4
Barang siapa menghancurkan buku bagus, ia sedang membunuh Rasio itu sendiri...John Milton — Aeropagitica (1644) #0 Juli 2014 gratis selama masih bisa ANAFORA buletin bacaan ringan buletin Anafora #0 | 8 Judul Buku : Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa Penulis : Fernando Baez Penerjemah: Lita Soerjadinata Pengantar : Robertus Robet Tahun : 2013 Tebal : xx+373 hlm. Buku ini mengajak pembaca untuk mengarungi ruang dan waktu kembali ke masa lalu untuk melihat kembali kejadian-kejadian yang berkaitan dengan bibliosida atau penghancuran buku. Penulis merekontruksi kembali sejarah dengan baik dalam buku ini. Mulai dari 5300 tahun yang lalu saat buku pertama kali ditemukan di wilayah kering Sumeria sampai abad ke 20. Buku ini menghasilkan data-data yang cukup lengkap tentang bibliosida yang telah terjadi di bumi ini. Dalam buku ini diterangkan bahwa bibliosida dapat terjadi ketika ada suatu kelompok tertentu yang menganggap ideologia kelompok lain berbahaya bagi mereka dan harus dimusnahkan. Seperti pada zaman rennaisance, dimana gereja menganggap bahwa buku itu berbahaya karena dapat menggoyahkan iman seseorang kepada Tuhan atau gereja. Maka dengan itu gereja menyuruh membakar semua buku yang ada. Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena dapat menjelaskan kepada kita alasan-alasan utama terjadinya bibliosida dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Dapat pula menunjukan betapa berbahayanya sebuah buku itu bagi sebagian kalangan. Yang tidak kalah menarik juga desain sampul buku ini yang menyerupai buku yang sisi-sisi nya sudah terbakar. Sebagai buku panduan membaca, konten buku ini cukup membantu meningkatkan cara- cara pembacaan. Menyajikan bentuk efektifitas dan efisiensi pembacaan yang diurai baik dari struktur kebahasaannya maupun mencermati fokus model baca, juga disertai contoh dan latihan. Bagi khalayak yang belum tertarik membaca, ini dapat memberi suatu rangsang kesadaran untuk menaruh hati dan pikiran pada baca-membaca sebagai asupan pengetahuan manusia yang senantiasa belajar. Bagi seorang pelajar berinstitusi atau akademisi yang selayaknya bergumul dengan bacaan, pemahaman baca bisa dikembangkan dengan diketahuinya akan teknis dan keperluan lewat ide (pem-)bacaan. Tema yang digagas dalam buku ini perihal khasanah buku di Indonesia. Inti gagasannya diawali dari kegelisahan dan problematika penggiat buku serta penerbit akan hal tersebut paska dibukanya keran reformasi. Problematika dihadapi oleh para penerbit buku yang terguncang akibat krisis, juga soalan distribusi, harga dan masih sedikitnya minat baca di Indonesia. Buku ini bisa menjadi permenungan dan usaha meninjau latar buku sebagai produk budaya dan masuknya dalam konteks sosial Indonesia. Usaha buku ini juga bisa dimaksudkan sebagai persebaran gagasan dalam mengadaptasikan (kemampuan) hidup pada setiap perubuhan kehidupan modern dan percepatan global yang terjadi. Secara umum, di Indonesia, Antropologi sebagai ilmu belum terlalu populer. Jika belum diketaui sebagai ilmu apa, maka mengira dan/atau kebingungan antara menyamakan dengan arkeologi atau dengan sosiologi. Bagi pelajar antropologi yang telah melewati pengantar (berkenalan), disiplin ini adalah sangat luas sekaligus berpotensi membingungkan. Karena fokus ilmunya pada manusia dan segala-galanya, sedang manusia itu melakukan banyak hal, sehingga sulit dibedakan juga ciri khas dengan berbagai disiplin lainnya. Mempelajari dari yang primitif sampai yang kontemporer; dari tulang-belulang sampai yang metafisika; atau dari antropologi imajinasi hingga antropologi finansial—seolah segalanya bisa diantropologikan. Ini menjadi satu latar alasan belum populernya bagi khalayak terlebih pada calon pelajar perguruan tinggi; dan juga tidak sedikit pelajar antropologi sendiri yang kebingungan nantinya akan seperti bagaimana. Ketidaktahuan ciri khas atau hal yang membingungkan ini bisa diterangi dengan apa-apa saja yang dilakukan oleh antropologi. Diantaranya diuraikan oleh buku ini sebagai pendamping bacaan- bacaan untuk menggauli (pengantar) antropologi. What Anthropologists Do, penulis menguraikan laku antropologi seperti pada aspek hukum, pemerintahan, lingkungan, bisnis, kesehatan, seni, media dan lain sebagainya. Uraian tersebut juga disertai dengan ilustrasi yang menarik dan tidak membosankan. “Apakah ada hal-hal yang berkenaan dengan negara dalam tradisi antropologi?” Pertanyaan itulah yang seolah membimbing tema gagasan dalam buku ini dan merupakan lanjutan hasil kuliah yang diselenggarakan untuk menandai peresmian dari Max Planck Institute for Social Anthropology di Halle (Salle), Jerman tahun 2002. Buku ini berisi kemunculan dan perjalanan antropologi pada keempat negara (Inggris, Jerman, Perancis dan Amerika) yang memiliki tatanan sosial dan latar historis yang berbeda-beda. Sehingga yang dimaksud tradisi antropologi negara-negara tersebut adalah ketika antropologi telah dipelajari, munculnya tokoh antropologi dengan berbagai karya dan buah pikirnya atas segala kondisi sosialnya serta mengakar kuat dan terwariskan pada perkembangannya. Untuk melangkah menuju pemahaman sejarah pemikiran antropologi hingga sekarang ini atau mempelajari pemikiran tokoh-tokoh antropologi, buku ini membantu memetakan gagasan-gagasan yang telah ada dan menjadi akar kuat antropologi. rekomendasi bacaan Judul Buku : Seni Membaca Untuk Studi Penulis : W. Widyamartaya Penerbit : Kanisius Tahun : 1992 Tebal Buku: 148 hlm. Judul Buku : Buku dalam Indonesia Baru Penyunting:AlfonsTaryadi Penerbit : Yayasan Obor Indonesia Tahun : 1999 Tebal Buku: liv+308 hlm. Judul Buku : What Anthropologists Do Penulis : Verocina Strang Penerbit : Berg Tahun : 2009 Tebal Buku: ix+210 hlm. Judul Buku : One Discipline, Four Ways: British, German, French, and American Anthropology Penulis : Fredrik Barth, Andre Gingrich, Robert Parkin, Sydel Silverman Penerbit : The University of Chicago Press Tahun : 2005 Tebal Buku: ix+406 hlm. Editorial Buletin ANAFORA merupakan media pengumpulan berbagai tulisan dan selingan gambar yang diterbitkan secara tentatif. Ini sebagai perwujudan dari agenda perkumpulan Kajian Sosial Budaya (KSB) yang terlalu banyak menguap di udara. Dengan begitu, artefak ini sebagai memori pikiran yang bisa kita refleksikan pada suatu hari nanti. Di sisi lain, sudah saatnya kita saling menebar gagasan lebih luas dan membuka aksesnya tiada henti atas apa yang bisa kita bagikan pada kehidupan. Terjadinya pengulangan kata, kalimat, paragraf maupun wacana sangat dimungkinkan. Walau begitu, sebuh pengulangan ini adalah bentuk komunikasi manusia yang berbahasa sejak dalam pikiran. Artinya, tak ada kebosanan selama kita mencintai hidup ini. Anafora, pengulangan sesuatu yang telah disebutkan. TIM KSB: Glen Baptiste & Benny A.S. Sebagai awal rencana sebuah bacaan ringan, pra-edisi ini diniatkan lebih kepada penelusuran ulang pada membaca itu sendiri. Kesadaran ini alih-alih memotivasi atau suatu cara memudahkan, sebenarnya adalah ajakan untuk merenungi ulang apa yang bisa kita lakukan, capai dan bagikan atas buah pikir yang timbul melalui bacaan. Apapun yang bisa kita baca adalah punya makna. Tapi sejauh mana makna-makna itu bisa kita ciptakan, bisa dipahami dan memandang dunia ini lebih luas. Tiada gunanya ketika membaca tanpa makna yang membekas dalam pikiran, apapun itu, begitupun adalah tiada arti ketika paham akan bacaan tanpa kemudian bersikap-tindak yang diperoleh atasnya. Dengan begitu, pra-edisi ini berisi seputar baca-membaca. Semua tulisan sengaja diambil dari sumber yang dirasa cocok membantu meningkatkan daya baca dan khususnya mulai menyenangi akan membaca itu sendiri. Bagi orang yang mau-tidak mau berkebutuhan dengan membaca namun punya minim ketertarikan, semoga akan menumbuhkan semangat dan mengasahnya kemudian. Bagi yang perlu mensuburkan pola-pola baca dan khususnya menyelami wacana atas perlunya untuk suatu kajian dan sumbangan aktivitas, mulailah dengan mengetahui apa saja teknis dalam membaca. Sebagai punutup, ada sebuah kata mutiara yang baik untuk direnungi dan dibisikkan pada seseorang yang kita inginkan untuk mulai membaca, “orang yang tidak membaca buku-buku yang baik adalah tidak memiliki keuntungan lebih dari orang yang tidak bisa membaca.” Selamat membaca! 20 Juli 2014

Anafora #0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

bacaan ringan

Citation preview

Page 1: Anafora #0

“Barang siapa menghancurkan buku bagus, ia sedang membunuh Rasio itu sendiri...”John Milton — Aeropagitica (1644)

#0Juli 2014gratis selama

masih bisa

ANAFORAbuletin

bacaan ringan

buletin Anafora #0 | 8

Judul Buku : Penghancuran Buku Dari Masa ke MasaPenulis : Fernando BaezPenerjemah: Lita SoerjadinataPengantar : Robertus RobetTahun : 2013Tebal : xx+373 hlm.

Buku ini mengajak pembaca untuk mengarungi ruang dan waktu kembali ke masa lalu untuk melihat kembali kejadian-kejadian yang berkaitan dengan bibliosida atau penghancuran buku. Penulis merekontruksi kembali sejarah dengan baik dalam buku ini. Mulai dari 5300 tahun yang lalu saat buku pertama kali ditemukan di wilayah kering Sumeria sampai abad ke 20. Buku ini menghasilkan data-data yang cukup lengkap tentang bibliosida yang telah terjadi di bumi ini. Dalam buku ini diterangkan bahwa bibliosida dapat terjadi ketika ada suatu kelompok tertentu yang menganggap ideologia kelompok lain berbahaya bagi mereka dan harus dimusnahkan. Seperti pada zaman rennaisance, dimana gereja menganggap bahwa buku itu berbahaya karena dapat menggoyahkan iman seseorang kepada Tuhan atau gereja. Maka dengan itu gereja menyuruh membakar semua buku yang ada. Buku ini sangat menarik untuk dibaca karena dapat menjelaskan kepada kita alasan-alasan utama terjadinya bibliosida dari satu kejadian ke kejadian lainnya. Dapat pula menunjukan betapa berbahayanya sebuah buku itu bagi sebagian kalangan. Yang tidak kalah menarik juga desain sampul buku ini yang menyerupai buku yang sisi-sisi nya sudah terbakar.

Sebagai buku panduan membaca, konten buku ini cukup membantu meningkatkan cara-cara pembacaan. Menyajikan bentuk efektifitas dan efisiensi pembacaan yang diurai baik dari struktur kebahasaannya maupun mencermati fokus model baca, juga disertai contoh dan latihan. Bagi khalayak yang belum tertarik membaca, ini dapat memberi suatu rangsang kesadaran untuk menaruh hati dan pikiran pada baca-membaca sebagai asupan pengetahuan manusia yang senantiasa belajar. Bagi seorang pelajar berinstitusi atau akademisi yang selayaknya bergumul dengan bacaan, pemahaman baca bisa dikembangkan dengan diketahuinya akan teknis dan keperluan lewat ide (pem-)bacaan.

Tema yang digagas dalam buku ini perihal khasanah buku di Indonesia. Inti gagasannya diawali dari kegelisahan dan problematika penggiat buku serta penerbit akan hal tersebut paska dibukanya keran reformasi. Problematika dihadapi oleh para penerbit buku yang terguncang akibat krisis, juga soalan distribusi, harga dan masih sedikitnya minat baca di Indonesia. Buku ini bisa menjadi permenungan dan usaha meninjau latar buku sebagai produk budaya dan masuknya dalam konteks sosial Indonesia. Usaha buku ini juga bisa dimaksudkan sebagai persebaran gagasan dalam mengadaptasikan (kemampuan) hidup pada setiap perubuhan kehidupan modern dan percepatan global yang terjadi.

Secara umum, di Indonesia, Antropologi sebagai ilmu belum terlalu populer. Jika belum diketaui sebagai ilmu apa, maka mengira dan/atau kebingungan antara menyamakan dengan arkeologi atau dengan sosiologi. Bagi pelajar antropologi yang telah melewati pengantar (berkenalan), disiplin ini adalah sangat luas sekaligus berpotensi membingungkan. Karena fokus ilmunya pada manusia dan segala-galanya, sedang manusia itu melakukan banyak hal, sehingga sulit dibedakan juga ciri khas dengan berbagai disiplin lainnya. Mempelajari dari yang primitif sampai yang kontemporer; dari tulang-belulang sampai yang metafisika; atau dari antropologi imajinasi hingga antropologi finansial—seolah segalanya bisa diantropologikan. Ini menjadi satu latar alasan belum populernya bagi khalayak terlebih pada calon pelajar perguruan tinggi; dan juga tidak sedikit pelajar antropologi sendiri yang kebingungan nantinya akan seperti bagaimana. Ketidaktahuan ciri khas atau hal yang membingungkan ini bisa diterangi dengan apa-apa saja yang dilakukan oleh antropologi. Diantaranya diuraikan oleh buku ini sebagai pendamping bacaan-bacaan untuk menggauli (pengantar) antropologi. What Anthropologists Do, penulis menguraikan laku antropologi seperti pada aspek hukum, pemerintahan, lingkungan, bisnis, kesehatan, seni, media dan lain sebagainya. Uraian tersebut juga disertai dengan ilustrasi yang menarik dan tidak membosankan.

“Apakah ada hal-hal yang berkenaan dengan negara dalam tradisi antropologi?” Pertanyaan itulah yang seolah membimbing tema gagasan dalam buku ini dan merupakan lanjutan hasil kuliah yang diselenggarakan untuk menandai peresmian dari Max Planck Institute for Social Anthropology di Halle (Salle), Jerman tahun 2002. Buku ini berisi kemunculan dan perjalanan antropologi pada keempat negara (Inggris, Jerman, Perancis dan Amerika) yang memiliki tatanan sosial dan latar historis yang berbeda-beda. Sehingga yang dimaksud tradisi antropologi negara-negara tersebut adalah ketika antropologi telah dipelajari, munculnya tokoh antropologi dengan berbagai karya dan buah pikirnya atas segala kondisi sosialnya serta mengakar kuat dan terwariskan pada perkembangannya. Untuk melangkah menuju pemahaman sejarah pemikiran antropologi hingga sekarang ini atau mempelajari pemikiran tokoh-tokoh antropologi, buku ini membantu memetakan gagasan-gagasan yang telah ada dan menjadi akar kuat antropologi.

rekomendasi bacaan

Judul Buku : Seni Membaca Untuk StudiPenulis : W. WidyamartayaPenerbit : KanisiusTahun : 1992Tebal Buku: 148 hlm.

Judul Buku : Buku dalam Indonesia BaruPenyunting: Alfons TaryadiPenerbit : Yayasan Obor IndonesiaTahun : 1999Tebal Buku: liv+308 hlm.

Judul Buku : What Anthropologists DoPenulis : Verocina StrangPenerbit : BergTahun : 2009Tebal Buku: ix+210 hlm.

Judul Buku : One Discipline, Four Ways: British, German, French, and American AnthropologyPenulis : Fredrik Barth, Andre Gingrich, Robert Parkin, Sydel SilvermanPenerbit : The University of Chicago PressTahun : 2005Tebal Buku: ix+406 hlm.

EditorialBuletin ANAFORA merupakan media pengumpulan berbagai tulisan d a n s e l i n g a n g a m b a r y a n g diterbitkan secara tentatif. Ini sebagai perwujudan dari agenda perkumpulan Kajian Sosial Budaya (KSB) yang terlalu banyak menguap di udara. Dengan begitu, artefak ini sebagai memori pikiran yang bisa kita refleksikan pada suatu hari nanti. Di sisi lain, sudah saatnya kita saling menebar gagasan lebih luas dan membuka aksesnya tiada henti atas apa yang bisa kita bagikan pada kehidupan. Terjadinya pengulangan kata, kalimat, paragraf maupun wacana sangat dimungkinkan. Walau begitu, sebuh pengulangan ini adalah bentuk komunikasi manusia yang berbahasa sejak dalam pikiran. Artinya, tak ada kebosanan selama kita mencintai hidup ini. Anafora, pengulangan sesuatu yang telah disebutkan.

TIM KSB:Glen Baptiste & Benny A.S.

Sebagai awal rencana sebuah bacaan ringan, pra-edisi ini diniatkan lebih kepada penelusuran ulang pada membaca itu sendiri. Kesadaran ini alih-alih memotivasi atau suatu cara memudahkan, sebenarnya adalah ajakan untuk merenungi ulang apa yang bisa kita lakukan, capai dan bagikan atas buah pikir yang timbul melalui bacaan. Apapun yang bisa kita baca adalah punya makna. Tapi sejauh mana makna-makna itu bisa kita ciptakan, bisa dipahami dan memandang dunia ini lebih luas. Tiada gunanya ketika membaca tanpa makna yang membekas dalam pikiran, apapun itu, begitupun adalah tiada arti ketika paham akan bacaan tanpa kemudian bersikap-tindak yang diperoleh atasnya.

Dengan begitu, pra-edisi ini berisi seputar baca-membaca. Semua tulisan sengaja diambil dari sumber yang dirasa cocok membantu meningkatkan daya baca dan khususnya mulai menyenangi akan membaca itu sendiri. Bagi orang yang mau-tidak mau berkebutuhan dengan membaca namun punya minim ketertarikan, semoga akan menumbuhkan semangat dan mengasahnya kemudian. Bagi yang perlu mensuburkan pola-pola baca dan khususnya menyelami wacana atas perlunya untuk suatu kajian dan sumbangan aktivitas, mulailah dengan mengetahui apa saja teknis dalam membaca. Sebagai punutup, ada sebuah kata mutiara yang baik untuk direnungi dan dibisikkan pada seseorang yang kita inginkan untuk mulai membaca, “orang yang tidak membaca buku-buku yang baik adalah tidak memiliki keuntungan lebih dari orang yang tidak bisa membaca.” Selamat membaca!

20 Juli 2014

Page 2: Anafora #0

bepergian jauh secara psikologis, hidup dalam 'membacanya'.” Seseorang yang membaca 1. Arti sebenarnya membacadunia yang lain dan berbeda. Sebaliknya, orang dengan rasa keharusan (kewajiban) tidak yang tidak pernah membaca hanya akan berpusar memahami seni membaca dan tidak akan

Mahasiswa harus belajar bila ingin studinya dan berkisar pada hidupnya yang rutin, pada memperbaiki pikirannya dalam arti yang

berhasil, dan kewajiban akademiknya ini perlu disadari dunianya yang terbatas, dan pada pandangannya sebenarnya.

tidak ringan. Di Tiongkok, mahasiswa sering kali dipacu yang sempit. Pesona pribadi dengan membaca janganlah

untuk “melakukan studi secara pahit”, artinya mahasiswa 2) Lebih dari sekedar menyaksikan dunia lain, diartikan pesona atau keindahan fisik. Pesona

harus belajar dengan keras dan berani mengerasi dirinya dengan membaca buku pembaca dibawa ke dalam pribadi ini juga dapat memancar dari wajah

sendiri. Menurut cerita zama dahulu, ada cendekiawan dunia pikiran dan renungan. Bila orang menjadi orang yang secara fisik buruk tetapi

terkenal yang suka memasang sebuah jarum pencocok di terangkat ke tingkat kontemplasi ini, itulah hasil menyenangkan dipandang. Wajah yang indah

betisnya untuk menjagakannya bila ia tertidur pada waktu terbaik dari membaca; itulah membaca yang dipandang adalah wajah yang di baliknya hidup

belajar malah hari; ada pula cendekiawan lain yang terbaik. Sekalipun buku yang dibacanya subur dan berkembang ide-ide yang

menyuruh seorang pembantunya berdiri di sampingnya memaparkan kejadian-kejadian, ada perbedaan bagus—wajah yang memancarkan daya pikir

pada waktu ia belajar malam hari dengan tugas antara menyaksikan sendiri kejadian-kejadian itu yang kuat.

membangunkannya bila ia tertidur. Tetapi cara itu tidak dan membaca kejadian-kejadian itu dalam buku. Kenyamanan dalam tutur katanya tergantung

baik. Belajar dengan keras memang perlu bagi mahasiswa Dalam hal yang terakhir ini pembaca dapat pada caranya membaca. Jika seseorang

pada waktu mempelajari buku-buku pelajarannya. Tetapi mengambil sikap sebagai penonton yang tak merasakan membaca buku sebaga i

hendaknya tidak dilupakan bahwa tujuan utama tiap terlibat dan dengan demikian tidak merenungkan kenikmatan, ia akan menunjukkan kenikmatan

kegiatan membaca adalah menikmati pembacaan itu dan dan menyelami kejadian-kejadian itu. Itulah itu dalam percakapan-percakapannya dan bila

menjadikan kegiatan membaca sebagai kebiasaan yang sebabnya membaca koran, membaca hanya untuk dalam bercakap-cakap ia menyenangkan, dalam

menyenangkan. Selayaknya membaca tidak mengandung mencari informasi tentang peristiwa-peristiwa menulis pun ia tidak boleh tidak akan

pengertian tugas atau kewajiban. Membaca harus atau membaca dengan tujuan minta nasihat untuk menyenangkan.

merupakan sukacita. Jika seseorang menghadapi sebuah suatu kepentingan, bahkan membaca untuk

buku dan tertidur selagi seorang pengarang yang arif menumpuk-numpuk keterangan da lam 3. Cara-cara membaca

bestari sedang berbicara kepadanya, maka sebaiknya ia pikirannya, tetapi tanpa sikap dan nilai merenung,

pergi tidur saja. Sebuah jarum pencocok ataupun seorang bukanlah membaca sama sekali. Untuk mencapai tujuan membaca, perlu digunakan

pembantu yang bertugas menjagakannya bila ia tertidur cara-cara atau pendekatan-pendekatan yang tepat.

tak akan bermanfaat sama sekali baginya. Orang seperti itu Citarasa adalah kunci untuk segala pembacaan.

telah kehilangan segala pengertian kegembiraan membaca. Dengan demikian, agar itu tumbuh dan berkembang,

Cendekiawan yang pantas disebut demikian sama sekali perlu pendekatan-pendekatan sebagai berikut:

tidak mengenal apa yang disebut 'studi yang pahit' atau 1) Membaca harus selektif, sebab citarasa itu

'kerja rutin berat'. Mereka tidak lain hanya mencintai buku-selektif, seperti halnya dalam hal makanan kita

buku dan terus-menerus membaca karena memang selektif. Makanan yang saya sukai tidak tentu

terdorong demikian.disukai oleh orang lain. Bila saya makan apa yang saya sukai, pencernaannya tentu akan

2. Kegunaan dan tujuan membacaberjalan dengan baik dan saya akan menjadi

3) Dengan membaca orang menjadi mempesona sehat atau lebih berkat makanan itu. Seperti Mengapa orang menjadi arif karena membaca?

dan terasa nikmat dalam tutur katanya. Ada makanan, bacaan pun tidak dapat dipaksakan. 1) Dengan membaca orang menjadi luas

ucapan arif dari seorang pujangga Tiongkok masa Guru tidak memaksa muridnya untuk cakrawala hidupnya. Dengan membaca orang

pemerintahan Sung: “Seorang cendekiawan yang menyukai apa yang ia sukai, dan orang tua tidak terbebas dari penjara dunianya sendiri yang

tidak membaca sesuatu dalam tiga hari merasa dapat mengharapkan anaknya mempunyai sempit dan terbatas baik dari segi waktu

bahwa tutur katanya tidak mempunyai rasa citarasa yang sama seperti dir inya maupun dari segi ruang. Dengan membaca

nikmat (menjadi hambar), dan wajahnya sendiri sendiri.Waktu yang dipakai untuk membaca orang memasuki suatu dunia lain dan bila yang

menjadi tidak menyenangkan dipandang.” Pesona akan sia-sia belaka bila pembaca tidak dibacanya buku yang baik, ia bertemu dengan

pribadi dan keharuman pribadi itulah seluruh menyukai apa yang dibacanya.salah satu pengarang/pembicara yang terbaik

tujuan membaca, dan hanya membaca dengan 2) Karena citarasa itu selektif, maka citarasa di dunia. Bersama pengarang itu ia akan

tujuan itu dapat disebut seni. Pesona dan membaca juga bersifat perseorangan bertemu dengan negeri lain atau masa yang

keharuman ini tidak akan diperoleh bila (individual). Untuk membaca, seseorang harus lain, atau oleh pengarang itu akan diajak

seseorang berkata, “Saya harus membaca seperti jatuh cinta. Cinta ini tidak dapat berbagi rasa tentang pengalaman-pengalaman

Shakespeare, dan dan saya harus membaca diterangkan; pembaca sendiri pun juga tidak batinnya dan berbicara tentang suatu segi

Aristoteles, dan saya harus membaca Albert dapat menerangkan mengapa ia tiba-tiba hidup yang belum diketahui oleh pembaca.

Enstein, dan ini dan itu, supaya saya dapat menjadi tertangkap oleh buku ini atau itu; ia hanya Pembaca akan dapat ber temu dan

seseorang terdidik.” Orang itu tidak akan menjadi menemukan bahwa antara pengarang buku ini berwawankata dengan orang yang sudah lama

terdidik, tidak akan memancarkan pesona dan atau itu dan dirinya ada kesamaan atau meninggal, dari Sokrates pada zaman Yunani

keharuman. Selesai dengan keharusan membaca perkaitan jiwa. Oleh karena itu, pembaca harus Kuno sampai Einstein pada zama modern ini.

ini atau itu, apa yang akan diperolehnya tidak lebih bebas leluasa dalam mencari penulis favoritnya, Dengan membaca orang berubah lingkungan,

dari hanya bisa berkata, “Saya sudah entah itu di antara pengarang-pengarang

SENIMEMBACA

studi perbandingan; ia ingin menggarap suatu langkah atau masalah dengan mengemukakan pendirian-

kaidah-kaidah membaca simak-urai ini adalah Mortimer J. Adler mengemukakan empat tingkat pendirian beberapa ahli di bidang itu. Langkah-sebagai berikut:membaca dalam bukunya How to Read a Book: langka dalam tingkat membaca ini ialah:

1). Langkah pertama: Kaidah-kaidah untuk menemukan 1). Menemukan uraian-uraian yang relevan I. Elementary Reading 'Membaca Dasar’ tentang apa buku itu: dalam buku-buku yang Anda anggap penting. 1. Golongkan buku itu menurut jenis dan pokok II. Inspectional Reading 'Membaca Tinjauan’ 2). Mempertemukan pernyataan penulis-penulis

soalnya. yang menggunakan istiah berbeda-beda. III. Analytical Reading 'Membaca Simak-Urai’ 2. Nyatakan dengan sesingkat-singkatnya tentang Titik pertemuan itu adalah konsepsi apa buku itu seluruhnya.IV. Syntopical Reading 'Membaca Banding- pembaca sendiri dan dengan demikian

3. Sebutkan bagian-bagian pokok menurut urutan tanggung jawabnya semata.Banding' dan kaitannya, dan sesudah membuat garis besar

3). Membuat soal-soal atau pernyataan-keseluruhan, buatlah garis besar bagian-bagian

pernyataan menjadi jelas. Jadi, pembaca pokok itu.I. Membaca Dasar adalah jenis atau tingkat membaca mengemukakan pertanyaan-pertanyaan itu

4. Tentukan masalah atau masalah-masalah yang yang diajarkan di tingkat SD; pusat perhatian pada dan menunjukkan pertanyaan-pertanyaan atau hendak dicoba oleh penulis untuk dipecahkan.bahasa yang digunakan penulis. soal-soal itu menjadi jelas oleh jawaban para

2). Langkah kedua: Kaidah-kaidah untuk menafsirkan isi penulis yang dibacanya.

buku:II. Membaca Tinjauan adalah jenis atau tingkat membaca 4). Menegaskan segala duduk perkara yang ada, 1. Pahamilah istilah-istilah yang dipakai penulis: yang bertujuan memahami sebanyak-banyaknya terutama bila ada pendirian-pendirian para

mencari dan menafsirkan kata-kata kuncinya.dalam waktu yang sudah ditentukan. Juga dapat penulis yang berbeda-beda atau bertentangan.2. Pahamilah pernyataan-pernyataan penulis yang disebut Membaca melompat-lompat atau Pra-baca. 5). Menganalisis pembicaraan untuk menjawab

pokok: menafsirkan kalimat-kalimat yang paling Dengan cara membaca ini kita ingin mengetahui pertanyaan: Benarkah itu? Apa pentingnya? Apa penting.pokok soal yang dibicarakan buku, bagian-bagian implikasinya?

3. Ketahuilah argumen-argumen penulis dengan buku, dan jenis buku (cerita, sejarah, atau karangan membaca kalimat-kalimat pendukung yang ilmiah). Membaca memang bersifat reseptif, suatu bentuk studi menyusul.Bila dihubungkan dengan metode-metode modern serap. Akan tetapi, jelas membaca bukan penyerapan

4. Tentukan manakah masalah yang telah membaca buku, cara ini adalah yang dimaksud yang pasif. Dalam membaca terlibat keaktifan yang besar, dipecahkannya, dan manakah yang belum dengan unsur Survey (Overview, Preview) pikiran bekerja aktif. Pikiran bukanlah bunga karang. dipecahkannya; dan dari masalah yang belum ditambah Key Ideas atau Question. Membaca Seukur dengan tingkat keaktifan itulah banyaknya bahan dipecahkan ini, tentukan manakah yang tidak Tinjauan dapat dibedakan terdiri dari dua langkah, yang dapat diserapnya. Semakin aktif, semakin banyak berhasil dipecahkannya.yaitu: hal yang dapat dikuasainya. Pikiran kita aktif dalam

3). Langkah ketiga: Kaidah-kaidah untuk mengkritik membaca bila kita mengemukakan pertanyaan-1) Systematic skimming or Pre-reading buku sebagai penyampaian pengetahuan:pertanyaan kepada diri kita sendiri dan ingin mencari

A. Asas-asas umum Etiket Kecendikiaan:(Melompat-lompat atau Pra-baca secara jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dengan 1. Jangan mulai mengkritik sebelum Anda

membaca. Ada empat pertanyaan pokok, menurut sistematik): melihat halaman judulnya, membaca selesai membuat garis besar dan penafsiran Adler, yang harus Anda tanyakan tentang apa pun:

buku. (Jangan mengatakan saya setuju, saya prakatanya, melihat-lihat daftar isinya, indeksnya, 1. Tentang apa buku itu secara keseluruhan? Anda tidak setuju, atau saya menunda penilaian,

harus mencari leading theme (tema pokok) buku membaca kata sambutan atau kata pengantar dari sebelum Anda dapat berkata, “Saya itu dan topik-topik/tema-tema bawahan yang

memahami.”)penerbit (kalau ada), keterangan pada jaket buku mengembangkan tema pokok itu. 2. Janganlah menyatakan tidak setuju secara

2. Apa yang dikatakan secara terperinci, dan (kalau ada), melihat bab-babnya, lebih-lebih yang ribut.

bagaimana? Anda harus mencari gagasan-3. Tunjukkanlah bahwa Anda mengetahui pokok dalam pembahasannya, membaca satu dua gagasan utama, pernyataan-pernyataan, dan

perbedaan antara pengetahuan dengan argumen-argumen yang mendukung amanat alinea di sana-sini atau dua tiga halaman berturut-

pedapat pribadi semata dengan memberi khusus penulis.

turut (jangan lebih dari itu!). alasan-alasan yang baik untuk setiap kritik 3. Benarkah buku itu, secara keseluruhan atau

atau penilaian Anda.sebagian? Sesudah Anda memahami isi buku, 2) Superficial Reading (Membaca Selayang

B. Kriteria khusus untuk butir-butir kritik:Anda harus menentukan pendirian Anda

Pandang), yang maksudnya ialah membaca 1. Tunjukkan di mana penulis tidak/kurang sendiri.

mempunyai informasi.bukunya terus saja tanpa berhenti untuk 4. Apa pentingnya buku itu? Mengapa penting? Apa

2. Tunjukkan di mana penulis salah informasi.Implikasi lebih jauh?

memikir-mikirkan hal-hal yang belum kita 3. Tunjukkan di mana penulis tidak logis.4. Tujukkan di mana analisis atau uraian

pahami. (Sumber: Pusat Kemajuan Studi, Kemajuan Studi no. 7, penulis tidak/kurang lengkap.

Agustus 1984)

III. Membaca Simak-urai adalah jenis atau tingkat IV. Membaca Banding-banding adalah jenis atau tingkat Nb: diketik ulang dari lampiran A. Widyamartaya, membaca yang bertujuan memahami sungguh- membaca yang bertujuan membaca beberapa buku yang

sungguh bukunya. Inilah tingkat membaca yang sebidang atau yang berkaitan sekaligus untuk menyusun dalam Seni Membaca Untuk Studi (Yogyakarta: Penerbit

sungguh-sungguh, yang lengkap; membaca untuk suatu penanganan atau pemecahan masalah yang dihadapi Kanisius, 1992), hlm. 131-134.mengunyah dan mencerna isi bukunya. Langkah- pembaca. Jadi, di sini pembaca ingin mengadakan suatu

buletin Anafora #0 | 7

“Untuk membaca, seseorang harus seperti

jatuh cinta. Cinta ini tidak dapat

diterangkan … ia hanya menemukan bahwa

antara pengarang buku ini atau itu dan

dirinya ada kesamaan atau perkaitan jiwa.”

Pengarang asli: Lin Yutang*Penyadur: A. Widyamartaya

sedih sekali...

sumpah aku

nggak ngerti maksud

bacaan ini.

ah lo cantik2 ternyata sama begoknya.

itu juga alesan gue kenapa

nggak suka baca. membosan, lama dan

musingin pala doang huh!

sebentar, saya juga pusing, dan saya mensadari itu.

maka yang kita harus lakukan adalah mensiasatinya,

berusaha keras agar memahami bacaan.

agar bacaan merangsang pikiran.

agar buku menjadi kawan.

setidaknya, agar tidak menjadi pemalas akut.

janganlah seperti orang itu.

filsuf bukan, tapi ia aktivitasnya merenung doang.

jalan gk pernah, ngobrol nggak pernah, baca buku

apa lagi... lantas apa yang ia pikirkan setiap harinya?

1

2

3

jreeeng,

tadaaaa..

kesian doi ini,

kakinya gak masuk

panel, nanggung banget.

EMPAT TINGKAT MEMBACA MENURUTMORTIMER J. ADLER

m

Page 3: Anafora #0

zaman dulu entah di antara pengarang- adalah kejadian yang paling menentukan penagarang zaman sekarang; ia harus da lam perkembangan in te lektua l mencari dan menemukan pengarang yang seseorang; hanya di sinilah membaca akan jiwanya bertalian erat dengan jiwa pembaca. benar-benar berguna.Hanya dengan demikian pembaca akan dapat Boleh saja terjadi bahwa pembaca berkali-memetik guna yang besar dari membaca. kali “jatuh hati” dengan beberapa

3) Karena membaca bersifat selektif dan pengarang. Mungkin saja selang beberapa individual, maka tidak ada buku yang mutlak lama ia akan berganti pengarang, sesudah harus dibaca. Manfaatnya relatif, ditentukan agak jenuh dengan pengarang yang satu. oleh waktu, usia, masa, tempat, dan suasana Bahkan sesudah ia bertemu dan menggauli tertentu. Suatu buku akan memberikan tiga empat pengarang, ia sendiri akan manfaat bagi pembacanya bila saatnya muncul pengarang.memang sudah masak baginya. Bila suatu buku belum saatnya atau sudah kelewat 4. Kesimpulansaatnya, maka buku itu—sekalipun sebuah karya besar—hanya akan meninggalkan rasa Membaca, untuk mejadi seni membaca, harus tak enak bila dibaca. Bahkan jika ada buku menjauhkan ide membaca sebagai tugas atau yang harus dibaca oleh setiap orang seperti kewajiban. Membaca, untuk memberikan manfaat Kitab Suci, ada saatnya untuk itu. Temukanlah yang sejati bagi pertumbuhan pribadi seseorang, saat yang baik itu. harus merupakan kebutuhan dari dalam.

4) Manfaat yang diperoleh dari membaca Membaca yang sejati juga tidak akan dibatasi oleh sebuah buku dapat juga bersifat kumulatif. tempat dan waktu. Tidak ada waktu dan tempat Membaca buku yang sama dari waktu ke khusus yang tepat untuk membaca. Bila ada waktu, dari usia ke usia, orang akan memetik kebutuhan dari dalam, bila hati sudah butuh manfaat tambahan. Sebuah buku akan membaca, orang dapat membaca di mana saja. Ia berkembang seirama dengan perkembangan akan membaca waktu sekolah, selesai sekolah, kedewasaan/kematangan pembacanya. dan meskipun harus bersekolah di banyak Semua buku yang baik dapat dibaca dengan tempat. Bila ia tidak membaca pada saat mana bermanfaat dan memberikan sukacita yang pun, alasanya yang baik ialah karena tidak senang baru pada kedua kalinya. Tumbuhlah dalam membaca. Jadi, apakah seni membaca yang sejati? kedewasaan jiwa dan buku akan mengisi jiwa Jawabannya sederhana: mengambil buku dan Anda makin mendewasakan Anda. membaca bila datang suasana hati untuk itu. Agar

5) Ahirnya, membaca adalah perbuatan yang dapat dinikmati benar-benar, membaca harus melibatkan dua pihak, pengarang dan seluruhnya bersifat spontan.pembaca. Kegunaannya datang baik dari kontribusi pembaca sendiri lantaran *) Lin Yutang adalah seorang penulis dari Tiongkok yang penilikan dan pengalamannya sendiri banyak menulis buku tentang berbagai jenis sastra, maupun dari pengarang. Kesiapan mental dan sejarah dan filsafat Tiongkok.intelektual pembaca untuk menerima dan menanggapi serta meresapi apa yang dibacanya adalah modal untuk memperkaya Nb: diketik ulang dari lampiran A. Widyamartaya, dalam diri dengan membaca. Itulah sebabnya Seni Membaca Untuk Studi (Yogyakarta: Penerbit menemukan seorang pengarang yang disukai Kanisius, 1992), hlm. 139-143.

kira-kira 20 buku tiap tahun. Seorang mahasiswa seharusnya dapat lebih dari dua puluh buku tiap tahun. Bagaimana caranya untuk mencapai tujuan itu: dua puluh buku tiap tahun atau bahkan lebih?MOTIVASI MEMBACA

Ada dua cara. Pertama, kita harus membangkitkan keinginan dan minat membaca dalam diri Filsafat membaca itu pernah kita. Kedua, kit harus mencari teknik-teknik untuk diteladankan oleh Ketua Mahkamah Agung membangun kebiasaan membaca itu.Amerika Serikat pada waktu Franklin D. Roosevelt menjadi

M e n u r u t R a l p h M . B e s s e , u n t u k presiden. Suatu sore Presiden Roosevelt mampir di rumah membangkitkan minat membaca kita perlu menyadari dua PENGANTAR Holmes, Ketua Mahkamah Agungnya. Pada waktu itu faktor terpenting:Holmes sedang sibuk membaca, tetapi dengan senang hati

1. Hal-hal yang menjadi tanggung jawab kita.Betapa senangnya pada waktu kita diterima ia menemui Roosevelt. Ketika Roosevelt dipersilakan 2. Hal-hal yang kita mampui dan dapat masuk perguruan tinggi. Kegembiraan merasuki seluruh masuk, ia bertanya, “Tuan Holmes, mengapa Tuan tak

dipercayakan oleh orang lain kepada kita.diri kita karena kita merasa lega dan bebas dari kegelisahan pernah berhenti membaca?” Holmes, yang pada waktu itu Itulah sebabnya, dianjurkannya agar kita terlebih dahulu serta ketegangan yang semula mencekam diri kita, dan usianya sudah 90 tahun, menjawab, “Tidak ada jalan lain membaca hal-hal yang kita sukai, hal-hal yang membantu kebanggaan membuat kegembiraan kita makin penuh. untuk meningkatkan diri saya.”tugas atau pekerjaan kita, hal-hal yang akan membuat Orang tua juga bangga, bahkan masyarakat pun bangga. Holmes sadar bahwa pendidikan adalah proses nama/kemampuan kita diakui.Mereka bangga karena harapan-harapan mereka terhadap yang berlangsung selama hidup. Orang tidak “menjadi

Besse juga menganjurkan beberapa teknik studi para mahasiswa. Para mahasiswa tidak ingin terdidik” hanya karena perguruan tinggi. Perguruan tinggi untuk memupuk kebiasaan membaca. Pertama, membaca kebanggaan itu pudar dan harapan yang bertumpu pada diri hanyalah persiapan untuk menjadi terdidik. Untuk menjadi serius 15 menit tiap hari. Selama bertahuan-tahun (tahun-mereka terkecewakan; kita tidak ingin menjadi mahasiswa terdidik, orang harus belajar selama hidupnya.tahun Perang Dunia Kedua) Besse berhenti membaca yang abadi. Kita ingin sukses dalam studi kita dan, kalau Holmes juda sadar bahwa peningkatan diri serius. Ia hanya membaca koran dan majalah ringan; buku mungkin, dapat tamat lebih cepat dari jatah waktunya. harus diusahakan sendiri. Pada dasarnya, tak ada orang lain dan majalah serius hampir tidak disentuhnya. Kemudian Sukses dalam studi tidak datang begitu saja. yang dapat mendidik diri kita selain diri kita sendiri. Sukses tiba-tiba ia sadar bahwa dari membaca koran dan majalah Untuk memperoleh sesuatu, ada harga yang harus kita dalam studi dan belajar dapat kita capai hanya berkat usaha ringan itu ia tidak belajar banyak—tidak belajar banyak bayar. Harga yang harus kita tunaikan untuk sukses dalam kita sendiri. Itulah sebabnya, Holmes membaca dan tidak yang bernilai langgeng. Maka ia berkeputusan kembali studi banyak dan tinggi. Salah satu harganya adalah mau jemu atau jenuh membaca sampai usia berapa pun.kepada kebiasaan membaca buku-buku serius. Sekurang-membaca, rajin membaca, dan membaca secara efisien. Holmes memberi teladan kepada para kurangnya 20 buah buku dapat kita baca tiap tahun apabila “Menurut William D. Baker dalam bukunya Reading Skills, eksekutif di Amerika Serikat. Di negeri itu pernah diadakan tiap hari kita membaca serius 15 menit.kira-kira 85% dari seluruh studi di perguruan tinggi riset tentang kebiasaan membaca para eksekutif. Menurut

Cara yang kedua ialah membuat jadwal harian. meliputi membaca” (The Liang Gie, Cara Belajar yang Efisien, riset itu, 10 persen eksekutif tidak membaca apa pun, 21 Bila waktu kita sehari-hari kita atur, akan kita lihat adanya hlm. 85). Tugas yang berat? Yang pasti, menantang. Untuk persen hanya membaca satu sampai enam buku tiap tahun, saat-saat kita sempat membaca lebih banyak dan lebih lamamenghadapi dan menjawab tantangan itu kita perlu dan 23,6 persen membaca tujuh sampai dua belas buku tiap

.Saran yang lain ialah menggunakan waktu luang berlandaskan filsafat membaca yang kuat. Dengan filsafat tahun. Jadi, seluruhnya tidak mencapai 60 persen yang dalam perjalanan untuk membaca. Itu berarti, ke mana pun membaca itu mudah-mudahan buku tebal atau tipis, buku membaca buku lebih dari dua belas buah setahun.kita pergi, kita bawa sesuatu untuk dibaca, entah di ruang sulit atau mudah, buku bergambar atau tidak, tidak akan tunggu, entah di dalam bis atau kereta api. Dengan begitu, menjadi persoalan bagi kita; semuanya menjadi makanan KEBIASAAN MEMBACA DAN BEBERAPA TEKNIKsesibuk-sibuknya pekerjaan kita, kita akan dapat membaca kita: yang satu makanan besar dan yang lain makanan kecil. sebanyak-banyaknya.Kita harus “makan” bila ingin tumbuh dari “kecil” menjadi Seandainya tiap hari kita membaca 15 menit

“besar”. saja, dengan kecepatan 300 kata per menit, kita akan membaca satu setengah juta kata tiap tahun—itu berarti,

MEMBACA PROSES BELAJARTERUS-MENERUS

buletin Anafora #0 | 6

Teknik lain untuk membangun kebiasaan membaca ialah b. Membaca adalah sumber belajar yang paling orang.membaca beberapa buku dalam satu jangka waktu. mudah didapat. Tiap hari majalah atau buku Pikiran yang sedang-sedang berminat pada Beberapa buku dibaca bergantian sebagai variasi dengan dapat dikirimkan langsung ke alamat. Di mana- peristiwa-peristiwa.keadaan diri kita. Ada buku untu dibaca pada saat badan mana kita dapat membelinya. Kita dapat Pikiran yang besar-besar berminat pada masih segar; ada buku untuk dibaca guna menyegarkan meminjam di perpustakaan. gagasan-gagasan.”badan yang capai. Jadi, tidak usah membaca satu buku c. Membaca adalah sumber belajar yang paling sampai selesai, baru membaca buku yang lain. murah. Untuk menggumuli buku-buku, dapat kita

d. Membaca adalah sumber belajar yang paling camkan petunjuk-petunjuk berikut ini:KUNCI BELAJAR cepat. Sebuah buku yang disusun selama

bertahun-tahun dapat kita baca dalam waktu 1. Jangan ragu-ragu untuk membaca buku yang Belajar adalah proses yang berlangsung selama singkat. sangat bagus berkali-kali.

hidup karena proses peningkatan diri tidak pernah akan e. Membaca adalah sumber belajar yang paling 2. Jangan ragu-ragu untuk membaca sebagian berhenti selama hidup ini. Itulah yang diteladankan oleh modern, tidak pernah ketinggalam zaman. saja dari suatu buku—kalau hanya bagian itu Holmes, dan itu pula keyakinan kita seperti tertuang dalam f. Dengan membaca kita mempelajari banyak saja yang berguna untuk keperluan Anda.GBHN. hal sekaligus. Dari sebuah buku yang kita baca 3. Jangan ragu-ragu untuk membaca buku-buku

Ada tiga cara untuk belajar: kita dapat memetik berbagai manfaat: tambah edisi sampul kertas yang murah bila buku itu 1. Belajar dari orang lain. pengetahuan, hiburan, dialog dengan baik.2. Belajar dengan memikirkan sendiri. pengarang, peningkatan kemampuan 4. Berusahalah untuk membaca buku yang 3. Belajar dari pengalaman. berbahasa (tambah perbendaharaan kata, paling baik saja.

Belajar dari pengalaman itu baik, tetapi lambat sekali bila gaya bahasa, dan sebagainya).kita ingin memperoleh pendidikan diri yang luas. Belajar g. Membaca adalah ikhtiar yang terus menerus, Bagaimana memetik hasil sebesar-besarnya dengan berpikir sendiri itu lebih baik—kalau itu kita dan kita didorong untuk selalu berpikir secara dari membaca buku?kerjakan. Cara tercepat dan paling efektif untuk belajar lurus dan terang. Alfred North Whitehead, 1. Membaca dengan tujuan tertentu—menurut adalah belajar dari orang lain—dari pemikiran dan seorang filsuf dan ahli matematik dari Ingris, suatu rencana.pengalaman berjuta-juta orang lain selama beratus-ratus mengatakan, “… Makin banyak kalian tahu, 2. Menilai apa yang sudah kita baca: tahun. Kita dapat belajar dari orang lain dengan membaca, makin mudah menambah pengetahuan merenungkan kembali , menganalisis, dengan kuliah, dengan mengamati, atau dengan gabungan kalian.” mempertanyakan, memahami.cara-cara itu. Untuk mengamati, kesempatan sedikit relatif; 3. Membuka pikiran seluas-luasnya waktu untuk kuliah terus-menerus, tidak ada waktu dan tidak ada SENI MEMBACA membaca.kemungkinan. Kembali kita kepada membaca yang 4. Berkonsentrasi waktu membaca untuk merupakan cara belajar yang paling berharga. Apakah yang harus kita baca? mencari gagasan-gagasan.

Membaca sebenarnya adalah kunci untuk Bahan bacaan yang terutama dan terpenting 5. Berdiskusi dengan kawan-kawan tentang apa belajar. Mengapa? Secara singkat dapat kita disebutkan: adalah buku. Dalam buku tersedia bacaan berupa pikiran- yang sedang/sudah kita baca. Dengan a. Membaca adalah sumber belajar yang paling pikiran terbesar ahli-ahli pikir yang cemerlang, ungkapan- demikian gagasan-gagasan dalam buku itu

lengkap. “Membaca membuat seseorang ungkapan terindah dari pengarang-pengarang besar, dan akan mengakar kuat dalam pikiran kita dan lengkap”, kata Francis Bacon, seorang filsuf ilmu pengetahuan dari paha ahli di setiap bidang dan daya analisis kita terhadap pendapat-Inggris. Thomas Carlyle, seorang sejarawan dari setiap zaman. pendapat orang lain akan menjadi makin Skotlandia, berkata, “Segala sesuatu yang telah Buku mana yang harus kita baca? tajam.dilakukan, dipikirkan, dicapai, atau dihayati oleh Tiap orang harus memutuskan sendiri buku umat manusia tersimpan dalam halaman- mana yang akan dibacanya. Sebagai pemacu, semboyan Nb: diketik ulang dari lampiran A. Widyamartaya, dalam halaman buku seperti dalam pelestarian yang berikut ini dapat membatu: Seni Membaca Untuk Studi (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, magis.” “Pikiran yang dangkal berminat pada orang- 1992), hlm. 134-139.

Birkerts, seiring meluasnya wilayah dalam kita sendiri. Saya pikir, lanjut elektronik. Negroponte, pengalaman seperti itulah yang

Dari ket iga hal tersebut, diperlukan untuk merasakan apa arti tampaknya lunturnya ruang privat adalah “menjadi digital” (being digital) dalam yang paling dicemaskan oleh Birkerts. Dan ia kehidupan Anda.betul dalam hal ini. Dalam perspektif lain, privasi adalah milik manusia yang terancam Penutupdalam era cyberspace ini. Jika zaman industri menghasilkan efek samping berupa limbah Karlina Leksono (dalam Buku dan polusi, maka era informasi ini berefek dalam Indonesia Baru, Alfons Taryadi, ed., samping terancamnya privasi. Tidak hanya 1999) pernah mengatakan bahwa proses dalam artian filosofis seperti yang membaca dan menulis sejatinya mendorong dicemaskan Birkerts, tetapi juga “praktis” pengayaan eksistensial manusia—keduanya seperti cerita dalam novel Nineteen Eighty adalah pembentuk jalan ke masa depan. Four karya Orwell yang terkenal itu. Tetapi si Keduanya, tulisnya lagi, merupakan bagian Big Brother bukanlah harus seorang yang memungkinkan perkembangan penguasa tiran, tetapi juga bisa seorang penalaran individual, pemikiran kritis yang industrialis tamak yang mengais-ngais jejak independen, pembangkitan kepekaan elektronik yang kita tinggalkan ketika, terhadap kemanusiaan yang di negeri ini misalnya, mengambil uang di ATM, membayar seperti terbungkamkan selama tiga kartu kredit, atau berkelana di mayantara. dasawarsa. Sayangnya, meski sadar begitu

Kita tak mungkin, kata Birkerts, penting membaca (dan, tentu saja, menulis) menghentikan laju itu. Tetapi, setidaknya, kita bagi masa depan bangsa ini, kita belum banyak awas dan menyadari efek-efek samping itu berbuat untuk mendorongnya.dan menghindarinya sejauh mungkin. Itu pula Kini sudah bulan Mei lagi, dan itu y a n g d i s a d a r i o l e h N i c h o l a s berarti Bulan Buku Nasional lagi. Tetapi kita Negroponte—seorang pendukung kemajuan masih saja belum juga beringsut jauh, dari Mei teknologi, profesor Teknologi Media di ke Mei, dari tahun ke tahun. Berbeda dengan Massachussets Institute of Technology, dan negara-negara maju yang, seperti dikeluhkan pelopor penyatuan media surat kabar, televisi, Birkerts, akan mengalami senjakala budaya hiburan dan komputer—ketika menulis buku baca setelah mengalami “fajar dan hari Being Digital (1998), dan tidak menjadikan terang” budaya baca, akankah kita-di negeri bukunya dalam bentuk multimedia. ini—mengalami senjakala itu bahkan tanpa Multimedia interaktif, katanya, hanya sebelumnya menikmati “fajarnya” budaya memberi ruang sempit bagi imajinasi. Seperti baca sekali pun? film-film Hollywood watak naratif multimedia memberi gambaran kurang imajinatif. *) Seorang Direktur Pelaksana salah satu Sedangkan tulisan mampu menimbulkan penerbit buku nasionalimaji-imaji dan membangkitkan metafor-metafor yang mengandung banyak arti bagi imajinasi dan pengalaman membaca. Ketika Nb: diketik ulang dari artikel Putut kita mebaca sebuah novel, muncul berbagai Widjanarko, “Senjakalanya Budaya Baca?” warna, suara, dan gerak yang datang dari dalam koran KOMPAS edisi Jumat, 4 Mei 2001.

m

m

m

Pengarang asli: Ralph M. BessePenyadur: A. Widyamartaya

buletin Anafora #0 | 6

lompat ke halaman 6 bagian bawah

“Bukanlah

seberapa banyak

buku

yang harus

kita baca,

namun yang terpenting

adalah

seberapa besar

yang bisa

kita bagikan

atas pembacaan”

F

Page 4: Anafora #0

ketika tulisan masih belum berkembang. Dan karenanya mengampanyekan pentingnya budaya baca-tulis ini di dan pekerjaan-pekerjaan sejenis. pengetahuan yang disimpan dalam ingatan sangat dihargai, tengah gemuruh arus deras kelisanan sekunder ini. Menulis dan menyalin adalah kerja jiwa yang par penyampaian ingatan ini turun-temurun pun dilakukan Meskipun begitu sulit, upaya tentu senantiasa excellence. “Tak ada kerja aktif yang lebih baik bagi biarawan dengan lisan. Peradaban Islam pun, misalnya, sangat harus dilakukan. Karena bukankah sungguh musykil caritas mendorongnya tetap berjaga semalaman menyalin menghargai hafalan. Para imam mahzab dan ulama besar membayangkan apa jadinya jika dunia ini budaya aksara? naskah-naskah Ilahi,” tulis Trithemius. “Biarawan yang bahkan penghafal Al Quran ketika masih belia. Akan tetapi, Akumulasi pengetahuan akan mustahil tanpa rekaman- mencurahkan waktunya untuk menulis akan mendapat di samping semua penghormatan terhadap hafalan itu, rekaman tertulis pengetahuan sebelumnya. Tetapi karena empat manfaat: pemanfaatan waktu yang begitu berharga; seperti kata Franz Rosenthal, seorang orientalis begitu lazimnya penggunaan alfabet, misalnya, sampai- pemahamannya menjadi tercerahkan bersamaan dengan terkemuka, dalam buku Etika Kesarjanaan Muslim, Dari Al- sampai kita lupa betapa hebatnya penemuan manusia yang penulisan; dalam jiwanya berkobar pengabdian; dan pahala Farabi hingga Ibn Khaldun (1996), peradaban Islam adalah satu ini. Kita lupa bahwa diperlukan ribuan tahun—sejak yang akan diterimanya setelah kematian,” tambah peradaban tulis. Penerjemahan besar-besaran dari karya- diciptakan oleh orang Phoenecia sekitar 1050 SM—agar Trithemius lagi. Dia kemudian bercerita tentang seorang karya, terutama, berbahasa Yunani serta perpustakaan- alfabet Latin yang hanya 26 huruf itu begitu luas digunakan Benediktan yang mencurahkan waktunya untuk menyalin perpustakaan menyangga peradaban Islam. di seluruh dunia. Dari 10.000 bahasa di dunia, menurut Joel naskah sebelum meninggal. Bertahun-tahun setelah

Seperti yang juga telah dengan amat baik Swerelow dalam artikel The Power of Writing (majalah dikubur, secara ajaib tiga jarinya yang sering dipakai untuk diuraikan oleh Taufik Abdullah dalam sebuah National Geographic, Agustus 1999), sebagian besar tak menulis tidaklah membusuk seperti bagian badan yang lain.makalahnya—berjudul Dari Tradisi Lisan ke Leserevolution memiliki aksara sendiri dan kini menggunakan alfabet Latin. Kini, setelah budaya cetak menjadi urat nadi dan Kembali?—saluran utama dari tradisi budaya lokal kita Sejak penemuan tulisan, tulis Swerelow, selain untuk umat manusia, maka budaya elektronik pun disambut adalah lisan atau orality, bukannya “kata yang tertulis”. merekam dan mentransimisikan pengetahuan, manusia dengan kekhawatiran-kekhawatiran. Dan jarang orang yang Ingatan kolektif , pengetahuan, informasi atau telah memanfaatkannya juga sebagai sarana luapan emosi. sefasih Sven Birkerts dalam menuliskan kegalauan hati perbendaharaan kultural apa pun ditransmisikan, baik Aristoteles, berbeda dengan Socrates dan Plato, pernah pecinta buku sejati yang tak berdaya menahan “serbuan antargenerasi maupun antarsektor-sektor dilakukan berkata bahwa tulisan adalah satu cara untuk elektronis”. Karenanya ia lantas menulis elegi, sebuah lagu secara lisan. Jika transmisi antargenerasi mejamin mengekspresikan “kasih sayang jiwa”. sedih, murung, tentang masa depan membaca, dalam buku kesinambungan kultural, maka penyampaian antarsektor The Gutenberg Elegies, The Fate of Reading in an Electronic Age akan memperkuat ikatan kultural. Bentuknya bisa Senjakalanya Budaya Baca? (1994). Sebuah elegi akan berlalunya era Gutenberg, era bermacam-macam, apakah itu pantun, syair, seloka, cerita- dunia cetak-tulis-baca.cerita dan lain-lain. Itulah ketika tradisi, dalam istilah Taufik Jika penemuan huruf dilalui dengan keberatan- Tatanan kedua teritori-teritori Gutenberg vis a Abdullah, “membaca yang dibacakan”—karena bentuk- keberatan begitu juga budaya cetak. Begitu merasuknya vis teritori elektronik—dalam banyak hal saling bertolak bentuk itu disampaikan oleh sesorang yang memiliki posisi budaya cetak berabad-abad membuat kita lupa bahwa belakang. Teritori Gutenberg bersifat linear, dan terikat oleh yang kadang-kadang khusus dalam masyarakat. Ignas sebelumnya perkembangan ini pun, pada mulanya, ditentang logika lantaran keimperatifan sintaksis. Sintaksis adalah Kleden, dalam buku berjudul Buku dalam Indonesia Baru oleh sebagian orang. James J. O'Donnell dalam bukunya, substruktur wacana, memetakan jalan pikiran melewati yang diedit Alfons Taryadi (1999), mengutip Daniel Lerner, Avatars of the World, From Papyrus to Cyberspace (1998), bahasa. Di dalamnya, pembaca bersifat aktif, karena menyebut budaya ini kelisanan primer (primary orality), mengisahkan dengan baik tentang hal ini. Dengan makin membaca sebenarnya adalah tindakan “penerjemahan”, di yaitu tradisi kelisanan tatkala masyarakat memang belum membanjirnya buku lantaran berkembangnya mesin cetak, mana simbol-simbol dirujukkan ke bunyi verbalnya dan memiliki kemampuan baca tulis. begitu cerita O'Donnel tentang para pengkritik budaya kemudian ditafsirkan. Ikatan pembaca dan teks bersifat

Proses tersebut sudah berlangsung berabad- cetak itu, tak pelak lagi akan membanjir pula kesalahan- sangat privat, di mana isi dan makna tersampaikan dari SUDAH bulan Mei lagi. Orang tahu bahwa di bulan Mei ini Perpusnas, keberadaan perpustakaan khusus di sekolah- industri buku sebesar “angka idaman” itu, bisa dipastikan abad, ketika kemudian budaya cetak mulai diperkenalkan di kesalahan (cetak). Karena itu Nicccolo Perotti, misalnya, privasi pengirim ke privasi pembaca. Proses membaca juga ada Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan sekolah dan perpustakaan umum di desa dan kecamatan industri penerbitan buku akan jauh lebih besar dari Indonesia pada awal abad ke-20. Karena keterlambatan menulis surat kepada Sri Pausagar diadakan sensor buku bersumbu pada waktu: Membalik-balik halaman, Nasional. Tetapi, amat sedikit yang tahu bahwa bulan Mei masih sangat terbatas. sekarang.budaya-cetak ini, demikian Taufik Abdullah, tentu tidak sulit cetak pra-terbit. Ini dilakukannya setelah sebuah buku menelusuri teks dari bawah ke atas, dilakukan secara adalah Bulan Buku Nasional, yang mulanya dicanangkan Simak catatan berikut. Dari sekitar 200.000 SD, membayangkan betapa kuatnya peranan “ingatan” dan penting karya de Bussi, yang belakangan menjadi berurutan, di mana isi yang lebih awal menjadi landasan oleh Pak Harto, mantan Presiden yang kini merana itu, pada diperkirakan cuma satu persen yang memiliki perpustakaan Kelisanan sekunder“kelas pembaca”. Oleh karena itu, dibandingkan dengan, pustakawan Perpustakaan Vatikan, dicetak serampangan di untuk isi berikutnya. Bahan bacaan bersifat statis—adalah 1995. Tahun-tahun berikutnya tak banyak yang terjadi, dan standar. Sedang dari sekitar 70.000 unit SLTP, cuma 36 terutama, Eropa, budaya cetak kita masihlah sangat muda. Roma. pembaca, bukan yang dibaca, yang mengendalikan Bulan Buku Nasional ini tak lebih seperti minyak angin yang persen memenuhi standar. Dan dari sekitar 14.000 unit Marilah kita mulai bagian ini dengan sebuah Dengan tumbuhnya budaya cetak ini, maka mulailah budaya Jean Gerson, Rektor University of Paris, pada kecepatan membacanya.hangat sebentar lalu hilang cepat. SMU, cuma 54 persen yang punya perpustakaan standar. cerita. Suatu hari 23 abad lalu, di samping tembok Athena, “membaca yang membaca”. 1439 pun mengeluhkan bibit-bibit kesalahan. Begitu terjadi Sedangkan tatanan teritori elektronik, seperti Untuk perguruan tinggi, dari sekitar 4.000 perguruan tinggi dan di bawah kerindangan pohon tinggi-besar di samping

Meskipun budaya baru ini, waktu itu, terbatas sebuah kesalahan, maka kesalahan itu akan “konsisten” dan disebutkan tadi, bertolak belakang. Impresi dan imaji sudah Perhatian kita—pemerintah, masyarakat, lembaga-lembaga, hanya 60 persen yang memenuhi standar. Yang menyedihkan sungai, Socrates menceritakan sebuah kisah pada Phaedrus, pada kaum pelajar yang kecil jumlahnya, namun merekalah seragam di setiap buku yang dicetak. Dengan demikian, dikemas, sudah ditafsirkan oleh “produser”, dan tinggal dan lain-lain—pada perkembangan perbukuan, apa boleh lagi adalah perpustakaan umum di daerah-daerah. Untuk seorang anak muda yang penuh semangat. Alkisah, begitu yang kemudian merintis pergerakan sosial menuju ke orang tidak bisa membandingkan dan mengkoreksi satu disodorkan dan dikunyah oleh penikmat. “Pembaca” buat, memang tidak memadai. Padahal, semua tahu, buku tingkat desa dan kecamatan (diperkirakan ada 70.000 desa kisah Socrates pada Phaedrus, Dewa Thoth dari Mesir pembentukan bangsa yang baru. Berbagai pergerakan kopi buku dengan merujuk kepada kopi yang lain. Itu tidak bersifat pasif—bisa bengong di depan televisi atau merupakan salah satu kendaraan utama proses dan 9.000 kecamatan di Indonesia), tak lebih dari setengah mengunjungi Raja Mesir. Thoth menawarkan Raja Mesir modern, baik dalam keagamaan maupun kemasyarakatan, terjadi, setidaknya menurut Jean Gerson, pada manuskrip mendengar sandiwara radio—menanti apa yang pencerdasan bangsa. Dan bangsa yang tidak cerdas bisa persen yang memiliki perpustakaan standar. Sedang untuk beberapa penemuannya untuk diberikan kepada rakyat tulis Taufik Abdullah, tak akan bisa dipahami tanpa tulisan tangan yang dibikin satu demi satu. disampaikan. Laju “pembacaan” tidak ditentukan oleh dipastikan akan dilindas mesin giling kemajuan. Daerah Tingkat II, ada 70 persen dari sekitar 316 Daerah Mesir. Temuan itu adalah angka, dadu, geometri, astronomi, menyadari peranan yang dimainkan oleh “revolusi baca” ini. Akan tetapi kritikus yang paling terkenal adalah “pembaca”, tetapi oleh media yang “dibaca”—dan biasanya Tingkat II (Republika, 21 Mei 2000). Baiklah, memang kondisi dan tulisan.Selain itu, budaya cetak dengan komoditinya yang berupa Johannes Trithemius, seorang kepala biara dari Orde tingkat kelajuannya tinggi, dengan tingkat yang ekstrem Minat baca atau daya beli? perpustakaan Indonesia secara umum compang-camping, Sang Raja dan Thoth, begitu cerita Alberto teks serta pasar-pembaca mulai membentuk gaya hidup Benediktan, yang menulis buku (dan dicetak!) berjudul De seperti video klip ala MTV. Karena yang penting impresi dan tetapi mengapa bahkan untuk perpustakaan yang bagus dan Manguel dalam A History of Reading (1996), menimbang yang berbeda dengan tradisi sebelumnya, antara lain Laude Scriptorum (kira-kira artinya Memuji para Ahli imaji, maka sekuensialitas dan logika terpinggirkan. Dari segala perdebatan mengenai lembeknya lengkap pengujungnya juga tetap seret? manfaat dan mudharat masing-masing temuan itu. Ketika tumbuhnya corak kosmopolitan kultural yang baru dan Menulis) pada 1492. Kritik utama Trithemius, menurut Kesementaraan dan kesegeraaan—sebaliknya dari dunia perbukuan di negeri ini, ada dua tema besar yang Lalu, begitu argumen pendukung minat baca sampai pada tulisan, Thoth berkata, “Ini adalah cabang timbulnya kesadaran perbandingan dengan dunia luar. O'Donnell, berangkat dari keprihatinan bakal terancamnya “keabadian” yang inheren dalam buku, misalnya—menjadi senantiasa muncul, yaitu daya beli masyarakat dan minat sebagai penyebab, perhatikan statistik yang diolah dari data pengetahuan yang akan meningkatkan daya ingat rakyatmu.

Belum lagi berkembang penuh dan merasuk tradisi biara dan pusat penulisannya. Meski dalam praktik ciri tak terpisahkan.baca masyarakat. Ada yang cenderung menganggap karena yang dikeluarkan Unesco pada 1993. Statistik mencatat 84 Selain itu akan pula meningkatkan kebijaksanaan.” Tetapi budaya baca ini, sudah datang pula teknologi informasi baru Trithemius menyetujui dan menggunakan buku cetak, tetapi Jika, di masa depan, peradaban manusia daya beli yang rendahlah yang menyebabkan kurang persen penduduk Indonesia sudah melek huruf, jauh di atas Sang Raja tidak tertarik. “Jika rakyatku belajar tulisan, itu yang lebih menggoda. Mulanya adalah radio, televisi, dan kini dia gagal memahami bagaimana menyatukannya dengan sepenuhnya terserap dalam pada teritori all-electronic, apa bergairahnya dunia perbukuan. Alasannya, kalau kita lihat, rata-rata negara berkembang yang cuma 69 persen? Tetapi, akan menumbuhkan daya lupa pada jiwa mereka. Mereka yang paling mutakhir adalah Internet. Inilah yang kehidupan biara. Padahal, tradisi menulis manuskrip sudah yang akan terjadi? Birkerts menyodorkan tiga hal yang perlu begitu bejubelnya pengunjung toko buku, anak-anak kenapa di Indonesia hanya ada 12 judul baru setahun untuk akan berhenti belajar mengingat-ingat karena akan mendorong lahirnya, dalam istilah Taufik Abdullah, corak begitu merasuk dalam struktur sosial dan ekonomi dicermati. Pertama, erosi bahasa. Tak diragukan lagi bahwa antusias berselonjor di lorong-lorong toko buku untuk setiap sejuta penduduk (rata-rata negara berkembang 55 bergantung pada apa yang tertulis,” kata Raja itu. Tambahnya baru tradisi lisan (new kind of orality), atau, dalam istilah Ignas komunitas biara. Biarawan yang tak begitu pandai dan bagus transisi dari budaya cetak ke budaya elektronik mengubah, membaca, berbondong-bondongnya orang pergi ke judul, dan negara maju 513 judul baru setahun untuk setiap lagi, “Dan bukanlah kebijaksanaan sejati yang kau tawarkan Kleden, kelisanan sekunder (secondary orality). Dalam dalam menulis bisa bekerja menjadi penjilid, pembuat pena, secara radikal, cara manusia menggunakan bahasa. pameran buku terutama untuk mengejar buku-buku yang sejuta penduduk)? Juga kenapa jumlah tiras surat kabar pada murid-murid, tetapi hanyalah kebijaksanaan semu. tradisi baru lisan atau kelisanan Kompleksitas ekspresi tertulis dan lisan, yang terikat erat sedang didiskon oleh penerbitnya. Konon juga penduduk- hanya 2,8 persen dari penduduk Indonesia, sedang standard Mereka akan merasa tahu banyak, padahal tak tahu sama sekunder ini kemampuan baca dengan tradisi cetak, akan tergantikan oleh, dalam istilah penduduk desa begitu bergairah—baik anak-anak maupun Unesco 10 persen (negara maju di atas 30 persen)? Dengan sekali. Dan sekali seseorang tenggelam dalam kecongkakan dan tulis tidak begitu dibutuhkan Bikerts, a more telegraphic sort of “plainspeak”. Bahasa dewasa—menyambut dibukanya perpustakaan- demikian bisa dilihat bahwa kemelekhurufan masyarakat kebijaksanaan, dia akan menjadi beban orang lain.”lagi, karena sumber informasi menjadi lebih sederhana, sedangkan ambigu, paradok, ironi, perpustakaan desa atau perpustakaan-perpustakaan Indonesia belum fungsional, yaitu tidak digunakan untuk Karena itu, kata Socrates pada Phaedrus, lebih bersifat audio-visual. kesubtilan bahasa menjadi musnah. Imaji dan impresi keliling. Sayangnya biasanya kegairahan penduduk desa ini menyerap dan memproduksi kembali informasi tertulis. seorang pembaca berpikir sederhana karena mempercayai

Dengan demikian visuallah yang mendominasi, dan karena itu peran bahasa makin lama makin pudar, bukan karena mereka malas Katakan kita tidak usah menghitung seluruh bahwa kata-kata tertulis dapat berfungsi lebih dari sekadar d a p a t d i k a t a k a n b a h w a menjadi berkurang.membaca tetapi karena buku baru untuk perpustakaan- penduduk Indonesia yang 220 juta jiwa, tetapi sekitar 10 mengingatkan sesuatu yang ia sudah ketahui. “Kau tahu, masyarakat Indonesia mengalami Kedua, mendangkalnya perspektif kesejarahan. perpustakaan itu seret datang, tak sesuai dengan animo persen saja, atau sekitar 22 juta, yang bisa dikategorikan Phaedrus,” tambah Socrates, “itulah yang paling aneh dari lompatan dari kelisanan primer ke Berubahnya cara kita menyampaikan dan menyimpan yang ada. Ditambah lagi, banyak kasus di mana malah memiliki penghasilan cukup dan tinggal di perkotaan. tulisan, yang bisa dibandingkan dengan lukisan. Sebuah kelisanan sekunder, dengan informasi berhubungan dengan ingatan sejarah kita. Rasa anggota perpustakaan desa sukar meminjam buku, karena Andaikan mereka membelanjakan uang sebesar 20.000 lukisan di depan kita akan seolah-olah hidup, tetapi jika kau melangkahi budaya baca-tulis. ikatan dengan masa lalu bahkan bisa diwakili oleh buku dan aparat pemerintah desa khawatir buku yang ada menjadi rupiah sebulan (yang kurang lebih sama dengan makan di 'tanyai' ia akan diam saja. Begitu juga kata-kata tertulis; Karena corak lama tradisi lisan akumulasi, secara fisik, buku di rak-rak perpustakaan. rusak. Khawatir nanti-nanti kalau ditinjau oleh atasan restoran fastfood), yang dengan uang sejumlah itu bisa mereka sepertinya bicara seolah cerdas. Tetapi jika kau belum terkikis benar oleh budaya Dengan melihat buku di perpustakaan, baik perpustakaan ternyata buku-buku sudah kumal karena terlalu sering membeli buku setebal kurang lebih 200 halaman atau 3-4 tanyai tentang yang mereka katakan, karena kau ingin tahu baca-tulis, maka tawaran corak pribadi maupun perpustakaan umum, kita membentuk dipinjam, dan dianggap tidak mampu merawat harta negara. buku untuk anak-anak, bukankah volume industri buku lebih banyak, mereka hanya akan mengulang-ulang hal yang baru tradisi lisan yang disuguhkan gambaran berlalunya waktu seiring dengan bertambahnya Sebaliknya, ada yang cenderung menunjuk sebesar 440 milyar rupiah sebulan, atau 5,28 trilyun rupiah sama.”media informasi elektronik, buku di perpustakaan itu. Tetapi kesegeraan dan minat baca sebagai penyebab utama. Karena, jika buku setahun? Yang dimaksud buku di sini tentu saja bukan buku Socrates, lebih jauh lagi, tak menyukai pikiran-utamanya televisi, jauh lebih kesementaraan akan menggantikan itu.mahal, bukankah setiap orang—tentu saja yang memiliki pelajaran yang memang sudah wajib dibeli, tetapi buku non- pikirannya dipercayakan kepada kulit sapi yang mati (sarana “merangsang” dan memiliki daya Ketiga, lunturnya diri yang privat. Proses minat baca yang tinggi—bisa pergi ke perpustakaan untuk pelajaran yang bisa menjadi indikator kegemaran membaca. untuk menulis saat itu), bukan kepada hati manusia yang tarik yang lebih kuat. Di lain pihak, membaca adalah proses yang privat, ruang hening di mana meminjam buku. Bukankah dengan pergi ke perpustakaan Angka itu pun di luar proyek-proyek pembelian buku yang hidup. Plato juga tak kalah sengit. “Menulis akan membuat negara-negara Barat memiliki pembaca memperoleh suaka dari hiruk-pikuk dunia orang bisa meminjam buku dengan murah? Tetapi, Pimpinan dilakukan oleh pemerintah untuk mengisi perpustakaan- orang percaya pada tanda-tanda tertulis eksternal, dan rentang sejarah dan waktu yang sekelilingnya. Perpustakaan Nasional, Hernandono, mengatakan cuma perpustakaan. Sayangnya, kini belum ada data yang memadai tidak akan mengingatnya,” katanya. “Mereka akan menjadi cukup untuk menghunjamnya satu persen penduduk Indonesia yang mau mengunjungi tentang volume industri buku di Indonesia. Tetapi sebagai pendengar, tetapi tak akan bisa memperoleh pengetahuan,” budaya baca-tulis ini. Dengan perpustakaan. Tentu saja harus diakui bahwa kondisi umum praktisi dalam bisnis penerbitan saya bisa memperkirakan tambah Plato lagi.demikian, tentu saja sama perpustakaan pun terseok-seok. Berdasarkan catatan angkanya akan jauh di bawah 5,28 trilyun itu. Jika volume Socrates dan Plato, tentu saja, hidup pada zaman s e k a l i t i d a k m u d a h

Kendali pembacaan—waktu, imaji, impresi—sepenuhnya di tangan pembaca, sebaliknya dari tatanan elektronik ketika “pembaca” menyerahkan kendali itu kepada media. Ruang pribadi makin menyempit, kata

SENJAKALANYA

buletin Anafora #0 | 5

BUDAYA BACA? Oleh:Putut Widjanarko*

keterangan gambar:Sebuah instalasi “Literature vs Traffic” pada the Light in Winter festival di the Fed square, Melbourne, Australia.