95
ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2006 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: MARTUNIS NIM 11140480000071 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1439 H/2018 M

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 1 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MARTUNIS

NIM 11140480000071

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 2: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

i

ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN

PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK)

PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 1 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

MARTUNIS

NIM 11140480000071

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1439 H/2018 M

Page 3: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen
Page 4: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen
Page 5: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen
Page 6: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

v

ABSTRAK

MARTUNIS, NIM 11140480000071, “ALASAN PEMBATALAN

PUTUSAN ARBITRASE BADAN PENYELESAIAN SENGKETA

KONSUMEN (BPSK) PADA PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 1 TAHUN 2006”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu

Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta. 1439 H/2018 M.

Adanya interaksi pelaku usaha dengan konsumen, bisa saja menimbulkan

suatu konflik diantara para pihak. Yang perlu kita perhatikan ialah, terkadang posisi

konsumen tidak seimbang dengan posisi pelaku usaha yang dalam hal ini lebih

dominan mulai dari segi sosial maupun finansial. Disinilah peran BPSK hadir

sebagai penengah sekaligus pelerai atas konflik yang terjadi antara kedua belah

pihak tersebut. Cara yang dapat digunakan oleh badan tersebut untuk

menyelesaikan sengketa yang terjadi ada 3 macam. Yaitu mediasi, konsiliasi dan

juga arbitrase yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen. Undang-undang ini juga dibentuk guna menyeimbangan posisi antara

pelaku usaha dengan konsumen yang sering kali lebih tinggi, sehingga dalam

penyelesaianya dapat lebih adil. Bahkan guna menjamin efektivitasnya norma

dalam undang-undang Perlindungan konsumen tersebut menegaskan bahwa

putusan yang dikeluarkan oleh BPSK bersifat final and banding. Namun sayangnya

pada pasal 56 ayat (2) memberikan peluang kepada para pihak untuk tetap

mengajukan keberatan atas putusan yang dikeluarkan oleh BPSK.

Pengajuan atas keberatan tersebut diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2006,

yang memberikan penegasan bahwa pengajuan keberatan hanya dapat diajukan atas

putusan arbitrase dari BPSK itu sendiri. Berbicara terkait dengan arbitrase tentu

tidak terlepas dari ketentuan UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS,

dalam undang-undang tersebut menegaskan bahwa putusan arbitrase juga bersifat

final dan mengikat, walau terdapat pengajuan pembatalan, namun pengajuanya pun

dibatasi pada pasal 70 undang-undang tersebut. Namun hal ini tidak berlaku bagi

putusan arbitrase BPSK. Sebab ketentuan pada pasal 6 ayat (5) pada Perma No. 1

Tahun 2006 telah memberikan keleluasaan para pihak untuk mengajukan

keberatan, sehingga pengaturan tersebut sangat tidak sesuai dengan ketentuan UU

Arbitrase dan juga UU Perlindungan konsumen. Disinilah peneliti ingin

menganalisis lebih dalam terkait dengan adanya ketentuan tersebut. Bagaimana bisa

ketentuan yang sebelumnya ditetapkan sebagai putusan yang final dan mengikat

namun tetap memiliki upaya dalam pembatalan yang bahkan tidak dibatassi secara

konkret. Padahal nomenklatur yang digunakan ialah arbitrase, yang mana alasan

atas pengajuan pembatalanya saja dibatasi oleh undang-undang.

Kata Kunci : Putusan Arbitrase, BPSK, Pengajuan Keberatan,

Dosen Pembimbing : Dr. Muhammad Maksum, S.H.,M,A.,MDC

Daftar Pustaka : 1986-2017

Page 7: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بســــــــــــــــــم هللا الر

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Atas berkat rahmat,

hidayat dan juga anugerah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

“Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006”.

Sholawat serta salam tidak lupa tercurah oleh peneliti kepada junjungan Nabi

Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah, kepada

zaman islamiyah pada saat ini

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini

tidak dapat diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai

pihak selama penyusunan skripsi ini.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para

pihak yang telah memberikan peranan secara langsung dan tidak langsung atas

pencampaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang

terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. ketua Program Studi Ilmu Hukum

dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

3. Dr. Muhammad Maksum, S.H., M.A., MDC. sebagai Dosen pembimbing

Skripsi peneliti, saya ucapkan banyak terimakasih atas kesempatan waktu,

arahan dan kritik serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan.

4. Dra. Ipah Parihah, M.H. saya ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas

segala bentuk dukungan yang telah diberikan hingga saya mampu untuk

menyelesaikan studi saya di Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 8: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

vii

5. Pimpinan perpustakaan yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan

studi kepustakaan, sehingga saya dapat memperoleh bahan referensi untuk

melengkapi hasil penelitian saya.

6. Ibu dan Ayah peneliti yang dalam hal ini sudah sangat banyak memberikan

segala bentuk peranan, dukungan dan juga do’anya sehingga peneliti mampu

melewati semua hambatan dan keterbatasan yang peneliti miliki.

7. Makwa dan Yahwa yang juga telah menutupi segala kekurangan dan juga

keterbatasan peneliti, sehingga peneliti mampu untuk tetap melanjutkan studi

pada jenjang perguruan tinggi ini hingga selesai.

8. Keluarga besar Moot Court Community Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga telah banyak memberikan pengalaman

serta arahan dalam proses pembelajaran selama peneliti menempuh studi pada

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Seluruh teman-teman mahasiswa Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

yang juga telah memberikan dukungan serta semangat sehingga peneliti dapat

menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

10. Pihak-pihak lain yang telah memberikan kontribusi kepada peneliti dalam

menyelesaikan karya tulis ini.

Demikian peneliti ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi

ini dampar bermanfaat bagi peneliti pada khususnya, bagi mahasiswa hukum dan

kepada seluruh pembaca pada umumnya. Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Jakarta, September 2018

Peneliti

Page 9: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii

SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ......................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi

DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................... 7

1. Identifikasi Masalah ................................................................. 7

2. Pembatasan Masalah ................................................................. 8

3. Perumusan Masalah .................................................................. 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 8

D. Metode Penelitian ......................................................................... 10

E. Sistematika Penulisan ................................................................... 14

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual .................................................................. 16

1. Pengertian Penyelesaian Sengketa ........................................ 16

2. Pengertian Sengketa Konsumen ............................................ 18

3. Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa ....................... 19

a. Arbitrase .......................................................................... 19

b. Mediasi ............................................................................ 20

c. Negosiasi ......................................................................... 21

d. Konsiliasi ........................................................................ 21

Page 10: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

ix

B. Kerangka Teori............................................................................ 22

1. Teori Kepastian Hukum ........................................................ 22

2. Asas dan Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen ... 24

3. Asas dan Teori dalam Hukum Arbitrase ............................... 28

C. Riview (tinjauan ulang) hasil studi Terdahulu ............................ 36

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PENYELESAIN

SENGKETA KONSUMEN (BPSK) DALAM

PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia ................ 39

B. Peran BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen .............. 42

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di BPSK ............................. 44

BAB IV : ANALISIS PROSEDUR PEMBATALAN PUTUSAN

ARBITRASE BPSK PADA DARI PERATURAN MAHKAMAH

AGUNG NOMOR 1 TAHUN 2006

A. Kedudukan Hukum Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia

dan Pengaruhnya terhadap Peran BPSK ..................................... 50

1. Kedudukan Kewenangan Mahkamah Agung dalam

Membentuk Peraturan ........................................................... 50

2. Peran Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia dan

Pengaruhnya terhadap Kepastian Hukum Wewenang

BPSK ..................................................................................... 53

B. Analisis Prosedur Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK pada

Peraturan Mahkamah Agung Nomer 1 Tahun 2006 dengan

Produk Hukum Arbitrase dan Perlindungan Konsumen ............. 63

1. Upaya Hukum pada Putusan Arbitrase ................................. 63

2. Analisis Alasan Pengajuan Pembatalan Putusan Arbitrase

BPSK .................................................................................... 69

Page 11: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

x

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ................................................................................... 76

B. Rekomendasi ................................................................................ 78

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 79

Page 12: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat (3)

UUD Negara Republik Tahun 1945 telah menjadikan adanya kewajiban

negara untuk mengatur segala bentuk seluk-beluk kehidupan berbangsa dan

bernegara, bahkan lebih dalam lagi, adanya ketentuan tersebut mewajibkan

kepada negara untuk dapat menjamin segala macam bentuk hak yang ada

dalam diri setiap masyarakatnya. Begitupula dalam kehidupan berbisnis.

Adanya dinamika yang cepat dalam era industri sekarang, telah

mengantar umat manusia ke dalam suatu kehidupan dunia tanpa batas

(borderless world) dalam suatu kegiatan ekonomi yang saling terkait

(interlinked economy). Konsekuensi dunia bisnis tanpa batas, dengan

sendirinya akan membawa bangsa-bangsa di dunia (termasuk Indonesia) ke

era bisnis global (bussiness in global village), perdagangan bebas (free

trade), dan persaingan bebas (free competition).1 Dengan demikian, negara-

negara akan saling tergantung satu sama lain dalam bidang ekonomi

termasuk pada perdagangan yang menyebabkan peningkatan pada transaksi

bisnis.

Berbicara tentang bisnis pasti berbicara tentang hubungan antara

konsumen dengan pelaku usaha. Secara umum dan mendasar, hubungan

antara produsen (pelaku usaha) dan konsumen merupakan hubungan yang

terus-menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut terjadi karena

keduanya saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang

cukup tinggi antara satu dan yang lain. Produsen sangat membutuhkan dan

sangat bergantung pada dukungan konsumen sebagai pelanggan. Tanpa

dukungan konsumen, tidak mungkin produsen dapat terjamin kelangsungan

1 Nurnaningsih Amriani, Mediasi:Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan

(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), h.38.

1

Page 13: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

2

usahanya. Sebaliknya, pemenuhan kebutuhan konsumen sangat bergantung

pada hasil produksi produsen (pelaku usaha). Hubungan antara produsen

dan konsumen yang bersifat massal dapat menciptakan hubungan-hubungan

hukum yang spesifik.2 Hubungan hukum tersebut akan menimbulkan hak

dan kewajiban yang harus saling dipenuhi oleh kedua belah pihak yaitu

pelaku usaha dan konsumen. Namun dalam kenyataannya, pemenuhan hak

dan kewajiban antara kedua belah pihak seringkali terabaikan sehingga

menimbulkan perselisihan di antara mereka. Hal inilah yang menjadi titik

awal timbulnya sengketa. Pelaksanaan transaksi bisnis pada dasarnya dapat

berpotensi menyebabkan terjadinya sengketa. Sengketa berawal dari adanya

perasaan tidak puas dari salah satu pihak karena ada pihak lain yang tidak

memenuhi prestasi sebagaimana yang telah dijanjikan atau dengan kata lain

ada salah satu pihak yang wanprestasi. Bentuk-bentuk wanprestasi terdiri

dari (1) tidak melaksanakan prestasi sama sekali; (2) melaksanakan prestasi

namun terlambat atau tidak tepat waktu; (3) melaksanakan prestasi namun

tidak sesuai dengan yang diperjanjikan; (4) melaksanakan hal-hal yang

dilarang dalam perjanjian. Adanya hal-hal dimaksud memberikan hak

kepada pihak lain untuk menuntut ganti kerugian dengan atau tanpa

pembatalan perjanjian.3

Pada dasarnya tidak seorang pun menghendaki terjadinya sengketa

dengan orang lain. Oleh karena dalam hubungan bisnis atau suatu

perjanjian, masing-masing pihak harus mengantisipasi kemungkinan

timbulnya sengketa yang dapat terjadi setiap saat dikemudian hari,agar

apabila nantinya timbul sengketa, para pihak akan mudah untuk

menentukan bagaimana langkah atau cara yang akan ditempuh dalam

penyelesaianya. Sengketa yang perlu diantisipasi ialah sengketa yang

timbul karena perbedaan penafsiran, baik mengenai bagaimana cara

2 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Yogyakarta: Pustaka

Yustisia, 2010), h. 88.

3 Khotibul Umam, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan ..., h.6

Page 14: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

3

melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa isi dari

ketentuan-ketentuan didalam perjanjian, ataupun disebabkan hal-hal

lainnya.4

Era globalisasi para pelaku bisnis memerlukan cara penyelesaian

sengketa yang efektif untuk segera menyelesaikan sengketanya.

Penyelesaian sengketa yang kita kenal saat ini terdiri dari penyelesaian

secara nonlitigasi dan penyelesaian secara litigasi. Penyelesaian sengketa

secara litigasi adalah penyelesaian sengketa melalui pengadilan dimana

menghasilkan putusan yang bersifat menang dan kalah (win-lose). Putusan

tersebut memberikan keuntungan bagi satu pihak sedangkan pihak lain akan

mengalami kerugian. Sementara itu, penyelesaian sengketa secara

nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar pengadilan dimana

menghasilkan putusan yang bersifat menang-menang (win-win solution).

Putusan tersebut merupakan putusan yang sama-sama memberikan

keuntungan bagi para pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Penyelesaian sengketa secara litigasi memerlukan waktu yang relatif

lama dibandingkan dengan penyelesaian sengketa secara nonlitigasi yang

relatif cepat. Waktu yang relatif lama pada proses penyelesaian sengketa

secara litigasi akan berdampak pada biaya selama proses penyelesaiannya

yang relatif mahal, sebaliknya pada penyelesaian sengketa secara nonlitigasi

biaya yang diperlukan cenderung relatif murah dibandingkan dengan

litigasi. Terlebih perihal penyelesaian sengketa melalui nonlitigasi ini pun

menurut Erman Rajagukguk dipengaruhi oleh faktor budaya hukum

masyarakat yang menekankan kepada efesiansi dan efektivitas sehingga

timbul anggapan tidak perlunya penyelesaian sengketa melalui pengadilan.5

Oleh karena itu penyelesaian sengketa secara nonlitigasi menjadi pilihan

penyelesaian sengketa yang paling disukai oleh para pelaku bisnis karena

4 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 2006), h.1

. 5Erman Rajagukuk, “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata di Luar

Pengadilan” Jurnal Magister Hukum, PPs-UII, Volume 2, No. 4 (Oktober 2000), h.7.

Page 15: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

4

dinilai sebagai cara yang paling serasi dengan kebutuhan dalam dunia bisnis

serta efektif dan efisien dalam proses penyelesaiannya guna menyelesaikan

sengketa yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan mereka. Dalam

prakteknya kini, tidak jarang terjadi sengketa antara pelaku usaha dengan

konsumen. Sengketa konsumen terjadi karena adanya ketidakpuasan

konsumen terhadap suatu produk atau kerugian yang dialami konsumen

karena penggunaan atau pemakaian barang atau jasa. Terkait dengan

penyelesaian sengketa konsumen sendiri, terdapat beberapa prinsip yang

harus dipenuhi dalam pengelolaannya seperti yang pernah disinggung

sebeleumnya oleh Al Wisnubroto yaitu aksesibilitas, fairness dan

efektivitas.6 Oleh karena itu untuk menjangkau permasalahan tersebut

pemerintah membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen (seelanjutnya disebut UUPK) yang telah

menentukan dalam pasal 1 angka (1) bahwa perlindungan konsumen adalah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen. Kepastian hukum itu meliputi segala upaya

untuk memperdayakan konsumen memperoleh atau untuk menentukan

pilihannya atas barang dan/atau jasa serta mempertahankan atau membela

hak-haknya apabila dirugikan oleh prilaku pelaku usaha penyedia kebutuhan

konsumen.7

Secara khusus penyelesaian sengketa yang terjadi antara pelaku

usaha dan konsumen ditetapkan berdasarkan Pasal 49 UUPK dapat

diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

BPSK merupakan suatu lembaga yang menyelesaikan sengketa konsumen

antara pelaku usaha dengan konsumen yang sifat penyelesaiannya adalah

win-win Solutions guna mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak

6Al Wisnubroto, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh Progetifitas”, Artikel

diakses pada 5 April 2018 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20267/alternatif-

penyelesaian-sengketa-konsumen-butuh-progresivitas.

7 AZ. Nasution, Aspek Hukum Perlindungan Konsumen, dalam Jurnal Teropong, Edisi Mei

(Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia,

2003), h.6-7.

Page 16: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

5

yang bersengketa. Proses penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK

menggunakan pihak ketiga yang berkapasitas sebagai penengah di antara

kedua belah pihak yang bersengketa. Pihak ketiga dalam hal ini harus

berada di posisi netral dan tidak memihak kepada salah satu pihak.

Pembentukan BPSK sendiri pada dasarnya ditujukan untuk menghilangkan

kecenderungan masyarakat yang segan untuk beracara di pengadilan sebab

posisi konsumen yang secara sosial dan finansial tidak seimbang dengan

pelaku usaha8 oleh karena itu dengan adanya BPSK maka penyelesaian

sengketa konsumen dapat dilakukan dengan cepat, mudah dan murah. Cepat

karena penyelesaianya harus sudah diputus dalam kurun waktu tak lebih

dari 21 hari kerja, ditambah lagi dengan adanya ketentuan yang menegaskan

bahwa putusan BPSK pada dasarnya bersifat final dan mengikat, maka

seharusnya tidak ada mekanisme banding dalam proses penyelesaian

perkara disebabkan karena sifat putusanya yang bersifat final dan mengikat,

namun sayangnya hal ini tidak terimplementasi dengan baik. Mudah karena

prosedur administratif dan proses pengambilan putusan yang sangat

sederhana, dan dapat dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa

tanpa perlu kuasa hukum. Murah karena biaya yang dibebankan sangat

ringan dan dapat terjangkau oleh konsumen.9

Berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan

Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Pasal 3

Huruf a menyebutkan bahwa proses penyelesaian sengketa di BPSK dapat

ditempuh melalui tiga cara yakni dengan cara Konsiliasi, Mediasi atau

Arbitrase. Melalui ketiga cara penyelesaian tersebut, diharapkan akan

menghasilkan putusan yang memberikan win-win solution bagi para pihak.

Namun dalam dunia bisnis, yang perlu digaris bawahi adalah penyelesaian

8 Susanti Adi Nugroho, “Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Cara Serta Kendala Implementasinya” (Jakarta: Kencana, 2011), h.74.

9 Yusuf Shofie dan Somi Awan, “Sosol Peradilan Konsumen Mengungkap Berbagai

Persoalan Mendasar Badan Penyelsaian Sengketa Konsumen (BPSK)( Jakarta: Piramedia, 2004),

h.17.

Page 17: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

6

sengketa melalui arbitrase yang dianggap paling menarik bagi kalangan

pengusaha, sebab arbitrase sendiri dinilai sebagai suatu “pengadilan

Pengusaha” yang independen dan dapat menyelesaikan sengketa sesuai

dengan keinginan dan kebutuhan para pihak.10 Bahkan terkait dengan

keefektifitasan arbitrase sendiri dapat kita nilai dari hasil penelitian Gatot

Soemartono yang menyimpulkan bahwa penyelesaian sengketa melalui

arbitrase selalu disandarkan pada asumsi bahwa penyelesaianya lebih cepat,

dilakukan oleh ahlinya dan kerahasiaan para pihak dapat terjamin.11 Namun

dalam kenyataannya tidak semua putusan yang dihasilkan BPSK dengan

arbitrase ini akan memberikan kepuasan pada para pihak. Hal ini pun

difasilitasi dengan adanya ketentuan pembatalan putusan arbitrase yang

diatur secara umum oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang

Arbitrase dan APS (selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS), dan secara

khusus untuk BPSK diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen.

Terkait dengan tata cara pengajuan keberatan atas putusan arbitrase

BPSK itu sendiripun juga sudah diatur secara khusus dalam Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan

Keberatan Terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 2006). Apabila kita lihat dalam

pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) Perma Nomor 1 Tahun 2006 masih memberikan

ketentuan yang sama terkait dengan syarat diajukanya pembatalan putusan

arbitrase dengan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999. namun, yang menjadi masalah ialah pada pasal 6 ayat (5) dan (6)

memberikan pengecualian dalam arti suatu pengajuan keberatan atas

pembatalan putusan arbitrase BPSK yang tidak mengandung unsur-unsur

yang telah disebutkan sebelumnya, maka majelis hakim dapat mengadili

10Gatot Soemartono, “Persoalan Pilihan-Pilihan Pengadilan, Hukum, dan Arbitrase dalam

Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional”, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum “Era Hukum”, IX,

Nomor 2, (2002), h.4.

11 Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia ..., h.13.

Page 18: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

7

sendiri atas sengketa konsumen yang diajukan dengan memerhatikan ganti

rugi yang ada. Adanya kewenangan majelis untuk mengadili sendiri atas

keberatan yang diajukan oleh para pihak yang tidak mengandung unsur-

unsur yang diatur dalam hal pembatalan putusan arbitrase, menyebabkan

ketentuan tersebut mengindikasikan bahwa setiap putusan arbitrase BPSK

dapat diajukan keberatan atas pembatalan dengan alasan apapun. Maka

secara implisit jelas telah bertentangan dengan pasal 54 ayat (3) UUPK

yang menegaskan bahwa putusan BPSK bersifat final dan mengikat dan UU

Arbitrase dan APS pasal 17 ayat (2). Maka oleh karena itu dengan adanya

kontradiksi tersebut menyebabkan tujuan dibentuknya BPSK sebagai

alternatif penyelesaian sengketa yang tergolong small claim tribunal untuk

mempermudah dan mempersingkat penyelesaian sengketa konsumen

menjadi sia-sia sebab pada akhirnya akan tetap bermuara di pengadilan, hal

inilah yang ingin dikaji lebih mendalam oleh peneliti dalam judul “Alasan

Pembatalan Putusan Arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen (BPSK) pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2006” agar nantinya penegakan hukum melalui jalur non litigasi salah

satunya ialah arbitrase dapat berjalan sebagaimana mestinya.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan pada penjabaran yang telah diuraikan dalam latar

belakang, maka identifikasi masalahnya ialah :

a. Timbulnya hak menuntut ganti kerugian oleh konsumen kepada

pelaku usaha

b. Kepastian atas kedudukan hukum Badan penyelesaian Sengketa

Konsumen dalam menyelesaikan sengketa konsumen

c. Efektivitas putusan arbitrase dari BPSK yang bersifat final and

banding

Page 19: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

8

d. Adanya perbedaan pembatasan atas alasan pengajuan pembatalan

putusan arbitrase BPSK dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor

1 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahaan yang telah

diungkapkan di atas maka pembahasan ini berfokus pada satu titik

permasalahan, peneliiti dalam hal ini ingin menganalisis secara yuridis

mekanisme pembatalan atas putusan arbitrase dari Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun

2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK

dengan prespektif hukum Arbitrase dan Perlindungan Konsumen

3. Perumusan Masalah

Masalah utama yang menjadi titik fokus pembahasan dalam

penelitian ini ialah terkait dengan ketidakpastian hukum atas wewenang

BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen yang disebabkan oleh

tidak adanya pembatasan terhadap alasan atas pengajuan pembatalan

putusan arbitrase BPSK yang diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2006.

Untuk mempertegas arah pembahasan dari masalah utama yang

telah di uraikan di atas maka peneliti membatasi penulisan ini melalui

rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan:

a. Bagaimana kepastian hukum atas kedudukan BPSK dalam

penanganan penyelesaian sengketa Konsumen?

b.Bagaimana efektifitas kekuatan hukum atas putusan Arbitrase yang

dikeluarkan BPSK?

c. Bagaimana pembatasan atas alasan dalam pengajuan keberatan atas

pembatalan putusan arbitrase BPSK?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan atas rumusan masalah yang sudah diuraikan maka

tujuan penelitian ini ialah:

Page 20: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

9

a. Untuk memperoleh analisis terkait dengan adanya ketentuan dasar

dalam pengajuan keberatan dan syarat atas pembatalan putusan

Arbitrase di BPSK yang di atur dalam Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2006 dengan ketentuan pembatalan putusan

arbitrase biasa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999

b. Untuk mengetahui terkait dengan kedudukan BPSK dalam

penanganan penyelesaian sengketa konsumen

c. Untuk mengetahui kekuatan hukum atas putusan arbitrase BPSK

dan juga efektifitasya

2. Manfaat Penelitian

Bahwa pada dasarnya segala bentuk penelitian haruslah dapat

memberikan manfaat bagi peneliti ataupun para pembacanya, oleh

karena itu, peneliti akan menguraikan manfaat dari penelitian ini. secara

garis besar, manfaat penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu:

a. Manfaat Teoritis

Penelitian ini dapat berguna sebagai dasar pengembangan ilmu

pengetahuan, khususnya ilmu dibidang Hukum Perdata yang

berkenaan dengan Hukum Perlindungan Konsumen dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa (Arbitrase).

b. Kegunaan Praktis

1) Sebagai upaya pengembangan kemampuan dan pengetahuan

hukum bagi peneliti khususnya mengenai pembatalan putusan

arbitrase Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

2) Sebagai bahan informasi bagi pihak yang memerlukan

khususnya bagi mahasiswa Bagian Hukum Bisnis Fakultas

Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3) Sebagai salah satu syarat dalam menempuh ujian sarjana

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Page 21: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

10

D. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), yaitu

penelitian yang harus melihat dari segala peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan tema penelitian, cara pendekatan tersebut

ialah dengan cara melihat hukum sebagai sistem tertutup yang

mempunyai sifat Comprehensive, artinya melihat hubungan antara

norma-norma hukum yang ada secara logis. all inclusive, melihat bahwa

apakah kumpulan norma hukum tersebut mampu untuk menampung

segala permasalahan hukum yang ada. Systematic, selain dua hal

tersebut, perlu juga melihat hukum tersebut secara sistematis atau

hierarkis.12

Sebab pada dasarnya penelitian ini berupaya untuk

menggambarkan permasalahan terkait mekanisme pembatalan putusan

arbitrase BPSK yang tidak memiliki batasan yang jelas terkait dengan

syarat pengajuanya, sehingga kekuatan hukum atas putusan BPSK

menjadi jauh dari amanat yang ditetapkan dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pada pasal 54

ayat (3) yaitu final and banding.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian pada dasarnya berguna untuk memaparkan

corak penelitian yang digunakan, maka oleh karena itu peneliti

menggunakan penelitian kualitatif atau deskriptif kualitatif

Menurut David, P. Wilian yang dikutip oleh M. Yahya Mansur.

Secara triminologi penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan

dengan setting yang alami dilapangan dalam masyarakat bukan dalam

laboraturium, menggunakan metode alami (bisa observasi, interview,

12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia

Publishing, 2008), h.302-303.

Page 22: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

11

fikiran, bacaan, dan tulisan) dengan cara-cara yang alami dan sasaran

penelitian kualitatif dianggap sebagai subjek yang ditempatkan sebagai

sumber informasi.13

Peneliti dalam hal ini juga menggunakan metode Studi Pustaka

yaitu pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari

berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan dalam

penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk

memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan studi

dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-literatur,

mengkaji peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

permasalahan yang dibahas.

3. Data Penelitian

Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk

menjawab masalah penelitian. Maka oleh karena itu, peneliti merasa

perlu untuk menguraikan data yang peneliti gunakan dalam penelitian

ini untuk menjawab semua permasalahan yang ada pada penelitian ini

ialah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer

meliputi perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan

hakim14.

b. Bahan hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum dalam bidang ketenagakerjaan meliputi buku-buku teks,

kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas norma

hukum

13 M. Yahya Mansur, Penelitian Kualitatif Konseling (Surabaya: Biro Penerbit Fakultas

Dakwa IAIN Sunan Ampel Suarabaya, 1993), h.3.

14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, cet-IV 2010) h. 141.

Page 23: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

12

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder yang dipandang perlu. Bahan non hukum

dapat berupa buku-buku mengenai Ilmu Ekonomi, Sosiologi,

Filsafat atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang

mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-

hukum tersebut dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas

wawasan peneliti.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini terdapat beberapa data yang digunakan

diantaranya ialah :

a. Data Primer

Dalam hal penelitian ini yang termasuk sebagai data primer ialah

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase dan APS, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun

2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor:350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan

Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, putusan

pengadilan terkait dan peraturan perundang-undangan yang terkait

dengan pokok permasalahan penelitan ini.

b. Data Sekunder

Ialah berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum

dalam bidang arbitrase dan perlindungan konsumen meliputi buku-

buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas

norma hukum dan lain-lain.

Data sekunder diperoleh melalui hasil studi kepustakaan yaitu

pengkajian informasi tertulis mengenai hukum yang berasal dari

berbagai sumber dan dipublikasikan secara luas serta dibutuhkan

Page 24: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

13

dalam penelitian hukum normatif. Studi kepustakaan dilakukan untuk

memperoleh data sekunder yaitu melakukan serangkaian kegiatan

studi dokumentasi dengan cara membaca dan mengutip literatur-

literatur, mengkaji mengenai peraturan perundang-undangan yang

berhubungan dengan permasalahan yang dibahas.

c. Bahan Hukum tersier

Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari

bahan sekunder dan bahan primer di anataranya, kamus, ensiklopedi

dan sumber-sumber sejenis yang diakakses melalui Internet.

5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan tipe dan jenis penelitian yang digunakan yakni

penelitian secara normatif yuridis, maka pendekatan yang dilakukan

adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), Pendekatan

perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang

berkaitan dengan fokus pembahasan dalam penelitian ini, di antaranya

peneliti akan melakukan analisis melalui, Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor

30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan APS, Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor:

350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, putusan pengadilan terkait

dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pokok

permasalahan penelitan ini.

6. Teknik Pengolahan Data

Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, maupun bahan non-hukum diuraikan dan dihubungkan

sedemikian rupa, sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih

sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Cara

pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik

Page 25: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

14

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan hukum

diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut yang akhirnya

akan diketahui Permasalahan mekanisme pembatalan putusan arbitrase

antara Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Undang-Undang

Arbitrase dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006.

7. Metode Penulisan

Dalam melakukan penulisan ini metode yang digunakan dalam

penulisan skripsi ini adalah berdasarkan pada buku pedoman panduan

penyusunan skripsi dan karya tulis ilmiah yang telah diterbitkan oleh

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta Tahun 2017.

E. Sistematika Penelitian

Untuk memudahkan pembaca agar memahami gambaran atas isi dari

skripsi ini secara menyeluruh, maka disini peneliti menggunakan

sistematika penulisan dengan berpedoman pada buku Pedoman Penulisan

Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

Yang mana didalamnya termaktub kebijakan penulisan skripsi untuk

Fakultas Syariah dan Hukum maka sistematika penulisan terbagi dalam lima

bab. Masing-masing bab terdiri atas sub bab sesuai dengan pembahasan dan

materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I : Membahas mengenai Pendahuluan yang menguraikan dari

latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan

dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

metode penelitian, sistematika penulisan, dan daftar pustaka.

BAB II : Peneliti berfokus pada pembahasan terkait dengan

Sistematika Penyelesaian Sengketa Konsumen di Indonesia,

dengan menguraikan dua pokok pembahasan yang

mendukung penulisan skripsi ini, di antaranya pembahaan

terkait kajian teoritis, yakni teori-teori yang berkaitan

Page 26: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

15

dengan pembahasan yang tertuang dalam tulisan ini, seperti

teori hukum perlindungan konsumen dan juga arbitrase. Lalu

dalam kerangka konseptual juga membahas terkait dengan

kata yang sering di gunakan dalam tulisan ini. Selanjutnya

akan dijelaskan terkait riview (tinjauan ulang) studi

terdahulu, agar tidak ada persaman terhadap materi muatan

dan pembahasan dalam skripsi ini dengan apa yang di tulis

oleh pihak lain.

BAB III : Pada bab ini peneliti lebih mengkaji perihal Tinjauan Umum

tentang BPSK dalam Perlindungan Konsumen di Indonesia

dengan menjadikan BPSK sebagai bahasan dalam penelitian

ini. Dimulai dari peranan dan juga kewenangan BPSK dalam

menyelesaikan sengketa konsumen, dan juga dilengkapi

dengan perkembangan konsep perlindungan konsumen di

Indonesia.

BAB IV : Pada bab ini peneliti membahas tentang Analisis Prosedur

Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK pada Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 untuk menjawab

permasalahan pada penelitian ini diantaranya menganalisis

serta menjawab permasalahan hukum yang timbul akibat

adanya perbedaan ketentuan mekanisme pembatalan putusan

dalam peraturan perundang-undangan yang ada

BAB V : Yaitu bab Penutup, peneliti membahas tentang kesimpulan

hasil penelitian dan rekomendasi. Bab ini merupakan bab

terakhir dari sistematika penulisan skripsi yang pada

akhirnya penelitian ini menarik beberapa kesimpulan dari

penelitian untuk menjawab Rumusan Masalah serta

memberikan Rekomendasi yang dianggap perlu.

Page 27: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Konseptual

1. Penyelesaian Sengketa

Sengketa secara umum memiliki arti yaitu sesuatu yang

menyebabkan perbedaan pendapat, pertengkaran dan perbantahan 1,

sedangkan apabila dilihat dari segi hukum khususnya hukum kontrak,

sengketa dapat diartikan sebagai perselisihan yang terjadi antara para

pihak karena adanya pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah

dituangkan dalam suatu kontrak, baik sebagian atau secara

keseluruhan. Dalam hal ini biasanya disebut sebagai wanprestasi.2

Takdir Rahmadi juga mengartikan sengketa sebagai situasi dan

kondisi dimana orang-orang saling mengalami perselisihan yang

bersifat faktual maupun perselisihan-perselisihan yang ada pada

persepsi mereka saja.3

Sengketa pada dasarnya sangat rawan terjadi dikehidupan sosial

bermasyarakat, sebab manusia sebagai makhluk sosial pastinya

saling berhubungan satu sama lain dalam memenuhi kebutuhanya.

Ditambah lagi dengan adanya perkembangan zaman yang semakin

maju membuat kebutuhan dan cara dari pemenuhan atas kebutuhan

tersebut menjadi lebih kompleks, semisal perkembangan ekonomi

yang sangat mempengaruhi faktor kebutuhan masyarakat. Dengan

adanya perkembangan ekonomi dan bisnis tersebut, maka tidak

mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute) antara para pihak

yang terlibat dan nantinya dapat berimbas pada pembangunan

1 KBBI, diakses pada 05 Juni 2018 dari http://kbbi.co.id/arti-kata/sengketa.

2 Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2012), h.12.

3 Takdir Rahmadi, Mediasi ( Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat) (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h.1.

16

Page 28: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

17

ekonomi yang tidak efisien.4 oleh karena itu upaya dalam

penyelesaian sengketa tersebut juga perlu diperhatikan.

Dalam proses penyelesaian sengketa kita mengenal istilah

litigasi dan nonlitigasi. litigasi atau litigation yang diartikan sebagai

pengadilan, sedangkan proses litigasi ialah proses penyelesian

sengketa melalui ranah pengadilan yang menyelesaikan suatu

sengketa dengan menjatuhkan putusan (constitutive). Sedangkan

proses nonlitigasi ialah penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang

didasarkan pada hukum, dan penyelesaian yang berkualitas tinggi,

sebab sengketa tersebut diselesaikan secara tuntas tanpa

meninggalkan sisa kebencian dan dendam, sehingga penyelesaian

sengketa secara nonlitigasi dapat dikatakan sebagai cara penyelesaian

dengan hukum dan nurani, akibatnya hukum dapat dimenangkan dan

nurani juga tunduk kutuk menaati kesepakatan/ perdamaian secara

sukarela tanpa ada yang merasa kalah.5

Penyelesaian sengketa secara litigasi pada dasarnya memiliki

beberapa persoalan yang membuat masyarakat atau pihak yang

bersengketa cenderung enggan memilih jalur nonlitigasi, sebab

proses litigasi lebih berpotensi menghasilkan masalah baru karena

sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming perkaranya,

dan terbuka untuk umum. Sedangkan proses nonlitigasi lebih dipilih

sebab memiliki beberapa kebelbihan diantaranya seperti sifatnya

yang tertutup, kerahasiaan para pihak yang terjamin dan proses

beracaranya yang lebih cepat dibandingkan dengan proses litigasi.

Ditambah lagi dalam dunia Dunia bisnis tentunya hal tersebut

menjadi salah satu poin pertimbangan khusus untuk memilih

penyelesaian sengketa secara nonlitigasi sebagai upaya pertama.

4 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan

Internasional (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), h.1.

5Dewi Tuti Muryati,”Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di

Bidang Perdagangan”, Jurnal Dinamika Sosial Budaya, Volume 13, Nomor 1 (Juni 2011), h.50.

Page 29: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

18

Proses penyelesaian sengketa secara nonlitigasi atau yang biasa

disebut dengan istilah APS (Alternatif Penyelesaian Sengketa)

sejatinya sudah tidak asing lagi dinegara Indonesia ini, semenjak di

undangkanya hal tersebut dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan APS (yang selanjutnya disebut UU

Aribtrase dan APS) yang menjadikan ranah nonlitigasi sebagai

alternatif utama yang dapat dipilih oleh masyarakat Indonesia dalam

menyelesaiakan sengketa hukumnya.

2. Sengketa Konsumen

Setelah membahas terkait dengan pengertian sengketa dan

penyelesaianya, kita dapat memahami bahwa dalam bermasyarakat

siapa saja bisa terlibat sengketa, salah satunya ialah konsumen. Manusia

pada dasarnya ialah makhluk yang konsumtif, sebab mereka perlu untuk

memenuhi kebutuhanya. Dalam upaya atas pemenuhan kebutuhan inilah

manusia saling berhubungan satu sama lain.

Dalam pasal 1 angka 2 UUPK menjelaskan, bahwa konsumen ialah

setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

Sedangkan pelaku usaha dalam pasal tersebut, tepatnya pada angka 3

menjelaskan bahwa pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau

badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan

hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan

dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam

bidang ekonomi. Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan bahwa

konsumen dan pelaku usaha mempunyai hubungan timbal balik atas

dasar pemenuhan atas kebutuhan mereka, sehingga dari hubungan

tersebut timbulah hak dan kewajiban. Dengan adanya hubungan tersebut

bukan tidak mungkin bahwa nantinya akan terjadi konflik diantara

mereka.

Page 30: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

19

Menurut Kepmenperindag No: 350/MPP/Kep/12/2001 tentang

pelaksanaan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa

konsumen pasal 1 angka 8 mengartikan bahwa sengketa konsumen ialah

sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti

rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian

akibat mengkonsumsi barang atau jasa. Pada intinya sengketa konsumen

merupakan perselisihan yang terjadi atas hubungan pemanfaatan suatu

barang atau jasa yang disediakan oleh pelaku usaha kepada konsumen

sehingga merugikan salah satu pihak, oleh karena adanya hubungan

tersebutlah sengketa ini dikenal dengan istilah sengketa konsumen.

3. Jenis-Jenis Alternatif Penyelesaian Sengketa

Sebelumnya sudah kita bahas bahwa penyelesaian sengketa

pada dasarnya memiliki dua cara, yaitu melalui jalur litigasi dan

nonlitigasi. peneliti dalam hal ini akan lebih fokus pada jalur

nonlitigasi. pada dasrnya penyelesaian sengketa melalui jalur

nonlitigasi mempunyai beberapa jenis yang berbeda. Apabila kita

merujuk pada UU Aribtrase dan APS, terdapat beberapa macam/jenis

dari penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang dapat dipilih baik

oleh pelaku bisnis ataupun masyarakat pada umumnya untuk

menyelesaikan persengketaan yang mereka alami, diantaranya ialah:

a. Arbitrase

Arbitrase pada dasarnya berasal dari kata arbitrare (bahasa

latin) yang mempunyai arti kekuasaan untuk menyelesaikan

sesuatu menurut kebijaksanaan. Namun bukan berarti penyelesaian

sengketa diarbitrase hanya berpaku pada kebijaksanaan semata,

melainkan arbitrer atau majelis tersebut juga menerapkan hukum

seperti yang dilakukan oleh hakim dipengadilan.6 Arbitrase

menurut pasal 1 angka 1 UU Arbitrase dan APS adalah cara

penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang

6 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan

Internasional ..., h.36.

Page 31: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

20

didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa, sedangkan yang dimaksud dengan

perjanjian arbitrase pada pasal 1 angka 3 UU tersebut ialah suatu

kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu

perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa,

atau perjanjian arbitrase sendiri yang dibuat para pihak setelah

timbul sengketa. Dari pengertian tersebut dapat kita simpulkan

bahwa untuk dapat bisa memilih arbitrase sebagai langkah

penyelesaian sengketa, diperlukan suatu klausul arbitrase yang

tertera dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak setelah

atau sebelum timbulnya sengketa, sehingga dalam hal ini klausul

arbitrase dapat dikatakan sebagai nyawa dari proses arbitrase itu

sendiri, tanpa klausul tersebut tentunya proses arbitrase tidak

dampat berjalan.

Arbitrase ini berbeda dengan jalur APS lainya sebab dalam

arbitrase pihak ketiga yaitu arbiter memiliki kewenangan untuk

memutuskan sedangkan pada APS lainya semisal mediasi, pihak

ketiga atau mediatornya hanya sebagai pihak penengah yang tidak

memiliki kewenangan untuk memutuskan. Oleh karena itulah

penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dianggap lebih

efektif dibandingkan dengan mediasi atau APS lainya.

b.Mediasi

Mediasi ialah prosedur penengahan di mana seseorang

bertindak sebagai “kendaraan” untuk berkomunikasi antar pihak,

sehingga pandangan mereka yang berbeda atas sengketa yang

dialami dapat dipahami dan mungkin didamaikan,7 atau dapat juga

diartikan sebagai upaya penyelesaian sengketa para pihak dengan

kesepakatan bersama melalui mediator yang bersikap netral, dan

tidak memuat keputusan atau kesimpulan bagi para pihak

7 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan

Internasional ..., h.16.

Page 32: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

21

melainkan menjadi penunjang fasilitator agar terlaksananya dialog

antar para pihak dengan suasana yang kondusif, jujur, terbuka

sehingga tercapai sebuah mufakat.

c. Negosiasi

Kata negosiasi pada dasarnya berasal dari kata negotiation

yang berarti perundingan, sedangkan orang yang mengadakan

perundingan disebut negosiator.8 Di dalam proses proses negosiasi

biasanya para pihak yang bersengketa akan berhadapan langsung

dan mendiskusikan permasalahan yang mereka hadapi. Berbeda

dengan mediasi, negosiasi dilaksanakan dengan proses komunikasi

yang dibangun oleh para pihak tanpa adanya pihak ketiga. Kualitas

dari negosiasi sendiri bergantung pada negosiator dalam arti para

pihak itu sendiri atau seseorang yang dikuasakan mewakili salah

satu dari para pihak.

d. Konsiliasi

Pada dasarnya konsiliasi tidak jauh berbeda dengan mediasi

pada umumnya disebabkan fungsi pihak ketiganya yang

mempunyai fungsi hampir sama dengan mediasi. Konsiliasi ialah

suatu proses penyelesaian sengketa antara para pihak dengan

melibatkan pihak ketiga yang netral dan tidak memihak pihak

ketiga tersebut biasa dikenal dengan istilah konsiliator. Dalam hal

ini konsiliator bertugas seperti mengatur waktu dan tempat

pertemuan, mengarahkan subjek pembicaraan dan dapat

mengajukan solusi atas permasalahan, namun tidak berhak

memutuskan perkaranya.9 Sehingga nanti apabila para pihak

menyetujui solusi yang ditawarkan oleh konsiliator, maka solusi

tersebut akan dituangkan dalam bentuk resolution. Kesepakatan

8 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan

Internasional ..., h.24.

9Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2008),h.106.

Page 33: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

22

yang telah disepekati tersebut memiliki kekuatan hukum yang

bersifat final dan mengikat para pihak. Apabila pihak yang

bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan maka

pihak ketiga dapat mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa

tersebut, dan apabila usulan tersebut bisa diterima oleh kedua belah

pihak, maka hal tersebut juga mempunyai kekuatan hukum yang

mengikat. proses ini disebut konsiliasi.10

B. Kerangka Teori

1. Teori Kepastian Hukum

Sebelumnya telah dibahas bahwa pada dasarnya Indonesia

merupakan negara hukum, hal ini telah tergambar pada pasal 1 ayat (3)

UUD Negara Republik Indonesia, implikasi dari adanya pengakuan

tersebut dalam konstitusi ialah negara dalam menjalankan sistem

pemerintahanya harus berdasarkan rule of law. Maksudnya segala

bentuk tindakan yang diambil oleh pemerintahan harus berdasarkan

hukum. namun yang perlu diperhatikan bukan hanya pada tindakan

pemerintah yang telah berdasarkan pada hukum, lebih jauh lagi negara

Indonesia juga wajib memerhatikan hal-hal ketika hukum tersebut

dibentuk. Sebab dalam pembentukan hukum terdapat tiga unsur yang

harus terpenuhi, menurut Gustav Radbruch hukum harus mengandung

tiga nilai dasar yaitu keadilan, kepastian hukum dan juga kemanfaatan,

ketika salah satu nila tersebut tidak terpenuhi dalam suatu hukum, maka

substansi dari adanya hukum tersebutpun akan hilang.

Disini peneliti akan lebih membahas terkait dengan unsur kepastian

hukum dalam suatu undang-undang pada umumnya. Apabila dilihat dari

pendapat Gustav Radbruch, kepastian hukum ialah “scherkeit des recht

selbst” yang berarti bahwa kepastian hukum pada dasarnya

10Nurnaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2012), h.34.

Page 34: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

23

berhubungan dengan hukum itu sendiri.11 Asas kepastian hukum pada

dasarnya mulai dikenal pada zaman hukum modern, menurut Prof.

Stajipto Rahardjo pada zaman tersebut, setiap orang akan melihat fungsi

hukum sebagai sesuatu yang menghasilkan sebuah kepastian hukum. hal

ini didasarkan atas adanya kebutuhan masyarakat modern yang

membutuhkan kepastian dalam berbagai interaksi antar anggotanya

sehingga dapat berjalan secara tertib.12

Kemudian kepastian hukum juga dapat diartikan bahwa seseorang

akan memperoleh suatu kepastian dalam keadaan tertentu, dan dapat

juga diartikan sebagai kejelasan dalam suatu norma sehingga dapat

diajikan acuan dalam bertindak. Apa implikasinya ketika suatu hukum

yang diterapkan dalam undang-undang tidak memenuhi unsur tersebut?

akibatnya menurut Prof. Syarifuddin Kalo apabila suatu norma tidak

dapat mencerminkan suatu kepastian hukum maka hal tersebut akan

berdampak pada sikap patuh tak patuh terhadap hukum tersebut.13

Sehingga jati diri hukum yang seharusnya dapat menciptakan ketertiban

menjadi terhambat.

Dalam hal kepastian hukum, Gustav Radbruch menjelaskan bahwa

terdapat 4 hal yang perlu diperhatikan dalam pemahaman atas kepastian

hukum, yaitu:14

a. Hukum Positif, artinya bahwa hukum tersebut merupakan perundang-

undangan atau hukum yang dibentuk dengan perundang-undangan;

11Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Jurisprudence),

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,

2010), h.288. 12 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Jurisprudence),

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,

2010), h.289-290.

13Bambang Semedi, “ Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian Hukum” diakses pada

tanggal 08 Agustus 2018 dari

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/images/file/pusbc/dmdokumen/PENEGAKAN_HUKUM_MEN

JAMIN_KEPASTIAN_HUKUM_-_Semedi.pdf.

14Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Jurisprudence),

Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,

2010), h.292-293.

Page 35: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

24

b. Hukum berdasarkan fakta, maksudnya ialah hukum tersebut bukan

merupakan suatu rumusan tentang penilaian yang nantinya akan

dilakukan oleh hakim, contohnya : kemauan baik dan kesopanan

c. Fakta yang jelas, maksudnya fakta tersebut harus terhindar dari segala

bentuk kekeliruan dan mudah diajalankan

d. Tidak sering berubah. Dalam asas kepastian hukum perubahan

hukum bukanlah hal yang mustahil, sebab pada dasarnya masyarakat

akan selalu berkembang. Namun juga tidak boleh terlalu sering

berubah, karena hukum yang terlalu sering berubah akan menderogasi

nila-nilai kepastian hukum yang terkandung dalam suatu undang-

undang.

2. Asas dan Prinsip dalam Hukum Perlindungan Konsumen

a. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

Hukum Perlindungan Konsumen ialah seluruh asas-asas atau

kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam hubungan

permasalahan penyediaan dan penggunaan suatu produk antara

penyedia dan penggunaanya dalam masyarakat.15

Apabila kita melihat pendapat dari Prof. Mochtar

Kusumaatmadja, beliau menjelaskan bahwa hukum perlindungan

konsumen ialah keseluruhan asas-asas dan kaidah yang mengatur

hubungan antara penyedia barang dan /atau jasa dengan penggunanya

perihal penyediaan dan penggunaan atas barang dan/atau jasa tersebut.

Sedangkan, apabila kita melihat dalam pasal 1 angka 1 UUPK

menjelaskan terkait dengan pengertian perlindungan konsumen ialah

segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi

perlindungan kepada konsumen. Maka dapat kita simpulkan dari

pengertian di atas, bahwa hukum perlindungan konsumen ialah segala

bentuk pengaturan terkait dengan hubungan antara penyedia barang

15Kurniawan, Hukum Perlindungan Konsumen: Problematika Kedudukan dan Kekuatan

Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), (Malang: Universitas Brawijaya Press,

2011), h.42.

Page 36: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

25

atau jasa dengan konsumen, dalam bentuk upaya agar terdapat

kepastian hukum untuk memberi perlindungan terhadap konsumen.

Perlu kita perhatikan terkait dengan alasan utama dibentuknya

Undang-undang tersebut ialah rendahnya tingkat kesadaran atas hak-

hak konsumen pada masyarakat Indonesia waktu itu. Dalam

penjelasan pada bagian umum dalam UUPK menyatakan bahwa

adanya hal tersebut dipicu oleh rendahnya tingkat pendidikan

konsumen sehingga masyarakat sendiri tidak menyadari bahwa

terdapat hak-hak yang seharusnya dipenuhi namun diabaikan oleh

para pelaku usaha. Tentunya hal tersebut sangat berpotensi terjadi,

sebab prinsip dasar dari para pelaku usaha dalam menjalankan

usahanya ialah “mendapat keuntungan yang semaksimal mungkin

dengan modal yang seminimal mungkin”

b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen

pasal 2 pada UUPK sejatinya telah mengklasifikasikan terkait

dengan asas-asas yang dianut dalam konsep perlindungan konsumen

di Indonesia. Diantaranya ialah :

1) Asas manfaat, mempunyai maksud untuk mengamanatkan bawa

segala upaya dalam penyelenggaraan perlidnungan konsumen

harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan

konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;

2) Asas keadilan, bermaksud agar partisipasi seluruh masyarakat

dapat terwujud secara maksimal dan memberikan kesempatan

kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya

dan melaksanakan kewajibanya secara adil;

3) Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan

keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan

pemerintah dalam arti material ataupun spiritual;

4) Asas keamanan dan keselamatan konsumen, bertujuan untuk

memberikan jaminan atas keimanan dan keselamatan kepada

Page 37: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

26

konsumen Adam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan

barang atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan;

5) Asas kepastian hukum, bertujuan agar pelaku usaha maupun

konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam

penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin

kepastian hukum.

Dibentuknya UUPK inipun juga memiliki beberapa tujuanya

yang diantaranya telah dijelaskan dalam pasal 3 UUPK yaitu:

1) Meningkatkan kesadara, kemampuan dan kemandirian

konsumen untuk melindungi jati diri;

2) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan ada

menghindarkanya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa;

3) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;

4) Menciptakan sistem perlindingan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses

untuk mendapatkan informasi;

5) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha;

6) meningkatkan kualitas barang atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

c. Prinsip Hubungan Konsumen dan Pelaku Usaha

Pada dasarnya terdapat beberapa prinsip-prinsip dalam konsep

perlindungan konsumen yang menjelaskan bahwa terkait dengan

kedudukan konsumen dalam hubunganya dengan pelaku usaha,

diantaranya ialah :16

16Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia ( Jakarta: Grasindo, 2000), h.50-52.

Page 38: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

27

1) Let The Buyer Beware

Dalam prinsip ini menjelaskan bahwa pelaku usaha dan

konsumen pada dasarnya ialah dua pihak yang sangat seimbang

satu sama lain, sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si

konsumen. Namun yang perlu diperhatikan ialah dalam

kenyataanya konsumen sering sekali tidak mendapat informasi

yang lengkap terkait dengan barang dan/atau jasa yang diperoleh

dari pelaku usaha, lalu terkait dengan kerugian yang timbul akibat

hal tersebut sering juga dipersalahkan kepada konsumen yang

dianggap lalai dalam memilih barang dan/atau jasa. Dalam prinsip

ini ,pada suatu hubungan jual beli antara pelaku usaha dengan

konsumen yang diwajibkan untuk berhati-hati ialah konsumen dan

merupakan kesalahan pembeli jika sampai terjadi kerugian akibat

mengkonsumsi suatu barang dan/atau jasa yang tidak layak. Oleh

karena itu, banyak yang beranggapan bahwa asal muasal dari

adanya konflik pada bidang transaksi konsumsi terlahir akibat

dianutnya prinsip tersebut.

2) The Due Care Theory

Pada prinsip ini mengajarkan bahwa pelaku usaha dalam

menawarkan usahanya kepada konsumen wajib untuk berhati-hati.

Maksudnya ialah apabila nantinya terdapat konsumen yang

merasa dirugikan atas penggunaan suatu barang dan/atau jasa yang

dikonsumsi dari pelaku usaha, dan ternyata dalam hal ini pelaku

usaha telah berhati-hati dalam menawarkan, mempromosikan dan

juga memperdagangkan barang dan/atau jasanya, maka mereka

tidak dapat dipersalahkan atas kerugian yang terjadi kepada

konsumen. Sehingga disini konsumen perlu untuk melihat terlebih

dahulu, apakah para pelaku usaha tersebut dalam menjalankan

usahanya sudah berpedoman pada prinsip kehati-hatian ini atau

tidak, sehingga tidak serta merta pelaku usaha dapat dipersalahkan

atas kerugian yang dialami konsumen.

Page 39: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

28

3) The Privity of Contrak

Pada prinsip ini, menjelaskan bahwa pelaku usaha yang

terjalin pada suatu hubungan kontraktual dengan konsumen

diwajibkan untuk melindungi konsumenya. Maksudnya ialah

dalam hal ini, para pelaku usaha hanya dapat dimintai

pertanggungjawaban sesuai dengan apa yang telah disepakati

terlebih dahulu dalam suatu perjanjian dengan konsumen,

sehingga terdapat kepastian atas batasan-batasan yang perlu

diperhatikan oleh pelaku usaha dalam hal menjalankan

transaksinya dengan konsumen. Dengan demikian para pelaku

usaha tidak dapat dipersalahkan atas hal-hal diluar dari perjanjian

atau kontrak yang telah disepakati sebelumnya.

4) Kontrak bukan Syarat

Prinsip ini lahir didasari atas lemahnya posisi konsumen

dalam prinsip sebelumnya, yaitu The Privity of Contract. Pada

prinsip ini, kontrak bukan lagi menjadi syarat untuk dapat

menetapkan adanya suatu hubungan hukum antara pelaku usaha

dengan konsumen. Namun yang perlu diperhatikan ialah terdapat

pandangan bahwa prinsip ini hanya berlaku pada transaksi yang

objeknya berupa barang, sedangkan untuk jasa, kontrak tetap

dipandang sebagai hal yang wajib ada dalam setiap transaksinya.

3. Asas dan Teori Hukum Arbitrase

Sebelumnya kita telah membahas terkait dengan pengertian singkat

mengenai arbitrase secara umum. Kali ini kita akan mengkaji lebih

mendalam perihal arbitrase itu sendiri dalam aspek hukum. Dalam

penjelasan diatas kita sudah mengenal bahwa arbitrase merupakan salah

satu cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan melalui pihak ketiga

yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis

oleh para pihak. Pengaturan terkait dengan arbitrase di Indonesia

pertama kali bertitik tolak pada pasal 377 HIR atau pasal 705 RBg.

Namun seiring dengan perkembangan zaman yang makin pesat

Page 40: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

29

termasuk perkembangan dalam dunia bisnis dan lalu lintas perdagangan

nasional dan internasional, serta perkembangan hukum tentunya. Maka

ketentuan-ketentuan mengenai arbitrase sebelumnya telah dianggap

ketinggalan zaman dan tak sesuai lagi dengan tuntutan zaman, sehingga

diperlukan ketentuan baru yang dapat menyesuaikan diri dengan

keadaan zaman yang ada pada saat ini.17 Oleh karena itu, di Indonesia

sendiri pengaturan terkait dengan arbitrase pun dibentuk secara khusus

dalam suatu undang-undang tersendiri yaitu UU Nomor 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya

disebut dengan UU Arbitrase dan APS). Untuk memahami lebih lanjut

mengenai arbitrase sendiri. Terdapat beberapa hal yang perlu kita

ketahui terkait hukum arbitrase itu sendiri, diantaranya yaitu:

a. Perjanjian Arbitrase

Perjanjian arbitrase menjadi salah satu hal yang sangat penting

untuk kita pahami dalam bidang hukum arbitrase. Sebab perjanjian

arbitrase dapat dikatakan sebagai syarat suatu sengketa dapat

diselesaikan melaui jalan arbitrase. Namun hal yang perlu diingat

ialah kebolehan mengikatkan diri dalam perjanjian arbitrase, harus

didasarkan atas kesepakatan bersama (Mutual Consent).18 faktor

sukarela dan kesadaran bersama menjadi hal yang utama dalam

keabsahan suatu perjanjian arbitrase.

Dalam pasal 7 UU Arbitrase dan APS menjelaskan bahwa para

pihak dapat menyetujui perjanjian suatu sengketa yang terjadi atau

suatu sengketa yang akan terjadi diantara mereka untuk diselesaikan

melalui arbitrase dengan suatu perjanjian tertulis yang disepakati oleh

kedua belah pihak. Dengan adanya perjanjian tertulis yang telah

disepakati tersebut maka telah meniadakan hak para pihak untuk

17Franz Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional ..., h.35.

18 Franz Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional ..., h.37.

Page 41: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

30

dapat menyelesaikan sengketa yang mereka alami di pengadilan

umum.

Perjanjian arbitrase sendiri juga memiliki beberapa jenis.

Diantaranya ialah :19

1) Pactum De Compromittendo

Perjanjian tersebut mempunyai arti “kesepakatan setuju

dengan putusan arbitrase”. Hal ini pada dasarnya telah diatur

dalam pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang intinya menjelaskan

bahwa Undang-undang ini mengakui adanya perjanjian yang

telah memasukan klausul arbitrase dalam suatu perjanjiannya,

dalam bentuk kesepakatan bahwa apabila nantinya timbul

sengketa atau perselisihan pendapat antara para pihak, maka

mereka akan menyelesaikanya melalui arbitrase.

2) Akta Kompromis

Perjanjian ini pada dasarnya telah diatur dalam pasal 9 UU

Arbitrase dan APS, yang pada Intinya menjelaskan bahwa

perjanjian ini dibuat setelah terjadi sengketa antara para pihak

yang sebelumnya tidak mencantumkan klausul arbitrase dalam

perjanjianya. Dan terkait syarat sah nya akta kompromis ini juga

telah dijelaskan dalam pasal tersebut.

b. Klausul Arbitrase

Klausul arbitrase ialah hal-hal yang boleh dicantumkan dalam

perjanjian arbitrase. Penggunaan istilah klausul arbitrase

mengandung arti bahwa perjanjian pokok para pihak dalam hal ini

telah diikuti dengan persetujuan menganai pelaksnaan arbitrase.20

Namun tidak semua jenis sengketa dapat diajukan kepada lembaga

arbitrase. Dalam pasal 5 UU Arbitrase dan APS menegaskan bahwa

hanya sengketa dibidang perdagangan saja dan mengenai hak yang

19Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ,..., h.98.

20Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum (Bogor: Ghalia

Indonesia, 2004), h.117.

Page 42: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

31

menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang

bersengketa yang dapat diajukan ke lembaga arbitrase. Sedangkan

perihal sengketa yang menurut Undang-undang tidak dapat

didamaikan tidak bisa diajukan ke lembaga arbitrase.

c. Prinsip Pemisahan

Perihal kaitanya dengan klausul arbitrase, hal yang tidak kalah

penting ialah mengenai prinsip pemisahan (Separability principle)

yang merupakan doktrin otonomi dari klausul arbitrase (The

autonomy of Arbitration Clause).21 Prinsip ini ini menenmpatkan

klausul arbitrase berdiri sendiri dan terpisah dari peristiwa-peristiwa

lainya, semisal klausul arbitrase dari perjanjian pokok di mana

klausul tersebut berakhir atau batal, klausul tersebut masih dapat

berlaku dan tidak serta-merta batal. Maksdunya ialah ketika terdapat

suatu perjanjian yang dibatalkan, maka tidak serta merta turut

membatalkan pengaturan terkait dengan pilihan atas penyelesaian

sengketa yang timbul diantara para pihak. Dalam UU Arbitrase dan

APS dijelaskan prinsip tersebut pada pasal 10 huruf f dan h. Bunyi

pasal tersebut ialah:

“suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh

keadaan dibawah ini ;

a. Meninggalnya salah satu pihak;

b. Bangkrutnya salah satu pihak;

c. Inovasi;

d. Insolvensi salah satu pihak;

e. Pewarisan

f. Berlakunya syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;

g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut diahlitugaskan

pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang

melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau

21 Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia dan

Internasional ,..., h.45.

Page 43: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

32

h. Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.”

d. Teori Choice of Law dan Choice of Forum

1) Choice of Law

Teori ini pada dasarnya merupakan bagian dari asas

kebebasan berkontrak, yang mana disini para pihak bebas

menentukan dalam suatu perjanjian, hukum mana yang ingin

dipakai khususnya dalam perjanjian internasional. Pada perdata

internasional terdapat dua macam jenis pilihan hukum, yang

pertama pilihan hukum secara tegas dan yang kedua pilihan

hukum secara diam-diam. Pilihan hukum secara tegas maksudnya

ialah pilihan yang secara eksplisit tercantum dalam kontrak

sebagai klasula tambahan, misalnya dalam klausul tersebut

dijelaskan bahwa dalam kontrak tersebut berlaku hukum di

Indonesia. Sedangkan dalam arti pilihan hukum secara diam-

diam ialah para pihak dalam membuat suatu kontrak tidak

mencantumkan klausul yang menjelaskan hukum mana yang

ingin diterapkan. Pilihan hukum secara diam-diam ini akan

tampak dari penafsiran terhadap isi kontrak tersebut, misal dalam

hal ini para pihak mengutip beberapa pasal dalam hukum perdata

Amerika, maka secara tidak langsung hukum Amerika serikatlah

yang berlaku bagi mereka.22 Adanya pilihan hukum ini sendiri

timbul atas adanya hak dan kewajiban para pihak yang menjadi

dasar penyelesaian sengketa mereka dalam suatu conflict of law

yang juga diistilahkan sebagai pilihan hukum dan ada pula yang

menyebutnya sebagai party of autonomy. Perlu kita pahami

bahwa para pihak sejatinya tidak memiliki wewenang untuk

Membentuk hukumnya sendiri dalam berkontrak, sehingga

mereka hanya memiliki kebebasan untuk memilih hukum mana

22 Huala Adolf, Arbitrase Komersial Internasional (Jakarta: CV. Rajawali,1991),h.44.

Page 44: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

33

yang ingin diterapkan.23 Maksudnya terdapat batasan bahwa

mereka hanya sebatas menentukan hukum mana yang

dikehendaki untuk diterapkan kedalam kontrak yang mereka

buat, dan bukan untuk secara bebas memiliki kewenangan untuk

menentukan sendiri hukum yang berlaku bagi mereka.24

Tujuan dari penerapan pilihan hukum ini sendiri ialah

adanya perlakuan yang sama dalam kasus serupa, dan

pengembangan kepentingan, tujuan dan kebijakan masyarakat.

Namun tetunya hukum yang dipilih juga tidak boleh bertentangan

dengan kebijakan fundamental dari negara lain yang lebih besar

kepentinganya terhadap keputusan pokok, maksdunya ialah

kepentingan yang menyangkut hak masyarakat banyak pada

suatu negara. Dasar dari diberlakukanya asas ini disebabkan atas

pemikiran bahwa semua negara pada dasarnya tidak memiliki

sistem hukum nasional yang sama, sedangkan hubungan atas

perkembangan sosial bermasyarakat telah jauh berkembang

seperti dengan Adanya bisnis internasional sehingga hal tersebut

menjadi penting untuk diberlakukan demi kelancaran hubungan

internasional antar masyarakat suatu negara.

Lalu terkait dengan batasan lainya atas adanya choice of law

ialah adanya ketertiban umum yang sebelumnya sempat

disinggung. Para ahli berpendapat bahwa ketertiban umum pada

dasarnya memiliki fungsi sebagai lembaga yang membatasi

kebebasan para pihak dalam menentukan hukum yang berlaku

bagi mereka (choice of law) apabila nantinya terjadi sengketa,

23 Winda Pebrianti, “Penerapan Lembaga Pilihan Hukum Terhadap Sengketa Hukum

Pelaksanaan Kontrak Bisnis Internasional”, ADIL: Jurnal Hukum, Volume 3 No.2 (Desember,

2012), h.318-319.

24 Abdul Gani Abdullah, “Pandangan yuridis Concflict of las dan Choice of Law dalam

Kontrak Bisnis Internasional” , Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, No 3

(November, 2005), h.3.

Page 45: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

34

menurut pendapat Caleb menjelaskan bahwa ketertiban umum

merupakan batasan utama atas kebebasan untuk melaksanakan

kemauan seseorang dalam bidang kontrak, agar nantinya tidak

terjadi suatu penyelundupan hukum.25 Dalam konteks hukum

arbitrase teori ini juga digunakan dalam 2 hal yaitu:26

a) Pilihan terkait dengan hukum formil yang digunakan oleh

para pihak dalam beracara di arbitrase, sehingga para

pihaklah yang bebas menentukan prosedur mana yang ingin

dipakai;

b) Pilihan hukum terkait dengan substansi atau hukum

materilnya, dalam hal ini apabila para pihak belum

menegaskan hukum formil mana yang ingin digunakan

apakah hukum perdata yang berlaku di Indonesia atau dari

negara lain.

Sedangkan perihal hukum material yang akan digunakan,

dalam UU Arbitrase dan APS pada pasal 56 ayat (1) menegaskan

bahwa arbitrer dapat mengambil keputusan ketentuan hukum,

atau berdasarkan keadilan dan kepatutan. Maksudnya ialah

apabila para pihak tidak menetukan terkait dengan hukum

material mana yang ingin diberlakukan, maka arbitrer dapat

menentukan hukum mana yang berlaku sesuai dengan keadilan

dan kepatutan.

2) Choice of Forum

Sama dengan asal muasal dari adanya teori choice of law,

teori ini juga didasarkan atas hukum perjanjian dimana terdapat

asas kebebasan berkontrak didalamnya. Dalam hal ini para pihak

juga bebas menentukan pilihan terkait dengan tempat penyelesian

25 Abdul Gani Abdullah, “Pandangan yuridis Concflict of las dan Choice of Law dalam

Kontrak Bisnis Internasional” ..., h.8.

26Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase Nasional dan Internasional

,..., h.47.

Page 46: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

35

atas sengketa yang terjadi hal inilah yang dikenal dengan istilah

choice of las atau choice of jurisdction.27

Dengan adanya prinsip tersebut memudahkan para pihak

untuk dapat bisa memilih jalur yang tentunya lebih

menguntungkan untuk mereka, contohnya Ketika para pihak

merumuskan perjanjian, para pihak dapat menilai cara yang

efektif apabila nantinya terjadi sengketa antara mereka dan tidak

harus selalu melalui pengadilan. Sebab pada dasarnya

penyelesaian sengketa dipengadilan pada saat ini sudah dianggap

tidak lagi efektif, terlebih dalam dunia bisnis. Pada saat ini sering

kali pelaku bisnis lebih menginginkan penyelesaian sengketa

melalui cara arbitrase disebabkan adanya kelebihan dan

kemudahan dalam penyelesaianya, seperti :28

a) Para pihak dapat memilih arbiternya sendiri;

b) Sifat persidangan yang tertutup sehingga dapat terjamin

kerahasiaan suatu perusahaan;

c) Putusanya yang bersifat final dan mengikat;

d) Tata cara penyelesaian yang cepat, murah dan ringan;

e) Tata cara penyelesaianya lebih informal dibandingkan

dengan pengadilan

Namun adanya kebebasan tersebut juga dibatasi oleh

Undang-undang, agar sistem hukum tersebut dapat berjalan

sebagaimana mestinya dan tidak mengalami kerancuan atas

pelaksanaanya. Sebab perlu kita ketahui bahwa setiap badan

peradilan memiliki kompetensinya masing-masing. Begitu pula

dalam hal arbitrase, tidak semua jenis sengketa dapat diselesaikan

oleh arbitrase. UU Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan

27Bambang Sutiyoso, “Akibat Pemilihan Forum dalam Kontrak yang Memuat Klausula

Arbitrase”, MIMBAR HUKUM, Volume 24, No. 1, (Februari, 2012), h.167-168.

28Priyatna Abdurrasyid, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

(Jakarta: Fikahati Aneska, 2002), h.63.

Page 47: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

36

APS pada pasal 5 ayat (1) nya memberikan batasan bahwa

sengketa yang dapat diselesaikan oleh arbitrase ialah hanya

sengketa perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum

dan peraturan perundang-unangan dikuasai sepenuhnya oleh para

pihak. Sehingga perihal sengketa dalam ranah pidana atau

kepailitan dan sejenisnya, tidak dapat diselesaikan melalui proses

arbitrase. Lalu timbul permasalahan, bagaimana apabila terdapat

suatu sengketa yang telah ditetapkan dalam perjanjianya memilih

forum arbitrase namun tetap memilih jalur pengadilan.

Pada dasarnya perihal penyelesaian sengketa melalui

arbitrase, juga terdapat kompetensi yang dimiliki secara absolut,

seperti penjelasan sebelumnya. Ketika sudah terdapat klausul

arbitrase didalamnya maka secara mutatis mutandis sengketa

tersebut menjadi kewenangan absolut badan arbitrase dan tidak

bisa diganggu gugat. Hal ini telah dijelaskan dalam pasal 3 UU

Arbitrase dan APS. Namun dalam hal ini apabila para pihak

sudah terlanjur mengajukanya ke pengadilan, menurut Prof.

Priyatna Abdurrasyid, maka pengadilan negeri berdasarkan

permohonan pihak lain harus menolak gugatan tersebut.29 Hal ini

didasari pada ketentuan pasal 3 UU Arbitrase dan APS guna

menjaga arwah arbitrase yang bersifat independen

C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu

1. Skripsi tentang “Peranan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) Kota Tebing Tinggi dalam Perlindungan Konsumen di Kota

Tebing Tinggi Provinsi Sumatra Utara” yang diteliti oleh Lidia Asrida

Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Dari judul tersebut saja kita dapat mengetahui bahwa tulisan

tersebut bertujuan untuk mendeskripsikan secara khusus peranan salah

29 Priyatna Abdurrasyid, Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

,..., h.63.

Page 48: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

37

satu cabang BPSK yang ada di Indonesia, tepatnya BPSK di Kota

Tebing Tinggi dalam menyelesaikan sengketa konsumen dan untuk

mengetahui hambatan-hambatan yang dihadapi BPSK Kota Tebing

Tinggi tersebut. Hal ini tentu berbeda dengan penelitian yang peneliti

lakukan. Peneliti dalam hal ini tidak terfokus pada peranan suatu cabang

BPSK yang ada di daerah, melainkan penelitian normatif yang

berpangkal pada dasar hukum terkait dengan pembatalan suatu putusan

arbitrase BPSK yang diajukan ke pengadilan.

2. Buku yang ditulis oleh Prof. Susanti Adi Nugroho yang berjudul Proses

Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara Serta

Kendala Implementasinya, menjadi salah satu referensi utama penulis

untuk mengangkat tema penelitian ini. Dalam buku tersebut membahas

terkait dengan perkembangan penyelesaian sengketa konsumen di

Indonesia, dan juga menyingung aspek kendala dalam implementasi

atas penyelesaian sengketa di Indonesia. Bahkan dalam tulisan juga

sempat membahas terkait dengan kendala yang ada dalam BPSK.

Seperti konflik horizontal antara UUPK dengan UU Arbitrase dan APS.

Perbedaanya dengan skripsi ini ialah terletak pada pembahasan

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006. Dalam buku ini

tidak berfokus dalam pembahasan PERMA tersebut, sedangkan peneliti

secara fokus membahas dampak atas penerapan PERMA tersebut

kepada penyelesaian sengketa konsumen di BPSK dan mengaitkanya

pada beberapa kasus hukum yang telah diputus oleh badan peradilan,

sehingga dapat diakatakan bahwa penelitian ini, merupakan tindak

lanjut dari salah satu sup bab pada pembahasan dalam buku tersebut.

3. Artikel yang ditulis oleh Yusuf Shofie dalam Jurnal Hukum ADIL

Vol.4 No 1 yang berjudul “Optimalisasi Peran Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen (BPSK) dalam Penyelesaian Sengketa Pembiayan

Konsumen di Tengah terjadinya Disharmonisasi Pengaturan”

Page 49: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

38

mempunyai bahasan yang sama secara umum dengan peneliti, yaitu

terkait dengan adanya disharmonisasi dalam pengaturan mengenai

BPSK itu sendiri, sehingga berdampak pada ketidakoptimalan BPSK

dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Namun terdapat beberapa

perbedaan kajian yang diteliti oleh penulis dalam artikelnya. Pertama,

penulis dalam hal ini lebih menitik beratkan pada persoalan

penyelesaian sengketa pembiayaan konsumen, dapat disimpulkan

bahwa penulis lebih memperseoalkan sengketa “pembiayaan

konsumen” seperti yang dicontohkan dalam artikel tersebut, yaitu

pembelian dengan sistem pembayaran berjangka atau “kredit”,

sedangkan peneliti dalam hal ini tidak terlalu fokus pada pembahasan

tersebut. Lalu yang kedua, terkait dengan adanya disharmonisasi

pengaturan mengenai BPSK dalam artikel tersebut yang diangkat oleh

penuls terletak pada hukum formilnya atau hukum acaranya yang diatur

dengan Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia No: 350/MPP?Kep/12/2001. Penulis menilai bahwa produk

hukum tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan semangat dinamika

praktisi penyelesaian sengketa konsumen di Indonesia. Dalam hal ini

penulis tidak membahas adanya disharmonisasi yang terletak kepada

keputusan mentri tersebut, melainkan dengan pembahasan analisis

normatif Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2006 yang

disandingkan UUPK dan juga UU Arbitrase dan ADR. Sehingga

hasilnya ialah berupa pemahaman yang komprehensif terkait dengan

upaya pembatalan putusan Arbitrase nasional dengan putusan arbitrase

yang dikeluarkan oleh BPSK itu sendiri.

Page 50: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

39

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG BADAN PENYELESAIAN SENGKETA

KONSUMEN (BPSK) DALAM PERLINDUNGAN KONSUMEN DI

INDONESIA

A. Perkembangan Perlindungan Konsumen di Indonesia

Pada dasarnya Indonesia sudah cukup lama mengenal sistem

perlindungan konsumen, namun tidak secara eksplisit melainkan secara

implisit. Hal ini terbukti dengan adanya pengaturan terkait perlindungan

konsumen semenjak zaman Hindia Belanda dahulu.1 Pengaturan tersebut

antaranya diatur dalam :

1. Reglement Industriele Eigendom, S. 1912-545, jo. S. 1913 No. 214

2. Hinder Ordonnantie (Ordonasi Gangguan), S. 1926-226 jo. S. 1927-

449, jo. S. 1949-14 dan 450

3. Loodwit Ordonnantie (Ordonasi Timbal Karbonat), S. 1931 No. 28

4. Tin Ordonanntie (Ordonasi Timah Putih), S. 1931-509, dll.

Setelah kemerdekaan sampai dengan tahun 1998 pun undang-

undang di Indonesia juga belum mengenal istilah perlindungan konsumen

didalamnya. Namun bukan berarti tidak ada satu pun perundang-undangan

yang menyetuh unsur-unsur perlindungan konsumen. Beberapa produk

hukum yang terbentuk pada masa-masa tersebut sebenarnya telah memiliki

unsur perlindungan konsumen, walau tidak secara tegas dan pasti

menyebutkan mengenai hak-hak konsumen. Diantara produk hukum

tersebut ialah Undang-Undang Nomer 10 Tahun 1961 tentang Barang,

Undang-Undang Nomer 2 Tahun 1966 tentang Hygien, Undang-Undang

Nomer 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Undang-Undang Nomer 4

Tahun 1982 tentang Lingkungan Hidup, dan masih banyak lagi produk

hukum yang lainya.

1Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2013),h.32.

39

Page 51: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

40

Walaupun telah terdapat instrumen hukum yang mengandung unsur-

unsur perlindungan konsumen secara umum, bukan berarti sistematika

perlindungan terhadap konsumen dapat berjalan dengan lancar. Sebab

hukum umum tersebut masih terdapat berbagai kelemahan, baik dalam

hukum materil, hukum formil maupun berkenaan dengan asas-asas hukum

yang termuat didalamnya.2 Ditambah lagi dengan tidak dikenalnya istilah

konsumen pada KUHPerdata dan KUHD, sebab pada saat dibentuknya

instrumen tersebut Indonesia belum mengenal istilah konsumen.

Dalam perkembanganya, Indonesia baru benar-benar mengenal

istilah perlindungan konsumen ketika lahirnya lembaga-lembaga swadaya

masyarakat yang salah satunya ialah Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) pada bulan Mei tahun 1973.3 Organisasi tersebut pada

dasarnya bergerak pada bidang perlindungan konsumen, yang mempunyai

peran sebagai perwakilan konsumen tentunya, dan bertujuan untuk

meningkatkan martabat dan kepentingan konsumen.

Tentunya, YLKI sendiri juga menjadi salah satu pemicu munculnya

organisasi-organisasi lainya yang berbasis pada perlindungan konsumen,

seperti Lembaga pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K), Yayasan

Lembaga Bina Konsumen Indonesia (YLBKI) dan masih banyak lagi.

Bahkan dalam pembentukan UUPK juga tidak terlepas dari upaya YLKI

dan LSM lainya yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen

sehingga Undang-Undang tersebut dapat lahir di Indonesia.

Dalam sejarahnya ketika dibentuknya Undang-Undang tersebut,

diawali dengan adanya dinamika politik dan juga lahirnya gerakan

reformasi sehingga DPR sendiri yang sebelumnya tidak pernah

menggunakan hak inisiatifnya dalam mengajukan rancangan Undang-

Undang pada masa kepemimpinan Suharto, mulai berani menggunakan hak

tersebut dengan diawali dari pengajuan Rancangan Undang-Undang Nomer

2Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,2008),h.93.

3Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ..., h.34.

Page 52: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

41

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat.4

Sebelum berlakunya UUPK, gugatan atas pelanggaran yang

dilakukan oleh konsumen terhadap pelaku usaha dapat diajukan ke

pengadilan negeri berdasarkan gugatan wan prestasi atau perbuatan

melawan hukum, gugatan tersebut tentunya bersandar pada KUHPerdata

misalnya pasal 1243 KUHPerdata atas ganti kerugian akibat ingkar janji

atau wan prestasi yang dilakukan pelaku usaha terhadap konsumen. Dan

tentu terkait dengan hukum formilnya bersandar pada pasal 1865

KUHPerdata dan pasal 163 HIR yang membebankan kepada penggugat

untuk melakukan pembuktian atas kelalaian atau kesalahan yang dilakukan

pihak tergugat.

Dalam sistem hukum perdata biasa, hal tersebut dapat dipandang

wajar dalam penegakanya, namun dalam sistem perlindungan konsumen hal

tersebut sangat tidak mampu untuk membantu konsumen dalam mencari

keadilan. Sebab konsumen pada umumnya memiliki keterbatasan

kemampuan dalam membuktikan kesalahan produsen.5 Hal ini tentunya

dipengaruhi oleh ketidakpahaman konsumen atas mekanisme tuntutan ganti

kerugian, kurangnya pendidikan dan lemahnya kesadaran atas hak-hak dan

kewajibanya, sehingga adanya rangkaian pembuktian yang rumit membuat

kedudukan antara kedua belah pihak menjadi tidak seimbang.

Hadirnya UUPK di Indonesia seakan membawa angin segar pada

konsep perlindungan konsumen di Indonesia, sebab hadirnya Undang-

Undang tersebut mempunyai tujuan dalam pasal 3 yang salah satu tujuanya

ialah meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi dirinya. Apabila kita lihat dalam penjelasan umum dari

Undang-Undang tersebut telah menyatakan bahwa yang menjadi faktor

utama lemahnya konsumen ialah tingkat kesadaran konsumen atas haknya

4Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ..., h.36-37

5Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ...,h.96.

Page 53: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

42

yang masih rendah, sehingga permasalahan tersebutlah yang ingin

dijangkau dengan hadirnya UUPK ini.

Namun dalam perkembanganya sampai saat ini, UUPK dianggap

masih memiliki kelemahan, salah satu kelemahanya seperti permasalahan

ganti kerugian yang ditanggung oleh pelaku usaha hanya sebatas kerugian

langsung atas pemakaian suatu produk, dan tidak meliputi akibat yang

ditimbulkan6 sehingga UUPK sendiri terlihat hanya mengatur kepentingan

konsumen dari sisi pelaku usaha sendiri. Adanya kelemhana dalam UUPK

sendiri terbukti dengan dimasukanya Rancangan Undang-Undang Tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut RUUPK) dalam prolegnas

tahun 2015-2019,7 sehingga dapat disimpulkan bahwa memang UUPK

sendiri masih membutuhkan penyempurnaan didalamnya.

B. Peran BPSK dalam Penyelesaian Sengketa Konsumen

Pada bab sebeleumnya telah dijelaskan bahwa terdapat banyak cara

yang bisa ditempuh dalam penyelsaian suatu sengketa, begitu pula dengan

sengketa konsumen. Dalam hal ini para pihak dibebaskan untuk memilih

caranya sendiri dalam menyelesaiakan masalah yang mereka alami. Namun

bukan berarti hal tersebut luput dari pengaturan yang ada pada UUPK itu

sendiri, dalam hal ini negara juga memberikan fasilitasnya kepada

konsumen berupa alternatif penyelesaian yang disediakan khusus untuk

sengketa konsumen dalam UUPK tersebut, selain pengadilan.

Salah satu lembaga yang dibentuk oleh pemerintah dalam UUPK

tersebut ialah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (yang selanjutnya

disebut BPSK). Dalam pasal 1 angka 11 UUPK menyatakan bahwa BPSK

adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara

pelaku usaha dan konsumen. Hadirnya BPSK di Indonesia mempunyai

6Ahmadi Miru, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum bagi Konsumen di Indonesia

(Jakarta:PT RajaGrafindo Persada, 2011),h.69.

7DPR RI, diakses pada 13 Juli 2018 dari http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list.

Page 54: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

43

maksud untuk menghilangkan ketidakseimbangan antara pelaku usaha

dengan konsumen sehingga tercipta suatu pemerataan keadilan dalam

penyelesaian sengketa konsumen.8

Pembentukan BPSK sendiri didasarkan atas adanya pandangan

masyarakat yang menilai bahwa beracara di pengadilan terlalu rumit bahkan

sulit untuk dijangkau oleh masyarakat secara sosial maupun finansial.

Seperti apa yang dikutip dalam buku Yahya Harahap, bahwa banyaknya

kritikan atas penyelesaian sengketa dipengadilan disebabkan karena:9

1. Penyelesaian sengketa di pengadilan sangat lambat;

2. Biaya perkara yang mahal;

3. Pengadilan pada umumnya tidak responsif;

4. Putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;

5. Kemampuan para hakim yang bersifat generalis.

Hadirnya BPSK sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa

konsumen, diharapkan mampu untuk menjawab berbagai permasalahan

tersebut, sehingga masyarakat khususnya konsumen tidak khawatir lagi

untuk memperjuangkan hak-hak mereka apabila nantinya dilanggar. Sebab

penyelesaian sengketa melalui BPSK memiliki beberapa kelebihan

dibandingkan melaui pengadilan, seperti penyelesaianya yang dapat

dilakukan dengan cepat, mudah dan biaya ringan. Dikatakan cepat karena

dalam pasal 55 UUPK menegaskan bahwa penyelesaian Sengketa melalui

BPSK harus sudah diputus dalam tenggang waktu 21 hari. Mudah sebab

prosedur administrasi dan proses pengambilan putusanya juga sangat

sederhana. Murah terletak pada biaya perkara yang relatif terjangkau untuk

masyarakat umum menengah kebawah.10

8Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.74.

9Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian

Sengketa (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997),h.240-247

10 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.99.

Page 55: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

44

Tentu dengan adanya hal tersebut telah menggambarkan bahwa

BPSK memiliki peran yang sangat penting dalam upaya perlindungan

konsumen di Indonesia. Namun bukan berarti hadirnya Undang-Undang ini

akan mempersulit kinerja dari pelaku usaha, melainkan sebaliknya sebab

perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang adil dan

sehat sehingga memunculkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi

persaingan usaha dalam menyediakan barang atau jasa yang berkualitas.

C. Mekanisme Penyelesaian Sengketa di BPSK

1. Tugas dan Wewenag BPSK

Pada dasarnya terkait dengan tugas dan wewenang dari BPSK

sendiri telah ditentukan secara rinci dalam pasal 52 UUPK dan juga

pada pasal 3 Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang

diantaranya ialah

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen,

dengan cara melalui mediasi, arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap klausul baku;

d. Melaporlan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran

ketentuan dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan baik tertulis ataupun tidak tertulis dari

konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan

konsumen;

g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi-saksi ahli dan/atau setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang

ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,

saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan

Page 56: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

45

huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan

penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat

bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di

pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan

pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m. Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang

melanggar ketentuan undang-undang ini.

Dari ketentuan tersebut sudah tergambar, bahwa BPSK sendiri

memiliki fungsi strategis sebagai salah satu instrumen hukum dalam

penyelesian sengketa di luar pengadilan yang mencakup mediasi,

konsiliasi dan juga arbitrase. Selain itu BPSK juga memiliki fungsi

pengawasan terhadap pencantuman klausul baku oleh setiap pelaku

usaha, dan tidak hanya terbatas pada pelaku usaha swasta, namun juga

berlaku bagi perushaan-perusahaan milik negara.11

Adanya tugas, wewenang dan fungsi tersebut, mengartikan bahwa

BPSK bukanya hanya lembaga yang berfungsi sebagai alternatif

penyelesaian sengketa. lebih dari pada itu, terdapat fungsi pengawasan

dan juga pembinaan dalam bentuk penerimaan laporan dari masyarakat

atas pencantuman klausul baku dan memberikan sarana kepada

konsumen untuk berkonsultasi terkait dengan perlindungan konsumen

itu sendiri.

2. Proses Penyelesian Sengketa di BPSK

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa BPSK

mempunyai wewenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen

dengan cara mediasi, arbitrase dan juga konsiliasi. Ketiga cara tersebut

tentu memiliki prosedur yang berbeda antara satu dan lainya. Lalu

11 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.83-84.

Page 57: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

46

terkait dengan pelaksanaan atas ketiga cara tersebut dibebaskan kepada

para pihak untuk memilih jalur mana yang ingin ditempuh, hal ini sesuai

dengan ketentuan yang ada pada pasal 4 ayat (1) Kepmenperindag

Nomor 350/MPP/Kep/12/2001.

Perlu diketahui bahwa dalam pasal 4 ayat (2) juga dijelaskan bahwa

ketiga jalur tersebut tidak dapat dilakukan secara berjenjang.

Maksudnya ialah apabila nantinya salah satu jalur yang ditempuh tidak

berhasil/gagal dalam menyelesaikan sengketa konsumen tersebut, maka

tidak bisa para pihak memilih dua jalur lainya. Misalnya diawal para

pihak sepakat untuk menyelesaikan sengketa mereka dengan cara

konsiliasi lalu gagal, dalam hal ini para pihak tidak bisa memilih jalur

arbitrase yang disediakan oleh BPSK, melainkan harus

menyelesaikanya di pengadilan.

Lalu mengenai cara dari penyelesain tersebut, antara satu dan lainya

tentu memiliki cara yang berbeda. Namun agar pemahan terkait dengan

proses penyelesaian sengketa di BPSK dapat dipahami dengan baik,

maka peneliti dalam hal ini akan menjelaskan alur penyelesaian

sengketa melalui BPSK terlebih dahulu, agar tercipta pemahaman yang

sistematis.

a. Pengajuan Gugatan ke BPSK

Sebelum memilih cara dalam penyelesaian sengketa di BPSK,

konsumen diharuskan terlebih dahulu mengajukan gugatan secara

lisan ataupun tulisan ke BPSK. Terkait dengan BPSK yang dituju,

konsumen dapat memilih BPSK yang berada diwilayah konsumen

atau BPSK terdekat dengan tempat tinggal konsumen yang dalam hal

ini sebagai penggugat. Memang terdapat perbedaan dengan

pengajuan gugatan melalui pengadilan, sebab mengingat posisi

konsumen yang pada dasarnya tidak seimbang dengan pelaku usaha

secara sosial maupun finansial, sehingga adanya asas keseimbangan

dalam pasal 2 UUPK sendiri dituangkan dalam bentuk memberi

kemudahan kepada konsumen untuk memperjuangkan hak-haknya.

Page 58: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

47

Terhadap permohonan gugatan yang diajukan secara tulisan,

sekretariat BPSK akan memberikan tanda terima kepada pemohon.

Sedangkan permohonan gugatan yang diajukan secara lisan, maka

nantinya sekretariat BPSK akan melakukan pencatatan atas

permohonan tersebut dalam sebuah formulir khusus yang dilengkapi

dengan nomor registrasi. Setelah proses pengajuan tersebut,

permohonan akan diperiksa terlebih dahulu sebelum dilakukan tindak

lanjut, apakah permohan tersebut sudah sesuai dengan ketentuan

pasal 16 Kepmenperindag Nomer 350/MPP/Kep/12/2001 dan apakah

termasuk sebagai sengketa konsumen atau tidak. Apabila tidak sesuai

maka ketua BPSK dapat menolak permohonan tersebut.12 Apabila

permohonan gugatan diterima maka ketua BPSK akan memanggil

pelaku usaha secara tertulis, selambat-lambatnya 3 hari kerja sejak

diterimanya permohonan pengajuan gugatan. Panggilan akan

dilakukan sebanyak 2 kali, apabila pelaku usaha tetap tidak mematuhi

panggilan dari BPSK, maka BPSK dapat meminta bantuan penyidik

untuk menghadirkan pelaku usaha sesuai dengan ketentuan pasal 52

huruf i UUPK.

Setelah para pihak telah dihadirkan, barulah para pihak

memutuskan jalur yang akan ditempuh untuk meyelesaikan sengketa

tersebut, apakah melalui mediasi, konsiliasi atau arbitrase.

b. Penyelesaian melalui Konsiliasi

Konsiliasi seperti yang pernah dijelaskan dalam bab sebelumnya,

ialah penyelesaian sengketa diantara para pihak dengan pihak ketiga

yang bersifat netral. Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi,

penunjukan majelis dilakukan oleh ketua BPSK yang bertugas untuk

mendampingi para pihak dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan sendiri oleh para pihak

dengan didampingi oleh majelis BPSK yang bertindak pasif sebagai

12Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Adaro Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ,..., h.104.

Page 59: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

48

konsiliator. Sehingga dalam hal ini, majelis BPSK menyerahkan

sepenuhnya kepada para pihak dalam menemukan solusi yang ingin

ditempuh untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi. Majelis BPSK

pada bidang konsiliasi ini juga mempunyai peran untuk memanggil

saksi, saksi ahli atau hal-hal yang diperlukan dalam penyelesaian

permasalahan seperti menyediakan forum konsiliasi bagi para pihak.

Apabila nantinya dari hasil musyawarah yang dilakukan selama

proses konsiliasi berhasil, maka kesepakatan yang ada dalam hasil

musyawarah tersebut dapat dituangkan dalam bentuk perjanjian

tertulis yang ditandai tangani oleh para pihak dan nantinya

dituangkan dalam bentuk putusan BPSK sesuai ketentuan pasal 6

Kepmenperindag Nomer 350/MPP/Kep/12/2001.

c. Penyelesaian melalui Mediasi

Pada bab sebelumnya juga telah dijelaskan bahwa mediasi ialah

prosedur penengahan di mana seseorang bertindak sebagai

“kendaraan” untuk berkomunikasi antara para pihak, sehingga

pandangan mereka yang sebelumnya berbeda-beda atas sengketa

yang dialami dapat dipahami dan mungkin didamaikan. Pihak ketiga

dalam hal ini disebut sebagai mediator yang bertugas sebagai

penengah namun tidak memiliki kuasa untuk memutus.

Berbeda dengan konsiliasi, dalam pasal 5 ayat (2)

Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 menegaskan bahwa

majelis yang bertindak sebagai mediator bersifat lebih aktif

dibandingkan konsiliator. Disini pihak mediator juga bertugas

sebagai pihak penengah dan dituntut untuk mampu menyeimbangkan

posisi para pihak yang berat sebelah. Maksudnya ialah terkadang

antara para pihak memiliki profesi yang berbeda sehingga salah satu

pihak merasa lebih berkuasa dibandingkan dengan lawanya, terlebih

dalam hal sengketa perlindungan konsumen yang sering kali posisi

konsumen tidak seimbang dengan pelaku usah. Maka disinilah tugas

mediator untuk menyetarakan, sehingga nantinya dapat tercipta

Page 60: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

49

kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak. Terlebih dalam

sengketa konsumen yang tentunya antara para pihak memiliki

kedudukan yang tidak seimbang satu sama lain.

Pembentukan majelis dalam hal mediasi juga dilakukan oleh ketua

BPSK. Dan hasil dari kesepakatan yang timbul dari hasil mediasi

juga dituangkan dalam bentuk perjanjian yang nantinya dikuatkan

dengan putusan BPSK.

d. Penyelesaian Sengketa melalui Arbitrase

Berbeda dengan jalur penyelesaian lainya. Pembentukan mejalis

arbitrase dalam hal ini dipilih oleh para pihak dari anggota BPSK

yang mewakili ketiga unsur, yaitu pihak konsumen, pihak pelaku

usaha dan pemerintah. Hampir sama dengan sistem arbitrase

biasanya, setelah para pihak menunjuk arbiternya maka kedua

arbitrer tersebut akan Memilih arbitrer ketiga yang berasal dari unsur

pemerintah sebagai ketua majelis, hal ini berdasarkan pada ketentuan

pasal 32 Kepmenperindag 350/MPP/Kep/12/2001.

Seperti yang peneliti jelaskan sebelumnya bahwa ketentuan

arbitrase BPSK hampir sama dengan Arbitrase pada umumnya.

Namun yang berbeda ialah perihal pembuktian, sebab dalam proses

penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK, beban pembuktian

berada pada sisi pelaku usaha. Namun bukan berarti konsumen tidak

mengajukan bukti, dalam hal ini pihak konsumen juga diharuskan

untuk memberikan bukti-bukti untuk mendukung gugatanya.

Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak

dan juga pembuktian, maka dalam hal ini BPSK dapat mengambil

keputusan/ memberikan putusan atas sengketa tersebut. Perbedaanya

dengan putusan BPSK dalam hal mediasi dan konsiliasi ialah putusan

arbitrase BPSK dapat memuat sanksi administratif, sedangkan

putusan BPSK atas mediasi dan konsiliasi tidak memuat sanksi

administratif.

Page 61: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

50

BAB IV

ANALISIS PROSEDUR PEMBATALAN PUTUSAN ARBTRASE BPSK

DITINJAU DARI PERATURAN MAHKAMAH AGUNG

NOMOR 1 TAHUN 2006

A. Kedudukan Hukum Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia dan

Pengaruhnya terhadap Peran BPSK

1. Kedudukan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Membentuk

Peraturan

Sudah banyak kajian yang membahas terkait dengan kedudukan

Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disebut Perma) di Indonesia.

Bahkan apabila kita lihat dalam pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No.

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

telah mengakui keberadaan peraturan yang dibentuk oleh Mahkamah

Agung. Peraturan tersebut dapat diakui dan bersifat mengikat asalkan

memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam Pasal 8 ayat (2) Undang-

Undang No. 12 Tahun 2011, syarat tersebut antara lain seperti

diperintahkan oleh Undang-Undang yang lebih tinggi atau dibentuk

berdasarkan kewenanganya. Kata “atau” dalam pasal tersebut

mengindikasikan bahwa dalam pembentukanya diharuskan memenuhi

salah satu saja dari syarat tersebut.

Pertanyaanya, apakah Perma memenuhi ketentuan tersebut? Pada

dasarnya yang mempunyai kewenangan dalam membentuk sebuah

peraturan ialah badan legislatif, sebab berdasarkan pada prinsip

kedaulatan, hal tersebut merupakan kewenangan eksklusif dari wakil

rakyat dalam membatasi kebebasan setiap individu atau warga negara.1

Sedangkan Mahkamah Agung sebagai badan peradilan, pada dasarnya

hanya memiliki kewenangan untuk menafsirkan hukum guna mencari

1Jimly Assiddiqie, Periahal Undang-Undang di Indonesia (Jakarta: Sekretariat Jendral dan

Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006),h.11.

50

Page 62: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

51

dan menemukan atau memperluas makna suatu hukum apabila makna

yang ada pada suatu undang-undang belum jelas. Adanya kewenangan

tersebut dapat juga dianggap sebagai pembuatan atau peciptaan hukum

yang populer disebut sebagai “Judge made law”. Namun sifatnya tentu

berbeda dengan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

berlaku umum, sebab sifat dari kewenangan tersebut hanyalah hukum

kasus atau yang dikenal dengan istilah “Case law” maksudnya ialah

hukum yang diberlakukan hanya pada kasus tertentu saja.2 Namun

bukan berarti mutlak bahwa semua lembaga negara selain DPR tidak

bisa membentuk suatu peraturan, sebab bisa saja cabang-cabang

kekuasaan lainya membentuk suatu peraturan asalkan wakil rakyat

sendiri telah memberikan persetujuanya dalam bentuk undang-undang.

Konsep tersebut biasanya kita kenal dengan istilah “delegated

legislation”.3 Sedangkan kedudukan PERMA disini biasa dikenal

dengan “sup ordinate legislations” sebagai salah satu produk

perundang-undangan dibawah undang-undang yang diberlakukan

berdasarkan undang-undang.

Secara normatif, dapat dipahami bahwa Mahkamah Agung telah

mempunyai wewenang tersebut, yaitu dalam pasal 79 Undang-Undang

No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung jo. Undang-Undang No.

3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (yang selanjutnya disebut

UUMA) telah menegaskan bahwa “Mahkamah Agung dapat mengatur

lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan

peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam

Undang-Undang ini”.

Alasan diberikanya kewenangan tersebut kepada Mahkamah

Agung disebabkan karena keadaan negara Indonesia pada saat awal

2M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,2008),h.165.

3Sukardi & Prajwalita Widiati, “Pendelegasian Pengaturan oleh Undang-Undang kepada

Peraturan yang Lebih Rendah dan Akibat Hukumnya”, Jurnal Yuridika, Volume 25 No.2 (Mei-

Agustus, 2010),h.106-107.

Page 63: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

52

kemerdekaan yang belum memiliki pengaturan terkait hukum acara

yang memadai, sebab masih bergantung pada hukum peninggalan

kolonial yaitu HIR dan RBg. Maka dari itu, sering kali dalam

penerapanya dipengadilan, ketentuan hukum acara tersebut sering

tertinggal dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat di

Indonesia, sehingga untuk memecah problematika tersebut diberikanlah

kewenangan tersebut kepada Mahkamah Agung melalui Undang-

Undang Mahkamah Agung itu sendiri.4 Dengan adanya ketentuan

tersebut tentunya dalam menjalankan kewenangan untuk membentuk

sebuah peraturan, Mahkamah Agung telah memenuhi prinsip yang

terkandung dalam negara hukum, yaitu supremasi hukum. Sebab pada

dasarnya supremasi hukum merupakan prasyarat dalam

penyelanggaraan kehidupan bernegara, yang memberikan jaminan

kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, sehingga

dalam pelaksanaan dan penegakan hukum yang dilakukan oleh

penguasa harus salalu berdasarkan pada kewenangan yang diberikan

oleh undang-undang.5 Hal ini tentunya untuk memberikan kepastian

hukum kepada masyarakat dan menghindari prilaku sewenang-wenang

dari penguasa.

Berdasarkan pada Undang-Undang tersebut maka telah jelas bahwa

Mahkamah Agung dalam hal ini memiliki kewenangan dalam

membentuk sebuah peraturan yang sifatnya mengikat. Namun

kewenangan tersebut juga dibatasi pada hal-hal yang diperlukan bagi

kelancaran penyelenggaraan sistem peradilan.

Maksud keperluan sebuah Perma dalam penyelenggaran sistem

peradilan ialah, apabila nantinya terjadi sebuah kekurangan atau

kekosongan hukum dalam penyelenggaraan sistem peradilan di

4Ronald Lumbun, PERMA RI Wujud Kerancuan antara Praktik Pembagian dan

Pemisahan Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),h.146.

5Bambang Sugionto dan Ahmad Husni, “Supermasi Hukum dan demokrasi”, Jurnal

Hukum, Volume 13 No. 14 (Agustus,2000),h.71.

Page 64: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

53

Indonesia maka Mahkamah Agung dapat mengeluarkan Perma. Adanya

ketentuan tersebut telah ditegaskan pada penjelasan pasal demi pasal

UUMA, bahwa ketika terjadi kekurangan atau kekosongan hukum

dalam berjalanya peradilan, maka Mahmakah Agung berwenang untuk

membuat suatu peraturan sebagai pelengkap dari adanya kekosongan

hukum tersebut. Pengaturan yang dibentuk pun mempunyai perbedaan

dengan suatu peraturan yang dibentuk oleh pembentuk undang-undang.

Perbedaan tersebut terletak pada substansi hukum yang lebih condong

mengatur perihal hukum acara secara keseluruhan, dan tidak

mencampuri pengaturan tentang hak dan kewajiban warga negara pada

umumnya, maupun sifat , kekuatan, alat bukti serta penilaian dan

pembagian beban pembuktian.

2. Peran Peraturan Mahkamah Agung di Indonesia dan Pengaruhnya

terhadap Kepastian Hukum Wewenang BPSK

Sudah banyak produk hukum berupa Perma yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung semenjak pertama kali disahkanya kewenangan

tersebut dalam UUMA pada tahun 1985. Tercatat pada tahun 2016 saja

telah ada 14 Perma yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung, guna

menjawab problematika kekosongan hukum pada saat itu.6 Tentunya

dengan adanya kewenangan tersebut, sangatlah membantu pemerintah

dalam mengatasi kekosongan hukum yang ada, sebab dalam

pembuatanya, pembentukan Perma relatif lebih cepat dan efisien

dibandingkan dengan undang-undang. Sehingga problematika atas

fenomena kurangya kejelasan dalam pelaksanaan undang-undang

misalnya, atau fenomena kekosongan hukum dapat teratasi dengan

efektif. Selain sebagai penambal bagi kekosongan hukum, Perma juga

berperan sebagai akses dalam pengembangan hukum. Dalam

pendapatnya, Meuwissen menegaskan bahwa peranan Perma dapat

6Kepanitraan Mahkamah Agung RI, diakses pada 16 Juli 2018 dari

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/1408-sepanjang-tahun-2016-ma-

terbitkan-14-perma-dan-4-sema#.

Page 65: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

54

dikategorikan sebagai salah satu akses untuk “rechtsbeofening” atau

pengembangan hukum, untuk menunjukan bahwa perilaku masyarakat

juga berkaitan dengan ada dan berlakunya suatu hukum.7

Dalam perkembanganya, Perma terbukti mampu untuk mengatasi

adanya kekurangan dalam suatu undang-undang dan juga kekosongan

hukum yang terjadi diantaranya, seperti pada saat dibentuknya Perma

No. 12 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan

dan Jumlah Denda dalam KUHP. Tentunya alasan dibentuknya Perma

ini disebabkan oleh kebutuhan atas perkembangan nilai mata uang yang

ada di Indonesia yang tidak dapat dijangkau lagi oleh KUHP yang

sampai sekarang masih berlaku, sehingga pengaturan akan denda yang

diberikan tidak memiliki kejelasan. apabila menunggu disahkanya RUU

KUHP tentunya akan memakan jangka waktu yang cukup panjang,

sebab semenjak pembahasan RUU KUHP diajukan oleh DPR pada 11

Desember 2012 belum juga rampung sampai dengan saat ini. Bahkan

saat ini RUU KUHP kembali dimasukan dalam Prolegnas prioritas

tahun 2018.8 Hal ini merupakan upaya Perma dalam mengatasi

permasalahan kurangya hukum yang ada dalam mengikuti

perkembangan nilai mata uang di Indonesia.

Adapun terkait dengan kekosongan hukum, Mahkamah Agung

dalam hal ini juga pernah mengambil peranan untuk menutupi adanya

kekosongan hukum yang terjadi di Indonesia. Contohnya ialah ketika

dibentuknya Perma No. 1 Tahun 1956 yang diterbitkan karena adanya

kekosongan hukum perihal pengaturan tentang hubungan antara suatu

perkara perdata dan perkara pidana yaitu ketika dalam suatu perkara

pidana yang sedang diadili terdapat hak-hak keperdataan yang dimiliki

oleh para pihak, sehingga dibentuklah Perma ini untuk menegaskan

7Fauzan, Peranan PERMA dan SEMA sebagai Pengisi Kekosongan Hukum Indonesia

Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013),h.vii.

8DPR RI, diakses pada 16 Juli 2018 dari http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas.

Page 66: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

55

bahwa apabila dalam suatu perkara pidana terdapat hak-hak keperdataan

dalam perkara yang sedang berjalan tersebut, maka hakim diwajibkan

untuk menunda vonis pidana sampai adanya putusan hakim perdata

terkait dengan hak keperdataan tersebut.9

Tentu semenjak adanya kewenangan pembentukan Perma tersebut,

telah sangat berdampak banyak dalam segala segi berjalanya sistem

peradilan di Indonesia. Namun bukan hanya sebatas itu, dalam

perkembangan hadirnya pengaturan Perma ini, juga dapat berdampak

pada lembaga-lembaga lain yang ada di Indonesia. Salah satunya ialah

BPSK. Sebagai salah satu lembaga yang bergerak dibidang

perlindungan Konsumen, BPSK memiliki kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa konsumen melalui tiga cara yaitu, mediasi,

konsiliasi dan juga arbitrase. Dalam pelaksanaanya, dibebaskan kepada

para pihak untuk memilih jalur mana yang ingin ditempuh.

Sifat dari putusan BPSK sendiri, sebenarnya dalam UUPK telah juga

ditegaskan bahwa putusan tersebut memiliki kekuatan hukum yang

bersifat final and banding maka berarti, atas putusan BPSK ini

seharusnya tidak bisa dilakukan upaya hukum apapun. Namun ternyata

ketentuan dalam pasal 56 ayat (2) dalam UUPK menegaskan bahwa para

pihak dapat mengajukan keberatan atas putusan BPSK kepada

pengadilan Negeri. Dalam UUPK sendiri terkait dengan pengaturan

pengajuan keberatan atas putusan BPSK, belum diatur secara rinci,

bahkan cenderung tidak lengkap. Tidak ada pasal yang menegaskan

bagaimana prosedur pengajuanya, bagaimana sistem beracaranya dan

bagaimana penentuan terkait dengan wilayah kompetensi pengadilanya,

apakah mengikuti wilayah BPSK yang mengeluarkan putusan atau

mengikuti wilayah Konsumen. Sebab pada dasarnya jenis penyelesian

sengketa perlindungan konsumen mempunyai ketentuan yang berbeda

dengan sengketa lainya, yang mana gugatan yang diajukan

9Fauzan, Peranan PERMA dan SEMA sebagai Pengisi Kekosongan Hukum Indonesia

Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung ...,,h.x.

Page 67: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

56

berkompetensi sesuai wilayah si penggugat yang dalam hal ini

konsumen.

Dengan tidak adanya pengaturan terkait dengan prosedur tata cara

pengajuan keberatan atas putusan BPSK tersebutlah, akhirnya pada

tanggal 15 Maret 2006 lahir Perma No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengajuan Keberatan terhadap Putusan Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen,10 untuk menutupi celah kekosongan hukum tersebut.

Lahirnya Perma ini seakan menampilkan wajah baru bagi BPSK itu

sendiri dalam hal upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan

BPSK tersebut.

Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUPK sendiri, tidak

menjelaskan terkait dengan pengajuan keberatan yang dapat diajukan ke

pengadilan apakah berlaku bagi semua bentuk putusanya, yang dalam

hal ini berupa mediasi, konsiliasi dan juga arbitrase. Sebab bentuk

putusan dari ke tiga cara penanganan sengketa tersebut berbeda. Putusan

atas hasil mediasi dan konsiliasi ialah berupa kesepakatan yang harus

ditaati oleh para pihak, yang dalam hal ini BPSK hanya berperan sebagai

fasilitator yang bersifat netral, dan juga hasil dari mediasi sendiri

merupakan kesempatan yang dibuat sendiri Oleh para pihak, sehingga

tidak mungkin putusan atas hasil kesepakatan tersebut diajukan

keberatan.11

Berbeda dengan putusan arbitrase, dalam hal ini BPSK berperan

aktif dan memiliki kewenangan untuk memutus atas sengketa yang

diajukan melalui jalur arbitrase. Sehingga bisa saja para pihak dalam hal

ini tidak sepakat atas putusan arbitrase BPSK tersebut. Oleh karena itu

Perma ini pun hadir juga sekaligus untuk memperjelas terkait dengan

ketentuan tersebut.

10Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya ...,h.349.

11Munir Fuady, Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis (Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2000),h.44-53.

Page 68: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

57

Dalam pengaturanya Perma No. 1 Tahun 2006 ini, pada pokoknya

mengatur beberapa permasalahan yang sebelumnya tidak dapat

dijangkau oleh UUPK itu sendiri, diantaranya yaitu:12

a. Terhadap putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat pada

dasarnya tidak dapat dilakukan upaya kebaratan, kecuali memenuhi

syarat yang telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung;

b. Putusan BPSK dianggap sebagai putusan lembaga pemutus

administratif seperti lembaga-lembaga lain yang telah lebih dahulu

dibentuk;

c. Putusan BPSK yang berbentuk mediasi dan konsiliasi dianggap final

dan mengikat;

d. Putusan BPSK yang dapat diajukan keberatan ke pengadilan negeri

hanyalah terhadap putusan arbitrase BPSK saja;

e. Keberatan terhadap putusan arbitrase BPSK dapat diajukan oleh

konsumen maupun pelaku usaha kepada pengadilan negeri yang

berkedudukan hukum di wilayah konsumen;

f. Konsumen yang tidak mempunyai tempat kedudukan hukum di

Indonesia harus mengajukan keberatan pada pengadilan negeri yang

berkedudukan hukum di wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan

putusan arbitrase;

g. Lembaga BPSK tidak ditentukan sebagai pihak yang terlibat dalam

perkara keberatan yang diajukan atas putusan arbitrase BPSK;

h. Administrasi pendaftaran perkara dilakukan melalui kepaniteraan

pengadilan negeri di tempat domisili konsumen sesuai dengan

prosedur pendaftaran perkara perdata;

i. Karena limitasi waktu yang ditetapkan oleh UUPK dalam pengajuan

keberatan yaitu selama 21 hari pengadilan harus sudah memutus

perkara tersebut, maka pemeriksaan atas pengajuan keberatan

12 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya ..., h.351.

Page 69: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

58

tersebut hanya diajukan atas dasar putusan BPSK dan berkas

perkaranya saja;

j. Untuk melindungi kepentingan hukum konsumen di Indonesia,

maka dilakukan terobosan baru, bahwa putusan arbitrase BPSK

masih dapat diajukan keberatan ke pengadilan negeri, dengan cara

melalukan penafsiran terhadap pengertian keberatan terhadap

putusan arbitrase BPSK ini, sebagai keberatan penerapan hukum

secara luas, sebagaimana dimaksudkan dalam perkara banding atas

suatu putusan pengadilan tingkat pertama;

k. Pemeriksaan perkara keberatan tidak saja meliputi hal-hal yang

mengandung unsur-unsur yang dapat dibatalkan, berdasarkan alasan

yang ditentukan dalam pasal 70 UU Arbitrase dan APS, tetapi juga

meliputi keberatan terhadap penerapan hukum secara luas;

l. Manakala keberatan yang diajukan oleh lebih dari satu pihak

konsumen/pelaku usaha, untuk putusan BPSK yang sama, maka

untuk menghindari adanya putuusan yang berbeda, perkara harus

didaftarkan dengan nomor perkara yang sama;

m. Pengadilan mengeluarkan penetapan eksekusi atas permintaan pihak

yang berperkara atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan;

n. Permohonan penetapan eksekusi atas putusan arbitrase BPSK yang

telah diperiksa melalui prosedur keberatan, dikeluarkan oleh

pengadilan negeri yang memutuskan perkara keberatan

bersangkutan dengan mengacu pada hukum acara yang berlaku bagi

peradilan umum (HIR).

Tentu, dengan adanya pengaturan tersebut telah berdampak cukup

banyak terhadap putusan BPSK itu sendiri, khususnya putusan arbitrase

BPSK. Terutama terkait dengan syarat pembatalan putusan arbitrase

yang makna atas syarat tersebut diperluas oleh Perma tersebut.

Salah satunya ialah kerancuan terkait dengan kewenangan BPSK

dalam menangani suatu sengketa konsumen. Terdapat beberapa putusan

atas pengajuan keberatan dari putusan arbitrase yang dibatalkan dengan

Page 70: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

59

pertimbangan bahwa sengketa yang diajukan bukanlah kewengan dari

BPSK itu sendiri. Yang menjadi permasalahan ialah inkonsistensi

putusan yang dikeluarkan oleh badan peradilan yang dalam hal ini

termasuk Mahkamah Agung saat memandang kewenangan BPSK

dalam menyelesaikan sengketa konsumen.

Contohnya dalam sengketa perjanjian pembiayaan konsumen

dengan perjanjian fidusia ataupun hak tanggungan. Beberapa putusan

Mahkamah Agung menilai bahwa sengketa yang timbul dari perjanjian

kredit antara lembaga pembiayan dengan debitur merupakan

kewenangan BPSK, seperti pada putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2008, No.

589 K/Pdt.Sus/2012 dan putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012. Pada

putusan tersebut jelas bahwa Mahkamah Agung memperkuat adanya

putusan dari pengadilan tingkat pertama yang menolak pengajuan

keberatan dari pemohon yang mendalilkan bahwa sengketa tersebut

bukanlah sengketa konsumen.

Bahkan dalam kasus pengajuan keberatan atas putusan BPSK yang

pada tingkat pertama dalam putusan No. 149/Pdt.G/BPSK/2011/PN.Ska

telah dikabulkan dengan alasan bahwa BPSK tidak berwenang atas

sengketa tersebut dikarenakan sengketa tersebut berdasarkan pada

perjanjian fedusia, tapi nyatanya putusan tingkat pertama ini dikoreksi

oleh Mahkamah Agung dalam putusan No. 267 K/Pdt.Sus/2012 yang

menguatkan putusan BPSK dan menyatakan bahwa BPSK berwenang

untuk mengadili perkara tersebut.

Namun sayangnya, penerapan hukum tersebut tidak berjalan

konsisten. Sebab banyak pula putusan badan peradilan yang

membatalkan putusan arbitrase BPSK, dengan alasan bahwa BPSK

tidak berwenang dalam menyelesaikan sengketa tersebut dan

menyatakan bahwa sengketa tersebut bukanlah sengketa konsumen.

Contohnya dalam putusan No. 27 K/Pdt.Sus/2013 dalam hal ini

Mahkamah Agung dalam pertimbanganya menegaskan bahwa

hubungan hukum antara para pihak didasarkan pada perjanjian

Page 71: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

60

pembiayan bersama dengan penyerahan milik secara fidusia yang

merupakan hubungan hukum perdata dan tidak termasuk sengketa

konsumen. Atas pertimbangan tersebut akhirnya Mahkamah Agung

membatalkan putusan arbitrase BPSK tersebut. Tentunya hal ini bukan

hanya terjadi sekali, terdapat beberapa putusan serupa yang juga

membatalkan putusan arbitrase dengan pertimbangan yang sama.

Putusan tersebut diantaranya ialah putusan No. 477 K/Pdt.Sus/2011,

putusan No. 355 K/Pdt.Sus-BPSK/2014, putusan No. 572 K/Pdt.Sus-

BPSK/2014, dan masih banyak lagi putusan yang lainya.

Atas perluasan persyaratan pengajuan keberatan yang diatur oleh

Perma No. 1 Tahun 2006 dalam pasal 6 ayat (5) inilah yang

menyebabkan kewengan BPSK dalam menguji sengketa konsumen

menjadi tidak jelas batasanya. Dampaknya ialah, tidak terdapat

kepastian hukum bagaimana langkah yang seharusnya ditempuh oleh

konsumen ketika merasa dirugikan atas suatu transaksi yang dilakukan.

Bahkan ketidakjelasan kewengan BPSK ini sendiri pun semakin nyata

tergambar dalam putusan No. 41/Pdt.Sus/BPSK/2015/PN.Tpg yang

sempat menolak pengajuan keberatan oleh pemohon dalam hal ini dan

menganggap bahwa sengketa tersebut merupakan kewenangan BPSK

pada pengadilan tingkat pertama, namun dibatalkan oleh Mahkamah

Agung dalam tingkat kasasi dengan Putusan No. 771 K/Pdt.Sus-

BPSK/2015. Dalam pertimbanganya, majelis hakim menegaskan

bahwa BPSK tidak berwenang atas sengketa tersebut, padahal sengketa

tersebut bukanlah sengketa yang berdasar pada perjanjian pembiayan

seperti fenomena hukum diparagraf sebelumnya. Dalam hal ini

Mahkamah Agung menilai bahwa dalam perkara tersebut bukan

merupakan sengketa konsumen, melainkan sengketa ingkar janji atas

perjanjian jual beli. Pada kasus tersebut sebenarnya konsumen merasa

telah dirugikan karena rumah yang dibeli tidak sesuai kondisinya

dengan yang diperjanjikan dalam perjanjian jual beli tersebut, sehingga

pemohon mengajukan gugatan ke BPSK.

Page 72: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

61

Dari kesemua kasus tersebut, disini peneliti menilai bahwa perlu

kejelasan terkait dengan kewenangan BPSK dalam menyelesaikan

sengketa konsumen. Apakah semua sengketa yang berdasarkan pada

perjanjian antara konsumen dengan pelaku usaha bukanlah merupakan

sengketa konsumen? Padahal dalam UUPK telah jelas terkait dengan

hak-hak yang seharusnya dilindungi, seperti kasus diparagraf

sebelumnya terkait dengan jual beli rumah. Dalam pasal 4 huruf b telah

dikemukakan bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih barang

dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai

dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan. Untuk

menjawab pertanyaan tersebut peniliti kembali melihat sejarah

perkembangan prinsip perlindungan konsumen itu sendiri.

Pada dasarnya prinsip yang pertama ada dalam perlindungan

konsumen ialah prinsip negligence yang berarti pertanggung jawaban

berdasarkan kesalahan atau kelalaian. Pada saat sebelum tahun 1916

prinsip tanggung jawab pelaku usaha terhadap konsumen diwajibkan

memenuhi persyaratan yaitu adanya kontrak antara kedua belah pihak,

yaitu konsumen dan produsen. Dampaknya ialah pelaku usaha dalam

hal ini hanya bertanggung jawab atas konsumen yang terikat kontrak

dengannya, namun setelah tahun 1916 ketentuan tersebut telah

diabaikan, sebab adanya ketentuan tersebut dipandang cukup

memberatkan bagi konsumen, sehingga dalam hal ini konsumen tidak

perlu lagi membuktikan adanya kontrak. Adanya ketentuan tersebut

sebenarnya dipengaruhi oleh sebuah doktrin yaitu res Isa laquitor

dengan the thing speak for itself yang mengartikan bahwa ketika terjadi

suatu kerugian yang dialami oleh konsumen, berarti telah terjadi sebuah

kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha.13 Sehingga

dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa adanya suatu perjanjian

bukanlah merupakan alasan bahwa hal tersebut bukan merupakan

13 Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen ...,, h.83-91.

Page 73: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

62

sengketa konsumen, sebab pada dasarnya prinsip ini bermula dari

adanya suatu perjanjian, namun perjanjian juga bukan lagi merupakan

hal yang wajib ada dalam sengketa konsumen.

Fenomena hukum yang terungkap diatas telah menjelaskan

bagaimana pengaruh adanya Perma No. 1 Tahun 2006 ini dengan

kewenangan BPSK dalam menyelesaikan sengketa konsumen. Tidak

adanya batasan atas alasan pengajuan keberatan kepada putusan BPSK,

membuat hakim kembali menilai kewenangan yang dimiliki oleh

BPSK, padahal sebelum suatu perkara diselesaikan oleh BPSK terdapat

mekanisme yang telah peneliti jelaskan pada BAB III dalam penelitian

ini, bahwa ketua BPSK akan menilai terlebih dahulu atas permohonan

gugatan yang diajukan, apakah hal tersebut merupakan sengketa

konsumen atau bukan. Apabila sengketa tersebut bukan merupakan

sengketa konsumen maka ketua BPSK akan menolak permohonan

gugatan tersebut. Apabalia kita lihat secara logika atas ketentuan yang

ada pada Permendag No. 06/M-DAG/PER/2/2017 pada pasal 15 huruf

e menegaskan bahwa syarat keanggotaan BPSK ialah memiliki

pengetahuan dan pengalaman dibidang perlindungan konsumen.

Adanya ketentuan tersebut bukanlah merupakan hal baru dalam

perlindungan konsumen, sebab hal ini telah lebih dulu diatur dalam

UUPK pasal 37 huruf e, namun kembali dirincikan dalam peraturan

mentri tersebut. Dari hal ini kita dapat melihat bahwa sebenarnya BPSK

lebih berkompeten dalam menilai apakah suatu sengketa merupakan

sengketa konsumen atau bukan, terlepas dari adanya asas ius curia novi

yaitu hakim dianggap tau akan hukumnya.

Peneliti dalam hal ini beranggapan bahwa masih perlu pengkajian

lebih mendalam atas berlakunya ketentuan perihal alasan pengajuan

pembatalan putusan arbitrase BPSK pada Perma tersebut. Sebab pada

saat pembentukan ketentuan pasal 6 Perma No. 1 tahun 2006 ini, seperti

apa yang didapat dari hasil diskusi yang dilakukan oleh Prof. Susanti

Adi Nugroho dengan tim pembentukan Perma tersebut menegaskan

Page 74: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

63

bahwa ketentuan ini dianggap sebagai sebuah terobosan hukum.14

Anggapan tersebut timbul karena adanya kekhawatiran pembentuk

undang-undang pada saat merumuskan ketentuan pengajuan keberatan

disebabkan sumber daya ahli yang masih minim dalam hal perlindungan

konsumen. Tentu alasan tersebut sudah tidak bisa dipertahankan lagi

pada saat ini, sebab di Indonesia sendiri, sudah ada perkembangan

dibandingkan pada saat Undang-Undang dan perumusan Perma ini

dibentuk. Sehingga dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa perlu

pembatasan terkait dengan pengajuan keberatan atas putusan arbitrase

BPSK tersebut, diatur lebih lanjut dan juga memperjelas kewenangan

dari BPSK dalam menyelesaikan sengat konsumen, agar nantinya BPSK

mempunyai kedudukan yang pasti sebagai lembaga yang berwenang

dalam menyelesaikan sengketa konsumen di Indonesia.

B. Analisis Prosedur Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK pada Perma

No. 1 Tahun 2006 dengan Produk Hukum Arbitrase dan Perlindungan

Konsumen.

1. Upaya Hukum pada Putusan Arbitrase

Pada dasarnya, putusan arbitrase memiliki kekuatan hukum yang

bersifat final and banding atau dalam artian bersifat akhir dan mengikat.

Maksudnya ialah, terhadap putusan arbitrase seharusnya tidak ada

upaya hukum yang dapat diajukan. Walaupun sebenarnya konsep dasar

tersebut dianut juga dalam UU Aribtrase dan APS di Indonesia, namun

masih saja masih terdapat peluang untuk para pihak untuk melakukan

upaya hukum.

Jangankan memberikan kekuatan hukum yang final dan mengikat,

UU Arbitrase dan APS ini bahkan tidak memberikan kekuatan

eksekutorial pada putusan arbitrase di Indonesia. seharusnya apabila

kita lihat dari unsur-unsurnya, seperti susunan serta isi putusanya yang

14 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara Serta Kendala Implementasinya ..., h.351.

Page 75: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

64

sama dengan putusan hakim, lalu juga terdapat kepala putusan yang

berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Maka seharusnya putusan arbitrase telah memiliki kedudukan serta

kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. Namun

sayangnya, tetap saja putusan arbitrase di Indonesia tidak memiliki

eksekutorial tersebut,15 sehingga ketika putusan arbitrase telah

dikeluarkan maka diharuskan untuk terlebih dahulu didaftarkan pada

pengadilan agar putusan arbitrase tersebut dapat dieksekusi.

Perihal upaya hukum yang dapat diajukan oleh para pihak atas

putusan arbitrase tersebut, oleh Prof. Tjip Ismail pun dibagi menjadi dua

macam yaitu:16

a. Sebelum atau Dalam Proses Persidangan Arbitrase

Proses tersebut ialah pengajuan hak ingakar. Dalam hal ini para

pihak memiliki hak untuk mengajukann tuntutan hak ingkar, yang

diajukan dalam hal terdapat cukup alasan dan bukti otentik yang

menimbulkan keraguan bahwa arbitrer akan melakukan tugasnya

dengan netral atau dalam artian adil dan tidak memihak kepada salah

satu pihak atau siapapun dalam mengambil keputusan. Oleh karena

itu, walaupun dalam hal ini arbitrer sebenarnya diangkat oleh para

pihak, tetap saja para pihak juga memeperhitungkan kemungkinan

adanya alasan untuk menggunakan hak ingkar tersebut. Namun,

ketika arbitrer yang dipilih telah diangkat oleh para pihak, maka

dalam hal ini para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak

menggunakan hak ingkar mereka. Tapi adanya hal tersebut tidak

menutupi kesempatan para pihak untuk mengajukan hak ingkar,

sebab bisa saja terdapat kemungkinan munculnya fakta-fakta yang

baru diketahui oleh para pihak, sehingga memberikan hak kepada

15Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2015),252-253.

16Tjip Ismail, “Putusan Akhir dan Mengikat: Perbandingan Putusan Arbitrase dan

Pengadilan Pajak”, Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter, Volume. 6 No. 3 (September, 2014),

h.15-16.

Page 76: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

65

mereka untuk mempergunakan kembali hak ingkar tersebut

berdasarkan fakta-fakta yang baru diketahui.

Tuntutan hak ingkar tersebut harus diajukan dalam bentuk

tertulis baik kepada pihak lain maupun arbitrer yang bersangkutan

dengan menyebutkan alasan pengajuan hak ingkar tersebut.

Tuntutan tersebut dapat diajukan kepada pengadilan negeri,

terhadap arbitrer yang diangkat oleh ketua pengadilan, kepada

arbitrer tunggal, dan majelis arbitrase seluruhnya atau salah satu

anggota majelisnya saja.

Waktu pengajuannya hanya dapat dilakukan apabila alasan-

alasan pengingkaran tersebut baru diketahui dalam dua hal, pertama,

sebelum pengangkatan arbitrer dalam hal ini para pihak menemukan

alasan atas hak ingkar tersebut. Kedua, setelah adanya penetapan

pengadilan atas pengangkatan arbitrer, dalam hal ini para pihak baru

menemukan fakta-fakta baru setelah pengangkatan tersebut.

b. Setelah Putusan Arbitrase

Upaya hukum yang dapat diajukan setelah dikeluarkanya

putusan arbitrase yaitu pengajuan pembatalan putusan arbitrase. Hal

ini telah diatur dalam pasal 70 sampai dengan pasal 72 UU Arbitrase

dan APS. Namun sebelumnya, perihal pengajuan pembatalan

putusan arbitrase juga sempat diatur dalam Rv. Walaupun sekarang

hal tersebut sudah tidak berlaku lagi namun dalam hal ini peneliti

ingin membandingkan ketentuan yang ada pada Rv tersebut dengan

ketentuan yang masih berlaku pada saat ini. Dalam pengajuanya

kedua pengaturan tersebut sama-sama mempunyai batasan atas

syarat pengajuanya

1) Prosedur Pengajuan Pembatalan Putusan Arbitrase ditinjau dari

Rv.

Dalam pengaturanya, terkait dengan pengajuan pemabatalan

putusan arbitrase yang diatur dalam beberapa pasal yaitu dimulai

dari pasal 643 Rv. dan seterusnya. Terkait dengan alasan yang

Page 77: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

66

dapat diajukan dalam proses pembatalan putusan arbitrase

antaranya ialah:17

a) Putusan yang diberikan telah melampaui batas-batas yang

sudah diperjanjikan;

b) Putusan yang dikeluarkan atas dasar suatu perjanjian yang

sudah dibatalkan/kadaluwarsa;

c) Putusan dikeluarkan oleh arbitrer yang tidak berwenang

untuk memutus, atau putusan yang tidak dihadiri oleh

anggota arbitrer yang lain;

d) Putusanya ultra petita/ ultra petitum partium;

e) Apabila diktum dan putusan saling bertentangan satu sama

lain;

f) Majelis arbitrer atau arbitrer lalai dalam memutus sehingga

putusan yang dikeluarkan tidak memenuhi apa yang

dipermasalahkan. Hal ini diadopsi pula oleh UU Arbitrase

dan APS perihal koreksi atas putusan arbitrase dalam pasal

58;

g) Majelis arbitrase atau arbitrer telah melanggar ketentuan

hukum beracara yang mana atas pelanggaran tersebut

diancam dengan pembatalan suatu putusan. Termasuk dalam

hal ini pengaturan hukum acara yang telah disepakati oleh

para pihak;

h) Putusan yang diambil atas surat-surat palsu;

i) Apabila setelah putusan dikeluarkan, ditemukan surat-surat

yang sifatnya menetukan, dan selama ini disembunyikan

oleh salah satu pihak selama proses pemeriksaan;

j) Apabila putusan yang diajtuhkan, didasari oleh iktikad tidak

baik, dan baru diketahui setelah putusan diajtuhkan.

17Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya

...,h.261-263.

Page 78: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

67

Syarat atas pengajuan yang diatur dalam Rv. Tersebut

apabila dibandingkan dengan ketentuan yang diatur dalam

UU arbitrase memang lebih kompleks, namun beberapa

ketentuan di atas juga terdapat dalam ketentuan yang ada

pada UU Arbitrase dan APS, walau bukan dituangkan

sebagai salah satu alasan untuk mengajukan pembatalan

putusan arbitrase, melainkan untuk mengajukan permohonan

koreksi kepada arbitrer atau majelis arbitrase untuk

melakukan koreksi atas putusan yang dikeluarkan.

2) Pembatalan Putusan Arbitrase pada UU Arbitrase dan APS

Dalam Undang-Undang ini, juga mengatur perihal

upaya hukum yang dapat dilaksanakan atas putusan

Arbitrase yang sudah dikeluarkan. Bentuk upaya hukum

tersebut ialah pengajuan pembatalan putusan arbitrase ke

pengadilan. Alasan yang diatur dalam Undang-Undang ini

juga lebih sempit dibandingkan dengan pengaturan yang ada

di Rv. Pengaturan tersebut menurut Munir Fuady juga

bersifat limitatif,18 sesuai dengan ketentuan pasal 70

tersebut. Yang mana cukup hanya dengan salah satu alasan

saja, maka permohonan pembatalan atas putusan arbitrase

tersebut dapat diajukan ke pengadilan. Alasan tersebut ialah:

a) Surat atau dokumen yang diajukan pada saat

pemeriksaan dalam proses arbitrase dinyatakan palsu

atau diakui bahwa barang tersebut palsu, setelah putusan

dikeluarkan;

b) Ditemukanya novum, atau alat bukti baru yang sifatnya

menentukan yang sebelumnya disembunyikan oleh salah

satu pihak;

18Munir Fuady, Arbitrase Nasional (alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis) (Bandung:

Citra Aditya Bakti, 2000),h.112.

Page 79: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

68

c) Putusan arbitrase yang diambil dari hasil tipu muslihat

yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan

sengketa.

Perlu kita pahami, bahwa upaya hukum dalam bentuk

pembatalan berbeda dengan upaya hukum seperti banding

atau kasasi, sebab pembatalan atas putusan arbitrase ialah

upaya hukum luar biasa. Oleh sebab itu, pengajuan atas

permohonanya pun memerlukan alasan yang sangat spesifik.

hal ini merupakan implikasi dari sifat putusan arbitrase yang

final dan mengikat, sehingga tanpa alasan yang kuat, tidak

mungkin permohonan atas pembatalan putusan arbitrase

dapat dipenuhi.19

Namun, Yang menjadi permasalahanya ialah terkait

dengan penerpaan hukumnya yang masih belum konsisten

yang dilakukan oleh pengadilan negeri maupun Mahkamah

Agung. Sering kali pembatalan putusan arbitrase tersebut

dilakukan diluar ketentuan pasal 70 UU Arbitrase dan APS

tersebut, hal ini menurut Erman Rajagukguk disebabkan oleh

kata “dapat” yang digunakan sebagai alasan bahwa para

pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan

putusan arbitrase hanya sebatas ketida hal tersebut, sebab

kata “dapat” sendiri mengandung makna tidak wajib.20

Dalam hal ini peneliti berpendapat bahwa, seharusnya terkait

dengan alasan tersebut tetap harus memiliki batasan, sebab

kembali pada pendapat pertama, bahwa upaya pembatalan

putusan arbitrase merupakan upaya hukum luar biasa,

sehingga tetap diperlukan pembatasan atas pengajuanya agar

tidak mencoreng sifat putusan arbitrase yang final dan

19 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ...,

h.264-267. 20Erman Rajagukguk, Arbitrase & Kepastian Hukum, diakses pada tanggal 22 Juli 2018

dari http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-hukum-1429235310/1

Page 80: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

69

mengikat. Lalu apabila kita berkaca pada kaidah hukum

internasional yaitu pada Convention on the Settlement of

Investment Disputes Beetwen State and National of other

Statse (ICSID) atau yang biasa dikenal dengan istilah

Washington Convention, juga menerapkan pembatasan atas

diajukanya suatu pembatalan putusan arbitrasenya pada 5

alasan yaitu pada pasal 52 ayat (1) yaitu:

a) That the Tribunal bas not properly constituted;

b) That the Tribunal has manifestly exceeded Ita Power;

c) That Three bas corruption on the part of the ember of the

tribunal;

d) That has been a serious departure from a fundamental

rute of prosedur;

e) Tahta the award has failed do State the reasons on which

It is based.

Walau atas ketentuan tersebut lebih luas dibandingkan dengan yang

ada pada pasal 70 UU Arbitrase dan APS di Indonesia, namun tetap saja

terdapat batasan yang jelas terkait dengan alasan diajukannya suatu

permohonan pembatalan putusan arbitrase, sehingga tidak menciderai

ketentuan atas sifat dari putusan arbitrase yang bersifat final dan

mengikat.

2. Analisis Alasan Pengajuan Pembatalan Putusan Arbitrase BPSK

Setelah peneliti jauh mengkaji perihal konsep yang terkandung

dalam perlindungan konsumen dan juga dari sudut pandang hukum

arbitrase, telah tergambar bahwa pada dasarnya terdapat konsep yang

berbeda perihal fenomena hukum yang terjadi dalam mekanisme

pembatalan putusan Arbitrase di BPSK yang kewenangannya

bersumber pada UUPK, dengan ketentuan perihal pembatalan putusan

arbitrase yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS yang berlaku di

indonesia.

Page 81: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

70

Apabila kita kaji secara kelembagaan dalam bidang arbitrase, kita

mengenal ada dua jenis arbitrase yaitu :21

a. Arbitrase Ad Hoc

Sebelumnya kita telah membahas terkait dengan klausul

arbitrase, bahwa dalam penulisan klausul harus jelas terkait dengan

jenis penyelesaian sengketa yang dituju, begitupula ketika memilih

arbitrase sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketanya.

Apabila yang dipilih ialah arbitrase yang berjenis arbitrase ad hoc

maka wajib mencantumkanya dalam perjanjian tersebut. Sebab

terdapat perbedaan prosedural pada setiap pelaksanaanya.

Arbitrase ad hoc pada prinsipnya tidak terikat pada salah satu

lembaga arbitrase, lalu arbitrase ad hoc juga hanya bersifat volunter

atau sementara. Dalam artisan bahwa keberadaan atau eksistensinya

sangat bergantung pada kebutuhan para pihak yang bersengketa

guna menyelesaikan permasalahan yang diahadapi. Maksud dari

eksistensi disini ialah keberadaan arbitrase ad hoc ini hanya bersifat

insidental, yaitu ada hanya ketika terjadi sengketa, namun ketika

sengketa telah berakhir, maka keberadaan arbitrase ad hoc inipun

juga ikut berakhir. Oleh karena itu, ketika memilih jenis ini, para

pihak diwajibkan untuk memasukan ketentuan aturan atau

prosedural yang ingin digunakan dalam suatu perjanjian tersebut.

b. Arbitrase Institusional

Ialah lembaga arbitrase yang sifat kelembagaanya permanen.

Maksudnya ialah proses arbitrase tersebut dikelola oleh suatu

lembaga atau organisasi secara tetap, dalam artian eksistensi atau

keberadaanya juga terus-menerus atau berkelanjutan dan tidak

terbatas oleh waktu. Agar perbedaan tersebut lebih mudah dipahami,

peneliti akan merincikan perbedaan kedua lembaga tersebut sebagai

berikut:

21 Susanti Adi Nugroho, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya ...,,

h.119-130.

Page 82: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

71

1) Arbitrase ad hoc dibentuk secara insidental, sedangkan arbitrase

institusional ialah arbitrase yang melembaga maksudnya

didirikan atau melekat pada suatu badan atau lembaga tertentu;

2) Arbitrase ad hoc tidak terikat dengan salah satu badan arbitrase

sehingga tidak memiliki aturan atau cara tersendiri dalam

penangananya, sedangkan arbitrase institusional memiliki

prosedural dan tata cara pemeriksaan sengketa sendiri;

3) Pembentukan arbitrase ad hoc dilakukan setelah terjadinya

sengketa, sedangkan arbitrase institusional pada umumnya

dialkukan sebelum sengketa terjadi, namun tidak menutup

kemungkinan bahwa bisa saja arbitrase secara institusional

dipilih sebelum terjadinya sengketa.

Apabila dilihat dari pengertianya, peneliti dalam hal ini

menyimpulkan bahwa BPSK sendiri disini termasuk sebagai lembaga

arbitrase institusional. Sebab wewenang arbitrase tersebut masuk dan

terikat dalam suatu lembaga dan memiliki ketentuan atau prosedur

tersendiri yang diatur dengan Undang-Undang.

Terlepas dari semua hal tersebut, yang perlu kita pahami ialah bahwa

sifat dasar dari putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat. Sifat

ini berlaku terhadap setiap putusan arbitrase yang dikeluarkan oleh

lembaga arbitrase maupun ad hoc.22 Hal ini berdasarkan pada penjelasan

dalam pasal 70 UU Arbitrase dan APS.

Namun, permasalahanya ialah terdapat ketentuan yang berbeda

antara ketentuan arbitrase dalam perlindungan konsumen dengan hukum

arbitrase yang berlaku di Indonesia. Seharusnya ketika terdapat

nomenklatur arbitrase pada UUPK, maka ketentuanya secara mutatis

mutandis merujuk pada UU Arbitrase dan APS. Sebab pada dasarnya

pengaturan terkait dengan arbitrase pada UU Arbitrase dan APS

22Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.319.

Page 83: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

72

merupakan lex spesialis dari ketentuan arbitrase yang ada pada UUPK,

karena substansi yang ada dalam UUPK tersebut bukan secara khusus

mengatur tentang arbitrase.Tapi pada faktanya UUPK memberikan

konsep arbitrase yang berbeda dengan UU Arbitrase dan APS tersebut.

Contohnya seperti dalam pemberian kewenangan memeriksa dan

memutuskan yang berbeda dengan wewenang lembaga arbitrase yang

diatur pada UU Arbitrase dan APS. Dalam UUPK tepatnya pada pasal 52

huruf k, kewenangan arbitrase BPSK hanya sebatas menetapkan ada atau

tidaknya suatu kerugian di pihak konsumen.

Terlebih lagi dalam konsep upaya hukum yang dapat ditempuh atas

suatu putusan arbitrase BPSK. Dalam upaya hukum arbitrase dalam UU

Arbitrase dan APS tidak mengenal istilah pengajuan keberatan. Istilah ini

dipakai sebagai bentuk upaya hukum atas putusan BPSK tersebut.

Sebelum dibentuknya Perma No. 1 Tahun 2006 ini, tidak terdapat

kejelasan apa dan bagaimana prosedur pengajuan tersebut dilakukan.

Apakah berlaku bagi semua bentuk putusan BPSK yang dalam hal ini

terdiri dari hasil penetapan atas hasil mediasi, konsiliasi dan putusan

arbitrase? Dan bagaimana pelaksanaanya. Akhirnya dalam Perma ini

dijelaskan bahwa keberatan tersebut hanya dapat diajukan atas putusan

arbitrase BPSK.

Dalam ketentuanya, alasan yang dapat dipakai untuk mengajukan

pembatalan atas putusan BPSK diatur dalam pasal 6 Perma tersebut, pada

ayat (3) dijelaskan bahwa alasan atas pengajuan pembatalan putusanya

juga mengacu pada ketentuan pasal 70 UU Arbitrase dan APS, namun

terdapat pengaturan yang berbeda, yaitu perluasan alasan atas pengajuan

pembatalan tersebut yang dituangakan dalam pasal yang sama pada ayat

(5) dan (6) yang memberikan peluang bagi para pihak untuk dapat

mengajukan keberatan diluar ketentuan pada ayat (3) Perma tersebut.

Seperti pembahasan sebelumnya bahwa, ketentuan ini dianggap sebagai

salah satu bentuk trobosan hukum oleh tim pembentuk Perma tersebut.

Adanya perluasan alasan ini disandarkan pada pengertian keberatan yang

Page 84: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

73

ditafsirkan sebagai keberatan atas penerapan hukum secara luas,

sehingga dalam hal ini Prof. Susanti Adi Nugroho berpendapat bahwa

adanya penafsiran atas makna keberatan dengan mengacu pada

penerapan hukum secara luas, menyebabkan proses pengajuan keberatan

atas putusan BPSK ini dianggap sebagai suatu upaya hukum banding.

Sebab adanya pemeriksaan atas penerapan hukum secara luas dari

putusan arbitrase BPSK, menggambarkan bahwa pengajuan keberatan ini

seolah-olah merupakan pemeriksaan ulang terhadap suatu perkara yang

telah diadili oleh BPSK, yang mana konsep tersebut sama seperti proses

upaya hukum banding yang kembali memeriksa putusan yang

dikeluarkan oleh pengadilan tingkat pertama.23

Terkait dengan dampak atas pembatalan suatu putusan arbitrase

BPSK yang sempat dibahas sebelumnya. Perlu dipahami bahwa dalam

konsep hukum acara dalam perlindungan konsumen memiliki perbedaan

dengan hukum acara biasa, yaitu beban pembuktian yang dibebankan

kepada tergugat yang dalam hal ini ialah pelaku usaha. Dalam

penyelesian melalui mediasi dan juga konsiliasi, ketika tidak berhasil

maka para pihak disini dapat mengajukan gugatan keke pengadilan

sesuai dengan ketentuan pasal 45 ayat (4) UUPK. Namun yang menjadi

permasalahan ialah perihal pengajuan gugatan tersebut sifatnya sama

dengan gugatan perdata biasa, sehingga beban pembuktian tetap berada

pada penggugat. Terlebih atas setiap sengketa pembatalan putusan

arbitrase BPSK yang dikabulkan dan dianggap bukan merupakan

kewenangan BPSK, dikarenakan sengketa tersebut bukanlah merupakan

sengketa konsumen. Maka disini jelas bahwa kesempatan konsumen

dalam mendapatkan keseimbangan posisi dengan pelaku usaha ketika

beracara dipengadilan telah terdegradasi atas adanya ketentuan Perma

tersebut.

23 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum

Acara serta Kendala Implementasinya ..., h.268-269.

Page 85: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

74

Tentu, dengan adanya pengaturan tersebut, berdampak pada tidak

tercerminkanya konsep perlindungan konsumen yang semula ingin

memberikan kemudahan dan peningkatan kesadaran untuk

memperjuangkan hak-hak konsumen itu sendiri, menjadi tidak

terimplementasikan dengan baik, padahal hal tersebut sebelumnya

tergambar pada bagian pendahuluan dalam lampiran UUPK. Terlebih

lagi konsepsi yang diterapkan oleh Perma ini juga berdampak pada

semakin jauhnya praktik perlindungan konsumen di Indonesia, dengan

tujuan yang sebelumnya telah dideklerasikan dalam UUPK tepatnya pada

pasal 3 huruf a yaitu meningkatkan kesadaran, kemampuan dan

kemandirian konsumen untuk melindungi diri sendiri, dan juga pada

huruf c terkait dengan meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam

memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,

bagaimana hal tersebut dapat tercapai ketika konsumen lebih memilih

penyelesian melalui BPSK dengan harapan agar sengketa yang

dialaminya dapat diatasi dengan mudah, murah dan praktis namun

nyatanya masih harus diahadapkan pada pengadilan atas pengaturan

upaya pengajuan keberatan yang tidak dibatasi pengajuanya, ketentuan

ini sebenarnya dianggap keliru oleh salah satu guru besar Fakultas

Hukum Unpar Yohanes Gunawan yang juga merupakan salah satu tim

penyusun naskah akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang baru. Ia menganggap bahwa adanya pengajuan

keberatan atas putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat

merupakan alur penyelesaian yang keliru.24 Lalu juga terkait dengan

tujuan yang ada pada huruf d yaitu menciptakan sistem perlindungan

konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum, sebelumya peneliti

telah menggambarkan bagaimana pengaruh Perma ini pada kewenangan

BPSK dalam hal penyelesaian sengketa melalui arbitrase, yang

24Fitri N. Heriani, “Inilah Poin-Poin Perubahan UU Perlindungan Konsumen, diakses pada

tanggal 25 Juli 2018 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt56542070106f4/inilah-poin-

poin-perubahan-uu-perlindungan-konsumen.

Page 86: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

75

dihadapkan pada dilema penyelesaian sengketa konsumen seperti apa

yang merupakan kewenangan BPSK. Dengan demikian tergambar bahwa

kelemahan atas pelaksanaan tersebut bermula dari ketidakjealsan

ketentuan dalam UUPK yang menyebabkan dikeluarkanya Perma

tersebut. Sebab pada dasarnya Perma merupakan perautran perundang-

undangan yang berada dibawah undang-undang, sehingga terkait dengan

substansinya tentu bersumber dan berdasar pada peraturan diatasnya,

berdasarkan teori stufenbau des recht dari Hans kelsen,25 sehingga bisa

saja kekeliruan yang ada pada peraturan dibawahnya disebabkan oleh

peraturan perundang-undangan diatasnya. Oleh karena itu peneliti

berharap bahwa RUU tersebut dapat lebih cepat disahkan menjadi

Undang-Undang, sebab Pada saat ini Rancangan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen telah masuk dalam Prolegnas 2015-2019. Dan

terkait dengan substansinya dapat lebih baik dibandingkan peraturan

perundang-undangan sebelumnya.

25Hans Kelsen, Pure of Theory Law, alih bahasa : Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni:

Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), h.113.

Page 87: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

76

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian dan pembahasan yang telah peneliti

kaji pada setiap sup bab pembahasan, maka dalam hal ini peneliti

memberikan kesimpulan sebagai berikut :

1. BPSK pada dasarnnya memiliki kedudukan hukum untuk

menyelesaikan sengketa konsumen yang dijelaskan pada pasal 1 angka

11 dan diatur dalam pasal 52 UUPK. Dan juga dalam Kepmenperindag

No, 350/MPP/Kep/12/2001 dan juga sekarang dalam bentuk struktural

Juga sudah dirincikan dalam Permendag No. 06/M-DAG/PER/2/2017.

BPSK dalam hal ini berwenang untuk menyelesaikan sengketa

konsumen melalui 3 cara, yaitu mediasi, arbitrase dan konsiliasi. Dan

terhadap tiga cara tersebut tidak dilakukan secara berjenjang. Dalam

artisan bahwa ketika salah satu cara gagal, maka para pihak harus

melanjutkanya ke pengadilan dan tidak bisa memilih BPSK kembali.

Dalam kedudukanya untuk menyelesaikan sengketa secara arbitrase,

BPSK memiliki kewenangan yang terbatas. Seperti dalam penjelasan

pasal 52 UUPK yang memberikan batasan kepada BPSK dalam

penyelesaian arbitrase hanya sebatas menetapkan bahwa telah terjadi

suatu kerugian yang dialami oleh konsumen. Lalu kerugian tersebut

harus didasarkan pada pemakain barang/atau jasa yang dibeli oleh

konsumen yang ditentukan dalam Kepmenperindag No.

350/MPP/Kep/12/2001 pasal 1 angka 8. Lalu terkait dengan kepastian

hukum atas kewenangan penyelesain sengketa konsumen di BPSK

masih menjadi problematika, jenis sengketa konsumen seperti apa yang

menjadi kewenangan BPSK, hal ini seharusnya lebih dipertegas kembali

dalam peraturan perundang-undangan.

2. Secara normatif, sebelumnya putusan BPSK termasuk dalam hal ini

putusan arbitrasenya bersifat final dan mengikat, seperti dalam pasal 54

75

76

Page 88: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

77

ayat (3), namun dalam perkembanganya, terlebih setelah dikeluarkanya

Perma No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan atas

Putusan BPSK, Hanya putusan penetapan atas hasil mediasi dan

konsiliasilah yang bersifat final dan mengikat, sebab atas putusan

tersebut tidak dapat dialkukan upaya hukum apapun. Sedangkan untuk

putusan arbitrase nya tidak bersifat final, sebab masih bisa dilakukan

upaya hukum pengajuan keberatan yang prosesnya sama dengan upaya

banding. Hal ini dianggap keliru oleh salah satu guru besar Fakultas

Hukum Unpar sekaligus tim perancang naskah akademik RUUPK pada

saat ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuatan hukum atas putusan

BPSK yang dikatakan sebagai final dan mengikat dalam UUPK

belumlah efektif.

3. Hal-hal yang dapat dijadikan dasar alasan atas diajukanya pembatalan

putusan arbitrase tetap mengacu pada ketentuan pasal 6 Perma No. 1

Tahun 2006 tepatnya pada pasal 3 yang menegaskan bahwa alasan atas

pembatalannya masih mengacu pada pasal 70 UU Arbitrase dan APS,

namun sayangnya masih terdapat perluasan makna dalam pasal 6 ayat

(5) untuk dapat dijadikan alasan pembatalan putusan arbitrase BPSK,

yaitu terkait dengan penerapan hukumnya secara luas, meliputi:

a. Adanya kesalahan penerapan hukum

b. Adanya kesalahan dam menilai alat bukti

c. Adanya kekurang cermatan dalam menggali fakta-fakta yuridis

yang sesungguhnya dapat ditemukan dari alat-alat bukti

d. Adanya ultra petita

e. Adanya kekhilafan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan

perundang-undangan.

Ketentuan tersebut tentunya masih sangatlah luas sehingga sangat

bertolak belakang dengan konsep yang ada pada UU Arbitrase yang

alasanya dibentuk dengan konkret disebabkan anggapan bahwa upaya

hukum atas putusan arbitrase tersebut merupakan upaya hukum luar

biasa.

Page 89: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

78

B. Rekomendasi

Berdasarkan pada permasalahan dalam bahasan pada penelitian ini, maka

peneliti mencoba untuk memberikan rekomendasi agar nantinya

penyelenggaraan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK dapat

berjalan dengan baik, adapan rekomendasi tersebut ialah :

1. Terdapatnya ketidakpastian hukum atas kewenangan BPSK sebenarnya

disebabkan oleh perluasan alasan pengajuan pembatalan yang diatur

oleh PERMA ini. Peneliti menilai bahwa seharusnya mekanisme

penilaian terhadap suatu perkara apakah merupakan sengketa konsumen

atau bukan, cukup berada pada BPSK. Hal ini dikarenakan

pemeriksaanya ditentukan pada saat awal pengajuan perkara, sehingga

konsumen lebih mendapatkan kepastian atas sengketa yang dialaminya.

Dengan demikian konsumen akan lebih cepat memutuskan langkah apa

yang seharusnya dapat diambil selanjutnya.

2. Agar dapat berjalan dengan efektif, seharusnya putusan BPSK

khususnya untuk putusan arbitrasenya tetap berkekuatan hukum final

dan mengikat, dan juga penegasan atas kewenangan BPSK dalam

menyelesaikan sengketa konsumen, sehingga tidak serta merta ketika

diajukan pembatalan atas putusan arbitrase BPSK dapat diabatalkan

dengan alasan hal tersebut bukanlah kewenangan BSPK.

3. Perihal upaya hukumnya, peneliti lebih sependapat untuk mengikuti

mekanisme yang ada pada UU Arbitrase dan APS, yaitu terkait dengan

alasan pembatalanya yang bersifat limitatif, sehingga upaya hukum

yang dilalukan dapat dianggap sebagai upaya hukum luar biasa, sebab

hal tersebut merupakan konsekuensi atas putsaun yang bersifat final dan

mengikat. Dengan adanya pembatasan tersebut, maka atas langkah

hukum yang ditempuhpun akan lebih terarah.

Page 90: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

79

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdurrasyid, Priyatna Suatu Pengantar Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa. Jakarta: Fikahati Aneska. 2002

Adi Nugroho, Susanti. Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau

dari Hukum Acara serta Kendala Implementasinya. Jakarta:

Kencana. 2011

______________, Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan

Hukumnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2015.

Adolf, Huala. Arbitrase Komersial Internasional. Jakarta: CV. Rajawali.

1991.

Ali, Achmad, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan

(Jurisprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence) Jakarta: Kencana Prenada Media Grup. 2010

Amriani, Nurnaningsih. Mediasi: Alternatif Penyelesaian Sengketa

Perdata di Pengadilan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.

Assiddiqie, Jimly. Perihal Undang-Undang di Indonesia. Jakarta:

Sekretariat Jendral dan Kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI.

2006.

Fauzan. Peranan PERMA dan SEMA sebagai Pengisi Kekosongan

Hukum Indonesia Menuju Terwujudnya Peradilan yang Agung.

Jakarta: Kencana Prenada Media Group. 2013.

Fuady, Munir. Arbitrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa

Bisnis. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2000.

Harahap, Yahya. Beberapa Tinjauan Mengenai Sistem Peradilan dan

Penyelesaian Sengketa. Bandung: Citra Aditya Bakti. 1997.

Page 91: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

80

______________. Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi

dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata. Jakarta: Sinar

Grafika. 2008.

Kelsen, Hans. Pure of Theory Law, alih bahasa : Raisul Muttaqien, Teori

Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif. Bandung:

Nusamedia & Nuansa. 2006.

Kurniawan. Hukum Perlindungan Konsumen: Problematika Kedudukan

dan Kekuatan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK). Malang: Universitas Brawijaya Press.2011.

Lumbun, Ronald. PERMA RI Wujud Kerancuan antara Praktik

Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan. Jakarta: Raja Grafindo

Persada. 2011.

Margono, Suyud. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek

Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. 2004.

Miru, Ahmad. Prinsip-Prinsip Perlindungan Konsumen di Indonesia.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2011.

Muhammad,Abdulkadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Citra

Aditya Bakti. 2004.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, cet-IV.

2010.

Nasution, AZ. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. dalam Jurnal

Teropong. Edisi Mei Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan

Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.2003.

Rahmadi, Takdir. Mediasi ( penyelesaian Sengketa melalui Pendekatan

Mufakat. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2011.

Sarwono, Hukum Acara Perdata: Teori dan Praktik. Jakarta: Sinar

Grafika. 2011.

Page 92: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

81

Shofie ,Yusuf dan Somi Awan. Sosol Peradilan Konsumen Mengungkap

Berbagai Persoalan Mendasar Badan Penyelsaian Sengketa

Konsumen (BPSK). Jakarta: Piramedia. 2004.

Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo.

2000.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII-Press.

2008.

, Pengantar Penelitian Hukum Jakarta: Universitas

Indonesia Press, cet-III. 1986.

Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. 2006.

Usman, Rachmadi. Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.

Bandung:PT Citra Aditya Bakti. 2003.

Umam, Khotibul. Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan.

Yogyakarta: Pustaka Yustisia. 2010.

Winarta, Frans Hendra. Hukum Penyelesaian Sengketa Arbitrase

Nasional dan Internasional. Jakarta: Sinar Grafika. 2013.

Zulham. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Kencana Prenada

Group. 2013.

JURNAL

Abdullah,Abdul Gani. Pandangan yuridis Concflict of las dan Choice of

Law dalam Kontrak Bisnis Internasional. Buletin Hukum

Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, No 3. November

2005.

Ismail, Tjip. Putusan Akhir dan Mengikat: Perbandingan Putusan

Arbitrase dan Pengadilan Pajak. Indonesia Arbitration Quarterly

Newsletter. Volume. 6 No. 3. September 2014.

Page 93: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

82

Muryati, Dewi Tuti. Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa

Nonlitigasi di Bidang Perdagangan. Jurnal Dinamika Sosial

Budaya. Volume 13. No.1 Juni 2011.

Nasution, AZ. Aspek Hukum Perlindungan Konsumen. dalam Jurnal

Teropong. Edisi Mei Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan

Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia.2003.

Perbianti, Winda. Penerapan Lembaga Pilihan Hukum terhadap Sengketa

Hukum Pelaksanaan Kontrak Bisnis Internasional. ADIL: Jurnal

Hukum. Volume. 3 No. 2. Desember 2012.

Rajagukuk, Erman. “Budaya Hukum dan Penyelesaian Sengketa Perdata

di Luar Pengadilan”. Jurnal Magister Hukum. PPs-UII,

Yogyakarta. Volume 2 No. 4. Oktober 2000.

Soemartono,Gatot. Persoalan Pilihan-Pilihan Pengadilan, Hukum, dan

Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional.

Jakarta: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum “Era Hukum”. Tahun

IX/Nomor 2. 2002.

Sugianto, Bambang & Ahmad Husni. Supermasi Hukum dan Demokrasi.

Jurnal Hukum, Volume 13 No. 14. Agustus 2000.

Sukardi & Prajwalita Widiati. Pendelegasian Pengaturan oleh Undang-

Undang kepada Peraturan yang Lebih Rendah dan Akibat

Hukumnya. Jurnal Yuridika, Volume 25 No.2. Mei-Agustus 2010.

Sutiyoso, Bambang. Akibat Pemilihan Forum dalam Kontrak yang

Memuat Klausula Arbitrase, MIMBAR HUKUM, Volume 24,

No. 1, Februari, 2012

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Page 94: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

83

Undang-Undang Nomer 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa.

Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

Peraturan Mahkamah Agung Nomer 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara

Pengajuan Keberatan atas Putusab Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomer

350/MPP/KEP/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang

Badan penyelesaian sengketa Konsumen.

Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomer 06/M-

DAG/PER/2/2017.

INTERNET

DPR RI. diakses pada 13 Juli 2018 dari http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-

long-list.

KBBI, diakses pada 05 Juni 2018 dari http://kbbi.co.id/arti-kata/sengketa.

Kepanitraan Mahkamah Agung RI, diakses pada 16 Juli 2018 dari

https://kepaniteraan.mahkamahagung.go.id/index.php/kegiatan/140

8-sepanjang-tahun-2016-ma-terbitkan-14-perma-dan-4-sema#.

Rajagukguk, Erman. Arbitrase & Kepastian Hukum, diakses pada tanggal

22 Juli 2018 dari

http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-

hukum-1429235310/1

Semedi, Bambang “ Penegakan Hukum yang Menjamin Kepastian

Hukum” diakses pada tanggal 08 Agustus 2018 dari

http://www.bppk.kemenkeu.go.id/images/file/pusbc/dmdokumen/P

Page 95: ALASAN PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE BADAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44071/1/MAR...alasan pembatalan putusan arbitrase badan penyelesaian sengketa konsumen

84

ENEGAKAN_HUKUM_MENJAMIN_KEPASTIAN_HUKUM_-

_Semedi.pdf.

Wisnubroto, “Alternatif Penyelesaian Sengketa Konsumen Butuh

Progetifitas, Artikel diakses pada 5 April 2018 dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol20267/alternatif-

penyelesaian-sengketa-konsumen-butuh-progresivitas.