Upload
henricoharianja
View
835
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM KONTRAK
NASIONAL DAN KONTRAK KONSTRUKSI
Pengajar:Dr. Ir. Sarwono Hardjomuljadi, M.Sc.
Studi Kasus Putusan Perkara Arbitrase Dalam Tingkat Banding oleh
Mahkamah Agung Antara PT Angkasa Pura I dengan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia dan PT. Hutama Karya
KEMENTERIAN
PEKERJAAN UMUM
Disusun Oleh:
HENRICO 2011831024
Bandung, 2012
I. INFORMASI PUTUSAN
1. Nomor Putusan : 231 K/Pdt.Sus/2011
2. Jenis putusan : Perkara Arbitrase Dalam Tingkat Banding
3. Pemohon Kasasi : PT. ANGKASA PURA I (PERSERO) dahulu penggugat di
Pengadilan Negeri
4. Termohon Kasasi 1. BADAN ARBITRASE NASIONAL INDONESIA (BANI)
2. PT. HUTAMA KARYA (PERSERO)
5 Objek Sengketa 1. Surat Perjanjian Pemborongan No. 37/SPP/PL.10/2007-
DU
2. Putusan BANI No. 326/X/ARB-BANI/2009
6 Informasi Proyek Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjangnya di Bandar
Udara Internasional Lombok.
II. OBJEK GUGATAN
Klaim Permohonan PT. Hutama
Karya Putusan BANI
Kenaikan BBM Rp 29.770.317.159,- Rp 15.000.000.000,-
Percepatan Pekerjaan Rp 9.974.195,159- Rp 4.000.000.000,-;
Pekerjaan Cross Drain Rp 64.087.000,-
Rp. 1.000.000.000,- Pekerjaan Dewatering
selama 12 hari Rp 1.695.276.000
III. DALIL-DALIL GUGATAN PT ANGKASA PURA I
1. Eskalasi harga akibat kenaikan harga bahan bakar minyak
Eskalasi harga akibat kenaikan harga bahan bakar minyakyang dimohonkan PT
Hutama Karya selaku kontraktor utamakepada PT Angkasa Pura I dinilai sangat
tidak relevan:
1. Adanya dokumen yang bersifat menentukan yang tidak pernah diungkap
oleh PT. Hutama Karyadalam proses pemeriksaan arbitrase terkait perkara,
yang mana dokumen tersebut diyakini dapat mempengaruhi pertimbangan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia dalam memberikan putusan.
2. Adapun bukti baru yang bersifat menentukan tersebut berupa Surat
Perjanjian Pemborongan antara oleh PT. Hutama Karyadengan PT
Metropolitan Aulia Mix (sebagai sub kontraktor) tentang Pekerjaan Aspal-
Bandara Internasional Lombok Nomor: PROD.IV/TR.1936/SPP.13/08
tanggal 6 oktober 2008(kontrak dilakukan tanpa sepengetahuan
pemohon)
3. Obyek pekerjaan dalam Kontrak antara PT. Hutama Karyadengan PT MAM
tersebut merupakan salah satu pekerjaan utama yang diatur dalam Surat
Perjanjian Pemborongan (SPP) Nomor: 37/SPP/PL.10/2007-DU tanggal14
Desember 2007 antara PT Angkasa Pura I dan PT. Hutama Karya untuk
pelaksanaan pekerjaan Pembuatan Runway dan Fasilitas Penunjangnya di
Bandara Internasional Lombok.
4. Kontrak antara PT. Hutama KaryadenganPT Metropolitan Aulia Mix
tersebut dibuat setelah terjadinya kenaikan bahan bakar minyak (BBM),
yaitu dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 2008 (kenaikan BBM terjadi
pada tanggal 23 Mei 2008)
5. Kontrak tersebut dibuat setelah terjadinya kenaikanharga BBM, nilai
pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak antara PT. Hutama Karyadengan
PTMAM tersebut (dengan nilai sebesar Rp.4.656.109.150,00) berada
dibawah harga satuanyang telah diperjanjikan dalam kontrak yang
disepakati antara Penggugat dan PT. Hutama Karya(subkontrak tidak
memperhitungkan adanya kenaikan BBM).
Gugatan kepada BANI
BANI menggunakan pertimbangan berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata terkait
dengan asas kepatutan, sebagai berikut: "Bahwa Surat Perjanjian
Pemborongan No. 37/SPP/PL10/2007-DU tanggal 14 Desember 2007
tidak mengatur dengan jelas mengenai pernilaian dan perhitungan
tentang dampak dari terjadinya peristiwa perubahan peraturan
perundang-undangan yang merupakan kebijaksanaan Pemerintah,
namun BANI menilai wajar bila dampak riil akibat dari kebijaksanaan
tersebut dipertimbangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata,
yaitu bahwa perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas
dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian diharuskan oleh kepatutan, dan kebiasaan atau undang-
undang"
Keberatan PT Angkasa Pura I atas putusan BANI
1. Pasal 15 butir 2 Rules and Procedures BANI mengatur bahwa dalam
menerapkan hukum yang berlaku, BANI atau khususnya majelis arbitrase
harus mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta
praktek dan kebiasaan yang relevan dalam kegiatan bisnis yang
bersangkutan. Namun dalam pertimbangannya, BANI justru telah tidak
mempertimbangkanketentuan-ketentuan dalam Surat Perjanjian
Pemborongan No. 37/SPP/PL 10/2007-DU tanggal 14 Desember
2007.
2. Asas kepatutan dalam putusan BANI tersebut tidak ada ukuran
yang pasti (sangat relative), sehingga nilai yang diputuskan BANI yang
menjadi kewajiban Penggugat hanya dinilai dari sisi kewajaran menurut
Majelis Arbiter saja dan tidak mempertimbangkan keberatan-keberatan dari
Penggugat
3. BANI juga berpendapat dalam pertimbangan-nya bahwa dengan terbitnya
surat tanggal 20 Oktober 2008 (Bukti P-11), maka Penggugat pada dasarnya
bersedia memberikan penyesuaian harga karena kenaikan BBM dan
Penggugat tidak menolak untuk diterapkannya perhitungan eskalasi.
4. Surat tanggal 20 Oktober 2008 (Bukti P-11) tersebut adalah surat yang
dikeluarkan Surat Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) No. SP-1100/0502/2009 tanggal 3
September 2009 perihal Laporan Hasil Pendampingan dan Monitoring
Pernbangunan Runway Tahap I Proyek Pembangunan Bandara
Internasional Lombok (Bukti T-5) dengan pokok-pokok hasil pendampingan
sebsqai berikut
a. Nilai kontrak pembangunan runway sebesar Rp.154.000.000.000,-
dengan realisasi fisik kontrak sebesar 100 % dan realisasi keuangan
sebesar 84%.
b. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat (2)
SPP Nomor: 37/SPP/PL.10/2007-DU, bahwa kontrak yang ada
bersifat lumpsum dan fixed price, sehubungan dengan hal tersebut,
BPKP tidak dapat menghitung/menetapkan jumlah pengajuan tambahan
biaya penyesuaian harga, biaya percepatan dan biaya cross drain dan
Dewatering kolam penampung.
5. Sampai dengan putusan dikeluarkan oleh BANI, TIDAK TERDAPAT
KEPUTUSAN PEMERINTAH DALAM BENTUK APAPUN yang dapat
digunakan Penggugat sebagai dasar untuk menghitung eskalasi.
2. Penyesuaian Harga Akibat Percepatan Pekerjaan
1. Guna membantu kebutuhan biaya percepatan pekerjaan PT. Hutama Karya,
PT Angkasas Pura telah memberikan uang muka kepada PT. Hutama
Karyasebesar Rp. 30.800.000.000,- (tiga puluh milyar delapan ratus juta
rupiah). Sehingga dengan pemberian uang muka tersebut, Penggugat telah
membantu cash flow Turut Tergugat dalam melaksanakan percepatan
pekerjaan.
2. Hal tersebut juga merupakan bentuk solusi yang diberikan PT Angkasa Pura I
kepada PT Hutama Karya dalam melaksanakan percepatan pekerjaan.
3. Dari sisi pengelolaan dana, pihak PT Angkasa Pura I telah mengalami
opportunity loss sebesar Rp.3.602.941.222,-
4. Demi kelancaran pelaksanaan percepatan pekerjaan, maka pihak Penggugat
tetap melaksanakan pemberian uang muka tersebut sebagaimana arahan
Menteri Negara BUMN pada rapat tanggal 12 Juni 2008 perihal pemberian
uang muka.
3. Pelaksanaan Pekerjaan di Musim Hujan.
1. Dalam hal ini PT Hutama Karya berpendapat bahwa akibat percepatan pekerjaan
waktu pelaksanaan pekerjaan pada musim kering (dry season) harus
diselesaikan pada musim hujan, BANI menilai seharusnya PT Hutama Karya
sudah dapat mengetahui pada saat permintaan percepatan tanggal 4 Juni
pelaksanaan pekerjaan akan berada pada musim hujan, sehingga pembebanan
biaya akibat inefisiensi produktifitas alat selama 100 hari keseluruhan kepada
PT Angkasa Pura adalah kurang wajar.
2. PT Angkasa Pura I menyatakan menolak terhadap Putusan BANI yang telah
mengabulkan sebagian permohonan Turut Tergugat untuk pembayaran
penyesuaian harga percepatan pekerjaan sebesar Rp. 4.000.000.000,-(empat
milyar rupiah), belum termasuk pajak PPN.
4. Pekerjaan Cross Drain dan Dewatering.
1. Munculnya pekerjaan cross drain dan dewatering ini tidak terlepas dari
pemilihan metode kerja yang dipergunakan oleh PT Hutama Karya untuk
melaksanakan pekerjaan, mengingat dari metode kerja inilah akan dapat
dihitung unit price yang nantinya akan diajukan oleh PT Hutama Karya kepada
PT Angkasa Pura I sebagai penawaran
2. Dengan adanya Penjelasan (Aanwijzing) pekerjaan yang kemudian dilanjutkan
dengan peninjauan lapangan pada saat proses pelelangan pekerjaan, maka PT
Hutama Karya telah memiliki kesempatan untuk melakukanpemilihan metode
kerja yang paling tepat yang dapat ditawarkan kepada PT Angkasa Pura I untuk
melaksanakan pekerjaan.
3. Apabila metode kerja yang digunakan PT Hutama Karya sudah tepat, maka
pekerjaan Cross drain dan Dewatering ini seharusnya sudah dapat
diperhitungkan dalam penawaran. Dalam hal pekerjaan Cross drain dan
Dewatering diperhitungkan dalam penawaran, maka hitungannya akan masuk
pada Sil of Quantity pekerjaan khususnya pada item pekerjaan tanah, Namun
berdasarkan Rincian Daftar Kuantitas dalam Sil of Quantity pekerjaan PT
Hutama Karya khususnya pada butir 1 (satu) tentang pekerjaan tanah, tidak
terdapat perhitungan mengenai pekerjaan Dewatering dan Cross Drain tersebut.
4. Mengingat pekerjaan Cross Drain dan Dewatering tersebut tidak termasuk dalam
ruang lingkup pekerjaan dan tidak termasuk pula sebagai hal yang
diperhitungkan dalam Sil of Quantity pekerjaan, maka sudah seharusnya pihak
PT Hutama Karya terlebih dahulu harus mengajukan permohonan ijin kepada PT
Angkasa Pura I untuk melaksanakannya.
5. Namun berdasarkan bukti yang ada, PT Hutama Karya baru mengajukan biaya
pembuatan Cross drain dan Dewatering kepada PT Angkasa Pura I masing-
masing pada tanggal 28 Januari 2009 dan 27 Februari 2009, yaitu pada saat
setelah pekerjaan Cross Drain dan Dewatering selesai dilaksanakan. Fakta ini
diakui pula oleh pihak PT Hutama Karya dalam replik PT Hutama Karya yaitu
pada huruf C butir 7 mengenai permohonan pembayaran penyesuaian harga
karena pekerjaan Cross Drain dan Dewatering
IV. EKSEPSI BANI
1. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan untuk memeriksa,
mengadili dan memutus perkara berdasarkan kompetensi relatif (exception
relative competentie).
a. Berdasarkan Pasal 71 jo. Pasal 1 angka (4) UUNo.30/1999, suatu upaya
pembatalan putusan arbitrase, harus diajukan secara tertulis
kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi
tempat tinggal Termohon dalam proses pemeriksaan arbitrase.
b. Bahwa Penggugat, dahulu Termohon Perkara Arbitrase
No.326/X/ARBANI/ 2009, berkedudukan di Kota Baru Bandar
Kemayoran Blok B-12 Kaveling No.2, Jakarta Pusat sebagaimana
tercantum dalam gugatan. Oleh sebab itu, pembatalan tersebut harus
diajukan di Pengadilan Negeri yang meliputi tempat tinggal PT.Angkasa
Pura I (Persero) selaku pihak Termohon,yakni di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat;
c. putusan BANINo.326/X/ARBBANI/2009 sebagaimana ternyata dalam
Akta Pendaftaran No.08/WASIT/2010/PN.JKT.PST tertanggal 16 Juni
2010 telah diserahkan dan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, dimana hal ini telah sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh
UU No. 30/1999;
2. Upaya hukum pembatalan putusan arbitrase harus diajukan dalam
bentukpermohonan sehingga gugatan tidak berdasar hokum. Pasal 70 UU
No.30/1999, menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase, termasuk juga
putusan BANI No.326/X/ARB-BANI/2009, hanya dapat dibatalkan dengan
cara mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, dan
bukan dengan cara mengajukan suatu gugatan.
3. Tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum pembatalan putusan arbitrase
telahlampau.
a. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis
dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari
penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera
Pengadilan Negeri
b. putusan BANI No.326/X/ARB-BANI/2009 telah diserahkan dan
didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan
bukti Akta Pendaftaran No. 08/WASIT/2010/PN.JKT.PST tertanggal 16
Juni 2010, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 59 UU No. 30/1999.
c. Penggugat baru mengajukan upaya hukum pembatalan putusan BANI No.
26/X/ARB-BANI/2009 ini pada tanggal 22 Juli2010.
4. BANI sebagai lembaga arbitrase tidak dapat digugat sebagai pihak dalam perkara
karena berdasarkan Pasal 21 UU No.30/1999 menyebutkan bahwa arbiter atau
majelis arbitrase tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas
segala tindakan yang diambil selama proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase,kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut”
V. PUTUSAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 490/Pdt.G/2010/PN. Jkt.Sel,
tanggal 22 November 2010 adalah sebagai berikut
Dalam Eksepsi:
Menolak eksepsi dari Tergugat untuk seluruhnya;
Dalam Pokok Perkara:
Menolak gugatan PT. Angkasa Pura I selaku penggugat untuk
seluruhnya;
Menghukum Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam
perkara ini yang hingga kini diperhitungkan sebesar Rp 581.000,-
(lima ratus delapan puluh satu ribu rupiah)
Pertimbangan Pengadilan Negeri:
Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti subkontrak yang diajukan Penggugat
sebagai bukti yang barutidak mempunyai hubungan langsung dengan Penggugat
selaku pihak yangberkepentingan karena yang terkait da/am perjanjian
pemborongan aspal BandaraIntemasional Lombok adalah antara Turut Tergugat
dengan PT Metropolitan Aulia Mix
VI. BANDING DI TINGKAT MAHKAMAH AGUNG
Alasan permohonan banding:
Dalam mengambil putusan,Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah
salah menerapkan atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku
karena telah tidak seksama dalam pertimbangan putusan.s
Putusan Mahkamah Agung
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah tepat dan benar yaitu tidak
salah menerapkanhukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
1. Keberatan/alasan-alasan kasasi tidak relevan dengan adanya(quod-non)
kesalahan penerapan hokum.
2. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah benar mempertimbang-kan bahwa
alasan/keberatan atas permohonan pembatalan putusan arbitrase ditegaskan
dalamPasal 70 huruf a s/d c Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,yaitu:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam permohonan, setelah
putusandijatuhkan, diakui palsu atau dipalsukan;
b. Setelah putusan diambil ditemukan yang bersifat menentukan,
yangdisembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yaitu dilakukan oleh salah
satupihak dalam pemeriksaan sengketa;
berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan bandingyang diajukan oleh
Pemohon Banding: PT. ANGKASA PURA I (PERSERO), tersebut harus
ditolak.
VII. ANALISA DAN DISKUSI
1. Terhadap putusan BANI.
a. Terkait dengan eskalasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dalam hal ini BANI berpendapat kenaikan BBM memiliki dampak yang
signifikan bagi biaya konstruksi terutama dari kenaikan harga material aspal,
sehingga, dampak riil dari kenaikan BBM tersebut harus dipertimbangkan.
Berdasarkan hal tersebut BANI mengabulkan klaim sebesar Rp 15 Milyar.
b. Pada saat kenaikan harga BBM pada tanggal 23 Mei 2008, memang tidak ada
suatu kebijakan apapun dari Pemerintah yang dapat menjadi dasar bagi
penyesuain harga kontrak. Hal ini berbeda pada saat kenaikan BBM pada
bulan Oktober 2005, dimana kenaikan harga BBM tersebut, diikuti dengan
terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 105/PMK.06/2005
penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan Pemerintah Tahun
Anggaran 2005 yang dapat digunakan sebagai dasar hokum eskalasi harga
kontrak.
c. Tidak ada satupun regulasi peraturan perundangan yang menyatakan secara
jelas bahwa kenaikan harga BBM dapat menjadi dasar dalam eskalasi harga
kontrak. Adapun beberapa peraturan perundangan yang memiliki
“penafsiran” yang dapat digunakan sebagai dasar eskalasi antara lain:
a. Pasal 91 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 j.o Peraturan
Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa
pemerintah, menyatakan:
i. Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang terjadi diluar
kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya,
sehingga kewajiban yang ditentukan dalam Kontrak
menjaditidak dapat dipenuhi
ii. Yang dapat digolongkan sebagai Keadaan Kahar dalam
KontrakPengadaan Barang/Jasa meliputi:
1. bencana alam;
2. bencana non alam;
3. bencana sosial;
4. pemogokan;
5. kebakaran; dan/atau
6. gangguan industri lainnya sebagaimana
dinyatakan melalui keputusan bersama Menteri
Keuangan danmenteri teknis terkait.
b. Pasal 92Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 j.o Peraturan
Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa
pemerintah, menyatakan penyesuaian harga dilakukan dengan
ketentuansebagai berikut:
i. penyesuaian harga diberlakukan terhadap Kontrak Tahun
Jamak berbentuk Kontrak Harga Satuan berdasarkan ketentuan
dan persyaratan yang telah tercantum dalam Dokumen
Pengadaan dan/atau perubahan Dokumen Pengadaan
ii. tata cara perhitungan penyesuaian harga harus dicantumkan
dengan jelas dalam Dokumen Pengadaan
iii. penyesuaian harga tidak diberlakukan terhadap Kontrak
Tahun Tunggal dan Kontrak Lump Sum serta pekerjaan
dengan Harga Satuan timpang.
Jelas bahwa dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia,
penyesuaian harga hanya dapat dilakukan pada kontrak tahun
jamak (multi years) serta kontrak harga satuan (bukan kontrak
lumpsum), klausul lain yang dapat digunakan adalah mengenai keadaan
kahar, namun jika memang kenaikan harga BBM merupakan keadaan
kahar, maka hal ini harus dinyatakan dalam keputusan bersama
Kementerian Keuangan serta Kementerian teknis lainnya. Dengan
adanya putusan BANI yang membenarkan adanya eskalasi harga kontrak
karena kenaikan harga BBM, akan membuat kerancuan dalam kemudian
hari, apakah dalam setiap terjadinya kenaikan harga BBM seluruh
kontrak konstruksi harus dieskalasi.
d. Terkait dengan klaim penyesuaian harga akibat percepatan pekerjaan,
putusan BANI dinilai cukup tepat, berdasarkan pertimbangan berikut:
i. Didalam klausula 14.2 tentang Uang Muka, FIDIC Conditions of Contract,
disebutkan bahwa pemberian uang muka merupakan pinjaman tanpa
bunga dalam rangka mobilisasi dan mendukung aliran kas. Jumlah total
uang muka, jumlah tahapan pemberian uang muka, mata uang yang
digunakan serta proporsinya, haruslah sebagaimana dinyatakan dalam
kontrak. Jelas disini, bahwa dalam best practices yang ada, pemberian
uang muka bukan dalam rangka percepatan pelaksanaan
pekerjaan, dalam hal pengguna jasa memberikan jumlah uang muka
yang lebih besar dari apa yang dinyatakan dalam kontrak, hal itu hanya
bisa diartikan sebagai bantuan pengguna jasa dalam rangka aliran
kas kontraktor, bukan sebagai dasar instruksi percepatan tanpa
biaya tambahan diluar harga kontrak.
ii. Dengan adanya dokumen instruksi percepatan pelaksanaan pekerjaan dari
pengguna jasa, maka alasan PT. Hutama Karya bahwa instruksi
percepatan tersebut akan menimbulkan inefesiensi dalam pelaksaan nya
adalah logis dan tepat, klaim ini layak untuk dikabulkan oleh BANI.
e. Terkait dengan pelaksanaan pekerjaan dimusim hujan, hal ini merupakan
konsekuensi dari instruksi percepatan yang diberikan oleh pengguna jasa,
sehingga dampak inefesiensi produktivitas alat pada saat musim hujan
tersebut secara logis dapat diterima.
f. Terkait dengan klaim pelaksanaan pekerjaan cross drain dan dewatering,
dapat diberikan penjelasan sebagai berikut:
a. Jika memang apa yang dikemukakan PT Angkasa Pura I adalah betul,
bahwa pelaksanaan pekerjaan cross drain dan dewatering tidak ada
dalam daftar metode pekerjaan yang berikan pada saat penawaran,
dan tidak ada persetujuan pengguna jasa terhadap pelaksaan
pekerjaan tersebut, maka menimbang kontrak merupakan kontrak
lump sum, maka seharusnya biaya pengerjaan cross drain dan
dewatering adalah tanggung jawab kontraktor yakni PT Hutama Karya.
b. Sesuai dengan klausula 8.3 tentang rancana kerja, FIDIC Conditions Of
Contract, bahwa kontraktor harus menyampaikan rencana kerja secara
rinci kepada enjinir dalam waktu 28 hari setelah menerima
pemberitahuan tanggal mulai pekerjaan, kontraktor harus
menyampaikan revisi rencana kerja apabila program yang telah dibuat
sudah tidak sesuai dengan kemajuan pekerjaan sebenarnya atau tidak
sesuai dengan kewajiban kontraktor.
Berdasarkan hal-hal diatas sudah selayaknya PT Hutama Karya
mengerjakan pekerjaan ini tanpa diberikan biaya tambahan, karena sudah
menjadi kewajiban PT Hutama Karya juga karena mengingat jenis kontrak
lumps sum yang digunakan.Putusan BANI terhadap hal ini yang
mengabulkan sebagian klaim kurang tepat.
g. Pasal 21 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang
penyelenggaraan jasa kontruksi menyatakan kontrak kerja konstruksi dengan
bentuk imbalan Lump Sum merupakan kontrak jasa atas penyelesaian
seluruh pekerjaan dalam jangka waktu tertentu dengan jumlah harga yang
pasti dan tetap serta semua risiko yang mungkin terjadi dalam
proses penyelesaian pekerjaan yang sepenuhnya ditanggung oleh
penyedia jasa sepanjanggambar dan spesifikasi tidak berubah. Artinya
risiko kenaikan harga aspal karena kenaikan harga BBM dalam suatu kontrak
lumpsum harusnya ditanggung oleh penyedia jasa (kontraktor). Hal yang
menjadi pertanyaan dari putusan BANI ini, apakah ketika ada
penurunan harga BBM yang berdampak menurunnya harga aspal,
apakah harga kontrak akan disesuaikan menjadi lebih murah?.
h. Didalam klausula 13.7 Penyesuaian akibat perubahan peraturan, FIDIC
Conditions Of Contract, disebutkan bahwa nilai kontrak harus disesuaikan
dengan mempertimbangkan penambahan atau pengurangan biaya akibat
perubahan hukum di negara tersebut atau dalam penjelasan hukum yang
dibuat setelah tanggal dasar dan mempengaruhi kontraktor dalam
melaksanakan kewajibannya berdasarkan kontrak. Pada setiap kenaikan
harga BBM, pasti ditetapkan dengan suatu Peraturan Presiden atau Peraturan
Menteri ESDM. Klausul ini dapat digunakan sebagai Best Practices dalam
pertimbangan eskalasi harga kontrak akibat kenaikan BBM.
i. Didalam klausula 13.8 Penyesuaian Akibat Perubahan Biaya, FIDIC
Conditions Of Contract, penyesuaian biaya dapat dilakukan bila ada suatu
tabel data penyesuaian biaya yang terjadi karena adanya perubahan nilai kurs
mata uang local dengan mata uang asing, hal ini pun harus ditegaskan dalam
kontrak.
Berdasarkan alasan-alasan diatas, penulis berpendapat, putusan BANI yang
mengabulkan klaim dari PT Hutama Karya untuk eskalasi harga kontrak suatu
kontrak lump sum karena adanya kenaikan harga BBM dinilai kurang tepat.
Kecuali jika memang Pemerintah menilai kenaikan harga BBM tersebut
sudah berada pada level risiko dari penyedia jasa yang sangat besar
dan sifnifikan sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang
massive serta risiko kualitas pekerjaan konstruksi yang dikorbankan,
maka Pemerintah pasti akan membuat suatu kebijakan eskalasi harga
kontrak yang berlaku secara nasional (tidak kasuistis seperti klaim
ini) seperti yang terjadi pada bulan Oktober 2005 dimana kenaikan
harga BBM mencapai 128 % bila dibandingkan dengan kenaikan
harga BBM pada bulan Mei 2008 yang hanya sebesar 28.7 %.
2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Dalam mengambil putusan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpedoman pada
Pasal 70 huruf a sampai dengan c Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,yaitu:
a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam permohonan, setelah
putusandijatuhkan, diakui palsu atau dipalsukan;
b. Setelah putusan diambil ditemukan yang bersifat menentukan,
yangdisembunyikan oleh pihak lawan; atau
c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yaitu dilakukan oleh salah
satupihak dalam pemeriksaan sengketa;
Hal ini sudah tepat, dan dari keempat dalil gugatan terhadap putusan BANI,
hanya satu yang memenuhi syarat untuk diperiksa dan diperdalam, yakni dalil
nomor 1 tentang eskalasi harga kontrak karena kenaikan harga BBM, dimana
menurut PT Angkasa Pura I, ditemukan suatu dokumen yang bersifat
menentukan namun disembunyikan pihak lawan .Namun dokumen tersebut, yang
merupakan dokumen bukti pelaksanaan kontrak antara PT Hutama Karya dengan
dengan PT Metropolitan Aulia Mix selaku subkontraktor, dinilai Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak dapat memenuhi suatu persyaratan dijadikan sebuah
bukti. Hal ini sudah tepat, karena dokumen tersebut tidak ada hubungannya
dengan objek gugatan, dan hanya sebagian kecil dari lingkup pekerjaan yang
ada.Sedangkan untuk 3 dalil lainnya, pengguna jasa dalam hal ini PT Angkasa
Pura I hanya memberikan argumen dan bukti-bukti lama (tidak ada bukti baru)
sehingga tidak memenuhi persyaratan untuk dijadikan dasar dalam pemeriksan
pembatalan putusan BANI.Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam memutuskan
gugatan ini sudah tepat dan berdasarkan dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
3. Terhadap Putusan Mahkamah Agung
Terhadap putusan Mahkaman Agung yang menolak permohonan kasasi dari PT
Angkasa Pura I juga sudah tepat.Mahkamah Agung menilai Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan sudah tepat dan benar yaitu tidak salah menerapkanhukum
dengan pertimbangan alasan-alasan kasasi yang tidak relevan dengan adanya
kesalahpahaman hukum serta pertimbangan hukum dari Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan yang sudah tepat.
VIII. KESIMPULAN
Kesimpulan:
1. Putusan BANI yang mengabulkan klaim dari PT Hutama Karya untuk eskalasi
harga kontrak suatu kontrak lump sum karena adanya kenaikan harga BBM
dinilai kurang tepat. Kecuali jika memang Pemerintah menilai kenaikan harga
BBM tersebut sudah berada pada level risiko dari penyedia jasa yang sangat
besar dan sifnifikan sehingga berpotensi menimbulkan kerugian yang massive
serta risiko kualitas pekerjaan konstruksi yang dikorbankan, maka Pemerintah
pasti akan membuat suatu kebijakan eskalasi harga kontrak yang berlaku secara
nasional (tidak kasuistis seperti klaim ini) seperti yang terjadi pada bulan
Oktober 2005 dimana kenaikan harga BBM mencapai 128 % bila dibandingkan
dengan kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008 yang hanya sebesar 28.7 %.
2. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam mengambil putusan sudah tepat, dari
keempat dalil gugatan terhadap putusan BANI, hanya satu yang memenuhi
syarat untuk diperiksa dan diperdalam, yakni dalil nomor 1 tentang eskalasi
harga kontrak karena kenaikan harga BBM, dimana menurut PT Angkasa Pura I,
ditemukan suatu dokumen yang bersifat menentukan namun disembunyikan
pihak lawan, dan setelah dilakukan penelitian dan pendalaman dinilai dokumen
tersebut tidak ada hubungannya dengan objek gugatan, dan hanya sebagian kecil
dari lingkup pekerjaan yang ada, sehingga gugatan terhadap putusan BANI
dinilai tidak beralasan hukum.
3. Mahkamah Agung menilai Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah tepat dan
benar yaitu tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan alasan-alasan
kasasi yang tidak relevan dengan adanya kesalahpahaman hukum serta
pertimbangan hukum dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sudah tepat.