82
i AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012) SKRIPSI OLEH : HANURA GANI RAHMADI E1A010181 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

i

AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM

HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA

(Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012)

SKRIPSI

OLEH :

HANURA GANI RAHMADI

E1A010181

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

Page 2: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

ii

AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM

HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA

(Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012)

SKRIPSI

OLEH :

HANURA GANI RAHMADI

E1A010181

Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar

Sarajana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Jendral Soedirman

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

Page 3: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM

HAL TERJADI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan

Mahkamah Agung No. 335 K/Pdt.Sus/2012)

oleh :

HANURA GANI RAHMADI

E1A010181

Maksud Skripsi untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman

DISETUJUI DAN DITERIMA

PADA TANGGAL FEBRUARI 2015

Penguji I/

Pembimbing I

Prof. Hj. Tri Lisiani Prihatinah, SH.MA.Ph.D

NIP. 19631231 199002 2 001

Penguji II/

Nur Wakhid, S.H., M.H.

NIP. 19621225 198903 1 003

Penguji III

H. Suyadi, S.H., M. Hum.

NIP. 19611010 198703 1 001

Page 4: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya :

Nama

NIM

Judul

:

:

:

HANURA GANI RAHMADI

E1A010181

AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN

PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI

KETERLAMBATAN PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan

Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012)

Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya saya sendiri dan

tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain.

Dan apabila ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana tersebut diatas, maka

saya bersedia mempertanggungjawabkannya sesuai ketentuan yang berlaku.

Purwokerto, Januari 2015

HANURA GANI RAHMADI

NIM. E1A010181

Page 5: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

v

ABSTRAK

Penelitian ini menganalisis Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt.Sus/2012, tentang

akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran

Sertifikat fidusia. Hal ini perlu dilakukan karena lembaga fidusia sebagai solusi peminjaman

dana untuk memenuhi kesulitan keuangan. Harus melalui pendaftaran. Prakteknya pendaftaran

sering terlambat dilakukan bahkan tidak didaftarkan. Permasalahan dalam penelitian ini

dikarenakan perjanjian pembiayaan dengan jaminan fidusia terlambat didaftar. Perkara tersebut

diselesaikan hingga putusan Mahkamah Agung. Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu

menganalisis akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan yang terlambat didaftarkan serta

menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara. Metode penelitian dalam

menganalisis perkara ini dilakukan secara yuridis normatif. Diperoleh hasil bahwa perkara ini

penyelesaiannya melalui pelelangan benda fidusia sebagai pelunasan hutang sudah sesuai aturan

hukum. Selain itu pertimbangan Mahkamah Agung tidak dapat dibenarkan karena tidak sesuai

dengan fakta hukum. Fakta hukum yaitu terlambat didaftar namun pelelangan tetap sah karena

sertifikat fidusia telah terbit setelah adanya pelelangan. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa

pelaksanaan pelelangan benda fidusia telah sah dan sesuai aturan yang berlaku.

Kata kunci : perjanjian pembiayaan, objek fidusia, mahkamah agung

Page 6: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

vi

ABSTRACT

This study analyzes the Supreme Court of 335 K / Pdt.Sus / 2012 , concerning the case

of default on the financing agreement in the event of late registration certificate fiduciary . This

is necessary because the fiduciary institution as a solution of borrowing funds to meet financial

difficulties, must go through registration . Practice it is often too late registration is not even

registered . Problems in this study due to the financing agreement with fiduciary late registration.

The case is resolved by the Supreme Court ruling . The problems of this study is to analyze the

case of default on the financing agreement that late registration and analyze the legal reasoning

of judges in deciding the case . Research methods in analyzing this case normative juridical

analyzes. The results obtained indicate that this case settlement through auction fiduciary objects

as debt repayment is appropriate rule of law . In addition, the Supreme Court judgment can not

be justified because it is not in accordance with the legal facts . Legal fact that late auctions listed

yet remain valid as fiduciary certificates have been published after the auction . The conclusion

from this study that the implementation of the fiduciary has a legitimate auction items and

according to the rules .

Key World: Pact Funding, Fiducia thing, Court Of Law

Page 7: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Pada halaman ini Penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih terutama dan yang

paling utama kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat hidayahnya sehingga skripsi

saya menjadi lancar. Kepada bapak dan ibu yang selalu mendukung penulis untuk terus

bersemangat mengerjakan tugas akhir ini. Saudara-saudaraku, mbah, pak lik, pak de, kaka ipar,

adik ipar dan semua krabat teman saudara yang turut serta mendukung serta mendoakan demi

kelancaran sekripsi ini.

Page 8: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

viii

MOTTO

SAK BEJO BEJANING SING LALI ISIH BEJO SING ELING LAN WASPODO.

BERTAHAN HIDUP HARUS BISA BERSIKAP LEMBUT, WALAU HATI

PANAS BAHKAN TERBAKAR SEKALIPUN.

HIDUP ADALAH SUATU PERJUANGAN, DEKATKANLAH DIRIMU DENGAN

ALLOH SWT MAKA KAMU AKAN DIPERMUDAH.

BERBUAT BAIKLAH DIMANAPUN DAN KAPAN PUN SELAGI BISA,

SEBELUM MATI.

JANGAN MEREMEHKAN SESUATU YANG SEDERHANA, KARENA

TERKADANG ITULAH YANG MEMBUATMU BAHAGIA.

TIDAK PERLU MENJADI ORANG LAIN UNTUK DAPAT BERSAMANYA.

CEPAT MEMANG BAIK, TAPI LEBIH BAIK KALAU TEPAT.

Page 9: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Alloh SWT atas segala rahmat dan karunianya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsinya yang diberi judul : AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN

PEMBIAYAAN KONSUMEN DALAM HAL TERJADI KETERLAMBATAN

PENDAFTARAN FIDUSIA (Tinjauan Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012). Skripsi ini merupakan

salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Jendral Soedirman.

Berbagai hambatan dan kesulitan penulis hadapi dalam penyusunan skripsi ini. Namun

berkat ketegaran penulis serta bimbingan dan arahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat

penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih yang

tulus kepada yang terhormat:

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman,

Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya;

2. Prof. Hj. Tri Lisiani Prihatinah, SH.MA.Ph.D, selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas

segala bantuan, arahan, bimbingan, kesabaran, dan masukan yang telah diberikan selama

penulisan skripsi ini;

3. Nur Wakhid, SH., M.H, selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala bantuan, arahan,

bimbingan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini;

4. H. Suyadi, S.H., M. Hum. selaku Dosen Penguji Skripsi

5. Agus Mardianto S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Perdata

6. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Akademik atas segala arahan dan

masukan yang telah diberikan selama menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto;

Page 10: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

x

7. Seluruh Dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto;

8. Drs. Supriyadi sebagai Ayah Kandung tercinta dari penulis;

9. Sumirah, S.pd Ibu Kandung tercinta dari penulis;

10. Odi, Berizki, Hendri, Mas bani, ian dan lainnya sebagai saudara penulis;

11. Teman-teman Republik Paramex Kelas C FH Unsoed 2010 ( terutama Rizal, Agus, Hendi,

Dextra, Mas dudu, Rio, Galih, Eyang listyanto, Lanang, redyka, Singgih, Hery, Irkham,

Giljeng, Ramajancok, alfio, sesepuh trio, mr. boby dan lainnya yang tak bisa saya sebutkan)

yang selalu menemani disaat senang dan susah dalam menjalani masa perkuliahan;

12. Tim Pendaki Gunung Paramex ( Amri, Almas, Ciripa, Firman,Cak Sidik, Sintia, Piat)

Perjalanan kita singkat, tetapi menciptakan pengalaman yang tak terlupakan.

13. Perguruan Pencak Silat Betako Merpati Putih ( terutama Mas Nardjo selaku Dewan Guru.

Para Senior, Mas Indra, mas Rudy selaku aspel, Mas tomo teman perjuangan MP, serta adik-

adik seperguruanku yang meneruskan tongkat estafet pengurus MP Unsoed).

14. Keluarga besar Fakultas Hukum Unsoed serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu

persatu yang telah memberi bantuan, saran serta doa demi kelancaran penulisan skripsi ini.

Semoga amal kebaikan serta bantuan yang telah diberikan mendapat balasan dari Tuhan

Yang Maha Esa. Skripsi ini hanyalah hasil karya manusia biasa yang memiliki banyak

kekurangan, oleh karenanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini sangat penulis

harapkan.

Purwokerto, Januari 2015

Penulis

Hanura Gani Rahmadi

Page 11: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL. ………………...……………………………………..….………….…….i

HALAMAN PENGESAHAN………….….………………….…….………………….…... ii

LEMBAR PERNYATAAN…….………….…...………………….………………….…... iii

ABSTRAK…….…………...…………...............………………..….…………………….. iv

ABSTRACT……….…………....………...…...…………………………………….……...v

HALAMAN PERSEMBAHAN………………………..…..………...…………………… vi

MOTTO……..……………………………………………………..…………………..…. vii

KATA PENGANTAR…………………………………….………………………………viii

DAFTAR ISI………………………………………………..………………………….…... x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………..…1

B. Rumusan Masalah………………………………………………..………......7

C. Tujuan Penelitian…………………………………..……………….…..…....7

D. Kegunaan Penelitian……………………………………...………..………...8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian…………………….………………………….……9

2. Perjanjian Baku…………….………………………………………........13

3. Pengaturan Hukum Perjanjian….……………………………….......…...17

4. Syarat Sah Perjanjian…………...…………………………...……….…..20

5. Perjanjian Pokok dan Accessoir…………………………………………27

B. Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi…………………………..……………………..28

2. Terjadinya Wanprestasi…….…………………...………………………28

3. Bentuk Wanprestasi dan Pelaksanaan Prestasi….....……………………31

C. Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen

1. Pengertian Pembiayaan Konsumen…….……………...………………...34

2. Sumber Hukum Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen....36

3. Tujuan Perusahaan Pembiayaan…..……………………………..............37

Page 12: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

xii

D. Fidusia

1. Pengertian Fidusia………………………………………………..…….39

2. Sifat Jaminan Fidusia…………………………………………………..40

3. Syarat-syarat Fidusia…………………………………………………...41

4. Keabsahan dan Lahirnya Fidusia………………………………………43

5. Pendaftaran Fidusia………………………………………....………….44

6. Hapusnya Jaminan Fidusia……………………………………….…….49

7. Eksekusi Benda Fidusia………………………………………………..49

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan……………………………………………..……....51

B. Spesifikasi Penelitian…………………………………..……………….52

C. Jenis Data…………………………………………………..…….…......52

D. Metode Pengumpulan Data…………………………………….……….53

E. Metode Penyajian Data………...…………………………….…………53

F. Metode Analisis Data…………………………………………....……...53

Bab IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian…………………………………………………………..54

B. Pembahasan……………………………………………………………....63

Bab V PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………........77

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………..….…….……..79

LAMPIRAN

Page 13: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masa globalisasi saat ini mendukung perkembangan segala bidang pembangunan

baik pada negara-negara maju maupun negara berkembang, hal yang utama dari

pembangunan tersebut adalah pembangunan ekonomi. Peranan pembangunan ekonomi

sangat mendukung kesejahteraan bagi Warga Negara Indonesia ini. Perkembangan

pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional bertujuan

untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar 1945. Semakin majunya pembangunan nasional sebagai dampak

dari perkembangan pembangunan ekonomi semakin meningkat pula kemajuan akan

barang-barang kebutuhan, baik kebutuhan primer maupun sekunder. Meningkatnya

kebutuhan tersebut, menyebabkan kegiatan transaksi jual beli dalam rangka pemenuhan

kebutuhan semakin meningkat.

Seiring dengan perkembangan kegiatan pembangunan dan transaksi jual beli yang

semakin maju, manusia sebagai konsumen semakin membutuhkan uang atau dana untuk

memenuhi segala kebutuhannya. Dana yang dibutuhkan tersebut, sebagian besar diperoleh

melalui kegiatan pinjam meminjam1. Tidak sedikit pula yang meminjam pada rentenir atau

lintah darat meskipun dengan bunga yang sama tinggi, karena sulitnya memenuhi

persyaratan peminjaman uang ke pada bank. Selain harus memenuhi berbagai persyaratan

untuk meminjam kepada bank, masyarakat sebagai debitur juga harus memenuhi syarat

1 Gunawan Wijaya dan Ahmad Yani, Seri hukum bisnis dan jaminan fidusia, PT.Raja Grafindo Persada,

Jakarta, 2001, hal.73.

Page 14: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

2

tertentu misalnya 5C, yang artinya Character (karakter peminjam), Capacity (kemampuan

melunasi hutang), Capital (kondisi kekayaan), Condition Of Economy (kondisi

ekonomi/prospek debitur), Collateral (jaminan)2. Hal tersebut juga merupakan salah satu

kesulitan masyarakat untuk mendapatkan pinjaman uang dari bank. Menyikapi berbagai

kelemahan yang terdapat pada lembaga keuangan bank dalam rangka menyalurkan

kebutuhan dana yang diperlukan masyarakat, maka muncul lembaga keuangan bukan bank

yang merupakan lembaga penyandang dana yang lebih fleksibel dan simple dari pada

bank. Lembaga ini dinamakan lembaga pembiayaan, yang dapat mempermudah debitur

dalam pemenuhan segala macam kebutuhan.

Menurut Pasal 1 angka (2) Kepres No.61 Tahun 1988, Lembaga pembiayaan adalah

badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau

barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat. Munculnya

lembaga pembiayaan ini dapat mendorong kondisi perekonomian yang terjadi di negara

ini, sehingga setiap orang dapat lebih mudah memenuhi segala kebutuhan baik pokok

maupun tambahan melalui perjanjian pembiayaan. Dengan mempermudah, memperlancar

dan mengatur perjanjian pembiayaan konsumen atau consumer finance, dibuat suatu aturan

berdasarkan Keputusan Menteri keuangan Nomor 448/KMK.017/2000 tentang perusahaan

pembiayaan. Dijelaskan bahwa kegiatan pembiayaan pengadaan barang berdasarkan

kebutuhan konsumen dapat dilakukan dengan sistem pembayaran angsuran atau berkala

oleh konsumen3. Konsumen dimudahkan dalam pembelian barang yang harganya relatif

2 Ihsan Ismail, Syarat-syarat kredit, tersedia di http://ihsan947.blogspot.com/2011/05/syarat-syarat-

kredit.html, diakses tanggal 25 Mei 2014

3 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.315.

Page 15: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

3

mahal, untuk dapat memiliki barang tersebut dengan cara yang relatif mudah, yaitu dengan

angsuran.

Perjanjian pembiayaan konsumen diikuti dengan jaminan yang merupakan cara

menurut hukum untuk pengamanan pembayaran kembali pinjaman uang atau kredit yang

diberikan. Menurut sistem hukum jaminan Indonesia dapat dibedakan atas jaminan dengan

menguasai bendanya dan jaminan dengan tanpa menguasai bendanya. Jaminan yang

menguasai bendanya disebut gadai, sedangkan jaminan yang diberikan tanpa menguasai

bendanya dijumpai pada: hipotik, hak tanggungan dan fidusia.4

. Dalam prakteknya lebih

sering kita jumpai pada jaminan fidusia, karena memang yang dipakai sebagai obyek

jaminan tersebut adalah benda dari suatu pembelian yang diangsur melalui lembaga

pembiayaan. Menurut Pasal 1angka 2 Undang-undang No. 42 Tahun 1999, Jaminan

fidusia itu sendiri adalah hak-hak jaminan atas benda bergerak, baik yang berwujud

maupun yang tidak berwujud, dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak

dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,

sebagai jaminan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang

diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya.

Mengenai mekanisme dan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian

pembiayaan telah dilengkapi dengan berbagai rumusan perjanjian pembiayaannya.

Rumusan tersebut memuat jenis barang, harga, cara pembayaran dan hak serta kewajiban-

kewajiban yang ditimbulkan, sehingga calon konsumen tinggal menyetujui atau menolak

4 Sri Soedewi Masjchon Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok hukum jamonan dan jaminan

perorangan, Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Liberty, Yogyakarta, 1980, hal.57.

Page 16: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

4

atas penawaran yang dilakukan. Menurut Salim HS,5 konsumen adalah pihak yang paling

mengetahui barang-barang yang dibutuhkannya dan mempunyai inisiatif pertama untuk

menghubungi perusahaan pembiayaan konsumen. Sebelum menghubungi perusahaan

tersebut, konsumen telah menetapkan daftar barang yang dibutuhkan dengan harganya

berdasarkan penawaran dari pihak pemasok. Atas permohonan konsumen, perusahaan

pembiayaan konsumen menyiapkan dokumen pendahuluan berupa barang permohonan

kredit (credit application form) untuk diisi oleh konsumen. Pada tahap berikutnya pihak

konsumen menghubungi pihak pemasok untuk mengadakan perjanjian jual beli barang.

Perjanjian tersebut disetujui oleh kedua belah pihak syarat bahwa harga barang akan

dibayar tunai oleh pihak perusahaan pembiayaan konsumen. Setelah pembayaran

dilakukan, pihak pemasok menyerahkan barang kepada pihak konsumen. Karena ini adalah

perjanjian jual beli, maka berlaku semua ketentuan tentang jual beli dengan segala akibat

hukumnya, kecuali bila ditentukan lain secara khusus dalam perjanjian. Sesuai dengan

perjanjian pembiayaan konsumen dan perjanjian jual beli yang telah dilaksanakan, pihak

konsumen membayar harga barang kepada perusahaan pembiayaan konsumen secara

angsuran sampai lunas. Sebelum pembayaran lunas, semua dokumen kepemilikan atas

barang dikuasai oleh perusahaan pembiayaan konsumen sebagai jaminan secara fidusia.

Apabila Konsumen melakukan wanprestasi dalam arti tidak mampu lagi membayar

(macet), maka perusahaan pembiayaan konsumen berdasarkan kuasa untuk menjual,

melakukan penjualan barang guna menutup hutang konsumen yang belum dilunasi6.

5 Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak diluar KUHPerdata, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006,

hal.145.

6 Adypato, Mekanisme Pembiayaan Konsumen, tersedia

dihttp://adypato.wordpress.com/2011/01/12/mekanisme-pembiayaan-konsumen/, diakses tanggal 10 februari 2014

Page 17: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

5

Diterangkan dalam aturan tambahan di dalam Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan

No.130/PMK.010/2012, bahwa perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan

benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia

belum menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada perusahaan

pembiayaan. Dengan pemenuhan syarat tersebut maka baru boleh dilaksanakan penarikan

benda fidusia sebagai jaminan atas utang yang telah digunakan pemberi fidusia. Menurut

Pasal 29 Undang-undang No.42 Tahun 1999 disebutkan bahwa eksekusi benda fidusia

dilaksanakan dengan penjualan yang dilakukan oleh kekuasaan penerima fidusia melalui

pelelangan umum, yang hasil penjualannya digunakan untuk pelunasan hutang pemberi

fidusia dan dapat dilakukan melalui penjualan bawah tangan berdasarkan kesepakatan

pemberi dan penerima fidusia apabila dapat diperoleh harga yang tinggi untuk

menguntungkan para pihak.

Dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan konsumen tidak terlepas dari berbagai

hambatan dan masalah yang menyertainya, sehingga harus menyiapkan berbagai upaya

penyelesaian guna mengatasi masalah, seperti yang terjadi antara PT. Mandiri dan Sunardi

dimana keduanya melakukan perjanjian pembiayaan konsumen. Pada awalanya Sunardi

melakukan perjanjian pembiayaan dengan PT. Mandiri untuk membeli sebuah mobil

Dahitsu Xenia, perjanjian tersebut diikuti pula dengan penyerahan hak secara fidusia No:

906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007. Namun terjadi wanprestasi oleh Sunardi,

yaitu macetnya pembayaran kredit pada angsuran ke 30 dari 48 angsuran. Terjadi

kejanggalan dalam sengketa tersebut, karena penyelesaian tingkat pertama melalui Badan

Penyelesain Sengketa Konsumen Yogyakarata (BPSK). Apakah dalam sengketa tersebut

Page 18: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

6

BPSK berwenang memeriksa, karena jelas dalam hal ini yang terjadi bukan permasalahan

konsumen namun karena wanprestasi oleh Sunardi kepada PT. Mandiri.

Dalam putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, tertulis bahwa BPSK

memutus agar PT. Mandiri mengembalikan uang muka Sunardi yang telah dibayarkan

dalam pembayaran angsuran mobil tersebut, namun tidak disebutkan dasar putusan BPSK

Yogyakarat, hal tersebut juga dikuatkan oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti guna penyusunan skripsi

dengan judul: Akibat Wanprestasi Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dalam Hal

Terjadi Keterlambatan Pendaftaran Fidusia ( Tinjauan Putusan Mahkamah Agung No. 335

K/Pdt. Sus/ 2012 ).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang sudah dikemukakan, maka rumusan

masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT.

Mandiri dengan Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada

perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012?

2. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutus akibat wanprestasi pada

perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dan Sunardi dalam hal terjadi

keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Page 19: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

7

1. Untuk mengetahui akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen

konsumen antara PT. Mandiri dengan Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan

pendaftaran fidusia pada Pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012.

2. Untuk mengetahui pertimbangan hukum hakim dalam memutus akibat wanprestasi

pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dengan Sunardi dalam hal

terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/

2012.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini, dapat dibedakan menjadi dua yaitu kegunaan

teoritis dan praktis :

1. Kegunaan Teoritis

Dengan adanya penelitian tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan

serta informasi mengenai pembiayaan konsumen yang sedang berkembang

dimasyarakat dan tentang jaminan fidusia yang telah diatur dalam Undang–Undang No.

42 Tahun 1999, terutama dalam hal terjadinya wanprestasi.

2. Kegunaan Praktis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap

masyarakat pada umumnya tentang perjanjian pembiayaan konsumen dan mengenai

fidusia yang saat ini sedang marak terjadi. Pemahaman masyarakat terhadap sistem

berlakunya perjanjian fidusia sangat berguna, terutama dalam hal terjadinya wanprestasi

pada permasalahan dalam fidusia dan pembiayaan konsumen, seperti salah satu objek

sengketa pada putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012.

Page 20: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Beberapa teori akan dipakai sebagai acuan dalam penelitian ini, yaitu pengertian

perjanjian, wanprestasi, pembiayaan konsumen dan teori fidusia.

A. Perjanjian Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian

Hukum perdata atau hukum privat dalam penerapannya bisa dilihat dalam

masyarakat sering kali dilakukan adalah perjanjian. Perjanjian dilakukan atas dasar sebuah

kesepakatan atau pertemuan kedua kehendak antara pribadi orang atau kelompok sesuai

yang diinginkan. Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana ada dua pihak atau lebih

saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari perjanjian ini, ditimbulkan suatu

peristiwa berupa hubungan hukum antara kedua belah pihak. Hubungan tersebutlah yang

dinamakan perikatan7. Hubungan perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian

menimbulkan perikatan. Dengan kata lain perjanjian merupakan salah satu sumber yang

paling banyak menimbulkan perikatan, karena hukum perjanjian menganut sistem terbuka,

sehingga anggota masyarakat bebas untuk mengadakan perjanjian dan undang-undang

hanya hanya berfungsi untuk melengkapi perjanjian yang dibuat oleh masyarakat.

Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, karena perjanjian

merupakan perbuatan yang dilakukan oleh dua pihak, sedangkan perikatan yang lahir dari

7 Riduan Syahrani, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung ,1992, hal.203.

Page 21: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

9

undang-undang dibuat tanpa ketentuan para pihak yang bersangkutan8. Perjanjian

merupakan suatu kegiatan yang sering dilakukan didalam masyarakat yang terdapat dalam

ranah hukum privat. Arti perjanjian itu sendiri menurut Kitab Undang-undang Hukum

Perdata (KUH Perdata), yaitu: Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, Suatu perjanjian adalah

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain

atau lebih‘. Pasal 1313 KUH Perdata yang memberikan rumusan arti perjanjian harus

memberikan batasan mengenai peristiwa yang hanya mencakup peristiwa perjanjian saja

dan tidak mencakup peristiwa yang bukan merupakan perjanjian.

Pengertian perjanjian tidak terpaku dalam Pasal 1313 KUH Perdata saja, dengan

mendasarkan gambaran tentang peristiwa hukum, J. Satrio memberikan kritik dan pendapat

atas rumusan Pasal 1313 KUH Perdata yang intinya sebagai berikut.9 Kata perbuatan atau

tindakan manusia bila dilihat dari skema peristiwa hukum dapat meliputi tindakan hukum

dan bukan tindakan hukum yang keduanya dibedakan oleh adanya faktor kehendak.

Keberatannya adalah akibat hukum pada peristiwa hukum yang berasal dari bukan

perbuatan hukum pada dasarnya tidak didasarkan pada kehendak pihak-pihak yang terlibat,

seperti onrechtmatige daad dan zaakwarneming sehingga tidak mungkin masuk dalam

kelompok perjanjian karena akibat hukum pada perjanjian memang dikehendaki atau

dianggap tidak dikehendaki. Agar beberapa contoh peristiwa hukum tersebut tidak

tercakup kedalam kelompok perjanjian, maka kata ―perbuatan‖ dalam Pasal 1313 KUH

Perdata harus lebih tepat lagi kalau ditambah dengan kata ―hukum‖ dibelakangnya,

sehingga menjadi perbuatan hukum / tindakan hukum.

8 J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT Citra Aditya Bakti, , Bandung,

1995, hal. 5.

9 Ibid., hal.24-27.

Page 22: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

10

Selanjutnya J. Satrio mengkritik kalimat terakhir dari Pasal 1313 KUH Perdata

yang berbunyi ‖….Satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

lebih‖. Setiap orang yang membaca kata ―mengikatkan dirinya‖ akan membayangkan

makna meletakan kewajiban, sehingga kalimat tersebut menggambarkan adanya kewajiban

pada pihak yang satu dan adanya hak pada pihak lain. Hubungan demikian hanya

menggambarkan perjanjian sepihak saja. Padahal sebagaimana tampak dalam skema

peristiwa hukum, dilihat dari pada perikatan yang muncul daripadanya, suatu perjanjian itu

dapat berupa perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik. Agar perjanjian timbal balik

dapat tercakup dalam perumusan Pasal 1313 KUH Perdata maka harus ditambah ―…..atau

dimana kedua belah pihak saling mengikatkan dirinya‖.

Jika perumusan Pasal 1313 KUH Perdata dipertahankan sebagaimana apa adanya ,

maka disatu sisi terlalu luas sehingga membawa konsekuensi misalnya zaakawerming dan

onrechtmatigdaad tercakup dalam perumusan perjanjian, sebaliknya sekaligus terlalu

sempit karena tidak mewadahi perjanjian timbal balik. Berdasarkan kritik dan pendapat J.

Satrio, maka perumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata seharusnya berbunyi

‗Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dengan mana satu orang atau lebih

mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau dimana kedua belah pihak

saling mengikatkan dirinya‘.

Menurut J. Satrio ―Perjanjian‖ dapat mempunyai arti yang luas dan sempit. Dalam

arti luas, suatu ―perjanjian‖ berarti setiap perjanjian yang dapat menimbulkan akibat

hukum sebagai yang dikehendaki (dianggap dikehendaki) oleh para pihak, termasuk

didalamnya perkawinan, perjanian kawin, dan peerjanjian lainnya. Dalam arti sempit,

―perjanjian‖ ini hanya ditunjukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan

Page 23: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

11

hukum kekayaan saja seperti yang dimaksud oleh Buku III KUH Perdata. Pendapat lain

dengan meninjau berdasarkan skema pristiwa hukum, Subekti berpendapat mengenai

perumusan perjanjian sebagai berikut.10

‗Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana

seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk

melaksanakan sesuatu hal‘. Dari pendapat subekti dapat dikatakan bahwa perjanjian itu

sendiri merupakan sebuah peristiwa, peristiwa tersebut dikatakan sebagai suatu peristiwa

hukum yang mempunyai akibat hukum bagi para pihak yang melakukan suatu perjanjian.

Dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum perjanjian merupakan suatu

perbuatan hukum, yang terdapat hubungan perikatan antara satu orang atau lebih untuk

saling mengikatkan diri melaksanakan hal tertentu, sebagaimana diketahui isi perjanjian

adalah perikatan. Dari berbagai perumusan tentang perjanjian diatas maka perjanjian bisa

mencakup apa saja yang termasuk dalam perjanjian dan mengesampingkan yang bukan

perjanjian, adapun yang termasuk dalam perjanjian harus berupa perbuatan hukum yang

akibatnya dikehendaki. Sebagai contoh: zaakwarneming memang ada akibat hukum tetapi

tidak dikehendaki oleh para pihak jadi bukan merupakan perjanjian.

Perjanjian dapat ditentukan dari kapan kesepakatan diperjanjian itu tercapai antara

para pihak yang melakukan perjanjian, sesuai dengan waktu perjanjian itu terjadi. Dari

peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut

perikatan, perikatan tersebut timbul sebelum ada perjanjian yang di dalamya terdapat hak

dan kewajiban masing-masing pihak yang saling bertimbal balik. Hukum perjanjian

dibicarakan sebagai bagian dari pada hukum perikatan, sedangkan hukum perikatan adalah

10

R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987, hal.1.

Page 24: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

12

bagian daripada hukum kekayaan, maka hubungan hukum yang timbul antara para pihak

didalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan.

2. Perjanjian Baku

Pada prinsipnya perjanjian dapat dibuat secara lisan dan tertulis kecuali Undang-

undang menentukan lain, namun untuk memperkuat dan dapat dijadikan bukti biasanya

dilakukan secara tertulis. Perjanjian yang ada pada masa sekarang ini terutama di dunia

perdagangan atau bisnis mengalami banyak perkembangan, demi efisiensi dan untuk

mempersingkat waktu dibuatlah perjanjian sepihak yang dibuat banyak dan isinya sama.

Perjanjian tersebut biasa disebut perjanjian baku. Perjanjian baku adalah suatu perjanjian

yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pihak perusahaan

tertentu penyedia barang dan jasa sebagai pengusaha, yang umumnya disebut perjanjian

adhesie atau perjanjian baku. Pihak lain yaitu pemohon atau konsumen, umumnya disebut

―Adherent‖, ia tidak turut serta dalam menyusun kontrak, ia tidak mempunyai pilihan.

Dalam hal penyusun kontrak (perusahaan tertentu sebagai pengusaha) mempunyai

kedudukan monopoli, maka dari itu kedudukan perusahaan penyusun kontrak yang

dilakukan secara sepihak lebih kuat dibanding konsumennya11

. Tinggal bagaimana

persetujuan konsumen terserah mau mengikuti atau menolak perjanjian. Penyusun kontrak

atau perusahaan tertentu sebagai pengusaha bebas dalam membuat redaksinya, sehingga

pihak lawan berada dalam keadaan di bawah kekuasaannya. Menurut Abdul Kadir

Muhammad, istilah perjanjian baku dialih bahasakan dari istilah yang dikenal dalam

bahasa Belanda yaitu ―standard contract‖. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang

dipakai sebagai patokan atau pedoman bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan

11

Mariam Daruz Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, , Alumni, Bandung, 1994, hal.32.

Page 25: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

13

hukum dengan pengusaha, yang dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model,

rumusan, dan ukuran12

.

Model, rumusan, dan ukuran tersebut sudah dibakukan dan tidak dapat diganti,

diubah atau dibuat lagi dengan cara lain karena pihak pengusaha sudah mencetaknya dalam

bentuk formulir yang berupa blanko naskah perjanjian lengkap didalamnya sudah dilampiri

dengan naskah syarat-syarat perjanjian atau yang disebut dengan dokumen bukti perjanjian

yang memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak pemohon atau

konsumen dari pihak perusahaan penyedia barang maupun jasa. Dalam hal ini pihak

konsumen tinggal mematuhi saja apa yang dicantumkan oleh perjanjian yang sepihak

dilakukan perusahaan penyedia barang atau jasa dalam melakukan jual beli13

. Sekilas

perjanjian ini memang memberatkan konsumen, namun perjanjian baku tidak dilarang.

Perjanjian baku dilarang, jika memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g), ayat 2 dan ayat 3

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang perjanjian baku yang dilarang, dimana

rinciannya sebagai berikut:

Pasal 18 ayat 1

Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk

diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap

dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

12

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87.

13 Ibid, hal.88.

Page 26: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

14

g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru,

tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh

pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

Pasal 18 ayat 2

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit

terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit

dimengerti.

Pasal 18 ayat 3

Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat

(2) dinyatakan batal demi hukum.

Secara jelas dan tegas bahwa pelaku usaha telah mengakui hubungan usaha

konsumen dan pelaku usaha, dengan demikian maka pelaku usaha telah menerapkan

klausula baku yang dilarang berdasarkan Pasal 18 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999, yang

menyatakan dokumen perjanjian yang memenuhi ketentuan pada ayat (1) dan (2) tersebut

batal demi hukum. Secara umum memang perjanjian baku banyak dilakukan didalam

perjanjian jual beli, namun diluar itu perjanjian ini juga dapat dilakukan untuk perjanjian-

perjanjian lainnya. Pihak perusahaan dalam merumuskan atau menuangkan syarat-syarat

perjanjian tersebut biasanya menggunakan bentuk nomor-nomor atau pasal-pasal atau

klausula-klausula tertentu yang mengandung arti tertentu pula misalnya: terjadinya denda

dalam wanprestasi atau kapan debitur wanprestasi. Pada dasarnya perjanjian baku hanya

dipahami oleh pihak perusahaan dan ini merupakan kerugian bagi konsumen karena sulit

atau tidak bisa memahaminya dalam waktu yang singkat. Perjanjian baku sering digunakan

Page 27: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

15

pada perjanjian pembiayaan konsumen terutama yang diikuti dengan jaminan fidusia,

misalnya dalam perjanjian leassing kendaraan bermotor.

3. Pengaturan Hukum Perjanjian

Sumber hukum nasional sebagaimana kita ketahui masih bersumber dari hukum

yang telah diletakkan oleh kolonial dalam hal ini adalah Belanda. Penggunaan KUH

Perdata sebagai Hukum Positif Indonesia masih digunakan, namun tidak digunakan

sepenuhnya. Terdapat beberapa pasal yang dicabut karena disesuaikan dengan nilai

budaya dan Hukum Negara Indonesia dengan adanya pemberlakuan aturan hukum baru.

Perjanjian yang kita kenal secara umum juga diatur dalam Buku III KUH Perdata

tentang perikatan. Perjanjian diatur dalam Buku III KUH Perdata tentang perikatan, karena

dapat diketahuai perjanjian adalah sumber dari perikatan, dimana perjanjian adalah

sekumpulan perikatan-perikatan yang mengikat para pihak dalam perjanjian yang

bersangkutan14

. Secara sistematis didalam Buku III KUH Perdata diatur ketentuan-

ketentuan secara umum atau khusus mengenai perikatan. Ketentuan umum terdiri dari

empat bab yaitu bab I sampai bab IV dan ketentuan khusus terdiri dari bab V sampai

dengan XVIII. Bab I mengandung banyak ketentuan-ketentuan yang hanya berlaku bagi

persetujuan saja. Bab II diatur ketentuan-ketentuan mengenai perikatan-perikatan yang

timbul dari persetujuan. Bab III lebih mengatur secara spesifik mengenai perikatan yang

timbul karena undang-undang dan bab IV mengatur ketentuan-ketentuan tentang cara

hapusnya perikatan-perikatan, tanpa memperhatikan apakah perikatan itu terjadi karena

persetujuan atau undang-undang. Secara keseluruhan bab I sampai dengan IV jika dilihat

dari segi pengaturan perjanjian, mengatur tentang perjanjian tidak bernama. Perjanjian

tidak bernama adalah perjanjian-perjanjian yang belum ada pengaturannya secara khusus

14

J. Satrio, Op.Cit, hal.6.

Page 28: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

16

di dalam Undang-Undang, karena tidak diatur dalam KUH Perdata dan Kitab Undang-

Undang Hukum Dagang (KUHD). Lahirnya perjanjian ini didalam prakteknya adalah

berdasarkan asas kebebasan berkontrak, seperti diterangkan dalam Pasal 1338 ayat (1)

KUH Perdata yang berbunyi: ‗Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya‘ yang dimaksudkan untuk menyatakan

kekuatan perjanjian, yaitu kekuatan yang sama dengan suatu perundang-undangan.

Kekuatan itu seperti diberikan kepada ‗semua perjanjian yang dibuat secara sah‘ untuk

mengadakan perjanjian, sekalipun perjanjian yang dilakukan tidak bernama atau tidak

secara khusus diatur oleh undang-undang. Sementara bab V sampai dengan bab XVIII

mengatur mengenai persetujuan-persetuan bernama (tertentu) atau perjanjian bernama.

Perjanjian Bernama atau perjanjian khusus adalah perjanjian yang memiliki nama sendiri

yang sudah diatur didalam undang-undang. Perjanjian tersebut diberi nama oleh pembuat

undang-undang dan merupakan perjanjian yang sering di temui di masyarakat misalnya,

jual-beli, sewa-menyewa, hibah, pemberian kuasa dan sebagainya15

.

Dapat diketahui dalam Buku III KUH Perdata terdapat pengaturan mengenai

ketentuan umum dan ketentuan khusus dalam perjanjian. Ketentuan umum dalam bab I

sampai dengan IV lebih mengatur tentang perjanjian tak bernama yang bebas berdasarkan

azas kebebasan berkontrak, sedangkan ketentuan khusus yang terdapat dalam bab V

sampai dengan XVIII mengatur tentang perjanjian yang bernama yang sudah diatur oleh

undang-undang dan sudah diberi nama oleh pembuat undang-undang. Hubungan keduanya

dapat diketahui, bahwa ketentuan umum mengatur perjanjian atau persetujuan yang lebih

luas karena para pihak dalam perjanjian bebas membuat perjanjian apa saja berdasarkan

15

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hal. 9-11.

Page 29: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

17

azas kebebasan berkontrak, yang artinya bahwa setiap orang adalah bebas untuk membuat

perjanjian atau persetujuan apapun selain yang telah diatur oleh UU. Namun kebebasan

pihak-pihak untuk membuat perjanjian diadakan beberapa pembatasan, yaitu tidak boleh

melanggar hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum dan kesusilaan16

. Jika

ketentuan khusus hanya mengatur tentang perjanjian yang telah diatur dan diberi nama

oleh undang-undang saja. Jadi ketentuan umum mengatur tentang perjanjian tak bernama

sebagai peraturan perundangan dalam Buku III KUH Perdata bersifat menambah

(aavullend recht) dan lebih luas berlaku untuk semua perjanjian baik bernama maupun tak

bernama sepanjang undang-undang pada perjanjian bernama tak memberikan suatu

pengaturan tersendiri yang menyimpang dari ketentuan umum17

. Sementara itu, ketentuan

khusus hanya mengatur perjanjian yang sudah diatur oleh undang-undang dan bernama

saja.

4. Syarat Sah Perjanjian

Sebagaimana diketahui suatu perjanjian dalam salah satu sumber hukum perdata

yang secara tertulis disebutkan, bahwa hukum perjanjian dari KUH Perdata menganut

sistem konsensualisme. Artinya: hukum perjanjian dari KUH Perdata itu menganut suatu

asas bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan sepakat saja dan dengan

perjanjian itu terjadi ―perikatan‖ yang ditimbulkan karenanya sudah dilahirkan pada saat

detik tercapainya konsensus. Sebagaimana dimaksud diatas, pada detik tersebut perjanjian

sudah jadi dan mengikat, bukannya pada detik detik yang lain baik yang kemudian atau

sebelumnya18

.

16

Ibid., hal.11.

17 J. Satrio, Op.Cit, hal.150.

18 R. Subekti, Aneka Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1975, hal.3.

Page 30: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

18

Secara umum syarat sah yang ada dalam perjanjian telah disebutkan dalam KUH

Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata disebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian

diperlukan empat syarat yaitu sepakat, cakap berbuat, hal tertentu dan sebab yang halal.

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, artinya bahwa para pihak yang

mengadakan perjanjian itu harus bersepakat atau setuju mengenai perjanjian yang

akan diadakan tersebut, tanpa adanya paksaan, kekhilafan dan penipuan. Pada

dasarnya kata sepakat adalah pertemuan atau persesuaian kehendak antara para

pihak di dalam perjanjian. Seseorang dikatakan memberikan persetujuannya atau

kesepakatannya jika ia memang menghendaki apa yang disepakati19

. Mariam Darus

Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai persyaratan kehendak yang

disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak

yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima

penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Kata sepakat dapat diungkapkan

dalam berbagai cara, misalnya secara lisan, tertulis, dengan tanda, dengan simbol.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penawaran dan akseptasi merupakan

unsur yang sangat penting untuk menentukan lahirnya perjanjian20

. Secara umum

suatu perjanjian telah dinyatakan lahir pada saat tercapainya suatu kesepakatan atau

persetujuan di antara dua belah pihak mengenai suatu hal pokok yang menjadi

objek perjanjian. Didalam perjanjian baku sepakat dinyatakan dengan persetujuan

konsumen mengikuti perjnajian yang dibuat oleh perusahaan penyusun kontrak

19

J. Satrio, Op.Cit, hal.164.

20 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1994, hal 24.

Page 31: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

19

yang dilakukan secara sepihak, yang diungkapkan secara tertulis biasanya melalui

penandatanganan21

.

2. Kecakapan, yaitu bahwa para pihak yang mengadakan perjanjian harus cakap

menurut hukum, serta berhak dan berwenang melakukan perjanjian. Pasal 1329

KUH Perdata menyatakan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat

perjanjian, kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap.

Kemudian Pasal 1330 KUH Perdata menyatakan bahwa ada beberapa orang yang

tidak cakap untuk membuat perjanjian, yakni:

a. Orang yang belum dewasa ( Dibawah 21 tahun );

b. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan dan

c. Perempuan yang sudah menikah

Pasal 330 KUHPerdata menyatakan bahwa seseorang dianggap dewasa jika dia

telah berusia 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi telah menikah. Kemudian

berdasarkan Pasal 47 dan Pasal 50 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 menyatakan

bahwa kedewasaan seseorang ditentukan bahwa anak berada di bawah kekuasaan

orang tua atau wali sampai dia berusia 18 tahun. Berkaitan dengan perempuan yang

telah menikah, Pasal 31 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 menentukan

bahwa masing-masing pihak (suami atau istri) berhak melakukan perbuatan hukum.

Maka hukum positiflah yang dipakai sebagai dasar penentu usia kedewasaan yaitu

Undang-undang No. 1 Tahun 1974. Terdapat juga subyek hukum lain selain

manusia yaitu badan hukum. Badan hukum dianggap sebagai hal yang abstrak atau

tidak nyata karena tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatakan kehendak, hanya

manusia yang mempunyai kehendak. Maka dalam melakukan tugasnya sebagai

21

Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal.87.

Page 32: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

20

pengemban hak dan kewajiban, tugas tersebut dijalankan oleh manusia-manusia

yang juga subyek hukum dan tentunya sudah cakap dalam melaksanakan perbuatan

hukum. Dalam hal kecakapan melaksanakan perbuatan hukum, harus dapat

dipastikan bahwa badan hukum telah memenuhi persyaratan yang ditentukan

negara22

. Sebagai contoh badan hukum misalnya suatu perusahaan.

3. Mengenai suatu hal tertentu, maksud dari suatu hal tertentu adalah hal bisa

ditentukan jenisnya maupun obyeknya. Pasal 1333 KUH Perdata menentukan

bahwa ‗suatu perjanjian harus mempunyai pokok suatu benda (zaak)yang paling

sedikit dapat ditentukan jenisnya‘. Suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu

dan suatu perjanjian haruslah mengenai suatu hal tertentu, berarti bahwa apa yang

diperjanjikan, yakni hak dan kewajiban kedua belah pihak. Barang yang

dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit dapat ditentukan jenisnya. Istilah

barang yang dimaksud di sini yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai zaak.

Zaak dalam bahasa Belanda tidak hanya berarti barang dalam arti sempit, tetapi

juga berarti yang lebih luas lagi, yakni pokok persoalan. Oleh karena itu, objek

perjanjian itu tidak hanya berupa benda, tetapi juga bisa berupa jasa23

. Jika dilihat

dari segi perikatan, pengertian hal tertentu dalam hukum perikatan adalah prestasi

(kewajiban yang mesti dipenuhi oleh ke dua pihak atau lebih) yang terjadi dalam

perjanjian sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1234 KUH Perdata prestasi itu

dapat berupa menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu24

.

Dapat diambil kesimpulan bahwa Pasal 1234 KUH Perdata dalam syarat hal

22

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 67.

23 Sudargo Gautama, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal.79.

24 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, hal.30.

Page 33: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

21

tertentu hanya menerangkan tentang cara melakukan suatu prestasi, sedangkan

bentuk prestasi yang sebenarnya adalah benda / zaak sebagaimana telah diterangkan

didalam Pasal 1333 KUH Perdata diatas.

4. Suatu sebab yang halal, maksud dari sebab yang halal Jika objek dalam perjanjian

itu illegal, atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum, maka

perjanjian tersebut menjadi batal. Sebagai contohnya, perjanjian untuk membunuh

seseorang mempunyai objek tujuan yang illegal, maka kontrak ini tidak sah25

. Pasal

1335 Jo 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa isi dan tujuan suatu perjanjian

haruslah berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang,

kesusilaan dan ketertiban.

J. Satrio berpendapat bahwa Suatu kausa dinyatakan bertentangan dengan undang-

undang, jika klausa di dalam perjanjian yang bersangkutan isinya bertentangan

dengan undang-undang yang berlaku. Untuk menentukan apakah suatu kausa

perjanjian bertentangan dengan kesusilaan (geode zeden) bukanlah hal yang mudah,

karena istilah kesusilaan tersebut sangat abstrak, yang isinya bisa berbeda-beda

antara daerah yang satu dan daerah yang lainnya atau antara kelompok masyarakat

yang satu dan lainnya. Selain itu penilaian orang terhadap kesusilaan dapat pula

berubah-ubah sesuai dengan perkembangan jaman26

. Klausa hukum dalam

perjanjian juga terlarang jika bertentangan dengan ketertiban umum. J.Satrio

memaknai ketertiban umum sebagai hal-hal yang berkaitan dengan masalah

kepentingan umum, keamanan negara, keresahan dalam masyarakat dan juga

25

Ibid, hal. 80.

26 J.Satrio, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I1, PT Citra Aditya Bakti, Bandung,

1995, hal.109.

Page 34: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

22

keresahan dalam masalah ketatanegaraan27

. Maka dapat diketahui bahwa sebab

yang halal adalah salah satu penentu syarat sahnya perjanjian dan perjanjian dalam

hal ini harus tidak bertantangan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban.

Perjanjian baru dapat dikatakan sah jika telah dipenuhinya semua ketentuan yang

telah diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Dari keterangan tersebut dapat diketahui juga

terdapat hal-hal yang menyebabkan batalnya suatu perjanjian. Jika diuraikan secara rinci,

syarat cakap dan sepakat suatu perjanjian digolongkan ke dalam syarat subjektif (syarat

mengenai orang yang melakukan perjanjian). Apabila salah satu syarat subjektif ini tidak

dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian dapat dimintakan pembatalannya. Sedangkan

tentang suatu hal tertentu dan sebab halal digolongkan kedalam syarat objektif (benda yang

dijadikan objek perjanjian). Jika salah satu syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka akibat

hukumnya perjanjian batal demi hukum. Artinya perjanjian dengan sendirinya menjadi

batal dengan kata lain perjanjian telah batal sejak dibuatnya perjanjian tersebut atau

dianggap tidak ada. Hal-hal inilah yang merupakan unsur-unsur penting dalam

mengadakan perjanjian28

.

Maka dapat diketahui, secara umum bahwa empat syarat sahnya perjanjian yaitu

sepakat, cakap, hal tertentu, sesuatu yang halal pelaksanaannya tergantung pada para pihak

yang melakukan suatu perjanjian itu. Kewajiban para pihak harus memenuhi empat syarat

yang ada dalam suatu perjanjian dan ini merupakan suatu yang mutlak atau harus ada dan

dipenuhi, karena memang sudah ditentukan secara rinci dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

27

Ibdi, hal. 41.

28 Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang Menurut KUHD

Dan KUHPerdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, hal. 191.

Page 35: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

23

Selain Pasal 1320 KUH Perdata yang mengatur tentang syarat sah perjanjian, juga

terdapat perjanjian-perjanjian yang harus dibuat secara formal yang biasa disebut

perjanjian formal. Adapun terhadap perjanjian-perjanjian ―formal‖ atau perjanjian ―rill‖

merupakan perkecualian. Perjanjian formal yang sering dilakukan misalnya perjanjian

―perdamaian‖ yang menurut pasal 1851 (2) KUH Perdata harus diadakan secara tertulis,

sedangkan perjanjian ―rill‖ misalnya perjanjian ―pinjam pakai‖ yang menurut pasal 1740

KUH Perdata baru tercipta dengan diserahkannya barang yang menjadi obyeknya atau

―Penitipan‖ yang menurut 1694 KUH Perdata baru terjadi dengan diserahkannya barang

yang dititipkan. Perjanjian ini tidak cukup dengan adanya kata sepakat saja, tetapi

disamping itu diperlukan suatau formalitas atau suatu perbuatan yang nyata atau (rill).

Misalnya pada perjanjian jual beli yang dilakukan dengan pembiayaan konsumen.

5. Perjanjian Pokok dan Perjanjian Accessoir

Didalam suatu jaminan kebendaan terdapat dua macam perjanjian, yaitu perjanjian

pokok dan perjanjian accessoir atau yang biasa disebut perjanjian ikutan . Perjanjian

pokok adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang berdiri sendiri tanpa bergantung

pada adanya perjanjian lain. Contoh : perjanjian kredit bank. Sedangkam perjanjian

tambahan (accesoir) adalah perjanjian antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai

perjanjian tambahan dari pada perjanjian pokok. Contoh : perjanjian pembebanan jaminan,

seperti perjanjian gadai, tanggungan dan fidusia29

.

Perjanjian accessoir banyak dijumpai pada jaminan kebendaan seperti gadai,

hipotik, fidusia dan masih dimungkinkan ada jaminan yang lain berkaitan dengan semakin

berkembangnya zaman dan tekhnologi yang semakin mendunia dengan adanya globalisasi.

29

Junaidi, Rangkuman Hukum Jaminan , tersedia di website http://lawfile.blogspot.com/2011/12/catatan-

rangkuman-hukum-jaminan.html, diakses tanggal 20 Juni 2014

Page 36: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

24

Sifat accesoir pada perjanjian tersebut dapat ditafsirkan dari kata ―Ikutan‖. Jika

dihubungkan dengan perjanjian pokok, perjanjian accessoir atau ikutan ini mempunyai

ciri-ciri bahwa lahirnya atau adanya, berpindahnya dan hapusnya atau berakhirnya

mengikuti perjanjian pokok tertentu30

. Dikatakan begitu karena pemberian jaminan

kebendaan sebagai jaminan suatu hutang atau kewajiban hukum yang dalam hal ini sebagai

perjanjian pokok. Sehingga perjanjian pokok dan accesoir mempunyai hubungan hukum.

B. Wanprestasi

1. Pengertian Wanprestasi

Dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak yang akan menimbulkan prestasi,

apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan

ingkar janji (wanprestasi) jika memang dapat dibuktikan bukan karena overmach atau

keadaan memaksa. Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya

prestasi buruk. Adapun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang

dikarenakan kelalaian atau kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti

yang telah ditentukan dalam perjanjian31

. Kelalaian atau kesalahan debitur tersebut juga

bukan karena overmach atau keadaan memaksa. Keadaan memaksa dapat menjadikan

debitur tidak dapat berprestasi, jadi debitur bebas dari kewajiban atas prestasi lawan

janjinya. Sebagai contoh penyerahan rumah tidak dapat dilakukan karena bencana

Tsunami.

2. Terjadinya Wanprestasi

30

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal.

196-197.

31

Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hal.221.

Page 37: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

25

Perikatan lahir karena adanya suatu perjanjian, dari suatu perjanjian yang

merupakan suatu pertemuan kehendak para pihak yang berjanji akan menimbulkan

prestasi. Arti prestasi sendiri dapat dilihat dari Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan

bahwa ‗tiap-tiap perikatan adalah memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat

sesuatu‘. Kata ―memberikan sesuatu‖ sebagaimana disebutkan di dalam Pasal 1235

KUHPerdata tersebut dapat mempunyai dua pengertian, yaitu:

1. Penyerahan kekuasaan belaka atas barang yang menjadi obyek perjanjian.

2. Penyerahan hak milik atas barang yang menjadi obyek perjanjian, yang dinamakan

penyerahan yuridis.

Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi

prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan berdasarkan kesepakatan dan

kehendak tanpa ada pihak yang dirugikan. Terkadang perjanjian tersebut tidak terlaksana

dengan baik karena tidak berprestasinya salah satu pihak atau debitur. Untuk mengatakan

bahwa debitur salah dan melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, terkadang tidak

mudah. Hal sulit untuk menyatakan wanprestasi karena tidak dengan mudah dijanjikan

dengan tepat kapan suatu pihak diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan. Bentuk

prestasi debitur dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, akan mudah ditentukan

sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur berbuat sesuatu

yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur yang berupa

berbuat sesuatu dan memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam

perjanjian maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan

wanprestasi dengan lewatnya batas waktu tersebut. Apabila tidak ditentukan mengenai

batas waktunya, maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi,

Page 38: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

26

terdapat tata cara menyatakan wanprestasi oleh kreditur terhadap debitur atau kepada pihak

yang mengingkari janji, yaitu melalui sommatie dan ingebreke Stelling. Sommatie adalah

pemberitahuan atau pernyataan tertulis dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan

bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti

yang ditentukan dalam pemberitahuan itu dan dilakukan melalui pengadilan., sedangkan

ingebreke Stelling artinya peringatan kreditur kepada debitur tidak melalui Pengadilan

Negeri atau langsung secara lisan, hanya melalui teguran saja dan tidak ada tindak lanjut.

Keadaan tertentu sommatie tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur

melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal

termijn), prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya

wanprestasi32

.

Sommatie minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh kreditur atau juru sita.

Apabila somasi itu tidak diindahkannya, maka pengadilanlah yang akan memutuskan,

apakah debitor wanprestasi atau tidak. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUH Perdata

yang menyatakan bahwa ‗Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau

dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatan sendiri, ialah jika

ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang

ditentukan‘33

, Pasal tersebut menerangkan tenatang sebuah keputusan bahwa debitur

wanprestasi.

32

Qodhi, Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, tersedia di website

http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-memaksa/, diakses

tanggal 20 Juni 2014

33 Nindyo Pramono, Op. Cit. hal.22.

Page 39: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

27

Tidak berprestasinya debitur, dalam hal ini si berpiutang atau kreditur sebagai

mana dinyatakan dalam Pasal 1241 KUH Perdata menyebutkan bahwa ‗apabila perikatan

tidak dilaksanakan maka si berpiutang atau kreditur boleh juga dikuasakan supaya dia

sendirilah mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berutang‘, pasal ini memberikan

arahan bahwa kreditur dapat mengusahakan pemenuhan atas prestasi yang belum dipenuhi.

3. Bentuk Wanprestasi dan Pelaksanaan Prestasi

Dalam pemenuhan suatu perjanjian sebagaimana diterangkan diatas ada

kemungkinan salah satu pihak yang tidak berprestasi, dalam hal ini adalah pihak yang

belum melaksanakan kewajibannya yang biasa disebut debitur. Bentuk atau wujud

wanprestasi dapat dibedakan menjadi beberapa. Adapun bentuk atau wujud dari

wanprestasi yaitu34

:

1) Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan

debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2) Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;

Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap

memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.

3) Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.

Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak

dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Sedangkan Subekti berpendapat bahwa wujud wanprestasi seorang debitur dapat berupa

empat macam, yaitu :

34

R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, , Jakarta, 1999, cet. 6, hal.18.

Page 40: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

28

1. Tidak melakukan apa yang sanggup dilakukannya;

2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;

4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya35

.

Meskipun ada dua pendapat, pada hakekatnya memiliki arti yang sama dalam

perwujudan wanprestasi. Adanya pernyataan wanprestasi seperti diatur dalam Pasal

1276 KUH Perdata, debitur dapat melakukan lima kemungkinan pelaksanaan prestasi

kepada kreditur, yaitu sebagai berikut:

1. Memenuhi/melaksanakan perjanjian;

2. Memenuhi perjanjian disertai keharusan membayar ganti rugi;

3. Membayar ganti rugi;

4. Membatalkan perjanjian; dan

5. Membatalkan perjanjian disertai dengan ganti rugi.

Abdulkadir Muhamad, menyatakan ‗bahwa kreditur dapat memilih diantara

beberapa kemungkinan tuntutan terhadap debitur. Tuntutan tersebut yaitu dapat menuntut

pemenuhan perikatan atau pemenuhan perikatan disertai dengan ganti kerugian atau

menuntut ganti kerugian saja, atau menuntut pembatalan perjanjian lewat hakim atau

menuntut pembatalan perjanjian disertai dengan ganti rugi‘36

.

Pasal 1243 KUH Perdata menyebutkan bahwa Debitur wajib membayar ganti rugi,

jika setelah dinyatakan lalai ia tetap tidak memenuhi prestasi itu maka dapat menimbulkan

kerugian. Kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu tidak hanya biaya-biaya yang

sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh

35

Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal.56.

36 Abdulkadir Muhamad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hal.24-25.

Page 41: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

29

menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan

(interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai

(winstderving) dalam menepati janji37

. Kerugian yang terjadi harus mendapatkan ganti

rugi. Ganti rugi itu sendiri terdiri dari biaya, rugi, dan bunga. Seperti telah disebutkan

dalam Pasal 1244 sampai dengan Pasal 1246 KUH Perdata.

* Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata- nyata sudah

dikeluarkan oleh suatu pihak.

* Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang

diakibatkan oleh kelalaian si debitur.

* Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayarkan

atau dihitung oleh kreditur.

Segala sesuatu tentang wanprestasi sudah diatur di dalam KUH Perdata,

sebagaimana telah disebutkan bahwa segala macam kerugian yang terjadi karena

wanprestasi dapat dikenai ganti rugi. Ganti rugi tersebut dapat berupa biaya yang telah

dikeluarkan, kerugian yang diderita dan bunga yang diperjanjikan para pihak. Segala

pengaturan wanprestasi dan cara penyelesaian sudah diatur secara jelas dan rinci, tinggal

bagaimana penyelesaiannya oleh penegak hukum yang berwenang. Misalnya dalam

penerapan kasus wanprestasi dalam bidang fidusia dan pembiayaan konsumen yang segala

macam aturannya dapat ditemukan didalam undang-undang yang mengatur.

C. Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen

1. Pengertian Pembiayaan Konsumen

37

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 2005, cet. 32, hal.148.

Page 42: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

30

Sudah tidak asing lagi dalam menjalani aktifitas sehari-hari dengan kata-kata utang

maupun piutang dalam dunia perekonomian. Memang dalam dunia perekonomian kedua

hal tersebut sangat menunjang dalam peranannya. Terdapat suatu perjanjian dimana suatu

perusahaan memberikan piutang kepada pihak konsumen untuk membantu dalam

pembelian suatu barang tertentu. Perjanjian itu disebut perjanjian pembiayaan konsumen,

menurut Pasal 5 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Pembiayaan

Konsumen adalah kegiatan usaha yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi

konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau

berkala oleh konsumen kepada perusahaan pembiayaan. Menurut Pasal 1 huruf (b)

Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Perusahaan Pembiayaan adalah

badan usaha di luar Bank dan Lembaga Keuangan bukan bank yang khusus didirikan untuk

melakukan kegiatan yang termasuk dalam bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Diperjelas

dengan Keputusan Mentri Keuangan No.1251 / KMK. 013/ 1988, perusahaan pembiayaan

adalah badan usaha yang didirikan khusus untuk melakukan kegiatan yang termasuk dalam

bidang usaha Lembaga Pembiayaan. Sedangkan arti lembaga pembiayaan Menurut

Keputusan Presiden No.61 tahun 1988 Tentang Lembaga Pembiayaan, lembaga

pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk

penyediaan dana atau barang modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari

masyarakat.

Lembaga pembiyaan melaksanakan kegiatan tertentu yang tentunya berbeda

dengan bank. Yang termasuk bidang usaha dari lembaga pembiayaan adalah sewa guna

usaha (leasing), perdagangan surat berharga, piutang, modal ventura, pembiayaan

konsumen, dan kartu kredit. Dapat disimpulkan dari pengertian pembiayaan konsumen,

Page 43: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

31

secara umum pembiayaaan konsumen adalah badan usaha yang melakukan pembiayaan

pengadaan barang untuk kebutuhan konsumen dengan sistem pembayaran angsuran atau

berkala.

2. Sumber Hukum Perusahaan Pembiayaan dan Pembiayaan Konsumen

Lembaga pembiayaan yang salah satu tujuan kegiatan usahanya yaitu pembiayaan

konsumen bukan merupakan hal asing lagi dalam hukum kita. Sudah terdapat aturan-aturan

yang mengatur Lembaga Pembiayaan dan Pembiayaan konsumen, meskipun dalam KUH

Perdata tidak diatur. Sumber hukumnya antara lain Keputusan Presiden No.61 tahun 1988

tentang Lembaga Pembiayaan dan Keputusan Mentri Keuangan No.1251 / KMK. 013/

1988 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Lembaga Pembiayaan, ditambah dengan

Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan

yang didalam aturan ini mengatur tentang pembiayaan konsumen.

Namun terdapat perubahan beberapa pasal dalam Keputusan Mentri Keuangan

Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang Perusahaan Pembiayaan, yaitu dengan

dikeluarkannya Keputusan Mentri Keuangan Nomor: 172/KMK.06/2002 tentang

Perubahan Atas Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang

Perusahaan Pembiayaan. Perubahan beberapa pasal dalam Keputusan mentri tersebut

dimaksudkan untuk penyempurnaan dan penyesuaian.

3. Tujuan Perusahaan Pembiayaan

Perusahaan pembiayaan merupakan salah satu lembaga pembiayaan formal di

Indonesia sudah diatur secara resmi. Lembaga ini tumbuh dan berkembang seiring dengan

Page 44: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

32

dikeluarkannya pranata hukum berupa KEPPRES No. 61 Tahun 1988 dan Keputusan

Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan. Meskipun

demikian, saat ini keberadaan perusahaan pembiayaan menunjukan perkembangan yang

sangat baik. Pesatnya pertumbuhan bisnis didalam maupun luar negri secara global,

sekaligus menunjukan tingginya minat masyarakat untuk membeli barang-barang dengan

cara mengangsur seiring dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat lapisan menengah

kebawah38

. Dari hal tersebut akan menunjang perkembangan baik bagi pelaku usaha,

konsumen maupun lembaga ekonomi seperti perusahaan pembiayaan.

Beberapa tujuan perusahaan pembiayaan yaitu sewa guna usaha (Leasing), anjak

piutang, usaha kartu kredit dan pembiayaan konsumen. Sewa guna usaha dilakukan untuk

mendukung kegiatan ekonomi dalam hal pembiayaan kredit maupun leasing/ sewa guna

usaha bagi perusahan dalam bentuk penyedian barang - barang modal untuk digunakan

oleh suatu perusahaan. Menurut Pasal 1 huruf ( c )Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448

/KMK.017/2000 Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk

penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Operating Lease)

untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu

berdasarkan pembayaran secara berkala, lebih rincinya berkaitan dengan penyediaan modal

untuk digunakan suatu perusahaan. Diterangkan lebih lanjut dalam Pasal 3 ayat (3)

Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 tentang perusahaan pembiayaan,

diterangkan bahwa sepanjang perjanjian Sewa Guna Usaha masih berlaku, hak milik atas

barang modal obyek transaksi Sewa Guna Usaha berada pada Perusahaan Pembiayaan.

Menurut pasal ini, hak milik suatu barang yang dilakukan selama perjanjian sewa guna

38

M.Rinaldi Santoso, Pembiayaan Konsumen, tersedia website

dihttp://rinaldisantoso.blogspot.com/2011/11/pembiayaan-konsumen.html, diakses Tanggal 12 Januari 2014

Page 45: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

33

usaha berlaku masih dalam kekuasaan perusahaan pembiayaan dan bukan dalam kekuasaan

penyewa guna usaha atau konsumen yang mengajukan modal obyek transaksi. Berikutnya

anjak piutang, didalam Pasal 4 Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000

diterangkan bahwa anjak piutang adalah pembelian atau pengalihan piutang/tagihan jangka

pendek dari transaksi perdagangan dalam atau luar negeri. Maksud dari kalimat tersebut

bahwa dalam anjak piutang kewajiban membayar hutang debitur kepada nasabah atau

penjual dialihkan kepada perusahaan anjak piutang, sehingga nantinya debitur akan

membayar hutangnya kepada perusahaan anjak piutang bukan kepada nasabah, piutang.

Sedangkan kegiatan usaha kartu kredit menurut Pasal 6 Keputusan Mentri Keuangan

Nomor 448 /KMK.017/2000 yaitu dilakukan dengan cara penerbitan kartu yang dapat

dimanfaatkan pemegangnya untuk pembayaran barang maupun jasa. Tujuan terakhir

adalah tujuan pembiayaan konsumen, dikatakan dalam Pasal 5 Keputusan Mentri

Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 kegiatan pembiayaan konsumen dilakukan dalam

bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk pembelian barang yang pembayarannya

dilakukan secara angsuran atau berkala oleh konsumen. Misalnya dalam perusahaan kredit

motor atau mobil yang dilakukan melalui perjanjian fidusia, yang memang dalam

prakteknya sering dapat kita lihat pada perusahaan leasing yang memberikan jasa

pembiayaan konsumen ini pada pembelian kendaraan bermotor maupun mobil.

D. Fidusia

1. Pengertian Fidusia

Berbagai macam pendapat dan pengertian tentang fidusia, tetapi undang-undang

telah menyimpulkan pengertian tersebut, yaitu Undang-undang No.42 Tahun 1999.

Menurut Undang-undang 42 Tahun 1999 Pasal 1 ayat (1), arti fidusia adalah : pengalihan

Page 46: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

34

hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang

hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Dapat kita

ketahui bahwa perjanjian tersebut berdasarkan suatu kepercayaan yang dilakukan antara

kreditur dan debitur. Lebih jauh lagi dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No 42 Tahun

1999 secara lengkap menyebutkan mengenai arti jaminan fidusia.

‗hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan

benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi

pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima

fidusia terhadap kreditor lainnya‘.

Dari arti tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa jaminan fidusia yang telah diberikan

adalah haknya, namun demikian benda tetap saja dalam pengusaan debitur. Pemberian hak

tersebut atas dasar kepercayaan anatar pemberi dan penerima fidusia.

2. Sifat Jaminan Fidusia

Fidusia merupakan jaminan kebendaan yang baru muncul setelah Gadai dan Hipotik

yang dari dahulu telah terlahir. Sifat jaminan fidusia itu sendiri adalah:

1.Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accessoir atau perjanjian

tambahan/perjanjian ikutan dimana akta jaminan dibuat oleh Notaris;

2. Selalu mengikuti bendanya (droit de suite );

3.Memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga mengikat pihak ketiga dan

memberikan kepastian hukum kepada pihak yang berkepentingan;

4.Apabila debitur wanprestasi maka dalam melaksanakan eksekusi dapat dengan

lembaga parate executie; dan

Page 47: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

35

5.Jaminan fidusia memuat hak mendahulu disebut juga hak preference artinya

penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lain dalam

pelunasan piutangnya seperti diatur dalam UU No. 42 Tahun 1999 Pasal 2739

.

3. Syarat-syarat Fidusia

Perjanjian fidusia harus disertai kriteria persyaratan tertentu agar perjanjian fidusia

tersebut menjadi sah. Seperti yang diterangkan dalam Pasal 5 UU No. 42 Tahun 1999,

yaitu:

1. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam

bahas Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia;

2. Terhadap pembuatan akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat

(1), dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan

Pemerintah.

Akta jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, yang dijelaskan dalam

Pasal 6 Undang-undang N0. 42 Tahun 1999 sekurang-kurangnya

memuat:ww.hukumonline.com

a. identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

c. uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;

d. nilai penjaminan; dan

e. nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

39

Muhamad Riswan, Jaminan Yang Lahir Karena Perjanjian, tersedia di website

http://ayobelajarhukum.blogspot.com/2011/11/jaminan-yang-lahir-karena-perjanjian.html, diakses tanggal 5

februari 20014.

Page 48: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

36

Syarat diatas harus dipenuhi agar perjanjian fidusia yang dilakukan tidak batal atau

saling merugikan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia, seperti yang ditentukan

dalam Pasal 5 undang-undang tersebut. Namun demikian, menurut J Satrio berpendapat

bahwa tidak perlu diadakan pengalihan benda fidusia tetapi haknya saja yang beralih.

Pengecualian tagihan atas tunjuk dan tagihan yang ditunjukan kepada debitur:

‗Hendaknya perlu diingat, bahwa permasalahan mengenai fidusia antara lain

dimungkinkan karena pada asasnya menurut hukum kita, untuk penyerahan benda bergerak

tidak perlu dituntut syarat adanya penguasaan nyata atas benda yang dioperkan. Bahkan

untuk penyerahan tagihan tidak disyaratkan adanya pemberitahuan kepada debitur( Pasal

613 KUH Perdata). Dalam Pasal 613 KUH Perdata hanya disebutkan, bahwa untuk

penyerahan tagihan atas nama dan lain-lian benda tak bertubuh—kecuali tagihan atas

tunjuk ( aan toonder ) dan kepada order (aan order )—harus dilakukan dengan akta

otentik atau dibawah tangan, dengan mana hak-hak atas benda yang bersangkutan

dialihkan‘40

.

Kesemuanya sudah tentu untuk menghindarkan sengketa yang berkepanjangan dikemudian

hari. Pada bank-bank tertentu , kalau pemberian jaminan fidusia dilakukan dengan akta

bawah tangan, telah tersedia blangko formulir, yang berisi dengan penyebutan secara rinci

benda obyek fidusia.

Dapat diketahui bahwa perjanjian fidusia tetap harus dilakukan secara tertulis atau

dengan menggunakan akta dengan surat perjanjian antara pemberi dan penerima fidusia,

sebagaimana diterangkan dalam Pasal 6 Undang-undang No. 42 Tahun 1999.

4. Keabsahan dan Lahirnya Fidusia

Fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir atau disebut juga perjanjian ikutan,

menurut Pasal 4 Undang-undang No. 42 tahun 1999. Jika memang merupakan perjanjian

40

J. Satrio, Hukum Jaminan Hak Jaminan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti, Purwokerto, 2002, hal.68.

Page 49: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

37

ikutan maka menimbulkan bagi para pihak untuk memenuhi prestasi seperti dinyatakan

oleh J. Satrio,berikut:

‗Perjanjian yang bersifat accesoir mempunyai cirri-ciri: lahirnya/ adanya, berpindahnya

dan hapusnya/ berakhirnya mengikuti perjanjian pokok tertentu. Karena fidusia

merupakan sarana pemberian jaminan, yang dumaksudkan untuk menjamin suatu hutang –

suatu kewajiban hukum – maka perjanjian pokoknya adalah perjanjian yang menimbulkan

hutang/ kewajiban hukum ( bersifat obligatoir ), yang dijamin dengan fidusia yang

bersangkutan dan perjanjian fidusianya accesoir pada perjanjian pokok tersebut. Karena

perjanjian fidusianya – yang berupa penyerahan hak milik benda jaminan secara

kepercayaan, yang dilakukan oleh debitur pemberi fidusia kepada kreditur penerima fidusia

– merupakan perjanjian yang bersifat accesoir, maka—sesuai dengan sifat accessoir

daripada fidusia seperti tersebut diatas – perjanjian pemberian jaminan fidusia merupakan

perjanjian bersyarat– dengan syarat pembatal sebagai yang diatur dalam pasal 1253 jo

1265 KUH Perdata – dengan konsekuensinya, pemberian jaminan fidusia itu dengan

sendirinya berakhir/hapus. Kalau perjanjian pokoknya, untuk mana diberikan jaminan

fidusia‘41

.

Sifat accessoir fidusia dapat disimpulkan dimana terjadi perjanjian pokok yang

diikuti dengan perjanjian fidusia yang merupakan ikutan maka perjanjian dianggap sah dan

dianggap telah lahir. Namun di negara kita masih ada aturan tambahan yaitu mewajibkan

fidusia tersebut untuk didaftarkan. Menurut Pasal 11 Undang-undang No.42 Tahun 1999,

menyebutkan bahwa fidusia wajib didaftarkan. Setelah didaftar maka perjanjian dianggap

telah ada atau lahir. Tujuan pendaftaran itu sendiri adalah untuk memenuhi asas piblisitas,

agar masyarakat dapat mengakses informasi dan mengetahui adanya dan keadaan benda

yang merupakan obyek jaminan fidusia dan menghindari adanya penyelundupan fidusia

secara pura-pura, maka diadakan pendaftaran benda fidusia42

. Selain itu, pendaftaran juga

bertujuan untuk memberikan kepastian kepada kreditor lainnya mengenai benda yang telah

dibebani Jaminan Fidusia. Hal ini mencegah terjadinya fidusia ulang sebagaimana yang

dilarang oleh Pasal 1 Undang-undang No.42 Tahun 1999. Oleh karena itu, kewajiban

41

Ibid, hal.196-197.

42 Ibid, halaman 83.

Page 50: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

38

pendaftaran fidusia ke instansi yang berwenang merupakan salah satu perwujudan dari asas

publisitas43

.

5. Pendaftaran Fidusia

Fidusia diangggap telah lahir apabila sudah diadakan pendaftaran seperti

diterangkan dalam Pasal 11 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 terdapat keterangan

mengenai pendaftaran fidusia, yaitu:

(1). Benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan;

(2). Dalam hal benda yang dibebani dengan jaminan fidusia berada di luar wilayah

Negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud ayat (1) tetap

berlaku.

Diterangkan juga dalam Pasal 12 UU No. 42 Tahun 1999, tentang proses pendaftarannya :

1. Pendaftaran Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 ayat (1)

dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia;

2. Untuk pertama kali, Kantor Pendaftaran Fidusia didirikan di Jakarta dengan

wilayah kerja mencakup seluruh wilayah negara Republik Indonesia;

3. Kantor Pendaftaran Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berada dalam

lingkup tugas Departemen Kehakiman; dan

4. Ketentuan mengenai pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia untuk daerah lain

dan penetapan wilayah kerjanya diatur dengan Keputusan Presiden.

Pasal 15 Undang-undang No.42 Tahun 1999 menerangkan bahwa sertifikat jaminan fidusia

dugunakan untuk melaksanakan sitas jaminan objek jaminan fidusia apabila debitor

wanprestasi, makadari itu keberadaannya sangat penting.

43

Martin Roestamy, Hukum Jaminan Fidusia, PT.Percetakan Penebar Swadaya, Bogor, 2009, hal.93.

Page 51: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

39

Pada dasarnya penerapan pendaftaran fidusia telah sama secara nasional sejak

dikeluarkan Undang-undang No.42 Tahun 1999 dan kepastian hukumnya lebih terjamin.

Pada prakteknya perjanjian fidusia ini sering diterapkan pada perjanjian pembiayaan

konsumen dengan perjanjian fidusia yang dilakukan pada jual beli kendaraan bermotor.

Didalam Peraturan Mentri Keuangan Republik Indonesia Nomer 130/PMK.010/2012

tentang Pendaftaran Jaminan Fidusia Bagi Perusahaan Yang Melakukan Pembiayaan

Konsumen Untuk Kendaraan Bermotor Dengan Pembebanan Jaminan Fidusia, diterangkan

dalam beberapa pasalnya:

Pasal 1

(1) Perusahaan Pembiayaan yang melakukan pembiayaan konsumen untuk kendaraan

bermotor dengan pembebanan jaminan fidusia wajib mendaftarkan jaminan fidusia

dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia, sesuai undang-undang yang mengatur

mengenai jaminan fidusia.

(2) Kewajiban pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berlaku pula bagi Perusahaan Pembiayaan yang melakukan:

a. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor berdasarkan prinsip syariah;

dan/atau

b. pembiayaan konsumen kendaraan bermotor yang pembiayaannya berasal dari

pembiayaan penerusan (channeling) atau pembiayaan bersama (joint financing).

Pasal 2

Perusahaan Pembiayaan wajib mendaftarkan jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran

Fidusia paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perjanjian

pembiayaan konsumen.

Page 52: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

40

Pasal 3

Perusahaan Pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa

kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum menerbitkan sertifikat

jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan Pembiayaan.

Pasal 4

Penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan bermotor oleh Perusahaan

Pembiayaan wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan sebagaimana diatur dalam

undang-undang mengenai jaminan fidusia dan telah disepakati oleh para pihak dalam

perjanjian pembiayaan konsumen kendaraan bermotor.

Pasal 5

(1) Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Menteri ini dikenakan sanksi

administratif secara bertahap berupa:

a. peringatan;

b. pembekuan kegiatan usaha; atau

c. pencabutan izin usaha.

(2) Sanksi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan secara

tertulis paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan masa berlaku masing-masing

60 (enam puluh) hari kalender.

(3) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu sanksi peringatan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2), Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi ketentuan yang

diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan

mencabut sanksi peringatan.

Page 53: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

41

(4) Dalam hal masa berlaku peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

berakhir dan Perusahaan Pembiayaan tetap tidak memenuhi ketentuan yang diatur

dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan

mengenakan sanksi pembekuan kegiatan usaha.

(5) Sanksi pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan

secara tertulis kepada Perusahaan Pembiayaan, yang berlaku selama jangka waktu

30 (tiga puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha

diterbitkan.

(6) Dalam hal masa berlaku sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan kegiatan

usaha berakhir pada hari libur, sanksi peringatan dan/atau sanksi pembekuan

kegiatan usaha berlaku hingga hari kerja pertama berikutnya.

(7) Dalam hal sebelum berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan telah memenuhi

ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

Menteri Keuangan mencabut sanksi pembekuan kegiatan usaha.

(8) Dalam hal sampai dengan berakhirnya jangka waktu pembekuan kegiatan usaha

sebagaimana dimaksud pada ayat (5) Perusahaan Pembiayaan tidak juga

memenuhi ketentuan yang diatur dalam pasal-pasal sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang

bersangkutan.

Dapat kita lihat bahwa pendaftaran fidusia melalui beberapa tahap dan sifatnya

wajib. Pendaftaran ini wajib dan harus dilakukan bagi perusahaan pembiayaan yang

melakukan perjanjian pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor dengan jaminan

Page 54: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

42

fidusia, agar pihak yang terkait dapat melaksanakan perjanjian tersebut dan jika terjadi

cidera janji maka akan dapat lebih dipertanggungjawabkan.

6. Hapusnya Jaminan Fidusia

Benda yang dijaminankan dapat hapus karena suatu hal, begitu juga dengan

jaminan fidusia. Hapusnya jaminan fidusia dapat diterangkan dalam Pasal 25 Undang-

undang No. 42 Tahun 1999.

(1). Jaminan Fidusia hapus karena hal-hal sebagai berikut:

a. hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia;

b. pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh Penerima Fidusia; atau

c. musnahnya Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia.

Setelah benda hapus, sesuai dengan Pasal 25 ayat (3) Undang-undang No.42 Tahun

1999. Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai

hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan melampirkan

pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak, atau musnahnya benda yang

menjadi obyek jaminan fidusia tersebut.

7. Eksekusi Benda Fidusia

Perjanjian yang diikuti dengan jaminan fidusia sangat mungkin terjadi cidera janji

oleh pemberi fidusia. Pasal 29 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 menyebutkan bahwa:

(1) Apabila debitor atau Pemberi Fidusia cidera janji, eksekusi terhadap Benda yang menjadi

obyek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. Pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (2) oleh

penerima fidusia. Tentang kedudukan sertifikat jaminan fidusia dalam hal eksekusi

objek jaminan;

Page 55: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

43

b. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima

fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari

hasil penjualan;

c. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan

penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang

menguntungkan para pihak.

(2) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c dilakukan setelah

lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan atau

penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya

dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan.

Penyerahan benda jaminan fidusia bersifat wajib, sebagaimana diterangkan dalam

Pasal 30 Undang-undang No.42 Tahun 1999, bahwa pemberi Fidusia wajib menyerahkan

Benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan

Fidusia.

Page 56: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

44

BAB III

METODE PENELITIAN

Suatu penelitian sangat penting untuk menentukan metode yang akan dilaksanakan

dalam membuat penelitian, karena berkaitan dengan arah dan tujuan penelitian tersebut.

Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan, mengembangkan atau menguji

kebenaran suatu pengetahuan44

. Madili mengemukakan bahwa menemukan berarti

memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan; mengembangkan berarti

memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang sudah ada; menguji kebenaran

dilakukan jika apa yang sudah ada masih menjadi diragu-ragukan kebenarannya. Atas

dasar tersebut, setiap tahap dalam penelitian harus didasari pada suatu metode penelitian

yang berfungsi sebagai arah yang tepat untuk mencapai tujuan dari penelitian yang

dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan melalui metode pendekatan, spesifikasi

penelitian, jenis data, metode pengumpulan data, metode penyajian data, metode analisis

data.

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan

pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum secara yuridis adalah penelitian yang

mengacu pada studi kepustakaan yang ada ataupun terhadap data sekunder yang

digunakan. Sedangkan bersifat normatif adalah penelitian hukum yang bertujuan untuk

memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan

44

Madili, Metode Penelitian, tersedia di website http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/divinisi-

penelitian-metode-dasar.html, diakses tanggal 12 Juli 2014.

Page 57: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

45

peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya. Konsep ini memandang hukum sebagai

norma-norma yang tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang

berwenang dan konsep yang melihat hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup

dan terlepas dari kehidupan dan mengabaikan norma lain selain norma hukum45

.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang

hanya menggambarkan obyek atau masalah yang akan diteliti, dalam penelitian ini yaitu

Tinjauan Putusan No. 335 K/Pdt.Sus/2012, tentang lahirnya perjanjian fidusia dalam

perjanjian pembiayaan konsumen.

C. Jenis Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai data utama dan data primer

sebagai data penunjang. Data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier.

Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundangan-undangan dan putusan pengadilan.

Bahan hukum sekunder berupa buku atau literatur yang berhubungan dengan obyek

penelitian. Sementara bahan hukum tersier berupa kamus. Data primer dari dalam

penelitian ini dilakukan dengan menggali informasi melalui wawancara terhadap

responden (Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen/ BPSK).

D. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder diperoleh dengan cara inventarisasi terhadap peraturan perundang-

undangan, buku-buku, hasil penelitian sebelumnya dan dokumen-dokumen yang berkaitan

dengan permasalahan yang selanjutnya di pelajari sebagai pedoman untuk penyusunan

data. Data yang akan diteliti adalah diperoleh dari putusan BPSK, Pengadilan Negri

45

Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, 1988, hal.13.

Page 58: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

46

Purworejo, Mahkamah Agung dan diperlengkap dengan sedikit data primer yaitu

wawancara dengan narasumber pegawai kantor BPSK Yogyakarta.

E. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian disajikan

dalam bentuk uraian-uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti

keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya.

F. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara normatif, yaitu dengan menjabarkan data

yang diperoleh berdasarkan norma-norma hukum atau kaidah yang relevan dengan pokok

permasalahan.

Page 59: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

47

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian terhadap Putusan Mahkmah Agung No.335 K/Pdt.

Sus/2012, Pengadilan Negri Purworejo Nomer: 18/Pdt/G/2011/PN.Pwr tanggal 22

Desember 2011 dan diperjelas dengan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

No.24/Abs/BPSK-Yk/X/2011, tertanggal 6 Oktober 2011. Dapat disajikan hasil data

sebagai berikut.

I. Subyek hukum atau para pihak yang berperkara dalam Putusan Mahkamah Agung

No.335 K/Pdt. Sus/2012:

a. Sunardi, Spd, yang berprofesi sebagai seorang guru, bertempat tinggal di

Cengkawakrejo, RT 06, RW 04, Banyuurip, Purworejo, Jawa Tengah, selanjutnya

disebut sebagai Termohon Kasasi dahulu Termohon Keberatan/Konsumen/ Pengadu;

b. PT. Mandiri Tunas Finance/ biasa disebut PT. Mandiri Finance berkedudukan di

Graha, lantai 3A, Jl. Imam Bonjol, No.61, Jakarta Pusat, dalam hal ini memberi

kuasa kepada Heintjie Sumampouw Wagiu,SH, Advokat, berkantor di WAGIU &

REKAN beralamat di Graha Mustika Ratu, lantai 5, ruang 505, di Jl. Gatot Subroto,

Kav. 74 – 75, Jakarta Selatan, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 3 Januari

2012; selanjutnya disebut sebagai Pemohon Kasasi dahulu Pemohon

Keberatan/Pelaku Usaha/ Teradu.

II. Obyek hukum yang dipersengketakan dalam Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt.

Sus/2012:

Page 60: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

48

a. Sebuah unit kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe: Xenia LI Plus VVTIm

1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307 yang dibeli dengan

total keseluruhan fasilitas pembiayaan sebesar Rp.150.355.200,00.

b. Pembayaran sebuah unit kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe: Xenia LI

Plus VVTIm 1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307

dilakukan dengan mengangsur dalam jangka waktu 48 bulan; dengan angsuran

per bulan sebesar Rp.3.132.400,00.

c. Pada tanggal 19 Januari 2007, saat terjadinya perjanjian pembiayaan telah

dibayarkan uang muka Rp.10.140.000, biaya administrasi Rp.6.000.000 dan

asuransi 48 bulan sebesar Rp. 2.788.000,

III. Hubungan hukum para pihak dalm Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012:

a. Pada tanggal 19 Januari 2007, antara Sunardi dan PT. Mandiri Finance melakukan

perjanjian pembiayaan atas sebuah unit kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe:

Xenia LI Plus VVTIm 1.0, No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/

DN47307 dengan total keseluruhan fasilitas pembiayaan sebesar

Rp.150.355.200,00. Pembayaran dilakukan dengan mengangsur dalam jangka

waktu 48 bulan; dengan angsuran per bulan sebesar Rp.3.132.400,00.

b. Sunardi selaku konsumen telah mempelajari perjanjian baku yang dibuat PT. Mandiri

Finance dan menyetujui perjanjian. Dibuktian dengan penandatanganan terhadap

Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fiducia

No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007, telah disepakati dan sama-

sama dengan itikad baik.

Page 61: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

49

c. Perjanjian pembiayaan tersebut diikuti dengan jaminan fidusia berupa sebuah unit

kendaraan bermotor: Merk Daihatsu, Tipe: Xenia LI Plus VVTIm 1.0,

No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307, yang dibeli Sunardi

selaku konsumen melalui perjanjian pembiayaan.

d. Perjanjian dengan penyerahan hak secara fidusia, akte fidusianya baru didaftarkan 11

bulan kemudian dan diterbitkan pada tanggal 18 Desember 2007. Dibuktikan dengan

keluarnya Sertifikat Jaminan Fidusia No.: W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007 tertanggal

18 Desember 2007 Jam 14.20 Wib, yang diterbitkan oleh Departemen Hukum dan

Hak Azasi Manusia Republik Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah.

IV. Pokok perkara dalam Putusan Mahkamah Agung No.335 K/Pdt. Sus/2012:

a. Pada bulan Agustus 2009, Sunardi selaku konsumen mengalami permasalahan

ekonomi. Sehingga menyebabkan macetnya kredit pada angsuran ke 30 dengan total

angsuran sebesar Rp.93.972.000.

b. Guna melaksanakan amanat undang-undang dan sesuai dengan aturan-aturan hukum

yang berlaku dan juga sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan

Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia No.: 906AG200701000014 tertanggal 19

Januari 2007 serta berdasarkan Sertifikat Jaminan Fidusia No.: W9.11.142.HT.04.

06.TH.2007 tertanggal 18 Desember 2007, pada tanggal 4 februari 2010 dilakukan

penarikan terhadap barang jaminan berupa 1 (satu) Unit kendaraan bermotor : Merk :

Daihatsu, Tipe : Xenia LI Plus.

c. Pada tanggal 18 februari 2010 konsumen atau pengadu membawa rekan untuk

melakukan pembelian, konsumen memberikan tawaran Rp.100.000.000 namun

Page 62: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

50

pelaku usaha atau PT.Mandiri Tunas Finance tidak setuju dan menolak penawaran

Sunardi.

d. Setelah dilakukan penarikan, pelaku usaha atau PT. Mandiri Tunas Finance

memberitahukan melalui surat kepada Sunardi selaku konsumen tentang sisa hutang

yang belum dilunasi. Sisa hutang yang ada diberi masa tenggang waktu untuk

melunasi hingga 25 Februari 2010, jika tidak dilunasi jaminan sebuah mobil

Daihatsu Xenia akan dijual secara lelang untuk melunasi hutang Konsumen.

e. Pengumuman lelang atas unit kendaraan bermotor tersebut, diberitahukan pada

hari/tanggal: Jumat 19 Maret 2010 di halaman7 Koran Nasional Harian Rakyat

Merdeka. Bukti ini sangat terang dan jelas bahwa lelang yang dilakukan telah

memenuhi azas Publisitas.

f. Setelah pelelangan berlangsung dibuat berita acara penetapan lelang

No.:001/BAPPL/CWD/III/2010 dari Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta,

tertanggal 25 Maret 2010 sebagai tanda bukti bahwa Pejabat Lelang Kelas II DKI

Jakarta telah melakukan lelang dan telah menetapkan pemenang lelang barang

jaminan berupa sebuah mobil Daihatsu, Tipe: Xenia LI Plus VVTI 1.0,

No.Chassis/Rangka: MHKV1AA2J6K007462/ DN47307 terjual secara lelang

dengan harga Rp.95.000.000 (Sembilan puluh lima juta Rupiah) untuk melunasi

hutang Sunardi dan sisanya dikembalikan kepada Sunardi.

g. Sunardi selaku konsumen merasa keberatan dengan pelelangan yang dilakukan PT.

Mandiri Finance dan membawa permasalahan tersebut ke Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen Yogyakarta ( BPSK ), dengan gugatan untuk menghukum kepada

Page 63: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

51

pelaku usaha untuk member ganti rugi sebesar Rp. 102.760.000 (total biaya konsumen

dalam kredit ditambah asuransi dan administrasi).

V. Pertimbangan dan Putusan Hakim

a. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Majelis Arbiter Badan Penyelesaian

Sengketa Konsumen Yogyakarta:

1. Majelis mempertimbangkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dengan

penyerahan hak milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19

Januari 2007 disebut klausal baku, yang telah dipersiapkan dan dibuat pelaku

usaha. Perjanjian tersebut batal demi hukum, karena memenuhi Pasal 18 ayat 1

huruf (a), (g), ayat 2 dan ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen barkaitan dengan klausula baku yang dilarang.

2. Berdasarkan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak milik

secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari 2007, pelaku

usaha telah melelang jaminan yang diserahkan konsumen berupa satubuah unit

kendaraan xenia. Dilelang secara terbuka dengan harga Rp. 95.000.000, akan

tetapi karena perjanjian pembiayaan dinyatakan batal demi hukum jadi

pelelangan tersebut tidak sah.

3. Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara

Fiducia No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007, akta fidusia

baru didaftarkan tanggal 18 Desember 2007 ( Sebelas bulan kemudian ).

Dibuktikan dengan keluarnya Sertifikat Jaminan Fidusia No.:

W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007 tertanggal 18 Desember 2007. Dengan

demikian keberadaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan penyerahan hak

Page 64: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

52

milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari 2007

bertentangan dengan fakta hukum yang sebenarnya juga tidak dapat dikatakan

sah dan dilampirkan sebagai perjanjian aksesoris.

4. Atas dasar tersebut Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, menghukum

kepada pelaku usaha untuk mengembalikan uang muka, biaya administrasi dan

asuransi yang telah dibayarkan seluruhnya sebesar Rp. 15.632.500. Keberatan

dengan putusan BPSK Yogyakarta, PT. Mandiri Finance mengajukan banding

di Pengadilan Negeri Purworejo. Pokok keberatan Pemohon/ PT.Mandiri

adalah : mohon agar putusan BPSK Kota Yogyakarat Nomor: 24/abs/BPSK-

YK/X/2011 Oktober 2011 dibatalkan.

b. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Pengadilan Negri Purworejo:

1. Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1 tahun 2006,

mensyaratkan jika keberatan terhadap putusan BPSK dapat diajukan baik oleh

pelaku usaha dan atau konsumen kepada pengadilan negri ditempat kedudukan

hukum konsumen tersebut.

2. Pemohon keberatan mendalilkan jika dalam penyelesaian sengketa di BPSK

kota Yogyakarta melalui proses arbitrase, ada surat dokumen palsu atau yang

dinyatakan palsu, majelis hakim tidak menemukan fakta adanya dokumen

palsu. Terkait dengan pertimbangan hukum Badan Penyelesaian Sengkate

Konsumen Yogyakarta, Majelis Hakim tidak menemukan suatu tipu muslihat

dan pertimbangan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak dalam proses

arbitrase dianggap telah sesuai (Vide : Putusan BPSK Kota Yogyakarta Nomor

24/abs/BPSK-YK/X/2011, Tanggal 6 Oktober 2011).

Page 65: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

53

3. Mendasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum diatas, maka majelis hakim

berpendapat jika permohonan Pemohon Keberatan untuk membatalkan Putusan

BPSK Kota Yogyakarta Nomor: 24/abs/BPSK-YK/X/2011, Tanggal 6 Oktober

2011, haruslah ditolak. Atas dasar tersebut Pengadilan Negri Purworejo

menolak keberatan pemohon dan menghukum untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp.201.000,00. Keberatan dengan putusan Pengadilan Negri

Purworejo, PT. Mandiri Finance mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

c. Pertimbangan Hukum dan Putusan Hakim Mahkamah Agung:

1. Mahkamah Agung memberikan pertimbangan, bahwa Pengadilan Negeri

Purworejo tidak salah menerapkan hukum, pertimbangannya sudah tepat dan

benar. Pembaca I, nama: H.Syamsul Ma‘arif,SH.,LLM.,Ph.D, berbeda

pendapat (dissenting opinion): bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(BPSK) tidak berwenang memeriksa dan memutus gugatan Penggugat

(sekarang, Termohon) karena gugatan Penggugat/konsumen pada dasarnya

tidak memenuhi prestasi atau isi perjanjian yaitu tidak membayar sisa angsuran

dan bunga sebagaimana ditentukan dalam Perjanjian Pembiayaan yang dibuat

oleh Penggugat dan Tergugat. Berdasarkan alasan-alasan tersebut Pembaca I

berpendapat, bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi harus

dikabulkan.

2. Terjadi perbedaan pendapat dalam majelis dan telah diusahakan dengan

sungguh-sungguh, tetapi tidak tercapai permufakatan. Sesuai Pasal 30 ayat (3)

Undang-undang No.5 Tahun 2004. Diambil putusan dengan suara terbanyak

yaitu menolak permohonanan kasasi dari Pemohon Kasasi. Maka permohonan

Page 66: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

54

kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT.Mandiri Tunas Finance,

tersebut harus ditolak dan menghukum Pemohon Kasasi/Pemohon

Keberatan/Pelaku Usaha/Teradu untuk membayar biaya perkara dalam tingkat

kasasi ini sebesar Rp.500.000,00.

VI.Hasil wawancara yang didapat dari narasumber Pegawai Badan Penyelesaian Sengketa

Konsumen Yogyakarta.

a. Narasumber menerangkan bahwa data dalam perjanjian menyebutkan jika angsuran

yang diangsur oleh konsumen tidak dapat dikembalikan, sesuai dengan perjanjian

pembiayaan antara Sunardi sebagai konsumen dan PT. Mandiri Tunas Finance sebagai

perusahaan pembiayaan. Hal demikian dilakukan berdasarkan perjanjian baku agar

perusahaan pembiayaan tidak mengalami kerugian.

b. Jika terjadi wanprestasi sesuai aturan tentang jaminan fidusia, yang telah disebutkan

berdasarkan Undang-undang No.42 Tahun 1999. Jaminan akan dilelang untuk

mengambil pelunasan. Dalam perkara ini hasil pelelangan telah dianggap sebagai

pelunasan piutang dan sisanya telah dikembalikan kepada yang bersangkutan. Hal

tersebut karena didalam perkara ini tidak ada gugatan konsumen atau pengaduannya

tentang pengembalian sisa lelang. Gugatan konsumen hanya untuk memberi ganti rugi

sebesar Rp. 102.760.000 (total biaya konsumen dalam kredit ditambah asuransi dan

administrasi).

c. Pihak Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta tidak dapat memberikan

data tentang Perjanjian Baku yang dibuat PT.Mandiri Tunas Finance, karena terkait

kerahasiaan perusahaan atau privasi perusahaan tersebut. Hanya dapat

Page 67: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

55

memberitahukan Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen saja, dengan kata

lain hanya memiliki putusannya saja tidak termasuk perjanjian pokok.

B. Pembahasan

Dapat diketahui hubungan antara dua orang yang saling mengikatkan diri dimana

salah satu mempunyai hak dan salah satu mempunyai kewajiban disebut perikatan,

pemenuhan hak suatu perikatan disebut prestasi. Dari perikatan-perikatan tersebut dapat

terbentuk suatu perjanjian atau dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu

sumber perikatan, yang telah diatur di dalam Buku III KUH Perdata. Arti dari perjanjian

disebutkan di dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang selengkapnya berbunyi : ‗suatu

perjanjian adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya

terhadap satu orang lain atau lebih‘. Jika suatu perjanjian tidak dapat terpenuhi atau tidak

dipenuhinya suatu prestasi, maka akan berakibat terjadinya wanprestasi. Adapun yang

dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,

debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian46

.

Kelalaian dan kesalahan debitur bukan karena overmacht/ keadaan memaksa.

Perkembangan ekonomi yang semakin mengglobal dan semakin meningkatnya

kebutuhan hidup masyarakat, munculah perjanjian pembiayaan konsumen. Menurut Pasal 5

Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000 Pembiayaan Konsumen adalah

kegiatan usaha yang dilakukan dalam bentuk penyediaan dana bagi konsumen untuk

pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara angsuran atau berkala oleh

konsumen kepada perusahaan pembiayaan. Pelaksanaan perjanjian pembiayaan sering

diikuti dengan jaminan fidusia, dimana diatur dalam Undang-undang No.42 Tahun 1999.

Pada pelaksanaan perjanjian pembiayaan yang diikuti dengan jaminan fidusia dapat terjadi

46

Nindyo Pramono, Op. Cit. hal.221.

Page 68: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

56

wanprestasi dan menimbulkan berbagai akibat hukum. Seperti dalam peristiwa wanprestasi

oleh Sunardi sebagai konsumen kepada PT.Mandiri Finance didalam perjanjian pembiayaan

yang diikuti dengan jaminan fidusia.

1. Akibat Wanprestasi Pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara PT. Mandiri

dengan Sunardi Dalam Hal Terjadi Keterlambatan Pendaftaran Fidusia Pada

Perkara Putusan No. 335 K/Pdt. Sus/ 2012

Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana tersaji dalam data no.III.a, yaitu pada

tanggal 19 Januari 2007 terjadi penandatanganan dan persetujuan oleh pihak konsumen

yaitu Sunardi yang berkaitan dengan perjanjian pembiayaan atas sebuah unit kendaraan

bermotor: Merk Daihatsu. Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan bahwa konsumen adalah setiap

orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi

kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak

untuk diperdagangkan. Jika dikaitkan dengan isi pasal diatas maka Sunardi tidak

hanya sebagai debitur saja, namun secara sah dia mempunyai hubungan yuridis

sebagai konsumen, karena tidak memperdagangkan kembali barang yang dibeli.

Perjanjian diatas merupakan perjanjian pembiayaan dimana diatur didalam Pasal 5

Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000, yang dibuat berdasarkan

perjanjian baku. Mengenai perjanjian baku, Abdul Kadir Muhammad berpendapat

sebagai berikut47

:

‖Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang dipakai sebagai patokan atau pedoman

bagi setiap konsumen yang mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha, yang

dibakukan dalam perjanjian baku ialah meliputi model, rumusan, dan ukuran. Perjanjian

47

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 87.

Page 69: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

57

baku memuat tentang syarat-syarat baku yang wajib dipenuhi oleh pihak pemohon atau

konsumen dari pihak perusahaan penyedia barang maupun jasa‖.

Dilihat dari data no.III.a, perjanjian antara Sunardi dan PT. Mandiri Tunas

Finance dapat dikatakan sah karena memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata tentang

syarat sahnya perjanjian yaitu sepakat, cakap berbuat, hal tertentu dan sebab yang

halal. Perjanjian tersebut merupakan perjanjian baku yang tidak dilarang, karena tidak

memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g), ayat 2 dan ayat 3 Undang-undang No. 8

Tahun 1999 tentang perjanjian baku yang dilarang. Disini pelaku usaha tidak

mengalihkan tanggung jawabnya dan tidak menambah peraturan baru yang dibuat

sepihak pada saat konsumen memanfaatkan jasanya dan perjanjian baku yang dibuat

dapat dipahami oleh Sunardi sebagai konsumen. Dibuktikan dengan penandatanganan

dan persetujuan oleh pihak konsumen dalam data no.III.b, dimana Sunardi selaku

konsumen telah mempelajari perjanjian baku yang dibuat PT. Mandiri Finance dan

menyetujui perjanjian.

Data no.IV.a menyebutkan, bahwa pada bulan agustus 2009 terjadi wanprestasi

oleh Sunardi sebagai konsumen. Menurut Pasal 30 Undang-undang No. 42 Tahun

1999 apabila debitor atau pemberi fidusia wanprestasi, maka pemberi fidusia wajib

menyerahkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan

eksekusi jaminan fidusia. Data no.IV.b menyebutkan bahwa karena wanprestasinya

sunardi selaku konsumen sesuai dengan Perjanjian Pembiayaan Konsumen, pada

tanggal 4 februari 2010 dilakukan penarikan terhadap barang jaminan berupa 1 (satu)

Unit kendaraan bermotor : Merk : Daihatsu. Setelah dilakukan penarikan benda

jaminan tersebut dieksekusi. Pelaksanaan eksekusi terhadap benda yang menjadi objek

Page 70: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

58

jaminan fidusia harus memenuhi Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 42 Tahun

1999, Yaitu:

a. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 15 ayat (2)

Undang-undang No.42 Tahun 1992, dimana sertifikat jaminan fidusia mempunyai

kekuatan eksekutorial.

b. Penjualan benda jaminan fidusia dilakukan melalui pelelangan umum, untuk

mengembil pelunasan.

c. Penjualan bawah tangan dapat dilakukan melalui kesepakatan pemberi dan

penerima fidusia yang menguntungkan para pihak.

Pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-

undang No. 42 Tahun 1999, Walaupun dari data no.III.d menyebutkan bahwa terjadi

keterlambatan pendaftaran sertifikat fidusia, yaitu sebelas bulan setelah perjanjian

pembiayaannya. Tetap saja sah, karena penarikan dan pelaksanaan eksekusi benda

jaminan sesuai data no.IV.b baru dilaksanakan pada tanggal 4 Februari 2010, dimana

sertifikat fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial telah terbit sebelum adanya

penarikan benda jaminan dan eksekusinya yaitu telah terbit pada tanggal 18 Desember

2007. Hal tersebut juga sudah sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan RI. No.

130/PMK 0.10/2012 yang intinya perusahaan pembiayaan boleh melakukan penarikan

benda jaminan fidusia apabila sertifikat telah terbit. Pasal 4 Peraturan Mentri Keuangan

RI. No. 130/PMK 0.10/2012 menyebutkan bahwa penarikan benda jaminan harus

disepakati para pihak didalam perjanjian pembiayaan. Sesuai data no.III.a penarikan

benda jaminan sudah disepakati para pihak didalam perjanjian pembiayaan.

Page 71: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

59

Secara umum jika benda jaminan fidusia yang berkaitan dengan kendaraan

bermotor tidak didaftar atau tidak memiliki sertifikat jaminan fidusia, akan memberi

akibat langsung pada penerima fidusia, dalam hal ini dapat diakatakan sebagai

perusahaan pembiayaan. Pasal 5 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK

0.10/2012 menyebutkan akibat jika perusahaan pembiayaan selaku peneriman fidusia

tidak mendaftarkan jaminan fidusia dimaksud pada Kantor Pendaftaran Fidusia sesuai

undang-undang jaminan fidusia, tiga kali berturut-turut akan dilakukan peringatan, jika

peringatan dihiraukan akan dilakukan sanksi pembekuan kegiatan usaha selama 30 (tiga

puluh) hari kalender sejak surat sanksi pembekuan kegiatan usaha diterbitkan. Apabila

masa pembekuan kegiatan usaha berakhir tetapi perusahaan pembiayaan tetap tidak

melakukan apa yang diperintahkan dalam aturan ini, yaitu tidak mendaftarkan jaminan

fidusia maka Menteri Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Pembiayaan yang

bersangkutan. Akibat yang lain disebutkan didalam Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan

RI. No. 130/PMK 0.10/2012 bahwa apabila sertifikat jaminan benda fidusia belum terbit

atau tidak didaftar maka apabila terjadi wanprestasi pada debitur, perusahaan

pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan fidusia berupa kendaraan

bermotor. Hal tersebut juga berkaitan dengan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.42

Tahun 1999 tentang sertifikat jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial

terhadap benda jaminan fidusia.

Dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf b Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang

pelaksanaan eksekusi yang harus dilakukan dengan pelelangan umum, sudah sesuai.

Karena menurut data no.IV.e menyebutkan, bahwa eksekusi benda jaminan fidusia

dilakukan melalui pengumuman lelang atas unit kendaraan bermotor tersebut pada

Page 72: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

60

hari/tanggal: Jumat 19 Maret 2010di halaman7 Koran Nasional Harian Rakyat Merdeka.

Diperkuat dengan data no.IV.f yang menyebutkan bahwa setelah pelelangan

berlangsung dibuat berita acara penetapan lelang No.:001/BAPPL/CWD/III/2010

dari Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta, tertanggal 25 Maret 2010. Memang

pelelangan ini dilakukan untuk mengambil pelunasan piutang sesuai perjanjian

pembiayaan sebagai perjanjian pokok dan sisanya telah dikembalikan.

Dilihat dari Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 42 Tahun 1999 bahwa

dapat dilakukan penjualan dibawah tangan apabila terjadi kesepakatan. Pelaksanaan

eksekusi benda jaminan ini memang tidak dilakukan dengan penjualan dibawah tangan

karena tidak ada kesepakatan dari para pihak, maka sesuai data no.IV.e dan no.IV.f

pelaksanaan eksekusi dilakukan secara lelang beserta pemberitaannya. Dengan

demikian maka pelaksanaan eksekusi obyek jaminan fidusia yang terjadi dari

wanprestasi Sunardi sebagai konsumen, sesuai dengan aturan yang berlaku

sebagaimana diterangkan diatas.

2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Akibat Wanprestasi Pada

Perjanjian Pembiayaan Konsumen Antara PT. Mandiri Dan Sunardi Dalam Hal

Terjadi Keterlambatan Pendaftaran Fidusia Pada Perkara Putusan No. 335

K/Pdt. Sus/ 2012

Sesuai data no.V.c.1, bahwa pada tingkat kasasi Mahkamah Agung menyetujui

pertimbangan hukum dan putusan Pengadilan Negri Purworejo, sebagaimana

disebutkan sebelumnya pada data no.V.b.2 Pengadilan Negri Purworejo juga

menyetujui Putusan BPSK Yogyakarta. Sesuai dengan data no.V.a.1,V.a.2 dan V.a3

terdapat beberapa pertimbangan hukum yang disetujui Mahkamah Agung, yang

Page 73: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

61

menyebuktkan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam perkara ini disebut

batal demi hukum dan dikatakan tidak sah. Pasal 4 Undang-undang No. 42 tahun

1999, menerangkan bahwa fidusia merupakan suatu perjanjian accesoir atau disebut

juga perjanjian ikutan. Sifat accessoir fidusia dapat disimpulkan jika perjanjian pokok

yang diikuti dengan perjanjian fidusia sah, maka perjanjian fidusia yang merupakan

ikutan dari perjanjian pokok dianggap sah. Dari hal tersebut, maka dapat diketahui

akibat wanprestasi pada perjanjian pembiayaan antara Sunardi dan PT. Mandiri

Finance berupa pelelangan mobil sesuai data no.IV.e dan no.IV.f dapat dikatakan tidak

sah. Dilihat dari data no.V.a.1;V.a.2 dan V.a3 yang menyebutkan bahwa perjanjian

pembiayaan konsumen dalam perkara ini disebut batal demi hukum dan dikatakan

tidak sah. Pertimbangan Mahkamah Agung tersebut dapat disanggah.

Dari data no.V.a.1 yang menerangkan bahwa perjanjian pembiayaan yang

didasarkan pada klausula baku yang dibuat PT. Mandiri Tunas Finance memenuhi

ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 18 ayat (1) huruf (a), huruf(g), ayat (2)

dan ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagai perjanjian baku yang dilarang.

Terdapat beberapa alasan yang dapat menyanggah data no.V.a.1 sebagaimana

diterangkan diatas. Alasan tersebut dapat diterangkan sebagai berikut.

Pasal 18 ayat 1 huruf (a) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 memberi

penjelasan bahwa ‗pelaku usaha tidak boleh mengalihkan tanggung jawabnya‘. Pada

saat jalannya persidangan sesuai dengan fakta hukum dalam pertimbangan Mahkamah

Agung dari data no.V.a.1, majelis Mahkamah Agung tidak dapat membuktikan adanya

pengalihan tanggung jawab yang dilakukan oleh PT. Mandiri Tunas Finance.

Page 74: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

62

Pasal 18 ayat 1 huruf (g) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 memberi

penjelasan bahwa ‗dilarang melakukan penundukan konsumen kepada peraturan yang

berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat

sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya‘.

Pertimbangan yang dibuat Mahakamah Agung sesuai data no.V.a.1, tidak dapat

dibuktikan adanya aturan baru yang harus dipatuhi konsumen pada saat konsumen

memanfaatkan jasanya pada perjannjian pembiayaan dalam perkara ini. Hal tersebut

dibuktikan dengan data no.III.a dan III.b, yang menyatakan persetujuan dan

penandatanganan oleh pihak konsumen yaitu Sunardi hanya dilakukan Pada tanggal 19

Januari 2007. Tidak ada penambahan aturan lain yang dilakukan pada hari yang

berbeda pada saat konsumen atau Sunardi memanfaatkan jasa yang dibelinya. Pasal 18

ayat 2 Undang-undang No. 8 Tahun menerangkan bahwa ‗pelaku usaha dilarang

mencantumkan klausa baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat

dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti‘. Pertimbangan yang

Mahkamah Agung atas dasar pasal tersebut tidak tepat, karena dalam fakta hukumnya

sesuai data no.III.b menyebutkan bahwa pihak konsumen atau Sunardi telah diberikan

waktu yang cukup oleh PT. Mandiri Finance, untuk mempelajari dan memahami

Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia

No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007, sebelum terjadinya kesepakatan

dan penandatanganan. Dapat dikatakan sesuai dengan beberapa alasan yang telah

disebutkan, perjanjian pembiayaan tersebut tidak dapat dikatakan batal demi hukum

karena tidak memenuhi Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g) dan ayat 2 Undang-undang No. 8

Tahun 1999 sebagai klausula baku yang dilarang.

Page 75: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

63

Data no.V.a.2 yang memberikan keterangan mengenai pertimbangan

Mahkamah Agung atas persetujuannya yang menyebutkan bahwa pelelangan yang

dilakukan PT. Mandri Tunas Finance selaku perusahaan pembiayaan tidak sah karena

perjanjian pembiayaan batal demi hukum. Terdapat sanggahan karena sesuai dengan

keterangan diatas, tentang alasan mengenai perjanjian pembiayaan yang dilakukan

dengan klausula baku, tidak terbukti melanggar Pasal 18 ayat 1 huruf (a) (g) dan ayat 2

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagaimana yang disebutkan didalam

pertimbangan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang disetujui Mahkamah

Agung. Dengan demikian klausula baku Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan

Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari

2007 dianggap sah beserta pelelangan yang dilakukan sesuai dengan data no.IV.e dan

no.IV.f. Pelelangan tersebut, juga telah memenuhi Pasal 29 ayat (1) Undang-undang

No. 42 Tahun 1999, tentang cara eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia.

Di dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-undang No. 42 Tahun 1999 yang

menjelaskan tentang pelaksanaan title eksekutorial fidusia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang adanya sertifikat

jaminan fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Sesuai dengan data no.III.d

mengenai adanya Sertifikat Jaminan Fidusia No.: W9.11.142.HT.04. 06.TH.2007

tertanggal 18 Desember 2007 dalam perjanjian pembiayaan, pada perkara ini

digunakan sebagai kekuatan untuk melaksanakan eksekusi benda fidusia. Pelaksanaan

penarikan dan eksekusi jaminan fidusia pada perkara ini jika dilihat dari Pasal 29 ayat

(1) huruf b Undang-undang No.42 Tahun 1999 tentang pelaksanaan eksekusi yang

harus dilakukan dengan pelelangan umum, sudah sesuai. Menurut data no.IV.e, bahwa

Page 76: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

64

eksekusi benda jaminan fidusia dilakukan melalui pengumuman lelang atas unit

kendaraan bermotor tersebut pada hari/tanggal: Jumat 19 Maret 2010 di halaman 7

Koran Nasional Harian Rakyat Merdeka. Diperkuat dengan data no.IV.f yang

menyebutkan bahwa setelah pelelangan berlangsung dibuat berita acara penetapan

lelang No.:001/BAPPL/CWD/III/2010 dari Pejabat Lelang Kelas II DKI Jakarta,

tertanggal 25 Maret 2010. Pelelangan ini dilakukan untuk mengambil pelunasan

piutang sesuai perjanjian pembiayaan sebagai perjanjian pokok dan sisanya telah

dikembalikan sesuai data no.IV.f. Pasal 29 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 42

Tahun 1999 bahwa dapat dilakukan penjualan dibawah tangan apabila terjadi

kesepakatan. Pelaksanaan eksekusi benda jaminan ini memang tidak dilakukan dengan

penjualan dibawah tangan karena tidak ada kesepakatan dari para pihak, maka sesuai

data no.IV.e dan IV.f pelaksanaan eksekusi dilakukan secara lelang. Sudah jelas

bahwa data no.V.a.2 yang memberikan keterangan mengenai pertimbangan hukum

yang disetujui Mahkamah Agung, menyebutkan bahwa pelelangan yang dilakukan

PT. Mandri Tunas Finance selaku perusahaan pembiayaan tidak sah, tidak dapat

dibenarkan. Pelaksanaan lelang dalam perkara ini sebagaimana diterangkan diatas

telah dianggap sah dan sudah sesuai aturan yang ada.

Data no.V.a3 tentang pertimbangan Mahkamah Agung menyebutkan, bahwa

akta fidusia baru didaftar 11 bulan kemudian dan terbit pada tanggal 18 Desember

2007 (Sebelas bulan kemudian). Keberadaan perjanjian pembiayaan konsumen dengan

penyerahan hak milik secara fidusia No: 906AG200701000014 tanggal 19 Januari

2007 bertentangan dengan fakta hukum yang sebenarnya maka pelelangan juga tidak

dapat dikatakan sah‘. Kedudukan sertifikat jaminan fidusia sangat penting, karena

Page 77: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

65

sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012 yang

berbunyi ‗perusahaan pembiayaan dilarang melakukan penarikan benda jaminan

fidusia berupa kendaraan bermotor apabila Kantor Pendaftaran Fidusia belum

menerbitkan sertifikat jaminan fidusia dan menyerahkannya kepada Perusahaan

Pembiayaan‘. Dari data no.III.d memang terlihat terjadi keterlambatan pendaftaran

sertifikat fidusia, yaitu sebelas bulan setelah perjanjian pembiayaannya. Tetapi

pelaksanaan lelang dapat dikatakan sah, karena penarikan dan pelaksanaan eksekusi

benda jaminan sesuai data no.IV.b baru dilaksanakan pada tanggal 4 Februaru 2010.

Sertifikat fidusia yang mempunyai kekuatan eksekutorial telah terbit sebelum adanya

penarikan benda jaminan dan eksekusinya yaitu pada tanggal 18 Desember 2007 oleh

lembaga yang berwenang yaitu Departemen Hukum dan Hak Azasi Manusia Republik

Indonesia Kantor Wilayah Jawa Tengah Jo. Akta Jaminan Fidusia No.: 192. Dari

berbagai alasan tersebut maka akibat wanprestasi dalam perkara ini yaitu pelaksanaan

eksekusi secara lelang terhadap barang jaminan berupa 1 (satu) Unit kendaraan

bermotor : Merk : Daihatsu, Tipe : Xenia LI Plus dibenarkan, karena sesuai dengan

fakta hukum yang terjadi dan juga aturan-aturan yang terkait. Jika memang terjadi

kerugian pada konsumen itu memang murni dikarenakan oleh pihak konsumen yaitu

Sunardi itu sendiri bukan karena PT.Mandiri Tunas Finance sebagai pelaku usaha

yang memberikan kerugian terhadap pelayanan jasa maupun sifat kualitatif benda

jaminan. Sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan diatas telah jelas terlihat

bahwa perkara ini murni disebabkan karena wanprestasi yang dilakukan oleh Sunardi

pada Perjanjian Pembiayaan Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia

Page 78: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

66

No.:906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007 kepada PT.Mandiri Tunas

Finance selaku pelaku usaha.

Page 79: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang bisa dilihat dari halaman sebelumnya, berdasarkan fakta

hukum dan Pertimbangan Putusan Mahkamah Agung dapat diambil kesimpulan, bahwa:

1. Akiba wanprestasi pada perjanjian pembiayaan konsumen antara PT. Mandiri dengan

Sunardi dalam hal terjadi keterlambatan pendaftaran fidusia pada perkara Putusan No.

335 K/Pdt. Sus/ 2012 adalah dilakukannya penarikan dan penjualan lelang benda

jaminan fidusia yaitu 1 (satu) unit kendaraan bermotor merk Daihatsu, yang dilakukan

melalui pelelangan sebagai pelaksanaan pelunasan hutang. Pelaksanakan penarikan

dan penjualan lelang dalam perkara ini sudah sesuai dengan Pasal 3 dan Pasal 4

Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012, Pasal 29 ayat (1) Sampai

ayat (3) dan Pasal 30 Undang-undang No.42 Tahun 1999. Walaupun terjadi

keterlambatan pendaftaran sertifikat fidusia yaitu sebelas bulan, namun pelelangan

tersebut dapat dikatakan sah karena penarikan dan pelaksanaan penjualan lelang benda

jaminan fidusia baru dilaksanakan pada tanggal 4 Februaru 2010, sedangkan sertifikat

jaminan fidusia telah terbit pada tanggal 18 Desember 2007.

2. Pertimbangan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan akibat wanprestasi pada

perjanjian pembiayaan antara Sunardi dan PT.Mandiri Tunas Finance, yang

memberikan pertimbangan bahwa perjanjian pembiayaan konsumen dalam perkara ini

disebut batal demi hukum dan dikatakan tidak sah. Setelah dikaitkan dengan hasil

penelitian, pertimbangan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena perjanjian baku yang

diperjanjikan tidak terbukti melanggar Pasal 18 ayat (1) huruf (a), huruf(g), ayat (2)

Page 80: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

68

dan ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 sebagai perjanjian baku yang dilarang.

Pelaksanaan penarikan dan penjualan lelang yang dilakukan secara lelang juga sudah

sesuai dengan Pasal 29 Undang-undang No.42 Tahun 1999. Walaupun dalam

pertimbangan Mahkamah Agung disebutkan bahwa, perjanjian Pembiayaan

Konsumen Dengan Penyerahan Hak Milik Secara Fidusia Nomer:

906AG200701000014 tertanggal 19 Januari 2007 tidak sah karena terlambat

didaftarkan. Namun karena penarikan dan penjualan lelang dilakukan setelah sertifikat

terbit, maka dapat dikatakan sah.

Page 81: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

69

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Literatur

Badrulzaman, Mariam Daruz, Aneka Hukum Bisnis, , Alumni, Bandung, 1994.

Gautama, Sudargo, Indonesian Business Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995.

Harahap, Yahya, Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986.

Kansil, Pokok-Pokok Pengetahuan Hukum Dagang Indonesia Buku Kesatu Hukum Dagang

Menurut KUHD Dan KUHPerdata, Sinar Grafika, Jakarta, 1994.

Masjchon Sofwan, Sri Soedewi, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-pokok hukum jamonan dan

jaminan perorangan, Badan pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman,

Liberty, Yogyakarta, 1980.

Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak, Rajawali Press, Jakarta, 1999.

Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

_____________________, Hukum Perikatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990.

_____________________, Hukum Perusahaan Indonesia , PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2006.

Pramono, Nindyo, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003.

Roestamy, Martin, Hukum Jaminan Fidusia, PT.Percetakan Penebar Swadaya, Bogor, 2009.

Ronny, Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Alumni, Jakarta, 1988.

Satrio, J., Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku 1, PT Citra Aditya

Bakti, , Bandung, 1995.

______, Hukum Perikatan-Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku I1, PT Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1995.

______, Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2002.

Setiawan, R., Pokok-Pokok Hukum Perjanjian, Putra Abadin, Jakarta, 1999.

Subekti, R., Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 1987.

Page 82: AKIBAT WANPRESTASI PADA PERJANJIAN PEMBIAYAAN

70

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta 2005.

Syahrani, Riduan, Seluk Beluk Dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung ,1992.

Wijaya ,Gunawan dan Ahmad Yani, Seri hukum bisnis dan jaminan fidusia, PT.Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2001.

2. Peraturan-peraturan :

Undang-undang No.42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia

Undang-undang No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Mentri Keuangan RI. No. 130/PMK 0.10/2012, tentang Pendaftaran Fidusia

Keputusan Mentri Keuangan Nomor 448 /KMK.017/2000, tentang Pembiayaan Konsumen

3. Sumber Internet

Adypato, Mekanisme Pembiayaan Konsumen, tersedia

dihttp://adypato.wordpress.com/2011/01/12/mekanisme-pembiayaan-konsumen/, diakses tanggal

10 februari 2014

Ihsan Ismail, Syarat-Syarat Kredit, tersedia

di http://ihsan947.blogspot.com/2011/05/syarat-syarat-kredit.html, diakses tanggal 25 Mei 2014

Junaidi, Rangkuman Hukum Jaminan , tersedia di website

http://lawfile.blogspot.com/2011/12/catatan-rangkuman-hukum-jaminan.html, diakses tanggal 20

Juni 2014

Madili, Metode Penelitian, tersedia di website

http://lp3madilindonesia.blogspot.com/2011/01/divinisi-penelitian-metode-dasar.html, diakses

tanggal 12 Juli 2014.

M.Rinaldi Santoso, Pembiayaan Konsumen, tersedia website

dihttp://rinaldisantoso.blogspot.com/2011/11/pembiayaan-konsumen.html, diakses Tanggal 12

Januari 2014

Muhamad Riswan, Jaminan Yang Lahir Karena Perjanjian, tersedia di website

http://ayobelajarhukum.blogspot.com/2011/11/jaminan-yang-lahir-karena-perjanjian.html,

diakses tanggal 5 februari 20014

Qodhi, Wanprestasi, Ganti Rugi, sanksi dan keadaan memaksa, tersedia di website

http://yogiikhwan.wordpress.com/2008/03/20/wanprestasi-sanksi-ganti-kerugian-dan-keadaan-

memaksa/, diakses tanggal 20 Juni 2014