Upload
indira-suluh-paramita
View
150
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
uji provokasi histamin
Citation preview
Histamin, Alergi, Anti Histamin dan Uji Provokasi Histamin
A. HISTAMIN
Definisi Histamin
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai
proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi
yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi
sebagai neurotransmitter dan modulator. (Udin Sjamsudin: 1995)
Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam reaksi imun lokal, selain itu senyawa ini juga
berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di lambung dan sebagai neurotransmitter. Jika tubuh terpapar
patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini
akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut.
Histamin adalah suatu amin nabati (bioamin) yang ditemukan oleh dr. Paul Ehlirch (1878) dan
merupakan produk normal dari pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasi enzimatis.
Histamin didapatkan pada banyak jaringan,sehingga dinamakan histamine (histos= jaringan)
memiliki efek fisiologis dan patologis yang kompleks melalui bebagai subtype reseptor, dan sering kali
dilepaskan setempat. Histamine dan serotonin bersama dengan peptide endogen, prostaglandin dan
leukotrien . histamine dihasilkan oleh bakteri yang terkontaminasi ergot.
Histamin adalah suatu senyawa nitrogen organik lokal yang terlibat dalam respon imun serta
mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan bertindak sebagai neurotransmitter. Jika tubuh terpapar
patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka
terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini
akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut.
Jadi Histamin adalah senyawa jenis amin yang disimpan dalam sel mast dan dikeluarkan ketika
tubuh terpapar oleh antigen sebagai respon dar sistim kekebalan tubuh.
2.1.2 Sintesis Dan Metabolisme Histamin
Histamin berasal dari dekarboksilasi dari asam amino histidin , reaksi dikatalisis oleh enzim -
histidin dekarboksilase L yang merupakan hidrofilik vasoaktif amina.
Setelah dibentuk, histamin disimpan dan di nonaktifkan oleh enzim histamin-N-methyltransferase
atau oksidase diamina . Dalam SSP, histamin dilepaskan ke dalam sinaps dan diuraikan oleh histamin-N-
methyltransferase.
Bakteri juga mampu menghasilkan dekarboksilase histamin menggunakan enzim yang berbeda
dengan enzim yang ditemukan pada hewan. Bentuk non infeksi penyakit dari keracunan makanan adalah
karena produksi histamin oleh bakteri dalam makanan basi, terutama ikan.
Penyimpanan Dan Pelepasan Histamin
Histamin dapat dibebaskan dari sel mast oleh beberapa factor:
1) Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau sedang dalam
proses perbaikan, misalnya luka.
2) Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic, sehingga akan melepaskan histamine dari sel mast
dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
3) Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin oksidase
sehingga histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap
histamine atau mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.
4) Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, sinar UV, atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama
sel mast yang akan melepaskan histamin.
Mekanisme Kerja Histamin
Histamin memegang peranan utama pada proses peradangan dan system daya tangkis. Kerjanya
berlangsung melaui beberapa reseptor. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain
dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan)
dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan
dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-
kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi, sehingga cairan dan protein-protein plasma
dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping ini organ-organ yang memiliki
otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga
menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari ranting-
ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan
asma (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung,
air mata dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali,
sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim
histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selaput lendir usus, dan jaringan-
jaringan lainnya.
2.2 Alergi
B. Alergi
Definisi Alergi
Alergi (hipersensitifitas) menggambarkan reaktivitas khusus host terhadap suatu unsure eksogen
pada kontak kedua kali. Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi serta
merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses imunologi.
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik
(antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia
bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan
berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang
menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.
Alergi adalah sebuah reaksi yang dilakukan tubuh terhadap masuknya sebuah benda asing. Ketika
sebuah substansi tak dikenal masuk, antigen, tubuh serta merta akan meningkatkan daya imunitasnya
untuk bekerja lebih giat.
Reaksi alergi merupakan respon sistem kekebalan yang diperkuat secara tidak tepat atau buruk
terhadap sesuatu yang tidak membahayakan. pada umumnya, reaksi alergi dapat berbentuk rasa sakit
kepala atau kelelahan, bersin-bersin, mata berair dan hidung tersumbat.
Menurut berbagai pengertian di atas , dapat diambil kesimpulan bahwa alergi merupakan reaksi
berlebihan yang dilakukan tubuh terhadap masuknya antigen (allergen), sebagai respon system kekebalan
tubuh.
Patofisiologis Alergi
Bila suatu protein asing (antigen masuk) berulangkali ke dalam aliran darah seseorang yang
berbakat hipersensitif, maka limfosit b akan membentuk antibodies dari tipe Ig E. IgE ini yang juga
disebut reagin , mengikat diri pada membrane sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian
antigen (allergen ) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan
mengenali dan mengikat padanya.
Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membrane sel mast (degranulasi). Sejumlah
zat perantara (mediator dilepaskan yakni histamine bersama serotonin, bradikinin dan asam arachidonat),
yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat itu menarik makrofag dan neutrofil ke
tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu. Disamping itu mengakibatkn beberapa gejala, seperti
vasodilatasi, bronchoconstriksi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen.
Mekanisme Terjadinya Alergi
Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen
bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah
pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti hay fever).
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut:
a. Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor
spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
b. Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel
mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
c. Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator
yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara
imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah
respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang
disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi
antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut
berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih
rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit.
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan
memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator
(histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot
polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi
juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat
Penggolongan Alergi
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers
merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
a. Tipe 1
Gangguan gangguan alrrgi (reaksi segala, “ immediate) berdasarkan reaksi antara allergen-
antibody (IgE) dengan degranulasi mast-cells dan khusus terjadi pada orang yang berbakat genetic
(keturunan). Tipe-I ini juga dinamakan alergi atopis atau reaksi anafilaksis dan terutama berlangsung
disaluran nafas (serangan pollinosis, rhinitis, asma) dan di kulit (eksim resam = dermatitis atopis), jarang
di cerna (alergi makanan) dan di pembuluh (shock anafilaksis). Mulai reaksi nya cepat, dalam waktu 5
sampai 20 menit setelah terkena alergen, maka sering kali di sebut reaksi segera. Gejalanya bertahan lebih
kurang 1 jam.
b. Tipe 2
Autoimunitas (reaksi sitolitis). Antigen yang terikat yang terikat pada membrane sel beraksi
dengan IgG atau IgM dalam darah dan menyebabkan sel musnah (cytos=sel, lysis= melarut ). Reaksi ini
terutama berlangsung di sirkulasi darah. Contohnya adalah gagguanauto-imun akibat obat, seperti anemia
hemolitis(akibat pinisilin)’ agranulotosis (akibat sulfamida)’ arhitis rheumatika ’SLE (system lupus
erymetodes) akibat hedrolazim atau prekaimida. Reaksi autonium jenis ini umumnya sembu dalam waktu
berapa bulan setelah penggunaan obat berhenti. Timbulnya penyakit auto-imun adalah bila system imun
tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya. Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-
antibodies atau sel-sel-T autoreaktif dan lazimnya dibagi dalam dua kelompok, yang berdasarkan:
v auto-imunitas organ-pesifik (menyangkut organ tunggal), mis. Animia pernicoios, addiison’s diaese,
ACTH.
v auto-imunitas nonorgan spesifik (menyangkut pelbagai organ), mis SLE, MS.
c. Tipe 3
Gangguan ilmun-komplek (reaksi arthus). Pada paristiwa ini, antigen dalam sirkulasi bergabung
dengan terutama IgG menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada endotel pembulu. Di tempat
itu sebagai respons terjadi peradangan, yang disebut penyakit serum yang bercirikan urticaria, demam dan
nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam setelah “terkena” (exposure) dan lamanya 4-12 hari.
Obat-obat yang dapat menginduksi reaksi ini adalah sulfanamidin, penisilin dan iodide. Imun-kompleks
dapat terjadi di jaringan yang menimbulkan reaksi local (arthus) atau dalam srikulasi (gangguan sistemis).
d. Tipe 4 (reaksi lambat,’delenyet’).
Antigen terdiri dari suatu kompleks hapten+protein, yang bereaksi dengan T-limposit yang sudah
disensitasi. Limfokin tertentu (=sitokin dari limfosit) dibebaskan, yang menarik magrofog dan neutrofil,
sehingga terjadi reaksi peradangan. Proses penarikan itu disebut chemotaxis.mulai reaksi sesudah 24-48
jam dan bertahan beberapa hari. Contohnya adalah reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.
Bentuk alergi tipe 1 s/d 3 berkaitan dengan dan imunitas imonoglobulin homolar (Humor=cairan
tubuh), artinya adahubungan dengan plasma. Hanya tipe 4 berdasarkan imunitas-sekuler (liimfosit-T)
2.2.5 Penyebab Alergi
Penyebab alergi yang lazim ditemukan antara lain sebagai berikut:
v Sengatan lebah atau serangga lain.
v Makanan, khususnya kacang, ikan, seafood.
v Gigitan serangga.
v Obat.
v Serbuk sari.
v Debu.
v Udara panas atau udara dingin.
2.2.6 Nutrisi Dan Alergi
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti alergen lain,
alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit (urtikaria,
angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare),
dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya timbul setelah 30-
90 menit setelah makan dan biasa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu,
bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE.
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam
makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein dalam
makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada orang dewasa adalah kacang-
kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi tersering pada anak adalah susu, telur, kacang-
kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang setelah pasien menghindari makanan tersebut,
dan melakukan eliminasi makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung
menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama.
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1 telah
diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen
utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1 (tropomiosin). Gambaran
klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas:
gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh pelepasan histamine,
leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat menimbulkan efek luas, berupa
respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE pada sel mast yang tersebar di seluruh
tubuh.
2.2.7 Tanda Dan Gejala Penyakit Alergi
Tanda-tanda reaksi alergi diantaranya:
a. Sistem Pernapasan
pada bayi: napas sering berbunyi grok-grok, batuk, pilek, bersin, mimisan, hidung buntu, sesak
(asma), sering menggerak-gerakkan/mengusap-usap hidung.
b. Sistem Pembuluh Darah dan jantung
v palpitasi (berdebar-debar)
v flushing (muka kemerahan)
v nyeri dada
v kolaps (jatuh)
v pingsan
v serta tekanan darah rendah.
c. Sistem Pencernaan
v Pada bayi: sering rewel, kolik/menangis terus-menerus tanpa sebab pada malam hari, sering cegukan,
sering "buang bair besar (BAB) mengejan", kembung, sering gumoh, BAB berwarna hitam atau hijau,
BAB timbul warna darah.
v Pada anak: nyeri perut, sering BAB lebih dari 3 kali sehari, gangguan BAB (kotoran keras, BAB tidak
setiap hari, BAB di celana, BAB berwarna hitam atau hijau, BAB mengejan) kembung, muntah, sulit
BAB, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut berbau.
d. Kulit
Pada bayi sering timbul penebalan merah di pipi, daerah popok dan telinga, timbul kerak di kulit
kepala, sering gatal, dermatitis, bengkak di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit
nyamuk, berkeringat berlebihan.
e. Sistem Saluran Kemih
v Sering kencing
v nyeri kencing
f. Sistem Susunan Saraf Pusat
v Bayi: sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya, gemetar.
v Anak: Sering sakit kepala, migrain, gangguan tidur, keterlambatan bicara dan gangguan perilaku.
Gangguan perilaku yang sering terjadi adalah emosi berlebihan, agresif, overaktif, gangguan belajar,
gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif hingga autisme.
g. Perilaku
v Impulsif
v Sering marah
v Agresif.
h. Sistem Hormonal
v Gangguan tidur
v Chronic fatique symptom (sering lemas),
v Gampang marah
v Emosi meningkat
v Histeris
i. Jaringan otot dan tulang
v Nyeri tulang
v Nyeri otot
v Bengkak di leher seperti gondong.
j. Mata
v Mata berair
v Mata gatal
v Sering belekan
v Bintil pada mata
v Kulit di bawah mata kehitaman
2.2.8 Pencegahan Alergi
Sebenarnya, alergi dapat dihindari dengan cara-cara berikut ini:
1) Hindari pemicu alergi, misalnya makanan atau obat. Cari tahu komposisi atau kandungan makanan atau
obat.
2) Biasakan membaca label yang tertera di luar kemasan.
3) Jika anak Anda alergi makanan tertentu, kenalkan jenis makanan baru dalam porsi kecil sehingga Anda
dapat mengetahui reaksi alerginya.
4) Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis alergi atau alergen yang dideritanya.
Simpan dalam dompet untuk keadaan darurat.
5) Selalu bawa obat anti alergi sesuai rekomendasi dokter Anda.
Penegakan Diagnosis Penyakit Alergi
Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi.
Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non
alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut:
1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan
alergi.
2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap
penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada
manifestasi yang timbul.
3) Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk
menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis
sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap
alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5) Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien
sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan
antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes
provokasi bronkial.
B. Anti Histamin
Antihistamin
2.3.1 Definisi
Antihistaminika adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek hisyamin terhadap
tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamine ( penghambatan saingan) pada awalnya hanya di kenal
1 tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor kusus pada tahun 1972, yang disebut
reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamine dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H 1 dan
reseptor H2.
Berdasarkan penemuan ini, antihistaminika juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis
reseptor H1(singkatnya disebut H1 blokers atau antihistaminika ) antagonis reseptor H2(H2 blokers atau zat
penghambat asam).
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja
histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana pun,
namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada
reseptor histamin H1.
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh
tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi
ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
2.3.2 Penggolongan
Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut :
a. Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan turunan-
turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront.
Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap
susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.
b. Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin.
Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya:
gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
c. Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin. Didalam
kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif
terhadap susunan saraf pusat.
d. Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin. Pada percobaan
binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan
dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia,
namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni
etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru
yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin
kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni
generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih
menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi
pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding
generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma,
sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa metabolit
(desloratadine dan fexofenadine) dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini
dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek
samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih
rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine,
tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
Pengelompokan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamine:
1) Antagonis Reseptor Histamin H1Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya
adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan
efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
2) Antagonis Reseptor Histamin H2Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah
meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat
digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani
peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina,
ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
3) Antagonis Reseptor Histamin H3 Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat
kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan
schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
4) Antagonis Reseptor Histamin H4Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai
antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan
trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun
kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan
histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.
2.3.3 Menisme Kerja
Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari
histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam
molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula
merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin
seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui
persaingan substrat atau ”competitive inhibition”.
Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody,
melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi
dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan
reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan
kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika
yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut. Sebagai inverse agonist, antihistamin H1
beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada
status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular,
pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis,
antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal,
seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion
yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih
baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa menurunkan lipofilisitas, sehingga efek
samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan,
yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari
sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau
menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan
bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal
ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan,
desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan
intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-
inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa
desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-
controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua.
Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.
2.3.4 Obat-Obat Antihistamin
1) Antagonis reseptor H1 Difenhidramin :
a. Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik sehingga
dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang
khusus digunakan untuk penyakit ini. Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mgDimenhidrinat:
difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros). Pertama kali digunakan pada
mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu hamil.Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100
mg, i.m. 50 mg.
b. Metildifenhidramin : Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat. Dosis
: oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.
c. Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).Khasiatnya
sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit. Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100
mg.
d. Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak pada
sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala
alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy. Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 –
100 mg
e. Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnyaDosis : oral 3 kali sehari 25 mg
f. klorfenamin (klorfeniramin, Methyrit-SKF; CTM, KF; Pehaclor, Phapros)
adalah derivateklor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin meningkatkan khasiatnya
20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis tidak berubah. Efek sampingan dari obat ini hanya
sedikit dan tidak memiliki sifat menidurkan. Dosis : oral 4 kali sehari 2 – 8 mg, parenteral 5 – 10 mg.
g. deksklorfeniramin (Polaramin, Schering)
adalah d- isomer dari klorfeniramin (terdiri dari suatu campuran rasemis) yang terutama
bertanggung jawab untuk kegiatan antihistaminiknya. Toksisitasnya dari campuran d-isomer ini tidak
melebihi daripada campuran rasemiknya. Dosis : oral 3 kali sehari 2 mg.
h. Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
` Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan.Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.
i. meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan mengobati perasaan
mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai bekerjanya lambat, tetapi berlangsung lama
(9 – 24 jam). Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini dilarang penggunaannya di Indonesia.
Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.
j. Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkannya.
Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif pada
bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui.Selain itu
sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-rangsangan
iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki
dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti
halnya dengan vasodilator-vasodilator lainnya. Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk
memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg
k. primatour (ACF)
Adalah kombinasi dari sinarizin 12,5 mg dan klorsiklizin HCl 25 mg. Preparat ini adalah kombinasi
dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap
mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat, yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama. Dosis :
dewasa 1 tablet.
l. Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat kuat, tetapi
toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan
fenothiazin. Dosis : 10 – 40 mg seharinya
m. Promethazin : Phenergan (Rhodia)
Persenyawaan fenothiazin ini adalah antihistaminikum yang kuat dan memiliki kegiatan yang lama
(16 jam). Memiliki kegiatan potensiasi untuk zat-zat penghalang rasa nyeri (analgetika) dan zat-zat
pereda (sedativa).Berhubung sifat menidurkannya yang kuat maka sebaiknya diberikan pada malam hari.
Dosis : oral 3 kali sehari 25 – 50 mg; parenteral 25 mg lazimnya sampai 1 mg per Kg berat badan.
n. promethazin-8-klorotheofilinat (Avomin)
Adalah turunan dari promethazin yang memiliki khasiat dan penggunaan yang sama dengan
dimenhidrinat, tetapi tanpa efek menidurkan.
o. Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat antikolinergik yang kuat,
sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang berlebihan.
p. Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik lemah dan
merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal. Zat ini merupakan antagonis
serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval
pada migrain.Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering. Tidak
boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.
q. Mebhidrolin : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak memiliki sifat-sifat
menidurkan. Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya.
2) Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi
asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk
mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan
penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina,
roxatidina, dan lafutidina.
3) Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif.
Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh
obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
4) Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik.
Contohnya adalah tioperamida. Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya
adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan
sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
2.3.5 Indikasi
Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang
mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria.
Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan
prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai
antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-
medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai
anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.
2.3.6 Kontraindikasi
Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara
struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer,
hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran
napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan
pasien tua.
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait
secara struktural.
2.3.7 Efek Samping
Terjadi pada 15 -25% pasien yang di beri antihistamin, dengan derajat intensitas yang berada
secara individual.
v Depresi atau stimulasi susunan saraf pusat
Depresi susunan saraf pusat berupa sedasi bahkan sampai spoor sering menggangu aktivitas
sehari-hari, teqadi pada pemakaian golongan amino alkil ether dan phenothiazine, tolerans terhadap efek
sedasi dapat terjadi setelah beberapa hari pemberian.
v Efek terhadap susunan syaraf pusat yang lain dizinus, tinnitus, gangguan koordinasi, konsentrasi berkurang
dan gangguan penglihatan/diplopia.
v Stimulasi susunan saraf pusat berupa nervous, irritable, insomnia dan tremor dapat terjadi pada pemakaian
golongan alkylamine.
v efek anti kolinergik berupa : retensi urine, disuri, impotensia dan mulut/ mukosa kering dapat terjadi pada
pemakaian golongan amino ethyl ether, phenothrazine dan piperazine.
v Hipotensi dapat terjadi pada pemberian anti histamine intravena yang terlalu cepat.
v Dermatitis, erupsi obat menetap, fotosensitisasi, urtikaria dan patechiae di kulit terutama setelah pemakaian
secara topical.
v Keracunan akut terutama pada anak anak seperti keracunan atropine berupa halusinasi, ataksia, gangguan
koordinasi, konvulsi dan efek entikolinergik (flusing, pupil lebar, febris).
2.3 8 Kontra Indikasi Dan Interaksi Obat
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin H-1 secara topical golongan
ethylene diamine pada penderita yang telah mendapat obat lain yang mempunyai struktur yang
mirip( aminophiline).
Efek sedasi akan meningkat bila antihistsmine H1 diberikan bersama dengan obat antidepresan
obat anti alcohol.
Golongan phenothiazine dapat menghambat efek vasopressor dari epinephrine.
Efek anti kolinergik dari antihistamine akan menjadi lebih berat dan lebih lama di berikan
bersama obat inhibitor monoamine (procarbazine, furazolidone, isocarboxazid). Golongan piperazine
pada binatang percobaan dapat menimbulkan efekteratogenik.
UJI PROVOKASI HISTAMIN
Latar Belakang
Histamin adalah zat yang muncul secara alami dalam tubuh, dimana berperanan dalam
pertahanan tubuh melawan protein asing. Pengaruhnya terhadap asma dijelaskan pada akhir 1920-an,
ketika ditunjukkan serangan seperti asma yang tercetus suntikan histamin pada pasien-pasien asma. Pada
1946, Curry menunjukkan bahwa histamin yang terhirup menyebabkan penurunan kapasitas vital pasien-
pasien asma. Setelah penemuan ini terdapat berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa sensitivitas
pasien asma yang menghirup histamin berhubungan dengan keparahan gejala-gejalanya dan dengan
kebutuhan obat serta memberikan saran bahwa sensitivitas ini dapat dipakai sebagai ukuran derajat
keparahan asma.
Sejak 1970-an, tes inhalasi histamin telah diterima secara luas untuk penilaian asma dan beberapa
metode telah diterangkan dan distandarisasi.
Penyiapan Larutan Histamin
- Asam fosfat histamin, dalam bentuk kristal, bersifat sangat higroskopis dan sebaiknya disimpan
dengan pembekuan dalam kondisi kedap udara
- Paparan terhadap udara dan kelembaban, selama penyiapan larutan, harus diminimalisir.
- Larutan histamine dibuat dalam larutan saline (garam fisiologis) normal yg steril dengan
konsetrasi 5 g/100ml, 2,5 g/100ml, 0,62 g/100ml, dan 0,31 g/100ml. Larutan 5g/100 ml memiliki batas
waktu penggunaan hingga 3 bulan dan sebaiknya disimpan pada suhu dibawah 4° C saat tidak dipakai.
- Larutan histamin disiapkan dari farmasi.
5 g asam fosfat histamin ditimbang dalam botol spesimen steril, kemudian ditambahkan pada
100 ml saline normal yang steril. Botol lalu ditutup, dan campurannya dikocok dengan kuat untuk
memastikan bahwa seluruh serbuk telah larut.
Pipet steril digunakan untuk menera 25 ml dari larutan tadi ke dalam botol spesimen steril, yang
kemudian ditambahkan 25 ml saline normal steril, sehingga menghasilkan konsentrasi larutan 2,5 g/ 100
ml.
Larutan dengan konsentrasi 0,62 g/ 100 ml dibuat dengan menambahkan 5 ml dari
larutan 5 g/ 100ml kedalam 35 ml saline steril di dalam botol steril.
Konsentrasi 0,31 g/ 100 ml dibuat dengan menambahkan 5 ml dari larutan 0,62 g /
100 ml kedalam 5 ml larutan saline steril pada botol spesimen steril.
Terakhir, seluruh larutan dipindahkan, melalui penyaring semprit minisart terpisah yang sekali
pakai, ke dalam semprit luer lock steril 10 ml untuk penyimpanan.
Semprit diberi label dengan konsentrasi histamin dan tanggal penyiapan serta disimpan dalam
kulkas yang terlindung dari cahaya.
Hanya satu semprit dari setiap larutan yang dibuka pada satu waktu. Tiap larutan yang sudah tiga
bulan sejak pembuatannya dibuang.
Nebuliser
- Nebuliser plastik DeVilbiss no 45 yang dioperasikan tangan digunakan karena tidak mahal
dan mudah dibawa.
- Nebuliser dibersihkan secara teratur dengan mencuci dalam air sabun yang hangat.
- Jika bibir pasien menyentuh nebuliser , nebuliser disapu dengan kapas alkohol dan dicuci
dalam air sabun yang hangat, segera setelah penggunaan.
Prosedur Tes Inhalasi
Setelah pengukuran fungsi spirometri dasar, tes inhalasi mulai dengan dua puff larutan
saline. Inhalasi saline digunakan untuk mengajari pasien tentang teknik inhalasi dan mengeksklusi
kemungkinan respon tidak spesifik atas usaha inhalasi atau ekshalasi. Pasien meniup hingga dibawah
kapasitas residu fungsional, nebuliser diletakkan dekat dengan mulut pasien sementara pasien menghirup
melalui mulut hingga kapasitas paru-paru total dengan mulut yang terbuka lebar. Pada awal inspirasi,
operator memberikan satu remasan kuat bulb dari nebuliser. Setelah satu tahanan napas ringan, 3-5 detik,
pasien menghembuskan hingga sedikit dibawah kapasitas residu fungsional dan prosedur diulangi dua
kali. Setiap puff diberikan secara terpisah, napas berturutan.
Tes inhalasi dilakukan sesuai dengan jadwal dosis yang diperlihatkan pada tabel 2. Dosis
dimasukkan sesuai dengan yang dijelaskan diatas. Masing-masing dosis sebaiknya diberikan dalam
rentang waktu 3 menit dari dosis sebelumnya dan fungsi spirometri diukur satu menit setelah masing-
masing dosis. Jika VEP1 yang terekam pertama kali telah cukup memuaskan dan juga mencakup 100 ml
dari pengukuran pasca saline, maka dosis berikutnya segera diberikan. Jika VEP1 terlihat menurun,
pengukuran diulangi hingga tercapainya dua nilai yang dapat direproduksi dalam 100 ml dan yang
tertinggi dari kedua nilai ini direkam. Pada beberapa pasien-pasien asma, histamin dapat menyebabkan
perubahan ukuran saluran udara dari napas ke napas, sehingga nilai yang mampu reproduksi untuk VEP1
bisa jadi bukanlah nilai yang tertinggi dicapai. Lebih baik nilai mampu reproduksi yang direkam daripada
nilai yang tertinggi.
Provokasi dihentikan apabila volume ekspirasi paksa (VEP1) turun hingga 20 % atau
lebih dari nilai pasca saline atau ketika dosis tertinggi telah diberikan. Apabila VEP1 turun hingga lebih
dari 10 % pada dosis terakhir suatu aerosol bronchodilator, biasanya 200 ug salbutamol, diberikan untuk
membantu pemulihan dan responnya dinilai 10 menit kemudian. Pasien sebaiknya tidak meninggalkan
tempat provokasi hingga bronkokonstriksi telah kembali dan VEP1 telah kembali 90% nilai garis dasar.
Tindak Pencegahan Keselamatan
Tes ini memiliki tingkat keamanan yang sangat baik. Sejak penggunaannya di tahun 1980, telah
dilakukan lebih dari 15.000 tes, sebagai uji diagnosis rutin, penelitian uji klinis dan studi epidemiologi
pada dewasa dan anak, tanpa satupun laporan efek samping yang bermakna. Walaupun demikian,
beberapa tindakan pencegahan keselamatan dianjurkan. Aerosol bronkodilator, lebih dipilih yang
menggunakan alat pengatur jarak, harus tersedia untuk penggunaan segera oleh setiap operator. Sebagai
tambahan, tabung oksigen atau sumber oksigen lainnya, dengan sungkup wajah nebuliser dan larutan
bronkodilator, harus tersedia di ruangan yang sama dimana tes inhalasi dikerjakan. Akses yang cepat pada
dokter, perawat atau staf lainnya yang bisa memberikan pertolongan pertama haruslah tersedia bila
dibutuhkan.
Efek samping
Histamin, ketika diberikan dalam dosis tertinggi 7,8 µmol, pada sebagian kecil pasien (3-5%)
menimbulkan suara serak yang bisa bertahan hingga 1-2 jam sebelum hilang dengan sendirinya. Histamin
tidak diketahui dapat mengakibatkan suatu penundaan dalam peningkatan gejala atau pada derajat
keparahan asma ketika respons segeranya telah hilang.
Kontraindikasi / Eksklusi Pasien
1. Kontraindikasi absolut
Pembatasan arus udara yang berat pada garis dasar (VEP1 < 1,2 L pada dewasa)
Baru- baru saja miokard infark (kurang dari 3 bulan)
Baru saja kecelakaan serebral (kurang dari 3 bulan)
Aneurisma arteri
Tidakmampu memahami prosedur dan maksud dari tes inhalasi
Kontraindikasi relatif
(boleh dikerjakan selama dalam pengawasan dokter yang berwenang)
2. Pembatasan arus udara yang diinduksi spirometri
Pembatasan arus udara yang sedang hingga berat (VEP1 < 50% yang diprediksi normal)
Sedang eksaserbasi asma
Terdiagnosis hipertensi
Hamil
Epilepsi yang butuh pengobatan
Bronkodilator aerosol pada penggunaan 6 jam sebelumnya
Long acting bronchodilator aerosol pada penggunaan 36 jam sebelumnya
Bronchodilator oral pada penggunaan 12 jam sebelumnya
Antihistamin pada penggunaan 48 jam sebelumnya
Antikolinergik pada penggunaan 6 jam sebelumnya
Obat-obat yang harus dihindari
Tabel 2
Jadwal Dosis Histamin
Provokasi A Provokasi B
Nomor dosis kumulatif Histamin Jumlah Histamine jumlah
dosis (µmol) (mg/ml) napas (mg/ml) napas
1 0,03 3,1 1
2 0,06 3,1 1 6,2 1
3 0,12 6,2 1
4 0,24 6,2 2 6,2 3
5 0,48 25,0 1
6 0,98 25,0 2 25,0 3
7 1,95 25,0 4
8 3,91 50,0 4 50,0 6
9 7,8 50,0 8 50,0 8