25
Reviu Teori: Teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Moral: Implikasinya bagi Pembelajaran Oleh: Sri Fajar Martono, S.Psi Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang Kemdiknas Abstraksi Tujuan dari artikel ini adalah mengulas dua teori perkembangan yang dikenal masuk ke dalam teori pentahapan, yaitu teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan teori perkembangan moral oleh Lawrence Kohlberg. Teori perkembangan kognitif menunjukkan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui empat tahap kategorisasi usia, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap sensori-motorik, kontruksi kecerdasan mulai dibentuk, dikenal dengan skema, kecerdasan awal berupa perilaku- perilaku yang bersifat inderawi dan refleks. Pada tahap praoperasional kecerdasan diperkuat dengan pembentukan simbol-simbol bahasa dan permainan yang bersifat pura-pura. Pada tahap operasional konkret, anak mulai mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan logis, dan diterapkan pada masalah-masalah konkret. Pada tahap operasional formal, pemikiran mulai berkembang kearah teoretis formal yang didasarkan pada hipotesis dan pemikiran mulai bersifat abstrak, yaitu tidak mengharuskan bendanya ada. Teori perkembangan moral menunjukkan bahwa perkembangan moral 1

6 Artikel Jurnal Sri Fajar M.teori Perkembangan Kognitif Dan Teori

Embed Size (px)

Citation preview

Reviu Teori:

Reviu Teori: Teori Perkembangan Kognitif dan Teori Perkembangan Moral: Implikasinya bagi Pembelajaran

Oleh: Sri Fajar Martono, S.Psi Pusat Penelitian Kebijakan Balitbang KemdiknasAbstraksi

Tujuan dari artikel ini adalah mengulas dua teori perkembangan yang dikenal masuk ke dalam teori pentahapan, yaitu teori perkembangan kognitif yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan teori perkembangan moral oleh Lawrence Kohlberg. Teori perkembangan kognitif menunjukkan bahwa perkembangan kognitif terjadi melalui empat tahap kategorisasi usia, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap sensori-motorik, kontruksi kecerdasan mulai dibentuk, dikenal dengan skema, kecerdasan awal berupa perilaku-perilaku yang bersifat inderawi dan refleks. Pada tahap praoperasional kecerdasan diperkuat dengan pembentukan simbol-simbol bahasa dan permainan yang bersifat pura-pura. Pada tahap operasional konkret, anak mulai mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan logis, dan diterapkan pada masalah-masalah konkret. Pada tahap operasional formal, pemikiran mulai berkembang kearah teoretis formal yang didasarkan pada hipotesis dan pemikiran mulai bersifat abstrak, yaitu tidak mengharuskan bendanya ada. Teori perkembangan moral menunjukkan bahwa perkembangan moral terjadi dalam tiga tahap. yaitu tahap prakonvensional, tahap konvensional, dan tahap pascakonvensional. Pada tahap prakonvensional ukuran benar atau salahnya suatu perbuatan didasarkan pada objek diluar individu. Pada tahap konvensional ukuran benar-salah didasarkan pada faktor peraturan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Pada tahap pascakonvensional, individu melihat bahwa aturan sosial yang ada didalam masyarakat tidak bersifat dan dapat berubah jika memang masyarakatnya menginginkan. Kedua teori itu menunjukkan bahwa berbagai keterampilan yang dimiliki individu diperoleh dalam beberapa tahap yang saling berkaitan dan berkelanjutan. Tahap perkembangan yang pertama kali menjadi dasar bagi tahap perkembangan yang kedua, dan tahap perkembangan yang kedua menjadi dasar perkembangan yang ketiga dan seterusnya. Penting bagi para orangtua untuk lebih memperhatikan tahap-tahap perkembangan yang sedang dijalani anaknya agar para orangtua dapat memberikan bantuan kepada anak agar tidak mengalami hambatan perkembangan.

Kata kunci: teori perkembangan, perkembangan kognitif, perkembangan moral

Abstract

The aim of this article is to review two theories of development, that are theory of cognitive developmental of Jean Piaget and theory of morality development of Lawrence Kohlberg. The theory of cognitive developmental shows that human intelligences formed in four stages: the sensory-motorical stage (age of 0-2 years), preoperational stage (age of 2-7 years), concrete operational stage (age of 7-11 years), and formal operational stage (age 11 and above). In the sensory-motorical stage the schemas of intelligence are formed through reflective behaviors. At the preoperational stage intelligence are strengthen through linguistic symbolization and play activities. At the concrete operational, intelligence are strengthen by logical thinking that applied on the concrete problem at everyday life of children. Finally, at formal operational stage, children learn to abstract thinking without the presence of the object. The theory of morality development show that morality formed at three stages, pre-conventional stage, conventional stage, and post-conventional stage. At the pre-conventional stage, morality is depending on external object, reward and punishment. At the conventional stage morality is due to the social regulation. At the post-conventional stage people see that social regulation can be changed if the peoples see that it was not useful anymore. All the theories show that many skills and knowledge of individual are acquired through many steps of development that runs continuously. The first stage of development serves as milestone of the next developmental stage, the second stage serve as basic for the third, an etc. It is very important for the parent and educator to understand the two developmental theories so they can help facilitating the development of children to their fullest potential.

Keywords: developmental theory, cognitive development, morality development1.PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anak adalah masa depan bangsa dan negara. Satu kalimat tersebut sangat sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Namun sayang, kita jarang untuk mengambil makna dari kalimat tersebut, kita terkesan mengiyakan kalimat tersebut tanpa lebih jauh untuk mencari implikasi lebih jauh dari kalimat tersebut.

Pada dasarnya setiap anak memiliki hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum. Jaminan perlindungan terhadap hak-hak anak di dunia diatur oleh Konvensi PBB tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) tahun 1989, konvensi ini telah diratifikasi lebih dari 190 negara. Pemerintah Republik Indonesia meratifikasi konvensi ini dengan Kepres Nomor 36 th 1990, sehingga Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.

Adapun hak-hak anak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak tersebut dapat dikelompokan menjadi: Hak atas Kelangsungan Hidup (Survival Rights), Hak atas Perlindungan (Protection Rights), Hak untuk Tumbuh dan Berkembang (Developmental Rights), dan Hak untuk Berpartisipasi (Participation Rights).Salah satu hak yang terkandung dalam Konvensi Hak Anak adalah hak untuk tumbuh dan berkembang, salah satu media utama untuk memenuhi terwujudnya hak ini adalah pendidikan. Saat ini pendidikan merupakan hak bagi semua orang, tidak mempertimbangkan asal-usul, jenis kelamin, kedudukan sosial, taraf penghidupan, dan sebagainya. Semua orang berhak memperoleh pendidikan, tanpa terkecuali. Hal ini tidak seperti pada masa dahulu, pada masa penjajahan, dimana pendidikan hanya dapat diakses oleh golongan-golongan tertentu pada masa itu yang memiliki kedudukan tinggi.

Undang-Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dam proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Setiap individu adalah unik, meminjam istilah psikologi adalah individual differences. Artinya setiap individu memiliki perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Perbedaan tersebut termanifestasi dalam bermacam-macam segi, mulai dari perbedaan ciri dan kondisi fisik, pola berpikir, dan cara-cara merespon atau mempelajari hal-hal baru. Dalam hal belajar, masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan dalam menyerap pelajaran yang diberikan. Oleh karena itu dalam dunia pendidikan dikenal berbagai metode untuk dapat memenuhi tuntutan perbedaan individu tersebut. Di negara-negara maju sistem pendidikan bahkan dibuat sedemikian rupa sehingga individu dapat dengan bebas memilih pola pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dirinya.

Sistem pendidikan kita saat ini dikritik oleh banyak kalangan, seperti praktisi pendidikan, pemerhati masalah sosial, dan para ahli psikologi perkembangan, sebagai pendidikan yang tidak menghargai potensi pertumbuhan individual. Hal ini terlihat dari pola pendidikan kita yang dianggap berorientasi pada hasil akhir, terlalu banyak mengandung materi hafalan, dan terlalu menekankan pada penguasaan materi akademis(Pikiran Rakyat, 25 Mei 2011). Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003, tersirat bahwa tujuan pendidikan lebih menekankan pada tata nilai, etika, dan moralitas peserta didik. Presiden RI bahkan mengingatkan para pendidik formal dan nonformal bahwa sasaran pendidikan bukan hanya kepintaran, kecerdasan, dan ilmu pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti, dan watak. Selain itu juga nilai, perilaku mental, dan kepribadian yang tangguh, unggul, dan mulia (Kedaulatan Rakyat, 21 Mei 2011).Pendidikan yang baik harusnya mengakomodasi proses tumbuh kembang anak dan perbedaan potensi setiap individu. Sehingga dapat memfasilitasi setiap anak didik untuk merealisasikan potensi yang dimilikinya. Tumbuh kembang anak terjadi dalam tahap-tahap yang berurutan dan berkelanjutan. Penting bagi para orangtua dan pendidik untuk mengerti tahap-tahap perkembangan tersebut, sehingga dapat membantu memfasilitasi dan memberi bantuan stimulasi bagi anak dalam menjalani masa perkembangan tersebut. Tahap-tahap perkembangan juga memberi kesempatan bagi tumbuhnya keterampilan-keterampilan hidup anak, hal ini tentu saja memudahkan para orangtua dan pendidik dalam menanamkan atau menyampaikan materi pendidikan yang sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dilalui anak.1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan reviu teori ini adalah mengingatkan kembali kepada masyarakat pada umumnya dan para orangtua dan para pendidik pada khususnya, mengenai pentingnya memahami proses tumbuh kembang anak, karena dengan memahami perkembangan anak maka akan membuka kesempatan membantu memfasilitasi anak dalam memperoleh keterampilan-keterampilan yang sejalan dengan fungsi dan tujuan pendidikan yaitu merealisasikan potensi individu sepenuhnya.2. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Tugas PerkembanganDalam proses pertumbuhannya setiap anak secara umum akan mengalami proses-proses pertumbuhan yang mengakibatkan pemerolehan keterampilan-keterampilan diri. Hal ini yang sering disebut dengan tugas perkembangan, akan dialami oleh setiap individu, namun belum tentu dalam rentang waktu yang sama, ada yang lebih awal, namun ada pula yang lebih lambat.Tugas perkembangan (Havighurst dalam Hurlock, 2002) adalah tugas yang muncul pada saat atau sekitar suatu periode tertentu dari kehidupan individu, yang jika individu tersebut berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa kearah keberhasilan dalam tugas-tugas perkembangan berikutnya. Sebaliknya jika gagal melaksanakan tugas perkembangan, akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam melaksanakan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Beberapa tugas perkembangan muncul sebagai akibat dari proses kematangan fisik, misalnya tumbuhnya keterampilan fisik dalaam olahraga. Ada juga yang berkembang sebagai jawaban atas tuntutan sosial budaya masyarakat, misalnya internalisasi nilai dan norma. Tugas perkembangan bisa juga bisa juga muncul sebagai nilai-nilai aspirasi individual sepert urusan pemilihan bidan pekerjaan yang ditekuni. Tugas-tugas perkembangan terbagi dalam ranah-ranah perkembangan individual, yaitu:

a. Ranah yang berkaitan dengan kemampuan jasmani atau fisik,b. Ranah yang berkaitan dengan aspek kognitif atau kecerdasan,

c. Ranah yang berkaitan dengan aspek tata nilai dan moralitas,

d. Ranah yang berkaitan dengan aspek kehidupan emosional dan sosial.

Untuk dapat melaksanakan tugas perkembangan dengan baik, setiap individu harus melakukan penyesuaian diri dalam tumbuh kembangnya. Penyesuaian diri ini secara garis besar terbagi menjadi dua macam, yaitu penyesuaian diri personal dan penyesuaiam diri sosial. Penyesuaian diri personal mencakup: penyesuaian fisik, penyesuaian emosi, dan penyesuaian moralitas.Penyesuaian fisik, dengan kondisi tubuh yang sedang berkembang anak perlu melakukan penyesuaian agar dapat beraktivitas dengsn sehat. Kondisi tubuh yang sehat adalah tujuan utama, hal ini dapat diperoleh dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi, cukup istirahat, dan dukungan aktivitas gerak olahraga.

Penyesuaian emosi, seiring bertambahnya usia anak dituntut untuk mampu mengenali, memahami, dan mengelola emosi. Penyesuaian emosi ini mencakup pada tiga hal, yaitu adekuasi emosi, kematangan emosi, dan kemampuan kontrol emosi. Penyesuaian moral, yaitu penyesuaian terhadap aturan-aturan yang ada di dalam masyarakat yang bertujuan untuk membimbing perilakunya di dalam kehidupan. Peraturan tersebut dapat berupa nilai dan norma yang dibentuk oleh masyarakat maupun berupa ajaran agama yang bersumber pada keyakinan manusia tentang Tuhan.2.2 Beberapa Perspektif Perkembangan2.2. 1. Perkembangan KognitifTeori tentang perkembangan kognitif sebagai aliran utama dikemukakan oleh Jean Piaget. Ia mengemukakan bahwa perkembangan kognitif yang dialami oleh anak melalui tahap-tahap tertentu yang kurang lebih sama pada semua anak. Adapun tahap-tahap perkembangan kognitif terbagi dalam empat tahap, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun), tahap praoperasional (usia 2-7 tahun), tahap operasional konkret (usia 7-11 tahun), dan tahap operasional formal (usia 11 tahun keatas) (Suparno, 2001).a. Tahap Sensori-Motorik

Pada tahap ini inteligensi anak lebih didasarkan pada tindakan inderawi anak terhadap lingkungannya seperti melihat, meraba, menjamah, mendengar, membau, dan sebagainya. Pada tahap ini perilaku-perilaku anak masih berupa reflek-reflek terhadap lingkungannya. Anak belum memiliki bahasa simbol untuk mengungkapkan sesuatu.b. Tahap Praoperasional

Pada tahap ini ditandai utama dengan pembentukan simbol bahasa untuk merepresentasikan benda-benda yang ada di lingkungannya. Selain itu muncul permainan yang bersifat pura-pura, misalnya permainan menjadi dokter yang mengobati pasiennya pada anak perempuan, atau pada anak laki-laki adalah permainan perang-perangan dengan peran tentara atau jagoan.c. Tahap Operasional Konkret

Pada tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan tertentu yang logis. Seorang anak sudah menguasai proses perubahan atau transformasi yang bersifat reversibel dan kekal. Dengan hal ini anak telah mengembangkan pemikiran logis yang dapat diterapkan dalam memecahkan persoalan-persoalan konkret yang dihadapi.d. Tahap Operasional FormalPada tahap ini anak sudah sudah dapat berpikir logis, berpikir berdasar teoretis formal berdasarkan proposisi dan hipotesis dan dapat mengambil kesimpulan lepas dari apa yang diamati saat itu. Perkembangan pemikiran pada tahap ini sudah sama dengan orang dewasa secara kualitatif, perbedaannya dengan orang dewasa adalah dalam hal kuantitas, yaitu banyaknya skema pada orang dewasa.Seperti yang telah dikemukan di depan bahwa semua individu adalah unik, memiliki kombinasi profil psikologis yang berbeda satu sama lain, hal ini juga terjadi pada kecerdasan. Pandangan psikologi positivistik terbaru menyatakan bahwa semua anak itu cerdas atau berbakat, hanya saja pola pendidikan yang ada sering tidak mengakomodasi keberbakatan sang anak. Salah satu penganut aliran ini Howard Gardner menyebutkan bahwa pada dasarnya kecerdasan itu bervariasi atau majemuk, ada sembilan jenis kecerdasan yang dikemukakannya (Amstrong, 2009).

1. Kecerdasan visual-spasial, kemampuan seseorang untuk memahami secara lebih mendalam hubungan antara objek dan ruang. Peserta didik ini memiliki kemampuan, misalnya, untuk menciptakan imajinasi bentuk dalam pikirannya atau kemampuan untuk menciptakan bentuk-bentuk tiga dimensi.

2. Kecerdasan linguistik, kemampuan seseorang untuk menggunakan bahasa dan kata-kata, baik secara tertulis maupun lisan, dalam berbagai bentuk yang berbeda untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya.

3. Kecerdasan logis-matematis, kemampuan seseorang dalam berpikir secara induktif dan deduktif, berpikir menurut aturan logika, memahami dan menganalisis pola angka-angka, serta memecahkan masalah dengan menggunakan kemampuan berpikir.

4. Kecerdasan kinestetik, kemampuan seseorang untuk secara aktif menggunakan bagian-bagian atau seluruh tubuhnya untuk berkomunikasi dan memecahkan berbagai masalah.

5. Kecerdasan musikal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap suara-suara nonverbal yang berada di sekelilingnya, termasuk dalam hal ini adalah nada dan irama.

6. Kecerdasan interpersonal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Mereka cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan.

7. Kecerdasan intrapersonal, kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan dirinya sendiri. Ia cenderung mampu untuk mengenali berbagai kekuatan maupun kelemahan yang ada pada dirinya sendiri.

8. Kecerdasan naturalis, kemampuan seseorang untuk peka terhadap lingkungan alam, misalnya senang berada di lingkungan alam yang terbuka seperti pantai, gunung, cagar alam, atau hutan.

9. Kecerdasan eksistensial, kemampuan seseorang untuk memikirkan dan memahami suatu fenomena secara holistik dan mendalam.2.2.2. Perkembangan Moral

Perkembangan moral mengacu perkembangan anak dalam mengakuisisi nilai-nilai dan moralitas dalam kehidupannya, yaitu nilai tentang apa yang baik dan benar, atau pantas dan tidak pantas di dalam kehidupannya. Moral pada dasarnya dipandang sebagai penyelesaian antara kepentingan diri dan kelompok, antara hak dan kewajiban. Moral juga dapat diartikan bagaimana orang harus berperilaku dan bersikap kepada orang lain. Perilaku tersebut muncul bersamaan dengan peralihan eksternal ke internal yang disertai perasaan tanggung jawab pribadi atas setiap tindakan seperti adanya pertimbangan kesejahteraankelompok diatas kepentingan pribadi (Coles, 2000)

Teori ini dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Kohlberg membagi perkembangan moralitas kedalam tiga tingkatan yang masing-masing tingkatan terbagi kedalam dua stadium, sehingga keseluruhan ada enam stadium (Mnks, Knoers, & Haditono, 2002).Tingkatan pertama adalah penalaran moral secara prakonvensional, pada tingkatan ini seorang anak mendasarkan pada objek di luar diri individu sebagai ukuran benar atau salah. Pada stadium pertama orientasinya adalah patuh dan takut hukuman, suatu tingkah laku dinilai benar bila tidak dihukum dan salah bila perlu dihukum. Seseorang harus pada otoritas karena otoritas tersebut memegang kuasa, dalam hal ini adalah orangtua. Pada stadium dua penalaran moral didasarkan pada orientasi hedonisme instrumental. Penalaran moral masih mendasarkan pada objek diluar dirinya, namun sudah memperhatikan alasan perbuatannya, misalnya mencuri adalah perbuatan salah, tetapi masih bisa dimaafkan bila alasannya adalah untuk memenuhi kebutuhan dirinya atau orang lain yang disenanginya.Tingkatan kedua adalah penalaran moral konvensional, yaitu mendasarkan pada pengharapan sosial, yaitu suatu perbuatan dinilai benar bila sesuai dengan peraturan yang ada dalam masyarakat. Stadium ketiga orientasi pribadi yang baik, anak menilai suatu perbuatan itu baik bila hal itu dapat menyenangkan orang lain, yaitu apabila ia dapat berbuat seperti apa yang diharapkan oleh orang lain atau oleh masyarakat. Stadium keempat, orientasi pelestarian otoritas dan aturan sosial, anak melihat aturan-aturan sosial yang ada sebagai sesuatu yang penting yang harus dijaga dan dilestarikan.Tingkatan ketiga, penalaran moral yang pascakonvensional, memandang aturan-aturan yang ada di dalam masyarakat tidak absolut, tetapi relatif, dapat diganti dengan yang lain atau baru. Stadium lima, orientasi kontrol legalistis, memahami bahwa peraturan yang ada di dalam masyarakat merupakan perjanjian antara diri orang dengan masyarakat. Individu harus memenuhi kewajiban-kewajibannya, tetapi sebaliknya lingkungan juga menjamin kesejahteraan masing-masing individu. Stadium enam, orientasi yang mendasarkan atas prinsip dan hati nurani sendiri, individu mengembangkan penilaian benar salah berdasarkan suara hatinya tentang makna kebenaran, mencoba untuk tidak mengkaitkannya dengan keharusan peraturan sosial yang ada.2.2.3 PembahasanSalah satu pilar dalam peningkatan kualitas pendidikan adalah kualitas proses pembelajaran, pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang mendasarkan dan memperhatikan dan mengutamakan aspek-aspek anak didik, menempatkan mereka sebagai pusat atau subjek pembelajaran. Anak didik adalah pihak yang aktif membangun konstruksi pengetahuan, bukan sekedar sebagai pihak yang pasif hanya menerima dan menyimpan pengetahuan dalam bentuk jadi saja.Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan anak terjadi dalam tahap-tahap yang kontinu satu sama lain. Sebuah tahap yang terjadi akan menjadi bahan materi bagi tahap perkembangan selanjutnya. Seringkali kita melihat bahwa orangtua memaksakan anak memperoleh keterampilan yang belum tepat masanya, sehingga justru malah membebani sang anak. Misalnya, orangtua memaksa anaknya yang baru masuk taman kanak-kanak untuk menguasai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Orangtua akan merasa bangga jika pada usia semuda mungkin sang anak menguasai pengetahuan atau keterampilan yang lazimnya dimiliki oleh anak-anak usia diatasnya.Perilaku orangtua yang memaksakan suatu kemampuan tertentu pada anaknya, justru bisa menimbulkan hambatan perkembangan. Hal ini terjadi karena orangtua mengabaikan tahap perkembangan yang sedang terjadi dan memilih kepada perkembangan yang seharusnya diatasnya. Pengabaian ini dapat terjadi karena ketidaktahuan orangtua tentang tahap-tahap perkembangan ataupun karena memang tidak peduli dengan perkembangan anak. Jika hal ini terjadi, kemungkinan masa-masa kritis perkembangan yang seharusnya sangat diperhatikan justru terlewatkan begitu saja. Ini merupakan kerugian besar karena masa-masa kritis di dalam tahap perkembangan tidak terjadi berulang.

Dari beberapa teori yang telah dipaparkan diatas terlihat bahwa individu anak memperoleh atau mengkonstruksi pengetahuan dan keterampilan melalui tahap-tahap, bukan sesuatu yang datang sendiri dan tiba-tiba tanpa perjuangan dari anak tersebut. Individu harus mengalami proses yang menyentuh keseluruhan aspek diri, yaitu aspek fisik, psikologis, moral, dan sosial. Individu adalah mahluk yang berkembang dan dalam perkembangan ini mereka membutuhkan fasilitasi dan stimulasi. Apa yang terjadi di lingkungan mereka dan apa yang dilakukan oleh orang-orang disekitarnya secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan diri.Dalam melihat proses belajar Piaget lebih menekankan individu anak didik sebagai aspek utama, anak didik aktif memperoleh dan memproses pengetahuan, anak didik jangan diposisikan pasif yang tinggal disuapi pengetahuan. Proses belajar harus membantu dan memungkinkan murid aktif mengkonstruksi pengetahuan dengan caranya sendiri. Biarkan anak didik melakukan perubahan-perubahan skema dasar yang telah dibentuknya. Penekanan lebih kepada anak didik yang aktif bukan para pendidik yang dominan menentukan pembelajaran anak.

Dalam konsep belajar aktif ini adalah kegiatan belajar dimana anak didik secara kognitif terlibat secara menyeluruh dalam proses. Intinya adalah belajar melalui interaksi langsung dengan lingkungannya dan anak didik diposisikan sebagai subjek utama dalam kontruksi pengetahuan maupun keterampilan. Belajar disini juga berorientasi pada pemecahan masalah sehingga anak didik memperoleh pola-pola pemikiran yang lebih aplikatif. Anak didik dihadapkan pada permasalahan-permasalahan dan diberikan kebebasan dalam memilih alternatif solusi, disini secara tidak langsung dikembangkan pula pola pikir kreatif, pola pikir yang berbeda. Mereka harus didorong untuk mencari pengalaman-pengalaman baru dan melakukan percobaan-percobaan yang memungkinkan mereka mengkonstruksi konsep baru kedalam skema kognitif yang mereka kembangkan.

Apa yang dikemukakan oleh Kohlberg mengenai perkembangan moral dapat menjadi bahan pertimbangan dalam tema besar saat ini yaitu pendidikan karakter. Moralitas adalah salah satu aspek dari karakter yang menjadi sasaran pendidikan saat ini. Moralitas berkaitan dengan perilaku benar-salah, baik-buruk, dan pantas-tidak pantas. Moralitas saat ini menjadi keprihatinan yang besar mengingat besarnya arus pengaruh nilai-nilai yang masuk dari luar, tidak sedikit nilai-nilai tersebut yang bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang telah kita miliki dan junjung tinggi. Nilai-nilai dasar yang kita miliki yang sangat kita junjung tinggi,seperti kegotongroyongan, sopan-santun, keramahtamahan, dan sebagainya kadang kalah bersaing dengan nilai-nilai yang datang dari luar, nilai-nilai tersebut kadang dianggap kuno dan sudah ketinggalan jaman.

Untuk menjadi manusia yang unggul, tidak sekedar memiliki pengetahuan tinggi dan keterampilan yang bagus semata, namun juga didukung oleh moralitas yang baik pula, tanpa didukung moralitas ini kehidupan akan kacau. Seperti apa yang sedang terjadi di negara kita saat ini, moralitas yang rendah yang menyebabkan korupsi merajalela. Sasaran pendidikan bukan hanya kecerdasan dan ilmu pengetahuan, tetapi juga moral, budi pekerti, dan watak manusia. Pendidikan yang seperti ini akan menciptakan manusia yang tangguh, unggul, dan mulia.Para pendidik diharapkan melaksanakan tanggung jawab untuk menciptakan kehidupan belajar mengajar yang mampu mempengaruhi pola pikir peserta didik kearah perubahan perilaku positif. Dalam memberikan pengaruh yang baik, para pendidik harus menjaga perilaku dan tutur kata, karena pelajaran moralitas harus ditunjukkan dengan perilaku nyata dan peran model. Permasalahan moralitas yang saat ini banyak terjadi bisa juga terjadi karena hilangnya sosok model perilaku bagi anak. Misalnya dalam keluarga karena kesibukan kedua orangtuanya maka anak kehilangan keempatan untuk belajar nilai melalui imitasi dan identifikasi terhadap perilaku orangtua. Anak akhirnya malah belajar nilai dari televisi atau media lainnya yang berakibat buruk, mengingat anak belum memiliki kemampuan untuk menyaringnya.3. PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dalam teori perkembangan, suatu konstruksi pengetahuan ataupun keterampilan seseorang tidaklah muncul dengan tiba-tiba. Ada tahap-tahap yang harus dilalui agar pengetahuan dan keterampilan tersebut terbentuk dengan baik. Teori pentahapan menyebutkan bahwa perkembangan bersifat hierarkhis, tahap yang pertama kali akan menjadi pondasi utama suatu keterampilan, tahap tersebut menjadi dasar bagi perkembangan bagi tahap yang kedua, sedangkan tahap yang kedua akan menjadi dasar bagi tahap yang ketiga dan seterusnya saling berkaitan dan berkelanjutan. Perumpamaan sederhana dari hal ini adalah anak yang sedang belajar naik sepeda. Pertama kali anak akan belajar mengayuh memegangi stang, kemudian belajar mengayuh pedal dan mengerem dengan kondisi sepeda masih diam, kemudian belajar mempertahankan keseimbangan sepeda. Setelah keterampilan-keterampilan dasar bersepeda tersebut dimiliki barulah anak akan belajar naik sepeda di halaman. Akan terasa aneh jika belajar naik sepeda itu dibalik urutannya. Anak belajar mengendarai sepeda di halaman dulu baru, baru belajar keseimbangan, kemudian belajar mengayuh pedal, dan baru akhirnya belajar memegang stang sepeda.Kognitif berkaitan dengan proses mental berpikir, yaitu setiap kegiatan yang melibatkan proses mental berpikir untuk mencari pemecahan masalah, beradaptasi dengan situasi kognitif baru, dan fungsi kecerdasan. Perkembangan setiap individu pada dasarnya terjadi dalam empat tahap, hal ini dikemukakan oleh Jean Piaget berdasarkan penelitian mendalam tentang tumbuh kembang anak-anaknya. Jean Piaget mengemukakan bahwa perkembangan kognitif melalui empat tahap, yaitu tahap sensori-motorik (usia 0-2 tahun), tahap praoperasional (2-7 tahun), tahap operasional konkret (7-11 tahun), dan tahap operasional formal (11 tahun keatas). Pada tahap sensori-motorik, kontruksi kecerdasan mulai dibentuk, dikenal dengan skema, kecerdasan awal berupa perilaku-perilaku yang bersifat inderawi dan refleks. Pada tahap praoperasional kecerdasan diperkuat dengan pembentukan simbol-simbol bahasa dan permainan yang bersifat pura-pura. Pada tahap operasional konkret, anak mulai mengembangkan pemikiran yang didasarkan pada aturan logis, dan diterapkan pada masalah-masalah konkret. Pada tahap operasional formal, pemikiran mulai berkembang kearah teoretis formal yang didasarkan pada hipotesis dan pemikiran mulai bersifat abstrak, yaitu tidak mengharuskan bendanya ada.

Moralitas adalah pedoman tentang salah atau benar tentang perilaku seseorang berdasarkan masyarakat, moralitas ini sangat penting sebagai dasar mengatur hubungan antarmanusia. Moral pada dasarnya dipandang sebagai penyelesaian antara kepentingan diri dan kelompok, antara hak dan kewajiban. Maksudnya moral diidentifikasikan dengan penyelesaian antara kepentingan diri dan kepentingan lingkungan yang merupakan hasil timbang menimbang antara dua hal tersebut. Bayangkan jika moralitas tidak menjadi dasar panduan dalam hidup bemasyarakat, tentu semua orang akan memaksakan kepentingannya sendiri. Jika hal ini terjadi maka kekerasan akan menjadi salah satu hal yang dianggap legitimate untuk dilakukan dan ini akan membawa kehancuran pada suatu masyarakat. Begitu pentingnya tata aturan nilai ini sehingga moralitas terdapat dalam seluruh budaya di dunia, seprimitif apapun masyarakat pasti ada aturan tentang moralitas. Karena aturan moralitas inilah salah satu pemelihara kelangsungan suatu masyarakat

Teori perkembangan moral yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukkan bahwa perkembangan moral terjadi dalam tiga tahap. yaitu tahap prakonvensional, tahap konvensional, dan tahap pascakonvensional. Pada tahap prakonvensional ukuran benar atau salahnya suatu perbuatan didasarkan pada objek diluar individu. Pada tahap konvensional ukuran benar-salah didasarkan pada faktor peraturan sosial yang terdapat di dalam masyarakat. Pada tahap pascakonvensional, individu melihat bahwa aturan sosial yang ada didalam masyarakat tidak bersifat dan dapat berubah jika memang masyarakatnya menginginkan.Pendidikan merupakan salah satu upaya untuk mengantarkan peserta didik menuju proses kedewasaan, pencapaian nyata terhadap potensi yang dimilikinya. Pendidikan juga harus menanamkan tata nilai moralitas, sehingga output dari pendidikan tidak hanya individu yang memiliki kecerdasan tinggi dan menguasai kemampuan yang diperlukan bagi masa depannya, namun juga pribadi yang tangguh, unggul, dan memegang tata nilai moralitas sebagai pegangan dalam kehidupannya.

Ki Hajar Dewantoro, Bapak Pendidikan Republik Indonesia, pernah mengemukakan tiga prinsip pendidikan dengan melihat dari sudut pandang apa yang harus dilakukan oleh pendidik terhadap anak didik dan proses belajar. Filsafat tersebut berbunyi: Ing ngarso sung tulodho, Ing madyo mangun karso, Tut wuri handayani. Ketiga kalimat berbahasa Jawa, tersebut memiliki makna yang sangat mendalam. Filsafat pertama Ing ngarso sung tulodho berarti bahwa seorang pendidik harus senantiasa memberi teladan, model positif yang menjadi panutan anak didiknya. Seorang pendidik tidak sekedar mengajarkan hal-hal yang baik tetapi harus mencontohkan bagaimana menerapkan hal-hal baik itu dalam kehidupan nyata, bukan sekedar ilmu yang kalau sudah dipahami ya sudah. Filsafat kedua Ing madyo mangun karso, hal ini berarti bahwa seorang pendidik harus mampu membangkitkan, mengobarkan, dan memelihara semangat anak didiknya. Hal ini membutuhkan interaksi yang lebih mendalam antara pendidik dengan anak didiknya. Filsafat yang ketiga Tut wuri handayani memiliki arti bahwa setiap pendidik memiliki tanggung jawab untuk mengawal proses pendidikan yang dijalankan agar berjalan dengan lancar dan dapat mencapai tujuan yang digariskan.

3.2 Saran1. Masyarakat umum secara perlahan harus mengubah pandangan umum tentang pendidikan, anak bukanlah mesin belajar yang kapan saja siap untuk mempelajari sesuatu. Pandangan harus beralih kepada pendapat yang menyatakan bahwa anak harus diberi kesempatan berkembang secara alamiah, biarkan kecerdasan terbentuk secara natural sesuai dengan tahap perkembangan yang sedang dilalui.2. Para orangtua harus hadir, mendampingi anak dalam masa tumbuh kembangnya, orangtua harus mau mengerti tentang tahap-tahap perkembangan yang dilalui anak-anaknya. Dalam tahap perkembangan ini ada yang disebut dengan masa-masa kritis, masa ini adalah waktu yang terbaik untuk melatih keterampilan tertentu. Akan sangat rugi kalau masa kritis ini sampai berlalu begitu saja, karena masa-masa penting ini tidak akan datang dua kali atau berulang.3. Para guru harus memahami perbedaan individual, dan sebisa mungkin mengakomodasi perbedaan tersebut dalam memberikan pelajaran, hal ini berarti menuntut seorang pendidik untuk bertindak fleksibel dan kreatif dalam membawakan materi pelajaran.4. Dalam sistem pembelajaran, anak harus didorong untuk aktif mencari dan memproses informasi, pengetahuan, dan keterampilan. Sifat dasar keterampilan hidup adalah natural. Meskipun begitu para orangtua dan para pendidik tetap memiliki peran yang penting, yaitu memfasilitasi dan memberi stimulasi terhadap keterampilan-keterampilan yang sedang dipelajari.Daftar PustakaAmstrong, T. 2009. Multiple Intelligences in The Classroom. Virginia: ASCD.Coles, R. 2000. Menumbuhkan Kecerdasan Moral pada Anak. Alih Bahasa: T Hermaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Hurlock, E. 2002. Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa: Tim Erlangga. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kedaulatan Rakyat. 21 Mei 2011. Puncak Peringatan Hardiknas dan Harkitnas 2011.

Mnks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. 2002. Psikologi Perkembangan. Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.Pikiran Rakyat. 25 Mei 2011. Forum Guru.Suparno, P. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Penerbit Kanisius

PAGE 16