan dengan aturan baku yang telah ditetapkan oleh

perbankan dan disetujui oleh pihak yang berkepentingan.31

Syarat-syarat

tambahan baik berupa Agunan atau jaminan benda bergerak dan tidak bergerak,

serta asuransi jiwa bagi nasabah dan lainnya. Berikut beberapa syarat tambahan

yang dibebankan oleh pihak perbankan kepada pihak nasabah sebelum melakukan

pembiayaan musya>rakah :32

1. Agunan atau Jaminan

Agunan merupakan "secondary source repayment" atau sumber terakhir

bagi pelunasan pembiayaan musya>rakah apabila Nasabah sungguh-sungguh

tidak bisa lagi memenuhi kewajiban pembayaran atas pembiayaan yang

diterimanya. Dalam hal pasal di atas tidak terpenuhi, agunan harus atas nama

orang tua kandung dari Calon Nasabah disertai Surat Pernyataan Notariil dari

orang tua dan seluruh ahli warisnya bahwa agunan bersedia diikat oleh

BUS/UUS/BPRS dan bersedia menanggung segala konsekuensi jika ada

wanprestasi dari Nasabah. Dalam ketentuan Nomor 3 ayat (3) Fatwa DSN-

MUI tentang musya>rakah, dikatakan bahwa para prinsipnya, dalam

pembiayaan musya>rakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari

terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan. Dalam pasal 1

Undang-Undang Perbankan Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah

dinyatakan bahwa Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda

bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik Agunan

kepada Bank Syariah dan/atau UUS, guna menjamin pelunasan kewajiban

Nasabah Penerima Fasilitas.33

Hukum jaminan dalam KUHPerdata tercantum pada Buku Kedua yang

mengatur tentang prinsip-prinsip hukum jaminan, lembaga-lembaga jaminan

(Gadai dan Hipotek) dan pada Buku Ketiga yang mengatur tentang

penanggungan utang. Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131

KUHPerdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitur baik

yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun

31

Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah, Ibid, hlm. 209. 32

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah

Mutanaqishah, (Jakarta : Februari 2016), hlm. 42-46. 33

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah Pasal 1 ayat (26).

38

yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala

perikatannya.34

Dengan demikian, segala harta kekayaan debitur secara

otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian utang

meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai jaminan. Selain itu, dasar

hukum jaminan dalam pemberian kredit juga terdapat dalam Pasal 8 ayat (1)

UU Perbankan yang menyatakan bahwa: “Dalam memberikan kredit atau

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai

keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan

serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau

mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.35

Agunan atau jaminan diperlukan untuk melindungi bank-bank Islam dari

risiko non-performing financing dan hilang keuangan lainnya yang mungkin

disebabkan oleh perilaku curang (moral hazard) dari debitur. Meskipun

penggunaan agunan atau kafalah tidak dikenal dalam pelaksanaan kontrak

musyarakah, akan tetapi menggunakan teori kebebasan berkontrak dimana

semua pihak dapat mensyaratkan sesuatu asalkan tidak bertentangan dengan

syariah. Kontrak dalam persepektif fikih muamalat masih dilakukan atas

dasar kepercayaan dan kebutuhan antara pihak berkontrak. Adanya jaminan

atau agunan dalam kontrak musyarakah adalah upaya yang baik untuk

mempromosikan langkah-langkah pencegahan menggunakan pola sadd al-

dzari>‟ah sehingga dana dari kreditor yang harus dilindungi sesuai dengan

konsep maqashid syariah.36

Sedangkan berdasarkan standar AAOIFI37

menyatakan dalam ketentuannya :

34

KUHPerdata Pasal 1131 sampai Pasal 1138 tentang Hukum Jaminan dalam

pembiayaan dan agunan. 35

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 36

Muhammad Maulana, Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan Syariah Di

Indonesia (Analisis Jaminan Pembiayaan Musyarakah Dan Murabahah), (Journal Ilmiah Islam

Futura, Vol. 14. No. 1, Agustus 2014), hlm. 72. 37 AAOIFI, established in 1991 and based in Bahrain, is the leading international not-for-

profit organization primarily responsible for development and issuance of standards for the global

Islamic finance industry. It has issued a total of 100 standards in the areas of Shari‟ah, accounting,

auditing, ethics and governance for international Islamic finance. It is supported by a number of

institutional members, including central banks and regulatory authorities, financial institutions,

accounting and auditing firms, and legal firms, from over 45 countries. Its standards are currently

followed by all the leading Islamic financial institutions across the world and have introduced a

progressive degree of harmonization of international Islamic finance practices. http://aaoifi.com/about-aaoifi/?lang=en

39

“3/1/4 Guarantees in a Sharika contract (3/1/4/1) “All partners in a

syarika contract maintain the assets of the Sharika on a trust basis.

Therefore, no one is liable except in cases of misconduct, negligence or

breach of contract. It is not permitted to stipulate that a partner in a

Sharika contract guarantees the capital of another partner. (3/1/4/2) It is

permisible for a partner in a Sharika contract to stipilate that another

partner provides a personal guarantee or a pledge to cover cases of

misconduct, negligence or breach of contract.”38

“Semua mitra dalam kontrak syirkah menjaga aset syirkah secara atau

berdasarkan kepercayaan/amanah. Oleh karena itu, tidak ada yang

bertanggung jawab kecuali dalam kasus kesalahan, kelalaian atau

pelanggaran kontrak. Tidak diperkenankan untuk menetapkan bahwa

pasangan dalam kontrak Sharika menjamin modal pasangan lain. (3/1/4/2)

Hal ini diperbolehkan bagi pasangan dalam kontrak Syirkah untuk

menetapkan bahwa pasangan lain memberikan jaminan pribadi atau janji

untuk menutupi kasus-kasus pelanggaran, kelalaian atau pelanggaran

kontrak.”

Berdasarkan pernyataan AAOIFI diatas dalam permasalahan

agunan, perbankan syariah dapat meminta jaminan atau agunan bergerak

maupun agunan tidak bergerak sebagai pola sadd al-dzari>‟ah dalam

kontrak pembiayaan musyarakah di perbankan syariah atau untuk

menutupi kasus-kasus pelanggaran, kelalaian atau pelanggaran kontrak.

2. Asuransi Pembiayaan

Selain syarat tambahan berupa agunan pihak perbankan juga

memberikan persyaratan lain yang diajukan salah satunya berupa asuransi

jiwa nasabah atau dalam perbankan konvensional disebut juga asuransi

kredit. Sebelum pencairan dana pembiayaan di perbankan, nasabah

dianjurkan juga ada yang mewajibkan untuk melakukan Asuransi jiwa

yang terkait dengan pembiayaan khususnya pembiayaan akad

38

Abdurrahman An-Najdiy, Shari‟a Standards For Islamic Financial Institutions 1431

H-2010 M, (Bahrain : Accounting and Auditing Organisation For Islamic Financial Institutions

(AAOIFI), hlm. 199.

40

musya>rakah yangmana asuransi tersebut terkait kemungkinan timbulnya

risiko pembiayaan di kemudian hari yang akan dapat ditanggung oleh

perusahaan asuransi.

Urgensi diperlukannya Asuransi Jiwa dalam pembiayaan di perbankan

syariah merupkan salah satu sarana untuk meminimalisasi risiko dalam

proses risk management yang dilakukan oleh perbankan syariah terkait

dengan risiko terjadinya gagal bayar dari nasabah yang mendapat

pembiayaan dari perbankan syariah. Usaha mitigasi risiko tersebut

dilakukan dengan cara mensyratkan nasabah dalam surat perjanjian dan

persetujuan pembiayaan untuk mengikuti asuransi jiwa kredit. Alasan

asuransi jiwa ini menjadi klausula wajib dalam perjanjian pembiayaan

adalah karena pihak perbankan mempunyai kepentingan terhadap

kelangsungan hidup debitur guna menjamin pengembalian utang kepada

perbankan.39

Ketentuan tentang asuransi juga diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-

Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian dikatakan bahwa

“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau

lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada

tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan

penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau

kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum

kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul

dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu

pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang

yang dipertanggungkan.”40

Penutupan proteksi asuransi wajib dilakukan

oleh Perusahaan Asuransi Syari‟ah yang telah menjadi rekanan pihak

BUS/UUS/BPRS. Jangka waktu penutupan proteksi asuransi ditetapkan

sesuai dengan jangka waktu pembiayaan dan harus dibayarkan di muka.

Selain itu, Terdapat beberapa Pembiayaan yang harus dilunasi oleh

39

Elisatin Ernawati, Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Pembiayaan Bank Syariah, (Thesis

Universitas Airlangga 031224253007, tahun 2015). 40

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No.2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

41

nasabah sebelum pencairan pembiayaan musya>rakah dalam perbankan

syari‟ah. Dalam ketentuannya, Sebelum setting Fasilitas Pembiayaan,

Nasabah dan Pihak BUS/UUS/BPRS akan menyepakati seluruh biaya-

biaya yang timbul, Biaya-Biaya yang akan timbul tersebut antara lain :

Biaya Adminsitrasi, Biaya Notaris, Biaya Asuransi Jiwa, Kebakaran, dan

Pembiayaan (Agunan), Biaya Notaris, Biaya Penilaian Jaminan dan Biaya

Materai. Terdapat juga beberapa ketentuan-ketentuan standar yang telah

diatur dalam standar operasi pelaksanaan pembiayaan akad musyarakah

oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai berikut :41

Standar Wanprestasi

Wanprestasi adalah kegagalan Nasabah dalam memenuhi kewajiban

atau segala hal yang ditentukan dan disepakati bersama dalam kontrak

sehingga menimbulkan kerugian bagi BUS/UUS/BPRS baik dalam berupa

penyusutan nilai modal maupun pengurangan nilai bagi hasil untuk

BUS/UUS/BPRS.

Jika wanprestasi terjadi akibat kelalaian nasabah yang

mengakibatkan kerugian pihak Bank, maka BUS/UUS/BPRS berhak

mendapatkan ganti rugi (t‟awi>dh).42

Pembebanan ganti rugi (t‟awi>dh)

hanya dapat dikenakan apabila: Pihak yang melakukan ingkar janji setelah

dinyatakan ingkar janji, tetap melakukan ingkar janji; atau Sesuatu yang

harus diberikan atau dibuatnya hanya dapat diberikan atau dibuat dalam

tenggang waktu yang telah dilewatinya; atau Pihak yang ingkar janji tidak

dapat membuktikan bahwa perbuatan ingkar janji itu terjadi karena

keadaan memaksa yang berada di luar kuasanya (force majeur).

Wanprestasi sendiri artinya tidak memenuhi prestasi atau kewajiban yang

telah disepakati dalam perjanjian atau bermakna prestasi buruk. Bentuk

wanprestasi terdapat beberapa macam yaitu a) tidak melakukan apa yang

41

Buku Standar Produk Musyarakah OJK, Ibid, hlm. 46-51. 42

Ta‟widh (Ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau

kekeliruan, lihat Wahbah Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998), hlm. 87.

Ketentuan Ta‟widh juga terdapat dalam fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang

Ganti Rugi (Ta‟widh) (1) Ganti Rugi (Ta‟widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang disengaja

atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan

kerugian pada pihak lain.

42

disanggupi akan dilakukan, b) melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi

tidak sebagaimana dijanjkannya, c) melakukan apa yang dijanjikannya

tetapi terlambat, d) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak

boleh dilakukan.43

Terdapat beberapa ketentuan dalam KUHPerdata

tentang sanksi wanprestasi bagi debitur apabila terbukti melakukannya

seperti dalam Pasal 1234, 1266, 1237 ayat 2 dan Pasal 1237.44

Standar Denda dan ganti rugi

Denda atas tunggakan (t‟azi>r) hanya dikenakan kepada Nasabah

jika Nasabah terbukti lalai atas kewajiban pembayaran angsurannya.

Kelalaian Nasabah didefinisikan sebagai kesalahan yang dilakukan oleh

Nasabah dalam hal pengelolaan aset/usaha/proyek yang diwakilkan

kepadanya untuk dikelola dengan baik sehingga terjadi kerusakan,

kegagalan, dan/atau kehilangan aset/usaha/proyek yang dikerjasamakan

dalam kontrak ini. BUS/UUS/BPRS hanya dapat mengenakan ganti rugi

pada keuntungan bank yang sudah jelas tidak dibayarkan oleh nasabah.

Penetapan ganti rugi atau kerugian riil ditetapkan berdasarkan kesepakatan

antara nasabah bank dan nasabah. Jika sampai tahap eksekusi agunan

obyek pembiayaan Musyarakah dan/atau jaminan lainnya dilakukan, maka

hasil eksekusi (penjualan/ pelelangan) tersebut diutamakan untuk

mengembalikan modal BUS/UUS/BPRS. Ketentuan t‟azi>r terdapat

dalam fatwa DSN-MUI No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi t‟azi>r

atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dikatakan (4)

sanksi didasarkan pada prinsip t‟azi>r yaitu bertujuan agar nasabah lebih

disiplin dalam melaksanakan kewajibannya.

Standar Force Majeur

Peristiwa atau keadaan yang tergolong dalam kategori force majeur

adalah peristiwa atau keadaan yang terjadi di luar kekuasaan atau

43

Masrum, Ketentuan-Ketentuan Penting Tentang Wanprestasi dan Perbuatan Melawan

Hukum (PMH). (Makalah Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banten), hlm. 2. 44

Kepada Debitur yang wanprestasi dapat dijatuhkan sanksi yaitu berupa : a) Debitor

diwajibkan membayar ganti rugi yang diderita kreditur, b) kreditor dapat menuntut

penutusan/pembatalan perikatan, c) Perikatan untuk memberikan sesuatu, peralihan resiko kepada

debitur sejak terjadi wanprestasi, d) debitur diwajibkan memenuhi perjanjian, jika masih dpat

dilakukan atau pembatalan disertai pembayaran ganti kerugian. lihat Masrum, Ketentuan-

Ketentuan Penting Tentang Wanprestasi, Ibid, hlm. 3.

43

kemampuan salah satu atau para pihak, yang mengakibatkan salah satu

atau para pihak tidak dapat melaksanakan hak-hak dan/atau kewajiban-

kewajiban sesuai dengan standar dalam kontrak ini, termasuk namun tidak

terbatas pada gempa bumi, badai, angin topan, banjir, kebakaran, tanah

longsor, peperangan, embargo, pemogokan umum, huru-hara, peledakan

dan pemberontakan. Keadaan force majeur bisa menjadi alasan

pembebasan pemberian ganti rugi akibat tidak terlaksananya kontrak atau

perjanjian. Force majeure merupakan konsep hukum yang diadopsi dalam

berbagai sistem hukum. salah satu doktrin dari common law memaknai ini

sebagai suatu ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap

suatu kontrak. Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa force majeure

dapat diterima sebagai suatu alasan untuk tidak memenuhi pelaksaan

kewajiban karena hilangnya objek atau tujuan yang menjadi pokok

perjanjian. 45

Force majeure atau keadaan memaksa dalam hukum perdata diatur

dalam Buku III B.W dalam Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata.

Pasal 1244 KUHPerdata:“..bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang

tepat dilaksanakannya perkatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga,

pun tak dapat dipertanggung jawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika

itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.” Pasal 1245 KUHPerdata:

“Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus diagntinya apabila lantaran keadaan

memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaj si berutang berhalangan

memberikan atau sesuatu yang diwajibkan.”

Pengakhiran akad musya>rakah

Pengakhiran akad musya>rakah dapat disebabkan oleh sebab

berakhirnya jangka waktu akad, peristiwa cidera janji, dan Nasabah

mengajukan pengakhiran akad musya>rakah. Ketika berakhirnya akad,

maka Nasabah wajib mengembalikan seluruh kewajiban modal

45

Lihat Anonim, Force Majeure in Trouble Times: The Example of Libya, Jones Day

Publication, (Huston : 2011), hlm. 1. Dalam Journal Agri Chairunnisa Isradjuningtias, Force

Majeure (Overmacht) Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia, hlm. 146.

44

pembiayaan yang telah diberikan oleh pihak BUS/UUS/BPRS serta bagi

hasil porsi BUS/UUS/BPRS pada periode terakhir saat pelunasan.

45

BAB III

KLAUSUL PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB RESIKO DALAM

PERKARA PERJANJIAN MUSYARAKAH PADA PUTUSAN

MAHKAMAH AGUNG NO 715K/Ag/2014

A. Posisi Kasus Gugatan Perkara

1. Posisi Perkara

a. Identitas Penggugat dan Tergugat

Dalam gugatan ini terjadi antara SD (Ibu kandung dari OSH yaitu

Nasabah), usia 60 Tahun, Pekerjaan ibu rumah tangga, alamat di Padang

Lawas Utara (Penggugat), Melawan:

1) Aminuddin Sinaga selaku pribadi sekaligus Pimpinan PT. Bank

Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan (Tergugat I)

2) Direktur Utama PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan

(Tergugat II)

3) PT. Asuransi Astra Syariah, Jakarta (Tergugat III)

4) YD (Istri dari Nasabah debitur), selaku pribadi sekaligus mewakili

anak kandung yang masih dibawah umur yaitu EAH 17 tahun, tidak

bekerja, AUH 15 tahun tidak bekerja, RMH 12 tahun kesemua anak 1

sampai 3 (Turut Tergugat I)

5) FDAH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat II)

6) EMH, alamat di Padang Lawas Utara (Turut Tergugat III)

b. Krolonogi Perkara

Kasus ini berawal dari nasabah debitur dan Tergugat I mengikatkan diri

dalam akad pembiayaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011

pada tanggal 26 April 2011. Akad musyarakah bertujuan untuk penambahan

modal kerja dengan jumlah pembiayaan Rp. 700.000.000,- (tujuh ratus juta

rupiah) dalam jangka waktu 12 bulan atau satu tahun. Perjanjian

pembiayaan musyarakah tersebut disertai dengan jaminan berupa Sertifikat

Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunung Tua tanggal 19 Desember 2008 dan

Sertifikat Hak Milik Nomor 395/Pasar Gunung Tua tanggal 7 Juni 2007.

Selain itu, Nasabah telah memenuhi persyaratan pembayaran asuransi jiwa

46

dan administrasi lainnya kepada bank sebesar Rp 13.609.000,- (tiga belas

juta enam ratus sembilan ribu rupiah). Tiga bulan berjalannya pembiayaan

tepatnya tanggal 13 Juli 2011 Nasabah meninggal dunia. Dengan

meninggalnya nasabah debitur menyebabkan usahanya mengalami kerugian

sehingga terhentinya/tertunggaknya pembayaran bagi hasil dan cicilan

pembiayaan kepada perbankan. Dengan Peristiwa tersebut pihak bank

mengirimkan surat peringatan pada tanggal 3 Februari 2012, 27 Maret 2012,

dan tanggal 22 Mei 2012 kepada ahli waris nasabah debitur yaitu istri dan

anak-anaknya agar segera membayar pelunasan hutang pembiayaan

musyarakah almarhum sebesar Rp. 752.000.000,. (tujuh ratus lima puluh

dua juta rupiah). Apabila tidak dapat dilunasi oleh ahli waris, maka bank

akan mengajukan lelang terhadap barang jaminan kepada Kantor Pelayanan

Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Ahli waris tidak bersedia melakukan pelunasan pembiayaan karena

pembiayaan musyarakah tersebut telah dilindungi dengan asuransi

pembiayaan dan premi asuransi tersebut telah dibayar oleh almarhum

nasabah debitur sebelum beliau meninggal dunia. Biaya-biaya yang

dibebankan oleh pihak bank kepada nasabah debitur dalam perjanjian

pembiayaan musyarakah antara lain administrasi senilai Rp. 8.750.000,-,

Notaris Rp. 1.500.000,-, Asuransi Jiwa Rp. 2.170.000,-, Asuransi

Kebakaran Rp. 1.189.408,- total yang telah dibayar nasabah debitur sebesar

Rp. 13.609.408,-. Akan tetapi hingga sampai nasabah debitur meninggal

dunia, bank belum pernah memberitahukan mengenai surat Pemeriksaan

Kesehatan tersebut kepada nasabah. Sehingga Nasabah debitur dan ahli

warisnya tidak mengetahui mengenai adanya syarat Pemeriksaan Kesehatan

(Medical Check up). Selain itu, ternyata Bank baru menyampaikan

pemberitahuan mengenai Surat Pemeriksaan Kesehatan setelah nasabah

debitur meninggal dunia.

Nasabah debitur pada saat mengajukan pembiayaan semasa hidupnya,

tidak pernah diberitahukan mengenai syarat kelengkapan administrasi

berupa surat Pemeriksaan Kesehatan (Medical Check up). Kelengkapan

syarat administrasi yang belum lengkap menyebabkan pihak asuransi tidak

47

bersedia mengeluarkan klaim asuransi karena perusahaan asuransi belum

melakukan penilaian dan mempelajari persyaratan administrasi berupa

Laporan Pemeriksaan Kesehatan dari nasabah debitur. Selain itu, Pihak

bank dan nasabah debitur beserta istri (ahli waris) pada saat melakukan

persetujuan akad pembiayaan musyarakah, nasabah diharuskan untuk

membuat surat pernyataan yang ditandatangani sendiri oleh nasabah dan

disaksikan oleh ahli waris sekaligus istri nasabah, dimana surat pernyataan

tersebut merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah pada

tanggal 26 April 2011 yang menyatakan: “Apabila dikemudian hari pada

saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya

dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank

dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris

saya hingga selesai.”

Tidak terima dengan perbuatan perbankan yang akan melelang harta

peninggalan nasabah yang digadaikan sebagai jaminan dalam pembiayaan

musyarakah tersebut, Ibu kandung dari Nasabah (Penggugat) mengajukan

gugatannya atas dasar pembebasan hutang/penundaan lelang ke Pengadilan

Agama Medan pada tanggal 14 Juni 2012. Dalam Gugatannya itu, Majlis

Hakim tingkat pertama dalam pertimbangannya menerima dan mengabulkan

gugatan Penggugat karena telah memenuhi syarat formil dari sebuah

gugatan. Hakim di Pengadilan tingkat pertama dalam putusannya Nomor

967/Pdt.G/2012/PA.Mdn Memutuskan Dalam Provisi:1 menolak provisi

Penggugat, Dalam Eksepsi menolak Eksepsi dari tergugat I dan II serta

Tergugat III untuk seluruhnya2 dan Dalam Pokok Perkara: 1) mengabulkan

1 Putusan Provisi atau Provisioneel yakni keputusan yang bersifat sementara dan

merupakan salah satu daripada Putusan Sela, yang diatur dalam Pasal 180 HIR dan Pasal 191 RBg

dimana merupakan permohonan kepada hakim agar tindakan sementara mengenai hal yang tidak

termasuk pokok perkara misalnya melarang meneruskan pembangunan di atas tanah yang

diperkarakan dengan ancaman membayar uang paksa. Sedangkan dalam penjelasan Pasal 185 HIR

disebutkan putusan provisioneel yaitu keputusan atas tuntutan supaya di dalam hubungan pokok

perkaranya dan menjelang pemeriksaan pokok perkara diadakan tindakan-tindakan pendahuluan

untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Putusan hakim menolak Provisi

maksudnya bahwa hal ini dapat terjadi apabila apa yang diminta dalam gugatan tidak ada

kaitannya dengan pokok perkara atau tidak ada urgensinya sama sekali dengan pokok perkara.

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5110864b5855f/arti-istilah-konvensi--rekonvensi--

eksepsi--dan-provisi 2 Eksepsi Tergugat I dan II Gugatan Samar dan Kabur (obscuur libel) yakni antara posita

dengan petitum gugatan terdapat kekaburan yaitu tidak jelas makna dari gugatan penggugat

48

gugatan Penggugat untuk sebagian, 2) menyatakan Penggugat serta Turut

Tergugat I, II, III selaku Ahli Waris dari Nasabah dibebaskan dari beban

hutang Pembiayaan Musyarakah dari Tergugat I dan II sebesar Rp

752.000.000,- 3) Menyatakan Surat Pernyataan yang dibuat oleh nasabah

yang diketahui oleh istrinya batal demi hukum atau tidak mempunyai

kekuatan hukum.

Selanjutnya Tidak puas dengan putusan Pengadilan Tingkat Pertama,

tergugat yakni PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan

mengajukan perkara Banding ke Pengadilan Tinggi Agama Medan. Dalam

tingkat Banding Majlis Hakim menyatakan bahwa gugatan penggugat

terdapat cacat formil sehingga gugatan tidak dapat diterima (Niet

Onvanklijke Verklaard) dan membatalkan putusan sebelumnya. Dalam amar

putusannya Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn Majlis Hakim memutuskan

Dalam Provisi menolak permohonan Provisi Penggugat, Dalam Eksepsi

mengabulkan eksepsi Para Tergugat I, II, III dan IV, Dalam Pokok Perkara

1) menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima (Niet Onvanklijke

Verklaard) dan menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya

perkara pada tingkat pertama sebesar Rp. 3.841.000,00.,(tiga juta delapan

ratus empat puluh ribu rupiah) dan pada tingkat Banding sebesar Rp.

150.000,00., (seratus lima puluh ribu rupiah). Selanjutnya, salah satu

Terbanding (SD/Penggugat) mengajukan Kasasi.

B. Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Perjanjian Musyarakah

Dalam Pokok Perkara Putusan Mahkamah Agung No 715/K/Ag/2014.

Dalam materi pokok perkara gugatan penggugat tersebut, nasabah/penggugat

melakukan sebuah perjanjian pembiayaan musyarakah dengan perbankan

tentang ahli waris, pembiayaan, asuransi atau lelang. Juga antara posita dengan petitum tidak

saling mendukung. Eksepsi Tergugat III Penggugat tidak berhak dan tidak berwenang untuk

mengajukan gugatan (disqualificatoire exceptie) yaitu penggugat tidak jelas menyebutkan alasan

dan dasar hukum hak serta kewenangan penggugat untuk mengajukan gugatan a quo karena

Penggugat sama sekali bukan pihak yang turut membuat dan menandatangani akad pembiayaan

musyarakah dan surat pernyataan yang dibuat oleh almarhum dan istrinya, dengan kata lain

penggugat tidak memiliki hubungan hukum. Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona)

yaitu bahwa dalam perkara a quo gugatan penggugat ditujukan kepada perseorangan/pribadi bukan

kepada subyek hukum yang berbentuk perseroan yaitu PT. Bank Sumut Syariah dan PT. Asuransi

Bangun Askrida. Lihat Putusan Pengadilan Tingkat Pertama No 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Putusan

Tingkat Banding No 124/ Pdt.G/2013/PTA.Mdn dan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No 715

K/Ag/2014,

49

syariah/tergugat yang dimana dalam perjanjian tersebut, nasabah debitur

memperoleh dana tambahan dari pemilik dana/modal (perbankan syariah) untuk

menjalani usaha nasabah. Kesepakatan perjanjian pembiayaan musyarakah

tersebut dituangkan dalam sebuah kontrak yang telah berisikan hak dan kewajiban

masing-masing pihak untuk dilakukan. Perjanjian tersebut diikuti dengan Surat

Pernyataan yang merupakan bagian dari perjanjian pembiayaan musyarakah

tersebut yang tertuang dalam Pasal 20 ayat 1 dan ayat 2 Perjanjian Pembiayaan

Musyarakah 120/KCSY02-APP/MSY/2011 yang menyatakan:3

1. Apabila ada hal-hal yang belum diatur atau belum cukup diatur dalam

akad ini, maka kedua belah pihak akan mengaturnya bersama secara

musyawarah mufakat dalam suatu addendum.4

2. Tiap addendum dari akad merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan

dari akad ini.

Dalam surat pernyataan yang berbunyi “Apabila dikemudian hari pada saat

asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan

mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak bank dan

seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya

hingga selesai.” Klausul dalam Surat Pernyataan yang menjadi satu kesatuan

dengan perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut berisikan tentang suatu

klausul tentang asuransi. Dalam Surat Pernyataan tersebut menyatakan bahwa

apabila polis asuransi belum selesai maka ahli waris tidak akan menuntut bank

dan pembiayaan musyarakah seluruhnya akan menjadi tanggung jawab ahli waris

nasabah apabila terjadi sesuatu. Klausul atau Surat Pernyataan tersebut hakikatnya

merupakan klausul akan pengalihan tanggung jawab resiko, dimana pihak bank

melepaskan tanggung jawab resiko pembiayaan ataupun lainnya apabila terjadi

sesuatu dalam pembiayaan tersebut. Pembiaayan tersebut seyogyanya merupakan

3 Andra Mulia Fatwa, Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah (Studi Pada Cabang

Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2008, lihat

Lampiran Perjanjian Akad Pembiayaan Mudharabah dan Murabahah Pasal 17 Penutup. hlm. 105. 4 Addendum adalah lampiran, suplemen, tambahan. Lihat John M. Echols dan Hassan

Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 11. Addendum

yaitu jilid tambahan (pada buku) lampiran, ketentuan atau Pasal tambahan, misalnya dalam akta

atau perjanjian. Lihat Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hlm. 7. Istilah addendum

dipergunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian pokoknya namun merupakan satu

kesatuan dengan perjanjian pokoknya.

50

pembiayaan yang telah dibayarkan asuransinya oleh pihak nasabah kepada

perbankan di awal kesepakatan perjanjian pembiayaan musyarakah. Pembiayaan

musyarakah yang dilindungi dengan asuransi jiwa tersebut, pada hakikatnya

terjadi hubungan antara tiga pihak yaitu pihak perbankan, nasabah dan asuransi.

Yang pertama hubungan antara bank dan nasabah debitur yaitu hubungan

perjanjian pembiayaan musyarakah. Kedua nasabah dengan asuransi yaitu

hubungan asuransi jiwa nasabah atau perlindungan pembiayaan musyarakah

nasabah apabila ada sesuatu. Dalam hal ini, bank berperan sebagai pihak yang

menghubungkan (agen asuransi) antara nasabah dengan pihak Asuransi.

Hubungan antara bank dan asuransi yaitu pada proses administrasi sampai pada

terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi. Bank sebagai agen

asuransi berkewajiban untuk menyelesaikan prosedur, syarat-syarat dan ketentuan

administrasi yang dibutuhkan dalam penutupan asuransi hingga pembiayaan yang

dikeluarkan telah dilindungi asuransi.

Berdasarkan isi klausul atau surat pernyataan tersebut, bank menyatakan tidak

dapat digugat apabila terjadi sesuatu resiko atau peristiwa yang menyebabkan

tidak terjadinya penutupan asuransi dan keluarnya polis asuransi serta

mengalihkan tanggung jawab pelunasan pembiayaan kepada ahli waris apabila

nasabah debitur meninggal dunia.

Terjadinya hubungan antara bank dan asuransi, bank sebagai penghubung

antara nasabah debitur dengan asuransi. Pelaksanaan pengurusan administrasi

asuransi merupakan tanggung jawab bank. Apabila terjadi kelalaian dalam proses

penutupan asuransi antara bank dna asuransi, maka bank bertanggung jawab atas

hal tersebut. akan tetapi jika telah adanya pembayaran premi maka telah terjadi

penutupan asuransi, sehingga asuransi yang bertanggung jawab dalam pelunasan

pembiayaan tersebut ketika nasabah debitur meninggal dunia, walaupun polis

asuransi belum keluar. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 257 KUHD (Kitab

Undang-Undang Hukum Dagang) yang menyatakan bahwa perjanjian asuransi

telah mengikat sejak adanya pembayaran premi oleh tertanggung kepada asuransi

walaupun polisnya belum selesai.

51

Surat pernyataan yang dibuat oleh nasabah dan disetujui oleh saksi yaitu istri

sekaligus ahli waris nasabah sangat bertentangan dengan klausula yang telah

diuraikan pada akad pembiayaan musyarakah karena klausula pada akhir

pembiayaan musyarakah merupakan perjanjian pokok yang sudah jelas, terang

dan tegas maksudnya dan artinya juga perjanjanjian asuransi jiwa nasabah karena

telah melakukan pembayaran premi asuransi jiwa kepada pihak perbankan syariah

sebagai agen dari asuransi berdasarkan surat kerjasama antara keduanya yang

telah ditetapkan. Dalam hal ini, sudah seharusnya ketika telah terjadi pembayaran

premi awal dari nasabah kepada agen asuransi (perbankan syariah) sudah terjadi

akad asuransi jiwa yang didapat nasabah apabila nasabah suatu saat meninggal

dunia.5 Berdasarkan pemaparan diatas, bagaimanakah akibat hukum dari surat

pernyataan yang dibuat oleh nasabah yang secara tidak langsung merupakan

klausul pengalihan tanggung jawab resiko pihak perbankan atas nasabah dalam

perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut?

C. Akibat Hukum Klausul Pengalihan Tanggung Jawab Resiko Dalam

Perkara Perjanjian Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam,

KUHPerdata

Suatu perbuatan atau peristiwa yang terjadi dalam masyarakat tentunya dapat

menimbulkan sebuah akibat hukum. Peristiwa hukum sendiri adalah semua

peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum di antara pihak-

pihak yang mempunyai sebuah hubungan hukum, dimana peristiwa-peristiwa

tersebut oleh hukum diberikan akibat-akibat.6 Bellefroid menjelaskan bahwa

peristiwa hukum adalah peristiwa sosial yang tidak secara otomatis dapat

menimbulkan hukum.7 Berdasarkan definisi tersebut, maka peristiwa hukum

merupakan peristiwa di dalam masyarakat yang menimbulkan akibat hukum atau

5 Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang

Perasuransian dalam Pasal 1 ayat 29 ketentuan tentang Premi adalah sejumlah uang yang

ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang

Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah

uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari

program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat, hlm. 6. 6 CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 51.

7 Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999),

hlm. 130. Selanjutnya lihat dalam Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan:

Cahaya Ilmu, 2006), hlm. 120.

52

yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum

di dalamnya berlaku konkrit misalnya, peraturan hukum yang mengatur tentang

perkawinan akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya dalam harta, anak.

Demikian juga kematian, akan membawa berbagai akibat hukum seperti

penetapan ahli waris dan harta waris. Peristiwa hukum dibagi menjadi dua bagian

yaitu :

1) Perbuatan Subjek hukum (manusia dan badan hukum),

2) Peristiwa lain yang bukan merupakan perbuatan subjek hukum.

Perbuatan hukum disini dapat dikenal dalam dua macam yaitu perbuatan

hukum yang bersegi satu (eenzijdig) dan perbuatan hukum yang bersegi dua

(tweezijdg). Perbuatan hukum bersegi satu adalah tiap perbuatan yang akibat

hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari satu subjek hukum saja misalnya

perbuatan mengadakan surat wasiat sebagaimana diatur dalam Pasal 853

KUHPerdata. Sednagkan, Perbuatan hukum bersegi dua adalah tiap perbuatan

yang akibat hukumnya ditimbulkan oleh kehendak dari dua subjek hukum, atau

lebih misalnya suatu perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1313

KUHPerdata tentang perjanjian bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan

dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih”.

Peristiwa hukum atau perbuatan hukum tidak lepas dari sebuah akibat hukum

(rechtsgevolg). Akibat adalah sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu

peristiwa (perbuatan, keputusan), pernyataan/keadaan yang mendahuluinya. Jadi

akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum

yaitu memberikan hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh Undang-Undang,

sehingga apabila dilanggar akan berakibat bahwa orang-orang yang melanggar itu

dapat dituntut di muka pengadilan. R. Soeroso mengatakan bahwa akibat hukum

adalah akibat suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh suatu akibat yang

53

dikehendaki oleh pelaku dan yang diatur oleh hukum.8 Sehubungan dengan ini,

akibat hukum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:9

Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu

kaidah hukum tertentu, contohnya mencapai usia 21 tahun melahirkan

keadaan hukum baru, yaitu dari tidak cakap untuk bertindak menjadi

cakap untuk bertindak.

Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya, atau lenyapnya suatu

hubungan hukum tertentu, contohnya sejak pembeli barang telah

membayar lunas harga barang dan penjual telah menyerahkan

barangnya, maka lenyaplah hubungan hukum jual beli diantara

keduanya.

Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi di

bidang hukum keperdataan, contohnya sanksi perbuatan melawan

hukum adalah pemberian ganti rugi berdasarkan Pasal 1365 BW dan

sanksi wanprestasi dapat dikenakan empat kemungkinan: 1) debitur

diharuskan melaksanakan perjanjian, 2) debitur diwajibkan memberi

ganti rugi, 3) debitur harus melaksanakan perjanjian dan memberi

ganti rugi, dan 4) dalam hal perjanjian timbal balik, perjanjian

dibatalkan oleh hakim.

1. Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam

Melakukan sebuah Akad atau perjanjian merupakan sebagai salah satu cara

untuk dapat memperoleh harta dalam hukum Islam. Pengertian akad dalam

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) adalah kesepakatan antara dua

pihak atau lebih dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.10

Berdasarkan

definisi ini, dapat disimpulkan bahwa yang Pertama, akad merupakan

keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul yang berakibat pada timbulnya

8 Tindakan yang dilakukannya merupakan tindakan hukum yakni tindakan yang

dilakukan gna memperoleh sesuatu akibat yang dkehendaki hukum. Lihat R. Soeroso, Pengantar

Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), hlm. 295. 9 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana edisi kedua Cet I, 2015), hlm.

275-276. 10

Pasal 20 Ayat (1) Buku II Tentang Akad dalam Bab 1 Ketentuan Umum, Lihat juga

dalam Pasal 1 angka (13) Undang-Undang tentang Perbankan Syariah akad adalah kesepakatan

antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (UUS) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan

kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan prinsp syariah.

54

akibat hukum (hak dan kewajiban). Kedua, akad merupakan tindakaan hukum

dua pihak atau lebih. ketiga, tujuan akad adalah untuk melahirkan suatu akibat

hukum atau tujuan bersama yang hendak diwujudkan oleh para pihak.11

Dalam melakukan sebuah Akad/perjanjian harus memenuhi ketentuan

sahnya suatu akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Sahnya suatu akad

dalam Perjanjian Islam harus memenuhi rukun dan syarat suatu akad.12

Fathurrahman Djamil, memberi definisi rukun sebagai suatu unsur yang mutlak

harus dipenuhi dalam sesuatu hal (inheren), peristiwa dan tindakan.13

Sedangkan syarat merupakan unsur yang harus ada dalam sesuatu hal,

peristiwa dan tindakan tersebut. Beda syarat dari rukun terletak pada apakah

hal tersebut merupakan bagian inti pembentuk dari sesuatu tersebut atau tidak.

Sebagai contoh, para pihak adalah rukun yang merupakan bagian inti dari suatu

akad. Sedangkan kesadaran atau akal sehat merupakan syarat bagi masing-

masing pihak tersebut.14

Jumhur Ulama bersepakat bahwa Rukun dalam suatu

akad terdiri dari tiga pokok yaitu:

a. „A>qid (para pihak yang melakukan akad)

b. M‟aqud „alayh (harga dan barang yang diakadkan), dan

c. S>igah al-„aqd (bentuk atau cara melakukan akad yang biasa disebut

ijab dan qabul).15

Dipihak lain, ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa rukun akad cukup

dengan satu, yaitu adanya Sigah al-„aqd (ijab dan kabul) saja. Sedangkan

dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) menambahkan satu rukun

Akad lagi menjadi 4 (empat) unsur yaitu :

a) Pihak-pihak yang berakad,

11

Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Persepektif Hukum Ekonomi, (Bandung:

Mandar Maju Cet 1, 2013), hlm. 76. 12

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di

Indonesia, (Jakarta : Kencana Cet ke 4, Agustus 2007), hlm. 11. 13

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di Lembaga

Keuangan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet I 2012), hlm. 252. 14

Gemala Dewi, Ibid, hlm. 14. 15

Dalam masalah menentukan apa saja yang menjadi rukun akad ini, terjadi silang

pendapat antara jumhur ulama dengan hanafiyah. Dimana Jumhur ulama berpendapat, bahwa

rukun akad itu ada tiga; yaitu „aqid, ma‟qud alayh, dan sighah al-„aqd. Sementara menurut

hanafiyah, rukun akad hanya satu, yaitu ijab dan qabul saja, dan yang lainnya masuk dalam

kategori konsekuensi (lawazim) akad, karena adanya ijab dan qabul menuntut adanya „aqid. Lihat,

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqhu al-Isla>mi wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-Fikr, Cet III Vol 4,

1996), hlm. 92.

55

b) Obyek akad,

c) Tujuan pokok akad, dan

d) Kesepakatan.16

Selain rukun akad sendiri, terdapat syarat-syarat yang harus ada dalam suatu

akad. Beberapa pembagian syarat menurut para fuqaha yaitu syarat terjadinya

akad (syuru>th al-in‟iqa>d), syarat sah akad (syuru>t al-Sihhah), syarat

pelaksanaan akad (syuru>th an-nafidz), dan syarat keharusan/kepastian hukum

(syuru>th al-iltizam).17

1. Syarat terjadinya akad (syuru>th al-in‟iqad) terbagi menjadi syarat

umum dan khusus. yang termasuk umum yaitu rukun-rukun yang harus

ada pada setiap akad , seperti orang yang berakad, obyek akad (objek

tersebut bermanfaat dan tidak dilarang oleh syara‟). Sedangkan syarat

khusus ialah syarat yang harus ada pada sebagian akad dan tidak

diisyaratkan pada bagian lainnya, seperti syarat harus adanya saksi pada

akad nikah („aqdu aj-Jawa>z) dan keharusan penyerahan barang/obyek

akad/ al-„uqu>d al-„ainiyyah.

2. Syarat sahnya akad

Menurut Ulama Hanafiah, sebagaimana yang dikutip oleh Prof. Dr.

Fathurrahman Djamil, syarat sahnya akad, apabila terhindar dari 6 enam

hal yaitu :

a. al-Jaha>lah (ketidakjelasan tentang harga, jenis dan spesifikasinya,

waktu pembayaran, atau lamanya opsi dan penanggung atau

penanggung jawab)

b. al-Ikra>h (keterpaksaan)

c. at-Tauqi>t (Pembatasan Waktu)

d. al-Gharar (ada unsur ketidakjelasan atau fiktif)

e. al- Dharar (ada unsur kemudharatan)

f. Al-Syartu al-fasi>d (syarat-syaratnya rusak)

3. Syarat pelaksanaan akad

Syarat ini bermaksud berlangsungnya akad tidak tergantung pada izin

16

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Buku 2 (kedua) Rukun dan Syarat Akad

Pasal 22, hlm. 16. 17

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Ibid, hlm. 40.

56

orang lain. Syarat berlakunya sebuah akad yaitu (1) adanya kepemilikan

terhadap barang atau adanya otoritas (al-wila>yah) untuk mengadakan

akad, baik secara langsung ataupun perwakilan. (2) pada barang atau jasa

tersebut tidak terdapat hak orang lain.

4. Syarat kepastian hukum atau kekuatan hukum

Suatu akad baru mepunyai kekuatan mengikat apabila ia terbebas dari

segala macam hak khiyar.

Syarat sahnya akad juga diatur dalam Kompilasi Hukum Ekonomi

Syariah (KHES) Buku II Pasal 26 bahwa akad tidak sah apabila

bertentangan dengan:

a. Syariat Islam

b. Peraturan Perundang-Undangn

c. Ketertiban Umum dan/atau

d. Kesusilaan

Selain itu dalam Pasal 29 dinyatakan juga bahwa akad yang sah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a adalah akakd yang

disepakati dalam perjanjian, dan tidak mengandung unsur :

a. Ghalath atau Khilaf

b. Tidak dilakukan dibawah Ikrah atau paksaan

c. Taghri>r atau tipuan dan

d. Ghubn atau penyamaran.

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau disingkat KHES merupakan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah. KHES merupakan sebagai pedoman prinsip syariah bagi

Hakim Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan

perkara yang berkaitan dengan ekonomi syariah yang diterbitkan dalam bentuk

Peraturan Mahkamah Agung. KHES berfungsi untuk mengisi kekurangan atau

kekosongan Undang-Undang dalam menjalankan praktik peradilan dalam

memberikan keadilan sehingga kepastian hukum dapat terwujud.18

Sedangkan kalau ditinjau dari kekuatan hukum KHES dalam hierarki

18

M. Isna Wahyudi, Achmad Fauzi, Edi Hudiata, Hermansyah, Peradilan Agama Babak

Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah: Kedudukan KHES, KHAES dan Efektifitas

Penerapannya, Majalah Peradilan Agama Edisi 3 Desember 2013-Februari 2014, hlm. 23-24.

57

peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat ditinjau berdasarkan Pasal 7

dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan mengatur bahwa:

Pasal 7

Ayat (1) Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-Undangan terdiri atas:

a. Undang-Undnag Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

Ayat (2) Kekuatan Hukum Peraturan Perundang-Undangan sesuai dengan

hierarki sebagaimana di maksud pada ayat (1)

Pasal 8

Ayat (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa

Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau

komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah

atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi,

Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,

Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Ayat (2) “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang

diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau

dibentuk berdasarkan kewenangan.

Jadi Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Maka

KHES sudah memiliki Kekuatan Hukum yang mengikat.

Berdasarkan rukun dan syarat diatas, perjanjian pembiayaan musyarakah

58

antara nasabah dengan perbankan syariah dalam Putusan Mahkamah Agung

No 715 K/Ag/2014 telah memenuhi rukun dan syarat yang ada. Rukun yang

pertama yaitu para pihak dalam hal ini, nasabah dengan perbankan syariah.

Juga rukun kedua yaitu obyek akad dalam perjanjian yaitu pembiayaan

musyarakah, dan rukun ketiga juga telah terpenuhi yaitu sighat akad atau ijab

qabul yang telah dibuat dalam bentuk tertulis yang dituangkan dalam sebuah

kontrak. Ijab disini yaitu kontrak yang diberikan kepada nasabah yang

berisikan klausul hak dan kewajiban kedua belah pihak dan sedangkan qabul

yaitu tanda tangan nasabah apabila telah sepakat dengan isi kontrak dalam

perjanjian tersebut. dalil sahnya ijab dan qabul dalam bentuk tulisan merujuk

kepada firman Allah Swt dalam Al-Qur‟an Surat Al-Baqarah ayat (282) “

Wahai orang yang beriman, apabila kamu melakukan utang piutang untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan juga hendaklah

seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Rukun keempat

tujuan akad dalam perjanjian tersebut juga telah terpenuhi yaitu bertujuan

memberkan kontribusi dana dalam bentuk amal, keahlian dengan kesepakatan

bahwa keuntungan dan resiko ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

Sedangkan Surat Pernyataan yang berisikan dan bertujuan untuk

melepaskan tanggung jawab terhadap resiko yang mungkin terjadi dalam

pelaksanaan penutupan asuransi dan mengalihkan pelunasan pembiayaan

musyarakah kepada ahli waris ini bertentangan dengan tujuan akad yaitu

keadilan dan pembagian kerugian resiko bersama secara proposional.

Berdasarkan KHES tujuan suatu akad tidak boleh bertentangan dengan

ketentuan syariah, Undang-Undang, Ketertiban Umum dan/atau Kesusilaan.

Maka Surat Pernyataan tersebut tidak memenuhi unsur tujuan akad yang

merupakan rukun yang keempat dalam hukum perjanjian Islam. Klausul Surat

Pernyataan tersebut juga belum memenuhi Syarat sahnya suatu akad yaitu

masih terdapat unsur al-Dharar (kemudharatan). Dimana kemudharatan bagi

pihak nasabah debitur yang sudah membayar premi asuransi jiwa. Dalam

KHES hukum akad dapat terbagi dalam tiga kategori, yaitu :

a. Akad yang Sah

Akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya

59

b. Akad yang Fasad/dapat dibatalkan19

Akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi

atau hal lain yang merusak akad tersebut karena pertimbangan

maslahat

c. Akad yang batal/batal demi hukum

Akad yang kurang rukun dan/atau syarat-syaratnya.

Berdasarkan hukum akad diatas maka, dengan demikian dapat dinyatakan

bahwa Surat Pernyataan dalam perjanjian pembiayaan akad musyarakah

tersebut dapat dikategorikan sebagai akad yang batal/batal demi hukum karena

terdapat kekurangan dalam rukun dan syaratnya.20

Klausul Surat Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan beberapa asas

dalam perjanjian yaitu pertama bertentangan dengan Pasal 21 huruf j KHES,

bahwa akad harus dilakukan dengan itikad baik dalam rangka menegakkan

kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

Asas itikad baik merupakan pelaksanaan perjanjian harus dijalankan dengan

memperhatikan kepatutan dan kesusilaan, sehingga menimbulkan

kemaslahatan bagi para pihak.

Kedua, Klausul Surat Pernyataan tersebut juga bertentangan dengan asas

transparansi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 huruf g KHES yang

menyatakan bahwa setiap akad dilakukan dengan pertanggungjawaban para

pihak secara terbuka. Bahwa akad yang dibuat harus bersifat transparan, jelas

dan terbuka mengenai pertanggung jawaban para pihak dalam akad tersebut.

Ketiga, Klausul Surat Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan

dalam Pasal 21 huruf k KHES asas suatu sebab yang halal, bahwa akad yang

dilakukan tidak bertentangan dengan hukum, tidak dilarang oleh hukum dan

tidak haram.

Keempat, bertentangan dengan asas kesetaraan (taswiyah) sebagaimana

19

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu.

Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatlkan oelh hakim atas

permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Sedangkan batal demi hukum artinya dari

semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Lihat Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan, 1993), hlm. 45. 20

Dalam Pasal 28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Akad yang fasad adalah

akad yang terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, tetapi terdapat segi atau hal lain yang merusak

akad tersebut karena pertimbangan maslahat. Akad fasad dapat dibatalkan.

60

diatur dalam Pasal 21 huruf f KHES. Tidak adanya kesetaraaan antara para

pihak dalam perjanjian menimbulkan ketidakseimbangan hak dan kewajiban.

Ahli waris harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang bukan menjadi

tanggung jawabnya, yaitu melunasi pembiayaan yang seharusnya telah

dilindungi oleh asuransi.

ketidakseimbangan yang dapat menimbulkan ketidakadilan dalam

transaksi di perbankan syariah tersebut, khususnya Isi Surat Pernyataan dalam

perjanjian pembiayaan musyarakah yang mengalihkan tanggung jawab resiko

yangmana dapat merugikan juga menimbulkan kezaliman kepada salah satu

pihak dalam perjanjian. Klausul Surat Pernyataan tersebut bertentangan dengan

asas perbankan syariah yang bersandar pada prinsip syariah juga keadilan itu

sendiri.21

Dimana dalam ketentuannya perbankan syariah dalam melakukan

seluruh kegiatannya harus berdasarkan pada prinsip syariah juga berkeadilan.22

Penjelasan dalam Pasal 2 tentang prinsip syariah adalah suatu kegiataan

usaha yang tidak mengandung unsur-unsur:

a. Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain

dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,

kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam

meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas

mengembalkan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena

berjalannya waktu (nasiah).

b. Maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang

tidak pasti dan bersifat untung-untungan.

c. Gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak memiliki,

tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserhakan pada saat

transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah.

d. Haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah

21

Pasal 1 angka 12 : Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan

perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam

penetapan fatwa di bidang syariah. Asas, Tujuan, dan Fungsi Pasal 2 : Perbankan Syariah dalam

melakukan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah, Demokrasi Ekonomi, dan Prinsip

Kehati-hatian. Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam

rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

61

e. Dhzalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak

lainnya.

Akad Syariah dalam transaksi diperbankan syariah berpedoman atau

bersumber pada kaidah-kaidah yang terdapat dalam Al-Qur‟an, Hadist, juga

Kaidah Fiqh. Melihat adanya Surat Pernyataan yang membebaskan tanggung

jawab resiko pelaku usaha (perbankan) kepada Konsumen (nasabah) yang

menimbulkan kerugian atas hak-hak konsumen (nasabah) ini bertentangan

dengan beberapa ketentuan dalam ayat Al-Quran diantaranya yaitu :

نوا أوفوا بلعقود )املائدة : ينا أما اا الذ أيه (1يا

Artinya :”Hai Orang-Orang yang beriman, Penuhilah akad-akad itu”.(al-

Maidah:1)

Dalam tafsirnya ibnu katsir mengatakan bahwa orang-orang yang beriman

diwajibkan untuk menunaikan segala macam akad, ini berdasarkan kalimat

perintah (amar) dalam ayat tersebut yaitu tunaikanlah atau penuhilah kalian

dengan akad-akad tersebut. Zaid bin Aslam menambahkan bahwa Akad atau

perjanjian disini yaitu berupa akad janji dengan Allah swt, akad halaf, akad

Syirkah, akad Jual beli, Akad nikah, dan Akad yamin atau sumpah.23

سوا النذاسا أ لا تابخا لا تاعثاوا ف األرض مفسدينا )الشعراء :وا ه وا يااءا (181ش

Artinya :“dan janganlah kalian merugikan manusia pada hak-haknya dan

janganlah kalian merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan.”

(QS.As Syu‟ara‟: 183).

كوا لا تا ايناك بلبااطل.....)البقرة :وا الاك ب (188أموا

Artinya :” Dan janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain

di antara kalian dengan jalan yang batil (Al-Baqarah :188).

Dalam ayat yang kedua ibnu katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa

23

Ibnu Katsir al-Qarshi ad-Dimasqyi, Tafsir al-Qur‟an al-Azhim Ibnu Katsir, Juz 3,

(Riyadh: Dar Thayybah, 1999), hlm. 8.

62

janganlah merugikan manusia pada hak-haknya maksudnya disini yaitu

janganlah kalian mengurangi harta-harta mereka. Dimana ayat ini mempunyai

hubungan dengan ayat sebelumnya yang menyuruh kepada menyempurnakan

timbangan atau takaran.24

Sedangkan dalam ayat yang ketiga, Ibnu katsir dalam tafsirnya bahwa Ali

ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini berkenaan

dengan lelaki yang mempunyai utang sejumlah harta, sedangkan pemiutang

tidak mempunyai bukti yang kuat. Lalu lelaki tersebut mengingkari utangnya

dan mengadukan kepada hakim, padahal dia mengetahui bahwa dia berhadapan

dengan perkara yang hak dan berada di pihak yang salah (berdosa) dan

memakan harta haram. Hal sama juga diriwayatkan oleh Mujahid Sa‟id ibnu

Jubair, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah dan seterusnya, bahwa mereka pernah

mengatakan bahwa janganlah kamu membuat perkara, sedangkan kamu

mengetahui bahwa dirimu berada di pihak yang zalim.25

Dari ketiga ayat diatas, Islam mengajarkan untuk memenuhi hak-hak

ataupun perjanjian-perjanjian yang telah dibuat dengan prinsip syariah atau

dengan prinsip untuk tidak berlaku zalim dan merugikan pihak lainnya.

sedangkan dalam surat pernyataan tersebut yang berisikan pengalihan tanggung

jawab resiko bertentangan dengan ketiga ayat diatas.

Dalam perjanjian atau akad syariah, kita terikat dengan syarat-syarat yang

terdapat dalam perjanjian tersebut, kecuali syarat-syarat tersebut bertentangan

dengan prinsip syariah itu sendiri, yangmana dengan sendirinya syarat tersebut

tidak dapat dilaksanakan atau tidak terikat karena merupakan syarat yang

rusak/fasid. Begitu juga dengan surat pernyataan yang isinya bertentangan

dengan prinsip syariah dalam sebuah transaksi syariah. hal ini sesuai dengan

hadist nabi dalam riwayat Tirmidzi dari „Amr bin „Auf :

ااما را لذ حا ل أو أحا لا ما حا رذ لذ صلحا حاايا المسلميا ا ئز ب لح جاا الصه

ل أ لا ما حا رذ طا حا لذ شاوطيم ا المسلمونا عالا ش اما )رواه وا را لذ حا و أحا

الرتمذي و حصحو ابن حبان(

24 Abi Al-Fidaa Ismail bin Umar bin Katsir Al-Qursy Ad-Dimasqy, Tafsir Al-Qur‟an Al-

Azim, (Beirut : Dar Ibn Hazm, Cet I 2000), hlm. 1359. 25

Ibid, hlm. 521.

63

Artinya: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali

perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram,

dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”.)HR. Tirmidzi dan

dishahihkan oleh Ibn Hibban

Selain itu, klausul surat pernyataan tersebut juga bertentangan dengan

prinsip syariah yang seharusnya tidak mengandung unsur zalim atau

kemudharatan yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya,

sebagaimana Hadist Nabi yang di riwayatkan oleh muslim dari Jaabir Ra

berkata bahwa rasulallah saw bersabda :

ة اوما القياما ات ي لا ظلما نذ الظهلا فاا ذقوا الظه ات

Artinya: “Jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan di hari

kiamat”

Juga berdasarkan Hadist Nabi dari abi Saiid Saad bin sinaan al-Khudriy r.a:

ارا )رواه ابن ماجو وادلرقطين و غريىام عن أ يب سعيد لا ضا را وا ا ضا لا

اخلدري(Artinya:“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR.

Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa‟id al-Khudri).

Maka berdasarkan Uraian diatas, Surat Pernyataan dalam perjanjian

pembiayaan musyarakah yang berisikan Pengalihan tanggung jawab resiko

bertentangan dengan tujuan akad dan bertentangan dengan beberapa asas-asas

dalam hukum perjanjian Islam seperti asas itikad baik, asas transparansi, asas

kesetaraan (taswiyah), asas suatu sebab yang halal. Surat pernyataan tersebut

juga tidak sesuai dengan prinsip syariah yang mengandung unsur zalim dan

ketidakadilan di dalamnya, serta tidak sesuai dengan anjuran Al-Qur‟an dan

Hadist dalam melaksanakan Perjanjian. Maka dengan itu, secara tidak langsung

akad yang yang berisikan surat pernyataan belum memenuhi rukun dan syarat

akan berdampak hukum tidak sah dan merupakan akad batil. Dalam Pasal 26

KHES juga dijelaskan bahwa akad tidak sah apabila bertentangan dengan

syariat Islam, Peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau

kesusilaan. Maka surat pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyrakah

64

dapat dikatakan akad batal atau batal demi hukum.26

2. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)

KUHPerdata atau disebut juga dengan BW (Burgelijk Wetboek) merupakan

hukum perdata eropa yang masih berlaku dan digunakan oleh hakim dalam

pertimbangan hukumnya terhadap perkara keperdataan di Indonesia.

KUHPerdata yang mengatur norma hukum perdata secara sistematis terdiri dari

empat buku : Buku kesatu tentang Orang, Buku kedua tentang Kebendaan,

Buku ketiga tentang Perikatan dan Buku keempat tentang Pembuktian dan

Daluwarsa. Dalam arti lain keempat bagian ini berdasrkan ilmu pengetahuan

hukum sekarang ini, membahas tentang hukum diri seseorang/perorangan,

kekeluargaan, kekayaan yang terbagi atas hukum kekayaan absolut dan relatif,

dan waris.

Perjanjian atau kontrak berkembang pesat saat ini sebagai konsekuensi logis

dari berkembanganya kerja sama bisnis antar pelaku bisnis. Banyak perjanjian

atau kontrak saat ini dibuat dalam bentuk tertulis. Kontrak atau perjanjian

tertulis adalah dasar bagi para pihak untuk melakukan suatu penuntutan apabila

salah satu pihak tidak melaksanakan apa yang telah diperjanjikan dalam suatu

kontrak atau perjanjian. Pada dasarnya suatu perjanjian atau kontrak berawal

dari suatu perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan diantara para pihak, dan

perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumunya diawali dengan

proses negoisasi diantara para pihak, sehingga dengan adanya kontrak

perbedaan tersebut diakomodir demi menciptakan kesepakatan juga saling

mempertemukan sesuatu yang diinginkan dan selanjutnya dibingkai dengan

perangkat hukum sehingga mengikat kedua belah pihak.27

Dalam KUHPerdata kata perikatan maknanya lebih luas dari kata perjanjian

sendiri. Makna perjanjian dalam KUHPerdata adalah suatu perikatan yang

timbul berdasarkan kontrak atau persetujuan.28

Syarat sahnya perjanjian

terdapat dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata yaitu :

26

Akad yang batal adalah akad yang kurang rukun dan atau syarat-syaratnya. Lihat dalam

Pasal 28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ayat (3) 27

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam kontrak

Komersial, (Jakarta : Kencana Cet 2, 2011), hlm. 1. 28

Pasal 1313 KUHPerdata : Persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau

lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

65

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

c. Suatu hal tertentu

d. Suatu sebab yang halal

Syarat yang pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

maksudnya bahwa Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari

kehendak kedua belah pihak mengenai apa yang mereka kehendaki untuk

dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan,

dan siapa yang harus melaksanakan.29

Tidak sampai disitu, kesepakatan dalam

perjanjian harus diadakan secara sukarela dari para pihak dalam perjanjian

sesuai ketentuan Pasal 1321 yang menyatakan bahwa “tiada sepakat yang sah

apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya dengan

paksaan atau penipuan.”

Syarat yang pertama ini menjadi asas dalam sahnya suatu perjanjian. Syarat

ini juga disebut dengan asas Konsensualisme. Asas konsensualisme merupakan

asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara

formal tetapi cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.

Kesepakatan kedua belah pihak merupakan persesuaian antara kehendak dan

pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Asas Konsensualisme

mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas

kekuatan mengikat nantinya, yang terdapat dalam Pasal 1338 (1) BW. Asas ini

menekankan adanya persesuaian kehendak (meeting of mind) sebagai inti dari

hukum kontrak.30

Namun demikian, pada situasi tertentu terdapat perjanjian

yang tidak mencerminkan wujud kesepakatan yang sesungguhnya disebabkan

adanya cacat kehendak (wilsgebreke) yang memengaruhi timbulnya perjanjian.

Cacat kehendak tersebut meliputi tiga hal :

a. Kesesatan atau dwaling

b. Penipuan atau bedrog

c. Paksaaan atau dwang

29

Kartini Mujadi, Gunawan Widjaja, Seri Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir dari

Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 95. 30

Dhasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan Common Law,

Lokakarya ELIPS Project materi Perbandingan Hukum Perjanjian, Hotel Sahid Surabaya, 1993,

hlm.5. Lihat Agus Yudha Hernoko, Ibid, hlm. 122.

66

Dengan demikian, pemahaman asas konsensualisme yang menekankan pada

“sepakat” para pihak ini, berangkat dari pemikiran bahwa yang berhadapan

dalam kontrak adalah orang yang menjunjung tinggi komitmen dan tanggung

jawab dalam lalu lintas hukum, dan orang yang beritikad baik. Apabila kata

sepakat yang diberikan para pihak tidak berada dalam kerangka sebenarnya

maka hal ini, akan mengancam eksistensi kontrak itu sendiri. pada akhirnya

pemahaman asas konsualisme hanya mendasarkan pada kata sepakat saja.

Syarat kedua kecakapan untuk membuat perikatan. Setiap orang cakap

untuk membuat perikatan atau perjanjian, jika oleh Undang-Undang

dinyatakan cakap. Syarat ini dijelaskan dalam Pasal 1330 KUUHPerdata yang

mengatur bahwa tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah :

1. Orang yang belum dewasa

Dalam Pasal 330 KUHPerdata mengatur bahwa dewasa merupakan

mereka yang belum mencapai genap dua puluh satu tahun dan tidak

lebih dahulu telah kawin. Akan tetapi ketentuan ini digantikan dengan

ketentuan dewasa dalam Undnag-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 Pasal 50 yang menyatakan “anak yang belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan

yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah

kekuasaan wali.

2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan

Ketentuan ini berdasarkan Pasal 433 KUHPerdata yang menyatakan

“Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit

gelap atau mata gelap harus di teruh dibawah pengampunan, pun jika ia

kadang-kadang cakap mempergunakanpikirannya. Seorang dewasa bleh

juga di taruh di bawah pengampunan karena keborosannya.”

3. Orang-orang perempuan dan pada umumnya semua orang dalam hal

ditetapkan oleh Undang-Undang.

Syarat ketiga yaitu suatu hal tertentu. Maksudnya yaitu suatu perjanjian

harus jelas objek yang ditentukan oleh para pihak baik berupa barang, jasa,

maupunlainnya. Suatu hal tertentu juga dapat dijelaskan dalam Pasal 1333

yang berbunyi “Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok perjanjian

67

berupa suatu kebendaan yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah

menjadi halangan bahwa jumlah kebendaan tidak tentu, asal jumlah itu

kemudian dapat ditentukan atau dihitung.” Pasal diatas menegaskan apapun

jenis perikatannya baik perikatan untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu

atau tidak berbuat sesuatu harus menunjukkan keberadaannya atau

eksistensinya ada.

Syarat yang keempat yaitu suatu sebab yang halal. Yang dimaksud sebab

yang halal tersebut yaitu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata dijelaskan yang disbeut sebab yang

halal adalah :

1. Bukan tanpa sebab

2. Bukan sebab yang palsu

3. Bukan sebab terlarang yaitu dilarang oleh undang-undang, bertentangan

dengan kesusilaan dan bertentangan dengan ketertiban umum. Ini juga

disebutkan dalam Pasal 1337.

Keempat syarat pokok ini dikelompokkan dalam dua bagian yaitu syarat-

syarat subjektif yaitu yang berhubungan dengan subjek hukum itu sendiri.

Yang termasuk dalam syarat ini adalah sepakat mereka yang mengikatkan

dirinya dan kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Kedua syarat-syarat

objektif yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan objek hukum yang

termasuk didalamnya syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Para

ahli hukum Indonesia umumnya berpendapat bahwa dalam hal syarat-syarat

subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dimintakan

pembatalannya (voidable). Sedangkan dalam hal syarat-syarat objektif tidak

dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum (void ab initio).31

Kalau melihat syarat sah yang pertama yaitu sepakat mereka yang

mengikatkan dirinya, maka dalam hal ini pihak perbankan syariah juga pihak

nasabah telah bersepakat dalam pembiayaan musyarakah juga dalam surat

31

Dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu.

Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatlkan oelh hakim atas

permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Sedangkan batal demi hukum artinya dari

semula dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Lihat Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, (Jakarta : Pustaka Sinar

Harapan, 1993), hlm. 45.

68

pernyataan yang dibuktikan dengan tanda tangan nasabah dalam kontrak tersebut

tanpa adanya paksaan dari pihak perbankan. Syarat kedua juga telah dipenuhi

yaitu kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Dalam hal ini, nasabah benar-

benar orang yang dewasa dan sehat. Begitu pun dengan syarat ketiga yaitu suatu

hal tertentu yaitu perjanjian pembiayaan akad musyarakah dimana perbankan

memberikan sejumlah dana kepada nasabah untuk penambahan modal usahanya.

Sedangkan syarat sah keempat yaitu perjanjian karena suatu sebab yang halal.

Pasal 1335 menyatakan “suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat

karena suatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan.”

Selanjutnya dalam Pasal 1337 dinyatakan “suatu sebab adalah terlarang, apabila

dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik

atau ketertiban umum.” Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan

musyarakah berisi pengalihan tangggung jawab kepada konsumen dilarang oleh

undang-undang.32

Syarat suatu sebab yang halal dilanggar, sehingga tidak

memenuhi syarat sah perjanjian elemen yang keempat yaitu “suatu sebab yang

halal”.

Selain empat syarat diatas, terdapat juga asas-asas dalam melakukan

sebuah perjanjian yaitu asas kebebasan berkontrak dan asas itikad baik dan

kepatutan.

a) Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan penerapan dari ketentuan Pasal 1338 ayat

(1) KUHPerdata yang berbunyi bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah

berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Asas ini,

membuka peluang tumbuhnya berbagai perjanjian jenis baru yangmana perjanjian

yang timbul, tumbuh, berkembang dalam masyarakat merupakan jawaban dari

kebutuhan masyarakat atas perjanjian tersebut.33

Berdasarkan asas ini suatu pihak

dapat memperjanjikan apa-apa yang dikehendakinya dengan pihak lain. Dengan

perkataan lain para pihak berhak untuk menentukan apa-apa saja yang diinginkan

32

Ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang menyatakan dilarangnya membuat atau mencantumkan klausula

baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku

usahan. 33

Taufiq El Rahman, Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Kepribadian Dalam

Kontrak-Kontrak Outsourcing, (Jurnal Mimbar Hukum, Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011),

hlm. 584.

69

dan sekaligus diperkenankan untuk menentukan sesuatu yang dicantumkan dalam

perjanjian. Suatu pandangan yaitu bebas untuk melakukan atau tidak melakukan

perjanjian, bebas tentang apa yang diperjanjikan dan kebebasan untuk

menetapkan syarat-syarat perjanjian.

Namun demikian bahwa penerapan asas kebebasan berkontrak terikat, tidak

bebas dan tidak berdiri sendiri melainkan terdapat beberapa batasan-batasan yang

diterapkan oleh undang-undang, diantaranya asas kebebasan berkontrak tersebut

tidak boleh bertentangan dengan asas itikad baik, ketertiban umum, kepatutan,

dan kesusilaan. Maka penerapan asas kebebasan berkontrak sebagaimana

tersimpul dari substansi Pasal 1338 (1) BW harus juga dikaitkan dengan kerangka

pemahaman pasal-pasal atau ketentuan yang lain yaitu :34

a. Pasal 1320 BW, mengenai syarat sahnya perjanjian (kontrak)

b. Pasal 1335 BW, yang melarang dibuatnya kontrak tanpa causa atau

dibuat berdasarkan suatu causa yang palsu dan terlarang.

c. Pasal 1337, yang menyatakan suatu sebab dilarang yang berlawanan

denga kesusilaan dan ketertiban umum.

d. Pasal 1338 (3) BW, kontrak harus dilaksanakan dengan itikad baik.

e. Pasal 1339 BW, menunjukkan terikatnya perjanjian dengan keadilan,

kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Asas kebebasan berkontrak sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 1338

(1) hendaknya dibaca/diinterpretasikan dalam rangka pikir yang menempatkan

posisi para pihak dalam keadaan seimbang-proporsional. Asas ini secara filosofis

menabukan apabila dalam suatu perjanjian terdapat ketidakseimbangan,

ketidakadilan, ketimpangan dan posisi berat sebelah maka justru merupakan

pengingkaran terhadap asas kebebasan kontrak itu sendiri. Oleh karena itu,

terwujudnya proposionalitas dalam hubungan para pihak akan membuat kontrak

menjadi bernilai.35

b. Asas itikad baik atau kepatutan

Asas itikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata

yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Asas itikad

baik (in good faith) ini ada dua yaitu subyektif dan obyektif. Asas itikad baik

34

Agus Yudha, Hukum Perjanjian ,Ibid, hlm. 117. 35

Agus Yudha, Hukum Perjanjian, Ibid, hlm. 120.

70

subyektif adalah kejujuran pada diri seseorang atau niat baik yang bersih dari para

pihak, sedangkan asas itikad baik obyektif merupakan pelaksanaan perjanjian itu

harus berjalan diatas rel yang benar, harus mengindahkan norma-norma kepatutan

dan kesusilaan. Maksud dari itikad baik (contractus bonafidei) sendiri dalam

Pasal 1338 (3) BW dituliskan bahwa perjanjian itu dilaksanakan menurut

kepatutan dan keadilan, tidak menyalahgunakan keadaan (tidak boleh

menggunakan kelalaian pihak lain untuk menguntungkan diri pribadi), tidak ada

paksaan, kesesatan, penipuan, dan kejujuran dan kepatuhan.36

Dalam hukum

kontrak, itikad baik memliki tiga fungsi :

1) Fungsi standar: Semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad

baik.

2) Fungsi menambah (aanvullende werking van de te goeder trouw).

Hakim dapat menambah isi perjanjian dan menambah kata-kata

peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perjanjian itu.

3) Fungsi membatasi dan meniadakan : Hakim dapat mengesampingkan isi

perjanjian atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

perjanjian jika terjadi perubahan keadaan yang dpaat mengakibatkan

ketidakadilan.

Dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik merupakan sebuah asas dimana

para pihak yaitu kreditur dan debitur harus melaksanakan subtansi kontrak

berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik yang

penilaiannya ada pada akal sehat dan keadilan. Berdasarkan asas itikad baik ini,

pengalihan resiko dalam perjanjian akad musyarakah tersebut belum memenuhi

asas itikad baik.

Berdasarkan asas-asas diatas, Surat Pernyataan pada perjanjian

pembiayaan musyarakah merupakan suatu tindakan yang tidak patut (on

billijkheid). Suarat Pernyataa tersebut juga bertentangan dengan asas

itikad baik dalam Pasal 1338 yaitu suatu perjanjian harus dilaksanakan

dengan itikad baik. Klausul tersebut juga bertentangan dengan Pasal

1339 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “suatu perjanjian tidak hanya

mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi

36

Luh Nila Winarni, Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen Dalam

Perjanjian Pembiayaan, (DIH, Jurnal Ilmu Hukum Vol. 11, No. 21, Februari 2015), hlm. 1-12.

71

juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian dituntut

berdasarkan keadilan, kebiasaan atau undang-undang.” Berdasarkan itu

kesepakatan dalam surat pernyataan dalam perjanjian pembiayaan

musyarakah belum memenuhi syarat objektif suatu sebab yang halal

sehingga surat pernyataan tersebut batal demi hukum.

Tabel 1.7 : Akibat Hukum Penerapan Klausul Pengalihan Tanggung

Jawab Resiko Dalam Surat Pernyataan Pada Perkara Perjanjian

Pembiayaan Musyarakah Berdasarkan Hukum Perjanjian Islam

dan KUHPerdata.

No Keterangan Hukum Perjanjian Islam KUHPerdata

1 Syarat Sah

Perjanjian

Memenuhi Rukun dan

Syarat Akad

Rukun Akad:

1. Al‟aqidain (Subjek

Perikatan)

2. Mahallul „Aqd (Objek

Perkatan)

3. Maudhu‟ul „Aqd

(Tujuan Perikatan)

4. Sighat al „Aqd (Ijab

dan qabul)

Syarat Akad:

1. Tidak menyalahi halal

hukum syariah

2. Harus sama ridho atau

sepakat

3. Akad harus jelas

Pasal 26 KHES, akad

tidak sah apabila

bertentangan dengan :

e.syariat Islam

f.Peraturan Perundang-

Pasal 1320 KUHPerdata

mengatur sahnya

perjanjian diperlukan

empat syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang

mengikatkan diri

2. Kecakapan untuk

membuat suatu

perikatan

3. Suatu hal tertentu

4. Suatu sebab yang halal

72

Undangan

g.Ketertiban Umum

h.Kesusilaan

Pasal 26 huruf a, akad

yang sah adalah akad

yang disepakati dalam

perjanjian, tidak

mengandung unsur :

a. Ghalath atau khilaf

b.Tidak dilakukan

dibawah ikrah atau

paksaan

c.Taghrir atau tipuan

dan

d. Ghubn atau

Penyamaran

2 Ketentuan

yang

dilanggar

Bertentangan dengan

tujuan akad yang

merupakan salah satu

dari rukun akad.

Bertentangan dengan

prinsip syariah yaitu

perbuatan zalim yang

menimbulkan

ketidakadilan bagi ahli

waris.

Bertentangan dengan

Pasal 21 KHES

mengenai asas-asas

dalam akad yaitu asas

transparansi (Pasal 21

huruf g, asas

Bertentangan dengan

Pasal 1338 ayat (3)

“suatu perjanjian harus

dilaksanakan dengan

itikad baik.

Bertentangan dengan

Pasal 1339 bahwa

perjanjian tidak hanya

mengikat hal-hal yang

secara tegas dinyatakan

dalam perjanjian tetapi

juga diharuskan sesuai

dengan asas kepatutan,

kebiasaan dan undang-

undang.

Bertentangan dengan

73

keseimbangan/taswiyah

(huruf f), asas itikad baik

(huruf j), asas suatu

sebab yang halal (huruf

k).

Bertentangan dengan

prinsip syariah yaitu

zalim dan ketidakadilan.

syarat sah perjanjian

yaitu suatu sebab yang

halal.

3 Akibat

Hukum

Akad Batil atau akad

yang batal

Batal demi hukum

74

BAB IV

ANALISA PUTUSAN HAKIM ATAS TIDAK DAPAT DITERIMANYA

GUGATAN PENGGUGAT DALAM PERKARA PERJANJIAN

PEMBIAYAAN MUSYARAKAH PADA PUTUSAN MAHKAMAH

AGUNG NO 715 K/Ag/2014

A. Pertimbangan Hukum dan Amar Putusan Hakim

Dalam sebuah putusan di Pengadilan terdapat asas-asas yang mesti ditegakkan,

agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Salah satu Asas yang

mesti di uraikan dalam sebuah putusan adalah asas memuat dasar alasan yang

jelas dan rinci dalam putusan. Berdasarkan asas ini, putusan yang dijatuhkan

dalam persidangan harus berdasarkan pertimbangan yang jelas dan cukup.

Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ini dapat dikategorikan putusan yang

tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd). Alasan-alasan hukum yang

menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari ketentuan:

Pasal-Pasal tertentu peraturan perundangan-undangan

Hukum Kebiasaan

Yurisprudensi

Doktrin hukum

Hal diatas ditegaskan dalam Pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, sebagaimana

diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999 sekarang dalam Pasal 25 ayat (1) UU No.

4 Tahun 2004 yang menegaskan bahwa segala putusan Pengadilan harus memuat

alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan

perundang-undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus

atau berdasarkan hukum tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum.1

Alasan-alasan diatas dapat dikenal dengan istilah pertimbangan hukum hakim.2

Dapat dikatakan pertimbangan hukum merupakan jiwa dan intisari sebuah

putusan. Pertimbangan berisi analisis, argumentasi, pendapat atau kesimpulan

hukum dari hakim yang memeriksa perkara. Dalam pertimbangan dikemukakan

1 Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika 2014), hlm. 797-798. 2 Formulasi putusan adalah susunan atau sistematika yang harus dirumuskan dalam

putusanagar memenuhi syarat perundang-undangan. Unsur formula harus memuat secara ringkas

dan jelas pokok perkara, jawaban, pertimbangan dan amar putusan. Lihat M. Yahya Harahap, Ibid,

hlm. 807.

75

analisis yang jelas berdasarkan undang-undang pembuktian:

1) Apakah alat bukti yang diajukan penggugat dan tergugat memenuhi syarat

formil dan materiil

2) Alat bukti pihak mana yang mencapai batas minimal pembuktian

3) Dalil gugat apa saja dan dalil bantahan apa saja yang terbukti

4) Sejauh mana nilai kekuatan pembuktian yang dimiliki para pihak

Selanjutnya, diikuti analisis hukum apa yang diterapkan oleh hakim untuk

menyelesaikan perkara tersebut. bertitik tolak dari analisis tersebut, pertimbangan

melakukan argumentasi yang objektif dan rasional. Selanjutnya dari hasil

argumentasi tersebut hakim menjelaskan pendapatnya apa saja yang terbukti dan

yang tidak, dirumuskan menjadi kesimpulan hukum sebagai dasar landasan

penyelesaian perkara yang akan dituangkan dalam diktum putusan.3

Dalam Perkara perjanjian musyarakah ini, terdapat perbedaan pertimbangan

hukum hakim sehingga menghasilkan putusan hakim yang berbeda juga

khususnya dalam hal Hukum Acara formil atau hukum acara perdata antara

pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan tingkat banding dan kasasi.

Dimana permasalahan hukum acara formil dapat menyebabkan diperiksa maupun

tidak diperiksanya perkara materil dari gugatan penggugat tersebut. Di pengadilan

tingkat I (pertama) majelis hakim dalam pertimbangan dan putusannya menolak

eksepsi dari para tergugat dan menyatakan bahwa gugatan penggugat telah

memenuhhi syarat formil suatu gugatan.4 Berbeda dengan pengadilan banding dan

kasasi dalam pertimbangan hukumnya, mempertimbangkan kembali beberapa

eksepsi dari para tergugat dan memutuskan bahwa gugatan penggugat belum

memenuhi syarat formil suatu gugatan sehingga gugatan tidak dapat diterima atau

3 Ibid, Hlm. 809.

4 Dalam wawancara dengan Hakim Ketua PA Medan dahulu dalam perkara ini Dalam

pernyataannya, Hakim Ketua menyatakan bahwa syarat formil gugatan penggugat telah memenuhi

syarat dan menolak eksepsi dari para tergugat I, II dan II sehingga lanjut kedalam pemeriksaan

materi gugatan. Lihat hasil Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama tingkat I Medan dahulu,

sekarang menjabat Hakim Pengadilan Agama tingkat pertama Pekanbaru Bapak Hakim Drs. H.

Abdul Halim Ibrahim., M.H. Selaku Hakim Ketua dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor

967/pdt.G/2012/PA.Mdn, Pada hari Senin tanggal 25 September 2017 pukul 16.00 di Kantor

Pengadilan Agama Pekanbaru, Jln. Datuk Setia Maharaja/Parit Indah, Tengkerang Labuai,

Pekanbaru, Kota Pekanbaru Riau 28289.

76

NO (niet ontvankelijke verklaard)5 sehingga hakim dalam hal ini tidak mengadili

materiil gugatan perkara penggugat.6

Dalam Pertimbangan hukumnya, Majlis Hakim dalam tingkat Kasasi

menimbang bahwa secara formal gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat obscuur

libel, karena antara posita7 gugatan dengan petitum

8 gugatan tidak saling

mendukung, hal ini dilihat dari petitum gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat yang

tidak menuntut kepada pihak siapa yang harus mengembalikan modal pembiayaan

musyarakah dalam perkara a quo. Yang kedua disisi lain seharusnya yang digugat

dalam perkara a quo adalah PT. Bank Sumut Syariah bukan Aminuddin Sinaga

selaku pribadi dan Pimpinan cabang dari PT. Bank Sumut Syariah Cabang

Padangsidempuan. Pertimbangan ketiga yaitu alasan kasasi Pemohon

Kasasi/Penggugat hanya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat

penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dipertimbangkan dalam

pemeriksaan dalam tingkat kasasi karena pemeriksaan dalam tingkat hanya

berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau

5 Putusan NO (niet ontvankelijke verklaard) merupakan putusan yang menyatakan

bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan mengandung cacat formil yang artinya

gugatan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh hakim untuk diperiksa dan diadili sehingga tidak ada

objek gugatan dalam putusan untuk dieksekusi. Lihat

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54f3260e923fb/arti-putusan-niet-ontvankelijke-

verklaard-no 6 Dalam pernyataannya, bapak Hakim Ketua menyatakan bahwa syarat formil gugatan

penggugat tidak dapat diterima karena terdapat cacat formil dalam gugatan penggugat. Lihat hasil

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan dahulu, sekarang menjabat Hakim

Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta Bapak Hakim Dr. H. Yusuf Buchori, S.H., M.SI. Selaku

Hakim Anggota dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor 124/pdt.G/2012/PTA.Mdn, Pada hari

Jum’at tanggal 25 September 2017 pukul 16.00 di Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta,

Jln. Lingkar Selatan No. 321, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55188. 7 Posita merupakan dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang merupakan

dasar serta alasan-alasan daripada tuntutan. Terdiri dari dua bagian yaitu 1) bagian yang

menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang terjadi. 2) bagian yang

menguraikan tentang hukumnya dan tentang adanya hak atau hubungan hukum yang menjadi

dasar yuridis daripada tuntutan. Lihat Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di

Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta : Kencana Cet 5, 2008), hlm. 29. 8 Petitum atau Tuntutan dalam Pasal 8 Nomor 3 B.Rv. disebutkan bahwa petitum adalah

apa yang diminta atau diharapkan oleh Penggugat agar diputuskan oleh hakim dalam persidangan.

Dalam praktek peradilan, petitum dapat dibagi dalam tiga bagian yaitu : 1) Tuntutan Pokok

(tuntutan primer), 2) Tuntutan tambahan dan 3) Tuntutan Subsider atau pengganti. Petitum juga

harus dirumuskan secara jelas, singkat dan padat sebab apabila tuntutan tidak jelas maksudnya

atau tidak sempurna dapat mengakibatkan tidak diterima atau ditolaknya tuntutan oleh hakim.

Selain itu, petitum harus berdasarkan hukum dan harus didukung oleh posita. Apabila posita tidak

didukung oleh petitum akan berakibat tidak dapat diterimanya tuntutan, sedangkan petitum yang

tidak didukung posita akibatnya tuntutan penggugat ditolak oleh hakim. Lihat Abdul Mannan,

Ibid, hlm. 32.

77

pelanggaran hukum yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua

dengan dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Berdasarkan itu, hakim

berhak tidak menerima gugatan penggugat karena mengandung cacat formil

sehingga hakim tidak dapat melanjuti dalam perkara materiil gugatan.9

Selanjutnya Majelis Hakim dalam amar putusannya Nomor 715 K/Ag/2014

dalam perkara perjanjian musyarakah ini, memutuskan atau mengadili menolak

permohonan serta alasan-alasan Kasasi dari Pemohon Kasasi, dalam hal ini juga

menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Agama sebelumnya dan menghukum

Pemohon Kasasi/Penggugat (ibu nasabah/ahli waris nasabah) untuk membayar

biaya perkara dalam tingkat kasasi sejumlah Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

B. Analisa Dasar Pertimbangan Hukum Hakim atas Tidak dapat diterima

NO (niet ontvankelijke verklaard) Gugatan atau Permohonan Kasasi

Penggugat dalam perkara perjanjian pembiayaan musyarakah di Putusan

Mahkamah Agung No 715 K/Ag/2014

Putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan

merupakan akhir dari setiap proses berperkara di dalam suatu persidangan atau

dalam arti lain putusan hakim merupakan pernyataan dari seseorang hakim dalam

memutuskan suatu perkara di dalam persidangan dan memiliki kekuatan hukum

tetap. Putusan hakim pada dasarnya adalah suatu karya menemukan hukum yaitu

menetapkan bagaimanakah seharusnya menurut hukum dalam setiap peristiwa

yang menyangkut kehidupan dalam suatu negara hukum atau hasil musyawarah

yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam

pemeriksaan di sidang pengadilan.10

Moh. Taufik Makarao juga dalam bukunya

mengartikan putusan hakim sebagai suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai

pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan

bertujuan untuk megakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara

9 Lihat Putusan Mahkamah Agung Nomor: 715 K/Ag/2014 Perkara Perdata Agama. Juga

dalam wawancara dengan Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung (dahulu panitera

perkara) bapak Drs. H. Abdul Ghoni, S.H., M.H. Pada hari Senin tanggal 30 November 2017

Pukul 13.30 di Kantor Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jl.

Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat-DKI Jakarta Indonesia 10110. 10

Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Rineka Cipta,

cet I 2004), hlm. 124.

78

para pihak.11

Suatu perkara atau sengketa dalam peradilan dituangkan dalam sebuah gugatan

yang diajukan kepada pengadilan untuk dimintakan putusannya. Gugatan

merupakan suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak

lain untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, guna memulihkan kerugian

yang diderita oleh penggugat melalui putusan pengadilan. Gugatan dalam arti lain

juga dapat merupakan suatu permohonan yang disampaikan kepada pengadilan

yang berwenang tentang sesuatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai

dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. cara menyelesaikan

perselisahan ini diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht).

hukum Acara perdata merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang memuat

cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana

pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya

peraturan-peraturan hukum perdata materil. Singkatnya hukum acara perdata

merupakan hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana

caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata yang berfungsi

menegakkan hukum perdata materil.12

Menurut Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,

S.H. Hukum Acara Perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana

caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

Dengan perkataan lain, bahwa Hukum Acara Perdata mengatur tentang bagaimana

caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan

daripada putusannya.13

Ketentuan mengenai Hukum Acara perdata di Pengadilan

Agama telah diterbitkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

perubahan pertama Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 54.

Selain diatur didalamnya tentang susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, juga

di dalamnya diatur tentang Hukum Acara Perdata yang berlaku di lingkungan

Peradilan Agama yang dikemukakan bahwa Hukum Acara yang berlaku pada

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata

11

Ibid, hlm. 125. 12

Abdul Mannan, Penerapan Hukum, Ibid, hlm. 2. 13

Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Proses Persidangan, (Jakarta:

Sinar Grafika cet 2, 2011), hlm. 5.

79

yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang

telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini.14

Hukum acara yang

dimaksud yaitu terletak pada ketentuan Bab IV yang terdiri dari 37 Pasal, akan

tetapi tidak semua ketentuan tentang hukum acara Peradilan Agama dimuat secara

lengkap dalam undang-undang tersebut. Oleh karena Hukum acara yang berlaku

di lingkungan Peradilan Umum adalah Herziene Inlandsch Reglement (HIR)

untuk Jawa Madura, Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg) untuk luar

Jawa Madura, maka kedua aturan hukum Acara ini diberlakukan juga di

lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus

dalam Undang-Undang.15

Kalau kita melihat, berdasarkan pertimbangan hukum hakim dalam putusan

Mahkamah Agung Nomor 715 K/Ag/2014, Hakim menilai bahwa dalam gugatan

yang diajukan oleh penggugat terdapat cacat formil atau belum memenuhi syarat

formil yang ada sehingga tidak diterimanya gugatan penggugat16

atau

permohonan kasasi penggugat. Dalam hal ini, majlis hakim mempertimbangkan

kembali eksepsi prosesual tergugat juga putusan hakim banding sebelumnya.

Dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa gugatan penggugat atau

pemohon kasasi belum memenuhi syarat formil suatu gugatan atau gugatan cacat

formil. Terdapat berbagai ragam cacat formil yang menjadi dasar bagi hakim

untuk dapat menyatakan gugatan tidak dapat diterima (NO), antara lain sebagai

berikut:

14

Undang-Undang No.7 Tahun 1989 diubah dengan Undang-Undang No.3 Tahun 2006

Pasal 54. Lihat Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan

Agama, (Jakarta; Yayasan Al Hikmah, Cet 2 2001), hlm. 6. 15

HIR (Herziene Inlandsch Reglement)diterjemahkan menjadi Reglemen Indonesia yang

diperbaharui adalah hukum acara dalam persidangan perkara perdata maupun pidana yang berlaku

di pulau Jawa dan Madura. Reglemen ini berlaku di zaman Hindia Belanda yang tercantum di

Berita Negara (Staatblad) No. 16 tahun 1948. Sedangkan RBG (Rechtsreglement Voor De

Buitengewesten) diterjemahkan menjadi “Reglemen Hukum Daerah Seberang” merupakan hukum

acara yang berlaku di persidangan perkara perdata maupun pidana di pengadilan di luar Jawa dan

Madura (tercantum dalam Staatblad 1927 No. 227), Lihat Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem

Hukum Acara Perdata, (Journal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 15 Juni 2017),

hlm. 2. 16

Merupakan salah satu putusan hakim atau pengadilan yang diakibatkan atau yang

terdapat cacat formil yang mungkin melekat pada gugatan, antara lain gugatan yang ditandatangani

kuasa berdasarkan surat kuasa yang tidak memenuhi syarat yang digariskan Pasal 123 ayat (1) HIR

jo. Sema No. 4 Tahun 1996 1) Gugatan tidak memiliki dasar hukum, 2) Gugatan error in persona

dalam bentuk diskualifikasi atau plurum litis consortium, 3) Gugatan mengandung cacat atau

obscuur libel, 4) Gugatan melanggar yurisdiksi (kompetensi) absolute. M. Yahya Harahap, Ibid,

hlm. 812.

80

Pihak yang mengajukan gugatan adalah kuasa yang tidak didukung oleh

surat kuasa khusus yang memenuhi syarat atau ketentuan yang berlaku

Gugatan mengandung error in persona

Gugatan diluar yuridiksi absolut atau relatif pengadilan

Gugatan obscuur libel

Gugatan yang diajukan mengandung unsur ne bis in idem

Gugatan masih prematur

Gugatan daluwarsa

Dalam pertimbangan hukum pertamanya, majlis hakim mempertimbangkan

eksepsi17

tergugat bahwa gugatan pemohon kasasi/penggugat obscuur libel.

Eksepsi Obscuur libel merupakan salah satu dari eksepsi prosesuil18

yang

diajukan oleh tergugat/para tergugat atau kuasanya karena pihak yang ditarik

sebagai tergugat keliru dan tidak tepat.19

Obscuur libel dalam gugatan itu karena

antara posita gugatan dengan petitum gugatan tidak saling mendukung yang dapat

dilihat dari petitum gugatan penggugat atau pemohon kasasi yang tidak menuntut

kepada pihak siapa dia menuntut dalam pengembalian modal pembiayaan

musyarakah dalam perkara a quo.

Pengertian obscuur libel sendiri yaitu surat gugatan penggugat tidak terang

atau isinya gelap (onduidelijk) dapat juga disebut formulasi gugatan tidak jelas.

Padahal agar gugatan dianggap memnuhi syarat formil, dalil gugatan harus terang,

jelas dan tegas. Sebenarnya, jika bertolak dari ketentuan Pasal 118 ayat (1), Pasal

120 dan Pasal 121 HIR, tidak terdapat penegasan merumuskan gugatan secara

17

Exceptie atau eksepsi secara umum berarti pengecualian atau tangkisan, bantahan

dandapat juga bermakan pembelaan yang diajukan tergugat terhadap materi pokok gugatan

penggugat. Namun tangkisan atau bantahan yang diajukan dalam bentuk eksepsi : 1) ditujukan

kepada hal-hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan yaitu jika gugatan yang

diajukan mengandung cacat atau pelanggaran formil yang mengakibatkan gugatan tidak sah yang

karenanya gugatan tidak dapat diterima (inadmissible), 2) dengan demikian, keberatan yang

diajukan dalam bentuk eksepsi, tidak ditujukan dan tidak menyinggung bantahan terhadap pokok

perkara. Bantahan atau tangkisan terhadap materi pokok perkara diajukan sebagai bagian tersendiri

mengikuti eksepsi. Jenis eksepsi dibagi menjadi tiga yaitu : 1) Eksepsi Prosesual, 2) Eksepsi

Prosesual di Luar Eksepsi Kompetensi, 3) Eksepsi Hukum Materil. Lihat M. Yahya Harahap,

Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan

Pengadilan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2014), hlm. 432. 18

Eksepsi prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya

gugatan. Pernyataan tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis atau berdasarkan alasan-

alasan di luar pokok perkara. Lihat Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,

(Yogyakarta : Liberty Cet I, 2006), hlm. 122. 19

M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ibid, hlm. 439.

81

jelas dan terang. Akan tetapi, praktik peradilan memedomani Pasal 8 Rv sebagai

rujukan berdasarkan asas process doelmatigheid (demi kepentingan beracara).

Menurut Pasal 8 Rv, pokok-pokok gugatan harus disertai kesimpulan yang jelas

dan tertentu (een duidelijk en bepaalde concluise). Berdasarkan ketentuan ini,

praktik peradilan mengembangkan penerapan eksepsi gugatan kabur (obscuur

libel) atau eksepsi gugatan tidak jelas. Memang bagi hakim tidak mudah untuk

menilai apakah gugatan kabur atau tidak.

Dalam praktiknya, eksepsi gugatan kabur (obscuur libel) mempunyai beberapa

bentuk yang dimana masing-masing bentuk didasarkan pada faktor-faktor tertentu

antara lain:

a. Tidak Jelasnya dasar hukum dalil gugatan

Artinya Posita atau fundamentum petendi, tidak menjelaskan dasar hukum

(rechtsgrond) dan kejadian atau peristiwa yang mendasari gugatan. Bisa

juga dasar hukum jelas, tetapi tidak dijelaskan dasar faktanya (etelijke

grond). Sebagai contoh dalam Putusan MA No. 250 K/Pdt/1984.20

Dalam

kasus tersebut, gugatan dinyatakan kabur dan tidak jelas karena tidak

dijelaskan sejak kapan dan atas dasar apa penggugat memperoleh hak atas

tanah sengketa dari kakeknya (Apakah berdasarkan hibah, warisan, atau

sebagainya). Selain itu, penggugat tidak menjelaskan, siapa orang tuanya

serta tidak menjelaskan apakah tanah sengketa tersebut diperoleh langsung

dari kakeknya atau melalui orang tuanya sebagai warisan. Gugatan yang

tidak menyebutkan dengan jelas berapa dan siapa saja yang berhak atas

objek warisan, dapat dikategorikan sebagai gugatan kabur (obscuur libel),

karena dianggap tidak memenuhi dasar suatu gugatan.

b. Tidak jelasnya objek sengketa

Kekaburan atau tidak jelasnya objek sengketa sering terjadi mengenai

perkara tanah. Terdapat beberapa aspek yang menimbulkan kaburnya objek

gugatan mengenai tanah yaitu seperti batas-batasnya tidak jelas, letaknya

tidak pasti dan ukuran yang disebut dalam gugatan berbeda dengan hasil

pemeriksaan setempat.

20

Tanggal 16-1-1986, jo.PT Medan No. 107/1981, 5-5-1982, jo. PN Tarutung

No.57/1979, 11-9-1979. Lihat M.yahya Harahap, Ibid, hlm. 448.

82

c. Petitum gugat tidak jelas21

Terdapat beberapa bentuk petitum yang tidak jelas, antara lain:

1) Petitum tidak rinci

Petitum gugatan hanya berbentuk kompositur atau ex aequo et bono.

Padahal berdaarkan teori dan praktik, pada prinsipnya petitum primair

harus rinci dan apabila petitum primair ada secara terinci, baru boleh

dibarengi dengan petitum subsidair secara rinci atau berbentuk

kompositur (ex aequo et bono).22

Pelanggaran terhadap hal tersebut

dapat mengakibatkan gugatan tidak jelas dan memberi kesempatan bagi

tergugat mengajukan eksepsi obscuur libel. Sebagai contohnya Putusan

MA No. 582 K/Sip/1973,23

Petitum gugatan meminta :

Menetapkan hak penggugat atas tanah sengketa dan

Menghukum tergugat supaya berhenti melakukan tindakan apa

pun atas tanah tersebut.

Namun, hak apa yang dituntut penggugat tidak jelas, apakah penggugat

ingi ditetapkan sebagai pemilik, pemegang jaminan atau penyewa.

Begitu juga petitum berikutnya, tindakan apa yang harus dihentikan

tergugat. Berdasarkan petitum gugatan tidak jelas, gugatan dinyatakan

tidak dapat diterima.

2) Kontradiksi antara posita dengan petitum

Telah dijelaskan bahwa posita dan petitum gugatan harus saling

mendukung tidak boleh saling bertentangan. Apabila hal itu tidak

dipenuhi, gugatan menjadi kabur. Sehubungan dengan itu, hal-hal yang

dapat dituntut dalam petitum harus mengenai penyelesaian perkara

21

Terdapat berbagai petitum yang tidak memenuhi syarat yang menyebabkan cacat formil

gugatan yaitu : 1) Tidak menyebut secara tegas apa yang diminta atau petitum bersifat umum, 2)

Petitum Ganti Rugi tetapi tidak dirinci dalam gugatan, 3) petitum yang bersifat negatif, 4) petitum

tidak sejalan dengan dalil gugatan. Lihat M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ibid, hlm. 64-

66 22

Bentuk Petitum dapat terbagi menjadi tiga yaitu 1) Tuntutan Pokok atau Primer, 2)

Tuntutan Tambahan, 3) Tuntutan Subsider atau pengganti. Petitum yang hanya mencantumkan ex-

aequo et bono atau mohon keadilan akan menimbulkan tidak terpenuhinya syarat formil dan

materil petitum juga gugatan dianggap mengandung cacat formil sehingga dinyatakan gugatan

tidak dapat diterima. Lihat Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan

Peradilan Agama, Ibid, hlm. 24-26. 23

Tanggal 18-12-1975, Ibid., hlm. 451.

83

sengketa yang didalilkan. Jadi harus adanya sinkronisasi dan

konsistensi antara posita dan petitum yaitu yang dijelaskan dalam posita

yang itu juga yang diminta dalam petitum. Sesuatu yang tidak

dikemukakan dalam dalil gugatan, tidak dapat diminta dalam petitum.

Apalagi kalau secara prinsipil dan subtansial keseluruhan petitum tidak

sejalan dengan posita gugatan tidak dapat diterima. Contoh terjadi

dalam putusan MA No. 28 K/Sip/1973, penggugat mendalilkan bahwa

tanah sengketa berasal dari pembelian bersama penggugat dan tergugat.

Ternyata tergugat telah menjualnya tanpa persetujuan penggugat. Atas

dasar itu, penggugat menyatakan penjualan tersebut tidak sah. Akan

tetapi dalam petitum, penggugat meminta kepada pengadilan agar

tergugat dihukum membagi hasil penjualan. Petitum ini dianggap MA

bertentangan dengan posita yang menyatakan penjualan tidak sah tetapi

petitum menuntut pembagian hasil penjualan.

d. Masalah posita wanprestasi dan perbuatan melawan hukum yang tidak

dapat disatukan.

Dalam hukum acara perdata dikenal dua teori tentang cara menyusun sebuah

gugatan pengadilan yaitu :

1. Teori substantiering

Teori ini menyatakan bahwa gugatan selain harus menyebutkan peristiwa

hukum yang menjadi dasar gugatan, juga harus menyebut kejadian-

kejadian nyata yang mendahului peristiwa hukum dan menjadi sebab

timbulnya peristiwa huum tersebut. bagi penggugat yang menuntut suatu

benda miliknya, didalam gugatan itu ia tidak cukup hanya menyebut bahwa

ia pemilik benda itu, tetapi juga harus menyebutkan sejarah

kepemilikannya, misalnya karena membeli, mewarisi, hadiah dan

sebagainya.

2. Teori Individualiserings

Teori ini menyatakan bahwa dalam gugatan cukup disebut peristiwa-

peristiwa atau kejadian-kejadian yang menunjukkan adanya hubungan

hukum yang menjadi dasar gugatan, tanpa harus menyebutkan kejadian-

84

kejadian nyata yang mendahului dan menjadi sebab timbulnya kejadian-

kejadian tersebut. sejarah terjadinya atau sejarah adanya pemilikan hak

milik atas benda itu tidak perlu dimasukkan dalam gugatan, karena hal itu

dapat dikemukakan dalam persidangan dengan disertai bukti-bukti

seperlunya.

Kalau kita cermati dalam dalil gugatan penggugat (Posita), bahwa penggugat

sebagai ahli waris nasabah melakukan gugatan terkait dengan perjanjian

pembiayaan musyarakah yangmana pembiayaan tersebut seharusnya dicover oleh

asuransi/pihak asuransi yang telah dibayarkan nasabah diawal perjanjian.

Sedangkan petitum atau tuntutannya dalam gugatan penggugat memohon kepada

hakim :

untuk meletakkan sita revidicator (sita milik) terhadap jaminan yang

diserahkan oleh nasabah

agar membatalkan atau menunda pelaksanaan permohonan lelang

eksekusi terhadap jaminan pembiayaan

Pembebasan beban hutang pembiayaan perjanjian musyarakah

Salah satu bentuk agar gugatan tidak dikategorikan obscuur libel yaitu petitum

atau tuntutan dalam gugatan harus jelas, terang dan cermat. Harus jelas disini

maknanya petitum atau gugatan dicantumkan secara rinci. Berdasarkan petitum

atau tuntutan penggugat diatas, penggugat tidak mencantumkan secara jelas siapa

yang dituntut untuk membebaskan atau membayar hutang nasabah dalam

perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut, Apakah pihak perbankan (tergugat I

dan II) ataukah Pihak Asuransi (Tergugat III). Dari sini petitum atau tuntutan

penggugat dalam gugatannya masih belum dirumuskan secara jelas, cermat dan

terperinci menjadikan gugatan penggugat menjadi kabur atau obscuur libel. Maka

gugatan penggugat yang mengandung obscuur libel atau tidak jelas dikategorikan

gugatan tersebut cacat formil sehingga gugatan penggugat tidak dapat diterima

oleh majlis hakim. Dalam hal gugatan belum memenuhi syarat formil atau

terdapat cacat formil, majlis hakim berhak untuk memutuskan dalam putusannya

untuk tidak dapat menerima gugatan penggugat atau NO (Niet Ontvankelijeke

verklaard).

Selanjutnya, eksepsi yang kedua yang menjadi pertimbangan hukum hakim

85

dalam gugatan penggugat tersebut adalah eksepsi error in persona atau salah

pihak. Terdapat beberapa Bentuk atau jenis dari eksepsi error in persona yang

meliputi antara lain:24

a) Eksepsi diskualifikasi

Yaitu yang bertindak sebagai penggugat bukan orang yang berhak dan

tidak memiliki kapasitas mengajukan gugatan misalnya anak di bawah

umur atau orang yang dibawah perwalia juga perseroan yang belum

disahkan sebagai badan hukum bertindak atas nama perseroan.

b) Keliru pihak yang ditarik sebagai tergugat

Misalnya terjadi perjanjian jual beli antara A dan B. Lantasa A menarik C

sebagai tergugat agar C memenuhi perjanjian. Dalam kasus ini tindakan

menarik C sebagai pihak tergugat adalah keliru karena C tidak mempunyai

hubungan hukum dengan A tentang kasus yang diperkarakan. Tindakan A

bertentangan dengan prinsip partai kontrak yang digariskan dalam Pasal

1340 KHUPerdata “persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya, persetujuan tidak dapat merugikan pihak ketiga, juga tidak

dapat memberi keuntungan kepada pihak ketiga.” Salah satu contohnya

Putusan MA No. 601 K/Sip/1975,25

tentang seorang pengurus yayasan

yang digugat secara pribadi untuk mempertanggung jawabkan sengketa

yang berkaitan dengan yayasan. Dalam kasusu ini, orang yang ditarik

sebagai tergugat tidak tepat karena yang semestinya ditarik sebagai

tergugat adalah yayasan.

c) Exceptio plurium litis conscortium

Eksepsi ini maksudnya yaitu apabila orang yang ditarik sebagai tergugat

tidak lengkap atau orang yang bertindak sebagai penggugat tidak lengkap.

Masih ada orang yang harus ikut dijadikan sebagai penggugat atau

tergugat, baru sengketa yang dipersoalkan dapat diselesaikan secara tuntas

dan menyeluruh.

Asas error in persona dilandaskan dari hubungan hukum para pihak Penggugat

dan tergugat dalam sebuha perkara. Dalam hal ini, dalam perkara perjanjian

musyarakah dilandaskan berdasarkan Pasal 1340 KUHPerdata yang dinyatakan

24

M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Ibid, hlm.438. 25

Putusan MA Tanggal 13-1-1975. M.Yahya Harahap, Ibid, hlm. 439.

86

bahwa “Persetujuan hanya mengikat atau berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya”. Kalau kita melihat dalam gugatan penggugat yang ditarik sebagai

tergugat I adalah Aminudin Sinaga selaku Pribadi sekaligus Pimpinan Cabang PT.

Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan, Tergugat II: Direktur Utama PT.

Bank Sumut, Tergugat III : Pimpinan PT. Asuransi Bangun Askrida Syariah.

Dalam teori sebuah gugatan, para pihak yang ditarik dalam gugatan ke pengadilan

seharusnya merupakan pihak-pihak yang ada sangkut pautnya atau mempunyai

hubungan hukum dengan perkara tersebut. Bila Penggugat, Tergugat, turut

tergugat sebagai badan hukum publik/privat maka harus secara tegas disebutkan

dalam surat gugat tersebut dan siapa yang berhak mewakilinya menurut anggaran

dasar atau peraturan yang berlaku. Contohnya apabila gugatan terhadap badan

hukum publik dapat dialamatkan kepada pimpinannya sebagai wakil dari badan

hukum publik/privat tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun

2007 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang

Perseroan Terbatas dalam Pasal 98 ayat (1) dikatakan bahwa “Direksi mewakili

perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan”. Kalau dilihat dalam

perjanjian musyarakah ini yang seharusnya menjadi tergugat merupakan PT. Bank

Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan (badan hukum) karena nasabah

melakukan perjanjian (mempunyai hubungan hukum) bukan dilakukan kepada

antara sesama persona akan tetapi persona (nasabah) dan badan hukum (badan

hukum).

Sudah dijelaskan diatas, bahwa dalam hal dunia perseroan atau badan hukum

yang bertindak di dalam maupun diluar pengadilan adalah direksi atau pimpinan

yang mewakili perseroan tersebut. Akan tetapi kalau kita melihat dari teori atau

doktrin Piercing The Corporate Veil, dimana apabila pemegang saham, Dewan

Komisaris, atau Direksi yang secara sengaja melakukan kesalahan atau kelalaian

yang ditimbulkan oleh pribadinya sehingga menyebabkan timbulnya kerugian

dalam perseroan maka dapat dimintakan pertanggungjawaban secara perdata atau

pribadi atas kerugian yang dialami oleh perseroan. Asas Piercing The Corporate

Veil menunjukkan bahwa suatu perseroan memiliki wewenang

pertanggungjawaban tak terbatas yang seringkali tidak dapat dipisahkan atau

dilepaskan dari kehendak pihak-pihak yang menjadi pemegang saham atau

87

Direksi dari perseroan tersebut. Konteks demikian menunjukkan jika konsep

Piercing The Corporate Veil menyatakan bahwa jika dalam “keadaan terpisah”

perseroan dengan pemegang saham tidak ada, maka sudah selayaknyalah jika sifat

pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham juga dihapuskan26

, dengan

diterapkannya asas Piercing The Corporate Veil dalam suatu perseroan terbatas

maka pertanggungjawaban terbatas dari para pemegang saham hapus demi hukum

dan pemegang saham turut bertanggung jawab secara pribadi terhadap kesalahan

dan kerugian yang ditimbulkan dalam perseroan yang disebabkan oleh kelalaian

para pemegang saham.

Asas Piercing The Corporate Veil diterapkan dalam perseroan mengingat

banyaknya itikad buruk para pemegang saham ataupun Direksi dalam

menjalankan perseroan dimana terjadi penyimpangan dalam menjalankan

perseroan yang menyebabkan timbulnya kerugian bagi perseroan sehingga

perseroan tidak sanggup lagi untuk memenuhi seluruh kewajibannya. Dengan

demikian direksi atau dewan komisaris sebagai pengurus perseroan dapat

dimintakan pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian yang dialami oleh

perseroan.27

Dalam arti lain, dimana tanggung jawab pengurus perseroan yang

tadinya bersifat terbatas menjadi tanggung jawab yang tidak terbatas dimana

dalam hal tertentu tidak tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab

terbatas Direksi, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada pihak yang beritikad

baik maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan perseroan

terbatas, dalam hal seperti ini pengadilan akan mengesampingkan status badan

hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada

organ perseroan terbatas tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab

terbatas.28

Setiap pelanggaran atau penyimpangan tugas dan kewajiban yang

dibebankan kepada direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta

pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.

26

Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris, dan Pemilik PT,

(Jakarta: Forum Sahabat, 2008), hlm. 25. 27

Ibid, hlm. 27. 28

Penerapan teori Piercing The Corporate Veil merubah tanggungjawab pemegang

saham dalam perseroan yang sifat terbatas menjadi tanggung jawabtidak terbatas, sehingga

beban tanggung jawab dipindahkan dari perseroan kepada pihak lainnya. Lihat Roni Ansari N.S,

Piercing The Corporate Veil dan penerapannya, http://en.wikipedia.com, diakses pada hari

minggu, tanggal 13 juni 2011, pukul 12.00 WIB.

88

Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan yang dilakukan Direksi

adalah Direksi tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan

keahlian yang dimilikinya. Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut

diantaranya :

1. Baik sengaja atau tidak melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan

2. Baik sengaja atau tidak melakukan tugas yang seharusnya dijalankan

3. Baik sengaja atau tidak memberikan pernyataan yang salah

4. Baik sengaja atau tidak memberikan pernyataan yang menyesatkan

5. Baik sengaja atau tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan atau

kekuasaan sebagai direksi

6. Baik sengaja atau tidak tidak memenuhi janji yang telah diberikan

7. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.

Sebagaimana dijelaskan, apabila direksi terbukti melakukan pelanggran

dalam perseroan maka kerugian yang di timbulkan perusahaan akan menjadi

tanggung jawab direksi seandainya semua kesalahan atau kelalaian tersebut

dibuktikan.29

Berdasarkan penjelasan diatas, kalau kita cermati dalam perkara perjanjian

pembiayaan musyarakah ini pimpinan Bank Sumut Syariah Cabang

Padangsidimpuan telah melakukan kelalaian operasional dengan memberikan

pembiayaan dengan syarat dilengkapi kemudian atau taqabbul bil hukmi.

Dengan begitu, pimpinan sekaligus pribadi atas nama Aminuddin Sinaga

berhak diikutkan sebagai tergugat dalam perkara perjanjian pembiayaan

musyarakah ini berdasarkan Asas Piercing The Corporate Veil.

Dalam pertimbangan hukum hakim atau alasan hakim yang ketiga terkait

putusan gugatan tidak dapat diterima yaitu mengenai penilaian hasil

pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak

dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam tingkat kasasi karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan

atau ada kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran hukum yang berlaku.

29

Piercing The Corporate Veil, http://en.wikipedia.com, diakses 11 januari 2018 Pukul

12.00 WIB.

89

Kalau kita melihat bahwa Mahkamah Agung merupakan sebagai lembaga

tinggi negara menjadi salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang

mempunyai berbagai fungsi yaitu fungsi yudisial dan non yudisial. Fungsi non

yudisial yang terdiri dari fungsi pengawasan, fungsi pembinaan, fungsi

administrasi, fungsi penasihat dan fungsi pengaturan.30

Dalam bidang yudisial

Mahkamah Agung merupakan puncak peradilan yang memiliki kewenangan

pertama, memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa tentang

kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan

pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Kedua, menguji peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang.

Ketiga, memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan

Grasi dan Rehabilitasi. Dalam menjalankan fungsinya di bidang yudisial

khususnya dalam mengadili pada peradilan tingkat kasasi, Mahkamah Agung

memiliki wewenang dalam membatalkan putusan atau penetapan pengadilan

dari semua lingkungan peradilan dengan dasar tidak berwenang atau

melampaui batas wewenang, salah menerapkan atau melanggar hukum yang

berlaku dan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan

perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan

yang bersangkutan.31

Jadi dalam hal pertimbangan hasil pembuktian yang

bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan tidak dilakukan oleh Peradilan

tingkat Kasasi (Judex Juris)32

dalam hal ini Mahkamah Agung, melainkan

wewenang atau tugas ini menjadi wewenang dan tugas dari peradilan

dibawahnya yaitu peradilan tingkat Pertama dan peradilan tingkat Banding

(Judex Facti).33

30

Abdullah, MA Judex juris ataukah Judex Factie, Pengkajian Asas, Teori, Norma dan

Praktik, (Jakarta : Publishing Hukum dan Peradilan MA RI, 2010), hlm. 64. 31

Lihat Pasal 31A Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang

perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

(Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4958). Lihat Juga Pasal 20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman. 32

Pemeriksaan Majlis Hakim di tingat selanjutnya dalam hal memeriksa hukum dari

suatu perkara dan menerapkan hukum tersebut terhadap fakta-fakta perkara. Dalam arti lain bahwa

judex juris merupakan putusan yang hanya berfokus dalam memeriksa penerapan hukumnya saja. 33

Pemeriksaan atau Putusan Majlis Hakim di tingkat pertama yang wajib memeriksa

bukti-bukti dari suatu kejadian perkara dan menerapkan aturan serta ketentuan hukum lainnya

terhadap fakta-fakta dari perkara tersebut.

90

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Mahkamah Agung dalam

memeriksa dan memutus perkara kasasi hanya meliputi bagian hukumnya saja,

tidak mengenai peristiwa atau fakta dalam perkara yang dimohonkan, sebab hal

ini sudah diperiksa oleh hakim di peradilan dibawahnya.

Pada mulanya Undang-Undang tidak mengatur secara resmi tentang upaya

hukum kasasi di lingkungan Peradilan Agama, tetapi karena pertimbangan dari

para pencari keadilan agar diperiksa juga demi keadilan dan kebenaran hukum

bagi semua pihak. Kasasi dilingkunagn Peradilan Agama diatur dalam Pasal 55

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1989 tentang perubahan pertama Undang-Undang Nomor 3 Tahun

2006 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor Nomor 3 Tahun 2009.

Melihat berdasarkan dari putusan hakim di tingkat kasasi ini, hakim telah

tepat menetapkan putusannya dengan tidak menerima permohonan kasasi

penggugat dikarenakan dalam gugatan penggugat masih belum memenuhi

syarat formil atau hukum acara perdata yang ada. Dalam putusannya juga

secara tidak langsung menguatkan pernyataan putusan sebelumnya dalam

tingkat Banding yaitu Pengadilan Tinggi Agama yang menyatakan bahwa

gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima atau NO (niet

ontvankelijike verklaard). Dalam hal cacat formil di suatu gugatan tidak

dituntut untuk terdapat didalamnya beberapa ketentuan seperti error in persona

,disqulifaciton in persona atau petitum dan posita bermasalah dalam satu

gugatan. Tetapi gugatan tetap tidak dapat diterima apabila terdapat satu

kesalahan yang membuat gugatan penggugat tidak dapat diterima NO (niet

ontvankelijike verklaard).

Selain itu, Putusan NO (niet ontvankelijike verklaard) merupakan putusan

yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima karena alasan gugatan

belum memenuhi syarat formil atau terdapat cacat formil dalam gugatan

penggugat, yang artinya gugatan penggugat tersebut tidak dapat ditindaklanjuti

oleh hakim untuk dapat diperiksa dan diadili sehingga tidak ada objek gugatan

dalam putusan untuk di eksekusi. Berbeda halnya apabila putusan tersebut

menyatakan bahwa seluruh gugatan dikabulkan atau dikabulkan sebagian maka

91

putusan ini sudah inkracht yang artinya putusan harus dijalankan oleh panitera

atas perintah hakim dan pihak yang menang berhak memaksa pihak lawan

untuk mematuhi putusan hakim tersebut sesuai penjelasan Pasal 195 HIR.34

C. Upaya Hukum yang dapat dilakukan terhadap Putusan Kasasi yang

dinyatakan tidak dapat diterima atau NO (Niet Onvankelijk Verklaart)

Niet Onvankelijk Verklaart(N.O.)berarti tidak dapat diterimanya gugatannya

yaitu putusan pengadilan yang diajukan oleh penggugat tidak dapat diterima,

karena ada alasan yang dibenarkan oleh hukum. ada pun alasan tidak diterimanya

gugatan Penggugat ada beberapa kemungkinan sebagai berikut :

Gugatan tidak berdasarkan hukum

Gugatan tidak mempunyai kepentingan hukum secara langsung yang

melekat pada diri penggugat

Gugatan kabur (Obscuur libel)

Gugatan masih prematur

Gugatan Nebis in idem

Gugatan error in persona

Gugatan telah lampau waktu (daluwarsa)

Pengadilan tidak berwenang mengadili

Terhadap Putusan Kasasi majlis hakim yang amar putusannya menyatakan

gugatan penggugat tidak dapat diterima, maka penggugat dapat melakukan dua

upaya hukum dengan cara mengajukan PK (peninjauan kembali) atau mengajukan

gugatan gugatan yang baru.

1) Mengajukuan gugatan baru

Bahwa putusan yang diputus dengan amar menyatakan gugatan tidak dapat

diterima, tidak melekat asas ne bis in idem seperti dalam ketentuan Pasal 1917

KUHPerdata, meskipun putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Pada

34

Pasal 195 HIR :”Keputusan hakim dalam perkara yang pada tingkat pertama diperiksa

oleh pengadilan negeri, dilaksanakan atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan negeri

yang memeriksa perkara itu, menurut cara yang diatur dalam pasal-pasal berikut”. (Rv.350, 360;

IR. 194.

92

dasarnya putusan (NO) adalah putusan yang bersifat negatif dan belum

memiliki konsekuensi terhadap perubahan status dari obyek sengketa maupun

para pihak yang bersengketa, maka dari itu dapat diajukan gugatan kembali

gugatan yang baru dengan cara memperbaiki cacat formil pada gugatan yang

sebelumnya tanpa batasan waktu atau dapat diajukan kapan saja setelah

gugatan diperbaiki.

2) Peninjauan Kembali (PK)

Mengajukan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung berdasarkan

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal

24 ayat (1) bahwa “terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan

peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau

keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang.”

Peninjauan Kembali (PK) atau membuat gugatan yang baru masing-masing

memiliki kelebihan dan kekurangan. Apabila diajukan gugatan baru, maka

penggugat lebih berkesempatan menyempurnakan materi gugatan dengan

memperhatikan pada pertimbangan majelis hakim pada gugatan yang terdahulu

serta dapat menimalisir adanya kecacatan formil pada surat gugatan yang baru,

serta mengajukan gugatan yang baru penggugat juga dapat langsung

berkomunikasi dengan pihak yang berkepentingan dan lebih memungkinkan

untuk terwujudnya mediasi dalam penyelesaian perkara tersebut atau bahkan

dapat memenangkan perkara tersebut. akan tetapi dalam mengajukan gugatan

yang baru akan lebih banyak biaya dan tentunya lebih menyita banyak waktu

dari Penggugat maupun tergugat.

93

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap permasalahan di

dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa Akibat Hukum adanya klausul Pengalihan tanggung

jawab resiko dalam bentuk Surat Pernyataan di perjanjian pembiayaan

musyarakah di Putusan Mahkamah Agung Nomor 715 K/Ag/2014

berdasarkan Hukum Perjanjian Islam dan Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah Batal demi hukum yaitu surat

pernyataan tersebut tidak pernah dianggap ada dan tidak pernah terjadi

karena Surat Pernyataan tersebut bertentangan dengan asas-asas yang

ada dalam sebuah perjanjian. Dalam pandangan Hukum Perjanjian

Islam surat pernyataan untuk pengalihan tanggung jawab resiko

tersebut bertentangan dengan asas-asas dalam perjanjian Islam yaitu

asas keadilan, kemaslahatan, kesetaraan, ridha (kerelaan). Selain itu,

klausul Surat Pernyataan pengalihan tanggung jawab resiko

bertentangan dengan prinsip syariah yang mensyaratkan bahwa suatu

perjanjian tidak boleh mengandung unsur zalim karena dapat

menimbulkan ketidakadilan bagi para pihak. Klausul Surat Pernyataan

pengalihan tanggung jawab resiko tidak sesuai dengan ketentuan Al

Qur‟an Surah Al-Maidah ayat (1), As-Syuara ayat (183) dan Al-

Baqarah ayat (188) yang melarang mengalihkan tanggung jawab kepada

orang lain atau berbuat zalim kepada pihak lainnya. Serta Hadits Nabi

Saw dalam Riwayat Tirmidzi dari „Amar bin „Auf “kaum Muslimin

terikat dengan syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang

halal dan menghalalkan yang haram” dan Hadist Nabi tentang menjauhi

sifat zalim kepada pihak lain yang di riwayatkan oleh muslim dari

Jaabir Ra “Jauhilah kezaliman karena kezaliman menjadikan kegelapan

di hari kiamat” juga hadist Nabi dari abi Saiid Saad bin sinaan al-

Khudriy r.a yang menyatakan “Tidak memudharatkan dan tidak

94

dimudharatkan”. Suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan

kemudharatan dan tidak saling memudharatkan.

Selain itu, klausul penglihan tanggung jawab resiko dalam bentuk

Surat Pernyataan pada perjanjian pembiayaan musyarakah tersebut

berdasarkan Hukum Perjanjian Islam bertentangan dengan Pasal 21

KHES yang mengatur mengenai asas-asas dalam akad, yaitu asas

transparansi (Pasal 21 huruf g), asas keseimbangan (taswiyah) (Pasal 21

huruf f ), asas itikad baik (Pasal 21 huruf j ) dan asas suatu sebab yang

halal (Pasal 21 huruf k ). Klausul tersebut juga bertentangan dengan

prinsip syariah yaitu suatu perbuatan zalim yang menimbulkan

ketidakadilan bagi konsumen. Bertentangan dengan tujuan akad yang

merupakan salah satu dari rukun akad, sehingga Surat Pernyataan

tersebut tidak memenuhi syarat sahnya Hukum Perjanjian Islam maka

Surat Pernyataan tersebut merupakan akad batil atau akad yang batal

demi hukum. Juga berdasarkan ketentuan KUHPerdata tentang klausul

penglihan tanggung jawab resiko dalam Surat Pernyataan pada

perjanjian pembiayaan musyarakah bertentangan dengan Pasal 1338

ayat (3) suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Pasal

1339 bahwa perjanjian tidak hanya mengikat hal-hal yang secara tegas

dinyatakan dalam perjanjian tetapi juga diharuskan sesuai dengan asas

kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Klausul tersebut juga

bertentangan dengan syarat sah perjanjian “suatu sebab yang halal.

2. Berdasarkan analisis pertimbangan hukum dan putusan

hakim dalam putusannya Atas tidak dapat diterimanya (NO) gugatan

atau permohonan Kasasi penggugat dalam perkara perjanjian

pembiayaan musyarakah di Putusan Mahkamah Agung No 715

K/Ag/2014 bahwa hakim dalam tingkat kasasi sudah tepat dalam

memutuskan gugatan penggugat karena gugatan masih mengandung

cacat formil sehingga hakim tidak berhak untuk masuk ke dalam

perkara materil gugatan. Cacat formil gugatan penggugat yaitu obscuur

libel karena penggugat dalam petitum gugatannya tidak mencantumkan

secara jelas dan rinci siapa yang dituntut untuk membebaskan atau

95

membayar hutang nasabah dalam perjanjian pembiayaan musyarakah

tersebut, Apakah pihak perbankan (tergugat I dan II) ataukah Pihak

Asuransi (Tergugat III). Dari sini petitum atau tuntutan penggugat

dalam gugatannya masih belum dirumuskan secara jelas, cermat dan

terperinci menjadikan gugatan penggugat menjadi kabur atau obscuur

libel.

Akan tetapi berdasarkan eksepsi yang kedua yang menyatakan

gugatan penggugat mengandung error in persona atau salah pihak

karena yang ditarik sebagai tergugat adalah Aminudin Sinaga selaku

pribadi dimana Aminudin Sinaga merupakan perorangan bukan sebagai

suatu badan hukum atau perwakilan badan hukum secara anggaran

dasar yang berlaku belum tepat karena bila dilihat dari Asas Piercing

The Corporate Veil pimpinan selaku pribadi dapat diajukan atau

dimintakan pertanggungjawaban sebagai perorangan karena terbukti

pimpinan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan

tugasnya dan merugikan perseroan dan berhak untu dimasukkan

kedalam pihak tergugat.

Selain itu, bahwa alasan-alasan pemohoon kasasi atau penggugat

hanya mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan

tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam

pemeriksaan dalam tingkat kasasi di Mahkamah Agung karena

pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak

dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau pelanggaran

hukum yang berlaku.

Maka dalam hal ini, hakim sudah tepat dan berusaha dalam

memutuskan dengan seadil-adilnya. Dalam sebuah riwayat, dikatakan

“Apabila seorang hakim berijtihad kemudian ia benar, maka ia

memperoleh dua pahala. Dan apabila ia berijtihad namun salah maka ia

memperoleh satu pahala.”

96

B. Saran-Saran

1. Untuk Nasabah atau Penggugat

a. Dalam mengajukan sebuah gugatan pengadilan sebaiknya

penggugat harus lebih mencermati dari segi aspek hukum

acara formiil (hukum acara perdatanya) dan hukum materiil

sehingga gugatan penggugat dapat diterima dan diputuskan

oleh hakim dalam sebuah pengadilan.

b. Nasabah harus lebih cermat dan berhati-hati juga harus

mempertimbangkan segala aspek dalam melakukan sebuah

transaksi atau menggunakan produk perbankan syariah agar

kedepannya nasabah tidak mengalami kesulitan serta tidak

merasa dirugikan oleh pihak perbankan syariah.

2. Untuk Perbankan Syariah

a. Perbankan syariah sudah seharusnya menerapkan kegiatan

usahanya dengan prinsip-prinsip syariah yang ada yaitu

dengan memberikan kemaslahatan didalam setiap perjanjian

yang dilakukannya. Juga perbankan syariah harus tetap

menjaga prinsip kehati-hatian dalam setiap kegiatan usahanya

atau dalam melakukan sebuah transaksi produk di perbankan

syariah, agar tidak mengalami kerugian maupun

kemudharatan bagi perbankan maupun bagi salah satu pihak

yang melakukan perjanjian tersebut.

b. Agar Dewan Pengawas Syariah (DPS) berkomitmen untuk

melakukan pengawasan terhadap akad-akad pembiayaan pada

Bank Syariah, sehingga akad yang digunakan tidak

bertentangan dengan prinsip syariah. Juga untuk Otoritas Jasa

Keuangan (OJK) harus tetap melakukan pengawasan

terhadap kegiatan usaha perbankan syariah atau dalam hal ini

pengawasan dalam sebuah kontrak perjanjian yang dibuat

oleh perbankan sehingga perjanjian tersebut dapat

memberikan keadilan, kemaslahatan bagi kedua belah pihak.

97

3. Untuk Majelis Hakim .

a. Para hakim dapat lebih menekankan untuk dapat melakukan

mediasi atau melakukan musyawarah terlebih dahulu dalam

menyelesaikan perkara dibidang ekonomi syariah karena

lebih maslahat bagi kedua belah pihak.

b. Para Hakim dapat lebih profesional atau dapat lebih cermat

dalam permasalahan yang ada khususnya dalam hal syarat

formil suatu gugatan sehingga tidak terjadi lagi perbedaan

dalam hal permasalahan syarat formil.

4. Saran untuk Pengembangan Penelitian Lanjutan

Penelitian ini perlu dikembangkan, mengingat banyaknya

permasalahan baru yang akan muncul dan mungkin belum

terungkap yang berkaitan dengan ekonomi dan keuangan Syariah

di Indonesia, mungkin dijabarkan dalam beberapa hal :

a. Dalam hal akad musyarakah perlu dibahas mengenai

bagaimana hukum menentukan pengambilan keuntungan

dalam sebuah akad musyarakah berdasarkan modal syarik

bukan berdasarkan keuntungan yang diperoleh dalam suatu

usaha musyarakah. Juga hilah dalam membolehkan cara

tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan yang ada.

b. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia dapat

dilakukan melalui arbitrase syariah ataupun Pengadilan

dalam hal ini Pengadilan Agama. Dalam hal ini, dapat

dibandingkan perbankan syariah dewasa ini, menyelesaikan

sengketa kebanyakan diselesaikan melalui arbitrase syariah

(secara musyawarah) atau melalui Pengadilan Agama.

c. Juga dapat ditelusuri tentang sumber atau penggunaan

sumber hukum baik formil maupun materil yang dipakai oleh

hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan perkara di

bidang ekonomi maupun keuangan syariah di Indonesia.

Dapat juga melakukan perbandingan bagaimana cara

penyelesaian sengketa ekonomi syariah di Indonesia dengan

98

negara-negara yang telah menerapkan dan melakukan

kegiatan usahanya dibidang ekonomi dan keuangan syariah.

99

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) Dalam Hukum

Kontrak Syariah, La Riba Journal Ekonomi Islam Vol. II, No 1, Juli

2008.

Musfiriin bin Ali bin Muhammad Al-Qahthaniy, Manhaj Istinbath Ahkaam

an-Nawazhil al-Fiqhiyyah al-Muashirah, (Jeddah : Dar al-Andalusia

al-Khodrhaa, Cet kedua 2010).

Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum, Upaya Mewujudkan Hukum

Yang Pasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta: UII Press, April 2012).

M. Natsir Asnawi, Hermeneutika Putusan Hakim Pendekatan

Multidisipliner dalam Memahami Putusan Peradilan Perdata,

(Yogyakarta: UII Press, 2014).

Subekti, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cet. 18, 2010).

Sudikno Mertokusumo, Metode Penemuan Hukum, (Yogyakarta :Citra

Aditya Bakti, 1993).

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2008).

Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, (Jakarta :

Raja Grafindo, Cet 3, 2006).

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Citra Aditya

Bakti, 1994).

Muhammad Syaifuddin, Pengayaan Hukum Perikatan, (Bandung : Mandar

Maju, 2012).

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas Dalam

Kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana Prenadamedia Group, 2014).

100

A.G. Guest, Konrad Zwieght & Hein Kotz, dalam Ridwan Khairandy, Itikad

Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI: Pascasarjana, 2003.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Kencana Prenada

Media Group Cetakan keempat, Maret 2008).

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta:

Liberty Cetakan Kelima, April 2007).

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persepektif Hukum

Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 2, 2011).

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan

Sosiologis), (Jakarta: Chandra Pratama 1993).

Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan

Interpretasi Teks, (Yogyakarta:UII Press 2005).

Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya‟qub, al-Qamus al-Muhit,

jilid 1. (Beirut: D Jayl).

Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),

(Yogyakarta: UII Press, 2000).

Fathurahman Djamil, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum

Perikatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).

Abdul Ghafur Anshori, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia,

(Tangerang: Agro Media Pustaka, 2006).

Septarina Budiwati, Asas Kebebasan Berkontrak dalam Persepektif

Pendekatan Filosofis, Prosding Seminar Nasional Pengembangan

Epistemologi Ilmu Hukum.

101

Remy Sjahdaeni, Sutan, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan

Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank,

Jakarta, Institut Bankir Indonesia.

Subekti, 1974, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:Intermasa, 2002).

John Rawls, A Theory of Justice: Teori Keadilan, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar 2006).

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama 2008).

W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1990).

E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003).

Ahmad Azhar Basyir, Negara dan Pemerintahan dalam Islam, (Yogyakarta:

UII Press, 2000).

Muhammad Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar

Maju, 1994).

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang

Didambakan, (Bandung: Alumni, 2004).

Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, (Jeddah:

Dar Ibn Hazm, 2010).

Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut : Dar Ibn Katsir 2001).

Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004).

102

Isa Abduh, Al-’Uqud Al-Syari’ah Al-Muhakamah lil Muaa’malat Al-

Maliyah Al-Muaa’syarah, (Cairo : Darul Al-I’thisam, 1977).

Muhammad Syafie Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum,

(Jakarta : Tazkia Institute dan BI Cet. Pertama, 1999).

Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, (Beirut : Dar Ibn Hazm, 2005).

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar Al-

Fikr Cet 2, 1985).

Abdurrahman An-Najdiy, Shari’a Standards For Islamic Financial

Institutions 1431 H-2010 M, (Bahrain : Accounting and Auditing

Organisation For Islamic Financial Institutions (AAOIFI).

Rachman Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam Di Indonesia,

(Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002).

Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudhamah al-

Maqdhisiy, Al-Mughni, (Riyadh: Daar Alam Kutub, Juz ketujuh, Cet

Ketiga, 1997).

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 2: Bentuk-

Bentuk Perusahaan, (Jakarta : Djambatan 1986).

Maulana Hasanudin dan Jaih Mubarok, Perkembangan Akad Musyarakah,

(Jakarta:Kencana Edisi Pertama, 2012).

Divisi Pengembangan Produk dan Edukasi Departemen Perbankan Syariah

Otoritas Jasa Keuangan, Buku Standar Produk Musyarakah dan

Musyarakah Mutanaqisah, (Jakarta : Februari 2016).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Buku Standar Produk Musyarakah dan

Musyarakah Mutanaqishah, (Jakarta : Februari 2016).

103

Wahbah Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1998).

Anonim, Force Majeure in Trouble Times: The Example of Libya, (Huston :

Jones Day Publication, 2011)

Ranuhandoko, Terminologi Hukum (Inggris-Indonesia), (Jakarta : Sinar

Grafika Cet II, I.P.M 2000).

M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung :Alumni 1989).

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya

Bakti,2006).

Sultan Remi Sjadeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang

seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di

Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993).

Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta :

Sinar Grafika, 1998).

Abdul Kadir Muhammad, Perjanjian Baku dalam Praktek Perusahaan

Perdagangan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992).

Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : Citra

Aditya Bakti, 1992).

J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Alumni

1999, Cet ketiga).

Ibnu Katsir al-Qarshi ad-Dimasqyi, Tafsir al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir,

Juz 3, (Riyadh: Dar Thayybah, 1999).

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih dalam menyelesaikan Masalah-masalah

yang praktis, (Jakarta: Kencana, Cet 2 2007).

Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Persepektif Hukum Ekonomi,

(Bandung: Mandar Maju Cet 1 2013).

104

Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian

Syariah di Indonesia, (Jakarta : Kencana Cet ke 4, Agustus 2007),

hlm. 11.

Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di

Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Sinar Grafika, Cet I 2012).

Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus : Dar al-

Fikr, Cet III Vol 4, 1996).

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika Cet 14,

2014).

Yahya harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU

No. 7 Tahun 1989, (Jakarta : Sinar Grafika, edisi kedua, 2009).

Amir Syarifuddin, Hukum kewarisan Islam, (Jakarta: Pena Grafika edisi 2,

2011).

NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya Cara Halal dan

Legal Membagi Warisan, (Jakarta : Raih Asa Sukses, Cet 1 2015).

Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan,

Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta : Sinar

Grafika Cet 14, April 2014).

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam

kontrak Komersial, (Jakarta : Kencana Cet 2, 2011).

Lawrence M. Friedman, 2001:196 Lihat Salim, Hukum Kontrak Teori dan

Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika Cet 4, 2006).

Salim, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta :

Sinar Grafika Cet 4, 2006).

105

Djuhaendah Hasan, Masalah Hukum Kebebasan Berkontrak dan

Perlidungan yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian

Kredit Bank Di Indonesia, Badan Pembianaan Hukum Nasional

Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI.

Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan yang Lahir dari Undang-

Undang, (Jakarta : Raja Grafindo Persada cet I, 2003).

Agus Yudha, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak

komersial, (Jakarta: Kencana Prenamedia Cet 4, 2014), hlm. 281.

Taryana Soenandar, Prinsip-Prinsip UNIDROIT sebagai sumber Hukum

Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, (Jakarta:

Kencana, 2004)

AZ. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen suatu Pengantar, (Jakarta:

Diadit Media Cet 2, 2002).

Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada

media 2008).

E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas

Hukum dan Pengetahuan Masyarakat, Universitas Negeri Padjajaran,

(Bandung : 1960).

Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syariah dalam Persepektif Hukum Ekonomi,

(Bandung: Mandar Maju Cet I, 2013).

James Penner, Intruduction to Jurisprudence and Legal Theory

(Commentary and Materials), (London : Butterworths, , 2002).

Burhanuddn Salam, Etika Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).

E. Sumaryono, Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas

Aquinas, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).

K.Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius 2000).

106

C. Asser, Pengajian Hukum Perdata Belanda, (Jakarta: Dian Rakyat, 1991).

Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III :Hukum perikatan

dengan penjelasan, (Bandung: Alumni Cet 1, 1996).

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, (Jakarta:

Raja Grafindo Cet 2, 2004).

Joni Emizon, Dasar-Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Palembang:

Penerbit Universitas Sriwijaya, 1998).

Rosa Agustina, Hukum Perikatan (Law of Obligations) Hal Perbuatan

Melawan Hukum, (Denpasar : Pustaka Larasan Edisi Pertama, 2012).

Endang Prasetyawati, Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Dalam

Pembiayaan Konsumen, (DIH, JurnaI lmu Hukum, Vol. 8, No. 16,

Agustus 2012).

Hasim Purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, (Medan : Cahaya

Ilmu, 2006), hlm. 120.

CST. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 1992), hlm.

51.

Chainur Arrasyid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika,

2004), hlm. 134.

Soejono Dirjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Raja Grafindo

Persada, 1999), hlm. 125.

Pipin Syarifin, PIH: Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Pustaka Setia, 1999),

hlm. 71.

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia,

(Jakarta : Kencana Cet 3, 2008), hlm. 82.

KAMUS

Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya‟qub, al-Qamus al-Muhit,

jilid 1. (Beirut: D Jayl).

107

https://kbbi.web.id/hakim

https://en.oxforddictionaries.com/defination/judicial

John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1996).

DISERTASI DAN TESIS

Muhammad Maksum, Fatwa Ekonomi Syariah Di Indonesia, Malaysia, Dan

Timur Tengah, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI,

Cetakan Pertama Desember 2013.

Melina Hartanto, Klausula Ekosnerasi dalam Akad Pembiayaan Murabahah

di Bank Syariah, Thesis Universitas Airlangga 2015.

Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional Dalam

Sistem Hukum Nasional di Indonesia, (Jakarta : Badan Litbang dan

Diklat Kementerian Agama RI, cetakan pertama Desember 2010).

Elisatin Ernawati, Asuransi Jiwa Dalam Perjanjian Pembiayaan Bank

Syariah, (Thesis Universitas Airlangga 031224253007, Tahun 2015).

Andra Mulia Fatwa, Perjanjian Pembiayaan Bank Sumut Syariah (Studi

Pada Cabang Pembantu Bank Sumut Syariah Stabat), UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2008

JURNAL, ARTIKEL, MAJALAH, DAN ENSIKLOPEDIA

Muhammad Maksum, Model-Model Kontrak Dalam Produk Keuangan

Syariah, Journal Al-A‟DALAH Vol.XXI, No. 1 Juni 2014.

Nurul Ichsan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia,

(Journal Ahkam Vol. XV, No. 2, Juli 2015).

Bure Teguh Satria, Eksistensi dan Akibat Hukum Klausula Eksonerasi,

Journal Lex Privatium, Vol. II/No.3/ Agustus-Oktober/2014.

108

Danty Listiawati, Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Standar dan

Perlindungan Hukum Bagi Konsumen, Journal Privat law Edisi 07

Januari-Juni 2015 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Dwi Fidhayanti, Keabsahan Klausula Pengalihan Resiko Pada Nasabah

dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah, De jure, Jurnal Syariah

dan Hukum, Vol 6 02 Desember 2014.

Nurjannah, Penerapan Klausul Eksonerasi dan Akibat Hukumnya dalam

Perjanjian Pembiayaan Musyarakah pada Bank Syariah (Studi

Putusan Pengadilan Agama Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn), USU

Law Journal, Vol.4.No.1 Januari 2016.

Lilik Mulyadi, Pergeseran Persepktif dan Praktik dari Mahkamah Agung

Mengenai Putusan Pemidanaan, (Majalah Hukum Varia Peradilan

Edisi No. 246 Bulan Mei 2006, Ikahi, Jakarta).

Dwi Fidhayanti, Perjanjian Baku Menurut Prinsip Syariah (Tinjauan

Yuridis praktik Pembiayaan di Perbankan Syariah), (De Jure, Jurnal

Syariah dan Hukum, Volume 6 Nomor 2, Desember 2014)

Inge Dwisvimiar, Keadilan Dalam Persepektif Filsafat Ilmu Hukum,

(Journal Dunamika Hukum Vol. 11 No. 3 September 2011).

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan

Hukum, (Makalah disampaikan pada dialog interaktif tentang

Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum Pada Majalah

Akreditasi), Fakultas Hukum USU, Medan, 18 Februari 2003).

Asmawi, Konseptualisasi Teori Maslahah, Journal Salam Filsafat dan

Budaya Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

109

Nurhalis, Perlindungan Konsumen Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999,( Journal IUS Vol III Nomor 9

Desember 2015).

Mahmudatus Sa‟diyah, Musyarakah Dalam Fiqh dan Perbankan Syariah,

(Journal Equilibrium Volume 2, No. 2, Desember 2014).

Muhammad Maulana, Jaminan Dalam Pembiayaan Pada Perbankan

Syariah Di Indonesia (Analisis Jaminan Pembiayaan Musyarakah

Dan Murabahah), (Journal Ilmiah Islam Futura, Vol. 14. No. 1,

Agustus 2014).

Masrum, Ketentuan-Ketentuan Penting Tentang Wanprestasi dan

Perbuatan Melawan Hukum (PMH). (Makalah Hakim Pengadilan

Tinggi Agama Banten).

Journal Agri Chairunnisa Isradjuningtias, Force Majeure (Overmacht)

Dalam Hukum Kontrak (Perjanjian) Indonesia.

Abdul Mughits, Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES) Dalam

Tinjauan Hukum Islam, (Journal Al-Mawarid Edisi XVIII tahun

2008).

Ifa Lathifa Fitriani, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dalam Pemaknaan

Hukum Islam dan Sistem Hukum Positif Di Indonesia, (Journal

Supremasi Hukum Vol. 5, No. 1, Juni 2016).

Majalah Peradilan Agama, Babak Baru Penyelesaian Sengketa Ekonomi

Syariah, (Edisi 3 Desember 2013), hlm. 27.

R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata Tata Cara Dan Prores

Persidangan, (Jakarta; Sinar Grafika, Edisi Kedua 2009).

110

Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan

Peradilan Agama, (Jakarta; Yayasan Al Hikmah, Cet 2 2001).

Journal Cahya Mahendrani, Tinjauan Yuridis terhadap Suatu Produk

Hukum yang mengalami Kebatalan Mutlak.

Muhammad Noor, Penerapan Prinsip-Prinsip Hukum Perikatan Dalam

Pembuatan Kontrak, (MAZAHIB Jurnal Pemikiran Hukum Islam,

Vol. XIV, No. 1 (Juni 2015).

Taufiq El Rahman, Asas Kebebasan Berkontrak dan Asas Kepribadian

Dalam Kontrak-Kontrak Outsourcing, (Jurnal Mimbar Hukum,

Volume 23, Nomor 3, Oktober 2011).

Luh Nila Winarni, Asas Itikad Baik Sebagai Upaya Perlindungan

Konsumen Dalam Perjanjian Pembiayaan, (DIH, Jurnal Ilmu Hukum

Vol. 11, No. 21, Februari 2015).

Djohari Santoso & Achmad Ali, Hukum Perjanjian Indonesia, (Yogyakarta:

Perpustakaan FH UII, 1989).

Erie Hariyanto, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia,

(Journal Iqtishadia, Vol.1 No. 1 Juni 2014).

H. Taufiq, Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Islam, (Journal Mimbar

Hukum No. 35/VIII, Tahun 1997).

Rezki Erawati. S, Peranan Hakim Terhadap Lahirnya Putusan Pengadilan

Yang Menyatakan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Studi Kasus

Putusan No. 191/Pdt.G/2010/PN.Mks), (JournalFakultas Hukum

Universitas Hasaniddin).

Dwi Agustine, Pembaharuan Sistem Hukum Acara Perdata, (Journal

Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional 15 Juni 2017),

hlm. 2.

111

REGULASI

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional Nomor : 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang

Pembiayaan Musyarakah.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang

Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,

Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.

Putusan Pengadilan Agama Medan Tingkat I Nomor

967/Pdt.G/2012/PA.Mdn.

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor

124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 715 K/Ag/2014 Perkara Perdata Agama.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008

tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

KUHPerdata Pasal 1618 Perseroan perdata, Pasal 1320 KUHPerdata.

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)

Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang Musyarakah Mutanaqishah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 1/POJK.07/2013 tentang

Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan.

112

UU No 7 tahun 1989 Pasal 54 tentang Peradilan Agama yang diubah ke

dalam UU No 3 tahun 2006.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang

Perasuransian dalam Pasal 1 ayat 29 ketentuan tentang Premi

PAPER SEMINAR DAN WAWANCARA

Dhasadin Saragih, Sekilas Perbandingan Hukum Kontrak Civil Law dan

Common Law, Lokakarya ELIPS Project materi Perbandingan Hukum

Perjanjian, Hotel Sahid Surabaya, 1993.

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Medan Bapak Hakim Drs. H.

Abdul Halim Ibrahim,. M.H. Selaku Hakim Ketua dalam perkara

Ekonomi Syariah Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn, Pada hari senin

tanggal 25 September 2017 pukul 16.00 di Kantor Pengadilan Agama

Kelas I-A Pekanbaru, Jl. Datuk Setia Maharaja/Parit Indah,

Tengkerang Labuai, Pekanbaru, Kota Pekanbaru Riau 28289.

Wawancara dengan Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan dahulu,

sekarang menjabat Hakim Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta

Bapak Hakim Dr. H. Yusuf Buchori, S.H., M.SI. Selaku Hakim

Anggota dalam perkara Ekonomi Syariah Nomor

124/pdt.G/2012/PTA.Mdn, Pada hari Jum‟at tanggal 25 September

2017 pukul 16.00 di Kantor Pengadilan Tinggi Agama Yogyakarta,

Jln. Lingkar Selatan No. 321, Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah

Istimewa Yogyakarta 55188.

wawancara dengan Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung

(dahulu panitera perkara) bapak Drs. H. Abdul Ghoni, S.H., M.H.

Pada hari Senin tanggal 30 November 2017 Pukul 13.30 di Kantor

Ketua Panitera Perdata Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia,

Jl. Medan Merdeka Utara No. 9-13. Jakarta Pusat-DKI Jakarta

Indonesia 10110.

113

WEB INTERNET

https://kbbi.web.id/hakim

https://en.oxforddictionaries.com/defination/judicial

https://putusan.mahkamahagung.go.id/pengadilan/mahkamahagung/direktor

i/perdata-agama/ekonomi-syariah

http://www.pa-purworejo.go.id/web/transaksi-bank-menggunakan-

perjanjian-kredit-dalam-bentuk-baku/

Tarsi, Menyoal Transaksi Bank Menggunakan Perjanjian Kredit dalam

Bentuk Baku, Artikel diakses pada Minggu 30 November 2014 dari

http://www.pa-purworejo.go.id/web/transaksi-bank-menggunakan-

perjanjian-kredit-dalam-bentuk-baku/

http://jurnalnajmu.wordpress.com/2007/11/15/prinsip-prinsip-hukum-islam-

dalam-tanggung-jawab-pelaku-usaha/ Diakses tanggal 29 Juni 2017.

https://dsnmui.or.id/kami/sekilas/

http://aaoifi.com/about-aaoifi/?lang=en

Dar Ifta Yordania, http://aliftaa.jo/Question.aspx?QuestionId=3163#.WdIQ-

3QxXIU

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54f3260e923fb/arti-

putusan-niet-ontvankelijke-verklaard-no

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P U T U S A N

Nomor 715 K/Ag/2014

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

M A H K A M A H A G U N G

memeriksa perkara perdata agama dalam tingkat kasasi telah memutuskan sebagai

berikut dalam perkara:

Hj. SARIPAH DALIMUNTHE, bertempat tinggal di Jalan

Merdeka Nomor 7, Kelurahan Pasar Gunungtua, Kecamatan

Padang Bolak, Kabupaten Padang Lawas Utara, dalam hal ini

memberi kuasa H. ABD. HADI, S.H., Advokat, berkantor di Jalan

Sisingamangaraja Km. 8,9 Nomor 198 B, Kota Medan, berdasarkan

Surat Kuasa Khusus tanggal 20 Maret 2014, sebagai Pemohon

Kasasi dahulu Penggugat/ Terbanding;

m e l a w a n:

1 AMINUDDIN SINAGA, selaku pribadi sekaligus sebagai Pimpinan Cabang

PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan, berkedudukan di Jalan Merdeka

Nomor 12, Padangsidimpuan;

2 Direktur Utama PT. Bank Sumut, berkedudukan di Jalan Imam Bonjol Nomor

18, Medan, dalam hal ini memberi kuasa kepada SYAFRI CHAN, S.H., M.Hum.,

Advokat, berkantor di Jalan Denai Nomor 95-A, Medan, berdasarkan Surat Kuasa

Khusus tanggal 25 April 2014, sebagai Para Termohon Kasasi dahulu Tergugat I dan

II;

d a n:

1 Pimpinan PT. Asuransi Bangun Askrida Syariah, berke-dudukan di Pusat

Niaga Cempaka Mas M.I/ 36, Jalan Letjend Soeprato, Jakarta, dalam hal ini

memberi kuasa kepada: 1. TAUFIK NUGRAHA, S.H., 2. INDRIA G

LEMAN, S.H., LLM., 3. DWINANDA IBRAHIM, S.H., Para Advokat,

berkantor di Wisma BSG Lantai 5, Jalan Abdul Muis Nomor 40, Jakarta,

berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2014;

2 Pemerintah RI Cq. Departemen Keuangan RI Cq. Direktur Jendral Piutang

dan Lelang Kantor Wilayah I Medan Cq. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara

Hal. 1 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

dan Lelang (KPKNL) Medan, berkedudukan di Jalan P. Diponegoro Nomor

30 A, Medan, Sumatera Utara;

3 YUSLIANA DALIMUNTHE, selaku pribadi sekaligus mewakili anak

kandung yang masih di bawah umur yaitu:

a ELVA AZERINA HARAHAP;

b ALI UMAR HARAHAP;

c RUDY MACHMUD HARAHAP, semua bertempat tinggal di Jalan Juhar

Lingkungan III, Pasar Gunungtua, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten

Padang Lawas Utara;

4 FATMA DINI ANGGITA HARAHAP, bertempat tinggal di Jalan Juhar,

Lingkungan III, Pasar Gunungtua, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten

Padang Lawas Utara;

5 ELZA MARYNA HARAHAP, bertempat tinggal di Jalan Makmur,

Lingkungan III, Pasar Gunungtua, Kecamatan Padang Bolak, Kabupaten

Padang Lawas Utara, Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat III dan IV

juga Turut Tergugat I, II dan III/Para Turut Terbanding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat tersebut ternyata bahwa sekarang

Pemohon Kasasi dahulu sebagai Penggugat telah mengajukan gugatan Ekonomi

Syariah (Pembiayaan Musyarakah) terhadap Termohon Kasasi dahulu sebagai

Tergugat I dan II serta Para Turut Termohon Kasasi dahulu Tergugat III dan IV juga

Turut Tergugat I, II dan III di muka persidangan Pengadilan Agama Medan pada

pokoknya atas dalil-dalil:

1 Bahwa Penggugat adalah ibu kandung dan sekaligus ahli waris yang sah dan

mustahaq dari Alm. Ongku Sutan Harahap, hal ini sesuai dengan surat keterangan

ahli waris Nomor 474.3/846.KLH/2011 yang di keluarkan oleh Lurah Pasar

Gunungtua Kecamatan Padang Bolak Kabupaten Paluta tanggal 30-12-2011;

2 Bahwa pada masa hidupnya Alm. Ongku Sutan Harahap sejak tahun 2007

adalah nasabah tetap dari Tergugat II yang dalam pelaksanaannya yang di lakukan

melalui PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidempuan (Tergugat I) dan selama

menjadi nasabah dari Tergugat Alm. Ongku Sutan Harahap telah dilaksanakan

kewajiban dan melaksanakan angsuran tepat waktu dan merupakan nasabah yang

jujur yang senantiasa beriktikad baik dan penuh tanggung jawab dalam melunasi

seluruh akta kredit pada Tergugat I;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

3 Bahwa pada tanggal 26 April 2011 Alm. Ongku Sutan Harahap menggunakan

pembiayaan musarakah dari Tergugat I dan II untuk penambahan modal kerja,

dengan jumlah pembiayaan musyarakah senilai Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta

rupiah) dengan jangka waktu selama 12 (dua belas) bulan dengan agunan Sertifikat

Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan

Harahap dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/Pasar Gunungtua tanggal 07-06-2007

an. Ongku Sutan Harahap;

4 Bahwa akan tetapi pada saat berjalannya pelaksanaan pembayaran

pembiayaan musyarakah dari Tergugat I dan II dimana Alm. Ongku Sutan Harahap

telah menginggal dunia karena sakit di Gunungtua pada hari Rabu tanggal 13 Juli

2011 dan menyebabkan tehentinya/tertunggaknya pembiayaan musyarakah Alm.

Ongku Sutan Harahap kepada Tergugat I dan II;

5 Bahwa Penggugat sangat keberatan dengan surat peringatan III (terakhir)

yang di kirimkan oleh Tergugat I dan II kepada Penggugat pada tanggal 22 Mei 2012,

dimana pada surat Tergugat I dan II, pada pokoknya menegaskan tunggakkan

pembiayaan alm. Ongku Sutan Harahap pada Tergugat I dan II sebesar RP752.000,00

(tujuh ratus lima puluh dua ribu rupiah); dan karena ahli waris Alm. Ongku Sutan

Harahap belum menunjukan iktikat baik serta keseriusan untuk menyelesaikan

tunggakan tersebut walaupun berulang-ulang telah disurati oleh Tergugat I dan II

maka berkenan dengan hal tersebut maka Tergugat I dan II memberikan kelonggaran

waktu penyelesaian tunggakan tersebut paling lambat tanggal 25 Juni 2012 dan jika

sampai dengan batas waktu tersebut belum juga menyelesaikannya maka agunan

yang telah di serahkan kepada Tergugat I dan II akan segera diajukan lelang ke

Tergugat IV;

6 Bahwa dalam menggunakan pembiayaan musyarakah dari Tergugat I dan II

untuk menambahkan modal kerja, Alm. Ongku Sutan Harahap meperoleh

pembiayaan musyarakah senilai Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) dengan

jangka waktu selama 12 (dua belas) bulan dengan agunan Sertifikat Hak Milik

Nomor 457/pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan Harahap dan

Sertifikat Hak Milik Nomor 395/pasar Gunungtua tanggal 07-06-2007 an. Ongku

Sutan Harahap;

7 Bahwa adapun biaya-biaya yang di bebankan oleh Tergugat I dan II kepada

Alm. Ongku Sutan Harahap dalam pemohonan pembiayaan musyarakah adalah

antara lain:

Administrasi senilai Rp 8.750.000,00Notaris Rp 1.500.000,00Asuransi Jiwa Rp 2.170.000,00

Hal. 3 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Ass.kebakaran Rp 1.189.408,00 TOTAL BIAYA Rp13.609.408,00

Keseluruhan biaya di atas telah di bayar lunas oleh Alm. Ongku Sutan Harahap

kepada Tergugat I dan II;

8 Bahwa pada salah satu klausula akad pembiayaan musyarakah antara Alm.

Ongku Sutan Harahap dan Tergugat I dan II ada di sebutkan di Pasal 2 tentang

kedudukan para pihak, di ayat 1 yang pada pokoknya “.....dari pendapatan,

keuntungan usaha itu kelak akan di bagi di antara kedua belah pihak berdasarkan

prinsip bagi hasil (syirkah)”, dari klausula ini dapat diartikan bahwa segala resiko

usaha yang di jalankan oleh Alm. Ongku Sutan Harahap pada saat menggunakan

pembiayaan musyarakah tersebut nantinya akan dibagi kepada kedua belah pihak

juga, sehingga sesuai Syariat ahli waris Ongku Sutan Harahap tidak menanggung

secara utuh beban pembiayaan musyarakah dimaksud;

9 Bahwa selain itu, karena Alm. Ongku Sutan Harahap dalam pemohon

pembiyaan musyarakah telah juga memenuhi pembayaran asuransi jiwa kepada

Tergugat I dan II yang merupakan salah satu syarat atas pemohonan pembiayaan

musyarakah yang diajukan pada Tergugat I dan II maka sesuai Syariat Penggugat dan

Turut Tergugat I, II, III dibebaskan dari seluruh beban pembayaran pembiayaan

musyarakah oleh Tergugat I dan II atas meninggalnya Alm. Ongku Sutan Harahap

karena segala resiko telah disebabkan pada Tergugat III;

10 Bahwa, akan tetapi pada kenyataan setelah meninggalnya Alm. Ongku Sutan

Harahap Tergugat I dan II mengabaikan kepatutan keharusan disebabkannya beban

utang bagi Penggugat dan Turut Tergugat I, II, III dari beban pembayaran utang

pembiayaan musyarakah Alm. Ongku Sutan Harahap dan kemudian secara berturut-

turut mengirimkan surat peringatan pembayaran tunggakan angsuran pokok dan bagi

hasil pembiayaan musyarakah kepada Turut Tergugat I, masing-masing surat

peringatan pertama pada tanggal 03 Februari 2012, surat peringatan kedua pada

tanggal 27 Maret 2012, dan surat peringatan III (terakhir) pada tanggal 22 Mei 2012,

pada surat peringatan Tergugat I dan II yang terakhir pada pokoknya menegaskan

tunggakan pembiayaan Alm. Ongku Sutan Harahap pada Tergugat I dan II sebesar

RP752.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah);

11 Bahwa dengan adanya surat peringatan yang disampaikan oleh Tergugat I

kepada Turut Tergugat I s/d Turut Tergugat III tentunya hal ini juga merugikan

Penggugat sebagai salah seorang ahli waris alm. Ongku Sutan Harahap (ibu

kandungnya) karena Penggugat berkepentingan mengajukan gugatan dalam perkara

ini yang menjadi kompetensi di Pengadilan Agama Medan sesuai Pasal 18 dari akad

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

pembiyaan musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011, disebutkan “Bila

terjadi sengketa perselisilihan maka para pihak bersepakat untuk menyelesaikan

melalui Pengadilan Agama di Medan”;

12 Bahwa kedudukan Turut Tergugat I, II, III yang pernah membuat surat

pernyataan akan bertanggung jawab atas pembiayaan musyarakah alm.Ongku Sutan

Harahap pada tergugat I dan II dan surat pernyataa alm. Ongko Sutan Harahap pada

tanggal 26 April 2011 yang pada pokoknya juga menyatakan “.....apabila dikemudian

hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya

dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya tidak akan menuntut pihak Bank dan

seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi tanggung jawab ahli waris saya hingga

selesai...”. Fakta ini demi hukum sanggatlah bertentangan dengan klausula yang telah

diuraikan pada akad pembiayaan musyarakah yang diperbuat oleh Tergugat I dan II

dengan Alm. Ongku Sutan Harahap karena klausula pada akhir pembiayaan

musyarakah merupakan perjanjian pokok yang sudah jelas, terang dan tegas

maksudnya dan artinya;

13 Bahwa pada selanjutnya, Turut Tergugat I, juga telah berkali-kali

menyampaikan surat keberatan kepada Tergugat I masing-masing pada tanggal 20

Oktober 2011, tanggal 05 November 2011 serta tanggal 24 November 2011 yang

pada pokoknya minta supaya beban sisa kredit atau utang atas pembiayaan

musyarakah atas nama Alm. Ongku Sutan Harahap yang masih berjalan menjadi

tanggungan bagi Tergugat I sehingga tidak membebani ahli waris termasuk

Penggugat;

14 Bahwa, untuk menjaga hak dan kepentingan Penggugat selaku salah 1 ahli

waris Alm. Ongku Sutan Harahap atas tanah dan bangunan Sertifikat Hak Milik

Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan Harahap Hak

Milik Nomor 395/Pasar Gunungtua tanggal 07-06-2007 an. Ongku Sutan Harahap

maka dimohonkan agar kiranya Pengadilan Agama Medan belum memeriksa perkara

ini meletakkan sita revindicatoir (sita milik) terhadap tanah bangunan Sertifikat Hak

Milik Nomor 457/pasar Gunungtua 19-12-2008 an. Ongku Sutan Harahap dan

Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ pasar Gunungtua 07-06-2007 an. Ongku Sutan

Harahap;

15 Bahwa oleh karena penyebab adanya sejumlah tanggungan atau outstanding

yang belum di bayar oleh Penggugat bukan disebabkan oleh karena lalainya

Penggugat/ahli waris dalam melakukan angsuran melainkan karena terjadinya

musibah meninggalnya Alm. Ongku Sutan Harahap selaku pembuat akad

pembiayaan musyarakah dengan Tergugat I dan II;

Hal. 5 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

16 Bahwa demikian dalam ketentuan syarat-syarat umum perjanjian pinjaman

dan kredit yang berlaku pada Bank pada umumnya tercantum pada Pasal 11 di

sebutkan “Bank berhak menghentikan dan atau menagih seluruh utang dengan segera

seketika dan sekaligus lunas tanpa permintaan untuk diakhiri dan diberikan

peringatan dalam hal: Apabila yang berutang/debitur meninggal dunia;

17 Bahwa, selanjutnya kepastian hukum bagi Penggugat dimohonkan kiranya

Pengadilan Agama Medan berkenan dalam provinsi membatalkan atau menunda

pelaksanaan permohonan lelang eksekusi menunggu sampai adanya keputusan yang

berkekuatan hukum tetap atas gugatan perkara a quo;

18 Berdasarkan hal-hal yang kemukakan di atas, dimohonkan kepada Pengadilan

Agama Medan berkenan menetapkan suatu hari persidangan dalam perkara ini dan

memanggil para pihak untuk didengar keterangannya terhadap gugatan a quo,

selanjutnya memeriksa dan memberikan keputusan sebagai berikut:

Dalam Provinsi:

Membatalkan atau menunda pelaksanaan permohonan lelang eksekusi oleh

Tergugat I dan II serta Terggat IV menunggu sampai ada keputusan yang

berkekuatan hukum tetap atas gugatan ini;

Dalam Pokok Perkara:

1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2 Menyatakan Penggugat serta Turut Tergugat I, II, III selaku ahli waris

Alm. Ongku Sutan Harahap dibebaskan dari beban utang pembiayaan

musyarakah dari Tergugat I dan II senilai sebesar Rp752.000.000,00

(tujuh ratus lima puluh dua juta rupiah);

3 Menyatakan surat pernyataan yang di buat oleh Alm. Ongku Sutan

Harahap dengan diketahui oleh istrinya/Turut Tergugat I Yusliana

Dalimunthe tertanggal 28 April batal demi hukum atau tidak mempunyai

kekuatan hukum;

4 Menetapkan dan memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II serta

Tergugat IV untuk membatalkan pelaksanaan lelang atas aset-aset Alm.

Ongku Sutan Harahap;

5 Menyatakan Lelang Eksekusi atas tanah dan bangunan Sertifikat Hak

Milik Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19-12-2008 an. Ongku Sutan

Harahap dan Sertifikat Hak Milik Nomor 395/ Pasar Gunungtua tanggal

07-06-2007 an. Ongku Sutan Harahap ditunda pelaksanaannya menunggu

sampai ada putusan yang berkekuatan hukum tetap;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

6 Menghukum Tergugat I s/d Tergugat IV untuk tunduk dan patuh

melaksanakan isi putusan ini, dan kelalaian atas pelaksanaan ini dihukum

untuk membayar uang paksa (dwangsoom) sebesar Rp500.000,00 setiap

hari sampai putusan ini dijalankan dengan baik oleh Tergugat I s/d

Tergugat IV;

7 Menyatakan sah dan berharga sita milik (revindicatoir beslag) yang

dijalankan dalam perkara ini;

8 Menyatakan putusan ini dapat dijalankan dengan serta merta walaupun

ada upaya hukum banding, kasasi dari Tergugat-Tergugat;

Jika Pengadilan berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (Ex

Aequo Et Bono);

Bahwa terhadap gugatan tersebut, Tergugat I, II, III dan IV mengajukan

eksepsi yang pada pokoknya sebagai berikut:

Eksepsi Tergugat I dan II;

Tentang gugatan Penggugat samar dan kabur (obscuur libel);

• Bahwa apabila diperhatikan gugatan Penggugat adalah gugatan kabur (obscuur

libel) karena antara posita dengan petitum gugatan terdapat kekaburan sebab tidak

bersesuaian bahkan ada yang kontradiktif, sehingga tidak jelas makna dari

gugatan Penggugat tentang ahli waris, pembiayaan, asuransi dan lelang;

• Bahwa antara posita dengan petitum gugatan dari Penggugat tidak saling

mendukung dan adanya kerancuan antara posita yang satu dengan posita yang

lain;

• Bahwa sesuai dengan ketentuan Hukum Acara Perdata, gugatan Penggugat belum

memenuhi persyaratan formil suatu gugatan perdata;

Berdasarkan dalil-dalil eksepsi tersebut di atas, cukup alasan bagi Majelis

Hakim yth. untuk menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (Niet

Ontvanklijke Verklaard);

Eksepsi Tergugat III;

Penggugat tidak berhak dan tidak berwenang untuk mengajukan gugatan

(disqualificatoire exceptie);

1 Bahwa PT. Asuransi Bangun Askrida (Tergugat III) tidak pernah menerbitkan

Polis Asuransi Pertanggungan Jiwa atas nama Alm. Ongku Sutan Harahap oleh

karena itu tidak ada hubungan hukum sama sekali antara PT. Asuransi Bangun

Askrida (Tergugat III) dengan Alm. Ongku Sutan Harahap dan/atau ahli warisnya;

2 Bahwa objek gugatan yang diajukan oleh Penggugat adalah menyangkut:

Hal. 7 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

a Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 120/KCSY02APP/MSY/2011

tanggal 26 April 2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dan antara

Badan Hukum Perseroan Terbatas PT. Bank Sumut cq. PT. Bank

Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan dengan Alm. Ongku Sutan

Harahap, serta:

b Surat Pernyataan tertanggal 26 April 2011 yang dibuat dan

ditandatangani oleh Alm. Ongku Sutan Harahap dengan istrinya yang

bernama Yusliana Dalimunthe selaku Turut Tergugat I;

Sedangkan Penggugat sama sekali bukan pihak yang turut membuat dan

menandatangani akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut

di atas;

3 Bahwa Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III juga telah menyetujui akad

Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut di atas, sebagaimana telah

diakui secara tegas dan jelas oleh Penggugat tercantum dalam surat gugatannya

halaman 5 butir 12 yang menyatakan: "12. Bahwa kedudukan Turut Tergugat /, //, ///,

yang pernah membuat surat pernyataan akan bertanggungjawab atas pembiayaan

musyarakah Alm. Ongku Sutan Harahap pada Tergugat dan Surat Pernyataan Alm.

Ongku Sutan Harahap tertanggal 26 April 2011 yang pada pokoknya juga

menyatakan "...apabila dikemudian hari pada saat asuransi jiwa saya belum terbit

polisnya, terjadi sesuatu pada diri saya dan mengancam jiwa saya, ahli waris saya

tidak akan menuntut pihak bank dan seluruh pembiayaan saya tetap akan menjadi

tangggungjawab ahli waris saya hingga selesai”;

4 Bahwa Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut diatas

telah memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan berlaku sebagai

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga mengikat secara

sah menurut hukum untuk dipatuhi oleh Alm. Ongku Sutan Harahap dan/atau

ahli warisnya yaitu Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III

yang telah menyetujui Akad Pembiayaan Musyarakah dan menandatangani

Surat Pernyataan;

Alm. Ongku Sutan Harahap dan Turut Tergugat I, Turut Tergugat II serta Turut

Tergugat III juga tidak pernah membantah keabsahannya dan tidak pernah

mengajukan tuntutan dan/atau gugatan pembatalan atas Akad Pembiayaan

Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut;

5 Bahwa berdasarkan Kompilasi Hukum Islam Buku II Hukum Kewarisan Bab I

Ketentuan Umum Pasal 171 huruf e menyatakan bahwa: "Harta warisan adalah

harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan

jenazah (Tajhiz), pembayaran utanq dan pemberian kerabat";

Berdasarkan ketentuan tentang harta warisan tersebut maka harta warisan Alm.

Ongku Sutan Harahap yaitu berupa:

• SHM Nomor 457/Pasar Gunung Tua, a/n Ongku Sutan Harahap;

• SHM Nomor 395/Pasar Gunung Tua, a/n Ongku Sutan Harahap yang telah

diagunkan oleh Alm. Ongku Sutan Harahap kepada Tergugat I dan Tergugat II

dengan persetujuan dari Turut Tergugat I, II dan III, harus dipergunakan

terlebih dahulu untuk melunasi utang Alm. Ongku Sutan Harahap kepada

Tergugat I dan Tergugat II;

Oleh karena itu, maka Penggugat selaku ahli waris tidak berhak dan tidak

berwenang membatalkan pelelangan atas harta warisan berupa:

• SHM Nomor 457/Pasar Gunung Tua;

• SHM Nomor 395/Pasar Gunung Tua;

Karena apabila lelang dibatalkan oleh Penggugat maka utang Alm. Ongku Sutan

Harahap kepada Tergugat I dan Tergugat II menjadi tidak terbayar dunia dan

akhirat. Tindakan Penggugat tersebut justru jelas melanggar syariah;

6 Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka Penggugat tidak berhak dan

tidak mempunyai kewenangan (Disqualificatoire Exceptie) untuk mengajukan

gugatan pembebasan hutang pembiayaan musyarakah, pembatalan Surat

Pernyataan tertanggal 26 April 2011 serta pembatalan lelang, karena:

• Tidak ada hubungan hukum apapun antara Penggugat dengan PT.

Asuransi Bangun Askrida ( Tergugat III);

• Penggugat bukan pihak yang membuat dan menandatangani Akad

Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan;

• Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III selaku

pihak yang telah menyetujui diadakannya Akad Pembiayaan Musyarakah

dan menandatangani Surat Pernyataan, tidak pernah mengajukan tuntutan

dan/atau gugatan pembatalan atas Akad Pembiayaan Musyarakah dan

Surat Pernyataan tersebut;

• Pelelangan barang agunan adalah untuk melunasi utang Alm. Ongku

Sutan Harahap;

Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona);

Hal. 9 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

1 Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 02 Tahun 2008

Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Buku I Bab I Ketentuan Umum Pasal

1 ayat 2 menyatakan:

"Subyek hukum adalah orang perseorangan, persekutuan, atau badan usaha yang

berbadan hukum atau tidak berbadan hukum yang memiliki kecakapan hukum

untuk mendukung hak dan kewajiban";

2 Bahwa dalam perkara a quo PT. Asuransi Bangun Askrida (Tergugat III)

adalah subyek hukum berupa badan usaha yang berbadan hukum perseroan terbatas

yang didirikan dan tunduk kepada ketentuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas;

Oleh karena itu apabila ada gugatan/tuntutan terhadap badan hukum PT. Asuransi

Bangun Askrida, maka gugatan/tuntutan tersebut harus ditujukan kepada badan

hukum PT. Asuransi Bangun Askrida dan tidak bisa ditujukan kepada

perseorangan yang menjabat selaku pimpinannya;

Oleh karena itu gugatan Penggugat yang ditujukan kepada pimpinan PT. Asuransi

Bangun Askrida adalah gugatan yang salah pihak, karena pimpinan PT. Asuransi

Bangun Askrida bukanlah badan hukum;

3 Bahwa berdasarkan Perma Nomor 02/2008 tersebut maka pihak-pihak yang

menjadi subyek hukum pengemban hak dan kewajiban dalam pembuatan perjanjian

dan penandatanganan Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan, adalah

terdiri dari:

• Perseorangan yaitu Alm. Ongku Sutan Harahap yang telah disetujui

oleh Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III;

• Badan usaha yang berbadan hukum perseroan terbatas yaitu PT. Bank

Sumut cq. PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padangsidimpuan;

Oleh karena itu apabila timbul gugatan di antara pihak-pihak subyek hukum

pengemban hak dan kewajiban Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat

Pernyataan, maka harus ditujukan kepada subyek hukum berupa badan hukum

tersebut yaitu PT. Bank Sumut cq. PT. Bank Sumut Cabang Syariah

Padangsidimpuan, dan tidak bisa ditujukan kepada perseorangan/pribadi yang

menjabat selaku pimpinan cabang atau direksinya;

4 Bahwa dalam perkara a quo gugatan Penggugat ditujukan kepada

perseorangan/pribadi yaitu: Aminudin Sinaga selaku pribadi sekaligus sebagai

Pemimpin Cabang PT. Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidimpuan (Tergugat 1)

Direktur Utama PT. Bank Sumut;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Oleh karena itu jelas terbukti gugatan Penggugat salah pihak (Error In Persona),

karena yang digugat adalah pejabat perseorangan/pribadi yang bukan subyek

hukum pengemban hak dan kewajiban dalam Akad Pembiayaan Musyarakah dan

Surat Pernyataan. Gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (exceptio obscurum

libellum);

5 Bahwa salah satu syarat formil gugatan adalah harus menyebutkan subyek

hukum Tergugat secara jelas mengenai identitas, alamat dan status subyek hukum

apakah selaku perseorangan atau selaku badan hukum;

6 Bahwa dalam gugatan a quo Penggugat tidak jelas menyebutkan subyek

hukumnya yaitu:

• Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Direktur Utama PT. Bank

Sumut (Tergugat III) ?;

• Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan Pimpinan PT. Asuransi

Bangun Askrida Syariah ?;

7 Bahwa PT. Asuransi Bangun Askrida adalah sebuah badan usaha berbadan

hukum perseroan terbatas yang didirikan dan tunduk kepada Undang-Undang

Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 (UUPT). Di dalam UUPT tersebut, sama

sekali tidak ada ketentuan yang mengatur dan/atau menyebutkan istilah pimpinan.

Selain itu di dalam PT. Asuransi Bangun Askrida tidak ada yang dinamakan

Pimpinan PT. Asuransi Bangun Askrida Syariah;

Dengan demikian maka terbukti gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas

(obscurliben);

8 Bahwa Penggugat tidak jelas menyebutkan alasan dan dasar hukum hak serta

kewenangan Penggugat untuk mengajukan gugatan a quo padahal Penggugat bukan

merupakan pihak yang membuat dan menandatangani Akad Pembiayaan

Musyarakah dan Surat Pernyataan. Dengan demikian maka terbukti gugatan

Penggugat kabur dan tidak jelas (obscur liben);

9 Bahwa Penggugat tidak jelas status kedudukannya, karena mencampurkan

status sebagai Ahli Waris dan Mustahaq sebagaimana terbukti dalam gugatan

halaman 3 butir 1 menyatakan:

"1. Bahwa Penggugat adalah ibu kandung dan sekaligus Ahli Waris

yang sah dan Mustahaq dari Alm. Ongku Sutan Harahap...";

Pengertian Ahli waris dengan Mustahaq adalah golongan yang berbeda, karena

yang dimaksud dengan Mustahaq atau Mustahiq adalah orang yang berhak

mendapatkan zakat atau infaq/sedekah;

Hal. 11 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Apabila Penggugat sebagai Mustahaq maka jelas tidak ada hubungan hukumnya

dengan Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan sehingga jelas tidak

berhak dan tidak berwenang mengajukan gugatan aquo. Dengan demikian maka

terbukti gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscurliben);

10 Bahwa Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tersebut diatas

telah memenuhi syarat sahnya perjanjian pada umumnya dan berlaku sebagai

undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, sehingga mengikat secara sah

menurut hukum untuk dipatuhi oleh Alm. Ongku Sutan Harahap dan/atau Ahli

Warisnya yaitu Turut Tergugat I, Turut Tergugat II dan Turut Tergugat III yang telah

menyetujui Akad Pembiayaan Musyarakah dan menandatangani Surat Pernyataan;

Oleh karena itu, apabila Penggugat bermaksud membatalkan Akad Pembiayaan

Musyarakah dan Surat Pernyataan, maka Penggugat harus membuktikan bahwa

Akad Pembiayaan Musyarakah dan Surat Pernyataan tidak memenuhi syarat

sahnya perjanjian dengan bukti dasar hukum yang jelas;

Namun dalam perkara a quo gugatan Penggugat sama sekali tidak menyebutkan

dasar hukum yang menjadi alasan untuk mengajukan gugatan pembebasan utang,

pembatalan Surat Pernyataan dan pembatalan lelang;

Dengan demikian maka terbukti gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (obscur

libel);

Bahwa berdasarkan eksepsi-eksepsi:

• Penggugat tidak berhak dan tidak mempunyai kedudukan yang sah

untuk mengajukan gugatan (disqualificatoire exceptie);

• Gugatan Penggugat salah pihak (error in persona);

• Gugatan Penggugat kabur dan tidak jelas (exceptio obscurum

libellum);

Maka kami mohon agar Pengadilan Agama Kelas 1A Medan menolak

gugatan Penggugat untuk seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan gugatan

Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);

Eksepsi Tergugat IV;

1 Bahwa Tergugat IV menolak seluruh dalil Penggugat, kecuali terhadap apa

yang diakui secara tegas kebenarannya;

2 Eksepsi Gugatan Prematur;

Bahwa Tergugat IV menyatakan apa yang disampaikan Penggugat dalam

gugatannya terutama pada Pasal 5 halaman 4, yakni, Bahwa Penggugat sangat

keberatan dengan Surat Peringatan II (terakhir) yang dikirimkan oleh Tergugat I

dan II Kepada Penggugat,..... jika sampai dengan batas waktu tersebut belum juga

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

menyelesaikannya (utang-red) maka agunan yang telah diserahkan kepada

Tergugat I dan II akan segera diajukan lelang ke Tergugat IV,” menunjukkan

hanya poin inilah yang menjadi dasar diikutkannya Tergugat IV sebagai pihak

Tergugat. Padahal dengan sangat jelas pernyataan tersebut menegaskan bahwa

belum ada tindakan hukum apapun yang dilakukan oleh Tergugat IV. Apalagi

permohonan lelang oleh Tergugat I dan II untuk melelang agunan yang

dimaksudkan oleh Penggugat belum pernah sekali pun sampai di kantor kami.

Sehingga Tergugat menganggap gugatan Penggugat adalah prematur karena

belum selayaknya diajukan kepada Terugat IV;

3 Gugatan Compete;

Bahwa perlu Tergugat IV sampaikan bahwa jika pun telah terjadi tindakan hukum

yang dilakukan oleh Tergugat IV terhadap objek perkara a quo, maka Penggugat

telah salah alamat melayangkan gugatan kepada Tergugat IV mengingat objek

perkara a quo terletak di Kelurahan Pasar Gunung Tua, Kecamatan Padang Bolak,

Kabupaten Padang Lawas di mana wilayah tersebut bukan merupakan wilayah

kerja KPKNL Medan, melainkan wilayah kerja KPKNL lain yang membawahi

wilayah kerja tersebut;

4 Eksepsi Tergugat IV untuk dikeluarkan sebagai pihak dalam perkara a quo;

a Bahwa perlu Penggugat pahami, tugas dan fungsi Tergugat IV dalam

urusan pelelangan/pelaksanaan lelang eksekusi Hak Tanggugan ini

adalah sebagai instansi yang mempunyai tugas dalam melaksanakan

lelang;

b Mengingat belum adanya tindakan hukum apapun yang dilakaukan

oleh Tergugat IV, maka sudah sepatutnya Majelis Hakim yang

memeriksa perkara a quo dapat mengeluarkan Tergugat IV sebagai

pihak dalam perkara a quo;

Maka berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Tergugat IV dengan tegas menolak

dalil/alasan Penggugat, dan Tergugat IV mohon kepada Majelis Hakim yang

memeriksa perkara a quo agar berkenan memutuskan dengan menyatakan

menerima eksepsi Tergugat IV;

Bahwa terhadap gugatan tersebut Pengadilan Agama Medan telah

menjatuhkan putusan Nomor 967/Pdt.G/2012/PA.Mdn. tanggal 18 Juni 2013 M.

bertepatan dengan tanggal 9 Sya’ban 1434 H. yang amar selengkapnya sebagai

berikut:

Dalam Konvensi:

Dalam Provisi:

Hal. 13 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Menolak Provisi Penggugat tersebut;

Dalam Eksepsi:

• Menolak Eksepsi dari Tergugat I dan II serta Tergugat III untuk

seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

1 Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2 Menyatakan Penggugat serta Turut Tergugat I, II, III selaku Ahli Waris dari

Alm. Ongku Sutan Harahap dibebaskan dari beban utang Pembiayaan

Musyarakah dari Tergugat I dan II sebesar Rp752,000,000,00 (tujuh ratus

lima puluh dua juta rupiah);

3 Menyatakan Surat Pernyataan yang dibuat oleh Almarhum Ongku Sutan

Harahap dengan diketahui oleh istrinya (Turut Tergugat I/Yusliana

Dalimunthe) bertanggal 28 April 2011 batal demi hukum dan/atau tidak

mempunyai kekuatan hukum;

4 Menyatakan Sertifikat Hak Milik Nomor 457/Pasar Gunungtua tanggal 19

Desember 2008 an. Ongku Sutan Harahap dan Sertifikat Hak Milik Nomor

395/Pasar Gunungtua tanggal 07 Juni 2007 an. Ongku Sutan Harahap, harus

dikembalikan kepada yang mustatahak/Penggugat;

5 Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk menyerahkan kepada

Penggugat, 2 (dua) buah Sertifikat Hak Milik tersebut kepada Penggugat/Ahli

Waris Alm. Ongku Sutan Harahap sebagaimana yang tercantum dalam amar

angka 4 a quo;

6 Menolak gugatan Penggugat untuk selainnya;

7 Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar biaya perkara yang

hingga saat ini sebesar Rp3.841.000,00 (tiga juta delapan ratus empat puluh

satu ribu rupiah);

Menimbang, bahwa dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat I dan II

putusan Pengadilan Agama Medan tersebut telah dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi

Agama Medan dengan putusan Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA.Mdn. tanggal 5 Februari

2014 M. bertepatan dengan tanggal 5 Rabiulakhir 1435 H. sehingga amar

selengkapnya sebagai berikut:

• Menerima permohonan banding Pembanding;

• Membatalkan putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 967/Pdt.G/ 2012/

PA.Mdn. tanggal 18 Juni 2013 M. bertepatan tanggal 9 Syakban 1434 H. yang

dimohonkan banding, selanjutnya:

MENGADILI SENDIRI

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Dalam Provisi:

• Menolak permohonan provisi Penggugat;

Dalam Eksepsi:

• Mengabulkan eksepsi Para Tergugat I, II, III, dan IV;

Dalam Pokok Perkara:

• Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima (niet ontvankelijke

verklaard);

• Menghukum Penggugat/Terbanding untuk membayar biaya perkara pada

tingkat pertama sebesar Rp3.841.000,00 (tiga juta delapan ratus empat puluh

satu ribu rupiah) dan pada tingkat banding sebesar Rp150.000,00 (seratus

lima puluh ribu rupiah);

Menimbang, bahwa sesudah putusan terakhir ini diberitahukan kepada

Penggugat/Terbanding pada tanggal 11 Maret 2014 kemudian terhadapnya oleh

Penggugat/Terbanding dengan perantaran kuasanya berdasrkan Surat Kuasa Khusus

tanggal 20 Maret 2014, diajukan permohonan kasasi secara lisan pada tanggal 20

Maret 2014 sebagaimana ternyata dari Akta Permohonan Kasasi Nomor 967/

Pdt.G/2012/PA.Mdn, yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Medan,

permohonan tersebut diikuti oleh memori kasasi yang memuat alasan-alasan yang

diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama tersebut pada tanggal 2 April 2014;

Bahwa setelah itu oleh Tergugat I dan II/Para Pembanding, Tergugat III/Turut

Terbanding serta Turut Tergugat I, II dan III/Turut Terbanding II, III dan IV, masing-

masing pada tanggal 21, 24 dan 30 April 2014 serta tanggal 2 Mei 2014 telah

diberitahu tentang memori kasasi dari Penggugat/Terbanding diajukan jawaban

memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Agama Medan masing-

masing pada tanggal 2, 7 dan 13 Mei 2014 serta tanggal 19 Juni 2014;

Menimbang, bahwa permohonan kasasi a quo beserta alasan-alasannya telah

diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu

dan dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, maka oleh karena itu

permohonan kasasi tersebut formal dapat diterima;

ALASAN-ALASAN KASASI

Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/

Penggugat dalam memori kasasinya tersebut pada pokoknya ialah:

Dalam Eksepsi:

Bahwa Putusan judex facti (Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Agama Medan)

yang telah menerima eksepsi-eksepsi Para Termohon Kasasi/Para Tergugat untuk

seluruhnya telah salah dan keliru serta tidak berdasar hukum;

Hal. 15 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Bahwa untuk dapat menentukan judex facti (Majelis Hakim Pengadilan

Tinggi Agama Medan) telah salah dan keliru serta tidak berdasar hukum menerima

eksepsi-eksepsi Para Termohon Kasasi/Para Tergugat dapat dibuktikan sebagai

berikut:

1 Eksepsi Para Termohon Kasasi/Tergugat I dan II;

Tentang gugatan samar dan kabur (obscuur libel);

• Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah

dan keliru serta tidak berdasar hukum dengan menerima eksepsi

Para Termohon Kasasi/Tergugat I dan II, sebab dipersidangan

eksepsi-eksepsi tersebut tidak terbukti dan tidak didukung oleh

bukti yang sempurna. Format gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat

telah memenuhi syarat formil dan materil hukum acara, terurai

secara terinci, terang dan jelas menyangkut Ekonomi Syariah

perihal Pembebasan Utang dan Penundaan Lelang yang diajukan

Penggugat selaku ahli waris Alm. Ongku Sutan Harahap yang

dalam hal ini merupakan kewenangan Pengadilan Agama Medan

(Vide Pasal 18 Akad Pembiayaan Musyarakah Nomor 180/

KCSY02-APP/MSY/2011);

• Bahwa oleh karena dalil eksepsi Para Termohon Kasasi/Tergugat I

dan II yang menyatakan gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat

samar dan kabur (obscuur libel) tidak beralasan dan tidak berdasar

hukum patut untuk ditolak dan di kesampingkan;

• Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah sangat

salah dan keliru dengan tidak mempertimbangkan pertimbangan

hukum dalam putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 967/

Pdt.G/PA-Mdn, tanggal 18 Juni 2013 yang telah tepat dan benar

serta memenuhi rasa kebenaran dan keadilan karena Majelis

Hakim pada tingkat pertama telah mempertimbangkan gugatan a

quo telah memenuhi syarat formil dan materil karena yang digugat

oleh Pemohon Kasasi/Penggugat adalah substansinya jelas dan

tegas yaitu Pembiayaan Musyarakah pada Bank Sumut Cabang

Syariah Padangsidempuan;

• Bahwa demikian causa prima dari gugatan Pemohon Kasasi/

Penggugat adalah tentang Pembiayaan Musyarakah dengan

substansi gugatan tersebut sejalan pula dengan Maqashid

Asysyariah dari suatu gugatan yang diajukan Penggugat a quo

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

telah memenuhi syarat formil dan materil dari suatu gugatan

karenanya patut dan beralasan eksepsi-eksepsi Para Termohon

Kasasi/Tergugat I dan II untuk ditolak dan di kesampingkan;

• Bahwa oleh karena antara Pemohon Kasasi/Penggugat dengan

Para Termohon Kasasi/Tergugat I dan II mempunyai hubungan

yang satu dengan yang lainnya dan masing-masing tunduk pada

hukum acara yang sama karenanya boleh digabungkan dan

sekaligus digugat dalam satu gugatan (Putusan MARI Nomor 677

K/Sip/1972, tanggal 13 Desember 1972);

2 Eksepsi Termohon Kasasi III/Tergugat III;

Penggugat tidak berhak dan tidak berwenang mengajukan gugatan;

• Bahwa judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah

dan keliru dalam penerapan hukum dengan menerima eksepsi

Termohon Kasasi III/Tergugat III yang menyatakan Penggugat

tidak berhak dan tidak berwenang mengajukan gugatan dalam

perkara a quo adalah eksepsi yang tidak berdasar hukum;

• Bahwa Eksepsi Termohon Kasasi III/Tergugat III dipersidangan

pada tingkat pertama tidak terbukti kebenarannya, akan tetapi pada

tingkat banding Majelis Hakim telah salah dan keliru dalam

melakukan pertimbangan hukum dengan menerima eksepsi

Termohon Kasasi III/Tergugat III;

• Bahwa Pemohon Kasasi/Penggugat selaku ahli waris Alm. Ongku

Sutan Harahap adalah pihak yang berkepentingan (Pesona Standi

In Yudicio) dan berwenang mengajukan gugatan Ekonomi Syariah

perihal Pembebasan Utang dan Penundaan Lelang yang

menyangkut Akad Pembiayaan Musyarakah yang dibuat Alm.

Ongkus Sutan Harahap dengan Tergugat I dan II dan dijamin

Tergugat III;

• Bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang

Peradilan Agama disebutkan: “Perkara Syariah yang menyangkut

Pewaris Ahli Waris mempunyai kompetensi untuk mengajukan

gugatan tidak semata-mata pembagian Harta Warisan akan tetapi

persoalan hukum yang menyangkut Ekonomi Syariah ahli waris

berkompetensi” untuk mengajukannya ic. Pemohon Kasasi/

Hal. 17 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Penggugat. Oleh karenanya Eksepsi Tergugat III tidak berdasar

hukum, patut ditolak dan di kesampingkan;

Eksepsi Salah Pihak (Error In Persona);

• Bahwa judex faxti Pengadilan Tinggi Agama Medan telah salah dan keliru

dalam pertimbangan hukumnya dengan menyebutkan seharusnya PT. Bank

Sumut Syariah Cabang Padangsidempuan yang digugat bukan Termohon

Kasasi I selaku Inperson sekaligus selaku Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang

Syariah Padang Sidempuan, sebab berdasarkan bukti P-III dan keterangan

saksi-saksi terbukti dipersidangan in casu perkara a quo menyangkut

Ekonomi Syariah perihal kelalaian dan kealpaan atau iktikad tidak baik yang

dilakukan oleh Termohon Kasasi I/Tergugat I selaku Inperson sekaligus

selaku Pimpinan PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padang Sidempuan;

• Bahwa oleh karena selaku pribadi sekaligus pengembang hak dan kewajiban

dari badan hukum PT. Bank Sumut berdasarkan prinsip Syariah gugatan dapat

diajukan kepada perseorangan/pribadi sekaligus jabatannya sebagai pimpinan

cabang atau direksinya karenanya gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat tidak

salah pihak karena Eksepsi Tergugat III tidak berdasar hukum patut untuk

ditolak dan di kesampingkan;

Eksepsi Gugatan Kabur dan Tidak Jelas (Obscuur Libel);

• Bahwa dipersidangan Tergugat III tidak dapat membuktikan

kebenaran dalil eksepsinya tentang gugatan Penggugat kabur dan

tidak jelas (obscuur libel);

• Bahwa terbukti posita dan petitum gugatan Pemohon Kasasi/

Penggugat telah terurai secara jelas dan rinci dan memenuhi syarat

formil dan materil perihal Ekonomi Syariah yaitu Pembebasan

Utang dan Penundaan Lelang sesuai ketentuan hukum acara

perdata yang menyangkut Ekonomi Syariah tidak ada ketentuan

yang mengatur pencantuman nama pimpinan badan hukum

tersangkut dalam perkara a quo dan kedudukan serta status hukum

Penggugat terbukti (Vide Bukti-P-1) adalah ahli waris Alm.

Ongku Sutan Harahap karenanya berwenang mengajukan perkara

a quo dengan demikian terbukti gugatan Penggugat telah sesuai

ketentuan hukum yang berlaku karenanya eksepsi Tergugat III

patut ditolak dan di kesampingkan;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa berdasarkan dalil dan bukti hukum bantahan tentang

eksepsi Tergugat I, II dan III di atas dapat disimpulkan:

Gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat adalah terbukti menyangkut Ekonomi

Syariah Perihal Pembebasan Utang dan Penundaan Lelang sesuai Akad Al-

Musyarakah Nomor 120/KCSY02-APP/MSY/2011, tanggal 26 April 2011 dan

Eksepsi-Eksepsi yang diajukan Tergugat I, II dan III dalam perkara a quo tidak

didasarkan pada bukti yang sempurna eksepsi tidak berdasar hukum, tidak

cermat/teliti serta kebenarannya tidak didukung oleh saksi-saksi, karenanya

eksepsi Tergugat I, II dan III di atas patut untuk tidak dipertimbangkan dan

ditolak seluruhnya dan sekaligus mengabulkan gugatan Pemohon Kasasi/

Penggugat untuk seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

Putusan judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan Tidak Cukup Memberikan

Pertimbangan Hukum (Onvol Doende Gemotiveerd);

• Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Medan) dalam memeriksa dan

mengadili perkara ini pada Tingkat Banding, tidak memeriksa perkara ini

secara sungguh-sungguh, sebab dalam putusannya tidak ada melakukan

pertimbangan hukum yang dibuat oleh Pengadilan Agama Medan yang

menjadi dasar dijadikan banding oleh Pembanding karenanya Pemohon

Kasasi keberatan terhadap putusan tersebut;

• Bahwa sesuai Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Pasal 23 menyebutkan

secara tegas: “Segala Putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan

dasar putusan itu juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari

peraturan-peraturan yang bersangkutan atau bersumber hukum tak tertulis

yang dijadikan dasar untuk mengadili”;

• Bahwa dicermati Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan Nomor 124/

Pdt.G/2013/PTA-Mdn, tanggal 5 Februari 2014 telah sangat bertentangan

dengan Pasal 23 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 karena kurang

cukup memberikan pertimbangan hukum, oleh sebab itu sangat beralasan

Putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan di atas untuk dapat ditolak atau

setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvaklijk Verklaard);

• Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Medan) tidak melaksanakan

pemeriksaan perkara pada Tingkat Banding dengan sempurna dan lengkap

sebagaimana ketentuan hukum acara, kenyataan judex facti (Pengadilan

Tinggi Agama Medan) tidak ada melakukan pertimbangan hukum atas

Hal. 19 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

putusan Pengadilan Agama Medan yang memeriksa dan memutus perkara a

quo mengenai fakta maupun penerapan hukumnya;

Judex facti Salah Menerapkan Hukum Pembuktian yang Berkenaan Dengan

Pembebanan dan Penilaian Pembuktian;

• Bahwa judex facti (Pengadilan Tinggi Agama Medan) dalam

perkara a quo tidak teliti menilai dan mempertimbangkan bukti-

bukti P-1 s/d P-6 serta keterangan saksi-saksi yang bernama: 1.

Erwin Siregar, S.H., bin Sutan Guru Siregar, 2. H. Pangiutan

Harahap bin H. Nirwan Harahap, 3. Ridwan, 4. Raja Sahnan yang

telah terang dan jelas terbukti mengetahui dan menerangkan yang

pada intinya bahwa:

• Saksi menerangkan terakhir Alm. Ongku Sutan Harahap pada tahun

2011 ada meminjam uang untuk Pembiayaan Musyarakah senilai

Rp700.000.000,00 (tujuh ratus juta rupiah) untuk jangka waktu 12

bulan;

• Saksi mengetahui pada waktu peminjaman Alm. Ongku Sutan

Harahap telah melunasi biaya Administrasi, Notaris, Asuransi Jiwa

dan Asuransi Kebakaran senilai Rp13.609.408,00 (tiga belas juta

enam ratus sembilan ribu empat ratus delapan rupiah);

• Saksi mengetahui Alm. Ongku Sutan Harahap telah menyerahkan

dua agunan berupa tanah dan bangunan di Pasar Gunungtua 1.

Sertifikat Hak Milik Nomor 457 dan 2. Sertifikat Hak Milik Nomor

395 atas nama Alm. Ongku Sutan Harahap;

• Saksi mengetahui selama hidupnya Alm. Ongku Sutan Harahap

selalu tepat waktu membayar angsuran dan tercatat sebagai nasabah

yang baik;

• Saksi menerangkan setelah Alm. Ongku Sutan Harahap meninggal

dunia, pihak PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padang Sidempuan

ada beberapa kali membuat Surat Peringatan kepada anak istri Alm.

Ongku Sutan Harahap untuk melunasi pembayaran pinjaman Alm.

Ongku Sutan Harahap;

• Saksi menerangkan dan mengetahui (karena saksi juga sering

meminjam uang ke Bank) menurut ketentuan umumnya apabila

peminjam meninggal dunia, maka utang peminjam menjadi hapus

dan ditanggung oleh Bank dan asuransi;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Saksi mengetahui saat ini usaha Alm. Ongku Sutan Harahap

mengalami kemunduran, usaha angkutan tinggal 1 mobil merk

Paluta Ekspress dan usaha spare part mobil juga tidak laku;

• Saksi mengetahui istri dan anak Alm. Ongku Sutan Harahap tidak

mampu untuk melunasi utang Alm. Ongku Sutan Harahap dan

menurut saksi utang Alm. Ongku Sutan Harahap harus dihapuskan

dan dibebankan pada PT. Bank Sumut Cabang Syariah Padang

Sidempuan dan pihak Asuransi;

• Bahwa Majelis Hakim hanya berpedoman pada bukti yang diajukan oleh Para

Termohon Kasasi karena Bukti T.I-II Nomor 1 s/d T.I-II Nomor 21 dan bukti

T.III-1 s/d T.III-5 adalah bukti yang bersifat rekayasa sepatutnya Majelis

Hakim judex facti dapat meneliti dengan cermat bukti yang ada;

• Bahwa judex facti tidak cermat dalam mempertimbangkan alat bukti yang

diajukan Pemohon Kasasi, dan judex facti bersifat berpihak penilaian kepada

alat bukti Para Termohon Kasasi, dengan demikian alat bukti yang diajukan

Pemohon Kasasi yaitu sebagaimana dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung

RI Nomor 638 K/SIP/1969, tanggal 22 Juli 1970 yang mempertimbangkan

hukumnya sebagai berikut: “Kekurangan mempertim-bangkan alat-alat bukti

para pihak berarti judex facti tidak tertib beracara atau kurang cukup

mempertimbangkan bukti-bukti karena itu putusan tersebut harus

dibatalkan”;

• Bahwa perkenakan Pemohon Kasasi mengemukakan pendapat Prof. R.

Subekti, S.H., dalam buku “Hukum Pembuktian” halaman 19 Bab VI tentang

hal beban pembuktian (terbitan PT. Pradnya Paramita Jakarta) yang antara

lain menyatakan:

“Soal pembagian beban pembuktian itu dianggap sebagai suatu soal hukum atau

soal yuridis yang dapat memperjuangkan sampai tingkat kasasi dimuka

pengadilan kasasi yaitu Mahkamah Agung. Melakukan pembagian beban

pembuktian yang tidak adil, dianggap suatu pelanggaran hukum atau undang-

undang yang merupakan alasan bagi Mahkamah Agung untuk membatalkan

putusan hakim atau pengadilan rendahan yang bersangkutan”;

• Bahwa berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tanggal 22 Juni 1970

Nomor 638 K/Sip/1969 yang antara lain menyatakan Putusan Pengadilan

Negeri (Pengadilan Tingkat I) dan Pengadilan Tinggi yang kurang cukup

dipertimbangkan (Onvoeldoende Gemotoverreed) haruslah dibatalkan”;

Hal. 21 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa untuk itu Pemohon Kasasi mohon ke hadapan Bapak Ketua

Mahkamah Agung RI untuk dapat memeriksa kembali materi perkara, hal ini

Pemohon Kasasi utarakan selaras dengan Surat Edaran Mahkamah Agung

RI Nomor 4 Tahun 1977, antara lain menyatakan: “Dengan tidak kurang/

memberikan pertimbangan/alasan bahwa alasan itu kurang jelas, dapat

dimengerti ataupun bertentangan satu sama lain maka hal demikian dapat

dipandang sebagai suatu kelalaian dalam acara (Vormverzuim) yang dapat

mengakibatkan batalnya Putusan Pengadilan yang bersangkutan”;

• Bahwa berdasarkan uraian-uraian sebagaimana yang telah disebutkan di atas,

terbukti secara jelas dan nyata bahwa Putusan judex facti Pengadilan Tinggi

Agama Medan di Medan dalam putusannya Nomor 124/ Pdt.G/ 2013/PTA-

Mdn, tanggal 5 Februari 2014, telah lalai memenuhi syarat- syarat yang

ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan (vide Pasal 30 Sub C

Undang-Undang Mahkamah Agung RI Nomor 14 Tahun 1985);

• Bahwa oleh karenanya maka patut dan berdasarkan kiranya menurut hukum

Putusan judex facti Pengadilan Tinggi Agama Medan dalam putusannya

Nomor 124/Pdt.G/2013/PTA-Mdn, tanggal 5 Februari 2014 tersebut haruslah

dibatalkan adanya;

PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung

mempertimbangkan sebagai berikut:

mengenai alasan-alasan kasasi tersebut:

Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena Pengadilan

Tinggi Agama Medan tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan sebagai

berikut:

• Bahwa secara formal gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat obscuur libel,

karena antara posita gugatan dengan petitum gugatan tidak saling mendukung,

hal tersebut dapat dilihat dari petitum gugatan Pemohon Kasasi/Penggugat

yang tidak menuntut kepada pihak siapa yang harus mengembalikan modal

pembiayaan musyarakah dalam perkara a quo;

• Bahwa disisi lain seharusnya yang digugat dalam perkara a quo adalah PT.

Bank Sumut Syariah Cabang Padangsidempuan, bukan Aminudin Sinaga

selaku pribadi dan pimpinan cabang PT. Bank Sumut Syariah Cabang

Padangsidempuan;

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 22

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

• Bahwa selain itu alasan kasasi Pemohon Kasasi/Penggugat hanya mengenai

penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu

kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan dalam

tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan

dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan dalam penerapan atau

pelanggaran hukum yang berlaku, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal

30 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata

bahwa putusan Pengadilan Tinggi Agama Medan dalam perkara ini tidak

bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang

diajukan oleh Pemohon Kasasi Hj. SARIPAH DALIMUNTHE tersebut harus

ditolak;

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi ditolak, maka Pemohon

Kasasi dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang

Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5

Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua

dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 serta peraturan perundang-undangan

lain yang bersangkutan;

M E N G A D I L I:

Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi Hj. SARIPAH

DALIMUNTHE, tersebut;

Menghukum Pemohon Kasasi/Penggugat untuk membayar biaya perkara

dalam tingkat kasasi ini sejumlah Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung

pada hari Selasa tanggal 30 Desember 2014 dengan Prof. Dr. H. ABDUL MANAN,

S.H., S.IP., M.Hum., Hakim Agung yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung

sebagai Ketua Majelis, Dr. H. HABIBURRAHMAN, M.Hum., dan Dr. H.

PURWOSUSILO, S.H., M.H., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota dan diucapkan

dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis tersebut

Hal. 23 dari 24 hal. Put. Nomor 715 K/Ag/2014

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 23

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota dan dibantu oleh Drs. H. NURUL

HUDA, S.H., M.H., Panitera Pengganti, dengan tidak dihadiri oleh para pihak.

Hakim-Hakim Anggota: K e t u a,

ttd ttd

Dr. H. Habiburrahman, M.Hum. Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.Hum.

ttd

Dr. H. Purwosusilo, S.H., M.H. ttd ttd

Biaya Kasasi: Panitera Pengganti,

1 Meterai ……… Rp 6.000,00 ttd ttd

2 Redaksi …….. Rp 5.000,00 Drs. H. Nurul Huda, S.H., M.H.

3

Administrasi ... Rp489.000,00 Drs. H. NURUL HUDA, S.H., M.H., Jumlah ……… Rp500.000,00N

Untuk SalinanMAHKAMAH AGUNG RI

an. PaniteraPanitera Muda Perdata Agama

Drs. H. ABDUL GHONI, S.H., M.H. NIP. 19590414 198803 1 005

IP.

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 24