Upload
dodung
View
377
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 1
Peran Inovasi Teknologi Pertanian Bioindustri Melalui Sistem Inovasi
Daerah (SiDa)
Haryono
Badan Litbang Pertanian
Abstrak
Perkembangan pembangunan nasional dan perubahan lingkungan strategis yang
terjadi pada akhir-akhir ini mendorong Departemen Pertanian melalui Badan Litbang
Pertanian untuk terus meningkatkan peranserta yang lebih proaktif dan sistematis,
khususnya mendorong peningkatan kesejahteraan petani, dalam memecahkan berbagai
persoalan pembangunan pertanian. Pada dasarnya pertanian Bioindustri memiliki
prinsip dasar sebagai berikut : 1. Pertanian nol limbah 2. Pertanian nol imported input
produksi 3. Pertanian nol imported energi 4. Pertanian pengolah biomasa dan limbah
jadi bio-produk baru bernilai tinggi 5. Pertanian terpadu ramah lingkungan 6. Pertanian
sebagai kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju penghasil pangan dan non
pangan. Pertanian bioindustri dapat menjadi salah satu roda penggerak dalam
menghasilkan bahan alternatif. Dukungan Badan Litbang Pertanian melalui penciptaan
teknologi varietas dan teknologi pengembangan sumber bahan alternative perlu terus
ditingkatkan sehingga diharapkan mampu membantu kecukupan bahan baku energi
dimasa mendatang. Pembangunan pertanian bioindustri dapat dilakukan dengan optimal
bilamana didukung dengan potensi sumberdaya lokal yang ada disuatu wilayah. Konsep
pembangunan pertanian masa mendatang, memandang lahan pertanian tidak semata-
mata merupakan sumberdaya alam namun juga industri yang memanfaatkan seluruh
faktor produksi untuk menghasilkan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan dan
non pangan yang dikelola menjadi bioenergi, pakan, dan pupuk dengan prinsip zero
waste.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Inovasi, Teknologi, Pertanian, Bioindustri
Pendahuluan
Perkembangan pembangunan nasional dan perubahan lingkungan strategis
yang terjadi pada akhir-akhir ini mendorong Departemen Pertanian melalui Badan
Litbang Pertanian untuk terus meningkatkan peranserta yang lebih proaktif dan
sistematis, khususnya mendorong peningkatan kesejahteraan petani, dalam
memecahkan berbagai persoalan pembangunan pertanian. Perlu diketahui bahwa
salah satu yang mendorong pembangunan pertanian ke depan dapat dilakukan
dengan memperhatikan beberapa fakta bahwa ketersedian bahan bakar fosil sudah
semakin menipis, diperkirakan akan semakin langka dan mahal sepanjang abad 21
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 2
dan awal abad 22. Menghadapi kondisi ini maka ke depan, perekonomian setiap
negara haruslah ditransformasikan dari yang selama ini berbasis pada sumber
energi dan bahan baku asal fosil, menjadi berbasis pada sumber energi dan bahan
baku baru dan terbarukan, utamanya bahan hayati.
Tindakan progresif dan komprehensif sangat dibutuhkan dan perlu segera
diintensifkan untuk mengurangi ketergantungan pasokan energi dan bahan baku
industri dari bahan fosil. Disamping menjadi penghasil utama bahan pangan,
pertanian juga dituntut menjadi sektor penghasil bahan non-pangan pengganti
bahan baku hidro-karbon yang berasal dari fosil bagi industri. Teknologi Revolusi
Hijau yang menjadi basis pertanian selama ini haruslah ditransformasikan menjadi
Revolusi Hayati (Biorevolution). Pembangunan bio-industri yang dekat dengan
sumber biomasa merupakan langkah awal strategis meningkatkan nilai tambah
hasil pertanian, dan sekaligus mengurangi ketergantungan pengolahan hasil
pertanian dari energi fosil melalui pemanfaatan ‘limbah’ pertanian sebagai sumber
energi untuk pengolahan.
Pertanian bioindustri atau industri pertanian adalah usaha pengolahan
sumber daya alam hayati (pertanian) dengan bantuan teknologi industri untuk
menghasilkan berbagai macam hasil yang mempunyai nilai ekonomi lebih tinggi.
Pengolahan itu tidak hanya terbatas pada upaya meningkatkan hasil pertanian saja,
akan tetapi bagaimana mengelola hasil pertanian menjadi komoditas yang
bervariasi, sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Indonesia
yang sebagian besar merupakan para petani. Pengelolaan tanaman berskala
indutsri yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan perekonomian masyarakat
Indonesia adalah melalui pertanian bioindustri.
Sistem pertanian-bioindustri merupakan keterpaduan berjenjang sistem
pertanian Terpadu pada tingkat mikro, sistem rantai nilai terpadu pada tingkat
industri atau rantai pasok dan sistem agribisnis terpadu pada tingkat industri atau
komoditas. Sistem usaha pertanian terpadu yang berlandaskan pada pemanfaatan
berulang zat hara atau pertanian agroekologi seperti sistem integrasi tanaman-
ternak ikan dan sistem integrasi usaha pertanian-energi (biogas, bioelektrik) atau
sistem integrasi usaha pertanian-biorefinery yang termasuk pertanian hijau
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 3
merupakan pilihan sistem pertanian masa depan karena tidak saja meningkatkan
nilai tambah dari lahan tetapi juga ramah lingkungan sehingga lebih
berkelanjutan. Pengembangan klaster rantai nilai dilaksanakan dengan
mengembangkan bioindustri dan komponen-komponen penunjangnya dalam satu
kawasan guna mengoptimalkan aglomerasi ekonomi (Kementan, 2013b).
Lebih lanjut bahwa pada prinsipnya pertanian bioindustri adalah
peningkatan kualitas, nilai tambah dan daya saing produk pertanian. Selain itu,
mengintegrasikan seluruh pemangku kepentingan dalam skala ekonomi, baik
integrasi vertikal, mencakup aspek hulu sampai hilir, serta integrasi horizontal
yang mencakup berbagai komoditas dan jenis usaha. Pertanian-Bioindustri
Berkelanjutan adalah konsep pembangunan pertanian masa mendatang,
memandang lahan pertanian tidak semata-mata merupakan sumberdaya alam
namun juga industri yang memanfaatkan seluruh faktor produksi untuk
menghasilkan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan dan non pangan yang
dikelola menjadi bioenergi, pakan, dan pupuk dengan prinsip zero waste.
Kebijakan Pengembangan Pertanian Bioindustri Berbasis Sumber Daya
Lokal
Kebijakan Pengembangan Pertanian Bioindustri Berbasis Sumberdaya
Lokal mengacu pada VISI: “Terwujudnya sistem pertanian‐bioindustri
berkelanjutan yang menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai
tambah tinggi dari sumberdaya hayati pertanian dan kelautan tropika. Pertanian
bioindustri mengacu pada semua aktivitas pertanian dengan iptek maju tanpa
limbah, memanfaatkan dan mengolah limbah/biomasa, memakai sumberdaya
hayati lainnya untuk menghasilkan bahan pangan dan non pangan bernilai tinggi
untuk pembangunan pertanian berkelanjutan. Pada dasarnya pertanian Bioindustri
memiliki prinsip dasar sebagai berikut :
1. Pertanian nol limbah
2. Pertanian nol imported input produksi
3. Pertanian nol imported energi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 4
4. Pertanian pengolah biomasa dan limbah jadi bio-produk baru bernilai
tinggi
5. Pertanian terpadu ramah lingkungan
6. Pertanian sebagai kilang biologi (biorefinery) berbasis iptek maju
penghasil pangan dan non pangan
Kebijakan Pertanian Bioindustri
Konsep Holistik Pertanian Berkelanjutan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 5
Keterkaitan Sumberdaya dalam Pertanian-Bioindustri
Beberapa Contoh Konsep Pertanain Bioindustri Yang Dibangun Di Masing-
Masing Propinsi.
1. Sistem Integrasi Sagu-Ternak di Maluku
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 6
2. Pertanian Bioindustri Bawang Merah di Kalteng
3. Model Pertanian Bioindustri Berkelanjutan berbasis Sumberdaya Lokaldi
Sulawesi Tengah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 7
Contoh Pohon Industri Untuk Pertanian Bioindustri Berbasis Sumber Daya Lokal
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 8
Pengembangan Inovasi Teknologi Pertanian Bioindustri Melalui Sistem
Inovasi Daerah (Sida)
Sistem Inovasi Pertanian : Mempersempit Kesenjangan Antara Pasokan dan
Permintaan Pangan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 9
Sistem Inovasi Nasional
Sistem Inovasi Daerah
1. Kesatuan dari sehimpunan aktor, kelembagaan, hubungan, jaringan, interaksi
antar pihak, dan proses produktif yang mempengaruhi arah perkembangan dan
kecepatan inovasi dan difusinya (termasuk teknologi dan praktik baik/terbaik),
serta proses pembelajaran
2. Pendekatan sistemik /holistik, ketidaklinieran sifatnya, dan pentingnya
interaksi, kemitraan dan sinergitas berbagai elemen sistem serta pentingnya
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 10
peran pemerintah untuk menghasilkan koherensi berbagai kebijakan terkait
yang biasa disebut dengan kebijakan inovasi
Actor Dalam Penguatan Sistem Inovasi
Sub Sistem Dalam Sistem Inovasi Pertanian Bio-Industri Berkelanjutan
Penutup
Pertanian bioindustri dapat menjadi salah satu roda penggerak dalam
menghasilkan bahan alternatif. Dukungan Badan Litbang Pertanian melalui
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 11
penciptaan teknologi varietas dan teknologi pengembangan sumber bahan
alternative perlu terus ditingkatkan sehingga diharapkan mampu membantu
kecukupan bahan baku energi dimasa mendatang. Pembangunan pertanian
bioindustri dapat dilakukan dengan optimal bilamana didukung dengan potensi
sumberdaya lokal yang ada disuatu wilayah. Konsep pembangunan pertanian
masa mendatang, memandang lahan pertanian tidak semata-mata merupakan
sumberdaya alam namun juga industri yang memanfaatkan seluruh faktor
produksi untuk menghasilkan pangan guna mewujudkan ketahanan pangan dan
non pangan yang dikelola menjadi bioenergi, pakan, dan pupuk dengan prinsip
zero waste
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 12
Sistem Inovasi Daerah (Sida) Sebagai Strategi Pencapaian Visi Pemerintah
Melalui Pengolahan Pakan Ternak Berbaisi Limbah Agro Industri Di Prop.
Sulawesi Tengah
Hidayat
Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Prov. Sulawesi Tengah
Abstrak
Program Nasional Swasembada Daging Sapi tahun 2014, merupakan salah satu
program prioritas Pemerintah dalam lima tahun sejak tahun 2010, hal tersebut
dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis sumberdaya
local Sistem Inovasi Darah (Sida) merupakan keseluruhan proses pengembangan inovasi
yang melibatkan berbagai pihak meliputi Perguruan tinggi, Pengusaha, komunitas dan
lembaga penelitian pemerintah dan swasta di daerah dalam rangka untuk memecahkan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Masyarakat. untuk mewujudkan visi
dan misi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah diperlukan sinergitas berbagai
stakeholder pembangunan yang terkoordinasi dalam suatu sistem dalam rangka
pengembangan dan pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya yang tersedia. Sistem
Inovasi Daerah (SIDa) Provinsi Sulawesi Tengah diharapkan dapat menjembatani
kalangan dunia akademisi, pemerintah dan dunia usaha yaitu seperti Hasil-hasil
penelitian selama ini belum banyak dirasakan betul manfaatnya oleh kalangan bisnis dan
masyarakat umum, Mengindentifikasi potensi dan produktifitas unggulan daerah,
Meningkatkan nilai tambah produksi perekonomian masyarakat sebagai akibat dari
rendahnya penguasaan teknologi dan keterampilan, Meningkatkan populasi ternak, yang
pada kondisi saat ini sulit dipertahankan, apalagi untuk dikembangkan, karena adanya
penyusutan dan alih fungsi lahan.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Inovasi, Strategi, Pencapaian, Pengolahan, Limbah, Agriindustri
Pendahuluan
Program Nasional Swasembada Daging Sapi tahun 2014, merupakan salah
satu program prioritas Pemerintah dalam lima tahun sejak tahun 2010, hal
tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan ketahanan pangan asal ternak berbasis
sumberdaya lokal. Program ini dirancang dari hulu–hilir, didukung oleh
kemampuan dalam penguasaan dan pemanfaatan Iptek dengan melibatkan paling
tidak 10 kementerian dan 3 lembaga. Untuk mencapai swasembada daging pada
tahun 2014 tersebut, diperlukan berbagai rumusan kebijakan dan strategi khusus,
antara lain: (1) pembibitan dan pemuliabiakan sapi nasional; (2) terobosan
peningkatan populasi sapi; dan (3) ketahanan pakan nasional. Kebutuhan daging
nasional pada tahu 2014 diprediksi akan meningkat hingga 6% dari 549.000 ton
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 13
menjadi Rp 560.000 ton. Pasokan daging dari dalam negeri diperkirakan capai
80%, sisanya 20% masih harus diimpor.
Selain kebijakan dan strategi tersebut, dukungan penguasaan iptek
terhadap swasembada dapat diwujudkan melalui : pertama, peningkatan
kemampuan SDM termasuk juga kapasitas para peternak–petani; kedua,
pengembangan teknologi untuk perbaikan mutu bakalan melalui metoda
inseminasi buatan, embrio transfer atau rekayasa genetika; ketiga,
pengembangan teknologi untuk menjamin ketersediaan pakan sepanjang tahun
dengan teknologi pakan murah; dan keempat, pengembangan kawasan
terpadu/klaster inovasi peternakan–pertanian sebagai wahana untuk
mengintegrasikan dan mensinergikan aktivitas litbang dengan dunia usaha yang
menghasilkan produk industri peternakan–pertanian, seperti industri daging dan
turunannya; industri pakan; industri pupuk dan bahan bakar terbarukan, yang
sering kali disebut dengan 4 F (food, feed, fertilizer, dan fuel).
Untuk mewujudkan harapan kemandirian pakan Ternak di Sulawesi
Tengah dibutuhkan pengembangan wilayah berdasarkan kompetensi inti atau
berbasis komoditas unggulan dengan memanfaatkan limbah-limbah agroindustri
yang berasal dari komuditas unggulan masing-masing klaster yang dipadukan
dengan teknologi, untuk menciptakan dan membangun pusat-pusat unggulan
teknologi dengan mempertimbangkan aspek-aspek teknis, ekonomis, sosial
budaya, dan lingkungan yang bertujuan mengoptimalisasi pemanfaatan bahan
baku lokal dari limbah perikanan, pertanian dan perkebunan untuk pemenuhan
pakan ternak di Sulawesi Tengah dan terciptanya SDM yang mengusai teknologi
pemuliabiakan ternak dan pengolahan pakan ternak dengan sasaran terpenuhinya
sarana dan prasarana pusat pengembangan teknologi pengolahan pakan ternak
dan peningkatan SDM dalam penguasaan teknologi pemuliabiakan ternak dan
pengolahan pakan ternak.
Kerangka Pikir Kebijakan Balitbangda Provinsi Sulawesi Tengah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 14
Sistem Inovasi Daerah (Sida)
Sistem Inovasi Darah (Sida) merupakan keseluruhan proses
pengembangan inovasi yang melibatkan berbagai pihak meliputi Perguruan tinggi,
Pengusaha, komunitas dan lembaga penelitian pemerintah dan swasta di daerah
dalam rangka untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh
Masyarakat. Disamping itu juga sistem inovasi daerah membentuk jaringan
koordinasi, informasi dan komunikasi serta kerjasama inovasi. Oleh karena itu
diperlukan langkah-langakah strategi.
Lingkungan Strategis Daerah
2. Tujuan dan Sasaran.
a. Tujuan :
1. Optimalisasi pemanfaatan bahan baku lokal dari limbah perikanan,
pertanian dan perkebunan untuk pemenuhan pakan ternak di Sulawesi
Tengah
2. Terciptanya SDM yang mengusai teknologi pemuliabiakan ternak dan
pengolahan pakan ternak.
b. Sasaran :
1. Terpenuhinya sarana dan prasarana pusat pengembangan teknologi
pengolahan pakan ternak;
2. Peningkatan SDM dalam penguasaan teknologi pemuliabiakan ternak
dan pengolahan pakan ternak.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 15
Kesenjangan Kegiatan Litbang (Inovasi) Dengan Kegiatan Ekonomi
Aspek Ekonomi Makro Daerah
Perkembangan berbagai sektor ekonomi selama tahun 2012 menunjukkan
peningkatan yang berarti, sektor pertanian yang merupakan sektor terbesar
peranannya terhadap perekonomian Sulawesi Tengah pada tahun 2012 tumbuh
6,19 persen, di mana sebelumnya tumbuh 6,77 persen. Berbagai faktor lain yang
ikut mendukung pertumbuhan sektor pertanian, adalah makin kondusifnya
keamanan secara keseluruhan di Sulawesi Tengah, stabilnya harga, makin
efektifnya pelaksanaan pembangunan pasca krisis, dan penerapan otonomi
daerah. Sektor pertambangan dan penggalian tumbuh 26,99 persen pada tahun
2012 yang dipicu oleh besarnya produksi sub sektor migas. Dilihat dari
peranannya dalam perekonomian secara keseluruhan masih relatif rendah,
padahal komoditi sektor ini, seperti pasir kuarsa, nikel, sirtu merupakan salah
satu komoditi andalan baik diekspor antar pulau maupun digunakan untuk
kebutuhan pembangunan daerah. Dengan masuknya migas sebagai salah satu
komoditas andalan, sektor ini akan menjadi salah satu lokomotif pertumbuhan
ekonomi Sulawesi Tengah. Sektor industri pengolahan mengalami peningkatan
nilai tambah sebesar 5,29 persen. Pertumbuhan ini didukung oleh adanya
peningkatan aktivitas dan produksi semua subsektornya. Angka pertumbuhan ini
dirasakan melambat dan relatif sama setiap tahunnya padahal tumpuan
transformasi ekonomi diharapkan pada sektor ini. Dilihat dari peranan sektor
industri pengolahan dalam perekonomian hanya 6,96 persen pada tahun 2011
menempatkan Sulawesi Tengah berada pada daerah non industrialisasi dengan
pangsa NTB lebih kecil dari 10 persen.
Sektor pertanian masih merupakan tumpuan kehidupan perekonomian
daerah ini. Peranannya tetap dominan, hanya sedikit mengalami penurunan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 16
yang tidak signifikan dari 37,22 persen pada tahun 2011 menjadi 35,99 persen
pada tahun 2012. Sektor Jasa-jasa yang berada pada urutan kedua memberikan
peranan sebesar 17,75 persen, meningkat dibanding tahun sebelumnya 17,79
persen. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran menempati urutan ketiga
dengan andil sebesar 12,13 persen, sedangkan urutan ke- empat ditempati sektor
bangunan dengan andil sebesar 7,94 persen dan urutan kelima adalah sektor
angkutan dan komunikasi mencapai 7,06 persen yang hanya beda tipis dengan
sektor industry pengolahan 6,59 persen. Adapun sektor-sektor lainnya
sumbangannya masih kurang dari lima persen. Sektor Pertanian yang
memberikan andil 39,14 persen tahun 2011, turun menjadi 38,07 persen tahun
2012, dan tetap merupakan sektor terbesar dalam memberikan andilnya terhadap
PDRB Sulawesi Tengah. Sektor jasa-jasa memberikan andil sebesar 16,08
persen, sedangkan Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran dengan andil sebesar
12,85 persen, sektor angkutan dan komunikasi, bangunan, dan industri
pengolahan masing-masing memberikan andil sebesar 7,44 persen, 7,72 persen,
dan 5,82 persen. Selanjutnya sektor-sektor yang lain memiliki andil dibawah
lima persen dengan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke
tahun.
Kondisi Sistem Inovasi Saat Ini
Kondisi Sistem Inovasi saat ini yang secara umum menggambarkan bagaimana
capaian atau kondisi sesuai dengan ruang lingkup penguatan SIDa. Ruang
lingkup penguatan SIDa, sesuai dengan Perber Menteri Negara Riset dan
Teknologi Nomor 03 Tahun 2012 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 36 Tahun
2012, meliputi:
A. Kebijakan penguatan SIDa;
Kondisi penguatan SIDa Provinsi Sulawesi Tengah saat ini ditinjau dari
kebijakan Pembangunan, belum terintegrasi dalam dokumen Rencana Kerja
Pembangunan Daerah (RKPD) dan dokumen Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Hal ini menunjukan bahwa belum terciptanya
sinkronisasi, harmonisasi dan sinergitas program dan kegiatan antar lintas
sektoral (SKPD), karena SIDa itu sendiri belum merupakan bagian dari
penyusunan RKPD dan RPJMD. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah telah
menetapkan lembaga penguatan SIDa melalui Keputusan Gubernur Sulawesi
Tengah Nomor 071/679/Balibangda-G.ST/2013 tanggal 6 Desember 2013
tentang Pembentukan Tim Koordinasi Penguatan SIDa Provinsi Sulawesi
Tengah.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 17
B. Penataan unsur SIDa;
a. Kelembagaan SIDa
Berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Tengah Nomor
071/679/Balibangda-G.ST/2013 tanggal 6 Desember 2013 Tentang
Pembentukan Tim Koordinasi Penguatan SIDa Provinsi Sulawesi
Tengah, maka susunan kelembagaan SIDa Provinsi Sulawesi Tengah
terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu :
1) Unsur Pemerintah terdiri dari pemerintah daerah 29 lembaga dan
pemerintah pusat 1 lembaga.
2) Unsur akademisi terdiri dari perguruan tinggi 7 lembaga, lembaga
kelitbangan 2 lembaga.
3) Unsur bisnis/dunia usaha terdiri dari lembaga penunjang inovasi
11 lembaga dan dunia usaha 11 lembaga.
b. Jaringan SIDa
Program dan kegiatan ketiga unsur pelaku SIDa belum menunjukkan
terciptanya sinkronisasi, harmonisasi dan sinergitas, masih
menunjukkan adanya ego sektoral dalam perencanaan dan
pelaksanaan. Hal ini dapat dilihat bahwa potensi limbah agroindustri
cukup besar berdasarkan data potensi Sulawesi Tengah. Hasil inovasi
teknologi akan pemanfaatan potensi limbah telah tersedia, namun
belum teraplikasikan sampai pada tingkat masyarakat maupun dunia
usaha. Kondisi ini disebabkan belum berjalannya jaringan para pelaku
inovasi dalam proses transfer knowledge.
c. Sumber daya SIDa
1) Sumberdaya Manusia
Potensi sumberdaya manusia yang terorganisir dalam Tim
Koordinasi Penguatan SIDa Provinsi Sulawesi Tengah, dalam
rangka penguatan dan pengembangan SIDa dapat digambarkan
sebagai berikut :
Tabel 1. Tingkat Pendidikan Unsur SIDa Provinsi Sulawesi
Tengah
No Unsur SIDa Tingkat Pendidikan
Ket. SMA Diploma S1 S2 S3
1 Pemerintah - - 4 22 4
2. Akademisi - - 1 4 4
3. Bisnis/Dunia
Usaha
- - 18 3 1
2) Sarana dan Prasarana Penguatan SIDa.
Fasilitas pendukung dalam rangka penguatan SIDa di Provinsi
Sulawesi Tengah (Pusat Pengembangan Teknologi Pengolahan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 18
Pakan Ternak berbasis Agroindustri bagi Kemandirian Pakan
Ternak di Sulawesi Tengah) dapat digambarkan pada tabel berikut :
No Sarana dan Prasarana
Lembaga/Instansi
KET Pemerin
tah
Akadem
isi
1. Lahan 5 ha 100 ha
2. Gedung kantor, 1 unit -
3. Gedung diklat - 2 unit
4. Gudang bahan baku pakan - -
5. Gudang bahan jadi pakan 1 unit
6. Gedung Laboratorium 1 unit -
7. Alat Laboratorium Analisis
Pakan
- -
8. Mesin Pengolahan pakan ayam 1 paket -
9. Mesin Pengolahan pakan
ruminansia Kecil
1 paket -
10. Mesin Pengolahan pakan
ruminansia Besar
- -
11. Kandang Pendidikan dan
Penelitian.
1 unit -
12. Kebun hijauan 2 ha 5 ha
13. Pusat Pembibitan Ternak 1 unit -
d. Pengembangan SIDa
Pengembangan SIDa Kemandirian Pakan Ternak di Sulawesi
Tengah tidak terlepas dari skema yang telah disusun secara bersama-
sama dari tiga unsur pelaku SIDa Kemandirian Pakan Ternak. Adapun
skemanya sebagai berikut:
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 19
Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Tengah yang tertuang dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi
Tengah Tahun 2011-2016 merupakan suatu upaya untuk mencapai kondisi yang
diharapkan sesuai visi yaitu ”SULAWESI TENGAH SEJAJAR DENGAN
PROVINSI MAJU DI KAWASAN TIMUR INDONESIA MELALUI
PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DAN KELAUTAN DENGAN KUALITAS
SUMBERDAYA MANUSIA YANG BERDAYA SAING TAHUN 2020”, dengan
misi sebagai berikut :
1. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang berdaya saing berdasarkan
keimanan dan ketakwaan;
2. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui perberdayaan ekonomi
kerakyatan;
3. Peningkatan pembangunan infrastruktur;
4. Percepatan reformasi birokrasi, penegakan supremasi Hukum dan Ham;
5. Pengelolaan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan;
Bahwa untuk mewujudkan visi dan misi Pemerintah Provinsi Sulawesi
Tengah tersebut di atas diperlukan sinergitas berbagai stakeholder pembangunan
yang terkoordinasi dalam suatu sistem dalam rangka pengembangan dan
pemanfaatan berbagai potensi sumberdaya yang tersedia. Oleh karena itu Sistem
Inovasi Daerah (SIDa) Provinsi Sulawesi Tengah mengambil tema strategi
Technopark Pusat Pengembangan Teknologi Pengolahan Pakan Ternak
Berbasis Limbah Agroindustri Bagi Kemandirian Pakan Ternak di Sulawesi
Tengah dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan berbagai potensi
sumberdaya lokal yang telah dijabarkan dalam Roadmap dan Rencana Aksi.
Sistem Inovasi Daerah (SIDa) Provinsi Sulawesi Tengah dengan
mengambil tema strategi Technopark Pusat Pengembangan Teknologi Pengolahan
Pakan Ternak Lokal Berbasis Limbah Agroindustri Bagi Kemandirian Pakan
Ternak Di Sulawesi Tengah diharapkan dapat menjembatani kalangan dunia
akademisi, pemerintah dan dunia usaha yaitu :
1. Hasil-hasil penelitian selama ini belum banyak dirasakan betul manfaatnya
oleh kalangan bisnis dan masyarakat umum.
2. Mengindentifikasi potensi dan produktifitas unggulan daerah.
3. Meningkatkan nilai tambah produksi perekonomian masyarakat sebagai
akibat dari rendahnya penguasaan teknologi dan keterampilan.
4. Meningkatkan populasi ternak, yang pada kondisi saat ini sulit
dipertahankan, apalagi untuk dikembangkan, karena adanya penyusutan dan
alih fungsi lahan.
5. Pengembangan wilayah berdasarkan kompetensi inti atau berbasis komoditas
unggulan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 20
Kondisi Yang Akan Dicapai Dalam Pengembangan Sistem Inovasi Daerah
(Sida)
Pada prinsipnya sasaran yang akan dicapai dalam pengembangan SIDa
Provinsi Sulawesi Tengah menuju terwujudnya Visi pembangunan Provinsi
Sulawesi Tengah yaitu ” Sulawesi Tengah sejajar dengan Provinsi maju
dikawasan Timur Indonesia dalam pengembangan agribisnis dan kelautan
melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang berdaya saing tahun
2020”, dilakukan melalui pengembangan kawasan agrobisnis dengan
mensinergikan berbagai potensi yang ada. Pengembangan tersebut dimaksudkan
untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribinis yang berdaya saing,
berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentraslisasi, yang digerakkan oleh
masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah. Dalam konteks pembangunan
agribisnis terpadu, kawasan pengembangan yang akan dibentuk harus
memperhatikan kondisi sistem agribisnis ditingkat wilayah yang saling terkait,
yaitu suatu gugusan industri yang terdiri atas 5 (lima) sub sistem, yaitu :
1. Sub Sistem Agribisnis Hulu
2. Sub sistem Usaha Tani
3. Sub Sistem Pengolahan
4. Sub Sistem Pemasaran
5. Sub Sistem Jasa Pendukung
Pengembangan agribisnis mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
pembangunan daerah dan pengembangan wilayah. Oleh karena itu, subsistem
agribisnis pada dasarnya akan menyentuh semua aspek perekonomian masyarakat
di suatu wilayah (daerah) dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi dan
bahkan nasional. Sistem inovasi merupakan upaya mencapai visi pembangunan
Provinsi Sulawesi Tengah. Karena dalam upaya pengembangan agribisnis
dibutuhkan inovasi yang berbasis iptek, inovasi yang berbasis produksi,
pemanfaatan dan difusinya dalam masyarakat serta proses pembelajaran yang
berkembang. Oleh karena itu pembangunan Technopark Pusat Pengembangan
Teknologi Pengolahan Pakan Ternak Berbasis Agroindustri diharapkan dapat
menciptakan sumberdaya manusia yang professional dan handal dalam
mendukung pengembangan agrobisnis Sulawesi Tengah.
Strategi Dan Arah Kebijakan Penguatan Sistem Inovasi Daerah (Sida)
Untuk memahami kondisi riil potensi sumberdaya dalam mewujudkan visi
dan misi Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Tengah melalui pengembangan
teknologi dalam pemanfaatan potensi sumberdaya yang tersedia, diperlukan suatu
pemahaman dan pengetahuan akan kondisi internal maupun eksternal, sehingga
aktifitas perekonomian yang di laksanakan merupakan langkah konkrit dalam
menyusun strategi dan arah kebijakan untuk memahami keunggulan komperatif
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 21
dan kompetitif sumberdaya yang dapat didayagunakan dalam melaksanakan
program.
Faktor-faktor internal dan eksternal yang berkaitan dengan pengembangan
teknologi dalam pemanfaatan potensi limbah dari berbagai sektor yang dapat
dikelola untuk menghasilkan nilai tambah yang signifikan bagi kemajuan dan
pengembangan industri peternakan di Sulawesi Tengah dapat dianalisis sebagai
berikut :
KEKUATAN/ STRENGTHS
1. Visi Misi Pemprov Sulteng
2. Ketersediaan bahan baku cukup
memadai
3. Budaya beternak masyarakat sangat
tinggi
4. Sarana UPTD Pembibitan Ternak
5. Adanya Badan Koordinasi Penyuluh
bidang Peternakan
6. Sarana Pasar Ternak
7. Adanya dukungan SKPD terkait
8. Tersedianya SMK Peternakan.
KELEMAHAN/ WEAKNESS
1. Limbah pertanian,perikanan,
peternakan, perkebunan belum
termanfaatkan,
2. SDM peternak lokal belum
memiliki ketrampilan pengelolaan
bahan baku pakan ternak
3. Pola perilaku peternak masih
tradisional (bersifat alamiah).
4. Populasi domba endemik Palu
semakin menurun.
5. Sinkronisasi dan sinergitas
program lintas sektoral tidak
terkoordinasi dengan baik.
6. Kinerja Petugas PPL masih sangat
lemah.
7. Belum adanya usaha pengolahan
pakan ternak lokal.
PELUANG/ OPPRTUNITIES
1. Keputusan Menteri Pertanian
tentang Rumpun Domba Palu
2. Hasil-hasil penelitian dan kajian
pengolahan pakan ternak tersedia
3. Tamatan Sarjana Peternakan cukup
memadai
4. Program Nasional Swasembada
Daging 2014
5. Adanya dukungan Kemenristek,
BPPT, Universitas Tadulako dan
BPTP.
ANCAMAN/ THREATH
1. Ketergantungan terhadap produksi
impor
2. Alih fungsi lahan pertanian
semakin berkembang
3. Harga pakan pabrikan tidak
terjangkau oleh peternak
4. ASEAN Economy Community
2015.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 22
Kesimpulan
Mengacu pada potensi - potensi tersebut di atas, dapat dikaji dan dianalisis untuk
menghasilkan suatu peluang peningkatan dan pengembangan industri peternakan
dengan multiplier effect bagi pembangunan di Sulawesi Tengah. Berdasarkan
analisa terhadap faktor-faktor internal dan eksternal strategi untuk mencapai
tujuan pengolahan pakan ternak berbasis limbah agroindustri bagi industri
peternakan di Provinsi Sulawesi Tengah, adalah Meningkatkan populasi ternak
berbasis teknologi dengan dukungan pemerintah pusat dan stakeholder dan
pemanfaatan limbah Agroindustri untuk pakan ternak berbasis teknologi dengan
dukungan pemerintah pusat dan stakeholder.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 23
Peran Perguruan Tinggi Dalam Mendukung Inovasi Teknologi
Sumberdaya Lokal
Gatot Siswo Hutomo
Universitas Taddulako
Abstrak
Pembangunan di Sektor Pertanian saat ini terus dikembangkan oleh pemerintah terutama
teknologi Bioproses. Teknologi yang dikembangkan tersebut untuk mengoptimalkan hasil
serta mengurangi limbah hasil pertanian. Perguruan tinggi khususnya Fakultas
Pertanian Universitas Tadulako, Palu, akan selalu berlandaskan pada Tri Dharma
Perguruan Tinggi yaitu : Pendidikan/Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada
masyarakat. Peran perguruan tinggi dalam mendukung inovasi teknologi sumberdaya
lokal selalu berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Bidang
Pendidikan/Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat. Beberapa hasil
penelitian telah banyak diaplikasikan kepada industri, UKM dan IKM serta para
pengrajin usaha rumah tangga.Beberapa hasil penelian juga telah diusulkan sebagai
HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) sertausulan patent.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Pendidkan, Inovasi, Teknologi, Sumberdaya lokal
Pendahuluan
Pembangunan di Sektor Pertanian saat ini terus dikembangkan oleh
pemerintah terutama teknologi Bioproses. Teknologi yang dikembangkan
tersebut untuk mengoptimalkan hasil serta mengurangi limbah hasil pertanian.
Perguruan tinggi khususnya Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu, akan
selalu berlandaskan pada Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu :
Pendidikan/Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat. Bidang
penelitian pertanian telah banyak dikembangkan hasil-hasil penelitian baik di
tingkat budidayanya ataupun di bidang pasca panen dan pengolahannya.
Pengabdian kepada masyarakat juga telah banyak dilakukan yang didasarkan pada
hasil-hasil penelitian yang bersifat aplikatif.
Potensi sumberdaya alam dan hayati yang ada di wilayah Sulawesi Tengah
sangat potensi sebagai sumber bahan pangan. Beberapa varietas lokal yang unggul
seperti bawang merah lokal palu mempunyai ciri khas dalam hal kerenyahannya,
tanaman jagung dan padi juga telah banyak dikembangkan dengan potensi yang
sangat baik meliputi kuota produksi ataupun perannya untuk kesehatan, tanaman
ubi-ubian lokal palu juga sangat beragam dan berpotensi sebagai bahan pangan,
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 24
potensi tanaman coklat (kakao) sebagai penyumbang devisa cukup besar juga
sangat berpotensi di Sulawesi Tengah. Investasi industri di Sulawesi Tengah
masih sangat kurang, sehingga diperlukan promosi untuk investasi di bidang
penanganan pengolahannya terhadap hasil-hasil pertanian.
Peran perguruan tinggi dalam menunjang pembangunan pertanian juga telah
banyak dilakukan penelitian di tingkat lokal maupun nasional, bahkan beberapa
penelitian telah dilakukan dengan bekerjasama dengan universitas di luar negeri.
Hasil-hasil penelitian yang ada sebagian besar juga telah diserap oleh industri dan
industri kecil serta diaplikasikan pada industri rumah tangga atau UKM (Usaha
Kecil Mikro).
Hasil-Hasil Penelitian
Hasil penelitian yang telah banyak dilakukan oleh Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako tidak dapat disebutkan secara keseluruhan tetapi beberapa
hasil penelitian yang berpotensi untuk dapat diterapkan pada industri ataupun
pengabdian kepada masyarakat antara lain yaitu :
1. Modifikasi Karbohidrat (Pati)
Hasil penelitian modifikasi pati juga telah banyak dilakukan oleh Fakultas
Pertanian UNTAD. Modifikasi pati yang telah dilakukan yaitu pengikatan ion
Natrium atau pengikatan gugus asam organik atau anorganik yang dapat
menghasilkan bubur instant, atau beras untuk orang penderita Diabetis, atau
menghasilkan edible film, atau bioplastik yang mudah terdegradasi di tanah.
Modifikasi pati terhadap biji jagung juga dihasilkan jagung instan sebagai
bahan baku soup jagung instan atau Binte instan.
2. Pembuatan Emulsifier
Pembuatan emulsifier mono- dan di-asil gliserol telah dilakukan dengan
menggunakan lipase dari dedak padi dengan reaksi reesterifikasi. Enzym
lipase yang direaksikan dalam bentuk amobil. Mono- dan di-asil gliserol
merupakan bahan emulsifier yang sangat baik dalam membentuk kestabilan
emulsi.
3. Budidaya Hidrophonik
Penelitian budidaya tanaman buah dan sayur secara hidrophonik juga telah
dilakukan antara lai terhadap buah melon, tomat, sawi, bayam dan lombok.
Daerah Sulawesi Tengah yang terdiri dari sebagian besar lahan kering, sangat
cocok budidaya hidrophonik dilakukan, bahkan hama dan kesegaran buah
mudah dikontrol.
4.Pengolahan Buah-buahan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 25
Pengolahan buah Srikaya menjadi gbeberapa produk yaitu sale/jam, jelly,
manisan ataupun dodol juga telah dilakukan. Pengolahan buah lainnya yaitu
salak, nangka, pisang, buah naga dan beberapa buah lainnya, yang diolah
menjadi manisan atau asinan, dodol, keripik atau sirop.
5. Pengolahan coklat
Pengolahan biji coklat meliputi teknik-teknik fermentasi yaitu proses
refermentasi terhadap biji kakao kering yang belum dilakukan proses
fermentasi. Proses fermentasi yang lainnya yaitu proses fermentasi rakyat dan
fermentasi non mikroba dengan malakukan perendaman biji kakao basah ke
dalam asam acetat pH 4,5. Proses pengolahan biji kakao menjadi chocolate
block serta beberapa tahapan proses atara lain alkalisasi dan tempering juga
telah dilakukan. Beberapa UKM pengolah chocolate bar juga telah banyak
dibina oleh Fakultas Pertanian UNTAD, Palu.
6. Agribisnis
Penelitian agribisnis juga telah banyak dilakukan terhadap beberapa
komoditi antara lain yaitu padi, jagung, kedelai, kacang hijau, bawang merah,
coklat, hortikultura dan hortikultura organik.
7. Daya Tahan Pestisida di dalam tanah
Penelitian degradasi pestisida di dalam tanah juga telah dilakukan, hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kerusakan pestisida di dalam tanah yang
sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah.
8.Aplikasi Beta-Karoten sebagai pakan ternak
Konsentrat beta-karoten yang dihasilkan dari tongkol jagung yang telah
ditumbuhi oleh jamur Monilia sitophyla, setelah dilakukan sterilisasi
dicampurkan ke dalam pakan ayam akan mengurangi produksi lemak
abdominal pada ayam. Hal ini terlihat konversi pakan sebagai besar mengarah
ke pembentukan daging.
9. Budidaya Tumpangsari
Penelitian Budidaya tumpang sari juga telah dilakukan antara lain jagung
dengan kedelai, kacang tanah dengan jagung, dimaksudkan untuk peningkatan
produksi baik kuantitas maupun kualitasnya serta hemat biaya produksi.
10. Pemanfaatan pod husk kakao
Penelitian pemanfaatan pod husk kakao telah dilakukan untuk
menghasilkan bahan emulsifier antara lai yaitu CMC (Carboxymethyl
Cellulose), MC (Methyl Cellulose), HPC (Hydroxy Propyl Cellulose) dan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 26
pembuatan ekstrak pod husk kakao sebagai sumber Polifenol sebagai
antioksidan dan peroduksi gula cair.
Beberapa hasil penelian juga telah diusulkan sebagai HAKI (Hak
Kekayaan Intelektual) serta usulan patent.
Pengabdian Kepada Masyarakat
Kegiatan pengabdian kepada masyarakat juga telah banyak dilakukan
namun tidak bisa disebutkan secara keseluruhan, antara lain yaitu :
1. Penanggulangan Penggerek Buah Kakao dilakukan di beberapa daerah yaitu
Kecamatan Palolo, Daerah Donggala, Daerah Pantai Barat dan beberapa daerah
yang lainnya.
2. Pembinaan Pengusaha Bakso telah dilakukan di Wilayah kota Palu.
3. Pembinaan Pengusaha Abon Ikan dan Abon Sapi dilakukan di Wilayah kota
Palu.
4. Pembinaan Pengusaha Bawang Goreng dilakukan di wilayah kota Palu.
5. Pembinaan dan Pembuatan Gula Semut dilakukan di Kecamatan Palolo.
6. Pembinaan dan Produksi VCO di wilayah Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
7. Pembinaan dan Produksi Olahan Salak dilakukan di Desa Sirenja.
8. Pembinaan UKM dan IKM pengrajin Chocolate bars dilakukan di wilayah kota
Palu.
Kesimpulan
Peran perguruan tinggi dalam mendukung inovasi teknologi sumberdaya lokal
selalu berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu Bidang
Pendidikan/Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada masyarakat. Beberapa
hasil penelitian telah banyak diaplikasikan kepada industri, UKM dan IKM serta
para pengrajin usaha rumah tangga.Beberapa hasil penelian juga telah diusulkan
sebagai HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) sertausulan patent.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 27
Manajemen Sumberdaya Manusia Dalam Akselerasi Diseminasi Inovasi
Teknologi Spesifik Lokasi
Padang Hamid
Ketua IKA SPP-SPMA Sidera Palu Provinsi Sulawesi Tengah
Abstrak
Provinsi Sulawesi Tengah secara geografis terletak pada wilayah timur Indonesia yang
beriklim tropis serta dilaluinya garis khatulistiwa merupakan suatu keuntungan
tersendiri di daerah, secara umum Sulawesi Tengah terdiri dari duabelas kabupaten dan
satu kota dengan Ibukota berpusat di Kota Palu. Untuk menunjang pertumbuhan
wilayah, sektor pertanian, peternakan, perikanan, dan perkebunan di Sulawesi Tengah
merupakan bidang yang sangat strategis dalam mendukung stabilitas pertumbuhan
wilayah Provinsi Sulawesi Tengah, oleh Sebab Sumberdaya pertanian merupakan
sumberdaya yang dapat diperbaharui kembali (renewable) sehingga dapat dijamin dari
sisi suistainabilitasnya, Sektor pertanian dalam berbagai pengalaman telah terbukti
sangat berperan sebagai instrumen dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat
kecil serta mengurangi kesenjangan pendapatan, Bisnis komoditas pertanian cukup
prospektif dan menjanjikan. Hal ini dapat mendorong investasi baik bagi pengusaha
besar maupun masyarakat pedesaan. Pengembangan usaha pertanian di daerah akan
mengurangi ketergantungan dari wilayah lain termasuk impor, Potensi lahan yang cukup
tinggi memungkinkan pengembangan pertanian di Sulawesi Tengah secara besar-
besaran dan Elastisitas permintaan komoditas petanian terhadap pendapatan umumnya
tinggi sehingga permintaan komoditas pertanian akan sangat sensitif di masa yang akan
datang dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Manajemen, Sumberdaya, Inovasi, Teknologi
PENDAHULUAN
Provinsi Sulawesi Tengah secara geografis terletak pada wilayah timur
Indonesia yang beriklim tropis serta dilaluinya garis khatulistiwa merupakan suatu
keuntungan tersendiri di daerah, secara umum Sulawesi Tengah terdiri dari
duabelas kabupaten dan satu kota dengan Ibukota berpusat di Kota Palu. Dalam
menghadapi otonomi Daerah yang tertuang dalam Undang-Undang No. 22 tahun
1999 diharapkan setiap daerah membuat perspektif dan menyusun rencana kerja
menerapkan dan mengembangkan wilayah secara mandiri yang dapat diwujudkan
dengan konstribusi daerah dari berbagai sektor ekonomi dan tentunya telah siap
dengan perangkat dan aparatur pemerintahan.
Sejalan dengan semangat otonomi daerah di satu sisi dan tantangan global di
sisi yang lain, maka untuk menjaga stabilisasi sosial-ekonomi wilayah Sulawesi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 28
Tengah secara utuh dalam jangka panjang diperlukan strategi menciptakan
keseimbangan dan keserentakan pertumbuhan antar sektor dan antar wilayah
sesuai dengan potensi, kendala, dan peluang masing-masing. Sektor-sektor
strategis yang dapat memberikan kontribusi dalam stabilisasi dan keberlanjutan
pertumbuhan wilayah harus dikelola secara sungguh-sungguh dan memadai.
Untuk menunjang pertumbuhan wilayah, sektor pertanian, peternakan,
perikanan, dan perkebunan di Sulawesi Tengah merupakan bidang yang sangat
strategis dalam mendukung stabilitas pertumbuhan wilayah Provinsi Sulawesi
Tengah, karena:
1. Sumberdaya pertanian merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui
kembali (renewable) sehingga dapat dijamin dari sisi suistainabilitasnya.
2. Sektor pertanian dalam berbagai pengalaman telah terbukti sangat berperan
sebagai instrumen dalam upaya peningkatan pendapatan masyarakat kecil serta
mengurangi kesenjangan pendapatan.
3. Bisnis komoditas pertanian cukup prospektif dan menjanjikan. Hal ini dapat
mendorong investasi baik bagi pengusaha besar maupun masyarakat pedesaan.
Pengembangan usaha pertanian di daerah akan mengurangi ketergantungan
dari wilayah lain termasuk impor.
4. Potensi lahan yang cukup tinggi memungkinkan pengembangan pertanian di
Sulawesi Tengah secara besar-besaran.
5. Elastisitas permintaan komoditas petanian terhadap pendapatan umumnya
tinggi sehingga permintaan komoditas pertanian akan sangat sensitif di masa
yang akan datang dengan semakin tingginya pendapatan masyarakat.
Untuk meningkatkan peran sektor pertanian sebagai penghela
pembangunan ekonomi nasional, Kementerian Pertanian telah menetapkan visi
pembangunan pertanian 2010 - 2014, yaitu “Terwujudnya pertanian industrial
unggul berkelanjutan yang berbasis sumberdaya lokal untuk meningkatkan
kemandirian pangan, nilai tambah, daya saing, ekspor, dan kesejahteraan
petani”.
Target utama visi pembangunan pertanian ditujukan untuk mewujudkan
empat sukses pembangunan pertanian, yaitu: 1) pencapaian swasembada dan
swasembada berkelanjutan, 2) peningkatan diversifikasi pangan, 3) peningkatan
nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta 4) peningkatan kesejahteraan petani.
Dalam rangka mewujudkan empat sukses pembangunan pertanian
tersebut, diperlukan dukungan ketersediaan sumberdaya manusia pertanian yang
profesional, kreatif, inovatif, dan berwawasan global. Dukungan tersebut
dilakukan melalui pemantapan sistem penyuluhan, pemantapan sistem pelatihan,
revitalisasi sistem pendidikan, standardisasi dan sertifikasi profesi pertanian serta
pemantapan sistem pelayanan administrasi dan pelayanan teknis.
Pemantapan dan revitalisasi sistem tersebut ditujukan untuk: 1)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 29
menumbuhkembangkan kelembagaan penyuluhan, kelembagaan petani dan
usaha tani; 2) meningkatkan kapasitas aparatur pertanian dan kompetensi non
aparatur pertanian melalui penyuluhan, pelatihan, pendidikan, standardisasi dan
sertifikasi profesi pertanian; 3) mengembangkan kelembagaan penyuluhan,
pelatihan, dan pendidikan pertanian baik milik pemerintah maupun masyarakat;
serta 4) meningkatkan kualitas pelayanan administrasi dan pelayanan teknis.
Penyuluhan Pertanian
Penyuluhan adalah pendidikan non formal diluar bangku sekolah untuk
melatih dan mempengaruhi petani (dan keluarganya) agar menerapkan praktek
maju dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, manajemen
penyimpanan dan pemasaran. Tujuannya tidak hanya memperhatikan pendidikan
dan percepatan penerapan praktek maju tertentu, tetapi juga mengubah
pandangan petani, sehingga ia lebih bersedia menerima dan atas prakarsanya
sendiri terus-menerus mencari cara untuk memperbaiki usaha taninya.
Penyuluhan adalah suatu sistem atau pelayanan yang diarahkan untuk membantu
masyarakat petani melalui proses pendidikan, memperbaiki tingkat kehidupan
mereka, serta meningkatkan pendidikan dan standar sosial kehidupan pedesaan
(Farquhar dalam Hawkins et al., 1982).
Penyuluhan sebagai pendidikan diluar sekolah untuk keluarga tani di
pedesaan, dengan cara belajar sambil berbuat sehingga mereka menjadi mau,
tahu dan mampu menyelesaikan sendiri masalah yang dihadapi secara baik,
menguntungkan serta memuaskan. Jadi penyuluhan adalah suatu bentuk
pendidikan yang cara, bahan dan sasarannya disesuaikan dengan keadaan,
kebutuhan, dan kepentingan sasaran. Karena sifatnya yang demikian itu maka
penyuluhan biasa juga disebut pendidikan non formal.
Tujuan penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku sasarannya. Hal
ini merupakan perwujudan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dapat
secara langsung maupun tidak langsung dengan indera manusia. Dengan
demikian penyuluhan merupakan rangkaian proses perubahan perilaku di
kalangan masyarakat agar mereka memiliki pengetahuan, kemauan dan
kemampuan serta memiliki keterampilan dalam melaksanakan perubahan-
perubahan demi tercapainya peningkatan produksi, pendapatan dan perbaikan
kesehjateraan masyarakat yang ingin dicapai melalui pembangunan pertanian.
Proses pendidikan dan dorongan yang dilakukan pada penyuluhan
pertanian ditujukan pada: (a) menimbulkan perubahan dalam hal pengetahuan,
kecakapan, sikap, dan motif tindakan kepada petani kearah tujuan yang telah
ditentukan; (b) menuntun, mempengaruhi pikiran, perasaan dan kelakuan para
petani kearah mencapai jarak dan tingkat semangat yang lebih baik; (c)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 30
menimbulkan dan memelihara semangat para petani supaya selalu giat
memperbaiki usahataninya; dan (d) membantu para petani agar mereka mampu
memecahkan dan menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya. Secara
lebih detail, Rivera (1988), menjelaskan bahwa penyuluhan pertanian terdiri atas
tiga komponen yaitu: (a) kinerja pertanian; (b) pembangunan masyarakat
pedesaan; dan (c) pendidikan non formal secara komprehensif untuk masyarakat
pedesaan.
Sistem kerja penyuluhan pertanian dalam melaksanakan tugas-tugas
pokoknya sebagai penyuluh pertanian baik berhadapan langsung dengan
khalayak sasaran (petani) maupun unsur-unsur pendukung lainnya seperti
aspirasi petani dan keluarganya, kebijaksanaan pembangunan pertanian, program
penyuluhan pertanian, sumber informasi teknologi, inovasi sosial ekonomi serta
pendekatan, metode, teknik penyuluhan pertanian harus mampu menampilkan
kelangsungan proses belajar-mengajar, yang dilandasi dengan interaksi,
komunikasi dan penampilan berbagai aspirasi dalam kegiatan usahatani (Adjid,
1994). Untuk itu diperlukan sistem penyuluhan yang partisipatif, dengan
komitmen bekerja berdasarkan kebutuhan petani dalam rangka meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan disatu sisi memberikan
kepastian hukum tentang peran penyuluhan diberbagai bidang (pertanian,
perikanan dan kehutanan), tetapi disisi lain juga menyisakan permasalahan
mendasar seperti penyiapan sumberdaya manusia penyuluh. Sumberdaya
manusia yang handal akan mampu meningkatkan kinerja pelayanan kepada
masyarakat. Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor kunci dalam
reformasi ekonomi, yaitu menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dan
memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam menghadapi persaingan
global yang selama ini terabaikan. Dalam kaitan itu ada dua hal yang penting
yang menyangkut kondisi sumberdaya manusia pertanian di daerah yang perlu
mendapatkan perhatian yaitu sumberdaya petugas dan sumberdaya petani. Kedua
sumberdaya tersebut merupakan pelaku dan pelaksana yang mensukseskan
program pembangunan pertanian.
Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam
memajukan pertanian di Sulawesi Tengah. Penyuluh yang siap dan memiliki
kemampuan dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya. Kinerja adalah
prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu
organisasi.
Kinerja seorang penyuluh dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu: (a)
bahwa kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 31
tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku seseorang
termasuk penyuluh pertanian; dan (b) bahwa kinerja penyuluh pertanian
merupakan pengaruh dari situasional di antaranya terjadi perbedaan pengelolaan
dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di setiap kabupaten yang menyangkut
beragamnya aspek kelembagaan, ketenagaan, program penyelenggaraan dan
pembiayaan (Jahi dan Leilani, 2006).
Kualifikasi yang harus dimiliki setiap penyuluh pertanian untuk
meningkatkan kinerjanya, adalah: (a) kemampuan untuk berkomunikasi yaitu
kemampuan dan keterampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan
masyarakat sasarannya; (b) sikap penyuluh antara lain sikap menghayati dan
bangga terhadap profesiny, sikap bahwa inovasi yang disampaikan benar-benar
merupakan kebutuhan nyata sasarannya, dan sikap menyukai dan mencintai
sasarannya dalam artian selalu siap memberi bantuan dan melaksanakan
kegiatan-kegiatan demi adanya perubahan-perubahan pada sasaran; (c)
kemampuan pengetahuan penyuluh, yang terdiri dari isi, fungsi, manfaat serta
nilai-nilai yang terkandung dalam inovasi yang disampaikan, latar belakang
keadaan sasaran; dan (d) karakteristik sosial budaya penyuluh (Berlo et al.,
1960).
Departemen Pertanian (2003), merinci standar kinerja seorang penyuluh
dapat diukur berdasarkan 9 (sembilan) indikator keberhasilan yakni: (a)
tersusunnya programa penyuluhan pertanian; (b) tersusunnya recana kerja
tahunan penyuluh pertanian; (c) tersusunnya data peta wilayah untuk
pengembangan teknologi spesifik lokasi; (d) terdesiminasinya informasi
teknologi pertanian secara merata; (e) tumbuh kembangnya keberdayaan dan
kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha; (f) terwujudnya kemitraan
pelaku utama dan pelaku usaha yang menguntungkan; (g) terwujudnya akses
pelaku utama dan pelaku usaha ke lembaga keuangan, informasi, dan sarana
produksi; (h) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan di
wilayahnya; dan (i) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama.
Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang kinerja penyuluh tersebut,
maka disimpulkan bahwa kinerja penyuluh adalah prestasi kerja yang dicapai
seorang penyuluh sesuai dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh.
Konsep Agribisnis
Agribisnis berasal dari akar kata agriculture yang berarti pertanian, dan
bisnis yang artinya usaha komersial. Jadi agribisnis merupakan bisnis dalam
bidang pertanian atau usaha pertanian yang dilaksanakan secara bisnis dengan
menggunakan prinsip-prinsip komersial.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 32
Banyak para pakar melontarkan pengertian agribisnisi dari sudut pandang
yang berbeda-beda, sehingga muncul pengertian agribisnis yang antara lain:
1 Agribisnis merupakan agroindustri, yaitu industri yang memproduksi alat-alat
pertanian, seperti: traktor, spreyer dan sebagainya.
2 Agribisnis merupakan usaha dibidang agroindustri hilir (industri yang
mengolah hasil-hasil pertanian).
3 Agribisnis merupakan gabungan antara agroindustri hilir dan hulu.
4 Agribisnis merupakan bisnis yang berskala besar di bidang usahatani
(misalnya: perkebunan)
Selain itu, Davis dan Goldberg dalam Masyhuri (1994) mengemukakan
agribisnis merupakan penjumlahan semua kegiatan yang berkecimpung dalam
pabrik dan distribusi alat/bahan untuk pertanian, proses produksi pertanian,
pengolahan, penyimpanan dan distribusi hasil ke konsumen.
Konsep agribisnis merupakan suatu konsep yang utuh mulai dari proses
produksi, pengolahan hasil, pemasaran, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan
pertanian. Pakar lain, seperti: Soekartawi (1991); Downey dan Erickson (1992);
Masyhuri (1992), agribisnis adalah satu kesatuan kegiatan besar yang meliputi
“salah satu atau keseluruhan” dari mata rantai produksi, pengolahan hasil, dan
pemasaran yang ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas. Maksud dari
“ada hubungannya dengan pertanian dalam arti luas” adalah kegiatan usaha
yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh
kegiatan pertanian.
Dari semua pengertian agribisnis tersebut, maka sistem agribisnis dapat
dikelompokkan atas 4 subsistem yakni (1) subsistem input, (2) subsistem
usahatani, (3) subsistem output, dan (4) subsistem penunjang. Subsistem Input
meliputi penyediaan sarana produksi, seperti: benih/bibit unggul bermutu, pupuk,
pakan, pestisida, obat-obatan, dan alat-alat pertanian. Subsistem Usahatani,
meliputi proses produksi sampai menghasilkan komoditas primer, seperti:
tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan. Subsistem
Output, meliputi: perlakuan prosesing dan pemasaran yaitu pendistribusian
produk atau penjualan secara borongan atau eceran kepada konsumen akhir.
Subsistem Penunjang yaitu semua jasa yang dibutuhkan untuk membantu
pelaksanaan ketiga subsistem lainnya, seperti: lembaga keuangan (Bank), para
peneliti (pakar), PPL dan pengusaha (Investor). Lebih jelasnya, ke-4 subsistem
itu terlihat pada Gambar 1.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 33
Swalayan Restoran Lembaga
Industri Bahan Pangan Perdagangan Dll
Meliputi :
1. Tanaman Pangan
2. Perkebunan
3. Kehutanan
4. Peternakan
5. Perikanan
SUBSISTEM
INPUT
Sarana Produksi:
bibit, pupuk, pakan,
alat/mesin, dll)
SUBSISTEM
USAHATANI
SUBSISTEM
PENUNJANG
SUBSISTEM
OUTPUT
(PROSESING)
Gambar 1. Sistem Agribisnis
Dari Gambar tersebut dapat diuraikan bahwa kegiatan Subsistem Input
(misalnya pabrik pupuk) dapat berjalan lancar jika ditunjang dengan dana (Bank),
dan kualitas pupuk semakin baik jika para peneliti (pakar di bidang pupuk)
bekerja secara profesional. Demikian halnya dengan subsistem lain, akan semakin
lancar aktivitasnya jika ditunjang dengan dana dan jasa lainnya yang terlibat
dalam pengembangan agribisnis. Jadi, keempat subsistem agribisnis hendaknya
bekerja sama untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan sampai dengan
tepat waktu di tangan konsumen akhir. Artinya, agribisnis merupakan sektor
perekonomian yang menghasilkan dan mendistribusikan masukan bagi pengusaha
tani dan memasarkan, memroses serta mendistribusikan produk usahatani ke
konsumen akhir.
Untuk mewujudkan hal itu semua, maka para pelaku agribisnis harus
membentuk kelompok dan kelompok itu hendaknya berbadan hukum agar mampu
mengakses lembaga keuangan. Hal itu bisa terlaksana karena tindakan para
pengusahatani cukup rasional dalam mengelola bisnisnya (Schultz, 1984).
Agribisnis terwujud, jika ketiga komponen (Pemerintah, Swasta, dan
Petani/Kelompoktani) saling mendukung dan menunjukkan peranannya masing-
masing, seperti:
1 Pemerintah (birokrasi); (a) memberikan fasilitas kredit dengan bunga rendah
kepada petani (kelompok tani), dan (b) memberikan bimbingan/penyuluhan
teknis dan ekonomis kepada petani (kelompok tani).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 34
2 Swasta (Pengusaha/Super market/ Swalayan); (a) mau bermitra dengan
petani (kelompok tani) dengan menganut prinsip saling tergantung, dan
saling menguntungkan, dan (b) mengutamakan untuk membeli produk
dalam negeri.
3 Petani (kelompok tani/Produsen); (a) membentuk kelompok tani yang
berbadan hukum, (b) mengadopsi dan menerapkan teknologi maju, dan (c)
menghasilkan produk sesuai dengan standar mutu (Antara, 2001).
Manajemen Sumberdaya Manusia dalam akselerasi diseminasi inovasi
teknologi melalui Konsep Agribsnis
Percepatan proses penyampaian dan adopsi teknologi pertanian kepada
pengguna, pada tahun 2005 diluncurkan Program Rintisan dan Akselerasi
Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani). Pelaksanaan Prima
Tani pada intinya adalah membangun suatu model percontohan Agribisnis
Industrial Pedesaan (AIP). Model AIP diimplementasikan dengan lima
pendekatan yaitu agroekosistem, agribisnis,wilayah, kelembagaan dan
pemberdayaan masyarakat. Tahapan pelaksanaan Prima Tani meliputi:
perencanaan, pembentukan organisasi pelaksana, sosialisasi program, pelaksanan
kegiatan, monitoring dan evaluasi serta koordinasi dan pembinaan. Selanjutnya
pelaksanaan kegiatan lapangan terdiri dari survei sumberdaya lahan dan air,
pelaksanaan PRA dan baseline survey, penyusunan rancang bangun laboratorium
agribisnis serta implementasi inovasi teknologi dan inovasi kelembagaan. Adopsi
inovasi teknologi dalam Prima Tani dilakukan secara langsung dan tidak langsung
yaitu melalui gelar teknologi, demplot, temu lapang, sekolah lapang, lokakarya
serta penyediaan media informasi dan klinik agribisnis (juknis, majalah, liptan,
lefalet, brosur, poster dll).
Konsep agribisnis industrial pedesaan juga dapat dilakukan melalui
pendekatan pengembangan kawasan agribisnis pertanian yang dirumuskan dari
partisipasi semua stakeholder pembangunan kawasan agribisnis pertanian di
Provinsi Sulawesi Tengah. Pelibatan stakeholder tersebut dimaksudkan untuk
mempercepat proses pencapaian tujuan kemandirian kawasan agribisnis pertanian.
Stakeholder yang dilibatkan adalah Perguruan Tinggi dan Balitbangda,
Pemerintah Daerah (BAPPEDA) dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP), Dinas atau SKPD terkait, Masyarakat (petani, peternak, nelayan,
pedagang, wiraswasta), dan Swasta atau Koperasi bidang pertanian.
Manajemen sumberdaya manusia melalui konsep ini dapat dilihat pada
Gambar di bawah yang menunjukkan bahwa dalam model terdapat Pusat Studi
Agribisnis Pertanian (PSAP) yang menjadi pusat pengembangan kawasan
sekaligus menjadi simpul jaringan kerjasama (networking) dari stakeholder
pembangunan kawasan agribisnis tersebut. Selain itu, ada empat aliran utama ke
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 35
PSAP yaitu aliran inovasi dari Perguruan Tinggi, aliran kebijakan dan kapital dari
dinas atau SKPD terkait, aliran kapital dan pelayanan dari Pemerintah Daerah, dan
aliran sarana produksi dan hasil dari dan ke Swasta/Koperasi. Selanjutnya, terjadi
banyak keterhubungan antara satu stakeholder dengan stakeholder lainnya,
sehingga model ini terlihat seperti “bumi” yang dalam hal ini PSAP yang
dikelilingi oleh beberapa “satelit”.
Gambar 2. Model Pengembangan Kawasan Pertanian Provinsi Sulawesi Tengah
(Dikutip dari Model Master Plan Pengembangan Peternakan NAD 2006-2011)
Adanya PSAP dalam model ini, selain merupakan pembeda dengan model
lain yang ada juga menunjukkan adanya kesinambungan pemanfaatan kinerja dari
pengembangan kawasan agribisnis, sekaligus menjadi pendorong utama
DINAS/SKPD TERKAIT
SULAWESI TENGAH
KELOMPOK
KOPERASI
SWASTA DI
SULAWESI
TENGAH
PETANI PETANI
PUSAT
STUDI
AGRIBISNIS
PERTANIAN
(PSAP)
PERGURUAN
TINGGI
DI SUL-TENG
PEMERINTAH DAERAH
Aliran
Inovasi
Aliran
sarana
produksi
dan hasil
Aliran kapital
dan pelayanan
Aliran
kebijakan
dan kapital
Kebijakan dan
kapital
Inovasi dan
rekomendasi
Laboratorium
Bisnis
Wirausaha
Kajian
Inovasi
Iklim Bisnis
Penumbuhan
Ekonomi
Sektor Riil
Kelembagaan
Bisnis
Kebijakan
Wilayah
Kebijakan
Sektoral
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 36
pertumbuhan. PSAP ini dirancang sebagai usaha pertanian seperti yang dilakukan
oleh petani, yang dikelola oleh petani, peternak dan nelayan yang memiliki
pendapatan harian diluar hasil pertaniannya. Namun, khusus PSAP dikelola oleh
petani maju, sedangkan di petani adalah dikelola oleh petani yang telah mendapat
sertifikat dari PSAP.
DAFTAR PUSTAKA
Adjid, D. A. 1994. Posisi Penyuluhan Pertanian Dalam Dinamika Respon
Usahatani terhadap Tantangan Kemajuan. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Antara, Made. 2001. Kelembagaan Pertanian Salah Satu Kunci Keberhasilan
Dalam Agribisnis. Disampaikan pada Pelatihan/Sosialisasi
Pembaharuan Kebijakan Pengelolaan Irigasi (PKPI) Propinsi Sulawesi
Tengah, di Palu, 9 –13 Nopember. 2001.
Berlo, D. K. 1960. The Process Of Communication Holt Rinehart And Winston
Inc. New York.
Departemen Pertanian. 2003. Pedoman Umum Penyuluhan Pertanian dalam
Bentuk Peraturan Perundangan Tentang Jabatan Fungsional
Penyuluhan Pertanian dan Angka Kreditnya. Jakarta: Badan
Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian.
Jakarta.
Downey, W.D dan S.P. Erickson. 1992. Manajemen Agribisnis. Edisi Kedua.
Erlangga. Jakarta.
Hawkins, H. S., A. M. Dunn, dan J. W. Cary. 1982. A Course Manual in
Agricultural and Livestock Extension. Volume 2: The Extension
Process. AUIDP. Canbera.
Jahi, Amri dan Ani, Leilani. 2006. Kinerja Penyuluh Pertanian di Beberapa
Kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan. Vol. 2 No.2.
Masyhuri. 1992. “Konsep dan Peranan Agribisnis Indonesia”. Dalam Primordia
Edisi VII 1992.
Masyhuri. 1994. “Pengembangan Agribisnis di Indonesia”. Dalam Empirika No.
14/1994.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 37
Mayunar, Zuraida Yursak dan Ratna Wulandari, 2011. PRIMA TANI : Terobosan
Diseminasi Inovasi Teknologi Pertanian “Adanya sinkronisasi,
koordinasi, intensif, kesungguhan dan keberlanjutan membuat
pendapatan petani dan perekonomian wilayah menggeliat" BPTP
Banten.
Rivera, W. M. 1988. “An Overview of Agricultural Extension Systems”. Di dalam
Teknologi System for Small Farmers Issues and Options. Diedit
oleh Abbas M. Kesseba. Westview Press. London.
Schultz. 1984. Agricultural Development in the Third World. The Johns
Hopkins University Press. Baltimore and London.
Soekartawi, 1991. Agribisnis, Teori dan Aplikasinya. Rajawali Pers. Jakarta
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 38
Kebijakan Anggaran Mendukung pembangunan Pertanian di Sulawesi
Tengah
Aminuddin Ponulele
DPRD Provinsi Sulawesi Tengah
Abstrak
Sektor pertanian memilki peran penting dalam pembangunan nasional dimana
hamper 80 % bangsa ini mata pencahariannya bergerak disektor pertanian. Hal ini
menjadi kekautan besar dalam mementukan arah kebijakan pembanguanan pertanian
kedepan. Sebagai pemerintah daerah memandang penting bahwa pembanguan sektor
pertanian harus menjadi sector andalan di Sulawesi Tengah karena menjadi primadaona
karena disampiang penghasil devisa Negara juga dapat meningkatkan taraf hidup para
masyarakat petani yang ada di wilayah Propinsi Sulawesi Tengah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci, Kebijakan Anggaran sector pertanian
Pendahuluan
Pembangunan pertanian merupakan suatu sector yang sangat penting untuk
dikembangkan menginga thampir 80% rakyat Indonesia bermata pencaharian
sebagai petani.Jumlah masyarakat yang bergerak disektor pertanian ini bias
menjadi suatu kekuatan besar bilamana bias menentukan arah kebijakan pertanian
yang jelas. Tentu saja sector ini harus mendapat perhatian pemerintah dan menjadi
skalaprioritas utama sebagai sektor yang dapat menjadi primadona bagi
penghasilan devisa Negara sekaligus dapat meningkatkan taraf hidup para petani.
Bagi pemerintah daerah Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya Legislatif
memandang bahwa pembangunan pertanian di provinsi Sulawesi Tengah harus
menjadi sektor Andalan mengingat bahwa potensi dan lahan pertanian di Provinsi
Sulawesi Tengah masih sangat luas dan terbuka lebar untuk dikelola secara
modern sehingga menghasilkan produk - produk Unggulan yang dapat menjadi
kebanggaan masyarakat serta pemerintah yang pada akhirnya menjadi sumber
penghasilan masyarat. Namun demikian, untuk mencapai hal tersebut, tantangan
dan masalah di Bidang pertanian masih sangat banyak dan belum bisa diatasi baik
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 39
secara nasional maupun daerah. Beberapa masalah dan tantangan yang masih kita
hadapi dewasa ini adalah :
Impor hampir semua produk pertanian
Asean Economic Community (AEC 2015).
Daya saing produk pertanian
Kelembagaan
Arah Kebijakan Pembangunan Pertanian di Sulawesi Tengah
Pada dasarnya, pembangunan pertanian nasional memerlukan arah kebijakan
yang komprehensif dan terintegrasi sebagai satu lingkungan kebijakan (policy
environment). Kebijakan Kementerian Pertanian dan sinergi lintas sektor pada
tataran pemerintah pusat diintegrasikan dengan kebijakan pemerintah daerah di
level messo.Pada konteks ini, telah diupayakan implementasi mekanisme
perencanaan program pembangunan pertanian yang terdesentralisasi
(Decentralized Action Plan) sejalan dengan kondisi otonomi daerah saat ini,
termasuk dengan telah mencermati dinamika perubahan iklim. Integrasi kebijakan
ini lebih lanjut disinergikan dengan kebutuhan masyarakat di level mikro dengan
mencermati kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat, serta in-formal rules
berupa norma-norma yang berlaku dalam relasi informal masyarakat lokal.
Arah dan tren ekonomi dunia yang bergerak dan terus berkembang di
kawasan Asia, ekonomi Indonesia yang memperlihatkan kemajuan di kawasan
Asia dan ASEAN sehingga diprediksikan bisa menjadi salah satu kekuatan
ekonomi dunia. Berbagai tantangan yang didapati tersebut tidak bisa dihindari
karena akan kita hadapi sebagai suatu Negara yang terlibat dalam kawasan
maupun terlibat dalam percaturan dunia. Harus ada suatu kebijakan yang dapat
mengatasi serta menghadapi tantangan tersebut bilamana kita ingin dihargai
dengan Negara-negara lainnya.
Dengan demikian, dalam konteks Provinsi Sulawesi Tengah, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah sebagai salah satu fungsi Legislatif yakni penggaran,
Maka sudah sepatutnya legislative memberikan perhatian dan dukungan pada
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 40
pembangunan pertanian di Provinsi Sulawesi Tengah. Dukungan ini mutlak
dilakukan dengan berbagai pertimbangan dan alasan bahwa Luas wilayah Provinsi
Sulawesi Tengah dan masih tersedianya lahan pertanian produktif memungkinkan
tumbuh sebagai daerah penghasil komoditi unggulan pertanian dan salah satunya
adalah Kabupaten SIGI. Dengan pertimbangan dan berdasarkan pada tugas
wewenang legislatif, maka legislative menetapkan anggaran dan membuat
legislasi/peraturan yang berkaitan dengan bidang pertanian. dukungan ini
diharapkan mampu menjadikan pertanian sebagai sektor unggulan dan primadona
kawasan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 41
Jarak Pagar Dan Potensi Lahan Untuk Pengembangannya Di Kutai Barat
Munawwarah T. dan M. Hidayanto
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur
Jl. PM. Noor-Sempaja, Samarinda
Email: [email protected] dan [email protected]
Abstrak
Minyak biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) sangat prospektif untuk menggantikan
minyak diesel. Kalimantan Timur dengan luas wilayah sekitar 21 juta ha mempunyai
daratan sekitar 17 juta ha, memiliki lahan kering pada topografi datar hingga berbukit
(3%-30%) sekitar 10 juta ha, dan lahan pada topografi bergunung (>30%) 7 juta ha.
Dari luasan tersebut terdapat 7,2 ha yang dapat dikembangkan untuk tanaman jarak
pagar (sekitar 3,5 juta ha sangat sesuai, sekitar 0,7 juta ha sesuai, dan sekitar 2,9 juta
ha sesuai marginal). Potensi lahan yang sesuai untuk pengembangan jarak pagar di
Kabupatan Kutai Barat yang termasuk dalam klas sangat sesuai (S-1) seluas 44.389 ha,
klas sesuai (S-2) 73.603 ha, dan klas kurang sesuai/sesuai marginal (S-3) 4.276 ha. Pada
tahun 2008 telah dimulai pengembangan budidaya tanaman jarak pagar varietas IP-1P
di Kabupaten Kutai Barat seluas 2 ha dan sampai sekarang telah berkembang di 10
kecamatan.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci : Jatropha curcas L., potensi lahan, Kutai Barat
PENDAHULUAN
Pengembangan BBN (Bahan Bakar Nabati) telah ditetapkan oleh
pemerintah dengan cara pembentukan desa mandiri energi, mengembangkan
bahan tanaman yang dapat dimanfaatkan untuk BBN sesuai potensi daerahnya,
dan pembentukan zona-zona BBN khusus. Untuk mendukung program tersebut
pemerintah telah mengeluarkan Perpres No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional yang menetapkan bahwa konsumsi energi nasional pada tahun
2025 akan dipenuhi dari sumber BBN lebih dari 5%. Kebijakan tersebut
ditindaklanjuti oleh Inpres No.1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Cair. Beberapa jenis tanaman yang
mengandung minyak dapat dimanfaatkan sebagai sumber BBN.
Cadangan minyak bumi Indonesia sebagai sumber energi semakin
berkurang sedangkan konsumsi BBM untuk transportasi, listrik, dan kebutuhan
rumah tangga semakin naik, dan diikuti meningkatnya harga minyak bumi dunia.
Oleh karenanya sudah saatnya dikembangkan sumber energi alternatif terbarukan
berbahan baku minyak nabati, yaitu biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar
dari minyak nabati yang memiliki sifat menyerupai minyak diesel/solar.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 42
Komoditas perkebunan penghasil minyak nabati di Indonesia dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku biodiesel cukup banyak, antara lain: minyak
kelapa, kelapa sawit, kemiri, kacang tanah, dan jarak pagar. Salah satu sumber
minyak nabati sangat prospektif yang telah mendapat perhatian untuk diteliti dan
dikembangkan di daerah tropika adalah tanaman jarak pagar (Jatropa curcas L).
Minyak jarak pagar tidak termasuk dalam kategori minyak makan, sehingga
pemanfaatan jarak pagar sebagai bahan baku biodiesel tidak akan mengganggu
stok minyak makan nasional.
Minyak jarak pagar dihasilkan dengan mengekstrak biji keringnya baik
secara mekanis maupun kimiawi. Minyak jarak pagar mempunyai komposisi
trigliserida yang mirip dengan minyak kacang tanah. Kadar minyak jarak pagar
yang terkandung dalam bijinya (whoole seed) adalah 30-40%, sedangkan daging
bijinya (kernel) 40-50% dengan potensi produksi 1.590 kg minyak/ha/th
(Soerawidjaja et al., 2005 dalam Hadipernata et al., 2006). Berbeda dengan
minyak nabati lainnya, komponen terbesar minyak jarak pagar adalah trigliserida
yang mengandung asam lemak oleat dan linoleat (Hambali, et al., 2006). Selain
daging bijinya yang dapat dipres untuk menghasilkan minyak, bagian tanaman
yang lain seperti tempurung biji, daun, dahan, ranting, dan kulit buah dapat diolah
menjadi arang aktif, kompos, dan sabun.
Pemanfaatan minyak jarak pagar sebagai bahan bakar kompor dan juga
minyak lampu untuk keperluan rumah tangga diharapkan dapat mengurangi
ketergantungan pada penggunaan minyak tanah yang harganya diduga akan terus
meningkat dan akan tidak terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah dan
menengah. Pemanfaatan minyak jarak pagar diharapkan juga dapat mengurangi
penggunaan kayu bakar untuk keperluan rumah tangga khususnya di pedesaan
dapat berdampak buruk terhadap kelestarian hutan dan lingkungan.
Di tingkat pedesaan, metode transesterifikasi (salah satu tahap dalam
pengepresan biji jarak) masih sulit dilakukan oleh masyarakat awam karena
memerlukan teknologi dan peralatan yang cukup mahal. Oleh karena itu perlu
pendekatan yang berbeda supaya masyarakat awam dapat memanfaatkan minyak
jarak pagar secara lebih mudah. Salah satu metode yang dilakukan dengan
menggunakan kompor bertekanan (kompor yang biasa dijual dipasar tradisional)
yang menggunakan minyak jarak pagar dicampur dengan minyak tanah sebagai
bahan bakarnya. Hasil penelitian Hadipernata et al, (2006) menunjukkan bahwa
perbandingan minyak jarak dan minyak tanah dengan perbandingan 62,5%:37,5%
akan memberikan warna api biru dengan sedikit warna merah, dan masih menyala
dengan lama waktu lebih dari 55 menit. Selain itu jumlah asap lebih sedikit
dibandingkan jika menggunakan100% minyak tanah. Komposisi 62,5%:37,5%
dapat mendidihkan 1 liter air dalam jangka waktu 5,5 menit. Makalah ini akan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 43
menguraikan tentang jarak pagar dan potensi lahan untuk pengembangannya di
Kalimantan Timur khususnya di Kabupaten Kutai Barat.
Tanaman Jarak Pagar
Jarak pagar (Jatropha curcas L.) merupakan jenis tanaman semak atau
pohon yang tahan terhadap kekeringan sehingga tahan hidup di daerah dengan
curah hujan rendah. Tanaman dari keluarga Euphorbiaceae ini banyak ditemukan
di Afrika Tengah dan Selatan, Asia Tenggara dan India. Jarak pagar dapat
diperbanyak dengan stek. Sesuai dengan namanya, tanaman ini awalnya secara
luas ditanam sebagai pagar untuk melindungi lahan dari serangan ternak. Jarak
pagar merupakan tanaman sukulen yang meranggas selama musim kemarau.
Tanaman ini sering digunakan sebagai pengendali erosi ini beradaptasi dengan
baik di daerah yang gersang dan agak tandus.
A. Budidaya Jarak Pagar
1. Syarat Tumbuh
Pertumbuhan jarak pagar sangat cepat. Waktu yang paling baik untuk
menanam jarak pagar adalah sebelum musim hujan. Tanaman jarak pagar
tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian sekitar 500 m di atas permukaan
laut (dpl). Tanaman ini dapat tumbuh pada curah hujan 300 - 2.380 mm/tahun
dengan curah hujan optimum 625 mm/tahun. Tanah gembur sangat sesuai
untuk tanaman jarak pagar sehingga pertumbuhan kurang baik jika ditanam
ditanah yang padat (liat). Temperatur rata - rata yang dibutuhkan jarak pagar
adalah 20-28°C. Tanaman ini dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, antara
lain di tanah berbatu, tanah berpasir, tanah liat, dan bahkan di tanah yang
kurang subur (Hambali et al., 2006).
2. Perbanyakan Tanaman
a. Biji
Perbanyakan tanaman jarak pagar bisa dilakukan dengan biji dan
setek. Biji jarak pagar tidak dapat disimpan terlalu lama. Jika disimpan
lebih dari 15 bulan, daya berkecambahnya akan kurang dari 50 %.
Perkecambahan biji di persemaian memerlukan waktu 10 hari. Jika
perbanyakan menggunakan biji, perakaran tanaman yang akan dihasilkan
cenderung kuat. Perbanyakan dengan biji waktu panen lebih lama dari
pada setek, karena memerlukan waktu kecambah sekitar 1 minggu.
b. Setek
Perbanyakan tanaman jarak pagar dengan setek dapat dilakukan
menggunakan stek dengan panjang sekitar 30 cm batang tua. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan setek 30 cm
menghasilkan lebih banyak akar dan daya tahannya lebih baik daripada
setek 15 cm. Perbanyakan menggunakan setek, sistem perakarannya lemah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 44
atau dangkal, tetapi tanaman lebih cepat dipanen daripada ditanam dengan
biji (Hambali et al., 2006).
3. Penanaman
Sebagai tanaman pagar atau untuk konservasi tanah, jarak tanam yang
dianjurkan adalah 15-25 cm diantara satu atau dua baris tanaman. Sedangkan
untuk usaha perkebunan (monokultur), terdapat beberapa alternatif jarak
tanam yang dianjurkan, yaitu 3 X 3 m atau 1.111 batang per hektar; 2,5 X 2,5
m atau 1600 batang per hektar; 2 X 2 m atau 2.500 batang per hektar; 2 X 1,5
m atau 3.333 batang per hektar; 1,5 X 1,5 m atau 4.444 batang per hektar; dan
jarak tanam 1 X 1m atau 10.000 batang per hektar. Pada jarak tanam 1 X 1m
akan menghasilkan ketinggian tanaman yang maksimal. Pada jarak tanam 1,5
X 1,5 m akan menghasilkan percabangan tanaman yang maksimal, sedangkan
jarak tanam 1,5 X 2 m akan menghasilkan produksi yang maksimal.
Jarak tanam yang lebar menyebabkan tanaman dapat berbuah lebih
banyak, sedangkan pada jarak tanam yang lebih rapat harus dilakukan
penjarangan. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh kesuburan tanah dan
curah hujan. Jika kesuburan tanah rendah, pertumbuhan tanaman sangat
bergantung pada ketersediaan air.
4. Pemeliharaan
Pemangkasan tanaman jarak pagar perlu dilakukan agar percabangannya
tumbuh banyak dan rimbun. Jika dikembangkan untuk perkebunan, selain
pemangkasan juga dilakukan penjarangan. Penjarangan diperlukan untuk
mengurangi terjadinya kompetisi diantara tanaman yang akan digunakan
sebagai sumber bibit atau setek. Pemangkasan dilakukan secara periodik.
5. Pemupukan
Tanaman jarak pagar memerlukan pupuk NPK. Hasil maksimal akan
diperoleh jika ditambahkan pupuk yang mengandung kalsium, magnesium
dan sulfur. Apabila tanah kekurangan nitrogen bunga akan gugur dan
produksi biji akan terganggu. Jika ditanam langsung menggunakan biji atau
persemaian dari polybag, direkomendasikan menggunakan pupuk Urea 20
gram, pupuk super fosfat (SP) 120 gram, dan pupuk KCl 16 gram.
Pemupukan dilakukan 2 kali setahun dengan 150 kg SP pada dosis pertama,
dan ditingkatkan sebesar 10 % tiap tahunnya serta dengan 180 kg NPK pada
dosis kedua.
6. Pembungaan dan Pembuahan
Jarak pagar termasuk tanaman dengan bunga uniseksual. Kadang-
kadang muncul bunga hermaprodit. Bentuk bunganya mirip cawan yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 45
berwarna hijau kekuningan. Penyerbukan dilakukan oleh serangga.
Pembentukan buah memerlukan waktu 90 hari, dari pembungaan sampai biji
masak. Bunga betina 4-5 kali lebih banyak daripada bunga jantan. Produksi
bunga dan biji dipeganruhi oleh curah hujan dan unsur hara. Kekurangan
unsur hara akan menyebabkan produksi biji berkurang. Jika dalam setahun
hanya terdapat satu kali musim hujan, pembuahan biasanya hanya terjadi
sekali setahun, tetapi jika tanaman diberi pengairan, pembuahan akan terjadi
sampai tiga kali dalam setahun. Buah jarak pagar berbentuk bulat, mempunyai
tiga rongga yang panjangnya 2 cm dan tebalnya 1 cm, berwarna kuning dan
akan berubah menjadi hitam jika sudah matang. Setelah tanaman berumur
lima tahun, tanaman dapat menghasilkan 4-12 ton biji/ha per tahun dengan
kadar minyak 40 %.
7. Panen
Panen buah dilakukan setelah biji masak, yaitu sekitar 90 hari setelah
pembungaan. Biji masak ditandai dengan kulit buah berwarna kuning
kecoklatan kemudian menjadi hitam. Pemanenan dilakukan terhadap biji yang
sudah berwarna hitam. Biji yang sudah dipanen sebaiknya disimpan dalam
suatu wadah yang rapat agar peningkatan kadar air pada biji tidak terjadi
sehingga dapat mencegah kerusakan biji.
8. Pengolahan
Biji yang telah dipanen dikeringanginkan kemudian dikupas untuk
memisahkan biji dari kulitnya. Biji yang telah dikupas langsung dipecah untuk
memisahkan tempurung biji dengan daging biji, kemudian dikeringkan dan
dipres menggunakan mesin pengepres untuk mendapatkan minyak. Minyak
yang masih kotor dimurnikan. Untuk menghasilkan biodiesel, minyak yang
telah dimurnikan dicampur dengan metanol guna mengurangi viskositas
(kekentalan) dan meningkatkan daya pembakaran. Biji jarak yang telah
dipanen harus segera diolah, karena penyimpanan akan menurunkan kadar
minyak biji.
B. Manfaat Tanaman Jarak Pagar
Semua bagian tanaman jarak pagar telah digunakan sejak lama dalam
pengobatan tradisional. Minyaknya digunakan sebagai pembersih perut
(pencahar), mengobati penyakit kulit, dan untuk mengobati rematik. Sari pati
cairan rebusan daunnya digunakan sebagai obat batuk dan antiseptik pasca
melahirkan. Bahan yang berfungsi sebagai penyembuhan luka dan peradangan
juga telah diisolasi dari bagian tanaman jarak pagar. Berbagai ekstrak dari biji
dan daun jarak pagar menunjukkan sifat antimoluska, antiserangga dan antijamur.
Phorbol ester dalam jarak pagar diduga merupakan salah satu racun utamanya.
Proses bioteknologi yang berhubungan dengan pemanfaatan jarak pagar,
antara lain perbaikan genetika tanaman, pengendalian pestisida biologis, ekstraksi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 46
minyak dengan enzim, fermentasi anaerob dari bungkil, pengisolasian bahan
antiperadangan dan enzim pereda luka (Tabel 1).
Tabel 1. Proses bioteknologi yang terlibat dalam pemanfaatan jarak pagar
Proses/produk Prinsip Referensi
Perbaikan dan perbanyakan
Genetika yang cepat
Kultur jaringan Machado et al., 1997
Pengendalian hama biologi Jamur Enthomopathogenous Grimm & Guharay,
1997
Ekstraksi minyak secara
Enzimatis
Protease, (hemi) Selulosa Winkler et al., 1997
Detoksifikasi biji Fermentasi dengan
R. oryzae
Trabi et al., 1997
Produksi biogas Fermentasi anaerob bungkil
Pengepresan dan kulit buah
Staubmann et al., 1997
Bahan anti peradangan Diisolasi dari daun Staubmann et al., 1997
Bahan penyebuhan luka Protease curcain dengan
getah
Nath & Dutta, 1999
Sumber: Gubitz et al., 1999
C. Potensi Lahan Untuk Pengembangan Jarak Pagar di Kutai Barat
Menurut Suharta et al. (2001) Kalimantan Timur yang terletak antara
113044’ BT, 4
024’ LU dan 2
025’ LS memiliki luas sekitar 21 juta ha, dengan luas
daratan ±17 juta ha. Penyebaran lahan kering di provinsi ini (sumber peta
eksplorasi 1:1.000.000), sebagian besar berada pada topografi datar hingga
berbukit (3% - 30%) sekitar 10 juta ha, dan bergunung (>30%) sekitar 7 juta ha.
Dari luas tersebut menurut Mulyani et al, (2006), terdapat sekitar 7,2 juta ha
potensial untuk pengembangan jarak pagar, diantaranya sekitar 3,5 juta ha sangat
sesuai, 0,7 juta ha sesuai, dan 2,9 juta ha sesuai marginal.
Pada tahun 2007 telah dilakukan kerjasama BPTP Kaltim dengan Dinas
Pertanian Kabupaten Kutai Barat dalam rangka melakukan pemetaan kelas
kesesuaian lahan di 10 Kecamatan dan uji adaptasi provenan unggul jarak pagar
yang direkomendasikan untuk wilayah iklim basah, yaitu IP-1P yang berasal dari
KIJP Pakuwon. Hasil kegiatan menunjukkan bahwa IP-1P sangat sesuai ditanam
di Kabupaten Kutai Barat yang berada pada ketinggian 202 m dpl, jenis tanah
Andisol (Suharta, et al., 2000), dengan zona agroklimat B2 rata-rata curah hujan
2.379 mm/th (BPTP Kaltim, 2001). Kadar minyak yaitu 22,99 % (biji kering).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 47
Tabel 2. Kelas Kesesuaian Lahan Tanaman Jarak Pagar pada 10 Kecamatan di Kutai
Barat
Simbol Kelas Faktor Pembatas Luas
Ha %
Lahan sesuai
S1 Sangat sesuai 44.389 19,23
S2 oa
Cukup sesuai
Ketersediaan oksigen 1.026 0,44
S2 eh Bahaya erosi 113.190 49,04
S2 oa/rc Ketersediaan oksigen
dan media perakaran
60.654 26,28
S3 oa Sesuai marginal
Ketersediaan oksigen 4.080 1,77
S3 rc Media perakaran 196 0.08
Lahan tidak sesuai
N eh/tc Tidak sesuai Bahaya erosi dan
temperatur udara
6.824 2,96
Penggunaan Lainnya (X)
X2 Pemukiman 53 0,02
X3 Tubuh Air 422 0,18
Jumlah 230.834 100
Sumber: Munawwarah dan Mastur, 2008
PENUTUP
1. Arah kebijakan pengembangan tanaman jarak pagar sebagai tanaman
penghasil bahan bakar nabati adalah tersedianya sumber energi alternatif dari
biofuel yang dilakukan secara berkelanjutan, terdesentralisasi dan terintegrasi
antara kegiatan on farm dan off farm melalui pemanfaatan sumber daya yang
efisien, dan didukung dengan inovasi teknoloigi.
2. Kalimantan Timur memiliki luas sekitar 21 juta ha dengan luas daratan ±17
juta ha. Khusus di Kabupaten Kutai Barat, potensi lahan yang sesuai untuk
pengembangan jarak pagar yang termasuk dalam klas sangat sesuai (S-1)
seluas 44.389 ha, klas sesuai (S-2) 73.603 ha, dan klas kurang sesuai/sesuai
marginal (S-3) 4.276 ha, sehingga total luas lahan di Kutai Barat yang
potensial untuk pengembangan jarak pagar adalah sekitar 119.992 juta ha.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 48
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kaltim. 2001. Laporan Tahunan.
Hadipernata, Mulyana, Djayeng Sumangat dan Wisnu Broto. 2007. Pemanfaatan
Minyak Jarak Pagar (Jatropa curcas L.) sebagai Bahan Bakar Pengganti
Minyak Tanah dalam Prosiding Lokakarya-II Status Teknologi Tanaman
Jarak Pagar (Jatropa curcas L.). Bogor, 29 Nopember 2006. Badan
Litbang Pertanian. Jakarta.
Hambali, E., Ani Suryani, Dadang, Hariyadi, Hasim Hanafie, Iman K.
Reksowardojo, Mira Rivai, M. Ihsanur, Prayogo Suryadarma, Soekisman
Tjitrosemito, Tatang H. Soerawidjaja, Theresia Prawitasari, Tirto Prakoso,
dan Wahyu Purnama. 2006. Jarak Pagar Tanaman Penghasil Biodiesel.
Penebar Swadaya. Jakarta.
Mulyani, A., F. Agus, dan D. Allorerung. 2006. Potensi Sumberdaya Lahan untuk
Pengembangan Jarak Pagar (Jatropha curcas L) di Indonesia dalam Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Volume 25 no:4. Badan Litbang.
Deptan. p.130-138.
Munawwarah, T dan Mastur. 2008. Kajian Produksi Jarak Pagar (Jatropa Curcas
L.) di Kutai Barat dengan Berbagai Jarak Tanam. Prosiding: Lokakarya
Nasional IV, Akselerasi Inovasi Teknologi Jarak Pagar menuju
Kemandirian Energi. Malang.
Suharta, Siswanto, dan BH. Prasetyo. 2001. Sumberdaya Lahan Pulau Kalimantan
dalam Mendukung Pengembangan Wilayah. Seminar Hasil Penelitian
Puslitbangtanak. Bappeda Kalimantan Timur. Samarinda.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 49
Pemberdayaan Petani Melalui Inovasi Teknologi Pemanfaatan Limbah
Kakao Dan Ternak Sapi Di Kab. Parigi Moutong Sulawesi Tengah
Muh Amin dan Soeharsono
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No. 62 Biromaru
Abstrak
Luas pertanaman kakao di Sulawesi Tengah mencapai 195.725 ha, namun dari sisi
produksi terjadi penurunan selama beberapa tahun terakhir dimana pada tahun 2011
produksi kakako dari 186.875 ton menjadi 168.869 ton tahun 2012 terjadi penurunan
produksi sekitar 9%. Sementara untuk ternak sapi terjadi peningkatan populasi selama
dua tahun terakhir dimana pada tahun 2011 populasi sapi mencapai 211.769 ekor
menjadi 242.564 ekor pada tahun 2012, terjadi peningkatan populasi sekitar 8,7%.
Tujuan Kegiatan ini adalah : Mendiseminasikan inovasi teknologi berbasis integrasi
tanaman kakao dan ternak sapi, mempercepat dan memperluas adopsi inovasi teknologi
kakao dan ternak sapi di wilayah Kec. Sausu Kab. Parimo. Hasil yang dicapai dari
pemanfaatkan limbah tanaman kakao sebagai pakan tambahan memberikan
pertumbuhan bobot badan harian sapi sebesar 0,708 kg/ekor/hari. Sedangkan hasil
analisis pendapatan atas biaya pakan pada pemeliharaan sapi sebesar Rp. 643.249 dan
R/C sebesar 2,04. Sementara pendapatan pupuk organik dari limbah ternak sapi sebesar
Rp. 1.547.500 dengan R/C sebesar 2,19
-----------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Pemberdayaa, Inovasi teknologi kakao dan ternak sapi.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam mendukung kebijakan pembangunan pertanian, Badan Litbang
Pertanian terus mengembangkan berbagai program diseminasi hasil litkaji guna
memacu adopsi dan penerapan inovasi teknologi. Sugiarto, 2003. Menyatakan
bahwa keberhasilan pembangunan pertanian selalu diikuti oleh dukungan
kebijakan yang menyangkut penerapan teknologi, penggunaan sarana produksi,
jenis komoditas dan harga produk komoditas yang bersangkutan. Sejalan dengan
laju pembangunan pertanian yang dinamis seperti saat ini, pendekatan
penyampaian inovasi yang proaktif, progresif, kreatif dan visioner serta mampu
mengakomodasi perkembangan teknologi informasi terkini, menjadi sebuah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 50
keharusan. Mardikanto (1992) mengemukakan bahwa kecepatan adopsi inovasi
oleh seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: umur, tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan usahatani, ukuran luas lahan, status kepemilikan
lahan, perilaku masyarakat, keberanian mengambil resiko, aktivitas mencari ide
atau informasi baru, dan sumber informasi yang digunakan. Penerapan inovasi
teknologi merupakan salah satu kunci utama dalam pemanfaatan sumberdaya
petani yang terbatas sesuai kondisinya masing-masing. Dengan penerapan inovasi
teknologi tepat guna diharapkan dapat dicapai peningkatan produksi,
produktivitas, peningkatan efisiensi dan mutu produk yang selanjutnya akan
membawa kepada peningkatan nilai tambah agribisnis bagi kesejahteraan
masyarakat petani.
Propinsi Sulawesi Tengah memiliki potensi pertanian tanaman kakao
sebagai salah satu komoditas perkebunan unggulan yang berperan penting bagi
perekonomian daerah, maupun sebagai sember pendapatan petani dalam
memenuhi kebutuhan keluarganya. Luas areal pertanaman kakao di Sulawesi
Tengah mencapai 282.540 ha (16,27%) luas tanam kakao Nasional (terbesar)
dengan produksi 168.738 ton (17,97%) total produksi Nasional terbesar ke-2
setelah Sulawesi Selatan (Kementerian Pertanian, 2013). Burhanuddin, (2001)
menyatakan bahwa kulit biji kakao merupakan salah satu limbah dari buah kakao
yang berpotensi sebagai pakan sumber protein atau energi. Kulit biji kakao
mengandung protein kasar 19,27% dan energi bruto 4709 kkal/kg. Namun akhir-
akhir ini produksi kakao petani terjadi penurunan dimana pada tahun 2011
produksi kakako dari 186.875 ton menjadi 168.869 ton tahun 2012 (9%).
Sementara untuk ternak sapi terjadi peningkatan populasi selama dua tahun
terakhir dimana pada tahun 2011 populasi sapi mencapai 211.769 ekor menjadi
242.564 ekor pada tahun 2012, meningkat sekitar 8,7% (BPS Sulawesi Tengah
2013). Rendahnya produktivitas kakao ditingkat petani di akibatkan oleh kurang
optimalnya pemeliharaan tanaman kakako, serangan hama/penyakit serta
kurangnya pemupukan yang dilakukan oleh petani. Oleh karena itu dibutuhkan
inovasi teknologi yang mudah murah dan terjangkau oleh petani.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 51
Terkait dengan penyediaan pupuk, maka sapi dapat berfungsi sebagai
"pabrik kompos". Seekor sapi dapat menghasilkan kotoran sebanyak 8-10 kg/hari
yang apabila diproses akan menjadi 4-5 kg pupuk organik. Potensi pupuk organik
ini diharapkan dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mernpertahankan
kesuburan lahan, melalui siklus unsur hara secara sempurna (Mariyono at all.
2010 ). Petani dapat memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk organik
untuk pertanamannya sedangkan limbah tanaman dapat dimanfaatkan
sebagai pakan ternak yang bernilia gizi tinggi. Kariyasa dan Kasryno (2004),
menyatakan bahwa usaha ternak sapi akan efisien jika manajemen pemeliharaan
diintegrasikan dengan tanaman sebagai sumber pakan bagi ternak itu sendiri.
Ternak sapi menghasilkan pupuk untuk meningkatkan produksi tanaman,
sedangkan tanaman dapat menyediakan pakan bagi ternak itu sendiri.
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan di wilayah Kec. Sausu, Kab. Parigi Moutong yang
merupakan salah satu sentra pengembangan kakao dan ternak sapi. Kegiatan ini
berlangsung sejak Agustus hingga Desember 2013. Setiap implementasi inovasi
teknologi diawali dengan penyampaian materi kemudian dilanjutkan dengan
praktek lapang terhadap inovasi teknologi yang diintroduksikan agar petani benar-
benar dapat memahaminya tidak hanya dari aspek kongnitifnya tetapi juga aspek
afektif dan phsikomotoriknya. Penyampaian inovasi teknologi dilakukan secara
partisipatif dengan metode sekolah lapang (SL). Dari setiap tahapan kegiatan
dilakukan pengumpulan data baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data
yang umumnya bersifat kualitatif dikumpulkan melalui wawancara semistruktur,
Focus Group Discussion (FGD) dan pengamatan langsung dilapangan
(observasi). Data dianalisis secara deskriptif melalui tabular analisis dan
intrepetatif. Untuk mengetahui bobo badan harian sapi meggunakan rumus Cole
1996, sementara kelayakan teknologi dilakukan analisis R/C ratio.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 52
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Wilayah
Kecamatan Sausu Kabupaten Parigi Moutong memiliki luas wilayah 410,32
km2 dengan ketinggian 16 m dari permukaan laut. Secara geografis, wilayah
Kecamatan Sausu berbatasan dengan Kecamatan Balinggi dan Teluk Tomini di
sebelah utara, Teluk Tomini di sebelah timur, Kebupaten Poso di sebelah selatan
serta Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso di sebelah barat. Secara administrative
Kecamatan sausu memilki 10 desa yaitu Maleali, Sausu Piore, Sausu Torono,
Sausu Trans, Sausu Pakareme, Sausu Gandasari, Sausu Salubanga, Taliabo, Sausu
Tambu, Sausu Auma. Desa yang paling luas diwilayah kecamatan sausu adalah
desa Salubanga dengan luas mencapai 214,86 km2, sedangkan wilayah desa paling
kecil adalah Desa Talibao dengan luas 9,69 km2. Sementara jumlah penduduk
Kecamatan Sausu sebanyak 21.977 jiwa. Jumlah penduduk terbanyak berada di
Desa Sausu Trans, yang merupakan ibu kota kecamatan, sebanyak 5.781 jiwa atau
26,30 persen dari jumlah penduduk kecamatan. Potensi pertanian yang ada
diwilayah Kecamatan Sausu yang merupakan sumber utama perekonomian
masyarakat meliputi sektor perkebunan dengan luas 14.301 ha. Dari luas tersebut,
13.336 ha diantarnya merupakan perkebuaan kakao dengan produksi rata-rata
6.276 kg pertahun. Selanjutnya adalah persawahan dengan luas 1.204 ha,
sementara untuk sektor peternakan khususnya sapi sejumlah 699 ekor.
Karakteristik petani/peternak
Karakteristik petani/peternak merupakan sifat-sifat atau cirri-ciri yang
dimiliki dan melekat pada diri petani/peternak yang berhubungan dengan semua
aspek kehidupan dan lingkungannya. Saleh (1984) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa karakteristik warga desa yang nyata berhubungan dengan
bidang peternakan adalah mata pencaharian, jenis kelamin, tingkat pendidikan,
keikutsertaan dalam pelaithan, jumlah anggota usia kerja dan tingkat penghasilan.
Untuk melihat karaktersitik petani/ternak yang ada di Desa Torono Kec. Sasusu
Kab. Parigi Moutong (Tabel 1) sebagai berikut:
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 53
Tabel 1. Karakteristik petani/ternak di Desa. Sausu Torono Kec. Sausu tahun
2013.
Karakteristi Petani/Peternak Jumlah (orang) Persentase (%)
Umur (thn)
25-35
36-45
46-55
56-65
2
10
8
4
8.3
41.7
33.3
16.7
Pendidikan
SD
SMP
SLTA
SARJANA
15
4
5
0
62.5
16.7
20.8
0
Pemilikan lahan (ha)
< 1
1-2
3-4
> 4
8
16
0
0
33,3
66,6
0
0
Pemilikan Ternak (ekor)
< 4
4-5
6-7
> 7
8
14
0
2
33.3
50,0
0
8.3
Pengalaman Bertani (thn)
5-14
15-23
24-33
34-43
9
11
3
1
37,5
45,8
12,5
4,2
Pengalaman Beternak (thn)
5-14
15-23
24-33
34-43
14
8
0
2
38,3
33,3
0
8,3
Jumlah Tanggungan (org)
< 2
2-3
4-5
>5
1
10
12
1
4,2
41,7
50,0
4,2 Sumber : Data primer diolah 2013
Mayoritas umur petani kakao dan peternak sapi yang ada di Kec. Sausu
berkisar 36-45 tahun (41,7%) merupakan usia produktif dengan tingkat
pendidikan paling tinggi SD (62,5%). Pengalaman berusahatani kakao rata-rata
15-23 tahun sementara dalam pemeliharaan ternak rata-rata memiliki pengalaman
5 sampai dengan 15 tahun atau lebih dulu memelihara tanaman kakao dibanding
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 54
beternak, walaupun ada diantara petani/peternak memiliki pengalaman yang
hampir bersamaan dengan berusahatani kakao. Jumlah tanggungan keluarga rata-
rata petani/peternak yang ada di Kec. Sausu Torono 4-5 orang dengan pemilikan
lahan seluas 1-2 Ha/KK atau sekitar 66,6%, dengan kondisi topografi datar hingga
berbukit dengan tingkat kesuburan tanah yang cukup berfariasi. Semakin lama
pengalaman petani/peternak dalam memelihara tanaman kakao dan ternak sapi,
memungkinkan mereka untuk lebih banyak belajar dari pengalaman, sehingga
dapat dengan mudah menerima inovasi teknologi yang berkaitan dengan usaha
tani/ternak menuju perubahan baik secara individu maupun kelompok.
1. Pakan tambahan dari limbah tanaman kakao.
Pemberian pakan pada ternak sapi dari limbah biji kakao diharapkan dapat
meningkatkan pertambahan bobot badan harian sapi. Pemberian pakan tambahan
dari limbah tanaman kakao berupa, plasenta dan debu kakao yang ditambahkan
dengan bekatul padi mineral dan garam dapur merupakan pemanfaatan limbah
kakao yang selama ini terbuang percuma. Limbah kakao merupakan pakan yang
potensial karena tersedia sepanjang tahun, mudah diperoleh dan mengandung
nutrisi tinggi. Suparjo et all (2011) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa
kandungan serat kasar kulit buah kakao (KBK) lebih tinggi (42,55%) dibanding
serat kasar rumput gajah (32,47%). Pengolahan limbah kakao sebagai pakan
ternak yang dilakukan oleh kelompok tani Karya Bersama di Kec. Sasusu.
Gambar Pengolahan pakan dari limbah biji kakao
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 55
Hasil pengamatan berat badan ternak sapi dengan pemberian pakan
tambahan dari limbah kakao disajikan dalam tabel 4 berikut ini.
Tabel 2. Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi dengan Pemberian pakan dari
Limbah kakao.
No Uraian Tanpa Pakan
Konsentrat
Mengunakan
Pakan
Konsentrat
1 BB Awal 179 273
BB Akhir 204 309
2 PBB (kg) 25 36
3 PBBH (kg/hari) 0,484 0,708
5 Total biaya (Rp) 397,498 608.776
a Total biaya pakan (Rp) 185,207 396,484
- Pakan (2,7%BB) 4,84 7,37
- Hijauan (kg/hari) segar 24,21 21,83
- Hijauan (kg BK/hari) 4,84 4,37
- Proporsi hijauan akan) 100 59.27
- Biaya pakan hijauan (Rp.150/ kg) 185,207 166.984
- Konsentrat (kg BK/hari) - 3
- Porporsi konsentrat (%)) - 40,73
- Biaya pakan onsentrat 1500/kg - 229.500
b Obat- Vitamin (Rp) 50.000 50.000
c Tenaga kerja 0,5 /hari (30.000/OH) 95.625 95.625
d Penyusutan kandang dan peralatan 66.667 66.667
6 Pendapatan Rp 35000/kg PBB (Rp) 863.333 1.263.500
7 Keuntungan (Rp) 339.610 643.249
8 R/C (No. 6/5) 1,65 2,04
9 Konversi pakan 10,01 10,41
10 IOCF (income over eed 551.902 855.541
Sumber : Data Primer 2013
Dari tabel diatas memperlihatkan bahwa berat badan sapi yang diberi pakan
konsentrat dari limbah tanaman kakao mampu menaikan berat badan sapi yaitu
dari rata-rata BBA 273 menjadi 309 BBA atau terjadi kenaikan rata-rata sebesar
0.708 kg/hari selama 90 hari pemeliharaan. Formulasi yang diberikan
mengandung karbohidrat, protein dan senyawa lainya yang sangat dibutuhkan
oleh ternak sapi dalam masa pertumbuhan badannya. Pemberian pakan konsentrat
pada ternak sapi berpengaruh pada efiiensi penggunaan energy dan protein
ransum sehingga efisiensi penggunaan pakan lebih baik. Ngadiono et al., (2008)
menyatakan bahwa tingkat konsumsi pakan yang lebih baik pada ternak akan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 56
berpengaruh langsung terhadap meningkatnya pertumbuhan, sehingga dalam
waktu yang relatif singkat pertumbuhan daging menjadi optimal dan
menghasilkan berat potong yang lebih tinggi.
Berdasarkan hasil pendapatan atas pemeliharaan sapi yang diperoleh
berdasarkan peningkatan bobot badan selama 3 bulan pemeliharaan. Total biaya
yang ditimbulkan terdiri atas biaya pakan, penyusutan dan tenaga kerja (Tabel 4).
Dengan demikian pendapatan diperoleh dari nilai atas peningkatan bobot badan
pada pemeliharaan sapi potong dengan pakan konsentrat sebesar Rp 1.263.500
lebih tinggi dibanding tanpa pakan kosentrat yaitu sebesar Rp. 863.333 atau
meningkat sebesar 46,4%. Penambahan pakan konsentrat yang disusun dari
limbah buah kakao akan menambah biaya pakan sebesar Rp.396,484,-
Pendapatan atas biaya pakan (income over feed cost/IOFC) merupakan
pendapatan atas besarnya biaya pakan untuk menghasilkan bobot badan selama
masa pemeliharaan ternak sapi. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan bobot
badan dengan pakan kosentrat berkorelasi positif dengan tingkat keuntungan yang
diperoleh peternak. Keuntungan atas analisis finansial menunjukkan bahwa
pemeliharaan ternak sapi dengan pemberian pakan konsentrat dari limbah biji
kakao sebesar Rp. 643.249,- dengan tingkat efisiensi R/C 2,04, sedangkan ternak
sapi tanpa pemberian pakan konsentrat sebesar Rp. 339.610 dengan tingkat
efisiensi R/C 1,65. Berdasarkan hasil yang dicapai terlihat bahwa pemeliharaan
ternaak sapi dengan penambahan pakan konsentrat yang disusun dari limbah biji
kakao lebih menguntungkan dan efisien bila dibandingkan pemeliharaan ternak
sapi tanpa penambahan pakan konsentrat.
2. Pupuk Organik dari Kotoran Ternak Sapi
Pupuk merupakan salah satu unsur penting dan strategis dalam peningkatan
produksi dan produktivitas tanaman serta menjadi bagian yang tidak terpisahkan
dari sistem usahatani. Pemanfaatan pupuk organik semakin meningkat seiring
dengan meningkatnya pemahaman petani akan pentingknya pupuk organik dalam
kelangsungan kegiatan usahataninya. Hal ini dilakuakan untuk mengantisipasi
kelangkaan pupuk dan daya beli petai terhadap pupuk an organik. Penggunaan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 57
pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah dan mengembalikan kesuburan
tanah sehingga berdampak pada perbaikan pertumbuhan tanaman. Menurut Nastiti
(2008), pupuk organik dapat memperbaiki kualitas dan kesuburan tanah serta
diperlukan Tanaman. Kotoran sapi merupakan salah satu bahan potensial untuk
membuat pupuk organik (Budiayanto, 2011)
Gambar Proses Pengolahan Pupuk Organik dari Kotoran Ternak
Tabel 3. Analisa pendapatan hasil olahan pupuk organik dari kotoran sapi
No Uraian Satuan Volume Harga
satuan Jumlah (Rp)
I Biaya 1.302.500
- Feses sapi Kg 5.000 100 500.000
- Abu sekam Kg 1.000 100 100.000
- Probiotik Kg 5 15.000 75.000
- Urea Kg 5 3.000 15.000
- Bekatul Kg 100 1.500 150.000
- Karung Plastik Buah 95 1.500 142.500
- Tenaga kerja OH 8 30.000 240.000
- BBM liter 5 6.000 30.000
- Penyusutan Pkt 1 50.000 50.000
II Hasil - Pendapatan kg 4.750 600 2.850.000
III Keuntungan (II-I) Rp 1.547.500
R/C (II/I) 2,19
Sumber : Data Primer 2013
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 58
Dengan mengolah kotororan ternak sebagai sumber pupuk organik dapat
memberikan nilai tambah bagi petani serta menjadi alternatif penyediaan pupuk
bagi petani yang selama ini jarang melakukan pemupukan terhadap pertanaman
kakaonya akibat dari keterbatasan modal.
KESIMPULAN
1. Potensi lahan dan pakan ternak yang tersedia dari limbah kakao cukup banyak
dan melimpah. Dukungan teknologi sangat diperlukan agar potensi pakan yang
berasal dari limbah kakao tersebut dapat digunakan secara optimal sebagai
sumber pakan tambahan yang berkualitas bagi ternak sapi.
2. Pemeliharaan ternak dengan memanfaatkan pakan tambahan dari limbah
tanaman kakao memberikan pertumbuhan bobot badan harian sapi sebesar
0,708 kg/ekor/hari sehingga kegiatan semacam ini perlu terus didorong di
wilayah-wilayah yang memiliki potensi pertanaman kakao sebagai sumber
pakan sapi yang berkualitas.
3. Pengolahan kotoran ternak sebagai pupuk organik dapat menjadi sumber
pendapatan bagi petani serta menjadi sumber pupuk alternatif bagi petani yang
selama ini jarang melakukan pempukan pada pertanaman kakaonya.
DAFTAR PUSTAKA
Biro Pusat Statistik, 2013. Provinsi Sulawesi Tengah Dalam Angka. Biro Pusat
Statistik Provinsi Sulawesi Tengah
Burhanuddin, H. 2001. Level optimal penggunaan kulit biji kakao (Theobromo
cacao L) dalam ransum sapi peranakan Ongole. Thesis. Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Budiyanto, Krisno. 2011. “Tipologi Pendayagunaan Kotoran Sapi dalam Upaya
Mendukung Pertanian Organik di Desa Sumbersari Kecamatan
Poncokusumo Kabupaten Malang. Jurnal GAMMA 7 (1) 42-49
Kariyasa, K. dan F. Kasryno. 2004. Dinamika Pemasaran dan Prospek
Pengembangan Ternak Sapi di Indonesia. Prosiding Seminar Sistem
Kelembagaan Usaha Tani Tanaman-Ternak. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 59
Mariyono, Anggraeni,Y., Rasyid,A., 2010. Rekomendasi Teknologi Peternakan
dan Veteriner Mendukung Program Swasembada Daging Sapi (PSDS)
Tahun 2014. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Mardikanto, 1992. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret.
Ngadiyono. N, G. Murdjito, A. Agus, dan U. Supriyana. 2008. Kinerja produksi
sapi Peranakan Ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat
yang berbeda. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33 (4) December 2008
Ngadiyono. N, G. Murdjito, A. Agus, dan U. Supriyana. 2008. Kinerja produksi
sapi Peranakan Ongole jantan dengan pemberian dua jenis konsentrat
yang berbeda. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33 (4) December 2008
Nastiti, Sri. 2008. “Penampilan Budidaya Ternak Rumina nsia di Pedesaan
Melalui Teknologi Ramah Lingkungan.” Seminar Nasional Teknologi
Peternakan dan Veteriner 2008
Suparjoa, K. G. Wiryawanb, E. B. Laconib, & D. Mangunwidjaja. Performa
Kambing yang Diberi Kulit Buah Kakao Terfermentasi. Media
Peternakan, April 2011, hlm. 35-41 EISSN 2087-4634
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 60
Persepsi Petani terhadap Harga Pembelian Pemerintah untuk Gabah di
Kabupaten Bantul
Rahima Kaliky, Susanti Dwi Habsari dan Nur Hidayat
BPTP Yogyakarta
Jl. Stadion Maguwoharjo No. 22 Sleman, Yogyakarta.
Telp (0274) 884662/HP 081392491966
Email: [email protected]
Abstrak
Penelitian bertujuan untuk mengkaji tingkat pengetahuan dan persepsi petani
terhadap Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk gabah di Kabupaten Bantul.
Penelitian dilakukan di Desa Sumber Agung Kecamatan Jetis Kabupaten Bantul
pada April 2012 dengan metode survei. Penentuan sampel lokasi dengan metode
simple random. Populasi penelitian adalah petani sawah irigasi. Jumlah sampel
sebanyak 30 orang yang ditentutakan dengan metode simple random. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 93.3 % petani tidak mengetahui arti
HPP, Persentase petani di Bantul tidak mengetahui HPP gabah mencapai 83,3
%; dan sebanyak 10 % petani menyatakan bahwa harga gabah yang dijualnya
didasarkan pada informasi dari kelompok tani. kelompok tani merupakan salah
satu sumber informasi penting bagi petani dalam keputusannya menerima harga
jual gabah.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci : persepsi, petani,gabah, HPP.
PENDAHULUAN
Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah/beras merupakan kebijakan
insentif harga. Kebijakan insentif harga gabah/beras bertujuan untuk melindungi
petani dari anjloknya harga pada saat masa panen. Mengingat tanaman padi
ditanam serentak pada waktu tertentu, sehingga masa panenpun serentak,
akibatnya terjadi kelebihan pasokan (over supply) dan sebaliknya, pada saat
paceklik disebabkan oleh iklim, serangan hama-penyakit dan sebagainya,
mengakibatkan terjadi kelangkaan pasokan beras di pasar. Dilain pihak,
permintaan pasar terhadap beras selalu tinggi.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 61
Terkait pemasaran, karakteristik pemasaran produk pertanian diantaranya
adalah harga produk relatif murah, jumlah produk yang dipasarkan pada
umumnya relatif kecil, rantai pemasaran yang relatif panjang untuk sampai pada
konsumen, pada umumnya produk tidak mengalami perubahan bentuk, resiko
pemasaran relatif tinggi karena fluktuasi harga dan sifat produk pertanian mudah
rusak. Harga produk pertanian yang relatif murah disebabkan oleh bargainning
potition petani yang rendah, petani produsen sebagai price taker akibat asimetri
informasi.
Untuk melindungi petani pada saat musim panen dimana terjadi kelebihan
pasokan (over supply), maka pemerintah memberikan insentif harga melalui
kebijakan penetapan HPP (Harga Pembelian Pemerintah). Salah satu komoditas
pertanian yang ditentukan HPP adalah gabah/beras.Menurut Pambudi (2007),
ditinjau dari segi biaya produksi HPP tersebut akan memberikan keuntungan bagi
petani bila produktivitas minimal mencapai 4,5 ton per ha dan harga input
pertanian tidak mengalami kenaikan.
HPP gabah/beras disesuaikan dengan kualitas, dimana HPP kualitas
premium lebih tinggi dibandingkan dengan HPP kualitas medium. Penetapan
harga berdasar kualitas diharapkan dapat mendorong peningkatan produksi dan
peningkatan kualitas gabah/beras petani. Dengan demikian diharapkan dalam
jangka menengah/panjang, petani produsen akan merespons untuk memperbaiki
kualitas gabah dengan menggunakan benih bermutu, mekanisasi panen dan
perontokan gabah. Penggilingan padi akan terdorong untuk mempercepat
pengembangan pengeringan mekanis (Sawit, 2009).
Kebijakan HPP tergolong sebagai kebijakan insentif harga yang ditujukan
untuk melindungi petani dan menjamin kepastian harga gabah/beras petani. Oleh
karenanya sangat penting bagi petani untuk mengetahui/memahami tentang
kebijakan HPP tersebut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk mengkaji
persepsi petani mengenai kebijakan pemerintah tersebut.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 62
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Desa Sumber Agung Kecamatan Jetis Kabupaten
Bantul pada April 2012 dengan metode survei. Penentuan sampel lokasi dan
petani dengan metode simple random. Jumlah responden sebanyak 30 orang. Data
yang dihimpun meliputi persepsi petani terhadap harga pembelian pemerintah
(HPP) untuk gabah dan persepsi petani terhadap HPP gabah tahun 2012. Analisis
data menggunakan analisis statistik deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengetahuan Petani tentang HPP Gabah/Beras
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 93,3 % petani (responden)
di Kabupaten Bantul belum mengetahui/memahami Harga Penetapan Pemerintah
(HPP) gabah/beras. 6,7 % yang mengaku mengetahui pengertian HPP, ternyata
hanya sebagian dari persentasi tersebut yang benar-benar memahami arti HPP,
sedangkan sebagian lainnya memahami HPP sebagai harga jual-beli ditingkat
petani oleh para pedagang pengumpul desa. Kondisi ini menunjukkan bahwa
harga penetapan pemerintah (HPP) untuk gabah/beras belum dipahami dengan
baik oleh petani di wilayah tersebut. Padahal tujuan penetapan HPP oleh
pemerintah adalah untuk melindungi petani dari permain harga oleh
tengkulak/pedagang. Pak Paino, salah seorang petani mengatakan bahwa selama
dia menjadi petani dia belum mengetahui atau memahami tentang HPP gabah
maupun beras. Selama ini dia hanya berpatokan pada harga pasar saja ketika
menjual gabah/beras hasil produksinya.
HPP Gabah dan Beras Menurut Persepsi Petani
Penentuan harga pembelian gabah dan beras oleh pemerintah mulai
diimplementasikan pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama pemerintah
memutuskan menaikkan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani
menjadi Rp2.000 per kg, gabah kering giling (GKG) Rp2.575 per kg,dan beras
Rp 4.000 per kg (Pambudi, 2007).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 63
Pada tahun 2012 Pemerintah kembali menerbitkan kebijakan harga
pembelian pemerintah gabah/beras melalui Inpres Nomor 3 Tahun 2012 yang
diberlakukan mulai 27 Pebruari 2012. Dalam Inpres tersebut presiden
menginstruksikan harga pembelian gabah kering panen di tingkat petani adalah
Rp. 3.300/kg dengan kualitas kadar air maksimum 25% dan kadar hampa/kotoran
maksimum 10%. Tingkat harga ini mengalami peningkatan Rp. 900/kg dari harga
sebelumnya yang ditetapkan pada tahun 2009 yaitu Rp. 2.400/kg.
Meskipun pemerintah telah menerbitkan tingkat harga pembelian
pemerintah untuk gabah, namun kebijakan pemerintah tersebut nampaknya belum
banyak diketahui oleh petani di Kabupaten Bantul seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. HPP gabah menurut petani tahun 2012
HPP menurut petani (Rp/kg) Frekuensi Persentase (%)
2700,00 3 10.0
3200,00 2 6.7
Tidak tahu 25 83.3
Total 30 100
Sumber ; analisis data primer tahun 2012
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian besar petani di kabupaten bantul
(83,3 %) tidak mengetahui HPP gabah dan hanya 6,7 % yang mengetahui
tingkat harga gabah mendekati HPP. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan
pemerintah mengenai HPP gabah kurang tersosialisasikan ditingkat petani.
Kondisi ini perlu menjadi perhatian pihak terkait termasuk penyuluh pertanian.
Topik penyuluhan mengenai HPP perlu dimasukan sebagai salah satu konten dari
rencana kerja penyuluh pertanian setempat. Pengetahuan petani mengenai HPP
gabah perlu ditingkatkan agar petani lebih confidence di dalam bargaining
position sehingga tidak dirugikan dalam menerima harga jual dalam pemasaran
gabah/beras.
Para petani di Kabupaten Bantul memiliki patokan yang berbeda dalam
pemasaran gabah/beras. Beragam patokan petani dalam menerima harga gabah
yang dipasarkannya seperti terlihat dalam Tabel 2 berikut ini.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 64
Tabel 2. Patokan Petani dalam Menerima Harga Jual Gabah
Patokan menentukan harga jual
Gabah Frekuensi Persentase (%)
Ditentukan pedagang 5 16,5
Harga beras 10 33.3
Harga pasar 8 26.6
Informasi dari kelompok tani 3 10
Kualitas gabah 4 13,3
Total 30 100.0
Sumber: Analisis data primer,2012
Tabel 2 menunjukkan, sebagian besar petani (33 %) menyatakan bahwa
patokan harga gabah ditingkat petani didasarkan pada harga beras pada saat
mereka menjual gabahnya dan sebagian kecil petani (10 %) menyatakan bahwa
harga jual gabah didasarkan pada informasi dari kelompok tani. Hal tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan insentif harga gabah/beras berupa HPP tidak
cukup efektif dalam memberikan kontribusi terhadap pembentukan harga di
tingkat lokal. Hal senada juga ditemui di Karwang dan Boyolali dimana adanya
indikasi bahwa kebijakan insentif harga HPP tidak cukup efektif dalam
memberikan kontribusi terhadap pembentukan harga pada tingkat lokal. Hal ini
disebabkan HPP belum banyak dipahami oleh pelaku perberasan pada tingkat
lokal (KRKP, 2012). Lebih lanjut KRKP mengilustrasikan, ketika pemerintah
menaikan harga BBM maka pelaku pasar melakukan penyesuaian dengan
kenaikan tersebut. Namun, ketika HPP dinaikan para pelaku perberasan merespon
dengan cara yang berbeda. Hal ini disebabkan karena instrumen kebijakan ini
tidak menyentuh pada persoalan fundamental yang dihadapi petani padi.
Meskipun petani bukanlah penentu harga, mengingat harga dalam pasar
persaingan sempurna terbentuk melalui mekanisme pasar dan hasil interaksi
antara penawaran dan permintaan sehingga penjual dan pembeli di pasar ini tidak
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 65
dapat memengaruhi harga dan hanya berperan sebagai penerima harga (price-
taker). Meskipun demikian para petani perlu dibekali pengetahuan mengenai
patokan harga dasar yang ditetapkan pemerintah sebagai dasar patokan petani
dalam menerima harga.
Mengingat kelompok tani masih diandalkan sebagai rujukan informasi
bagi sebagian petani di Kabupaten Bantul dalam keputusannya menerima harga
jual gabah, maka sosialisasi HPP gabah dan beras perlu dilakukan melalui
kelompok-kelompok tani. Upaya ini perlu di lakukan oleh para penyuluh
pertanian di pedesaan agar petani memiliki pengetahuan/wawasan mengeani HPP
gabah dan beras. Dengan memiliki pengetahuan/wawasan tersebut selanjutnya
diharapkan dapat memiliki confidence dalam bargaining position dan sikap yang
positif di dalam proses pemasaran hasil gabah dan beras yang diproduksinya.
Penerimaan harga jual gabah/beras petani sesuai harga penentuan
pemerintah (HPP) diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga petani.
Menurut Sunarti dan Ali Khomsan (2013), kesejahteraan keluarga petani
merupakan output dari proses pengelolaan sumberdaya keluarga dan
penanggulangan masalah yang dihadapi keluarga petani. Kesejahteraan keluarga
berhubungan dengan keberfungsian keluarga. Keluarga yang bisa menjalankan
beragam fungsi yang diembannya, terutama fungsi ekonomi maka memiliki
peluang yang besar untuk sejahtera. Seluruh fokus perhatian keluarga adalah
bagaimana untuk bisa survive. Salah satu faktor yang terkait dengan bisa survive
petani padi adalah menerima harga jual gabah yang wajar, minimal sesuai HPP
yang ditetapkan.
Kesimpulan
Berdasar uraian hasil penelitian disimpulkan bahwa sebagian besar petani
di Kabupaten Bantul belum mengetahui/memahami Harga Penetapan Pemerintah
(HPP) gabah; Sebanyak 33 % petani menjual gabah dengan berdasar pada patokan
harga beras, dan sebanyak 10 % petani menjual gabah dengan patokan harga
berdasar informasi dari kelompok tani; Kebijakan insentif harga gabah/beras
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 66
berupa HPP tidak cukup efektif dalam memberikan kontribusi terhadap
pembentukan harga di tingkat lokal
Saran
Mengingat kelompok tani masih diandalkan sebagai rujukan informasi
bagi sebagian petani di Kabupaten Bantul dalam keputusannya menerima harga
jual gabah, maka sosialisasi HPP gabah termasuk beras perlu dilakukan melalui
kelompok-kelompok tani. Upaya ini perlu dilakukan oleh para penyuluh pertanian
agar petani memiliki pengetahuan/wawasan mengenai HPP gabah dan beras.
Dengan memiliki pengetahuan/wawasan tersebut selanjutnya diharapkan petani
memiliki confidence dalam bargaining position dan sikap yang positif di dalam
proses pemasaran hasil gabah dan beras yang diproduksinya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2012. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Kesejahteraan Petani.
Policy Paper http://kedaulatanpangan.net/wp-
content/uploads/2012/11/Policy-Paper-HPP-3-2012.pdf
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan
Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah
KRKP, 2012. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Kesejahteraan Petani.
Policy Paper. kedaulatanpangan.net/wp-content/.../11/Policy-Paper-HPP-
3-2012.pdf (akses, 26 januari 2015)
Pasar Persaingan sempurna. http://www.manajemenperusahaan.com/pasar-
persaingan-sempurna/ ( Akses 28 Agustus 2013)
Pambudi,R.Sinergi Kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP). Koran Sindo
online 3 April 2007http://www.seputar-
indonesia.com/edisicetak/opini/sinergi-kebijakan-hpp-3.h
Ria Kusumaningrum, 2008. Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian
Pemerintah Terhadap Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia.
Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 67
Sawit, M.H., 2009.Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Muli-Kualitas:
Pengalaman Negara Lain dan Gagasan Untuk Indonesia.Majalah Pangan:
No.55/XVIII/07/2009 http://www.majalahpangan.com/artikel.php?id=150
Sunarti.E dan Ali Khomsan. Kesejahteraan keluarga petani Mengapa sulit
diwujudkan ? https://ml.scribd.com/.../Dr-Ir-Euis-Sunarti-Kesejahteraan-
Keluarga-Peta.2 Jun 2013 (akses 26 Januari 2015).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 68
Analisis Pewilayahan Komoditas Unggulan Tanaman Pangan Di Kabupaten
Sigi Provinsi Sulawesi Tengah
Herawati dan Benyamin Ruruk
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No.62 Biromaru HP: 081354253360, email:
Abstrak
Proses pembangunan pertanian diperlukan karakteristik wilayah secara komprehensif
ditinjau dari potensi sumberdaya secara fisik maupun aspek sosial ekonomi masyarakat
setempat. Wilayah Kabupaten Sigi, sejak dahulu sudah terkenal sebagai wilayah
pertanian. Kegiatan penelitian analisis pewilayahan berdasarkan komoditas unggulan
yang dilaksanakan ini bertujuan untuk menganalisis data dan informasi tentang kondisi
biofisik dan sosial ekonomi masyarakat serta menetapkan komoditas unggulan wilayah
pada masing-masing kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Sigi. Selain itu
bermanfaat dan mendukung program pembangunan pertanian Kabupaten Sigi. Kegiatan
ini dilaksanakan di 15 kecamatan yang berada di Kabupaten Sigi. Waktu pelaksanaan
kegiatan kajian/survei akan dimulai pada bulan April hingga bulan Oktober 2012.
Jumlah desa lokasi survei seluruhnya sebanyak 30 desa yang tersebar di Kabupaten Sigi.
Pemilihan responden dilakukan secara acak (random sampling) yaitu para petani yang
mengusahakan berbagai macam komoditas pertanian. Jumlah responden yang terpilih
sebanyak 150 orang. Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer
dan data sekunder. Metode analisis yang digunakan untuk menentukan kelayakan
komoditas secara sosial adalah dengan metode Location Quation (LQ) dan analisis R/C
ratio. Hasil analisis komoditas unggulan sub sektor tanaman pangan di Kabupaten Sigi
adalah Padi sawah, Padi gogo, dan Jagung (komoditas unggulan). Disamping itu ada
beberapa komoditas alternatif tanaman pangan yang dapat dikembangkan, seperti
kacang tanah, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. Secara biofisik, komoditas tersebut diatas
layak untuk dibudidayakan karena kesesuian lahan berdasarkan ZAE. Secara sosial (LQ
>1), komoditas tersebut layak dikembangkan karena dapat memberikan peluang
berusaha dan penyerapan tenaga kerja cukup besar serta komoditas tersebut mampu
mencukupi kebutuhan daerahnya. Secara ekonomi (R/C ratio >1), komoditas tersebut
layak dikembangkan karena dapat memberikan keuntungan bagi petani.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci: analisis pewilayahan, komoditas unggulan, tanaman pangan
PENDAHULUAN
Pengelompokan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik lingkungan yang
hampir sama disebut konsep agro ekosistem. Pada Zona Agro Ekosistem (ZAE),
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 69
selain dapat memberikan arahan untuk sistem produksi dan pilihan komoditas
pada masing-masing sistem produksi juga dapat menjadi petunjuk dimana suatu
komoditas pertanian dapat tumbuh baik. Selain itu, pertimbangan informasi lain
seperti; prasarana, pasar dan ketersediaan tenaga kerja juga perlu diperhatikan
agar komoditas yang akan diusahakan dapat lebih menguntungkan. Agar
mencapai komoditas yang tinggi, penetapan komoditas pertanian di suatu wilayah
harus didasarkan pada sifat dan karakteristik lahan yang tersedia. Wilayah dengan
karakteristik biofisik yang sama berpotensi dikembangkan menjadi areal pertanian
dengan komoditas yang sejenis. Dengan mengidentifikasi dan mendelineasi
wilayah dengan karakteristik biofisik yang sama maka komoditas pertanian yang
dapat dikembangkan bisa diarahkan dan direkomendasikan.
Pendekatan pembangunan pertanian yang berorientasi pada komoditas,
mempunyai kelemahan, baik subtantif maupun administratif/manajemen. Secara
subtantif, pendekatan komoditas atas dasar kelayakan teknis saja telah
menimbulkan distorsi yang tidak sejalan dengan signal pasar. Selain itu,
optimalisasi pemanfaatan sumberdaya tidak bisa tercapai dengan baik. Ditinjau
dari aspek manajemen, orientasi komoditas menimbulkan egosektoral, sehingga
memerlukan tambahan biaya untuk koordinasi yang juga sangat kompleks dalam
pelaksanaannya (Sudaryanto, dkk., 1997).
Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan diatas, muncul pula
dalam penyusunan program penelitian dan pengembangan pertanian. Orientasi
penelitian menurut komoditas yang tidak dikaitkan dengan perspektif peluang
pasar yang kurang terarah sehingga pemanfaatan hasilnya untuk menunjang
pembangunan ekoregional kurang optimal. Oleh karena itu, diperlukan reorientasi
pendekatan penelitian dan pengembangan pertanian yang memungkinkan
terwujudnya keterpaduan program untuk memecahkan persoalan pada suatu
tipologi wilayah pertanian tertentu.
Pendekatan yang lebih sesuai untuk mangatasi permasalahan diatas adalah
merumuskan program penelitian dan pengembangan pertanian berdasarkan atas
sumberdaya atau ZAE (pengelompokkan suatu wilayah berdasarkan keadaan fisik
yang hampir sama, dimana keragaan tanaman, ternak dan perikanan diharapkan
dapat tumbuh dengan baik). Oleh karena itu, dalam proses pembangunan
pertanian diperlukan karakteristik wilayah secara komprehensif ditinjau dari
potensi sumberdaya secara fisik maupun aspek sosial ekonomi masyarakat
setempat.
Wilayah Kabupaten Sigi, sejak dahulu sudah terkenal sebagai wilayah
pertanian. Namun produksi pertanian yang diharapkan belum tercapai, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya sarana infrastruktur yang belum
memadai, terjadinya konversi lahan pertanian (alih fungsi), keterbatasan modal
dan SDM pengelola pertanian relatif masih rendah. Program pembangunan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 70
pertanian priode tahun 2009-2011 telah mengalami kecenderungan pertumbuhan
ekonomi (PDRB) Kabupaten Sigi berkembang karena adanya dukungan perbaikan
dan pembangunan infrastruktur yang baik, pemberian bantuan dan fasilitas
alsintan serta pembinaan secara intensif oleh instansi yang terkait kepada
masyarakat petani.
Analisis pewilayahan berdasarkan komoditas unggulan bertujuan
untuk menganalisis data dan informasi tentang kondisi biofisik dan sosial
ekonomi masyarakat serta menetapkan komoditas unggulan wilayah pada masing-
masing kecamatan yang berada di wilayah Kabupaten Sigi. Selain itu bermanfaat
dan mendukung program pembangunan pertanian Kabupaten Sigi yang terdapat 3
(tiga) pilar potensi unggulan yang ada di wilayah Kabupaten Sigi yaitu: Pertanian,
Parawisata, dan UMKM. Sehubungan dengan hal tersebut pemerintah Kabupaten
Sigi juga telah menyiapkan arah kebijakan yang mendukung tiga potensi tersebut
dengan melibatkan instansi yang berkompoten menjadi motor penggerak untuk
mempercepat realisasi program prioritas.
MATERI DAN METODOLOGI
Lokasi dan Waktu Pelaksanaan
Kegiatan ini dilaksanakan di wilayah masing-masing kecamatan (15
kecamatan) yang ada di Kabupaten Sigi. Waktu pelaksanaan kegiatan
kajian/survei ini dimulai pada bulan April hingga Bulan Oktober 2012.
Penetapan Lokasi Survei dan Responden
Lokasi survei sosial ekonomi komoditas ditentukan berdasarkan hasil
analisis Location Quation (LQ) yang bersumber dari data produktivitas komoditas
dan luas lahan pertanian masing-masing kecamatan (15 kecamatan) yang berada
diwilayah Kabupaten Sigi selama 5 tahun (2007-2011). Setiap kecamatan dipilih 2
desa yang akan mewakili suatu kecamatan dengan memiliki nilai LQ >1 sebagai
lokasi survei untuk menggali data /informasi dari responden. Jumlah desa lokasi
survei seluruhnya sebanyak 30 desa yang tersebar di Kabupaten Sigi. Pemilihan
responden dilakukan secara acak (random sampling) yaitu para petani yang
mengusahakan berbagai macam komoditas pertanian. Jumlah responden yang
terpilih sebanyak 150 orang. Setiap kecamatan dipilih 10 orang yang diwawancara
dengan menggunakan kuesioner semi struktur untuk memperoleh data primer
tentang kondisi sosial ekonomi komoditas pertanian. Data sekunder diperoleh dari
BPS Propinsi Sulawesi Tengah dan BPS Kabupaten Sigi, BPP, Kantor Camat dan
Desa serta instansi terkait. Adapun lokasi survei dan jumlah responden yang
menjadi sumber informasi/data disajikan pada Tabel 1.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 71
Tabel 1. Lokasi survei dan jumlah responden masing-masing kecamatan di
Kabupaten Sigi, Tahun 2012.
No. KECAMATAN
DESA
(LOKASI
SURVEI)
RESPONDEN/
PETANI
(ORG)
NILAI
LQ PELAKSANA
1. Pipikoro - Murui
- Mamu
5
5
2,09
1,45 Tim Survei
2. Kulawi Selatan - Lawua
- Makujawa/Pili
5
5
1,19
6,25 Tim Survei
3. Kulawi - Mataue
- Sungku
5
5
2,14
3,14 Tim Survei
4. Lindu - Puroo
- Anca
5
5
1,01
3,15 Tim Survei
5. Nokilalaki - Kamarora A
- S o p u
5
5
1,00
1,22 Tim Survei
6. Gumbasa - Pendere
- Kalawara
5
5
3,32
3,48 Tim Survei
7. Dolo Selatan - Sambo
- Wisolo
5
5
1,31
4,75 Tim Survei
8. Tanambulava - Lambara
- Sibalaya Utara
5
5
1,29
1,18 Tim Survei
9. Dolo Barat - Balumpewa
- Kaleke
5
5
2,88
1,57 Tim Survei
10. Marawola Barat - Wawugaga
- Wayu
5
5
1,04
2,37 Tim Survei
11. Marawola - Binangga
- Bomba
5
5
2,16
2,40 Tim Survei
12. Kinovaro - Uwemanje
- Porame
5
5
3,07
5,41 Tim Survei
13. Dolo - T u l o
- Potoya
5
5
1,12
1,03 Tim Survei
14. Sigi Biromaru - Maranata
- Jone Oge
5
5
2,91
2,23 Tim Survei
15. Palolo - Tongoa
- Makmur
5
5
2,00
1,10 Tim Survei
Jml 15 Kecamatan 30 Desa 150 Petani - -
Lokasi survei yang terpilih merupakan desa representatif dari masing-
masing kecamatan yang memiliki data luas lahan, luas panen dan produktivitas
dari beragam komoditas pertanian dengan nilai LQ >1 yaitu untuk mengetahui
kemampuan suatu wilayah dalam sektor kegiatan tertentu, baik ditinjau dari aspek
potensi lahan pertanian maupun dari aspek produktivitas komoditas pertanian.
Analisis Data
Analisis pewilayahan komoditas unggulan dilaksanakan melalui tahapan
kegiatan, yaitu: (1) Pengumpulan data sosial ekonomi, dan (2) Analisis penentuan
komoditas unggulan.
Pengumpulan Data Sosial Ekonomi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 72
Kegiatan ini dilakukan dengan cara mengumpulkan data primer dan data
sekunder. Pengumpulam data primer dilakukan dengan metode: (a) Survey
dengan kuesioner semi berstruktur/kualitatif, (b) RRA/kualitatif. Pengumpulan
data sekunder diperoleh dari BPS dan instansi yang terkait, meliputi: luas
tanam/panen, produksi dan produktivitas tanaman pangan.
Analisis Penentuan Komoditas Unggulan
Komoditas unggulan adalah komoditas yang layak secara biofisik, secara
sosial, dan secara ekonomi. Komoditas tertentu dikatakan layak secara biofisik
apabila komoditas tersebut diusahakan sesuai dengan zona agro ekosistem.
Komoditas dikatakan layak secara sosial jika komoditas tersebut memberikan
peluang berusaha sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Sedangkan
dikatakan layak secara ekonomi jika komoditas tersebut menguntungkan.
Metode yang digunakan untuk menentukan kelayakan komoditas secara
sosial adalah dengan metode Location Quation (LQ), yaitu suatu metode yang
digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah dalam sektor kegiatan
tertentu. Selain itu, metode yang digunakan untuk menentukan kelayakan
komoditas secara ekonomi adalah dengan metode analisis R/C ratio. Analisis R/C
ratio digunakan untuk menghitung kelayakan usahatani tanaman pangan.
Alat Analisis Yang Digunakan
1. Analisis R/C Ratio, merupakan alat analisa untuk mengukur biaya dari suatu
produksi, dengan persamaan sbb:
Total Penerimaan
R/C Ratio = ----------------------------
Total Biaya
Kriteria:
- Jika R/C >1; artinya usahatani layak dikembangkan
- Jika R/C < 1; artinya usahatani tidak layak dikembangkan
- Jika R/C = 1; artinya usahatani impas.
2. Analisis B/C Ratio, merupakan alat untuk mengukur tingkat keuntungan
teknologi baru didalam proses peroduksi usahatani, dengan persamaan sbb:
Total Pendapatan
B/C Ratio = -----------------------------
Total Biaya
Kriteria:
- Jika B/C > 1; artinya usahatani menguntungkan
- Jika B/C < 1; artinya usahatani tidak menguntungkan
- Jika B/C = 1; artinya usahatani impas
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 73
3. Analisis LQ (Location Quation)
Analisis ini digunakan untuk mengetahui kemampuan suatu daerah untuk
menghasilkan komoditas tertentu dalam mencukupi kebutuhannya. Analisis ini
mengacu pada formula Arsyad (1999) dengan persamaan sebagai berikut:
(Nilai Produksi Tan. Pangan Kecamatan) / (Nilai Produksi
Total Kec.)
LQ = -----------------------------------------------------------------------------
(Nilai Produksi Tan. Pangan Kabupaten) / (Nilai Produksi
Total Kab.)
Berdasarkan hasil perhitungan LQ dapat dianalisis dan disimpulkan sebagai
berikut :
- Jika LQ > 1 Berarti komoditas itu menjadi basis atau menjadi sumber
pertumbuhan. Komoditas memiliki keunggulan komparatif,
hasilnya tidak saja dapat memenuhi kebutuhan di wilayah
bersangkutan akan tetapi juga dapat diekspor ke luar
wilayah.
- Jika LQ = 1 Berarti Komoditas itu tergolong non basis, tidak memiliki
keunggulan komparatif. Produksinya hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan wilayah sendiri dan tidak mampu
untuk diekspor.
- Jika LQ < 1 Berarti Komoditas ini juga termasuk non basis. Produksi
komoditas di suatu wilayah tidak dapat memenuhi
kebutuhan sendiri sehingga perlu pasokan atau impor dari
luar.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Lahan Untuk Pengembangan Komoditas Pertanian
Peta Zona Agroekologi skala 1:50.000 telah dibuat pada tahun 2005 oleh
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Donggala dalam
kegiatan penyusunan masterplan pewilayahan komoditas untuk pengembangan
kawasan agribisnis. Pada waktu itu, Kabupaten Sigi merupakan bagian dari
kabupaten tersebut. Potensi lahan untuk pengembangan komoditas di Kabupaten
Sigi terlihat pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 74
Tabel 2. Luasan Pengembangan Pertanian di Kabupaten Sigi Tahun 2012.
No. Pengembangan Pertanian Komoditas Luasan Persentase
(%)
1. Hutan lahan kering Kawasan konservasi 336.010 61,93
2. Pertanian lahan kering
perkebunan/hortikultura/
Konservasi
Kakao, Durian, Lada,
Sawit 87.043 16,04
3. Pertanian lahan kering
perkebunan/hortikultura
Kakao, Durian,
Jeruk, Sawit 51.121 9,42
4. Pertanian lahan kering
tanaman pangan/hortikultura/
Perkebunan/
Peternakan
Jagung,Kacang
tanah, Bawang
merah, Kakao,
Kelapa, Durian,
Lada, Jeruk, Sawit
373 0,07
Jagung,Bawang
merah, Kakao,
Durian, Lada, Jeruk,
Sawit
1.832 0,34
Jagung, Kacang
tanah, Bawang
merah, Kakao,
Durian, Lada, Jeruk,
Sawit
1.529 0,28
Sumber: BPS Kabupaten Sigi dalam Angka, 2012
Analisis Komoditas Unggulan Dan Rekomendasi Berdasarkan Kondisi
Biofisik, Sosial Dan Ekonomi Tanaman Pangan.
Pembangunan di bidang ekonomi yang dilakukan pemerintah dalam
tahapan pembangunan yang dilaksanakan pada sektor industri dengan didukung
oleh sektor pertanian yang tangguh. Perkembangan di sektor pertanian menjadi
lebih penting lagi disebabkan jumlah penduduk yang berusaha di bidang pertanian
masih tergolong sangat besar (BPS, Kab. Sigi, 2012). Gambaran mengenai
kondisi sumberdaya lahan pertanian dan alternatif pengembangan komoditas
unggulan sub sektor pertanian di Kabupaten Sigi akan diuraikan sebagai berikut.
Perkembangan usaha tanaman pangan di Kabupaten Sigi dari tahun ke
tahun relatif meningkat, hal ini sebagai implikasi dari program intensifikasi yang
mempunyai sasaran untuk meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman
pangan dengan mengacuh pada beberapa program pusat dan pemerintah daerah.
Program pembangunan pemerintah yang marak dewasa ini, antara lain program
SL-PTT, KRPL, PUAP dan lainnya. Untuk mendukung program pemerintah
tersebut, maka diperlukan data pewilayahan komoditas unggulan di wilayah
Kabupaten Sigi yang berdasarkan Zona Agro Ekosistem (ZAE) disajikan pada
Tabel 3.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 75
Tabel 3. Analisis komoditas unggulan tanaman pangan masing-masing kecamatan
di Kab. Sigi, tahun 2012.
No Kec.
Alternatif Pengembangan
Komoditas Tanaman Pangan
Komoditas Unggulan
Tanaman Pangan
Luas Komoditas Alternatif Komoditas
Unggulan
Kriteria
R/C
ratio LQ
1.
Pipikoro
544 Jagung, kacang tanah Padi gogo
Jagung
2,21
2,35
1,03
1,03
184 Jagung
182 Padi sawah, jagung, kacang
tanah
2.
Kulawi
Selatan
502 Jagung, kacang tanah - - -
214 Jagung
342 Kacang tanah
882 Padi sawah, jagung
3. Kulawi 423 Jagung, kacang tanah - - -
3.313 Jagung, Padi gogo
366 Kacang tanah
803 Padi sawah, jagung
4. Lindu 10.868 Jagung - - -
1.088 Padi sawah, Padi gogo,
jagung
5.
Nokilala
ki
1.557 Jagung, Ubi kayu, Ubi jalar Padi sawah 2,71 3,58
956 Padi sawah, jagung
6.
Palolo 89 Jagung, kacang tanah, kac.
Hijau, Ubi kayu, Ubi jalar
Jagung
Kacang
tanah
2,00
2,10
1,07
1,18
1.832 Jagung, Ubi kayu, Ubi jalar
3.793 Jagung, Kac. hijau
3.441 Padi sawah, Padi gogo,
jagung
7.
Gumbasa 60 Jagung, kacang tanah Jagung 3,33 1,02
26 Jagung, kacang tanah
860 Jagung
1.183 Jagung
303 Kacang tanah
954 Padi sawah, Jagung
8.
Dolo
Selatan
1.425 Jagung, Ubi kayu,Kedelai Jagung 3,86 1,39
690 Jagung, Kac. tanah, Kac.
hijau
1.578 Padi sawah, jagung, U.kayu
9.
Dolo
Barat
191 Jagung, kacang tanah, Jagung
Kacang
tanah
2,15
3,11
2,37
1,21
576 Jagung, Ubi kayu, Ubi jalar
1.202 Padi sawah, Jagung, Kedelai
Tanambu 839 Jagung, Kacang tanah, - - -
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 76
10 lava 550 Jagung
128 Jagung
1.170 Padi sawah, jagung
11.
Dolo 14 Jagung, Ubi kayu, Ubi jalar Jagung
Kacang
tanah
2,27
2,14
1,10
1,07
2.392 Padi sawah, jagung
12.
Sigi
Biromaru
284 Jagung, kacang tanah - - -
805 Jagung, kacang tanah,
1.275 Jagung, kacang tanah,
941 Jagung
349 Jagung
2 Jagung
4.970 Padi sawah, Jagung
13.
Marawol
a
541 Jagung, Kacang tanah, - - -
87 Jagung
359 Padi sawah, Jagung
968 Padi sawah, Jagung
14. Marawol
a Barat
15 Padi sawah, Padi gogo,
jagung, Kac. Tanah
- - -
15.
Kinovaro 74 Jagung, kacang tanah - - -
239 Padi sawah, jagung, Kac.
tanah
Jumlah 56.429 - - - - Sumber: Data primer Kab. Sigi, 2012.
Analisis komoditas unggulan dapat dijadikan sebagai bahan acuan dalam
rangka pengembangan pembangunan pertanian di sub sektor tanaman pangan.
Rekomendasi komoditas unggulan yang dapat diberikan berdasarkan hasil
analisis pewilayahan komoditas unggulan di Kabupaten Sigi maka diusulkan
kepada Pemerintah Daerah atau pengambil kebijakan untuk direkomendasikan.
Jenis tanaman pangan yang baik dikembangkan di wilayah Kabupaten Sigi adalah
Padi sawah, Padi gogo, dan Jagung (komoditas unggulan). Disamping itu ada
beberapa komoditas alternatif tanaman pangan yang dapat dikembangkan, seperti
Kacang tanah, jagung, Ubi kayu dan Ubi jalar. Secara biofisik, komoditas tersebut
diatas layak untuk dibudidayakan karena kesesuian lahan berdasarkan ZAE.
Secara sosial (LQ >1), komoditas tersebut layak dikembangkan karena dapat
memberikan peluang berusaha dan penyerapan tenaga kerja cukup besar serta
komoditas tersebut mampu mencukupi kebutuhan daerahnya. Secara ekonomi
(R/C ratio >1), komoditas tersebut layak dikembangkan karena dapat memberikan
keuntungan bagi petani.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 77
KESIMPULAN
Pendekatan analisis komoditas dan sumberdaya lahan dipandang cukup
memadai dalam pembangunan pertanian spesifik lokasi. Untuk optimalisasi
pemanfaatan sumberdaya lahan tersebut, maka komoditas yang akan
dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya (biofisik)
dan sosial (LQ) dan keadaan ekonomi (R/C ratio) setempat. Dalam konteks yang
lebih global perlu diketahui juga situasi pasar dalam hal ini permintaan dan
penawaran komoditas baik di pasar domestik maupun di pasar dunia.
Pewilayahan komoditas unggulan berdasarkan keadaan sosial/Location
Quation (LQ) serta keadaan ekonomi setempat berpotensi untuk pengembangan
komoditas pertanian tanaman pangan, tanaman perkebunan, peternakan dan
perikanan. Hasil analisis komoditas tanaman pangan sebagian besar didominasi
oleh jagung dan padi sawah. Sumberdaya lahan Kabupaten Sigi sebagian besar di
dominasi wilayah hutan lindung dan hutan produksi serta sebagian wilayah
pengembangan pertanian lahan sawah dan lahan kering.
DAFTAR PUSTAKA
BBSDLP, 2012. Peta Analisis Sumberdaya Lahan Pertanian dan Kehutan.
BBSDLP Bogor.
Badan Litbang Pertanian, 2011. Atlas Zona Agroekologi Indonesia Skala
1:250.000. dalam Inovasi Mengantisipasi Perubahan Iklim untuk
Kemandirian Pangan. Laporan Tahunan 2010 Badan Litbang Pertanian,
Jakarta. Hal.8.
BPS Sulteng, 2011. Kabupaten Sigi dan Kecamatan Dalam Angkan Tahun 2009-
2011. Badan Pusat Statistik, Palu.
BPS Sulteng, 2011. Kabupaten Donggala dan Kecamatan Dalam Angka Tahun
2007-2009. Badan Pusat Statistik, Palu.
BPS, 2012. Kabupaten Sigi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Sulawesi
Tengah.
Hutahaean L., R. H. Anasiru, J. Limbongan, D. Bulo, Hartono, M. Rusdi, I. K.
Suwitra, C. Manoppo, A. Habie dan D. Mamesah, 2000. Analisis
Komoditas Unggulan Berdasarkan Zona Agroekologi (ZAe) Propinsi
Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Biromaru.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 78
Syafruddin, T. Rumajar, J. G. Kindangen, R. Aksono, Abdi Negara, Daniel Bulo,
dan J. Limbongan, 1999. Analisis Zona Agroekologi (ZAe) Propinsi
Sulawesi Tengah (Bio-Fisik). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian,
Biromaru.
Sudaryanto, T., A. Suryana, Roosmani ABST., dan S. Arifin, 1997. Keterpaduan
Manajemen Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Jakarta.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 79
Peluang Usahatani Penangkaran Benih Kedelai Pada Lahan Kering Di
Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah
Yakob Langsa
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl.Lasoso No 62 Biromaru Palu
Abstrak
Kedelai mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan merupakan komoditas terpenting
ketiga setelah padi dan jagung. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan (2010-2014),
kebutuhan kedelai setiap tahunnya + 2.300.000 ton biji kering, namun kemampuan
produksi dalam negeri saat ini baru mampu memenuhi 851.286 ton atau 37,01%.
Permasalahan yang menyebabkan rendahnya produksi dalam negeri, adalah
menurunnya luas tanam dan luas panen kedelai, sedangkan rendahnya produktivitas di
tingkat petani yaitu 13,78 ku/ha, hal ini disebabkan penerapan teknologi yang kurang
memadai terutama penggunaan benih, dimana petani sulit mendapatkan benih yang
berkwalitas. Selain itu juga, luas kepemilikan lahan petani sempit (<0,5 ha) dan adanya
persaingan harga antar komoditi, dimana harga kedelai impor lebih murah dibandingkan
harga kedelai dalam negeri. Satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas kedelai
ditingkat petani adalah ketersediaan benih bermutu dan varietas yang memiliki daya
hasil yang tinggi.Tujuan kegiatan ini adalah memperkenalkan Varietas Unggul Baru
(VUB) kedelai produk Badan Litbang Pertanian serta mendampingi dan mengawal
penyuluh dan petani (kelompok Tani) dalam menerapkan PTT Kedelai. Sehingga hasil
yang diperoleh dapat dijadikan sumber benih. VUB yang digunakan dalam kegiatan ini
adalah Willis, Anjasmoro, Argomulyo, Tanggamus, Kaba, dan Dering 1. Hasil
pengamatan menunjukkan bahwa Varietas Anjasmoro dan Willis, memberikan hasil yang
lebih baik dibandingkan dengan varietas lainnya. Produksi yang dihasilkan masing-
masing varietas adalah Anjasmoro 2,5 t/ha, Willis 2,2 t/ha, Tanggamus 2,08 t/ha,
Dering1 2,08 t/ha, Kaba 1,6 t/ha dan Argomulyo 1,6 t/ha polong kering. Varietas yang
diperkenalkan memberikan B/C rasio diatas satu, sehingga layak untuk dikembangkan.
Kata kunci : Penangkar, kedelai, lahan kering.
PENDAHULUAN
Kedelai mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan merupakan komoditas
terpenting ketiga setelah padi dan jagung. Selain merupakan bahan pangan juga
merupakan komoditas palawija yang kaya akan protein, sehingga sangat
dibutuhkan dalam industri pangan dan industri pakan. Kebutuhan kedelai terus
meningkat seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan kebutuhan bahan baku
olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack, dan
sebagainya. Kebutuhan kedelai akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan (2010-2014),
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 80
kebutuhan kedelai setiap tahunnya + 2.300.000 ton biji kering, namun
kemampuan produksi dalam negeri saat ini baru mampu memenuhi 851.286 ton
atau 37,01% dari total kebutuhan dalam negeri (BPS, 2011). Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, Indonesia harus mengimpor. Beberapa permasalahan yang
menyebabkan rendahnya produksi dalam negeri, adalah menurunnya luas tanan
dan luas panen kedelai, rendahnya produktivitas di tingkat petani yaitu 13,78
ku/ha (BPS, 2012), sedangkan ditingkat penelitian 20,00-35,00 ku/ha. Rendahnya
produktivitas tersebut disinyalir akibat penggunaan benih yang tidak berkwalitas,
dimanan petani menanam benih secara turun temurun. Selain itu senjang hasil ini
sangat dipengaruhi oleh tingkat kesuburan tanah dan penerapan teknologinya
(Amrizar, dkk, 2008).
Salah satu komponen paling penting dalam usaha pengembangan tanaman
kedelai adalah benih. Produksi benih yang berkembang secara nasional baru pada
industri benih tanaman padi. Sedang untuk kacang-kacangan termasuk kedelai
sebagian besar masih bersifat informal dan hasil tanpa jaminan mutu/sertifikasi
benih ( Anonimous, 2009 ). Varietas unggul sangat menentukan tingkat
produktivitas kedelai. Badan Litbang Pertanian dan Balitkabi telah melepas
varietas unggul kedelai lebih dari 30 varietas unggul (Balitkabi, 2009). Namun
varietas yang telah dihasilkan belum banyak dimanfaatkan oleh petani. Hal ini
disebabkan oleh distribusi benih ketingkat petani diberbagai daerah belum
optimal, sehingga belum tersedia dalam jumlah, kwalitas ditingkat petani pada
saat dibutuhkan. Upaya yang dapat digunakan untuk meningkatkan distribusi
benih sumber dengan memberikan pendampingan teknologi produksi benih
kepada kelompoktani menjadi penangkar benih diwilayah sentra produksi kedelai.
Desa Kayu Agung Kec.Mepanga merupakan sentra produksi tanaman
kedelai Kab.Parigi Moutong Sulawesi Tengah. Usahatani Kedelai dengan tujuan
untuk konsumsi khususnya untuk bahan baku temped an tahu telah dilakukan oleh
petani secara berkelanjutan didaerah ini. Petani diwilayah ini hanya menggunakan
varietas willis yang sudah ditanam secara terus menerus karena petani kesulitan
memperoleh benih varietas unggul yang baru.Untuk menyediakan benih unggul
kedelai secara tepat baik varietas, mutu, harga dan jumlah maka perlu adanya
penumbuhan, pembinaan dan pembinaan kelompok tani menjadi penangkar benih
diwilayah ini.
Melalui pendampingan PTT kedelai dalam bentuk demfarm Kelompok
tani suka maju melakukan kegiatan pembelajaran dilahan petani anggota
kelompok. Kegiatan ini merupakan pendampingan PTT kedelai, sehingga
merupakan wadah peneliti dan penyuluh BPTP mensosialisasikan PTT kedelai
sehingga dapat meningkatkan pengetahuan peserta dalam menerapkan PTT
kedelai. Setelah peneliti/penyuluh memberikan pembelajaran dalam bentuk SL
maka petani merespon dengan melaksanakan praktek diareal demfarm. Peluang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 81
Usaha untuk memproduksi benih bersertifikat sangat menjanjikan jika dilihat dari
luas areal pertanaman kedelai. Di Kab. Parigi Moutong ada 3000 ha areal
pertanaman kedelai, sedang di Kec, Mepanga ada 200 ha. Sehingga secara kusus
di Kec, Mepanga dibutuhkan benih sebanyak 8 ton dan Kab. Parigi Moutong
ditutuhkan benih sebanyak 120 ton/musim. Melihat prediksi kebutuhan benih
kedelai maka peluang usaha untuk memproduksi benih bersertifikat sangat
menjanjikan.
Pemanfaatan nilai tambah produk kedelai dari konsumsi menjadi benih
akan memberikan tambahan pendapatan. Karena itu melalui pendampingan PTT
kedelai dalam bentuk demfarm tahun 2013 BPTP mengajar petani yang tergabung
dalam kelompok tani Suka maju untuk memproduksi benih kedelai. Kegiatan ini
bertujuan untuk mengetahui hasil pemberdayaan petani dalam menangkarkan
benih dengan menerapkan PTT dan teknologi perbenihan, mampu memproduksi
benih bersertifikat.
BAHAN DAN METODA
Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Kayu Agung Kec.Mepanga Kab.Parigi
Moutong Sulawesi Tengah. Waktu pelaksanaannya dimulai bulan Juli hingga
Oktober 2013.
Pengkajian dilaksanakan di lahan petani seluas 3 (tiga) hektar. Kegiatan ini
merupakan bentuk pendampingan PTT Kedelai. Jumlah petani koperator
sebanyak 6 (enam) orang. Varietas unggul baru (VUB) yang dikaji sebanyak 6
(enam) varietas, yaitu Willis, Anjasmoro, Argomulyo, Tanggamus, Kaba, dan
dering 1. Penerapan teknologi budidayanya menggunakan pendekatan
Pendekatan Teknologi dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Inovasi teknologi PTT
kedelai yang diterapkan adalah: Penggunaan 6 (enam) varietas unggul baru
kedelai, perlakuan benih, olah tanah sempurna, pembuatan saluran drainase,
pengaturan jarak tanam, pengendalian OPT, pengolahan tanah, pemberian pupuk
organik, pemupukan berimbang dan pengendalian gulma.
PTT Kedelai yang diterapkan dilapangan dilakukan secara bertahap yang
dimulai dengan pengolahan tanah sempurna. Kemudian tanah dianalisis dengan
menggunakan PUTK. Hasil analisis tersebut memberikan rekomendasi
pemupukan dengan memberikan pupuk organik sebanyak 500 kg/ha dan kapur 50
kg/ha yang diberikan saat pengolahan tanah terakhir serta dihambur secara merata.
Pupuk Phonska dibutuhkan150 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 12,5 kg/ha.
Pemberian pupuk anorganik dilakukan pada saat tanaman berumur 7 hari setelah
tanam dan diberikan secara larikan dengan jarah 5 cm dari pangkal tanaman.
Penyiangan dilakukan satu kali pada umur 21 hari setelah tanam.
Agar mendapatkan benih yang berkwalitas dan seragam (tidak tercampur
dengan varietas lain maka dilakukan seleksi (roging) sebanyak tiga kali. Kegiatan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 82
ini penting dilakukan untuk mempertahankan kemurnian varietas kedelai yang
ditanam.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian Kebutuhan dan Peluang
Desa Kayuagung merupakan salah satu dari 13 desa di wilayah Kecamatan
Mepanga Kabupaten Parigi Moutong Provinsi Sulawesi Tengah yang terletak +
200 Km dari kota Palu. Desa Kayuagung memiliki luas wilayah 12,5 km2.
Pekerjaan penduduk Desa Kayu Agung sebagian besar bertani. Komoditas utama
yang diusahakan adalah tanaman padi dan palawija seperti Kedelai, jagung dan
umbi-umbian.
Proses pembelajaran diambil melalui PRA, yakni untuk mengetahui
permasalahan apa yang dialami dalam melaksanakan kegiatan demfarm kedelai.
Kegiatan pembelajaran dilakukan mulai dari pengolahan tanah hingga
pengemasan benih. Menurut petani permasalahan yang dihadapi petani adalah
sulitnya mendapatkan benih bermutu. Untuk itu BPTP mengajak petani menjawab
permasalahan tersebut dengan melakukan penangkaran benih.
Guna meningkatkan kapasitas petani dalam kelompoknya, maka BPTP
memberikan pembelajaran: a). Penggenalan dan penggunaan VUB, b). Penyiapan
lahan mulai dari pengolahan tanah, pembersihan gulma dan pembuatan bedengan,
c). Pemupukan, d). Pemberian air pada periode tertentu (fase fegetatif, fase
pembungaan dan pengisian polong. Pengendalian hama dan penyakit, pelaksanaan
rouging pada umur 10 – 15 hari umur 21 – 27 hst ( membuang warna dan bentuk
daun yang menyimpang), pasca panen yang ditandai dengan warna daun kuning
kecoklat-coklatan.
Pembelajaran dengan pola Sekolah Lapang
Pelaksanaan Sekolah lapang (SL) dihadiri oleh anggota kelompoktani,
petani sekitar dan petugas lapangan. Dari hasil SL tersebut diharapkan dapat
diterapkan dilahan usaha taninya terlebih bagi petugas lapangan dapat
mengajarkan diwilayah kerjanya terutama dalam mendukung SL-PTT kedelai.
Pengenalan varietas unggul baru adalah varietas yang mempunyai keunggulan
tersendiri seperti berproduksi tinggi, tahan terhadap penyakit tertentu, tahan
terhadap tekanan iklim yang ekstrim dan lain-lain. Varietas ungul baru kedelai
yang diperkenalkan kepada petani pada demfarm kedelai di Kab.Parimou adalah
merupakan produksi badan Litbang Pertanian yang dihasilkan oleh Balitkabi
Malang. Dalam Demfarm ini digunakan enam varietas unggul yakni Willis,
Agromulyo, Anjasmoro, Tanggamus, Kaba dan Dering 1.
Pelaksanaan SL pemupukan dasar dan penanaman direspon oleh petani 45
orang dan petugas lapangan sebanyak 5 orang, materi SL dipandu oleh
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 83
peneliti/penyuluh BPTP. Pemberian pupuk dasar ini dengan komposisi organik
sebanyak 500 kg perhektar dan kapur sebanyak 50 kg perhektar didasarkan pada
analisis tanah dengan menggunakan PUTK. Hasil analisis menunjukkan tanah
agak masam dengan PH berkisar antara 5-6, sehingga perlu dilakukan pengapuran
untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik. Sekolah lapang (SL)
pemupukan ini petani diajar terlebih dahulu untuk mencampur pupuk, dengan
kapur, setiap 100 kg pupuk organik dicampur 10 kg kapur. Pupuk yang sudah
tercampur di hambur secara merata pada areal pertanaman yang dikerjakan secara
bersamaoleh patani yang hadir.
Hasil analisis ditetapkan bahwa tanaman kedelai pada demfarm di desa
Kayu Agung perlu diberi pupuk Phonska 150 kg/ha, SP36 100 kg dan KCL 12,5
kg/ha sedang pupuk urea tidak perlu diberikan karena sudah cukup dalam
kandungan phonska serta tanaman kedelai dapat menfiksasi N dari udara. Ketiga
jenis pupuk tersebut diaduk secara merata lalu diberikan pada tenaman dengan
cara tugal atau larikan dengan jarak 5 cm dari pangkal tanaman. SL pengendalian
OPT disampaikan bahwa hama penting yang menyerang kedelai berbeda pada
setiap fase-fase. Pada fase pertumbuhan, umur 0 – 10 hst, serangan hama yang
perlu diwaspadai yaitu hama lalat bibit, serangan hama ini dapat merugikan petani
sampai 40%, Pada fase vegetatif, 10 hst sampai fase pembungaan, hama penting
yang perlu diwaspadai petani yaitu adanya serangan hama ulat grayak (ulat daun),
Ulat penggulung daun, dan ulat jengkal dan belalang. Serangan hama ini paling
umum yang ditandai dengan gerekan ulat pada daun sampai hanya menyisakan
tulang daun saja. Serangan hama-hama ini dapat mengakibatkan tanaman tidak
dapat berkembang secara optimal karena menggangu proses fotosintesis.
Pengendalian serangan ini dapat dilakukan dengan penggunaan tanaman
perangkap, pemantauan secara dini, penanaman serempak, dan bila gejala telah
menunjukkan 12,5% kerusakan pada daun dapat dilakukan pengendalian dengan
menggunakan insektisida yang berbahan aktif sipermetrin, lamda sihalotrin. Pada
fase ini juga perlu diwaspai adanya serangan penyakit mosaik virus, yang
ditularkan oleh vektor aphids, dan kutu kebul (kutu putih). Gejala serangan
penyakit ini ditandai dengan daun yang mengeriting, dan menunjukkan gejala
mosaik dan klorosis.
Pada fase pembungaan yang perlu diwaspadai adalah serangan layu
pucuk, yang menyebabkan terganggunya proses pembungaan. Pada fase
pengisian polong serangan hama yang perlu diwaspadai yaitu ulat penggerek
polong. Pengendalian yang dapat dilakukan yaitu dengan pemantauan secara dini,
penanaman serempak, tanaman perangkap,serta penggunaan parasitoid larva
Trichogramma sp.
Rouging/Seleksi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 84
Salah satu syarat dari benih bermutu adalah memiliki tingkat kemurnian
genetik yang tinggi, oleh karena itu rouging perlu dilakukan dengan benar.
Kegiatan rouging adalag uuntuk mengidentifikasi dan menghilangkan tanaman
yang menyimpang. Penangkar benih sebagai pelaksanan roging harus mengenali
dengan baik karakteristik varietas yang diusakan. Menurut Suhartina, dkk 2013)
mengatakan Kegiatan roging pada tanaman kedelai dilaksanakan pada fase
pertumbuhan awal, fase pembungaan dan fase masak. Rouging pada fase
pertumbuhan awal kita harus membuang tanaman lain tanaman yang tumbuh tidak
sehat dan warna hipokotil yang menyimpang. Pada fase pembungaan penangkar
harus membuang tanaman yang warna bunga dan warna bulu yang menyimpang,
sedang roging pada fase masak merupakan kegiatan untuk membuang warna
polong yang menyimpang.
Peluang Penangkaran Benih Kedelai
Sistim produksi benih berbasis komunal perlu dikembangkan untuk
memenuhi kebutuhan benih kedelai baik dari segi jumlah maupun varitas yang
sesuai, yang tersedia teppat waktu. Kelompok tani mempunyai peran yang
strategis untuk mengambil bagian dalam penyediaan benih (menjadi penangkar
benih). Dengan demikian pembinaan kelompok tani menjadi hal penting dalam
rangka kemandirian kelompok. Penyediaan benih dengan cara demikian akan
mempercepat tersedianya benih baik jumlah maupun varietasnya dengan tepat
waktu.
Tabel: Produksi benih kedelai di kelompok tani suka makmur, Desa Kayu
Agung, 2013.
Keterangan Tanggamus Argomulyo Kaba Wilis Dering 1 Anjasmoro
Total
Pengeluaran 7.335.500 7.335.500 7.335.500 7.335.500 7.335.500 7.335.500
Produksi(kg
/ha) 2,080 1.600 1.600 2.200 2.080 2.500
Total
Penerimaan 18.720.000 14.400.000 14.400.000 19.800.000 18.720.000 22.500.000
Keuntungan 11.384.500 7.064.500 7.064.500 12.464.500 11.384.500 15.164.500
R/C 1,5 1,9 1,9 2,6 2,5 3,0
Sumber Data: Data Primer setelah diola 2013.
Peluang untuk memproduksi benih kedelai yang bersertivikat sangat
menjanjikan di Kab. Parigi Moutung. Didaerah ini terdapat areal tanam 3000 ha
setiap musim tanam, dengan demikian dibutuhkan benih kedelai sebanyak 120 ton
setiap musim. BPTP Sulteng mendukung kelompok tani dalam penerapan
teknologi agar petani mampu memproduksi benih bersertifikat. Keberhasilan
petani dalam menghasilkan benih bersertifikat, dapat memberikan kontribusi
dalam menyediakan benih didaerah ini. Benih yang dihasilkan digunakan oleh
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 85
petani sekitar yang ada di Kec. Mepanga. Dengan menerapkan teknik budidaya
pada Demfarm kedelai di desa Kayuagung, Kecamatan Mepanga, Kabupaten
Parigi Moutong, maka diperoleh produksi dari masing-masing varietas yaitu,
Anjasmoro 2,5 ton/ha, Argomulyo 1,6 ton/ha, Dering1 2,08 ton/ha, Kaba 1,6
ton/ha Tanggamus 2,08 ton/ha danWillis 2,2 ton/ha. Dari hasil tersebut diketahui
produksi terendah 1,6 ton/ha yang dihasilkan oleh Argomulyo dan Kaba, sedang
hasil tertinggi yaitu 2,5 ton/ha. Dihasilkan oleh Anjasmoro.
Hasil perhitungan nilai R/C ratio pada usaha tani kedelai pada demfarm
kedelai diatas 1, yang terdiri dari Tanggamus 2,08, Argomulyo 1,6, Kaba 1,6,
Wilis 2,2, Dering 1 2,08 dan Anjasmoro 2,5. Artinya, setiap satuan biaya yang
dikeluarkan akan diperoleh hasil penjualan sebesar 1 kali lipat. Hasil ini
menunjukkan bahwa usaha tani kedelai pada demfarm layak untuk dikembangkan
dan diusahakan.
KESIMPULAN
1. Demfarm merupakan wadah pembelajaran petani untuk menerapkan inofasi
teknologi PTT Kedelai.
2. Produksi kedelai masing - masing varietas: Anjasmoro 2,5 ton/ha,
Tanggamus2,08 t/ha, Kaba 1,6 t/ha, Dering 1 2,08 t/ha, Argomulyo 1,6 t/ha
dan Wilis 2,2 t/ha.
3. Analisis Ekonomi dengan B/C Ratio diatas 1. Berarti varietas tersebut layak
untuk di kembangkan dan diusahakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2009. Teknologi Produksi Kedelai, Kacang Tanah, Kacang Hijau,
Ubi Kayu, Ubi Jalar. Balitkabi. 35 halaman.
Amrizar Nazar, Dewi Rumbaina Mustikawati dan Alvi Yani. 2008. Teknologi
Budidaya Kedelai. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Arwin, Nurfaidah Linda D dan Julianus T. 2011.Peta Parietas Tanaman Pangan.
UPT Pengawasan Mutu dan Sertivikasi Benih Tanaman Pangan dan
Hortikultura. Dinas Pertanian Daerah Propinsi Sulawesi Tengah.
BPS, 2012. Indonesia Dalam Angka. BPS. Jakarta.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 86
Budiharti, T dan S. Hadi. 2005. Komersialisasi varietas unggul dan
perbenihan kedelai di Indonesia.Makalah disampaikan pada
Lokakarya dan Seminar Nasional Pengembangan Kedelai di Lahan
Sub-Optimal. Balitkabi Malang, 26−27 Juli 2005. 17 hal.
Ditjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Padi, Jagung,
Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010. Ditjen Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian. 123 p.
Limbongan, J, Yakob Bunga T dan Ruslan Boy, 2001.Pengkajian Beberapa
Varietas Kedelai Menunjang Pengadaan Benih Unggul di Sulawesi
Tengah.Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian
Spesifik Lokasi di Sulawesi Tengah.
Ruslan Boy dkk., 2012. Laporan Akhir Pendampingan Sl-Ptt Padi, Jagung Dan
Kedelai Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Sulawesi Tengah. Palu.
Suhartina dkk., 2013. Panduan Rouging Tanaman dan Pemeriksaan Benih
Kedelai. Kementerian Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 87
Penerapan Teknologi Pola Tanam Dan Analisis Tingkat Pendapatan Pada Usahatani
Tanaman Pangan Lahan Kering Di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah
Hasmari Noer
Staf Pengajar Pada Fakultas Pertanian Universitas Alkhairaat Palu
Abstrak
Ketahanan pangan merupakan program utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan
penduduk Indonesia. Ada tiga tanaman pangan utama yang menjadi prioritas untuk
dikembangkan pemerintah yaitu: padi, jagung dan kedelai. Penelitian ini dilakukan
untuk mengetahui penerapan teknologi pola tanam pada usahatani tanaman pangan dan
untuk mengetahui tingkat pendapatan petani tanaman pangan pada lahan kering.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey. Lokasi penelitian adalah di
Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah. Metode penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian survei. Teknik penarikan sampel yang
digunakan adalah purposive sampling. Sampel penelitian berjumlah 50 responden yang
tersebar di 3 kecamatan yakni Kecamatan Moro Atas, Kecamatan Petasia dan
Kecamatan Bungku Utara di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah.
Pengumpulan data melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan studi
pustaka. Hasil dari analisis mengenai usahatani ini akan diuraikan secara deskriptif
dan untuk tingkat pendapatan akan digunakan analisis tingkat pendapatan. Hasil
penelitian menunjukkan Pola tanam I adalah petani melakukan pola pertanaman sejenis,
yaitu padi-padi, jagung-jagung, kedele-kedele dan kacang tanah-kacang tanah. Pola
Tanam II petani melakukan pola tanam padi gogo-jagung dan Pola Tanam III padi
gogo-kedele. Berdasarkan analisa usahatani dari empat komoditas tanaman pangan,
semuanya layak untuk dikembangkan di Kabupaten Morowali kecuali untuk tanaman
padi gogo dengan tingkat produktifitas 1 ton/ha. Oleh karena itu petani dapat
meningkatkan pendapatan apabila produktifitas juga tinggi.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Penerapan teknologi , usahatani, tanaman pangan, lahan kering,
PENDAHULUAN
Sektor pertanian merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sebagian
besar penduduk di Indonesia, karena sebagian besar penduduk Indonesia berada
di pedesaan dan hidup pada sektor pertanian. Di samping itu sektor pertanian
masih merupakan andalan penyerapan tenaga kerja dari 95,46 juta angkatan kerja
sekitar 42 persen bekerja di sektor pertanian (BPS, 2007), sebagian besar berada
pada usahatani komoditas tanaman pangan.
Bentuk usaha yang dilakukan petani dalam pengusahaan tanaman pangan
pada lahan kering pada kajian ini pertama adalah tercermin dari adanya penerapan
teknologi pola tanam, yang diusahakan oleh petani tanaman pangan pada lahan
kering. Dari susunan pola tanam apakah itu secara tumpang sari ataupun
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 88
monokultur pada dasarnya hal itu dilakukan oleh petani dalam usaha untuk
meningkatkan produksi dan tentunya untuk meningkatkan pendapatannya.
Potensi lahan untuk pengembangan sektor pertanian tanaman pangan
(padi gogo, jagung dan kedelai) berada pada lahan kering yang terdapat di luar
Pulau Jawa. Ketiga komoditi tersebut mempunyai potensi untuk dikembangkan
secara sinergi baik pada lahan sawah maupun lahan kering melaui perbaikan pola
tanam. Walaupun usahatani tanaman pangan yang berada pada lahan kering
diperhadapkan dengan tingkat kesuburan yang rendah, kekeringan dan
ketersediaan benih (Sania et.al, 2002).
Di Indonesia potensi lahan kering baik untuk tanaman semusim maupun
tanaman tahunan seluas 76,2 juta ha. Kabupaten Morowali merupakan salah satu
daerah yang mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan di lahan
kering di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah yaitu 692.629 ha (51,24 %) dari total
luas kering di Sulawesi Tengah (Bappeda, 2006). Dari aspek luasan lahan kering
maka kabupaten Morowali mempunyai potensi yang sangat besar. Dari kondisi
tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian tetang karakteristik dan potensi
pengembangan usahatani tanaman pangan pada lahan kering di Kabupaten
Morowali Sulawesi Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
karakteristik wilayah, tingkat penerapan teknologi serta kendala dan peluang
peningkatan produksi dan produktivitas usahatani lahan kering sekaligus sebagai
bahan acuan dalam perbaikan pola tanam dan penerapan teknologi budidaya
tanaman pangan di lahan kering.
Dalam usahatani keluarga merupakan suatu rumah tangga konsumsi yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi secara optimun dan rumah tangga
produksi yang bertujuan untuk memperoleh laba atau keuntungan yang
merupakan pendapatan dalam usahatani. Pendapatan usahatani komoditas
tanaman pangan adalah nilai bersih dari produksi total usaha komoditas tanaman
pangan yang merupakan selisih antara penerimaan total usahatani dan biaya total
yang dikeluarkan dalam usahatani yang dihitung dalam bentuk uang tunai.
Penerimaan total usahatani tersebut termasuk pula nilai produksi yang dikonsumsi
sendiri atau yang tidak dijual.
OBJEK DAN METODE PENELITIAN
1. Objek dan Lokasi Penelitian
Objek penelitian ini adalah petani yang melaksanakan usahatani komoditas
tanaman pangan pada lahan kering sebagai mata pencaharian.
Lokasi pelaksanaan penelitian ini adalah di Kabupaten Morowali Provinsi
Sulawesi Tengah. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 89
1. Kabupaten Morowali sampai saat ini masih mengandalkan sektor
pertanian sebagai penyumbang PDRB terbesar yaitu sebesar 65,40%
terhadap total PDRB atas dasar harga berlaku.
2. Kabupaten Morowali adalah daerah yang mempuyai agroekosistem
yang sebagian besar adalah lahan kering dan mempunyai potensi
untuk pengembangan komoditas tanaman pangan dan sebagian petani
mengembangkan usahataninya pada lahan-lahan yang tergolong lahan
kering tersebut dan jumlah petani adalah 87 % dari jumlah penduduk
sebesar 198.998 jiwa (BPS Morowali, 2008)
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan verifikatif. Penelitian
deskriptif merupakan suatu metode yang digunakan dalam penelitian sekelompok
manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran atau suatu kelas
peristiwa pada masa sekarang. Tujuannya adalah membuat deskripsi,
gambaran,atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang dikehendaki (M.Nasir, 2005).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian survei. Dalam survei ini , informasi dikumpukan dari responden
dengan menggunakan kuesioner. Pengertian survei dibatasi pada pengertian survei
sampel, dimana informasi dikumpulkan dari sebagian populasi untuk mewakili
populasi yang ada (Singarimbun et.al, 1984).
3. Metode Analisis
Data hasil pengamatan ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif. Analisis
Tingkat Pendapatan dan Kelayakan usahatani menggunakan R/C ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pola Penerapan Teknologi Pola Tanam Pada Usahatani Tanaman Pangan
di Kabupaten Morowali
Untuk menjawab rumusan masalah yang pertama dalam penelitian ini
yaitu bagaimana penerapan teknologi usahatani komoditas tanaman pangan pada
lahan kering di Kabupaten Morowali, dapat dilihat dari pola tanam yang
dilakukan oleh petani komoditas tanaman pangan pada lahan kering. Dalam
perencanaan penggunaan sember daya alam baik untuk pertanian maupun untuk
penggunaan lainnya, agar dapat bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan,
aspek pertama yang harus diketahui adalah karanteristik wilayah. Untuk subsektor
pertanian tanaman pangan karakeristik dan pola curah hujan merupakan salah satu
hal yang harus menjadi acuan dalam penetapan suatu rencara dan menjadi strategi
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 90
Stasiun Kolonedale
0
100
200
300
400
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
CH
da
n E
T (
mm
)
CH T ET
Stasiun Bungku
0
100
200
300
400
500
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan
CH
dan
ET
(m
m)
CH T ET
pengelolaan agar air yang berasal dari hujan atau dari irigasi dapat dioptimalkan
sehingga tidak merusak lingkungan serta dapat memberi hasil optimal. Dalam
penetapan jenis komoditas, waktu tanam dan pola tanam sangat berkaitan dengan
pola curah hujan agar tidak mengalami kegagalan panen. Dari hasil penelitian ini
didapatkan karakteristik dan pola hujan di kabupaten Morowali yang bertujuan
dalam penetapan jenis komoditi dan pola tanam berdasarkan kondisi
agroklimatnya. Petani berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan
usahataninya dapat mengetahui karakteristik dan pola hujan sepanjang waktu,
sehingga petani dapat menetapkan jenis komoditi dan pola tanam yang akan
dilakukannya sesuai dengan pola hujan tadi. Dari hasil penelitian didapatkan tiga
pola tanam yang dilakukan oleh petani. Pola tanam I adalah petani melakukan
pola pertanaman sejenis, yaitu padi-padi, jagung - jagung, kedele - kedele dan
kacang tanah - kacang tanah. Pola Tanam II petani melakukan pola tanam padi
gogo-jagung dan Pola Tanam III padi gogo-kedele, untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Pilihan Komoditas dan Pola Tanam Berdasarkan Curah Hujan
Pola tanam Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
Tanaman pangan lahan kering
Pola tanam I
Padi gogo Padi gogo Palawija
Jagung Jagung Palawija
Kedele Kedele Sayuran
Kacang tanah Kacang tanah Bera
Pola tanam II Padi gogo Jagung Sayuran
Pola tanam III Padi gogo Kedele Bera
Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh LP2SP (2006), Bahwa
Kabupaten Morowali mempunyai karakteristik dan pola hujan tetap, hal ini
terlihat dari dua stasiun yaitu stasiun Bungku dan stasiun Kolonodale seperti
ditampilkan pada Gambar 1.
Sumber: : LP2SP, 2006
Gambar 1. Hasil Perhitungan Surflus-Defisit Air pada Dua Stasiun Pengamatan
Curah Hujan di Kabupaten Morowali Sulawesi Tengah
Pada Gambar1.A dan 1.B terlihat pola curah hujan yang berbeda, sehingga
dalam perencanaan pemgembangan dan pola tanamnya tentu berbeda pula. Pada
A B
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 91
gambar tersebut terlihat bahwa wilayah kolonodale mempunyai pola curah hujan
yang jelas, merata dan tidak pernah terjadi defisit, sedangkan pada daerah Bungku
mempunyai pola yang fluktuatif dan terjadi defisit pada bulan September–
Desember. Artinya bahwa potensi kedua wilayah untuk pengembangan usahatani
terutama tanaman pangan sangat berbeda. Pada Gambar 1.A terdapat peluang dan
pengembangan pola tanam padi – padi - palawijah/sayuran sedangkan pada
Gambar 1.B kemungkinan pengembangan dan pola tanamnya adalah
palawija/sayuran-padi-palawija. Tujuan penerapan pola tanam pada usahatani
tanaman pangan adalah agar air dapat termanfaatkan secara maksimal dan
optimal. Agar sumber air dapat dimanfaatkan secara optimal maka ditingkat
lapangan harus disosialisasikan dengan baik dan sebaiknya disertai dengan
pembimbingan yang intensif dari petugas lapangan.
Dari Gambar 1. ada perbedaan karakteristik agroklimat (curah hujan)
antara dua stasiun pengamatan. Pada stasiun Kolonedale, akan dapat ditentukan
dan memilih jenis komoditas serta pola tanam yang akan di kembangkan, yang
harus menjadi pertimbangan selanjutnya adalah aspek ekonomi dan budaya.
Karena kedua aspek ini sangat berpengaruh terhadap keberhasilan suatu
perencanaan dan strategi pemanfaatan sumber daya baik sumberdaya alam
maupun sumber daya air. Hal diatas menunjukkan bahwa fungsi dan peranan dari
petugas di lapangan sangat diharapkan terutama penggunaan alat-alat pencatat
curah hujan disetiap setiap wilayah, hal ini disebabkan setiap wilayah mempunyai
curah hujan yang berbeda-beda sehingga penetapan pola tanam berdasarkan
agroklimat dapat memberikan keuntungan kepada petani.
2. Pendapatan dan Analisis Kelayakan Usahatani Komoditas Tanaman
Pangan pada Lahan Kering di Kabupaten Morowali
Pendapatan dan analisis kelayakan usahatani komoditas tanaman pangan
pada lahan kering di Kabupaten Morowali dilakukan untuk mengetahui kelayakan
finansial usahatani yang diusahakan dan mengetahui berapa besar pendapatan dari
komoditas tanaman pangan pada lahan kering yang diusahakan petani. Dari
analisis ini dapat diketahui apakah usahatani komoditas tanaman pangan pada
lahan kering di Kabupaten Morowali layak dikembangkan atau tidak. Komoditas
utama yang dikembangkan pada lahan kering di Kabupaten Morowali adalah padi
gogo, jagung, kedele dan kacang tanah.
Pendapatan petani adalah selisih antara penerimaan dengan total biaya per
usahatani dengan satuan Rp sedangkan indikator analisis kelayakan yang dipakai
adalah R/C ratio (Return Cost Ratio). Soekartawi (1995) menyebutkan bahwa R/C
ratio adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya.
Varietas padi gogo yang diusahakan petani di Kabupaten Morowali adalah
dominan varietas lokal dengan biaya benih per kg sebesar Rp. 5.000. Adapun
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 92
analisa usahatani komoditas padi gogo dengan berbagai tingkat produktifitas di
Kabupaten Morowali disajikan pada Tabel 1.
Hasil analisis usahatani komoditas padi gogo di Kabupaten Morowali
memberikan gambaran bahwa komoditas padi gogo yang diusahakan dengan
tingkat produktifitas 2,5 ton/ha memberikan pendapatan kotor tertinggi Rp.
7.500.000,- dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 4.134.000,- dengan R/C ratio
2,2 dan layak untuk dikembangkan. Pada tingkat produktifitas 1 ton/ha komoditas
padi gogo tetap layak dikembangkan karena R/C ratio tidak kurang dari 1 tapi
tingkat pendapatan rendah,, oleh karena itu untuk komoditas padi gogo tetap layak
untuk dikembangkan pada tingkat produktifitas 1 ton/ha.
Tabel 1. Analisis Usahatani Padi Gogo dengan Berbagai Tingkat
Produktifitas di Kabupaten Morowali Tahun 2010
No Rincian/item Tingkat Produktifitas (Ton/ha)
1,0 2,0 2,5
1. Biaya Sarana Produksi
(Rp/ha)
- Benih
- Pupuk
- Pestisida
- Herbisida
300.000
175.000
50.000
425.000
120.000
105.000
-
225.000
210.000
120.000
140.000
5. Upah buruh/TK (Rp/ha)
a. Pengolahan tanah
b. Menanam*
c. Memelihara
d. Pemupukan*
e. Memanen
800.000
500.000
300.000
-
400.000
800.000
-
600.000
500.000
640.000
800.000
-
600.000
500.000
640.000
6. Pengeluaran lain
a.Pajak
b.Biaya sewa lahan
c.Bunga
15.000
20.000
20.000
8. Total Biaya Usahatani
(Rp.ha)
2.540.000 3.210.000 3.366.000
9 Produksi/Penerimaan 3.000.000 6.000.000 7.500.000
10 Pendapatan Usahatani 460.000 2.790.000 4.134.000
11 R/C 1,18 1,8 2,2
Data Primer tahun 2010
Ket: Harga Gabah Padi Gogo Rp 3000/kg
Komoditas utama lainnya yang dikembangkan di Kabupaten Morowali
adalah jagung, dengan biaya benih per kg sebesar Rp. 5.000. Adapun analisa
usahatani komoditas jagung dengan berbagai tingkat produktifitas di Kabupaten
Morowali disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 93
Hasil analisis usahatani komoditas jagung di Kabupaten Morowali
memberikan gambaran bahwa komoditas jagung yang diusahakan dengan tingkat
produktifitas 4,5 ton/ha memberikan pendapatan kotor tertinggi Rp. 11.250.000,-
dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 8.230.000,-, dengan B/C ratio 3,37 dan
layak untuk dikembangkan. Pada tingkat produktifitas 1 ton/ha komoditas jagung
tetap layak dikembangkan karena R/C ratio tidak kurang dari 1 tapi tingkat
pendapatan rendah, oleh karena itu untuk komoditas jagung layak untuk
dikembangkan di Kabupaten Morowali.
Tabel 2. Analisis Usahatani Jagung dengan Berbagai Tingkat Produktifitas di
Kabupaten Morowali Tahun 2010
No Rincian/item Tingkat Produktifitas (Ton/ha)
1,0 2,0 4,5
1. Biaya Sarana Produksi
(Rp/ha)
- Benih
- Pupuk
- Pestisida
- Herbisida
100.000
140.000
70.000
-
150.000
140.000
250.000
-
200.000
375.000
135.000
140.000
5. Upah buruh/TK (Rp/ha)
f. Pengolahan tanah
g. Menanam*
h. Memelihara
i. Pemupukan*
j. Memanen
700.000
400.000
300.000
-
400.000
800.000
600.000
600.000
-
600.000
800.000
450.000
450.000
450.000
-
6. Pengeluaran lain
a.Pajak
b.Biaya sewa lahan
c.Bunga
20.000
20.000
20.000
8. Total Biaya Usahatani
(Rp.ha)
2.130.000 3.160.000 3.020..000
9 Produksi/Penerimaan 2.500.000 5.000.000 11.250.000
10 Pendapatan Usahatani 370.000 1.840.000 8.230.000
11 R/C 1.17 1,58 3,73 Data Primer tahun 2010
Ket: Harga jagung Rp 2.500/kg
Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan analisis hasil usahatani
padi gogo dan jagung di daerah Kabupaten Sikka NTT yang keadaan
agroekosistemnya sama dengan daerah di Kabupaten Morowali yaitu dominasi
praktek usahatani adalah lahan kering, dengan produktifitas 1,0 ton/ha,
menunjukkan bahwa usahatani padi gogo dan jagung layak untuk diusahakan,
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 94
karena nilai R/C rationya 1,59 untuk padi gogo dan 1,62 untuk jagung dan
menguntungkan kepada petani (Bernard dkk, 2005)
Salah satu komoditas utama yang diusahakan di Kabupaten Morowali
adalah kedele, dengan biaya benih per kg sebesar Rp. 10.000. Adapun analisa
usahatani komoditas kedele dengan berbagai tingkat produktifitas di Kabupaten
Morowali disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Usahatani Kedele dengan Berbagai Tingkat Produktifitas di
Kabupaten Morowali Tahun 2010
No Rincian/item
Tingkat Produktifitas (Ton/ha)
1,0 1,5 2,5
1. Biaya Sarana Produksi
(Rp/ha)
- Benih
- Pupuk
- Pestisida
- Herbisida
150.000
20.000
140.000
75.000
300.000
300.000
300.000
-
400.000
775.000
300.000
75.000
5. Upah buruh/TK (Rp/ha)
k. Pengolahan tanah
l. Menanam*
m. Memelihara
n. Pemupukan*
o. Memanen
750.000
-
400.000
-
300.000
750.000
750.000
480.000
550.000
-
750.000
600.000
500.000
600.000
600.000
6. Pengeluaran lain
a.Pajak
b.Biaya sewa lahan
c.Bunga
20.000
-
-
20.000
-
-
20.000
-
-
8. Total Biaya Usahatani
(Rp.ha)
1.855.000 3.430.000 4.620.000
9 Produksi/Penerimaan 3.000.000 9.000.000 15.000.000
10 Pendapatan Usahatani 1.145.000 5.570.000 10.380.000
11 R/C 1,61 2,62 3,25 Data Primer tahun 2010
Ket: Harga kedele Rp 6000/kg.
Hasil analisis usahatani komoditas kedele di Kabupaten Morowali
memberikan gambaran bahwa komoditas kedele yang diusahakan dengan tingkat
produktifitas 2,5 ton/ha memberikan pendapatan kotor tertinggi Rp. 15.000.000,-
dengan keuntungan bersih sebesar Rp. 10.380.000,-, dengan R/C ratio 3,25 dan
layak untuk dikembangkan. Pada tingkat produktifitas 1 ton/ha komoditas kedele
tetap layak dikembangkan karena R/C ratio tidak kurang dari 1, oleh karena itu
untuk komoditas kedele layak untuk dikembangkan di Kabupaten Morowali.
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 95
KESIMPULAN
1. Pola tanam I adalah petani melakukan pola pertanaman sejenis, yaitu padi-
padi, jagung-jagung, kedele-kedele dan kacang tanah-kacang tanah. Pola
Tanam II petani melakukan pola tanam padi gogo-jagung dan Pola Tanam III
padi gogo-kedele.
2. Berdasarkan analisa usahatani dari empat komoditas tanaman pangan,
semuanya layak untuk dikembangkan di Kabupaten Morowali kecuali untuk
tanaman padi gogo dengan tingkat produktifitas 1 ton/ha. Oleh karena itu
petani dapat meningkatkan pendapatan apabila produktifitas juga tinggi.
3. Masih terdapat peluang peningkatan produksi dan produktivitas tanaman
pangan lahan kering di Kabupaten Morowali dengan cara memperbaiki
penerapan inovasi teknologi
DAFTAR PUSTAKA
Bustanul Arifin, Chrisman. S., M. Husen Sawit, Muajir Utomo. 1997.
Pemberdayaan Lahan Kering Untuk Penyediaan Pangan Abad 21.
Lampung : Perhepi dan Unila.
Bappeda. 2006. Farming System Zone Kabupaten Morowali, Kerjasama dengan
LP2SP Palu Provinsi Sulawesi Tengah.
BPS, 2007. Statistik Indonesia. Jakarta : Biro Pusat Statistik
Geertz,C. 1983. Involusi pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia,
Lembaga Penelitian Sosial Pedesaan IPB dan Yayasan Obor Bharata
Karya Aksara: Jakarta
Soekartawi.1995. Analisis Usahatani. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press). Jakarta.
Tejoyuwono Notohadiprawiro. 1989. Pertanian Lahan Kering Di Indonesia:
Potensi, Prospek, Kendala Dan pengembangannya. Lokakarya Evaluasi
Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija SFCDPUSAID. Bogor 6-8
Desember
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 96
Usman Hardi. 1990. Prilaku Ekonomi Rumah Tangga Usahatani Sebagai Unit
Produksi dan Konsumsi Terpadu dengan Aplikasi pada Petani Padi.
Disertasi tidak dipublikasikan. Bandung : Unpad.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 97
Pemanfaatan Pangan Lokal untuk Produksi Tortilla Fungsional Berbasis
Labu Kuning
If’all
Dosen Tetap Program Studi Teknologi Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Alkhairaat Palu
Email : [email protected] HP. 081341039224
Abstrak
Labu merupakan sumber potensial gizi untuk dikembangkan sebagai bahan pangan
alternatif dengan memprosesnya untuk membentuk makanan olahan seperti makanan
ringan di samping untuk melayani sebagai dikukus, direbus, digoreng, dan makanan
panggang atau memasak dengan zat lain. Labu mengandung 78,77% karbohidrat, 3,74%
protein, 1,34% lemak, dan 2,80% serat kasar. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
kualitas kimia dan organoleptik labu berdasarkan tortilla yang dihasilkan dari rasio
terbaik dari labu, ubi kayu dan ubi jalar. Penelitian ini menggunakan desain Acak
Lengkap dengan faktor tunggal berbagai bobot Selain labu. Perlakuan yang diuji adalah
tujuh tingkat bobot labu termasuk 500 g, 750 g, 1000 g, 1250 g, 1500 g, 1750 g dan 2000
g. Setiap perlakuan diulang tiga kali; Oleh karena itu, ada 21 unit eksperimental.
Parameter yang diuji adalah karakteristik kimia tortilla seperti konten karoten, kadar air
dan kadar abu, dan kualitas organoleptik termasuk warna, aroma, rasa, renyah dan
kinerja tortilla. Hasil penelitian menunjukkan bahwa labu mempengaruhi seluruh
karakteristik kimia dan semua kualitas organoleptik kecuali kualitas aroma. Isi karoten,
air dan abu meningkat dengan meningkatkan bobot labu. Tingkat kesukaan panelis 'pada
tortilla menurun dengan meningkatnya penggunaan labu. Rasio 1000 g labu sampai 1000
g singkong dan 250 g ubi jalar fluor adalah formula terbaik untuk memproduksi yang
terbaik tortilla kimia dan sifat organoleptik.
-------------------------------------------------------
Key words : Fungsional makanan, labu, tortilla
PENDAHULUAN
Peluang pengembangan labu kuning sebagai bahan pangan berpati cukup
besar dan terus didorong oleh pemerintah. Penggunaannya sebagai bahan
makanan dapat diarahkan untuk menunjang ketahanan pangan nasional melalui
program diversifikasi pangan di samping peluangnya sebagai bahan baku industri
sangat luas diantaranya pada pembuatan makanan ringan.
Labu kuning termasuk salah satu jenis pangan yang mengandung 78,77%
karbohidrat, 3,74% protein, 1,34% lemak dan 2,90% serat kasar (Hidayah, 2010).
Gardjito dkk. (2006) menyatakan bahwa labu kuning mengandung 31,83% pati
dan diperkaya dengan serat. Selanjutnya Permana (2010) melaporkan bahwa
keripik labu kuning mengandung 11,75% air, 51,48% pati dan 3,40% serat kasar.
Sebagai salah satu komoditas hortikultura yang tergolong famili
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 98
Cucurbitaceae, labu kuning memiliki warna oranye yang menandakan bahwa
labu mengandung antioksidan penting yaitu β-karoten. Bahan ini dikonversi
menjadi vitamin A di dalam tubuh. Di dalam proses konversi menjadi vitamin
A, β-karoten menghasilkan banyak fungsi penting untuk kesehatan secara
keseluruhan. Karoten merupakan salah satu pigmen karotenoid (Muchtadi et all.,
2010a) di mana senyawa tersebut berhubungan erat dengan kadar vitamin A di
dalam sayuran. Sebagai contoh, β-karoten yang banyak terdapat di dalam labu
kuning adalah precursor vitamin A (provitamin A) yang penting karena setiap
molekul β-karoten di dalam tubuh manusia akan diproses menjadi dua molekul
vitamin A. Fortifikasi karoten pada makanan dapat menyebabkan terjadinya
peningkatan kapasitas antioksidan dalam plasma (Holt et al., 2002). Menurut
Winarno (2004), karotenoid merupakan kelompok pigmen yang berwarna kuning,
oranye, merah oranye serta larut dalam lipida. Karotenoid dibedakan menjadi dua
yaitu xantofil dan hidrokarbon karoten. Karotenoid yang banyak terdapat dalam
bahan makanan adalah β-karoten yang terdapat dalam buah yang berwarna
kuning seperti labu kuning.
Oleh karena kandungan gizi yang cukup lengkap dan harganya relatif
murah, maka labu kuning sangat potensial untuk dikembangkan sebagai alternatif
pangan masyarakat. Selama ini pemanfaatan labu kuning terbatas hanya dengan
direbus atau bentuk pangan olahan lain yang cenderung tidak tahan lama
(makanan semi basah). Adapun salah satu cara pemanfaatan labu kuning agar
lebih tahan lama adalah dengan mengolahnya menjadi tortilla labu kuning, yang
disubstitusi dengan ubi kayu dan tepung ubi jalar.
Tortilla merupakan salah satu contoh makanan ringan hasil diversifikasi
bahan pangan. Tortilla pada awalnya merupakan makanan khas yang sangat
populer di Meksiko sebagai produk olahan jagung hasil pemasakan alkali,
berbentuk keripik (chips) atau bundar gepeng dengan ukuran ketebalan bervariasi
di tiap negara, oleh karena itu tidak ada standar khusus bagi Tortilla (Pascut et al.,
2004).
Tortilla dapat dibuat dari berbagai bahan terutama yang mengandung pati
atau bahan tidak berpati dengan penambahan tepung pati. Kualitas Tortilla
ditentukan oleh proses gelatinisasi pati. Gelatinisasi pati adalah perubahan granula
pati yang membengkak luar biasa, tetapi tidak dapat kembali lagi pada kondisi
yang semula. Granula-granula pati yang tergelatinisasi sempurna akan
mengakibatkan pemecahan sel-sel pati lebih baik selama penggorengan (Siaw et
al., 1985 dalam Permana, 2010).
Penambahan ubi kayu pada pembuatan tortilla berbasis labu kuning
berfungsi untuk mendapatkan kerenyahan dan pengikat adonan yang baik karena
ubi kayu mengandung 17% amilosa dan 83% amilopektin sehingga mempunyai
daya ikat yang tinggi dan membentuk struktur kuat (Wicaksono, 2008). Menurut
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 99
Matz (1984), untuk menghasilkan produk dengan mutu yang baik maka tepung
harus mengandung amilopektin tinggi yakni di atas 70%. Sebagian amilosa
dibutuhkan untuk memberikan daya tahan pecah yang memadai dan tekstur dapat
diterima.
Penambahan tepung ubi jalar berfungsi untuk mendapatkan adonan tortilla
yang homogen. Tepung ubi jalar memiliki sifat fisik dan kimia yang sangat
berbeda dengan tepung terigu, hal ini disebabkan tepung ubi jalar telah mengalami
proses gelatinisasi serta pengeringan sehingga telah kehilangan sifat-sifat asal
karbohidrat. Sifat fisik dan kimia yang paling menonjol adalah tingginya nilai
penyerapan air dan nilai kelarutan air, rendahnya pati dan tingginya gula reduksi
sehingga diperoleh adonan yang homogen (Utomo dan Antaralina, 2002).
Berdasarkan uraian di atas maka dirumuskan masalah yaitu bagaimana
mutu kimiawi dan organoleptik tortilla berbasis labu kuning yang dihasilkan dari
rasio terbaik labu kuning, ubi kayu dan ubi jalar.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji mutu kimiawi dan organoleptik
tortilla berbasis labu kuning yang dihasilkan dari rasio labu kuning, ubi kayu dan
ubi jalar terbaik.
METODE
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Pertanian Universitas
Alkhairaat Palu dan Laboratorium Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tadulako Palu. Penelitian dilaksanakan
mulai Desember 2012 hingga Maret 2013. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode eksperimental di Laboratorium. Penelitian ditata
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktor tunggal yakni
penambahan berat labu kuning yang berbeda dan Rancangan Acak Kelompok
(RAK) untuk uji organoleptik. Adapun perlakuan yang diujikan terdiri atas 7 taraf
yaitu :
P1 = 500 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
P2 = 750 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
P3 = 1000 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
P4 = 1250 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
P5 = 1500 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
P6 = 1750 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
P7 = 2000 g labu kuning : 1000 g ubi kayu : 250 g tepung ubi jalar
Seluruh perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga diperoleh 21 unit
penelitian. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan yang diujikan dalam pembuatan
tortilla maka dilakukan analisis sidik ragam dan jika perlakuan berpengaruh nyata
dilanjutkan dengan uji BNJ (α = 0,05). Parameter pengukuran terdiri atas mutu
kimia tortilla yang meliputi kadar karoten, kadar air dan kadar abu serta mutu
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 100
organoleptik terhadap warna, aroma, rasa, kerenyahan dan kenampakan tortilla.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Karoten
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar karoten tortilla berbasis labu kuning
yang dihasilkan. Adapun kadar karoten tortilla pada masing-masing penambahan
labu kuning disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar karoten tortilla pada masing-masing penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Kadar karoten (mg/100 g) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
9,61c
10,12c
18,45b
18,83b
20,96ab
23,25ab
25,86a
5,37
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
sebanyak 1000-1750 g memberikan kadar karoten yang relatif sama yakni
berkisar 18,45-23,25 g/100 g. Penambahan labu kuning dalam pembuatan tortilla
cenderung meningkatkan kadar karoten produk tersebut. Akan tetapi, apabila
penambahan labu kuning ditingkatkan hingga 2000 g maka karoten yang
terkandung di dalam tortilla tidak berbeda jika dibanding dengan penambahan
1500-1750 g labu kuning. Sebaliknya, penambahan labu kuning kurang dari
1000 g, yakni 500-750 g menghasilkan karoten yang rendah di dalam tortilla yaitu
berkisar 9,61-10,12 g/100 g.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak labu kuning yang
ditambahkan ke dalam adonan maka semakin tinggi kadar karoten tortilla yang
dihasilkan. Hal ini disebabkan labu kuning mengandung β-karoten yang tinggi
yaitu 7,29 mg pada setiap 100 g labu kuning. Selanjutnya hasil uji BNJ α 0,05
membuktikan bahwa penambahan 2000 g labu kuning mengandung kadar karoten
tertinggi di dalam tortilla yaitu 25,86 mg/100 g bahan, hal ini sesuai pendapat
Apandi (1984) bahwa pigmen karotenoid menyebabkan jaringan berwarna kuning,
yang didukung oleh pernyataan Winarno (1997) bahwa karoten terdapat pada
buah yang berwarna kuning seperti labu kuning. Hasil penelitian Latifah dkk,
(2010) menunjukkan bahwa penambahan tepung labu kuning dan tepung tapioka
dengan rasio (65:35) memberikan kadar β-karoten di dalam tortilla sebesar
33,24%. Selanjutnya Santosa dan Kusumayanti (2012) membuktikan bahwa di
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 101
dalam labu kuning terdapat kandungan β-karoten sebesar 1,15 mg/100 g dan
dalam residu jus buah labu kuning masih terdapat banyak β-karoten yakni 0,95
mg/100 g bahan. Lebih lanjut didukung oleh Gardjito dan Sari (2005)
mengemukakan bahwa labu kuning mengandung provitamin A sebesar 767 μg/g
bahan.
Identifikasi karoten secara spektrofotometri didasarkan atas bentuk
spectrum serapan dan nilai panjang gelombang serapan maksimum (Mappiratu,
1990). Tortilla diukur serapannya pada panjang gelombang maksimum yaitu
450 nm. Warna karoten mempunyai kisaran dari kuning sampai merah, maka
deteksi panjang gelombangnya antara 430-480 nm (Schwartz dan Elbe, 1996
dalam Kuswardhani, 2007). Komponen karoten memiliki sifat penyerapan
panjang gelombang tertentu dan menyerap panjang gelombang yang berbeda
secara maksimum, jika digunakan pelarut yang berbeda. Menurut Goodwin (1976)
dan Baurenfeind (1981) dalam Mappiratu (1990) nilai panjang gelombang serapan
maksimum karoten dalam pelarut heksan adalah 450 nm.
Karoten akan rusak selama proses pengeringan dan penggorengan. Makin
tinggi suhu dan makin lama pemanggangan yang diberikan maka akan semakin
banyak zat warna yang rusak dan akan mudah teroksidasi. Karotenoid merupakan
senyawa alami yang tingkat tidak jenuhannya sangat tinggi sehingga sangat
mudah terdegradasi akibat oksidasi dalam proses pemanasan (Kurniawan, 2012).
Retensi karoten dalam pembuatan biskuit dipengaruh oleh suhu pemanggangan
sehingga pada suhu 190 oC dihasilkan biskuit dengan retensi karoten sebesar
94,79%, retensi karoten terendah 63,22% ditemukan pada suhu pemanggangan
160 oC (Wardani et all., 2010).
Kadar Air
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
berpengaruh nyata terhadap kadar air tortilla berbasis labu kuning yang
dihasilkan. Adapun kadar air tortilla pada masing-masing penambahan labu
kuning disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kadar air tortilla pada masing-masing penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Kadar air (%) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
1,73b
5,93ab
5,43ab
6,67ab
7,40a
7,87a
8,37a
5,24
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
sebanyak 750-2000 g memberikan kadar air yang relatif sama yakni berkisar
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 102
5,93-8,37%. Penambahan labu kuning dalam pembuatan tortilla cenderung
meningkatkan kadar air produk tersebut. Akan tetapi, penambahan labu kuning
kurang dari 750 g yakni 500 g menghasilkan kadar air yang rendah di dalam
tortilla yaitu sebesar 1,73%.
Air merupakan komponen penting dalam bahan pangan yang dapat
mempengaruhi kualitas bahan. Penurunan jumlah air dapat mempengaruhi laju
kerusakan bahan pangan akibat kerusakan oleh proses mikrobiologis, kimiawi dan
enzimatis (Fardiaz, 1992). Rendahnya kadar air suatu bahan pangan merupakan
salah satu faktor yang dapat membuat bahan pangan lebih awet. Proses
pengurangan kadar air dapat dilakukan salah satunya melalui proses pengeringan.
Menurut Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010b) pengeringan adalah suatu cara
untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan
dengan cara menyerapkannya menggunakan energi panas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan 500 g labu kuning
menghasilkan tortilla dengan kadar air terendah yaitu 1,73% dan penambahan
2000 g labu kuning menghasilkan tortilla dengan kadar air tertinggi, hal ini
disebabkan labu kuning mengandung air yang cukup banyak kemudian
mengalami proses penghancuran dengan penambahan sejumlah air untuk
menjadikan bentuk bubur labu kuning. Inilah yang menyebabkan tingginya air
pada bahan sehingga dengan semakin banyaknya jumlah bubur labu kuning yang
dipergunakan maka kadar air akan semakin meningkat hingga pada tortilla yang
dihasilkan. Dapat pula dikatakan bahwa penambahan 500 g labu kuning + 250 g
tepung ubi jalar + 1000 g ubi kayu merupakan rasio yang seimbang untuk
menghasilkan tortilla dengan kadar air terendah, hal ini diduga bahwa tortilla
berbasis labu kuning mampu mengikat air dan mengandung gluten yang berasal
dari penambahan ubi kayu di mana gluten tersebut berfungsi sebagai pengikat air,
sebagaimana pernyataan Sunaryo (1985) bahwa gluten berfungsi sebagai pengikat
air dan pembentuk elastisitas adonan.
Setelah mengalami penggorengan, kadar air tortilla dapat menurun
sebagaimana yang diuraikan oleh Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010b) bahwa
selama penggorengan, air dan uap air akan dikeluarkan melalui kapiler yang lebih
besar terlebih dahulu kemudian digantikan oleh minyak panas. Air keluar dari
permukaan bahan pangan melalui lapisan tipis minyak goreng. Ketebalan lapisan
minyak akan mengontrol laju pindah panas dan pindah massa, yang ditentukan
oleh kekentalan dan kecepatan pengadukan minyak. Adanya perbedaan tekanan
uap air pada bagian dalam bahan pangan yang basah dengan minyak, merupakan
gaya yang mendorong terjadinya kehilangan air.
Kadar air produk tortilla labu kuning berkisar antara 1,73-8,37%. Menurut
Winarno (2004), kadar air bahan yang berkisar antara 3-7% mengindikasikan
tingkat kestabilan optimum bahan tersebut tercapai. Dengan demikian,
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 103
pertumbuhan mikroba dan reaksi-reaksi kimia yang bersifat merusak makanan
seperti reaksi browning, hidrolisis, atau hidrolisis lemak akan berkurang. Oleh
karena itu, produk keripik tortila labu kuning ini dapat dikatakan memiliki daya
simpan yang baik karena kadar air yang dikandungnya rendah. Selain itu kadar air
dalam bahan pangan juga ikut berperan dalam pembentukan sifat organoleptik
produk. Kadar air akan berpengaruh terhadap kenampakan, tekstur dan citarasa
dari suatu makanan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Winarno (2004) bahwa air
merupakan komponen terpenting dalam bahan makanan karena air mempengaruhi
kenampakan, tekstur serta citarasa makanan.
Kadar Abu
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
berpengaruh sangat nyata terhadap kadar abu tortilla berbasis labu kuning yang
dihasilkan. Adapun kadar abu tortilla pada masing-masing penambahan labu
kuning disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kadar abu tortilla pada masing-masing penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Kadar abu (%) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
0,03e
0,04de
0,05cd
0,06bc
0,07ab
0,07ab
0,08a
0,01
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
sebanyak 1250-1750 g memberikan kadar abu yang relatif sama yakni berkisar
0,06-0,07%. Penambahan labu kuning dalam pembuatan tortilla cenderung
meningkatkan kadar abu produk tersebut. Akan tetapi, apabila penambahan labu
kuning ditingkatkan hingga 2000 g maka kadar abu yang terkandung di dalam
tortilla relatif sama jika dibandingkan dengan penambahan 1500-1750 g (tidak
berbeda). Sebaliknya, penambahan labu kuning kurang dari 1000 g, yakni 500-
750 g menghasilkan kadar abu yang rendah di dalam tortilla yakni berkisar 0,03-
0,04%.
Kadar abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral dari suatu
bahan pangan yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat menguap. Semakin
besar kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan semakin tingginya mineral
yang dikandung oleh bahan pangan tersebut sebagaimana pernyataan deMan
(1997) bahwa mineral dalam makanan biasanya ditentukan dengan pengabuan
atau insinerasi (pembakaran).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 104
Jika dilihat secara keseluruhan, kadar abu tortilla terus meningkat dengan
semakin tingginya berat labu kuning yang ditambahkan. Data hasil penelitian
menunjukkan bahwa berat 2000 g labu kuning memiliki kadar abu tertinggi yaitu
0,08%, sedangkan kadar abu terrendah diperoleh pada penambahan 500 g labu
kuning yakni sebesar 0,03%. Terjadinya peningkatan kadar abu dapat disebabkan
oleh proses pengolahan seperti pengeringan. Selama proses pengeringan, pada
umumnya kandungan air bahan akan berkurang.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya perbedaan yang nyata antara
penambahan 2000 g labu kuning dengan penambahan 500 hingga 1250 g labu
kuning diduga karena labu kuning mengandung karbohidrat dalam bentuk
polisakarida yaitu pati dan selulosa yang tinggi dimana semakin tinggi
penambahan berat labu kuning maka semakin meningkat pula kadar abu tortilla.
Hal ini diduga karena labu kuning mengandung karbohidrat 6,6 g/100 g b/b yang
cukup tinggi dan mineral khususnya kalium sebesar 45 mg (Hidayah, 2010).
Warna
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
berpengaruh sangat nyata terhadap warna tortilla berbasis labu kuning yang
dihasilkan. Adapun hasil pengujian organoleptik terhadap warna tortilla pada
masing-masing penambahan labu kuning disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian organoleptik terhadap warna tortilla pada masing-masing
penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Warna (Numerik) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
3,32ab
3,40ab
3,88a
3,88a
3,04b
3,32ab
3,24ab
0,65
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan berat 1250 g dan
1000 g labu kuning menghasilkan warna tortilla dengan skor tertinggi yaitu 3,88
(suka) dibanding penambahan labu kuning lainnya, meskipun tidak berbeda nyata
dengan penambahan 2000 g, 1750 g, 750 g dan 500 g labu kuning, tetapi berbeda
nyata dengan penambahan 1500 g labu kuning. Penambahan 1500 g labu kuning
menghasilkan warna tortilla dengan skor terendah yaitu 3,04 (agak suka) berbeda
nyata dengan perlakuan lainnya namun tidak berbeda nyata dengan penambahan
2000 g, 1750 g, 750 g dan 500 g labu kuning.
Berdasarkan hasil penilaian panelis, skor warna tertinggi diperoleh dari
penambahan 1000 g dan 1250 g labu kuning yaitu 3,88 yang artinya panelis suka
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 105
3,6
3,36
3,56
3,283,2
3,52 3,48
3
3,2
3,4
3,6
3,8
500 g 750 g 1000 g 1250 g 1500 g 1750 g 2000 g
Ra
ta-r
ata
og
ra
no
lep
tik
wa
rn
a
Berat labu kuning
terhadap warna tortilla yang dihasilkan. Hal ini diduga bahwa komposisi labu
kuning, ubi kayu dan tepung ubi jalar menghasilkan adonan yang seimbang
sehingga diperoleh warna tortilla yang disukai oleh panelis. Selain disebabkan
oleh bahan baku yakni terjadinya peningkatan kadar beta karoten sebagai pigmen
alami di dalam labu kuning hingga pada kadar tertentu, aktivitas enzim pada
bahan pangan selama pengeringan juga diduga menjadi salah satu faktor
terbentuknya warna kecoklatan pada tortilla. Hal ini sejalan dengan pernyataan
Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010b) bahwa bahan pangan yang dikeringkan
berubah warnanya menjadi coklat disebabkan oleh reaksi browning enzimatik.
Selain itu mungkin dipengaruhi oleh peningkatan kadar gula reduksi dan asam
amino di dalam adonan tortilla akibat penambahan labu kuning sehingga
terbentuk warna coklat saat bahan dipanaskan. Hal ini diungkapkan oleh Yuliani
dkk., (2005) bahwa labu kuning mengandung 136 g gula atau 2,09-4,59% gula
total dan 1,1 g protein atau 0,96-1,43% protein.
Warna merupakan salah satu faktor yang menentukan kualitas produk dan
dapat digunakan sebagai indikator kesegaran dan kematangan makanan. Baik
tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan ditandai dengan adanya wama
yang merata. Penyebab suatu bahan menjadi berwarna yaitu pigmen yang secara
alami terdapat dalam bahan pangan, adanya reaksi karamelisasi, reaksi Maillard,
oksidasi serta penambahan zat warna alami atau buatan (de Man, 1997).
Aroma
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
tidak berpengaruh nyata terhadap aroma tortilla berbasis labu kuning yang
dihasilkan. Adapun hasil pengujian organoleptik terhadap aroma tortilla pada
masing-masing penambahan labu kuning disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil pengujian organoleptik terhadap aroma tortilla pada masing-
masing penambahan labu kuning.
Gambar 1 menunjukkan bahwa penambahan berat 500 g labu kuning
menghasilkan aroma tortilla dengan skor tertinggi yaitu 3,60 (suka) sedangkan
penambahan 1500 g labu kuning menghasilkan aroma tortilla dengan skor
terendah yaitu 3,20 (agak suka).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 106
Aroma makanan banyak menentukan kelezatan makanan tersebut, oleh
karena itu aroma merupakan salah satu faktor dalam penentuan mutu. Hasil
pengujian organoleptik terhadap aroma tortilla menunjukkan bahwa tingkat
kesukaan panelis relatif sama terhadap produk tersebut pada seluruh taraf
penambahan labu kuning. Adapun rentang kesukaan panelis yaitu agak suka
sampai suka. Hal ini disebabkan tortilla yang dihasilkan memiliki aroma khas,
sebagaimana pernyataan Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010b) bahwa proses
penggorengan akan membentuk flavor khas gorengan. Oleh karenanya, panelis
menyukai tortilla yang dihasilkan khususnya hasil penambahan 500 g labu
kuning. Winarno (2004) mengemukakan bahwa pada umumnya bau yang diterima
oleh hidung dan otak lebih banyak merupakan berbagai ramuan atau campuran
empat bau utama yaitu harum, asam, tengik dan hangus. Aroma makanan
menentukan kelezatan bahan pangan tersebut. Dalam hal ini aroma berkaitan erat
dengan alat panca indera pencium. Aroma yang khas dan menarik dapat membuat
makanan lebih disukai oleh konsumen sehingga perlu diperhatikan dalam
pengolahannya.
Rasa
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
yang berbeda berpengaruh nyata terhadap rasa tortilla berbasis labu kuning yang
dihasilkan. Adapun hasil pengujian organoleptik terhadap rasa tortilla pada
masing-masing penambahan labu kuning disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil pengujian organoleptik terhadap rasa tortilla pada masing-masing
penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Rasa (Numerik) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
3,68ab
3,84a
3,48ab
3,12b
3,16ab
3,56ab
3,20ab
0,69
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan 750 g labu
kuning menghasilkan rasa tortilla skor dengan tertinggi yaitu 3,84 (suka)
dibanding perlakuan lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan penambahan
2000 g, 1750 g, 1500 g dan 1000 g labu kuning, namun berbeda nyata dengan
penambahan 1250 g labu kuning. Penambahan 1250 g labu kuning menghasilkan
rasa tortilla dengan skor terendah yaitu 3,12 (agak suka) berbeda nyata dengan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 107
penambahan 750 g labu kuning namun tidak berbeda nyata dengan penambahan
2000 g, 1750 g, 1500 g, 1000 g dan 500 g labu kuning.
Rasa lebih banyak melibatkan panca indera lidah. Bahan makanan yang
mempunyai sifat merangsang syaraf perasa akan menimbulkan perasaan tertentu.
Tekstur atau konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi cita rasa yang
dtimbulkan oleh bahan tersebut (Winarno, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian bahwa penambahan labu kuning yang berbeda
berpengaruh nyata terhadap rasa tortilla yang dihasilkan. Penambahan 750 g labu
kuning memperoleh nilai kesukaan rasa tertinggi yaitu 3,68 dengan kriteria agak
suka hingga suka. Hal ini diduga disebabkan formula 750 g labu kuning, 1000 g
ubi kayu dan 250 g tepung ubi jalar adalah formula yang seimbang sehingga
menghasilkan rasa tortilla yang disukai oleh panelis.
Peningkatan berat labu kuning cenderung menurunkan tingkat kesukaan
panelis terhadap rasa. Hal tersebut diduga erat kaitannya dengan reaksi Maillard
yang menyebabkan tortilla menjadi agak gosong sehingga mempengaruhi rasa
tortilla. Hal ini didukung oleh pendapat Prarudiyanto dkk. (2009) bahwa dari
reaksi Maillard selain menghasilkan senyawa berwarna coklat terkadang juga
berpengaruh pada nilai gizi dan penyimpangan cita rasa (off-flavour).
Kerenyahan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap rasa tortilla berbasis labu kuning
yang dihasilkan. Adapun hasil pengujian organoleptik terhadap kerenyahan tortilla
pada masing-masing penambahan labu kuning disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil pengujian organoleptik terhadap kerenyahan tortilla pada masing-
masing penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Kerenyahan (Numerik) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
3,60b
4,24a
3,92ab
3,52b
3,40b
3,84ab
3,68ab
0,61
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan 750 g labu
kuning menghasilkan kerenyahan tortilla dengan skor tertinggi yaitu 4,24 (suka)
dibanding perlakuan lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan penambahan
1000 g, 1750 g, dan 2000 g labu kuning, tetapi berbeda nyata dengan penambahan
500 g, 1250 g dan 1500 g labu kuning. Penambahan 1500 g labu kuning
menghasilkan kerenyahan tortilla dengan skor terendah yaitu 3,40 (agak suka)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 108
berbeda nyata dengan perlakuan 750 g labu kuning namun tidak berbeda nyata
dengan penambahan 2000 g, 1750 g, 1250 g, 1000 g dan 500 g labu kuning.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil penilaian panelis
terhadap kerenyahan memperoleh skor tertinggi yakni 4,24 (suka) yaitu pada
penambahan 750 g labu kuning. Tingkat kerenyahan tersebut dipengaruhi oleh
kadar air tortilla yang relatif rendah sehingga menghasilkan kerenyahan optimal,
sebagaimana pernyataan Muchtadi (1988) bahwa kerenyahan dipengaruhi oleh
jumlah air yang terikat pada matriks karbohidrat, terutama makanan ringan yang
apabila kadar airnya terlalu tinggi akan menyebabkan tekstur menjadi kurang
renyah.
Kerenyahan dipengaruhi oleh kandungan pati pada bahan di mana seluruh
formula tortilla berbasis labu kuning memperoleh tambahan tepung ubi kayu dan
tepung ubi jalar sehingga menghasilkan kerenyahan tortilla yang disukai panelis.
Hal ini sejalan dengan pernyataan Matz (1984) untuk menghasilkan produk
dengan mutu yang baik maka tepung harus mengandung amilopektin tinggi yakni
di atas 70%. Sebagian amilosa dibutuhkan untuk memberikan daya tahan pecah
yang memadai dan tekstur yang dapat diterima. Lebih lanjut Kumalaningsih dkk.,
(2005) mengemukakan bahwa granula pati mampu mengikat air lebih besar dan
berakibat kadar air bahan menjadi lebih tinggi. Besar kecilnya air yang diserap
dalam granula pati akan menentukan daya kembang pada saat pemasakan.
deMan (1997) juga menyatakan bahwa derajat kekristalan yang tinggi
menyebabkan modulus kekenyalan dan daya renggang serat selulosa menjadi
lebih besar dan mengakibatkan makanan yang mengandung selulosa lebih liat.
Kenampakan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa penambahan berat labu kuning
yang berbeda berpengaruh sangat nyata terhadap kenampakan tortilla berbasis
labu kuning yang dihasilkan. Adapun hasil pengujian organoleptik terhadap
kenampakan tortilla pada masing-masing penambahan labu kuning disajikan pada
Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengujian organoleptik terhadap kenampakan tortilla pada masing-
masing penambahan labu kuning
Berat labu kuning (g) Kenampakan (Numerik) BNJ α 0,05
500
750
1000
1250
1500
1750
2000
3,60ab
3,44ab
3,96a
3,52ab
3,12b
3,00b
3,28b
0,64
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti
berbeda tidak nyata pada taraf uji BNJ ά 0,05
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 109
Hasil uji BNJ ά 0,05 menunjukkan bahwa penambahan 1000 g labu
kuning menghasilkan kenampakan tortilla dengan skor tertinggi yaitu 3,96 (suka)
dibanding perlakuan lainnya, meskipun tidak berbeda nyata dengan penambahan
500 g, 750 g, dan 1250 g labu kuning, tetapi berbeda nyata dengan penambahan
1500 g, 1750 g dan 2000 g labu kuning. Penambahan labu kuning lebih dari 1250
g cenderung menurunkan tingkat kesukaan panelis terhadap kenampakan tortilla.
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa penambahan labu kuning hingga
1250 g cenderung meningkatkan skor kesukaan panelis terhadap kenampakan
tortilla. Hal ini karena kenampakan produk dipengaruhi oleh warna dan bentuk
produk tersebut. Dari data ini dapat dilihat bahwa panelis cenderung menyukai
produk dengan kenampakan yang cerah yang penilaiannya hampir sama dengan
yang diberikan terhadap kriteria warna.
Kenampakan yang dihasilkan selama proses pengolahan tortilla
dipengaruhi oleh warna produk sebab warna kuning dari labu mengalami
perubahan selama oses pengolahan yang disebabkan adanya reaksi enzim dan non
enzimatis sehingga warna kuning pada labu berubah menjadi kecoklatan.
Sebagaimana pernyataan Apandi (1984) bahwa pigmen karotenoid menyebabkan
jaringan berwarna kuning. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa kandungan
karoten di dalam labu kuning dapat teroksidasi oleh enzim lipoksidase yang
terdapat di dalam jaringan sehingga merusak karotennya, sebagaimana halnya
pada asam askorbat. Oksidasi dapat pula terjadi secara non enzimatis yang
dipengaruhi oleh cahaya.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa :
1. Penambahan labu kuning berpengaruh nyata terhadap mutu kimia dan mutu
organoleptik tortilla kecuali mutu aroma.
2. Kadar karoten, kadar air dan kadar abu tortilla meningkat sejalan dengan
peningkatan penggunaan labu kuning.
3. Tingkat kesukaan panelis terhadap tortilla cenderung menurun dengan
meningkatnya penggunaan labu kuning.
4. Rasio 1000 g labu kuning terhadap 1000 g ubi kayu dan 250 g tepung ubi jalar
merupakan formula terbaik pada hampir keseluruhan komponen kimiawi dan
organoleptik tortilla.
Rekomendasi
1. Perlu pengembangan alternatif prosedur pengolahan yang lebih cepat untuk
meningkatkan efisiensi produksi tortilla misalnya pada proses pencetakan dan
proses penggorengan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 110
2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengkaji aspek pangan
fungsionalnya.
3. Perlu dilakukan penelitian tentang masa simpan tortilla.
4. Perlu penelitian lanjutan mengenai kelayakan aplikasi formula labu kuning
terbaik, disarankan mengunakan 750-1250 g labu kuning untuk memproduksi
tortilla dalam skala industri menuju tahap industrialisasi dalam rangka
diversifikasi pangan lokal dan mengurangi ketergantungan terhadap beras dan
impor terigu.
DAFTAR PUSTAKA
Apandi M., 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Alumni, Bandung.
de Man J.M., 1997. Kimia Makanan. Penerjemah K. Padmawinata. ITB Press,
Bandung.
Fardiaz S., 1992. Mikrobiologi Pangan I. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Gardjito M., dan T.F.K. Sari, 2005. Pengaruh Penambahan Asam Sitrat Dalam
Pembuatan Manisan Kering Labu Kuning (Cucurbita maxima) terhadap
Sifat-Sifat Produknya. Jurnal Teknologi Pertanian Universitas
Mulawarman 1(2) : 81-85.
__________., Adnan M, dan Tranggono. 2006. Etilen Luka, Aktivitas Enzim
Peroksidase, Polifenol Oksidase, dan Fenil Alanin Liase pada Irisan
Mesokarp Labu Kuning. Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 14(1): 14-
23
Hidayah R., 2010. Manfaat dan Kandungan Gizi Labu Kuning (Waluh).
http://www.borneotribune.com [26/05/2012].
Holt R.R., S.A. Lazarus, M.C. Sullards, Qin Yan Zhu, D.D. Schramm, J.F.
Hammerstone, C.G. Fraga, H.H. Schmitz and C.L. Keen. 2002.
Procanidin Dimmer B2 (epichatecin(4ß-8)-epichatecin) in Human Plasma
After The Consumption of a Flav-O-Rich Cocoa. J.Clin.Ntr. 76:798-804.
Kumalaningsih, Wignyanto dan Fitria, 2005. Perancangan Unit Pengolahan
Keripik Tortilla Jagung (Corn Tortilla Chips) dalam Skala Industri Kecil.
J.Teknologi Pertanian 6(1) 7-16.
Kurniawan, C., 2012. Kajian Penurunan Beta Karoten Selama Pembuatan Flakes
Ubi Jalar (Ipomea batatas Lam) dalam Berbagai Suhu Pemanggangan.
Skripsi tidak diterbitkan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 111
Kuswardhani, D.S., 2007. Mempelajari Proses Pemekatan Karotenoid
dari Minyak Sawit Kasar dengan Metode Fraksinasi Bertahap. Skripsi
tidak diterbitkan. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian
Bogor.
Latifah, T. Susilowati dan T.R. Erlia, 2010. Flake Labu Kuning (Cucurbita
moschata) dengan Kadar Vitamin A Tinggi. Artikel Ilmiah. Program Studi
Teknologi Pangan. Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa
Timur, Surabaya.
Mappiratu, 1990. Produksi Beta Karoten pada Limbah Cair Tapioka dengan
Kapang Oncom Merah. Tesis. FPS-Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Matz S.A., 1984. Snack Food Technology. The Avi Publishing Company. Inc.
Westfort. p.12-14.
Muchtadi T.R., 1988. Teknologi Pemasakan Ekstruksi. Pusat Antar Universitas.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muchtadi, T.R., Sugiyono dan F. Ayustaningwarno, 2010a. Ilmu Pengetahuan
Bahan Pangan. Alfabeta, Bandung.
_____________, dan F. Ayustaningwarno, 2010b. Teknologi Proses Pengolahan
Pangan. Alfabeta, Bandung.
Pascut, S., Kelekci, N., Waniska, R.D., 2004. Effects of Wheat Protein Fractions
on Flour Tortilla Quality. Cereal Chemistry 81, 38-43.
Permana A.D., 2010. Pengaruh Proporsi Labu Kuning : Tepung Tapioka dan
Penambahan Natrium Bikarbonat terhadap Karakteristik Keripik Simulasi
Labu Kuning. Skripsi tidak diterbitikan. Surabaya: Fakultas Teknologi
Industri, UPN-Veteran.
Prarudiyanto A., I.W.S. Yasa dan I.W. Ronniah, 2009. Karakteristik Keripik
Tortilla Jagung dengan Penambahan Ampas Tahu. Prosiding Seminar
Nasional FTP-UNUD Bali. 43-51.
Santosa H., dan H. Kusumayanti, 2012. Likuifasi Enzimatik β-karoten sebagai
Fungtional Food yang terdapat dalam Pomace dari Buah Labu Kuning
(Curcubitae mochata). J.Teknik 33 (2) 70-73 ISSN 0852-1697.
Sunaryo, E., 1985. Pengolahan Produk Serealia dan Biji-bijian. Jurusan
Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 112
Utomo J.S. dan S.S. Antarlina. 2002. Tepung Instan Ubi Jalar untuk Pembuatan
Roti Tawar. Majalah Pangan 11 (38) 54-60 Jakarta.
Wardani D.M., Mappiratu dan Nurhaeni, 2010. Kajian Retensi Karoten Biskuit
berbasis Stearin pada Berbagai Suhu Pemanasan. J.Kimia Sains 2 (1) 21-
31.
Wicaksono, A. 2008. Suksinilasi Pati. http://digital_126123-FAR.050-08-
Suksinilasi pati-Literatur.pdf. [08/06/2013].
Winarno F.G., 1997. Pangan, Gizi dan Konsumen. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
___________, 2004. Kima Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Yuliani, S., E.Y. Purwani, S. Usmiati, dan H. Setiyanto. 2004. Penelitian
Pengembangan Teknologi Pengolahan Pangan Berbasis Sagu, Sukun dan
Labu Kuning. Kegiatan Penelitian Pengembangan Teknologi Pengolahan
Berbasis Labu Kuning (Laporan Akhir). Jakarta: Balai Besar Litbang
Pascapanen Pertanian, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 113
Pengelolaan Tanaman Terpadu Dua Varietas Unggul Jagung Pada Lahan
Bekas Banjir Di Kabupaten Parigi Moutong
Irwan Suluk Padang, Soeharsono dan Syafruddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jalan Lasoso 62 Biromaru, Sigi, Sulawesi Tengah
e-mail : [email protected]
Abstrak
Bencana banjir bandang di Kecamatan Parigi Selatan pada tanggal 25 Agustus 2012
telah merusak sarana dan prasarana irigasi serta lahan sawah. Lahan sawah yang rusak
akibat banjir seluas 264,8 ha dan tersebar di Desa Lemusa, Dolago, Boyantongo, Masari
dan Sumbersari. Kajian ini dilakukan pada lahan bekas banjir di Kecamatan Parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah pada bulan Desember
2012 sampai Mei 2013 dengan tujuan untuk melakukan kajian kemungkinan pemanfaatan
lahan terdampak banjir. Pengkajian dilaksanakan dua tahap yaitu: tahap pertama
melakukan identifikasi lokasi dan tahap kedua melakukan uji adaptasi varietas unggul
jagung dengan Pengelolaan Tanaman Terpadu. Hasil kajian menunjukkan bahwa lahan
sawah yang tertimbun material longsoran tidak dapat lagi digunakan untuk pertanaman
padi, namun masih memungkinkan untuk tanaman palawija seperti jagung. Kajian
adaptasi dilakukan pada dua varietas unggul jagung yaitu Srikandi Kuning dan Lamuru
dan satu varietas jagung lokal sebagai pembanding. Hasil kajian adaptasi
memperlihatkan bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman sangat baik untuk dua varietas
unggul jagung yaitu hasil biji kering 5,5 t/ha pada varietas Srikandi kuning dan 4,9 t/ha
pada varietas Lamuru dengan nilai B/C ratio masing-masing varietas 2,03 dan 1,80.
Sedangkan untuk jagung varietas lokal menunjukkan hasil 3,2 t/ha dengan B/C ratio
1,16.
------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci : Jagung, lahan bekas banjir, produktivitas, Parigi Moutong
PENDAHULUAN
Perubahan iklim yang terjadi pada saat ini mengakibatkan terjadinya hal-hal
yang berdampak terhadap sistim budidaya. Salah satu dampak dari perubahan
iklim adalah bencana banjir. Bencana banjir merupakan kejadian yang dapat
terjadi setiap saat dan berdampak pada kerugian, baik korban jiwa maupun materi.
Kejadian banjir tidak dapat dicegah, namun hanya dapat dikendalikan dan
dikurangi dampak kerugian yang diakibatkannya. Bencana merupakan suatu
peristiwa alam atau lingkungan buatan manusia yang berpotensial merugikan
kehidupan manusia, harta, benda atau aktivitas manusia (Harta, 2009). Dalam hal-
hal tertentu, bencana alam termasuk peristiwa banjir dapat menghancurkan
harapan hidup anggota masyarakat dengan menghilangkan sebagian atau semua
kekayaan yang dimiliki baik yang berbentuk benda hidup, seperti anggota
keluarga, ternak dan tanaman maupun benda mati, seperti rumah, pekarangan,
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 114
ladang, dan sawah tempat masyarakat menggantungkan hidup (Sukandarrumidi,
2010).
Banjir adalah peristiwa terjadinya genangan pada daerah yang biasanya kering
(Himpunan Ahli Teknik, 1984). Aktivitas manusia yang kurang memperhatikan
lingkungan telah banyak memicu dan mempercepat terjadinya bencana alam.
Sebagai contoh pemotongan lereng terjal untuk pemenuhan sarana prasarana jalan
dan pemukiman dapat memicu longsor, dan okupasi badan sungai mengakibatan
berkurangnya dimensi/ukuran palung sungai sehingga terjadi banjir karena sungai
tak mampu menampung aliran air (Paimin, Et All, 2009).
Bencana banjir bandang di Kecamatan Parigi Selatan pada tanggal 25 Agustus
2012 telah merusak sarana dan prasarana irigasi serta lahan sawah. Lahan sawah
yang rusak akibat banjir seluas 264,8 ha dan tersebar di Desa Lemusa, Dolago,
Boyantongo, Masari dan Sumbersari. Areal persawahan tertutup pasir dan
sebagian kecil lumpur serta kayu-kayu glondongan. Akibatnya lahan sawah
tersebut tidak dapat digunakan untuk pertanaman padi. Untuk memulihkan dan
mengaktifkan perekonomian masyarakat di wilayah terdampak banjir, maka
dilakukan pengkajian introduksi varietas unggul jagung dengan inovasi
pengelolaan tanaman terpadu (data belum terpublikasi, merupakan hasil survey
penulis).
Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang
terpenting, setelah padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah
dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.
Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura dan Nusa Tenggara)
juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber
karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan maupun
tongkolnya), diambil minyaknya (dari bulir), dibuat tepung (dari bulir, dikenal
dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari tepung
bulir dan tepung tongkolnya).
Laju permintaan jagung yang semakin meningkat dipicu oleh semakin
tingginya permintaan akan produk peternakan. Menurut Haryono dalam Abidin,
menyatakan bahwa proporsi penggunaan jagung untuk pakan terhadap total
kebutuhan jagung mencapai 83% (Abidin, 2013). Dengan demikian fungsi jagung
khususnya untuk pakan menjadi sangat penting. Pemanfaatan lahan bekas banjir
di Kabupaten Parigi Moutong perlu dikaji agar petani di wilayah tersebut dapat
mengolah dan memanfaatkan lahan sebagai sumber penghidupan. Teknologi
sistem budidaya komoditas jagung tersedia dan berdasar hasil penelitian diketahui
bahwa ada hubungan positif antara perkembangan industri pakan dengan adopsi
teknologi jagung (Kasryno, 2002).
Tujuan penelitian ini adalah melakukan kajian pemanfaatan lahan terdampak
banjir dengan uji adaptasi jagung dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
untuk meminimalisasi kerugian petani.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 115
METODOLOGI
Lokasi
Lokasi pengkajian di lahan bekas Banjir di Desa Lemusa Kecamatan Parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong Sulawesi Tengah.
Bahan dan Peralatan
Benih jagung, pupuk, alat pengolah tanah, tali ajir dan alat tanam. Benih
jagung adalah varietas Srikandi kuning, Lamuru dan lokal.
Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan berupa a). persiapan dan b). penelitian lapangan yang terdiri
atas : 1. inventarisasi dan karakterisasi kondisi bio-fisik lahan dan 2. Uji adaptasi
tanaman jagung. Pengamatan fisik dan kimia tanah dilakukan dengan kajian
metode cepat (quick assesment method) dengan alat bantu perangkat uji tanah
kering (PUTK). Aspek yang diamati pada kegiatan inventarisasi kondisi bio-fisik
lahan adalah: kedalaman solum hasil endapan, kadar hara NPK dengan PUTK
sedangkan Pada Kegiatan uji adaptasi tanaman adalah pertumbuhan (tinggi
tanaman 45 hari setelah tanam) dan saat panen (hasil panen tanaman jagung).
Kajian dilaksanakan selama 6 bulan yaitu dari bulan Desember 2012 hingga Mei
2013.
Pada uji adaptasi varietas unggul jagung menggunakan teknologi dasar dari
pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Rancangan
yang digunakan adalah rancangan acak kelompok. Perlakuan adalah : varietas
jagung yang terdiri atas: Varietas Srikandi Kuning, Lamuru dan lokal. Masing-
masing perlakuan diulang 3 kali. Luas plot percobaan 20 m x 50 m. Untuk
mengetahui respon dan varietas unggul jagung dilakukan uji lanjut jika terjadi
perbedaan. Analisis dilakukan dengan Uji anova dengan taraf kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Wilayah Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong, Propinsi
Sulawesi Tengah, memiliki luas 199,68 km2 (BPS, 2010). Secara adiministrasi,
Kecamatan Parigi Selatan memiliki batas wilayah, yaitu :
Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Parigi
Sebelah barat berbatatasan dengan Kota Palu
Sebelah timur berbatasan dengan Teluk Tomini
Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Torue.
Dari aspek demografi, jumlah penduduk Kecamatan Parigi Selatan sebanyak
20.755 jiwa dengan komposisi 10.623 laki-laki dan 10.131 wanita atau seks ratio
105 dan kepadatan 103,8 jiwa per km2. Jarak dari Kota Palu 97 km dengan
waktu tempuh 3-4 jam.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 116
Curah Hujan
Data curah hujan selama 10 tahun terakhir (tahun 2000-2010) dari stasiun
terdekat yaitu Stasiun Dolago disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Curah Hujan di Kecamatan Parigi Selatan selama 10 tahun (Tahun
2000-2010)
Tahun Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des
2000 65 29 140 184 111 309 239 288 115 145 140 121
2001 77 56 70 120 179 107 123 163 230 245 169 39
2002 148 52 114 233 230 379 461 104 202 62 334 75
2003 49 24 409 279 135 171 24 246 126 71 194 198
2004 138 7 95 138 53 165 437 49 94 112 107 147
2005 144 35 219 285 679 427 368 454 304 302 171 160
2006 93 235 105 184 263 413 331 443 343 122 282 166
2007 63 135 121 243 225 398 460 379 190 152 125 210
2008 159 57 215 267 175 236 295 318 280 251 233 102
2009 102 49 180 140 77 261 192 166 265 113 273 40
2010 78 206 60 254 446 431 188 263 346 170 166 105
Rerata 101.5 80.5 157.1 211.5 233.9 299.7 283.5 261.2 226.8 158.6 199.5 123.9
Sumber: BPP Dolago Kabupaten Parigi Moutong, 2000-2010
Tabel ini menunjukkan bahwa di kecamatan Parigi Selatan mempunyai curah
hujan yang tinggi setiap bulannya. Curah hujan rata-rata terendah terjadi pada
bulan Februari yaitu 80.5 mm, sedangkan pada bulan-bulan lainnya mempunyai
curah hujan di atas 100 mm/bulan. Hal ini memperlihatkan bahwa kondisi
ketersediaan air dari curah hujan cukup besar untuk dimanfaatkan dalam
budidaya pertanian. Berdasarkan ketersediaan air dan tipe tanah, maka ada 2
(dua) komoditas yang berpeluang untuk dikembangkan, yaitu jagung dan kacang
tanah. Tanaman jagung memiliki kemampuan beradaptasi terhadap tanah, baik
jenis tanah lempung berpasir maupun tanah lempung dengan pH tanah 6-8.
Temperatur untuk pertumbuhan optimal jagung antara 24-30 °C. Jagung
merupakan tanaman dengan tingkat penggunaan air sedang, berkisar antara 400-
500 mm (Allen, Raes and Smith. 1998). Kebutuhan air tanaman jagung terbagi
menjadi lima fase, yaitu fase pertumbuhan awal (15-25 hari), fase vegetatif (25-40
hari), fase pembungaan (15-20 hari), fase pengisian biji (35-45 hari) dan fase
pematangan (10-25 hari) (Akil. Et all, 2003). Dengan karakteristik tersebut, maka
tanaman jagung berpeluang untuk diusahakan di lahan bekas bencana banjir
bandang.
Keadaan Tanah
Berdasarkan hasil penelitian/kajian lapangan, maka ditemukan jenis tanah ada
di daerah bekas banjir yang diklasifikasikan menurut Soil Taxonomy tahun 2003
ditemukan Ordo, yaitu Entisols. Adapun ciri dan hasil pengamatan pada lahan
bekas banjir diuraikan sebagai berikut: Entisols adalah tanah-tanah yang belum
mempunyai perkembangan struktur atau tanah belum berkembang (unripe),
karena proses pengendapan bahan baru yang berlangsung secara berulang-ulang,
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 117
sehingga horisonisasi belum terbentuk. Tanah terbentuk dari endapan sungai
dengan penampang dalam, tekstur kasar, dan drainase cepat, diklasifikasikan
kedalam Grup Udipsamments atau tanah Regosol.
Gambar 1. Kenampakan Profil Tanah di Lokasi Kajian
Hasil pengamatan kadar hara terlihat bahwa kandungan bahan organik rendah,
kandungan total N tanah rendah hingga sedang, P-total rendah, K-total rendah
hingga sedang dengan kemasaman (pH) tanah agak masam hingga netral (Quick
Analysis) dengan menggunakan perangkat uji tanah kering (PUTK). Dari data ini
dapat disimpulkan bahwa tingkat kesuburan tanah lokasi penelitian/kajian
tergolong sedang. Perubahan mendasar akibat banjir pada tanggal 25 Agustus
2012, tertimbunnya areal persawahan dengan kedalaman antara 40 cm hingga 80
cm dan menghilangkan semua pematang sawah. Hal lain yang dipengaruhi oleh
banjir tersebut adalah rusaknya sarana irigasi. Namun demikian, lahan tersebut
masih berpotensi dikembangkan untuk usahatani lahan kering, diantaranya
tanaman tanaman pangan dan tanaman tahunan. Untuk itu, Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah) melakukan uji coba
pengembangan tanaman jagung dengan menggunakan pendekatan pengelolaan
tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT) pada beberapa titik lahan bekas banjir di
Desa Lemusa Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong. Hal ini
menggambarkan bahwa lahan di wilayah bekas banjir di Kecamatan Parigi
Selatan masih dapat dimanfaatkan untuk pertanaman palawija.
Hasil Uji Adaptasi
Pertumbuhan
Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman, tanaman jagung
memperlihatkan pertumbuhan yang baik (Gambar 2). Hal lain yang diamati
bahwa petani sudah mulai berkeinginan untuk membuka lahannya masing-
masing, namun terkendala pada modal usahatani.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 118
Secara visual, pertanaman jagung memperlihatkan pertumbuhan dan
perkembangan yang baik sampai menjelang panen. Dari hasil pengamatan, baik
lahan maupun kondisi iklim dan curah hujan, maka komoditi tanaman pangan
yang dianjurkan atau direkomendasikan adalah tanaman agak toleran terhadap
perubahan suhu dan iklim seperti jagung, kacang tanah dan wijen, penerapan
teknologi dan inovasi konservasi lengas tanah dan teknologi sistem pengairan
lahan kering sangat dianjurkan untuk mendukung berhasilnya pertanaman pada
musim kering.
Salah satu aspek penting yang harus menjadi perhatian pada daerah kajian
adalah fluktuasi lengas tanah, sehingga varietas yang dipilih harus toleran
terhadap fluktuasi tersebut. Ada beberapa varietas jagung yang dapat beradaptasi
dengan baik terhadap fluktuasi suhu tersebut seperti Lamuru, Srikandi
kuning/putih dan Sukmaraga. Inovasi konservasi lengas yang paling sesuai adalah
dengan pengembalian sisa tanaman pada saat panen yang dapat berfungsi sebaga
mulsa dan sumber bahan organik. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah
penggunaan jenis jagung hibrida dan inovasi teknologinya. Untuk itu, dalam
perbaikan dan peningkatan kinerja dan produktivitas petani perlu pendampingan
teknologi dan kajian adaptasi varietas-varietas unggul.
A B C
Gambar 2. Pertumbuhan tanaman jagung di area kajian adaptasi di Kabupaten
Parigi Moutong (A = Pertanaman petani tanpa sentuhan teknologi); B
= Pertanaman jagung dengan pendekatan PTT); (C = Pertanaman
jagung menjelang panen)
Hasil Panen Tanaman
Hasil panen tanaman dari kegiatan pengkajian ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Dari tabel terlihat bahwa varietas Srikandi Kuning menunjukkan hasil yang paling
tinggi dengan nilai 5,5 t/ha, kemudian varietas Lamuru sebesar 4,9 t/ha,
sedangkan yang terendah adalah varietas lokal sebesar 3,2 t/ha. Pada tabel tersebut
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 119
terlihat bahwa pertumbuhan tanaman jagung untuk varietas unggul Srikandi
Kuning dan Lamuru menunjukkan hasil yang cukup baik untuk pertumbuhan dan
hasil panen. Kedua varietas tersebut menunjukkan hasil yang berbeda nyata
setelah dilakukan uji Duncan jika dibandingkan dengan pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung varietas lokal. Hasil ini menggambarkan bahwa lahan bekas
banjir masih dapat dimanfaatkan untuk usahatani jagung, meskipun tekstur
tanahnya tergolong kasar dan kandungan hara yang relatif rendah.
Tabel 2. Pertumbuhan dan Hasil Jagung Pada Lahan Kering Bekas Banjir di
Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong
No. Perlakuan/Varietas Tinggi Tanaman (cm) Hasil Panen
Biji (t/ha) 45 Hst Saat Panen
1. Srikandi Kuning 65b 129
b 5,5
b
2. Lamuru 65b 220
c 4,9
b
3. Lokal 60a 100a 3,2
a
KK (%) 12,92 23,94 18,85 Nilai yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Jarak Berganda Duncan
pada taraf 5 %
Kelayakan Usahatani
Salah satu indikator penting dalam suatu sistem usahatani yang dapat dijadikan
tolak ukur terhadap tingkat kelayakan dan efisiensi usahatani adalah kelayakan
usahataninya dengan nilai B/C harus lebih dari 1. Hasil analisis kelayakan
usahatani jagung pada kegiatan ini secara keseluruhan dapat dikatakan layak
dengan nilai B/C ratio diatas 1 dapat dilihat pada Tabel 3. Pendapatan tertinggi
diperoleh pada penggunaan varietas Srikandi Kuning dengan nilai pendapatan
Rp. 11.050.000, dengan nilai B/C ratio 2,07. Akil et,al (2007), melaporkan
bahwa dengan modifikasi pertanaman jagung dapat meningkatkan pendapatan 2-3
kali lipat dibandingkan dengan sistem konvensional.
Tabel 3. Analisis Kelayakan Usahatani Jagung Kajian Pengelolaan Tanaman
Terpadu Pada Lahan Bekas Banjir di Kabupaten Parigi Moutong
Uraian Tanaman Jagung
Varietas Srikandi
Kuning Varietas
Lamuru Varietas
Lokal Biaya Sarana Produksi: (Rp/ha) 2.450.000 2.250.000 1.890.000. Biaya Tenaga Kerja: (Rp/ha) 3.000.000 3.000.000 3.000.000 Total Biaya 5.450.000 5.250.000 4.890.000 Produksi biji/polong (t/ha) 5.5 4,9 3,2 Nilai Produksi (Rp/ha) 16.500.000 14.700.000 9.600.000 Pendapatan (Rp/ha) 11.050.000 9.450.000 5.710.000 Nilai B/C 2.03 1, 80 1,16
Ket: Harga biji jagung Rp. 3.000,-
Untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani pada wilayah ini,
perlu dilakukan perbaikan sistem budidaya dan pengolahan sisa tanaman. Hasil
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 120
penelitian Syafruddin dan Saidah, (2006) menunjukkan bahwa dengan modifikasi
sistem pertanaman jagung dapat meningkatkan produktivitas lahan dan
pendapatan pendapatan petani jagung pada lahan kering 33,54% dibandingkan
dengan sistem konvensional (Syafruddin dan Saidah, 2006).
KESIMPULAN
Baik dari segi pertumbuhan maupun hasil menunjukkan bahwa dua varietas
unggul jagung (Srikandi Kuning dan Lamuru) lebih baik daripada varietas lokal.
Untuk perbaikan dan peningkatan kinerja dan produktivitas petani perlu dilakukan
pendampingan teknologi dan kajian adaptasi varietas-varietas unggul.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada Kementerian Pertanian yang telah
membiayai kegiatan pengkajian ini melalui DIPA Tahun 2013, Pemerintah
Kabupaten Parigi Moutong dan instansi terkait yang telah bekerjasama dalam
pelaksanaan kegiatan ini, Bapak Dr. Yopi, B.Agr yang banyak memberikan
bimbingan dan juga kepada teknisi yang telah banyak membantu kegiatan ini di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, 2013. Kajian Pengembangan Jagung pada Lahan Sawah sebagai
Tanaman MT III di Sulawesi Tenggara. Seminar Nasional Serealia.
Hal. 713.
Akil. M. E.Y. Hosang dan A. Najamuddin, 2003. Produksi Biomassa dan Biji
Jagung Melalui Pengaturan Populasi dan Jarak Tanam. Makalah di
Sampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Jagung di
Makassar dan Maros, 29-30 September 2003. 14 hal.
Akil. M.. I.U. Firmansyah dan M. Akil. 2007. Pengelolaan Air Tanaman jagung
dalam Buku Jagung. Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Penerbit: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. Departemen Pertanian. Hal 219-
230.
Allen. RG.. L.S. Pereira. D. Raes and M. Smith. 1998. Crop Evapotranspiration-
Guidlines for Computing Crop Water Requirements. FAO Irrigation
and Drainade Paper No. 56. Rome.
BPS, 2010. Sulawesi Dalam Angka.
Harta, M, 2009. Pemintaan Resiko Bencana Banjir di Wilayah Gresik Utara,
Tugas Akhir. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Tidak Dipublikasikan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 121
Himpunan Ahli Teknik, 1984. Diskusi Panel Cekungan Bandung, 10-1- 1984.
Kasryno, F. 2002. Ekonomi Jagung Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Jakarta.
Paimin, Sukresno dan Irfan Budi Pramono. 2009. Teknik Mitigasi Banjir dan
Tanah Longsor. Tropenbos International Indonesia Programme.
Balikpapan. 38 hlm.
Sukandarrumidi, 2010. Bencana Alam & Bencana Anthropogene: Petunjuk
Praktis untuk Menyelamatkan Diri dan Lingkungan. Penerbit
Kanisius, Yogyakarta. 260 hlm.
Syafruddin dan Saidah, 2006. Produktivitas Jagung dengan Pengaturan Jarak
Tanam dan Penjarangan Tanaman Pada Lahan Kering di Lembah
Palu. Jurnal Penelitian Pertanian 25 (2): 129-134.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 122
Biologi Penggerek Batang Jagung (Ostrinia Furnacalis, Pyralidae: Lepidoptera) dan
Serangannya Pada Tanaman Jagung Provit A1 dan A2
Asni Ardjanhar, Masyitah Muharni, dan Benyamin Ruruk
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jalan LasosoNo.62, Biromaru Telp (0451)482546
Abstrak
Penggerek Batang Jagung (Ostrinia Furnacalis) merupakan salah satu hama utama pada
tanaman jagung. Kehilangan hasil akibat hama tersebut mencapai 20 hingga 80%. Besarnya
kehilangan hasil dipengaruhi oleh padat populasi O. Furnacalis dan umur tanaman terserang.
Siklus hidup O. Furnacalis ± 27 hingga 46 hari dimana fase telur tiga hingga empat hari, fase
larva terdiri atas lima instar dimana stadia masing-masing instar tiga hingga tujuh hari, fase
pupa tujuh hingga sembilan hari, dan fase ngengat dua hingga tujuh hari. Kegiatan
berlangsung dari bulan Juli hingga September 2014 di desa Pulu Kecamatan Dolo Selatan,
dengan menggunakan dua varietas yaitu Provit A1 dan A2. Pengambilan sampel dilakukan
secara acak pada lima titik secara heksagonal dengan parameter pengamatan jumlah daun,
tinggi tanaman, tinggi kedudukan tongkol, dan jumlah lubang gerek. Rerata hasil pengamatan
untuk Provit A1 tinggi tanaman 209 cm, tinggi tongkol 88.26 cm, jumlah tongkol 2.16 tongkol,
jumlah daun 10.46 helai, dan jumlah lubang gerek 2.26 lubang. Adapun rerata hasil
pengamatan untuk Provit A2 yaitu tinggi tanaman 182 cm, tinggi tongkol 70 cm, jumlah tongkol
1.36 tongkol, jumlah daun 11.40 helai, dan jumlah lubang gerek 1.16 lubang. Persentase
serangan hama O. Furnacalis cukup tinggi pada varietas provit A1 berkisar 90% dan pada
varietas Provit A2 berkisar 80%.
Kata kunci : Penggerek Batang, Serangan, Jagung
PENDAHULUAN
Jagung komposit provit A adalah jagung kaya vitamin A atau beta karoten yang
tinggi, yaitu 0,081 ppm hingga 0,105 ppm, lebih tinggi dibandingkan jagung lainnya
yang mempunyai kandungan beta karoten 0,048 ppm. Jagung komposit ini telah dilepas
oleh Menteri Pertanian dengan nama varietas ProvitA1 dan Provit A2. Potensi hasil
kedua varietas 17-22% lebih tinggi dibanding varietas komposit lain, dan mampu
menghasilkan 6,0-7,0 t/ha (Yasin et all, 2012).
Dalam teknik budidaya jagung kehadiran hama sebagai organisme pengganggu
tanaman (OPT) terkadang tidak dapat dihindari. Salah satu hama yang sering dijumpai
menyerang adalah Penggerek Batang Jagung (Ostrinia Furnacalis Pyralidae:
Lepidoptera) yang merupakan salah satu hama utama pada pertanaman jagung di
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 123
Indonesia termasuk di Sulawesi Tengah, seperti halnya yang menyerang pertanaman
jagung Provit A1 dan Provit A2 di desa Pulu Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi.
O. Furnacalis merupakan serangga bermetamorfosis sempurna terdiri dari empat
fase yaitu fase telur, fase larva, fase pupa, dan fase ngengat. Pada fase larva O.
Furnacalis menyerang tanaman jagung mulai dari merusak daun, batang, serta bunga
jantan dan bunga betina. Serangan pada tanaman jagung umur dua dan empat minggu
menyebabkan keruasakan pada daun, pucuk, dan batang. Pada tanaman umur enam
minggu menyebabkan kerusakan pada daun, batang, bunga jantan dan bunga betina,
sedangkan serangan pada tanaman umur delapan minggu menyebabkan kerusakan pada
daun, dan batang (Nonci dan Baco 1987).
METODOLOGI
Kegiatan dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2014, bertempat
di desa Pulu kecamatan Dolo Selatan kabupaten Sigi. Pengambilan sampel dilakukan
secara acak pada lima titik yang berbeda secara heksagonal, dengan parameter
pengamatan tinggi tanaman, tinggi kedudukan tongkol, jumlah tongkol, jumlah daun,
dan jumlah lubang gerek.
HASIL DAN PEMBAHASAN
O. Furnacalis merupakan serangga bermetamorfosis sempurna dengan siklus
hidup ± 27 hingga 46 hari. Siklus hidupnya terdiri dari empat fase yaitu fase telur, fase
larva yang terdiri dari lima instar, fase pupa, dan fase ngengat. Telur penggerek batang
berukuran 0.90 mm (Valdez dan Andalla, 1983). Telur diletakkan secara berkelompok
di bagian bawah daun, bentuknya menyerupai sisik ikan dengan ukuran yang berbeda-
beda. Fase telur biasanya tiga hinga empat hari.
Larva O. Furnacalis terdiri dari lima instar dimana stadium tiap instar lamanya
tiga hingga tujuh hari, larva instar satu sesaat setelah menetas dari telur langsung
menyebar ke bagian tanaman lain. Larva instar satu hingga instar dua memakan daun
muda dan bunga jantan yang belum mekar, sedangkan larva instar tiga sebagian besar
berada pada bunga jantan, meskipun sudah ada pada bagian tanaman lain. Larva instar
lima menggerek batang yang umumnya melalui buku batang, keberadaan larva pada
tanaman dapat diketahui dengan adanya kotoran atau bekas gerekan. Larva berwarna
kristal keputihan, cerah dan bertanda titik hitam pada setiap segmen abdomen.
Setelah melewati fase larva, O. Furnacalis kemudian memasuki fase pupa
dimana pupa terbentuk di dalam batang dengan stadium bervariasi antara tujuh hingga
sembilan hari, pupa berwarna kuning kecokelatan. Menurut Valdez dan Andalla, 1983
ukuran pupa betina lebih besar dari pupa jantan. Keduanya dapat dibedakan, pada pupa
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 124
betina ruas terakhir abdomennya terdapat celah yang berasal dari satu titik sedangkan
pada pupa jantan terdapat celah yang terbentuk agak bulat.
O. Furnacalis termasuk serangga nocturnal sehingga ngengat biasanya muncul
dan aktif di malam hari dan segera berkopulasi. Lama hidup ngengat yakni dua hingga
tujuh hari. Ngengat jantan dan betina dapat dibedakan dari ukuran, warna dan
abdomennyan. Ngengat betina memiliki ukuran lebih besar dari ngengat jantan dan
warna sayapnya lebih gelap dari ngengat jantan. Selain itu pada ruas terakhir abdomen
ngengat betina terdapat ovipositor yang tidak terdapat pada ngengat jantan.
Larva O. furnacalis menyerang semua bagian tanaman jagung. Kehilangan hasil
terbesar dapat terjadi saat serangan tinggi pada fase reproduktif (Kalshoven 1981).
Serangga ini mempunyai ciri khas serangan pada setiap bagian tanaman jagung, yaitu
berupa lubang kecil pada daun, lubang gorokan pada batang, bunga jantan, atau pangkal
tongkol, batang dan tassel yang mudah patah, tumpukan tassel yang rusak, dan rusaknya
tongkol. Rerata lubang gerek pada tanaman disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Rerata lubang gerek O. Furnacalis pada tanaman jagung Provit a1 dan A2 di
Desa Pulu, 2014.
No. Varietas Rerata Lubang Gerek
1 Provit A1 2,27
2 Provit A2 1,16
Pemanfaatan musuh alami seperti parasitoid, cendawan, predator, bakteri, dan nematoda
mampu menekan serangan. Parasitoid telur yang dapat menekan infestasi serangga ini
adalah Trichogramma spp. T.evanescens efektif memarasit telur O. furnacalis di
laboratorium dengan persentase parasitasi mencapai 97,68% (Pabbage, et all, 1999).
Nonci et all, 1998 melaporkan bahwa parasitasi parasitoid telur penggerek batang di
daerah-daerah sentra produksi jagung di Sulawesi Selatan berkisar antara 71,56-89,80%.
Cendawan yang berperan sebagai entomopatogenik adalah Beauveria bassiana dan
Metarhizium anisopliae. Predator yang biasa memangsa hama penggerek batang jagung
adalah Micraspis sp. dan Cecopet (Euborellia annulata) Laba-laba dari famili
Argiopidae, Oxyopidae, dan Theriidae dan semut Solenopsis germinate memangsa larva
muda hama penggerek. Bakteri yang digunakan untuk mengendalikan spesies ini adalah
Bacillus thuringiensis subspecies Kurstaki. Nematoda dari famili Steinernematidae juga
efektif mengendalikan O. furnacalis .
Serangan penggerek batang berfluktuasi dari waktu ke waktu. Waktu tanamyang
baik untuk menghindari serangan penggerek batang adalah pada awal musim hujan, dan
paling lambat empat minggu sejak mulai musim hujan. Kultur teknis berupa
tumpangsari jagung dengan kedelai atau kacang tanah akan mengurangi tingkat
serangan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 125
Penggunaan insektisida yang berbahan aktif monokrotofos, triazofos,
dikhlorofos, dan karbofuran efektif menekan serangan penggerek batang jagung.
Aplikasi insektisida dianjurkan apabila telah ditemukan satu kelompok telur per 30
tanaman. Insektisida cair atau semprotan hanya efektif pada fase telur dan larva instrar
I-III, sebelum larva masuk ke dalam batang. Pengendalian dengan insektisida granul
yang bersifat sistemik yang diaplikasikan melalui pucuk daun atau akar dapat
mengendalikan penggerek batang pada semua stadium.
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman, tinggi kedudukan tongkol, jumlah tongkol, dan jumlah
daun, pada tanaman jagung Provit A1 dan Provit A2, Pulu 2014.
No. Parameter Provit A1 Provit A2
1. Tinggi tanaman (cm) 209.00 182.00
2. Tinggi kedudukan tongkol (cm) 88.26 70.00
3. Jumlah tongkol 2.16 1.36
4. Jumlah daun 10.46 11.40
KESIMPULAN
O. Furnacalis merupakan serangga bermetamorfosis sempurna dengan siklus
hidup terdiri dari empat fase yaitu fase telur, fase larva yang terdiri dari lima instar, fase
pupa, dan fase ngengat, sehingga siklus hidupnya berkisar antara 27 hingga 46 hari.
Hama O. Furnacalis merupakan salah satu hama utama pada pertanaman jagung,
khususnya di desa Pulu persentase serangan hama ini cukup tinggi pada varietas provit
A1 berkisar 90% dan pada varietas Provit A2 berkisar 80%.
DAFTAR PUSTAKA
M. Yasin, Syahrir Mas'ud, Faesal; 2012; Pembentukan Varietas Jagung Komposit Kaya
Vitamin Provit A1 dan Provit A2; Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
Volume/Nomor : IT07/01; Balai Penelitian Tanaman Serealia;
Kalshoven, L.G.E. 1981. Pests of Crops in Indonesia. PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve.
Jakarta.701 p.
Nonci, N, J. Tandiabang, D. Baco, dan A. Muis. 1998. Inventarisasi musuh alami
penggerek batang (O. furnacalis) pada sentra produksi jagung di Sulawesi
Selatan. Laporan Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, Maros 1999.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 126
Nonci, N. Dan D. Baco; 1991; Pertumbuhan Penggerek Batang Jagung (Ostrinia
Furnacalis Guenee) Pada Berbagai Tingkat Umur Tanaman Jagung (zea mays
L); Agricam Buletin Penelitian Pertanian Maros 6 (3):95-100
Pabbage, M.S., N. Nonci, dan D. Baco. 1999. Efektifitas Trichogramma evanescens
pada berbagai umur telur penggerek batang jagung O. Furnacalis. Laporan
Tahunan Penelitian Hama dan Penyakit, Balitjas, Maros 2000
Valdez L.L and C.B. Andalla; 1983; The Biology and Behaviour of The Asian Corn
Borrer Ostrinia furnacalis Guenee (Pyralidae Lepidoptera) on Cotton Philipp;
Entomol 6 (5&6) 621-631.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 127
Pemanfaatan Jerami Padi Sebagai Pupuk Organik Terhadap Peningkatan
Produksi Kedelai Di Sulawesi Selatan
Idaryanin dan Abd. Fattah
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan
Abstrak
Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik seperti jerami padi belum
sepenuhnya dilakukan petani. Setelah panen padi umumnya jerami dibakar. Limbah
pertanian tersebut perlu dimanfaatkan dalam upaya memperbaiki kualitas tanah dan
meningkatkan produktivitas kedelai. Tujuan kegiatan adalah meningkatkan produktivitas
kedelai dengan pemanfaataan jerami sebagai pupuk organik sehingga dapat
meningkatkan pendapatan petani. Kajian dilaksanakan di Desa Maccile, Kabupaten
Soppeng, Sulawesi Selatan. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak
Kelompok (RAK), dengan 6 macam perlakuan dan diulang sebanyak 3 kali. Hasil kajian
menujukkan bahwa pemupukan yang dikombinasikan dengan jerami fermentasi, produksi
tertinggi diperoleh pada perlakuan Urea 25 kg ha-1 + SP-36 37,5 kg ha
-1 + KCl 37,5 kg ha
-1
(1/2 Rekomendasi) + 3 ton ha-1
jerami fermentasi dan produksi terendah diperoleh pada
perlakuan tanpa pemberian jerami atau Urea 50 kg ha-1 + SP-36 75 kg ha
-1 + KCl 75 kg
ha-1
(Rekomendasi) (kontrol). Rata-rata tingkat serangan hama pengisap polong pada 6
perlakuan tertinggi diperoleh pada perlakuan Urea 50 kg ha-1 + SP-36 75 kg ha
-1 + KCl 75
kg ha-1 (Rekomendasi) (kontrol) (12,13 %), dan tingkat serangan terendah diperoleh pada
perlakuan Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 5 ton ha-1
mulsa jerami (6,67%).
------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci : limbah pertanian, jerami padi, pupuk organik, kedelai
PENDAHULUAN
Kedelai (Glycine max (L.) Merrill) merupakan komoditas pertanian yang
sangat vital bagi ketahanan pangan dan sangat dibutuhkan karena fungsinya yang
strategis sebagai sumber protein nabati, bahan pakan, dan bahan baku olahan
industri. Dalam 100 gram biji kedelai mengandung 40% protein, 18% lemak, 6%
abu, dan 25% karbohidrat.
Kedelai di Sulawesi Selatan umumnya dikembangkan di lahan sawah
setelah panen padi. Potensi pengembangan kedelai cukup tinggi dengan
tersediaanya lahan sawah sekitar 586.987 ha dan lahan kering (kebun/tegalan)
seluas 548.595 ha (Distan Provinsi Sulawesi Selatan, 2010). Luas lahan sawah
tersebut, terdapat luas lahan sawah tadah hujan sekitar 239.055 ha. Pada lahan
sawah tadah hujan umumnya ditanami padi satu kali, setelah itu ditanami palawija
termasuk kedelai. Namun produktivitas kedelai yang dicapai di tingkat petani
masih rendah hanya sekitar 1,4 – 15,07 ton ha-1
(Distan Provinsi Sulsel, 2008).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 128
Sementara rata-rata produksi nasional berkisar 1,3 t/ha dan rata-rata produksi
yang dicapai hasil penelitian Badan Litbang pertanian berkisar 2,50 – 3,05 ton ha-1
(Departemen Pertanian, 2008).
Masalah dihadapi dalam meningkatkan produktivitas kedelai saat ini
adalah kurangnya daya dukung lahan yang produktif. Hal ini disebabkan
terjadinya degradasi serta kerusakan lahan akibat pola pertanian konvensional saat
ini yang lebih mengutamakan penggunaan input tinggi seperti pupuk anorganik
dan pestisida. Oleh karena itu, peningkatan produktivitas dan kualitas kedelai
harus diupayakan dengan cara-cara yang lebih baik, seperti menggunakan pupuk
organik. Pupuk organik merupakan pupuk dengan bahan dasar yang diambil dari
alam dengan jumlah dan unsur hara yang bervariasi. Penggunaan pupuk organik
dapat meningkatkan efisiensi pemakaian pupuk anorganik, karena pupuk organik
tersebut dapat meningkatkan air dan hara di dalam tanah, meningkatkan aktivitas
mikroorganisme, mempertinggi kadar humus dan memperbaiki struktur tanah
(Marwoto et al., 2006). Pupuk organik bersifat bulky dengan kandungan hara
makro dan mikro rendah sehingga perlu diberikan dalam jumlah banyak.
Salah satu yang dapat dijadikan sebagai pupuk organik adalah limbah
pertanian, dan yang gampang diperoleh serta selalu tersedia adalah jerami padi.
Jerami padi sangat melimpah pada saat musim panen. Bila hasil gabah rata-rata 5
t/ha maka dalam 1 hektar diperoleh jerami ± 7,5 ton dengan asumsi nisbah jerami
adalah 2 : 3 (Arafah, 2007). Jerami padi mengandung hara yang lengkap baik
berupa hara makro maupun mikro. Secara umum hara N,P,K masing-masing
sebesar 0,4 %, 0,2% dan 0,7%, sementara itu kandungan Si dan C cukup tinggi
yaitu 7,9 % dan 40% (Arafah, 2007). Dengan jumlah yang melimpah pada saat
panen, maka pengembalian jerami ke dalam tanah merupakan cara yang baik
untuk mempertahankan kesuburan tanah.
Menurut Melati (2008) pemberian pupuk organik yang tepat dapat
memperbaiki kualitas tanah, tersedianya air yang optimal sehingga memperlancar
serapan hara tanaman serta merangsang pertumbuhan akar. Pemberian pupuk
organik yang berlebihan menyebabkan tanah menjadi asam, sebaliknya bila
diberikan terlalu sedikit pengaruhnya pada tanaman tidak akan nyata. Oleh karena
itu, diperlukan pemberian pupuk organik dalam jumlah yang tepat agar diperoleh
hasil yang optimum. Namun, berapa dosis yang sesuai untuk pupuk organik dari
limbah jerami belum diketahui secara tepat khususnya bagaimana pengaruhnya
terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai. Tujuan dari penelitian adalah untuk
mengetahui dosis pupuk organik dari fermentasi limbah jerami terhadap
pertumbuhan dan produksi kedelai .
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 129
BAHAN DAN METODE
Kajian dilakukan pada lahan petani di Desa Maccile, Kecamatan Lalabata,
Kabupaten Soppeng, pada musim kering (MK) 2009. Kajian disusun dalam
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan jumlah ulangan sebanyak 4 ulangan.
Persiapan lahan dilakukan dengan membajak tanah, lalu digaru dan kemudian
diratakan, serta sisa-sisa gulma dibenamkan. Saluran air dibuat berjarak sekitar 2 -
4 m dengan lebar dan kedalaman 40 cm. Tanah dikeringanginkan dan tiga
minggu kemudian baru ditanami. Varietas yang digunakan adalah varietas
Grobogan dengan kebutuhan benih sebanyak 20 kg ha-1
, yang ditanam secara
tugal, dengan jarak tanam antar tugalan berukuran 40 x 15 cm, lubang tugal
sedalam 5 cm, dan 1 - 2 biji per lubang. Setiap macam perlakuan ditanam pada
plot dengan ukuran 10 x 10 m.
Pemupukan dilakukan berdasarkan dosis rekomendasi atau perlakuan yang
akan diberikan. Pupuk N (setengah dosis), P, dan K diberikan pada saat tanam
secara tugal selanjutnya ditutup dengan tanah. Sedangkan setengah dosis N yang
sisa diberikan pada saat penyiangan kedua, dan penambahan jerami padi sebagai
pupuk organik (sesuai perlakuan) diberikan sebagai penutup lubang.
Adapun kombinasi setiap perlakuan terdiri atas :
1. Pupuk anorganik (rekomendasi) + 5 ton jerami sebagai mulsa ha-1
2. Pupuk anorganik (rekomendasi) + fermentasi jerami 1 ton ha-1
3. Pupuk anorganik (rekomendasi) + fermentasi jerami 2 ton ha-1
4. Pupuk anorganik (rekomendasi) + fermentasi jerami 3 ton ha-1
5. Pupuk anorganik (1/2 rekomendasi) + fermentasi jerami 3 ton ha-1
6. Pupuk anorganik (rekomendasi)
Pengendalian gulma dilakukan pada saat tanaman berumur 28 hari setelah
tanam (HST) bila diperlukan. Pemberian air dilakukan pada saat 7, 21, dan 35
HST (tergantung dari keadaan curah hujan), dan pada saat berbunga serta pada
saat pengisian polong. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan pada tanaman
yang terserang yaitu dengan dicabut ataupun dengan pengendalian vektor Aphis
glycine. Tanaman dipanen pada saat daun telah rontok, polong telah menguning
dan kering.
Data pengamatan yang dikumpulkan pada kajian ini meliputi :
1. Tinggi tanaman (cm) dilakukan pada 12 MST (menjelang panen)
2. Jumlah cabang dihitung pada saat menjelang panen
3. Jumlah polong per tanaman
4. Jumlah polong hampa per tanaman
5. Tingkat serangan hama per polong
6. Produksi (ton ha-1
)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 130
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kondisi Lingkungan
Dari hasil analisis contoh tanah komposit pada lapisan 0-25 cm, tekstur
tanah tergolong liat berdebu, dimana pH berada pada kisaran netral, C-org
tergolong sedang, P tersedia tergolong sedang, K (me/100 g) tergolong
sedang, Na tergolong rendah, dan KTK tanah tergolong sedang. Dengan
demikian berdasarkan sifat kimia tanah maka status kesuburan tanah
digolongkan dalam kategori sedang.
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah sebelum Dilakukan Kajian
Jenis Analisis Nilai Kriteria
pH (H2O) 6,3 Netral
pH (KCl) 5,2 Masam
N total (%) 1,01 Sedang
C org (%) 3,35 Sedang
C/N ratio 6,15 Sedang
P tersedia Bray 1 ppm 38 Sedang
K (me/100 g) 12,4 Sedang
Ca - -
Mg - -
Na 1,07 Rendah
KTK 32,15 Sedang
Tekstur:
pasir (%)
debu (%)
liat (%)
65
40
50
Liat
berdebu
Sumber : Hasil analisis sampel tanah di Lab. Tanah Maros, BPTP Sulawesi Selatan
b. Tinggi tanaman dan jumlah cabang per tanaman
Pada Tabel 2, dapat dilihat bahwa rerata tinggi tanaman yang dicapai
pada 6 perlakuan yang dikaji berkisar antara 52,27 – 54,53 cm. Begitu juga
rerata jumlah cabang per tanaman hampir sama dari semua perlakuan dengan
kisaran 4,01-4,93 cabang. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan yang dikaji
tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang per
tanaman. Dengan demikian maka perlakuan pemberian mulsa jerami dan
fermentasi jerami pada berbagai kombinasi dosis pemberian tidak berpengaruh
nyata terhadap tinggin tanaman dan jumlah cabang pada tanaman kedelai, tapi
semua perlakuan yang dikaji meningkatkan tinggi tanaman dan jumlah cabang
dibandingkan dengan kontrol atau tanaman kedelai yang tidak menggunakan
mulsa jerami ataupun fermentasi jerami.
Tinggi tanaman tertinggi diperoleh pada tanaman kedelai yang
diberikan pupuk anorganik sebanyak Urea 50 kg ha-1
+SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75
kg ha-1
(rekomendasi) + 2 ton ha-1
fermentasi jerami. Demikian pula dengan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 131
jumlah cabang pertanaman, dimana hasil tertinggi diperoleh pada perlakuan
pemberian pupuk anorganik sebanyak Urea 50 kg/ha+SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75
kg ha-1
(rekomendasi) + 2 ton ha-1
fermentasi jerami (perlakuan 3). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik berupa limbah jerami yang
difermentasi dapat memperbaiki sifat fisik, biologi, dan kimia tanah. Limbah
jerami dapat memperbaiki struktur tanah dengan menyediakan ruang pada tanah
untuk udara dan air. Ruangan yang berisi udara akan mendukung bakteri aerob
yang berada dalam akar serta menciptakan kondisi yang optimum bagi sifat
biologi tanah. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Arafah (2007) yang
menunjukkan bahwa pemberian pupuk organik berupa limbah jerami
meningkatkan tinggi tanaman pada tanaman padi sawah.
Jerami juga merupakan sumber hara seperti Nitrogen, Fosfor, Kalium,
dan unsur lainnya yang dibutuhkan oleh tanaman serta dapat mengikat unsur-
unsur hara yang mudah hilang sehingga tersedia bagi tanaman dan memperbaiki
keasaman tanah. Selain itu juga dapat mengurangi unsur hara yang bersifat racun
bagi tanaman (Hartatik, 2006). Peningkatan karakter vegetatif seperti tinggi
tanaman dan jumlah cabang terutama disebabkan oleh peranan unsur Nitrogen,
dimana peran tersebut adalah untuk merangsang pertumbuhan secara
keseluruhan, khususnya batang, cabang, dan daun.
Tabel 2. Rerata tinggi tanaman dan jumlah cabang pada beberapa dosis limbah
jerami di Desa Maccile, Kecamatan Lalabata, Kab. Soppeng MK.I.
No Perlakuan Rerata tinggi
tanaman (cm)
Rerata jumlah
cabang per
tanaman
1. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 5 ton
ha-1
mulsa jerami
53,30 4,76
2. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 1 ton
ha-1
jerami fermentasi
53,01 4,93
3. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 2 ton
ha-1
jerami fermentasi
54,70 4,60
4. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 3 ton
ha-1
jerami fermentasi
54,53 4,70
5. Urea 25 kg ha-1
+ SP-36 37,5 kg ha-1
+
KCl 37,5 kg ha-1
(1/2 Rekomendasi) +
3 ton ha-1
jerami fermentasi
52,27 4,52
6. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi)
(kontrol)
51,47 4,01
Sumber : Hasil olahan data primer
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 132
c. Jumlah polong per tanaman dan jumlah polong hampa per tanaman
Jumlah polong per tanaman untuk setiap perlakuan diperoleh berkisar
108,4 polong-123,47 polong. Demikian juga dengan jumlah polong hampa per
tanaman diperoleh berkisar antara 4,01-9,93 polong. Hal ini menujukkan bahwa
perlakuan yang dikaji tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah polong per
tanaman dan jumlah polong hampa per tanaman.
Hasil tertinggi jumlah polong per tanaman diperoleh pada perlakuan (5)
yaitu pemberian Urea 25 kg ha-1
+ SP-36 37,5 kg ha-1
+ KCl 37,5 kg ha-1
(1/2
Rekomendasi) + 3 ton ha-1
jerami fermentasi yaitu 123,47 polong, sedangkan
terendah diperoleh pada perlakuan (6) yaitu pemberian Urea 50 kg ha-1
+ SP-36
75 kg ha-1
+ KCl 75 kg ha-1
(paket Rekomendasi) (kontrol) yaitu 108,40 polong.
Sedangkan jumlah polong hampa tertinggi diperoleh pada perlakuan Urea 50 kg
ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 3 ton ha-1
jerami
fermentasi (18,07 polong) dan terendah ditemukan pada perlakuan Urea 50 kg
ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 5 ton ha-1
mulsa
jerami (13,16 polong) (Tabel 5).
Komponen produksi tanaman kedelai ditentukan oleh jumlah dan bobot
polong isi. Semakin tinggi nilai komponen tersebut, maka semakin tinggi
produktivitas suatu tanaman. Jumlah polong per tanaman meningkat dengan
pemberian limbah jerami sebanyak 3 ton dan pupuk anorganik setengah dari
rekomendasi. Menurut Hardjowigeno (2003) Nitrogen berfungsi untuk
memperbesar bobot dan ukuran biji sementara Fosfat mempengaruhi
pembentukan bunga, buah, dan biji.
Pemberian mulsa organik seperti jerami akan memberikan suatu
lingkungan pertumbuhan yang baik bagi tanaman karena dapat mengurangi
evaporasi, mencegah penyinaran langsung sinar matahari yang berlebihan
terhadap tanah serta kelembaban tanah dapat terjaga, sehingga tanaman dapat
menyerap air dan unsur hara dengan baik (Marliah, et al, 2011).
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa pemberian
mulsa organik berupa jerami padi dapat menurunkan jumlah polong hampa
pertanaman. Hal ini disebabkan karena Jerami padi selain mengandung N juga
mengandung K berkisar antara 1,1%-3,7%. Membenamkan jerami kedalam
tanah akan meningkatkan kandungan K tanah. Dan K yang berasal dari jerami
bersifat larut dalam air dan siap tersedia bagi tanaman kedelai.
Penggunaan mulsa dapat menjaga kelembaban tanah, menjaga tanah
dari daya rusak butiran air hujan, meniadakan pertumbuhan gulma sehingga
dapat mengurangi terjadinya persaingan tanaman dalam memperoleh unsur
hara yang berpengaruh terhadap jumlah polong isi per tanaman. Keadaan ini
merupakan kondisi yang mendukung pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 133
Tabel 3. Rerata jumlah polong dan jumlah polong hampa pada beberapa dosis
limbah jerami di Desa Maccile, Kecamatan Lalabata, Kab. Soppeng
MK.I.
No. Perlakuan
Rerata
jumlah
polong per
tanaman
(polong)
Rerata jumlah
polong hampa
per tanaman
(polong)
1. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 5 ton
ha-1
mulsa jerami
127,47 13,16
2. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 1 ton
ha-1
jerami fermentasi
114,77
17,18
3. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 2 ton
ha-1
jerami fermentasi
121,30 17,79
4. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 3 ton
ha-1
jerami fermentasi
114,87 18,07
5. Urea 25 kg ha-1
+ SP-36 37,5 kg ha-1
+
KCl 37,5 kg ha-1
(1/2 Rekomendasi) + 3
ton ha-1
jerami fermentasi
121,40 16,53
6. Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) (kontrol) 108,40 17,80
Sumber : Hasil olahan data primer
d. Tingkat serangan hama pengisap polong dan produksi kedelai
Pada Tabel 4, terlihat bahwa rerata tingkat serangan hama pengisap
polong pada 6 perlakuan dosis limbah jerami tertinggi diperoleh pada pada
perlakuan (6) yaitu Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) (kontrol) (12,13 %), sedangkan terendah diperoleh pada
perlakuan Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+ KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 5
ton ha-1
mulsa jerami (6,67%) (perlakuan 5). Namun tidak berbeda nyata dari
semua perlakuan pada parameter tersebut.
Rerata produksi yang dicapai pada perlakuan (Tabel 4) terlihat bahwa
produksi tertinggi diperoleh pada perlakuan Urea 25 kg ha-1
+ SP-36 37,5 kg ha-1
+ KCl 37,5 kg ha-1
(1/2 Rekomendasi) + 3 ton ha-1
(2,23 ton ha-1
). Sedangkan
produksi terendah diperoleh pada perlakuan Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) (kontrol) (1,95 ton ha-1
).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 134
Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya
penambahan pupuk yang berasal dari fermentasi limbah jerami dapat
meningkatkan efisiensi pemupukan anorganik terutama berfungsi menggantikan
peranan kalium karena jerami padi mengandung 1,24 % K (Odjak, 1992).
Menurut Las et al. (1999) pemberian pupuk berdasarkan status tanah berperan
dalam pemeliharaan pelestarian lingkungan termasuk pemanfaatan jerami dalam
mempertahankan kandungan bahan organik. Pemanfaatan jerami sebagai kalium
cenderung lebih efektif meningkatkan hasil dibandingkan dengan pupuk kandang
dan pemberian jerami 2,5-5,0 ton ha-1
dapat menghemat pemakaian pupuk
anorganik sebesar 100 kg KCl ha-1
.
Tabel 4. Rata-rata tingkat serangan hama pengisap polong (%) dan poduksi (ton
ha-1
) pada beberapa dosis limbah jerami di Desa Maccile, Kecamatan
Lalabata, Kab. Soppeng MK.I.
No. Perlakuan
Rerata tingkat
serangan hama
pengisap polong
(%)
Rerata
produksi (ton
ha-1)
1 Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 5
ton ha-1
mulsa jerami
6,67 2,15
2 Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 1
ton ha-1
jerami fermentasi 10,27 2,10
3 Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 2
ton ha-1
jerami fermentasi
11,38 2,02
4 Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi) + 3
ton ha-1
jerami fermentasi 9,52 2,06
5 Urea 25 kg ha-1
+ SP-36 37,5 kg ha-1
+
KCl 37,5 kg ha-1
(1/2 Rekomendasi)
+ 3 ton ha-1
jerami fermentasi
9,40 2,23
6 Urea 50 kg ha-1
+ SP-36 75 kg ha-1
+
KCl 75 kg ha-1
(Rekomendasi)
(kontrol) 12,13 1,95
Sumber : Hasil olahan data primer
KESIMPULAN
1. Dosis limbah jerami sebanyak 3 ton ha-1
yang dikombinasikan dengan pupuk
anorganik Urea 25 kg ha-1
+ SP-36 37,5 kg ha-1
+ KCl 37,5 kg ha-1
memberikan
produksi tanaman kedelai yang tertinggi yaitu 2,23 ton ha-1
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 135
2. Penambahan limbah jerami sebagai pupuk organik sebanyak 3 ton ha-1
dapat
menyebabkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik (1/2 dari rekomendasi) di
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan
DAFTAR PUSTAKA
Arafah, 2007. Monitoring dan Aplikasi Kandungan Unsur Hara Nitrogen pada
Tanaman Padi. Buletin. Inovasi dan Informasi Pertanian. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, Sulawesi Selatan. Hal. 19-23
Departemen Pertanian. 2008. Panduan pelaksanaan sekolah lapang pengelolaan
tanaman terpadu (SL-PTT) kedelai. Badan Litbang. Puslitbangtan.
Balitkabi. Jakarta
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan. 2007.
Laporan Tahunan.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Selatan. 2010.
Laporan Tahunan.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. Hal 60-63.
Hartatik, W. dan L. R. Widiowati. 2006. Pupuk Kandang. Balai Besar Litbang
Sumberdaya Lahan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. 313 hal.
Las I, AK Makarim, Sumarno, S. Purba, M. Mardikarini dan S. Kartaatmadja. 1999.
Pola IP Padi 300, konsepsi dan prospek implementasi sistem usaha
pertanian berbasis sumberdaya. Badan Litbang Pertanian. Jakarta
Marliah A., Nurhayati, dan D. Susilawati. 2011. Pengaruh Pemberian Pupuk
Organik dan Jenis Mulsa Organik terhadap Pertumbuhan dan Hasil
Kedelai (Glycine max (L) Merill). Jurnal Floratek. Vol. 6 No. 2 Oktober
2011.
Marwoto, S. Hardaningsih dan A. Taufiq. 2006. Hama, Penyakit, dan Masalah
Hara pada Tanaman Kedelai, Identifikasi, dan Pengendaliannya. Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan. 68 hal.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 136
Melati, M., A. Asiah, dan D. Rianawati. 2008. Aplikasi pupuk organik dan
residunya untuk produksi kedelai panen muda. Bul. Agron. 36 (3) : 204-
213.
Odjak M. 1992. Effecy of potassium fertilizer in increasing qualiy and quantily of
crop yield. Dalam; prosiding Seminar Nasional Kalium, 4 Agusutus 1992.
Ditjen tanaman pangan. Jakarta
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 137
Verifikasi Penerapan Kalender Tanam Terpadu Di Sulawesi Tengah
I Ketut Suwitra, Saidah dan Syafruddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso Nomor 62 Biromaru
e-mail : [email protected]
Abstrak
Beberapa tahun terakhir ini, perubahan iklim yang gejalanya mulai tampak telah
menimbulkan bencana alam dan berdampak luas terhadap produksi dan prodktivitas
padi dan tanaman pangan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari kejadian El-Nino dan La-
Nina yang berujung pada penurunan produksi padi dan palawija nasional. Agar
ketahanan pangan tetap berlanjut, perubahan iklim ini harus diantisipasi dengan
penyesuaian waktu tanam dan pola tanam pada setiap zona agroekosistem. Sulawesi
Tengah memiliki luas lahan baku sawah 135.241 ha dengan prediksi luas tanam yang
berbeda pada masing-masing musim tanamnya. Oleh sebab itu, tujuan dari kajian ini
adalah untuk mensosialisasikan kalender tanam terpadu kepada pihak pengguna dan
pengambil kebijakan serta memverifikasi keakuratan informasi yang
direkomendasikannya. Metode yang digunakan adalah metode survey di lima kabupaten
lumbung padi yakni Kabupaten Sigi, Parigi Moutong, Donggala, Banggai dan Morowali
pada MT I Tahun 2013. Hasil survey menunjukkan bahwa waktu tanam yang
diaplikasikan diseluruh kecamatan masih mengacu pada bulan-bulan tertentu musim
kemarau (MK) April-September dan musim hujan (MH) Oktober - Maret. Persentase
penyesuaian terhadap waktu tanam, penggunaan pupuk dan varietas unggul baru dengan
Katam Terpadu di masing – masing Kabupaten berturut turut sebagai berikut: 50% -
98%, 50% - 95% dan 35%-90%. Dari kajian ini diharapkan Katam Terpadu menjadi
acuan Pemerintah Daerah dalam memprediksi potensi dan luas tanam pada masing-
masing kecamatan di Sulawesi Tengah.
--------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Katam Terpadu dan Sulawesi Tengah
PENDAHULUAN
Perubahan iklim akibat peningkatan laju emisi (pelepasan) gas rumah kaca
(GRK) merupakan suatu ancaman yang telah memperlihatkan dampak
mengkhawatirkan. Hal itu tercermin dari perubahan pola curah hujan, peningkatan
suhu udara dan naiknya permukaan air laut yang secara langsung mengancam
sistem produksi sektor pertanian. Perubahan pola curah hujan misalnya telah
meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan sementara naiknya
permukaan laut telah menciutkan lahan pertanian di pesisir pantai akibatnya
salinitas (kandungan garam tinggi) dan genangan.
Haryono (2012) mengemukakan bahwa upaya atau strategi yang dapat
dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan jalan menyesuaikan atau
adaptasi kegiatan, teknologi dan pengembangan pertanian yang toleran
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 138
(resillience) terhadap perubahan iklim dengan cara penyesuaian waktu dan pola
tanam, penggunaan varietas yang adaptif, tahan terhadap organisme pengganggu
tanaman (OPT) dan pengelolaan air secara efisien.
Sulawesi Tengah mempunyai potensi sawah yang sangat luas, potensi luas
lahan baku mencapai 135.241 ha yang tersebar di 156 Kota/Kecamatan hal ini
merupakan peluang yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk peningkatan
produktivitas pada tanaman padi. Bila terjadi peningkatan indeks pertanaman
hingga tiga kali dalam setahun atau yang dikenal dengan istilah IP 300 maka akan
terjadi peningkatan luasan panen seluas 405.723 ha. BPS Sulteng (2013)
melaporkan bahwa luas panen pada Tahun 2012 mencapai 229.080 ha dengan
produksi rata – rata 44,71 kwintal per hektar.
Pada umumnya para petani dalam merencanakan budidaya pertanian
menggunakan pendekatan kearifan lokal yang diwariskan secara turun temurun,
namun dewasa ini kearifan lokal tersebut memiliki suatu kelemahan karena tidak
sepenuhnya dapat digunakan dalam menetapkan waktu tanam karena perubahan
sistem irigasi, dan sistem usahatani masyarakat, serta hilangnya sebagian flora dan
fauna yang menjadi indikator penanda musim (Runtunuwu, 2011). Di daerah
Sulawesi Tengah pada umumnya para petani masih menerapkan waktu tanam
pada bulan-bulan tertentu yaitu yang dikenal dengan istilah ASEP (April sampai
September) dan OKMAR (Oktober sampai Maret).
Beberapa kendala yang dihadapi seperti terjadinya fenomena Leveling off
telah ditunjukkan pada produksi padi dalam dua dasawarsa terakhir. Hal ini
mengindikasikan efisiensi penggunaan pupuk semakin menurun, demikian pula
ketidaklestarian lahan dan lingkungan juga mulai muncul. Beberapa hasil uji
tanah yang dilakukan oleh BPTP Sulawesi Tengah mengindikasikan bahwa status
bahan organik pada lahan sawah di Sulawesi Tengah berada dalam taraf sangat
rendah hingga rendah (C-organik < 2%) (Saidah et al, 2011). Ini artinya bahwa
pemberian bahan organik ke dalam tanah mutlak diperlukan agar produksi dan
produktivitas lahan dan tanaman dapat meningkat. Lakitan (2009) melaporkan
bahwa usaha peningkatan produksi beras akan datang menghadapi banyak
kendala seperti perubahan iklim global, perubahan alih fungsi lahan yang
mencapai 110.000 ha per tahun, degradasi lahan dan serangan organisme
pengganggu tanaman (OPT).
Strategi yang ditempuh oleh Badan Litbang Pertanian adalah dengan
memanfaatkan kekuatan melalui Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi (Balitklimat), Balai Penelitian Tanah (Balittanah) dan Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa (Balitra) yang didukung oleh seluruh BPTP telah
menyusun Peta dan Tabel Kalender Tanam Terpadu untuk sentra padi di
Indonesia. Kalender Tanam ini memiliki enam informasi penting yakni : 1)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 139
estimasi waktu dan luas tanam komoditi padi dan palawija; 2) wilayah rawan
banjir, kekringan dan rawan OPT; 3) rekomendasi kebutuhan benih; 4)
rekomendasi dan kebutuhan pupuk; 5) Informasi tanam pada masing-masing
BPP; dan 6) kalender tanam lahan rawa. Oleh sebab itu, informasi penting yang
terdapat dalam Kalender Tanam Terpadu ini perlu di uji keakuratanya melalui
kegiatan verifikasi di lapangan mencakup waktu tanam, rekomendasi penerapan
penggunaan pupuk dan varietas anjuran.
BAHAN DAN METODOLOGI
Kegiatan verifikasi dilakukan di lima kabupaten yang merupakan lumbung
padi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Sigi, Parigi Moutong, Donggala, Banggai
dan Morowali pada MT I Tahun 2013. Metode yang digunakan adalah metode
survey pada lima kecamatan di masing-masing kabupaten, dengan tahapan
kegiatan sebagai berikut : sosialisasi Katam Terpadu di masing-masing kabupaten
pada lima kecamatan terpilih yang memiliki luas lahan baku sawah terluas; dan
verifikasi dilakukan melalui wawancara kepada petani sebanyak 30 orang pada
masing-masing lokasi dengan cara mengisi form yang telah disiapkan. Lima
kecamatan pada masing-masing kabupaten di Sulawesi Tengah yang ditetapkan
sebagai tempat verifikasi dan validasi Katam Terpadu dapat di lihat pada Tabel 1
berikut ini.
Tabel 1. Verifikasi Katam Terpadu di lima kecamatan pada masing-masing
Kabupaten di Sulawesi Tengah
No Kabupaten Kecamatan Luas Lahan (Ha)
1 Sigi
1. Sigi Biromaru
2. Palolo
3. Gumbasa
4. Tanambulava
5. Dolo Barat
8.275
2.625
2.227,9
2.014,5
1.560
2 Donggala
1. Damsol
2. Balaesang
3. Sojol Utara
4. Sirenja
5. Banawa Selatan
3.750
1.890
1.411
1.322
1.298
3 Parigi Moutong
1. Torue
2. Balinggi
3. Parigi Selatan
4. Mepanga
5. Tomini
8.603
8.224
5.829
5.741
2.273
4 Banggai
1. Toili
2. Toili Barat
3. Masama
4. Batui Selatan
5. Moilong
4.672
4.235
2.863
2.364
2.176
5 Morowali
1. Petasia
2. Witaponda
3. Bumi Raya
4. Petasia Timur
5. Soyo Jaya
2.982
2.216
1.848
1.274
1.126
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 140
Verifikasi dilakukan dengan mencocokkan anjuran tanam, rekomendasi
pemupukan dan penggunaan varietas yang terdapat pada kalender tanam (Katam)
Terpadu dengan pola petani (di luar anjuran Katam). Selanjutnya data ditabulasi
dan dibahas secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sosialisasi Kalender Tanam Terpadu
KATAM ini memiliki enam informasi penting yakni : 1) estimasi waktu dan
luas tanam komoditi padi dan palawija; 2) wilayah rawan banjir, kekeringan dan
rawan OPT; 3) rekomendasi kebutuhan benih; 4) rekomendasi dan kebutuhan
pupuk; 5) Informasi tanam pada masing-masing BPP; dan 6) kalender tanam
lahan rawa. Dengan adanya Kalender Tanam Terpadu diharapkan para petani
dapat menentukan waktu tanam dan sekaligus menetapkan varietas yang sesuai
dan menggunakan pupuk secara rasional. Hasil sosialisasi terhadap para penyuluh
dan sebagian kecil Gapoktan yang ada di Sulawesi Tengah menggambarkan
bahwa informasi Katam Terpadu sangat dibutuhkan untuk mengatasi
kesemrawutan/kegalauan para petani dalam menentukan masa tanam. Katam ini
diyakini mampu memberikan rambu-rambu yang lebih spesifik terhadap
Organisme pengganggu tumbuhan (OPT), keberadaan iklim setempat, kesesuaian
penggunaan varietas dan penggunaan pupuk, sehingga mampu dijadikan acuan di
masing-masing kecamatan yang memiliki keanekaragaman karakteristik.
Sebagian besar di daerah Sulawesi Tengah khususnya pada tanaman padi
sawah masih menerapkan IP 200 – 250 yang melakukan realisasi tanam pada
bulan-bulan tertentu yakni yang dikenal dengan istilah periode ASEP (April –
September) dan OKMAR (Oktober – Maret). Hal ini menggambarkan masih
adanya peluang untuk peningkatan indeks pertanaman. Langkah strategis yang
harus dilaksanakan adalah memodifikasi pola tanam yang tadinya Padi – Padi atau
Padi – Palawija menjadi Padi – Padi – Padi, Padi – Palawija – Padi atau Padi –
Padi – Palawija. Dengan memanfaatkan kekuatan informasi yang ada pada Katam
Terpadu yang merujuk pada kesesuian iklim, rekomendasi varietas, rekomendasi
pemupukan dan keberadaan OPT di masing-masing kecamatan.
Secara umum belum sesuainya KATAM dengan realitas di lapangan adalah
tidak menetunya pola curah hujan dan musim serta penyimpangan anomali iklim
merupakan dampak dan akan terus terjadi. Kondisi ini sangat dirasakan antara
lain dalam bentuk ancaman banjir dan kekeringan, serangan hama penyakit dan
penurunan rendemen serta kualiatas hasil pertanian (Harijono, 2012). Maka agar
ketahanan pangan tetap berlanjut, perubahan iklim ini harus diantisipasi dengan
penyesuaian waktu tanam dan pola tanam pada setiap zona agroekosistem (Viet et
al., 2001 dalam Runtunuwu, 2011). Kalender Tanam (Katam) Terpadu
disosialisasikan di seluruh Dinas Tingkat II seperti Dinas Donggala, Sigi, Parigi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 141
Moutong, Banggai, dan Morowali. Lima kecamatan terpilih pada masing-masing
kabupaten dapat di lihat pada Tabel 1. Selain itu, Katam Terpadu juga di
sosialisasikan kepada perwakilan penyuluh di Sulawesi Tengah melalui pelatihan
Agribisnis yang diadakan oleh BLPP sebanyak 30 orang peserta, Penyuluh se
Kecamatan Sigi sebanyak 30 orang peserta yang diadakan di KP. Sidondo dan 25
orang penyuluh di Sulawesi Tengah yang mengikuti Sekolah Lapang Iklim (SLI)
diadakan oleh BMKG Palu yang mengadakan kunjungan lapangan sebanyak dua
kali.
Kendala yang dihadapi dalam mensosilaisasikan Katam Terpadu adalah
tidak tersedianya jaringan GSM yang memadai untuk mendownlod informasi
yang termuat dalam Katam tersebut. Keterbatasan SDM yang menguasai IT
menjadi kendala utama. Sosialisasi dilakukan dengan membagikan Katam
Terpadu ke masing-masing BPP terpilih melalui media cetak.
Verifikasi Kalender Tanam Terpadu
Verifikasi adalah tahapan kegiatan untuk memantau akurasi dan kebenaran
informasi atau data yang dihasilkan dari sistem. Verifikasi dilakukan dengan
membandingkan suatu proses dengan suatu sistem dengan kondisi riil di lapangan
atau fakta yang terbentuk. Dalam hal ini, untuk mengetahui sejauh mana aplikasi
Katam Terpadu yang telah dilaunching oleh Badan Litbang Pertanian dapat
diterapkan oleh pengguna teknologi. Hasil verifikasi pada musim tanam (MT) I
dan penggunaan varietas padi di lima kecamatan pada masing-masing kabupaten
dapat di lihat pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Hasil verifikasi pada MT I dan penggunaan varietas padi di lima
Kecamatan pada masing-masing Kabupaten di Sulawesi Tengah
No Kabupaten Kecamatan Musim Tanam (MT I) Penggunaan varietas
1 Sigi
1. Sigi Biromaru 2. Palolo
3. Gumbasa
4. Tanambulava 5. Dolo Barat
November – Desember November – Desember
November – Desember
November – Desember November – Desember
Cigeulis, Cisantana Cisantana, Cigeulis
Ciherang, Inpari 6
Ciherang, Inpari 6 Inpari 4, Mekongga
2 Donggala
1. Damsol
2. Balaesang
3. Sojol Utara 4. Sirenja
5. Banawa Selatan
Desember – Januari
Desember – Januari
Desember – Januari Desember – Januari
Desember – Januari
Mekongga, Ciliwung
Mekongga, Ciherang
Mekongga, Ciherang Mekongga, Ciherang
Inpari 13. Ciliwung
3 Parigi Moutong
1. Torue 2. Balinggi
3. Parigi Selatan
4. Mepanga 5. Tomini
Januari – Februari Januari - Februari
Januari - Februari
November – Desember November - Desember
Inpari 13, Inpari 14 Inpari 13, Ciherang
Mekongga, Cigeulis
Ciherang, Inpari 6 Ciherang, Mekongga
4 Banggai
1. Toili
2. Toili Barat
3. Masama 4. Batui Selatan
5. Moilong
Desember – Januari
Januari – Februari
Desember – Januari Januari – Februari
Januari – Februari
Ciherang, Mekongga
Inpari 13, Inpari 4
Inpari 4, Ciherang Ciherang, Ciliwung
Ciherang, Cigeulis
5 Morowali
1. Petasia 2. Witaponda
3. Bumi Raya
4. Petasia Timur 5. Soyo Jaya
Desember - Januari Desember - Januari
Desember - Januari
Desember - Januari Desember - Januari
Ciherang, Mekongga Inpari 13, Ciherang
Ciherang, Cigeulis
Ciherang, Cigeulis Ciherang, Mekongga
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 142
Hasil verifikasi penggunaan pupuk anorganik (Phonska dan Urea) di lima
kabupaten yakni Sigi (Phonska 200 kg dan Urea 200 kg), Donggala (Phonska 300
kg dan Urea 200 kg), Parigi Moutong (Phonska 150 dan Urea 250 kg), Banggai
(Phonska 200 kg dan Urea 200 kg).
Persentase terhadap kesesuaian anjuran Katam Terpadu dengan pelaksanaan
waktu tanam, penggunaan pupuk dan varietas yang digunakan oleh petani pada
masing-masing kabupaten dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Persentase (%) penerapan Katam Terpadu di Lima Kabupaten Propinsi
Sulawesi Tengah
No Verifikasi Data Kabupaten
Donggala Parigi Moutong Sigi Banggai Morowali
1 Musim Tanam 90 90 98 83 80
2 Dosis
Penggunaan
Pupuk
90 80 95 80 80
3 Pengunaan VUB
Anjuran
90 80 90 73 75
Kabupaten Sigi
Potensi tanam sesuai anjuran Katam pada MT I seluas 21.360 ha. Luas
tanam padi pada Tahun 2012 sebanyak 25.606 ha (MT I) yang terdiri dari 25.589
ha padi sawah dan 17 ha padi ladang, (BPS Sigi, 2013). Selanjutnya di lihat
menurut bulan penanaman padi terluas pada bulan April 4.529 ha. Verifikasi
terhadap waktu tanam di wilayah ini dilaporkan bahwa 98 % telah sesuai dengan
anjuran yang terdapat pada Katam.
Luas tanam palawija (Jagung, Kedelai, Kacang tanah, Kacang Hijau, Ubi
Kayu dan Ubi Jalar) pada Tahun 2012 seluas 9.217 ha (BPS Sigi, 2013). Khusus
pada wilayah yang memiliki pengairan teknis, bila terjadi pemutusan air irigasi
yang disebabkan adanya perbaikan saluran primer, maka para petani melakukan
penanaman Kacang Hijau yang memiliki umur panen sangat genjah. Perbaikan
rutin dilakukan setiap MT III. Ini artinya bahwa telah dilakukan peningkatan
indeks pertanaman dalam satu tahunnya dengan pola tanam Padi – Padi -
Palawija.
Penggunaan varietas unggul baru tidak menjadi kendala yang disebabkan
keberadaan Unit Perbanyakan Benih Sumber yang berlokasi di wilayah ini, seperti
adanya Kebun Percobaan Sidondo, BBI Sidera, BBI Sibowi, BBI Pandere dan
BBU Kulawi. Hal ini terbukti dari penerapan benih unggul baru sesuai dengan
anjuran Katam sebanyak 90 %. Demikian pula halnya penerapan penggunaan
pupuk mencapai 95 % sesuai dengan anjuran yang terdapat pada Katam.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 143
Kabupaten Donggala
Kabupaten Donggala memiliki total luas baku sawah sebanyak 12.452,3 ha
yang tersebar di 15 Kecamatan dengan kondisi iklim normal, bawah normal dan
atas normal. Hasil verifikasi terhadap ketiga komponen yakni waktu tanam,
penggunan pupuk dan varietas unggul baru di wilayah ini sebesar 90 % sesuai
dengan anjuran Katam. Rata-rata penggunaan pupuk Phonska dan Urea sebanyak
300 kg/ha dan 200 kg/ha. Varietas existing di wilayah ini adalah Mekongga dan
Ciherang dengan penggunaan benih berkisar antara 25 – 30 kg/ha, dengan
produksi padi sebanyak 118.567 ton dengan produktivitas rata-rata 47,16 kw/ha
(BPS Sulteng, 2013). Verifikasi terhadap serangan hama yang dominan di wilayah
ini adalah penggerek batang, tikus, hama putih palsu dan ulat grayak.
Kabupaten Parigi Moutong
Kabupaten Parigi Moutong memiliki luas baku sawah yang tertinggi di
Propinsi Sulawesi Tengah sebesar 26.932 ha dengan sifat iklim normal yang
tersebar di 23 Kecamatan. Varietas Unggul Baru (VUB) yang direkomendasikan
sesuai Katam Terpadu adalah Inpari 10, Inpari 6 dan Mekongga. Hasil verifikasi
menunjukkan bahwa ada kesamaan antara rekomendasi KATAM dengan yang
ditetapkan oleh LPTPH setempat yakni Mekongga dan Membramo yang di tanam
pada MT1. Khusus untuk wilayah Kecamatan Torue dan Sausu, para petani telah
mengembangkan varietas Inpari 14. Hasil verifikasi terhadap penggunaan
varietas unggul baru di kabupaten ini sebanyak 80 % sesuai dengan anjuran
Katam.
Secara umum hama dan penyakit yang dominan menyerang tanaman padi
pada MT1 adalah Wereng Coklat, Penggerek Batang, Tikus, Ulat Grayak, Tungro,
Bercak Coklat dan Kresek. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Katam Terpadu
bahkan dalam rekomendasi telah dikatagorikan hingga tingkat serangan (Ringan,
Sedang, Rawan dan Sangat Rawan) dari hama dan penyakit yang telah diprediksi.
Hasil wawancara dengan beberapa petani di Kecamatan Torue telah
menerapkan IP 300 sesuai dengan anjuran yang ada di Kalender Tanam Terpadu.
Sistem tanam yang digunakan adalah sistem TABELA. Sistem tanam ini dianggap
mampu mengurangi penggunaan tenaga kerja. Dalam satu hektar hanya
memerlukan waktu satu jam saja, sedangkan kalau menggunakan ATABELA
membutuhkan waktu hingga 6 jam. Sulitnya untuk mendapatkan tenaga kerja dan
beragamnya komoditi yang diusahakan oleh masyarakat setempat sangat
membutuhkan inovasi-inovasi teknologi yang spesifik lokasi, efektif dan efisien
serta berkelanjutan.
Pada umumnya para petani di masing-masing kecamatan masih menerapkan
IP 200. Sumber air merupakan salah satu faktor pembatas dalam peningkatan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 144
Indeks Pertanaman. 90% pada masing-masing kecamatan telah menerapkan waktu
tanam sesuai dengan anjuran katam.
Rekomendasi penggunaan pupuk majemuk Phonska dan Urea untuk
tanaman padi sesuai Katam pada kondisi iklim normal sebanyak 225 kg/ha dan
125 kg/ha. 80 % di wilayah ini telah menggunakan pupuk sesuai dengan anjuran.
20 % hasil verifikasi menunjukkan bahwa penggunaan pupuk urea lebih tinggi
dibandingkan penggunaan pupuk majemuk Phonska. Rata – rata peggunaan pupuk
urea sebanyak 250 kg/ha dan Phonska sebanyak 150 kg/ha. Tingginya
penggunaan pupuk urea diduga karena penggunaan sistem tanam yang tidak
beraturan “HAKIKA” yang menyebabkan populasi tanaman menjadi lebih
banyak, sehingga respon tanaman terhadap pupuk urea menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem tanam tegel atau sistem tanam jajar legowo.
Demikian pula kebutuhan benih dengan sistem ini menjadi lebih tinggi.
Kebutuhan benih padi mencapai 45 – 60 kg/ha lebih tinggi dari yang dianjurkan
Katam sebanyak 25 kg/ha dengan sistem Tapin.
Kabupaten Banggai
Berdasarkan anjuran Katam pada MT I potensi luas tanam untuk Kabupaten
Banggai seluas 12.039 ha. Total luas panen pada kabupaten ini sebesar 36.892 ha
dalam satu tahun (IP 200) jauh lebih tinggi dibandingkan anjuran yang terdapat
pada Katam. Rendahnya prediksi potensi Katam disebabkan oleh dugaan ancaman
kekeringan dengan kriteria sangat rawan, berdasarkan verifikasi, Kabupaten ini
memiliki luas lahan sawah dengan pengairan Teknis seluas 6.173 ha (Bidang
Sumberdaya Air, Dinas Pekerjaan Umum Propinsi Sulteng dalam BPS Sulteng,
2013). Hal ini menggambarkan bahwa kebutuhan air oleh tanaman padi masih
tercukupi dari sumber pengairan yang telah tersedia.
Verifikasi terhadap waktu tanam dan penggunaan pupuk di wilayah ini
sesuai dengan anjuran Katam sebanyak 83 % dan 80 %. Sulitnya mendapatkan
pupuk dan tingkat kepemilikan modal merupakan faktor pembatas dalam
penerapan penggunaan pupuk sesuai dengan anjuran.
Rekomendasi varietas unggul baru yang telah berdaptasi dengan baik adalah
varietas Inpari 13 dan telah menyebar di enam kecamatan disamping varietas lokal
Super Win yang diduga tahan terhadap hama dan penyakit dan memiliki potensi
hasil tinggi. Verifikasi terhadap penggunaan varietas unggul baru di wilayah ini
sebanyak 73 %.
Kabupaten Morowali
Kabupaten Morowali memiliki luas baku sawah 16.123 ha yang tersebar di
18 kecamatan dengan sifat iklim normal. Berdasarkan anjuran Katam pada MT I
potensi luas tanam Kabupaten Morowali seluas 6.432 ha. Total luas panen MT I
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 145
adalah 3.940 ha. Hasil verifikasi terhadap penerapan waktu tanam sebanyak 80 %
sesuai dengan anjuran Katam, bergesernya waktu tanam mengakibatkan tingginya
serangan hama tikus (menurut keterangan Kepala BPP setempat). Serangan hama
tikus pada MT I menyerang tanaman di Kecamatan Witaponda dengan intensitas
serangan mencapai 30%.
Secara umum hama dan penyakit yang dominan menyerang tanaman padi
pada MT2 II adalah Penggerek Batang, Tikus, dan Kresek. Hal ini sesuai dengan
rekomendasi Katam Terpadu bahkan dalam rekomendasi telah dikatagorikan
hingga tingkat serangan (Rawan untuk hama tikus, penggerek batang dan sedang
untuk penyakit Kresek).
Varietas Unggul Baru (VUB) yang direkomendasikan sesuai Katam
Terpadu adalah Inpari 10, Inpari 6 dan Mekongga, Situbagendit dan
Situpatenggang. Hasil verifikasi menunjukkan bahwa tampilan padi varietas
Mekongga sangat digemari oleh para petani setempat. Hal ini disebabkan
rendemen Mekongga relatif tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya (>60%)
dan ketahanan terhadap serangan OPT. Verifikasi penerapan pupuk dan varietas
unggul baru di wilayah ini sebesar 80 % dan 70 % sesuai dengan anjuran. Belum
sesuainya takaran pupuk yang digunakan oleh petani karena terkait dengan tingkat
kepemilikan modal. Petani lebih banyak menggunakan phonska dan urea,
sedangkan jenis pupuk lainnya relatif tidak digunakan.
KESIMPULAN
1. Kesesuaian terhadap waktu tanam, rekomendasi pemupukan dan penggunaan
varietas sesuai anjuran KATAM Terpadu di lima kabupaten dan kecamatan
telah mencapai angka 73 % hingga 98 % .
2. Belum sepenuhnya dilakukan penerapan KATAM Terpadu di Sulawesi
Tengah, mencakup anjuran penggunaan varietas dan penerapan pengunaan
pupuk.
DAFTAR PUSTAKA
Anggoro U. Kasih, 2012. Sambutan Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Melalui
http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012.
BPS Propinsi Sulawesi Tengah, 2013. Melalui: sulteng.bps.go.id
BPS Kabupaten Sigi, 2013. Melalui: sigikab.bps.go.id
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 146
Harijono S.Woro B., 2012. Sambutan Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika. Melalui http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal
06/09/2012
Haryono, 2012. Pengantar Kalender Tanam Terpadu. Melalui
http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012
Lakitan B. 2009. http://www.ristek.go.id. [24/11/2011].
Runtunuwu E., 2011. Kalender Tanam Tanaman Pangan Pulau Bali, NTB, NTT,
Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Info Agroklimat dan
Hidrologi. Volume 6 nomor 3. Juni 2011.
Saidah, Asni Ardjanhar, Ruslan Boy, I Ketut Suwitra, A. Irmadamayanti dan
Irwan Suluk Padang. 2011. Cara Pengelolaan Jerami sebagai Sumber
Bahan Organik pada Budidaya Padi Sawah yang Dapat Meningkatkan
Efisiensi Pemupukan dan Produksi Padi Minimal 15%. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Suswono, 2012. Sambutan Menteri Pertanian Indonesia. Melalui
http://katam.info/main.aspx diakses Tanggal 06/09/2012
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 147
Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Petani Dalam
Pengelolaan Usahatani Jagung Di Sulawesi Tengah
(Kasus Desa Pulu Kabupaten Sigi)
Herawati, Benyamin R dan Asnidar
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No.62 Biromaru HP: 081354253360, email:
Abstrak
Usaha peningkatan produksi jagung di Indonesia telah digalakkan melalui dua program
utama yakni: (1) Ekstensifikasi (perluasan areal) dan (2) intensifikasi (peningkatan
produktivitas). Program peluasan areal tanaman jagung selain memanfaatkan lahan
kering juga lahan sawah, baik sawah irigasi maupun lahan sawah tadah hujan melalui
pengaturan pola tanam. Usaha peningkatan produksi jagung melalui program
intensifikasi adalah dengan melakukan perbaikan teknologi dan manajemen pengelolaan.
Usaha-usaha tersebut nyata meningkatkan produktivitas jagung terutama dengan
penerapan teknologi inovatif yang lebih berdaya saing (produktif, efisien dan
berkualitas). Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa secara rata-rata, petani yang dilibatkan dalam penelitian ini berumur 52 tahun,
sebagian besar berada pada kisaran 41-64 tahun, berpendidikan tamat SD, pengalaman
usahatani jagung relatif cukup lama diatas 13 tahun, luas lahan yang digarap baik milik
sendiri maupun orang lain berkisar 0,5 – 1 ha, cukup kontak dengan penyuluh dan
mempunyai akses pada sarana produksi. Pengetahuan yang dikuasai petani tentang
pengelolaan usahatani jagung ialah : pemasaran hasil, penggunaan teknologi usahatani
jagung, kendala dan peluang usahatani jagung, dan pemilihan komoditas usahatani dan
penanaman. Karakteristik petani berhubungan nyata dengan pengetahuan mereka
tentang pengelolaan usahatani jagung.
-----------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Usahatani, jagung, karakteristik petani.
PENDAHULUAN
Pada dasarnya petani telah memiliki pengetahuan lokal tentang ekologi
dan pertanian yang terbentuk secara turun temurun dari nenek moyang mereka
dan berkembang seiring dengan waktu. Pengetahuan lokal yang dimiliki petani
bersifat dinamis, karena dapat berhubungan dengan karakteristik internal maupun
dipengaruhi oleh teknologi dan informasi eksternal antara lain kegiatan penelitian,
penyuluhan dari berbagai instansi, pengalaman petani dari wilayah lain dan
berbagai informasi melalui media massa.
Pengetahuan ialah bagian dari kemampuan intelektual atau kognitif petani
tentang teknis produksi dan manajemen usahatani jagung. Menurut
Padmowihardjo (dalam Kurnia, 2010) pengetahuan adalah aspek prilaku yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 148
berhubungan dengan kemampuan mengingat materi yang telah dipelajari dan
kemampuan mengembangkan intelegensia. Pengertian pengetahuan dalam
kegiatan ini adalah segala sesuatu yang diketahui oleh petani berkenan dengan
usahataninya. Pengetahuan petani dalam berusahatani jagung itu meliputi
Sembilan bidang yang harus dikuasai oleh petani agar mampu mengelola
usahatani jagung dengan baik, yaitu: (1) penggunaan benih varietas unggul
(bersari bebas dan hibrida), (2) benih berkualitas dengan daya tumbuh >90% dan
Perlakuan benih/bibit , (3) pemupukan dan pengendalian hama penyakit, (4)
drainase, (5) permodalan, (6) tenaga kerja, (7) penggunaan teknologi, (8) kendala
dan peluang usahatani jagung, dan (9) pemasaran hasil.
Pembangunan pertanian berawal dari kualitas petani sebagai pelaku utama.
Kualitas petani berhubungan dengan karakteristik seperti pendidikan formal, luas
lahan, pengalaman, motivasi dan modal berusahatani. Petani yang berkualitas
merupakan wujud kompetensi yang dimiliki. Kompetensi pada satu sisi boleh
disebut sebagai kemampuan dan pada sisi yang lain disebut juga sebagai keahlian,
yang memiliki aspek-aspek intelektual dan praktis.
Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan selain dapat
meningkatkan ketersediaan pangan, juga mendorong peningkatan pendapatan
petani. Salah satu komoditas pangan yang terus berkembang dan banyak
dibutuhkan adalah usahatani jagung. Sentra produksi jagung di Indonesia
umumnya berada pada ekosistem lahan kering dengan berbagai keragaman baik
iklim maupun tanah. Jagung sampai saat ini masih merupakan komoditi strategis
kedua setelah padi karena di beberapa daerah, jagung masih merupakan bahan
makanan pokok kedua setelah beras. Jagung juga mempunyai arti penting dalam
pengembangan industri di Indonesia karena merupakan bahan baku untuk industri
pangan maupun industri pakan ternak khusus pakan ayam. Dengan semakin
berkembangnya industri pengolahan pangan di Indonesia maka kebutuhan akan
jagung akan semakin meningkat pula.
Sasaran pembangunan pertanian khususnya di bidang tanaman pangan
pada masa mendatang adalah terwujudnya kelayakan sistem produksi tanaman
pangan yang berkelanjutan untuk mendukung agribisnis dan agroindustri.
Penanganan dan pembinaan terpadu mulai dari penyediaan teknologi di tingkat
petani, pembinaan usaha tani, pembinaan pasca panen, pengolahan hasil,
pemasaran dan perdagangan sangat di-perlukan. Dengan demikian pendapatan
petani diharapkan dapat meningkat secara proporsional, sesuai kebutuhan hidup
dan tingkat kesejahteraan yang semakin tinggi. Untuk memenuhi hal tersebut,
didalam pengelolaan penanaman jagung diperlukan sistem perbaikan teknologi
budidaya sesuai dengan ciri agroekosistem yang mampu meningkatkan produksi
tanaman jagung.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 149
Untuk pengembangan jagung, penggunaan benih unggul dan bermutu
tinggi menjadi salah satu upaya yang terus dikaji dan disebarluaskan ke petani.
Salah satu penyebab menurunnya produksi jagung diakibatkan oleh kebiasaan
petani dalam budidaya jagung menggunakan benih yang ditanam turun temurun
sehingga produksinya tidak optimal. Benih merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan budidaya tanaman yang perannya tidak dapat digantikan
oleh faktor lain. Ketergantungan benih hibrida impor, baik benih F1 maupun
parenstoknya (induk F1) akan memperlemah ketahanan pangan, sehingga
Balitsereal juga menghasilkan varietas hibrida, sampai saat ini telah dilepas
varietas hibrida sebanyak 6 varietas dan salah satunya adalah Bima-5. Pengenalan
varietas unggul hibrida yaitu Jagung varietas Bima-5, dan potensi hasil per hektar
mencapai 14,4 ton jagung pipilan kering. Adapun rata-rata hasil setelah lewat uji
multilokasi dan adaptasi di berbagai tempat mencapai 11,3 ton. Berbeda dengan
varietas jagung non-Bima yang daun dan batang umumnya mengering dan
berwarna kuning begitu jagung masuk usia panen. Keunggulan lainnya, tanaman
jagung varietas Bima bisa menghasilkan produksi yang tinggi meskipun ditanam
di lahan marginal (Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, 2007).
Usaha peningkatan produksi jagung di Indonesia telah digalakkan melalui
dua program utama yakni: (1) Ekstensifikasi (perluasan areal) dan (2) intensifikasi
(peningkatan produktivitas). Program peluasan areal tanaman jagung selain
memanfaatkan lahan kering juga lahan sawah, baik sawah irigasi maupun lahan
sawah tadah hujan melalui pengaturan pola tanam. Usaha peningkatan produksi
jagung melalui program intensifikasi adalah dengan melakukan perbaikan
teknologi dan manajemen pengelolaan. Usaha-usaha tersebut nyata meningkatkan
produktivitas jagung terutama dengan penerapan teknologi inovatif yang lebih
berdaya saing (produktif, efisien dan berkualitas).
Produktivitas jagung ditentukan oleh hasil interaksi antara varietas dengan
faktor lingkungan. Faktor lingkungan mencakup iklim, jenis tanah, hama dan
penyakit, gulma dan pengelolaan oleh manusia. Manusia memiliki kemampuan
yang disebut pengetahuan untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara efektif..
Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan penelitian ini adalah:
(1) Bagaimana distribusi petani jagung pada sejumlah karakteristik yang diamati?
(2) Bagaimana pengetahuan para petani itu dalam pengelolaan usahatani jagung?
(3) Seberapa jauh hubungan karakteristik petani dengan pengetahuan mereka
dalam pengelolaan usahatani jagung?
Sejalan dengan permasalahan diatas, maka penelitian ini secara umum
bertujuan untuk mengidentifikasi dan memaparkan gambaran yang jelas tentang
para petani jagung dan pengetahuan mereka tentang pengelolaan usahatani
jagung. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan:
1. Distribusi para petani jagung pada sejumlah karakteristik yang diamati.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 150
2. Pengetahuan yang perlu mereka kuasai dalam pengelolaan usahatani jagung.
3. Hubungan antara karakteristik petani dengan pengetahuan mereka dalam
mengelola usahatani jagung.
METODE PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah petani jagung di Desa Pulu Kecamatan Dolo
Selatan Kabupaten Sigi, responden diambil secara purposive sampling sebanyak
30 orang petani jagung di lokasi Gelar Teknologi kegiatan Kajian Kemitraan
Pengembangan Penelitian Pertanian Spesifik Lokasi (KKP3SL) BPTP Sulawesi
Tengah. Pemilihan lokasi didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain
adalah: (a) Kabupaten Sigi adalah salah satu daerah yang cukup potensial
pengembangan jagung, (b) Desa Pulu merupakan lokasi kegiatan KKP3SL BPTP
dan Etalase Jagung Dinas Pertanian Provinsi, dan (c) Mempunyai areal lahan
kering maupun sawah yang cukup luas dan produktivitas untuk jagung masih
rendah.
Penelitian ini dilakukan dengan cara survei dengan menggunakan
kuesioner semi struktur dan wawancara mendalam (indeph interview) kepada
petani responden yang terpilih. Data yang dikumpulkan berdasarkan pada dua
jenis data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui
wawancara dan pengisian kuesioner semi struktur. Data sekunder diperoleh dari
demogarfi desa, BPS statistik dan instansi terkait. Data yang telah terkumpul
diolah melalui tahapan editing, coding dan tabulasi dengan interval yang
dihasilkan pada masing-masing hasil pengukuran. Data yang diperoleh diolah dan
dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Data yang terkumpul dianalisis dengan
prosedur statistic deskriptif dan korelasi non parametric seperti analisis uji
korelasi Kendall W (Siegel, 1999) dan untuk memudahkan pengolahan data
digunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Science) versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Kondisi Umum Wilayah
Desa Pulu terletak di wilayah Kecamatan Dolo Selatan Kabupaten Sigi
dan berada di wilayah kerja Badan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (BP3K) Baluase, yang berjarak tempuh dari Desa Pulu ke Ibukota
Kabupaten Sigi sekitar ± 32 km, ke Ibukota Kecamatan Dolo Selatan ± 5 km dan
ke kantor BP3K Baluase berjarak ± 8 km. Batas-batas wilayah adalah: sebelah
utara berbatasan dengan Desa Poi, Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Palu,
sebelah selatan berbatasan dengan Desa Rogo dan sebelah barat berbatasan
dengan pegunungan Kaliali. Desa Pul berada di ketinggian ± 500 m dpl dan
memiliki kemiringan tanah 25% sebab berada di kaki Gunung Kaliali, kedalaman
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 151
air tanah ± 12 m, adapun keadaan tekstur air tanah adalah lempung berpasir
dengan lapisan top soil ± 30 cm, dengan tingkat keasaman tanah pH 6 – 7.
Keadaan iklim berada di tingkat yang sedang yaitu dalam kurun waktu 1
tahun terdapat 1.502 mm curah hujannya dan suhu rata-rata 30 – 350c. Ha ini
disebabkan lebih dipengaruhi oleh adanya hutan lindung di gunung Kaliali yang
merupakan sumber air untuk irigasi pertanian dan konsumsi masyarakat. Potensi
sumberdaya secara keseluruhan jumlah penduduk Desa Pulu berdasarkan sumber
data monografi Desa Tahun 2013 adalah 1.168 jiwa. Lokasi kegiatan penelitian
dan pengkajian di Desa Pulu berada di wilayah Kecamatan Dolo Selatan
Kabupaten Sigi yang termasuk dalam wilayah kerja Badan Penyuluhan Pertanian,
Perikanan dan Kehutanan (BP3K) Baluase dengan luas wilayah ± 900 ha terdiri
dari lahan pertanian, perkebunan, hutan produktif dan lindung, pemukiman
penduduk dan lahan tidur. Dari potensi wilayah Desa Pulu terlihat jelas bahwa
mayoritas penduduknya bergantung pada usaha komoditi pertanian (pangan,
palawija dan sayur sayuran), perkebunan (kelapa dalam dan kakao) dan
peternakan (ternak besar dan kecil).
Tanaman pangan merupakan komoditas utama menopang kebutuhan
pangan nasional. Peningkatan produksi pangan terus diupayakan untuk memenuhi
kebutuhan pangan yang terus meningkat dengan bertambahnya jumlah penduduk
dari tahun ke tahun. Potensi lahan persawahan di Desa Pulu ± 89,5 ha, dengan
jumlah petani 82 jiwa. Cara budidaya masyarakat tani masih secara tradisional,
irigasi yang digunakan adalah irigasi desa yang dalam setahun 2 kali musim
tanam yaitu periode April – September dan Oktober – Maret. Pada tahun 2009
terdapat program SL-PTT padi sawah yang kemudian dilanjutkan tahun 2011,
2012 dan 2013. Pencapaian program SL-PTT padi sawah ± 30%, hal ini dapat
dilihat hampir 70% petani sudah melaksanakan sistem tanam jajar legowo 2:1 dan
4:1 dan pada tahun 2012 adopsi inovasi sisem tanam jajar legowo ini telah
mencapai ± 70%. Tahun 2012 di Desa Pulu juga ada program Optimasi Lahan
Padi Sawah berupa bantuan sarana produksi bagi anggota kelompoktani dan
program Kontingensi berupa bantuan 1 unit handtraktor serta 2 unit handtraktor
dari kementerian pertanian. Kesemua bantuan itu sangat membantu petani dalam
melakukan usahataninya.
Komoditas lain yang diusahakan oleh petani di Desa Pulu adalah palawija.
Palawija merupakan komoditas pangan kedua setelah padi sawah. Jenis palawija
yang banyak dibudidayakan oleh petani adalah jagung dengan potensi pertanaman
jagung ± 78,5 ha yang diusahakan sekitar 74 jiwa. Cara budidaya petani jagung di
Desa Pulu juga masih sangat tradisional dengan produksi rata baru mencapai 3 –
3,5 ton/ha. Tahun 2013 telah masuk program SL-PTT jagung mendukung
program ketahanan pangan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 152
2. Distribusi Responden pada Sejumlah Karakteristik yang diamati.
Karakteristik sosio-demografi petani yang diamati dalam penelitian ini
ialah: (1) umur, (2) pendidikan formal, (3) pengalaman berusahatani, (4) luas
lahan usaha,(5) kontak dengan penyuluh, dan (6) ketersediaan sarana produksi.
Deskripsi selengkapnya disajikan pada Tabel1 berikut.
Tabel 1. Deskripsi sejumlah karakteristik petani jagung di Desa Pulu, Tahun 2014.
No. Karakteristik
Responden
Rataan Kisaran Kategori Persen
1. Umur 52 tahun 29 – 77 thn
Muda (29 – 40 thn)
Sedang (41 – 64 thn)
Tua ( > 64 thn)
19,23
53,85
26,92
2. Pendidikan
Formal 6 tahun 6 – 12 thn
Tamat SD (6 thn)
Tamat SMP ( 9 thn)
Tamat SMA (12 thn)
61,54
26,92
11,54
3. Pengalaman
Berusahatani 11 tahun 1 – 20 thn
Rendah (< 7,3 thn)
Sedang (7,3 – 13,8)
Tinggi (> 13,8 thn)
11,54
26,92
61,54
4. Luas lahan 1 hektar 1 – 2 hektar
Sempit (< 0,5 ha)
Sedang (0,5 – 1 ha)
Luas (> 1 ha)
23,08
69,23
7,69
5. Kontak dengan
Penyuluh 5 4 - 13
Rendah (< 7)
Sedang (7 – 10)
Tinggi ( > 10)
15,39
61,54
23,08
6. Ketersediaan
Sarana Produksi 9,5 3 - 12
Rendah (< 6)
Sedang (6 – 9)
Tinggi (> 9)
13,20
34,20
52,60
Keterangan n=26
Umur Responden
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa secara rata-rata, petani yang
dilibatkan dalam penelitian ini berumur 52 tahun, sebagian besar (53,83%) berada
pada kisaran 41 – 64 tahun. Tampaknya sektor pertanian kurang diminati oleh
tenaga kerja usia muda. Namun demikian BPS, 2011 menyatakan umur produktif
tenaga kerja adalah 16 – 64 tahun, maka petani jagung ini masuk dalam kategori
kelompok usia masih produktif untuk mengembangkan diri dan usaha tani. Petani
usia produktif mempunyai kemampuan bekerja atau beraktifitas lebih tinggi
dibandingkan petani yang tidak produktif. Sektor pertanian dalam kontes
beraktifitas idealnya ditekuni oleh usia produktif, hal ini dikarenakan beraktifitas
dalam sektor pertanian harus didukung oleh kekuatan fisik. Kecenderungan lain
bahwa dalam proses adopsi inovasi baru, petani yang berumur muda lebih tanggap
bila dibandingkan dengan petani yang berumur tua. Kelemahan dari petani yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 153
berumur tua, disatu sisi sudah kurang kekuatan fisik, kemudian lambat dalam
proses pengambilan keputusan, penuh pertimbangan dan kehati-hatian.
Pendidikan Formal
Pendidikan formal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat
pendidikan responden dalam mengikuti proses belajar mengajar di bangku sekolah
formal. Pendidikan memudahkan bagi diri petani dan kelompok masyarakat dalam
menerima informasi atau pengetahuan yang berasal dari berbagai sumber
informasi yang dapat memberikan nilai tambah (add value) dalam pengembangan
usahataninya serta dapat meningkatkan kesadaran dalam memperhatikan setiap
anjuran di bidang pertanian. Tilaar (1997) menjelaskan bahwa fungsi pendidikan
adalah proses menguak potensi individu dan cara manusia mampu mengontrol
potensinya yang telah dikembangkan agar dapat bermanfaat bagi peningkatan
kualitas hidupnya.
Sebagian besar (61,54%) petani jagung memiliki pendidikan tamat
Sekolah Dasar (SD), namun umumnya petani tergolong usia dewasa awal (early
adult) dan dewasa pertengahan (middle adult) yaitu 19,23% berusia 29 – 40 tahun
dan 53,85% berusia 41 – 64 tahun. Pada usia dewasa awal seseorang punya
kemampuan belajar yang cukup tinggi dan pada usia dewasa pertengahan,
seseorang masih dimungkinkan untuk diberi tambahan pendidikan sesuai dengan
pekerjaan yang dilakukan (Feldman, 1996). Pendidikan non formal dapat
diberikan untuk mendukung tingkat pendidikan formal yang rendah; misalnya
penyuluhan atau pelatihan sesuai kebutuhan petani. Meningkatkan kualitas
sumberdaya manusia petani lebih utama karena merupakan investasi jangka
panjang di sektor pertanian.
Pengalaman Berusahatani
Sesuatu yang telah dialami seseorang akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Pengalaman usahatani yang
diukur adalah lama (tahun) petani melakukan usahatani jagung. Pengalaman
berusahatani memiliki peranan yang sangat penting bagi petani dalam
mengembangkan usahataninya, dan menerima serta menerapkan teknologi baru.
Lahan kering yang digunakan untuk berusahatani jagung memiliki keterbatasan
tingkat kesuburan tanah relatif rendah; tetapi dengan pengalaman yang cukup
lama, mengantarkan petani untuk bertahan dan berusaha mengatasi kesulitan-
kesulitan tersebut. Sesuai pendapat Mubyarto (2002) yang menyebutkan bahwa
pengalaman dan kemampuan bertani yang dimiliki sejak lama, sehingga telah
menjadi cara hidup (way of life) yang telah memberikan keuntungan dalam
hidupnya. Petani jagung di wilayah penelitian telah berusahatani jagung ini diatas
13 tahun (61,54%), sehingga dapat dikatakan telah memiliki bekal relatif cukup
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 154
lama untuk menekuni profesi sebagai petani jagung. Petani belajar bertani
umumnya sejak usia remaja atau dianggap dewasa, maka biasanya sudah mulai
menggarap lahan milik orang tuanya. Umumnya teknik-eknik usahatani yang
dikembangkan oleh para orangtuanya terdahulu tidak berbeda jauh dengan teknik-
teknik yang dikembangkan oleh anaknya sehingga teknik pertanian yang banyak
diterapkan adalah teknologi warisan.
Luas Lahan
Luas lahan usahatani yang dimaksud dalam penelitian ini adalah luas lahan
kering petani yang dimanfaatkan usahatani jagung, baik milik sendiri maupun
milik orang lain, yang dihitung dalam hektar. Sejumlah besar (69,23%) petani
yang menggarap lahan 0,5 – 1 hektar menunjukkan bahwa petani mampu bertahan
dan memanfaatkan lahan tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
walaupun pada dasarnya juga memiliki usahatani lainnya seperti kakao dan
kelapa. Ketersediaan lahan merupakan salahsatu faktor penentu keberhasilan
usahatani; namun petani berusaha menyiasati keterbatasan lahan garapannya.
Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan yang dikuasainya, sehingga dalam
menghadapi lahannya, petani melakukan upaya (coping mechanism) dengan cara:
(1) bertahan di lahan sempit yang dimiliki dan melakukan pemanfaatan lahan
secara optimal dan (2) menyewa lahan orang lain yang tidak digarap.
Interaksi dengan Penyuluh
Interaksi dengan penyuluh yang diukur adalah tingkat kualitas dan
kuantitas hubungan petani dengan penyuluh, yaitu seberapa akrab petani dengan
penyuluh (keakraban akan memudahkan interaksi), seberapa sering petani
mengikuti kegiatan penyuluhan, serta seberapa sering petani menghubungi
penyuluh jika ada persoalan dalam berusahatani. Diperoleh hasil bahwa interaksi
petani jagung di Desa Pulu dengan penyuluh cukup tinggi. Semua petani
mengenal penyuluh pendampingnya dan sejumlah besar (61,54%) pernah
mengikuti kegiatan penyuluhan dan petani yang lainnya seperti pengurus
kelompoktani sering menghuungi penyuluh jika ada persoalan usahatani.
Hubungan yang akrab antara penyuluh dan petani sangatlah penting, untuk
menuju keberhasilan program penyuluhan. Jika hubungan dekat, maka merupakan
entry point atau pintu masuk bagi penyuluh untuk mengembangkan program
penyuluhan. Petani jagung di Desa Pulu yang terlibat aktif dalam kegiatan
penyuluhan, maka petani tersebut memperoleh pengetahuan, wawasan yang lebih
baik sehingga dapat melakukan cara-cara budidaya jagung sesuai anjuran, seperti:
menggunakan benih-benih yang unggul, melakukan pengolahan tanah,
pemupukan dan mengetahui cara yang tepat mengendalikan hama dan penyakit.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 155
Kegiatan Gelar teknologi yang dilaksanakan merupakan bagian dari
penyuluhan yaitu mendiseminasikan beberapa varietas unggul jagung komposit
dan hibrida beserta cara-cara budidaya dengan pendekatan PTT jagung. Adapun
kegiatan yang dilakukan oleh petani kooperator beserta anggota kelompoktani dan
penyuluh didampingi oleh penyuluh BPTP adalah introduksi Varietas Unggul
Baru (VUB): varietas Lamuru, Srikandi Kuning, Jagung Merah Lokal Sigi dan
Bima-19 URI, melakukan pengolahan tanah minimal, seed treatment benih
menggunakan metalaksil untuk pengendalian penyakit bulai, pemupukan
berimbang sesuai kebutuhan tanaman dengan menggunakan perangkat uji tanah
kering (PUTK), penggunaan furadan, pengendalian gulma dan pembumbunan
serta pemeliharaan tanaman. Kegiatan ini dalam setiap tahapannya dilaksanakan
Sekolah Lapang (SL). Kegiatan pendampingan penyuluh dalam usaha tani jagung
juga dilakukan melalui program SL-PTT jagung oleh Dinas Pertanian Kabupaten
Sigi dan program etalase jagung mendukung agribisnis jagung oleh Dinas
Pertanian Provinsi.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petani, beberapa faktor penyebab
petani di Desa Pulu sangat mengenal penyuluhnya antara lain adalah: (1)
penyuluh bertempat tinggal di desa tersebut, (2) penyuluh aktif dalam kegiatan
desa antara lain pengurus LMD, PNPM, sering mengikuti rapat desa dan lain-lain.
Tempat tinggal penyuluh yang berdekatan dengan wilayah kerja atau bahkan
tinggal di wilayah kerjanya sangat mempengaruhi pengenalan program
penyuluhan maupun pengenalan dengan penyuluh itu sendiri (van Den Ban,
2005). (3) lokasi desa relatif mudah dijangkau, (4) kegiatan penyuluhan
dilakukan, dengan penyuluh pertanian yang aktif sehingga beberapa program
strategis pertanian masuk ke wilayah binaannya. Dengan adanya keinginan agar
petani dapat merasakan bantuan secara merata maka setiap bantuan program
kegiatan diatur bersama dalam kesepakatan rapat Gapoktan bersama penyuluh.
Namun demikian, masih diperlukan peningkatan kompetensi bagi penyuluh
pertanian agar tuntutan terhadap perubahan dapat lebih cepat dirasakan oleh
petani binaan.
Sarana Produksi
Sarana produksi yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat
ketersediaan dan kemudahan petani mendapatkan benih, pupuk, herbisida dan
pestisida. Tingkat ketersediaan sarana produksi bagi petani jagung di lahan kering
di Desa Pulu adalah tinggi, artinya tingkat ketersediaan dan kemudahan yang
tinggi mendapatkan sarana produksi yang dirasakan petani, sehingga sebagian
besar (52,6 persen) petani selalu mempersiapkan sarana produksi (benih, pupuk,
herbisida dan pestisida) untuk kegiatan usahatani dapat diperoleh di Gapoktan
dengan cara meminjam dan dibayar setelah panen dengan bunga yang sangat
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 156
rendah untuk pengembangan kelompoktani. Selain itu, sering masuk program
pertanian dan penyuluhan berupa pembinaan dan pemberian bantuan sarana
produksi berupa benih, pupuk dan lainnya. Selain itu, harga sarana produksi di
desa studi relatif terjangkau, sehingga petani dapat membeli dengan mudah
melalui kios-kios yang terdapat di desa. Ketersediaan sarana produksi yang
termasuk kategori tinggi sangat membantu dalam peningkatan kompetensi; sarana
produksi yang dimiliki petani bisa digunakan dalam mempraktekkan dan
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang berhubungan dengan benih,
pupuk, dan herbisida serta pestisida yang diperoleh melalui penyuluhan atau
pelatihan.
3. Pengetahuan Petani tentang Pengelolaan Usahatani Jagung
Pengetahuan petani dalam pengelolaan usahatani jagung yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif petani tentang teknis produksi
dan manajemen usahatani jagung. Hasil penelitian tentang pengetahuan petani
dalam pengelolaan usahatani jagung dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.
Tabel 2. Pengetahuan petani tentang pengelolaan usahatani jagung.
No. Bidang Pengetahuan dalam
Usahatani Jagung
Skor
Tertimbang
Jenjang
1. Pemasaran hasil 89,77 1
2. Penggunaan teknologi usahatani jagung 88,89 2,5
3. Kendala dan peluang usahatani jagung 88,89 2,5
4. Pemilihan komoditas usahatani dan penanaman 80,43 4
5. Perlakuan benih/bibit jagung 73,11 5
6. Drainase 70,08 6
7. Aspek tenaga kerja 65,66 7
8. Aspek modal 63,51 8
9. Pemupukan dan pengendalian hama penyakit 62,63 9
Rata-rata 75,89
Tabel 2 menunjukkan keempat bidang pengetahuan yang dianggap penting
oleh petani ialah: (1) pemasaran, (2) penggunaan teknologi, (3) kendala dan
peluang usaha, dan (4) pemilihan komoditas dan penanaman. Selain itu, lima
bidang yang jenjangnya lebih rendah ialah (1) perlakuan benih/bibit, (2) drainase,
(3) tenaga kerja, (4) permodalan, dan (5) pemupukan dan pengendalian hama
penyakit. Secara keseluruhan Tabel 2 itu menunjukkan bahwa pengetahuan petani
tentang pengelolaan usahatani jagung relatif baik. Hal ini ditunjukkan oleh rata-
rata skor tertimbang yang diperoleh dari kesembilan bidang pengetahuan
usahatani jagung itu yang mencapai 75,89.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 157
4. Hubungan Karakteristik Petani dengan Pengetahuan Mereka tentang
Pengelolaan Usahatani Jagung.
Hubungan karakteristik sosio-demografi petani jagung dengan
pengetahuan mereka dalam pengelolaan usahatani jagung dapat dilihat pada Tabel
3 dibawah ini.
Tabel 3. Hubungan Karakteristik Petani dengan Pengetahuan Mereka tentang
Pengelolaan Usahatani Jagung.
No. Karakteristik Petani Koefisien Korelasi
1. Umur W = 0,96
2. Pendidikan formal W = 0,97
3. Pengalaman berusahatani W = 0,95
4. Luas lahan W = 0,94
5. Kontak dengan penyuluh W = 0,97
6. Sarana produksi W = 0,98
Tabel 3 menunjukkan, bahwa hubungan karakteristik petani jagung dengan
pengetahuan mereka dalam mengelola usahatani jagung pada umumnya sangat
kuat. Koefisien konkordansi Kendall W yang tinggi menunjukkan kesepakatan
yang tinggi. Pembahasan: Setiap petani memiliki karakter yang berbeda, yang
melekat pada dirinya. Interaksi setiap karakter itu dengan unsur-unsur lingkungan
hidupnya akan membentuk kepribadian petani itu. Kemudian, kepribadian itu
akan mempengaruhi orientasi perilaku petani. Jadi petani-petani jagung dengan
karakteristik yang berbeda akan mengekspresikan kebutuhan pengetahuan mereka
akan pengelolaan usahatani jagung yang juga berbeda.
Umur petani yang relatif tua mencerminkan akumulasi pengalaman dan
kehati-hatian dalam membuat keputusan dalam pengelolaan usahatani jagung. Hal
itu menunjukkan bahwa semakin tua umur petani, semakin banyak pengalaman
berusahatani jagung, dan semakin tua petani maka semakin berhati-hati dalam
membuat keputusan, karena mempertimbangkan resiko yang ada. Hal ini selaras
dengan pendapat Fadoli Hermanto (1993).
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator untuk melihat mutu
petani. Selain itu pendidikan formal maupun non formal merupakan modal dasar
petani mengkonsumsi informasi melalui media. Hal ini memudahkan mereka
menyerap suatu inovasi, dan lebih maju dalam menerima dan menyesuaikan
dengan perubahan yang timbul, misalnya dalam pemupukan dan pengendalian
hama penyakit. Karena itu, untuk meningkatkan pengetahuan para petani di
daerah penelitian, perlu ada pendidikan non-formal melalui pelatihan- pelatihan
atau kursus-kursus yang berkaitan dengan kegiatan usahataninya.
Pengalaman berusahatani jagung menunjukkan kesepakatan yang tinggi.
Hal ini karena dalam kurun waktu tersebut petani dapat menambah pengetahuan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 158
yang memadai dengan adanya interaksi yang baik dengan penyuluh, keterlibatan
dalam kelompoktani dan program-program pemberdayaan petani dalam
meningkatkan produksi. Kegiatan tersebut merupakan sumber informasi penting
untuk mendapatkan informasi-informasi dan pengetahuan/teknologi baru dalam
pengembangan pengetahuan petani bahkan memungkinkan untuk sikap dan
keterampilan petani. Pengalaman merupakan sesuatu yang muncul dalam riwayat
hidup seseorang, yang menentukan kemampuannya. Pengalaman seseorang dapat
diperoleh dari pekerjaan atau bidang yang ditekuni, pendidikan dan proses
pendewasaan (Bird, 1989; dalam Syah, 2002).
Kontak dengan penyuluh memberi peluang kepada petani untuk
menambah pengetahuan tentang usahatani yang dikelolanya. Sehingga semakin
sering petani melakukan kontak dengan penyuluh, semakin banyak pengetahuan
yang dapat diperoleh. Terjadinya kontak antara petani dengan penyuluh
menunjukkan terjadinya komunikasi antar kedua pihak, baik dilakukan secara
langsung maupun tidak langsung. Menurut Wiriatmadja (1990) proses komunikasi
timbul karena penyuluh berusaha mengadakan hubungan dengan petani.
Kartasapoetra, 1987; (dalam Kurnia, 2010) menyatakan bahwa hubungan yang
kontinu antara penyuluh dengan petani dapat mengembangkan rasa kekeluargaan.
Hal ini akan mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan
informasi untuk peningkatan produksi.
Ketersediaan sarana produksi seperti : bibit, pupuk, obat-obatan dan alat
pertanian mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan ide baru dalam
kegiatan usahataninya. Artinya bahwa semakin tersedia sarana produksi yang
dibutuhkan maka semakin tinggi kemampuan petani untuk meningkatkan efisiensi
usahataninya. Hasil penelitian tentang pengetahuan petani dalam pengelolaan
usahatni jagung menunjukkan bahwa petani memiliki pengetahuan yang cukup
tinggi tentang pemasaran hasil, penggunaan teknologi pertanian, kendala dan
peluang usahatani jagung dan pemilihan komoditas usahatani dan penanaman.
Pemasaran merupakan kegiatan akhir usahatani. Pemasaran merupakan
salah satu aspek penting dalam sistem usahatani, karena dapat berpengaruh
langsung pada pendapatan petani. Berdasarkan pengematan di lapangan dan
informasi dari kantor kecamatan, diketahui bahwa petani sangat memperhatikan
aspek pemasaran hasil-hasil produksinya. Banyak petani yang menjual hasilnya
kepada para pedagang pengumpul hanya untuk menghindari biaya transportasi ke
pasar kota dan tidak mau repot. Dengan kata lain walaupun menjual dengan harga
lebih murah kepada pedagang pengumpul, mereka tidak perlu mengeluarkan biaya
transportasi yang besar.
Namun demikian, ada juga petani yang langsung memasarkan hasilnya ke
kota, karena melihat peluang memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dengan
cara ini petani dapat meningkatkan pendapatannya dan dapat membeli kebutuhan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 159
keluarga dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan di kampungnya.
Selain itu, kemampuan petani masih terbatas dalam memilih benih ungggul , cara
pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit tanaman, maupun dalam
permodalan. Petani masih menggunakan modal sendiri yang terbatas sehingga
sulit mengembangkan usahanya. Temuan ini sejalan dengan temuan Agussabti
(2002). Kemajuan usahatani terkait dengan modal. Jadi modal berhubungan
dengan kedinamisan petani dalam mengembangkan usahatani jagung.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan
bahwa:
1. Secara rata-rata, petani yang dilibatkan dalam penelitian ini berumur 52
tahun, sebagian besar berada pada kisaran 41 – 64 tahun, berpendidikan tamat
SD, pengalaman usahatani jagung relatif cukup lama diatas 13 tahun, luas
lahan yang digarap baik milik sendiri maupun orang lain berkisar 0,5 – 1 ha,
cukup kontak dengan penyuluh dan mempunyai akses pada sarana produksi.
2. Pengetahuan yang dikuasai petani tentang pengelolaan usahatani jagung ialah
: (1) pemasaran hasil, (2) penggunaan teknologi usahatani jagung, (3) kendala
dan peluang usahatani jagung, dan (4) pemilihan komoditas usahatani dan
penanaman.
3. Karakteristik petani berhubungan nyata dengan pengetahuan mereka tentang
pengelolaan usahatani jagung.
DAFTAR PUSTAKA
Agussabti. 2002. Kemandirian Petani dalam Pengambilan Keputusan Adopsi
Inovasi: Kasus petani sayuran di Jawa Barat. Disertasi Doktor, Sekolah
Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia. 2007. Intensifikasi Jagung di
Indonesia, Peluang dan Tantangan. Disajikan dalam Seminar dan
Lokakarya Nasional Jagung. Makassar
Fadholi Hernanto. 1993. Ilmu Usahatani. Jakarta: PS Penebar Swadaya.
Mubyarto. 2002. Reformasi Agraria: Menuju Pertanian Berkelanjutan. Jurnal
Ekonomi Rakyat 1:8.
Prabowo, H.E. 2007. Produksi Jagung 2008 Diprediksi Penuhi Kebutuhan
dalam Negeri. http://www.antara.co.id/ [19 Jan 2008].
Siegel, S. 1997 Statistik Nonparametrik : Untuk Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 160
Suci Kurnia. 2010. Penyuluhan pada Petani Lahan Marjinal: Kasus Adopsi
Inovasi Usahatani Terpadu Lahan Kering di Kabupaten Cianjur dan Garut
Provinsi Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Program pascasarjana. IPB
Syah, M. 2002. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Tilaar, H.A.R. 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era
Globalisasi: Visi, Misi, dan Program Pendidikan dan Pelatihan
Menuju 2020. Jakarta: PT. Grasindo.
van den Ban AW, Hawkins HS. 2005. Penyuluhan Pertanian. Herdiasti AD.
Penerjemah. Terjemahan dari: Agricultural Extension. Yogyakarta.
Kanisius
Wiriatmadja, S. 1986. Pokok-pokok Penyuluhan Pertanian Jakarta: CV.
Yasaguna.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 161
Peranan M-Krpl Terhadap Pendapatan Keluarga Di Desa Lanto Jaya
Kecamatan Poso Pesisir Kabupaten Poso
Sumarni, , Asnidar dan A. Dalapati
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl Lasoso 62 Biromaru Palu Sulawesi Tengah
Abstrak
Laju inflasi tahun yang ditandai dengan lonjakan harga komoditas pangan sangat
berpengaruh pada ekonomi rumah tangga masyarakat. Oleh karena itu program
M-KRPL yang pada dasarnya memasyarakatkan budaya menanam di lahan
pekarangan dengan tujuan memenuhi gizi keluarga sekaligus mengembangkan
ekonomi produktif rumah tangga dapat sebagai alternatif penguatan ketahanan
ekonomi keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dukungan
intensifikasi pekarangan terhadap ekonomi rumah tangga di Lanto Jaya
Kabupaten Poso. Pendekatan penelitian menggunakan metode survai.
Pengambilan data melalui wawancara menggunakan Kuesioner terstruktur
terhadap 25 orang petani kooperator program M-KRPL di Desa Lanto Jaya
Kecamatan Poso Pesisir Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Penelitian
dilaksanakan pada bulan September 2012. Data yang diambil meliputi
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani sebelum dan sesudah program
M-KRPL. Data kemudian dianalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan
tabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan intensifikasi lahan
pekarangan mampu memberikan konstribusi pendapatan perbulan terhadap
rumah tangga pada lahan sempit sebesar Rp 85.000, pada lahan sedang Rp
220.000,- serta menghemat pengeluaran rumah tangga untuk membeli sayur pada
lahan sempit sebesar Rp. 225.000,- dan lahan sedang Rp. 325.000,-
----------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci: M-KRPL, Pendapatan Keluarga, Desa Lanto Jaya
PENDAHULUAN
Lahan pertanian sangat penting peranannya karena dapat memenuhi
sebagian hajat hidup masyarakat. Disisi lain dinamika perubahan tata nilai
masyarakat, kemajuan ekonomi serta aktivitas pembangunan menyebabkan
penggunaan lahan selain pertanian, antara lain untuk areal pemukiman, industri,
jalan, pendidikan, dan sebagainya yang dipicu antara lain laju kepadatan
penduduk. Laju penduduk yang meningkat pesat serta laju inflasi tiap tahun yang
ditandai dengan lonjakan harga komoditas pangan sangat berpengaruh pada
ekonomi rumah tangga masyarakat. Ketahanan dan kemandirian pangan antara
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 162
lain dengan memasyarakatkan budaya menanam dengan mengoptimalkan sumber
daya alam yang ada. Sensus pertanian tahun 1983 menunjukkan bahwa 49 persen
rumah tangga pertanian di Indonesia menguasai kurang dari 0,5 ha lahan.
Penguasaan lahan yang kurang seharusnya mendorong masyarakat petani untuk
melakukan kegiatan- kegiatan produktif yang dapat menopang kehidupan rumah
tangga pertanian. Pemenuhan kebutuhan sehari – hari menyebabkan petani harus
mampu menggunakan sumberdaya yang dimiliki untuk keperluan pemenuhan
kebutuhan hidupnya.
Salah satu bentuk penggunaan sumber daya lahan untuk memenuhi
kebutuhan rumah tangga adalah konsep Rumah Pangan Lestari yang
memanfaatkan lahan pekarangan. Pemanfaatan lahan pekarangan dengan tujuan
memenuhi pangan dan gizi keluarga sekaligus mengembangkan ekonomi
produktif rumah tangga dan dapat sebagai alternatif penguatan ketahanan ekonomi
keluarga.
Potensi sumber daya lahan pekarangan di Sulawesi Tengah sangat besar
yaitu 144,90 ribu ha (BPS, 2010). Luas pekarangan tersebut sebagai salah satu
sumber penyediaan bahan pangan yang bernilai gizi dan memiliki nilai ekonomis
tinggi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah pada tahun 2012
menangkap peluang potensi tersebut dengan melaksanakan pembinaan
pemanfaatan pekarangan dengan Model Kawasan Rumah Pangan Lestari di
Kabupaten Sigi. Kabupaten sigi sebagai kabupaten yang baru dimekarkan sangat
potensial untuk pengembangan MKRPL. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dukungan intensifikasi pekarangan terhadap ekonomi rumah tangga di
Desa Lolu Kabupaten Sigi.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada Bulan September 2012 di Desa Lanto Jaya
Kecamatan Poso Pesisir Propinsi Sulawesi Tengah. Pengambilan data melalui
wawancara menggunakan kuesioner terstruktur terhadap 25 orang petani
pelaksana KRPL.
Data yang diambil meliputi data pelaksanaan program MKRPL, serta data
pendapatan dan pengeluaran rumah tangga petani sebelum dan sesudah program
M-KRPL. Data kemudian dinalisis secara deskriptif kuantitatif menggunakan
tabel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Desa Lanto Jaya
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 163
Desa Lanto Jaya terletak di wilayah Kecamatan Poso Pesisir, merupakan
desa pemekaran yang baru terbentuk tahun 2010. Kecamatan Poso Pesisir terletak
di Wilayah Tomini yang berbatasan dengan pusat ibukota Kabupaten Poso. Secara
umum , luas Wilayah 8.712 ha yang terdiri dari 19 kecamatan dan jarak tempu
ke kota palu 222 km. Jumlah penduduk 209.228, jumlah rumah tangga 49.911,
dan rata penghuni dalam rumah tangga yaitu 4,2 yang bermata pencaharian
utamanya adalah petani. Areal Kabupaten Poso 358 ha lahan pekarangan, 205 ha
ladang, 391 ha perkebunan. Potensi pemanafatan lahan 938,5 lahan belum
termanfatakan ditambahan dengan lahan pada daerah pemukin penduduk. Dengan
melihat potensi Kabupaten Poso maka Kabupaten ini merupakan satu desa
sasaran dan pengembanagan program kegiatan MKRPL. Peta Desa Lanto Jaya
disajikan pada gambar 1.
Gambar 1. Peta Desa Lanto Jaya
Program MKRPL Desa Lanto Jaya
Program MKRPL Desa Lanto jaya merupakan salah satu program yang
pertama dilaksanakan di Desa Lanto Jaya Program tersebut bertujuan untuk
memenuhi pangan dan gizi keluarga, meningkatkan kemampuan keluarga dalam
memanfaatkan pekarangan terutama sayur dan tanaman obat keluarga,
mengembangkan sumber bibit untuk menjaga keberlanjutan pemanfaatan
pekarangan, serta mengembangkan ekonomi produktif keluarga sehingga mampu
meningkatkan kesejahteraan keluarga dan menciptakan lingkungan hijau, bersih
dan sehat secara mandiri.
Beberapa tujuan tersebut diwujudkan antara lain dengan pembuatan kebun
bibit desa oleh warga Desa Lanto Jaya. Kebun bibit merupakan unit produksi
benih dan bibit untuk memenuhi kebutuhan pekarangan dalam membangun rumah
pangan lestari. Kebun bibit Desa Lanto Jaya dikembangkan dan dikelolo oleh
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 164
PKK yang ada, agar dapat berlanjut secara kontinyu dan mandiri. BPTP Sulawesi
Tengah sebagai pendamping teknologi yang mengawal program KRPL. Bibit
yang dikembangkan di kebun bibit kemudian dibagikan kepada warga masyarakat
Desa Lanto Jaya untuk dikembangkan lebih lanjut dalam memenuhi kebutuhan
gizi dan energi keluarga. Hal ini sesuai dengan sasaran MKRPL yaitu
meningkatnya kemampuan keluarga dan masyarakat secara ekonomi dan sosial
dalam memenuhi kebutuhan pangan dan gizi secara lestari.
Program MKRPL juga melakukan optimalisasi pekarangan melalui
penataan pekarangan. Pekarangan selain sisi fungsi sebagai penunjang kebutuhan
sehari – hari, maka pekarangan merupakan sebidang tanah yang dapat di tata
sedemikian rupa sehingga dapat memberi manfaat dan nilai estetika bagi
pemiliknya. Pekarangan mempunyai tiga kategori kelas yaitu pekarangan sempit,
pekarang sedang dan pekarang luas. Pekarangan yang dimiliki oleh masyarakat
Desa Lanto Jaya dikategorikan 2 strata yaitu sempit, dan sedang . Dengan
kategori pekarangan sempit, dan sedang maka kesempatan untuk
mengembangkan dengan berbagai komoditas lebih tersedia.
Tabel 1 . Karakteristik Lahan pekarangan Desa Lanto Jaya, Poso Pesisir
Karakteristik pekarangan Luas lahan Jumlah KK
Sempit <100 m2 25KK
Sedang 100 – 200 m2 45KK
Luas >200 m2 -
Sumber: Data Primer yang diolah, 2012
Pemilihan komoditas yang dikembangkan dalam KRPL berdasarkan
pertimbangan luas lahan, pemenuhan gizi keluarga, serta kemungkinan
pengembangan secara komersial. Produk pertanian termasuk hasil pekarangan
selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga dijual untuk menambah
pendapatan keluarga. Oleh karena itu komoditas yang ditanam di pekarangan
harus sesuai dengan permintaan pasar (market oriented). Berdasarkan
pertimbangan diatas maka pemilihan komoditas yang diberikan yaitu cabai lokal,
terong, daun seledri, kangkung, tomat, sawi,ternak dan ikan serta kelor sebagai
sayuran indegeneous spesifik lokasi. Desa Lanto Jaya sebagian besar hanya
menanam tananam bunga dan buah pepaya yang masih dalam taraf pemula
begitupun ikan dan ternak. Tanaman pekarangan yang sudah lama diusahakan dan
bernilai komersial yaitu ubi jalar. Ubi jalar yang diproduksi oleh desa Lanto Jaya
mempunyai ciri khas tersendiri yaitu warna ungu, dan orens dan mempunyai rasa
manis.Sehingga
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 165
Dengan pemilihan komoditas yang lebih beragam maka akan lebih bervariasi
pemenuhan gizi dan peluang pasar yang dijangkau juga lebih besar. Berdasarkan
luas pekarangan maka jenis tanaman yang diusahakan terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jenis komoditas yang diusahakan berdasarkan luas pekarangan, Desa
Lanto Jaya
Komoditas Lahan Sempit Lahan Sedang
Sayuran cabe, terong, Daun
Seledri, sawi, dan Seledri
cabai, terong, Daun Seledri,
kangkung, tomat, sawi, dan kelor
Buah Tidak ada Pepaya, jambu air, mangga
Umbi-umbian Ubi Jalar Ubi Jalar
Ternak Ayam Ayam,Bebek, dan sapi
Kolam Tidak ada Ikan Nila, dan Lele Sumber: Data primer, 2012
Tabel 2 menunjukkan bahwa sudah variasi pemilihan komoditas sayuran.
Pemilihan komoditas ini mempertimbangkan luas lahan, dan kebutuhan rumah
tangga responden misalnya cabai, tomat dan terong yang merupakan sayuran
utama untuk menu keseharian warga Desa Lanto Jaya. Penanaman sayuran
menggunakan media polibag, dan bekas kemasan kaleng dan sebagian kecil
ditanam langsung menyesuaikan lahan yang tersedia. Pada lahan sedang ditanam
dengan media tanam dalam bedeng-bedeng dengan inovasi teknologi
menggunakan sabut kelapa pada tepi bedengan. Selain sayuran, pada lahan
sedang terdapat tanaman buah pepaya, jambu air dan mangga, ikan lele, nila serta
ternak bebek darat.
Peran MKRPL Terhadap Pendapatan Rumah Tangga Petani
Program MKRPL Desa Lanto jaya bertujuan untuk memenuhi pangan dan
gizi keluarga. Pemanfatan pekarangan yang optimal bisa memberikan konstribusi
pendapatan yang cukup besar. Hasil penelitian Karyono, 1981 menyatakan bahwa
20 persen dari jumlah pendapatan keluarga adalah dari pekarangan. Terkait
dengan hal tersebut Ikutut dkk menyatakan apabila dikalkulasikan terhadap
efisiensi pengeluaran keluarga maka produksi sayuran dapat menekan biaya
sampai 30%.
Pemanfaatan lahan pekarangan oleh rumah tangga responden di Desa Lanto Jaya
merupakan usaha untuk memperoleh penerimaan sebagai tambahan penghasilan
maupun pemenuhan kebutuhan sehari – hari. Besarnya penerimaan dari
pekarangan di tentukan oleh banyaknya produk yang dihasilkan. Jenis usaha sukar
diukur karena skala yang masih rendah sehingga hasilnyapun relatif rendah.
Pemanfaatan hasil sayuran dari pekarangan sebagian untuk dikonsumsi sendiri
atau diberikan kepada saudara ataupun tetangga. Bagian hasil pekarangan yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 166
dapat di konsumsi mnyebabkan rumah tangga tidak perlu mengeluarkan uang
untuk memperolehnya.
Berdasarkan hal tersebut perhitungan pendapatan pekarangan dalam penelitian ini
dilakukan dengan menghitung penerimaan dari hasil penjualan hasil pekarangan
dan menghitung hasil pekarangan yang dikonsumsi. Tingkat pendapatan rata –
rata petani dari hasil pekarangan di lihat pada tabel 3.
Tabel 3. Uraian pendapatan hasil pekarangan petani Desa Lanto Jaya untuk
sayuran
No Uraian Jumlah
1. Penerimaan total
a. Penjualan hasil pekarangan Rp. 232.500
b. Nilai yang dikonsumsi Rp. 225.000
2 Biaya
a. bibit Rp. 15.000
b. pupuk Rp. 35.000
c. Upah Rp. 225.000
3 Pendapatan Rp. 182.000
B/C
Sumber: Analisis data primer, 2012
Pekarangan merupakan salah satu lokasi sistem produksi pertanian yang
berkelanjutan di daerah tropis, yang mempunyai konstribusi terhadap pendapatan
rumah tangga. Tanaman pekarangan mempunyai fungsi subsistem dan komersial.
Tanaman pekarangan dapat digunakan untuk konsumsi sebagai fungsi subsistem
pekarangan, sedangkan beberapa tanaman pekarangan dapat dijual sehingga
memiliki fungsi komersial (Karyono, 1981).
Secara umum pendapatan rumah tangga rata-rata petani responden dalam
satu kali panen adalah Rp. 85.000 sampai Rp. 120.000,- per minggu Sehingga
konstribusi pendapatan tambahan rata-rata bagi petani sebesar Rp.182.000 per
bulan.Untuk melihat pendapatan keluarga dikategorikan berdasarkan skala sempit
dan sedang maka didstribusi pendapatan dapat ditampilkan pada tabel 4.
Tabel 4. Distribusi pendapatan pekarangan berdasarkan skala lahan Desa Lanto
Jaya No Uraian Lahan Luas Lahan Sedang Lahan Sempit
1. Penerimaan total
a. Penjualan hasil
pekarangan
- 275.000 120.000
b. Nilai yang dikonsumsi - 325.000 225.000
2 Biaya
a. a. bibit - 20.000 15.000
b. b. pupuk - 35.000 20.000
c. c. upah 225.000 225.000
3 Pendapatan - 220.000 85.000
Sumber: Analisis data primer, 2012
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 167
Pengelolaan lahan pekarangan dengan skala sempit memberikan
konstribusi pendapatan nilai rata rata per minggu Rp85.000, lahan sempit dan
lahan sedang Rp. 220.000 dan lahan luas tidak ada. Sedangkan penghematan
pengeluaran keluarga dapat dilihat dari nilai sayuran yang dikonsumsi yaitu pada
lahan sempit Rp. 225.000,-, untuk lahan sedangRP 325.000,-.
Prosentase nilai sayuran yang dijual dan dikonsumsi akan berbeda-beda
pada luas pekarangan yang berbeda yang ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Presentase nilai hasil pekarangan yang dijual dan dikonsumsi
Skala Lahan Dijual Dikonsumsi
Sempit 34,8% 65,2%
Sedang 37,5% 62,5%
Luas - - Sumber: Analisis data primer, 2012
Semakin sempit pekarangan maka nilai prosentase sayuran yang
dikonsumsi akan semakin besar, sebaliknya prosentase sayuran yang dijual akan
semakin kecil. Hal ini disebabkan pada pekarangan yang sempit produksinya
relatif sedikit sehingga sebagian besar dikonsumsi sendiri. Sedangkan pekarangan
yang sedang dan luas produksinya akan banyak sehingga sisa produksi sayuran
setelah dikonsumsi lebih banyak. Prosentase nilai hasil pekarangan yang dijual
dan dikonsumsi pada skala lahan sempit, sedang dan luas disajikan pada tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan bahwa prosentase nilai hasil pekarangan lahan
sempit yang dikonsumsi mencapai 65,2%, dan pada lahan sedang 62,5%
Prosentase penjualan pada lahan sempit 34,8%, dan pada lahan sedang 37,5%.
KESIMPULAN
Intensifikasi lahan pekarangan memberi nilai konstribusi pendapatan per
bulan terhadap rumah tangga pada lahan sempit sebesar Rp.85, lahan sedang
Rp.220.000 serta menghemat pengeluaran rumah tangga untuk membeli sayuran
pada lahan sempit Rp. 225.000-, lahan sedang Rp.325.000,
DAFTAR PUSTAKA
Balai Liban Pertanian. 2011. Panduan Umum Kawasan Rumah Pangan Lestari
(KRPL) Kementerian Pertanian Jakarta .
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 168
BPS. Propinsi Sulawesi Tengah. 2009. Sulawesi Tengah. dalam Anggka. Palu
Sulawesi Tengah
Hermanto, Fadholi. 1989. Ilmu Usahatani Penerbit Swadaya. Jakrta
Handawi P. Saliem 2011. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL) Sebagai Selusi
Pemanfaatan Ketahanan Pangan
Karyadi, Sri Setyati. 1981. Intensifikasi Pekarangan, Prasarana Pada Lokakarya
Usahatani Terpadu, Cisarua 10 – 13 Desember 1981. Dit. Bina Usahatani
Petani Tana Pangan. Bogor
Laporan Hasil Penelitian Aspek Ekonomi dan Sosila Budaya Pekarangan Dalam
Makala Seminar Terbatas Ekomi Pekarangan Dalam Seminar Terbatas
Profil Desa Lolu Tahun 2011. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
Lolu tahun 2011 - 2015 .
Petunjuk Teknis Budidaya Abeka Sayuran. Pusat Penelitian dan pengembangan
Hortikultura Badan Penelitian dan Pengemabangan Pertanian.
Kementerian Pertanian Tahun 2011.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 169
Kajian Beberapa Varietas Jagung Hibrida Di Lahan Kering Kab. Sigi
Sulawesi Tengah
Saidah, Herawati dan Syafruddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Email : [email protected]
Abstrak
Untuk memenuhi kebutuhan nasional dan menekan volume impor jagung, pemerintah
telah mencanangkan program peningkatan produksi sejak tahun 2007 dengan sasaran
swasembada. Salah satu strategi peningkatan jagung nasional adalah dengan
meningkatkan produktivitas yang hingga kini baru mencapai 4,56 t/ha dan Sulawesi
Tengah 3,93 t/ha pipilan kering. Sementara di tingkat penelitian dapat mencapai 5-10
t/ha. Penciptaan dan penggunaan varietas hibrida yang adaptif merupakan salah satu
inovasi teknologi memegang peranan penting dalam peningkatan produktivitas jagung.
Tujuan kajian adalah mengetahui keragaan pertumbuhan dan hasil beberapa varietas
jagung hibrida di Kab. Sigi Sulawesi Tengah. Lokasi pelaksanaanya di Desa Watukilo
Kec. Kulawi Selatan Kab. Sigi. Ada 3 (tiga) varietas yang diuji, yaitu Bima-3, Bima-4
dan Bima-5. Hasil kajian menunjukkan bahwa status hara N rendah, P rendah, K
sedang, pH agak masam dan bahan organik rendah. Dari aspek pertumbuhan, tinggi
tanaman, tinggi kedudukan tongkol dan panjang tongkol masing-masing varietas
berturut-turut adalah Bima-3 226,1 cm; 133,2 cm; 25,7 cm; Bima-4 238,1 cm; 149 cm;
28,1 cm; Bima-5 208,9 cm; 137 cm dan 21,7 cm. Sedangkan produktivitas varietas
Bima-4 memiliki hasil yang tertinggi, yaitu 10,3 t/ha pipilan kering dan disenangi oleh
petani, disusul Bima-3 (9,8 t/ha) dan Bima-5 (8,3 t/ha).
----------------------------------------------------------------------
Kata kunci : Pertumbuhan, produktivitas, jagung, hibrida.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di Indonesia, jagung merupakan makanan pokok setelah beras. Selain itu
juga, jagung diperuntukkan sebagai pakan dan bahan baku beberapa industri
strategis, sehingga setiap tahun kebutuhannya terus meningkat. Sebagai
gambaran, konsumsi jagung nasional pada tahun 1960 adalah sebesar 2,46 juta
ton, dan tumbuh menjadi 10,7 juta ton pada tahun 2012. Sementara produksi
jagung nasional pada 2012 hanya sebesar 8,9 juta ton, sehingga wajar jika
Indonesia pada tahun 2012 harus melakukan impor jagung sebesar 1,5 juta ton.
Untuk memenuhi kebutuhan nasional dan menekan volume impor jagung,
pemerintah telah mencanangkan program peningkatan produksi sejak tahun 2007
dengan sasaran swasembada. Salah satu strategi peningkatan jagung nasional
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 170
adalah dengan meningkatkan produktivitas yang hingga kini baru mencapai 4,56
t/ha dan Sulawesi Tengah 3,93 t/ha pipilan kering. Sementara di tingkat penelitian
dapat mencapai 5-10 t/ha (http://www.bps.go.id/tnmn pgn.php?kat=3). Menurut
Paryono, et al. (2002) bahwa penyebab adanya kesenjangan hasil tersebut antara
lain karena petani umumnya belum tahu atau tidak menerapkan teknologi hasil
penelitian. Terdapat beberapa alasan mengapa petani tidak menerapkan teknologi
hasil penelitian; (a) teknologi tidak sampai kepada petani, (b) teknologi tidak
sesuai dengan kebutuhan petani, (c) teknologi belum dipahami dan diyakini oleh
petani, (d) petani kesulitan mendapatkan sarana produksi yang dianjurkan, dan (e)
kemampuan modal petani terbatas.
Agar swasembada berkelanjutan dapat dipertahankan, maka target
peningkatan produksinya harus minimal sama dengan pertumbuhan permintaan
dalam negeri. Untuk itu, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi
jagung melalui berbagai kebijakan dan program, diantaranya adalah melalui
penciptaan dan perakitan varietas unggul baru. Salah satu upaya untuk
meningkatkan produktivitas jagung adalah dengan menggunakan varietas unggul
yang berdaya hasil tinggi dan adaptif dengan lingkungan setempat. Penciptaan
dan penggunaan varietas hibrida yang adaptif merupakan salah satu inovasi
teknologi memegang peranan penting dalam peningkatan produktivitas jagung
dan diproyeksikan pada tahun 2025 sebesar 75% dari luasan areal pertanaman.
Areal pertanaman varietas jagung hibrida hingga saat ini masih didominasi
oleh hibrida yang dihasilkan oleh perusahaan multinasional, sedangkan yang
dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian belum banyak dikenal petani. Untuk itu,
perlu upaya untuk memperkenalkan ke petani varietas jagung hibrida yang
dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian. Varietas yang populer adalah BISI,
Pioneer, dan NK. Hal ini disebabkan varietas jagung hibrida telah terbukti
memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas. Secara
umum, varietas hibrida lebih seragam dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 -
20% dari varietas bersari bebas (Morris, 1995). Selain itu, varietas hibrida
menghasilkan biji yang lebih besar dibandingkan varietas bersari bebas (Wong,
1991) dan penampilannya lebih seragam (Morris, 1995), dimana varietas bersari
bebas pada umumnya memiliki keragaman yang tinggi pada karakteristik tongkol
dan biji (Agrawal, 1997).
Pengembangan varietas unggul baik dari jenis hibrida maupun bersari
bebas, telah berkontribusi nyata terhadap peningkatan produktivitas dan produksi.
Peran varietas unggul sangat strategis karena terkait dengan beberapa hal yakni:
(a) dapat meningkatkan hasil per satuan luas tanam, (b) ketahanan terhadap hama
dan penyakit tertentu, (c) daya adaptasi atau kesesuaian pada wilayah atau
ekosistem spesifik, dan (d) merupakan komponen teknologi yang relatif
mudah/cepat diadopsi petani (Subandi 1988). Hasil penelitian penggunaan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 171
varietas unggul hibrida telah banyak dilakukan. Di Lembar Lombok Barat,
varietas Bima-4 dan Bima-3 memberikan hasil yang tinggi, rata-rata 10,78 t/ha
dan 9,82 t/ha pada panen bulan Agustus, 6,71 t/ha dan 7,05 t/ha (Erawati dan A.
Hipi, 2009). Di Sulawesi Tengah Manoppo (2011) melaporkan hasil yang
diperoleh dari empat varietas jagung hibrida (Bima-3, Bima-4, Bima-5 dan NK-
22) yang diuji menunjukkan bahwa Bima-5 lebih unggul (sesuai) dibanding
dengan VUB Jagung hibrida Bima-3, Bima-4 dan NK-22 dan dapat meningkatkan
produktivitas sebesar 2,26 t/ha atau 63,90%. Di Sulawesi Selatan, Najmah dan
Fadjry Jufry (2013) melaporkan bahwa tanaman jagung yang ditanam di
Kabupaten Takalar menunjukkan hasil yang tertinggi untuk ketiga varietas
(varietas Bima-3, Bima-2, dan Bima-4), yaitu masing-masing 13,1 t/ha, 12,8 t/ha,
dan 10,0 t/ha, sedangkan hasil terendah diperoleh pada Varietas Bima-2 di
Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Soppeng, masing-masing 5,60 t/ha dan
5,75 t/ha. Tujuan kajian adalah mengetahui keragaan pertumbuhan dan hasil
beberapa varietas jagung hibrida di Kab. Sigi Sulawesi Tengah.
METODOLOGI PENELITIAN
Kajian dilaksanakan di Desa Watukilo Kecamatan Kulawi Selatan
Kabupaten Sigi pada Bulan Mei hingga Agustus 2012. Pendekatan yang
digunakan dalam pengkajian ini adalah on farm Research extension dimana petani
dijadikan koperator dan pelaksana kegiatan. Jumlah petani koperator satu orang
dengan luasan kajian satu hektar. Kajian menggunakan 3 (tiga) varietas jagung
hibrida, yaitu Bima-3, Bima-4 dan Bima-5. Penerapan teknologi menggunakan
pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Pengolahan
tanah dilakukan dengan cara olah tanah minimum, jarak tanam 70 cm x 40 cm
dengan 2 biji/lubang dan pemupukan sesuai status hara. Status hara lokasi kajian
adalah N rendah, P rendah dan K sedang deangan pH agak masam (5-6) dan C-
organik rendah, sehingga rekomendasi pemupukannya adalah Phonska 300 kg/ha,
Urea 250kg/ha, dan SP-36 sebanyak 60 kg/ha serta pupuk organik 2 t/ha. Pupuk
organik diberikan seminggu sebelum penanaman dengan disebar saat olah tanah
minimum. Pupuk Phonska dan SP-36 diberikan sekaligus pada saat tanaman
berumur 7 hari setelah tanam dengan cara ditugal pada jarak 5 -10 cm dari
pangkal pohon, sedangkan pemberian urea diberikan pada umur 28 hst sebanyak
125 kg/ha, sisanya berdasarkan bagan warna daun ( BWD) pada umur 40-45 hst.
Untuk mengantisipasi penyakit bulai dilakukan perlakuan benih dengan
menggunakan Metalaksil (Saromil) dengan dosis 2 g per kilogram benih.
Pengendalian hama dilakukan dengan melihat kondisi di lapang. Panen dilakukan
bila tongkol telah matang fisiologis.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 172
Parameter pengamatan meliputi tinggi tanaman saat panen, tinggi
kedudukan tongkol, panjang tongkol, jumlah baris per tongkol, jumlah biji per
baris, berat 1.000 biji dan produktivitas dalam bentul pipilan kering dengan kadar
air 14-16%. Jumlah tanaman yang dijadikan sampel sebanyak 10 (sepuluh)
tanaman. Sedangkan produktivitas diukur berdasarkan ubinan dengan ukuran 3 m
x 5 m dan masing-masing varietas dilakukan 2 (dua) kali pengubinan. Selain data
agronomis, juga dilakukan wawancara terhadap 20 orang petani responden untuk
mengetahui preferensi terhadap varietas yang dikaji.
Data yang diperoleh dianalisis secara sederhana dengan menggunakan nilai
rataan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lokasi Kajian
Desa Watukilo Kecamatan Kulawi Selatan Kabupaten Sigi terletak antara
1,6o LS dan 119,25
o BT dengan luas wilayah 12,65 km
2. Jarak dari ibu kecamatan
+ 1 km dan ibukota kabupaten 98 km. Berdasarkan data monografi desa tahun
2010, curah hujan berkisar 1.495-3.949,9 mm/tahun dengan curah hujan terendah
terjadi pada bulan Agustus dan tertinggi pada bulan April. Rata-rata kelembaban
75-90% dengan rata-rata suhu udara 20-30oC pada malam hari dan siang hari
bekisar antara 31-35oC.
Keadaan topografi Desa Watukilo datar hingga bergelombang (berbukit)
dengan tekstur tanah lempung berpasir. Jenis tanah umumnya aluvial dan
sebagian kecil endapan (sedimen). Status hara N rendah, P rendah, K sedang, C-
organik rendah dengan pH agak masam (5-6). Dari aspek sumberdaya lahan, luas
desa 1.265 hektar yang terdiri atas lahan sawah 132 hektar, perkebunan 239
hektar, kolam 3,55 hektar, tegalan 35 hektar, hutan negara 572,20 hektar, lahan
yang tidak diusahakan 240 hektar dan untuk penggunaan lain-lain seluas 39
hektar. Dari data tersebut di atas, di Desa watukilo sebagian besar masyarakat
petani mengusahakan padi sawah.
Keragaan Agronomis
Karakter agronomis berupa tinggi tanaman, tinggi kedudukan tongkol, dan
panjang tongkol antar varietas sangat beragam sebagaimana disajikan pada Tabel
1 dan Gambar 1. Tinggi tanaman sebelum panen berkisar antara 208,9-238,1 cm.
Tinggi kedudukan tongkol berkisar antara 133,2-149,0 cm, sedangkan panjang
tongkol antara 21,7-28,1 cm. Dari parameter agronomis tersebut, Bima-4
memiliki besaran tertinggi dibandingkan dengan dua varietas lainnya.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 173
Tabel 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Tinggi Kedudukan Tongkol dan Panjang
Tongkol 3 (tiga) Varietas Jagung Hibrida di Desa Watukilo Kec. Kulawi
Selatan Kab. Sigi, Tahun 2012
Varietas Tinggi Tanaman Tinggi Ked. Tongkol Panjang Tongkol
(cm) (cm) (cm)
Bima-3 226,1 133,2 25,7
Bima-4 238,1 149,0 28,1
Bima-5 208,9 137,0 21,7
Gambar 1. Rata-Rata Tinggi Tanaman, Tinggi Kedudukan Tongkol dan Panjang
Tongkol 3 (tiga) Varietas Jagung Hibrida di Desa Watukilo Kec.
Kulawi Selatan Kab. Sigi
Dari aspek produktivitas seperti disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 2,
Bima-4 mampu berproduksi tinggi dibandingkan dengan dua varietas lainnya,
yaitu 10,3 t/ha pipilan kering dan yang terendah adalah Bima-5 (8,3 t/ha).
Walaupun berat 1.000 biji Bima-3 memiliki nilai yang besar, namun dari aspek
jumlah biji per baris dan jumlah baris per tongkol Bima-4 masih unggul. Jumlah
baris per tongkol antara 13-13,4 dengan jumlah biji per baris berkisar antara 31,4-
33,6.
Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Baris Per Tongkol, Jumlah Biji Per Baris, Berat 1.000
Biji dan Produktivitas 3 (tiga) Varietas Jagung Hibrida di Desa
Watukilo Kec. Kulawi Selatan Kab. Sigi, Tahun 2012.
Varietas Jumlah
baris/tongkol
Jumlah
biji/baris
Berat 1.000 biji
(gr)
Produktivitas
(t/ha)
Bima-3 13 31,4 290 9,8
Bima-4 13,2 33 273 10,3
Bima-5 13,4 33,6 249 8,3
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 174
Gambar 2. Rata-Rata Jumlah Baris Per Tongkol, Jumlah Biji Per Baris, Berat
1.000 Biji dan Produktivitas 3 (tiga) Varietas Jagung Hibrida di Desa
Watukilo Kec. Kulawi Selatan Kab. Sigi
Bima-4 memiliki daya adaptasi yang tinggi dibandingkan dengan dua
varietas lainnya. Hal ini diduga disebabkan karena kemampuan suatu varietas
akan memberikan produksi lebih tinggi jika keadaan lingkungan tumbuhnya
optimal. Menurut Kramer (1980) dalam Balitsereal (2006), walaupun interaksi
varietas dengan lingkungan dapat menyebabkan tidak konsistennya hasil pada
setiap lingkungan, namun pada suatu batasan tertentu tanaman memiliki
kemampuan untuk meminimalkan pengaruh lingkungan yang tidak
menguntungkan. Subandi (1988) berpendapat bahwa varietas-varietas yang dapat
mengatasi keadaan yang tidak menguntungkan akan cenderung memiliki stabilitas
yang baik, sehingga dalam program pemuliaan harus dapat diperhatikan karakter-
karakter lain yang dapat mendukung stabilitas suatu kultivar. Soemartono (1995)
menyatakan bahwa untuk memperbaiki atau mengembangkan varietas tanaman
agar tahan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dapat dilakukan
dengan introduksi tanaman budidaya baru atau mengembangkan varietas
tahan/toleran.
Preferensi Petani terhadap Varietas yang Diuji
Hasil wawancara yang dilakukan terhadap 20 responden menunjukkan
100% petani memilih varietas Bima-4. Alasan petani memilih varietas tersebut
karena selain memiliki produktivitas yang tinggi, juga memiliki tinggi tanaman
yang lebih pendek dibandingkan dua varietas lainnya tidak mudah rebah dan tetap
hijau daunnya hingga panen dan cocok untuk makanan ternak. Selain Bima-4,
Bima-3 juga mendapat perhatian dari petani karena umurnya lebih pendek
dibandingkan dengan dua varietas lainnya.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 175
KESIMPULAN
1. Jagung hibrida varietas Bima-3, Bima-4 dan Bima-5 mampu beradaptasi
dengan baik di Kab.Sigi dengan kisaran produktivitas antara 8,3-10,3 t/ha
pipilan kering.
2. Bima-4 memiliki daya adaptasi yang lebih tinggi dibandingan dengan dua
varietas lainnya.
3. Preferensi petani terhadap tiga varietas jagung hibrida menunjukkan Bima-4
merupakan pilihan petani, disusul Bima-3 dan Bima-5.
SARAN
Untuk pengembangan varietas jagung hibrida yang dihasilkan Badan Litbang
Pertanian ke depan, perlu dipertimbangkan penyediaan benih di masing-masing
daerah agar lebih efisien dan ekonomis.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, R.L. 1997. Identifying Characteristics of Crop Varieties. Science
Publishers, Inc. New Hampsire. 124p.
Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros, 2006. Usulan Pelepasan Jagung
Hibrida Silang Tunggal. Balisereal Maros-Sulsel.
Erawati T.R dan A. Hipi, 2009. Daya Adaptasi Beberapa Varietas Unggul Baru
Jagung Hibrida di Lahan Sawah Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar
Nasional Balitsereal. Puslitbangtan Badan Litbang Pertanian. Bogor. Hal.
31-38.
http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3. Diakses pada tanggal 7 Oktober
2014.
Manoppo, C.N. 2011. Keragaan Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Jagung
Hibrida Melalui Perbaikan Teknologi Budidaya Tanaman Jagung. Semnas
Inovasi Teknologi Mendukung Ketahanan Pangan dan Swaasembada Beras
Berkelanjutan di Sulawesi Utara. Kerjasama BPTP Sulut dengan Pemda
Provinsi Sulawesi Utara. Manado. Hal. 85-92.
Morris, M. 1995. Asia_s public and private maize seed industries changing. Asian
Seed. 2 : 3-4.
Najmah dan F. Jufry, 2013. Keragaan Hasil dan Kelayakan Usahatani Beberapa
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 176
Varietas Jagung Hibrida dengan Pendekatan PTT di Sulawesi Selatan.
Prosiding Seminar Nasional Serealia. Balitsereal. Maros. Hal. 53-60.
Roy Efendi dan M. Azrai, 2010. Tanggap Genotipe Jagung terhadap
Cekaman Kekeringan: Peranan Akar. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman
Pangan. Vol. 29 No. 1. Hal. 1-10. Puslitbangtan. Bogor
Paryono, TJ. Sarjana. E. Kushartanti, T. Suhendrata, B. Budiharjo, D. Prayitno,
2002. Evaluasi Dampak Teknologi Rekomendasi Jawa Tengah. Laporan
Pengkajian BPTP Jawa Tengah.
Subandi. 1988. Perbaikan Varietas. dalam Jagung. Penyunting Subandi,
Mahyudin Syam dan Adi Wijono. Badan Pengkajian dan Pengembangan
Pertanian. Jakarta.
Soemartono.1995. Cekaman lingkungan, tantangan pemuliaan tanaman masa
depan. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman III, Jember. 1-12.
Wong, C. C. 1991. Inbreeding depression after three generations of selfing in five
maize varieties. B. Agric. Sc. Project Report. Universiti Pertanian Malaysia.
Malaysia.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 177
Kajian Adaptasi Varietas Unggul Baru Padi Sawah Mendukung
Kemandirian Pangan Di Sulawesi Tengah
Saidah, Herawati dan Syafruddin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso 62 Biromaru-Kab. Sigi Sulawesi Tengah
Abstrak
Laju pertumbuhan penduduk dan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang
tinggi mengharuskan pemerintah untuk melakukan upaya dan terobosan, diantaranya
meningkatkan produksi padi nasional. Varietas Unggul baru merupakan salah satu
komponen teknologi yang cukup besar sumbangannya terhadap peningkatan produksi
dan produktivitas padi nasional. Untuk itu, perakitan varietas baru harus terus
dilakukan guna mendapatkan varietas yang mempunyai daya hasil tinggi dan mempunyai
daya adaptasi yang luas. Namun tidak semua varietas yang telah dirakit mampu
beradaptasi dengan baik disuatu wilayah. Tujuan kajian adalah untuk mengetahui
kemampuan adaptasi beberapa varietas unggul baru padi sawah di Kab. Sigi. Penelitian
ini dilaksanakan di Desa Pulu Kec. Dolo Selatan Kab. Sigi pada MT. I Tahun 2012.
Status hara lokasi pengkajian adalah N rendah, P Tinggi dan K rendah. Varietas yang
digunakan sebanyak 3 (tiga), yaitu Inpari 6, Inpari 14 dan Inpari 20. Jumlah petani
koperator sebanyak 4 (empat) orang. Luasan kajian sebesar satu hektar. Teknologi
budidaya yang diterapkan menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu
(PTT). Hasil kajian menunjukkan bahwa ketiga varietas yang dikaji memberikan
penampilan yang berbeda, baik dari komponen hasil maupun hasil padi. Varietas Inpari
14 memberikan produktivitas yang tertinggi, yaitu 9,42 t/ha disusul Inpari 6 (8,42 t/ha)
dan Inpari 20 (8,28 t/ha GKP).
---------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Keragaan, padi sawah, varietas.
PENDAHULUAN
Salah satu masalah yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemandirian dan
ketahanan pangan. Pangan dan Gizi merupakan unsur yang sangat penting dan
strategis dalam meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas,
karena pangan selain mempunyai arti biologis juga mempunyai arti ekonomis dan
politis. Implikasinya bahwa penyediaan, distribusi dan konsumsi pangan dengan
jumlah, keamanan dan mutu gizi yang memadai harus terjamin, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan penduduk di seluruh wilayah pada setiap saat sesuai dengan
pola makan dan keinginan mereka agar hidup sehat dan aktif.
Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Dengan laju pertumbuhan penduduk dan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 178
tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia yang tinggi mengharuskan
pemerintah untuk melakukan upaya dan terobosan, diantaranya meningkatkan
produksi padi nasional. Komoditas ini memiliki peranan pokok dalam
pemenuhan kebutuhan pangan rakyat Indonesia, karena sebagian besar
penduduknya dari 238 juta jiwa mengkonsumsi beras. Kebutuhan beras pada
periode 2005-2025 diproyeksikan meningkat seiring dengan laju pertumbuhan
5,7% per tahun. Dengan demikian, kebutuhan akan beras juga meningkat dari
52,8 juta ton pada tahun 2005 menjadi 65,9 juta ton pada tahun 2025 (Ditjen
Tanaman Pangan, 2010).
Disisi lain, produksi padi masih relatif rendah. Khusus Provinsi Sulawesi
Tengah, produktivitasnya masih di bawah rata-rata nasional, yaitu 4,51 t/ha GKP
(BPS, 2010). Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian telah
mencanangkan Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN). Program
ini menargetkan peningkatan produksi padi rata-rata sebesar 5% per tahun
(Purwanto, 2008). Upaya untuk meningkatkan produksi antara lain dapat dicapai
melalui penggunaan varietas unggul yang memiliki potensi hasil tinggi dan daya
adaptasi yang luas (Budianto, 2002 dan Abdullah et al, 2008). Hal ini terkait
dengan kenyataan bahwa varietas unggul merupakan teknologi andalan yang
dapat diterapkan oleh masyarakat secara luas (Manwan, 1997).
Varietas Unggul baru merupakan salah satu komponen teknologi yang
cukup besar sumbangannya terhadap peningkatan produksi dan produktivitas padi
nasional. Untuk itu, perakitan varietas baru harus terus dilakukan guna
mendapatkan varietas yang mempunyai daya hasil tinggi dan mempunyai daya
adaptasi yang luas. Namun tidak semua varietas yang telah dirakit mampu
beradaptasi dengan baik disemua wilayah.
Program pemuliaan tanaman dewasa ini tidak hanya terfokus pada
pengembangan varietas yang berdaya hasil tinggi, namun juga diharapkan dapat
beradaptasi pada berbagai lingkungan tumbuh (Mulusew et al. 2009).
Keuntungan penggunaan varietas unggul spesifik lokasi antara lain dapat
menambah preferensi konsumen terhadap varietas unggul baru dan
menjadi peredam terjadinya endemik hama dan penyakit di suatu wilayah
(Baihaki dan Wicaksana, 2005).
Varietas padi yang unggul untuk suatu daerah belum tentu menunjukkan
keunggulan yang sama di daerah lain, karena di Indonesia sangat beragam
agroekologinya. Hal ini disebabkan adanya pengaruh interaksi antara genotype
dengan lingkungan tumbuh (Satoto et al. 2007, Kasno et al. 2007, Harsanti et al.
2003, Saraswati et al. 2006).
Hasil penelitian Yayat et al (2012) menunjukkan bahwa dengan penggunaan
VUB di Halmahera Tengah dapat meningkatkan produktivitas 0,54-2,46 t/ha
GKP. Hasil pelaksanaan display VUB padi di Sulawesi Tengah menunjukkan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 179
peningkatan produktivitas yang bervariasi, yakni 10 hingga 100% dari
produktivitas yang diperoleh petani sebelumnya (Saidah et al., 2010; Saidah et
al., 2011). Di Jawa Tengah, hasil pelaksanaan demonstrasi 9 (sembilan) VUB
pada Jambore SL-PTT menunjukkan perbedaan yang nyata dengan produksi
tertinggi diperoleh varietas Maro, yakni 9,84 t/ha GKG dan varietas Ciherang
sebagai pembanding memperoleh hasil sebesar 7,94 t/ha GKG (Guswara et al.,
2011). Sedangkan di Gorontalo, varietas yang terbaik adalah Ciherang (Rusliyadi,
et al., 2007).
Tujuan kajian adalah untuk mengetahui kemampuan adaptasi padi sawah
varietas Inpari 6, Inpari 14 dan Inpari 20 di Kab. Sigi Sulawesi Tengah.
BAHAN DAN METODE
Kajian dilaksanakan pada Maret hingga Juli 2012 (MT I) berlokasi di
Desa Pulu Kec. Dolo Selatan Kab. Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Perlakuan
menggunakan 3 (tiga) varietas padi, yaitu Inpari 6, Inpari 14 dan Inpari 20.
Luasan masing-masing varietas adalah Inpari 6 dan Inpari 14 adalah 0,25 hektar,
sedangkan Inpari 20 seluas 0,5 hektar. Dengan demikian total luasan keseluruhan
sebesar satu hektar.
Sistem budidaya yang dilakukan menggunakan pendekatan Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT). Komponen teknologi yang diterapkan adalah olah
tanah sempurna, luasan pesemaian 4% (400 m2), umur pindah
17 hari sesudah semai, dan s istem tanam yang digunakan adalah
jajar legowo 2:1 dengan jarak tanam 20 cm x 10 cm x 40 cm.
Takaran pemupukan berdasarkan hasil anal isis tanah dengan
menggunakan Perangka t Uji Tanah Sawah (PUTS). Status hara lokasi
pengkajian adalah N rendah, P Tinggi dan K rendah. Dengan demikian takaran
pupuk yang diberikan adalah 250 kg/ha Urea, 50 kg/ha SP 36 dan 100 kg/ha KCl.
Pengendalian hama dan penyaki t secara terpadu. Sedang kan
pengendal ian gulma dilakukan dengan mengkombinasikan
penggunaan cara manual dan aplikasi herbisida berdasarkan
kondis i lapangan.
Karakter yang diamati adalah komponen hasil, yaitu jumlah
anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, gabah
isi per malai, gabah hampa per malai, berat 1.000 butir.
Pengamatan dilakukan terhadap 10 tanaman sampel yang diambil secara
acak pada masing-masing varietas. Waktu pengamatan menjelang
panen. Untuk hasil gabah dilakukan dengan cara mengambil ubinan
sebanyak 3 set jajar legowo sepanjang 5 m. Ubinan dilakukan sebanyak 3 kali untuk
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 180
masing-masing varietas. Selanjutnya data yang diperoleh dirata-ratakan dan
dideskriptifkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Wilayah
Desa Pulu merupakan salah satu desa yang berada dalam wilayah Kec. Dolo
Selatan Kab. Sigi Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan data monografi desa,
jarak desa ini dari ibukota kecamatan + 5 Km dan ibukota kabupaten Sigi + 32
Km dengan luas wilayah + 900 hektar. Desa Pulu memiliki jenis tanah lempung
berpasir dengan pH berkisar 5-6 (agak masam). Status hara tanah sawah
umumnya N sedang, P tinggi dan K rendah. Rata-rata jumlah curah hujan per
tahun 1.502 mm dengan suhu rata-rata berkisar 30-35 oC.
Komoditas pertanian yang dominan diusahakan adalah padi sawah, jagung,
kakao, kelapa, dan beberapa jenis hortikultura. Jumlah penduduk tahun 2013
sebesar 1.168 jiwa dengan prosentase umur produktif > 75%. Sebagian besar
masyarakatnya berprofesi sebagai petani. Tingkat pendidikan + 30% SD, 25%
SLTP, dan sisanya SLTA, D3 dan sarjana. Jumlah kelompok tani sebanyak 4
(empat) dan 1 (satu) Gapoktan, yaitu Gapoktan Pema Bersatu.
Luas lahan padi sawah Desa Pulu sebesar 89,5 hektar, palawija dan
hortikultura 78,5 hektar, kakao 271 hektar dan kelapa 215 hektar. Sedangkan dari
aspek peternakan, jumlah ternak sapi 231 ekor dan kambing 51 ekor. Dalam
berusahatani, jumlah peralatan usahatani di Desa Pulu terdiri atas : hand traktor 6
unit (3 unit milik kelompok dan 3 unit milik perseorangan), handsprayer 43 unit,
RMU 2 unit, cangkul 174 unit, sabit biasa 42 unit, sabit bergerigi 125 unit, bajak
sapi 30 unit dan power trheser 3 unit.
Berdasarkan observasi lapangan, dalam penerapan teknologi baru, animo
petani sangat besar. Hal ini terbukti sejak diperkenalkan teknologi budidaya padi
sistem tanam jajar legowo 2:1 tahun 2012, hingga kini sudah + 75% yang
menerapkan.
Kondisi Eksisting Usahatani Setempat
Hasil Participatory Rural Appraisal (PRA) menunjukkan
bahwa system budidaya petani di Desa Pulu masih konvens ional.
Dalam artian varietas yang digunakan hanya 2 (dua) varietas,
yaitu Cisantana dan Cimandi dengan sumber benih berasal dari
panen sebelumnya. Perlakuan benih hanya direndam dalam air
sungai atau dalam saluran irigasi tersier tanpa dibuka dari dalam
karung, setelah itu diperam selama sehari. Jumlah benih yang
digunakan berkisar antara 75 hingga 120 kg/ha dengan luasan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 181
pesemaian yang sangat sempit. Umumnya bibit dipindahkan telah
berumur lebih dari 30 hari setelah semai. Bahkan sebagian petani
ada yang memotong atau memangkas daun padi sebelum ditanam.
Penanaman tidak menggunakan caplak, sehingga jarak tanam
tidak teratur. Petani belum pernah menerapkan s istem tanam jajar
legowo. Jumlah batang per lubang tanam antara 5-10. Petani
beranggapan bahwa semakin banyak benih yang ditanam per rumpun,
semakin banyak jumlah anakan yang akan dihasilkan. Penggunaan pupuk
hanya terbatas urea dan phonska masing-masing sebanyak 50 kg/ha. Cara dan
waktu penggunaannya belum sesuai anjuran. Hama yang sering menyerang adalah
penggerek batang, tikus dan walang sangit, sedangkan penyakit adalah blast leher.
Dalam pengendalian hama dan penyakit, petani biasanya menggunakan
2-3 jenis pestisida yang sudah dicampur tanpa takaran yang jelas.
Produktivitas yang diperoleh petani bervariasi antara 3,0 hingga
4,0 t/ha GKP, tergantung dari kondisi pertanaman dan pemupukan.
Jumlah pupuk yang diberikan sangat bergantung dari besaran modal
yang dimiliki masing-masing petani. Petani belum memahami
sepenuhnya tentang manfaat takaran, waktu dan cara memupuk yang
dianjurkan.
Keragaan Komponen Hasil dan Hasil Padi Varietas Inpari 4, Inpari 6 dan
Inpari 20
Uji adaptasi varietas unggul baru ternyata memberikan hasil yang berbeda-
beda masing-masing varietas. Hasil rata-rata pengamatan terhadap komponen
hasil dan hasil pada tiga varietas padi disajikan pada Tabel 1. Varietas Inpari 6
memiliki jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah
gabah hampa dan berat 1.000 butir yang tertinggi, namun tidak berdampak positif
terhadap produktivitas. Hal ini disebabkan varietas Inpari 6 terkena serangan
penyakit busuk leher (Pyricularia grisea) sehingga banyak gabah hampa yang
mencapai 32,23% per malai. Produktivitas yang tertinggi dicapai Inpari 14
dengan nilai 9,42 t/ha GKP, disusun Inpari 6 (8,42 t/ha) dan Inpari 20 (8,28 t/ha).
Perkembangan sifat-sifat penting varietas unggul padi secara nyata terlihat
pada peningkatan dan keragaman ketahanan terhadap cekaman iklim dan tanah
serta ketahanan terhadap hama dan penyakit. Kedua sasaran tersebut dapat
dicapai antara lain melalui pemanfaatan dan pengembangan potensi sumberdaya
genetik dengan pembentukan varietas unggul baru yang berdaya hasil tinggi dan
tahan terhadap cekaman biotik maupun abiotik (Budianto, 2002).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 182
Tabel 1. Keragaan Komponen Hasil dan hasil Padi Varietas Inpari 4, Inpari 6 dan
Inpari 20 Di Desa Pulu Kec. Dolo Selatan Kab. Sigi Pada MT I tahun
2012.
No. Varietas
Jumlah
Anakan
Produktif
(batang)
Panjang
Malai
(cm)
Jumlah
Gabah/
Malai
(butir)
Jumla
h
Gabah
Hampa
(bulir)
Jumla
h
Gabah
Isi
(bulir)
Berat
1.000
butir
(g)
Produkti
vitas (t/ha
GKP)
1. Inpari 6 19,5 26,1 206 66,4 139,6 27,77 8,42
2. Inpari 14 19,4 25,5 154,6 5,8 148,8 27,18 9,42
3. Inpari 20 17,9 25,8 156,1 9,1 147 26,11 8,28
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Padi sawah varietas Inpari 14 memiliki produktivitas tertinggi (9,42 t/ha
GKP) di bandingkan dua varietas lainnya.
2. Ketiga varietas mampu beradaptasi dengan baik, karena mampu
berproduksi di atas 8,0 t/ha GKP dibandingkan dengan sebelum
diintroduksi VUB, yakni hanya berkisar 3-4 t/ha.
Saran
Untuk mengembangkan ketiga varietas tersebut, diperlukan upaya
penangkaran yang sifatnya komunal atau dalam artian dapat menyediakan benih
untuk lokasi setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B.T., T. Soewito dan Sularjo, 2008. Perkembangan dan Prospek
perakitan padi tipe baru di Indonesia. Jurnal Litbangtan. Vol. 27 No.
1 Tahun 2008. Hal 1-9.
Baihaki, A. dan N. Wicaksana. 2005. Interaksi genotipe x lingkungan,
adaptabilitas, dan stabilitas hasil, dalam pengembangan
tanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16(1):1-8.
BPS Sulawesi Tengah, 2010. Sulawesi Tengah Dalam Angka 2010. Badan
Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Budianto, J. 2002. Tantangan dan peluang penelitian dan pengembangan
padi dalam perspektif agribisnis. Dalam kebijakan perberasan dan
Inovasi Teknologi Padi. Badan Litbangtan. Puslitbangtan. Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 183
Ditjen Tanaman Pangan, 2010. Pedoman Pelaksanaan SL-PTT Padi, Jagung,
Kedelai dan Kacang Tanah Tahun 2010. Ditjen Tanaman Pangan
Kementerian Pertanian. 123 p.
Guswara A, Sutopo, M. Yamin, Sumaullah dan P. Sasmita 2011. Keragaan
Beberapa Varietas Padi Hibrida Rakitan BB Padi pada Jambore SL-
PTT di Donohudan Boyolali Jawa Tengah. Dalam Prosiding Seminar
Ilmiah Hasil Penelitian Padi Nasional 2010. BB Padi Sukamandi.
Jawa Barat.
Harsanti, L., Hambali, dan Mugiono. 2003. Analisis daya adaptasi 10
galur mutan padi sawah di 20 lokasi uji daya hasil pada dua
musim. Zuriat 144(1):1-7.
Kasno, A., Trustinah, J. Purnomo, dan B. Swasono. 2007. Interaksi
genotipe dengan lingkungan dan implikasinya dalam
pemilihan galur harapan kacang tanah. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 26(3):167-173.
Manwan, I. 1997. Regulasi Pelepasan Varietas Komoditas Pertanian
di Indonesia. Peripi Komda Jatim. Balitkabi. Malang.
Mulusew, F., E. Fikiru, T. Tadesse, and T. Legesse. 2009. Parametric
stability analysis in field pea (Pisum sativum L.) under South
Eastern Ethiopian condition. Agric. Sci. 5(2):146-151.
Purwanto, S., 2008. Implementasi Kebijakan untuk Pencapaian P2BN.
Dalam : B. Suprihanto et.al. Eds. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil
Penelitian Padi Menunjang P2BN. Buku 1. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Jakarta.
Rusliyadi, M., AY. Fadwiwati, RH. Matondang dan Ulina 2007. Sosialisasi
Beberapa Varietas Padi Unggul Baru dengan Pendekatan Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) di Provinsi Gorontalo. Dalam Prosiding
Semnas Inovasi dan alih Teknologi Spesifik Lokasi Mendukung
Revitalisasi Pertanian di Medan, 5 Juni 2007. BBP2TP. Bogor.
Saidah, A. Muis., Lape R., gafur S., Conny M., Herawati, Basrum dan Heni
SR,. 2010. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pendampingan SL-PTT
Padi dan Jagung di Sulawesi Tengah. BPTP Sulawesi Tengah. Palu.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 184
Saidah, Subagio H., Lape R., gafur S., Conny M., Herawati, Basrum dan Heni
SR,. 2011. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pendampingan SL-PTT
Padi dan Jagung di Sulawesi Tengah. BPTP Sulawesi Tengah. Palu.
Satoto, I.A. Rumanti, M. Diredja, and B. Suprihatno. 2007. Yield
stability of ten hybrid rice combinations derived from
introduced cms and local restorer lines. Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan 26(3):145-149.
Suhartini, T., W.S. Ardjasa, dan Suwarno. 1992. Evaluasi potensi hasil
varietas dan galur harapan padi pada lahan keracunan Fe. Dalam
Prosiding Lokakarya Penelitian Komoditas dan Studi Khusus. 1992.
Vol. 3. Padi. AARP dan Badan Litbang Pertanian.
Yayat Hidayat, Yopi Saleh, dan Musa Waraiya, 2012. Kelayakan
Usahatani Padi Varietas Unggul Baru Melalui PTT di
Kabupaten Halmahera Tengah. Jurnal Penelitian Pertanian
Tanaman Pangan. Vo. 31 No. 3. Hal. 166-172.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 185
Peluang Dan Strategi Pengembangan Produk Pangan Berbahan
Dasar Ubi Kayu
(Studi Kasus Farmer Managed Extension Activities (FMA) Kabupaten Sigi
Muhammad Abid, Sumarni dan Masyitah Muharni
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Abstrak
Ubikayu merupakan tanaman pangan yang penting dan produksinya cukup tinggi. Di
Sulawsi Tengah Luas panen ubi kayu yaitu 4.702 ha dengan Produksi mencapai 93.642
ton/ha. Pemanfaatan ubi kayu dalam bentuk tepung dapat menunjang penganeka
ragaman produk olahan dari bahan dasar tepung. Produk pangan berbahan dasar ubi
kayu potensial untuk dikembangkan karena bahan baku yang cukup tersedia. Bahan
dasar ubi kayu bisa sebagai subtusi penggunaan terigu yang masih diinpor. Usaha
pengolahan produk pangan berbahan dasar ubi kayu dilaksanakan di FMA Kabupaten
Sigi, namun dalam pelaksanaanya mengalami berbagai kendala sehingga perlu strategis
dalam pengembangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peluang dan
strategis pengembangan produk pangan berbahan dasar ubi kayu di Kabupaten Sigi.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni – Desember 2011. Metode pengumpulan data
dengan Survey. Data meliputi data primer dan sekunder. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa produk pangan berbahan dasar ubi kayu produksi kelompok tani Popele yang ada
di Desa Fekole Kecamatan Dolo berpeluang untuk dikembangkan dengan menggunakan
strategis bauran pemasaran yaitu perbaikan pada prodak, promosi, lokasi dan harga.
------------------------------------------------------------
Kata kunci: Strategi,olahan ubi kayu, pemasaran
PENDAHULUAN
Perkembangan lingkungan yang strategis membawa implikasi
pengoptimalan di segala aspek pembangunan pertanian. Salah satunya dengan
paradigma nilai tambah pada hasil pertanian untuk meningkatkan keefisien dan
nilai ekonomis dalam setiap mata rantai sistem agribisnis. Peran kegiatan
pascapanen menjadi sangat penting, karena merupakan salah satu sub-sistem
agribisnis yang mempunyai peluang besar dalam upaya meningkatkan nilai
tambah produk agribisnis. Dibanding dengan produk segar, produk olahan mampu
memberikan nilai tambah yang sangat besar. Daya saing komoditas Indonesia
masih lemah, karena selama ini hanya mengandalkan keunggulan komparatif
dengan kelimpahan sumberdaya alam dan tenaga kerja tak terdidik (factor–
driven), sehingga produk yang dihasilkan didominasi oleh produk primer atau
bersifat natural recources-based dan unskilled-labor intensive (BP2P, 2005) .
Komoditas umbi umbian sebagai bahan pangan lokal dalam pengembangan
pascapanen di titik beratkan pada perbaikan kualitas diversifikasi serta
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 186
pemanfaatan hasil samping dan limbahnya. Ketersediaan pangan lokal di Sulawesi
Tengah cukup beragam, salah satunya adalah ubi kayu. Ubi kayu terdapat di
semua wilayah Sulawesi Tengah baik itu yang tumbuh secara liar maupun yang
dibudidayakan. Tahun 2011 luas panen ubi kayu mencapai 4198 ha (BPS, 2012),
hal ini memberi peluang untuk pengembangan olahan ubi kayu karena bahan baku
tersedia dengan cukup memadai.
Restrukturisasi industri pangan dengan nilai tambah terjadi baik pada skala
modern maupun tradisional. Pada skala tradisional akan melibatkan partisipasi
petani dan merubah pasar yang akan berpengaruh pada tambahan pendapatan
petani. Selain itu diversifikasi produk olahan berasal dari tepung akan mengurangi
penggunaan bahan gandum yang masih impor. Trend impor gandum semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Realisasi impor gandum Indonesia di 2010
menembus 5,85 juta ton atau setara dengan konsumsi terigu 4,3 juta ton.
Diperkirakan setiap tahunnya konsumsi gandum nasional naik 6% (Detik Finance,
2011). Konsumsi gandum Indonesia setiap tahunnya terus meningkat. Berkaitan
dengan meningkatnya permintaan pasar karena semakin bertambahnya jumlah
penduduk. Adanya berbagai produk pangan berbahan dasar beras dan tepung lain
akan menjadi substitusi yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap bahan
baku gandum.
Usaha pengolahan produk pangan berbahan dasar ubi kayu dilaksanakan
tiga Farmer Managed Extension Activities (FMA) di Kabupaten Sigi. Namun
dalam pelaksanaannya mengalami berbagai kendala sehingga perlu strategi dalam
pengembangannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peluang dan
strategi pengembangan produk pangan berbahan dasar ubi Kayudi Kabupaten
Sigi.
METODOLOGI
Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Sigi FMA Desa sasaran FEATI yaitu
FMA Desa fekole Kecamatan dolo barat kabupaten Sigi. yang menerapkan
teknologi pengolahan produk pangan berbahan dasar ubi kayu dan lembaga
pemasaran produk. Metode pengambilan data pada kelompok tani melalui focus
discussion group (FGD) sedangkan data lembaga pemasaran diambil melalui riset
pemasaran sederhana (exploratory riset) di Kabupaten Sigi dan Kota Palu.
Penentuan responden kelompok tani dilakukan dengan purposive sampling,
sedangkan responden lembaga pemasaran dilakukan dengan snow ball sampling.
Penelitian dilaksanakan pada Bulan maret 2010. Data yang diambil adalah data
primer dan data sekunder. Data dianalisis secara deskriptif untuk mendapatkan
peluang pengembangan produk olahan berbahan dasar ubi kayu Sedangkan
strategi pengembangan produk dengan penerapan strategi bauran pemasaran.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 187
Bauran Pemasaran meliputi 4P diperkenalkan pertama kali oleh Kotler (1994).
Ada empat pilar yang mesti diperhatikan oleh manajemen dalam memasarkan
produknya, yaitu karakteristik produk yang ingin dibuat (product), harga yang
ingin ditetapkan (pricing), cara pendistribusian produk ke pelanggan (placing) dan
cara merangsang calon pelanggan untuk membeli produk (promotion).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Peluang pengembangan produk pangan berbahan dasar ubi kayu oleh FMA.
1. Ketersediaan sumber daya alam.
Ubi Kayu yang berasal dari Umbia umbian merupakan produk utama
pertanian. Kabupaten Sigi merupakan salah satu kabupaten penghasil umbi
umbian yang penyanggah kebutuhan pangan lokal di Propinsi Sulawesi
Tengah. Produksi ubi kayu pada lima tahun terakhir ini mengalami surplus
terhadap kebutuhan penduduk Kabupaten Donggala sehingga memungkinkan
untuk melakukan diversifikasi produk.
2. Ketersediaan tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita.
Pada FMA yang menjalankan usaha produk pangan berbahan dasar ubi kayu
mampu untuk menggerakkan tenaga kerja wanita yang berarti terjadi
pemberdayaan perempuan.
3. Ketersediaan teknologi.
Teknologi pengolahan tepung ubi kayu banyak tersedia dengan adanya
gilingan beras menjadi tepung di lokasi produksi. Teknologi pengolahan
tepung ubi kayu menjadi berbagai produk makanan juga tersedia baik dari
resep tradisional sampai moderen. Ketersediaan teknologi ini memungkinkan
industri skala rumah tangga dapat melaksanakan produksi.
4. Ketersediaan modal
Modal produksi kelompok bisa berasal dari pinjaman yaitu dari modal
kelompok yang bergulir yang awalnya merupakan dana bantuan dari
pemerintah seperti PUAP dan PNPM Mandiri.
5. Lokasi produksi.
Lokasi produksi berkaitan dengan ketersediaan bahan baku, biaya angkutan,
dan pasar. Lokasi yang berdekatan dengan bahan baku dan pasar akan
meminimalkan biaya transportasi. Bahan baku yang langsung diterima dan
diolah oleh produsen akan menjaga kualitas bahan baku.
6. Pasar
Produk pangan berbahan dasar ubikayu cukup potensial untuk dikembangkan
karena pasar yang tersedia baik untuk kue tradisional maupun kue moderen.
Pasar yang dituju adalah pasar tradisonal maupun pasar moderen bergantung
pada segmentasi pasar yang dilakukan oleh produsen.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 188
7. Analisis ekonomi
Analisis ekonomi menggunakan R/C ratio usaha kue berbahan dasar ubi kayu
disajikan pada tabel 1.
Tabel1. Analisis ekonomi menggunakan R/C ratio usaha kue berbahan dasar
Ubi Kayu
Uraian Kue brownis
Satuan Harga Satuan Nilai
Bahan-Bahan :
Ubi kayu (kg) 50 700 35.000
Telur (butir) 40 1,000 12.000
Gula (kg) 1 12,000 60,000
Soda kue (sdt) 30 500 15,000
Mentega (kg) 4 11,200 44,800
Minyak tanah (liter) 5 8,000 40,000
Kelapa parut (buah) 2 3,000 6,000
Kemasan (buah) 1 1,500 1,500
Upah tenaga kerja (jam) 1 40,000 40,000
Total Pengeluaran 253,000
Produksi (biji) 80
Penerimaan 80 35.000.- 2.800.000,-
Keuntungan 1,826,000
R/C 1,5
Pada Tabel 1 diketahui keuntungan usaha kue sebesar Rp.1.826.600 untuk
setiap 12 kg tepung ubi kayu yang digunakan. Nilai R/C ratio sebesar 1,5
sehingga layak untuk diusahakan.
Strategi pengembangan produk pangan berbahan dasar beras oleh FMA.
Produk pangan berbahan dasar ubi kayu mulai diperkenalkan oleh FMA
pada tahun 2010. Hasil produk yang diperoleh kue kacang, dan kue bronis dan
beberapa produk yang lain. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari kelompok
tani usaha kue kacang,dan bronis cukup disukai oleh konsumen. Kelompok wanita
tani telah memasarkan produk ke UMKM yang ada di kota Palu . Pada akhir
tahun 2010 siklus kehidupan produk tersebut telah melewati tahap pengenalan
dan mulai pada pengembangan (Firdaus, 2009). Pada tahap pengenalan produk
baru diluncurkan ke pasar terdapat beberapa kendala terutama dalam pemasaran,
dan harga yang belum terjangkau yang bisa bersaing dengan pasar. Perlu
dilakukan perluasan pasar untuk menaikkan tingkat produksi dan laba disamping
itu juga perlu pemerintah mengatur produksi gandum sebagai sumber utama
produksi terigu , untuk menunjang produksi tepung yang berbahan dasar pangan
lokal. Pasar yang dituju adalah pasar tradisional dan moderen. Untuk menuju ke
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 189
pasar yang lebih luas dan menganalisis penetrasi pasar maka dilakukan bauran
pemasaran yang terdiri dari:
A. Produk
Perbaikan produk dapat melalui teknologi pengolahan hasil, variasi rasa, dan
pengemasan. Pada tahap awal petani menggunakan teknologi yang sederhana.
Cara petani memproduksi menggunakan bahan dasar tepung ubi kayu, telur, dan
gula. Perbaikan pada produk yang perlu dilaksanakan yaitu perbaikan teknologi
pengolahan, perbaikan rasa dengan komposisi bahan, dan perbaikan kemasan.
1. Perbaikan teknologi pengolahan
Pada awal produksi petani membuat tepung dengan cara mencuci
kemudian ditiriskan dan langsung dilakukan penjemuran 2-3 hari langsung
dilakukan penggilingan penggilingan. Produk tepung yang dihasilkan
kurang menjamin daya tahan produk sehingga dapat mempengaruhi rasa
produk. Perbaikan teknologi pengolahantepung ubi kayu yang dilaksanakan
adalah perendaman ubi katu dengan menggunakan moka BIMO CF selama
kurang lebih 12 jam kemudian dilakukan pencucian, dan ditiriskan
langsung dilakukan penjemuran. Selama 3-4 hari dan beberapa saat
kemudian siap untuk dilakukan penepungan. Hasil produk penepungan
kemudian dikeringkan sampai mencapai kadar air sangat rendah. Proses
pembuatan tepung cara petani disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Skema pembuatan tepung beras cara petani
Ubi kayu
Penirisan
Penjemuran
Penggilingan
Pencucian
sawut
Pengayakan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 190
Proses pembuatan tepung dengan inovasi teknologi disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Skema pembuatan tepung dengan inovasi teknologi
Tepung ubi kayu yang diolah mempunyai standar kekeringan/kadar
air tertentu yang diterapkan pada produksi tepung pada industri rumah
tangga. Kadar air berhubungan dengan penambahan air pada adonan, dan
daya simpan sebagai produk olahan (Suarni, 2009). Tepung dengan
kandungan amilosa yang tinggi lebih banyak menyerap air pada pemasakan
tetapi menjadi lebih cepat menyerap kembali dan cepat keras (Winarno,
2000). Ketrampilan pengaturan kadar air dalam pembuatan kue menjadi
faktor penentu dalam penciptaan tekstur yang diinginkan.
2. Perbaikan kemasan
Kemasan sangat menentukan preferensi konsumen. Tujuan utama
kemasan yaitu memberi wadah yang cocok kepada produk sehingga dapat
melindungi produk dan menarik konsumen sebagai pembeli. Rahman, 2010
mendefinisikan pengemasan sebagai semua kegiatan merancang dan
memproduksi wadah untuk produk. Selain memberikan nilai tambah pada
produk kemasan juga sebagai alat pemasaran.
Ubi kayu
Penirisan
Penjemuran
Penggilingan
Pencucian
sawut
Pengayakan
Perendaman Bimo
CF (12 Jam)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 191
Kemasan yang digunakan petani pada awalnya menggunakan toples
kaca besar yang merupakan ciri khas kemasan makanan di Sulawesi Tengah.
Dengan mempertimbangkan kepraktisan, keekonomisan, dan mutu produk
maka dilakukan perbaikan kemasan. Bahan dan bentuk kemasan yang
digunakan perlu mempertimbangkan sifat dan jenis produk yang dikemas.
Selain itu untuk menjaring pasar maka diperlukan perbaikan kemasan yang
lebih menarik dan komunikatif. Oleh karena itu kemasan yang
direkomendasikan adalah kemasan jenis plastik yang mempunyai ukuran
ketebalan 0,03 mm dan dilanjutkan pencetakan pelabelan dengan
mencantumkan sumber, jenis dan jaminan produk yang di hasilkan.
3. Perbaikan penampilan dan cita rasa
Produk yang dihasilkan petani pada awalnya masih sederhana, berupa
kue tradisional dengan satu macam rasa. Produk dari FMA dilakukan uji
organoleptik berupa rasa, bau, dan penampilan. Penambahan komposisi
bahan dilakukan untuk menambah variasi rasa seperti rasa vanila .
B. Harga
Metode penetapan harga merupakan salah satu komponen penting untuk
menghasilkan laba. Petani karena ingin mendapatkan keuntungan yang sebesar-
besarnya maka memberikan harga yang cukup tinggi. Akibat pemberian harga
yang tinggi adalah penurunan minat konsumen. Oleh karena itu diperlukan
penetapan harga yang tepat.
Penetapan harga yang sesuai untuk produk adalah penetapan harga
berdasarkan biaya yaitu cara penetapan harga dengan menambah marjin tetap
kepada biaya dasar masing-masing produk. Marjin ini dimaksudkan untuk
menutup biaya tetap, biaya penanganan dan sisanya merupakan laba. Secara
matematis rumusnya adalah:
Biaya (1,00) + 1.30 (mark up 30%)=1,3 harga jual (Firdaus,2009). Penetapan
strategi ini dapat diterima konsumen karena produsen dapat memastikan biaya dan
pembeli maupun penjual merasa bahwa penetapan harga dengan menambahkan
angka pada biaya lebih wajar karena sama-sama memperoleh pengembalian yang
wajar atas pengeluaran.
C. Promosi
Salah satu strategi penjualan adalah promosi sebagai aktivitas yang
mengkomunn mengikutiikasikan keunggulan produk dan mempengaruhi
konsumen untuk membelinya. (Mardian, et al, 2009). Promosi dapat dilaksanakan
melalui iklan atau media, interaksi antar individu, infomasi melalui hubungan
masyarakat, dan promosi penjualan melalui kegiatan pemasaran seperti pameran
dan demonstrasi (Firdaus, 2009). Strategi yang diterapkan oleh FMA adalah
promosi perorangan atau interaksi antar individu. Pengembangan promosi antara
lain dengan media yaitu menempatkan nama pada merek kemasan dan mengikuti
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 192
berbagai acara pameran produk industri rumah tangga. Strategi ini dilakukan
mengingat rendahnya biaya promosi pada tingkat usaha rumah tangga.
D. Distribusi
Distribusi merupakan cara untuk memindahkan dan menyalurkan produk ke
pelanggan. Saluran distribusi berkenaan jejak penyaluran produk dari produsen
ke konsumen akhir. Lembaga yang terlibat adalah produsen, perantara, dan
konsumen akhir. Perantara dapat berupa pedagang/pejual atau agen. Karena usaha
pengolahan produk berbahan dasar ubi kayu dikelola bersama oleh kelompok
wanita tani maka optimalisasi anggota kelompok sebagai agen pemasaran akan
menunjang pemberdayaan kelompok sehingga semua anggota dapat berpartisipasi
dalam kegiatan.
Aspek lain yg harus diperhatikan adalah luas produksi produk. Luas
produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk mencapai
keuntungan yang optimal. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam
penentuan luas produksi ini adalah kapasitas alat produksi, jumlah dan
kemampuan tenaga kerja pengelola produksi, kemampuan financial dan
manajemen. Hal ini penting karena kesepakatan dengan pelanggan harus ditepati
untuk memperoleh kepercayaan konsumen.
KESIMPULAN
1. Produk pangan olahan berbahan dasar ubi kayu berpeluang di kembangkan di
Kakabupaten Sigi dengan melihat potensi dan luas panen berdasarkan data
statistik yang adad di BPS tahun 2012.
2. Strategi Pengembangan produk menggunakan strategi bauran pemasaran
dengan produk, harga, promosi, dan distribusi, serta Perbaikan. Penetapan harga
menggunakan metode cost plus. Perluasan promosi melalui media dan kegiatan
pemasaran sedangkan distribusi dengan mengoptimalisasikan sumberdaya
kelompok wanita tani.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (BP2P), 2005. Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis: Dukungan Asek Teknologi Pasca Panen. Balai
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. 2010. Sulawesi Tengah Dalam Angka.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. Palu.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 193
Daniels, R. 1974. Breakfast Cereal Technology. Noyes Data Corporation. New
Jersey.
Detik Finance, 2011. Impor Gandum RI hamper 6 juta ton.
www.detik.finance.com. Diakses tgl 10 September 2011.
Firdaus, M. 2009. Manajemen Agribisnis. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. 222 hal.
Kotler, P. 1994. Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan, Imlementasi dan
Pengendalian. Penerbit Salemba Empat. Jakara.
Mardian, I., Fitrotin, U., Hastuti, S. 2009. Strategi Bauran Pemasan Dodol Nenas
Skala Rumah Tangga (Studi Kasus Lendang Nangka, Kabupaten Lombok
Timur). Pengemangan Inovasi Pertanian Lahan Marjinal. Badan Penelitian
dan Pengembangan pertanian. Kementrian Pertanian. Hal 137.
Rahman, A. 2010. Strategy Marketing Mix for Small Business. Penerbit
Transmedia. Jakarta, 281 hal.
Suarni. 2009. Teknologi Pembuatan Tepung Campuran Bernutrisi Tinggi Siap
Pakai untuk Bahan Makanan Anak-Anak. Seminar Nasional dan
Workshop Inovasi Teknologi yang Berkelanjutan Mendukung
Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri di Pedesaan. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Palu. 11 Nopember 2009.
Winarno, F.G. 2000. Potensi dan Peran Tepng-tepungan bagi Industri Pangan dan
Prbaikan Gizi. Makalah pada Seminar Nasional Interaktif
Penganekaragaman Makanan untuk Memantapkan Ketersediaan Pangan.
Jakarta.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 194
Pembuatan Tepung Kulit Pisang Raja dengan Menggunakan Metode
Pengeringan Oven dan Sinar Matahari
Asrawaty
Univiversitas Alkhairaat Palu
CP:081327226461, email: [email protected]
Abstrak
Pisang (Musa Paradisiaca L.) merupakan salah satu tanaman buah yang banyak
tumbuh di berbagai pulau di Indonesia, banyak dikonsumsi oleh masyarakat
Indonesia. Kulit pisang juga sering dianggap sebagai sampah yang sudah tidak
dapat dimanfaatkan oleh manusia. Pemanfaatan kulit pisang masih sebagai
pakan ternak sapi dan kambing. Kulit pisang memiliki kandungan Vit C, Vit B,
Ca, protein dan lemak yang cukup. Mengurangi angka impor diperlukan
alternatif tepung yang bisa dihasilkan dari tanaman selain gandum. Kulit pisang
merupakan bagian dari tanaman pisang yang jumlah melimpah dan kurang
termanfaatkan dan memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi produk tepung,
tepung pisang mempunyai rasa dan bau khas yang dapat digunakan pada
pengolahan berbagai jenis makanan yang menggunakan tepung seperti
cake/pancake. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui teknik pembuatan
tepung kulit pisang raja dengan metode pengeringan. Bahan adalah kulit pisang
raja 1000g dan natrium benzoat 1g. Rancangan Acak Lengkap (RAL) perlakuan:
Pengeringan dengan Sinar Matahari (PS) dan Pengeringan dengan Oven (PO)
diulang tiga kali, uji lanjut BNT α 5%. Pengamatan Rendemen dan Kadar Air
(KA). Hasil penelitian menunjukan perlakuan pengeringan dengan oven
memberikan hasil tepung yang terbaik adalah rendemen 13,80% dan KA 6,79%.
-------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci: Kulit Pisang, Tepung, Pengeringan Oven dan Sinar Matahari
PENDAHULUAN
Pisang (Musa Paradisiaca L.) merupakan salah satu tanaman buah yang
banyak tumbuh di berbagai pulau di Indonesia. Banyaknya jumlah tanaman
pisang yang tumbuh ini membuat tanaman pisang, khususnya buah banyak
dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Kulit pisang juga sering dianggap sebagai
sampah yang sudah tidak dapat lagi dimanfaatkan oleh manusia. Penilaian itu
membawa dampak yang negatif bagi nilai guna kulit pisang raja sendiri.
Pemanfaatan kulit pisang sendiri belum banyak dilakukan, selain diberikan
langsung pada ternak, seperti ternak sapi dan kambing. Namun, kulit pisang yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 195
sering dianggap barang tak berharga itu, ternyata memiliki kandungan Vitamin C,
Vitamin B, Kalsium, Protein dan juga Lemak yang cukup (Munadjim, 1992).
Peningkatan konsumsi terigu dalam negeri menyebabkan tingginya angka
impor terigu dalam negeri. Sementara itu sampai saat ini perkembangan lahan
penanaman gandum dalam negeri belum mampu mengurangi angka impor, maka
diperlukan alternatif tepung yang bisa dihasilkan dari tanaman selain gandum
dalam rangka mengurangi impor gandum. Kulit pisang merupakan bagian dari
tanaman pisang yang jumlah melimpah dan kurang termanfaatkan dan memiliki
potensi untuk dikembangkan menjadi produk tepung (Satuhu & Supriyadi,
2004).
Salah satu pemanfaatan kulit pisang untuk dapat meningkatkan nilai
adalah pemanfaatannya menjadi tepung pisang, dimana tepung mempunyai rasa
dan bau khas sehingga dapat digunakan pada pengolahan berbagai jenis makanan
yang menggunakan tepung dari dalamnya. Dalam hal ini, tepung kulit pisang
dapat menggantikan peran dan tepung lainnya. Jenis-jenis makanan tersebut
antara lain roti, cake/pancake, kue kering, kue lapis, puding, makanan bayi/balita.
Pengolahan tepung kulit pisang ini kita dapat menggunakan 2 cara pengeringan
yaitu pengeringan dengan sinar matahari dan pengeringan dengan oven.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui rendemen dan kadar air terbaik
pada pembuatan tepung kulit pisang raja dengan metode pengeringan sinar
matahari dan oven.
Diharapkan dapat memberikan informasi bahwa kulit pisang mempunyai
potensi sebagai bahan baku pembuatan tepung yang ekonomis dan fungsional
sehingga bisa dijadikan alternatif pengganti tepung dari beras atau terigu.
MATERI DAN METODE
Materi
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Fakultas Pertanian
Universitas Alkhairaat Palu selama 2 bulan yaitu sejak Mei-Juni 2012. Bahan
yang digunakan adalah kulit buah pisang raja 1000g dan Natrium benzoat 1 g.
Metode
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) dan 3 (tiga) ulangan, dengan dua perlakuan yaitu: (PS) Pengeringan
dengan Sinar Matahari dan (PO) Pengeringan dengan Oven, analisis data
menggunakan sidik ragam dan apabila terdapat pengaruh perlakuan dilanjutkan
dengan uji BNT dengan taraf signifikan 5%.
Prosedur pengolahan kulit pisang menjadi tepung sebagai berikut:
a. Kulit pisang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 196
b. Sebelum melakukan pengolahan terlebih dahulu disiapkan 1 kilo gram bahan
baku (kulit pisang)/perlakuan
c. Sortasi
Proses sortasi dilakukan untuk memilih kulit pisang yang baik (tidak cacat
fisik) sehingga hasil akhir yang diperoleh mempunyai kualitas yang baik.
d. Pemotongan
Proses pemotongan bertujuan untuk mempermudah dalam proses blender,
digunakan pisau stainless stell dan hasil potongan segera dimasukkan dalam
air, hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari terjadi proses pencoklatan
(Susanto dan Saneto, 1994).
e. Perendaman
Setelah kulit pisang telah diiris kecil maka diadakan perendaman kulit pisang
selama 20 menit dalam larutan natrium benzoat, setelah itu ditiriskan.
Perbandingan antara bahan baku dan bahan pengawet yaitu 1:1, misalnya
1000 gr kulit pisang dan 1 gr bahan pengawet. Tujuan perendaman untuk
mencegah browning (Susanto dan Saneto, 1994).
f. Penirisan
Penirisan dilakukan untuk mengurangi jumlah air pada bahan dan
memudahkan proses selanjutnya baik itu pada saat proses pengeringan
dengan menggunakan sinar matahari maupun dengan proses pengeringan
dengan menggunakan oven.
g. Pengeringan
Proses pengeringan dilakukan dengan dua metode yaitu pengovenan dan
menggunakan sinar matahari. Pada pengeringan dengan menggunakan oven
membutuhkan waktu selama 24 jam dengan suhu 70oC sedangkan
pengeringan dengan sinar matahari membutuhkan waktu selama 4 hari, (6
jam/hari) mulai dari jam 10 sampai jam 3. Pengeringan yang menggunakan
suhu 70oC. Karena proses pengeringan dengan menggunakan suhu lebih
tinggi akan mengakibatkan bahan baku (kulit pisang) yang akan dikeringkan
menjadi browning.
h. Penggilingan dan pengayakan
Penggilingan berfungsi untuk mengecilkan ukuran partikel pada kulit pisang
yang sudah kering. Hal ini bisa dilakukan dengan menggunakan alat blender
maupun alu. Kemudian dilakukan proses pengayakan dengan menggunakan
ayakan 100 mesh.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 197
Adapun bagan alur proses pembuatan tepung kulit pisang dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Tepung Kulit Pisang
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Rendemen Tepung Kulit Pisang
Hasil pengamatan rendemen tepung kulit pisang dengan cara pengeringan
sinar matahari dan pengeringan pengovenan disajikan pada tabel 2a, dan analisis
ragamnya disajikan pada tabel 2b.
Sortasi
Pemotongan 1kg
0,5 cm-1cm
Perendaman
20 menit
Penirisan
Air,Natrium
benzoat 1 g
Air
Sinar matahari 3-4
hari atau 18 jam
18 jam
Oven
(T=700 C, 24jam)
Penggilingan
pengayakan
Tepung Kulit Pisang
Ampas
Kulit buah
pisang raja
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 198
Pengaruh dari perlakuan terhadap rendemen tepung kulit pisang dapat diuji
lebih lanjut dengan menggunakan uji BNT (α = 0,05), dimana diperoleh hasil
sebagaimana terlihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 2a. Hasil Uji Lanjut Rendemen Tepung Kulit Pisang
Perlakuan Rata-rata BNT α = 0,05
Oven 13.57a
1.80 Sinar matahari 11.08
b
Keterangan : angka-angka yang dikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata pada taraf uji BNT α=0,05
Pengeringan dengan oven berpengaruh nyata terhadap pengeringan dengan
sinar matahari yang mana F.Hitung lebih tinggi dari pada F.Tabel dan juga
pengeringan dengan oven teksturnya lebih renyah, kadar air lebih sedikit, digiling
menjadi lebih halus dan diayak ampas lebih sedikit sehingga rendemennya lebih
tinggi dari pengeringan sinar matahari.
Kadar air (%)
Hasil pengamatan Kadar air tepung kulit pisang dengan cara pengeringan
sinar matahari dan dengan cara pengeringan oven disajikan pada tabel 3a, dan
analisis ragamnya disajikan pada tabel 3b.
Pengaruh dari perlakuan terhadap rendemen tepung kulit pisang dapat diuji
lebih lanjut dengan menggunakan uji BNJ (α = 0,05), dimana diperoleh hasil
sebagaimana terlihat pada tabel sebagai berikut
Tabel 2b. Hasil Uji Lanjut Kadar Air Tepung Kulit Pisang
Perlakuan Rata-rata BNT α = 0,05
Oven 6.79 a
1.88 Sinar matahari 10.00
b
Keterangan : angka-angka yang dikuti huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata pada taraf uji BNT α=0,05
Rendemen Tepung Kulit Pisang
Pada berbagai pembuatan tepung, baik itu tepung dari gandum maupun
tepung dari kulit pisang seringkali ditambahkan bahan-bahan aditif yang bersifat
untuk meningkatkan mutu dan kualitas dari setiap tepung dan juga bersifat
mencegah terjadi browning pada setiap unsur bahan. ditambahkan pada
pembuatan tepung kulit pisang yaitu natriun benzoat untuk mencegah terjadinya
browning (Sudarmadji, 1984).
Berdasarkan hasil penelitian terhadap rendemen tepung kulit pisang
diperoleh data bahwa interaksi perlakuan proses pengeringan dengan oven dan
pengeringan dengan matahari memberikan pengaruh yang nyata . Perlakuan pada
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 199
pengeringan oven memliki rendemen rata-rata 13,57% sedangkan perlakuan pada
pengeringan sinar matahari lebih rendah dengang rendemen rata-rata 11,08%.
Dari data tersebut diatas pengeringan dengan oven lebih baik dari
pengeringan dengan sinar matahari, karena memiliki remdemen lebih tinggi.
Pengeringan dengan oven suhunya cenderung konstan sehingga tekstur bahan
menjadi lebih renyah, hal ini mentebabkan proses penggilingan lebih sempurna
dan ampas yang dihasilkan lebih sedikit.
Kadar Air
Berdasarkan penelitian pengukuran terhadap kadar air menunjukkan
bahwa semua interaksi perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap
kadar air pada tepung kulit pisang. Interaksi perlakuan yang terbaik atau yang
memberikan nilai kadar air terendah adalah perlakuan pengeringan dengan
menggunakan oven yaitu pada oven pertama (6%), pada oven kedua (8%),
sedangkan pada oven ketiga (6.38%). Sedangkan nilai kadar air yang dihasilkan
pengeringan dengan sinar matahari yaitu pada matahari pertama (10.50%), pada
matahari kedua (9.50%), pada matahari ketiga (10%) semuanya telah memenuhi
standar mutu tepung maksimal 13%. Pengeringan merupakan suatu metode untuk
menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara mengeluarkan air
tersebut dengan bantuan energi matahari atau panas lainnya. pengeringan
merupakan metode tertua untuk mengawetkan bahan pangan lainnya. Hal ini
terjadi karena pada keadaan kering, mikroba pembusuk tidak dapat tumbuh dan
enzim penyebab kerusakan kimia yang tidak dikehendaki tidak akan dapat
berfungsi secara normal tanpa adanya air (Earle,1982).
Pengeringan umbi-umbian sering dilakukan sebagai usaha pengawetan.
Metode pengeringan yang paling mudah dan murah adalah penjemuran. proses
penepungan ini akan menghasilkan bahan-bahan yang siap untuk diolah lebih
lanjut (Muchtadi & Sugiyono, 1992)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa perlakuan
pengeringan dengan oven memberikan hasil tepung yang terbaik. dengan
rendemen yang lebih tinggi yaitu 13,80% dan kadar air yang lebih rendah 6,79%
yang dimana standar mutu tepung maks 13%.
DAFTAR PUSTAKA
Ananingsih, K, 2007. Teknologi Pengolahan Pangan. Unika Soegijapranata.
Semarang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 200
Anonymous, 2005. Evaluasi Gizi Pada Pengolahan Bahan Pangan. Institut
Teknologi Bandung. Bandung
Apriyantono, dkk, 1998. Kadar Air pada Bahan Makanan. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Aryani A. dan Hernawati S, 2007. Kajian Sifat Fisik Dan Kimia Tepung Kulit
Pisang Hasil Pengeringan Oven Dan Jemur. Dikti. Jakarta
Earle, 1982. Dasar-Dasar Pengawasan Mutu Pangan. Liberty. Yogyakarta.
Hudaya, S, 2000. Pelatihan Teknologi Pengolahan Hasil Pertanian dan
Pengawetan Pangan. Unika Soegijapranata. Semarang.
Munadjim, 2007. Teknologi pengolahan kulit pisang. Masa Baru. Bandung.
Munadjim, 1992. Manfaat Bertanam Pisang. IPB Bogor.
Muchtadi dan Sugiyono, 1992. Pengaruh Cara Pengeringan Terhadap Mutu
Tepung Beberapa Varietas Pisang. Penelitian Hortikultura. Bandung.
Satuhu dan Ahmad Supriyadi,2004. Budidaya Pengolahan Pisang dan Prospek
Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Sudarmadji S, dkk, 1984. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian,
Liberty. Yogyakarta.
Suprapti, 2002. Produk-produk tepung kulit pisang. Kanisius. Yogyakarta.
Susanto dan Saneto, 1994. Berbagai Cara Pengawetan dalam Bahan Pangan.
Suara Rakyat. Semarang.
Widowati dan Damardjati, 2001. Teknik dalam Proses Pengawetan Bahan
Pangan. Puslitbang Hortikultura. Jakarta
Winarno, dkk 1980. Metode Pemisahan dan Pengeringan. Kasinius. Yogyakarta.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 201
Penerapan Sistem Agroforestri Dalam Mendukung Optimalisasi Pengelolaan
Usahatani Berkelanjutan
Sri Jumiyati
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Palu
No.HP. 0815 245 75404
Email: [email protected]
Abstrak
Sistem pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat diterapkan melalui
berbagai metode atau sistem seperti agroforestri, penanaman campuran, pengolahan
minimal, Low Input Sustainable Agriculture (LISA) dan pertanian organik dengan syarat
pemberian bahan organik dan masukan bahan kimia sintetis minimum. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pola penggunaan luas lahan, nilai penerimaan, biaya,
pendapatan penggunaan input produksi pada saat optimalisasi usahatani agroforestri
kakao dilaksanakan di Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi Moutong Provinsi
Sulawesi Tengah pada bulan Januari sampai dengan April 2014. Kesimpulan
menunjukkan bahwa pada saat optimalisasi penggunaan lahan yang optimum adalah
dengan menerapkan usahatani monokultur kakao 1 ha, Pohon nantu 2 ha,Pohon palapi 1
ha, agroforestri kakao dengan nantu 2 ha dan agroforestri kakao dengan palapi 1ha.
Penerimaan, biaya dan pendapatan optimum berasal dari usahatani agroforestri kakao
dengan nantu dengan peningkatan masing-masing sebesar 35,98%, 25% dan 46%.
Sedangkan penggunaan input produksi optimum terjadi pada saat petani
memaksimumkan penerimaan, kecuali penggunaan bibit yang masih dapat ditambahkan
karena ketersediaan lahan.
-------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci: sistem agroforestri, optimalisasi, usahatani berkelanjutan.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan berkelanjutan adalah kegiatan yang berupaya untuk
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumber-sumber alam, mengarah pada
investasi, berorientasi pada pengembangan teknologi tepat guna dan berdaya
guna. Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah suatu proses
pembangunan yang mengoptimalkan manfaat dari sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia dalam pembangunan (Loekman, 2012). Selanjutnya Luthfi
(2006) menyatakan bahwa pertanian berusaha mengelola ekosistem melalui usaha
pemupukan, penggunaan obat-obatan, irigasi, penggunaan bibit unggul dan
sebagainya untuk memaksimalkan produktivitas, sedangkan alam mengelola
ekosistem untuk memaksimalkan stabilitas lingkungan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 202
Menurut Soleh (2009), pertanian modern akan menghasilkan produksi
yang tinggi tetapi tidak menguntungkan petani dalam jangka panjang, karena akan
menyebabkan terjadinya erosi, tercemarnya air dan tanah. Karena itu, diperlukan
system pertanian terintegrasi yaitu pertanian berkelanjutan yang tidak tergantung
terhadap bahan-bahan kimia sintetis. Cara pertanian berkelanjutan akan
menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu lama serta tetap memelihara
kualitas lingkungan.
Pengelolaan lahan berkelanjutan menurut Winarso dalam Tati dkk (2012)
harus memperhatikan tiga aspek yaitu : a) aspek bio fisik dengan memelihara dan
meningkatkan kondisi fisik dan biologi tanah untuk produksi tanaman dan
keragaman hayati (biodiversity), b) aspek sosial budaya yang harus cocok atau
sesuai dengan kebutuhan manusia baik secara sosial dan budaya pada tingkatan
nasional dan regional, c) aspek ekonomi yang mencakup kegiatan pengelolaan
lahan untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Berdasarkan ketiga
aspek tersebut penerapan pertanian berkelanjutan untuk mendapatkan hasil yang
tinggi dalam jangka waktu yang lama dengan tetap memelihara kualitas
lingkungan adalah dengan memperhatikan pengelolaan unsur hara tanah, rotasi
tanaman, karakteristik ekologi dan agronomi sistem penanaman inovatif serta
model integrasi antara pertanian dan peternakan dan/atau perikanan.
Sistem pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat diterapkan
melalui berbagai metode atau sistem seperti agroforestri, penanaman campuran,
pengolahan minimal, Low Input Sustainable Agriculture (LISA) dan pertanian
organik dengan syarat pemberian bahan organik dan masukan bahan kimia sintetis
minimum.
Agroforestri sebagai suatu bentuk sistem pertanian berkelanjutan dan
ramah lingkungan dikembangkan untuk selain untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat juga diharapkan dapat memecahkan berbagai masalah pengembangan
pedesaan. Agroforestri diharapkan dapat membantu mengoptimalkan hasil suatu
bentuk penggunaan lahan secara berkelanjutan yang dapat meminimalisir
terjadinya penurunan produksi dari waktu ke waktu dan pencemaran lingkungan.
Kondisi tersebut merupakan refleksi dari adanya konservasi sumberdaya alam
yang optimal (Fidi, 2009).
Menurut King dan Chandler dalam Usman Rianse dan Abdi (2010),
agroforestri adalah sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu
meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan, merupakan kombinasi produksi
tanaman pertanian termasuk tanaman tahunan dengan tanaman hutan dan/atau
hewan (ternak), baik secara bersama atau bergiliran, dilaksanakan pada satu
bidang lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis yang sesuai dengan
budaya masyarakat setempat. Abubakar (2004) menambahkan bahwa agar
agroforestri lebih menguntungkan daripada sistem pemanfaatan lahan non
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 203
agroforestri, maka harus ada interaksi-interaksi menguntungkan secara ekonomi
maupun biologi di antara komponen-komponen individualnya. Interaksi-interaksi
tersebut dapat dirasakan baik secara langsung ataupun setelah beberapa waktu.
Pada kenyataannya, interaksi-interaksi jangka panjang yang menguntungkan
secara biologi dan ekonomi yang disebut sebagai kelestarian.
Kabupaten Parigi Moutong sebagai salah satu wilayah yang menjadi sentra
produksi kakao (Theobroma Cacao) di Sulawesi Tengah sejak tahun 1990 bahkan
pada saat terjadinya krisis ekonomi di Indonesia tahun 1998, para petani kakao
justru mendapat benefit yang luar biasa sehingga para petani kakao tidak
merasakan dampak serius dari resesi ekonomi tersebut. Seiring berjalannya waktu,
popularitas komoditi kakao kian meredup disebabkan terjadinya penurunan
produksi dan produktivitas tanaman, yang disebabkan oleh: a) tingkat serangan
hama dan penyakit yang tinggi, b) usia tanaman, c) pola budidaya yang masih
tradisional, d) krisis hara tanah, e) perubahan iklim global dan f) fluktuasi harga
kakao. Hasil panen yang terus menurun serta harga jual yang tidak stabil,
sementara biaya produksi kian tinggi menghasilkan margin yang relatif sangat
kecil. Hal ini mengakibatkan berkurangnya animo masyarakat untuk
membudidayakan tanaman kakao.
Pemerintah khususnya pemerintah Kabupaten Parigi Moutong bersama-
sama dengan petani diharapkan dapat mencari solusi dalam mengantisipasi
kondisi ini. Walaupun saat ini terdapat Program Gernas Pro Kakao namun
jumlahnya baru mencapai 16,88% dari total kebun kakao rakyat yang ada di
Kabupaten Parigi Moutong (Anonim, 2014).
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka diharapkan sistem
agroforestri dapat memberikan solusi jangka panjang dan berkelanjutan
berdasarkan keunggulan agroforestri dibandingkan sistem penggunaan lahan
lainnya, yaitu dalam hal produktivitas, diversitas, kemandirian dan stabilitas.
B. Tujuan
Penelitian dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:
1. Menganalisis pola penggunaan luas lahan, nilai penerimaan, biaya dan
pendapatan pada saat optimalisasi usahatani agroforestri kakao di Kabupaten
Parigi Moutong.
2. Menganalisis penggunaan input produksi pada saat optimalisasi usahatani
agroforestri kakao di Kabupaten Parigi Moutong.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Balinggi Kabupaten Parigi
Moutong Provinsi Sulawesi Tengah. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja
(purposive) dengan pertimbangan bahwa usahatani agroforestri di Kecamatan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 204
Balinggi telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi petani kakao baik
secara ekonomis maupun ekologis. Penelitian dilakukan pada bulan Januari
sampai dengan April 2014.
B. Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara purposive dengan mengambil
sampel petani sebanyak 6 orang yang memiliki luas lahan rata-rata 7 ha yang
dialokasikan ke dalam simulasi pengelolaan usahatani agroforestri di Kabupaten
Parigi Moutong.
C. Pengambilan Data
Jenis data penelitian yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder, sebagai berikut:
1. Data primer, yang dihasilkan dari penelitian dan wawancara langsung dengan
petani objek penelitian meliputi pelaksanaan pengelolaan lahan, Input sarana
produksi meliputi bibit, pupuk, insektisida dan tenaga kerja serta besarnya
produksi, harga, penerimaan dan biaya usahatani.
2. Data sekunder yaitu data atau informasi yang telah disajikan dalam bentuk
tulisan atau dokumentasi berupa data statistik maupun hasil penelitian yang
diperoleh dari dinas/instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian.
D. Analisis Data
Untuk mencapai tujuan dari penelitian ini maka model analisis yang akan
digunakan adalah :
1. Analisis Linear Programming
Optimalisasi usahatani agroforestri kakao di Kecamatan Balinggi
Kabupaten Parigi Moutong dilakukan secara kuantitatif dengan formulasi model
Linear Programming yang dirumuskan sebagai berikut :
a. Memaksimumkan fungsi tujuan (penerimaan) Max
= Variabel Keputusan (optimum penerimaan) nilai produksi usahatani
agroforestri kakao.
= Parameter fungsi tujuan (pendapatan usahatani agroforestri kakao)
Dengan fungsi kendala
= parameter fungsi kendala o untuk variabel keputusan e
= kapasitas kendala o
Model yang digunakan untuk mendapatkan tingkat pendapatan yang
optimum adalah dengan model program linier. Adapun langkah- langkah dalam
menggunakan program linier, sebagai berikut:
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 205
1. Menentukan Variabel Keputusan
Variabel keputusan menunjukkan jumlah penerimaan usahatani agroforestri kakao
yang sebaiknya dihasilkan oleh petani agar mencapai kondisi optimum, sehingga
dalam penyusunan model program linier dapat terbentuk beberapa variabel
keputusan
2. Menentukan Fungsi Kendala
Pengelolaan usahatani menghadapi berbagai kendala untuk mewujudkan tujuan
(pendapatan optimum). Dalam usahatani ada berbagai fungsi kendala yang
nantinya menjadi syarat untuk mendapatkan pendapatan optimum seperti luas
lahan, benih/bibit, pupuk, pestisida, dan tenaga kerja untuk pengolahan tanah,
penanaman, penyiangan, pemupukan, pemberantasan hama penyakit, dan panen.
Penerapan program linier pada penelitian ini dilakukan dengan
mengformulasi model program linier yang dirumuskan sebagai berikut:
Memaksimumkan dan meminumkan fungsi tujuan (pendapatan)
Max , untuk i adalah kelompok jenis usahatani hutan
rakyat
Fungsi kendala
- Luas Lahan
- Bibit/benih
- Pembuatan Lubang
- Penanaman
- Pupuk Kandang
- Insektisida
- Pemeliharaan
- Pupuk
- Penjarangan
- Pemanenan
3. Menentukan Fungsi Tujuan
Tujuan utama dari optimalisasi yang dilakukan oleh petani usahatani
agroforestri kakao adalah untuk memaksimumkan penerimaan. Asumsi-asumsi
dasar dalam program linier (linear programming)adalah sebagai berikut:
a. Proportionality, asumsi ini berarti bahwa naik turunnya nilai tujuan (Z) dan
penggunaan sumberdaya atau fasilitas yang tersedia akan berubah secara
sebanding (proportional) dengan perubahan tingkat kegiatan.
b. Additivity, asumsi ini berarti bahwa nilai tujuan tiap kegiatan tidak saling
mempengaruhi, atau dalam linear programming dianggap bahwa kenaikan
dari nilai tujuan (Z) yang diakibatkan oleh kenaikan suatu kegiatan dapat
ditambahkan tanpa mempengaruhi bagian nilai (Z) yang diperoleh dari
kegiatan lain.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 206
c. Divisibility, asumsi ini berarti bahwa keluaran (output) yang dihasilkan oleh
setiap kegiatan dapat berupa bilangan pecahan, demikian pula dengan nilai
(Z) yang dihasilkan.
d. Deterministik, asumsi ini berarti bahwa nilai parameter suatu kriteria
optimalisasisi (koefesien peubah pengambilan keputusan dalam fungsi tujuan)
merupakan jumlah dari nilai individu-individu Ce dalam model linear
programming tersebut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Model optimalisasi usahatani agroforestri kakao yang direkomendasikan
melalui hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Luas Lahan Optimum Pada Saat Optimalisasi
Pemanfaatan luas lahan yang optimum untuk mendapatkan pendapatan
optimum merupakan proses kompleks dan melibatkan berbagai input produksi.
Perbandingan luas lahan pada saat optimalisasi dengan tujuan memaksimumkan
penerimaan, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Perbandingan Luas Lahan Pada Saat Optimalisasi
Gambar 1 menunjukkan bahwa keputusan optimalisasi usahatani
berdasarkan luas lahan dengan tujuan memaksimumkan penerimaan, maka
pemanfaatan luas lahan 7 ha yang optimum dapat dilakukan dengan mengurangi
luas lahan pada usahatani monokultur nantu dari 2,5 ha menjadi 2 ha sedangkan
luas lahan pada usahatani agroforestri kakao dengan nantu ditambahkan dari 1,5
ha menjadi 2 ha. Keputusan tersebut diambil berdasarkan pemikiran bahwa
dengan input produksi yang tersedia dan pemeliharaan yang dilakukan oleh petani
maka luas lahan pada usahatani agroforestri kakao dengan nantu belum optimum.
Sebaliknya pada usahatani monokultur nantu tidak akan memberikan pendapatan
yang optimum karena penggunaan input produksi dan pemeliharaan tidak
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 207
seimbang dengan luas lahan yang dikelola. Petani kakao tidak memberikan
pemupukan sesuai dengan kebutuhan tanaman karena besarnya biaya pemupukan
yang harus dikeluarkan oleh petani.
Berbeda dengan luas lahan pada usahatani agroforestri kakao dengan
palapi yang semula seluas 1,5 ha menjadi 1 ha, sebaliknya pada pola tanam
monokultur palapi ditambahkan luas lahannya dari 0,5 ha menjadi 1 ha. Pola
monokultur kakao sebagai pembanding telah diusahakan oleh petani pada luas
lahan yang optimum karena memberikan pendapatan yang optimum sesuai dengan
input produksi yang diberikan. Dengan demikian untuk rekomendasi luas lahan
optimal pada saat optimalisasi usahatani agroforestri dengan tujuan
memaksimumkan penerimaan pada lahan seluas 7 ha adalah dengan menerapkan
sistem monokultur nantu 2 ha, palapi 1 ha, kakao 1 ha, sistem agroforestri kakao
dengan nantu 2 ha dan agroforestri kakao dengan palapi 1 ha.
2. Penerimaan Optimum Pada Saat Optimalisasi
Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan, petani berupaya untuk
meningkatkan produktivitas usahatani dengan memanfaatkan modal dan teknologi
yang tepat, lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Perbandingan Penerimaan Pada Saat Optimalisasi
Gambar 2 menunjukkan bahwa penerimaan optimum pada saat
optimalisasi usahatani dengan tujuan memaksimumkan penerimaan, pada luas
lahan 7 ha dapat dicapai dengan meningkatkan penerimaan dari usahatani
agroforestri kakao dengan nantu. Hal ini dikarenakan usahatani agroforestri kakao
dengan nantu selain memberikan tambahan penerimaan karena hasil produksi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 208
berasal dari dua jenis tanaman juga mengurangi biaya produksi karena dapat
mengefisienkan alokasi input produksi.
Penerimaan awal petani adalah sebesar Rp.1.809.860.000, namun setelah
dilakukan optimalisasi usahatani maka penerimaan naik sebesar Rp.7.500.000
menjadi Rp.1.817.360.000. Dengan demikian untuk rekomendasi penerimaan
optimum pada saat optimalisasi usahatani pada lahan seluas 7 ha adalah dengan
mengoptimalkan penerimaan dari usahatani agroforestri kakao dengan nantu
dengan penerimaan optimum sebesar Rp.653.800.000 (35,98%).
3. Biaya Optimum pada Saat Optimalisasi
Biaya produksi pengelolaan usahatani merupakan biaya input produksi
bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja yang di keluarkan petani. Perbandingan
biaya pada saat optimalisasi usahatani agroforestri kakao dengan tujuan
memaksimumkan penerimaan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Perbandingan Biaya Pada Saat Optimalisasi
Biaya optimum pada saat optimalisasi usahatani dengan tujuan
memaksimumkan penerimaan, pada luas lahan 7 ha dapat dicapai dengan
meningkatkan biaya produksi dari usahatani agroforestri kakao dengan nantu.
Sebaliknya dengan menurunkan biaya pada usahatani monokultur nantu. Hal ini
dilakukan karena usahatani agroforestri kakao dengan nantu lebih menguntungkan
dibandingkan dengan usahatani monokultur kakao maupun nantu. Selain
memberikan tambahan penerimaan karena berasal dari dua jenis tanaman juga
mengurangi biaya produksi karena dapat mengefisienkan alokasi input produksi.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 209
Dengan demikian untuk rekomendasi biaya optimum pada saat
optimalisasi usahatani dengan tujuan memaksimumkan penerimaan pada lahan
seluas 7 ha adalah dengan meningkatkan biaya produksi pada usahatani
agroforestri kakao dengan nantu dari biaya awal sebesar Rp.137.535.000 menjadi
Rp.183.380.000 naik sebesar Rp.163.450.000 atau sebesar 25% dari total biaya
optimum usahatani.
4. Pendapatan Optimum pada Saat Optimalisasi
Perbandingan biaya pada saat dilakukan optimalisasi usahatani dengan
tujuan memaksimumkan penerimaan, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada
gambar 17.
Gambar 4. Perbandingan Pendapatan Pada Saat Optimalisasi
Pendapatan optimum pada saat optimalisasi usahatani dengan tujuan
memaksimumkan penerimaan, pada luas lahan 7 ha dapat dicapai dengan
meningkatkan pendapatan usahatani dari pendapatan awal sebesar
Rp.1.341.420.000 menjadi Rp.1.348.920.000. Pendapatan usahatani naik sebesar
Rp. 7.500.000. Kontribusi dari pendapatan usahatani agroforestri adalah sebesar
Rp.630.430.000 atau sebesar 46% dari keseluruhan pendapatan optimum. Hal ini
menunjukkan bahwa usahatani agroforestri mempunyai prospek bagi peningkatan
pendapatan petani dibandingkan dengan usahatani monokultur.
5. Penggunaan Input Produksi pada Optimalisasi
Input produksi yang digunakan oleh petani akan mempengaruhi
pendapatan optimum petani. Petani yang bertujuan mengoptimalkan usahatani
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 210
akan berusaha memaksimumkan penerimaan dengan penggunaan input produksi
untuk peningkatan output (hasil). Penggunaan input produksi pada saat
optimalisasi usahatani dengan tujuan memaksimumkan penerimaan, lebih jelasnya
pada Tabel 5.
Tabel 5. Penggunaan Input Produksi pada Saat Optimalisasi
No
Input produksi
Sisa persediaan
(satuan)
Kenaikan pendapatan
(Rp)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Luas Lahan
Bibit
Bibit Kakao
Pembuatan lubang
Penanaman
Pupuk kandang
Insektisida
Tenaga pemeliharaan
Pupuk NPK
Pupuk Urea
Pupuk KCl
Pupuk TSP
Penebangan
Pemanenan kakao
Pemanenan
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
52.800
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Pada saat optimalsasi usahatani dengan tujuan memaksimumkan
penerimaan, untuk lahan seluas 7 ha dengan penggunaan input produksi yang
telah dilakukan petani di lokasi penelitian menunjukkan bahwa pada saat petani
mencapai pendapatan optimum semua input produksi habis termanfaatkan.
Namun penggunaan input produksi bibit masih dapat ditambahkan karena setiap
penambahan 1 batang bibit pohon akan menyebabkan kenaikan pendapatan
optimum sebesar Rp.52.800. Penggunaan input produksi habis termanfaatkan
ditunjukkan dengan nilai sisa persediaan = 0. Dengan demikian tidak diperlukan
penambahan input produksi karena tidak akan menyebabkan terjadinya
peningkatan pendapatan, sebaliknya jika terjadi penambahan akan menjadi sisa
input yang akan mengurangi penerimaan petani karena merupakan biaya produksi.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Pada saat optimalisasi penggunaan lahan yang optimum adalah dengan
menerapkan usahatani monokultur kakao 1 ha, nantu 2 ha, palapi 1 ha,
agroforestri kakao dengan nantu 2 ha dan agroforestri kakao dengan palapi 1ha.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 211
2. Pada saat optimalisasi penerimaan, biaya dan pendapatan optimum berasal dari
usahatani agroforestri kakao dengan nantu dengan peningkatan masing-masing
sebesar 35,98%, 25% dan 46%.
3. Pada saat optimalisasi penggunaan input produksi optimum terjadi pada saat
petani memaksimumkan penerimaan, kecuali penggunaan bibit yang masih
dapat ditambahkan karena ketersediaan lahan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. Kakao: Primadona Parigi Moutong yang Kian Meredup. Diakses pada
tanggal 17 Oktober 1968.
Abubakar M.L. 2003. Pendekatan Pengusahaan Hutan dengan Sistem
Agroforestri. Universitas Mulawarman, Samarinda.
Fidi M. 2009. Sistem Agroforestri dan Aplikasinya. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Loekman S. 2012. Paradigma Baru Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan
Sosiologis. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Luthfi F. 2006. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan. Fakultas
Pertanian Unlam, Banjarbaru.
Soleh S. 2009. Pembangunan Pertanian. Awal Era Reformasi. PT.PP. Mardi
Mulyo, Jakarta.
Tati N dkk. 2012. Pengantar Ilmu Pertanian. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Usman R dan Abdi, 2010. Agroforestri. Solusi Sosial Ekonomi Pengelolaan
Sumberdaya Hutan. Penerbit Alfabeta, Bandung
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 212
Pembesaran Udang Windu (Penaeus monodon) dengan Penerapan Sistem Modular
dan Biosekuriti di Desa Tindaki Kabupaten Parigi Moutong
Mawar
Dosen Fakultas Perikanan Universitas Alkhairaat Palu
CP: 085244805805, email: [email protected]
Abstrak
Udang windu (Penaeus monodon) dipilih sebagai andalan utama penghasil devisa oleh
negara Indonesia di bidang perikanan tentu sangat beralasan. Alasan pertama,
Indonesia memiliki luas lahan budidaya yang potensial untuk udang, yakni mencapai
866.550 hektar. Penelitian dilaksanakan Di Desa Tindaki Kec. Parigi Selatan Kab.
Parigi Moutong yang dimulai bulan Januari 2012 - Juni 2013. Tujuan penelitian untuk
mengetahui kelayakan pembesaran udang windu (Penaeus monodon) dengan penerapan
metode modular dan biosekuriti baik secara teknis maupun ekonomis. Diharapkan dapat
menjadi bahan informasi bagi pembudidaya tambak udang windu. Analisis deskriptif
kuantitatif merupakan analisis dengan cara menghitung menggunakan rumus. Rumus
yang digunakan dalam analisa deskriptif kuantitatif untuk menghitung kelayakan yaitu
Benefit Cost Ratio (BCR), Pay Back Periode (PP), dan Break Event Point (BEP). Hasil
penelitian terdiri dari persiapan tambak yaitu; perbaikan konstruksi tambak,
pembuangan lumpur, pengeringan, pembalikan tanah, pengapuran, pemupukan,
pengisian air, dan pemilihan serta penebaran benur. Pembesaran udang windu melalui
penerapan sistem modular dan biosekuriti ditinjau dari segi teknis memenuhi syarat
indikator penilaian hasil panen, dari segi ekonomis hasil panen dengan penerapan sistem
modular dan biosekuriti satu siklus mencapai 530 kg dan hasil penjualan udang sejumlah
Rp. 39.345.000,-/siklus produksi. Benefit Cost Ratio (BCR) sebesar 2,31, dan Pay Back
Periode 0,71 tahun, Break Event Point (BEP) yaitu 13.316.433,5 BEP dalam Rupiah,
204,8 BEP dalam kg untuk ukuran udang size 30 ekor/kg dengan harga Rp. 65.000,- dan
175,1 BEP dalam kg untuk udang size 28 ekor/kg harga jual Rp. 76.000,-.
------------------------------------------------
Kata Kunci : Kelayakan, Pembesaran, Udang Windu, Sistem Modular, Biosekuriti
PENDAHULUAN
Udang windu (Penaeus monodon) dipilih sebagai andalan utama penghasil
devisa oleh negara Indonesia di bidang perikanan tentu sangat beralasan. Alasan
pertama, Indonesia memiliki luas lahan budidaya yang potensial untuk udang,
yakni mencapai 866.550 hektar. Alasan kedua, secara umum Indonesia memiliki
peluang yang sangat baik untuk memposisikan diri sebagai salah satu produsen
dan eksportir utama produksi perikanan, terutama udang. Kenyataan ini bertitik
tolak dari besarnya permintaan produk udang, baik di pasar domestik maupun
pasar ekspor (Amri, 2006).
Menurut Rachmatun dan Takarin (2009), pembesaran udang windu
secara intensifikasi sebagai upaya peningkatan hasil dengan menambah input
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 213
produksi tanpa adanya perluasan lahan. Intensifikasi adalah peningkatan hasil
produksi dengan memaksimalkan daya dukung lahan atau lingkungan, dapat
diperbesar sampai pada tahap tertentu, bukan tanpa batas. Usaha pembesaran
udang windu di Indonesia pernah mencapai hasil yang sangat memuaskan,
sehingga Indonesia menjadi salah satu produsen udang terbesar di dunia yang
pada tahun 1994 mampu mencapai angka produksi 160.000 ton/tahun. Ternyata
masa kejayaan udang windu terhenti setelah adanya serangan penyakit virus yang
menginfeksi udang di tambak dan bahkan mencemari induk udang di laut.
Keberhasilan produksi udang pada masa lalu, ternyata tidak menyisahkan
prosedur baku yang dapat diterapkan untuk mengulangi keberhasilan tersebut di
masa kini.
Pemecahan masalah pembesaran udang windu di tambak saat ini memang
sudah muncul. Pemecahan masalahnya yaitu adanya suatu kesadaran terhadap
pembesaran udang di tambak yang memperhatikan keseimbangan lingkungan,
sistem manajemen budidaya terpadu seperti penerapan biosekuriti yaitu dengan
melakukan strategi dalam manajemen pembesaran udang windu dengan
melakukan serangkaian langkah – langkah terpadu untuk mencegah masuknya
berbagai penyebab penyakit (virus, bakteri dan jamur), pengelolaan tanah dasar
tambak, pengelolaan kualitas air, penggunaan benih unggul, dan kesehatan hewan
akuatik atau dengan penerapan sistem modular yang lebih ramah lingkungan
(Rachmatun dan Takarina (2009). Desa Tindaki merupakan desa yang terdapat di
daerah pesisir Teluk Tomini dan berada di wilayah Kabupaten Parigi Moutong
Propinsi Sulawesi Tengah. Desa Tindaki memiliki potensi budidaya tambak
udang/ikan yang masih bersifat ekstensif. dengan menggunakan sistem modular.
Penerapan biosekuriti merupakan hal penting dilakukan untuk mencegah
masuknya berbagai penyakit (virus, bakteri, dan jamur) di lokasi pembudidayaan
tambak udang/ikan. Selain penerapan biosekuriti juga harus memperhatikan
kelestarian lingkungan dan daya dukung lahan budidaya, sehingga dapat
melakukan budidaya udang/ikan secara berkelanjutan.
Diharapkan dapat menjadi bahan informasi bagi pembudidaya tambak
udang windu.
MATERI DAN METODE
Materi
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tindaki Kecamatan Parigi Selatan
Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah, mulai bulan Januari sampai
Juni 2013.
Alat dan bahan yang digunakan untuk menunjang data penelitian dapat
dilihat pada Tabel 01.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 214
Tabel 01. Alat dan Bahan Penelitian
No. Alat dan Bahan Jumlah Keterangan
1. Refraktometer 1 buah Mengukur Salinitas
2. Termometer 1 buah Mengukur Suhu
3. pH Meter 1 buah Mengukur pH Air
4. D.O Meter 1 buah Mengukur Oksigen terlarut
5. Secchi disc 1 buah Mengukur kecerahan
6. Soil Tester 1 buah Mengukur pH Tanah
7. Timbangan 2 buah Menimbang Udang dan Saprotan
8. Jala 1 unit Untuk Sampling Udang
9. Kamera 1 buah Dokumentasi
10. Alat Tulis 1 buah Mencatat Data Di Lokasi
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat eksperimen pada pembesaran udang windu
(Penaeus monodon) dengan Penerapan Sistem Modular dan Biosekuriti di Desa
Tindaki Kecamatan Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data selama penelitian meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer yakni data yang diperoleh dari hasil percobaan pada
tambak milik salah satu masyarakat berupa pengukuran parameter kualitas air,
parameter tanah dasar tambak, laju pertumbuhan udang dengan penerapan sistem
modular dan biosekuriti, dan untuk mengetahui tingkat kelayakan secara ekonomi
berdasarkan perhitungan produksi yang diperoleh pada saat panen dengan harga
yang berlaku pada saat penelitian. Sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh dari instansi pemerintah Desa Tindaki Kecamatan Parigi Selatan
Kabupaten Parigi Moutong dan Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi Sulawesi
Tengah.
Metode Analisa Data
Data yang dikumpulkan diolah melalui seleksi dan klasifikasi, data yang
telah diolah tersebut disajikan dalam bentuk tabel dan uraian. Untuk mengetahui
kelayakan usaha pembesaran udang windu dengan penerapan sistem modular dan
biosekuriti menggunakan formulasi rumus yaitu:
1. Analisis Benefit Cost Rasio (B/C Rasio)
2. Analisis Pay Back Period (PP)
3. Analisis Break Event Poin (BEP)
1. Benefit Cost Rasio menurut Rahardi (1993).
Total Pendapatan
B/C Rasio = ------------------------------
Total Biaya
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 215
Keterangan :
Total Pendapatan = Penerimaan yang merupakan perkalian antara besarnya
Produksi (Kg) dan harga (Rp).
Total Biaya = Biaya tunai atau yang dikeluarkan baik biaya tetap maupun
biaya tidak tetap
2. Menghitung pengembalian investasi digunakan rumus Pay Back Period (PP)
menurut Riyanto (1992).
Investasi
PP = ------------------------
Arus Kas
Keterangan :
Investasi = Modal awal suatu usaha
Arus Kas = Laba + Penyusustan
3. Untuk menghitung biaya dan penjualan yang menghasilkan pulang pokok
(titik impas) rumus Break Event Poin (BEP) menurut Samsudin (1992).
Fixed Cost (FC)
BEP = -------------------------------------------
Variabel Cost (VC)
1- -----------------------------------
Penjualan (S)
Keterangan :
FC = Biaya tetap
VC = Biaya tidak tetap
S = Penjualan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Tindaki merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan
Parigi Selatan Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah. Wilayah
Desa Tindaki memiliki Luas wilayah 3.300 Ha yang membentang dari Utara
hingga bagian Selatan dengan kondisi geografi berbukit dan dataran hingga ke
pesisir pantai teluk Tomini. Desa Tindaki memiliki batas – batas wilayah sebagai
berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan wilayah Desa Nambaru
- Sebelah Selatan berbatasan dengan wilayah Desa Tanah Lanto
- Sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Tomini
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 216
- Sebelah Barat berbatasan dengan wilayah Desa Nambaru
Desa Tindaki terletak sekitar 7 km dari Ibukota Kecamatan Parigi Selatan dan 18
km dari Ibukota Kabupaten Parigi Moutong. Desa Tindaki merupakan daerah
yang memiliki wilayah persawahan yang cukup luas dan memiliki perbukitan
yang menjadi lahan kebun coklat, untuk wilayah dekat pesisir pantai merupakan
lahan kebun kelapa serta dimanfaatkan sebagai lahan tambak udang dan ikan.
Persiapan Tambak
Perbaikan Konstruksi Tambak
Dalam persiapan penebaran terlebih dahulu dilakukan perbaikan
konstruksi tambak, hal ini dilakukan sebagai awal kegiatan sebelum tambak siap
untuk di gunakan. Beberapa bagian tambak yang dianggap kurang sempurna
dibenahi seperti tanggul (pematang), pintu air, saringan pintu air, dan caren.
Bagian tambak yang sering mendapat perhatian besar yaitu Tanggul (pematang)
karena sebagai penahan air. Kondisi tanggul (pematang) sering terjadi kebocoran
disebabkan oleh tekstur tanah yang memiliki tekstur liat berpasir, pembuatan
tanggul (pematang) yang berongga, adanya tumpukan ranting kayu bakau saat
pembuatan tanggul (pematang), dan juga sebagai akibat kepiting.
Pembuangan Lumpur
Pembuangan lumpur, dilakukan untuk membuang lapisan permukaan
tanah yang mengandung timbunan sisa – sisa pakan yang sudah membusuk dan
bahan organik lain yang terakumulasi di dasar tambak. Pembuangan lumpur
tersebut juga untuk menghindari timbulnya gas- gas beracun akibat banyak sisa
pakan dan bahan organik yang tidak terurai dengan sempurna oleh jasad renik.
Pada pembuangan lumpur ini diharapkan dapat mengurangi sisa bahan organik,
sehingga sisa bahan organik yang masih ada dapat seimbang dengan kemampuan
bakteri pengurai yang ada di dasar tambak. Kegiatan pembuangan lumpur ini,
membutuhkan waktu 2 hingga 3 hari untuk luas tambak 0,3 Ha dan dikerjakan
oleh 5 orang pekerja
Pengeringan Tanah Dasar Tambak
Tujuan dari pengeringan tambak ini adalah untuk menyempurnakan
perombakan bahan organik di dasar tambak, dengan proses pengudaraan yang
cukup akan mempercepat proses oksidasi bahan organik tersebut. Selain itu
pengeringan tanah dasar tambak juga bertujuan menghilangkan gas – gas beracun
yang terdapat di dasar tambak juga diharapkan dapat membasmi ikan – ikan liar.
Selanjutnya dilakukan penjemuran dasar tambah hingga mengandung air sekitar
20% atau sudah tampak retak-retak serta terjadi perubahan warna tanah.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 217
Pembalikan Tanah Dasar Tambak
Setelah penjemuran tanah dasar tambak, maka selanjutnya dilakukan
pembalikan tanah dasar. Pembalikan tanah dasar tambak mempunyai tujuan
untuk menyempurnakan pengeringan tanah dasar tambak. Selain itu pembalikan
tanah dasar tambak akan menyempurnakan pengudaraan tanah dasar tambak,
sehingga bahan – bahan organik yang terdapat di lapisan bawah akan teroksidasi
lebih sempurna. Pembalikan tanah dasar tambak dapat dilakukan dengan
menggunakan traktor tangan.
Pengapuran Tanah Dasar Tambak
Pengapuran tanah dasar tambak dilakukan setelah pengeringan dan
pembalikan tanah dasar tambak. Pengapuran dilakukan berdasarkan derajat
keasaman (pH) tanah tambak tersebut, dalam artian dilakukan pengapuran
berdasarkan hasil pengukuran pH tanah dengan menggunakan alat Soil Tester,
dari hasil pengukuran tersebut dapat di tentukan jumlah dan jenis kapur yang akan
digunakan. Untuk pH tanah di lokasi penelitian, berdasarkan hasil pengukuran
dengan alat Soil Tester yaitu rata – rata 6,2. Tujuan dari pengapuran tanah dasar
tambak yaitu untuk meningkatkan pH tanah atau menetralkan pH tanah dasar
tambak.
Kegiatan pengapuran tanah dasar tambak ini dilakukan atau dikerjakan
oleh 1 orang pekerja dan membutuhkan waktu 1 hari. Untuk lebih jelasnya
kebutuhan dan jenis kapur yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 01 berikut :
Tabel 02. Dosis dan Jenis Kapur.
pH Tanah CaCO3
Kapur Pertanian
Ca (OH)2
Kapur
Tohor/Gamping
CaMgCO3
Kapur Dolomit
6,2 330 Kg 250 Kg 300 Kg
Data : Hasil Penelitian 2013.
Pemupukan Tanah Dasar Tambak
Kegiatan pemupukan yang diakukan pada tanah dasar tambak, sangat perlu
dilakukan untuk menambah kesuburan lahan tambak. Pupuk yang digunakan
yaitu pupuk urea dan SP 36. Adapun perbandingan penggunaan pupuk yaitu 3:1
dimana pupuk urea 50 kg dan pupuk SP 36 15 kg untuk 0,3 Ha tambak.
Pengisian Air Tambak
Menjamin kebersihan dari air yang akan masuk ke dalam petakan
pembesaran, sebaiknya menggunakan saringan di pintu masuk air dengan waring.
Manfaat dari pemakaian waring ukuran 0,5 mm, selain untuk mencegah masuknya
kotoran juga mencegah masuknya berbagai jenis ikan liar yang dapat menjadi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 218
hama dan pemangsa benur udang yang masih relatif kecil dan mudah untuk
dimangsa.
Volume air yang akan diisi di petakan tambak diukur menggunakan papan
pengukur skala air yang berguna mengukur ketinggian air, sehingga dengan
mudah mengetahui volume air yang diinginkan yaitu sekitar 80 cm diukur dari
pelataran tanah dasar tambak.
Memenuhi volume air yang diinginkan, biasanya digunakan pompa air, hal
ini dilakukan apabila sudah tidak mampu lagi masuk lewat pintu air dengan
mengandalkan air pasang.
Memilih Dan Penebaran Benur
Memilih Benur Windu
Kualitas benur sangat memegang peranan penting dalam keberhasilan
usaha pembesaran udang di tambak. Kualitas benur dapat dilihat pengaruhnya
pada saat masa pemeliharaan berlangsung hingga tiba saatnya panen. Adapun
benur yang digunakan yakni dari Balai Benih Ikan pantai (BBIP) Kampal.
Memilih benur yang baik dan berkualitas dapat dilakukan dengan
menggunakan cara pengamatan visual. Selanjutnya dilakukan pemilihan benur
dengan menggunakan penilaian terhadap beberapa kriteria yang meliputi :
- Warna benur hitam cerah atau transparan
- Tubuh benur bersih atau tidak kusam
- Aktif pergerakannya atau keaktifan benur yang sehat melawan arus air
- Benur memiliki ukuran seragam atau bertingkat dua ukurannya
- Ukuran benur min 1,3 cm dan telah terbuka ekornya atau benur telah berumur
PL 15.
Sumber: Dokumentasi Hasil Penelitian, 2013
Gambar 01 Pengamatan Benur Windu Secara Visua
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 219
Penebaran Benur Windu
Bila air tambak telah siap dari segi volume air maupun dari pertumbuhan
plankton di tambak yaitu telah memiliki kecerahan air paling kurang 40 – 45 cm,
maka tambak dianggap telah memenuhi syarat untuk penebaran benur. Pada saat
akan melakukan penebaran benur windu, terlebih dahulu harus memeriksa atau
mengukur parameter airnya. Parameter air yang diperiksa meliputi suhu, salinitas
dan pH air, hal ini sangat perlu untuk dilakukan karena merupakan awal dari
menuju keberhasilan pemeliharaan.
Pada prinsipnya penebaran benur harus menghindari benur jangan sampai
stres akibat adanya perbedaan antara air di tambak dengan air yang ada di dalam
kantong benur. Sebelum dilakukan penebaran benur sebaiknya dilakukan
aklimatisasi salinitas air tambak.
a. Aklimatisasi Suhu
Aklimatisasi terhadap suhu air yang ada di dalam kantong benur dengan air di
tambak dilakukan dengan cara meletakkan kantong benur ke dalam petakan
tambak. Hal ini dilakukan hingga suhu air di dalam kantong mendekati dengan
suhu air yang sama dengan suhu air di dalam petakan tambak dengan tanda
munculnya embun di dalam kantong plastik benur.
b. Aklimatisasi Salinitas
Aklimatisasi salinitas dilakukan setelah aklimatisasi suhu selesai, kantong
benur windu dibuka dan kemudian dipindahkan ke dalam sebuah wadah
baskom. Kemudian dimasukkan air tambak secara berlahan-lahan ke dalam
wadah baskom yang telah terisi benur windu hingga kondisi air di dalam
wadah baskom mendekati salinitas dan suhu air di dalam tambak. Tujuan dari
aklimatisasi ini adalah untuk menghindari stres benur windu pada saat benur
ditebar di dalam tambak pembesaran.
Aklimatisasi diharapkan agar tingkat sintasan (tingkat kehidupan) dari
benur yang ditebar dapat memberikan keuntungan. Dalam penelitian ini yang
diijadikan sebagai bahan acuan lamanya aklimatisasi benur dengan perbedaan
salinitas yang pernah dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi
Sulawesi Tengah pada Tabel 03.
Tabel 03. Perkiraan Aklimatisasi Benur Berdasarkan Perbedaan Salinitas Antara
Air Tambak dan Air Kantong Benur Dari BBIP Kampal (Penelitian,
2010)
Beda Salinitas (ppt) Waktu Aklimatisasi (menit)
5 – 10 ppt 30 – 45
10 – 15 ppt 35 – 45
>15 ppt 45 – 50
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 220
Dari hasil penelitian berdasarkan perlakuan dengan menggunakan acuan
Dinas Perikanan Propinsi Sulawesi Tengah tersebut tingkat mortalitas pada masa
penggelondongan hanya 2% dari jumlah tebar.
Pembesaran Udang Windu
Penerapan Sistem Modular
Pada beberapa daerah telah berkembang metode modular pada sistem
pembesaran udang windu maupun ikan bandeng. Sistem modular ini juga dikenal
dengan nama sistem pindah. Pembesaran udang windu dengan sistem modular,
dilakukan dengan memelihara udang pada lahan tambak seluas 0,3 Ha selama
kurang lebih 40 -50 hari dengan padat tebar di petak pentongkolan 6-10 ekor /m2
kemudian udang dipindahkan ke petak yang lebih besar dengan ukuran tambak
0,5 Ha untuk dipelihara dan diberikan pakan buatan hingga panen.
Pada saat umur udang windu telah mencapai 40 – 50 hari, maka udang
windu dapat dipindahkan ke petakan tambak yang lebih besar. Pada saat
pemindahan udang windu dari petak pentokolan ke petakan pembesaran lain,
digunakan alat bubu yang dipasang pada beberapa tempat. Pemasangan bubu
dilakukan pada sore hari dan pada pagi harinya baru diambil udang yang telah
masuk/terperangkap ke dalam bubu tersebut, yaitu bubu terbuat dari waring
berukuran mata jaring 1 mm berbentuk persegi empat dan memiliki alas yang
terbuat pula dari waring dengan ukuran 2x2 m2. Bagian depan dinding bubu yang
terbuat dari waring dibuat celah sehingga udang dapat masuk dengan bantuan
waring penghalang yang dipasang di bagian depan .
Pada saat pengambilan udang dari bubu dilakukan penghitungan udang
yang telah ditangkap dan kemudian dipindakan udang tersebut ke petak tambak
pembesaran. Tujuan dari penghitungan udang saat ditangkap, untuk mengetahui
angka kehidupan dan target rencana tebar pada lahan pembesaran yang baru.
Dengan dilakukannya penerapan metode modular, maka diharapkan udang windu
dapat hidup dan tumbuh dengan cepat serta sehat karena berada di lahan tambak
yang masih bersih dan subur.
Pemindahan total udang windu dari petak pentokolan ke petak pembesaran
dapat pula dilakukan melalui pintu air dengan cara menggunakan kantong panen.
Kantong panen tersebut terbuat dari waring ukuran 1mm yang dipasang pada
pintu air tambak. Penebaran benur udang windu pada metode modular sejumlah
30.000 ekor dengan sintasan (tingkat kehidupan) 53% atau 16.000 ekor yang
dapat bertahan hidup di petak pentokolan/penggelondongan.
Pemberian Pakan
Pada pembesaran udang windu, pemberian pakan perlu untuk diberikan,
akan tetapi pada awal pemeliharaan udang windu, pakan alami masih merupakan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 221
makanan andalan udang sampai umur kurang lebih 40 hari. Pemberian pakan dua
kali sehari.
Pada pemberian pakan buatan (pellet) udang windu dibagi dalam 40%
diberikan pada pagi hari dan 60% diberikan pada sore atau malam hari. Hal ini
dilakukan karena udang windu cenderung aktif mencari makan pada malam hari.
Pada umumnya pemberian pakan pada udang windu berkisar 3% dari berat
tubuh udang tersebut. Berat rata – rata perekor 5 gram, jumlah tebar 16.000
ekor/0,5 Ha dengan sintasan 95% maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
a. Biomassa = (16.000 x 95%) x 5 gram
= 76 kg
b. Pakan = 76 x 3%
= 2,28 kg/hari
Jadi pemberian pakan untuk penebaran udang windu dengan jumlah padat
tebar 16.000 ekor/0,5 Ha dengan sintasan 95% dan hasil sampling berat rata
udang 5 gram, maka pakan yang diberikan setiap harinya adalah 2,28 kg. Jumlah
pakan yang diberikan akan terus meningkat volumenya mengikuti umur,
pertumbuhan harian dan populasinya yang tetap mengacu pada hasil sampling,
untuk pemberian pakannya dilakukan pada pagi hari jam 06.00 wita dan sore hari
jam 18.30 wita.
Sampling Populasi Udang Windu
Pada dasarnya pada kegiatan sampling udang bertujuan untuk mengetahui
populasi udang di lahan tambak selain itu dapat pula mengetahui pertumbuhan
rata- rata udang windu yang dipelihara. Untuk udang windu yang masih berumur
dibawah dua bulan, pengecekan dapat dilakukan dengan menghitung jumlah
udang di ancho saat pemberian pakan di ancho. Sedangkan untuk mengetahui
berat udang dapat dilakukan dengan menimbang udang hasil tangkapan melalui
ancho.
Udang windu yang telah berumur lebih dua bulan atau kurang lebih 60
hari, pengecekan populasi dan berat rata-rata udang dapat dilakukan dengan
menggunakan jala lempar. Kegiatan sampling dengan menggunakan jala lempar
dilakukan dengan melakukan pelemparan jala atau sampling sebanyak 5 – 6 kali
untuk luas lahan 0,5 Ha dan kegiatan sampling sebaiknya dilakukan pada pagi
hari. Adapun alat pendukung kegiatan sampling udang yaitu timbangan, ember,
jala lempar, dan kalkulator.
Udang windu yang telah berumur lebih dua bulan atau kurang lebih 60
hari, pengecekan populasi dan berat rata-rata udang dapat dilakukan dengan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 222
menggunakan jala lempar dengan menggunakan rumus perhitungan populasi di
bawah ini :
Populasi = Jumlah Hasil Jala x Luas Lahan x Faktor Koreksi
Luas Buka Jala
Faktor koreksi ini berkisar antara 70 – 90 % dimana tergantung pula dari
bersih atau tidaknya dasar petakan tambak yang dilakukan sampling.
Pengamatan Pertumbuhan Udang Windu
Selanjutnya dilakukan pengamatan perkembangan harian dilakukan. Hal
ini kadang dilakukan dengan melakukan pengamatan udang melalui ancho yang
dipasang pada setiap jembatan ancho. Berdasarkan hasil pengamatan yang
dilakukan di lokasi penelitian, pertumbuhan udang windu sangat erat
hubungannya dengan penggantian kulit atau moulting. Nafsu makan udang windu
mulai menurun pada 1 – 2 hari sebelum moulting dan aktifitas makannya berhenti
sesaat akan moulting. Pada umumnya udang windu moulting pada malam hari,
proses moulting udang windu dapat berjalan tidak sempurna atau gagal apabila
kondisi udang tidak normal.
Udang windu yang melakukan moulting dalam waktu lama menunjukkan
gejalah kulit luar ditumbuhi lumut. Usaha yang dilakukan untuk mencegah
terjadinya udang terjangkit lumutan yaitu dengan sering melakukan pergantian air
tambak. Hasil pengamatan pertumbuhan udang windu dapat dilihat pada tabel di
bawah ini:
Tabel 04. Pertumbuhan Udang Windu.
Umur Udang (Hari) Berat Udang/Ekor (Gram)
29 Hari 2,50 gram
37 Hari 5,50 gram
46 Hari 8,00 gram
55 Hari 10,00 gram
64 Hari 15,00 gram
73 Hari 20,10 gram
82 Hari 24,00 gram
91 Hari 28,00 gram
102 Hari 29.10 gram
110 Hari 31.55 gram
120 Hari 34,00 gram
Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Pertumbuhan udang windu juga dapat terhambat apabila salinitas air di
tambak sangat tinggi, untuk pembesaran udang windu sebaiknya salinitas air di
tambak pembesaran berkisar 10 – 25 ppt. Salinitas yang tinggi dapat
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 223
menghambat atau menyebabkan sulitnya udang untuk moulting karena kulit
udang cenderung keras. Suhu air di tambak berhubungan dengan nafsu makan,
pada saat suhu air kurang di bawah 25 0C nafsu makan udang windu menurun
dan kurang aktif untuk mencari makan (Rackmatun dan Takarina, 2009).
Nafsu makan udang dapat diketahui dengan cara melihat isi ususnya dan
tekstur badannya. Udang windu yang nafsu makannya menurun dapat dilihat dari
ususnya yang nampak terputus – putus isi ususnya dan memiliki tekstur daging
badannya yang agak keropos. Pengamatan kesehatan udang windu dapat dilihat
pada Gambar 02.
Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian, 2013
Gambar 02. Pengamatan Nafsu Makan Udang.
.
Penerapan Biosekuriti
Penerapan biosekuriti pada pembesaran udang windu sangat perlu
dilaksanakan. Hal ini merupakan suatu strategi dalam manajemen pembesaran
udang, berupa serangkaian tindakan atau langkah – langkah terpadu untuk
mencegah masuknya berbagai penyebab penyakit (virus, bakteri, dan jamur) di
dalam lingkungan budidaya.
Biosekuriti diartikan sebagai usaha mencegah atau mengurangi peluang
masuknya dan menyebarnya suatu penyakit dari suatu tempat ke tempat yang lain.
Untuk dapat mencegah masuknya penyakit, maka saluran pembuangan (saluran
air sekunder) dan saluran pemasukan air tambak (saluran primer) harus dibedakan
dan dijaga tingkat kebersihannya baik dari predator maupun dari lingkungan air
yang tidak baik.
Penerapan biosekuriti dilakukan sejak awal yakni dengan melakukan hal-
hal sebagai berikut:
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 224
1. Melaksanakan persiapan tambak dengan memulai pemeliharaan berupa
pengeringan, pembalikan tanah dasar tambak, dan pengapuran.
2. Memasang saringan waring ukuran mata jaring 0,5 mm untuk pengisian air
pada awal penebaran benur pada pintu air maupun pada pipa pemasukan
dengan menggunakan pompa.
3. Memiliki saluran primer (saluran pemasukan air tambak) dan saluran sekunder
(saluran pembuangan air tambak).
4. Memakai air yang bersih untuk tambak dan menghindari dari masuknya biota
lain yang dapat membawa penyakit seperti kepiting, rajungan dan ikan – ikan
liar.
5. Menggunakan benih udang yang dijamin kesehatannya dan bebas dari virus,
bakteri, dan jamur.
6. Selalu memperhatikan/menjaga kualitas air tambaknya dan mengontrol
pertumbuhan dan kesehatan udang selama masa pemeliharaan.
Panen Udang Windu
Kegiatan panen merupakan akhir dari proses pemeliharaan yang dilakukan
selama kurang lebih lima bulan atau berumur 150 hari. Sebelum dilakukan panen,
terlebih dahulu melakukan pengambilan sampel untuk mengetahui bila ada udang
yang moulting. Selain itu untuk dapat memastikan kualitas udang yang akan
dipanen. Kegiatan panen dilakukan pada pagi hari atau pada saat suhu udara
masih rendah karena udang sangat sensitif terhadap sinar matahari.
Sebelum melakukan panen, terlebih dahulu mempersiapkan tempat udang
box sterofoam, es, pompa air, ember, baskom, keranjang, dan timbangan.
Kegiatan pemanenan dilakukan dengan menyiapkan jaring kantong panen yang
dipasang pada pintu air. Panjang jaring kantong sekitar 6 m yang dipasang di
mulut pintu air tambak, pintu air dibuka sehingga udang ikut hanyut ke arah pintu
air. Udang yang telah dipanen selanjutnya dicuci dengan air bersih dan airnya
ditiriskan pada keranjang untuk ditimbang. Udang yang telah ditimbang,
dimasukkan ke dalam box styrofoam dan diberi es agar kualilitasnya dapat terjaga.
Hasil panen udang windu dengan metode modular sebanyak 530 kg memiliki
ukuran (size) antara 28 - 30 ekor/kg, sintasan di lahan pembesaran 94% dengan
lama umur pemeliharaan mulai dari pentokolan atau pengelondongan hingga
panen berlangsung selama 150 hari.
Analisis Usaha
Modal Usaha dan Pendapatan
Analisis usaha dalam penelitian ini dengan menggunakan data investasi
pemilik tambak sebagai dasar perhitungan biaya tetap sedangkan biaya tidak tetap
bersumber dari peneliti untuk mengetahui layak secara ekonomi.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 225
1. Biaya Investasi
Modal usaha pemilik tambak udang windu sebagai lokasi penelitian berupa
biaya investasi dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 05. Modal Investasi
No Jenis Barang
Jangka
Usia
Teknis
Harga Penyusutan/
Tahun
1. Lahan Tambak 1 Ha 15 tahun Rp.10.500.000 Rp. 700.000
2. Rumah Jaga 10 tahun Rp. 2.500.000 Rp. 250.000
3. Mesin Pompa 16 PK 5 tahun RP. 1.500.000 Rp. 300.000
4. Jala 4 tahun Rp. 80.000 Rp. 20.000
5. Pipa PVC 8 inchi 5 tahun Rp. 200.000 Rp. 40.000
6. Pipa PVC 6 inchi 5 tahun Rp. 100.000 Rp. 20.000
7. Pintu Air 5 tahun Rp. 300.000 Rp. 60.000
8. Timbangan 50 Kg 5 tahun Rp. 150.000 Rp . 30.000
9. Timbangan 5 Kg 5 tahun Rp. 50.000 Rp. 10.000
10 Baskom 2 tahun Rp. 20.000 Rp. 10.000
11 Ember 2 tahun Rp. 12.000 Rp. 6.000
12 Keranjang Plastik 4 tahun Rp. 100.000 Rp. 25.000
13 Saplak (patiba) 5 tahun Rp. 40.000 Rp. 8.000
14 Cangkul 5 tahun Rp. 40.000 Rp. 8.000
15 Waring Panen 5 tahun Rp. 30.000 Rp. 6.000
16 box strifon 4 tahun Rp. 250.000 Rp. 62.500
17 Refraktometer 5 tahun Rp. 800.000 Rp. 160.000
18 pH Scan 5 tahun Rp. 200.000 Rp. 40.000
19 Alat Tangkap Udang
Bubu
5 tahun Rp. 100.000 Rp. 20.000
20 Saringan Air Untuk
Biosekuriti
2 tahun Rp. 100.000 Rp 50.000
21 Jembatan Ancho dan
Ancho Pakan
2 tahun Rp. 200.000 Rp. 100.000
Jumlah Rp.17.272.000 Rp. 1.925.500 Sumber : Hasil Penelitian, 2013.
Modal investasi untuk usaha tambak udang windu yaitu Rp. 17.272.000,-
2. Biaya Tetap
Biaya tetap yang dikeluarkan berdasarkan data diolah pada waktu penelitian
untuk proses produksi pertahunnya dapat dilihat pada Tabel 06.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 226
Tabel 06. Biaya Tetap
No. Uraian Biaya Jumlah (Rp)
1. Pajak Usaha Rp. 100.000
2. Biaya Penyusutan Rp. 1.925.500
3. Biaya Perawatan Tambak Rp. 1.000.000
4. Gaji Tenaga Kerja Rp. 8.400.000
Jumlah Rp. 11.425.500
Sumber : Data Diolah Hasil Penelitian, 2013.
3. Biaya Tidak Tetap
Biaya tidak tetap yang dikeluarkan pada saat penelitian dapat dilihat pada
Tabel 07.
Tabel 07. Biaya Tidak Tetap
No Uraian Jumlah Harga
Satuan
Jumlah Harga
(Rp)
1. Benur Pl 15 30.000 Ekor Rp. 33 Rp. 990.000
2. Pupuk Urea 1 Sak Rp. 75.000 Rp. 75.000
3. Pupuk SP 36 1 Sak Rp. 100.000 Rp. 100.000
4. Pakan 250 Kg Rp. 7.000 Rp. 1.750.000
5. Kapur Bangunan 600 Kg Rp. 500 Rp. 300.000
6. Sewa Traktor 1 Ha Rp. 250.000 Rp. 250.000
7. Solar 60 liter Rp. 4.500 Rp. 270.000
8. Es Balok 10 Batang Rp. 20.000 Rp. 200.000
9. Survey Harga Udang
(melalui Telpon)
3 Tempat Rp. 20.000 Rp. 60.000
10. Upah Pekerja Panen 3 Orang Rp. 30.000 Rp. 90.000
11. Perjalanan Bawa Hasil
Panen Ke Makassar PP
3 Hari Rp. 500.000 Rp. 1.500.000
Jumlah Rp. 5.585.000 Sumber : Data Diolah Hasil Penelitian, 2013.
4. Produksi dan Penerimaan
Hasil produksi udang windu untuk satu siklus 530 Kg dengan rincian sebagai
berikut :
- Ukuran size 28 ekor/kg = 445 kg
- Ukuran size 30 ekor/kg = 85 kg
- Harga udang windu ukuran size 28 ekor/kg = Rp. 76.000,-
- Harga udang windu ukuran size 30 ekor/kg = Rp. 65.000,-
Jadi pendapatan hasil penjualan udang windu yaitu :
- Udang windu size 28 ekor/kg sebanyak 445 kg x Rp. 76.000,-= Rp.
33.820.000,-
- Udang windu size 30 ekor/kg sebanyak 85 kg x Rp. 65.000,- = Rp.
5.525.000,-
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 227
- Total pendapatan hasil panen udang windu untuk 1 siklus = Rp.
39.345.000,-
5. Total Biaya
Biaya Tetap (FC) + Biaya Tidak Tetap (VC)
Rp. 11.425.500,- + Rp. 5.585.000,- = Rp. 17.010.500,-
6. Pendapatan Bersih
Pendapatan Kotor – Total Biaya
Rp. 39.345.000 - Rp. 17.010.500,- = Rp. 22.334.500,-
7. Arus Kas
Laba + Penyusutan
Rp. 22.334.500,- + Rp. 1.925.500,- = Rp. 24.260.000,-
Dari hasil panen 530 kg/siklus dengan rincian 445 kg ukuran size 28 ekor/kg
harga jualnya Rp. 76.000,- dan 85 kg ukuran size 30 ekor/kg harga jual Rp.
65.000,-.
dengan masa budidaya hingga panen selama 150 hari. Hasil panen di pasarkan
keluar daerah yaitu di perusahaancold storage PT. Multi Monodon Indonesia di
Makassar.
Usaha budidaya udang windu di Desa Tindaki dengan lahan tambak 1 Ha
yang dibagi menjadi dua petak tambak. Ukuran tambak masing-masing berukuran
0,3 Ha untuk penggelondongan/pendederan benur windu (lahan tambak untuk
penerapan metode modular) dan lahan tambak ukuran 0,5 Ha digunakan sebagai
pembesaran dengan modal investasi Rp. 17.272.000,- untuk pembelian lahan,
peralatan kerja, dan rumah jaga. Berdasarkan hasil analisa biaya operasional
produksi (total biaya) sebesar Rp. 17.010.500,- yang meliputi pengadaan benur,
pakan udang, saprotan (pupuk dan kapur) produksi, biaya penyusutan, upah
tenaga kerja, perawatan tambak, dan pajak usaha. Pendapatan bersih untuk usaha
budidaya udang windu adalah Rp. 22.334.500,-.
Analisa Usaha Ekonomi
Menilai layak atau tidaknya usaha pembesaran udang windu (Penaeus monodon)
dengan penerapan metode modular dan biosekuriti dapat dilihat dengan rumus
analisis yaitu :
1. Benefit Cost Ratio :
Total Pendapatan
BC Ratio = ------------------------
Total Biaya
Rp. 39.345.000,-
= ------------------------
Rp. 17.010.500,-
= 2,31
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 228
Hasil perhitungan besarnya Benefit Cost Ratio (BCR) diperoleh nilai sebesar
2,31 benefit cost ratio yang lebih besar dari (1), hal ini memberikan petunjuk
bahwa usaha pembesaran udang windu dengan penerapan metode modular dan
biosekuriti layak.
2. Pay Back Periode
Investasi
PP = ------------------------
Arus Kas
Rp. 17.272.000,-
PP = ------------------------
Rp. 24.260.000,
= 0,71 tahun
Jangka waktu 0,71 tahun atau dalam jangka waktu tidak sampai setahun
yaitu 8 bulan 16 hari waktu yang dibutuhkan dalam pengembalian modal.
3. Break Event Point :
Biaya Tetap (FC)
BEP = -----------------------------
Biaya Tidak Tetap (VC)
1- -----------------------------
Penjualan (S)
Rp. 11.425.500,-
BEP = -----------------------------
Rp. 5.585.000,-
1- -------------------------
Rp. 39.345.000,-
Rp. 11.425.500,-
BEP = -----------------------------
1- 0,141
Rp. 11.425.500,-
BEP = -----------------------------
0,858
= 13.316.433.5 BEP dalam Rupiah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 229
= 204,8 BEP dalam kg
(Untuk ukuran size 30 ekor/kg, harga Rp. 65.000/kg)
= 175,1 BEP dalam kg
(Untuk ukuran size 28 ekor/kg, harga Rp. 76.000/kg)
Setelah dilakukan perhitungan Break Event Point, maka diperoleh nilai
sebesar Rp. 13.316.433,5pada tingkat produksi untuk ukuran size 30 ekor/kg
dengan harga jual Rp. 65.000/kg yaitu 204,8 kg sedangkan untuk ukuran udang
size 28 ekor/kg dengan harga jual Rp. 76.000/kg yaitu 175,1 kg. Berdasarkan hasil
perhitungan Break Event Point maka total produksi berada di atas Break Event
Point.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh berdasarkan hasil penelitian mengenai
analisis usaha pembesaran udang windu (Penaeus monodon)sistem ekstensif plus
dengan metode modular dan biosekuriti di Desa Tindaki Kecamatan Parigi
Selatan Kabupaten Parigi Moutong yaitu :
1. Penerapan metode modular ini menggunakan dua Lahan petak tambak paling
efektif dimana petak tambak pertama luas lahan 0,3 Ha dan petak pembesaran
0,5 Ha.
3. Penerapan biosekuriti sangat penting dilakukan mengingat pada pembesaran
udang windu sangat rentan terhadap penyakit.
4. Padat penebaran benur 30.000 ekor pada penerapan metode modular dengan
sintasan (tingkat kehidupan) 53% atau 16.000 ekor yang dapat bertahan hidup.
Hasil panen pembesaran udang windu sebanyak 530 kg dengan sintasan 94%
pada lahan tambak pembesaran hingga panen.
5. BCR Usaha pembesaran udang windu sistem ekstensif plus dengan metode
modular dan biosekuriti ini sebesar 2,31 nilai Pay Back Periode 0,71 tahun, dan
nilai Break Event Point adalah 13.316.433,5 dalam Rupiah, 204,8 dalam kg
untuk ukuran udang size 30 ekor/kg harga jual Rp. 65.000,- dan 175,1 dalam
kg untuk ukuran udang size 28 ekor/kg harga jual Rp. 76.000,-.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, K. 2006. Kiat Mengatasi Permasalahan Budidaya Udang Windu Secara
Intensif, Penerbit Agromedia Pustaka, Jakarta.
Amri, K dan Kanna I, 2008. Budidaya Udang Vanname Secara Intensif, semi
Intensif dan Tradisional,
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 230
Penerbit PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Effendi, S. 2004. Manajemen Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon). Di
Tambak Ekstensif. Makalah Pelatihan Pembenihan, Pembudidayaan
dan Kesehatan Ikan/Udang se Indonesia Timur. Departemen Kelautan
dan Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Balai Budidaya
Air Payau Takalar.
Mubyarto, 1985. Pengantar Ekonomi Pertanian. Penerbit LP3ES. Jakarta
Murdjani, M. 2007. Penerapan Better Management Praktices (BMP) pada
Budidaya Udang Windu Intensif. Departemen Kelautan dan Perikanan,
Direktorat Jendral Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara.
Nur,aini, YL. 2006. Penyakit pada Budidaya Udang. Departemen Kelautan dan
Perikanan, Direktorat Jendral Perikanan Budidaya, Balai Budidaya Air
Payau. Situbondo.
Rahardi F, Kristiawati R, dan Najarudin. 1993. Agribisnis Perikanan. Penerbit
Penebar Swadaya, Jakarta.
Rachmatun dan Takarina, E.P. 2009. Panduan Manajemen Budidaya Udang
Windu, Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.
Riyanto, B. 1990. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yayasan Penerbit
Gajah mada, Jogyakarta.
Samsudin, L. 1998. Manajemen Keuangan Konsep Aplikasinya dalam
Perencanaan Pengawasan Pengambilan Keputusan. Penerbit
PT.Handirdita. Jakarta.
Taslihan A. Supito, Effendi, 2005. Manajemen Penerapan Biosekuriti pada
tambak Skala semi Intensif dengan penekanan Pengendalian Penyakit
Bercak Putih . Departemen Kelautan dan perikanan Direktorat Jendral
Perikanan Budidaya, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau.
Jepara.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 231
Evaluasi Teknis Dan Ekonomis Perikanan Jaring Insang Permukaan
(Surface Gillnet) Di Teluk Kota Palu
Ahsan Mardjudo
Dosen Fakultas Perikanan UNISA Palu
HP. 082192416776 Email: [email protected]
Abstrak
Indonesia adalah negara maritim dan kepulauan yang memiliki berbagai sumberdaya
hayati kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam. Indonesia terangkai oleh
17.480-an pulau, terdiri dari kawasan pesisir dan lautan dengan panjang garis pantai
95.181 km terbentang dari Sabang hingga Merauke. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kelayakan usaha ditinjau dari aspek teknis dan ekonomis alat tangkap jaring
insang permukaan yang berada di Teluk Kota Palu. Sedangkan kegunaan penelitian ini
dapat memberikan pemahaman dan motivasi bagi semua orang dalam berusaha dibidang
penangkapan ikan dan untuk menambah kedisiplinan ilmu dibidang teknik usaha
penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan (Surface
gillnet). Teknik pengoperasian alat tangkap jaring insang permukaan meliputi :
persiapan alat, penurunan alat tangkap (setting), perendaman alat tangkap (Soaking),
penarikan alat tangkap (hauling). Jenis ikan hasil tangkapan yang diperoleh oleh para
nelayan adalah jenis ikan laying, ikaan kembung, ikan selar dan ikan bête-bete yang
dijual langsung kepada konsumen.Usaha Penangkapan ikan menggunakan alat tangkap
jaring insang permukaan (surface gillnet) menghasilkan nilai BCR 0,82., nilai ini
menunjukkan bahwa usaha penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang
permukaan tidak layak dikembangkan, karena Benefit Cost Ratio lebih kecil dari satu
(BCR < 1 ). Break Event Point sebasar Rp. 24.562.222 (BEP rupiah), 2.456,222 (BEP
produk). Payback Period (PP) didapatkan hasil yaitu -81,40 (minus dalapan puluh satu
koma empat puluh). Karena PP negative, maka hasil penelitian tidak layak untuk
dikembangkan. Bila PP-nya positif berarti penelitian layak untuk dikembangkan.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------
Katakunci : Evaluasi teknis, Ekonomis, Perikana, Jaring insang permukaan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah negara maritim dan kepulauan yang memiliki berbagai
sumberdaya hayati kelautan dan perikanan yang sangat besar dan beragam.
Indonesia terangkai oleh 17.480-an pulau, terdiri dari kawasan pesisir dan lautan
dengan panjang garis pantai 95.181 km terbentang dari Sabang hingga Merauke.
Panjang garis pantai Indonesia adalah yang terpanjang ke empat di dunia setelah
Amerika Serikat, Kanada dan Rusia. Hampir tiga - perempat wilayah Indonesia
berupa laut dengan perkiraan luas total laut mencapai 7,9 juta km atau 790 juta
hektar, termasuk daerah Zona Ekonomi Eksklusif (Subianto P, dkk, 2009).
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 232
Kegiatan penangkapan ikan di laut pada akhir-akhir ini semakin
berkembang seiring dengan kemanjuan teknologi penangkapan ikan di laut dan
berhasilnya program motorisasi armada penangkapan ikan di laut oleh pemerintah
dalam hal ini Dirjen Perikanan. Situasi perkembangan kegiatan penangkapan ikan
di laut tersebut dapat dilihat pada perkembangan jenis dan ukuran kapal
penangkapan ikan serta jenis alat tangkap yang digunakan oleh para nelayan
maupun perusahaan perikanan yang beroperasi di bidang penangkapan ikan di laut
(Satria A, 2001).
Alat tangkap dan teknik penangkapan ikan yang digunakan nelayan
Indonesia umumnya masih bersifat tradisional. Jika ditinjau dari prinsip teknik
penangkapan ikan di Indonesia terlihat telah banyak memanfaatkan tingkah laku
ikan (fish behaviour) untuk tujuan penangkapan ikan. Selain itu nelayan juga
telah mengetahui ada sifat - sifat ikan yang berukuran besar memangsa ikan kecil
sehingga dengan adanya ikan kecil di tempat penangkapan maka ikan - ikan
besar pun akan mendatangi ke tempat tersebut. Hal tersebut membuktikan
perkembangan peradaban manusia, dapat mendorong manusia untuk semakin
kreatif dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Gillnet sering diterjemahkan sebagai “jaring insang”, “jaring rahang” dan
lain sebagainya. Gillnet adalah jaring yang berbentuk empat persegi panjang,
memiliki mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar lebih
pendek jika dibandingkan dengan panjangnnya. Tertangkapnya ikan - ikan
dengan Gillnet ialah dengan cara bahwa ikan - ikan tersebut terjerat (gilled) pada
mata jaring atupun terbelit-belit (entangled) pada tubuh jaring (Ayodhyoa, 1981).
Lebih lanjut dikatakan bahwa, perkembangan perikanan tangkap dari waktu ke
waktu terus bergerak dinamis, sehingga peranan alat penangkapan ikan khususnya
jaring insang permukaan (surface gillnet) diharapkan mampu memberikan
pendapatan atau kontribusi bagi masyarakat khususnya masyarakat nelayan.
Teluk Kota Palu memiliki potensi perikanan dan kelautan yang
memungkinkan untuk dikelola dan dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan di
wilayah itu. Usaha penangkapan ikan di wilayah ini sudah lama dilakukan oleh
nelayan setempat, sehingga daerah menjadi penting sebagai sumber pendapatan
para nelayan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Secara umum nelayan kecil di
wilayah ini masih menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan yang
tradisional.
Memperhatikan hal tersebut di atas, maka penelitian tentang “Evaluasi
teknis dan ekonomis alat tangkap jaring insang permukaan (Surface gill net) di
Teluk Kota palu” menjadi penting untuk dilakukan, mengingat hal ini akan
menghasilkan informasi terhadap keberlanjutan daripada usaha penangkapan ikan
yang ditekuni oleh nelayan di wilayah ini. Penelitian ini ditekankan pada evaluasi
teknis dan ekonomis usaha perikanan jarring insang permukaan (surface gillnet).
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 233
Tujuan dan Kegunaan
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi secara teknis
dan ekonomis usaha perikanan jaring insang permukaan (surface gillnet) yang
berada di Teluk Kota Palu. Sedangkan kegunaan penelitian ini dapat memberikan
informasi kepada seluruh stakeholders yang berusaha di perikanan tangkap.
Lebih khusus lagi usaha penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap
jaring insang permukaan (Surface gillnet).
2. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama kurang lebih 4 (empat) bulan, yaitu
dimulai bulan Januari 2014 sampai dengan bulan April 2014, bertempat Teluk
Kota Palu.
Kegiatan penelitian meliputi:
(1) Survey awal penentuan lokasi untuk kegiatan pengoperasian alat tangkap
gillnet permukaan yang sesuai dengan daerah penangkapannya.
(2) Percobaan pengoperasian alat tangkap gillnet permukaan pada bulan Maret
2014.
(3) Pengambilan data-data yang berkaitan dengan biaya-biaya yang digunakan
dalam kegiatan pengoperasian alat tangkap gillnet permukaan.
(4) Alat dan bahan yang digunakan adalah (1) Perlengkapan alat tulis; (2)
Kuesioner (3) Satu unit perahu penangkap ikan; dan (4) Kamera.
2.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei yang merupakan
suatu metode ilmiah dalam memperoleh keterangan yang lebih jelas tentang fakta
yang ada di lapangan terhadap suatu persoalan tertentu (Suradjiman, 1996).
2.4. Pengumpulan Data
Pencatatan data hasil tangkapan gillnet permukaan pada saat
pengoperasian alat tangkap untuk keperluan data-data teknis. Sedangkan untuk
data-data perhitungan ekonominya adalah melakukan wawancara langsung
terhadap responden yaitu nelayan pemilik alat tangkap gillnet permukaan.
Pengambilan data-data ekonomi dengan cara acak sengaja yaitu peneliti hanya
dapat mengambil 10 nelayan sebagai sampel. Adapun alasan pengambilan sampel
10 nelayan ini adalah karena tingkat homogenitas nelayan.
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 234
2.5. Analisis Data
Untuk mengetahui aspek teknis usaha perikanan jarring insang permukaan,
maka digunakan metode analisa deskriptif, yaitu penelitian yang bertujuan untuk
membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki,
sedangkan untuk menganalisa aspek ekonomis untuk mendapatkan hasilnya
digunakan rumus Benefit Cost Ratio (BCR) sebagaimana dikemukakan oleh Nazir
(1996), bahwa untuk mengetahui kelayakan usaha atau tingkat efesiensi biaya
yang digunakan dalam suatu usaha dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai
berikut:
B/C Ratio = Total Penerimaan (TR)
Total Biaya (TC)
Keterangan :
Total Penerimaan = Harga Penjualan × Total Produksi
Total Biaya = Biaya Total Yang dikeluarkan Untuk Proses Produksi
Lebih lanjut dikatakan, bahwa untuk menghitung titik impas atau jumlah
penghasilan tetap, maka digunakan perhitungan Break Event Point (BEP) dengan
rumus sebagai berikut :
BEP =
Biaya Tetap
1 - Biaya Tidak Tetap
Total Penerimaan
BEP (Unit) =
Total Biaya
Harga Jual Perkemasan
Sedangkan untuk menghitung masa atau periode yang dibutuhkan dalam
menutupi kembali modal yang ditanamkan dalam usaha penangkapan ikanmaka
digunakan metode analisa Payback Period (Syamsuddin, 1995).
Payback Period = Investasi
Arus kas
Keterangan :
Investasi = Modal awal suatu usaha
Arus Kas = Pendapatan bersih (Laba + Penyusutan)
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 235
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Keaadaan Umum Lokasi Penelitian
Luas Wilayah Teluk Palu kurang lebih panjang 16 mil laut dan lebar 4 mil
laut, degan garis pantai di wilayah Teluk Kota Palu diperkirakan 42 Km. Secara
administrasi Teluk Palu masuk dalam wilayah Kota Palu dan Kabupaten
Donggala. Untuk luas wilayah Kota Palu sendiri yaitu 225,80 Km, yang bebatasan
dengan sebelah Utara Kecamatan Tanah Ntovea, Sebelah Timur Kecamatan
Sigibiromaru, sebelah Selatan Kecamatan Dolo, dan sebelah Barat dengan
Kecamatan Banawa (Mardjudo A, 2002). Untuk batas wilayah Teluk Kota Palu
secara administrasi adalah sebelah Selatan sampai kelurahan Watusampu dan
sebelah utara sampai kelurahan Pantoloan.
Perairan Selat Makassar dalam pengelolaan perikanan masuk dalam
kategori Zona I memiliki potensi lestari sumberdaya perikanan laut sebesar 68.000
ton pertahun, yaitu jenis pelagis kecil sebesar 33.230 ton pertahun (49%), ikan
pelagis besar 14.280 ton pertahun (21%), ikan demersal 13.600 ton pertahun
(20%) dan sisanya 10% termasuk udang (Diskanlut Sulteng, 1997; Mardjudo, A.,
2002), serta potensi terumbu karang, padang lamun dan mangrove (hasil survey
PMB, 2006).
Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan Teluk Kota Palu pada umumnya
dlakukan pada sore hari pukul 17.00 sampai subuh sekitar jam 05.00 Wita, tapi
semua kegiatan penangkapan tergantung dari alat tangkap yang digunakan oleh
nelayan setempat. Waktu penangkapan tidak mengenal musim, setiap hari nelayan
melakukan kegiatan penangkapan. Kondisi perairan Teluk Kota Palu biasa juga
pada sore hari terjadi angin kencang menyebabkan gelombang dan ombak besar di
wilayah itu. Tapi justru adanya gelombang, ombak dan arus kencang menjadikan
perairan di sekitar daerah penangkapan (fishing ground) menjadi subur dan
banyak ikan yang bermain mengejar makanannya.
3.2. Deskripsi Jaring Insang Permukaan (surface gillnet)
Jaring insang permukaan (Surface gillnet) termasuk alat tangkap ikan yang
bersifat pasif, yang dipasang dengan cara menghadang arah renang ikan, terutama
untuk ikan yang suka hidup bergerombol. Jaring akan lebih efisien apabila warna
jaring disesuaikan dengan warna air. Masyarakat nelayan di Teluk Kota palu pada
umumnya menggunakan bahan tali nilon (monofilament). Bagian-bagian dari
jaring insang permukaan yang terdapat di lokasi praktek adalah jarring utama, tali
selembar, tali pelampung, pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, dan pemberat.
Adapun gambar konstruki alat tangkap jaring insang permukaan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 236
Sumber : Hasil Penelitian, 2014.
Gambar 01 : Konstruksi jaring insang permukaan(Surface gillnet)
Keterangan : 1. Pelampung 5. Pemberat
2. Tali pelampung 6. Tali ris bawah
3. Tali Ris Atas 7. Pelampung
4. Jaring
3.3. Metode Pengoperasian Jaring Insang Permukaan (Surface gillnet)
Jarring insang permukaan (Surface gillnet) dalam pengoperasiannya
diklasifikasi ke dalam alat tangkap pasif karena dipasang untuk menghadang arah
gerak ikan. Metode penangkapan dengan alat tangkap di suatu daerah banyak
dipengaruhi oleh karakteristik dan kondisi perairan dimana daerah penangkapan
(fishing ground) memungkinkan untuk melakukan penangkapan ikan. Metode
pengoperasian jaring insang permukaan dalam penelitian dapat digambarkan
dalam berbagain tahapan yang meliputi tahapan persiapan, tahapan penurunan
jarring (setting), tahapan penarikan jarring (hauling) dan tahapan pengambilan
hasil tangkapan. Berikut ini adalah persiapan alat penangkapan sebelum berangkat
menuju daerah penangkapan fishing ground dapat dilihat pada gambar di bawah
ini :
Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian, 2014
Gambar 02 : Persiapan Alat Penangkapan
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 237
Penurunan Alat Tangkap (Setting)
Pada saat penurunan jaring (setting) diusahakan agar jaring tersebut
melawan arus karena kedudukan jaring paling baik adalah memotong arus agar
ikan yang berenang dapat melintasi atau menabrak jaring, dengan demikian dapat
tertangkap dengan terjerat ataupun terbelit pada jaring. Penurunan jaring dimulai
dari penurunan pelampung tanda yang diikat pada ujung tali selembar depan,
kemudian tali selembar bawah, lalu jaring dan terakhir tali selembar belakang
pada ujung akhir jaring yang biasanya diikatkan pada perahu.
Adapun proses penurunan alat tangkap jaring insang permukaan dapat
dilihat pada gambar berikut ini :
Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian, 2014.
Gambar 03 : Penurunan Alat Tangkap (Setting)
Perendaman Alat Tangkap(Soaking)
Setelah jaring diturunkan, kemudian jaring dibiarkan direndam sekitar 2
jam lamanya. Bila hasil penangkapan baik, jaring dapat didiamkan selama kurang
lebih 2 jam, sedangkan bila hasil penangkapan sangat kurang maka jaring dapat
lebih lama direndam di dalam perairan yaitu sekitar 4-5 jam bila daerah
penangkapannya tidak begitu jauh dari pangkalan. Untuk lebih jelasnya proses
perendaman jaring dapat dilihat pada gambar di berikut ini :
Gambar 04 : Proses Perandaman Jaring (soaking).
Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian, 2014.
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 238
Penarikan Alat Tangkap(Hauling)
Setelah jaring dibiarkan di dalam perairan sekitar 2 jam, jaring dapat
diangkat (dinaikkan) ke atas perahu untuk diambil ikannya bila hasil penangkapan
baik, maka nelayan kembali kepangkalan untuk mengeluarkan ikan dari jaring lalu
nelayan tersebut kembali mengoperasikan alat tangkapnya. Urutan pengangkatan
jaring merupakan kebalikan dari urutan penurunan alat tangkap yaitu dimulai dari
tali selembar belakang, tali selembar muka dan terakhir pelampung tanda.
Berikut adalah kegiatan pada saat penarikan alat tangkap dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian, 2014.
Gambar 05 : Penarikan Alat Tangkap (Hauling)
Sumber : Dokumentasi Hasil Penelitian, 2014.
Gambar 06 :Jenis Ikan hasil tangkapan jaring insang permukaan
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 239
3.4. Analisis Ekonomis Jaring Insang Permukaan(surface gillnet)
Modal Usaha
Modal usaha yang digunakan oleh para nelayan di lokasi penelitian
merupakan modal sendiri.Modal digunakan untuk membiayai aktiva tetap dan
aktiva lancer. Aktiva tetap merupakan aktiva yang tahan lama dan secara
berangsur-angsur dapat habis dalam berjalannya proses produksi. Sedangkan
aktiva lancar merupakan aktiva yang dapat habis dalam satu kali proses produksi
dalam jangka waktu yang singkat.
1. Biaya Investasi
Modal usaha penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang
permukaan di lokasi penelitian berupa biaya investasi dapat dilihat pada Tabel
berikut :
Tabel 01 : Biaya Investasi Para Nelayan
RESPONDEN INVESTASI TOTAL
INVESTASI PERAHU MESIN ALAT TANGKAP
A 3,000,000.00 5,000,000.00 1,230,000.00 9,230,000.00
B 3,200,000.00 3,500,000.00 1,200,000.00 7,900,000.00
C 2,250,000.00 3,500,000.00 1,150,000.00 6,900,000.00
D 3,000,000.00 5,000,000.00 1,100,000.00 9,100,000.00
E 3,000,000.00 5,000,000.00 1,100,000.00 9,100,000.00
F 3,000,000.00 5,000,000.00 1,200,000.00 9,200,000.00
G 2,250,000.00 3,500,000.00 1,200,000.00 6,950,000.00
H 3,000,000.00 5,000,000.00 1,200,000.00 9,200,000.00
I 3,000,000.00 5,000,000.00 1,150,000.00 9,150,000.00
J 3,000,000.00 5,000,000.00 1,150,000.00 9,150,000.00
JUMLAH 28,700,000.00 45,500,000.00 11,680,000.00 85,880,000.00
RATA-RATA 2,870,000.00 4,550,000.00 1,168,000.00 8,588,000.00
Sumber : Data Diolah, 2014
Berdasarkan hasil perhitungan di atas biaya investasi rata-rata yang
dikeluarkan oleh nelayan di Teluk Kota Palu adalah sebesar Rp. 8.588.000. Dalam
usaha penangkapan ikan biaya yang dikeluarkan meliputi biaya biaya tetap (fixed
cost) dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap adalah biaya yang nilainya
diperhitungkan tetap, seperti biaya perawatan dan penyusutan.Sedangkan biaya
tidak tetap adalah semua biaya-biaya yang nilainya tergantung pada kebutuhan
saat produksi berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian jaring insang permukaan,
biaya tetap berjumlah Rp. 2.210.600 dan biaya tidak tetap berjumlah Rp.
6.528.000. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 240
Tabel 02 : Biaya Tetap Pertahun
Responden Penyusutan
(Rp)
Perawatan
(Rp)
Total
(Rp)
A 1,546,000.00 775,000.00 2,321,000.00
B 1,260,000.00 740,000.00 2,000,000.00
C 1,155,000.00 775,000.00 1,930,000.00
D 1,520,000.00 810,000.00 2,330,000.00
E 1,520,000.00 780,000.00 2,300,000.00
H 1,540,000.00 830,000.00 2,370,000.00
G 1,190,000.00 760,000.00 1,950,000.00
H 1,540,000.00 730,000.00 2,270,000.00
I 1,530,000.00 820,000.00 2,350,000.00
J 1,530,000.00 755,000.00 2,285,000.00
Jumlah 14,331,000.00 7,775,000.00 22,106,000.00
Rata-Rata 1,433,100.00 777,500.00 2,210,600.00
Sumber : Data Diolah, 2014
Tabel 03 : Biaya Tidak Tetap (VC) Pertahun
Responden Bensin/Tahun
(Rp)
Komsumsi/Tahun
(Rp) Jumlah
A 2,240,000.00 4,000,000.00 6,240,000.00
B 3,360,000.00 4,800,000.00 8,160,000.00
C 2,240,000.00 2,400,000.00 4,640,000.00
D 2,240,000.00 2,400,000.00 4,640,000.00
E 2,240,000.00 4,000,000.00 6,240,000.00
F 3,360,000.00 4,000,000.00 7,360,000.00
G 3,360,000.00 4,000,000.00 7,360,000.00
H 3,360,000.00 4,800,000.00 8,160,000.00
I 2,240,000.00 4,000,000.00 6,240,000.00
J 2,240,000.00 4,000,000.00 6,240,000.00
Jumlah 26,880,000.00 38,400,000.00 65,280,000.00
Rata-rata 2,688,000.00 400,000.00 6,528,000.00
Sumber : Data Diolah, 2014
Produksi dan Penerimaan
Produksi merupakan suatu proses pendayagunaan segala sumberdaya
yang tersedia untuk mewujudkan hasil yang terjamin kualitasnya dan dikelola
dengan baik sehingga menjadi komoditi yang diperdagangkan. Biaya adalah
sejumlah uang yang dikeluarkan oleh produsen untuk memperoleh faktor-faktor
produksi dan bahan penunjang lainnya yang diperlukan.
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 241
Jumlah pengoperasian sebagai berikut :
- 1 tahun efektif beroperasi 8 bulan
- 1 bulan efektif beroperasi 20 hari
- 1 hari efektif beroperasi 1 trip
- Jumlah trip dalam 1 tahun 160 trip (20 x 8 bulan = 160)
Tabel 04 : Produksi dan Penerimaan Dalam Satu Tahun
Responden Produksi
(Kg)
Harga
(kg) Total Penerimaan (Rp)
A 696 10,000.00 6,960,000.00
B 632 10,000.00 6,320,000.00
C 752 10,000.00 7,520,000.00
D 712 10,000.00 7,120,000.00
E 784 10,000.00 7,840,000.00
F 672 10,000.00 6,720,000.00
G 768 10,000.00 7,680,000.00
H 680 10,000.00 6,800,000.00
I 744 10,000.00 7,440,000.00
J 760 10,000.00 7,600,000.00
Jumlah 7.200 100,000.00 72,000,000.00
Rata-Rata 720 10,000.00 7,200,000.00
Sumber : Data Diolah, 2014
Jadi total penerimaan rata-rata nelayan dalam satu tahun adalah sebesar
Rp. 7.200.000. Adapun untuk perhitungan total biaya (TC), pendapatan bersih
dan arus kas dapat dilihat di bawah ini :
2. Total Biaya
Biaya tetap (FC) + Biaya tidak tetap (VC)
= Rp. 6.528.000 + Rp. 2.210.600
= Rp. 8.738.600
3. Pendapatan Bersih (laba)
Pendapatan Kotor – Total biaya
= Rp. 7.200.000 – 8.738.600
= Rp. – 1.538.600
4. Arus Kas
Laba + Penyusutan
= Rp – 1.538.600 + Rp. 1.433.100
= Rp. – 105.500
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 242
Benefit Cost Ratio
Untuk mengetahui kelangsungan usaha perikanan jaring insang
permukaan dapat dihtiung menggunakan analisis Benefit Cost Ratio dengan
formulasi sebagai berikut :
B/C Ratio =
Total Penerimaan
Total Biaya
=
=
Rp. 7.200.000,-
Rp. 8.738.600,-
Rp. 0,82
Dari perhitungan di atas diperoleh hasil B/C Ratio sebesar 0,82 ini berarti
usaha penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan
Benefit Cost Ratio lebih kecil dari satu (BCR < 1 ). maka dengan demikian usaha
penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan (surface
gillnet) di Teluk Kota Palu tidak layak untuk dikembangkan .
Break Event Point (BEP)
Berdasarkan hasil analisis dari besarnya produksi pendapatan kotor dan
besarnya biaya tetap dan biaya tidak tetap yang dikeluarkan selama satu tahun
untuk semua responden. Adapun perhitungan Break Event Point (BEP) rata-rata
penangkapan ikan menggunakan alat tangkap pancing tangan dalah sebagai
berikut :
BEP =
Biaya Tetap
1 - Biaya Tidak Tetap
Total Penerimaan
=
=
=
BEP =
BEP =
Rp. 2.210.600
Rp. 6.528.000
1 -
Rp. 7.200.000
Rp. 2.210.600
1 – 0,91
Rp. 2.210.600
0,09
Rp. 24.562.222 (BEP dalam Rupiah)
Rp. 24.562.222
Rp. 10.000 (Harga ikan/Kg)
2.456,222 kg (BEP dalam produksi)
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 243
Pay Back Period(PP)
Pay Back Period merupakan perhitungan jangka waktu yang dibutuhkan
untuk pengembalian modal investasi dari suatu kegiatan dengan menggunakan
arus kas yang dihasilkan oleh usaha penangkapan tersebut. Pengembalian modal
investasi dapat dilihat pada data perhitungan sebagai berikut:
PP =
Investasi
Arus Kas
=
=
Rp. 8.588.000
Rp. – 105.500
- Rp. 81,40
Untuk hasil perhitungan menggunakan Payback Period (PP) didapatkan
hasil -81,40 . Berdasarkan jangka waktu pengembalian investasinya, maka usaha
penangkapan ikan ini tidak layak untuk dilaksanakan.
4. KESIMPULAN
Sesuai hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan aspek ekonomi diperoleh BCR sebesar 0,82 ini berarti usaha
penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang permukaan
Benefit Cost Ratio lebih kecil dari satu (BCR < 1 ) maka dengan demikian
usaha penangkapan ikan menggunakan alat tangkap jaring insang
permukaan (surface gillnet) di Teluk Kota Palu tidak layak untuk
dikembangkan .
2. Secara teknis pengoperasian alat tangkap jaring insang permukaan di
Kelurahan Taipa layak sesuai dengan kemampuan alat tangkap tersebut
untu menangkap ikan. Proses secara teknis meliputi : persiapan alat,
penurunan alat tangkap (setting), perendaman alat tangkap (Soaking),
penarikan alat tangkap (hauling). Jenis ikan hasil tangkapan yang
diperoleh oleh para nelayan adalah jenis ikan lajang dan ikan bête-bete
yang dijual langsung kepada konsumen.
3. Dalam rangka peningkatan hasil tangkapan dan pendapatan nelayan maka
dengan ini penulis mengharapkan agar instansi terkait, khususnya Dinas
Perikanan dan Kelautan dapat memberikan bantuan-bantuan kepada
masyarakat nelayan berupa sarana dan prasarana penangkapan ikan, agar
nelayan dapat meningkatkan hasil tangkapannya.
4. Perlu adanya pembinaan dan penelitian dari instansi teknik guna untuk
meningkatkan pemahaman dan keterampilan dalam hal teknik
Prosiding Seminar Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 244
penangkapan ikan serta pengolahan hasil perikanan lainnya demi untuk
meningkatkan pendapatan nelayan. Nelayan juga disarankan supaya
menggunakan alat tangkap lainnya seperti pancing tangan pada saat
operasional sehingga hasil tangkapan tidak semata-mata berharap dari
hasil alat tangkap jaring insang permukaan saja, sehingga dapat
meningkatkan hasil tangkapan para nelayan pada saat operasional.
DAFTAR PUSTAKA
Ayodhyoa, A. U. 1981.Metode Penangkapan Ikan. Bogor: Yayasan DewiSri
Mardjudo, A., 2002. Studi tentang Selektivitas Pukat Pantai yang digunakan oleh
Nelayan Teluk Palu-Donggala Sulawesi Tengah (Tesis Program
Pascasarjana IPB, Bogor.
Nazir, M. 2002.Metode Penelitian Ghalia Indonesia. Jakarta.
Syamsudin,. 1995. Manajemen Keuangan Perusahaan Konsep Dan Aplikasinya
Dalam Perencanaan Pengambilan Keputusan. Penerbit PT. Hanirdita.
Yokyakarta.
Satria, A. 2001. Otonomi Daerah dan Agenda Institusi Pengolahan
Sumberdaya Perikanan (Makalah Disampaikan Pada Seminar Nasional
dan Kongres VI HIMAPIKANI). Makassar.
Subianto P, dkk. 2009. Membangun Kembali Indonesia Raya. Cetakan
Pertama. Institut Garuda Nusantara. Jakarta.
Suradjiman., 1995. Studi Kelayakan Bisnis. Departemen Agribisnis Fakultas
Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 245
Pengembangan Roti Manis Berbahan Tepung Pangan Lokal
A. Dalapati dan Jonni Firdaus
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No. 62 Biromaru
Email : [email protected]
Abstrak
Saat ini pengembangan olahan roti utamanya menggunakan tepung terigu secara
keseluruhan. Sebagaimana diketahui tepung terigu berbahan dasar gandum, yang bukan
merupakan tanaman khas Indonesia dan masih harus diimpor dari luar negeri. Untuk
mengurangi ketergantungan produk roti terhadap penggunaan tepung terigu, maka perlu
dilakukan penambahan tepung lain yang sesuai untuk pembuatan roti. Pangan lokal
umumnya masih diolah secara sederhana seperti direbus ataupun digoreng, padahal
pangan lokal ini dapat dapat diolah menjadi tepung yang merupakan bahan dasar
pembuatan roti manis. Pembuatan roti manis sangatlah sederhana dan tidak
membutuhkan peralatan yang rumit, sehingga sangat mudah untuk dikembangkan oleh
industri rumah tangga. Beberapa pangan lokal di Sulawesi Tengah yang dapat diolah
menjadi tepung adalah jagung, pisang, dan ubi kayu. Dengan penambahan 20% tepung
dari pangan local berbahan jagung, pisang dan ubikayu terhadap jumlah total tepung
yang digunakan sudah dapat menghasilkan roti manis yang dapat mengembang dengan
baik dan dengan rasa yang dapat diterima.
Kata kunci : Roti manis, tepung, pangan lokal.
PENDAHULUAN
Roti manis saat ini di Indonesia, sudah merupakan salah satu pilihan untuk
jenis makanan ringan yang cukup mengenyangkan karena mengandung
karbohidrat yang tinggi, sehat dan praktis. Selain itu roti manis juga dapat
disajikan dengan beragam rasa sehingga dapat dinikmati oleh masyarakat yang
memiliki beragam selera pula. Berdasarkan data susenas tahun 2008 rata-rata
konsumsi roti manis adalah 27 potong/kapita/tahun. Selama periode 2002-2008
konsumsi roti manis ini berkembang 11,1%/tahun (Pusat Data dan Informasi
Pertanian, 2009).
Seperti diketahui roti manis merupakan produk pengembangan dari tepung
terigu. Dengan meningkatnya tingkat konsumsi roti manis dari tahun ke tahun
maka tentu berdampak pada peningkatan konsumsi tepung terigu. Di lain pihak,
tepung terigu sampai saat ini masih merupakan produk yang harus diimpor oleh
Indonesia. Untuk mengurangi penggunaan terigu dalam pembuatan roti manis,
maka dapat dilakukan dengan cara pemanfaatan pangan lokal yang ada di sekitar
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 246
kita yang dijadikan sebagai bahan baku pembuatan tepung. Pangan lokal ini
biasanya memiliki nilai ekonomis rendah, sehingga memerlukan pengolahan lebih
lanjut untuk meningkatkan nilai ekonomisnya. Pemanfaatan pangan lokal selama
ini belumlah maksimal, dikonsumsi dalam jumlah terbatas dan hanya diolah
secara sederhana seperti direbus, dibakar atau digoreng. Padahal jika ditinjau dari
nilai gizi, utamanya karbohidrat, maka pangan lokal ini dapat bersaing ataupun
saling melengkapi dengan gandum. Kandungan karbohidrat jagung per 100 gram
bahan adalah 71.98 gram, ubi kayu 34.70 gram dan pisang 23 gram (BB Pasca
Panen, 2008).
Sumberdaya pangan lokal Sulawesi Tengah yang dapat digunakan sebagai
bahan baku tepung cukup beragam, diantaranya adalah jagung, pisang dan ubi.
Komoditas ini ada yang sengaja dibudidayakan dan ada juga yang tumbuh secara
liar. Tahun 2012 produksi komoditas jagung mencapai 141.649 ton, ubi kayu
93.642 ton, dan pisang 4.774,75 ton. Berdasarkan hal tersebut diatas maka
keberadaan pangan lokal tersebut dapat dijadikan peluang untuk dikembangkan
menjadi tepung yang dapat ditambahkan dalam pembuatan roti manis. Hanya
sebelum dikembangkan perlu terlebih dahulu diketahui apakah penambahan
tepung pangan lokal tersebut pada pembuatan roti manis dapat diterima oleh
konsumen.
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat penerimaan/kesukaan
terhadap roti manis yang dibuat dari campuran tepung terigu sebanyak 80% dan
tepung pangan lokal berbahan jagung, pisang dan ubikayu sebanyak 20%.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pasca Panen BPTP Sulawesi
Tengah pada bulan Juni 2014. Tepung yang digunakan sebagai bahan tambahan
tepung terigu dalam pembuatan roti manis adalah tepung jagung, tepung pisang
dan tepung ubi kayu. Tepung jagung dibuat dengan cara, menggiling jagung
pipilan sehingga berbentuk seperti beras, diayak untuk menghilangkan kotoran
dan kulit ari jagung. Beras jagung kemudian direndam 1 hari, setelah itu bagian
yang mengapung dibuang, jagung dicuci bersih, ditiriskan lalu dikeringkan.
Setelah jagung kering, jagung digiling, diayak, kemudian tepung jagung dikemas.
Diagram alur pembuatan tepung jagung, Pisang dan ubi kayu dapat dilihat
pada gambar 1 dan 2.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 247
Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung jagung
Proses pembuatan tepung pisang dan tepung ubi kayu hampir sama.
Pertama-tama pisang/ubi kayu dikupas, lalu dicuci bersih, setelah itu pisang/ubi
kayu disawut. Hasil sawutan ditampung dalam baskom berisi air sehingga seluruh
bagian pisang/ubi kayu terendam, untuk menghindari reaksi browning. Setelah
proses pensawutan selesai, hasil sawutan dicuci bersih lalu segera dijemur.
Sawutan yang telah kering, digiling lalu diayak dan dikemas. Diagram alir
pembuatan tepung pisang dan ubi kayu dapat dilihat pada gambar dua.
Jagung pipilan
Beras jagung
Beras jagung direndam 1 malam
Beras jagung dicuci bersih, bagian mengapung dibuang
Dikeringkan
Digiling
Diayak
Dikemas
Tepung jagung
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 248
Gambar 2. Diagram alir pembuatan tepung pisang dan ubi kayu
Perbandingan antara tepung pangan lokal dan tepung terigu yang dilakukan
pada penelitian ini adalah pada percobaan pendahuluan terdiri atas 2 kombinasi
yaitu 30% : 70% dan 50% : 50% dilanjutkan dengan pembuatan roti manis
dengan kompisisi campuran tepung pangan lokal dan tepung terigu 20% : 80%.
Proses pembuatan roti manis diawali dengan pencampuran tepung terigu,
tepung pangan lokal (tepung jagung/pisang/ubi kayu), gula pasir, susu, ragi
diaduk rata, lalu masukkan kuning telur, telur, dan air dingin, kemudian aduk
hingga tercampur rata. Lalu margarine dan garam dimasukkan dan diaduk sampai
adonan kalis. Adonan kalis kemudian didiamkan selama 30 menit. Adonan lalu
dibagi masing-masing ± 30 gram, dibulatkan, dan didiamkan selama 15 menit.
Gas dari adonan dibuang kemudian dibulatkan dan disusun dalam loyang yang
telah diolesi margarine, lalu didiamkan selama 45 menit. Pada menit ke-30 bagian
atas adonan diberi bahan olesan yang merupakan campuran kuning telur dan susu
cair. Setelah 45 menit, adonan dimasukkan dalam oven suhu 150OC dan
Pisang/Ubi kayu dikupas
Hasil kupasan dicuci bersih
Hasil kupasan disawut
Dikeringkan
Digiling
Diayak
Dikemas
Tepung pisang/tepung ubi kayu
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 249
dipanggang hingga matang. Diagram alur pembuatan roti manis dapat dilihat pada
gambar tiga.
Pengamatan dilakukan melalui tingkat kesukaan 10 orang panelis terhadap
rasa, aroma, warna roti bagian luar, warna roti bagian dalam dan tekstur dengan
skor penilaian dari 1 (tidak suka), 2 (cukup suka) dan 3 (suka).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pangan lokal yang digunakan dalam pembuatan roti manis ini adalah
jagung, pisang dan ubi kayu. Jagung yang digunakan untuk membuat tepung
adalah jagung kuning dimana jagung ini banyak tersedia di pasar tradisonal dalam
bentuk pipilan kering. Tepung yang dihasilkan oleh jagung kuning ini berwarna
putih kekuning-kuningan. Jenis pisang yang digunakan untuk membuat tepung
adalah pisang lokal yang oleh masyarakat di palu disebut pisang sayur karena
dimanfaatkan untuk membuat sayur. Warna daging buah mengkal adalah putih
kekuning-kuningan. Setelah dijadikan tepung berwarna putih kecoklatan. Sedang
untuk ubi kayu yang digunakan untuk membuat tepung adalah ubi kayu dengan
Tepung pangan lokal dan terigu dicampur dengan bahan kering lainnya
Tambahkan telur dan air, aduk rata
Tambahkan margarine dan garam, diaduk hingga kalis
Diamkan 30 menit
Dibulatkan @ 30 gram, diamkan 15 menit
Gas adonan dibuang, bulatkan, diamkan 45 menit
Olesi permukaan dengan campuran susu cair dan kuning telur
Adonan dioven, suhu 1500 C, hingga matang
Roti Manis
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 250
daging buah berwarna putih, setelah dijadikan tepung juga berwarna putih.
Gambar dari ketiga jenis tepung pangan lokal dapat dilihat pada gambar empat.
Tepung ubi kayu Tepung pisang Tepung jagung
Gambar 4. Tepung ubi kayu, tepung pisang dan tepung jagung
Pembuatan roti manis memerlukan gluten untuk pengembangannya. Gluten
banyak dikandung oleh tepung terigu, sedang pada jenis tepung lainnya sangat
sedikit bahkan tidak ada. Komposisi gluten pada beberapa jenis tepung-tepungan
dapat dilihat pada tabel satu.
Tabel 1. Kandungan Gizi Beberapa Jenis Tepung per 100 gram Bahan
Jenis Tepung Gluten (gram)
Terigu 9,2
Sorgum <1
Beras <1
Jagung <1
Tapioka -
Sagu - Sumber : Suarni dan Sarasutha, 2001
Gluten pada pembuatan roti berfungsi untuk mempertahankan udara yang
masuk kedalam adonan pada saat proses pengadukan dan gas yang dihasilkan oleh
ragi pada waktu fermentasi, sehingga adonan menjadi mengembang (Richana
dkk., 2012). Kandungan gluten pada tepung jagung, ubi kayu dan pisang sangat
sedikit, menyebabkan tepung tersebut tidak dapat digunakan 100% dalam
pembuatan roti manis, karena akan menghasilkan roti yang tidak mengembang.
Oleh karena itu perlu dilakukan pencampuran dengan tepung terigu yang
mengandung gluten tinggi. Komposisi tepung terigu dan tepung pangan lokal
(80% : 20%) ditentukan dengan cara melakukan percobaan pendahuluan.
Awalnya dilakukan percobaan dengan pencampuran tepung pangan lokal dan
tepung terigu dengan 2 kombinasi yaitu 30% : 70% dan 50% : 50%. Hasil yang
diperoleh adalah roti tidaklah mengembang dengan baik dan tidak membentuk
rongga-rongga/pori-pori pada roti seperti halnya pada roti manis dari tepung
terigu. Hal ini disebabkan adonan roti dengan komposisi tepung pangan lokal dan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 251
tepung terigu seperti diatas belum mampu menahan gas CO2 yang terbentuk,
sehingga roti kurang mengembang dengan baik.
Kemudian dilakukan lagi pembuatan roti manis dengan kompisisi campuran
tepung pangan lokal dan tepung terigu 20% : 80%. Secara fisik roti manis yang
dibuat dari campuran tepung pangan lokal (jagung/pisang/ubi kayu) sebanyak
20% dan tepung terigu 80%, hasilnya menghampiri bentuk fisik dari roti manis
berbahan tepung terigu 100%. Dengan penambahan tepung pangan lokal 20%, roti
manis yang dihasilkan masih dapat mengembang dengan baik, dan membentuk
pori-pori roti yang baik seperti halnya roti dari tepung terigu atau adonan roti yang
terbentuk tidak padat. Hal ini sesuai dengan pernyataan Richana, dkk. (2012)
bahwa substitusi terigu oleh bahan lokal hanya mampu 20% saja. Gambar dari roti
manis tepung pangan lokal dapat dilihat pada gambar lima.
Roti Jagung Roti Pisang Roti Ubi Kayu
Gambar 5. Roti jagung, roti pisang dan roti ubi kayu
Uji sensori untuk penilaian tingkat kesukaan terhadap rasa, aroma, warna
bagian luar, warna bagian dalam, dan tekstur roti manis dari tepung jagung, pisang
dan ubi kayu menunjukkan kisaran penilaian dari cukup suka hingga suka, hal
tersebut dapat dilihat pada tabel dua dibawah ini.
Tabel 2. Rata-rata skor penilaian panelis terhadap rasa, aroma, warna bagian
dalam, dan tekstur dari roti jagung, roti pisang dan roti ubi kayu.
Penilaian Roti Jagung Roti Pisang Roti Ubi Kayu
Rasa 2.5 2.3 2.4
Aroma 2.6 1.9 2.4
Warna bagian luar 2.5 1.7 2.3
Warna bagian dalam 2.8 1.7 2.3
Tekstur 2.3 2.2 2.1
Rata-rata total penilaian 2.5 1.9 2.3
Skor penilaian : 1 = tidak suka, 2 = cukup suka, 3 = suka
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 252
Untuk rasa terlihat roti jagung mendapat penilaian suka, sedang roti pisang
dan roti ubi kayu cukup suka. Untuk roti pisang kemungkinan penilaian cukup
suka diperoleh karena karena rasa pisang ada terikut dalam rasa roti manis
tersebut, sedangkan untuk roti jagung dan ubi kayu, rasa jagung ataupun ubi kayu
sudah tidak terikut dalam roti manis tersebut, sehingga menurut panelis rasanya
tidak jauh berbeda dengan rasa roti manis dari tepung terigu yang biasa mereka
konsumsi.
Untuk aroma, yang mendapat skor penilaian yang cukup rendah dibanding
yang lainnya adalah roti pisang. Hal ini disebabkan karena pada pembuatan roti
manis yang ditambahkan tepung pisang, aroma pisang masih terikut sehingga
mengurangi tingkat kesukaan panelis jika dibandingkan dengan roti manis
berbahan tepung jagung dan tepung ubi kayu.
Untuk warna bagian luar dan bagian dalam, roti pisang mendapat skor
penilaian paling rendah. Hal ini disebabkan karena warna bagian luar ataupun
bagian dalam roti pisang adalah kecoklat-coklatan yang merupakan pengaruh dari
tepung pisang yang juga berwarna kecoklat-coklatan. Warna kecoklatan ini tidak
identik dengan warna roti manis dari tepung terigu yang cenderung putih ataupun
kekuning-kuningan. Kedepannya dalam pembuatan roti dari tepung pisang perlu
mempertimbangkan warna dari tepung pisang itu sendiri. Untuk meminimalisir
warna coklat pada roti pisang ini, maka tepung pisang yang digunakan haruslah
memiliki warna mendekati tepung terigu. Warna coklat pada tepung pisang
diakibatkan adanya reaksi enzimatis pada saat pembuatan tepung pisang. Menurut
Agriawati dkk. (2012) reaksi enzimatis ini dapat diminimalisir/dicegah dengan
jalan merendam irisan pisang dalam larutan metabisulfit 1000 ppm selama 5
menit, ditiriskan lalu diblansir dalam air panas kemudian dikeringkan. Pada
percobaan ini, perlakuan pencegahan reaksi enzimatis tidak dilakukan untuk
melihat tingkat penerimaan konsumen terhadap roti manis yang dihasilkan dari
tepung pisang yang berwarna kecoklatan.
Tekstur dari ketiga roti manis tersebut mendapat penilaian yang sama yaitu
cukup suka. Tekstur dari ketiga roti manis tersebut sudah cukup lembut,
mendekati tekstur dari roti manis yang terbuat dari tepung terigu. Menurut
Suismono dan Richana (2008), pemanfaatan tepung ubi kayu dengan tingkat
subtitusi 10% dapat digunakan untuk bahan pembuatan roti dengan tekstur dan
tampilan yang setara dengan roti dari tepung terigu.
Secara keseluruhan roti jagung mendapat rata-rata total penilaian yang lebih
tinggi dibanding roti pisang dan roti ubi kayu. Roti jagung mendapat penerimaan
panelis dengan kategori suka (2.5), dibanding roti pisang dan roti ubi kayu yang
hanya memperoleh kategori cukup suka. Ini dapat dilihat dari rata-rata skor
penilaian roti jagung untuk setiap kategori rasa, aroma, warna bagian dalam,
warna bagian luar dan tekstur yang nilainya lebih tinggi dibanding roti pisang dan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 253
roti ubi kayu. Dengan kisaran penilaian yang suka hingga cukup suka dari rata-
rata total penilaian mengindikasikan roti manis yang dicampur dengan pangan
lokal dapat diterima dengan baik, dan diharapkan nantinya ketika berkembang
dapat bersaing dengan roti manis yang terbuat dari tepung terigu. Dengan
penambahan 20% tepung pangan lokal pada pembuatan roti manis berarti telah
dapat menghemat penggunaan tepung terigu sebesar 20%.
KESIMPULAN
1. Penambahan tepung pangan lokal 20% terhadap total penggunaan terigu pada
pembuatan roti manis oleh panelis mendapat penilaian suka dengan skor 2.5
untuk roti jagung dan cukup suka untuk roti ubikayu dengan skor 2.3 serta
cukup suka untuk roti pisang dengan skor 1.9.
2. Dengan penambahan tepung pangan lokal 20%, roti manis yang dihasilkan
masih dapat mengembang dengan baik, dan membentuk pori-pori roti yang
baik seperti halnya roti dari tepung terigu atau adonan roti yang terbentuk
tidak padat.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis menyampaikan terima kasih kepada saudara Sumarni, STP yang
telah membantu dalam penyediaan tepung pangan lokal.
DAFTAR PUSTAKA
Agriawati DP, Besman N., dan Dorkas P., 2012. Pembuatan Tepung Komposit
Pisang Lokal Sumatera Utara Jagung dan Produk Olahannya untuk
Substitusi Tepung Terigu. Agrin Vol. 16, No. 1, April 2012.
BB Pasca Panen, 2008. Teknologi Pengolahan untuk Penganekaragaman
Konsumsi Pangan. Broto W, S Prabawati (Ed.). Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
BPS, 2013. Sulawesi Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Sulawesi
Tengah.
Pusat Data dan Informasi Pertanian, 2009. Analisis Konsumsi Pangan. Pusat Data
dan Informasi Pertanian, Departemen Pertanian, Jakarta.
Richana N., Ratnaningsih, Haliza W., 2012. Teknologi Pasca Panen Jagung. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 254
Suarni dan IGP Sarasutha, 2001. Teknologi Pengolahan Jagung untuk
Meningkatkan Nilai Tambah dan Pengembangan Agroindustri. Prosiding
Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi di
Sulawesi Tengah.
Suismono dan Richana N., 2008. Peran Teknologi Pengolahan Ubikayu dalam
Upaya Mensubtitusi Terigu dalam Teknologi Pengolahan untuk
Penganekaragaman Konsumsi Pangan. Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Pascapanen Pertanian, bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 255
Uji Performansi Pengering Matahari Tipe Efek Rumah Kaca Untuk Biji
Kakao (Theobroma Cacao L.)
Jonni Firdaus
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No.62 Biromaru
Abstrak
Kakao merupakan komoditas unggulan Sulawesi Tengah namun pada tahun 2013 ekspor
kakao cenderung menurun. Kendala yang dihadapi dalam mengembangkan usaha
tani kakao yakni aspek kuantitas dan aspek kualitas. Salah satu rendahnya nilai tambah
kakao disebabkan kualitas hasil kakao masih dibawah standar mutu. Pengeringan
merupakan salah satu proses yang menentukan kualitas kakao. Tingginya kadar kotoran
kakao dan campuran benda asing akibat proses pengeringan langsung di lantai jemur
beton ataupun menggunakan alas paranet/wiring yang dijemur di pekarangan dan
jalan/badan jalan umum menyebabkan mutu kakao menjadi rendah. Salah satu alternatif,
untuk menekan kadar kotoran dan masih menggunakan matahari sebagai sumber panas
yang rendah biaya, adalah dengan menggunakan alat pengering matahari tipe efek
rumah kaca (ERK). Penelitian ini bertujuan untuk melihat performasi alat pengering tipe
ERK untuk pengeringan kakao. Sebagai pembanding dilakukan pengeringan
menggunakan lantai jemur beton dan para-para bambu. Sebelum dikeringkan biji kakao
difermentasi selama tiga hari. Pengeringan dilakukan denga ketebalan 1 lapis biji kakao.
Pengeringan dilakukan saat cuaca cerah, dari pagi hinga sore hari sampai kadar air
kira-kira 7 %. Pengamatan dilakukan terhadap suhu lingkungan dan alat pengering,
kelembaban lingkungan, lama pengeringan, perubahan kadar air bahan, laju
pengeringan serta mutu kakao. Data dianalisa secara teknis dan menggunakan statistik
deskriptif sederhana. Rata-rata suhu alat pengering ERK (40 oC) lebih kecil bila
dibandingkan dengan pengering para-para bambu (41,8 oC) dan lantai jemur (48,7
oC).
Laju pengeringan tercepat terjadi pada lantai jemur (3,97%air/jam), disusul alat
pengering ERK (2,83%air/jam) dan para - para bambu (2,12%air/jam). Kadar kotoran
yang paling sedikit terdapat pada pengering ERK (12,42%) disusul para - para bambu
(13,21%) dan lantai jemur (16%).
Kata kunci : Kakao, Pengering, Solar Dryer, Efek rumah kaca
PENDAHULUAN
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu produk unggulan
Sulawesi Tengah yang meyumbang 18% dari produksi kakao nasional. Pada tahun
2013 total luas perkebunan kakao di Sulawesi Tengah mencapai 282.540 ha
dengan produksi sekitar 168.738 ton (Kementan, 2013).
Pada tahun 2013 terjadi penurunan ekspor kakao Sulawesi Tengah. Secara
umum terdapat beberapa kendala utama yang dihadapi petani dalam
mengembangkan usaha tani kakao yakni aspek kuantitas dan aspek kualitas. Salah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 256
satu rendahnya nilai tambah kakao disebabkan kualitas hasil kakao masih dibawah
standar mutu (beritapalu.com, 2013).
Selain belum dilakukan fermentasi kakao secara menyeluruh, proses
pengeringan kakao juga menyebabkan randahnya kualitas hasil kakao.
Pengeringan kakao yang umum dilakukan petani kakao adalah menjemur
langsung dibawah matahari baik menggunakan lantai jemur beton ataupun
menggunakan alas paranet/wiring dan dijemur di pekarangan bahkan
menggunakan jalan atau badan jalan umum. Hal ini menyebabkan tingginya
kotoran dan campuran benda asing sehingga nilai potongan yang dikenakan
pedagang pengumpul ke patani menjadi lebih tinggi. Pengeringan kakao bertujuan
untuk menurunkan kadar air. Kadar air kakao fermentasi berkisar 51 – 60%
(Napitupulu dan Moratua, 2012). Kadar air yang tinggi menyebabkan
berkembangnya mikroorganisme sehingga biji kakao menjadi busuk dan
berjamur. Kakao harus dikeringkan hingga mencapai kadar air berkisar 6-8%
(Hayati et al. 2012; Ndukwu, 2009).Selain penurunan kadar air, tujuan
pengeringan adalah untuk pembentukan aroma coklat dan memperpanjang umur
simpan. Pada proses fermentasi, akan terjadi proses pembentukan senyawa
prekursor aroma dan akan dihasilkan aroma yang spesifik ketika biji kakao kering
tersebut disangrai. Perubahan komponen kimiawi selama fermentasi biji kakao
akan terus berlangsung hingga berakhirnya proses pengeringan. Pengeringan
bertujuan untuk menghindari fermentasi lebih lanjut, yang dapat menyebabkan
kerusakan produk akibat degradasi senyawa polifenol menjadi amonium nitrogen
dan dihasilkan rasa yang tidak diinginkan (Rahmadewi, 2013).
Pengeringan kakao dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pengeringan
langsung dengan penjemuran di bawah sinar matahari dan menggunakan
pengeringan buatan dengan sumber panas dapat berasal dari pembakaran biomasa
ataupun bahan bakar fosil baik gas, minyak maupun batubara.
Pengeringan matahari dianggap sebagai cara terbaik untuk mendapatkan
pengembangan rasa maksimal. Namun, cara ini memiliki kelemahan yaitu waktu
yang panjang dan tenaga kerja yang dibutuhkan banyak, serta kualitas heterogen
selama musim hujan. Selama pengeringan matahari terjadi peningkatan alkohol,
ester dan pyrazines dan penurunan asam, aldehid dan keton (Rahmadewi, 2013).
Perubahan iklim global berdampak pada perubahan cuaca yang tidak menentu
menyebabkan pengeringan menggunakan panas matahari langsung menjadi
terhambat/terganggu.
Ketika kondisi cuaca tidak tidak mendukung, pengeringan secara buatan
dapat digunakan Pengeringan menggunakan pengering buatan menyebabkan laju
pengeringan berlangsung cepat. Namun cara tersebut dapat menurunkan rendemen
kakao kering, menyebabkan kenaikan biaya energi, menyebabkan biji kakao
kering terlalu asam serta terjadi case hardening (Rahmadewi, 2013). Laju
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 257
pengeringan yang cepat menggunakan konveksi paksa dengan suhu 60-70 oC
menyebabkan aroma asam yang kuat dan aroma coklatnya menjadi lemah bahkan
menyebabkan aroma coklatnya menjadi hilang (Fagunwa, et al. 2009).
Alternatif untuk mempercepat pengeringan kakao namun tetap
memepertahankan mutu kakao dengann biaya operasianal murah adalah dengan
menggunakan pengering matahari buatan (solar dryer) dengan menerapkan
prinsip efek rumah kaca (ERK). Pengering matahari efek rumah kaca merupakan
alat pengering buatan dimana sumber panas yang berasal dari matahari akan
masuk ke dalam ruang pengering melalui dinding palstik transparan dan sebagian
gelombang cahaya akan terperangkap di dalam ruang pengering sehingga
memanaskan udara di dalam ruang pengering. Alat pengering matahari tipe efek
rumah kaca telah banyak digunakan dalam proses pengeringan produk pertanian
diantaranya temu lawak (Aritestya dan Dyah, 2014), rosella (Wulandani, et al.
2010) dan bawang merah (Kumar dan Tiwari, 2007). Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui performa alat pengering matahari tipe efek rumah kaca dalam
pengeringan kakao.
METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan di Desa Karya Mukti Kecamatan Damsol
Kabupaten Donggala pada Bulan Oktober 2009, dengan menggunakan bahan
berupa biji kakao yang difermentasi menggunakan karung selama tiga hari.
Pengeringan kakao dilakukan dengan 3 cara yaitu pengeringan menggunakan alat
pengering matahari tipe emisi rumah kaca (ERK), pengeringan dengan lantai
jemur (beton), dan pengeringan dengan para-para bambu. Sumber energi yang
digunakan ketiga cara tersebut berasal dari panas matahari. Biji kakao basah
dihaparkan pada alat pengering / rak alat pengering dengan ketebalan satu lapisan
biji kakao.
Gambar 1. Cara dan alat yang digunakan dalam pengringan kakao : a. Alat
pengering matahari tipe ERK, b. Lantai jemur (beton), c. Para-para bambu.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 258
Pengeringan dilakukan pada saat cuaca cerah dan tidak mendung atau
hujan, dimulai pada pagi hari hinga sore hari. Pengeringan dilakukan sampai
kadar air mencapai kadar air kira-kira 7 %. Pengamatan dilakukan terhadap suhu
lingkungan dan suhu pada alat pengering, kelembaban (RH) lingkungan
menggunakan thermometer bola basah dan bola kering, lama waktu pengeringan,
perubahan kadar air bahan (metode oven), laju pengeringan serta mutu kakao.
Data dianalisa secara teknis dan menggunakan statistik deskriptif sederhana.
HASIL DAN PEMBAHSAN
Dari hasil pengamatan terhadap ketiga alat pengering pada kondisi tanpa
biji kakao diperoleh peningkatan suhu alat pengering dari suhu lingkungan,
seperti di perlihatkan dalam Gambar 2.
Gambar 2 Perbedaan suhu lingkungan dengan masing - masing alat pengering
dalam kondisi tanpa biji kakao
Rata - rata suhu lingkungan, suhu pada alat pengering tipe ERK, suhu
permukaan lantai beton dan suhu permukaan para-para bambu pada saat
pengamatan secara bertutur-turut adalah 34oC, 40
oC, 41,8
oC dan 48,7
oC. Dari
ketiga alat/cara penjemuran tersebut, beda suhu rata-rata dengan lingkungan
terbesar adalah pada lantai jemur mencapai 14 o
C, disusul para – para bambu 7.8
oC dan pengering buatan ERK 6
oC. Hal ini dipengaruhi oleh jenis bahan dari alat
dimana lantai jemur yang terbuat dari beton lebih banyak menyerap panas. Selain
itu dipengaruhi juga oleh letak biji kakao yang dikeringkan dimana pada lantai
jemur dan para – para bambu, biji kakao bersentuhan langsung dengan bahan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 259
penyerap panas sedangkan pada pengering buatan tipe ERK pengukuran suhu
diletakkan di rak yang memiliki jarak ruang dengan bahan penyerap panasnya
yang apabila diukur rata – rata mencapai rata 48,9 oC
Gambar 2 Hubungan antara suhu lingkungan dengan suhu alat/cara pengeringan
Gambar 2 memperlihatkan bahwa suhu alat pengering tipe ERK
merupakan suhu yang paling rendah selanjutnya suhu pengering para-para bambu
dan yang paling tinggi adalah suhu lantai jemur. Kisaran suhu yang terjadi di
dalam pengering tipe ERK berkisar antara 35-43,9 o
C, suhu pada para-para
bamboo berkisar 36-46,9 oC lantai dan suhu pada jemur berkisar antara 40-54
oC.
Walaupun suhu pengering tipe ERK lebih kecil dari suhu para-para bambu dan
lantai jemur, namun sebaran suhu pada pengering tipe ERK lebih stabil dibanding
dengan dua pengering lainnya hal ini dapat dilihat dari koefisien determinasi R2
yang diperoleh dimana R2 untuk pengering tipe ERK lebih tinggi dibanding
dengan pengering lainnya. Semakin tinggi nilai R2 menunjukkan sebaran suhunya
semakin mendekati garis reggresinya hal ini menunjukkan bahwa perubahan
suhunya relatif stabil dan sebaliknya semakin kecil nilai R2 menunjukkan sebaran
suhunya sangat fluktuatif. Hal ini juga dapat dilihat dari nilai standar erornya
dimana standar eror suhu pada pengering tipe ERK paling kecil (2,97) bila
dibandingkan dengan pengering para-para bambu (3,53) dan lantai jemur (4,62).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 260
Gambar 3 Penurunan kadar air selama pengeringan (8.30-16.30 WIT) : (a)
Pengering tipe ERK, (b) Pengering Lantai Beton, (c) Pengering Para-para banmbu
Pada Gambar 3 terlihat dari semua cara/alat pengering, laju pengeringan
pada hari pertama lebih tinggi dari pada hari kedua dan ketiga, hal ini dapat dilihat
dari kemiringan setiap kurva yang terbentuk dimana kurva hari pertama lebih
miring dari kurva hari ke duan dan ketiga. Pada hari pertama kadar air masih
tinggi sehingga lebih banyak air yang diuapkan, semakin lama pengeringan kadar
air bahan semakin sedikit sehingga lebih sedikit air yang dapat diuapkan. Hal
inilah yang menyebabkan laju pengeringan pada hari pertama pengeringan lebih
tinggi dari pada hari kedua, dan ketiga.
Hasil pengamatan terhadap proses pengeringan diketahui bahwa laju
pengeringan tercepat adalah pengeringan dengan lantai jemur beton (3.97 % air
bahan/jam), hal ini terjadi karena rata – rata suhu diatas lantai pada saat
pengeringan mencapai 48.9 o
C, lebih tinggi dari pengering buatan tipe ERK dan
dan para – para bambu.
Laju pengeringan pengering matahari tipe ERK lebih tinggi dibandingkan
dengan pengering para – para bambu walaupun rata – rata suhu pengeringan
antara kedua alat sama. Hal ini terjadi diduga karena pada alat pengeringan
matahari tipe ERK, laju aliran udara di dalam alat lebih cepat dibandingkan
dengan udara luar. Sehingga pengangkutan uap air yang ada di sekeliling biji
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 261
kakao juga menjadi lebih cepat. Hal ini disebabkan oleh bentuk alat pengering
buatan yang didesain sedemikian rupa berdasarkan sifat laju aliran udara dimana
udara yang dipanaskan pada bagian penyerap panas akan akan lebih ringan dari
udara di dalam ruangan rak yang lebih dingin sehingga udara yang di bawah
bergerak keatas. Karena pergerakan udara panas ke atas itulah yang menyebabkan
laju pengeringan menjadi lebih cepat. Tabel 2 memperlihatkan keragaan proses
pengeringan pada masing masing alat pengering.
Tebel 1 Keragaan proses pengeringan pada masing - masing alat pengering
Pengering
matahari tipe
ERK
Lantai jemur
beton
Para Para
Bambu
Berat Biji kakao fermentasi (Kg) 23,75 41,5 21
Kadar Air Awal (%) 56.91 65.09 53.44
Kadar Air Akhir (%) 7.00 7.00 7.00
Lama Pengeringan (jam) 17.64 14.65 21.90
Laju Pengeringan(%air bahan/jam) 2.83 3.97 2.12
Rata - Rata suhu pengeringan (oC) 44.60 48.90 44.60
Rata - Rata suhu lingkungan (oC) 36.50
Rata - Rata RH Lingkungan (%) 88.65
Perbedaan cara pengeringan juga menyebabkan adanya perbedaan mutu
kakao yang dihasilkan (Tabel 2):
Tabel 2. Pengaruh cara pengeringan terhadap mutu kakao yang dihasilkan
Pengering
buatan tipe
ERK
Lantai
jemur
beton
Para Para
Bambu
Jumlah biji per 100 gram
AA (maks 85 biji) % 34.88
A (maks 100 biji) %
36.51 33.04
B (maks 110 biji)%
C (maks 120 biji) % 23.2 32.55
Sub (maks > 120 biji) %
33.18
Biji Pipih dan hampa % 29.50 14.31 21.20
Benda asing, kotoran, Biji rusak %, 12.42 16.00 13.21
Tak Terfermentasi % 19.5 18 29
Biji Berjamur % - - -
Berserangga dan berkecambah % - - -
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 262
Parameter yang dipengaruhi oleh alat pengering adalah kadar kotoran,
benda asing dan biji rusak. Pada alat pengering buatan tipe ERK, persentase
tersebut lebih sedikit, kemudian disusul para - para bambu kemudian lantai jemur.
Hal ini terjadi karena pada pengering buatan tipe ERK terdapat kawat rak dan
pada para - para bambu terdapat celah yang dapat meloloskan kotoran - kotoran
berupa sisa - sisa plasenta dan pulp yang mengering. Pengeringan pada alat
pengering buatan tipe ERK dalam kondisi tertutup sehingga terhindar dari
masuknya benda - benda asing.
Selain itu parameter yang dipengaruhi oleh pengeringan adalah biji
berjamur dan biji berkecambah. Biji berjamur tidak ada karena proses
pengeringan berjalan dengan cepat (2-3 hari) dan kadar air akhir rata - rata 7%
sedangkan biji berkecambah selain dipengaruhi oleh proses fermentasi juga
dipengaruhi oleh proses pengeringan dimana tidak ditemukan biji berkecambah
hal ini juga disebabkan karena proses pengeringan berlangsung cepat dan kadar
air yang diperoleh rata – rata 7%.
Kesimpulan
1. Rata-rata suhu alat pengering tipe ERK (40 oC) lebih kecil bila dibandingkan
dengan pengering para-para bambu (41,8 oC) dan lantai jemur (48,7
oC)
2. Laju pengeringan tercepat terjadi pada lantai jemur (3,97%air/jam), disusul
alat pengering buatan tipe ERK (2,83%air/jam) dan para - para bamboo
(2,12%air/jam)
3. Kadar kotoran yang paling sedikit terdapat pada pengering buatan tipe ERK
(12,42%) disusul para - para bambu (13,21%) dan lantai jemur (16%).
Daftar Pustaka
Aritestya E dan Dyah W, 2014. Performance of the Rack Type-Greenhouse Effect
Solar Dryer for Wild Ginger (Curcuma xanthorizza Roxb.) Drying,
Elsevier, Energy Procedia 47 ( 2014 ) 94 – 100.
beritapalu.com, 2013. Jumlah Produksi Kakao di Sulteng Menurun,
http://beritapalu.com/berita/ekonomi/2857-jumlah-produksi-kakao-di-
sulteng-menurun [6 Oktober 2014].
Fagunwa AO, OA. Koya, and M.O. Faborode. 2009. Development of an
Intermittent Solar Dryerfor Cocoa Beans. Agricultural Engineering
International: the CIGR Ejournal. No. 1292. Vol. XI.
Farel H. Napitupulu dan Putra Mora Tua, 2012. Perancangan Dan Pengujian Alat
Pengering Kakao Dengan Tipe Cabinet Dryer Untuk Kapasitas 7,5 Kg Per-
Siklus, Jurnal Dinamis,Vol. II, No.10, Hal 8-18.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 263
Hayati R, Yusmanizar, Mustafril, H. Fauzi, 2012. Kajian Fermentasi dan Suhu
Pengeringan pada Mutu Kakao (Theobroma cacao L.), Jurnal Keteknikan
Pertanian, Vol. 26, No. 2, hal 129-135.
Kementan, 2103. Statistik pertanian 2013, Pusat Data dan Informasi Pertanian,
Kementrian Pertanian, Jakarta.
Kumar A dan GN Tiwari, 2007. Effect of mass on convective mass transfer
coefficient during open sun and greenhouse drying of onion flakes,
Elsevier, Journal of Food Engineering 79 (2007) 1337–1350.
Ndukwu M.C. 2009. Effect of Drying Temperature and Drying Air Velocity on
the Drying Rate and Drying Constant of Cocoa Bean Agricultural
Engineering International: the CIGR Ejournal. Manuscript 1091. Vol. XI.
Rahmadewi YM, 2013. Evaluasi Coklat Batang dari Biji Kakao Rakyat Hasil
Pengeringan Menggunakan Penjemuran dan Pengering Mekanis, Tesis,
Program Pascasarjana Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah
Mada, Yogyakarta
Wulandani D, Nelwan LO, Subrata IMD, Sutoyo E, Mahardika G 2010. Kinerja
pengering berenergi surya dan biomassa untuk pengeringan rosella
(Hibiscus sabdariffa). Inovasi online; 18(22):61-66.
(http://io.ppijepang.org/j/files/Inovasi-Vol18-Nov2010.pdf) [6 Oktober
2014]
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 264
Identifikasi Spesies Lalat Buah yang Terperangkap Pada Perangkap
Melaleuca bracteata pada Tanaman Cabai di Kebun Bibit Induk (KBI)
Kebun Percobaan Sidondo
Asni Ardjanhar, A. Dalapati, Abdi Negara
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah
Jalan LasosoNo.62, Biromaru Telp (0451)482546
Abstrak
Cabai merah besar (Capsicum annuum L.) merupakan produk hortikultura yang memiliki
nilai ekonomis tinggi, dimana cabai merah besar merupakan bumbu pokok yang hampir
setiap hari digunakan oleh rumah tangga, dalam klasifikasi serangga dan ciri-cirinya,
lalat buah (Bactocera sp) termasuk dalam filum Antrhopoda, kelas Insekta, ordo Diptera.
Penelitian dilkasanakan pada bulan Juli – September 2014 di lahan Kebun Bibit Induk
(KBI) Kebun Percobaan Sidondo, Desa Sidondo III, Kecamatan Biromaru, Kabupaten
Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah, yang bertujuan untuk mengidentifikasi jenis spesies lalat
buah yang terperangkap pada perangkap melaleuca bracteata pada tanaman cabai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa spesies Bactocera adalah Dorsalis dan jumlah
serangga yang terperangkap setiap dua minggu adalah rata-rata 18 ekor, 20 ekor dan 21
ekor.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci : identifikasi, spesies lalat buah, melaleuca bracteata, cabai.
PENDAHULUAN
Cabai merah besar (Capsicum annuum L.) merupakan produk hortikultura
yang memiliki nilai ekonomis tinggi, dimana cabai merah besar merupakan
bumbu pokok yang hampir setiap hari digunakan oleh rumah tangga. Di daerah
tertentu seperti Menado dan Padang, cabai merah besar sudah merupakan
kebutuhan bumbu pokok setiap harinya, mengingat di kedua daerah ini
masyarakatnya merupakan pencinta masakan bercita rasa pedas. Selain sebagai
bumbu, cabai merah juga dimanfaatkan dalam industri farmasi, sebagai salah satu
bahan dalam pembuatan obat.
Tanaman cabai diperbanyak melalui biji. Biji yang dipilih sebagai benih
untuk ditanam adalah biji yang berasal dari tanaman yang sehat, bebas hama dan
penyakit. Keperluan benih cabai untuk luas lahan 1 ha adalah ± 180 gr, jika
populasi tanaman per ha antara 18.000 – 20.000 tanaman. Cabai dapat ditanam
pada dataran rendah sampai ketinggian 2000 meter dpl pada tanah yang kaya
humus, gembur dan tidak tergenang air dengan pH tanah yang ideal sekitar 5-6.
Tanaman cabai sebelum dipindahkan ke lapangan melalui persemaian terlebih
dahulu. Jarak tanam tidak rapat, karena jika rapat dapat berakibat penangkapan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 265
sinar matahari setiap tanaman berkurang dan kelembaban udara sekitar kebun
meningkat. Kelembaban yang tinggi seringkali dapat meningkatkan serangan
hama dan penyakit. Tanaman cabai sudah dapat dipanen pertama kali pada umur
70 – 80 hari setelah tanam tergantung dari jenis cabai yang diusahakan.
Dalam budidaya cabai selain faktor iklim, serangan hama dan penyakit
merupakan faktor yang menurunkan produksi cabai. Hama utama pada tanaman
cabai salah satunya adalah lalat buah. Serangan lalat buah cukup merugikan, dapat
menyebabkan buah cabai menjadi rusak dan busuk karena perilaku lalat buah
betina meletakkan telur pada buah, kemudian telur menetas menjadi larva dan
memakan daging buah, selanjutnya buah akan gugur sebelum waktunya.
Untuk mengatasi serangan lalat buah, dapat dilakukan secara kimiawi
menggunakan insektisida ataupun secara mekanik menggunakan alat perangkap.
Keuntungan penggunaan alat perangkap ini dalam menekan populasi lalat buah
karena sifatnya yang ramah lingkungan, tidak meninggalkan residu pada buah
seperti halnya jika menggunakan insektisida. Cara kerja alat perangkap lalat buah
ini pada dasarnya menyebarkan aroma lalat betina sehingga menarik lalat jantan
dan akhirnya terperangkap dalam alat tersebut dimana didalamnya telah diisi
dengan kertas berperekat. Dengan ditangkapnya lalat jantan, maka generasi baru
dari lalat buah ini dapat ditekan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi spesies lalat buah yang terperangkap dalam perangkap melaleuca
bracteata.
METODOLOGI
Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan bulan Juli – September 2014 di lahan Kebun Bibit Induk
(KBI) Kebun Percobaan Sidondo, Desa Sidondo III, Kecamatan Biromaru,
Kabupaten Sigi, Propinsi Sulawesi Tengah.
Metode
Lahan cabai yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas 325,50 m2
(10,50 m x 31 m). Jarak tanam yang digunakan adalah 70 cm x 50 cm dengan
populasi tanaman sebesar 854 buah. Varietas cabai yang digunakan adalah cabai
merah kencana. Alat perangkap lalat buah berupa kertas segitiga yang didasarnya
diletakkan kertas lem lalat dan di atas kertas terdapat kapas yang digantungkan
pada seutas kawat, dimana sebelumnya kapas tersebut dicelup dalam minyak
melaleuca bracteata. Dengan mencium aroma minyak melaleuca bracteata lalat
akan tertarik masuk kedalam alat perangkap dan akhirnya terperangkap pada lem
lalat. Kertas lem lalat dan kapas akan diganti setiap dua minggu sekali hingga
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 266
pengamatan terakhir selama 1 ½ bulan. Perangkap lalat buah yang dipasang
sebanyak 3 buah.
Pengamatan dilakukan terhadap populasi serangga yang tertangkap.
Pengambilan sampel dan identifikasi lalat buah yang tertangkap setiap dua
minggu, dihitung dan diidentifikasi melalui mikroskop untuk mengetahui jenis
spesies yang tertangkap. Spesimen lalat buah yang terperangkap, dikeringkan
kemudian diidentifikasi berdasarkan kunci determinasi serangga lalat buah
berdasarkan Drew (1989), White dan Elson Haris (1992) dan Hollingsworth
(2001).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil identifikasi pada lalat buah yang terperangkap, maka lalat
buah yang menyerang cabai adalah dari spesies Dorsalis, hal ini sesuai dengan
cirri-ciri morfologisnya, yaitu torak berwarna hitam dan pada bagian dorsal di
daerah pinggir torak dekat pangkal sayap terdapat bercak kuning memanjang.
Abdomennya berwarna cokelat bata, pada bagian dorsalis terdapat gambaran
berupa hutuf T berwarna hitam. Rentang sayap dewasa sekitar 15 mm dengan
tubuh sepanjang 8 mm. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri morfologis yang
dikemukakan oleh Putra, NS (1994).
Berdasarkan hasil pengamatan lalat buah yang terperangkap, rata-rata
jumlahnya hampir sama, namun cenderung menurun. Jumlah lalat buah yang
terperangkap perdua minggunya dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Jumlah lalat buah yang terperangkap pada minggu kedua sampai
minggu kedua belas
Waktu Pengamatan Jumlah Serangga Tertangkap (Ekor)
Minggu ke-2 (bulan Juli)
Minggu ke-4 (bulan Juli)
Minggu ke-6 (bulan Agustus)
Minggu ke-8 (bulan Agustus)
Minggu ke-10 (bulan September)
Minggu ke-12 (bulan September)
15
25
25
26
26
19
Berdasarkan tabel 1 rata-rata hasil tangkapan perbulannya mencapai 40 – 46
ekor lalat buah. Hasil ini cenderung menurun, hal sama dikemukakan oleh
Kardinan (1997) bahwa tangkapan populasi lalat buah pada beberapa komoditas
seperti belimbing, jambu biji dan mangga cenderung menurun. Hal ini mungkin
disebabkan oleh dua faktor, pertama memang pola fluktuasi populasi lalat buah di
Sidondo demikian bentuknya, artinya pada bulan agustus kedua dan September
kesatu populasi tinggi dan menurun pada bulan september kedua mungkin
penurunan populasi ini merupakan dampak dari pemasangan melaleuca bracteata,
sehingga dengan banyaknya lalat buah yang terperangkap, maka populasinya terus
menurun sejalan dengan waktu.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 267
Lalat buah (B. dorsalis) hidup bersimbiosis mutualisme dengan suatu bakteri,
sehingga apabila lalat meletakkan telur pada buah, maka akan selalu disertai
bakteri dan mungkin disusul jamur yang pada akhirnya mengakibatkan buah
busuk (Hill, 1983). Bakteri ini berada pada dinding saluran telur (Karlie, 1992)
serta dibagian tembolok dan usus (Ria, 1994). Kerusakan buah dapat mencapai
100%. Di Indonesia lalat ini mempunyai inang lebih dari 26 jenis yang terdiri dari
sayuran dan buah (Balai Karantina Pertanian Jakarta, 1994). Seekor lalat betina
mampu meletakkan pada buah sebanyak 1-10 butir dan dalam sehari mampu
meletakkan telur sampai dengan 40 butir. Telur ini kemudian menetas menjadi
belatung dan merusak buah. Sepanjang hidupnya seekor lalat betina mampu
bertelur sampai 800 butir (Metcalf dan Flint, 1951, Karlie, 1992, Samodra 1994).
Salah satu kendala dari agribisnis buah-buahan adalah menurunnya kualitas
dan kuantitas buah sebagai akibat dari serangan lalat buah. Pengendalian dengan
pestisida dirasakan cukup menyulitkan petani, mengingat saat ini harga pestisida
meningkat tajam hingga mencapai 3-5 kali lipat. Salah satu alternatif
pengendalian yang tidak kalah ampuhnya adalah dengan penggunaan pestisida
nabati yang berasal dari daun melaleuca bracteata. Daun melaleuca bracteata
mengandung minyak atsiri dengan rendemen 1,14% sedangkan minyaknya
mengandung 76% komponen utama metal eugenol (C12H14O2) yang bekerja
sebagai pemikat terhadap hama lalat buah. Pohon melaleuca bracteata mudah
diperbanyak dan dibudidayakan serta mampu beradaptasi dengan lingkungan,
sehingga ketersediaan bahan baku dapat berkesinambungan. Hasil pengujian
dibeberapa tempat termasuk di luar Jawa menunjukkan bahwa minyak ini efektif
dalam memerangkap hama lalat buah, bahkan di Jagakarsa, Jakarta Selatan pada
bulan Januari 1997 mampu memerangkap sekitar 1700 lalat buah/bulan.
Pendapatan petani buah belimbing di Jagakarsa, Jakarta Selatan meningkat
sebesar Rp. 13.000/pohon/musim setelah menggunakan minyak melaleuca
(Kardinan, A., 1999). Minyak melaleuca mempunyai prospek yang baik untuk
digunakan sebagai bahan alternatif pengendali populasi hama lalat buah di
Indonesia, bahkan memungkinkan sebagai komoditas ekspor.
Daun melaleuca dapat diproses melalui dua cara, yaitu secara sederhana dan
laboratorium. Cara ekstraksi sederhana lebih berorientasi kepada petani kecil,
sedangkan cara laboratorium lebih berorientasi industri. Cara sederhana yaitu
dengan mencampur daun dengan air (konsentrasi 10%, b/v) yang ditambah 0,10%
deterjen, diendapkan semalaman dan keesokan harinya cairannya dapat
digunakan. Sedangkan cara laboratorium adalah dengan cara penyulingan.
Ekstraksi sederhana (tanpa harus disuling) mampu memerangkap lalat buah
sebanyak 127 ekor/minggu (tabel 2) tidak jauh berbeda dengan hasil tangkapan
minyak sulingan (Kardinan dan Iskandar, 1997).
Tabel 2. Jumlah lalat buah terperangkap pada minggu ke-1 dan ke-2
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 268
Perlakuan Jumlah serangga terperangkap
Minggu I Minggu II
ME (tetes 2 minggu) 145 5
ME (tetes tiap minggu) 132 135 Ket : ME = minyak hasil penyulingan
Sumber : Kardinan dan Iskandar, 1997
Hasil observasi mengenai fluktuasi lalat buah didaerah Cilebut dan Citayan
menggunakan minyak melaleuca menunjukkan bahwa populasi lalat buah
berfluktuasi relatif stabil dan merata, yaitu rata-rata tangkapan per bulannya
mencapai 47,75 di Cilebut dan 58 di Citayan (tabel 3). Kedua lokasi tersebut
memang berdekatan sehingga ekosistemnya relatif sama.
Tabel 3. Jumlah lalat buah terperangkap di daerah Cilebut dan Citayan (Jawa
Barat)
Waktu Penangkapan Cilebut Citayan
Oktober 1996
November 1996
Desember 1996
Januari 1997
43
69
29
50
39
94
39
60
Rata-rata 47,75 58,00
Sumber : Kardinan, 1997
KESIMPULAN
1. Lalat buah yang terperangkap menunjukkan lalat buah yang menyerang cabai
di KBI KP Sidondo adalah spesies Dorsalis.
2. Pemasangan perangkap Melaleuca bracteata menyebabkan banyaknya lalat
buah yang terperangkap.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Karantina Pertanian Jakarta 1994. Hasil pemantauan daerah sebar hama lalat
buah (Diptera: Tepritidae) berikut tanaman inangnya. Seminar Nasional
Hasil Pemantauan Hama Lalat Buah 10-11 Pebruari 1994. 30 hal
Drew,R.A.I. 1989. The TropicalFruit Files (Diptera Tephritidae Dacinae) of
Australians and Ocenian Region Queensland Museum.
Hill, D.S. 1983 Agricultural insect pests of the tropics and their control 2nd
ed
Cambridge University Press p. 391-392.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 269
Kardinan, A. 1997 . Pengolahan dan Pengujian berbagai jenis insektisida botani .
Makalah pada Pra Raker II Badan Litbang Pertanian, Evaluasi Penelitian
dan Pengembangan Pertanian , Bogor , 28-30 Januari 1997.
Kardinan , A . dan M. Iskandar . 1997 . Pengaruh daya pikat (attractant) ekstrak
sederhana daun melaleuca bracteata terhadap lalat buah bactrocera
dorsalis.Laporan Hasil Penelitian 1996/97. Balai Penelitian Tanaman
Rempah dan Obat. 7 hlm.
Kardinan, A. 1999 Prospek Minyak Daun Melaleuca bracteata Sebagai
Pengendali Populassi Hama Lalat Buah (Bactrocera dorsalis ) di Indonesia.
Jurnal Litbang Pertanian 1999 . Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat. 17 hlm.
Metcalf ,C.L and W.P Flint. 1951. Destructive and useful insects. Their habits and
control MC. Graw- Hill Book Company inc.p.760-762
Putra, N, S., Hama Lalat Buah dan Pengendaliannya 43 Hlm.
Ria , A. 1994. Perangkap alami lalat buah dengan bakteri. Trubus 300 TH XXV
November 1994. Hlm 61
White M and M. Elson Harris. 1992. Fruit Files of Economic Significance. Their
Identification and Bionomics CAB International. ACIAR
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 270
Potensi Pengembangan Tanaman Kenaf (Hibiscus Cannabinus L.) Di
Kalimantan Timur
M. Hidayanto dan N. Roupik A.
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur
Jl. PM. Noor-Sempaja, Samarinda
Email: [email protected]
ABSTRAK
Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) merupakan komoditas tanaman perkebunan
multiguna dan memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai
komoditas agroindustri dan agribisnis. Sebagai tanaman penghasil serat alam,
kenaf termasuk tanaman semusim yang mudah dibudidayakan dan dapat
beradaptasi di berbagai tipe lahan, seperti lahan sawah, bonorowo (banjir), tegal
(kering), pasang surut dan gambut. Kalimantan Timur, tanaman kenaf sangat
potensial untuk dikembangkan, karena provinsi ini memenuhi syarat dari
persyaratan ekologi (tanah dan iklim) di samping tersedia lahan yang cukup luas.
Potensi lahan di Kalimantan Timur untuk pengembangan kenaf sangat luas yaitu
sekitar 14 juta ha lahan masam, 900 ribu ha lahan rawa, 330 ribu ha lahan
gambut, 8 ribu ha lahan pasang surut dan 950 ha lahan lebak. Uji adaptasi
tanaman kenaf telah dilaksanakan di Kalimantan Timur sejak tahun 1998, yaitu
dengan uji galur harapan 85-9-75 yang produktivitasnya 3,6 ton/ha, dan galur
CPI 115357 produktivitasnya 2,7 ton/ha.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci: Hibiscus cannabinus L., potensi lahan, galur, Kalimantan Timur
I. PENDAHULUAN
Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) merupakan tanaman penghasil serat dari
kulit batangnya. Selain sebagai penghasil serat untuk bahan karung, kenaf dapat
digunakan sebagai bahan baku pulp atau kertas, karpet permadani, pelapis kulit
listrik, bahan penguat plastik, tali pengikat, door trim mobil, fibre board, dan
kerajinan. Sebagai bahan baku pulp, kenaf mempunyai banyak keunggulan
dibanding kayu yaitu lebih ramah lingkungan, lebih efisien tenaga dan biaya, serta
bahan bakunya lebih cepat tersedia (Anonim, 2006).
Salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan komoditas
kenaf di Indonesia adalah tingkat kompetisi dengan komoditas lain dalam
memperoleh lahan yang potensial/subur. Sebagai komoditas non pangan,
pengembangan kenaf di lahan-lahan subur tergeser oleh komoditas pangan. Untuk
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 271
mempertahankan keberadaannya, pengembangan kenaf harus diarahkan ke lahan
yang kurang potensial yang banyak terdapat diluar Jawa, khususnya di
Kalimantan yang memiliki lahan Podsolik Merah Kuning (PMK), sulfat masam,
dan gambut (Sudjindro et al., 1999).
Pengembangan areal perkebunan di Kalimantan Timur dari Kawasan
Budidaya Non Kehutanan (KBNK) berdasarkan Tata Ruang Kalimantan Timur
yang telah disepakati seluas ± 6.520.622,73 ha. Pemda Kaltim menetapkan
potensi lahan perkebunan sawit mencapai 4,7 juta ha sementara 0,61 juta ha
diperuntukan bagi pengembangan usaha perkebunan lainnya. Komoditi yang
cocok dikembangkan untuk sektor perkebunan antara lain: karet, kelapa hybrida,
kelapa sawit, kopi, lada, cengkeh dan kakao disamping komoditi perkebunan
lainnya seperti kenaf, abaca, nira, jarak dan tanaman farmasi lainya (Anonim,
2012a).
II. TANAMAN KENAF DI KALTIM
Kenaf merupakan nama untuk tanaman Hibiscus cannabinus di Persia
(Dempsey, 1975). Menurut Ben-Hill et al. (1960) sistematika tanaman kenaf
sebagi berikut:
Kingdom ……………………… Plant Kingdom
Divisio ………………………….. Spermatophyta
Subdivisio ……………………… Angiospermae
Klas …………………………….. Dicotyledeneae
Ordo ……………………………. Malvales
Famili …………………………… Malvaceae
Genus ………………………….. Hibiscus
Species …………………………. Hibiscus cannabius
Menurut Balittas (1996) morfologi tanaman kenaf membentuk akar
tunggang, panjang akar dapat mencapai 25 cm, akar lateralnya tegak lurus pada
akar tunggang, panjangnya 25-30 cm. Dalam keadaan tergenang air akar kenaf
masih dapat bertahan, dengan toleransi terhadap penggenangan tertentu. Batang
kenaf dapat mencapai tinggi 4 m dan diameter 25 mm, tergantung varietas, waktu
tanam, dan kesuburan tanah. Warna batang pada tanaman muda umumnya hijau,
akan berubah menjadi coklat kemerahan pada saat menjelang panen. Daun
tanaman kenaf letaknya berselang-seling, terletak pada cabang dan batang utama.
Kenaf memiliki daun tunggal yang terletak pada bagian bawah dan daun menjari
terletak pada bagian tengah dan atas. Bunga tanaman kenaf terdiri atas kelopak
tambahan, mahkota, benang sari dan putik. Bunga mulai dihasilkan pada minggu
ke 12 setelah tanam. Buah kenaf berbentuk bulat meruncing (kerucut), panjang 2-
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 272
2,5 cm dan diameter 1-1,5 cm. di dalam kapsul buah berisi 15-25 biji yang
berbentuk ginjal dan berwarna kelabu agak kecoklatan.
Tanaman kenaf dibudidayakan menggunakan benih, dan benih kenaf harus
berasal dari tanaman penghasil benih. Tanaman kenaf mengalami pertumbuhan
optimal berkisar pada umur 60-98 hari. Menurut Sastrosupadi (1984)
penggenangan berkisar 40-50 cm, tanaman kenaf masih mampu menghasilkan di
atas empat ton per hektar meskipun tanaman tergenang selama 60 hari. Hal ini
disebabkan kenaf memiliki fungsi untuk mengambil udara dari atmosfir yang
dibutuhkan untuk proses metabolism dalam tanaman kenaf.
Menurut Webber dan Bledsoe (2002) batang kenaf memiliki komposisi
35% kulit dan 65% inti, dihitung berdasarkan bobot berat. Kulit kenaf
mengandung serat yang panjang sedangkan bagian inti kenaf mengandung serat
yang leih pendek. Dimensi dan komposisi kimia serat kenaf dapat dilihat pada
Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Dimensi serat kenaf
Tipe serat Panjang sel
(mm)
Lebar sel
(micron)
Tebal dinding
sel (micron)
Lebar lumen
(micron)
Kulit 1,8 – 4,0 14 - 24 3,8 – 8,6 6,6 – 12,8
Inti 0,4 – 1,0 22 - 37 4,8 – 8,2 16,5 – 22,7
Sumber: Liu, 2004
Tabel 2. Komposisi kimia kenaf
Komposisi Kulit (%) Inti (%)
Lignin 21,1 – 23,3 18,7 – 20
Selulosa 53 – 57,4 37,6 – 51,2
Gula 70,6 – 75,9 68,3 – 70,2
Ekstraktif 2,5 – 2,7 1,7 – 1,9
Abu 5,9 – 8,3 2,9 – 4,2
Acetyl 2,0 – 2,7 3,5 – 4,0
Sumber: Sellers et al. (1996) dalam Maail (2006).
2.1. Syarat Tumbuh
Menurut Kirby (1963), spesies Hibiscus memiliki adaptasi yang luas pada
berbagai kondisi tanah dan iklim termasuk panjang hari, namun sensitive terhadap
frost sehingga untuk tujuan penanaman secara komersial hanya dapat dilakukan di
daerah tropis atau subtropis. Hal tersebut diperkuat hasil penelitian Berger (1969)
yang menyatakan bahwa pertumbuhan kenaf terutama dipengaruhi oleh jumlah
hari bebas frost, kesuburan tanah, air dan cahaya matahari. Secara umum, untuk
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 273
menghasilkan pertumbuhan yang baik dengan hasil yang optimal, dipengaruhi
oleh faktor curah hujan, kondisi tanah dan panjang hari.
Jenis Tanah
Kenaf memiliki toleransi yang baik pada berbagai macam jenis tanah,
namun tumbuh lebih baik pada tanah gembur, subur dan kaya akan bahan organik.
Di Afrika selatan kenaf tidak mampu tumbuh di lahan banjir saat telah mencapai
ketinggian tertentu (Kirby, 1963). Tanah liat berpasir pH antara 4,4 – 6,5 dengan
ketinggian tempat antara 0 – 600 m di atas permukaan laut sangat cocok bagi
pertumbuhan kenaf. Menurut Berger (1969) spesies Hibiscus memerlukan tanah
lempung berpasir atau lempung liat berpasir yang berdrainase baik dengan pH
antara 6 – 6,8 dan mengandung bahan organik tinggi.
Kebutuhan Air
Menurut Sastrosupadi (1986), kenaf memiliki siklus karbon C3 sehingga
transpirasi dan penggunaan air per satuan berat keringnya tergolong tinggi. Untuk
dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, maka kebutuhan air selama pertumbuhan
vegetatifnya harus terpenuhi. Curah hujan yang diperlukan tanaman kenaf
berkisar antara 20 – 25 inch selama 4-5 bulan pertumbuhannya (Kirby, 1963). Hal
tersebut dipertegas oleh Berger (1969) yang menyatakan bahwa kebutuhan curah
hujan tanaman kenaf selama 4-5 bulan berkisar antara 500 – 750 mm.
Hasil penelitian Sastrasupadi dan Sadtuhu (1987) menyimpulkan bahwa
selama 90 hari, kenaf mengevapotranspirasi air sebanyak 600 mm. Kebutuhan air
tersebut telah tercukupi oleh curah hujan, namun hal tersebut masih tergantung
pada sifat fisik tanahnya. Makin porous tanahnya akan semakin besar curah hujan
yang diperlukan.
Panjang Hari
Menurut Lakitan (1995), panjang hari sebagai lama penyinaran matahari
selama waktu sehari semalam (24 jam). Perbedaan lama periode penyinaran
matahari tersebut diakibatkan oleh perbedaan tempat menurut letak lintang bumi.
Kenaf merupakan tanaman hari pendek sehingga jika ditanam pada bulan dengan
periode penyinaran yang pendek akan mengalami pembungaan dini (Sastrasupadi
dan Santoso, 1991). Menurut Kirby (1963) batang kenaf harus tinggi dan
berdiameter besar agar diperoleh produksi serat yang optimal. Untuk itu tanaman
harus diusahakan sedemikian rupa agar periode vegetative tanaman jatuh pada
bulan berfotoperiode panjang. Ritme pergerakan matahari menunjukkan bahwa
matahari berada di khatulistiwa sebanyak dua kali setahun yaitu pada tanggal 21
Maret dan 23 September sedangkan pada tanggal 21 Juni matahari berada di 23,5o
LU dan pada tanggal 21 Desember berada pada 23,5o LS (Lakitan, 1995).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 274
2.2. Pertumbuhan Tanaman Kenaf pada Kondisi Kekeringan
Parsons (1982) membagi perubahan pertumbuhan tanaman akibat
kekeringan menjadi dua bagian, yaitu perubahan secara morfologi dan perubahan
secara fisiologi. Perubahan secara morfologi meliputi pengguguran daun,
perubahan sudut daun dan faktor perakaran sedangkan perubahan secara fisiologis
meliputi perubahan pada stomata, fotosintesis, translokasi dan distribusi asimilat,
penyesuaian keseimbangan osmotic dan akumulasi piroline.
Perubahan Morfologi
Pengguguran daun maupun pengurangan luas daun merupakan cara
tanaman untuk mengurasi kehilangan air (Parsons, 1982). Selain itu
pengembangan tanaman melalui pengurangan total luas daun merupakan cara
yang menguntungkan jika tanaman mampu berkompetisi efektif dengan gulma.
Respon morfologi terhadap kekeringan dapat juga meliputi peningkatan rasio akar
terhadap pucuk. Hal tersebut terjadi akibat penurunan pertumbuhan pucuk atau
peningkatan pertumbuhan akar maupun keduanya (Parsons, 1982).
Perubahan Fisiologi
Parsons (1982) menyatkan bahwa kutikula yang tebal dan berlilin
merupakan hal yang menguntungkan dalam pengurangan kehilangan air. Faktor
lain yang juga penting bagi tanaman untuk bertahan pada kondisi kekeringan
adalah faktor stomata. Hal tersebut antara lain dikemukana oleh Hurd (1976)
bahwa beberapa spesies menutup stomata lebih dini selama terjadi kekeringan.
Terpeliharanya tingkat potensi air yang lebih tinggi tampaknya berhubungan
dengan penutupan stomata yang lebih cepat selama kekeringan. Mansfield dan
Davies (1981) menyatakan pula bahwa penutupan stomata tersebut diperlukan
untuk menurunkan tingkat transpirasi dan untuk melindungi organel daun yang
sensitive terhadap kekeringan. Menurut Bidwell (1974) menyatakan bahwa
cekaman air atau potensi air daun merupakan faktor terpenting dalam
pengontrolan stomata melebihi pengaruh beberapa faktor lain seperti cahaya,
temperature dan konsentrasi CO2. Menurut Parsons (1982) potensi air pada saat
penutupan stomata dipengaruhi oleh umur tanaman, kondisi pertumbuahan, posisi
daun dan tingkat cekaman air yang terjadi. Menurut Khandakar (1995)
menyatakan bahwa kekeringan juga menginduksi sejumlah senyawa metabolik
tanaman. Akumulasi proline dalam jumlah besar (meningkat hingga 100 kali
dibandingkan kondisi normal) merupakan salah satu karakteristik cekaman yang
nyata.
2.3. Potensi lahan Untuk Kenaf di KalimantanTimur
Sejak tahun 1996 telah dilakukan mengembangkan budidaya kenaf
varietas Hc G4 di kabupaten Kutai Kartanegara, dan tahun 1997 telah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 275
dikembangkan di kotamadya Samarinda dan kabupaten Berau. Pada tahun 1998
telah dilakukan uji adaptasi 12 galur kenaf yang menghasilkan galur harapan 85-
9-75 dan Hc G4 dengan produktivitas serat 3,6 ton/ha pada jenis tanah Podsolik
Merah Kuning di Desa Bukit Raya, Kecamatan Sambojo, Kabupaten Kutai
Kartanegara; dan pada jenis lahan gambut di Desa Bukuan, Kecamatan Palaran,
Kota Samarinda dengan produktivitas serat 3,7 ton/ha untuk galur 85-9-75
(Saragih et al., 1998).
Widjaya Adhi et al (1992) dan Subagyo (1997) mendefinisikan lahan rawa
sebagai lahan yang menempati posisi peralihan diantara daratan dan sistem
perairan. Lahan ini sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam
setahun selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang. Menurut PP No. 27 Tahun
1991, lahan rawa adalah lahan yang tergenang air secara alamiah yang terjadi
terus menerus atau musiman akibat drainase alamiah yang terhambat dan
mempunyai ciri-ciri khusus baik fisik, kimiawi maupun biologis. Lahan rawa
dibedakan menjadi: (a) rawa pasang surut/rawa pantai, dan (b) rawa non pasang
surut/rawa pedalaman (Keputusan Menteri PU No. 64/PRT/1993). Potensi lahan
gambut di Kalimantan Timur sekitar 332 ribu hektar (Ritung et al, 2011), dan
lahan ini potensial untuk pengembangan tanaman kenaf.
Mulyani et al (2011) menyatakan bahwa penyebaran tanah masam
berdasarkan ordo tanah di Kalimantan Timur yaitu jenis Entisols 13.430 ha,
Inceptisols 4.989.666 ha, Oxisols 624.875 ha, Spodosols 147.766 ha, Ultisols
8.809.912, sehingga luasan lahan masam keselurahan mencapai 14.585.486 ha.
Dari Tabel 3 dan Tabel 4 telihat potensi lahan rawa di Kalimantan Timur
mencapai 904.978 ha, dan telah dibuka mencapai 17.123 ha. Luas lahan rawa dan
lebak berturut-turut mencapai 7.527 ha dan 950 ha (Distan Kaltim, 2011).
Tabel 3. Potensi dan luas lahan rawa yang telah dibuka di Kalimantan Timur.
No Kabupaten Potensi Lahan Rawa
(Ha)
Lahan Rawa yang Telah
dibuka (Ha)
1. Berau 33.372 1.352
2. Kota Tarakan *) 170.898 10
3. Kutai Timur 160.197 800
4. Kota Bontang - -
5. Samarinda 3.845 -
6. Kutai Kartanegara 304.316 2.165
7. Kutai Barat 11.844 817
8. Kota Balikpapan - -
9. Penajam Paser Utara 124.324 -
10. Paser 9.840 844
Jumlah 818.636 5.988 *) Sekarang termasuk wilayah Kalimantan Utara
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2011)
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 276
Tabel 4. Luas lahan pasang surut dan lebak di Provinsi Kalimantan Timur
No Kabupaten Pasang Surut (Ha) Lebak (Ha)
1. Berau 588 -
2. Kota Tarakan *) - -
3. Kutai Timur 100 53
4. Kota Bontang - -
5. Samarinda - -
6. Kutai Kartanegara 471 815
7. Kutai Barat - 5
8. Kota Balikpapan - -
9. Penajam Paser Utara 155 -
10. Paser 818 -
Jumlah 2.147 873
*) Sekarang termasuk wilayah Kalimantan Utara
Sumber : Dinas Pertanian Tanaman Pangan (2011)
KESIMPULAN
1. Kenaf merupakan komoditas tanaman perkebunan multiguna dan memiliki
prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai komoditas agroindustri
dan agribisnis yang ramah lingkungan.
2. Kalimantan Timur potensial untuk pengembangan kenaf, karena memenuhi
syarat dari segi ekologi (tanah dan iklim) dan ketersediaan lahan yang luas.
Potensi lahan di Kaltim untuk pengembangan kenaf sangat luas, terdapat
sekitar 14,6 juta ha lahan masam, 905 ribu ha lahan rawa, 332 ribu ha lahan
gambut, 7,5 ribu ha lahan pasang surut dan 950 ha lahan lebak.
3. Tanaman kenaf telah dikembangkan sejak tahun 1996 di Kalimantan Timur
dan pada tahun 1998 telah dilakukan galur 85-9-75 dan Hc G4 untuk jenis
tanah Podsolik Merah Kuning dengan produksi serat 3,6 ton/ha, serta galur
85-9-75 dengan produksi serat 3,7 ton/ha untuk lahan gambut.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Pemanfaatan lahan sulfat masam berwawasan lingkungan dalam
mendukung peningkatan produksi beras nasional. Pengembangan Inovasi
Pertanian Vol 1 No 2.
Anonim. 2012a. Potensi Daerah Provinsi Kalimantan Timur.
http://www.kadinkaltim.com/?p=417 (Diunduh 3 september 2012).
Anonim. 2012b. Kenaf. http://balittas.litbang.deptan.go.id/ind/index.php? Option
=com_content&view=category&id=61&Itemid=112. (Diunduh september
2012).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 277
Balittas. 1996. Kenaf: Buku 1. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat.
Malang.
Berger, J. 1969. The World’s Major Fibre Crop: Their Cultivation and Manuring.
Center d’Etude de’l Azota. Zurich. 294 p.
Bidwell, R. G. S. 1974. Plant Physiology. Macmillan Publ. Co. New York. 643 p.
Dempsey, J. M. 1975. Fiber Crops. Rose Printing Company. Florida.
Hurd, E. A. 1976. Plant Breeding for Drought Resistence. In T. T. Kozlowski
(Ed.). Water Deficits and Plant Growth. Academic Press. Londong. 317-
345 p.
Khandakar, A. L. 1995. Mannual of Methods for Physio-Morphological Studies of
Jute, Kenaf and Allied Germplasm. International Jute Organization. 129 p.
Kirby, R. H. 1963. Vegetable Fibre. Leonard Hill Books Ltd. London. 473 p.
Kramer, P. J. 1963. Water Stress and Plant Growth. Agron. J. 55:31-35.
Lakitan, B. 1995. Dasar-dasar Klimatologi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
175 p.
Liu, A. 2004. Making Pulp and Paper from Kenaf. CCG International.
Maail, R. S. 2006. Papan Semen-Gypsum dari Core-Kenaf (Hibiscus cannabinus
L.) Menggunakan Teknologi Pengeresan Autoclave. Sekolah Pascasarjana.
Instiut Pertanian Bogor. Bogor. (Tesis).
Masfield, T. A. dan W. J. Davies. 1981. Stomata and Stomatal Mechanism. In L.
G. Paleg dan D. Aspinall (Eds.). The Physiology and Biochemistry of
Drought Resistance in Plants. Academic Press. New York. 315-347 p.
Mulyani, A., A. Rachman, dan A. Dairah. 2011. Penyebaran Lahan Masam,
Potensi dan Ketersediannya Untuk Pengembangan Pertanian. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Parsons, L. R. 1982. Plants Response to Water Stress. In M. N. Christiansen dan
C. F. Lewis (Eds.). Breeding Plants for Favourable Environments. John
Wiley and Sons. New York. 175-189 p.
Purwati, R. D., dan Marjani. 2009. Evaluasi Ketahanan Plasma Nutfah Kenaf
Terhadap Cekaman Fe pada pH Masam. Buletin Tanaman Tembaku, Serat
dan Minyak Industri. No. 1 Vol. 1 Balai Penelitian Tanaman Tembakau
dan Serat. Malang.
Ritung, S., Wahyunto, K. Nugroho, Sukarman, Hikmatullah, Suparto, C.
Tafakresnanto. 2011. Peta Lahan Rawa Indonesia Skala 1 : 250.000. Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 278
Sastrosupadi, A. 1986. Tanaman Kenaf (Hibiscus cannabinus L.) sebagai Bahan
Baku Pulp. Dalam Soekartawi (Ed.). Komoditi Serat Karung di Indonesia.
UI Press. Jakarta. 206-226 p.
Sastrosupadi dan Sadhutu. 1987. Pengaruh Interval Pemberian Air Terhadap
Pertumbuhan Kenaf dan Yute. Fakultas Pertanian UPN Surabaya. Skripsi.
Sastrosupadi dan B. Santoso. 1991. Penyempurnaan Teknik Budidaya Tanaman
Serat Karung di Lahan Bonorowo dan Lahan Kering. Prosseding Temu
Tugas Penelitian - Penyuluh Bidang Tanaman Perkebunan/Industri. Balai
Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat. Malang. 190 p.
Saragih, J., Jiyanto, S. Wibowo dan Sudjindro. 1998. Uji Adaptasi Teknologi
Tanaman Kenaf. Loka Pengkajian Teknologi Pertanian. Badan Litbang
Pertanian. Samarinda. 39 p.
Sudjindro, B. Heliyanto, R. D. Purwati dan D. Sunardi. 1999. Evaluasi Ketahanan
Galur Kenaf, Yute dan Rosela Terhadap Stress Lingkungan. Laporan Hasil
Penelitian TA. 1998/1999. Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Serat.
Malang.
Webber dan Bledsoe. 2002. Kenaf Hervesting and Processing. Alexandria : ASHS
Press. http://www.hort.purdue.edu/newcrop/nenu02/pdf/webbe-348.pdf
(Diakses pada tanggal 5 April 2007).
Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, Didi Ardi S. dan A. Syarifuddin Karama.
1992. Sumberdaya Lahan Pasang Surut, Rawa dan Pantai: Potensi,
Keterbatasan dan Pemanfaatannya. Makalah utama, disajikan dalam
Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian Lahan Pasang Surut dan
Rawa. Bogor, 3-4 Maret 1992. SWAMPII. Badan Litbang Pertanian.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 279
Pengendalian Gulma Dengan Herbisida Pratumbuh Pada Budidaya Padi
Sistem Tabela Di Kabupaten Buol Sulawesi Tengah
I Ketut Suwitra1, Ruslan Boy, Hamka dan Mahfudz
2
1BPTP Sulawesi Tengah, Jl Lasoso No 62 Biromaru 2Universitas Tadulako, Jl Soekarno-Hatta, Palu
e-mail: [email protected]
Abstrak
Gulma merupakan salah satu kelompok organisme pengganggu tanaman (OPT) yang
menjadi pesaing bagi tanaman padi dalam memperoleh hara, air, sinar matahari, CO2,
dan lahan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis herbisida pra
tumbuh yang efektif untuk mengendalikan gulma berdaun sempit pada budidaya padi
sawah dengan sistem tanam benih langsung (tabela). Aplikasi herbisida ini diharapkan
mampu mengendalikan gulma sejak dini sehingga terjadinya peningkatan produktivitas
pada tanaman padi. Kajian ini dilaksanakan di lahan milik petani Desa Pinamula
Kecamatan Momunu, Kabupaten Buol, Propinsi Sulawesi Tengah.pada Bulan Juli
sampai dengan bulan Desember 2015. Rancangan yang digunakan adalah rancangan
acak kelompok (RAK) dengan tiga perlakuan herbisida pratumbuh yang bersifat sistemik
dan selektif dengan bahan aktif etil Pirazosulfuron (H1), oksifluorfen (H2); klomazone
(H3); dan kuinklorak (H4) dan tanpa pemberian herbisida (Kontrol), yang diulang
sebanyak tiga kali, pada lahan masing-masing seluas 0,5 ha. Hasil kajian menunjukkan
bahwa herbisida berbahan aktif etil pirazosulfuron, klomazone dan Kuinklorak sangat
efektif mengendalikan gulma dari golongan rumput-rumputan (Echinochloa colona) dan
oksifluorfen efektif mengendalikan teki-tekian (Cyperus difformis dan Fimbristylis
miliacea).
---------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Gulma, Herbisida, Pratumbuh, Budidaya, Padi, Tabela
PENDAHULUAN
Di Sulawesi Tengah, sistem tabela sudah mulai memasyarakat dan banyak
digunakan oleh petani padi sawah, terutama di daerah yang ketersediaan tenaga
kerja terbatas, termasuk Kabupaten Buol. Tanam padi sistem tabela memberikan
beberapa keunggulan atau kelebihan dibandingkan cara tanam konvensional
karena lebih efisien. Masalah yang sulit dikendalikan pada usahatani padi dengan
sistem tabela adalah pertumbuhan gulma. Bahkan diduga turut mempercepat
tumbuhnya biji gulma karena besar dan lamanya area yang terbuka disaat awal
tabela sehingga mendorong gulma tumbuh lebih cepat. Masalahnya, benih padi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 280
dan biji gulma tumbuh bersama-sama. Keberhasilan budidaya padi sistem tabela
ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya pengelolaan gulma. Pengelolaan
gulma pada pertanaman padi sawah perlu dilakukan untuk menunjang
pertumbuhan padi optimal. Selain itu juga, sistem tabela ternyata kurang cocok
bila dilakukan saat musim penghujan.
Gulma merupakan salah satu kelompok organisme pengganggu tanaman
(OPT) yang menjadi pesaing bagi tanaman padi dalam memperoleh hara, air, sinar
matahari, CO2, dan lahan (Lamid 1996). Persaingan gulma dengan padi dapat
mengakibatkan penurunan hasil antara 11-55% pada sistem tanam pindah dan
55% pada sistem tabela (De Datta; Bangun; Nyarko dan De Datta; Ridwan dalam
Koloi, 2005). Tanpa pengendalian, gulma mampu menurunkan hasil padi sawah
32-42%, bergantung pada varietas padi yang ditanam dan agroekosistem (Sutanto,
1997). Kehilangan hasil padi sistem tabela lebih tinggi daripada sistem tapin,
yakni 1,0 t/ha bila tidak disiangi (Supaad dan Cheong dalam Koloi, 2005). Selain
itu juga, gulma mampu beradaptasi, tumbuh, dan berkembang pada semua
agroekosistem dan dalam kondisi iklim yang telah berubah. Aplikasi herbisida
termasuk cara pengendalian gulma yang efektif, mudah, dan murah dibandingkan
dengan cara manual (Sutanto, 1997). Namun, penggunaan herbisida sejenis pada
setiap musim tanam dapat menimbulkan resistensi jenis gulma tertentu sehingga
menghendaki alterasi aplikasi bahan aktif yang berbeda (Lamid et al. 1996) .
Pada lahan budidaya padi sawah, dinamika populasi gulma akan
menentukan tindakan pengendalian yang tepat. Pada dinamika populasi gulma,
golongan gulma yang dominan merupakan target utama untuk dikendalikan
karena berpotensi sebagai pesaing tanaman budidaya. Perlu diwaspadai bahwa
gulma minor akan muncul sebagai pesaing pengganti pada musim tanam
berikutnya, oleh karena itu, keberagaman tersebut menghendaki pendekatan
pengendalian yang spesifik (Lamid 1996). Untuk itu pemilihan herbisida yang
selektif dan efektif serta waktu aplikasi yang tepat mutlak dibutuhkan untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma dengan sistem tanam tabela. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Djojosoemarto (2008) yang menyatakan bahwa pemilihan
jenis herbisida sangat menentukan keberhasilan pengendalian gulma. Oleh sebab
itu penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis herbisida pra tumbuh yang
efektif untuk mengendalikan gulma berdaun sempit pada budidaya padi sawah
dengan tabela. Aplikasi herbisida ini diharapkan mampu mengendalikan gulma
sejak dini sehingga terjadinya peningkatan produktivitas pada tanaman padi.
METODOLOGI
Kajian ini dilaksanakan pada Bulan Juli – Desember 2013. Lokasi
pelaksanaan berada di Desa Pinamula Kecamatan Momunu Kab. Buol.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 281
Pendekatan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah on farm extension, dimana
petani dijadikan koperator. Dalam melaksanakan kegiatan di lapangan
menggunakan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Lahan potensial
yang sesuai dan layak untuk pelaksanaan kegiatan adalah lahan irigasi, baik
dengan irigasi teknis maupun sederhana.
Alat yang dipakai dalam pengkajian ini adalah hand traktor, pacul, hand
sprayer dan alat perontok. Sedangkan bahan yang digunakan adalah benih padi
Inpari 20, pupuk phonska, urea, SP-36 dan KCl (tergantung hasil uji status hara
tanah), pestisida dan herbisida.
Kajian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan
model matematiknya (Steel and Torrie, 1991) :
Yijk = u + Rk + Ai + δik + Bj + ABij +ijk
Rk = pengaruh kelompok ke-k
• Ai = pengaruh perlakuan faltor A taraf ke-I
• δ ik = pengaruh galat (a)
• Bj = penarguh perlakuan actor B taraf ke-j
• (AB)ij = pengaruh interaksi
• eijk = pengaruh galat (b)
Perlakuannya adalah jenis herbisida pra tumbuh dengan simbol H.
Herbisida yang digunakan adalah yang sistem kerjanya sistemik dan selektif
dengan bahan aktif etil pirazosulfuron (H1), oksifluorfen (H2); klomazone (H3);
kuinklorak (H4) dan Tanpa pemberian herbisida (Kontrol), yang diulang sebanyak
tiga kali. Luas lahan yang digunakan masing-masing 0,5 ha.
Kegiatan diawali dengan survei identifikasi lokasi dan karakterisasi
teknologi yang diterapkan petani. Hal ini ditujukan untuk mengetahui karateristik
lahan, teknologi yang diterapkan dan respon petani terhadap kegiatan yang akan
dilaksanakan. Kegiatan ini juga sekaligus menentukan lokasi dan petani
koperator.
Pada sistem tabela dilakukan pengolahan tanah sempurna dengan
menggunakan traktor. Setelah pembajakan I, sawah digenangi selama 7 hari,
kemudian dilakukan penggaruan yang bertujuan untuk meratakan dan pelumpuran
tanah. Varietas yang digunakan adalah varietas yang eksisting di lapangan. Lahan
sawah yang akan ditanami dalam kondisi macak-macak dan rata, tidak
bergelombang dan tidak tergenang air. Petakan sawah dibuat parit atau caren
keliling.
Sebelum tanam petakan sawah digenangi air dan disemprot dengan
herbisida pra tumbuh berdasarkan masing-masing perlakuan. Pada sistem tabela
ini, sebelum benih ditanam ke lapangan terlebih dahulu direndam sehari semalam
dan 2 hari diperam sampai calon akarnya kelihatan, kemudian masukkan benih ke
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 282
dalam alat tabela (atabela) tipe jajar legowo 2:1. Takaran pupuk diberikan
berdasarkan kondisi kesuburan tanah setempat dengan menggunakan PUTS
(Perangkat Uji Tanah Sawah). Penggenangan tipis dilakukan pada hari ke 3-5
setelah tanam. 10-14 hari setelah tanam dilakukan pemupukan dasar dan 15-20
hari setelah tanam dilakukan penyiangan.
Tanaman yang tumbuhnya terlalu rapat/banyak segera dicabut dan ditanam
pada barisan tanaman yang kosong. Untuk pengendalian hama dan penyakit
tanaman dilakukan dengan penerapan pengendalian hama terpadu (PHT). Panen
dilakukan bila 90% gabah sudah menguning.
Peubah yang diamati adalah identifikasi gulma, persen penutupan total
gulma dan gejala fitoktoksisitas pada tanaman padi. Skoring keracunan didasarkan
atas pengamatan visual yaitu :
0 (tidak ada keracunan) = 0 – 5 % bentuk daun atau warna daun atau
pertumbuhan tanaman tidak normal.
1 (keracunan ringan) = 5 – 20 % bentuk daun atau warna daun atau
pertumbuhan tanaman tidak normal.
2 (keracunan sedang) = 20 – 50 % bentuk daun atau warna daun atau
pertumbuhan tanaman tidak normal.
3 (keracunan berat) = 50 – 75 % bentuk daun atau warna daun atau
pertumbuhan tanaman tidak normal.
4 (keracunan sangat berat) = 75 % bentuk daun atau warna daun atau
Pertumbuhan tanaman tidak normal sampai
tanaman mati
Data hasil pengamatan diolah dengan menggunakan Analisis Sidik Ragam
dan bila terdapat pengaruh yang nyata akibat dari perlakuan dilanjutkan dengan
uji BNJ 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Gulma
Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak
diinginkan. Dalam penelitian ini, gulma yang tumbuh dipertanaman padi saat
penelitian pada pengamatan umur 14 HSS (Hari Setelah Sebar) terdiri atas tiga
golongan yaitu rumput-rumputan, daun lebar dan teki-tekian. Identifikasi gulma
pada masing-masing perlakuan dapat di lihat pada Tabel 1 berikut ini.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 283
Tabel 1. Identifikasi gulma pada masing masing perlakuan
Perlakuan Jenis Gulma Golongan Gulma
etil pirazosulfuron (H1) Ludwigia octovalvis
Cyperus difformis
Daun lebar
Teki – tekian
oksifluorfen (H2)
Ludwigia octovalvis
Echinochloa colona
Eichornia crassipes
Ageratum conyzoides
Daun Lebar
Daun sempit
Daun lebar
Daun lebar
klomazone (H3) Ludwigia octovalvis
Cyperus iria
Daun lebar
Teki – tekian
kuinklorak (H4) Ludwigia octovalvis
Fimbristylis miliacea
Daun lebar
Teki – tekian
Tanpa Herbisida
(Kontrol)
Ludwigia octovalvis
Cyperus difformis
Echinochloa colona
Eichornia crassipes
Ageratum conyzoides
Fimbristylis miliacea
Daun lebar
Teki – tekian
Daun sempit
Daun lebar
Daun lebar
Teki – tekian
Ludwigia octovalvis merupakan gulma dengan golongan daun lebar yang
paling dominan pada masing-masing perlakuan, sehingga seluruh perlakuan tidak
memiliki pengaruh yang nyata terhadap keberadaan gulma ini. Ludwigia
octovalvis berkembang biak melalui biji, potongan tanaman dan stolon.
Berkembang pesatnya gulma ini di lokasi penelitian diduga akibat dari
perbanyakan potongan tanaman dari sisa-sisa olahan tanah yang belum sempurna.
Sembodo (2010) melaporkan bahwa gulma yang ber-kembang-biak dengan
umbi dan rimpang sangat sulit dikendalikan karena letaknya di dalam tanah
sehingga mampu untuk tumbuh kembali. Gulma ini dapat ditekan
pertumbuhannya melalui penggenangan dengan air pada stadia peka.
Perlakuan dengan oksifluorfen (H2) memberikan jenis pertumbuhan gulma
yang lebih banyak dibandingkan ke tiga perlakuan lainnya. Menurut Pane (2004),
ketiga golongan gulma tersebut merupakan jenis gulma paling jahat dan memiliki
daya bersaing tinggi di pertanaman padi sawah maupun padi gogo rancah dan
paling awal tumbuh, sedangkan ketiga perlakuan lainnya etil pirazosulfuron (H1),
klomazone (H3) dan kuinklorak (H4) sangat efektif dalam mengendalikan gulma
berdaun sempit (Tabel 1).
Pertumbuhan gulma yang berada didekat tanaman utama akan menyebabkan
terjadinya kerapatan antara tanaman dengan gulma. Kondisi ini menyebabkan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 284
terjadinya persaingan antara gulma dengan tanaman utama. Menurut Pujisiswanto
dan Sembodo (2009) bahwa kerapatan tanaman yang semakin tinggi dapat
mengakibatkan persaingan antar tanaman yang semakin tinggi untuk mendapatkan
faktor tumbuh seperti cahaya, unsur hara dan air. Tingkat persaingan bergantung
pada curah hujan, varietas, kondisi tanah, kerapatan gulma, lamanya tanaman,
pertumbuhan gulma, serta umur tanaman saat gulma mulai bersaing (Jatmiko et
al. 2002). Persaingan tanaman dengan gulma terutama dalam hal pengambilan
cahaya matahari, air, hara dan ruang (Andriyani, 2006; Utami, 2004).
Persaingan gulma dengan tanaman padi dimana pertumbuhan dan
perkembangan gulma tidak dikendalikan menyebabkan pertumbuhan dan hasil
tanaman padi berkurang, Suwitra (2013) melaporkan bahwa kehilangan hasil
akibat adanya gulma dipertanaman padi mencapai 42,61%. Hasil survei
identifikasi terhadap keberadaan gulma dominan sebelum dilakukan penelitian di
daerah ini adalah : Aeschinomene sp, Ageratum conyzoides, Amaranthus spinosus,
Echornia crassipes, Echinochloa sp, Ludwigia sp, Mimosa, Monochoria
vaginalis, Ischaemum rugosum, Chyperus difformis, Chyperus iria, Fimbsistylis
sp.
Persen Penutupan Total Gulma
Persen penutupan total gulma yang diamati 14 hari setelah aplikasi
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap keberadaan gulma dibandingkan
dengan tanpa pemberian herbisida (Kontrol). Nampak bahwa aplikasi etil
pirazosulfuron (H1), klomazone (H3) dan kuinklorak (H4) yang diberikan sebelum
penanaman padi mampu menekan pertumbuhan gulma total (tabel 2).
Tabel 2. Persentase Penutupan Gulma Total pada Masing-masing Perlakuan
Perlakuan Persen Penutupan Gulma Total
etil pirazosulfuron (H1) 9,45b
oksifluorfen (H2) 11,13b
klomazone (H3) 9,56b
kuinklorak (H4) 9,67b
Tanpa Herbisida (Kontrol) 44,67a
Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda
nyata pada Uji BNJ taraf 5%
Fitoktoksisitas Tanaman Padi
Penggunaan herbisida pra tumbuh dapat menyebabkan tidak tumbuhnya
benih padi (fitoktoksisitas). Dampak keracunan ini dilihat dari berkurangnya
populasi tanaman dalam satuan luas. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa
pada perlakuan oksifluorfen (H2) memberikan populasi tanaman yang paling
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 285
rendah (22 tanaman dalam 1 m2), sedangkan pada perlakuan etil pirazosulfuron
(H1) tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan benih padi yang ditanam
secara langsung (Tabela). Selanjutnya rata-rata populasi tanaman akibat
perlakuan herbisida pada tanaman padi dapat di lihat pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Rata-rata populasi (rumpun) tanaman pada masing-masing perlakuan
Perlakuan Populasi dalam 1 m2
Tingkat Keracunan
etil pirazosulfuron (H1) 25 Tidak keracunan
oksifluorfen (H2) 22 Keracunan ringan
klomazone (H3) 23 Keracunan ringan
kuinklorak (H4) 23 Keracunan ringan
Fitoktoksisitas pada tanaman padi akibat pemberian herbisida ini dapat
mengakibatkan kematian pada tanaman padi. Hal ini terlihat dari berkurangnya
populasi tanaman. Kematian diduga karena benih padi belum berkecambah
dengan baik, setelah tanaman tumbuh, herbisida ini hanya memberikan pengaruh
keracunan ringan saja. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian pupuk urea pada
umur 7 hari setelah sebar. Hasil pengamatan terhadap komponen pertumbahan
tanaman padi pada masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa tanaman sangat
respon terhadap unsur N, oleh sebab itu dilakukan pemberian pupuk urea tahap I.
Pemberian dosis pupuk urea disesuaikan dengan rekomendasi setempat sebanyak
250 kg/ha. Pemberian pupuk ini dapat memulihkan pertumbuhan tanaman padi
menjadi normal.
KESIMPULAN
1. Pengendalian gulma dengan herbisida pratumbuh berbahan aktif etil
pirazosulfuron, klomazone dan Kuinklorak sangat efektif mengendalikan
gulma dari golongan rumput-rumputan (Echinochloa colona) dan
oksifluorfen efektif mengendalikan teki-tekian (Cyperus difformis dan
Fimbristylis miliacea).
2. Pengendalian gulma dengan herbisida pratumbuh (etil pirazosulfuron,
klomazone, Kuinklorak dan oksifluorfen) dapat menekan total gulma pada
tanaman padi sawah sistem tabela.
DAFTAR PUSTAKA
Ananto, E.E. 1989. Mekanisasi pertanian dalam usaha tani padi. hlm. 631-652.
Dalam M. Ismunadji, M. Syam, dan Yuswadi (Ed.). Padi, Buku 2.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 286
Djojosoemarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius.
Yogyakarta.
Koloi, S. 2005. Kajian Agronomi Pengembangan Budidaya Padi Tanam Benih
Langsung (tabela) dan Kedelai. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Lamid, Z. 1996. Perkembangan pengelolaan gulma dewasa ini di Indonesia.
Prosiding HIGI XIII.
Sutanto, R. 1997. Studi Penyiapan Lahan Dengan Herbisida Glifosat dan Tinggi
Penggenangan Air pada Budidaya Padi sawah Tanpa Olah Tanah. Tesis
(tidak dipublikasikan). PPSUB.
Suwitra IK. 2013. Pemberian Pupuk Organik dan Herbisida Campuran pada
Tanaman Padi Sistem Tabela. Tesis S2 Ilmu Ilmu Pertanian. Universitas
Tadulako.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 287
Kontribusi Teknologi Atabela, Vub Dan Jajar Legowo Dalam Mendukung
IP Padi 300 Di Desa Ogoamas Satu Kec. Sojol Utara Kab. Donggala
Basrum, Syamsyiah Gafur dan Muh. Amin
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah
Jl. Lasoso No.62 Biromaru
email: [email protected]
Abstrak
Target dan sasaran produksi padi sawah di Sulawesi Tengah dalam mendukung P2BN
sebesar 52.10 kw/ha pada tahun 2014, dimana pencapaian target tersebut membutuhkan
terobosan nyata di lapangan melalui pnerapan inovasi teknologi terutama yang
disesuaikan dengan kondisi wilayah dan social masyarakat setempat. Kegiatan ini
bertujuan untuk melihat kontribusi dari aplikasi penggunaan atabela jajar legowo 2:1,
penggunaan varietas unggul baru dan system tanam pindah jajar legowo 2;1 di wilayah
Ogoamas 1 Kecamatan Sojol Utara kabupaten Donggala, yang berlangsung dari januari
hingga September 2014. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara
menggunakan kuesioner semi terstruktur dari responden yang dipilih dengan sengaja
(purposive sampling) sebanyak 30 responden (petani koperator 7 orang dan petani non
koperator 23 orang) dan tokoh kunci, serta dilengkapi data sekunder. Data yang
terkumpul lalu diolah, ditabulasi, dianalisis secara deskriptif, lalu diinterpretasi. Hasil
yang diperoleh menunjukkan bahwa penerapan atabela, VUB dan tapin jarwo 2:1 di
Ogoamas 1 memberikan kontribusi positif dengan nilai mBCR 0,8 (setara Rp.
8.018.310/ha/MT). Penggunaan atabela mampu menghemat biaya tenaga kerja
penanaman sebesar Rp. 800.000,- dan waktu panen +15 hari dibandingkan dengan
system tanam tapin dan gugu.
Kata kunci: kontribusi, atabela, VUB, jajar legowo, Sojol Utara.
PENDAHULUAN
Beras merupakan salah satu makanan pokok bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, perhatian akan beras yang berasal dari tanaman padi tidak ada henti-
hentinya. Adanya perkembangan terus-menerus di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi pangan yang begitu pesat memungkinkan meningkatnya produksi, baik
dalam hal kualitas maupun kuantitas. Walaupun demikian, peningkatan produksi
ini masih terus dibayangi oleh laju pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup
tinggi.
Sulawesi Tengah merupakan salah satu daerah potensi penghasil beras
urutan kedua setelah Sulawesi Selatan di kawasan Indonesia bagian timur. Target
dan sasaran produksi padi sawah di Sulawesi Tengah dalam mendukung P2BN
adalah sebesar 1.234.342 ton (51.11 kw/ha) untuk tahun 2013 dan sebesar
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 288
1.324.228 ton (52.10 kw/ha) pada tahun 2014 (Dinas Pertanian, 2014). Guna
pencapaian target tersebut maka dibutuhkan suatu terobosan yang sifatnya nyata
di lapangan. Peranan inovasi teknologi sangat diharapkan dalam mewujudkan
tercapainya sasaran yang dimaksud. Berbagai keunggulan teknologi khusunya
mengenai peningkatan produksi padi sawah yang telah dikaji di tingkat BPTP
menunjukkan hasil yang positif dan patut direkomendasikan. Keberhasilan yang
diinginkan tentunya tidak mutlak dicapai jika dipandang sebelah mata saja (hanya
dari sisi teknis), tetapi beberapa hal pendukung lainnya, antara lain faktor non
teknis seperti pembinaan kelompok dan koordinasi antara institusi terkait perlu
disertakan dalam upaya tersebut.
Peningkatan produksi akan berdampak terhadap peningkatan pendapatan
petani bila ada jaminan pasar dan dengan harga yang lebih memadai. Peningkatan
produksi padi perlu didukung dengan metode budidaya yang tepat, terutama
dengan teknologi berbasis pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu yang
spesifik lokasi (PTT). Beberapa teknologi yang dapat diintroduksikan pada upaya
ini yaitu penggunaan Varietas Unggul Baru (VUB) dan pengaturan sistem tanam.
Seperti yang diketahui secara umum budidaya padi dapat dilakukan dengan
berbagai cara penanaman. Sistem penanaman yang lazim antara lain dengan cara
Tanam Benih Langsung (Tabela) dan tanam pindah (Tapin). Semua sistem tanam
tersebut merupakan solusi dalam membudidayakan padi guna memperoleh
komponen hasil yang optimal. Pemilihan cara menanam padi memiliki kelebihan
dan kekurangan dalam proses budidayanya.
Peningkatan produksi padi juga sangat ditentukan oleh benih unggul yang
digunakan. Saat ini Badan Litbang Pertanian telah merilis berbagai varietas
unggul baru (VUB) padi yang masing-masing memiliki kunggulan dan adaptif di
masing-masing lokasi. Sehingga dalam upaya peningkatan hasil perlu mendorong
penggunaan varietas unggul baru di tingkat petani. Secara umum permasalahan
yang sering dihadapi oleh petani sebagai pelaku utama dan pelaku usaha adalah
minimnya informasi teknologi yang akurat menyangkut budidaya padi sawah,
rendahnya penggunaan benih unggul, ditunjang pula debet air yang belum
mencukupi, kurangnya tenaga kerja, serta sarana pendukung seperti pupuk dan
alsintan yang sering mengalami kelangkaan pada musim tanam.
Untuk itu maka pada tahun 2013 dan 2014 BPTP Sulawesi Tengah sebagai
perpanjangan tangan Badan Litbang Pertanian melakukan kegiatan pendampingan
teknologi sebagai upaya diseminasi inovasi teknologi dengan tujuan peningkatan
produksi padi mendukung swasembada beras. Kegiatan ini antara lain ditujukan
untuk melihat kontribusi dari setiap teknologi yang diaplikasikan, antara lain
penggunaan atabela jajar legowo 2:1, penggunaan varietas unggul baru dalam
mendukung target produksi dalam mencapai swasembada beras.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 289
METODE PELAKSANAAN
Kegiatan berlokasi di Desa Ogoamas 1 Kecamatan Sojol Utara Kabupaten
Donggala. Waktu pelaksanaan pada bulan Januari hingga September 2014,
dengan melakukan wawancara terhadap responden mengenai usahatani padi
sawah yang selama ini telah dilaksanakan, serta hasil inovasi teknologi yang
dirasakan. Penentuan responden dilakukan dengan sengaja (purposive sampling)
dengan jumlah sebanyak 30 responden, terdiri atas petani koperator 7 orang dan
petani non koperator 23 orang. Petani koperator adalah petani yang menerapkan
teknologi atabela, VUB dan jajar legowo, sedangkan petani non koperator adalah
petani yang masih berusahatani secara konvensional. Atabela yang digunakan
adalah atabela dengan system jajar legowo 2:1 (jarak tanam 20 x 10 x 40 cm).
Sedangkan VUB yang diintroduksikan adalah berbagai varietas padi Inpari.
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara langsung menggunakan
instrument kuesioner semi berstuktur, dan pengambilan data sekunder serta
wawancara tokoh kunci. Data yang sudah dikumpulkan, diolah, ditabulasi
kemudian dianalisis secara deskriptif, lalu diinterpretasi untuk memberikan
gambaran umum tentang kontribusi teknologi Atabela, VUB dan jajar legowo.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi
Berdasarkan data PRA tahun 2013 Desa Ogoamas 1 merupakan salah satu
dari empat desa yang ada di Kecamatan Sojol Utara Kabupaten Donggala.
Merupakan wilayah ujung utara Kabupaten Donggala dan berbatasan langsung
dengan Kabupaten Toli-Toli. Jarak tempuh ke ibu kota propinsi antara 5-7 jam,
sedangkan ke ibu kota kabupaten antara 8-9 jam. Arti kata Ogoamas berarti air
emas (ogo= air; amas= emas). Luas wilayah Desa Ogoamas 1 adalah 52,3 km2,
terbagi menjadi tiga dusun (Labulang, Pantai Ogoamas, Kampung Baru). Berada
pada ketinggian 0-600 m dpl (dari permukaan laut) memiliki topografi yang relatif
datar hingga berlereng (22,66% wilayah dataran, 13,81% perbukitan, dan 63,53%
pegunungan). Pada umumnya telah termanfaatkan untuk usaha pertanian dan
pemukiman seluas 1.586,5 ha.
Secara geografis batas-batas wilayahnya adalah sebelah utara dengan Laut
Sulawesi, sebelah timur dengan Desa Kombo Kabupaten Toli-Toli, sebelah
selatan dengan Gunung Sojol dan sebelah barat dengan Desa Ogoamas 2. Kondisi
sarana umum (air bersih, komunikasi, penerangan dan transportasi) cukup
tersedia. Secara umum Ogoamas 1 dihuni oleh penduduk etnis Bugis dengan
jumlah penduduk 4.868 jiwa (sex ratio 1,02 didominasi oleh laki-laki), serta
menggantungkan hidup pada bidang pertanian sebagai petani/peternak maupun
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 290
sebagai buruh tani, selebihnya bermata pencaharian di bidang jasa, pedagang,
pegawai negeri dan pengrajin industri kecil.
Berdasarkan hasil PRA pada tahun 2013, bahwa dilihat dari usia produktif
penduduk dapat dikatakan bahwa potensi tenaga kerja di desa ini cukup baik,
sehingga peluang peningkatan dan pengembangan pembangunan khususnya di
bidang pertanian terbuka lebar. Namun jika dibandingkan dengan luas lahan
pertanian produktif seluas 1.559,5 ha dengan jumlah warga yang bekerja di
bidang pertanian sebanyak 908 orang, maka penguasaan lahan rata-rata 1,72
Ha/kk. Hasil survei menunjukkan bahwa rata-rata ketersediaan tenaga kerja dalam
keluarga di Desa Ogoamas 1 yang full dalam kegiatan usahatani hanyalah kepala
rumah tangga (bapak) sedangkan ibu lebih banyak menangani pasca
panen/prosesing hasil seperti penjemuran, pembersihan hasil, dan lain-lain.
Kontribusi tenaga kerja dalam keluarga yang bersumber dari anak juga
sangat kecil yakni 0,36. Hal ini mengindikasikan bahwa di Desa Ogoamas 1,
walaupun tenaga kerja yang tersedia dominan dalam kategori umur produktif tapi
yang terlibat dalam kegiatan pertanian sangat kecil, sehingga praktis untuk
kegiatan usahatani di desa ini membutuhkan tenaga kerja yang bersumber dari
luar desa. Hal ini memberikan informasi kepada kita bahwa untuk pengembangan
pertanian di Desa Ogoamas 1, khususnya yang berkaitan dengan introduksi
inovasi teknologi diperlukan teknologi-teknologi yang tidak banyak menggunakan
tenaga kerja.
Kondisi kelembagaan di Ogoamas 1 cukup lengkap dan sangat tertunjang
oleh lembaga yang berkaitan dengan usahatani yang digeluti oleh masyarakatnya.
Dengan kelembagaan yang ada diharapkan akan cepat membantu petani dalam
pencapaian dan peningkatan hasil yang diinginkan dan petani aktif berpartisipasi
dalam program pembangunan. Adapun kelembagaan di Desa Ogoamas 1 disajikan
pada table berikut.
Tabel 1. Kelembagaan pertanian di Desa Ogoamas 1 Kecamatan Sojol Utara
Kelembagaan Jumlah
Gapoktan 1
Kelompok Tani:
- Kelas Pemula 16 kelompok
- Kelas Lanjut 3 kelompok
- Kelas Madya 1 kelompok
20
Karang Taruna 1
KCD 1
BP3K 1
Posko P2BN 1
BPSB 1
Pengamat Hama 1
KTNA 1
Kelompok Wanita Tani (bidang pengolahan hasil) 2
P3A 1
Sumber: Data PRA 2013.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 291
Karakterisitik Petani dan Usahatani
Cepat lambatnya suatu inovasi diterapkan oleh pengguna teknologi tidak
terlepas dari karakteristik petani. Karakterisitik petani mempengaruhi diri petani
dalam pengambilan keputusan. Karakterisitik petani merupakan status sosial yang
melekat pada seseorang yang mempengaruhi efektivitas dan etos kerja di dalam
usahatani tani tertentu untuk mengukur tingkat produktivitasnya. Karakterisitik
suatu usahatani bertujuan untuk mengetahui sejauhmana potensi lahan, sistem
pengolahan, pemeliharaan dan produktivitas yang diperoleh petani.Berdasarkan
hasil wawancara yang dilakukan diperoleh data mengenai karakteristik petani dan
usahatani padi sawah yang berlangsung di Desa Ogoamas 1, sebagaimana
disajikan pada tabel berikut.
Tabel 2. Karakterisitik Petani dan Usahatani Padi Sawah di Ogoamas 1 Kec. Sojol
Utara Kab. Donggala, 2014
No. U r a i a n Petani
Koperator
Petani Non
Koperator Ket.
1. Rata2 umur petani (thn) 38,7 44,3
2. Pendidikan terakhir (%):
- SD
- SMP
- SMA
71,4
28,6
0
60,0
20,0
20,0
3. Rata2 pengalaman bertani (thn) 20,9 19,3
4. Pekerjaan sampingan (%):
- Buruh gilingan
- Operator gilingan
100
0
50,0
50,0
Sebahagian
kecil petani
wirausaha
5. Rata2 jumlah tanggungan keluarga (org) 3,3 3,6
6. Status lahan garapan (%):
- Milik
- Penyakap
42,9
57,1
33,3
66,7
7. Rata2 luas lahan garapan (ha) 0,36 0,49
8. Jenis irigasi (%):
- Teknis
- ½ teknis
0
100
0
100
9. Sistem tanam (%):
- Atabela, jarwo 2:1
- Tabela, jarwo 2:1
- Tabela, jarwo 5:1
- Tapin, jarwo 2:1
- Tapin, jarwo 4:1
- Tapin, jarwo 5:1
42,9
0
0
42,9
14,2
0
0
40,0
20,0
20,0
0
20,0
Gugu
Gugu
10. Rata2 umur bibit tapin (hari) 18,0 22,1
11. Jenis varietas ditanam (%):
- Inpari 4
- Inpari 6
- Inpari 10
- Inpari 20
- Banyuasin
- Mekongga
- Cisantana
- Pepe
12,5
25,0
25,0
12,5
12,5
12,5
0
0
0
0
0
70,0
20,0
10,0
Varietas
eksis
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 292
No. U r a i a n Petani
Koperator
Petani Non
Koperator Ket.
12. Berlabel (%):
- Putih
- Ungu
- Biru
- Tidak berlabel
71,4
14,3
14,3
0
0
10,0
60,0
30,0
13.
Sumber benih (%)
- BPTP Sulteng
- Kelompok penangkar
- Sesama petani
- Hasil panen sendiri
- BBI Palu
87,5
12,5
0
0
0
0
60,0
20,0
10,0
10,0
14. Jenis hama yang sering menyerang (%):
- Tikus
- Penggerek batang
- Walang sangit
- Wereng coklat
- Keong mas
- Ulat grayak
- Ulat tentara
27,3
27,3
18,1
9,1
9,1
9,1
0
22,9
20,0
25,7
0
11,4
14,3
5,7
15. Jenis penyakit yang menyerang (%):
- Tungro
- Blast
- Beluk
0
0
0
0
0
0
Sumber: Data primer setelah diolah, 2014
Umur petani koperator dan non koperator masih tergolong usia produktif,
sehingga diharapkan petani memiliki motivasi yang tinggi dalam mengelola
usahataninya secara lebih baik, selain itu diharapkan pula dapat cepat menerima
serta melakukan perubahan. Sedangkan tingkat pendidikan petani yang rata-rata
pada tingkat pendidikan dasar, memerlukan upaya penyuluhan dengan metode
yang tepat sesuai dengan tingkat pendidikan tersebut. Berdasarkan hasil kegiatan
menunjukkan bahwa metode display sangat disukai oleh petani. Dengan cara ini
petani dapat menyaksikan dan merasakan langsung perubahan dan keunggulan
suatu teknologi.
Pengalaman bertani serta tingkat pendidikan dapat mempengaruhi petani
dalam pengambilan kepurtusan untuk mengadopsi suatu inovasi teknologi ke
dalam usahataninya. Melalui pengalaman berusahatani yang sering mengalami
hambatan, terutama menyangkut produksi yang berkaitan dengan benih yang
digunakan, termasuk pula masalah ketersediaan tenaga kerja tanam, akan
mendorong petani mencari informasi dan teknologi yang akan memudahkan dan
lebih murah pengaplikasiannya. Adapun keragaan dari sistem tanam yang
diaplikasikan oleh petani di Ogoamas 1 disajikan dalam tabel berikut ini.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 293
abel 3. Keragaan tiga system tanam padi sawah di Desa Ogoamas 1 Kec. Sojol
Utara Kab. Donggala tahun 2014.
No Kegiatan Introduksi inovasi Cara petani
(gugu tegel) Atabela Jerwo 2:1 Tapin Jarwo 2:1
1 Pengolahan lahan Traktor
(+Rp 800.000)
Traktor
(+Rp 800.000)
Traktor
(+Rp 800.000)
2 Jumlah benih 30-35 kg/ha 25-30 kg/ha 50 kg/ha
3 Pembuatan persemaian - 2 HOK -
4 Cabut bibit - 10-15 HOK -
5 Membagi bibit di petakan - 1 HOK -
6 Penggunaan caplak - 2 HOK -
7 Jumlah tenaga kerja
penanaman
3 HOK/ha 10-15 HOK/ha 10-15 HOK/ha
8 Waktu yang dibutuhkan saat
penanaman
4 jam/ha 6-7 jam/ha 6-7 jam/ha
9 Penyiangan 2 HOK/ha 2 HOK/ha 2 HOK/ha
10 Pemupukan 2 HOK/ha 2 HOK/ha 2 HOK/ha
11 Panen 7-10 HOK/ha 7-10 HOK/ha 7-10 HOK/ha
12 Umur panen (tergantung
varietas)
<15 hari daripada
tapin
Sumber: data primer setelah diolah, 2014
Berdasarkan table di atas bahwa penggunaan atabela jajar legowo 2:1
mampu menghemat biaya produksi dan tenaga, terutama pada pembiayaan
pembuatan persemaian, pencabutan bibit, pembagian bibit serta penggunaan
caplak. Jika lazimnya biaya tanam dengan menggunakan sistem tegel yang biasa
dilaksanakan di Ogoamas 1 sebesar Rp. 1.000.000,- , melalui penggunaan atabela
jajar legowo 2:1 biaya penanaman dapat ditekan hingga + Rp. 200.000,-, sehingga
terjadi pengurangan biaya sebesar 80%. Tenaga kerja yang digunakan pada sistem
atabela sebanyak 3 orang dengan waktu yang diperlukan kurang lebih empat jam
per hektar. Selain itu penerapan sistem tanam jajar legowo 2:1 dari alat tabela
memberikan peningkatan jumlah populasi per luas tanam, sehingga dengan
penambahan populasi akan menambah jumlah malai dan meningkatkan produksi
yang dihasilkan. Efisiensi lainnya dari penggunaan atabela ini adalah
mempercepat waktu panen menjadi + 14-15 hari lebih awal dibandingkan dengan
cara tanam pindah. Dengan demikian terdapat penghematan waktu sehingga
petani bisa lebih cepat panen dan upaya ke arah IP300 dapat dilaksanakan.
Sedangkan berdasarkan hasil ubinan padi sawah dengan menggunakan
VUB pada tahun 2013 menunjukkan terjadi peningkatan produksi per satuan luas.
Hal ini dapat disebabkan oleh penggunaan VUB padi sawah yang memiliki
potensi hasil tinggi, serta ditunjang oleh penggunaan system tanam yang mampu
menambah populasi per satuan luas. Keragaan usaha tani padi sawah yang
berlangsung di Desa Ogoamas 1 pada tahun 2013 disajikan pada table berikut.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 294
Tabel 4. Keragaan tanaman padi dengan penerapan sistem tanam di Ogoamas
1 Kecamatan Sojol Utara Tahun 2013
Introduksi Varietas Rata-rata tinggi
tanaman (cm)
Rata-rata
jumlah anakan
produktif
Produksi
setelah
introduksi
teknologi (ton
GKP/ha
Produksi
sebelum
introduksi
teknologi (ton
GKP/ha)
Tabela jarwo 2:1
Inpari 6 115.53 18.77 9.2 -
Inpari 11 104.50 24.73 8.5 -
Inpari 16 103.47 21.83 9.3 -
Mekongga 114.57 17.67 11.7 -
Tapin jarwo 2:1
Mekongga 116.23 18.60 10 7
Tabela Bubuk (Kontrol)
Mekongga 116.47 28.07 8 -
Sumber: data primer setelah diolah, 2013
Data terakhir menunjukkan bahwa pada saat ini penerapan teknologi
sistem tanam tabela, penggunaan VUB dan model jajar legowo semakin luas
penggunaannya dan meningkat jika dibanding sebelum dan sesudah kegiatan.
Adapun perkembangannya disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Perkembangan Inovasi Teknologi Padi Sawah di Desa Ogoamas 1 Kec.
Sojol Utara Kab. Donggala
Uraian
Luasan (ha)
Jumlah
Petani
(org)
MT.
2013
MT.
2014
MT.
2013
MT.
2014
Benih ;
(Kebiasaan petani: Mekongga, Cisantana, Pepe,
Kelara, Tukad Balian & varietas local (Bone-Bone
& Kerinci (jepang)))
498,0
350,
0
2.79
6
1.960
(Introduksi teknologi: Inpari 4, Inpari 6, Inpari 10
& Banyuasin) 2,0
150,
0 4 840
Sistem Tanam :
ATABELA 2:1 25,95 250 77 1.400
TABELA 2:1 0 50 0 280
TAPIN 2:1 0 25 0 140
TEGEL 484.05 175
2.80
0 980
Rekomendasi Pemupukan 0 200 0 1.330 Sumber: data primer, 2014
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 295
Alokasi dan Biaya Tenaga Kerja
Untuk mengetahui alokasi tenaga kerja dan biaya tenaga kerja (TK) yang
dituangkan dalam usahatani padi sawah sistem jajar legowo disajikan pada tabel
dibawah ini
Tabel 6. Alokasi dan Biaya Tenaga Kerja Usahatani Padi Sawah di Desa
Ogoamas 1, 2014
No Biaya TK
Jumlah TK
(org) Waktu *)
(Jam/hari)
Upah TK *)
(Rp/HOK)
Nilai
(Rp/ha) Dalam
Kel.
Luar
Kel.
1. Pengol.
Tanah
- 1-2 3-5 hari Sistem
borongan
700.000-800.000
2. Pembuatan
pesemaian
- 1-2 1-2 hari - Digabung dgn
pengolahan tanah
3. Cabut & bagi
bibit
1-2 1 3-4 jam 50.000 100.000-150.000
4. Penanaman 1-2 10-20 4-5 jam 50.000 400.000-800.000
5. Pemupukan 1 - 2-3 50.000 50.000-100.000
(2x/MT)
6. Penyemprota
n
1 - 4-5 jam 50.000 150.000-200.000
(5-7x/MT)
7. Pencabutan
rumput
1 - 5-6 jam 50.000 100.000-150.000
(1-2x/MT
8. Panen - 10-15 1-2 hari Sistem
borongan
2.500.000-
3.000.000
9. Pengangkuta
n
- 1-2 1 hari Sistem
borongan
750.000-
1.000.000
10. Penjemuran 1 - 3-4 hari 50.000 150.000-200.000
11. Biaya
Gilingan
- - - Sistem
borongan
1.500.000-
2.000.00
12. PBB/tahun - - - - - *)Upah = Rp. 50.000/HOK, 1 hari kerja:7-8 jam (pria atau wanita)
Biaya panen: 4:1, biaya angkutan:10:1, biaya gilingan: 6:1
Selain biaya-biaya tersebut di atas yang digunakan dalam usahatani padi
sawah di Desa Ogoamas 1, masih terdapat pembiayaan lainnya yang disepakati
oleh masyarakat di desa tersebut. Pembiayaan tersebut adalah sumbangan kepada
punggawa galung dan Imam Desa yang disampaikan dalam bentuk beras
sebanyak 10 liter beras per kepala keluarga per musim tanam. Nilai ini jika
dirupiahkan rata-rata senilai Rp. 55.000,-.
Analisis Penerimaan dan Pendapatan Petani
Untuk mengetahui kontribusi inovasi teknologi tehadap penerimaan
pendapatan petani padi sawah disajikan pada tabel dibawah ini.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 296
Tabel 7. Analisis Ekonomi Usahatani Padi Sawah di Desa Ogoamas 1, 2014
No. U r a i a n Petani *)
Koperator
Petani Non **)
Koperator Ket.
1. Rata2 produksi (kg/ha) beras 4.431,4 3.700,7
2. Harga satuan (Rp/kg) beras 6.600 6.600 Rp.330.000/karung
3. Rata2 penerimaan kotor
(Rp/ha/MT)
29.246.930 24.424.490
4. Rata2 jumlah biaya
(Rp/ha/MT)
12.127.700 15.323.570
5. Rata2 pendapatan petani
(Rp/ha/MT)
17.119.230 9.100.920 Perbedaan benefit
= Rp. 8.018.310
6. Rata2 B/C ratio 1,4 0,6 MBCR = 0,8
Sumber: Data primer setelah diolah, 2014.
Penerapan teknologi atabela, VUB dan jajar legowo dapat meningkatkan
penerimaan dan pendapatan petani (Petani Koperator) dibanding dengan
pendapatan yang diterima oleh petani non koperator. Margin pendapatan petani
(MBCR) sekitar 0,8 atau setara dengan Rp. 8.018.310/ha/MT.
KESIMPULAN
Penerapan inovasi teknologi PTT padi sawah di Desa Ogoamas 1
Kecamatan Sojol Utara Kabupaten Donggala, khususnya atabela jarwo 2:1,
penggunaan VUB dan tanam pindah jajar legowo 2:1 rata-rata dapat memberikan
kontribusi terhadap peningkatan produktivitas dan pendapatan petani secara
siginifikan dengan nilai mBCR sekitar 0,8 atau setara dengan Rp.
8.018.310/ha/MT.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2012. Sulawesi Tengah dalam Angka. Badan Pusat Statistik Sulawesi
Tengah.
Daniel, M. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Cetakan Pertama. Bumi Aksara,
Jakarta.
Dinas Pertanian Daerah Provinsi Sulawesi Tengah. 2014. Sambutan Gubernur
Sulawesi Tengah pada Acara Panen Perdana Padi Sawah di Desa Ogoamas
1 Kec. Sojol Utara Kab. Donggala. Sulawesi Tengah.
Gafur, S., dkk. 2013. Laporan Akhir Kegiatan m-P3MI 2013 BPTP Sulawesi
Tengah. Sulawesi Tengah.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 297
Dampak Pelaksanaan Program M-Krpl Di Kabupaten Donggala
Provinsi Sulawesi Tengah
Mardiana Dewi, Sumarni dan Muhammad Abid
BPTP Sulawesi Tengah
Jalan Lasoso No.62 Biromaru Sigi, Sulawesi Tengah
Email : [email protected]
Abstrak
BPTP Sulawesi Tengah sebagai perpanjangan tangan badan Litbang di daerah telah
melaksanakan pembinaan M-KRPL di empat Kabupaten yaitu Donggala, Tolitoli, Parigi
Moutong, dan Sigi. Selanjutnya Tahun 2012 kegiatan M-KRPL lebih diperluas tujuh
kabupaten yaitu Donggala, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Banggai, Sigi dan Kota
Palu. Untuk mengetahui dampak pelaksanaan program M-KRPL, maka dilakukanlah
Pengkajian ini. Pengkajian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan
Desember 2013 di Desa Tanahmea Kecamatan Banawa Selatan dan Desa Sibayu
Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala. Analisis data dilakukan secara deskriptif
kuantitatif terhadap keadaan umum wilayah, perkembangan inovasi teknologi pada
Kebun Bibit Desa (KBD), perkembangan petani peserta M-KRPL dan karakteristik
pekarangan, perhitungan skor PPH, analisis usahatani serta pembinaan kelembagaan
dan kerjasama M-KRPL. Telah terbentuk M-KRPL di Desa Tanamea diawali 30 kk
berkembang menjadi 97 kk, dan M-KRPL di Desa Sibayu dari 30 KK berkembang
menjadi 110 kk. Berdasarkan perhitungan skor PPH, diperoleh skor PPH Desa Tanamea
sebesar 62,1 sedangkan Desa Sibayu sebesar 64,2, skor PPH tersebut masih perlu
tingkatkan . Usahatani sayuran untuk seledri dan cabe rawit di Desa Tanamea dan Desa
Sibayu layak dilaksanakan dengan nilai B/C masing-masing sebesar 1,47 dan 1,35.
Dampak program M-KRPL juga telah menciptakan kerjasama desa binaan dengan
beberapa instansi yaitu Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah yaitu memberi
bantuan berupa bibit Durian 56 pohon, bibit Mangga 60 pohon, Nangka 60 pohon, Sukun
60 pohon, dan Jeruk 60 pohon, selain itu bentuk kerjasama dengan Dinas Sosial yakni
adanya bantuan bedah rumah sebanyak 110 unit.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Dampak, M-KRPL, Donggala
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada tahun 2002, konsumsi sayuran dan buah di Indonesia diperkirakan
sekitar 59,2 kg/kapita/tahun. Bila dari konsumsi sayuran 15% di antaranya
dibuang karena tidak diperlukan atau karena mengalami kerusakan, berarti
konsumsi bersih dari sayuran tersebut hanya mencapai 47,5 kg/kapita/tahun atau
sekitar 130,1 kg/kapita/hari. Angka ini masih di bawah standar internasional
untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat yakni di atas 150 kg/kapita/hari.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 298
Angka ini belum cukup baik bila dibandingkan dengan konsumsi rata-rata
masyarakat Asia 220 g/kapita/hari dan dunia sebesar 240 g/kapita/hari (Redaksi
Trubus, 2009).
Lahan pekarangan memiliki fungsi multiguna, karena dari lahan yang
relatif sempit bisa menghasilkan bahan pangan seperti umbi-umbian, sayuran,
buah-buahan, bahan tanaman rempah dan obat, bahan kerajinan tangan, serta
bahan pangan hewani yang berasal dari unggas, ternak kecil, maupun ikan.
Manfaat yang diperoleh dari pengelolaan pekarangan antara lain dapat memenuhi
kebutuhan konsumsi dan gizi keluarga, menghemat pengeluaran harian rumah
tangga, dan memberikan tambahan pendapatan. Manfaat tersebut akan dapat
diperoleh apabila pekarangan dirancang, direncanakan, dan dikelola dengan baik.
Kawasan Rumah Pangan Lestari diharapkan dapat meningkatkan
ketahanan pangan masyarakat pada tingkat rumah tangga. Selain itu mempercepat
diversifikasi pangan dari semula bertumpu pada beras ke sumber pangan lain
berbasis lokal, seperti sayuran, buah, dan pangan asal hewan. Dari berbagai
tanaman pekarangan baik pada tanaman sayuran, umbi–umbian, toga maupun
apotek hidup dapat menekan penggunaan pangan seperti beras dan terigu, maka
salah satu alternatif untuk dimanfaatkan sebagai alternatif pengganti substitusi
dari berbagai olahan (Anonim, 2011).
Berdasarkan hasil pengamatan Badan Litbang Pertanian, perhatian petani
terhadap pemanfaatan lahan pekarangan relatif masih terbatas, sehingga
pengembangan berbagai inovasi yang terkait dengan lahan pekarangan belum
banyak berkembang sebagaimana yang diharapkan. Di sisi lain komitmen
pemerintah untuk melibatkan rumah tangga dalam mewujudkan kemandirian
pangan, diversifikasi berbasis pangan lokal perlu diaktualisasikan dalam
menggerakkan budaya menanam di lahan pekarangan baik di perkotaan maupun
di perdesaaan sesuai dengan kebutuhan teknologi. Oleh karena itu sebagai
perpanjangan tangan Badan Litbang yang ada di daerah, maka di tahun 2011
BPTP Sulawesi Tengah melaksanakan pembinaan M-KRPL (Model Kawasan
Rumah Pangan Lestari) di empat Kabupaten yaitu Donggala, Tolitoli, Parigi
Mautong, dan Sigi. Tahun 2012 kegiatan M-KRPL lebih diperluas tujuh
kabupaten yaitu Donggala, Parigi Moutong, Poso, Morowali, Banggai, Sigi dan
Kota Palu. Kegiatan M-KRPL di kedelapan lokasi tersebut dibangun dari
kumpulan Rumah Pangan Lestari (RPL). Adapun tujuan dari Pengkajian ini
adalah untuk mengetahui dampak pelaksanaan program M-KRPL khususnya di
Kabupaten Donggala.
BAHAN DAN METODE
Pengkajian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan bulan
Desember 2013 di Desa Tanahmea Kecamatan Banawa Selatan dan Desa Sibayu
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 299
Kecamatan Balaesang Kabupaten Donggala. Pemilihan lokasi Pengkajian
dilakukan secara purposive dengan pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut
adalah wilayah binaan kegiatan M-KRPL BPTP Sulawesi Tengah.
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan
sekunder berdasarkan wawancara dengan petani binaan dan instansi terkait.
Analisis data dilakukan secara deskriptif kuantitatif terhadap keadaan umum
wilayah, perkembangan inovasi teknologi pada Kebun Bibit Desa (KBD),
perkembangan petani peserta M-KRPL dan karakteristik pekarangan, Pola
Pangan Harapan (PPH), analisis usahatani serta pembinaan kelembagaan dan
kerjasama M-KRPL.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Wilayah
Desa Tanamea terletak di Kabupaten Donggala dengan jarak dari ibukota
kabupaten 62 km dengan waktu tempuh dua hingga tiga jam dari ibukota provinsi.
Batas wilayah Desa Tanamea sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan Desa Kumbasa
- Sebelah Timur berbatasan Desa Lumbu Tarombo
- Sebelah Selatan berbatasan Desa Salu Sempu
- Sebelah Barat berbatasan Selat Makasar
Jumlah penduduk Desa Tanamea 1.484 jiwa meliputi jumlah rumah tangga
343 KK, dengan jumlah penduduk laki-laki 788 orang dan perempuan 696 orang
(BPS, 2012). Topografi desa terdiri dari dataran 100 ha, pegunungan dengan
rerata ketinggian 0 – 750 meter dari permukaan laut. Penggunaan lahan meliputi
kebun kelapa 60 ha, kakao 10 ha. Dengan demikian maka ada sekitar 30 ha lahan
yang belum termanfaatkan, diantaranya adalah lahan pekarangan. Lahan yang
belum termanfaatkan ini khususnya pekarangan dapat didayagunakan dengan
jalan menanam sayuran, kacang-kacangan maupun umbi-umbian. Klasifikasi
pekarangan perdesaan dengan karakteristik lahan sempit (<100 m2), sedang (100-
200 m2) dan luas (>200 m
2).
Desa Sibayu merupakan desa pemekaran yang berdiri pada tahun 1865
yang terdiri dari tiga dusun dan 11 RT. Desa Sibayu berupa pesisir pantai dengan
ketinggian 5 - 60 m dpl. Jarak desa dengan ibukota Kabupaten Donggala adalah
115 km dan jarak dari ibukota provinsi 85 km. Luas Desa Sibayu 725 ha km2
dengan batas-batas :
- Sebelah Utara berbatasan sungai Sibayu dan Desa Malino
- Sebelah Timur berbatasan Pegunungan Desa Tada
- Sebelah Selatan berbatasan Desa Pemekaran Sipure
- Sebelah Barat berbatasan Selat Makassar.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 300
Jumlah penduduk Desa Sibayu 1.584 jiwa dengan jumlah kepala keluarga
adalah 496 KK. Jumlah penduduk laki-laki 769 orang dan perempuan 815 orang
(BPS, 2012).
Perkembangan Inovasi Teknologi di Kebun Bibit Desa
Teknologi merupakan salah satu informasi penting di dalam melaksanakan
kegiatan kajian dan kegiatan pendampingan. Salah satunya kegiatan
pendampingan adalah M-KRPL yang dilengkapi dengan Kebun Bibit Desa (KBD)
untuk menyuplai benih sayuran dalam satu kawasan. Luas KBD dibuat berukuran
5 meter x 3 meter. Pendampingan teknologi diaplikasikan dengan beberapa
metode yakni semai langsung dan semai dengan menggunakan tray pesemaian.
Perkembangan teknologi di KBD dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Inovasi teknologi yang berkembang di KBD Kabupaten Donggala, tahun
2013.
No Kecamatan Desa Inovasi Teknologi
Semai langsung Tray Persemaian
1 Banawa Selatan Tanamea - Cabe Terong,
Tomat, Seledri
Daun Sup
2 Balaesang Sibayu Sawi, kangkung
Bayam
Cabe, Terong,
Tomat, Seledri,
Daun Sup, dan
daun bawang
Sumber: Analisis Data Primer.
KBD merupakan salah faktor penentu keberhasilan pelaksanaan kegiatan
M-KRPL. Berdasarkan Tabel 1 Pengembangan KBD di Desa Tanamea dan Desa
Sibayu menunjukkan bahwa inovasi teknologi yang menggunakan tray
persemaian lebih disukai dikarenakan dengan menggunakan tray persemaian jarak
tanam bibit yang disemai dapat diatur lebih mudah, praktis untuk dibawa,
disamping itu tanaman tidak mengalami stress saat dipindahkan ke bedengan dan
media tanam yang lain. Sesuai dengan pendapat Nainggolan (2004) bahwa dalam
rangka pemantapan ketahanan pangan melalui penganekaragaman pangan, agar
memanfaatkan pangan tradisional dengan memperrhatikan hal-hal sebagai berikut
: (1) pangan berbasis sumberdaya wilayah setempat beragam, bergizi dan
berimbang, (2) perbaikan pola konsumsi pangan setempat, (3) mutu dan
keamanan pangan, (4) pemanfaatan teknologi tepat guna, (5) usaha peningkatan
nilai tambah pada pangan tradisional.
Perkembangan Petani Peserta M-KRPL dan Karakteristik Pekarangan
Peserta M-KRPL merupakan kelompok wanita tani atau dasa wisma yang
ada di desa, dengan rata-rata jumlah peserta minimal 30 orang per satu kawasan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 301
Tiap kabupaten/kota terdiri dari dua kawasan yang akhirnya dapat berkembang,
baik jumlah KK maupun kawasannya. Perkembangan petani dan karakteristik
pekarangan binaan M-KRPL secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Perkembangan petani dan karakteristik pekarangan di Kabupaten
Donggala, tahun 2013.
Desa Jumlah KK
awal
Pembinaan
Jumlah KK
binaan hingga
Desember 2013
Karakteristik Pekarangan (%)
Sempit Sedang Luas
Tanamea 30 (KK) 97 25,2% 39,3% 34,5%
Sibayu 30 (KK) 110 20.1% 41,0% 38,3%
Sumber : Analisis Data primer
Berdasarkan Tabel 2 menunjukkan karakteristik lahan yang dibina di
kedua desa rata-rata tergolong lahan sedang dengan persentase Desa Sibayu
41,0% dan Desa Tanamea mencapai 39,3%. Dengan melihat presentase kategori
lahan sedang maka kesempatan anggota M-KRPL untuk mengembangkan jenis
sayuran dengan menanam berbagai komoditas lebih tersedia.
Inovasi Teknologi
Teknologi yang diterapkan adalah teknologi yang berasal dari Badan
litbang Pertanian disesuaikan dengan kondisi setempat. Pada umumnya
penanaman dilakukan dengan menanam langsung di lapangan, dalam bedengan,
tabulapot, dan sebagian kecil menanam hidroponik. Untuk bedengan dan pot
digunakan bahan yang tersedia di lapangan yaitu sabut kelapa yang di populerkan
dengan Cocopot. Sebagai media tanam terdiri dari pupuk organik dan tanah
dengan perbandingan 1 : 1. Inovasi teknologi yang berkembang di Desa Tanamea
dan Desa Sibayu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Penerapan inovasi teknologi pada M-KRPL Kabupaten Donggala, tahun
2013.
Desa Penerapan Inovasi Teknologi (%)
Cocopot Vertikultur Konvensional
Tanamea 56,6 23,3 20,0
Sibayu 60,0 16,6 21,1
Sumber : Analisis Data Primer.
Tabel 3 menunjukan dari 30 responden sebelum M-KRPL menanam
sayuran tanpa mengetahui teknologi, dan setelah dilaksanakan M-KRPL dari
kedua desa tersebut menerapkan teknologi Cocopot, dan Vertikultur. Terlihat
pada tabel 8 responden dikedua desa menyukai menggunakan cocopot, dengan
persentase tertinggi Desa Tanamea 56,6% disusul Desa Sibayu 60,0%.
Penggunaan cocopot sebagai teknologi yang mudah, murah, praktis didapatkan
dan cara pembuatannya sangat sederhana. Satu wadah atau pot dibutuhkan satu
sampai dua kelapa yang dirangkai menjadi pot baik digantung maupun diletakkan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 302
di atas rak. Keunggulan sabut kelapa sebagai bahan pembuatan media tumbuh
yaitu dapat berfungsi sebagai sumber bahan organik, tersedia secara kontinyu,
dapat menahan air lebih banyak dibanding bahan pot lainnya, dan dapat
digunakan berulang-ulang sebagai media penanaman sayuran. Sedang inovasi
teknologi dengan persentase terendah dengan menggunakan vertilkultur dengan
nilai 16,6% pada Desa Sibayu.
Perhitungan Skor PPH (Pola Pangan Harapan)
Pemilihan komoditas yang dikembangkan dalam M-KRPL berdasarkan
pertimbangan luas lahan, pemenuhan gizi keluarga, serta kemungkinan
pengembangan secara komersial. Pengembangan secara komersial yang
difokuskan pada sayuran dan diversifikasi pangan lokal maka pola makan harus
berfokus pada Beragam, Bergizi, Aman, dan Seimbang maka secara otomatis PPH
dapat meningkat. Perhitungan skor PPH di Kabupaten Donggala secara rinci
disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Perhitungan skor PPH di Kabupaten Donggala, tahun 2013.
Kelompok Pangan
Nilai PPH
Skor Maks Desa
Tanamea Desa Sibayu
Padi-Padian 25,0 25,0 25,0
Umbi-Umbian 2,5 1,2 1,3
Pangan Hewani 24,0 12,1 13,4
Minyak/ Lemak 5,0 2,4 4,4
Buah/Biji Berminyak 1,0 1,0 1,0
Kacang-kacangan 10,0 3,4 3,1
Gula 2,5 1,3 2,5
Sayur/Buah 30,0 16,2 14,4
Lain-lain 0,0 0,0 0,0
Total 100,0 62,1 64,2
Sumber : Analisis data primer
Analisis pendekatan pola pangan harapan berdasarkan tingkat
keanekaragaman atas proporsi keseimbangan energi dari sembilan kelompok
pangan yang menunjukkan nilai PPH dari kedua desa binaan, total nilai PPH
responden di Desa Tanamea adalah 62,1 sedangkan di Desa Sibayu adalah 64,2.
Jika dibandingkan dengan skor maksimal/PPH nasional sebesar 100,0 maka nilai
PPH pada kedua desa tersebut masih rendah. Nilai PPH tersebut masih harus
ditingkatkan, utamanya konsumsi pangan hewani.
Peningkatan nilai PPH terjadi karena konsumsi beras, pangan hewani,
sayur–sayuran, dan buah sudah mulai dikonsumsi secara beragam namun masih
dalam taraf penyesuaian. Menurut Bulkis pada berbagai tipe agroekosistem
ditemukan pula hubungan yang sangat signifikan antara ketahanan pangan rumah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 303
tangga dengan konsumsi energi dan status gizi. Hal ini berarti bahwa ketahanan
pangan rumah tangga menentukan sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi.
Selain itu keluarga responden tidak lagi membeli bahan sayuran dan bahan
tambahan makanan lainnya, sehingga keluarga responden dialihkan untuk
membeli bahan pangan yang lain seperti ikan, beras, dan daging. Perubahan sikap
memanfatkan halaman dengan memelihara ternak ayam meskipun nilainya tidak
terlalu besar (Rahayu, dkk. 2012). Juga menunjang terjadinya peningkatan PPH.
Analisis Usahatani Tanaman Sayuran
Kegiatan M-KRPL dengan fokus utamanya pemanfaatan pekarangan telah
memberikan keuntungan secara finansial pada keluarga. Keuntungan dihitung dari
kurangnya pengeluaran keluarga karena sebagian bahan pangan tidak dibeli dan
juga kelebihan dari yang konsumsi dijual sehingga dapat menambah pendapatan
sedangkan pendapatan pokok sebelumnya tidak berkurang. Ada beberapa
komoditi telah dihitung analisa biayanya dalam menerapkan teknologi sebagai
acuan jika ingin di usahakan secara komersial di pekarangan. Jenis sayuran yang
telah dipasarkan di Kabupaten Donggala umumnya adalah seledri dan cabe rawit,
analisis usahataninya dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis usahatani tanaman sayuran di Kabupaten Donggala, tahun 2013.
Desa Tanamea Desa Sibayu
Seledri Cabe rawit
No Uraian Nilai
(Rp)
Uraian Nilai (Rp)
1 Pengeluaran Pengeluaran
a. Bibit Seledri 25.000 a. Bibit Cabe 20.000
b. Media & Pupuk
Organik
42.000 b. Media &Pupuk
Organik
45.000
c. Biaya Tenaga
Kerja
30.000 c. Biaya Tenaga Kerja 20.000
Total Biaya 97.000 Total Biaya 85.000
2 Hasil Produksi 3
cocopot
tanaman
seledri
Hasil Produksi 20 bungkus
Nilai Produksi 240.000 Nilai Produksi 200.000
Nilai dikonsumsi 300.000 Nilai dikonsumsi 300.000
Pendapatan 143.000 Pendapatan 115.000
3 B/C 1,47 B/C 1,35
Sumber : Analisis data primer
Berdasarkan analisis usatani di Desa Tanamea pada luasan pekarangan 35
meter bujursangkar mendapatkan nilai B/C 1,47. Sedangkan untuk Desa Sibayu
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 304
dengan luasan yang sama mendapatkan nilai B/C 1,35. Nilai ini belum termasuk
produksi yang dikonsumsi oleh petani. Semakin tinggi nilai B/C maka usahatani
tersebut semakin menguntungkan. Hasil pengamatan dan perhitungan kelayakan
usahatani yang dihitung pada kegiatan ini adalah tanaman daun seledri pada
pertanaman cocopot gantung dan tanaman cabe pada cocopot bedengan. Hasil ini
menunjukan bahwa dengan inovasi teknologi pemanfaatan pekarangan dapat
mendukung peningkatan pendapatan rumah tangga sekaligus menghemat
pengeluaran, dapat menjadi sumber pangan berkualitas dan sehat karena tanpa
penggunaan pestisida serta dapat dimanfaatkan dalam bentuk segar. Oleh karena
itu komoditas yang ditanam di pekarangan disesuaikan dengan kebutuhan dan
permintaan pasar (market oriented).
Pembinaan Kelembagaan dan Kerjasama M-KRPL
Sasaran pembinaan pada ibu rumah tangga dan keluarganya. Pembinaan
dilakukan melalui kelompok tani, PKK, dan kelompok–kelompok yang ada di
desa dengan persyaratan satu kawasan minimal 30 kk yg pekarangannya
berdekatan. Dalam 1 wilayah binaan dapat dibagi lebih dari 1 kelompok. Setiap
kelompok dikoordinir oleh ketua dan dibantu pengurus lainnya. Selain itu juga
melakukan pertemuan secara rutin paling kurang 1 bulan sekali. Kelembagaan
pendukung MKRPL di Kabupaten Donggala dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kelembagaan pendukung kegiatan M-KRPL Di Kabupaten Donggala,
tahun 2013.
Kecamatan Desa Kelembagaan Pendukung
Banawa Selatan Tanamea PKK, dasawisma, aparat desa
Balesang Sibayu PKK, dasawisma, remaja mesjid,
Penyuluh
Sumber : Analisis data primer.
Tabel 6 menunjukan kelembagaan yang mendukung kegiatan M-KRPL di
tingkat desa dan sebagai pelaksana dalam kegiatan model kawasan rumah pangan
lestari yaitu anggota PKK, dasawisma dan dukungan seluruh aparat Desa,
penyuluh yang ada diwilah masing masing. Untuk keberlangsungan lebih lanjut
dari KBD juga dibentuk kelembagaan KBD yang bertujuan agar ketersediaan bibit
dapat berkesinambungan (lestari). Keanggotaan KBD maupun M-KRPL
beranggotakan ibu-ibu anggota KRPL dengan struktur organisasi terdiri dari
ketua, sekertaris, bendahara, dan anggota. Dalam kelembagaan KBD maupun M-
KRPL yanga ada di Desa Tanamea, penyuluh kurang berpartisifatif, dan Desa
Sibayu, penyuluh, remaja mesjid , PKK, anggota dasawisma aktif dalam
pendampingan M-KRPL. Menurut Simatupang (2006), strategi swasembada
pangan didasarkan pada paradigma ketersediaan pangan (food availability)
terbukti tidak dapat menjamin akses pangan bagi semua keluarga atau individu
yang merupakan inti dari ketahanan pangan. Paradigma yang lebih tepat ialah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 305
perolehan pangan (food entitlement) yang mencakup dimensi ketersediaan, akses,
dan penggunaan.
Kerja sama yang telah dilaksanakan dengan berbagai pihak untuk
pengembangan kegiatan M-KRPL. Bentuk kerjasama yang tela dilakukan di Desa
Tanamea Kecamatan Banawa Selatan yaitu kerjasama dengan Badan Ketahanan
Pangan Kabupaten Donggala dalam hal bantuan bibit sayur, kerjasama dengan
Dinas Perkebunan dalam hal bantuan bibit mangga 60 pohon, Durian 60 pohon,
Nangka 60 pohon dan Jeruk manis 60 pohon. Selain itu Dinas transmigrasi dan
sosial mendukung dalam hal bantuan rumah bedah sebanyak 110 unit, sumur air
bersih 1 Unit, dan perbaikan drainase saluran got untuk tanaman pangan. Selain
kerja sama dengan dinas terkait di Kabupaten Donggala dan Provinsi telah
dilakukan kerja sama dengan Bank Indonesia dalam pendampingan teknologi
dengan membina Desa Toale sebanyak 76 kk.
KESIMPULAN
1. Telah terbentuk M-KRPL di Desa Tanamea Kecamatan Banawa Selatan
diawali 30 kk berkembang menjadi 97 kk, dan M-KRPL di Desa Sibayu
Kecamatan Balaesang dengan jumlah pelaksana kegiatan masing–masing 30
KK dan berkembang menjadi 110 kk.
2. Skor PPH Desa Tanamea sebesar 62,1 dan Desa Sibayu sebesar 64,2.
3. Usahatani sayuran untuk seledri dan cabe rawit di Desa Tanamea dan Desa
Sibayu layak dilaksanakan dengan nilai B/C masing-masing sebesar 1,47 dan
1,35.
4. Telah terjalin kerjasama dengan dinas dan instansi terkait yaitu Dinas
Perkebunan Provinsi Sulawesi Tengah yaitu memberi bantuan berupa bibit
Durian 56 pohon, bibit Mangga 60 pohon, Nangka 60 pohon, Sukun 60
pohon, dan Jeruk 60 pohon, selain itu bentuk kerjasama dengan Dinas Sosial
yakni adanya bantuan bedah rumah sebanyak 110 unit.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Kementerian Pertanian Ingin Merubah 500 Ribu Ha Pekarangan
Menjadi Areal Lahan Tanaman Pangan. http:// informasi-
pertanian.blogspot.com/2011/04/kementerian-pertanian-ingin-merubah.
html.
BPS. 2012. Statistik Daerah Kecamatan Sirenja. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Donggala.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 306
Bulkis, S. 2012. Ketahanan Pangan Rumah Tangga Perdesaan. Arus Timur,
Makassar.
Nainggolan, K. 2004. Strategi dan Kebijakan Pangan Tradisional dalam Rangka
Ketahanan Pangan. Prosiding Seminar Peningkatan Daya Saing Pangan
Tradisional. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen
Pertanian. Badan Litbang Pertanian.
Redaksi Trubus. 2009. Bertanam Sayur dalam Pot. Edisi revisi. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Rahayu, dkk. 2012. Peranan M-KRPL terhadap pendapatan keluarga di Desa
Ojumbou Kecamatan Sirenja Kab. Donggala. Makalah disampaikan pada
Seminar dan Workshop KRPL di Semarang.
Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis Terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar
Kebijakan Ketahanan Pangan nasinal. Forum Penelitian Agro Ekonomi
Vol.25 N0.1 Juli. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Badan Litbang Pertanian.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 307
Capaian Kinerja Inventarisasi Plasma NutfahUbi Banggai
Di Sulawesi Tengah
Ruslan Boy
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah
Email: [email protected]
Abstrak
Salah satu hasil inventarisasi Sumber Daya Genetik (SDG) di Sulawesi Tengah adalah
bahan tanaman ubi banggai.Ubi banggai yang diberi nama lokal “baku” dengan arti
yang sesungguhnya adalah ubi, merupakan salah satu plasma nutfah yang dijadikan
sebagai sumber pangan spesifik lokal masyarakat yang berada di kabupaten Banggai
Kepulauan dan Banggai Laut yang telah dibudidayakan oleh masyarakat asli setempat
secara turun-temurun. Penelitian ini ditujukan untuk menginventarisasi aksesi plasma
nutfah ubi banggai di Sulawesi Tengah untuk memperoleh informasi keragaman dan
karakteristik morfologi. Di laksanakan di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai
Laut pada Bulan Juni 2013 dan April 2014. Menggunakan metode survey dengan jumlah
responden sebanyak 30 responden. Hasil inventarisasi dapat diketahui aksesi ubi
banggai di Banggai Kepulauan 44 aksesi dan Banggai Laut 29 aksesi. Karakteristik ubi
banggai di Banggai Kepulauan yang memiliki warna kulit umbi ungu hitam lebih
dominan22 aksesi, warna daging umbi putih yang dominan 26aksesi serta bentuk umbi
yang dominan oval lonjong 16 aksesi. Sedangkan Banggai Laut warna kulit umbi yang
dominanungu hitam terdiri atas 17 aksesi, warna daging umbi yang dominan putih
20aksesi, bentuk umbi yang dominan oval lonjong 20 aksesi.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci: ubi banggai, inventarisasi, plasma nutfah
PENDAHULUAN
Salah satu hasil inventarisasi Sumber Daya Genetik (SDG) di Sulawesi
Tengah adalah bahan tanaman ubi banggai.Ubi banggai yang diberi nama lokal
“baku” dengan arti yang sesungguhnya adalah ubi, merupakan salah satu plasma
nutfah yang dijadikan sebagai sumber pangan spesifik lokal masyarakat yang
berada di kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut yang telah
dibudidayakan oleh masyarakat asli setempat secara turun-temurun. Komoditas
tersebut, menjadi sumber pangan alternatif pengganti beras dalam
penganekaragaman konsumsi pangan dan gizi, dan bahkan menjadi sumber bahan
makanan utama bagi masyarakat asli yang berdomisili di wilayah tersebut.Selain
sebagai pangan penting bagi masyarakat setempat, ubi banggai merupakan salah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 308
satu kekayaan keragaman sumberdaya genetik Sulawesi Tengah yang sampai saat
ini belum banyak diketahui informasinya, baik informasi biologi maupun
kandungan nutrisinya.
Belum banyak tereksplorasinya kekayaan sumber daya genetik (SDG) di
Sulawesi Tengah, terutama plasma nutfah tanaman ubi banggai merupakan suatu
potensi yang perlu digali untuk mencari sumber alternatif pengembangan
agribisnis tanaman.SDG merupakan warisan budaya leluhur, terkait dengan sifat-
sifat unik yang tersedia disuatu wilayah secara turun-temurun (Priyatno,
2013).Plasma nutfah merupakan sumberdaya alam ke empat selain air, tanah dan
udara yang harus dilestarikan. Pelestarian plasma nutfah sebagai sumber genetik
akan menentukan keberhasilan program pengembangan pangan (Yusuf et al.
2011).Kecukupan pangan bergantung pada keragaman plasma nutfah yang
dimiliki karena varietas unggul yang sudah, sedang dan akan dirakit merupakan
kumpulan dari keragaman genetik spesifik yang terekspresikan pada sifat-sifat
unggul yang diinginkan. Maka dari itu, plasma nutfah ubi banggai di Banggai
Kepulauan dan Banggai Laut merupakan pangan lokal masyarakat setempat yang
diproduksi dengan tujuan ekonomi atau produksi dan harus dilestarikan. Rauf dan
Lestari (2009) menyatakan pangan lokal adalah pangan yang diproduksi daerah
setempat atau daerah tertentu untuk tujuan ekonomi atau konsumsi.
Berbagai jenis tanaman lokal ubi banggai, telah dibudidayakan secara turun-
temurun oleh petani di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai
Laut.Tingginya minat petani menanam tanaman ubi banggai disebabkan karena
tanaman tersebut sudah adaptif dengan kondisi biofisik lahan, serta sesuai
preferensi masyarakat asli setempat.Keanekaragaman genetik plasma nutfah ubi
banggai perlu dipertahankan keberadaannya agar dapat dilestarikan dan
dimanfaatkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat.Upaya yang dapat
dilakukan untuk mempertahankan keberadaan plasma nutfah tanaman ubi banggai
adalah melalui kegiatan pengelolaan SDG pertanian.Pengelolaan SDG mencakup
pelestarian dan pemanfaatannya.Hal ini memerlukan informasi status dan sebaran
SDG yang ada.Hingga saai ini, informasi tentang status dan sebaran SDG
tanaman ubi banggai di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut masih
sangat terbatas.Untuk itu perlu dilakukan kegiatan inventarisasi plasma nutfah
tanaman ubi banggai tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan inventarisasi aksesi
plasma nutfah tanaman ubi banggai di Kabupaten Banggai Kepulauan dan
Banggai Laut untuk memperoleh informasi keragaman dan karakteristik mofologi.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan di 2 Kabupaten, yaitu Kabupaten Banggai
Kepulauan dan KabupatenBanggai Laut.Waktu pelaksanaan survey dibagi dalam
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 309
dua tahap.Tahap pertama dilakukan bulan Juni 2013 dan tahap kedua pada bulan
April 2014.
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey, dimana
pada setiap kabupaten ditetapkan secara sengaja (purposive sampling) sebanyak
30 responden. Teknik pengambilan data dengan cara mendatangi rumah petani
contoh (sample) kemudian melakukan observasi dan wawancara. Data yang
dikumpulkan meliputi: nama lokal/jenis tanaman ubi banggai, warna daging umbi,
warna kulit umbi, bentuk umbi, serta umur tanaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Keragaman ubi banggai di Kabupaten Banggai Kepulauan
Pelaksanaan inventarisasi plasma nutfah ubi banggai di Kabupaten Banggai
Kepulauan ditemukan 44 aksesi tanaman ubi banggai yang terdiri atasBaku
Kokudang, baku tu, baku pusus, baku pauateno, baku liboko, baku balayon, baku
paibatang, baku boyo, baku kombutok, baku mamis, baku sombok, baku siloto,
baku doso memela, baku mosoni sayong, baku tu oloyo, baku babangi, baku
tanduk, baku bun moute, baku kasiabang, baku solovia, baku butun, baku
bololang, baku banggai, baku kulita, baku binongko, baku kadupang, baku
kodung, baku tu memela, baku bung, baku boan, baku mosoni boloy, baku
pasandil, baku memela, baku timbuk, baku potil coklat, baku salabangka, baku
mbol, baku sagu, baku bobongan, baku potil mompok, baku binda, baku tinggoi,
baku pasandil mosoni, serta baku tanduk polungut seperti yang disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Keragaman dan karakteristik morfologi ubi banggai di Kabupaten
Banggai Kepulauan
No Nama Lokal Warna kulit
umbi
Warna
daging umbi
Bentuk
umbi
Umur
panen
1 Baku Kokudang Hitam ungu Ungu Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
2 Baku Tu Putih kuning Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
3 Baku Pusus Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
4 Baku Pauateno Ungu hitam Ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
5 Baku liboko Hitam ungu Kuning Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
6 Baku Balayon Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
7 Baku Paibatang Hitam ungu Ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 310
No Nama Lokal Warna kulit
umbi
Warna
daging umbi
Bentuk
umbi
Umur
panen
8 Baku Boyo Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
9 Baku Kombutok Hitam ungu Ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
10 Baku Mamis Hitam ungu Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
11 Baku Sombok Putih kuning Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
12 Baku Siloto Putih kuning Putih Silinder 6 - 9 bulan
13 Baku Doso
Memela
Putih kuning Ungu Silinder 6 - 9 bulan
14 Baku Mosoni
Sayong
Hitam ungu Kuning Oval lonjong 6 - 9 bulan
15 Baku Tu Oloyo Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
16 Baku Babangi Hitam ungu Ungu Oval 6 - 9 bulan
17 Baku Tanduk Hitam ungu Kuning Oval 6 - 9 bulan
18 Baku Bun
Moute
Hitam ungu Putih Bundar 6 - 9 bulan
19 Baku Kasiabang Ungu hitam Putih Bundar 6 - 9 bulan
20 Baku Solovia Hitam ungu Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
21 Baku Butun Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
22 Baku Bololang Putih kuning Putih Silinder 6 - 9 bulan
23 Baku Banggai Ungu hitam Ungu Oval 6 - 9 bulan
24 Baku Kulita Putih kuning Putih Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
25 Baku Binongko Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
26 Baku Kadupang Hitam ungu Ungu Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
27 Baku Kodung Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
28 Baku Tu
Memela
Hitam ungu Ungu Oval 6 - 9 bulan
29 Baku Bung Hitam ungu Putih Oval 6 - 9 bulan
30 Baku Boan Ungu hitam Ungu Bundar 6 - 9 bulan
31 Baku Mosoni
boloy
Ungu hitam Kuning Silinder 6 - 9 bulan
32 Baku Pasandil Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
33 Baku Memela Ungu hitam Ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
34 Baku Timbuk Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
35 Baku Potil
Coklat
Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
36 Baku
Salabangka
Ungu hitam Ungu Oval 6 - 9 bulan
37 Baku Mbol Ungu hitam Putih Bundar 6 - 9 bulan
38 Baku Sagu Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
39 Baku Bobongan Ungu hitam Ungu Oval 6 - 9 bulan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 311
No Nama Lokal Warna kulit
umbi
Warna
daging umbi
Bentuk
umbi
Umur
panen
40 Baku Potil
mompok
Hitam ungu Putih Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
41 Baku Binda Ungu hitam Putih Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
42 Baku Tinggoi Ungu hitam Putih Tidak
beraturan
6 - 9 bulan
43 Baku Pasandil
Mosoni
Putih kuning Kuning Oval lonjong 6 - 9 bulan
44 Baku Tanduk
polungut
Hitam ungu Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
Karakteristik aksesi ubi banggai di Kabupaten Banggai Kepulauan yang
memiliki warna kulit umbi ungu hitam terdiri atas 22 aksesi atau 50%, warna
hitam ungu15 aksesi atau 34,10% serta warna putih kuning 7 aksesi atau 15,90%
dari 44 aksesi yang diamati. Sementara jumlah aksesi yang memiliki warna
daging umbi putih 26aksesi atau 59,10%, warna ungu 13 aksesi atau 29,54% serta
warna kuning 5 aksesi atau 11,36 % dari 44 aksesi yang diamati. Bentuk umbi
yang dominan adalah berbentuk oval lonjong 16 aksesi atau 36,36% disusul
bentuk oval 13 aksesi atau 29,54%, tidak beraturan7 aksesi atau 15,91%, bundar 4
aksesi atau 9,10% serta silinder 4 aksei atau 9,10% dari 44 aksesi yang diamati.
Sedangkan umur panen untuk semua aksesi dapat dipanen pada interval waktu 6
samapi 9 bulan.
Keragaman ubi banggai di Kabupaten Banggai Laut
Hasil inventarisasi di Kabupaten Banggai Laut ditemukan 29 aksesi
tanaman ubi banggai yaitu Baku labue, baku apal, baku sombok ungu, baku
sombok moute, baku doso, baku butun babasal, baku butun pauno, baku payot,
baku solopia mosoni, baku solopia moute, baku tanduk, baku tu, baku kuweyang,
baku lembet, baku boan moute, baku boan ungu, baku pusus, baku palabatu, baku
potil, baku penus, baku balayon, baku pauateno, baku kulaluk, baku amangkul,
baku tendetung, baku siloto moute, baku siloto ungu, baku pangilan, serta baku
maukes seperti yang disajikan pada Tabel 2.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 312
Tabel 2.Keragaman dan karakteristik morfologi ubi banggai di Kabupaten
Banggai Kepulauan
No. Nama Lokal Warna kulit
umbi
Warna
daging umbi Bentuk umbi Umur panen
1 Baku Labue Putih kuning Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
2 Baku Apal Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
3 Baku
Sombok
Ungu
Ungu hitam Putih ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
4 Baku
Sombok
moute
Putih kuning Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
5 Baku Doso Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
6 Baku Butun
babasal
Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
7 Baku Butun
pauno
Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
8 Baku Payot Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
9 Baku Solopia
Mosoni
Hitam ungu Ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
10 Baku
Solopia
Moute
Hitam ungu Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
11 Baku Tanduk Hitam ungu Kuning Oval lonjong 6 - 9 bulan
12 Baku Tu Putih kuning Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
13 Baku
Kuweyang
Ungu hitam Ungu Tidak beraturan 6 - 9 bulan
14 Baku Lembet Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
15 Baku Boan
Moute
Hitam ungu Putih Bundar 6 - 9 bulan
16 Baku Boan
Ungu
Hitam ungu Ungu Bundar 6 - 9 bulan
17 Baku Pusus Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
18 Baku
Palabatu
Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
19 Baku Potil Ungu hitam Putih Bundar 6 - 9 bulan
20 Baku Penus Putih kuning Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
21 Baku
Balayon
Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
22 Baku
Pauateno
Ungu hitam Ungu Oval 6 - 9 bulan
23 Baku Ungu hitam Kuning Oval lonjong 6 - 9 bulan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 313
No. Nama Lokal Warna kulit
umbi
Warna
daging umbi Bentuk umbi Umur panen
Kulaluk
24 Baku
Amangkul
Ungu hitam Putih Oval 6 - 9 bulan
25 Baku
Tendetung
Ungu hitam Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
26 Baku Siloto
Moute
Putih kuning Putih Silindris 6 - 9 bulan
27 Baku Siloto
Ungu
Putih kuning Ungu Silindris 6 - 9 bulan
28 Baku
Pangilan
Hitam ungu Putih Oval lonjong 6 - 9 bulan
29 Baku
Maukes
Ungu hitam Ungu Oval lonjong 6 - 9 bulan
Karakteristik aksesi ubi banggai di Kabupaten Banggai Laut yang memiliki
warna kulit umbi ungu hitam terdiri atas 17 aksesi atau 58,62%, warna hitam
ungu6aksesi atau 20,69% serta warna putih kuning juga 6aksesi atau 20,69% dari
29 aksesi yang diamati. Sementara jumlah aksesi yang memiliki warna daging
umbi putih 20aksesi atau 68,96%, warna ungu 6aksesi atau 20,69% serta warna
kuning 2aksesi atau 6,90%, serta warna putih ungu 1 aksesi atau 3,45%dari 29
aksesi yang diamati. Bentuk umbi yang dominan adalah berbentuk oval lonjong
20aksesi atau 68,96% disusul bentuk oval 3 aksesi atau 10,34%, bundar 3 aksesi
atau 10,34%,silinder 2aksei atau 6,90%, serta tidak beraturan 1 aksesi atau
3,45%dari 29 aksesi yang diamati. Sedangkan umur panen untuk semua aksesi
dapat dipanen pada interval waktu 6 samapi 9 bulan.
Pembahasan
Wilayah penyebaran plasma nutfah ubi banggai di Sulawesi Tengah terdapat di
Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut. Secara umum keragaman
aksesi ubi banggai yang diperoleh di Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai
Laut relatif sama. Namun karakteristik morfologi masing-masing ubi banggai
sangat beragam.Aksesi ubi banggai yang terbanyak jumlahnya dari hasil
inventarisasi ditemukan di Kabupaten Banggai Kepulauan yaitu 44 aksesi
sedangkan di Banggai Laut 29 aksesi.Sebagaimana di ketahui usaha tani ubi
banggai telah ditekuni oleh masyarakat secara turun temurun di dua wilayah
tersebut, dimana ubi banggai sendiri dijadikan sebagai bahan makanan pokok.
Sentuhan teknologi dalam usaha taninya amat minim dan hanya mengharapkan
kondisi alam, namun sekaligus menunjukkan keunggulannya karena lebih bersifat
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 314
natural dan berkelanjutan. Untuk itu pengaturan waktu tanam berperan penting
dalam kegiatan usahatani ubi banggai. Umumnya penanaman dimulai pada bulan
Agustus-Oktober.
Hasil inventarisasi dan identifikasi ubi banggai di Banggai Kepulauan oleh
Rostiati et al (2002), teridentifikasi sebanyak 11 spesies tumbuhan yang tergolong
ke dalam family Dioscoreaceae. Jenis-jenis ubi banggai tersebut adalah baku
babanal (Dioscorea warburgiana Uline), baku ondot (Dioscoreahispida Dennst),
baku siloto (Dioscoreacf. deltoidea Wall.), baku tu (Dioscoreaglabra Roxb), baku
makulolong (Dioscoreabulbiferavar.celebica Burkill), baku pusus
(Dioscoreacf.alata), baku butun (Dioscoreaalata L), baku mosoni (Dioscoreasp),
ndolungun (Dioscoreaesculenta (Lour.) Burck), Dioscorea numularia serta
Dioscorea keduensis Burkill.Jenis yang kurang dibudidayakan adalah jenis
Dioscorea hispida karena mempunyai kandungan racun yang cukup tinngi.
Hasil pengamatan di lapangan, usahatani ubi banggai dikembangkan melalui
sistem pertanian lahan kering dan hampir menyeluruh disemua wilayah
Kabupaten Banggai Kepulauan dan Banggai Laut.Dapat tumbuh di tanah datar
hingga ketinggian 700 m dpl.Umumnya telah dibudidayakan dan jarang
ditemukan tumbuh liar.Kondisi agroekosistem Banggai kepulauan dan Banggai
Laut dominan dengan lahan kering.Dengan kondisi yang demikian, sangat
mendukung perkembangan tanaman ubi banggai sebagai pangan lokal yang
mempunyai sifat unik dalam merespon perubahan lingkungan
ekstrim.Pengembangan komoditas tersebut, sangat merata di semua tingkat
elevasi lahan baik pada dataran rendah, medium dan tinggi.Titik Sundari dan
Sholihin (2008) menyatakan pengembangan tanaman umbi-umbian, pada saat ini
diarahkan ke lahan-lahan marginal yang ternyata beragam karena perbedaan jenis
tanah, iklim, dan musim.Ragam tersebut memungkinkan timbulnya interaksi
genotipe dan lingkungan terhadap hasil umbi.Lebih lanjut disampaikan oleh Sri
A.R (2004) bahwa Keragaman wilayah, topografi, tanah ketersediaan air, dan
iklim telah membentuk tanaman untuk tumbuh dan beradaptasi pada lokasi yang
spesifik. Kultivar yang mempunyai toleransi yang baik pada keadaan setempat
dikenal dengan varietas lokal.Pangan lokalUbi banggai merupakan salah satu
kekayaan keragaman hayati plasma nutfah tanaman pangan yang sangat penting
sehingga harus dilestarikan. Pemanfaatan ubi banggai untuk konsumsi dan masih
sangat sederhana yaitu cukup dikukus, diebus, digoreng, ataupun dibakar.Saat
inimasih jarang tepung yang terbuat dari ubi banggai serta pemasaran oleh
masyarakat masih terbatas dalam bentuk umbi segar.Menurut Aser (2014) salah
satu jenis umbi-umbian yang berpotensi sebagai bahan pangan sumber karbohidrat
adalah uwi (Dioscorea alata L.), tetapi budidayanya di Indonesia masih terbatas
karena masyarakat pada umumnya tidak mengetahui informasi tentang tanaman
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 315
uwi termasuk kandungan nutrisi seperti zat pati, amilosa, amilopektin dan kadar
gula sebagai sumber energi.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diketahui bahwa
aksesi ubi banggai yang diperoleh di Banggai Kepulauan 44 aksesi dan
Banggai Laut 29 aksesi dan memiliki keragaman yang relatif sama serta
sifat morfologi yang ditunjukkan masing-masing aksesi ubi banggai
sangat beragam.
2. Karakteristik ubi banggai di Banggai Kepulauan yang memiliki warna
kulit umbi ungu hitam lebih dominan22 aksesi, warna daging umbi putih
yang dominan 26aksesi serta bentuk umbi yang dominan oval lonjong 16
aksesi. Sedangkan Banggai Laut warna kulit umbi yang dominanungu
hitam terdiri atas 17 aksesi, warna daging umbi yang dominan putih
20aksesi, bentuk umbi yang dominan oval lonjong 20 aksesi.
DAFTAR PUSTAKA
Aser Yalindua, 2014. Potensi Genetik Klon Tanaman Uwi (Dioscorea alata L.)
Asal Banggai Kepulauan Sebagai Sumber Pangan dalam Menunjang
Ketahanan Pangan Nasional. URI:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/70006. Date: 2014
M.Yusuf, I.Hanarida dan Minantyorini, 2011.Konservasi Plasma Nutfah.Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Rostiati D. R., Ramadhanil dan Rahmat Anasiru, 2002. Inventarisasi dan
Identifikasi Ubi Banggai di Kepulauan Banggai Sulawesi Tengah. Laporan
Penelitian ARMP II. Fakultas Pertanian UNIVERSITAS TADULAKO
Palu.
Sri Astuti Rais, 2004.Eksplorasi Plasma Nutfah Tanaman Pangan di Provinsi
Kalimantan Barat.Buletin Plasma Nutfah Vol. 10 No.1 Th 2014.
Titik Sundari dan Sholihin, 2008.Adaptasi dan Stabilitas Hasil Klon-Klon
Harapan Ubi Kayu.Prosiding Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan
Umbi-umbian.Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 316
Tri P. Priyatno, 2013. Percepatan Implementasi Program Pemuliaan melalui
Pengelolaan Sumber Daya Genetik dan Analisis Genom.Warta Plasma
Nutfah Indonesia. No 25 Tahun 2013.
Wahid Rauf dan Martina Sri Lestari, 2009.Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal
sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua.Jurnal Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 317
Produktifitas Beberapa Varietas Unggul Baru Padi Sawah
Di Kabupaten Banggai
Ruslan Boy
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah
Email: [email protected]
Abstrak
Padi merupakan komoditas strategis dalam ketahanan pangan yang hampir dan bahkan
seluruh masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai sumber kalori dan protein.
Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi komoditas pangan penting ini senantiasa
mendapat prioritas yang utama dari pada komoditas lainnya. Tujuan penelitian untuk
mengetahui potensi beberapa varietas unggul baru padi sawah yang adaptif dan
diharapkan dapat memberikan peningkatan produksi padi sawah di Kabupaten Banggai.
Dilaksanakan di Desa Bantayan, Kecamatan Luwuk Timur, Kabupaten Banggai yang
berlangsung dari bulan Mei hingga Agustus 2012. Menggunakan metode Rancangan
Acak Kelompok terdiri dari 4 perlakuan VUB yaitu varietas Inpari 13, Inpari 15, Inpari
20 serta Ciherang (eksisting) dan terdiri atas 3 ulangan sehingga terdapat 12 petak
percobaan. Luas petak percobaan berukuran 5 m x 5 m.Variabel yang diamati terdiri
atas tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, panjang malai, berat 1000 biji, serta hasil
gabah kering panen.Varietas unggul baru Inpari 15 menghasilkan produksi yang
tertinggi 8,13 t/ha dibanding dengan varietas lainnya.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci: VUB, adaptasi dan produktivitas
PENDAHULUAN
Padi merupakan komoditas strategis dalam ketahanan pangan yang hampir
dan bahkan seluruh masyarakat Indonesia mengandalkan beras sebagai sumber
kalori dan protein.Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, padi selain
berfungsi sebagai makanan pokok juga merupakan sumber mata pencaharian.
Oleh karena itu, upaya peningkatan produksi komoditas pangan penting ini
senantiasa mendapat prioritas yang utama dari pada komoditas lainnya. Pola
konsumsi berastelah menjadi simbol status sosial dan ekonomi disamping lebih
mengenyangkan daripada pangan lain. Sepanjang pola makan masyarakat masih
terfokus pada beras, akan menuntut pemerintah untuk terus memprioritaskan
pengadaan beras dalam jumlah cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat banyak.
Jumlah penduduk yang terus bertambah membutuhkan ketersediaan pangan yang
selaras. Dengan kondisi demikian, tentunya memerlukan upaya khusus dalam
menangani dan menyelesaikan ketersediaan pangan tersebut.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 318
Kabupaten Banggai merupakan salah satu sentra utama penghasil padi di
propinsi Sulawesi Tengah. Produktivitas rata-rata padi sawah sawah di Kabupaten
Banggai baru mencapai 4,47 ton/ha dan Sulawesi Tengah secara keseluruhan 4,65
t/ha (BPS Sulawesi Tengah, 2013). Dalam upaya meningkatkan produksi padi di
Kabupaten Banggai, Pemerintah Daerah terus berupaya melakukan melalui
peningkatan produktivitas dan perluasan percetakan lahan sawah baru. Namun
upaya pencetakan lahan sawah belum mampuh menjawab peningkatan
produktivitas padi sebagimana yang diharapkan, karena belum sepenuhnya
diimbangi dengan implementasi inovasi teknologi produksi padi dalam usahatani
padi ditingkat lapangan oleh petani. Salah satu implementasi inovasi teknologi
terpenting dalam usahatani padi sawah adalah penggunaan varietas unggul baru
(VUB).
Penggunaan varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi dari
paket usahatani padi sawah yang mudah diadopsi oleh petani karena mudah
dilakukan dan murah biayanya. Berkaitan dengan kondisi tersebut, diperlukan
varietas unggul padi sawah yang berdaya hasil tinggi dan dapat beradaptasi pada
lahan-lahan spesifik lokasi dimasing-masing wilayah khususnya di Kabupaten
Banggai. Varietas unggul merupakan salah satu komponen teknologi inovatif
untuk meningkatkan produktivitas padi, baik melalui peningkatan potensi atau
daya hasil, maupun peningkatan ketahanannya cekaman biotik maupun abiotik
(Suprihartono et al.,2007). Hal yang sama disampaikan oleh Faisal dan Bahtiar
(2012) varietas unggul memiliki kelebihan pertumbuhan taanaman lebih seragam
sehingga panen menjadi serempak, rendemen lebih tinggi, mutu hasil lebih tinggi
dan sesuai dengan selera konsumen dan tanaman akan mempunyai ketahanan
yang tinggi terhadap gangguan hama dan penyakit dan beradaptasi yang tinggi
terhadap lingkungan sehingga dapat memperkecil penggunaan input seperti pupuk
dan pestisida. Hasil penelitian Satoto et al. (2009) dalam Ahmadi et al. (2012)
menyatakan penggunaan benih unggul padi mampu meningkatkan produktivitas
padi sekitar 16-36%.
Dalam mendukung keberhasilan peningkatan produksi beras, Balitbangtan
dalam hal ini Balai Besar Padi telah menghasilkan sekitar 240 varietas unggul
padi yang telah disebarkan ke wilayah-wilayah sentra pengembangan padi (BB
Padi, 2013). Sebagai penghasil utama varietas unggul padi, Badan litbang
Pertanian terus berupaya menghasilkan VUB sebagai upaya peningkatan
produktivitas padi. Diharapkan dengan dilepasnya varietas unggul tersebut dapat
diaktualisasikan potensi genetiknya melalui pengembangan teknologi budidaya
dengan Pendekatan pengelolaan Tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT).
Kontribusi varietas unggul dalam peningkatan produktivitas padi mancapai 75%
jika diintegrasikan dengan teknologi pengairan dan pemupukan (Badan Litbang
Pertanian, 2007).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 319
Untuk mendapatkan suatu vaietas unggul padi sawah yang spesifik lokasi
diperlukan varietas yang beradaptasi baik dengan hasil tinggi dan mempunyai
ketahanan terhadap cekaman biotik dan abiotik melalui uji varietas yang
dilakukan pada sentra-sentra pengembangan padi sawah. Sebagaiman pernyataan
Zaini (2009) pada kondisi lingkungan yang beragam tidak semua varietas unggul
baru memberikan hasil tinggi. Hal ini mengindikasikan perlu di uji multilokasi
berbagai VUB pada kondisi spesifik lokasi. Ketersediaan berbagai alternatif
pilihan varietas unggul pada suatu wilayah akan berdampak terhadap stabilitas
ketahanan pangan dari cekaman biotik dan abiotik di wilayah tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui potensi beberapa varietas
unggul baru padi sawah yang adaptif dan diharapkan dapat memberikan
peningkatan produksi padi sawah di Kabupaten Banggai.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan disentra produksi padi di Desa Bantayan,
Kecamatan Luwuk Timur,Kabupaten Banggai yang berlangsung dari bulan Mei
hingga Agustus 2012. Penelitian menggunakan metode Rancangan Acak
Kelompok terdiri dari 4 perlakuan VUB yaitu varietas Inpari 13, Inpari 15, Inpari
20 serta Ciherang (eksisting) dan terdiri atas 3 ulangan sehingga terdapat 12 petak
percobaan. Luas petak percobaan berukuran 5 m x 5 m. Umur tanaman saat
pindah 18 hari setelah semai, ditanam 1-3 batang per rumpun dengan sistem jajar
legowo 2:1 jarak tanam (40 cm x 20 cm x 10 cm). Menggunakan paket
rekomendasi pemupukan 200 kg NPK Phonska/ha, 133,3 kg N/ha, serta 16 kg
P2O5/ha. Variabel yang diamati terdiri atas tinggi tanaman (cm), jumlah anakan
produktif, panjang malai (cm), berat 1000 biji (gr) serta hasil gabah kering panen.
Semua variabel tersebut diamati pada rumpun tanaman yang sama diambil 10
rumpun per petak. Pengukuran tinggi tanaman dan anakan produktif dilakukan
saat menjelang panen, panjang malai, dan pengamatan 1000 biji serta hasil GKP
saat panen. Data dianalisis statistik menggunakan Analisis Varian (Anova) dan
jika Anova nyata maka akan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ).
HASIL DAN PEMBAHASAN
KomponenPertumbuhan
Komponen pertumbuhan yang diamati adalah tinggi tanaman (cm) dan
jumlah anakan produktif seperti yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1.Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif VUB di Kabupaten Banggai
Sulawesi Tengah
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 320
Varietas TinggiTanaman (cm) Anakanproduktif
Inpari 13 104.56a 14.44
Inpari 15 101.56a 15.58
Inpari 20 94.39b 13.25
Ciherang 102.14a 12.58
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata
pada Taraf uji 5%
Hasil analisis ragam komponen pertumbuhan menunjukkan bahwa Varietas
Inpari 13 menunjukkan tinggi tanaman yang tertinggi dengan nilai 104,56 cmdan
berbeda nyata dengan Inpari 20 tetapi tidak berbeda nyata dengan Inpari 15 dan
Ciherang. Sedangkan untuk jumlah anakan produktif yang terbanyak ditunjukkan
oleh Varietas Inpari 15 dengan jumlah 15,58 dibanding dengan varietas lainnya.
Adanya perbedaan tinggi tanaman dan jumlah anakan setiap varietas disebabkan
setiap varietas memiliki kemampuan berbeda dalam adaptasi terhadap
lingkungannya. Menurut Arfi Irawati dan Marsudin Silalahi (2009) dalam Faisal
dan Bahtiar (2012) bahwa keragaan tinggi tanaman dan jumlah anakan dapat
dipengaruhi oleh kondisi spesifik lokasi dan sifat-sifat genetis yang menjadi
karakteristik varietas-varietas tersebut. Selanjutnya menurut Suparwoto dan
Waluyo (2009) dalam Faisal dan Bahtiar (2012) bahwa selain faktor genetik tinggi
tanaman juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yaitu keadaan air, kesuburan
tanah, jarak tanam dan suhu, begitu juga terhadap pembentukan anakan.
KomponenHasil
Komponen hasil yang diamati terdiri atas panjang malai (cm), berat 1000
biji (gr) serta hasil gabah kering panen (t/ha).
Tabel 2.Panjang malai (cm), berat 1000 biji (gr) serta hasil gabah kering panen
(t/ha) VUB di KabupatenBanggai Sulawesi Tengah
Varietas PanjangMalai
(cm)
Berat 1000 biji
(gr)
Gabahkeringpanen
(t/ha)
Inpari 13 24.85 24.59ab
7.43a
Inpari 15 25.93 25.62a 8.13
a
Inpari 20 24.66 24.69ab
7.07ab
Ciherang 24.07 24.32b 5.07
b
Keterangan: Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom tidak berbeda nyata
pada taraf uji 5%
Hasil analisis ragam komponen hasil menunjukkan panjang malai yang
terpanjang didapatkan pada varietas Inpari 15 dengan nilai 25,93 cm, disusul
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 321
Inpari 13 dengan nilai 24,85 cm, Inpari 20 dengan nilai 24,66 cm dan terendah
Ciherang dengan nilai 24,07.
Berat 1000 biji tertinggi diperoleh pada varietas Inpari 15 dengan nilai
25,62 gr dan berbeda nyata dengan varietas ciherang dengan nilai 24,32 gr, tetapi
tidak berbeda nyata dengan varietas Inpari 13 dan Inpari 20 dengan berat masing-
masing varietas 24,49 gr dan 24,69 gr. Terjadinya perbedaan berat biji yang
ditunjukkan oleh masing-masing varietas karena setiap varietas memiliki sifat dan
karakter yang berbeda dan kondisi ini yang merupakan kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki oleh masing-masing varietas.
Hasil gabah kering panen menunjukkan bahwa varietas Inpari 15
menghasilkan produksi yang tertinggi 8,13 t/ha dan berbeda nyata dengan varietas
ciherang 5,07 t/ha tetapi tidak berbeda nyata dengan varietas inpari 13 dan Inpari
20 dengan nilai produksi masing-masing 7,43 t/ha dan 7,07 t/ha. Sedangkan
varietas Ciherang berbeda nyata dengan varietas Inpari 13 dan 15 tetapi tidak
berbeda nyata dengan Inpari 20.Terjadinya perbedaan komponen pertmbuhan dan
hasil dari masing-masing varietas sangat erat kaitannya dengan sifat genetik dan
hasil interaksinya dengan lingkungan. Menurut Prawinata et al. (1981) dalam
Faisal dan Bahtiar (2012) bahwa faktor hereditas dan lingkungan dapat mengatur
proses di dalam tumbuhan untuk menentukan pertumbuhan dan perkembangan
tanaman. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Makarim dan Suhartatik (2009)
dalam Ruslan Boy et al. (2013) bahwa produktivitas suatu penanaman padi
merupakan hasil akhir dari pengaruh interaksi antar faktor genetik varietas
tanaman dengan lingkungan dan pengelolaan melalui suatu proses fisiologik
dalam bentuk pertumbuhan tanaman.
KESIMPULAN
Varietas unggul baru Inpari 15 menghasilkan produksi yang tertinggi 8,13
t/ha dibanding dengan varietas lainnya. Varietas ini sangat adaptif dan berpotensi
untuk dikembangkan serta dijadikan varietas unggulan sebagai pengganti varietas
lainnya yang dikembangkan oleh petani setempat.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, D. Rusmawan, Muzammil, dan Asmarhansyah. 2011. Keragaan Padi
Varietas Inpari di Lahan Bukaan Baru Desa Pergam, Bangka Selatan,
Kepulauan Bangka Belitung. Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi. Bogor.
Badan Litbang Pertanian, 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 322
BPS Sulawesi Tengah, 2013. Statistik Tanaman Pangan. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sulawesi Tengah.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, 2013. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Faisal dan Bahtiar, 2012. Produktifitas Varietas Unggul Baru Padi di Sulawesi
Utara. Prosiding Seminar Nasional InovasiTeknologi Pertanian Spesifik
Lokasi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian.
Bogor.
Ruslan Boy, I. K. Suwitra dan Saidah, 2013. Keragaan Display Varietas Inpari
pada Tiga Lokasi berbeda Terhadap Peningkatan Hasil Padi Melalui PTT di
Kabupaten Banggai. Prosiding Seminar Nasional Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian, Sulawesi Tengah.
Suprihartono, B., A.A. Darajat, Satoto, S.E. Baehaki, N. Widiarta, S.D. Indrasari,
O.O. Lesmanadan H. Sembiring, 2007. Deskripsi Varietas Padi. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi.
Zaini, Z., 2009. Memacu Peningkatan Produktifitas Padi Sawah Melalui Inovasi
Teknologi Budidaya Spesifik Lokasi dalam Era Revolusi Hijau Lestari.
Majalah Pengembangan Inovasi Pertanian. Vol 2 (1) Hal 35-47.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 323
Eksistensi Inovasi Teknologi Dalam Gerakan Nasional Peningkatan
Produksi Dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) Di Kabupaten Sigi
Yakob Langsa
Balai Pengkajian Teknolgi Pertanian Sulawesi Tengah
Jln Lasoso.62. Biromaru – Palu
Abstrak
Peluang pasar bagi komoditi ini juga semakin terbuka seiring dengan terjadinya
penurunan produksi negara- negara penghasil kakao lainnya. Oleh ICCO (2008), bahwa
Indonesia adalah Negara produsen kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan
Ghana dengan luas mencapai 1,44 juta hektare sementara produksinya baru berkisar
779.000 ton dan tersebar di beberapa provinsi penghasil kakao. Sejak tahun 2009
pemerintah mencangkan Gerakan Peningkatan produksi dan mutu kakao Nasional, dan
dukungan teknologi dalam pendampingan amat penting, misalnya intensifikasi,
rehabilitasi dan peremajaan. Jika hal itu belum secara utuh dipahami dan diterapkan
oleh petani perlu melakukan kajian untuk perbaikan ke depan. Penelitian ini
mengggunakan metode Fokus Group Discussion (FGD), sampel diambil secara acak
maksimal 15 responden dari desa yang mewaki jumlah responden 175. Hasilnya bahwa
kegiatan intensifikasi dari target areal 3000 ha realisasinya hanya 2.061 ha rehabilitasi
100 ha teraliasi 94,67 ha, dan Peremajaan tidak terlaksana, selain karena pertanaman
masih menguntungkan untuk dipertahankan juga informasi tentang SE masih minim.
Introduksi inovasi teknologi memacu semangat petani untuk lebih fokus, terutama setelah
harga bji kakao di pasaran kembali membaik. Kelemahan lain adalah kemampuan
petani dalam melakukan perawatan hasil sambung samping masih sangat lemah.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci : Inovasi, Teknologi, Gernas, Produksi, Kakao
PENDAHULUAN
Tanaman kakao merupakan sala satu tsnsmsn perkebuanan yang memiliki
nilai ekonomis yang tinggi dan peluang pasarnya masih cukup besar. Hal ini
dapat dilihat dari kecenderungan permintaan pasar dunia semakin meningkat
dengan rata 1,5 jt ton per tahun. Peluang pasar bagi komoditi ini juga semakin
terbuka seiring dengan terjadinya penurunan produksi negara- negara penghasil
kakao lainnya. Oleh ICCO (2008), bahwa Indonesia adalah Negara produsen
kakao terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana dengan luas mencapai
1,44 juta hektare sementara produksinya baru berkisar 779.000 ton dan tersebar di
beberapa provinsi penghasil kakao. Di Indonesia diperkirakan sekitar 1,4 jt rumah
tangga pekebun kakao dan umumnya berskala kecil dengan luas kebun maksimal
2 hektare, termasuk di luar Pulau Jawa (Anonim, 2008). Komoditi kakao sungguh
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 324
berkontribusi nyata dalam pengentasan kemiskinan, terbukti saat terjadi krisis
pada tahun 1990an bagi petani kakao khususnya kawasan timur Indonesia
menilainya sebagai hal positif.
Dalam penataan perekonomian wilayah, Sulawesi Tengah masih bertumpuh
pada komoditas pertanian, termasuk biji kakao.komoditas kakao telah dijadikan
sebagai komoditas unggulan di wilayah ini, karena selain memberikan kotribusi
yang besar dalam struktur perekonomian daerah, juga berperan sebagai penyedia
lapangan kerja bagi sebagian besar penduduk Sulawesi Tengah. Luas areal
perkebunan kakao di Sulawesi Tengah 297.572 ha dengan total produksi 276.600
ton biji kering (Ditjen Bun 200012). Kakao diusahakan petani dan tersebar
hampir di seluruh kabupaten/kota salah satunya di Kabuten Sigi.
Kabuten Sigi sebagai salah satu penghasil kakao di Indonensia memiliki
potensi untuk menghasilkan kakao dengan kualitas yang sangat baik. Hal ini
ditunjang oleh kondisi wilayah dimana wilayahnya mulai dari ketinggian 50 m
dpl sampai 600 m dpl., memiliki iklim seperti curah hujan tahunan dan suhu
harian rata rata yang sangat ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan biji kakao.
Besar harapan bahwa potensi tersebut hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin
untuk perkembangan sehingga kesejahteraan petani dapat meningkat. Masalah
perkakaoan di Kabupaten adalah Pengelolaan budidaya sehingga menimbulkan
serangan Organisme pengganggu Tanaman (OPT) seperti hama Penggerek Buah
Kakao (PBK), Penyakit Busuk Buah, penyakit VCD, penurunan tingkat
produktivitas rendahnya kualitas biji (belum fermentasi) dan tanaman kakao yang
sudah tua serta tingkat kesuburan tanah telah menurun. Oleh karena itu melalui
program Gernas Kakao di Kabupaten Sigi dapat meningkatkan minat petani untuk
menerapkan inovasi teknologi budidaya kakao melalui intensifikasi, rehabilitasi
dan peremajaan kakao.
Dengan latar belakang seperti di atas maka permasalahan yang muncul,
dalam tulisan ini dapat dirumuskan kondisi teknis budidya kakao, kegiatan
intensifikasi, rehabilitasi, peremajaan serta profil petani peserta Gernas kakao di
Kabupaten Sigi. Tujuannya adalah mengetahui potensi dan permasalahan
pengembangan kakao di Sigi melalui kegiatan Gernas tentang inovasi teknologi
(intensifiaksi, rehabilitasi dan permajaan tanaman kakao)
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Palolo dan Nokilolaki pada
wilayah program Gernas kakao tahun 2012 Kabupaten Sigi, mulai Februari
sampai November 2013. Pemilihan lokasi didasarkan atas pertimbangan bahwa
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 325
KecamatanPalolo dan Nokilolaki adalah wilayah sentra pengembangan kakao,
dan terdapat kegiatan utama Gernas kakao yaitu Intensifikasi, Rehabilitasi dan
Peremajaan tanaman kakao.
Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Data Primer
dikumpulkan lewat wawancara dengan kuisioner.
Editing/Tabulasi
Tabulasi adalah data primer yang dikumpulkan untuk menjaga konsistensi
dan akurasi data yang telah terkumpul, diverifikasi lalau ditabulasi menggunakan
MS – EXEL. Kemudian dianalisis menggunakan Analisis deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luas areal yang ditargetkan di dua kecamatan adalah 3000 ha namun yang
terealisasi hanya 2978 hektare seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Wilayah Kegiatan Intensifkasi program Gernas Kakao di Kabupaten Sigi
2012
No Kecamatan Desa Luas (Ha) Tegakan (pohon) KK
1 2 3 4 5 6
1 Palolo
Sejahtera 290,38 299.380 137
Bahagia 156,00 148.255 65
Berdikari 270,26 268.000 129
Ampera 44,10 44.159 29
Petimbe 146,91 145.700 86
Bobo 72,96 71.730 76
Bakubakulu 72,00 72.855 52
1 2 3 4 5 6
2 Nokilolaki
Rahmat 150 163.400 87
Sopu 268 285.290 172
Bulili 224 231.632 136
Tanah
Harapan 246 244.725 142
Tongoa 143 151.756 93
Jumlah 2.062 2.126.886 1276
Tabel 1 menunjukkan bahwa wilayah kegiatan intensifikasi Gernas kakao
tahun 2012 di Kabupaten pada dua kecamatan, terdapat di semua desa. Dari target
areal intensifikasi kakao seluas 3000 ha, hanya terealisasi sekitar 2061 ha atau
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 326
sekitar 70 persen. Hal ini di pengaruhi oleh persyaratan yang harus dipenuhi bagi
kebun kakao untuk kegiatan intensifikasi, berdasarkan Pedoman Teknis yang
diterbitkan oleh Ditjen Perkebunan antara lain;
1. Tanaman masih muda (<10 tahun tetapi kurang terpelihara
2. Jumlah tegakan kakao >70% dari jumlah seharusnya (1000 pohon)
3. Produktivitas rendah (<500 kg/ha/thn) dan masih memungkinkan untuk
dipulihkan
4. Tanaman Penaung >20% dari standar
5. Terserang berat oleh OPT ( PBK, Helopeltis spp, VSD dan busuk Buah)
6. Lahan memenuhi persyaratan kesesuaian meliputi Ch 1500 – 2500 mm,
kemiringan 0 – 15%, terdepat
Persyaratan di atas memberikan petunjuk bahwa dalam menyelksi Calon
Petani dan Calon Lahan (CPCL) mengacu pada aturan sehingga untuk memenuhi
target arealdengan keterbatasan waktu dan sumberdaya di instansi terkait sulit.
Disamping itu SDM petani peserta Gernas Kakao tahun 2012, masih terbatas
berdasarkan profil tingkat pendidikan peserta yang rata-rata setingkat SLTP,
sehingga memerlukan waktu untuk meyakinkan mereka untuk mengikuti program
tersebut. Hal lain yang mempengaruhi tidak terpenuhinya target areal
intensifkasi adalah semakin banyaknya alih fungsi lahan dan salah satu komoditi
andalan yakni jagung yang telah dicanangkan pemerintah daerah untuk Sigi
sebagai salah satu lumbung jagung di Provinsi Sulawesi Tengah. Peranan
penyuluh dan Tenaga pendamping sangat menentukan dimana mereka sebagai
ujung tombak dalam proses transfer teknologi intensifikasi. Pada kegiatan ini
pemerintah pusat melalui Direktorat Jenderal Perkebunan membantu pekebun
dalam bentuk.
a. Pupuk majemuk non subsidi berupa briket warna coklat muda sebanyak
200 kg/ha dengan dosis spesifik lokasi 200 g/pohon yang diaplikasikan
pada awal musim hujan.
b. Peralatan handsprayer satu buah tiap 5 hektare.
c. Gunting galah satu buah setiap hectare lahan kakao peserta Gernas kakao.
d. Pestsida, berupa insektisida merek Matador satu liter tiap hektare,
herbisida Toupan 1 liter/ha dan fungisida Nordox satu liter per hektare.
Implikasi dari kondisi di atas memberikan isyarat bahwa kepada pekebun
kakao akan diperkenalkan bentuk pupuk majemuk non subsidi bentuk briket yang
selama ini pupuk Urea bentuk ini kurang disenangi petani karena merasa kurang
efektif. Hal lain dari rekomendasi dosis pemupkan spesifik lokasi semetinya tiap
kecamatan memiliki perbedaan dosis pemupukan karena kondisi tanah yang
berbeda. Kendala bagi petani pada masa akan datang adalah alasan modal untuk
membeli pupuk karena kondisi petani yang mengalami tingkat pproduktivitas
lahannya sangat menurun. Jika petani merasa pemupukan memberikan hasil yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 327
positif terhadap peningkatan produksi kakao, sebaiknya mereka juga diberi pupuk
bersubsidi seperti petni tanaman pangan agar minat mereka untuk melakukan
pemupukan berimbang semakin meningkat.
Sanitasi Kebun
Sanitasi adalah semua tindakan yang ditujukan untuk mengelimir atau
meniadakan serta mengurangi jumlah phatogen yang ada dalam hamparan
pertanaman (Djafruddin. 2000). Jadi pembuangan atau pemangkasan cabang yang
terserang atau mengandung phatogen dapat mengurangi penyebaran atau
mengurang yang akan timbul berikutnya.
Pada tingkat petani kakao, upaya sanitasi lingkungan dilakukan dengan
cara yang beragam. Namun cara yang paling banyak dilakukan adalah sebatas
pada sampah daun saja, kulit buah ditumpuk di sekitar pokok tanaman (34,28%),
sementara sanitasi sampah daun dan kulit buah dilakukan dengan ditimbun
(21,71%)
Tabel 2. Sanitasi Lingkungan pada Tanaman kakao di wilayah Gernas Kakao di
Kabupaten Sigi, 2013
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013
NO Kegiatan Sanitasi Total
Petani
Persentase
1 Membenamkan kulit buah sesaat setelah panen
dan buang yang terserang OPT
102 58.29
2 Sampah daun dan kulit buah dikumpul dan
dibakar.
4 2,29
3 Sampah daun dan kulit buah dibiarkan saja, dan
kulit dibuang
15 8,57
4 Sampah daun dan kulit buah dikumpul dan di
buang
3 1,71
5 Sampah daun dan kulit buah dikumpul disekitar
pohon
9 5,14
6 Sampah daun dan kulit buah ditimbun 17 9,71
7 Sampah daun dan kulit buah sebagian dibiarkan
dan sebagian ditimbun
11 6,29
8 Sanitasi dilakukan hanya pada sampah daun saja,
kulit buah ditumpuk di lantai kebun.
14 8
J u m l a h 175 100
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 328
Sesungguhnya semua petani responden telah melakukan sanitasi kebun,
namun yang melaksanakan sesuai anjuran hanya 58,29%. Diduga hal ini
disebabkan karena tingkat kemampuan sumberdaya manusia yang tergolong
rendah dimana mereka hanya rata-rata mengecap pendidikan setingkat SLTP.
Untuk menunjukkan bahwa sebetulnya semua petani telah melakukan sanitasi,
namun lebih pada rekah rekah atau mendengar apa kata teman petani atau
tetangga. Akibatnya terjadi ketidaktepatan dalam mengelola kebunnya yang
berakibat pada kondosi kebun kurang sehat yang berimplikasi pada semakin
menurunnya produktivitas kebun. Perlakuan yang diterapkan oleh pekebun
sebelum program Gernas Kakao dilaksanakan seperti pada Tabel 3.
Tabel 3. Sanitasi Kebun kakao Sebelum Program Gernas di Kabupaten Sigi, 2013
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013
Kegiatan sanitasi yang dilakukan patani resonden sebelum program
Gernas umumnya sampah daun dibiarkan dan kulit buah dibuang (32%) sampah
daun dan kulit buah dibakar (25,14%). Kegiatan sanitasi yang sesuai dengan
anjuran dengan membenamkan kulit buah dan buah yang terserang busuk buah
sesaat setelah panen hanya 20,57% responden. Jika disbanding dengan perlakuan
sanitasi sesuai anjuran sebelum dan setelah Gernas terjadi peningkatan dari 20,57
persen menjadi 58,2ahwa den9%, hal ini menunjkkanlakukan bahwa dengan
pendampingan baik yang dilakukan oleh BPTP Sulawesi Tengah maupun oleh
NO Kegiatan Sanitasi Total
Petani
Persentase
1 Membenamkan kulit buah sesaat setelah panen
dan buang yang terserang OPT
36 20,57
2 Sampah daun dan kulit buah dikumpul dan
dibakar.
44 25,14
3 Sampah daun dan kulit buah dibiarkan saja, dan
kulit dibuang
56 32,00
4 Sampah daun dan kulit buah dikumpul dan di
buang
13 7,43
5 Sampah daun dan kulit buah dikumpul di sekitar
pohon
6 3,43
6 Sampah daun dan kulit buah ditimbun 4 2,29
7 Sampah daun dan kulit buah sebagian dibiarkan
dan sebagian ditimbun
7 4
8 Sanitasi dilakukan hanya pada sampah daun saja,
kulit buah ditumpuk di lantai kebun.
9 5,14
J u m l a h 175 100
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 329
tenaga sarjana pendamping yang telah dilatih tentang inovasi teknologi kakao
maupun kelembagaan, secara perlahan ada pemahaman dan kesadaran petani
untuk melakukan anjuran.
Pemupukan
Pekebun peserta, untuk kegiatan intensifikasi mereka diberikan dukungan
berupa bantuan pupuk 200 kg/ha, yang diaplikasikan mengitari pokok tanaman
sejauh 50 – 75 cm dengan cara dibenamkan, untuk setiap pohon cukup 200 g. Dari
175 responden hanya 57,71% yang melakukan sesuai anjuran, sedangkan 42,29 %
yang mengaplikasikan dengan cara menebar di atas permukaan tanah tanpa ada
perlakuan apapun.
Pemangkasan
Pemangkasan kakao adalah tindakan pengurangan sebagian organ tanaman
berupa cabang, ranting, dan daun, karena itu teknologi ini sangat menentukan
perkembangan dan produksi kakao. Beberapa jenis pemangkasan yang mutlak
dipahami dan dilakukan agar usahatani kakao menguntungkan bagi pekebun.
Seperti yang dilakukan oleh petani responden cenderung hanya pemangkasan
produksi, sebab untuk pemangkasan bentuk saatnya telah lewat dimana teknologi
ini dilakukan menjelang tanaman dewasa, namun bila tanaman yang disambung
samping sangat perlu dibentuk.
Kenyataan di lapangan bahwa petani melakukan pemangkasan pemeliharaan
39,43 persen sedangkan pemangkasan produksi dan pemeliharaan hanya 34,86
persen dan pemangkasan produksi saja sekitar 25,71 persen.
Tabel 4. Jenis Pemangkasan pada Tanaman Kakao di Wilayah Gernas kakao
Kabupaten Sigi, 2012
No
Jenis Pemangkasan Petani pelaksana Persentase
1 Pemangkasan Produksi dan
Pemangkasan pemeliharaan.
61
2 Pemangkasan Produksi 45 34,86
3 Pemangkasan Pemeliharaan 69 39,43
Total 175 100
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013
Teknologi pemangkasan biasanya dilakukan satu atau dua kali dalam
setahun setelah panen raya, sedangkan pemangkasan pemeliharaan yang
dilakukan dengan membuang cabang cabang liar atau tunas air umumnya satu kali
sebulan atau tergantung waktu dan kemampuan petani. Jka disbanding dengan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 330
kondisi pemangkasan petani responden dari 175 responden hanya 76 (43,43
persen yang melakukan pemangkasn rutin, pemangkasan sekali setahun sebesar
25,71 persen dan yang tidak pernah melakukan sebesar 30,86 persen seperti pada
Tabel berikut.
Tabel 4. Jenis Pemangkasan pada Tanaman Kakao di Wilayah Gernas kakao
Kabupaten Sigi, 2012
No Jenis Pemangkasan Petani pelaksana Persentase
1 Pemangkasan Produksi dan
Pemangkasan pemeliharaan.
76 43,43
2 Pemangkasan Produksi 45 25,71
3 Pemangkasan Pemeliharaan 54 30,86
Total 175 100
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013
Dengan program Gernas yang telah dilakukan dan didampingi secara
langsung dilapangan, pemahaman terhadap pentingya pemangkasan seperti
memacu pembungaan, semakin diyakini pula oleh petani bahwa dengan
menerapkan teknologi yang benar kondisi dapat memacu gairah mereka untuk
memperbaiki kebun yang mulai terlantar. Hal yang paling dirasakan adalah
serangan OPT mulai menurun, sehingga setiap melakukan panen hasilnya
cenderung naik, bahkan beberapa yang semula tidak panen samasekali sekarang
kembali menikmati hasilnya.
3. Rehabilitasi
Dari target rehabilitasi kakao di dua kecamatan semuanya terlaksana sebab
jumlah luasannya tidak sebanyak dengan intensifikasi.
Tabel 5. Wilayah kakao Program Rehabilitasi Gernas Kabupaten Sigi, 2012
No Kecamtan Desa Luas(ha) Jumlah
tegakan
Jumlah
KK
1 Nokilolaki Kamarora 36 24.800 19
Sipulung 16 9.436 9
Tana Harapan 25,47 24.500 17
Bulili 16,6 17.000 9
2 Palolo Sejahtera 0,6 500 1
Jumlah 5 94,67 76.236 55
Sumber : Data primer setelah diolah, 2013
Hal ini dipengaruhi oleh kondsi pertanaman di wilayah ini masih di atas rata rata
500 kg/tahun. Sesuai dengan persyaratan bahwa yang diperkenankan untuk
direhabilitasi adalah kebun yang produktivitasnya sudah kurang dari ketentuan
tersebut. Dikaitkan dengan tegakan yang kondisinya masih menguntungkan untuk
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 331
dipertahankan, apalagi dengan adanya program intensifikasi dan sanitasi secara
nyata dapat memulihkan tanaman kembali. Selain itu di kedua kecamatan
tersebut hanya dalam jumlah sedikit saja pertanaman yang umurnya di atas 15
tahun, sebab salah satu syarat teknis yakni jika tanaman tersebut sudah lebih dri
15 tahun, ditambah lagi keraguan petani untuk tidak lagi kembali seperti tanaman
semula, terutama dengan penggunaan bibit SE. Peremajaan dengan menggunakan
bibit SE tidak menarik bagi petani,terutama bagi mereka yang telah wara wiri ke
Sulawesi Barat ada kesan bahwa materi tanam ini tidak sesuai untuk digunakan di
wilayah kedua kecamatan tersebut, ditambah lagi bahwa bila diremajakan dengan
bibit SE, lalu pada pasa pertumbuhan dan perkembangan pertanaman mengalami
gangguan seperti, bencana alam, gangguan hama dan penyakit susah untuk
mendapatkan tanaman pengganti. Langsa, Y. dan Muhammad Abid (2012)
bahwa tanaman asal bibit Somatik Embryogenesis dalam pertumbuhanyapada
kondisi agroekosistim yang baik pertumbuhan vegetatifnya (batang, ranting dan
daun) sangat cepat dibending dengan perkembangan akar, akibatnya tanaman
mudah jadi rebah. Kelemahan yang mulai muncul adalah rata rata biji yang
dihasilkan untuk mendapatkan 1 kg biji kering, minimal butuh 1500 biji, ini
berarti klon klon seperti S1, S2, TSH858, UIT1 dan beberapa klon unggul lainnya
memiliki bobot biji yang jauh lebih berat. Contoh misalnya di wilayah Gernas
Kabupaten Sigi untuk klon UIT1 dalam setiap kg biji kering hanya butuh 1100
butir.
Tabel 5. Kondisi Pelaksanaan Gernas kakao di Dua Kecamatan Kabupaten Sigi
Sulawesi Tengah, 2012
Kegiatan Target
(Ha)
Realisasi Kecamatan Desa Jumlah
KK
Intensifikasi 3000 2.061 2 12 1.276
Rehabilitasi 100 94,67 2 5 55
Peremajaan 100 0 0 0 0
Total
Data primer setelah diolah 2013
Berdasarkan luas pertanaman kakao yang dimiliki dua kecamatan tersebut
kurang lebih 8.247 ha, belum semuanya masuk dalam program Gernas, berarti
untuk memacu perbaikan produktivitas kebun kakao dibutuhkan gerakan yang
tetap mengaplikasikan inovasi teknologi bududaya tanaman kakao.
KESIMPULAN
Kenyataan di lapangan bahwa program gernas mampu merubah perilaku pekebun
untuk menerapkan inovasi teknologi baik intensifikasi, Sanitasi maupun
rehabilitas dan peremajaan. Untuk penggunaan pupuk semula kebanyakan hanya
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 332
mengandalkan penggunaan pupuk Urea atau ZA, namun dengan bantuan lewat
program Gernas mulai dipahami pentingnya pemupukan secara lengkap.
Target realisasi Intensifikasi di Kecamatan Palolo dan Nokilolaki seluas 3000 ha
terealisasi hanya 2.061 ha (70 %) Rehabilitasi (94,67%) sementara untuk
peremajaan dengan menggunakan bibit SE tidak terlaksana. Pada penerapan
teknologi rehabilitasi masalah yang muncul adalah minimnya pengetahuan
tentang pemeliharaan hasil sambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Pedoman umum Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao
Nasinal 2009 – 2011. Direktorat Jenderal Perkebunan
Departemen Pertanian, Jakarta.
Budianto,J. 2002. Penggunaan Pupuk Berimbang untuk Meningkatkan Produksi
Pertanian dan Penddapatan Petani Indonesia. Prosiding Lokakarya
Pemupukan Berimbang Lembaga Pupuk Indonesia (LPI). Jakarta, 25 Juni
2002.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah, 2013. Sulawesi Tengah Dalam Angka
Tahun 2012. Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Tengah.
Bakhri, S. A. Ardjanhar dan M.Abid, 2010. Pendampingan Gernas Kakao melalui
media cetak dan demplot di Sulawesi Tengah. Laporan Hasil PengKajian
BPTP Sulteng Tahun 2010. Biiromaru. 23 hal.
Departemen Pertanian. 2008. Sekolah Lapang Pengelolaan Terpadu (SL-PTT)
Jagung. Jakarta.
Pusat Penyuluhan Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM
Pertanian. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pengawalan dan Pendampingan
Penyuluhan Pertanian dalam Mendukung P2BN Di Lokasi SL-PTT dan
Denfarm SL Agribisnis Padi Tahun 2012. 44 hal.
http://diperta.jabarprov.go.id/assets/data/arsip/Pedoman_Pengawalan_da
n_Pendampingan_%28Pusat%29.pdf. Diakses tanggal 12 September
2013.
Direktorat Jenderal Perkebunan. 2013. Luas Areal Perkebunan dan Produksi
Perkebunan Indonesia Menurut Pengusahaan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 333
Ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama/8-
Kelapa Sawit. Diakses 21 Agustus 2013.
Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian. 2013. Petunjuk Teknis
Pendamping: Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP) Tahun
2013. 36 hal.
http://psp.pertanian.go.id/assets/file/2014/Juknis%20Pendamping%20PU
AP%202014.pdf. Diakses tanggal 12 September 2014.
Kementerian Pertanian RI. 2012. Pedoman Pengembangan Kawasan Pertanian.
66 hlm.
Kementerian Pertanian RI, 2013. Statistik Pertanian. Kementerian Pertanian.
Jakarta.
Langsa, Y. dan Muhammad Abid. 2012 Keragaan Pertanaman Kakao Asal Bibit
Somatik Embryo Genesis di Sulawesi Tengah. Prosiding Seminar
Nasional ; Peranan Inovasi dan Kemitraan dalam Mendukung Program
Daerah Sentuh Tanah di Sulawesi Utara. Tahun 2012. ISBN : 978-979-
1415-86-6 . Hal 809 – 817. Hal..
Langsa, Y. dan Denny Mamesah. 2011 Seleksi dan Pemurnian Klon Kakao Asal
Malaysia di Kabupaten Donggala dan Parigi Moutong . Prosiding
Seminar Nasional Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan
Pangan dan SwasembadaMoutong . Prosiding Seminar Nasional Inovasi
Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan dan Swasembada
Beras Berkelanjutan di Sulawesi Utara . 1 Desember 2011. : ISBN 978-
979-1415-75-0. Hal ..
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. 2009. Teknologi Unggulan
Tanaman Cengkeh. http://minyakatsiriindonesia.wordpress.com/budidaya
cengkeh/puslitbang-perkebunan/. Diakses tanggal 5 Mei 2013.
Syafaat, M. 1990. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Efisiensi Teknis Relatif dan
Sikap Petani Menghadapi Resiko Produksi pada Usahatani Sawah di
Lahan Beririgasi Teknis. Jurnal Agro Ekonomi: Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi Pertanian 2: 30-48.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 334
Analisis Kelayakan Finansial Usahatani Pala Rakyat Di Provinsi Maluku
Ismatul Hidaya dan Muh. Amin
Balai Pengkajian Teknologi Pertnian Maluku
Jl. Chr. Soplanit Rumah Tiga- Ambon
Abstrak
Analisis kelayakan finansial usahatani tanaman palarakyat dilakukan di Maluku tahun
2006 dengan metode survei berstruktur. Indikator kelayakan yang digunakan Pendapatan
bersih atau keuntungan, rasio pendapatan dengan biaya (B/C), Periode pengembalian
(Pay Back Period), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return atau IRR dan
Analisis kepekaan. Hasil analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa pada tingkat
DF 15 persen, dalam waktu 15 tahun usahatani tanaman perkebunan pala rakyat layak
untuk diusahakan atau menguntungkan dengan nilai NPV yaitu Rp 13.793.598 dengan
tingkat IRR 29,49 persen. Sedangkan nilai net B/C = 2,8 atau (net B/C > 0) artinya
selama 15 tahun usaha perbandingan antara keuntungan bersih dengan biaya yang
dikeluarkan untuk komoditas pala rakyat yaitu 2,8. Tanpa memperhatikan tingkat bunga
(bunga modal), jangka waktu pengembalian modal usahatani tanaman pala rakyat
adalah 8 tahun 6 bulan. Jika terjadi perubahan biaya sebesar 10 persen dan atau benefit
sebesar 10 persen (analisis kepekaan) akan menurunkan nilai NPV sebesar Rp.
12.705.536,75 dan Rp 11.326.176,95, IRR turun menjadi 27,93% dan 27,77% (masih
lebih tinggi dari tingkat bunga yang berlaku), Net B/C turun menjadi 2,52 dan 2,49 ( >
1). Namun pada tingkat suku bunga komersil 15 persen investasi usahatani tersebut
masih tetap layak atau menguntungkan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata kunci : analisis kelayakan finansial, Usahatani, Pala rakyat
PENDAHULUAN
Pala merupakan tanaman rempah asli Maluku (Purseglove et al. 1995), dan
telah diperdagangkan dan dibudidayakan secara turun-temurun dalam bentuk
perkebunan rakyat di sebagian besar Kepulauan Maluku. Pala Indonesia memiliki
nilai tinggi di pasar dunia karena aromanya yang khas dan rendemen minyaknya
tinggi.
Luas areal tanaman pala di Maluku mencapai 18.000 ha, terutama tersebar di
Pulau Ambon, Kepulauan Banda, dan Pulau Seram. Lingkungan ekologi seperti
curah hujan, suhu, dan tanah vulkanik serta minimnya serangan hama penyakit
sangat mendukung perkembangan tanaman pala di Maluku. Berdasarkan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 335
pendekatan Zona Agro Ekologi (ZAE), lahan yang tersedia untuk pengembangan
tanaman perkebunan termasuk pala di Maluku mencapai 871.656 ha yang tersebar
di lima kabupaten (Susanto dan Bustaman 2006).
Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan tanaman rempah yang
merupakan bahan ekspor non migas dan harganya cukup tinggi. Pala dan Fuli bagi
Indonesia merupakan mata dagangan tradisional yang hampir seluruh produksinya
diekspor. Pala merupakan salah satu komoditas yang cukup potensial di daerah
Maluku, karena bahan bakunya cukup melimpah dan dapat diandalkan sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi dan pendapatan daerah Maluku. Komoditas ini
telah diusahakan secara turun-temurun sebagai tanaman perdagangan dan
diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat di sebagian besar kepulauan Maluku
(Rieuwpassa, 2006).
Di propinsi maluku tanaman pala hampir tersebar diseluruh kabupaten.
Berdasarkan data statistik, perkembangan luas lahan pala selama 5 tahun terakhir
(2000-2004) di Maluku, mengalami peningkatan rata-rata 20 % pertahun. Pada
tahun 2000, luas lahan pala 8.467 ha dengan produksi per tahun 1.580 ton, sampai
tahun 2004 luas lahan pala meningkat menjadi 9.917.9 ha dengan produksi per
tahun 1.917.2 ton. Dari populasi tanaman yang ada saat ini, 27.48 % merupakan
tanaman telah tua dan kurang produktif (BPS Maluku, 2004).
Hasil penelitian Riewpassa, 2006 menunjukkan walaupun ada
kecenderungan peningkatan luas lahan pala setiap tahun, namun dari hasil
perhitungan rata-rata luas lahan pala yang dimiliki oleh seorang petani di Maluku
hanya 0.68 ha dengan jumlah tanaman pala sebanyak 84 pohon. Bahkan bila
dikaji lebih jauh dapat diketahui bahwa seorang petani pala hanya memiliki luas
lahan pala 0.3 ha dengan jumlah tanaman yang sudah menghasilkan (TM)
sebanyak 37 pohon.
Produktivitas pala diprovinsi Maluku tergolong rendah yaitu 454 kg/ha.
Rendahnyaproduktivitas disebabkan benih yang digunakan berupa benih asalan
(Hadad 1992), serta tingginya prosentase tanaman tua atau kurang produktif dan
pengelolaan yang belum intensif atau pemeliharaan yang sangat sederhana oleh
petani (perkebunan rakyat), petani jarang melakukan pemupukan kegiatan yang
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 336
rutin dilakukan hanya pembersihan sekitar pohon ketika mendekati musim panen.
Oleh karena itu perlu dihitung tingkat kelayakan ekonomi usahatani pala rakyat
yang menjadi tujuan dari penelitian ini.
METODE PENELITIAN
Lokasi, data dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Desember 2007 sampai februari 2008,
penelitian dilakukan salah satu sentra produksi pala di Maluku yaitu Kab. Maluku
tengah. Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey berstruktur, data
primer diperoleh dari 30 petani contoh sedangkan data sekunder diperoleh dari
Dinas/Instansi terkait seperti Dinas Perkebunan dan Badan Pusat Statistik serta
beberapa laporan penelitian.
Metode Analisis Data
Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kelayakan
suatu usahatani adalah analisis finansial. Indikator kelayakan finansial untuk
tanaman perkebunan yang umum digunakan antara lain : Pendapatan bersih atau
keuntungan, rasio pendapatan dengan biaya (B/C), Periode pengembalian (Pay
Back Period), Net Present Value (NPV) dan Internal Rate of Return atau IRR
(Choliq et al, 2000). Sedangkan untuk melihat tingkat kepekaan suatu usaha atau
investasi digunakan Analisis Kepekaan (Sensitivity Analisys).
Kriteria investasi
- Net Present Value (NPV)
nt
tt
tt
i
CBNPV
0 1 atau DFCBNPV
nt
t
tt
0
Keterangan :
Bt = benefit pada tahun ke-t
Ct = biaya pada tahun ke-t
DF = discount factor
i = tingkat bunga yang berlaku
n = lamanya periode waktu
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 337
- Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
nt
t
nt
t
NPV
NPV
CBNet
0
0
Keterangan :
NPV+
= Net Present Value Positif
NPV- = Net Present Value Negatif
- Internal Rate of Return (IRR)
121 iiNPVNPV
NPViIRR
Keterangan :
it = Discount Faktor (tingkat bunga) pertama dimana diperoleh NPV
positif
i2 = Discount Faktor (tingkat bunga) kedua dimana diperoleh NPV
negatif
- Payback Periods (jangka waktu pengembalian investasi)
Investasi
Payback Periods =
Net Benefit rata – rata tiap tahun
- Sensitivity Analysis (Analisis kepekaan)
Asumsi yang digunakan :
1. Jika biaya (cost) naik 10 % dari perkiraan semula sedangkan benefit tetap
2. Jika biaya (cost) tetap keadaannya seperti semula tetapi benefit turun 10
%
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 338
HASIL DAN PEMBAHASAN
Luas dan produksi tanaman pala
Jenis pala yang ditemukan di Maluku adalah Myristica fragrans Houtt,
Myristica argentea Ware, Myristica fattua Houtt, Myristica specioga Ware,
Myristica Sucedona BL, dan Myristica malabarica Lam. Dari keenam jenis ini,
yang memiliki arti ekonomis penting adalah Myristica fragrans. Jenis ini banyak
diusahakan masyarakat daripada jenis lainnya, disusul jenis Myristica argentea
dan Myristica fattua. Jenis Myristica specioga, Myristica sucedona, dan Myristica
malabarica produksinya rendah sehingga nilai ekonomisnya pun rendah pula.
(Rieuwpassa, 2006)
Luas perkebunan pala di Maluku sampai tahun 2004 sebagian besar
merupakan perkebunan rakyat yaitu 80,69 persen ( 2.969 ha) dari total perkebunan
pala sebesar 3.679,56 ha dan hanya 4,76 persen dan 14,5 persen merupakan
perkebunan besar Negara dan perkebunan besar swasta. Secara umum Luas
tanaman perkebunan pala rakyat di Maluku selama periode 1995 – 2004
mengalami peningkatan walaupun dengan laju yang relative lambat yaitu 0,91
persen pertahun. Sementara itu dari aspek produksi juga menunjukkan bahwa
selama periode 1995 – 2004 terjadi peningkatan setiap tahunnya dengan laju
peningakatan sebesar 3,24 persen. (Tabel 1)
Tabel 1. Luas Areal, produksi dan luas areal menurut komposisi tanaman pala
rakyat di Maluku, 1995 – 2004
Tahun Total luas
areal
Produksi Luas Areal Menurut Komposisi Tanaman
Tan.
Muda
Tan. menghasilkan Tan.
Tua/rusak
1995 9.927 1.520 1.299 4.615 4.013
1996 11.015 1.687 1.507 5.819 3.689
1997 8.783 1.573 1.413 4.115 3.357
1998 8.467 1.580 1.420 3.815 3.232
1999 8.467 1.580 1.420 3.815 3.232
2000 8.467 1.580 1.420 3.815 3.232
2001 8.467 1.580 1.420 3.815 3.232
2002 7.449.9 1.429.1 1.148 3.208.9 3.093
2003 9.917.9 1.911.7 2.787 4.210.9 2.920
2004 9.917.9 1.917.2 2.969 4.222.9 2.726
Laju pertumbuhan luas areal/ tahun 0,91 %
Laju Pertumbuhan produksi/tahun 3,24 %
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 339
Pada tahun 2004, komposisi tanaman pala rakyat di Maluku tercatat seluas
2.969 ha (29,93 %) tanaman belum menghasilkan (TBM), 4222,9 ha (42,58 %)
tanaman sudah menghasilkan (TM), dan 2.726 ha (27,48 %) tanaman tua/rusak
(TTR), dengan produktivitas rata-rata 454 kg/ha/tahun. Penyebarannya meliputi
kabupaten Buru seluas 1.693 ha, Seram Bagian Barat seluas 2.281,5 ha, Maluku
Tengah seluas 894 ha, Seram Bagian Timur seluas 2.377,4 ha, dan Maluku
Tenggara seluas 1.305 ha.
Perkebunan Besar Negara seluas 175 ha dengan produtivitas rata-rata 2.023
kg/ha/tahun, dan perkebunan Besar Swasta seluas 535,56 ha dengan produktivitas
rata-rata 3.740 kg/ha/tahun (BPS Maluku, 2004).
Bila dilihat dari tingkat produktivitasnya antara perkebunan rakyat dan
perkebunan besar Negara maupun perkebunan besar swasta maka tampak bahwa
produktivitas perkebunan pala rakyat relative masih paling rendah dibandingkan
dengan yang lainnya. Hal ini mudah dimengerti karena perkebunan pala rakyat
belum dikelola secara intensif, pengelolaan oleh petani masih sangat sederhana
sekali dan ini merupakan suatu peluang yang cukup besar dalam meningkatkan
produksi pala di Maluku
Produk utama dari pala adalah biji pala dan fuli (bunga pala). Pemasaran
pala rakyat di Maluku belum tertata dalam satu sistem pemasaran yang bersifat
agribisnis karena belum ada lembaga yang menangani pemasaran pala secara
khusus. Petani masih bebas menjual hasil pala untuk pedagang pengumpul di desa
atau di kota kecamatan dan pedagang pengumpul kecamatan menjual di
Kabupaten atau di kota Provinsi. Sistem pemasaran seperti ini yang menyebabkan
harga pala di tingkat petani menjadi rendah.
Berdasarkan infomasi dari berbagai sumber, perkembangan harga biji pala
dan fuli dalam dua tahun terakhir (2005-2006) cenderung meningkat di beberapa
tempat di Maluku seperti di Namlea, Masohi, Bula, Banda dan kota Ambon
(Tabel 2). Sedangkan harga daging buah pala di kota Ambon Rp 2000/kg (20-23
buah) dan harga produk olahan daging buah pala dalam bentuk manisan basah
Rp.2000/bungkus dan kering Rp.3000/bungkus dengan berat rata-rata per bungkus
50 gram (hasil survei harga pasar di kota Ambon, 2006).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 340
Tabel 2. Perkembangan harga biji pala dan fuli tahun 2005-2006 di Maluku
Kab./Kota Tahun 2005 Tahun 2006
Kualitas biji (Rp) Kualitas Fuli (Rp) Kualitas biji (Rp) Kualitas Fuli
(Rp)
No.2 No.1 No.2 No.1 No.2 No.1 No.2 No.1
Namlea
Masohi
Bula
Banda
KT. Ambon
20000
25000
-
-
20000
25000
25000
-
-
25000
370000
33000
-
-
30000
45000
45000
-
-
46000
-
23000
20000
-
23000
-
25000
30000
23000
30000
-
43000
35000
-
47000
-
45000
50000
32000
50000
Sumber : Pedagang pala di setiap Kota Kabupaten & Dinas Pertanian Kabupaten /Kota
Maluku merupakan provinsi kepulauan sehingga transportasi merupakan
kendala utama dalam pemasaran hasil pala. Pada umumnya prasarana jalan dan
jembatan yang menghubungkan sentra-sentra produksi pala sebagian besar belum
terbangun, sehingga biaya usahatani menjadi tinggi dan harga jual kurang
bersaing. Transportasi umumnya lewat laut mengakibatkan lembaga penunjang
cenderung menekan petani. Kondisi ini yang menyebabkan pemasaran cenderung
monopoli dan modal pembeli didominasi sistem ijon yang merugikan pihak
petani. Hal ini merupakan salah satu kendala bagi pengembangan agribisnis pala
di Maluku khususnya di sentra-sentra produksi pala yang belum memiliki
pelabuhan ekspor.
Kendala lain yang dihadapai dalam pengembangan agribisnis pala adalah
masih lambatnya penyebarluasan teknologi maju hasil penelitian, antara lain
teknologi perbanyakan bibit pala unggul klonal (vegetatif), teknologi pengolahan
biji pala dan fuli menjadi minyak atsiri, teknologi pengolahan minyak atsiri
menjadi diversifikasi produk ikutan dan teknologi pengolahan daging buah pala
menjadi berbagai macam makanan ringan.
Kelayakan Ekonomi Usahatani Pala Rakyat
Hasil atau produk dari usahatani pala adalah biji pala dan fully pala. Hasil
survei dilapangan menunjukkan bahwa pada tahun ketujuh tanaman pala petani
sudah mulai menghasilkan dengan tingkat produktivitas perhektar 90 kg biji pala
dan 21 kg fully pala. Sedangkan produksi optimal diperoleh pada umur 11 tahun
keatas, pada umur tersebut rata rata produksi perhektar untuk biji pala 300 kg
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 341
dengan harga jual Rp 25.000/kg sedangkan untuk fully 70 kg dengan harga jual
Rp 45.000/kg. Selain itu terdapat hasil sampingan berupa daging pala yang dijual
dengan harga Rp 10.000/karung (ukuran 50 kg), dari satu hektar diperoleh kurang
lebih 15 karung daging pala.
Biaya biaya yang dikeluarkan oleh petani antara lain biaya investasi dan biaya
produksi, biaya investasi meliputi sewa lahan, pembukaan kebun, pembelian bibit
dan peralatan, sedangkan biaya produksi terdiri dari penanaman, penyiangan,
penyulaman, pemangkasan, pemanenan, pemisahan fully dari biji, penjemuran
dan transportasi pemasaran.
Hasil analisis financial (tabel 3) menunjukkan bahwa dalam jangka waktu
lima belas tahun usahatani pala rakyat tersebut layak untuk dilakukan pada
Discount Factor 15%. Hal tersebut ditunjukkan oleh empat indikator kelayakan
yaitu periode pengembalian modal (Pay Back Period = PBP), nilai kini bersih
(Net Present Value = NPV), Net B/C dan tingkat bunga maksimal (Internal Rate
of Return = IRR).
Tabel 3. Nilai NPV, Net B/C, IRR dan Payback Period Usahatani Pala Rakyat
Indikator Kelayakan Kondisi Normal
NPV (Rp.)
Net B/C
IRR (%)
Payback Period (tahun)
13.793.598
2.8
29.49
8 tahun 6 bulan
Jangka waktu pengembalian modal atau PBP pada investasi usahatani pala
tersebut dicapai pada tahun ke delapan bulan ke enam, ini berarti bahwa tanpa
memperhatikan tingkat bunga, investasi atau modal usaha (termasuk opportunity
cost dari tenaga kerja keluarga) bisa kembali dalam waktu delapan tahun enam
bulan. Keuntungan bersih yang dicapai dalam bentuk NPV selama 15 tahun usaha
yaitu sebesar Rp. 13.793.598, nilai ini dapat diartikan bahwa dengan
memperhitungkan bunga modal, petani memperoleh pendapatan bersih (setelah di
discount) rata rata senilai Rp. 1.149.466,5 pertahun (nilai uang sekarang).
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 342
Pendapatan bersih ini relativ rendah karena opportunity cost dari lahan dan tenaga
kerja keluarga diperhitungkan sebagai biaya. Sedangkan analisis Net B/C
diperoleh nilai sebesar 2,8 yang berarti bahwa selama 15 tahun usaha, net benefit
yang diperoleh 2,8 kali lipat dari cost yang dikeluarkan (layak, net B/C > 1).
Jika dibandingkan dengan suku bunga komersial yang berlaku di Bank
ternyata pada usahatani pala diperoleh IRR sebesar 29,49% artinya bahwa sampai
pada tingkat suku bunga komersial Bank dibawah 29,49% usaha tersebut masih
menguntungkan. Sebaliknya jika suku bunga naik diatas 29,49% usahatani
tersebut tidak layak lagi, kecuali terjadi peningkatan produksi secara signifikan.
Analisis Kepekaan
Hasil analisis kepekaan (tabel 4) menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga
15 % jika terjadi kenaikan biaya sebesar 10% sedangkan benefit tetap atau
terjadi penurunan benefit sebesar 10% sedangkan biaya tetap, maka akan terjadi
penurunan nilai NPV yaitu Rp. 12.705.536,75 dan Rp 11.326.176,95 atau turun
sebesar 8% dan 18%.
Tabel 4. Nilai NPV, Net B/C, IRR dan Payback Period Usahatani Pala Rakyat jika
terjadi kenaikan biaya 10% atau penurunan benefit 10%
Indikator Kelayakan Kepekaan (sensitifitas)
Biaya naik 10% Benefit Turun 10%
NPV (Rp.)
Net B/C
IRR (%)
Payback Period
(tahun)
12.705.536,75
2,52
27,93
8 tahun 2 bulan
11.326.176,95
2,49
27,77
8 tahun 3 bulan
Ket : Suku Bunga Komersil 15%;
Begitu juga dengan nilai IRR turun menjadi 27,93% dan 27,77% (masih lebih
tinggi dari tingkat bunga yang berlaku), sedangkan Net B/C turun menjadi 2,52
dan 2,49 ( > 1). Nilai tersebut menunjukkan bahwa usahatani pala rakyat peka
terhadap adanya perubahan biaya dan benefit. Namun pada tingkat perubahan
sebesar 10% usahatani pala rakyat tetap layak untuk diusahakan.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 343
KESIMPULAN
1. Pengelolaan tanaman perkebunan oleh petani masih belum intensif dan
penggunaan input produksi masih sangat rendah bahkan kebanyakan petani
sama sekali tidak menggunakan input produksi, sehingga menyebabkan
tingkat produktivitas tanaman perkebunan di Provinsi Maluku masih relatif
rendah. Ini merupakan peluang yang cukup besar dalam meningkatkan
produksi tanaman perkebunan jika dilakukan pengelolaan secara intensif.
2. Hasil analisis kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa pada tingkat DF 15 %,
dalam waktu 15 tahun usahatani tanaman perkebunan rakyat layak atau
menguntungkan dengan nilai NPV sebesar Rp. 13.793.598. dengan tingkat
IRR 29,49 persen.
3. Dari hasil analisis kelayakan ekonomi diperoleh nilai net B/C = 2,8 yang
berarti usahatani pala rakyat layak secara ekonomi untuk diusahakan
4. Tanpa memperhatikan tingkat bunga (bunga modal), jangka waktu
pengembalian modal usahatani tanaman pala rakyat adalah kelapa 8 tahun 6
bulan.
5. Hasil analisis sensitivitas (kepekaan) menunjukkan bahwa usahatani tanaman
perkebunan pala rakyat peka terhadap adanya perubahan biaya dan benefit.
Perubahan biaya sebesar 10 persen dan atau benefit sebesar 10 persen akan
menurunkan nilai NPV sebesar Rp. 12.705.536,75 dan Rp 11.326.176,95.
Namun pada tingkat suku bunga komersil 15 persen investasi pada usahatani
tersebut masih layak atau menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2004. Maluku Dalam Angka 2004. Badan Pusat Statistik Propinsi Maluku.
Choliq A. et all. 2000. Evaluasi Proyek (Suatu Pengantar). Penerbit CV. Pionir
Jaya. Bandung.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 344
Hadad, E.A. 1992. Pala. Edisi Khusus PenelitianTanaman Rempah dan Obat 8(2):
26−37.
Purseglove, J.W., E.G. Brown, S.L. Green, andS.R.J. Robbins. 1995. Spices.
Longmans,New York. p. 175−228.
Rieuwpassa, A.J, 2006. Kebijakan Infestasi Usahatani Pala di Maluku. Laporan
Akhir Analisis Kebijakan Pertanian: Respond an Antisipatif
Terhadap Isu-Isu yang Berkembang di Maluku. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Maluku.
Susanto, A.N dan Bustaman, S. 2003. Potensi Lahan Beserta Alternatif
Komoditas Pertanian Terpilih Berdasarkan Peta Zona Agroekologi
pada Setiap Kecamatan di Kabupaten Buru. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Maluku. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian.
Badan Llitbang Pertanian.
Statistik Perkebunanan, 2004, Dinas Perkebunan Kabupaten Maluku Tengah.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 345
Kecenderungan Impor Komoditas Hortikultura dan Kebijakan Peningkatan
Daya Saing di Indonesia
Idha Widi Arsanti
Puslitbang Hortikultura, Jl. Ragunan no 29A Jakarta 12540
Email: [email protected]
Abstrak
Komoditas hortikultura merupakan komoditas yang bernilai tinggi, di mana
peluang pasar domestik dan ekspor cukup menjanjikan. Namun demikian,
volatilitas harga komoditas hortikultura cukup tinggi sehubungan dengan sifatnya
yang musiman dan resiko budidaya. Beberapa komoditas seperti bawang merah
dan cabai ditengarai menyebabkan inflasi (BPS, 2014). Adanya volatilitas harga
mempengaruhi produksi bawang merah dan cabai, yang kemudian pada waktu-
waktu tertentu menyebabkan defisit dalam negeri. Pada kondisi demikian,
membuka kran impor merupakan solusi yang cepat. Sementara komoditas lain,
yaitu jeruk dan pisang memiliki permasalahan yang relatif sama, yaitu impor
yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Produksi dalam negeri jeruk dan
pisang memadai untuk memenuhi kebutuhan domestik, di sisi lain
keanekaragaman hayati Indonesia pada kedua komoditas tersebut cukup besar.
Terkait dengan hal tersebut di atas, makalah ini mengulas mengenai volatilitas
harga komoditas utama hortikultura, yaitu bawang merah, cabai, jeruk dan
pisang. Di samping itu, impor komoditas tersebut dianalisa secara time series
dan dilakukan forecasting. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada tahun 2012-
2014, terjadi fluktuasi yang cukup tajam pada harga bawang merah, cabai,
pisang dan jeruk, di mana data juga menunjukkan nilai impor yang cukup besar.
Sementara nilai ekspor cukup rendah. Untuk kondisi tahun 2015, harga akan
terus berfluktuasi dan impor mengalami peningkatan. Untuk itu diperlukan
kebijakan pemerintah antara lain penguatan sentra produksi dalam negeri dan
fasilitasi distribusi. Di samping itu, pengaturan waktu impor dan pembatasan
pelabuhan impor hanya di luar Pulau Jawa dapat juga diterapkan dan tidak
bertentangan dengan ketentungan perdagangan bebas.
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Kata Kunci: hortikultura, volatilitas, impor.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 346
PENDAHULUAN
Memasuki era pasar bebas ASEAN 2015, subsektor hortikultura
menghadapi tantangan tersendiri, di mana hortikultura sebagai komoditas high
value yang memiliki karakteristik perishable, voluminous dan bulky, harus dapat
sampai di tangan konsumen pasar ASEAN dalam kondisi fresh. Terbukanya
pasar ASEAN, membuka peluang pasar yang lebih besar di kawasan ASEAN,
namun sebagai tantangannya produk-produk di negara ASEAN juga dengan
mudah akan masuk ke Indonesia, sehingga diperlukan upaya khusus untuk dapat
meningkatkan daya saing sayuran Indonesia (Arsanti, 2008). Berlakunya ASEAN
Economic Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN/MEA) pada tahun 2015 ini
sendiri membawa konsekuensi logis dalam peningkatan kapasitas dan
kontinyuitas produksi serta mutu hasil produk hortikultura. Pada subsektor
hortikultura, pelaksanaan perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) salah
satunya akan berdampak pada semakin terbukanya investasi asing pada industri
hortikultura dari hulu sampai hilir.
Peraturan Presiden No 39 Tahun 2014 tentang Daftar Usaha yang Tertutup
dan Bidang Usaha Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal,
dipandang sebagai payung hukum pelaksanaan MEA di Indonesia. Perpres
tersebut menyebutkan bahwa usaha perbenihan dan budidaya hortikultura, seperti
anggur, buah semusim, jeruk, apel, buah beri; sayuran daun, sayuran umbi, dan
sayuran buah; tanaman hias dan jamur, diperbolehkan investasi asing maksimal
30%. Usaha pengolahan, wisata agro hortikultura berikut usaha jasanya (masing-
masing maksimal 30% modal asing); usaha penelitian dan uji mutu hortikultura
(maksimal 30% modal asing); penelitian, pengembangan ilmu, serta teknologi
rekayasa (maksimal 49% modal asing). Keterbukaan terhadap penanaman modal
asing ini menjadi tantangan bagi industri hortikultura nasional untuk lebih
produktif dan kompetitif sehingga mampu berswasembada, berdaya saing dan
berdaulat.
Subsektor hortikultura sebelum memasuki era pasar ASEAN, memiliki
peran penting sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi di Indonesia di samping
sebagai sumber peningkatan kesejahteraan petani. Subsektor hortikultura
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 347
memberikan peningkatan kontribusi yang cukup signifikan terhadap PDB, yaitu
dalam kurun waktu tahun 2003-2008, meningkat 32,9 persen dari sebesar 53,89
Trilyun Rupiah menjadi 80,29 Trilyun Rupiah (BPS, 2014). Sementara itu, dari
sektor pertanian yang memberikan kontribusi GDP sebesar 11,36 persen,
hortikultura menyumbang sebesar 16 persen dengan proporsi kenaikan sebesar
68,6 persen pada periode tahun 2012-2013 (BPS 2014). Selama dua dekade
terakhir nilai ekspor hortikultura bersama sektor perikanan menyumbang hingga
17% dari total nilai ekspor bahan pangan (Irawan, 2007). Subsektor hortikultura
dalam beberapa kasus komoditas juga telah dapat meningkatkan pendapatan
petani karena merupakan penyedia lapangan pekerjaan, yang lebih lanjut dapat
mengurangi kemiskinan dan meningkatkan ketahanan pangan.
Di tengah pentingnya peran strategis subsektor hortikultura tersebut dan
juga tanda tanya besar, mampukah menghadapi tantangan era pasar bebas
ASEAN, subsektor hortikultura masih menghadapi permasalahan-permasalahan
dihadapi subsektor hortikultura di dalam negeri yang masih belum terselesaikan,
di antaranya degradasi luas serta kualitas lahan pertanian dan air, semakin
berkurangnya jumlah tenaga kerja pertanian, serta perubahan iklim yang ekstrim
dan serangan hama dan penyakit yang mengakibatkan penurunan hasil panen.
Permasalahan lain yang juga merupakan kunci kontinuitas produksi hortikultura
adalah tingginya volatilitas harga yang lebih lanjut berdampak pada inflasi, defisit
antara permintaan dan produksi, akibat dis-insentif yang dialami petani untuk
memproduksi dan kecenderungan untuk menggantikan dengan komoditas lain
yang lebih memberikan opportunity cost yang tinggi. Pada tabel 1 di bawah ini,
dapat dilihat kenaikan harga komoditas horikultura, terutama cabai, bawang
merah, bawang putih dan kentang yang disinyalir memicu terjadinya inflasi di
Indonesia. Hampir di setiap bulan, cabai menyumbang proporsi dalam nilai
inflasi di Indonesia. Urutan frekuensi sebagai penyumbang inflasi selanjutnya
diikuti oleh bawang merah, bawang puth dan kentang. Di sisi lain, kemoditas-
komoditas tersebut juga menyumbang terjadinya deflasi.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 348
Tabel 1. Kenaikan Harga Komoditas Cabai, Bawang Merah, dan Kentang
terhadap Inflasi dan Deflasi Indonesia Tahun 2014 Menurut Bulan
Bulan Tahun 2014 Tahun 2014
IHK Inflasi Komoditas Andil Inflasi Deflasi
Januari 110.99 1.07
Cabai merah, cabai rawit,
kentang Bawang merah
Februari 111.28 0.26 Cabai rawit Bawang merah, cabai merah
Maret 111.37 0.08 Cabai rawit, bawang putih Cabai merah
April 111.35 -0.02 -
cabai merah, bawang merah,
cabai rawit, Bawang putih
Mei 111.53 0.16 Bawang merah Cabai merah
Juni 112.01 0.43
Bawang merah dan bawang
putih Cabai rawit dan cabai merah
Juli 113.05 0.93
Bawang merah, cabai merah,
kentang -
Agustus 113.58 0.47 Cabai merah, cabai rawit,
Bawang merah dan bawang
putih
September 113.89 0.27 Cabai merah, Bawang merah
Oktober 114.42 0.47 Cabai rawit, cabe hijau -
November 116.14 1.50 Cabai merah, cabai rawit -
Desember 119.00 2.46
Cabai merah, cabai rawit, cabai
hijau, bawang merah, bawang
putih -
Sumber: BPS 2014, diolah
Selanjutnya jika terjadi kekurangan produksi, langkah yang paling cepat
yang dapat diambil oleh pemerintah adalah melakukan impor komoditas yang
bersangkutan. Saat ini, Indonesia banyak melakukan impor bawang putih dan
jeruk. Perdagangan bebas MEA nantinya, yang menuntut tidak adanya hambatan
perdagangan antar negara, menjadikan masyarakat Indonesia menjadi konsumen
di negara sendiri dengan membanjirnya komoditas impor. Harga bawang putih
China yang sangat murah, merupakan diinsentif bagi petani Indonesia untuk
berusahatani komoditas tersebut, sehingga beralih menanam komoditas lain.
Tujuan
Namun demikian, apakah kebijakan impor senantiasa menjadi solusi yang
terbaik ketika terjadi defisit permintaan dan produksi? Terkait dengan
permasalahan tersebut di atas, tujuan umum dari penulisan makalah ini mengulas
mengenai volatilitas harga komoditas utama hortikultura serta kondisi impor dan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 349
ekspor, yaitu terutama pada bawang merah, cabai, jeruk dan pisang. Secara lebih
spesifik, tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Menganalisis kecenderungan harga komoditas utama hortikultura dan
kecenderungan ke depan,
2. Menganalisis kecenderungan impor dan ekspor komoditas utama
hortikultura dan kecenderungan ke depan,
3. Memberikan rekomendasi kebijakan untuk mengatasi permasalahan
fluktuasi harga dan peningkatan impor.
Metode
Analisis harga ekspor dilakukan dengan melihat kecenderungan data
harga, ekspor dan impor selama tahun 2012-2014. Pengambilan data dilakukan
secara sekunder, dengan sumber data dari Badan Pusat Statistik dan Direktorat
Jenderal Pemasaran Pengolahan hasil Pertanian, Kementerian Pertanian.
Selanjutnya dari data sekunder tersebut, dilakukan analisis peramalan harga,
ekspor dan atau impor pada tahun 2015 dengan menggunakan metode
eksponensial smoothing.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Volatilitas Harga Komoditas Hortikultura
Volatilitas harga yang cukup tajam, tidak dikehendaki terjadi, karena akan
menimbulkan domino efek yang cukup besar, terutama pada komoditas
hortikultura. Pada gambar 1 dapat dilihat kecenderungan harga pasar bawang
merah bulanan pada tahun 2012-2014. Pada tahun 2012 dan 2014, volatilitas
harga yang terjadi tidak terlalu tajam. Sementara pada tahun 2013, terjadi
kelangkaan produksi bawang merah yang cukup parah, terutama di pertengahan
tahun, karena tingginya permintaan untuk memenuhi kebutuhan saat Ramadhan
dan Hari Raya Idul Fitri. Pada saat itu, bahkan petani menjual persediaan yang
hendaknya dipakai untuk benih pertanaman selanjutnya, akibatnya terjadi juga
kelangkaan benih bawang merah. Kebijakan pemerintah yang diambil pada saat
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 350
itu untuk mengendalikan peningkatan harga adalah membuka kran impor bawang
merah, baik untuk produksi maupun perbenihan.
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 1. Harga Bawang Merah, Indonesia, 2012-2014
Pada gambar 2, dilakukan peramalan harga bawang merah untuk tahun
2015. Dengan keberhasilan pemerintah melakukan intervensi sehingga lonjakan
harga yang terjadi pada tahun 2013 dapat dikendalikan relatif stabil pada tahun
2014, maka hasil analisis menunjukkan bahwa harga bawang merah pada triwulan
pertama akan meningkat dari Rp10.000,- menjadi sekitar Rp.14.000,-, namun
kemudian akan stabil hingga akhir tahun 2015. Hal ini akan terjadi tentu saja
dengan asumsi tidak adanya force majeur yang terjadi, misalnya karena adanya
perubahan iklim atau bencana alam, sehingga terjadinya kegagalan panen bawang
merah di Indonesia.
Sumber: Data diolah
Gambar 2. Peramalan Harga Bawang Merah, Indonesia, 2015
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 351
Pada gambar selanjutnya, dapat dilihat kecenderungan harga cabai di
Indonesia selama tahun 2012 - 2014. Hampir sama dengan bawang merah, harga
cabai juga melonjak pada pertengahan tahun 2013 akibat kelangkaan produksi
pada saat Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Namun demikian, berbeda
dengan bawang merah, volatilitas harga cabai masih terus berlangsung pada tahun
2014, di mana pada bulan Juli harga turun sangat tajam, sementara pada akhir
tahun melonjak cukup tajam. Hal ini terjadi karena berdasarkan pengalaman
volatilitas harga pada tahun 2013, pemerintah menggalakkan gerakan menanam
cabai pada awaltriwulan kedua untuk mengantisipasi permintaan pada saat hari
raya yang cukup tajam. Namun karena himbauan tersebut tidak disertai dengan
pengaturan kalender tanam, maka terjadi panen raya di Bulan Juli tersebut.
Meningkatnya harga pada akhir tahun 2014, disebabkan oleh musim hujan yang
berkepanjangan, sehingga banyak areal pertanaman cabai mengalami gagal panen.
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 3. Harga Cabai Merah Keriting, Indonesia, 2012-2014
Selanjutnya pada gambar 4, hasil peramalan masih menunjukkan tingginya
harga cabai pada triwulan pertama, namun dengan kecenderungan yang menurun.
Sampai dengan Bulan Mei 2015, selanjutnya harga cabai akan stabil pada kisaran
harga antara Rp35.000,-sampai dengan Rp40.000,-. Tentu saja hal ini akan terjadi
dengan asumsi bahwa tidak ada kehadian yang luar biasa yang mempengaruhi
produksi cabai dalam negeri.
Untuk komoditas buah-buahan, jeruk merupakan komoditas penting yang
sangat tergantung pada impor. Pada gambar 5, harga jeruk dari tahun 2012-2014
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 352
terlihat sangat fluktuatif. Perubahan yang sangat tajam terjadi pada Bulan Mei
2013 di mana harga turun cukup tajam hingga mencapai kurang dari Rp5.000,-
dan melonjak cukup tajam pada Bulan Juli hingga mencapai Rp. 28.000,-.
Sumber: Data diolah
Gambar 4. Peramalan Harga Cabai, Indonesia, 2015
Dari tahun ke tahun, jumlah impor jeruk dari China cukup besar masuk ke
Indonesia. Harga jeruk dari China sangatlah murah, sehingga jeruk dalam negeri,
misalnya dari Berastagi dan Kalimantan, tidak dapat bersaing dengan harga jeruk
impor. Fenomena harga jeruk yang menurun dan selanjutnya meningkat cukup
tajam tersebut, disebabkan oleh adanya penerapan kebijakan pemerintah yang
baru, yaitu penutupan Pelabuhan Tanjung Priok untuk impor komoditas
hortikultura segar dan dikhususkannya tiga pelabuhan impor, yaitu Pelabuhan
Tanjung Perak, Surabaya, Pelabuhan Belawan, Medan dan Pelabuhan Makassar.
Karena jarak antara Pelabuhan Tanjung Perak dan sentra konsumen di Jakarta
cukup jauh, maka harga meningkat dengan pesat seiring dengan besarnya biaya
transportasi dan belum siapnya fasilitas distribusi jeruk impor. Selanjutnya pada
gambar 6, pengaruh fluktuasi tahun-tahun sebelumnya masih akan terlihat hingga
semester pertama, dan baru akan stabil pada semester kedua tahun 2015.
Berdasarkan analisis peramalan, harga jeruk akan stabil pada kisaran Rp.
23.000,-. Sehingga masyarakat akan dapat meninkmati lebih banyak lagi jeruk
nusantara.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 353
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 5. Harga Jeruk, Indonesia, 2012-2014
Sumber: Data diolah
Gambar 6. Peramalan Harga Jeruk, 2015
Komoditas lain yang juga sangat strategis adalah pisang, di mana
kecenderungan harga pisang stabil pada tingkat harga Rp3.000,- hingga
Rp.4.500,-. Kenaikan selama dua tahun ini lebih disebabkan oleh adanya inflasi
yang terjadi di Indonesia. Dari hasil peramalan, harga pisang juga akan stabil di
mulai pada triwulan kedua tahun 2015.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 354
Sumber: Kementerian Pertanian, 2015
Gambar 7. Harga Pisang, Indonesia, 2012-2014
Sumber: Data diolah
Gambar 8. Peramalan Harga Pisang, 2015
Kecenderungan Ekspor dan Impor Komoditas Hortikultura
Adanya volatilitas harga, baik secara langsung maupun tidak langsung
akan berpengaruh terhadap impor produk hortikultura. Pengaruh langsung terjadi
pada impor bawang merah, di mana peningkatan harga yang cukup tajam pada
pertengahan tahun 2014 akibat kelangkaan barang, ditindaklanjuti oleh
pemerintah dengan membuka kran impor, sehingga impor pada periode yang
sama meningkat (Gambar 9). Di samping itu, secara periodik kelangkaan pasokan
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 355
bawang merah terjadi setiap Bulan Desember sampai dengan Januari. Hal ini juga
diakibatkan oleh kurangnya pasokan yang kemudian diikuti dengan meningkatnya
impor. Namun demikian kelangkaan pasokan di akhir tahun tidak menyebabkan
peningkatan harga yang cukup tajam. Masih pada gambar 9, dapat dilihat
kecenderungan ekspor bawang merah yang reltif kecil dan tidak signifikan.
Sumber: BPS, 2015
Gambar 9. Impor dan Ekspor Bawang Merah, Indonesia, 2012-2014
Sementara dengan menggunakan metode peramalan, impor bawang merah
akan cenderung menurun pada tahun 2014 dan kemudian menjadi stabil sejak
pertengahan tahun.
Sumber: Data diolah
Gambar 10. Peramalan Impor Bawang Merah, 2015
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 356
Sumber: BPS, 2015
Gambar 11. Impor dan Ekspor Cabai, Indonesia, 2012-2014
Sementara itu, gambar 11 dan 12 menunjukkan kecenderungan impor
cabai dan peramalannya. Apabila dilihat dari perubahannya, terlihat sinifikan di
mana peningkatan harga cabai diikuti dengan peningkatan impor cabai. Peramalan
harga cabai pada tahun 2014 yang masih tinggi pada triwulan pertama, juga
searah dengan peramalan impor yang juga tinggi pada periode yang sama. Mulai
pertengahan tahun 2014, baik peramalan harga maupun impor cabai relatif stabil.
Sumber: Data diolah
Gambar 12. Peramalan Impor Cabai, 2015
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 357
Gambar 13 menunjukkan impor jeruk yang cenderung fluktuatif. Pada
pertengahan tahun 2013, di mana terjadi penutupan Pelabuhan Tanjung Priok,
tidak untuk impor komoditas hortikulutra. Impor mengalami penutunan yang
cukup tajam. Hal ini karena banyak sekali buah jeruk yang tertahan di Pelabuan
dan tidak bisa masuk ke Indonesia. Namun demikian, beberapa saat setelah
administrasi impor tertata, terjadi peningkatan impor yang cukup tajam. Pada
gambar selanjutnya, yaitu mengenai peramalan impor jeruk, kondisi yang sama
akan terjadi pada awal tahun 2014, di mana peramalan impor menurun, serta
kemudian meningkat dan stabil mulai Bulan Mei 2014.
Sumber: BPS, 2015
Gambar 13. Impor dan Ekspor Jeruk, Indonesia, 2012-2014
Sumber: Data diolah
Gambar 14. Peramalan Impor Jeruk, 2015
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 358
Sumber: BPS, 2015
Gambar 15. Impor dan Ekspor Pisang, Indonesia, 2012-2014
Sumber: Data diolah
Gambar 16. Peramalan Impor Pisang, 2015
Sebagai komoditas yang terakhir adalah pisang yang kecenderungan
impornya dijelaskan pada gambar 15 dan 16. Harga pisang yang stabil relatif
tidak terpengaruh dengan impor komoditas tersebut yang fluktuatif. Namun
demikian dapat dijelaskan, bahwa Indonesia yang memiliki sumber daya genetik
pisang yang melimpah, juga melakukan impor bisang Cavendish. Dari analisis
peramalan impor pisang, terlihat bahwa fluktuasi terjadi pada triwulan pertama
dan selanjutnya impor pisang akan stabil.
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 359
Implikasi Kebijakan
Dari analisis kecenderungan dan peramalan beberapa komoditas
hortikultura, masih diperlukan adanya dukungan kebijakan dari pemerintah untuk
memantau pergerakan harga menjadi lebih stabil. Christy, 2000, menyatakan
bahwa terdapat beberapa tingkatan kebutuhan (need) yang memerlukan kebijakan
dari pemerintah. Adapun kebutuhan tersebut terdiri dari useful enablers,
important enablers dan essential enablers masing-masing berurutan dari tingkatan
yang paling tinggi dan paling sedikit, hingga tingkatan yang paling rendan dan
paling massal. Adapun hubungan ketiga kebutuhan tersebut dapat digambarkan
dengan hirarki yang berbentuk segitiga yang dapat dilihat pada gambar 17.
Gambar 17. Hirarki Kebijakan
Berdasarkan permasalahan di atas, kebijakan yang paling perlu untuk
diambil untuk melakukan stabilisasi harga adalah penguatan sentra produksi
komoditas bawang merah, cabai, jeruk dan pisang melalui peningkatan kualitas,
kuantitas dan kontinuitas produksi. Hal ini dapat dilakukan dengan intensifikasi,
ekstensifikasi di samping juga harus melihat pola tanam dan kalender tanam.
Intensifikasi dapat dilakukan dengan penerapan VUB dan teknologi budidaya
ramah lingkungan atau dengan menerapkan Good Agricultural Practices –
Standard Operational Prosedure (GAP – SOP) berbasis inovasi teknologi
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 360
pertanian. Tentu saja yang kemudian diarahkan pada penerapan ASEAN GAP
sehubungan dengan akan diberlakukannya masyarakat ekonomi ASEAN.
Kebijakan lain yang tak kalah penting adalah perbaikan sistem pemasaran
dan fasilitasi distribusi. Hal ini penting dilakukan, karena seringkali hasil panen
komoditas di sentra produksi tidak dapat sampai ke tangan konsumen dalam
bentuk segar dan bahkan banyak terjadi losses atau kehilangan, karena busuk di
tengah jalan. Untuk itu perlu dilakukan kajian Supply Chain Management serta
upaya fasilitasi dan peningkatan nilai tambah melalui kajian Value Chain
Management. Dalam hal ini teknologi pengemasan dan cold storage sangatlah
diperlukan, di samping pengolahan menjadi produk lain yang lebih tahan simpan.
Masih disisi budidaya, kebijakan sistem logistik dan pasca panen juga tak kalah
penting untuk dapat menyimpan hasil saat panen raya. Hal ini juga dapat
menghindari terjadinya lonjakan harga yang cukup tinggi.
Kebijakan pemerintah untuk mengatasi volatilitas harga, yaitu dengan
membuka kran impor seperti yang telah diulas di atas, dapat dilakukan. Namun
demikian perlu dipertimbangkan berbagai aspek sosial dan ekonomi, termasuk
kesejahteraan dan dis-insentif yang akan diterima oleh petani. Pengaturan waktu
impor, di mana impor hanya dilakukan pada saat paceklik, merupakan solusi yang
baik. Untuk komoditas bawang merah dan cabai, impor dapat dilakukan pada
Bulan Desember-Februari, yaitu pada saat terjadi kelangkaan produksi di kedua
komoditas tersebut.
Pengaturan pelabuhan untuk impor produk hortikultura yang ditetapkan
saat ini, cukup efektif. Namun akan lebih baik jika pelabuhan impor yang masih
di buka di Tanjung Perak, dapat dialihkan di luar Pulau Jawa. Tentu saja hal ini
akan berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dan fasilitasi impor komoditas
hortikultura.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari analisis yang dilakukan di atas, harga komoditas utama hortikultura
masih menunjukkan pola yang volatile untuk beberapa tahun mendatang, yang
tentu saja hal ini akan merugikan produsen maupun konsumen. Kondisi ini
Prosiding Seminar Regional Pekan Agro Inovasi BPTP Sulteng 2014 361
dikarenakan sifat komoditas yang musiman, perishable, bulky, dan voluminous.
Di samping juga adanya perubahan iklim yang cukup ekstrim beberapa tahun
terakhir. Tentu saja perlu adanya penanganan yang intensif dari hulu ke hilir, dan
koordinasi semua pihak untuk percepatannya, terlebih lagi kita sudah harus
memasuki era pasar bebas ASEAN. Kebijakan pemerintah masih diperlukan
terutama penerapan inovasi teknologi pertanian dan penataan rantai nilai. Atas
dasar hasil analisis data impor, impor tidak dapat dibuka begita saja, namun
diperlukan pengaturan waktu impor dan pembatasan pelabuhan impor hanya di
luar Pulau Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Arsanti, I.W. 2008. Evaluation of Vegetable Farming System from Upland Areas
of Indonesia. Dissertation.de, Berlin, Germany
Christy, R.D. 2008. Presentation at GAIF
Irawan, B. 2007. Membangun Agribisnis Hortikultura Terintegrasi dengan Basis
Kawasan Pasar. Forum penelitian agro ekonomi, 21 (1). Pusat Penelitian
dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor, Indonesia
Statistik Pertanian. 2014. Badan Pusat Statistik, Jakarta, Indonesia
Statistik Ekspor dan Impor, Dinamis. 2015. Badan Pusat Statistik, Jakarta,
Indonesia
Statistik Harga. 2015. Ditjen PPHP. Kementerian Pertanian, Jakarta, Indonesia