134
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat. Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh oliguria (keluaran urin <400 ml/hari). Kriteria oliguria ini tidak mutlak tapi berkaitan dengan fakta bahwa rata- rata diet orang Amerika mengandung sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urin maksimum sekitar 1200 mOsm/Lair, maka kehilangan air obligat dalam urin adalah 500 ml. Oleh karena itu, bila keluaran urin menurun hingga kurang dari 400 ml/hari pembebanan zat terlarut tidak dapat dibatasi dan kadar BUN serta kreatinin meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF. Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh kasus ARF, keluaran urin melebihi 400 ml/hari dan dapat mencapai hingga 2 L/hari. Bentuk 1

Acute Kidney Failure

Embed Size (px)

Citation preview

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom

klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya

dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat.

Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar

kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea

darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh

oliguria (keluaran urin <400 ml/hari). Kriteria oliguria ini tidak mutlak tapi

berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang Amerika mengandung

sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urin maksimum

sekitar 1200 mOsm/Lair, maka kehilangan air obligat dalam urin adalah 500

ml. Oleh karena itu, bila keluaran urin menurun hingga kurang dari 400 ml/hari

pembebanan zat terlarut tidak dapat dibatasi dan kadar BUN serta kreatinin

meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF.

Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh

kasus ARF, keluaran urin melebihi 400 ml/hari dan dapat mencapai hingga 2

L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran-tinggi atau non-oligurik. ARF

menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada

gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi,

ekskresi dan endokrin ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemia

bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitannya

akut.

Sangat perlu bagi kita mhasiswa keperawatan untuk mempelajari materi.

Oleh karena itu, makalah ini disusun dengan harapan memberikan manfaat

berupa pengetahuan serta wawasan untuk kita semua.

1

B. Tujuan

Tujuan Umum

- Agar Mahasiswa mengetahui konsep medis dan konsep keperawatan

Acute Kidney Failure

Tujuan Khusus

- Agar Mahasiswa mengetahui definisi

- Agar Mahasiswa mengetahui anatomi Fisiologi

- Agar Mahasiswa mengetahui klasifikasi

- Agar Mahasiswa mengetahui etiologi

- Agar Mahasiswa mengetahui patofisiologi

- Agar Mahasiswa mengetahui manifestasi klinik

- Agar Mahasiswa mengetahui pemeriksaan penunjang

- Agar Mahasiswa mengetahui komplikasi

- Agar Mahasiswa mengetahui penatalaksanaan

- Agar Mahasiswa mengetahui pencegahan

- Agar Mahasiswa mengetahui diagnosa keperawatan

- Agar Mahasiswa mengetahui asuhan keperawatan nanda nic noc

2

BAB II

KONSEP MEDIS

A. Pengertian

Gagal ginjal akut (acute renal failure, ARF) merupakan suatu sindrom

klinis yang ditandai dengan fungsi ginjal yang menurun secara cepat (biasanya

dalam beberapa hari) yang menyebabkan azotemia yang berkembang cepat.

Laju filtrasi glomerulus yang menurun dengan cepat menyebabkan kadar

kreatinin serum meningkat sebanyak 0,5 mg/dl/hari dan kadar nitrogen urea

darah sebanyak 10 mg/dl/hari dalam beberapa hari. ARF biasanya disertai oleh

oliguria (keluaran urin <400 ml/hari). Kriteria oliguria ini tidak mutlak tapi

berkaitan dengan fakta bahwa rata-rata diet orang Amerika mengandung

sekitar 600 mOsm zat terlarut. Jika kemampuan pemekatan urin maksimum

sekitar 1200 mOsm/Lair, maka kehilangan air obligat dalam urin adalah 500

ml. Oleh karena itu, bila keluaran urin menurun hingga kurang dari 400 ml/hari

pembebanan zat terlarut tidak dapat dibatasi dan kadar BUN serta kreatinin

meningkat. Namun, oliguria bukan merupakan gambaran penting pada ARF.

Bukti penelitian terbaru mengesankan bahwa pada sepertiga hingga separuh

kasus ARF, keluaran urin melebihi 400 ml/hari dan dapat mencapai hingga 2

L/hari. Bentuk ARF ini disebut ARF keluaran-tinggi atau non-oligurik. ARF

menyebabkan timbulnya gejala dan tanda menyerupai sindrom uremik pada

gagal ginjal kronik, yang mencerminkan terjadinya kegagalan fungsi regulasi,

ekskresi dan endokrin ginjal. Namun demikian, osteodistrofi ginjal dan anemia

bukan merupakan gambaran yang lazim terdapat pada ARF karena awitannya

akut.

ARF merupakan sindrom klinis yang sangat lazim, terjadi pada sekitar 5%

pasien rawat inap dan sebanyak 30% pasien yang dirawat di unit perawatan

intensif. Beragamjenis komplikasi yang berkaitan dengan penyakit,

obat,kehamilan, trauma, dan tindakan bedah dapat menyebabkan ARF.

Berlawanan dengan gagal ginjal kronik, sebagian besar pasien ARF biasanya

3

memiliki fungsi ginjal yang sebelumnya normal, dan keadaan ini umumnya

dapat pulih kembali. Selain kenyataan ini, mortalitas akibat ARF sangat tinggi

(sekitar 50%), bahkan dengan ketersediaan pengobatan dialisis, mungkin

menunjukkan penyakit kritis yang biasanya turut terkait.

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya

gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam

sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen

(urea-kreatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.

Tergantung dan keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa

metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti

asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbahan cairan serta dampak

terhadap berbagai organ tubuh lainnya.

Diagnosis GGA berdasarkan pemeriksaan laboratorium ditegakkan bila

terjadi peningkatan secara mendadak kreatinin serum 0,5mg% pada pasien

dengan kadar kreatinin awal <2,5 mg% atau meningkatkan >20% bila kreatinin

awal >2,5 mg%. Dengan demikian gagal ginjal akut pada gagal ginjal kronis

(acute on chronic renal disease) telah termasuk dalam definisi ini. The Acute

Dialysis Quality Inititions group membuat RIFLE system yang

mengklasifikasikan GGA ke dalam tiga kategori menurut beratnya (Risk Injury

Failure) serta dua kategori akibat klinik (Loss dan End-stage renal Disease).

Gagal ginjal adalah hilangnya fungsi ginjal. Karena ginjal memiliki peran

vital dalam mempertahankan homeostasis, gagal ginjal menyebabkan efek

sistemik multipel. Semua upaya untuk mencegah gagal ginjal amat penting.

Dengan demikian, gagal ginjal harus diobati secara agresif.

The U.S. National Kidney Foundation’s kidney Disease Outcomes Quality

Initiative telah mengalami revisi dan menjelaskan stadium penyakit

ginjalkronis. Stadium dibuat berdasarkan ada tidaknya gejala dan progresivitas

penurunan GFR, yang dikoreksi perukuran tubuh (per 1,73 m3). GFR normal

pada dewasa sehat kira-kira 120 sampai 130 ml per menit. Stadium penyakit

ginjal adalah sebagai berikut:

4

1. Stadium 1: Kerusakan ginjal (kelainan atau gejala dari patologi kerusakan,

mencakup kelainan dalam pemeriksaan darah atau urine atau dalam

pemeriksaan pencitraan) dengan laju filtrasi glomerulus (GFR) normal atau

hampir normal, tepat atau di atas 90 ml per menit (≥ 75% dari nilai

normal).

2. Stadium 2: Laju filtrasi glomerulus antara 60 dan 89 ml per menit (kira-kira

50% dari nilai normal), dengan tanda-tanda kerusakan ginjal. Stadium ini

dianggap sebagai salah satu tanda penurunan cadangan ginjal. Nefron yang

tersisa dengan sendirinya sangat rentan mengalami kegagalan fungsi saat

terjadi kelebihan beban. Gangguan ginjal lainnya mempercepat penurunan

ginjal.

3. Stadium 3: Laju filtrasi glomerulus antara 30 dan 59 ml per menit (25%

sampai 50 % dari nilai normal). Insufisiensi ginjal dianggap terjadi pada

stadium ini. Nefron terus-menerus mengalami kematian.

4. Stadium 4: laju filtrasi glomerulus antara 15 dan 29 ml per menit (12%

sampai 24% dari nilai normal) dengan hanya sedikit nefron yang tersisa.

5. Stadium 5: Gagal ginjal stadium lanjut; laju filtrasi glomerulus kurang dari

15 ml per menit (<12% dari nilai normal). Nefron yang masih berfungsi

tinggal beberapa. Terbentuk jaringan parut dan atrofi tubulus ginjal.

B. Anatomi Fisiologi

Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan

komposisi kimia darah (dan lingkungan dalam tubuh) dengan mengekskresikan

zat terlarut dan air secara selektif. Apabila kedua ginjal karena sesuatu hal

gagal menjalankan fungsinya, akan terjadi kematian dalam waktu 3 sampai 4

minggu. Fungsi vital ginjal dicapai dengan filtrasi plasma darah melalui

glomerulus diikuti dengan reabsorpsi sejumlah zat terlarut dan air dalam

jumlah yang sesuai di sepanjang tubulus ginjal. Kelebihan zat terlarut dan air

diekskresikan keluar tubuh dalam urin melalui sistem pengumpul urin. Bab ini

akan membahas anatomi makroskopik dan mikroskopik ginjal serta membahas

mengenai fisiologi ginjal.

5

Saluran Kemih

Saluran kemih terdiri dari ginjal yang terus-menerus menghasilkan urine,

dan berbagai saluran dan reservoar yang dibutuhkan untuk membawa urin

keluar tubuh.

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua

sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal

kiri karena tertekan ke bawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga

kedua belas. Sedangkan kutub atau ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas.

Kedua ureter merupakan saluran yang panjangnya sekitar 10 sampai 12

inci (25 hingga 30 cm), terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi

satu-satunya adalah menyalurkan urin ke vesika urinaria.

Vesika urinaria adalah suatu kantong berotot yang dapat mengempis,

terletak di belakang simfisis pubis. Vesika urinaria mempunyai tiga muara: dua

dari ureter dan satu menuju uretra. Dua fungsi vesika urinaria adalah: (1)

sebagai tempat penyimpanan urin sebelum meninggalkan tubuh dan (2)

berfungsi mendorong urin keluar tubuh (dibantu uretra)

Uretra adalah saluran kecil yang dapat mengembang, berjalan dari vesika

urinaria sampai ke luar tubuh; panjang pada perempuan sekitar 1 ½ inci (4 cm)

dan pada laki-laki sekitar 8 inci (20 cm). Muara uretrakeluar tubuh disebut

meatus urinarius.

Hubungan Anatomis Ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum,

di depan dua iga terakhir dan tiga otot besar—tranversus abdominis, kuadratus

lumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh

bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenalterletak di atas kutub masing-

masing ginjal.

Ginjal terlindung dengan baik dari trauma langsung—di sebelah posterior

dilindungi oleh iga, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang

tebal. Bilaa ginjal mengalami cedera, maka hampir selalu terjadi akibat

kekuatan yang mengenai iga kedua belas, yang berputar ke dalam dan menjepit

6

ginjal di antara iga itu sendiri dengan korpus vertebra lumbalis. Perlindungan

yang sempurna terhadap cedera langsung ini menyebabkan ginjal dengan

sendirinya sukar untuk diraba dan juga sulit dicapai sewaktu pembedahan.

Ginjal kiri yang berukuran normal, biasanya tidak teraba pada waktu

pemeriksaan fisik karena dua pertiga atas permukaan anterior ginjal tertutup

oleh limpa. Namun, kutub bawah ginjal kanan yang berukuran normal, dapat

diraba secara bimanual. Kedua ginjual yang membesar secara mencolok atau

tergeser dari tempatnya dapat diketahui dengan palpasi, walaupun hal ini lebih

mudah dilakukan di sebelah kanan.

Struktur Makroskopik Ginjal

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 sampai 13 am (4,7

hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya

sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh.

Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal (dibandingkan dengan

pasangannya) yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk

merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit

ginjal adalah perubahan struktur.

Permukaan anterior dan posterior kutub atas dan bawah serta tepi lateral

ginjal berbentuk cembung sedangkan tepi medialnya berbentuk cekung karena

adanya hilus. Beberapa struktur yang masuk atau keluar dari ginjal melalui

hilus adalah arteria dan vena renalis, saraf, pembuluh limfatik, dan ureter.

Ginjal diliputi oleh suatu kapsula fibrosa tipis mengkilat yang berikatan

longgar dengan jaringan yang ada di bawahnya dan dapat dilepaskan dengan

mudah dari permukaan ginjal.

Potongan longitudinal ginjal memperlihatkan dua daerah yang berbeda –

korteks di bagian luar dan medula bagian dalam. Medula terbagi-bagi menjadi

baji segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid tersebut diselingi oleh

bagian korteks yang disebut kolumna Bertini. Piramid-piramid tresebut

tersebut tampak bercorak karena tersusun dari segmen-segmen tubulus dan

duktus pengumpul nefron. Papila (apeks) dari tiap piramid membentuk duktus

7

papilaris Bellini yang terbentuk dari persatuan bagian terminal dari banyak

duktus pengumpul. Setiap duktus papilaris masuk ke dalam suatu perluasan

ujung pelvis ginjal berbentuk seperti cawan yang disebut kaliks minor (L.

Calix, cawan). Beberapa kaliks minor bersatu membentuk kaliks mayor, yang

selanjutnya membentuk pelvis ginjal. Pelvis ginjal merupakan reservoar utama

sistem pengumpul ginjal. Ureter menghubungkan pelvis ginjal dengan vesika

urinaria.

Pengetahuan mengenai anatomi ginjal merupakan dasar untuk memahami

pembentukan urine. Pembentukan urine dimulai dalam korteks dan berlanjut

selama bahan pembentukan urine tersebut mengalir melalui tubulus dan duktus

pengumpul. Urine yang terbentuk kemudian mengalir ka dalam duktus

papilaris Bellini, masuk kaliks minor, kaliks mayor, pelvis ginjal, dan akhirnya

meninggalkan ginjal melalui ureter menuju vesika urinaria. Dinding kaliks,

pelvis, dan ureter mengandung otot polos yang dapat berkontraksi secara

berirama dan membantu mendorong urine melalui saluran kemih saluran kemih

dengan gerakan peristaltik.

Suplai Pembuluh Darah Makroskopik Ginjal

Arteria renalis berasal dari aorta abdominalis kira-kira setinggi vertebra

lumbalis II. Aorta terletak di sebelah kiri garis tengah sehingga arteria renalis

kanan lebih panjang dari arteria renalis kiri. Setiap arteria renalis bercabang

sewaktu masuk ke dalam hilus ginjal.

Vena renalis menyalurkan darah dari masing-masing ginjal ke dalam

vena kava inferior yang terletak di sebelah kanan dari garis tengah. Akibatnya

vena renalis kiri kira-kira dua kali lebih panjang dari vena renalis kanan.

Gambaran anatomis ini menyebabkan ahli bedah transplantasi biasanya lebih

suka memilih ginjal kiri donor yang kemudian diputar dan ditempatkan pada

pelvis kanan resipien. Ada sedikit kesulitan bila arteria renalis pendek dan

beranastomosis dengan arteria iliaka intrena (hipogastrika). Namun, vena

renalis harus lebih panjang, karena ditanmakan langsung ke dalam iliaka

eksterna.

8

Saat arteria renalis masuk ke dalam hilus, arteria tersebut bercabang

menjadi arteria interlobaris yang berjalan di antara piramid, selanjutnya

membentuk percabangan arkuata yang melengkung melintasi basis piramid-

piramid tersebut.

Arteria arkuata kemudian membentuk arteriol-arteriol interlobularis yang

tersusun paralel dalam korteks. Arteriola interlobularis ini selanjutnya

membentuk arteriola aferen.

Masing-masing arteriol aferen akan menyuplai darah ke rumbai-rumbai

kapiler yang disebut glomerulus (jam., gromeruli). Kapiler glomeruli bersatu

membentuk arteriol eferen yang kemudian bercabang-cabang membentuk

sistem jarinagn portal yang mengelilingi tubulus dankadang-kadang disebut

kapiler peritubular. Sirkulasi ginjal tidak seperti biasa yang terbagi menjadi dua

bantalan kapiler yang terpisah, tapi bantalan glomerulus dan bantalan kapiler

peritubular terbentuk menjadi rangkaian sehingga semua darah ginjal melewati

keduanya. Tekanan dalam bantalan kapiler yang pertama (tempat terjadi

filtrasi) adalah lebih tinggi (40 hingga 59 mg Hg), sedangkan tekanan dalam

kapiler peritubular (tempat reabsorbsi tubular kembali ke sirkualsi) adalah

rendah (5 hingga 10 mm Hg) dan menyerupai kapiler di tempat lain dalam

tubuh. Darah yang melewati jaringan portal ini mengalir ke jaringan vena

interlobular, arkuata, interlobar, dan vena ginjal untuk mencapai vena kava

inferior.

Gambaran Khusus Aliran darah Ginjal

Ginjal diperfusi oleh sekitar 1.200 ml darah per menit – suatu volume yang

sama dengan 20% sampai 25% curah jantung (5.000 ml per menit). Kenyataan

ini memang sangat menakjubkan, kalau kita pertimbangkan bahwa berat kedua

ginjal kurang dari 1% dari berat seluruh tubuh.

Lebih dari dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke korteks,

sedangkan sisanya didistribusikan ke medula (arti fisiologis hal ini terhadap

urine akan dibahas kemudian).

9

Sifat khusus aliran darah ginjal yang lain adalah autoregulasi aliran darah

melalui ginjal. Arteriol afern mempunyai kapasitas intrinsik yang dapat

mengubah resistensunya sebgai respons terhadap perubahan tekanan darah

arteria, dengan demikian mempertahankan aliran darah ginjal dan filtrasi

glomerulus tetap konstan. Fungsi ini efektif pada tekanan arteria antara 80

sampai 180 mm Hg. Hasilnya adalah pencegahan terjadinya perubahan besar

dalam eksresi zat terlarut dan air. Tetapi dalam kondisi-kondisi tertentu

autoregulasi ini dapat ditaklukkan, meskipun tekanan arteria masih dalam batas

autoregulasi. Saraf-saraf renal dapat menyebabkan vasokonstriksi pada

keadaan darurat dan mengalihkan darah dari ginjal ke jantung, otak, atau otot

rangka dengan mengorbankan ginjal. Gangguan autoregulasi dan distribusi

aliran darah intraranal mungkin penting dalam patogenesis gagal ginjaloliguria

akut.

Variasi Suplai Vaskular Ginjal

Ginjal mendapatkan banyak darah dari arteria atau vena. Anomali arteria

renalis jauh lebih sering ditemukan daripada kelainan vena. Kenyataannya,

sekitar 25% dari populasi atau lebih memilki lebih dari satu arteria renalis yang

menyuplai ginjal. Arteria-arteria tambahan ini biasanya berasal dari

percabangan kecil-kecil dari aorta dan menyuplai kutub-kutub ginjal.

Arteriogram suplai darah ginjal penting dilakukan pada donor sebelum

pelaksanaan transplantasi ginjal, karena variasi seperti ini secara teknis dapat

menyulitkan ahli bedah.

STRUKTUR MIKROSKOPIK GINJAL

Nefron

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap ginjal

terdapat sekitar satu juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan

fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai

jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut. Setiap nefron terdiri

10

dari kapsula Bowman yang mengitari rumbai kapiler glomerulus, tubulus,

kontortus proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontortus distal, yang

mengosongkan diri ke duktus pengumpul. Orang yan normal masih dapat

bertahan (walaupun dengan susah payah) dengan jumlah nefron kurang dari

200.000 atau 1% dari massa nefron total. Dengan demikian, masih mungkin

untuk transplantasi tanpa membahayakan kehidupan.

Korpuskulus Ginjal

Korpuskulus ginjal terdiri dari kapsula Bowman dan rumbai kapiler

glomerulus. Istilah glomerulus seringkali digunakan juga untuk menyatakan

korpuskulus ginjal,walaupun glomerulus lebih sesuai untuk menyatakan

rumbai kapiler.

Kapsula Bowman merupakan suatu inavigasi dari tubulus proksimal.

Terdapat ruang yang mengandung urine antara rumbai kapiler dan kapsula

Bowman, dan ruang yang mengandung urine ini dikenal dengan nama ruang

Bowman atau ruang kapsular.

Kapsula Bowman dilapisi oleh sel-sel epitel. Sel epitel parietalis

berbentuk gepeng dan membentuk bagian terluar kapsula; sel epitel viseralis

jauh lebih besar dan membentuk bagian dalam kapsula dan juga melapisi

bagian luar dari rumbai kapiler. Sel viseralis membentuk tonjolan-tonjolan atau

kaki-kaki yang dikenal sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membrana

basalis pada jarak-jarak tertentu sehingga terdapat daerah-daerah yang bebas

dari kontak antar sel epitel. Daerah - daerah yang terdapat di antara podosit

biasanya disebut celah pori-pori, lebarnya sekitar 400Å (satuan Angstrom).

Membrana basalis membentuk lapisan tengah dinding kapiler, terjepit di

antara sel-sel epitel pada satu sisi dan sel-sel endotel pada sisi yang lain.

Membrana basalis kapiler menjadi membrana basalis tubulus dan terdiri dari

gel hidrasi yan g menjalin serat kolagen. Pada membrana basalis tidak tampak

adanya pori-pori, kendati pun bersifat seakan-akan memilki pori-pori yang

berdiameter sekitar 70 sampai 100Å.

11

Sel-sel endotel membentuk bagian terdalam dari rumbai kapiler. Tidak

seperti sel-sel epitel, sel endotel langsung berkontak dengan membrana basalis.

Nemun terdapat beberapa pelebaran seperti jendela (dikenal dengan nama

fenestrasi) yang berdiameter sekitar 600Å. Sel-sel endotel berlanjut dengan

endotel yang membatasi arteriola aferen dan eferen.

Sel-sel endotel, membrana basalis, dan sel-sel epitel viseralis merupakan

tiga lapisan yang membentuk filtrasi glomerulus. Membran filtrasi glomerulus

memungkinkan ultra filtrasi darah melalui pemisahan unsur-unsur darah dan

molekul-molekul protein besar ldari bagian plasma lainnya, dan mengalirkan

bagian plasa tersebut sebagai urine primer ke dalam ruang dari kapsula

Bowman. Sifat diskriminatif ultrafiltrasi glomerulus timbul dari susunan

struktur yang unik dan komposisi kimia dari sawar ultrafiltrasi. Membran

basalis glomerulus tampaknya merupakan struktur yang membatasi lewatnya

zat terlarut ke dalam ruangan urine berdasarkan seleksi ukuran molekul. Di

samping itu, sawar filtrasi memiliki muatan negatif yang ditimbulkan oleh

kumpulan makromolekul kaya anion pada membrana basalis dan melapisi

batas epitel dan endotel. Muatan negatif inilah yang menjadi alasan mengapa

secara normal albumin anionik (yang berdiameter sedikit lebih kecil daripada

ukuran pori yang terkecil) tidak mampu masuk ke ruang urine. Molekul-

molekul protein yang besar serta sel-sel darah dalam keadaan normal tidak

ditemukan dalam filtrat maupun urine.

Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium yang

terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial membentuk

jaringan yang berlanjut antara lengkung kapiler dari glomerulus dan diduga

berfungsi sebagai kerangka jaringan penyokong. Sel mesangial bukan

merupakan bagian dari membran filtrasi namun menyekresi matriks mesangial.

Sel masangial memiliki aktivitas fagostik dan menyekresi prostaglandin. Sel

mesangial mungkin berperan dalam memengaruhi kecepatan filtrasi

glomerulus dengan mengatur aliran melalui kapiler karena sel mesangial

memilki kemampuan untuk berkontraksi dan terletak bersebelahan dengan

kapiler glomerulus. Sel mesangial yang terletak di luar rumbai glomerular

12

dekat dengan kutub vaskular glomerus (antara arteriola aferen dan eferen)

disebut sel lacis.

Aparatus Jukstaglomerulus

Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus

yang letaknya dekat dengan kutub vaskular masing-masing glomerulus yang

berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume

cairan ekstraseluler (ECF) dan tekanan darah. JGA terdiri dari tiga macam sel:

1) Jukstaglomerulus (JG) atau sel granular (yang memproduksi dan

menyimpan renin) pada dinding arteriol aferen.

2) Makula densa tubulus distal.

3) Mesangial akstraglomerrlar atau sel lacis.

Makula densa adalah sekelompok sel epitel tubulus distal yang diwarnai

dengan pewarnaan khusus. Sel ini bersebelahan dengan ruangan yang berisi sel

lacis dan sel JG yang menyekresi renin.

Secara umum, sekresi renin dikontrol oleh faktor ekstrarenal dan

intrarenal.dua mekanisme penting untuk mengontrol sekresi renin adalah sel JG

dan makula densa. Setiap penurunan tegangan dinding aferiol aferen atau

penurunan pengiriman Na ke makula densa dalam tubulus distal akan

merangsang sel JG untuk melepaskan renin dalam granula tempat renin

tersebut disimpan sel. Sel JG, yang mioepitelialnya secara khusus mengikat

arteriol aferen, juga bertindak sebagai transduser tekanan miniatur, yaitu

merasakan tekanan perfusi ginjal. Volume ECF atau volume sirkulasi efektif

(ECV) yang sangat menurun menyebabkan menurunnya tekanan perfusi ginjal,

yang dirasakan sebagai penurunan regangan oleh sel JG. Sel JG kemudian

melepaskan renin ke dalam sirkulasi, yang sebaliknya mengaktifkan

mekanisme renin-angiostensin-aldosteron.

Mekanisme kontrol kedua untuk pelepasan berpusat di dalam sel makula

densa, yang dapat berfungsi sebagai kemoreseptor, mengawasi beban klorida

yang tedapat pada tubulus distal. Dalam keadaan kontraksi volume, sedikit

natrium klorida (NaCl) dialirkan ke tubulus distal (karena banyak yang

13

doabsorbsi dalam tubulus proksimal); kemudian timbal balik dari sel makula

densa ke sel JG menyebabkan peningkatan pelepasan renin. Mekanisme sinyal

klorida yang diartikan menjadi sekresi renin ini belum diketahui dengan pasti.

Suatu peningkatan volume ECF yang menyebabkan peningkatan tekanan

perfusi ginjal dan meningkatkan pengiriman NaCl ke tubulus distal memiliki

efek yang berlawanan dari contoh yang diberikan oleh penurunan volume ECF

– yaitu menekan sekresi renin.

Faktor lain yang memengaruhi sekresi renin adalah saraf simpatis ginjal,

yang merangsang pelepasan renin melalui reseptor beta-adregenik dalam JGA

dan angiostensin yang menghambat pelepasan renin. Banyak faktor sirkulasi

lain yang juga mengubah sekresi renin, termasuk elektrolit plasma (kalsium

dan natrium)dan berbagai hormon yaitu hormon natriuretik atrial, dopamin,

hormon antidiuretik (ADH), hormon adrenokortikotropik (ACTH), dan nitrit

oksida (dahulu dikenal sebagai faktor relaksasi yang berasal dari endotelium

[EDRF]), dan prostaglandin. Hal ini terjadi mungkin karena JGA adalah tempat

integrasi berbagai input dan sekresi renin itu mencerminkan interaksi dari

semua faktor.

FISIOLOGI DASAR GINJAL

Fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan komposisi

ECF dalam batas-batas normal. Komposisi dan volume cairan cairan ekstrasel

ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus, reabsorbsi, dan sekresi tubulus .

Ultrafiltrasi Glomerulus

Pembentukan urine dimulai dengan proses filtrasi glomerulus plasma.

Aliran darah ginjal (RBF) setara sengan dekitar 25% curah jantung atau 1.200

ml/menit. Bila hematokrit normal dianggap 45%, maka aliran plasma ginjal

(RPF) sama dengan 660 ml/menit (0,55 x 1.200 = 660). Sekitar seperlima dari

plasma atau 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula Bowman.

Ini dikenal dengan istilah laju filtrasi glomerulus (GFR). Proses filtrasi pada

glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus, karena filtrat primer

14

mempunyai komposisi sama seperti plasma kecuali tanpa protein. Sel-sel darah

dan molekul-molekul protein yang besar atau protein bermuatan negatif

(seperti albumin) secara efektif tertahan oleh seleksi ukuran dan seleksi muatan

yang merupakan ciri khas dari sawar memban filtrasi glomerular, sedangkan

molekul yang berukuran lebih kecil atau dengan beban yang netral atau positif

(seperti air dan kristaloid) sudah langsung tersaring. Perhitungan menunjukkan

bahwa 173 L cairan berhasil disaring melalui glomerulus dalam waktu sehari –

suatu jumlah yang menakjubkan untuk organ yang beban totalnya hanya sekitar

10 ons. Saat filtrat mengalir melalui tubulus, ditambahkan atau diambil

berbagai zat dari filtrat, sehingga akhirnya hanya sekitar 1,5 L/hari yang

dieksresi sebagai urine.

Tekanan-tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus

yang cepat ini seluruhnya bersifat pasif, dan tidak dibutuhkan energi

metabolikdalam proses filtrasi tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan

tekanan yang terapat antara kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan

hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan

ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman serta

tekanan onkotik darah. Tekanan onkotik dalam kapsula Bowman pada

hakekatnya adalah nol, karena filtrasi secara normal sama sekali tidak ada

protein. Walaupun pada manusia tidak pernah diukur, tekanan kapiler

glomerulus seperti yang diperkirakan oleh Pitts (1974) adalah sekitar 50

mmHg, dan tekanan intrakapsular sekitar 10 mmHg. Perkiraan ini didasarkan

pada pengukuran yang dilakukan pada tikus. Tekanan onkotik darah besar-

besaran sekitar 30 mmHg. Dengan demikian, tekanan filtrasi bersih dari

glomerulus besarnya sekitar 10 mmHg . filtrasi glomerulus tidak hanya

dipengaruhi oleh tekanan-tekanan fisik di atas, namun juga oleh permeabilitas

membran membran filtrasi (Kf). Kf adalah hasil dari permeabilitas intrinsik

kapiler glomerular dan daerah permukaan glomerulus untuk filtrasi. Laju

filtrasi lebih tinggi dalam kapiler glomerulus dari pada kapiler lainnya, karena

Kf kira-kira 100 kali lebih tinggi (173 L/hari melawan kira-kira 2 L/hari).

15

Cara yang paling akurat untuk mengukur GFR ialah dengan

mengguanakan suatu zat seperti inulin, yang diflitrasi secara bebas pada

glomerulus dan tidak disekresi maupun direabsorbsi oleh tubulus. Bersihan

suatu zat adalah besarnya volume plasma dari zat yang dibersihkan secra total

oleh ginjal per satuan waktu. Laju bersihan inulin sama dengan GFR, yang

diukur dengan pemberian inulin dengan kecepatan tetesan intravena (IV) yang

konstan untuk menjamin tingkat konsentrasi plasma yang konstan. Hasil

pengukuran konsentrasi inulin dalam plasma (Pin) dalam mg/dl, dalam urine

(Uin) dalam mg/dl, serta volume urine (V) dalam ml/menit, memungkinkan

penghitungan bersihan inulin (Cin) dalam ml/menit. Hasilnya harus dikoreksi

terhadap luas permukaan tubuh – diperkirakan dengan menggunakan

nomogram yang menghubungkan tinggi dan berat badan terhadap luas

permukaan tubuh. Misalnya bila seseorang mengeluarkan urine dengan

kecepatan 4,2 ml/menit, spesimen Uin sebesar 600 mg/dl. Dan Pin sebesar 25

mg/100 ml, maka:

GFR = Cin= (Uin) 600 mg/dl x (V) 4,2 ml/menit

(Pin) 25 mg/dl= 100 ml/menit

GFR yang diperoleh dalam 100 ml/menit kemudian dinormalkan dengan

mengoreksinya terhadap standar luas permukaan tubuh normal sebesar 1,73

m2. Koreksi ini memungkinkan kita membandingkan fungsi pada orang-orang

yang berbeda keadaan fisiknya. GFR laki-laki muda normal berkisar 125 ± 15

ml/menit/ 1,73 m2, sedangkan GFR perempuan muda normal adalah 110 ± 15

ml/menit/ 1,73 m2.

Autoregulasi Aliran Plasma Ginjal dan Laju Filtrasi Glomerulus

GFR tidak sepenuhnya bergantung pada kekuatan fifk yang bekerja di

membran glomerulus. Ginjal memiliki kemampuan untuk mempertahankan

GRF dan RPD pada tingkat yang relatif konstan walaupun terdapat fluktuasi

harian normal dalam tekanan darah sistemik dan tekanan perfusi ginjal.

Fenomena ini (bersifat intrinsik dalam ginjal) dinamakan autoregulasi. Tujuan

16

mempertahankan GFR dalam kisaran yang sempit adalah untuk mencegah

fluktuasi yang tidak sesuai bagi natrium dan sekresi air. Autoregulasi lebih

efektif bila kisaran tekanan darah arteri sekitar 80 sampai 180 mm Hg namun

dapat pula tidak efektif walaupun pada kisaran tersebut berada dalam keadaan

patologis tertentu.

Dua mekanisme yang sangat berperan dalam autoregulasi RPF dan GFR

adalah:

1) Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vaskular arterior aferen.

2) Timbal balik tubuloglomerular (TGF).

Selain itu, norepinefrin, angiostensin II, dan hormon lain juga dapat

memengaruhi autoregulasi. Kapiler gromerular berbeda dari bantalan kapiler

lain dalam menempatkan diri di antara dua arteriol (aferen dan eferen). Sebagai

akibatnya, tekanan hidrostatik intrakapiler (Pgc) ditentukan oleh tiga faktor:

1) Tekanan darah sistemik.

2) Resistensi pada arteriol aferen.

3) Resistensi pada arteriol eferen.

Pengaturan ini mengikuti regulasi cepat GFR dengan mengubah resistensi

dalam arteriol aferen dan eferen. Sebagai contoh , kenaikan tekanan darah

sistemik dan tekanan perfusi ginjal dapat diharapkan untuk meningkatkan Pgc

dan kemudian meningkatkan laju RPF dan GFR. Namun peningkatan tekanan

perfusi ginjal akan dirasakan oleh reseptor regang miotonik dalam arteriol

aferen yang mengakibatkan konstraksi dalam arteriol aferen. Tapi, arteriol

aferen tidak merespon secara langsung perubahan dalam regangan sehingga

tidak memperbesar respon miotonik. Akibat dari vasokonstriksi arteriol aferen

tersebut adalah reduksi RPF, Pgc, dan GFR, sehinggamengimbangi

peningkatan yang besar dalam GFR yang dapat diharapkan dengan

meningkatkan tekanan perfusi ginjal.

Di lain pihak, jika terdapat hipotesis sistemik, sistem renin-angiostensin

diaktifkan dengan pembentukan angiostensin II. Angiostensin II menyebabkan

vasokonstriksi arteriol aferen dan vasokonstriksi arteriol eferen namun pada

derajat yan lebih rendah. Akibatnya adalah reduksi tekanan perfusi ginjal serta

17

RPF (karena peningkatan resistensi arteriol aferen) dan peningkatan Pgc

(karena peningkatan resistensi arteriol eferen). Akibat yang menguntungkan

adalah bahwa angiostensin II meniadakan regulasi GFR : penurunan RPF

cenderung meningkatkan GFR. Norepinefrin (dilepaskan dari saraf simpatik

ginjal atau dari korteks adrenal) meningkatkan efek vasokonstriksi dari

angiostensin II. Angiostensin II juga merangsang pelepasan prostaglansin

vasodilator (misalnya PGI2, PGE2) dari glomerulus, yang meminimalkan

kemungkinan terjadinya iskemi ginjal dalam keadaan hipotensi sistemik.

Mekanisme kedua yang bertanggung jawab terhadap autoregulasi GFR

(yaitu TGF) mengacu kepada perubahan yang dapat ditimbulkan oleh

perubahan kecepatan aliran di tubulus distal. TGF diperantarai oleh sel makula

densa dalam tubulus distal (bersebelahan dengan kutub glomerulus), yang

sensitif terhadap komposisi klorida cairan tubulus. Angka NaCl yang tinggi

dalam tubulus distal menyebabkan konstriksi arteriol aferen sehingga

mengurangi GFR dalam nefron tersebut.

Berdasarkan mekanisme ini, nefron itu sendiri benar-benar suatu lengkung

timbal balik. Peningkatan GFR menyebabkan peningkatan hantaran NaCl ke

nefron distal dan oleh sebab itu akan meningkatkan pemindahan natrium

melewati sel makula densa. Kemudian akan diikuti oleh reduksi GFR.

Sebaliknya bila GFR rendah, hanya sedikit natrium yang tersedia untuk

berpindah melewati sel makula densa. Arteriol aferen berdilatasi, dan GFR

meningkat.

Reabsorbsi dan Sekresi Tubulus

Tiga kelas zat yang difiltrasi dalam glomerulus: elektrolit, nonelektrolit,

dan air. Beberapa elektrolit yang paling penting adalah natrium (Na+), kalium

(K+), kalsium (Ca++), magnesium (Mg++), bikarbonat (HCO3-), klorida (Cl-),

dan fosfat (HPO4=). Nonelektrolit yang penting adalah glukosa,asam amino,

dan metabolit yang merupakan produk akhir dari proses metabolisme protein:

urea, asam urat, dan kreatinin.

18

Langkah kedua dalam proses pembentukan urine setelah filtrasi adalah

reabsorbsi selektif zat-zat yang sudah difiltrasi. Sebagian besar zat yang

difiltrasi direabsorbsi melalui “pori-pori” kecil yang terdapat dalam tubulus

sehingga akhirnya zat-zat tersebut kembali lagi ke dalam kapiler peritubulus

yang mengelilingi tubulus. Di samping itu, beberapa zat disekresi pula dari

pembuluh darah peritubulus sekitar ke dalam tubulus.

Proses reabsorbsi dan sekresi ini berlangsung melalui mekanisme

transpor aktif dan pasif. Suatu mekanisme disebut aktif bila zat berpindah

melawan perbedaan elektrokimia (yaitu melawan perbedaan potensial listrik,

potensial kimia, atau keduanya). Kerja langsung ditujukan pada zat yang

direabsorbsi atau disekresi oleh sel-sel tubulus tersebut, dan energi ini

dikeluarkan dalam bentuk adenosin trifosfat (ATP) (misalnya 3Na+ / 2K+

ATPase). Mekanisme transpor disebut pasif bila zat direabsorbsi atau disekresi

bergerak mengikuti perbedaan elektrokimia yang ada. Selama proses

perpindahan zat tersebut tidak dibutuhkan energi.

Glukosa dan asam amino direabsorbsi seluruhnya di sepanjang tubulus

proksimal melalui transpor aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya

direabsorbsi secara aktif dan keduanya disekresi ke dalam tubulus distal.

Sedikitnya dua pertiga dari jumlah natrium yang difiltrasi akan direabsorbsi

secara aktif dalam tubulus proksimal. Proses reabsorbsi natrium berlanjut

dalam lengkung Henle, tubulus distal dan pengumpul, sehingga kurang dari 1%

beban yang difiltrasi dieksresikan dalam urine. Sebagian besar Ca2+ dan

HPO4= direabsorbsi dalam tubulus proksimal dengan cara transpor aktif. Air,

klorida, dan urea direabsorbsi dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif.

Dengan berpindahnya ion natrium yang bermuatan positif keluar lumen

tubulus, maka ion klorida yang bermuatan negatif harus menyertai untuk

mencapai kondisi listrik yang netral. Keluarnya sejumlah besar ion dan

nonelektrolit dari cairan tubulus proksimal menyebabkan cairan mengalami

pengenceran osmotik dan akibatnya air berdifusi ke luar tubulus dan masuk ke

darah peritubular. Urea kemudain berdifusi secara pasif mengikuti perbedaan

konsentrasi yang terbentuk oleh reabsorbsi air. Ion hidrogen (H+), asam organi

19

seperti para-amino-hipurat (PAH) dan penisilin, juga kreatinin (suatu basa

organik) semuanya secara aktif dideekresi ke salam tubulus proksimal. Sekitar

90% dari bikarbonat direabsorbsi secara tak langsung dari tubulus proksimal

melalui pertukaran Na+ - H+. H+ yang disekresi ke dalam luen tubulus

(sebagai penukar Na+) akan berikatan dengan HCO3- yang terdapat dalam

filtrat glomerulus sehingga terbentuk asam karbonat (H2CO3). H2CO3 akan

berdisosiasi menjadi air dan karbon dioksida (CO2). CO2 maupun H2O akan

berdifusi keluar dari lumen tubulus, masuk ke sel tubulus. Dalam sel tubulus

tersebut, aekali lagi, karbonik anhidrase mengatalisis reaksi CO2 dengan H2O

untuk membentuk H2CO3 sekali lagi. Disosiasi H2CO3 menghasilkan HCO3

dan H+. H+ disekresi kembali menjadi HCO3- akan masuk ke dalam darah

peritubular bersama dengan Na+.

Dalam lengkung Henle, Cl- ditranspor keluar secara aktif dari bagian

asenden dan diikuti secara pasif oleh Na+. NaCl selanjutnya akan berdifusi

secara masuk bagian lengkung desenden. Proses ini penting dalam pemekatan

urine dan akan dibahas kemudain.

Proses sekresi dan reabsorpsi selektif diselesaikan dalam tubulus dan

duktus pengumpul. Dua fungs penting tubulus adalah pengaturan tahap akhir

dari keseimbangan air dan asam basa. Pada fungsi sel yang normal, pH ECF

harus dapat dipertahankan dalam batas sempit antara 7,35 sampai 7,45.

Sejumlah mekanisme biologis bersama-sama membantu mempertahankan pH

dalam batas normal. Dapar darah yang paling utama adalah sistem asam

bikarbonat-karbonat yang dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut:

Karbonikanhidrase

CO2 + H2O ----------H2CO3 H+ + HCO3-

pH darah dinyatakan dalam persamaan Handerson-Hasselbach:

[HCO3-](ginjal)pH = pK + log [H2CO3](paru]

20

pK adalah konstanta disosiasi H2CO3-. Paru membuang CO2 yang

terbentuk bila H+ didapat oleh HCO3- (reaksi di atas bergeser ke kiri), dan

dengan demikian berperan penting dalam menstabilkan pH. Peran ginjal dalam

mempertahankan keseimbangan asam basa adalah reabsorpsi sebagian besar

HCO3- yang difiltrasi. Dalam mempertimbangkan gangguan asam-basa,

seringkali perlu diingat bahwa pH serum sesungguhnya banyak bergantung

pada rasio HCO3- / H2CO3, dan faktor pembilang terutama diatur oleh

mekanisme ginjal, sedangkan mekanisme paru mengatur penyebut (melalui

maknisme pembuangan CO2). Perubahan faktor pembilang atau penyebut akan

diikuti oleh perubahan faktor lainnya ke arah yang sama. Perubahan ini dikenal

sebagai kompensasi dan berfungsi untuk mempertahankan pH.

Selain reabsorpsi danpenyelamatan sebagian besar HCO3-, ginjal juga

membuang H+ yang berlebihan. Setiap harinya tubuh membentuk sekitar 80

mEq asam yang bukan H2CO3. Asam-asam ini tidak dapat dibuang melalui

paru sehingga disebut asam tetap. Asam-asam ini dibuang melalui cairan

tubulus, sehingga urine dapat mencapai pH sampai serendah 4,5 (perbedaan ion

hidrogen 800 kali lebih besar daripada perbedaan ion hidrogen dalam plasma).

Di sepanjang tubulus, H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus. H+

disekresikan dalam bentuk kombinasi dengan HPO4= berbasa dua yang

terfiltrasi atau dengan amonia (NH3). Dengan demikian H+ dieksresi sebagai

garam asam berbasa satu yang dapat dititrasi (NaH2PO4+) atau sebagai ion

amonium (NH4+). NH3 berdifusi dengan mudah ke dalam lumen tubulus,

tetapi bila telah berikatan dengan H+ membentuk partikel NH4 yang

bermuatan; tidak lagi dapat berdifusi kembali ke dalam sel tubulus. Karena pH

urine minimal yang dapat dicapai adalah 4,5 maka jumlah H+ bebas yang dapat

dieksresi terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, mekanisme amonium (dan

mekanisme fosfat) berperan penting dalam dalam pembuangan beban asam,

karena NH4+ tidak memengaruhi pH urine. Pendaparan H+ oleh NH3 atau

HPO4= juga berefek pada penambahan HCO3- baru ke dalamplasma untuk

setiap ion H+ yang dieksresi ke dalam urine. H+ yang disekresi berasal dari

H2CO3 yang terdapat dalam sel tubulus, sehingga meninggalkan HCO3- dalam

21

sel tubulus tersebut dalam jumlah ekuimolar. Sebaliknya, bilamana HCO3-

direabsorpsi dari cairan tubulus melalui mekanisme yang telah dijelaskan

sebelumnya, maka HCO3- sesungguhnya hanya diselamatkan, karena satu H+

akan dikembalikan ke dalam plasma untuk setiap plasma yang disekresi ke

dalam cairan tubulus. Oleh karena itu, regenerasi HCO3- (yaitu sintesis

denovo) melalui mekanisme dapat sangat penting dalam mencegah asidosis.

Asam urat dan kalium disekresi ke dalam tubulus distal seperti telah

disebutkan sebelumnya. Dalam keadaan normal sekitar 5% darikalium yang

terfiltrasi diekskresikan ke dalam urine. Reabsorpsi air juga diselesaikan dalam

tubulus distal dan duktus pengumpul.

Beberapa hormon mengatur proses reabsorpsi dan sekresi terlarut dan air.

Reabsorpsi air bergantung pada adanya hormon antidiuretik (ADH).

Aldosteron memengaruhi reabsorpsi Na+ dan sekresi K+. Peningkatan

aldosteron menyebabkan peningkatan reabsorpsi Na+ dan peningkatan sekresi

K+. Penurunan aldosteron mempunyai pengaruh sebaliknya. Peptida natriuretik

atrium (ANP), yaitu satu hormon yang dihasilkan dan disimpan dalam miosit

atrium jantung, memiliki efek berlawanan dengan reabsorpsi Na+ terhadap

aldosteron. ANP dilepaskan jika atrium teregang (yaitu ekspansi dari volume

sirkulasi efektif [ECV]) dan meningkatkan sekresi Na+ dan air dalam duktus

pengumpul. Hormon paratiroid (PTH) mengatur reabsorpsi Ca++ dan HPO4=

di sepanjang tubulus. Penigkatan PTH menyebabkan peningkatan reabsorpsi

Ca++ dan ekskresi HPO4=. Penurunan PTH mempunyai penagruh sebaliknya.

Proses reabsorpsi selektif dan sekresi di sepanjang tubulus memungkinkan

ginjal mengatur lingkungan dalam tubuh dengan cara yang tepat.

Pengaturan Keseimbangan Air

Konsentrasi total zat terlarut dalam cairan tubuh seorang normal sangat

konstan meskipun fluktuasi asupan dan ekresi air dan zat terlarut cukup besar.

Kadar plasma cairan tubuh dapat dipertahankan dalam batas-batas yang sempit

melalui pembentukan urine yang jauh lebih pekat atau lebih encer

dibandingkan plasma dari urine yang dibentuk. Cairan yang banyak diminum

22

menyebabkan cairan tubuh menjadi encer. Urine menjadi encer dan kelebihan

air akan dieksresikan dengan cepat. Sebaliknya, pada waktu tubuh kehilangan

air arau asupan zat terlarut berlebihan menyebabkan cairan tubuh menjadi

pekat, maka urine akan sangat pekatt sehingga banyak zat terlarut yang

terbuang dalam kelebihan air. Air yang dipertahankan cenderung

mengembalikan cairan tubuh kembali pada konsentrasi zat terlarut normal.

Sebelum dapat mamahami proses-proses yang ikut berperan dalam dalam

pengaturan keseimbangan cairan tubuh, maka perlu dipahami lebih dahulu

konsep osmolalitas, yaitu istilah yang digunakan untuk menyatakan konsentrasi

cairan tubuh.

Konsentrasi Osmotik

Konsentrasi osmotik (osmolalitas) menyatakan jumlah zat partikel yang

larut dalam dalam suatu larutan. Jika zat terlarut ditambahkan ke dalam air,

maka konsentrasi efektif (aktivitas) dari air relatif menurun dibandingkan

dengan air murni. Aktivitas osmotik hanya dipengaruhi oleh jumlah relatif dari

partkel-partikel zat terlarut dan pelarut, dan dalam keadaan ideal tidak

bergantung pada sifat zat terlarut. Partiekl-partikel zat terlarut yang berbeda

alam massa, bentuk dan muatan, tetap mempunyai efek yang sama terhadap

aktivitas osmotik pelarut asalkan jumlahnya sama. Dengan demikian, enam ion

natrium dan klorida yang berdisosiasi sempurna mempunyai pengaruh yang

sama terhadap terhadap aktivitas osmotik seperti halnya enam enam molekul

glukosa dalam 1 kg air, meskipun sangat berbeda, baik dalam massa, bentuk,

maupun muatannya.

Sifat Koligatif Larutan

Penambahan partikel zat terlarut ke dalam suatu pelarut akan menrunkan

tekanan uap dan titik beku larutan serta meningkatkan titik didih serta

osmotiknya. Fenomena ini dikenal sebagai sifat koligatif larutan. Seluruh sifat

ini bergantung pada konsentrasi osmotik.

23

Dua sifat koligatif yang pertama adalah penurunan tekanan uap dan

penigkatan titik didih. Bila air dububuhi partikel-partikel , maka lebih sulit bagi

air untuk lolos dari permukaan karena konsentrasi efektif air berkurang.

Akibatnya air murni akan mendidih pada suhu 100 oC sedangkan larutan

glukosa dalam air baru akan mendidih pada suhu di atas 100 oC.

Jika air dibubuhi partikel-partikel zat terlarut tekanan osmotik akan

meningkat, dan ini merupakan sifat koligatif ketiga dari larutan. Sebagai

contoh, dua molekul glukosa dan enam molekul glukosa lainnya berada pada

dua ruangan terpisah yang dibatasi membran semi-permeabel. Pori-pori

membran terlalu kecil untuk memungkinkan difusi glukosa dengan mudah. Air

yang lebih kacil molekulnya dapat berdifusi dengan mudah dari bagian yang

memiliki konsentrasi osmotik rendah menuju bagian dengan kosentrasi

osmotik lebih tinggi. Proses ini disebut osmosis. Sesungguhnya air bergerak

dari daerah yang memilki konsentrasi air lebih tinggi ke daerah dengan

konsentrasi lebih rendah. Jadi proses osmosis hanya merupakan suatu proses

difsi khusus.

Difusi akan terus berlangsung samapai tercapai keseimbanagn osmotik.

Kekuatan pengendali air yang bergerak melalui membran semipermeabel

disebut tekanan osmotik. Prinsip osmosis merupakan dasar dari pergerakan air

antara ruang-ruang dalam tubuh. Prinsip ini juga berlaku pada dialisis dengan

menempatkan glukoda berkonsentrasi tinggi dalam bak dialisis untuk

mempermudah pembuangan cairan yang berlebihan dari tubuh yang tertimbun

apabila ginjal tidak berfungsi secara memadai.

Sifat koligatif larutan yang keempat adalah penurunan titik beku. Air yang

dibubuhi partikel-partikel yang menyebabkan larutan membeku pada suhu

yang lebih rendah daripada air murni yang membeku pada 0 oC.

Pengukuran Konsentrasi Osmotik

Terdapat dua jenis cara pengukuran konsentrasi osmotik cairan tubuh

yang lazim dipakai. Pengukuran penurunan titik beku dengan alat osmometer

merupakan pengukuran konsentrasi osmotik yang sesungguhnya, tetapi caranya

24

rumit dan harus dilakukan dalam laboratorium. Pengukuran ini berdasarkan

prinsip bahwa titik beku larutan yang mengandung 1 gram berat molekul (mole

atau mol) dari zat yang tidak berdisosisasi dalam 1 kg air adalah -1,86 oC.

Larutan seperti itu disebut larutan osmolal, mengandung 1 osmol-gram partikel

zat terlarut (yaitu jumlah partikel yang diperlukan untuk menurunkan titik beku

air sebanyak 1,86 oC). Perubahan suhu ini disebut konstanta titik beku (Kf) dan

setara dengan satu osmol.

Bila tidak ada disosiasi, maka setiap molekul zat terlarut bertindak

sebagai partikel tunggal. Ukuran molekul tidak mempengaruhi sifat koligatif

sehingga pengaruh 1 gram-mol albumin (berat molekul 70.000) terhadap titik

beku air sama dengan pengaruh 1 gram-mol glukosa (berat molekul 180). Bila

terjadi disosisasi, misalnya NaCl, maka akan terbentuk dua ion, dan setiap

molekul mempunyai pengaruh dari dua partikel. Dalam hal ini, 1 osmol sama

dengan setengah berat molekul.

Pada orang sehat, konsentrasi plasma adala 285 ± 10 mOsm / kg H2O.

Metode kedua untuk memperkirakan konsentrasi caian tubuh ialah dengan

mengukur berat jenis munggunakan urinometer. Berat jenis bukan pengukuran

konsentrasi yang sebenarnya, tetapi karena sederhana cara ini sering digunakan

di unit klinis. Apa yang sesungguhnya diukur adalah densitas (yang bergantung

pada berat partikel zat terlarut) dan bukan konsentrasi (yang bergantung pada

jumlah partikel zar terlarut). Namun memperkirakan konsentrasi urine dengan

mengukur berat jenis cukup teliti asalkan urine tersebut terdiri dari unsu-unsur

yang normal.

Osmolalitas versus Osmolaritas

Dalam literatur dan praktik, istilah osmolaritas seringkali dipakai sebagai

ganti atau dapat dipertukarkan dengan istilah osmolalitas dalam pembahasan

mengenai konsentrasi larutan IV atau cairan tubuh. Pertukaran ini seringkali

membingungkan. Osmolalitas merupakan pernyataan konsentrasi dalam

hitungan 1000 gram air. Oleh karena itu suhu maupun ruang yang ditempati

oleh benda padat dalam larutan tidak memengaruhi nilai osmolalitas dan dapat

25

dilakukan perbandingan langsung dengan berbagai jenis cairan tubuh dengan

kandungan air atau benda padat yang berbeda. Sebaliknya, perbandingan

seperti ini tidak mungkin dilakukan jika konsentrasi dinyatakan per 1 L larutan,

yaitu osmolaritas. Jumlah air dalam 1 L larutan merupakan fungsi suhu

maupun ruang yang ditempati oleh benda padat yang tredapat dalam larutan.

Sifat koligatif hanya ditentukan oleh rasio partikel zat terlarut dan partikel zat

pelarut sehingga osmolaritas berbagai cairan tubuh tidak dapat dibandingkan

secara langsung. Untuk membentuk larutan 1 osmol, maka 1 gram-mol partikel

zat terlarut ditambahkan ke dalam suatu cawan yang tepat berisi 1000 g air.

Dengan demikian volume larutan lebih besar dari satu liter. Larutan 1 osmolar

dibuat dengan mula-mula menambhakan 1 gram-mol partikel zat trelarut ke

dalam cawan, kemudian ditambahkan air hingga mencapai batas volume 1 L.

Dengan demikian, volume zat terlarut sudak termasuk dalam larutan itu. Sudah

jelas bahwa konsentrasi kedua larutan itu tidak sama. Perbedaan antara

osmolalitas dan osmolaritas dapat diabaikan dalam rentang konsentrasi dan

suhu cairan tubuh. Namun, perlu menggunakan unit konsentrasi osmolal pada

saat menyiapkan larutan IV yang tepat.

Fungsi ginjal adalah untuk mempertahankan konsentrasi cairan-cairan

tubuh konstan pada 285 mOsm. Bagaimana keadaan ini dicapai akan digali

lebih lanjut pada bagian-bagian berikut.

Reabsorpsi Isoosmotik dalam Tubulus Proksimal

Ketika pertama kali masuk ke dalam tubulus proksimal, konsentrasi

filtrat glomerulus sama dengan konsentrasi plasma yaitu 285 mOsm. Oleh

karena itu disebut isoomatik. Di sepanjang tubulus proksimal, terdapat 6% -

80% filtrat direabsorpsi ke dalam kapiler peritubulus. Reabsorpsi ini bersifat

isoosmotik karena baik air maupun zat terlarut direabsorpsi dalam proporsi

yang sama seperti keadaannya dalam filtrat. Sehingga pada bagian akhir

tubulus proksimal konsentrasi filtrat tetap 285 mOsm dan filtrat masih tersisa

sekitar 20%. Meskipun aliran telah banyak berkurang (dari 125 menjadi 25

ml/menit), tetapi ekskresi urine yang langsung keluar dari tubulus proksimal

26

kira-kira 1.500 ml/jam. Pada kecepatan ekskresi demikian kematian akan

timbul dalam beberapa jam akibat dehidrasi, karena kehilangan 12% sampai

14% dari berat tubuh dalam bentuk air adalah fatal. Langkah berikutnya dalam

proses pembentukan urine adalah mengurangi volume filtrat dalam jumlah

yang besar sebelum dikeluarkan sebagai urine.

Mekanisme Aliran Balik

Dalam ginjal terdapat dua jenis nefron; kortikal dan jukstamedularis.

(letaknay dekat dengan medula). Nefron jukstamedularis mempunyai lengkung

Henle yang jauh lebih panjang dibandingkan dengan nefron kortikal, dan suplai

darah peritubularnya dalam bentuk lengkung sperti peniti, yang turun jauh ke

bawah di samping lengkung Henle. Pembuluh darah ini disebut vasa rekta.

Gambaran anatomis nefron jukstamedularis sangat berperan dalam penentuan

konsentrasi urine. Kenyataannya, makin panjang lengkung, makin besar

kemampuan memekatkan urine pada binatang. Tikus kanguru memilki

lengkung yang panjang sekali dan dapat mengeluarkan urin berosmolalitas

sekitas 6.000 mOsm. Pada manusia, sekitar satu dari tujuh nefron merupakan

nefron jukstamedularis, denhan lengkung yang pamjang dan konsentrasi

maksimum urine adalah sekitar 1.400 mOsm.

Mekanisme aliranbalik yang bertanggung jawab utnuk konservasi air oleh

ginjal sesungguhnya mencakup dua proses dasar : 1) aliran balik lengkung

Henle dan 2) penukar aliran balik dalam vasa rekta yang berbentuk lengkung

seperti peniti. Lengkung Henle membentuk cairan interstisial dalam medula

hiperosmotik, dan membuat cairan tubular yang keluar dari lengkung Henle

dan masuk ke dalam tubulus distal menjadi hipoosmotik; perubahan ini

memungkinkan kosentrasi urine tahap terakhir berubah-ubah dalam batas yang

cukup luas. Pembuluh darah vasa rekta mencegah hilangnya perbedaan

osmotik dalam cairan interstisial medula yang telah diciptakan oleh lengkung

Henle. Sepanjang nefron, proses fundamental yang terlibat dalam pembentukan

urine yang pekat atau encer adalah proses reabsorpsi aktif klorida di bagian

27

asenden lengkung Henle dan berbagai permeabilitas terhadap difusi pasir air

dan urea selama terdapat perbedaan konsentrasi.

Pertama-tama, teliti dulu keseluruhan hubungan yang terjadi selama

pembentukan urine yang pekat. Pada glomerulus tempat filtrasi dimulai, filtrat

bersifat isoosmotik denganplasma pada angka 285 mOsm. Pada akhir tubulus

proksimal, 80% filtrat telah direabsorpsi meskipun konsentrasinya masih tetap

sebesar 285 mOsm. Saat filtrat bergerak ke bawah melalui bagian

desendenlengkung Henle, konsentrasi filtrat mencapai maksimum pada ujung

lengkung. Kemudian waktu filtrat bergerak ke atas melalui bagian asenden,

konsentrasinya makin lama makin encer sehingga akhirnya menjadi

hipoosmotik pada bagian ujung atas lengkung. Saat filtrat bergerak di

sepanjang tubulus distal, filtrat menjadi semakin pekat sehingga akhirnya

bersifat isoosmotik dengan plasma darah pada ujung duktus pengumpul, sekali

lagi menjadi semakin pekat. Pada bagian akhir duktus pengumpul, sekitar 99%

air sudah direabsorpsi atau sekitar 1%filtrat yang diekskresi sebagai urine.

Perhatikan bahwa terdapat juga perbedaan konentrasi cairan intersistial

yang semakin meningkat mulai dari korteks sampai ke medula. Vasa rekta

yang berjalan ke bawah di sebelah lengkung Henle juga mempunyai perbedaan

konsentrasi yang semakin meningkat pada bagian desenden dan berkurang

pada bagian asenden, walaupun pengurangannya jauh lebih kecil daripada

pengurangan yang terjadi pada bagian asenden lengkung Henle.perhatikan pula

bahwa pada bagian lengkung Henle membentuk kolom-kolomparalel dan filtrat

mengalir ke arah yang berlawanan. Inilah yang disebut aliran balik dan dengan

demikian lengkung Henleberfungsi sebagai pengali aliran balik yang

menciptakan perbedaan konsentrasi dalam interstisisal.

Kerja pengali aliran balik pada lengkung Henle dimulai dengan proses

transpor aktif klorida keluar dari bagian asenden. Proses ini mengakibatkan

mengalirnya natrium secara pasif mengikuti perbedaan potensial yang

ditimbulkan transfer aktif klorida. Namun karena bagian asenden tidak bersifat

permeabel terhadap air, maka air tidak dapat secara pasif mengikuti transpor

NaCl. Dengan demikian semakin mendekat ujung bagian asenden, filtrat

28

menjadi hipoosmotik. Cairan intersistial makin pekat, sehingga terbentuk

perbedaan osmotik cairan intersistial dan bagian desenden lengkung Henle. Air

keluar dari bagian desenden sedangkan natrium klorida masuk secara pasif

sehingga filtrat menjadi semakin pekat. Dengan berlanjutnya proses ini tercipta

perbedaan konsentrasi yang makin meningkat dari korteks ke medula pada

bagian desenden lengkung Henle dan intersistial hingga mencapai keadaan

seimbang.

Vasa rekta melengkung ke bawah di samping lengkung Henle bertidak

sebagai penukar aliran balik melalui difusi pasif (transpor aktif tidak ikut

berperan). Darah dalam vasa rekta berada dalam keseimbangan osmotik

dengancairan intersisitial. Ketika darah mengalir melalui bagian desenden vasa

rekta, NaCl secara pasif bergerak masuk dan air keluar, sehingga darah makin

pekat saat mencapai ujung lengkung. Pada bagian asenden vasa rekta terjadi

peristiwa sebaliknya. Natrium secara pasif berdifusi keluar, masuk ke

intersistial sedangkan air direabsorpsi ke pembuluh darah dan dikembalikan ke

sirkulasi umum. Fakta bahwa aliran darah melalui vasa rekta lambat

memungkinkan vasa rekta bertindak sebagai penukar yang efisien. Jika

alirandarah sangat cepat, maka NaCl yang masuk ke dalam bagian desenden

akan terbuang. Dengan demikian, vasa rekta bertindak sebagai penukar aliran

listrik, mencegah hilangnya perbedaan konsentrasi dalam intersistial yang

diciptakan oleh lengkung Henle sebagai pemekat aliran balik.

Di sepanjang tubulus distal, Na+(Cl-) direabsorpsi secara aktif. Dalam

keadaan antidiuresis, filtrat hipoosmotik pada permulaan tubulus distal menjai

isoosmotik saat mencpai ujung duktus pengumpul. Pemekatan akhir urine

berlangsung pada tubulus distal dan duktus pengumpul di bawah kontrol

hormon antidiuretik (ADH). Tubulus distal dan duktus pengumpul bersifat

permeabel terhadap air bila terdapat ADH. Air berdifusi ke arah luar ke dalam

intersisitial sebagai respon terhadap gradien osmotik dalam medula. Air

kemudian masuk ke dalam bagian asenden vasa rekta dan dikembalikan ke

sirkulasi umum. Urine akhir yang terbentuk memiliki volume kecil namun

tinggi konsentrasi osmotiknya.

29

Sebaliknya dalam keadaan diuresis dan tanpa adanya ADH, tubulus distal

dan duktus pengumpul sesungguhnya tidak bersifat permeabel terhadap air.

Na+(Cl-) secara aktif direabsorpsi dari tubulus distal dan duktus pengumpul,

tetapi air tidak berdifusi keluar untuk mempertahankan keseimbangan osmotik.

Na+ mengalami reabsorpsi dan air tertinggal sehingga urine yang dihasilkan

bervolume besar dan encer.

Urine juga berdifusi keluar dari duktus pengumpul, masuk ke cairan

interstisial tempat urea memegang peranan dalam pembentukan konsentrasi

osmotik yang yang tinggidalam medula. Sebagian urea juga masuk ke dalam

bagian desenden lengkung Henledan vasa rekta dan bersirkulasi kembali.

Pengaruhnya dalah untuk menahan urea dalam interstisial medula. Seseorang

yang dietnya rendah protein tidak dapat memekatkan urine, demikian pula

seseorang yang dietnya mengandung protein normal atau tinggi, karena urea

merupakan hasil akhir dari metabolisme protein.

Mekanisme ADH dalam Mengatur Osmolalitas Plasma.

Mekanisme ADH membantu mempertahankan volume dan osmolalitas

ECF pada tingkat konstan dengan mengatur volume dan osmolalitas urine.

Perubahan volume ECF atau osmolalitas dari niali normal mengontrol

pengeluaran ADH. ADH dibentuk dalam nukleus supraoptik hipotalamus dan

berjalan ke bawah di sepanjang serabut saraf menuju hipofisis posterior tempat

ADH disimpan untuk dilepaskan kemudian. Pengeluaran ADH dikontrol oleh

mekanisme umpan balik melalui dua jaras.

Pengeluaran ADH dirangsang oleh osmolalitas ECF (dari nilai ideal 285

mOsm) atatu penurunan volume plasma. Sebagai contoh, peningkatan

osmolalitas atau penurunan volume ECF dapat disebabkan oleh faktor-faktor

seperti kekurangan air, kehilangan cairan karena muntah, luka bakar, diare,

atau berkeringat; atau pergeseran cairan seperti pada asites. Perasaan haus

subjektif juga dirangsang oleh penurunan volume ECF atau peningkatan

osmolalitas ECF. Sebagai contoh, peningkatan rasa haus adalah gejala yang

sering terjadi pada ornag yang mengalami perdarahan (penurunan volume

30

ECF) atau pada orang yang baru saja memakan gula-gula (peningkatan volume

ECF akibat peningkatan glukosa dalam darah).

Sel osmoreseptor terletak dalam hipotalamus dekat dengan nukleus

supraoptik yang merasakan sedikitnya 1% hinga 2% perubahan osmolalitas

darah karena sirkulasi karotis interna. Sinyal neuronal dari osmoreseptor akan

merangsang pelepasan ADH dari kelenjar hipofisis dan secara terus menerus

merangsang rasa haus. Pusat yang menjadi perantara rasa haus terletak di

dalam hipotalamus. Kerja ADH dalam ginjal meningkatkan proses utama yang

terjadi dalam lengkung Henle melalui dua mekanisme yang berhubungan satu

sama lain: 1) aliran darah melalui vasa rekta di medula berkurang bile terdapat

ADH, sehingga memperkecil pengurangan zat dalam interstisium; dan 2) ADH

meningkatkan permeabilitas duktus pengumpul dan tubulus distal sehingga

makin banyak air yang berdifusi keluar untuk membentuk keseimbangan

dengan cairan interstisial yang hiperosmotik. Efek akhir kedua mekanisme ini

meningkatka reabsorpsi dan ekskresi sedikit volume dari urine yang pekat. Air

minum dan air yang disimpan oleh ginjal keduanya membantu memulishkan

osmolalitas ECF menjadi normal.

Bila volume ECF menurun sekitar 10%, pengisian air diaktifkan sebagai

cara memulihkan volume ECF tanpa menghiraukan osmolalitas ECF. Pada

kasus ini baroreseptor pada sirkulasi arterial dan vena mernagsang pelepasan

ADH melalui jalur neuron. Perangsangan ADH nonosmotik ini timbul tanpa

bergantung pada fungsi osmoreseptor. Rasa haus juga sirangsang namun

mungkin diperantarai oleh angiostensin II. Volume ECF yang merangsang

pelepasan ADK dapat menolak rangsangan osmotik., sehingga penurunan

volume ECF yang bermakna adalah penyebab utama hiponatremia.

Sebaliknya, osmolalitas ECF yang rendah ataupeningkatan volume akibat

peningkatan asupan air mengaktifkan mekanisme yang mengatur kembali

perlindungan air. Rasa haus tertekan, dan pelepasan ADH dirangsang. PGE2,

yaitu prostaglandinyang dihasilkan dalam ginjal, menghambat aksi ADH pada

duktus pengumpul. Efek akhir proses ini menurunkan asupan air dan

meningkatkan ekskresi volume pengenceran urine.

31

Bahkan pada kasus-kasus ekstrim dengan banyak sekali volume cairan

yang diminum atau asupan sangat terbatas, manusis normal mempunyai

fleksibilitas yang mengagumkan dalam mempertahankan osmolalitas cairan

ekstraseluler pada tingkatan 285 mOsm yang konstan. Untuk mencapai ini kita

dapat mengekskresi urine hingga seencer 40 mOsm sampai 1.400 mOsm.

Seperti yang akan diperlihatkan kemudian, pasien insufisiensi ginjal

kehilangan flesibilitas yang besar ini.

PENGATURAN KADAR NATRIUM TUBUH

Sistem Renin-Angiostensin-Aldosteron

Pengaturan volume sirkulasi efektif (ECV) atau volume ECF secara primer

dicapai melalui modifikasi ekskresi Na+ urine, berlawanan dengan pengaturan

osmolalitas ECF yang dicapai melalui keseimbangan air. Pemeliharaan Na+

tidak langsung terlibat dalam osmoregulasi kecuali bila terdapat perubahan

volume yang terjadi cecara bersamaan. Osmolalitas ditentukan olek rasio zat

terlarut (terutama garam Na+ dan K+) terhadap air, sedangkan vlume ECF

ditentukan oleh jumlah pasti Na+ dan air yang ada. Mekanisme renin-

angiostensin-aldosteron berperan penting dalam pengaturan kadar Na+ dalam

tubuh.

Renin adalah enzim pertama dalam kaskade biokimia sistem renin-

angiostensin-aldosteron. Fungsi sistem ini adalah mempertahankan volume

ECF dan tekanan perfusi jaringan dengan mengubah resistensi pembuluh darah

dan ekskresi Na+ dan air di ginjal. Hipoperfusi ginjal, yang dihasilkan oleh

hipotensi dan penurunan volume, serta peningkatan aktivitas simpatetik adalah

perangasang utama sekresi renin. Asupan dari JGA nefron, yang dijalankan

sebagai baroreseptor intrarenal dan penghantar kemoreseptor tubulus distal

telah dijelaskan sebelumnya. Asupan ke sistem saraf pusat (CNS) diberikan

oleh baroreseptor yang terletak di pusat melalui saraf vagus dan glosofaringeal,

yang terletak dalam atrium jantung pembuluh darah paru bertekanan rendah

terutama merespon volume atau isi dari cabang pembuluh darah. Peningkatan

volume intravaskular memperbesar atrium jantung dan menyebabkan

32

penurunan aktivitas simpatik ginjal dan pelepasan peptida netriuretik atrium,

keduanya meningkatkan ekskresi Na+ ginjal. Penurunan volume intravaskular

memilki efek yang bertolak belakang. Baroreseptor terletak dalam arkus aorta

dan sinus karotis bertekanan tinggi yang tertama berespon terhadap tekanan

arteri darah. Penurunan tekanan darah menghasilkan peningkatan aktivitas

simpatis ginjal, menyababkan retensi Na+ dan air. Peningkatan tekanan

intravaskular memilki efek yang bertolak belakang.

Pelepasan renin dari sel JG ke dalam sirkulasi mengawali rangkaian

kejadian yang dimulai dengan pecahnya angiostensinogen substrat

(glikopreotein serum yang dihasilkan hati) menjadi angiostensin I.

Angiostensin I kemudian diubah menjdai agiostensin II oleh enzim pengubah

angiostensin (ACE) yang ada di paru dalam konsentrasi tinggi tetapi ACE juga

terdapat di tempat lain, termasuk ginjal. Begitu terbentuk, angiostensin II

memiliki dua efek sistemik utama: vasokonstriksi arteriol serta meningkatkan

reabsorpsi Na+ dan air ginjal oleh tubulus distal dan duktus pengumppul. Efek

kedua diperantarai peningkatan sekresi aldosteron leh korteks adrenal, yang

dirangsang oleh anhiostensin II. Kedua aksi ini cenderung akan mengoreksi

hipovolemia atau hipotensi (sehingga memulihkan perfusi jaringan) yang

biasanya bertanggung jawab untuk merangsang sekresi renin.

Atrium jantung memiliki mekanisme tambahan antuk mengontrol ekskresi

Na+ ginjal dan volume ECF yang berlawanan mengatur mekanisme renin-

angiostensin-aldosteron. Atrium jantung menyintesis suatu hormon yang

disebut peptida natriuretik atrial (ANP), yang kemudain disimpan dalam

granula. ANP dilepaskan dari granula atrium sebagai respon terhadap regangan

(yaitu peningkatan volume ECF). ANP meningkatkan ekskresi Na+ dan air

oleh ginjal. Efek diuretik diperantarai oleh sifat vaodilatasinya, mengakibatkan

peningkatan aliran darah ginjal (RBF) dan tindakan supresifnya pada sekresi

ADH dan aldosteron.

33

C. Klasifikasi

Tabel 1. Klasifikasi GGA Menurut The Acute Dialysis Quality Initiative Group

Kriteria Laju Filtrasi

Glomerulus

Kriteria Jumlah Urin

Risk

Trauma

Gagal

Loss

ESRD

Peningkatan serum kreatinin

1,5 kali

Peningkatan serum kreatinin 2

kali

Peningkatan serum kreatinin 3

kali atau kreatinin 355 πmol/l

Gagal ginjal akut persisten,

kerusakan total fungsi ginjal

selama lebih dari 4 minggu

Gagal ginjal terminal lebih dari

3 bulan

<0,5 ml/kg/ja selama

6 jam

<0,5 ml/kg/jam

selama 12 jam

<0,5 ml/kg/jam

selama 24 jam atau

anuria selama 12 jam

D. Etiologi

Penyebab ARF umumnya dipertimbangkan dalam tiga kategori diagnostik:

azotemia prarenal, azotemia pascarenal, dan ARF intrinsik. Klasifikasi ini

menenkankan bahwa hanya pada kategori ketiga (renal) terjadi kerusakan

parenkim ginjal yang cukup berat untuk menyebabkan kegagalan fungsi ginjal.

Jika faktor-faktor prarenal dan pascarenal lama kemungkinan menyebabkan

kegagaln fungsi ginjal. Jika faktor-faktor prarenal dan pascarenal lama

kemungkinan menyebabkan gagal ginjal intrinsik tetapi dengan diagnosis yang

tepat, akan cepat pulih kembali. Penyakit ginjal intrinsik tersering yang

menyebabkanARF adalah nekrosis tubular akut (ATN), yang menjelaskan lesi

ginjal sebagai respons terhadap iskemia yang lama atau pemajanan terhadap

nefrotoksin. Diagnosis ATN ditegakkan berdasarkan pada pengecualian

penyebab azotemia prarenal dan pascarenal yang diikuti dengan pengecualian

penyebab azotemia prarenal dan pascarenal yang diikuti dengan pengecualian

34

penyebab lain dari gagal ginjal intrinsik (penyakit ginjal tubulointerstisial,

glomerular, vaskular).

Azotemia prarenal merupakan satu-satunya penyebab tersering azotemia

akut (>50% kasus), yang dapat menyebabkan terjadinya ARF tipe ATN.

Petunjuk lazim penyebab prarenal ARF adalah iskemia ginjal yang lama akibat

penurunan perfusi ginjal. Hipoperfusi ginjal dengan berbagai keadaan yang

menyebabkan deplesi volume intravaskuler, menurunnya volume sirkulasi

arteri yang efektif, atau terkadang, obstruksi vaskular ginjal. Beberapa keadaan

prarenal yang paling sering dengan peningkatan risiko ARF adalah

pembedahan aorta abdominalis, operasi jantung-terbuka, syok kardiogenik,

luka bakar berat, dan syok septik. Sebagian besar keadaan ini berkaitan dengan

hipotensi sistemik dengan aktivasi kompensatorik sistem saraf simpatik dan

sistem renin-angiotensin-aldosteron. Angiotensin menyebabkan vasokontriksi

ginjal, kulit, dan jaringan vaskular splanknikus, dan aldosteron menyebabkan

retensi air dan garam. Respons ini didesain untuk mempertahankan tekanan

arteri rata-rata sistemik dan perfusi ke organ-organ yang penting. Pada waktu

yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal diaktifkan untuk mempertahankan

tekanan arteri rata-rata sistemik dan perfusi ke organ-organ yang penting. Pada

waktu yang sama, mekanisme autoregulasi ginjal diaktifkan untuk

mempertahankan GFR dan melindungi ginjal terhadap adanya iskemia.

Angiotensin II menyebabkan terjadinya kontriksi arteriol glomerulus (sehingga

meningkatkan tekanan intra glomerulus dan GFR) dan pada waktu yang sama

merangsang produksi prostaglandin ginjal vasodilator. Efek protektif

prostagandin pada ginjal dapat dinetralkan dengan pemberian obat-obat

antiinflamasi nonsteroid (NSAID), seperti aspirin, yang menghambat produksi

hormon-hormon ini. Oleh karena itu, pemberian NSAID pada keadaan

hipoperfusi ginjal dengan penyebab pra renal telah lebih dikenali sebagai

pencetus kerusakan ginjal akibat iskemia pada ARF. Obat-obatan penghambat

enzim pengonversi angiostensin (ACE), yang menghambat angiotensin II, juga

dapat mencetuskan ARF dalam keadaan hipoperfusi ginjal atau obstruksi

35

vaskular ginjal sehingga harus digunakan dengan hati-hati. Pengobatan awal

azotemia prarenal dapat mencegah perkembangannya menjadi ARF.

Penyebab pascarenal azotemia yang dapat menyebabkan ARF lebih jarang

terjadi (5%) daripada penyebab prarenal dan mengarah pada obstruksi aliran

urin di setiap tempat pada saluran kemih. Pembesaran prostat 9akibat hipertrofi

jinak atau kanker) merupakan penyebab tersering obstruksi aliran keluar

kandung kemih. Kanker serviks juga dapat menyebabkan obstruksi saluran

kemih. Obstruksi di atas kandung kemih (biasanya disebabkan oleh batu) harus

terjadi bilateral untuk dapat menyebabkan obstruksi aliran keluar urin, kecuali

bila hanya terdapat satu ginjal yang berfungsi. Penting disadari bahwa

obstruksi aliran keluar urin dalam waktu lama akan menyebabkan

hidronefrosis, kerusakan berat parenkim ginjal, dan ARF. Oleh karena itu,

identifikasi awal dan koreksi obstruksi saluran kemih sangat penting dilakukan.

Nekrosis Tubular Akut (NTA) merupakan lesi ginjal yang paling sering

menyebabkan ARF (75%). ATN terjadi akibat iskemia ginjal yang terjadi

dalam waktu lama (akibat kondisi prarenal yang telah disebutkan) atau akibat

pemajanan terhadap nefrotoksin. Sayangnya, penggunaan istilah ATN dan

ARF dapat saling bertukar di klins, walaupun hal ini tidak benar. ATN

mengarah pada jenis lesi yang lazim tetapi tidak selalu berkaitan dengan ARF.

ARF dapat timbul tanpa disertai ATN. Penyebab ARF tanpa nekrosis tubular

yang berasal dari intrinsik ginjallainnya adalah penyakit vaskular atau

glomerular ginjal primer seperti glomerulonefritis pascastreptokokus akut atau

hipertensi maligna (secara berurutan). Serangan akut pada gagal ginjal kronik

juga dapat disebabkan oleh stres seperti infeksi atau kehilangan cairan akibat

muntah dan diare pada pasien gagal ginjal kronik dan cadangan ginjal yang

sedikit. Nefritis tubulointerstisial akut yang disebabkan oleh reaksi alergi

menyebabkan ARF. Penyebab ARF dari non-ATN lain ini harus disingkirkan

sebelum menegakkan diagnosis ATN.

Penyebab nefrotoksik pada ATN adalah nefrotoksin eksogen maupun

endogen yang biasanya menyebabkan ARF tipe non-oligurik. Nefrotoksin

36

eksogen dikelompokkan menjadi empat kelompok utama: antobiotik, bahan

kontras, logam berat, dan pelarut.

Terapi antibiotika minoglikosida dipersulit oleh ARF pada sekitar 10%

perjalanan klinisnya (misalnya, gentamisin, kanamisin, tobramisin).

Berbagai logam berat merupakan nefrotoksin yang kuat dan menyebabkan

terjadinya ARF dengan ATN. Sisplatin (garam platinum), suatu obat yang

digunakan untuk mengobati neoplasma padat tertentu, merupakan agen yang

paling sering digunakan dalam kategori ini. ATN akibat merkuri, arsen,

kromium, atau uranium biasanya disebabkan oelh pemajanan okupasional, atau

zat tersebut diingesti dalam usaha bunuh diri.

Siklosporin (untuk mengobati penolakan transplantasi) dan bahan kontras

dapat berperan dalam menyebabkan ARF dengan menyebabkan terjadinya

vasokontriksi intrarenal. Pasien diabetes terutama rentan terhadap nefropati

akibat pemakaian bahan kontras. Faktor risikotambahn untuk nefropati bahan

kontras mencakup insufisiensi ginjal yang telah ada sebelumnya, usia yang

lebih tua, deplesi volume, mieloma multiple, dan pemajanan multiple terhadap

bahan kontras dalam waktu pendek.

Cedera tubular nefrotoksik dapat terjadi akibat ingesti pelarut seperti

etilene glikol (antibeku) atau metanol (alkohol kayu). Inhalasi uap dari karbon

tetraklorida (CCl4) yaitu bahan yang lazim digunakan dalam larutan

penghilang noda atau pembersih lainnya, disertai oleh ingesti etil alkohol

(CH3CH2OH) sangat berbahaya karena rekasi kimia antara kedua senyawa ini

membentuk suatu nefrotoksin yang kuat. Keadaan ini (misal, ingesti alkohol

saat pesta dan menghilangkan noda pakaian dengan penghilang noda)

menyebabkan ARF pada sejumlah orang yang tidak diduga. Oleh karena alasan

yang sama, orang yang memiliki kegemaran menggunakan lem dan pelarut

organik harus bekerja dalam ruang yang berventilasi baik dan menahan diri

untuk tidak minum alkohol pada waktu yang bersamaan.

Nefrotoksin endogen mencakup hemoglobin, mioglobin, dan protein

Bence Jones 9imunoglobulin abnormal yang dihasilkan dalam mieloma

multipel). Hemolisis eritrosit dengan lepasnya hemoglobin ke dalam serum

37

darah biasanya disebabkan oleh ketidakcocokan transfusi darah. Sejumlah

besar mioglobin terkandung di dalam otot dan dapat dilepaskan setelah cedera

remuk berat (rabdomiolisis). Bila hemoglobin, mioglobin, atau protein Bence

Jones diekskresikan ke dalam urin, terjadi efek toksik langsung pada sel

tubular ginjal dan menyebabkan ARF. Yang terakhir, pengendapan kristal

asam urat dalam tubulus ginjal yang menyebabkan obstruksi dan ARF. Yang

terakhir, pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal yang

menyebabkan obstruksi dan ARF dapat mempersulit keganasan tertentu

dengan “pergantian sel yang cepat” (misal, leukimia) atau kemoterapi yang

lebih sering dilakukan dengan agen sitotoksik. Pada kedua situasi ini, lisis sel

masif menyebabkan lepasnya sejumlah besar prekursor asam urat purin. Asam

urat lebih mudah mengkristal dalam lingkungan asam sehingga pengendapan

dapat dicegah dengan memberikan alopurinol (menghambat sintesis asam urat)

sebelum kemoterapi atau dengan memberikan natrium bikarbonat supaya urin

menjadi alkali dan mendorong cairan.

E. Patofisiologi

Meskipun sudah ada kesepakatan mengenai patologi kerusakan ginjal dan

oliguria yang biasa menyertai . Sebagian besar konsep modern mengenai

faktor-faktor penyebab yang mungkin didasarkan pada penyelidikan

menggunakan model hewan percobaan, dengan menyebabkan gagal ginjal akut

nefrotoksik melalui penyuntikan merkuri klorida, uranil nitrat, atau kromat,

sedangkan kerusakan iskemik ditimbulkan dengan menyuntikkan gliserol atau

menjepit arteri renalis. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan

penurunan aliran darah ginjal, dan GFR baik pada percobaan dengan manusia

maupun hewan, yaitu (1) obstruksi tubulus, (2) kebocoran cairan tubulus, (3)

penurunan permeabilitas glomerulus, (4) disfungsi vasomotor, dan (5) umpan

balik tubuloglomerulus. Tidak satupun dari mekanisme di atas yang dapat

menjelaskan semua aspek ARF tipe ATN yang bervariasi itu (schrier, 1986).

Teori obstruksi tubulus menyatakan bahwa ATN mengakibatkan

deskuamasi sel tubulus nekrotik dan bahan protein lainnya, yang kemudian

38

membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan

seluler akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya oobstruksi dan

memperberat iskemia. Tekanan intra tubulus meningkat, sehingga tekanan

filtrasi glomerulus menurun. Obstruksi tubulus dapat merupakan faktor penting

pada ARF yang disebabkan oleh logam berat, etilen glikol, atau iskemia

berkepanjangan.

Hipotesis kebocoran tubulus mengatakan bahwa filtrasi glomerulus terus

berlangsung normal tetapi cairan tubulus “bocor” keluar dari lumen melalui

sel-sel tubulus yang rusak dan masuk ke dalam sirkulasi peritubular. Kerusakan

membran basalis dapat terlihat pada ATN yang berat, yang merupakan dasar

anatomik mekanisme ini.

Meskipun sindrom ATN menyatakan adanya abnormalitas tubulus ginjal,

bukti-bukti terakhir menyatakan bahwa dalam keadaan-keadaan tertentu sel-sel

endotel kapiler glomerulus dan/atau sel-sel membran basalis mengalami

perubahan mengakibatkan menurunya permeabilitas luas permukaan filtrasi.

Hal ini mengakibatkan penurunan ultrafiltrasi glomerulus.

Aliran darah ginjal total (RBF) dapat berkurang sampai 30 % dari normal

pada ARF oliguria. Tingkat RBF ini cocok dengan GFR yang cukup besar.

Pada kenyataannya, RBF pada gagal ginjal kronik sering sama rendahnya atau

lebih rendah daripada bentuk akut, tetapi fungsi ginjal masih memadai atau

berkurang. Selain itu, bukti-bukti percobaan menunjukkan bahwa RBF harus

kurang dari 5% sebelum terjadi kerusakan parenkim ginjal ( Merrill, 1971).

Dengan demikian, hipoperfusi ginjal saja tidak menyebabkan penurunan GFR

dari lesi-lesi tubulus yang terjadi pada ARF. Meskipun demikian terdapat bukti

perubahan bermakna pada distribusi aliran darah intrarenal dari korteks ( letak

glomeruli) dan 10% menuju ke medula, denagan demikian, ginjal dapat

memekatkan urine dan menjalankan fungsinya. Sebaliknya, pada ARF,

perbandingan antara distribusi korteks dan medula ginjal menjadi terbalik,

sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi arteriol aferen

merupakan dasar vaskular dari penurunan nyata GFR. Iskemia ginjal akan

mengaktivasi sistem renin-angitensin dan memperberat iskemia korteks setelah

39

hilangnya rangsangan awal. Kadar renin tinggi ditemukan pada korteks luar

ginjal, tempat terjadinya iskemia paling berat selama berlangsungnya ARF

pada hewan maupun manusia. Beberapa penulis mengajukan teori mengenai

prostatglandin dalam disfungsi vasomotor pada ARF. Dalam keadaan normal,

hipoksia ginjal merangsang sintesis prostatgalandin E dan prostatglandin A

(PGE dan PGA) ginjal (vasodilator yang kuat), sehingga aliran darah ginjal

diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis. Agaknya, iskemia akut

yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat sintesis prostatgalandin

ginjal tersebut. Pengahambat prostatglandin seperti aspirin diketahui dapat

menyebabkan ATN.

Umpan balik tubuloglomerulus merupakan suatu fenomena saat aliran ke

nefron distal diregulasi oleh reseptor dalam makula densa tubulus distal, yang

terletak berdekatan dengan ujung glomerulus. Apabila peningkatan aliran filtrat

tubulus ke arah distal tidak mencukupi, kapasitas reabsorpsi tubulus distal dan

duktus koligentes dapat melimpah dan menyebabkan terjadinya deplesi volume

cairan ekstra sel. Oleh karena itu, TGF merupakan mekanisme protektif. Pada

ATN, kerusakan tubulus proksimal sangat menurunkan kapasitas absorpsi

tubulus. TGF diyakini setidaknya berperan dalam menurunnya GFR pada

keadaan ATN dengan menyebabkan konstriksi arteriol aferen atau kontraksi

mesangial atau keduanya, yang berturut-turut menurunkan permeabilitas dan

tekanan tekanan intraglomerulus. Oleh karena itu, penurunan GFR akibat TGF

dapat dipertimbangkan sebagai mekanisme adaptif pada ATN.

Gambar 49-1 melukiskan skema kombinasi berbagai faktor yang terlibat

dalam patogenesis ARF. Kejadian awal umumnya adalah gangguan iskemia

atau nefrotoksin yang merusak tubulus atau glomeruli, atau menurunkan aliran

darah ginjal. Gagal ginjal akut kemudian menetap melalui beberapa mekanisme

yang dapat terjadi atau tidak, dan merupakan akibat cedera awal. Setiap

mekanisme berbeda kepentingannya dalam patogenesis, sesuai dengan teori-

teori yang telah dikemukakan di atas. Agaknya kepentingan dari mekanisme-

mekanisme ini bervariasi sesuai keadaan dan bergantung pada evolusi proses

penyakit, dan derajat kerusakan patologik. Banyak hal yang belum diketahui

40

mengenai patofisiologi ARF dan masih harus diteliti lebih jauh untuk

mengetahui hubungan antara beberapa faktor yang mempengaruhinya.

Perjalanan Klinis Gagal Ginjal Akut. Perjalanan klinis gagal ginjal akut

biasanya dibagi menjadi tiga stadium: oliguria, diuresis, dan pemulihan.

Pembagian ini dipakai pada penjelasan dibawah ini, tetepi harus diingat bahwa

gagal ginjal akut dan azotemia dapat saja terjadi saat keluaran urin lebih dari

400 ml/24 jam. Perjalanan klinis ginjal akut pada tipe oliguria sama dengan

tipe non-oliguria. Akan tetapi, kelainan kimia darah pada gagal ginjal akut non

oliguria biasanya lebih ringan dan prognosis lebih baik.

Stadium oliguria. Gambaran klinis seringkali didominasi oleh riwayat

komplikasi pembedahan, medis maupun obstetrik yang dapat menyebabkan

gagal ginjal akut. Oliguria biasanya timbul dalam waktu 24 sampai 48 jam

sesudah trauma, meskipun gejala biasanya tidak timbul sampai beberapa hari

sesudah kontak dengan bahan kimia yang nefrotoksik. Oliguria biasanya

disertai azotemia.

penting sekali untuk mengetahui awitan oliguria, menentukan penyebab

gagal ginjal, dan mulai mengobati setiap penyebab yang reversibel. ARF tipe

ATN harus dibedakan dari kegagalan prarenal (hipoperfusi) dan pascarenal

( obstruksi saluran kemih) dan kelainan intrarenal lainnya (contohnya,

glomerulonefritis pascatreptokokus akut, pielonefritis akut, serangan akut pada

gagal ginjal kronik). Diagnosis gagal ginjal akut ditegakkan setelah penyebab

lainnya disingkirkan.

Oliguria kerena serangan akut gagal ginjal kronik biasanya jelas diketahui

dari riwayat penyakit. Pasien gagal ginjal kronik biasanya mempunyai

kemampuan yang terbatas untuk m,enyesuaikan diri terhadap keseimbangan

cairan dan elektrolit sehingga mereka mudah sekali jatuh ke dalam gagal ginjal

akut hanya karena hal-hal sepele. Contohnya adalah pasien glomerulonefritis

kronik dengan gangguan saluran cerna yang disertai muntah atau diare,atau

penderita pielonefritis kronik yang ditungangi infeksi ginjal akut. Kadang-

kadang, seorang pasien insufisiensi ginjal kronik yang tak terdiagnosis, dapat

datng dengan manifestasi gagal ginjal akut. Riwayat nokturia yang lama,

41

hipertensi, penyakit sistemik (seperti lupu eritematosus sistemik atau diabetes

melitus), radiografi yang memperlihatkan ginjal yang mengisut, dan tanda-

tanda penyakit ginjal yang lama seperti osteodistrofi ginjal kronik. Pasien

biasanya dapat pulih kembali jika infeksi diobati, ketidakseimabangan cairan

dan elektrolit diperbaiki, jika perlu dilakukan dialisis peritoneal.

Obstruksi pascarenal harus disingkirkan, terutama jika penyebab gagal

ginjal tidak jelas. Adanya anuria atau periode anuria yang diselingi periode

berkemih dalam jumlah normal mengarah pada kemungkinan obstruksi.

Obstriksi pada uretra dan kandung kelih dapat diketahui dengan melakukan

keteterisasi dan mengukur urine sisa dalam kandung kemih setelah usaha

dalam pengeluaran urin sepenuhnya. Jika obstruksi pada muara telah

disingkirkan, tetapi dicurigai adanya obstruksi proksimal bilateral terhadap

kandung kemih, dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi atau scan ginjal

dengan radioisotop dan pielografi retrograd.

USG dapat mengungkapkan ukuran ginjal dan dapat menunjukkan adanya

obstruksi batu pada pelvis ginjal atau ureter. Scan radioisotop dapat dipakai

untuk menilai keadaan pembuluh darah utama ginjal dan berguna jika dicurigai

terdapat oklusi arteri atau vena oleh embolus atau trombus. Pielografi retrograd

dapat dipakai untuk kasus-kasus uropati obstriktif tertentu dan mungkin dapat

dipakai untuk pengobatan maupun diagnostik.

Oliguria Prarenal Versus ATN. Oliguria prarenal dan azotemia

merupakan keadaan fisiologis dan sebenarnya reversibel. Keadaan ini

disebabkan oleh syok, penurunan volume plasma dengan konsekuensi

penurunan aliran darah ginjal dan GFR. Oliguria prarenal gagal ginjal akut

seperti yang telah dibahas sebelumnya. Bila tidak diatasi, oliguria prarenal

dapat berkembang menjadi ATN. Pengukuran keluaran urin, kadar BUN,

kreatinin, dan elektrolit secara serial harus dilakukan setelah menjalani operasi

besar, trauma, infeksi yang serius, atau komplikasi obstetrik.

Beberapa pemeriksaan sederhana pada sedimen dan senyawa kimia dari

urin dapat membantu membedakan oliguria prarenal atau azotemia dari gagal

ginjal akut sejati tipe ATN.

42

Pada oliguria prarenal, bila belum terjadi kerusakan parenkim ginjal,

respon ginjal terhadap menurunnya perfusi ginjal adalah dengan menahan

garam dan air. Sebaliknya, kerusakan tubulus ginjal intrinsik menyebabakan

gangguan kemampuan ginjal untuk menahan natrium. Akibatnya, kadar

natrium urine pada oliguria prarenal rendah ( <10 mEq/L) tetapi tinggi pada

ATN ( >20 mEq/L).

Reabsorpsi air oleh ginjal dinilai dari kadar zat terlarut yang tidak dapat

direabsorpsi, seperti kreatinin, dan biasanya dinyatakan sebagai rasio kadar

kreatinin, dan biasanya dinyatakan sebagai rasio kadar kreatinin urine terhadap

plasma (kreatinin U/P). Rasio kreatinin U/P sebesar 100 menunjukkan bahwa

1% dari air yang difiltrasi direabsorpsi. Dengan demikian, rasio kreatinin U/P

tinggi pada azotemia prarenal (>40) tetapi rasionya rendah pada penyakit ginjal

tubular intrinsik (< 20). Rasio urea U/P adalah lebih dari 8 pada oliguria

prarenal dan kurang dari 3 pada ATN. Rasio urea U/P agak lebih rendah

daripada rasio kreatinin, karena ada sedikit difusi kembali dari urea tetapi tidak

keratinin. Dengan demikian, rasio kreatinin U/P lebih tepat dalam

mencerminkan reabsorpsi air pada nefron.

Rasio normal nitrogen urea darah terhadap kreatinin adalh 10:1. Pada

azotemia prarenal rasio ini lebih dari 10:1 dan dapat mencapai 20:1 atau lebih.

Rasio BUN /kreatinin serum yang tinggi menunjukkan adanya peningkatan

yang tidak seimbang dari kadar urea darah. Kadar urea darah lebih cepat

meningkat daripada kreatinin karena saat perfusi ginjal menurun, reabsorpsi

kembali dari urea lebih banyak daripada kreatinin karena saat perfusi ginjal

menurun, reabsorpsi kembali dari urea lebih banyak daripada kreatinin

( molekulnya lebih kecil daripada kreatinin). Produksi urea juga dapat

meningkat nyata dan menyebabkan peningkatan seringkali terjadi pada

penyakit akut dan trauma yang menyertai perkembangan azotemia prarenal.

Pemeriksaan sedimen urin juga dapat berguna dalam diagnosis banding

ARF. Pada azotemia prarenal, sedimen urin dalam keadaan normal dengan

sedikit silinder hialin; sedangkan silinder coklat, granular, dan banyak sel-sel

epitel seringkali didapatkan pada ATN. Azotemia prarenal lebih mudah

43

disingkirkan jika melihat keadaan klinis dan kimia urin. Tetapi, kimia urin

mungkin tidak dapat membantu membedakan obstruksi pascarenal dari ATN,

dan harus dipergunakan kriteria lain.

Pencegahan ATN pada pasien yang beresiko tinggi atau menderita

azotemia prarenal atau oliguria, merupakan hal yang penting untuk

dipertimbangkan dalam pengobatan. Perbaikan dari insufisiensi sirkulasi dari

hipoperfusi ginjal penting untuk mencegah perkembangan oliguria prarenal

menuju ATN. Transfusi darah pengganti dan hidrasi dengan cairan intravena

dapat memberikan hasil yang memuaskan dalam memulihkan sirkulasi dan

meningkatkan pengeluaran urine. Manitol dan furosemid terkadang berhasil

dalam memulai diuresis dan mengurangi risiko ATN oligurik.

Harter dan Martin (1982) menyarankan cara-cara berikut. Setelah

melakukan penilaian yang teliti dari volume cairan ekstraseluler (ECF) dan

fungsi jantung ( untuk menyingkirkan kelebihan volume ECF), berikan 500 ml

larutan garam normal intravena secara cepat untuk mengatasi oliguria prarenal.

Jika keluaran urine tidak berubah , berikan 25 g manitol IV secara perlahan,

diikuti dengan furosemid 80-320 mg IV. Jika terjadi diuresis (keluaran urin >

40 ml/jam), maka kemungkinan telah terjadi ATN.

Pada ATN, peride oliguria dapat berlangsung kurang dari 1 hari atau dapat

selama 6 minggu, rata-rata 7 sampai 10 hari. Selama fase oliguria, biasanya

peningkatan kadar BUN sekitar 25 sampai 30 mg/dl setiap hari. Retensi cairan,

elektrolit, dan substansi nitrogen menyebabkan timbulnya gejala-gejala uremik

dengan cepat.

Stadium Diuresis. Stadium diuresis gagal ginjal akut dimulai bila

keluaran urine meningkat sampai lebih dari 400 ml/hari. Stadium ini biasanya

berlangsung 2 sampai 3 minggu. Pengeluaran urine harian jarang melebihi $

liter, asalkan pasien itu tidak mengalami hidrasi yang berlebihan. Volume urine

yang tinggi pada stadium diuresis ini agaknya karena diuresis osmotik akibat

tingginya kadar urea darah, dan mungkin juga disebabkan masih belum

pulihnya kemampuan tubulus yang sedang dalam masa penyembuhan untuk

mempertahankan garam dan air yang difiltrasi. Selama stadium diuresis, pasien

44

mungkin menderita kekurangan kalium, natrium, dan air. Jika urin hilang tidak

diganti, maka diuresis ini akan menimbulkan kematian. Selama stadium dini

diuresis, kadar BUN mungkin terus meningkat, terutama karena bersihan urea

tak dapat mengimbangi produksi urea endogen. Tetapi dengan berlanjutnya

diuresis, azotemia sedikit demi sedikit menghilang, dan pasien mengalami

kemajuan klinis yang besar.

Stadium Penyembuhan. Stadium penyembuhan gagal ginjal akut

berlangsung sampai 1 tahun, dan selama masa itu, anemia dan kemampuan

pemekatan ginjal sedikit demi sedikit membaik. Tetapi, beberapa pasien tetap

menderita panurunan GFR yang permanen. Sekitar 5% pasien tidak mengalami

pemulihan fungsi ginjal dan membutuhkan dialisis untuk waktu yang lama atau

transplantasi ginjal; sebanyak 5% pasien yang lain mungkin mengalami

penurunan fungsi ginjal uang progresif.

Meskipun kerusakan epitel tubulus secara teoretis reversibel, ATN

merupakan keadaan berbahaya dengan prognosis yang serius. Angka kematian

masih sekitar 50% (sudah menurun dibandingkan angka kematian sekitar 90%

tiga puluh tahun yang lalu) meskipun penanganan keseimbangan cairan dan

elektrolit dilakukan dengan cermat dengan bantuan dialisis. Sekitar 2/3 pasien

ATN meninggal selama stadium oliguria, dan sekitar 1/3 pada stadium diuresis.

Angka kematian ini berkaitan dengan latar belakang penyebab penyakit yang

menyebabkan keadaan akut tersebut. Mortalitas adalah sekitar 60% pada kasus

yang mengalami pembedahan, cedera remuk, trauma berat lainnya, dan sekitar

25% pada kasus-kasus obstetrik. Angka mortalitas lebih tinggi pada pasien

yang lemah atau mengalami kegagalan organ multipel. Umumnya, pasien ARF

non-oliguria mempunyai prognosis yang lebih baik daripada pasien ARF

oliguria: hanya sekitar 25% pasien ARF non-oliguria yang meninggal.

F. Manifestasi Klinik

Gambaran klinis Gagal Ginjal Akut (GGA) dapat dibagi menjadi 3 bagian

besar yaitu:

45

GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal.

Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume

sirkulasi yang efektif. Pada GGA pre-renal integritas jaringan ginjal masih

terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat

dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan

timbul GGA renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemia.

Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam-macam penyakit dapat kita

lihat pada tabel klasifikasi dan penyebab utama GGA. Pada kondisi ini

fungsi otoregulasi ginjal akan berupaya mempertahankan tekanan perfusi,

melalui mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan normal, aliran darah

ginjal dan LFG relatif konstan, diatur oleh suatu mekanisme yang disebut

otoregulasi. GGA pre-renal disebabkan oleh hipovolemia, penurunan volume

efektif intravaskuler seperti pada sepsis dan gagal jantung serta disebabkan

oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti pada pemakaian anti inflamasi

non-steroid, obat yang menghambat angiotensi dan pada sindrom hepatorenal.

Pada keadaan hipovolemia akan terjadi penurunan tekanan darah, yang akan

mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktivasi

sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasan

vasopresin dan endothelin-1 (ET-1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk

mempertahankan tekanan darah dan merupakan mekanisme tubuh untuk

mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada

keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah

ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen

yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta prostaglandin dan nitric oxide

(NO), serta vasokontriksi arteriol efferen yang terutama dipengaruhi oleh

angiotensin-II (A-II) dan ET-I. Mekanisme ini bertujuan untuk

mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat

(tekanan arteri rata-rata <70 mmHg) serta berlangsung dalam jangka waktu

lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol

afferen mengalami vasokontriksi, terjadi kontraksi mesangial dan peningkatan

reabsorbsi Na- dan air. Keadaan ini disebut pre-renal atau GGA fungsional,

46

dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap

penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi

normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti

ACEI/ARB, NSAID, terutama pada pasien-pasien berusia di atas 60 tahun

dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi GGA pre-renal.

Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi, hipotensi, penggunaan

diuretik, sirosis hati, dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia

lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko GGA pre-renal

seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit

ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal.

GGA Renal. GGA renal yang disebabkan oleh kelainan vaskular seperti

vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus nefritis akut, nefritis interstisial akut

akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat

disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik, gigitan ular, trauma

(crushing injury/bencana alam, peperangan), toksin, lingkungan,dan zat-zat

nefrotoksik. Di Rumah Sakit (35-50% di ICU) NTA terutama disebabkan oleh

sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTA pada 20-25%, hal ini

disebabkan adanya telah adanya penyakit-penyakit seperti hipertensi, penyakit

jantung, penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut,

jenis operasi yang berat seperti transplantasi hati, transplantasi jantung. Dari

golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio

kontras, obat-obatan seperti anti bakteria, anti jamur, anti virus, dan anti

neoplastik. Meluasnya pemakaian NARKOBA juga meningkatkan

kemungkinan NTA.

Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskular dan

tubuler, misalnya:

Kelainan Vaskular. Pada NTA terjadi: (1) Peningkatan Ca2+ sitosolik

pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitivitas

terhadap substansi-substansi vasokontriktor dan gangguan otoregulasi, (2)

Terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel endotel

vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan Et-1 serta

47

penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial

NO syntase (eNOS); (3) Peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis

faktor (TNF-) dan interleukin-18 (IL-18), yang selanjutnya akan meningkatkan

ekspresi dari intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan P-selectin dari

sel endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari selsel radang,

terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan radikal

bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama-

sama menyebabkan vasokonstriksi intra-renal yang akan menyebabkan

penurunan LFG.

Kelainan Tubuler. Pada NTA terjadi: (1) Peningkatan Ca2+ intrasel,

yang menyebabkan peningkatan calpain, cytosolic phospholipase A, serta

kerusakan actin, yang akan menyebabkan kerusakan cytoskeleton.

Keadaan ini akan mengakibatkan penurunan basolateral Na+ /K+-

ATPase yang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di

tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke

makula densa. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan umpan balik

tubuloglomeruler, (2) Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO

cynthase (iNOS), caspases dan mtalloproteinase, serta defisiensi hear

shock protein, akan menyebabkan nekrosis dan apoptosis sel, (3) Obstruksi

tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler

akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus. Di tubulus, dalam hal

ini pada thick ascending limb diproduksi Tamm-Horsfall Protein (THP) yang

disekresikan ke dalam tubulus dalam bentuk monomer yang kemudian berubah

menjadi bentuk polimer yang akan membentuk materi beruba gel dengan

adanya Na+ yang konsentrasinya meningkat pada tubulus distalis. Gel

polimerik THP bersama sel epitel tubuli yang terlepas, baik sel yang sehat,

nekrotik maupun apoptotik, mikrovili dan matrix ekstraseluler seperti

fibronektin akan membentuk silinder-silinder (cast) yang menyebabkan

obstruksi tubulus ginjal; (4) Kerusakan sel tubulus menyebabkan kebocoran

kembali (backleak) dan cairan intratubuler masuk ke dalam sirkulasi

peritubuler. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama-sama

48

akan menyebabkan penurunan LFG. Diduga juga proses iskemia dan paparan

bahan/obat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA

terdapat kerusakan glomerulus dan jugatubulus. Kerusakan tubulus dikenal

juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahap-tahap nekrosis tubular

akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan

tahap penyembuhan. Dari tahap inisiasi ke tahap kerusakan yang berlanjut

terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomeduler

(corticomedulary function). Proses inflamasi memegang peranan penting pada

patofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosist, dan

Sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion

injury).

GGA post-renal. GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan GGA.

GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra-renal.

Obstruksi intra-renal terjadi karena deposisi kristal (urat,oxalat,sulfonamid)

dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada

pelvis-ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan

ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retroperitonial, fibrosis) serta pada

kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi/keganasan prostat) dan uretra

(striktura). GGA post-renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli-

buli dan ureter bilateral, atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal

satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut,

terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal,

dimana hal ini disebabkan oleh prostaglandin-E. Pada fase kedua, setelah 1,5-2

jam, terjadi penurunan aliran darah ginjal di bawah normal, akibat pengaruh

thromboxane-A2 (TxA2) dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat,

tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ketiga atau fase kronik, ditandai oleh

aliran darah ginjal yang makin menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal

tetap meningkat, tetapi setelah 5 jam mulai menetap. Fase ketiga atau fase

kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun dan penurunan

tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Aliran darah ginjal

setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 20% dari

49

normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-

faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan fibrosis interstisiel ginjal.

Gambaran klinis menurut Elizabeth Corwin, 2009 adalah:

1. Dapat terjadi oliguria, terutama apabila kegagalan disebabkan oleh

iskemia atau obstruksi. Oliguria terjadi karena penurunan GFR.

2. Nekrosis tubulus toksik dapat berupa non oliguria (haluaran urin

banyak) dan terkait dengan dihasilkannya volume urin encer yang

adekuat.

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan harus mencakup elektrolit serum,

BUN, kreatinin serum, kalsium, posfor, asam urat. Urinalisis yang cermat

yang dikerjakan oleh dokter harus mencakup pemeriksaan mikoroskopik

dan pewarnaan Hansel atau Wright untuk eosinofil. Elektrolit urin ( natrium,

kalium, klorida, dan kreatinin) dan osmolalitas urin harus diperiksa sebelum

terapi dimulai.

2. Radiografi

a. Pemeriksaan ultrasonografi ginjal dilakukan untuk menentukan ukuran

ginjal dan untuk mengenali batu dan hidronefrosis. Ginjal yang kecil

bilateral menunjukkan gagal ginjal kronis, bukan akut. Hidronefrosis

menunjukkan adanya sumbatan. Ultrasonografi dapat negative bila

fibrosis atau tumor retroperitoneal membungkus pelvis ginjal.

b. Urografi intravena dihindari pada semua pasien dengan gagal ginjal

akut kerena meningkatnya resiko kerusakan ginjal oleh satu warna

radiografik yang Bnefrotoksik.

c. Sistoskopi dan pielografi retrograde dilakuakan untuk menlokalisasi

tempat sumbatan, terutama bila ultrasonografi negative dan dicurigai

adanya penyakit atau tumor retroperitoneal. Stant ureter dapat

ditempatkan pada saat yang sama kalau secara medis di indikasikan.

d. Tomografi computer digunakan untuk mengevaluasikan fibrosis dan

tumor retroperitoneal dan massa di dalam perut dan ginjal.

50

e. Nefrostomi perkutan dan pielografi antegrad dikerjakan kalau lubang

ureter tak dapat dikanulasi selama sistoskopi. Pemasukan zat kontras

kedalam pelvis ginjal akan menghasilkan sesuatu pielogram antegrad

untuk melokalisasi dan meringankan sumbatan.

f. Gallium scan dlakuakan untuk mendiagnosis nefritis intertisial akut.

g. Arteriografi dilakukan pada pasien yang dicurigai menderita embolisasi

arteri ginjal, cedera ginjal, dan poliearteritis nodosa.

3. Biopsi ginjal

Biopsy ginjal di indikasikan sebelum terapi akut diberikan pada pasien

GGA yang etiologinya tidak diketahui dan pada pasien dengan GGA yang

disertai dengan glomerulonefritis, sindrom nefrotik, vaskulitis, atau penyakit

sistemik misalnya lupus eritematosus sistemik dan granulomatosis Wegener.

H. Komplikasi

Komplikasi gagal ginjal akut (Elizabeth Corwin, ) adalah:

1. Retensi cairan akibat kegagalan fungsi ginjaldapat menyebabkan edema,

gagal jantung kongestif, atau intoksikasi air.

2. Gangguan elektrolit dan pH dapat menimbulkan ensefalopati.

3. Apabila hiperkalemianya parah (≥6,5 miliekuivalen perliter), dapat terjadi

disritmia dan kelemahan otot.

4. Infeksi sepsis adalah penyebab utama kematian pada pasien dengan GGA,

luka pembedahan, kateter vena perifer, dan sentral, dan kateter kandung

kemih yang menetap adalah tempat yang sering terinfeksi. Infus intravena

dan intraarteri serta kateter kandung kemih harus sering diganti, dilepaskan

secepat mungkin. Pneumonia juga sering terjadi.

5. Efek gastrointestinal, anoreksia, mual dan muntah untuk sementara

dikendalikan dengan penotiazin. Masalah ini akan membaik setelah dialysis

dimulai. Pendarahan gastrointestinal terjadi pada 10-30% pasien,

6. Efek kardiovaskular. Edema paru-paru dan gagal jantung kongestif

disebabkan oleh kelebihan volume. Aritmia terjadi akibat hiperkalemia dan

51

kelainan elektrolit yang lain. Hipoksia terjadi akibat edema paru-paru dan

meurunnya bersihan ginjal karena obat-obat jantung.

7. Efekneurologis. Gejalanya antara lain adalah kedutan, tremor, agitasi,

keadaan bingung, kejang, somnolensi dan koma.

8. Dosis obat. Karena pada pasien dengan ARV bersihan ginjal berkurang,

dosis obat harus sering disesuaikan.

I. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan gagal ginjal akut menurut Elizabeth Corwin, adalah:

Hal terpenting adalah pencegahan gagal ginjal akut. Individu yang

mengalami syok harus cepat diterapi dengan penggantian cairan untuk

memulihkan tekanan darah. Individu yang berisiko mengalami gagal ginjal

akut, misalnya akan menjalani pembedahan jantung, dapat diberi diuretik

osmotik sebelum pembedahan untuk meningkatkan fungsi ginjal. Selain itu,

hidrasi yang adekuat sebelum pemberian obat-obat nefrotoksik dapat mencegah

timbulnya gagal ginjal akut. Bagi pasien yang berisiko mengalami gagal ginjal,

pemakaian obat-obat nefrotoksik dan pewarna radioaktif intravena harus

terbukti lebih bermanfaat sebelum diberikan dan pemakaiannya mungkin

dikontraindikasikan pada beberapa kasus.

Apabila tetap timbul gagal ginjal, maka hasil penelitian mengisyaratkan

dilakukan tindakan pencegahan fase oligurik untuk menghasilkan prognosis

yang lebih baik. Tindakan pencegahan tersebut antara lain adalah:

- Ekspansi volume plasma secara agresif.

- Pemberian diuretik untuk meningkatkan pembentukan urin.

- Vasodilator, terutama dopamin, diberikan untuk meningkatkan aliran darah

ginjal.

- Pembatasan asupan protein dan kalium dari makanan sering diterapkan

pada gagal ginjal akut. Asupan tinggi karbohidrat mencegah metabolisme

protein dan mengurangi pembentukan produk sisa bernitrogen.

- Mungkin diperlukan terapi antibiotik untuk mencegah atau mengobati

infeksi karena tingginya angka sepsis pada gagal ginjal akut.

52

- Sering dilakukan dialisis selama stadium oligurik gagal ginjal akut untuk

memberi waktu pada ginjal untuk memulihkan diri. Dialisis juga mencegah

penimbunan produk sisa bernitrogen, dapat menstabilkan elektrolit, dan

mengurangi beban cairan.

1. Umum.

Keadaan prarenal harus dikoreksi dengan penggantian volume,

memperbaiki status jantung, meringankan sumbatan pascarenal, memberi

terapi pada penyakit yang mendasari, dan dengan membuang semua obat

yang menyebabkannya.

2. Status volume.

Status volume pasien harus ditentukan dan di optimalkan dengan

pemantauan terhadap berat badan pasien serta asupan dan keluaran cairan

setiap hari. Tekanan darah dan nadi pada saat berdiri juga harus dipantau,

dan harus dilakukan pemeriksaan fisik secara cermat untuk menentukan

keseimbangan cairan yang optimal. Bila keseimbangan cairan optimal telah

dicapai, asupan cairan harian hrus sesuai dengan keluaran cairan harian

ditambah kehilangan cairan dapat dipertahankan dengan kelebihan volume,

keseimbangan cairan dapat dipertahankan dengan menggunakan diuretika,

furosemid, sampai 400 mg/hari, dapat mengubah gagal ginjal oligurik

menjadi nonoligurik pada sejumlah kecil pasien. Natrium dalam diet

dibatasi sebanyak 2 g/hari kalau pasien memakan makanan padat.

3. Pemeriksaan laboratorium untuk pementauan pasien.

Elektrolit serum, terutama natrium, kalium, dan bikarbonat, harus dipantau

setiap hari. Makanan atau obat mengandung kalium, terutama penggantian

garam, harus dihindari. Hipokalsemia jarang disertai dengan gejala dan

dapat diterapi dengan kalsium karbonat atau kalsium asetat oral, atau

kalsium glukonat intravena. Tetapi hipokalsemia pada rabdomiolisis harus

dihindari karena adanya resiko terjadinya hiperkalsemia. Hiperfosfatemia

dapat dikendalikan dengan zat pengikat fosfat oral misalnya aluminium

hidroksida atau kalsium asetat.

4. Terapi obat

53

Dosis obat harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal pada lampiran

tercantum petunjuk untuk penyesuaian dosis. Kadar obat dalam serum

harus dipantau dengan teliti. Obat-obat yang mengandung magnesium

(laksatif dan antasida) harus dihentikan.

5. Gizi

Untuk dukungan gizi yang optimal pada GGA, protein dan kalori harus

diberikan secukupnya untuk meminimalkan keseimbangan nitrogen yang

negative sambil menghindari kelebihan volume. Makanan lewat usus harus

mengandung protein 0,8-2 g/kg/perhari. Hiperalimentasi parenteral harus

mengandung asam amino esensial 10-20 g/hari pada pasien nondialisis,

plus tambahan asam amino nonesensial 10-20 g/hari pada pasien dialysis.

Kebutuhan kalori ini lebih tinggi pada pasien hiperkatabolik dengan sepsis,

pembedahan, cedera , atau luka bakar, dan sekitar 30-50 kkal/kg/hari.

Diberikan sebagai dekstrosa dan lemak. Kalori nonprotein tidak boleh

mengandung lebih dari 60% lemak. Asupan natrium, kalium, dan fosfor

harus diperiksa setiap hari. Kadar magnisuim, amonia, trigliserida, dan gas

darah arteri harus diperiksa dua kali seminggu.

6. Dialisis

Dialisis diindikasikan pada GGA untuk mengobati gejala uremiakelebihan

volume, asidemia, hiperkalemia, perikarditis uremia, dan hiponatremia.

Dianalisis biasanya dimuli secara empiris untuk mempertahankan BUN

kurang dari 100 mg/dl, karena ini dapat menurunkan morbiditas dan

mortalitas, gejala uremia yang sering ditemukan antara lain adalah

manifestasi neurologis misalnya ensefalopati, kejang, dan koma ; dan

gejala gastrointenstinal misalnya mual, muntah-muntah , dan perdarahan

gastrointestinal. Perikarditis uremik harus dengan segera diterapi dengan

dialisis. Terdapat empat pilihan cara dialisis : hemodialisis, dialisis

peritoneum, hemofiltrasi arteriovenous secara terus menerus, dan

hemodiafiltrasi arteriovenous secara terus menerus.

a. Hemodialisis (HD)

54

Hemodialisis adalah cara terpilih pada pasien yang mempunyai laju

katabolisme tinggi dan secara hemodinamik stabil. Tindakan ini juga

diindikasikan bila diperliukan koreksi cairan dan status elektrolit secara

cepat .

b. Dialisis peritoneum (PD), dipilih untuk pasien yang peningkatan laju

katabolismenya minimal yang secara hemodinamik tak stabil dan

membutuhkan koreksi cairan elektrolit secara lambat. Tindakan ini juga

digunakan bila akses pembuluh darah buruk, tetapi PD dihindari pada

pasien dengan gangguan pernapasan, operasi perut, atau perlekatan

yang mungkin tidak dapat mentoleransi pemasukan 2L dialisad

kedalam rongga peritoneum.

c. Hemofiltrasi arteriovenous secara terus menerus ( CAVH). Ini adalah

suatu alternative untuk HD dan digunakan pada pasien dengan laju

katabolisme yang cukup tinggi yang secara hemodinamik tak stabil dn

membutuhkan koreksi status cairan secara cepat dan terus menerus,

efesiensinya kia-kira 20% dibandingkan hemodialisis per terapi; tetapi,

tindaan ini dilakukan terus menerus sehingga ideal bagi pasien yang

harus menerima volume cairan yang besar atau hiperalimentasi

parenteral. Tekanan arteri pada pasien ini merupakan gaya penggerak

untuk filtrasi.

d. Hemodiafiltrasi arteriovenous secara terus menerus (CAVHD). Ini

adalah kombinasi CAVH dan HD dan tiga kali lebih efisien

dibandingkan dengan CAVH cara ini digunakan pada pasien yang

secara hemodinamik tak stabil dengan laju katabolisme yang tinggi.

Keuntungan utama dari CAVHD dibandingkan dengan CAVH adalah

bahwa kecepatan ultrafiltrasi (volume yang terbuang) dapat amat

rendah.

J. Pencegahan

Tujuan pengelolaan adalah mencegah terjadinya kerusakan ginjal,

mempertahankan homeostasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi

55

metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal

ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan

mengidentifikasi pasien berisiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi

penyakit penyebab GGA, mempertahankan homeostasis; mempertahankan

euvolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit, mencegah komplikasi

metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia, mengevaluasi status

nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi status nutrisi,

kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.

GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat

kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan nefropati

akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-Acetyl

cysteine serta pemakaian furosemid. Pada penyakit tropik perlu diwaspadai

kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah.

Tabel Prioritas Tatalaksana Pasien dengan GGA

- Cari dan perbaikifaktor pre dan pasca renal

- Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan

- Optimalkancurahjantung dan aliran darah ke ginjal

- Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin

- Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap

hari

- Cari, dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia,

asidosis, hiperfosfatemia, edema paru)

- Asupan nutrisi adekuat sejak dini

- Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif

- Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis)

- Segera memulai terapi dialysis sebelum timbul komplikasi

- Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal.

56

Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tingi

sehingga menyebabkan GGA. Pada tabel ini dapat dilihat beberapa upaya

pencegahan GGA.

57

BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. Diagnosa Keperawatan

1. Intoleransi aktivitas. Faktor berhubungan: Peningkatan kebutuhan energy

(misalnya, demam, inflamasi), penurunan produksi energy, nutrisi tidak

adekuat, anemia.

2. Ansietas. Faktor yang berhubungan: prognosis yang tidak diketahui,

keparahan penyakit.

3. Curah jantung, penurunan Faktor yang berhubungan: Peningkatan beban

kerja ventrikel sekunder akibat kelebihan cairan.

4. Konfusi

5. Interpretasi lingkungan, gangguan

6. Ketakutan Faktor yang berhubungan: Stresor lingkungan atau

hospitalisasi, Ketidakberdayaan, ancaman terhadap kesejahteraan diri

sendiri, ancaman terhadap kesejahteraan anak, keparahan penyakit, efek

multisystem.

7. Kelebihan volume cairan Faktor yang berhubungan: Perubahan pada

suplai pembuluh darah ginjal yang mengakibatkan iskemia, nekrosis

tubular, penurunan laju filtrasi glomerulus.

8. Infeksi, risiko Faktor risiko: Prosedur invasive, proses penyakit,

penurunan resistensi, dan malnutrisi.

9. Nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, ketidakseimbangan Faktor yang

berhubungan: Anoreksia, Mual dan Muntah, pembatasan diet, perubahan

dalam rasa, kehilangan kemampuan menghidu, stomatitis, peningkatan

kebutuhan metabolic.

10. Membran mukosa oral, Kerusakan. Faktor yang berhubungan: Deplesi

cairan ekstraseluler, Diare.

11. Proses piker, gangguan. Faktor yang berhubungan: Penurunan perfusi

serebral, akumulasi sisa racun.

58

B. Asuhan Keperawatan Nanda NIC NOC

1. Intoleransi aktivitas

a. Batasan karakterisitik

Subyektif

Ketidaknyamanan atau dispnea saat beraktivitas

Melaporkan keletihan atau kelemahan secara verbal

Obyektif

Frekuensi jantung atau tekanan darah tidak normal sebagai respons

terhadap aktivitas

Perubahan EKG yang menunjukkan aritmia atau iskemia

b. Faktor yang berhubungan

Tirah baring dan imobilitas

Kelemahan umum

Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen

Gaya hidurp kurang gerak

c. Saran penggunaan

Jangan menggunakan pernyataan diagnosis ini, kecuali ada

kemungkinan untuk meningkatkan ketahanan pasien. Gunakan

Intoleransi aktivitas hanya jika pasien mengeluh keletihan atau

kelemahan sebagai respon terhadap aktivitas. Kondisi medis (misalnya,

penyakit jantung atau penyakit arteri perifer) sering menyebabkan

Intoleransi aktivitas. Perawat tidak dapat secara mandiri menangani

kondisi medis sehingga pernyataan diagnosis, seperti “intoleransi

aktivitas yang berhubungan dengan penyakit arteri koroner” tidak

berlaku.

Sebutkan Intoleransi aktivitas menurut tingkat ketahanan, sebagai

berikut:

Tingkat I: Berjalan dalam kecepatan yang teratur pada bidang

datar, tetapi pernapasan menjadi lebih pendek dari normal ketika

memanjat satu atau lebih anak tangga.

59

Tingkat II: Berjalan satu blok kotak mendatar 15 meter atau

memanjat satu anak tangga dengan perlahan tanpa henti.

Tingkat III: Berjalan mendatar tidaklebih dari 15 meter tanpa

berhenti dan tidak mampu memanjat satu anak tangga tanpa berhenti.

Tingkat IV: Dispnea dan keletihan ketika istirahat

d. Alternatif diagnosis yang disarankan

Keletihan (Intoleransi aktivitas dapat dikurangi dengan istirahat,

sedangkan keletihan tidak demikian).

Defisit perawatan diri

e. Hasil noc

Toleransi aktivitas : Respons fisiologis terhadap gerakan yang

memakan energi dalam aktivitas sehari-hari

Ketahanan: kapasitas untuk menyelesaikan aktivitas

Penghematan energi: Tindakan individu dalam mengelola energi

untuk memulai dan menyelesaikan aktivitas

Kebugaran fisik: Pelaksanaan aktivitas fisik yang penuh vitalitas

Energi psikomotorik: dorongan dan energi individu untuk

mempertahankan aktivitas hidup sehari-hari, nutrisi, dan keamanan

personal.

Perawatan diri: Aktivitas kehidupan sehari-hari (AKSI):

kemampuan untuk melakukan tugas-tugas fisik yang paling dasar dan

aktivitas perawatan pribadi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu.

Perawatan diri: Aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental

(AKSI): Kemampuan untuk melakukan aktivitas yang dibutuhkan

dalam melakukan fungsi di rumah atau komunitas secara mandiri

dengan atau tanpa alat bantu.

f. Tujuan/ kriteria evaluasi

- Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan, yang dibuktikan oleh

Toleransi aktivitas, ketahanan, penghematan energi, kebugaran

60

fisik, energi psikomotorik, dan perawatan diri:Aktivitas Kehidupan

Sehari-hari (dan AKSI)

- Menunjukkan Toleransi Aktivitas, yang dibuktikan oleh indikator

sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem berat, sedang,

ringan atau tidak mengalami gangguan):

Saturasi oksigen saat beraktivitas

Frekuensi pernapasan saat beraktivitas

Kemampuan untuk berbicara saat beraktivitas fisik

- Mendemonstrasikan Penghematan Energi, yang dibuktikan oleh

indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5:tidak pernah, jarang,

kadang-kadang, sering atau selalu ditampilkan)

Menyadari keterbatasan energi

Menyeimbangkan aktivitas dan istirahat

Mengatur jadwal aktivitas untuk menghemat energi

Contoh Lain

Pasien akan:

- Mengidentifikasi aktivitas atau situasi yang menimbulkan

kecemasan yang dapat mengakibatkan intoleransi aktivitas

- Berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang dibutuhkan dengan

peningkatan normal denyut jantung, frekuensi pernapasan, dan

tekanan darah serta memantau pola dalam batas normal.

- Pada (tanggal target) akan mencapai tingkat aktivitas (uraikan

tingkat yang diharapkan dari daftar pada Saran Penggunaan)

- Mengungkapkan secara verbal pemahaman tentang kebutuhan

oksigen obat, dan/atau peralatan yang dapat meningkatkan toleransi

terhadap aktivitas.

- Menampilkan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) dengan

beberapa bantuan (misalnya, eliminasi dengan bantuan ambulasi

untuk ke kamar mandi )

61

- Menampilkan manajemen pemeliharaan rumah dengan beberapa

bantuan (misalnya, membutuhkan bantuan untuk kebersihan setiap

minggu)

g. Intervensi NIC

Terapi Aktivitas: Memberi anjuran tentang dan bantuan dalam

aktivitas fisik, kognitif, sosial dan spiritual yang spesifik untuk

meningkatkan tentang frekuensi, atau durasi aktivitas individu (atau

kelompok).

Manajemen energi: Mengatur penggunaan energi untuk mengatasi

atau mencegah kelelahan dan mengoptimalkan fungsi.

Manajemen lingkungan: Memanipulasi lingkungan sekitar pasien

untuk memperoleh manfaat terapeutik, stimulasi sensorik, dan

kesejahteraan psikologis.

Terapi latihan Fisik: Pengendalian otot: Menggunakan aktivitasatau

protokol latihan spesifik untuk meningkatkan atau memulihkan gerakan

tubuh yang terkontrol.

Promosi Latihan Fisik: Latihan Kekuatan:Memfasilitasi latihan otot

resistif secara rutin untuk mempertahankan atau meningkatkan

kekuatan otot.

Bantuan Pemeliharaan Rumah: Membantu pasien dan keluarga untuk

menjaga rumah sebagai tempat tinggal yang bersih, aman, dan

menyenangkan.

Manajemen Alam Perasaan: Memberi rasa keamanan, stabilisasi,

pemulihan dan pemeliharaan pasien yang mengalami disfungsi alam

perasaan baik depresi maupun peningkatan alam perasaan.

Bantuan Perawatan-Diri:Membantu individu untuk melakukan AKS

Bantuan Perawatan-Diri: AKSI: Membantu dan mengarahkan

individu untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari instrumental

(AKSI) yang diperlukan untuk berfungsi di rumah atau di komunitas.

62

h. Aktivitas keperawatan

Pengkajian

- Kaji tingkat kemampuan pasien untuk berpindah dari tempat tidur,

berdiri, ambulasi, dan melakukan AKS dan AKSI.

- Kaji responemosi, sosial, dan spiritual terhadap aktivitas.

- Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan

aktivitas

- Manajemen Energi (NIC):

Tentukan penyebab keletihan (misalnya, perawatan, nyeri dan

pengobatan)

Pantau respon kardiorespiratori terhadap aktivitas (misalnya,

takikardia, disritmia lain, dispnea, diaforesis, pucat, tekanan

hemodinamik, dan frekuensi pernapasan.

Pantau respon oksigen pasien (misalnya, denyut nadi, irama

jantung dan frekuensi pernapasan) terhadap aktivitas

perawatan diri atau aktivitas keperawatan

Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi

yang adekuat.

Pantau dan dokumentasikan pola tidur pasien dan lamanya

waktu tidur dalam jam.

Penyuluhan untuk pasien/keluarga

Instruksikan kepada pasien dan keluarga dalam:

- Penggunaan teknik napas terkontrol selama aktivitas, jika perlu.

- Mengenali tanda dan gejala Intoleransi Aktivitas, termasuk kondisi

yang perlu dilaporkan kepada dokter.

- Pentingnya nutrisi yang baik.

- Penggunaan peralatan, seperti oksigen, selama aktivitas.

- Penggunaan teknik relaksasi (misalnya, distraksi, visualisasi)

selama aktivitas

- Dampak Intoleransi Aktivitas terhadap tanggungjawab peran dalam

keluarga dan tempat.

63

- Tindakan untuk menghemat energi, sebagai contoh: Menyimpan

alat atau benda yang sering digunakan di tempat yang mudah

dijangkau.

- Manajemen energi (NIC):

Ajarkan kepada pasien dan orang terdekat tentang teknik

perawatan-diri yang akan meminimalkan konsumsi oksigen

(misalnya, pemantauan mandiri dan teknik langkah untuk

melakukan AKS)

Ajarkan tentang pengaturan aktivitas dan teknik manajemen

waktu untuk mencegah kelelahan.

Aktivitas kolaboratif

- Berikan pengobatan nyeri sebelum aktivitas, apabila nyeri

merupakan salah satu faktor penyebab.

- Kolaborasikan dengan ahli terapi okupasi, fisik (misalnya, untuk

latihan ketahanan), atau rekreasi untuk merencanakan dan

memantau program aktivitas, jika perlu.

- Untuk pasien yang mengalami sakit jiwa, rujuk ke layanan

kesehatan jiwa di rumah.

- Rujuk pasien ke pelayanan kesehatan rumah untuk mendapatkan

pelayanan bantuan perawatan rumah, jika perlu

- Rujuk pasien ke ahli gizi untuk perencanaan diet guna

meningkatkan asupan makanan yang kaya energi.

- Rujuk pasien ke pusat rehabilitasi jantung jika keletihan

berhubungan dengan penyakit jantung.

Aktivitas lain

- Hindari menjadwalkan pelaksanaan aktivitas perawatan selama

periode istirahat.

- Bantu pasien untuk mengubah posisi secara berkala, bersandar,

duduk, berdiri, dan ambulasi, sesuai toleransi.

64

- Pantau tanda-tanda vital sebelum, selama dan setelah aktivitas,

hentikan aktivitas jika tanda-tanda vital tidak dalam rentang

normalbagi pasien atau jika ada tanda-tanda bahwa aktivitas tidak

dapat ditoleransi (mis., nyeri dada, pucat, vertigo, dispnea).

- Rencanakan aktivitas bersama pasien dan keluarga yang

meningkatkan kemandirian dan ketahanan sebagai contoh:

- Manajemen energi (NIC):

Bantu pasien untuk mengidentifikasi pilihan aktivitas

Rencanakan aktivitas pada periode saat pasien memiliki energi

paling banyak

Bantu dengan aktivitas fisik teratur (mislanya, ambulasi,

berpindah, mengubah posisi, dan perawatan personal), jika

perlu

Batasi rangsangan lingkungan (seperti cahaya dan kebisingan)

untuk memfasilitasi relaksasi.

Bantu pasien untuk melakukan pemantauan mandiri dengan

membuat dan menggunakan dokumentasi tertulis yang

mencatat asupan kalori dan energi, jika perlu

2. Ansietas

a. Batasan Karakteristik

Perilaku

Penurunan produksivitas

Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa

hidup

Gerakan yang tidak relevan (misalnya, mengeret kaki, gerakan lengan)

Gelisah

Memandang sekilas

Insomnia

Kontak mata buruk

Resah Menyelidik dan tidak waspada

65

Afektif

Gelisah

Kesedihan yang mendalam

Distres

Ketakutan

Perasaan yang tidak adekuat

Fokus pada diri sendiri

Peningkatan kekhawatiran

Iritabilitas

Gugup

Gembira berlebihan

Nyeri dan peningkatan ketidakberdayaan yang persisten

Marah

Menyesal

Perasaan takut

Ketidakpastian

Khawatir

Fisiologis

Wajah tegang

Insomnia (non-NANDA)

Peningkatan keringat

Peningkatan ketegangan

Terguncang

Gemetar atau tremor di tangan

Suara bergetar

Parasimpatis

Nyeri abdomen

Penurunan tekanan darah

Penurunan nadi

Diare

66

Pingsan

Keletihan

Mual

Gangguan tidur

Kesemutan pada ekstremitas

Sering berkemih

Berkemih tidak lampias

Urgensi berkemih

Simpatis

Anoreksia

Eksitasi kardiovaskuler

Diare

Mulut kering

Wajah kemerahan

Jantung berdebar-debar

Peningkatan tekanan darah

Peningkatan nadi

Peningkatan refleks

Peningkatan pernapasan

Dilatasi pupil

Kesulitan bernapas

Vasokontriksi superfisial

Kedutan otot

Kelemahan

Kognitif

Keterbatasan kemampuan untuk menyelesaikan masalah

Keterbatasan kemampuan untuk belajar

Mengekspresikan kekhawatiran akibat perubahan dalam peristiwa

hidup (non-NANDA)

Takut terhadap konsekuensi yang tidak spesifik

Fokus pada diri sendiri (non-NANDA)

67

Mudah lupa

Gangguan perhatian

Tenggelam dalam dunia sendiri

Melamun

Kecenderungan untuk menyalahkan orang lain

b. Faktor yang Berhubungan

Terpajan toksin

Hubungan keluarga/ hereditas

Transmisi dan penularan interpersonal

Krisis situasi dan maturasi

Stres

Penyalahgunaan zat

Ancaman kematian

Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan,

status kesehatan, status ekonomi, atau pola interaksi

Ancaman terhadap konsep diri

Konflik yang tidak disadari tentang nilai dan tujuan hidup yang

esensial

Kebutuhan yang tidak terpenuhi

c. Saran Penggunaan

Ansietas Ketakutan

Manifestasi

Fisiologis

Jenis Ancaman

Stimulasi sistem saraf

parasimpatis dengan

peningkatan aktivitas

gastrointestinal

Biasanya psikologis

(misalnya terhadap

citra diri); tidak

Hanya respon simpati;

penurunan aktivitas

gastrointestinal

Seringkali fisik

(misalnya, terhadap

keamanan); spesifik,

68

Perasaan

Sumber perasaan

spesifik

Tidak jelas, perasaan

tidak menentu

Tidak diketahui oleh

individu; tidak sadar

dapat diidentifikasi

Perasaan ketakutan,

kekhawatiran

Diketahui oleh

individu

Tingkat Ansietas mempengaruhi aktivitas keperawatan sehingga

perlu disebutkan dalam pernyataan diagnosis:

- Ansietas ringan: terjadi dalam kehidupan sehari-hari; meningkatkan

kewaspadaan dan lapang persepsi; memotivasi untuk belajar dan

pertumbuhan

- Ansietas sedang: Penyempitan lapang persepsi; berfokus pada

perhatian segera, dengan tidak memerhatikan komunikasi

dandetailyang lain.

- Ansietas Berat: Fokus sangat sempit, hanya pada detail yang

spesifik, semua perilaku ditujukan untuk memperoleh peredaan

- Panik: Individu kehilangan kontrol dan merasakan peningkatan

aktivitas fisik, distorsi persepsi dan hubungan, serta kehilangan cara

berpikir yang rasional.

d. Alternatif Diagnosis yang Disarankan

Konflik pengambilan keputusan

Ansietas kematian

Ketakutan

Koping, ketidakefektifan

69

e. Hasil NOC

Tingkat Ansietas: Keparahan manifestasi kekhawatiran, ketegangan,

atau perasaan tidak tenang yang muncul dari sumber yang tidak dapat

diidentifikasi

Pengenalan-Diri Terhadap Ansietas: Tindakan personal untuk

menghilangkan atau mengurangi perasaan khawatir, tegang, atau

perasaan tidak tenang akibat sumber yang tidak dapat diidentifikasi

Konsentrasi : Kemampuan untuk fokus pada stimulus tertentu

Koping: Tindakan personal untuk mengatasi stresor yang membebani

sumber-sumber individu.

f. Tujuan/ Kriteria Evaluasi

- Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti Tingkat Ansietas hanya

ringan sampai sedang, dan selalu menunjukkan Pengendalian-Diri

terhadap Ansietas, Konsentrasi, dan Koping.

- Menunjukkan Pengendalian-Diri Terhadap Ansietas, yang

dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-5: tidak

pernah, jarang, kadang-kadang, sering atau selalu)

Merencanakan strategi koping untuk situasi penuh tekanan

Mempertahankan performa peran

Memantau distrosi persepsi sensori

Memantau manifestasi perilaku ansietas

Menggunakan teknik relaksasi untuk meredakan ansietas

Contoh lain:

Pasien akan

- Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan meskipun mengalami

kecemasan

- Menunjukkan kemampuan untuk berfokus pada pengetahuan dan

keterampilan yang baru

- Mengidentifikasi gejala yang merupakan indikator ansietas pasien

sendiri

70

- Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal.

g. Intervensi NIC

Bimbingan antisipasi: Mempersiapkan pasien menghadapi

kemungkinan krisis perkembangan dan/atau situasional)

Penurunan Ansietas: Meminimalkan kekhawatiran, ketakutan,

prasangka, atau perasaan tidak tenang yang berhubungan dengan

sumber bahaya yang diantisipasi dan tidak jelas.

Teknik Menenangkan Diri: Meredakan kecemasan pada pasien yang

mengalami distres akut

Peningkatan Koping: Membantu pasien untuk beradaptasi dengan

persepsi stresor, perubahan atau ancaman yang menghambat

pemenuhan tuntutan dan peran hidup.

Dukungan Emosi: Memberikan penenangan, penerimaan, dan

bantuan/ dukungan selama masa stres.

h. Aktivitas Keperawatan

Pengkajian

- Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien, termasuk

reaksi fisik

- Kaji untuk faktor budaya (misalnya, konflik nilai) yang menjadi

penyebab ansietas

- Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil

menurunkan ansietas di masa lalu.

- Reduksi Ansietas (NIC): Menentukan kemampuan pengambilan

keputusan pasien.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

- Buat rencana penyuluhan dengan tujuan yang realistis, termasuk

kebutuhan untuk pengulangan, dukungan, dan pujian terhadap

tugas-tugas yang telah dipelajari.

71

- Berikan informasi mengenai sumber komunitas yang tersedia,

seperti teman, tetangga, kelompok swabantu, tempat ibadah,

lembaga sukarelawan dan pusat rekreasi.

- Informasikan tentang gejala ansietas.

- Ajarkan anggota keluarga bagaimana membedakan antara serangan

panik dan gejala penyakit fisik

- Penurunan Ansietas (NIC):

Sediakan informasi faktual menyangkut diagnosis, terapi,

dan prognosis.

Instruksikan pasien tentang penggunaan teknik relaksasi

Jelaskan semua prosedur, termasuk sensasi yang biasanya

dialami selama prosedur.

Aktivitas Kolaboratif

- Penurunan Ansietas (NIC): Berikan obat untuk menurunkan

ansietas, jika perlu.

Aktivitas Lain

- Pada saat ansietas berat, dampingi pasien, bicara dengan tenang, dan

berikan ketenangan serta rasa nyaman.

- Beri dorongan kepada pasien untuk mengungkapkan secara verbal

pikiran dan perasaan untuk mengeksternalisasikan ansietas

- Bantu pasien untuk memfokuskan pada situasi saat ini, sebagai cara

untuk mengidentifikasi mekanisme koping yang dibutuhkan untuk

mengurangi ansietas.

- Sediakan pengalihan melalui televisi, radio, permainan, serta terapi

okupasi untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus.

- Coba teknik, seperti imajinasi bimbing dan relaksasi progresif

- Berikan penguatan posistif ketika pasien mampu meneruskan

aktivitas seharihari dan aktivitas lainnya meskipun mengalami

ansietas.

72

- Yakinkan kembali pasien melalui sentuhan, dan sikap empatik

secara verbal dan nonverbal secara bergantian.

- Dorong pasien untuk mengekspresikan kemarahan dan iritasi, serta

izinkan pasien untuk menangis.

- Kurangi rangsangan yang berlebihan dengan menyediakan

lingkungan yang tenang, kontakyang terbatas dengan orang lain jika

dibutuhkan, serta pembatasan penggunaan kafein dan stimulan lain.

- Sarankan terapi alternatif untuk mengurangi ansietas yang dapat

diterima oleh pasien.

- Singkirkan sumber-sumber ansietas jika memungkinkan

- Penurunan Ansietas (NIC):

Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan

Nyatakan dengan jelas tentang harapan terhadap perilaku

pasien

Dampingi pasien [misalnya, selama prosedur]untuk

meningkatkan keamanan dan mengurangi rasa takut.

Berikan pijatan punggung/pijatan leher, jika perlu

Jaga peralatan perawatan jauh dari pandangan.

Bantu pasien untuk mengidentifikasi situasi yang

mencetuskan ansietas

3. Curah Jantung, Penurunan

a. Batasan Karakteristik

Gangguan Frekuensi dan Irama Jantung

Aritmia (takikardia, bradikardia)

Perubahan pola EKG

palpitasi

Gangguan Preload

Edema

Keletihan

73

Peningkatan atau penurunan tekanan vena sentral (CVP)

Peningkatan atau penurunan tekanan baji arteri pulmonal (PAWP,

pulmonary artery wedge pressure)

Distensi vena jugularis

Murmur

Kenaikan berat badan

Gangguan afterload

Kulit dingin dan berkeringat

Denyut perifer menurun

Dispnea

Peningkatan atau penurunan tahanan vascular pulmonal (PVR)

Peningkatan atau penurunan tahanan vascular sistemik (SVR)

Oliguria

Pengisian ulang kapiler memanjang

Perubahan warna kulit

Variasi pada hasil pemeriksaan tekanan darah

Gangguan Kontraktilitas

Bunyi crakle

Batuk

Ortopnea atau dispnea nocturnal paroksimal

Penurunan curah jantung

Penurunan fraksi ejeksi, indeks volume sekuncup (SVI, stroke volume

index), indeks kerja ventrikel kiri.

Bunyi jantung S3 atau S4

Perilaku/Emosi

Ansietas

Gelisah

74

b. Faktor yang berhubungan

Gangguan frekuensi atau irama jantung

Gangguan volume sekuncup

Gangguan preload

Gangguan kontraktilitas

Faktor yang berhubungan (non-Nanda International)

Kelainan jantung (uraikan)

Toksisitas obat

Disfungsi konduksi listrik

Hipovolemia

Peningkatan kerja ventrikel

Kerusakan ventrikel

Iskemia ventrikel

Keterbatasan ventrikel

c. Saran Penggunaan

Diagnosis ini tidak menyarankan tindakan keperawatan mandiri. Kami

menyertakan diagnosis ini karena termasuk ke dalam taksonomi Nanda,

dari banyak perawat yang menggunakannya. Akan tetapi, perawat juga

tidak dapat menggunakan diagnosis ini secara konklusif maupun

mengobati masalah ini dengan pasti. Untuk pasien yang mengalami

penurunan curah jantung fisiologis, Anda dapat menemukan bahwa

lebih bermanfaat menggunakan diagnosis yang mewakili

resonsmanusia terhadap patofisiologi ini (seperti intoleransi aktivitas

yang berhubungan dengan penurunan curah jantung). Apabila pasien

berisiko mengalami komplikasi, kami lebih memilih untuk menulisnya

sebagai masalah kolaboratif (misalnya, Potensial Komplikasi Infark

Miokard: syok Kardiogenik).

75

d. Alternatif Diagnosis yang disarankan

Intoleransi aktivitas

Defisit perawatan diri

e. Hasil NOC

Tingkat keparahan Kehilangan Darah: Tingkat keparahan

perdarahan/hemoragi internal atau eksternal.

Efektivitas Pompa Jantung: Keadekuatan volume darah yang

diejeksikan dari ventrikel kiri untuk mendukung tekanan perfusi

sistemik

Status Sirkulasi: tingkat pengaliran darah yang tidak terhambat, satu

arah, dan pada tekanan yang sesuai melalui pembuluh darah besar

aliran sistemik dan pulmonal.

Perfusi Jaringan: Organ Abdomen: Keadekuatan aliran darah

melewati pembuluh darah kecil visera abdomen untuk mempertahankan

fungsi organ.

Perfusi Jaringan: Jantung: Keadekuatan aliran darah yang melewati

vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak.

Perfusi jaringan: serebral: Keadekuatan aliran darah yang melewati

vaskulatur serebral untuk mempertahankan fungsi otak

Perfusi Jaringan: Perifer: Keadekuatan aliran darah yang melalui

pembuluh darah kecil ekstremitas untuk mempertahankan fungsi

jaringan.

Perfusi Jaringan: Pulmonal: Keadekuatan aliran darah yang melewati

vasculature pulmonal untuk memperfusi unit alveoli/ kapiler.

Status tanda vital: Tingkat suhu, nadi, pernapasan, dan tekanan darah

dalam rentang normal.

f. Tujuan/ Kriteria Evaluasi

CATATAN: Tujuan Penurunan Curah Jantung tidak sensitive terhadap

isu keperawatan. Oleh sebab itu, perawat sebaiknya tidak bertindak

76

secara mandiri untuk melakukannya; upaya kolaboratif perlu dan

penting dilakukan.

Contoh Menggunakan Bahasa NOC

- Menunjukkancurah jantung yang memuaskan, dibuktikan oleh

Efektivitas Pompa jantung, Status Sirkulasi, Perfusi jaringan (Organ

abdomen, Jantung, Serebral, Perifer, dan Pulmonal), dan Perfusi

Jaringan (Perifer), dan Status Tanda Vital.

- Menunjukkan Status Sirkulasi, dibuktikan oleh indicator sebagai

berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau

tidak mengalami gangguan).

- Menunjukkan Status Sirkulasi, dibuktikan oleh indicator gangguan

sebagai berikut (sebutkan 1-5: gangguan ekstrem, berat, sedang,

ringan, atau tidak mengalami gangguan).

Contoh Lain

Pasien akan:

- Mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi ddalam batas normal

- Mempunyai haluaran urin, berat jenis urin, blood urea nitrogen

(BUN) dan kreatinin plasma dalam batas normal.

- Mempunyai warna kulit yang normal.

- Menunjukkan peningkatan toleransi terhadap aktivitas fisik (mis.,

tidak mengalami dispnea, nyeri dada, atau sinkope)

- Mengambarkan diet, obat, aktivitas, dan batasan yang diperlukan

(mis., untuk penyakit jantung).

- Mengidentifikasi tanda dan gejala perburukan kondisi yang dapat

dilaporkan.

g. Intervensi NIC

Reduksi Perdarahan: Membatasi kehilangan volume darah selama

episode perdarahan.

77

Perawatan Jantung: Membatasi komplikasi akibat ketidakseimbangan

antara suplai dan kebutuhan oksigen miokard pada pasien yang

mengalami gejala kerusakan fungsi jantung.

Perawatan Jantung, Akut: Membatasi komplikasi untuk pasien yang

sedang mengalami episode ketidakseimbangan antara suplaidan

kebutuhan oksigen miokard yang mengakibatkan kerusakan fungsi

jantung.

Promosi Perfusi Serebral: Meningkatkan perfusi yang adekuat dan

membatasi komplikasi untuk pasien yang mengalami atau berisiko

mengalami ketidakadekuatan perfusi serebral.

Perawatan Sirkulasi: Insufisiensi arteri: Meningkatkan sirkulasi arteri

Perawatan Sirkulasi: Alat Bantu Mekanis: Memberi dukungan temporer

sirkulasi melalui penggunaan alat atau pompa mekanis.

Perawatan sirkulasi: Insufisiensi Vena: Meningkatkan sirkulasi vena

Perawatan Embolus: Perifer: Membatasi komplikasi untuk pasien

mengalami, atau berisiko mengalami sumbatan sirkulasi paru.

Regulasi Hemodinamik: Mengoptimalkan frekuensi jantung, preload,

afterload, dan kontraktilitas.

Pengendalian hemoragi: Menurunkan atau meniadakan kehilangan

darah yang cepat dan dalam jumlah banyak.

Terapi Intravena (IV): Memberi dan memantau cairan dan obat

intravena (IV)

Pemantauan Neurologis: Mengumpulkan dan menganalisis data pasien

untuk mencegah atau meminimalkan komplikasi neurologis.

Manajemen Syok: Volume: Meningkatkan keadekuatan perfusi jaringan

untuk pasien yang mengalami gangguan volume intravascular berat.

Pemantauan Tanda Vital: Mengumpulkan dan menganalisis data

kardiovaskular,pernapasan, dan suhu tubuh untuk menentukan dan

mencegah komplikasi

78

h. Aktivitas Keperawatan

Pada umumnya, tindakan keperawatan untuk diagnosis ini berfokus

pada pemantauan tanda-tanda vital dan gejala penurunan curah jantung,

pengkajian penyebab yang mendasari (mis., hipovolemia, disritmia),

pelaksanaan protocol atau program dokter untuk mengatasi penurunan

curah jantung dan pelaksanaan tindakan dukugnan, seperti perubahan

posisi dan hidrasi.

Pengkajian

- Kaji dan dokumentasikan tekanan darah, adanya sianosis , status

pernapasan dan status mental.

- Pantau tanda kelebihan cairan (misalnya, edema dependen,

kenaikan berat badan).

- Kaji toleran aktivitas pasien dengan memerhatikan adanya awitan

napas pendek, nyeri, palpitasi, atau limbung.

- Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen.

- Kaji kerusakan kognitif (NIC):

Pantau fungsi pacemaker, jika perlu

Pantau denyut perifer, pengisian ulang kapiler, dan suhu serta warna

ekstremitas

Pantau asupan dan haluaran, haluaran urin, dan berat badan pasien,

jika perlu.

Pantau resistensi vaskularsistemik dan paru, jika perlu

Auskultasi suara paru terhadap bunyi crakle atau suara napas

tambahan lainnya.

Pantau dan dokumentasikan frekuensi jantung, irama dan nadi.

Penyuluhan untuk Pasien/Keluarga

- Jelaskan tujuan pemberian oksigen per kanula nasal atau sungkup

79

- Instruksikan mengenai pemeliharaan keakuratan asupan dan

haluaran

- Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi, dan efek samping obat.

- Ajarkan untuk melaporkan dan menggambarkan awitan palpitasi

dan nyeri, durasi, factor pencetus, daerah, kualitas, dan intensitas.

- Instruksikan pasien dan keluarga dalam perencanaan untuk

perawatan di rumah, meliputi pembatasan aktivitas, pembatasan

diet, dan penggunaan alat terapeutik.

- Berikan informasi tentang teknik penurunan stress, seperti

biofeedback, relaksasi otot progresif, meditasi, dan latihan fisik.

- Ajarkan kebutuhan untuk menimbang berat badan setiap hari.

Aktivitas Kolaboratif

- Konsultasikan dengan dokter menyangkut parameter pemberian

atau penghentian obat tekanan darah.

- Berikan dan titrasikan obat antiaritmia, inotropik, nitrogliserin, dan

vasodilator untuk mempertahankan kontraktilitas, preload, dan

afterload sesuai dengan program medis atau protocol.

- Berikan antikoagulasi untuk mencegah pembentukan thrombus

perifer, sesuai dengan program atau protocol.

- Tingkatkan penurunan afterload (misalnya, dengan pompa balon

intra aorta) sesuai dengan program medis atau protocol.

- Lakukan perujukan ke perawat praktisi lanjutan untuk ketidak-

lanjut, jika diperlukan.

- Pertimbangan perujukan ke petugas sosial, manajer kasus, atau

layanan kesehatan komunitas dan layanan kesehatan di rumah.

- Lakukan perujukan ke petugas sosial untuk mengevaluasi

kemampuan membayar obat yang diresepkan .

- Lakukan perujukan ke pusat rehabilitasi jantung jika diperlukan.

Aktivitas Lain

80

- Ubah posisi ke pasien ke posisi datar atau Trendelenburg ketika

tekanan darah pasien berada pada rentang lebih rendah

dibandingkan dengan yang biasanya.

- Untuk hipotensi yang tiba-tiba, berat atau lama, pasang akses

intravena untuk pemberian cairan intravena atau obat untuk

meningkatkan tekanan darah.

- Hubungkan efek nilai laboratorium, oksigen, obat, aktivitas,

ansietas, dan/ atau nyeri pada disritmia.

- Jangan mengukur suhu dari rectum

- Ubah posisi pasien setiap dua jam atau pertahankan aktivitas lain

yang sesuai atau dibutuhkan untuk menurunkan stasis sirkulasi

perifer.

- Regulasi Hemodinamik (NIC):

Minimalkan atau hilangkan stressor lingkungan

Pasang kateter urin, jika diperlukan

Perawatan di rumah

- Kaji dalam mendapatkan layanan perawatan kesehatan di rumah

untuk aktivitas harian, penyiapan makanan, pemeliharaan rumah,

transportasi untuk kunjungan dokter, dan lain sebagainya.

- Kaji adanya hambatan untuk mematuhi regimen terapi yang

diprogramkan (mis., efek samping obat).

- Bantu klien dan keluarga untuk membuat perencanaan dalam

kondisi darurat, seperti listrik padam (jika menggunakan alat bantu

pernapasan atau kebutuhan terhadap terhadap tindakan resusitasi

jantung-paru.

- Pastikan klien memiliki alat timbangan untuk mengukur berat badan

harian.

Untuk Lansia

81

- Waspadai bahwa pasien lansia sering mengalami nyeri rahang—

atau bahkan tiddak merasakan nyeri sama sekali—disertai infark

miokard.

- Waspadai bahwa pasien lansia mungkin mengalami penurunan

fungsi hati dan ginjal; pastikan untuk mengkaji efek samping abat-

obat jantung.

- Amati tanda dan gejala aritmia (mis., limbung kelemahan, sinkope,

palpitasi).

- Kaji tanda-tanda depresi dan isolasi sosial; buat perujukan ke

layanan kesehatan mental jika diperlukan.

- Kaji pemahaman mengenai dan kepatuhan terhadap obat dan terapi

lain (mis., diet, aktivitas). Pasien lansia mungkin perlu pengulangan

informasi dan penguatan penyuluhan.

- Pasien lansia yang lemah mungkin memerlukan manajemen kasus

untuk melanjutkan hidup secara mandiri.

82

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Gagal ginjal akut (GGA) merupakan suatu sindrom klinik akibat adanya

gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara mendadak (dalam beberapa jam

sampai beberapa hari) yang menyebabkan retensi sisa metabolisme nitrogen

(urea-kreatinin) dan non nitrogen, dengan atau tanpa disertai oliguri.

Tergantung dan keparahan dan lamanya gangguan fungsi ginjal, retensi sisa

metabolisme tersebut dapat disertai dengan gangguan metabolik lainnya seperti

asidosis dan hiperkalemia, gangguan keseimbahan cairan serta dampak

terhadap berbagai organ tubuh lainnya.

B. Penutup

Dalam pembuatan makalah sebaiknya mahasiswa menggunakan beberapa

rujukan untuk membandingkan pengetahuan satu dengan yang lain

83

DAFTAR PUSTAKA

1. Sylvia, Price. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Proses Penyakit.

Jakarta: EGC.

2. Stein, Jay H. 1998. Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta

3. J. Corwin, Elizabeth. 2009. Patofisiologi. Jakarta: EGC.

4. Wilkinson, Judith M. 2008. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 9,

Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Jakarta: EGC.

84