Upload
shofy-martiny
View
63
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kuliah anestesi
Citation preview
MENGENALI DAN MENGATASI GANGGUAN JALAN NAFAS
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Bagian Ilmu Anestesi
Disusun Oleh :Medina Mardianty 4151111062Guntur Bayu BP 4151111063Nissa Hera Utami 4151111065Reksa Wira Utama 4151111066Shofy Trisnawaty M 4151111068Firman Noor Habibi 4151111070Ikeu Kurlita 4151111078
Pembimbing :dr. Djoni Kusumah Pohan, Sp. An, M.Kes
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI2013
PENDAHULUAN
Saluran napas atas yang terdiri dari hidung, faring, laring, sampai trake-
bronkus dapat mengalami suatu gangguan oleh berbagai sebab. Gangguan ini
seringkali menyebabkan suatu keadaan gawat darurat yang memerlukan diagnosis
dan penanangan yang cepat, misalnya obstruksi saluran napas atas karena benda
asing, yang sering terjadi pada anak-anak. Hal ini memerlukan analisa yang cepat,
mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang sesuai,
untuk memastikan adanya obstruksi, sehingga dapat mengambil tindakan yang
cepat dan akurat.
Penyebab sumbatan jalan napas yang sering kita jumpai adalah dasar lidah,
palatum molle, darah atau benda asing yang lain. Dasar lidang sering menyumbat
jalan napas pada penderita koma karena pada penderita koma otot lidah dan leher
lemas sehingga tidak mampu mengangkat dasar lidah dari dinding belakang
faring. Hal ini sering terjadi bila kepala penderita dalam posisi fleksi. Benda asing
seperti darah di jalan napas atas yang tidak dapat ditelan atau dibatukan oleh
penderita tidak sadar dapat menyumbat jalan napas. Penderita yang mendapat
anestesi atau tidak dapat terjadi lariongospasme dan ini biasanya terjadi oleh
karena rangsangan jalan napas atas pada penderita stupor atau koma yang
dangkal. Sumbatan jalan napas dapat juga terjadi pada jalan napas bagian bawah,
dan ini terjadi sebagai akibat bronkospasme, masuknya isi lambung atau benda
asing ke dalam paru.
3
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Saluran Pernafasan
Berdasarkan letaknya saluran pernafasan terdiri dari saluran pernafasan atas
dan saluran pernafasan bawah yang mempunyai peranan penting dalam proses
pernafasan, yaitu untuk mengambil oksigen (O2) dari atmosfer ke dalam sel-sel
tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang dihasilkan sel-sel tubuh
kembali ke atmosfer. Secara anatomi, proses pernafasan ini dimulai dari hidung
sampai ke parenkim paru.
Saluran nafas atas dimulai dari hidung hingga faring. Udara masuk melalui
rongga hidung dan mengalami proses penghangatan, pelembaban, dan
penyaringan dari segala kotoran kemudian masuk ke daerah faring dan diteruskan
ke saluran nafas bawah (laring, trakea, bronki, bronkioli, dan alveoli). Di dalam
laring terdapat pita suara dan otot-otot yang dapat membuatnya bekerja. Di atas
laring terdapat epiglotis yang berfungsi sebagai pintu gerbang yang
menghantarkan udara yang menuju ke trakhea dan benda padat atau cairan ke
esophagus. Sedangkan di bawah laring terdapat trakea yang terdiri dari cincin-
cincin tulang rawan.
Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi
sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi
(pertukaran gas).
Saluran pernafasan pars konduksi terdiri rongga hidung, rongga mulut,
faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius atau bronkus
4
terminalis. Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara
atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan
disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti
proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini.
Gambar 1 Saluran pernafasan
Organ yang yang termasuk pars respirasi adalah bronkiolus respiratorius,
duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli. Pada bagian respirasi akan terjadi
pertukaran udara (difusi) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang
terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sakus alveolaris.
Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi
adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus
subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius.
5
Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris terdiri dari bronkus
utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai percabangan kedua,
bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus subsegmental sebagai
percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian
yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh
belas sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus
respiratorius dan percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang
merupakan percabangan duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah
percabangan terakhir yang seluruhnya merupakan bagian respirasi.
B. Fisiologi Pernafasan
Respirasi adalah proses mengambil oksigen dan melepaskan karbon
dioksida. Pernapasan manusia meliputi proses inspirasi dan ekspirasi. Inspirasi
adalah pemasukan udara luar ke dalam tubuh melalui alat pernapasan. Ekspirasi
adalah pengeluaran udara pernapasan dari alat pernapasan. Proses masuk
(inspirasi) dan keluarnya udara (ekspirasi) pada pernapasan berkaitan erat dengan
perbedaan volume dan tekanan udara. Proses inspirasi dan ekspirasi diatur oleh
kerja otot-otot diafragma dan otot-otot antar tulang rusuk. Empat fungsi utama
pernafasan yaitu, ventilasi paru, diffusi O2 dan CO2 antara alveoli dan darah,
transport O2 dan CO2 dalam darah dan cairan tubuh ke dan dari sel jaringan tubuh,
regulasi ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.
Sistem respirasi atau sistem pernafasan mencakup semua proses pertukaran
gas yang terjadi antara atmosfir melalui rongga hidung, faring, laring, trakea,
6
bronkus, bronkiolus, paru-paru, alveolus, dan sel-sel melalui dinding kapiler
darah.
Respirasi terdiri dari eksterna dan interna. Respirasi eksterna adalah
pertukaran O2 dan CO2 antara alveoli paru-paru dengan darah kapiler di sekitar
alveoli. Sedangkan respirasi interna adalah Pertukaran O2 dan CO2 antara darah di
kapiler tubuh dengan sel-sel jaringan tubuh.
Mekanisme pernapasan pada manusia ada dua macam yaitu pernapasan
perut dan pernapasan dada. Secara ringkas proses inspirasi dan ekspirasi pada
pernapasan dada dan pernapasan perut dijelaskan sebagai berikut.
1. Pernapasan dada atau costal breathing.
Inspirasi dimulai dari otot interkostalis eksterna yang berkontraksi.
Akibatnya, tulang-tulang rusuk terangkat ke atas dan menyebabkan rongga dada
dan volume paru-paru membesar sehingga tekanan udara di paru-paru lebih kecil
dibanding tekanan udara di atmosfer. Akibatnya udara luar masuk ke dalam paru-
paru. Sebaliknya, ketika ekspirasi otot interkostalis internal berelaksasi sehingga
tulang-tulang rusuk menjadi turun dan volume rongga dada pun menurun
sehingga tekanan udara di paru-paru lebih besar dibandingkan di atmosfer,
akibatnya udara keluar dari paru-paru ke atmosfer.
2. Pernapasan perut atau diaphragmatic breathing.
Pernapasan perut melibatkan aktivitas otot-otot diafragma yang membatasi
rongga perut dan rongga dada. Pada saat inspirasi abdomen bergerak ke arah luar
sebagai akibat berkontraksinya otot diafragma yang turun ke bawah secara
mendatar, sehingga rongga dada membesar dan menurunkan tekanan udara di
7
paru-paru. Pada saat ekspirasi otot-otot diafragma berelaksasi dengan cara
mengendur dan cenderung melengkung ke atas. Akibatnya, tekanan udara di
dalam paru-paru menjadi lebih tinggi karena volume rongga dada maupun rongga
paru-paru mengecil.
Proses pernapasan dimulai dari oksigen yang dihirup pada saat menarik
napas akan berdifusi masuk ke darah dalam kapiler darah yang menyelubungi
alveolus. Selanjutnya, sebagian besar oksigen diikat oleh zat warna darah atau
pigmen darah (hemoglobin) untuk diangkut ke sel-sel jaringan tubuh. Hemoglobin
yang terdapat dalam butir darah merah atau eritrosit ini tersusun oleh senyawa
hemin atau hematin yang mengandung unsur besi dan globin yang berupa protein.
Hasil pernapasan yang dikeluarkan adalah berupa CO2.
Sebenarnya reaksi pernapasan berupa pengolahan O2 menjadi energi dan
penglepasan CO2 tersebut dilakukan di dalam sel dan terjadi pada bagian yang
disebut mitokondria. Peristiwa respirasi di dalam sel ini disebut pula sebagai
oksidasi. Jadi, organ pernapasan berfungsi untuk mengambil udara pernapasan,
menampung, kemudian mendistribusikannya ke seluruh jaringan, serta
selanjutnya mengeluarkannya dalam bentuk udara hasil pernapasan.
Udara hasil pernapasan selain CO2 adalah H2O (uap air). Oleh karena
itulah, apabila kamu mengembuskan napas di kaca akan terbentuk titik-titik air.
Titik-titik air itu terjadi karena peristiwa pengembunan uap air hasil pernapasan.
Udara masuk melalui alveolus dengan cara difusi menembus dinding
alveolus dan masuk ke pembuluh darah kapiler. Selanjutnya oksigen berikatan
dengan hemoglobin sel darah merah membentuk oksihemoglobin dan diedarkan
8
ke seluruh tubuh. Disini oksigen berperan dalam proses oksidasi metabolisme
biologi. Karbon dioksida sebagai hasil osksidasi diangkut oleh darah menuju
paru-paru melewati jantung terlebih dahulu. Di paru-paru karbon dioksida
menembus dinding alveolus dengan cara berdifusi dan akan dihembuskan keluar
melalui alat pernafasan ketika bernafas.
C. Gangguan Jalan Nafas
Gangguan jalan nafas dapat timbul secara mendadak atau perlahan-lahan,
sebagian atau total, dan progresif atau berulang. Takipneu mungkin merupakan
tanda dini yang menunjukan adanya bahaya jalan nafas atau ventilasi. Oleh
karena itu penting untuk melakukan penilaian ulang terhadap kelancaran jalan
nafas dan kecukupan ventilasi. Khusunya penderita yang mengalami penurunan
kesadaran yang seringkali memerlukan pemasangan airway definitif.
Pembunuh tercepat adalah ketidakmampuan darah untuk memberikan
oksigen ke otak dan organ vital lainnya tau disebut hipoksia. Pencegahan hipoksia
memerlukan jalan nafas yang terlindungi, terbuka dan ventilasi yang adekuat
merupakan prioritas yang harus didahulukan dibandingkan keadaan lainnya.
Kematian dini karena masalah jalan nafas, dapat dicegah dan kematian
biasanya disebabkan oleh 1). Kegagalan mengetahui adanya kebutuhan oksigen,
2). Ketidak mampuan untuk membuka jalan nafas, 3). Kegagalan mengetahui
adanya kebutuhan ventilas, 4). Ketidak mampuan memberikan ventilasi yang
benar.
9
Sumbatan jalan nafas dapat dibedakan menjadi dua yaitu sumbatan total
dan sumbatan partial tetapi dapat juga timbul secara perlahan-lahan.
1) Sumbatan Jalan Nafas Total
Pada sumbatan jalan nafas total dapat berbeda pada penderita yang sadar
dan tidak sadar. Bila penderita sadar, penderita memegang leher dan gelisah,
sianosis mungkin ditemukan dan mungkin masih ada kesan masih bernafas
(walaupun tidak ada ventilasi). Bila penderita tidak sadar kadang tidak ada gejala
apa-apa, mungkin hanya sianosis saja. Dalam keadaan ini harus ditentukan
dengan cepat adanya sumbatan total. Bila ada sumbatan dikeluarkan dengan
sapuan jari (finger sweep) kedalam faring sampai dibelakang epiglotis. Apabila
tidak berhasil dan tidak ada perlengkapan sesuai (laringoskop, dan forsep) maka
dapat dilakukan Abdominal Thrust dalam keadaan penderita berbaring.
Sumbatan total biasanya disebabkan tertelannya benda asing yang lalu
menyangkut dan menyumbat di pangkal laring. Pada sumbatan total korban
biasanya tidak dapat bernafas, berbicara atau batuk dan
biasanya tampak memegangi leher. Sumbatan jalan nafas total bila
tidak dikoreksi dalam waktu 5 sampai 10 menit dapat mengakibatkan asfiksia
(kombinasi antara hipoksemia dan hiperkarbi), henti nafas dan henti jantung.
Sehingga diperlukan tindakan yang segera.
2) Sumbatan Jalan Nafas Partial
Sumbatan partial dapat menyebabkan kerusakan otak, henti nafas dan henti
jantung sekunder. Sumbatan jalan nafas parsial dapat disebabkan berbagai hal,
10
biasanya penderita masih dapat bernafas sehingga menimbulkan beraneka ragam
suara atau disebut suara nafas tambahan, tergantung dari penyebabnya :
Cairan (darah,sekret, aspirasi lambung) di daerah hipofaring
Timbul suara berkumur (gurgling), suara bernafas bercampur suara
cairan. Dalam keadaan ini tindakan yang dilakukan finger sweep,
penghisapan cairan (suction).
Pangkal lidah yang jatuh ke belakang
Keadaan ini dapat terjadi pada keadaan korban tidak sadar (koma), atau
patahnya tulang rahang bilateral. Timbul suara mengorok (snoring) yang
harus diatasi dengan perbaikan jalan nafas dengan atau tanpa alat (chin
lift, jaw thrust, pipa orofaring/nasofaring, pemasangan pipa
endotrakheal).
Penyempitan di laring atau trachea
Sumbatan jalan nafas yang terjadi perlahan-lahan dapat mengancam atau
potensial menjadi sumbatan total. Diperlukan kewaspadaan dalam
menangani kasus demikian karena pada saat-saat awal gejala tidak jelas
terlihat, sehingga tindakan terapi definitif harus dilakukan lebih dini.
Penyempitan di laring atau trachea dapat disebabkan edema karena
berbagai hal, misalnya luka bakar, radang, timbulnya hematom ataupun
desakan neoplasma. Timbul suara crowing atau stridor respiratoar.
Kejadian ini khas terjadi pada trauma inhalasi akibat luka bakar, yang
ditandai dengan luka bakar yang mengenai wajah atau leher, alis mata,
11
bulu mata, dan hidung hangus terbakar, lidah berwarna hitam karena
timbunan karbon, sputum berwarna hitam, riwayat terkurung dalam api.
D. Tanda Objektif Sumbatan Jalan Nafas
Pada keadaan penderita yang masih bernafas, mengenali ada tidaknya
sumbatan jalan napas dapat dilakukan dengan cara lihat (look), dengar (listen),
dan raba (feel).
1. Look
Tentukan apakah pasien mengalami agitasi atau penurunan kesadaran.
Agitasi menunjukkan kesan adanya hipoksemia yang mungkin disebabkan oleh
karena sumbatan jalan napas, sedangkan penurunan kesadaran memberi kesan
adanya hiperkarbia yang mungkin disebabkan oleh hipoventilasi akibat sumbatan
jalan napas.
Perhatikan juga gerak dada dan perut saat bernapas, normalnya pada posisi
berbaring waktu inspirasi dinding dada dan dinding perut bergerak keatas dan
waktu ekspirasi dinding dada dan dinding perut turun. Pada sumbatan jalan napas
total dan parsial berat, waktu inspirasi dinding dada bergerak turun tapi dinding
perut bergerak naik sedangkan waktu ekspirasi terjadi sebaliknya. Gerak nafas ini
disebut see saw atau rocking respiration.
Adanya retraksi sela iga, supra klavikula atau subkostal merupakan tanda
tambahan adanya sumbatan jalan napas. Sianosis yang terlihat di kuku atau bibir
menunjukkan adanya hipoksemia akibat oksigenasi yang tidak adekuat. Pada
penderita trauma perlu dilihat adanya deformitas daerah maksilofasial atau leher
12
serta adanya gumpalan darah, patah tulang, gigi, dan muntahan yang dapat
menyumbat jalan nafas.
2. Listen
Dengarkan suara pernafasannya dan ada tidaknya suara nafas tambahan.
Adanya suara napas tambahan berarti ada sumbatan jalan nafas parsial. Suara
nafas tambahan berupa dengkuran (snoring), kumuran (gargling), atau siulan
(crowing/stridor). Snoring disebabkan oleh lidah menutup orofaring, gargling
karena secret, darah, atau muntahan dan crowing/stridor karena anya penyempitan
jalan napas karena spasme, edema, dan pendesakan. Penderita yang melawan dan
berkata-kata kasar (gaduh gelisah) mungkin mengalami hipoksia dan tidak boleh
dianggap karena keracunan atau mabuk.
3. Feel
Diraba hembusan napas yang keluar dari lubang hidung atau mulut, dan ada
tidaknya getaran di leher waktu bernapas. Adanya getaran di leher menunjukkan
sumbatan parsial ringan. Pada penderita trauma perlu diraba apakah ada fraktur di
daerah maksilofasial, bagaimana posisi trachea.
E. Pengelolaan Jalan Nafas
Pengelolaan jalan nafas dapat dilakukan penghisapan (suction) dengan
kateter penghisap lunak( soft/flexible tipped) atau kateter rigid seperti yang
dipakai di kamar operasi (rigid tip). Untuk cairan (darah, sekret dsb) dapat dipakai
13
soft tip, tetapi untuk materi yang kental (sisa makana dsb) sebaiknya memakai tipe
yang rigid.
Soft tip kateter dapat dipakai untuk melakukan penghisapan daerah hidung
atau naso-farinks serta dapat dimasukkan melalui tube endo-tracheal. Rigid tip
dapat menyebabkan timbulnya refleks muntah bila tersinggung dinding farinks
atau bahkan dapat menimbulkan perdarahan. Walaupun demikian rigid tip lebih
disukai karena manipulasi alat lebih mudah dan penghisapan lebih efisien.
Cara melakukan suction rigid tip yaitu ujung tip harus selalu terlihat (jangan
suction membuta). Sedangkan memakai soft tip masuk ke arah naso-farinks harus
selalu diukur, jangan sampai terlalu jauh. Pada fraktur basis kranii alat yang
dimasukkan lewat hidung selalu ada kemungkinan masuk rongga tengkorak,
sehingga sucion melalui naso-farinks merupakan kontra-indikasi apabila dicurigai
ada fraktur basis kranii. Bila penderita muntah dan nampaknya suction tidak akan
menolong, maka kepala harus dimiringkan. Pada penderita trauma, maka jangan
sekali-kali memiringkan kepala saja, seluruh penderita harus dimiringkan dengan
cara “log roll”. Prosedur suction akan juga menghisap oksigen yang ada dalam
jalan nafas. Karena itu lamanya suction maksimal 15 detik pada orang dewasa dan
5 detik pada anak kecil.
1) Pembebasan jalan napas tanpa alat
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan
membebaskan jalan napas pada sumbatan jalan napas akibat lidah jatuh ke
belakang adalah sebagai berikut:
14
a. Head Tilt (ekstensi kepala)
Dengan menekan kepala (dahi) ke bawah maka jalan napas akan berada
dalam posisi yang lurus dan terbuka.
b. Chin Lift (angkat dagu)
Mengangkat dagu menggunakan jari dengan maksud lidah yang menyumbat
jalan napas dapat terangkat sehingga jalan napas terbuka. Jika dilakukan
dengan benar cara ini tidak akan banyak menimbulkan gerakan pada tulang
leher.
Gambar 2 Head Tilt dan Chin Lift
c. Jaw Thrust (mendorong rahang)
Mendorong rahang ke arah depan dengan maksud yang sama dengan chin lift.
Rahang diangkat ke atas oleh jari tengah di sudut rahang, dorongan di dagu
dilakukan dengan menggunakan ibu jari, dan jari telunjuk sebagai
penyeimbang di rahang.
15
Gambar 3 Jaw Thrust
Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempertahankan dan
membebaskan jalan napas pada sumbatan yang disebabkan oleh cairan adalah
sebagai berikut:
a. Finger Sweep
Teknik sapuan jari biasanya dilakukan pada penderita yang tidak sadar. Pada
tindakan ini, penolong menggunakan jarinya untuk membuang benda padat
atau cairan yang mengganggu jalan napas. Terlebih dahulu mulut korban
dibuka dengan menggunakan manuver Chin Lift atau Jaw Thrust,.Untuk
mengeluarkan cairan, dapat dibantu dengan menggunakan bahan yang mudah
menyerap cairan. Jangan memasukkan jari terlampau dalam karena bisa
menimbulkan rangsang muntah.
b. Recovery Position
Posisi ini dapat digunakan untuk membuang cairan dari rongga mulut atau
jalan napas. Jika cairan sulit keluar maka dapat dibantu dengan finger sweap.
Tindakan ini tidak dapat dilakukan pada korban dengan tanda adanya cedera
16
pada leher, tulang belakang, atau cedera lain yang dapat bertambah parah
akibat posisi ini.
Sumbatan jalan napas akibat benda asing padat paling sering ditemukan
pada korban yang tersedak (Chocking). Korban tersedak biasanya ditandai dengan
korban merasa seperti tercekik, paling sering berkaitan dengan makanan, sulit
berbicara, sianosis, penurunan keadaran. Usaha-usaha yang dilakukan untuk
menangani korban dengan sumbatan jalan napas yang diakibatkan oleh benda
padat (chocking), antara lain :
a. Back Blow – Back Slap
Tepukan pada punggung di antara kedua tulang belikat , dengan maksud
memberikan tekanan yang besar pada rongga dada, dapat dilakukan pada
semua usia –korban.
Pada korban yang masih sadar, tepukan punggung dapat dilakukan dalam
keadaan berdiri. Penolong menopang tubuh korban di bagian dada
menggunakan tangan terkuat, Tubuh korban sedikit dibungkukkan untuk
memudahkan benda asing keluar melalui mulut. Pada korban yang tidak sadar,
tepukan pada korban dapat dilakukan pada posisi korban miring stabil, dengan
syarat tidak ada cedera leher dan tulang belakang.
b. Abdominal Thrust
Tekanan pada perut di gunakan untuk memberikan tekanan pada rongga dada.
Tekanan dilakukan di daerah antara pusat dan processus xiphoideus. Pada
korban sadar dapat dilakukan sambil berdiri. Penolong seperti memeluk
korban dari belakang dan melakukan tekanan dengan kedua tangan ke arah
17
belakang atas. Pada korban tidak sadar, tekanan pada perut dapat dilakukan
dengan menaiki tubuh korban. Tekanan diberikan dengan sudut 45O ke arah
belakang atas.
Pertolongan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada korban anak-anak
dibawah usia 8 tahun, bayi, wanita hamil, dan orang gemuk.
c. Chest Thrust
Tekanan pada dada dilakukan dengan memberikan tekanan di daerah 2/3
processus xiphoideus. Pada orang dewasa tekanan diberikan dengan bantuan
berat badan penolong –sama dengan pijatan jantung luar. Sedangkan pada
bayi, tekanan cukup dilakukan dengan dua jari.
Semua usaha pembebasan jalan napas pada penderita tersedak dilakukan
sebanyak 5 kali, setalah itu lakukan evaluasi terhadap jalan napas, jika tidak
ada perbaikan, maka usaha tersebut dapat diulangi.
Bila usaha-usaha penanganan jalan napas telah dilakukan dan jalan napas
dinyatakan bebas, kembali lakukan penilaian (re-evaluasi), jika ditemukan
hembusan napas maka pertahankan jalan napas. Jika tidak ada hembusan napas
maka segera periksa pernapasan (breathing).
2) Pembebasan Jalan Napas dengan Alat Sederhana
a) Orofaringeal airway
Alat ini lebih lebih popular sebagai “guedel” walaupun ada tipe lain seperti
misalnya mayo atau williams. Satu hal yang harus diperhatikan adalah bahwa
18
orofaringeal airway tidak boleh dipasang pada penderita sadar atau penderita
setengah sadar yang berusaha menolak alat ini. Pemaksaan alat ini dapat
menimbulkan gag reflex atau muntah yang dapat menyebabkan aspirasi.
Gambar 4 Orofaringeal airway (kanan) dan cara pemasangannya (kiri)
Ukuran panjang oropharingeal airway dihitung dari sudut mulut ke angulus
mandibula. Pemasangan alat ini bisa dengan 2 cara, yaitu cara pertama mulut
dibuka lalu dimasukkan terbalik. Bila sudah mencapai palatum molle lalu
dilakukan rotasi. Sedangkan cara kedua, mulut dibuka dengan tong spatel, lalu
dengan berhati-hati dimasukkan kebelakang.
Tabel 1 Ukuran orofaringeal airway orang dewasaUkuran Orofaringeal Airway Orang
Dewasa
Large 5
Medium 4
Small 3
19
b) Nasofaringgeal airway
Tidak boleh dipasang bila ada kecurigaan fraktur basis kranii anterior (keluar
darah dari hidung atau mulut, ada “bril hematom” dsb), karena mungkin
masuk rongga otak. Panjang tube yang dapat dihitung dari pangkal cuping
hidung sampai cuping telinga. Diberikan pada penderita yang masih
memberikan respon karena lebih bisa diterima dan lebih kecil kemungkinan
untuk terjadinya muntah. Cara pemasangan yaitu selalu usahakan masuk
lubang hidung kanan, walaupun lubang kiri juga boleh, tube diberi pelumas,
lalu dimasukkan secara perlahan. bila ada hambatan, langsung ditarik keluar
dan dicoba sebelahnya, tube terlalu panjang bila setelah pemasangan tidak ada
hembusan udara melalui lumen dari tube (masuk kedalam esofagus).
Gambar 5 Nasofaringeal airway
c) Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal Mask Airway adalah alat jalan napas berbentuk sendok terdiri atas
pipa besar berlubang dengan ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat
dikembangkempiskan seperti balon pada pipa trakhea. Tangkai pipa LMA
20
dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral untuk
menjaga supaya lubang tetap paten.
Cara pemasangan LMA dapat dilakukan dengan atau tanpa bantuan
laringoskop. Sebenarnya alat ini dibuat dengan tujuan antara lain agar dapat
dipasang langsung tanpa bantuan alat dan dapat digunakan bila intubasi trakea
diramalkan akan mengalami kesulitan. LMA memang tidak dapat
menggantikan kedudukan intubasi trakea tetapi ia terletak di antara sungkup
muka dan intubasi trakea.
Pemasangan hendaknya menunggu anestesi cukup dalam atau menggunakan
pelumpuh otot untuk menghindari trauma rongga mulut faring-laring. Setelah
alat terpasang untuk menghindari tergigitnya pipa napas maka dapat dipasang
gulungan kain kasa atau pipa napas mulut faring (OPA).
Gambar Laryngeal Mask Airway
21
4. Pembebasan Jalan Nafas Definitif
Indikasi pemberian jalan napas definitif yaitu:
Kebutuhan untuk perlindungan airway
Kebutuhan untuk ventilasi
Tidak sadar Apneu Paralisis neuromuskuler Tidak sadar
Fraktur maksilofasial Usaha napas yang tidak adekuat Takipnea Hipoksia Hiperkabia Sianosis
Bahaya aspirasi Perdarahan Muntah-muntah
Cedera kepala tertutup berat yang membutuhkan hiperventilasi singkat bila terjadi penurunan keadaan neurologis
Bahaya sumbatan Hematoma leher Cedera laring trakea Stridor
a) Intubasi endotracheal (oro/nasotracheal intubation)
Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan
memposisikan pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff (balon)
ETT sebaiknya di tes terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan
stylet sebaiknya dimasukkan ke ETT.
Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala pasien
harus terlentang dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah
ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi
juga melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan napas yang dalam
dengan oksigen 100 %.
22
Gambar 6 Alat‐alat Intubasi Endotrakeal
Persiapan untuk intubasi antara lain :
a) Jalur intravena yang adekuat
b) Obat‐obatan yang tepat untuk induksi dan relaksasi otot
c) Pastikan alat suction tersedia dan berfungsi
d) Peralatan yang tepat untuk laringoskopi termasuk laringoskop dengan blade
yang tepat, ETT dengan ukuran yang diinginkan, jelly, dan stylet.
e) Pipa endotrakeal
Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi langsung ke trakea
dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa endotrakeal biasanya terbuat dari
plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan dari bentuk jalan napas
setelah dilembutkan karena terpapar dengan temperatur tubuh. Bahan dari ETT
juga harus bersifat radiopaq untuk mengetahui posisi ujung distal ke karina dan
transparan agar dapat dilihat sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya
pengembunan uap air pada lumen pipa selama ekshalasi. Bentuk dan rigiditas
ETT dapat diubah dengan penggunaan stylet. Ujung dari pipa dapat dimiringkan
23
untuk membantu penglihatan dan masuknya melewati pita suara. Pipa Murphy
memiliki lubang (Murphy Eye) untuk menurunkan risiko oklusi bagian bawah
pipa yang berbatas langsung dengan karina atau trakea. Resistensi aliran udara
terutama tergantung dari diameter pipa, tetapi juga dipengaruhi oleh panjang dan
lekukan pipa. Ukuran ETT biasanya didesain dalam millimeter dari diameter
internal, atau kadang kadang dalam skala French (diameter eksternal dalam
millimeter kali 3). Pemilihan diameter pipa selalu berdasarkan antara aliran
maksimal dengan ukuran besar dan trauma jalan napas yang minimal.
Tabel 1. Panduan ukuran pipa endotrakealUsia Diameter (millimeter) Panjang (centimeter)Bayi 3,5 12Anak 4+ usia/4 14+ usia/2Dewasa perempuan
7,0-7,5 24
Dewasa laki-laki 7,5-9,0 24
f) Cuff sistem pada pipa endotrakeal
Kebanyakan ETT untuk dewasa memiliki system inflasi cuff yang terdiri dari
valve, pilot balloon, inflating tube dan cuff. Valve mencegah udara keluar setelah
pengisian cuff. Pilot balloon menyediakan udara untuk pengisian cuff dan
berfungsi sebagai panduan. Inflating tube berfungsi untuk menghubungkan valve
dengan cuff dan menyatukan dengan dinding pipa. Dengan menutupi trakea, cuff
ETT memberikan tekanan positif dan dapat mengurangi aspirasi. ETT tanpa cuff
biasanya digunakan pada anak‐anak untuk meminimalisasi risiko trauma akibat
tekanan dan batuk setelah intubasi. Ada dua tipe utama dari cuff ETT yaitu high
pressure low volume dan low pressure high volume. Cuff yang high pressure
24
memiliki hubungan dengan iskemik dan kerusakan mukosa trakea sehingga
kurang cocok untuk intubasi yang lama. Cuff low pressure kemungkinan dapat
meningkatkan nyeri tenggorokan, aspirasi, ekstubasi spontan, dan kesulitan
insersi. Karena cuff low pressure kurang menyebabkan kerusakan mukosa, maka
cuff tipe ini lebih dianjurkan dalam pemakaiannya. Tekanan cuff tergantung dari
beberapa faktor antara lain inflasi volum, diameter cuff dan hubungannya dengan
trakea, regangan cuff dan trakea dan tekanan intratorakal. Tekanan cuff mungkin
meningkat selama anestesi umum yang disebabkan oleh perpindahan N2O dari
mukosa trakea ke dalam cuff ETT.
Cuff high volume low pressure dikatakan memiliki efek minimal terhadap
gangguan mukosa trakea dari pada cuff high pressure low volume. Cuff low
pressure kadang-kadang dengan mudah menjadi over inflasi sehingga
menghasilkan tekanan yang akan melewati tekanan perfusi kapiler.
Tekanan cuff ETT dihantarkan ke mukosa dan dinding trakea, ketika tekanannya
tinggi dapat menyebabkan iskemik pembuluh darah dan perubahan perubahan
mukosa lainnya seperti, kehilangan siliar, ulkus, perdarahan, subglotis stenosis,
trakeal oesophageal fistel dan granuloma.
g) Orofaringeal
h) Sumber oksigen, sungkup dengan ukuran yang tepat, ambu bag dan sirkuit
anestesi yang berfungsi
i) Monitor pasien termasuk elektrokardiografi, pulse oksimeter dan tekanan darah
noninvasive
j) Tempatkan pasien pada posisi Sniffing Position selama tidak ada kontraindikasi
25
k) Alat‐alat untuk ventilasi
l) Alat monitoring karbon dioksida untuk memastikan ETT dalam posisi yang
tepat.
Indikasi pemasangan ETT yaitu 1). Henti jantung dan sedang dilakukan
kompresi jantung luar, 2). Pasien-pasien dengan ventilasi yang tidak adekkuat
(walaupun o.s. sadar), 3). Melindungi airway (koma, areflexia, henti jantung)
4).Tidak dapat diventilasi dengan adekuat dengan cara-cara yang konvensional
pada pasien-pasien yang tidak sadar.
Komplikasi pemasangan ETT antara lain gigi patah, bibir laserasi,
perdarahan, hematom, ruptur trachea.
b) Intubasi nasotracheal
Apneu adalah kontraindikasi intubasi nasotracheal. Kontra indikasi yang lain
adalah fraktur tulang wajah yang berat atau fraktur basis cranii anterior.
c) Needle/surgical cricothyroidotomi
Ketidakmampuan intubasi trachea adalah indikasi jelas untuk surgical airway.
Bila edema glottis, fraktur larinks atau perdarahan oropharyngeal yang berat
menghambat intubasi trachea dapat dipertimbangkan surgical airway.
Pemasangan jarum (needle crico-thyroidotomy) merupakan cara sementara
untuk dalam keadaan emergensi memberikan oksigen sampai dapat dipasang
surgical airway.
Jet insufflation dilakukan memakai jarum ukuran 12 atau 14 (anak 16/18)
melalui membrane cricothyroid. Jarum kemudian dihubungkan dengan
oksigen pada flow 15 liter/menit (40-50 psi) dengan Y-connector, atau dengan
26
tube yang dilubangi pada sisinya. Kemudian dilakukan insufflasi 1 detik tutup,
4 detik buka dengan memakai ibu jari. Jet insfflation hanya dapat dilakukan
untuk 30-45 menit, karena CO2 akan terakumulasi secara perlahan (yang akan
berbahaya, terutama pada penderita trauma kapitis). Jet insufflation harus
berhati-hati bila ada sumbatan total glottis oleh benda asing. Walaupun ada
kemungkinan benda asing terdorong keluar oleh tekanan oksigen, namun ada
kemungkinan lain yakni rupture paru dengan pneumo-thorax. Dalam keadaan
ini flow oksigen hanya 5-7 liter/menit. Surgical needle cricothyroidotomy
dilakukan dengan insisi kulit sampai membrana cricothyroid.
d) Tracheostomy
Terdapat 4 dasar indikasi yaitu obstruksi saluran nafas atas, insuffisiensi
ventilasi akibat penumpukan secret, insuffisiensi mekanik, dan tindakan elektif
(operasi mayor pada kepala leher dan pasien dengan KU meragukan). Prinsip
dasar tindakan trakeostomi adalah prosedur sesederhana mungkin, level terendah
obstruksi harus ditentukan, perhatikan masalah medis lain yang berhubungan.
Tidak ada kontra indikasi mutlak untuk tindakan tracheostomy. Akan tetapi
tindakan ini harus ditangguhkan apabila terdapat tumor laring dengan OSNA
grade I, leher tidak stabil, dan hematom laring yang luas.
Keuntungan tracheostomy antara lain 1). Membebaskan jalan nafas di atas,
2). Mengurangi dead space, 3). Menurunkan resistensi aliran udara, 4).
Mengurangi kerja otot pernafasan, 5). Aspirasi cabang bronchial lebih mudah, 6).
Pernafasan penderita lebih bebas, 7). Media pemberian obat-obatan dan
humidifikasi, 8). Menurunkan tekanan batuk.
27
Sedangkan kerugian tindakan ini adalah filtrasi udara tidak sempurna,
humidifikasi tidak sempurna, segi kosmetik mengganggu, komplikasi tidak
diinginkan.
Jenis tracheostomy berdasarkan letak stoma antara lain trakeostomi letak
tinggi, trakeostomi letak tengah, dan trakeostomi letak rendah. Sedangkan
berdasarkan waktu dan cara melakukan tindakan yaitu trakeostomi emergensi,
trakeostomi elektif, dan Minitrakeostomi (krikotirodotomi dan trakeotomi
perkutaneus).
Ukuran / jenis kanul tergantung ukuran trakea dan kebutuhan individu.
Optimalnya diameter dalam leba, fungsinya menurunkan resistensi jalan nafas dan
diameter luar lebih kecil untuk mencegah stenosis.
Gambar 7 Jenis-jenis Kanul Trakeostomi
Cara pemasangan kanul trakeostomi yaitu kanul trakeostomi masuk ke
stoma, kemudian cek pasage udara, balon dikembangkan, dan suctioning.
Kemudian lakukan fiksasi kanul trakeostomi dan pasang kassa yang berfungsi
untuk menutup luka insisi dan mencegah terjadinya emfisema.
28
Gambar 8 Pemasangan trakeostomi
Perawatan Post Trakeostomi terdiri dari humidifikasi, suctioning dan
penggantian kanul. Humidifikasi dilakukan untuk mencegah infeksi trakea dan
terbentuknya krusta dengan menggunakan nebulizer. Bila terdapat krusta
tambahkan NaCl fisiologis. Sedangkan suctioning dilakukan untuk menjaga
kebersihan dan sumbatan dari secret.
Dekanulasi dilakukan bila terdapat komplikasi trakeostomi kondisi yang
memerlukan trakeostomi menetap dan faktor individual. Komplikasi trakeostomi
dibagi menjadi komplikasi intra operatif / segera dan komplikasi lanjut.
Komplikasi intra operatif / segera antara lain, Apneu, Perdarahan,
Emfisema sub kutan, Pneumo mediastinum, Pneumotoraks, Cedera Kartilago
krikoid, Trakeitis dan trakeobronkitis, Fistula trakeaesofageal, Paralisis N.
laringeus rekuren, Malposisi kanul, Obstruksi Kanul.
Sedangkan komplikasi lanjut antara lain Perdarahan terlambat, Stenosis
trakea, Fistula trakeoesofageal terlambat, Disfagia, Fistula trakeokutaneus,
29
Infeksi, Malposisi kanul, Cardiac arrest, Jaringan parut leher, Trakeomalasia,
Dekanulasi sulit.
F. Algoritma Penanganan Gangguan Jalan Nafas
ALS (ADVANCED LIFE SUPPORT)
Exposure, Evaluasi & Secondary Survey (bleeding, bebat-bidai)
Pasien tidak sadar
Call for help
Bernafas Tidak bernafas/Gasping
pertahankan jalan nafas bebas beri oksigen/nafas bantuan
raba arteri radialis
Pijat jantung 1 siklus raba carotis 10”
ada tidak ada tidak ada ada
posisi shock pasang infus
ekstra cairan
CPR 30 : 2, 2 menit pasang monitor
Nafas buatan, teruskan, evaluasi
manajemen shock shockable un-shockable
Bebaskan jalan nafas (hed tilt, chin lift, jaw
thrust)Look : pengembangan dada, retraksi intercosta Listen : dengarkan, suara tambahan (sumbatan parsial: snoring, gargling, crowing) Feel : rasakan hawa nafasnya
30
Keperluan Segera Airway Defintif
Kecurigaan cedera sevikal
Oksigenasi/Ventilasi
BenafasApneu
Intubasi Nasotrakeal atau orotrakeal dengan
imobilisasi servikal segaris
Intubasi orotrakeal dengan imobilisasi
servikal segaris
Tidak dapat intubasi
Cedera maksilofasial berat
Tambahan Farmakologik
Airway Surgical
Tidak dapat intubasiTidak dapat intubasi
Intubasi orotrakeal
Tidak dapat intubasi
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore, K.L., Agur, A.M.R. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates. Jakarta.2002
2. Guyton, A.C., Hall, J.E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. EGC. Jakarta.2006
3. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Saving. Edisi 7. IKABI. Jakarta. 2004.
4. Boies, L.R., et al. Boies; Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke-6. EGC. Jakarta. 1997.
5. De Jong, W. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta. 2005