Upload
jiwo-saciladh
View
49
Download
0
Embed Size (px)
Aktivitas Sistem Saraf Otonom pada Pasien Irritable Bowel
Syndrome dengan Predominan-Konstipasi
Oleh:
Annisa Rizkia Fitri G99131018
Ardiningsih G99131002
Krismawarni Gultom
G99131047 Raffika
Iezza R. G99131067Namira
Octaviyati G99131056
Rizka Fajri A G99131071
Nur Jiwo W. G99131059
Muhammad Aji I. G99131054
Reyhan Pradnya P
G99131068Pritania P Putri
G99131065
Pembimbing:
Dr. Risono, Sp.S
KEPANTERAAN KLINIK SMF SARAF RS DR
MOEWARDI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS
MARET
SURAKARTA
2014
Ringkasan
Latar Belakang
Mekanisme utama irritable bowel syndrome sebelumnya telah dipercayai menjadi
disfungsi dari poros otak dan usus. Disfungsi system saraf otonom dapat memperbsar
perkembangan dari gejala irritable bowel syndrome dengan mengganggu sensasi
visceral.
Material/metode
13 pasien yang didiagnosis predominan konstipasi pada irritable bowel syndrome dan
30 sukarelawan yang sehat telah dimasukkan ke dalam penelitian. Istirahat dan tes
fungsi system saraf autonomy dan elektrogastrography perkutan telah di lakukan.
Plasma adrenalin, noradrenalin, insulin, ghrelin, aktivitas cholesistokinin telah di
analisa.
Hasil
Peningkatan aktifitas simpatis dengan fungsi parasimpatis yang terganggu
dipertunjukan. Pasien yang secara substansial mempunyai konsentrasi plasma
katekolamin plasma yang tinggi, yang ,menunjukan keseimbangan simpatis yang
berlebihan. Hiperinsulinemia mungkin bisa menjelaskan simpatis yang utama yang
diikuti dengan penurunan motilitas gastrointestinal. Secara abnormal pengurangan
dari titer Grelin dan kolesistokinin dapat mengganggu fungsi dari sumbu otak dan
usus yang mungkin bertanggungjawab atas penurunan motilitas lambung. Pada
elektrogastrografi, secara nyata persentase dari nilai yang lebih rendah lambung
normal yang dipuasakan dan kekuatan utama telah diobservasi. Pasien yang secara
substansial memiliki persentase yang lebih rendah pada gelombang lambat yang
berpasangan pada kedua periode puasa dan post prandial,yang secara negative
berhubungan dengan tingkat plasma katekolamin. Gangguan aktivitas kelistrikan
pada otot lambung mungkin dihasilkan dari kurangnya keseimbangan antara simpatis-
parasimpatis.
Kesimpulan
Pusat simpatis berpengaruh pada sumbu dari otak dan usus yang paling banyak
bertanggungjawab pada gangguan aktivitas kelistrikan otot pada pasien dengan
irritable bowel syndrome.
Kata kunci
Irritable bowel syndrome, aktivitas system saraf otonom, variabilitas denyut jantung,
aktivitas kelistrikan otot lambung, elektrogastrografi
Latar Belakang
Irritable bowel syndrome adalah kelainan gastrointestinal yang paling umum
dimana fungsi dari usus besar berubah pada hubungan dengan nyeri perut dan
perasaan tidak nyaman pada perut. Prevalensi di seluruh dunia di antara dewasa
melampaui 10%.1 Gejala yang dialami mencapai 50% dari pasien yang dirujuk ke
klinik gastroenterology.2,3 Usia dari onsetnya bervariasi dengan puncaknya pada
dekade ketiga dan keempat kehidupan. Kelainan banyak terjadi pada perempuan
dengan rasio 2:1. Menurut definisi umum yang telah diterima, tanpa mekanis,
biokimia, atau kondisi peradangan yang jelas, menjelaskan adanya gejala irritable
bowel syndrome. Oleh karena itu, irritable bowel syndrome semata-mata berdasar
pada keluhan individu atau pasien karena ketiadaan peringatan gejala (nyeri atau
diare yang dapat membuat terbangun, darah yang terlihat maupun tidak, penurunan
berat badan, demam, dan pemeriksaan fisik yang abnormal).
Patogenesis dari irritable bowel syndrome masih belum terpecahkan sejak
adanya perubahan mekanisme dari fungsi usus yang berhubungan pada beberapa
gejala. Disfungsi utama dari sensoris motoris gastrointestinal pada irritable bowel
syndrome sesuai dengan peningkatan regulasi pada proses neural antara usus dan otak
dan menunjukkan hasil berupa perubahan motilitas usus, sekresi, dan sensasi visceral.
Terdapat juga peningkatan pada system penerimaan impuls, yang merupakan
komponen penting dari sumbu otak dan usus yang mempunyai peran penting juga
dalam perkembangan dari gejala pada respon stress sebagai efek dari kelainan afektif.
System saraf otonom yang menengahi interaksi antara otak dan usus. Serotonin, kunci
mediator dari motilitas usus, sekresi, dan sensasi telah ditemukan untuk menengahi
komunikasi dua arah dari otak dan usus, tapi penelitian telah menunjukkan bahwa
kolesistokinin dan Grelin juga terbawa pada pemberian sinyal usus dan otak. Sejak
1928 ketika Bockus menyarankan bahwa ketidakseimbangan dari system saraf
otonom bertanggungjawab pada irritable bowel syndrome, perhatian telah difokuskan
pada disfungsi dari system saraf otonom. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
meningkatkan perubahan pada system saraf otonom dan berkorelasi dengan aktivitas
kelistrikan otot lambung pada konstipasi predominan pasien irritable bowel
syndrome.
Metode dan Bahan Penelitian
Tiga puluh pasien (18 wanita, 12 pria : 42,2±14 tahun) dengan konstipasi
predominan irritable bowel syndrome dan tiga puluh sukarelawan yang sehat (19
wanita, 11 pria : 38,9±11,6 tahun) telah dimasukkan ke dalam penelitian (tabel 1).
Untuk mendiagnosis pasien dengan konstipasi predominan pada irritable bowel
syndrome menggunakan kriteria Roma III. Kami menyisihkan pasien dengan diabetes
mellitus, obesitas, alkoholisme, kelainan kardiovaskuler, dan kelainan neurologi,
pengobatan mungkin bertentangan dengan pengukuran variable denyut jantung,
patologi gastrointestinal atau tindakan pembedahan, ginjal, patologi ginekologi yang
mungkin timbul pada gejala irritable bowel syndrome. Kami juga menyisihkan pasien
yang mendapatkan pengobatan spesifik untuk irritable bowel syndrome (sebagai
contoh anti diare, pencahar, anti spasmodic, trisiklik, antagonis reseptor serotonin,
selama 3x atau lebih dalam seminggu).
Semua partisipan yang ikut dalam penelitian telah diberitahu tentang
pemeriksaan yang akan dilakukan dan mereka semua mengisi persetujuan untuk
dilakukan semua pemeriksaan.
Seluruh penelitian telah dilakukan di Departemen Patofisiologi Universitas
Kedokteran Jagellonian. Setelah puasa selama satu malam, aktivitas otonom telah
diperkirakan oleh HRV dengan monitor task force 3041 dan aktivitas kelistrikan otot
lambung telah direkam dengan 4 channel elektrogastrografi pada kondisi dasar dan
setelah pemberian makanan setiap 30 menit telah diukur secara sekaligus pada kedua
kelompok. Dalam rekaman HRV, parameter analisis frekuensi utama: LF - kekuatan
spektrum frekuensi rendah 0.04 - 0.15Hz; HF - kekuatan spektrum frekuensi tinggi
0,15 - 0.4Hz ; dihitung berdasarkan Fast FourierTransformation (FFT). Dalam
analisis elektrogastrografi parameter yang dievaluasi adalah sebagai berikut :
frekuensi dominan ( DF ) ; kekuatan frekuensi dominan ( DP ) ; persentase normo - ,
bradi - dan takigastria (0,5-2 cpm - bradigastria ; 2-4 cpm- normogastria ; 4,0-9,0
cpm - takigastria), persentase disritmia dan waktu aritmia; dan persentase slow wave
coupling antara saluran 3-4 (% SWC).
Rekaman HRV dalam kondisi istirahat diikuti oleh tes pernapasan dalam
(DBT), yang berlangsung 5 menit. Selain partisipanHRV yang terdaftar, nilai E / I
(rasio terpanjang dan terpendek RR periode selama tes) , DBD (perbedaan
pernapasan dalam, perbedaan antara denyut jantung minimal dan maksimum selama
tes) dan amplitudo RSA (aritmia sinus pernapasan , perbedaan dalam denyut jantung
pada akhir pernafasan dan padaakhirinhalasi)ditentukan .
Uji tilt dilakukan dengan memilih pasien secara pasif di tempat tidur yang
dilengkapi dengan servomotor elektro-hidrolik dengan kemiringan 60 °, dimana
pasien diposisikan secara tetap selama 5 menit, dan setelah itu ia kembali ke posisi
horisontal.17 Digunakan sebuah table tilt elektro-hidrolik bisectional (Manumed,
Enraf Nonius, Belanda). Selama pemeriksaan manuver Valsava pada pasien, pasien
diperiksa setelah istirahat sebelumnya, kemudian menghembuskan nafas ke
mouthpiece dari manometer selama 15 detik, menyebabkan tiang merkuri mencapai
nilai 40 mmHg. Selama dilakukannya seluruh pemeriksaan,
dilakukanregistrasipermanendarielektrokardiografidantekananarteri.
Uji pegangan tangan dilakukan selama 5 menit, dimana pasien yang diperiksa
menggenggam dinamometer dengan kekuatan 30% dari kekuatan kontraksi tangan
maksimum yang dicapai sebelum usaha menggenggam. Tekanan darah diukur terus-
menerus selama pengujian. Dalam pemeriksaan kami menentukan perbedaan antara
nilai diastolik tekanan darah setelah kontraksi akhir, dan nilai sebelum tes dimulai18,
menggunakan dinamometer hidrolik manual (Jamar, Preston, USA). Kadar hormon
plasma saat puasa diukur pada kedua kelompok. Sampel darah disimpan pada suhu 2-
8° C hingga disentrifugasi untuk memisahkan plasma dalam waktu 2 jam setelah
pengumpulan darah (di 3800g pada 8° C selama 10 menit). Supernatan diaspirasi dan
disimpan selama 6 jam sampai 1 bulan pada suhu -20 ° C sampai dilakukan analisis.
Analisis konsentrasi plasma adrenalin dan noradrenalin yang dilakukan dengan kit
ELISA Adrenalin dan Noradrenalin (CatCombi ELISA, IBL, Jerman, uji sensitivitas
20 pg/ml) untuk sistem otomatis. Analisis konsentrasi plasma ghrelin dilakukan
dengan Human Unacylated Ghrelin ELISA ( BioVendor , USA , uji sensitivitas 0,2
pg / ml) untuk sistem otomatis. Analisis konsentrasi insulin plasma dilakukan dengan
kit INS - EASIA (BioSource Eropa SA, Belgia, uji sensitivitas 0,17 μIU / ml) untuk
sistem otomatis. Analisis kolesistokinin (CCK) dilakukan dengan kit ELISA (Bender
MedSystems, Austria, uji sensitivitas 1,65 ng/ml) untuk sistem otomatis. Semua
analisis dilakukan sesuai dengan instruksi penyedia. Pembacaan penyerapan
dilakukan dengan menggunakan PowerWave ELx800 (BioTek, USA) dengan
panjang gelombang 450 nm. Nilai konsentrasi substansi adalah dilihat dari kurva
yang tergambar untuk konsentrasi hormonstandar yang dinyatakan dalam satuan yang
sesuai. Tes dilakukan dua kali.
Data numerik diberikan sebagai sarana aritmatika dan standar penyimpangan
(x ± SD). Analisis statistik dilakukandengan bantuan dari paket statistik
STATISTICA 8.0 untuk Windows (StatSoft Inc, Tulsa, Oklahoma, USA). Dalam
perhitungan,tes parametrik diterapkan untuk membandingkan nilai temuan rerata
untuk pasien dan kelompok kontrol. Kami menggunakan model IV, yang merupakan
tes dimana statistik (tes fungsi) ' Z ' memiliki distribusi normal, dan critical valueyang
dilihat dari papan. Dalam kasus kurangnya distribusi normal, model III dari pengujian
yang sama, dengan Cochran-Statistik Cox ' C ', menggunakancritical value
yangdisebutkan, tidak dibaca dari papan . Hipotesis dalamhal ini memiliki bentuk :
null hipotesis H0 : m 1 = m 2 , terhadapalternatif hipotesis H1 : m 1 ≠ m
2.Signifikansi statistik ditetapkan pada p < 0,05. Penilaian hubungan dibuat dengan
bantuan korelasi Pearson. Korelasi
antara parameter HRV, parameter EGG dan katekolamin plasma dievaluasi dengan
menganalisis hubungan antara spektrum daya parameter HRV (LF, ln LF, HF, HF ln)
dan tingkat katekolamin plasma (adrenalin, noradrenalin), serta parameter EGG
(persentase disritmia, DF, DP, SWC) dan tingkat katekolamin plasma.
Tabel 1. Karakteristik pasien dan kontrol
Pasien KontrolJenis kelamin (perempuan/laki-laki)
18/12 19/11
Rerata Rentang SD Rerata Rentang SDUsia (tahun) 42,2 20-68 14,0 38,9 19-56 11,6IMT (kg/m2) 23,8 19,44-
29,413,4 21,5 18,36-
25,631,9
IMT – Indeks Massa Tubuh
Tabel 2. Parameter variabilitas denyut jantung saat istirahat
Parameter HRV Kondisi IstirahatPasien Kontrol
LFnu-RRI [%] 57±13.5 47.7±13.5HFnu-RRI [%] 43±13.5 52.3±13.5VLF-RRI [ms × ms] 1202.1±1594.3 524.2±461.1LF-RRI [ms × ms] 833.2±849.6 1176.7±790.6HF-RRI [ms × ms] 716.1±769.1 1535.3±1359.5PSD-RRI [ms × ms] 2728.6±2310.8 3227±2210.4LF/HF-RRI [1] 2.2±1.8 1.3±1.1LF/HF [1] 1.5±0.9 1.0±0.6
RRI –interval RR; LFnu-RRI – normalises units low frequency; HFnu-RRI – normalised units high frequency; VLF-RRI – heart rate variability – VLF (very low frequency); LF-RRI – heart rate variability – LF (low frequency); HF-RRI – heart rate variability – HF (high frequency); PSD-RRI – power spectral density; LF/HF-RRI – LF/HF ratio
Tabel 3. Parameter Variabilitas denyut jantung pada tes pernafasan dalam
Parameter HRV Tes Pernafasan Dalam
Pasien KontrolLFnu-RRI [%] 83.9±11.8 78.7±17.8HFnu-RRI [%] 16.1±11.8 21.3±17.8VLF-RRI [ms × ms] 333.2±300.5 199.4±129.2LF-RRI [ms × ms] 3450.7±2612.7 4707.9±4845.8HF-RRI [ms × ms] 298.4±223.2 953.2±1177.6PSD-RRI [ms× ms] 4269.3±2921.9 7014.1±7531.7LF/HF-RRI [1] 13.2±10.1 10.7±8.2LF/HF [1] 9.4±7.4 7±5.5
RRI – RR interval; LFnu-RRI – normalises units low frequency; HFnu-RRI – normalised units high frequency; VLF-RRI – heart rate variability – VLF (very low frequency); LF-RRI – heart rate variability – LF (low frequency); HF-RRI – heart rate variability – HF (high frequency); PSD-RRI – power spectral density; LF/HF-RRI – LF/HF ratio.
Tabel 7. Parameter Fasted Elektrogastropati
Parameter Fasted ElektrogastropatiPasien Kontrol
Frekuensi Dominan [cpm] 3.02±0.66 3.0±0.27Kekuatan Dominan (μV × μV)
60675.68±109922.77 60675.68±109922.77
Normogastria (%) 55.35±18.95 85.95±12.26Bradygastria (%) 9.14±7.01 2.62±4.28Tachygastria (%) 6.79±7.02 2.64±3.7Arrhythmia (%) 28.82±13.45 8.5±8.47
DF – dominant frequency; DP – dominant power of dominant frequency
Tabel 8. Parameter Fed Elektrogastropati
Parameter Fed ElektrogastropatiPasien Kontrol
DF (cpm) 2.99±0.55 3.12±0.3DP (μV × μV) 93225.19±184659.15 147460.6±144437Normogastria (%) 62.11±18.71 87.14±9.02Bradygastria (%) 8.92±7.21 2.78±4.09Tachygastria (%) 8.9±7.06 4.86±4.48Arrhythmia (%) 20.05±11.03 5.21±5.93
DF – dominant frequency; DP – dominant power of dominant frequency
Tabel 9. Rerata persentasi slow wave coupling
SWC [%]Pasien Kontrol
Fasted 55.99±9.46 77.44±11.89Fed 62.46±12.63 82.65±10.78
SWC – slow-wave coupling.
HASIL
Parameter variabilitas denyut jantung pada saat istirahat lebih rendah pada pasien LBS jika dibandingkan dengan grup kontrol: LF=– 833.2±849.6 vs. 1176.7±790.6 ms2; HF – 716.1±769.1 vs. 1535.3±1359.5 ms2; yet LF/ rasio HF-RRI lebih tinggi pada grup pasien 2.2±1.8 vs. 1.3±1.1; p<0.05, respectively (Table 2).
Pada tes pernafasan dalam nilai denyut jantung lebih rendah dibandingkan kondisi istirahat dengan perubahan keseimbangan autonomic terhadap nilai LF/HR= peningkatan RRI pada kedua grup ( Tabel 3).
Tabel 4. Indeks aktifitas otonom sistem saraf
Indeks ANSTes ANS Parameter Pasien KontrolTes Pernafasan Dalam
E/I 1.25±0.13 1.27±0.05DBD 207.33±96.04 230.8±52.29
Manuver Valsava VR 1.47±0.29 1.41±0.21Tes Tilt 30/15 1±0.09 1.23±0.14Tes Hand grip ∆Tekanan Darah
Sistolik23.03±16.2 20.33±6.42
E/I – inspiratory to expiratory ratio of the longest and the shortest RR interval; DBD – deep breathing difference; VR – valsalva ratio; BP – blood pressure
Tabel 5. Konsentrasi Katekolamin Plasma
KatekolaminPasien Kontrol
Adrenaline [nmol/l] 7.67±8.19 0.38±0.19Noradrenaline [nmol/l] 38.76±29.63 1.68±0.63
Tabel 6. Konsentrasi hormon usus plasma
Hormon UsusPasien Kontrol
Grelin [pg/ml] 187.39±104.02 257.49±88.04Kolesistokinin [ng/ml] 0.23±0.13 3.28±1.79Insulin [IU/ml] 14.87±13.7 7.87±2.6
Analisa dari index aktifitas ANS menunjukkan nilai abnormal dari rasio 30/15 pada grup pasien (p<0.05) mengindikasikan disfungsi parasimpatis (Tabel 4). Nilai index sisanya ada di dalam rentang normal. Beberapa hasil menunjukkan indikasi kerusakan ANS akhir-ahir ini.
Level adrenalin dan noradrenalin pada plasma puasa pada pasien IBS lebih tinggi = 7.67±8.19 9 vs. 0.38±0.19 nmol/L dan 38.76±29.63 vs. 1.68±0.63 nmol/L (Tabel 5)
Pada pasien IBS dengan grelin yang rendah n (187.39±104.02 vs. 257.49±88.04 pg/ml) dan kolesistokinin (0.23±0.13 vs. 3.28±1.79 ng/ml) dimana konsentrasi plasma diamati. Konsentrasi insulin secara substansial lebih tinggi pada pasien (14.87±13.7 vs. 7.87±2.6 µIU/ml), p<0.05, respectively (Table 6).
Pembahasan
Irritable bowel syndrome ditandai oleh nyeri pada lapang abdomen dan
ketidakteraturan pada defekasi. Saat ini mekanisme utama di balik IBS
dipertimbangkan untuk menjadi disfungsi dari sumbu otak dan usus yang
berhubungan dengan terganggunya aktivitas saluran pencernaan, sensitivitas visceral
dan respon neuroimunologi dari usus yang terganggu.
Pada tahun 1928 hipotesis telah diajukan bahwa disfungsi dari saraf otonom
dapat berkontribusi pada manifestasi yang telah diobservasi pada IBS. HNS
menengahi komunikasi antara otak dan saluran cerna, memodulasi dan
mengkoordinasi motoric, fungsi sekretori dan imunologi, dan saluran pencernaan.
Meningkatnya simpatis dan penurunan aktivitas parasimpatis sebagai elemen yang
diperlukan sebagai respon tubuh terhadap stres. Stres dan gangguan afektif
menyebabkan aktivitas simpatis dan manifestasi IBS yang selanjutnya. Lovino, dkk,
menunjukkan bahwa peningkatan respon system saraf simpatis dan peregangan
dinding saluran pencernaan.
Lovino, dkk, menunjukkan bahwa peningkatan respon system saraf simpatis
dari peregangan dinding saluran pencernaan menjelaskan tentang jumlah dari keluhan
nyeri dan perasaan saluran cerna yang terpompa yang dilaporkan pada pasien IBS23.
Pada beberapa tahun terakhir, pemeriksaan memperkirakan hubungan bahwa
aktivitas ANS dan aktivitas listrik otot perut pada pasien IBS yang tidak diadakan
pengukuran. HRV dan tes fungsi diizinkan pada kami untuk menunjukkan
peningkatan aktivitas saraf simpatis bagian dari ANS dan fungsi dari saraf
parasimpatis yang terganggu pada pasien IBS yang telah dikonfirmasi oleh Aggarwal,
dkk, yang menjelaskan adanya disfungsi saraf parasimpatis pada pasien IBS-C. Pada
pemeriksaan analisis HRV di tes DB mengarahkan pada disfungsi dari parasimpatis
yang merupakan bagian dari ANS. Penelitian lain telah meneliti aktivitas
parasimpatis yang rendah pada tes DB, simpatis melemah pada tes tilt dan respon
parasimpatis yang menurun pada stimulasi dengan pasien IBS-C dengan nafas dalam.
Kami menunjukkan hasil yang abnormal dari tes tilt. Simpatis yang utama pada tes
tilt pasien IBS juga telah dijelaskan pada penelitian lain. Peningkatan aktivitas
simpatis telah diteliti pada wanita dengan IBS-C dan pasien dengan diare yang
memiliki efek yang berlawanan. Pada penelitian saat ini, peningkatan simpatis
mempengaruhi dan mengurangi keseimbangan simpatis/parasimpatis yang telah
diteliti pada formulir diarrheal IBS dibandingkan dengan IBS dengan konstipasi.
Meskipun penelitian yang telah dilakukan Robert, dkk, menunjukkan perbedaan
aktivitas otonom antara konstipasi dengan diare pada formulir pasien IBS; oleh
karena itu peneliti mengajukan hipotesis bahwa ada disfungsi otonom yang
berkelanjutan pada subgroup IBS. Saat ini derajat disfungsi ANS pada pasien IBS
sejumlah dengan peningkatan aktivitas saraf simpatis yang telah dikonfirmasi dengan
memperkirakan aliran darah pada ujung jari dari flowmetri laser Doppler.
Pada seluruh pemeriksaan yang dilakukan di atas, peneliti hanya
menggunakan tes aktivitas otonom yang mana untuk menunjukkan hasil penelitian
yang didapatkan dari pemeriksaan konsentrasi plasma katekolamin yang sudah
diukur. Peningkatan aktivitas simpatis telah dikonfirmasi dengan peningkatan
konsentrasi plasma katekolamin. Esler dan Goulston mendemonstrasikan peningkatan
konsentrasi adrenalin urin pada pasien IBS dengan diare, dan Haitkaemper, dkk,
menunjukkan peningkatan level dari katekolamin dan kortisol urin pada rangkaian
bagian IBS, tetapi pada studi akhir ini hanya perempuan yang diperiksa.
Pada IBS, kelainan aktivitas motorik telah diobservasi pada level usus yang
berbeda, dari perut hingga usus besar. Pengaturan peptide seperti VIP, CCK, atau
motilin mempengaruhi aktivitas motorik dari saluran cerna. CCK berpartisipasi dalam
transduksi sinyal pada sumbu otak dan usus yang melewati serabut aferen dari saraf
vagal dan serabut yang sama mungkin menunjukkan ekspresi dari reseptor Ghrelin.
Ghrelin menstimulasi aktivitas motorik dari saluran cerna, memicu MMC dan
mempercepat pengosongan lambung. Selain dari saraf vagal reseptor dari Ghrelin
dapat ditemukan pada lapisan otot saluran pencernaan dan pada CNS. Tergantung
pada tempat pelepasan, pengaturan peptide dapat beraksi sebagai hormone,
neurotransmitter atau neuromodulator, dan oleh karena itu mereka dapat memerankan
peranan penting pada pathogenesis IBS yang bermanifestasi antara lain nyeri
abdomen, diare, dan konstipasi.
Pada penelitian saat ini penurunan plasma Ghrelin dan konsentrasi CCK telah
dicatat. Sementara itu Sjolund dkk, meneliti abnormalitas perpanjangan sekresi CCK
pada respon tes makan makanan berlemak yang banyak pada pasien IBS. Mangel,
dkk, mengatakan bahwa aplikasi CCK pada pasien sehat dapat melemahkan aktivitas
motorik tetapi itu tidak memicu efek pada pasien IBS. Peran dari Ghrelin pada
patologi IBS telah diteliti oleh El-Salhy, dkk, yang tidak meneliti perbedaan pada
plasma Ghrelin yag dibandingkan pada kelompok control, tetapi pemeriksaan
kepadatan sel yang mempunyai reseptor untuk Ghrelin pada perut dan duodenum,
mereka mengatakan bahwa itu telah dikurangi pada pasien IBS dengan konstipasi dan
meningkat pada pasien IBS dengan diare. Peneliti menjelaskan bahwa untuk
mengkompensasi dan meningkatkan atau menurunkan kepadatan dari sel Ghrelin,
sintesis dan pelepasan Ghrelin mungkin berkurang pada pasien IBS dengan diare dan
meningkat pada pasien IBS dengan konstipasi. Mekanisme tersebut dapat bekerja
dengan peningkatan pada sintesis dan pelepasan Ghrelin pada pasien IBS yang diare
dan berkurang pada pasien IBS dengan konstipasi dan bertanggungjawab pada
manifestasi yang mendominasi subtype IBS.
IBS dikaitkan dengan faktor perilaku, dan stress yang merupakan salah satu
bagian dari manifestasi patogenesis dari IBS. Kelompok pasien IBS berbeda dalam
intensitas manifestasi somatik dan psikologikal, dimana intensitas lebih banyak
menunjukkan konstipasi sebagai predominan IBS. Stres dihubungkan dengan
peningkatan kadar kortisol, yang menyebabkan resistensi insulin dan
hiperinsulinemia [41-43], dan insulin merupakan faktor penting pada aktifasi bagian
simpatis dari ANS. Hasil penelitian kami menunjukkan kenaikan yang signifikan dari
insulin pada pasien IBS-C. Erikson et al mengukur konsentrasi C-Peptide, dimana
diketahui berhubungan dengan sekresi insulin. Konsentrasi dari C-Peptide sedikit
lebih rendah dibandingkan diare, lebih tinggi dibanding kelompok kontrol. Pada
penelitian yang sama pasien mengalami peningkatan kortisol dibandingkan dengan
pasien diare dan kelompok kontrol, dimana menunjukkan kortisol memicu
hiperinsulinemia dan aktifasi system simpatik [40]. Hiperinsulinemia pada pasien
IBS-C tidak hanya menjelaskan hiperaktifitas sistem simpatis, namun juga dapat
menjelaskan penurunan aktifitas motorik perut dan usus halus.
Menemukan hubungan antara gangguan aktifitas potensial myoelektrik dan disfungsi
ANS merupakan tujuan utama penelitian ini. EGG dapat menemukan gangguan
aktifitas motorik perut pada pasien IBS. Pada beberapa pemeriksaan didapatkan
peningkatan presentasi tachygastria, dimana juga terjadi penurunan aktifitas
postprandial ditemukan di pemeriksaan lain. EGG merekam gangguan yang diamati
pada pasien dengan dispepsia fungsional [45], tetapi dalam perekaman 24 jam pada
penelitian lainnya dapat menunjukkan penurunan presentase tachygastria [47].
Karakteristik penurunan tenaga yang dominan juga diobservasi, menyarankan
elektrogastrografi ditambahkan untuk metodi diagnosis IBS dan dispepsia fungsional.
Hasil penelitian kami menjelaskan presentase normogastria yang lebih sedikit pada
pasien-pasien di kelompok puasa, tidak signifikan meningkat setelah makan. Nilai DP
puasa menurun pada kelompok pasien, tapi meningkat saat setelah makan. Van de
Vort et al mengobservasi buruknya amplitude EGG setelah makan meningkat dengan
tinggi dihubungkan dengan penundaan pengosongan lambung [48]. Pada penelitian
kami, didapatkan presentasi lebih rendah yang signifikan pada SWC., baik dalam
nilai rata-rata bagian individu, dimana mengganggu propagasi SWC di perut. Selain
itu, persentase SWC berada dalam hubungan yang berlawanan dengan konsentrasi
katekolamin plasma. SWC adalah indikator yang baik dari laju pengosongan
lambung. Nilai SWC rendah mungkin berhubungan dengan tertundanya pengosongan
lambung [49] dan gastroparesis pada pasien IBS dikaitkan dengan gangguan aktivitas
motorik usus kecil [50]. Pengamatan yang dilakukan membuktikan nilai DP dan
SWC% menjadi ukuran indikator gangguan aktivitas motorik perut.
Gangguan dari GMA dijelaskan dalam penelitian kami dapat mengakibatkan dari
kurangnya keseimbangan simpatik-parasimpatik. Peningkatan katekolamin plasma
dan konsentrasi insulin menguatkan adanya disfungsi ANS tersebut.
Saat ini, patofisiologis model IBS menggabungkan pengaruh dari sistem saraf pusat
dengan aktivitas usus dan sistem saraf otonom. Gangguan ANS dapat mempengaruhi
aktivitas myoelectrical, aktivitas motorik dari saluran pencernaan, relaksasi otot dan
rangsang nyeri. Dalam aksis otak-usus, pengaruh simpatetik pusat yang paling
mungkin bertanggung jawab atas gangguan aktivitas myoelectrical perut pada pasien
IBS, baik dalam kondisi puasa dan postprandial, menyebabkan penundaan
pengosongan lambung dan keluhan dispepsia.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemeriksaan berbeda yang dilakukan pada studi kami, tampak
bahwa hiperaktivitas simpatik dan disfungsi parasimpatik terkait dengan sembelit-
predominan IBS. Pengukuran aktivitas ANS dengan HRV dan tes fungsional adalah
sebuah metode penilaian keseimbangan otonom yang berharga. Keseimbangan
otonom dapat dihubungkan langsung dengan aktivitas sistem saraf enterik. Hasil itu
dikonfirmasi dengan tes biokimia. Namun, penelitian lebih lanjut pada asosiasi
jantung dan aktivitas sistem otonom gastroenterik masih diperlukan; pemeriksaan
saraf otonom tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya alat diagnostik pada pasien
dengan sindrom iritasi usus besar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mertz HR: Irritable Bowel Syndrome. N Engl J Med, 2003; 349: 2136–46
2. Ferguson A, Sircus W, Eastwood MA: Frequency of ‘functional’ gastrointestinal
disorders. Lancet, 1977; 2: 613–14
3. Mitchell CM, Drossman DA: Survey of the AGA membership relating to patients
with functional gastrointestinal disorders. Gastroenterology, 1987; 92: 1282–84
4. Drossman DA: The functional gastrointestinal disorders and the Rome III process.
Gastroenterology, 2006; 130: 1377–90
5. Vanner SJ, Depew WT, Paterson WG et al: Predictive value of the Rome criteria
for diagnosing the irritable bowel syndrome. Am J Gastroenterol, 1999; 94: 2912–17
6. Tolliver BA, Herrera JL, DiPalma JA: Evaluation of patients who meet clinical
criteria for irritable bowel syndrome. Am J Gastroenterol, 1994; 89: 176–78
7. Farthing MJG: Irritable bowel syndrome: new pharmaceutical approaches to
treatment. Baillière’s Clinical Gastroenterol, 1999; 13: 461–71
8. Chey WD, Cash BD: Irritable bowel syndrome: Update on colonic neuromuscular
dysfunction and treatment. Curr Gastroenterol Rep, 2006; 8: 273–81
9. Konturek SJ, Pawlik WW, Dajani EZ: Brain gut axis in gastrointestinal system:
introductory remarks. J Physiol Pharmacol, 2003; 54(Suppl.4): 3–7
10. Peters TL: Central and peripheral mechanisms by which ghrelin regulates gut
motility. J Physiol Pharmacol, 2003; 54(Suppl.4): 95–103
11. Bockus HI, Bank J, Wilkinson SA: Neurogenic mucous colitis. Am J Med Sci,
1928; 176: 813–29