Upload
truongque
View
224
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
AKSESIBILITAS DIFABEL DALAM RUANG PUBLIK
(Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel
Dalam Ruang Publik di Kota Surakarta)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi dan Memenuhi Syarat–syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Sosiologi
Oleh:
Galih Hapsari Putri
D 0307077
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
Bapak dan Ibu untuk semua doa, bimbingan, kasih sayang selama ini.
Kakak dan Adik untuk semua kebersamaan kita bertiga dalam suka
maupun duka.
Ardhian Suandhika untuk setiap dukungan semangat dan doa yang
diberikan.
Peneliti
Galih Hapsari Putri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
"Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala sesuatu
berguna. "Segala sesuatu diperbolehkan." Benar, tetapi bukan segala
sesuatu membangun.
( 1 Korintus 10 : 23 )
Hari ini harus melakukan yang terbaik karena semuanya dari, oleh, dan
untuk Tuhan Yesus
( Penulis )
Peneliti
Galih Hapsari Putri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
ABSTRAC
Galih Hapsari Putri. 2011. ACCESSIBILITY OF DISABLED PEOPLE INPUBLIC SPACES (Descriptive Qualitative Study Concerning the Accessibility ofDisabled People in the Public Spaces in the City of Surakarta).Thesis.Study Program Sociology Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta is one place to live for disabled people either as a permanentresidence or temporarily, especially for those who are following the training. Forthis reason the city of Surakarta is called friendly for disabled people and earnedthe nickname as the centre of disabled people, other than that there is regulationNumber 2 of 2008 on the equality of disabled. Surakarta experiencing quite rapiddevelopment in the public space. so that any infrastructure and facilities ofbuildings and the environment is expected to be accessed and utilized by allpeople to realize equal opportunity in all aspects of life and livelihood.Disabilities often discriminated against by many parties, such discrimination canbe seen in terms of public facilities which are not touched them.
The purpose of this study was to determine the accessibility of disabledpeople on public space in the city of Surakarta. This type of study is a qualitativedescriptive study. Data is collected by in-depth interviews and search ofdocuments relating to research issues. Informants in this study are civil service,family-related disabilities as well as private parties. Disabilities are as keyinformants. Sampling is done by purposive sampling. Data was collected throughnon-participatory observation techniques and in-depth interviews. To analyze datausing interactive data analysis. Validity of data was done by using triangulation ofsources.
From the research results can be seen that public spaces in the city ofSurakarta, most have provided facilities for the disabled. This is becauseSurakarta has had no 2 of 2008 legislation regarding Equality disabilities.Unfortunately the facilities provided by these public spaces can not be accessedproperly by the disabled. To be able to use the facility often disabilities shouldreceive assistance from others. Moreover from the data analysis found that thepublic spaces in the city of Surakarta, has some issues problems ie there are sometechnical design, conditions not conducive, and inadequate facilities and lack ofmaintenance. The issue of accessibility was found that the disabled can beapathetic and be open minded. Life with disabilities requiring equality in thepublic space, so the construction should focus on aspects of accessibility andfacilities for the disabled, so that the disabled can be independent in life.
Keywords: Accessibility, Disabled, Public Space.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRAK
Galih Hapsari Putri. D0307077. 2011. AKSESIBILITAS DIFABEL DALAMRUANG PUBLIK (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas DifabelDalam Ruang Publik Di Kota Surakarta). Skripsi. Program Studi SosiologiUniversitas Sebelas Maret Surakarta.
Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya kaum difabelbaik sebagai tempat tinggal permanen maupun untuk sementara waktu terutamabagi yang sedang mengikuti pelatihan–pelatihan. Untuk itulah maka kotaSurakarta disebut kota yang ramah bagi kaum difabel dan mendapat julukansebagai kota pusat kaum difabel, selain itu terdapat Perda Nomer 2 tahun 2008mengenai kesetaraan difabel. Surakarta mengalami pembangunan yang cukuppesat dalam ruang publiknya. sehingga setiap prasarana dan sarana pada bangunangedung dan lingkungannya diharapkan dapat diakses dan dimanfaatkan olehsemua orang mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupandan penghidupan. Difabel sering sekali didiskriminasi oleh banyak pihak,diskriminasi tersebut dapat dilihat dalam hal fasilitas umum yang belumsepenuhnya menyentuh mereka.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aksesibilitas difabelmengenai ruang publik di Kota Surakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalahpenelitian deskriptif kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan wawancaramendalam dan pencarian dokumen-dokumen yang berkaitan denganpermasalahan penelitian. Informan dalam penelitian ini adalah pegawai dinas,keluarga difabel serta pihak swasta terkait. Difabel adalah sebagai informankunci. Pengambilan sample dilakukan dengan purposive sampling dan snowballsampling. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi non partisipasidan wawancara mendalam. Untuk menganalisa data mengunakan analisa datainteraktif. Validitas data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber.
Hasil penelitian ini adalah bahwa ruang publik di kota Surakartakebanyakan telah menyediakan fasilitas bagi difabel. Hal ini dikarenakanSurakarta telah memiliki Perda No 2 Tahun 2008 mengenai Kesetaraan Difabel.Namun sangat disayangkan fasilitas yang disediakan oleh ruang publik tersebutkurang dapat diakses dengan baik oleh difabel. Untuk dapat menggunakanfasilitas tersebut seringkali difabel harus mendapat bantuan dari orang lain. Selainitu ditemukan bahwa ruang publik di kota Surakarta terdapat beberapapermasalahan yaitu permasalahan desain teknis, kondisi yang tidak kondusif, danfasilitas yang kurang memadai serta kurang perawatan. Mengenai masalahaksesibilitas ditemukan bahwa difabel dapat bersikap apatis maupun bersikapterbuka. Kehidupan difabel membutuhkan kesetaraan dalam ruang publik yangdalam pembangunannya harus mementingkan aspek aksesibilitas dan fasilitas bagidifabel, sehingga difabel dapat mandiri.
Kata Kunci: Aksesibilitas, Difabel, Ruang Publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segalaanugerah dan berkat-Nya yang telah dilimpahkan kepada peneliti sehinggapeneliti dapat menyelesaikan penyusunan Skripsi yang berjudul “AksesibilitasDifabel Dalam Ruang Publik” (Studi Deskriptif Kualitatif MengenaiAksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik Di Kota Surakarta).
Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah aksesibilitas bagi difabel memangmasalah sering dijumpai di berbagai tempat. Aksesibilitas ini akan berpengaruhdalam kehidupan para difabel. Kota Surakarta sebagai kota ramah difabelmerupakan kota yang pertama kali merumuskan Perda Kesetaran Difabel, selainitu kota Surakarta juga sedang mengalami pembangunan fisik yang sangat pesat.Bagi para difabel pembangunan di Surakarta diharapkan mementingkan paradifabel yang memiliki kebutuhan khusus dalam aksesibilitasnya. Karena itulahpeneliti mengkaji penelitian tentang difabel dan aksesibilitasnya dalam ruangpublik yang berada di Kota Surakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak terlepas darikekurangan dan kesempurnaan mengingat keterbatasan pengetahuan sertapengalaman yang penulis miliki, dan dalam kesempatan ini penulis inginberterima kasih dan menyampaikan penghargaan yang mendalam kepada:
1. Prof. Pawito, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dr. Bagus Haryono, M.Si.selaku Ketua Jurusan Sosiologi, Fakultas IlmuSosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Akhmad Ramdhon, S.Sos, M.A selaku Dosen Pembimbing skripsi yangbersedia meluangkan waktu untuk konsultasi pembuatan laporan skripsi.
4. Drs. Jefta Leibo, S.U. selaku Ketua Penguji Skripsi5. Drs. TA. Gutama, M. Si selaku Sekretaris Penguji Skripsi6. Dra Rahesli Humsona, M.Si Selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingannya selama ini.7. Aparat Pemerintah, Pihak Swasta, dan difabel di Kota Surakarta yang telah
memberikan informasi dan data bagi penulis.8. Teman-temanku Sosiologi 2007 Dian, Antonia, Yesica, Panggio, Lody,
Pandhu, Sigit, Arief, dan Mas Irfan. Serta teman–teman angkatan 2007yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Perjuangan kita masihpanjang.
9. Semua pihak yang telah turut membantu penulis yang tidak dapat penulissebutkan, penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang mendalambagi Anda semuaSemoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.Surakarta, November 2011
Galih Hapsari Putri
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ................................................................................... i
Halaman Persetujuan ................................................................................... ii
Halaman Pengesahan ................................................................................... iii
Halaman Persembahan ....................................................................... iv
Motto ........................................................................................................... v
Abstrac ............................................................................................... vi
Abstrak ............................................................................................... vii
Kata Pengantar ................................................................................... viii
Daftar Isi ............................................................................................... ix
Daftar Foto .......................................................................................... xiii
Daftar Tabel ............................................................................................... xiv
Daftar Lampiran…………………………………………………………….xv
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................. 7
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 7
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 8
E. Review Literatur…………………………………………… 8
F. Kerangka Teori……………………………………………... 12
1. Ruang Publik……………………………………………. 12
2. Aksesibilitas…………………………………………….. 16
3. Difabel………………………………………………….. 17
G. Kerangka Pemikiran……………………………………….. 20
H. Metode Penelitian................................................................... 26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
BAB II DESKRIPSI LOKASI ................................................................
A. Kota Surakarta......................................................................... 32
B. Difabel Di Kota Surakarta....................................................... 33
B.1. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD)
Prof. Dr. Soeharso............................................................ 34
B.2. Jumlah Difabel Di Kota Surakarta.................................. 36
C. Layanan Publik Di Kota Surakarta...........................................39
C.1. Pasar – Pasar Di Kota Surakarta....................................... 39
C.2. Transportasi Di Kota Surakarta.........................................40
C.2.1. Terminal Tirtonadi............................................. 41
C.2.2. Halte Batik Solo Trans................................. 42
C.3. Tempat – Tempat Ibadah Di Kota Surakarta................... 44
C.3.1. Masjid Agung Surakarta.................................... 45
C.3.2. Gereja Kristen Jawa Margoyudan..................... 46
C.4. Taman – Taman Di Kota Surakarta................................ 47
C.5. Mall dan Store Di Kota Surakarta.................................. 48
BAB III ANALISIS DATA ....................................................................
A. Permasalahan Aksesibilitas............................................... 52
1. Masalah Desain Teknis……………………………………52
a. Taman Sekartaji………………………………….. 54
b. Halte Batik Solo Trans…………………………… 57
c. Masjid Agung Surakarta…………………………. 59
2. Ruang Yang Tidak Kondusif…………………………. 62
a. Pasar Gede……………………………………….. 62
b. Terminal Tirtonadi………………………………. 63
3. Fasilitas Yang Tidak Memadai dan Kurang Perawatan.. 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
B. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 Mengenai Kesetaraan
Difabel……………………………………………………….. 69
B.1. Proses Terbentuknya Perda ………………………….. 69
B.2. Hambatan Pembentukan Perda ……………………… 73
C. Kondisi Ruang Publik Di Kota Surakarta…………………... 79
C.1. Sebelum Adanya Perda Kesetaraan Difabel………….. 80
C.1.1. Konsep Pembangunan Ruang Publik…………. 80
a. Pasar Gede…………………………………… 81
b. Terminal Tirtonadi…………………………… 84
c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan……………. 86
d. Masjid Agung Surakarta…………………….. 88
e. Solo Grand Mall……………………….. 90
C.1.2. Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik………………92
a. Pasar Gede……………………………………. 93
b. Terminal Tirtonadi…………………………….94
c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan……………. 97
d. Masjid Agung Surakarta……………………… 98
e. Solo Grand Mall……………………………… 99
C.2. Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel……………. 102
C.2.1. Konsep Pembangunan Ruang Publik…………. 102
a. Taman Sekartaji……………………………... 102
b. Halte Batik Solo Trans……………………… 105
C.2.2. Fungsi Dan Fasilitas Ruang Publik…………... 108
a. Taman Sekartaji……………………………. 108
b. Halte Batik Solo Trans…………………….. 110
D. Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik………………… 113
D.1. Intensitas Kedatangan Difabel Dalam Ruang Publik…. 113
1. Ruang Publik Yang Sering Dikunjungi…………… 114
a. Solo Grand Mall……………………………... 114
b. Gereja Kristen Jawa Margoyudan…………… 115
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
2. Ruang Publik Yang Jarang Dikunjungi…………… 116
a. Taman Sekartaji…………………………….. 116
b. Masjid Agung Surakarta……………………. 116
3. Ruang Publik Yang Sangat Jarang Dikunjungi…… 117
a. Pasar Gede…………………………………… 117
b. Halte Batik Solo Trans………………………. 118
c. Terminal Tirtonadi…………………………… 119
D.2. Sikap Difabel Dalam Mengakses Ruang Publik………. 119
a. Apatis………………………………………………. 120
b. Bersikap Terbuka dan Mau Menerima……………. 120
BAB IV PENUTUP .................................................................................
A. Kesimpulan........................................................................... 131
B. Implikasi................................................................................ 133
B.1. Implikasi Empiris......................................................... 133
B.2. Implikasi Teoritis......................................................... 134
B.3. Implikasi Metodologis.................................................. 135
C. Saran...................................................................................... 136
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 138
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR FOTO
Foto 01. Pintu Masuk Taman Sekartaji……………………………. 56Foto 02. Halte Batik Solo Trans Yang Ditunggui Petugas………… 58Foto 03. Halte Batik Solo Trans Menggunakan Rem……………… 59Foto 04. Lorong Sempit Di Pasar Gede……………………………. 63Foto 05. Akses Rem Terminal Tirtonadi………………………….. 66Foto 06. Pertautan Lantai Terminal Tirtonadi…………………….. 67Foto 07. Akses Rem Masjid Agung Surakarta…………………….. 67Foto 08. Pintu Masuk Pasar Gede………………………………….. 90Foto 09. Akses Rem Pasar Gede…………………………………. 83Foto 10. Akses Rem GKJ Margoyudan…………………………… 87Foto 11. Tempat Wudlu Khusus Masjid Agung…………………... 89Foto 12. Akses Rem Solo Grand Mall…………………………….. 91Foto 13. Guildingblock Pasar Gede………………………………… 94Foto 14. Pintu Masuk GKJ Margoyudan………………………….. 98Foto 15. Bentuk Tempat Wudlu Masjid Agung……………………. 99Foto 16. Fasilitas Kursi Roda SoloGrand Mall…………………..... 100Foto 17. Difabel Di Solo Grand Mall……………………………… 101Foto 18. Bentuk Akses Taman Sekartaji…………………………… 104Foto 19. Halte BST Portabel Tampak Depan……………………… 107Foto 20. Halte BST Portabel Tampak Belakang…………………… 107Foto 21. Rem Di Taman Sekartaji…………………………………. 110
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel. 01. Jumlah Difabel Di Kota Surakarta Tahun 2007…………….36Tabel 02. Yayasan Penyandang Cacat Di Kota Surakarta…………… 38Tabel 03. Pembangunan dan Perluasan terminal………………….. 41Tabel 04. Banyaknya Bus dan Penumpang yang Masuk
Terminal Tirtonadi........................................................... 42Tabel 05. Tempat Ibadah di Kota Surakarta di Tiap Kecamatan......... 44Tabel 06. Banyaknya Penduduk di Tiap Kecamatan Menurut
Agama yang Dianut.......................................................... 45Tabel 07. Hambatan yang Dialami Difabel..................................... 124Tabel 08. Kondisi Ruang Publik Sebelum Adanya Perda
Kesetaraan Difabel........................................................... 125Tabel 09. Kondisi Ruang Publik Setelah Adanya Perda
Kesetaraan Difabel............................................................ 126Tabel 10. Jenis Aksesbilitas Difabel Dalam Ruang Publik.............. 127Tabel 11. Intensitas Kedatangan Difabel Dalam Ruang Publik....... 130Tabel 12. Sikap Difabel Terhadap Akses Yang diterima
Dalam Ruang Publik......................................................... 130
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 01. Pedoman WawancaraLampiran 02. Matriks WawancaraLampiran 03. Perda Nomor 2 Tahun 2008 Kesetaraan DifabelLampiran 04. Surat Permohonan Ijin Dinas dan Pihak SwastaLampiran 05. Surat Selesai PenelitianLampiran 06. Peta Kota SurakartaLampiran 07. Denah Masjid Agung SurakartaLampiran 08. Denah Los Pasar GedeLampiran 09. Denah Sirkulasi Bus Di Terminal TirtonadiLampiran 10. Denah Jalur Batik Solo TransLampiran 11. Dokumentasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kota Surakarta merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa
Tengah yang dikenal dengan keramahannya. Sebagai salah satu kota yang yang
merupakan kota terpadat di Indonesia, maka kota ini memiliki berbagai macam
keunggulan salah satunya adalah mengenai pembangunannya dan julukannya
sebagai kota ramah bagi difabel. Hal ini dikarenakan kota Surakarta merupakan
salah satu tempat berdomisilinya difabel baik sebagai tempat tinggal permanen
maupun untuk sementara waktu terutama bagi yang sedang mengikuti pelatihan–
pelatihan. Untuk itulah maka kota Surakarta merupakan kota yang ramah bagi
difabel dan mendapat julukan sebagai kota pusat difabel. (YJP, nomor 65:
123,166).
Data dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam buku BPS
Surakarta dalam Angka tahun 2009 terdapat data mengenai difabel. Berikut
adalah data jumlah difabel pada tahun 2009: jumlah penyandang cacat tubuh
adalah sebanyak 514 orang, penyandang tuna netra sebesar 112 orang,
penyandang tuna mental adalah 59 orang, serta penyandang tuna rungu/wicara
adalah 224 orang. Total difabel di Surakarta pada tahun 2009 adalah 909 orang.
Sedangkan data pada tahun 2008 menunjukkan bahawa jumlah difabel di
Surakarta adalah sebesar 1464 orang. Akan tetapi penyandang cacat tubuh kian
meningkat dan penyandang netra mengalami penurunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah penyandang cacat atau difabel
di Kota Surakarta sangat banyak. Karena itu pula lah maka banyak panti
rehabilitasi di kota Surakarta. Di kota ini terdapat sebuah pusat rehabilitasi bagi
penyandang cacat yaitu BBRSBD ( Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa )
Prof. Dr. Soeharso, serta adanya beberapa Panti Sosial bagi difabel untuk
menangani kecacatan–kecacatan yang bersifat khusus. Keramahan kota ini
terbukti dari adanya berbagai macam program bimbingan pelatihan bagi difabel
yang tinggal di kota Surakarta antara lain adalah ketrampilan menjahit, fotografi,
reparasi sepeda motor, salon, handicraft, percetakan, pertukangan, las dan bubut,
pertukangan kayu, politur, ukir kayu, elektronika, border, tata boga, serta bengkel.
(Demartoto, 2005: 54). Pendidikan yang digunakan untuk berinteraksi dan
bersosialisasi dalam rangka menunjang pemberdayan masyarakat. (Nasution,
1995:35). Pemberdayaan menunjuk pada menunjuk pada kemampuan orang,
khusunya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan dan
kemampuan dalam memnuhi kebutuhan dasarnya, menjanngkau sumber–sumber
produktif yang dapat meningkatkan mutu hidup, serta dapat berpartisipasi dalam
proses pembangunan (Suharto, Edi. 2005: 58). Dengan adanya pelatihan–
pelatihan, maka difabel diharapkan mampu untuk dapat mengakses segala yang
dibutuhkan didalam suatu ruang publik.
Dalam segi pembangunan kota Surakarta juga mengalami perkembangan
dan pertumbuhan dalam segi ruang publiknya. Ruang merupakan suatu tempat
yang dapat menunjukkan perletakan sebuah objek, yang harus dapat diakses
secara fisik oleh masyarakat umum yaitu dapat berupa taman, lapangan, bangunan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
pasar, tempat ibadah, trotoar, dan lain–lain. (Hariyono, 2007: 134). Ruang publik
merupakan suatu tempat umum yang digunakan banyak orang untuk
menghabiskan waktu luang. Akan tetapi keadaan ruang publik seringkali
membuat kesusahan bagi difabel untuk menikmatinya. Selain itu adapula
beberapa ruang yang merupakan tempat berkumpulnya individu dari berbagai
golongan, namun apakah ruang tersebut dapat diakses dengan mudah bagi difabel
masih merupakan suatu tantangan bagi difabel itu sendiri. Bagi difabel ruang
publik haruslah sesuai dan aksesibel terhadap kebutuhan mereka. Difabel
memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk menikmati ruang dan fasilitas
publik yang ada.
Semua kelengkapan prasarana dan sarana pada bangunan gedung dan
lingkungannya diharapkan agar dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua orang
termasuk difabel dan semua orang guna mewujudkan kesamaan kesempatan
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dengan adanya akses ruang
publik maka fasilitas bagi difabel di masyarakat dapat sedikit terpenuhi, sehingga
memungkinkan tidak ada pembedaan fasilitas ruang publik antara difabel maupun
non difabel dalam mengaksesnya.
Mengenai penyediaan aksesibilitas sebenarnya sudah diatur dalam
Undang–Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Bab 1 pasal 1
ayat 4 berbunyi aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang
cacat guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan
dan penghidupan. Demikian pula halnya dengan kota Surakarta, perkembangan
dan pembangunan kota Surakarta menyebutkan bahwa Kota ini mementingkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
hak dan kewajiban difabel, diantaranya dengan dibuatnya Peraturan Daerah Kota
Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 mengenai Kesetaraan Difabel. (YJP, Nomor
65:124).
Menurut Perda tersebut aksesibilitas fisik adalah meliputi layanan yang
terkait dengan perencanaan dan peruntukkan pembangunan kawasan kota serta
fasilitas publik. Aksesibilitas dalam hal non fisik berupa bidang pendidikan dan
ketenagakerjaan bagi difabel mempunyai kesempatan yang sama. (Demartoto,
2005:58). Sejalan dengan itu yang dimaksud dengan aksesibilitas fisik adalah
lingkungan fisik yang oleh difabel agar dapat dihampiri, dimasuki, atau dilewati,
dan dapat dipergunakan fasilitas yang ada di dalamanya tanpa bantuan. (JYP
no.65 hal 79). Dalam hal yang lebih luas aksesibilitas fisik mencakup akses
terhadap berbagai bangunan, alat transportasi dan komunikasi, serta berbagai
fasilitas luar di luar ruangan termasuk sarana rekreasi sebagai ruang publik.
Aksesibilitas bagi difabel merupakan salah satu sarana untuk membuat kehidupan
difabel menjadi lebih baik.
Difabel sendiri merupakan suatu akronim dari Different Ability People
atau Orang yang memiliki kemampuan yang berbeda. Pandangan masyarakat
yang negatif terhadap difabel juga menyebabkan kelompok tersebut sulit untuk
mendapatkan kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan
masyarakat lainnya di segala aspek kehidupan dan penghidupan (Demartoto
Argyo, 2005). Data WHO menunjukkan bahwa jumlah difabel di negara
berkembang mendekati angka 10% dari total jumlah penduduk negara tersebut.
Sebagai negara berkembang, jumlah difabel di Indonesia pun juga mencapai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
jumlah 10 juta jiwa pada tahun 2005 dan akan terus meningkat pada tahun–tahun
berikutnya (Purwanta, 2002:105)
Penyandang cacat fisik sering sekali didiskriminasi oleh banyak pihak,
baik itu dalam pekerjaan, pendidikan bahkan dalam hal fasilitas umum yang
belum sepenuhnya menyentuh mereka. Sampai saat ini, penyandang cacat fisik
belum mendapatkan fasilitas seperti layaknya orang dengan tubuh tanpa cacat.
Istilah penyandang cacat itu sendiri merupakan suatu diskriminasi juga, kata
cacat umum digunakan untuk menyebut beberapa orang yang memiliki
kemampuan mental di bawah rata–rata. Untuk mengatasi istilah yang dirasa
negatif tersebut, maka digunakanlan istilah Difabel.
Purwanta (2004: 53) menyatakan bahwa “sebenarnya cacat itu tidak ada,
cacat merupakan rekayasa atau konstruksi sosial yang sengaja dibangun melalui
sistem kekuasaan baik yang berada pada jalur struktural maupun jalur kultural.
Proses pencacatan itu sendiri dimulai dari penyebutan atau pemberian istilah
mulai dari yang menyakitkan hingga yang dimaksudkan menghaluskan tetapi
intinya tetap memiliki konotasi penolakan hingga perlakuan dan penempatan pada
posisi marjinal dalam struktur masyarakat. Cacat yang sebenarnya tidak ada itu
menjadi ada karena berbagai macam media dan prosesnya. Karena adanya
kecacatan tersebut maka para difabel dianggap tidak mampu untuk mengikuti
arus perkembangan dan pembangunan. Akan tetapi pembangunan seringkali
mengabaikan minoritas atau orang yang berkebutuhan khusus. Seperti yang
diungkapkan oleh Shaun Grech:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
“disability remains excluded from development, at research, policy andprogramme levels, and the voices of disabled poor people in the so calleddeveloping countries remain largely unheard”(cacat tetap dikecualikan dari pembangunan, pada penelitian, kebijakan dantingkat program, dan pendapat orang miskin cacat di negara-negara berkembangsebagian besar tetap tak terdengar).
Ideologi kenormalan menyatakan bahwa seseorang disebut normal adalah
bila orang mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik, harus
mempunyai kepala, kaki/ tangan, dan organ lainnya layaknya seorang manusia.
Seseorang yang tidak memiliki ketidakfungsian, kehilangan salah satu atau lebih
organ yang dimilikinya, maka orang tersebut akan dianggap sebagai orang yang
tidak normal, seseorang yang tidak sempurna, atau istilah yang sering digunakan
adalah cacat atau penyandang cacat. Pada hakekatnya manusia adalah makhluk
hidup yang memerlukan proses bergerak atau berpindah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Padahal sebagian dari manusia tersebut ada yang memiliki
hambatan–hambatan dalam bergerak maupun berpindah tempat, baik secara
permanen maupun sementara. Salah satunya adalah penyandang cacat, yang
diyakini sebagai orang yang tidak normal dan selalu membutuhkan bantuan serta
figur yang memiliki kekurangan. Walaupun demikian difabel tetaplah masyarakat
yang harus terpenuhi hak dan kewajibannya salah satunya adalah dalam akses
ruang publik yang ada.
Penelitian ini melihat pentingnya aksesibilitas ruang publik bagi difabel.
Karena difabel mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam hukum dan
bermasyarakat. Seharusnya masyarakat dapat mengawali dengan menerima
kecacatan itu sungguh–sunggguh ada. Kecacatan adalah bagian dari kehidupan
manusia, bagian dari dunia yang ditinggali bersama. Penyandang cacat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
membutuhkan manusia normal bukan sebagai pakar atau manajemen dalam
kehidupan, tapi menjadi seorang teman. Sehingga perjuangan para penyandang
cacat merupkan perjuangan yang perlu dihargai dalam upayanya mencari keadilan
sosial. Kurangnya penghargaan dan apresiasi terhadap difabel dapat
menyebabkan sedikitnya aksesibilitas yang diterima dan berimbas pada
kehilangan hak yang seharusnya didapatkannya.
B. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka akan dikaji gambaran mengenai
aksesibilitas difabel dalam kaitannya dengan ruang publik, dan hasilnya terhadap
kehidupan difabel. Rumusan masalah tersebut akan dikaji melalui pertanyaan
sebagai berikut
1. Bagaimanakah konsep ruang publik di Kota Surakarta?
2. Bagaimanakah aksesibilitas difabel dalam ruang publik di kota Surakarta?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aksesibilitas difabel mengenai
ruang publik di Kota Surakarta, untuk mengetahui konsep pembangunan serta
bagaimana kondisi ruang publik di kota Surakarta baik sebelum maupun setelah
adanya Perda Kesetaraan Difabel. Dengan membaca hasil penelitian ini,
diharapkan pembaca mampu mengetahui dan mengerti mengenai aksesibilitas
difabel yang selama ini masih dianggap sebagai permasalahan yang tidak penting
karena difabel dianggap sebagai terpinggirkan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Penulis berharap penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai
aksesibilitas difabel di ruang publik dalam kaitannya dengan tindakan sosial
dalam ilmu sosiologi.
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada:
a. Masyarakat luas hendaknya tidak memandang sebelah mata mengenai
permasalahan yang dialami oleh difabel serta dapat berperan dalam
membantu menyediakan fasilitas yang sesuai untuk difabel.
b. Sebagai bahan informasi bagi pembuat dan pengambil keputusan/
pemerintah kota dan pihak swasta dalam hal pembangunan akses bagi
difabel.
E. Review Literatur
Dalam penelitian mengenai difabel ini, peneliti juga memerlukan referensi
berbagai macam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini perlu
dilakukan untuk menambah informasi serta wawasan peneliti mengenai difabel.
Ada beberapa penelitian mengenai difabel yang ditemukan oleh penulis yaitu
antara lain adalah sebagai berikut:
Penelitian Muhammad Imdad yang berjudul “Peran LSM Dalam
Pemberdayaan Difabel Korban Gempa Bumi di Kabupaten Klaten” (2008)
dijelaskan bahwa difabel memerlukan pendampingan dari berbagai macam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
organisasi masyarakat agar mereka tidak terpuruk oleh ketidakberdayan mereka.
Peran pendampingan bagi difabel korban gempa bumi di Klaten berupa
penyuluhan penguatan potensi diri difabel yaitu dengan memberikan training
kwirausahaan, dan motivasi bagi difabel agar mereka tetap terus melanjutkan
hidup. Peran LSM dalam pemberdayaan difabel memiliki tiga macam dampak
yaitu dampak psikologis yaitu dengan adanya bimbingan psikologis dari difabel
lama agar dapat menguatkan orang yang menjadi difabel baru. Karena seringkali
difabel baru tidak merasa diterima dengan keadaannya yang sekarang sehingga
butuh bimbingan dan motivasi dari difabel lama agar para difabel baru dapat terus
mlanjutkan hidup. Dampak yang kedua adalah dampak aksesibilitas yaitu
penyediaan dan pemberian alat bantu bagi difabel agar tetap dapat melaksanakan
mobilitas sosialnya. Aksesibilitas yang disediakan seperti tongkat kruk, kursi
roda, maupun ramp (jalan masuk yang dibuat untuk memudahkan kursi roda
lewat) agar dapat aksesibel bagi difabel. Dampak yang ketiga adalah dampak
ekonomi yang berhubungan dengan kesejahteraan yaitu dengan diadakannya
pelatihan–pelatihan, melalui pelatihan tersebut difabel mampu membiayai
hidupnya sendiri tanpa tergantung orang lain.
Selain itu terdapat penelitian yang ditulis oleh Saudara Bondan mengenai
difabel perempuan dalam kaitannya dengan tindakan dan aksesibilitasnya dalam
pelayanan kesehatan reproduksi di kota Surakarta. Penelitian ini menemukan
bahwa hanya sedikit perempuan difabel yang mengetahui kesehatan tentang
reproduksi wanita. Berikut akan dijelaskan lebih lanjut mengenai penelitian dari
Saudara Bondan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Penelitian Bondan Dwi S yang berjudul “ Tindakan dan Aksesibilitas
Perempuan Difabel Dalam Kaitannya Dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di
Kota Surakarta” (2006), menemukan bahwa perempuan difabel mengalami tripel
diskriminasi yaitu perempuan difabel selain mendapat stigma karena mereka
“perempuan“ juga karena mereka “difabel“ serta sebagian besar diantara mereka
memiliki kondisi yang “miskin“ (dalam arti ekonomi sosial, politik serta sektor
kehidupan lain). Selain itu dalam pelayanan kesehatan perempuan difabel
seringkali tidak mendapatkan hak dan perannya. Hal ini dikarenakan adanya nilai
dari segi sosial budaya masyarakat yang mempunyai mitos bahwa difabel itu
aseksual, karena kedifabelannya itu pula maka difabel “dianggap” tidak mampu
mengekspresikan seksualitasnya, bahkan “dianggap tabu” bila sampai mempunyai
anak. Karena hal itulah maka aksesibilitas perempuan difabel menjadi terhambat
bahkan tidak terpenuhi, perempuan difabel merasa dimarginalkan atau
dinomorduakan dalam mendapatkan pelayanan kesehatan. Perempuan difabel
juga sering mendapat diskriminasi, serta yang tidak kalah penting adalah
pengabaikan terhadap kesehatan reproduksi. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa perempuan difabel hanya mengetahui sedikit info mengenai kesehatan
reproduksi karenta terbatasnya akses mereka untuk mendapatkan pengetahuan
tersebut.
Ada pula penelitian dari saudara Gita Putri mengenai Hubungan Konsep
Diri dan Penyesuaian Diri remaja difabel. Penelitian ini mengunaka penelitian
kauntitatif dan ditemukan bahwa remaja difabel masih belum terbiasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
menyesuaikan diri di masyarakat karena berbagai macam faktor dan hal. Berikut
sedikit review penelitian Gita Putri mengenai remaja difabel.
Penelitian Gita Putri yang berjudul “ Hubungan Konsep Diri Remaja
Difabel Dengan Penyesuaian Diri Terhadap Lingkungan “ (2007) menemukan
bahwa ada hubungan yang positif dan sangat signifikan antara konsep diri dengan
penyesuaian diri. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal. Ketika individu merasa
dirinya sejajar dengan dan setara dengan orang lain meskipun memiliki
kekurangan, dalam hal ini kekurangan dalam hal fisik, maka individu tersebut
menjadi lebih percaya diri dan memudahkan mereka menyesuaikan diri dengan
orang lain maupun dengan lingkungannya. Konsep diri adalah bagaimana
individu memandang dirinya sendiri, yang meliputi pengharapan, pengetahuan,
dan penilaian tentang diri sendiri. Berdasarkan penelitian ini, dapat dinilai bahwa
remaja difabel dengan konsep diri yang baik maka penyesuaian dirinya akan baik
pula, begitu juga sebaliknya. Hasil penelitian ini juga memberikan informasi
tentang sumbangan efektif dari masing – masing variable. Sumbangan efektif
yang diberikan konsep diri terhadap penyesuaian diri adalah sebesar 60%. Ini
berarti masih ada factor lain yang mempengaruhi penyesuaian diri remaja difabel.
Adapun factor tersebut diantaranya adalah kondisi lingkungan, jika lingkungan
dapat menerima dan memberikan fasilitas yang lebih memadai bagi remaja
difabel, maka penyesuaian dirinya menjadi lebih baik. Faktor lainnya adalah
adanya norma, dan adat istiadat karena adanya kecenderungan menutupi jika ada
anggota keluarga yang lahir tidak normal atau cacat, hal itu akan mempersulit
individu dengan kekurangan tersbut untuk menyesuaikan diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Dari berbagai macam penelitian yang telah dilakukan, ditemukan bahwa
difabel masih mengalami permasalahan di dalam bermasyarakat. Difabel masih
memiliki perasaan malu yang membuat diri mereka merasa berbeda dengan orang
lain. Perasaan berbeda tersebut menyebabkan difabel kurang bisa menyesuaikan
diri di masyarakat, difabel kurang memahami mengenai pengetahuan akan
berbagai hal. Selain itu difabel masih membutuhkan orang lain dalam
kehidupannya dan masih belum bisa untuk hidup mandiri.
F. Kerangka Teori
Difabel merupakan orang yang memiliki kemampuan yang berbeda, begitu
pula dengan aksesibilitasnya dalam ruang publik. Untuk mempermudah pembaca
dalam memahami penelitian ini maka akan dikemukakan beberapa konsep dalam
skripsi yang dibuat peneliti. Adapun konsep yang digunakan dalam pembuatan
skripsi ini adalah:
1. Ruang Publik
Istilah publik adalah istilah yang berasal dari bahasa Inggris yaitu public
yang berarti masyarakat, negara, umum. Didalam Bahasa Inggris, pengertian
kata public menjadi masyarakat, negara, umum dipakai berganti-ganti misalnya:
a. Yang didefinisikan sebagai “masyarakat” misalnya public relationship
(hubungan masyarakat), public service (pelayanan masyarakat), dan lain–
lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
b. Yang didefinisikan sebagai “negara“ misalnya public authorities (otoritas
negara), public building (gedung negara), public finance (keuangan
negara)
c. Yang didefinisikan sebagai ”umum” misalnya adalah public offering
(penawaran umum), Public ownership (milik umum), publik utility
(perusahaan umum), public space (ruang umum). (Syafiie, 1999: 18)
Dalam beberapa pengertian dari kata publik tersebut akan difokuskan
kepada satu hal yaitu public space. Dalam pengertian bahasa Indonesia adalah
ruang umum namun lebih dikenal dengan ruang publik. Ruang publik adalah
ruang yang fungsi dan manfaatnya digunakan sepenuhnya untuk kepentingan
publik/ masyarakat (bukan untuk seseorang ataupun kelompok-kelompok
tertentu).
Menurut Roger Scurton (1984:32) setiap ruang publik memiliki makna
sebagai berikut: sebuah lokasi yang didesain seminimal apapun, memiliki akses
yang besar terhadap lingkungan sekitar, tempat bertemunya manusia/pengguna
ruang publik dan perilaku masyarakat pengguna ruang publik satu sama lain
mengikuti norma-norma yang berlaku setempat. Meskipun sebagian ahli
mengatakan umumnya ruang publik adalah ruang terbuka, Rustam Hakim
(2003:50) mengatakan bahwa, ruang umum pada dasarnya merupakan suatu
wadah yang dapat menampung aktivitas tertentu dari masyarakatnya, baik secara
individu maupun secara kelompok, dimana bentuk ruang publik ini sangat
tergantung pada pola dan susunan massa bangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Menurut Hakim (2003:50), Jenis ruang publik terbagi atas dua macam
yaitu:
a. Ruang publik tertutup adalah ruang publik yang terdapat di
dalam suatu bangunan.
b. Ruang publik terbuka yaitu ruang publik yang berada di luar
bangunan yang sering juga disebut ruang terbuka (open space).
Ruang publik selalu berhubungan dengan pembangunan, pembangunan
pada hakikatnya merupakan proses perubahan menuju kondisi yang lebih baik,
baik secara fisik maupun secara spiritual. Hal ini tercermin dari definisi berikut:
“Pembangunan merupakan suatu proses pembauran yang kontinyu dan
terus menerus dari keadaaan tertentu kepada suatu keadaan yang lebih
baik“
Menurut Salim (1986:3) mengatakan bahwa hakekat pembangunan adalah
(1) kemajuan lahiriah seperti sandang, pangan, papan, dan lain – lan (2) kemajuan
dalam bidang batiniah, pendidikan, rasa aman, dan rasa keadilan, (3) kemajuan
yang meliputi seluruh rakyat sebagaimana tercermin dalam perbaikan hidup
berkeadilan sosial. Tak jauh berbeda dengan pendapat Sondang P. Siagian tentang
definisi pembangunan. Pembangunan yaitu suatu usaha atau rangkaian usaha
pertumbuhan yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan
pemerintah menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. (Siagian,
1972:45).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Dari definisi pembangunan tersebut maka menurut Siagian (1972:53) ada
beberapa pokok ide yang perlu dipahami:
a. Pembangunan merupakan suatu proses. Proses berarti suatu kegiatan
yang terus menerus dilakukan, meskipun sudah barang tentu bahwa
proses itu sudah dapat dibagi menjadi tahap–tahap tertentu dan berdiri
sendiri.
b. Pembangunan merupakan suatu usaha yang sadar dilakukan
c. Pembangunan dilakukan secara berencana dan perencanaan itu
berorientasi pada pertumbuhan dan perubahan.
d. Pembangunan mengarah kepada modernitas yaitu sebagai cara hidup
baru dan lebih baik daripada sebelumnya serta berkemampuan untuk
menguasai alam lingkungannya.
Pembangunan ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan
bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk
berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud
adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa
harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya. Bahkan,
unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus
dapat dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya,
termasuk para penderita cacat tubuh maupun lansia. (Hakim, 2003: 52).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
2. Aksesibilitas
Perda Kesetaraan Difabel Nomor 2 tahun 2008 aksesibilitas fisik adalah
meliputi layanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukkan pembangunan
kawasan kota serta fasilitas publik. Sedangkan menurut Peraturan pemerintah RI
Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial
Penyandang Cacat, menyatakan bahwa aksesibilitas adalah kemudahan yang
disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Negara semestinya mengakui pentingnya aksesibilitas dalam proses
terciptanya kesamaa kesempatan dalam semua aspek kehidupan dalam kegiatan
bermasyarakat bagi difabel dari semu jenis kecacatan yang ada. Hak dan
kewajiban difabel semestinya terpenuhi sama dengan hak dan kewajiban dari non
difabel.
Menurut Demartoto (2005: 57) aksesibilitas terbagi atas dua macam yaitu:
a. Aksesibilitas fisik yaitu berupa guilding block bagi difabel netra,
tangga ramp, hand rail (pegangan tangan), lift, rambu–rambu
lalu lintas, dan tanda–tanda atau signage.
b. Aksesibilitas non fisik yaitu berupa pendidikan dan
ketenagakerjaan. Semua difabel memiliki kesempatan yang
sama dalam meperoleh pendidikan dan pekerjaan.
Menurut Adinda dalam JYP Nomor 65: 79 mengatakan bahwa
aksesibilitas fisik adalah lingkungan fisik yang oleh difabel agar dapat dihampiri,
dimasuki atau dilewati, dan dapat digunakan wilayah dan fasilitas yang terdapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
didalamnya tanpa bantuan. Dalam pengertian yang lebih luas diartikan mencakup
kemudahan terhadap berbagai bangunan, alat tranportasi dan komunikasi, serta
berbagai fasilitas di luar ruangan termasuk rekreasi. Sedangkan aksesibilitas non
fisik yaitu berupa pendidikan dan pekerjaan.
Kedua macam aksesibilitas ini saling mempengaruhi satu sama lain
apabila berbagai macam hambatan struktural dalam bangunan–bangunan dan
fasilitas–fasilitas yang disediakan bagi kepentingan umum ternyata tidak selalu
mudah bagi difabel untuk berpartisipasi penuh dalam situasi normal baik dalam
bidang pendidikan maupun pekerjaan serta rekreasi. Namun dalam penelitian ini
lebih ditekankan pada aksesibilitas fisik difabel dalam ruang publik.
3. Difabel
Menurut Perda Nomor 2 Tahun 2008 kota Surakarta mengenai Kesetaraan
Difabel dikatakan bahwa difabel adalah setiap orang yang memiliki kelainan fisik
dan/ mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan yang selayaknya, yang terdiri dari (1) penyandang cacat
fisik, (2) penyandang cacat mental, dan (3) penyandang cacat fisik dan mental.
Sedangkan kesetaraan difabel adalah kondisi yang menjamin terwujudnya
keadilan bagi difabel.
Untuk menjelaskan berbagai macam kecacatan diatas maka akan
dijelaskan sebagai berikut (Demartoto, 2005: 10):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
a. Cacat fisik adalah kecacatan yang mengakibatkan gangguan pada
fungsi tubuh, antara lain pada gerak trubuh , penglihatan, pendengaran,
dan kemampuan berbicara.
b. Cacat mental adalah kelainan mental dan tingkah laku, baik cacat
bawaan maupun akibat dari penyakit antara lain: a) retardasi mental, b)
gangguna psikiatrik funsional, c) alkoholisme, d) gangguan mental
organic dan epilepsy.
c. Cacat fisik dan mental adalah keadaan seseorang yang menyandang
dua jenis kecacatan sekaligus. Apabila yang cacat adalah keduanya
maka sangat mengganggu penyandang cacatnya.
Istilah penyandang cacat merupakan suatu diskriminasi, kata cacat umum
digunakan untuk menyebutkan beberapa orang yang memliki kemampuan mental
di bawah rata–rata. Untuk mengurangi stigma negatif dalam hal tersebut maka
digunakanlah istilah Difabel (Different Ability People) yang berarti manusia yang
memiliki kemampuan yang berbeda. Kemampuan yang berbeda yang dimaksud
adalah hanya kemampuan fisik saja. Istilah difabel sekarang ini mungkin masih
kurang tedengar gaungnya daripada dengan istilah penyandang cacat. (Purwanta,
2004: 107).
Pembedaan antara manusia normal dengan mereka yang mendapat julukan
penyandang cacat ternyata melahirkan berbagai macam diskriminasi
ketidakadilan. Menurut Purwanta (2004: 174) ada berbagai manifestasi
ketidakadilan yang ditimbulkan oleh adanya asumsi terhadap difabel adalah
sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
a. Terjadi diskriminasi ekonomi sehingga melahirkan pemikinan
ekonomi terhadap difabel
b. Terjadinya subordinasi terhadap mereka yang dicacatkan. Dalam
rumahtangga, masyarakat, maupun negara, banyak kebijakan dibuat
tanpa menganggap ada penyandang cact itu sendiri. Sebagai contoh
banyak peraturan yang menyebutkan syarat tidak cacat jasmani untuk
jenis pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan kecacatan jasmani.
c. Pelabelan negatif (stereotype) terhadap difabel dan akibat dari
stereotype itu terjadi diskriminasi serta berbagai ketidakadilan lainnya.
Dalam masyarakat banyak sekali stereotype yang dilabelkan pada
difabel yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan
merugikan difabel.
d. Kekerasan terhadap difabel. Kekerasan ini mulai dari kekerasan fisik
seperti pemukulan sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus
seperti pelecehan, menganggap tidak mampu, penciptaan
ketergantungan, dan sebagainya.
e. Sempitnya akses sosial dan budaya serta fisik bagi difabel ini telah
menyulitkan ruang gerak difabel dan telah mengakibatkan beban kerja
yang luar biasa bagi difabel baik di lingkungan domestik maupun
publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
G. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini menggunakan tindakan sosial dari Max Weber. Tindakan
sosial ini diasumsikan oleh Max Weber bahwa individu melakukan suatu tindakan
berdasar pada pengalaman, persepsi, pemahaman, dan penafsirannya atas obyek
dari situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang
rasional yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana paling tepat. (Ritzer,
2003:38).
Tujuan Weber dalam teori tindakan adalah untuk memfokuskan perhatian
pada individu, pola, regularitas tindakan, dan bukan pada kolektivitas. Tindakan
dalam pengertian orientasi perilalu yang dapat dipahami secara subjektif yang
hanya hadir sebagai perliaku seorang atau beebrapa orang manusia individual.
(Ritzer, 2008: 137).
Weber mengunakan metodologi tipe idealnya untuk menjelaskan makna
tindakan dengan cara mengidentifikasikan empat tipe tindakan dasar. Tipologi ini
tidak hanya penting untuk memhami apa yang dimaksud Weber dengan tindakan,
yang terpenting adalah pembedaan yang dilakukan Weber terhadap dasar tindakan
rasional.
Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial antar hubungan sosial
itu. Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian
sosiologi yaitu:
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang
subyektif. Ini meliputi tindaka nyata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
2. Tindakan nyata yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat
membatin dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu istuasi, tindakan
yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara
diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada
orang lain itu.
Konsep rasionalitas Weber merupakan suatu kerangka bersama secara luas
dimana aspek–aspek subyektif perilaku dapat dinilai secara obyektif. Konsep
rasionalitas Weber mencakup empat hal yaitu:
a. Zwerk Rational / Rasionalitas Sarana Tujuan
Yakni tindakan sosial murni adalah tindakan yang ditentukan oleh
harapan terhadap perilaku objek dalam lingkungan dan perilaku
manusia lain; harapan – harapan ini digunakan sebagai syarat atau
sarana untuk mencapai tujuan – tujuan actor lewat upaya dan
perhitungan yang rasional.
b. Werktrational Action / Rasionalitas Nilai
Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara
yang dipilihnya itu merupakan cara yang paling tepat atau lebih tepat
untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang sukar
untuk difahami. Tindakan yang ditentukan oleh keyakinan penuh
kesdaran akan nilai perilaku–perilaku etis, estetis, religius, atau bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
perilaku lain yang terlepas dari prospek keberhasilannya. Namun
tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah
menentukan tujuan yang hendak dicapai. Tindakan ini rasional meski
tak serasional yang pertama.
c. Affektual Action
Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan
kepura-puraan si aktor.tindakan ini sukar difahami.
d. Tradisional Action
Tindakan yang didasarkan pada kebiasaan-kebiasaan dalam
mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja. (Ritzer, 2003: 40-41)
Untuk mempelajari tindakan sosial adalah dengan metode penafsiran dan
pemahaman, yang menurut terminologi Weber adalah verstehen, yaitu suatu
upaya tindakan si aktor dengan memahami motif dari tindakan yang
dilakukannya. Salah satu teori yang sepenuhnya berawal dari karya Max Weber
adalah teori aksi.
Beberapa asumsi fundamental Teori Aksi dikemukakan oleh Hinkle
dengan merujuk karay Mac Iver, Znaniecki, dan Parsons sebagai berikut:
1. Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek
dan dari situasi eksternal dan posisinya sebagai obyek.
2. Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai
tujuan-tujuan terrtentu. Jadi tindakan manusi bukan tanpa tujuan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
3. Dalam bertindak manusi mengunakan cara, teknik, prosedur, metode,
serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan
tersebut.
4. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak
dapat diubah dengan sendirinya
5. Manusia memilih, menilai, dan mengevaluasi terhadap tindakan yang
akan, sedang, dan apa yang telah dilakukannya.
6. Ukuran–ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan
timbul pada saat pengambilan keputusan.
7. Studi mengenai hubungan antar hubungan sosial memerlukan
pemakaian teknik penemuan yang bersifat subyektif seperti metode
verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan
mengalami sendiri vicarious experience.
Menurut Cooley sesuatu yang memiliki arti penting dalam kehidupan
bermasyarakat adalah apa yang disebut sebagai kesadaran subyektif dan hal ini
merupakan pengakuan tehadap sifat aktif dan kreatif individu. Selain dari
kesadaran subyektif, menurut Cooley perasaan-perasaan individual, sentimen, dan
ide-ide merupakan faktor pendorong manusia untuk berinisiatf atau mengakhiri
tindakannya terhadap orang lain. (Ritzer, 2003:47)
Menurut Parsons, sejak semula telah menjelaskan bahwa teori aksi tidak
dapat menerangkan keseluruhan aspek kehidupan sosial. Parsons menyusun
skema unit-unit dasar tindakan sosial dengan karakteristik sebagai berikut:
1. Adanya individu sebagai aktor.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2. Aktor dipandang sebagai pemburu tujuan-tujuan tertentu
3. Aktor mempunyai alternatif cara, alat, serta teknik untuk mencapai
tujuannya.
4. Aktor berhadapan dengan sejumlah kondisi situasional yang dapat
membatasi tindakannya dalam mencapai tujuan. Kendala tersebut
berupa situasi dan kondisi, sebagian ada yang tidak dapat dikendalikan
oleh individu
5. Aktor berada di bawah kendala dari nilai-nilai, norma-norma dan
berbagai ide abstrak yang mempengaruhinya dalam memilih dan
menentukan tujuan serta tindakan alternatif untuk mencapai tujuan.
Dari hal tersebut diatas merupakan suatu cara untuk mengkaji masalah
mengenai aksesibilitas difabel dalam kaitannya dengan ruang publik. Tindakan
individu diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Kota Surakarta merupakan salah
kota yang mengalami perkembangan dalam hal pembangunan yang cukup pesat.
Hal ini terbukti dari banyaknya fasilitas–fasilitas serta pembangunan dalam segi
fisik yang terlihat sebagaimana sekarang ini. Pembangunan Kota Surakarta
merupakan bagian dari layanan bagi masyarakat agar terpenuhi dari segi
kenyamananannya.. Sedikit banyak dalam perencanaan dan manajemen perkotaan
harus peka terhadap persoalan-persoalan yang ada di Kota Surakarta. Kota ini
mendapatkan julukan sebagai kota yang ramah terhadap difabel karena banyaknya
panti rehabilitasi yang sesuai dengan jenis kecacatanya. Walaupun mengalami
pembangunan yang pesat namun masih banyak hal yang terlewatkan bagi
terpinggirkan seperti difabel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Aksesibilitas merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam
kehidupannya. Akan tetapi tidak semua orang dapat mengalami akses yang
memadai. terpinggirkan seperti difabel salah satu contohnya yang seringkali
mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai hal. Hal ini berkaitan dengan
stigma negatif yang tertanam pada banyak orang bahwa urusan difabel adalah
yang nomor dua. Padahal aksesibilitas merupakan jembatan bagi difabel untuk
dapat bersosialisasi dengan kehidupan luar. Keterbatasan aksesibilitas bagi difabel
pada dasarnya sekarang ini masih terjadi. difabel masih menjadi kelompok yang
termarginalkan, terpingirkan, dan miskin.
Untuk mengetahui mengenai aksesibilitas difabel dalam ruang publik
maka hal pertama yang harus dilakukan adalah melihat permasalahan-
permasalahan yang dihadapi oleh difabel jika mereka mengakses ruang publik.
Permasalahan-permasalahan tersebut dapat saja membawa mereka ke dalam
situasi yang sulit. Dari sini nantinya akan dilihat bagaimanakah sebenarnya
kondisi ruang publik yang ada di Kota Surakarta. Sebagaimana diketahui bahwa
Kota Surakarta telah memiliki Perda yang menjunjung tentang kesetaran hak
difabel untuk mendapatkan kemudahan dalam berbagai bidang yaitu Perda
Nomor 2 Tahun 2008 salah satunya adalah kemudahan mengenai aksesibilitas.
Dari sini pula akan diketahui apakah konsep pembangunan ruang publik yang giat
digalakkan sesuai dengan peraturan tersebut dan dapat membawa kemudahan bagi
difabel untuk mengakses ruang publik. Kosep pembangunan ruang publik ini
akan berpengaruh pada aksesibilitas difabel dalam ruang publik, khususnya
aksesibilitas fisiknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian adalah cara untuk mengumpulkan data dan fakta yang
ada. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Pendekatan
kualitatif menggambarkan, mengungkapkan, menceritakan, dan meringkas
berbagai kondisi dan situasi yang ada. Bogdan dan Taylor mendefinisikan metode
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa
kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan perilaku yang dapat diamati.
(Moleong, 2002:3). Alasan memilih pendekatan ini adalah menyajikan secara
langsung hakikat hubungan antara peneliti dan yang diteliti, lebih peka dan dapat
menyesuaikan diri terhadap pendalaman masalah. Yaitu memahami aksesibilitas
difabel terhadap ruang publik, dan mempelajari hasil pembangunan ruang publik
yang sedang giat digalakkan bagi kehidupan difabel.
Pendekatan triangulasi juga digunakan untuk menguji keabsahan data dan
menemukan kebenaran objektif sesungguhnya. Metode ini sangat tepat untuk
menganalisis kejadian tertentu di suatu tempat tertentu dan waktu tertentu.
Triangulasi adalah teknik pemerikasaan keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain di luar data untuk keperluan pengecekkan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut. Penelitian ini menggunakan triangulasi
sumber, yaitu dengan membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayan
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
metode kualitatif. (Moleong, 2002:178)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
2. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian ini adalah di Kota Surakarta. Adapun dipilihnya lokasi
ini sebagai tempat penelitian adalah karena Kota Surakarta mempunyai tempat
rehabilitasi terbesar di Asia Tenggara, selain itu banyak pula balai yang berkaitan
dengan difabel sebagai wadah pengembangan sesuai dengan jenis kecacatannya.
Kota Surakarta juga dinilai sebagai surga difabel dan sedang mengalami
pembangunan kota yang cukup pesat baik itu ruang publik maupun fasilitas
didalamnya.
3. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah sumber data primer
yaitu Data yang peneliti peroleh dari wawancara dengan difabel, keluarga, serta
aparat pemerintah dan swasta yang terkait. Selain itu peneliti juga menggunakan
data sekunder yaitu data yang peneliti peroleh secara tidak langsung seperti
literatur dari buku, arsip, dokumentasi yang berkenaan dengan penelitian ini.
Penelitian deskriptif kualitatif menggunakan pengamatan dan wawancara
di lapangan. Data yang digunakan disini adalah data kualitatif dengan teknik
observasi non partisipasi dan wawancara mendalam. Observasi non partisipasi
adalah kegiatan pengumpulan data yang bersifat non verbal dimana peneliti tidak
berperan ganda. Peneliti berperan sebagai pengamat belaka dan tidak turut serta
sebagai actor yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan.
Wawancara adalah cara yang dipakai untuk memperoleh informasi melalui
kegiatan interaksi sosial antara peneliti dengan yang diteliti. Di dalam interaksi itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
peneliti berusaha mengungkap gejala yang sedang diteliti melalui kegiatan tanya
jawab. Wawancara dilakukan dengan pedoman panduan wawancara (interview
guide) yang berisi hal–hal pokok yang berkaitan dengan apa yang ingin digali
lebih dalam dari nara sumber dalam hal ini adalah difabel dan juga aparat
pemerintah dan swasta serta keluarga dari difabel.
Studi kepustakaan dilakukan sebelum peneliti pergi ke lapangan untuk
mengumpulkan data sekunder berkenaan dengan masalah yang diteliti yaitu
berupa buku–buku. Koran majalah, dan internet. Dalam melakukan penelitian
peneliti menggunakan alat berupa kamera. Gambar yang nantinya akan diambil
dapat digunakan sebagai dokumentasi dalam penelitian ini. Dengan difabel di
kota Surakarta yang menjadi populasi secara keseluruhan maka peneliti
menggunakan teknik pengambilan sample dengan teknik purposive sampling
yaitu peneliti memilih informan dan key informan yang dianggap mengetahui
informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi
sumber data yang lengkap dan benar selain itu. Selain itu peneliti menggunakan
teknik snowball sampling yaitu dengan menggulirkan sampel atas dasar informasi
yang didapatkan sebelumnya untuk membangun kerangka informasi bagi peneliti.
(Ritzer, 2003:31)
Subyek yang peneliti ambil sebagai key informan adalah difabel yang
dipilih berdasarkan jenis kelamin, usia, dan jenis kecacatan, yang sekaligus dapat
memberikan banyak informasi dan berkaitan dengan kebutuhan peneliti. Hal
demikian ini memengaruhi perbedaan aksesibilitas yang terjadi pada difabel.
Sedangkan informan dalam penelitian ini adalah keluarga serta aparat pemerintah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
yang terkait serta pihak swasta. Aparat pemerintahan terkait yang dimaksud dsini
adalah dari Dinas Tata Ruang Kota, Dinas Perhubungan (Halte Batik Surakarta
Trans dan Terminal Tirtonadi), Badan Lingkungan Hidup (Taman Sekartaji), dan
Dinas Pengelolaan Pasar (Pasar Gede). Sedangkan Pihak swasta yang dimaksud
disini adalah Pengurus Masjid Agung Surakarta, Majelis Gereja Kristen Jawa
Margoyudan, dan Menejemen Pengelolaan Solo Grand Mall.
Alasan dipilihnya informan serta lokasi dalam penelitian ini adalah karena
Masjid Agung Surakarta dan Gereja Kristen Jawa Margoyudan merupakan tempat
ibadah tertua di Kota Surakarta dengan penganut agama terbesar di kota
Surakarta, selain itu kedua tempat tersebut terdapat jemaah difabel dan
kemudahan bagi difabel. Taman Sekartaji dipilih karena merupakan Taman yang
dibangun dekat dengan balai rehabilitasi serta taman merupakan tempat publik
bagi semua masyarakat. Solo Grand Mall dan Pasar Gede merupakan ruang
publik yang setiap harinya dikunjungi oleh ribuan orang tanpa memandang
perbedaan status sosial, dan ekonomi. Yang terakhir adalah Halte Batik Solo
Trans dan Terminal Tirtonadi, tempat ini dipilih karena setiap harinya orang
membutuhkan sarana tranportasi tanpa terkecuali, dan kebanyakan dari
masyarakat lebih memilih menggunakan bus dalam bertransportasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisi data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif mulai
dari pengumpulan data sekunder dan data primer yang didalamnya terdapat tiga
komponen yaitu : reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
(Bungin, 2003: 70).
Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan,
perhatian pada penyederhanan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar“ yang
muncul dari catatan–catatan penulis di lapangan. Setelah data terkumpul
terjadilah tahap reduksi selanjutnya seperti membuat ringkasan, membuat kode,
dan penelusuran tema. Reduksi data berlangsung terus menerus hingga laporan
akhir tersusun (Milles, 1992: 16).
Penyajian data yaitu suatu sekumpulan informasi yang tersusun yang
memberi kemungkinan adanya pengambilan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dengan melihat penyajian–penyajian tersebut kita bisa memahami apa
yang sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan berdasrkan atas pemahaman
yang didapat dari penyajian tersebut. (Milles, 1992: 17).
Penarikan kesimpulan dan verifikasi sebagian dari suatu hasil kegiatan
yang utuh. Verifikasi adalah kemungkinan pemikiran singkat yang melintas
dalam pikiran penganalisis pada waktu menulis, suatu tinjauan ulang pada catatan
lapangan, atau upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan dalam data
yang lain. Singkatnya makna yang muncul dari data harus di uji kebenarannya,
kecocokannya yang merupakan validitasnya itu sendiri (Milles, 1992:18)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
Gambar Analisa Data Model Interaktif
Sumber: Mathew B. Milles & A. Michael Huberman
PengumpulanData
PenyajianData
Kesimpulan:PenarikanVerivikasi
ReduksiData
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. Kota Surakarta
Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di
provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa dan kepadatan
penduduk 13.636/km2. Surakarta dan kota-kota satelitnya (Kartasura, Surakarta
Baru, Palur, Colomadu, Baki, Ngemplak) adalah kawasan yang saling berintegrasi
satu sama lain. Kawasan Surakarta Raya ini unik karena dengan luas kota
Surakarta sendiri yang hanya 44 km persegi dan dikelilingi kota-kota
penyangganya yang masing-masing luasnya kurang lebih setengah dari luas kota
Surakarta dan berbatasan langsung membentuk satu kesatuan kawasan kota besar
yang terpusat.
Luas wilayah Kota Surakarta beserta wilayah-wilayah kota penyangganya
saat ini sekitar 150 km² dengan jumlah penduduknya sekitar 1 juta jiwa.
Surakarta memiliki semboyan "Berseri", akronim dari "Bersih, Sehat, Rapi, dan
Indah", sebagai slogan pemeliharaan keindahan kota. Untuk kepentingan
pemasaran pariwisata, Surakarta mengambil slogan pariwisata Solo, The Spirit of
Java (Jiwanya Jawa) sebagai upaya pencitraan kota Surakarta sebagai pusat
kebudayaan Jawa.
Jumlah penduduk kota Surakarta pada tahun 2010 adalah 503.421 jiwa,
terdiri dari 270.721 laki-laki dan 281.821 wanita, yang tersebar di lima kecamatan
yang meliputi 51 kelurahan dengan daerah seluas 44,1 km2. Tingkat kepadatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
penduduk di Surakarta adalah 11.370 jiwa/km2, yang merupakan kepadatan
tertinggi di Jawa Tengah (kepadatan Jawa Tengah hanya 992 jiwa/km2). Jika
dibandingkan dengan kota lain di Indonesia, kota Surakarta merupakan kota
terpadat di Jawa Tengah dan ke-8 terpadat di Indonesia, dengan luas wilayah ke-
13 terkecil, dan populasi terbanyak ke-22 dari 93 kota otonom dan 5 kota
administratif di Indonesia. (BPS,2009)
B. Difabel di Kota Surakarta
Kota Surakarta merupakan salah satu tempat berdomisilinya difabel baik
sebagai tempat tinggal permanent maupun untuk sementara waktu terutama bagi
difabel yang mengikuti pelatihan–pelatihan. Salah satu tempat pelatihan yang ada
adalah BBRSBD (Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) Prof. Dr. Soeharso
yaitu sebagai tempat awalnya pergerakan kaum difabel. Banyaknya difabel di
Kota Surakarta dapat dilihat dari jumlah difabel dengan berbagai jenis kecacatan.
Kota Surakarta sebagai kota yang sedang dalam masa pembangunan
mementingkan kehidupan difabel. Kota Surakarta patut menjadi percontohan bagi
kota lain untuk berani memulai memenuhi hak para difabel yang tertuang dalam
Peraturan Daerah Kota Surakarta. Kota ini telah merumuskan dan memberlakukan
kebijakan yang ramah terhadap penyandang disabilitas. Aksesibilitas di tempat
pelayanan publik akan disediakan untuk menunjang kebutuhan para penyandang
difabilitas. Dalam perkembangannya, kota Surakarta yang semula berbentuk
kerajaan mengalami berbagai pembangunan di segala sektor, dimana
pembangunan ini bertujuan untuk membuat kota menjadi wilayah kehidupan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
nyaman dan aman. Pembangunan yang dimaksud adalah bertumbuhnya banyak
ruang publik di Kota Surakarta.
B.1. Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa (BBRSBD) Prof. Dr.
Soeharso
Sejarah berdirinya BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta, diawali dengn
sejarah pertumbuhan Rehabilitasi Centrum Prof. Dr. Soeharso Surakarta tidak
dapat dipisahkan dengan perjuangan bangsa Indonesia. Semasa revolusi fisik
pada tahun 1945-1950 banyak sekali rakyat, terutama pejuang yang cacat
diakibatkan oleh pertempuran dalam melawan penjajah untuk mempertahankan
Republik Indonesia.
Pada tahun 1946 dimulailah percobaan-percobaan pembuatan kaki atau
tangan tiruan (protese) untuk pelayanan kepada korban perang yang bertempat di
garasi mobil Rumah Sakit Umum Surakarta oleh almarhum Prof. Dr. Soeharso
dan almarhum Bapak R. Soeroto Reksopranoto. Pada pertengahan tahun 1948
pembuatan protese mendapat perhatian dari Kementrian Kesehatan dengan
mengeluarkan biaya untuk memindahkan ruangan pembentukan protese dari
garasi ke Rumah Sakit Darurat yang terletak di belakang rumah sakit tersebut.
Sambil menunggu selesainya pembuatan protese, kepada penyandang cacat
diberikan pelatihan berupa ketrampilan kerja.
Sejak tahun 1983 Balai Besar rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr.
Soeharso Surakarta dijadikan pusat untuk pelatihan bagi tenaga kader rehabilitasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
baik tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Kementrian Sosial dan tingkat
internasional yang bekerja sama dengan ILO.
Kedudukan dan Tugas Pokok dari BBRSBD Prof. Dr. Soeharso Surakarta
adalah Unit Pelaksana Teknis di Bidang Rehabilitasi Sosial Bina Daksa di
lingkungan Kementrian Sosial yang berada dibawah dan bertanggung jawab
langsung kepada Dirjen Rehabilitasi Sosial, dengan tugas pokok melaksanakan
pelayanan dan rehabilitasi sosial, resosialisasi, penyaluran, dan bimbingan lanjut
bagi orang dengan kecacatan tubuh agar mampu berperan dalam kehidupan
bermasyarakat, rujukan nasional, pengkajan, dan penyiapan standar pelayanan,
pemberian informasi serta koordiansi dengan instansi terkait sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Struktur organisasi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa berdasakan
keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia no: 55/HUK/2003 Tanggal 23 Juli
2003, Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa Prof. Dr. Soeharso Surakarta
dipimpin oleh seorang Direktur yang dibantu oleh empat Kepala Bagian,
Kelompok Jabatan Fungsional, dan tiga Kepala Departemen. Adapun bagian-
bagian tersebut adalah Divisi Administrasi, Divisi Program dan Advokasi Sosial,
Divisi Rehabilitasi Sosial, Divisi Penyaluran dan Bimbingan Lanjut, Instalasi/
Workshop.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
B.2. Jumlah Difabel di Kota Surakarta
Di Surakarta juga terdapat berbagi jenis yayasan yang bergerak bagi
difabel, maka dari itu Surakarta seringkali disebut sebagai kota yang ramah bagi
difabel. Banyaknya yayasan yang bergerak pada penyandang cacat juga
dikarenakan difabel banyak ditemukan di Kota Surakarta. Selain itu ruang publik
di Kota Surakarta juga mendukung adanya kesetaraan terhadap difabel. Berikut
akan disajikan data mengenai jumlah difabel yang bernaung di Kota Surakarta.
Data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja pada tahun 2007 menyatakan
bahwa jumlah difabel di kota Surakarta tercatat sebagai berikut
Tabel 01Jumlah Difabel di Kota Surakarta tahun 2007
Difabel Laki - laki Perempuan
- Cacat Tubuh 337 205
- Cacat Rungu Wicara 115 99
- Cacat Netra 124 139
- Cacat Mental Raterdasi 109 95
-Cacat Mental Eks Psikotik 141 104
- Cacat Ganda 54 33
- Cacat Bibir Sumbing 17 14
Total 897 689
Sumber: BPS, 2007
Dari data diatas dapat dilihat bahwa jumlah total penyandang cacat adalah
sebesar 1586 orang difabel. Difabel tersebut belum termasuk difabel anak serta
penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis dan juga kusta. Penyandang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
cacat tubuh mempunyai total sebesar 542 orang, penyandang cacat netra sebesar
363 orang, penyandang cacat tna rungu sebesar 214 orang, cacat mental raterdasi
sebesar 204 orang, penyandang cacat eks prikotik 245 orang, penyandang cacat
ganda 87 orang, dan penyandang cacat bibir sumbing terdapat 31 orang. Dari data
diatas juga dapat dilihat bahwa kebanyakan difabel adalah bejenis kelamin laki –
laki.
Sedangkan data dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi dalam
buku BPS Surakarta dalam Angka tahun 2009 menyebutkan bahwa jumlah difabel
dari tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami penurunan. Berikut adalah data jumlah
difabel pada tahun 2009: jumlah penyandang cacat tubuh adalah sebanyak 514
orang, penyandang tuna netra sebesar 112 orang, penyandang tuna mental adalah
59 orang, serta penyandang tuna rungu / wicara adalah 224 orang. Total difabel
di Surakarta pada tahun 2009 adalah 909 orang. Sedangkan data pada tahun 2008
menunjukkan bahawa jumlah difabel di Surakarta adalah sebesar 1464 orang.
Bila dibandingkan dengan tahun 2008 maka jumlah difabel pada tahun 2009
mengalami penurunan yang cukup banyak, penurunan tersebut banyak terjadi
pada penyandang tuna netra dan penyandang tuna mental. Namun penyandang
cact tubuh kian meningkat.
Selain itu walaupun terdapat banyak difabel di Kota ini, namun ada
banyak yayasan pula yang bergerak di bidang rehabilitasi bagi difabel. Beberapa
yayasan tersebut akan disajikan dalam tabel berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Tabel 02Yayasan Penyandang Cacat di Kota Surakarta
No Nama Yayasan Keterangan
1. Yayasan Catur Indria Panti rehabilitasi bagi difabel tunanetra
2. Yayasan Sosial Budi Insani Panti yang membimbing danmembina orang yang sebelumnyamenderita sakit jiwa
3. Yayasan Balai PenampunganPenderita Paraplegia Surakarta
Yayasan ini menampung penderitaparaplegia dari keluarga tidakmampu dan memberikan pelatihan,keterampilan, dan permodalan
4. Yayasan Selthered Workshop Panti Rehabilitasi cacat tubuh
5. Yayasan Asuhan Anak Tuna Yaysan pendidikan formal luar biasauntuk anak cacat
6. Panti Tuna Netra dan Tuna RunguWicara
Panti yang memberikan pendidikan,kursus, dan pelatihan kepada difabelnetra dan tuna rungu wicara
7. Yayasan Kesejahteraan Anak –anak Buta
Yayasan yang memberikanpelayanan rehablitasi bagi anak –anak difabel netra.
8. Yayasan Sosial Setya Dharma Yayasan yang memberikanpelayanan dan rehabilitasi untukanak – anak cacat mental
9. Yayasan Pembinaan Anak Cacat Yayasan yang memberikanpelayanan kepada anak – anak cacatbawaan maupun karena sebab lain
10. Yayasan Rehabilitasi Tuna RunguWicara
Yayasan yang memberikanpendidikan kepada difabel tunarungu wicara
11. Yayasan Pelayanan PenyandangCacat Ganda Bhina Sejahtera
Yayasan ini memberikan pelayananrehabilitasi sosial, pendidikan, danpengasramaan bagi difabel ganda
12. Yayasan Pembina Sekolah LuarBiasa
Merupakan panti rehabilitasi anakcacat mental
13. Yayasan Kesejahteraan Tuna NetraSurakarta
Panti ini memberikan pelayananrehabilitasi bagi difabel netra.
Sumber: Demartoto,2005
Banyaknya panti rehabilitasi inilah maka Kota Surakarta disebut surga
bagi difabel. Di kota ini difabel diperhatikan secara lebih serius bila
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
dibandingkan dengan kota yang lainnya, baik dari segi rehabilitasi maupun dari
segi aksesibilitasnya.
C. Layanan Publik di Kota Surakarta
C.1. Pasar – Pasar di kota Surakarta
Walaupun memiliki banyak pasar tradisional, namun penulis hanya
memfokuskan pada satu pasar yaitu Pasar Gede. Pasar seperti yang diketahui
khalayak umum sangatlah ramai, banyak orang bertransaksi dan berjual beli
untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Salah satunya adalah Pasar Gede
Kondisi pasar Gede sekarang ini sangatlah penuh dengan orang berjualan
dan sampai memakan pertengahan jalan yang digunakan pembeli untuk lewat.
Jumlah pedagang di Pasar gede mencapai 633 orang. Jumlah yang sangat
banyak dengan perbandingan luas lahan 10.421m2.
Sebagai pasar tradisional peninggalan masa lalu, pasar ini merupakan aset
budaya masyarakat Surakarta. Salah satu keunggulan pasar Gede adalah, turut
memperhatikan keperluan penyandang cacat dengan dibangunnya prasarana
khusus bagi pengguna kursi roda dan pengguna tongkat. Kondisi bangunan
pasar ini jauh lebih baik dari pasar pada umumnya. Bentuk fungsi bangunan
seperti atap, sirkulasi udara, masuknya cahaya sangat tepat agar kondisi pasar
tidak pengap, lembab dan juga menciptakan iklim komunikasi yang baik
dengan cara membuat lorong yang dibuat lebar untuk memudahkan interaksi
antar pedagang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Pasar Gede pada mulanya berdiri kecil pasar kecil di lahan seluas
10.421m2. Pasar Gede ini berdiri tepat didepan Gubernuran yang sekarang ini
menjadi Balaikota. Sekarang ini Pasar Gede memiliki 4 buah blok dengan jumlah
total pedagang sebanyak 633 orang. Masing blok terdiri dari yaitu Blok I
berjumlah 114 orang pedagang, Blok II 168 orang pedagang, Blok III sebanyak
140 orang, Blok IV berjumlah 134 orang, dan terakhir di lantai II yaitu penjual
daging sebanyak 63 orang. (wawancara dengan Bapak Suwarji, 15 Juli 2011)
Jelasnya pasar Gede sebagai pasar tradisional tidak kehilangan pamornya
bila dibandingkan dengan pasar moderen yang banyak tumbuh di Kota Surakarta.
Transakasi jual beli terjadi setiap harinya, dan selalu terlihat sibuk. Kegiatan
perdagangan bergeliat setiap saat.
C.2. Transportasi di Kota Surakarta
Terminal bus besar kota ini bernama Terminal Tirtonadi yang beroperasi
24 jam karena merupakan jalur antara yang menghubungkan angkutan bus dari
Jawa Timur (terutama Surabaya dan Banyuwangi) dan Jawa Barat (Bandung).
Selain terminal kota Surakarta juga memiliki banyak halte–halte bus yang tersebar
di berbagai ruas jalan. Untuk moda transportasi baru ada Batik Solo Trans yang
mulai beroperasi pada tahun 2010 yang lalu. Batik Solo Trans ini memiliki
haltenya sendiri yang sering disebut dengan shelter Batik Surakarta Trans ataupun
Halte Batik Solo Trans.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
C.2.1. Terminal Tirtonadi
Pada awal tahun 1975, terminal Bus Surakarta yang pada saat itu bernama
Stasiun Bus Harjodaksino yang berada di kampung Gemblegan dipandang lagi
tidak mampu untuk menampung jumlah bus yang kian bertambah. Mengingat
kondisi yang tidak memadai tersebut dapat menimbulkan kemacetan, maka
ditetapkan antara lain perlunya relokasi terminal bus yang selanjutnya dinamakan
Terminal Bus Tirtonadi Surakarta dan mulai beroperasi pada tanggal 18 juli 1976.
Tabel 03Pembangunan dan perluasan Terminal
Jenis Tahun / luasPembangunan Pertama Tahun 1975Pengoperasian Pertama 18 Juli 1976
Perluasan Pertama Tahun 1988Perluasn Kedua Tahun 1991
Luas setelah renovasi kedua 3,5 HaRencana Perluasan 1,5 Ha
Sumber: UPTD Terminal Tirtonadi
Terminal tirtonadi yang sekarang sedang mengalami tahap renovasi karena
terminal yang saat ini dirasa sudah terlalu penuh sehingga perlu ada perluasan.
Dengan jumlah bus yang datang perharinya mencapai 2400 bus, dan jumlah
pengguna jasa layanan transportasi mencapai 9000 orang perharinya maka sangat
jelas bahwa terminal yang sekarang ini terlalu sempit.
Kondisi bangunan di terminal Tirtonadi tidak cukup baik. Lantai di sekitar
terminal sangat kotor dan ada beberapa bagian yang rusak. Terdapat rem yang
biasa digunakan sebagai jalur troli barang yang membuatnya rusak. Walaupun
sudah disediakan tempat samapah, di beberapa sudut masih terdapat banyak
sampah berserakan. Diperkirankan pembangunan bertahap ini akan selesai pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
awal tahun 2013. Dengan adanya berbagai macam pembangunan ini, maka
masyarakat dapat menjadi lebih nyaman dalam menggunakan jasa angkutan
umum.
Tabel 04Banyaknya Bus dan Penumpang yang Masuk Terminal Tirtonadi
BulanJumlah Bus Jumlah
PenumpangAKDP AKAPJanuari 44.866 43.117 1.958.107Februari 40.184 37.756 1.736.215Maret 44.579 41.801 1.923.744April 42.619 41.263 1.865.145Mei 43.188 41.653 1.889.873Juni 42.022 43.072 1.460.973Juli 44.658 47.423 1.601.508
Agustus 44.006 43.947 1.524.333September 61.021 51.068 1.827.603Oktober 47.206 50.278 1.649.177
November 42.293 44.149 1.490.141Desember 43.871 47.775 1.580.353JUMLAH 540.513 533.302 20.507.172
Sumber: BPS, 2009
Data diatas memperlihatkan bahwa jumlah peumpang ataupun masyarakat
pengguna jasa transportasi sangat banyak. Bahkan pada tahun 2009 jumlah total
penumpang yang masuk ke terminal ini adalah mencapai duapuluh juta orang
lebih. Maka layak jika terminal Tirtonadi ini butuh perluasan untuk mengurangi
kepadatan.
C.2.2. Halte Batik Solo Trans
Batik Solo Trans merupakan solusi transportasi umum di Kota Surakarta
yang nyaman, aman, dan tepat waktu, BST merupakan bantuan dari Kementrian
Perhubungan sebanyak 15 unit. Pemilihan nama BST yaitu untuk menyesuaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
program jangka panjang Pemerintah Kota Surakarta yang akan meningkatkan
dunia Pariwisata dengan mengangkat tema batik sebagai ciri kas Kota Surakarta.
Halte BST diluncurkan pertama kali pada tahun 2010 yang memiliki manfaat
untuk mengoptimalkan kenyamanan pengguna jasa layanan transportasi.
Batik Solo Trans merupakan salah ikon kota Surakarta mengenai
transportasi. Bis yang mengusung tema tentang batik iniberoperasi sejak tahun
2010. Dengan tema "Batik", mencoba melekatkan ke hati masyarakat kota
Surakarta maupun luar kota Surakarta bahwa batik tidak hanya merupakan sebuah
objek yang lekat dengan pakaian saja, akan tetapi diapliasikan ke dalam sebuah
moda transportasipun tidak aneh. Bus ini merupakan sebuah angkutan umum yang
mengutamakan kenyamanan dan ketepatan waktu dengan harga yang terjangkau
bagi semua lapisan masyarakat. Dikatakan tepat waktu dikarenakan bus ini hanya
berhenti dan menaikan penumpak di sebuah halte yang telah disiapkan. Halte
tersebut diberi nama Shalter BST.
Shelter BST ini sudah terdapat sejumlah 35 buah, 24 diantaranya berada di
kota Surakarta, dan 11 lainnya berada di luar Surakarta. Halte BST ini nantinya
direncanakn dibuat sebanyak 51 buah. Untuk halte yang sekarang ada yang
disebtu halte portable atau semi permanent jumlahnya mencapai 20 buah. Halte
BST ini dibuat untuk kebutuhan masyarakat Surakarta akan transportasi tanpa
terkecuali. (wawancara dengan Bapak Suryo, 20 Juli 2011).
Ada beberapa halte yang ditunggui petugas untuk melihat data ketepatan,
salah satu halte BST tersebut adalah halte BST Pasar Gede. Dilihat dilapangan
kondisi halte–halte BST masih bagus dan terawat. Sedangkan halte yang semi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
permanent atau portable juga masih terlihat terawatt dan tidak disalahgunakan
oleh masyarakat umum.
C.3 Tempat – tempat Ibadah di Kota Surakarta
Di kota Surakarta terdapat banyak tempat ibadah untuk keberagaman
agama di Kota Surakarta. Berikut akan dijelaskan banyaknya tempat ibadah di
kota Surakarta dan banyaknya penganut masing–masing agama di Kota Surakarta.
Tabel 05Tempat Ibadah di Kota Surakarta di Tiap Kecamatan
Kecamatan Masjid Musholadan
Langar
GerejaKristen
GerejaKhatolik
Pura Vihara
Laweyan 132 38 20 2 - 2
Serengan 43 22 21 - - 1
PasarKliwon
79 23 11 2 - 1
Jebres 105 74 55 1 1 3
Banjarsari 146 57 62 - 1 4
JUMLAH 505 214 169 5 2 11
Sumber: BPS, 2009
Walupun memeiliki agama yang berbeda–beda namun para warga
masyarakat di Kota Surakarta ini saling mendukung dan membaur. Tabel
dibawah ini akan menampilakn mengenai banyaknya penduduk di Kota Surakarta
berdasarkan agama yang dianut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Tabel 06Banyaknya Penduduk di Tiap Kecamatan Menurut Agama yang Dianut
Kecamatan Islam Katholik Kristen Budha Hindu
Laweyan 89.652 10.980 9.313 399 210
Serengan 49.444 6.609 7.397 118 91
Pasar Kliwon 69.571 8.996 8.662 667 148
Jebres 98.764 20.984 21.282 1.420 869
Banjarsari 130.892 20.059 22.843 1.158 320
JUMLAH 438.892 67.628 69.497 3.762 1.638
Sumber: BPS, 2009
Jika dilihat pada table diatas maka di Kota Surakarta penganut agama
muslim menempati urutan pertama, lalu selanjutnya adalah penganut agama
Kristen, setelah itu penganut agama Khatolik, Budha, dan Hindu. Maka fokus
penelitian ruang publik yaitu tempat ibadah difokuskan pada Masjid Agung dan
Gereja Kristen Jawa Margoyudan, seperti kebanyakan agama yang dianut oleh
warga masyarakat Surakarta.
C.3.1 Masjid Agung Surakarta
Masjid Agung Surakarta didirikan tidak lama setelah pusat kerajaan
Kartasura dipindahkan ke Surakarta pada 17 Februari 1745M. Letak Masjid
Agung Surakarta tidak begitu jauh dari keraton yaitu di sebelah barat alun–alun
utara dan menghadap ke timur. Dalam perkembangannya, Masjid Agung
Surakarta telah mengalami pembangunan yang cukup banyak dan sebagai salah
satu ikon tempat ibadah umat Islam ini menjadi sasaran para pedagang maupun
pembeli di Pasar Klewer untuk melaksanakan ibadah sholat dan tempat untuk
berisitirahat bagi sebagian orang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Kondisi yang sekarang ini memang sangat tidak layak mengingat Masjid
Agung Surakarta termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi dan
dipertahankan. Kenyamanan ruangan yang ada merupakan faktor penting bagi
jamaah yang akan melaksanakan ibadah sholat. Begitu pula dengan tempat wudlu,
karena tempat tersebut merupakan tempat vital bagi setiap orang yang akan
melaksanakan ibadah, maka perlu adanya perbaikan yang dilakukan. Namun
tanpa mengubah bentuk tempat wudlu yang sudah aksesibel bagi masyarakat
maupun bagi difabel. Dengan kondisi ruangan yang nyaman maka semakin
banyak pula orang yang akan atang ke Masjid Agung Surakarta.
Hingga sekarang ini Masjid Agung masih menjadi salah satu tempat
wisata ziarah bagi wisatawan. Lebih dari 1000 orang setiap harinya yang
berkunjung ataupun untuk melakukan solat di masjid ini. Masjid Agung tetap
berdiri kokoh sama seperti ketika pertamakali dibangun, dan menjadi salah satu
masjid kebanggan di Kota Surakarta.
C.3.2. Gereja Kristen Jawa Margoyudan
Berdirinya GKJ Margoyudan diawali dari persekutuan yang dipimpin oleh
Dr.J.G Scheurer, seorang dokter utusan Zending. Seiring perkembangannya pada
13 April 1916, diadakan pemilihan anggota Majelis yang pertama. Maka pada hari
Minggu 30 April 1916 diresmikan terbentuknya majelis dan berdirinya Gereja
Keristen Jawa Margoyudan. Arsitektur bangunan gereja ini masih kental dengan
sentuhan Belanda kuno, mengingat pembangunan gereja ini didirakan oleh arsitek
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
Belanda dan kelestariannya yang masih terjaga.Gereja ini secara keseluruhan
memiliki kondisi yang masih baik.
Jumlah jemaat yang berada di bawah gereja ini yaitu 3000 orang jemaat,
yang diantaranya terdapat 20 orang jemaat penyandang cacat. Gereja Kristen
Margoyudan merupakan pelopor terbentuknya gereja–gereja Kristen Jawa di kota
Surakarta termasuk didalamnya adalah Gereja Kristen Indonesia.
C.4. Taman – Taman di Kota Surakarta
Sebagai salah satu taman di Kota Surakarta maka Taman Sekartaji
merupakan Taman yang diresmikan oleh walikota Surakarta Jokowi pada tanggal
20 Februari 2009 ini dapat dikatakan berbeda karena Taman Sekartaji berada di
pinggiran sungai atau bantaran sungai kali Anyar, di kawasan Mojosongo, Jebres,
Surakarta. Melihat fisik taman yang begitu dekat dengan sungai, semakin
menguatkan keberadaan tempat ini untuk dijadikan tempat yang sangat cocok
untuk bersantai atau beristirahat sejenak sembari melihat derasnya aliran sungai
Kali Anyar yang mengalir menuju sungai Bengawan Surakarta.
Pada mulanya Taman Sekartaji ini berupa lahan yang dihuni oleh PKL
penjual bunga. Sepanjang bantaran sungai kali Anyar tersebut banyak penjual
bunga yang tinggal semi permanent. Namun kebijakan pemerintah kota yang
mengharuskan kota Surakarta memiliki lahan terbuka hijau sebanyak 20%
mengaharuskan para penjual bunga ini harus pindah tempat atau direlokasi.
Walaupun diharuskan pindah tempat ternyata Pemerintah Kota telah menyedikan
tempat yang tidak jauh dari tempat mereka semula berjualan. Relokasi tersebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
berada di sebelah barat Pedaringan yaitu berupa shelter–shelter yang telah
dilengkapi dengan kamar mandi umum.
Taman tersebut masih tegolong baru. Taman ini berdiri karena ada surat
edaran dari walikota Surakarta yang ingin merubah bantaran sungai menjadi
daerah konservasi, seperti yang diungkapkan oleh Bapak Sultan dari Badan
Lingkungan Hidup.
“ Sebenarnya pembuatan Taman Sekartaji dan Taman Tirtonadi dibuatuntuk memenuhi perintah dari walikota untuk revitalisasi bantaran sungaimbak. Jadi adanya kebijakan untuk penataan ruang publik menjadi lahanterbuka hijau hingga 20%. (wawancara, 13 Juli 2011).
Akan tetapi sepertinya taman tersebut belum sepenuhnya selesai karena masih
ada beberapa bagian taman yang kosong terlihat masih belum digarap. Lewat
Taman Sekartaji ini setidaknya Surakarta sudah mampu menyulap bantaran kali
menjadi sebuah taman yang indah ini bisa sedikit mengurangi sebab terjadinya
banjir dan menjadi ruang terbuka hijau.
Dengan dibangunnya Taman Sekartaji, diharapkan untuk masyarakat kota
Surakarta pada umumnya semakin peduli dengan lingkungan sekitar termasuk di
kawasan bantaran sungai Kali Anyar. Walaupun yang pada mulanya tidak terawat
dan mengandung resiko bencana yang tinggi pada akhirnya kawasan ini diubah
menjadi sebuah tempat multifungsi selain sebagai tempat bersantai tetapi juga
sebagai daerah konservasi yang tentunya memiliki manfaat bagi warga Surakarta.
C.5. Mall dan Store di Kota Surakarta
Pusat bisnis kota Surakarta terletak di sepanjang jalan Slamet Riyadi.
Banyak pusat perbelanjaan terdapat di kota Surakarta ini. Dalam penelitian ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
ruang publik mengenai pusat perbelanjaan dikhususkan pada Solo Grand Mall
sebagai Mall pertama di Kota Surakarta.
Solo Grand Mall yang dibangun diatas lahan seluas 12.080 m2, merupakan
bangunan pusat perdagangan yang bernuansa Mal, dimana bangunan komersial ini
terdiri atas 7 lantai dengan total luasannya 63.000 m2. Mall yang mulai
beroperasi pada 04 Desember 2004 memiliki banyak fasilitas yang ditawarkan di
dalam Mall ini. Dengan fasilitas yang memadai maka banyak pula pengunjung
yang datang. Di setiap lantai terdapat lift dan escalator maupun travelator untuk
menunjang kenyamanan pengunjung. Pengunjung yang datang pun merasakan
kenyamanan, ruang parkir roda emapt dan roda dua yang luas serta adanya
penjagaan. Semua lantai dapat diakses dnegan baik oleh semua orang. Terdapat
pula ruang untuk ibu dan anak menyusui yang dapat digunakan oleh ibu dan anak
yang membutuhkan ruang terserbut. Banyak fasilitas yang ditawarkan kepada
msyarakat luas. (solograndmall.co.id)
Dari disini dapat terlihat bahwa kota Surakarta memiliki berbagai macam
ruang publik dan fasilitas yang sangat banyak, diantaranya adalah Pasar Gede,
Taman Sekartaji, Halte Batik Solo Trans, Terminal Tirtonadi, Masjid Agung
Surakarta, Gereja Kristen Jawa Margoyudan, dan Solo Grand Mall. Setiap ruang
publik memiliki fungsi dan kesemuanya haruslah dapat digunakan oleh semua
masyarakat dapat menjadi kebanggaan kota Surakarta. Selain itu ruang publik
haruslah dirawat agar tetap terjaga dengan baik. Berbagai macam ruang publik
inilah yang membawa kota Surakarta di dalam perkembangan yang cepat ke arah
yang lebih baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
BAB III
ANALISIS DATA
Ruang publik merupakan ruang dimana masyarakat dapat berkumpul dan
menghabiskan waktu sejenak. Ruang publik dapat bermacam–macam bentuknya
sesuai dengan jenis dan fungsinya yang berbeda–beda. Ada berbagai jenis antara
lain yaitu tempat ibadah, tempat atau sarana transportasi, taman kota, pasar
maupun mall, dan lain sebagainya. Sebagai ruang publik maka kegunaan secara
umum adalah sepenuhnya untuk masyarakat yang membutuhkan tanpa
pembedaan apapun.
Sekarang ini kota Surakarta merupakan kota yang mengalami kemajuan
yang sangat pesat. Dalam segi apapun terlihat sangat berkembang. Salah satunya
adalah dari sisi ruang publik yang begitu jelas. Diakui bahwa Surakarta juga
merupakan salah satu surga bagi difabel, karena begitu banyak akses yang mudah
bagi para difabel ini untuk menggunakannya. Menurut Dinas Tata Ruang Kota,
Surakarta memang telah menjalankan Perda No. 2 Tahun 2008 yaitu mengenai
kesetaraan difabel. Semua pembangunan yang baru haruslah sesuai dengan
peraturan tersebut. Namun untuk pembangunan yang lama diharapkan juga
segera untuk menambahkan akses bagi difabel.
Surakarta mempunyai sejarah yang baik mengenai difabel. Sejak menjadi
rujukan Asia Pasifik dalam penyelenggaraan rehabilitasi difabel pada tahun 1957,
Surakarta dikenal menjadi kota peduli difabel. Dibawah pimpinan Prof. dr
Soeharso, di saat itu banyak lembaga rehabilitasi difabel yang didirikan, seperti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
RC (yang sekarang menjadi BBRSBD), YPAT (yang sekarang menjadi YPAC),
dan Rumah Sakit Orthopedi. Pada waktu itu konsep rehabilitasi difabel dilakukan
secara total, mulai dari penanganan medis hingga pelatihan untuk memperoleh
pekerjaan. Banyaknya panti rehabilitasi difabel yang bermunculan di Surakarta
mengundang difabel dari luar kota berdatangan untuk mendapatkan rehabilitasi.
Selain rehabilitasi terdapat pula pelatihan yang membuat difabel menjadi lebih
betah, selain itu terdapat banyak akses bagi difabel di kota ini.
Dalam penelitian ini lebih ditekankan pada aksesibilitas secara fisik
kesetaraan terhadap difabel yang sekarang ini seringkali masih menjadi masalah
bagi difabel. Aksesibilitas fisik meliputi layanan dan fasilitas yang diberikan oleh
pemerintah maupun pihak swasta bagi difabel dalam akses yang lebih mudah
untuk menggunakannya. Aksesibilitas ini dibuat oleh pemerintah dengan harapan
sebagai bentuk sebuah kemandirian untuk difabel. Selain itu difabel yang dipilih
adalah difabel tunadaksa yaitu difabel yang berkursi roda dan difabel yang
memakai tongkat. Untuk jenis kecacatannya ada berbagai jenis yaitu polio,
amputasi, dan kelainan pertumbuhan tulang. Penderita tunadaksa merupakan
cacat yang diasumsikan memeiliki persoalan yang paling kompleks dengan jenis
cacat lain, terutama dalam hal aksesibilitas
Jadi bisa dibilang setiap apa yang yang akan dikembangkan oleh
pemerintah harus sesuai dengan kebutuhan difabel tersebut. Hal ini karena difabel
juga memiliki hak untuk mengakses sesuatu yang dapat diakses oleh orang
normal. Setiap pembangunan yang ada haruslah mendapat ijin dari Pemerintah
Kota, karena hal itu adalah untuk masyarakat umum dan juga bukan untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
kelompok tertentu, jadi setiap orang dapat menikmati ruang tersebut tanpa
kesulitan ataupun pembedaan.
A. Permasalahan Aksesibilitas
Dalam penelitian ini yang difokuskan pada masalah aksesibilitas fisik
difabel ditemukan bahwa banyak permasalahan yang ditemukan oleh peneliti.
Permasalahan tersebut menjadi suatu rintangan bagi difabel dalam kemudahan
mendapatkan aksesibilitas. Beberapa permasalahan mengenai aksesibilitas
difabel, sejauh apa yang ditemukan oleh peneliti di lapangan :
1. Masalah Desain Teknis
Permasalahan desain teknis berkaitan dengan bentuk bangunan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan difabel. Sebagai contoh adalah rem
yang terlalu tinggi, sempitnya jalan masuk menuju suatu ruangan, tidak
adanya guilding block dalam suatu bangunan. Bagi difabel berkursi roda
maka beberapa hambatan desain teknis yang dialami adalah:
1. Perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti
pada tangga atau parit.
2. Tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar.
3. Tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor
yang terlalu sempit
4. Permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang (misalnya karena
adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
Hambatan ini dialami oleh salah seorang difabel berkursi roda yaitu
Amsori Zakim yang kesulitan mengakses Taman Sekartaji, karena sarana rem
landai yang tidak ada antara trotoar dan jalan hal ini mengakibatkan difabel
berkursi roda tidak bisa masuk kedalamnya.
Dari sini jelas terlihat Perda kesetaran difabel masih belum menjangkau
hingga kebutuhan difabel dalam ruang publik Taman yang sedianya memang
digunakan untuk melakukan aktivitas bersantai. Selain itu jalanan yang tidak rata
juga menjadi salah satu permasalahan yang dialami difabel. Keadaan jalan yang
tidak rata menyulitkan difabel untuk dapat mandiri terkhusus bagi difabel berkursi
roda, kesulitan bisa dialami para difabel bila tiba-tiba kursi roda yang mereka
terantuk sesuatu seperti lubang ataupun batu kerikil.
Hasil dari lapangan ditemukan pula bahwa difabel berkursi roda juga
mengalami kesulitan ketika akan mengakses Halte Batik Solo Trans, yang
sejatinya ada setelah Perda kesetaraan difabel ada. Tingginya tingkat kecuraman
rem yang berada di sisi pintu masuk halte membuat difabel berkursi roda harus
memerlukan bantuan orang lain untuk mengaksesnya.
Kecuraman bagi difabel berkursi roda membuat difabel tersebut
membutuhkan bantuan orang lain dan tidak dapat mandiri. Padahal dengan
kecuraman yang ada maka kemandirian yang diharapkan terjadi pada difabel
menjadi tidak terjadi.
Hambatan tidak saja dialami oleh difabel pemakai kursi roda, difabel
pemakai tongkat atau semi ambulant pun juga mengalami hambatan yang dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
mempersulit dirinya. Berikut adalah hambatan bagi difabel tongkat yang
ditemukan di lapangan.:
1. Tangga yang terlalu tinggi.
2. Lantai yang terlalu licin.
3. Pintu lift yang menutup terlalu cepat.
Tangga yang terlalu tinggi dan banyak dirasakan oleh Muhamad Rosul
ketika akan menunaikan ibadah sholat di Masjid Agung Surakarta. Tangga yang
berada di masjid tersebut tinggi dan banyak, difabel akan mengalami kelelahan
dan sedikit kesulitan untuk melewatinya.
Bagi difabel semi ambulant atau pemakai tongkat, walaupun tidak separah
kursi roda tetap saja mereka akan mengalami kesulitan dengan tempat yang
mempunyai ketinggian curam. Lantai yang licin seperti lantai tempat wudlu di
Masjid Agung juga sedikit menghambat difabel, walaupun di tempat tersebut
telah dibuat khusus bagi difabel untuk berwudlu.
Dari penjabaran diatas mengenai permasalahan desain teknis mengenai
aksesibilitas difabel maka dapat diketahui ada beberapa ruang publik yang peneliti
teliti masih belum sesuai dengan keadaan difabel. Ruang publik tersebut antara
lain yaitu:
a. Taman Sekartaji
Taman yang terbuka merupakan simbol dari perjumpaan antar
individu, keluarga maupun komunitas. Warga masyarakat dari berbagai
kalangan membaur dalam keindahan taman . Anak kecil, remaja, orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
dewasa, lanjut usia bahkan difabel bisa kita temui di taman. Tidak saja akhir
pekan tapi juga di hari kerja, taman terus ramai sampai malam. Selain itu taman
adalah ruang terbuka hijau merupakan sarana estetika yang mampu memberikan
kesejukan dikala musim panas, pori-pori kota berfungsi menyerap air dikala
musim hujan, paru-paru kota menyaring polusi udara co2 serta tempat
bersosialisasi warga. Kebutuhan warga masyarakat terhadap taman sama
pentingnya dengan kebutuhan sandang dan pangan, karena keberadaanya bisa
memberikan nilai positif terhadap produktifitas warga dalam merilekskan pikiran.
Taman Sekartaji salah satu taman yang dibangun di Kota Surakarta yang
memiliki fungsi sebagai daerah konservasi, taman yang dibangun di sepanjang
bantaran sungai ini merupakan ruang publik yang ramai dikunjungi masyarakat.
Salah satunya adalah difabel tentunya, karena bertempat tepat di depan pusat
pelatihan difabel yaitu BBRSBD Prof. DR. Soeharso. Difabel dari sekolah
tersebut sering menghabiskan waktu disitu.
“Taman Sekartaji ini kan pake anak tangga kak, ga ada jalan buatsaya yang pakai kursi roda, yaudah jadi bisanya yaw cuma disini saja. Jadiya lebih baik saya tinggal diasrama BBRSBD saja dan tidak kemana –kemana. Kalau buat saya kak, taman ini harusnya dikasi rem yang landaibiar difabel kursi roda kaya saya bisa masuk kebawahnya, kan saya jugapengen liat taman ini kak. Agak iri juga liat temen-temenku bisa sampe kebawah, tapi saya ga bisa. “ ( wawancara dengan Amsori Zakim 08 Juli2011 )”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Foto 01
Keterangan: Pintu masuk Taman yang berupa anak tanggayang menyulitkan difabel berkursi roda masuk kedalamnya.Sumber : Dokumentasi peneliti
Bentuk dari taman ini adalah memanjang dengan berbagai macam jenis
tanaman, namun untuk dapat melihat taman ini harus melalui anak tangga yang
jumlahnya beberapa. Dari hal ini difabel seperti Amsori yang berkursi roda tidak
dapat menikmati Taman Sekartaji yang notabene memang tidak dibangun untuk
difabel. Lain halnya dengan difabel yang mengalami kecacatan semi ambulant
yaitu difabel yang cacat dan perlu mengunakan tongkat masih dapat menggunakan
dan mengakses Taman Sekartaji sampai ke bawah dan di sepanjang bantaran
sungai.
“ Kalau aku sendiri akses tangga ataupun rem bisa mbak, soalnya kanaku pakai tongkat jadi tanpa bantuan teman pun aku bisa masukmenikmati sekartaji. Aku bisa masuk dengan mudah kan disitu adanyatangga , tp ga tau juga kalau yang pakai kursi roda bisa atau tidak”. (wawancara dengan Eman Permana, 08 Juli 2011 )
Jika melihat keadan ini maka difabel berkursi mengalami kesulitan untuk
mengakses sedangkan untuk difabel yang menggunakan tongkat tidak kesulitan
untuk mengaksesnya. Hal ini yang memengaruhi perbedaan intesitas difabel
untuk berkunjung ke Taman Sekartaji. Bagi difabel bertongkat mereka sering
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
berkunjung untuk nongkrong ataupun bersantai, tapi bagi difabel berkursi roda
karena hambatan akses tidak memadai membuat difabel menjadi malas
mengunjungi tempat tersebut.
Jadi untuk Taman Sekartaji yang lebih mengedepankan pada ruang
terbuka hijau untuk prioritas utama, dan sebagai ruang publik bagi masyarakat
sebagai prirotas kedua, maka taman ini belum sepenuhnya bisa menjangkau
masyarakat khususnya bagi difabel. Hal ini menjadikan salah satu permasalahan
infrastruktur dan fungsi yang masih membelit difabel berkursi roda. Bentuk
bangunan yang tidak mengunakan akses landai di pintu masuk menjadikan difabel
kesulitan.
b. Halte Batik Solo Trans
Transportasi merupakan salah satu hal penting dalam kehidupan. Setiap
orang membutuhkan transportasi, baik tua maupun muda. Batik Solo Trans
merupakan solusi transportasi umum di Kota Surakarta yang nyaman, aman, dan
tepat waktu. Halte BST diluncurkan pertama kali pada tahun 2010 yang memiliki
manfaat untuk mengoptimalkan kenyamanan pengguna jasa layanan transportasi.
Halte Batik Solo Trans terdiri dari perpaduan antara unsur modern dan
tradisional yang sangat tampak pada bangunannya. Haltenya didominasi warna
merah dan material kaca serta dihiasi pola-pola batik pada bagian bawahnya.
Atapnya juga menggunakan jenis atap yang sering digunakan pada rumah-rumah
tradisional Jawa. Halte Batik Solo Trans juga memiliki pengawas . Di beberapa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
halte ada seorang pengawas yang bertugas memberitahu sopir tentang interval
waktu antarbus. Rupanya hal interval waktu ini sangat diperhatikan.
Foto 02
Keterangan : Halte yang ditunggui oleh petugas, namunbentuk halte ini tidak aksesibel bagi difabel.
Sumber : Dokumentasi peneliti
Bentuk lainnya adalah adanya anak tangga dan jalan landai yang memiliki
pegangan bagi difabel disisi kanan maupun kiri. Halte Batik Solo Trans
dirancang memang untuk difabel. Namun tidak semua bisa haltenya bisa, bahkan
rem pun tidak semua halte Batik Solo Trans landai, kemiringan bahkan ada yang
mencapai sekitar 60 derajat. Selain itu titik halte juga berada di tempat tertentu,
hal ini menyulitkan difabel untuk merasakan halte maupun bus Batik Solo Trans.
“ Aku emang sering naik bis mbak tapi kalau naik BST aku belumpernah sama sekali aku jadi malas nyoba bis batik surakarta trans,mending naik bis yang lain aja, soalnya lebih gampang”. ( wawancara,08Juli 2011)
Tingginya kecuraman inilah yang menjadi hambatan desain teknis bagi
difabel. Dengan rem yang sangat curam maka difabel akan kesulitan mengakses.
Seharusnya tingkat kecuraman rem bagi difabel adalah bekisar antara 6–10
derajat. Namun bila melihat halte Batik Solo Trans, hampir semuanya memiliki
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
kecuraman lebih dari 10 derajat. Selain itu juga ada banyak halte Batik Solo
Trans yang masih portable atau semi permanen, yaitu yang berupa anak tangga
saja. Tentunya hal ini merupakan suatu kesulitan tersendiri bagi difabel, bahkan
difabel berkursi roda tidak akan bisa menggunakannya.
Foto 03
Keterangan: Halte BST yang mengunakan akses landainamun curam
Sumber : Dokumentasi peneliti
Dari hal tersebut diatas dapat dilihat bahwa masyarakat difabel
kebanyakan masih belum mampu untuk mengakses Halte Batik Solo Trans.
Selain karena harus di titik tertentu untuk dapat menaikinya, halte dari BST itu
sendiri masih banyak yang kurang bisa dijangkau oleh difabel. Mulai dari tingkat
kecuraman maupun rem yang berbenturan dengan pohon-pohon dipinggir jalan.
c. Masjid Agung Surakarta
Masjid Agung Surakarta ini adalah masjid terbesar di Surakarta. Dibangun
sekitar tahun 1727 atas prakarsa Pakubuwono X. Masjid ini memiliki arsitektur
Jawa Klasik, terletak di bagian barat Alun-alun Surakarta. Dengan status masjid
negara dan kerajaan karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan
kerajaan.
Masjid Agung Surakarta sebagai ikon kota Surakarta merupakan menjadi
salah satu tujuan wisata para wisatawan. Setiap harinya banyak orang berkunjung
kesana baik untuk beribadah maupun untuk melihat keindahan dari masjid Agung
ini. Salah seorang difabel yaitu Saudara Rosul yang sering mengunjungi masjid
mengungkapkan bahwa mudah untuk masuk kebangunan Akan tetapi karena
harus naik tangga yang lumayan tinggi membuat dirinya menjadi lelah.
“ Kalau mau sholat disana itu naiknya tinggi mbak, ngga kesulitan sihtp lumayan bikin capai dan menguras tenaga juga. Saya pakai anaktangga saja bisa masuk ke dalamnya, tapi kalau yang kursi roda palingngga ya harus ada jalannya, bukan anak tangga seperti itu.”.(wawancara, 23 Juni 2011)
Pendapat Saudara Rosul juga mendapat dukungan dari Bapak Bambang
seorang difabel semi ambulant yang menggunakan tongkat, beliau mengatakan
merasa capai jika akan melaksanakan ibdah sholat karena harus lah naik anak
tangga yang cukup banyak dan tinggi.
“Nek Cuma mlaku teng mriki nggih mboten enten napa – napa ne, nikikan nggih ibadah terus kathah pahalane. Kulo solat nggih solat biasambak, nek teng masjid cerak griya kulo mboten enten undak–undakanetapi teng mriki enten nggih radi kesel asline mbak, tapi niku ibadahitungane. (Kalau Cuma untuk menuju kesini (Masjid Agung Surakarta) itu tidak ada apa–apanya saya anggap itu ibadah yang banyakpahalanya. Saya solat ya solat biasa mbak, kalau di masjid dekatrumah saya tidak ada tangganya, tapi kalau disini ada jadi yaw agakcapai sebenarnya mbak, tapi ya itu ibadah.)”. (wawancara, 20 Juli2011)
Bagi difabel yang mengunakan kursi roda untuk mencapai ibadah di ruang
dalam tidak akan bisa karena harus menaiki anak tangga yang tinggi. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Kepala TU Masjid Agung yang setiap harinya berada disana, pengunjung difabel
berkursi roda hampir tidak ada kalaupun ada pasti tidak bisa melaksanakan ibadah
solat sampai ke bangunan utama.
“ Bagi mereka yang berkursi roda biasanya mereka Cuma sampaiserambi aja mbak sholatnya, tapi kalo yang pakai tongkat bisa masukkedalam. Kan tempat didalam itu berupa tangga mbak, jadi ya susahbuat mereka yang pakai kursi roda, ga ada tempat khusus bagi difabelmbak kecuali tempat buat wudhu itu. “ (wawancara, 20 Juli 2011).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masjid Agung Surakarta
aksesibel terhadap difabel namun hanya bagi difabel pemakai tongkat. Hambatan
berupa arsitekrutal desain teknis ini berupa anak tangga yang tinggi untuk menuju
ruang utama dan itu membuat difabel kesulitan untuk mengakses saat akan sholat.
Sedangkan untuk tempat wudlunmya tidak ada hambatan infrastrukturnya karena
tempat wudlu dibangun sebagai bentuk kepedulian terhadap difabel dalam
menjalankan ibadahnya menjadi lebih mudah.
Dapat terlihat bahwa hambatan desain teknis ini merupakan suatu
permasalahan bagi difabel, seperti yang diutarakan Hinkle dalam teori aksi bahwa
kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tidak dapat
diubah dengan sendirinya. Dari hal ini jika dikaitkan dengan ruang publik maka
dapat dilihat bahwa ruang publik yang seharusnya demokratis yaitu dapat
dimanfaatkan masyarakat umum tanpa terkotak-kotak ternyata masih belum
aksesibel bagi difabel. Difabel tidak akan bisa mengkases jika tidak ada
pembangunan yang memihak kearah mereka. Hambatan desain teknis ini
membuat difabel menjadi terkotak-kotak karena mereka belum mampu mengakses
dengan baik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
2. Ruang Yang Tidak Kondusif
Keadaan ruang yang tidak kondusif adalah ketika ruangan tersebut terlalu
sempit ataupun ramai, sehingga difabel tidak bisa dengan mudah mengakses
tempat tersebut. Perasaan tidak nyaman akan menghampiri difabel jika difabel
merasa terdesak didalam suatu ruangan. Terdapat beberapa ruang publik yang
diteliti dengan keadan yang tidak kondusif bagi difabel adalah Pasar Gede dan
Terminal Tirtonadi.
a. Pasar Gede
Pasar Gede merupakan pasar yang telah mengunakan fasilitas bagi difabel
namun difabel merasa kurang nyaman jika harus berada didalam pasar.
“ternyata apa rame banget sampe saya kedesak–desak orang. memangmudah masuknya sih mbak, tp itu didalamnya terlalu ramai dan membuatsaya ga merasa santai untuk berbelanja.” (wawancara, 23 Juni 2011)
Pasar Gede tempat bertransaksi jual beli ini setiap harinya dipadati oleh
lebih kurang seribu orang tiap harinya. Lorong tempat pengunjung untuk berjalan
pun semakin sempit karena dipakai untuk berjualan. Orang normal saja merasa
kesulitan ketika harus berjalan di lorong yang penuh pedagang tersebut apalagi
orang yang berkebutuhan khusus seperti difabel.
“sebenarnya pasar Gede itu sendiri udah sangat bisa diakses buatmasuknya, yaw tapi itu mungkin mereka ga bisa leluasa apalagipedagangnya kan kalo jualan ada yang ditengah–tengah, mungkin itu yangmembuat penyandang cacat itu tidak nyaman.” (wawancara dengan BapakSuwarji, 15 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Foto 04
Keterangan: Lorong sempit diantara pedagang yang tidakleluasa baik bagi difabel maupun masyarakatluas
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Hal inipun sebenarnya juga sudah diakui oleh pegawai Pasar Gede,
pedagang yang berada di tengah lorong tersebut membuat tidak leluasa bagi
difabel maupun orang normal dalam berbelanja. Namun untuk mengusir keluar
pedagang juga tidak bisa dilakukan karena mereka merupakan pedagang sah di
pasar gede yang selalu membayar retribusi. Keadaaan pasar yang ramai serta
jalan yang menjadi sempit membuat difabel enggan untuk mengunjungi pasar
lagi.
b. Terminal Tirtonadi
Terminal Tirtonadi setiap harinya terdapat ribuan pengunjung yang datang
dan pergi. Bahkan sangat sedikit sekali difabel yang mengakses terminal. Salah
seorang difabel yaitu Amzori mengatakan bahwa Terminal itu sangat tidak
kondusif dan sangat tidak nyaman bagi orang–orang berkebutuhan khusus.
“Buat naik atau turun ke bis nya juga butuh bantuan orang soalnya tinggibis dan lantainya ga sama, selain itu rame juga.” (wawancara, 08 Juli2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Keadaan ruang yang tidak kondusif menjadi salah satu permasalahan
aksesibilitas tempat yang sempit dan terlalu banyak orang menjadikan difabel
akan merasa enggan untuk menjangkau di tempat tersebut. Dalam hal ini terminal
menjadi salah satu ruang publik yang memiliki keadaan yang tidak kondusif.
Walaupun mungkin bagi orang normal hal ini biasa, namun nyatanya tidak bagi
difabel. Difabel memiliki kemampuan yang berebda, maka keadaan yang
diinginkan pun harus sedikit berbeda. Jika orang normal keadan ramai masih bisa
bertahan, namun tidak bagi difabel yang membutuhkan ruang untuk bisa
menyesuaikan diri.
Dari pihak terminal juga mengatakan difabel hanya sedikit sekali yang
terlihat ada di terminal, hal ini dikarenakan terminal yang sangat ramai dan
walupun sudah disediakan akses rem namun tidak bisa digunakan dengan baik.
“saya jarang melihat difabel di terminal ini, hanya sekitar 1% saja setiapbulannya ada nya difabel, jadi sangat jarang sekal, kondisi terminaltirtonadi yang sekarang adalah terlalu sempit dan sesak bagi bus–bus yangmasuk dan keluar, begitu pula dengan masyarakat penguna jasatransportasi juga semakin banyak” ( wawancara dengan Bapak Henry, 20Juli 2011).
Banyaknya penguna jasa terminal ini yang membuat difabel merasa tidak
nyaman. Amzori difabel berkursi roda mengatakan membutuhkan ruang yang
cukup, akses yang tepat, dan tidak terlalu ramai, karena keramaian dapat
membuatnya tidak nyaman.
Kondisi yang tidak kondusif dalam ruang publik merupakan permasalahan
aksesibilitas difabel yang cukup sering ditemui. Kondisi seperti ini mengakibatkan
difabel merasa tidak percaya diri karena mereka akan kurang bisa menyesuaikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
diri dengan keadaan di sekitarnya. Sempitnya akses sosial bagi mereka telah
membuat ruang gerak difabel semakin terbatas. Hal ini sama seperti yang
diungkapkan oleh Parsons dalam skema unit dasar tindakan sosial yaitu aktor
berhadapan dengan kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya dalam
mencapai suatu tujuan. Keterbatasan difabel dalam mengkases karena kondisi
yang tidak dapat dikendalikan oleh difabel itu sendiri membuat mereka menjadi
malas bahkan enggan mencapai suatu ruang publik, dalam hal ini adalah pasar dan
terminal. Kedua ruang publik ini dirasa tidak sesuai dengan keadaan mereka yang
memiliki kemampuan yang berbeda.
3. Fasilitas Yang Tidak Memadai dan Kurang Perawatan
Tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh semua orang merupakan
persoalan kesamaan kesempatan dan keadilan sosial. Akses terhadap fasilitas-
fasilitas umum merupakan hak bagi semua masyarakat, bukan pilihan semata.
Lebih dari itu, penataan lingkungan yang sesuai dengan aksesibilitas akan juga
memberikan lebih banyak kenyamanan bagi warga masyarakat pada umumnya.
Kota Surakarta juga seharusnya menjamin bahwa dalam perencanaan suatu
bangunan, konstruksi,dan desain fisik, utamanya yang bersifat publik, adalah
mempertimbangkan akses para difabel dan para perencana pembangunan haruslah
memahami kebijakan pembangunan fisik yang ramah terhadap difabel. Untuk
keperluan tersebut, difabel harus dilbatkan dalam proses konsultasi perencanaan
bangunan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
Bagi kebanyakan orang keperluan akses bagi difabel itu termasuk nomor
dua, karena permasalahan aksesibilitas bagi kebanyakan orang adalah tidak
penting. Di kota Surakarta sendiri diketahui bahwa terdapat Perda Kesetaraan
Difabel yang mewajibkan setiap bangunan terdapat akses yang ramah bagi
difabel. Namun pada kenyataannya banyak dari ruang publik sebenarnya sudah
memberikan akses bagi difabel namun difabel tetap tidak bisa merasakan
manfaatnya.
Seperti yang telihat di terminal Tirtonadi, ditempat tersebut sudah terdapat
rem atau jalan landai, namun ternyata rem tersebut sudah tidak layak bagi difabel.
Bahkan rem terdsebut beralih fungsi menjadi tempat jalan bagi troli angkutan
barang. Selain itu rem tersebut terdapat kerusakan yang cukup sulit bila difabel
melewatinya. Fasilitas tersebut tidak terawat dan dibiarkan begitu saja. Seperti
yang terlihat dalam gambar berikut:
Foto 05
Keterangan : Akses rem Terminal Tirtonadi yang tidakterawat dan sebagai tempat jalannya troli
Sumber : Dokumentasi Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
Foto 06
Keterangan : Pertautan antar lantai di TerminalTirtonadi yang tidak terawat
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dari hasil observasi juga ditemukan bahwa kurang perawatan akses rem di
Masjid Agung Surakarta. Dapat dilihat dari akses rem yang hanya sampai di
pelataran tersebut sudah ada kerusakan dan diabaikan begitu saja. Padahal akses
tersebut akan sangat membantu difabel berkursi roda untuk lebih mudah mencapai
Masjid tersebut.
Foto 07
Keterangan: Akses rem bagi difabel di Masjid Agung yangtelah rusak
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Permasalahan mengenai aksesbilitas ini juga dibenarkan oleh Ibu
Purwaningtyas yang memiliki keponakan seorang difabel. Beliau menuturkan
bahwa banyak akses bagi difabel kurang memenuhi standar dan terkadang malah
rusak–rusak. Aksesbilitas bagi difabel sebenarnya sudah ada, namun terkadang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
fasilitasnya tidak sesuai bahkan tidak memadai, jika tidak memadai itu biasanya
membuat difabel menjadi repot.
“Sepertinya belum ya cuma sedikit tempat ya yang memberikan fasilitasbuat difabel kalau ada pun kadang juga tidak diperhitungkan, maksudnyaya jalannya buat yang naik kursi roda sudah rusak-rusak lah, ada juga yangterlalu tinggi kan kasian bisa - bisa njempalik mereka.” (wawancara, 31Juli 2011)
Fasilitas yang telah disediakan bagi difabel terlihat kurang perawatan.
Ruang publik secara responsif haruslah dapat digunakan untuk kepentingan luas
tanpa hambatan apapun, salaha satunya ada tidak terawat. Difabel akan sangat
mengalami kesulitan, akses yang terawat saja masih ada yang membuat kesusahan
apalagi akses yang tidak terawat. Hal ini akan membawa dampak yaitu difabel
tidak dapat berpartisipasi penuh terhadap adanya ruang publik. Kondisi seperti ini
sama seperti yang diungkapkan Parsons bahwa ada kondisi yang tidak dapat
dikendalikan oleh individu salah satunya bagi difabel adalah fasilitas yang tidak
memadai dalam ruang publik.
Surakarta merupakan kota yang sedang mengalami pertumbuhan yang
cukup pesat. Dimulai dari segala bidang pembangunan yang ada, berbagai
macam renovasi untuk mempercantik wajah kota Surakarta. Meskipun bukan
Ibukota Propinsi, namun Surakarta bersetatus sebagai kota besar dan menjadi
salah satu kota terpenting di Indonesia. Dari permasalahan–permasalahan diatas
dapat dikatakan bahwa kota Surakarta yang mengalami perkembangan dalam
pembangunan belum sepenuhnya bisa memberikan keleluasaan bagi difabel dalam
melakukan kreativitasnya seperti masyarakat pada umumnya. Masih banyak
diantara difabel mengalami kesulitan ketika harus menghadapi suatu tempat yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
diinginkan karena terbatasanya akses bagi mereka. Perda Kesetaraan Difabel
yang telah ada sejak tahun 2008 pun hanya sedikit saja membawa perubahan bagi
difabel. Namun walaupun demikian dengan adanya Perda tersebut, kota Surakarta
setidaknya bisa memberikan hak dan kesempatan yang sama bagi masyarakat
difabel.
B. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 Mengenai Kesetaraan Difabel
B.1 Proses Terbentuknya Perda.
Sebagai warga negara Indonesia, kedudukan, hak, kewajiban dan peran
penyandang cacat adalah sama dengan warga negara lainnya. Oleh karena itu,
peningkatan peran para difabel dalam pembangunan nasional sangat penting
untuk mendapat perhatian dan didayagunakan sebagaimana mestinya. Hingga saat
ini sarana dan upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para difabel telah dilakukan melalui
berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu yang mengatur masalah
ketenagakerjaan, pendidikan nasional, kesehatan, kesejahteraan sosial, lalu lintas
dan angkutan jalan, perkeretaapian, pelayaran, penerbangan, dan kepabeanan.
Dengan pertimbangan bahwa jumlah difabel akan meningkat pada masa
yang akan datang, masih diperlukan lagi sarana dan upaya lain terutama dengan
penyediaan sarana untuk memperoleh kesamaan kesempatan bagi difabel dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan, khususnya dalam memperoleh
pendidikan dan pekerjaan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosialnya.
Yang dimaksud dengan kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
penghidupan sosial yang diliputi oleh rasa keselamatan, kemudahan, dan
ketentraman lahir batin yang perlu dilakukan dengan upaya-upaya yang lebih
memadai, terpadu, dan berkesinambungan guna mewujudkan kemandirian dan
kesejahteraan difabel.
Akan tetapi para penyandang cacat yang juga dikenal dengan istilah
Difabel (different ability) di Kota Surakarta saat ini pantas berbangga dan berlega
hati. Karena tepat pada tanggal 11 Juli 2008 DPRD Kota Surakarta akhirnya
menetapkan Rancangan Peraturan Daerah Kota tentang Kesetaraan Hak--Hak
Difabel menjadi Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 tahun 2008 Tentang
Kesetaraan Difabel. Acara tersebut dihadiri oleh Walikota Surakarta, Ir.Joko
Widodo. Perda ini merupakan yang pertama di Indonesia.
Setelah para penyandang cacat lelah berharap Perda tersebut , akhirnya
harapan menjadi kenyataan. Sungguh, perjalanan Perda tersebut sangat panjang,
mengalami proses pembahasan dan perbaikan draft, karena harus memadukan
konsep yang diajukan Lembaga Swadaya Masyarakat dan konsep DPRD serta
Pemerintah Kota Surakarta. Bahkan saat pembahasan juga sempat terkatung-
katung selama 2,5 tahun. Munculnya Perda Nomor 2 tahun 2008 merupakan
sebuah perjuangan difabel dalam mencari haknya. Diawali dari perjuangan LSM
Interaksi dan Direktur Yayasan Talenta yang menginginkan adanya kesetaraan
bagi difabel. Perjuangan tersebut berlangsung cukup lama dan sempat terabaikan
selama 2.5 tahun. Perjuangan mendobrak paradigma kecacatan dilakukan melalui
Konsorsium Lembaga Kecacatan Surakarta mengajukan Naratif Akademik
Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kesetaraan Hak-hak Dasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Difabel di Kota Surakarta. Perda ini ada bukan karena sebuah belas kasihan dari
pemerintah kota Surakarta, melainkan buah perjuangan para difabel yang harus
menelan pil pahit terlebih dahulu. Perjuangan menuntut kesetarann pengakuan
dan kesetaraa kesempatan. Hingga perjuangan mendobrak paham normalisme
yang melekat dikebanyakan manusia.
Inti dari Perda tersebut adalah memberikan perhatian yang proporsional
dan adil kepada difabel kepada sesama negara. Secara regulatif kebijakan
terhadap difabel tersebut diaplikasikan dalam bentuk kebijakan pemkot yang adil.
Kebijakan baik fisik maupun non fisik harus dapat memiliki manfaat pula kepada
difabel. Di bidang fisik misalnya pembangunan ruang publik seperti terminal,
taman, pasar, tempat ibadah, sarana transportasi, mall, maupun ruang publik
lainnya diharapkan dapat memberikan akses yang tepat bagi difabel untuk
menggunakannya. Begitu pula dengan akses non fisik seperti bidang pendidikan,
sosial dan lain sebagainya seharusnya pemkot memberikan perhatian yang
seimbang kepada difabel.
“Pemkot sebenarnya mempunyai kepedulian mengenai tata ruangkota Surakarta bagi difabel, maka dengan hal itu Perda No.2 Tahun2008 dibentuk. Jadi setiap pembangunan yang ada di Surakarta iniharus bisa juga diakses oleh difabel, seperti contohnya pemasangantramprail di setiap gedung.” ( wawancara, 16 Juni 2011)
Peraturan daerah Kota Surkarta No. 2 tahun 2008 tentang Kesetaraan
Difabel tersebut berisi 12 bab dan terdiri dari 30 pasal. Dalam Perda tersebut
mengatur hak dan kewajiban difabel yang setara dengan warga masyarakat pada
umumnya dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan. Dalam pasal 6
disebutkan setiap difabel berhak memperoleh kesempatan yang setara dalam :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
a. Pelayanan publik terkait dengan hidup dan penghidupannya.
b. Tindakan rehabilitasi.
c. Penyelenggaraan pemerintah daerah.
d. Pembangunan fasilitas pelayanan umum.
Sedangkan dalam pasal 11 disebutkan pelayanan hak-hak difabel oleh
Pemerintah Daerah meliputi :
a. Aksesibilitas fisik.
b. Rehabilitasi.
c. Pendidikan.
d. Kesempatan kerja.
e. Peran serta dalam Pembangunan.
f. Bantuan sosial.
Merujuk pada aturan itu, bahwa penyediaan aksesibilitas sudah merupakan
kebutuhan untuk semua. Sudah saatnya, Pemkot Surakarta dan semua pihak
terkait serius dan berkomitmen lebih memartabatkan dan melindungi difabel serta
menyediakan aksesibilitas, infrastruktur, dan ruang publik untuk mereka. Pemkot
Surakarta wajib menyediakan fasilitas pendukung di setiap fasilitas umum,
gedung, pertokoan/swalayan, transportasi, sarana peribadatan, dan sarana rekreasi
supaya mempermudah difabel beraktivitas dan berinteraksi dengan
lingkungannya serta berkomunikasi dengan orang lain. Dengan adanya Peraturan
Daerah Nomor 2 tahun 2008 ini difabel di Kota Surakarta bisa menjadi sedikit
berlega hati. Karena melalui peraturan ini maka difabel dapat setara dengan
masyarakat yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
B.2 . Hambatan Pembentukan Perda
Di dalam pembuatan Perda kesetaran difabel pastilah terjadi hambatan-
hambatan yang membuat Perda ini terkatung–katung hingga lebih dari 2 tahun
lamanya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang informan yaitu Ibu
Ajati, beliau mengatakan ada beberapa hal yang membuat Perda kesetaraan
Difabel ini terkatung – katung.
“ Banyak pertimbangan dan kendala yang dihadapi mbak,makanya Perda ini sempat terabaikan beberapa saat, rapat itudengan banyak orang jadi waktu dan ketidaksamaan isi perda yangmembuat lama” (wawancara, 03 Oktober 2011)
Dari wawancara yang dilakukan maka dapat diketahui mengenai beberapa
hambatan yang dialami oleh Pemerintah kota maupun tim advokasi, DPRD
maupun LSM yaitu adalah:
1. Kendala Waktu Pertemuan
Dalam pembahasan Perda perlu banyak waktu untuk merumuskan
maupun merapatkan setiap pasal dan butir ayat yang didalamnya.
Kendala waktu menjadi salah satu hal penting. Perumusan Raperda
membutuhkan banyak orang tidak hanya satu ataupu dua orang saja,
namun melibatkan Pemerintah Kota Surakarta, kelompok LSM, dan pihak
DPRD,. Untuk mengumpulkan keseluruhan orang agar setiap butir pasal
dapat terjadi kesepakatan sangatlah sulit, karena tiap orang memiliki
jadual masing – masing yang terkadang saling berbenturan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
2. Perbedaan Konsep
Perbedaan konsep isi untuk Perda Kesetaraan difabel selalu terjadi
karena setiap orang dari tiap perwakilan memiliki konsep masing–masing
yang bisa saja bertentangan dengan harapan dari tiap perwakilan baik itu
dari LSM, DRPD, maupun Pemerintah Kota Surakarta. Perbedaan konsep
membutuhkan waktu lama dan perdebatan yang cukup panjang seta
membutuhkan titik temu yang tepat bagi semua orang khususnya difabel
dalam hal ini. Selain waktu pertemuan yang dirasa kurang, masalah titik
temu dalam penyusunan draft juga menjadi factor utama yang
mengakibatkan Perda ini menjadi terkatung – katung dan dibiarkan begitu
saja dalam waktu yang lama.
Dengan adanya Peraturan Daerah ini, maka pemenuhan difabel oleh
Pemerintah kota akan mendapatkan dasar yuridis, dasar sosiologis dan dasar
filosofis yang kuat sehingga dalam pelaksanaannya akan mampu menjadi
pedoman yang bersifat terpadu dan terarah. Setelah ditetapkannya Perda ini, tentu
menjadi tantangan tersendiri bagi Pemerintah Kota Surakarta untuk dapat
mekaskanakannya. Perlu komitmen dan keseriusan dalam mengimplementasikan
Perda tersebut. Namun demikian, tentu Pemerintah Kota Surakarta tidak harus
bekerja sendiri, karena dalam pelaksanaannya juga membuka peluang bagi peran
serta keluarga dan seluruh masyarakat, termasuk difabel. Secara bersama-sama
Pemkot, masyarakat termasuk difabel ikut bertanggungjawab dalam
melaksanakan Perda tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
1. Pemerintah Kota Surakarta akan berusaha memenuhi kewajibannya untuk
mewujudkan kesetaraan difabel melalui program dan kegiatan sesuai
dalam Perda tersebut, seperti memberikan kemudahan dalam berbagai hal
seperti pendidikan, keterbukaan informasi, perlindungan dari segala
bentuk eksploitasi, kesempatan kerja dan maupun fasilitas ruang publik.
2. Bagi masyarakat diharapkan dapat lebih membuka diri menerima
kehadiran difabel, ikut mendukung terwujudkanya kesetaraan difabel,
memberikan kesempatan bagi mereka untuk mengaktuialisasikan diri,
tidak memberikan stigma buruk bagi difabel seperti malas, kurang
mandiri, menggantungkan belas kasihan orang lain. Bahkan setiap orang
dilarang melakukan tindakan yang merendahkan harkat dan martabat
difabel, mengucilkan dan menyembunyikan difabel, melakukan
diskriminasi difabel serta mengeksploitasi difabel.
3. Bagi difabel, berbagai kesempatan dan peluang untuk berkembang sudah
terbuka luas. Oleh karena itu perlu memanfaatkan kesempatan dan peluang
tersebutr untuk lebih meningkatkan diri membekali diri dengan berbagai
hal seperti pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan. Difabel harus dapat
menunjukkan dan meningkatkan kepercayaan kepada masyarakat bahjwa
mereka memiliki kemampuan yang dapat diadalkan dan tidak kalah
dengan yang tiidak cacat. Dengan demikian pemahaman masyarakat
terhadap difabel meningkat. Disamping itu difabel perlu menjaga harkat
dan martabatnya sehingga tidak melakukan tindakan dan pekerjaan yang
merendahkan harga dirinya, seperti menggantungkan hidup dari belas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
kasihan orang lain. Difabel harus siap menerima tantangan, mengubah
pola pikir, mau bekerja, berusaha dan berkarya nyata agar sukses dalam
hidupnya.
“ Bagi kami tantangannya adalah merealisasikan bagaimana perdatersebut benar–benar dapat berguna bagi masyarakat difabel dalamberbagai bidang, yaw tentunya dengan kerjasama dari masyarakatdan dari difabel itu sendiri.” (wawancara dengan Ibu Ajati, 03Oktober 2011)
Kota Surakarta sudah merintis dan menetapkan Perda Kesetaraan Difabel.
Diharapakan dengan adanya Perda ini dapat menjadi inspirasi bagi daerah-daerah
lainnya untuk mengikuti jejak Pemerintah Kota Surakarta dalam mewujudkan
kesetaraan difabel dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Dalam Perda tersebut digunakan istilah difabel untuk menunjuk kepada
para penyandang cacat, yang karena kondisi fisik dan atau mentalnya mempunyai
perbedaan kemampuan dengan warga lainnya. Penggunaan istilah ini, menurut
penjelasan Perda tersebut, untuk menyelaraskan dalam lingkup hukum
internasional dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang.
Dengan adanya Perda ini maka Pemerintah Kota Surakarta memiliki
tekad untuk menciptakan kondisi yang menjamin terwujudnya keadilan bagi
difabel/penyandang cacat, karena keseteraan difabel ini bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan sosial difabel dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Sedangkan kesetaraan tersebut dilakukan berdasarkan banyak asas
Kesetaraan difabel bagi Pemerintah kota Surakarta adalah salah satu
agenda wajib yang telah dilaksanakan dalam upaya penanggulangan permasalahan
sosial. Dalam perspektif ini difabel bukan sumber permasalahan sosial tetapi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
diakui sebagai subyek hukum mandiri karena merupakan bagian dari individu
sebagai anggora komunitas masyarakat. Kalaupun mereka memiliki kekurangan
fisik dan ataupun kekurangan mental tidaklah menuntut penangananan yang
didorong oleh rasa belas rasa belas kasihan, tetapi mengupayakan mereka agar
mampu tampil sebagai warga yang mandiri, mampu berintegrasi dengan
lingkungan dan dapat menjalankan kegiatan produktif untuk mendorong
pembangunan daerah berdasarkan minat, derajat kecacatan, tingkat pendidikan
dan potensi difabel. Sedangkan ditinjau dari segi hak asasai manusia, maka
pemenuhan perlindungan dan pemajuan kesetaraan difabel merupakan bagian
dari penegakan dan perlindungan hak asasi manusia tersebut.
Sekarang perkembangan begitu dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat
Surakarta, salah satunya dari pembangunan tata kotanya sendiri. Selain
berbudaya dan memiliki historis yang tinggi kota Surakarta merupakan surga bagi
difabel. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2008 mengenai
Kesetaraan Difabel yaitu difabel memliki hak yang sama termasuk dalam ruang
publik. Maka tidak heran bila ruang publik di kota Surakarta hampir semuanya
menyediakan akses jalan bagi difabel. Difabel di Kota Surakarta sangat dihargai
keberadaannya, dan tidak dipandang dengan sebelah mata. Setidaknya terdapat
empat azas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas difabel tersebut
yang mutlak mestinya harus dipenuhi oleh pemerintah yakninya:
1. Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau
bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
2. Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua
tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
3. Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan
terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk
difabel.
4. Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan
mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan
dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Selain itu menurut Pasal 28 Perda Kesetaraan Difabel mengatakan bahwa
sarana dan prasarana umum serta lingkungan dan sarana angkutan umum yang
sudah beroperasi, tetapi belum menyediakan aksesibilitas bagi difabel sebelum
berlakunya Perda Kesetaraan Difabel, maka dalam waktu tiga tahun sejak
diundangkannya Perda wajib menyediakan aksesibilitas bagi difabel. Hal ini
berarti bahwa semua tempat yang belum terdapat akses bagi difabel harus
menyediakan akses tersebut agar difabel mempunyai hak yang sama dalam
menikmati ruang publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
C. Kondisi Ruang Publik di Kota Surakarta
Dalam penelitian ini peneliti meneliti sebanyak 7 tempat yang termasuk
ruang publik di Kota Surakarta yaitu Taman Sekartaji, Pasar Gede, Halte Batik
Solo Trans, Terminal Tirtonadi, Masjid Agung Surakarta, Gereja Kristen Jawa
Margoyudan, dan Solo Grand Mall. Dipilihnya tempat–tempat tersebut karena
ruang publik yang peneliti teliti merupakan ada yang bangunan baru lahir setelah
Perda Kesetaran Difabel maupun bangunan lama yang telah ada sebelum Perda
Kesetaraan Difabel dibuat. Di samping itu terdapat bangunan yang direnovasi
setelah adanya Perda difabel. Peneliti ingin mengetahui apakah Perda tersebut
telah dilaksanakan sesuai dengan mestinya atau masih sama saja dengan sebelum
adanya Perda, karena difabel juga memiliki hak yang sama dalam mengakses
fungsi ruang publik.
Ruang publik merupakan tempat berkumpulnya orang tanpa terkotak–
kotak oleh usia, kelonpok, status sosial maupun yang lainnya. Setiap orang harus
bisa mengakses ruang publik tanpa terkecuali. Karena bagaimanapun ruang
publik adalah roh sebuah kota. Ruang publik adalah penanda sekaligus sebagai
karakter sebuah kota, sebagai ciri khas yang tidak dimiliki oleh kota-kota yang
lain. Perancangan dan penciptaan ruang publik didasarkan dan ditujukan bagi
suatu bentuk kualitas kehidupan masyarakat yang positif. Ruang publik juga
menjadi tolok ukur kedinamisan dan kualitas hubungan sosialnya, serta kualitas
kepedulian pemerintah terhadap warganya tanpa terkecuali. Ruang publik
haruslah bersifat responsif, demokratis, dan bermakna. Ruang publik yang
responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat
dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan
sosial, ekonomi, dan budaya. Serta bermakana yaitu mempunyai arti yang lebih
bagi masyarakat umum.
C.1. Sebelum adanya Perda Kesetaraan Difabel.
Ruang publik merupakan tempat berkumpulnya masyarakat tanpa
terkecuali. Di Surakarta sendiri banyak terdapat ruang publik yang dibangun
untuk kepentingan masyarakat. Banyak bangunan yang telah berdiri sebelum ada
Perda Kesetaraan Difabel. Dalam penelitian ini ruang publik tersebut adalah
Pasar Gede, Terminal Tirtonadi, Gereja Kristen Jawa Margoyudan, Masjid Agung
Surakarta, dan Solo Grand Mall. Bangunan–bangunan ini telah berdiri lama sejak
sebelum Perda Kesetaraan Difabel tersebut diresmikan. Namun dari beberapa
bangunan tersebut, ada satu bangunan yang masih dalam proses renovasi yaitu
Terminal Tirtonadi. Untuk itu akan dijelaskan satu persatu mengenai kondisi
bangunan yang ada sebelum Perda Kesetaraan Difabel diresmikan.
C.1.1 Konsep Pembangunan Ruang Publik
Konsep pembangunan ruang publik meruapakan salah satu hal yang
penting untuk mengeetahui untuk siapakah ruang publik tersebut dibangun.
Untuk itulah Sebelum adanya Perda Kesetaraan Difabel perlu diketahui konsep
pembangunannya untuk mengetahui akses apa saja yang terdapat di suatu ruang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
publik tersebut bisa digunakan oleh difabel walaupun tanpa perda. Berikut adalah
konsep pembangunan ruang publik yang ada sebelum Perda Kesetaran Difabel.
a. Pasar Gede
Pasar merupakan tempat berkumpulnya penjual dan pembeli. Namun
dalam artian luas pasar adalah tempat pertukaran barang dan jasa yang ada
kegiatan tawar menawar yang salah satunya melibatkan pekerjaan mengenai
barang dan jasa untuk dapat saling bermotivasi di tempat tersebut. Sebagai salah
satu ruang publik yang pasti dibutuhkan masyarakat, Pasar haruslah mudah untuk
diakses siapa saja. Untuk itu perlu dilihat bagaimanakah pembangunan Pasar
sekarang ini dan bagaimana keadaan dan kondisinya. Seperti yang diungkapkan
oleh Bapak Suhardi.
“ Renovasi dilakuakan demi kenyamanan semua orang tidak lupa pulajuga untuk penyandang cacat, namun yang menjadi halangan bagi kamiuntuk membuat akses bagi difabel adalah luas tanah dari Pasar itu sendiri”(wawancara, 13 Juli 2011)
Untuk memberikan rasa nyaman bagi orang bertransaksi, seringkali
dilakukan renovasi. Hal ini berguna untuk pasar tradisional tidak kalah dengan
pasar moderen. Jadi setiap renovasi ataupun pembangunan haruslah memerlukan
konsep yang tepat.
“ Sebenarnya konsep pembangunan ataupun renovasi pasar adalahtergantung dari usia pasar itu sendiri dan keadaan bangunannya, apakahmasih layak atau tidak. Untuk renovasi Pasar yang baru haruslah sesuaidengan pertauran yang ada dari pemerintah, jadi tidak semerta–mertadirenovasi” (wawancara, 13 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Di kota Surakarta ini dijumpai berbagai macam pasar baik itu pasar
moderen ataupun pasar tradisional. Dari setiap pasar memiliki konsep masing–
masing. Namun yang jelas pasar haruslah dapat diakses siapa saja termasuk
didalamnya adalah difabel. Ada beberapa pasar yang bisa diakses oleh difabel
diantaranya adalah Pasar Gede, Pasar Sidodadi, dan Pasar Singosaren. Namun
pasar yang dirancang memang untuk difabel dari struktur pintu masuk maupun
akses untuk naik ketingkatnya hanya Pasar Gede. Seperti yang dituturkan oleh
Bapak Suhardi
Foto 08
Keterangan: Pintu masuk Pasar Gede yang akses bagidifabel
Sumber : Dokumentasi Peneliti
“ Untuk Pasar yang yang sudah akses itu adalah Pasar Gede serta PasarSidodadi, dan Pasar Singosaren mbak. Di pasar–pasar tersebut sudahterdapat rem dan jembatan yang dapat dengan mudah penyandang cacatmasuk kedalamnya. Namun pasar yang dari dulu bisa diakses olehpenyandang cacat yaw pasar Gede itu mbak, mulai dari pintu masukhingga ke lantai atas semuanya ada jembatan dan tidak memakai tangga.”(wawancara, 13 Juli 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Foto 09
Keterangan :Akses menuju ke lantai atas yang jugamenggunakan rem dan guilding block
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Pasar Gede merupakan salah satu pasar tardisional tertua yang ada di Kota
Surakarta, dari awal berdirinya Pasar ini memiliki nilai historis yang tinggi.
Sebagaimana fungsi yang diberikan oleh pasar maka harus dapat berguna dan
dapat digunakan oleh siapa saja termasuk untuk difabel. Walaupun sudah
memiliki beberapa jenis akses bagi difabel, namun menurut Bapak Suwarji beliau
sangat jarang melihat ada difabel yang berbelanja ke Pasar Gede ini. Dilihat ke
dalam ruangan pasar terlihat sangat jelas bahwa terlalu banyak pedagang dikedua
sisinya, sehingga jalan untuk pembeli yang datang sangat sempit. Selain itu Pasar
merupakan tempat yang ramai karena untuk memenuhi kebutuhan pokok setiap
orang akan lebih memilih untuk berbelanja di pasar tradisonal.
“ Pengunjung disini yang penyandang cacat sangat jarang saya liat mbak,kalo ada itu biasanya malah pengemis yang pake krek itu. Mungkindikarenakan terlalu ramai jadi yang penyandang cacat nya gak bisabergerak bebas. Maklum namanya juga pasar kelas 1 pasti ramai, tp adajuga sebenarnya mbak yang penyandang cacat beli tapi itu sangat jarang“(wawancara, 15 Juli 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Hal ini seperti yang diungkapkan oleh saudara Arif Ernawati, difabel
berkursi roda ini mengatakan bahwa walaupun Pasar Gede dapat diakses oleh
difabel tapi yang dia rasakan adalah perasaan tidak nyaman karena terlalu banyak
orang.
“ Saya pernah masuk ke Pasar Gede satu kali mbak, memang itu setausaya pasar yang bisa buat difabel, tapi bareng saya kesana ternyata aparame banget sampe saya kedesak–desak orang. (wawancara, 23 Juni2011).
Walaupun telah mengalami renovasi berkali–kali untuk lebih
memudahkan semua orang mengakses Pasar, namun kenyataanya adalah ada
beberapa orang yang tidak bisa mengaksesnya. Jadi dapat dilihat meski sudah
memeiliki akses bagi difabel namun bagi difabel itu sendiri ternyata Pasar Gede
masih belum mampu diakses oleh mereka. Memang konsep bentuk bangunan
mulai dari pintu masuk yang berupa tanjakan landai serta akses untuk menuju
lantai atas bukanlah tangga melainkan jalan yang memiliki rem landai namun
kesulitan yang dialami oleh difabel bukanlah pada hal tersebut melainkan lebih
karena penataan tempat dan jalan yang terlalu sempit sehingga menyulitkan
difabel untuk bergerak dengan bebas dan leluasa.
b. Terminal Tirtonadi
Terminal merupakan sebuah ruang tempat berkumpulnya berbagai macam
angkutan umum. Dalam hal ini Terminal Tirtonadi merupakan Terminal untuk
Bus Antarkota Antar Provinsi, Antar Kota Dalam Provinsi dan Angkutan
Perkotaan. Terminal dibangun untuk masyarakat pengguna jalan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
membutuhkan transportasi. Jadi setiap harinya sangat banyak bus yang keluar dan
masuk serta masyarakat pengguna jasa angkutan. Pembangunan terminal
Tirtonadi memiliki konsep yaitu memudahkan orang untuk bertransportasi
temasuk bagi difabel. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Henry mengenai
konsep pembangunan terminal
“ Konsep pembangunan terminal adalah bukan sebagai terminaltransportasi saja namun sebagai terminal terpadu yaitu dapat memberikankenyamanan bagi pengguna teminal dengan adanya kios. Namun sayajarang melihat difabel di terminal ini, hanya sekitar 1% saja setiapbulannya ada nya difabel, jadi sangat jarang sekali.” (wawancara, 20 Juli2011)
Konsep awal dari pembangunan terminal adalah memberikan pelayanan
yang terpadu bagi pengguna terminal, dalam hal ini dengan memberikan adanya
kios–kios agar penumpang ataupun pengguna jasa transportasi semakin nyaman.
Untuk terminal lama yaitu sebelum ada renovasi saat ini, sudah menggunakan
rem, namun konsep renovasi perluasan yang dilakukan saat ini dibuat konsep
lebih baik lagi untuk difabel yaitu dengan menggunakan travellator bagi difabel.
“ Perluasan terminal ini nantinya akan dibangun sebanyak 3 lantai. Lantaipertama digunakan untuk penyediaan transportasi, lantai kedua dan ketigauntuk jasa perdagangan. Perluasan dilakukan untuk meningkatkanoptimalisasi bagi masyarakat dan mengakomodir luas lahan yang kurangmemadai sehingga semua bis dapat masuk terminal. Untuk difabel agardapat mengaksesnya kami sudah merencanakan untuk membuattravelalator yang dapat diakses difabel untuk naik atapun turun dari lantaike lantai namun jika masih mengalami kesulitan kami juga menyediakanlift bagi difabel.” (wawancara, 20 Juli 2011)
Menurut Amzori Zakim salah seorang difabel yang pernah mengunjungi
terminal, dia mengatakan bahwa walaupun sudah ada rem landai namun dia tidak
akan bisa melaluinya jika tidak dibantu oleh orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
“ Terminalnya Surakarta sangat susah buat saya yang berkursi roda ini.Walaupun banyak yang membantu saya tapi untuk menuju pintu keluarkalau seorang diri saya yakin tidak bisa.” (wawancara, 08 Juli 2011)
Dari hal ini bisa dilihat bahwa konsep pembangunan terminal yang
sekarang masih belum bisa ataupun ramah bagi difabel walaupun telah diberi rem
bagi kemudahan difabel. Disamping itu untuk kamar mandi yang berada di
terminal pun hanya bisa digunakan untuk manusia normal, tidak untuk difabel.
Kamar mandi bagi difabel seharusnya adalah toilet duduk dengann railing (tempat
berpegang). Namun kamar mandi di terminal hanya berupa toilet jongkok dan ada
toilet duduk namun tidak ada tempat berpegang. Bisa dibilang untuk konsep
pembangunan terminal yang saat ini masih belum mendukung sepenuhnya pada
difabel. Karena memang dibangun sebelum adanya Perda Kesetaran difabel. Hal
ini seolah menyatakan bahwa kemudahan transportasi hanya milik normal.
c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan
Gereja merupakan tempat ibadah bagi umat nasrani. Salah satu gereja
kristen tertua di Kota Surakarta ada Gereja Kristen Jawa Margoyudan. Gereja
yang berdiri pada tahun 1916 ini sudah merupakan cikal bakal lahirnya gereja–
gereja Kristen Jawa di Surakarta. Gereja ini memiliki jemaat difabel walaupun
hanya sedikit. Gereja dibangun untuk memenuhi kebutuhan rohani para
jemaatnya. Menurut Bapak Emilius Gereja Kristen Jawa Margoyudan ini
memang dibangun untuk pertumbuhan iman jemaatnya.
“ Tujuan dibangunnya gereja yaw untuk warga gereja sendiri padakhusunya agar lebih baik dan untuk orang awam pada umumnya,maksudnya adalah untuk orang – orang dari gereja lain yang ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
beribadah. Jemaat disini sekitar 3000 orang, sedangkan yang penderitadifabel jumlahnya hanya puluhan saja mbak”. (wawancara 31 Juli 2011)
Salah seorang warga difabel Gereja Kristen Jawa Margoyudan yaitu Ibu
Hadi mengatakan bahwa konsep perkembangan maupun renovasi Gereja ini sudah
sangat baik. Pada jaman dahulu Gereja Kristen Jawa Margoyudan mempunyai
anak tangga di pintu masuknya. jadi bukan berupa jalan landai. Namun seiring
perkembangan jaman maka dibuatlah kanopi rem pada pintu masuk agar semua
jemaat lebih mudah masuk kedalamnya.
“ Dulu saya ingat ketika Gereja ini belum ada kanopinya, tidak ada jalanlandai buat masuk ke gerejanya, untuk masuk kedalam harus melewatitangga lebih dahulu. Waktu itu saya pasti butuh bantuan dua orang untukmembantu menganngkat kursi roda agar saya bisa masuk kedalam”.(wawancara, 31 Juli 2011)
Foto 10
Keterangan : Akses rem landai bagi difabel berkursi rodaSumber : Dokumentasi Peneliti
Pembangunan yang dilakukan oleh Gereja pastilah digunakan untuk
kenyamanan jemaatnya. Para majelis Gereja Kristen Margoyudan menyadari hal
tersebut, maka konsep pembangunan dan renovasi pun dilakukan setahap demi
setahap agar tidak menganggu jalannya ibadah serta dapat membuat jemaat lebih
nyaman untuk beribadah dan tidak menomorduakan jemaat difabel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
d. Masjid Agung Surakarta
Masjid merupakan bangunan yang digunakan untuk umat muslim
beribadah. Masjid Agung Surakarta merupkan masjid terbesar yang ada di
Surakarta, yang memiliki kelebihan dibanding dengan masjid yang lain. Salah
satu kelebihannya dalah adanya jam matahari yang masih berfungsi hingga
sekarang. Masjid Agung ada ini memiliki ribuan jemaah yang beribadah setiap
harinya.
“ Masjid ini sudah ada pada jaman dulu mbak, disini masjid yang palingbesar di kota ini, jumlah jamaah yang beribadah pada waktu jumatansekitar 7000 jamaah. Akan tetapi kalo pada hari bisa mungkin hanyaseparonya kurang”. (wawancara 20 Juli 2011)
Masjid Agung Surakarta ini memiliki ciri khusus yaitu dengan
dibangunnya tempat wudlu yang aksesibel terhadap difabel. Bentuk tempat untuk
wudlu ini berupa kran yang berputar dan tidak terlalu tinggi sehingga difabel
berkursi roda dapat dengan mudah untuk mengambil air dan berwudlu. Selain itu
bagi difabel yang bertongkat pun juga mudah untuk wudlu karena bisa
berpegangan pada sisi putaran tempat untuk ber wudlu. Tempat wudlu ini
dibangun salah satunya karena kerjasama dengan UNS dan beberapa lembaga
lainnya.
“ Di masjid ini tempat wudhu bagi difabel sangat mudah mbak, soalnyamasjid ini tempat wudhunya dibangun sama beberapa pihak yang pedulidengan difabel salah satunya ya UNS itu mbak”. (wawancara, 20 Juli2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Foto 11
Keterangan: Tempat wudlu khusus bagi difabel di MajidAgung Surakarta
Sumber : Dokumentasi Penelitian
Menurut beberapa difabel yang menggunakan tongkat menuturkan bahwa
untuk tempat wudlunya di Masjid Agung Surakarta itu sudah sangat memudahkan
bagi difabel. Hal ini jarang ada di masjid yang lainnya. Kebanyakan tempat wudlu
selain di Masjid Agung hanya bisa dijangkau oleh masyarakat normal. Bagi
difabel itu tentu membuat mereka sedikit kesulitan.
“ Sing pun jelas niku panggenan wudlune gampil kulo rasake, mbotensusah mbak kagem wong cacat, bedho kaliyan panggenan wudhu tengmasjid cedhak griyo kulo niku.(Yang jelas disini tempat wudlunya mudah bagi saya untuk melakukannya,tidak susah bagi orang cacat, beda dengan masjid yang didekat rumahsaya.). (wawancara dengan Bapak Sapto 20 Juli 2011)
“saya pernah beberapa kali ke Masjid Agung Surakarta, disana ada tempatwudhu yang khusus bagi difabel bentuknya lebih rendah dan berputar,agak licin menurut saya sih mbak, tapi membuat saya lebih mudah, tapikalau menurut saya lebih mudah lagi bagi yang kursi roda itu”.(wawancara dengan M. Rosul, 23 Juni 2011).
Konsep pembangunan ataupun renovasi yang telah dilakukan pihak Masjid
Agung mengenai tempat untuk wudlu ternyata sangat membawa kemudahan bagi
difabel maupun masyarakat yang lainnya yang ingin sholat disana. Selain itu
masyarakat pun juga tidak terganggu mengenai tempat wudlu, dan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
beribadah dengan baik. Namun tidak dengan ruang utamanya yang hingga Perda
Kesetaraan Difabel disahkan tenyata belum ada akses bagi difabel untuk menuju
ke ruang utama.
e. Solo Grand Mall
Solo Grand Mall merupakan mall pertama yang berada di Kota Surakarta.
Solo Grand Mall yang dibangun diatas lahan seluas 12.080 m2, merupakan
bangunan pusat perdagangan yang bernuansa Mal, dimana bangunan komersial ini
terdiri atas 7 lantai dengan total luasannya 63.000 m2. Solo Grand Mall memiliki
konsep One Stop Family Entertainment and Recreation dimana Solo Grand Mall
menyediakan pelayanan bagi para pengunjung yang ingin berbelanja berbagai
macam kebutuhan dengan aneka variasinya tanpa memakan banyak waktu dan
lebih efisiensi biaya karena para pengunjung tidak perlu berpindah lokasi. Dengan
kata lain segala kebutuhan tersedia di Solo Grand Mall. Sedangkan bentuk
bangunan Solo Grand Mall ini menggunakan bentuk bangunan Joglo yaitu rumah
khas adata Jawa Tengah supaya lebih terlihat tradisional. Ini seperti yang
dituturkan oleh Bapak Yoyok staff Tenant Relation Officer SGM.
“ Konsep bangunan kami adalah bentuk Joglo, namun untuk konsep mallnya sendiri adalah One Stop Family Entertainment and Recreation, dimanaSolo Grand Mall menyediakan pelayanan bagi para pengunjung yang inginberbelanja berbagai macam kebutuhan dengan aneka variasinya tanpamemakan banyak waktu dan lebih efisiensi biaya karena para pengunjungtidak perlu berpindah lokasi. (wawancara, 11 Agustus 2011)
Mall ini mengikuti peraturan yang ditetapkan oleh Dinas Tata Ruang Kota
yaitu setiap bangunan yang baru haruslah memiliki akses untuk difabel. SGM
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
menyadari pentingnya pembangunan fasilitas yang ramah difabel. Walaupun
harus mengeluarkan banyak uang demi kepentingan segelintir orang namun hal
tersebut tidak menjadi maslah. Dengan adanya akses memadai maka difabel
dapat mandiri dan menyesuaikan diri dengan fasilitas yang ada.
“ Namun kami juga tidak melupakan difabel untuk pembangunannyaseperti contoh depan pintu masuk SGM ada rem yang berguna bagi difabelnamun hal itu dapat fungsional dengan troli. Sebenarnya awalnya itumemang dibangun untuk difabel, tapi lama – lama malah berfungsi untukjalan troli.” (wawancara, 11 Agustus 2011)”
Dengan adanya fasilitas maka semua orang dapat merasakan kenyaman
yang telah disediakan. Termasuk difabel didalamnya. Banyaknya akses yang
diberikan oleh Solo Grand Mall membuat tingkat kunjungan difabel menjadi
tinggi. Salah satu ruang publik yang banyak dikunjungi adalah pusat perbelanjaan
contohnya adalah Solo Grand Mall. Menurut Arif Ernawati seorang difabel yang
memakai kursi roda mengatakan bahwa Solo Grand Mall bentuk bangunannya
mudah diakses oleh difabel kursi roda. Bangunan yang memiliki rem atau jalan
landai memudahkan seseorang untuk masuk kedalamnya.
Foto 12
Keterangan : Akses rem SGM di lobi utamaSumber : Dokumentasi Penelitian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
Bila ditilik lebih jauh konsep pembangunan Solo Grand Mall memang
menetapkan standar bagi difabel. Karena memang Mall dibangun untuk siapa saja
yang membutuhkan. Walaupun berdiri sebelum adanya Perda Kesetaran Difabel,
namun karena memang konsep awal ditentukan bagi semua masyarakarat, maka
konsep akses bagi difabel juga menjadi salah satu kebutuhan dan akses tersebut
juga dipakai untuk kebutuhan yang lainnya.
Bisa dilihat kosep ruang publik yang ada di Kota Surakarta bahkan yang
ada sebelum Perda Kesetaran Difabel disahkan telah menyediakan akses bagi
difabel. Adapun dalam ruang-ruang publik tersebut terdapat akses antara lain
adanya rem, lift, guilding blok, akses wudlu khusus difabel. Semua akses yang
ada dibuat agar difabel aksesibel dengan tempat tersebut. Dari sini dapat dilihat
bahwa tindakan sosial diarahkan kepada seseorang dengan harapan masyarakat
yang lain dapat mencapai harapan yang diinginkan. Hal ini berarti dibuatnya
akses bagi difabel adalah dengan harapan agar difabel dapat sama dengan
masyarakat lain dalam menikmati ruang publik.
C.1.2. Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik
Setiap bangunan diciptakan mempunyai fungsi dan fasilitas masing–
masing. Inti dari fungsi dan fasilitas dalam ruang publik harusah dapat
mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat secara umum sesuai dengan
bentuk ruang publik tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
a. Pasar Gede
Pasar Gede merupakan salah satu pasar tradisional yang berada di Kota
Surakarta. Pasar Gede merupakan pasar pertama dan tertua di kota ini. Selain
sebagai pasar tradisional pasar ini merupakan pasar yang dibangun demi
kepentingan masyarakat umum sebagai penggerak roda perekonomian. Fungsi
dari pasar tradisional ini adalah sebagai pusat kegiatan sosial ekonomi kerakyatan,
dan sebagai pusat pertukaran informasi, pusat pertemuan dan sebagai kreativitas
bagi masyarakat. Pasar Gede ini merupakan sebuah bangunan yang ada sebelum
Perda Kesetaraan Difabel disahkan, namun seperti yang dapat dilihat bahwa Pasar
Gede dibangun bagi semua masyarakat tanpa terkecuali.
“Pasar Gede itu mbak merupakan satu – satunya Pasar yang bisa diaksesoleh difabel dan juga masyarakat semua” (wawancara dengan BapakSuhardi, 15 Juli 2011).
Walaupun pasar ini sudah ada sejak sebelum Perda Kesetaraan difabel
namun nyatanya Pasar ini bisa dikases oleh difabel sejak pada pertama kali pasar
ini dibangun. Pasar ini memiliki fasilitas yang layak bagi masyarakat khususnya
bagi difabel.
“liat saja dari bentuk lantai maupun untuk tangga keatas yang berupa jalan.Ini dapat digunakan oleh penyandang cacat untuk lebih mudah masuk.”(wawancara dengan Bapak Suhardi, 15 Juli 2011).
Jenis – jenis fasilitas yang ditawarkan dalam Pasar ini bagi difabel
walupun sebelum terbitnya Perda Kesetaraan Difabel adalah:
1. Rem atau ramp atau jalan landai. Rem ini berada di semua penjuru
pintu masuk Pasar Gede. Selain pengunaan rem ini juga digunakan
untuk menghubungkan lantai pertama dan lantai kedua.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
2. Adanya guilding block atau penanda bagi difabel tuna netra, bentuk
lantai yang menonjol memberikan suatu arahan mengenai keadaan
fisik suatu bangunan tersebut. Penanda ini terdapat diseluruh ruas
pasar, dibuat untuk mempermudah difabel tuna netra.
Foto 13
Keterangan:Adanya guilding block bagi difabelSumber: Dokumentasi Peneliti
3. Terdapat berbagai macam jenis barang yang didagangkan dan sangat
lengkap
Dapat dilihat bahwa Pasar Gede memiliki akses yang cukup bagi difabel,
difabel bisa mendapatkan haknya untuk mengkase pasar Gede walaupun pada saat
itu belum ada Perda Kesetaraan difabel khususnya dalam penyediaan aksesibilitas.
Jadi kondisi bangunan ini sebelum adanya Perda bagi difabel adalah memang
dirancang bagi difabel
b. Terminal Tirtonadi
Terminal tirtonadi ini ada sejak tahun 1975. Terminal merupakan
pemebrhentian bus untuk mengangkut dan menurunkan penumpang pengguna
jasa transportasi. Fungsi dari terminal sendiri menurut pihak UPTD terminal
adalah untuk masyarakat pengguna jalan yang membutuhkan transportasi. Selain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
itu terminal sebagai pemberhentian bus-bus Antarkota Antar Provinsi, Antar Kota
Dalam Provinsi dan Angkutan Perkotaan. Terminal Tirtonadi merupakan satun –
satunya teminal kelas A di kota Surakarta.
“Terminal Tirtonadi merupakan teminal tipe A yaitu yang merupakanterminal bagi Bus Antarkota Antar Provinsi, Antar Kota Dalam Provinsidan Angkutan Perkotaan. Jadi terminal ini berfungsi untuk masyarakatumum yang butuh dengan transportasi” (wawancara dengan Bapak Henry,20 Juli 2011)
Sebagai bangunan yang ada sebelum Perda difabel diresmikan fasilitas
yang ada di terminal ini adalah sebagai berikut:
1. Ada rem Rem ini merupakan jalan landai yang dapat digunakan oleh
difabel untuk lebih mudah dalam memasuki suatu ruangan. Namun
sebenarnya rem di terminal ini lebih sering dipakai oleh kuli yang
menggunakan troli untuk membawa barang.
2. Terdapat ruang tunggu bagi ibu dan anak. Ruangan ini ada untuk ibu
dan balita menyusui. Tempat ini dirancang agar ibu dan anak lebih
merasa nyaman dan tidak terganggu oleh kebisingan terminal.
3. Terdapat banyak kios makanan dan warung bagi pengguna terminal.
Warung dan terminal ini terdapat sangat banyak dan menghiasi semua
sudut terminal.
Fasilitas yang ada di terminal cenderung tidak banyak ada karena
masyarakat penguna datang dan pergi begitu saja. Kondisi seperti ini walaupun
sangat ramai namun sangat jarang difabel yang terlihat di Terminal Tirtonadi.
Namun sekarang ini Terminal Tirtonadi sedang mengalami proses renovasi yaitu
lebih tepatnya pelebaran luas terminal. Perluasan ini nantinya diperkirakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
selseai pada awal tahun 2012 dan memiliki ragam fasilitas yang ditawarkan. Hal
ini seperti yang dituturkan oleh Bapak Sultan
“nantinya akan dibangun sebanyak 3 lantai. Lantai pertama digunakanuntuk penyediaan transportasi, lantai kedua dan ketiga untuk jasaperdagangan. Perluasan dilakukan untuk meningkatkan optimalisasi bagimasyarakat.” (wawancara, 20 Juli 2011)
Dari penjelasan diatas maka rancangan fasilitas yang diberikan oleh pihak
terminal terhadap pengguna jasa transportasi si terminal adalah sebagai berikut:
1. Terdapat jasa perdagangan. Walaupun terminal yang sekarang telah
memiliki perdagangan namun dirasa jika terdapat lebih banyak
perdagangan maka akan lebih baik
2. Adanya travelator. Travelator merupakan sejenis escalator namun
tidak berbentuk anak tangga melainkan berbentuk lurus.
3. Terdapat lift. Lift berguna untuk mempermudah masyarakat mencapai
lantai yang diinginkan.
Dari jenis rancangan fasilitas yang ditawarkan terdapat fasilitas bagi
difabel yaitu travelator dan lift. Rancangan ini bagi difabel ada karena menurut
beliau sudah terdapat Perda kesetaran difabel yang mengharuskan difabel
memiliki hak yang sama dalam memperoleh pelayanana pembangunan fasilitas
bagi difabel. Namun karena masih berupa rancangan dan hasilnya belum dapat
terlihat dengan jelas maka peneliti masih belum bisa melihat kondisi yang
sesungguhnya, apakah nantinya bisa didapati baik itu bagi masyarakat umum
ataupun bagi difabel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
c. Gereja Kristen Jawa Margoyudan
Gereja meruapakan tempat beribadah bagi umat kristiani untuk
menjalankan ibadahnya. Gereja memiliki fungsi sebagai tempat beribadah,
tempat berkumpulnya jemaat untuk saling berinteraksi, sebagai tempat untuk
mendapatkan siraman rohani dari pemuka agama. Sebagai tempat berinteraksi
maka Gereja haruslah dapat berguna bagi siapa saja tanpa terkotak kotakkan oleh
usia, keadaan, maupun status sosial yang ada.
“tujuan dibangunnya gereja ya untuk warga gereja sendiri pada khusunyaagar lebih baik dan untuk orang awam pada umumnya.” (wawancaradengan Bapak Emilius, 31 Juli 2011)
Gereja ini berdiri sejak tahun 1916, itu berarti Perda Kesetaraan difabel
belum ada bahkan belum ada rancangannya sekalipun. Di gereja ini memiliki
banyak jemaat maupun jemaat yang merupakan difabel. Bahkan Gereja ini telah
mengalami banyak renovasi, renovasi yang terakir yaitu pada tahun 2005 untuk
menambah rem dan kanopi pintu masuk.
Terdapat fasilitas bagi jemaat gereja ini. Selain itu karena terdapaat
jemaat difabel yang cukup banyak maka tahun 2005 sebelum adanya Perda
Kesetaraan difabel Gereja ini telah memiliki fasilitas akses bagi difabel.
1. Rem dipintu masuk. Rem dibuat sangat landai terdapat disisi kanan
maupun kiri Gereja ini.
2. Lantai dibuat dengan sedikit kasar dan tidak licin sehingga jemaat baik
yang normal maupun yang difabel tidak terpeleset
3. Terdapat LCD sehingga jemaat lebh mudah untuk beribadah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
Foto 14
Keterangan: Rem dan lantai sedikit kasar dan tidak licinbagi jemaat
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Dari berbagai macam fasilitas yang disediakan semuanya dibuat untuk
kepentingan jemaat dan memepermudah jemaat Gereja Kristen Jawa margoyudan
dalam beribadah.
d. Masjid Agung Surakarta
Masjid Agung Surakarta sebagai salah bangunan yang memiliki sejarah
penting merupakan bangunan yang termasuk dalam benda cagar budaya. Fungsi
dari Masjid Agung Surakarta ini antara lain sebagi tempat pariwisata ziarah,
sebagai tempat beristirahat para pedagang di Pasar Klewer, dan yang utama
sebagai tempat beribadah umat muslin yang menjalankan ibadah sholat.
Fasilitas yang ditawarkan Masjid Agung Surakarta ini antara lain:
1. Adanya Tempat wudlu yang dirancang khusus bagi difabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
Foto 15
Keterangan: Bentuk tempat wudlu bagi difabelSumber : Dokumentasi Penelitian
2. Adanya perpustakaan berada di lingkungan Masjid Agung Surakarta
Dari fasilitas–fasilitas yang ditawarkan oleh Masjid Agung tersebut maka
ada satu fasilitas yang memang dirancang bagi difabel yaitu tempat wudlu khusus.
Meskipun tempat wudlu tersebut merupakan bangunan relatif baru namun
pembangunannya sebelum Perda Kesetaran Difabel disahkan.
e. Solo Grand Mall
Solo Grand Mall sebagai Mall pertama di Kota Surakarta merupakan
sebagai salah satu ruang publik yang juga paling sering dikunjungi masyrakat
umum. Fungsi dari Mall ini adalah untuk berbelanja sekaligus berekreasi dengan
tidak menghabiskan waktu karena berada di satu lokasi. Selain itu Mall juga
sebagai tempat masyarakat untuk sekedar menghabisakan waktu maupun untuk
nongkrong.
Di Solo Grand Mall yang notabene berdiri dan beroperasi sebelum adanya
Perda Kesetaraan Difabel ada telah memiliki fasilitas bagi difabel maupun non
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
difabel yang sangat banyak dan lengkap. Untuk difabel menurut Bapak Yoyok
menagtakan demikian
“ Tentu saja kami ada akses bagi difabel seperti pintu masuk di lobbyutama yang sekalian untuk jalan troli, lalu pintu masuk barat juga ada jalanbagi difabel. Jika didalam bangunan suda ada travelator yangmemudahkan difabel naik, lalu kami juga menyediakan lift yang dapatdiakses dari lantai basement sampai lantai. Bahkan lift kami sudahmengunakan pencetan braile yang berguna bagi difabel tuna netra, namunmasih beberapa yang belum ada karena harus impor, pencetan lift jugarendah dapat dijangkau difabel berkursi roda”. (wawancara, 11 Agustus2011)
Banyak fasilitas yang ditawarkan oleh pihak Solo Grand Mall ini
menunjang kenyamanan ketika pengunjung menginjakkan kaki di tempat ini.
Fasilitas– asilitas tersebut antara lain adalah lift, escalator, travelator, tangga
darurat, alarm, kamera CCTV, pemadam api, AC sentral, telepon, sekuriti, parkir
yang luas, toilet, air bersih, listrik, musholla dan FoodCourt dengan layanan
WIFI-Free Hotspot. Dari beberapa fasilitas yang ditawarkan tersebut, yang bisa
berguna bagi difabel adalah lift, travelator, maupun rem yang berada di pintu
masuk. Selain itu terdapat fasilitas kursi roda yang terdapat di lobi utama,
fasilitas ini dapat digunakan oleh siapa saja bagi yang pengunjung yang
memerlukan.
Foto 16
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Keterangan: Salah satu fasilitas di SGMSumber : Dokumentasi Penelitian
Foto 17
Keterangan: Difabel di SGMSumber : Dokumentasi Peneliti
Dapat terlihat disini bahwa walaupun telah berdiri sebelum Perda
Kesetaraan Difabel namun fasilitas lengkap bagi difabel ada dan hampir
semuanya aksesibel terhadap kebutuhan difabel. Fasilitas sebagai penunjang
salah satu eksisnya ruang publik, karena itu Solo Grand mall ini juga
melengkapinya demi menjaga eksistensi Mall.
Setiap ruang publik memiliki fungsi dan fasilitas masing-masing, fasilitas
digunakan untuk memudahkan seseorang untuk menggunakan apa yang ada di
dalamnya. Setiap aktor mempunyai cara, alternatif untuk memudahkan apa yang
ingin dicapai. Dengan fungsi dan fasilitas penunjang maka diharapkan setiap
orang mampu untuk mencapai tempat tersebut tanpa terkecuali juga oleh difabel.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
C.2. Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel
Dalam penelitian ini bangunan yang ada setelah adanya Perda Kesetaraan
Difabel adalah Taman Sekartaji dan Halte Batik Solo Trans. Bangunan yang ada
setelah Perda Kesetaraan difabel seharusnya sudah memenuhi standar seperti yang
ditetapkan oleh Perda tersebut yaitu menyediakan akses bagi difabel agar lebih
mudah dalam mengakses bangunan tersebut.
C.2.1 Konsep Pembangunan Ruang Publik
Seperti yang terdapat dalam Pasal 12 Perda kesetaran Difabel yaitu difabel
berhak mendapatkan aksesibilitas secara fisik. Aksesibilitas fisik meliputi
pelayanan yang terkait dengan perencanaan dan peruntukan pembangunan
kawasan kota serta fasilitas publik. Dalam hal ini Taman Sekartaji dan Halte
Batik Solo Trans harus mempunyai akses fisik bagi difabel karena ada setelah
Perda ini disahkan Aksesibilitas fisik ini bertujuan agar kawasan kota dan
fasilitasnya dapat dijangkau dan memenuhi kebutuhan khusus bagi difabel
a. Taman Sekartaji
Taman merupakan suatu tempat yang biasa digunakan individu untuk
bersantai melepas kepenatan. Taman adalah tempat untuk semua kalangan
masyarakat, tidak terkecuali juga untuk difabel, taman juga harus aksesibel
dengan kondisi mereka. Taman juga berkaitan dengan adanya ruang publik yang
dapat digunakan masyarakat untuk bersantai. Selain itu dengan adanya taman
maka penyerapan air dapat menjadi lebih terjaga. Pembuatan taman juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
memerlukan lahan yang cukup agar dapat menjadi lebih indah dan terwat dengan
baik.
Salah satu taman yang ada di Kota Surakarta adalah Taman Sekartaji.
Taman Sekartaji ini diresmikan pada tahun 2009 atau lebih tepatnya pada 20
Februari 2009. Taman ini dibangun untuk kebijakan revitalisasi bantaran sungai.
Seperti yang dituturkan oleh Bapak Sultan dari Badan Lingkungan hidup bahwa
konsep pembangunan taman Sekartaji merupakan agar Kota Surakarta memiliki
Lahan terbuka hijau sebesar 20%.
“ Sebenarnya pembuatan Taman Sekartaji dan Taman Tirtonadi dibuatuntuk memenuhi perintah dari walikota untuk revitalisasi bantaran sungaimbak. Jadi adanya kebijakan untuk penataan ruang publik menjadi lahanterbuka hijau hingga 20%. (wawancara, 13 Juli 2011).
Taman Sekartaji berada ini berada di sepanjang bantaran sungai Kalianyar
yang bila ditelusur taman ini berhadapan dengan BBRSBD (Balai Besar
Rehabilitasi Sosial Bina Daksa) Prof. Dr. Soeharso, sekolah yang dikenal untuk
mengasah kemampuan dan keterampilan para difabel untuk lebih baik. Namun
ternyata konsep pembangunan Taman Sekartaji ini bukanlah untuk difabel,
walaupun taman dan sekolah tersebut berseberangan. Walaupun digunakan untuk
umum tapi difabel tidak termasuk didalamnya.
“ Taman–taman tersebut memang digunakan untuk umum mbak, tapimemang untuk akses terhadap difabel kami memang tidak membuatnya.Itu karena pembuatan taman tidak sampai terpikir kearah sana, karenatujuan utama dibangunnya ini adalah untuk kawasan konservasi, jadi kamitidak sampau berpikir kearah sana.” (wawancara, 13 Juli 2011).
Dari wawancara diatas dapat diketahui bahwa akses bagi difabel berkursi
roda untuk dapat menikmati Taman Sekartaji sangatlah terbatas dan bahkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
hampir tidak bisa. Sebenanya untuk konsep pembangunan taman adalah sudah
bagus yaitu agar Surakarta mendapat lahan terbuka hijau, namun alangkah lebih
baik jika Taman Sekartaji selain sebagai daerah resapan dan konservasi juga dapat
memperhatikan kebutuhan masyarakat akan ruang publik khususnya para difabel.
Menurut Bapak Sultan salah satu kendala yang dihadapi dalam pembuatan taman
adalah keterbatasan lahan dan kemungkinan penyalahgunaan fungsi taman bila
diberi akses rem di pintu masuk.
“Taman Sekartaji dari pintu masuk menuju ke dalam menggunakan tanggawalaupun tidak curam, dan tidak ada rem untuk difabel. Namun untukkebawahnya ada akses landai. Hal ini dikarenakan bila ada rem bagidifabel dikhawatirkan malah membuat masyarakat umum yang menikmatitaman membawa masuk kendaraanya ke dalam taman dan disalahgunakantidak sebagaimana semestinya. Keadaan seperti ini bisa merusak tamandan membuat taman menjadi kumuh. Karena itu tidak dipasang rem ataujalur landai dengan pertimbangan seperti ini. Imbasnya ya difabel itu sulitmemasukinya apalagi yang berkursi roda.” (wawancara, 13 Juli 2011)
Foto 18
Keterangan: Akses dalam taman berupa rem sangat curamSumber : Dokumentasi Peneliti
Jadi untuk konsep pembangunan taman yaitu sebagai lahan terbuka hijau
dan daerah resapan. Selain itu adanya kekhawatiran akan rusaknya Taman
Sekartaji bila diberi rem, maka taman ini belum sepenuhnya bisa menjangkau
masyarakat khususnya bagi difabel. Taman yang ada setelah Perda Kesetaraan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
Difabel disahkan ini belumlah ramah bagi difabel khususnya difabel berkursi
roda.
b. Halte Batik Solo Trans
Sebagai sarana transportasi umum yang terbilang murah kehadiran Batik
Solo Trans dengan segala kenyamanannya disambut hangat oleh masyarakat
Surakarta secara umum, termasuk para difabel. Apalagi bus Batik Solo Trans
dijanjikan dapat diakses oleh semua masyarakat dan juga menyediakan sarana
sarana penunjang yaitu halte agar dapat diakses oleh masyarakat khususnya
difabel. Halte adalah tempat pemberhentian bus untuk penumpang bisa masuk
didalamnya. Halte haruslah bisa diakses oleh semua orang tanpa terkecuali.
Menurut Bapak Suryo Kasi Angkutan Orang dari Dinas Perhubungan halte BST
memang dibuat untuk digunakan oleh banyak orang.
“ Halte BST dibangun untuk semua orang yang memanfaatkantransportasi. Ya didalamnya adalah termasuk penyandang cacat. tempatbuat difabel masuk ada karena ada aksesnya. (wawancara, 20 Juli 2011).
Konsep untuk Halte BST sudah sesuai dengan apa yang direncanakan serta
standar yang telah ditetapkan dan tetap dapat oleh digunakan oleh semua orang
termasuk difabel. Difabel menjadi salah satu prioritas dalam pembuatan halte
karena mereka juga memerlukan sarana transportasi layaknya masyarakat.
Bentuk prioritas ini terlihat dari bentuk bangunan halte yang menggunakan rem
atau jalan landai yang disertai pegangan. Jalan landai memudahkan difabel
berkursi roda untuk dapat jalan diatasnya, sedangkan pegangan disisi kanan dan
kiri memudahkan untuk difabel memakai tongkat untuk berjalan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
“ Dalam proses pembuatan Halte BST ini karena direncanakan untukpublik maka semuanya itu harus bisa untuk semua orang.. Salah satu pintudari halte BST merupakan untuk difabel yang jalan landai itu mbak jadistandarnya sudah bisa buat yang normal maupun yang difabel. Jalan yanglandai itu dibuat sekitar 7 meter, dengan tingkat kemiringan 10cm setiap1meternya, hal ini memang sudah sesuai dengan tingkat kemampuan kursiroda untuk dapat mencapainya dan sesuai dengan standar pelayanan aksesdifabel. Dulu waktu difabel mecoba apakah bisa melewati rem itu ternyatamereka bisa memasukinya. (wawancara, 20 Juli 2011)
Halte Batik Solo Trans memiliki panjang kemiringan yaitu sekitar 7meter,
tingkat kemiringan tersebut sudah sesuai dengan yang apa yang direncanakan.
Namun tidak semua Halte Batik Solo Trans memiliki rem yang panjangnya
7meter. Ada banyak halte Batik Solo Trans yang kedua pintu masuknya
menggunakan anak tangga, ada pula yang memeang menggunakan rem namun
sudut kemiringannya sangat curam. Sebagai contoh halte Batik Solo Trans di
depan Balaikota, halte tersebut tidak dilengkapi rem pada kedua sisi pintu. Lalu
halte Batik Solo Trans di depan daerah Gramedia yang walaupun ada remnya
namun agak sedikit curam. Selain itu terdapat halte semi permanen atau yang
disebut halte portable, halte ini hanya berbentuk anak tangga saja, difabel berkursi
roda tidak akan bisa untuk mengaksesnya. Adanya beberapa halte yang tidak
ramah difabel ini menurut penjelasan Bapak Suryo karena tergantung dari lahan
yang ada.
“ Tidak semua lahan memenuhi ruang yang diperlukan untuk membangunHalte BST, jadi bisa dibilang kita kurang lahan seperti itu. Tidak semuahalte bentuknya sama juga karena menyesuaikan dengan aspek geografis,aspek jalan, dan luas lahan yang akan mempengaruhi jalan / ruang difabel.Kalau untuk hakte yang berupa anak tangga saja kami menyebutnyadengan halte portable mbak. Halte tersebut bersifat sementara jadi nantiakan dibuat permanent seperti halte BST pada umumnya. halte- haltetersebut ada yang bisa untuk difabel maupun tidak, yaw tergantung itu tadiluas lahan. (wawancara, 20 Juli 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Foto 19
Keterangan: Halte BST portable yang sama sekali tidakbisa digunakan oleh difabel (tampakdepan)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Foto 20
Keterangan: Halte BST portable yang sama sekali tidakbisa digunakan oleh difabel (tampakbelakang)
Sumber : Dokumentasi Peneliti
Salah seorang difabel pemakai tongkat yaitu Saudara Eman mengatakan
untuk mencoba naik Batik Solo Trans itu susah karena jalurnya hanya ada di titik–
titik tertentu. Dia mengatakan bahwa kalau di titik-titik tertentu membuat dia
kesulitan untuk mencoba. Selain itu dia mengetahui pula mengenai halte Batik
Solo Trans yang katanya aksesibel, namun belum pernah sekalipun Saudara Eman
mencoba. Dari sini dapat terlihat bahwa konsep pembangunan untuk Halte Batik
Solo Trans sudah dirancang sedemikian rupa, supaya difabel dapat memasukinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
akan tetapi karena keterbatasan lahan yang ada terkadang pintu masuknya dibuat
rem yang curam serta ridak aksesibel bagi difabel.
Pembangunan merupakan suatu proses yang berlangsung terus menerus
dan merupakan suatu usaha yang sadar yang dilakukan oleh manusia. Di sini
pembangunan ruang publik yang diteliti dilakukan setelah adanya Perda
Kesetaraan Difabel seharusnya berpihak pada difabel. Namun yang terlihat
adalah pembangunan tidak mementingkan difabel, dilihat dari akses yang
disediakan oleh taman Sekartaji maupun Halte Batik Solo Trans masih belum
memenuhi standar bagi difabel. Pembangunan yang dilakukan secara terencana
seharusnya berorientasi pada perubahan ke arah yang lebih baik. Namun disini
perubahan tersebut msih belum bisa dirasakan oleh difabel.
C.2.2. Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik
Fungsi dan Fasilitas Ruang Publik setelah adanya perda Difabel
seharusnya sudah sesuai dengan isi yang terdapat dalam Pasal tersebut berikut
akan dijelaskan mengenai fungsi dan fasilitas dari Taman Sekartaji dan Halte
Batik Solo Trans.
a. Taman Sekartaji
Dilihat dari konsep pembangunan Taman Sekartaji sebagai daerah
konservasi dan lahan terbuka hijau maka Taman Sekartaji berfungsi
sebagai daerah resapan air yang berguna untuk menampung air dan
menahan dari banjir. Sebagai ruang terbuka hijau maka taman Sekartaji
merupakan taman yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah kota yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum. Selain itu sebagai Taman
Kota dan Ruang Terbuka Hijau maka taman Sekartaji ini mepunyai fungsi
1. Sebagai daerah konservasi yaitu sebagai upaya pelestarian
lingkungan, tetapi tetap memperhatikan pada pemanfaatan, masa
depan. pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk
mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan jalan pelestarian.
2. Sebagai sarana rekreasi kota yaitu tempat untuk bersantai dan
berelaksasi agar tidak jenuh. Banyak warga kota Surakarta
berdatangan dari pagi hingga malam. Bahkan ketika malam hari
sering dsalahgunakan sebagai tempat untuk berpacaran
3. Sebagai sarana estetika warga. Fungsi estetika berarti sebagai
bagian dari keindahan taman yang dapat ditampilkan dan
dibanggakan.
Fasilitas yang ditawarkan di Taman Sekartaji ini adalah:
1. Adanya tanaman hias seperti pohon palem dan tanaman hias
lainnya, serta tokoh pewayangan sebagai lambang budaya kota
Surakarta
2. Terdapat bagian–bagian taman yang bisa digunakan untuk
bersantai yang dihiasi dengan lampu hias.
Selain memiliki fungsi dan fasilitas yang banyak, pastinya banyak warga
kota Surakarta yang datang dan mengunjungi tempat ini. Namun walaupun ada
setelah Perda kesetaran difabel disahkan ternyata Taman Sekartaji ini tidak
memiliki akses sebagaimana yang seharusnya ada dalam aksesibilitas fisik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
Paling tidak terdapat rem landai untuk memudahkan difabel untuk memasukinya,
namun kenyataan yang peneliti temukan adalah rem yang sangat curam yang
terdapat di taman ini, tidak ada railing ataupun akses lainnya bagi difabel.
Foto 21
Keterangan: Rem curam untuk menuju bagian bawahtaman
Sumber : Dokumentasi Peneliti
b. Halte Batik Solo Trans
Halte Batik Solo Trans memiliki fungsi sebagai tempat untuk mennggu
bus atau pemberhentian bus sementara untuk mengangkut penumpang ataupun
peralihan antar transportasi. Halte Batik Solo Trans ini ada yang berupa
bangunan seperti bangunan joglo maupun hanya berbentuk portabel yang hanya
berupa anak tangga.
Disamping memiliki fungsi diatas, fasilitas yang ditawarkan oleh Halte
Batik Solo Trans yang ditemukan oleh peneliti adalah:
1. Adanya rem atau jalan landai di salah satu sisi bangunan Halte batik
Solo Trans, terdapat pula tramrail ( pegangan ). Rem yang terdapat di
Halte Batik Solo Trans terdapat rem curam maupun landai.
2. Adanya petugas yang berjaga di halte/ titik tertentu untuk memeriksa
katepatan waktu sehingga dapat berlangsug sesuai jadual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Dari data diatas dapat dilihat Halte Batik Solo Trans telah
mengaplikasikan Perda Kesetaraan Difabel dalam pembangunan fisiknya. Namun
kenyataan yang ditemukan dilapangan adalah tidak adanya difabel yang mencoba
untuk naik bis Batik Solo Trans karena letak halte yang hanya berada di titik–titik
tertentu dan akses bagi difabel juga hanya terdapat di halte–halte tertentu dan
terkadang akses yang berada di halte tersebut masih sulit diakses difabel karena
rem terlalu curam.
Dapat dilihat bahwa hampir semua ruang publik di Kota Surakarta yang
diteliti telah memiliki akses bagi difabel, namun permasalahan yang selanjutnya
setelah disediakannya akses adalah apakah benar akses tersebut memang benar–
benar bisa digunakan oleh difabel. Perda Kesetaran Difabel telah mengatakan
bahwa difabel berhak mendapatkan aksesibilitas fisik, namun ketika dibangun
nyatanya adalah akses tersebut kebanyakan tidak ramah bagi difabel atau difabel
sulit mengaksesnya. Ruang publik yang responsif, demokratis, dan bermakna
belum begitu ditemukan karena tidak semua ruang publik memenuhi kriteria
tersebut.
Konsep akses yang disediakan ruang publik yang diteliti tidak sesuai
dengan kebutuhan difabel . Bagi difabel akses tersebut ternyata tidak mampu atau
kurang mampu menjangkau mereka. Walaupun menurut orang normal hal
tersebut bisa dijangkau namun tidak bagi para difabel yang merasakan
pembangunan tersebut. Akses yang disediakan banyak yang sudah rusak, terlalu
tinggi, sehingga membuat difabel kesulitan didalamnya. Azaz kemudahan,
kegunaan, keselamatan, dan kemandirian yang seharusnya dapat dipenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
semuanya ternyata hanya beberapa saja yang layak, dan setiap akses hanya
memenuhi beberapa azaz saja.
Walaupun demikian dengan adanya aksesibilitas bagi difabel di Kota
Surakarta, sedikit banyak telah membantu difabel untuk merasakan kesempatan
yang sama dengan orang normal. Akan tetapi para difabel merasakan kurang bisa
mengakses tempat-tempat di ruang publik karena fasilitas yang mereka terima
tidak sesuai dengan kondisi mereka.
Bagi difabel Pasar Gede walaupun memiliki akses yang tepat namun
ternyata terlalu ramai dan terlalu sempit jalannya bila mereka pergi ke Pasar,
walaupun aksesibel namun kenyataannya mereka tidak bisa mengakses. Taman
Sekartaji dibangun sebagai lahan terbuka hijau, disana tidak disediakan akses bagi
difabel karena pembangunannya memang tidak memperhatikan akses bagi
mereka. Terminal Tirtonadi terdapat jalan rem bagi difabel namun banyak difabel
yang tidak bisa mengakses karena terlalu tinggi dan tidak rata. Halte BST bagi
difabel ternyata telalu curam untuk jalan landainya serta tidak aksesibel karena
berada pada lokasi tertentu saja. Masjid Agung memiliki akses wudlu khusus
bagi difabel ini merupakan salah satu keunggulan masjid ini, difabel dapat dengan
mudah mengaksesnya, namun agak sedikit berusaha untuk mencapai ruangan
tempat beribadah. Gereja Kristen Jawa Margoyudan mudah bagi difabel untuk
dapat memasuki ruang peribadahan namun tidak untuk kamar mandinya. Solo
Grand Mall akses bagi difabel sangat banyak dan difabel sedikit dimanjakan
dengan akses tersebut diantaranya adalah adanya lift, travelator, rem di pintu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
masuk, namun untuk kamar mandi dan mushola masih agak sulit dijangkau oleh
difabel.
Dari ketujuh ruang publik diatas yang benar–benar bisa dijangkau oleh
para difabel pengguna kursi roda maupun tongkat adalah Solo Grand Mall, Gereja
Kristen Jawa Margoyudan. Walaupun bisa diakses oleh mereka namun tetap saja
ada banyak kekurangan fasilitas yang ditawarkan. Sedangkan ruang publik yang
dapat dijangkau oleh difabel pengguna tongkat (semi ambulant) adalah semua
ruang publik diatas, karena pengguna tongkat cenderung lebih bisa mengakses
jalan tanpa membutuhkan space yang luas dan anak tangga dapat dilalui.
D. Aksesibilitas Difabel dalam Ruang Publik
Aksesbiltas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna
mewujudkan kesamaan dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Dari berbagai penjelasan yang telah peneliti jelaskan dapat dilihat
bahwa kemudahan dan kesamaan akan kemudahan akses ruang publik bagi
difabel akan berpengaruh pada intensitas kedatangan difabel dalam ruang publik
dan sikap difabel terhadap akses yang telah disediakan. Intensitas dan sikap ini
tergantung pada seberapa besar hambatan yang dialami difabel, kondisi, dan
fasilitas dalam ruang publik.
D.1. Intensitas Kedatangan Difabel dalam Ruang Publik.
Intensitas kedatangan difabel dalam sebuah ruang publik dapat dilihat dari
jenis akes yang ditawarkan oleh ruang publik tersebut. Jika ruang publik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
memiliki akses yang ramah bagi difabel maka intensitas kunjungan akan relatif
tinggi, namun begitu pula sebaliknya, jika akses bagi difabel tidak ada maka
intensitas kedatangan mereka akan semakin sedikit. Intensitas merupakan suatu
keadan tingkatan, dalam hal ini intensitas kedatangan difabel merupakan tingkatan
kedatangan difabel dalam ruang publik. Disini terlihat difabel berkursi roda
terlihat lebih kesusahan untuk memasuki suatu ruangan daripada difabel
bertongkat karena lebih banyak membutuhkan fasilitas.
Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa intensitas kedatangan difabel pada
ruang publik yang diteliti berbeda–beda. Difabel lebih memilih tempat yang
dirasa mudah diakses baginya. Berikut merupakan intensitas kedatangan difabel
dalam ruang publik yang diteliti.
1. Ruang publik yang sering dikunjungi
a. Solo Grand Mall
Ruang publik adalah suatu ruang dimana seluruh masyarakat
mempunyai akses untuk menggunakannya. Ciri-ciri utama dari ruang
publik adalah terbuka mudah dicapai oleh masyarakat untuk melakukan
kegiatan-kegiatan kelompok maupun kegiatan individu. Salah satu jenis
ruang terbuka dapat berupa Mall. Di kota Surakarta sendiri terdapat Solo
Grand Mall sebagai salah satu ruang publik. Antusias warga Surakarta
dan sekitarnya untuk datang ke Mall ini sangat tinggi, terlihat dari jumlah
pengunjung yang datang setiap harinya berjumlah hingga ribuan orang.
Tidak terkecuali difabel yang juga sring terlihat di Solo Grand Mall.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
Menurut Erna dan Handayani difabel yang menggunakan kursi roda ini
mengatakan bahwa mereka sering ke Solo Grand Mall. Kedua orang ini
berpendapat karena akses untuk masuk mudah maka mereka sering
mengunjungi Solo Grand Mall walaupun hanya sekedar bersantai. Dalam sebulan
mereka bisa pergi ke tempat tersebut hingga 2-3 kali.
Ruang publik diciptakan sebagai wadah untuk kehidupan manusia, baik
secara individu maupun berkelompok, serta tidak memandang usia maupun
kondisi apapun. Maka untuk itulah banyak berdiri ruang publik di kota Surakarta
salah satunya Solo Grand Mall yang bias diakses oleh siapa saja.
b. Gereja Kristen Jawa Margoyudan
Dalam ibadah umat kristiani, ibadah dilaksanakan pada hari minggu.
Untuk intensitas jemaat difabel dalam mengakses gereja ini setiap minggu pasti
datang beribadah. Selain karena wujud syukur atas berkat Tuhan tetapi juga
sebagai bentuk kekuatan secara rohani. Ibu Hadi mengatakan beliau setiap
minggu pasti datang kegereja ini.
“jadi tiap minggu siang saya pasti beribadah ditempat gereja ini.”(wawancara, 31 Juli 2011)
Ruang publik yang mudah diakses bagi difabel membuat mereka sering ke
tempat tersebut. Salah satunya Gereja sebagai tempat beribadah yang tidak luput
dari sasaran difabel untuk melakukan ibadah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
2. Ruang Publik yang jarang dikunjungi
a. Taman Sekartaji
Ruang publik merupakan suatu ruang yang harusnya bisa diakses
oleh siapa saja. Difabel juga membutuhkan ruang publik maka intensitas
kedatangan mereka ke ruang publik dapat dilihat dari apakah sudah ada
layanan yang tepat bagi mereka. Untuk Taman Sekartaji sendiri difabel
yang mengunakan tongkat seperti saudara Eman mengatakan sering
mengunjungi taman ini, namun beda halnya dengan difabel berkursi roda
Zakim dia hanya ke taman Sekartaji jika ingin nongkrong saja itupun tidak
sering.
“Aku sering ke Taman Sekartaji mbak, biasanya kalau sore akuyaw lumayan suka kesini. (wawancara dengan Eman Permana, 08Juli 2011)“Cuma nongkrong saja, itupun saya ga bisa menikmati tamannyaamapai ke bawah – bawah, itupun jarang kak “ (wawancara denganAmsori, 08 Juli 2011)
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan akses yang dapat mereka
lalui. Dengan akses anak tangga difabel yang memakai tongkat bisa
melaluinya tanpa bantuan, sdangkan bagi difabel berkursi roda harus
mendapat bantuan orang lain untuk melaluinya.
b. Masjid Agung Surakarta
Intensitas kedatangan difabel di ruang publik dipengaruhi oleh
seberapa besar fasilitas yang bisa diakses oleh difabel. Terkadang akses
yang tidak memadai menyebabkan intensitas difabel dalam mengakses
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
ruang publik pun menjadi sangat jarang. Akses atau fasilitas bagi difabel dapat
berupa rem, guilding bloc, handrail, dan sebagainya. Di Masjid Agung ni sudah
terdapat rem bagi difabel dan tempat wudlu khusus bagi difabel. Adanya akses ini
menyebabkan tidak sedikit difabel yang mengunjungi Masjid Agung Surakarta.
Menurut Bapak Bambang beliau sudah sering ke Masjid Agung karena
menurut beliau untuk wudlu mudah, walapaun untuk menuju ruang dalam harus
sedikit bersusuah payah. Seperti juga yang dialami oleh Saudara Muhammad
Rosul, dia juga mengatakan bahwa sering ke Masjid Agung karena masjid
tersebut lebih aksesibel bagi dirinya.
“Pernah mbak beberapa kali, masjidnya besar kalau dibandingkan masjidyang tiap jumat saya datangi. (wawncara, 23 Juni 2011)”
Jadi bisa dibilang kemudahan bagi difabel untuk mengakses Masjid Agung akan
memengaruhi intensitas kedatang mereka ke tempat tersebut.
3. Ruang publik yang sangat jarang dikunjungi
a. Pasar Gede
Bagi difabel jika tempat tersebut memungkinkan dirinya untuk masuk
kedalamnya maka dia akan sering untuk kembali ke tempat tersebut. Namun
apabila dirasa akses tersebut susah dan menyulitkan bagi dirinya berarti
mereka akan mencoba untuk pertama dan terakir kalinya. Pasar Gede salah
satu tempat ruang publik yang sering dikunjungi oleh masyarakat luas. Setiap
harinya ribuan orang mengunjungi pasar Gede untuk bertransaksi. Tapi tidak
halnya difabel sepereti yang diungkapkan oleh saudara Arif Ernawati
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
“Udah cukup sekali itu saja saya ke Pasar tradisional, saya ga mau lagike sana. Sebenarnya akses di Pasar Gede sudah tepat mbak, tapi karenapedagangnya menuhin jalan bikin jalan jadi sempit dan saya jadi gabisa leluasa buat jalan”. (wawancara, 23 Juni 2011)”
Jadi dapat dilihat difabel mengalami kesulitan untuk mengakase Pasar
khususnya difabel berkursi roda karena membutuhkan lebih banyak ruang luas
untuk dapat memberikan rasa nyaman. Namun Pasar Gede belum bisa
memberikan fasilitas tersebut walaupun sebenarnya sudah sangat akssesibel bagi
difabel.
b. Halte Batik Solo Trans
Seperti layaknya terminal sebagai tempat sarana transportasi, halte juga
memiliki fungsi seperti terminal yaitu sebagai tempat untuk menaikkan
penumpang atau orang yang membutuhkan jasa transprtasi. Bagi kebanyakan
orang halte BST dapat menjadi pilihan tempat untuk mencegat bis sekaligus
tempat berteduh. Masyarakat yang memiliki tubuh yang lengkap menganggap
halte BST tidak ada kekurangan, jadi banyakl masyarakat yang menggunakannya
setiap harinya. Namun tidak dengan mereka yang mempunyai kekurangan dalam
dirinya seperti difabel, ruang publik yang dianggap manusia normal mudah
diakses tidak berlaku bagi mereka.
Halte BST yang sulit diakses dan tempatnya yang berada pada posisi
tertentu mebuat difabel jarang untuk mengaksesnya. Hasil dari observasi
ditemukan bahwa tidak ada difabel yang dilihat mengakses halte BST. Jadi bisa
dibilang halte BST ini kurang menjangkau difabel seperti konsep yang semula
direncanakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
c. Terminal Tirtonadi
Terminal merupakan ruang publik yang sangat sibuk. Banyak orang
berlalu lalang datang dan pergi. Setiap orang yang membtuhkan transportasi salah
satunya pasti akan pergi ke terminal. Intensitas bagi mereka yang membutuhkan
layanan transporttasi sangat tinggi, bahkan bisa setiap orang untuk setiap harinya
mengakses terminal. Bagi orang normal tentu saja mudah jika harus bepergian
kemana–mana. Namun beda halnya dengan orang yang berkebutuhan khusus
seperti difabel. Jika mereka mengakses ruang publik yang susah dijangkau maka
membuat mereka kesusahan sendiri.
Difabel yang mengakses terminal seringkali mengalami kesulitan dalam
hal aksesibilitasnya. Mereka harus dibantu orang untuk bisa memasukinya. Ini
membuat mereka jarang terlihat di terminal, intensitas mereka untuk datang ke
terminal sangat kecil. Bagi difabel berkursi roda yang peneliti wawancara bahkan
hanya pernah satu kali saja mengunjungi terminal. Untuk itulah fasilitas dari
ruang publik haruslah diperhatikan, agar difabel juga bisa merasakan
kenyamanan.
D.2. Sikap Difabel dalam mengakses Ruang Publik
Ada beberapa sikap difabel yang ditemukan oleh peneliti mengenai sikap
mereka dalam mengakses ruang publik. Hal ini dapat dilihat dari intensitas para
difabel juga dalam mengakses ruang publik yang diteliti serta hambatan yang
dialami. Sikap yang ditemukan oleh peneliti yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
a. Apatis
Sikap apatis merupakan sikap acuh tak acuh ataupun tidak peduli.
Mengenai aksesibilitas difabel dalam ruang publik maka sikap apatis ini berarti
difabel tidak peduli mengenai ada atau tidaknya akses bagi mereka. Seperti sikap
yang ada pada diri Amsori difabel berkursi roda, dia mengatakan bahwa lebih
memilih untuk tinggal di asrama daripada harus berjalan–jalan ataupun pergi ke
ruang publik, karena dia merasa tidak bisa mengakses ruang tersebut maka dia
tidak peduli mengenai ruang publik yang ada di Surakarta, begitu pula dengan
pembangunan yang ada di Kota Surakarta.
“selebihnya cuma tinggal di asrama saja, jadinya saya ga tau dan tidakpeduli mengenai kota Surakarta.” (wawancara, 08 Juli 2011)
Difabel tidak bisa mengakses dengan mudah maka sikap apatis akan
muncul, membuat difabel merasa enggan dan malas untuk berada di ruang publik.
Sikap apatis merupakan bagian dari penjelasan Parsons mengenai skema unit
dasar tindakan sosial yaitu adanya aktor yang berhadapan dengan sejumlah
kondisi situasional yang dapat membatasi tindakannya yaitu berupa situasi dan
kondisi. Kondisi ruang publik yang tidak dapat diakses menyebabkan difabel
bersikap apatis dan malas untuk menuju tempat tersebut.
b. Bersikap terbuka dan dapat menerima
Sikap terbuka ini ditunjukkan difabel jika mereka dapat mengkases ruang
publik dengan mudah dan tidak mengalami kesulitan. Jenis fasilitas yang
ditawarkan ramah bagi difabel. Salah satunya Masjid Agung Surakarta difabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
mendapat fasilitas dalam akses yang mudah untuk tempat wudlu, walaupun tidak
dengan akses menuju ruangan tempat sholat, namun mereka tetap mau datang
untuk beribadah.
Ada beberapa jenis akses yang tidak bisa dilewati para difabel, namun
dengan bantuan orang lain mereka pada akhirnya bisa melewati tempat tersebut.
Ini menunjukkan sikap difabel bahwa mereka dapat menerima akses yang telah
diberikan oleh suatu ruang publik. Dalam hal ini jelas sikap difabel yang dapat
menerima ini sejalan dengan tindakan sosial dalam teori aksi Parsons yaitu dalam
bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode yang
diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut. Bagi difabel yang bersifat
terbuka mereka memilih cara yaitu dengan bantuan oleh orang lain untuk
mencapai suatu ruang publik.
Dari semua analisis diatas maka dapat dihubungkan dengan teori Max
Weber mengenai tindakan sosial. Tindakan sosial ini diasumsikan oleh Weber
bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasar pada pengalaman, persepsi,
pemahaman, dan penafsirannya atas obyek dari situasi tertentu. Tindakan
individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional yaitu mencapai tujuan atau
sasaran dengan sarana paling tepat. (Ritzer, 1985:38). Seperti yang dudah
diterangkan bahwa tindakan sosial memiliki empat tipe tindakan dasar yaitu
Zwerk Rational / Rasionalitas Sarana Tujuan, . Werktrational Action / Rasionalitas
Nilai, Affektual Action, dan Tradisional Action.
Dapat dilihat dalam tindakan sosial bahwa dalam aksesibilitas difabel
dalam ruang publik sejalan dengan tindakan rasional sarana tujuan yakni tindakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
sosial murni tindakan yang ditentukan oleh harapan terhadap perilaku objek
dalam lingkungan dan perilaku manusia lain; harapan–harapan ini digunakan
sebagai syarat atau sarana untuk mencapai tujuan–tujuan aktor lewat upaya dan
perhitungan yang rasional. Bagi difabel harapan mereka dalam akses ruang
publik adalah mementingkan kehidupan mereka sehingga tidak ada perbedaan hak
dalam memperoleh fasilitas. Para difabel dengan peraturan mengenai kesetaraan
hak difabel mempunyai harapan mereka juga mampu mengakses ruang publik
sama dengan masyarakat pada umumnya.
Werktrational Action/ Rasionalitas Nilai Dalam tindakan tipe ini aktor
tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan cara yang
paling tepat atau lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Namun tindakan ini
rasional, karena pilihan terhadap cara-cara yang kiranya sudah menentukan tujuan
yang hendak dicapai. Dalam hal ini aksebilitas bagi difabel sudah diwujudkan
dalam ruang publik yaitu dengan adanya akses bagi difabel agar lebih mudah
dalam menjalankannya namun kenyatan masih banyak ruang publik yang belum
ramah bagi difabel. Pemerintah kota dan pihak swasta yang telah berperan dalam
pembangunan ruang publik yaitu menyediakan akses bagi difabel untuk
kesejahteraannya, akan tetapi ternyata kurang tepat bagi difabel.
Seperti tindakan affektual hal seperti ini dipengaruhi oleh individu, untuk
mencapai tujuan agar bisa menikmati ruang publik maka difabel harus berpura–
pura menjadi seperti orang normal agar bisa mengaksesnya yaitu dengan bantuan
orang lain yang lebih normal, bantuan dari masyarakat bagi difabel merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
suatu tindakan afektual yang didominasi oleh perasaan tanpa refleksi intelektual
atau perencanaan yang sadar.
Selain itu teori aksi juga berpengaruh dalam penelitian ini. Adanya
individu sebagai aktor yaitu difabel dalam memperoleh aksesibilitasnya selalu
dihadapkan pada alternatif dan suatu cara untuk mencapainya. Merujuk pada
asumsi fundamental Parsons yaitu subyek manusia bertindak untuk mencapai
tujuan tertentu dalam hal ini difabel akan berusaha mendapatkan haknya dalam
mengakses segala bidang khusunya ruang publik yaitu dengan berjuang
memperoleh kesetaraan hak yang dituangkan dengan adanya Perda Kesetaraan
Difabel di Kota Surakarta.
Pada keterangan diatas pembahasan mengenai aksesibilitas difabel dapat
dilihat bahwa tindakan sosial relevan dengan penelitian yang diangkat oleh
peneliti. Bagaimanakah saat difabel berpengaruh dalam akses ruang publik,
bagaimana tindakan pemerintah dan pihak swasta mengenai pembangunan ruang
publik beserta konsepnya yang mementingkan masyarakat tanpa terkecuali,
bagaimana difabel kesulitan bertindak karena akses ruang publik yang belum
sesuai. Tindakan–tindakan yang dilakukan semuanya berpengaruh pada hasil
yang nantinya bisa dicapai oleh masyarakat. Dalam hal ini tentunya mengenai
difabel dan aksesibilitas yang diterimanya.
Berikut ini akan peneliti sederhanakan dalam beberapa tabel mengenai
aksesbilitas difabel dalam ruang publik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
Tabel 07
Hambatan Yang Dialami Difabel
Hambatan Difabel Kursi Roda Difabel Tongkat KeteranganDesain Teknis Perubahan tingkat ketinggian
permukaan yang mendadakseperti pada tangga atau parit,Tidak adanya pertautan landaiantara jalan dan trotoar, tidakcukup ruang untuk berbelok,tidak ratanya jalan
Tangga yang terlalu tinggi, lantaiyang terlalu licin, pintu lift yangterlalu cepat
Hambatan karena bentukbangunan yang tidak sesuaidengan kebutuhan difabel.Sebagai contoh yang ditemukandi lapangan adalah ketika difabelmengkases halte Batik SoloTrans, Masjid Agung, dan TamanSekartaji
Kondisi yang tidak kondusif Perasaan tidak nyaman, terlaluterdesak –desak, keadaan yangsangat ramai
Perasaan tidak nyaman, terlaluterdesak –desak, keadaan yangsangat ramai
Kondusi tidak kondusif dijumpaidi Pasar Gede, dan TerminalTirtonadi karena bangunantersebut terlalu ramai.
Fasilitas Tidak Memadai danKurang Perawatan
Fasilitas akses bagi difabelmengalami kerusakan - kerusakan
Fasilitas akses bagi difabelmengalami kerusakan - kerusakan
Kurangnya perawatan fasilitasdapat dilihat di terminalTirtonadi, dan Majid AgungSurakarta yaitu pada akses rembagi difabel yang tidak rata dansedikit rusak
Sumber data: data primer yang diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
Tabel 08Kondisi Ruang Publik Sebelum Adanya Perda Kesetaraan Difabel
NoLokasi
Kondisi Ruang Publik
Konsep Fungsi Fasilitas
1. Pasar GedeSejak dibangun diperuntukkanbagi difabel
Pusat kegiatan socialekonomi kerakyatan, pusatpeertemuan dan pertukaraninformasi
Rem, guilding bloc, penjualanbarang dagangan yang lengkap
2. Terminal TirtonadiMemberikan pelayanan terpadubagi pengguna jasa transportasi
Tempat permberhrntian bus,memberikan jasa bagimasyarakat yangmemebutuhkan transportasi
Adanya rem, ruang tunggu ibudan anak, banyak warungataupun kios.
3.Gereja Kristen JawaMargoyudan
Memberikan kenyaman bagijemaat tanpa membedakanstatus dan bentuk bangunangereja
Sebagai tempat beribadahdan tempat berinteraksi
Rem, lantai yang dibuat kasarpada pintu masuk, dan layananLCD untuk mempermudahjemaat beribadah
4.Masjid AgungSurakarta
Sebagai tempat beribadahsekalaigus cagar budaya
Tempat beribadah, tempatwisata, tempat beristirahat
Adanya perpustakaan diwilayahMasjid, tempat wudlu yangakses bagi difabel
5. Solo Grand Mall
One Stop FamilyEntertainment & Recreationyaitu memberikan pelayananbagi pengunjung tanpamengahbiskan waktu dan biaya
Untuk tempat berbelanja,rekreasi, dan sebagai tempatuntuk bersantao
Lift, escalator, travelator, parkir,toilet
Sumber: data primer yang diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Tabel 09
Kondisi Ruang Publik Setelah Adanya Perda Kesetaraan Difabel
NoLokasi
Kondisi Ruang Publik
Konsep Fungsi Fasilitas
1. Taman SekartajiSebagai lahan terbuka hijau diKota Solo sebesar 20%
Sebagai daerah konservasi,tempat berrekreasi, dansarana estetika
Tanaman hias sebagai saranaestetika, akses anak tangga, danbagian – bagian taman yangdapat digunakan sebagai tempatberkegiatan
2.Halte Batik SoloTrans
Sebagai tempat pemberhentianbus sementara yang bisadiakses semua orang tanpaterkecuali
Sebagai peralihan antartransport untuk mengangkutpenumpang
Terdapat rem, tramprail,petugas yang mengawasiinterval ketepatan waktu.
Sumber: data primer yang diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Tabel 10
Jenis Aksesibilitas Difabel Dalam Ruang Publik
No Lokasi Jenis AksesJenis Kecacatan Keterangan
Kursi Roda Tongkat
1. Pasar Gede
Rem V V
Terdapat rem bagi difabel di Pasar dankeduanya dapat digunakan oleh difabelkursi roda maupun tongkat, namun difabeltidak bisa mengakses Pasar karena terlaluramai dan berdesak - desakan
Guilding Block V V
Guilding block berguna agar lantai tidaklicin jadi pemakai kursi roda maupuntongkat tidak terpeleset., namun tidakpernah ada difabel yang terlihat berada dipasar
2. Taman SekartajiAnak Tangga dan
Rem- V
Hanya dibangun anak tangga pada tamanmembuat difabel kursi roda tidak dapatmengakses taman tersebut, ada akses remdalam taman namun sangatlah curamdifabel berkursi roda tidak akan bisamengaksesnya
3. Terminal Tirtonadi Rem V V
Terdapat rem yang bisa digunakan olehdifabel, namun pada kenyatan nya remtersebut digunakan sebagai jalan untuk trolipengangkut barang dan kondisinya telahrusak
4. Halte Batik Solo Trans Rem V V
Kursi roda bisa memasukinya namun bilarem terlalu curam maka tetap saja tidakaksesibel bagi difabel, sedangkan untukdifabel pemakai tongkat rem yang curampun juga akan susah untuk ditapaki.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
Tramprail - V
Pegangan di sisi rem berguna bagi difabelpemakai tongkat untuk membantuberpegangan agar tidak terjatuh dan lebihseimbang.
5. Masjid Agung Surakarta Tempat Wudlu V V
Tempat wudlu di Masjid Agung Surakartasangat askesibel bagi difabel, karena tempatwudlu tersebut dibuat khusus untuk difabelsupaya lebih mudah dan nyaman.
6.Gereja Kristen Jawa
Margoyudan
Rem V V
Pintu masuk gereja ini sudah ada rem yangdapat mempermudah jemaat baik yangdifabel maupun non difabel lebih mudahmasuk kedalamnya. Rem disini sangatlandai.
Lantai yang Kasar - VBagi difabel bertongkat lantai menonjoldigunakan agar tidak licin, hal ini sangatberguna bagi difabel agar tidak terpeleset
7. Solo Grand Mall
Travelator V VAdanya travelator membuat difabel tidakperlu bersusah payah untuk mendorongkursi rodanya maupun berjalan
Rem V V
Bagi difabel kursi roda rem yang ada sangatberguna bagi mereka, walaupun di pintulobby masih sedikit curam tapi masih bisadiakses
Lift V VLift berguna tidak hanya bagi difabel sajatapi juga semua pengunjung yangmembutuhkan
Sumber: data primer yang diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Tabel 11Intensitas Kedatangan Difabel Dalam Ruang Publik
Sering Jarang Sangat JarangSolo Grand Mall Taman Sekartaji Pasar Gede
Gereja Kristen Jawa Margoyudan Masjid Agung SurakartaHalte Batik Solo Trans
Terminal TirtonadiSumber: Data primer yang diolah
Tabel 12
Sikap Difabel Terhadap Akses Yang diterima dalam Ruang Publik
Sikap KeteranganApatis Tidak mau tahu dengan keadaan ruang publik di Kota
Solo. Tidak peduli dan merasa tidak mampu mengkasesruang publik
Bersikap terbuka Difabel mau mengerti keadaan ruang publik dan aksesyang mereka terima walaupun terkadang akses tersebuttidak ramah bagi mereka
Sumber: Data primer yang diolah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasakan penelitian yang peneliti lakukan dengan judul Aksesibilitas
Difabel dalam Ruang Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas
Difabel Dalam Ruang Publik di Kota Surakarta), dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut : Difabel sebagai orang yang memiliki kemampuan yang berbeda selalu
ingin disetarakan dengan masyarakat pada umumnya begitu pula mengenai
masalah aksesibilitas. Selain itu banyak akses tidak memenuhi azaz–azaz bagi
kesetaraan difabel. Sehingga banyak dari difabel kesulitan dan harus
membutuhkan bantuan dari orang lain untuk dapat menikmati ruang publik karena
permasalah aksesibilitas yang ada.
Permasalahan aksesibilitas tersebut antara lain adalah mengenai masalah
desain teknis, kondisi ruang yang tidak kondusif, dan fasilitas yang tidak memadai
dan kurang perawatan. Hal seperti ini membuat difabel merasa kurang akses
dalam melaluinya. Akses maupun fasilitas yang disediakan dalam pembangunan
tersebut tidak bisa dirasakan difabel karena terkadang akses tersebut sudah atau
rusak dan tidak terawat, tidak bisa dijangkau karena tidak ada rem atau terlalu
curam, lantai yang licin, ataupun ruangan yang terlalu sempit. Dari kurangnya
fasilitas dan permasalahan aksesibilitas dapat dilihat intensitas kedatangan difabel
dalam ruang publik, ruang publik yang mudah diakses maka difabel sering
berkunjung ke tempat tersebut, begitu pula sebaliknya jika dirasa kurang aksesibel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
bagi mereka maka difabel akan jarang mengunjungi tempat tersebut. Kondisi
ruang publik di kota Surakarta bisa dibilang ada beberapa yang tidak terawat.
Banyak tempat yang kurang dalam perawatannya sehingga membuat menjadi
tidak nyaman. Selain itu ada ruang publik yang kondisinya tidak begitu baik
hampir roboh karena tidak ada renovasi. Namun kebanyakan kondisi ruang
publik di kota Surakarta sudah mengalami renovasi sehingga tinggal butuh
perawatan saja supaya ruang publik menjadi lebih baik. Bisa dibilang Surakarta
mengalami perkembangan yang pesat dal ruang publiknya.
Dari kondisi demikian maka difabel pun terbagi menjadi dua kategori
terhadap akses yang mereka terima, yang pertama adalah difabel bersikap apatis
yaitu mereka tidak peduli dan tidak mau tahu dengan keadaan ruang publik di kota
Surakarta, dan yang kedua adalah bersikap terbuka yaitu mereka mau menerima
akses ruang publik yang telah disediakan bagi mereka. Sikap ini datang
berdasarkan kemudahan mereka dalam mencapai atau memasuki ruang publik
yang berada di Kota Surakarta setelah adanya Perda Kesetaraan Difabel.
Perda Kesetaraan Difabel sebenarnya sudah diaplikasikan ke dalam setiap
pembangunan di Kota Surakarta. Baik itu ruang publik yang ada setelah Perda
tersebut ada ataupun sebelum Perda tersebut disahkan. Setiap sarana publik
ataupun ruang publik setelah Perda disahkan diwajibkan untuk menambah akses
bagi difabel. Di Kota Surakarta sendiri sebenarnya sudah memberikan akses bagi
difabel agart difabel dapat menikmati ruang publik yang ada. Namun
pembangunan yang dilakukan terkadang masih belum bisa menjangkau difabel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
untuk dapat merasakan akses yang diberikan baik itu ruang publik yang ada
sebelum maupun sesudah Perda kesetaraan difabel disahkan.
B. Implikasi
B.1. Implikasi Empiris
Aksesibilitas difabel dalam ruang publik sebenarnya sudah dirasakan oleh
difabel. Banyak tempat publik yang telah diberi akses namun pada kenyataannya
masih ada beberapa tempat yang masih sulit untuk diakses. Kesulitan ini jelas
terlihat dari akses yang diberikan kurang sesuai dengan kebutuhan difabel.
Padahal sudah ada Perda mengenai difabel yang mengaturnya. Perda Kesetaraan
Difabel yang telah disahkan sejak tahun 2008 lalu dimana difabel juga memiliki
hak yang sama dengan masyarakat pada umumnya, dalam hal ini khususnya
mengenai aksesibilitas dalam ruang publik. Namun ditemukan bahwa ada
beberapa konsep pembangunan ruang publik masih ada yang tidak menyediakan
layanan akses bagi difabel. Selain itu ada beberapa ruang publik yang masih
belum ramah difabel karena banyak permasalahan mengenai aksesibilitasnya.
Dari hal ini dapat dilihat maka difabel mengalami kesulitan menikmati ruang
publik tersebut. Perda yang seyogyanya digunakan untuk menyetarakn difabel
dalam berbagai hal ternyata masih saja belum sepenuhnya terlaksana, khususnya
dalam hal kemudahan aksesibilitas fisik dalam suatu ruang publik. Untuk itu
diharapkan bagi banyak pihak agar terus mendukung difabel untuk memperoleh
kesamaan hak bagi mereka terutama dalam akses ruang publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
B.2. Implikasi Teoritis
Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma definisi sosial.
Dimana pokok persoalan dari definisi ini adalah tentang tindakan sosial yang
dikemukakan oleh Max Weber. Tindakan sosial merupakan tindakan individu
sepanjang tindakannya mempunyai arti yang diarahkan kepada tindakan orang
lain. Selain itu tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan
mempertimbangkan perilaku orang lain. Dalam hal ini, yaitu pembangunan ruang
publik di Kota Surakarta diupayakan agar difabel mendapatkan kesetaraan dan
kemudahan dalam memperoleh akses yang sama, hal ini dibantu oleh pemerintah
kota maupun dari pihak swasta.
Teori aksi mengatakan bahwa manusia merupakan aktor yang kreatif,
aktif, dan evaluatif. Hasil penelitian ini secara teoritis mendukung pendekatan
yang dipakai dalam penelitian ini. Dimana pendekatan yang diambil menekankan
kepada difabel dan ruang publik yang ada di kota Surakarta. Hal ini tercermin dari
dengan peraturan mengenai kesetaraan hak difabel, difabel mempunyai harapan
untuk mampu mengakses ruang publik sama dengan masyarakat pada umumnya
serta mempertimbangkan sisi kehidupan manusia dengan maksud tanpa ada
pembedaan. Tindakan sosial relevan dengan penelitian mengenai Aksesibilitas
Difabel dalam Ruang Publik (Studi Deskriptif Kualitatif mengenai Aksesibilitas
Difabel dalam Ruang Publik di Kota Surakarta). Dimana kehidupan difabel
membutuhkan kesetaraan dalam ruang publik yang dalam pembangunannya harus
mementingkan aspek aksesibilitas dan fasilitas bagi difabel, hal ini sudah sesuai
dengan konsep tindakan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
B.3. Implikasi Metodologis
Penelitian deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang menghasilkan
data deskriptif berupa kata–kata tertulis atau lisan dari orang–orang. Adapun
fokus dalam penelitian ini adalah melihat Aksesibilitas Difabel dalam Ruang
Publik (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Aksesibilitas Difabel dalam Ruang
Publik di Kota Surakarta).
Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai instrument dalam
pengumpulan data dengan cara berinteraksi dan melakukan wawancara dengan
obyek yang diteliti. Key informan dipilih berdasarkan purposive sampling karena
dipandang lebih mampu menangkap kelengkapan dan kedalaman data, selain itu
mengunakan teknik snowball sampling karena data dan informasi yang diterima
dapat lebih maksimal. Peneliti mengunakan teknik tersebut dianggap cukup
efektif, sehingga peneliti menemukan informan dan key informan yang tepat dan
dan sesuai dengan permasalahan penelitian. Key informan dalam penelitian ini
adalah tujuh orang difabel yang mengetahui tentang ruang publik, sedangkan
informan berasal dari pihak dinas, keluarga, maupun pihak swasta terkait yaitu
antara lain Dinas Perhubungan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Pengelolaan
Pasar, Kepala TU Masjid Agung Surakarta, Majelis Gereja Kristen Jawa
Margoyudan, dan Tenan Relation Officer Solo Grand Mall.
Pengumpulan data menggunakan teknik wawancara secara mendalam dan
dibantu dengan interview guide yang berupa pertanyaan–pertanyaan yang telah
dipersiapkan sebelumnya sebagai panduan wawancara. Selain itu juga dengan
metode observasi, studi kepustakaan dan dokumentasi sebagai pelengkap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
Triangulasi yang digunakan adalah triangulasi sumber dimana digunakan untuk
memberikan suatu keabsahan kepada data.
C. Saran
Setelah melakukan penelitian mengenai Aksesibilitas Difabel Dalam
Ruang Publik di Kota Surakarta, peneliti dapat memberikan sedikit saran bagi
pemerintah, difabel, masyarakat, maupun bagi peneliti selanjutnya. Saran
tersebut dapat digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki dan memperluas
wawasan bagi pihak terkait.
Bagi pemerintah kota maupun pihak swasta diharapkan memperbanyak
dan memperbaiki kualitas sarana ruang publik yang aksesibel bagi difabel. Selain
itu juga mempertahankan dan merawat ruang publik agar kondisinya tidak
memprihatinkan serta dapat memberikan rasa nyaman bagi masyarakat khususnya
difabel, agar difabel mendapatkan haknya mengenai ruang publik. Bagi difabel
hendaknya mau meyakinkan dirinya sendiri meskipun mereka memiliki
keterbatasan fisik mereka juga mampu untuk menikmati ruang publik seperti
layaknya orang normal. Selain itu masyarakat hendaknya tidak memandang
sebelah mata mengenai difabel, sehingga jangan sampai merusak fasilitas umum
yang disediakan khusus bagi difabel. Selain itu hendaknya keluarga dan
masyarakat memberikan kesempatan yang sama bagi difabel misalanya mengenai
pekerjaan sama tanpa memandang kecacatan fisik yang dipunyai.
Untuk meningkatkan kualitas penelitian lebih lanjut khususnya berkaitan
dengan aksesibilitas difabel dalam ruang publik, peneliti lain diharapkan dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
lebih mengontrol ruang yang lebih luas misalnya dengan menambah ruang publik
selain dalam penelitian ini. Sehingga hasil yang didapatkan lebih beragam dan
memperoleh kesimpulan yang menyeluruh mengenai ruang publik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
DAFTAR PUSTAKA
Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Setting
Pendidikan Inklusi. Bandung: Refika Aditama.
Demartoto, Argyo. 2005. Menyibak Sensitivitas Gender Dalam keluarga Difabel.
Surakarta: UNS Press.
Hariyono. 2007. Sosiologi Kota Untuk Arsitektur. Jakarta: Bumi Aksara
Jurnal Perempuan Nomor 65. Mencari Ruang Untuk Difabel. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan.
Milles, B. Matthew & A. Michael Huberman. 2007. Analisis Data Kualitatif.
Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosda Karya.
Nasution, G.R. 1995. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nugroho, Adi. 1995. Bisnis Sukses Orang Cacat: Banyak Usaha Yang Sesuai
Kemampuan Fisik Meraih Sukses. Surakarta: CV. Aneka Surakarta.
Purwanta, Setia Adi dkk. 2002. Memecah Ketakutan Menjadi Kekuatan: Kisah –
Kisah Advokasi Di Indonesia. Yogyakarta: Insists Press.
______. 2004. Pokok – Pokok Pikiran Dr. Mansour Fakih Refleksi Kawan
Seperjuangan. Yogyakarta: SIGAB & OXFAM Great Britain.
Ritzer, George. 2003. Sosiologi Ilmu pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
_____. 2008. Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan
Mutkahir Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Rustam Hakim. 2003. Komponen Perancangan Arsitektur Lansekap. Prinsip –
prinsip dan Aplikasi. Jakarta: Sinar Grafika
Salim, Emil. 1986. Pembangunan Berwawasan. Jakarta: LP3ES.
Siagian, Sondang P. 1972. Administrasi Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Memberdayakan
Rakyat, Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan
Pekerjaan Sosial. Bandung: PT Refika Aditama.
Syafiie. 1999. Ilmu Administrasi publik. Jakarta: Rineka Cipta.
Skripsi
Bondan Dwi S. 2006. Tindakan dan Aksesbilitas Perempuan Difabel Dalam
Kaitannya Dengan Pelayanan Kesehatan Reproduksi di Kota Surakarta.
Jurusan Sosiologi Fisip UNS. Surakarta.
Gita H. Putri. 2007. Hubungan Konsep Diri Remaja Difabel Dengan Penyesuaian
Diri Terhadap Lingkungan. Jurusan Psikologi UKSW. Salatiga.
Muhammad Imdad. 2008. Peran LSM Dalam Pemberdayaan Difabel Korban
Gempa Bumi di Kabupaten Klaten. Jurusan Sosiologi Fisip UNS.
Surakarta.
http://docs.google.com/ SULUH_REHABILITASI_2008.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/diakses 240211. pukul 22.35WIB.
http://www.surakarta.go.id/id/news/bst.batik.surakarta.trans.html. diakses 090811.
Jam 18.00 WIB
http://eka.web.id/taman-sekar-taji-surakarta.html) diakses 090811. Pukul 13.20
WIB.
http://www.surakartagrandmall.co.id/sekilassejarah-mall
http://www.surakartapos.com/2011/surakarta/tujuh-bangunan-masjid-agung-
rusak-111092
http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Surakarta