34
MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM “AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag. Di susun oleh : FEBRIANA RAHMADANI JURUSAN SYARIAH ( PBS ) SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)JURAI SIWO METRO 2012

AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA

Citation preview

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

“AGAMA SEBAGAI SASARAN PENELITIAN BUDAYA”

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mandiri

Dosen Pengampu : Dra. Siti Nurjanah, M.Ag.

Di susun oleh :

FEBRIANA RAHMADANI

JURUSAN SYARIAH ( PBS )

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI

(STAIN)JURAI SIWO METRO

2012

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis hantarkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat

limpahan Rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang

berjudul “Islam pada masa kini” tepat pada waktunya.

Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada rekan-rekan, sahabat, orang tua serta

dosen pengampu yakni Dra. Siti Nurjanah, M.Ag, atas segala bantuan berupa

bimbingan maupun berupa dukungan dalam menyelesaikan makalah ini dalam rangka

memenuhi tugas mandiri yang diberikan oleh dosen yang bersangkutan.

Penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya dalam penyempurnaan

makalah mandiri ini. Semoga dengan adanya kritik dan saran yang diberikan,

makalah ini dapat lebih baik dari sebelunnya. Atas saran dan kritiknya penulis

ucapkan terima kasih.

Metro, November 2012

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

....................................................................................................................................

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

....................................................................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

1.1 Latar belakang masalah ............................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian Penelitian dan Penelitian Agama

2. Peta Penelitian Keagamaan

3. Model-Model Penelitian Keagamaan

4. Agama-Agama Dipandang Dari Segi Sejarahnya

5. Pendekatan Kebudayaan

6. Pendekatan Kebudayaan dan Agama

BAB III PENUTUP

1. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari

suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga

berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan.

Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga

terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan

masa lalu melalui penemuan-penemuan baru. Penelitian itu sendiri dipandang sebagai

kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah

sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan

kesangsian sistematis.

Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek

penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat

yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi

sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan

metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Hal yang sama juga

dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai

objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu

yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki

kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti. Menurut Harun Nasution, agama

mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan

melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat

dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu

memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan

para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua. Ajaran

dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar,

kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama

terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil

pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama

yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan

perkembangan zaman. Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga

merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari

kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama

dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan

memperoleh pengaruh dari agama.

Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau

filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial

berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i Mufid, kita

tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial terhadap

agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan demikian kedudukan

penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang

membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.

Sasaran penelitian agama dapat berupa doktrin agama yang dianut oleh pemeluk

agama. Ia merupakan aspek normatif dalam kehidupan beragama, baik yang masih

dalam ranah keyakinan maupun dalam ranah wacana dan panduan dalam bertindak

(beramal). Selain itu, sasaran penelitian agama dapat berupa proses sosialisasi ajaran

agama dalam kehidupan umat beragama dan proses transformasi ajaran agama dalam

berbagai aspek kehidupan. Hal itu menunjukkan bahwa agama dalam kehidupan

manusia mengalami dinamika, baik sebagai faktor determinan maupun yang

mengalami penyesuaian diri dengan perubahan dalam kehidupan umat manusia.

Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat

aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib,

khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya,

dan manusia dengan lingkungannya”. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai

sebuah doktrin atau teks suci sedangkan hubungan agama dengan manusia yang

meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut

tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya

Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan

masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masing-

masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya

mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan

masyarakatnya.

Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk

memahami hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia, Michael Banton telah

mengedit sebuah buku yang berjudul “Anthropological Approaches to the Study of

Religion, yang diterbitkannya pada tahun 1966. Diantara tulisan-tulisan yang ada

dalam buku tersebut, yang kemudian menjadi klasik karena sampai dengan sekarang

ini masih diacu dalam berbagai tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford

Geertz yang berjudul Religion as a Cultural System. Tulisan Geertz inilah yang telah

menginspirasikan dan menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama

yang dilakukan oleh para ahli Antropologi. Tulisan berikut ini juga mengacu pada

teori Geertz mengenai agama sebagai sistem budaya, walaupun dalam rinciannya

tidaklah sama dengan teori Geertz tersebut.

Sedangkan kebudayaan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996: 149),

disebutkan bahwa: “ budaya “ adalah pikiran, akal budi, adat istiadat. Sedang

“kebudayaan” adalah hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia, seperti

kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Ahli sosiologi mengartikan kebudayaan

dengan keseluruhan kecakapan (adat, akhlak, kesenian, ilmu dll). Definisi-definisi

tersebut menunjukkan bahwa jangkauan kebudayaan sangatlah luas.

Jadi, Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama

diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan

masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga masyarakat tersebut. Agama

dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan yang dipunyai oleh

sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan yang kudus dan sakral yang

dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang

menjadi ciri dari kebudayaan.

Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan

maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam

masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab

suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam

masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan

kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi

pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus

melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang

bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus

dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur

kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak

terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.

Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari

kebudayaan tersebut.

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi

bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka

berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan

berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan

moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam

masyrakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari

kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan

moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis

mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.

Apakah gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama.

Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak

keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan

kedua, sebagai hasil lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat

mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga

masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa

harus menimbulkan pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang

ketiga, seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita

punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan

memahami kondisi lokal tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap

aspek-aspek lokal tersebut, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari

keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-

perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya

akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat

tersebut karena tidak sesuai dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup

masyarakat tersebut.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Penelitian dan Penelitian Agama

Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari

suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga

berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan.

Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga

terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan

masa lalu melalui penemuan-penemuan baru.

Penelitian itu sendiri dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan

metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah sendiri adalah usaha untuk mencari

jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.

Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek penelitian yang

sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat yang menyatakan

bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi sasaran penelitian ilmu

sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan metode khusus yang

berbeda dengan metode ilmu sosial.

Hal yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau

menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah menjadi bahan

perdebatan, karena agama merupakan sesuatu yang transenden. Agamawan

cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga tidak1

perlu diteliti. Menurut Harun Nasution, agama mengandung dua kelompok ajaran.

Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan melalui rasul-Nya kepada masyarakat

manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran

yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan penjelasan tentang arti dan cara

pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan para pemuka atau pakar agama membentuk

ajaran agama kelompok kedua.

Ajaran dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut,

mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli

agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil

pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama

yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan

perkembangan zaman. Para ilmuwan sendiri beranggapan bahwa agama juga

merupakan objek kajian atau penelitian, karena agama merupakan bagian dari

kehidupan sosial kultural. Jadi, penelitian agama bukanlah meneliti hakikat agama

dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia yang menghayati, meyakini, dan

memperoleh pengaruh dari agama. Dengan kata lain, penelitian agama bukan meneliti

kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan

sistem sosial berdasarkan fakta atau realitas sosial-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’i

1 Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38

Mufid, kita tidak mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian sosial

terhadap agama (Ahmad Syafi’i mufid dalam Affandi Mochtar). Dengan demikian

kedudukan penelitian agama adalah sejajar dengan penelitian-penelitian lainnya, yang

membedakannya hanyalah objek kajian yang ditelitinya.

Sebagian pihak tidak setuju, jika penelitian agama betujuan bukan untuk

meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi bagaimana agama itu ada dalam

kebudayaan dan sistem sosial. Seandainya itu digunakan, maka kebenaran suatu

agama akan diabaikan atau tidak mencari agama mana yang paling benar. Dan ini

akan membuat agama islam disejajarkan dengan agama-agama yang lain. Karena

penelitian ini hanya melihat dari sisi bagaimana suatu agama itu ada dalam

kebudayaan masyarakat tertentu, misalnya mengapa ajaran tarekat mudah diterima

dimasyarakat jawa, itu sebabnya karena masyarakat jawa masih banyak yang

mempercayai akan benda-benda mistis dan kemampuan alam ghaib. Dan dalam

penelitian agama yang seperti ini, kebudayaan-kebudayaan yang ada diberbagai

masyarakat tidak disalahkan atau dibenarkan, hanya sekedar untuk mengetahui

bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan masyarakat. Dan kalau dimasukkan

kedalam agama islam, maka kebudayaan-kebudayaan yang seperti tarekat yang

diterima di masyarakat jawa dan kiyai slamet yang sangat diagung-agungkan di

masyarakat Jawa Tengah, khususnya Yogya, akan dianggap bahwa itulah ajaran

islam.

Dalam mempermudah peta penelitian agama, kita dapat memahaminya melalui tabel

berikut:

2. Peta Penelitian Keagamaan

Dengan demikian, agama dalam pengertian yang kedua, menurut Harun

Nasution, dapat dijadikan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode

khusus yang berbeda dengan metode yang lain.

Jadi pendapat Harun Nasution mengenai penjelasan-penjelasan tentang ajaran-ajaran

yang terdapat dalam kitab-kitab suci oleh para pemuka atau pakar agama membetuk

ajaran agama kelompok kedua bersifat nisbi, relatif dan dapat dirubah sesuai

perkembangan zaman tidak sesuai dengan ajaran islam, sebagai contohnya Rasulallah

menjelaskan tata cara shalat, sedangkan didalam kitab suci tidak diterangkan tata cara

shalat, dan tata cara shalat ini sendiri bersifat qot’i/ tidak bisa dirubah. Kalau menurut

Harun Nasution berarti penjelasan-penjelasan Rasulallah tentang tata cara shalat

berarti bersifat nisbi dan dapat dirubah.

Sedangkan menurut M. Atho Mudzhar mengatakan bahwa perbedaan antara

penelitian agama dengan penelitian keagamaan perlu disadari karena perbedaan

tersebut membedakan jenis metode penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian

agama yang sasarannya adalah agama sebagai doktrin, pintu bagi pengembangan

suatu metodologi penelitian tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang

merintisnya. Adanya ilmu ushul fiqh sebagai metode istinbath hukum dalam agama

islam dan ilmu musthalahul hadist sebagai metode untuk menilai akurasi sabda Nabi

Muhammad saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk mengembangkan

metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama ini pernah muncul.

Persoalan berikutnya ialah, apakah kita hendak menyempurnakannya atau

2meniadakannya sama sekali dan menggantinya dengan yang baru, atau tidak

menggantinya sama sekali dan membiarkannya tidak ada. Sedangkan untuk penelitian

keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala sosial, kita tidak perlu membuat

metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian sosial

yang telah ada.

Dengan kata lain bahwa pendapat M. Atho Mudzhar sama dengan pendapat

yang dikemukakan Harun Nasution, kalau penelitian agama sama dengan ajaran

agama kelompok pertama dan penelitian keagamaan sama dengan ajaran agama

kelompok kedua menurut Harun nasution. Dalam pandangan Juhaya S. Praja,

penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, dan pemikiran serta

pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung

didalamnya. Dengan demikian, jelas juhaya, terdapat dua bidang penelitian agama,

yaitu sebagai berikut;

a. Penelitian tentang sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu

tafsir dan ilmu hadist.

b. Pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran yang terkandung dalam sumber

ajaran agama itu.

2 Penelitian Dadang Kahmad (1998) tentang Pengikut Tarekat di Perkotaan, merupakan salah satu

produk penelitian yang menghubungkan antara modernisasi dengan perilaku keagamaan pengikut

Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN) di Kota Bandung.

Sedangkan penelitian hidup keagamaan adalah penelitian tentang praktik-

praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif.

Berdasarkan batasan tersebut, penelitian hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.

a. Perilaku individu dan hubungannnya dengan masyarakatnya yang didasarkan

atas agama yang dianutnya.

b. Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya

maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu

agama.

c. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya

masyarakat beragama.

Dalam hal ini, pendapat yang dikemukakan oleh Juhaya S. Praja ada

kesamaan dengan pendapat Harun Nasution dan M. Atho Mudzhar, akan tetapi

Juhaya membagi penelitan agama menjadi dua bidang, yang pada intinya

pendapatnya sama dengan pendapat Harun Nasution tentang ajaran agama kelompok

pertama. Sedangkan penelitian keagamaan menurut Juhaya adalah penelitian hidup

keagamaan, yaitu penelitian terhadap praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan

oleh manusia secara individual dan kolektif.

3. Model-Model Penelitian Keagamaan

Adapun model penelitian yang ditampilkan di sini disesuaikan dengan

perbedaan antara penelitian agama dan penelitian keagamaan. Akan tetapi, disini

3dikutip karya Djamari mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara

tidak langsung memperlihatkan model-model penelitian agama melalui pendekatan

sosiologis. Djamari, dosen pascasarjana IKIP Bandung, menjelaskan bahwa kajian

sosiologi agama menggunakan metode ilmiah. Yaitu:

1. Analisis Sejarah

Dalam hal ini, sejarah hanya sebagai metode analisis atas dasar pemikiran

bahwa sejarah dapat menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung

timbulnya suatu lembaga, dan pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti

karakter agama dengan meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain.

Seperti halnya agama Islam, sejarah mencatat bahwa ia adalah agama yang

diturunkan melalui Nabiya yaitu Muhammad Saw berdasarkan kitab sucinya yaitu

Al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa arab. Islam diturunkan bukan untuk satu bangsa

saja melainkan untuk seluruh bangsa secara universal. Sedangkan agama lain ada

yang hanya diturunkan untuk satu bangsa saja seperti yahudi untuk ras yahudi saja.

Pendekatan sejarah dalam memahami agama dapat membuktikan apakah agama itu

masih tetap pada orisinalitasnya seperti ketika ia baru muncul atau sudah bergeser

jauh dari prinsip-prinsip utamanya. Bila hal itu dihubungkan dengan agama islam

maka ia dapat dimasukkan pada kategori agama yang bertahan konsisten dengan

ajaran seperti pada masa awalnya.

3 Ibid, hal. 56

4. Agama-Agama Dipandang Dari Segi Sejarahnya

a. Analisis lintas budaya

Analisis lintas budaya bisa diartikan dengan ilmu antropologi, karena dilihat

dari definisi antropologi sendiri secara sederhana dapat dikatakan bahwa antripologi

mengkaji kebudayaan manusia.

Islam sebagai agama yang dibawa oleh Muhammad saw sampai saatnya kini telah

melalui berbagai dimensi budaya dan adat-istiadat. Masing-masing negeri memiliki

corak budayanya masing-masing dalam mengekspresikan agamanya. Karena itu dari

segi antropologi kita dapat memilah-milah mana bagian islam yang merupakan ajaran

murni dan mana ajaran islam yang bercorak lokal budaya setempat.

b. Eksperimen

Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan dalam

penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal,eksperimen dapat dilakukan dalam

penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar dari beberapa

model pendidikan agama.

c. Observasi partisipatif

Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat mengobservasi perilaku orang-

orang dalam konteks relegius. Baik diketahui atau tidak oleh orang yang sedang

45diobeservasi. Dan diantara kelebihannya yaitu memungkinkannya pengamatan

simbolik antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun kelemahannya yaitu

terbatasnya data pada kemampuan observer.

d. Riset survei dan analisis statistic

Penelitian survei dilakukan dengan penyusunan kuesioner, interview dengan

sampel dari suatu populasi. Sampel bisa berupa organisasi keagamaan atau penduduk

suatu kota atau desa. Prosedur penelitian ini dinilai sangat berguna untuk

memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan tertentu dengan sikap sosial

atau atribut keagamaan tertentu.

e. Analisis isi

Dengan metode ini, peneliti mencoba mencari keterangan dari tema-tema

agama, baik berupa tulisan, buku-bukukhotbah, doktrin maupun deklarasi teks, dan

lainnya. Umpamanya sikap kelompok keagamaan dianalisis dari substansi ajaran

kelompok tersebut. Dari model-model penelitian keagamaan diatas muncul

pertanyaan bagi kita semua, apakah dari model-model penelitian keagamaan diatas

bisa bermanfaat bagi agama islam? Atau justru dapat mengkaburkan agama islam itu

sendiri? Sebuah pertanyaan yang patut kita renungkan bersama. Menurut hasil

4 Didin Saefuddin Buchori, Metodologi Studi Islam, Bogor: Granada Sarana Pustaka, 2005, cet.I, hal.

118 5 http://www.fshuinsgd.ac.id/2012/04/agama-sebagai-sasaran-penelitian/

penelitian M. Atho Mudzhar (1993: 126), pokok-pokok isi fatwa MUI tentang

keluarga berencana adalah sebagai berikut ini. Pertama, Islam membenarkan

pelaksanaan keluarga berencana yang ditujukan demi kesehatan ibu dan anak, dan

demi kepentingan pendidikan anak. Pelaksanaannya harus dilakukan atas dasar

sukarela, dan menggunakan alat kontrasepsi yang tidak dilarang oleh Islam. Kedua,

pengguguran kandungan dalam bentuk apa pun dan pada tingkat kehamilan kapan

pun diharamkan oleh Islam karena perbuatan itu tergolong pembunuhan. Ini termasuk

pengaturan waktu haid dengan menggunakan pil. Pengecualian hanya diberikan

apabila pengguguran dilakukan demi menolong jiwa si ibu. Ketiga, vasektomi dan

tubektomi dilarang dalam Islam, kecuali dalam keadaan darurat, seperti untuk

mencegah menjalarnya penyakit menular atau untuk menolong jiwa orang yang

hendak menjalani vasektomi atau tubektomi. Keempat, penggunaan IUD dalam

keluarga berencana dibenarkan, asalkan pemasangannya dilakukan oleh dokter wanita

atau, dalam keadaan tertentu, oleh dokter lelaki dengan dihadiri oleh kaum wanita

lain atau suami pasien.

Uraian ringkas di atas menunjukkan tentang suatu hubungan timbalbalik

antara agama dengan pertumbuhan penduduk. Hubungan itu, secara umum,

mencakup tiga unsur. Pertama, unsur norma sosial yang bersumber dari ajaran agama

yang dijadikan dasar keabsahan perkawinan dan norma interaksi suami isteri. Kedua,

unsur perilaku manusia, yakni interaksi suami isteri dan antar ulama dalam proses

perumusan fatwa MUI. Ketiga, unsur biologis, yakni proses reproduksi yang berawal

dari persetubuhan suami isteri. Unsur norma sosial secara umum berpengaruh

terhadap unsur perilaku manusia dan unsur biologis secara khusus. Unsur perilaku

manusia secara umum berpengaruh terhadap unsur norma sosial dan unsur biologis

secara khusus. Demikian pula, unsur biologis secara umum berpengaruh terhadap

unsur norma sosial dan unsur perilaku manusia secara khusus.

Apa yang dikemukakan di atas menunjukkan tentang sosok agama dalam

konteks kehidupan manusia yang mengalami perubahan. Ia merupakan salah satu

wujud sasaran penelitian agama yang dapat dipahami dan dijelaskan menurut sudut

pandang tertentu. Di samping itu, sasaran penelitian agama dapat berupa doktrin

agama yang dianut oleh pemeluk agama. Ia merupakan aspek normatif dalam

kehidupan beragama, baik yang masih dalam ranah keyakinan maupun dalam ranah

wacana dan panduan dalam bertindak (beramal). Selain itu, sasaran penelitian agama

dapat berupa proses sosialisasi ajaran agama dalam kehidupan umat beragama dan

proses transformasi ajaran agama dalam berbagai aspek kehidupan. Hal itu

menunjukkan bahwa agama dalam kehidupan manusia mengalami dinamika, baik

sebagai faktor determinan maupun yang mengalami penyesuaian diri dengan

perubahan dalam kehidupan umat manusia.

Atas perihal tersebut dapat disusun sasaran penelitian agama berdasarkan

pembidangan ilmu agama Islam sebagaimana berikut ini. Pertama, bidang Qur’an

antara lain: (1) hubungan antara nuzūl al-Qur’ān dengan tugas kerasulan Nabi

Muhammad Saw. pada periode Makkah dan Madinah; (2) penerjemahan dan

penafsiran Qur’an dalam perspektif sejarah Islam; (3) pengajaran Qur’an dalam

6kelompok sosial tertentu; (4) transformasi Qur’an dalam penataan kehidupan

bernegara, organisasi kemasyarakatan dan kemahasiswaan; (5) pengajaran tafsir

dalam lingkungan pesantren dan perguruan tinggi; (6) relasi antara tradisi pembacaan

Qur’an dengan kebudayaan lokal; dan (7) apresiasi terhadap Qur’an, antara lain

melalui musabaqah tilawatil Qur’an.

Kedua, bidang Hadis antara lain: (1) hubungan antara asbāb al-wurūd (al-

Sunnah) dengan tradisi lokal dan misi kerasulan Nabi Muhammad Saw.; (2)

pengumpulan dan pembukuan hadis dalam konteks tradisi besar; (3) penyebarluasan

kitab hadis dalam konteks sejarah Islam; (5) apresiasi masyarakat terhadap hadis

sebagai sumber ajaran Islam; (4) pengajaran hadis dalam lingkungan pesantren dan

perguruan tinggi; dan (6) hubungan antara penggunaan hadis dengan masalah dan

peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Ketiga, bidang pemikiran antara lain: (1)

hubungan antara matarantai intelektual dengan produk pemikiran kalam; (2)

hubungan antara paham teologi dengan etos kerja dan pertumbuhan ekonomi; (3)

hubungan antara kebudayaan dengan perkembangan tasawuf; (4) hubungan antara

keanggotaan tarekat dengan dinamika kebudayaan lokal; (6) tarekat dalam

masyarakat desa dan masyarakat kota; (5) tarekat dalam lingkungan pesantren; (6)

interaksi antar kelompok penganut aliran paham keagamaan; dan (7) paham

keagamaan dalam organisasi keagamaan dan kemasyarakatan yang berorientasi

nasional. Keempat, bidang hukum Islam antara lain: (1) madzhab fiqh dalam

6 A. Mukti Ali, metode memahami agama islam, Jakarta: Bulan bintang, 1991, hal. 37-38

perspektif sejarah Islam; (2) hubungan antara penyebarluasan dan kepenganutan

madzhab fiqh dengan struktur dan pola kebudayaan; (3) internalisasi hukum Islam ke

dalam pranata sosial di Indonesia; (4) interaksi antara hukum Islam dengan kaidah

lokal; (5) difusi hukum Islam dalam tradisi lokal; (6) transformasi hukum Islam

dalam peraturan perundang-undangan; dan (7) transformasi hukum Islam dalam

berbagai bidang kehidupan domestik dan publik (ekonomi dan politik). Kelima,

bidang sejarah peradaban Islam antara lain: (1) hubungan antara gagasan dan tradisi

politik dengan perkembangan imperium dalam perspektif sejarah Islam; (2) hubungan

antara islamisasi dengan tradisi intelektual di dunia Islam; (3) hubungan antara

kehidupan beragama dengan kebudayaan lokal; (4) hubungan antara agama dengan

basis orientasi kultural; (5) interaksi antara agama dengan tradisi lokal; (6) hubungan

antara tradisi besar dengan wacana intelaktual di dunia Islam; dan (7) hubungan

antara implementasi ajaran agama dengan gerakan sosial, pemberontakan, dan

revolusi dalam perspektif sejarah. Keenam, bidang bahasa dan sastra Arab antara lain:

(1) difusi kebudayaan Arab dalam konteks kebudayaan lokal; (2) transformasi bahasa

Arab ke dalam kosakata bahasa daerah; (3) transformasi bahasa Arab dalam institusi

sosial di Asia Tenggara; (4) tradisi pembacaan syi’ir Arab dalam kebudayaan lokal;

(5) interaksi antara bahasa Arab dengan bahasa asing lain dalam proses

pengembangan bahasa Indonesia; dan (7) pengajaran bahasa Arab dalam lingkungan

pesantren dan perguruan tinggi agama Islam. Ketujuh, bidang pendidikan Islam

antara lain: (1) proses integrasi pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional;

(2) kebijakan pendidikan agama dalam lingkungan sekolah; (3) hubungan antara

teknologi dan masyarakat dengan kurikulum pendidikan agama; (4) pengajaran

agama dalam lingkungan sekolah dan pesantren; (5) partisipasi masyarakat dalam

program wajib belajar dalam lingkungan madrasah; (6) pandangan orang tua terhadap

pendidikan agama di sekolah dan madrasah, dan (7) hubungan antara tradisi belajar

dengan perkembangan psikologis di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kedelapan,

bidang dakwah Islam, antara lain: (1) majelis taklim dalam masyarakat desa dan

masyarakat kota; (2) hubungan antara penyelenggaraan majelis taklim dengan

solidaritas dan pengendalian sosial; (4) pengorganisasia tabligh lintas kawasan; (5)

bimbingan agama dalam kelompok sosial tertentu; (6) penyelenggaraan dakwah di

kalangan organisasi kemasyarakatan yang berorientasi nasional; (7) penyiaran dan

penerbitan buku keagamaan dalam konteks perkembangan teknologi komunikasi dan

grafika; dan (8) manajemen organisasi keagamaan dalam konteks pengorganisasian

negara dan otoritas pemerintahan negara.

Sasaran penelitian tersebut masih bersifat umum. Ia memerlukan pembatasan

secara spesifik. Di samping itu, dapat dilengkapi dengan sasaran penelitian lain dari

aspek yang bervariasi. Selanjutnya dapat disusun fokus penelitian sesuai dengan

pilihan peneliti. Selamat berkreasi.

5. Pendekatan Kebudayaan

Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata

pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang

awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses

mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu

tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah

kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi.

Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut

pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji. Sehingga

dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut atau cara

pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang

tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai

metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai

kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah mendefinisikan konsep

kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.

Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep

kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini

kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1)

gagasan; (2) kelakuan; dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini

maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada

dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan oleh manusia

adalah kebudayaan. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan

atau penelitian; dan, bukannya pendekatan atau metodologi untuk pengamatan,

penelitian atau kajian. Karena tidak mungkin untuk menggunakan keseluruhan

gagasan, kelakuan, dan hasil kelakuan, sebagai sebuah sistem yang bulat dan

menyeluruh untuk dapat digunakan sebagai kecamata untuk mengkaji kelakuan atau

gagasan atau hasil kelakuan manusia. Ketidak mungkinan tersebut disebabkan

karena: (1) Gagasan sebagai ide atau pengetahuan tidaklah sama hakekatnya dengan

kelakuan dan hasil kelakuan. Pengetahuan tidak dapat diamati sedangkan kelakuan

atau hasil kelakuan dapat diamati dan/atau dapat diraba. (2) Kelakuan dan hasil

kelakuan adalah produk atau hasil pemikiran yang berasal dari pengetahuan manusia.

Jadi hubungan antara gagasan atau pengetahuan dengan kelakuan dan hasil kelakuan

adalah hubungan sebab akibat; dan karena itu gagasan atau pengetahuan tidaklah

dapat digolongkan sebagai sebuah golongan yang sama yang namanya kebudayaan.

Dalam berbagai tulisan saya, antara lain (1986), telah saya kemukakan bahwa

kebudayaan adalah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya

oleh masyarakat tersebut. Bila kebudayaan adalah sebuah pedoman bagi kehidupan

maka kebudayaan tersebut akan harus berupa pengetahuan yang keyakinan bagi

masyarakat yang mempunyainya. Dengan demikian, maka dalam definisi kebudayaan

tidak tercakup kelakuan dan hasil kelakuan; karena, kelakuan dan hasil kelakuan

adalah produk dari kebudayaan. Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat,

kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat tersebut untuk menginterpretasi dan

memahami lingkungan hidupnya dan mendorong serta menghasilkan tindakan-

tindakan untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam lingkungan

hidup tersebut untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat

digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan

berisikan sistem-sistem penggolongan atau pengkategorisasian yang digunakan untuk

membuat penggolongan-penggolongan atau memilih-milih, menseleksi pilihan-

pilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan

demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode

untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan

tersebut. Sebagai sebuah pedoman bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan

maka kebudayaan berisikan konsep-konsep, resep-resep, dan petunjuk-petunjuk untuk

dapat digunakan bagi menghadapi dunia nyata supaya dapat hidup secara biologi,

untuk dapat mengembangkan kehidupan bersama dan bagi kelangsungan

masyarakatnya, dan pedoman moral, etika, dan estetika yang digunakan sebagai

acuan bagi kegiatan mereka sehari-hari. Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai

pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang

ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam

setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki yang ada dalam setiap kebudayaan.

Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai

budaya ini terdiri atas dua kategori, yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi

oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan

tersebut yang dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View; dan yang

kedua, yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-

hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.

Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan

bagi para warga masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa

menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama

sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi

tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya.

Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol dan tanda-tanda yang secara

bersama-sama mereka pahami maknanya maka mereka juga tidak akan saling salah

paham. Pada tingkat perorangan atau individual, kebudayaan dari masyarakat tersebut

menjadi pengetahuan kebudayaan dari para prilakunya. Secara individual atau

perorangan maka pengetahuan kebudayaan dan dipunyai oleh para pelaku tersebut

dapat berbeda-beda atau beranekaragam, tergantung pada pengalaman-pengalaman

individual masing-masing dan pada kemampuan biologi atau sistem-sistem syarafnya

dalam menyerap berbagai rangsangan dan masukan yang berasal dari kebudayaan

masyarakatnya atau lingkungan hidupnya.

Kebudayaan sebagai pengetahuan mengenai dunia yang ada disekelilingnya

dan pengalaman-pengalamannya dengan relatif mudah dapat berubah dan

berkembang sesuai dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam lingkungan

hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi

kehidupannya yang sumber-sumber dayanya berada dalam lingkungan hidupnya

tersebut. Tetapi sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama

keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan

cenderung untuk tidak mudah berubah.

6. Pendekatan Kebudayaan dan Agama

Konsep mengenai kebudayaan yang saya kemukakan seperti tersebut diatas

itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mendatang dan

mengkaji serta memahami agama. Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata

agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah

pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya oleh para warga

masyarakat tersebut. Agama dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan

keyakinan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat; yaitu, pengetahuan dan keyakinan

yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral

dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan. Pada waktu kita melihat dan

memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama

sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan

agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi.

Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi

bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut.

Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari

masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses

7perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan

keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan

nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang

ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari

berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian

maka agama akan dapat menjadi nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut.8

Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi

bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka

berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan

berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan

moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam

masyrakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari

kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan

moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis

mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja. Apakah gunanya

menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama. Yang terutama adalah

kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang

7 Suparlan, P., 1966 Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September.

8 Suparlan, P., 1966 Kebudayaan dan Pembangunan. Dialog, No.21, Th.11. September.

dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya. Kegunaan kedua, sebagai hasil

lanjutan dari kegunaan utama tersebut, adalah untuk dapat mengarahkan dan

menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh para warga masyarakat tersebut

sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama tersebut, tanpa harus menimbulkan

pertentangan dengan para warga masyarakat tersebut. Yang ketiga, seringkali sesuatu

keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda

dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal

tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal tersebut,

karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat

tersebut dirubah maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata

yang ada dalam masyarakat tersebut yang akhirnya akan menghasilkan perubahan

kebudayaan yang hanya akan merugikan masyarakat tersebut karena tidak sesuai

dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat tersebut.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Penelitian (Research) adalah upaya sistematis dan objektif untuk mempelajari

suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip umum. Selain itu, penelitian juga

berarti upaya pengumpulan informasi yang bertujuan untuk menambah pengetahuan.

Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang berdasarkan kajian-kajian sehingga

terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap merevisi pengetahuan-pengetahuan

masa lalu melalui penemuan-penemuan baru. Penelitian itu sendiri dipandang sebagai

kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan. Sedangkan metode ilmiah

sendiri adalah usaha untuk mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan

kesangsian sistematis.

Sedangkan penelitian agama sendiri menjadikan agama sebagai objek

penelitian yang sudah lama diperdebatkan. Harun nasution menunjukkan pendapat

yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat menjadi

sasaran penelitian ilmu sosial, dan kalaupun dapat dilakukan, harus menggunakan

metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu sosial. Hal yang sama juga

dijelaskan oleh Ahmad Syafi’i Mufid. Beliau menjelaskan bahwa agama sebagai

objek penelitian pernah menjadi bahan perdebatan, karena agama merupakan sesuatu

yang transenden. Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki

kebenaran mutlak sehingga tidak perlu diteliti. Menurut Harun Nasution, agama

mengandung dua kelompok ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan tuhan

melalui rasul-Nya kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat

dalam kitab-kitab suci. Ajaran-ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu

memerlukan penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaannya. Penjelasan-penjelasan

para pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua. Ajaran

dasar agama, karena merupakan wahyu dari tuhan, bersifat absolut, mutlak benar,

kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah. Sedangkan penjelasan ahli agama

terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil

pemikiran, tidak absolut, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran agama

yang kedua ini bersifat relatif, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai dengan

perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. Atang Abd. Hakim, MA, Dr. Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Bandung:

PT Remaja Rosdakarya, 2008, cet. Kesepuluh, hal. 55

http://makalah88.blogspot.com/2012/01/penelitian-agama-dan-model-modelnya.html

Cik Hasan Bisri (Reproducer). 2000. Abstracts of Dissertation and Theses on Islamic

Subjects. Bandung: Research Center of State Institute for Islamic Studies, Sunan

Gunung Djati Bandung.

Davis, Kingsley dan Blak, Judith. 1978. “Struktur Sosial dan Fertilitas: Suatu

Kerangka Analitis” dalam Masri Singarimbun (Editor), Kependudukan: Liku-liku

Penurunan Kelahiran, Cetakan Pertama. Jakarta: Lembaga Penelitian Pendidikan dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial.

Mastuhu dan Deden Ridwan (Editor). 1998. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam:

Tinjauan Antardisiplin Ilmu, Cetakan Pertama. Bandung: Nuansa dan Pusjarlit.

Muhamamad Atho Mudzhar. 1993. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: Sebuah

Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Edisi Dwibahasa).

Jakarta: Indonesian Netherlands Coorporation in Islamic Studies.

Mukti Ali, A. 1980. “Penelitian Agama di Indonesia”, dalam Muljanto Sumardi

(Editor), Metodologi Penelitian Agama: Masalah dan Pemikiran, hlm. 18-27.

Jakarta: Pusat Pengkajian Masalah Keagamaan dan Kemasyarakatan.