Upload
truongduong
View
257
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
ADAT NYAPUN DALAM TRADISI PERKAWINAN SUNDA
DI DESA SASAK PANJANG KECAMATAN TAJURHALANG
KABUPATEN BOGOR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
SIGIT MAULANA NIM : 1112044200011
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2017 M
ABSTRAK
Sigit Maulana, 1112044200011, “ADAT NYAPUN DALAM TRADISI PERKAWINAN SUNDA DI DESA SASAK PANJANG KECAMATAN TAJURHALANG KABUPATEN BOGOR “. Program Studi Hukum Keluarga, Konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam, Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/2017 M.
Perkawinan dalam hukum islam yaitu akad yang sangat kuat atau “Mitsaqon Gholizon” untuk mentaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan pada prinsipnya sudah dianggap sah apabila rukun dan syaratnya sudah terpenuhi. Namun di indonesia ini bangsa yang penuh kenekaragaman adat istiadat tidak hanya syarat dan rukun perkawinan yang ada didalam hukum agama saja, masih ada syarat-syarat yang dijalankan menurut adat-istiadat daerah tertentu, khususnya pada adat sunda yaitu prosesi adat Nyapun, seorang pengantin di Sapun terlebih dahulu, untuk diberikan nasehat-nasehat dan do’a-do’a menurut adat istiadat sunda. Tujuan utama dari
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan tradisi Nyapun yang ada di desa Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang Bogor ditinjau dari aspek hukum.
Metodelogi penelitian yang penulis gunakan adalah metode kualitatif dengan antropologi hukum, jenis penelitian ini adalah skripsi, kriteria dan sumber data dari penelitian ini adalah tradisi masyarakat, sedangkan untuk teknik pengumpulan data penulis menggunakan teknik wawancara langsung,observasi lapangan, dan dokumentasi, setelah mendapatkan data-data dan menganalisisnya kemudian ditarik suatu kesimpulan, adapun teknik analisis yang penulis gunakan adalah teknik deskriptif-analisis.
Hasil yang dicapai dari penelitian ini penulis mendapatkan beberapa kesimpulan diantaranya adalah tradisi Nyapun yang dilaksanakan oleh masyarakat sunda di desa Sasak Panjang tidaklah bertentangan dengan hukum islam, tradisi Nyapun ini dianggap sebagai adat istiadat yang baik, karena didalamnya berisikan do’a-do’a kebaikan untuk pengantin.
Kata kunci : Perkawinan, Tradisi Nyapun, Adat Sunda
Pembimbing : Dr. Sirril wafa M.Ag
Daftar pustaka : Tahun 1857 s.d 2016
KATA PENGANTAR
حـمن الر ح يم ـبـسـم هللا الر
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Adat Nyapun Dalam Tradisi Perkawinan Sunda Di Desa Sasak Panjang Kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor” sebagai syarat guna
memeperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Program Studi Hukum Keluarga Jurusan Administrasi Keperdataan Islam Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta. Sholawat beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada manusia pilihan yaitu baginda nabi Muhammad SAW.
Dalam proses pembuatan skripsi ini, berbagai hambatan, pengorbanan, dan kesulitan penulis hadapi. Namun tidak terlepas dari petunjuk dan pertolongan Allah SWT. Serta berkat berbagai dorongan serta bimbingan dari semua pihak, sehingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan banyak terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini, diantaranya :
1. Dr. Asep Saepudin Jahar sebagai Dekan Fakultas Syariah Dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr.H. Abdul Halim, M.A dan Arip Purqon, M.A, sebagai Ketua Prodi dan Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr.Siril Wafa M.A, selaku dosen pembimbing yang telah tekun dan sabar serta meluangkan waktu dengan penuh keikhlasan untuk membimbing dan memberikan kritik maupun saran dalam proses penyusunan skripsi ini.
4. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, yang telah ikhlas mengamalkan ilmunya kepada penulis selama studi. Semoga keberkahan ilmunya akan tetap mengalir.
5. Kepada staf dan karyawan perpustakaan utama dan perpustakaan fakultas syariah dan hukm UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan berupa bahan-bahan yang menjadi refrensi dalam penulisan skripsi ini.
6. Kepada ayahanda Namat Rohaya yang senantiasa mengiringi setiap langkahku dengan doa yang tulus dan ikhlas, Secara khusus untuk almarhumah ibunda tercinta umi Royanih sujud baktiku kepadamu segala iringan do’a dan usaha selama hidupmu tak ada kata yang pantas
dan layak yang bisa kugantikan untuk kalian berdua, “ Robbighfirlii Waliwaalidayya Warhamhumaa Kamaa Robbayaanii Shoghiiroo”.
Saudara-saudariku tercinta kaka dan adikku, terima kasih yang tak terhingga atas curahan dukungan doa-doa dan kasih sayang yang telah kalian berikan.
7. Para narasumber yang telah meluangkan waktu dan turut mendukung suksesnya penelitian ini : Ki Tuing, Ki Jamal, KH.A.Amri, H.Ahmad Sugandi.
8. Sahabat-sahabat AKI (Administrasi keperdataan islam) angkatan 2012 yang tak akan terlupakan, selama empat tahun perjuangan dan kebersamaan pada masa menimba ilmu semoga persahabatan ini kekal selamanya.
9. Terima kasih juga kepada semua yang telah berjasa membantu dalam pembuatan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat sebagai amal ibadah dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Ciputat, 10 April 2017 Penulis Sigit Maulana
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ...................................................................... iii
ABSTRAK ................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .............................................................................. v
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ........................................................... 5
C. Pembatasan Dan Rumusan Masalah ................................. 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 6
E. Metodelogi Penelitian ........................................................ 7
F. Review studi Terdahulu ...................................................... 10
G. Sistematika Penulisan.......................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nikah ............................................................... 14
B. Syarat Dan Rukun Perkawinan ......................................... 18
C. Hukum Perkawinan Menurut Fuqoha ............................... 20
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan ...................................... 26
BAB III GAMBARAN UMUM DESA SASAK PANJANG KAB.BOGOR
DAN PROSESI PERKAWINAN ADAT SUNDA
A. Kondisi Kehidupan Masyarakat Sunda Bogor ............... 31
1. Kondisi geografis ...................................................... 31
2. Kondisi sosial dan kependudukan ............................ 32
B. Pengertian Adat Nyapun .................................................. 37
C. Proses Upacara Perkawinan Adat Sunda Di
Desa Sasak Panjang ......................................................... 40
BAB IV HUKUM ADAT NYAPUN DAN PENDAPAT ULAMA DAN
TOKOH MASYARAKAT
A. Pendapat Ulama Dan Tokoh Masyarakat Tentang
Adat Istiadat Nyapun ................................................. 44
B. Korelasi Antara Hukum Adat Nyapun
Dengan Hukum Islam ................................................. 47
C. Hukum Adat Nyapun Pada Perkawinan
Adat Sunda ................................................................. 54
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................... 60
B. Saran-Saran .................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 64
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Allah menjadikan manusia dalam bermacam-macam bangsa dan suku
untuk saling kenal mengenal dan saling menghormati seperti yang disebutkan
dalam surat al hujurat ayat 13.
م ك م ر اك ا ان و ف ار ع ت ل ل ائ ب ـق با و و ـع ش م ك انل ـ ع ج ى و ث ا ن و ر ك ذ ن م م ك نـق ل ا خ ان اس ها الن يا اي
ر ي ب ـ خ يم ـ لع للا ,ان م ك ـاتق للا د ن ـع
Artinya : “ Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki, seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal”.1
Ada banyak sekali cara dalam saling mengenal satu sama lain,
diantaranya adalah pernikahan, dimana pernikahan sebagai tali persatuan baik
antar individu ataupun kelompok. Pernikahan dilihat dari beberapa aspek,
diantaranya adalah aspek sosial, agama, hukum, adat dan budaya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah berarti perjanjian antara
laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri secara resmi.2 Sedangkan kata
kawin menurut bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis,
1 Departemen Agama RI. “Al-Qur’an dan Terjemahannya”. Bandung: Gema Risalah.
1992. 2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta,
Balai Pustaka,1994) cet ke-3 Edisi ke- 2 h.614
2
melakukan hubungan kelamin atau persetubuhan.3 Perkawinan adalah sebuah
akad atau kontrak yang mengikat kedua belah pihak yang setara antar laki-laki
dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan, berdasarkan
hukum yang berlaku atas kerelaan dan kesukaan untuk hidup bersama.4 Pasal
2 dalam Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa “perkawinan dalam
hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat Mitsaqon
Ghalizan untuk menaati perintah Allah dan melakukannya adalah ibadah”.5
Secara sosial, adat dan budaya, sesorang yang telah menikah atau
berkeluarga akan lebih dihargai, dihormati oleh orang yang belum menikah.
Akan tetapi dalam semua hampir sistem budaya, upacara atau adat perkawinan
menjadi bagian dari salah satu bagian tersendiri dan dalam banyak hal
memiliki fungsi dan identitas atas budaya yang diwakilinya.
Upacara perkawinan dalam konteks budaya merupakan salah satu
tradisi yang bersifat ritualistik. Sebagaimana halnya aspek-aspek dalam
kehidupan lain dalam sistem kebudayaan tersebut. Prosesi yang dilakukan
sebagai serangkaian upacara perkawinan tersebut biasanya menghadirkan
sejumlah simbol-simbol budaya yang mewakili norma-norma budaya, oleh
karena itulah sering pula disebut upacara perkawinan adat.6
Pada prosesi perkawinan adat Sunda misalnya terdapat beberapa
rangkaian prosesi yang melibatkan beberapa simbol, baik berupa tindakan
3 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta,
Balai Pustaka,1994) cet ke-3 Edisi ke- 2 h 456 4 Mulia, Hukum Perkawinan (Jakarta,2004) h.15 5 Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama”, cet ke-3(Jakarta, Yayasan AL Hikmah.1993) hal.307 6 Aep Saepudin, Makna Filosofi Tembang Sawer dalam Upacara Adat Sunda,
Yogyakarta, 2010, h.1
3
maupun bahasa verbal melalui kata-kata dalam bentuk syair dan tembang.
Semua ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam prosesi adat Sunda,
sebagaimana pula pada adat perkawinan yang dapat ditemui pada tempat dan
budaya lainnya.7
Adat Sunda memiliki spesifikasi tersendiri dalam membagi suatu
pernikahan, yaitu pernikahan biasa dan pernikahan diam-diam, pernikahan
biasa adalah pernikahan yang aturan dan tata cara pernikahannya mengikuti
ketentuan dan aturan dinegara ini. Sedangkan pernikahan diam-diam adalah
pernikahan yang aturan dan tata caranya sama dengan aturan yang berlaku,
namun juga mengikuti adat yang berlaku. Dalam pernikahan ini terbagi dalam
beberapa macam adat pernikahan, yaitu: kawin gantung, kawin keris, kawin
sembunyi, kawin kias, kawin panyelaturun karanjang dan unggah karanjang.8
Kebudayaan Sunda termasuk kebudayaan tertua. Kebudayaan Sunda
yang ideal kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja-raja Sunda. Ada
beberapa wadka dalam budaya Sunda tentang satu jalan keutamaan hidup. Etos
dan watak Sunda itu adalah cager,bager,singer dan pinter. Kebudayaan Sunda
juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi
bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perlu dilestarikan, hampir
semua masyarakat sunda beragama Islam hanya beberapa yang bukan
beragama Islam. Walaupun berbeda, pada dasarnya seluruh kehidupan di
tujukan untuk alam semesta. Kebudayaan Sunda memiliki ciri khas tertentu
7 Aep Saepudin, Makna Filosofi Tembang Sawer dalam Upacara Adat Sunda,
(Yogyakarta, 2010) h.1 8 Proyek Inventaris Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta, Upacara Perkawinan
Adat Jawa Barat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta,1992) h. 64-69
4
yang membedakannya dari kebudayaan kebudayaan lain. Secara umum
masyarakat Jawa Barat atau Tataran Sunda, sering dikenal dengan masyarakat
religius. Kecenderungan ini tampak sebagaimana dalam pameo “silih asih,silih
asah dan silih asuh, saling mengasihi, saling mempertajam diri, dan saling
melindungi.” Selain itu Sunda juga memiliki sejumlah budaya lain yang khas
seperti kesopanan, rendah hati terhadap sesama, kepada yang lebih tua dan
menyayangi kepada yang lebih kecil. Pada kebudayaan Sunda keseimbangan
magis dipertahankan dengan cara melakukan upacara-upacara adat, seperti
upacara adat pernikahan yang begitu banyak dan begitu beragam. Namun dari
keberagaman adat istiadat ini, jika ditinjau dari segi syariat terkadang ada adat
istiadat yang memang bertentangan dengan syariat Islam, dan tidak jarang
terjadi pada adat istiadat yang dikenal sudah mengakar pada masyarakat
sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang dikenal memegang erat adat
istiadat, bentuk pertentangan atau penyimpangan adat terhadap syariat Islam
pada gilirannya bahkan bisa sangat meodai keimanan.
Salah satu kebudayaan Sunda adalah upacara adat Nyapun yaitu
setelah diadakannya akad nikah secara syariat islam, lalu dilanjutkan dengan
prosesi adat istiadat yang didalamnya berisikan adat Nyapun , prosesnya adalah
pasangan suami istri ini ditempatkan di tempat yang sudah disediakan setelah
itu seorang penganten menyawer uang recehan dengan dibacakan mantra-
mantra yang berisikan mantra/jampe bercampur dengan ayat ayat Alquran,
maka disinilah timbul permasalah di era modern ini, bagaimanakah hukum
yang terkandung didalamnya yang bisa berbenturan dengan ajaran agama
5
Islam, apakah adat semacam ini tidak bertentangan syariat ajaran islam, Maka
penulis dalam meniliti salah satu rangkaian upacara perkawinan ini membagi
dan merumuskan secara teratur agar terhindar dari kesalahpahaman dan
pelebaran masalah yang ada.
Dari berbagai macam kegiatan dan sebagian gambaran prosesi dalam
kasus yang terjadi di desa Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang Kabupaten
Bogor, sedikit banyaknya suatu permasalahan dapat teridentifikasi maka
penulis rumuskan dengan mengangkat dalam tema judul “ ADAT NYAPUN
DALAM TRADISI PERKAWINAN SUNDA DI DESA SASAK
PANJANG KECAMATAN TAJURHALAN KAABUPATEN BOGOR”.
B. Indentifikasi Masalah.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka penulis identifikasi sebagai berikut:
1. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat dalam memahami perbedaan
hukum Islam dan Adat.
2. Sering terjadi permasalahan di kalangan masyarakat desa Sasak Panjang
yang berkaitan dengan hukum adat dan hukum Islam.
3. Bagaimanakah proses perkawinan adat Nyapun ini di desa Sasak panjang
4. Bagaimana pemahaman para ulama dan tokoh adat terhadap tradisi adat
Nyapun ini.
5. Bagaimana relasi antara hukum Islam dan hukum adat terhadap tradisi
Nyapun ini.
6
C. Batasan dan rumusan masalah
1. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang penulis kemukakan di atas,
agar permasalahan yang akan penulis bahas tidak meluas, maka penulis
membatasinya hanya sekitar pemahaman adat Nyapun pada perkawinan
adat sunda.
Fokus penelitian ini terbatas pada masalah hukum adat Nyapun di
desa Sasak Panjang.
2. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas, maka
penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pemahaman adat Nyapun pada tradisi perkawinan Sunda
di Desa Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor?
b. Bagaimana pendapat ulama dan para tokoh masyarakat tentang adat
Nyapun di desa Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang Kabupaten
Bogor?
c. Bagaimana relasinya antara hukum Islam dan hukum adat terhadap
adat Nyapun ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian :
7
a. Untuk mengetahui pemahaman dan implementasi dalam adat Nyapun
di desa Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang Kabupaten Bogor.
b. Untuk mengetahui pendapat para ulama dan para tokoh masyarakat
tentang status hukum Nyapun di desa Sasak Panjang kecamatan
Tajurhalang Kabupaten Bogor.
c. Untuk menjalaskan korelasinya antara hukum Islam dan hukum tradisi
adat Nyapun di Desa Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang
Kabupaten Bogor.
2. Manfaat Penelitian :
a. Bagi penulis, untuk menambah ilmu pengetahuan dibidang hukum
adat serta mengembangkan ilmu dibidang Hukum adat.
b. Bagi Akademik, untuk memperluas informasi dalam rangka
menambah dan meningkatkan khazanah pengetahuan.
c. Bagi masyarakat, untuk memberikan informasi wawasan dan
pemahaman baru mengenai adat Nyapun pada perkawinan adat sunda.
E. Metode Penelitian.
1. Jenis penelitian.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan yang bertujuan untuk
memperoleh data dengan cara mengamati dan melihat langsung pada obyek
di lapangan. Data diperoleh dari wawancara dengan tokoh-tokoh
masyarakat dan masyarakat yang terlibat dalam adat istiadat Nyapun dalam
8
perkawianan adat sunda. Terkait dengan permasalahan yang akan diteliti ini
penulis menggunakan metode kualitatif.
Metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan perilaku yang
dapat diamati.9 Penelitian ini bersifat deskriptif, yang berusaha memaparkan
tentang adat Nyapun pada perkawinan adat Sunda, analisis untuk dinilai dari
sudut pandangan hukum Islam.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang di gunakan adalah pendekatan normatif, Penelitian
hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian
hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam aturan
syariat atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan
patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.10
a. Data Primer
Data emperis yang diperoleh secara langsung dari respoden di
lokasi penelitian, baik berupa wawancara langsung terhadap masyarakat
adat setempat, tokoh masyarakat, ulama setempat dan pejabat desa
Sasak Panjang kecamatan Tajurhalang.
b. Data Sekunder
Data yang dijadikan landasan teori dalam memecahkan dan
menjawab masalah. Data sekunder ini sumbernya diperoleh melalui
9 Uhar Suharsaputra, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Tindakan, ( Bandung:
PT Refika Aditama, 2012), h.181. 10 Amiruddin dan H. Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT
Raja Orafindo Persada, 2004, Cetakan Pertama), h. 118
9
studi pustaka berupa buku, dokumen, majalah, karya ilmiah, surat kabar
dan lain lain yang berhubungan dengan objek penelitian.
3. Lokasi Penelitian Dan Waktu Penelitian.
a. Lokasi Penelitian
Dalam hal ini, Penulis akan meneliti beberapa desa di kecamatan
Tajurhalang, khususnya di desa Sasak Panjang, penulis mengambil
lokasi ini karena masih banyak masyarakat yang masih menggunakan
adat istiadat Nyapun.
b. Waktu Penelitian
Adapun waktu penelitian yang dilakukan di mulai pada bulan
Januari sampai dengan maret 2017.
4. Teknik Pengumpulan Data.
a. Wawancara
Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi,
dalam hal proses ini, hasil wawancara ditentukan oleh beberapa faktor
yang berinteraksi dan mempengaruhi arus informasi.11
Teknik Wawancara yaitu mengumpulkan data secara langsung
melalui Tanya jawab berdasarkan pertanyaan untuk memperoleh data
dan informasi yang diperlukan
b. Dokumentasi
Metode ini dilakukan dengan cara mengkaji sumber-sumber
tertulis yang berkaitan dengan pokok bahasan permasalahan.
11 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, Jakarta, h. 108.
10
Dokumentasi dari mengumpulkan data, berkas, dokumen. Sedangkan
dokumen yang di butuhkan dalam penelitian ini adalah dokumen yang
berasal dari lokasi penelitian.
c. Observasi
Metode ini dilakukan dengan cara pengamatan dan pencatatan
secara sistematis mengenai gejala gejala yang diteliti. Penulis akan
mengamati secara langsung di tempat penelitian dengan adanya adat
istiadat Nyapun dalam pernikahan Sunda.
5. Teknik Penulisan.
Adapun teknik penulisan yang digunakan dalam Skripsi ini mengacu
kepada “Pedoman Penulisan Skripsi” yang diterbitkn oleh Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012
F. Review Studi Terdahulu.
Untuk mengetahui kajian terdahulu yang telah ditulis oleh yang
lainnya, maka penulis me-review beberapa skripsi dan tesis terdahulu yang
pembahasannya hampir sama dengan pembahasan yang ditemukan oleh
penulis di beberapa skripsi, yaitu:
No Nama
penulis/judul/tahun Keterangan Perbedaan
1. AHMADI,
Pernikahan Kalangkah
Didalam skripsi ini
mengangkat skripsi yang
Pada skripsi yang
penulis angkat ini
11
Dalam Adat Sunda
Menurut Hukum Islam
Di Indonesia, 2015,
program studi akhwal
syakhsiyah, fakultas
syariah dan hukum UIN
jakarta.
berkaitan pernikahan
kalangkah di adat sunda
menurut hukum islam di
indonesia, dalam skripsi
ini, dia membahas hanya
beberapa bagian resepsi
yang terjadi pada adat
sunda, yaitu adat kalangka
dikhususkan pada
perkawinan Nyapun,
yaitu prosesi ketika
sudah pada
perkawinannya. Dari
segi hukumnya
maupun dari segi
kegiatannya.
2. AEP SAIPUDIN,
Makna filosofi tembang
sawer dalam acara
perkawinan adat sunda,
2010, jurusan aqidah
filsafat, di fakultas
ushuluddin UIN sunan
kali jaga, Jogjakarta
Pada skripsi ini, penulis
membahas dari segi
filosofi filosofi acara adat
sawer, walaupun sama
dalam hal pelaksanannya,
di tempat lain adat nyapun
disebut juga adat sawer,
sehingga dalam skripsi ini
di bahawa tentang adat
sawer dan makna makna
filosofinya.
Pada skripsi ini
hanya membahas
makna filosofi dari
acaranya, tembang
atau syair syairnya,
penulis disini tidak
membahas masalah
dari segi hukum baik
itu hukum islam
maupun hukum adat.
3. ABDUL AZIZ
AdatIstiadat Perkawinan
Sunda Dan Kaitannya
Menurut Hukum Islam,
Skripsi ini pula masih
membahas secara
menyeluruh hampir adat
istiadat perkawinan unda,
Pada perbedaan
skripsi ini dengan
penulis, skripsi ini
membahas semua
12
2015, Prodi akhwal
syakhsiyah fakultas
syariah di UIN Bandung
penulis skripsi ini
mengangkat pandangan
beberapa ulama salafi
maupun kontemporer
dengan mengaitkannya
terhadap hukum islam
adat istiadat hukum
adat sunda sehingga
tidak mendalam, dan
penulis disini
mengangkatnya
lebih pada tinjauan
ushul fiqh
G. Sistematika Penulisan.
Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, penulis membuat
sistematika penulisan dengan membagi kepada lima bab, tiap-tiap bab terdiri
dari sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
BAB PERTAMA
Pokok besar mengenai latar belakang,identifikasi masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, riview
studi terdahulu, metode penelitian serta sistematika penulisan sebagai dasar
pemikiran bagi bab-bab selanjutnya.
BAB KEDUA
Dalam bab ini akan membahas landasan teori yang terkait dengan
tema skripsi, dengan menjelaskan uraian sekilas tentang gambaran umum
pernikahan, syarat dan rukun pernikahan,hukum pernikahan,tujuan dan
hikmah pernikahan
13
BAB KETIGA
Dalam bab ini akan membahas dan menguraikan landasan teori yang
terkait dengan tema skripsi, dengan menjelaskan uraian sekilas tentang letak
geografis serta bagaimana kondisi masyarakat dalam kehidupan
keberagamaan, sosial, pendidikan, ekonomi, serta budaya, pengertian dari
adat nyapun serta proses pelaksaan upacara adat perkawinan sunda.
BAB KEEMPAT
Dalam bab ini akan membahas pandangan masyarakat setempat, para
ulama dan tokoh adat setempat, serta korelasi adat Nyapun ini dengan
hukum syariat islam.
BAB KELIMA
Merupakan bagian terakhir dari penyusunan skripsi ini yang berisikan
kesimpulan dari penelitian yang dilakukan, serta saran sebagai solusi dari
permasalahan
14
BAB II
PEMBAHASAN
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nikah
Secara etimologi, nikah atau zawaj dalam bahasa Arab artinya adalah
mendekap atau berkumpul. Sedangkan secara etimologi, nikah adalah
pengumpulan dan perhimpunan atau bisa dikatakan suatu ungkapan tentang
perbuatan bersetubuh dan sekaligus akad. Dalam terminologi Syar’i, nikah
didefinisikan sebagi akad tazwij yakni suatu ikatan khusus yang
memperbolehkan seorang lelaki melakukan istimta’(bersenang) dengan
perempuan dengan cara jima’, menyentuh, mencium, dan lain-lain.1
Menurut syara’, nikah adalah akad antara calon suami istri untuk
membolehkan keduanya bergaul sebagai suami istri.2 Akad nikah adalah
artinya perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang
wanita dengan seorang laki-laki.3 Selain itu, menurut pengertian fuqoha,
perkawinan adalah akad yang mengandung ketentuan hokum kebolehan
hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau zawaj yang semakna keduanya.4
Sedangkan menurut golongan Malikiyah, nikah adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum semata-semata untuk membolehkan watha’
1 Purna Siswa III Aliyah Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Esensi Pemikiran Mujtahid,
(Kediri: Perdana, 2003), h.25 2 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang No 1 Tahun
1974, (Jakarta: PT.Dian Rakyat, 1986), h.28 3 Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: Universitas indonesia, 1974), h. 63 4 Zakiah Drjat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bakti,1995), h. 37
15
bersenang-senang dan menikmati yang ada pada diri wanita yang boleh nikah
dengannya.5
Adapun pengertian (ta’rif) perkawinan menurut pasal 2 kompilasi
hukum islam adalah perkawinan, yaitu akad yang sangaat kuat atau
Mitsaaqaan Ghaalizhan untuk mentaati perintah Allah SWT dan
melaksanakannya merupakan ibadah. Maksud melakukan perbuatan ibadah
berarti melaksanakan ajaran agama. Perkawinan salah satu hukum yang dapat
dilaksanakan oleh mukallaf yang memenuhi syarat.
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa beberapa definisi
diantaranya adalah :
ل ح و ة ء ر الم ب ل ج الر اع ت م ـت س ا ك ل م ـد ي ف ـي ل ع ار الش ه ع ض و د ق ع ـو اه ع ر ش اج و الز
.ل ج لر اب ة ء ر لم ا اع ت م ـت س ا
Artinya :” Perkawinan menurut Syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’
untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan
perempuan dan menghalalkan bersenang-senang perempuan
dengan laki-laki”.6
Menurut Hanafiyah, kawin adalah akad yang memberi faedah untuk
melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk
beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi
sahnya perkawinan tersebut secara syar’i. Selain itu, menurut Hanabilah
5 Djaman Nur, Fiqih Munakahat, (Bengkulu: Dina Utama Semarang, 1993), h.3 6 Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h.7-8.
16
kawin adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tazwij
dengan mengambil manfaat untuk bersenang-senang.7
Golongan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti
akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapat berarti juga untuk hubungan
kelamin, namun bukan dalam arti sebenarnya (arti majazi), penggunaan kata
untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar kata itu
sendiri.
Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana
disebutkan di atas melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan
dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul
sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara keduanya tidak boleh
bergaul8.
Menurut Muhammad Abu Zahrah di dalam kitabnya Al-ahwal Al-
syakhsyiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat
hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan
perempuan, saling tolong menolong, serta menimbulkan hak dan kewajiban
diantara keduanya.9 dengan redaksi yang berbeda, Imam Taqiyuddin di dalam
kifayat al-akhyar mendefinisikan nikah ibarat tentang akad yang masyhur
7 Abdurrahman al-Jaziri,Kitab ‘ala Madzahib Al-arba’ah,(t.tp: Dar Ihya al-Turas al-
arabi,1986), Juz IV, h.3 8Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana,2007), h. 37 9Muhammad Abu Zahrah, Al-akhwal Al-syakhsyiyyah, (Qohirah: Dar al-fikr al-
Arabi,1957), h. 19
17
yang terdiri dari rukun dan syarat, serta yang dimaksud dengan akad adalah
al-wathi’(bersetubuh).10
Menurut perspektif fikih yang mana telah dijelaskan oleh Wahbah al
Zuhaily, mengenai perkawinan adalah akad yang membolehkan terjadinya
istimta’(persetubuhan) dengan seorang wanita, atau melakukan wathi’, dan
berkumpul selama tersebut bukan wanita yang diharamkan baik sebab
keturunan atau sepersusuan.11
Menurut Undang-Undang No 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan
adalah “ikatan lahir batin antar seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengertian perkawinan
terdapat lima unsur didalamnya adalah sebagai berikut:
1. Ikatan lahir bathin
2. Antar seorang pria dengan seorang wanita
3. Sebagai suami istri
4. Membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal
5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan
bahwa ikatan suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan
merupakan perikatan yang suci, perikatan tidak dapat melepaskan dari agama
10 Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar Juz II, (Jakarta: Dar al-kutub al-Islamiyah, 2004) h.35.
11 Wahbah Al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islami WA Adilatuhu Juz VII, (Damsyiq Dar al-Fikr, 1989), h. 29.
18
yang dianut suami istri. Hidup bersama suami istri dalam perkawinan tidak
semata-mata untuk tertibnya hubungan seksual tetap pada pasangan suami
istri tetapi dapat membentuk rumah tangga yang bahagia, rukun,aman serta
harmonis antara suami istri.
Para ulama mutaakhirin mendefinisikan nikah mengandung aspek
akibat hukum yaitu termasuk unsur hak dan kewajiban suami istri, serta
bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong. Oleh
karena perkawinan termasuk ke dalam syariat agama islam, maka di dalam
hukum tersebut terkandung maksud dan tujuan, yaitu mengharapkan Ridha
Allah SWT.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
Rukun adalah sesuatu yang harus ada, yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian
pekerjaan itu.Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada yang
menentukan sah dan tidak sahnya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu
tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, selain itu sah adalah suatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi syarat dan rukun.
Menurut jumhur ulama rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Adapun rukun terdiri dari:
1. Adanya calon suami istri yang akan melakukan pernikahan
2. Adanya wali dari pihak wanita
3. Adanya dua orang saksi
19
4. Sighat akad nikah.12
Tentang jumlah rukun para ulama berbeda pendapat:
a. Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
macam:
1) Wali dari pihak perempuan
2) Mahar (mas kawin)
3) Calon pengantin laki-laki
4) Calon pengantin perempuan
5) Sighat akad nikah.13
b. Imam Syafi’i mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima:
1) Calon pengantin laki-laki
2) Calon pengantin perempuan
3) Wali
4) Dua orang saksi
5) Sighat akad nikah14
c. Menurut ulama hanafiyah rukun nikah itu hanya ijab dan
kabul.
d. Menurut segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat:
1) Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan
2) Adanya wali
12 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010) h. 46
13 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010) h. 46
14 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat. (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010) h.
46
20
3) Adanya dua orang saki
4) Dilakukan dengan sighat tertentu.15
Sedangkan syarat nikah adalah:
1. Syarat calon suami
a. Islam
b. Lelaki yang tertentu
c. Bukan lelaki mahram dengan bakal isteri
d. Mengetahui wali yang sebenar bagi akad nikah tersebut
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
g. Tidak mempunyai empat orang isteri yang sah dalam satu masa
h. Mengetahui bahawa perempuan yang hendak dikahwini adalah sah
dijadikan isteri.
2. Syarat calon isteri
a. Islam
b. Perempuan yang tertentu
c. Bukan perempuan mahram dengan bakal suami
d. Bukan seorang khunsa
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Tidak dalam idah
g. Bukan isteri orang
3. Syarat wali
15 Nur,Djamaan. Fiqih Munakahat. )Semarang:Dina Utama Semarang. 1993) h.38
21
a. Islam, bukan kafir dan murtad
b. Lelaki dan bukannya perempuan
c. Baligh
d. Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan
e. Bukan dalam ihram haji atau umrah
f. Tidak fasik
g. Tidak cacat akal fikiran,gila, terlalu tua dan sebagainya
h. Merdeka
i. Tidak ditahan kuasanya daripada membelanjakan hartanya
4. Syarat-syarat saksi
a. Sekurang-kurangya dua orang
b. Islam
c. Berakal
d. Baligh
e. Lelaki
f. Memahami kandungan lafaz ijab dan qabul
g. Dapat mendengar, melihat dan bercakap
h. Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak berterusan
melakukan dosa-dosa kecil)
i. Merdeka
5. Syarat ijab
a. Pernikahan nikah ini hendaklah tepat
b. Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran
22
c. Diucapkan oleh wali atau wakilnya
d. Tidak diikatkan dengan tempo waktu
6. Syarat qabul
a. Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab
b. Tiada perkataan sindiran
c. Dilafazkan oleh bakal suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu)
d. Tidak diikatkan dengan tempoh waktu seperti mutaah(seperti nikah
kontrak)
e. Tidak secara taklik(tiada sebutan prasyarat sewaktu qabul dilafazkan)
f. Menyebut nama bakal isteri
g. Tidak diselangi dengan perkataan lain.16
h. Majelis ijab qabul itu harus dihadiri minimal 4 orang calon suami atau
wakilnya, wali, dan dua orang saksi.17
Menurut jumhur ulama, para ulama bersepakat bahwa pernikahan baru
dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang mencakup ijab dan qabul
antar wanita yang dilamar dengan lelaki yang melamarnya, atau antara
pihak yang menggantikannya seperti wakil dan wali, dan dianggap tidak
sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka tanpa adanya akad.18
Dengan terpenuhinya rukun-rukun tersebut, maka pernikahan telah
terlaksana dan masing-masing pasangan dapat saling berhubnungan sesuai
16 Sayed Bakri Syatha, Haasyyyah I’Anatu Ath-Thalibiin, (Baerut: Daarulkutub, Juz 3,
T.th), h 431-503 17 Yayan Sopyan, Islam Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional (Jakarta: Semesta Rakyat Merdeka, 2012), h. 126 18 Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2006), h. 309
23
aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT, dan dengan itu pula, berlaku
seluruh hak dan kewajiban atas diri masing-masing.19
C. Hukum Perkawinan Menurut Fuqoha
Hukum asal nikah adalah mubah (boleh). Akan tetapi, hukum mubah
ini bisa berubah menjadi salah satu dari empat hukum lain tergantung dari
illat hukumnya, yaitu: wajib, haram, sunnah dan makruh, sesuai dengan
kondisi seseorang yang akan melaksanakannya. Ketentuan ini berdasarkan
dalil-dalil berikut:
Firman Allah SWT dalam surat An-Nur ayat 32:
ا لص و ن ك م ىم اا ال ي م و ح ان ك ا او و ب اد ك م ع ن م ـي ن م ل ح ن م هللام ي غ ـن ه اء ف ق ر ون ي كـ ا ن م ائ كـ
ع ل ي م ع س هللا و و ل ه (٣٢)النور:ف ض
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi maha mengetahui. (Q.S An-Nur :32)
ل ك ف ىذ ة إ ن م ح ر و د ة و ب ي ن ك مم ع ل ج او ك ن واإ ل ي ه ت س ال ج و أ ز ك م أ نف س ن ل ك مم ل ق خ ۦأ ن ت ه اي ء ن م و
ون ي ت ف ك ر م ق و ات ل ال ي
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” [QS. Ar. Ruum:21].
19 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) h. 195-196
24
ن و ت ذك ـر ل ك م ل عـ ـي ن ج و ل ق ـن از خ ء ش ي ك ل ن م و
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat kebesaran Allah SWT” (Az-Zariyat : 49).
Hadist Nabi riwayat Imam Bukhari dari Abdurahman bin Yazid:
د ث ن ا ح , أ ب ى د ث ن ا ح , ي اث غ ب ن ف ص ح ب ن ر ع م د ث ن ا ح ع ن ة , ار ع م د ث ن ي :ح ق ال , ش ا أل ع ـم
ع ب د هللا ف ق ال , هللا ع ل ىع ـب د د و اال س و ة ع ل ـق م ع م ل ت د خ : ق ال ي د , ي ز ب ن ن م ح ع ب د ال ر ع م ك ن ا
ف ق د ش ي ئ ا, ن ج ب اال س ل مش ب ا و ع ل يه ل ىهللا س ل م:ي االن ي ىص و ل ىهللا ع ل يه هللا ص ل س و ل ن ار ال
ج , ل لف ر ن ص أح و ر ل ب ص ل ,ف ا ن ه أ غ ض ج و ة ف ل ي ت ز الب اء ن ك م ت ط اع م اس ن ,م الش ب اب ع ش ر م ل م ن م و
( . اء ج و ل ه ف ا ن ه وم بالص ف ع ل يه ع ن ع عبدالرحمن(ي ست ط وم بالص ف ع ل يه عن البخارى اه و ر
Artinya: “ Telah memberitakan kepada kami Umar Ibnu Hafsh Bin Ghais,
telah memberitakan ayah saya, telah memberitakan Alamsi, dia telah berkata: didapatkan dari Abdur Rahman Bin Yazid, mengatakan: telah datang saya (kepada Rasul) dengan Alqomah dan Alaswad serta Abdullah, maka Abdullah bertanya kepada Nabi SAW di karenakan dia belum menemukan jodoh terbaik, maka Rasulullah SAW bersabda kepada kami : Wahai golongan pemuda-pemuda! Barangsiapa diantara kamu yang ada kemampuan (kawin dan nafkah lahir batin), hendaklah kamu kawin, karena faedahnya untuk menutup mata dan memelihara kemaluan (dari pekerjaan yang terlarang). Dan barang siapa diantaramu yang tak mampu, hendaklah kamu berpuasa (menahan diri dari nafsu birahi). Karena itulah salah satu obatnya”.20
Hukum asal perkawinan dasarnya adalah mubah (boleh),21 Namun,
hukum mubah ini bisa berubah sesuai kondisi dan situasi.22 Dalam hal ini, ada
20 Imam Al-hafizh Abi Dawud Sulaiman bin Al-asyats Al-sajatani Al-azdi, Sunan Abi
Daud, Beirut: Dar Al Fikr,1998) Hadits ke 2050, h.310 21 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2015), h. 381
25
beberapa perbedaan pandangan diantara para ulama dalam memberikan syarat
dan kriteria lima hukum nikah, diantaranya:
1. Pernikahan Yang Wajib
Menikah itu wajib hukumnya bagi seorang yang sudah mampu
secara finansial dan juga sangat beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal
itu disebabkan bahwa menjaga diri dari zina adalah wajib. Maka bila
jalan keluarnya hanyalah dengan cara menikah, tentu saja menikah bagi
seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib hukumnya
2. Pernikahan Yang Sunnah
Sedangkan yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah adalah
mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh
kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau
pun lingkungannya yang cukup baik dan kondusif. Orang yang punya
kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk menikah, namun tidak
sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya
untuk bisa jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT.
3. Pernikahan Yang Haram
Secara normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi
haram untuk menikah. Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua,
tidak mampu melakukan hubungan seksual. Kecuali bila dia telah
22 Mohammad Saifulloh al Aziz, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Terbit Terang, 2005),
h. 473
26
berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu mengetahui dan
menerima keadaannya.
4. Pernikahan Yang Makruh
Orang yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak
sempurna kemampuan untuk berhubungan seksual, hukumnya makruh
bila menikah. Namun bila calon istrinya rela dan punya harta yang bisa
mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi mereka untuk
menikah meski dengan karahiyah.
5. Pernikahan Yang Mubah
Orang yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang
mendorong keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang
mencegahnya untuk menikah, maka bagi hukum menikah itu menjadi
mubah atau boleh. Tidak dianjurkan untuk segera menikah namun juga
tidak ada larangan atau anjuran untuk mengakhirkannya. Pada kondisi
tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya adalah mubah.23
D. Tujuan Dan Hikmah Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut hukum islam adalah memenuhi petunjuk
agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan
bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga.
Sejahtera hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagiaan, yakni
kasih sayang antar anggota keluarga, Sedangkan menurut sayid sabiq “ inti
23 Ahmad Sarwat, Fiqih Nikah, (Jakarta: Pustaka Setia) h. 16-21
27
pernikahan adalah ridha dan kesepakatan antar kedua belah pihak yang
terangkum dalam sebuah ikatan.24
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu
mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT
untuk mengabdikan dirinya kepada sang Khalik. Penciptanya dengan segala
aktifitas hidupnya. Pemenuhan naluri manusiawi, yakni manusia yang antara
lain keperluan biologisnya termasuk aktivitas hidup, agar manusia menuruti
tujuan kejadiannya, Allah SWT mengatur hidup manusia dengan aturan
perkawinan.25 Adapun tujuan perkawinan antara lain sebagai berikut :
1. Mendapatkan keturunan
Naluri manusia cenderung untuk mempunyai keturunan yang sah,
keabsahan anak keturunan yang diakui oleh dirinya sendiri, masyarakat,
negara dan kebenaran keyakinan agama Islam memberikan jalan untuk itu,
Agama memberi jalan hidup manusia agar hidup bahagia dunia dan
akhirat. Kebahagiaan dunia akhirat itu dicapai dengan hidup berbakti
kepada Allah SWT secara sendiri-dendiri, berkeluarga dan bermasyarakat.
Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh
kehadiran anak-anak yang merupakan buah hati dan belahan jiwa. Banyak
orang yang hidup berumah tangga kandas karena tidak mendapat karunia
anak. Sebagai mana yang tercantum dalam surat Al-Furqon ayat 74
berbunyi:
ي ذ ر ن او اج و ا ز ن ل ن ام ب ـن اه ـب ر ن ل و و قـ يـ ي ن الذ ...)الفرقاناو ي ن ة ا ع (٧٤ت ن اق ر
24 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) h. 235 25 Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat,(Bogor: Kencana,2003), h 22
28
Artinya: “Dan orang orang berkata: “Ya Tuhan kami anugrahkanlah
kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami),,,, (Q.S.Al-Furqon25/27)
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
Manusia diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk
berhubungan anatar pria dan wanita, sebagaimana firman Allah SWT
pada surat Al Baqoroh ayat 187 yang menyatakan:
...)البقرة ل ه ن ل ب اس أ ن ت م و ل ك م ل ب اس ه ن ا لىن س ائ ك م ف ث الر ي ام ل يل ة الص م ل كـ ل (۱۸٧-٢-أ ح
Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan istri-istri kamu, mereka adalah pakaian
bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka..(Q.S Al-
Baqoroh:187).
Disamping perkawinan itu untuk pengaturan naluri seksual juga
untuk menyalurkan cinta kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara
harmonis dan bertanggung jawab. Namun, penyaluran cinta dan kasih
sayang yang di luar perkawinan tidak akan menghasilkan keharmonisan
dan tanggung jawab yang layak, karena didasarkan atas kebebasan yang
tidak terkait oleh satu norma.26
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
26 Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana,2003), h. 28
29
Orang-orang yang tidak melakukan penyalurannya dengan
perkawinan akan mengalami ketidakwajaran dan dapat menimbulkan
kerusakan, baik kerusakan diri sendiri ataupun orang lain bahkan
masyarakat, karena manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu
cenderung untuk mengajak kepada perbuatan yang tidak baik
sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 53:
ف س النـ ....)يوسفال ....ا ن ة ب السـوء ار (٥٣م
Artinya: “...Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.
(Q.S Yusuf 53)
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tenteram atas dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam hidupnya manusia memerlukan ketenangan dan ketenteraman
hidup, ketenangan dan ketenteraman untuk mencapai kebahagiaan, yang
mana dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan ketenteraman keluarga
tergantung dari keberhasilan pembinaan yang harmonis antara suami istri
dalam satu rumah tangga.
Dari sekian banyak tujuan-tujuan perkawinan banyak pula hikmah
yang terdapat dalam perkawinan, Hikmah perkawinan itu menurut ajaran
30
Islam adalah untuk memelihara manusia(pemuda) dari pada pekerjaan yang
maksiat yang membahayakan diri,harta dan pikiran.27 diantaranya:
1. Terciptanya hubungan antar laki laki dan perempuan yang bukan mahrom,
dalam satu ikatan suci yang halal dan diridhai Allah SWT.
2. Mendapatkan keturunan yang sah dari hasil pernikahan yang sah, karena
pernikahan merupakan sarana terbaik untuk memperbanyak keturunan,
menjaga kelangsungan hidup, serta menghindari keterputusan nasab.28
3. Terpeliharanya kehormatan suami istri dari perbuatan zina
4. Terjalinnya kerjasama antara suami istri dalam mendidik anak dan
menjaga kehidupannya
5. Menjalin silaturahmi antara keluarga besar pihak suami dan pihak istri.
27 Amir Taat Nasution, Rahasia Perkawinan dalam Islam; Tuntutan Keluarga
Bahagia,(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1994)cet.ke-3, h.31 28 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013) h. 203
31
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA SASAK PANJANG KAB.BOGOR DAN
PROSESI PERKAWINAN ADAT SUNDA
A. Kondisi Kehidupan Masyarakat Sunda Bogor
Pada masa sekarang masyarakat Sunda Bogor hidup dalam susunan
kependudukan menurut kelurahan atau Desa.1 Wilayah desa Sasak Panjang di
kecamatan Tajurhalang Bogor saat ini tidak hanya di tinggali orang orang
sunda semata, namun berbagai pendatang mulai menetap sehingga kondisi
kehidupan sunda di desa ini mulai bergeser sedikit demi sedikit, karena di
desa ini tidak hanya ditinggali orang sunda saja, penduduk asli di desa ini
adalah suku Sunda dan Betawi2. Di lihat dari kehidupannya bisa dilihat dari
berbagai kondisi untuk mengetahui lebih dalam masyarakat desa Sasak
Panjang, yaitu:
1. Kondisi geografis
Desa Sasak Panjang adalah salah satu dari 7 desa yang terletak di
kecamatan Tajurhalang kabupaten Bogor, desa ini adalah desa terluas di
bandingkan desa-desa yang lain di kecamatan Tajurhalang, luas wilayah desa
Sasak Panjang 565,670 Ha, adapun batas-batas wilayah desa Sasak Panjang
dapat dilihat tabel dibawah ini,yaitu:
1 Zulyani Hidayat, Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia, (Jakarta: LPJES,1996), h. 58 2 Juheri Irawan S.Sos (sekretaris Desa Sasak Panjang, Wawancara, Desa Sasak Panjang)
32
Tabel 1.1
Batas-Batas Wilayah Desa Sasak Panjang
No Batas wilayah Keterangan
1. Sebelah utara Berbatasan dengan Desa citayam
2. Sebelah timur Berbatasan dengan Desa Nanggerang
3. Sebelah barat Berbatasan dengan Desa kalisuren
4. Sebelah selatan Berbatasan dengan Desa Tajurhalang
Sebagian luas desa terdiri atas dataran kering, pemukiman, serta
persawahan dan ladang3.
2. Kondisi kependudukan dan sosial
a. Kependudukan
Desa Sasak Panjang berpenduduk yang mencapai 27,788 orang
dengan uraian laki-laki 13.723 dan perempuan 14.065 orang.4
Tabel 1.2
Jumlah Penduduk Menurut Umur/Usia
No Umur/usia laki-laki dan perempuan Jumlah
1. 0-9 Tahun 2881
2. 10-19 Tahun 3843
3. 20-29 Tahun 6481
4. 30-39 Tahun 5205
5. 40-49 Tahun 4016
3 Arsip Data Kantor Desa Sasak Panjang Tahun 2016. 4 Arsip Data Kantor Desa Sasak Panjang Tahun 2017.
33
6. 50-59 Tahun 3109
7. 60-69 Tahun 1739
8. 70 Tahun ke atas 584
JUMLAH 27.788WA
b. Bidang keagamaan
Dalam bidang keagamaan mayoritas warga desa Sasak Panjang
adalah beragama Islam atau bisa dikatakan 99.0% penduduknya beragam
Islam, adapun sisanya beragama Kristen. Untuk mendukung pelaksanaan
ibadah di desa Sasak Panjang tersedia fasilitas-fasilitas ibadah,5 yang bisa
dilihat tabel di bawah ini.
Tabel 1.3
Sarana Keagamaan
No Jenis Jumlah Lokasi
1. Masjid Jami 14
2. Langgar/Mushola 20
3. Pondok pesantren 4
4. Gereja 1 Komp.Inkopad
Selain digunakan sebagai sarana ibadah dalam hal Sholat lima
waktu, tempat ibadah tersebut juga digunakan oleh warga desa Sasak
5 Arsip Data Kantor Desa Sasak Panjang Tahun 2016.
34
Panjang sebagai tempat mengadakan pengajian dan peringatan-
peringatan hari besar Islam, seperti Isra’Miraj, Maulid Nabi dan lainnya.
c. Kondisi budaya dan istiadat
Disamping menganut agama Islam, masyarakat desa Sasak Panjang
juga sebagaian masih menjalankan aturan budaya dan adat istiadat yang
berlaku di desa Sasak Panjang, budaya dan Adat istiadat tersebut
merupakan suatu hukum yang tidak terkonviksi (tidak tertulis),
disampaikan secara lisan, turun temurun yang diakui oleh masyarakat.
d. Kondisi ekonomi
Jika ditinjau dari sisi ekonomi, perekonomian di desa ini cukup
pesat, sekalipun daerah di sini masih berupa desa, namun perekonomian
sangat pesat karena dengan adanya toko-toko sparepart kendaraan
bermotor, toko-toko di sini sampai menyebrang desa sebelah, banyaknya
toko di sini salah satu pengaruh percampuran budaya di desa ini. Dan
bisa di lihat fasilitas kemajuan perekonomian dibawah ini.6
Tabel 1.4
Sarana Tempat Usaha
No Jenis Jumlah
1 Konveksi 1
2 Toko sparepart motor(bengkel) 150
3 Kios bensin 40
4 Warnet 16
6 Arsip Data Kantor Desa Sasak Panjang Tahun 2016.
35
5 Toko 25
6 Waserda(warung serba ada) 4
7 Warung 200
8 Penggiling padi 2
9 Pengrajin makanan ringan 9
10 Counter pulsa 30
11 Penjual makanan matang 32
12 Loket pembayarn listrik 41
13 Pertukangan 532
14 Biro jasa 14
15 Penjahit 32
16 Lainnya (selain yang disebutkan diatas) 5
e. Kondisi pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat penting dalam
pembangunan, baik pendidikan formal maupun non formal dan
pendidikan pula memiliki peran yang sangat penting bagi bangsa dan
merupakan sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan
manusia. Desa Sasak Panjang termasuk desa yang sangat memperhatikan
pendidikan dengan adanya fasilitas-fasilitas pendukung belajar mengajar
36
yang ada di desa Sasak Panjang,7 fasilitas tersebut bisa di lihat tabel di
bawah ini:
Tabel 1.5
Saran Pendidikan
No Jenis sarana pendidikan Jumlah
1. TK 4
2. RA 2
3. PAUD 7
4. TKA/TPA 5
5. PLAY GROUP 3
6. SD NEGERI 4
7. SD SWASTA 2
8. MI 3
9. SLTP SWASTA/TSANAWIYAH 4
10. SLTA 2
11 PONDOK PESANTREN 4
Meskipun ada beberapa fasilitas pendidikan yang belum ada di
desa Sasak Panjang ini, namun masalah pendidikan tidak terlalu
terbelakang, hal ini terbukti dengan adanya warga desa Sasak Panjang
yang bisa melanjutkan pendidikannya kejenjang Perguruan Tinggi atau
7 Arsip Data Kantor Desa Sasak Panjang Tahun 2016.
37
bisa dikatakan sudah ada warga yang menyelesaikan Sarjana strata satu
atau strata dua.
B. Pengertian Adat Nyapun
Adat Nyapun yang ada di adat Sunda khususnya desa Sasak Panjang
bisa diartikan atau disamakan dengan adat Nyawer yang ada pada suku
Betawi atau adat Saweran di sebagian tradisi Jawa, walaupun dalam tradisi
ini berbeda tata cara dan pelaksanaanya, namun pada hakikatnya adalah
sama.8 Menurut ki Tuing tokoh adat tradisi Nyapun, yang disebut tradisi
Nyapun adalah nasehat-nasehat perkawinan, Nyapun adalah tradisinya
sedangkan Sapun adalah pekerjannya.9 sedangkan menurut tokoh adat
Nyapun yang lainnya yaitu Bapak Jamal adalah “Nyapun adalah do’a-do’a
yang dipanjatkan untuk si pengantin,10 Jika di telusuri lebih lanjut dari
pendapat dua tokoh adat tersebut serta naskah syair-syair yang ada, dapat
disimpulkan bahwa Nyapun memang berisikan nasihat-nasihat dan do’a-do’a
yang dipanjatkan untuk si pengantin. Yang dimaksudkan pengantin yang baru
ini diberikan nasehat-nasehat oleh tokoh adat yang diakui dan dipanjatkan
do’a-do’a keselamatan agar pernikahannya selalu diliputi keberkahan dan
jodohnya langgeng tidak ada perceraian.
Ada beberapa syarat yang harus ada ketika si pengantin akan
melakukan proses adat Nyapun, yaitu barang-barang yang akan digunakan
dalam tradisi Nyapun,diantaranya adalah:
8 Wawancara pribadi dengan bapak Jamal.bogor, 10 maret 2017. 9 Wawancara pribadi dengan Ki Tuing.bogor, 9 maret 2017. 10 Wawancara pribadi dengan bapak Jamal.bogor, 10 maret 2017.
38
1. Kursi
Kursi harus tersedia 2 kursi dan pengantin wanita harus di
tempatkan di sebelah kiri pengantin pria, dengan maksud bahwa seorang
pria yang tulang rusuknya berkurang satu sudah dilengkapi dengan
kembalinya tulang rusak pria yang hilang.
2. Payung
Payung ini harus memayungi kedua pengantin yang sedang di
Sapun, yang mengartikan keberkahan selalu memayungi keluarga yang
baru ini. Dan sebagai lambang kewaspadaan
3. Beras
Mengartikan pasangan suami istri ini agar hidupnya berkecukupan,
makmur, karena beras juga melambangkan kemakmuran.
4. Uang receh
Selain kemakmuran pangan yang disimbolkan dengan beras, uang
receh melambangkan kemakmuran dari segi ekonomi, agar si pengantin
yang baru ini, ekonominya selalu bagus dan baik.
5. Kunyit (koneng temen)
Warna kuning diibaratkan sebagai emas, kedua mempelai
diharapkan hidup tidak kekurangan bahkan lebih
6. Bunga-bunga
Bunga mengartikan kasih sayang, agar si pengantin pria dan
pengantin wanita rasa kasih sayangnya tidak pernah hilang dan selalu
terjaga.
39
7. Batok kelapa
Barang-barang yang ada seperti beras, bunga, uang receh dan
kunyit yang sudah dipotong-potong harus ditempatkan di dalam batok
kelapa, ini mengartikan bahwa semua sumber rizki yang mereka
dapatkan harus hemat dan bisa menabung di satu tempat dengan bekal
kebersamaan.
Alat-alat yang sudah disebutkan di atas harus dipenuhi seluruhnya
sebelum dilaksanakan tradisi Nyapun. Apabila terdapat kekurangan dari alat-
alat tersebut maka tradisi nyapun tidak bisa dilaksanakan, dan setelah lengkap
alat-alat ini, maka prosesi adat nyapun bisa dilaksanakan oleh tokoh adat
Nyapun.11
Apabila alat-alat sudah terpenuhi semua, maka barang-barang seperti
beras, uang receh, bunga, dan kunyit yang sudah dipotong-potong kecil di
tempatkan menjadi satu di dalam batok kelapa, sedangkan kursi ditempatkan
untuk pengantin pria dan perempuan, dan pengantin perempuan di dudukkan
di kursi sebelah kiri dengan arti bahwa seorang pria yang tulang rusuknya
berkurang satu sudah dilengkapi dengan kembalinya si pengantin wanita
sebagai tulang rusak pria yang hilang. Lalu kedua pengantin di payungi
dengan ditemani tokoh adat yang nantinya bertugas memandu dan
membacakan syair-syair dan do’a khusus tradisi Nyapun, sambil di bacakan
syair-syair dan do’a tersebut, tokoh adat melempari uang, beras, kunyit,
11 Wawancara pribadi dengan Ki Tuing, Bogor, 9 Maret 2017.
40
bunga yang ada di dalam batok yang sudah disiapkan ke pengantin pria dan
wanita.12
C. Proses Upacara Perkawinan Adat Sunda Di Desa Sasak Panjang
Pada saat dilaksanakannya upacara perkawinan masyarakat Bogor
khususnya desa Sasak Panjang memiliki cara khusus dalam pelaksanaan
perkawinan. Pelaksanaan perkawinan diatur mulai dari perencanaan sampai
dengan selesainya perkawinan tersebut. Jadi pelaksanaan perkawinan dalam
masyarakat tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan tanpa persiapan
yang matang walaupun dasarnya adalah tidak wajib menjalankan adat istiadat
tersebut. Berikut adalah tata cara pelaksanaan perkawinan yang berlaku
dalam masyarakat desa Sasak Panjang.13
1. Lamaran
Dalam tahap ini pihak laki-laki dan keluarganya datang kerumah
mempelai wanita dengan tujuan melamar pihak wanita, dan hanya
dihadiri oleh pihak keluarga pria dan wanita saja, pada tahap ini biasanya
para orang tua membahas besarnya mahar yang akan diberikan dan kapan
waktu pelaksanaanya berlangsung.
2. Seserahan
Prosesi setelah lamaran, keluarga mempelai pria datang kembali
dengan membawa barang-barang perlengkapan untuk mempelai wanita di
luar mahar untuk mempelai perempuan sebagai tanda jadi untuk
kelanjutan dilaksanakannya perkawinan.
12 Wawancara pribadi dengan Ki Jamal, Bogor, 10 Maret 2017 13 Wawancara pribadi dengan bapak Jamal.bogor, 10 maret 2017.
41
3. Resepsi perkawinan
Resepsi perkawinan yang dilaksanakan tersebut penulis bagi dalam
beberapa bagian resepsi, yaitu mangkat, resepsi,dongdang dan ngendong
tiga hari
a. Mangkat
1) Pada prosesi ini, keluarga menyiapkan tempat untuk tamu dan
makan-makanan yang nanti akan disajikan, dan di malam harinya
biasanya di laksanakan pengajian yang biasanya di hadiri oleh
warga masyarakat sekitar.
2) Untuk mempelai lelaki biasanya kirim-kirim rokok untuk
mempererat silaturahmi agar dibantu untuk bebesanan kerumah
mempelai wanita.
b. Resepsi
1) Calon pengantin pria dijemput oleh keluarga mempelai wanita
dengan dikalungkan bunga melati, dan langsung menuju tempat
di mana akad nikah akan dilaksanakan.
2) Akad nikah: semua rukun dan syarat pernikahan yang ada pada
hukum agama Islam harus sudah terpenuhi di tempat pelaksanaan
akad nikah, pengantin wanita lalu didudukan di sebelah kiri
pengantin pria dan dikerudungi dengan kain panjang yang berarti
penyatuan dua insan yang murni.
3) Setelah akad secara agama sudah dilaksanakan lalu pengantin di
bawa dan dilaksanakanya adat nyapun tersebut.
42
4) Duduk di pelaminan: setelah akad nikah adat prosesi nyapun,
maka pasangan pengantin langsung menuju kursi pelaminan
untuk menyambut tamu undangan.
4. Dongdang
Setelah resepsi perkawinan selesai dilaksanakan maka akan ada
pembagian makanan sisa dari resepsi dan sedikit uang sebagai ucapan
terima kasih kepada orang-orang yang telah berperan aktif membantu
pelaksanaan resepsi perkawinan.
5. Ngendong tiga hari
Setelah tiga hari pernikahan tibalah apa yang di sebut ngendong
tiga hari,14 Keluarga mempelai wanita datang ke rumah mempelai pria
dengan mengantarkan pengantin wanita, namun hanya istilah saja
ngendong tiga hari, namun hakikatnya hanya untuk mengantarkan
pengantin wanita untuk diserahkan keluarga pria.
14 Ngendong : Menginap di rumah mempelai laki-laki
43
BAB IV
HUKUM ADAT NYAPUN DAN PENDAPAT ULAMA DAN TOKOH
MASYARAKAT
Tradisi Jika ditinjau dari sudut pandang Islam memiliki aturan sendiri
dalam pembahasan para ulama, Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman hidup
telah menjelaskan bagaimana kedudukan tradisi (adat istiadat) dalam agama itu
sendiri. Karena nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah tradisi dipercaya dapat
mengantarkan keberuntungan, kesuksesan, keberhasilan bagi masyarakat tersebut.
Akan tetapi eksistensi adat istiadat tersebut juga tidak sedikit menimbulkan
polemik jika ditinjau dari kacamata Islam.
Allah berfirman dalam Al Qur’an :
ه ه ا بان ان لاو أاوا نان ه بانءا ن أال فاي نان عالاي ه قانلهوا ال ناتبعه ما لا الل ن أانزا ه اتبعهوا ما إذاا قيلا لاهه وا
ا ٢:١٧٠ تادهو لا ياه ا شاي ئن وا لا ياع قلهو
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”mereka menjawab, ”(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).”Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun dan tidak mendapat petunjuk.” (QS Al-Baqarah:170)
د نان عالاي ه جا ن وا بهنان ما س سهول قانلهوا حا إلاى الر ه وا لا الل ن أانزا ا إلاى ما تاعانلاو إذاا قي لا لاهه وا
ا ]٥:١٠٤ تادهو لا ياه ا شاي ئن وا و لا ياع لامه ه ه ا بان ان لاو أاوا نان بانءا
Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Marilah (mengikuti)
apa yang diturunkan Allah dan (mengikuti) Rasul.” Mereka
menjawab, “Cukuplah bagi kami apa yang kami dapati nenek
44
moyang kami (mengerjakannya).”Apakah (mereka akan mengikuti) juga nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?” (QS Al-Maidah:104)
Kedua ayat tersebut menjelaskan tentang orang-orang yang lebih patuh
pada ajaran dan perintah nenek moyangnya daripada Syariat yang diwahyukan
oleh Allah didalam Al-Qur’an. Lalu bagaimana sikap kita? Adanya syariat tidak
berupaya menghapuskan tradisi, Islam menyaring tradisi tersebut agar setiap nilai-
nilai yang dianut dan diaktualisasikan oleh masyarakat setempat tidak bertolak
belakang dengan Syariat. Sebab tradisi yang dilakukan oleh setiap suku bangsa
yang notabene beragama Islam tidak boleh menyelisihi syariat. Karena kedudukan
akal tidak akan pernah lebih utama dibandingkan Wahyu Allah SWT.
A. Pendapat Ulama dan Tokoh Masyarakat Setempat Tentang Adat
Istiadat Nyapun.
Membaca sejarah yang ada, adat dan budaya di Indonesia mempunyai
pengaruh yang besar dan ia hidup dan tumbuh menyesuaikan diri dengan
perkembangan sejak zaman dahulu. Seperti upacara pernikahan yang
berlangsung di desa Sasak Panjang khususnya adat Nyapun. Pada dasarnya
adat Sunda yang berlangsung di desa Sasak Panjang ini adalah serapan dari
dua budaya, yaitu budaya Sunda dan budaya Betawi, yang menyatu menjadi
satu tradisi.1
Menurut ki Tuing (tokoh adat Nyapun) Tradisi masyarakat desa Sasak
Panjang pun sebenarnya sama, dahulu ada beberapa tradisi yang mungkin
digunakan sebagai alat persembahan dewa-dewi, karena sebelum Islam
1Wawancara pribadi dengan Ki Tuing. Bogor, 9 maret 2017
45
datang, masyarakat menganut paham Animisme dan Dinamisme, setelah
Islam datang tradisi-tradisi tersebut digunakan sebagai alat penyebaran agama
Islam. Adat Nyapun itu sendiri adalah sebuah doa-doa serta nasihat-nasihat
yang diberikan untuk pengantin, agar dalam mengarungi bahtera rumah
tangganya selamat dunia akhirat2, dan kedudukannya di dalam syarat dan
rukun pernikahan tidak mempengaruhi sah dan tidaknya pernikahan, sama
halnya didalam syarat dan rukun pernikahan yaitu adanya khutbah nikah yang
eksistensinya sama. Dari setiap prosesi pernikahan yang dilaksanakan di desa
Sasak Panjang tersebut mempunyai filosofi dan makna yang sangat kental.
Setiap bagian dari upacara tersebut memberikan sebuah keagungan akan
sebuah kearifan lokal. Setiap unsur berisi dari prosesi doa dan harapan akan
kelanggengan dan kebahagiaan kedua mempelai yang akan mengaruhi
bahtera rumah tangga3.
Menurut H.Ahmad Sugandi (tokoh masyarakat) menuturkan bahwa
Menurut Syariat, nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak
terlalu rumit. Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan
persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena
paradigma budaya yang terlalu disakralkan justru malah menimbulkan
kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun pada saat
pernikahan4. Hal ini disebabkan diantaranya karena sesuatu yang telah
menjadi budaya atau adat istiadat. Dalam hal ini lah masyarakat di desa sasak
panjang memandang bahwa upacara pernikahan yang mereka laksanakan
2Wawancara pribadi dengan Ki Tuing. Bogor, 9 maret 2017 . 3 Wawancara pribadi dengan bapak Jamal.bogor, 10 maret 2017. 4 Wawancara pribadi dengan H.Ahmad Sugandi. Bogor, 10 maret 2017.
46
bukanlah suatu keharusan yang harus ada dalam sebuah pernikahan. Sehingga
apabila ada masyarakat yang tidak melaksanakan upacara tersebut maka tidak
mendapatkan sanksi apa pun.
KH.Ahmad Amri S.Ag (ketua MUI desa sasak panjang) Beliau
berpendapat mengenai adat istiadat yang berlaku di desa Sasak Panjang ini
bahwa sebuah tradisi yang bisa dijadikan sebuah pedoman hukum adalah:
1. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat
umum.
2. Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.
3. Tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan Hadis Nabi Saw.
Beliau berpendapat bahwa melaksanakan tradisi Nyapun yang asal-
usulnya adalah adat istiadat yang berisikan nasihat-nasihat dan jelas
menuhankan Allah SWT dan bahkan menyebutkan tentang Nabi-nabi Nya
dan beliau mengatakan itu tidak bermasalah,dan tidak meaksanakanya adat
tersebut pun tidak bermasalah, karena tidak mengurangi syarat dan rukun
pernikahan, karena itu hanya sebatas tradisi atau kebiasaan yang baik, namun
apabila tradisi ini sudah menyimpang dari syariat apalagi sampai menyentuh
wilayah ketauhidan maka tidak boleh dilaksanakan. Beliau mengisyaratkan
bahwa adat istiadat yang sudah menjadi kebiasaan itu bisa menjadi hukum,
namun bisa gugur jika ada pengaruh kesyirikan dan kekufuran5.
5 Wawancara pribadi dengan KH.Ahmad Amri. Bogor, 10 maret 2017
47
B. Korelasi Antara Hukum Adat Nyapun Dengan Hukum Islam
Adat dan budaya mempunyai pengaruh yang besar dalam proses
pengambilan hukum Islam. Imam Malik bin anas menjadikan ‘amal
penduduk Madinah sebagai pijakan utama dalam pengambilan hukum.
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya memberikan perbedaan hukum
karena perbedaan adat-istiadat di suatu daerah tertentu. Begitu juga imam
Syafi`i, sudah jamak diketahui bahwa hasil ijtihad beliau berbeda ketika
bermukim di Baghdad dan Mesir. Maka lahirnya dua Qaul yang sangat
masyhur yaitu qoul qodim dan qoul jadid. Salah satu yang menjadikan
perbedaan adalah adat istiadat yang berbeda di dua kota besar tersebut.
Sumber hukum Islam terbagi menjadi dua, manshus (berdasarkan
nash) dan Ghairu manshush (tidak berdasarkan nash). Manshush terbagi
menjadi dua yaitu al-Quran daan al-Hadis, Ghairu manshush terbagi
menjadi dua yakni mutafaq ‘alaih (ijma’ dan qiyas) dan mukhtalaf fih
(istihsan, ‘urf, istishab, sad addzarai, masalahah mursalah, qoul shohabi, dan
lain-lain).
Dalam istilah bahasa arab, adat dikenal dengan istilah ‘adat atau‘urf
yang berarti tradisi. Ahli bahasa Arab ada yang menyamakan kata adat
dengan ‘urf, karena kedua kata itu memiliki arti yang sama, maka kata ‘urf
adalah sebagai penguat terhadap kata adat.6 Kedua istilah tersebut
mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda. Dalam pembahasan
6 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999),
h. 363
48
lain, ‘adat atau ‘urf dipahami sebagai sesuatu kebiasaan yang telah berlaku
secara umum di tengah-tengah masyarakat. Di seluruh penjuru negeri atau
pada suatu masyarakat tertentu yang berlangsung sejak lama.7 ‘Urf menurut
penyelidikan bukan merupakan dalil syara’ tersendiri. Pada umumnya, ‘urf
ditunjukan untuk memelihara kemaslahatan umat serta menunjang
pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengaan ‘urf
dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dibatasi yang mutlak, karena ‘urf
terkadang qiyas ditinggalkan.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad dan salah
satu bentuk istihsan itu adalah bentuk istihsan al-‘urf (istihsan yang
menyandar pada al-‘urf ). Oleh ulama Hanafiyah, al-‘urf itu didahulukan
atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum. Ulama
Malikiyah menjadikan‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah
sebagai dasar menetapkan hukum dan mendahulukannya dari hadis ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan al-‘urf dalam hal-hal yang tidak
ditemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan
bahasa.8 Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan al-‘urf, Al-‘Urf atau adat
itu digunakan sebagai landasan dalam menetapkan hukum. Namun
penerimaan ulama atas adat bukanlah karena semata-mata ia bernama adat
atau al-‘urf. Al-‘Urf atau adat bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Adat atau
al-‘urf itu menjadi dalil karena ada yang mendukung atau ada tempat
7 Moh. Fadal Kurdi. Kaidah-Kaidah Fikih. (Jakarta. Artha Rivera), h. 69 8 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid II (Cet. I; Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999),
h. 374
49
sandarannya, baik dalam bentuk ijma’ atau maslahat. Adat yang berlaku di
kalangan umat telah diterima sekian lama secara baik oleh umat.
Menurut imam Syatibi dan imam Qayim al Jauziah, menerima dan
menjadikan ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum, apabila
tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi.9 Para
ulama menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath
hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan
nash dari al-Quran atau Al-Hadis.10
Para ulama’ berpendapat bahwa adat atau tradisi dapat dijadikan
sebagai dasar untuk menetapkan hukum syara’ apabila tradisi tersebut telah
berlaku secara umum di masyarakat tertentu. Sebaliknya jika tradisi tidak
berlaku secara umum, maka ia tidak dapat dijadikan sebagai pedoman dalam
menentukan boleh atau tidaknya tradisi tersebut dilakukan. Syarat lain yang
terpenting adalah tidak bertentangan dengan nash. Artinya, sebuah tradisi
bisa dijadikan sebagai pedoman hukum apabila tidak bertentangan dengan
nash al-Qur’an maupun al-Hadis11. Menurut Wahbah Az-Zuhaili
mengungkapkan bahwa sifat ‘Urf ini harus sejalan dengan tindakan dan
tujuan syara’.12 Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini
harus ditolak dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat.
9 Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (Jakarta: Logos Wacan Ilmu, 1997), h. 142 10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010) h. 418 11 Nasrun Harun, Ushul Fiqh, (jakarta: Logos Wacana Ilmu,1997), h.143 12 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al Islam (beirut: Dar al-Fikr, 1986), h. 757
50
Nash yang dimaksudkan adalah nash yang bersifat qath’i (pasti),
yakni nash yang sudah jelas dan tegas kandungan hukumnya, sehingga tidak
memungkinkan adanya takwil atau penafsiran lain, Namun yang terpenting
untuk ditekankan adalah, bahwa tradisi ini bukanlah landasan yuridis yang
berdiri sendiri, yang bisa mencetuskan hukum baru. Tetapi, harus dibarengi
dan berhadapan dengan nash-nash yang lain. Penerapannya juga melihat
kebutuhan primer, maslahat yang bersifat umum, mencegah kesulitan, dan
meringankan hal yang sukar.
Maka, tidak semua adat istiadat istiadat itu bisa diterima, hanya yang
benar dan baik (shahih) saja, bukan yang buruk (fasid) dari segala aspeknya.
Standar adat yang pertama adalah tidak bertentangan dengan dalil syar`i,
tidak menghalalkan yang haram, dan tidak membatalkan sesuatu yang sudah
wajib.
Sedangkan jika ditinjau dari segi keabsahannya, ‘urf atau adat dibagi
menjadi dua, yaitu:
1. ‘Urf Sahih, yaitu suatu hal yang baik yang menjadi kebiasaan suatu
masyarakat, tidak bertentangan dengan ajaran agama, sopan santun,
dan budaya yang luhur. Misalnya pemberian pihak laki-laki kepada
calon istrinya dalam pelaksanaan pinangan dianggap sebagai hadiah,
bukan mahar. Ini seperti juga kebiasaan penduduk kota Baghdad
dulunya untuk menyiapkan makan siang bagi tukang yang bekerja
dalam pembangunan rumah.
51
2. ‘Urf Fasid (adat kebiasaan yang tidak benar), yaitu suatu adat yang
menjadi kebiasaan yang sampai pada penghalalan sesuatu yang
diharamkan oleh Allah (bertentangan dengan ajaran agama), undang-
undang negara dan sopan santun. Misalnya menyediakan hiburan
perempuan yang tidak memelihara aurat dan kehormatannya dalam
sebuah acara atau pesta, dan akad perniagaan yang mengandung
riba13.
Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa pada saat Islam datang
dahulu, masyarakat telah mempunyai adat istiadat dan tradisi yang berbeda-
beda. Kemudian Islam mengakui yang baik diantaranya serta sesuai dengan
tujuan-tujuan syara’ dan prisnsip-prinsipnya. Syara’ juga menolak adat
istiadat dan tradisi yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Disamping itu
ada pula sebagian yang diperbaiki dan diluruskan, sehingga ia menjadi
sejalan dengan arah dan sasarannya. Kemudian juga banyak hal yang telah
dibiarkan oleh syara’ tanpa pembaharuan yang kaku dan jelas, tetapi ia
biarkan sebagai lapangan gerak bagi al-‘urf al-shahih (kebiasaan yang
baik). Disinilah peran ‘urf yang menentukan hukumnya, menjelaskan
batasan-batasannya dan rinciannya14.
Para ulama ushul fiqih berdasarkan ijma’ menyatakan bahwa suatu
‘urf, baru dapat dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum
syara’ apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
13 Moh. Fadal Kurdi, Kaidah Kaidah Fikih. (Jakarta. Artha Rivera,2008 ), h. 154-155 14 Moh.Fadal Kurdi. Kaidah Kaidah Fikih. (Jakarta. Artha Rivera,2008), h. 69
52
a) ‘Urf berlaku secara umum, artinya ‘urf itu berlaku dalam
mayoritas kasus yang terjadi ditengah-tengah masyarakat dan
keberlakuannya dianut oleh mayoritas masyarakat tersebut.
b) ‘Urf itu telah masyarakat ketika persoalan yang kita tetapkan
hukumnya itu muncul, artinya, ‘urf yang akan dijadikan
sandaran hukum itu lebih dahulu ada sebelum kasus yang akan
ditetapkan hukumnya.
c) ‘Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara
jelas dalam suatu transaksi.
d) ‘Urf tidak bertentangan dengan nash.
Telah dijelaskan diatas bahwa sebuah tradisi yang berjalan secara
umum di tengah-tengah masyarakat memiliki kekuatan hukum bagi mereka.
Artinya, tradisi tersebut dapat dibenarkan untuk terus dipertahankan.
Sebaliknya, jika sebuah tradisi belum berlaku secara umum, maka tradisi
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum. dalam Al-Qur’an
juga diceritakan mengenai sebagian kebiasaan masyarakat Arab yang
ditetapkan sebagai hukum. Diantaranya adalah dalam surat an-Nur ayat 58,
yaitu:
لثا ثا كه ن م ا له لحه واا غه له ب يا لا نا ي ذ لا ا وا كه ن نه ما ي اا ت كا لا ما نا ي ذ نل مه كه ن ذ أ تا س يا ل او نه ما ا ـنا ي ذ ـن ال ها يه ٲا ن يا
ت ما لوة صا د ع ا ن م وا ة را ي ه الظ نا م كه ن ا يا ث ا و عه ضا تا نا ي ح وا ر ج فا ال وة ل صا ل ب قا ن م ر
ا ن ه دا ع ا ح نناجه ه ي لا عا لا وا كه ي لا عا سا ي لا كه ـل ت ر و عا ثا ـ لـشان ء ثا لع ا كه ي لا عا ا و افه و
(۸٥ر: )النو . ي ك حا ي لـ عا للاه ليت وا ا ه كه لا للاه نه ي ـبا يه كا ذ ل ا ض عه لى ا عا كه ـضه ع ا
53
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) Yaitu: sebelum sembahyang subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di tengah hari dan sesudah sembahyang Isya'. (Itulah) tiga 'aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."(Q.S.An-Nur: 58).
Memelihara ‘urf dalam sebagian keadaan juga dianggap sebagai
memelihara maslahat itu sendiri. Hal ini bisa disebut demikian karena
diantara maslahat manusia itu adalah mengakui terhadap apa yang mereka
anggap baik dan biasa, karena maslahah yang selaras dengan tujuan syariat
Islam dan tidak ada petunjuk tertentu yang membuktikan tentang
pengakuannya dan penolakannya.15 dan keadaan mereka tersebut telah
berlangsung selama bertahun-tahun dan dari satu generasi ke generassi
berikutnya. Sehingga ini menjadi bagian dari kehidupan sosial mereka yang
sekaligus sukar untuk ditinggalkan dan berat bagi mereka untuk hidup tanpa
kebiasaan tersebut.16
Diantara masalah yang bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum adalah
tradisi Nyapun. Tradisi tersebut lumrah terjadi di daerah Sunda khususnya di
desa sasak panjang, sehingga tradisi tersebut dapat dibenarkan terus
berlangsung di tengah-tengah masyarakat. jika dilihat dari berlangsungnya
dari acara Nyapun tersebut, didalamnya tidak ada tindakan atau unsur yang
15 Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007 cet, ke-11) h. 247 16 Yusuf Al-Qardhawi, Keluasan dan Keluasan Hukum Islam. (Semarang: Bina
Utama.1993),h. 21
54
mengharamkan sesuatu yang halal atau pun menghalalkan sesuatu yang
haram. Ini disebabkan karena tradisi semacam itu tidak bertentangan dengan
nash.
C. Hukum Adat Nyapun Pada Perkawinan Adat Sunda
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman,
baik itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di
indonesia hadir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap
penganutnya. Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi
masyarakat.17
Adat atau ‘urf dengan persyaratan-persyaratan tertentu dapat dijadikan
sandaran untuk menetapkan suatu hukum, bahkan didalamnya sistem hukum
Islam kita kenal qa’idah kulliyah fiqhiyah yang berbunyi;18
ة ما ك حا مه ةه عا ي ر شا ةه ندا عا ال
a. Maksudnya, adat dapat dijadikan hukum untuk menetapkan suatu
hukum syara’
ى ع ر شا ل ي ل دا ت ن ثا ف ر عه نل ته نالث
b. Sesuatu yang ditetapkan adat atau ‘urf seperti yang ditetapkan
dalil syara’
ةه ما ك حا مه ةه ندا العا
17 Yayan Sopyan, Islam Negara; Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional, (Jakarta: RM.Book,2012) h. 11
18 Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2000), h. 185.
55
c. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan
diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-Qur’an
dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip - prinsip dasar dan karakter
keuniversalan hukum Islam, dapat dijabarkan kaidah ini dengan melihat
kondisi lokal dengan masing-masing daerah.
Maka dapat dikatakan bahwa adat istiadat yang berada di desa Sasak
Panjang merupakan adat istiadat yang tidak dilarang oleh syar’i,
Hal ini hukum adat dapat berlaku apabila oleh beberapa sebab, yaitu:
1. Tradisi yang berlangsung di desa Sasak Panjang telah berlangsung
sejak lama dan dilaksanakan secara turun temurun. Sehingga adat
istiadat ini merupakan produk dari nenek moyang mereka yang
kemudian mereka warisi dan dilaksanakan sampai sekarang.
2. Tradisi upacara pernikahan dengan adat Sunda yang dilaksanakan di
desa Sasak Panjang Bogor, merupakan tradisi yang baik dan perlu
dilestarikan. Ini seperti yang diungkapkan oleh para tokoh masyarakat
dalam wawancara yang kami lakukan. Dalam tradisi tersebut
terkandung makna dan filosofi yang baik, yang bertujuan untuk
memberikan do’a dan bahagia serta harapan yang baik bagi kehidupan
mempelai. Tradisi tersebut juga memberikan pendidikan yang baik
bagi para generasi masyarakat dalam mewarisi tradisi nenek moyang.
56
3. Pelaksanaan tradisi Nyapun yang dilaksanakan tersebut tidak ada yang
bertentangan dengan Al-Qur’an maupun Al-Hadis. Bahkan upacara
pernikahan tersebut merupakan sebuah acara yang sesuai dengan
tujuan dari sebuah walimah dalam Islam, yaitu memberikan rasa
kebahagiaan kepada kedua mempelai.
Maka dengan adanya sebab diatas sudah sesuai dengan ketentuan
kaedah ushul fiqh yaitu:
ةه ما ك حا مه ةه ندا العا
Artinya: “ Adat itu bisa menjadi hukum”.
Qaidah yang lain:
“Menetapkan (suatu hukum) dengan dasar (‘urf), seperti menetapkan
(hukum) dengan dasar nash.”
Kaidah-kaidah tersebut memberikan peluang pada kita sebagai umat
muslim untuk menetapkan ketentuan-ketentuan hukum, apabila tidak ada
nash yang menjelaskan ketentuan hukumnya. Bahkan meneliti dan
memperhatikan adat (‘urf) untuk dijadikan dasar pertimbangan dalam
menetapkan suatu ketentuan hukum merupakan suatu keharusan. Akan
tetapi, tidak semua adat (‘urf) manusia dapat dijadikan dasar hukum. Yang
dapat dijadikan dasar hukum adalah adat (‘urf) yang tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan-tujuan hukum Islam itu sendiri.
Budaya lokal disuatu daerah berdiri tepat di belakang nash-nash syar`i. Bisa
menjadi pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan hukum, tanpa
57
mengubah hukum asal yang sudah tetap. Tetap bisa diadopsi dan diadapsi,
dipilah dan dipilih, yang sesuai dilestarikan dan dijadikan pegangan, yang
tidak sesuai harus dibuang.
Dan jika ditelusuri lebih dalam adat istiadat dan tradisi yang terdapat
dalam upacara pernikahan di desa Sasak Panjang sudah dapat dijadikan
sebagai sebuah pedoman. Sehingga keberadaan akan tradisi tersebut telah
mendapatkan legitimasi dari syara’.
Melihat prosesi upacara pernikahan adat Nyapun yang dilaksanakan di
desa Sasak Panjang tersebut menunjukkan pemahaman masyarakat desa
Sasak Panjang akan makna pernikahan sebagai pekerjaan yang mulia yang
disyariatkan oleh agama. Dalam berbagai ayat Al-Quran dan Hadis
disebutkan bahwa tujuan dari adanya pernikahan adalah untuk membentuk
keluarga yang sakinah mawaddah dan warahmah serta untuk meneruskan
keturunan dari seseorang. Maka pelaksanaan prosesi upacara pernikahan di
desa Sasak Panjang tersebut sudah sesuai dengan tujuan nikah yang
disyariatkan dalam Islam.
Sedangkan dalam metode dan prosesi upacara pernikahan atau
dikalangan masyarakat Arab disebut sebagai walimah, Islam sendiri tidak
menentukan cara dan metode bagaimana sebuah walimah dalam hukum
islam itu harus dilaksanakan. Semuanya dikembalikan kepada adat-istiadat
yang berlangsung di daerah yang bersangkutan. Islam hanya memberikan
batas-batasan terhadap hal-hal yang tidak diperbolehkan atau dilarang ketika
58
melaksanakan sebuah upacara pernikahan dan memberikan beberapa
anjuran di dalamnya.
Prosesi upacara yang dilaksanakan di desa tersebut bertujuan untuk
memberikan nasehat-nasehat dan ungkapan rasa kebahagiaan dari para tetua
adat dan para orang tua kepada kedua mempelai.
Dalam Islam juga ditekankan bahwa dalam pesta perkawinan ini wajib
dijauhkan dari acara yang tidak sopan dan porno, bercampur gaul antara
laki-laki dan perempuan. Begitu pula perkataan yang keji dan tak pantas
didengarkan masyarakat. Dalam hal ini juga diterapkan dalam upacara
pernikahan yang dilaksanakan di desa Sasak Panjang khususnya suku sunda.
Dalam pesta acara tersebut tidak terdapat hal-hal melanggar syariat Islam.
Bahkan dalam prosesi acara tersebut berisikan pujian-pujian kepada Tuhan
yang maha kuasa dan sanjungan dan doa kepada kedua mempelai.
Syariat nikah dalam Islam sebenarnya sangatlah simpel dan tidak
terlalu rumit. Apabila sebuah ritual pernikahan telah memenuhi rukun dan
persyaratannya, maka sebuah pernikahan sudah dianggap sah. Namun
karena paradigma budaya yang terlalu disakralkan oleh masyarakat maka
akan menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik sebelum pernikahan ataupun
pada saat pernikahan. Hal ini disebabkan karena sesuatu yang telah menjadi
budaya atau adat istiadat. Mempertimbangkan faktor sosiologis sangat
penting bila melihat hukum Islam dengan segala dinamikanya, antara lain
bukanlah semata-mata sebagai lembaga hukum yang menekankan aspek
spiritual, tetapi juga merupakan sistem sosial yang utuh bagi masyarakat
59
yang didatanginya. Oleh karena itu, hukum Islam harus tetap eksis dalam
masyarakat sesuai dengan kondisi sosial, budaya, dan ekonomi dalam waktu
dan ruang tertentu. Dari sudut pandang inilah nilai prinsip ‘illat (penalaran
ta’lili) sangat penting untuk dijadikan dasar dalam menetapkan hukum Islam
sesuai dengan kondisi masyarakat tertentu Dalam hal ini lah masyarakat di
desa Sasak panjang memandang bahwa upacara pernikahan yang mereka
laksanakan khususnya adat Nyapun bukanlah suatu keharusan yang harus
ada dalam sebuah pernikahan. Sehingga apabila ada masyarakat yang tidak
melaksanakan upacara tersebut maka tidak mendapatkan sanksi apa pun.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adat Nyapun adalah nasihat-nasihat dan do’a-do’a yang dipanjatkan
untuk pengantin, Yang dimaksudkan pengantin yang baru ini diberikan
nasehat-nasehat oleh tokoh adat yang diakui dan dipanjatkan do’a-do’a
keselamatan agar pernikahannya selalu diliputi keberkahan dan jodohnya
langgeng tidak ada perceraian. sedangkan Nyapun adalah tradisinya dan
Sapun adalah pekerjannya.
Tradisi Nyapun di dalam hukum islam memang tidak dijelaskan, hal
itu hanya terdapat didalam adat. Oleh karena itu, diberlakukan atau
tidaknya adat ini tidak akan mempengaruhi pernikahan tersebut sah atau
tidak. adat mengenai Nyapun ini harus dilestarikan sebagai simbol
identitas bangsa namun perlu ada penyaringan dan penyesuaian dengan
hukum Islam agar tidak bertentangan. Penyesuaian tersebut diantaranya
mengenai harapan sesuatu setelah melakukan tradisi tersebut yang tidak
sesuai dengan Al-Quran dan Hadis.
Tradisi Nyapun yang terdapat di desa Sasak Panjang dapat
dilestarikan dengan catatan bahwa sesuatu yang bertentangan dengan
hukum Islam harus diubah agar tidak terjadi pertentangan antara hukum
adat dengan hukum Islam.
Adat Nyapun dalam tradisi perkawinan di desa Sasak Panjang bukan
merupakan unsur penting atau rukun dalam sahnya suatu perkawinan.
61
Akan tetapi adat Nyapun dalam prakteknya yang sekarang ini hadir
sebagai unsur tambahan dalam rangka pelestarian tata cara yang sudah
dikenal turun temurun, sedangkan seluruh isinya sudah di saring dari hal-
hal yang dinilai bertentangan dengan syaariat Islam.
Adat atau ‘urf dengan persyaratan-persyaratan tertentu dapat dijadikan
sandaran untuk menetapkan suatu hukum, bahkan didalamnya sistem
hukum Islam kita kenal qa’idah kulliyah fiqhiyah yang berbunyi;
العادة شريعة محكمة
a. Maksudnya, adat dapat dijadikan hukum untuk menetapkan suatu
hukum syara’
الثابت بالعرف ثابت بدليل شرعى
b. Sesuatu yang ditetapkan adat atau ‘urf seperti yang ditetapkan
dalil syara’
العادة محكمة
c. Adat kebiasaan itu bisa menjadi hukum
Dengan kaidah tersebut, hukum Islam dapat dikembangkan dan
diterapkan sesuai dengan tradisi (adat) yang sudah berjalan. Sifat al-
Qur’an dan al-Sunnah yang hanya memberikan prinsip-prinsip dasar dan
karakter keuniversalan hukum Islam, dapat dijabarkan kaidah ini dengan
melihat kondisi lokal dengan masing-masing daerah. menerima dan
menjadikan adat atau ‘urf sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum,
apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang
62
dihadapi. Para ulama menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu
sumber dalam istinbath hukum.
Menurut para ulama’ sebuah tradisi yang bisa dijadikan sebuah
pedoman hukum adalah:
1. Tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat
umum.
2. Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.
3. Tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan Hadis Nabi Saw.
Karena itu, sebuah tradisi yang tidak memenuhi syarat ini harus ditolak
dan tidak bisa dijadikan pijakan hukum bagi masyarakat. i dalil sekiranya
tidak ditemukan nash dari al-Quran atau Al-Hadis.
B. Saran
1. Bagi masyarakat desa Sasak Panjang, hendaknya berupaya
mempertahankan tradisi ini sebagai salah satu identitas kebangsaan
yang terkandung di dalamnya yang berisikan norma kearifan lokal
agar masyarakat lebih bisa memahami hubungan antara ajaran Islam
dengan tradisi-tradisi yang berkembang di desa Sasak Panjang,
sehingga setiap perkembangan zaman dapat di respon dengan baik
tanpa harus meninggalkan nilai-nilai luhur tradisi ini.
2. Para ulama dan tokoh masyarakat berkewajiban memberikan
penjelasan mengenai nilai kearifan yang terdapat dalam tradisi Nyapun
ini, khsusnya mengenai hukum yang ada didalamnya yang baik
63
maupun yang fasid, seperti menghamburkan beras yang ada didalam
prosesnya. karena sebagian dari masyarakat belum mengetahuinya,
sehingga ada masyarakat yang berpandangan kurang baik tentang
tradisi ini.
3. Para tokoh adat yang masih memahami dan menguasai dinamika
kebudayaan sunda, diharapkan untuk menulis dan melestarikan adat
istiadat sunda khususnya adat Nyapun yang sudah semakin berkurang.
4. Diharapkan agar perbedaan adat istiadat teruatama dalam hukum
perkawinan tidak membuat adanya perpecahan diantara sesama bangsa
indonesia khususnya umat Islam.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abidin Abu Bakar, Zainal. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan AL Hikmah, 1993.
Amiruddin dan Askin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2004, Cetakan Pertama. Asmin. Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang No 1
Tahun 1974. Jakarta: PT.Dian Rakyat, 1986. Azdi (al), Abi Dawud Sulaiman bin Al-asyats Al-sajatani, Sunan Abi Daud.
Beirut: Dar Al Fikr,1998, Hadits ke 2050.
Departemen Agama RI. “Al-Qur’an dan Terjemahannya”. Bandung: Gema
Risalah. 1992.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka, cet ke-3 Edisi ke- 2. 1994.
Darajat, Zakiah. Ilmu Fiqih Jilid 2. Yogyakarta: Dana Bakti, 1995.
Djazuli dan Aen, Nurol. Ushul Fiqih Metode Hukum Islam, Jakarta: PT Greafindo Persada, 2000.
Djaman, Nur. Fiqih Munakahat. Bengkulu: Dina Utama Semarang, 1993.
Fadal, Moh. Kurdi. Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Artha Rivera, 2008
Ghazaly, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat. Bogor: Kencana, 2003.
Jawad Mughniyah, Muhammad. Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, 2006.
Jaziri (al), Abdurrahman. Kitab ‘ala Madzahib Al-arba’ah, Libanon: Dar Ihya al-Turas al-arabi, 1986, Juz IV.
Harun, Nasrun. Ushul Fiqh, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Hidayat, Zulyani. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. jakarta: LPJES, 1996.
Husaini(al), Taqiyudin Abu Bakar bin Muhammad. Kifayatul Akhyar Juz II, jakarta: Dar al-kutub al-islamiyah, 2004.
Mulia. Saleh. Hukum Perkawinan. Jakarta: Ghalia, 2004.
64
Nuruddin, Amir dan akmal Tarigan, Azhar. hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi kritis perkembangan Hukum islam dari fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Ponpes Al-Falah, Fiqih Lintas Mazhab, Kediri: Perdana, 2010.
Purna Siswa III Aliyah Pondok Pesantren Lirboyo Kediri, Esensi Pemikiran Mujtahid. kediri: Perdana, 2003.
Qardhawi (al), Yusuf. Keluasan Dan Keluesan Hukum Islam. Semarang : Bina Utama, 1993.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Saepudin, Aep. Makna Filosofi Tembang Sawer Dalam Upacara Adat Sunda. Yogyakarta: Kencana, 2010.
Saifulloh, Mohammad al Aziz. Fiqih Islam Lengkap, Surabaya: Terbit Terang,
2005. Sopyan, Yayan. Pengantar Metode Penelitian. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2010.
Sopyan, Yayan. Islam Negara, Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum Nasional. Jakarta: RM. Book, 2012.
Suharsaputra, Uhar. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan Tindakan. Bandung: PT Refika Aditama, 2012.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2007. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid II, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.
Cet. Ke-1. Taat Nasution, Amir. Rahasia Perkawinan dalam Islam, Tuntutan Keluarga
Bahagia, jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1994, cet.ke-3. Thalib, Sayuti. Hukum Keluarga Indonesia. jakarta: universitas indonesia, 1974. .
Zahrah, Muhammad Abu. Al-akhwal Al-syakhsyiyyah. Qohirah: Dar al-fikr al- Arabi, 1957.
Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2010.
65
Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami Wa Adilatuhu Juz VII, Damaskus: Dar al-
Fikr, 1989
Zuhaily, Wahbah. Ushul Fiqh al Islam, Beirut: Dar al-Fikr, 1986
Jurnal
Aji, Ahmad Mukri. “Pandangan Al-Ghazali tentang maslahah Mursalah”. Ahkam
IV, NO.08 Jakarta: 2014. Proyek Inventaris Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Jakarta, Upacara
Perkawinan Adat Jawa Barat,. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1992.
wawancara
Arsip Data Kantor Desa Sasak Panjang Tahun 2016.
Wawancara pribadi dengan Ahmad Sugandi, Bogor, 10 maret 2017.
Wawancara pribadi dengan Ahmad Amri, Bogor, 10 maret 2017.
Wawancara pribadi dengan Juheri Irawan, Bogor, 9 maret 2017.
Wawancara pribadi dengan Ki Jamal, (Bogor, 10 maret 2017.
Wawancara pribadi dengan Ki Tuing, Bogor, 9 maret 2017.
LAMPIRAN
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN SEKRETARIS DESA SASAK PANJANG
BAPAK JUHERI IRAWAN S.Pd
1. Bagaimana gambaran umum masyarakat desa Sasak Panjang?
Jawab : pada dasarnya masyarakat desa sasak panjang khususnya dan
masyarakat kecamatan tajurhalang umumnya adalah percampuran dua
budaya, yaitu budaya sunda dan betawi, dana masyarakat ini sudah
menyatu sejak lama baik dari adat-istiada maupun tata cara kehidupan
yang mereka jalani.
2. Bagaimana kondisi kultur dan budaya yang ada di desa Sasak
Panjang ?
Jawab : Masyarakat desa Sasak Panjang jika ditinjau dari segi bahasa
terbagi dua bagian yaitu, bahasa sunda dan bahasa betawi, karena daerah
ini terjadinya percampuran budaya yang lumayan lama, dan masyarakat
desa sasak panjang ini sebagian masih berpegang teguh terhadap adat
istiadat setempat. Namun dengan adanya pergeseran budaya, sampai saat
ini masyarakat desa sasak panjang semakin banyak yang meninggalkan
adat istiadat yang ada,
3. Apakah ada dukungan dari pemerintah untuk menjaga dan
melestarikan tradisi dan budaya yang ada di desa Sasak Panjang
kecamatan Tajurhalang ?
Jawab : ada, bukti dari dukungan pemerintah dengan diadakannya kepala
seksi kesenian dan budaya yang secara khusus menangani masalah
kesenian dan budaya yang ada, namun hanya sebatas di kecamatan dan
belum ada di desa. Namun program-programnya sampai ke desa-desa juga,
dengan maksud mengangkat, mengembangkan, dan melestarikan nilai –
nilai tradisi yang ada di kecamatan tajurhalang.
4. Menurut Bapak seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang
adat istiadat ?
Jawab : ya , sebagian masyarakat masih disini masih menggunakan adat
turun temurun dari nenek moyang, namun yang terlihat sudah relavan
dengan zaman sedikit demi sedikit ditinggalkan secara otomatis.
Sasak Panjang 10 Maret 2017
Peneliti Sekretaris Desa
Sigit Maulana Juheri Irawan S.Pd
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN KETUA MUI DESA SASAK PANJANG
KH. AHMAD AMRI S.Ag
1. Apa yang kiyai ketahui tentang adat Nyapun di desa Sasak Panjang ?
Jawab : itu adalah tradisi di dalam prosesi perkawinan dengan di doa-
doakan oleh penyapun dengan di lempari beras dan uang receh
2. Bagaimana pandangan hukum islam tentang tradisi nyapun ?
Jawab : Kalo di dalam islam tidak adat aturan mengenai tradisi ini, karena
ini hanyalah adat, seandainyapun ada bersangkutan dengan adat yang
dibolehkan karena adat ini berisikan doa-doa dan nasehat-mnasehat yang
baik untuk pengantin sebagaimana seperti khutbah nikah, sebuah tradisi
yang bisa dijadikan sebuah pedoman hukum adalah:
1. tradisi yang telah berjalan sejak lama yang dikenal oleh masyarakat
umum.
2. Diterima oleh akal sehat sebagai sebuah tradisi yang baik.
3. Tidak bertentangan dengan nash Al-Quran dan Hadis Nabi Saw.
melaksanakan tradisi Nyapun itu tidak bermasalah, dan tidak
meaksanakanya adat tersebut pun tidak bermasalah, karena tidak
mengurangi syarat dan rukun pernikahan, karena itu hanya sebatas tradisi
atau kebiasaan yang baik, namun apabila tradisi ini sudah menyimpang
dari syariat apalagi sampai menyentuh wilayah ketauhidan maka tidak
boleh dilaksanakan.
3. Menurut kiyai bagaimana sebenarnya posisi islam terhadap adat
istiadat?
Jawab: memang ada kaidah “ al-adah adawa” yang artinya meninggalkan
kebiasaan maka akan menimbulkan kesalahpahaman. Tetapi itu adalah
adat yang dianggap bertentangan dengan syariat, kalau yang bertentangan
dengan syariat, jelas sekuat apapun adat tersebut harus ditinggalkan sebab
adat itu bukanlah agama, adat adalah kebiasaan sekelompok rang atau
sekkelompok daerarah sedangkan agama adalah sifatnya unversal untuk
rahmatan lil ‘alamain, sehingga kalau dilihat seberapa kuat adat
memepengaruhi agama, tidak boleh jika adat mendominasi agama. Bahkan
jika ada adat yang bertentangan dengan syariat, maka adat tersebut tidak
boleh dilakukan.
4. Bagaimana menurut kiyai sebagai masyarakat dan ketua MUI desa
Sasak Panjang, apakah adat ini perlu dihapus atau tidak ?
Jawab : tidak perlu di hapus, namun jangan dimaknai adat ini suatu
keharusan, artinya jika ingin dilaksanakan, di laksanakan saja menurut
biasanya, tapi jangan dimaknai bahwa itu adalah keharusan secara adat
maupun syariat.
Sasak Panjang 10 Mmaret 2017
Peneliti Ketua MUI desa Sasak panjang
Sigit Maulana KH.Ahmad Amri
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN TOKOH MASYARAKAT DESA SASAK PANJANG
H. AHMAD SUGANDI
1. Apa yang anda keahui tentang tradisi adat Nyapun ?
Jawab : tradisi ini adalah tradisi Saweran kepada pengantin agar selamat.
2. Apakah anda tahu sejarah adanya tradisi Nyapun ?
Jawab : kalo tradisi ini sudah turun temurun sejak dahulu, namun semakin
sedikit yang melaksanakannya karena semakn modernnya masyarakat saat
ini.
3. Menurut bapak seberapa kuatkah masyarakat di desa ini memegang
adat istiadat ?
Jawab : sebagian masih sangat kuat, khususnya para keturunan para tokoh
adat, namun hanya di beberapa kalangan saja.
4. Bagaimana pandangan bapak terhadap adat Nyapun yang ada di
dalam perkawinan adat sunda ini ?
Jawab : menurut saya jika ditinjau dari segi Syariat, nikah dalam Islam
sebenarnya sangatlah simpel dan tidak terlalu rumit. Apabila sebuah ritual
pernikahan telah memenuhi rukun dan persyaratannya, maka sebuah
pernikahan sudah dianggap sah. Namun karena paradigma budaya yang
terlalu disakralkan justru malah menimbulkan kerumitan-kerumitan, baik
sebelum pernikahan ataupun pada saat pernikahan.
5. Adakah nilai psotif yang didapat dari pelaksanaan tradisi tradisi bagi
masyaraakat ?
Jawab : nilai terutama dari pelaksanaan adat ini adalah mengagungkan
Allah SWT dan Rosulullah karena dengan berdoa dan memuji pujian
sholawat yang didalamnya bentuk keagungan Allah SWT.
6. Apakah menurut bapak tradisi Nyapun dalam tata caranya ada
penyelewengan dari agama ?
Jawab : menurut yang saya perhatikan itu tidak ada, karena tradisi ini tidak
mengandung kesyirikan, yang meminta selain kepada Allah SWT, atau
membuat sesaji untuk leluhur, dan tradisi-tradisi di desa ini menurut say
sudah bersih dari segala hal kesesyirikan, karena adat – istiadat yang sepeti
itu sudah ditinggalkan denagn sendirinya.
Sasak Panjang 10 Maret 2017
Peneliti Tokoh Masyarakat
Sigit Maulana H.Ahmad Sugandi
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN PELAKU NYAPUN
INTAN DWI PUTRA
1. Apa yang anda ketahui tentang tradisi Nyapun ?
Jawab : sebuah adat yang menurut saya adalah do’a dan nasehat orang tua,
karena seperti yang saya dengarkan saat say di sapun, isinya adalah
nasehat-nasehat dan doa-doa.
2. Kenapa anda melaksanakan tradisi nyapun pengantin pada saat
perkawinan ?
Jawab : karena saya menikah dengan orang sunda tulen, jadi saya
mengikuti adat istiadat mereka, walupun di laksanakanya di desa Sasak
Panjang jadi saya di sapun, dan karena mengikuti perintah orang tua juga.
3. Apakah anda tahu maksud dari dilaksanakannya nyapun pengantin ?
Jawab : pada intinya agar selamat, dan meminta kepada Allah agar
diberikan kesehatan dan keberkahan dalam perkawinan yang akan kami
lewati dan kami di nasehati oleh tokoh adat.
4. Apakah anda stuju dengan diadakannya tradisi nyapun pengantin ?
Jawab : menurut saya setuju saja, karena ini adalah bagian dari budaya,
dan tidak adanya penyelewengan pada hukum syariat agama. Bahkan
menurut saya ini sangat baik karena sudah melestarikan budaya yang ada,
walaupun dasarnya adalah perintah orang tua saya untuk menjalankan adat
ini.
Sasak Panjang 10 februari 2017
Peneliti Pelaku
Sigit Maulana Intan Dwi Putra
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN TOKOH ADAT DESA SASAK PANJANG
KI TUING
1. Apakah yang disebut dngan tradisi Nyapun ?
Jawab : disebut tradisi Nyapun adalah nasehat-nasehat perkawinan,
Nyapun adalah tradisinya sedangkan Sapun adalah pekerjannya.
2. Apakah fungsi dari diadakannya tradisi Nyapun ?
Jawab : Yang dimaksudkan pengantin yang baru ini diberikan nasehat-
nasehat oleh tokoh adat yang diakui dan dipanjatkan do’a-do’a
keselamatan agar pernikahannya selalu diliputi keberkahan dan jodohnya
langgeng tidak ada perceraian.
3. Darimanakah asal usul tradisi Nyapun ?
Jawab : tidak tahu, tapi ini sudah adat istiadat sejak zaman dahulu orang
tua kami yang turun temurun, namun tidak harus di laksanakan. Namun
ketika di laksanakan harus terpenuhi kebutuhan yang di wajibkan.
4. Apakah tradisi ini masih dipegang teguh oleh masyarakat
jawab : tradisi ini hanya sebagian saja yang menjalankannya, sebenarnya
saya juga cukup kasihan, karena adat istiadat ini semakin punah dan tidak
terlaksana di masyarakat.
5. Apakah syarat syarat diadakannya tradisi Nyapun
Jawab : dasarnya adat ini memang tidak wajib, namun adat ini jika di
laksanakan syarat-syaratnya menjadi wajib, dan banyak syarat-syarat
yang harus ada, dintaranya: Kursi (dengan maksud bahwa seorang pria
yang tulang rusuknya berkurang satu sudah dilengkapi dengan
kembalinya tulang rusak pria yang hilang), Payung (mengartikan
keberkahan selalu memayungi keluarga yang baru ini. Dan sebagai
lambang kewaspadaan), Beras (Mengartikan pasangan suami istri ini
agar hidupnya berkecukupan, makmur), Uang receh (melambangkan
kemakmuran dari segi ekonomi, agar ekonominya selalu bagus dan
baik), Kunyit (Warna kuning diibaratkan sebagai emas, kedua
mempelai diharapkan hidup tidak kekurangan bahkan lebih), Bunga-
bunga (mengartikan kasih sayang, agar si pengantin rasa kasih
sayangnya tidak pernah hilang dan selalu terjaga), Batok kelapa
(Barang-barang yang ada ditempatkan di dalam batok kelapa, ini
mengartikan bahwa semua sumber rizki yang mereka dapatkan harus
hemat dan bisa menabung di satu tempat dengan bekal kebersamaan.)
Sasak Panjang 10 februari 2017
Peneliti Tokoh Adat
Sigit Maulana Ki Tuing
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN TOKOH ADAT DESA SASAK PANJANG
KI JAMAL
1. Menurut bapak, apa itu adat Nyapun ?
Jawab : Nyapun adalah do’a-do’a yang dipanjatkan untuk si pengantin.
2. Bagaimanakah tata cara perkawinan di desa Sasak Panjang ?
Jawab : Tata cara perkawinan di desa Sasak Panjang ada 5 tahapan waktu
yang berbeda, yaitu : 1. Lamaran 2. Seserahan 3. Resepsi perkawinan 4.
Dongdang dan 5. Ngendong 3 hari, semua itu melalui proses yang
panjang, dan adat Nyapun ada pada proses resepsi perkawinan, adat ini di
laksanakan setelah akad perkawinan dilaksanakan.
3. Bagaimana proses tata cara adat nyapun di laksanakan ?
Jawab : Apabila alat-alat sudah terpenuhi semua, maka barang-barang
seperti beras, uang receh, bunga, dan kunyit yang sudah dipotong-potong
kecil di tempatkan menjadi satu di dalam batok kelapa, sedangkan kursi
ditempatkan untuk pengantin pria dan perempuan, dan pengantin
perempuan di dudukkan di kursi sebelah kiri dengan arti bahwa seorang
pria yang tulang rusuknya berkurang satu sudah dilengkapi dengan
kembalinya si pengantin wanita sebagai tulang rusak pria yang hilang.
Lalu kedua pengantin di payungi dengan ditemani tokoh adat yang
nantinya bertugas memandu dan membacakan syair-syair dan do’a khusus
tradisi Nyapun, sambil di bacakan syair-syair dan do’a tersebut, tokoh adat
melempari uang, beras, kunyit, bunga yang ada di dalam batok yang sudah
disiapkan ke pengantin pria dan wanita.
4. Apakah adat nyapun ini harus di laksanakan ?
Pada dasarnya adat nyapun ini tidak diharuskan, tapi orang-orang dari
dahulu sudah menjadi kebiasaan, jadi jika tidak di laksanakan sebagian
masyarakat yang masih memegang adat terasa kurang afdhol saja, namun
sekarng sifatnya lebih kepada tontonan saja.
Sasak Panjang, 10 Maret 2017
Peneliti Tokoh Adat
Sigit Maulana Ki Jamal
WAWANCARA DENGAN KETUA MUI DESA SASAK PANJANG,
KH.AHMAD AMRI S.Ag
WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT
H. AHMAD SUGANDI
WAWANCARA DENGAN TOKOH ADAT
BAPAK / KI JAMAL
WAWANCARA DENGAN KI TUING
PROSESI ADAT NYAPUN